You are on page 1of 13

KEWENANGAN PEMERINTAH DAERAH DI WILAYAH LAUT

Oleh
Denny Karwur, SH, MSi
Dosen Fakultas Hukum UNSRAT
Domestic Natural Resources Lawyer / MCRMP-DKP
Mahasiswa S3 Program Studi SPL – IPB Bogor

I. PENDAHULUAN

Batas wilayah yurisdiksi pemerintah daerah di laut merupakan masalah


yang penting untuk segera ditetapkan secara definitif. Penetapan
wilayah yurisdiksi ini berkaitan langsung dengan pelaksanaan
wewenang pengelolaan sumberdaya oleh pemerintah daerah.
Demikian pula pelaksanaan wewenang dalam pemberian ijin bagi
berbagai kegiatan dan/atau usaha di laut, baik yang menjadi
wewenang pemerintah provinsi maupun kabupaten/kota akan sangat
tergantung pada penetapan batas wilayah yurisdiksi masing-masing.
Sementara itu Undang-Undang Pemerintahan Daerah tidak
menetapkan tata cara yang harus ditempuh untuk menetapkan batas
luar wilayah yurisdiksi pemerintah daerah provinsi di laut. Demikian
pula ketentuan mengenai siapa yang harus menetapkannya belum
pula ditetapkan, apakah ditetapkan oleh masing-masing provinsi yang
saling berbatasan ataukah oleh pemerintah pusat bersama dengan
masing-masing provinsi. Pasal 18 ayat (7) Undang-Undang
Pemerintahan Daerah hanya mengindikasikan hahwa pelaksanaan
ketentuan ayat (1), ayat (3), ayat (4) dan ayat (5) diatur lebih lanjut
dalam peraturan perundang-undangan.

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah


menetapkan batas wilayah laut kewenangan pemerintah daerah
provinsi sejauh dua belas mil laut diukur dari garis pantai ke arah Laut
Lepas dan/atau ke arah Perairan Kepulauan, sedangkan kewenangan
pemerintah daerah kabupaten/kota adalah sejauh sepertiga dari
wilayah laut kewenangan daerah provinsi (Pasal 18 ayat (4)).
Ketentuan tersebut menunjukan bahwa yurisdiksi pemerintah provinsi
dan pemerintah kabupaten/kota saling berkaitan. Keterkaitan ini
tampak pula dalam rumusan urusan-urusan pemerintahan yang
menjadi wewenang pemerintah provinsi yang jatuh bersamaan dengan
wewenang daerah kabupaten/kota. Kewenangan yang dimaksud
adalah kewenangan otonom untuk mengelola sumberdaya di wilayah
laut sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 18 ayat (3). Dengan
demikian implementasi dari dua ketentuan tersebut, khususnya dalam
penetapan batas wilayah yurisdiksi pemerintah provinsi dan
pemerintah kabupaten/kota (spatial jurisdiction), tidak dapat dilakukan
secara bersamaan, melainkan harus dilakukan secara berurutan.

Secara logika penetapan batas wilayah laut yang menjadi wewenang


pemerintah daerah provinsi harus ditetapkan terlebih dahulu, yaitu
sejauh 12 mil dari garis pantai. Dengan kata lain, penetapan batas
kewenangan pemerintah kabupaten/kota di wilayah laut, yaitu
sepertiga dari wilayah laut kewenangan provinsi, hanya dapat
ditetapkan apabila batas wilayah yurisdiksi pemerintah daerah provinsi
telah ditetapkan secara definitif. Penetapan batas tersebut tidak dapat
dilakukan secara bersamaan, misalnya 4 mil dari garis pantai untuk
kebupaten/kota dan sisanya yang 8 mil untuk provinsi. Penetapan
secara bersamaan disamping akan menimbulkan kesan pengkaplingan
laut juga menjadi tidak masuk akal karena penghitungan sepertiga
harus menunggu penetapan batas wilayah kewenangan pemerintah
daerah provinsi.

