You are on page 1of 134

PEMBAGIAN WARIS MENURUT ISLAM

oleh Muhammad Ali Ash-Shabuni

PENGANTAR
MUKADIMAH

I. AYAT-AYAT WARIS
A. Penjelasan
B. Hak Waris Kaum Wanita sebelum Islam
C. Asbabun Nuzul Ayat-ayat Waris
D. Kajian terhadap Ayat-ayat Waris

II. WARIS DALAM PANDANGAN ISLAM


A. Definisi Waris
Pengertian Peninggalan
Hak-hak yang Berkaitan dengan Harta Peninggalan
B. Derajat Ahli Waris
C. Bentuk-bentuk Waris
D. Sebab-sebab Adanya Hak Waris
E. Rukun Waris
F. Syarat Waris
G. Penggugur Hak Waris
Perbedaan antara al-mahrum dan al-mahjub
Contoh Pertama
Contoh Kedua
H. Ahli Waris dari Golongan Laki-laki
I. Ahli Waris dari Golongan Wanita

III. PEMBAGIAN WARIS MENURUT AL-QUR'AN


A. Ashhabul furudh yang Berhak Mendapat Setengah
B. Ashhabul furudh yang Berhak Mendapat Seperempat
C. Ashhabul furudh yang Berhak Mendapat Seperdelapan
D. Ashhabul furudh yang Berhak Mendapat Bagian Dua per Tiga
E. Ashhabul furudh yang Berhak Mendapat Bagian Sepertiga

Masalah 'Umariyyatan
F. Asbhabul Furudh yang Mendapat Bagian Seperenam

IV. DEFINISI 'ASHABAH


A. Dalil Hak Waris Para 'Ashabah
B. Macam-macam 'Ashabah
'Ashabah bin nafs
Hukum 'Ashabah bin nafs
Mengapa Anak Lebih Didahulukan daripada Bapak?

PEMBAGIAN WARIS MENURUT ISLAM - oleh Muhammad Ali Ash-Shabuni 1


Pustaka Pribadi Notaris Herman ALT
'Ashabah bi Ghairihi dan Hukumnya
Syarat-syarat 'Ashabah bi Ghairihi
Dalil Hak Waris 'Ashabah bi Ghairihi
Sebab Penamaan 'Ashabah bi Ghairihi
'Ashabah ma'al Ghair
Dalil 'Ashabah ma'al Ghair
C. Perbedaan 'Ashabah bil Ghair dengan 'Ashabah ma'al Ghair
Dapatkah Seseorang Mewarisi dari Dua Arah?

V. PENGHALANG HAK WARIS (AL-HUJUB)


A. Definisi al-Hujub
B. Macam-macam al-Hujub

Ahli Waris yang Tidak Terkena Hujub Hirman


Ahli Waris yang Dapat Terkena Hujub Hirman
Saudara Laki-laki yang Berkah
Saudara Laki-laki yang Merugikan

C. Tentang Kasus Kolektif


Perbedaan Pendapat Para Fuqaha
Persyaratan Masalah Kolektif
Beberapa Kaidah Penting

VI HAK WARIS KAKEK DENGAN SAUDARA


A. Pengertian Kakek yang Sahih
B. Hukum Waris antara Kakek dengan Saudara
C. Perbedaan Pendapat Mengenai Hak Waris Kakek
D.Tentang Mazhab Jumhur

Hukum Keadaan Pertama


Makna Pembagian
Pembagian yang Lebih Menguntungkan Kakek
Pembagian dan Jumlah 1/3 yang Berimbang
Pembagian Sepertiga Lebih Menguntungkan Kakek

Hukum Keadaan Kedua


E. Bila Saudara Kandung dan Seayah Mewarisi bersama Kakek
F. Masalah al-Akdariyah

VII. MASALAH AL 'AUL DANAR-RADD


A. Definisi al-'Aul
B. Latar Belakang Terjadinya 'Aul
C. Pokok Masalah yang Dapat dan Tidak Dapat Di-'aul- kan
Pokok Masalah yang Dapat Di-'aul-kan
Beberapa Contoh Masalah 'Aul
D. Definisi ar-Radd

PEMBAGIAN WARIS MENURUT ISLAM - oleh Muhammad Ali Ash-Shabuni 2


Pustaka Pribadi Notaris Herman ALT
E. Syarat-syarat ar-Radd
F. Ahli Waris yang Berhak Mendapat ar-Radd
G. Ahli Waris yang Tidak Mendapat ar-Radd
H. Macam-macam ar-Radd

Hukum Keadaan Pertama


Hukum Keadaan Kedua
Hukum keadaan Ketiga
Hukum keadaan Keempat

VIII. PENGHITUNGAN DAN PENTASHIHAN


A. Tentang Tashih
Definisi Tashih
Definisi at-Tamaatsul
Definisi at-Tadaakhul
Definisi at-Tawaafuq
Definisi at-Tabaayun

B. Cara Mentashih Pokok Masalah

C. Pembagian Harta Peninggalan

Masalah Dinariyah ash-Shughra


Masalah Dinariyah al-Kubra

IX. HUKUM MUNASAKHAT


A. Definisi Munasakhat
B. Rincian Amaliah al-Munasakhat
C. At-Takharuj min at-Tarikah
Tata Cara Pelaksanaannya

X. HAK WARIS DZAWIL ARHAM


A. Definisi Dzawil Arham
B. Pendapat Beberapa Imam tentang Dzawil Arham
C. Cara Pembagian Waris Para Kerabat
1. Menurut Ahlur-Rahmi
2. Menurut Ahlut-Tanzil
3. Menurut Ahlul Qarabah

Perbedaan antara Ahlut-tanzil dengan Ahlul Qarabah


Cara Pembagian Waris Menurut Ahlul Qarabah

D. Syarat-syarat Pemberian Hak Waris bagi Dzawil Arham

XI. HAK WARIS BANCI DAN WANITA HAMIL


A. Definisi Banci

PEMBAGIAN WARIS MENURUT ISLAM - oleh Muhammad Ali Ash-Shabuni 3


Pustaka Pribadi Notaris Herman ALT
B. Perbedaan Ulama Mengenai Hak Waris Banci
C. Hukum Banci dan Cara Pembagian Warisnya
Beberapa Contoh Amaliah Hak Waris Banci
D. Definisi Hamil
E. Syarat Hak Waris Janin dalam Kandungan
F. Keadaan Janin
Keadaan Pertama
Keadaan Kedua
Keadaan Ketiga
Keadaan Keempat
Keadaan Kelima

XII HAK WARIS ORANG YANG HILANG, TENGGELAM, DAN TERTIMBUN


A. Definisi

Hukum Orang yang Hilang


B. Batas Waktu untuk Menentukan bahwa Seseorang Hilang atau Mati
C. Hak Waris Orang Hilang
D. Hak Waris Orang yang Tenggelam dan Tertimbun
Kaidah Pembagian Waris Orang yang Tenggelam dan Tertimbun

Pembagian Waris Menurut Islam


oleh Muhammad Ali ash-Shabuni
penerjemah A.M.Basamalah
Gema Insani Press, 1995
Jl. Kalibata Utara II No.84 Jakarta 12740
Tel.(021) 7984391-7984392-7988593
Fax.(021) 7984388
ISBN 979-561-321-9

PEMBAGIAN WARIS MENURUT ISLAM - oleh Muhammad Ali Ash-Shabuni 4


Pustaka Pribadi Notaris Herman ALT
PENGANTAR PENERBIT

HUKUM waris Islam yang dibawa Nabi Muhammad saw. telah mengubah hukum
waris Arab pra-Islam dan sekaligus merombak struktur hubungan
kekerabatannya, bahkan merombak sistem pemilikan masyarakat tersebut atas
harta benda, khususnya harta pusaka. Sebelumnya, dalam masyarakat Arab
ketika itu, wanita tidak diperkenankan memiliki harta benda --kecuali wanita dari
kalangan elite-- bahkan wanita menjadi sesuatu yang diwariskan.

Islam merinci dan menjelaskan --melalui Al-Qur'an Al-Karim-- bagian tiap-tiap


ahli waris dengan tujuan mewujudkan keadilan didalam masyarakat. Meskipun
demikian, sampai kini persoalan pembagian harta waris masih menjadi
penyebab timbulnya keretakan hubungan keluarga. Ternyata, disamping karena
keserakahan dan ketamakan manusianya, kericuhan itu sering disebabkan oleh
kekurangtahuan ahli waris akan hakikat waris dan cara pembagiannya.

Kekurangpedulian umat Islam terhadap disiplin ilmu ini memang tidak kita
pungkiri, bahkan Imam Qurtubi telah mengisyaratkannya: "Betapa banyak
manusia sekarang mengabaikan ilmu faraid."

Atas dasar itulah kami terpacu untuk menerbitkan buku Pembagian Waris
menurut Islam. Mudah-mudahan apa yang kami persembahkan kepada
pembaca menjadi suatu amal kebajikan dan menjadi bukti ketaatan kepada Allah
dan Rasul-Nya.

Penerbit

PEMBAGIAN WARIS MENURUT ISLAM - oleh Muhammad Ali Ash-Shabuni 5


Pustaka Pribadi Notaris Herman ALT
SAMPUL BELAKANG

Dalam praktek kehidupan sehari-hari, persoalan waris sering kali menjadi krusial
yang terkadang memicu pertikaian dan menimbulkan keretakan hubungan
keluarga. Penyebab utamanya ternyata keserakahan dan ketamakan manusia, di
samping karena kekurang-tahuan pihak-pihak yang terkait mengenai hukum
pembagian waris. Padahal, Allah SWT di dalam Al-Qur'an mengatur pembagian
waris secara lengkap. Sementara itu, di sisi lain, kita jumpai kenyataan bahwa
beberapa kalangan --termasuk para pelajar di sekolah-sekolah Islam---
menganggap faraid (ilmu yang mengatur pembagian harta pusaka) sebagai
momok yang menakutkan.

Berawal dari beberapa keprihatinan itulah buku ini diwujudkan, yang sebelumnya
hanya merupakan kumpulan materi perkuliahan untuk mata kuliah waris pada
Fakultas Syari'ah di Mekah al-Mukarramah. Muhammad Ali ash-Shabuni, penulis
buku ini, berusaha menghilangkan kesan "seram" tentang disiplin ilmu ini dengan
cara menyederhanakan berbagai istilah dan rumusan perhitungan yang selama
ini dianggap sebagai kendala.

Bukan hanya itu, sistematika penyajiannya pun sangat sederhana dan tidak
bertele-tele. Kesederhanaan metode dan gaya bertutur memang menjadi
keunggulan buku ini.

ISBN 979-561-321-9

PEMBAGIAN WARIS MENURUT ISLAM - oleh Muhammad Ali Ash-Shabuni 6


Pustaka Pribadi Notaris Herman ALT
MUKADIMAH

Segala puji bagi Allah, pengatur alam semesta, seluruh isi langit dan bumi.
Dialah Yang Maha Kekal, tidak akan rusak dan tidak akan mati, yang telah
berfirman dalam Al-Qur'an:

"Sesungguhnya Kami mewarisi bumi dan semua orang yang ada di atasnya, dan
hanya kepada Kamilah mereka dikembalikan." (Maryam: 40)

Semoga shalawat dan salam tetap Allah anugerahkan kepada sang pembawa
cahaya, perintis kemanusiaan dan penunjuk jalan, junjungan kita Muhammad
saw. Dengannyalah Allah SWT menghilangkan kesesatan dan kegelapan, dan
dengannyalah Allah mengeluarkan umat manusia dari kegelapan kepada alam
yang terang benderang.

Semoga shalawat dan salam juga Allah berikan kepada seluruh kerabatnya, para
sahabatnya, dan siapa pun yang mengikuti jejaknya.

Buku ini merupakan kumpulan materi perkuliahan untuk mata kuliah waris yang
pernah saya berikan kepada para mahasiswa Fakultas Syari'ah di Mekah al-
Mukarramah. Kemudian saya tergerak untuk mengumpulkan dan
menyatukannya hingga menjadi buku dengan harapan dapat dimanfaatkan
secara lebih luas. Buku ini saya susun dengan sistematika yang sangat
sederhana dan tidak bertele-tele.

Saya bermohon kepada Allah semoga buku ini dapat bermanfaat khususnya
bagi para mahasiswa, dan umumnya bagi seluruh kaum muslim yang memiliki
keinginan untuk mengetahui dengan pasti mengenai faraid (ilmu yang mengatur
pembagian harta pusaka).

Sesungguhnya Allah Maha Mendengar semua doa dan Maha Mampu untuk
memenuhinya.

Mekah, Jumadil Akbir 1389 H


Muhammad Ali ash-Shabuni

PEMBAGIAN WARIS MENURUT ISLAM - oleh Muhammad Ali Ash-Shabuni 7


Pustaka Pribadi Notaris Herman ALT
I. AYAT-AYAT WARIS

ALLAH SWT berfirman

"Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu.


Yaitu, bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak
perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi
mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu
seorang saja, maka ia memperoleh separo harta. Dan untuk dua orang ibu-
bapak bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang
meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai
anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga;
jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat
seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat
yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar utangnya. (Tentang) orang tuamu dan
anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa diantara mereka yang lebih dekat
(banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah.
SesungguhnyaAllah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana." (an-Nisa': 11)

"Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh istri-
istrimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika istri-istrimu itu mempunyai anak,
maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah
dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) sesudah dibayar utangnya. Para
istri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak
mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para istri memperoleh
seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang
kamu buat atau (dan) sesudah dibayar utang-utangmu. Jika seseorang mati, baik
laki-laki maupun perempuan, yang tidak meninggalkan ayah dan tidak
meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja)
atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari
kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu
lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah
dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar utangnya dengan
tidak memberi mudarat (kepada ahli waris). (Allah menetapkan yang demikian itu
sebagai) syariat yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi
Maha Penyantun." (an-Nisa': 12)

"Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah: 'Allah memberi


fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika seorang meningal dunia, dan ia
tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, maka bagi
saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan
saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jika
ia tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka
bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal.
Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara laki-laki dan perempuan,
maka bagian seorang saudara laki-laki sebanyak bagian dua orang saudara

PEMBAGIAN WARIS MENURUT ISLAM - oleh Muhammad Ali Ash-Shabuni 8


Pustaka Pribadi Notaris Herman ALT
perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya kamu tidak
sesat. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu." (an-Nisa': 176)

A. Penjelasan

Allah SWT melalui ketiga ayat tersebut --yang kesemuanya termaktub dalam
surat an-Nisa'-- menegaskan dan merinci nashih (bagian) setiap ahli waris yang
berhak untuk menerimanya. Ayat-ayat tersebut juga dengan gamblang
menjelaskan dan merinci syarat-syarat serta keadaan orang yang berhak
mendapatkan warisan dan orang-orang yang tidak berhak mendapatkannya.
Selain itu, juga menjelaskan keadaan setiap ahli waris, kapan ia menerima
bagiannya secara "tertentu", dan kapan pula ia menerimanya secara 'ashabah.

Perlu kita ketahui bahwa ketiga ayat tersebut merupakan asas ilmu faraid, di
dalamnya berisi aturan dan tata cara yang berkenaan dengan hak dan
pembagian waris secara lengkap. Oleh sebab itu, orang yang dianugerahi
pengetahuan dan hafal ayat-ayat tersebut akan lebih mudah mengetahui bagian
setiap ahli waris, sekaligus mengenali hikmah Allah Yang Maha Bijaksana itu.

Allah Yang Maha Adil tidak melalaikan dan mengabaikan hak setiap ahli waris.
Bahkan dengan aturan yang sangat jelas dan sempurna Dia menentukan
pembagian hak setiap ahli waris dengan adil serta penuh kebijaksanaan. Maha
Suci Allah. Dia menerapkan hal ini dengan tujuan mewujudkan keadilan dalam
kehidupan manusia, meniadakan kezaliman di kalangan mereka, menutup ruang
gerak para pelaku kezaliman, serta tidak membiarkan terjadinya pengaduan
yang terlontar dari hati orang-orang yang lemah.

Imam Qurthubi dalam tafsirnya mengungkapkan bahwa ketiga ayat tersebut


merupakan salah satu rukun agama, penguat hukum, dan induk ayat-ayat Ilahi.
Oleh karenanya faraid memiliki martabat yang sangat agung, hingga
kedudukannya menjadi separo ilmu. Hal ini tercermin dalam hadits berikut, dari
Abdullah Ibnu Mas'ud bahwa Rasulullah saw. bersabda:

"Pelajarilah Al-Qur'an dan ajarkanlah kepada orang lain, serta pelajarilah faraid
dan ajarkanlah kepada orang lain. Sesungguhnya aku seorang yang bakal
meninggal, dan ilmu ini pun bakal sirna hingga akan muncul fitnah. Bahkan akan
terjadi dua orang yang akan berselisih dalam hal pembagian (hak yang mesti ia
terima), namun keduanya tidak mendapati orang yang dapat menyelesaikan
perselisihan tersebut. " (HR Daruquthni)

Lebih jauh Imam Qurthubi mengatakan, "Apabila kita telah mengetahui hakikat
ilmu ini, maka betapa tinggi dan agung penguasaan para sahabat tentang
masalah faraid ini. Sungguh mengagumkan pandangan mereka mengenai ilmu
waris ini. Meskipun demikian, sangat disayangkan kebanyakan manusia
(terutama pada masa kini) mengabaikan dan melecehkannya."1

PEMBAGIAN WARIS MENURUT ISLAM - oleh Muhammad Ali Ash-Shabuni 9


Pustaka Pribadi Notaris Herman ALT
Perlu kita ketahui bahwa semua kitab tentang waris yang disusun dan ditulis oleh
para ulama merupakan penjelasan dan penjabaran dari apa yang terkandung
dalam ketiga ayat tersebut. Yakni penjabaran kandungan ayat yang bagi kita
sudah sangat jelas: membagi dan adil. Maha Suci Allah Yang Maha Bijaksana
dalam menetapkan hukum dan syariat-Nya.

Di antara kita mungkin ada yang bertanya-tanya dalam hati, adakah ayat lain
yang berkenaan dengan waris selain dari ketiga ayat tersebut?

Di dalam Al-Qur'an memang ada beberapa ayat yang menyebutkan masalah hak
waris bagi para kerabat (nasab), akan tetapi tentang besar-kecilnya hak waris
yang mesti diterima mereka tidak dijelaskan secara rinci. Di antaranya adalah
firman Allah berikut:

"Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya,
dan bagi wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapak dan
kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditetaplan. " (an-
Nisa': 7)

"... Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih


berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat) di dalam Kitab Allah.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu." (al-Anfal: 75)

"... Dan orang-orang yang mempunyai hubungan darah satu sama lain lebih
berhak (waris-mewarisi) di dalam Kitab Allah daripada orang-orang mukmin dan
orang-orang Muhajirin, kecuali kalau kamu mau berbuat baik kepada saudara-
saudaramu (seagama). Adalah yang demikian itu telah tertulis di dalam Kitab
(Allah)." (al-Ahzab: 6)

Itulah ayat-ayat dalam Al-Qur'an yang berkenaan dengan masalah hak waris,
selain dari ketiga ayat yang saya sebutkan pada awal pembahasan.

Pada ayat kedua dan ketiga (al-Anfal: 75 dan al-Ahzab: 6) ditegaskan bahwa
kerabat pewaris (sang mayit) lebih berhak untuk mendapatkan bagian
dibandingkan lainnya yang bukan kerabat atau tidak mempunyai tali kekerabatan
dengannya. Mereka lebih berhak daripada orang mukmin umumnya dan kaum
Muhajirin.

Telah masyhur dalam sejarah permulaan datangnya Islam, bahwa pada masa itu
kaum muslim saling mewarisi harta masing-masing disebabkan hijrah dan rasa
persaudaraan yang dipertemukan oleh Rasulullah saw., seperti kaum Muhajirin
dengan kaum Anshar. Pada permulaan datangnya Islam, kaum Muhajirin dan
kaum Anshar saling mewarisi, namun justru saudara mereka yang senasab tidak
mendapatkan warisan. Keadaan demikian berjalan terus hingga Islam menjadi
agama yang kuat, kaum muslim telah benar-benar mantap menjalankan ajaran-

PEMBAGIAN WARIS MENURUT ISLAM - oleh Muhammad Ali Ash-Shabuni 10


Pustaka Pribadi Notaris Herman ALT
ajarannya, dan kaidah-kaidah agama telah begitu mengakar dalam hati setiap
muslim. Maka setelah peristiwa penaklukan kota Mekah, Allah me-mansukh-kan
(menghapuskan) hukum pewarisan yang disebabkan hijrah dan persaudaraan,
dengan hukum pewarisan yang disebabkan nasab dan kekerabatan.

Adapun dalam ayat pertama (an-Nisa': 7) Allah SWT dengan tegas


menghilangkan bentuk kezaliman yang biasa menimpa dua jenis manusia lemah,
yakni wanita dan anak-anak. Allah SWT menyantuni keduanya dengan rahmat
dan kearifan-Nya serta dengan penuh keadilan, yakni dengan mengembalikan
hak waris mereka secara penuh. Dalam ayat tersebut Allah dengan keadilan-Nya
memberikan hak waris secara imbang, tanpa membedakan antara yang kecil
dan yang besar, laki-laki ataupun wanita. Juga tanpa membedakan bagian
mereka yang banyak maupun sedikit, maupun pewaris itu rela atau tidak rela,
yang pasti hak waris telah Allah tetapkan bagi kerabat pewaris karena hubungan
nasab. Sementara di sisi lain Allah membatalkan hak saling mewarisi di antara
kaum muslim yang disebabkan persaudaraan dan hijrah. Meskipun demikian,
ayat tersebut tidaklah secara rinci dan detail menjelaskan jumlah besar-kecilnya
hak waris para kerabat. Jika kita pakai istilah dalam ushul fiqh ayat ini disebut
mujmal (global), sedangkan rinciannya terdapat dalam ayat-ayat yang saya
nukilkan terdahulu (an-Nisa': 11-12 dan 176).

Masih tentang kajian ayat-ayat tersebut, mungkin ada di antara kita yang
bertanya-tanya dalam hati, mengapa bagian kaum laki-laki dua kali lipat bagian
kaum wanita, padahal kaum wanita jauh lebih banyak membutuhkannya, karena
di samping memang lemah, mereka juga sangat membutuhkan bantuan baik
moril maupun materiil?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut perlu saya utarakan beberapa hikmah


adanya syariat yang telah Allah tetapkan bagi kaum muslim, di antaranya
sebagai berikut:

Kaum wanita selalu harus terpenuhi kebutuhan dan keperluannya, dan dalam hal
nafkahnya kaum wanita wajib diberi oleh ayahnya, saudara laki-lakinya,
anaknya, atau siapa saja yang mampu di antara kaum laki-laki kerabatnya.

Kaum wanita tidak diwajibkan memberi nafkah kepada siapa pun di dunia ini.
Sebaliknya, kaum lelakilah yang mempunyai kewajiban untuk memberi nafkah
kepada keluarga dan kerabatnya, serta siapa saja yang diwajibkan atasnya
untuk memberi nafkah dari kerabatnya.

Nafkah (pengeluaran) kaum laki-laki jauh lebih besar dibandingkan kaum wanita.
Dengan demikian, kebutuhan kaum laki-laki untuk mendapatkan dan memiliki
harta jauh lebih besar dan banyak dibandingkan kaum wanita.

Kaum laki-laki diwajibkan untuk membayar mahar kepada istrinya, menyediakan


tempat tinggal baginya, memberinya makan, minum, dan sandang. Dan ketika

PEMBAGIAN WARIS MENURUT ISLAM - oleh Muhammad Ali Ash-Shabuni 11


Pustaka Pribadi Notaris Herman ALT
telah dikaruniai anak, ia berkewajiban untuk memberinya sandang, pangan, dan
papan.

Kebutuhan pendidikan anak, pengobatan jika anak sakit (termasuk istri) dan
lainnya, seluruhnya dibebankan hanya pada pundak kaum laki-laki. Sementara
kaum wanita tidaklah demikian.

Itulah beberapa hikmah dari sekian banyak hikmah yang terkandung dalam
perbedaan pembagian antara kaum laki-laki --dua kali lebih besar-- dan kaum
wanita. Kalau saja tidak karena rasa takut membosankan, ingin sekali saya
sebutkan hikmah-hikmah tersebut sebanyak mungkin. Secara logika, siapa pun
yang memiliki tanggung jawab besar --hingga harus mengeluarkan pembiayaan
lebih banyak-- maka dialah yang lebih berhak untuk mendapatkan bagian yang
lebih besar pula. Kendatipun hukum Islam telah menetapkan bahwa bagian
kaum laki-laki dua kali lipat lebih besar daripada bagian kaum wanita, Islam telah
menyelimuti kaum wanita dengan rahmat dan keutamaannya, berupa
memberikan hak waris kepada kaum wanita melebihi apa yang digambarkan.
Dengan demikian, tampak secara jelas bahwa kaum wanita justru lebih banyak
mengenyam kenikmatan dan lebih enak dibandingkan kaum laki-laki. Sebab,
kaum wanita sama-sama menerima hak waris sebagaimana halnya kaum laki-
laki, namun mereka tidak terbebani dan tidak berkewajiban untuk menanggung
nafkah keluarga. Artinya, kaum wanita berhak untuk mendapatkan hak waris,
tetapi tidak memiliki kewajiban untuk mengeluarkan nafkah.

Syariat Islam tidak mewajibkan kaum wanita untuk membelanjakan harta


miliknya meski sedikit, baik untuk keperluan dirinya atau keperluan anak-
anaknya (keluarganya), selama masih ada suaminya. Ketentuan ini tetap berlaku
sekalipun wanita tersebut kaya raya dan hidup dalam kemewahan. Sebab,
suamilah yang berkewajiban membiayai semua nafkah dan kebutuhan
keluarganya, khususnya dalam hal sandang, pangan, dan papan. Hal ini
sebagaimana ditegaskan dalam firman-Nya:

"... Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan
cara yang ma'ruf ..." (al-Baqarah: 233)

Untuk lebih menjelaskan permasalahan tersebut perlu saya ketengahkan satu


contoh kasus supaya hikmah Allah dalam menetapkan hukum-hukum-Nya akan
terasa lebih jelas dan nyata. Contoh yang dimaksud di sini ialah tentang
pembagian hak kaum laki-laki yang banyaknya dua kali lipat dari bagian kaum
wanita.

Seseorang meninggal dan mempunyai dua orang anak, satu laki-laki dan satu
perempuan. Ternyata orang tersebut meninggalkan harta, misalnya sebanyak Rp
3 juta. Maka, menurut ketetapan syariat Islam, laki-laki mendapatkan Rp 2 juta
sedangkan anak perempuan mendapatkan Rp 1 juta.

PEMBAGIAN WARIS MENURUT ISLAM - oleh Muhammad Ali Ash-Shabuni 12


Pustaka Pribadi Notaris Herman ALT
Apabila anak laki-laki tersebut telah dewasa dan layak untuk menikah, maka ia
berkewajiban untuk membayar mahar dan semua keperluan pesta
pernikahannya. Misalnya, ia mengeluarkan semua pembiayaan keperluan pesta
pernikahan itu sebesar Rp 20 juta. Dengan demikian, uang yang ia terima dari
warisan orang tuanya tidak tersisa. Padahal, setelah menikah ia mempunyai
beban tanggung jawab memberi nafkah istrinya.

Adapun anak perempuan, apabila ia telah dewasa dan layak untuk berumah
tangga, dialah yang mendapatkan mahar dari calon suaminya. Kita misalkan saja
mahar itu sebesar Rp 1 juta. Maka anak perempuan itu telah memiliki uang
sebanyak Rp 2 juta (satu juta dari harta warisan dan satu juta lagi dari mahar
pemberian calon suaminya). Sementara itu, sebagai istri ia tidak dibebani
tanggung jawab untuk membiayai kebutuhan nafkah rumah tangganya, sekalipun
ia memiliki harta yang banyak dan hidup dalam kemewahan. Sebab dalam Islam
kaum laki-lakilah yang berkewajiban memberi nafkah istrinya, baik berupa
sandang, pangan, dan papan. Jadi, harta warisan anak perempuan semakin
bertambah, sedangkan harta warisan anak laki-laki habis.

Dalam keadaan seperti ini manakah di antara kaum laki-laki dan kaum wanita
yang lebih banyak menikmati harta dan lebih berbahagia keadaannya? Laki-laki
ataukah wanita? Inilah logika keadilan dalam agama, sehingga pembagian hak
laki-laki dua kali lipat lebih besar daripada hak kaum wanita.

_______________
1 Tafsir al-Qurthubi, juz V, hlm. 56.

PEMBAGIAN WARIS MENURUT ISLAM - oleh Muhammad Ali Ash-Shabuni 13


Pustaka Pribadi Notaris Herman ALT
B. Hak Waris Kaum Wanita sebelum Islam

Sebelum Islam datang, kaum wanita sama sekali tidak mempunyai hak untuk
menerima warisan dari peninggalan pewaris (orang tua ataupun kerabatnya).
Dengan dalih bahwa kaum wanita tidak dapat ikut berperang membela kaum dan
sukunya. Bangsa Arab jahiliah dengan tegas menyatakan, "Bagaimana mungkin
kami memberikan warisan (harta peninggalan) kepada orang yang tidak bisa dan
tidak pernah menunggang kuda, tidak mampu memanggul senjata, serta tidak
pula berperang melawan musuh." Mereka mengharamkan kaum wanita
menerima harta warisan, sebagaimana mereka mengharamkannya kepada
anak-anak kecil.

Sangat jelas bagi kita bahwa sebelum Islam datang bangsa Arab
memperlakukan kaum wanita secara zalim. Mereka tidak memberikan hak waris
kepada kaum wanita dan anak-anak, baik dari harta peninggalan ayah, suami,
maupun kerabat mereka. Barulah setelah Islam datang ada ketetapan syariat
yang memberi mereka hak untuk mewarisi harta peninggalan kerabat, ayah, atau
suami mereka dengan penuh kemuliaan, tanpa direndahkan. Islam memberi
mereka hak waris, tanpa boleh siapa pun mengusik dan menentangnya. Inilah
ketetapan yang telah Allah pastikan dalam syariat-Nya sebagai keharusan yang
tidak dapat diubah.

Ketika turun wahyu kepada Rasulullah saw. --berupa ayat-ayat tentang waris--
kalangan bangsa Arab pada saat itu merasa tidak puas dan keberatan. Mereka
sangat berharap kalau saja hukum yang tercantum dalam ayat tersebut dapat
dihapus (mansukh). Sebab menurut anggapan mereka, memberi warisan kepada
kaum wanita dan anak-anak sangat bertentangan dengan kebiasaan dan adat
yang telah lama mereka amalkan sebagai ajaran dari nenek moyang.

Ibnu Jarir ath-Thabari meriwayatkan sebuah kisah yang bersumber dari Abdullah
Ibnu Abbas r.a.. Ia berkata: "Ketika ayat-ayat yang menetapkan tentang warisan
diturunkan Allah kepada RasulNya --yang mewajibkan agar memberikan hak
waris kepada laki-laki, wanita, anak-anak, kedua orang tua, suami, dan istri--
sebagian bangsa Arab merasa kurang senang terhadap ketetapan tersebut.
Dengan nada keheranan sambil mencibirkan mereka mengatakan: 'Haruskah
memberi seperempat bagian kepada kaum wanita (istri) atau seperdelapan.'
Memberikan anak perempuan setengah bagian harta peninggalan? Juga
haruskah memberikan warisan kepada anak-anak ingusan? Padahal mereka
tidak ada yang dapat memanggul senjata untuk berperang melawan musuh, dan
tidak pula dapat andil membela kaum kerabatnya. Sebaiknya kita tidak perlu
membicarakan hukum tersebut. Semoga saja Rasulullah melalaikan dan
mengabaikannya, atau kita meminta kepada beliau agar berkenan untuk
mengubahnya.' Sebagian dari mereka berkata kepada Rasulullah: 'Wahai
Rasulullah, haruskah kami memberikan warisan kepada anak kecil yang masih
ingusan? Padahal kami tidak dapat memanfaatkan mereka sama sekali. Dan
haruskah kami memberikan hak waris kepada anak-anak perempuan kami,

PEMBAGIAN WARIS MENURUT ISLAM - oleh Muhammad Ali Ash-Shabuni 14


Pustaka Pribadi Notaris Herman ALT
padahal mereka tidak dapat menunggang kuda dan memanggul senjata untuk
ikut berperang melawan musuh?'"

Inilah salah satu bentuk nyata ajaran syariat Islam dalam menyantuni kaum
wanita; Islam telah mampu melepaskan kaum wanita dari kungkungan kezaliman
zaman. Islam memberikan hak waris kepada kaum wanita yang sebelumnya
tidak memiliki hak seperti itu, bahkan telah menetapkan mereka sebagai
ashhabul furudh (kewajiban yang telah Allah tetapkan bagian warisannya).
Kendatipun demikian, dewasa ini masih saja kita jumpai pemikiran yang kotor
yang sengaja disebarluaskan oleh orang-orang yang berhati buruk. Mereka
beranggapan bahwa Islam telah menzalimi kaum wanita dalam hal hak waris,
karena hanya memberikan separo dari hak kaum laki-laki.

Anggapan mereka semata-mata dimaksudkan untuk memperdaya kaum wanita


tentang hak yang mereka terima. Mereka berpura-pura akan menghilangkan
kezaliman yang menimpa kaum wanita dengan cara menyamakan hak kaum
wanita dengan hak kaum laki-laki dalam hal penerimaan warisan.

Mereka yang memiliki anggapan demikian sama halnya menghasut kaum wanita
agar mereka menjadi pembangkang dan pemberontak dengan menolak ajaran
dan aturan hukum dalam syariat Islam. Sehingga pada akhirnya kaum wanita
akan menuntut persamaan hak penerimaan warisan yang sama dan seimbang
dengan kaum laki-laki.

Yang sangat mengherankan dan sulit dicerna akal sehat ialah bahwa mereka
yang berpura-pura prihatin tentang hak waris kaum wanita, justru mereka sendiri
sangat bakhil terhadap kaum wanita dalam hal memberi nafkah. Subhanallah!
Sebagai bukti, mereka bahkan menyuruh kaum wanita untuk bekerja demi
menghidupi diri mereka, di antara mereka bekerja di ladang, di kantor, di tempat
hiburan, bar, kelab malam, dan sebagainya.

Corak pemikiran seperti ini dapat dipastikan merupakan hembusan dari Barat
yang banyak diikuti oleh orang-orang yang teperdaya oleh kedustaan mereka.
Kultur seperti itu tidak menghormati kaum wanita, bahkan tidak menempatkan
mereka pada timbangan yang adil. Budaya mereka memandang kaum wanita
tidak lebih sebagai pemuas syahwat. Mereka sangat bakhil dalam memberikan
nafkah kepada kaum wanita, dan mengharamkan wanita untuk mengatur harta
miliknya sendiri, kecuali dengan seizin kaum laki-laki (suaminya). Lebih dari itu,
budaya mereka mengharuskan kaum wanita bekerja guna membiayai hidupnya.
Kendatipun telah nyata demikian, mereka masih menuduh bahwa Islam telah
menzalimi dan membekukan hak wanita.

PEMBAGIAN WARIS MENURUT ISLAM - oleh Muhammad Ali Ash-Shabuni 15


Pustaka Pribadi Notaris Herman ALT
C. Asbabun Nuzul Ayat-ayat Waris

Banyak riwayat yang mengisahkan tentang sebab turunnya ayat-ayat waris, di


antaranya yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim. Suatu ketika
istri Sa'ad bin ar-Rabi' datang menghadap Rasulullah saw. dengan membawa
kedua orang putrinya. Ia berkata, "Wahai Rasulullah, kedua putri ini adalah anak
Sa'ad bin ar-Rabi' yang telah meninggal sebagai syuhada ketika Perang Uhud.
Tetapi paman kedua putri Sa'ad ini telah mengambil seluruh harta peninggalan
Sa'ad, tanpa meninggalkan barang sedikit pun bagi keduanya." Kemudian
Rasulullah saw. bersabda, "Semoga Allah segera memutuskan perkara ini."
Maka turunlah ayat tentang waris yaitu (an-Nisa': 11).

Rasulullah saw. kemudian mengutus seseorang kepada paman kedua putri


Sa'ad dan memerintahkan kepadanya agar memberikan dua per tiga harta
peninggalan Sa'ad kepada kedua putri itu. Sedangkan ibu mereka (istri Sa'ad)
mendapat bagian seperdelapan, dan sisanya menjadi bagian saudara kandung
Sa'ad.

Dalam riwayat lain, yang dikeluarkan oleh Imam ath-Thabari, dikisahkan bahwa
Abdurrahman bin Tsabit wafat dan meninggalkan seorang istri dan lima saudara
perempuan. Namun, seluruh harta peninggalan Abdurrahman bin Tsabit dikuasai
dan direbut oleh kaum laki-laki dari kerabatnya. Ummu Kahhah (istri
Abdurrahman) lalu mengadukan masalah ini kepada Nabi saw., maka turunlah
ayat waris sebagai jawaban persoalan itu.

Masih ada sederetan riwayat sahih yang mengisahkan tentang sebab turunnya
ayat waris ini. Semua riwayat tersebut tidak ada yang menyimpang dari inti
permasalahan, artinya bahwa turunnya ayat waris sebagai penjelasan dan
ketetapan Allah disebabkan pada waktu itu kaum wanita tidak mendapat bagian
harta warisan.

D. Kajian terhadap Ayat-ayat Waris

Pertama:

Firman Allah yang artinya "bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua
orang anak perempuan," menunjukkan hukum-hukum sebagai berikut:
Apabila pewaris (orang yang meninggal) hanya mempunyai seorang anak laki-
laki dan seorang anak perempuan, maka harta peninggalannya dibagi untuk
keduanya. Anak laki-laki mendapat dua bagian, sedangkan anak perempuan
satu bagian.
Apabila ahli waris berjumlah banyak, terdiri dari anak laki-laki dan anak
perempuan, maka bagian untuk laki-laki dua kali lipat bagian anak perempuan.
Apabila bersama anak (sebagai ahli waris) ada juga ashhabul furudh, seperti
suami atau istri, ayah atau ibu, maka yang harus diberi terlebih dahulu adalah

PEMBAGIAN WARIS MENURUT ISLAM - oleh Muhammad Ali Ash-Shabuni 16


Pustaka Pribadi Notaris Herman ALT
ashhabul furudh. Setelah itu barulah sisa harta peninggalan yang ada dibagikan
kepada anak. Bagi anak laki-laki dua bagian, sedangkan bagi anak perempuan
satu bagian.
Apabila pewaris hanya meninggalkan satu anak laki-laki, maka anak tersebut
mewarisi seluruh harta peninggalan. Meskipun ayat yang ada tidak secara sharih
(tegas) menyatakan demikian, namun pemahaman seperti ini dapat diketahui
dari kedua ayat yang ada. Bunyi penggalan ayat yang dikutip sebelumnya (Butir
1) rnenunjukkan bahwa bagian laki-laki adalah dua kali lipat bagian anak
perempuan. Kemudian dilanjutkan dengan kalimat (artinya) "jika anak
perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separo harta". Dari kedua
penggalan ayat itu dapat ditarik kesimpulan bahwa bila ahli waris hanya terdiri
dari seorang anak laki-laki, maka ia mendapatkan seluruh harta peninggalan
pewaris.
Adapun bagian keturunan dari anak laki-laki (cucu pewaris), jumlah bagian
mereka sama seperti anak, apabila sang anak tidak ada (misalnya meninggal
terlebih dahulu). Sebab penggalan ayat (artinya) "Allah mensyariatkan bagimu
tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu", mencakup keturunan anak
kandung. Inilah ketetapan yang telah menjadi ijma'.

Kedua:

Hukum bagian kedua orang tua. Firman Allah (artinya): "Dan untuk dua orang
ibu-hapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika
yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak
mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapaknya (saja), maka ibunya
mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara,
maka ibunya mendapat seperenam." Penggalan ayat ini menunjukkan hukum-
hukum sebagai berikut:

Ayah dan ibu masing-masing mendapatkan seperenam bagian apabila yang


meninggal mempunyai keturunan.

Apabila pewaris tidak mempunyai keturunan, maka ibunya mendapat bagian


sepertiga dari harta yang ditinggalkan. Sedangkan sisanya, yakni dua per tiga
menjadi bagian ayah. Hal ini dapat dipahami dari redaksi ayat yang hanya
menyebutkan bagian ibu, yaitu sepertiga, sedangkan bagian ayah tidak
disebutkan. Jadi, pengertiannya, sisanya merupakan bagian ayah.

Jika selain kedua orang tua, pewaris mempunyai saudara (dua orang atau lebih),
maka ibunya mendapat seperenam bagian. Sedangkan ayah mendapatkan lima
per enamnya. Adapun saudara-saudara itu tidaklah mendapat bagian harta waris
dikarenakan adanya bapak, yang dalam aturan hukum waris dalam Islam
dinyatakan sebagai hajib (penghalang). Jika misalnya muncul pertanyaan apa
hikmah dari penghalangan saudara pewaris terhadap ibu mereka --artinya bila
tanpa adanya saudara (dua orang atau lebih) ibu mendapat sepertiga bagian,
sedangkan jika ada saudara kandung pewaris ibu hanya mendapatkan

PEMBAGIAN WARIS MENURUT ISLAM - oleh Muhammad Ali Ash-Shabuni 17


Pustaka Pribadi Notaris Herman ALT
seperenam bagian? Jawabannya, hikmah adanya hajib tersebut dikarenakan
ayahlah yang menjadi wali dalam pernikahan mereka, dan wajib memberi nafkah
mereka. Sedangkan ibu tidaklah demikian. Jadi, kebutuhannya terhadap harta
lebih besar dan lebih banyak dibandingkan ibu, yang memang tidak memiliki
kewajiban untuk membiayai kehidupan mereka.

Ketiga:

Utang orang yang meninggal lebih didahulukan daripada wasiat. Firman Allah
(artinya) "sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar
utangnya." Secara zhahir wasiat harus didahulukan ketimbang membayar utang
orang yang meninggal. Namun, secara hakiki, utanglah yang mesti terlebih
dahulu ditunaikan. Jadi, utang-utang pewaris terlebih dahulu ditunaikan,
kemudian barulah melaksanakan wasiat bila memang ia berwasiat sebelum
meninggal. Inilah yang diamalkan Rasulullah saw..

Diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib: "Sesungguhnya kalian telah membaca
firman Allah [tulisan Arab] dan Rasulullah telah menetapkan dengan menunaikan
utang-utang orang yang meninggal, lalu barulah melaksanakan wasiatnya."

Hikmah mendahulukan pembayaran utang dibandingkan melaksanakan wasiat


adalah karena utang merupakan keharusan yang tetap ada pada pundak orang
yang utang, baik ketika ia masih hidup ataupun sesudah mati. Selain itu, utang
tersebut akan tetap dituntut oleh orang yang mempiutanginya, sehingga bila
yang berutang meninggal, yang mempiutangi akan menuntut para ahli warisnya.

Sedangkan wasiat hanyalah suatu amalan sunnah yang dianjurkan, kalaupun


tidak ditunaikan tidak akan ada orang yang menuntutnya. Di sisi lain, agar
manusia tidak melecehkan wasiat dan jiwa manusia tidak menjadi kikir
(khususnya para ahli waris), maka Allah SWT mendahulukan penyebutannya.

Keempat:

Firman Allah (artinya) "orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui
siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu."
Penggalan ayat ini dengan tegas memberi isyarat bahwa Allah yang
berkompeten dan paling berhak untuk mengatur pembagian harta warisan. Hal
ini tidak diserahkan kepada manusia, siapa pun orangnya, cara ataupun aturan
pembagiannya, karena bagaimanapun bentuk usaha manusia untuk
mewujudkan keadilan tidaklah akan mampu melaksanakannya secara
sempurna. Bahkan tidak akan dapat merealisasikan pembagian yang adil seperti
yang telah ditetapkan dalam ayat-ayat Allah.

Manusia tidak akan tahu manakah di antara orang tua dan anak yang lebih dekat
atau lebih besar kemanfaatannya terhadap seseorang, tetapi Allah, Maha Suci
Dzat-Nya, Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui. Pembagian yang ditentukan-

PEMBAGIAN WARIS MENURUT ISLAM - oleh Muhammad Ali Ash-Shabuni 18


Pustaka Pribadi Notaris Herman ALT
Nya pasti adil. Bila demikian, siapakah yang dapat membuat aturan dan undang-
undang yang lebih baik, lebih adil, dan lebih relevan bagi umat manusia dan
kemanusiaan selain Allah?

Kelima:

Firman Allah (artinya) "Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang
ditinggalkan oleh istri-istrimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika istri-
istrimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang
ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) sesudah
dibayar utangnya. Para istri memperoleh seperempat harta yang kamu
tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka
para istri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah
dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar utang-utangmu."
Penggalan ayat tersebut menjelaskan tentang hukum waris bagi suami dan istri.
Bagi suami atau istri masing-masing mempunyai dua cara pembagian.

Bagian suami:
Apabila seorang istri meninggal dan tidak mempunyai keturunan (anak), maka
suami mendapat bagian separo dari harta yang ditinggalkan istrinya.
Apabila seorang istri meninggal dan ia mempunyai keturunan (anak), maka
suami mendapat bagian seperempat dari harta yang ditinggalkan.

Bagian istri:
Apabila seorang suami meninggal dan dia tidak mempunyai anak (keturunan),
maka bagian istri adalah seperempat.
Apabila seorang suami meninggal dan dia mempunyai anak (keturunan), maka
istri mendapat bagian seperdelapan.

Keenam:

Hukum yang berkenaan dengan hak waris saudara laki-laki atau saudara
perempuan seibu. Firman-Nya (artinya): "Jika seseorang mati, baik laki-laki
maupun perempuan, yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan
anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang
saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis
saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari
seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi
wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar utangnya dengan tidak
memberi mudarat (kepada ahli waris). "

Yang dimaksud ikhwah (saudara) dalam penggalan ayat ini (an-Nisa': 12) adalah
saudara laki-laki atau saudara perempuan "seibu lain ayah". Jadi, tidak
mencakup saudara kandung dan tidak pula saudara laki-laki atau saudara
perempuan "seayah lain ibu". Pengertian inilah yang disepakati oleh ulama.

