You are on page 1of 37

MENGOREKSI AJARAN TASAWUF

Pada hakekatnya ajaran tasawuf yang dianut umat Islam bercorak panteistis, hasil dari konsepsi
filsafat yang disebut monisme. Yaitu konsepsi yang menyatakan bahwa Tuhan dan alam adalah
satu. Bahkan jika diurut-urut lebih jauh, konsepsi monisme dengan panteismenya ternyata
bersumber dari ajaran Hindu.

Drs H Abdul Qadir Djaelani seorang da’i yang pernah mendekam di penjara di masa Soeharto
akibat menentang asa tunggal Pancasila dsb, produktif menulis buku (kini sekitar 14 buku
diantaranya menanggapi pendapat-pendapat pembaharu/ neomodernis) ini merasa gemas melihat
merebaknya tasawuf dan tarekat di kalangan umat Islam. Dia menulis kritik tajam terhadap
tasawuf dalam buku yang berjudul Koreksi terhadap Ajaran Tasawuf diterbitkan GIP Jakarta, cet
I 1996, 240 halaman. Dia menohok tokoh-tokoh tasawwuf yang ia nilai melenceng dari Islam
seperti Al-Hallaj yang dibunuh oleh para ulama dan Ibnu Arabi yang dikafirkan oleh para ulama.

Berbagai metode ajaran tasawuf dibelejeti dalam buku ini, yang menurut Abdul Qadir (AQ)
menyimpang dari Islam seperti zuhud, bai’at dan ketaatan mutlak, wasilah dan rabithah, serta
uzlah dan khalwat. Ia juga menghujat praktik ekstase (junun) yang dilakukan para sufi (orang
tasawuf).
Secara tegas, AQ mengawali bukunya dengan ungkapan yang menyentak, bahwa teori-teori yang
diajarkan oleh berbagai macam aliran tasawuf, baik teori wihdatil wujud, wihdatus syuhud, al-
ittihad, al-ittishal, al-hulul, atau al-liqa’, semuanya bersifat panteistis. Itu ujung-ujungnya adalah
ajaran Hindu yang berpengaruh terhadap Yunani kuno dan kemudian diambil ke tasawuf Islam
lewat penerjemahan-penerjemahan yang kebanyakan dilakukan oleh orang-orang Kristen zaman
kekhalifahan abad kedua Hijriah.

Istilah Sufi

Jika istilah "sufi" ini diduga berasal dari kata shophia (bahasa Yunani), maka hal ini lebih dapat
diterima. Sebab, sumber pemikiran Islam yang kedua setelah Al-Quran dan al-Hadits berasal dari
negeri-negeri seperti Syria, Mesir, dan Persia, dengan pikiran-pikiran Yunani menjadi induk
pemikiran di negeri-negeri tersebut. Pikiran neoplatonisme (Plotinus, wafat 269M), filosof
Kristen yang mengajarkan tentang emanasi dan panteisme –yang sangat berpengaruh di dunia
Kristen– juga berasal dari pikiran Yunani, khususnya pikiran Aristoteles dan Prophiry. (hal 13).

Sementara itu, dari data yang terungkap, orang pertama yang mendapat gelar "sufi" adalah Abu
Hasyim Al-Kufi (wafat 150 H/ 761M) dari Kufah, bukan dari Makkah atau Madinah, dan ia dari
generasi tabi’in, bukan dari generasi sahabat. Sedangkan di sisi lain, masa terjemahan telah
terjadi terlebih dahulu, paling tidak
beberapa puluh tahun sebelum munculnya orang pertama yang bergelar sufi itu.

Jika istilah "sufi" itu juga dianggap berasal dari kata shuf (bulu domba, wol kasar) yang biasa
dipakai oleh para sufi Kristen, hal ini bisa diterima, bahkan antara kata shophia dan shuf saling
menguatkan. Sebab ajaran sufi di dunia Kristen yang paling berpengaruh berasal dari Plotinus,
sehingga sangat logis jika aliran ini berpengaruh pada kaum sufi Kristen di Syria, Mesir,
Baghdad dan Yaman. Lebih memperkuat lagi ialah bahwa kaum sufi muslim pada umumnya
memakai kain shuf. (hal 14).

Selanjutnya AQ mengemukakan definisi tasawuf dengan mengutip beberapa orang di antaranya


pendapat Bandar bin al-Husein, Sahal bin Abdullah at-Turturi, dan Al-Junaid (wafat 910M,
tokoh tasawuf yang resmi dianut oleh orang tradisionalis di Indonesia, pen). Al-Junaid berkata:
"Tasawuf berarti bahwa Tuhan menjadikan kamu mati, untuk hidup kembali di dalam-Nya." (hal
15). Sedangkan Abu Yazid Busthami berkata: "Jika aku terhapus, maka Tuhan adalah kaca-Nya
sendiri dalam aku." (hal 15).
Lalu AQ menyimpulkan, pengertian tasawuf menurut istilah, tidak lain yaitu suatu usaha yang
sungguh-sungguh dengan jalan mengasingkan diri sambil bertafakur (kontemplasi), melepaskan
diri dari segala yang bersifat duniawi dan memusatkan diri hanya kepada Tuhan sehingga bersatu
dengan-Nya.

Tasawuf dari Hindu

AQ berkeyakinan bahwa tasawuf itu berasal dari Hindu di antaranya dengan bukti: tujuan akhir
dari peribadatan dalam agama Hindu adalah bersatunya kembali antara atman (ruh atau
substansi) dengan brahman (ruh alam semesta atau Tuhan). Ajaran Hindu sangat berpengaruh
terhadap bangsa Yunani kuno, baik dalam bentuk mitologi, filsafat, maupun mistik. Sehingga
kita ketahui bahwa Plato dan Pythagoras adalah dua tokoh penganut ajaran reinkarnasi yang
berasal dari ajaran Hindu. (hal 9).

Menurut M Horten (yang didukung R Hartman), tasawuf berasal dari alam pemikiran India.
Dalam hal ini Horten telah melakukan penelitian yang lama untuk menguatkan pendapatnya itu.
Akan tetapi pendapat tersebut kemudian ia revisi setelah ia melakukan analisis terhadap tasawuf
al-Hallaj, al-Busthami, dan al-Junaid, dengan mengatakan bahwa tasawuf abad ketiga Hijriah-lah
yang sangat dipengaruhi alam pemikiran India, terutama ajaran al-Hallaj. Horten pun berusaha
keras mengokohkan teorinya ini dengan salah satu penelitiannya untuk menetapkan bahwa
tasawuf berasal dari sumber India. Penelitian fisiologis yang dilakukannya terhadap berbagai
terminologi para sufi Persia akhirnya membuatnya berkesimpulan bahwa tasawuf berasal dari
aliran Vedanta di India. (hal 18).
Sementara itu Hartman, yang berusaha keras pula, membuktikan asal usul atau sumber tasawuf
dari India. Ia mengemukakan pendapatnya sebagai berikut:

1. Kebanyakan angkatan pertama sufi berasal bukan dari Arab. Misalnya Ibrahim bin Adham,
Syaqiq al-Balakhi, Abu Yazid al-Busthami, dan Yahya ibn Ma’az ar Radzi.
2. Kemunculan dan penyebaran tasawuf untuk pertama kalinya adalah di Khurasan (Parsi).
3. Pada masa sebelum Islam, Turkestan merupakan pusat pertama berbagai agama dan
kebudayaan Timur dan Barat. Dan ketika para penduduk kawasan itu memeluk agama Islam,
mereka mewarnainya dengan corak mistisisme lama.
4. Kaum muslim sendiri mengakui adanya pengaruh India tersebut.
5. Aksetisisme Islam (kebatinan) yang pertama adalah bercorak India, baik dalam
kecenderungannya maupun metode-metodenya. Keluasan batin, pemakaian tasbih, misalnya,
merupakan gagasan dan praktik yang berasal dari India. (hal 19).
Berasal dari Yunani dan asing

Kemudian cukup banyak para orientalis yang berpendapat bahwa tasawuf berasal dari tradisi
pemikiran Yunani. Para orientalis yang berpendapat seperti ini lebih menaruh perhatian terhadap
tasawuf yang mulai muncul pada abad ketiga Hijriah, lewat Dzun Nun al-Mishri, wafat 245H.
(hal 19).
Muhammad Al-Bahiy (intelektual Islam Mesir, pen) menyatakan tentang adanya intervensi
(penyusupan) alam pikiran asing, seperti paganisme Mesir, agama Budha, agama Hindu, agama
Zaratrusta, ajaran Manu, Kristen, Yahudi, dan filsafat Yunani.

Dalam kaitan ini secara khusus filsafat Yunani telah:


1. Menimbulkan aliran-aliran filsafat di antaranya:
a. filsafat metafisika yang diwakili oleh Ibnu Sina di Timur dan Ibnu Rusyd di Barat; b. filsafat
alam (fisika) yang diwakili oleh Abu Bakar ar-Razi. c. filsafat emanasi yang diwakili oleh
Suhrawardi.
2. Membantu kelahiran:
a. tasawuf zuhud yang diwakili oleh Abdul Haris al-Muhasibi;
b. tasawuf filsafat yang diwakili oleh al-Ghazali; c. tasawuf India, Kristen, dan neoplatonisme
yang diwakili oleh Ibnu Arabi, Ibnu Sab’in, dan al-Hallaj. (hal 23).

Selanjutnya, AQ membuktikan bahwa esensi ajaran tasawuf dan praktik-praktik amaliahnya


berasal dari asing, yakni Kristen, Yunani, dan Hindu, maka secara prinsipil bertentangan dengan
Islam.

Kalau Abdul Qadir Djaelani membuktikannya dengan buku setebal 240 halaman, maka secara
mudah ulama tua KH Ghofar Isma’il (almarhum, ayah penyair dr Taufik Isma’il) dalam
ceramah-ceramah pengajian tafsirnya cukup menjelaskan pada umat, kalau ada guru yang
memberikan amalan-amalan (lafal-lafal dzikir) untuk dibaca sekian kali, itu harus dilandasi
hadits yang shohih. Bila tidak, maka perlu diragukan kebenarannya.

dikutip dari buku Tasawuf Belitan Iblis


karya H Hartono Ahmad Jaiz -
TASAWUF

oleh Harun Nasution

Tujuan tasawuf adalah mendekatkan diri sedekat mungkin dengan Tuhan sehingga ia dapat
melihat-Nya dengan mata hati bahkan rohnya dapat bersatu dengan Roh Tuhan. Filsafat yang
menjadi dasar pendekatan diri itu adalah, pertama, Tuhan bersifat rohani, maka bagian yang
dapat mendekatkan diri dengan Tuhan adalah roh, bukan jasadnya. Kedua, Tuhan adalah Maha
Suci, maka yang dapat diterima Tuhan untuk mendekatiNya adalah roh yang suci. Tasawuf
adalah ilmu yang membahas masalah pendekatan diri manusia kepada Tuhan melalui penyucian
rohnya.

ASAL KATA SUFI

Tidak mengherankan kalau kata sufi dan tasawuf dikaitkan dengan kata-kata Arab yang
mengandung arti suci. Penulis-penulis banyak mengaitkannya dengan kata:

1. Safa dalam arti suci dan sufi adalah orang yang disucikan. Dan memang, kaum sufi banyak
berusaha menyucikan diri mereka melalui banyak melaksanakan ibadat, terutama salat dan
puasa.

2. Saf (baris). Yang dimaksud saf di sini ialah baris pertama dalam salat di mesjid. Saf pertama
ditempati oleh orang-orang yang cepat datang ke mesjid dan banyak membaca ayat-ayat al-
Qur'an dan berdzikir sebelum waktu salat datang. Orang-orang seperti ini adalah yang berusaha
membersihkan diri dan dekat dengan Tuhan.

3. Ahl al-Suffah, yaitu para sahabat yang hijrah bersama Nabi ke Madinah dengan
meninggalkan harta kekayaannya di Mekkah. Di Madinah mereka hidup sebagai orang miskin,
tinggal di Mesjid Nabi dan tidur di atas bangku batu dengan memakai suffah, (pelana) sebagai
bantal. Ahl al-Suffah, sungguhpun tak mempunyai apa-apa, berhati baik serta mulia dan tidak
mementingkan dunia. Inilah pula sifat-sifat kaum sufi.

4. Sophos (bahasa Yunani yang masuk kedalam filsafat Islam) yang berarti hikmat, dan kaum
sufi pula yang tahu hikmat. Pendapat ini memang banyak yang menolak, karena kata sophos
telah masuk kedalam kata falsafat dalam bahasa Arab, dan ditulis dengan sin dan bukan dengan
shad seperti yang terdapat dalam kata tasawuf.

5. Suf (kain wol). Dalam sejarah tasawuf, kalau seseorang ingin memasuki jalan tasawuf, ia
meninggalkan pakaian mewah yang biasa dipakainya dan diganti dengan kain wol kasar yang
ditenun secara sederhana dari bulu domba. Pakaian ini melambangkan kesederhanaan serta
kemiskinan dan kejauhan dari dunia.

Diantara semua pendapat itu, pendapat terakhir inilah yang banyak diterima sebagai asal kata
sufi. Jadi, sufi adalah orang yang memakai wol kasar untuk menjauhkan diri dari dunia materi
dan memusatkan perhatian pada alam rohani. Orang yang pertama memakai kata sufi
kelihatannya Abu Hasyim al-Kufi di Irak (w.150 H).
ASAL-USUL TASAWUF

Karena tasawuf timbul dalam Islam sesudah umat Islam mempunyai kontak dengan agama
Kristen, filsafat Yunani dan agama Hindu dan Buddha, muncullah anggapan bahwa aliran
tasawuf lahir dalam Islam atas pengaruh dari luar.

Ada yang mengatakan bahwa pengaruhnya datang dari rahib-rahib Kristen yang
mengasingkan diri untuk beribadat dan mendekatkan diri kepada Tuhan di gurun pasir Arabia.
Tempat mereka menjadi tujuan orang yang perlu bantuan di padang yang gersang. Di siang hari,
kemah mereka menjadi tempat berteduh bagi orang yang kepanasan; dan di malam hari lampu
mereka menjadi petunjuk jalan bagi musafir. Rahib-rahib itu berhati baik, dan pemurah dan suka
menolong. Sufi juga mengasingkan diri dari dunia ramai, walaupun untuk sementara, berhati
baik, pemurah dan suka menolong.

Pengaruh filsafat Yunani dikatakan berasal dari pemikiran mistik Pythagoras. Dalam
filsafatnya, roh manusia adalah suci dan berasal dari tempat suci, kemudian turun ke dunia
materi dan masuk ke dalam tubuh manusia yang bernafsu. Roh yang pada mulanya suci itu
menjadi tidak suci dan karena itu tidak dapat kembali ke tempatnya semula yang suci. Untuk itu
ia harus menyucikan diri dengan memusatkan perhatian pada fllsafat serta ilmu pengetahuan dan
melakukan beberapa pantangan. Filsafat sufi juga demikian. Roh yang masuk ke dalam janin di
kandungan ibu berasal dari alam rohani yang suci, tapi kemudian dipengaruhi oleh hawa nafsu
yang terdapat dalam tubuh manusia. Maka untuk dapat bertemu dengan Tuhan Yang Maha Suci,
roh yang telah kotor itu dibersihkan dulu melalui ibadat yang banyak.

Masih dari filsafat Yunani, pengaruh itu dikaitkan dengan filsafat emanasi Plotinus. Roh
memancar dari diri Tuhan dan akan kembali ke Tuhan. Tapi, sama dengan Pythagoras, dia
berpendapat bahwa roh yang masuk ke dalam tubuh manusia juga kotor, dan tak dapat kembali
ke Tuhan. Selama masih kotor, ia akan tetap tinggal di bumi berusaha membersihkan diri melalui
reinkarnasi. Kalau sudah bersih, ia dapat mendekatkan diri dengan Tuhan sampai ke tingkat
bersatu dengan Dia di bumi ini.

Paham penyucian diri melalui reinkarnasi tak terdapat dalam ajaran tasawuf. Paham itu
memang bertentangan dengan ajaran al-Qur'an bahwa roh, sesudah tubuh mati tidak akan
kembali ke hidup serupa di bumi. Sesudah bercerai dengan tubuh, roh pergi ke alam barzah
menunggu datangnya hari perhitungan. Tapi, konsep Plotinus tentang bersatunya roh dengan
Tuhan di dunia ini, memang terdapat dalam tasawuf Islam.

Dari agama Buddha, pengaruhnya dikatakan dari konsep Nirwana. Nirwana dapat dicapai
dengan meninggalkan dunia, memasuki hidup kontemplasi dan menghancurkan diri. Ajaran
menghancurkan diri untuk bersatu dengan Tuhan juga terdapat dalam Islam. Sedangkan
pengaruh dari agama Hindu dikatakan datang dari ajaran bersatunya Atman dengan Brahman
melalui kontemplasi dan menjauhi dunia materi. Dalam tasawuf terdapat pengalaman ittihad,
yaitu persatuan roh manusia dengan roh Tuhan.

Kita perlu mencatat, agama Hindu dan Buddha, filsafat Yunani dan agama Kristen datang
lama sebelum Islam. Bahwa yang kemudian datang dipengaruhi oleh yang datang terdahulu
adalah suatu kemungkinan. Tapi pendapat serupa ini memerlukan bukti-bukti historis. Dalam
kaitan ini timbul pertanyaan: sekiranya ajaran-ajaran tersebut diatas tidak ada, tidakkah mungkin
tasawuf timbul dari dalam diri Islam sendiri?

Hakekat tasawuf kita adalah mendekatkan diri kepada Tuhan. Dalam ajaran Islam, Tuhan
memang dekat sekali dengan manusia. Dekatnya Tuhan kepada manusia disebut al-Qur'an dan
Hadits. Ayat 186 dari surat al-Baqarah mengatakan, "Jika hambaKu bertanya kepadamu tentang
Aku, maka Aku dekat dan mengabulkan seruan orang yang memanggil jika Aku dipanggil."

Kaum sufi mengartikan do'a disini bukan berdo'a, tetapi berseru, agar Tuhan mengabulkan
seruannya untuk melihat Tuhan dan berada dekat kepada-Nya. Dengan kata lain, ia berseru agar
Tuhan membuka hijab dan menampakkan diri-Nya kepada yang berseru. Tentang dekatnya
Tuhan, digambarkan oleh ayat berikut, "Timur dan Barat kepunyaan Tuhan, maka kemana saja
kamu berpaling di situ ada wajah Tuhan" (QS. al-Baqarah 115). Ayat ini mengandung arti bahwa
dimana saja Tuhan dapat dijumpai. Tuhan dekat dan sufi tak perlu pergi jauh, untuk
menjumpainya.

Ayat berikut menggambarkan lebih lanjut betapa dekatnya Tuhan dengan manusia, "Telah
Kami ciptakan manusia dan Kami tahu apa yang dibisikkan dirinya kepadanya. Dan Kami lebih
dekat dengan manusia daripada pembuluh darah yang ada di lehernya (QS. Qaf 16). Ayat ini
menggambarkan Tuhan berada bukan diluar diri manusia, tetapi di dalam diri manusia sendiri.
Karena itu hadis mengatakan, "Siapa yang mengetahui dirinya mengetahui Tuhannya."

Untuk mencari Tuhan, sufi tak perlu pergi jauh; cukup ia masuk kedalam dirinya dan Tuhan
yang dicarinya akan ia jumpai dalam dirinya sendiri. Dalam konteks inilah ayat berikut dipahami
kaum sufi, "Bukanlah kamu yang membunuh mereka, tapi Allah-lah yang membunuh dan
bukanlah engkau yang melontarkan ketika engkau lontarkan (pasir) tapi Allah-lah yang
melontarkannya (QS. al-Anfal 17).

Disini, sufi melihat persatuan manusia dengan Tuhan. Perbuatan manusia adalah perbuatan
Tuhan. Bahwa Tuhan dekat bukan hanya kepada manusia, tapi juga kepada makhluk lain
sebagaimana dijelaskan hadis berikut, "Pada mulanya Aku adalah harta yang tersembunyi,
kemudian Aku ingin dikenal. Maka Kuciptakan makhluk, dan melalui mereka Aku-pun dikenal."

Disini terdapat paham bahwa Tuhan dan makhluk bersatu, dan bukan manusia saja yang
bersatu dengan Tuhan. Kalau ayat-ayat diatas mengandung arti ittihad, persatuan manusia
dengan Tuhan, hadits terakhir ini mengandung konsep wahdat al-wujud, kesatuan wujud
makhluk dengan Tuhan.

Demikianlah ayat-ayat al-Qur'an dan Hadits Nabi menggambarkan betapa dekatnya Tuhan
kepada manusia dan juga kepada makhluk-Nya yang lain. Gambaran serupa ini tidak
memerlukan pengaruh dari luar agar seorang muslim dapat merasakan kedekatan Tuhan itu.
Dengan khusuk dan banyak beribadat ia akan merasakan kedekatan Tuhan, lalu melihat Tuhan
dengan mata hatinya dan akhirnya mengalami persatuan rohnya dengan roh Tuhan; dan inilah
hakikat tasawuf.
JALAN PENDEKATAN DIRI KEPADA TUHAN

Jalan yang ditempuh seseorang untuk sampai ke tingkat melihat Tuhan dengan mata hati dan
akhirnya bersatu dengan Tuhan demikian panjang dan penuh duri. Bertahun-tahun orang harus
menempuh jalan yang sulit itu. Karena itu hanya sedikit sekali orang yang bisa sampai puncak
tujuan tasawuf. Jalan itu disebut tariqah (bahasa Arab), dan dari sinilah berasal kata tarekat
dalam bahasa Indonesia. Jalan itu, yang intinya adalah penyucian diri, dibagi kaum sufi ke dalam
stasion-stasion yang dalam bahasa Arab disebut maqamat -tempat seorang calon sufi menunggu
sambil berusaha keras untuk membersihkan diri agar dapat melanjutkan perjalanan ke stasion
berikutnya. Sebagaimana telah di sebut diatas penyucian diri diusahakan melalui ibadat, terutama
puasa, shalat, membaca al-Qur'an dan dzikir. Maka, seorang calon sufi banyak melaksanakan
ibadat. Tujuan semua ibadat dalam Islam ialah mendekatkan diri itu, terjadilah penyucian diri
calon sufi secara berangsur.

Jelas kiranya bahwa usaha penyucian diri, langkah pertama yang harus dilakukan seseorang
adalah tobat dari dosa-dosanya. Karena itu, stasion pertama dalam tasawuf adalah tobat. Pada
mulanya seorang calon sufi harus tobat dari dosa-dosa besar yang dilakukannya Kalau ia telah
berhasil dalam hal ini, ia akan tobat dari dosa-dosa kecil, kemudian dari perbuatan makruh dan
selanjutnya dari perbuatan syubhat. Tobat yang dimaksud adalah taubah nasuha, yaitu tobat yang
membuat orangnya menyesal atas dosa-dosanya yang lampau dan betul-betul tidak berbuat dosa
lagi walau sekecil apapun. Jelaslah bahwa usaha ini memakan waktu panjang. Untuk
memantapkan tobatnya ia pindah ke stasion kedua, yaitu zuhud. Di stasion ini ia menjauhkan diri
dari dunia materi dan dunia ramai. Ia mengasingkan diri ke tempat terpencil untuk beribadat,
puasa, shalat, membaca al-Qur'an dan dzikir. Puasanya yang banyak membuat hawa nafsunya
lemah, dan membuat ia tahan lapar dan dahaga. Ia makan dan minum hanya untuk
mempertahankan kelanjutan hidup. Ia sedikit tidur dan banyak beribadat. Pakaiannyapun
sederhana. Ia menjadi orang zahid dari dunia, orang yang tidak bisa lagi digoda oleh kesenangan
dunia dan kelezatan materi. Yang dicarinya ialah kebahagiaan rohani, dan itu diperolehnya
dalam berpuasa, melakukan shalat, membaca al-Qur'an dan berdzikir.

Kalau kesenangan dunia dan kelezatan materi tak bisa menggodanya lagi, ia keluar dari
pengasingannya masuk kembali ke dunianya semula. Ia terus banyak berpuasa, melakukan
shalat, membaca al-Qur'an dan berdzikir. Ia juga akan selalu naik haji. Sampailah ia ke stasion
wara'. Di stasion ini ia dijauhkan Tuhan dari perbuatan-perbuatan syubhat. Dalam literatur
tasawuf disebut bahwa al-Muhasibi menolak makanan, karena di dalamnya terdapat syubhat.
Bisyr al-Hafi tidak bisa mengulurkan tangan ke arah makanan yang berisi syubhat.

Dari stasion wara', ia pindah ke stasion faqr. Di stasion ini ia menjalani hidup kefakiran.
Kebutuhan hidupnya hanya sedikit dan ia tidak meminta kecuali hanya untuk dapat menjalankan
kewajiban-kewajiban agamanya. Bahkan ia tidak meminta sungguhpun ia tidak punya. Ia tidak
meminta tapi tidak menolak pemberian Tuhan.

Setelah menjalani hidup kefakiran ia sampai ke stasion sabar. Ia sabar bukan hanya dalam
menjalankan perintah-perintah Tuhan yang berat dan menjauhi larangan-larangan Tuhan yang
penuh godaan, tetapi juga sabar dalam menerima percobaan-percobaan berat yang ditimpakan
Tuhan kepadanya. Ia bukan hanya tidak meminta pertolongan dari Tuhan, bahkan ia tidak
menunggu-nunggu datangnya pertolongan. Ia sabar menderita.

Selanjutnya ia pindah ke stasion tawakkal. Ia menyerahkan diri sebulat-bulatnya kepada


kehendak Tuhan. Ia tidak memikirkan hari esok; baginya cukup apa yang ada untuk hari ini.
Bahkan, sungguhpun tak ada padanya, ia selamanya merasa tenteram. Kendatipun ada padanya,
ia tidak mau makan, karena ada orang yang lebih berhajat pada makanan dari padanya. Ia
bersikap seperti telah mati.

Dari stasion tawakkal, ia meningkat ke stasion ridla. Dari stasion ini ia tidak menentang
percobaan dari Tuhan bahkan ia menerima dengan senang hati. Ia tidak minta masuk surga dan
dijauhkan dari neraka. Di dalam hatinya tidak ada perasaan benci, yang ada hanyalah perasaan
senang. Ketika malapetaka turun, hatinya merasa senang dan di dalamnya bergelora rasa cinta
kepada Tuhan. Di sini ia telah dekat sekali dengan Tuhan dan iapun sampai ke ambang pintu
melihat Tuhan dengan hati nurani untuk selanjutnya bersatu dengan Tuhan.

Karena stasion-stasion tersebut di atas baru merupakan tempat penyucian diri bagi orang yang
memasuki jalan tasawuf, ia sebenarnya belumlah menjadi sufi, tapi baru menjadi zahid atau
calon sufi. Ia menjadi sufi setelah sampai ke stasion berikutnya dan memperoleh pengalaman-
pengalaman tasawuf.

PENGALAMAN SUFI

Di masa awal perjalanannya, calon sufi dalam hubungannya dengan Tuhan dipengaruhi rasa
takut atas dosa-dosa yang dilakukannya. Rasa takut itu kemudian berubah menjadi rasa waswas
apakah tobatnya diterima Tuhan sehingga ia dapat meneruskan perjalanannya mendekati Tuhan.
Lambat laun ia rasakan bahwa Tuhan bukanlah zat yang suka murka, tapi zat yang sayang dan
kasih kepada hamba-Nya. Rasa takut hilang dan timbullah sebagai gantinya rasa cinta kepada
Tuhan. Pada stasion ridla, rasa cinta kepada Tuhan bergelora dalam hatinya. Maka ia pun sampai
ke stasion mahabbah, cinta Ilahi. Sufi memberikan arti mahabbah sebagai berikut, pertama,
memeluk kepatuhan kepada Tuhan dan membenci sikap melawan kepada-Nya. Kedua,
Menyerahkan seluruh diri kepada Yang Dikasihi. Ketiga, Mengosongkan hati dari segala-
galanya, kecuali dari Diri Yang Dikasihi.

Mencintai Tuhan tidaklah dilarang dalam Islam, bahkan dalam al-Qur'an terdapat ayat-ayat
yang menggambarkan cinta Tuhan kepada hamba dan cinta hamba kepada Tuhan. Ayat 54 dari
surat al-Maidah, "Allah akan mendatangkan suatu umat yang dicintai-Nya dan orang yang
mencintai-Nya." Selanjutnya ayat 30 dari surat 'Ali Imran menyebutkan, "Katakanlah, jika kamu
cinta kepada Tuhan, maka turutlah Aku, dan Allah akan mencintai kamu."

Hadits juga menggambarkan cinta itu, seperti yang berikut, "Senantiasa hamba-Ku
mendekatkan diri kepada-Ku melalui ibadat sehingga Aku cinta kepadanya. Orang yang Ku-
cintai, Aku menjadi pendengaran, penglihatan dan tangannya."

Sufi yang masyhur dalam sejarah tasawuf dengan pengalaman cinta adalah seorang wanita
bernama Rabi'ah al-'Adawiah (713-801 M) di Basrah. Cintanya yang dalam kepada Tuhan
memalingkannya dari segala yang lain dari Tuhan. Dalam doanya, ia tidak meminta dijauhkan
dari neraka dan pula tidak meminta dimasukkan ke surga. Yang ia pinta adalah dekat kepada
Tuhan. Ia mengatakan, "Aku mengabdi kepada Tuhan bukan karena takut kepada neraka, bukan
pula karena ingin masuk surga, tetapi aku mengabdi karena cintaku kepada-Nya." Ia bermunajat,
"Tuhanku, jika kupuja Engkau karena takut kepada neraka, bakarlah mataku karena Engkau,
janganlah sembunyikan keindahan-Mu yang kekal itu dari pandanganku."

Sewaktu malam telah sunyi ia berkata, "Tuhanku, bintang di langit telah gemerlapan, mata-
mata telah bertiduran, pintu-pintu istana telah dikunci, tiap pecinta telah berduaan dengan yang
dicintainya, dan inilah aku berada di hadirat-Mu." Ketika fajar menyingsing ia dengan rasa
cemas mengucapkan, "Tuhanku, malam telah berlalu dan siang segera akan menampakkan diri.
Aku gelisah, apakah Engkau terima aku sehingga aku bahagia, ataukah Engkau tolak sehingga
aku merasa sedih. Demi keMahakuasaan-Mu inilah yang akan kulakukan selama Engkau beri
hajat kepadaku. Sekiranya Engkau usir aku dari depan pintuMu, aku tidak akan bergerak, karena
cintaku kepada-Mu telah memenuhi hatiku."

Pernah pula ia berkata, "Buah hatiku, hanya Engkaulah yang kukasihi. Beri ampunlah
pembuat dosa yang datang ke hadiratMu, Engkau harapanku, kebahagiaan dari kesenanganku.
Hatiku telah enggan mencintai selain Engkau." Begitu penuh hatinya dengan rasa cinta kepada
Tuhan, sehingga ketika orang bertanya kepadanya, apakah ia benci kepada setan, ia menjawab,
"Cintaku kepada Tuhan tidak meninggalkan ruang kosong di dalam hatiku untuk benci setan."

Cinta tulus Rabi'ah al-'Adawiah kepada Tuhan, akhirnya dibalas Tuhan, dan ini tertera dari
syairnya yang berikut:

Kucintai Engkau dengan dua cinta,


Cinta karena diriku dan cinta karena diri-Mu,
Cinta karena diriku Membuat aku lupa
yang lain dan senantiasa menyebut nama-Mu,
Cinta kepada diri-Mu,
Membuat aku melihat Engkau karena Engkau bukakan hijab,
Tiada puji bagiku untuk ini dan itu, Bagi-Mu-lah puji dan untuk itu semua.

Rabi'ah al-'Adawiah, telah sampai ke stasion sesudah mahabbah, yaitu ma'rifah. Ia telah
melihat Tuhan dengan hati nuraninya. Ia telah sampai ke stasion yang menjadi idaman kaum
sufi. Dengan kata lain, Rabi'ah al-'Adawiah telah benar-benar menjadi sufi.

Pengalaman ma'rifah, ditonjolkan oleh Zunnun al-Misri (w.860 M). Ma'rifah adalah anugerah
Tuhan kepada sufi yang dengan ikhlas dan sungguh-sungguh mencintai Tuhan. Karena cinta
ikhlas dan suci itulah Tuhan mengungkapkan tabir dari pandangan sufi dan dengan terbukanya
tabir itu sufi pun dapat menerima cahaya yang dipancarkan Tuhan dan sufi pun melihat
keindahan-Nya yang abadi. Ketika Zunnun ditanya, bagaimana ia memperoleh ma'rifah, ia
menjawab, "Aku melihat dan mengetahui Tuhan dengan Tuhan dan sekiranya tidak karena
Tuhan aku tidak melihat dan tidak tahu Tuhan."
Yang dimaksud Zunnun ialah bahwa ia memperoleh ma'rifah karena kemurahan hati Tuhan.
Sekiranya Tuhan tidak membukakan tabir dari mata hatinya, ia tidak akan dapat melihat Tuhan.
Sebagaimana disebut dalam literatur tasawuf, sufi berusaha keras mendekatkan diri dari bawah
dan Tuhan menurunkan rahmat-Nya dari atas. Juga dikatakan bahwa ma'rifah datang ketika cinta
sufi dari bawah dibalas Tuhan dari atas.

Dalam hubungan dengan Tuhan, sufi memakai alat bukan akal yang berpusat di kepala, tapi
qalb atau kalbu (jantung) yang berpusat di dada. Kalbu mempunyai tiga daya, pertama, daya
untuk-mengetahui sifat-sifat Tuhan yang disebut qalb. Kedua, daya untuk mencintai Tuhan yang
disebut ruh. Ketiga daya untuk melihat Tuhan yang disebut sirr.

Sirr adalah daya terpeka dari kalbu dan daya ini keluar setelah sufi berhasil menyucikan
jiwanya sesuci-sucinya. Dalam bahasa sufi, jiwa tak ubahnya sebagai kaca, yang kalau
senantiasa dibersihkan dan digosok akan mempunyai daya tangkap yang besar. Demikian juga
jiwa, makin lama ia disucikan dengan ibadat yang banyak, makin suci ia dan makin besar daya
tangkapnya, sehingga akhirnya dapat menangkap daya cemerlang yang dipancarkan Tuhan.
Ketika itu sufi pun bergemilang dalam cahaya Tuhan dan dapat melihat rahasia-rahasia Tuhan.
Karena itu al-Ghazali mengartikan ma'rifat, "Melihat rahasia-rahasia Tuhan dan mengetahui
peraturan-peraturan Tuhan tentang segala yang ada."

Kata ma'rifat memang mengandung arti pengetahuan. Maka, ma'rifat dalam tasawuf berarti
pengetahuan yang diperoleh langsung dari Tuhan melalui kalbu. Pengetahuan ini disebut ilm
ladunni. Ma'rifah berbeda dengan 'ilm. 'Ilm ini diperoleh melalui akal. Dalam pendapat al-
Ghazali, pengetahuan yang diperoleh melalui kalbu, yaitu ma'rifah, lebih benar dari pengetahuan
yang diperoleh melalui akal, yaitu 'ilm. Sebelum menempuh jalan tasawuf al-Ghazali diserang
penyakit syak. Tapi, menurut al-Ghazali, setelah mencapai ma'rifah, keyakinannya untuk
memperoleh kebenaran ternyata melalui tasawuf, bukan filsafat.

Lebih jauh mengenai ma'rifah dalam literatur tasawuf dijumpai ungkapan berikut, pertama,
kalau mata yang terdapat di dalam hati sanubari manusia terbuka, mata kepalanya akan tertutup
dan ketika itu yang dilihatnya hanya Allah. Kedua, ma'rifah adalah cermin. Kalau sufi melihat ke
cermin itu yang akan dilihatnya hanyalah Allah. Ketiga, yang dilihat orang 'arif, baik sewaktu
tidur maupun sewaktu bangun hanyalah Allah. Keempat, sekiranya ma'rifah mengambil bentuk
materi, cahaya yang disinarkannya gelap. Semua orang yang memandangnya akan mati karena
tak tahan melihat kecemerlangan dan keindahannya.

Tetapi sufi yang dapat menangkap cahaya ma'rifah dengan mata hatinya akan dipenuhi
kalbunya dengan rasa cinta yang mendalam kepada Tuhan. Tidak mengherankan kalau sufi
merasa tidak puas dengan stasion ma'rifah saja. Ia ingin berada lebih dekat lagi dengan Tuhan. Ia
ingin mengalami persatuan dengan Tuhan, yang di dalam istilah tasawuf disebut ittihad.

Pengalaman ittihad ini ditonjolkan oleh Abu Yazid antara lain Bustami (w. 874 M). Ucapan-
ucapan yang ditinggalkannya menunjukkan bahwa untuk mencapai ittihad diperlukan usaha yang
keras dan waktu yang lama. Seseorang pernah bertanya kepada Abu Yazid tentang
perjuangannya untuk mencapai ittihad. Ia menjawab, "Tiga tahun," sedang umurnya waktu itu
telah lebih dari tujuh puluh tahun. Ia ingin mengatakan bahwa dalam usia tujuh puluh tahunlah ia
baru sampai ke stasion ittihad.

Sebelum sampai ke ittihad, seorang sufi harus terlebih dahulu mengalami fana' dan baqa'.
Yang dimaksud dengan fana' adalah hancur sedangkan baqa' berarti tinggal. Sesuatu didalam diri
sufi akan fana atau hancur dan sesuatu yang lain akan baqa atau tinggal. Dalam literatur tasawuf
disebutkan, orang yang fana dari kejahatan akan baqa (tinggal) ilmu dalam dirinya; orang yang
fana dari maksiat akan baqa (tinggal) takwa dalam dirinya. Dengan demikian, yang tinggal
dalam dirinya sifat-sifat yang baik. Sesuatu hilang dari diri sufi dan sesuatu yang lain akan
timbul sebagai gantinya. Hilang kejahilan akan timbul ilmu. Hilang sifat buruk akan timbul sifat
baik. Hilang maksiat akan timbul takwa.

Untuk sampai ke ittihad, sufi harus terlebih dahulu mengalami al-fana' 'an al-nafs, dalam arti
lafdzi kehancuran jiwa. Yang dimaksud bukan hancurnya jiwa sufi menjadi tiada, tapi
kehancurannya akan menimbulkan kesadaran sufi terhadap diri-Nya. Inilah yang disebut kaum
sufi al-fana' 'an al-nafs wa al-baqa, bi 'l-Lah, dengan arti kesadaran tentang diri sendiri hancur
dan timbullah kesadaran diri Tuhan. Di sini terjadilah ittihad, persatuan atau manunggal dengan
Tuhan.

Mengenai fana', Abu Yazid mengatakan, "Aku mengetahui Tuhan melalui diriku hingga aku
hancur, kemudian aku mengetahui-Nya melalui diri-Nya dan akupun hidup. Sedangkan
mengenai fana dan baqa', ia mengungkapkan lagi, "Ia membuat aku gila pada diriku hingga aku
mati. Kemudian Ia membuat aku gila kepada diri-Nya, dan akupun hidup." Lalu, diapun berkata
lagi, "Gila pada diriku adalah fana' dan gila pada diri-Mu adalah baqa' (kelanjutan hidup)."

Dalam menjelaskan pengertian fana', al-Qusyairi menulis, "Fananya seseorang dari dirinya
dan dari makhluk lain terjadi dengan hilangnya kesadaran tentang dirinya dan makhluk lain.
Sebenarnya dirinya tetap ada, demikian pula makhluk lain, tetapi ia tak sadar lagi pada diri
mereka dan pada dirinya. Kesadaran sufi tentang dirinya dan makhluk lain lenyap dan pergi ke
dalam diri Tuhan dan terjadilah ittihad."

Ketika sampai ke ambang pintu ittihad dari sufi keluar ungkapan-ungkapan ganjil yang dalam
istilah sufi disebut syatahat (ucapan teopatis). Syatahat yang diucapkan Abu Yazid, antara lain,
sebagai berikut, "Manusia tobat dari dosanya, tetapi aku tidak. Aku hanya mengucapkan, tiada
Tuhan selain Allah."

Abu Yazid tobat dengan lafadz syahadat demikian, karena lafadz itu menggambarkan Tuhan
masih jauh dari sufi dan berada di belakang tabir. Abu Yazid ingin berada di hadirat Tuhan,
berhadapan langsung dengan Tuhan dan mengatakan kepadaNya: Tiada Tuhan selain Engkau.

Dia juga mengucapkan, "Aku tidak heran melihat cintaku pada-Mu, karena aku hanyalah
hamba yang hina. Tetapi aku heran melihat cinta-Mu padaku, karena Engkau adalah Raja Maha
Kuasa."

Kara-kata ini menggambarkan bahwa cinta mendalam Abu Yazid telah dibalas Tuhan. Lalu,
dia berkata lagi, "Aku tidak meminta dari Tuhan kecuali Tuhan."
Seperti halnya Rabi'ah yang tidak meminta surga dari Tuhan dan pula tidak meminta
dijauhkan dari neraka dan yang dikehendakinya hanyalah berada dekat dan bersatu dengan
Tuhan. Dalam mimpi ia bertanya, "Apa jalannya untuk sampai kepadaMu?"

Tuhan menjawab, "Tinggalkan dirimu dan datanglah." Akhirnya Abu Yazid dengan
meninggalkan dirinya mengalami fana, baqa' dan ittihad.

Masalah ittihad, Abu Yazid menggambarkan dengan kata-kata berikut ini, "Pada suatu ketika
aku dinaikkan kehadirat Tuhan dan Ia berkata, Abu Yazid, makhluk-Ku ingin melihat engkau.
Aku menjawab, kekasih-Ku, aku tak ingin melihat mereka. Tetapi jika itu kehendak-Mu, aku tak
berdaya menentang-Mu. Hiasilah aku dengan keesaan-Mu, sehingga jika makhluk-Mu melihat
aku, mereka akan berkata, telah kami lihat Engkau. Tetapi yang mereka lihat sebenarnya adalah
Engkau, karena ketika itu aku tak ada di sana."

Dialog antara Abu Yazid dengan Tuhan ini menggambarkan bahwa ia dekat sekali dengan
Tuhan. Godaan Tuhan untuk mengalihkan perhatian Abu Yazid ke makhluk-Nya ditolak Abu
Yazid. Ia tetap meminta bersatu dengan Tuhan. Ini kelihatan dari kata-katanya, "Hiasilah aku
dengan keesaan-Mu." Permintaan Abu Yazid dikabulkan Tuhan dan terjadilah persatuan,
sebagaimana terungkap dari kata-kata berikut ini, "Abu Yazid, semuanya kecuali engkau adalah
makhluk-Ku." Akupun berkata, aku adalah Engkau, Engkau adalah aku dan aku adalah Engkau."

Dalam literatur tasawuf disebut bahwa dalam ittihad, yang satu memanggil yang lain dengan
kata-kata: Ya ana (Hai aku). Hal ini juga dialami Abu Yazid, seperti kelihatan dalam ungkapan
selanjutnya, "Dialog pun terputus, kata menjadi satu, bahkan seluruhnya menjadi satu. Maka Ia
pun berkata kepadaku, "Hai Engkau, aku menjawab melalui diri-Nya "Hai Aku." Ia berkata
kepadaku, "Engkaulah Yang Satu." Aku menjawab, "Akulah Yang Satu." Ia berkata lagi,
"Engkau adalah Engkau." Aku menjawab: "Aku adalah Aku."

Yang penting diperhatikan dalam ungkapan diatas adalah kata-kata Abu Yazid "Aku
menjawab melalui diriNya" (Fa qultu bihi). Kata-kata bihi -melalui diri-Nya- menggambarkan
bersatunya Abu Yazid dengan Tuhan, rohnya telah melebur dalam diri Tuhan. Ia tidak ada lagi,
yang ada hanyalah Tuhan. Maka yang mengatakan "Hai Aku Yang Satu" bukan Abu Yazid,
tetapi Tuhan melalui Abu Yazid.

Dalam arti serupa inilah harus diartikan kata-kata yang diucapkan lidah sufi ketika berada
dalam ittihad yaitu kata-kata yang pada lahirnya mengandung pengakuan sufi seolah-olah ia
adalah Tuhan. Abu Yazid, seusai sembahyang subuh, mengeluarkan kata-kata, "Maha Suci Aku,
Maha Suci Aku, Maha Besar Aku, Aku adalah Allah. Tiada Allah selain Aku, maka sembahlah
Aku."

Dalam istilah sufi, kata-kata tersebut memang diucapkan lidah Abu Yazid, tetapi itu tidak
berarti bahwa ia mengakui dirinya Tuhan. Mengakui dirinya Tuhan adalah dosa terbesar, dan
sebagaimana dilihat pada permulaan makalah ini, agar dapat dekat kepada Tuhan, sufi haruslah
bersih bukan dari dosa saja, tetapi juga dari syubhat. Maka dosa terbesar tersebut diatas akan
membuat Abu Yazid jauh dari Tuhan dan tak dapat bersatu dengan Dia. Maka dalam pengertian
sufi, kata-kata diatas betul keluar dari mulut Abu Yazid. Dengan kata lain, Tuhanlah yang
mengaku diri-Nya Allah melalui lidah Abu Yazid. Karena itu dia pun mengatakan, "Pergilah,
tidak ada di rumah ini selain Allah Yang Maha Kuasa. Di dalam jubah ini tidak ada selain
Allah."

Yang mengucapkan kata-kata itu memang lidah Abu Yazid, tetapi itu tidak mengandung
pengakuan Abu Yazid bahwa ia adalah Tuhan. Itu adalah kata-kata Tuhan yang diucapkan
melalui lidah Abu Yazid.

Sufi lain yang mengalami persatuan dengan Tuhan adalah Husain Ibn Mansur al-Hallaj (858-
922 M), yang berlainan nasibnya dengan Abu Yazid. Nasibnya malang karena dijatuhi hukuman
bunuh, mayatnya dibakar dan debunya dibuang ke sungai Tigris. Hal ini karena dia mengatakan,
"Ana 'l-Haqq (Akulah Yang Maha Benar).

Pengalaman persatuannya dengan Tuhan tidak disebut ittihad, tetapi hulul. Kalau Abu Yazid
mengalami naik ke langit untuk bersatu dengan Tuhan, al-Hallaj mengalami persatuannya
dengan Tuhan turun ke bumi. Dalam literatur tasawuf hulul diartikan, Tuhan memilih tubuh-
tubuh manusia tertentu untuk bersemayam didalamnya dengan sifat-sifat ketuhanannya, setelah
sifat-sifat kemanusiaan yang ada dalam tubuh itu dihancurkan.

Di sini terdapat juga konsep fana, yang dialami Abu Yazid dalam ittihad sebelum tercapai
hulul. Menurut al-Hallaj, manusia mempunyai dua sifat dasar: nasut (kemanusiaan) dan lahut
(ketuhanan). Demikian juga Tuhan mempunyai dua sifat dasar, lahut (ketuhanan) dan nasut
(kemanusiaan). Landasan bahwa Tuhan dan manusia sama-sama mempunyai sifat diambil dari
hadits yang menegaskan bahwa Tuhan menciptakan Adam sesuai dengan bentuk-Nya.

Hadits ini mengandung arti bahwa didalam diri Adam ada bentuk Tuhan dan itulah yang
disebut lahut manusia. Sebaliknya didalam diri Tuhan terdapat bentuk Adam dan itulah yang
disebut nasut Tuhan. Hal ini terlihat jelas pada syair al-Hallaj sebagai berikut:

Maha Suci Diri Yang Sifat kemanusiaan-Nya


Membukakan rahasia cahaya ketuhanan-Nya yang gemilang
Kemudian kelihatan bagi makhluk-Nya dengan nyata
Dalam bentuk manusia yang makan dan minum

Dengan membersihkan diri malalui ibadat yang banyak dilakukan, nasut manusia lenyap dan
muncullah lahut-nya dan ketika itulah nasut Tuhan turun bersemayam dalam diri sufi dan
terjadilah hulul.

Hal itu digambarkan al-Hallaj dalam syair berikut ini:

Jiwa-Mu disatukan dengan jiwaku


Sebagaimana anggur disatukan dengan air suci
Jika Engkau disentuh, aku disentuhnya pula
Maka, ketika itu -dalam tiap hal- Engkau adalah aku.

Hulul juga digambarkan dalam syair berikut:


Aku adalah Dia yang kucintai
Dan Dia yang kucintai adalah aku,
Kami adalah dua jiwa yang menempati satu tubuh,

Jika Engkau lihat aku, engkau lihat Dia,


Dan jika engkau lihat Dia, engkau lihat Kami.

Ketika mengalami hulul yang digambarkan diatas itulah lidah al-Hallaj mengucapkan, "Ana
'l-Haqq (Akulah Yang Maha Benar). Tetapi sebagaimana halnya dengan Abu Yazid, ucapan
itu tidak mengandung arti pengakuan al-Hallaj dirinya menjadi Tuhan. Kata-kata itu adalah
kata-kata Tuhan yang Ia ucapkan melalui lidah al-Hallaj. Sufi yang bernasib malang ini
mengatakan,

"Aku adalah rahasia Yang Maha Benar,


Yang Maha Benar bukanlah Aku,
Aku hanya satu dari yang benar,
Maka bedakanlah antara kami."

Syatahat atau kata-kata teofani sufi seperti itu membuat kaum syari'at menuduh sufi telah
menyeleweng dari ajaran Islam dan menganggap tasawuf bertentangan dengan Islam. Kaum
syari'at yang banyak terikat kepada formalitas ibadat, tidak menangkap pengalaman sufi yang
mementingkan hakekat dan tujuan ibadat, yaitu mendekatkan diri sedekat mungkin kepada
Tuhan.

Dalam sejarah Islam memang terkenal adanya pertentangan keras antara kaum syari'at dan
kaum hakekat, gelar yang diberikan kepada kaum sufi. Pertentangan ini mereda setelah al-
Ghazali datang dengan pengalamannya bahwa jalan sufilah yang dapat membawa orang kepada
kebenaran yang menyakinkan. Al-Ghazali menghalalkan tasawuf sampai tingkat ma'rifah,
sungguhpun ia tidak mengharamkan tingkat fana', baqa, dan ittihad. Ia tidak mengkafirkan Abu
Yazid dan al-Hallaj, tapi mengkafirkan al-Farabi dan Ibn Sina.

Kalau filsafat, setelah kritik al-Ghazali dalam bukunya Tahafut al-Falasifah, tidak
berkembang lagi di dunia Islam Sunni, tasawuf sebaliknya banyak diamalkan, bahkan oleh
syariat sendiri. Dalam perkembangan selanjutnya, setelah pengalaman persatuan manusia
dengan Tuhan yang dibawa al-Bustami dalam ittihad dan al-Hallaj dalam hulul, Muhy al-
Din Ibn 'Arabi (1165-1240) membawa ajaran kesatuan wujud makhluk dengan Tuhan dalam
wahdat al-wujud.

Lahut dan nasut, yang bagi al-Hallaj merupakan dua hal yang berbeda, ia satukan menjadi dua
aspek. Dalam pengalamannya, tiap makhluk mempunyai dua aspek. Aspek batin yang
merupakan esensi, disebut al-haqq, dan aspek luar yang merupakan aksiden disebut al-khalq.
Semua makhluk dalam aspek luarnya berbeda, tetapi dalam aspek batinnya satu, yaitu al-haqq.
Wujud semuanya satu, yaitu wujud al-haqq.

Tuhan, sebagaimana disebut dalam Hadits yang telah dikutip pada permulaan, pada awalnya
adalah "harta" tersembunyi, kemudian Ia ingin dikenal maka diciptakan-Nya makhluk, dan
melalui makhluklah Ia dikenal. Maka, alam sebagai makhluk, adalah penampakan diri atau
tajalli dari Tuhan. Alam sebagai cermin yang didalamnya terdapat gambar Tuhan. Dengan kata
lain, alam adalah bayangan Tuhan. Sebagai bayangan, wujud alam tak akan ada tanpa wujud
Tuhan. Wujud alam tergantung pada wujud Tuhan. Sebagai bayangan, wujud alam bersatu
dengan wujud Tuhan dalam ajaran wahdat al-wujud.

Yang ada dalam alam ini kelihatannya banyak tetapi pada hakekatnya satu. Keadaan ini tak
ubahnya sebagai orang yang melihat dirinya dalam beberapa cermin yang diletakkan di
sekelilingnya. Di dalam tiap cermin, ia lihat dirinya. Di dalam cermin, dirinya kelihatan
banyak, tetapi pada hakekatnya dirinya hanya satu. Yang lain dan yang banyak adalah
bayangannya.

Oleh karena itu ada orang yang mengidentikkan ajaran wahdat al-wujud Ibn Arabi dengan
panteisme dalam arti bahwa yang disebut Tuhan adalah alam semesta. Jelas bahwa Ibn Arabi
tidak mengidentikkan alam dengan Tuhan. Bagi Ibn Arabi, sebagaimana halnya dengan sufi-
sufi lainnya, Tuhan adalah transendental dan bukan imanen. Tuhan berada di luar dan bukan
di dalam alam. Alam hanya merupakan penampakan diri atau tajalli dari Tuhan.

Ajaran wahdat al-wujud dengan tajalli Tuhan ini selanjutnya membawa pada ajaran al-Insan
al-Kamil yang dikembangkan terutama oleh Abd al-Karim al-Jilli (1366-1428). Dalam
pengalaman al-Jilli, tajalli atau penampakan diri Tuhan mengambil tiga tahap tanazul
(turun), ahadiah, Huwiah dan Aniyah.

Pada tahap ahadiah, Tuhan dalam keabsolutannya baru keluar dari al-'ama, kabut kegelapan,
tanpa nama dan sifat. Pada tahap hawiah nama dan sifat Tuhan telah muncul, tetapi masih dalam
bentuk potensial. Pada tahap aniah, Tuhan menampakkan diri dengan nama-nama dan sifat-sifat-
Nya pada makhluk-Nya. Di antara semua makhluk-Nya, pada diri manusia Ia
menampakkan diri-Nya dengan segala sifat-Nya.

Sungguhpun manusia merupakan tajalli atau penampakan diri Tuhan yang paling sempurna
diantara semua makhluk-Nya, tajalli-Nya tidak sama pada semua manusia. Tajalli Tuhan
yang sempurna terdapat dalam Insan Kamil. Untuk mencapai tingkat Insan Kamil, sufi
mesti mengadakan taraqqi (pendakian) melalui tiga tingkatan: bidayah, tawassut dan
khitam.

Pada tingkat bidayah, sufi disinari oleh nama-nama Tuhan, dengan kata lain, pada sufi yang
demikian, Tuhan menampakkan diri dalam nama-nama-Nya, seperti Pengasih, Penyayang dan
sebagainya (tajalli fi al-asma). Pada tingkat tawassut, sufi disinari oleh sifat-sifat Tuhan, seperti
hayat, ilmu, qudrat dll. Dan Tuhan ber-tajalli pada sufi demikian dengan sifat-sifat-Nya.
Pada tingkat khitam, sufi disinari dzat Tuhan yang dengan demikian sufi tersebut ber-tajalli
dengan dzat-Nya. Pada tingkat ini sufi pun menjadi Insan Kamil. Ia menjadi manusia
sempurna, mempunyai sifat ketuhanan dan dalam dirinya terdapat bentuk (shurah) Allah.
Dialah bayangan Tuhan yang sempurna. Dan dialah yang menjadi perantara antara manusia
dan Tuhan. Insan Kamil terdapat dalam diri para Nabi dan para wali. Di antara semuanya,
Insan Kamil yang tersempurna terdapat dalam diri Nabi Muhammad.
Demikianlah, tujuan sufi untuk berada sedekat mungkin dengan Tuhan akhirnya tercapai
malalui ittihad serta hulul yang mengandung pengalaman persatuan roh manusia dengan roh
Tuhan dan melalui wahdat al-wujud yang mengandung arti penampakan diri atau tajalli
Tuhan yang sempurna dalam diri Insan Kamil.

Sementara itu tasawuf pada masa awal sejarahnya mengambil bentuk tarekat, dalam arti
organisasi tasawuf, yang dibentuk oleh murid-murid atau pengikut-pengikut sufi besar untuk
melestarikan ajaran gurunya. Di antara tarekat-tarekat besar yang terdapat di Indonesia adalah
Qadiriah yang muncul pada abad ke-13 Masehi untuk melestarikan ajaran Syekh Abdul
Qadir Jailani (w. 1166 M), Naqsyabandiah, muncul pada abad ke-14 bagi pengikut
Bahauddin Naqsyabandi (w. 1415 M), Syattariah, pengikut Abdullah Syattar (w. 1415 M),
dan Tijaniah yang muncul pada abad ke-19 di Marokko dan Aljazair. Tarekat-tarekat
besar lain diantaranya adalah Bekhtasyiah di Turki, Sanusiah di Libia, Syadziliah di
Marokko, Mesir dan Suria, Mawlawiah (Jalaluddin Rumi) di Turki, dan Rifa'iah di Irak, Suria
dan Mesir.

Dalam tarekat, ajaran-ajaran sufi besar tersebut terkadang diselewengkan, sehingga tarekat
menyimpang dari tujuan sebenarnya dari sufi untuk menyucikan diri dan berada dekat dengan
Tuhan. Tarekat ada yang telah menyalahi ajaran dasar sufi dan syari'at Islam, sehingga
timbullah pertentangan antara kaum syari'at dan kaum tarekat.

Sementara itu ada pula tarekat yang menekankan pentingnya kehidupan rohani dan
mengabaikan kehidupan duniawi, dan disamping itu menekankan ajaran tawakal sufi,
sehingga mengabaikan usaha. Dengan kata lain, yang dikembangkan tarekat adalah orientasi
akhirat dan sikap tawakal.

Perlu ditegaskan bahwa sampai permulaan abad ke-20, tarekat mempunyai pengaruh besar
dalam masyarakat Islam. Karena pengaruh besar itu, orang-orang yang ingin mendapat
dukungan dari masyarakat menjadi anggota tarekat. Di Turki Usmani, tentara menjadi
anggota tarekat Bekhtasyi dan dalam perlawanan mereka terhadap pembaharuan yang
diadakan sultan-sultan, mereka mendapat sokongan dari tarekat Bekhtasyi dan para ulama
Turki.

Karena pengaruh besar dalam masyarakat itu orientasi akhirat dan sikap tawakal berkembang di
kalangan umat Islam yang bekas-bekasnya masih ada pada kita sampai sekarang. Untuk itu
tidak mengherankan kalau pemimpin-pemimpin pembaharuan dalam Islam seperti
Jamaluddin Afghani, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha dan terutama Kamal Ataturk
memandang tarekat sebagai salah satu faktor yang membawa kepada kemunduran umat
Islam.

Dalam pada itu dunia dewasa ini dilanda oleh materialisme yang menimbulkan berbagai
masalah sosial yang pelik. Banyak orang mengatakan bahwa dalam menghadapi meterialisme
yang melanda dunia sekarang, perlu dihidupkan kembali spiritualisme. Disini tasawuf
dengan ajaran kerohanian dan akhlak mulianya dapat memainkan peranan penting. Tetapi
untuk itu yang perlu ditekankan tarekat dalam diri para pengikutnya adalah penyucian diri
dan pembentukan akhlak mulia disamping kerohanian dengan tidak mengabaikan
kehidupan keduniaan.

Pada akhir-akhir ini memang kelihatan gejala orang-orang di Barat yang bosan hidup
kematerian lalu mencari hidup kerohanian di Timur. Ada yang pergi ke kerohanian dalam
agama Buddha, ada ke kerohanian dalam agama Hindu dan tak sedikit pula yang mengikuti
kerohanian dalam agama Islam, umpamanya aliran Subud di Jakarta.

Dalam hubungan itu kira-kira 30 tahun lalu, A.J. Arberry dalam bukunya Sufism menulis
bahwa Muslim dan bukan Muslim adalah makhluk Tuhan yang satu. Oleh karena itu bukanlah
tidak pada tempatnya bagi seorang Kristen untuk mempelajari ajaran-ajaran sufi yang telah
meninggalkan pengaruh besar dalam kehidupan umat Islam dan bersama-sama dengan orang
Islam menggali kembali ajaran-ajaran sufi yang akan dapat memenuhi kebutuhan orang yang
mencari nilai-nilai kerohanian dan moral zaman yang penuh kegelapan dan tantangan seperti
sekarang.

DAFTAR KEPUSTAKAAN

Arberry, A.J., Sufism, London, George Allan and Unwin Ltd., 1963.
Badawi, A.R., Syatahat al-Sufiah, Cairo, al-Nahdah al-Misriah, 1949.
Corbin, H., Histoire de la Philosophie Islamique, Paris, Gallimard, 1964.

ILMU TASAWUF

A. Pengertian
Tasawuf

• Tasawuf
adalah upaya mensucikan diri dengan cara menjauhkan pengaruh
kehidupan
dunia dan memusatkan perhatian hanya kepada Allah Swt.

Maqamat dalam
Tasawuf

Maqamat adalah jalan yang harus
ditempuh seorang sufi untuk berada dekat dengan Allah.


Tingkatan maqamat adalah: taubat,
zuhud, wara’, faqir, sabar, tawakkal, dan ridho.

1.
Taubat: memohon ampun disertai janji tidak akan
mengulangi lagi.

2.
Zuhud: meninggalkan kehidupan dunia dan mengutamakan
kebahagiaan di akhirat.

3.
Wara’: meninggalkan segala yang syubhat (tidak
jelas halal haramnya).

4.
Faqir: tidak meminta lebih dari apa yang sudah
diterima.

5.
Sabar: tabah dalam menjalankan perintah Allah dan
tenang menghadapi cobaan.

6.
Tawakkal: berserah diri pada qada dan keputusan
Allah.
7.
Ridho: tidak berusaha menentang qada Allah.

Konsep dalam
Tasawuf

1.
Mahabbah: perasaan cinta yang mendalam secara
ruhaniah kepada Allah.

2.
Ma’rifat: mengetahui Tuhan dari dekat, sehingga hati
sanubari dapat melihat Tuhan.

3.
Wahdatul wujud: Bersatunya manusia dengan Tuhan. Manusia
dan Tuhan pada hakikatnya adalah satu kesatuan wujud.

4.
Insan Kamil: manusia yang dekat dan terbina potensi
ruhaniahnya shg dapat berfungsi secara optimal.
Pembagian
Tasawuf

1. Tasawuf
Akhlaqi

Tasawuf akhlaqi adalah


tasawuf yang berkonstrasi pada teori-teori perilaku, akhlaq atau budi pekerti
atau perbaikan akhlaq. Dengan metode-metode tertentu yang telah dirumuskan,
tasawuf seperti ini berupaya untuk menghindari akhlaq mazmunah dan
mewujudkan akhlaq mahmudah. Tasawuf seperi ini dikembangkan oleh ulama’
lama sufi.

Dalam pandangan para sufi


berpendapat bahwa untuk merehabilitasi sikap mental yang tidak baik diperlukan
terapi yang tidak hanya dari aspek lahiriyah. Oleh karena itu pada tahap-tahap
awal memasuki kehidupan tasawuf, seseorang diharuskan melakukan amalan dan
latihan kerohanian yang cukup berat tujuannya adalah mengusai hawa nafsu,
menekan hawa nafsu, sampai ke titik terendah dan -bila mungkin- mematikan hawa
nafsu sama sekali oleh karena itu dalam tasawuf akhlaqi mempunyai tahap sistem
pembinaan akhlak disusun sebagai berikut:

a. Takhalli
Takhalli
merupakan langkah pertama yang harus di lakukan oleh seorang sufi.Takhalli
adalah usaha mengosongkan diri dari perilaku dan akhlak tercela. Salah satu
dari akhlak tercela yang paling banyak menyebabkan akhlak jelek antara lain
adalah kecintaan yang berlebihan kepada urusan duniawi.

b. Tahalli

Tahalli adalah upaya mengisi dan menghiasi diri dengan


jalan membiasakan diri dengan sikap, perilaku, dan akhlak terpuji. Tahapan
tahalli dilakukan kaum sufi setelah mengosongkan jiwa dari akhlak-akhlak
tercela. Dengan menjalankan ketentuan agama baik yang bersifat eksternal (luar)
maupun internal (dalam). Yang disebut aspek luar adalah kewajiban-kewajiban
yang bersifat formal seperti sholat, puasa, haji dll. Dan adapun yang bersifat
dalam adalah seperti keimanan, ketaatan dan kecintaan kepada Tuhan.

c. Tajalli

Untuk pemantapan dan pendalaman materi yang telah dilalui


pada fase tahalli, maka rangkaian pendidikan akhlak selanjutnya adalah
fase tajalli. Kata tajalli bermakna terungkapnya nur ghaib. Agar
hasil yang telah diperoleh jiwa dan organ-organ tubuh –yang telah terisi dengan
butir-butir mutiara akhlak dan sudah terbiasa melakukan perbuatan-perbuatan
yang luhur- tidak berkurang, maka, maka rasa ketuhanan perlu dihayati lebih lanjut.
Kebiasaan yang dilakukan dengan kesadaran optimum dan rasa kecintaan yang
mendalam dengan sendirinya akan menumbuhkan rasa rindu kepada-Nya.
2. Tasawuf Falsafi

Tasawuf Falsafi adalah


tasawuf yang didasarkan kepada gabungan teori-teori tasawuf dan filsafat atau
yang bermakana mistik metafisis, karakter umum dari tasawuf ini
sebagaimana yang telah dikemukakan oleh Al-Taftazani bahwa tasawuf seperti ini:
tidak dapat dikatagorikan sebagai tasawuf dalam arti sesungguhnya, karena
teori-teorinya selalu dikemukakan dalam bahasa filsafat, juga tidak dapat
dikatakan sebagai filsafat dalam artian yang sebenarnya karena teori-teorinya
juga didasarkan pada rasa. Hamka menegaskan juga bahwa tasawuf jenis tidak
sepenuhnya dapat dikatakan tasawuf dan begitu juga sebaliknya. Tasawuf seperti
ini dikembangkan oleh ahli-ahli sufi sekaligus filosof. Oleh karena itu, mereka
gemar terhadap ide-ide spekulatif. Dari kegemaran berfilsafat itu, mereka mampu
menampilkan argumen-argumen yang kaya dan luas tentang ide-ide ketuhanan.

3. Tasawuf Syi’i

Kalau berbicara tasawuf


syi’i, maka akan diikuti oleh tasawuf sunni. Dimana dua macam tasawuf
yang dibedakan berdasarkan “kedekatan” atau “jarak” ini memiliki perbedaan.
Paham tasawuf syi’i beranggapan, bahwa manusia dapat meninggal dengan tuhannya
karena kesamaan esensi dengan Tuhannya karena ada kesamaan esensi antara
keduanya. Menurut ibnu Khaldun yang dikutip oleh Taftazani melihat kedekatan
antara tasawuf falsafi dan tasawuf syi’i. Syi’i memilki pandangan hulul atau
ketuhanan iman-iman mereka. Menurutnya dua kelompok itu mempunyai dua kesamaan.
B.
PERKEMBANGAN TASAWUF AKHLAQI, FALSAFI, SYI’I

Dalam sejarah
perkembangan tasawuf, para ahli membagi tasawuf menjadi dua, yaitu tasawuf yang
mengarah pada perilaku dan tasawuf yang mengarah pada teori-teori perilaku dan
tasawuf yang mengarah pada teori-teori yang rumit dan memerlukan pemahaman
mendalam. Pada perkembangannya, tasawuf ke arah pertama sering disebut tasuwuf akhlaqi.
Ada yang menyebutkan tasawuf yang
sering dikembangkan oleh kaum salaf. Adapun tasawuf yang berorientas ke arah
kedua disebut tasawuf disebut sebagai falsafi . tasawuf banyak
dikembangakan para sufi yang berlatar belakang sebagai filosof di samping
sebagai sufi.

Pembagian dua jenis


tasawuf di atas didasarkan atas kecenderungan ajaran yang dikembangkan, yakni
kecenderungan pada perilaku atau moral keagamaan dan kecenderungna pada
pemikirin. Dua kecenderungan ini terus berkembang hingga mempunyai jalan
sendiri-sendiri. Untuk melihat perkembangan tasawuf ke arah yang berbeda ini,
perlu ditinjau lebih jauh tentang gerak sejarah perkembanganya.

Pada mulanya tasawuf merupakan perkembangan dari


pemahaman tentang makna-makna intuisi-intuisi islam. Sejak zaman sahabat dan
tabi’in kecenderungan orang terhadap ajaran Islm secara lebih analistis sudah
muncul. Ajaran islam dipandanga dari dua aspek, yaitu aspek lahiriah
(seremonial) dan aspek batiniah(spritual), atau aspek “luar” dan aspek “dalam”.
Pendalaman dan aspek dalamnya mulai terlihat sebagai hal yang paling utama,
namun tanpa mengabaikankan aspek luarnya yang dimotifasikan untk membersihkan
jiwa. Tanggapan perenungan mereka lebih berorientasi pada aspek dalam, yaitu
cara hidup yang lebih mengutamakan rasa, keagungan tuhan dan kebebasan egoisme.

Perkembangan tasawuf dalam Islam telah mengalami


beberapa fase: pertama, yaitu fase asketisme (zuhud) yaitu tumbuh pada
abad pertama dan kedua hijriah. Sikap asketisme (zuhud) ini banyak
dipandang sebagai pengantar kemunculan tasawuf. Pada fase ini, terdapat individu-individu dari
kalangan-kalangan muslim
yang lebih memusatkan dirinya pada ibadah. Mereka menjalankan konsepsi asketis
dalam hidupnya, yaitu tidak mementingkan makanan, pakaian, maupun tempat
tinggal. Mereka lebih banyak beramal untuk hal-hal yang berkaitan dalam
kehidupan akhirat, yang menyebabkan mereka lebih memusatkan diri pada jalur
kehidupan atau tingkah laku yang asketis. Tokoh yang sangat populer dari
kalangan mereka adalah Hasan AL-Bashri (wafat pada 110 H) dan Rabiah Al-Adawiah
(wafat pada 185 H). kedua tokoh ini sebagai zahid.

Pada abad ketiga hijriah, para sufi mulai menaruh


perhatian terhadap hal-hal yang berkaitan tentang jiwa dan tingkah laku.
Perkembangan dan doktrin-doktrin dan tingkah laku sufi ditandai dengan upaya
menegakkan moral ditengah terjadinya dekadensi moral yang berkembang saat itu.
Sehingga ditangan mereka, tasawuf pun berkembang menjadi ilmu moral keagamaan
atau ilmu akhlak keagamaan. Pembahasan mereka tentang moral, akhirnya,
mendorongnya untuk semakin mengkaji hal-hal yang berkaitan tentang akhlak.

Kajian yang berkenaan


dengan akhlak ini menjadikan tasawuf terlihat sebagai amalan yang sangat
sederhana dan mudah dipraktekkan oleh semua orang. Kesederhanaannya dilihat
dari kemudahan landasan- landasan atau alur befikirnya. Tasawuf pada alur yang
sederhana ini kelihatannya banyak ditampilkan oleh kaum salaf. Perhatian mereka
lebih tertuju pada realitas pengamalan Islam dalam praktek yang lebih
menekankan perilaku manusia yang terpuji.

Kaum salaf tersebut


melaksanakan amalan-amalan tasawuf dengan menampilakan akhlak atau moral yang
terpuji, dengan maksud memahami kandungan batiniah ajaran Islam yang mereka
nilai benyak mengandung muatan anjuran untuk untuk berakhlak terpuji. Kondisi
ini mulai berkembang di tengah kehidupan lahiriah yang sangat formal namun
tidak diterima sepenuhnya oleh mereka yang mendambakan konsistensi pengamalan
ajaran Islam hingga aspek terdalam. Oleh karena itu, ketika mereka menyaksiakn
ketidakberesan perilaku (akhlak) di sekitarnya. Mereka menanamkan kembali
akhlak mulia. Pada masa itu tasawuf identik dengan akhlak.

Kondisi tersebut kurang


lebih berkembang selama satu abad, kemudian pada abad ketiga hijriah, muncul
jenis tasawuf lain yang lebih menonjol pemikiran ekslusif. Golongan ini diwakili
oleh Al-Hallaj, yang kemudian dihukum mati karena manyatakan pendapatnya
mengenai hulul (pada 309 H). Boleh jadi, Al-hallaj mengalami peristiwa
naas seperti itu karena paham hululnya ketika itu sangat kontrofersial
dengan kenyataan di masyarakat yang tengah mengarungi jenis tasawuf akhlaqi.
Untuk itu, kehadiran Al-Hallaj dianggap membahayan pemikiran umat. Banyak
pengamat menilai bahwa tasawuf jenis ini terpengaruh unsur-unsur di luar islam.

Pada abad kelima


hijriah muncullah Imam Al-Ghazali, yang sepenuhnya hanya menerima taswuf
berdasarkan Al-Quran dan As-Sunnah serta bertujuan asketisme, kehidupan
sederhana, pelurusan jiwa, dan pembinaan moral. Pengetahuan tentang tasawuf
berdasarkan tasawuf dikajinya dengan begitu mendalam. Di sisi lain, ia melancarkan
kritikan tajam terhadap para filosof, kaum Mu’tazilah dan Batiniyah.
Al-Ghazali berhasil mengenalkan prinsip-prinsip tasawuf yang moderat, yang
seiring dengan aliran ahlu sunnah waljama’ah, dan bertentangan dengan
tasawuf Al-Hajjaj dan Abu Yazid Al-Busthami, terutama mengenai soal karakter
manusia.

Sejak abad keenam


hijriah, sebagai akibat pengaruh keperibadian Al-Ghazali yang begitu besar,
pengaruh tasawuf Sunni semakin meluas ke seluruh pelosok dunia Islam.
Keadaan ini memberi peluang bagi munculnya para tokuoh sufi yang mengembangkan tarikat-
tarikat
untuk mendidik para murid mereka, seperti Sayyid Ahmad Ar-Rifa’i (wafat
pada tahun 570 H) dan Sayyid Abdul Qadir Al-Jailani (wafat pada tahun 651 H).

Sejak abad keenam


Hijriah, muncul sekelompok tokoh tasawuf yang memadukan tasawuf mereka dengan
filsafat, dengan teori mereka yang bersifat setengah-setengah. Artinya, tidak
dapat disebut murni tasawuf, tetapi juga juga tidak dapat disebut murni
filsafat. Di antara mereka terdapat Syukhrawadi Al-Maqtul (wafat pada tahun 549
H) penyusun kitab Hikmah Al-Isyraqiah, syekh Akbar Muhyiddin Ibnu Arabi
(wafat pada tahun 638 H), penyair sufi Mesir, Ibnu Faridh wafat pada tahun
632), Abdul Haqq Ibnu Sab’in Al-Mursi(meninggal pada tahun 669 H), serta
tokoh-tokoh yang lainnya yang sealiran. Mereka banyak menimba berbagai sumber
dan pendapat asing, seperti filsafat Yunani dan khususnya Neo-Platonisme.
Mereka pun banyak mempunyai teori mendalam mengenai jiwa, moral, pengetahuan,
wujud dan sangat bernilai baik ditinjau dari segi tasawuf maupun filsafat, dan
berdampak besar bagi para sufi mutakhir.
Dengan munculnya para
sufi yang juga filosof, orang mulai membedakannya dengan tasawuf yang mula-mula
berkembang , yakni tasawuf akhlaqi. Kemudian, tasawuf akhlaqi ini
didentik dengan tasawuf sunni. Hanya saja, titik tekan penyebutan
tasawuf sunni dilihat pada upaya yang dilakukan oleh sufi-sufi yang
memegari tasawufnya dengan Al-Quran dan As-Sunnah. Dengan demikian terbagi
menjadi dua, yaitu sunni yang lebih berorientasi pada pengokohan akhlak
, dan tasawuf falsafi, yakni aliran yang menonjolkan pemikiran-pemikiran
filosofis dengan ungkapan-ungkapan ganjilnya (syathahiyat) dalam
ajaran-ajaran yang dikembangkannya. Ungkapan-ungkapan syathahiyat itu
bertolak dari keadaan yang fana menuju pernyataan tentang terjadinya
penyatuan ataupun hulul.

Tasawuf akhlaqi(sunni),
sebagaimana dituturkan Al-Qusyairi dalam Ar-Risalah-nya, diwakili para
tokoh sufi dari abad ketiga dan keempat Hijriayah, Imam Al-Ghazali, dan para
pemimpin thariqat yang memadukan taswuf dengan filsafat, sebagaimana
disebut di atas. Para sufi yang juga seorang filosof ini
banyak mendapat kecaman dari para fuqaha akibat pernyataan-pernyataan
mereka yang panteistis. Di antara fuqaha yang paling keras kecamannya
terhadap golongan sufi yang juga filosof ini ialah Ibnu Taimiah (wafat pada
tahun 728 H).

Selama abad kelima


Hijriah, aliran tasawuf sunni terus tumbuh dan berkembang. Sebaiknya,
aliran tasawuf filosofis mulai tenggelam dan muncul kembali dalam bentuk
lain pada pribadi-pribadi sufi yang juga filosof pada abad keenam hijriah dan
seterusnya. Tenggelamnya aliran kedua ini pada dasarnya merupakan imbas
kejayaan aliran teologi ahlu sunnah wal jama’ah di atas aliran-aliran
lainnya. Dia antara kritik keras, teologi ahlu sunnah wal jama’ah dialamatkan
pada keekstriman tasawuf Abu Yazid Al-Busthami, Al-Hallaj, para sufi lain yang
ungkapan-ungkapannya terkenal ganjil, termasuk kecamannya terhadap semua bentuk
berbagai penyimpangan lainnya yang mulai timbul di kalangan tasawuf. Kejayaan
taswuf Sunni diakibatkan oleh kepiawaian Abu Hasan Al-Asy’ari (wafat 324
H) dalam menggagas pemikiran Sunninya terutama dalam bidang ilmu kalam.

Al-Ghazali dipandang
sebagai pembela tasawuf Sunni. Pandangan Oleh karena itu, pada abag
kelima Hijriah cenderung mengalami pembaharuan, yakni dengan mengembalikannya
pada landasan Al-Quraan dan As-Sunnah. Al-Qusyairi dan Al-Harrawi dipandang
sebagai tokoh sufi paling menonjol pada abad ini yang member bentik tasawuf Sunni.
Kitab Ar-Risalah Al-Qusyairiah memperlihatkan dengan jelas bagaiman
Al-Qusyairi mengembalikan landasan tasawuf pada doktrin ahlu sunnah. Dalam
penilaiannya, ia menegasakan bahwa para tokoh sufi aliran ini membina
prinsip-prinsip tasawuf atas landasan tauhid yang benar sehingga doktrin mereka
terpelihara dari penyimpangan. Selain itu mereka lebih dekat dengan tauhid kaum
salaf maupun ahlu sunnah yang menakjubkan. Al-Qusyairi secara
implisi menolak para sufi yang mengajarakan syahadat, yang mengucapkan
ungkapan penuh kesan tentang terjadimya perpaduan antara sifat-sifat ketuhanan,
terutama sifat terdahulu-Nya, dengan sifat-sifat kemanusiaan, khususnay sifat
baru-Nya.

Tokoh lainnya yang


seirama dengan Al-Qusyairi adalah Abu Ismail Al-Anshari, yang sering disebut
dengan Al-Harawi. Ia mendasrakan tasawufnya pada doktrin ahlu sunnah. Ia
diapandang sebagai penggagas aliran pembaharuan dalam tasawuf dan penentang
para sufi yang terkenal dengan keganjilan ungkapantasawufnya seiring dengan
para sufi aliran pertama, para sufi abad ketiga dan keempat Hijriah. Disampng
itu, pandangan-pandangannya seiring dengan Al-Qusyairi dan Al-Harawi. Namun,
dari segi-segi kepribadian, keluasan pengetahuan, dan kedalaman tasawufnya,
Al-Ghazali memiliki kelebihan dibandingkan dengan semua tokoh di atas. Ia
sering diklaim sebagai seorang sufi terbesar dan terkuat pengaruhnya dalam
khazanah ketasawufan di dunia Islam.

Dengan demikian, abad


kelima Hijriah merupakan tonggak yang menentukan kejayaan tasawuf Sunni. Pada
abad tersebut, tasawuf Sunni tersebar luas dikalangan dunia Islam.
Fondasinya begitu dalam terpancang untuk jangka lama pada berbagai lapisan
masyarakat Islam.

Diluar dua aliran di


atas, ada juga yang memasukkan tasawuf aliran ketiga, yaitu tasawuf syi’i atau
syi’ah. Pembagian yang ketiga ini didasarka atas ketajaman pemahaman
kaum sufi dalam menganalisis kedekatan manusia dengan tuhan. Kaum syi’ah merupakan
golongan yang dinisbatkan kepada pengikut Ali bin Abi Thalib. Dalam sejarahnya,
setelah peristiwa perang shiffin (yakni perang anta pendukung
kekholifaan Ali dan pendukung Muawiyah bin Abi Sufyan), orang-orang pendukung
fanatik Ali memisahkan diri dan banyak berdiam di daratan Persia, yaitu suatu
daratan yang terkenal banyak mewarisi tradisi pemikiran semenjak imperium
Persia berjaya, dan di Persia inilah kontak antara budaya Islam dan Yunani
telah berjalan sebelum dinasti Islam berkuasa di daerah tersebut. Ketiak itu, di daratan Persia ini
sudah
berkembang tradisi ilmiah. Pemikiran-pemikiran kefilsafatan juga sudah begitu
berkembang mendahului wilayah-wilayah Islam lainnya.
Oleh karena itu, perkembangan tasawuf Syi’i
dapat ditinjau melalui kaca mata keterpengaruhan Persia oleh pemkiran-pemikiran
filsafat Yunani. Ibnu Khaldun dalm Al-Muqaddimah telah menyinggung soal
kedekatan kaum Syi’ah dengan paham tasawuf. Ibnu Khaldun melihat
kedekatan tasawuf falosofis dengan sekte ismailiyah dan Syi’ah. Sekte
ismailiyah menyatakan terjadinya hulul atau ketuhanan para imam
mereka. Menurutnya, kedua kelomok ini memiliki kesamaan, khususanya dalam
persoaalan “quthb” dan “abdal”. Bagi para sufi filosof, quthb adalah
puncak kaum arifin, sedangakna abdal merupakan perwakilan. Ibnu Khaldun
menyatakan bahwa doktrin yang seperti ini mirip dengan doktrin aliran Ismailiyah
tentang imam dan para wakilnya begitu juga tentang pakaian compang-camping
yang disebut-sebut berasal dari imam Ali.

KESIMPULAN

 Pada dasarnya, perkembangan


ilmu tasawuf ini, terjadi karena adanya perbedaan pendapat para sufi. Sehingga
timbullah berbagai macam paham di dalam dunia kesufian. Paham-paham tersebut
masing-masing memilikitujuan yang berlainan , sehingga terjadi perbedaan yang
mencolok antara paham yang satu dengan yang lain.

 Diantara peneliti-peneliti
tasawuf membagi tasawuf kedalam tiga bagian:Tasawuf Akhlaqi, Taswuf Falsafi dan
Tasawuf Syi’i

 Tasawuf
diciptakan sebagai media untuk mencapai maqashid al-Syar’i (tujuan-tujuan
syara’). Karena bertasawuf itu pada hakikatnya melakukan serangkaian ibadah
seperti salat, puasa, zakat, haji, dan lain sebagainya, yang dilakukan untuk
mendekatkan diri kepada Allah SWT
DAFTAR PUSTAKA

Anwar
,Rosihan.Solihin, Mukhtar. 2006.Ilmu Tasawuf.Bandung:CV PUSTAKA SETIA

Jamil.2007.Cakrawala
Tasawuf.Jakarta:GP.Press

Sireger,Rivay.2002.Tasawuf(dari
sufisme Klasik ke Neo Sufisme.Jakarta:Rajawali après

Hamka.1986.Tasawuf
Perkembangan dan pemurniaanya.Jakarta:P.T.CITRA SERUMPUN PADI

Nata,Abudin.
2003.Akhlak Tasawuf, Jakarta:
PT. RajaGrafindo Persada

Hilal,Ibrahim.2002.Tasawuf(antara
agama dan filsafat).Bandung.PUSTAKA HIDAYAH
CORAK AJARAN ILMU TASAWUF ( akhlaqi, amaly,
falsafi )
no comments
Posted on Sabtu, 14 November 2009 by EYANG RESI 313

Sebagai ilmu pengetahuan ‘Tasawuf’ atau ‘Sufisme’ mempelajari cara dan jalan bagaimana
manusia (seorang muslim) dapat berada sedekat mungkin dengan Allah SWT. Sekalipun secara
tekstual, tidak ditemukan ayat yang memerintahkan bertasawuf dan kata atau kalimat tasawuf
dalam al Quran, namun secara implisit terdapat ayat-ayat dalam al Quran yang memberi
dorongan untuk mengamalkan bagian dari ajaran tasawuf yang diartilkulasikan sebagai landasan
moral. (http://eyangresi313.blogspot.com/) Dalam perkembangannya, pemikiran tawasuf
mengalami persentuhan budaya dengan ajaran atau nilai-nilai agama yang bukan Islam, seperti
dari peradaban Yunani, Romawi, Hindi, Mesir, Yahudi, dan Kristiani. Interaksi ajaran dan sistem
nilai tersebut tidak bisa dihindari mengakibatkan ajaran tasawuf mengalami perkembangan
pemikiran dalam penerapannya. (http://eyangresi313.blogspot.com/)Dalam pertemuan budaya
dan peradaban tersebut Umat Islam mengenalkan, menularkan dan mengedepankan aqidah dan
ibadah dalam sistem nilai ajaran Islam, sebaliknya peradaban non Islam dan budaya lokal
setempat menularkan pemikiran kefilsafatan kepada umat Islam. Begitu juga pemikiran tasawuf
yang pada awalnya bersifat amali atau akhlaqi, atau disebut ‘tasawuf akhlaqi’, maka dalam
perkembangannya memunculkan ajaran tasawuf dengan pola kefilsafatan dalam memahami
tasawuf, yang kemudian dikenal dengan ‘tasawuf falsafi’.

Sebagaimana Tasawuf Amali, Tasawuf Falsafi juga melahirkan tokoh-tokoh dan pemikirannya
yang terkenal dalam kajian ilmu tasawuf. Dan upaya mendekati Tuhan berdasarkan ‘kedekatan
atau jarak’ antara manusia dengan Tuhan telah melahirkan dua aliran tasawuf, yaitu ‘tasawuf
transendentalisme dan tasawuf union mistisisme’. (http://eyangresi313.blogspot.com/) Aliran
pertama memperlihatkan bahwa masih ada garis pemisah atau pembeda antara manusia dan
Tuhan, sedangkan aliran kedua mengatakan bahwa garis pemisah tersebut dapat dihilangkan
sehingga manusia dapat manunggal dengan Tuhan karena ada kesamaan .
(http://eyangresi313.blogspot.com/) Dalam perkembangannya kedua aliran tersebut banyak
melahirkan tokoh-tokohnya antara lain ; al-Qusyairy, al-Junaid, al-Ghazali, al-Busthami, Ibnu
Arabi, Ibnu Sab’in, Al Jilli, dll.

Pada pemahaman yang pertama kemudian melahirkan tasawuf akhlaqi/amali , kemudian sering
juga disebut tasawuf sunni. Dalam perkembangannya tasawuf sunni juga disebut sebagai tasawuf
‘Dualistik’ yaitu tasawuf yang telah dimodifikasi dan disesuaikan dengan teologi Asy’ariyah dan
Syariah (baca ‘fiqih ahlussunah).(http://eyangresi313.blogspot.com/) Tokoh-tokohnya antara lain
Al Junaid, Abu Bakar Muhammad al-Kalabazi, Al Qusyairi, Al Ghazali, dll. Tasawuf sunni
berupaya mendamaikan tasawuf dengan syariat sejak pertengahan abad ke 3 H / 9 M, yang
mencapai kematangan dan keberhasilannya pada pemikiran Abu Hamid al-Ghazali
Tasawuf Falsafi adalah sebuah konsep ajaran tasawuf yang mengenal tuhan (ma’rifat) dengan
pendekatan rasio (filsafat) hingga menuju tingkatan yang lebih tinggi, bukan hanya mengenal
Tuhan saja (ma’rifatullah) melainkan lebih tinggi dari itu yaitu wihdatul wujud (kesatuan
wujud).
Yang dimaksud dengan tasawuf falsafi adalah tasawuf yang bersandarkan pada pemaduan antara
intuisi para sufi dengan cara pandang rasional mereka, serta menggunakan tema-tema filsafat
dari berbagai macam sumber untuk mengungkapkan tasawufnya itu.
(http://eyangresi313.blogspot.com/) Bisa juga dikatakan bahwa tasawuf falsafi adalah tasawuf
yang kaya dengan pemikiran-pemikiran filsafat.

Di dalam tasawuf falsafi metode pendekatannya sangat berbeda dengan tasawuf sunni atau
tasawuf salafi. (http://eyangresi313.blogspot.com/) Kalau tasawuf sunni atau salafi lebih
menonjol kepada segi praktis, sedangkan tasawuf falsafi menonjol kepada segi teoritis sehingga
dalam konsep-konsep tasawuf falsafi lebih mengedepankan asas rasio dengan pendekatan-
pendekatan filosofis yang sulit diaplikasikan ke dalam kehidupan sehari-hari khususnya bagi
orang awam, bahkan bisa dikatakan mustahil, namun tetap bisa diaplikasikan pada kenyataannya.

Sedangkan pemahaman kelompok kedua adalah tasawuf falsafi, yang juga disebut ‘Tasawuf
Monistik’, dimana ajaran tasawuf ini memadukan visi mistis dan rasional dengan ungkapan dan
terminologi filsafat.(http://eyangresi313.blogspot.com/) Tasawuf falsafi ini pada umumnya
didasarkan pada konsep wahdatul wujud, al-Hulul dan al-Ittihad. Tokoh-tokohnya antara lain
Abu Yazid Al Busthami, Al Hallaj, Ibnu Arabi, Ibn Masarra, Al Jilli, Ibn Sab’in, Suhrawardi al-
Maqtul, Mulla Sadra, dll.

Dalam tasawuf falsafi lahirlah beberapa teori-teori pemikiran tasawuf, diantaranya seperti ; fana,
baqa dan ittihad adalah hasil pemikiran Abu Yazid Al Busthami, Hulul oleh Al Hallaj,
(http://eyangresi313.blogspot.com/) Wahdat Al Wujud dinisbahkan kepada Ibnu Arabi, Insan
Kamil dikembangkan oleh Al Jilli, dan Wihdatul al-Mutlaqah digagas oleh pemikiran Ibn Sab’in.

