You are on page 1of 16

SEJARAH PEGADAIAN

Usaha gadai di Indonesia berawal dari berdirinya Bank Van Leening di zaman
VOC yang bertugas memberikan pinjaman uang tunai kepada masyarakat
dengan harta gerak. Dalam perkembangannya, sebagai bentuk usaha
pegadaian banyak mengalami perubahan demikian pula dengan status
pengelolaannya telah mengalami beberapa kali perubahan seirin

g dengan perubahan peraturan yang berlaku.


Berdasarkan Staatblad 1901 No.131 tanggal 12 Maret 1901, maka pada
tanggal 1 April 1901 berdirilah Kantor Pegadaian yang berarti menjadi
Lembaga Resmi Pemerintah. Selanjutnya berdasarkan peraturan Pemerintah
Republik Indonesia tahun 1961 No.178, berubah lagi menjadi Perusahaan
Negara Pegadain. Dalam perkembangannya, pada tahun 1969 keluarlah
Undang-Undang Republik Indonesia No.9 tahun 1969 yang mengatur
bentuk-bentuk usaha negara menjadi tiga bentuk perusahaan yaitu
Perusahaan Jawatan (PERJAN), Perusahaan Umum (PERUM), dan
Perusahaan Perseroan (PERSERO).Sejalan dengan ini, maka Perusahaan
Negara Pegadaian berubah lagi statusnya menjadi Perusahaan Jawatan
(PERJAN) Pegadaian (PERUM Pegadaian No.7 tanggal 11 Maret 1969).

Sejak saat itu, kegiatan perusahaan terus berjalan dan aset atau
kekayaannya pun bertambah. Namun seiring dengan perubahan zaman,
Pegadaian dihadapkan pada kebutuhan untuk berubah pula, dalam arti
untuk lebih meningkatkan kinerjanya, tumbuh lebih besar lagi dan lebih
profesional dalam memberikan keleluasan pengelolaan bagi manajemen
dalam mengembangkan usahanya, Pemerintah meningkatkan status
Pegadaian dari Perusahaan Jawatan (PERJAN) menjadi Perusahaan Umum
(PERUM) yang dituangkan dalam peraturan Pemerintah No. 10 April 1990.
Perubahan dari PERJAN ke PERUM ini merupakan tonggak penting dalam
pengelolaan Pegadaian yang memungkinkan terciptanya pertumbuhan
Pegadaian yang bukan saja makin meningkatkan kredit yang disalurkan,
nasabah yang dilayani pendapatan dan laba perusahaan.
pegadaian syariah
Posted on Mei 18th, 2009 galeh priyo atmojo No comments

Nama: 1. ALFIAN SUMIRAT

2. MARIA ULFA

3. NORMA ISMAIL SIDDIK

Kelas: Takaful IV A

1. Pengertian

Gadai dalam fiqh disebut rahn, yang menurut bahasa adalah nama barang yang
dijadikan sebagai jaminan kepercayaan. Sedangkan menurut syara’ artinya
menyandera sejumlah harta yang diserahkan sebagai jaminan secara hak, tetapi
dapat diambil sebagai tebusan. Dalam definisinya rahn adalah barang yang
digadaikan, rahin adalah orang yang menggadaikan, sedangkan murtahin adalah
orang yang memberikan pinjaman. Pengertian rahn yang merupakan perjanjian
utang piutang antara dua atau beberapa pihak mengenai persoalan banda dan
menahan sesuatu barang sebagai jaminan utang yang mempunyai nilai harta.
Menurut pandangan syara’ sebagai jaminan atau ia bisa mengambil sebagian
manfaat barang itu.

Pegadaian syariah sebagai lembaga keuangan alternatif bagi masyarakat guna


menetapkan pilihan dalam pembiayaan di sektor riil. Biasanya masyarakat yang
berhubungan dengan pegadaian adalah masyarakat menengah ke bawah yang
membutuhkan pembiayaan jangka pendek dengan margin yang rendah. Oleh
karena itu, barang jaminan pegadaian masyarakat ini memiliki karakteristik barang
sehari-hari yang nilainya rendah. Maka, keadaan inilah yang mempengaruhi
rendahnya nilai pembiayaan yang mereka terima. Sebagai lembaga bisnis yang
memiliki nilai syariah tentunya pegadaian syariah berbeda dengan pegadaian
konvensional. Pegadaian syariah harus akomodatif dengan berbagai persoalan yang
berhubungan dengan ekonomi masyarakat
2. Sejarah Berdirinya Pegadaian