PEMBAGIAN WARIS MENURUT ISLAM - oleh Muhammad Ali Ash-Shabuni 19


Pustaka Pribadi Notaris Herman ALT
Adapun yang dijadikan dalil oleh ulama ialah bahwa Allah SWT telah
menjelaskan --dalam firman-Nya-- tentang hak waris saudara dari pewaris
sebanyak dua kali. Yang pertama dalam ayat ini, dan yang kedua pada akhir
surat an-Nisa'. Dalam ayat yang disebut terakhir ini, bagi satu saudara mendapat
seperenam bagian, sedangkan bila jumlah saudaranya banyak maka
mendapatkan sepertiga dari harta peninggalan dan dibagi secara rata.

Sementara itu, ayat akhir surat an-Nisa' menjelaskan bahwa saudara


perempuan, jika sendirian, mendapat separo harta peninggalan, sedangkan bila
dua atau lebih ia mendapat bagian dua per tiga. Oleh karenanya, pengertian
istilah ikhwah dalam ayat ini harus dibedakan dengan pengertian ikhwah yang
terdapat dalam ayat akhir surat an-Nisa' untuk meniadakan pertentangan antara
dua ayat.

Sementara itu, karena saudara kandung atau saudara seayah kedudukannya


lebih dekat --dalam urutan nasab-- dibandingkan saudara seibu, maka Allah
menetapkan bagian keduanya lebih besar dibandingkan saudara seibu. Dengan
demikian, dapat dipastikan bahwa pengertian kata ikhwah dalam ayat tersebut
(an-Nisa': 12) adalah 'saudara seibu', sedangkan untuk kata yang sama di dalam
akhir surat an-Nisa' memiliki pengertian 'saudara kandung' atau 'saudara
seayah'.
Rincian Beberapa Keadaan Bagian Saudara Seibu

Apabila seseorang meninggal dan mempunyai satu orang saudara laki-laki seibu
atau satu orang saudara perempuan seibu, maka bagian yang diperolehnya
adalah seperenam.

Jika yang meninggal mempunyai saudara seibu dua orang atau lebih, mereka
mendapatkan dua per tiga bagian dan dibagi secara rata. Sebab yang zhahir dari
firman-Nya [tulisan Arab] menunjukkan adanya keharusan untuk dibagi dengan
rata sama besar-kecilnya. Jadi, saudara laki-laki mendapat bagian yang sama
dengan bagian saudara perempuan.
Makna Kalaalah

Pengertian kalaalah ialah seseorang meninggal tanpa memiliki ayah ataupun


keturunan; atau dengan kata lain dia tidak mempunyai pokok dan cabang. Kata
kalaalah diambil dari kata al-kalla yang bermakna 'lemah'. Kata ini misalnya
digunakan dalam kalimat kalla ar-rajulu, yang artinya 'apabila orang itu lemah
dan hilang kekuatannya'.

Ulama sepakat (ijma') bahwa kalaalah ialah seseorang yang mati namun tidak
mempunyai ayah dan tidak memiliki keturunan. Diriwayatkan dari Abu Bakar ash-
Shiddiq r.a., ia berkata: "Saya mempunyai pendapat mengenai kalaalah. Apabila
pendapat saya ini benar maka hanyalah dari Allah semata dan tidak ada sekutu
bagi-Nya. Adapun bila pendapat ini salah, maka karena dariku dan dari setan,
dan Allah terbebas dari kekeliruan tersebut. Menurut saya, Kalaalah adalah

PEMBAGIAN WARIS MENURUT ISLAM - oleh Muhammad Ali Ash-Shabuni 20


Pustaka Pribadi Notaris Herman ALT
orang yang meninggal yang tidak mempunyai ayah dan anak. "

Ketujuh:

Firman Allah (artinya) "sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sudah
dibayar utangnya dengan tidak membebani mudarat (kepada ahli waris)". Ayat
tersebut menunjukkan dengan tegas bahwa apabila wasiat dan utang nyata-
nyata mengandung kemudaratan, maka wajib untuk tidak dilaksanakan. Dampak
negatif mengenai wasiat yang dimaksudkan di sini, misalnya, seseorang yang
berwasiat untuk menyedekahkan hartanya lebih dari sepertiga. Sedangkan utang
yang dimaksud berdampak negatif, misalnya seseorang yang mengakui
mempunyai utang padahal sebenamya ia tidak berutang. Jadi, baik wasiat atau
utang yang dapat menimbulkan mudarat (berdampak negatif) pada ahli waris
tidak wajib dilaksanakan.

Hukum Keadaan Saudara Kandung atau Seayah

Firman Allah SWT dalam surat an-Nisa': 176 mengisyaratkan adanya beberapa
keadaan tentang bagian saudara kandung atau saudara seayah.

Apabila seseorang meninggal dan hanya mempunyai satu orang saudara


kandung perempuan ataupun seayah, maka ahli waris mendapat separo harta
peninggalan, bila ternyata pewaris (yang meninggal) tidak mempunyai ayah atau
anak.

Apabila pewaris mempunyai dua orang saudara kandung perempuan atau


seayah ke atas, dan tidak mempunyai ayah atau anak, maka bagian ahli waris
adalah dua per tiga dibagi secara rata.

Apabila pewaris mempunyai banyak saudara kandung laki-laki dan saudara


kandung perempuan atau seayah, maka bagi ahli waris yang laki-laki
mendapatkan dua kali bagian saudara perempuan.

Apabila seorang saudara kandung perempuan meninggal, dan ia tidak


mempunyai ayah atau anak, maka seluruh harta peninggalannya menjadi bagian
saudara kandung laki-lakinya. Apabila saudara kandungnya banyak --lebih dari
satu-- maka dibagi secara rata sesuai jumlah kepala. Begitulah hukum bagi
saudara seayah, jika ternyata tidak ada saudara laki-laki yang sekandung atau
saudara perempuan yang sekandung.

PEMBAGIAN WARIS MENURUT ISLAM - oleh Muhammad Ali Ash-Shabuni 21


Pustaka Pribadi Notaris Herman ALT
II. WARIS DALAM PANDANGAN ISLAM

SYARIAT Islam menetapkan aturan waris dengan bentuk yang sangat teratur
dan adil. Di dalamnya ditetapkan hak kepemilikan harta bagi setiap manusia,
baik laki-laki maupun perempuan dengan cara yang legal. Syariat Islam juga
menetapkan hak pemindahan kepemilikan seseorang sesudah meninggal dunia
kepada ahli warisnya, dari seluruh kerabat dan nasabnya, tanpa membedakan
antara laki-laki dan perempuan, besar atau kecil.

Al-Qur'an menjelaskan dan merinci secara detail hukum-hukum yang berkaitan


dengan hak kewarisan tanpa mengabaikan hak seorang pun. Bagian yang harus
diterima semuanya dijelaskan sesuai kedudukan nasab terhadap pewaris,
apakah dia sebagai anak, ayah, istri, suami, kakek, ibu, paman, cucu, atau
bahkan hanya sebatas saudara seayah atau seibu.

Oleh karena itu, Al-Qur'an merupakan acuan utama hukum dan penentuan
pembagian waris, sedangkan ketetapan tentang kewarisan yang diambil dari
hadits Rasulullah saw. dan ijma' para ulama sangat sedikit. Dapat dikatakan
bahwa dalam hukum dan syariat Islam sedikit sekali ayat Al-Qur'an yang merinci
suatu hukum secara detail dan rinci, kecuali hukum waris ini. Hal demikian
disebabkan kewarisan merupakan salah satu bentuk kepemilikan yang legal dan
dibenarkan AlIah SWT. Di samping bahwa harta merupakan tonggak penegak
kehidupan baik bagi individu maupun kelompok masyarakat.

A. Definisi Waris

Al-miirats, dalam bahasa Arab adalah bentuk mashdar (infinitif) dari kata waritsa-
yaritsu-irtsan-miiraatsan. Maknanya menurut bahasa ialah 'berpindahnya
sesuatu dari seseorang kepada orang lain', atau dari suatu kaum kepada kaum
lain.

Pengertian menurut bahasa ini tidaklah terbatas hanya pada hal-hal yang
berkaitan dengan harta, tetapi mencakup harta benda dan non harta benda.
Ayat-ayat Al-Qur'an banyak menegaskan hal ini, demikian pula sabda Rasulullah
saw.. Di antaranya Allah berfirman:

"Dan Sulaiman telah mewarisi Daud ..." (an-Naml: 16)

"... Dan Kami adalah pewarisnya." (al-Qashash: 58)

Selain itu kita dapati dalam hadits Nabi saw.:

'Ulama adalah ahli waris para nabi'.

Sedangkan makna al-miirats menurut istilah yang dikenal para ulama ialah
berpindahnya hak kepemilikan dari orang yang meninggal kepada ahli warisnya

PEMBAGIAN WARIS MENURUT ISLAM - oleh Muhammad Ali Ash-Shabuni 22


Pustaka Pribadi Notaris Herman ALT
yang masih hidup, baik yang ditinggalkan itu berupa harta (uang), tanah, atau
apa saja yang berupa hak milik legal secara syar'i.
Pengertian Peninggalan

Pengertian peninggalan yang dikenal di kalangan fuqaha ialah segala sesuatu


yang ditinggalkan pewaris, baik berupa harta (uang) atau lainnya. Jadi, pada
prinsipnya segala sesuatu yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal
dinyatakan sebagai peninggalan. Termasuk di dalamnya bersangkutan dengan
utang piutang, baik utang piutang itu berkaitan dengan pokok hartanya (seperti
harta yang berstatus gadai), atau utang piutang yang berkaitan dengan
kewajiban pribadi yang mesti ditunaikan (misalnya pembayaran kredit atau
mahar yang belum diberikan kepada istrinya).
Hak-hak yang Berkaitan dengan Harta Peninggalan

Dari sederetan hak yang harus ditunaikan yang ada kaitannya dengan harta
peninggalan adalah:

1. Semua keperluan dan pembiayaan pemakaman pewaris hendaknya


menggunakan harta miliknya, dengan catatan tidak boleh berlebihan.
Keperluan-keperluan pemakaman tersebut menyangkut segala sesuatu yang
dibutuhkan mayit, sejak wafatnya hingga pemakamannya. Di antaranya,
biaya memandikan, pembelian kain kafan, biaya pemakaman, dan
sebagainya hingga mayit sampai di tempat peristirahatannya yang terakhir.

Satu hal yang perlu untuk diketahui dalam hal ini ialah bahwa segala
keperluan tersebut akan berbeda-beda tergantung perbedaan keadaan
mayit, baik dari segi kemampuannya maupun dari jenis kelaminnya.

2. Hendaklah utang piutang yang masih ditanggung pewaris ditunaikan terlebih


dahulu. Artinya, seluruh harta peninggalan pewaris tidak dibenarkan
dibagikan kepada ahli warisnya sebelum utang piutangnya ditunaikan
terlebih dahulu. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah saw.:

"Jiwa (ruh) orang mukmin bergantung pada utangnya hingga ditunaikan."

Maksud hadits ini adalah utang piutang yang bersangkutan dengan sesama
manusia. Adapun jika utang tersebut berkaitan dengan Allah SWT, seperti belum
membayar zakat, atau belum menunaikan nadzar, atau belum memenuhi kafarat
(denda), maka di kalangan ulama ada sedikit perbedaan pandangan. Kalangan
ulama mazhab Hanafi berpendapat bahwa ahli warisnya tidaklah diwajibkan
untuk menunaikannya. Sedangkan jumhur ulama berpendapat wajib bagi ahli
warisnya untuk menunaikannya sebelum harta warisan (harta peninggalan)
pewaris dibagikan kepada para ahli warisnya.

Kalangan ulama mazhab Hanafi beralasan bahwa menunaikan hal-hal tersebut


merupakan ibadah, sedangkan kewajiban ibadah gugur jika seseorang telah

PEMBAGIAN WARIS MENURUT ISLAM - oleh Muhammad Ali Ash-Shabuni 23


Pustaka Pribadi Notaris Herman ALT
meninggal dunia. Padahal, menurut mereka, pengamalan suatu ibadah harus
disertai dengan niat dan keikhlasan, dan hal itu tidak mungkin dapat dilakukan
oleh orang yang sudah meninggal. Akan tetapi, meskipun kewajiban tersebut
dinyatakan telah gugur bagi orang yang sudah meninggal, ia tetap akan
dikenakan sanksi kelak pada hari kiamat sebab ia tidak menunaikan kewajiban
ketika masih hidup. Hal ini tentu saja merupakan keputusan Allah SWT.
Pendapat mazhab ini, menurut saya, tentunya bila sebelumnya mayit tidak
berwasiat kepada ahli waris untuk membayarnya. Namun, bila sang mayit
berwasiat, maka wajib bagi ahli waris untuk menunaikannya.

Sedangkan jumhur ulama yang menyatakan bahwa ahli waris wajib untuk
menunaikan utang pewaris terhadap Allah beralasan bahwa hal tersebut sama
saja seperti utang kepada sesama manusia. Menurut jumhur ulama, hal ini
merupakan amalan yang tidak memerlukan niat karena bukan termasuk ibadah
mahdhah, tetapi termasuk hak yang menyangkut harta peninggalan pewaris.
Karena itu wajib bagi ahli waris untuk menunaikannya, baik pewaris
mewasiatkan ataupun tidak.

Bahkan menurut pandangan ulama mazhab Syafi'i hal tersebut wajib ditunaikan
sebelum memenuhi hak yang berkaitan dengan hak sesama hamba. Sedangkan
mazhab Maliki berpendapat bahwa hak yang berhubungan dengan Allah wajib
ditunaikan oleh ahli warisnya sama seperti mereka diwajibkan menunaikan utang
piutang pewaris yang berkaitan dengan hak sesama hamba. Hanya saja mazhab
ini lebih mengutamakan agar mendahulukan utang yang berkaitan dengan
sesama hamba daripada utang kepada Allah. Sementara itu, ulama mazhab
Hambali menyamakan antara utang kepada sesama hamba dengan utang
kepada Allah. Keduanya wajib ditunaikan secara bersamaan sebelum seluruh
harta peninggalan pewaris dibagikan kepada setiap ahli waris.

3. Wajib menunaikan seluruh wasiat pewaris selama tidak melebihi jumlah


sepertiga dari seluruh harta peninggalannya. Hal ini jika memang wasiat
tersebut diperuntukkan bagi orang yang bukan ahli waris, serta tidak ada
protes dari salah satu atau bahkan seluruh ahli warisnya. Adapun penunaian
wasiat pewaris dilakukan setelah sebagian harta tersebut diambil untuk
membiayai keperluan pemakamannya, termasuk diambil untuk membayar
utangnya.

Bila ternyata wasiat pewaris melebihi sepertiga dari jumlah harta yang
ditinggalkannya, maka wasiatnya tidak wajib ditunaikan kecuali dengan
kesepakatan semua ahli warisnya. Hal ini berlandaskan sabda Rasulullah saw.
ketika menjawab pertanyaan Sa'ad bin Abi Waqash r.a. --pada waktu itu Sa'ad
sakit dan berniat menyerahkan seluruh harta yang dimilikinya ke baitulmal.
Rasulullah saw. bersabda: "... Sepertiga, dan sepertiga itu banyak.
Sesungguhnya bila engkau meninggalkan para ahli warismu dalam keadaan
kaya itu lebih baik daripada meninggalkan mereka dalam kemiskinan hingga
meminta-minta kepada orang."

PEMBAGIAN WARIS MENURUT ISLAM - oleh Muhammad Ali Ash-Shabuni 24


Pustaka Pribadi Notaris Herman ALT
4. Setelah itu barulah seluruh harta peninggalan pewaris dibagikan kepada
para ahli warisnya sesuai ketetapan Al-Qur'an, As-Sunnah, dan kesepakatan
para ulama (ijma'). Dalam hal ini dimulai dengan memberikan warisan
kepada ashhabul furudh (ahli waris yang telah ditentukan jumlah bagiannya,
misalnya ibu, ayah, istri, suami, dan lainnya), kemudian kepada para
'ashabah (kerabat mayit yang berhak menerima sisa harta waris --jika ada--
setelah ashhabul furudh menerima bagian).

Catatan:

Pada ayat waris, wasiat memang lebih dahulu disebutkan daripada soal utang
piutang. Padahal secara syar'i, persoalan utang piutang hendaklah terlebih
dahulu diselesaikan, baru kemudian melaksanakan wasiat. Oleh karena itu,
didahulukannya penyebutan wasiat tentu mengandung hikmah, diantaranya agar
ahli waris menjaga dan benar-benar melaksanakannya. Sebab wasiat tidak ada
yang menuntut hingga kadang-kadang seseorang enggan menunaikannya. Hal
ini tentu saja berbeda dengan utang piutang. Itulah sebabnya wasiat lebih
didahulukan penyebutannya dalam susunan ayat tersebut.

B. Derajat Ahli Waris

Antara ahli waris yang satu dan lainnya ternyata mempunyai perbedaan derajat
dan urutan. Berikut ini akan disebutkan berdasarkan urutan dan derajatnya:
Ashhabul furudh. Golongan inilah yang pertama diberi bagian harta warisan.
Mereka adalah orang-orang yang telah ditentukan bagiannya dalam Al-Qur'an,
As-Sunnah, dan ijma'.

Ashabat nasabiyah. Setelah ashhabul furudh, barulah ashabat nasabiyah


menerima bagian. Ashabat nasabiyah yaitu setiap kerabat (nasab) pewaris yang
menerima sisa harta warisan yang telah dibagikan. Bahkan, jika ternyata tidak
ada ahli waris lainnya, ia berhak mengambil seluruh harta peninggalan. Misalnya
anak laki-laki pewaris, cucu dari anak laki-laki pewaris, saudara kandung
pewaris, paman kandung, dan seterusnya.

Penambahan bagi ashhabul furudh sesuai bagian (kecuali suami istri). Apabila
harta warisan yang telah dibagikan kepada semua ahli warisnya masih juga
tersisa, maka hendaknya diberikan kepada ashhabul furudh masing-masing
sesuai dengan bagian yang telah ditentukan. Adapun suami atau istri tidak
berhak menerima tambahan bagian dari sisa harta yang ada. Sebab hak waris
bagi suami atau istri disebabkan adanya ikatan pernikahan, sedangkan
kekerabatan karena nasab lebih utama mendapatkan tambahan dibandingkan
lainnya.

Mewariskan kepada kerabat. Yang dimaksud kerabat di sini ialah kerabat

PEMBAGIAN WARIS MENURUT ISLAM - oleh Muhammad Ali Ash-Shabuni 25


Pustaka Pribadi Notaris Herman ALT
pewaris yang masih memiliki kaitan rahim --tidak termasuk ashhabul furudh juga
'ashabah. Misalnya, paman (saudara ibu), bibi (saudara ibu), bibi (saudara ayah),
cucu laki-laki dari anak perempuan, dan cucu perempuan dari anak perempuan.
Maka, bila pewaris tidak mempunyai kerabat sebagai ashhabul furudh, tidak pula
'ashabah, para kerabat yang masih mempunyai ikatan rahim dengannya berhak
untuk mendapatkan warisan.

Tambahan hak waris bagi suami atau istri. Bila pewaris tidak mempunyai ahli
waris yang termasuk ashhabul furudh dan 'ashabah, juga tidak ada kerabat yang
memiliki ikatan rahim, maka harta warisan tersebut seluruhnya menjadi milik
suami atau istri. Misalnya, seorang suami meninggal tanpa memiliki kerabat yang
berhak untuk mewarisinya, maka istri mendapatkan bagian seperempat dari
harta warisan yang ditinggalkannya, sedangkan sisanya merupakan tambahan
hak warisnya. Dengan demikian, istri memiliki seluruh harta peninggalan
suaminya. Begitu juga sebaliknya suami terhadap harta peninggalan istri yang
meninggal.

Ashabah karena sebab. Yang dimaksud para 'ashabah karena sebab ialah
orang-orang yang memerdekakan budak (baik budak laki-laki maupun
perempuan). Misalnya, seorang bekas budak meninggal dan mempunyai harta
warisan, maka orang yang pernah memerdekakannya termasuk salah satu ahli
warisnya, dan sebagai 'ashabah. Tetapi pada masa kini sudah tidak ada lagi.

Orang yang diberi wasiat lebih dari sepertiga harta pewaris. Yang dimaksud di
sini ialah orang lain, artinya bukan salah seorang dan ahli waris. Misalnya,
seseorang meninggal dan mempunyai sepuluh anak. Sebelum meninggal ia
terlebih dahulu memberi wasiat kepada semua atau sebagian anaknya agar
memberikan sejumlah hartanya kepada seseorang yang bukan termasuk salah
satu ahli warisnya. Bahkan mazhab Hanafi dan Hambali berpendapat boleh
memberikan seluruh harta pewaris bila memang wasiatnya demikian.

Baitulmal (kas negara). Apabila seseorang yang meninggal tidak mempunyai ahli
waris ataupun kerabat --seperti yang saya jelaskan-- maka seluruh harta
peninggalannya diserahkan kepada baitulmal untuk kemaslahatan umum.

C. Bentuk-bentuk Waris

Hak waris secara fardh (yang telah ditentukan bagiannya).


Hak waris secara 'ashabah (kedekatan kekerabatan dari pihak ayah).
Hak waris secara tambahan.
Hak waris secara pertalian rahim.

Pada bagian berikutnya butir-butir tersebut akan saya jelas secara detail.

PEMBAGIAN WARIS MENURUT ISLAM - oleh Muhammad Ali Ash-Shabuni 26


Pustaka Pribadi Notaris Herman ALT
D. Sebab-sebab Adanya Hak Waris

Ada tiga sebab yang menjadikan seseorang mendapatkan hak waris:


Kerabat hakiki (yang ada ikatan nasab), seperti kedua orang tua, anak, saudara,
paman, dan seterusnya.

Pernikahan, yaitu terjadinya akad nikah secara legal (syar'i) antara seorang laki-
laki dan perempuan, sekalipun belum atau tidak terjadi hubungan intim
(bersanggama) antar keduanya. Adapun pernikahan yang batil atau rusak, tidak
bisa menjadi sebab untuk mendapatkan hak waris.

Al-Wala, yaitu kekerabatan karena sebab hukum. Disebut juga wala al-'itqi dan
wala an-ni'mah. Yang menjadi penyebab adalah kenikmatan pembebasan budak
yang dilakukan seseorang. Maka dalam hal ini orang yang membebaskannya
mendapat kenikmatan berupa kekerabatan (ikatan) yang dinamakan wala al-'itqi.
Orang yang membebaskan budak berarti telah mengembalikan kebebasan dan
jati diri seseorang sebagai manusia. Karena itu Allah SWT menganugerahkan
kepadanya hak mewarisi terhadap budak yang dibebaskan, bila budak itu tidak
memiliki ahli waris yang hakiki, baik adanya kekerabatan (nasab) ataupun karena
adanya tali pernikahan.

E. Rukun Waris

Rukun waris ada tiga:


Pewaris, yakni orang yang meninggal dunia, dan ahli warisnya berhak untuk
mewarisi harta peninggalannya.

Ahli waris, yaitu mereka yang berhak untuk menguasai atau menerima harta
peninggalan pewaris dikarenakan adanya ikatan kekerabatan (nasab) atau
ikatan pernikahan, atau lainnya.

Harta warisan, yaitu segala jenis benda atau kepemilikan yang ditinggalkan
pewaris, baik berupa uang, tanah, dan sebagainya.

F. Syarat Waris

Syarat-syarat waris juga ada tiga:


Meninggalnya seseorang (pewaris) baik secara hakiki maupun secara hukum
(misalnya dianggap telah meninggal).

Adanya ahli waris yang hidup secara hakiki pada waktu pewaris meninggal
dunia.
Seluruh ahli waris diketahui secara pasti, termasuk jumlah bagian masing-
masing.

PEMBAGIAN WARIS MENURUT ISLAM - oleh Muhammad Ali Ash-Shabuni 27


Pustaka Pribadi Notaris Herman ALT
Syarat Pertama: Meninggalnya pewaris

Yang dimaksud dengan meninggalnya pewaris --baik secara hakiki ataupun


secara hukum-- -ialah bahwa seseorang telah meninggal dan diketahui oleh
seluruh ahli warisnya atau sebagian dari mereka, atau vonis yang ditetapkan
hakim terhadap seseorang yang tidak diketahui lagi keberadaannya. Sebagai
contoh, orang yang hilang yang keadaannya tidak diketahui lagi secara pasti,
sehingga hakim memvonisnya sebagai orang yang telah meninggal.

Hal ini harus diketahui secara pasti, karena bagaimanapun keadaannya,


manusia yang masih hidup tetap dianggap mampu untuk mengendalikan seluruh
harta miliknya. Hak kepemilikannya tidak dapat diganggu gugat oleh siapa pun,
kecuali setelah ia meninggal.

Syarat Kedua: Masih hidupnya para ahli waris

Maksudnya, pemindahan hak kepemilikan dari pewaris harus kepada ahli waris
yang secara syariat benar-benar masih hidup, sebab orang yang sudah mati
tidak memiliki hak untuk mewarisi.

Sebagai contoh, jika dua orang atau lebih dari golongan yang berhak saling
mewarisi meninggal dalam satu peristiwa --atau dalam keadaan yang berlainan
tetapi tidak diketahui mana yang lebih dahulu meninggal-- maka di antara
mereka tidak dapat saling mewarisi harta yang mereka miliki ketika masih hidup.
Hal seperti ini oleh kalangan fuqaha digambarkan seperti orang yang sama-
sama meninggal dalam suatu kecelakaan kendaraan, tertimpa puing, atau
tenggelam. Para fuqaha menyatakan, mereka adalah golongan orang yang tidak
dapat saling mewarisi.

Syarat Ketiga: Diketahuinya posisi para ahli waris

Dalam hal ini posisi para ahli waris hendaklah diketahui secara pasti, misalnya
suami, istri, kerabat, dan sebagainya, sehingga pembagi mengetahui dengan
pasti jumlah bagian yang harus diberikan kepada masing-masing ahli waris.
Sebab, dalam hukum waris perbedaan jauh-dekatnya kekerabatan akan
membedakan jumlah yang diterima. Misalnya, kita tidak cukup hanya
mengatakan bahwa seseorang adalah saudara sang pewaris. Akan tetapi harus
dinyatakan apakah ia sebagai saudara kandung, saudara seayah, atau saudara
seibu. Mereka masing-masing mempunyai hukum bagian, ada yang berhak
menerima warisan karena sebagai ahlul furudh, ada yang karena 'ashabah, ada
yang terhalang hingga tidak mendapatkan warisan (mahjub), serta ada yang
tidak terhalang.

G. Penggugur Hak Waris

PEMBAGIAN WARIS MENURUT ISLAM - oleh Muhammad Ali Ash-Shabuni 28


Pustaka Pribadi Notaris Herman ALT
Penggugur hak waris seseorang maksudnya kondisi yang menyebabkan hak
waris seseorang menjadi gugur, dalam hal ini ada tiga:

1. Budak

Seseorang yang berstatus sebagai budak tidak mempunyai hak untuk mewarisi
sekalipun dari saudaranya. Sebab segala sesuatu yang dimiliki budak, secara
langsung menjadi milik tuannya. Baik budak itu sebagai qinnun (budak murni),
mudabbar (budak yang telah dinyatakan merdeka jika tuannya meninggal), atau
mukatab (budak yang telah menjalankan perjanjian pembebasan dengan
tuannya, dengan persyaratan yang disepakati kedua belah pihak). Alhasil,
semua jenis budak merupakan penggugur hak untuk mewarisi dan hak untuk
diwarisi disebabkan mereka tidak mempunyai hak milik.

2. Pembunuhan

Apabila seorang ahli waris membunuh pewaris (misalnya seorang anak


membunuh ayahnya), maka ia tidak berhak mendapatkan warisan. Hal ini
berdasarkan sabda Rasulullah saw.:

"Tidaklah seorang pembunuh berhak mewarisi harta orang yang dibunuhnya. "

Dari pemahaman hadits Nabi tersebut lahirlah ungkapan yang sangat masyhur di
kalangan fuqaha yang sekaligus dijadikan sebagai kaidah: "Siapa yang
menyegerakan agar mendapatkan sesuatu sebelum waktunya, maka dia tidak
mendapatkan bagiannya."

Ada perbedaan di kalangan fuqaha tentang penentuan jenis pembunuhan.


Misalnya, mazhab Hanafi menentukan bahwa pembunuhan yang dapat
menggugurkan hak waris adalah semua jenis pembunuhan yang wajib
membayar kafarat.

Sedangkan mazhab Maliki berpendapat, hanya pembunuhan yang disengaja


atau yang direncanakan yang dapat menggugurkan hak waris. Mazhab Hambali
berpendapat bahwa pembunuhan yang dinyatakan sebagai penggugur hak waris
adalah setiap jenis pembunuhan yang mengharuskan pelakunya diqishash,
membayar diyat, atau membayar kafarat. Selain itu tidak tergolong sebagai
penggugur hak waris.

Sedangkan menurut mazhab Syafi'i, pembunuhan dengan segala cara dan


macamnya tetap menjadi penggugur hak waris, sekalipun hanya memberikan
kesaksian palsu dalam pelaksanaan hukuman rajam, atau bahkan hanya
membenarkan kesaksian para saksi lain dalam pelaksanaan qishash atau
hukuman mati pada umumnya. Menurut saya, pendapat mazhab Hambali yang
paling adil. Wallahu a'lam.

PEMBAGIAN WARIS MENURUT ISLAM - oleh Muhammad Ali Ash-Shabuni 29


Pustaka Pribadi Notaris Herman ALT
Seorang muslim tidak dapat mewarisi ataupun diwarisi oleh orang non muslim,
apa pun agamanya. Hal ini telah ditegaskan Rasulullah saw. dalam sabdanya:

"Tidaklah berhak seorang muslim mewarisi orang kafir, dan tidak pula orang kafir
mewarisi muslim." (Bukhari dan Muslim)

Jumhur ulama berpendapat demikian, termasuk keempat imam mujtahid. Hal ini
berbeda dengan pendapat sebagian ulama yang mengaku bersandar pada
pendapat Mu'adz bin Jabal r.a. yang mengatakan bahwa seorang muslim boleh
mewarisi orang kafir, tetapi tidak boleh mewariskan kepada orang kafir. Alasan
mereka adalah bahwa Islam ya'lu walaayu'la 'alaihi (unggul, tidak ada yang
mengunggulinya).

Sebagian ulama ada yang menambahkan satu hal lagi sebagai penggugur hak
mewarisi, yakni murtad. Orang yang telah keluar dari Islam dinyatakan sebagai
orang murtad. Dalam hal ini ulama membuat kesepakatan bahwa murtad
termasuk dalam kategori perbedaan agama, karenanya orang murtad tidak dapat
mewarisi orang Islam.

Sementara itu, di kalangan ulama terjadi perbedaan pandangan mengenai


kerabat orang yang murtad, apakah dapat mewarisinya ataukah tidak.
Maksudnya, bolehkah seorang muslim mewarisi harta kerabatnya yang telah
murtad?

Menurut mazhab Maliki, Syafi'i, dan Hambali (jumhur ulama) bahwa seorang
muslim tidak berhak mewarisi harta kerabatnya yang telah murtad. Sebab,
menurut mereka, orang yang murtad berarti telah keluar dari ajaran Islam
sehingga secara otomatis orang tersebut telah menjadi kafir. Karena itu, seperti
ditegaskan Rasulullah saw. dalam haditsnya, bahwa antara muslim dan kafir
tidaklah dapat saling mewarisi.

Sedangkan menurut mazhab Hanafi, seorang muslim dapat saja mewarisi harta
kerabatnya yang murtad. Bahkan kalangan ulama mazhab Hanafi sepakat
mengatakan: "Seluruh harta peninggalan orang murtad diwariskan kepada
kerabatnya yang muslim." Pendapat ini diriwayatkan dari Abu Bakar ash-Shiddiq,
Ali bin Abi Thalib, Ibnu Mas'ud, dan lainnya.

Menurut penulis, pendapat ulama mazhab Hanafi lebih rajih (kuat dan tepat)
dibanding yang lainnya, karena harta warisan yang tidak memiliki ahli waris itu
harus diserahkan kepada baitulmal. Padahal pada masa sekarang tidak kita
temui baitulmal yang dikelola secara rapi, baik yang bertaraf nasional ataupun
internasional.
Perbedaan antara al-mahrum dan al-mahjub

Ada perbedaan yang sangat halus antara pengertian al-mahrum dan al-mahjub,

PEMBAGIAN WARIS MENURUT ISLAM - oleh Muhammad Ali Ash-Shabuni 30


Pustaka Pribadi Notaris Herman ALT
yang terkadang membingungkan sebagian orang yang sedang mempelajari
faraid. Karena itu, ada baiknya saya jelaskan perbedaan makna antara kedua
istilah tersebut.

Seseorang yang tergolong ke dalam salah satu sebab dari ketiga hal yang dapat
menggugurkan hak warisnya, seperti membunuh atau berbeda agama, di
kalangan fuqaha dikenal dengan istilah mahrum. Sedangkan mahjub adalah
hilangnya hak waris seorang ahli waris disebabkan adanya ahli waris yang lebih
dekat kekerabatannya atau lebih kuat kedudukannya. Sebagai contoh, adanya
kakek bersamaan dengan adanya ayah, atau saudara seayah dengan adanya
saudara kandung. Jika terjadi hal demikian, maka kakek tidak mendapatkan
bagian warisannya dikarenakan adanya ahli waris yang lebih dekat
kekerabatannya dengan pewaris, yaitu ayah. Begitu juga halnya dengan saudara
seayah, ia tidak memperoleh bagian disebabkan adanya saudara kandung
pewaris. Maka kakek dan saudara seayah dalam hal ini disebut dengan istilah
mahjub.

Untuk lebih memperjelas gambaran tersebut, saya sertakan contoh kasus dari
keduanya.

Contoh Pertama

Seorang suami meninggal dunia dan meninggalkan seorang istri, saudara


kandung, dan anak --dalam hal ini, anak kita misalkan sebagai pembunuh. Maka
pembagiannya sebagai berikut: istri mendapat bagian seperempat harta yang
ada, karena pewaris dianggap tidak memiliki anak. Kemudian sisanya, yaitu tiga
per empat harta yang ada, menjadi hak saudara kandung sebagai 'ashabah

Dalam hal ini anak tidak mendapatkan bagian disebabkan ia sebagai ahli waris
yang mahrum. Kalau saja anak itu tidak membunuh pewaris, maka bagian istri
seperdelapan, sedangkan saudara kandung tidak mendapatkan bagian
disebabkan sebagai ahli waris yang mahjub dengan adanya anak pewaris. Jadi,
sisa harta yang ada, yaitu 7/8, menjadi hak sang anak sebagai 'ashabah.

Contoh Kedua

Seseorang meninggal dunia dan meninggalkan ayah, ibu, serta saudara


kandung. Maka saudara kandung tidak mendapatkan warisan dikarenakan ter-
mahjub oleh adanya ahli waris yang lebih dekat dan kuat dibandingkan mereka,
yaitu ayah pewaris.

H. Ahli Waris dari Golongan Laki-laki

Ahli waris (yaitu orang yang berhak mendapatkan warisan) dari kaum laki-laki
ada lima belas: (1) anak laki-laki, (2) cucu laki-laki (dari anak laki-laki), (3) bapak,

PEMBAGIAN WARIS MENURUT ISLAM - oleh Muhammad Ali Ash-Shabuni 31


Pustaka Pribadi Notaris Herman ALT
(4) kakek (dari pihak bapak), (5) saudara kandung laki-laki, (6) saudara laki-laki
seayah, (7) saudara laki-laki seibu, (8) anak laki-laki dari saudara kandung laki-
laki, (9) anak laki-laki dari saudara laki-laki seibu, (10) paman (saudara kandung
bapak), (11) paman (saudara bapak seayah), (12) anak laki-laki dari paman
(saudara kandung ayah), (13) anak laki-laki paman seayah, (14) suami, (15) laki-
laki yang memerdekakan budak.

Catatan

Bagi cucu laki-laki yang disebut sebagai ahli waris di dalamnya tercakup cicit
(anak dari cucu) dan seterusnya, yang penting laki-laki dan dari keturunan anak
laki-laki. Begitu pula yang dimaksud dengan kakek, dan seterusnya.

I. Ahli Waris dari Golongan Wanita

Adapun ahli waris dari kaum wanita ada sepuluh: (1) anak perempuan, (2) ibu,
(3) anak perempuan (dari keturunan anak laki-laki), (4) nenek (ibu dari ibu), (5)
nenek (ibu dari bapak), (6) saudara kandung perempuan, (7) saudara
perempuan seayah, (8) saudara perempuan seibu, (9) istri, (10) perempuan yang
memerdekakan budak.

Catatan

Cucu perempuan yang dimaksud di atas mencakup pula cicit dan seterusnya,
yang penting perempuan dari keturunan anak laki-laki. Demikian pula yang
dimaksud dengan nenek --baik ibu dari ibu maupun ibu dari bapak-- dan
seterusnya.

PEMBAGIAN WARIS MENURUT ISLAM - oleh Muhammad Ali Ash-Shabuni 32


Pustaka Pribadi Notaris Herman ALT
III. PEMBAGIAN WARIS MENURUT AL-QUR'AN

JUMLAH bagian yang telah ditentukan Al-Qur'an ada enam macam, yaitu
setengah (1/2), seperempat (1/4), seperdelapan (1/8), dua per tiga (2/3),
sepertiga (1/3), dan seperenam (1/6). Kini mari kita kenali pembagiannya secara
rinci, siapa saja ahli waris yang termasuk ashhabul furudh dengan bagian yang
berhak ia terima.

A. Ashhabul furudh yang Berhak Mendapat Setengah

Ashhabul furudh yang berhak mendapatkan separo dari harta waris peninggalan
pewaris ada lima, satu dari golongan laki-laki dan empat lainnya perempuan.
Kelima ashhabul furudh tersebut ialah suami, anak perempuan, cucu perempuan
keturunan anak laki-laki, saudara kandung perempuan, dan saudara perempuan
seayah. Rinciannya seperti berikut:

1. Seorang suami berhak untuk mendapatkan separo harta warisan, dengan


syarat apabila pewaris tidak mempunyai keturunan, baik anak laki-laki
maupun anak perempuan, baik anak keturunan itu dari suami tersebut
ataupun bukan. Dalilnya adalah firman Allah:
"... dan bagi kalian (para suami) mendapat separo dari harta yang
ditinggalkan istri-istri kalian, bila mereka (para istri) tidak mempunyai anak ..."
(an-Nisa': 12)

2. Anak perempuan (kandung) mendapat bagian separo harta peninggalan


pewaris, dengan dua syarat:
Pewaris tidak mempunyai anak laki-laki (berarti anak perempuan tersebut
tidak mempunyai saudara laki-laki, penj.).
Apabila anak perempuan itu adalah anak tunggal. Dalilnya adalah firman
Allah: "dan apabila ia (anak perempuan) hanya seorang, maka ia mendapat
separo harta warisan yang ada". Bila kedua persyaratan tersebut tidak ada,
maka anak perempuan pewaris tidak mendapat bagian setengah.

3. Cucu perempuan keturunan anak laki-laki akan mendapat bagian separo,


dengan tiga syarat:
Apabila ia tidak mempunyai saudara laki-laki (yakni cucu laki-laki dari
keturunan anak laki-laki).
Apabila hanya seorang (yakni cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki
tersebut sebagai cucu tunggal).
Apabila pewaris tidak mempunyai anak perempuan ataupun anak laki-laki.

Dalilnya sama saja dengan dalil bagian anak perempuan (sama dengan
nomor 2). Sebab cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki sama
kedudukannya dengan anak kandung perempuan bila anak kandung
perempuan tidak ada. Maka firman-Nya "yushikumullahu fi auladikum",

PEMBAGIAN WARIS MENURUT ISLAM - oleh Muhammad Ali Ash-Shabuni 33


Pustaka Pribadi Notaris Herman ALT
mencakup anak dan anak laki-laki dari keturunan anak, dan hal ini telah
menjadi kesepakatan para ulama.

4. Saudara kandung perempuan akan mendapat bagian separo harta warisan,


dengan tiga syarat:
 Ia tidak mempunyai saudara kandung laki-laki.
 Ia hanya seorang diri (tidak mempunyai saudara perempuan).
 Pewaris tidak mempunyai ayah atau kakek, dan tidak pula mempunyai
keturunan, baik keturunan laki-laki ataupun keturunan perempuan.

Dalilnya adalah firman Allah berikut:


"Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah: 'Allah
memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaituj: jika seorang meninggal
dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan,
maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang
ditinggalkannya ...'" (an-Nisa': 176)

5. Saudara perempuan seayah akan mendapat bagian separo dari harta


warisan peninggalan pewaris, dengan empat syarat:
 Apabila ia tidak mempunyai saudara laki-laki.
 Apabila ia hanya seorang diri.
 Pewaris tidak mempunyai saudara kandung perempuan.
 Pewaris tidak mempunyai ayah atau kakak, dan tidak pula anak, baik
anak laki-laki maupun perempuan.

Dalilnya sama dengan Butir 4 (an-Nisa': 176), dan hal ini telah menjadi
kesepakatan ulama.

B. Ashhabul furudh yang Berhak Mendapat Seperempat

Adapun kerabat pewaris yang berhak mendapat seperempat (1/4) dari harta
peninggalannya hanya ada dua, yaitu suami dan istri. Rinciannya sebagai
berikut:

1. Seorang suami berhak mendapat bagian seperempat (1/4) dari harta


peninggalan istrinya dengan satu syarat, yaitu bila sang istri mempunyai
anak atau cucu laki-laki dari keturunan anak laki-lakinya, baik anak atau
cucu tersebut dari darah dagingnya ataupun dari suami lain (sebelumnya).
Hal ini berdasarkan firman Allah berikut:

"... Jika istri-istrimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat


seperempat dari harta yang ditinggalkannya É" (an-Nisa': 12)

2. Seorang istri akan mendapat bagian seperempat (1/4) dari harta


peninggalan suaminya dengan satu syarat, yaitu apabila suami tidak

PEMBAGIAN WARIS MENURUT ISLAM - oleh Muhammad Ali Ash-Shabuni 34


Pustaka Pribadi Notaris Herman ALT
mempunyai anak/cucu, baik anak tersebut lahir dari rahimnya ataupun
dari rahim istri lainnya. Ketentuan ini berdasarkan firman Allah berikut:

"... Para istri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika
kamu tidak mempunyai anak ..." (an-Nisa': 12)

Ada satu hal yang patut diketahui oleh kita --khususnya para penuntut ilmu--
tentang bagian istri. Yang dimaksud dengan "istri mendapat seperempat" adalah
bagi seluruh istri yang dinikahi seorang suami yang meninggal tersebut. Dengan
kata lain, sekalipun seorang suami meninggalkan istri lebih dari satu, maka
mereka tetap mendapat seperempat harta peninggalan suami mereka. Hal ini
berdasarkan firman Allah di atas, yaitu dengan digunakannya kata lahunna
(dalam bentuk jamak) yang bermakna 'mereka perempuan'. Jadi, baik suami
meninggalkan seorang istri ataupun empat orang istri, bagian mereka tetap
seperempat dari harta peninggalan.

C. Ashhabul furudh yang Berhak Mendapat Seperdelapan

Dari sederetan ashhabul furudh yang berhak memperoleh bagian seperdelapan


(1/8) yaitu istri. Istri, baik seorang maupun lebih akan mendapatkan
seperdelapan dari harta peninggalan suaminya, bila suami mempunyai anak
atau cucu, baik anak tersebut lahir dari rahimnya atau dari rahim istri yang lain.
Dalilnya adalah firman Allah SWT:

"... Jika kamu mempunyai anak, maka para istri memperoleh seperdelapan dari
harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuh, wasiat yang kamu buat atau (dan)
sesudah dibayar utang-utangmu ..." (an-Nisa': 12)

D. Ashhabul furudh yang Berhak Mendapat Bagian Dua per Tiga

Ahli waris yang berhak mendapat bagian dua per tiga (2/3) dari harta
peninggalan pewaris ada empat, dan semuanya terdiri dari wanita:
Dua anak perempuan (kandung) atau lebih.
Dua orang cucu perempuan keturunan anak laki-laki atau lebih.
Dua orang saudara kandung perempuan atau lebih.
Dua orang saudara perempuan seayah atau lebih.

Ketentuan ini terikat oleh syarat-syarat seperti berikut:


1. Dua anak perempuan (kandung) atau lebih itu tidak mempunyai saudara
laki-laki, yakni anak laki-laki dari pewaris. Dalilnya firman Allah berikut:
"... dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi
mereka dua per tiga dari harta yang ditinggalkan ..." (an-Nisa': 11)

Ada satu hal penting yang mesti kita ketahui agar tidak tersesat dalam

PEMBAGIAN WARIS MENURUT ISLAM - oleh Muhammad Ali Ash-Shabuni 35


Pustaka Pribadi Notaris Herman ALT
memahami hukum yang ada dalam Kitabullah. Makna "fauqa itsnataini" bukanlah
'anak perempuan lebih dari dua', melainkan 'dua anak perempuan atau lebih', hal
ini merupakan kesepakatan para ulama. Mereka bersandar pada hadits
Rasulullah saw. yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim yang
mengisahkan vonis Rasulullah terhadap pengaduan istri Sa'ad bin ar-Rabi' r.a.
--sebagaimana diungkapkan dalam bab sebelum ini.

Hadits tersebut sangat jelas dan tegas menunjukkan bahwa makna ayat
itsnataini adalah 'dua anak perempuan atau lebih'. Jadi, orang yang berpendapat
bahwa maksud ayat tersebut adalah "anak perempuan lebih dari dua" jelas tidak
benar dan menyalahi ijma' para ulama. Wallahu a'lam.

