Professional Documents
Culture Documents
Oleh
TSABIT AZINAR AHMAD
NIM S860209113
Pendahuluan
Masyarakat Jawa sebagian besar merupakan masyarkat agraris yang
memandang tanah sebagai aset penting dalam kehidupan. Hal ini dikarenakan
tanah merupakan sumber daya alam yang diolah untuk keperluan hidup. Tanah
bagi masyarakat agraris berfungsi sebagai aset prduksi untuk dapat menghasilkan
komoditas hasil pertanian, baik untuk tanaman pangan ataupun tanaman
perdagangan.
Posisi penting tanah dalam masyarakat pedesaan Jawa terlihat dari istilah
“sedumuk bathuk sanyari bumi, den lakoni taker pati, sanadyan pecahing dhadha
wutahing ludira”. Istilah tersebut menunjukkan tingginya apresiasi masyarakat
Jawa dalam memaknai tanah, bahkan dalam mempertahankan tanah harus dibela
meskipun sampai mati, tidak peduli pecahnya dada dan tumpahnya darah. Hal ini
menunjukkan bahwa tiap jengkal tanah berselimutkan kehormatan dan martabat
pemiliknya. Tanah dengan demikian merupakan persoalan hidup mati (survival),
kepentingan, harga diri, eksistensi, “ideologi”, dan nilai (Sudijono Sastroatmodjo,
2007:28)
Permasalahan tanah inilah yang menurut Sartono Kartodirdjo pada akhirnya
mampu menggerakan masyarakat, dalam hal ini adalah petani, untuk melakukan
gerakan protes petani, sebuah gerakan protes menentang pemaksaan oleh tuan
tanah maupun pemerintah (Soegijanto Padmo, 2000:1). Permasalahan tanah ini
pulalah yang dapat memicu gerakan petani lainnya, yakni gerakan messianistis,
yakni gerakan yang menginginkan terciptanya dunia baru serba adil, dan gerakan
revivalis yakni gerakan yang ingin membangkitkan kejayaan masa lampau.
Tanah menjadi salah satu penyebab berbagai gerakan protes petani. Contoh
kasus gerakan protes petani karena masalah tanah adalah seperti gerakan protes
petani di Desa Patik, Ponorogo pada November 1885. Gerakan tersebut bertujuan
menghapuskan pajak-pajak atas tanah. Salah satu penyebab munculnya gerakan
3
ini adalah masalah penarikan pajak tanah oleh Belanda (Ong Hok Ham, 1991: 59).
Selain itu ada pula gerakan petani di Cilegon, Banten pada 1888. Sartono
Kartodirdjo menjelakan bahwa gerakan ini salah satunya disebabkan masalah
sosial ekonomi, yakni masalah konflik atas hak-hak tanah antara penduduk
dengan pemerintah Hindia Belanda. Permasalahan seperti penghapusan tanah-
tanah kerajaan, penghapusan tanah-tanah pusaka, serta penarikan pajak atas tanah
merupakan salah satu penyebab gerakan protes petani di Banten tahun 1888
(Kuntowijoyo, 2008:44). Kemudian ada pula gerakan protes petani di Klaten
tahun 1959-1965 karena ketidakseimbangan penguasaan tanah yang pada
akhirnya memunculkan ketegangan-ketegangan akibat kebijakan pemerintah RI
dalam bidang agraria (Soegijanto Padmo, 2000). Masalah tentang tanah dengan
demikian menjadi salah satu permasalahan pokok masyarakat petani. Bahkan
secara ekstrem dapat dinyatakan bahwa sejarah tentang masyarakat petani adalah
sejarah tentang tanah, meliputi penguasaan tanah, hak pengelolaan tanah, tugas
dan tanggung jawab pengelola tanah, dan sebagainya. Tulisan ini secara ringkas
mencoba untuk menjelaskan hubungan antara perubahan pola penguasaan tanah
terhadap munculnya gerakan protes petani pada masa kolonial.
