Makalah ini membahas Lupus Eritromatosus Sistemik (SLE) yang merupakan penyakit autoimun multisistem kronik dengan gejala yang bervariasi seperti nyeri sendi, kram jari, rambut rontok, dan wajah merah. SLE disebabkan oleh interaksi antara faktor genetik, lingkungan, dan gangguan sistem kekebalan tubuh yang menghasilkan produksi berlebihan autoantibodi yang dapat merusak jaringan.
Original Description:
Makalah tentang Lupus atau Systemic Lupus Erithromatosus (SLE) untuk PBL blok muskuloskeletal 2
Makalah ini membahas Lupus Eritromatosus Sistemik (SLE) yang merupakan penyakit autoimun multisistem kronik dengan gejala yang bervariasi seperti nyeri sendi, kram jari, rambut rontok, dan wajah merah. SLE disebabkan oleh interaksi antara faktor genetik, lingkungan, dan gangguan sistem kekebalan tubuh yang menghasilkan produksi berlebihan autoantibodi yang dapat merusak jaringan.
Makalah ini membahas Lupus Eritromatosus Sistemik (SLE) yang merupakan penyakit autoimun multisistem kronik dengan gejala yang bervariasi seperti nyeri sendi, kram jari, rambut rontok, dan wajah merah. SLE disebabkan oleh interaksi antara faktor genetik, lingkungan, dan gangguan sistem kekebalan tubuh yang menghasilkan produksi berlebihan autoantibodi yang dapat merusak jaringan.
Deffina Widjanarko Mahasiswa Fakultas Kedokteran UKRIDA
Alamat Korespondensi: Deffina Widjanarko, Fakultas Kedokteran UKRIDA Jl. Terusan Arjuna no. 6, Tanjung Duren, Jakarta Barat 11510. E-mail: deffin4@hotmail.com
Pendahuluan
Lupus Eritromasus Sistemik (SLE) merupakan sebuah penyakit autoimun multisystem dengan sifat yang berubah-ubah. SLE merupakan suatu penyakit kambuhan dan sulit diperkirakan dengan awal manifestasi yang akut atau tersamar yang sebenarnya dapat menyerang setiap organ tubuh. Secara imunologis, penyakit ini melibatkan susunan autoantibodi yang membingungkan, termasuk antibody antinuclear (ANA). Makalah ini akan membahas SLE dan beberapa penyakit yang memiliki gejala menyerupai SLE.
Isi
Lupus Eritromatosus Sistemik (SLE) Lupus eritromatosus sistemik (selanjutnya akan disebut SLE) merupakan penyakit kronik inflamatif autoimun yang belum diketahui etiologinya. SLE merupakan prototype penyakit autoimun multisystem, yang ditandai oleh beragam autoantibodi, terutama antibodi antinukleus (ANA). Penyakit ini memiliki awitan mendadak atau perlahan, bersifat kronik, dapat mereda dan kambuh, sering disertai demam serta terutama ditandai oleh kelainan di kulit, sendi, ginjal, dan membran serosa. 1,2
Etiologi Etiologi untuk SLE belum diketahui secara pasti. Akan tetapi, dengan adanya antibodi (terhadap self-antigen) yang jumlahnya seperti tidak terbatas pada para pasien SLE, menunjukkan bahwa kelainan mendasar pada SLE adalah kegagalan mekanisme mempertahankan toleransi diri. Keberadaan autoantibody hampir ditemukan pada semua pasien SLE, tetapi mekanisme kemunculan antibodi-antibodi tersebut belum diketahui. Diduga melibatkan interaksi yang kompleks dan multifaktorial antara variasi genetik dan faktor lingkungan. Terdapat tiga faktor yang berkonvergensi dan diperkirakan berperan, yaitu predisposisi genetik, beberapa faktor nongenetik (lingkungan), dan kelainan fundamental dalam sistem imun.
Epidemiologi Dalam 30 tahun terakhir, SLE merupakan salah satu penyakit reumatik utama di utama. Prevalensi SLE diberbagai negara sangat bervariasi. Prevalensi pada berbagai populasi yang berbeda-beda bervariasi antara 3/100.000 sampai 400/100.000. SLE lebih sering ditemukan pada ras tertentu, seperti bangsa negro, China dan mungkin juga Filipina. Faktor ekonomi dan letak geografis tidak mempengaruhi distribusi penyakit. Penyakit ini dapat ditemukan pada semua usia, tetapi lebih banyak ditemukan pada usia 15-40 tahun (masa reproduksi). Frekuensi pada wanita lebih sering dibandingkan dengan pria, yaitu mencapai sepuluh kali lebih sering (10:1). Pada SLE yang disebabkan karena obat, rasio ini lebih rendah, yaitu 3:2. 2
Patogenesis SLE merupakan suatu sifat genetik yang kompleks dengan kontribusi gen-gen MHC dan non-MHC. Selain faktor genetik, beberapa faktor lingkungan atau non-genetik berperan pada patogenesis SLE. Contoh yang paling jelas adalah obat, seperti hidralazin (obat untuk hipertensi), prokainamid, dan D-penilsilamin dapat memicu respons mirip-SLE. Pajanan oleh sinar ultraviolet juga dapat menyebabkan kekambuhan pada pasien. Cara kerja sinar ultraviolet masih belum sepenuhnya diketahui, diperkirakan sinar UV memodulasi respons imun. Misalnya, sinar UV menginduksi keratinosit untuk menghasilkan IL-1, suatu faktor yang mempengaruhi respons imun. Iradiasi UV juga dapat memicu apoptosis pada sel. Hormon seks juga memiliki pengaruh penting pada manifestasi SLE. Pada kelompok usia subur, frekuensi SLE sepuluh kali lebih tinggi pada wanita dibandingkan pria. Kekambuhan dapat terjadi selama haid dan kehamilan normal. Adanya gangguan pembersihan sel-sel apoptosis dan kompleks imun merupakan kontributor paling penting dalam perkembangan penyakit ini. Hilangnya toleransi imun, meningkatnya beban antigenik, bantuan sel T yang berlebihan, gangguan supresi sel B, dan peralihan respon imun T-helper 1 (Th1) ke Th2 menyebabkan hiperaktivitas sel B dan memproduksi autoantibodi patogenik. 1,2
Mekanisme patogenesis SLE belum jelas, namun mekanisme yang baru diajukan ialah interaksi antara gen yang peka dan faktor lingkungan menghasilkan respon imun yang abnormal. Respon imun abnormal ini meliputi: 1. Aktivasi imunitas alamiah (innate) oleh CpG DNA, DNA dalam kompleks imun, dan RNA dalam RNA/protein antigen diri sendiri 2. Menurunkan aktivasi sel imun yang adaptif (antigen spesifik limfosit T dan B) 3. Menghambat pengaturan efektif dan menghambat CD4+dan CD8+ sel T 4. Mengurangi apoptosis sel dan dari kompleks imun
Antigen diri sendiri atau self-antigen ini ada untuk dikenali oleh sistem imun pada permukaan sel yang akan mengalami apoptosis; antigen, autoantibodi, dan kompleks imun memungkinkan sel untuk hidup lebih lama sehingga memungkinkan terjadinya peradangan dan berkembangnya penyakit. Hasil dari abnormalitas ini ialah produksi autoantibodi yang patogen dan kompleks imun yang akan berikatan dengan jaringan target, dan mengaktifkan komplemen dan sel fagosit. Aktivasi sistem komplemen dan sel imun akan melepaskan kemotaksin, sitokin, kemokin, peptide vasoaktif, dan enzim yang destruktif. Pada peradangan kronis, akumulasi dari faktor pertumbuhan dan produk dari oksidasi kronis berperan dalam kerusakan jaringan ireversibel di glomerulus, arteri, paru, dan jaringan lain.