2. Dua orang cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki akan


mendapatkan bagian dua per tiga (2/3), dengan persyaratan sebagai
berikut:
 Pewaris tidak mempunyai anak kandung, baik laki-laki atau
perempuan.
 Pewaris tidak mempunyai dua orang anak kandung perempuan.
 Dua cucu putri tersebut tidak mempunyai saudara laki-laki.

3. Dua saudara kandung perempuan (atau lebih) akan mendapat bagian dua
per tiga dengan persyaratan sebagai berikut:
 Bila pewaris tidak mempunyai anak (baik laki-laki maupun
perempuan), juga tidak mempunyai ayah atau kakek.
 Dua saudara kandung perempuan (atau lebih) itu tidak mempunyai
saudara laki-laki sebagai 'ashabah.
 Pewaris tidak mempunyai anak perempuan, atau cucu perempuan
dari keturunan anak laki-laki. Dalilnya adalah firman Allah:

"... tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya
dua per tiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal ..." (an-
Nisa': 176)

4. Dua saudara perempuan seayah (atau lebih) akan mendapat bagian dua
per tiga dengan syarat sebagai berikut:
 Bila pewaris tidak mempunyai anak, ayah, atau kakek.
 Kedua saudara perempuan seayah itu tidak mempunyai saudara
laki-laki seayah.
 Pewaris tidak mempunyai anak perempuan atau cucu perempuan
dari keturunan anak laki-laki, atau saudara kandung (baik laki-laki
maupun perempuan).

Persyaratan yang harus dipenuhi bagi dua saudara perempuan seayah untuk
mendapatkan bagian dua per tiga hampir sama dengan persyaratan dua saudara
kandung perempuan, hanya di sini (saudara seayah) ditambah dengan
keharusan adanya saudara kandung (baik laki-laki maupun perempuan). Dan

PEMBAGIAN WARIS MENURUT ISLAM - oleh Muhammad Ali Ash-Shabuni 36


Pustaka Pribadi Notaris Herman ALT
dalilnya sama, yaitu ijma' para ulama bahwa ayat "... tetapi jika saudara
perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua per tiga dari harta yang
ditinggalkan oleh yang meninggal ..." (an-Nisa': 176) mencakup saudara
kandung perempuan dan saudara perempuan seayah. Sedangkan saudara
perempuan seibu tidaklah termasuk dalam pengertian ayat tersebut. Wallahu
a'lam.

E. Ashhabul furudh yang Berhak Mendapat Bagian Sepertiga

Adapun ashhabul furudh yang berhak mendapatkan warisan sepertiga bagian


hanya dua, yaitu ibu dan dua saudara (baik laki-laki ataupun perempuan) yang
seibu.

Seorang ibu berhak mendapatkan bagian sepertiga dengan syarat:


Pewaris tidak mempunyai anak atau cucu laki-laki dari keturunan anak laki-laki.
Pewaris tidak mempunyai dua orang saudara atau lebih (laki-laki maupun
perempuan), baik saudara itu sekandung atau seayah ataupun seibu. Dalilnya
adalah firman Allah:

"... dan jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh
ibu-bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga..." (an-Nisa': 11)

Juga firman-Nya:

"... jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya
mendapat seperenam..." (an-Nisa': 11)

Catatan:

Lafazh ikhwatun bila digunakan dalam faraid (ilmu tentang waris) tidak berarti
harus bermakna 'tiga atau lebih', sebagaimana makna yang masyhur dalam
bahasa Arab --sebagai bentuk jamak. Namun, lafazh ini bermakna 'dua atau
lebih'. Sebab dalam bahasa bentuk jamak terkadang digunakan dengan makna
'dua orang'. Misalnya dalam istilah shalat jamaah, yang berarti sah dilakukan
hanya oleh dua orang, satu sebagai imam dan satu lagi sebagai makmum. Dalil
lain yang menunjukkan kebenaran hal ini adalah firman Allah berikut:

"Jika kamu berdua bertobat kepada Allah, maka sesungguhnya hati kamu
berdua telah condong (untuk menerima kebaikan) É" (at-Tahrim: 4)

Kemudian saudara laki-laki dan saudara perempuan seibu, dua orang atau lebih,
akan mendapat bagian sepertiga dengan syarat sebagai berikut:
Bila pewaris tidak mempunyai anak (baik laki-laki ataupun perempuan), juga
tidak mempunyai ayah atau kakak.
Jumlah saudara yang seibu itu dua orang atau lebih.

PEMBAGIAN WARIS MENURUT ISLAM - oleh Muhammad Ali Ash-Shabuni 37


Pustaka Pribadi Notaris Herman ALT
Adapun dalilnya adalah firman Allah:

"... Jika seseorang mati baik laki-laki maupun perempuan yang tidak
meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang
saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja),
maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi
jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam
yang sepertiga itu ..." (an-Nisa': 12)

Catatan

Yang dimaksud dengan kalimat "walahu akhun au ukhtun" dalam ayat tersebut
adalah 'saudara seibu'. Sebab Allah SWT telah menjelaskan hukum yang
berkaitan dengan saudara laki-laki dan saudara perempuan sekandung dalam
akhir surat an-Nisa'. Juga menjelaskan hukum yang berkaitan dengan bagian
saudara laki-laki dan perempuan seayah dalam ayat yang sama. Karena itu
seluruh ulama sepakat bahwa yang dimaksud dengan "akhun au ukhtun" dalam
ayat itu adalah saudara laki-laki dan saudara perempuan seibu.

Selain itu, ada hal lain yang perlu kita tekankan di sini yakni tentang firman
"fahum syurakaa 'u fits tsulutsi" (mereka bersekutu dalam yang sepertiga). Kata
bersekutu menunjukkan kebersamaan. Yakni, mereka harus membagi sama di
antara saudara laki-laki dan perempuan seibu tanpa membedakan bahwa laki-
laki harus memperoleh bagian yang lebih besar daripada perempuan.
Kesimpulannya, bagian saudara laki-laki dan perempuan seibu bila telah
memenuhi syarat-syarat di atas ialah sepertiga, dan pembagiannya sama rata
baik yang laki-laki maupun perempuan. Pembagian mereka berbeda dengan
bagian para saudara laki-laki/perempuan kandung dan seayah, yang dalam hal
ini bagian saudara laki-laki dua kali lipat bagian saudara perempuan.

Masalah 'Umariyyatan

Pada asalnya, seorang ibu akan mendapat bagian sepertiga dari seluruh harta
peninggalan pewaris bila ia mewarisi secara bersamaan dengan bapak --seperti
telah saya jelaskan--- berdasarkan pemahaman bagian ayat (artinya) "jika orang
yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapaknya (saja),
maka ibunya mendapat sepertiga".

Akan tetapi, berkaitan dengan ini ada dua istilah yang muncul dan dikenal di
kalangan fuqaha, yakni 'umariyyatan dan al-gharawaini. Disebut 'umariyyatan
sebab kedua hal ini dilakukan oleh Umar bin Khathab dan disepakati oleh jumhur
sahabat ridhwanullah 'alaihim. Sedangkan al-gharawaini bermakna 'dua bintang
cemerlang', karena kedua istilah ini sangat masyhur. Dalam kasus ini, ibu hanya
diberi sepertiga bagian dari sisa harta warisan yang ada, setelah sebelumnya

PEMBAGIAN WARIS MENURUT ISLAM - oleh Muhammad Ali Ash-Shabuni 38


Pustaka Pribadi Notaris Herman ALT
dikurangi bagian suami atau istri. Agar lebih jelas, saya sertakan contohnya.
Contoh Pertama

Seorang istri wafat dan meninggalkan suami, ibu, dan ayah. Suami mendapat
bagian setengah (1/2) dari seluruh harta warisan yang ada. Ibu mendapat
sepertiga (1/3) dari sisa setelah diambil bagian suami. Kemudian ayah mendapat
seluruh sisa yang ada. Untuk lebih jelas lagi saya berikan tabelnya:

Pokok masalahnya dari 6

Keterangan Jumlah Bagian Nilai


Suami 1/2 3
Ibu 1/3 dari sisa setelah dikurangi bagian suami 1
Ayah Seluruh sisa peninggalan sebagai 'ashabah 2

Dalam contoh kasus ini ibu mendapatkan bagian sepertiga dari sisa setelah
diambil bagian suami pewaris, sebab bila ia memperoleh sepertiga dari seluruh
harta yang ada maka ia akan mendapat bagian dua kali lipat bagian ayah. Hal ini
tentunya bertentangan dengan kaidah dasar faraid yang telah ditegaskan dalam
Al-Qur'an dalam bagian ayat "lidzdzakari mitslu hazhzhil untsayain". Karenanya
untuk tetap menegakkan kaidah dasar tersebut, ibu mendapat bagian sepertiga
dari harta warisan setelah diambil hak suami pewaris. Dengan demikian, hak
ayah menjadi dua kali lipat dari bagian yang diterima ibu.
Contoh Kedua

Seorang suami meninggal dunia dan ia meninggalkan istri, ibu, dan ayah. Istri
mendapat bagian seperempat (1/4) dari seluruh harta peninggalan suaminya,
sedangkan ibu mendapat bagian tiga per empat dari sisa setelah diambil hak
istri. Sedangkan bagian ayah adalah sisa harta yang ada sebagai 'ashabah.

Pokok masalahnya dari 4

Keterangan Jumlah Bagian Nilai


Isteri 1/4 1
Ibu 1/3 dari sisa setelah dikurangi bagian isteri 1
Mendapat bagian seluruh sisa peninggalan yang ada sebagai
Ayah 2
'ashabah

PEMBAGIAN WARIS MENURUT ISLAM - oleh Muhammad Ali Ash-Shabuni 39


Pustaka Pribadi Notaris Herman ALT
Dari kedua contoh tersebut tampak oleh kita bahwa pada hakikatnya bagian ibu
pada tabel pertama adalah seperenam (1/6), sedangkan pada tabel kedua
adalah seperempat (1/4). Adapun penyebutannya dengan istilah sepertiga dari
sisa setelah diambil hak suami atau istri adalah karena menyesuaikan adab
qur'ani.

Masalah 'umariyyatan ini pernah terjadi pada masa sahabat, tepatnya masa
Umar bin Khathab r.a.. Dalam masalah ini terdapat dua pendapat yang terkenal.
Pendapat pertama dintarakan oleh Zaid bin Tsabit r.a. yang kemudian diambil
oleh jumhur ulama serta dikokohkan oleh Umar bin Khathab dengan menyatakan
bahwa bagian ibu adalah sepertiga dari sisa setelah diambil hak suami atau istri.

Sedangkan pendapat yang kedua diutarakan oleh Ibnu Abbas r.a.. Menurutnya,
ibu tetap mendapat bagian sepertiga (1/3) dari seluruh harta yang ditinggalkan
suami atau istri (anaknya). Bahkan Ibnu Abbas menyanggah pendapat Zaid bin
Tsabit: "Apakah memang ada di dalam Al-Qur'an istilah sepertiga dari sisa
setelah diambil hak suami atau istri?" Zaid menanggapinya dengan mengatakan:
"Di dalam Kitabullah juga tidak disebutkan bahwa bagian ibu sepertiga dari
seluruh harta peninggalan yang ada bila ibu bersama-sama mewarisi dengan
salah satu suami atau istri. Sebab yang disebutkan di dalam Al-Qur'an hanya
"wawaritsahu abawahu".

Jadi, menurut hemat saya, apa yang dipahami Zaid dan dipilih oleh jumhur
ulama serta ditetapkan oleh Umar bin Khathab itulah pendapat yang sahih.
Wallahu a'lam.

F. Asbhabul Furudh yang Mendapat Bagian Seperenam

Adapun asbhabul furudh yang berhak mendapat bagian seperenam (1/6) ada
tujuh orang. Mereka adalah (1) ayah, (2) kakek asli (bapak dari ayah), (3) ibu, (4)
cucu perempuan keturunan anak laki-laki, (5) saudara perempuan seayah, (6)
nenek asli, (7) saudara laki-laki dan perempuan seibu.

1. Seorang ayah akan mendapat bagian seperenam (1/6) bila pewaris


mempunyai anak, baik anak laki-laki atau anak perempuan. Dalilnya firman Allah
(artinya): "... Dan untuk dua orang ibu bapak, bagi masing-masingnya
seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai
anak ..." (an-Nisa': 11)

2. Seorang kakek (bapak dari ayah) akan mendapat bagian seperenam (1/6) bila
pewaris mempunyai anak laki-laki atau perempuan atau cucu laki-laki dari
keturunan anak --dengan syarat ayah pewaris tidak ada. Jadi, dalam keadaan
demikian salah seorang kakek akan menduduki kedudukan seorang ayah,
kecuali dalam tiga keadaan yang akan saya rinci dalam bab tersendiri.

PEMBAGIAN WARIS MENURUT ISLAM - oleh Muhammad Ali Ash-Shabuni 40


Pustaka Pribadi Notaris Herman ALT
3. Ibu akan memperoleh seperenam (1/6) bagian dari harta yang ditinggalkan
pewaris, dengan dua syarat:
Bila pewaris mempunyai anak laki-laki atau perempuan atau cucu laki-laki
keturunan anak laki-laki.
Bila pewaris mempunyai dua orang saudara atau lebih, baik saudara laki-laki
ataupun perempuan, baik sekandung, seayah, ataupun seibu. Dalilnya firman
Allah (artinya):

"... jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya
mendapat seperenam ..." (an-Nisa': 11).

4. Cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki seorang atau lebih akan
mendapat bagian seperenam (1/6), apabila yang meninggal (pewaris)
mempunyai satu anak perempuan. Dalam keadaan demikian, anak perempuan
tersebut mendapat bagian setengah (1/2), dan cucu perempuan dari keturunan
anak laki-laki pewaris mendapat seperenam (1/6), sebagai pelengkap dua per
tiga (2/3). Dalilnya adalah hadits yang diriwayatkan Imam Bukhari dalam
sahihnya bahwa Abu Musa al-Asy'ari r.a. ditanya tentang masalah warisan
seseorang yang meninggalkan seorang anak perempuan, cucu perempuan dari
keturunan anak laki-lakinya, dan saudara perempuan. Abu Musa kemudian
menjawab: "Bagi anak perempuan mendapat bagian separo (1/2), dan yang
setengah sisanya menjadi bagian saudara perempuan."

Merasa kurang puas dengan jawaban Abu Musa, sang penanya pergi
mendatangi Ibnu Mas'ud. Maka Ibnu Mas'ud berkata: "Aku akan memutuskan
seperti apa yang pernah diputuskan Rasulullah saw., bagi anak perempuan
separo (1/2) harta peninggalan pewaris, dan bagi cucu perempuan keturunan
dari anak laki-laki mendapat bagian seperenam (1/6) sebagai pelengkap 2/3, dan
sisanya menjadi bagian saudara perempuan pewaris."

Mendengar jawaban Ibnu Mas'ud, sang penanya kembali menemui Abu Musa al-
Asy'ari dan memberi tahu permasalahannya. Kemudian Abu Musa berkata:
"Janganlah sekali-kali kalian menanyaiku selama sang alim ada di tengah-tengah
kalian."

Catatan

Cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki akan mendapatkan bagian


seperenam (1/6) dengan syarat bila pewaris tidak mempunyai anak laki-laki.
Sebab bila ada anak laki-laki, maka anak tersebut menjadi penggugur hak sang
cucu. Selain itu, pewaris juga tidak mempunyai anak perempuan lebih dari satu
orang. Sebab jika lebih dari satu orang, anak-anak perempuan itu berhak
mendapat bagian dua per tiga (2/3), dan sekaligus menjadi penggugur
(penghalang) hak waris cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki pewaris.

5. Saudara perempuan seayah satu orang atau lebih akan mendapat bagian

PEMBAGIAN WARIS MENURUT ISLAM - oleh Muhammad Ali Ash-Shabuni 41


Pustaka Pribadi Notaris Herman ALT
seperenam (1/6), apabila pewaris mempunyai seorang saudara kandung
perempuan. Hal ini hukumnya sama denga keadaan jika cucu perempuan
keturunan anak laki-laki bersamaan dengan adanya anak perempuan. Jadi, bila
seseorang meninggal dunia dan meninggalkan saudara perempuan sekandung
dan saudara perempuan seayah atau lebih, maka saudara perempuan seayah
mendapat bagian seperenam (1/6) sebagai penyempurna dari dua per tiga (2/3).
Sebab ketika saudara perempuan kandung memperoleh setengah (1/2) bagian,
maka tidak ada sisa kecuali seperenam (1/6) yang memang merupakan hak
saudara perempuan seayah.

6. Saudara laki-laki atau perempuan seibu akan mendapat bagian masing-


masing seperenam (1/6) bila mewarisi sendirian. Dalilnya adalah firman Allah
(artinya) "jika seseorang mati baik laki-laki maupun perempuan yang tidak
meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang
saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja),
maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta". Dan
persyaratannya adalah bila pewaris tidak mempunyai pokok (yakni kakek) dan
tidak pula cabang (yakni anak, baik laki-laki atau perempuan).

7. Nenek asli mendapatkan bagian seperenam (1/6) ketika pewaris tidak lagi
mempunyai ibu. Ketentuan demikian baik nenek itu hanya satu ataupun lebih
(dari jalur ayah maupun ibu), yang jelas seperenam itu dibagikan secara rata
kepada mereka. Hal ini berlandaskan pada apa yang telah ditetapkan di dalam
hadits sahih dan ijma' seluruh sahabat.

Ashhabus Sunan meriwayatkan bahwa seorang nenek datang kepada Abu


Bakar ash-Shiddiq r.a. untuk menuntut hak warisnya. Abu Bakar menjawab:
"Saya tidak mendapati hakmu dalam Al-Qur'an maka pulanglah dulu, dan
tunggulah hingga aku menanyakannya kepada para sahabat Rasulullah saw."
Kemudian al-Mughirah bin Syu'bah mengatakan kepada Abu Bakar: "Suatu
ketika aku pernah menjumpai Rasulullah saw. memberikan hak seorang nenek
seperenam (1/6)." Mendengar pernyataan al-Mughirah itu Abu Bakar kemudian
memanggil nenek tadi dan memberinya seperenam (1/6). Wallahu a'lam.

PEMBAGIAN WARIS MENURUT ISLAM - oleh Muhammad Ali Ash-Shabuni 42


Pustaka Pribadi Notaris Herman ALT
IV. DEFINISI 'ASHABAH

KATA 'ashabab dalam bahasa Arab berarti kerabat seseorang dari pihak bapak.
Disebut demikian, dikarenakan mereka --yakni kerabat bapak-- menguatkan dan
melindungi. Dalam kalimat bahasa Arab banyak digunakan kata 'ushbah sebagai
ungkapan bagi kelompok yang kuat. Demikian juga di dalam Al-Qur'an, kata ini
sering kali digunakan, di antaranya dalam firman Allah berikut:

"Mereka berkata: 'Jika ia benar-benar dimakan serigala, sedang kami golongan


(yang kuat), sesungguhnya kami kalau demikian adalah orang-orang yang
merugi.'" (Yusuf: 14)

Maka jika dalam faraid kerabat diistilahkan dengan 'ashabah hal ini disebabkan
mereka melindungi dan menguatkan. Inilah pengertian 'ashabah dari segi
bahasa.

Sedangkan pengertian 'ashabah menurut istilah para fuqaha ialah ahli waris
yang tidak disebutkan banyaknya bagian di dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah
dengan tegas. Sebagai contoh, anak laki-laki, cucu laki-laki keturunan anak laki-
laki, saudara kandung laki-laki dan saudara laki-laki seayah, dan paman
(saudara kandung ayah). Kekerabatan mereka sangat kuat dikarenakan berasal
dari pihak ayah.

Pengertian 'ashabah yang sangat masyhur di kalangan ulama faraid ialah orang
yang menguasai harta waris karena ia menjadi ahli waris tunggal. Selain itu, ia
juga menerima seluruh sisa harta warisan setelah ashhabul furudh menerima
dan mengambil bagian masing-masing.

A. Dalil Hak Waris Para 'Ashabah

Dalil yang menyatakan bahwa para 'ashabah berhak mendapatkan waris kita
dapati di dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah. Dalil Al-Qur'an yang dimaksud ialah
(artinya): "dan untuk dua orang ibu bapak, bagi masing-masingnya seperenam
dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang
yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapaknya (saja),
maka ibunya mendapat sepertiga" (an-Nisa': 11).

Dalam ayat ini disebutkan bahwa bagian kedua orang tua (ibu dan bapak)
masing-masing mendapatkan seperenam (1/6) apabila pewaris mempunyai
keturunan. Tetapi bila pewaris tidak mempunyai anak, maka seluruh harta
peninggalannya menjadi milik kedua orang tua. Ayat tersebut juga telah
menegaskan bahwa bila pewaris tidak mempunyai anak, maka ibu mendapat
bagian sepertiga (1/3). Namun, ayat tersebut tidak menjelaskan berapa bagian
ayah. Dari sini dapat kita pahami bahwa sisa setelah diambil bagian ibu, dua per
tiganya (2/3) menjadi hak ayah. Dengan demikian, penerimaan ayah disebabkan
ia sebagai 'ashabah.

PEMBAGIAN WARIS MENURUT ISLAM - oleh Muhammad Ali Ash-Shabuni 43


Pustaka Pribadi Notaris Herman ALT
Dalil Al-Qur'an yang lainnya ialah (artinya) "jika seorang meninggal dunia, dan ia
tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, maka bagi
saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan
saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jika
ia tidak mempunyai anak." (an-Nisa': 176).

Pada ayat ini tidak disebutkan bagian saudara kandung. Namun, yang
disebutkan justru saudara kandung akan menguasai (mendapatkan bagian)
seluruh harta peninggalan yang ada bila ternyata pewaris tidak mempunyai
keturunan. Kemudian, makna kalimat "wahuwa yaritsuha" memberi isyarat
bahwa seluruh harta peninggalan menjadi haknya. Inilah makna 'ashabah.

Sedangkan dalil dari As-Sunnah adalah apa yang disabdakan Rasulullah saw.:

"Bagikanlah harta peninggalan (warisan) kepada yang berhak, dan apa yang
tersisa menjadi hak laki-laki yang paling utama. " (HR Bukhari)

Hadits ini menunjukkan perintah Rasulullah saw. agar memberikan hak waris
kepada ahlinya. Maka jika masih tersisa, hendaklah diberikan kepada orang laki-
laki yang paling utama dari 'ashabah.

Ada satu keistimewaan dalam hadits ini menyangkut kata yang digunakan
Rasulullah dengan menyebut "dzakar" setelah kata "rajul", sedangkan kata "rajul"
jelas menunjukkan makna seorang laki-laki. Hal ini dimaksudkan untuk
menghindari salah paham, jangan sampai menafsirkan kata ini hanya untuk
orang dewasa dan cukup umur. Sebab, bayi laki-laki pun berhak mendapatkan
warisan sebagai 'ashabah dan menguasai seluruh harta warisan yang ada jika
dia sendirian. Inilah rahasia makna sabda Rasulullah saw. dalam hal
penggunaan kata "dzakar".

B. Macam-macam 'Ashabah

'Ashabah terbagi dua yaitu: 'ashabah nasabiyah (karena nasab) dan 'ashabah
sababiyah (karena sebab). Jenis 'ashabah yang kedua ini disebabkan
memerdekakan budak. Oleh sebab itu, seorang tuan (pemilik budak) dapat
menjadi ahli waris bekas budak yang dimerdekakannya apabila budak tersebut
tidak mempunyai keturunan.

Sedangkan 'ashabah nasabiyah terbagi tiga yaitu: (1) 'ashabah bin nafs
(nasabnya tidak tercampur unsur wanita), (2) 'ashabah bil ghair (menjadi
'ashabah karena yang lain), dan (3) 'ashabah ma'al ghair (menjadi 'ashabah
bersama-sama dengan yang lain).

Catatan

PEMBAGIAN WARIS MENURUT ISLAM - oleh Muhammad Ali Ash-Shabuni 44


Pustaka Pribadi Notaris Herman ALT
Dalam dunia faraid, apabila lafazh 'ashabah disebutkan tanpa diikuti kata lainnya
(tanpa dibarengi bil ghair atau ma'al ghair), maka yang dimaksud adalah
'ashabah bin nafs.
'Ashabah bin nafs

'Ashabah bin nafs, yaitu laki-laki yang nasabnya kepada pewaris tidak tercampuri
kaum wanita, mempunyai empat arah, yaitu:
Arah anak, mencakup seluruh laki-laki keturunan anak laki-laki mulai cucu, cicit,
dan seterusnya.
Arah bapak, mencakup ayah, kakek, dan seterusnya, yang pasti hanya dari
pihak laki-laki, misalnya ayah dari bapak, ayah dari kakak, dan seterusnya.
Arah saudara laki-laki, mencakup saudara kandung laki-laki, saudara laki-laki
seayah, anak laki-laki keturunan saudara kandung laki-laki, anak laki-laki
keturunan saudara laki-laki seayah, dan seterusnya. Arah ini hanya terbatas
pada saudara kandung laki-laki dan yang seayah, termasuk keturunan mereka,
namun hanya yang laki-laki. Adapun saudara laki-laki yang seibu tidak termasuk
'ashabah disebabkan mereka termasuk ashhabul furudh.
Arah paman, mencakup paman (saudara laki-laki ayah) kandung maupun yang
seayah, termasuk keturunan mereka, dan seterusnya.

Keempat arah 'ashabah bin nafs tersebut kekuatannya sesuai urutan di atas.
Arah anak lebih didahulukan (lebih kuat) daripada arah ayah, dan arah ayah
lebih kuat daripada arah saudara.
Hukum 'Ashabah bin nafs

Telah saya jelaskan bahwa 'ashabah bi nafsihi mempunyai empat arah, dan
derajat kekuatan hak warisnya sesuai urutannya. Bila salah satunya secara
tunggal (sendirian) menjadi ahli waris seorang yang meninggal dunia, maka ia
berhak mengambil seluruh warisan yang ada. Namun bila ternyata pewaris
mempunyai ahli waris dari ashhabul furudh, maka sebagai 'ashabah mendapat
sisa harta setelah dibagikan kepada ashhabul furudh. Dan bila setelah dibagikan
kepada ashhabul furudh ternyata tidak ada sisanya, maka para 'ashabah pun
tidak mendapat bagian. Sebagai misal, seorang istri wafat dan meninggalkan
suami, saudara kandung perempuan, saudara laki-laki seayah.

Sang suami mendapat bagian setengah (1/2), saudara perempuan mendapat


bagian setengah (1/2). Saudara seayah tidak mendapat bagian disebabkan
ashhabul furudh telah menghabiskannya.

Adapun bila para 'ashabah bin nafs lebih dari satu orang, maka cara
pentarjihannya (pengunggulannya) sebagai berikut:

Pertama: Pertarjihan dari Segi Arah

Apabila dalam suatu keadaan pembagian waris terdapat beberapa 'ashabah bin

PEMBAGIAN WARIS MENURUT ISLAM - oleh Muhammad Ali Ash-Shabuni 45


Pustaka Pribadi Notaris Herman ALT
nafsih, maka pengunggulannya dilihat dari segi arah. Arah anak lebih
didahulukan dibandingkan yang lain. Anak akan mengambil seluruh harta
peninggalan yang ada, atau akan menerima sisa harta waris setelah dibagikan
kepada ashhabul furudh bagian masing-masing. Apabila anak tidak ada, maka
cucu laki-laki dari keturunan anak laki-laki dan seterusnya. Sebab cucu akan
menduduki posisi anak bila anak tidak ada. Misalnya, seseorang wafat dan
meninggalkan anak laki-laki, ayah, dan saudara kandung. Dalam keadaan
demikian, yang menjadi 'ashabah adalah anak laki-laki. Sebab arah anak lebih
didahulukan daripada arah yang lain. Sedangkan ayah termasuk ashhabul
furudh dikarenakan mewarisi bersama-sama dengan anak laki-laki. Sementara
itu, saudara kandung laki-laki tidak mendapatkan waris dikarenakan arahnya
lebih jauh. Pengecualiannya, bila antara saudara kandung laki-laki maupun
saudara laki-laki seayah berhadapan dengan kakak. Rinciannya, insya Allah
akan saya paparkan pada bab tersendiri.

Kedua: Pentarjihan secara Derajat

Apabila dalam suatu keadaan pembagian waris terdapat beberapa orang


'ashabah bi nafsihi, kemudian mereka pun dalam satu arah, maka pentarjihannya
dengan melihat derajat mereka, siapakah di antara mereka yang paling dekat
derajatnya kepada pewaris. Sebagai misal, seseorang wafat dan meninggalkan
anak serta cucu keturunan anak laki-laki. Dalam hal ini hak warisnya secara
'ashabah diberikan kepada anak, sedangkan cucu tidak mendapatkan bagian
apa pun. Sebab, anak lebih dekat kepada pewaris dibandingkan cucu laki-laki.

Contoh lain, bila seseorang wafat dan meninggalkan saudara laki-laki seayah
dan anak dari saudara kandung, maka saudara seayahlah yang mendapat
warisan. Sebab ia lebih dekat kedudukannya dari pada anak saudara kandung.
Keadaan seperti ini disebut pentarjihan menurut derajat kedekatannya dengan
pewaris.

Ketiga: Pentarjihan Menurut Kuatnya Kekerabatan

Bila dalam suatu keadaan pembagian waris terdapat banyak 'ashabah bi nafsihi
yang sama dalam arah dan derajatnya, maka pentarjihannya dengan melihat
manakah di antara mereka yang paling kuat kekerabatannya dengan pewaris.
Sebagai contoh, saudara kandung lebih kuat daripada seayah, paman kandung
lebih kuat daripada paman seayah, anak dari saudara kandung lebih kuat
daripada anak dari saudara seayah, dan seterusnya.

Catatan

Perlu untuk digarisbawahi dalam hal pentarjihan dari segi kuatnya kekerabatan di
sini, bahwa kaidah tersebut hanya dipakai untuk selain dua arah, yakni arah
anak dan arah bapak. Artinya, pentarjihan menurut kuatnya kekerabatan hanya
digunakan untuk arah saudara dan arah paman.

PEMBAGIAN WARIS MENURUT ISLAM - oleh Muhammad Ali Ash-Shabuni 46


Pustaka Pribadi Notaris Herman ALT
Mengapa Anak Lebih Didahulukan daripada Bapak?

Satu pertanyaan yang sangat wajar dan mesti diketahui jawaban serta hikmah di
dalamnya. Sebab, keduanya memiliki posisi sederajat dari segi kedekatan nasab
pada seseorang, ayah sebagai pokok dan anak merupakan cabang.
Berdasarkan posisi ini sebaiknya garis anak tidak didahulukan daripada garis
ayah.

Namun demikian, ada dua landasan mengapa garis anak lebih didahulukan.
Landasan pertama berupa dalil Al-Qur'an, sedangkan yang kedua berupa dalil
aqli. Firman-Nya (artinya) "dan untuk dua orang ibu-bapak, bagi masing-
masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu
mempunyai anak." (an-Nisa: 11).

Dalam ayat tersebut Allah SWT menjadikan ayah sebagai ashhabul furudh bila
pewaris mempunyai anak, sedangkan bagian anak tidak disebutkan. Dengan
demikian, jelaslah bahwa anak akan mendapatkan seluruh sisa harta
peninggalan pewaris, setelah masing-masing dari ashhabul furudh telah
mendapatkan bagiannya. Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa garis anak lebih
didahulukan daripada garis bapak.

Sedangkan secara aqli, manusia pada umumnya merasa khawatir terhadap anak
(keturunannya), baik dalam hal keselamatannya maupun kehidupan masa
depannya. Oleh sebab itu, orang tua berusaha bekerja keras untuk memperoleh
harta dan berhemat dalam membelanjakannya, semuanya demi kesejahteraan
keturunannya. Bahkan, tidak sedikit orang tua yang bersikap bakhil, sangat kikir
dalam membelanjakan hartanya, demi kepentingan masa depan anaknya. Maka
sangat tepat apa yang disabdakan Rasulullah saw. dalam sebuah haditsnya "al-
waladu mabkhalah majbanah" (anak dapat membuat seseorang berlaku bakhil
dan pengecut).

Makna hadits tersebut sangat jelas bahwa orang tua menjadi kikir --bahkan
pengecut-- karena sangat khawatir terhadap masa depan anaknya. Karena itu
mereka tidak segan-segan menimbun harta dan kekayaan demi menyenangkan
keturunan pada masa mendatang. Tidak sedikit orang tua yang menjadi
pengecut hanya disebabkan menjaga kemaslahatan keturunannya pada hari
depannya. Dengan demikian, mereka takut berhadapan dengan musuh atau
siapa pun yang mengganggu kemudahan jalan rezekinya. Inilah alasan bahwa
hati seseorang cenderung lebih dekat kepada anaknya dibandingkan kepada
ayahnya. Wallahu a'lam.

Catatan

Satu hal yang mesti kita ketahui bahwa 'ashabah bi nafsihi harus dari kalangan
laki-laki, sedangkan dari kalangan wanita hanyalah wanita pemerdeka budak.
Jika demikian berarti wanita tersebut sebagai 'ashabah bi nafsihi, bila budak

PEMBAGIAN WARIS MENURUT ISLAM - oleh Muhammad Ali Ash-Shabuni 47


Pustaka Pribadi Notaris Herman ALT
yang dibebaskannya tidak mempunyai keturunan (kerabat).
'Ashabah bi Ghairihi dan Hukumnya

'Ashabah bi ghairihi hanya terbatas pada empat orang ahli waris yang
kesemuanya wanita:
Anak perempuan, akan menjadi 'ashabah bila bersamaan dengan saudara laki-
lakinya (yakni anak laki-laki).
Cucu perempuan keturunan anak laki-laki akan menjadi 'ashabah bila
berbarengan dengan saudara laki-lakinya, atau anak laki-laki pamannya (yakni
cucu laki-laki keturunan anak laki-laki), baik sederajat dengannya atau bahkan
lebih di bawahnya.
Saudara kandung perempuan akan menjadi 'ashabah bila bersama saudara
kandung laki-laki.
Saudara perempuan seayah akan menjadi 'ashabah bila bersamaan dengan
saudara laki-lakinya, dan pembagiannya, bagian laki-laki dua kali lipat bagian
perempuan.
Syarat-syarat 'Ashabah bi Ghairihi

'Ashabah bi Ghairihi tidak akan terwujud kecuali dengan beberapa persyaratan


berikut:

Pertama: haruslah wanita yang tergolong ashhabul furudh. Bila wanita tersebut
bukan dari ashhabul furudh, maka tidak akan menjadi 'ashabah bi ghairih.
Sebagai contoh, anak perempuan dari saudara laki-laki tidak dapat menjadi
'ashabah bi ghairih dengan adanya saudara kandung laki-laki dalam deretan ahli
waris. Sebab dalam keadaan demikian, anak perempuan saudara laki-laki
bukanlah termasuk ashhabul furudh.

Kedua: laki-laki yang menjadi 'ashabah (penguat) harus yang sederajat.


Misalnya, anak laki-laki tidak dapat menjadi pen-ta'shih (penguat) cucu
perempuan, dikarenakan anak laki-laki tidak sederajat dengan cucu perempuan,
bahkan ia berfungsi sebagai pen-tahjib (penghalang) hak waris cucu. Begitu juga
anak laki-laki keturunan saudara laki-laki, tidaklah dapat menguatkan saudara
kandung perempuan disebabkan tidak sederajat.

Ketiga: laki-laki yang menjadi penguat harus sama kuat dengan ahli waris
perempuan shahibul fardh. Misalnya, saudara laki-laki seayah tidak dapat men-
ta'shih saudara kandung perempuan. Sebab saudara kandung perempuan lebih
kuat kekerabatannya daripada saudara laki-laki seayah.

Catatan

Setiap perempuan ahli waris berhak mendapat bagian setengah (1/2) jika
sendirian, ia berhak mendapatkan bagian dua per tiga (2/3) bila menerima
bersama saudara perempuannya, dan akan menjadi 'ashabah bila mempunyai
saudara laki-laki. Kaidah ini hanya berlaku bagi keempat ahli waris dari kalangan

PEMBAGIAN WARIS MENURUT ISLAM - oleh Muhammad Ali Ash-Shabuni 48


Pustaka Pribadi Notaris Herman ALT
wanita yang saya sebutkan (yakni anak perempuan, cucu perempuan keturunan
anak laki-laki, saudara kandung perempuan, dan saudara perempuan seayah).
Dalil Hak Waris 'Ashabah bi Ghairihi

Dalil bagi hak waris para 'ashabah bi ghairih adalah firman Allah (artinya):
"bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan"
(an-Nisa': 11). Dan juga berlandaskan firman-Nya (artinya): "dan jika mereka
(ahli waris itu terdiri dari) saudara laki-laki dan perempuan, maka bagian seorang
saudara laki-laki sebanyak bagian dua orang saudara perempuan" (an-Nisa':
176).

Para ulama sepakat bahwa yang dimaksud dengan "ikhwatan" dalam ayat
tersebut adalah saudara laki-laki dan saudara kandung perempuan dan yang
seayah. Mereka berpendapat bahwa kata ikhwatan tidak mencakup saudara laki-
laki atau perempuan yang seibu, disebabkan hak waris mereka berdasarkan
fardh (termasuk ashhabul furudh) bukan sebagai 'ashabah. Selain itu, hak waris
mereka pun antara laki-laki dan perempuan-- sama rata, berdasarkan firman-Nya
(artinya): "maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu" (an-Nisa': 12).
Sebab Penamaan 'Ashabah bi Ghairihi

Adapun sebab penamaan 'ashabah bi ghairihi adalah karena hak 'ashabah


keempat wanita itu bukanlah karena kedekatan kekerabatan mereka dengan
pewaris, akan tetapi karena adanya 'ashabah lain ('ashabah bi nafsihi), seperti
saudara kandung laki-laki ataupun saudara laki-laki seayah mereka. Bila para
'ashabah bi nafsihi itu tidak ada, maka keempat wanita tersebut mendapat hak
warisnya secara fardh.
'Ashabah ma'al Ghair

'Ashabah ma'al Ghair ini khusus bagi para saudara kandung perempuan maupun
saudara perempuan seayah apabila mewarisi bersamaan dengan anak
perempuan yang tidak mempunyai saudara laki-laki. Jadi, saudara kandung
perempuan ataupun saudara perempuan seayah bila berbarengan dengan anak
perempuan --atau cucu perempuan keturunan anak laki-laki dan seterusnya--
akan menjadi 'ashabah. Jenis 'ashabah ini di kalangan ulama dikenal dengan
istilah 'ashabah ma'al ghair.

Satu hal yang perlu diketahui dalam masalah ini, seperti yang ditegaskan dalam
kitab Hasyiyatul Bajuri (hlm. 108): "Adapun saudara perempuan (kandung dan
seayah) menjadi 'ashabah jika berbarengan dengan anak perempuan adalah
agar bagian saudara perempuan terkena pengurangan, sedangkan bagian anak
perempuan tidak terkena pengurangan. Sebab bila kita berikan hak waris
saudara perempuan secara fardh, maka akan naiklah pokok pembagiannya dan
hak bagian anak perempuan akan berkurang. Kemudian, di segi lain tidaklah
mungkin hak saudara perempuan itu digugurkan, karena itu dijadikanlah saudara
kandung perempuan dan saudara perempuan seayah sebagai 'ashabah agar
terkena pengurangan."

PEMBAGIAN WARIS MENURUT ISLAM - oleh Muhammad Ali Ash-Shabuni 49


Pustaka Pribadi Notaris Herman ALT
Dalil 'Ashabah ma'al Ghair

Yang menjadi landasan bagi hak waris 'ashabah ma'al ghair adalah hadits yang
diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan lainnya, bahwa Abu Musa al-Asy'ari ditanya
tentang hak waris anak perempuan, cucu perempuan keturunan anak laki-laki,
dan saudara perempuan (sekandung atau seayah). Abu Musa menjawab:
"Bagian anak perempuan separo, dan bagian saudara perempuan separo."

Penanya itu lalu pergi menanyakannya kepada Ibnu Mas'ud r.a., dan dijawab:
"Aku akan memvonis seperti apa yang diajarkan Rasulullah saw., bagian anak
perempuan setengah (1/2) dan bagian cucu perempuan keturunan anak laki-laki
seperenam (1/6) sebagai penyempurna dua per tiga (2/3), sedangkan sisanya
menjadi hak saudara perempuan kandung atau seayah."

Penanya itu pun kembali kepada Abu Musa al-Asy'ari dan menceritakan apa
yang telah diputuskan Ibnu Mas'ud. Lalu Abu Musa berkata: "Janganlah kalian
menanyakannya kepadaku selama sang alim (Ibnu Mas'ud) berada bersama
kalian."

Dari penjelasan Ibnu Mas'ud dapat disimpulkan bahwa hak saudara perempuan
bila mewarisi bersama-sama dengan anak perempuan mengambil sisa harta
pembagian yang ada. Hal ini berarti saudara kandung perempuan atau saudara
perempuan seayah sebagai 'ashabah ma'al ghair.

Catatan

Sangat penting untuk diketahui bersama bahwa bila seorang saudara kandung
perempuan menjadi 'ashabah ma'al ghair, maka ia menjadi seperti saudara
kandung laki-laki sehingga dapat menghalangi hak waris saudara seayah, baik
yang laki-laki maupun yang perempuan. Selain itu, dapat pula menggugurkan
hak waris yang di bawah mereka, seperti anak keturunan saudara (keponakan),
paman kandung ataupun yang seayah.

Begitu juga saudara perempuan seayah, apabila menjadi 'ashabah ma'al ghair
ketika mewarisi bersama anak perempuan pewaris, maka kekuatannya sama
seperti saudara laki-laki seayah hingga menjadi penggugur keturunan
saudaranya dan seterusnya.

Untuk lebih menjelaskan masalah tersebut saya sertakan contoh seperti berikut:
Contoh Pertama

Seseorang meninggal dunia dan meninggalkan anak perempuan, saudara


perempuan, dan saudara laki-laki seayah, maka pembagiannya adalah sebagai
berikut:

PEMBAGIAN WARIS MENURUT ISLAM - oleh Muhammad Ali Ash-Shabuni 50


Pustaka Pribadi Notaris Herman ALT
Pokok masalahnya dari 2

Keterangan Jumlah Bagian Nilai


Anak perempuan 1/2 1
Saudara kandung perempuan 'ashabah ma'al ghair 1/2 1
Saudara laki-laki seayah gugur 0

Keterangan

Bagian anak perempuan adalah setengah secara fardh, dan sisanya merupakan
bagian saudara kandung perempuan disebabkan ia menjadi 'ashabah ma'al
ghair, yang kekuatannya seperti saudara kandung laki-laki. Sedangkan saudara
laki-laki seayah terhalang karena saudara kandung perempuan menjadi
'ashabah.

Contoh Kedua

Seorang wanita meninggal dunia dan meninggalkan suami, cucu perempuan dari
keturunan anak laki-laki, dua orang saudara kandung perempuan, dan saudara
laki-laki seayah. Maka pembagiannya seperti dalam tabel berikut:

Pokok masalahnya dari 4

Keterangan Jumlah Bagian Nilai


Suami 1/4 1
Cucu perempuan 1/2 2
Saudara kandung perempuan 'ashabah ma'al ghair 1
Saudara laki-laki seayah mahjub 0

Keterangan

Suami memperoleh seperempat bagian karena pewaris mempunyai cabang ahli


warisnya. Sedangkan cucu perempuan keturunan anak laki-laki mendapat
bagian setengah secara fardh, kemudian sisanya yaitu seperempat-- menjadi
hak dua saudara kandung perempuan pewaris sebagai 'ashabah ma'al ghair.
Sedangkan bagian saudara laki-laki seayah gugur karena adanya dua saudara
kandung.

Contoh Ketiga

Seseorang meninggal dunia dan meninggalkan dua orang anak perempuan,


saudara perempuan seayah, dan anak laki-laki saudara laki-laki (kemenakan).
Pembagiannya seperti berikut:

PEMBAGIAN WARIS MENURUT ISLAM - oleh Muhammad Ali Ash-Shabuni 51


Pustaka Pribadi Notaris Herman ALT
Pokok masalahnya dari 3

Keterangan Jumlah Bagian Nilai


Dua anak perempuan 2/3 2
Saudara perempuan seayah 'ashabah ma'al ghair 1
Anak saudara laki-laki mahjub 0

Keterangan

Dua orang anak perempuan mendapatkan dua per tiga dan sisanya untuk
saudara perempuan seayah disebabkan ia menjadi 'ashabah ma'al ghair.
Sedangkan anak saudara laki-laki ter-mahjub oleh saudara perempuan seayah.

Contoh Keempat

Seseorang meninggal dunia dan meninggalkan seorang anak perempuan, cucu


perempuan keturunan anak laki-laki, seorang ibu, saudara perempuan seayah,
dan paman kandung (saudara dari ayah kandung). Maka pembagiannya seperti
berikut:

Pokok masalahnya dari 6

Keterangan Jumlah Bagian Nilai


Anak perempuan 1/2 3
Cucu perempuan 1/6 1
Ibu 1/6 1
Saudara perempuan seayah 'ashabah ma'al ghair 1

Keterangan

Anak perempuan mendapat bagian setengah sebagai fardh, cucu perempuan


keturunan anak laki-laki mendapat seperenam bagian sebagai penyempurna dua
per tiga, dan ibu mendapatkan seperenam. Sedangkan sisanya untuk saudara
perempuan seayah sebagai 'ashabah ma'al ghair, karena kekuatannya seperti
saudara laki-laki seayah sehingga ia menggugurkan paman kandung. Begitulah
seterusnya.

Catatan

Saudara laki-laki dan saudara perempuan seibu tidak berhak menjadi ahli waris
bila pewaris mempunyai anak perempuan. Bahkan anak perempuan pewaris
menjadi penggugur hak saudara (laki-laki/perempuan) seibu sehingga tidak
dapat menjadi 'ashabah.

