You are on page 1of 12

1

POLA PENGUASAAN TANAH PERTANIAN


DI JAWA

Disusun Sebagai Tugas Mata Kuliah Sejarah Sosial Ekonomi


Dosen Pengampu Dr. Warto, M.Hum.

Oleh

TSABIT AZINAR AHMAD

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH


PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
2009
2

POLA PENGUASAAN TANAH PERTANIAN DI JAWA


Tsabit Azinar Ahmad

PENDAHULUAN
Semenjak hidup menetap, persepsi manusia terhadap tanah mengalami
pergeseran. Semula manusia hanya menganggap tanah sebagai jalur yang dilewati
ketika hidup secara berpindah dan hanya beberapa lama didiami. Akan tetapi dalam
perkembangannya tanah memiliki makna penting tidak lagi sebagai tempat singgah
sementara, tetapi sebagai tempat hidup. Ketika konsep pertanian dikenal, manusia
mulai memanfaatkan tanah sebagai sumber produksi untuk bertahan hidup. Mulai
saat inilah konsep tanah menjadi bagian yang penting dalam kehidupan manusia,
terutama pada masyarakat agraris.
Masyarakat Jawa sebagian besar merupakan masyarkat agraris yang
memandang tanah sebagai aset penting dalam kehidupan. Hal ini dikarenakan tanah
merupakan sumber daya alam yang diolah untuk keperluan hidup. Tanah bagi
masyarakat agraris berfungsi sebagai aset prduksi untuk dapat menghasilkan
komoditas hasil pertanian, baik untuk tanaman pangan ataupun tanaman
perdagangan.
Posisi penting tanah dalam masyarakat pedesaan Jawa terlihat dari istilah
“sedumuk bathuk sanyari bumi, den lakoni taker pati, sanadyan pecahing dhadha
wutahing ludira”. Istilah tersebut menunjukkan tingginya apresiasi masyarakat Jawa
dalam memaknai tanah, bahkan dalam mempertahankan tanah harus dibela
meskipun sampai mati, tidak peduli pecahnya dada dan tumpahnya darah. Hal ini
menunjukkan bahwa tiap jengkal tanah berselimutkan kehormatan dan martabat
pemiliknya. Tanah dengan demikian merupakan persoalan hidup mati (survival),
kepentingan, harga diri, eksistensi, “ideologi”, dan nilai (Sastroatmodjo, 2007:28)
Permasalahan tanah inilah yang menurut Sartono Kartodirdjo pada akhirnya
mampu menggerakan masyarakat, dalam hal ini adalah petani, untuk melakukan
gerakan protes petani, sebuah gerakan protes menentang pemaksaan oleh tuan
tanah maupun pemerintah (Padmo, 2000:1). Permasalahan tanah ini pulalah yang
dapat memicu gerakan petani lainnya, yakni gerakan messianistis, yakni gerakan
yang menginginkan terciptanya dunia baru serba adil, dan gerakan revivalis yakni
gerakan yang ingin membangkitkan kejayaan masa lampau.
Tanah menjadi salah satu penyebab berbagai gerakan protes petani. Contoh
kasus gerakan protes petani karena masalah tanah adalah seperti gerakan protes
petani di Desa Patik, Ponorogo pada November 1885. Gerakan tersebut bertujuan
3

