You are on page 1of 3

HADITS - HADITS TENTANG JUAL BELI

I. MUAMALAH DAN MURABAHAH

Sebelum membahas tentang Hadits, terlebih dahulu penulis kemukakan tentang definisi
Muamalah dan murabahah / jual beli. Secara etimologis, muamalah berasal dari bahasa Arab, dari kata
amala - yu’amilu - mu’amalatan, dengan wazan fa’ala - yufa’ilu - mufa’alatan, yang artinya bermakna
saling bertindak, saling berbuat, saling mengamalkan. Secara terminologis, muamalah mempunyai dua
arti, yakni arti luas dan arti sempit. Dalam arti luas muamalah berarti aturan - aturan hokum Allah
untuk mengatur manusia dalam kaitannya dengan urusan duniawi/pergaulan sosial. Dan dalam arti
sempit, muamalah berarti aturan Allah yang wajib ditaati, yang mengatur hubungan manusia dengan
manusia dalam kaitannya dengan cara memperoleh dan mengembangkan harta benda. Jadi muamalah
adalah menyangkut af’al ( perbuatan ) seorang hamba. (2)

Definisi murabahah atau jual beli dikemukakan dalam dua sudut pandang. Secara Fiqh,
murabahah atau jual beli adalah suatu akad jual beli barang, di mana penjual menyebutkan harga
pembelian barang kepada pembeli, kemudian dia mensyaratkan atasnya laba / keuntungan dalam
jumlah tertentu. Dan yang kedua dilihat dari teknis perbankan, murabahah adalah akad jual beli barang
dengan menyatakan harga perolehan/harga beli dan keuntungan (margin) yang disepakati oleh penjual
dan pembeli. (3) Ibnu Qudamah dalam bukunya Mughni (1999:21) mengatakan, bahwa murabahah
adalah menjual dengan harga asal ditambah dengan margin keuntungan yang telah disepakati.(4)

Firman Allah dalam Surat Al Baqarah :275


    
    

 
Yang artinya “ Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.”

Dari definisi jelaslah apa makna jual beli / murabahah, dan bagaimama hukumnya. Yang
menjadi pertanyaan adalah, apakah semua aktivitas jual beli itu halal ? Adakah kaidah - kaidah / etika
jual beli yang baik yang dicontohkan atau dibenarkan oleh Rasulullah SAW ? Berikut ini akah penulis
coba kemukakan beberapa hadits dan pendapat-pendapat ulama tentang jual beli.

“ Pendapatan yang paling afdhal adalah hasil karya tangan seseorang dan jual beli ayang
mabrur.” ( HR. Ahmad, Al Bazzar, Ath Thabrani ).
Dalam hadits di atas dijelaskan bahwa pendapatan / penghasilan yang paling afdhal adalah
hasil karya tangan seseorang dan jual beli. Hasil karya di sini dapat diartikan sebagai hasil keringat
sendiri, yang dalam hal ini dapat berupa memproduksi suatu barang atau jasa untuk selanjutnya
dilakukan proses marketing, atau dijual kepada orang lain dengan harapan mendapatkan keuntungan.
Bisa juga diartikan dengan bekerja kepada orang lain untuk mendapatkan upah atau keuntungan.
Selama kedua hal tersebut di atas tidak mengandung unsur Maghrib ( Maisir, Gharar, Haram, Riba )

“ Dari Said Al Hudri, bahwa Rasulullah SAW bersabda” Sesungguhnya jual beli itu harus
dilakukan secara suka sama suka.” ( HR. Al Baihaqi, Ibnu Majjah, dan sahih menurut Ibnu Hibban )

Di sini jelas bahwa dalam jual beli tidak boleh ada unsure paksaan dan penipuan. Penjual dan
pembeli harus dalam keadaan suka sama suka. Si penjual dan pembeli suka dan rela dengan barang dan
harga yang disepakati bersama, yang nantinya akan timbul ikhlas dan insya Allah barokah. Seperti
yang tercantum dalam hadits berikut ini.