Perlu pula diperhatikan bahwa batas wilayah kewenangan yang 12 mil


tersebut merupakan batas maksimum, bahkan mungkin saja dalam
kenyataannya kurang dari 12 mil, khususnya pada bagian-bagian laut
provinsi yang berbatasan dengan provinsi lain yang lebar lautnya
kurang dari 24 mil. Dalam hal ini Pasal 18 ayat (5) menetapkan bahwa
batas wilayah laut untuk dua provinsi yang saling berhadapan dibagi
sama jarak, dengan kata lain ditentukan melalui penetapan garis
tengah (median line). Ketentuan dalam Pasal 18 ayat (4) dan ayat (5)
Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
dapat menimbulkan ketidakpastian dalam pelaksanaannya. Oleh
karena itu perlu segera diterbitkan suatu pedoman yang mengatur tata
cara penetapan batas wilayah laut kewenangan provinsi, baik yang
letaknya berhadapan, berdampingan, ataupun provinsi yang berbentuk
kepulauan.

Tulisan ini mencoba mereka-reka tata cara penetapan batas


kewenangan pemerintah provinsi di wilayah laut. Dalam hal ini perlu
disampaikan kepada para pembaca yang budiman bahwa walaupun
tulisan ini mengacu pada ketentuan Konvensi Hukum Laut 1982
namun tidak mempunyai kekuatan hukum untuk diterapkan, karena
hanya merupakan karya akademis saja. Oleh karena itu segala kritik
dan saran sangat diperlukan demi penyempurnaannya, disertai
dengan harapan agar dapat digunakan sebagai bahan untuk
perumusan pedoman penetapan batas wilayah laut kewenangan
pemerintah daerah. Perumusan pedoman ini menjadi sangat penting
menjelang diterbitkannya Undang-Undang Pengelolaan Wilayah
Pesisir yang akan diberlakukan pada bagian laut sejauh 12 mil yang
diukur dari garis pantai ke arah Laut Lepas dan/atau ke arah Perairan

2
Kepulauan. Dengan demikian, dalam rangka menyongsong terbitnya
Undang-Undang Pengelolaan Wilayah Pesisir maka batas luar wilayah
laut kewenangan pemerintah daerah provinsi sudah harus ditetapkan
titik-titik koordinat geografisnya. Penetapan batas tersebut mutlak
diperlukan demi kepastian hukum dalam pelaksanaan wewenang
pemerintah daerah, baik yang bersumber dari ketentuan Pasal 18 ayat
(3) Undang-undang Pemerintahan Daerah maupun yang bersumber
dari Undang-Undang Pengelolaan Wilayah Pesisir yang diharapkan
akan segera ditetapkan dan disahkan. Pembahasan dalam tulisan ini
akan difokuskan pada aspek penetapan batas ruang laut (sebagai
wadahnya), sedangkan aspek kewenangan (sebagai isinya), yaitu
mengenai urusan-urusan pemerintahan yang menjadi wewenang
pemerintah daerah akan dibahas pada tulisan secara terpisah.

II. MAKSUD DAN TUJUAN PERLUASAN WILAYAH KEWENANGAN


PEMERINTAH DAERAH

A. Maksud Perluasan Wilayah Kewenangan

Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004


tentang Pemerintahan Daerah, wilayah provinsi hanya mencakup
daratan saja. Demikian pula wilayah kabupaten dan kota.
Perubahan besar yang dibawa oleh undang-ungang ini adalah
bahwa sekarang kewenangan daerah provinsi meliputi wilayah
daratan dan lautan sejauh dua belas mil laut yang diukur dari garis
pantai ke arah Laut Lepas dan/atau ke arah Perairan Kepulauan.
Sedangkan kewenangan daerah kabupaten/kota adalah sejauh
sepertiga dari wilayah laut kewenangan daerah provinsi. Rumusan
di atas menunjukkan perbedaan makna yang terkandung di
dalamnya, khususnya karena perbedaan dalam formulasinya.
Rumusan pada Pasal 18 ayat (1) dengan jelas mengindikasikan
bahwa daerah yang “memiliki” wilayah laut diberikan kewenangan
untuk mengelola sumberdaya di wilayah laut. Tetapi daerah
kabupaten/kota tidak secara eksplisit dikatakan sebagai memiliki
wilayah laut, melainkan memperoleh “wewenang” atas sepertiga
dari wilayah laut daerah provinsi (Pasal 18 ayat (5).