Demak) dan Pesisir Timur (Jepara, Kudus, Cengkal Sewu, Pati, Juana,
Pejangkungan, Rembang, Tuban, Sidayu, Lamongan, Gresik, Surabaya, Pasuruan,
Bangil, Besuki, Blambangan, Banyuwangi, dan Madura). Akan tetapi secara
umum tidak ada perubahan pola penguasaan tanah di masyarakat.
Setelah VOC bangkrut, dimulailah fase baru dalam kehidupan politik di
Nusantara, yakni dengan berdirinya pemerintah kolonial Hindia Belanda pada
tahun 1800. Pada awal abad XIX inilah di dalam daerah kerajaan para penguasa
jatuh di bawah penguasaan Belanda. Sikap politik agraria pemerintahan Belanda
mulai berubah semenjak Deandels berkuasa. Ia memprakarsai perubahan-
perubahan administrasi pertanahan untuk tercapainya kekuasaaan politik yang
sistematis. Bahkan, beberapa wilayah di Batavia, Semarang, dan Surabaya dijual
kepada swasta untuk memecahkan kesulitan keuangan pemerintah. Kemudian
ketika Inggris berkuasa atas Indonesia (1811-1816) di bawah Gubernur Jenderal
Raffles, terjadi perubahan dalam sistem agraria. Raffles melakukan reformasi
agraria dengan nama Land Rent System (Sistem Sewa Tanah). Ide perubahan ini
banyak dipengaruhi oleh keberhasilannya dalam penerapan sistem serupa di India.
Raffles menentang stelsel hubungan tanah feodal sebagaimana dilakukan oleh
pemerintahan tradisional dan VOC (Wasino, 2005: 5).
Sistem sewa tanah yang diterapkan Raffles berpatokan pada tiga azas, yakni
(1) segala bentuk dan jenis penyerahan wajib dan kerja rodi dihapuskan, dan
petani berhak menentukan jenis tanaman, (2) peran bupati sebagai pemungut
pajak dihapuskan dan mereka menjadi bagian pemerintahan kolonial, (3)
pemerintah kolonial adalah pemilik tanah dan para petani dianggap sebagai
penyewa, petani wajib membayar sewa tanah (Marwati Djoned Poesponegoro dan
Nugroho Notosusanto [ed], 1984:90).
Namun demikian, pelaksanaan sistem sewa tanah ini menalami kegagalan
karena terbentur pada sistem sosial budaya rakyat Jawa karena mengganggu
tradisi, belum adanya kepastian hukum atas tanah, rakyat belum terbiasa
menggunakan uang sebagai alat pembayaran pajak, serta pemerintahan Raffles
yang singkat (Wasino, 2005:6).
Pada masa pemerintahan Inggris daerah kekuasaan kerajaan di Jawa
mengalami penyempitan kembali. Hal ini seperti yang terjadi di daerah Kedu yang
5
pada tahun 1812 berhasil dikuasai oleh Inggris melalui perjanjian dengan
Hamengku Buwono II yang kalah dalam pertempuran (Djuliati Suroyo, 2000: 46).
Daerah Kedu berkembang menjadi kawasan eksloitasi kolonial.
Perubahan-perubahan besar dalam bidang penguasaan tanah terjadi setelah
perang Diponegoro usai pada tahun 1830. Setelah akhir perang Diponegoro
daerah luaran atau mancanegara oleh raja Jawa diserahkan pada Belanda sebagai
ganti jerih payah mereka menindas pemberontakan (Ong Hok Ham, 1984:3). Hal
ini merupakan upaya Hindia Belanda untuk segera mengisi kas yang kosong
akibat perang. Untuk itu dilakukanlah kontrak-kontrak antara Hindia Belanda dan
Sunan Paku Buwono VII untuk memperkuat landasan hukum penguasaan tanah
atas daerah mancanegara (Suhartono, 1991:75).
