You are on page 1of 12

A.

Pengantar
Masalah khilafiah merupakan persoalan yang terjadi dalam realitas
kehidupan manusia. Di antara masalah khilafiah tersebut ada yang
menyelesaikannya dengan cara yang sederhana dan mudah, karena ada
saling pengertian berdasarkan akal sehat. Tetapi dibalik itu masalah
khilafiah dapat menjadi ganjalan untuk menjalin keharmonisan di kalangan
umat Islam karena sikap ta’asub (fanatik) yang berlebihan, tidak
berdasarkan pertimbangan akal sehat dan sebagainya.
Perbedaan pendapat dalam lapangan hukum sebagai hasil penelitian
(ijtihad), tidak perlu dipandang sebagai faktor yang melemahkan kedudukan
hukum Islam, bahkan sebaliknya bisa memberikan kelonggaran kepada
orang banyak sebagaimana yang diharapkan Nabi :
(‫اختلف امتى رحمة )رواه البيهقى فى الرسالة الشعرية‬
“Perbedaan pendapat di kalangan umatku adalah rahmat” (HR. Baihaqi
dalam Risalah al-Asy’ariyyah).
Hal ini berarti, bahwa orang bebas memilih salah satu pendapat dari
pendapat yang banyak itu, dan tidak terpaku hanya kepada satu pendapat
saja.
Sebenarnya ikhtilaf telah ada di masa sahabat, hal ini terjadi antara
lain karena perbedaan pemahaman di antara mereka dan perbedaan nash
(sunnah) yang sampai kepada mereka, selain itu juga karena pengetahuan
mereka dalam masalah hadis tidak sama dan juga karena perbedaan
pandangan tentang dasar penetapan hukum dan berlainan tempat.[1]
Sebagaimana diketahui, bahwa ketika agama Islam telah tersebar meluas ke
berbagai penjuru, banyak sahabat Nabi yang telah pindah tempat dan
berpencar-pencar ke negara yang baru tersebut. Dengan demikian,
kesempatan untuk bertukar pikiran atau bermusyawarah memecahkan
sesuatu masalah sukar dilaksanakan.
Sampai saat ini Fiqih ikhtilaf terus berlangsung, mereka tetap
berselisih paham dalam masalah furu’iyyah, sebagai akibat dari
keanekaragaman sumber dan aliran dalam memahami nash dan
mengistinbatkan hukum yang tidak ada nashnya. Perselisihan itu terjadi
antara pihak yang memperluas dan mempersempit, antara yang
memperketat dan yang memperlonggar, antara yang cenderung rasional
dan yang cenderung berpegang pada zahir nash, antara yang mewajibkan
mazhab dan yang melarangnya.
Ikhtilaf bukan hanya terjadi para arena fiqih, tetapi juga terjadi pada
lapangan teologi. Seperti kita ketahui dari sejarah bahwa peristiwa “tahkim”
adalah titik awal lahirnya mazhab-mazhab teologi dalam Islam. Masing-
masing mazhab teologi tersebut masing-masing memiliki corak dan
kecenderungan yang berbeda-beda seperti dalam mazhab-mazhab fiqih.
Menurut Harun Nasution,[2] aliran-aliran teologi dalam Islam ada yang
bercorak liberal, ada yang tradisional dan ada pula yang bercorak antara
liberal dan tradisional.
Perbedaan pendapat pada aspek teologi ini juga memiliki implikasi
yang besar bagi perkembangan pemahaman umat Islam terhadap ajaran
Islam itu sendiri.
Menurut hemat penulis, perbedaan pendapat di kalangan umat ini,
sampai kapan pun dan di tempat mana pun akan terus berlangsung dan hal
ini menunjukkan kedinamisan umat Islam, karena pola pikir manusia terus
berkembang.
Perbedaan pendapat inilah yang kemudian melahirkan mazhab-
mazhab Islam yang masih menjadi pegangan orang sampai sekarang.
Masing-masing mazhab tersebut memiliki pokok-pokok pegangan yang
berbeda yang akhirnya melahirkan pandangan dan pendapat yang berbeda
pula, termasuk di antaranya adalah pandangan mereka terhadap berbagai
masalah hukum sekitar sholat Jum’at.
Untuk itu penulis mencoba memaparkan pandangan berbagai mazhab
dalam Islam mengenai berbagai masalah sekitar sholat jum’at.. Karena
pembahasan ini lebih berkaitan dengan aspek hukum, maka fokus
pembahasan yang dilakukan oleh penulis adalah berkaitan erat dengan
pandangan mazhab-mazhab fiqih terhadap berbagai masalah hukum sekitar
sholat Jum’at. Sebelum masuk pada pembahasan tentang berbagai
pandangan mazhab-mazhab tentang hal tersebut, maka penulis jelaskan
terlebih dahulu pengertian tentang mazhab.

