You are on page 1of 3

Mencermati Kasus Konflik Etnis di Kalimantan Barat :

Tantangan Untuk Mempertahankan


Perdamaian Berkesinambungan
Peristiwa ketegangan antar warga di kawasan Tanjungpura Pontianak yang hampir saja
membuahkan amuk massa atau kekerasan komunal pada hari kamis (6/12) kemarin tentu
saja sangat kita sayangkan. Meskipun sudah dilakukan pertemuan perdamaian antar
tokoh keduabelah etnis, hampir saja kekerasan komunal terjadi lagi. Untunglah kepolisian
bisa bertindak sigap dan tegas sehingga gosip dan sentimen tidak menyebar. Namun
sampai kapan polisi sanggup memainkan perannya sebagai pemadam kebakaran konflik
yang ada di Kalimantan Barat jika isu-isu utama yang menjadi akar konflik tersembunyi
tetap tidak terselesaikan ?

Tak pelak lagi kasus perselisihan warga yang hampir menyeret konflik etnis
tersebut telah mengusik ingatan kita tentang kasus konflik etnis antara tahun 1997-1999.
Semua konflik yang melibatkan komunal selalu dimulai oleh permasalahan-permasalahan
yang terkesan sepele, yang kadang tidak ada hubungannya dengan masalah etnis
sekalipun. Namun dengan cepat ia membakar sentimen keetnisan warganya dengan cepat,
hingga menjadi tidak terkendali.

Kasus Konflik Yang Terulang

Menilik kasus-kasus konflik etnis di Kalimantan Barat, ini bukanlah kasus


perselisihan warga berbuah kekerasan komunal etnis yang pertama. Jika melihat
kebelakang kasus-kasus konflik etnis di Kalbar, kita akan melihat pola kasus etnis yang
serupa dan berulang. Meskipun dengan variasi keterlibatan etnis yang berbeda. Tercatat
misalnya pada masa Hindia Belanda ada beberapa kasus konflik yang melibatkan etnis
Tionghoa, Dayak, dan Melayu. Kemudian pada masa setelah kemerdekaan pada tahun
1950’an yang melibatkan etnis Tionghoa dan Melayu. Dan puncaknya memang kasus
konflik etnis tahun 1997- 1999 yang melibatkan etnis Madura, Melayu, dan Dayak.
Konflik etnis yang menelan jiwa hingga ribuan nyawa melayang dan jutaan orang
kehilangan tempat tinggal dan hartanya. Sedikit banyak fakta ini menunjukkan bahwa
Kalbar memang rawan terhadap potensi-potensi konflik yang bersifat keetnisan.

Isu konflik etnis sendiri dalam banyak kasus hanyalah bungkusan dari isu-isu
marginalitas dari rasa ketidakadilan dan ketidaksejajaran, baik dalam domain politik,
ekonomi, maupun sosial budaya. Banyak sudah penelitian yang membahas hal itu di
Kalbar. Saya tidak berpretensi untuk mengulasnya lebih jauh. Namun apabila
permasalahan-permasalahan tersebut tidak diagendakan untuk diselesaikan oleh
pemerintah daerah di Kalbar, maka dapat dipastikan konflik etnis yang ada di Kalbar
suatu saat akan muncul kembali dalam wujud ketidakpuasan yang berbeda. Etnis dalam
hal ini menjadi sentimen yang sangat mudah dipicu untuk memwujudkan afiliasi-afiliasi
politik seseorang.
Penyelesaian Konflik Yang Tidak Pernah Selesai

Seperti layaknya kasus-kasus konflik yang melibatkan kekerasan komunal


lainnya, konflik etnis di Kalbar juga membawa dampak luar biasa pada masyarakatnya.
Dampak tersebut telah banyak membawa perubahan yang sungguh luar biasa dalam
masyarakat Kalimantan Barat. Sendi-sendi kehidupan masyarakat Kalimantan Barat
secara nyata tercapik-capik. Masyarakat Kalimantan Barat yang tadinya dikenal harmonis
dan tolerant berubah menjadi masyarakat yang penuh kecurigaan kepada masing etnis.