menghapuskan pajak-pajak atas tanah. Salah satu penyebab munculnya gerakan ini
adalah masalah penarikan pajak tanah oleh Belanda (Ong Hok Ham, 1991: 59).
Selain itu ada pula gerakan petani di Cilegon, Banten pada 1888. Sartono
Kartodirdjo menjelakan bahwa gerakan ini salah satunya disebabkan masalah sosial
ekonomi, yakni masalah konflik atas hak-hak tanah antara penduduk dengan
pemerintah Hindia Belanda. Permasalahan seperti penghapusan tanah-tanah
kerajaan, penghapusan tanah-tanah pusaka, serta penarikan pajak atas tanah
merupakan salah satu penyebab gerakan protes petani di Banten tahun 1888
(Kuntowijoyo, 2008:44). Kemudian ada pula gerakan protes petani di Klaten tahun
1959-1965 karena ketidakseimbangan penguasaan tanah yang pada akhirnya
memunculkan ketegangan-ketegangan akibat kebijakan pemerintah RI dalam bidang
agraria (Padmo, 2000). Masalah tentang tanah dengan demikian menjadi salah satu
permasalahan pokok masyarakat petani. Bahkan secara ekstrem dapat dinyatakan
bahwa sejarah tentang masyarakat petani adalah sejarah tentang tanah, meliputi
penguasaan tanah, hak pengelolaan tanah, tugas dan tanggung jawab pengelola
tanah, dan sebagainya.
Begitu pentingnya masalah tanah ini maka setiap penguasa berusaha untuk
melakukan pengaturan sedemikan rupa sehingga mereka dapat mengambil
keuntungan atas tanah tersebut (Wasino, 2006:1). Permasalahan tersebut berlaku
untuk semua jenis tanah, terutama tanah pertanian sebagai sumber penghidupan
masyarakat agraris. Dari sanalah awal mula kemunculan pola-pola penguasaan atas
tanah pertanian. Dari latar belakang tersebut, tulisan ini mencoba meguraikan pola
penguasaan tanah pertanian di Jawa. Jawa dalam tulisan ini mengacu pada satu
kawasan yang oleh Clifford Geertz dalam Involusi Pertanian disebut dengan kawasan
Kejawen. Kejawen yang dimaksud di sini adalah kejawen dalam arti sempit, seperti
yang dijelaskan WJS Poerwadarminta dalam Baoesastra Djawa seperti dikutip Kano
(1986: 14) yaitu tanah sing isih rada kawengku ratu Jawa (Surakarta,
Ngayogyakarta) atau tanah yang umumnya masih milik susuhunan Surakarta dan
kesultanan Yogyakarta.

PENGUASAAN TANAH PERTANIAN DI JAWA DARI MASA KE MASA


Penguasaan Tanah Pertanian Masa Tradisional
Landasan pikir awal untuk memahami pola penguasaan tanah pertanian di
Jawa pada masa lampau adalah bahwa penguasaan tanah tidak lepas dari otoritas
raja sebagai penguasa. Raja adalah penguasa mutlak atas tanah. Kemudian dalam
pengelolaannya raja memiliki bawahan untuk mengatur tanah-tanah tersebut. Hal ini
4

sesuai dengan pendapat dari Ong Hok Ham (1984:5) yakni menurut tradisi mutlak
raja adalah satu-satnya pemilik tanah dalam arti secara teoretis ialah yang berkuasa
atasnya. Dalam penguasaannya ada beberapa jenis tanah pada masa tradisional ini
yakni tanah narawita dan tanah lungguh/bengkok/apanage (Wasino, 2005:1-2).
Tanah narawita merupakan tanah yang dikuasai secara langsung oleh raja,
sedangkan tanah lungguh adalah tanah yang merupakan tanah gaji yang diberikan
raja untuk dikelola oleh bangsawan atau pejabat.
Keberadaan tanah narawita dan lungguh terletak di daerah yang disebut
dengan Negara Agung. Daerah Negara Agung merupakan daerah luar benteng yang
berada di antara Kuthagara dan Mancanegara. Daerah Negara Agung terdiri atas
beberapa daerah yakni daerah Sewu di Kawasan Bagelen, Bumi (di daerah Kedu
Barat), Bumija (di daerah Kedu Timur), Numbak Anyar (di daerah Bagelen timur),
Penumping (daerah sebelah barat Surakarta), serta Panekar di daerah Sukawati dan
Pajang (Wasino, 2005:18).
Tanah narawita terbagi atas beberapa jenis, yakni bumi pamajegan,
pangrembe, dan gladag (Wasino, 2005:29; Suhartono, 1991:29). Bumi pamajegan
merupakan tanah-tanah raja yang menghasilkan pajak uang. Sementara itu daerah
pangrembe merupakan tanah yang ditanami padi atau tanaman lain untuk istana.
Sedangkan gladag merupakan tanah yang penduduknya mendapat tugas
transportasi.
Tanah lungguh atau apanage adalah tanah raja yang hak gunanya diberikan
kepada para pejabat. Pejabat-pejabat birokrasi tidak mendapat imbalan jasa berupa
gaji, teapi sebagai pengganti jerih paya dari raja mereka mendapat ganduhan atau
peminjaman tanah, sebagai tanah lungguh. Dari hasil bumi tanah tersebut para
pejabat dapat membiayai keperluan hidupnya. Hasil dari tanah sebagian diberikan
kepada kas kerajaan (Pesponegoro dan Notosusanto [et.al], 1984: 20). Jumlah
tanah yang diberikan berbeda-beda. Dalam Serat Pustaka Raja Purwara misalnya
disebutkan bahwa ibu raja dan istri raja masing-masing mendapat tanah lungguh
1000 karya, Adipati Anom seluas 8000 karya, Wedana Lebet mendapat tanah seluas
5000 karya, dan sebagainya. Ukuran luas yang digunakan pada masa itu adalah
karya atau cacah, yakni jumlah petani penggarap sawahnya. Berkaitan hal tersebut,
ukuran apanage adalah jung kira-kira 28.386 m2 yang dikerjakan oleh empat
cacah/karya (Suhartono, 1991:30).
Berkaitan dengan adanya tanah lungguh ada beberapa istilah yang terkait
dengan pengelolaan tanah lungguh tersebut. Seorang yang diberi hak tanah lungguh
disebut patuh. Patuh dalam pelaksanaannya tidak turun langsung ke daerah
5