Faktor Genetik. Anggota keluarga pasien SLE memperlihatkan peningkatan resiko untuk mengidap SLE. Sebanyak 20% anggota keluarga dekat (asimptomatik) dari pasien memiliki autoantibodi dan kelainan imunogulatorik lainnya. Peningkatan frekuensi SLE pada keluarga penderita dibandingkan dengan kontrol sehat dan peningkatan prevalensi SLE pada kelompok etnik tertentu menguatkan dugaan bahwa faktor genetik berperan dalam pathogenesis SLE. 2
Kejadian SLE lebih tinggi pada kembar monozigot (>20%) dibandingkan dengan kembar dizigot (1-3%). Pada kembar monozigot discordant atau keadaan dimana satu kembar mengalami SLE sedangkan yang lainnya tidak, keduanya memiliki pola dan titer autoantibodi yang serupa. Data-data ini mengisyaratkan bahwa susunan genetik mengendalikan pembentukan autoantibodi, tetapi ekspresi penyakit dipengaruhi oleh faktor non-genetik (lingkungan). 1
Dari penelitian yang telah dilakukan, elemen genetik yang memiliki kontribusi terhadap SLE pada manusia adalah gen dari Kompleks Histokompatibilitas Mayor (MHC), suatu kelompok gen yang berperan pada sistem imun. Penelitian populasi menunjukkan bahwa kepekaan terhadap SLE melibatkan polimorfisme dari gen HLA (human leucocyte antigen) kelas II. Gen HLA kelas II berhubungan dengan antibody tertentu seperti anti-Sm (small nuclear ribonuclear protein), dan anti-nRNP (nuclear ribonuclear prorein) dan anti-DNA yang memberikan resiko SLE pada kelompok etnik tertentu. 2
Faktor Hormonal. SLE lebih banyak menyerang perempuan daripada laki-laki, dengan perbandingan 10:1. Metabolisme estrogen yang abnormal dapat terjadi pada kedua jenis kelamin. Perempuan dengan SLE mempunyai konsentrasi androgen plasma yang rendah. Konsentrasi androgen berkorelasi negatif dengan aktivitas penyakit. Konsentrasi testosterone plasma yang rendah dan meningkatkan konsentrasi luteinizing hormon (LH) ditemukan pada beberapa penderita SLE laki-laki. Jadi estrogen yang berlebihan ditambah aktivitas hormon androgen yang tidak adekuat pada laki-laki maupun perempuan, mungkin bertanggungjawab terhadap perubahan respon imun. Konsentrasi progesterone pada perempuan penderita SLE lebih rendah dibandingkan dengan kontrol sehat. Prolaktin adalah hormon yang terutama dihasilkan oleh kelenjar hipofisa anterior. Sel-sel sistem imun juga mampu menghasilkan hormon ini. Prolaktin diketahui mampu menstimulasi respon imun humoral dan selular, yang diduga berperan dalam patogenesis SLE. Fungsi Prolaktin menyerupai sitokin, mempunyai aktivitas endokrin, parakrin dan autokrin. Prolaktin diketahui menstimulasi sel T, sel natural killer, makrofag, neutrofil, dan sel dendritik presentasi antigen. 2
Faktor Autoantibodi. Dengan semua temuan imunologis pada pasien SLE, hampir dipastikan bahwa gangguan mendasar dalam sistem imun berperan pada SLE. Pada pasien SLE ditemukan beragam kelainan imunologis pada sel T dan sel B, tetapi sulit untuk mengaitkan kelainan- kelainan tersebut dengan penyebab penyakit. Diperkirakan bahwa hiperaktivitas intrinsic sel B merupakan hal yang mendasar pada patogenesis SLE. Akan tetapi, dari analisis-analisis molecular terhadap antibodi anti-DNA untai-ganda memberikan petunjuk kuat bahwa autoantibodi patogenik tidak berasal dari sel B yang diaktifkan secara poliklonal. Antibodi- antibodi perusak jaringan tampaknya dirangsang oleh antigen-antigen diri dan terjadi akibat respons sel B yang bergantung pada sel T-helper spesifik antigen yang memiliki banyak karakteristik respons terhadap antigen asing. Berdasarkan pengamatan ini, diduga sel T-helper merupakan penolong langsung yang bertanggungjawab dalam respons autoimun. Bagaimanapun proses pembentukannya, berbagai autoantibodi tersebut jelas merupakan mediator cedera. Sebagian besar kelainan organ visera diperantai oleh kompleks imun (hipersensitivitas tipe III). Komplemen serum dalam kadar rendah dan pengendapan granular komplemen serta immunoglobulin di glomerulus menunjang sifat kompleks imun pada penyakit ini. Autoantibodi terhadap sel darah merah, sel darah putih, dan trombosit menyebabkan opsonisasi sel-sel ini sehingga sel-sel ini mudah difagositosis dan lisis. Berdasarkan penelitian selama ini, tidak ada yang membuktikan bahwa ANA, yang berperan pada pembentukan kompleks imun, dapat menembus sel yang utuh. Namun, jika nukleus sel terpapar, ANA dapat mengikatnya. Di jaringan, nukleus dari sel-sel yang rusak bereaksi dengan ANA, kehilangan pola kromatinnya dan menjadi homogeny dan menghasilkan badan lupus eritromatosus (LE) atau badan hematosiklin. Sel yang berkaitan dengan fenomena ini adalah sel LE, yang mudah dilihat secara in vitro. Sel LE adalah leukosit fagositik (neutrofil atau makrofag) yang telah menelan nukleus yang mengalami denaturasi dari suatu sel rusak. Ditemukannya sel LE secara in vitro dahulu digunakan sebagai tes SLE. Namun, dengan teknik- teknik untuk mendeteksi ANA, tes ini tidak terpakai lagi. 1
Faktor lingkungan. Faktor eksogen dan lingkungan merupakan salah satu faktor yang mungkin menghasilkan SLE. Agen infeksi seperti virus Epstein-Barr mungkin menginduksi respons spesifik melalui kemiripan molecular dan gangguan terhadap regulasi sistem imun. Diet mempengaruhi produksi mediator inflamasi. Toksin atau obat-obatan memodifikasi respon selular dan imunogenisitas dari self-antigen. Dan, agen fisik atau kimia seperti sinar ultraviolet (UV) dapat memicu apoptosis sel dan menyebabkan kerusakan jaringan. Obat-obatan seperti prokainamid, hidralazin (digunakan untuk hipertensi), klorpromazin, isoniazid, fenitoin, dan penisilamin dapat memicu respon mirip-SLE pada manusia. Sindrom ini disebut Lupus Eritromatosus Imbas-Obat. Banyak dari obat ini yang memicu pembentukan ANA, tetapi kebanyakan pasien tidak memperlihatkan gejala-gejala Lupus Eritromatosus. Contohnya adalah 80% pasien yang mendapat prokainamid akan positif untuk ANA, tetapi hanya sepertiga dari mereka yang memperlihatkan gejala klinis. Meskipun banyak organ yang terkena, ginjal dan susunan saraf pusat jarang terkena. Selain itu, merokok, pewarna rambut, dan konsumsi lemak jenuh yang berlebihan juga dapat memicu SLE. Radiasi UV dapat mencetuskan dan mengeksaserbasi ruam fotosensitivitas pada SLE. Selain itu, ditemukan pula bukti bahwa sinar UV dapat merubah struktur DNA yang menyebabkan terbentuknya autoantibodi. Sinar UV juga dapat menginduksi apoptosis keratinosit manusia yang menghasilkan autoantigen sitoplasmik pada permukaan sel. Penggunaan estrogen meningkat pada perempuan postmenopause dan untuk kepentingan kontrasepsi. Terapi sulih hormon, pil kontrasepsi oral, dan paparan estrogen prenatal memiliki hubungan dengan patogenesis SLE. Estrogen lingkungan dan gangguan endokrin mungkin merupakan pencetus yang penting untuk autoimunitas pada individu yang peka. 1,2
Manifestasi Klinis Gejala-gejala yang ditunjukkan SLE pada setiap individu berbeda-beda dan seringkali pada awalnya tidak dikenali sebagai SLE. Gambaran klinis keterlibatan sendi atau musculoskeletal dijumpai pada 90% kasus SLE, walaupun artitis sebagai manifestasi awal hanya dijumpai pada 55%. Gejala lainnya yang timbul pada SLE antara lain kelelahan, penurunan berat badan, demam yang biasanya tidak disertai menggigil, rambut rontok, hilangnya nafsu makan, pembesaran kelenjar getah bening, bengkak, sakit kepala, dan mual muntah. Biasanya, pasien adalah seorang wanita muda yang memiliki gambaran berikut (tidak harus semuanya): 2
- Ruam kupu-kupu di wajah - Demam - Nyeri di satu atau lebih sendi perifer (kaki, pergelangan kaki, lutut, paha, jari tangan, pergelangan tangan, siku, bahu), tetapi tanpa deformitas - Nyeri dada pleuritik - Fotosensitivitas
Manifestasi Muskuloskeletal. Keluhan yang sering dijumpai pada penderita SLE. Keluhan dapat berupa nyeri otot (myalgia), nyeri sendi (atralgia) atau suatu arthritis dimana tampak jelas bukti inflamasi sendi. Keluhan ini seringkali dianggap sebagai manifestasi Arthritis Rheumatoid karena keterlibatan sendi yang banyak dan simetris. Untuk membedakannya, umumnya SLE tidak menyebabkan kelainan deformitas, kaku sendi yang berlangsung selama beberapa menit dan sebagainya.
Manifestasi Kulit. Ruam kulit merupakan manifestasi SLE pada kulit yang telah lama dikenal oleh ahli. Lesi muko-kutaneus yang tampak sebagian bagian SLE dapat berupa reaksi fotosensitivitas di daerah yang tidak tertutup pakaian atau berupa bercak yang menonjol berwarna putih perak dan dapat pula berupa bercak eritema pada palatum mole dan durum, dan depigmentasi pada bibir.
Manifestasi Multiorgan. SLE merupakan sindrom sistemik yang berarti mengenai banyak organ. Organ-organ dalam yang terkena pada SLE adalah paru-paru, jantung, ginjal, dan organ gastrointestinal. Pada manifestasi paru dapat terjadi radang intersititial parenkim paru (pneumonitis), emboli paru, hipertensi pulmonum, perdarahan paru, atau shrinking lung syndrome. Pneumonitis lupus dapat terjadi secara akut atau kronik. Pada keadaan akut perlu dibedakan dengan pneumonia bacterial. Biasanya penderita akan merasa sesak, batuk kering, dan dijumpai ronkhi di basal. Pneumonitis lupus memberikan respon yang baik pada pemberian steroid. Pada manifestasi kardiologis, baik perikardium, miokardium, endokardium atau pembuluh darah koroner dapat terlibat pada penderita SLE. Yang paling banyak terkena adalah perikardium. Penyakit jantung koroner dapat dijumpai pada penderita SLE dan bermanifestasi sebagai angina pectoris, infark miokard atau gagal jantung kongestif. Keadaan ini semakin banyak dijumpai pada penderita SLE usia muda dengan jangka penyakit yang panjang, serta penggunaan steroid jangka panjang. Keterlibatan ginjal dijumpai pada 40-75% penderita yang sebagian besar terjadi setelah 5 tahun menderita SLE. Manifestasi pada ginjal merupakan salah satu gambaran klinis terpenting pada SLE dengan gagal ginjal sebagai penyebab kematian yang paling sering. Pusat perhatian adalah patologi glomerulus, meskipun lesi insterstisial dan tubular juga ditemukan pada SLE. Patogenesis semua bentuk glomerulonefritis pada SLE melibatkan pengendapan kompleks DNA/anti-DNA di dalam glomerulus. Kompleks ini akan membangkitkan suatu respon peradangan yang dapat menyebabkan proliferasi sel endotel, mesangium, dan atau epitel, dan pada kasus yang berat menyebabkan nekrosis glomerulus. Meskipun ginjal tampak normal dengan pemeriksaan mikroskop cahaya pada 25-30% kasus, hampir semua kasus SLE menunjukkan kelainan ginjal tertentu jika diperiksa dengan mikroskop electron dan imunofluoresensi. 1,3
Manisfestasi gastrointestinal tidak spesifik pada penderita SLE karena dapat merupakan cerminan keterlibatan berbagai organ pada penyakit ini atau sebagai akibat pengobatan. Ada keluhan berupa penyakit pada esophagus, mesenteric vasculitis, inflammatory bowel disease, pancreatitis dan penyakit hati. Disfagia merupakan keluhan yang biasanya menonjol pada penderita dan sifatnya episodic. Terdapat pula nyeri abdominal yang berkaitan dengan inflamasi pada peritoneum.
