Professional Documents
Culture Documents
Usaha gadai di Indonesia berawal dari berdirinya Bank Van Leening di zaman
VOC yang bertugas memberikan pinjaman uang tunai kepada masyarakat
dengan harta gerak. Dalam perkembangannya, sebagai bentuk usaha
pegadaian banyak mengalami perubahan demikian pula dengan status
pengelolaannya telah mengalami beberapa kali perubahan seirin
Sejak saat itu, kegiatan perusahaan terus berjalan dan aset atau
kekayaannya pun bertambah. Namun seiring dengan perubahan zaman,
Pegadaian dihadapkan pada kebutuhan untuk berubah pula, dalam arti
untuk lebih meningkatkan kinerjanya, tumbuh lebih besar lagi dan lebih
profesional dalam memberikan keleluasan pengelolaan bagi manajemen
dalam mengembangkan usahanya, Pemerintah meningkatkan status
Pegadaian dari Perusahaan Jawatan (PERJAN) menjadi Perusahaan Umum
(PERUM) yang dituangkan dalam peraturan Pemerintah No. 10 April 1990.
Perubahan dari PERJAN ke PERUM ini merupakan tonggak penting dalam
pengelolaan Pegadaian yang memungkinkan terciptanya pertumbuhan
Pegadaian yang bukan saja makin meningkatkan kredit yang disalurkan,
nasabah yang dilayani pendapatan dan laba perusahaan.
pegadaian syariah
Posted on Mei 18th, 2009 galeh priyo atmojo No comments
2. MARIA ULFA
Kelas: Takaful IV A
1. Pengertian
Gadai dalam fiqh disebut rahn, yang menurut bahasa adalah nama barang yang
dijadikan sebagai jaminan kepercayaan. Sedangkan menurut syara’ artinya
menyandera sejumlah harta yang diserahkan sebagai jaminan secara hak, tetapi
dapat diambil sebagai tebusan. Dalam definisinya rahn adalah barang yang
digadaikan, rahin adalah orang yang menggadaikan, sedangkan murtahin adalah
orang yang memberikan pinjaman. Pengertian rahn yang merupakan perjanjian
utang piutang antara dua atau beberapa pihak mengenai persoalan banda dan
menahan sesuatu barang sebagai jaminan utang yang mempunyai nilai harta.
Menurut pandangan syara’ sebagai jaminan atau ia bisa mengambil sebagian
manfaat barang itu.
Pegadaian dikenal mulai dari Eropa, yaitu negara Italia, Inggris, dan Belanda.
Pengenalan di Indonesia pada awal masuknya Kolonial Belanda, yaitu sekitar akhir
abad XIX, oleh sebuah bank yang bernama Van Leaning. Bank tersebut memberi
jasa pinjaman dana dengan syarat penyerahan barang bergerak, sehingga bank ini
pada hakikatnya telah memberikan jasa pegadaian,. Pada awal abad 20-an
pemerintah Hindia-Belanda berusaha mengambil alih usaha pegadaian dan
memonopolinya dengan cara mengeluarkan staatsblad No.131 tahun 1901.
Peraturan tersebut diikuti dengan pendirian rumah gadai resmi milik pemerintah
dan statusnya diubah menjadi Dinas Pegadaian sejak berlakunya staatsblad No. 226
tahun 1960.
Pada saat ini pegadaian syariah sudah terbentuk sebagai sebuah lembaga. Ide
pembentukan pegadaian syariah selain karena tuntutan idealisme juga dikarenakan
keberhasilan terlembaganya bank dan asuransi syariah. Setelah terbentuknya bank,
BMT, BPR dan asuransi syariah maka pegadaian syariah mendapat perhatian oleh
beberapa praktisi dan akedemisi untu dibentuk di bawah suatu lembaga sendiri.
Keberadaan pegadaian suariah atau gadai syariah atau rahn lebih dikenal sebagai
bagian produk yang ditawarkan oleh bank syariah, dimana bank menawarkan
kepada masyarakat bentuk penjaminan barang guna mendapatkan pembiayaan.
3. Dasar Hukum
a. Al-Qur’an
Jika kamu dalam perjalanan (dan kamu melaksanakan muamalah tidak secara
tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada
barang tanggungan yang dapat dijadikan sebagai pegangan (oleh yang
mengutangkan), tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka
hendaklah yang dipercaya itu menunaikan amanat (utangnya) dan hendaknya ia
bertaqwa kepada Allah SWT” (QS, al-Baqarah (2): 283)
b. Al- Hadits
4. Tujuan Berdirinya
produk dan layanan jasa yang ditawarkan oleh pegadaian syariah kepada
masyarakat berupa:
d) Gold counter, yaitu jasa penyediaan fasilitas berupa tempat penjualan emas
eksekutif yang terjamin kualitas dan keasliannnya. Gold counter ini semacam
toko dengan emas galeri 24, di mana setiap pembelian emas di toko milik
pegadaian syariah akan dilampiri sertifikat jaminan. Hal ini dilakukan untuk
memberikn layanan bagi masyarakat kelas menengah, yang masih peduli
dengan image. Dengan sertifikat tersebut masyarakat percaya dan yakin
akan kualitas dan keaslian emas.
