Professional Documents
Culture Documents
Mahasiswa Baru
aru STIKKU 2009
SEKOLAH
EKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN KUNINGAN
(STIKKU)
2009
PRAKATA
Segala puji bagi Allah SWT. dengan rahmat-Nya sempurnalah yang baik, dengan
karunia-Nya turunlah segala kebaikan dan dengan taufik-Nya tercapailah segala tujuan. Bagi
Allah juga segala puji sepenuh langit dan bumi, dan sepenuh apa saja yang dikehendaki-Nya.
Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada Rasulullah saw sebagai
pendidik dan pembawa petunjuk bagi manusia dan sebagai hujjah atas semua manusia untuk
menyempurnakan akhlak mulia, untuk mengeluarkan dunia dari kegelapan menuju cahaya dan
menunjukkan mereka ke jalan Allah yang lurus. Semoga shalawat dan salam juga terlimpahkan
kepada keluarga Nabi saw, para sahabatnya dan orang yang mengikutinya dengan baik sampai
Hari Pembalasan.
Materi Mentoring Islam ini merupakan sebuah buku yang dipersembahkan oleh BEM
bagi para mahasiswa baru Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Kuningan (STIKKU). Buku ini hanyalah
sebuah piranti yang disusun untuk materi tarbiyah Islamiyah dalam rangka membentuk pribadi
generasi muda muslim yang memiliki pemahaman yang baik terhadap aqidah, syari'ah dan
akhlak Islam. Buku ini disajikan dalam bahasa yang sederhana, ringkas, dan padat.
Akhir kata, segala saran dan kritik bagi penyusunan buku ini sangat kami nantikan.
Semoga buku ini membawa kemashlahatan bagi umat.
Penyusun
Islam Transformatif
Secara historis Islam menjadi lambang perubahan, baik secara normatif sebagai
sebuah sistem teologi, maupun sebagai sebuah sistem sosial dan budaya yang
membawa perubahan nyata dalam kehidupan masyarakat.
Pembahasan n mengenai Islam Transformatif memunculkan beberapa pertanyaan,
diantaranya, sebenarnya apa itu Islam transformatif,
t , apa hubungan Islam transformatif
dengan realitas sosial. Munculnya pertanyaan-pertanyaan
pertanyaan pertanyaan di atas adalah wajar karena
wacana Islam transformatif merupakan suatu wacana yang relatif baru. Menurut Mirza
Sulfari (2008) Islam transformatif merupakan suatu langkahlangkah dimana Islam sebagai
suatu agama yang tidak hanya berbicara mengenai hubungan transendental antara
manusia dengan tuhannya tetapi Islam sebuah agama yang berbicara mengenai
hubungan manusia dengan manusia, baik secara sosial dan ekonomi.
Menurut Kuntowijoyo
owijoyo (1995) transformatif adalah perubahan bentuk. Jika
dikomparasikan (digabungkan) dengan Islam maka tercipta sebuah arti yaitu Islam
sebagai agama yang dapat merubah bentuk tatanan sosial dari kaum yang tertindas
(jahiliah)) hingga menjadi kaum yang tercerahkan.
tercerahkan. Spirit perubahan akan selalu hadir
dalam Islam untuk menciptakan masyarakat yang berkesadaran secara spiritual
maupun berkesadaran secara sosial (hubungan manusia dengan manusia). Didalam
islam transformatif memiliki 2 (dua) peran yaitu : 1. Peranran spiritual,
spiritual dimana peran ini
menjadi estafet awal terciptanya perubahan kehidupan masyarakat. Peran spiritual
yang memberikan suatu dinamika dalam kehidupan antara manusia dengan Tuhan
(sang pencipta) sekaligus menjadi sebuah landasan dalam menciptakan dan
membentuk suatu tatanan sosial yang sadar atas dirinya sebagai pemelihara alam dan
kehidupan sosial masyarakat. Unsur-unsur
Unsur unsur yang terdapat dalam peran spiritual ini
adalah melaksanakan shalat dan membaca al-Quran.al 2. Peran humanitas,
humanitas peran ini
menjadi langkah
angkah selanjutnya dalam membentuk dinamika perubahan kehidupan
antara manusia dengan manusia. Masing-masing
Masing masing peran tersebut nantinya akan
menciptakan dan membentuk akuntabilitas (tanggung jawab) dan loyalitas (kesetiaan)
terhadap harmonisasi keutuhan bermasyarakat.