PEMBAGIAN WARIS MENURUT ISLAM - oleh Muhammad Ali Ash-Shabuni 52


Pustaka Pribadi Notaris Herman ALT
C. Perbedaan 'Ashabah bil Ghair dengan 'Ashabah ma'al Ghair

Dari uraian sebelumnya dapat kita ketahui bahwa 'ashabah bil ghair adalah
setiap wanita ahli waris yang termasuk ashhabul furudh, dan akan menjadi
'ashabah bila berbarengan dengan saudara laki-lakinya. Misalnya, anak
perempuan menjadi 'ashabah bila bersama saudara laki-lakinya (yakni anak laki-
laki pewaris). Saudara kandung perempuan ataupun saudara perempuan seayah
menjadi 'ashabah bil ghair dengan adanya saudara kandung laki-laki ataupun
saudara laki-laki seayah. Dalam hal ini bagi yang laki-laki mendapat dua kali lipat
bagian perempuan.

Adapun 'ashabah ma'al ghair adalah para saudara kandung perempuan ataupun
saudara perempuan seayah bila berbarengan dengan anak perempuan, dan
dalam hal ini mereka mendapatkan bagian sisa seluruh harta peninggalan
sesudah ashhabul furudh mengambil bagian masing-masing. Tampak semakin
jelas perbedaan antara dua macam 'ashabah itu, pada 'ashabah bil ghair selalu
ada sosok 'ashabah bi nafsih, seperti anak laki-laki, cucu laki-laki keturunan anak
laki-laki, saudara kandung laki-laki dan saudara laki-laki seayah. Sedangkan
dalam 'ashabah ma'al ghair tidak terdapat sosok 'ashabah bi nafsih.

Jadi, secara ringkas, pada 'ashabah bil ghair para 'ashabah bi nafsih
menggandeng kaum wanita ashhabul furudh menjadi 'ashabah dan
menggugurkan hak fardh-nya. Sedangkan 'ashabah ma'al ghair tidaklah
demikian. Seorang saudara perempuan sekandung atau seayah tidak menerima
bagian seperti bagian anak perempuan atau cucu perempuan dari keturunan
anak laki-laki. Akan tetapi, anak perempuan atau cucu perempuan keturunan
anak laki-laki mendapat bagian secara fardh, kemudian saudara perempuan
sekandung atau seayah mendapatkan sisanya. Inilah perbedaan keduanya.
Dapatkah Seseorang Mewarisi dari Dua Arah?

Kita mungkin sering mendengar pertanyaan seperti itu, dan tentu saja hal ini
memerlukan jawaban. Maka dapat ditegaskan bahwa seseorang bisa saja
mendapatkan warisan dari dua arah yang berlainan, misalnya ia sebagai
ashhabul furudh dan juga sebagai 'ashabah, atau satu dari arah fardh dan yang
kedua dari arah karena rahim. Agar persoalan ini lebih jelas, saya sertakan
contoh:

Seseorang meninggal dunia dan meninggalkan seorang nenek, saudara laki-laki


seibu, dan seorang suami, yang juga merupakan anak paman kandung pewaris.
Maka pembagiannya sebagai berikut: Untuk nenek seperenam (1/6), saudara
laki-laki seibu seperenam (1/6), suami setengah (1/2) sebagai fardh-nya, dan
sisanya untuk suami sebagai 'ashabah karena ia anak paman kandung.

Contoh lain: seorang suami meninggal dunia dan meninggalkan dua anak
perempuan, bibi (saudara ibu) yang salah satunya menjadi istrinya. Maka
pembagiannya seperti berikut: sang istri mendapat bagian seperempat sebagai

PEMBAGIAN WARIS MENURUT ISLAM - oleh Muhammad Ali Ash-Shabuni 53


Pustaka Pribadi Notaris Herman ALT
fardh-nya karena adanya ikatan perkawinan, dan hak lainnya ialah ikut mendapat
bagian sisa yang ada karena ikatan rahim.

B. Macam-macam al-Hujub

Al-hujub terbagi dua, yakni al-hujub bil washfi (sifat/julukan), dan al-hujub bi asy-
syakhshi (karena orang lain).

Al-hujub bil washfi berarti orang yang terkena hujub tersebut terhalang dari
mendapatkan hak waris secara keseluruhan, misalnya orang yang membunuh
pewarisnya atau murtad. Hak waris mereka menjadi gugur atau terhalang.

Sedangkan al-hujub bi asy-syakhshi yaitu gugurnya hak waris seseorang


dikarenakan adanya orang lain yang lebih berhak untuk menerimanya. Al-hujub
bi asy-syakhshi terbagi dua: hujub hirman dan hujub nuqshan. Hujub hirman
yaitu penghalang yang menggugurkan seluruh hak waris seseorang. Misalnya,
terhalangnya hak waris seorang kakek karena adanya ayah, terhalangnya hak
waris cucu karena adanya anak, terhalangnya hak waris saudara seayah karena
adanya saudara kandung, terhalangnya hak waris seorang nenek karena adanya
ibu, dan seterusnya.

Adapun hujub nuqshan (pengurangan hak) yaitu penghalangan terhadap hak


waris seseorang untuk mendapatkan bagian yang terbanyak. Misalnya,
penghalangan terhadap hak waris ibu yang seharusnya mendapatkan sepertiga
menjadi seperenam disebabkan pewaris mempunyai keturunan (anak). Demikian
juga seperti penghalangan bagian seorang suami yang seharusnya
mendapatkan setengah menjadi seperempat, sang istri dari seperempat menjadi
seperdelapan karena pewaris mempunyai anak, dan seterusnya.

Satu hal yang perlu diketahui di sini, dalam dunia faraid apabila kata al-hujub
disebutkan tanpa diikuti kata lainnya, maka yang dimaksud adalah hujub hirman.
Ini merupakan hal mutlak dan tidak akan dipakai dalam pengertian hujub
nuqshan.
Ahli Waris yang Tidak Terkena Hujub Hirman

Ada sederetan ahli waris yang tidak mungkin terkena hujub hirman. Mereka
terdiri dan enam orang yang akan tetap mendapatkan hak waris. Keenam orang
tersebut adalah anak kandung laki-laki, anak kandung perempuan, ayah, ibu,
suami, dan istri. Bila orang yang mati meninggalkan salah satu atau bahkan
keenamnya, maka semuanya harus mendapatkan warisan.
Ahli Waris yang Dapat Terkena Hujub Hirman

Sederetan ahli waris yang dapat terkena hujub hirman ada enam belas, sebelas
terdiri dari laki-laki dan lima dari wanita. Adapun ahli waris dari laki-laki sebagai
berikut:
Kakek (bapak dari ayah) akan terhalang oleh adanya ayah, dan juga oleh kakek

PEMBAGIAN WARIS MENURUT ISLAM - oleh Muhammad Ali Ash-Shabuni 54


Pustaka Pribadi Notaris Herman ALT
yang lebih dekat dengan pewaris.
Saudara kandung laki-laki akan terhalang oleh adanya ayah, dan keturunan laki-
laki (anak, cucu, cicit, dan seterusnya).
Saudara laki-laki seayah akan terhalang dengan adanya saudara kandung laki-
laki, juga terhalang oleh saudara kandung perempuan yang menjadi 'ashabah
ma'al Ghair, dan terhalang dengan adanya ayah serta keturunan laki-laki (anak,
cucu, cicit, dan seterusnya).
Saudara laki-laki dan perempuan yang seibu akan terhalangi oleh pokok (ayah,
kakek, dan seterusnya) dan juga oleh cabang (anak, cucu, cicit, dan seterusnya)
baik anak laki-laki maupun anak perempuan.
Cucu laki-laki keturunan anak laki-laki, akan terhalangi oleh adanya anak laki-
laki. Demikian juga para cucu akan terhalangi oleh cucu yang paling dekat (lebih
dekat).
Keponakan laki-laki (anak saudara kandung laki-laki) akan terhalangi dengan
adanya ayah dan kakek, anak laki-laki, cucu kandung laki-laki, serta oleh
saudara laki-laki seayah.
Keponakan laki-laki (anak dari saudara laki-laki seayah) akan terhalangi dengan
adanya orang-orang yang menghalangi keponakan (dari anak saudara kandung
laki-laki), ditambah dengan adanya keponakan (anak laki-laki dari keturunan
saudara kandung laki-laki).
Paman kandung (saudara laki-laki ayah) akan terhalangi oleh adanya anak laki-
laki dari saudara laki-laki, juga terhalangi oleh adanya sosok yang menghalangi
keponakan laki-laki dari saudara laki-laki seayah.
Paman seayah akan terhalangi dengan adanya sosok yang menghalangi paman
kandung, dan juga dengan adanya paman kandung.
Sepupu kandung laki-laki (anak paman kandung) akan terhalangi oleh adanya
paman seayah, dan juga oleh sosok yang menghalangi paman seayah.
Sepupu laki-laki (anak paman seayah) akan terhalangi dengan adanya sepupu
laki-laki (anak paman kandung) dan dengan adanya sosok yang menghalangi
sepupu laki-laki (anak paman kandung).

Sedangkan lima ahli waris dari kelompok wanita adalah:


Nenek (baik ibu dari ibu ataupun dari bapak) akan terhalangi dengan adanya
sang ibu.
Cucu perempuan (keturunan anak laki-laki) akan terhalang oleh adanya anak
laki-laki, baik cucu itu hanya seorang ataupun lebih. Selain itu, juga akan
terhalangi oleh adanya dua orang anak perempuan atau lebih, kecuali jika ada
'ashabah.
Saudara kandung perempuan akan terhalangi oleh adanya ayah, anak, cucu,
cicit, dan seterusnya (semuanya laki-laki).
Saudara perempuan seayah akan terhalangi dengan adanya saudara kandung
perempuan jika ia menjadi 'ashabah ma'al ghair. Selain itu, juga terhalang oleh
adanya ayah dan keturunan (anak, cucu, cicit, dan seterusnya, khusus kalangan
laki-laki) serta terhalang oleh adanya dua orang saudara kandung perempuan
bila keduanya menyempurnakan bagian dua per tiga (2/3), kecuali bila adanya
'ashabah.

PEMBAGIAN WARIS MENURUT ISLAM - oleh Muhammad Ali Ash-Shabuni 55


Pustaka Pribadi Notaris Herman ALT
Saudara perempuan seibu akan terhalangi oleh adanya sosok laki-laki (ayah,
kakek, dan seterusnya) juga oleh adanya cabang (anak, cucu, cicit, dan
seterusnya) baik laki-laki ataupun perempuan.
Saudara Laki-laki yang Berkah

Apabila anak perempuan telah sempurna mendapat bagian dua per tiga (2/3),
gugurlah hak waris cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki. Kecuali bila ia
mempunyai saudara laki-laki (yakni cucu laki-laki keturunan anak laki-laki) yang
sederajat ataupun yang lebih rendah dari derajat cucu perempuan, maka cucu
laki-laki dapat menyeret cucu perempuan itu sebagai 'ashabah, yang
sebelumnya tidak mendapat fardh. Keadaan seperti ini dalam faraid disebut
sebagai kerabat yang berkah atau saudara laki-laki yang berkah. Disebut
demikian karena tanpa cucu laki-laki, cucu perempuan tidak akan mendapat
warisan.

Kemudian, apabila saudara kandung perempuan telah sempurna mendapat


bagian dua per tiga (2/3), gugurlah hak waris para saudara perempuan seayah,
kecuali bila ada saudara laki-laki seayah. Sebab saudara laki-laki seayah itu
akan menggandengnya menjadi 'ashabah. Keadaan seperti ini dinamakan
sebagai saudara yang berkah, sebab tanpa keberadaannya para saudara
kandung perempuan itu tidak akan menerima hak waris mereka.
Saudara Laki-laki yang Merugikan

Kalau sebelumnya saya jelaskan tentang saudara laki-laki yang membawa


berkah, maka kini saya akan menjelaskan kebalikannya, yakni saudara laki-laki
yang merugikan. Disebut saudara laki-laki yang merugikan karena
keberadaannya menyebabkan ahli waris dari kalangan wanita tidak
mendapatkan warisan. Padahal, apabila saudara laki-laki itu tidak ada, ahli waris
wanita itu akan mendapatkan waris. Agar lebih jelas saya berikan beberapa
contoh kasus.

Pertama:

Seorang wanita meninggal dunia dan meninggalkan suami, ibu, bapak, anak
perempuan, dan cucu perempuan dari anak laki-laki. Maka pembagiannya
seperti berikut: suami seperempat (1/4) bagian, ibu seperenam (1/6) bagian,
ayah juga seperenam (1/6) bagian, anak perempuan setengah, dan cucu
perempuan keturunan anak laki-laki mendapat bagian seperenam (1/6) sebagai
penyempurna saham dua per tiga (2/3) karena merupakan bagian wanita.

Seandainya dalam kasus ini terdapat cucu laki-laki keturunan anak laki-laki,
maka gugurlah hak cucu perempuan tersebut. Oleh sebab itu, keberadaan
saudara laki-laki dari cucu perempuan keturunan anak laki-laki itu merugikannya.
Inilah rahasia mengapa ulama faraid mengistilahkannya sebagai "saudara laki-
laki yang merugikan".

PEMBAGIAN WARIS MENURUT ISLAM - oleh Muhammad Ali Ash-Shabuni 56


Pustaka Pribadi Notaris Herman ALT
Kedua:

Untuk lebih memperjelas, dalam contoh berikut saya sertakan saudara laki-laki
yang merugikan. Seorang wanita meninggal dunia dan meninggalkan suami, ibu,
ayah, anak perempuan, serta cucu laki-laki dan perempuan dari keturunan anak
laki-laki. Maka pembagiannya seperti berikut: suami memperoleh seperempat
(1/4) bagian karena istri mempunyai anak (keturunan), ibu seperenam (1/6)
bagian, ayah seperenam (1/6) bagian, sedangkan anak perempuan mendapat
setengah (1/2) bagian karena tidak ada pen-ta'shih, sedangkan cucu laki-laki dan
perempuan tidak mendapat bagian.

Itulah contoh tentang saudara laki-laki yang merugikan. Contoh pertama tidak
merugikan karena memang tidak ada cucu laki-laki keturunan anak laki-laki,
sehingga cucu perempuan keturunan anak laki-laki mendapat bagian seperenam
(1/6) sebagai penyempurna saham dua per tiga (2/3). Sedangkan dalam contoh
kedua, cucu perempuan dirugikan --tidak mendapat waris-- karena ia mempunyai
saudara laki-laki yang sederajat, yakni adanya cucu laki-laki keturunan dari anak
laki-laki.

Ilustrasi seperti itu dapat kita ubah susunan ahli warisnya, misalnya posisi cucu
perempuan keturunan anak laki-laki diganti dengan saudara perempuan seayah
dan posisi cucu laki-laki keturunan anak laki-laki diganti dengan saudara laki-laki
seayah. Maka, saudara perempuan seayah akan mendapat waris bila tidak
mempunyai saudara laki-laki seayah yang masih hidup. Namun, bila mempunyai
saudara laki-laki seayah, maka saudara perempuan seayah tidak mendapat
bagian apa-apa.

C. Tentang Kasus Kolektif

Menurut kaidah yang biasa dikenal dan dipakai ulama faraid, pembagian harta
waris dimulai dengan ashhabul furudh, kemudian baru kepada para 'ashabah.
Para ulama menyandarkan kaidah ini pada hadits Rasulullah saw. (artinya):
"Berikanlah hak waris kepada ashhabul furudh, dan sisanya diberikan kepada
kerabat laki-laki yang lebih dekat."

Namun demikian, dalam masalah ini ternyata terjadi sesuatu yang kontradiktif,
sesuatu yang keluar dan menyimpang dari kaidah aslinya. Masalah ini dikenal
juga dengan istilah "kasus musytarakah" (kasus kolektif). Sementara itu, di sisi
lain masalah ini telah memancing perbedaan pendapat sejak masa para
sahabat, tabi'in, dan imam mujtahidin.

Contoh permasalahannya sebagai berikut; seorang wanita wafat dan


meninggalkan seorang suami, ibu, dua saudara laki-laki seibu (atau lebih dari
dua orang), dan dua orang saudara kandung laki-laki (atau lebih dari dua orang).
Pembagiannya adalah seperti berikut: suami mendapat setengah (1/2) bagian

PEMBAGIAN WARIS MENURUT ISLAM - oleh Muhammad Ali Ash-Shabuni 57


Pustaka Pribadi Notaris Herman ALT
dikarenakan pewaris tidak mempunyai anak secara fardh, ibu mendapat
seperenam (1/6) bagian disebabkan pewaris mempunyai dua orang saudara laki-
laki atau lebih, dan dua orang saudara seibu mendapat bagian sepertiga (1/3).
Sedangkan saudara kandung laki-laki tidak mendapatkan bagian karena ia
sebagai 'ashabah --sedangkan harta waris yang dibagikan telah habis.

Berdasarkan kaidah yang berlaku, saudara kandung laki-laki sebenamya


memiliki kekerabatan lebih kuat dibandingkan saudara laki-laki seibu, tetapi pada
kasus ini justru terjadi sebaliknya. Karena, masalah ini merupakan kasus kolektif,
selain sebagai masalah yang menyimpang dari kaidah aslinya, juga karena para
sahabat, tabi'in, serta para imam mujtahidin --dalam contoh kasus seperti ini--
menyatakan bahwa saudara kandung laki-laki disamakan dengan saudara laki-
laki yang seibu, hingga mereka mendapat sepertiga (1/3) bagian dan dibagikan
secara rata di antara mereka (termasuk saudara kandung laki-laki). Di samping
itu, masalah ini juga menyebabkan terjadinya perbedaan pendapat di kalangan
ulama, sejak masa para sahabat, tabi'in, dan imam mujtahidin.
Perbedaan Pendapat Para Fuqaha

Dalam masalah musytarakah (kolektif) ini ada dua kubu pendapat yang masyhur
dalam hal membagi hak waris sebagaimana contoh kasus tersebut. Pendapat
pertama menyatakan bahwa hak waris saudara kandung digugurkan
sebagaimana mengikuti kaidah yang ada. Pendapat ini pernah dilakukan oleh
Abu Bakar, Ali, Ibnu Abbas, dan lainnya.

Sedangkan pendapat kedua menyatakan bahwa hak waris pada saudara


kandung dikolektifkan dengan hak waris para saudara laki-laki seibu. Pendapat
ini dilakukan oleh Zaid bin Tsabit, Utsman, Ibnu Mas'ud, dan lainnya. Pendapat
pertama dianut dan diikuti oleh mazhab Hanafi dan Hambali, sedangkan
pendapat yang kedua diikuti dan dianut oleh mazhab Maliki dan Syafi'i.

Selain itu, masalah ini di kalangan ulama faraid dikenal dengan sebutan
"umariyah", karena Umar bin Khathab pernah memvonis masalah ini --juga
pernah dikenal dengan sebutan Himariyah, Hajariyah, dan Yammiyah.

Diriwayatkan bahwa masalah musytarakah ini pernah diajukan ke hadapan Umar


bin Khathab r.a.. Umar baru pertama kali menjumpai kasus seperti ini dan
memvonis: saudara kandung tidak mendapat bagian hak waris sedikit pun.
Kemudian pada tahun berikutnya, masalah ini diajukan kembali kepadanya.
Ketika ia hendak memvonis seperti tahun lalu, proteslah salah seorang ahli
warisnya: "Wahai Amirul Mukminin, sungguh mustahil bila ayah kami dianggap
keledai atau batu yang terbuang di sungai. Bukankah kami ini anak dari seorang
ibu?" Umar menyimak perkataan orang itu dan berpikir bahwa apa yang
diucapkannya benar dan tepat. Maka ia memvonis dengan memberi hak kepada
mereka (saudara seibu dan saudara sekandung) secara bersamaan dan dibagi
sama rata. Contohnya adalah sebagai berikut:

PEMBAGIAN WARIS MENURUT ISLAM - oleh Muhammad Ali Ash-Shabuni 58


Pustaka Pribadi Notaris Herman ALT
Asal masalah dari enam 6 naik menjadi 18

Suami 1/2 harta waris yang ada secara fardh 3 9


Ibu 1/6 harta waris yang ada secara fardh 1 3
Saudara seibu 1/3 secara fardh dan dibagi merata dengan saudara
2 4
kandung
Saudara kandung dapat hak waris, karena dianggap seperti saudara
- 2
seibu dengan mendapat bagian sepertiga (1/3) dibagi adil

Persyaratan Masalah Kolektif

1. Jumlah saudara seibu dua orang atau lebih, baik laki-laki atau perempuan.
2. Saudara yang ada benar-benar saudara kandung, sebab bila saudara seayah
maka gugurlah haknya secara ijma'. Dan dalam hal ini tidak berbeda apakah
hanya satu orang atau banyak.
3. Saudara kandung itu harus saudara laki-laki. Sebab bila perempuan, maka
akan mewarisi secara fardh, dan masalahnya pun akan naik, serta
kekolektifan ini akan batal.

Beberapa Kaidah Penting

Hak waris banul a'yan (saudara kandung laki-laki/perempuan), dan banul 'allat
(saudara laki-laki/perempuan seayah), serta banul akhyaf (saudara laki-
laki/perempuan seibu) akan gugur (terhalangi) oleh adanya anak laki-laki
pewaris, cucu laki-laki (keturunan anak laki-laki), dan ayah. Hal ini merupakan
kesepakatan seluruh ulama.

Menurut mazhab Abu Hanifah hak mereka juga digugurkan oleh adanya kakek
pewaris. Sedangkan menurut ketiga imam mazhab yang lain tidaklah demikian.
Masih menurut mazhab Hanafi, hak waris banul akhyaf digugurkan dengan
adanya anak perempuan pewaris, cucu perempuan keturunan anak laki-laki
pewaris, dan seterusnya.

Kaidah yang lain ialah bahwa banul akhyaf mendapatkan hak waris secara
merata pembagiannya antara yang laki-laki dengan yang perempuan. Hal ini
berdasarkan firman Allah (artinya) "mereka bersekutu dalam yang sepertiga."

VI HAK WARIS KAKEK DENGAN SAUDARA

A. Pengertian Kakek yang Sahih

PEMBAGIAN WARIS MENURUT ISLAM - oleh Muhammad Ali Ash-Shabuni 59


Pustaka Pribadi Notaris Herman ALT
Makna kakek yang sahih ialah kakek yang nasabnya terhadap pewaris tidak
tercampuri jenis wanita, misalnya ayah dari bapak dan seterusnya. Sedangkan
kakek yang berasal garis wanita disebut sebagai kakek yang rusak nasabnya,
misalnya ayahnya ibu, atau ayah dari ibunya ayah. Hal ini didasarkan sesuai
dengan kaidah yang ada di dalam faraid: "bilamana unsur wanita masuk ke
dalam nasab laki-laki, maka kakek menjadi rusak nasabnya. Namun bila tidak
termasuki unsur wanita, itulah kakek yang sahih."
B. Hukum Waris antara Kakek dengan Saudara

Baik Al-Qur'an maupun hadits Nabawi tidak menjelaskan tentang hukum waris
bagi kakek yang sahih dengan saudara kandung ataupun saudara seayah. Oleh
karena itu, mayoritas sahabat sangat berhati-hati dalam memvonis masalah ini,
bahkan mereka cenderung sangat takut untuk memberi fatwa yang berkenaan
dengan masalah ini. Ibnu Mas'ud r.a. dalam hal ini pernah mengatakan:
"Bertanyalah kalian kepada kami tentang masalah yang sangat pelik sekalipun,
namun janganlah kalian tanyakan kepadaku tentang masalah warisan kakak
yang sahih dengan saudara."

Pernyataan serupa juga ditegaskan oleh Ali bin Abi Thalib:

"Barangsiapa yang ingin diceburkan ke dalam neraka Jahanam, maka hendaklah


ia memvonis masalah waris antara kakek yang sahih dengan para saudara."

Ketakutan dan kehati-hatian para sahabat dalam memvonis masalah hak waris
kakek dan saudara itu tentu sangat beralasan, karena tidak ada nash Al-Qur'an
atau hadits Nabi yang menjelaskannya. Dengan demikian, menurut mereka,
masalah ini memerlukan ijtihad. Akan tetapi di sisi lain, ijtihad ini sangat
mengkhawatirkan mereka, karena jika salah berarti mereka akan merugikan
orang yang sebenarnya mempunyai hak untuk menerima warisan, dan
memberikan hak waris kepada orang yang sebenamya tidak berhak. Terlebih
lagi dalam masalah yang berkenaan dengan materi, atau hukum tentang hak
kepemilikan, mereka merasa sangat takut kalau-kalau berlaku zalim dan aniaya.

Perlu saya tekankan bahwa masalah waris sangatlah berbahaya dan sensitif.
Karena itu Allah SWT tidak membiarkan begitu saja hukum yang berkenaan
dengan masalah hak kepemilikan materi ini. Dia menjelaskannya di dalam Al-
Qur'an dengan detail agar tidak terjadi kezaliman dan perbuatan aniaya di
kalangan umat manusia, khususnya para ahli waris.

Namun demikian, masalah yang sangat dikhawatirkan itu hilang setelah


munculnya ijtihad para salaf ash-shalih dan para imam mujtahidin. Ijtihad dan
pendapat tersebut dijaga serta dibukukan secara lengkap dan detail beserta
dalil-dalilnya. Hal ini akan memudahkan setiap orang yang ingin mengetahuinya
sambil bersandar kepada ijtihad yang dianggapnya lebih rajih (kuat dan tepat)
serta dapat dijadikannya sandaran dalam berfatwa.
C. Perbedaan Pendapat Mengenai Hak Waris Kakek

PEMBAGIAN WARIS MENURUT ISLAM - oleh Muhammad Ali Ash-Shabuni 60


Pustaka Pribadi Notaris Herman ALT
Para imam mazhab berbeda pendapat mengenai hak waris kakak bila
bersamaan dengan saudara, sama seperti perbedaan yang terjadi di kalangan
para sahabat Rasulullah saw.. Perbedaan tersebut dapat digolongkan ke dalam
dua mazhab.

Mazhab pertama: mereka menyatakan bahwa para saudara --baik saudara


kandung, saudara seayah, ataupun seibu-- terhalangi (gugur) hak warisnya
dengan adanya kakek. Mereka beralasan bahwa kakek akan mengganti
kedudukan ayah bila telah tiada, karena kakek merupakan bapak yang paling
'tinggi'. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam kaidah yang masyhur di kalangan
fuqaha, seperti yang telah saya sebutkan sebelumnya. Yakni, bila ternyata
'ashabah banyak arahnya, maka yang lebih didahulukan adalah arah anak
(keturunan), kemudian arah ayah, kemudian saudara, dan barulah arah paman.
Sekali-kali arah itu tidak akan berubah atau berpindah kepada arah yang lain,
sebelum arah yang lebih dahulu hilang atau habis. Misalnya, jika 'ashabah itu
ada anak dan ayah, maka yang didahulukan adalah arah anak. Bila 'ashabah itu
ada arah saudara dan arah paman maka yang didahulukan adalah arah saudara,
kemudian barulah arah paman.

Lebih lanjut golongan yang pertama ini menyatakan bahwa arah ayah
--mencakup kakek dan seterusnya-- lebih didahulukan daripada arah saudara.
Karena itu hak waris para saudara akan terhalangi karena adanya arah kakek,
sama seperti gugurnya hak waris oleh saudara bila ada ayah.

Mazhab ini merupakan pendapat Abu Bakar ash-Shiddiq, Ibnu Abbas, dan Ibnu
Umar. Pendapat ini diikuti oleh mazhab Hanafi.

Mazhab kedua: berpendapat bahwa para saudara kandung laki-laki/perempuan


dan saudara laki-laki seayah berhak mendapat hak waris ketika bersamaan
dengan kakek. Kakek tidaklah menggugurkan hak waris para saudara kandung
dan yang seayah, sama seperti halnya ayah.

Alasan yang dikemukakan golongan kedua ini ialah bahwa derajat kekerabatan
saudara dan kakek dengan pewaris sama. Kedekatan kakek terhadap pewaris
melewati ayah, demikian juga saudara. Kakek merupakan pokok dari ayah,
sedangkan saudara adalah cabang dari ayah, karena itu tidaklah layak untuk
mengutamakan yang satu dari yang lain karena mereka sama derajatnya. Bila
kita mengutamakan yang satu dan mencegah yang lain berarti telah melakukan
kezaliman tanpa alasan yang dapat diterima. Hal ini sama dengan memberikan
hak waris kepada para saudara kandung kemudian di antara mereka ada yang
tidak diberi.

Alasan lain yang dikemakakan mazhab ini ialah bahwa kebutuhan para saudara
--yang jelas lebih muda daripada kakek--terhadap harta jauh lebih besar
ketimbang para kakek. Sebagai gambaran, misalnya saja warisan pewaris ini

PEMBAGIAN WARIS MENURUT ISLAM - oleh Muhammad Ali Ash-Shabuni 61


Pustaka Pribadi Notaris Herman ALT
dibagikan atau diberikan kepada para kakek, kemudian ia wafat, maka harta
peninggalannya akan berpindah kepada anak-anaknya yang berarti paman para
saudara. Dengan demikian para paman menjadi ahli waris, sedangkan para
saudara tadi hanya kebagian tangis, tidak mendapat warisan dari saudaranya
yang meninggal.

Pendapat ini dianut oleh ketiga imam, yaitu Imam Malik, Imam Syafi'i, dan Imam
Ahmad bin Hambal, dan diikuti oleh kedua orang murid Abu Hanifah, yaitu
Muhammad dan Abu Yusuf. Inilah pendapat yang dianut oleh jumhur sahabat
dan tabi'in, yakni Zaid bin Tsabit, Ali bin Abi Thalib, Ibnu Mas'ud, asy-Syi'bi, dan
Ahli Madinah ridhwanullah 'alaihim.

D.Tentang Mazhab Jumhur

Untuk lebih menjelaskan pendapat yang rajih --yakni pendapat jumhur ulama--
maka saya perlu mengatakan bahwa sesungguhnya jika kakak mewarisi
bersamaan dengan saudara, maka ia mempunyai dua keadaan, dan masing-
masing memiliki hukum tersendiri.

Keadaan pertama: kakek mewarisi hanya bersamaan dengan para saudara,


tidak ada ahli waris lain dari ashhabul furudh, seperti istri atau ibu, atau anak
perempuan, dan sebagainya.

Keadaan kedua: kakak mewarisi bersama para saudara dan ashhabul furudh
yang lain, seperti ibu, istri, dan anak perempuan.
Hukum Keadaan Pertama

Bila seseorang wafat dan meninggalkan kakek serta saudara-saudara tanpa


ashhabul furudh yang lain, maka bagi kakek dipilihkan perkara yang afdhal
baginya --agar lebih banyak memperoleh harta warisan-- dari dua pilihan yang
ada. Pertama dengan cara pembagian, dan kedua dengan cara mendapatkan
sepertiga (1/3) harta warisan. Mana di antara kedua cara tersebut yang lebih
baik bagi kakek, itulah yang menjadi bagiannya. Bila pembagian lebih baik
baginya maka hendaklah dengan cara pembagian, dan bila mendapatkan 1/3
harta warisan lebih baik maka itulah yang menjadi haknya.
Makna Pembagian

Makna pembagian menurut ulama faraid adalah kakek dikategorikan seperti


saudara kandung, ia mendapatkan bagian yang sama dengan bagian saudara
kandung laki-laki. Apabila kakek berhadapan dengan saudara perempuan
kandung, maka ia menempati posisi yang sama seperti saudara kandung laki-
laki. Berarti kakek mendapatkan bagian dua kali lipat bagian para saudara
perempuan sekandung.

Bila cara pembagian tersebut kemungkinan merugikan kakek, maka diberikan

PEMBAGIAN WARIS MENURUT ISLAM - oleh Muhammad Ali Ash-Shabuni 62


Pustaka Pribadi Notaris Herman ALT
dengan memilih cara mendapat sepertiga (1/3) harta waris yang ada.
Pembagian yang Lebih Menguntungkan Kakek

Ada lima keadaan yang lebih menguntungkan kakek bila menggunakan cara
pembagian. Kelima keadaan tersebut sebagai berikut:
Kakek dengan saudara kandung perempuan.
Kakek dengan dua orang saudara kandung perempuan.
Kakek dengan tiga orang saudara kandung perempuan.
Kakek dengan saudara kandung laki-laki.
Kakek dengan saudara kandung laki-laki dan saudara kandung perempuan.

Adapun penjelasannya seperti berikut:

Pada keadaan pertama kakak mendapat dua per tiga (2/3).

Pada keadaan kedua kakek mendapat setengah (1/2).

Pada keadaan ketiga kakek mendapat dua per lima (2/5).

Pada keadaan keempat kakek mendapat setengah (1/2).

Pada keadaan kelima kakek mendapat dua per lima (2/5).

Kelima keadaan itu lebih menguntungkan kakek jika menggunakan cara


pembagian.
Pembagian dan Jumlah 1/3 yang Berimbang

Ada tiga keadaan yang menyebabkan kakek mendapatkan bagian yang sama
baik secara pembagian ataupun dengan mengambil sepertiga harta waris yang
ada. Ketiga keadaan itu sebagai berikut:
Kakek dengan dua orang saudara kandung laki-laki.
Kakek dengan empat orang saudara kandung perempuan.
Kakek dengan seorang saudara kandung laki-laki dan dua orang saudara
kandung perempuan.
Pembagian Sepertiga Lebih Menguntungkan Kakek

Selain dari delapan keadaan yang saya kemukakan itu, maka pemberian
sepertiga (1/3) kepada sang kakek lebih menguntungkannya. Misalnya,
seseorang wafat dan meninggalkan seorang kakek dan tiga orang saudara, atau
seorang kakek dan lima saudara kandung perempuan atau lebih. Dalam hal ini
kakek mendapat sepertiga (1/3), dan sisanya dibagikan kepada para saudara,
yang laki-laki mendapat dua kali lipat bagian wanita.

Kalau saja dalam keadaan seperti itu kita gunakan cara pembagian, maka kakek
akan dirugikan karena akan menerima kurang dari sepertiga harta warisan.

PEMBAGIAN WARIS MENURUT ISLAM - oleh Muhammad Ali Ash-Shabuni 63


Pustaka Pribadi Notaris Herman ALT
Catatan

Hukum tentang hak waris saudara laki-laki dan perempuan seayah ketika
bersama dengan kakek --tanpa saudara kandung laki-laki atau perempuan--
maka hukumnya sama dengan hukum yang saya jelaskan di atas.
Hukum Keadaan Kedua

Bila kebersamaan antara kakek dengan para saudara dibarengi pula dengan
adanya ashhabul furudh yang lain --yakni ahli waris lainnya-- maka bagi kakek
dapat memilih salah satu dari tiga pilihan yang paling menguntungkannya. Yaitu,
dengan pembagian, menerima sepertiga (1/3), atau menerima seperenam (1/6)
dari seluruh harta waris yang ditinggalkan pewaris. Dan hal ini pun dengan
syarat bagiannya tidak kurang dari seperenam (1/6) bagaimanapun keadaannya.
Kalau jumlah harta waris setelah dibagikan kepada ashhabul furudh tidak tersisa
kecuali seperenam atau bahkan kurang, maka tetaplah kakek diberi bagian
seperenam (1/6) secara fardh, dan para saudara kandung digugurkan atau
dikurangi haknya. Ketetapan ini telah menjadi kesepakatan bulat imam mujtahid.

Adapun bila cara pembagian --setelah para ashhabul furudh mengambil


bagiannya-- bagian sang kakek lebih menguntungkannya, maka hendaknya
dibagi dengan cara itu. Dan jika sepertiga (1/3) sisa harta waris yang ada malah
lebih menguntungkannya, maka itulah bagian kakek. Yang pasti, bagian kakek
tidaklah boleh kurang dari seperenam (1/6) bagaimanapun keadaannya. Sebab
bagian tersebut adalah bagiannya yang telah ditentukan syariat.
Contoh Keadaan Kedua

Contoh pertama: seseorang wafat dan meninggalkan suami, kakak, dan saudara
kandung laki-laki. Maka pembagiannya seperti berikut: suami faradh-nya
setengah (1/2) karena pewaris tidak mempunyai anak, dan sisanya dibagi dua,
yakni kakak seperempat dan saudara kandung laki-laki juga seperempat.

Pada contoh kasus ini kakek lebih beruntung untuk menerima warisan dengan
cara pembagian. Sebab dengan pembagian ia mendapatkan bagian lebih dari
seperenam (1/6).

Contoh kedua: seseorang wafat dan meninggalkan ibu, kakek, dua saudara
kandung laki-laki dan dua saudara kandung perempuan. Maka pembagiannya
seperti berikut: ibu mendapat seperenam (1/6) bagian, kakek mendapat
sepertiga (1/3) dari sisa harta yang ada, dan sisanya dibagikan kepada saudara
laki-laki dan perempuan, dengan ketentuan bagi laki-laki mendapat dua kali lipat
bagian perempuan.

Dalam contoh kedua ini bagian kakek lebih menguntungkan, ia mendapatkan


sepertiga dari sisa harta setelah diambil hak sang ibu. Berarti kakek mendapat
sepertiga (1/3) dari lima per enam (5/6).

PEMBAGIAN WARIS MENURUT ISLAM - oleh Muhammad Ali Ash-Shabuni 64


Pustaka Pribadi Notaris Herman ALT
Contoh ketiga: seseorang wafat dan meninggalkan seorang anak perempuan,
nenek, kakek, dan tiga saudara kandung perempuan. Pembagiannya sebagai
berikut: bagi anak perempuan setengah (1/2), nenek seperenam (1/6), kakek
seperenam (1/6), dan sisanya dibagikan kepada para saudara kandung
perempuan sesuai jumlah orangnya secara rata.

Contoh keempat: seseorang wafat dan meninggalkan lima anak perempuan,


suami, kakek, dan empat saudara kandung laki-laki. Maka pembagiannya seperti
berikut: suami mendapat seperempat (1/4), lima anak perempuan mendapat dua
per tiga (2/3), dan kakek mendapat seperenam (1/6), sedangkan empat saudara
laki-laki tidak mendapatkan apa-apa. Hal ini telah disepakati ulama mujtahid.

Contoh kelima: seseorang wafat dan meninggalkan dua orang istri, seorang anak
perempuan, seorang cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki, kakek, ibu,
dan sepuluh saudara kandung perempuan. Maka pembagiannya sebagai berikut:
untuk kedua orang istri seperdelapan (1/8), anak perempuan setengah (1/2), dan
cucu perempuan keturunan dari anak laki-laki seperenam (1/6) sebagai
penyempurna dua per tiga (2/3), ibu mendapatkan seperenam (1/6), dan sang
kakek juga seperenam. Sedangkan sepuluh saudara kandung perempuan tidak
mendapatkan apa-apa sebab ashhabul furudh telah menghabiskan bagian yang
ada.

E. Bila Saudara Kandung dan Seayah Mewarisi bersama Kakek

Persoalan yang saya jelaskan sebelumnya berkisar mengenai bagian kakek bila
hanya bersamaan dengan saudara kandung. Pada bagian ini akan dijelaskan
bagian kakek jika ia tidak hanya bersama dengan saudara kandung, tetapi
sekaligus bersama dengan saudara seayah. Untuk keadaan seperti ini, ulama
faraid menyatakan bahwa para saudara seayah dikategorikan sama dengan
saudara kandung, mereka dianggap satu jenis.

Apabila pemberian dilakukan secara pembagian, keberadaan saudara seayah


dalam keadaan seperti ini dikategorikan sebagai merugikan kakek. Meskipun
setelah kakek mendapatkan bagian, seluruh sisa harta waris yang ada hanya
menjadi hak para saudara kandung -- sebab jika saudara kandung dan seayah
bersama-sama, maka saudara seayah mahjub, haknya menjadi gugur.

Akan tetapi, jika saudara seayah mewarisi bersama kakek dan seorang saudara
kandung perempuan, maka para saudara laki-laki seayah akan mendapatkan
bagian sisa harta yang ada, setelah diambil hak saudara kandung perempuan
(1/2) dan hak kakek (1/3).

Agar persoalan ini tidak terlalu kabur dan membingungkan saya sertakan
beberapa contoh kasus.

PEMBAGIAN WARIS MENURUT ISLAM - oleh Muhammad Ali Ash-Shabuni 65


Pustaka Pribadi Notaris Herman ALT
Contoh pertama: seseorang wafat dan meninggalkan kakek, saudara kandung
laki-laki dan saudara laki-laki seayah. Maka pembagiannya sebagai berikut:
kakek mendapat sepertiga (1/3) bagian, dan saudara kandung laki-laki
memperoleh dua per tiga (2/3) bagian, sedangkan saudara laki-laki seayah
mahjub (terhalangi) karena adanya saudara kandung laki-laki.

Dalam contoh pertama, saudara laki-laki dikategorikan sebagai ahli waris, karena
itu bagian kakek sepertiga (1/3), hak saudara kandung laki-laki dua per tiga (2/3),
sedangkan saudara laki-laki seayah terhalangi oleh adanya ahli waris yang lebih
kuat dan dekat, yakni saudara kandung laki-laki.

Jumlah sepertiga (1/3) bagi kakek dalam contoh kasus ini sesuai dengan kaidah
yang ada: "hendaklah kakek diberi dengan salah satu dari dua cara yang paling
menguntungkannya, mendapat sepertiga harta waris atau dengan cara
pembagian". Kebetulan dalam kasus ini kedua cara pemberian waris bagi kakek
menghasilkan bagian yang sama, yaitu sepertiga.

Contoh kedua: seseorang wafat dan meninggalkan seorang saudara kandung


perempuan, kakek, seorang saudara laki-laki seayah, dan dua orang saudara
perempuan seayah. Maka pembagiannya seperti berikut: saudara kandung
perempuan mendapat setengah (1/2) bagian, kakek mendapat sepertiga (1/3)
bagian, sedangkan sisanya diberikan kepada para saudara laki-laki dan
perempuan seayah --dengan ketentuan bagian laki-laki dua kali lipat bagian
perempuan.

Pada contoh kedua ini, saya langsung memberikan hak kakek sepertiga (1/3),
tanpa menggunakan cara pembagian. Karena sebagaimana telah saya
kemukakan bahwa keberadaan para saudara laki-laki/perempuan seayah
sebagai perugi, yakni merugikan kakek pada cara pembagian. Kalaulah
pemberian kepada kakak dalam contoh ini menggunakan cara pembagian, tentu
hal ini akan merugikannya karena ia akan menerima bagian kurang dari
sepertiga (1/3) harta waris yang ada. Oleh sebab itu, saya berikan haknya
dengan cara yang paling menguntungkannya, yaitu sepertiga (1/3).

Setelah itu saya berikan hak waris saudara kandung perempuan setengah
secara fardh, karena ia lebih kuat dan lebih dekat kekerabatannya terhadap
pewaris dibandingkan para saudara laki-laki/perempuan seayah. Sisanya
barulah untuk mereka.

Contoh ketiga: seseorang wafat dan meninggalkan ibu, kakek, seorang saudara
kandung laki-laki, dan seorang saudara perempuan seayah. Maka
pembagiannya seperti berikut: ibu mendapat seperenam (1/6) bagian, kakek
memperoleh dua per enam (2/6) bagian, dan sisanya diberikan kepada saudara
kandung laki-laki. Dalam hal ini saudara perempuan seayah gugur sebab ada
saudara kandung, dan keberadaannya hanya merugikan kakek bila
menggunakan cara pembagian.

PEMBAGIAN WARIS MENURUT ISLAM - oleh Muhammad Ali Ash-Shabuni 66


Pustaka Pribadi Notaris Herman ALT
Catatan

Pada contoh ketiga --seperti telah diutarakan-- keberadaan saudara laki-


laki/perempuan seayah merugikan kakek bila menggunakan cara pembagian.
Kemudian, dalam masalah ini kita berikan nasib (bagian) saudara perempuan
seayah sebanyak dua per enam (2/6), dan itu menjadi bagian saudara laki-laki
kandung, sebab saudara perempuan seayah gugur haknya oleh adanya saudara
laki-laki kandung. Bila kita lihat secara seksama akan tampak oleh kita bahwa
yang lebih menguntungkan kakek dalam hal ini adalah cara pembagian, bukan
dengan cara menerima sepertiga (1/3) sisa harta waris setelah diambil ashhabul
furudh -- dalam contoh ini adalah ibu.

Barangkali untuk lebih memperjelas masalah ini perlu pula saya sertakan
tabelnya.

Masalahnya 12

Bagian ibu 1/6 secara fardh 2


Bagian kakek 2/6 secara pembagian dengan saudara kandung laki-laki 4
Bagian saudara kandung (sisanya) 6
Bagian saudara perempuan seayah mahjub 0

Contoh keempat: seseorang wafat dan meninggalkan seorang ibu, kakek,


saudara kandung perempuan, dan dua orang saudara seayah. Maka
pembagiannya seperti berikut: ibu memperoleh seperenam (1/6) bagian, kakek
sepertiga (1/3), dan saudara kandung perempuan mendapat setengah (1/2),
sedangkan bagian dua orang saudara seayah sisanya. Tabelnya sebagai
berikut:

Masalahnya 12 dan naik menjadi 36

Bagian ibu 1/6 6


Bagian kakek 1/3 (sisa setelah diambil ibu) 10
Bagian saudara kandung perempuan setengah (1/2) 18
Bagian dua orang saudara laki-laki seayah (sisanya) 2

Catatan

Apabila pewaris hanya meninggalkan kerabat seperti kakek dan saudara-


saudara laki-laki/perempuan seibu saja, maka seluruh warisan merupakan
bagian kakek. Sebab, seperti yang telah disepakati seluruh imam mujtahid,

PEMBAGIAN WARIS MENURUT ISLAM - oleh Muhammad Ali Ash-Shabuni 67


Pustaka Pribadi Notaris Herman ALT
kakek dapat menggugurkan hak waris saudara seibu. Dan hak waris saudara
seibu hanyalah bila pewaris sebagai kalalah, yakni tidak mempunyai pokok (ayah
dan seterusnya) dan tidak pula mempunyai cabang (anak, cucu, cicit, dan
seterusnya).

Di samping itu, hal lain yang telah menjadi ijma' seluruh fuqaha ialah bahwa hak
waris dari keturunan para saudara kandung ataupun seayah menjadi gugur
karena adanya kakek. Misalnya, bila seseorang meninggal dan hanya
meninggalkan kakek serta anak saudaranya, maka seluruh warisannya menjadi
hak kakek.

