Professional Documents
Culture Documents
Bahasa Jawa adalah bahasa yang digunakan penduduk suku bangsa Jawa terutama
di beberapa bagian Banten terutama di kabupaten Serang dan Tangerang, Jawa
Barat khususnya kawasan Pantai utara terbentang dari pesisir utara Karawang,
Subang, Indramayu dan Cirebon, Jawa Tengah & Jawa Timur di Indonesia.
Penduduk Jawa yang berpindah ke Malaysia turut membawa bahasa dan kebudayaan
Jawa ke Malaysia, sehingga terdapat kawasan pemukiman mereka yang dikenal
dengan nama kampung Jawa, padang Jawa. Di samping itu, masyarakat pengguna
Bahasa Jawa juga tersebar di berbagai wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Kawasan-kawasan luar Jawa yang didominasi etnis Jawa atau dalam persentase
yang cukup signifikan adalah : Lampung (61%), Bengkulu (25%), Sumatra Utara
(antara 15%-25%). Khusus masyarakat Jawa di Sumatra Utara ini, mereka
merupakan keturunan para kuli kontrak yang dipekerjakan di berbagai wilayah
perkebunan tembakau, khususnya di wilayah Deli sehingga kerap disebut sebagai
Jawa Deli atau Pujakesuma (Putra Jawa Kelahiran Sumatera). Sedangkan
masyarakat Jawa di daerah lain disebarkan melalui program transmigrasi yang
diselenggarakan semenjak jaman penjajahan Belanda.
Fonologi
Dialek baku bahasa Jawa, yaitu yang didasarkan pada dialek Jawa Tengah, terutama
dari sekitar kota Surakarta dan Yogyakarta memiliki fonem-fonem berikut:
Vokal:
i u
e ə o
(ɛ) (ɔ)
a
1
Konsonan:
Eksplosiva pb td ʈɖ tʃ dʒ kg ʔ
Frikatif s (ʂ) h
Sengau m n (ɳ) ɲ ŋ
Penjelasan Vokal:
Tekanan kata (stress) direalisasikan pada suku kata kedua dari belakang, kecuali
apabila sukukata memiliki sebuah pepet sebagai vokal. Pada kasus seperti ini,
tekanan kata jatuh pada sukukata terakhir, meskipun sukukata terakhir juga
memuat pepet. Apabila sebuah kata sudah diimbuhi dengan afiks, tekanan kata
tetap mengikuti tekanan kata kata dasar. Contoh: /jaran/ (kuda) dilafazkan sebagai
[j'aran] dan /pajaranan/ (tempat kuda) dilafazkan sebagai [paj'aranan].
Semua vokal kecuali /ə/, memiliki alofon. Fonem /a/ pada posisi tertutup dilafazkan
sebagai [a], namun pada posisi terbuka sebagai [ɔ]. Contoh: /lara/ (sakit) dilafazkan
sebagai [l'ɔrɔ], tetapi /larane/ (sakitnya) dilafazkan sebagai [l'arane]
Fonem /i/ pada posisi terbuka dilafazkan sebagai [i] namun pada posisi tertutup
lafaznya kurang lebih mirip [e]. Contoh: /panci/ dilafazkan sebagai [p'aɲci] ,
tetapi /kancil/ kurang lebih dilafazkan sebagai [k'aɲcel].
Fonem /u/ pada posisi terbuka dilafazkan sebagai [u] namun pada posisi tertutup
lafaznya kurang lebih mirip [o]. Contoh: /wulu/ (bulu) dilafazkan sebagai [w'ulu] ,
tetapi /ʈuyul/ (tuyul) kurang lebih dilafazkan sebagai [ʈ'uyol].
Fonem /e/ pada posisi terbuka dilafazkan sebagai [e] namun pada posisi tertutup
sebagai [ɛ]. Contoh: /lele/ dilafazkan sebagai [l'ele], tetapi /bebek/ dilafazkan
sebagai [b'ɛbɛʔ].
2
Fonem /o/ pada posisi terbuka dilafazkan sebagai [o] namun pada posisi tertutup
sebagai [ɔ]. Contoh: /loro/ dilafazkan sebagai [l'oro], tetapi /boloŋ/ dilafazkan
sebagai [b'ɔlɔŋ].
Penjelasan Konsonan:
Fonem /k/ memiliki sebuah alofon. Pada posisi terakhir, dilafazkan sebagai [ʔ].
Sedangkan pada posisi tengah dan awal tetap sebagai [k].
Fonem /n/ memiliki dua alofon. Pada posisi awal atau tengah apabila berada di
depan fonem eksplosiva palatal atau retrofleks, maka fonem sengau ini akan
berubah sesuai menjadi fonem homorgan. Kemudian apabila fonem /n/ mengikuti
sebuah /r/, maka akan menjadi [ɳ] (fonem sengau retrofleks). Contoh: /panjaŋ/
dilafazkan sebagai [p'aɲjaŋ], lalu /anɖap/ dilafazkan sebagai [ʔ'aɳɖap]. Kata /warna/
dilafazkan sebagai [w'arɳɔ].
Fonem /s/ memiliki satu alofon. Apabila /s/ mengikuti fonem /r/ atau berada di
depan fonem eksplosiva retrofleks, maka akan direalisasikan sebagai [ʂ]. Contoh:
/warsa/ dilafazkan sebagai [w'arʂɔ], lalu /esʈi/ dilafazkan sebagai [ʔ'eʂʈi].
Fonotaktik
Dalam bahasa Jawa baku, sebuah sukukata bisa memiliki bentuk seperti berikut:
(n)-K1-(l)-V-K2.
Contoh:
a
an
pan
prang
njlen
Bahasa Jawa pada dasarnya terbagi atas dua klasifikasi dialek, yakni :
3
Dialek sosial
Karena bahasa ini terbentuk dari gradasi-gradasi yang sangat berbeda dengan
Bahasa Indonesia maupun Melayu, meskipun tergolong rumpun Austronesia.
Sedangkan dialek daerah ini didasarkan pada wilayah, karakter dan budaya
setempat. Perbedaan antara dialek satu dengan dialek lainnya bisa antara 0-70%.
Untuk klasifikasi berdasarkan dialek daerah, pengelompokannya mengacu kepada
pendapat E.M. Uhlenbeck, 1964, di dalam bukunya : "A Critical Survey of Studies on
the Languages of Java and Madura", The Hague: Martinus Nijhoff.
Dialek Yogyakarta
Orang Yogya(dibaca Yogjo) itu agak senang menyingkat omongan, atau menambahi
kalimat agar terdengar mantap.
Contohnya:
Weleh, piye to wis di kandani ra ngrungokke, jan (Wah, bagaimana ini, sudah
diperingatkan tidak mendengarkan, jan tak memiliki arti langsung, hanya agar
terdengar mantap)
Wo jan payah tenan cah iki ra dongan= Wah, memang payah banget anak ini susah
mengertinnya.
Piye je?. Kalimat ini sering di gunakan, orang Yogya jika lagi bingung, biasanya
digunakan oleh orang Yogya yang tinggal agak jauh dari kota.
Contohnya:
Dialek Surakarta
Meskipun satu rumpun, bahasa jawa di tiap daerah di Jawa Tengah mempunyai ciri-
ciri tersendiri yang khas mencerminkan darimana asal bahasa jawa tersebut. Untuk
istilah "dingin" di Surakarta menggunakan kata bahasa jawa "adem", sedangkan
orang yang tinggal di Semarang menyebutnya "atis".
4
Dialek Pantai Utara Timur
Dialek Pantai Utara Timur Jawa Tengah adalah sebuah dialek bahasa Jawa yang
sering disebut dialek Muria karena dituturkan di wilayah sekitar kaki gunung Muria,
yang meliputi wilayah Jepara, Kudus, Pati, Blora, Rembang.
Ciri khas dialek ini adalah digunakannya akhiran -em (dengan e pepet)
menggantikan akhiran -mu dalam bahasa Jawa untuk menyatakan kata ganti posesif
orang kedua tunggal. Jadi kata "bukuem" berarti "bukumu", "montorem" berarti
"motormu", "omahem" berarti "omahmu", dan sebagainya.
Ciri lainnya adalah sering digunakannya partikel "eh", dengan vokal e diucapkan
panjang, dalam percakapan untuk menggantikan partikel bahasa Jawa "ta".
Misalnya, untuk menyatakan: "Ini bukumu, kan?", orang Muria berkata: "Iki
bukuem, eh?"(Bahasa Jawa standar: "Iki bukumu, ta?"). Contoh lain :"Jangan
begitu, dong!", lebih banyak diucapkan "Aja ngono, eh!" daripada "Aja ngono, ta!"
Beberapa kosakata khas yang tidak dipakai dalam dialek Jawa yang lain antara lain:
Dialek Semarang
Dialek Semarang adalah sebuah dialek bahasa Jawa yang dituturkan di Semarang.
Dialek ini tak banyak berbeda dengan dialek di daerah Jawa lainnya. Semarang
termasuk daerah pesisir Jawa bagian utara, maka tak beda dengan daerah lainnya,
Yogyakarta, Solo, Boyolali dan Salatiga. Walau letak daerah Semarang yang
heterogan dari pesisir (Pekalongan/Weleri, Kudus/Demak/Purwodadi) dan dari
daerah bagian selatan/pegunungan membuat dialek yang dipakai memiliki kata
ngoko, ngoko andhap dan madya di Semarang ada di zaman sekarang.
Frasa: "Yo ora.." (Ya tidak) dalam dialek semarang menjadi "Yo orak too ".
Kata ini sudah menjadi dialek sehari-hari para penduduk Semarang.
Contoh lain: " kuwi ugo" (itu juga) dalam dialek Semarang menjadi "kuwi
barang" ("barang" diucapkan sampai sengau memakai huruf h "bharhang").
Para pemakai dialek Semarang juga senang menyingkat frase, misalnya Lampu
abang ijo (lampu lalu lintas) menjadi "Bang-Jo", Limang rupiah (5 rupiah) menjadi
"mang-pi", kebun binatang menjadi "Bon-bin", seratus (100) menjadi "nyatus", dan
sebagainya. Namun tak semua frasa bisa disingkat, sebab tergantung kepada
kesepakatan dan minat para penduduk Semarang mengenai frasa mana yang
5
disingkat. Jadi contohnya "Taman lele" tak bisa disingkat "Tam-lel" juga Gedung
Batu tak bisa menjadi "Ge-bat", dsb.
Namun ada juga kalimat-kalimat yang disingkat, contohnya; "Kau lho pak mu Nadri"
artinya "Itu lho pamanmu dari Wanadri". "Arep numpak Kijang kol" artinya akan
menumpang omprengan. Zaman dulu kendaraan omprengan biasa menggunakan
mobil merk "Colt", disebut "kol" maka setelah diganti "Toyota Kijang" menjadi
Kijang-kol. Apa lacur kini ada yang menjadi menjadi "mercy-kol".
Dialek Semarang memiliki kata-kata yang khas yang sering diucapkan penuturnya
dan menjadi ciri tersendiri yang membedakan dengan dialek Jawa lainnya. Orang
Semarang suka mengucapkan kata-kata seperti "Piye, jal?" (=Bagaimana, coba?)
dan "Yo, mesti!". Orang semarang lebih suka menggunakan kata "He'e" daripada
"Yo" atau "Ya".
Partikel "ik" kemungkinan berasal dari kata "iku" yang berarti "itu' dalam bahasa
Jawa, sehingga untuk mengungkapkan kesungguhan orang Semarang mengucapkan
"He'e, ik!" atau "Yo, ik".
Beberapa kosakata khas Semarang adalah: "semeh" Yang berarti "ibu" dan "sebeh"
yang berarti "ayah", yang dalam dialek Jawa yang lain, "sebeh" sering dipakai dalam
arti "mantra" atau "guna-guna"
Dialek Kedu
Dialek Kedu adalah sebuah dialek bahasa Jawa yang dituturkan di daerah Kedu,
tersebar di timur Kebumen: Prembun, Purworejo, Magelang dan khususnya
Temanggung.
Dialek ini terkenal dengan cara bicaranya yang khas, sebab merupakan pertemuan
antara dialek "bandek" (Yogya-Solo) dan dialek "ngapak" (Banyumas). Contoh:
Kata-katanya masih menggunakan dialek ngapak dalam tuturannya agak bandek:
6
"Njur piye": Lalu bagaimana (bahasa Jawa standar: "banjur piye" atau "terus
piye")
"gandhul": pepaya
"mbaca": membaca (bahasa Jawa standar: maca)
"mberuh" = (embuh ora weruh): tidak tahu
"mbek" = (kambek , karo): dengan contoh "mbek sopo?" artinya "dengan
siapa?"
"krongsi" = kursi (Temanggung)
"petek poteh sekele koneng numpak dhugar gejedud-jedud" = (dialek
Prembun) yang berarti: ayam putih kakinya kuning menumpang dokar
kejedhod.
Adanya pengantar: eeee, oooo, lha kok, ehalah, ha- inggih, sering digunakan dalam
tuturan basa-basi masyarakat Temanggung jika lagi mengobrol. Ini menandakan jika
orang Temanggung memang menyenangkan jika diajak mengobrol.
Dialek Pekalongan
Meski ada di Jawa Tengah, dialek Pekalongan berbeda dengan daerah pesisir Jawa
lainnya, contohnya Tegal, Weleri/Kendal dan Semarang. Pada abad ke-15 hingga
abad ke-17, Pekalongan termasuk daerah Kesultanan Mataram. Awalnya dialek
Pekalongan tak berbeda dengan bahasa yang dipergunakan di daerah Kesultanan
Mataram. Namun seterusnya ada zaman di mana bahasa-bahasa Jawa terutama
dialek Pekalongan mulai terlihat berbeda karena asimilasi dengan budaya lain. Dialek
Pekalongan baku zaman itu tadi sudah tak digunakan lagi pada dialek Pekalongan
zaman sekarang.
Zaman sekarang banyak orang Pekalongan yang bekerja menjadi Juragan Batik,
tenun dan Tekstil dan tetap menggunakan dialek yang bisa dimengerti orang
Pekalongan sendiri.Adanya para juragan, pedagang juga para nelayan di daerah kota
dan pinggiran mewujudkan dialek ini tadi.
Maka oleh orang Jogya/Solo dialek itu termasuk kasar dan sulit dimengerti. Oleh
orang Tegal termasuk dialek yang sama derajatnya namun sulit dimengerti.
Dialek Tegal banyak menggunakan istilah : Bae, nyong, manjing, kaya kuwe,..
sampai diucapkan kental . Sementara dialek Pekalongan sama namun diucapkan tak
begitu kental ("datar" dalam pengucapan).Artinya ada dalam dialek Pekalongan
kosakata tadi dipergunakan dan sama artinya.
7
tegese "sepertimu", "Tak nDangka'i" artinya "kukira". "Jebhul no'o" artinya
"ternyata". "lha mbuh" artinya " tidak tau", "Ora dermoho" artinya "tak sengaja".
"Wegah ah" artinya "tak mau". "Nghang priye" artinya "bagaimana", "Di Bya bae ra"
artinya " dihadapi saja", dan masih banyak lainnya.
Contoh kalimat : "Lha kowe pak ring ndi si?" ( kamu mau ke mana?), "Yo wis
kokuwe Po'o ra". ( Ya sudah begitupun tak apa), “ tak ndangka'i lanang jebulno'o
wadhok” (kukira lelaki ternyata perempuan).
Eratnya budaya orang Pekalongan dengan budaya Arab dan Tiong Koq menambah
kosakata dan dialek di Pekalongan, contoh : “Wallahi temenan Po'o nyong ra
ngapusi, yakin” ( Demi Allah aku tak berdusta, yakin), “ Ya Allah ..ke ra mosok ra
percoyo si” (Ya Allah , kok tak percaya sekali, sih ).
Dari bahasa Cina : lhe guwe Bah cilik Congkle (ia anak Cong Lee). Biasanya para
keturunan Tiong Hoa juga berbicara campur dengan bahasa Indonesia. Contoh : Lha
tadi sudah tak "bilangke" tapi "ndak ngerti" yo wis ... (Tadi sudah kukatakan namun
tak mengerti ya sudahlah).
Agak minggir dari daerah kota, ada bedanya sedikit-pada pengucapan-banyak huruf
vokal/konsonan yang diucapkan agak kental, dengan tambahan "huruf h dalam
pengucapan", contoh : kata "banyu" (air) diucapkan "benhyu".
Bentuk dialek di atas tadi dipergunakan di daerah Batang (di bagian timur),
Pemalang/Wiradesa (di bagian barat), Bandar/Kajen (di bagian selatan).
Dialek Banten
Dialek Banten atau Jawa Serang ini dituturkan di bagian utara Kabupaten Serang
dan daerah barat Kabupaten Tangerang. Dialek ini dianggap sebagai dialek kuno
juga banyak pengaruh bahasa Sunda dan Betawi.
Contoh :
8
Aja (dibaca aje) bribin! : Jangan membuat kisruh!
Sire arep mendhi? (sire itu kasar) : Kamu akan ke mana?
Mak lunga jeng Teh Toyah : Ibu pergi dengan Kak Toyah.
Dialek Cirebon
Dialek Cirebon atau dinamai Basa Cerbon itu ialah sejenis dialek Jawa yang
dituturkan di pesisir utara Jawa Barat terutama mulai daerah Cilamaya (Karawang),
Blanakan, Pamanukan, Pusakanagara (Subang), Indramayu, sampai Cirebon dan
Losari Timur, Brebes, Jawa Tengah.
Dahulu dialek ini digunakan dalam perdagangan di pesisir Jawa Barat mulai Cirebon
yang merupakan salah satu pelabuhan utama, khususnya pada abad 15-17.
Sebelumnya, bahasa ini tak berbeda dengan Bahasa Jawa Dialek Solo, namun sejak
abad 17, dialek Cerbonan mulai terlihat bedanya karena pengaruh lokal juga
pengaruh Bahasa Sunda. Dialek Cirebon juga etap mempertahankan bentuk-bentuk
kuno Bahasa Jawa Tengah (seperti kalimat-kalimat dan pengucapan) yang sudah tak
digunakan lagi oleh Bahasa Jawa Baku.
Dialek Tegal
Tegal termasuk daerah Jawa Tengah di dekat perbatasan bagian barat. Letak Tegal
yang ada di pesisir Jawa bagian utara, juga di daerah perbatasan Jawa Tengah dan
Jawa Barat, menjadikan dialek yang ada di Tegal beda dengan daerah lainnya.
Pengucapan kata dan kalimat agak kental. Pengucapan kata dan kalimat-kalimat
diucapkan rangkap pada konsonannya.
Contoh : frase "iki wae" (ini saja) menjadi "Kiye bae lah". Kata "bae" diucapkan
"Bbhae'.."
Kata "Aku ora ngerti" (Aku tak mengerti) menjadi " Nyong ora ngerti". Kata "mlebu
nyang endi" (masuk ke mana) menjadi "manjing ngendi". Kata "aku ora lho" (aku
tidak, lho) menjadi "Nyong ora ko". Kata " singkong lan nongko" (singkong dan
nangka) menjadi "munthul nangka thok"
9
Dialek-dialek Tegal banyak dipergunakan di daerah Tegal,Brebes,Losari di daerah
pesisir utara tanah Jawa.