berma
Peran-peran
peran tersebut dimiliki Islam dalam menciptakan harmonisasi kehidupan
bersosial dan sekaligus sebagai fondasi keutuhan dalam menjalankan kehidupannya
sehari-hari.
hari. Banyak sekali orang beranggapan bahwa islam sebagai suatu agama yang
tidak menjaga harmonisasi kehidupan sosialnya. Harmonisasi kehidupan sosialnya
dalam rangkaian yang belakangan ini terjadi. Banyaknya kekerasan yang terjadi
menimbulkan anggapan-anggapan
anggapan anggapan miring di tubuh umat islam maupun di eksternal
umat islam. Anggapan suatu yang yang dekat dengan kekerasan dan tidak memetingkan
toleransi dalam membangun kehidupan beragamanya menjadi hangat
diperbincangkan sekarang ini. Mungkin saja anggapan itu terjadi sekarang ini. Karena
jika melihat fenomena sekarang ini terjadi. Islam menjadi sorotan
sorotan publik. Banyaknya
media-media
media yang menyoroti
men oroti aktifitas kehidupan beragama yang melakukan aksinya
dengan sikap kekerasan. Tetapi tidak hanya kekerasan saja yang harus dilihat oleh
kaum beragama lain dalam menyikapi sikap prilaku kaum beragama (Islam). Ada
banyak hal yang dapat dilihat banyak peran-peran yang ada pada kaum beragama
(Islam).
Islam sebagai agama struktur yang memiliki 2 (dua) hubungan dalam
membangun kehidupan beragamanya. 1) hubungan vertikal antara manusia dengan
tuhannya dan 2) hubungan horisontal antara manusia dengan manusia. Hubungan
vertikal, agama sebagai media bagi adanya penyerahan diri kepada Allah yang
menciptakan seluruh makhluk hidup di semesta ini. Hubungan ini teraplikasi dalam
aktifitas kehdiupan umat beragama yaitu dengan melakukan ibadah yang telah
menjadi media bagi manusia sebagai umatnya untuk mendekatkan dirinya kepada
sang pencipta (Allah). Aktifitas ibadah kehidupan umat beragama dengan
melaksanakan kegiatan rutin dalam kesehariannya. Kegiatan itu adalah shalat dan
membaca Al-Quran. Kalau hubungan horisontal, agama sebagai media bagi adanya
aktifitas sosial antara manusia dengan manusia. Dalam prakteknya kehidupan
beragama menjalankan aktifitas sosialnya dan menciptakan harmonisasi kehidupannya
dengan melaksanakan zakat dan puasa. Dimana zakat dan puasa membangun
ekuilibrium (keseimbangan) dan loyalitas (kesetiaan) terhadap pembangunan
humanitas gerakan antara manusia dengan manusia. Menurut kuntowojoyo, zakat
adalah konsekuensi logis dari puasa yaitu setelah orang merasakan penderitaan lapar
dan haus. Peran seseorang yang berzakat memberikan sedikit hasil jerih payahnya
kepada orang yang kekurangan dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Orang yang
berzakat pula secara tidak langsung merasakan kehidupan orang yang kekurangan.
Kegiatan ini yang menumbuhkan loyalitas umat beragama dalam menjalankan
harmonisasi antara manusia dengan manusia. Dan sekaligus membagun gotong royong
dalam menciptakan suasana kebersamaan dalam menjalankan aktifitas kehidupan
beragamanya.
Selain itu, kaum beragama yang memiliki kebiasaan (tradisi) pengaturan diri
terhadap keberagamaannya. Pengaturan diri yang dimaksud adalah dengan adanya
kebiasaan (tradisi) pengambilan hukum ijma (konsesus ulama), qiyas (analogi) yang
selalu menjadikan Al-Quran dan Sunnah sebagai rujukan sehingga perubahan yang
terjadi memiliki kaitan dengan Islam dan sekaligus memiliki kejelasan terhadap
auntentiknya al-Quran (lihat : Kuntowijoyo : Muslim Tanpa Masjid) sebagai pedoman
bagi umat beragama dan sebagai sumber dari segala sumber hukum bagi terciptanya
harmonisasi umat beragama dalam menjalankan kehidupan beragamanya. Untuk itu
Islam bukanlah agama yang dekat dengan kekerasan tetapi agama yang memiliki
tradisi untuk mengharmonisasikan kehidupannya sekaligus membangun tradisi
transformasi sosial dalam hubungan beragamanya.
itu, Allah SWT menyeru kepada manusia agar menyembah Allah yang telah
menciptakannya dan berkuasa sepenuhnya atas hidupnya. Firman-Nya: “Hai
manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang
sebelummu, agar kamu bertakwa,” (QS. Al-Baqarah/2: 21).