Perbedaan dalam perumusan seagaimana terurai di atas harus


diartikan sebagai perbedaan maksud, karena apabila maksudnya
sama, pasti rumusannyapun sama. Pemahamannya adalah bahwa
hanya daerah provinsi yang memiliki wewenang atas unsur “ruang”,
yaitu ruang lautan, dan sekaligus atas “isinya”, yaitu sumber daya
alam laut. Dari rumusan yang berbeda tersebut maka dapat
disimpulkan bahwa hanya daerah provinsi yang “memiliki” wilayah
laut, sedangkan daerah kabupaten/kota “tidak memiliki” wilayah
laut, melainkan memperoleh wewenang atas pengelolaan “isinya”,
yaitu sampai sepertiga dari wilayah laut daerah provinsi.

3
Penyebutan sepertiga tidak hanya dapat diartikan sebagai
sepertiga dari 12 mil (yaitu 4 mil), karena apabila wilayah laut
daerah provinsi ternyata kurang dari 12 mil maka kewenangan
daerah kabupten/kota-pun akan kurang dari 4 mil. Pemahaman ini
mengarah pada kesimpulan bahwa kewenangan daerah provinsi
atas 12 mil lautan meliputi kewenangan baik atas unsur “ruang”
maupun unsur “isinya”. Sedangkan kewenangan pemerintah
daerah kabupaten/kota hanya mencakup “isinya” saja, yaitu
sumberdaya alam yang terkandung di dalam ruang laut yang
lebarnya sepertiga dari wilayah laut kewenangan provinsi.
Kesimpulan lain yang dapat ditarik dari kedua rumusan di atas
adalah bahwa 12 mil wilayah laut kewenangan provinsi adalah
batas maksimum, artinya tidak terbuka kemungkinan untuk
melampaui 12 mil. Dengan kata lain, wilayah laut kewenangan
daerah kabupaten/kota akan sangat tergantung pada lebar wilayah
laut kewenangan daerah provinsi.

B. Tujuan Perluasan Wilayah Kewenangan

Penetapan batas di lautan dapat dilakukan untuk tujuan yang


berbeda. Tujuan yang pertama adalah untuk menetapkan batas
wilayah dalam pengertian teritorial (territorial jurisdiction). Tujuan
yang kedua adalah untuk menetapkan batas wilayah kewenangan
(spatial jurisdiction), yaitu ruang tertentu untuk melaksanakan
urusan-urusan tertentu yang menjadi kewenangan pemerintah
daerah. Secara metodologis, pengkajian tentang kewenangan atas
ruang lautan dapat merujuk pada Hukum Laut Internasional.
Hukum Laut Internasional membedakan penetapan batas wilayah
kewenangan negara atas lautan yang berbatasan dengan
pantainya berdasarkan tujuannya, yaitu: (1) untuk menetapkan
batas wilayah kedaulatan negara atas lautan yang berbatasan
dengan pantainya (souvereignty); (2) untuk menetapkan batas
wilayah hak berdaulat negara pantai dalam rangka pemanfaatan
kekayaan laut pada bagian laut tertentu (souvereign rights); dan,
(3) untuk menetapkan batas wilayah yurisdiksi negara pantai atas
kepentingan-kepentingan tertentu di daerah-daerah tertentu
(coastal jurisdiction), yang secara keruangan dimungkinkan untuk
melampaui batas wilayah kedaulatan maupun batas wilayah hak
berdaulatnya.

Penetapan batas wilayah kedaulatan, sebagai wewenang tertinggi,


merupakan wewenang pemerintah pusat, yang bertindak untuk dan
atas nama negara. Pemerintah menetapkan batas wilayah negara
secara definitif, baik melalui deklarasi unilateral maupun melalui
kesepakatan bilateral dengan negara tetangga yang berbatasan di
laut. Sementara itu penetapan batas wilayah hak berdaulat
merupakan pelaksanaan dari hak dan kewajiban yang secara