2) Pegadaian syariah dan nasabah menyetujui akad gadai. Akad ini mengenai
berbagai hal, seperti kesepakatan biaya gadaian, jatuh tempo gadai dan
sebagainya.
tangga
a) Persamaan
Apabila batas waktu pinjaman uang habis barang yang digadaikan boleh
dijual atau dilelang.
b) Perbedaan
* Pegadaian konvensional
Dalam hukum perdata hak gadai hanya berlaku pada benda yang
bergerak
Adanya istilah bunga (memungut biaya dalam bentuk bunga yang
bersifat akumulatif dan berlipat ganda)
* Pegadaian syariah
Rahn dalam hukum Islam dilakukan secara sukarela atas dasar tolong
menolong tanpa mencari keuntungan
Rahn berlaku pada seluruh benda baik harus yang bergerak maupun
yang tidak bergerak
Sampai saat ini, baru ada 5 lembaga keuangan yang tertarik untuk membuka
pegadaian syariah. Perum pegadaian adalah salah satu lembaga yang tertarik
untuk membuka produk berbasis syariah ini. Bekerjasama dengan Bank Muamkalat,
pada awal September 2003 diluncurkan gadai berbasis syariah bernama pegadaian
syariah. Karakteristik dari pegadaian syariah adalah tidak ada pungutan berbentuk
bunga. Dalam konteks ini, uang ditempatkan sebagai alat tukar, bukan sebagai
komoditi yang diperjualbelikan. Tetapi, mengambil keuntungan dari hasil imbalan
jasa yang ditawarkan.
Bank Syariah Mandiri mengeluarkan jasa gadai dengan mendirikan Gadai Emas
Syariah Mandiri. Pada dasarnya jasa gadai emas Syariah dan konvensional tidak
berbeda jauh dalam bentuk pelayanannya, yang membedakakan hanyalah pada
pengenaan biaya. Pada gadai konvensional, biaya adalah bunga yang bersifat
akumulatif, sedangkan pada gadai syariah hanya ditetapkan sekali dan dibayar di
muka.
Namun demikian, dari sisi jaringan, jumlah kantor pegadaian Syariah saat ini
sudah ada di 9 kantor wilayah dan 22 Pegadaian Unit Layanan Syariah (PULS),
terutama di kota-kota besar di Indonesia dan 10 kantor gadai syariah. Ke 22 PULS
merupakan pegadaian syariah yang dibentuk oleh Perum Pegadaian syariah yang
dibentuk oleh Perum Pegadaian dan BMI, dan direncanakan akan dibuka 40 jaringan
kantor PULS, yang mengkonversi cabang gadai konvensional menjadi gadai syariah
di seluruh Indonesia.
Dengan demikian, jumlah pegadaian syariah baik yang berbentuk PULS maupun
Unit Layanan Syariah Bank-Bank syariah baru sekitar 2,9% dibandingkan dengan
total jaringan kantor Perum pegadaian yang berjumlah 739 cabang yang tersebar di
seluruh Indonesia.
4) Pegadaian kurang popular. Image yang selama ini muncul adalah bahwa
orang yang berhubungan dengan pegadaian adalah mereka yang meminjam
dana jaminan suatu barang, sehingga terkesan miskin atau tidak mampu
secara ekonomi.
DAFTAR PUSTAKA
Sudarsono, Heri, 2004, Bank & Lembaga Keuangan Syariah, Depok: EKONISIA
http:// www.pegadaian.co.id
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Permasalahan
Sebagai agama rahmat, sejak diturunkan di tengah-tengah umat, Islam telah mengatur hukum-
hukum yang berhubungan dengan interaksi sosial (muamalah). Peran hukum muamalah ini
menjadi penting jika melihat fitrah manusia sebagai mahkluk sosial. Karena manusia sebagai
makhluk sosial tidak dapat terlepas dari hubungan dan interaksi antara individu satu dengan
individu yang lain, mereka akan saling membutuhkan satu sama lainnya dalam kehidupan ini,
sejak mulai dilahirkan hingga sampai meninggal dunia. Naluri interaksi pada diri manusia itu
telah diberikan Allah sejak lahir, karena dengan itulah manusia dapat bertahan, berkembang dan
memenuhi kebutuhan dirinya, baik kebutuhan jasmani misalnya: sandang, pangan, papan
maupun kebutuhan rohani. Di antara perintah muamalah dalam Islam adalah anjuran kepada
umatnya supaya hidup saling tolong menolong antara manusia satu dengan yang lain. Yang kaya
harus menolong yang miskin, yang mampu harus menolong yang tidak mampu serta bantu-
membantu dalam hidup bermasyarakat, sebagaimana ditegaskan Allah dalam surat al-Maidah:
1
Artinya; Dan tolong -menolonglah kamu dalam ( mengerjakan ) kebaikan dan takwa, dan
jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran (Q.S. al-Maidah:2)1
Banyak cara dan bentuk bagaimana manusia dapat menolong antar sesamanya, di antaranya
adalah dengan jual beli atau pembelian dan pinjaman atau utang-piutang.