Sayangnya pemerintah nampaknya tidak mempunyai cukup perhatian untuk


bagaimana menata perdamaian agar dapat berkesinambungan. Kalaupun ada biasanya
hanya sampai sekedar slogan, atau tertinggal dalam kebijakan yang tidak tahu kapan
bagaimana mengimplementasikannya. Seperti penyelesaian kasus-kasus konflik lainnya
di Indonesia, pemerintah selalu menganggap bahwa permasalahan konflik akan selesai
ketika kesepakatan damai telah tercapai dimeja perundingan oleh para eli-elit kelompok
dan penyelesaian untuk permaslahan pengungsi telah diatasi. Simak saja beberapa kasus
penyelesaian konflik yang ada di Indonesia. Misalnya kasus Poso dan Maluku. Jalannya
perdamaiannya tampak terhenti ditangan pemerintah ketika kesepakatan damai antar relit
telah ditandatangani dan penyelesaian pengungsi, dengan pembangunan pemukiman dan
pembagian jatah hidup, telah terselesaikan. Persoalan-persoalan bagaimana menjaga
perdamaian agar berkesinambungan ini yang menurut hemat saya lebih banyak
dimaintain oleh kalangan CSO (Civil Society Organization), berikut kalangan agamawan,
dengan ide-ide pluralism dan multiculturalism, serta pendidikan perdamaiannya.

Dalam konteks Kalbar, pemerintah menganggap konflik telah selesai ketika para
pengungsi akibat konflik telah dipindah lokasi pemukiman baru Tebang Kacang. Mereka
tidak melihat bahwa perasaan-perasaan curiga, stereotype, dan prasangka antara etnis
masih berkembang ditingkat masyarakat Kalbar. Masih adanya penolakan oleh kelompok
etnis tertentu kepada kelompok etnis yang lain di Kalbar untuk kembali ke asalnya
hingga kini masih terjadi. Permasalahan-permasalahan kejelasan hak para pengungsi dan
korban konflik etnis, terutama bagi etnis yang kalah, hingga kini masih buram.
Pemerintah daerah tidak mau secara terbuka membicarakan kasus-kasus tersebut secara
terbuka. Dilain sisi muncul dugaan bahwa pemerintah daerah mencoba untuk membatasi
ruang dialog antar etnis pada isu-isu tertentu karena alasan sensitivitas isu yang
ditakutkan akan menganggu stabilitas keamanan.

Salah satu dampak yang timbul ditingkat publik adalah adanya penolakan-
penolakan dan keengganan sebagian masyarakat di Kalbar untuk membicarakan isu-isu
etnis secara terbuka untuk mencari penyelesaiannya. Atau misalnya penolakan
masyarakat Melayu diSambas yang hingga kini menolak kembalinya masyarakat Madura
di wilayah Sambas. Oleh pemerintah sendiri kasus konflik antar sukubangsa ini
dinyatakan telah selesai dengan dipindahkannya para pengungsi ke tempat pemukiman
baru (Tebang Kacang). Namun permasalahannya tidak sesederhana itu. Banyak persoalan
dilapangan yang belum terselesaikan hingga saat ini. Seperti misalnya bagaimana hak-
hak milik para pengungsi di daerah asal (Sambas) yang telah ditinggalkan dan pemulihan
kehidupan mereka dilokasi pengungsian yang menurut mereka lebih menyerupai lokasi
pengucilan dari kelompok masyarakat lainnya.

Ketakutan akan mengganggu stabilitas keamanan yang juga akhirnya membentuk


pola pikir sebagian elit etnis dan pemerintah daerah setempat dalam menyelesaikan
konflik etnis yang akan timbul. Elit etnis segera didatangkan untuk menenangkan
massanya segera ketika ada kasus-kasus yang kadang tidak berkaitan dengan etnis
sekalipun. Namun berapa cepat dan sanggupkah para elit tersebut mengontrol massanya
ketika mulai menunjukkan keberangusan ? sangat susah untuk diukur memang
keberhasilannya.

You might also like