4
eksklusif diberikan kepada negara pantai berdasarkan Konvensi
Hukum Laut 1982, yaitu Zona Ekonomi Eksklusif dan atau Landas
Kontinen sebagai kelanjutan alamiah dari wilayah daratannya.
Sedangkan penetapan batas wilayah yurisdiksi merupakan
kelonggaran-kelonggaran (privilleges) yang diberikan oleh Hukum
Internasional kepada negara pantai untuk melaksanakan
wewenang-wewenang tertentu dalam pelaksanaan kedaulatan dan
hak berdaulatnya, misalnya: pembangunan instalasi minyak dan
atau gas bumi di lepas pantai; pelaksanaan wewenang di bidang
keimigrasian, bea-cukai, serta karantina binatang dan tumbuhan;
perlindungan dan pelestarian sumber-sumber perikanan di Laut
Lepas; dan, perlindungan lingkungan laut dari bahaya pencemaran.
Pelaksanaan wewenang negara pantai tersebut di atas tidak dapat
dan tidak akan mengakibatkan perubahan status hukum yang
melekat pada perairannya. Hal ini disebabkan karena setelah
selesainya pelaksanaan wewenang negara pantai atas
kepentingan-kepentingan tersebut di atas maka status perairannya
akan kembali lagi dengan sendirinya ke keadaan semula, yaitu
sebagai Laut Lepas.

Apabila diproyeksikan pada kondisi kewilayahan negara Republik


Indonesia, pemahaman sebagaimana telah diuraikan di atas
menunjukkan aspek eksternal dan aspek internal dari kewilayahan
negara. Aspek eksternal artinya Republik Indonesia sebagai
negara berdaulat memiliki hak sepenuhnya untuk mempertahankan
segala kepentingannya, khususnya integritas wilayahnya terhadap
segala ancaman yang berasal dari luar, baik terhadap pelaksanaan
kedaulatan maupun pelaksanaan hak berdaulatnya. Sedangkan di
dalam aspek internal terkandung maksud untuk menyerahkan
urusan-urusan yang berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya
lautan sampai batas tertentu kepada daerah.

Penetapan batas wilayah laut kewenangan pemerintah propinsi dan


kabupaten/kota dilatarbelakangi oleh tujuan untuk meluaskan
yurisdiksi pemerintah daerah ke arah lautan sebagai kelanjutan dari
wilayah daratannya. Pemerintah Pusat, sebagai satu-satunya
pemegang kedaulatan atas seluruh wilayah negara yang terdiri dari
daratan dan lautan, tidak mungkin bermaksud untuk membagi-bagi
wilayah kedaulatannya kepada masing-masing propinsi.
Pembagian wilayah kedaulatan kepada masing-masing propinsi
mengandung arti bubarnya Republik Indonesia yang berbentuk
negara kesatuan dan diganti dengan bentuk negara federasi. Oleh
karena itu sudah dapat dipastikan bukan itu arti yang dimaksud
oleh Undang-Undang Pemerintahan Daerah. Secara prinsip, ruang
wilayah Republik Indonesia, yang terdiri dari daratan (pulau-pulau)
dan lautan tidak mungkin dibagi-bagi, apalagi dikapling-kapling.

5
Oleh karena itu penetapan batas wilayah laut kewenangan
pemerintah provinsi tidak dapat diartikan lain selain dari penetapan
batas wilayah yurisdiksi untuk melaksanakan wewenang-
wewenang tertentu di bidang pemerintahan. Pelaksanaan
penetapan batas wilayah yurisdiksi pemerintah daerah tersebut
harus dilakukan berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku
dan atau berdasarkan perjanjian antara pemerintah daerah provinsi
yang bersangkutan.

Dalam kaitannya dengan uraian di atas, peranan pemerintah pusat


hanya mencakup dua katagori saja, yaitu: (1) memfasilitasi
penetapan batas wilayah laut kewenangan pemerintah daerah agar
tidak terjadi pengkaplingan laut yang dapat menimbulkan
disintegrasi wilayah nasional; dan (2) merumuskan kriteria dan
indikator untuk menetapkan urusan-urusan tertentu di bidang
pemerintahan yang kewenangannya tidak dapat diserahkan kepada
pemerintah daerah (Pasal 10 ayat (1) dan ayat (3)). Dengan kata
lain pemerintah pusat hanya menetapkan kewenangan sisa
sebagai pengecualian dari wewenang pemerintah daerah yang
berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 telah menjadi
sangat luas.