Dalam masalah pinjaman dan utang piutang, hukum Islam juga telah mengatur sedemikian rupa,
seperti menjaga kepentingan kreditur dan debitur, agar jangan sampai di antara keduanya
mendapatkan kerugian, ataupun saling merugikan satu dengan lainnya. Oleh sebab itu, dalam
utang-piutang, hukum Islam memperbolehkan kreditur (murtahin) meminta barang (marhun)
dari debitur (rahin) sebagai jaminan atas utangnya (rahn), sehingga apabila debitur itu tidak
mampu melunasi hutangnya maka barang jaminan boleh dijual oleh kreditur. Konsep tersebut
dalam hukum Islam dikenal dengan istilah rahn atau gadai.2
Kebolehan gadai dalam hukum Islam itu didasarkan pada firman Allah, seperti dalam surat al-
Baqarah dan al-Muddatstsir:
Artinya: Jika kamu dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai) sedang kamu
tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang
(oleh yang berhutang ).
(Q.S. al-Baqarah: 283) 3
1
Departemen Agama RI, Al-Quran Dan terjemahnya, Semarang: CV: Al-Wa’ah, , 1993, hlm,
215.
2
Chuzaimah T. Yanggo dan Anshari, Problematika Hukum Islam Kontemporer (Buku Ketiga),
Jakarta: LSIK, 1997, hlm 57.
3
Moh Rifai, Moh Zuhri, Salomo, Terjemah Khulashah Akhyar, Semarang: CV. Toha Putra, ,
1978, hlm 196.
Artinya: Tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya. (Q.S. al-
Muddatstsir: 38).4
Selain itu hukum gadai juga didasarkan pada hadis riwayat Aisyah r.a;
Artinya: Dari Aisyah ra, bahwa Rasulullah SAW, telah membeli pada seseorang bangsa
Yunani berupa makanan dengan pembayaran yang waktunya berjangka, setelah menggadaikan
baju besinya kepada yahudi itu. 5
Secara fiqhiyyah definisi rahn (gadai) adalah menahan salah satu harta milik si peminjam
sebagai jaminan atas pinjaman yang diterimanya. Barang yang ditahan tersebut memiliki nilai
ekonomis. Dengan demikian, pihak yang menahan memperoleh jaminan untuk dapat mengambil
kembali seluruh atau sebagian piutangnya. Secara sederhana dapat dijelaskan bahwa rahn adalah
semacam jaminan atas utang yang diberikan.6
Dalam hukum Islam, gadai atau rahn merupakan salah satu kategori dari perjanjian utang-
piutang, hanya saja, untuk suatu kepercayaan dari orang yang berhutang, maka orang yang
berhutang menggadaikan barangnya
4
Departemen Agama RI. op. cit, hlm 71.
5
Muhammad dan Sholikul Hadi, Pegadaian Syari’ah, Jakarta: Salemba Diniyah, 2003, hlm 40.
6
Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syari,ah Suatu Pengenalan Umum, Kata Pengantar Ketua
Umum MUI Gubernur Bank Indonesia, Jakarta: Penerbit Tazkia Institute, 1999, hlm. 182.
sebagai jaminan terhadap utangnya itu. Barang jaminan tetap menjadi hak milik orang yang
menggadaikan (orang yang berhutang, rahin). Dengan demikian agar tidak terjadi
kesalahfahaman antara penggadai dengan penerima gadai, maka Islam sendiri memberikan
aturan-aturan yang prinsip dan tepat dalam mengatur akad gadai agar sesuai dengan praktek
muamalah yang ditetapkan oleh syari’.