Gambar 1. Gambaran Manifestasi Klinis SLE 4
Tatalaksana Sebelum penderita SLE diberi pengobatan harus diputuskan terlebih dahulu apakah penderita tergolong yang memerlukan terapi konservatif atau imunosupresif yang agresif. Seperti yang dikemukakan oleh Dubois, maka SLE dibagi menjadi 2 kelompok besar: 5
1. Kelompok ringan atau tidak mengancam nyawa Yang termasuk dalam kelompok ini adalah demam, arthritis, perikarditis ringan, efusi pleura, kelelahan dan sakit kepala 2. Kelompok berat atau mengancam nyawa Yang termasuk dalam kelompok ini adalah efusi pleura, penyakit ginjal, anemia hemolitik, trombositpenia, lupus cerebral, vaskulitis akut, miokarditis, dan pendarahan paru Pada umumnya, penderita SLE yang tidak mengancam nyawa dan tidak berhubungan dengan kerusakan organ dapat diterapi secara konservatif. Bila penyakit ini mengancam nyawa dan mengenai organ-organ mayor, maka dipertimbangkan pemberian terapi agresif yang meliputi kortikosteroid dosis tinggi dan imunosupresan lainnya.
Terapi Konservatif. Arthritis, athralgia, mialgia merupakan keluhan yang paling sering dijumpai pada penderita SLE. Pada keluhan yang ringan dapat diberikan analgetik sederhana atau obat anti-infalamsi nonsteroid (NSAID). Yang harus diperhatikan pada penggunaan obat-obat ini adalah efek sampingnya agar tidak memperberat keadaan umum penderita. Efek samping terhadap sistem gastrointestinal, hepar, dan ginjal harus diperhatikan. Bila analgetik dan NSAID tidak memberikan respon yang baik, dapat dipertimbangkan pemberian obat antimalaria, seperti hidroksiklorokuin dengan dosis 400mg/hari. Bila dalam waktu 6 bulan obat ini tidak memberikan efek yang baik, diperlukan evaluasi oftalmologik karena obat ini mempunyai efek toksik terhadap retina. Pada beberapa penderita yang tidak menunjukkan respons yang adekuat terhadap NSAID atau obat antimalaria, dapat dipertimbangkan pemberian kortikosteroid dosis rendah, yaitu dengan dosis tidak lebih dari 15mg setiap pagi. Methotrexate dosis rendah (7,5- 15mg/minggu) juga dapat dipertimbangkan untuk mengatasi arthritis pada penderita SLE. Sekitar 70% penderita SLE akan mengalami fotosensitivitas. Eksaserbasi akut SLE dapat timbul bila penderita terpapar oleh sinar ultraviolet, sinar inframerah, panas, dan kadang-kadang juga sinar fluoresensi. Obat yang diberikan berupa sunscreen topical dalam bentuk krem, lotion atau gel. Obat tersebut mengandung PABA dan esternya, benzofenon salisilat dan sinamanat yang dapat menyerap sinar ultraviolet A dan B. Sunscreen ini harus dipakau ulang setelah mandi atau bila berkeringat. Glukokortikoid local, seperti krem, salep, atau injeksi dapat dipertimbangkan pada dermatitis lupus. Pemilihan preparat topical harus hati-hati, karena glukokortikoid topikal, terutama yang bersifat diflorinasi dapat menyebabkan atrofi kulit, depigmentasi, teleangiektasis, dan fragilitas. Untuk kulit muka dianjurkan menggunakan steroid lokal berkekuatan rendah tidak diflorinasi, misalnya hidrokortison. Sedangkan untuk kulit badan lengan dapat digunakan steroid topical berkekuatan sedang, misalnya betametason valerat dan triamsinolon asetonid. Penggunaan krem glukokortikoid berkekuatan tinggi harus dibatasi selama 2 minggu untuk kemudian diganti dengan yang berkekuatan lebih rendah. 2
Terapi Agresif. Terapi agresif yang dimulai dengan pemberian glukokortikoid dosis tinggi harus segera dimulai bila timbul manifestasi serius SLE dan mengancam nyawa. Dosis glukortikoid sangat penting diperhatikan dibandingkan jenis glukokortikoid yang akan diberikan. Walaupun demikian, pemberian glukokortikoid berefek panjang, seperti deksametason, sebaiknya dihindari. Pemberian prednisone lebih banyak dipakai karena lebih mudah mengatur dosisnya. Pemberian glukokortikoid oral sebaiknya diberikan dalam dosis tunggal pada pagi hari. Pada manifestasi minor SLE, seperti arthritis, serositis, dan gejala konstitusional, dapat diberikan prednison 1-1,5 mg/kgBB/hari. Respon terapi dapat terlihat sedini mungkin, tetapi dapat juga dalam waktu yang cukup lama seperti 6-10 minggu. Toksisitas SLE merupakan problem tersendiri pada penatalaksanaan SLE. Setelah pemberian glukokortikoid dosis tinggi selama 6 minggu, maka harus mulai dilakukan penurunan dosis secara bertahap. Bila dalam waktu 4 minggu setelah pemberian glukokortikoid dosis tinggi tidak menunjukkan perbaikan yang nyata, maka dipertimbangkan untuk memberikan imunosupresan lain atau terapi agresif lainnya. Bolus siklofosfamid intravena 0.5-1 g/m2 dalam 250 ml NaCl 0.9% selama 60 menit diikuti dengan pemberian cairan 2-3 liter/24 jam setelah pemberian obat banyak digunakan secara luas pada terapi SLE. Siklofosfamid diindikasikan pada: 2
1. Penderita SLE yang membutuhkan steroid dosis tinggi 2. Penderita SLE yang dikontraindikasikan terhadap steroid dosis tinggi 3. Penderita SLE kambuh yang telah diterapi dengan steroid jangka lama atau dosis berulang 4. Glomerulonefritis difus awal 5. SLE dengan trombositopenia yang resisten terhadap dosis steroid 6. Penurunan GFR atau peningkatan kreatinin serum tanpa ada faktor-faktor ekstrarenal lainnya 7. SLE dengan manifestasi SSP
Siklofosfamid diberikan selama 6 bulan dengan interval 1 bulan, kemudian tiap 3 bulan selama 2 tahun. Selama pemberian siklofosfamid, dosis steroid diturunkan secara bertahap dengan memperhatikan aktivitas lupusnya. Toksisitas siklofosfamid meliputi nausea, vomitus, alopecia, sistisis hemoragika, keganasan kulit, penekanan fungsi ovarium, dan azoospermia.
Prognosis Prognosis untuk SLE bervariasi karena perjalanan penyakit SLE sangat beragam. Dan bergantung pada keparahan gejala, organ-organ yang terlibat, dan waktu remisi dapat dipertahankan. Walaupun tanpa pengobatan, beberapa pasien mengalami perjalanan penyakit yang relatif jinak yang hanya disertai manifestasi kulit dan atau hematuria. Dalam kasus yang jarang, perjalanan penyakit demikian cepat sehingga terjadi kematian dalam waktu beberapa bulan saja. Penyakit ini ditandai dengan remisi serta relaps berjangka waktu beberapa tahun hingga beberapa puluh tahun. SLE tidak dapat disembuhkan, penatalaksanaan ditujukan untuk mengatasi gejala dan manifestasi klinis. Secara keseluruhan, dengan pengobatan yang digunakan pada saat ini, dapat diperkirakan angka kelangsungan hidup untuk 5 tahun adalah 90% dan untuk 10 tahun adalah 80% dengan penyebab utama kematian adalah gagal ginjal, infeksi yang ikut menyerang, dan serangan pada sistem saraf pusat yang difus. 3,6
Preventif Aspek penting dari pencegahan serangan SLE adalah menghindari terkena sinar ultraviolet matahari. Bagaimana sinar matahari dapat menimbulkan serangan SLE masih belum dapat dimengerti sepenuhnya. Salah satu penjelasan adalah DNA yang terkena sinar ultraviolet secara normal akan bersifat antigenik dan hal ini akan menimbulkan serangan setelah terkena sinar. Pasien SLE harus dianjurkan untuk memakai payung, topi, dan baju lengan panjang bila keluar rumah. Tabir surya dengan faktor proteksi 15 (sunscreen SPF 15) harus dipakai untuk menahan sinar ultraviolet setelah berenang atau setelah berolahraga berat. Pasien juga harus diberi daftar obat-obatan yang dapat menimbulkan serangan penyakit (seperti prokainamid, disopiramid, propafenon, hidralazin) agar timbulnya penyakit akibat pemakaian obat dapat dicegah. 7
Anamnesis Untuk pasien suspek SLE, anamnesis dapat dilakukan dengan mengajukan pertanyaan- pertanyaan sebagai berikut: 8
I. Riwayat Penyakit Dahulu - Apakah pasien pernah didiagnosa menderita Rheumatoid Arthritis? - Apakah pasien dapat melakukan kegiatan sehari-hari dengan normal? - Apakah pasien sering terpapar sinar matahari (UV)? - Adakah riwayat diagnosis SLE? II. Riwayat Keluarga - Adakah keluarga pasien yang menderita penyakit SLE atau penyakit autoimun lain? III. Fisik - Apakah ruam sudah ada sejak lahir? - Sejak kapan ruam timbul? - Apakah ruam muncul tiba-tiba dalam jumlah banyak dan kemudian menghilang? - Apakah ruam bertambah merah jika terpapar sinar matahari? - Apakah ada perubahan anatomis dan deformitas sendi yang mencolok? - Apakah ada nodul subkutan? - Apakah pasien mengalami demam, penurunan berat badan, mudah lelah dan letargi? - Apakah ada sendi yang membengkak? Terasa hangat atau tidak? Apakah berwarna merah?
Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan fisik yang dilakukan adalah mengukur tanda-tanda vital yang meliputi pengukuran suhu tubuh, tekanan darah, denyut nadi, dan kecepatan pernapasan. Selain tanda-tanda vital, pemeriksaan fisik juga dapat meliputi inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi: - Inspeksi adalah pemeriksaan dengan melihat dan mengamati bagian tubuh pasien yang diperiksa. Pada penyakit ini lebih dikhususkan pada ruam dan sendi. Dilihat apakah ruam meluas, bentuk, ukuran, dan warnanya. Kemudian dilihat pembengkakan pada sendi, apakah berwarna merah atau tidak - Palpasi adalah pemeriksaan secara perabaan dengan menggunakan rasa propioseptif ujung jari tangan. Palpasi dapat dilakukan dengan satu, dua, tiga, empat, atau dengan semua jari tangan tergantung bagian yang diperiksa. Pada penyakit ini, dikhususkan palpasi pada sendi yang membengkak dengan sedikit tekanan pada ujung jari untuk melihat adanya rasa sakit atau tidak, apakah pembengkakan terasa lunak atau keras, teraba hangat atau dingin - Perkusi adalah pemeriksaan fisik dengan cara mengetuk permukaan tubuh dengan perantaan jari tangan untuk mengetahui keadaan organ-organ dalam tubuh. Pada pemeriksaan ini, hasilnya normal - Auskultasi adalah pemeriksaan fisik dengan cara mendengarkan suara yang terdapat di dalam tubuh dengan stetoskop. Pada pemeriksaan ini, hasilnya normal
Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan penunjang yang dilakukan meliputi pemeriksaan LED, hemoglobin, hematokrit, hitung jumlah leukosit dan trombosit, dan hitung jenis leukosit. Dapat pula dilakukan pemeriksaan autoantibodi dengan mendeteksi antibody antinuclear (ANA) dengan metode imunofluoresensi indirek yang mendeteksi berbagai macam antigen nukleus, ternasuk DNA, RNA, dan protein (ANA generik). Uji ANA menunjukkan hasil positif pada lebih dari 95% 1-5 pasien SLE, sehingga uji tersebut sangat sensitif. Namun uji ini tidak spesifik karena pasien dengan penyakit autoimun lain juga memberikan hasil yang positif. Sebaiknya diperhatikan bahwa terdapatnya antibodi terhadap DNA untai ganda atau anti-DNA dan anti-Sm lebih spesifik untuk diagnosis SLE. 6,7
Kriteria Diagnosis Diagnosis dapat ditegakkan dengan cara melakukan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Diagnosa kerja pasien dengan SLE ditegakkan berdasarkan karakteristik klinik dan autoantibodi yang diajukan oleh American College of Rheumatology (ACR) tahun 1982 yang dimodifikasi pada tahun 1997. 2
Kriteria Definisi Ruam malar (pipi) Eritema tetap, datar atau meninggi melebihi tonjolan malar, cenderung tidak mengenai lipatan nasolabialis Ruam discoid Bercak eritematosa menonjol dengan skuamosa keratosis dan sumbatan folikel, parut atrofi dapat muncul pada lesi yang lebih lama Fotosensitivitas Ruam yang timbul akibat reaksi yang tidak biasa terhadap cahaya matahari Ulkus mulut Ulserasi mulut atau nasofaring, biasanya tidak nyeri, diamati oleh dokter Arthritis Arthritis nonerosif yang mengenai 2 atau lebih persendian perifer, ditandai dengan nyeri, bengkak, dan efusi Serosotis Pleuritis atau perikarditis yang didokumentasi oleh EKG, atau gesekan atau efusi Gangguan ginjal Proteinuria > 0.5g/dL atau >3+ atau silinder sel Gangguan neurologis Kejang atau psikosis tanpa ada sebab lain Gangguan hematologi Anemia hemolitik atau leucopenia < 4000/mm3, limfopenia <1500 / mm3, dan trombositopenia < 100.000 /mm3 tanpa ada obat yang mengganggu Gangguan imunologi Anti-dsDNA, anti-Sm, atau anti fosfolipid Antobodi antinuclear (ANA) Titer ANA abnormal melalui imunofluoresensi atau pemeriksaan sebanding pada setiap waktu dan tidak adanya obat yang diketahui berkaitan dengan sindrom Lupus yang diinduksi obat Tabel 1. Kriteria SLE 2
Jika pasien menunjukkan empat atau lebih kriteria selama observasi, diagnosis SLE dapat ditegakkan dengan spesifitas 9% dan sensitifitas 75%.
Rheumatoid Arthritis Rheumatoid Arthritis merupakan penyakit sistemik autoimun, terutama dari sendi. Serangan Rheumatoid Arthritis (RA) perlu diwaspadai karena apabila berlangsung lama tanpa pengobatan memadai, penyakit ini dapat menyebabkan kelainan bentuk pada persendian dan peradangan kronis pada persendian. Kondisi ini dapat menyebabkan hilangnya fungsi persendian dan kecacatan sehingga kualitas hidup penderita menurun.
Etiologi Etiologi dari RA tidak diketahui secara pasti. Terdapat interaksi kompleks antara faktor genetik dan lingkungan. Faktor genetik berperan penting terhadap kejadian RA, dengan angka kepekaan dan ekspresi penyakit sebesar 60%. Gen TNFRSR11A, yang mengkode aktivator resepotor nuclear factor kappa B, berperan penting dalam resorpsi tulang pada RA. Faktor genetik juga berperan penting dalam terapi RA karena aktivitas enzim methylenetetrahydrofolate reductase dan thiopurine methyltransferase untuk metabolisme methotrexate dan azathioprine ditentukan oleh faktor genetik. Pada kembar monozigot, angka kesesuaian untuk berkembangnya RA lebih dari 30% dan pada orang kulit putih dengan RA yang mengekspresikan HLA-DR1 dan HLA DR-4 mempunyai angka kesesuaian sebesar 80%. 2
Epidemiologi Pada kebanyakan populasi di dunia, prevalensi RA relatif konstan yaitu berkisar antara 0,5- 1%. Prevalensi penyakit ini dua sampai tiga kali lebih sering terjadi pada wanita daripada pria, di mana umumnya terjadi pada usia pertengahan. Insiden biasanya meningkat dengan bertambahnya usia, terutama pada wanita. Kecenderungan insiden yang terjadi pada wanita dan wanita subur diperkirakan karena adanya gangguan dalam keseimbangan hormonal (estrogen) tubuh. Namun, hingga kini belum dapat dipastikan apakah faktor hormonal memang merupakan penyebab penyakit ini. Penyakit ini biasanya pertama kali muncul pada usia 25-50 tahun. Puncaknya adalah antara usia 40-60 tahun. 2
Patogenesis Diperkirakan bahwa RA adalah suatu penyakit autoimun yang dipicu oleh terpajannya pejamu yang genetis rentan terhadap suatu antigen artitogenik. Reaksi autoimun yang terus- menerus, disertai aktivasi sel T-helper CD4+ dan limfosit lain serta pembebasan lokal mediator- mediator peradangan dan berbagai sitokin merupakan penyebab rusaknya sendi. Oleh sebab itu, hal utama dalam patogenesis penyakit: - Sifat reaksi autoimun - Mediator yang berperan pada cedera jaringan - Kerentanan genetik - Antigen artritogenik
Reaksi autoimun RA terdiri dari sel T CD4+ yang teraktivasi dan mungkin juga sel B. Antigen yang menjadi sasaran limfosit-limfosit ini, dan bagaimana sel ini mula-mula diaktifkan, masih belum diketahui. Sel T tampaknya terutama berfungsi merangsang sel-sel lain di sendi untuk menghasilkan sitokin yang merupakan mediator utama reaksi sinovium. Meskipun kontribusi sel B autoreaktif telah lama diperdebatkan, semakin banyak bukti yang menunjukan bahwa pengendapan kompleks imun juga dapat berperan dalam perusakan sendi. Berbagai sitokin diperkirakan penting, dan sitokin terpenting adalah TNF dan IL-1. Keduanya dihasilkan oleh makrofag dan sel yang melapisi synovial, yang diaktifkan oleh sel T di sendi. TNF dan IL-1 pada gilirannya akan merangsang sel-sel synovial untuk berproliferasi dan menghasilkan berbagai mediator peradangan (contohnya prostaglandin), dan metalloproteinase matriks yang berperan menyebabkan kerusakan tulang rawan. Sel T aktif dan fibroblast sinovium juga menghasilkan RANKL, yang mengaktifkan osteoklas dan menyebabkan kerusakan tulang. Oleh karena itu, terbentuk suatu rangkaian kejadian yang menyebabkan kerusakan sendi progresif. Sinovium hiperplastik yang kaya sel radang melekat ke permukaan sendi dan tumbuh menutupinya, membentuk pannus dan merangsang resorpsi tulang rawan di sekitarnya. Pannus merupakan massa sinovium dan stroma sinovium yang terdiri dari sel radang, jaringan granulasi, dan fibroblas, yang tumbuh menutupi tulang rawan sendi dan menyebabkan erosi. Pannus akan menimbulkan kerusakan ireversibel dan erosi tulang subkondral. Kerentanan genetik merupakan komponen penting lainnya dalam pembentukan RA. Terdapat angka kesesuaian yang tinggi antara kembar monozigot dan diketahui terdapat predisposisi familial. Diperkirakan terdapat banyak lokus gen yang berperan dalam kerentanan ini. Akan tetapi, sebagian besar masih belum diketahui. Antigen-antigen yang memicu autoimunitas dalam menyebabkan reaksi tahap lanjut belum diketahui. Banyak upaya ditujukan untuk meneliti antigen-antigen mikroba sebagai pemicu, tetapi sampai saat ini belum ada bukti kuat yang menunjukkan bahwa organisme mikroba berperan sebagai antigen etiologik RA. Perjalanan penyakit RA bervariasi. RA timbul secara perlahan dan samar pada lebih dari separuh pasien. Gejala awal terdapat nyeri musculoskeletal menyeluruh dan lesu, kemudian sendi mulai memperlihatkan gejala-gejala. Pola keterlibatan sendi berbeda-beda, tetapi sendi- sendi kecil biasanya terkena lebih dahulu sebelum mengenai sendi besar. Gejala biasanya timbul di tulang-tulang kecil tangan (MCP dan PIP) dan kaki sendi (MTP dan IP) diikuti oleh pergelangan tangan, pergelangan kaki, siku dan lutut. Spina servikalis juga dapat terkena, tetapi panggul biasanya terkena hanya pada penyakit tahap lanjut dan region lumbosakral biasanya terhindar. Sendi yang terkena tampak membengkak, hangat, nyeri, dan kaku terutama saat bangun dan setelah tidak beraktivitas. Perjalanan penyakit dapat lambat atau cepat dan berfluktuasi selama bertahun-tahun, dengan kerusakan terbesar terjadi pada tahun ke-4 atau 5 pertama. Tanda utama radiografik adalah osteopenia juksta-artikular dan erosi tulang disertai menyempitnya rongga sendi akibat hilangnya tulang rawan sendi. Kerusakan tendon, ligamentum, dan kapsul sendi ikut berperan menyebabkan deformitas tertentu, seperti deviasi pergelangan tangan ke radial, deviasi jari tangan ke ulnar dan kelainan fleksi-hiperekstensi jari tangan (swan neck). Hasil akhirnya adalah terbentuknya sendi cacat yang tidak memiliki stabilitas serta rentang gerakan yang terbatas atau tidak ada sama sekali. Dapat terbentuk kista- kista sinovium besar, misalnya kista Baker di lutut posterior. 1