B. Pengertian Mazhab
Menurut Bahasa “mazhab” berasal dari shighah mashdar mimy (kata
sifat) dan isim makan (kata yang menunjukkan tempat) yang diambil dari fi’il
madhi “dzahaba” yang berarti “pergi”[3]. Sementara bisa juga berarti al-
ra’yu yang artinya “pendapat”[4].
Sedangkan secara terminologis pengertian mazhab adalah pokok
pikiran atau dasar yang digunakan oleh imam Mujtahid dalam memecahkan
masalah, atau mengistinbatkan hukum Islam. Selanjutnya Imam Mazhab dan
mazhab itu berkembang pengertiannya menjadi kelompok umat Islam yang
mengikuti cara istinbath Imam Mujtahid tertentu atau mengikuti pendapat
Imam Mujtahid tentang masalah hukum Islam.
Jadi bisa disimpulkan bahwa yang dimaksud mazhab meliputi dua
pengertian
a. Mazhab adalah jalan pikiran atau metode yang ditempuh seorang
Imam Mujtahid dalam menetapkan hukum suatu peristiwa berdasarkan
kepada al-Qur’an dan hadis.
b. Mazhab adalah fatwa atau pendapat seorang Imam Mujtahid tentang
hukum suatu peristiwa yang diambil dari al-Qur’an dan hadis.
Dalam perkembangan mazhab-mazhab fiqih telah muncul banyak
mazhab fiqih. Menurut Ahmad Satori Ismail [5], para ahli sejarah fiqh telah
berbeda pendapat sekitar bilangan mazhab-mazhab. Tidak ada kesepakatan
para ahli sejarah fiqh mengenai berapa jumlah sesungguhnya mazhab-
mazhab yang pernah ada.
Namun dari begitu banyak mazhab yang pernah ada, maka hanya
beberapa mazhab saja yang bisa bertahan sampai sekarang. Menurut M.
Mustofa Imbabi, mazhab-mazhab yang masih bertahan sampai sekarang
hanya tujuh mazhab saja yaitu : mazhab Hanafi, Maliki, Syafii, Hambali,
Zaidiyah, Imamiyah dan Ibadiyah. Adapun mazhab-mazhab lainnya telah
tiada.[6]
Sementara Huzaemah Tahido Yanggo mengelompokkan mazhab-
mazhab fiqih sebagai berikut :[7]
1. Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah
a. ahl al-Ra’yi
kelompok ini dikenal pula dengan Mazhab Hanafi
b. ahl al-Hadis terdiri atas :
1. Mazhab Maliki
2. Mazhab Syafi’I
3. Mazhab Hambali
2. Syi’ah
a. Syi’ah Zaidiyah
b. Syi’ah Imamiyah
3. Khawarij
4. Mazhab-mazhab yang telah musnah
a. Mazhab al-Auza’i
b. Mazhab al-Zhahiri
c. Mazhab al-Thabari
d. Mazhab al-Laitsi
Sementara itu Thaha Jabir Fayald al-‘Ulwani[8] menjelaskan bahwa
mazhab fiqh yang muncul setelah sahabat dan kibar al-Tabi’in berjumlah 13
aliran. Ketiga belas aliran ini berafiliasi dengan aliran ahlu al-Sunnah.
Namun, tidak semua aliran itu dapat diketahui dasar-dasar dan metode
istinbat hukumnya.
Adapun di antara pendiri tiga belas aliran itu adalah sebagai berikut :
1. Abu Sa’id al-Hasan ibn Yasar al-Bashri (w. 110 H.)
2. Abu Hanifah al-Nu’man ibn Tsabit ibn Zuthi (w. 150 H.)
3. Al-Auza’i Abu ‘Amr ‘Abd Rahman ibn ‘Amr ibn Muhammad ( w. 157 H.)
4. Sufyan ibn Sa’id ibn Masruq al-Tsauri (w. 160 H.)
5. Al-Laits ibn Sa’ad (w. 175 H.)
6. Malik ibn Anas al-Bahi (w. 179 H.)
7. Sufyan ibn Uyainah (w. 198 H.)
8. Muhammad ibn Idris al-Syafi’i (w. 204 H.)
9. Ahmad ibn Muhammad ibn Hanbal (w. 241 H.)
10.Daud ibn ‘Ali al-Ashbahani al-Baghdadi (w. 270 H.)
11.Ishaq bin Rahawaih (w. 238 H.)
12.Abu Tsaur Ibrahim ibn Khalid al-Kalabi (w. 240 H.)
13.Muhammad ibn Jarir ibn Yazid al-Thabari (w. 310 H.)
Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa mazhab-mazhab
yang pernah ada dalam sejarah umat Islam sangat sulit untuk dipastikan
berapa bilangannya, untuk itu untuk menjelaskan berbagai pandangan
mazhab tentang berbagai masalah hukum di sekitar sholat Jum’at secara
keseluruhan bukanlah persoalan mudah sebab harus mengkaji dan mencari
setiap literatur berbagai pandangan mazhab-mazhab tersebut, untuk itu
yang akan penulis jelaskan hanya terbatas pada pandangan empat mazhab
yang masyhur. Pandangan empat mazhab yang akan penulis jabarkan di
bawah ini antara lain merupakan kutipan dari buku Al-Fiqh ‘ala al-Mazahib al-
Arba’ah karya Syekh Abdurrahman al-Juzairi. Sebelum membahas beberapa
aspek hukum dalam pelaksanaan Sholat Jum’at, berikut penulis jelaskan
tentang Keutamaan Sholat Jum’at.

