Professional Documents
Culture Documents
Oleh
Denny Karwur, SH, MSi
Dosen Fakultas Hukum UNSRAT
Domestic Natural Resources Lawyer / MCRMP-DKP
Mahasiswa S3 Program Studi SPL – IPB Bogor
I. PENDAHULUAN
2
Kepulauan. Dengan demikian, dalam rangka menyongsong terbitnya
Undang-Undang Pengelolaan Wilayah Pesisir maka batas luar wilayah
laut kewenangan pemerintah daerah provinsi sudah harus ditetapkan
titik-titik koordinat geografisnya. Penetapan batas tersebut mutlak
diperlukan demi kepastian hukum dalam pelaksanaan wewenang
pemerintah daerah, baik yang bersumber dari ketentuan Pasal 18 ayat
(3) Undang-undang Pemerintahan Daerah maupun yang bersumber
dari Undang-Undang Pengelolaan Wilayah Pesisir yang diharapkan
akan segera ditetapkan dan disahkan. Pembahasan dalam tulisan ini
akan difokuskan pada aspek penetapan batas ruang laut (sebagai
wadahnya), sedangkan aspek kewenangan (sebagai isinya), yaitu
mengenai urusan-urusan pemerintahan yang menjadi wewenang
pemerintah daerah akan dibahas pada tulisan secara terpisah.
3
Penyebutan sepertiga tidak hanya dapat diartikan sebagai
sepertiga dari 12 mil (yaitu 4 mil), karena apabila wilayah laut
daerah provinsi ternyata kurang dari 12 mil maka kewenangan
daerah kabupten/kota-pun akan kurang dari 4 mil. Pemahaman ini
mengarah pada kesimpulan bahwa kewenangan daerah provinsi
atas 12 mil lautan meliputi kewenangan baik atas unsur “ruang”
maupun unsur “isinya”. Sedangkan kewenangan pemerintah
daerah kabupaten/kota hanya mencakup “isinya” saja, yaitu
sumberdaya alam yang terkandung di dalam ruang laut yang
lebarnya sepertiga dari wilayah laut kewenangan provinsi.
Kesimpulan lain yang dapat ditarik dari kedua rumusan di atas
adalah bahwa 12 mil wilayah laut kewenangan provinsi adalah
batas maksimum, artinya tidak terbuka kemungkinan untuk
melampaui 12 mil. Dengan kata lain, wilayah laut kewenangan
daerah kabupaten/kota akan sangat tergantung pada lebar wilayah
laut kewenangan daerah provinsi.
4
eksklusif diberikan kepada negara pantai berdasarkan Konvensi
Hukum Laut 1982, yaitu Zona Ekonomi Eksklusif dan atau Landas
Kontinen sebagai kelanjutan alamiah dari wilayah daratannya.
Sedangkan penetapan batas wilayah yurisdiksi merupakan
kelonggaran-kelonggaran (privilleges) yang diberikan oleh Hukum
Internasional kepada negara pantai untuk melaksanakan
wewenang-wewenang tertentu dalam pelaksanaan kedaulatan dan
hak berdaulatnya, misalnya: pembangunan instalasi minyak dan
atau gas bumi di lepas pantai; pelaksanaan wewenang di bidang
keimigrasian, bea-cukai, serta karantina binatang dan tumbuhan;
perlindungan dan pelestarian sumber-sumber perikanan di Laut
Lepas; dan, perlindungan lingkungan laut dari bahaya pencemaran.
Pelaksanaan wewenang negara pantai tersebut di atas tidak dapat
dan tidak akan mengakibatkan perubahan status hukum yang
melekat pada perairannya. Hal ini disebabkan karena setelah
selesainya pelaksanaan wewenang negara pantai atas
kepentingan-kepentingan tersebut di atas maka status perairannya
akan kembali lagi dengan sendirinya ke keadaan semula, yaitu
sebagai Laut Lepas.
5
Oleh karena itu penetapan batas wilayah laut kewenangan
pemerintah provinsi tidak dapat diartikan lain selain dari penetapan
batas wilayah yurisdiksi untuk melaksanakan wewenang-
wewenang tertentu di bidang pemerintahan. Pelaksanaan
penetapan batas wilayah yurisdiksi pemerintah daerah tersebut
harus dilakukan berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku
dan atau berdasarkan perjanjian antara pemerintah daerah provinsi
yang bersangkutan.
6
Walaupun telah dipahami bahwa garis pantai harus digunakan
sebagai garis pangkal, namun pada tataran implementasinya masih
belum jelas. Dalam hal ini apakan yang dimaksudkan adalah garis
pantai dari pulau utama ataukah garis pantai dari pulau atau pulau-
pulau terluar yang telah menjadi bagian dari wilayah provinsi
berdasarkan undang-undang pembentukan provinsi yang
bersangkutan. Apabila jarak 12 mil diukur dari garis pantai pulau
utama, maka besar kemungkinan pulau-pulau terluar yang jaraknya
lebih dari 12 mil akan terlepas dari ikatan kewilayahan provinsi.
Demikian pula apabila jarak 12 mil diukur dari garis pantai pulau-
pulau terluar maka wilayah laut kewenangan provinsi akan menjadi
sangat luas, bahkan mungkin terlalu luas. Oleh karena itu
pemerintah pusat perlu segera menerbitkan pedoman yang
mempunyai kekuatan hukum, misalnya dalam bentuk peraturan
pemerintah.
7
1. Garis Pangkal Biasa (normal baseline)
8
dilakukan secara analogi dengan ketentuan Konvensi Hukum
Laut 1982 (Article 47), yaitu sebagai berikut:
a. Garis Pangkal Kepulauan dapat diterapkan pada
provinsi-provinsi yang berbentuk kepulauan;
b. Garis Pangkal Kepulauan ditarik untuk menghubungkan
titik-titik terluar dari pulau-pulau terluar pada waktu air
surut terendah;
c. Garis Pangkal Kepulauan tidak dapat melampaui panjang
maksimum, yaitu 12 mil;
d. Garis Pangkal Kepulauan tidak dapat ditarik menyimpang
terlalu jauh dari arah umum bentuk kepulauan;
e. Garis Pangkal Kepulauan tidak dapat ditarik dari gugusan
karang yang tenggelam pada waktu pasang naik, kecuali
apabila telah ada instalasi yang dibangun diatas karang
tersebut.
9
2. Bagian-bagian laut yang terletak diantara dua garis
batas luar kedua provinsi tersebut akan merupakan kantong-
kantong laut yang berada dibawah yurisdiksi pemerintah pusat;
3. Apabila lebar ruang lautan diantara kedua provinsi
ternyata kurang dari 24 mil, maka batas wilayah laut kedua
propinsi tersebut ditetapkan melalui penarikan garis tengah
(median line) yang diukur sama jarak antara garis pangkal
sepanjang pantai kedua provinsi yang berhadapan tersebut.
10
ditandatangani oleh para pihak yang mewakili kedua propinsi
yang berdampingan tersebut.
V. PENUTUP
Baik garis batas 12 mil maupun 4 mil harus diartikan sebagai garis
batas imaginer yang tidak perlu atau bahkan tidak mungkin untuk
11
diwujudkan secara visual melalui pembuatan tanda-tanda fisik tertentu
yang dapat dilihat di permukaan laut, misalnya dengan menempatkan
patok atau tanda-tanda fisik lainnya.
12
13