Gambar 2. Ragiografik Jari Penderita Rheumatoid Arthritis 9
Gambar 3. Letak-letak Rheumatoid Arthritis dan Osteoarthritis 10
Manifestasi Klinis Awitan. Kurang lebih 2/3 penderita RA, awitan terjadi secara perlahan. Arthtritis simentri terjadi dalam beberapa munggu sampai beberapa bulan dari perjalanan penyakit. Kurang lebih 15% dari penderita mengalami gejala awal yang lebih cepat, yaitu antara beberapa hari sampai beberapa minggu. Sebanyak 10-15% penderita mempunyai awitan fulminant berupa arthritis poliartikular sehingga diagnosis RA lebih mudah ditegakkan. Pada beberapa penderita gejala muncul beberapa hari setelah kejadian tertentu (infeksi). Arthritis sering kali diikuti oleh kelakuan sendi pada pagi hari yang berlangsung selama satu jam atau lebih. Beberapa penderita juga mempunyai gejala konstitusional berupa kelemahan, kelelahan, anoreksia dan demam ringan. 2
Manifestasi Artikular. Penderita RA umumnya memiliki keluhan nyeri dan kaku pada banyak sendi. Walaupun tanda kardinal inflamasi seperti nyeri, bengkak, kemerahan dan teraba hangat mungkin ditemukan pada awal penyakit atau selama kekambuhan, tetapi kemerahan dan perabaan hangat mungkin tidak dijumpai pada RA yang kronik. Penyebab arthtritis pada RA adalah sinovitis, yaitu inflamasi pada membrane synovial yang membungkus sendi. Pada umumnya, sendi yang terkna adalah persendian tangan, kaki dan vertebra survival dan biasanya bersifat simetri (meskipun pada presentasi awal bisa saja tidak simetris). Sinovitis akan menyebabkan erosi permukaan sendi sehingga terjadi deformitas dan kehilangan fungsi. Ankilosis tulang, yaitu destruksi sendi disertai kolaps dan pertumbuhan tulang yang berlebihan) bisa terjadi pada beberapa sendi khususnya pergelangan tangan dan kaki. 2
Deformitas. Kerusakan struktur artikular dan perartikular (tendon dan ligamentum) menyebabkan terjadinya deformitas. Bentuk-bentuk deformitas yang bisa ditemukan pada penderita RA dapat dilihat pada tabel berikut.
Bentuk Deformitas Keterangan Deformitas leher angsa (swan- neck) Hiperekstensi dari PIP dan fleksi DIP Deformitas boutonniere Fleksi PIP dan hiperekstensi DIP Deviasi ulna Deviasi MCP dan jari-jari tagan ke arah ulna Deformitas kunci piano Dengan penekanan manual akan terjadi pergerakan naik dan turun dari ulnar styloid yang disebabkan oleh rusaknya sendi radioulnar Deformitas Z-thumb Fleksi dan sublokasi sendi MCP I dan hiperekstensi dari sendi interphalanx Hallux Valgus MTP I terdesak ke medial dan jempol kaki mengalami deviasi ke arah luar yang teradi secara bilateral Tabel 2. Bentuk-bentuk Deformitas pada Rheumatoid Arthritis 2
Komplikasi Komplikasi-komplikasi yang terjadi pada penderita RA dapat berupa anemia, kanker, komplikasi kardiak, penyakit tulang belakang leher, gangguan mata, deformitas sendi tangan dan sendi lain, komplikasi pernafasan, nodul rheumatoid, vaskulitis. Anemia memiliki korelasi dengan LED dan aktivitas fisik. Sekitar 75% penderita RA mengalami anemia karena penyakit kronik dan 25% penderita tersebut memberikan respon terhadap terapi besi. Kanker mungkin merupakan akibat sekunder dari terapi yang diberikan. Pada komplikasi kardiak, sepertiga penderita RA mungkin mengalami efusi pericardial asimptomatik saat diagnosis ditegakkan. Miokarditis bisa terjadi, baik dengan atau tanpa gejala. Pada deformitas sendi, beberapa kelainan yang bisa ditemukan antara lain: frozen shoulder, kista popliteal, sindrom terowongan karpal dan tarsal. 2
Tatalaksana Tujuan utama dari program pengobatan pada reumatoid artritis adalah untuk menghilangkan nyeri dan peradangan, mempertahankan fungsi sendi dan kemampuan maksimal dari penderita, serta mencegah dan atau memperbaiki deformitas yang terjadi pada sendi. Selain itu, dengan adanya program pengobatan ini dapat mengusahakan agar pasien dapat tetap bekerja dan hidup secara biasa baik di rumah maupun di tempat kerja, terutama mengatasi kerperluan- keperluan dirinya sehari-hari. Penatalaksanaan yang sengaja dirancang untuk mencapai tujuan itu meliputi pendidikan, istirahat, latihan fisik dan termoterapi, gizi, serta obat obatan. Terapi dapat dilakukan secara non-farmakologik atau dengan terapi farmakologik. Beberapa terapi non-farmakologik telah dicoba pada penderita RA, seperti terapi puasa, suplementasi asam lemak esensial, terapi spa dan latihan. Terapi-terapi tersebut menunjukkan hasil yang baik. Pemberian suplemen minyak ikan (cod liver oil) bisa digunakan sebagai NSAID-sparing agents pada penderita RA. Memberikan edukasi dan pendekatan multidisiplin dalam perawatan penderita bisa memberikan manfaat jangka pendek. Pembedahan harus dipertimbangkan. Pembedahan dapat dilakukan apabila: 1. Terdapat nyeri berat yang berhubungan dengan kerusakan sendi yang ekstensif; 2. Keterbatasan gerak yang bermakna atau keterbatasan fungsi yang berat; 3. Ada ruptur tendon. Terapi farmakologik umumnya meliputi pemberikan obat anti-inflamasi non steroid (OAINS atau NSAID) untuk mengendalikan nyeri, glukokortikoid dosis rendah dan DMARD. Analgetik lain juga mungkin digunakan, seperti acetaminophen, opiate, diproqualone, dan lidokain topikal. Terapi yang digunakan saat ini adalah dengan pemberian DMARD sedini mungkin untuk menghambat perburukan penyakit. OAINS atau NSAID digunakan sebagai terapi awal untuk mengurangi nyeri dan pembengkakan. Obat-obat ini tidak merubah perjalanan penyakit dan tidak diperbolehkan digunakan secara tunggal. Penderita RA memiliki resiko dua kali lebih sering mengalami komplikasi serius akibat penggunaan NSAID dibandingkan penderita Osteoarthritis. DMARD yang paling umum digunakan adalah MTX (Methotrexate), hidroksiklorokuin atau klorokuin fosfat, sulfasalazin, leflunamide, infliximab, etanercept. Sulfasalazin atau hidroksiklorokuin sering digunakan sebagai terapi awal, tetapi pada kasus yang lebih berat, MTX atau kombinasi terapi mungkin digunakan sebagai terapi lini pertama. Perempuan pasangan usia subur harus menggunakan alat kontrasepsi yang adekuat bila sedang dalam terapi DMARD karena DMARD dapat membahayakan fetus. 2
Prognosis Tidak adanya faktor Rheumatoid tidak selalu meramalkan prognosis yang baik. Hasil dapat terganggu ketika diagnosis dan pengobatan tertunda. RA yang tetap terus-menerus aktif selama lebih dari satu tahun kemungkinan akan menyebabkan deformitas sendi dan kecacatan. Prediktor prognosis buruk pada stadium dini RA antara lain: skor fungsional yang rendah, status sosial ekonomi rendah, tingkat pendidikan rendah, ada riwayat keluarga dekat yang terkena RA, nilai LED tinggi saat permulaan penyakit. Kematian akibat RA dapat menurun setelah menggunakan DMARD terbaru jangka panjang. 2
Perjalanan penyakit dan hasil pengobatan RA pada setiap pasien tidak dapat diprediksi. Terdapat beberapa faktor yang menjadikan prognosis buruk pada pasien, antara lain: 11
- Poliarthritis generalisa di mana jumlah sendi yang terkena lebih dari 20 - LED dan CRP yang tinggi meskipun sudah menjalani terapi - Manifestasi ekstraartikular, misalnya nodul - Faktor rheumatoid positif - Ditemukannya erosi pada radiografi polos dalam kurun waktu 2 tahun sejak onset atau awitan
Preventif Rheumatoid Arthritis tidak memiliki pencegahan yang diketahui. Namun, seringkali mungkin untuk mencegah kerusakan lebih lanjut pada sendi dengan pengobatan dini yang tepat. - Olah raga secara rutin. Semua jenis olah raga dapat dilakukan sejauh nyeri atau pembengkakan tidak bertambah - Kompres panas atau dingin dapat membantu meredakan nyeri. Kompres panas dapat meredakan rasa kaku, sedangkan kompores dingin menyebabkan daerah yang sakit menjadi mati rasa - Pertahankan berat badan normal. Berat badan yang berlebihan memberikan tekanan yang lebih besar pada persendian sehingga meningkatkan resiko nyeri lutut, panggul, dan punggung