F. Masalah al-Akdariyah

Istilah al-akdariyah muncul karena masalah ini berkaitan dengan salah seorang
wanita dari bani Akdar.

Sedangkan sebagian ulama mengatakan bahwa penyebutan masalah ini dengan


istilah al-akdariyah --yang artinya 'kotor' atau 'mengotori'-- disebabkan masalah
ini cukup mengotori mazhab Zaid bin Tsabit (sosok sahabat yang sangat dipuji
Rasulullah akan kemahirannya dalam faraid, penj.). Dia pernah menghadapi
masalah waris dan memvonisnya dengan melakukan sesuatu yang bertentangan
(menyimpang) dari kaidah-kaidah faraid yang masyhur.

Permasalahannya seperti berikut: bila seseorang wafat dan meninggalkan


seorang suami, ibu, kakek, dan seorang saudara kandung perempuan. Apabila
berpegang pada kaidah yang telah disepakati seluruh fuqaha --termasuk di
dalamnya Zaid bin Tsabit sendirimaka pembagiannya adalah dengan
menggugurkan hak saudara kandung perempuan. Sebab, suami mendapat
setengah (1/2), bagian, ibu mendapat sepertiga (1/3) bagian, dan sisanya hanya
seperenam (1/6) yang tidak lain sebagai bagian kakek yang tidak mungkin
digugurkan --karena merupakan haknya secara fardh. Oleh sebab itu, sudah
semestinya bagian saudara kandung perempuan digugurkan karena tidak ada
sisa harta waris.

Akan tetapi, dalam kasus ini Zaid bin Tsabit r.a. memvonis dengan menyalahi
kaidah yang ada. Dia memberi saudara kandung setengah (1/2) bagian, dan
menaikkan masalahnya dari enam (6) menjadi sembilan (9). Kemudian ia
menyatukan hak saudara kandung perempuan dengan saham kakak, dan
membaginya menjadi bagian laki-laki dua kali lipat bagian wanita. Setelah
ditashih, masalahnya menjadi dua puluh tujuh (27), dan pembagiannya seperti
berikut: suami mendapat sembilan (9) bagian, ibu enam (6) bagian, kakek
delapan (8) bagian, dan saudara kandung perempuan empat (4) bagian.

Dalam hal ini Imam Malik dan Imam Syafi'i mengikuti apa yang pernah dilakukan

PEMBAGIAN WARIS MENURUT ISLAM - oleh Muhammad Ali Ash-Shabuni 68


Pustaka Pribadi Notaris Herman ALT
Zaid bin Tsabit, sehingga menjadikannya sebagai keputusan ijtihad dalam fiqih
kedua imam tersebut.

Berikut ini saya sertakan tabelnya, dari mulai yang sesuai dengan kaidah aslinya
hingga setelah ditashih.

Masalahnya adalah dari enam (6)

Suami mendapat setengah (1/2) secara fardh 3


Ibu mendapat sepertiga (1/3) secara fardh 2
Kakek mendapat seperenam (1/6) sisanya/fardh-nya 1
Saudara kandung perempuan mahjub 0

Adapun tabel setelah ditashih menurut al-akdariyah seperti berikut:

Masalahnya naik dari enam (6) menjadi dua puluh tujuh (27)

Bagian suami menjadi 9


Bagian ibu menjadi 6
Bagian kakek menjadi 8
Bagian saudara kandung perempuan menjadi 4

Catatan

Catatan

Dalam masalah al-akdariyah ini sosok ahli waris mutlak tidak dapat diubah. Bila
ada salah satu yang diubah, maka berarti telah keluar dari hukum tersebut.
Wallahu a'lam.

VII. MASALAH AL 'AUL DANAR-RADD


A. Definisi al-'Aul

Al-'aul dalam bahasa Arab mempunyai banyak arti, di antaranya bermakna azh-
zhulm (aniaya) dan tidak adil, seperti yang difirmankan-Nya:

"... Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya." (an-Nisa':
3)

Al-'aul juga bermakna 'naik' atau 'meluap'. Dikatakan 'alaa al-ma'u idzaa irtafa'a

PEMBAGIAN WARIS MENURUT ISLAM - oleh Muhammad Ali Ash-Shabuni 69


Pustaka Pribadi Notaris Herman ALT
yang artinya 'air yang naik meluap'. Al-'aul bisa juga berarti 'bertambah', seperti
tampak dalam kalimat ini: 'alaa al-miizaan yang berarti 'berat timbangannya'.

Sedangkan definisi al-'aul menurut istilah fuqaha yaitu bertambahnya jumlah


bagian fardh dan berkurangnya nashib (bagian) para ahli waris.

Hal ini terjadi ketika makin banyaknya ashhabul furudh sehingga harta yang
dibagikan habis, padahal di antara mereka ada yang belum menerima bagian.
Dalam keadaan seperti ini kita harus menaikkan atau menambah pokok
masalahnya sehingga seluruh harta waris dapat mencukupi jumlah ashhabul
furudh yang ada -- meski bagian mereka menjadi berkurang.

Misalnya bagian seorang suami yang semestinya mendapat setengah (1/2)


dapat berubah menjadi sepertiga (1/3) dalam keadaan tertentu, seperti bila
pokok masalahnya dinaikkan dari semula enam (6) menjadi sembilan (9). Maka
dalam hal ini seorang suami yang semestinya mendapat bagian 3/6 (setengah)
hanya memperoleh 3/9 (sepertiga). Begitu pula halnya dengan ashhabul furudh
yang lain, bagian mereka dapat berkurang manakala pokok masalahnya naik
atau bertambah.
B. Latar Belakang Terjadinya 'Aul

Pada masa Rasulullah saw. sampai masa kekhalifahan Abu Bakar ash-Shiddiq
r.a. kasus 'aul atau penambahan --sebagai salah satu persoalan dalam hal
pembagian waris-- tidak pernah terjadi. Masalah 'aul pertama kali muncul pada
masa khalifah Umar bin Khathab r.a.. Ibnu Abbas berkata: "Orang yang pertama
kali menambahkan pokok masalah (yakni 'aul) adalah Umar bin Khathab. Dan
hal itu ia lakukan ketika fardh yang harus diberikan kepada ahli waris bertambah
banyak."

Secara lebih lengkap, riwayatnya dituturkan seperti berikut: seorang wanita wafat
dan meninggalkan suami dan dua orang saudara kandung perempuan. Yang
masyhur dalam ilmu faraid, bagian yang mesti diterima suami adalah setengah
(1/2), sedangkan bagian dua saudara kandung perempuan dua per tiga (2/3).
Dengan demikian, berarti fardh-nya telah melebihi peninggalan pewaris. Namun
demikian, suami tersebut tetap menuntut haknya untuk menerima setengah dari
harta waris yang ditinggalkan istri, begitupun dua orang saudara kandung
perempuan, mereka tetap menuntut dua per tiga yang menjadi hak waris
keduanya.

Menghadapi kenyataan demikian Umar kebingungan. Dia berkata: "Sungguh aku


tidak mengerti, siapakah di antara kalian yang harus didahulukan, dan siapa
yang diakhirkan. Sebab bila aku berikan hak suami, pastilah saudara kandung
perempuan pewaris akan dirugikan karena berkurang bagiannya. Begitu juga
sebaliknya, bila aku berikan terlebih dahulu hak kedua saudara kandung
perempuan pewaris maka akan berkuranglah nashib (bagian) suami." Umar
kemudian mengajukan persoalan ini kepada para sahabat Rasulullah saw.. Di

PEMBAGIAN WARIS MENURUT ISLAM - oleh Muhammad Ali Ash-Shabuni 70


Pustaka Pribadi Notaris Herman ALT
antara mereka ada Zaid bin Tsabit dan menganjurkan kepada Umar agar
menggunakan 'aul. Umar menerima anjuran Zaid dan berkata: "Tambahkanlah
hak para ashhabul furudh akan fardh-nya." Para sahabat menyepakati langkah
tersebut, dan menjadilah hukum tentang 'aul (penambahan) fardh ini sebagai
keputusan yang disepakati seluruh sahabat Nabi saw.
C. Pokok Masalah yang Dapat dan Tidak Dapat Di-'aul- kan

Pokok masalah yang ada di dalam ilmu faraid ada tujuh. Tiga di antaranya dapat
di-'aul-kan, sedangkan yang empat tidak dapat.

Ketiga pokok masalah yang dapat di-'aul-kan adalah enam (6), dua belas (12),
dan dua puluh empat (24). Sedangkan pokok masalah yang tidak dapat di-'aul-
kan ada empat, yaitu dua (2), tiga (3), empat (4), dan delapan (8).

Sebagai contoh pokok yang dapat di-'aul-kan: seseorang wafat dan


meninggalkan suami serta seorang saudara kandung perempuan. Maka
pembagiannya sebagai berikut: pokok masalahnya dari dua (2). Bagian suami
setengah berarti satu (1), dan bagian saudara kandung perempuan setengah,
berarti mendapat bagian satu (1). Maka dalam masalah ini tidak menggunakan
'aul.

Contoh lain, seseorang wafat dan meninggalkan ayah dan ibu. Pembagiannya:
ibu mendapat sepertiga (1/3) bagian, dan sisanya menjadi bagian ayah. Dalam
contoh ini pokok masalahnya tiga (3), jadi ibu mendapat satu bagian, dan ayah
dua bagian.

Contoh lain: seseorang wafat dan meninggalkan istri, saudara kandung laki-laki,
dan saudara kandung perempuan. Maka pembagiannya seperti berikut: pokok
masalahnya dari empat (4), bagian istri seperempat (1/4) berarti satu (1) bagian,
sedangkan sisanya (yakni 3/4) dibagi dua antara saudara kandung laki-laki
dengan saudara kandung perempuan, dengan ketentuan bagian laki-laki dua kali
bagian perempuan.

Contoh kasus yang lain, seseorang wafat dan meninggalkan seorang istri, anak
perempuan, dan saudara kandung perempuan. Maka pembagiannya seperti
berikut: pokok masalahnya dari delapan (8), bagian istri seperdelapan (1/8)
berarti satu bagian, anak setengah (1/2) berarti empat bagian, sedangkan
saudara kandung perempuan menerima sisanya, yakni tiga per delapan (3/8).

Secara ringkas dapat dikatakan bahwa pokok masalah dalam contoh-contoh


yang saya kemukakan semuanya tidak dapat di-'aulkan, sebab pokok
masalahnya cocok atau tepat dengan bagian para ashhabul furudh.
Pokok Masalah yang Dapat Di-'aul-kan

Sebagaimana telah saya sebutkan sebelumnya, angka-angka pokok masalah


yang dapat di-'aul-kan ialah angka enam (6), dua belas (12), dan dua puluh

PEMBAGIAN WARIS MENURUT ISLAM - oleh Muhammad Ali Ash-Shabuni 71


Pustaka Pribadi Notaris Herman ALT
empat (24). Namun, ketiga pokok masalah itu masing-masing berbeda dan
mempunyai sifat tersendiri. Sebagai misal, angka enam (6) hanya dapat di-'aul-
kan hingga angka sepuluh (10), yakni dapat naik menjadi tujuh, delapan,
sembilan, atau sepuluh. Lebih dari angka itu tidak bisa. Berarti pokok masalah
enam (6) hanya dapat dinaikkan empat kali saja.

Kemudian pokok masalah dua belas (12) hanya dapat dinaikkan hingga tujuh
belas (17), namun hanya untuk angka ganjilnya. Lebih jelasnya, pokok masalah
dua belas (12) hanya dapat dinaikkan ke tiga belas (13), lima belas (15), atau
tujuh belas (17). Lebih dari itu tidak bisa. Maka angka dua belas (12) hanya
dapat di-'aul-kan tiga kali saja.

Sedangkan pokok masalah dua puluh empat (24) hanya dapat di-'aul-kan
kepada dua puluh tujuh (27) saja, dan itu pun hanya pada satu masalah faraid
yang memang masyhur di kalangan ulama faraid dengan sebutan "masalah al-
mimbariyyah".

Untuk lebih menjelaskan dan memantapkan pemahaman kita terhadap pokok-


pokok masalah yang di-'aul-kan, perlu kita simak contoh-contohnya.
Beberapa Contoh Masalah 'Aul
Seseorang wafat dan meninggalkan ayah, ibu, anak perempuan, dan cucu
perempuan keturunan anak laki-laki. Maka pembagiannya seperti berikut: pokok
masalahnya dari enam (6). Bagian ibu seperenam (1/6) berarti satu bagian,
bagian ayah seperenam (1/6) berarti satu bagian, bagian anak perempuan tiga
per enam (3/6) berarti tiga bagian, sedangkan bagian cucu perempuan dari
keturunan anak laki-laki seperenam (1/6) --sebagai penyempurna dua per tiga--
berarti satu bagian. Dalam contoh ini tidak ada 'aul, sebab masalahnya sesuai
dengan fardh yang ada.
Seseorang wafat dan meninggalkan suami, saudara kandung perempuan, dan
saudara perempuan seibu. Maka pembagiannya sebagai berikut: pokok
masalahnya dari enam (6). Bagian suami setengah (1/2) berarti tiga, bagian
saudara kandung perempuan setengah (1/2) berarti tiga, sedangkan bagian
saudara perempuan seibu seperenam (1/6) berarti satu bagian. Dalam contoh
kasus ini jumlah bagian yang ada melebihi pokok masalah, karenanya pokok
masalah enam harus dinaikkan menjadi tujuh (7). Dengan demikian, jumlah
bagian (fardh-nya) cocok dengan pokok masalahnya.
Seseorang wafat dan meninggalkan suami, ibu, saudara kandung perempuan,
dan seorang saudara perempuan seibu. Maka pembagiannya seperti berikut:
pokok masalahnya dari enam (6). Bagian suami setengah (1/2) berarti tiga, ibu
seperenam (1/6) berarti satu bagian, saudara kandung perempuan setengah
(1/2) berarti tiga, sedangkan saudara perempuan seibu seperenam (1/6) berarti
satu bagian. Bila demikian, jumlah bagiannya telah melebihi jumlah pokok
masalah, yaitu delapan per enam (8/6). Oleh karena itu, asal pokok masalah
enam dinaikkan menjadi delapan. Masalah ini oleh kalangan ulama faraid dikenal
dengan istilah al-mubahalah.
Seseorang wafat dan meninggalkan seorang suami, dua orang saudara kandung

PEMBAGIAN WARIS MENURUT ISLAM - oleh Muhammad Ali Ash-Shabuni 72


Pustaka Pribadi Notaris Herman ALT
perempuan, dan dua orang saudara laki-laki seibu. Maka pembagianya seperti
berikut: pokok masalahnya enam (6). Bagian suami setengah (1/2) berarti tiga
bagian. Sedangkan bagian dua saudara kandung perempuan dua per tiga (2/3)
berarti empat bagian, dan bagian dua saudara laki-laki seibu sepertiga (1/3)
berarti dua bagian.
Dalam contoh ini jumlah bagian yang ada melebihi pokok masalahnya, karena itu
pokok masalahnya di-'aul-kan menjadi sembilan, sehingga jumlah bagian sesuai
dengan pokok masalahnya. Masalah ini dikenal dengan sebutan masalah
marwaniyah.
Seseorang wafat dan meninggalkan suami, ibu, dua orang saudara perempuan
seayah, dan dua orang saudara perempuan seibu. Maka pembagiannya sebagai
berikut: pokok masalahnya enam. Bagian suami setengah (1/2) berarti tiga, ibu
seperenam (1/6) berarti satu, bagian dua orang saudara seayah dua per tiga
(2/3) berarti empat, sedangkan bagian dua orang saudara perempuan seibu
sepertiga (1/3) berarti dua bagian.

Dalam contoh tersebut jumlah bagiannya telah melebihi pokok masalahnya, yaitu
enam banding sepuluh (6:10). Karena itu kita harus menaikkan pokok
masalahnya yang semula enam menjadi sepuluh. Masalah ini oleh kalangan
ulama faraid dikenal dengan istilah syuraihiyah.
Contoh 'Aul Pokok Masalah Dua Belas (12)

Seperti telah saya kemukakan bahwa pokok masalah dua belas hanya dapat
di-'aul-kan tiga kali saja, yaitu menjadi tiga belas (13), lima belas (15), atau tujuh
belas (17). Berikut ini saya berikan contoh-contohnya:
Seseorang wafat dan meninggalkan istri, ibu, dan dua orang saudara kandung
perempuan. Maka pembagiannya sebagai berikut: pokok masalahnya dari dua
belas (12). Bagian istri seperempat (1/4) berarti tiga, bagian ibu seperenam (1/6)
berarti dua bagian, sedangkan bagian dua orang saudara kandung perempuan
dua per tiga (2/3) berarti delapan bagian.
Dalam contoh ini tampak jumlah bagiannya telah melebihi pokok masalahnya,
yaitu tiga belas. Karena itu harus dinaikkan menjadi tiga belas (13) sehingga
tepat sesuai dengan jumlah bagian yang ada.
Seseorang wafat dan meninggalkan seorang istri, ibu, seorang saudara kandung
perempuan, seorang saudara perempuan seayah, dan seorang saudara
perempuan seibu. Maka pembagiannya sebagai berikut: pokok masalahnya dua
belas (12). Bagian istri seperempat (1/4) berarti tiga, ibu mendapat seperenam
(1/6) berarti dua bagian, saudara kandung perempuan memperoleh setengah
(1/2) berarti enam bagian, sedangkan saudara perempuan seayah seperenam
(1/6) --sebagai penyempurna dua pertiga-- berarti dua bagian, dan bagian
saudara perempuan seibu juga seperenam (1/6) berarti dua bagian.
Jumlah bagian dalam contoh ini telah melebihi pokok masalah, yaitu lima belas
bagian. Karena itu pokok masalahnya di-'aul-kan menjadi lima belas (15).
Seseorang wafat dan meninggalkan tiga orang istri, dua orang nenek, delapan
orang saudara perempuan seayah, dan empat orang saudara perempuan seibu.
Maka pembagiannya seperti berikut: pokok masalahnya dua belas (12). Bagian

PEMBAGIAN WARIS MENURUT ISLAM - oleh Muhammad Ali Ash-Shabuni 73


Pustaka Pribadi Notaris Herman ALT
ketiga orang istri adalah seperempat (1/4) berarti tiga bagian, sedangkan bagian
kedua nenek adalah seperenam (1/6) yang berarti dua bagian, bagi kedelapan
saudara perempuan seayah dua per tiga (2/3)-nya, berarti delapan bagian, dan
bagian keempat saudara perempuan seibu sepertiga (1/3) yang berarti empat
bagian.

Dalam contoh ini tampak dengan jelas bahwa jumlah bagian ashhabul furudh
telah melampaui pokok masalahnya, yakni tujuh belas berbanding dua belas.
Karena itu pokok masalahnya harus di-'aul-kan dari dua belas menjadi tujuh
belas.
Contoh 'Aul Dua Puluh Empat (24)

Pokok masalah dua puluh empat (24) --sebagaimana telah saya jelaskan--
hanya dapat di-'aul-kan menjadi angka dua puluh tujuh (27). Selain itu, pokok
masalah ini hanya ada dalam kasus yang oleh ulama faraid dikenal dengan
masalah al-mimbariyah. Mereka menyebutnya demikian karena Ali bin Abi Thalib
ketika memvonis masalah ini sedang berada di atas mimbar (podium).

Contoh masalah ini seperti berikut: seseorang wafat dan meninggalkan seorang
istri, ayah, ibu, anak perempuan, dan cucu perempuan dari keturunan anak laki-
laki. Maka pembagiannya seperti ini: pokok masalahnya dua puluh empat (24).
Ayah mendapat seperenam (1/6) berarti empat bagian, ibu memperoleh
seperenam (1/6) berarti empat bagian, istri mendapat seperdelapan (1/8) berarti
tiga bagian, anak perempuan mendapat setengah (1/2) berarti dua belas bagian,
sedangkan cucu perempuan keturunan dari anak laki-laki mendapat seperenam
(1/6) --sebagai penyempurna dua per tiga (2/3)-- berarti empat bagian.

Dalam contoh tersebut tampak sangat jelas bahwa jumlah bagian yang diterima
atau yang menjadi hak ashhabul furudh melebihi jumlah pokok masalahnya.
Karena itu kita harus meng-'aul-kan pokok masalahnya hingga sesuai dengan
jumlah bagian yang harus diberikan kepada para ashhabul furudh. Sekali lagi
ditegaskan, dalam masalah al-mimbariyyah ini pokok masalah dua puluh empat
hanya bisa di-'aul-kan menjadi angka dua puluh tujuh.

Catatan
Setiap masalah atau keadaan yang di dalamnya terdapat ahli waris yang berhak
mendapatkan bagian setengah (1/2) dari harta waris, kemudian yang lain berhak
mendapatkan sisanya, atau dua orang ahli waris yang masing-masing berhak
mendapatkan bagian setengah (1/2), maka pokok masalahnya dari dua (2), dan
tidak dapat di-'aul-kan.
Setiap masalah atau keadaan yang di dalamnya terdapat ahli waris yang berhak
mendapat bagian sepertiga (1/3) dan yang lain sisanya, atau dua orang ahli
waris yang satu berhak mendapat bagian sepertiga (1/3) dan yang lainnya dua
per tiga (2/3), maka pokok masalahnya dari tiga (3), dan tidak ada 'aul.
Setiap masalah atau keadaan yang di dalamnya terdapat ahli waris yang berhak
mendapat bagian seperempat (1/4) dan yang lain sisanya, atau dua orang ahli

PEMBAGIAN WARIS MENURUT ISLAM - oleh Muhammad Ali Ash-Shabuni 74


Pustaka Pribadi Notaris Herman ALT
waris yang satu berhak mendapat seperempat (1/4) dan yang lain berhak
mendapat setengah (1/2), maka pokok masalahuya dari empat (4), dan dalam
hal ini tidak ada 'aul.
Setiap masalah atau keadaan yang di dalamnya terdapat ahli waris yang berhak
mendapat bagian seperdelapan (1/8) dan yang lain sisanya, atau dua orang ahli
waris yang satu berhak mendapat seperdelapan dan yang lainnya setengah,
maka pokok masalahnya dari delapan, dan tidak ada 'aul.

D. Definisi ar-Radd

Ar-radd dalam bahasa Arab berarti 'kembali/kembalikan' atau juga bermakna


'berpaling/palingkan'. Seperti terdapat dalam firman Allah berikut:
"Musa berkata: 'Itulah (tempat) yang kita cari.' Lalu keduanya kembali, mengikuti
jejak mereka semula. " (al-Kahfi: 64)

"Dan Allah menghalau orang-orang yang kafir itu yang keadaan mereka penuh
kejengkelan ..." (al-Ahzab: 25)

Dalam sebuah doa disebutkan "Allahumma radda kaidahum 'annii" (Ya Allah,
palingkanlah/halaulah tipu daya mereka terhadapku).

Adapun ar-radd menurut istilah ulama ilmu faraid ialah berkurangnya pokok
masalah dan bertambahnya/lebihnya jumlah bagian ashhabul furudh. Ar-radd
merupakan kebalikan dari al-'aul.

Sebagai misal, dalam suatu keadaan (dalam pembagian hak waris) para
ashhabul furudh telah menerima haknya masing-masing, tetapi ternyata harta
warisan itu masih tersisa --sementara itu tidak ada sosok kerabat lain sebagai
'ashabah-- maka sisa harta waris itu diberikan atau dikembalikan lagi kepada
para ashhabul furudh sesuai dengan bagian mereka masing-masing.
E. Syarat-syarat ar-Radd

Ar-radd tidak akan terjadi dalam suatu keadaan, kecuali bila terwujud tiga syarat
seperti di bawah ini:
adanya ashhabul furudh
tidak adanya 'ashabah
ada sisa harta waris.

Bila dalam pembagian waris tidak ada ketiga syarat tersebut maka kasus ar-radd
tidak akan terjadi.
F. Ahli Waris yang Berhak Mendapat ar-Radd

Ar-radd dapat terjadi dan melibatkan semua ashhabul furudh, kecuali suami dan
istri. Artinya, suami atau istri bagaimanapun keadaannya tidak mendapat bagian
tambahan dari sisa harta waris yang ada.

PEMBAGIAN WARIS MENURUT ISLAM - oleh Muhammad Ali Ash-Shabuni 75


Pustaka Pribadi Notaris Herman ALT
Adapun ashhabul furudh yang dapat menerima ar-radd hanya ada delapan
orang:
anak perempuan
cucu perempuan keturunan anak laki-laki
saudara kandung perempuan
saudara perempuan seayah
ibu kandung
nenek sahih (ibu dari bapak)
saudara perempuan seibu
saudara laki-laki seibu

Adapun mengenai ayah dan kakek, sekalipun keduanya termasuk ashhabul


furudh dalam beberapa keadaan tertentu, mereka tidak bisa mendapatkan ar-
radd. Sebab dalam keadaan bagaimanapun, bila dalam pembagian hak waris
terdapat salah satunya --ayah atau kakek-- -maka tidak mungkin ada ar-radd,
karena keduanya akan menerima waris sebagai 'ashabah.
G. Ahli Waris yang Tidak Mendapat ar-Radd

Adapun ahli waris dari ashhabul furudh yang tidak bisa mendapatkan ar-radd
hanyalah suami dan istri. Hal ini disebabkan kekerabatan keduanya bukanlah
karena nasab, akan tetapi karena kekerabatan sababiyah (karena sebab), yaitu
adanya ikatan tali pernikahan. Dan kekerabatan ini akan putus karena kematian,
maka dari itu mereka (suami dan istri) tidak berhak mendapatkan ar-radd.
Mereka hanya mendapat bagian sesuai bagian yang menjadi hak masing-
masing. Maka apabila dalam suatu keadaan pembagian waris terdapat kelebihan
atau sisa dari harta waris, suami atau istri tidak mendapatkan bagian sebagai
tambahan.
H. Macam-macam ar-Radd

Ada empat macam Ar-radd, dan masing-masing mempunyai cara atau hukum
tersendiri. Keempat macam itu:
adanya ahli waris pemilik bagian yang sama, dan tanpa adanya suami atau istri
adanya pemilik bagian yang berbeda-beda, dan tanpa suami atau istri
adanya pemilik bagian yang sama, dan dengan adanya suami atau istri
adanya pemilik bagian yang berbeda-beda, dan dengan adanya suami atau istri
Hukum Keadaan Pertama

Apabila dalam suatu keadaan ahli warisnya hanya terdiri dari sahib fardh dengan
bagian yang sama --yakni dari satu jenis saja (misalnya, semuanya berhak
mendapat bagian setengah, atau seperempat, dan seterusnya)-- dan dalam
keadaan itu tidak terdapat suami atau istri, maka cara pembagiannya dihitung
berdasarkan jumlah ahli waris. Hal ini bertujuan untuk menghindari sikap bertele-
tele dan agar lebih cepat sampai pada tujuan dengan cara yang paling mudah.

Sebagai misal, seseorang wafat dan hanya meninggalkan tiga anak perempuan,

PEMBAGIAN WARIS MENURUT ISLAM - oleh Muhammad Ali Ash-Shabuni 76


Pustaka Pribadi Notaris Herman ALT
maka pokok masalahnya dari tiga, sesuai jumlah ahli waris. Sebab, bagian
mereka sesuai fardh adalah dua per tiga (2/3), dan sisanya mereka terima
secara ar-radd. Karena itu pembagian hak masing-masing sesuai jumlah
mereka, disebabkan mereka merupakan ahli waris dari bagian yang sama.

Contoh lain, bila seseorang wafat dan hanya meninggalkan sepuluh saudara
kandung perempuan, maka pokok masalahnya dari sepuluh. Dan pembagiannya
pun secara fardh dan ar-radd.

Misal lain, seseorang wafat dan meningalkan seorang nenek dan saudara
perempuan seibu. Maka pokok masalahnya dari dua, disebabkan bagiannya
sama.
Hukum Keadaan Kedua

Apabila dalam suatu keadaan terdapat bagian ahli waris yang beragam --dan
tidak ada salah satu dari suami atau istri-- maka cara pembagiannya dihitung
dan nilai bagiannya, bukan dari jumlah ahli waris (per kepala). Sebagai misal,
seseorang wafat dan meninggalkan seorang ibu dan dua orang saudara laki-laki
seibu. Maka pembagiannya, bagi ibu seperenam (1/6), untuk kedua saudara laki-
laki seibu sepertiga (1/3). Di sini tampak jumlah bagiannya tiga, dan itulah angka
yang dijadikan pokok masalah, yakni tiga.
Contoh-contoh keadaan kedua
Seseorang wafat meninggalkan seorang anak perempuan serta seorang cucu
perempuan keturunan anak lak-laki. Maka pokok masalahnya dari empat, karena
jumlah bagiannya ada empat.
Seseorang wafat dan meninggalkan seorang ibu, saudara kandung perempuan,
serta saudara laki-laki seibu. Maka jumlah bagiannya adalah lima, dan itulah
pokok masalahnya.
Seseorang wafat dan meninggalkan seorang nenek, anak perempuan, serta
seorang cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki. Maka jumlah bagiannya
adalah lima, dan itulah pokok masalahnya.
Seseorang wafat dan meninggalkan saudara kandung perempuan serta saudara
perempuan seayah. Maka pokok masalahnya empat, karena jumlah bagiannya
empat.
Seseorang wafat dan meninggalkan saudara kandung perempuan, saudara
perempuan seayah, dan saudara perempuan seibu. Maka pokok masalahnya
lima, karena jumlah bagiannya adalah lima.

Begitu seterusnya, yang penting tidak ada salah satu dari suami atau istri.
Hukum keadaan Ketiga

Apabila para ahli waris semuanya dari sahib fardh (bagian) yang sama, disertai
salah satu dari suami atau istri, maka kaidah yang berlaku ialah kita jadikan
pokok masalahnya dari sahib fardh yang tidak dapat ditambah (di-radd-kan) dan
barulah sisanya dibagikan kepada yang lain sesuai dengan jumlah per kepala.

PEMBAGIAN WARIS MENURUT ISLAM - oleh Muhammad Ali Ash-Shabuni 77


Pustaka Pribadi Notaris Herman ALT
Sebagai misal, seseorang wafat dan meninggalkan suami dan dua anak
perempuan. Maka suami mendapatkan seperempat (1/4) bagian, dan sisanya
(tiga per empat) dibagikan kepada anak secara merata, yakni sesuai jumlah
kepala. Berarti bila pokok masalahnya dari empat (4), suami mendapatkan
seperempat (1/4) bagian berarti satu, dan sisanya (yakni 3/4) merupakan bagian
kedua anak perempuan dan dibagi secara rata.

Misal lain, seseorang wafat dan meninggalkan seorang istri, dua orang saudara
laki-laki seibu, serta seorang saudara perempuan seibu. Maka pokok
masalahnya dari empat, karena angka itu diambil dari sahib fardh yang tidak
dapat di-radd-kan, yaitu istri, yang bagiannya dalam keadaan demikian
seperempat (1/4).

Contoh lain, seseorang wafat dan meninggalkan seorang istri, serta lima orang
anak perempuan. Pokok masalahnya adalah delapan, angka ini diambil dari
sahib fardh yang tidak dapat di-radd-kan (tidak berhak untuk ditambah). Maka
istri mendapatkan seperdelapan (1/8) bagian, berarti mendapat satu bagian,
sedangkan sisanya tujuh per delapan (7/8) merupakan bagian kelima anak
perempuan dan dibagi secara merata di antara mereka. Hitungan ini perlu
pentashihan, dan setelah ditashih pokok masalahnya menjadi empat puluh,
hitungan (bagiannya) sebagai berikut: ibu mendapatkan seperdelapan dari
empat puluh, berarti lima bagian, sedangkan sisanya --tiga puluh lima bagian--
dibagikan secara merata kepada kelima anak perempuan pewaris, berarti
masing-masing menerima tujuh bagian.

Contoh lain, seseorang wafat dan meninggalkan seorang istri dan empat anak
perempuan. Dalam hal ini pokok masalahnya dari empat, diambil dari istri
sebagai sahib fardh yang tidak dapat di-radd-kan. Pembagiannya: istri
mendapatkan seperempat (1/4) bagian, sedangkan sisanya --tiga per empat
(3/4)-- dibagi secara merata untuk keempat anak perempuan pewaris.

Dalam contoh ini juga harus ada pentashihan pada pokok masalahnya. Oleh
karena itu, pokok masalah yang mulanya empat (4) naik menjadi enam belas
(16). Sehingga pembagiannya seperti berikut: bagian istri seperempat (1/4) dari
enam belas berarti empat bagian. Sedangkan sisanya dua belas bagian
dibagikan secara merata kepada keempat anak perempuan pewaris. Dengan
demikian, setiap anak memperoleh tiga bagian.
Hukum keadaan Keempat

Apabila dalam suatu keadaan terdapat ashhabul furudh yang beragam


bagiannya, dan di dalamnya terdapat pula suami atau istri, maka menurut kaidah
yang berlaku kita harus menjadikannya dalam dua masalah. Pada persoalan
pertama kita tidak menyertakan suami atau istri, dan pada persoalan kedua kita
menyertakan suami atau istri. Kemudian kita buat diagramnya secara terpisah.
Setelah itu barulah kita lihat kedua ilustrasi tersebut dengan salah satu dari tiga
kriteria yang ada, mana yang paling tepat. Sedangkan ketiga kriteria yang

PEMBAGIAN WARIS MENURUT ISLAM - oleh Muhammad Ali Ash-Shabuni 78


Pustaka Pribadi Notaris Herman ALT
dimaksud ialah tamaatsul (kemiripan), tawaafuq (sepadan), dan tabaayun
(perbedaan).

Untuk lebih memperjelas masalah yang rumit ini perlu saya sertakan contoh
kasusnya:

Seseorang wafat dan meninggalkan istri, nenek, dan dua orang saudara
perempuan seibu. Maka pembagiannya seperti berikut:
Ilustrasi pertama tanpa menyertakan suami dan istri:
Pokok masalahnya dari enam, dengan ar-radd menjadi dari lima (yakni dari
jumlah bagian yang ada).

Bagian nenek seperenam (1/6) berarti satu bagian.

Bagian kedua saudara perempuan seibu sepertiga (1/3) = 2 bagian.


Ilustrasi kedua menyertakan suami atau istri:

Pokok masalahnya dari empat, yaitu diambil dari bagian sahib fardh yang tidak
dapat di-radd-kan, yaitu istri.

Bagian istri seperempat (1/4) berarti memperoleh satu bagian.

Sisanya, yakni tiga bagian, merupakan bagian nenek dan kedua saudara
perempuan seibu.

Dengan melihat kedua ilustrasi tersebut, kita dapati bagian yang sama antara
bagian nenek dan bagian dua saudara perempuan seibu, yakni tiga bagian.
Angka tiga tersebut berarti tamaatsul (sama) dalam kedua ilustrasi.

Kemudian bila istri mendapat bagiannya, yakni seperempat (1/4), maka sisa
harta waris tinggal tiga bagian. Ilustrasi ini juga merupakan tamaatsul (sama)
dengan masalah ar-radd. Karenanya tidak lagi memerlukan tashih, dan cukuplah
kita jadikan ilustrasi masalah kedua itu sebagai pokok masalah.

Contoh lain: seseorang wafat meninggalkan istri, dua orang anak perempuan,
dan ibu.

Pada ilustrasi pertama --tanpa menyertakan suami/istri-- asal pokok masalahnya


dari enam, dan dengan ar-radd menjadi dari lima, karena itulah jumlah bagian
yang ada.

Sedangkan dalam ilustrasi kedua --menyertakan suami/istri-- asal pokok


masalahnya dari delapan, karena merupakan fardh orang yang tidak dapat di-
radd-kan, yakni istri.

Apabila istri mengambil bagiannya, yakni yang seperdelapan, maka sisanya

PEMBAGIAN WARIS MENURUT ISLAM - oleh Muhammad Ali Ash-Shabuni 79


Pustaka Pribadi Notaris Herman ALT
tujuh per delapan (7/8), dan sisa ini merupakan bagian dua anak perempuan
dengan ibu, secara fardh dan radd.

Seperti kita ketahui bahwa antara tujuh dan lima itu tabaayun (berbeda).
Kemudian langkah berikutnya kita kalikan pokok masalah kedua (delapan)
dengan pokok masalah pertama (lima). Maka hasil perkalian antara kedua pokok
masalah itu adalah pokok masalah bagi kedua ilustrasi tersebut.

Kini, setelah kita kenali pokok masalah dari kedua ilustrasi masalah tersebut,
maka bagian istri adatah seperdelapan dari empat puluh bagian yang ada,
berarti ia mendapat lima (5) bagian.

Bagian kedua anak perempuan dan ibu adalah sisa setelah diambil bagian istri
--yang tersisa tiga puluh lima (35) bagian. Maka pembagiannya sebagai berikut:
bagian kedua anak perempuan adalah hasil perkalian antara empat (bagiannya
dalam ilustrasi pertama) dengan tujuh (yang merupakan sisa bagian pada
ilustrasi kedua) berarti dua puluh delapan (28) bagian.

Adapun bagian ibu adalah hasil perkalian antara bagiannya dalam ilustrasi
pertama (satu bagian) dengan tujuh (yang merupakan sisa bagian dalam ilustrasi
kedua) berarti tujuh (7) bagian.

Jadi, dari jumlah keseluruhan antara bagian istri, ditambah bagian kedua anak
perempuan, ditambah bagian ibu adalah 5 + 28 + 7 = 40. Lihat tabel berikut:

Ilustrasi pertama tanpa menyertakan suami/istri

Pokok masalahnya aslinya dari 65, dengan radd, menjadi 5


Bagian kedua anak perempuan 2/3 berarti 4
Bagian ibu seperenam (1/6) berarti 1
Jumlah bagian 5

Ilustrasi kedua dengan menyertakan suami/istri

Pokok masalah dari delapan, diambil dari ahlul fardh setelah tashih
40
yang tak dapat di-radd menjadi
Bagian istri 1/8, berarti 1 setelah tashih 5
Bagian dua anak perempuan dan ibu 7
setelah tashih bagian anak perempuan 4x7 28
bagian ibu 4x7 7

PEMBAGIAN WARIS MENURUT ISLAM - oleh Muhammad Ali Ash-Shabuni 80


Pustaka Pribadi Notaris Herman ALT
VIII. PENGHITUNGAN DAN PENTASHIHAN

MENGETAHUI pokok masalah merupakan suatu keharusan bagi kita yang


mengkaji ilmu faraid. Hal ini agar kita dapat mengetahui secara pasti bagian
setiap ahli waris, hingga pembagiannya benar-benar adil, tanpa mengurangi atau
melebihkan hak masing-masing. Persoalan "pokok masalah" ini di kalangan
ulama faraid dikenal dengan istilah at-ta'shil, yang berarti usaha untuk
mengetahui pokok masalah. Dalam hal ini, yang perlu diketahui adalah
bagaimana dapat memperoleh angka pembagian hak setiap ahli waris tanpa
melalui pemecahan yang rumit. Karena itu, para ulama ilmu faraid tidak mau
menerima kecuali angka-angka yang jelas dan benar (maksudnya tanpa
menyertakan angka-angka pecahan, penj.).

Untuk mengetahui pokok masalah, terlebih dahulu perlu kita ketahui siapa-siapa
ahli warisnya. Artinya, kita harus mengetahui apakah ahli waris yang ada
semuanya hanya termasuk 'ashabah, atau semuanya hanya dari ashhabul
furudh, atau gabungan antara 'ashabah dengan ashhabul furudh.

Apabila seluruh ahli waris yang ada semuanya dari 'ashabah, maka pokok
masalahnya dihitung per kepala --jika semuanya hanya dari laki-laki. Misalnya,
seseorang wafat dan meninggalkan lima orang anak laki-laki, maka pokok
masalahnya dari lima. Atau seseorang wafat meninggalkan sepuluh saudara
kandung laki-laki, maka pokok masalahnya dari sepuluh.

Bila ternyata ahli waris yang ada terdiri dari anak laki-laki dan perempuan, maka
satu anak laki-laki kita hitung dua kepala (hitungan), dan satu wanita satu kepala.
Hal ini diambil dari kaidah qur'aniyah: bagian anak laki-laki dua kali bagian anak
perempuan. Pokok masalahnya juga dihitung dari jumlah per kepala.

Misalnya, seseorang wafat dan hanya meninggalkan lima orang anak, dua laki-
laki dan tiga perempuan. Maka pokok masalahnya berarti tujuh (7). Contoh lain,
bila mayit meninggalkan lima anak perempuan dan tiga anak laki-laki, maka
pokok masalahnya sebelas, dan demikian seterusnya.

Kemudian, jika ternyata ahli waris yang ada semuanya dari ashhabul furudh
yang sama, berarti itulah pokok masalahnya. Misalnya, seseorang wafat dan
meninggalkan seorang suami dan saudara kandung perempuan. Maka pokok
masalahnya dari dua (2). Sebab, bagian suami setengah (1/2) dan bagian
saudara kandung perempuan juga setengah (1/2). Secara umum dapat
dikatakan bahwa bila ahli waris semuanya sama --misalnya masing-masing
berhak mendapat seperenam (1/6)-- maka pokok masalahnya dari enam (6). Bila
semuanya berhak sepertiga (1/3), maka pokok masalahnya dari tiga (3). Bila
semuanya seperempat (1/4) atau seperdelapan (1/8), maka pokok masalahnya
dari empat atau delapan, begitu seterusnya.

Sedangkan jika para ahli waris yang ditinggalkan pewaris terdiri dari banyak

PEMBAGIAN WARIS MENURUT ISLAM - oleh Muhammad Ali Ash-Shabuni 81


Pustaka Pribadi Notaris Herman ALT
bagian --yakni tidak dari satu jenis, misalnya ada yang berhak setengah,
seperenam, dan sebagainya-- kita harus mengalikan dan mencampur antara
beberapa kedudukan, yakni antara angka-angka yang mutamatsilah (sama) atau
yang mutadaakbilah (saling berpadu), atau yang mutabaayinah (saling berbeda).

Untuk memperjelas masalah ini, baiklah kita simak kaidah yang telah diterapkan
oleh para ulama ilmu faraid. Kaidah ini sangat mudah sekaligus mempermudah
kita untuk memahami pokok masalah ketika ahli waris terdiri dari berbagai sahib
fardh yang mempunyai bagian berbeda-beda.

Para ulama faraid membagi kaidah tersebut menjadi dua bagian:

Pertama: bagian setengah (1/2), seperempat (1/4), dan seperdelapan (1/8).

Kedua: bagian dua per tiga (2/3), sepertiga (1/3), dan seperenam (1/6).

Apabila para ashhabul furudh hanya terdiri dari bagian yang pertama saja (yakni
1/2, 1/4, 1/8), berarti pokok masalahnya dari angka yang paling besar. Misalnya,
bila dalam suatu keadaan, ahli warisnya dari sahib fardh setengah (1/2) dan
seperempat (1/4), maka pokok masalahnya dari empat (4).

Misal lain, bila dalam suatu keadaan ahli warisnya terdiri dari para sahib fardh
setengah (1/2), seperempat (1/4), dan seperdelapan (1/8) --atau hanya
seperempat dengan seperdelapan-- maka pokok masalahnya dari delapan (8).
Begitu juga bila dalam suatu keadaan ahli warisnya terdiri dari sahib fardh
sepertiga (1/3) dengan seperenam (1/6) atau dua per tiga (2/3) dengan
seperenam (1/6), maka pokok masalahnya dari enam (6). Sebab angka tiga
merupakan bagian dari angka enam. Maka dalam hal ini hendaklah diambil
angka penyebut yang terbesar.

Akan tetapi, jika dalam suatu keadaan ahli warisnya bercampur antara sahib
fardh kelompok pertama (1/2, 1/4, dan 1/8) dengan kelompok kedua (2/3, 1/3,
dan 1/6) diperlukan kaidah yang lain untuk mengetahui pokok masalahnya.
Kaidah yang dimaksud seperti tersebut di bawah ini:
Apabila dalam suatu keadaan, sahib fardh setengah (1/2) --yang merupakan
kelompok pertama-- bercampur dengan salah satu dari kelompok kedua, atau
semuanya, maka pokok masalahnya dari enam (6).
Apabila dalam suatu keadaan, sahib fardh seperempat (1/4) yang merupakan
kelompok pertama-- bercampur dengan seluruh kelompok kedua atau salah
satunya, maka pokok masalahnya dari dua belas (12).
Apabila dalam suatu keadaan, sahib fardh seperdelapan (1/8) yang merupakan
kelompok pertama-- bercampur dengan seluruh kelompok kedua, atau salah
satunya, maka pokok masalahnya dari dua puluh empat (24).

Untuk lebih memperjelas kaidah tersebut, perlu saya utarakan beberapa contoh.
Misalnya, seseorang wafat dan meninggalkan suami, saudara laki-laki seibu, ibu,

PEMBAGIAN WARIS MENURUT ISLAM - oleh Muhammad Ali Ash-Shabuni 82


Pustaka Pribadi Notaris Herman ALT
dan paman kandung. Maka pembagiannya sebagai berikut: suami mendapat
setengah (1/2), saudara laki-laki seibu seperenam (1/6), ibu sepertiga (1/3),
sedangkan paman sebagai 'ashabah, ia akan mendapat sisa yang ada setelah
ashhabul furudh menerima bagian masing-masing. Bila tidak tersisa, maka ia
tidak berhak menerima harta waris.

Dari contoh tersebut tampak ada campuran antara kelompok pertama (yakni 1/2)
dengan sepertiga (1/3) dan seperenam (1/6), yang merupakan kelompok kedua.
Berdasarkan kaidah yang ada, pokok masalah pada contoh tersebut dari enam.
Lihat diagram:

Pokok masalah dari dua belas (12)

Istri seperempat (1/4)) 3


Ibu seperenam (1/6) 2
Dua saudara laki-laki seibu sepertiga (1/3) 4
Saudara kandung laki-laki sebagai 'ashabah (sisanya) 3

Contoh lain, seseorang wafat dan meninggalkan istri, ibu, dua orang saudara
laki-laki seibu, dan seorang saudara laki-laki kandung. Maka pembagiannya
seperti berikut: bagian istri seperempat (1/4), ibu seperenam (1/6), dua saudara
laki-laki seibu sepertiga (1/3), dan saudara kandung laki-laki sebagai 'ashabah.