Pegadaian dikenal mulai dari Eropa, yaitu negara Italia, Inggris, dan Belanda.
Pengenalan di Indonesia pada awal masuknya Kolonial Belanda, yaitu sekitar akhir
abad XIX, oleh sebuah bank yang bernama Van Leaning. Bank tersebut memberi
jasa pinjaman dana dengan syarat penyerahan barang bergerak, sehingga bank ini
pada hakikatnya telah memberikan jasa pegadaian,. Pada awal abad 20-an
pemerintah Hindia-Belanda berusaha mengambil alih usaha pegadaian dan
memonopolinya dengan cara mengeluarkan staatsblad No.131 tahun 1901.
Peraturan tersebut diikuti dengan pendirian rumah gadai resmi milik pemerintah
dan statusnya diubah menjadi Dinas Pegadaian sejak berlakunya staatsblad No. 226
tahun 1960.

Selanjutnya pegadaian milik pemerintah tetap diberi fasilitas monopoli atas


kegiatan pegadaian di Indonesia. Dinas pegadaian mengalami beberapa kali bentuk
badan hukum sehingga akhirnya pada tahun 1990 menjadi perusahaan umum.
Pada tahun 1960 Dinas Pegadaian berubah menjadi Perusahaan Negara (PN)
Pegadaian. Pada tahun 1969 Perusahaan Negara Pegadaian diubah menjadi
Perusahaan Negara Jawatan (Perjan) Pegadaian, pada tahun 1990 menjadi
Perusahaan Umum (Perum) Pegadaian melalui PP No. 10 tahun 1990 tanggal 10
April 1990. Pada waktu pegadaian masih berbentuk Perusahaan Jawatan, misi sosial
dari pegadaian merupakan satu-satunya acuan yang digunakan oleh
manajemennya dalam mengelola pegadaian.

Pada saat ini pegadaian syariah sudah terbentuk sebagai sebuah lembaga. Ide
pembentukan pegadaian syariah selain karena tuntutan idealisme juga dikarenakan
keberhasilan terlembaganya bank dan asuransi syariah. Setelah terbentuknya bank,
BMT, BPR dan asuransi syariah maka pegadaian syariah mendapat perhatian oleh
beberapa praktisi dan akedemisi untu dibentuk di bawah suatu lembaga sendiri.
Keberadaan pegadaian suariah atau gadai syariah atau rahn lebih dikenal sebagai
bagian produk yang ditawarkan oleh bank syariah, dimana bank menawarkan
kepada masyarakat bentuk penjaminan barang guna mendapatkan pembiayaan.

3. Dasar Hukum

a. Al-Qur’an
Jika kamu dalam perjalanan (dan kamu melaksanakan muamalah tidak secara
tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada
barang tanggungan yang dapat dijadikan sebagai pegangan (oleh yang
mengutangkan), tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka
hendaklah yang dipercaya itu menunaikan amanat (utangnya) dan hendaknya ia
bertaqwa kepada Allah SWT” (QS, al-Baqarah (2): 283)

b. Al- Hadits

Bukhari dan lainnya meriwayatkan dari Aisyah berkata, ”Rasulullah pernah


memberi makanan dari orang yahudi dan beliau menggadaikan kepadanya baju
besi beliau” (HR. Bukhari dan Muslim).

Dari Anas ra berkata, Raasulullah saw berkata menggadaikan baju besinya


kepada seorang Yahudi di Madinah dan mengambil darinya gandum untuk keluarga
beliau (HR. Bukhari, Ahmad, Nasa’i dan Ibnu Majah)

4. Tujuan Berdirinya

Dalam perspektif ekonomi, pegadaian merupakan salah satu alternatif


pendanaan yang sangat efektif karena tidak memerlukan proses dan persyaratan
yang rumit. Pegadaian melaksanakan kegiatan lembaga keuangan berupa
pembiayaan dalam bentuk penyaluran dana ke masyarakat atas dasar hukum
gadai. Tugas pokok dari lembaga ini adalah memberikan pinjaman kepada
masyarakat yang membutuhkan. Lembaga Keuangan Gadai Syariah mempunyai
fungsi sosial yang sangat besar. Karena pada umumnya, orang –orang yang datang
ke tempat ini adalah mereka yang secara ekonomi sangat kekurangan. Dan
biasanya pinjaman yang dibutuhkan adalah pinjaman yang bersifat komsumtif dan
sifatnya mendesak.

Dalam implementasinya, pegadaian syariah merupakan kombinasi komersil-


produktif, meskipun jika kita mengkaji latar belakang gadai syariah, baik secara
implisit maupun eksplisit lebih berpihak dan tertuju untuk kepentingan sosial.
Banyak manfaat lain yang bisa diperoleh dari pegadaian syariah. Pertama,
prosesnya cepat. Dalam pegadaian syariah, nasabah dapat memperoleh pinjaman
yang diperlukan dalam waktu yang relatif cepat, baik proses administrasi, maupun
penaksiran barang gadai. Kedua, caranya cukup mudah. Yakni hanya dengan
membawa barang gadai (marhun) beserta bukti kepemilikan. Ketiga, jaminan
keamanan atas barang diserahkan dengan standar keamanan yang telah diuji dan
diasuransikan dan sebagainya.

5. Produk-produk yang dikembangkan

produk dan layanan jasa yang ditawarkan oleh pegadaian syariah kepada
masyarakat berupa:

a) Pemberian pinjaman atau pembiayaan atas dasar hukum gadai syariah.


Produk ini mensyaratkan pemberian pinjaman dengan penyerahan barang
sebagai jaminan. Barang gadai harus berbentuk barang bergerak, oleh
karena itu pemberian pinjaman sangat ditentukan oleh nilai dan jumlah dari
barang yang digadaikan.

b) Penaksiran nilai barang. Di samping memberikan pinjaman kepada


masyarakat, pegadaian syariah juga memberikan pelayanan berupa jasa
penaksiran atas nilai suatu barang. Jasa yang ditaksir biasanya meliputi
semua barang bergerak dan tidak bergerak. Jasa ini diberikan kepada mereka
yang ingin mengetahui kualitas barang seperti emas, perak, dan berlian.
Biaya yang dikenakan pada nasabah adalah berupa ongkos penaksiran
barang.

c) Penitipan barang (ijarah). Pegadaian syariah juga menerima titipan barang


dari masyarakat berupa surat-surat berharga seperti sertifikat tanah, ijasah,
motor. Fasilitas ini diberikan bagi mereka yang ingin melakukan perjalanan
jauh dalam waktu yang relatif lama atau karena penyimpanan di rumah
dirasakan kurang aman. Atas jasa penitipan tersebut, gadai syariah
memperoleh penerimaan dari pemilik barang berupa ongkos penitipan.

d) Gold counter, yaitu jasa penyediaan fasilitas berupa tempat penjualan emas
eksekutif yang terjamin kualitas dan keasliannnya. Gold counter ini semacam
toko dengan emas galeri 24, di mana setiap pembelian emas di toko milik
pegadaian syariah akan dilampiri sertifikat jaminan. Hal ini dilakukan untuk
memberikn layanan bagi masyarakat kelas menengah, yang masih peduli
dengan image. Dengan sertifikat tersebut masyarakat percaya dan yakin
akan kualitas dan keaslian emas.

6. Mekanisme operasional dan penghitungannya

Operasional pegadaian syariah menggambarkan hubungan di antara nasabah


dan pegadaian. Adapun teknis operasional pegadaian syariah adalah sebagai
berikut:

1) Nasabah menjaminkan barang kepada pegadaian syariah untuk


mandapatkan pembiayaan. Kemudian pegadaian menaksir barang jaminan
untuk dijadikan dasar dalam memberikan pembiayaan.

2) Pegadaian syariah dan nasabah menyetujui akad gadai. Akad ini mengenai
berbagai hal, seperti kesepakatan biaya gadaian, jatuh tempo gadai dan
sebagainya.

3) Pegadaian syariah menerima biaya gadai, seperti biaya penitipan, biaya


pemeliharaan ,penjagaan dan biaya penaksiran yang dibayar pada awal
transaksi oleh nasabah.

4) Nasabah menebus barang yang digadaikan setelah jatuh tempo

Penghitungan tarif jasa simpanan

No. Jenis Simpanan Tarif jasa simpanan

1 Emas dan Berlian Taksiran/Rp. 10.000 x Rp. 90 x jangka waktu/ 10


hari
2 Elektronik, mesin jahit, Taksiran/Rp. 10.000 x Rp. 95 x jangka waktu/ 10
hari

dan peralatan rumah

tangga

3 Kendaraan bermotor Taksiran/Rp. 10.000 x Rp. 100 x jangka waktu/ 10


hari

7. Persamaan dan perbedaan pegadaian syariah dan pegadaian


konvensional.

a) Persamaan

 Hak gadai atas pinjaman uang

 Adanya agunan sebagai jaminan utang

 Tidak boleh mengambil manfaat barang yang digadaikan

 Biaya barang yang digadaikan ditanggung oleh para pemberi gadai

 Apabila batas waktu pinjaman uang habis barang yang digadaikan boleh
dijual atau dilelang.

b) Perbedaan

* Pegadaian konvensional

 Gadai menurut hukum perdata disamping berprinsip tolong menolong


juga menarik keuntungan dengan cara menarik bunga atau sewa
modal

 Dalam hukum perdata hak gadai hanya berlaku pada benda yang
bergerak
 Adanya istilah bunga (memungut biaya dalam bentuk bunga yang
bersifat akumulatif dan berlipat ganda)

 Dalam hukum perdata gadai dilaksanakan melalui suatu lembaga yang


ada di Indonesia disebut Perum Pegadaian

 Menarik bunga 10%-14% untuk jangka waktu 4 bulan, plus asuransi


sebesar 0,5% dari jumlah pinjaman. Jangka waktu 4 bulan itu bisa terus
diperpanjang, selama nasabah mampu membatyar bunga

* Pegadaian syariah

 Rahn dalam hukum Islam dilakukan secara sukarela atas dasar tolong
menolong tanpa mencari keuntungan

 Rahn berlaku pada seluruh benda baik harus yang bergerak maupun
yang tidak bergerak

 Dalam rahn tidak ada istilah bunga (biaya penitipan, pemeliharaan,


penjagaan dan penaksiran). Singkatnya biaya gadai syariah lebih kecil
dan hanya sekali dikenakan

 Rahn menurut hukum Islam dapat dilaksanakan tanpa melalui suatu


lembaga

 Hanya memungut biaya (termasuk asuransi barang) sebesar 4% untuk


jangka waktu 2 bulan. Bila lewat 2 bulan nasabah tak mampu menebus
barangnya, masa gadai bisa diperpanjang dua periode. Jadi. Total waktu
maksimalnya 6 bulan. ”Tidak ada tambahan pungutan biaya untuk
perpanjangan waktu. Tapi, jika melewati masa 6 bulan, pihak pegadaian
akan langsung mengek-sekusi barang gadai.

8. Perkembangan dan Pertumbuhan Pegadaian Syariah di


Indonesia
Keberadaan pegadaian syariah pada awalnya didorong oleh perkembangan dan
keberhasilan lembaga-lembaga keuangan syariah. Di samping itu, juga dilandasi
oleh kebutuhan masyarakat Indonesia terhadap hadirnya sebuah pegadaian yang
menerapkan prinsip-prinsip syariah. Pegadaian syariah Dewi Sartika Jakarta
merupakan salah satu pegadaian syariah yang pertama kali beroperasi di Indonesia.

Hadirnya pegadaian syariah sebagai sebuah lembaga keuangan formal yang


berbentuk unit dari Perum Pegadaian di Indonesia merupakan hal yang
menggembirakan. Pegadaian syariah bertugas menyalurkan pembiayaan dalam
bentuk pemberian uang pinjaman kepada masyarakat yang membutuhkan
berdasarkan hukum gadai syariah.

Sampai saat ini, baru ada 5 lembaga keuangan yang tertarik untuk membuka
pegadaian syariah. Perum pegadaian adalah salah satu lembaga yang tertarik
untuk membuka produk berbasis syariah ini. Bekerjasama dengan Bank Muamkalat,
pada awal September 2003 diluncurkan gadai berbasis syariah bernama pegadaian
syariah. Karakteristik dari pegadaian syariah adalah tidak ada pungutan berbentuk
bunga. Dalam konteks ini, uang ditempatkan sebagai alat tukar, bukan sebagai
komoditi yang diperjualbelikan. Tetapi, mengambil keuntungan dari hasil imbalan
jasa yang ditawarkan.

Sedangkan 4 lainnya adalah perbankan syariah yang membuka kantor


pegadaian sendiri, yaitu Unit Layanan Gadai Bank Syariah Mandiri, Bank Danamon,
BNI Syariah, dan Bank Jabar Syariah. Bank Muamalat Indonesia (BMI) bekerjasama
dengan Perum Pegadaian yang berbentuk aliansi (musyarakah). BMI sebagai
penyandang dana, sedangkan Perum Pegadaian sebagai pelaksana operasionalnya.