Anamnesis Meskipun dapat terjadi pada segala usia, umumnya RA terjadi pada usia 25-55 tahun dan lebih sering pada wanita. Untuk pasien suspek Rheumatoid Arthritis, anamnesis dapat dilakukan dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut: 10,12
I. Riwayat Keluarga - Apakah ada riwayat penyakit autoimun dalam keluarga? II. Fisik - Sendi apakah yang terkena? (Umumnya pergelangan tangan, jari tangan, siku, bahu, lutut) - Apakah ada rasa nyeri? Sejak kapan dan di mana? - Adakah kaku, bengkak atau deformitas? (Umumnya kaku terjadi pada pagi hari saat bangun tidur dan selama lebih dari 1 jam) - Apakah satu atau dua sendi yang terkena? - Apakah ditemukan gejala berupa demam, lemah, lelah, dan penurunan berat badan?
Pemeriksaan Fisik Sebelum melakukan pemeriksaan sendi, disarankan melakukan pemeriksaan pada beberapa keadaan ini: 12
- Kulit. Mungkin ditemukan ruam kulit makulapapula, eritema palmar, ruam vaskulitik disertai purpura atau ulkus. Jika penderita sudah diobati, kulitnya mungkin mengalami atrofi disertai ekimosis akibat steroid atau mungkin pula terjadi rash akibat obat. Nodulus rheumatoid terdapat pada tempat yang tertekan atau penonjolan tulang - Mata. Keratokonjungtivitis merupakan manifestasi yang paling sering ditemukan pada mata, tetapi keratitis, skleritis dan skleromalasia perforan juga dapat terjadi - Otot. Pada otot terjadi atrofi otot yang terjadi sekunder akibat peradangan sendi atau neuropati. Selain itu, mungkin juga dapat terjadi miositis
Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan radiologi dapat dilakukan untuk mendeteksi keberadaan RA (gambar hasil pemeriksaan radiologi dapat dilihat di atas). Pada penderita RA biasanya didapati tanda-tanda dekalsifikasi pada sendi yang terkena. Pemeriksaan foto rontgen dilakukan untuk melihat progesifitas penyakit RA dan kerusakan sendi jangka panjang. Pada foto rontgen biasanya ditemukan deformitas tulang. Pada tahap awal penyakit, biasanya tidak ditemukan kelainan pada radiologi kecuali pembengkakan jaringan lunak. Tetapi setelah sendi mengalami kerusakan yang lebih berat, maka dapat terlihat penyempitan ruang sendi, erosi tulang pada tepi sendi dan pengurangan densitas tulang. Perubahan ini bersifat irreversible. Pemeriksaan cairan synovial juga dapat dilakukan untuk mendeteksi RA. Cairan sendi biasanya berwarna kuning sampai putih dengan derajat kekeruhan yang menggambarkan peningkatan jumlah sel darah putih. Leukosit antara 5.000-50.000/mm 3 , menggambarkan adanya proses inflamasi yang didominasi oleh sel neutrophil.
Gambar 4. Perbedaan Cairan Sendi Penderita RA (kiri) dengan Penderita Gout (kanan) 13
Kriteria Diagnosis Diagnosis dapat dibantu dengan melakukan pemeriksaan fisik dan penunjang. Diagnosis RA ditegakkan bila memenuhi tiga dari enam kriteria menurut ACR.
Kriteria Diagnosis RA menurut ACR Gejala dan Tanda Definisi Kaku pagi hari (morning stiffness) Kaku pada sendi dan sekitarnya Artritis pada 3 persendian atau lebih Paling sedikit 3 sendi secara bersamaan menunjukkan pembengkakan jaringan lunak atau efusi yang diobservasi oleh seorang dokter Arthritis pada persendian tangan Paling sedikit ada satu pembengkakan pada sendi Arthritis yang simetrik Keterlibtan sendi yang sama pada kedua sisi tubuh secara bersamaan Nodul rheumatoid Adanya nodul subkutan pada daerah tonjoloan tulang, permukaan ekstensor atau daerah juxtaartikular yang diobservasi oleh seorang dokter Faktor rheumatoid serum postif Adanya titer abnormal daktor rheumatoid serum yang diperiksa dengan metode apapun Perubahan gambaran radiologis Adanya erosi atau dekalsifikasi tulang yang terdapat pada sendi atau daerah yang berdekatan dengan sendi Tabel 3. Kriteria RA 2
Mixed Connective Tissue Disorder Mixed Connective Tissue Disorder (MCTD) atau disebut juga Sindrom Sharp merupakan penyakit autoimun yang langka. MCTD merupakan penyakit yang mempengaruhi jaringan lunak tubuh dan berbagai organ. Penderita MCTD biasanya memiliki gejala-gejala atau ciri penyakit yang sama seperti tiga penyakit lainnya, yaitu Lupus, Scleroderma dan Polymyositis. Oleh karena itu, MCTD biasanya disebut sebagai penyakit overlap. Gejala dari ketiga penyakit lainnya biasanya tidak muncul sekaligus. Hal ini membuat diagnosa MCTD menjadi lebih sulit. Biasanya diagnose MCTD pertama adalah SLE. Seiring dengan berjalannya waktu, progresi dan gejala penyakit ini menjadi lebih jelas dan akhirnya diagnosa dapat ditegakkan. MCTD biasanya menyerang wanita. Akan tetapi, pada beberapa kasus, MCTD juga menyerang anak-anak. 14,15
Epidemiologi MCTD adalah penyakit yang langka ditemukan di dunia. Sebanyak 2,1 juta kasus ditemukan setiap tahunnya. Kebanyakan yang terjangkit adalah wanita dengan perbandingan 4:1. Umur penderita biasanya dari 30-50 tahun. Pada beberapa kasus ditemukan pada anak-anak. Prevalensinya lebih rendah dari Polymyositis, Dermamyositis, Sistemik Sclerosis, dan SLE. Prognosis MCTD biasanya lebih baik dibandingkan pasien SLE dan penyakit yang memiliki gejala mirip. Sekitar 4% pasien meninggal karena hipertensi pulmo, nefritis, miokarditis atau vaskulitis yang tersebar luas. 16
Patogenesis Patogenesis dari MCTD masih belum diketahui dengan jelas. Pada kebanyakan pasien MCTD ditemukan keberadaan antibodi untuk kompleks U1-RNP, tapi keberadaan autoantibodi lainnya juga dapat dikatakan sebagai MCTD. Beberapa hipotesis mengatakan adanya modifikasi self-antigen dan agen infeksi dalam perjalanan penyakit MCTD. MCTD dapat dikatakan sebagai penyakit autoimun pada individu yang mengekspresikan antigen secara spesifik, seperti Human Leucocyte Antigen (HLA) DR4 atau HLA-DQB1. Keberadaan HLA-DR4 ditemukan pada 52% penderita MCTD, memperkuat dugaan bahwa HLA memiliki hubungan dengan MCTD. Etnik penderita mungkin mempengaruhi kemungkinan seseorang menderita MCTD. 16
Manifestasi Klinis Kebanyakan pasien MCTD mengeluhkan arthralgia dan arthritis tanpa deformasi sendi. Sendi mana pun dapat terkena. Pasien biasanya mengeluhkan rasa nyeri pada pagi hari pada sendi-sendi yang terkena. Myalgia, myositis dan kelemahan otot juga mendampingi keluhan pada pasien MCTD. Manifestasi klinis pada sistem gastrointestinal biasanya disfagia dan disfungsi motilitas esophagus, mirip dengan gejala Sistemik Sclerosis. Keabnormalan lainnya dapat berupa esophagitis, konstipasi, diare, dan malabsorpsi. Manifestasi pada paru umumnya ditemukan pada penderita MCTD, antara 20-85% pasien. Keabnormalan pada paru meliputi effusi pulmo, fibrosis interstitial pulmo, hipertensi arteri pulmonalis, vaskulitis pulmo, pneumonia aspirasi, serositis dan kegagalan hipoventilasi. Manifestasi pada ginjal hanya ditemui pada 5% penderita. 16
Gejala-gejala lainnya yang ditemukan pada MCTD atau Sindrom Sharp antara lain anoreksia atau hilangnya nafsu makan, hilangnya berat badan, demam, kulit pucat, nausea, vomitus, diare, delirium, sakit kepala, lemah dan lesu, inflamasi pada tendon yang ditandai oleh rasa nyeri, penebalan kulit dan jaringan gabungan, perubahan warna pada jari tangan dan beberapa ekstremitas (Raynauds phenomenom), rasa nyeri pada sendi, kesulitan untuk menelan, nyeri dada, ruam, dan kebotakan. 14
Gambar 5. Raynauds Phenomenom 16
Tatalaksana MCTD merupakan penyakit kronik dan biasanya merupakan penyakit yang ringan yang bisa ditangani secara simptomatik atau dengan kortikosteroid atau immunosupresan pada kasus yang parah. Pemberian terapi kombinasi dapat mengurangi dosis dari sistemik steroid, yang merupakan efek dari kortikosteroid. Terapi bergantung pada keterlibatan organ dalam. Dosis sedang dari kortikosteroid digunakan bersamaan dengan obat immunosupresan. Obat anti- iflamasi juga berguna untuk arthralgia, myalgia dan pembengkakan pada tangan. Lesi kulit dapat diterapi oleh kortikosteroid topikal. Pada semua kasus, perlindungan dari sinar matahari langsung sangat dianjurkan. Kortikosteroid mengurangi reaksi autoimun, kemungkinan dengan cara menekan komponen utama dari sistem imun. Obat yang dapat digunakan adalah Predsinolone, suatu adrenokortikal sintetis. Predsinolone akan mengurangi reaksi inflamasi dengan menekan migrasi dari polimononuklear leukosit. Siklosporine menghalangi faktor utama yang mendukung reaksi imun yang menyebabkan reaksi inflamasi. Obat-obat seperti Sandimmune, Gengraf, dan Neoral biasanya digunakan. Untuk arthralgia, myalgia dan oedema dapat digunakan NSAID. 16
Komplikasi Sebanyak 10% pasien Sindrom Sharp memiliki resiko untuk mengidap kanker selama perjalanan penyakit. 16
Prognosis Prognosis untuk MCTD atau Sindrom Sharp biasanya lebih baik daripada penyakit autoimun lainnya. Penderita MCTD biasanya jarang mengalami manifestasi pada ginjal dan pemberian kortikosteroid biasanya memberikan dampak.
Pemeriksaan Fisik Pada pemeriksaan fisik, salah satu ciri khas yang menggambarkan MCTD adalah Reynauds phenomenom, di mana jari berbentuk seperti sosis dan bengkak pada bagian dorsal. Warna kulit juga berubah menjadi kebiruan. Lebih dari setengah pasien memiliki keabnormalan kapiler darah pada lipatan kuku. Vaskulitis pada pembuluh kecil dengan purpura yang terlihat jelas terdapat pada 25% pasien. Terkadang gangguan vaskular bisa menjadi berat dan dapat menyebabkan gangrene dan borok pada kaki. Manifestasi kulit yang lainnya biasanya tidak tampak. 16
Pemeriksaan Penunjang Hasil dari pemeriksaan laboratorium pada penderita MCTD dapat mirip dengan hasil dari penderita SLE, Sistemik Sclerosis atau Dermatomyositis. Dari hasil pemeriksaan sel darah, didapatkan hasil: anemia, trombositpenia (biasanya pada anak-anak), dan berkurangnya jumlah sel darah putih. Pada pemeriksaan urin didapatkan hasil: proteinuria dan hematuria. Pada pemeriksaan fungsi ginjal mungkin didapatkan hasil sebagai berikut: meningkatnya kadar kreatinin, meningkatnya kadar urea. Pada pemeriksaan enzim otot mungkin didapatkan hasil sebagai berikut: meningkatnya kadar aldolase, meningkatnya kadar kreatin kinase. 16
Arthritis Gout Etiologi Disebabkan oleh pengendapan kristal endogen, yaitu monosodium urat (gout) yang merupakan produk akhir metabolisme purin. Kristalisasi urat di dalam dan sekitar sendi menyebabkan Arthritis Gout kronik dan pengendapan massa urat di sendi dan tempat lain, membentuk tofus. Tofus terdiri dari kumpulan besar kristal urat dan reaksi peradangan di sekitarnya. Ada pula deformitas sendi kronis. 1,17
Meskipun peningkatan kadar asam urat merupakan komponen esensial pada gout, tidak semua pasien dengan hiperuresemia menderita gout, yang mengisyaratkan bahwa terdapat faktor selain hiperuresemia yang berperan dalam patogenesis penyakit ini. 17
Patogenesis Gout dapat dibagi menjadi dua bentuk, yaitu primer dan sekunder. Masing-masing membentuk 90% dan 10% kasus. Gout primer digunakan untuk menamai kasus yang kausa mendasarnya tidak diketahui atau jika penyebabnya adalah suatu kelainan metabolik herediter yang terutama ditandai dengan hiperuresemia dan gout. Pada kasus gout sekunder, penyebab hiperuresemia diketahui tetapi gout bukanlah penyakit klinis utama atau dominan. 17
Peningkatan kadar asam urat serum dapat terjadi karena pembentukan berlebihan atau penurunan eksresi asam urat, atau keduanya. Asam urat merupakan produk akhir metabolisme purin. Peningkatan sintesis asam urat merupakan gambaran yang sering terjadi pada gout primer, terjadi karena adanya abnormalitas pada permukaan nukleotida purin. Sintesis nukleotida purin terjadi melalui dua jalur, yaitu jalur de novo dan jalur penghematan. Jalur de novo melibatkan sintesis purin kemudian asam urat dari prekursor nonpurin. Substrat awal untuk jalur ini adalah ribose 5-fosfat yang diubah menjadi nukleotida purin melalui serangkatan zat perantara. Jalur ini dikendalikan oleh serangkaian mekanisme regulasi yang kompleks. Pada jalur ini, terdapat pengendalian umpan-balik negatif enzim amidofosforibosiltransferase (amido-PRT) dan 5-fosforibosil-1-pirofosfat (PRPP) sintetase oleh nukleotida purin. Pengaktifkan amido-PRT dilakukan oleh substratnya, PRPP. Jalur penghematan mencerminkan suatu mekanisme basa purin bebasnya, yang berasal dari katabolisme nukleotida purin, pemecahan asam nukleat, dan asupan makanan. Digunakan untuk membentuk nukleotida purin. Hal ini terjadi dalam reaksi satu tahap; basa purin bebas (hipoxantin, guanine, dan adenine) berkondensasi dengan PRPP untuk membentuk prekursor nukleotida purin dari asam urat. Reaksi ini dikatalisis oleh dua transferase, yaitu hipoxantin guanine fosforibosiltransferase (HGPRT) dan adenine fosforibosiltransferase (APRT). Asam urat dalam darah difiltrasi secara bebas oleh glomerulus dan hampir seluruhnya diresorpsi dalam tubulus proksimal ginjal. Sebagian kecil asam urat yang diresorpsi akan diekskresikan di nefron distal dan diekskresikan melalui urin. Hiperuresemia dapat disebabkan oleh pembentukan berlebihan atau ekskresi yang kurang dari asam urat atau oleh kombinasi kedua proses ini. Sebagian besar kasus gout ditandai dengan pembentukan berlebihan asam urat, dengan atau tanpa peningkatan ekskresi asam urat. Penyebab pembentukan berlebihan masih belum diketahui. Pada beberapa pasien dengan defek enzim tertentu memberi petunjuk mengenai regulasi biosintesis asam urat. Hal ini digambarkan oleh pasien dengan defisiensi herediter HGPRT. Defisiensi HGPRT ringan biasanya menunjukkan gejala sebagai Arthritis Gout yang parah, yang dimulai pada masa remaja dan kelainan neurologis ringan pada beberapa kasus. Pada gout sekunder, hiperuresemia dapat disebabkan oleh meningkatnya produksi urat atau menurunnya ekskresi urat, atau kombinasi keduanya. Penurunan ekskresi ginjal dapat disebabkan oleh obat, misalnya diuretic tiazid. Peningkatan kadar asam urat dalam darah dan cairan tubuh lain (misalnya synovial) menyebabkan pengendapan kristal mononatrium urat. Pengendapan kristal pada gilirannya memicu serangkaian kejadian yang berpuncak pada cedera sendi. Kristal yang dibebaskan bersifat kemotaktik dan juga mengaktifkan komplemen yang menyebabkan penimbunan neutrofil dan makrofag di sendi dan membran sinovium. Fagositosis terhadap kristal memicu pengeluaran radikal bebas toksik dan leukotrien. Kematian neutrofil menyebabkan keluarnya enzim lisosom yang destruktif. Makrofag juga berperan dalam cedera sendi ini. Setelah menelan kristal urat, sel ini mengeluarkan berbagai mediator proinflamasi. Mediator ini memperkuat respons peradangan dan di pihak lain mengaktifkan sel sinovium dan sel tulang rawan untuk mengeluarkan protease yang menyebabkan cedera jaringan. 1,17
Manifestasi Klinis Gout lebih sering terjadi pada laki-laki daripada perempuan dan biasanya tidak menimbulkan gejala sebelum usia 30 tahun. Terdapat empat stadium pada penyakit ini: 1.Hiperuresemia asimptomatik 2.Arthritis Gout akut 3.Gout intercritical 4.Gout tofus kronis
Arthritis Gout kronis bermanifestasi sebagai nyeri lokal yang sering mengenai satu sendi pada tahap awal penyakit dan kemudian menjadi poliartikular dalam perkembangannya. Semua sendi dapat terkena, tetapi sendi yang paling sering terkena adalah jempol kaki (90% pasien), telapak kaki, pergelangan kaki, tumit, dan pergelangan tangan. Pada sebagian besar kasus, nyeri timbul secara mendadak dan hebat. Serangan akut biasanya rada total dan diikuti oleh interval asimptomatik (goit intercritical). Apabila tidak diobati dapat mengenai semakin banyak sendi dan akhirnya menyebabkan deformitas sendi permanen. Pada kasus yang parah, tofus kronis dapat memperparah deformitas jaringan lunak. Tofus biasanya tidak nyeri. 17
Tatalaksana Secara umum penanganan gout adalah memberikan edukasi, pengaturan diet, istirahat sendi, dan pengobatan. Pengobatan dilakukan secara dini agar tidak terjadi kerusakan sendi ataupun komplikasi lain, misalnya pada ginjal. Pengobatan gout akut bertujuan menghilangkan keluhan nyeri sendi dan peradangan dengan obat-obatan, antara lain Kolkisin, obat anti-inflamasi non steroid (OAINS atau NSAID), kortikosteroid atau hormon ACTH. Obat penurun asam urat seperti Allopurinol atau obat urikosurik tidak boleh diberikan pada stadium akut saat nyeri masih ada. 2
Komplikasi Penyakit kardiovaskular termasuk arteriosklerosis dan hipertensi sering dijumpai pada pasien gout. Manifestasi ginjal kadang-kadang muncul dalam bentuk kolik ginjal yang disebabkan oleh lewatnya kerikil dan batu serta dapat berkembang menjadi nefropati gout kronik. Sekitar 20% pengidap gout kronik karena gagal ginjal. 1
Prognosis Umumnya gout tidak secara langsung memperpendek usia harapan hidup, tetapi dapat menganggu kualitas hidup. 1
Preventif Kebanyakan kasus gout terjadi karena penyebab yang tidak diketahui. Akan tetapi, penyebab gout sekunder antara lain adalah karena konsumsi alkohol yang berlebihan, kelebihan berat berat atau obesitas, obat tertentu, dan toksisitas timbal. Untuk menghindari terkenanya Arthritis Gout, sebaiknya menghindari konsumsi alkohol, menjaga berat badan, dan memberikan edukasi kepada pasien tentang obat-obat yang akan diberikan. 1
Anamnesis Pasien gout biasanya datang dengan keluhan sendi kemerahan disertai dengan nyeri akut, seringkali pada ibu jari kaki. Berjalan mungkin menjadi sulit karena nyeri atau bahkan jika seprai menyentuh kaki. Periode sakit biasanya berlangsung mulai dari beberapa hari sampai beberapa minggu. Biasanya menyerang laki-laki dan paling sering pada usia setengah baya. Berikut ini hal-hal yang perlu ditanyakan pada pasien suspek gout: 12
- Apakah bagian sendi yang kemerahan terasa sakit apabila digunakan berjalan? - Sejak kapan nyeri itu terjadi? - Adakah gejala sistemik (seperti demam)? Jika menggigil harus segera dipertimbangkan Arthtrtis Septik - Adakah riwayat serangan sebelumnya atau penyakit mieloproliferatif? - Adakah riwayat kerusakan kerusakan ginjal atau batu ginjal? - Apakah pasien menggunakan Allopurinol, OAINS atau kolkisin untuk terapi? - Adakah riwayat gout turunan pada keluarga?
Kriteria Diagnosis Dengan menemukan kristal urat dalam tofus merupakan diagnosis spesifik untuk gout. Akan tetapi, tidak semua pasien memiliki tofus sehingga tes diagnostic ini kurang sensitive. Kadar asam urat normal tidak dapat menghindari diagnosis gout. Berdasarkan penelitian, 40% pasien gout mempunyai kadar asam urat normal. Pemeriksaan radiografi pada serangan pertama Arthritis Gout akut adalah non spesifik. Kelainan utama radiografi pada kronik gout adalah inflamasi asimetri, arthritis erosive yang kadang-kadang disertai nodul jaringan lunak. 2
Diagnosis Pasien mengalami gejala-gejala sebagai berikut: - Nyeri pada jari-jari kedua tangan - Kaku pada pagi hari sejak 2 bulan lalu - Rambut rontok - Wajah memerah apabila terkena sinar matahari - Berat badan tidak menurun - Demam hilang timbul - Anemia
Berdasarkan gejala-gejala di atas, pasien tersebut telah memenuhi empat kriteria dari kriteria diagnosis SLE, yaitu ruam malar, fotosensitivitas, arthritis, dan gangguan hematologi. Dengan ini, diagnosa dapat ditentukan sebagai SLE. Ada pula manifestasi spesifik yang sering ditemukan pada pasien SLE, yaitu rambut rontok dan demam hilang timbul. Untuk kriteria diagnosis Rheumatoid Arthritis, pasien memenuhi tiga kriteria dari enam kriteria, yaitu kaku pagi hari, arthritis pada persendian tangan, dan arthritis yang simetik. Akan tetapi, gejala-gejala ini juga dapat ditemukan pada SLE dan RA tidak menunjukkan manifestasi seperti demam dan fotosensitivitas. Untuk diagnosis MCTD, tidak ditemukan Reyhauds phenomenom yang merupakan manifestasi spesifik untuk pernyakit tersebut. Sedangkan untuk Arthritis Gout, tidak ditemukan kemerahan pada sendi dan gout tidak menimbulkan manifestasi klinis berupa demam.
Kesimpulan
Lupus Eritromatosus Sistemik (SLE) merupakan penyakit autoimun yang belum diketahui secara pasti etiologi dan patogenesisnya. SLE kemungkinan besar dipicu oleh reaksi kompleks antara faktor genetik, lingkungan, hormone, dan autoantibodi di dalam tubuh. Salah satu gejala yang paling khas pada SLE adalah ruam kupu-kupu pada wajah. Beberapa gejala yang dimiliki SLE memiliki kemiripan dengan gejala Rheumatoid Arthritis (RA), seperti misalnya arthritis yang simetris. Hal ini menyebabkan terjadinya misdiagnosa pada pasien SLE, dimana gejala awalnya menyerupai RA. SLE juga memiliki manifestasi yang sangat beragam, dapat membahayakan nyawa atau tidak, dan biasanya menyerang perempuan.
Tinjauan Pustaka
1. Kumar V, Abbas AK, Fausto N. Rachman LY, Dany F, Rendy L, ed. Robbins and cotran dasar patologis penyakit. Edisi ke-7. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2005, h. 235-43, 1328-39, 1336-9. 2. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata KM, Setiati S, ed. Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid ke-3. Edisi ke-5. Jakarta: Interna Publishing, 2009, h. 2494-511, 2565-76, 2559. 3. Kumar V, Cotran RS, Robbins SL. Buku ajar patologi robbins volume 1. Edisi ke-7. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2007, h.144-51. 4. Netter FH. Atlas of human anatomy. United States of America: Saunders Elsevier Inc.; 2011. 5. Sukmana, Nanang. Penatalaksanaan sle pada berbagai target organ. Dalam: Pendidikan berkesinambungan patologi klinik. Jakarta: Bagian Patologi Klinik Fakultas Kedokteran Indonesia, 2003, h.86-8. 6. Carter, Michael A. Lupus eritromatosus sistemik. Dalam: Price SA, Lorraine MW. Patofisiologi: konsep klinis proses-proses penyakit volume 2. Edisi ke-6. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2006, h.1392-5. 7. Hahn, Hannah B. Sistemic lupus eritromatosis. Dalam: Fauci, Braunwald, Kasper, Longo. Harrisons: principle of internal medicine. Editi ke-17. McGraw-Hill, 2008, h.2075-83. 8. Daere, Jane, Kopelman, Peter. Buku saku keterampilan klinis. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2005, h.136-41, 258-9. 9. Dani R. Merokok dapat meningkatkan resiko reumatoid artritis. Diunduh dari: http://bio- fir.info/merokok-dapat-meningkatkan-resiko-rheumatoid-arthritis/, 15 Maret 2012. 10. Prout BJ, Cooper JG. Surya AD, Japaries W, ed. Pedoma praktis diagnosis klinik. Jakarta: Binarupa Askara, 1989, h.228-31. 11. Rindfleisch JA, Muller D. Rheumatoid arthritis. Diunduh dari: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/, 15 Maret 2012. 12. Gleadle J. At a glance anamnesis dan pemeriksaan fisik. Jakarta: Penerbit Erlangga, 2007, h. 194-7. 13. Cell count and differential count for synovial fluid analysis. Diunduh dari: http://meded.ucsd.edu/isp/1994/im-quiz/amono.htm, 16 Maret 2012. 14. Sharp syndrome. Diunduh dari: http://www.ailments.com/1988/Sharp_Syndrome.html, 17 Maret 2012. 15. Sharp syndrome. Diunduh dari: http://www.checkorphan.org/disease/sharp-syndrome, 17 Maret 2012. 16. Dermatologic manifestasions of mixed connective tissue disorder. Diunduh dari: http://emedicine.medscape.com/article/1066445-overview, 17 Maret 2012. 17. Kumar V, Cotran RS, Robbins SL. Huriawati H, Darmaniah N, Wulandari N, ed. Buku ajar patologi robbins volume 2. Edisi ke-7. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2004, h.864-67.