Negaragung karena mereka tinggal di Kuthagara untuk memudahkan kontrol raja


terhadap para patuh. Patuh dibantu oleh bêkêl sebagai pengelola tanah lungguh.
Bêkêl bertugas sebagai penebas pajak yang dibayar secara teratur ataupun
okasional.
Di dalam perkembangannya, bêkêl kemudian berkembang menjadi penguasa
tunggal di suatu desa. Dialah yang bertindak sebagai penghubung antara
masyarakat petani dan penguasa. Dalam pelaksanaan tugasnya Wasino (2005: 32)
menjelaskan bahwa Bêkêl bertindak pula sebagai kepala desa atau kepala dukuh
yang bertanggung jawab pula dalam bidang ketertiban dan keamanan desa. Sebagai
pemimpin masyarakat desa mereka dibantu oleh tua-tua desa, mancapat-manca
lima, serta mancakaki desa. Bêkêl berhak mendapat 1/5 (seperlima) bagian dari
hasil sawah, sementara itu 2/5 untuk raja dan 2/5 untuk patuh (Suhartono, 1991:
31). Seperlima bagian inilah yang menurut Suroyo (2000) berkembang menjadi
tanah bengkok.
Selain terdapat struktur patuh dan bêkêl, di kalangan petani muncul pula
penggolongan-penggolongan berkaitan dengan sistem apanage. Golongan pertama
disebut sikêp atau kuli kenceng. Kuli kenceng merupakan orang-orang pertama yang
memiliki hak untuk mengerjakan serta hak atas tanah yang ditempati bangunan
rumahnya. Para petani ini memiliki hak penuh sebagai penduduk desa, dan sebagai
konsekunsinya mereka harus melakukan tugas-tugas yang berat. Selain itu ada pula
yang disebut dengan numpang atau bujang. Para numpang inilah yang nantinya
menggarap tanah desa atau tanah persekutuan (tanah lanyah) (Ong Hok Ham,
1984:7-8).
Apabila ditinjau dari perspektif petani ada beberapa penguasaan tanah (Ong
Hok Ham, 1984:7). Tanah tersebut adalah tanah pusaka yakni tanah yang digarap
secara turun temurun, tanah yasa yakni tanah baru yang dibuka oleh sikêp. Tanah
yasa inilah yang kemudian berkembang menjadi tanah milik perorangan. Tanah
ketiga adalah tanah lanyah atau tanah desa, yakni tanah yang dikelola secara
komunal.

Penguasaan Tanah Masa Kolonial


Pola peguasaan tanah pertanian mulai bergeser dan berubah setelah
masuhkya bangsa barat ke Jawa. Dimulai dari bekembangnya VOC, Pemerintahan
Rafless, tanam paksa, sampai keluarnya Agrarische Wet pada 1870 terjadilah
perubahan-perubahan pola penguasaan tanah pertanian. Penguasaan tanah oleh
6