Pada contoh ini tampak ada campuran antara bagian seperempat (1/4) --yang
termasuk kelompok pertama-- dengan seperenam (1/6) dan sepertiga (1/3).
Maka berdasarkan kaidah, pokok masalahnya dari dua belas (12). Angka
tersebut merupakan hasil perkalian antara empat (yang merupakan bagian istri)
dengan tiga (sebagai bagian kedua saudara laki-laki seibu). Tabelnya tampak
berikut ini:

Pokok masalah dari 24

Bagian istri seperdelapan (1/8) berarti 3


Bagian anak perempuan setengah (1/2) berarti 12
Cucu perempuan dari anak laki-laki seperenam (1/6) berarti 4
Bagian ibu seperenam (1/6) berarti 4
Saudara kandung laki-laki, sebagai 'ashabah (sisa) 1

PEMBAGIAN WARIS MENURUT ISLAM - oleh Muhammad Ali Ash-Shabuni 83


Pustaka Pribadi Notaris Herman ALT
Angka dua puluh empat (24) yang dijadikan sebagai pokok masalah timbul
sebagai hasil perkalian antara setengah dari enam (yakni 3) dengan delapan (6 :
2 x 8 = 24). Atau setengah dari delapan (yakni empat) kali enam (6), (8 : 2 x 6 =
24). Hal seperti ini disebabkan setengah dari dua angka tersebut (yakni enam
dan delapan) ada selisih, karenanya kita ambil setengah dari salah satu angka
tadi, kemudian kita kalikan dengan angka yang lain dengan sempurna. Begitulah
seterusnya.

A. Tentang Tashih

Agar kita dapat memahami dan menelusuri rincian pentashihan pokok masalah,
maka kita harus mengetahui nisbah-nya (koneksi) dengan keempat istilah
perhitungan. Yaitu, at-tamaatsul (kemiripan/kesamaan), at-tadaakhul (saling
terkait/saling bercampur), at-tawaafuq (saling bertautan), dan at-tabaayun
(berbeda/saling berjauhan).

Apabila pokok masalah --harta waris-- dalam suatu pembagian waris cocok
(sesuai) dengan jumlah bagian tiap-tiap ahli waris yang ada, maka kita tidak
perlu menggunakan cara-cara yang berbelit dan memusingkan. Namun, bila
harta waris tersebut kurang dari jumlah bagian yang mesti diterima setiap ahli
waris, atau jumlah bagian ashhabul furudh melebihi jumlah pokok masalah,
maka dalam hal ini memerlukan pentashihan pokok masalahnya.
Definisi Tashih

Tashih dalam bahasa Arab berarti 'menghilangkan penyakit'. Sedangkan


menurut ulama ilmu faraid berarti mewujudkan jumlah yang kurang dari bagian
setiap ahli waris tanpa pecahan dalam pembagiannya.
Definisi at-Tamaatsul

At-Tamaatsul dalam bahasa Arab berarti at-tasyabuh, yakni 'sama bentuknya'.


Sedangkan menurut ulama faraid berarti sama dalam jumlah atau nilai, yang
satu tidak lebih banyak atau lebih sedikit dari yang lain. Misalnya, angka tiga
berarti sama dengan tiga, dan lima sama dengan lima, dan seterusnya.
Definisi at-Tadaakhul

At-Tadaakhul dalam bahasa Arab berasal dari kata dakhala, yakni 'masuk',
lawan kata dari "keluar". Sedangkan menurut ulama faraid adalah pembagian
angka yang besar oleh angka yang lebih kecil, sehingga dari pembagian itu tidak
ada lagi angka atau jumlah yang tersisa. Misalnya, angka delapan (8) dengan
angka empat (4), angka delapan belas (18) dengan angka enam (6), angka dua
puluh tujuh (27) dengan angka sembilan (9).
Definisi at-Tawaafuq

At-Tawaafuq dalam bahasa Arab berarti 'bersatu'. Sedangkan menurut istilah

PEMBAGIAN WARIS MENURUT ISLAM - oleh Muhammad Ali Ash-Shabuni 84


Pustaka Pribadi Notaris Herman ALT
ilmu faraid ialah setiap dua angka yang dapat dibagi angka ketiga, sehingga
menurut mereka di antara kedua bilangan itu ada tadaakhul. Misalnya, angka 8
dengan 6 keduanya dapat dibagi oleh angka 2. Angka 12 dengan angka 30
sama-sama dapat dibagi oleh angka 6. Angka 8 dengan 20 sama-sama dapat
dibagi oleh angka 4, demikian seterusnya.
Definisi at-Tabaayun

At-Tabaayun dalam bahasa Arab berarti tabaa'ud, yakni saling berjauhan atau
saling berbeda. Sedangkan menurut kalangan ulama ilmu faraid ialah setiap
bilangan yang satu dengan lainnya tidak dapat membagi, dan tidak pula dapat
dibagi oleh bilangan lain (ketiga). Misalnya angka 7 dengan angka 4, angka 8
dengan 11, angka 5 dengan 9.

Untuk mengetahui secara tepat pengertian tabaayun, kita bandingkan


pengertiannya dengan istilah lainnya. Apabila angka yang besar dibagi angka
yang lebih kecil, maka kedua bilangan itu tadaakhul. Apabila angka yang besar
tidak dapat dibagi angka yang kecil --tetapi dibagi angka yang lain-- maka kedua
bilangan itu ada tawaafuq. Sedangkan apabila suatu angka tidak dapat dibagi
oleh bilangan lain, maka disebut tabaayun. Tetapi apabila kedua bilangan itu
sama, maka di antara kedua bilangan tersebut adalah mutamaatsilan.

B. Cara Mentashih Pokok Masalah

Setelah kita ketahui dengan baik makna-makna at-tamaatsul, attadaakhul, at-


tawaafuq, dan at-tabaayun, maka kita perlu mengetahui kapan kita dapat atau
memungkinkan untuk mentashih pokok masalah? Dan apa tujuannya,

Pada hakikatnya, kalangan ulama faraid tidak mau menerima permasalahan


pembagian waris kecuali dengan angka-angka yang pasti (maksudnya tanpa
pecahan, penj.). Hal ini dimaksudkan agar dapat mewujudkan keadilan yang
optimal dalam pembagian tersebut. Selain itu, untuk mewujudkan keadilan
mereka berusaha mengetahui jumlah bagian yang merupakan hak setiap ahli
waris, sehingga tidak mengurangi ataupun menambahkan. Hal ini merupakan
satu perhatian yang sangat baik dari para ulama faraid dalam usaha mereka
mewujudkan kemaslahatan yang menyeluruh, sebagaimana yang dikehendaki
ad-Din al-Islam.

Cara pentashihan yang biasa dilakukan para ulama faraid seperti berikut:
langkah pertama, melihat bagian setiap ahli waris dan jumlah per kepalanya. Bila
jumlah per kepala setelah dibagi cocok dan pas dengan jumlah bagian setiap ahli
waris yang berhak untuk menerimanya, maka inilah yang sempurna dan sangat
diharapkan. Namun, bila jumlah per kepalanya jauh lebih sedikit dari jumlah
bagian ahli waris yang ada --jumlah pokok masalahnya sudah habis, tetapi ada
ahli waris yang belum mendapat bagian-- maka kita harus melihat apakah ada
kecocokan di antara kedua hal itu ataukah tidak. Bila ada kesesuaian antara

PEMBAGIAN WARIS MENURUT ISLAM - oleh Muhammad Ali Ash-Shabuni 85


Pustaka Pribadi Notaris Herman ALT
bagian tiap ahli waris dengan jumlah per kepalanya, maka setiap anak berhak
mendapat bagian sesuai dengan jumlah per kepalanya, dengan cara mengalikan
jumlah per kepala dengan pokok masalah atau dengan meng-'aul-kannya.
(Misalnya, empat anak perempuan, dan bagiannya 2/3 dari 6, berarti 4, maka
ada kesamaan. Sebab setiap anak mendapat bagian satu).

Adapun bila terjadi mubayaanah (ada selisih) maka kalikan jumlah per kepalanya
dengan pokok masalah atau dengan meng-'aul-kannya, maka hasil dari perkalian
itu yang menjadi pokok masalah sebenamya. Inilah yang disebut "pentashihan
pokok masalah" oleh kalangan ulama faraid.

Sedangkan mengenai bagian untuk mengalikan pokok masalah atau meng-'aul-


kan dengan tujuan mentashih pokok masalah, oleh ulama faraid disebut dengan
juz'us sahm. Maksudnya, sebagai bagian khusus yang berkaitan dengan setiap
bagian pada pokok masalah.

Untuk lebih memperjelas masalah ini, perlu saya kemukakan contoh kasus
sehingga pembaca dapat lebih memahaminya.
Contoh amaliah tentang pentashihan pokok masalah

Seseorang wafat dan meninggalkan empat anak perempuan, ibu, ayah, dan tiga
cucu perempuan keturunan anak laki-laki. Maka pembagiannya seperti berikut:
pokok masalahnya dari enam (6). Bagian keempat anak perempuan ialah dua
per tiga (2/3) berarti empat (4) bagian. Sang ayah seperenam berarti satu
bagian, dan sang ibu juga seperenam berarti satu bagian. Sedangkan tiga cucu
perempuan dari keturunan anak laki-laki tidak mendapat bagian (mahjub karena
anak pewaris lebih dari dua orang, penj.).

Dalam contoh tersebut kita lihat jumlah anak perempuan ada empat (4), dan
bagian yang mereka peroleh juga empat. Karena itu tidak lagi memerlukan
pentashihan pokok masalah, sebab bagian yang mesti dibagikan kepada mereka
(keempat anak perempuan itu) tidak lagi memerlukan pecahan-pecahan.
Sehingga dalam pembagiannya akan dengan pas dan mudah, setiap anak
menerima satu bagian.

Contoh lain yang at-tamaatsul. Seseorang wafat dan meninggalkan ibu, dua
saudara perempuan seibu, dan empat saudara kandung perempuan. Maka
pembagiannya seperti berikut: pokok masalahnya dari enam (6), kemudian
di-'aul-kan menjadi tujuh (7). Bagian ibu seperenam (1/6) berarti satu bagian,
kemudian bagian kedua saudara perempuan seibu sepertiga (1/3) berarti dua
bagian, sedangkan bagian keempat saudara kandung perempuan adalah dua
per tiga (2/3) yang berarti empat (4) bagian.

Bila kita perhatikan baik-baik contoh ini, kita lihat bahwa pokok masalahnya tidak
memerlukan pentashihan. Sebab jumlah per kepalanya sesuai dengan jumlah
yang dibagikan. Bagi kedua saudara perempuan seibu dua bagian, maka tiap

PEMBAGIAN WARIS MENURUT ISLAM - oleh Muhammad Ali Ash-Shabuni 86


Pustaka Pribadi Notaris Herman ALT
orang mendapat satu bagian. Bagi keempat saudara kandung perempuan empat
bagian, maka setiap orang mendapat satu bagian. Berarti kesesuaian
pembagian tersebut tidak memerlukan pentashihan pokok masalah. Dengan
demikian, tahulah kita bahwa contoh masalah tersebut cenderung (bernisbat)
pada at-tamaatsul.

Contoh masalah yang at-tawaafuq. Seseorang wafat dan meninggalkan delapan


(8) anak perempuan, ibu, dan paman kandung. Maka pembagiannya seperti
berikut: pokok masalahuya dari enam (6). Bagian kedelapan anak perempuan
dua per tiga (2/3) berarti empat (4) bagian, ibu seperenam (1/6) berarti satu
bagian, dan sisanya (satu bagian) adalah bagian paman kandung sebagai
'ashabah.

Kita lihat dalam contoh di atas ada at-tawaafuq antara jumlah per kepala anak
perempuan dengan jumlah bagian yang mereka peroleh, yaitu dua (2). Angka
dua itulah yang menurut istilah ulama faraid sebagai bagian dari bagian juz'us
sahm kemudian bagian dari bagian itu dikalikan dengan pokok masalah, yakni
angka enam (6). Maka 2 x 6 = 12. Itulah tashih pokok masalah.

Misal lain, seseorang wafat dan meninggalkan suami, enam saudara kandung
perempuan, dan dua orang saudara laki-laki seibu. Maka pembagiannya seperti
berikut: pokok masalahnya dari enam (6), kemudian di-'aul-kan menjadi sembilan
(9). Bagian suami setengah (1/2) berarti tiga bagian, sedangkan bagian keenam
saudara kandung perempuan dua per tiga (2/3), berarti empat bagian, dan
bagian kedua saudara laki-laki seibu sepertiga (1/3), berarti dua bagian.

Dalam contoh di atas kita lihat ada tawaafuq antara jumlah bagian yang diterima
para saudara kandung perempuan dengan jumlah per kepala mereka, yaitu dua
(2). Kemudian kita ambil separo jumlah per kepala mereka, berarti tiga (3), dan
kita kalikan dengan pokok masalah setelah di-'aul-kan yakni angka sembilan (9),
berarti 3 x 9 = 27. Hasil dari perkalian itulah yang akhirnya menjadi pentashihan
pokok masalah. Setelah pentashihan, maka pembagiannya seperti berikut:
suami mendapat sembilan bagian (9), keenam saudara kandung perempuan
mendapat dua belas bagian, dan kedua saudara laki-laki seibu mendapat enam
bagian (9 + 12 + 6 = 27).

Contoh lain, seseorang wafat dan meninggalkan suami, anak perempuan, tiga
cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki, dan saudara kandung laki-laki.
Maka pembagiannya seperti berikut: pokok masalahnya dari 12. Bagian suami
1/4 berarti tiga (3) bagian, bagian anak perempuan 1/2 berarti enam (6) bagian,
dan bagian cucu perempuan keturunan anak laki-laki 1/6 sebagai penyempurna
2/3 berarti 2 bagian, dan bagian saudara kandung laki-laki satu bagian (sisanya)
sebagai 'ashabah bin nafsihi. Inilah tabelnya:

3  
12 36

PEMBAGIAN WARIS MENURUT ISLAM - oleh Muhammad Ali Ash-Shabuni 87


Pustaka Pribadi Notaris Herman ALT
Suami 1/4 3 9
Anak perempuan 1/2 6 18
Tiga cucu perempuan keturunan anak laki-laki 1/6 2 6
Saudara kandung laki-laki ('ashabah) 1 3

Berdasarkan tabel tersebut kita lihat antara bagian cucu perempuan keturunan
anak laki-laki dengan jumlah per kepala mereka (yakni 2 dengan 3) ada
tabaayun (perbedaan), karenanya kita kalikan angka 3 dengan pokok
masalahnya, yakni 3 x 12 = 36, maka angka 36 itu berarti pokok masalah hasil
pentashihan.

Contoh lain, seseorang wafat dan meninggalkan istri, lima anak perempuan,
ayah, ibu, dan saudara kandung laki-laki. Maka bagian masing-masing seperti
berikut: pokok masalahnya dari 24, kemudian di-'aul-kan menjadi 27. Bagian istri
1/8 = 3, kelima anak perempuan mendapat bagian 2/3 yang berarti 16, ayah
memperoleh 1/6 berarti 4, dan ibu mendapat 1/6 yang berarti 4, sedangkan
bagian saudara kandung laki-laki mahjub (terhalang). Inilah tabelnya:

5  
24 27 135
Istri 1/8 3 15
Lima anak perempuan 2/3 16 80
Ayah 1/6 4 20
Ibu 1/6 4 20
Saudara kandung laki-laki (mahjub) - -

Dalam tabel tersebut kita lihat bahwa bagian kelima anak perempuan tidak bisa
dibagi oleh jumlah per kepala mereka. Karenanya di antara keduanya ada
tabaayun (perbedaan). Kemudian kita kalikan pokok masalahnya setelah di-'aul-
kan (yakni 27) dengan jumlah per kepala mereka, yakni 27 x 5 = 135. Angka itu
merupakan pokok masalah setelah pentashihan. Dan angka lima (5) itulah yang
dinamakan juz'us sahm.

Misal lain, seorang wafat dan meninggalkan tiga orang istri, tujuh anak
perempuan, dua orang nenek, empat saudara kandung laki-laki, dan saudara
laki-laki seibu. Pembagiannya seperti berikut:

Pokok masalahnya dari 24. Ketiga istri mendapat 1/8 = 3. Tujuh anak perempuan
mendapat 2/3-nya = 16, kedua nenek 1/6-nya = 4, dan empat saudara kandung

PEMBAGIAN WARIS MENURUT ISLAM - oleh Muhammad Ali Ash-Shabuni 88


Pustaka Pribadi Notaris Herman ALT
laki-laki (sisanya) yaitu 1 sebagai 'ashabah, sedangkan saudara seibu mahjub.
Perhatikan tabel berikut:

28
24 672
3 istri bagiannya 1/8 3 84
7 anak perempuan 2/3 16 448
2 orang nenek 1/6 4 112
saudara kandung laki-laki ('ashabah) 1 28
Saudara laki-lah seibu (mahjub - -

Dalam tabel tersebut kita lihat bahwa bagian anak perempuan (16) dengan
jumlah per kepala mereka (7) ada perbedaan (tabaayun), begitu juga dengan
bagian keempat saudara kandung yang hanya satu bagian, dan jumlah per
kepala mereka ada perbedaan (tabaayun). Untuk mentashih pokok masalah dari
contoh ini, kita kalikan jumlah per kepala anak perempuan (yakni 7) dengan
jumlah per kepala saudara kandung (yakni 4), berarti 7 x 4 = 28. Angka tersebut
(yakni 28) merupakan juz'us sahm. Kemudian juz'us sahm tersebut kita kalikan
dengan pokok masalahnya (28 x 24 = 672) hasilnya itulah yang menjadi pokok
masalah setelah pentashihan. Pentashihan seperti ini dapat diterapkan dalam
contoh-contoh yang lain.

C. Pembagian Harta Peninggalan

At-tarikah (peninggalan) dalam bahasa Arab bermakna seluruh jenis kepemilikan


yang ditinggalkan pewaris, baik berupa harta, benda, atau tanah. Semua
peninggalan itulah yang harus dibagikan kepada ahli waris yang ada sesuai
dengan hak bagian yang harus mereka terima.

Untuk mengetahui pembagian harta waris kepada setiap ahlinya ada beberapa
cara yang harus ditempuh, namun yang paling masyhur di kalangan ulama faraid
ada dua -- dalam hal yang berkenaan dengan harta yang dapat ditransfer.

Cara pertama: kita ketahui nilai (harga) setiap bagiannya, kemudian kita kalikan
dengan jumlah bagian tiap-tiap ahli waris. Maka hasilnya merupakan bagian
masing-masing ahli waris.

Cara kedua: kita ketahui terlebih dahulu bagian setiap ahli waris secara
menyeluruh. Hal ini kita lakukan dengan cara mengalikan bagian tiap-tiap ahli
waris dengan jumlah (nilai) harta peninggalan yang ada, kemudian kita bagi
dengan angka pokok masalahnya atau tashihnya. Maka hasilnya merupakan
bagian dari masing-masing ahli waris.
Contoh Cara Pertama

PEMBAGIAN WARIS MENURUT ISLAM - oleh Muhammad Ali Ash-Shabuni 89


Pustaka Pribadi Notaris Herman ALT
Seseorang wafat dan meninggalkan istri, anak perempuan, ayah, dan ibu.
Sedangkan harta peninggalannya sebanyak 480 dinar, maka pembagiannya
seperti berikut:

Pokok masalahnya dari 24, istri mendapatkan 1/8 yang berarti 3 bagian, anak
perempuan 1/2 berarti 12 bagian, ibu mendapatkan 1/6 berarti 4 bagian,
sedangkan sisanya (yakni 5 bagian) merupakan hak ayah sebagai 'ashabah.

Adapun nilai (harga) per bagiannya didapat dari hasil pembagi harta waris yang
ada (480 dinar) dibagi pokok masalah (24), berarti 480: 24 = 20 dinar adalah
harga per bagian.

Jadi, bagian istri 3 bagian x 20 dinar = 60 dinar


Anak perempuan 12 bagian x 20 dinar = 240 dinar
Ibu 4 bagian x 20 dinar = 80 dinar
Ayah ('ashabah) 5 bagian x 20 dinar = 100 dinar
Total = 480 dinar

Contoh lain, seseorang wafat dan meninggalkan dua saudara kandung


perempuan, ibu, suami, cucu perempuan keturunan anak laki-laki. Sedangkan
harta waris yang ada sebanyak 960 dinar. Maka pembagiannya seperti berikut:
pokok masalahnya dari 12 kemudian di-tashikkan-kan menjadi 24. Cucu
perempuan mendapatkan 1/2 yang berarti 12 bagian, suami mendapatkan 1/4
yang berarti 6 bagian, dan ibu memperoleh 1/6 yang berarti 4 bagian.
Sedangkan sisanya (dua bagian) untuk dua saudara kandung perempuan
sebagai 'ashabah ma'al ghair. Tabelnya seperti berikut:

2
12 24
24 Cucu perempuan keturunan anak laki-laki 1/2 6 12
Suami 1/4 1/4 3 6
Ibu 1/6 1/6 2 4
2 saudara perempuan kandung ('ashabah ma'al ghair) 1 2

Adapun nilai per bagian; 960 dinar: 24 = 40 dinar. Jadi, bagian masing-masing
ahli waris:

Jadi, Cucu pr. keturunan anak laki-laki 12 x 40 dinar = 480 dinar


Suami 6 x 40 dinar = 240 dinar
Ibu 4 x 40 dinar = 160 dinar

PEMBAGIAN WARIS MENURUT ISLAM - oleh Muhammad Ali Ash-Shabuni 90


Pustaka Pribadi Notaris Herman ALT
Dua saudara kandung perempuan 2 x 40 dinar = 80 dinar
Total = 960 dinar

Contoh lain, seseorang wafat dan meninggalkan empat anak perempuan, dua
anak laki-laki, ayah, ibu, dan tiga saudara kandung laki-laki, dan harta
peninggalannya 3.000 dinar. Maka pembagiannya seperti berikut: pokok
masalahnya dari 6 kemudian ditashih menjadi 12. Sang ayah mendapatkan 1/6
berarti 2 bagian, ibu mendapatkan 1/6 berarti 2 bagian, dan sisanya dibagikan
kepada enam (6) anak, dengan ketentuan bagian laki-laki dua kali lipat bagian
perempuan, berarti bagian anak perempuan 4 bagian (masing-masing satu
bagian), sedangkan bagian anak laki-laki juga 4 bagian (masing-masing 2
bagian), sedangkan saudara kandung laki-laki mahjub. Simak tabel berikut:

2
6 12
Empat anak perempuan 4 4
Dua anak laki-laki 3 4
Ayah 1/6 1 2
Ibu 1/6 1 2
Tiga saudara kandung laki-laki (mahjub) - -

Adapun nilai per bagiannya adalah 3.000:12 = 250 dinar

Jadi, Jadi bagian 4 anak perempuan 4x 250 dinar = 1.000 dinar


dua anak laki-laki 4x 250 dinar = 1.000 dinar
ibu 2x 250 dinar = 500 dinar
ayah 2x 250 dinar = 500 dinar
Total = 3.000 dinar

PEMBAGIAN WARIS MENURUT ISLAM - oleh Muhammad Ali Ash-Shabuni 91


Pustaka Pribadi Notaris Herman ALT
Contoh lain, seseorang wafat dan meninggalkan suami, saudara kandung
perempuan, dua saudara laki-laki seibu, dan nenek. Sedangkan harta
peninggalan seluruhnya 9.900 dinar. Maka pembagiannya seperti berikut: pokok
masalahnya dari 6 kemudian di-'aul-kan (dinaikkan) menjadi 9. Suami mendapat
1/2 yang berarti 3, saudara kandung perempuan 1/2 berarti 3, dua saudara laki-
laki seibu memperoleh 1/3 berarti 2, sedangan nenek mendapat 1/6 berarti satu
(1). Perhatikan tabel berikut:

6 9
Suami 1/2 3
Saudara kandung perempuan 1/2 3
Saudara laki-laki seibu 1/3 2
Nenek 1/6 1

Adapun nilai per bagiannya adalah 9.900: 9 = 1.100 dinar

Jadi, Suami 3x 1.100 dinar = 3.300 dinar


Saudara perempuan kandung 3x 1.100 dinar = 3.300 dinar
Dua saudara laki-laki seibu 2x 1.100 dinar = 2.200 dinar
Nenek 1x 1.100 dinar = 2.200 dinar
Total = 9.000 dinar

Bila seseorang wafat dan meninggalkan suami, ibu, dua anak perempuan, 3
cucu perempuan keturunan anak laki-laki, satu cucu laki-laki dari keturunan anak
laki-laki, sedangkan harta yang ditinggalkan sejumlah 585 dinar, maka
pembagiannya seperti berikut:

Pokok masalahnya dari 12 kemudian di-'aul-kan menjadi 13. Suami


mendapatkan 1/4 (berarti 3 bagian), ibu mendapatkan 1/6 (berarti 2 bagian), dan
dua anak perempuan 2/3 (berarti 8 bagian).

Sedangkan kedudukan para cucu dalam hal ini sebagai 'ashabah, sehingga
mereka tidak memperoleh bagian karena harta waris telah habis dibagikan
kepada ashhabul furudh. Perhatikan tabel berikut:

12 13
Suami 1/4 3
Ibu 1/6 2
Dua anak perempuan 2/3 8
Tiga cucu perempuan
'ashabah -
Dua cucu perempuan

PEMBAGIAN WARIS MENURUT ISLAM - oleh Muhammad Ali Ash-Shabuni 92


Pustaka Pribadi Notaris Herman ALT
Jadi, Suami 3 x 585:13 dinar = 135 dinar
Ibu 2 x 585:13 dinar = 90 dinar
Dua anak perempuan 8 x 585:13 dinar = 360 dinar
Total = 585 dinar

Contoh lain, seseorang wafat dan meninggalkan dua saudara kandung, cucu
perempuan keturunan anak laki-laki, ibu, suami, sedangkan harta warisnya
berjumlah 240 dinar. Maka pembagiannya seperti berikut: pokok masalahnya
dari 12 kemudian ditashih menjadi 24, cucu perempuan keturunan anak laki-laki
mendapatkan 1/2 (berarti 12 bagian), ibu mendapatkan 1/6 (berarti 4 bagian),
suami mendapatkan 1/4 (berarti 6 bagian), dan dua saudara kandung 2 bagian
sebagai 'ashabah.

12 24
Cucu pr. ket. anak laki-laki 1/2 6 12
Ibu 1/6 2 4
Suami 1/4 3 6
Dua saudara kandung ('ashabah) 1 2
Cucu pr. ket. anak laki-laki 12 x 240:24 dinar = 120 dinar
Ibu 4 x 240:24 dinar = 40 dinar
Suami 6 x 240:24 dinar = 60 dinar
Dua saudara kandung ('ashabah) 2 x 240:24 dinar = 20 dinar
Total = 240 dinar

Misal lain, seseorang wafat dan meninggalkan ibu, dua saudara kandung
perempuan, saudara perempuan seayah, saudara laki-laki seayah, dan cucu
perempuan keturunan anak laki-laki. Sedangkan harta peninggalan sebanyak
1.500 dinar. Maka pembagiannya seperti berikut: pokok masalahnya dari 6, ibu
mendapatkan 1/6 (berarti satu bagian), cucu perempuan 1/2 (berarti 3 bagian),
dan sisanya --dua bagian-- menjadi hak kedua saudara perempuan kandung
sebagai 'ashabah. Sedangkan ahli waris yang lain ter- mahjub. Inilah tabelnya:

6
Ibu 1/6 1
Cucu pr. ket. anak laki-laki 1/2 3
Dua saudara kandung pr. ('ashabah) 2
Saudara perempuan seayah,
-
Dua saudara laki-laki seayah (mahjub)

Masalah Dinariyah ash-Shughra

Ada dua masalah yang dikenal oleh kalangan ulama faraid, yakni istilah ad-

PEMBAGIAN WARIS MENURUT ISLAM - oleh Muhammad Ali Ash-Shabuni 93


Pustaka Pribadi Notaris Herman ALT
dinariyah ash-shughra dan ad-dinariyah al-kubra. Ad-dinariyah ash-shughra
memiliki pengertian seluruh ahli warisnya terdiri atas kaum wanita, dan setiap
ahli waris hanya menerima satu dinar.

Contoh masalahnya, seseorang wafat dan meninggalkan tiga (3) orang istri, dua
(2) orang nenek, delapan (8) saudara perempuan seayah, dan empat (4)
saudara perempuan seibu. Harta peninggalannya: 17 dinar. Adapun
pembagiannya seperti berikut: pokok masalahnya dari 12 kemudian di-'aul-kan
menjadi 17. Tiga orang istri mendapatkan 1/4 (berarti 3 bagian), dua orang
nenek mendapatkan 1/6 (berarti 2 bagian), kedelapan saudara perempuan
seayah mendapatkan 2/3 (berarti 8 bagian), sedangkan keempat saudara
perempuan seibu mendapatkan 1/3 (berarti 4 bagian). Jumlah harta
peninggalannya ada 17 dinar, jumlah bagian seluruh ahli warisnya pun 17,
dengan demikian masing-masing mendapat satu dinar. Maka kasus seperti ini
disebut ad-dinariyah ash-shughra. Berikut ini tabelnya:

12 17
Ke-3 istri 1/4 3 masing-masing 1 bagian = 1 dinar
Kedua nenek 1/6 2 masing-masing 1 bagian = 1 dinar
Ke-8 sdr. pr. seayah 2/3 8 masing-masing 1 bagian = 1 dinar
Ke-4 sdr. pr. seibu 1/3 4 masing-masing 1 bagian = 1 dinar

Masalah Dinariyah al-Kubra

Adapun masalah ad-dinariyah al-kubra memiliki pengertian bahwa ahli waris


yang ada sebagian terdiri dari ashhabul furudh dan sebagian lagi dari 'ashabah.
Masing-masing ahli waris di antara mereka ada yang hanya mendapatkan
bagian satu (1) dinar, sebagian ada yang mendapatkan dua (2) dinar, dan
sebagian lagi ada yang mendapatkan lebih dari itu. Hal seperti ini di kalangan
ulama faraid disebut ad-dinariyah al-kubra.

Contoh masalah ini sebagai berikut: misalnya, seseorang wafat meninggalkan


istri, ibu, dua anak perempuan, dua belas saudara kandung laki-laki, dan
seorang saudara kandung perempuan. Sedangkan harta peninggalannya 600
dinar. Maka pembagiannya seperti berikut: pokok masalahnya dari 24 kemudian
setelah ditashih menjadi 600. Istri mendapatkan 1/8 (berarti 3 bagian), ibu
mendapatkan 1/6 (berarti 4 bagian), kedua anak perempuan memperoleh 2/3 (16
bagian), dan sisanya satu (1) bagian merupakan bagian ke-12 saudara kandung
laki-laki dan seorang saudara kandung perempuan sebagai 'ashabah.

Jadi, bagian Istri 3 x 600:24 dinar = 75 dinar


Ibu 4 x 600:24 dinar = 100 dinar
Kedua anak perempuan 16 x 600:24 dinar = 400 dinar
Total = 575 dinar

PEMBAGIAN WARIS MENURUT ISLAM - oleh Muhammad Ali Ash-Shabuni 94


Pustaka Pribadi Notaris Herman ALT
Sedangkan ke-12 saudara kandung laki-laki dan seorang saudara kandung
perempuan mendapat sisanya, yakni 25 dinar sebagai 'ashabah, dengan
ketentuan bagian anak laki-laki dua kali lipat bagian perempuan. Dengan
demikian, yang 24 dinar dibagikan kepada ke-12 saudara kandung laki-laki dan
masing-masing mendapat dua (2) dinar, dan yang satu (1) dinar bagian saudara
kandung perempuan. Berikut ini tabelnya:

25
24 600
Istri 1/8 3 75
Ibu 1/6 4 100
Kedua anak perempuan 2/3 16 100
12 saudara kandung laki-laki 1 24
1 saudara kandung perempuan ('ashabah) 1

Masalah ad-dinariyah al-kubra ini pernah terjadi pada zaman al-Qadhi Syuraih
(seseorang mengajukan masalah kepadanya). Akhirnya Syuraih memvonis
dengan memberikan hak saudara kandung perempuan pewaris hanya satu (1)
dinar. Tetapi, wanita tersebut kemudian mengadukan hal itu kepada Imam Ali bin
Abi Thalib r.a. yang menyebutkan bahwa Syuraih telah menzhaliminya,
mengurangi hak warisnya hingga memberinya satu dinar dari peninggalan
saudaranya yang 600 dinar itu.

Kendatipun wanita tersebut tidak menyebutkan seluruh ahli waris yang berhak
menerima warisan, namun dengan ketajaman dan keluasan ilmunya, Ali bin Abi
Thalib bertanya, "Barangkali saudaramu yang wafat itu meninggalkan istri, dua
anak perempuan, ibu, 12 saudara kandung laki-laki, dan kemudian engkau?"
Wanita tersebut menjawab, "Ya, benar." Ali berkata, "Itulah hakmu tidak lebih
dan tidak kurang."

Kemudian Ali bin Abi Thalib r.a. memberitahukan kepada wanita tersebut bahwa
hakim Syuraih telah berlaku adil dan benar dalam memvonis perkara yang
diajukannya. Wallahu a'lam bish shawab.

PEMBAGIAN WARIS MENURUT ISLAM - oleh Muhammad Ali Ash-Shabuni 95


Pustaka Pribadi Notaris Herman ALT
IX. HUKUM MUNASAKHAT

A. Definisi Munasakhat

Al-munasakhat dalam bahasa Arab berarti 'memindahkan' dan 'menghilangkan',


misalnya dalam kalimat nasakhtu al-kitaba yang bermakna 'saya menukil
(memindahkan) kepada lembaran lain'; nasakhat asy-syamsu ash-zhilla yang
berarti 'sinar matahari menghilangkan bayang-bayang'.

Makna yang pertama --yakni memindahkan/menukil-- sesuai dengan firman Allah


SWT berikut:

"... Sesungguhnya Kami telah menyuruh mencatat apa yang telah kamu
kerjakan." (al-Jatsiyah: 29)

Sedangkan makna yang kedua sesuai dengan firman berikut:

"Ayat mana saja yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa
kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding
dengannya. Tiadakah kamu mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Maha
Kuasa atas segala sesuatu?" (al-Baqarah: 106)

Adapun pengertian al-munasakhat menurut istilah ulama faraid ialah


meninggalnya sebagian ahli waris sebelum pembagian harta waris sehingga
bagiannya berpindah kepada ahli warisnya yang lain. Bila salah seorang ahli
waris meninggal, sedangkan ia belum menerima hak warisnya (karena memang
belum dibagikan), maka hak warisnya berpindah kepada ahli warisnya.
Karenanya di sini akan timbul suatu masalah yang oleh kalangan ulama faraid
dikenal dengan sebutan al-jami'ah.

Al-munasakhat mempunyai tiga macam keadaan:

Keadaan pertama: sosok ahli waris yang kedua adalah mereka yang juga
merupakan sosok ahli waris yang pertama. Dalam kasus seperti ini masalahnya
tidak berubah, dan cara pembagian warisnya pun tidak berbeda. Misalnya, ada
seseorang wafat dan meninggalkan lima orang anak. Kemudian salah seorang
dari kelima anak itu ada yang meninggal, tetapi yang meninggal itu tidak
mempunyai ahli waris kecuali saudaranya yang empat orang, maka seluruh harta
waris yang ada hanya dibagikan kepada keempat anak yang tersisa, seolah-olah
ahli waris yang meninggal itu tidak ada dari awalnya.

Keadaan kedua: para ahli waris dari pewaris yang kedua adalah sosok ahli
waris dari pewaris pertama, namun ada perbedaan dalam hal jauh-dekatnya
nasab mereka terhadap pewaris. Misalnya, seseorang mempunyai dua orang
istri. Dari istri yang pertama mempunyai keturunan seorang anak laki-laki.
Sedangkan dari istri kedua mempunyai keturunan tiga anak perempuan. Ketika

PEMBAGIAN WARIS MENURUT ISLAM - oleh Muhammad Ali Ash-Shabuni 96


Pustaka Pribadi Notaris Herman ALT
sang suami meninggal, berarti ia meningalkan dua orang istri dan empat anak
(satu laki-laki dan tiga perempuan). Kemudian, salah seorang anak perempuan
itu meninggal sebelum harta waris peninggalan ayahnya dibagikan. Maka ahli
waris anak perempuan ini adalah sosok ahli waris dari pewaris pertama (ayah).
Namun, dalam kedua keadaan itu terdapat perbedaan dalam hal jauh-dekatnya
nasab kepada pewaris. Pada keadaan yang pertama (meninggalnya ayah), anak
laki-laki menduduki posisi sebagai anak. Tetapi dalam keadaan yang kedua
(meninggalnya anak perempuan), anak laki-laki terhadap yang meninggal berarti
merupakan saudara laki-laki seayah, dan yang perempuan sebagai saudara
kandung perempuan. Jadi, dalam hal ini pembagiannya akan berbeda, dan
mengharuskan kita untuk mengamalkan suatu cara yang disebut oleh kalangan
ulama faraid sebagai masalah al-jami'ah.

Keadaan ketiga: para ahli waris dari pewaris kedua bukan ahli waris dari
pewaris pertama. Atau sebagian ahli warisnya termasuk sosok yang berhak
untuk menerima waris dari dua arah, yakni dari pewaris pertama dan dari
pewaris kedua. Dalam hal seperti ini kita juga harus melakukan teori al-
jama'iyah, sebab pembagian bagi tiap-tiap ahli waris yang ada berbeda dan
berlainan.

B. Rincian Amaliah al-Munasakhat

Sebelum kita melakukan rincian tentang amaliah al-munasakhat, kita terlebih


dahulu harus melakokan langkah-langkah berikut:

1. Mentashihkan masalah pewaris yang pertama dengan memberikan hak


waris kepada setiap ahlinya, termasuk hak ahli waris yang meninggal.
2. Merinci masalah baru, khususnya yang berkenaan dengan kematian
pewaris kedua, tanpa mempedulikan masalah pertama.
3. Membandingkan antara bagian pewaris kedua dalam masalah pertama,
dengan pentashihan masalah dan para ahli warisnya dalam masalah
kedua.
4. Perbandingan antara keduanya itu dalam kecenderungannya terhadap
ketiga nisbat, yaitu al-mumatsalah, al-muwafaqah, dan al-mubayanah.
Bila antara keduanya --yakni antara bagian pewaris yang kedua dan
masalah ahli warisnya yang lain-- ada mumatsalah (kesamaan), maka
dibenarkan kedua masalah hanya dengan tashih yang pertama (lihat
tabel).

Sebagai contoh, seseorang wafat dan meninggalkan tiga anak perempuan, dua
saudara kandung perempuan, dan seorang saudara kandung laki-laki. Kemudian
salah seorang saudara kandung perempuan itu meninggal. Berarti ia
meninggalkan seorang saudara kandung perempuan dan seorang saudara
kandung laki-laki. Maka pembagiannya seperti berikut: pokok masalahnya dari

PEMBAGIAN WARIS MENURUT ISLAM - oleh Muhammad Ali Ash-Shabuni 97


Pustaka Pribadi Notaris Herman ALT
tiga (3). Ketiga anak perempuan mendapat 2/3 (2 bagian). Dan sisanya (satu
bagian) merupakan hak para 'ashabah (yakni dua saudara kandung perempuan
dan seorang saudara kandung laki-laki).

Kemudian kita lihat jumlah per kepalanya ada tabayun (perbedaan), maka 3 x 4
= 12. Kemudian angka ini kita kaLikan dengan pokok masalahnya, berarti 3 x 12
= 36. Bilangan inilah yang kemudian menjadi pokok masalah hasil pentashihan.
Jadi, pembagiannya seperti berikut: ketiga anak perempuan mendapat 2/3 (24
bagian), dan sisanya (12 bagian) dibagikan untuk dua orang saudara kandung
perempuan dan seorang saudara kandung laki-laki, dengan ketentuan bagian
laki-laki dua kali bagian anak perempuan, jadi setiap saudara kandung
perempuan mendapat tiga (3) bagian, dan saudara laki-laki kandung enam (6)
bagian.

Kemudian, kita lihat antara bagian pewaris kedua (yaitu 3) dengan pokok
masalahnya (juga dari 3) ada kesamaan (tamatsul). Karena itu, al-jami'ah di sini
sama dengan hasil pentashihan pada masalah yang pertama (yakni dari 36).

Kemudian, hak waris/bagian saudara kandung perempuan yang meninggal (3


bagian) hanya dibagikan kepada ahli waris, yaitu seorang saudara kandung
perempuan dan seorang saudara kandung laki-laki. Kemudian, hasil pembagian
itu ditambahkan pada hasil bagian mereka yang pertama. Maka, bagian saudara
kandung perempuan menjadi empat (4): tiga (3) bagian --yang diperolehnya dari
masalah pertama-- ditambah dengan bagian yang berasal dari saudara kandung
perempuan yang meninggal, yaitu satu (1) bagian (3 + 1 = 4).

Sedangkan saudara kandung laki-laki mendapatkan dua (2) bagian, yang


kemudian ditambahkan dengan perolehannya dari peninggalan pada masalah
pertama, yaitu enam (6) bagian. Maka saudara laki-laki kandung memperoleh
delapan (8) bagian.

Adapun tiga anak perempuan pewaris pertama, dalam masalah kedua ini tidak
mendapatkan hak waris, disebabkan kedudukannya hanyalah sebagai
keponakan pewaris kedua, yakni anak perempuan dari saudara laki-laki pewaris
kedua. Karena itu, mereka mahjub. Berikut ini saya sertakan tabelnya:

Jumlah kepala Tashih masalah ke I al-Jami'ah


12 3 36 3 36
3 anak pr. 2/3 2 24 - 24
Sdr. kandung pr. 3 meninggal - -
Sdr. kandung pr. 1 3 Sdr. kandung pr. 1 3+1=4
Sdr. kandung lk. 6    Sdr. kandung lk. 2 6+2=8

Contoh lain, seseorang wafat dan meninggalkan istri, ayah, ibu, cucu perempuan

PEMBAGIAN WARIS MENURUT ISLAM - oleh Muhammad Ali Ash-Shabuni 98


Pustaka Pribadi Notaris Herman ALT
keturunan anak laki-laki. Kemudian cucu tersebut meninggal dengan
meninggalkan suami, ibu, tiga anak perempuan, dan dua anak laki-laki. Maka
pembagiannya seperti berikut:

Pokok masalahnya dari dua puluh empat (24). Istri mendapatkan 1/4 (3 bagian),
ibu 1/6 (4 bagian), cucu perempuan keturunan anak laki-laki 1/2 (12 bagian),
sedangkan sisanya (lima bagian) merupakan bagian ayah sebagai jumlah
'ashabah. Jumlah semuanya adalah dua puluh empat (24) bagian.

Kemudian, kita lihat al-jami'ah dalam masalah ini sama dengan pokok masalah
pertama, yaitu dua puluh empat (24). Hal ini karena kita dapati bagian pewaris
kedua (cucu perempuan keturunan anak laki-laki) dalam masalah pertama ada
tamatsul (kesamaan) dengan pokok masalah yang kedua. Dalam keadaan
demikian, kaidah yang berlaku di kalangan ulama faraid adalah kita menjadikan
pokok masalah pertama sebagai al-jami'ah, yang berarti bagian pewaris kedua
hanya dibagikan kepada ahli warisnya. Oleh sebab itu, kita tidak lagi membuat
al-jami'ah yang baru, tetapi cukup menjadikan al-jami'ah yang pertama itu
berlaku pada masalah kedua. Berikut ini tabelnya:

Pokok Masalah Pokok Masalah


al-Jami'ah
I II
24 12 24
Istri 1/8 3 3
Ibu 1/6 4 - 4
Ayah ('ashabah) 5 - 5
Cucu pr. keturunan anak lk.
12 meninggal -
1/2
Suami 1/4 3 3

Contoh yang memiliki kasus al-mubayanah: seseorang wafat dan meninggalkan


suami, ayah, ibu, dan dua anak perempuan. Kemudian suami wafat dan
meninggalkan saudara kandung perempuan, ibu, istri, dan saudara laki-laki
seibu. Maka pembagiannya seperti berikut:

Pokok masalahnya dari dua belas (12) kemudian di-'aul-kan menjadi lima belas
(15). Sedangkan pokok masalah yang kedua dari dua belas (12) yang di-'aul-kan
menjadi tiga belas (13).

Suami mendapatkan seperempat (1/4) berarti tiga bagian. Ayah mendapatkan


seperenam (1/6) berarti dua bagian, begitu juga dengan bagian ibu yakni
seperenam (1/6), berarti dua bagian.

PEMBAGIAN WARIS MENURUT ISLAM - oleh Muhammad Ali Ash-Shabuni 99


Pustaka Pribadi Notaris Herman ALT
Kemudian dua anak perempuan mendapatkan dua per tiga (2/3) berarti delapan
(8) bagian. Jumlahnya lima belas (15) bagian.

Kemudian, antara masalah yang pertama dengan masalah yang kedua ada
mubayanah (perbedaan), karenanya kita kalikan pokok masalah pertama (yakni
15) dengan pokok masalah yang kedua (yakni 13). Maka hasil dari perkalian itu
(yakni 15 x 13 = 195) merupakan al-jami'ah (penyatuan) antara dua masalah.