“Dari Abdullah Ibnu Harits dari Hakim Ibnu Hizam berkata, Rasulullah SAW bersabda:
“Penjual dan pembeli sama - sama bebas menentukan jual belinya selagi keduanya belum
terpisah. Jika keduanya jujur dan berterus terang maka jual beli mereka akan diberkahi Allah,
tetapi jika saling mendustaidan curang maka berkah dalam jual beli itu akan terhapus”.

Kedua fihak dalam jual beli, penjual dan pembeli harus jujur dan berterus terang. Jujur di sini
dapat diartikan penjual tidak menyembunyikan kekurangan / cacat barang, memberitahukan
kekurangan dan kelebihan barang yang menjadi obyek jual beli. Dan bagi pembeli tidak membohongi
penjual. Misalnya, membeli barang sebelum sampai di pasar dengan harga yang jauh sekali di bawah
harga pasar, atau dengan kata lain pembeli membeli barang dalam keadaan si penjual belum
mengetahui harga yang berlaku di pasar.

Di sini diperlukan jiwa mulia yang mengendalikan kejujuran dalam jual beli dan tukar
menukar di pasar, di toko, dan di kios - kios. Islam membenci muamalah / perbuatan yang serakah dan
permainan kotor yang mencampurinya. ( Ahmad Sunarto, 1990 : 62 ) Sabda Rasulullah yang artinya :
“ Penjual dan pembeli itu kuasa memilih selama keduanya belum berpisah. Apabila keduanya
benar dan mau menerangkan (cacat barang dagangannya) maka diberi berkah keduanya dalam
jual belinya. Dan jika keduanya menyembunyikan (cacat barang dagangannya) dan berdusta,
maka kemungkinan keduanya mendapat laba, namun keduanya telah memusnahkan berkah
jual belinya. Sumpah palsu itu melariskan barang dagangan, memusnahkan keuntungan.” (HR.
Bukhari dan Muslim)

Demikian Rasulullah SAW menjelaska tentang jual beli. Bagi penjual yang berdusta /
bohongdalam menawarkan barang dagangannya sehingga si pembeli mempercayainya, maka perbuatan
yang demikian termasuk khianat yang besar.

Sabda Rasulullah SAW : “ Tidak halal bagi seorang muslim menjual barang yang ia tahu ada
penyakitnya, melainkan ia harus memberitahukan tentang ( penyakit dan cacat itu ) kepada
pembelinya.” (HR. Bukhari )

Dari ibnu Aufa : “ Seorang laki - laki berdagang di pasar, kemudian ia bersumpah, Demi
Allah ! Barang ini tidak ada tandingannya, berkualitas super, untuk menipu pembeli muslim, maka
turunlan ayat 3 Surat Ali Imran : “ Sesungguhnya orang -orang yang menukarakan janji Allah
dan sumpah - sumpah mereka dengan harga -harga sedikit, mereka tidak mendapat bagian
(pahala) di akhirat. Dan Allah tidak akan berkata - kata dengan mereka dan tidak akan melihat
mereka pada hari kiamat dan tidak pula mensucikan mereka. Bagi mereka azab yang pedih.”
( Ahmad Sunarto, 1990:63) (4)

Dalam hadits lain dijelaskan “ Jangalah seorang muslim menawar barang yang telah
ditawar oleh saudaranya (orang lain). (HR. Muslim)

Di sini mengandung makna tentang kesopanan / etika. Bahwa tidaklah etis seseorang
melakukan penawaran atau membeli barang dalam keadaan tidak bebas atau belum putus. Bebas dalam
hal ini artinya masih menjadi obyek tawar menawar oleh penjual dan calon pembeli pertama.
Seandainya pihak ketiga / calon pembeli kedua menyela dan melakukan penawaran terhadap obyek jual
beli yang belum putus, maka tentu akan menyakiti hati calon pembeli pertama. Jadi ini tidak
dibenarkan untuk dilakukan.