III. PENETAPAN GARIS PANTAI DAN GARIS PANGKAL

A. Penetapan Garis Pantai

Setiap upaya untuk meluaskan yurisdiksi ke arah lautan akan harus


selalu dimulai dengan penetapan garis pangkal yang sesuai
dengan kondisi geografis wilayah dan sesuai pula dengan tujuan
yang hendak dicapainya. Dalam hal ini penetapan batas
kewenangan pemerintah daerah yang diproyeksikan ke arah lautan
harus dilihat sebagai kelanjutan dari ruang wilayah daratannya.
Oleh karena itu sudah seharusnya tidak ada sesuatu apapun yang
dapat menghalanginya, apalagi memisahkan bagian daratan dari
bagian lautannya. Hal ini merupakan konsekwensi dari
pemahaman kewilayahan bahwa bagian daratan dan bagian lautan
merupakan satu kesatuan wilayah yang utuh. Dengan demikian
wilayah lautan akan tunduk pada rezim pengaturan yang sama
dengan wilayah daratannya. Oleh karena itu Undang-Undang
Pemerintahan Daerah menetapkan bahwa wilayah laut daerah
dimulai dari garis pantai. Dalam hal ini garis pantai harus
digunakan sebagai garis pangkal untuk mengukur jarak 12 mil ke
arah Laut Lepas dan atau ke arah Perairan Kepulauan.

6
Walaupun telah dipahami bahwa garis pantai harus digunakan
sebagai garis pangkal, namun pada tataran implementasinya masih
belum jelas. Dalam hal ini apakan yang dimaksudkan adalah garis
pantai dari pulau utama ataukah garis pantai dari pulau atau pulau-
pulau terluar yang telah menjadi bagian dari wilayah provinsi
berdasarkan undang-undang pembentukan provinsi yang
bersangkutan. Apabila jarak 12 mil diukur dari garis pantai pulau
utama, maka besar kemungkinan pulau-pulau terluar yang jaraknya
lebih dari 12 mil akan terlepas dari ikatan kewilayahan provinsi.
Demikian pula apabila jarak 12 mil diukur dari garis pantai pulau-
pulau terluar maka wilayah laut kewenangan provinsi akan menjadi
sangat luas, bahkan mungkin terlalu luas. Oleh karena itu
pemerintah pusat perlu segera menerbitkan pedoman yang
mempunyai kekuatan hukum, misalnya dalam bentuk peraturan
pemerintah.

B. Penetapan Garis Pangkal

Untuk mengukur lebar wilayah lautan yang akan jatuh ke dalam


kewenangan pemerintah daerah provinsi harus dimulai dari
penarikan garis pangkal, yaitu garis yang menghubungkan titik-titik
pertemuan antara daratan dan lautan pada waktu air surut (low
water mark). Apabila diproyeksikan ke arah Perairan Kepulauan
dan Laut Wilayah, penetapan garis pangkal tersebut akan
membawa implikasi pada pelaksanaan wewenang oleh pemerintah
daerah, dan pada gilirannya akan membawa implikasi pula pada
hak dan kewajiban pemerintah pusat yang timbul dari Konvensi
Hukum Laut, 1982. Dalam kaitannya dengan Konvensi Hukum
Laut 1982, penyebutan ”garis pangkal” harus dipahami sebagai
ketentuan normatif yang mempunyai kekuatan mengikat untuk
skala nasional. Dengan demikian metode penarikan garis pangkal
yang digunakan untuk menetapkan lebar Laut Wilayah nasional
tidak selayaknya untuk digunakan sebagai metode penetapan garis
pangkal dalam rangka pengukuran lebar wilayah laut yang akan
menjadi kewenangan pemerintah daerah. Dengan kata lain
metode penetapan garis pangkal untuk pengukuran lebar wilayah
laut kewenangan pemerintah daerah harus dirumuskan secara
tersendiri. Walaupun demikian, sekedar untuk memberikan
gambaran, berikut ini disampaikan macam-macam garis pangkal
serta pedoman penetapannya menurut Konvensi Hukum Laut
1982.
Berdasarkan tujuan penerapannya, Konvensi Hukum Laut 1982
mengenal tiga macam garis pangkal, yairtu: Garis Pangkal Biasa,
Garis Pangkal Lurus, dan Garis Pangkal Lurus Kepulauan.
Pedoman penetapan masing-masing garis pangkal tersebut adalah
sebagai berikut:

7
1. Garis Pangkal Biasa (normal baseline)