Konsekuensi dari kewajiban menyembah Allah tersebut adalah dengan
senantiasa melaksanakan segala apa yang diperintahkan-Nya dan menjauhi
larangan-Nya. Kewajiban seorang hamba laksana kewajiban budak terhadap
majikannya yang senantiasa siap melakukan setiap perintah kepada budak
tersebut, kapan dan di manapun. Namun konsep hamba antara manusia dengan
Tuhan, tentunya berbeda dari konsep perbudakan antara manusia dengan
manusia. Perbudakan antara manusia dengan manusia merugikan salah satu pihak
dan menguntungkan di pihak lain. Sementara penghambaan manusia kepada Allah
justru menguntungkan bagi manusia itu sendiri, karena penghambaan tersebut
akan menyelamatkan dan membahagiakan hidupnya di dunia dan akhirat.
Dengan demikian, tidak ada satu alasan pun yang membenarkan manusia
itu ingkar kepada Allah. Dan tidak pula ada alasan untuk menolak perintah-Nya,
sebab apa pun bentuk perintah tersebut pasti mengandung manfaat dan
menguntungkan. Hanya saja kadang manusia dikuasai oleh hawa nafsunya
sehingga perintah itu terasa berat dan cenderung melakukan larangan-Nya yang
seolah nikmat dan lezat. Padahal, kenikmatan tersebut pasti sesaat dan di hari
kelak pasti memperoleh azab.
Jika saja manusia itu bijak dan arif dalam memahami setiap perintah
tersebut, maka ia akan senantiasa menjalankan segala perintah-Nya tanpa merasa
berat dan protes terhadap apa yang diperintahkan. Itulah yang mestinya dilakukan
oleh seorang hamba. Dengan begitu, posisi manusia sebagai hamba bersifat pasif,
yaitu siap diperintah oleh Allah SWT.
Kewajiban asasi kedua adalah melaksanakan perannya sebagai khalifah
Allah di muka bumi ini. Kewajiban ini juga berangkat dari penjelasan Allah dalam al-
Qur’an, seperti surat Fatir/35 ayat 39: Dia-lah yang menjadikan kamu khalifah-
khalifah di muka bumi. Barang siapa yang kafir, maka (akibat) kekafirannya
menimpa dirinya sendiri. Dan kekafiran orang-orang yang kafir itu tidak lain
hanyalah akan menambah kemurkaan pada sisi Tuhannya dan kekafiran orang-
orang yang kafir itu tidak lain hanyalah akan menambah kerugian mereka belaka.
Khalifah fil ardhi menunjukkan bahwa manusia adalah mandataris Allah di
muka bumi. Satu sisi, posisi ini membanggakan karena derajat manusia menjadi
lebih mulia di antara makhluk Allah lainnya. Namun, di sisi lain posisi ini merupakan
amanah yang mesti dipikul dan dipertanggungjawabkan, jika tidak maka azab
pulalah yang akan diperoleh. Dengan demikian, menjalankan tugas sebagai khalifah
fil ardhi juga merupakan kewajiban asasi bagi setiap manusia.