C. Keutamaan Hari Jum’at


Allah telah menganugerahkan bermacam-macam keistimewaan dan
keutamaan bagi umat Islam. Di antara keistimewaan itu adalah hari Jum'at
yang juga merupakan hari raya bagi umat Islam. Hari jum'at adalah hari
yang penuh keberkahan, mempunyai kedudukan yang agung dan
merupakan hari yang paling utama. Tidak ada perbedaan di kalangan Ulama
bahwa hari Jum'at adalah hari yang paling afdhal (utama) dari hari-hari
lainnya. Hari yang paling mulia -selama matahari masih terbit- dibandingkan
hari-hari lainnya.
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, bahwasanya Rasulullah Shallallahu
'Alaihi Wasallam,bersabda:
"Sebaik-baik hari adalah hari Jum'at, pada hari itu Nabi Adam 'Alaihi
Wasallam diciptakan, pada hari itu dia dimasukkan ke sorga, pada hari itu
dia dikeluarkan dari surga, dan hari qiamat tidak akan terjadi kecuali pada
hari Jum'at. (HR. Muslim).
Ibnu Al-Qayyim Rahimahullah, menerangkan beberapa perbedaan Ulama
tentang keutamaan hari Jum'at dengan hari 'Arafah. Beliau mengatakan bila
ada yang bertanya, "Mana yang lebih afdhal (utama) hari Jum'at atau hari
'Arafah?."
Sebuah riwayat dari Ibnu Hibban dalam "shahihnya" dari hadits Abu Hurairah
ia mengatakan: "Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda, "Tidak
ada hari yang lebih mulia selama matahari terbit dan terbenam selain hari
Jum'at".(HR.Ibnu Hibban)
Hadits lain dari Aus bin Aus, "Sebaik-baik hari -selama matahari masih terbit-
adalah hari Jum'at". ( ini adalah lafadz Muslim dari Abu Hurairah, sedangkan
lafadz Ibnu Hibban "sesungguhnya sebaik-baik hari-hari kalian adalah hari
Jum'at".)
Ada yang mengatakan, sebagian ulama berpendapat bahwa hari
Jum'at lebih utama dari hari Arafah, berdasarkan hadist ini. Qadhi Abu Ya'la
menyebutkan sebuah riwayat Imam Ahmad bahwa malam Jum'at lebih
utama dari malam lailatur qadar.Yang benar bahwa hari Jum'at adalah hari
yang paling utama dalam seminggu, sedangkan hari 'Arafah dan 'Idul adha
adalah hari yang paling utama dalam setahun, demikian juga halnya dengan
malam lailatul qadar dan malam Jum'at, dengan demikian bila hari Jum'at
bertepatan dengan hari 'Arafah, sudah tentu hari itu lebih utama dari hari-
hari lainnya dalam berbagai segi.[9]. Al-Hafidz Ibnu Katsir berkata: "Hari ini
dinamakan Jum'at, karena artinya merupakan turunan dari kata al-jam'u
yang berarti perkumpulan, karena umat Islam berkumpul pada hari itu
setiap pekan di balai-balai pertemuan yang luas. Allah memerintahkan
hamba-hamba-Nya yang mukmin berkumpul untuk melaksanakan ibadah
kepada-Nya”.
Ibnu Qayyim Al-Jauziyah berkata: “Hari Jum'at adalah hari ibadah. Hari
ini dibandingkan dengan hari-hari lainnya dalam sepekan, laksana bulan
Ramadhan dibandingkan dengan bulan-bulan lainnya. Waktu mustajab pada
hari Jum'at seperti waktu mustajab pada malam lailatul qodar di bulan
Ramadhan”.[10]

C. Hukum Sholat Jum’at dan Dalilnya.


Sholat Jum’at adalah fardhu bagi setiap orang yang memenuhi syarat-
syarat yang akan dijelaskan nanti. Sholat Jum’at itu dua rakaat berdasarkan
hadits yang diriwayatkan dari Umar r.a. beliau berkata :
‫صلة الجمعة ركعتان تمام غير قصر على لسان نبيكم صلى ال عليه وسلم‬
“Sholat Jum’at itu dua rakaat, dilaksanakan dengan sempurna tanpa qoshor
berdasarkan lisan Nabi SAW.” (Diriwayatkan oleh Imam Ahmad, al-Nasai dan
Ibnu Majah dengan sanad Hasan).
Sholat Jum’at itu hukumnya fardhu’ain bagi setiap mukallaf yang
mampu dan memenuhi syarat-syaratnya; dan ia bukan pengganti sholat
Zhuhur. Bila ketinggalan maka wajib melaksanakan sholat Zhuhur empat
rakaat. Hukum fardhu sholat Jum’at itu ditetapkan dalam al-Qur’an, Sunnah
dan Ijma’.
Adapun Ketetapan yang terdapat dalam al-Qur’an adalah firman Allah :
‫يا أيها الذين امنوا اذا نودي للصلة من يوم الجمعة فاسعوا الى ذكر ال وذروا‬
‫البيع‬
“Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan sholat
pada hari jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan
tinggalkanlah jual beli”. (Q.S. Al-Jumu’ah : 9)
Adapun ketentuan yang terdapt dalam Sunnah, di antaranya adalah sabda
Rasulullah SAW yang menyatakan :
‫لقد هممت أن أمر رجل يصلى بالناس ثم أحرق على رجال يتخلفون عن الجمعة‬
‫بيوتهم‬
“Aku pernah berkehendak untuk menyuruh seorang laki-laki melaksanakan
sholat bersama orang-orang, kemudian akan aku bakar rumah mereka (laki-
laki) yang meninggalkan sholat Jum’at.” (HR. Imam Muslim).
Dan (atas dasar dalil-dalil tersebut) telah diadakan ijma’ bahwa sholat Jum’at
itu hukumnya fardhu ‘ain.

D. Waktu Sholat Jum’at dan Dalilnya.


Waktu sholat Jum’at adalah sama dengan waktu sholat Zhuhur, yaitu
dari tergelincirnya matahari hingga ukuran bayangan sesuatu sama
dengannya. Dalil mengenai ketentuan waktu sholat Jum’at adalah hadits
yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori dalam kitab “Shahih Bukhori” dari
Anas bin Malik ra. :
‫كان النبي صلى ال عليه وسلم يصلى الجمعة حين تميل الشمس‬
“Nabi SAW melaksanakan sholat Jum’at ketika matahari condong
(tergelincir)”.

Imam Muslim meriwayatkan dari Salamah bin al-Akwa’ ia berkata :


‫كنا نجمع مع رسول ال صلى ال عليه وسلم اذا زالت الشمس ثم نرجع نتتبع الفئ‬
“Kami melaksanakan sholat jum’at bersama Rasulullah SAW ketika matahari
telah tergelincir, kemudian kami pulang mengikuti bayangan”.

E. Syarat-syarat Sholat Jum’at


Mengenai syarat-syarat sholat Jum’at terdapat perbedaan dari masing-
masing mazhab. Berikut penulis sebutkan di bawah pendapat masing-masing
dalam masalah ini :

Hanafiyah : Mereka berpendapat bahwa syarat-syarat sholat Jum’at yang


tidak termasuk dalam syarat-syarat sholat lainnya dapat dibagi menjadi dua
bagian, yaitu syarat wajib dan syarat sah. Syarat wajib sholat Jum’at
menurut mereka ada enam :
1. Laki-laki, maka sholat Jum’at itu tidak wajib bagi wanita. Akan tetapi
bila ia menghadirinya, maka sholat Jum’atnya sah dan cukup baginya
sebagai pengganti sholat Zhuhur.
2. Merdeka, maka sholat Jum’at itu tidak wajib bagi hamba sahaya.
Akan tetapi apabila ia menghadiri dan melaksanakannya, maka sholat
Jum’atnya itu sah.
3. Sehat, maka sholat Jum’at itu tidak wajib bagi orang sakit yang tidak
dapat pergi menghadiri sholat Jum’at dengan jalan kaki. Jika ia tidak
mampu pergi ke mesjid dengan jalan kaki, maka kewajiban
melaksanakan sholat Jum’at itu gugur, sekalipun ada orang yang
dapat membawanya (menuntunnya), sesuai dengan kesepakatan
Hanafiyah.
4. Bermukim di daerah tempat didirikannya sholat Jum’at atau dekat
dengannya. Jika ia mukim di daerah yang jauh dari tempat sholat
Jum’at, maka sholat Jum’at tidak wajib baginya. Menurut mereka yang
dimaksud jarak jauh adalah jarak 1 farsakh, yaitu 3 mil. 1 mil sama
dengan 6.000 hasta, yaitu 5,04 Km.
5. Berakal, maka sholat Jum’at itu tidak wajib bagi orang gila dan yang
hukumnya sama dengannya.
6. Baligh, maka sholat Jum’at itu tidak wajib bagi anak kecil yang
belum mencapai usia baligh.
Sedangkan syarat sahnya sholat Jum’at ada tujuh, yaitu :
1. Di dalam kota, maka sholat Jum’at itu tidak diwajibkan kepada orang
yang tinggal di desa, berdasarkan sabda Rasulullah SAW : “Sholat
Jum’at, Sholat Tasyriq, Sholat Idul Fitri dan Sholat Idul Adha tidaklah
dilaksanakan kecuali di negeri yang luas atau kota besar.” (Hadits ini
diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam kitabnya, yang sanadnya
Mauquf di Ali ra. Demikian juga hadits ini diriwayatkan al-Razzaq).
Perbedaan antara kota dan desa, bahwa kota itu adalah suatu tempat
(daerah) di mana paling besarnya mesjid yang ada di dalamnya tidak
cukup untuk menampung penduduknya yang mukallaf untuk
melaksanakan sholat Jum’at, sekalipun mereka tidak dating secara
keseluruhan. Inilah yang difatwakan oleh sebagian besar fuqaha
mazhab Hanafiyah. Maka menurut mereka sholat Jum’at itu sah
dilaksanakan di setiap daerah yang meng-kota yang di dalamnya
terdapat banyak masjid yang dipakai untuk mendirikan sholat Jum’at,
karena tidak ada satu desapun di mana paling besarnya masjid yang
ada cukup untuk menampung seluruh penduduknya yang mukallaf.
2. Ada izin dari penguasa (pemimpin) atau wakilnya yang dipercayakan.
3. Masuk waktu, maka sholat Jum’at tidak sah kecuali apabila waktu
zhuhur telah masuk.
4. Berkhutbah.
5. Khutbah itu dilakukan sebelum sholat.
6. Berjamaah, maka sholat Jum’at itu tidak sah apabila dilaksanakan
sendirian.
7. Diperkenankan untuk masyarakat umum oleh Imam (penguasa), maka
sholat Jum’at itu tidak sah dilaksanakan si suatu tempat yang mana
sebagian orang dilarang masuk ke tempat tersebut.

Malikiyah : Mereka berpendapat bahwa syarat Jum’at itu dibagi menjadi


dua bagian, yaitu syarat wajib dan syarat sah. Syarat wajibnya yaitu :
1. Laki-laki, maka sholat Jum’at itu tidak diwajibkan kepada wanita.
2. Merdeka
3. Tidak ada uzur yang membolehkan untuk meninggalkan sholat Jum’at.
4. Orang tersebut dapat melihat, maka sholat Jum’at tidak diwajibkan
kepada orang buta, kecuali ada orang yang membawanya.
5. Bukan seorang tua bangka yang sulit baginya untuk hadir.
6. Bukan pada waktu panas membakar atau dingin mencekam.
7. Ia tidak khawatir ada seorang zalim memenjarakannya atau
memukulnya untuk aniaya.
8. Ia tidak mengkhawatirkan hartanya, kehormatannya, atau jiwanya.
9. Ia bermukim di suatu kota yang di sana didirikan sholat Jum’at, atau
bermukim di suatu desa atau kemah jauhnya dari kota itu berjarak 3⅓
mil.
10.Hendaknya ia berada di negeri tempat tinggalnya.
Sedangkan syarat sah sholat Jum’at ada lima perkara, yaitu :
1. Tinggal di suatu kota atau daerah di mana ia hidup di kota tersebut
selamanya dalam keadaan aman dari orang-orang pendatang yang
dapat menguasainya.
2. Dihadiri dua belas orang selain imam.
3. Imam. Tentang imam disyaratkan dua hal :
a. Imam tersebut seorang yang mukim atau musafir yang berniat
mukim selama empat hari.
b. Yang menjadi imam adalah orang yang menjadi khatib.
4. Dua khutbah.
5. Di masjid Jami’.

Syafi’iyah : Mereka berpendapat bahwa syarat-syarat sholat Jum’at itu


dibagi menjadi dua bagian, yaitu syarat wajib atau syarat sah.

Adapun syarat-syarat wajibnya sama dengan syarat wajib yang 10


sebagaimana pendapat Malikiyah. Namun Syafi’iyah menganggap sah sholat
Jum’atnya wanita dan hamba sahaya. Sementara itu Syafi’iyah juga
mensyaratkan hendaklah dapat mendengar seruan azan bagi orang ysng
bermukim atau dekat tempat didirikannya. Adapun syarat sahnya sholat
Jum’at menurut Syafi’iyah ada 6 perkara yakni :
1. Keseluruhan sholat Jum’at dan kedua khutbahnya jatuh pada waktu
Zhuhur dengan yakin.
2. Dilaksanakan dalam suatu bangunan yang luas (memadai), baik
bangunan itu di kota, desa, kampung, gua dalam gunung, ataupun
bangunan di bawah tanah.
3. Sholat Jum’at dilaksanakan secara berjamaah.
4. Jumlah jamaahnya mencapai empat puluh orang.
5. Sholat Jum’at itu hendaknya dilakukan terlebih dahulu dari sholat
lainnya di tempat sholat Jum’at itu dilaksanakan.
6. Mendahulukan dua khutbah lengkap dengan rukun dan syaratnya.

Hanabilah : Mereka juga berpendapat sama dengan tiga mazhab


sebelumnya tentang adanya syarat wajib dan syarat sah sholat Jum’at.
Syarat wajibnya juga hampir sama dengan mazhab lainnya yaitu :
1. Merdeka.
2. Laki-laki.
3. Tidak ada uzur yang membolehkan untuk meninggalkan sholat Jum’at.
4. Hendaklah orang itu dapat melihat.
5. Bukan pada waktu panas membakar atau dingin mencekam.
6. Tidak takut dipenjarakan dan lain sebagainya karena dizalimi.
7. Tidak khawatir akan kehilangan harta atau mengkhawatirkan
kehormatan atau jiwanya.
8. Sholat Jum’at itu didirikan di sebuah gedung (bangunan).
Adapun syarat sahnya sholat Jum’at ada empat yaitu :
1. Masuk waktu.
2. Hendaknya berukim di suatu kota atau desa.
3. Dihadiri empat puluh orang atau lebih termasuk imamnya.
4. Dua khutbah lengkap dengan syarat-syarat dan hukum-hukumnya.

F. Hukum Sholat Qabliyah Jum’at


Tiga mazhab (Hanafiyah, Malikiyah dan Hanabilah) menyatakan
bahwa shalat Qabliyah Jumat itu tidak ada dasar pensyariatannya.
Sedangkan satu mazhab lagi yaitu As-Syafi'iyah menyatakan sebaliknya. Inti
perbedaan pendapat mereka terletak pada hadis-hadis yang meriwayatkan
praktek shalat qabliyah jumat itu. Di mana mereka yang menafikannya
mengatakan bahwa tidak ada satu pun hadits tentang itu yang shahih. Yang
ada hanyalah hadits-hadits lemah saja.
Namun Syafi'iyah memang tidak melandaskan pendapatnya pada
hadits yang lemah sebagaimana dituduhkan. Beliau mengambil jalan qiyas,
yaitu mengqiyaskan shalat Jumat dengan shalat Zhuhur. Sehingga kalau
sebelum shalat Zhuhur disunnahkan untuk melakukan shalat sunnah
sebelumnya, maka demikian juga dengan shalat Jumat, disunnahkan untuk
melakukan shalat sunnah sebelumnya.

G. Azan sholat Jum’at


Pada zaman Rasulullah Azan sholat Jum'at hanya sekali, yaitu ketika
Khatib telah naik ke atas mimbar dan duduk. Muazin malaksanakan azan di
depan khatib. Ketika zaman Utsman bin Affan dan banyaknya umat Islam di
kota Madinah, maka beliau menganjurkan azan pertama untuk tujuan
mengingatkan kepada penduduk Madinah akan masuknya waktu sholat
Jum'at, agar mereka bergegas ke Masjid. (H.R. Bukhari, Baihaqi dll).
Pendapat Usman ternyata tidak ditentang para sahabat lain yang ada saat
itu, sehingga ini merupakan Ijma' Sahabat.

H. Jumlah Jamaah Sholat Jum’at yang Sah


Para imam mazhab sepakat bahwa sholat Jum’at itu tidak sah kecuali
dilaksanakan dengan berjamaah. Akan tetapi mereka berselisih pendapat
tentang jumlah jamaah yang sah untuk sholat Jum’at. Berikut pandangan
dari mazhab-mazhab tersebut :

Malikiyah : Mereka berpendapat bahwa batas minimal jumlah jamaah yang


sah untuk sholat Jum’at adalah dua belas orang laki-laki selain imam.

Hanafiyah : Mereka berpendapat bahwa jamaah yang sah untuk sholat


Jum’at disyaratkan ada tiga orang selain imam, sekalipun mereka tidak
menghadiri khutbah Jum’at.

Syafi’iyah dan Hanabilah : Mereka berpendapat bahwa jamaah yang sah


untuk sholat Jum’at jumlahnya empat puluh orang beserta imamnya. Maka
sholat Jum’at itu tidak sah dengan jumlah jamaah kurang dari itu.

I. Rukun Dua Khutbah Jum’at


Sebuah ibadah dikatakan sah apabila telah dipenuhi rukun dan
syaratnya. Oleh karena itu supaya khutbah yang disampaikan dalam
pelaksanaan sholat Jum’at menjadi sah maka kita harus mengetahui rukun
khutbah. Dalam hal ini terjadi perbedaan pandangan mazhab dalam hal ini.
Berikut di bawah ini pendapat-pendapat masing-masing mazhab :

Hanafiyah : Mereka berpendapat bahwa khutbah itu mempunyai satu


rukun, yaitu harus berupa bacaan dzikir mencakup yang sedikit dan yang
banyak. Maka untuk memenuhi ketentuan khutbah yang difardhukan cukup
dengan sekali tahmid, sekali tasbih dan sekali tahlil.

Syafi’iyah : Mereka berpendapat bahwa rukun khutbah itu ada lima :


1. Memuji Allah. Pujian tersebut disyaratkan berupa “bacaan pujian” dan
hendaknya pujian itu mencakup lafadz Jalalah (Allah). Rukun ini harus
dilakukan dalam masing-masing khutbah pertama dan kedua.
2. Membaca sholawat atas Nabi SAW pada masing-masing dari kedua
khutbah.
3. Berwasiat (berpesan) agar supaya bertaqwa (kepada Allah) dalam
masing-masing dari kedua khutbah sekalipun tidak menggunakan
lafadz “wasiat”.
4. Membaca satu ayat dari Al-Qur’an dalam salah satu dari kedua
khutbah. Membacanya pada khutbah pertama lebih utama. Dan
disyaratkan hendaknya ayat tersebut sempurna atau sebagian dari
ayat yang panjang dan hendaknya dapat dipahami maknanya.
5. Berdoa untuk orang-orang mukmin dan mukminat, khususnya dalam
khutbah kedua.

Malikiyah : Mereka berpendapat bahwa khutbah itu mempunyai satu rukun,


yaitu hendaknya khutbah itu mencakup kabar gembira dan kabar
menakutkan, dan dalam kedua khutbah itu tidak disyaratkan menggunakan
kalimat bersajak. Jika ia berkhutbah dengan menggunakan kalimat-kalimat
puitis atau prosa, maka yang demikian sah. Dan disunnahkan mengulangi
khutbahnya bila tidak membaca shalawat.

Hanabilah : Mereka berpendapat bahwa rukun dua khutbah itu ada empat :
1. Memuji Allah pada awal dari masing-masing kedua khutbah dengan
lafadz “Alhamdulillah”.
2. Membaca shalawat kepada Rasulullah SAW dan harus dengan
menggunakan lafadz shalawat.
3. Membaca satu ayat al-Qur’an, dan ayat tersebut harus utuh dalam
makna dan hukumnya
4. Berwasiat (berpesan) agar bertaqwa kepada Allah SWT sedikitnya
dengan mengucapkan ‫ اتقوا ال‬dan lain semacamnya.