raja mulai begeser menjadi penguasaan tanah atas nama pemerintah kolonial dan
penguasaan pribadi.
Awal mula tejadinya perubahan pola penguasaan tanah adalah ketika VOC
mulai bekembang di Jawa. Wilayah Mataram secara perlahan mengalami
pengurangan wilayah akibat kontrak-kontrak dengan VOC. Ketika terjadi Perjanjian
Giyanti pada 1755, wilayah pesisir sudah menjadi milik VOC. Wilayah Surakarta dan
Yogyakarta tinggal Kuthagara, Negara Agung, dan Mancanegara saja (Wasino, 2005:
19). Wilayah Pesisir meliputi Pesisir Barat (Pekalongan, Nrebes, Wiradesa, Bantar,
Lebaksiu, Tegal, Pemalang, Batang, Kendal, dan Demak) dan Pesisir Timur (Jepara,
Kudus, Cengkal Sewu, Pati, Juana, Pejangkungan, Rembang, Tuban, Sidayu,
Lamongan, Gresik, Surabaya, Pasuruan, Bangil, Besuki, Blambangan, Banyuwangi,
dan Madura). Akan tetapi secara umum tidak ada perubahan pola penguasaan tanah
di masyarakat.
Setelah VOC bangkrut, dimulailah fase baru dalam kehidupan politik di
Nusantara, yakni dengan berdirinya pemerintah kolonial Hindia Belanda pada tahun
1800. Pada awal abad XIX inilah di dalam daerah kerajaan para penguasa jatuh di
bawah penguasaan Belanda. Sikap politik agraria pemerintahan Belanda mulai
berubah semenjak Deandels berkuasa. Ia memprakarsai perubahan-perubahan
administrasi pertanahan untuk tercapainya kekuasaaan politik yang sistematis.
Bahkan, beberapa wilayah di Batavia, Semarang, dan Surabaya dijual kepada swasta
untuk memecahkan kesulitan keuangan pemerintah. Kemudian ketika Inggris
berkuasa atas Indonesia (1811-1816) di bawah Gubernur Jenderal Raffles, terjadi
perubahan dalam sistem agraria. Raffles melakukan reformasi agraria dengan nama
Land Rent System (Sistem Sewa Tanah). Ide perubahan ini banyak dipengaruhi oleh
keberhasilannya dalam penerapan sistem serupa di India. Raffles menentang stelsel
hubungan tanah feodal sebagaimana dilakukan oleh pemerintahan tradisional dan
VOC (Wasino, 2005: 5).
Sistem sewa tanah yang diterapkan Raffles berpatokan pada tiga azas, yakni
(1) segala bentuk dan jenis penyerahan wajib dan kerja rodi dihapuskan, dan petani
berhak menentukan jenis tanaman, (2) peran bupati sebagai pemungut pajak
dihapuskan dan mereka menjadi bagian pemerintahan kolonial, (3) pemerintah
kolonial adalah pemilik tanah dan para petani dianggap sebagai penyewa, petani
wajib membayar sewa tanah (Poesponegoro dan Notosusanto [et.al], 1984:90).
Namun demikian, pelaksanaan sistem sewa tanah ini menalami kegagalan
karena terbentur pada sistem sosial budaya rakyat Jawa karena mengganggu tradisi,
belum adanya kepastian hukum atas tanah, rakyat belum terbiasa menggunakan
7