Jika dalam konsep hamba manusia itu bersifat pasif, maka dalam konsep
khalifah fil ardhi, manusia tersebut bersifat aktif. Maksudnya, manusia mesti
berkarya secara kreatif dan produktif dalam memelihara dan menciptakan
keseimbangan di alam ini. Ia mesti menjalin hubungan baik dengan sesamanya,
juga antara dirinya dengan alam sekitarnya. Ia tidak boleh merusak alam ini. Boleh
dimanfaatkan, tetapi bukan dieksploitasi sedemikian rupa sehingga lebih banyak
menimbulkan kemudaratan dari pada manfaat. Jadi, kewajiban asasi manusia
untuk menyembah-Nya bukan membuat manusia itu hanya pasif dengan
menyibukkan diri beribadah dalam arti khusus, tetapi ia memiliki kewajiban asasi
berikutnya yang membuatnya aktif, yaitu menjalankan tugasnya sebagai khalifah fil
ardhi yang pada hakekatnya juga sebagai bentuk perintah-Nya yang tidak dapat
diabaikan.Dua kewajiban asasi manusia di atas mestinya dijalankan sebagaimana
adanya.
Cara yang terbaik untuk memenuhi kewajiban itu adalah kembali kepada
ajaran Islam yang selamat lagi menyelamatkan dengan meyakini dan mengamalkan
sepenuhnya. Islam mengajarkan bagaimana seseorang menghambakan diri kepada
Allah dalam artian khusus, dan bagaimana pula menjalankan perintah-Nya untuk
menjalankan peran dan tugasnya sebagai khalifah fil ardhi. Jika saja kedua
kewajiban asasi ini dipenuhi, berbagai hak yang diinginkan pun niscaya akan
tercapai. Insya’ Allah.
Tugas Manusia
Tugas manusia adalah memelihara amanah yang Allah pikulkan kepadanya,
setelah langit, bumi dan gunung enggan memikulnya.
“Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan
gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka
khawatir akan menghianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia.
Sesungguhnya manusia itu amat dzalim dan amat bodoh”. (QS. 33:72)
Amanat Allah itu adalah berupa tanggung jawab memakmurkan bumi
dengan melaksanakan hukum-Nya dalam kehidupan manusia di bumi ini.
Sebagaimana yang Allah tegaskan kepada Nabi Daud AS (QS. 38:26)
“Hai Daud, sesungguhnya Kami telah mengangkatmu sebagai khalifah di bumi,
maka hukumilah manusia dengan hak (wahyu Allah) dan janganlah kamu
mengikuti hawa nafsu yang menyebabkan kamu tersesat dari jalan Allah.
Sesungguhnya orang-orang sesat dari jalan Allah akan mendapat siksa yang berat
akibat mereka melupakan hari pembalasan”.
Dari beberapa ayat di atas dapat disimpulkan bahwa tugas manusia adalah:
1. Pemelihara (Ri’ayah)
2. Pemakmur (Imarodh)
3. Menghamba (‘ubudiyah)
Da'wah memiliki esensi visi dan misi untuk melakukan perubahan ke arah
perbaikan hidup manusia secara menyeluruh dan utuh (integral). Visi dan misi ini
dibangun di atas aktifitas berfikir (intelektual) yang obyektif, merasakan (spiritual)
yang dewasa dan berprilaku (moral) yang mulia, yang sepenuhnya dilakukan secara
sadar ('Alaa bashirah) bukan paksaan (Laa ikraaha fi ad-Diin).
Dengan kata lain misi da'wah yang pertama adalah proses
mengkomunikasikan seluruh performan Islam agar dikenali dan dipahami serta
dirasakan setiap sentuhannya oleh setiap manuisa. Oleh karena itu kemampuan
komunikasi dan kekuatan argumentasi dalam menyampaikan informasi tentang
eksistensi, fungsi dan peran Islam dalam kehidupan menjadi tangung jawab
bersama setiap individu muslim sesuai kemampuan dan keahlianya. Karena Islam
selalu akomodatif dan kondusif terhadap segala bentuk perbaikan hidup ke arah
yang lebih baik dan benar-benar natularalistik apalagi didukung dengan
pengalaman dan pembuktian ilmiah yang tuntas.
Untuk mengemban visi dan misi ini diperlukan penguasaan Islam dalam
bentuk blue printnya yang utuh dan jelas, agar kita tidak hanya mengetahui dan
mengagumi keindahan bangunan Islam tetapi juga mengerti bagaimana cara kita
membangun Islam dalam kehidupan dengan sistematika berfikir dan beraksi yang
rapih. Baik di tataran kepribadian individual maupun peradaban sosialnya.
berdayaguna. Inilah kesan pertama Islam sebagai way of life yang mampu
menyentuh berbagai aspek kehidupan dengan tingkat keperluannya yang
beragam. