You are on page 1of 25

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Masalah kehidupan yang paling dominan di Indonesia adalah masalah perekonomian,
masih banyak masyarakat Indonesia yang mengalami kesulitan ekonomi karena pendapatan
yang rendah yang tidak sesuai dengan kebutuhan hidupnya, bahkan masih banyak masyarakat
Indonesia yang menjadi pengangguran atau hanya bekerja serabutan untuk menyambung
hidupnya, seperti halnya petani penggarap, yang bekerja sebagai penggarap lahan pertanian
yang dimiliki oleh orang lain, atau dalam fiqih muamalah biasa disebut Muzara’ah.
Dewasa ini banyak masyarakat yang kurang mengetahui tentang pengertian
Muzara’ah beserta hukum, rukun dan syaratnya. Apabila kita perhatikan kehidupan
masyarakat Indonesia yang agraris. Praktik pemberian imbalan atas jasa seseorang yang telah
menggarap tanah orang lain masih banyak dilaksanakan, terutama pada daerah-daerah yang
masih banyak memiliki lahan pertanian, pada praktik pemberian imbalan atau jasa tersebut
ada yang cenderung pada praktek Muzara’ah dan ada juga yang cenderung pada praktik
Mukhabarah, hal tersebut tergantung dari kesepakatan kedua belah pihak.
Dalam kenyataan sehari-hari, banyak orang-orang ataupun institusi/perusahaan yang
punya tanah-tanah yang luas tetapi tidak mau, tidak merasa butuh atau tidak mampu untuk
mengolah tanahnya. Bagi yang tidak mau dan tidak merasa butuh mengolah tanahnya, maka
hendaklah dia sadar bahwa dalam pandangan Islam tanah tersebut bisa jadi sudah bukan
miliknya lagi sebagaimana hadits sbb:
“Tanah-tanah lama yang pernah ditinggalkan maka menjadi milik Allah dan
RasulNya, kemudian untuk kalian sesudah masa tersebut. Barang siapa yang membuka lahan
(tanah) baru, maka tanah itu menjadi miliknya dan tidak memiliki hak lagi apabila selama
tiga tahun diabaikannya.”
Jadi tanah-tanah menjadi gersang dan bumi menjadi tambah panas antara lain karena
siapapun yang mengklaim memilikinya telah mengabaikan tanah yang di klaimnya tersebut.
Lantas solusinya bagaimana agar dia tetap memilikinya?; biarkanlah orang lain yang
bisa mengolahnya, mengolah dengan bagi hasil. Muzara’ah inilah akad bagi hasilnya untuk
pemilik tanah dan yang menggarapnya.
Praktek demikian dilakukan oleh Rasulullah SAW dan para sahabat sesudahnya.
Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa Rasulullah SAW mempekerjakan
penduduk Khaibar dengan upah sebagian dari biji-bijian dan buah-buahan yang bisa

1
dihasilkan dari tanah Khaibar.Berkaitan dengan Muzara’ah, ada Hadits yang melarang seperti
yang diriwayatkan oleh (H.R Bukhari) dan ada yang membolehkan seperti yang diriwayatkan
oleh (H.R Muslim). Berdasarkan pada dua Hadits tersebut mudah-mudahan kedua belah
pihak tidak ada yang dirugikan oleh salah satu pihak, baik itu pemilik lahan maupun petani
penggarap.

BAB II
PERMASALAHAN

2
Salah satu permasalahan utama dalam pembangunan di sektor pertanian adalah
lemahnya permodalan. Pemerintah telah berusaha mengatasi permasalahan tersebut dengan
meluncurkan beberapa kredit program untuk sektor pertanian. Kredit program yang memakai
sistem bunga menunjukkan hasil yang kurang memuaskan, bahkan menimbulkan
permasalahan baru seperti membengkaknya hutang petani serta kredit macet. Berdasarkan hal
tersebut perlu dicari model pembiayaan alternatif, salah satu diantaranya adalah dengan
Muzara’ah.
Seperti dalam pengertian fiqh muamalah adalah fiqh yang mengatur hubungan antar
individu dalam sebuah masyarakat. khususnya dalam bidang pertanian, Hubungan yang
terjadi harus sesuai dengan ketentuan-ketentuan Islam berdasarkan Al-Quran dan Hadits.
Pembiayaan Muzara’ah telah memenuhi persyaratan tersebut. Hanya saja dalam
pelaksanaan dan pengembangannya terdapat beberapa masalah yang terjadi selama
berjalannya waktu. Dalam makalah ini penulis merumuskan masalah sebagai berikut:

✔ Bagaimanakah Implikasi Muzara’ah Terhadap Kehidupan Ekonomi Masyarakat


Pedesaan?
✔ Bagaimanakah Peran Bank Syari’ah Dalam Perkembangan Pertanian di Indonesia?

BAB III
PEMBAHASAN

3
A. Pengertian Muzara’ah
Menurut bahasa, Al-Muzara’ah memiliki dua arti, yang pertama Al-Muzara’ah yang
berarti Tharh Al-Zur’ah (melemparkan tanaman), maksudnya adalah modal (Al-Hadzar).
Makna yang pertama adalah makna Majaz dan makna yang kedua ialah makna Hakiki1
Secara etimologi, Muzara’ah berarti kerja sama di bidang pertanian antara pemilik

tanah dengan petani penggarap. Sedangkan menurut istilah Fiqh ialah pemilik

tanah memberi hak mengelola tanah kepada seorang petani dengan syarat bagi
hasil atau semisalnya. Secara terminologi, terdapat beberapa definisi para ulama, menurut
ulama Malikiyah berarti perserikatan dalam pertanian, ulama Hanabilah mengartikannya
sebagai penyerahan tanah pertanian kepada seorang petani untuk digarap dan hasilnya dibagi
berdua (paroan). Sedangkan Imam Syafi’i mendifinisikannya sebagai pengolahan tanah oleh
petani dengan imbalan hasil pertanian, sedangkan bibit pertanian disediakan penggarap tanah2
atau lebih dikenal dengan istilah Al-Mukhabarah.
Muzara’ah adalah kerjasama dalam bidang pertanian atau pengelolaan kebun dan
sejenisnya. Pemilik lahan menyerahkan lahanya kepada petani agar diusahakan, dan hasil dari
pertanian itu dibagi antara kedua belah pihak. Muzara’ah berasal dari kata Az-Zar’u yang
artinya ada dua cara, yaitu; menabur benih atau bibit dan menumbuhkan.
Dari arti kata tersebut dapat dijelaskan, bahwa Muzara’ah adalah bentuk kerjasama
dalam bidang pertanian antara pemilik lahan dengan petani penggarap. Dalam hal ini
penggaraplah yang menanami lahan itu dengan biaya sendiri, tanaman dan lahan tersebut
nanti dibagi antara kedua belah pihak sebagai pembayaran atau upah dari penggarapan
tersebut.
Untuk mengetahui pengertian Muzara’ah secara jelas, maka dikemukakan beberapa
pendapat ahli Fiqih Salaf yaitu:
✔ Menurut ulama hanafi
Muzara’ah menurut pengertian Syara’ adalah suatu akad perjanjian pengelolaan tanah
dengan memperoleh hasil sebagian dari penghasilan tanah itu. Dalam bidang kerjasama ini
boleh penggarap (petani) bertindak sebagai penyewa, untuk menanami tanah dengan imbalan
biaya dari sebagian hasil tanamanya. Dan boleh juga pemilik lahan hanya memperkejakan
petani dengan upah dari hasil sebagian tanaman yang tumbuh pada tanah itu.
Menurut Imam Abu Hanifah dan Zufar bin Huzail dari ulama Hanafiyah, akad
Muzara’ah tidak boleh. Menurut mereka akad Muzara’ah dengan bagi hasil, seperti

1 Hendi suhendi, fikih muamalah , jakarta, raja grafindo persada 2007 hal.153
2 Nasroen Haroen, Fiqh Mu’amalah, Cetetakan Ke-1, Gaya Media Pratama, Jakarta, 2000, hal. 275.

4
seperempat dan seperdua hukumnya batal.3 Mereka berdalil dari hadits riwayat Rafi’ bin
Khudaij, yang artinya: “Rasulullah melarang melakukan Al-Muzara’ah”. (HR. Muslim).
Obyek akad dalam Al-Muzara’ah dinilai memiliki dimensi spekulatif belum dan tidak jelas
kadarnya, karena yang dijadikan imbalan untuk petani adalah hasil panen yang belum ada
(Ma’dum) dan tidak jelas (Jahalah) ukurannya, sehingga keuntungan yang akan dibagikan
tidak jelas. Boleh jadi panen gagal dan si petani tidak mendapat apa-apa dari garapannya,
sehingga akad ini berpotensi untuk terjadinya kerugian, kedzaliman yang bertentangan
dengan prinsip ekonomi Islam.
Mereka membantah dalil yang melegitimasi keabsahan akad Al-Muzara’ah dari para
ulama Malikiyah dengan mengatakan bahwa perbuatan Rasulullah SAW dengan penduduk
Khaibar, bukanlah Al-Muzara’ah, melainkan Al-Kharraj Al-Muqasamah, yaitu ketentuan
pajak yang harus dibayarkan kepada Rasulullah SAW setiap kali panen dalam prosentase
tertentu.
✔ Menurut ulama maliki
Muzara’ah menurut pengertian Syara’ adalah perjanjian kerjasama antara pemilik
lahan dengan petani sebagai penggarap. Dalam hal ini pemilik lahan menyerahkan tanahnya
kepada petani untuk ditanami, upah dari pengelolaan itu diambil dari hasil tanaman yang
ditanam pada lahan tersebut. Jika pemilik lahan ikut membiayai penggarapan itu, seperti
menyediakan bibit, maka si petani penggarap mendapat upah boleh berupa sejumlah uang
dan boleh berupa sebagian dari tanah dan tanaman yang dikelolanya sesuai dengan
kesepakatan mereka berdua.
✔ Menurut ulama syafi’i
Muzara’ah adalah kerjasama antara pemilik tanah dengan petani untuk menggarap
atau mengelola lahan itu, dengan upah atau imbalan sebagian dari hasil pengelolaanya.
Dalam hal ini bibit atau benih tanaman berasal dari pemilik lahan, petani hanya membuka
lahan, menanami, dan memeliharanya hingga memperolah hasil. Jika bibit atau benihnya
berasal dari petani, maka disebut Mukharabah. Keduanya adalah tidak sah, karena
menyewakan tanah dengan imbalan dari hasil pengelolaan. Sebab bisa saja petani mengalami
kerugian apabila gagal panen karena hal-hal yang tidak diinginkan.
Dari pengertian-pengertian Muzara’ah menurut ulama fiqih salaf dimuka, maka dapat
dipahami bahwa yang disebut Muzara’ah adalah perjanjian kerjasama antara pemilik lahan
pertanian dengan petani penggarap, yang upahnya diambil dari hasil pertanian yang sedang

3 Haroen, Nasroen. 2000. Fiqh Mu’amalah. Jakarta: Gaya Media Pratama. Hal. 276

5
diusahakan. Kebanyakan Fuqaha menyatakan bahwa perjanjian Muzara’ah hukumnya tidak
boleh, sebab petani penggarap belum jelas akan mendapatkan hasil dari pekerjaannya itu.

A. Perbedaan Muzara’ah dan Mukhabarah


Muzara’ah ialah mengerjakan tanah (orang lain) seperti sawah atau ladang dengan
imbalan sebagian hasilnya (seperdua, sepertiga atau seperempat). Sedangkan biaya
pengerjaan dan benihnya ditanggung pemilik tanah.
Mukhabarah ialah mengerjakan tanah (orang lain) seperti sawah atau ladang dengan
imbalan sebagian hasilnya (seperdua, sepertiga atau seperempat). Sedangkan biaya
pengerjaan dan benihnya ditanggung orang yang mengerjakan.
Muzara’ah dan Mukhabarah memiliki makna yang berbeda, pendapat tersebut
dikemukakan oleh Al-Rafi’I dan Al-Nawawi. Sedangkan menurut al-Qadhi Abu Thayid,
Muzara’ah dan Mukhabarah merupakan satu pengertian4.
Munculnya pengertian Muzara’ah dan Mukhabarah dengan Ta’rif yang berbeda
tersebut karena adanya ulama yang membedakan antara arti Muzara’ah dan Mukhabarah,
yaitu Imam Rafi’I berdasar Dhahir Nash Imam Syafi’i. Sedangkan ulama yang menyamakan
Ta’rif Muzara’ah dan Mukhabarah diantaranya Nawawi, Qadhi Abu Thayyib, Imam Jauhari,
Al Bandaniji mengartikan sama dengan memberi ketentuan: usaha mengerjakan tanah (orang
lain) yang hasilnya dibagi.

B. Dasar Pensyari’atan Muzara’ah


Muzara’ah adalah salah satu bentuk Ta’awun antar petani dan pemilik sawah.
Seringkali ada orang yang ahli dalam masalah pertanian tetapi dia tidak punya lahan, dan
sebaliknya banyak orang yang punya lahan tetapi tidak mampu menanaminya. Maka Islam
mensyari’atkan Muzara’ah sebagai jalan tengah bagi keduanya.
Itulah yang telah dicontohkan oleh Rasulullah dan mentradisi di tengah para sahabat
dan kaum muslimin setelahnya. Ibnu ‘abbas menceritakan bahwa Rasululah SAW bekerja
sama dengan penduduk Khaibar untuk berbagi hasil atas panenan, makanan dan buah-
buahan. Bahkan Muhammad Albakir bin Ali bin Al-Husain mengatakan bahwa tidak ada
seorang Muhajirin yang berpindah ke Madinah kecuali mereka bersepakat untuk membagi
hasil pertanian sepertiga atau seperempat.
Para sahabat yang tercatat melakukan Muzara’ah antara lain adalah Ali bin Abi
Thalib, Sa’ad bin Malik, Abdullah bin Mas’ud dan yang lainnya. Bahkan Umar bin Abdul
Aziz pun yang hidup di masa berikutnya memiliki pemasukan dari bagi hasil.

4 Kifayat al-Khayar, hlm. 314

6
C. Rukun Al-Muzara’ah
Menurut jumhur ulama ada empat rukun dalam Muzara’ah:5
✔ Pemilik tanah ;
✔ Petani/Penggarap;
✔ Obyek Al-Muzara’ah (Mahalul ‘aqdi)
✔ Ijab dan Qabul, keduanya secara lisan, bagi ulama Hanabilah, qabul tidak harus
berupa lisan, namun dapat juga berupa tindakan langsung dari si penggarap.

A. Syarat-Syarat Al-Muzara’ah
Syarat-Syarat yang berkaitan dengan orang yang berakad (pemilik dan petani).
✔ Berakal;
✔ Baligh.
Sebagian ulama Hanafiyah mensyaratkan bahwa salah satu atau keduanya (penggarap
dan pemilik) bukan orang murtad, karena tindakan orang murtad dianggap Mauquf, tidak
punya efek hukum hingga ia masuk Islam. tetapi jumhur ulama sepakat bahwa aqad Al-
Muzara’ah ini boleh dilakukan antara Muslim dan non Muslim termasuk didalamnya orang
murtad.6
Adapun benih yang akan ditanam disyaratkan harus jelas, apa yang akan ditanam
sehingga sesuai dengan kebiasaan tanah itu. Sedangkan syarat yang menyangkut tanah
pertanian adalah:
✔ Menurut adat di kalangan petani, tanah itu boleh digarap dan menghasilkan, jika tidak
potensial untuk ditanami karena tandus dan kering, maka Al-Muzara’ah dianggap
tidak sah;
✔ Batas-batas tanah itu jelas;
✔ Tanah itu diserahkan sepenuhnya kepada petani untuk digarap, apa bila pada waktu
akad disyaratkan bahwa pemilik tanah ikut serta menggarap, maka akad Al-
Muzara’ah ini dianggap tidak sah.
Syarat-syarat yang menyangkut dengan hasil panen adalah :
✔ Pembagian hasil panen bagi masing-masing pihak harus jelas;
✔ Hasil itu benar-benar milik bersama orang yang berakad, tanpa ada unsur dari luar;
✔ Pembagian hasil panen itu ditentukan pada awal akad untuk menghindari perselisihan
nantinya.7

5 Haroen, Nasroen. 2000. Fiqh Mu’amalah. Jakarta: Gaya Media Pratama. hal. 278
6 Wahbah Zuhaili, Fiqh Islam wa Adillatuhu,.Jilid 5, Daar el Fikr Beirut, hal. 616
7 Haroen, Nasroen. 2000. Fiqh Mu’amalah. Jakarta: Gaya Media Pratama. Hal. 279

7
Disyaratkan juga dalam jangka waktu pada Al-Muzara’ah harus jelas, karena Al-
Muzara’ah mengandung unsur Al-Ijarah (sewa menyewa) dengan imbalan sebagian hasil
panen. Untuk penentuan jangka waktu ini biasanya disesuaikan dengan adat dan kebiasaan
setempat.
Obyek akad (Mahalul ‘aqdi), disyaratkan juga harus jelas, baik berupa pemanfaatan
jasa penggarap di mana benih berasal dari penggarap atau pemanfaatan tanah dimana benih
berasal dari pemilik tanah.
Abu Yusuf dan Muhammad bin al-Hasan as-Syaibani mengatakan bahwa bila ditinjau
dari sudut sah tidaknya akad Al-Muzaraa’ah, maka ada empat bentuk Muzaraa’ah yaitu:
✔ Apabila tanah dan bibit dari pemilik tanah, sedangkan kerja dan alat dari petani,
sehingga yang menjadi objek adalah jasa petani, maka akad Al-Muzaraa’ah dianggap
sah;
✔ Apabila pemilik tanah hanya menyediakan tanah, sedangkan petani menyediakan
bibit, alat dan kerja, sehingga yang menjadi obyek Al-Muzaraa’ah adalah manfa’at
tanah, maka akad Al-Muzaraa’ah dianggap sah.
✔ Apabila tanah, alat dan bibit dari pemilik tanah dan kerja dari petani, sehingga yang
menjadi obyek Al-Muzara’ah adalah jasa petani, maka akad Al-Muzara’ah juga sah;
✔ Apabila tanah dan alat disediakan pemilik tanah dan bibit, serta kerja dari petani,
maka akad ini tidak sah. Karena menurut Abu Yusuf dan Muhammad al Hasan,
menentukan alat pertanian dari pemilik tanah membuat akad ini jadi rusak, karena alat
pertanian tidak boleh mengikut pada tanah. Karena manfaat alat pertanian itu tidak
sejenis dengan manfaat tanah, karena tanah untuk menghasilkan tumbuhan,
sedangkan manfaat alat adalah untuk hanya untuk menggarap tanah. Alat pertanian
bagi mereka harus mengikuti petani penggarap bukan kepada pemilik tanah.

A. Akibat Akad Muzara’ah


Menurut jumhur ulama (yang membolehkan akad Muzara’ah) apabila akad telah
memenuhi rukun dan syarat, maka akibat hukumnya adalah:
✔ Petani bertanggung jawab mengeluarkan biaya benih dan pemeliharaan pertanian
tersebut
✔ Biaya pertanian seperti pupuk, biaya perairan, serta biaya pembersihan tanaman,
ditanggung oleh petani dan pemilik lahan sesuai dengan persentase bagian masing-
masing.
✔ Hasil panen dibagi sesuai dengan kesepakatan bersama.

8
✔ Pengairan dilaksanakan sesuai dengan kesepakatan bersama dan apabila tidak ada
kesepakatan, berlaku kebiasaan ditempat masing-masing.
✔ Apabila salah seorang meninggal dunia sebelum panen, maka akad tetap berlaku
sampai panen dan yang meninggal diwakili oleh ahli warisnya. Lebih lanjut, akad itu
dapat dipertimbangkan oleh ahli waris, apakah akan diteruskan atau tidak.

A. Penanggung Modal
Tidak mengapa modal mengelola tanah ditanggung oleh si pemilik tanah, atau oleh
petani yang mengelolanya, atau ditanggung kedua belah pihak.
Dalam Fathul Bari V: 10, Imam Bukhari menuturkan, “Umar pernah mempekerjakan
orang-orang untuk menggarap tanah dengan ketentuan; jika Umar yang memiliki benih,
maka ia mendapat separuh dari hasilnya dan jika mereka yang menanggung benihnya maka
mereka mendapatkan begitu juga.” Lebih lanjut Imam Bukhari mengatakan, “Al-Hasan
menegaskan, tidak mengapa jika tanah yang digarap adalah milik salah seorang di antara
mereka, lalu mereka berdua menanggung bersama modal yang diperlukan, kemudian
hasilnya dibagi dua. Ini juga menjadi pendapat Az-Zuhri.”

B. Zakat Muzara’ah Dan Mukhabarah


Zakat hasil paroan Sawah atau ladang ini diwajibkan atas orang yang punya benih,
jadi pada Muzara’ah, zakatnya wajib atas petani yang bekerja, karena pada hakekatnya dialah
yang bertanam, yang punya tanah seolah-olah mengambil sewa tanahnya, sedangkan
penghasilan sewaan tidak wajib dikeluarkan zakatnya.
Sedangkan pada Mukhabarah, zakat diwajibkan atas yang punya tanah karena pada
hakekatnya dialah yang bertanam, petani hanya mengambil upah bekerja. Penghasilan yang
didapat dari upah tidak wajib dibayar zakatnya. Kalau benih dari keduanya, maka zakat wajib
atas keduanya, diambil dari jumlah pendapatan sebelum dibagi.

C. Nisbah dan Cara Pembagian Hasil Muzara’ah


Pada dasarnya, Muzara’ah adalah konsep kerja sama bagi hasil dalam pengelolaan
pertanian antara petani pemilik lahan dengan petani penggarap.Tidak hanya Muzara’ah saja
yang menjadi dasar konsep kerja sama bagi hasil dalam pertanian, tetapi ada juga
Mukhabarah. Perbedaan antara Muzara’ah dan Mukhabarah terletak pada asal benih yang
ditanam. Jika benihnya berasal dari petani pemilik lahan biasa disebut dengan Mukhabarah,
sebaliknya jika benihnya berasal dari petani penggarap biasa disebut dengan Muzara’ah.

9
Praktek Muzara’ah mengacu pada prinsip Profit and Loss Sharing System. Hasil akhir
menjadi patokan dalam praktek Muzara’ah. Jika, hasil pertaniannya mengalami keuntungan,
maka keuntunganya dibagi antara kedua belah pihak, yaitu petani pemilik sawah dan petani
penggarap. Begitu pula sebaliknya, jika hasil pertaniannya mengalami kerugian, maka
kerugiannya ditanggung bersama. Dalam prakteknya, Muzara’ah sudah menjadi tradisi
masyarakat petani di pedesaan. Khususnya di tanah Jawa, praktek ini biasa disebut dengan
Maro, Mertelu dan Mrapat. Maro dapat dipahami keuntungan yang dibagi separo-separo
(1/2:1/2), artinya separo untuk petani pemilik sawah dan separo untuk petani penggarap. Jika
mengambil perhitungan mertelu, berarti nisbah bagi hasilnya adalah 1/3 dan 2/3. Bisa jadi 1/3
untuk petani pemilik sawah dan 2/3 untuk petani penggarap, atau sebaliknya sesuai, dengan
kesepakatan antara keduanya.
Dasar yang menjadi acuan praktek Muzara’ah adalah hadits Nabi SAW. Diantaranya,
Hadits Riwayat Imam Bukhari dari Jabir yang menyatakan bahwa kaum Arab senantiasa
mengolah tanahnya secara Muzara’ah dengan rasio bagi hasil 1/3:2/3, 1/4:3/4, 1/2:1/2, maka
Rasulullah SAW pun bersabda, “Hendaklah menanami atau menyerahkannya untuk digarap,
barangsiapa tidak melakukan salah satu dari keduanya, tahanlah tanahnya.”
Demikian kenyataan perkembangan dalam kehidupan masyarakat, bahwa pembagian
hasil paroan bidang pertanian bervariasi, ada yang mendapat setengah, sepertiga, ataupun
lebih rendah dari itu. Bahkan terkadang cenderung merugikan pihak penggarap atau petani.
Bagi umat Islam di Indonesia sudah ada ketentuan khusus mengenai pembagian hasil paroan
bidang pertanian ini, yaitu Surat Keputusan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri
Pertanian Nomor 211/1980 dan Nomor 714/Ppts/Um/9/1980. Yang menjelaskan tentang
perimbangan hak antara pemilik tanah dan penggarap, yakni masing-masing seperdua bagian
atau seimbang.
Disisi lain, tidak boleh dijanjikan pihak yang lain akan mengambil bagian yang lainya
apabila terjadi kerusakan. Misalnya pemilik lahan boleh mengambil bagian penggarap
apabila lahan bagianya mengalami kegagalan panen, atau tanaman diatas tanah bagianya
rusak. Atau sebaliknya, tidak boleh dijanjikan penggarap mengambil bagian pemilik lahan
apabila bagian penggarap gagal panen atau rusak.

D. Berakhirnya Akad Al-Muzara’ah


Akad Al-Muzara’ah ini bisa berakhir manakala maksud yang dituju telah dicapai,
yaitu:

10
✔ Jangka waktu yang disepakati pada waktu akad telah berakhir. Akan tetapi bila waktu
habis namun belum layak panen, maka akad Muzara’ah tidak batal melainkan tetap
dilanjutkan sampai panen dan hasilnya dibagi sesuai dengan kesepakatan bersama.
✔ Meninggalnya salah satu dari kedua orang yang berakad. Menurut ulama Hanafiyah
bila salah satu dari dua unsur tadi wafat maka akad Muzara’ah ini dianggap batal,
baik sebelum atau sesudah dimulainya proses penanaman. Namun Syafi’iyah
memandangnya tidak batal.
✔ Adakalanya pula berakhir sebelum maksud atau tujuannya dicapai dengan adanya
berbagai halangan atau uzur, seperti sakit, jihad dan sebagainya.

A. Dasar Hukum akad Muzara’ah


Terdapat perbedaan pendapat di antara ulama akan hukum Muzara’ah. Ulama
Malikiyah, Hanabilah , Az-Zhahiriyah, Abu Yusuf dan Muhammad membolehkan akad Al-
Muzara’ah. Pendapat mereka ini didukung landasan hukum dari beberapa hadits dan ijma,
antara lain:
Hadits Ibnu Umar, bahwa Rasulullah SAW pernah memberikan tanah Khaibar kepada
penduduknya untuk digarap dengan imbalan pembagian hasil buah-buahan dan tanaman.
Diriwayatkan oleh Bukhari dari Jabir yang mengatakan bahwa bangsa Arab
senantiasa mengolah tanahnya secara Muzara’ah dengan rasio bagi hasil sepertiga, dua
pertiga, seperempat, tiga perempat, setengah. Maka Rasulullah SAW bersabda:
“Hendaklah menanami atau menyerahkannya untuk digarap. Barangsiapa yang tidak
melakukan salah satu dari keduanya, tahanlah tanahnya.”
Al-Bukhari mengatakan bahwa telah berkata Abu Ja’far, “Tidak ada satu rumahpun
di Madinah kecuali penghuninya mengolah tanah secara muzara’ah dengan pembagian hasil
sepertiga dan seperempat. Hal ini dilakukan oleh Sayidina Ali, Sa’ad bin Abi Waqash, Ibnu
Mas’ud, Umar bin Abdul Aziz, Qasim, Urwah, keluarga Abu Bakar dan keluarga Ali”.
Pendapat ini merupakan pendapat jumhur ulama yang dianggap lebih benar.
Bukhari meriwayatkan dari Ibnu Umar, bahwa “Rasulullah Shalallahu Alaihi wa
Sallam menyuruh penduduk Khaibar menggarap lahan Khaibar dengan upah separohnya
dari tanaman atau buah yang dihasilkan lahan tersebut. Ketika itu, Rasulullah Shalallahu
Alaihi wa Sallam memberi istri-istrinya sebanyak 100 wasaq (6000 gatang).”

B. Pandangan Ulama Terhadap Hukum Muzara’ah


Berkata Rafi’ bin Khadij: “Diantara Anshar yang paling banyak mempunyai tanah
adalah kami, maka kami persewakan, sebagian tanah untuk kami dan sebagian tanah untuk

11
mereka yang mengerjakannya, kadang sebagian tanah itu berhasil baik dan yang lain tidak
berhasil, maka oleh karenanya Raulullah SAW. Melarang paroan dengan cara demikian”
(H.R. Bukhari).
Dari Ibnu Umar: “Sesungguhna Nabi SAW. Telah memberikan kebun kepada
penduduk khaibar agar dipelihara oleh mereka dengan perjanjian mereka akan diberi
sebagian dari penghasilan, baik dari buah – buahan maupun dari hasil pertahun (palawija)”
(H.R Muslim).
Dua Hadits di atas yang dijadikan pijakan ulama untuk menuaikan kebolehan dan
katidakbolehan melakukan Muzara’ah dan Mukhabarah. Setengah ulama melarang paroan
tanah ataupun ladang beralasan pada Hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari tersebut di atas.
Ulama yang lain berpendapat tidak ada larangan untuk melakukan Muzara’ah ataupun
Mukhabarah. Pendapat ini dikuatkan oleh Nawawi, Ibnu Mundzir, dan Khatabbi, mereka
mengambil alsan Hadits Ibnu Umar yang diriwayatkan oleh Imam Muslim di atas.
Adapun Hadits yang melarang tadi maksudnya hanya apabila ditentukan penghasilan
dari sebagian tanah, mesti kepunyaan salah seorang diantara mereka. Karena memang
kejadian di masa dahulu, mereka memarohkan tanah dengan syarat dia akan mengambil
penghasilan dari sebagian tanah yang lebih subur keadaan inilah yang dilarang oleh Nabi
Muhammad SAW. Dalam Hadits yang melarang itu, karena pekerjaan demikian bukanlah
dengan cara adil dan insaf. Juga pendapat ini dikuatkan orang banyak.

C. Pendapat Yang Melarang Akad Muzara’ah


Dan telah datang satu masalah dalam hal ini, yaitu munculnya hadis
tentang Muzara’ah dari Rafi’ bin Khudaij yang mengatakan bahwa Rasulullah SAW
telah melarang dilakukannya Muzara’ah setelah sebelumnya ia memperbolehkannya,
dengan dalil hadis yang menceritakan bahwa telah datang kepada Rasulullah dua
orang yang berselisih tentang Muzara’ah yang mereka lakukan hingga menjadikan
mereka berusaha untuk saling membunuh, maka untuk permasalahan mereka ini
Rasulullah berkata bahwa kalau demikaian halnya yang terjadi maka sebaiknya
mereka tidak melakukannya. Zaid bin Tsabit
meriwayatkan, bahwa ada dua orang yang sedang bertengkar tentang masalah tanah,
kemudian mengadukannya kepada Nabi, maka jawab Nabi, Kalau ini persoalanmu,
maka janganlah kamu menyewakan tanah. Jadi
masing-masing dari pemilik tanah dan penyewa, harus ada sikap toleransi yang tinggi.
Misalnya si pemilik tanah jangan minta terlalu tinggi dari hasil tanahnya itu. Begitu
juga sebaliknya si penyewa jangan merugikan pihak pemilik tanah.
Dan pendapat yang mengatakan bahwa hukum Muzara’ah ini termasuk

12
akad yang terlarang telah dibantah oleh Zaid bin Tsabit dengan mengatakan bahwa ia
lebih mengetahui tentang hadits Rasulullah dari pada Rafi’ bin Khudaij. Lebih
lanjutnya dia menjelaskan bahwa banyak sahabat Nabi yang melakukan Muzara’ah.
Dengan adanya bantahan dari Zaid ini, maka telah jelas bahwa tidak ter jadi Nasakh
dalam hukum diperbolehkannya Muzara’ah. Ibnu Abbas ra. meriwayatkan bahwa
larangan Rasulullah SAW tentang Muzara’ah dalam hal ini bersifat kasuistik, di mana
beliau memandang bahwa orang tersebut kurang tepat dalam melakukan akad
Muzara’ah, sehingga larangan itu bukan berarti melarang hukum Muzara’ah secara
hukum, melainkan arahan beliau kepada orang seseorang tertentu untuk menggunakan
sistem lain yang lebih tepat.

D. Hal-Hal Yang Tidak Diperbolehkan Dalam Akad Muzara’ah


Dalam Muzara’ah, tidak boleh mensyaratkan sebidang tanah tertentu, ini untuk si
pemilik tanah dan sebidang tanah lainnya untuk sang petani. Sebagaimana sang pemilik tanah
tidak boleh mengatakan, “Bagianku sekian wasaq.”
Dari Hanzhalah bin Qais dari Rafi’ bin Khadij, ia bercerita, “Telah mengabarkan
kepadaku dua orang pamanku, bahwa mereka pernah menyewakan tanah pada masa Nabi
SAW dengan (sewa) hasil yang tumbuh di parit-parit, dengan sesuatu (sebidang tanah) yang
dikecualikan oleh si pemilik tanah. Maka Nabi SAW melarang hal itu.” Kemudian saya
(Hanzhalah bin Qais) bertanya kepada Rafi’, “Bagaimana sewa dengan Dinar dan
Dirham?” Maka jawab Rafi’, “Tidak mengapa sewa dengan Dinar dan Dirham.” Al-Laits
berkata, “Yang dilarang dari hal tersebut adalah kalau orang-orang yang mempunyai
pengetahuan perihal halal dan haram memperhatikan hal termaksud, niscaya mereka tidak
membolehkannya karena di dalamnya terkandung bahaya.8”
Dari Hanzhalah juga, ia berkata, “Saya pernah bertanya kepada Rafi’ bin Khadij
perihal menyewakan tanah dengan emas dan perak. Jawab Rafi’, ‘Tidak mengapa.
Sesungguhnya pada periode Rasulullah orang-orang hanya menyewakan tanah dengan
(sewa) hasil yang tumbuh di pematang-pematang (gailengan), tepi-tepi parit, dan beberapa
tanaman lain. Lalu yang itu musnah dan yang ini selamat, dan yang itu selamat sedang yang
ini musnah. Dan tidak ada bagi orang-orang (ketika itu) sewaan melainkan ini, oleh sebab
itu yang demikian itu dilarang. Adapun (sewa) dengan sesuatu yang pasti dan dapat dijamin,
maka tidak dilarang.”9

8 Shahih: Irwa-ul Ghalil V: 299, Fathul Bari V: 25 no: 2347 dan 46, Nasa’i VII: 43 tanpa
perkataan al-Laits

13
E. Muzara'ah Yang Tidak Dibenarkan
Ada suatu bentuk Muzara'ah yang sudah biasa berlaku di zaman Nabi, tetapi oleh
beliau dilarangnya karena terdapat unsur-unsur penipuan dan kesamaran yang berakibat
kepada persengketaan, dan bertentangan dengan jiwa keadilan yang sangat dijunjung tinggi
oleh Islam dalam seluruh lapangan.
Banyak para sahabat yang memberikan persyaratan kepada orang yang mengerjakan
tanahnya, yaitu dengan ditentukan tanah dan sewanya dari hasil tanah baik berupa takaran
ataupun timbangan. Sedang sisa daripada hasil itu untuk yang mengerjakannya atau masih
dibagi dua lagi, misalnya.
Rasulullah SAW melihat, bahwa apa yang disebut keadilan, yaitu kedua belah pihak
bersekutu dalam hasil tanah itu, sedikit ataupun banyak. Tidak layak kalau di satu pihak
mendapat bagian tertentu yang kadang-kadang suatu tanah tidak menghasilkan lebih dari
yang ditentukan itu. Dalam keadaan demikian, maka pemilik tanah berarti akan mengambil
semua hasil, sedang di lain pihak menderita kerugian besar. Dan kadang-kadang pula, suatu
tanah yang ditentukan itu tidak menghasilkan apa-apa, sehingga dengan demikian dia
samasekali tidak mendapat apa-apa, sedang di lain pihak (penyewa) memonopoli hasil.
Oleh karena itu seharusnya masing-masing pihak mengambil bagiannya itu dari hasil
tanah dengan suatu perbandingan yang disetujui bersama. Jika hasilnya itu banyak, maka
kedua belah pihak akan ikut merasakannya, dan jika hasilnya sedikit, kedua-duanya pun akan
mendapat sedikit pula. Dan kalau samasekali tidak menghasilkan apa-apa, maka kedua-
duanya akan menderita kerugian. Cara ini lebih menyenangkan jiwa kedua belah pihak.
Diriwayatkan dari jalan Rafi' bin Khadij, ia berkata: “Kami kebanyakan pemilik tanah
di Madinah melakukan muzara'ah, kami menyewakan tanah, satu bagian daripadanya
ditentukan untuk pemilik tanah. Maka kadang-kadang si pemilik tanah itu ditimpa suatu
musibah sedang tanah yang lain selamat, dan kadang-kadang tanah yang lain itu ditimpa
suatu musibah, sedang dia selamat, oleh karenanya kami dilarang.” (Riwayat Bukhari).
Di lain riwayat Rafi' bin Khadij berkata: “Di zaman Nabi orang-orang biasa
menyewakan tanah yang dekat sumber dan yang berhadapan dengan parit-parit dan
beberapa macam tanaman, maka yang ini rusak dan yang itu selamat, yang ini selamat dan
yang itu rusak, sedang orang-orang tidak melakukan penyewaan tanah kecuali demikian,
oleh karena itu kemudian dilarangnya.” (Riwayat Muslim).
Rasulullah SAW. bertanya kepada para sahabat: “Apa yang kamu perbuat terhadap
tanam-tanamanmu itu?” Mereka menjawab: “Kami sewakan dia dengan 1/4 dan beberapa

9 Shahih: Irwa-ul Ghalil V: 302, Muslim III: 1183 no: 116 dan 1547, ‘Aunul

Ma’bud IX: 250 no: 3376 dan Nasa’i VII : 43

14
wasag dari korma dan gandum.” Maka jawab Nabi, “Jangan kamu berbuat demikian.”
(Riwayat Bukhari).
Maksud hadis ini, yaitu mereka menetapkan ukuran tertentu yang mereka ambilnya
dari hasil tanah itu, kemudian membagi sisanya bersama orang-orang yang menanaminya,
untuk ini 1/4 dan untuk itu 3/4 misalnya.
Dari sini pula kita dapat mengetahui, bahwa Nabi sangat berkeinginan untuk
mewujudkan keadilan secara merata dalam masyarakatnya, serta menjauhkan semua hal yang
menyebabkan pertentangan dan perkelahian di kalangan masyarakat Islam.
Zaid bin Tsabit meriwayatkan, bahwa ada dua orang yang sedang bertengkar tentang
masalah tanah, kemudian mengadukannya kepada Nabi, maka jawab Nabi: “Kalau ini
persoalanmu, maka janganlah kamu menyewakan tanah.” (RiwayatAbu Daud).
Jadi masing-masing dari pemilik tanah dan penyewa, harus ada sikap toleransi
(Tasamuh) yang tinggi. Misalnya si pemilik tanah jangan minta terlalu tinggi dari hasil
tanahnya itu. Begitu juga sebaliknya si penyewa jangan merugikan pihak pemilik tanah.
Justru itu dalam salah satu hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas, ia mengatakan:
“Sesungguhnya Nabi SAW. tidak mengharamkan menyewakan tanah (Muzara'ah), tetapi ia
memerintahkan supaya satu sama lain bersikap lemah-lembut.” (Riwayat Tarmizi).
Dan justru itu pula, ketika Thawus ditanya, maka dia menjawab: “Hai Abu
Abdirrahman, Kalau kamu tinggalkan penyewaan tanah (mukhabarah) niscaya mereka akan
beranggapan, bahwa Rasulullah SAW. melarangnya. Padahal ia berkata: “Bahwa saya akan
menolong mereka dan akan memberi mereka.” (Riwayat Ibnu Majah).
Jadi tidak seluruh keinginannya Nabi akan mengerjakan tanahnya sekalipun di situ
ada orang yang sangat ingin untuk mengerjakannya. Tetapi Nabi akan memberikan
pertolongan kepada mereka dan akan memberinya. Dan inilah corak masyarakat Islam.
Kadang-kadang ada juga pemilik tanah yang lebih suka tanahnya itu dibiarkan gundul,
tidak ditanami dan tidak ditaburi benih, daripada dia serahkan kepada orang yang mampu
mengurusnya dengan prosentase yang tidak menyenangkan. Oleh karena itu Umar bin Abdul
Aziz mengutus orang yang berkepentingan, supaya pemilik tanah itu menyerahkan tanahnya
dengan pembagian 1/4, 1/3, atau 1/5 sampai 1/10 dan jangan dibiarkan tanah itu dalam
keadaan gundul.
Cara lain yaitu dengan menyewakan tanahnya tersebut dengan uang, misalnya si
pemilik tanah menyerahkan tanahnya itu kepada orang yang sanggup mengurusnya dengan
penyewaan berupa uang dengan jumlah tertentu. Cara ini oleh kebanyakan ahli fiqih yang
masyhur dibolehkannya. Tetapi sementara ada yang melarangnya dengan dalil hadis sahih
yang menerangkan, bahwa Nabi SAW. melarang menyewakan tanah dengan penyewaan atau

15
bagian tertentu, yaitu hadis yang diriwayatkan dari Nabi oleh dua orang peserta Perang
Badar, Rafi' bin Khadij, Jabir, Abu Said, Abu Hurairah dan Ibnu Umar, semuanya
meriwayatkan dari Nabi, bahwa ia melarang menyewakan semua tanahnya.
Dapat dikecualikan dari penyewaan yang bernama Kira' yaitu bentuk Muzara'ah,
karena tegas Nabi sendiri selalu melakukannya bersama penduduk Khaibar semasa hidup
beliau dan kemudian dilanjutkannya oleh para Khulafaur Rasyidin.
Bagi orang yang mau memperhatikan perkembangan perundang-undangan Islam
dalam persoalan ini, kiranya akan jelas baginya apa yang diterangkan oleh Ibnu Hazm dalam
Muhalla: "Bahwa Rasulullah SAW datang di tengah-tengah masyarakat yang biasa
menyewakan tanah ladangnya (sebagaimana riwayat Rafi'dan lain-lain) sedang tanah ladang
tidak dapat disangkal lagi adalah disewakan sebelum Muhammad diangkat sebagai Rasul dan
sesudahnya. Ini suatu hal yang tidak mungkin dapat diragukan lagi oleh setiap orang yang
berakal. Kemudian tegas riwayat Jabir, Abu Said, Rafi', peserta Perang Badar dan dua orang
peserta Perang Badar lagi dan Ibnu Umar, yang menerangkan bahwa Rasulullah SAW
melarang Kira' secara keseluruhannya. Maka perkenan yang dahulu itu dibatalkan dengan
yakin, tidak diragukan lagi. Oleh karena itu barangsiapa beranggapan, bahwa mansukhnya
perkenan Kira' itu telah ditarik kembali, dan kepastian mansukh itu telah batal, maka dia
adalah berdusta dan mendustakan, berkata sesuatu yang tidak diketahuinya. Cara semacam
ini jelas haram dengan Nas Al-Quran, kecuali apabila dia dapat membawakan dalil, sedang
dalil untuk itu samasekali tidak ada, melainkan disewanya tanah itu dengan suatu bagian yang
ditentukan dari hasil tanah tersebut misalnya 1/3 atau 1/4, dan ini tegas dilakukan sendiri oleh
Rasulullah SAW terhadap penduduk Khaibar sesudah dilarangnya bertahun-tahun lamanya.
Dan penyewaan seperti ini terus berlangsung sampai beliau wafat."
Yang berpendirian seperti ini ialah sejumlah ulama salaf. Thawus salah seorang ahli
fiqih dari Yaman dan seorang Tabi'in besar tidak suka menyewakan tanah dengan emas atau
perak (uang), tetapi dengan 1/3 atau 1/4.
Ketika pendapatnya ini dibantah, dengan alasan bahwa Nabi melarang menyewakan
tanah, maka Thawus menjawab: "Mu'az bin Jabal (duta Nabi ke Yaman) datang kepada kami,
kemudian menyewakan tanah dengan 1/3 dan 1/4 sedang kami mengetahuinya sampai
sekarang ini, yang seolah-olah menganggap, bahwa penyewaan tanah yang dilarangnya itu
ialah penyewaan dengan uang (emas dan perak). Adapun muzara'ah dipandangnya tidak apa-
apa."
Yang berpendapat seperti ini ialah Muhammad bin Sirin dan Al-Qasim bin
Muhammad bin Abubakar As-Siddiq. Keduanya berpendapat tidak salah kalau menyerahkan

16
tanahnya kepada orang lain dengan penyewaan 1/3, 1/4 atau 1/10 nya sedang si pemilik tanah
tidak memberikan pembelanjaan sedikitpun.
Di samping itu, kedua ulama itupun berpendapat dilarang melakukan kira'. Ada pula
segolongan tabi'in yang tidak membolehkan penyewaan tanah secara keseluruhannya, baik
dengan uang ataupun bagi hasil. Tetapi satu hal yang tidak diragukan lagi, bahwa mereka ini
tidak mengetahui dibolehkannya hal tersebut dengan fi'liyah Nabi sendiri, para khalifahnya
dan Mu'az waktu di Yaman. Dan inilah perundang-undangan dalam bidang pekerjaan yang
ditetapkan untuk kaum muslimin pada masa-masa permulaan. Adapun larangan menyewakan
tanah dengan uang, sudah cocok dengan nas dan akal.

F. Implikasi Muzara’ah Terhadap Kehidupan Ekonomi Masyarakat Pedesaan


Masyarakat pedesaan yang pada umumnya hanya menggantungkan hidupnya dari
hasil pertanian, dimana taraf kesejahteraan mereka berbeda-beda. Sebagian dari mereka ada
yang memiliki lahan sendiri untuk digarap, yang luasnya bervariasi. Tapi ada juga yang tidak
memiliki lahan sendiri untuk digarap sehingga untuk mencukupi kebutuhan mereka
bekerjasama dengan yang memiliki lahan untuk menggarap lahan pertaniannya dengan
imbalan bagi hasil. Atau bahkan ada juga mereka yang telah memiliki lahan sendiri tapi
karena hasilnya belum mencukupi, mereka juga bekerja di lahan milik orang lain dengan
imbalan bagi hasil pertanian. Terdapat juga pemilik yang mempunyai bidang tanah yang
sangat kecil tetapi tidak dapat menggarapnya karena suatu sebab sehingga penggarapannya
diwakili orang lain dengan mendapat sebagian hasilnya. Kondisi seperti ini pada umumnya
terlihat pada masyarakat pedesaan kita saat ini.
Adalah wajar kiranya sistem pengolahan lahan pertanian dengan bagi hasil
(Muzara‘ah) ini berkembang di masyarakat pedesaan pada umumnya. Karena pada dasarnya
manusia tidak ada yang sama, kepribadian dan kemampuan masing-masing berbeda serta
memiliki berbagai keinginan. Oleh karena itu perlu dibangun suatu masyarakat yang maju
dan makmur agar rasa saling percaya dan kerjasama dapat tumbuh di kalangan masyarakat.
Dalam masyarakat, setiap orang mempunyai ketergantungan dengan orang lain untuk
memenuhi kebutuhannya. Seringkali seseorang memiliki kemauan untuk mengolahnya. Hal
yang sama dapat dikatakan mengenai pengalihan kekayaan yaitu misalnya seseorang
mempunyai cukup waktu untuk berdagang (bisnis lain) atau tidak mempunyai kemampuan
dan kekuatan untuk memikul beban dan kesukaran perdagangan (atau bisnis lainnya), atau
terikat dengan pekerjaan yang lebih tinggi dan tidak dapat mengolah tanah sendiri. Oleh
karena itu dibutuhkan saling tolong menolong agar dengan pemberian kekayaan yang
dimiliki (modal atau tanah) kepada orang lain dapat membagi keuntungan dengan mereka.

17
Sistem ini menjadi suatu yang penting ketika ada orang-orang yang memiliki keahlian
tapi tidak memiliki lahan dan sementara yang lain memiliki lahan tanpa modal dan tenaga
kerja. Berdasarkan keadaan seperti ini dengan saling bantu-membantu dan kerjasama maka
sistem bagi hasil merupakan cara efektif untuk menghasilkan lebih banyak tanah yang diolah
sehingga menguntungkan kedua belah pihak. Bagi mereka yang tidak memiliki lahan tapi
memiliki kemampuan, sistem ini akan membukakan mereka peluang pekerjaan yang
selanjutnya dapat meningkatkan pendapatan yang membawa dampak pada kesejahteraan
kedua belah pihak. Disamping juga akan terjalinnya rasa persaudaraan yang lebih erat karena
masing-masing pihak merasa saling membutuhkan. Seorang pemilik lahan mungkin saja
tidak memiliki waktu untuk mengolah lahannya karena disibukkan oleh hal-hal yang lain,
sedang di sisi lain, seorang petani membutuhkan lahan yang bisa digarap dan ia tidak
memiliki lahan tersebut.
Sistem Muzâra‘ah ini sangat membantu mereka yang memiliki lahan tapi tidak
mempunyai waktu untuk menggarapnya dan mereka yang tidak memiliki lahan tapi memiliki
keahlian dalam bertani. Sistem Muzâra‘ah ini sebenarnya sudah dikenal dan dipraktekkan di
kalangan masyarakat khususnya di Indonesia, yang mungkin dengan berbagai macam istilah
dan penamaan. Penerapan sistem ini pada umumnya dapat dilihat pada masyarakat pedesaan
yang hidupnya mengandalkan pertanian. Karena sistem ini akan membentuk kerjasama antara
pemilik lahan dan petani penggarap yang didasari rasa persaudaraan antara kedua belah
pihak. Dan juga sangat membantu mereka yang memiliki lahan tapi tidak mempunyai waktu
untuk menggarapnya dan mereka yang tidak memiliki lahan tapi memiliki keahlian dalam
bertani.
Tidaklah berlebihan kiranya sesuai dengan kondisi sekarang kalau penulis
berpendapat bahwa sistem ini dapat terus diterapkan dengan tidak mengesampingkan nilai-
nilai keadilan dan norma-norma kemanusiaan. Selanjutnya, sebagai sebuah sistem kerjasama
yang memiliki implikasi sosial ekonomi yang positif, pengembangan ke arah yang lebih
profesional sesuai dengan kemajuan dan tuntutan zaman sangat diperlukan. Pengaplikasian
konsep ini ke dalam lembaga keuangan syariah sebagai salah satu produk pembiayaan bagi
nasabah yang bergerak dalam bidang Plantation atas dasar prinsip bagi hasil dari hasil panen,
diharapkan dapat memberikan konstribusi positif untuk meningkatkan produksi pertanian dan
lapangan pekerjaan di masyarakat. Tentunya hal ini juga dapat mendorong pengembangan
sektor ekonomi riil yang menopang pertumbuhan ekonomi secara makro.
Hukum Islam telah memberikan aturan khusus bagi penerapan sistem ini, karena itu
perbankan syariah dengan mudah dapat menyesuaikannya. Secara teknis, kontrak Muzâra‘ah
tidak berbeda jauh dengan kontrak Mudharabah. Hanya saja Muzâra‘ah berarti khusus untuk

18
pengolahan lahan pertanian sebagai pengganti dari produksi yang diatur oleh suatu aturan
tertentu. Oleh karena itu, teknis pengaplikasian sistem ini dalam perbankan syariah hampir
sama dengan sistem pembiayaan Mudhârabah.
Sebagai suatu kontrak kerjasama yang mempertemukan dua pihak yang berbeda
dalam proses dan bersatu dalam tujuan. Kerjasama ini memerlukan beberapa kesepakatan
berupa ketentuan-ketentuan yang meliputi aturan dan wewenang yang dirumuskan oleh kedua
belah pihak yang akan menjadi patokan hukum berjalannya aktivitas tersebut. Antara lain
dari segi manajemen, misalnya disepakati pihak bank menyediakan lahan pertanian, benih,
pupuk dan sebagainya sedangkan petani menyediakan keahlian, tenaga dan waktu. Termasuk
dalam hal ini disepakati prosentase bagi hasil panen untuk masing-masing pihak.

G. Peran Bank Syari’ah Dalam Perkembangan Pertanian di Indonesia


Kehadiran lembaga perbankan syari’ah sangat tepat untuk mengembangkan sektor
agribisnis, baik bank umum syari’ah maupun Bank Perkreditan Rakyat Syari’ah. Hal ini
dikarenakan bank syari’ah menggunakan skema bagi hasil (mudharabah, muzara’ah,
musyarakah), di samping skema lainnya seperti jual beli salam dan murabahah.

Secara garis besar, aplikasi muzâra‘ah dalam perbankan dapat digambarkan

sebagai berikut:

Bank
(pemilik lahan)

Kontrak kesepakatan Penggarapan Hasil


bagi hasil lahan Panen

Petani penggarap
(nasabah)

Konsep bagi hasil sebenarnya bukan transaksi baru dalam masyarakat Indonesia.
Tradisi ini telah lama dikenal dalam berbagai kegiatan ekonomi. Pada sektor pertanian
dikenal sistem maro, mertelu, marapat, paroan. Sistem bagi hasil pertanian, terutama untuk
tanaman padi berlangsung antara penggarap dan pemilik modal lahan dengan proporsi bagi
hasil yang relatif beragam. Skema kerja sama ini dalam fikih dikenal dengan istilah
muzara’ah, musaqah dan mukhabarah. Pada sektor kelautan juga praktek bagi hasil telah

19
lama dipraktekkan antara nelayan dan pemilik boat/ perahu. Sistem ini tampaknya lebih
cocok, karena hasil ikan yang akan diperoleh para nelayan tidak dapat diperkirakan, sehingga
sistem bagi hasil ini lebih adil.

Dengan demikian, pola pembiayaan syariah mempunyai karakteristik yang lebih


cocok dengan komoditi yang dibudidayakan oleh petani. Hal ini disebabkan :

1. Di bank Islam tidak dikenal adanya perhitungan bunga, tetapi menggunakan prinsip bagi
hasil dan pengambilan keuntungan secara jual beli.

2. Dalam prinsip bagi hasil, besarnya pembagian porsi keuntungan antara pemilik dana
(Bank) dan pengelola usaha (Petani) diserahkan kepada kedua belah pihak tersebut
disesuaikan dengan masa panen.

3. Dengan demikian, pada usaha pertanian yang kecil pendapatannya, nisbah yang disepakati
akan tidak sama dengan usaha yang lebih besar pendapatannya, mengingat setiap komoditi
usaha pertanian memiliki tingkat pendapatan yg berbeda, dan masa panen (menghasilkan)
yg berbeda pula.

4. Petani tidak dibebani dangan bunga pinjaman, melainkan pengembaliannya secara


otomatis disesuaikan dgn masa panen.

H. Qiyas Yang Dapat Menetapkan Dilarangnya Menyewakan Dengan Uang


Qiyas yang benar terhadap kaidah-kaidah Islam dan nas-nas yang sahih menetapkan
tidak bolehnya menyewakan tanah gundul dengan uang, sebagai berikut:
Rasulullah SAW. melarang menyewakan tanah dengan satu bagian tertentu dari
hasilnya, misalnya: 24 gantang, 48 gantang, 1 kwintal, atau 2 kwintal yang ditentukan untuk
si pemilik tanah. Rasulullah SAW. tidak membenarkan juga penyewaan tanah dengan bagian
hasil (Muzara'ah), melainkan dengan bagian yang masih relatif misalnya 1/4, 1/3, 1/2 nya.
Atau dengan kata lain pembagian secara prosentase. Hal ini dimaksudkan supaya kedua belah
pihak sama-sama mendapat keuntungan apabila tanah tersebut menghasilkan buah dan tidak
diserang hama suatu apapun, dan juga bersama-sama menerima kerugian apabila tanah
tersebut diserang hama.
Adapun menentukan bagian untuk salah satunya, supaya dia beroleh keuntungan besar
dan di lain pihak hanya mendapat keringat, kecapaian dan kerugian, tak ubahnya dengan
perbuatan riba dan berjudi. Kalau kita mau merenungkan masalah penyewaan tanah dengan
uang menurut kacamata ini, maka apakah perbedaannya dengan penyewaan bagi hasil

20
(Muzara'ah) yang dilarangnya. Sebab pemilik tanah sudah pasti akan menerima bahagiannya
itu berupa uang, sedang pihak penyewa akan mempertaruhkan tenaga dan kecapaiannya
dengan tidak mengetahui apakah akan beruntung atau rugi. Apakah tanahnya itu dapat
menghasilkan atau tidak.
Orang yang menyewakan sesuatu adalah tetap memilikinya sampai seterusnya. Oleh
karena itu dia berhak mendapat upah atas persediaan yang diberikan kepada pihak penyewa
dan persiapan guna dimanfaatkan oleh penyewa. Upah mana sebagai ganti atas penyusutan
yang dialami oleh barangnya itu sedikit demi sedikit.
Sekarang manakah persediaan yang harus diberikan oleh si pemilik tanah untuk
dipersiapkan untuk pihak penyewa. Padahal Allah menyediakan tanah untuk kita semua
untuk ditanami, bukan untuk dimiliki. Sekarang manakah penyusutan yang dialami oleh
tanah karena ditanami, sedang tanah tidak termakan dan tidak tergerak karena ditanami,
seperti halnya bangunan dan alat.
Seseorang yang menyewa rumah, secara langsung dapat memanfaatkan rumah itu
dengan ditempati, misalnya, tanpa ada yang menghalangi sedikitpun. Begitu juga orang yang
menyewa alat. Adapun penyewa tanah tidak dapat memanfaatkannya secara langsung. Ketika
dia menyewa tidak sekaligus dapat memanfaatkannya seperti halnya menyewa rumah,
bahkan dia harus berusaha dan mencurahkan pikiran guna memanfaatkannya, yang kadang-
kadang berhasil dan kadang-kadang tidak. Oleh karena itu setiap Qiyas (analogi) untuk
menyamakan persewaan tanah dengan rumah, adalah suatu Qiyas yang tidak benar.
Dalam hadis Bukhari diterangkan, bahwa Rasulullah SAW. melarang menjual buah-
buahan yang masih dalam kebun (baca: pohonnya) sebelum nampak jelas baiknya, padahal
waktu itu sudah diketahui selamat dari hama. Kemudian Rasulullah SAW dalam memberikan
alasan larangannya itu sebagai berikut: "Apakah kamu akan beranggapan, bahwa jika Allah
melarang buah-buahan, kemudian salah seorang di antara kamu itu halal mengambil harta
saudaranya?." (Riwayat Bukhari)
Kalau demikian halnya tentang orang yang menjual buah-buahan yang sudah nampak
baiknya tetapi belum dapat diyakinkan keselamatannya, yang kadang-kadang diserang oleh
hama yang menghalang kesempurnaan masaknya buah-buahan tersebut, maka bagaimana
halnya orang yang menyerahkan sebidang tanah gundul yang tidak dapat dipukul dengan
kayak dan tidak patut ditaburi benih. Apakah kepada orang semacam ini tidak sepatutnya kita
ajukan suatu pertanyaan: Apakah kamu akan beranggapan, jika Allah melarang tentang buah-
buahan, berarti kamu halal mengambil harta saudaramu.
Keadilan tidak akan terwujud, kecuali dengan Muzara'ah (penyewaan bagi hasil
menurut prosentase) di mana keuntungan dan kerugian akan dipikul bersama oleh kedua

21
belah pihak.10 Sekalipun Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah membolehkan menyewakan tanah,
tetapi beliau sendiri menyebutkan, bahwa Muzara'ah adalah lebih sesuai dengan keadilan dan
prinsip syariah Islamiah. Beliau berkata: "Muzara'ah lebih halal daripada kira', dan lebih
mendekati kepada keadilan dan pokok ajaran Agama Islam. Sebab dalam Muzara'ah itu
kedua belah pihak bersekutu dalam keuntungan dan kerugian, Berbeda dengan kira', maka
pemilik tanah sudah pasti menerima keuntungan, sedang pihak penyewa kadang-kadang
dapat dan kadang-kadang tidak dapat.”11
Al-Muhaqqiq Ibnul Qayim dalam komentarnya terhadap kezaliman yang dilakukan
oleh para penguasa dan militer terhadap kaum petani di masa itu, ia mengatakan: "Kalau
militer dan penguasa mau mendukung kaum petani menurut syariat yang telah ditentukan
Allah dan RasulNya serta perbuatan para Khulafaur Rasyidin, niscaya mereka akan
memperoleh rezeki dari atas dan dari bawah, dan niscaya Allah akan membukakan pintu-
pintu barakahNya dari langit dan bumi. Namun penghasilan yang berlipat sekarang ini
mereka dapat dengan kezaliman dan permusuhan.
Tetapi kebodohan dan kekejaman mereka itu tetap membantahnya, sehingga mereka
hanya berbuat kezaliman dan dosa. Mereka tidak mau menerima barakah dan keluasan rezeki.
Oleh karena itu kelak di akhirat mereka akan mendapat siksa dan dicabutnya barakah itu di
dunia ini."
Jika muncul pertanyaan: "Bagaimanakah syariat yang telah ditentukan Allah dan
Rasul serta perbuatan para khalifah, sehingga orang dapat menirunya dan memperoleh taufik
dari Allah?" Maka jawabnya: Penyewaan dengan bagi hasil (Mazara'ah) dengan adil, itulah
yang harus lama-lama dilakukan oleh pemilik tanah dan petani. Tidak ada keistimewaan
untuk satu pihak terhadap pihak lain dari ketentuan ini, menurut hukum Allah.
Mengistimewakan seseorang terhadap orang lain inilah yang menyebabkan hancurnya
negara, rusaknya masyarakat, terhalangnya hujan, hilangnya barakah dan menyebabkan para
militer dan pembesar berani makan barang haram. Padahal kalau sesuatu tubuh tumbuh dari
barang haram, maka nerakalah tempatnya.
Muzara'ah yang adil adalah cara yang dilakukan oleh kaum muslimin di zaman
Rasulullah SAW, para Khulafaur Rasyidin, keluarga Abubakar, keluarga Umar, keluarga
Usman, keluarga Ali dan kaum muhajirin. Dan ini pulalah yang menjadi pendirian
kebanyakan para sahabat, seperti: Ibnu Mas'ud, Ubai bin Ka'ab, Zaid bin Tsabit dan lain-lain
lagi. Dan ini pula yang menjadi pendirian ulama ahli hadis, seperti: Imam Ahmad, Ishak bin
Rahawih, Muhammad bin Ismail Al-Bukhari, Daud bin Ali, Muhammad bin Ishak bin
Khuzaimah, Abubakar bin Al-Mundzir, Muhammad bin Nasr al-Maruzi. Dan ini juga yang
10 Muhalla 8; al-Qawaidun Nuraniyah oleh Ibnu Taimiyah;
11 Risalah "Al-Hisbah fil Islam" oleh Ibnu Taimiyah, hal 21.

22
menjadi pendirian kebanyakan ulama Islam seperti: Al-Laits bin Sa'ad, Ibnu Abi Laila, Abu
Yusuf, Muhammad bin Al-Hasan dan lain-lainnya.
Rasulullah SAW sendiri telah melakukan hal tersebut dengan penduduk Khaibar,
yaitu dengan separuh dari hasil tanah. Begitulah sampai beliau meninggal dunia. Mu'amalah
seperti ini terus berlangsung sampai penduduk Khaibar itu dikeluarkan oleh Khalifah Umar
dari Khaibar. Nabi memberi persyaratan kepada mereka dengan biaya dan bibit dari mereka,
bukan dari Nabi.
Oleh karena itu pendapat yang paling benar, ialah bahwa bibit boleh dari pihak
penyewa, sebagaimana nas hadis, dan boleh juga dari kedua belah pihak.
Al-Bukhari menyebutkan dalam kitab Sahihnya, bahwa Umar Ibnul-Khattab
menyewakan tanah dengan perjanjian bibit dari Umar dan dia akan mendapat lebih dari
separuh. Kalau bibit dari mereka, maka mereka dapat lebih dari separuh juga.12
Seluruh riwayat yang menerangkan tentang Muzara'ah, sedikitpun tidak dikenal,
bahwa bagian penyewa tanah kurang dari separuh, bahkan kadang-kadang lebih dari separuh.
Memang yang cukup dapat menyenangkan hati, ialah bagian penyewa tidak kurang dari
separuh, sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah SAW dan para khalifahnya bersama
orang-orang Yahudi Khaibar. Tidak layak kalau bagian pemilik tanah lebih tinggi daripada
bagian penyewa.

BAB IV
PENUTUP

KESIMPULAN
Dari materi pembahasan yang telah kami paparkan di atas dapatlah diambil
kesimpulan bahwa dengan adanya Muzara’ah, kita dapat memahami tentang bagaimana cara
mengelola lahan pertanian maupun perkebunan yang baik dan halal yang sesuai dengan
ajaran Islam. Karena Islam mengajarkan tentang Muzara’ah yang esensinya terdapat dalam
Al-Qur’an dan Al-Hadits yang sudah dipraktekkan pada zaman Nabi Muhammad SAW.

12 Ath-Thuruqul Hakimah 248-250.

23
Di Indonesia sendiri khususnya di tanah Jawa, praktek Muzara’ah sudah dikenal
dengan istilah Maro, Mertelu dan Mrapat. Kemudian pada Prakteknya, Muzara’ah mengacu
pada prinsip Profit and Loss Sharing System. Dasar yang menjadi acuan praktek Muzara’ah
sendiri adalah hadits Nabi SAW. Diantaranya, Hadits Riwayat Imam Bukhari dari Jabir yang
menyatakan bahwa kaum Arab senantiasa mengolah tanahnya secara Muzara’ah dengan rasio
bagi hasil 1/3:2/3, 1/4:3/4, 1/2:1/2. Secara khusus, aturan mengenai pembagian hasil paroan
bidang pertanian ini mengacu pada Surat Keputusan Bersama Menteri Dalam Negeri dan
Menteri Pertanian Nomor 211/1980 dan Nomor 714/Ppts/Um/9/1980.

SARAN
Sudah seharusnya, di Indonesia sebagai Negara agraris yang mayoritas penduduknya
beragama Islam mempraktekkan Muzara’ah dalam menyewakan dan mengelola lahan
pertanian seperti yang telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW pada masanya, agar tercipta
keadilan dan sikap Tasamuh yang tinggi antara pemilik lahan dengan petani penggarap.

DAFTAR PUSTAKA

24
Hasan, M. Ali. 2003. Berbagai Macam Transaksi Dalam Islam (Fiqih Muamalat).
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Haroen, Nasroen. 2000. Fiqh Mu’amalah. Jakarta: Gaya Media Pratama.
Suhendi, Hendi. 2007. Fiqh Mu’amalah. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Al-Albani, Muhammad Nashiruddin. 2007. Shahih Sunan Nasa’I, Jilid 3. Jakarta:
Pustaka Azzam.
An Nabhani, Taqiyuddin. 1996. Membangun Sistem Ekonomi Alternatif. Surabaya:
Risalah Gusti.
Rasyid, H. Sulaeman. 1994. Fiqih Islam. Bandung: PT. Sinar Baru Algensindo.
Syafe'i, Rahmat. 2001. Fiqih Muamalah. Bandung: Pustaka Setia.
Lathif, A. H. Azharudin. 2005. Fiqh Muamalat. Jakarta: UIN Jakarta Press.

25

You might also like