Garis Pangkal Biasa adalah garis pangkal yang ditarik untuk


menghubungkan titik-titik pertemuan antara lautan dan daratan
dengan mengikuti konfigurasi pantai pada waktu air surut
terendah. Dengan kata lain, garis pangkal ditarik dengan cara
mengikuti titik-titik pertemuan antara air laut dengan daratan
pada waktu air surut terendah. Penetapan Garis Pangkal Biasa
untuk tujuan pengukuran wilayah laut kewenangan provinsi
dapat dilakukan secara analogi dengan ketentuan Konvensi
Hukum Laut 1982 (Article 5), yaitu sebagai berikut:
a. Garis Pangkal Biasa adalah garis air rendah dengan
mengikuti konfigurasi pantai;
b. Apabila terdapat gugusan karang di hadapan daratan
utama suatu propinsi maka garis pangkal dapat ditarik
melalui gugusan karang tersebut dengan syarat telah ada
instalasi yang dibangun di atas karang tersebut.

2. Garis Pangkal Lurus (straight baseline)

Garis Pangkal Lurus adalah garis pangkal yang ditarik dari


ujung ke ujung untuk menghubungkan titik-titik terluar dari satu
pulau atau untuk menghubungkan dua pulau atau lebih. Garis
Pangkal Lurus berfungsi sebagai garis penutup pada kedua tepi
dari mulut teluk atau kedua tepi dari muara sungai. Penetapan
Garis Pangkal Lurus dapat dilakukan secara analogi dengan
Konvensi Hukum Laut 1982 (Article 7), yaitu sebagai berikut:
a. Garis Pangkal Lurus dapat ditarik pada lokasi-lokasi
pantai yang menjorok ke daratan atau pada muara
sungai atau selat yang lebarnya tidak lebih dari 12 mil.
b. Garis Pangkal Lurus ditarik tanpa menyimpang terlalu
jauh dari arah umum pantai yang bersangkutan;
c. Garis Pangkal Lurus tidak dapat ditarik dari gugusan
karang yang tenggelam pada waktu pasang naik, kecuali
apabila telah ada instalasi yang dibangun secara
permanen diatas karang tersebut.

3. Garis Pangkal Kepulauan ( archipelagic


baseline)

Garis Pangkal Kepulauan adalah gabungan dari seluruh garis


pangkal lurus yang ditarik untuk menghubungkan titik-titik terluar
dari pulau-pulau yang terluar yang membentuk sebuah
kepulauan. Penetapan Garis Pangkal Kepulauan dapat

8
dilakukan secara analogi dengan ketentuan Konvensi Hukum
Laut 1982 (Article 47), yaitu sebagai berikut:
a. Garis Pangkal Kepulauan dapat diterapkan pada
provinsi-provinsi yang berbentuk kepulauan;
b. Garis Pangkal Kepulauan ditarik untuk menghubungkan
titik-titik terluar dari pulau-pulau terluar pada waktu air
surut terendah;
c. Garis Pangkal Kepulauan tidak dapat melampaui panjang
maksimum, yaitu 12 mil;
d. Garis Pangkal Kepulauan tidak dapat ditarik menyimpang
terlalu jauh dari arah umum bentuk kepulauan;
e. Garis Pangkal Kepulauan tidak dapat ditarik dari gugusan
karang yang tenggelam pada waktu pasang naik, kecuali
apabila telah ada instalasi yang dibangun diatas karang
tersebut.

IV. PENETAPAN BATAS WILAYAH LAUT KEWENANGAN PEMERINTAH


DAERAH

Sebagaimana telah diketahui bahwa wilayah Republik Indonesia


merupakan negara kepulauan yang terdiri dari 34 provinsi dengan
berbagai bentuk konfigurasi wilayah yang berbeda-beda. Dengan
kondisi geografis yang berbeda-beda akan sangat sulit untuk
menetapkan satu aturan terperinci sebagai pedoman yang dapat
diaplikasikan terhadap semua provinsi yang berbeda karakteristik
kewilayahannya. Walaupun demikian, secara umum dapat ditetapkan
pedoman pelaksanaan sebagai berikut:

A. Penetapan batas wilayah laut provinsi yang saling


berhadapan

Penetapan batas wilayah laut untuk memisahkan yurisdiksi antara


dua provinsi yang saling berhadapan sangat tergantung pada lebar
ruang lautan diantara kedua tepi daratannya. Penetapan batas
wilayah laut antara kedua provinsi tersebut dapat dilakukan melalui
langkah-langkah sebagai berikut:

1. Apabila lebar ruang lautan diantara kedua provinsi


tersebut melampaui 24 mil, maka masing-masing provinsi dapat
menetapkan garis batas luar (outer limit) pada jarak 12 mil ke
arah laut yang ditarik sejajar dengan garis pangkalnya;

9
2. Bagian-bagian laut yang terletak diantara dua garis
batas luar kedua provinsi tersebut akan merupakan kantong-
kantong laut yang berada dibawah yurisdiksi pemerintah pusat;
3. Apabila lebar ruang lautan diantara kedua provinsi
ternyata kurang dari 24 mil, maka batas wilayah laut kedua
propinsi tersebut ditetapkan melalui penarikan garis tengah
(median line) yang diukur sama jarak antara garis pangkal
sepanjang pantai kedua provinsi yang berhadapan tersebut.

B. Penetapan batas wilayah laut provinsi yang saling


berdampingan

Penetapan batas wilayah laut provinsi yang saling berdampingan


dilakukan melalui langkah-langkah sebagai berikut:
1. Penetapan kesepakatan tentang letak titik pangkal (base point),
yaitu titik akhir dari garis batas yang memisahkan wilayah
daratan kedua provinsi, sebagai titik yang menjadi acuan
bersama untuk penarikan garis pangkal pada pantai kedua
provinsi;
2. Penetapan titik-titik pangkal selanjutnya dapat dilakukan dengan
mengikuti konfigurasi pantai dari kedua propinsi;
3. Penarikan garis sama jarak (equidistance line) mulai dari titik
acuan ke titik-titik selanjutnya ke arah kiri dan kanan titik acuan;
4. Penetapan titik proyeksi ke arah laut yang jaraknya sama
apabila diukur dari titik pangkal pada garis pantai masing-
masing provinsi;
5. Penarikan garis proyeksi kedua dan selanjutnya ke arah laut
untuk menhubungkan titik acuan ke titik proyeksi di laut;
6. Penetapan titik-titik proyeksi kedua dan selanjutnya ke arah laut
yang jaraknya sama apabila diukur dari titik pangkal yang
mengikuti arah konfigurasi pantai kedua propinsi;
7. Penarikan garis proyeksi kedua dan selanjutnya dengan cara
yang sama hingga penjumlahan panjang dari seluruh garis
proyeksi mencapai 12 mil ke arah lautan (apabila lebar ruang
lautnya 24 mil atau lebih;
8. Apabila lebar lautnya kurang dari 24 mil, dimana kedua provinsi
tersebut berhadapan dengan provinsi lain yang pantainya
berhadapan, maka titik proyeksi yang terluar ditetapkan sama
jarak dari kedua pantai yang berhadapan tersebut;
9. pemeriksaan lapangan (ground truthing) terhadap semua titik–
titik proyeksi di lautan harus dilakukan dengan menggunakan
GPS untuk menentukan koordinatnya di laut, yang kemudian

10
ditandatangani oleh para pihak yang mewakili kedua propinsi
yang berdampingan tersebut.

C. Penetapan batas wilayah laut provinsi yang saling


berhadapan dan saling berdampingan

Penetapan batas wilayah laut antara tiga provinsi yang letaknya


saling berhadapan, dan sekaligus saling berdampingan dapat
dilakukan melalui kombinasi dari metoda penarikan garis batas
yang pertama (untuk provinsi yang berhadapan) dengan metoda
penarikan batas yang kedua (untuk provinsi yang berdampingan).

D. Penetapan batas wilayah laut provinsi yang berbentuk


kepulauan

Propinsi yang berbentuk kepulauan harus diangggap sebagai satu


unit yang merupakan kesatuan integral antara unsur daratan yang
terdiri dari pulau-pulau dengan unsur lautan yang terletak di antara
dan di sekitar pulau-pulau tersebut. Karena telah dilandasi dengan
anggapan sebagai satu kesatuan, maka penetapan garis
pangkalnya dilakukan melalui titik-titik terluar pada pulau-pulau
yang terluar dari kepulauan yang membentuk konfigurasi wilayah
provinsi tersebut. Dalam hal ini penarikan garis pangkal lurus
dapat dilakukan sebagai garis penutup selat atau muara sungai
yang menghadap ke luar kepulauan yang membentuk provinsi
tersebut.