Kawasan mancanegara terbagi atas dua wilayah, yakni mancanegara barat
dan mancanegara timur. Pringgodigdo seperti dikutip Wasino (2005) menyatakan
Mancanegara barat meliputi Banyumas, Banjar, Pasir, Ayah, Kalibeber, Roma,
Jabarangkah, Pamerden, Wora-wari,Tersono, Kerincing, Bobotsari, Kartanegara,
Daya Luhur, Brebes, Lebaksiu, Balapulang Bentar, Banjarnegara, Purbalingga,
serta daerah Jepara, Salatiga, dan Blora. Daerah mancanegara timur meliputi
Panaraga, Kediri, Madiun, Pacitan, Keduwang, Magetan, Caruban, Pace,
Kertosono, Srenget, Blora, Rawa, Kalangbret, japan/Lamongan, Wirasaba,
Brebeg, Jagaraga.
Pada tahun 1830 mulai diterapkan sistem tanam paksa (cultuurstelsel) oleh
pemerintah Hindia Belanda pada daerah-daerah yang telah berhasil dikuasainya.
Sistem ini bertujuan untuk memanfaatkan sumber daya tanah, tenaga kerja, dan
kedudukan hokum dari keduanya. Pada masa ini negara mendominasi dua faktor
produksi, yakni tanah dan tenaga kerja. Kuntowijoyo menyatakan bahwa
ekspoitasi negara atas tanah dan tenaga kerja itu disahkan berdasarkan anggapan
bahwa tanah adalan milik negara (Wasino, 2005:6).
Dalam pelaksanaan tanam paksa ada beberapa hal yang menarik, yakni
pemulihan kembali peran-peran Bupati, Wedana dan Bêkêl tetapi di bawah
kendali pemerintah kolonial. Selain itu semua penduduk memperoleh tanah
garapan, tak terkecuali para numpang dan bujang. Tanah garapan mereka adalah
tanah yang dapat pula diwariskan penggarapannya. Tanah tersebut semula berasal
6
dari tanah para sikêp yang diambil alih oleh pemerintah desa dan dibagikan
kepada para numpang atau bujang atau mewajibkan penduduk bujang dan
numpang membuka areal baru di desa setempat. Karena semua penduduk telah
mempunyai tanah, maka mereka mempunyai kewajiban membayar pajak dan
kerja bhakti (Iwan Nurdin, 2007).
Pengaruh tanam paksa memberikan perubahan dalam pola penguasaan
tanah. Bedasarkan survei yang dilakukan pada tahun 1868-1869 yang dibukukan
dalam Eindresumé (resume akhir) yang disunting oleh W.B. Bergsma, ada
beberapa pola penguasaan tanah pertanian di kalangan masyarakat, yakni milik
perorangan turun-temurun (erfelijk individueel bezit), milik komunal (gemeen
bezit), dan tanah bengkok untuk pamong desa (ambtsvelden) (Kano, 1984: 42-63).
Sistem tanam mulai dihentikan pada tahun 1870. Setelah tahun ini sistem
liberal mulai bekembang di Hindia Belanda. Dalam bidang agraria, liberalisme ini
nampak dengan dilkeluarkannya Agrarische Wet atau Undang-Undang Agraria
pada tahun 1870. Undang-undang inilah yang menjadi dasar kebijakan agraria
pemerintah Hindia Belanda pada masa-masa berikutnya. Undang-undang ini
memberi kesempatan kepada penyewaan jangka panjang tanah-tanah untuk
perkebunan. Di sini dimungkinkan untuk memiliki mutlak (hak eigendom)
termasuk hak untuk menyewakannya ke pihak lain. Akan tetapi kepemilikan
mutlak oleh petani sulit tercapai karena penguasa lebih tergiur untuk memberikan
konsesi kepada para penguasa swasta asing.
Setelah dikeluarkannya Agrarische Wet, Belanda mengeluarkan berbagai
peraturan tentang penguasaan tanah di Jawa. Pada tahun 1885 dikeluarkan
Staatsblad (Lembaran Negara) No. 102 tentang berakhirnya secara resmi tanam
paksa. Sistem penguasaan tanah yang tadinya milik bersama desa, dikembalikan
kepada individu-individu. Konversi tanah bersama menjadi tanah individu hanya
jika ¾ warga desa menyetujuinya.