uang sebagai alat pembayaran pajak, serta pemerintahan Raffles yang singkat
(Wasino, 2005:6).
Pada masa pemerintahan Inggris daerah kekuasaan kerajaan di Jawa
mengalami penyempitan kembali. Hal ini seperti yang terjadi di daerah Kedu yang
pada tahun 1812 berhasil dikuasai oleh Inggris melalui perjanjian dengan Hamengku
Buwono II yang kalah dalam pertempuran (Suroyo, 2000: 46). Daerah Kedu
berkembang menjadi kawasan eksloitasi kolonial.
Perubahan-perubahan besar dalam bidang penguasaan tanah terjadi setelah
perang Diponegoro usai pada tahun 1830. Setelah akhir perang Diponegoro daerah
luaran atau mancanegara oleh raja Jawa diserahkan pada Belanda sebagai ganti
jerih payah mereka menindas pemberontakan (Ong Hok Ham, 1984:3). Hal ini
merupakan upaya Hindia Belanda untuk segera mengisi kas yang kosong akibat
perang. Untuk itu dilakukanlah kontrak-kontrak antara Hindia Belanda dan Sunan
Paku Buwono VII untuk memperkuat landasan hukum penguasaan tanah atas
daerah mancanegara (Suhartono, 1991:75).
Kawasan mancanegara terbagi atas dua wilayah, yakni mancanegara barat
dan mancanegara timur. Pringgodigdo seperti dikutip Wasino (2005) menyatakan
Mancanegara barat meliputi Banyumas, Banjar, Pasir, Ayah, Kalibeber, Roma,
Jabarangkah, Pamerden, Wora-wari,Tersono, Kerincing, Bobotsari, Kartanegara, Daya
Luhur, Brebes, Lebaksiu, Balapulang Bentar, Banjarnegara, Purbalingga, serta
daerah Jepara, Salatiga, dan Blora. Daerah mancanegara timur meliputi Panaraga,
Kediri, Madiun, Pacitan, Keduwang, Magetan, Caruban, Pace, Kertosono, Srenget,
Blora, Rawa, Kalangbret, japan/Lamongan, Wirasaba, Brebeg, Jagaraga.
Pada tahun 1830 mulai diterapkan sistem tanam paksa (cultuurstelsel) oleh
pemerintah Hindia Belanda pada daerah-daerah yang telah berhasil dikuasainya.
Sistem ini bertujuan untuk memanfaatkan sumber daya tanah, tenaga kerja, dan
kedudukan hokum dari keduanya. Pada masa ini negara mendominasi dua faktor
produksi, yakni tanah dan tenaga kerja. Kuntowijoyo menyatakan bahwa ekspoitasi
negara atas tanah dan tenaga kerja itu disahkan berdasarkan anggapan bahwa
tanah adalan milik negara (Wasino, 2005:6).
Dalam pelaksanaan tanam paksa ada beberapa hal yang menarik, yakni
pemulihan kembali peran-peran Bupati, Wedana dan Bêkêl tetapi di bawah kendali
pemerintah kolonial. Selain itu semua penduduk memperoleh tanah garapan, tak
terkecuali para numpang dan bujang. Tanah garapan mereka adalah tanah yang
dapat pula diwariskan penggarapannya. Tanah tersebut semula berasal dari tanah
para sikêp yang diambil alih oleh pemerintah desa dan dibagikan kepada para
8

numpang atau bujang atau mewajibkan penduduk bujang dan numpang membuka
areal baru di desa setempat. Karena semua penduduk telah mempunyai tanah,
maka mereka mempunyai kewajiban membayar pajak dan kerja bhakti (Nurdin,
2007).
Pengaruh tanam paksa memberikan perubahan dalam pola penguasaan
tanah. Bedasarkan survei yang dilakukan pada tahun 1868-1869 yang dibukukan
dalam Eindresumé (resume akhir) yang disunting oleh W.B. Bergsma, ada beberapa
pola penguasaan tanah pertanian di kalangan masyarakat, yakni milik perorangan
turun-temurun (erfelijk individueel bezit), milik komunal (gemeen bezit), dan tanah
bengkok untuk pamong desa (ambtsvelden) (Kano, 1984: 42-63).
Sistem tanam mulai dihentikan pada tahun 1870. Setelah tahun ini sistem
liberal mulai bekembang di Hindia Belanda. Dalam bidang agraria, liberalisme ini
nampak dengan dilkeluarkannya Agrarische Wet atau Undang-Undang Agraria pada
tahun 1870. Undang-undang inilah yang menjadi dasar kebijakan agraria pemerintah
Hindia Belanda pada masa-masa berikutnya. Undang-undang ini memberi
kesempatan kepada penyewaan jangka panjang tanah-tanah untuk perkebunan. Di
sini dimungkinkan untuk memiliki mutlak (hak eigendom) termasuk hak untuk
menyewakannya ke pihak lain. Akan tetapi kepemilikan mutlak oleh petani sulit
tercapai karena penguasa lebih tergiur untuk memberikan konsesi kepada para
penguasa swasta asing.
Setelah dikeluarkannya Agrarische Wet, Belanda mengeluarkan berbagai
peraturan tentang penguasaan tanah di Jawa. Pada tahun 1885 dikeluarkan
Staatsblad (Lembaran Negara) No. 102 tentang berakhirnya secara resmi tanam
paksa. Sistem penguasaan tanah yang tadinya milik bersama desa, dikembalikan
kepada individu-individu. Konversi tanah bersama menjadi tanah individu hanya jika
¾ warga desa menyetujuinya.
Kemudian pada 19 Januari 1909 Gubernur Jenderal van Heutz segera
memerintahkan agar segera dilaksanakan reorganisasi. Reorganisasi ini mulai
berjalan dengan beberpa tahap yakni penghapusan sistem apanage pada kurun
1912-1917, kemudian antara tahun 1917-1926 digunakan untuk mengkonversi
tanah-tanah perkebunan (Suhartono, 1991: 96). Dengan demikian, di daerah
Surakarta penguasaan tanah oleh patuh dengan hak anggunduh (pinjam sementara)
telah dihapuskan dan hak tanah itu diberikan kepada petani dengan hak andarbe
(milik) secara individual. Akan tetapi, pada kenyataannya tanah-tanah tersebut jatuh
ke tangan para elite desa dan perusahaan perkebunan melalui persewaan tanah
tradisional maupun kontrak-kontrak modern (Suhartono, 1991: 101).
9