Bank Syariah Mandiri mengeluarkan jasa gadai dengan mendirikan Gadai Emas
Syariah Mandiri. Pada dasarnya jasa gadai emas Syariah dan konvensional tidak
berbeda jauh dalam bentuk pelayanannya, yang membedakakan hanyalah pada
pengenaan biaya. Pada gadai konvensional, biaya adalah bunga yang bersifat
akumulatif, sedangkan pada gadai syariah hanya ditetapkan sekali dan dibayar di
muka.

Namun demikian, dari sisi jaringan, jumlah kantor pegadaian Syariah saat ini
sudah ada di 9 kantor wilayah dan 22 Pegadaian Unit Layanan Syariah (PULS),
terutama di kota-kota besar di Indonesia dan 10 kantor gadai syariah. Ke 22 PULS
merupakan pegadaian syariah yang dibentuk oleh Perum Pegadaian syariah yang
dibentuk oleh Perum Pegadaian dan BMI, dan direncanakan akan dibuka 40 jaringan
kantor PULS, yang mengkonversi cabang gadai konvensional menjadi gadai syariah
di seluruh Indonesia.

Dengan demikian, jumlah pegadaian syariah baik yang berbentuk PULS maupun
Unit Layanan Syariah Bank-Bank syariah baru sekitar 2,9% dibandingkan dengan
total jaringan kantor Perum pegadaian yang berjumlah 739 cabang yang tersebar di
seluruh Indonesia.

9. Prospek Pengenbangan Pegadaian Syariah

Pegadaian syariah akan membuka kantor cabang pegadaian syariah lebih


banyak lagi. Khususnya untuk di daerah-daerah pelosok di seluruh Indonesia.
Tujuannya agar masyarakat di daerah tersebut dapat mengembangkan UMKM.
Diusahakan untuk pengembangan pembangunan kantor pegadaian syariah dari
tempat yang satu ke tempat yang lain hanya berjarak 5 KM untuk setiap daerah
atau kota. Sehingga masyarakat di daerah tersebut dapat mengakses dengan
mudah.

Selain membuka cabang pegadaian syariah di beberapa kota dan daerah di


Indonesia, pegadaian syariah juga akan membuka cabang pegadaian syariah di
mal-mal besar di Indonesia.Sehingga seluruh kalangan masyarakat dapat
menggunakan jasa gadai syariah tersebut. Hal itu juga dapat membantu sosialisasi
kepada masyarakat, karena selama ini masyarakat sangat awam pada produk-
produk jasa keuangan syariah.

10. Kendala Pengembangan Pegadaian Syariah

1) Pegadaian syariah relatif baru sebagai suatu sistem keuangan. Oleh


karenanya, menjadi tanangan tersediri bagi pegadaian syariah untuk
mensosialisasikan syariahnya.
2) Masyarakat kecil yang dominan menggunakan jasa pegadaian kurang
familiar dengan produk rahn di lembaga keuangan syariah. Apalagi sebagian
besar yang berhubungan dengan pegadaian selama ini adalah rakyat kecil
maka ketika ia dikenalkan bantuk pegadaian oleh bank. Apalagi dengan
fasilitas bank yang mewah tmbul hambatan psikologi dari masyarakat dalam
berhubungan dengan rahn.

3) Kebijakan pemerintah tentang gadai syariah belum sepenuhnya akomodatif


terhadap keberadaan pegadaian syariah. Dan di samping itu, keberadaan
pegadaian konvensional di bawah Departemen Keuangan mempersulit posisi
pegadaian syariah bila berinisiatif untuk independen dari pemerintah pada
saat pendiriannya

4) Pegadaian kurang popular. Image yang selama ini muncul adalah bahwa
orang yang berhubungan dengan pegadaian adalah mereka yang meminjam
dana jaminan suatu barang, sehingga terkesan miskin atau tidak mampu
secara ekonomi.

5) Kurangnya tenaga profesional yang handal dan mengerti bagaimana


operasionalisasi pegadaian syariah yang seharusnya dan sekaligus
memahami aturan islam mengenai pegadaian.

6) Sulitnya memberikan pemahaman kepada masyarkat mengenai bahaya


bunga yang sudah mengakar dan menguntungakan bagi segelintir orang

7) Kurangnya seperangkat aturan yang mengatur pelaksanaan dan pembinaan


pegadaian syariah

Sebagian masyarakat masih manganggap bahwa keberadaan pegadaian


syariah hanya diperuntukan bagi umat islam

9) Balum banyak masyarakat yang mengetahui keberadaan pegadaian syariah

11. Strategi Pengembangan Pegadaian Syariah


1) Usaha untuk membentuk lembaga pegadaian syariah terus dilakukan
sebagai usaha untuk mensosialisasikan praktek ekonomi syariah di
masyarakat menengah ke bawah yang mengalami kesulitan dalam
mendapatkan pendanaan. Maka perlu kerjasama dari berbagai pihak untuk
menentukan langkah-langkah dalam pembentukan lembaga pegadaian
syariah yang lebih baik.

2) Masyarakat akan lebih memilih pegadaian dibanding bank di saat mereka


membutuhkan dana karena prosedur untuk mendapatkan dana relatif lebih
mudah dibanding dengan meminjam dana langsung ke bank. Maka cukup
alasan bagi pegadaian syariah untuk eksis di tengah-tengah masyarakat
yang mermbutuhkan bantuan.

3) Pegadaian syariah bukan pesaing yang mengakibatkan kerugian bagi


lembaga keuangan syariah lainnya, dan bukan menjadi alasan untuk
menghambat berdirinya pegadaian syariah. Dengan keberadaan pegadaian
syariah malah akan menambah pilihan bagi masyarakat untuk mendapatkan
dana dengan mudah, selain itu hal ini akan meningkatkan
tersosialisasikannya lembaga keuangan syariah.

4) Pemerintah perlu untuk mengakomodir keberadaan pegadaian syariah ini


dengan membuat peraturan pemeritah atau UU pegadaian Syariah. Atau
memberikan alternatif keberadaan biro pegadaian syariah dalam Perum
Pegadaian Syariah

5) Mengoptimalkan produk yang sudah ada dengan lebih profesional

6) Mempertahankan surplus pegadaian syariah dan terus berupaya


meningkatkannya

7) Memasarkan produk baru yang menguntungkan

Meningkatkan modernisasi dan penanganan sarana dan prasarana

9) Membuat posisi keuangan yang likuid dan solvabel

10) Meningkatkan komposisi barang gadai (marhun)


11) Ekstensifikasi transaksi yang digunakan harus disesuaikan dengan
penggunaan dana dan lain-lain

DAFTAR PUSTAKA

Firdaus, Muhammad, 2005, Mengatasi Masalah dengan Pegadaian Syariah, Jakarta:


RENAISAN Publishing

Sudarsono, Heri, 2004, Bank & Lembaga Keuangan Syariah, Depok: EKONISIA

http:// www.pegadaian.co.id

ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PELAKSANAAN GADAI DI


PERUM PEGADAIAN SYARI’AH CABANG MAJAPAHIT SEMARANG
Posted by admin | Skripsi Ilmu Syari’ah | Sunday 19 April 2009 9:25 am

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Permasalahan
Sebagai agama rahmat, sejak diturunkan di tengah-tengah umat, Islam telah mengatur hukum-
hukum yang berhubungan dengan interaksi sosial (muamalah). Peran hukum muamalah ini
menjadi penting jika melihat fitrah manusia sebagai mahkluk sosial. Karena manusia sebagai
makhluk sosial tidak dapat terlepas dari hubungan dan interaksi antara individu satu dengan
individu yang lain, mereka akan saling membutuhkan satu sama lainnya dalam kehidupan ini,
sejak mulai dilahirkan hingga sampai meninggal dunia. Naluri interaksi pada diri manusia itu
telah diberikan Allah sejak lahir, karena dengan itulah manusia dapat bertahan, berkembang dan
memenuhi kebutuhan dirinya, baik kebutuhan jasmani misalnya: sandang, pangan, papan
maupun kebutuhan rohani. Di antara perintah muamalah dalam Islam adalah anjuran kepada
umatnya supaya hidup saling tolong menolong antara manusia satu dengan yang lain. Yang kaya
harus menolong yang miskin, yang mampu harus menolong yang tidak mampu serta bantu-
membantu dalam hidup bermasyarakat, sebagaimana ditegaskan Allah dalam surat al-Maidah:
1
Artinya; Dan tolong -menolonglah kamu dalam ( mengerjakan ) kebaikan dan takwa, dan
jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran (Q.S. al-Maidah:2)1
Banyak cara dan bentuk bagaimana manusia dapat menolong antar sesamanya, di antaranya
adalah dengan jual beli atau pembelian dan pinjaman atau utang-piutang.
Dalam masalah pinjaman dan utang piutang, hukum Islam juga telah mengatur sedemikian rupa,
seperti menjaga kepentingan kreditur dan debitur, agar jangan sampai di antara keduanya
mendapatkan kerugian, ataupun saling merugikan satu dengan lainnya. Oleh sebab itu, dalam
utang-piutang, hukum Islam memperbolehkan kreditur (murtahin) meminta barang (marhun)
dari debitur (rahin) sebagai jaminan atas utangnya (rahn), sehingga apabila debitur itu tidak
mampu melunasi hutangnya maka barang jaminan boleh dijual oleh kreditur. Konsep tersebut
dalam hukum Islam dikenal dengan istilah rahn atau gadai.2
Kebolehan gadai dalam hukum Islam itu didasarkan pada firman Allah, seperti dalam surat al-
Baqarah dan al-Muddatstsir:
Artinya: Jika kamu dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai) sedang kamu
tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang
(oleh yang berhutang ).
(Q.S. al-Baqarah: 283) 3
1
Departemen Agama RI, Al-Quran Dan terjemahnya, Semarang: CV: Al-Wa’ah, , 1993, hlm,
215.
2
Chuzaimah T. Yanggo dan Anshari, Problematika Hukum Islam Kontemporer (Buku Ketiga),
Jakarta: LSIK, 1997, hlm 57.
3
Moh Rifai, Moh Zuhri, Salomo, Terjemah Khulashah Akhyar, Semarang: CV. Toha Putra, ,
1978, hlm 196.
Artinya: Tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya. (Q.S. al-
Muddatstsir: 38).4
Selain itu hukum gadai juga didasarkan pada hadis riwayat Aisyah r.a;
Artinya: Dari Aisyah ra, bahwa Rasulullah SAW, telah membeli pada seseorang bangsa
Yunani berupa makanan dengan pembayaran yang waktunya berjangka, setelah menggadaikan
baju besinya kepada yahudi itu. 5
Secara fiqhiyyah definisi rahn (gadai) adalah menahan salah satu harta milik si peminjam
sebagai jaminan atas pinjaman yang diterimanya. Barang yang ditahan tersebut memiliki nilai
ekonomis. Dengan demikian, pihak yang menahan memperoleh jaminan untuk dapat mengambil
kembali seluruh atau sebagian piutangnya. Secara sederhana dapat dijelaskan bahwa rahn adalah
semacam jaminan atas utang yang diberikan.6
Dalam hukum Islam, gadai atau rahn merupakan salah satu kategori dari perjanjian utang-
piutang, hanya saja, untuk suatu kepercayaan dari orang yang berhutang, maka orang yang
berhutang menggadaikan barangnya
4
Departemen Agama RI. op. cit, hlm 71.
5
Muhammad dan Sholikul Hadi, Pegadaian Syari’ah, Jakarta: Salemba Diniyah, 2003, hlm 40.
6
Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syari,ah Suatu Pengenalan Umum, Kata Pengantar Ketua
Umum MUI Gubernur Bank Indonesia, Jakarta: Penerbit Tazkia Institute, 1999, hlm. 182.
sebagai jaminan terhadap utangnya itu. Barang jaminan tetap menjadi hak milik orang yang
menggadaikan (orang yang berhutang, rahin). Dengan demikian agar tidak terjadi
kesalahfahaman antara penggadai dengan penerima gadai, maka Islam sendiri memberikan
aturan-aturan yang prinsip dan tepat dalam mengatur akad gadai agar sesuai dengan praktek
muamalah yang ditetapkan oleh syari’.
Sedang menurut Undang-Undang Hukum Perdata (Burgelijk Wetbok), yaitu pada Buku II: Bab
XX, Pasal 1150, bahwa gadai adalah suatu hak yang diperoleh seseorang atas suatu barang
bergerak, yang diserahkan kepadanya oleh seseorang berhutang atau oleh seseorang lain atas
namanya, dan yang memberikan kekuasaan kepada yang berpiutang lainnya. Dengan
pengecualian biaya untuk melelang barang tersebut dan biaya yang telah dikeluarkan untuk
menyelamatkannya setelah barang itu digadaikan. Biaya-biaya mana harus didahulukan.7
Gadai yang ada pada saat ini khususnya di Indonesia menunjukkan adanya beberapa hal yang
dipandang dan dapat mengarahkan pada suatu persoalan riba. Hal ini dapat dilihat dari praktek
pelaksanaan dari gadai itu sendiri yang secara ketat menentukan adanya bunga gadai, yaitu
adanya tambahan sejumlah uang atau prosentase tertentu dari pokok utang pada saat membayar
utang. Hal ini jelas akan merugikan pihak penggadai (rahin). Karena ia harus menambahkan
sejumlah uang tertentu dalam melunasi utangnya. Namun jika hal ini tidak dilakukan dilihat dari
segi komersial pihak
7
Sebagaimana dinukil oleh Muhammad dan Sholikul Hadi, op. cit., hlm. 17, dari Marzuki
Utsman, Manajemen Lembaga Keuangan, Jakarta: CV. Intermedia, 1995, hlm. 357.
penerima gadai (murtahin) juga akan merasa dirugikan misalnya karena inflasi atau pelunasan
yang berlarut-larut. Sementara barang jaminan tidak laku. Kenyataan tersebut merupakan salah
satu permasalahan kekinian yang memerlukan pemecahan secara komprehensif. Oleh karena itu
sangatlah diperlukan pemikiran yang obyektif tanpa harus memihak serta diambil langkah-
langkah yang tepat untuk memperbaiki keadaan.
Hadirnya pegadaian sebagai sebuah lembaga keuangan formal di Indonesia yang bertugas
menyalurkan pembiayaan dengan bentuk pemberian uang pinjaman kepada masyarakat yang
membutuhkan berdasarkan hukum gadai merupakan suatu hal yang perlu disambut positif. Sebab
dengan hadirnya lembaga tersebut diharapkan dapat membantu masyarakat agar tidak terjerat
dalam praktek-praktek lintah darat, ijon, dan pelepas uang lainnya
Namun kenyataan yang ada dan berkembang di lingkungan lembaga pegadaian sekarang ini,
menunjukkan adanya beberapa hal yang dipandang memberatkan dan telah mengarah kepada
suatu tindakan eksploitasi terhadap masyarakat.
Hal tersebut dapat dilihat dari praktek pelaksanaan gadai itu sendiri yang secara tetap
menentukan adanya “bunga gadai” yang pembayarannya dilakukan setiap 15 hari sekali. Bunga
tersebut harus dibayarkan tepat pada waktunya (waktu yang telah ditentukan), sebab jika
pembayarannya terlambat sehari saja, maka pihak penggadai harus membayar bunga tersebut dua
kali lipat dari kewajibannya. Jadi setiap keterlambatan satu hari pembayaran bunga gadai
tersebut, maka pembayarannya menjadi dua kali lipat. Praktek seperti ini jelas akan merugikan
pihak penggadai, sebab kebanyakan orang yang menggadaikan barang adalah untuk kebutuhan
konsumtif.
Lembaga pegadaian di Indonesia dewasa ini ternyata dalam prakteknya belum bebas dari
berbagai persoalan. Persoalan yang dihadapi lembaga tersebut amatlah komplek. Apabila ditinjau
dari syari’at Islam, dalam aktifitas perjanjian gadai masih terdapat unsur-unsur yang dilarang
oleh syara’ di antaranya yaitu masih terdapat unsur riba, gharar (spekulasi) yang cenderung
merugikan salah satu pihak. Unsur-unsur tersebut akan lebih banyak mendatangkan
kemadharatan dari pada kemaslahatan. Hal ini juga akan mengakibatkan timbulnya praktek-
praktek ketidakadilan serta munculnya kedzaliman yang lain. Oleh karena itu perlu adanya
rekonstruksi terhadap sistem operasionalnya.
Dengan merekonstruksi sistem operasional pegadaian yang ada saat ini -(pegadaian
konvensional) yang dalam prakteknya masih menerapkan bungayaitu dengan menjadikan
mekanisme operasionalnya sesuai dengan syari’at Islam, maka diharapkan pegadaian yang
selama ini sudah berlaku di tengah masyarakat dapat berjalan sesuai dengan tujuan pokoknya,
serta benar-benar akan dapat berfungsi sebagai lembaga keuangan non-bank yang dapat
memberikan kemaslahatan sesuai yang diharapkan masyarakat.
Berangkat dari uraian di atas itulah penulis bermaksud untuk menganalisis secara kritis gejala
umum praktek di Perum Pegadaian Syari’ah Cabang Majapahit Semarang dari sudut pandang
kajian hukum Islam, dengan melakukan penelitian pada lembaga tersebut.

You might also like