Lalu kita tempatkan bagian pewaris yang kedua (suami, yang mendapat tiga
bagian) di atas pokok masalah kedua, dan ini merupakan juz'us sahm (bagian
dari bagian hak waris). Juz'us sahm ini kemudian kita kalikan dengan bagian
tiap-tiap ahli waris yang ada, maka akan merupakan hasil bagian ahli waris dari
al-jami'ah (penyatuan dari dua masalah). Untuk lebih meyakinkan kebenaran
masalah kedua ini, kita lihat hasil perkaliannya: perkalian antara juz'us sahm
yaitu tiga (3) dengan pokok masalahnya setelah di-'aul-kan, berarti 3 x 13 = 39.
Maka angka 39 ini merupakan jumlah bagian seluruh ahli waris dalam masalah
kedua. Lihat tabel berikut:

13 3
12 15 12 13 39
Suami 1/4 3 meninggal - -
Ayah 1/6 2 - 26
Ibu 1/6 2 - 26
2 anakperempuan (2/3) 8 - 104
Sdr. Kandung perempuan (2/3) 6 18
Ibu 1/6 2 6
Istri 1/4 3 9
Sdr. laki-laki seibu 1/6 2 6

Catatan

Kemungkinan besar dapat pula terjadi adanya al-jami'ah lebih dari satu.
Misalnya, dalam suatu keadaan pembagian waris salah seorang ahli warisnya
wafat sebelum pembagian, kemudian ada lagi yang meninggal, dan seterusnya.
Maka jika terjadi hal seperti ini, kita tetap harus menempuh cara seperti yang
telah kita tempuh dalam al-munasakhat, takni kita tempatkan tashih kedua pada
posisi pertama, dan tashih ketiga pada posisi kedua, dan seterusnya. Dan
hasilnya dinamakan al-jami'ah kedua, al-jami'ah ketiga, dan seterusnya.

Untuk menjelaskan hal ini perlu kiranya saya kemukakan contoh tentang bentuk
al-jami'ah yang lebih dari satu ini. Misalnya, seseorang wafat meninggalkan
suami, saudara perempuan seibu, dan paman kandung (saudara ayah).
Kemudian suami wafat dan meninggalkan anak perempuan, cucu perempuan

PEMBAGIAN WARIS MENURUT ISLAM - oleh Muhammad Ali Ash-Shabuni 100


Pustaka Pribadi Notaris Herman ALT
keturunan anak laki-laki, ayah, dan ibu. Kemudian anak perempuan juga
meninggal, dan meninggalkan nenek, dua saudara kandung perempuan, dan
dua saudara laki-laki seibu. Perhatikan tabel berikut:

2 1 7 3 8
6 6 12 6 7 84
Suami 1/2 3 meninggal -
Sdr.pr. seibu 1/6 1 2 14
Paman ('ashabah) 2 4 28
   Anak perempuan 1/2 3 3 meninggal
   Cucu pr. 1/6 1 1 - 7
   Ayah 1/6 1 1 - 7
   Ibu 1/6 1 1 - 7
   Nenek 1/6 1 3
   2 sdr. kandung pr. 2/3 4 12
   2 sdr. lk. saudara seibu 1/3 2 6

C. At-Takharuj min at-Tarikah

Yang dimaksud dengan at-takharuj min at-tarikah ialah pengunduran diri seorang
ahli waris dari hak yang dimilikinya untuk mendapatkan bagian (secara syar'i).
Dalam hal ini dia hanya meminta imbalan berupa sejumlah uang atau barang
tertentu dari salah seorang ahli waris lainnya ataupun dari harta peninggalan
yang ada. Hal ini dalam syariat Islam dibenarkan dan diperbolehkan.

Syariat Islam juga memperbolehkan apabila salah seorang ahli waris


menyatakan diri tidak akan mengambil hak warisnya, dan bagian itu diberikan
kepada ahli waris yang lain, atau siapa saja yang ditunjuknya. Kasus seperti ini
di kalangan ulama faraid dikenal dengan istilah "pengunduran diri" atau
"menggugurkan diri dari hak warisnya".

Diriwayatkan bahwa Abdurrahman bin Auf r.a. adalah seorang sahabat yang
mempunyai empat orang istri. Ketika ia wafat, salah seorang istrinya, Numadhir
binti al-Asbagh, menyatakan bahwa dirinya hanya akan mengambil hak waris

PEMBAGIAN WARIS MENURUT ISLAM - oleh Muhammad Ali Ash-Shabuni 101


Pustaka Pribadi Notaris Herman ALT
sekadar seperempat dari seperdelapan yang menjadi haknya. Jumlah yang
diambilnya --sebagaimana disebutkan dalam riwayat-- ialah seratus ribu dirham.

Tata Cara Pelaksanaannya

Apabila salah seorang ahli waris ada yang menyatakan mengundurkan diri, atau
menyatakan hanya akan mengambil sebagian saja dari hak warisnya, maka ada
dua cara yang dapat menjadi pilihannya. Pertama, ia menyatakannya kepada
seluruh ahli waris yang ada, dan cara kedua, ia hanya memberitahukannya
kepada salah seorang dari ahli waris yang ditunjuknya dan bersepakat bersama.

Cara pertama: kenalilah pokok masalahnya, kemudian keluarkanlah bagian ahli


waris yang mengundurkan diri, sehingga seolah-olah ia telah menerima
bagiannya, dan sisanya dibagikan kepada ahli waris yang ada. Maka jumlah sisa
bagian yang ada itulah pokok masalahnya.

Sebagai contoh, seseorang wafat dan meninggalkan ayah, anak perempuan,


dan istri. Kemudian sebagai misal, pewaris meninggalkan sebuah rumah, dan
uang sebanyak Rp 42 juta. Kemudian istri menyatakan bahwa dirinya hanya
akan mengambil rumah, dan menggugurkan haknya untuk menerima bagian dari
harta yang berjumlah Rp 42 juta itu. Dalam keadaan demikian, maka warisan
harta tersebut hanya dibagikan kepada anak perempuan dan ayah. Lalu jumlah
bagian kedua ahli waris itulah yang menjadi pokok masalahnya. Rincian
pembagiannya seperti berikut:

Pokok masalahnya dari dua puluh empat (24), kemudian kita hilangkan (ambil)
hak istri, yakni seperdelapan dari dua puluh empat, berarti tiga (3) saham. Lalu
sisanya (yakni 24 - 3 = 21) merupakan pokok masalah bagi hak ayah dan anak
perempuan. Kemudian dari pokok masalah itu dibagikan untuk hak ayah dan
anak perempuan. Maka, hasilnya seperti berikut:

Nilai per bagian adalah 42.000.000: 21 = 2.000.000


Bagian anak perempuan adalah 12 x 2.000.000 = 24.000.000
Bagian ayah 9 x 2.000.000 = 18.000.000
Total = 24.000.000 + 18.000.000 = 42.000.000

Cara kedua: apabila salah seorang ahli waris menyerahkan atau menggugurkan
hakuya lalu memberikannya kepada salah seorang ahli waris lainnya, maka
pembagiannya hanya dengan cara melimpahkan bagian hak ahli waris yang
mengundurkan diri itu kepada bagian orang yang diberi. Misalnya, seseorang
wafat dan meninggalkan seorang isteri, seorang anak perempuan, dan dua anak
laki-laki. Kemudian anak perempuan itu menggugurkan haknya dan
memberikannya kepada salah seorang dari saudara laki-lakinya, dengan imbalan
sesuatu yang telah disepakati oleh keduanya. Dengan demikian, warisan itu

PEMBAGIAN WARIS MENURUT ISLAM - oleh Muhammad Ali Ash-Shabuni 102


Pustaka Pribadi Notaris Herman ALT
hanya dibagikan kepada istri dan kedua anak laki-laki, sedangkan bagian anak
perempuan dilimpahkan kepada salah seorang saudara laki-laki yang diberinya
hak bagian. Perhatikan tabel berikut:

Pokok masalah 8 Tashih 40 40


Isteri 1/8 1 5 5
Anak laki laki ('ashabah) 14 14
Anak laki laki ('ashabah) 7 14 14+14
Anak perempuan ('ashabah) 7 -

Maka, pokok masalahnya dari delapan, dan setelah ditashih menjadi empat
puluh. Istri mendapat seperdelapan (1/8) berarti lima (5) bagian, dan bagian
setiap anak laki-laki empat belas (14) bagian, dan sisanya --yakni tujuh bagian--
adalah bagian anak perempuan. Kemudian, hak anak perempuan itu diberikan
kepada salah seorang saudara laki-lakinya yang ia tunjuk sebelumnya.

PEMBAGIAN WARIS MENURUT ISLAM - oleh Muhammad Ali Ash-Shabuni 103


Pustaka Pribadi Notaris Herman ALT
X. HAK WARIS DZAWIL ARHAM
A. Definisi Dzawil Arham

Arham adalah bentuk jamak dari kata rahmun, yang asalnya dalam bahasa Arab
berarti 'tempat pembentukan/menyimpan janin dalam perut ibu'. Kemudian
dikembangkan menjadi 'kerabat', baik datangnya dari pihak ayah ataupun dari
pihak ibu. Pengertian ini tentu saja disandarkan karena adanya rahim yang
menyatukan asal mereka. Dengan demikian, lafazh rahim tersebut umum
digunakan dengan makna 'kerabat', baik dalam bahasa Arab ataupun dalam
istilah syariat Islam. Allah berfirman:

"... Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya


kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturahim.
Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu. " (an-Nisa': 1)

"Maka apakah kiranya jika kamu berkuasa kamu akan membuat kerusakan di
muka bumi dan memutuskan hubungan kekeluargaan?" (Muhammad: 22)

Rasulullah saw. bersabda:

"Barangsiapa yang berkehendak untuk dilapangkan rezekinya dan ditangguhkan


ajalnya, maka hendaklah ia menyambung silaturrahmi (HR Bukhari, Muslim, dan
lainnya)

Adapun lafazh dzawil arham yang dimaksud dalam istilah fuqaha adalah kerabat
pewaris yang tidak mempunyai bagian/hak waris yang tertentu, baik dalam Al-
Qur'an ataupun Sunnah, dan bukan pula termasuk dari para 'ashabah.
Maksudnya, dzawil arham adalah mereka yang bukan termasuk ashhabul furudh
dan bukan pula 'ashabah. Jadi, dzawil arham adalah ahli waris yang mempunyai
tali kekerabatan dengan pewaris, namun mereka tidak mewarisinya secara
ashhabul furudh dan tidak pula secara 'ashabah. Misalnya, bibi (saudara
perempuan ayah atau ibu), paman (saudara laki-laki ibu), keponakan laki-laki
dari saudara perempuan, cucu laki-laki dari anak perempuan, dan sebagainya.

B. Pendapat Beberapa Imam tentang Dzawil Arham

Para imam mujtahid berbeda pendapat dalam masalah hak waris dzawil arham,
sama halnya dengan perbedaan pendapat yang terjadi di kalangan para sahabat
Rasulullah saw.. Dalam hal ini ada dua pendapat:

Pertama: golongan ini berpendapat bahwa dzawil arham atau para kerabat tidak
berhak mendapat waris. Lebih jauh mereka mengatakan bahwa bila harta waris

PEMBAGIAN WARIS MENURUT ISLAM - oleh Muhammad Ali Ash-Shabuni 104


Pustaka Pribadi Notaris Herman ALT
tidak ada ashhabul furudh atau 'ashabah yang mengambilnya, maka seketika itu
dilimpahkan kepada baitulmal kaum muslim untuk disalurkan demi kepentingan
masyarakat Islam pada umumnya. Dengan demikian, tidak dibenarkan jika harta
tersebut diberikan kepada dzawil arham. Di antara mereka yang berpendapat
demikian ialah Zaid bin Tsabit r.a. dan Ibnu Abbas r.a. dalam sebagian riwayat
darinya, dan juga merupakan pendapat dua imam, yaitu Malik dan Syafi'i
rahimahumullah.

Kedua: golongan kedua ini berpendapat bahwa dzawil arham (kerabat) berhak
mendapat waris, bila tidak ada ashhabul furudh, ataupun 'ashabah yang
menerima harta pewaris. Lebih jauh golongan kedua ini mengatakan bahwa
dzawil arham adalah lebih berhak untuk menerima harta waris dibandingkan
lainnya, sebab mereka memiliki kekerabatan dengan pewaris. Karena itu mereka
lebih diutamakan untuk menerima harta tersebut daripada baitulmal. Pendapat
ini merupakan jumhur ulama, di antaranya Umar bin Khathab, Ibnu Mas'ud, dan
Ali bin Abi Thalib. Juga merupakan pendapat Imam Abu Hanifah dan Ahmad bin
Hambal rahimahumullah.

Adapun dalil yang dijadikan landasan oleh Imam Malik dan Syafi'i (golongan
pertama) ialah:

1. Asal pemberian hak waris atau asal penerimaan hak waris adalah dengan
adanya nash syar'i dan qath'i dari Al-Qur'an atau Sunnah. Dan dalam hal ini tidak
ada satu pun nash yang pasti dan kuat yang menyatakan wajibnya dzawil arham
untuk mendapat waris. Jadi, bila kita memberikan hak waris kepada mereka
(dzawil arham) berarti kita memberikan hak waris tanpa dilandasi dalil pasti dan
kuat. Hal seperti ini menurut syariat Islam adalah batil.

2. Rasulullah saw. ketika ditanya tentang hak waris bibi --baik dari garis ayah
maupun dari ibu-- beliau saw. menjawab: "Sesungguhnya Jibril telah
memberitahukan kepadaku bahwa dari keduanya tidak ada hak menerima waris
sedikit pun."

Memang sangat jelas betapa dekatnya kekerabatan saudara perempuan ayah


ataupun saudara perempuan ibu dibandingkan kerabat lainnya. Maka jika
keduanya tidak berhak untuk menerima harta waris, kerabat lain pun demikian.
Sebab, tidak mungkin dan tidak dibenarkan bila kita memberikan hak waris
kepada kerabat lain, sedangkan bibi tidak mendapatkannya. Hal demikian dalam
dunia fiqih dikenal dengan istilah tarjih bilaa murajjih yang berarti batil. Dengan
dasar ini dapat dipetik pengertian bahwa karena Rasulullah saw. tidak
memberikan hak waris kepada para bibi, maka tidak pula kepada kerabat yang
lain.

3. Harta peninggalan, bila ternyata tidak ada ahli warisnya secara sah dan benar
--baik dari ashhabul furudh-nya ataupun para 'ashabahnya-- bila diserahkan ke
baitulmal akan dapat mewujudkan kemaslahatan umum, sebab umat Islam akan

PEMBAGIAN WARIS MENURUT ISLAM - oleh Muhammad Ali Ash-Shabuni 105


Pustaka Pribadi Notaris Herman ALT
ikut merasakan faedah dan kegunaannya. Namun sebaliknya, bila diserahkan
kepada kerabatnya, maka kegunaan dan faedahnya akan sangat minim, dan
hanya kalangan mereka saja yang merasakannya. Padahal dalam kaidah ushul
fiqih telah ditegaskan bahwa kemaslahatan umum harus lebih diutamakan
daripada kemaslahatan pribadi. Atas dasar inilah maka baitulmal lebih
diutamakan untuk menyimpan harta waris yang tidak ada ashhabul furudh dan
'ashabahnya ketimbang para kerabat.

Adapun golongan kedua, yakni Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad,
menyatakan bahwa dzawil arham atau para kerabat berhak mendapatkan waris,
mereka mendasari pendapatnya itu dengan Al-Qur'an, As-Sunnah, dan logika.
Dalil Al-Qur'an yang dimaksud ialah:

"... Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih


berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat) di dalam Kitab Allah.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu." (al-Anfal: 75)

Makna yang mendasar dari dalil ini ialah bahwa Allah SWT telah menyatakan
atau bahkan menegaskan dalam Kitab-Nya bahwa para kerabat lebih berhak
untuk mendapatkan atau menerima hak waris daripada yang lain. Di sini, lafazh
arham yang berarti kerabat adalah umum, termasuk ashhabul furudh, para
''ashabah, serta selain keduanya. Pendek kata, makna kata itu mencakup
kerabat yang mempunyai hubungan rahim atau lebih umumnya hubungan darah.

Ayat tersebut seolah-olah menyatakan bahwa yang disebut kerabat --siapa pun
mereka, baik ashhabul furudh, para 'ashabah, atau selain dari keduanya--
merekalah yang lebih berhak untuk menerima hak waris ketimbang yang bukan
kerabat. Bila pewaris mempunyai kerabat dan kebetulan ia meninggalkan harta
waris, maka berikanlah harta waris itu kepada kerabatnya dan janganlah
mendahulukan yang lain. Jadi, atas dasar inilah maka para kerabat pewaris lebih
berhak untuk menerima hak waris ketimbang baitulmal.

Hal ini juga berdasarkan firman-Nya yang lain:

"Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya,
dan bagi wanita ada hak bagian (pula) dan harta peninggalan ibu-bapak dan
kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan." (an-
Nisa': 7)

Melalui ayat ini Allah SWT menyatakan bahwa kaum laki-laki dan wanita
mempunyai hak untuk menerima warisan yang ditinggalkan kerabatnya, baik
sedikit ataupun banyak. Seperti yang disepakati oleh jumhur ulama bahwa yang
dimaksud dengan dzawil arham adalah para kerabat. Dengan demikian, mereka
(dzawil arham) berhak untuk menerima warisan.

Kemudian sebagaimana dinyatakan oleh mayoritas ulama bahwa ayat di atas

PEMBAGIAN WARIS MENURUT ISLAM - oleh Muhammad Ali Ash-Shabuni 106


Pustaka Pribadi Notaris Herman ALT
me-mansukh (menghapus) kebiasaan pada awal munculnya Islam, pada masa
itu kaum muslimin saling mewarisi disebabkan menolong dan hijrah. Dengan
turunnya ayat ini, maka yang dapat saling mewarisi hanyalah antara sesama
kerabat (dzawil arham). Oleh karena itu, para kerabatlah yang paling berhak
untuk menerima harta peninggalan seorang pewaris.

Adapun dalil dari Sunnah Nabawiyah adalah seperti yang diberitakan dalam
sebuah riwayat masyhur, dalam riwayat ini dikisahkan. Ketika Tsabit bin ad-
Dahjah meninggal dunia, maka Rasulullah saw. bertanya kepada Qais bin
Ashim, "Apakah engkau mengetahui nasab orang ini?" Qais menjawab, "Yang
kami ketahui orang itu dikenal sebagai asing nasabnya, dan kami tidak
mengetahui kerabatnya, kecuali hanya anak laki-laki dari saudara
perempuannya, yaitu Abu Lubabah bin Abdul Mundir. Kemudian Rasul pun
memberikan harta warisan peninggalan Tsabit kepada Abu Lubabah bin Abdul
Mundzir.

Keponakan laki-laki dari anak saudara perempuan tidak lain hanyalah


merupakan kerabat, yang bukan dari ashhabul furudh dan bukan pula termasuk
'ashabah. Dengan pemberian Rasulullah saw. akan hak waris kepada dzawil
arham menunjukkan dengan tegas dan pasti bahwa para kerabat berhak
menerima harta waris bila ternyata pewaris tidak mempunyai ashhabul furudh
yang berhak untuk menerimanya atau para 'ashabah.

Dalam suatu atsar diriwayatkan dari Umar bin Khathab r.a. bahwa suatu ketika
Abu Ubaidah bin Jarrah mengajukan persoalan kepada Umar. Abu Ubaidah
menceritakan bahwa Sahal bin Hunaif telah meninggal karena terkena anak
panah yang dilepaskan seseorang. Sedangkan Sahal tidak mempunyai kerabat
kecuali hanya paman, yakni saudara laki-laki ibunya. Umar menanggapi masalah
itu dan memerintahkan kepada Abu Ubaidah untuk memberikan harta
peninggalan Sahal kepada pamannya. Karena sesungguhnya aku telah
mendengar bahwa Rasulullah saw. bersabda:

"(Saudara laki-laki ibu) berhak menerima waris bagi mayit yang tidak mempunyai
keturunan atau kerabat yang berhak untuk menerimanya."

Atsar ini --yang di dalamnya Umar al-Faruq memberitakan sabda Rasulullah


saw.--- merupakan dalil yang kuat bahwa kerabat lebih berhak menerima harta
waris peninggalan pewaris ketimbang baitulmal. Kalaulah baitulmal lebih berhak
untuk menampung harta peninggalan pewaris yang tidak mempunyai ahli waris
dari ashhabul furudh dan 'ashabah-nya, maka Umar bin Khathab pasti tidak akan
memerintahkan kepada Abu Ubaidah Ibnul Jarrah r.a. untuk memberikan kepada
paman Sahal tersebut. Sebab, Umar bin Khathab r.a adalah seorang khalifah
Islam yang dikenal sangat mengu tamakan kepentingan umum daripada
kepentingan pribadi. Dan hal ini terbukti seperti yang banyak dikisahkan dalam
kitab-kitab tarikh.

PEMBAGIAN WARIS MENURUT ISLAM - oleh Muhammad Ali Ash-Shabuni 107


Pustaka Pribadi Notaris Herman ALT
Adapun dalil logikanya seperti berikut: sesungguhnya para kerabat jauh lebih
berhak untuk menerima harta warisan daripada baitulmal. Alasannya, karena
ikatan antara baitulmal dan pewaris hanya dari satu arah, yaitu ikatan Islam
--karena pewaris seorang muslim. Berbeda halnya dengan seseorang yang
memiliki hubungan kekerabatan dengan pewaris, dalam hal ini ia mempunyai
dua ikatan: ikatan Islam dan ikatan rahim.

Oleh sebab itu, ikatan dari dua arah sudah barang tentu akan lebih kuat
dibandingkan ikatan satu arah. Permasalahan ini sama seperti dalam kasus
adanya saudara kandung laki-laki dengan saudara laki-laki seayah dalam suatu
keadaan pembagian harta waris, yang dalam hal ini seluruh harta waris menjadi
hak saudara kandung laki-laki. Sebab, ikatannya dari dua arah, dari ayah dan
dari ibu, sedangkan saudara seayah hanya dari ayah.

Di samping itu, kelompok kedua (jumhur ulama) ini menyanggah dalil yang
dikemukakan oleh Imam Malik dan Imam Syafi'i bahwa hadits itu
kemungkinannya ada sebelum turunnya ayat di atas. Atau, mungkin juga bahwa
bibi (baik dari ayah atau ibu) tidak berhak mendapat waris ketika berbarengan
dengan ashhabul furudh atau para 'ashabah.

Jadi, yang jelas --jika melihat konteks hadits yang pernah dikemukakan--
jawaban Rasulullah saw. tentang hak waris bibi ketika itu disebabkan ada
ashhabul furudh atau ada 'ashabah-nya. Inilah usaha untuk menyatukan dua
hadits yang sepintas bertentangan.

Setelah membandingkan kedua pendapat itu, kita dapat menyimpulkan bahwa


pendapat jumhur ulama (kelompok kedua) lebih rajih (kuat dan akurat), karena
memang merupakan pendapat mayoritas sahabat, tabi'in, dan imam mujtahidin.
Di samping dalil yang mereka kemukakan lebih kuat dan akurat, juga tampak
lebih adil apalagi jika dihubungkan dengan kondisi kehidupan dewasa ini.

Sebagai contoh, kelompok pertama berpendapat lebih mengutamakan baitulmal


ketimbang kerabat, sementara di sisi lain mereka mensyaratkan keberadaan
baitulmal dengan persyaratan khusus. Di antaranya, baitulmal harus terjamin
pengelolaannya, adil, dan amanah; adil dalam memberi kepada setiap yang
berhak, dan tepat guna dalam menyalurkan harta baitulmal.

Maka muncul pertanyaan, dimanakah adanya baitulmal yang demikian,


khususnya pada masa kita sekarang ini. Tidak ada jawaban lain untuk
pertanyaan seperti itu kecuali: "telah lama tiada". Terlebih lagi pada masa kita
sekarang ini, ketika musuh-musuh Islam berhasil memutus kelangsungan hidup
khilafah Islam dengan memporakporandakan barisan, persatuan dan kesatuan
muslimin, kemudian membagi-baginya menjadi negeri dan wilayah yang tidak
memiliki kekuatan. Sungguh tepat apa yang digambarkan seorang penyair dalam
sebuah bait syairnya: "Setiap jamaah di kalangan kita mempunyai iman, namun
kesemuanya tidak mempunyai imam."

PEMBAGIAN WARIS MENURUT ISLAM - oleh Muhammad Ali Ash-Shabuni 108


Pustaka Pribadi Notaris Herman ALT
Melihat kenyataan demikian, para ulama dari mazhab Maliki dan mazhab Syafi'i
mutakhir memberikan fatwa dengan mendahulukan para kerabat ketimbang
baitulmal, khususnya setelah abad ketiga Hijriah, ketika pengelolaan baitulmal
tidak lagi teratur sehingga terjadi penyalahgunaan. Dengan demikian, dapat kita
katakan bahwa kedua kelompok ulama tersebut pada akhirnya bersepakat untuk
lebih mengutamakan pemberian harta waris kepada kerabat ketimbang
baitulmal. Hal ini dapat terlihat tentunya dengan melihat dan mempertimbangkan
kemaslahatan yang ada, dari mulai akhir abad ketiga Hijriah hingga masa kita
dewasa ini.

PEMBAGIAN WARIS MENURUT ISLAM - oleh Muhammad Ali Ash-Shabuni 109


Pustaka Pribadi Notaris Herman ALT
C. Cara Pembagian Waris Para Kerabat

Di antara fuqaha terjadi perbedaan pendapat mengenai tata cara memberikan


hak waris kepada para kerabat, dan dalam hal ini terbagi menjadi tiga kelompok
pendapat.

1. Menurut Ahlur-Rahmi

Mengenai cara pembagian hak waris para kerabat, ahlur-rahmi menyatakan


bahwa semua kerabat berhak mendapat waris secara rata, tanpa membedakan
jauh-dekatnya kekerabatan, dan tanpa membeda-bedakan antara laki-laki
dengan perempuan.

Misalnya, seseorang wafat dan meninggalkan seorang cucu perempuan


keturunan anak perempuan, seorang keponakan perempuan dari saudara
perempuan, bibi (saudara perempuan ayah), bibi (saudara perempuan ibu), dan
keponakan laki-laki keturunan saudara laki-laki seibu. Maka dalam hal ini mereka
mendapatkan bagian waris secara rata, tanpa melebihkan atau mengurangi
salah seorang dari ahli waris yang ada.

Mazhab ini dikenal dengan sebutan ahlur-rahmi disebabkan orang-orang yang


menganut pendapat ini tidak mau membedakan antara satu ahli waris dengan
ahli waris yang lain dalam hal pembagian, mereka juga tidak menganggap kuat
serta lemahnya kekerabatan seseorang. Yang menjadi landasan mereka ialah
bahwa seluruh ahli waris menyatu haknya karena adanya ikatan kekerabatan.

Mazhab ini tidak masyhur, bahkan dhaif dan tertolak. Karenanya tidak ada satu
pun dari ulama atau para imam mujtahid vang mengakuinya apalagi mengikuti
pendapat ini dengan alasan telah sangat nyata bertentangan dengan kaidah
syar'iyah yang masyhur dalam disiplin ilmu mawarits.

2. Menurut Ahlut-Tanzil

Golongan ini disebut ahlut-tanzil dikarenakan mereka mendudukkan keturunan


ahli waris pada kedudukan pokok (induk) ahli waris asalnya. Mereka tidak
memperhitungkan ahli waris yang ada (yang masih hidup), tetapi melihat pada
yang lebih dekat dari ashhabul furudh dan para 'ashabahnya. Dengan demikian,
mereka akan membagikan hak ahli waris yang ada sesuai dengan bagian ahli
waris yang lebih dekat, yakni pokoknya. Inilah pendapat mazhab Imam Ahmad
bin Hambal, juga merupakan pendapat para ulama mutakhir dari kalangan Maliki
dan Syafi'i.

PEMBAGIAN WARIS MENURUT ISLAM - oleh Muhammad Ali Ash-Shabuni 110


Pustaka Pribadi Notaris Herman ALT
Untuk memperjelas pemahaman tentang mazhab ini perlu saya kemukakan
contoh-contoh seperti berikut:

Bila seseorang wafat dan meninggalkan cucu perempuan keturunan anak


perempuan, keponakan laki-laki keturunan saudara kandung perempuan, dan
keponakan perempuan keturunan saudara laki-laki seayah. Maka keadaan ini
dapat dikategorikan sama dengan meninggalkan anak perempuan, saudara
kandung perempuan, dan saudara laki-laki seayah. Oleh karena itu,
pembagiannya seperti berikut: anak perempuan mendapat setengah (1/2)
bagian, saudara kandung perempuan mendapat setengah (1/2) bagian,
sedangkan saudara laki-laki seayah tidak mendapat bagian (mahjub) disebabkan
saudara kandung perempuan di sini sebagai 'ashabah, karena itu ia
mendapatkan sisanya. Inilah gambarannya:

Anak kandung pr. 1/2, Sdr. kandung pr. 1/2, Sdr. laki-laki seayah mahjub.

Seseorang wafat dan meninggalkan keponakan perempuan keturunan saudara


kandung perempuan, keponakan perempuan keturunan saudara perempuan
seayah, keponakan laki-laki keturunan saudara perempuan seibu, dan sepupu
perempuan keturunan paman kandung (saudara laki-laki seayah). Maka
pembagiannya seperti berikut: keponakan perempuan keturunan saudara
kandung perempuan mendapatkan setengah (1/2) bagian, keponakan
perempuan keturunan dari saudara perempuan seayah mendapat seperenam
(1/6) sebagai penyempurna dua per tiga (2/3), keponakan laki-laki keturunan
saudara perempuan seibu mendapatkan seperenam (1/6) bagian secara fardh,
dan sepupu perempuan anak dari paman kandung juga mendapatkan
seperenam (1/6) bagian sebagai 'ashabah. Hal demikian dikarenakan sama saja
dengan pewaris meninggalkan saudara kandung perempuan, saudara
perempuan seayah, saudara perempuan seibu, dan paman kandung. Inilah
gambarnya:

Sdr. kand. Pr. 3/6, sdr. pr. seayah 1/6, sdr. pr. 1/6, seibu paman kand. 1/6

Begitulah cara pembagiannya, yakni dengan melihat kepada yang lebih dekat
derajat kekerabatannya kepada pewaris.

Adapun yang dijadikan dalil oleh mazhab ahlut-tanzil ini ialah riwayat yang marfu'
(sampai sanadnya) kepada Rasulullah saw.. Ketika beliau memberi hak waris
kepada seorang bibi (saudara perempuan ayah) dan bibi (saudara perempuan
ibu) kebetulan saat itu tidak ada ahli waris lainnya-- maka beliau memberi bibi
(dari pihak ayah) dengan dua per tiga (2/3) bagian, dan sepertiga lagi
diberikannya kepada bibi (dari pihak ibu).

Selain itu, juga berlandaskan fatwa Ibnu Mas'ud r.a. ketika ia menerima

PEMBAGIAN WARIS MENURUT ISLAM - oleh Muhammad Ali Ash-Shabuni 111


Pustaka Pribadi Notaris Herman ALT
pengaduan tentang pembagian waris seseorang yang wafat dan meninggalkan
cucu perempuan keturunan anak wanita, dan keponakan perempuan keturunan
saudara kandung perempuan. Maka Ibnu Mas'ud memberikan setengah bagian
untuk cucu perempuan dan setengah bagian lainnya untuk keponakan
perempuan. Lebih jauh mazhab ini menyatakan bahwa hadits Rasulullah saw.
dan keputusan yang dilakukan Ibnu Mas'ud menunjukkan betapa kuatnya
pendapat mereka.

Adapun dalih orang-orang yang memperkuat mazhab kedua ini, yang tampak
sangat logis, adalah bahwa memberikan hak waris kepada dzawil arham tidak
dibenarkan kecuali dengan berlandaskan pada nash-nash umum --yang justru
tidak memberikan rincian mengenai besarnya bagian mereka masing-masing
dan tidak ada pentarjihan secara jelas. Oleh karena itu, dengan mengembalikan
kepada pokoknya --karena memang lebih mendekatkan posisinya kepada
pewaris-- jauh lebih utama dan bahkan lebih berhak. Sebab, rincian besarnya
bagian ashhabul furudh dan para 'ashabah telah dijelaskan. Maka, sekali lagi
saya tegaskan bahwa tidak ada jalan lain untuk mengenali dan menuntaskan
masalah ini kecuali dengan mengembalikan atau menisbatkannya kepada pokok
ahli waris yang lebih dekat kekerabatannya kepada pewaris.

3. Menurut Ahlul Qarabah

Adapun mazhab ketiga menyatakan bahwa hak waris para dzawil arham
ditentukan dengan melihat derajat kekerabatan mereka kepada pewaris. Hal ini,
menurut mereka, dilakukan dengan mengqiyaskannya pada hak para 'ashabah,
berarti yang paling berhak di antara mereka (para 'ashabah) adalah yang paling
dekat kepada pewaris dari segi dekat dan kuatnya kekerabatan.

Sebagaimana telah diungkapkan, dalam hal melaksanakan pembagian waris


untuk dzawil arham mazhab ini membaginya secara kelompok. Dalam
prakteknya sama seperti membagi hak waris para 'ashabah, yaitu melihat siapa
yang paling dekat hubungan kekerabatannya dengan pewaris, kemudian barulah
yang lebih kuat di antara kerabat yang ada. Selain itu, pelaksanaannya tetap
mengikuti kaidah umum pembagian waris: bagian laki-laki adalah dua kali bagian
wanita.

Mazhab ini merupakan pendapat Ali bin Abi Thalib r.a. dan diikuti oleh para
ulama mazhab Hanafi.

Di samping itu, mazhab ketiga ini telah mengelompokkan dan membagi dzawil
arham menjadi empat golongan, kemudian menjadikan masing-masing golongan
mempunyai cabang dan keadaannya. Lebih jauh akan dijelaskan hak masing-
masing golongan dan cabang tersebut akan hak warisnya. Keempat golongan
tersebut adalah:

Orang-orang (ahli waris) yang bernisbat kepada pewaris.

PEMBAGIAN WARIS MENURUT ISLAM - oleh Muhammad Ali Ash-Shabuni 112


Pustaka Pribadi Notaris Herman ALT
Orang-orang yang dinisbati kekerabatan oleh pewaris.

Orang-orang yang bernisbat kepada kedua orang tua pewaris.

Orang-orang yang bernisbat kepada kedua kakek pewaris atau kedua nenek
pewaris.

Yang bernisbat kepada pewaris sebagai berikut:

Cucu laki-laki keturunan anak perempuan, dan seterusnya, baik laki-laki ataupun
perempuan.

Buyut laki-laki dari keturunan cucu perempuan dan keturunan anak laki-laki, dan
seterusnya, baik laki-laki ataupun perempuan.

Yang dinisbati oleh pewaris:

Kakek yang bukan sahih, dan seterusnya seperti ayah dari ibu, ayah dari
ayahnya ibu (kakek dari ibu).

Nenek yang bukan sahih, dan seterusnya seperti ibu dari ayahnya ibu, ibu dari
ibu ayahnya ibu.

Yang bernisbat kepada kedua orang tua pewaris:

Keturunan saudara kandung perempuan, atau yang seayah, atau yang seibu,
baik keturunan laki-laki ataupun perempuan.

Keturunan perempuan dari saudara kandung laki-laki, atau seayah, seibu, dan
seterusnya.

Keturunan dari saudara laki-laki seibu dan seterusnya.

Yang bernisbat kepada kedua kakek atau nenek dari pihak ayah ataupun ibu:

Bibi (saudara perempuan ayah) pewaris, baik bibi kandung, seayah, atau seibu.
Kemudian paman (saudara laki-laki ibu) pewaris, dan bibi (saudara perempuan
ibu), dan paman (saudara ayah) ibu.

Keturunan dari bibi (saudara perempuan ayah), keturunan dari pamannya


(saudara laki-laki ibu), keturunan bibinya (saudara perempuan ibu), keturunan
paman (saudara laki-laki ayah) yang seibu, dan seterusnya.

Bibi dari ayah pewaris, baik yang kandung, seayah, ataupun seibu. Juga semua
pamannya dan bibinya (paman dan bibi dari ayah). Juga pamannya (saudara
ayah) yang seibu (mencakup semua paman dan bibi dari ibu, baik yang kandung

PEMBAGIAN WARIS MENURUT ISLAM - oleh Muhammad Ali Ash-Shabuni 113


Pustaka Pribadi Notaris Herman ALT
maupun yang seayah).

Seluruh keturunan kelompok yang saya sebutkan itu dan seterusnya, misalnya
keturunan laki-laki dan perempuan dari bibi sang ayah.

Paman kakak yang seibu, dan juga paman nenek. Kemudian paman dan bibi
--baik dari ayah maupun ibu-- dari kakek dan nenek.

Seluruh keturunan kelompok yang saya sebutkan di atas (Butir e) dan


seterusnya.

Itulah keenam kelompok yang bernisbat kepada kedua kakek dan kedua nenek
pewaris.

Perbedaan antara Ahlut-tanzil dengan Ahlul Qarabah

Dari uraian-uraian sebelumnya, ternyata kita menemukan beberapa perbedaan


yang jelas antara mazhab ahlut-tanzil dengan ahlul qarabah:

Ahlut-tanzil tidak menyusun secara berurutan kelompok per kelompok, dan tidak
pula mendahulukan antara satu dari yang lain. Sedangkan ahlul qarabah
menyusun secara berurutan dan mendahulukan satu dari yang lain sebagai
analogi dari 'ashabah bi nafsihi..

Dasar yang dianggap oleh ahlut-tanzil dalam mendahulukan satu dari yang lain
adalah "dekatnya keturunan" dengan sang ahli waris shahibul fardh atau
'ashabah. Sedangkan oleh ahlul qarabah yang dijadikan anggapan ialah
"dekatnya dengan kekerabatan", dan bagian anak laki-laki dua kali lipat bagian
kaum wanita sebagaimana yang berlaku pula dalam kalangan ahlul 'ashabah.

Cara Pembagian Waris Menurut Ahlul Qarabah

Telah saya kemukakan bahwa ahlul qarabah ini mengelompokkan dan


memberikan urutan --dalam pembagian hak waris-- dengan mengqiyas pada
jalur 'ashabah. Dengan demikian, menurut ahlul qarabah, yang pertama kali
berhak menerima waris adalah keturunan pewaris (anak, cucu, dan seterusnya).
Bila mereka tidak ada, maka pokoknya: ayah, kakek, dan seterusnya. Jika tidak
ada juga, maka barulah keturunan saudara laki-laki (keponakan). Bila mereka
tidak ada, maka barulah keturunan paman (dari pihak ayah dan ibu). Jika tidak
ada, maka barulah keturunan mereka yang sederajat dengan mereka, seperti
anak perempuan dari paman kandung atau seayah. Dengan demikian,
berdasarkan urutan tersebut dapat disimpulkan bahwa kelompok ahli waris yang
lebih awal disebutkan dapat menggugurkan kelompok berikutnya.

D. Syarat-syarat Pemberian Hak Waris bagi Dzawil Arham

PEMBAGIAN WARIS MENURUT ISLAM - oleh Muhammad Ali Ash-Shabuni 114


Pustaka Pribadi Notaris Herman ALT
Tidak ada shahibul fardh. Sebab, jika ada shahibul fardh, mereka tidak sekadar
mengambil bagiannya, tetapi sisanya pun akan mereka ambil karena merupakan
hak mereka secara radd. Sedangkan kita ketahui bahwa kedudukan ahli waris
secara ar-radd dalam penerimaan waris lebih didahulukan dibandingkan dzawil
arham.

Tidak ada penta'shib ('ashabah). Sebab 'ashabah akan mengambil seluruh hak
waris yang ada, bila ternyata tidak ada shahibul fardh. Dan bila ada shahibul
fardh, maka para 'ashabah akan menerima sisa harta waris yang ada, setelah
diambil hak para shahibul fardh.

Namun, apabila shahibul fardh hanya terdiri dari suami atau istri saja, maka ia
akan menerima hak warisnya secara fardh, dan sisanya diberikan kepada dzawil
arham. Sebab kedudukan hak suami atau istri secara radd itu sesudah
kedudukan dzawil arham. Dengan demikian, sisa harta waris akan diberikan
kepada dzawil arham.

Beberapa Catatan Penting:

Apabila dzawil arham (baik laki-laki maupun perempuan) seorang diri menjadi
ahli waris, maka ia akan menerima seluruh harta waris. Sedangkan jika dia
berbarengan dengan salah satu dari suami atau istri, maka ia akan menerima
sisanya. Dan bila bersamaaan dengan ahli waris lain, maka pembagiannya
sebagai berikut:

Mengutamakan dekatnya kekerabatan. Misalnya, pewaris meninggalkan ahli


waris cucu perempuan dari keturunan anak perempuan, dengan anak cucu
perempuan dari keturunan anak perempuan, maka yang didahulukan adalah
cucu perempuan dari anak perempuan. Begitu seterusnya.

Apabila ada kesamaan pada kedekatan derajat kekerabatan, maka yang lebih
berhak untuk dintamakan adalah yang paling dekat dengan pewaris lewat
shahibul fardh atau 'ashabah. Misalnya, seseorang wafat dan meninggalkan
cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki, dan cucu laki-laki dari keturunan
anak perempuan, maka yang lebih didahulukan adalah cucu perempuan dari
keturunan anak laki-laki.

Dalam contoh ini, tampak ada kesamaan derajat di antara kedua ahli waris,
keduanya memiliki hubungan kekerabatan dengan pewaris sama-sama sebagai
cucu. Hanya saja, cucu perempuan keturunan anak laki-laki bernasab kepada
pewaris lewat ahli waris, sedangkan cucu laki-laki dari keturunan anak
perempuan melalui dzawil arham.

Apabila segi derajat dan kedekatannya kepada pewaris sama, maka haruslah

PEMBAGIAN WARIS MENURUT ISLAM - oleh Muhammad Ali Ash-Shabuni 115


Pustaka Pribadi Notaris Herman ALT
mengutamakan mana yang lebih kuat kedekatan kekerabatannya. Misalnya,
seseorang wafat dan meninggalkan anak perempuan dari saudara kandung laki-
laki (yakni keponakan kandung) dengan anak perempuan dari saudara laki-laki
seayah (keponakan bukan kandung), maka dalam keadaan seperti ini kita harus
mengutamakan keponakan kandung, dan berarti seluruh harta waris menjadi
haknya. Yang demikian itu disebabkan keponakan kandung lebih kuat
kekerabatannya. Begitulah seterusnya.

Apabila dalam suatu keadaan terjadi persamaan, maka pembagiannya dilakukan


secara merata. Artinya, semua ahli waris dari dzawil arham berhak menerima
bagian. Misalnya, seseorang wafat dan meninggalkan seorang anak perempuan
dari anak paman kandung, seorang anak perempuan dari anak paman yang lain
(kandung), dan seorang anak perempuan dari anak paman kandung yang lain.
Atau dengan redaksi lain, orang yang wafat ini meninggalkan tiga putri keturunan
anak paman kandung. Maka harta warisnya dibagi secara merata di antara
mereka, karena ketiganya memiliki derajat yang sama dari segi kekerabatan.

Catatan lain

Di antara persoalan yang perlu saya kemukakan di sini ialah bahwa dalam
pemberian hak waris terhadap para dzawil arham , bagian laki-laki dua kali lebih
besar bagian perempuan, seperti halnya dalam pembagian para 'ashabah,
sekalipun dzawil arham itu keturunan saudara laki-laki atau saudara perempuan
seibu.

Penutup

Itulah sekelumit mengenai hak waris para dzawil arham menurut mazhab ahlul
qarabah yang merupakan mazhab imam Ali bin Abi Thalib r.a. dan para ulama
mazhab Hanafi. Pendapat ini banyak diterapkan di sebagian negara Arab dan
negara Islam lainnya.

Sebenamya, di kalangan ulama mazhab ini banyak dijumpai perbedaan tentang


cara pembagian masing-masing kelompok tadi, terutama antara Imam Abi Yusuf
dan Imam Muhammad (keduanya murid dan teman dekat Abu Hanifah, penj.).
Namun, saya tidak mengemukakannya di sini sebab akan bertele-tele dan
menjenuhkan. Oleh karenanya, bagi yang menghendaki pengetahuan lebih luas
dalam masalah ini dapat merujuknya pada kitab-kitab fiqih. Selain itu, pada
prinsipnya yang banyak diamalkan adalah pandangan mazhab ahlut-tanzil
sebagai mazhab Imam Ahmad, yang kemudian dianut oleh ulama muta'akhirin
mazhab Maliki dan Syafi'i ---karena dari segi pengamalannya memang lebih
mudah.

XI. HAK WARIS BANCI DAN WANITA HAMIL

PEMBAGIAN WARIS MENURUT ISLAM - oleh Muhammad Ali Ash-Shabuni 116


Pustaka Pribadi Notaris Herman ALT
A. Definisi Banci

Pengertian al-khuntsa (banci) dalam bahasa Arab diambil dari kata khanatsa
berarti 'lunak' atau 'melunak'. Misalnya, khanatsa wa takhannatsa, yang berarti
apabila ucapan atau cara jalan seorang laki-laki menyerupai wanita: lembut dan
melenggak-lenggok. Karenanya dalam hadits sahih dikisahkan bahwa Rasulullah
saw. bersabda:

"Allah SWT melaknat laki-laki yang menyerupai wanita dan wanita yang
menyerupai laki-laki."

Adapun makna khanatsa menurut para fuqaha adalah orang yang mempunyai
alat kelamin laki-laki dan kelamin wanita (hermaphrodit), atau bahkan tidak
mempunyai alat kelamin sama sekali. Keadaan yang kedua ini menurut para
fuqaha dinamakan khuntsa musykil, artinya tidak ada kejelasan. Sebab, setiap
insan seharusnya mempunyai alat kelamin yang jelas, bila tidak berkelamin laki-
laki berarti berkelamin perempuan.

Kejelasan jenis kelamin seseorang akan mempertegas status hukumnya


sehingga ia berhak menerima harta waris sesuai bagiannya.

Oleh karena itu, adanya dua jenis kelamin pada seseorang --atau bahkan sama
sekali tidak ada-- -disebut sebagai musykil. Keadaan ini membingungkan karena
tidak ada kejelasan, kendatipun dalam keadaan tertentu kemusykilan tersebut
dapat diatasi, misalnya dengan mencari tahu dari mana ia membuang "air kecil".
Bila urinenya keluar dari penis, maka ia divonis sebagai laki-laki dan
mendapatkan hak waris sebagaimana kaum laki-laki. Sedangkan jika ia
mengeluarkan urine dari vagina, ia divonis sebagai wanita dan memperoleh hak
waris sebagai kaum wanita. Namun, bila ia mengeluarkan urine dari kedua alat
kelaminnya (penis dan vagina) secara berbarengan, maka inilah yang dinyatakan
sebagai khuntsa munsykil. Dan ia akan tetap musykil hingga datang masa akil
baligh.