Pada tahun 1930, dikeluarkan Regeringsomlagvel No. 30318 tanggal 17


Oktober 1930. Dalam ketentuan ini, pemerintah mengakui hak-hak pribumi sesuai
dengan hukum adat setempat. Penduduk diakui untuk hak kepemilikan dengan
syarat tertentu, misalnya memperoleh hasil hutan dengan izin kepala desa dan
Asisten Residen. Pada masa ini ribuan konflik pertanahan terjadi tiap tahun atas
pemanfaatan hasil hutan, antara masyarakat yang merasa berhak dengan
pemerintah yang menganggap sebagai hutan negara.

Desa Perdikan: Pola Khusus Penguasaan Tanah


Selain pola penguasaan tanah secara konvensional seperti dijelaskan di atas,
ada pula pola penguasaan tanah yang beraku secara khusus. Pola penguasaan
tanah secara khusus ini seperti yang terjadi pada daerah yang disebut dengan
daerah perdikan.
Desa perdikan merupakan desa anugerah dari raja yang penduduknya
dibebaskan dari pembayaran pajak dan kerja wajib. Daerah ini dianggap sebagai
daerah bebas atau merdeka yang dipimpin oleh seorang kepala desa. Kepala desa di
wilayah ini berada langsung di bawah daulat raja (Wasino, 2005: 101). Dengan
demikian pada masa kerajaan tidak ada sistem apanage, patuh, dan bêkêl di darah
perdikan ini. Pada masa tradisional, kepemimpinan desa perdikan diwariskan dari
pemimpin-pemimpin terdahulu.
Kartohadikoesoemo menyatakan ada beberapa alasan raja memberikan hak
istimewa kepada desa perdikan, yaitu (1) untuk memajukan agama, (2) untuk
memelihara makam raja atau orang lain yang dimuliakan dan dianggap keramat, (3)
untuk memelihara pertapaan, pesantren, langgar, atau masjid, (4) memberikan
ganjaran kepada orang atau desa yang berjasa kepada raja (Wasino, 2005:101).
Dari desa perdikan inilah awal mula kemunculan petani-petani merdeka. Salah satu
contoh desa perdikan adalah Desa Seladi kawasan Grobogan. Desa ini merupakan
perdika yang diberikan kepada Ki Ageng Sela pada masa kesultanan Demak. Pada
masa kolonial posisi istimewa desa perdikan tetap dipertahankan. Dalam Staatsblad
no 77 tahun 1853 disebutkan bahwa desa perdikan dibebaskan dari segala macam
pembayaran pajak dan hak-hak desa perdikan diakui secara sah. Atas dasar inilah,
desa perdikan tidak dikenakan sistem tanam paksa.

Penguasaan Tanah Masa Kemerdekaan


Setelah proklamasi kemerdekaan, pola penguasaan pertanian kembali
mengalami perubahan. Landasan hukum awal tentang tanah seperti tertuang dalam
10

Undan-Undang Dasar 1945 pasa 33 ayat 3 yang yang menjelaskan bahwa seluruh
sumberdaya alam, termasuk tanah, dipergunakan untuk sebesar-besarnya bagi
kemakmuran rakyat. Pelaksanaan land reform di Jawa telah dimulai sejak awal
kemerdekaan. Pada tahun 1945 mulai dihapuskan hak-hak istimewa dari desa
perdikan di Banyumas. Kemudian dikeluarkan UU No 13 tahun 1946 tentang
penghapusan hak-hak istimewa. Pada tahun 1948 dikeluarkan UU No. 13 tahun
1948 yang menyatakan bahwa tanah yang sebelumnya dikuasai oleh kira-kira 40
perusahaan Belanda di Kesultanan Yogyakarta dan Surakarta disediakan untuk
petani-petani di Indonesia (Soemardjan, 1984:104). Kemudian ada pula UU No. 6
tahun 1952 yang menghapus sewa jangka panjang yang ditetapkan pada tahun
1870 selama 75 tahun. Pada tahun 1958 dikeluarka UU No 1 tahun 1958 yang
menghapus semua tanah partikelir (tanah yang dijual kepada perorangan oleh
pemerintah kolonial) dan semua hak istimewa yang sebelumnya dipegang oleh tuan
tanah dan diambil pemerintah.
Pelaksanaan perubahan penguasaan atas tanah mengalami fase klimaks
dengan dikeluarkannya Undang-Udang no 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria atau Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA). UUPA mencakup
prinsip-prinsip dasar (1) tanah pertanian adalah untuk petani penggarap, (2) hukum
utama atas tanah, misalnya hak milik probadi adalah khusus untuk warga negara
Indonesia, tetapi warga asing dapat memperoleh hak tambahan untuk menyewa
atau memakai tanah dalam jangka waktu dan luas tertentu yang diatur oleh undang-
undang, (3) pemakaian guntai (absentee) tidak dibenarkan, kecuali bagi mereka
yang bertugas aktif dalam dinas negara dan dalam hal pengecualian lain,(4) petani-
petani yang ekonominya lemah harus dilindungi terhadap mereka yang
kedudukannya lebih kuat (Soemardjan, 1984:106).
Dengan adanya UUPA, dimulailah landreform secara formal di Indonesia.
Landreform di Indonesia bertujuan untuk memperkuat hak atas tanah, yaitu menjadi
hak milik, serta meningkatkan taraf hidup petani pada umumnya (Padmo, 2000: 79).
Berkaitan hal tersebut, keluar Undang-Undang No. 2 tahun 1960 tentang perjanjian
bagi hasil. Pedoman pelaksanaannya adalah Inpres No. 3 tahun 1980. UU ini
merupakan pelengkap dari UUPA, namun hampir tak pernah ada wilayah yang
menerapkannya. Selain itu ada pula Undang-Undang No. 56 tahun 1960. Tentang
penetapan luas tanah pertanian, atau dikenal dengan “UU landreform”. Bersama
dengan UU tentang bagi hasil, ini merupakan produk hukum untuk melengkapi UUPA.
Didalamnya ditetapkan batas minimal dan maksimal luas tanah yang boleh dikuasai
perorangan, khusus untuk usaha pertanian. UU ini merupakan pedoman dalam
11

pelaksanaan landreform di zaman ORLA sampai tahun 1965, meskipun kurang


sukses. Banyak kritik terhadap peraturan ini, misalnya bahwa batas minimal yang 2
ha per keluarga, dianggap tidak realistis untuk di Jawa. Sampai sekarang banyak
keluar Undang-Undang dan peraturan yang berkaitan atas tanah, sebagai pelengkap
dari UUPA.
Namun demikian, sekalipun instrumen pelaksanaan keagrariaan telah diatur
dalam UUPA, kenyataannya UU tersebut tidak menjadi rujukan dan faktor penentu
dalam mengatasi berbagai problem agraria dan pertanahan. Ini disebabkan politik
hukum yang seringkali bertentangan dengan makna dan semangat yang terkandung
dalam UUPA.
Berbagai kasus tentang pola penguasaan lahan masih terjadi sampai
sekarang. Sengketa-sengketa antara masyarakat dan penguasa lahan menjadi
permasalahan yang tidak kunjung usai. Hal ini seperti yang terjadi pada tahun 1999-
2000 di daerah Pagilaran, Batang, ada proses reclaiming yang dilakukan warga
terhadap tanah-tanah perkebunan yang dikelola oleh PT Pagilaran. Selain itu pada
15 Juni ribuan massa petani dari berbagai daerah di Jawa Tengah melakukan
demonstrasi mendatangi Kanwil BPN Jawa Tengah. Mereka mendesak Kakanwil BPN
menggunakan kewenangannya menyelesaikan kasus sengketa tanah di Jawa Tengah