Sama seperti bahasa Jawa yang lain Dialek Jawa - Tegal juga mengalami kesulitan
untuk mengucapkan kata ganti orang pertama jamak. Kata-kata seperti "kami" atau
"kita" dalam bahasa Indonesia paling-paling diserap juga menjadi "kita" dengan agak
sedikit dibaca "o" dibelakangnya.
Ada yang menggunakan serapan dari jawa gaya solo menjadi "Awakke Dewe" yang
diucapkan dalam dialek tegal menjadi "Awake Dewek" contoh: "Kami ingin, anda ikut
bermain sepak bola di lapangan banteng" menjadi "Awake dewek pengin kowen melu
maen trejek ning bulakan sapi lanang".
Contoh Dialek - "Kowen pan maring endi?" (Kamu mau kemana?) - "Nang Kene
Kyeeh..!" (Disini niih ..)
Dialek Banyumas
Bahasa Banyumasan terkenal dengan cara bicaranya yang khas. Dialek ini disebut
Banyumasan karena dipakai oleh masyarakat yang tinggal di wilayah Banyumasan.
Kelompok bahasa Jawa bagian barat (harap dibedakan dengan Jawa Barat/Bahasa
Sunda) inilah yang sering disebut bahasa Banyumasan (ngapak-ngapak).
10
Dialek Bumiayu
Dialek Bumiayu, sebenarnya tidak berbeda jauh dengan Dialek Banyumas dan
Tegal kosakata dan cara pengucapannya juga mirip. Hal yang membedakan dialek
Bumiayu, Brebes dengan banyumas hanya pada intonasi dan pemilihan kata.
Ada sebagian kata yang umum dipakai oleh orang Banyumas tetapi tidak digunakan
oleh orang Bumiayu. misalnya kata Masuk, kata yang biasa dipakai oleh orang
Banyumas adalah mlebu tetapi orang bumiayu memakai kata manjing, kedua kata
tersebut sama-sama bahasa Jawa dan memiliki arti yang sama yaitu masuk kedalam
ruangan. Dialek Bumiayu juga sering menambahkan akhiran ra (diucapkan rha),
belih untuk mengakhiri kalimat, hal ini mungkin untuk menegaskan maksud dari
kalimat tersebut.
Misal:
Menurut para pakar bahasa, sebagai bagian dari bahasa Jawa maka dari waktu ke
waktu, bahasa Banyumasan mengalami tahap-tahap perkembangan sebagai berikut:
11
(salah seorang pakar budaya & bahasa Banyumasan), kata bandhek secara
morfologis berasal dari kata gandhek yang berarti pesuruh (orang suruhan/yang
diperintah), maksudnya orang suruhan Raja yang diutus ke wilayah Banyumasan.
Para pesuruh ini tentu menggunakan gaya bahasa Jawa standar (Surakarta /
Yogyakarta) yang memang berbeda dengan bahasa Banyumasan.
Wilayah Utara
Wilayah Selatan
Dialek ini dituturkan di wilayah selatan, antara lain Bumiayu, Karang Pucung,
Cilacap, Nusakambangan, Kroya, Ajibarang, Purwokerto, Purbalingga, Bobotsari,
Banjarnegara, Purwareja, Kebumen serta Gombong.
Cirebon - Indramayu
Banten Utara
Dialek ini dituturkan di wilayah Banten utara yang secara administratif termasuk
dalam propinsi Banten. Selain itu terdapat beberapa sub-sub dialek dalam bahasa
Banyumasan, antara lain sub dialek Bumiayu dan lain-lain.
Kosakata
Sebagian besar kosakata asli dari bahasa ini tidak memiliki kesamaan dengan
bahasa Jawa standar (Surakarta/Yogyakarta) baik secara morfologi maupun fonetik.
Banten
Cirebonan Banyumasan & Tegalan Jawa Standar Indonesia
Utara
Sire sira/rika sira/rika kowe kamu
Pisan pisan pisan banget sangat
keprimen kepriben keprimen/kepriben/kepriwe piye/kepriye/kepripun bagaimana
Kosakata lainnya
12
Gandhul ==> pepaya
Rika ==> kamu ********
13