J. Syarat-syarat Dua Khutbah Jum’at


Ada beberapa pertanyaan yang sering diajukan kepada penulis
tentang hal ini, contohnya pertanyaan berikut ini :
Apakah khutbah Jum’at itu disyaratkan harus dengan Bahasa Arab ?
Apakah untuk kedua khutbah itu disyaratkan berniat ?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut kita harus mengetahui Syarat-
syarat Khutbah Jum’at. Untuk kedua khutbah Jum’at disyaratkan beberapa
hal berikut :
1. Khutbah tersebut dilakukan sebelum sholat. Maka tidak ia tidak
dianggap sebagai khutbah Jum’at bila dilakukan setelah sholat sesuai
dengan kesepakatan tiga imam mazhab. Malikiyah menyangkal
pendapat ini. Menurut Malikiyah, apabila kedua khutbah itu dilakukan
setelah sholat, maka yang diulangi sholatnya saja sedangkan kedua
khutbahnya sah dan tidak perlu diulang.
2. Berniat untuk berkhutbah, menurut Hanafiyah dan Hanabilah jika
khatib berkhutbah tanpa niat, maka khutbahnya itu tidak
diperhitungkan. Sedangkan Syafi’iyah dan Malikiyah berpendapat
bahwa niat itu bukan syarat sahnya khutbah. Hanya saja Syafi’iyah
mensyaratkan hendaknya khatib tidak menyimpang dari khutbah. Jika
ia bersin dan mengucapkan alhamdulillah, maka khutbahnya batal.
Tentang syarat ini tiga mazhab yang lain tidak setuju dengan pendapat
Syafi’iyah.
3. Hendaklah kedua khutbah tersebut menggunakan Bahasa Arab
menurut pandangan Hanabilah dan Malikiyah maskipun jamaahnya
bukan orang Arab yang tidak mengerti Bahasa Arab. Sedangkan
Hanafiyah berpendapat bahwa khutbah itu boleh disampaikan dengan
selain Bahasa Arab. Dalam pandangan Syafi’iyah yang disyaratkan
menggunakan Bahasa Arab adalah rukun-rukun kedua khutbah, selain
itu tidak disyaratkan menggunakan Bahasa Arab.
4. Hendaklah kedua khutbah dilakukan pada waktunya (waktu zhuhur).
Jika ia berkhutbah sebelum waktunya dan melaksanakan sholat, maka
yang demikian itu tidak sah secara sepakat.
5. Hendaklah khatib mengeraskan kedua khutbahnya agar dapat
didengar oleh hadirin.
6. Hendaklah khatib tidak memisahkan antara khutbah dan sholat Jum’at
dengan tenggang waktu yang lama.

Penutup
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa telah terjadi
perbedaan dalam berbagai masalah hukum sekitar sholat Jum’at di kalangan
mazhab-mazhab Islam, khususnya mazhab-mazhab ahlus-sunnah.
Perbedaan pendapat di kalangan para fuqaha ini merupakan sebuah bukti
konkret yang lahir dari semangat perbedaan dalam satu kesatuan (Islam).
Pendapat yang berbeda tersebut tentunya menuntut kesiapan kita untuk
bersikap terbuka dan arif dalam memandang serta memahami arti
perbedaan, hingga sampai pada suatu titik kesimpulan bahwa berbeda itu
tidak identik dengan bertentangan --selama perbedaan itu bergerak menuju
kebenaran-- dan Islam adalah satu dalam keragaman.

Daftar Pustaka

Al-Jauziyyah, Ibnu Qayyim, Zaadul Ma'ad, Juz 1, t.th.


Al-Juzairi, Al-Fiqh ‘Ala al-Mazahib al-Arba’ah, Kairo : Mathba’ah al-Istiqomah,
t.th.
Hasan, M., Ali Perbandingan Mazhab Fiqih, Jakarta : PT Raja Grafindo
Persada, Cet. I, 1997
Imbabi, M. Musthofa, Tarikh Tasyri’ al-Islami, Kairo : al-Maktabah al-tijariyyah
al-kubro, Cet. IX, 1986
Ismail, Ahmad satori, Pasang Surut Perkembangan Fiqh Islam, Jakarta :
Pustaka Tarbiatuna, Cet. I, 2003
Mubarok, Jaih, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, Bandung : PT.
Remaja Rosdakarya, Cet. III, 2003.
Nasution, Harun, Teologi Islam Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan,
Jakarta : UI Press, 2002.
Yanggo, Huzaemah Tahido, Pengantar Perbandingan Mazhab, Jakarta :
Logos, Cet. III, 2003.
Yunus, Mahmud, Kamus Arab-Indonesia, Jakarta : PT. Hidakarya Agung,
1990.

You might also like