PENUTUP
Pola penguasaan tanah di Jawa dari masa ke masa mengalami perubahan dan
dinamika. Pada mulanya, tanah dikuasai oleh raja yang memberikan hak kelola
kepada para pejabat dan kerabatnya. Setelah sistem kolonial masuk, mulai ada
perubahan dalam sistem penguasaan tanah, tanah tidak lagi menjadi mutlak milik
raja tetapi mulai ada regulasi penguasaan tanah menjadi milik individual. Kemudian
setelah kemerdekaan perubahan penguasaan tanah semakin berkembang, seiring
semangat pemerataan dan keadilan. Akan tetapi dalam pelaksanaannya, dari masa
ke masa selalu terjadi ketimpangan, penguasa selalu mengambil keuntungan atas
rakyat kecil dan rakyat kecil tidak memiliki nilai tawar dan selalu pada posisi yang
kalah. Hal ini hampir selalu terjadi dalam perjalanan sejarah petani di Jawa.

DAFTAR PUSTAKA
Kano, Hiroyoshi. 1984. “Sistem Pemilikan Tanah dan Masyarakat Desa Di Jawa Pada
Abad XIX”. Dalam Sediono M.P. Tjondronegoro dan Gunawan Wiradi (Peny.).
1984. Dua Abad Penguasaan Tanah: Pola Penguasaan Tanah Pertanian di
Jawa dari Masa ke Masa. Jakata: Yayasan Obor Indonesia dan Penerbit PT
Gramedia. Hlm 28-85.
12

----------. 1986. “Sejarah Ekonomi Masyarakat Pedesaan Jawa: Suatu Interpretasi


Kembali’. Dalam Akira Nagazumi (ed.). 1986. Indonesia dalam Kajian
Sarjana Jepang. Perubahan Sosial Ekonomi abad XIX & XX dan Berbagai
Aspek Nasionalisme Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Kuntowijoyo. 2008. Penjelasan Sejarah (Historical Explanation). Yogyakarta: Tiara


Wacana.

Nurdin, Iwan. 2007. Pola Penguasaan Tanah Era Tanam Paksa. Dalam
http://ppijkt.wordpress.com/ (diunduh 2 April 2009)

Ong Hok Ham. 1984. “Perubahan Sosial di Madiun Selama Abad XIX: Pajak dan
Pengaruhnya terhadap Penguasaan Tanah”. Dalam Sediono M.P.
Tjondronegoro dan Gunawan Wiradi (Peny.). 1984. Dua Abad Penguasaan
Tanah: Pola Penguasaan Tanah Pertanian di Jawa dari Masa ke Masa.
Jakata: Yayasan Obor Indonesia dan Penerbit PT Gramedia. Hlm. 3-27.

----------. 1991. Rakyat dan Negara. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan dan LP3ES.

Padmo, Soegijanto. 2000. Landreform dan Gerakan Protes Petani Klaten 1959-
1965. Yogyakarta: Media Pressindo dan Konsorsium Pembaruan Agraria.

Poesponegoro, Marwati Djoned dan Nugroho Notsusanto (et.al). 1984. Sejarah


Nasional Indonesia Jilid IV. Jakara: Balai Pustaka.

Sastroatmodjo, Sudijono. 2007. “’Sedumuk Bathuk Senyari Bumi’, Regulasi Tanah


dan Demo Rakyat (Petani) dalam Menyoal Hak Atas Tanah”. Kompas
Mahasiswa. Edisi 79 tahun 2007. Hlm. 28-35.

Soenardjan, Selo. 1984. Land Reform di Indonesia. Dalam Dalam Sediono M.P.
Tjondronegoro dan Gunawan Wiradi (Peny.). 1984. Dua Abad Penguasaan
Tanah: Pola Penguasaan Tanah Pertanian di Jawa dari Masa ke Masa.
Jakata: Yayasan Obor Indonesia dan Penerbit PT Gramedia.Hlm. 103-111

Suroyo, A.M. Djulianti. 2000. Eksploitasi Kolonial Abad XIX: Kerja Wajib Di
Karesidenan Kedu 1800-1890. Yogyakarta: Yayasan Untuk Indonesia.

Wasino. 2005. Tanah, Desa, dan Penguasa: Sejarah Pemilikan dan Penguasaan
Tanah di Pedesaan Jawa. Semarang: Unnes Press

You might also like