Tasawuf falsafi muncul pada sekitar abad ke 6 dan 7 H, ditandai dengan diperkenalkannya
tokoh-tokoh pemikiran sufi yang filosof dan filosof yang sufi ketika tasawuf bercampur dengan
filsafat menyerap beragam pemikiran filsafat asing di luar Islam dari Yunani, Persia, India,
Mesir, Yahudi dan Kristen tanpa kehilangan keautentikan Islam sebagai agama.

sebelum Al Ghazali, ulama ulama ilmu Qalam telah mengambil beberapa cara berfikir kaum
filsafat menguatkan dasar ilmu qalam. filsafat mereka pelajari hanyalah semata semata untuk
menguatkan dasar ilmu qalam itu. (http://eyangresi313.blogspot.com/) tetapi Ghazali
memandang bahwasannya cara pengambilan yang demikian adalah dangkal. Orang hanya
tertarik pada ujung ujung filsafat, tetapi orang tidak menggali sampai ke uratnya, filsafat tidaklah
memiliki pendirian keTuhanan, tapi hanyalah menggoyahkan.
(http://eyangresi313.blogspot.com/) Beliau berkata : orang orang yang bekerja membantah
filsafat tidaklah berusaha hendak sampai mengetahui urat ilmu mereka. Kata kata yang di pakai
oleh ilmu qalam hanyalah kata kata yang sulit dan pecah belah. Jelas berlawan lawanan dan
merusak. Orang biasa yang tak berilmu pun tak dapat menerimanya, apa lagi orang yang
memiliki ilmu yang tinggi. (http://eyangresi313.blogspot.com/) Maka insaflah saya bahwasannya
menolak suatu mazhab sebelim benar benar di fahamkan dan di pelajari dengan seksama, adalah
laksana memanah dengan mata buta. Akan koyaklah kaki melangkah dalam kesungguhan,
dengan membaca kitab filsafat kitab kitab saja, tanpa seorang guru.
Puaslah Ghazali menegakkan ilmu qalam sebagai suatu ilmu. Dia tidak akan menurut dengan
membuta saja kepada ilmu qalam buatan orang yang dahulu dari padanya. Kata kata filsafat tidak
lagi semata mata di pinjamnya lagi untuk menguatkan pendiriannya,
(http://eyangresi313.blogspot.com/) tetapi telah di perbaiki dan di jadikannya suatu ilmu yang
tahan uji. Tetapi meskipun ia telah menang, kerena dengan usahanya ilmu qalam yelah tegak
sebagai suatu ilmu, namun jiwanya sendiri belumlah puas.

Salah satu kerangka umum tasawuf falsafi adalah bahwa tasawufnya tidak jelas, mempunyai
bahasa-bahasa tersendiri dan memahaminya memerlukan daya pikir dan daya rasa yang tidak
biasa, dan sebab itu tasawuf falsafi tidak dianggap filsafat karena dilandaskan pada intuisi,
(http://eyangresi313.blogspot.com/) juga bukan tasawuf murni karena diungkapkan dengan
bahasa-bahasa filsafat yang mengarah pada pembentukan aliran pemikiran dalam pembahasan.

Para sufi falsafi mengenal dan memperdalam filsafat aliran Socrates, Plato, Aristoteles,
Neoplatonisme, teori emanasi, Hermetisisme dan buku-buku filsafat lainnya dari Timur; Persia,
India dan Filsafat Islam; al-Farabi, Ibn Sina, Ibnu Rusyd dan lainnya untuk diterjemahkan ke
dalam bahasa Arab.(http://eyangresi313.blogspot.com/) Sebagian dari mereka ada juga yang
terpengaruh dengan pemikiran-pemikiran Syiah Ismailiyah, Batiniyah dan Risalah-Risalah
Ikhwan as-Shafa’.

Sejak awal diketahui pemikiran falsafatnya para sufi falsafi menjadi target kritik dari para fuqaha
Islam,(http://eyangresi313.blogspot.com/) terutama tentang ‘wahdah al-wujud’ dan pemikiran
lainnya yang dianggap bertentangan dengan akidah Islam.

Sedangkan penolakan tasawuf falsafi secara kritis juga diketahui telah memperkaya keluasan
kajian tasawuf secara kontemporer yang sampai saat ini masih terus dibicarakan secara
komprehensif dalam wacana akademik.

Konsepsi etikal berkembang di kalangan zuhad atau asketik adalah embrio sufisme, yang
menyatakan bahwa Tuhan tidak hanya terbatas sebagaimana pendapat Mutakallimin (pengamal
ilmu kalam), tetapi lebih dari itu. Dzat Tuhan adalah sumber dari segala keindahan dan
kesempurnaan, juga diyakini bahwa Tuhan adalah sumber kekuatan, daya iradat yang mutlak.
(http://eyangresi313.blogspot.com/) Tuhan adalah pencipta tertinggi, pengatur segala kejadian
dan asal segala yang ada. Oleh karena keyakinan yang demikian, maka perasaan takut kepada
Tuhan lebih mempengaruhi mereka ketimbang rasa pengharapan. Karena kuatnya rasa takut
kepada murka Tuhan, seluruh pengabdian yang mereka lakukan bertujuan demi keselamatan diri
dari siksaanNya. Dorongan-dorongan yang demikian mempengaruhi sikap hidup mereka
terhadap hal-hal yang profan dan hubungan mereka dengan Tuhan.

Timbulnya doktrin estetikal tentang Tuhan bersumber dari keyakinan bahwa Tuhan adalah
segala yang ada, sehingga antara manusia dengan Tuhan ada jalur komunikasi timbal balik.
(http://eyangresi313.blogspot.com/)Tuhan, sebagai Dzat Yang Maha Agung dan Mulia, juga
adalah Dzat Yang Maha Cantik, dan Sumber segala keindahan. Sesuai dengan salah satu sifat
dasar manusia yang menyukai keindahan dan kecantikan, maka hasrat mencintai Tuhan adalah
manusiawi, karena Tuhan adalah puncak dari segala keindahan. Konsep teologik estetikal ini
dikaitkan dengan Rabi’ah al-Adawiyah melaui doktrin al-hubb atau mahabbah.
(http://eyangresi313.blogspot.com/) Mencintai Tuhan dan berbuat apa saja untuk-Nya, adalah
motivasi kasih para sufi. Dalam jiwa tidak ada rasa takut akan siksa atau murka Tuhan, tidak ada
hasrat untuk menikmati surga yang ada hanyalah keinginan untuk memperoleh cinta dan
keindahan Dzat Tuhan yang abadi.(http://eyangresi313.blogspot.com/) Orang sufi mengabdikan
diri kepada Tuhan adalah karena cinta dan harapan sambutan cinta dari-Nya. Doktrin ini
kemudian berlanjut kepada keyakinan, bahwa penciptaan alam semesta adalah pernyataan cinta
kasih Tuhan yang direfleksikan dalam bentuk empirik atau sebagai mazhohir dari asma Allah.

Semenjak masa Abu Yazid al-Busthami, pendapat sufi condong kepada konsepsi ‘kesatuan
wujud’ atau ‘union mistisism’, dimana inti ajarannya adalah bahwa dunia fenomena ini hanyalah
bayangan dari realitas yang sesungguhnya, yaitu Tuhan. Satu-atunya wujud yang hakiki
hanyalah wujud Tuhan yang merupakan dasar dan sumber kejadian dari segala sesuatu.
(http://eyangresi313.blogspot.com/) Dunia adalah bayangan yang keberadaannya tergantung
wujud Tuhan, sehingga realitas wujud ini hakikatnya tunggal. Sedangkan antara hakikat dengan
yang nampak aneka terlihat ada perbedaan, hanyalah perbedaan relatif. Perbedaan hakikinya
adalah akibat yang timbul dari keterbatasan akal budi. Jadi adanya keberagaman tidak lain
hanyalah hasil pencerapan indrawi dan penalaran akal budi yang terbatas dan ketidak mampuan
memahami ketunggalan dzat segala sesuatu. (http://eyangresi313.blogspot.com/)Jadi mereka
berpendapat bahwa alam ini dimana di dalamnya terdapat manusia dan makhluk dan atau benda-
benda lainnya merupakan radiasi dari ‘hakikat Ilahi’. Dalam diri manusia terdapat unsur-unsur
ke-Tuhanan, karena ia merupakan pancaran Nur Ilahi (Cahaya Tuhan) seperti pancaran cahaya
matahari.
(http://eyangresi313.blogspot.com/)Jika pada kedua konsepsi tentang Tuhan sebelumnya, para
sufi mengartikan makrifat sebagai pengenalan Allah melalui qalbu dan merupakan terminal
tertinggi yang bisa dicapai manusia, maka bagi sufi penganut ‘kesatuan wujud’, manusia masih
dapat melewati ‘maqom ma’rifat’ yaitu ‘bersatu dengan Allah’ atau dikenal dengan istilah
‘ittihad’.

Para sufi sunni mengakui bahwa kedekatan manusia dengan Tuhannya, hanya dalam batas-batas
syariat yang tetap “membedakan manusia dengan Tuhan”, dengan alasan bahwa manusia adalah
manusia, (http://eyangresi313.blogspot.com/)sedangkan Tuhan adalah Tuhan, yang tidak
mungkin dapat bersatu antara keduanya.

Sedangkan para sufi falsafi mengakui “kebersatuan manusia dengan Tuhannya” itu, adalah
pengalaman batin, perjalanan ruhani dan pengalaman ruhani yang dijalani dan dialami dalam
kondisi ‘ekstase’ mengalami ‘keterpaduan esensi’, bukan ‘kebersatuan substansi’.
Berkembangnya tasawuf sebagai jalan dan latihan untuk merealisir kesucian batin dalam
perjalanan menuju kedekatan dengan Allah, juga menarik perhatian para pemikir muslim yang
berlatar belakang teologi dan filsafat. (http://eyangresi313.blogspot.com/)Dari kelompok inilah
tampil sejumlah sufi yang filosofis, atau filosof yang sufis. Konsep-konsep tasawuf mereka
disebut ‘tasawuf falsafi’ yakni tasawuf yang kaya dengan pemikiran-pemikiran filsafat. Ajaran
filsafat yang banyak dipergunakan dalam analisis tasawuf adalah paham ‘emanasi Neo-
Platonisme’ dalam semua variasinya.
Selain Abu Yazid al-Busthami, tokoh tasawuf falsafi atau teosofi yang populer dan sebagai
perintis adalah Ibn Masarrah (W.381H) dari Andalusi (Spanyol) yang berdasarkan teori emanasi
berpendapat bahwa melalui jalan tasawuf manusia dapat membebaskan jiwanya dari
cengkeraman badani (materi) dan memperoleh sinar Ilahi (emanasi) secara langsung (ma’rifat
sejati).(http://eyangresi313.blogspot.com/) Suhrawardi al-Maqtul (W.578 H) berkebangsaan
Persia/Iran adalah orang kedua yang mengkombinasikan teori filsafat dan tasawuf berangkat dari
teori emanasi berpendapat bahwa melalui usaha keras dan sungguh-sungguh seseorang dapat
membebaskan jiwanya dari perangkap ragawi untuk kemudian dapat kembali ke pangkalan
pertama yakni alam malakut atau alam Ilahiyat. Konsepsi tersebut kemudian dikenal dengan
nama ‘al-Israqiyah’.

Sementara itu al-Hallaj (W.308 H) memformulasikan teorinya dalam doktrin ‘Hulul’, yakni
perpaduan insan dengan Tuhan secara rohaniyah atau makhluk dengan al-khalik.
(http://eyangresi313.blogspot.com/)Dan sebagai puncak dari pemikiran tasawuf falsafi adalah
konsepsi al- Wihdat al- Wujud yang dasar-dasarnya diletakkan dan dinisbahkan kepada Ibnu ’
Arabi (W. 638 H).

Terinspirasi oleh Ibn Arabi, Ibn Faridh (W.633 H) seorang sufi penyair dari Mesir juga telah
mengenalkan konsepsi pemikiran tasawuf yang mirip dengan al Wihdat al Wujud, disebut
dengan “al-Wihdat al-Syuhud”.(http://eyangresi313.blogspot.com/)
al-Jilli (W. 832 H) juga mengemukakan pendapatnya bahwa upaya manusia melalui Ma’rifat
untuk mendekati Tuhan akan mampu dicapai sampai kepada hakikat jati dirinya, yang disebut
‘insan kamil’.

Dalam teologi bermazhab Syi’ah dan berpola pikir Muktazilah, konsep-konsep tasawuf falsafi
biasanya dapat diterima karena itu aliran tasawuf ini berkembang pesat dikawasan umat Islam
bermazhab Syi’ah dan atau Muktazilah.(http://eyangresi313.blogspot.com/) Itulah alasannya
kenapa tasawuf falsafi sering juga dinamai atau dinisbahkan ke dalam ‘tasawuf Syi’i’.

Pandangan ‘union mistisisme’ inilah yang membentuk konsepsi dasar tasawuf falsafi dan banyak
meng-inspirasi para sufi bermazhab falsafi atau Sufi-Filosof untuk merumuskan dan melahirkan
karya-karya pemikiran tasawuf falsafi,(http://eyangresi313.blogspot.com/) yang terkenal
diantaranya adalah Ibnu Arabi, Ibnu Syab’in, Al Jilli, dll.

You might also like