Di samping melalui cara tersebut, dapat juga dilakukan dengan cara mengamati
pertumbuhan badannya, atau mengenali tanda-tanda khusus yang lazim sebagai
pembeda antara laki-laki dengan perempuan. Misalnya, bagaimana cara ia
bermimpi dewasa (maksudnya mimpi dengan mengeluarkan air mani, penj.),
apakah ia tumbuh kumis, apakah tumbuh payudaranya, apakah ia haid atau
hamil, dan sebagainya. Bila tanda-tanda tersebut tetap tidak tampak, maka ia
divonis sebagai khuntsa musykil.

Dikisahkan bahwa Amir bin adz-Dzarb dikenal sebagai seorang yang bijak pada
masa jahiliah. Suatu ketika ia dikunjungi kaumnya yang mengadukan suatu
peristiwa, bahwa ada seorang wanita melahirkan anak dengan dua jenis kelamin.
Amir kemudian memvonisnya sebagai laki-laki dan perempuan.

PEMBAGIAN WARIS MENURUT ISLAM - oleh Muhammad Ali Ash-Shabuni 117


Pustaka Pribadi Notaris Herman ALT
Mendengar jawaban yang kurang memuaskan itu orang-orang Arab
meninggalkannya, dan tidak menerima vonis tersebut. Amir pun menjadi gelisah
dan tidak tidur sepanjang malam karena memikirkannya. Melihat sang majikan
gelisah, budak wanita yang dimiliki Amir dan dikenal sangat cerdik menanyakan
sebab-sebab yang menggelisahkan majikannya. Akhirnya Amir memberitahukan
persoalan tersebut kepada budaknya, dan budak wanita itu berkata: "Cabutlah
keputusan tadi, dan vonislah dengan cara melihat dari mana keluar air seninya."

Amir merasa puas dengan gagasan tersebut. Maka dengan segera ia menemui
kaumnya untuk mengganti vonis yang telah dijatuhkannya. Ia berkata: "Wahai
kaumku, lihatlah jalan keluarnya air seni. Bila keluar dari penis, maka ia sebagai
laki-laki; tetapi bila keluar dari vagina, ia dinyatakan sebagai perempuan."
Ternyata vonis ini diterima secara aklamasi.

Ketika Islam datang, dikukuhkanlah vonis tersebut. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas
r.a. bahwa Rasulullah saw. ketika ditanya tentang hak waris seseorang yang
dalam keadaan demikian, maka beliau menjawab dengan sabdanya: "Lihatlah
dari tempat keluarnya air seni."

B. Perbedaan Ulama Mengenai Hak Waris Banci

Ada tiga pendapat yang masyhur di kalangan ulama mengenai pemberian hak
waris kepada banci musykil ini:

Mazhab Hanafi berpendapat bahwa hak waris banci adalah yang paling (lebih)
sedikit bagiannya di antara keadaannya sebagai laki-laki atau wanita. Dan ini
merupakan salah satu pendapat Imam Syafi'i serta pendapat mayoritas sahabat.

Mazhab Maliki berpendapat, pemberian hak waris kepada para banci hendaklah
tengah-tengah di antara kedua bagiannya. Maksudnya, mula-mula
permasalahannya dibuat dalam dua keadaan, kemudian disatukan dan dibagi
menjadi dua, maka hasilnya menjadi hak/bagian banci.

Mazhab Syafi'i berpendapat, bagian setiap ahli waris dan banci diberikan dalam
jumlah yang paling sedikit. Karena pembagian seperti ini lebih meyakinkan bagi
tiap-tiap ahli waris. Sedangkan sisanya (dari harta waris yang ada) untuk
sementara tidak dibagikan kepada masing-masing ahli waris hingga telah nyata
keadaan yang semestinya. Inilah pendapat yang dianggap paling rajih (kuat) di
kalangan mazhab Syafi'i.

C. Hukum Banci dan Cara Pembagian Warisnya

Untuk banci --menurut pendapat yang paling rajih-- hak waris yang diberikan

PEMBAGIAN WARIS MENURUT ISLAM - oleh Muhammad Ali Ash-Shabuni 118


Pustaka Pribadi Notaris Herman ALT
kepadanya hendaklah yang paling sedikit di antara dua keadaannya --keadaan
bila ia sebagai laki-laki dan sebagai wanita. Kemudian untuk sementara sisa
harta waris yang menjadi haknya dibekukan sampai statusnya menjadi jelas,
atau sampai ada kesepakatan tertentu di antara ahli waris, atau sampai banci itu
meninggal hingga bagiannya berpindah kepada ahli warisnya.

Makna pemberian hak banci dengan bagian paling sedikit menurut kalangan
fuqaha mawarits mu'amalah bil adhar-- yaitu jika banci dinilai sebagai wanita
bagiannya lebih sedikit, maka hak waris yang diberikan kepadanya adalah hak
waris wanita; dan bila dinilai sebagai laki-laki dan bagiannya ternyata lebih
sedikit, maka divonis sebagai laki-laki. Bahkan, bila ternyata dalam keadaan di
antara kedua status harus ditiadakan haknya, maka diputuskan bahwa banci
tidak mendapatkan hak waris.

Bahkan dalam mazhab Imam Syafi'i, bila dalam suatu keadaan salah seorang
dari ahli waris gugur haknya dikarenakan adanya banci dalam salah satu dari
dua status (yakni sebagai laki-laki atau wanita), maka gugurlah hak warisnya.
Beberapa Contoh Amaliah Hak Waris Banci

1. Seseorang wafat dan meninggalkan seorang anak laki-laki, seorang anak


perempuan, dan seorang anak banci. Bila anak banci ini dianggap sebagai anak
laki-laki, maka pokok masalahnya dari lima (5), sedangkan bila dianggap sebagai
wanita maka pokok masalahnya dari empat (4). Kemudian kita menyatukan (al-
jami'ah) antara dua masalah, seperti dalam masalah al-munasakhat. Bagian
anak laki-laki adalah delapan (8), sedangkan bagian anak perempuan empat (4),
dan bagian anak banci lima (5). Sisa harta waris yaitu tiga (3) kita bekukan untuk
sementara hingga keadaannya secara nyata telah terbukti.

2. Seseorang wafat meninggalkan seorang suami, ibu, dan saudara laki-laki


banci. Pokok masalahnya dari enam (6) bila banci itu dikategorikan sebagai
wanita, kemudian di-'aul-kan menjadi delapan (8). Sedangkan bila sang banci
dianggap sebagai laki-laki, maka pokok masalahnya dari enam (6) tanpa harus
di- 'aul-kan. Dan al-jami'ah (penyatuan) dari keduanya, menjadilah pokok
masalahnya dua puluh empat (24).

Sedangkan pembagiannya seperti berikut: suami sembilan (9) bagian, ibu enam
(6) bagian, saudara laki-laki banci tiga (3) bagian, dan sisanya kita bekukan.
Inilah tabelnya:

6 8    6 24
Suami 1/2 3 Suami 1/2 3 9
Ibu 1/3 2 Ibu 1/3 2 6
Banci 3 Banci kandung 1 4

PEMBAGIAN WARIS MENURUT ISLAM - oleh Muhammad Ali Ash-Shabuni 119


Pustaka Pribadi Notaris Herman ALT
Pada tabel tersebut sisa harta yang ada yaitu lima (5) bagian dibekukan
sementara, dan akan dibagikan kembali ketika keadaan yang sebenamya telah
benar-benar jelas.

3. Seseorang wafat dan meninggalkan suami, saudara kandung perempuan, dan


saudara laki-laki seayah banci. Maka pembagiannya seperti berikut:

Bila banci ini dikategorikan sebagai laki-laki, maka pokok masalahnya dua (2),
sedangkan bila dikategorikan sebagai perempuan maka pokok masalahnya dari
tujuh (7), dan penyatuan dari keduanya menjadi empat belas (14).

Bagian suami enam (6), saudara kandung perempuan enam (6) bagian,
sedangkan yang banci tidak diberikan haknya. Adapun sisanya, yakni dua (2)
bagian dibekukan. Ini tabelnya:

   2 6 7 14
Suami 1/2 1 Suami 1/2 3 6
Sdr. kdg. pr. 1/2 1 Sdr. kdg. pr. 1/2 3 6
Banci lk. - Sdr. pr. seayah 1/6 1 -

D. Definisi Hamil

Al-hamlu (hamil) dalam bahasa Arab adalah bentuk mashdar (infinitif) dari kata
hamalat. Dikatakan: "al-mar'atu haamil ma haamilatun idsaa kaanat hublaa"
(wanita itu hamil apabila ia sedang mengandung janin).

Allah berfirman dalam Al-Qur'an:

"Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu-
bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya
dengan susah payah (pula) ..." (al-Ahqaf: 15)

Sedangkan menurut istilah fuqaha, yaitu janin yang dikandung dalam perut
ibunya, baik laki-laki maupun perempuan.

Dalam masalah hamil ini ada beberapa hukum yang berkaitan dengan hak waris,
dan pada kesempatan ini saya hanya akan utarakan secara global. Hanya
kepada Allah saya memohon pertolongan.

Pada pembahasan sebelumnya --tentang persyaratan hak waris/mewarisi-- telah


saya kemukakan bahwa salah satu syarat yang harus terpenuhi oleh ahli waris
adalah keberadaannya (hidup) ketika pewaris wafat. Dengan demikian, bagi
janin yang masih di dalam kandungan ibunya belum dapat ditentukan hak waris

PEMBAGIAN WARIS MENURUT ISLAM - oleh Muhammad Ali Ash-Shabuni 120


Pustaka Pribadi Notaris Herman ALT
yang diterimanya, karena belum dapat diketahui secara pasti keadaannya,
apakah bayi tersebut akan lahir selamat atau tidak, laki-laki atau perempuan, dan
satu atau kembar. Setelah bayi tersebut lahir dalam keadaan hidup, maka kita
nyatakan bahwa ahli waris dalam keadaan hidup pada saat pewaris wafat;
demikian juga jika ia lahir dalam keadaan mati, maka kita nyatakan bahwa ahli
waris tidak ada ketika pewaris wafat.

Secara ringkas dapat dikatakan, selama janin yang dikandung belum dapat
diketahui dengan pasti keadaannya, maka mustahil bagi kita untuk menentukan
jumlah bagian waris yang harus diterimanya. Karena itu, untuk mengetahui
secara pasti kita harus menunggu setelah bayi itu lahir.

Namun demikian, tidak tertutup kemungkinan kita dihadapkan pada keadaan


darurat --menyangkut kemaslahatan sebagian ahli waris-- yang mengharuskan
kita untuk segera membagi harta warisan dalam bentuk awal. Setelah itu,
barulah kita bagikan kepada masing-masing ahli waris secara lengkap setelah
kelahiran bayi. Berkaitan dengan hal ini, para pakar faraid menjelaskan hukum-
hukum khusus secara rinci dengan menyertakan berbagai pertimbangan demi
menjaga kemaslahatan ahli waris yang ada.

E. Syarat Hak Waris Janin dalam Kandungan

Janin dalam kandungan berhak menerima waris dengan memenuhi dua


persyaratan:
Janin tersebut diketahui secara pasti keberadaannya dalam kandungan ibunya
ketika pewaris wafat.
Bayi dalam keadaan hidup ketika keluar dari perut ibunya, sehingga dapat
dipastikan sebagai anak yang berhak mendapat warisan.

Syarat pertama dapat terwujud dengan kelahiran bayi dalam keadaan hidup. Dan
keluarnya bayi dari dalam kandungan maksimal dua tahun sejak kematian
pewaris, jika bayi yang ada dalam kandungan itu anak pewaris. Hal ini
berdasarkan pernyataan Aisyah r.a.:

"Tidaklah janin akan menetap dalam rahim ibunya melebihi dari dua tahun
sekalipun berada dalam falkah mighzal."

Pernyataan Aisyah r.a. tersebut dapat dipastikan bersumber dari penjelasan


Rasulullah saw.. Pernyataan ini merupakan pendapat mazhab Hanafi dan
merupakan salah satu pendapat Imam Ahmad.

Adapun mazhab Syafi'i dan Maliki berpendapat bahwa masa janin dalam
kandungan maksimal empat tahun. Pendapat inilah yang paling akurat dalam
mazhab Imam Ahmad, seperti yang disinyalir para ulama mazhab Hambali.

Sedangkan persyaratan kedua dinyatakan sah dengan keluarnya bayi dalam

PEMBAGIAN WARIS MENURUT ISLAM - oleh Muhammad Ali Ash-Shabuni 121


Pustaka Pribadi Notaris Herman ALT
keadaan nyata-nyata hidup. Dan tanda kehidupan yang tampak jelas bagi bayi
yang baru lahir adalah jika bayi tersebut menangis, bersin, mau menyusui
ibunya, atau yang semacamnya. Bahkan, menurut mazhab Hanafi, hal ini bisa
ditandai dengan gerakan apa saja dari bayi tersebut.

Adapun menurut mazhab Syafi'i dan Hambali, bayi yang baru keluar dari dalam
rahim ibunya dinyatakan hidup bila melakukan gerakan yang lama hingga cukup
menunjukkan adanya kehidupan. Bila gerakan itu hanya sejenak --seperti
gerakan hewan yang dipotong-- maka tidak dinyatakan sebagai bayi yang hidup.
Dengan demikian, ia tidak berhak mewarisi. Hal ini berdasarkan sabda
Rasulullah saw.:

"Apabila bayi yang baru keluar dari rahim ibunya menangis (kemudian mati),
maka hendaklah dishalati dan berhak mendapatkan warisan." (HR Nasa'i dan
Tirmidzi)

Namun, apabila bayi yang keluar dari rahim ibunya dalam keadaan mati, atau
ketika keluar separo badannya hidup tetapi kemudian mati, atau ketika keluar
dalam keadaan hidup tetapi tidak stabil, maka tidak berhak mendapatkan waris,
dan ia dianggap tidak ada.

F. Keadaan Janin

Ada lima keadaan bagi janin dalam kaitannya dengan hak mewarisi. Kelima
keadaan tersebut:
Bukan sebagai ahli waris dalam keadaan apa pun, baik janin tersebut berkelamin
laki-laki ataupun perempuan.
Sebagai ahli waris dalam keadaan memiliki kelamin (laki-laki atau perempuan),
dan bukan sebagai ahli waris dalam keadaan berkelamin ganda (banci).
Sebagai ahli waris dalam segala keadaannya baik sebagai laki-laki maupun
perempuan.
Sebagai ahli waris yang tidak berbeda hak warisnya, baik sebagai laki-laki
ataupun perempuan.
Sebagai ahli waris tunggal, atau ada ahli waris lain namun ia majhub (terhalang)
hak warisnya karena adanya janin.
Keadaan Pertama

Seluruh harta waris yang ada dibagikan kepada ahli waris yangada secara
langsung, tanpa harus menunggu kelahiran janin yang ada di dalam kandungan,
disebabkan janin tersebut tidak termasuk ahli waris dalam segala kondisi.

Sebagai misal, seseorang wafat dan meninggalkan istri, ayah, dan ibu yang
sedang hamil dari ayah tiri pewaris. Berarti bila janin itu lahir ia menjadi saudara
laki-laki seibu pewaris. Dalam keadaan demikian berarti mahjub hak warisnya
oleh adanya ayah pewaris. Karenanya harta waris yang ada hanya dibagikan
kepada istri seperempat (1/4), ibu sepertiga (1/3) dari sisa setelah diambil hak

PEMBAGIAN WARIS MENURUT ISLAM - oleh Muhammad Ali Ash-Shabuni 122


Pustaka Pribadi Notaris Herman ALT
istri, dan sisanya menjadi bagian ayah sebagai 'ashabah. Pokok masalahnya dari
empat (4).
Keadaan Kedua

Seluruh harta waris yang ada dibagikan kepada ahli waris yang ada dengan
menganggap bahwa janin yang dikandung adalah salah satu dari ahli waris,
namun untuk sementara bagiannya dibekukan hingga kelahirannya. Setelah
janin lahir dengan selamat, maka hak warisnya diberikan kepadanya. Namun,
bila lahir dan ternyata bukan termasuk dari ahli waris, maka harta yang
dibekukan tadi dibagikan lagi kepada ahli waris yang ada.

Sebagai misal, seseorang wafat dan meninggalkan istri, paman (saudara ayah),
dan ipar perempuan yang sedang hamil (istri saudara kandung laki-laki), maka
pembagiannya seperti berikut: istri mendapat seperempat (1/4), dan sisanya
yang dua per tiga (2/3) dibekukan hingga janin yang ada di dalam kandungan itu
lahir. Bila yang lahir anak laki-laki, maka dialah yang berhak untuk mendapatkan
sisa harta yang dibekukan tadi. Sebab kedudukannya sebagai keponakan laki-
laki (anak laki-laki keturunan saudara kandung laki-laki), oleh karenanya ia lebih
utama dibanding kedudukan paman kandung.

Namun, apabila yang lahir anak perempuan, maka sisa harta waris yang
dibekukan itu menjadi hak paman. Sebab keponakan perempuan (anak
perempuan keturunan saudara laki-laki) termasuk dzawil arham.

Contoh lain, seseorang wafat dan meninggalkan istri, ibu, tiga saudara
perempuan seibu, dan istri ayah yang sedang hamil. Pembagiannya seperti
berikut: apabila istri ayah tersebut melahirkan bayi laki-laki, berarti menjadi
saudara laki-laki seayah. Maka dalam keadaan demikian ia tidak berhak
mendapatkan waris, karena tidak ada sisa dari harta waris setelah diambil para
ashhabul furudh yang ada.

Namun, bila ternyata bayi tersebut perempuan, berarti ia menjadi saudara


perempuan seayah, maka dalam hal ini ia berhak mendapat bagian separo (1/2),
dan pokok masalahnya dari enam (6) di-'aul-kan menjadi sembilan (9). Setelah
ashhabul furudh menerima bagian masing-masing, kita lihat sisanya yang
menjadi bagian bayi yang masih dalam kandungan. Bila yang lahir bayi
perempuan, maka sisa bagian yang dibekukan menjadi bagiannya, namun bila
ternyata laki-laki yang lahir, maka sisa harta waris yang dibekukan tadi diberikan
dan dibagikan kepada ahli waris yang ada. Tabelnya seperti berikut:

  6 9
Suami 1/2   3
Ibu 1/6   1
3 sdr. pr. seibu 1/3   1
Sdr.pr.seayah (hamil) 1/2   1

PEMBAGIAN WARIS MENURUT ISLAM - oleh Muhammad Ali Ash-Shabuni 123


Pustaka Pribadi Notaris Herman ALT
Sisanya tiga (3), untuk sementara dibekukan hingga janin telah dilahirkan.
Keadaan Ketiga

Apabila janin yang ada di dalam kandungan sebagai ahli waris dalam segala
keadaannya --hanya saja hak waris yang dimilikinya berbeda-beda (bisa laki-laki
dan bisa perempuan)-- maka dalam keadaan demikian hendaknya kita berikan
dua ilustrasi, dan kita bekukan untuk janin dari bagian yang maksimal. Sebab,
boleh jadi, jika bayi itu masuk kategori laki-laki, ia akan lebih banyak memperoleh
bagian daripada bayi perempuan. Atau terkadang terjadi sebaliknya. Jadi,
hendaknya kita berikan bagian yang lebih banyak dari jumlah maksimal kedua
bagiannya, dan hendaknya kita lakukan pembagian dengan dua cara dengan
memberikan bagian ahli waris yang ada lebih sedikit dari bagian-bagian masing-
masing.

Sebagai contoh, seseorang wafat dan meninggalkan istri yang sedang hamil, ibu,
dan ayah. Dalam keadaan demikian, bila janin dikategorikan sebagai anak laki-
laki, berarti kedudukannya sebagai anak laki-laki pewaris, dan pembagiannya
seperti berikut: ibu seperenam (1/6), ayah seperenam (1/6), dan bagian istri
seperdelapan (1/8), dan sisanya merupakan bagian anak laki-laki sebagai
'ashaloub.

Agar keadaan ketiga ini lebih jelas maka perlu saya kemukakan contoh tabel
dalam dua kategori (laki-laki dan perempuan).

24 24 24
Istri 1/8 3 Istri 1/8 3 3
Ayah 1/6 4 Ayah 'ashabah 5 4
Ibu 1/6 4 Ibu 1/6 4 4
Janin lk. sbg. 'ashabah 13 Janin pr. 1/2 12 12

Sisanya satu (1), dibekukan.

Keadaan Keempat

Bila bagian janin dalam kandungan tidak berubah baik sebagai laki-laki maupun
perempuan, maka kita sisihkan bagian warisnya, dan kita berikan bagian para
ahli waris yang ada secara sempurna.

Sebagai misal, seseorang wafat dan meninggalkan saudara kandung


perempuan, saudara perempuan seayah, dan ibu yang hamil dari ayah lain
(ayah tiri pewaris). Apabila janin telah keluar dari rahim ibunya, maka bagian
warisnya tetap seperenam (1/6), baik ia laki-laki ataupun perempuan. Sebab
kedudukannya sebagai saudara laki-laki seibu atau saudara perempuan seibu
dengan pewaris. Dengan demikian, kedudukan bayi akan tetap mendapat hak
waris seperenam (1/6), dalam kedua keadaannya, baik sebagai laki-laki ataupun

PEMBAGIAN WARIS MENURUT ISLAM - oleh Muhammad Ali Ash-Shabuni 124


Pustaka Pribadi Notaris Herman ALT
sebagai perempuan. Inilah tabelnya.

6 6
Sdr. kdg. pr. 1/2 3 Sdr. kdg. pr. 1/2 3
Sdr. pr. seayah 1/6 1 Sdr. pr. seayah 1/6 1
Ibu (hamil) 1/6 1 Ibu 1
(Janin) sdr. seibu 1/6 1 (Janin) sdr. seibu 1/6 1

Keadaan Kelima

Apabila tidak ada ahli waris lain selain janin yang di dalam kandungan, atau ada
ahli waris lain akan tetapi mahjub haknya karena adanya janin, maka dalam
keadaan seperti ini kita tangguhkan pembagian hak warisnya hingga tiba masa
kelahiran janin tersebut. Bila janin itu lahir dengan hidup normal, maka dialah
yang akan mengambil hak warisnya, namun jika ia lahir dalam keadaan mati,
maka harta waris yang ada akan dibagikan kepada seluruh ahli waris yang
berhak untuk menerimanya.

Sebagai misal, seseorang wafat dan meninggalkan menantu perempuan yang


sedang hamil (istri dan anak laki-lakinya) dan saudara laki-laki seibu. Maka janin
yang masih dalam kandungan merupakan pokok ahli waris, baik kelak lahir
sebagai laki-laki atau perempuan. Karenanya, akan menggugurkan hak waris
saudara laki-laki pewaris yang seibu tadi. Sebab, bila janin tadi lahir sebagai laki-
laki berarti kedudukannya sebagai cucu laki-laki dari keturunan anak laki-laki,
dengan begitu ia akan mengambil seluruh sisa harta waris yang ada karena ia
sebagai 'ashabah. Dan bila janin tadi lahir sebagai perempuan, maka ia sebagai
cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki, dan akan mendapat bagian
separo (1/2) harta \varis yang ada, dan sisanya akan dibagikan sebagai
tambahan (ar-radd) bila ternyata tidak ada 'ashabah.

Contoh lain, seseorang wafat dan meninggalkan istri yang sedang hamil dan
saudara kandung laki-laki. Maka bagian istri adalah seperdelapan (1/8), dan
saudara laki-laki tidak mendapat bagian bila janin yang dikandung tadi laki-laki.
Akan tetapi, bila bayi tersebut perempuan maka istri mendapatkan seperdelapan
(1/8) bagian, anak perempuan setengah (1/2) bagian, dan sisanya merupakan
bagian saudara kandung laki-laki sebagai 'ashabah.

PEMBAGIAN WARIS MENURUT ISLAM - oleh Muhammad Ali Ash-Shabuni 125


Pustaka Pribadi Notaris Herman ALT
XII HAK WARIS ORANG YANG HILANG, TENGGELAM, DAN TERTIMBUN

A. Definisi

Al-mafqud dalam bahasa Arab secara harfiah bermakna 'hilang'. Dikatakan


faqadtu asy-syai'a idzaa adha'tuhu (saya kehilangan bila tidak mengetahui di
mana sesuatu itu berada). Kita juga bisa simak firman Allah SWT berikut:

"Penyeru-penyeru itu berkata: 'Kami kehilangan piala raja, dan siapa yang dapat
mengembalikannya akan memperoleh bahan makanan (seberat) beban unta,
dan aku menjamin terhadapnya." (Yusuf: 72)

Sedangkan menurut istilah para fuqaha, al-mafqud berarti orang yang hilang,
terputus beritanya, dan tidak diketahui rimbanya, apakah dia masih hidup atau
sudah mati.
Hukum Orang yang Hilang

Para fuqaha telah menetapkan beberapa hukum yang berkenaan dengan orang
yang hilang/menghilang, di antaranya: istrinya tidak boleh dinikahi/dinikahkan,
hartanya tidak boleh diwariskan, dan hak kepemilikannya tidak boleh diusik,
sampai benar-benar diketahui keadaannya dan jelas apakah ia masih hidup atau
sudah mati. Atau telah berlalu selama waktu tertentu dan diperkirakan secara
umum -- telah mati, dan hakim pun telah memvonisnya sebagai orang yang
dianggap telah mati.

Kadang-kadang bisa juga ditetapkan sebagai orang yang masih hidup


berdasarkan asalnya, hingga benar-benar tampak dugaan yang sebaliknya
(yakni benar-benar sudah mati). Yang demikian itu berdasarkan ucapan Ali bin
Abi Thalib r.a. tentang wanita yang suaminya hilang dan tidak diketahui
rimbanya. Ali berkata: "Dia adalah seorang istri yang tengah diuji, maka
hendaknya dia bersabar, dan tidak halal untuk dinikahi hingga ia mendapatkan
berita yang meyakinkan akan kematian suaminya."

B. Batas Waktu untuk Menentukan bahwa Seseorang Hilang atau Mati

Ada perbedaan pendapat di kalangan ulama dalam masalah ini terutama para
ulama dari mazhab yang empat.

Mazhab Hanafi berpendapat bahwa orang yang hilang dan tidak dikenal
rimbanya dapat dinyatakan sebagai orang yang sudah mati dengan melihat
orang yang sebaya di wilayahnya --tempat dia tinggal. Apabila orang-orang yang
sebaya dengannya sudah tidak ada, maka ia dapat diputuskan sebagai orang
yang sudah meninggal. Dalam riwayat lain, dari Abu Hanifah, menyatakan
bahwa batasnya adalah sembilan pulah tahun (90).

PEMBAGIAN WARIS MENURUT ISLAM - oleh Muhammad Ali Ash-Shabuni 126


Pustaka Pribadi Notaris Herman ALT
Sedangkan mazhab Maliki berpendapat bahwa batasnya adalah tujuh puluh
tahun (70). Hal ini didasarkan pada lafazh hadits secara umum yang menyatakan
bahwa umur umat Muhammad saw. antara enam puluh hingga tujuh puluh
tahun.

Dalam riwayat lain, dari Imam Malik, disebutkan bahwa istri dari orang yang
hilang di wilayah Islam --hingga tidak dikenal rimbanya-- dibolehkan mengajukan
gugatan kepada hakim guna mencari tahu kemungkinan-kemungkinan dan
dugaan yang dapat mengenali keberadaannya atau mendapatkan informasi
secara jelas melalui sarana dan prasarana yang ada. Apabila langkah tersebut
mengalami jalan buntu, maka sang hakim memberikan batas bagi istrinya
selama empat puluh tahun untuk menunggu. Bila masa empat puluh tahun telah
usai dan yang hilang belum juga diketemukan atau dikenali rimbanya, maka
mulailah ia untuk menghitung idahnya sebagaimana lazimaya istri yang ditinggal
mati suaminya, yaitu empat bulan sepuluh hari. Bila usai masa idahuya, maka ia
diperbolehkan untuk menikah lagi.

Sedangkan dalam mazhab Syafi'i dinyatakan bahwa batas waktu orang yang
hilang adalah sembilan puluh tahun, yakni dengan melihat umur orang-orang
yang sebaya di wilayahnya. Namun, pendapat yang paling sahih menurut
anggapan Imam Syafi'i ialah bahwa batas waktu tersebut tidak dapat ditentukan
atau dipastikan. Akan tetapi, cukup dengan apa yang dianggap dan dilihat oleh
hakim, kemudian divonisnya sebagai orang yang telah mati. Karena menurut
Imam Syafi'i, seorang hakim hendaknya berijtihad kemudian memvonis bahwa
orang yang hilang dan tidak lagi dikenal rimbanya sebagai orang yang sudah
mati, sesudah berlalunya waktu tertentu --kebanyakan orang tidak hidup melebihi
waktu tersebut.

Sementara itu, mazhab Hambali berpendapat bahwa bila orang yang hilang itu
dalam keadaan yang dimungkinkan kematiannya seperti jika terjadi peperangan,
atau menjadi salah seorang penumpang kapal yang tenggelam-- maka
hendaknya dicari kejelasannya selama empat tahun. Apabila setelah empat
tahun belum juga diketemukan atau belum diketahui beritanya, maka hartanya
boleh dibagikan kepada ahli warisnya. Demikian juga istrinya, ia dapat
menempuh masa idahnya, dan ia boleh menikah lagi setelah masa idah yang
dijalaninya selesai.

Namun, apabila hilangnya orang itu bukan dalam kemungkinan meninggal,


seperti pergi untuk berniaga, melancong, atau untuk menuntut ilmu, maka Imam
Ahmad dalam hal ini memiliki dua pendapat. Pertama, menunggu sampai
diperkirakan umurnya mencapai sembilan puluh tahun Sebab sebagian besar
umur manusia tidak mencapai atau tidak melebihi sembilan puluh tahun. Kedua,
menyerahkan seluruhnya kepada ijtihad hakim. Kapan saja hakim memvonisnya,
maka itulah yang berlaku.

Menurut hemat penulis, pendapat mazhab Hambali dalam hal ini lebih rajih (lebih

PEMBAGIAN WARIS MENURUT ISLAM - oleh Muhammad Ali Ash-Shabuni 127


Pustaka Pribadi Notaris Herman ALT
tepat), dan pendapat inilah yang dipilih az-Zaila'i (ulama mazhab Hanafi) dan
disepakati oleh banyak ulama lainnya. Sebab, memang tidak tepat jika hal ini
hanya disandarkan pada batas waktu tertentu, dengan alasan berbedanya
keadaan wilayah dan personel. Misalnya, orang yang hilang pada saat
peperangan dan pertempuran, atau banyak perampok dan penjahat, akan
berbeda halnya dengan orang yang hilang bukan dalam keadaan yang demikian.
Karena itu, dalam hal ini ijtihad dan usaha seorang hakim sangat berperan guna
mencari kemungkinan dan tanda-tanda kuat yang dapat menuntunnya kepada
vonis: masih hidup atau sudah mati. Inilah pendapat yang lebih mendekatkan
kepada wujud kemaslahatan.

C. Hak Waris Orang Hilang

Apabila seseorang wafat dan mempunyai ahli waris, dan di antara ahli warisnya
ada yang hilang tidak dikenal rimbanya, maka cara pemberian hak warisnya ada
dua keadaan:
Ahli waris yang hilang sebagai hajib hirman bagi ahli waris yang lain.
Bukan sebagai hajib (penghalang) bagi ahli waris yang ada, tetapi bahkan sama
berhak mendapat waris sesuai dengan bagian atau fardh-nya (yakni termasuk
ashhabul fardh)

Pada keadaan pertama: seluruh harta warisan peninggalan pewaris dibekukan


--tidak diberikan kepada ahli waris-- untuk sementara hingga ahli waris yang
hilang muncul atau diketahui tempatnya. Bila ahli waris yang hilang ternyata
masih hidup, maka dialah yang berhak untuk menerima atau mengambil seluruh
harta warisnya. Namun, bila ternyata hakim telah memvonisnya sebagai orang
yang telah mati, maka harta waris tadi dibagikan kepada seluruh ahli waris yang
ada dan masing-masing mendapatkan sesuai dengan bagian atau fardh-nya.

Sebagai contoh, seseorang wafat dan meninggalkan seorang saudara kandung


laki-laki, saudara kandung perempuan, dan anak laki-laki yang hilang. Posisi
anak laki-laki dalam hal ini sebagai "penghalang" atau hajib hirman apabila
masih hidup. Karena itu, seluruh harta waris yang ada untuk sementara
dibekukan hingga anak laki-laki yang hilang telah muncul. Dan bila ternyata telah
divonis oleh hakim sebagai orang yang telah meninggal, maka barulah harta
waris tadi dibagikan untuk ahli waris yang ada.

Misal lain, seseorang wafat dan meninggalkan saudara kandung laki-laki,


saudara laki-laki seayah, dan dua saudara perempuan seayah. Posisi saudara
kandung bila masih hidup adalah sebagai haiib bagi seluruh ahli waris yang ada.
Karenanya untuk sementara harta waris yang ada dibekukan hingga hakikat
keberadaannya nyata dengan jelas.

Sedangkan pada keadaan kedua, ahli waris yang ada berhak untuk menerima
bagian yang paling sedikit di antara dua keadaan orang yang hilang (sebagai ahli

PEMBAGIAN WARIS MENURUT ISLAM - oleh Muhammad Ali Ash-Shabuni 128


Pustaka Pribadi Notaris Herman ALT
waris yang hidup atau yang mati, atau mirip dengan pembagian hak waris banci).
Maksudnya, bila ahli waris yang ada --siapa saja di antara mereka-- yang dalam
dua keadaan orang yang hilang tadi sama bagian hak warisnya, hendaknya ia
diberi hak waris secara sempurna (tanpa dikurangi atau dilebihkan, atau tanpa
ada yang dibekukan). Namun, bagi ahli waris yang berbeda bagian hak warisnya
di antara dua keadaan ahli waris yang hilang tadi (yakni keadaan hidup dan
matinya), maka mereka diberi lebih sedikit di antara kedua keadaan tadi. Namun,
bagi siapa saja yang tidak berhak untuk mendapatkan waris dalam dua keadaan
orang yang hilang, dengan sendirinya tidak berhak untuk mendapatkan harta
waris sedikit pun.

Sebagai contoh, seseorang wafat dan maninggalkan istri, ibu, saudara laki-laki
seayah, dan saudara kandung laki-laki yang hilang. Dalam keadaan demikian,
bagian istri adalah seperempat (1/4), ibu seperenam (1/6), dan sisanya (yakni
yang seperenam) lagi untuk sementara dibekukan hingga ahli waris yang hilang
telah nyata benar keadaannya, atau telah divonis sebagai orang yang sudah
meninggal. Sedangkan saudara laki-laki yang sesyah tidak mendapat hak waris
apa pun.

Dalam contoh tersebut, tampak ada penyatuan antara ahli waris yang tidak
berbeda bagian warisnya dalam dua keadaan orang yang hilang --yaitu bagian
istri seperempat (1/4)--dengan ahli waris yang berbeda hak warisnya di antara
dua keadaan ahli waris yang hilang tadi, yaitu bagian ibu seperenam (1/6).
Sebab bila ahli waris yang hilang tadi telah divonis hakim sebagai orang yang
telah meninggal, maka ibu akan mendapat bagian sepertiga (1/3).
Contoh-contoh Kasus

Seseorang wafat dan meninggalkan suami, saudara kandung perempuan, dan


saudara kandung laki-laki yang hilang, maka pembagiannya sebagai berikut:

Dalam hal ini kita harus memboat dua cara pembagian, yang pertama dalam
kategori orang yang hilang tadi masih hidup, dan yang kedua dalam kategori
sudah meninggal. Kemudian kita menggunakan cara al-jami'ah (menyatukan)
kedua cara tadi. Dari sinilah kita keluarkan hak waris masing-masing, kemudian
membekukan sisanya. Tabelnya sebagai berikut:

4 7 8
Anggapan msh. hdp. 2 8 Anggapan sdh. mati 6 7 56
Suami 1/2 1 4 Suami 1/2 3 24  
yang dibekukan 4
Sdr. kdg. pr 1 Sdr. kdg. pr 2 16   
yang dibekukan 9
        2/3       

PEMBAGIAN WARIS MENURUT ISLAM - oleh Muhammad Ali Ash-Shabuni 129


Pustaka Pribadi Notaris Herman ALT
Sdr. kdg. pr 1 1 Sdr. kdg. pr 2 16   
yang dibekukan 9
Sdr. kdg. lk. hlg 1 Sdr. kdg. lk. hlg - -  

Misal lain: seseorang wafat dan meninggalkan istri, ibu, saudara kandung, dan
cucu laki-laki dari keturunan anak laki-laki, maka bagian masing-masing ahli
waris itu seperti berikut:

1 2
Anggapan msh. hdp. 24 Anggapan sdh. mati 12 24
Istri 1/8 3 Istri 1/4 3 6
yang dibekukan 3
Ibu 1/6 4 Ibu 1/3 4 8
yang dibekukan 4
Sdr. lk. mahjub - Sdr.lk.kdg.'ashabah 5 10
yang dibekukan 10
Cucu lk. (hilang) 17 Cucu lk. (hilang)
Jumlah yang dibekukan 17

Contoh lain, seseorang wafat dan meninggalkan suami, cucu perempuan


keturunan anak laki-laki, saudara kandung perempuan, dan anak laki-laki yang
hilang, maka bagian masing-masing seperti berikut:

Anggapan msh. hdp. 4 Anggapan sdh. mati 4 4


Suami 1/4 1 Suami 1/4 1 1
Cucu pr.dr.anak.lk.
- Cucu pr.dr.anak.lk. 1/2 2 2
(mahjub)
yang dibekukan 2
Sdr.kdg.pr. (mahjub) - Sdr.kdg.pr. 'ashabah 1 1
yang dibekukan 1
Anak lk. (hilang) 3 Anak lk. (hilang) - -

Contoh lain: seseorang wafat dan meninggalkan istri, saudara laki-laki seibu,
anak paman kandung (sepupu), dan cucu perempuan keturunan anak laki-laki.
Maka rincian pembagiannya seperti berikut:

PEMBAGIAN WARIS MENURUT ISLAM - oleh Muhammad Ali Ash-Shabuni 130


Pustaka Pribadi Notaris Herman ALT
Anggapan msh. hdp. 8 Anggapan sdh. mati 12 24
Istri 1/8 1 Istri 1/4 3 6
yang dibekukan 3
Sdr.lk.seibu (mahjub) - Sdr.lk. seibu 1/6 2 4
yang dibekukan 4
Sepupu. lk. 'ashabah 3 Sepupu. lk. 'ashabah 7 14
yang dibekukan 5
Cucu pr. (hilang) 4 Cucu pr. (hilang) - -
yang dibekukan 12

Demikianlah beberapa contoh tentang hak waris yang di antara ahli warisnya
ada yang hilang atau belum diketahui keadaannya.

D. Hak Waris Orang yang Tenggelam dan Tertimbun

Betapa banyak kejadian dan musibah yang kita alami dalam kehidupan di dunia
ini. Sayangnya, sangat sedikit di antara kita yang mau mengambil i'tibar
(pelajaran). Terkadang kejadian dan musibah itu tiba-tiba datangnya, tanpa
diduga. Sehingga hal ini sering kali membuat manusia bertekuk lutut dan tidak
berdaya, bahkan sebagian manusia berani melakukan hal-hal yang menyimpang
jauh dari kebenaran dalam menghadapinya.

Hanya orang-orang mukmin yang ternyata tetap bersabar dalam menghadapi


musibah, ujian, dan cobaan, karena mereka selalu melekatkan kehidupannya
dengan iman, dan berpegang teguh pada salah satu rukunnya --yaitu iman
kepada qadha dan qadar-Nya. Semua yang menimpa mereka terasa sebagai
sesuatu yang ringan, sementara lisan mereka --jika menghadapi musibah--
senantiasa mengucapkan: "sesungguhnya kita berasal dari Allah dan kepada-
Nyalah kita kembali".

Begitulah kehidupan dunia yang selalu silih berganti. Kadangkadang manusia


tertawa dan merasa lapang dada, tetapi dalam sekejap keadaan dapat berubah
sebaliknya. Oleh karenanya tidak ada sikap yang lebih baik kecuali berlaku sabar
dan berserah diri kepada-Nya. Perhatikan firman Allah SWT berikut:

"... Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar; (yaitu) orang-
orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapLan 'Innaa lillahi wa
innaa ilaihi raaji'un.'" (al-Baqarah: 155-156)

PEMBAGIAN WARIS MENURUT ISLAM - oleh Muhammad Ali Ash-Shabuni 131


Pustaka Pribadi Notaris Herman ALT
Bukan sesuatu yang mustahil jika dalam suatu waktu dua orang bersaudara
bepergian bersama-sama menggunakan pesawat terbang atau kapal laut, lalu
mengalami kecelakaan. Atau mungkin saja terjadi bencana alam yang
mengakibatkan rumah yang mereka huni runtuh, sehingga sebagian anggota
keluarga mereka menjadi korban. Maka jika di antara mereka ada yang
mempunyai keturunan, tentulah akan muncul persoalan dalam kaitannya dengan
kewarisan. Misalnya, bagaimana cara pelaksanaan pemberian hak waris kepada
masingmasing ahli waris?

Kaidah Pembagian Waris Orang yang Tenggelam dan Tertimbun

Kaidah yang berlaku dalam pembagian hak waris orang yang tenggelam dan
tertimbun yaitu dengan menentukan mana di antara mereka yang lebih dahulu
meninggal. Apabila hal ini telah diketahui dengan pasti, pembagian waris lebih
mudah dilaksanakan, yakni dengan memberikan hak waris kepada orang yang
meninggal kemudian. Setelah orang kedua (yang meninggal kemudian)
meninggal, maka kepemilikan harta waris tadi berpindah kepada ahli warisnya
yang berhak. Begitulah seterusnya.

Sebagai contoh, apabila dua orang bersaudara tenggelam secara bersamaan


lalu yang seorang meninggal seketika dan yang seorang lagi meninggal setelah
beberapa saat kemudian, maka yang mati kemudian inilah yang berhak
menerima hak waris, sekalipun masa hidup yang kedua hanya sejenak setelah
kematian saudaranya yang pertama. Menurut ulama faraid, hal ini telah
memenuhi syarat hak mewarisi, yaitu hidupnya ahli waris pada saat kematian
pewaris.

Sedangkan jika keduanya sama-sama tenggelam atau terbakar secara


bersamaan kemudian mati tanpa diketahui mana yang lebih dahulu meninggal,
maka tidak ada hak waris di antara keduanya atau mereka tidak saling mewarisi.
Hal ini sesuai dengan kaidah yang telah ditetapkan oleh ulama faraidh yang
menyebutkan: "Tidak ada hak saling mewarisi bagi kedua saudara yang mati
karena tenggelam secara bersamaan, dan tidak pula bagi kedua saudara yang
mati karena tertimbun reruntuhan, serta yang meninggal seketika karena
kecelakaan dan bencana lainnya."

Hal demikian, menurut para ulama, disebabkan tidak terpenuhinya salah satu
persyaratan dalam mendapatkan hak waris. Maka seluruh harta peninggalan
yang ada segera dibagikan kepada ahli waris dari kerabat yang masih hidup.

Sebagai contoh, dua orang bersaudara mati secara berbarengan. Yang satu
meninggalkan istri, anak perempuan, dan anak paman kandung (sepupu);
sedangkan yang satunya lagi meninggalkan dua anak perempuan, dan anak laki-
laki paman kandung (sepupu yang pertama disebutkan). Maka pembagiannya
seperti berikut: istri mendapat seperdelapan (1/8) bagian, anak perempuan yang
pertama setengah (1/2), dan sisanya untuk bagian sepupu sebagai 'ashabah.

PEMBAGIAN WARIS MENURUT ISLAM - oleh Muhammad Ali Ash-Shabuni 132


Pustaka Pribadi Notaris Herman ALT
Adapun bagian kedua anak perempuan (dari yang kedua) adalah dua per tiga
(2/3), dan sisanya merupakan bagian sepupu tadi sebagai 'ashabah.

Misal lain, suami-istri meninggal secara bersamaan dan mempunyai tiga anak
laki-laki. Suami-istri itu masing-masing mempunyai harta. Kemudian sang istri
pernah mempunyai anak laki-laki dari suaminya yang dahulu, begitupun sang
suami telah mempunyai istri lain dan mempunyai anak laki-laki. Maka
pembagiannya seperti berikut:

Harta istri yang meninggal untuk anaknya, sedangkan harta suami yang
meninggal seperdelapannya (1/8) merupakan bagian istrinya yang masih hidup,
dan sisanya adalah untuk anak laki-lakinya dari istri yang masih hidup itu.
Kemudian, harta ketiga anak laki-laki, seperenamnya (1/6) diberikan atau
merupakan bagian saudara laki-laki mereka yang seibu, dan sisanya merupakan
bagian saudara laki-lakinya yang seayah dengan mereka.

Pembahasan tentang hak waris-mewarisi bagi orang-orang yang mati tenggelam


atau tertimbun reruntuhan atau musibah lainnya merupakan bagian terakhir dari
buku ini. Semoga apa yang saya lakukan dapat memberikan banyak manfaat
bagi para penuntut ilmu faraid, amin. Allahlah yang memberi taufik dan petunjuk
kepada kita, dan saya akhiri pembahasan ini dengan pujian kepada Rabb
semesta alam.

PEMBAGIAN WARIS MENURUT ISLAM - oleh Muhammad Ali Ash-Shabuni 133


Pustaka Pribadi Notaris Herman ALT
Biografi Pengarang

Data pengarang akan dicantumkan di sini jika sudah tersedia.

PEMBAGIAN WARIS MENURUT ISLAM - oleh Muhammad Ali Ash-Shabuni 134


Pustaka Pribadi Notaris Herman ALT

You might also like