Dalam hadits lain dijelaskan, “Dari Ibnu Umar, bahwa Rasulullah SAW melarang
penjualan dengan pujian.” ( HR. Muslim )

Pengertian “Najasy” dalam hadits di atas bisa juga di artikan penjualan dengan menyuruh pada seorang
kawannya denganpura - pura menawar dengan harga yang tinggi untuk menarik orang lain. ( Hussein,
1987:172 )(5)

Itulah beberapa hadits tentang jual beli / murabahah yang dapat penulis sampaikan. Di
samping itu ada pendapat – pendapat ulama yang mendukng hadits tentang jual beli. Diantaranya
adalah :

“ Pada dasarnya semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang
mengharamkannya”. ( Kaidah Fiqh ).(6)
‘Ijma’ mayoritas ulama tentang kebolehan jual beli dengan cara murabahah.” (7)

II. METODE MURABAHAH

Dalam kehidupan sehari jual beli yang kita kenal hanyalah jual beli yang melibatkan dua
fihak. Yaitu penjual dan pembeli. Metoda pembayarannya dapat dilakukan tunai ( Nagdar) atau cicilan
(muajjal). Ini sesuai dengan rukun jual beli, yakni ada penjual, pembeli, obyek jual beli, harga, dan ijab
kabul / akad jual beli.

Ada juga praktik jual beli / murabahah yang dijalankan oleh perbankan syariah. Dalam
perbankan syariah sebenarnya teradapat dua akad jual beli yang melibatkan tiga fihak. Murabahah
pertama dilakukan secara tunai antara bank (sebagai pembeli) dengan penjual barang. Murabahah
kedua dilakukan secara cicilan antara bank sebagai penjual dengan nasabah sebagai pembeli. Lazimnya
bisnis tentu bank mengambil keuntungan dari transaksi murabahah. Rukun murabahah pertama
terpenuhi, demikian juga rukun murabahah kedua. Dengan demikian dapat dikatakan kedua rukun
murabahah itu sah.(8)

Jadi pada dasarnya kedua rukun jual beli / murabahah itu secara rukun dan hukum adalah sah,
selama tidak mengandung unsur – unsur MAGHRIB ( maisir, gharar, haram, dan riba) . apabila suatu
akad mengandung unsur – unsur tadi maka dengan sendirinya akad tersebut adalah tidak sah.

“ Perdamaian dapat dilakukan diantara kaum muslimin kecuali perdamaian yang


mengharamkan yang halal dan menghalalkan yang haram. Kaum muslimin terikat dengan
syarat – syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang
haram”. HR. Tirmidzi dari Amr bin ‘Auf)

KESIMPULAN

Dari uraian masalah di atas dapat diambil kesimpulan bahwa :


1. Sebenarnya manusia itu dalam hidupnya tidak bisa terlepas dari muamalah karena manusia adalah
selain mkahluk individu juga makhluk sosial atau makhluk zoon politicon ( Aristoteles ). Dan dalam
bermuamalah tidak dapat terlepas dari aktivitas jual beli / murabahah.

2. Bahwasanya banyaknya aturan dan tuntunan / etika jual beli, baik yang dicontohkan oleh Rasulullah
maupun para Sahabat semasa Rasulullah adalah semata – mata untuk menjaga kita, umat Islam agar
tidak terlalu memikirkan untuk mengeruk keuntungan, tanpa mempedulikan apakah barokah atau tidak.

3. Banyaknya dalil yang mengatur jual beli / murabahah adalah bukti kecintaan Allah dan Rasululah
kepada kita, umat Islam agar selalu menjaga diri dan harta dalm kesucian, tidak tercampur oleh maisir,
gharar, haram, dan riba, yang pada gilirannya akan mendatangkan barokah fiddunnya wal akhirah.

DAFTAR PUSTAKA

1. Departemen Agama RI, Al Aliyy – Al Qur’an dan terjemahnya, Bandung, CV Diponegoro.


2. Achmad Sunarto, Hakikat Ikhlas dan Jujur. Jakarta, 1990. Pelita Amani.
3. Hussein Bahreisj, Himpunan Hadits Sahih Muslim. Surabaya, 1987. Al Ikhlas.
4. M. Hatta : http:// jurnal-ekonomi.org/2007/12/12
5. Ari Condro: htp :// www.mailarchive.com / ekonomi nasional
6. Fachri : http // www.sekarangonline.com /artikel-road

Posted By Suburpwr. staidamgrt

You might also like