Sedang menurut Undang-Undang Hukum Perdata (Burgelijk Wetbok), yaitu pada Buku II: Bab
XX, Pasal 1150, bahwa gadai adalah suatu hak yang diperoleh seseorang atas suatu barang
bergerak, yang diserahkan kepadanya oleh seseorang berhutang atau oleh seseorang lain atas
namanya, dan yang memberikan kekuasaan kepada yang berpiutang lainnya. Dengan
pengecualian biaya untuk melelang barang tersebut dan biaya yang telah dikeluarkan untuk
menyelamatkannya setelah barang itu digadaikan. Biaya-biaya mana harus didahulukan.7
Gadai yang ada pada saat ini khususnya di Indonesia menunjukkan adanya beberapa hal yang
dipandang dan dapat mengarahkan pada suatu persoalan riba. Hal ini dapat dilihat dari praktek
pelaksanaan dari gadai itu sendiri yang secara ketat menentukan adanya bunga gadai, yaitu
adanya tambahan sejumlah uang atau prosentase tertentu dari pokok utang pada saat membayar
utang. Hal ini jelas akan merugikan pihak penggadai (rahin). Karena ia harus menambahkan
sejumlah uang tertentu dalam melunasi utangnya. Namun jika hal ini tidak dilakukan dilihat dari
segi komersial pihak
7
Sebagaimana dinukil oleh Muhammad dan Sholikul Hadi, op. cit., hlm. 17, dari Marzuki
Utsman, Manajemen Lembaga Keuangan, Jakarta: CV. Intermedia, 1995, hlm. 357.
penerima gadai (murtahin) juga akan merasa dirugikan misalnya karena inflasi atau pelunasan
yang berlarut-larut. Sementara barang jaminan tidak laku. Kenyataan tersebut merupakan salah
satu permasalahan kekinian yang memerlukan pemecahan secara komprehensif. Oleh karena itu
sangatlah diperlukan pemikiran yang obyektif tanpa harus memihak serta diambil langkah-
langkah yang tepat untuk memperbaiki keadaan.
Hadirnya pegadaian sebagai sebuah lembaga keuangan formal di Indonesia yang bertugas
menyalurkan pembiayaan dengan bentuk pemberian uang pinjaman kepada masyarakat yang
membutuhkan berdasarkan hukum gadai merupakan suatu hal yang perlu disambut positif. Sebab
dengan hadirnya lembaga tersebut diharapkan dapat membantu masyarakat agar tidak terjerat
dalam praktek-praktek lintah darat, ijon, dan pelepas uang lainnya
Namun kenyataan yang ada dan berkembang di lingkungan lembaga pegadaian sekarang ini,
menunjukkan adanya beberapa hal yang dipandang memberatkan dan telah mengarah kepada
suatu tindakan eksploitasi terhadap masyarakat.
Hal tersebut dapat dilihat dari praktek pelaksanaan gadai itu sendiri yang secara tetap
menentukan adanya “bunga gadai” yang pembayarannya dilakukan setiap 15 hari sekali. Bunga
tersebut harus dibayarkan tepat pada waktunya (waktu yang telah ditentukan), sebab jika
pembayarannya terlambat sehari saja, maka pihak penggadai harus membayar bunga tersebut dua
kali lipat dari kewajibannya. Jadi setiap keterlambatan satu hari pembayaran bunga gadai
tersebut, maka pembayarannya menjadi dua kali lipat. Praktek seperti ini jelas akan merugikan
pihak penggadai, sebab kebanyakan orang yang menggadaikan barang adalah untuk kebutuhan
konsumtif.
Lembaga pegadaian di Indonesia dewasa ini ternyata dalam prakteknya belum bebas dari
berbagai persoalan. Persoalan yang dihadapi lembaga tersebut amatlah komplek. Apabila ditinjau
dari syari’at Islam, dalam aktifitas perjanjian gadai masih terdapat unsur-unsur yang dilarang
oleh syara’ di antaranya yaitu masih terdapat unsur riba, gharar (spekulasi) yang cenderung
merugikan salah satu pihak. Unsur-unsur tersebut akan lebih banyak mendatangkan
kemadharatan dari pada kemaslahatan. Hal ini juga akan mengakibatkan timbulnya praktek-
praktek ketidakadilan serta munculnya kedzaliman yang lain. Oleh karena itu perlu adanya
rekonstruksi terhadap sistem operasionalnya.
Dengan merekonstruksi sistem operasional pegadaian yang ada saat ini -(pegadaian
konvensional) yang dalam prakteknya masih menerapkan bungayaitu dengan menjadikan
mekanisme operasionalnya sesuai dengan syari’at Islam, maka diharapkan pegadaian yang
selama ini sudah berlaku di tengah masyarakat dapat berjalan sesuai dengan tujuan pokoknya,
serta benar-benar akan dapat berfungsi sebagai lembaga keuangan non-bank yang dapat
memberikan kemaslahatan sesuai yang diharapkan masyarakat.
Berangkat dari uraian di atas itulah penulis bermaksud untuk menganalisis secara kritis gejala
umum praktek di Perum Pegadaian Syari’ah Cabang Majapahit Semarang dari sudut pandang
kajian hukum Islam, dengan melakukan penelitian pada lembaga tersebut.