Kemudian pada 19 Januari 1909 Gubernur Jenderal van Heutz segera
memerintahkan agar segera dilaksanakan reorganisasi. Reorganisasi ini mulai
berjalan dengan beberpa tahap yakni penghapusan sistem apanage pada kurun
1912-1917, kemudian antara tahun 1917-1926 digunakan untuk mengkonversi
tanah-tanah perkebunan (Suhartono, 1991: 96). Dengan demikian, di daerah
7
terjadi gerakan anti tuan tanah petani di Tangerang yang dipimpin oleh Kaiin
Bapak Kajah, tanggal 10 Februari 1924 pemerintah kolonial Belanda menjadi
bingung. Oleh pemerintah kolonial Belanda gerakan petani ini disimpulkan
sebagai gerakan ratu adil yang disebabkan oleh faktor ekonomi, sosial , politik
sebagai faktor kondisional dalam masyarakat petani di tanah partikelir Tangerang
sebagai penyebab munculnya gerakan petani di Tangerang untuk menuntut
pengembalian tanah partikelir dari tangan orang-orang Cina (Marwati Djoned
Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto [ed], 1984).
Dari penjelasan di atas, tampak terlihat bahwa terjadi proses perubahan
struktur masyarakat seperti hilangnya persekutuan hidup di dalam desa. Pada
tanah partikelir tuan tanah melakukan ekspoitasi terhadap tanah dan petani yang
hidup di daerahnya. Selain itu, terjadi proses hilangnya persekutuan hidup di
dalam desa. Di tanah partikelir terbentuk kehidupan organisasi desa yang lepas
dan meletakkan para tuan tanah menjadi lebih kuat dalam kedudukan yang
berkuasa, serta menguatkan cengkeramannya atas kaum petani. Pada tanah
partikelir tidak ada lagi hubungan patron-klien berdasar pada hubungan yang
bersifat mutualisme, tetapi beralih pada aspek komersialisasi pertanian.
Penutup
Perubahan pola penguasaan tanah dengan munculnya tanah-tanah yang
dikuasai oleh para tuan tanah dengan demikian secara tidak langsung telah
mengubah pola dan struktur masyarakat yang menganut sistem patron-klien yang
berinteraksi secara mutualisme. Perubahan yang cepat yang ditambah dengan
adanya sistem-sistem baru telah menyebabkan para petani menjadi objek
eksploitasi, sehingga hal ini menjadi alasan yang memunculkan gerakan petani
dalam melawan tuan tanah.
11
Daftar Pustaka
Djulianti, A.M Suroyo. 2000. Eksploitasi Kolonial Abad XIX: Kerja Wajib Di
Karesidenan Kedu 1800-1890. Yogyakarta: Yayasan Untuk Indonesia.
Iwan Nurdin. 2007. Pola Penguasaan Tanah Era Tanam Paksa. Dalam
http://ppijkt.wordpress.com/ (diunduh 2 April 2009)
Kano, Hiroyoshi. 1984. “Sistem Pemilikan Tanah dan Masyarakat Desa Di Jawa
Pada Abad XIX”. Dalam Sediono M.P. Tjondronegoro dan Gunawan
Wiradi (Peny.). 1984. Dua Abad Penguasaan Tanah: Pola Penguasaan
Tanah Pertanian di Jawa dari Masa ke Masa. Jakata: Yayasan Obor
Indonesia dan Penerbit PT Gramedia. Hlm 28-85.
Kuntowijoyo. 2008. Penjelasan Sejarah (Historical Explanation). Yogyakarta:
Tiara Wacana.
Ong Hok Ham. 1991. Rakyat dan Negara. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan dan
LP3ES.
Soegijanto Padmo. 2000. Landreform dan Gerakan Protes Petani Klaten 1959-
1965. Yogyakarta: Media Pressindo dan Konsorsium Pembaruan Agraria.
Wasino. 2005. Tanah, Desa, dan Penguasa: Sejarah Pemilikan dan Penguasaan
Tanah di Pedesaan Jawa. Semarang: Unnes Press