V. PENUTUP

Penetapan batas wilayah laut provinsi menurut Undang-Undang


Nomor 32 Tahun 2004 tidak dimaksudkan untuk meluaskan wilayah
teritorial melainkan untuk meluaskan wilayah yurisdiksi Pemerintah
Daerah dalam rangka pelaksanaan wewenangnya di bidang
pemerintahan. Wewenang tersebut meliputi urusan-urusan
sebagaimana telah ditetapkan di dalam Pasal 10 ayat (1), dan
wewenang di bidang pengelolaan sumber-sumber kekayaan laut
sebagaimana tercantum di dalam Pasal 18 ayat (3). Batas wilayah
yurisdiksi ini bukan merupakan batas visual melainkan merupakan
batas imaginer, yaitu garis yang menghubungkan titik-titik koordinat
geografis yang ditunjukkan di dalam peta. Pembuktian letak setiap titik
koordinat tersebut di lapangan (ground truthing) ditentukan dengan
bantuan alat khusus, antara lain dengan GeoPositioning System
(GPS).

Baik garis batas 12 mil maupun 4 mil harus diartikan sebagai garis
batas imaginer yang tidak perlu atau bahkan tidak mungkin untuk

11
diwujudkan secara visual melalui pembuatan tanda-tanda fisik tertentu
yang dapat dilihat di permukaan laut, misalnya dengan menempatkan
patok atau tanda-tanda fisik lainnya.

Setiap penetapan batas pada dimensi ruang kewilayahan, baik di


daratan maupun di lautan, akan membawa implikasi pembatasan
terhadap wilayah kewenangan instansi pelaksana mandat. Oleh
karena itu penetapan batas wilayah provinsi dan kabupaten/kota ke
arah lautan hendaknya dilihat sebagai penetapan unsur ruang yang
secara metodologis berbeda dengan penetapan pembagian urusan di
bidang pemerintahan. Perbedaan metodologis ini didasarkan pada
pemikiran bahwa penetapan batas wilayah yurisdiksi yang sangat ketat
tidak selalu relevan apabila dikaitkan dengan efektifitas dan efisiensi
pelaksanaan wewenang tertentu di bidang pemerintahan yang
seringkali memerlukan fleksibilitas. Dengan kata lain metode
penetapan batas wilayah yurisdiksi sebagai wadah pelaksanaan
wewenang harus disesuaikan dengan penetapan kewenangan yang
akan menjadi isinya, baik menurut jenis maupun ruang lingkupnya.

Upaya untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan tentang batas


wilayah yurisdiksi pemerintah daerah sebagaimana yang tercantum di
dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dapat dilakukan melalui
dua pendekatan yang saling melengkapi satu sama lainnya.
Pendekatan pertama dimulai dengan penetapan batas ruang wilayah
laut sebagai wadahnya, kemudian dilanjutkan dengan perumusan
tentang pembagian wewenang sebagai isinya. Pendekatan kedua
dimulai dengan perumusan pembagian wewenang atas urusan-urusan
tertentu di bidang pemerintaha, kemudian dilanjutkan dengan
penetapan batas ruang wilayah laut sebagai wadah atau wilayah
yurisdiksi untuk melaksanakan urusan-urusan yang telah menjadi
wewenangnya.

Selanjutnya harus pula dipertimbangkan untuk tetap mempertahankan


eksistensi prinsip-prinsip yang melandasi Wawasan Nusantara sebagai
wawasan berbangsa dan bernegara di dalam pelaksanaan Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2004. Hal ini disebabkan karena setiap
perluasan ruang wilayah provinsi ke arah lautan, apabila diartikan
sebagai perluasan wilayah teritorial, hampir dapat dipastikan akan
berakibat pada pengkaplingan laut, yang pada gilirannya akan
berakibat pada pemisahan yurisdiksi atas ruang lautan yang secara
konsepsional tidak sejalan dengan Wawasan Nusantara. Oleh karena
itu perluasan yurisdiksi pemerintah daerah ke arah lautan perlu
diupayakan agar tidak berakibat pada perbedaan kebijakan antar
provinsi di dalam pengendalian pemanfaatan ruang lautan beserta
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Oleh karena itu pula
perlu dipahami bahwa penetapan kebijakan kelautan harus tetap
menjadi wewenang pemerintah pusat.

12
13

You might also like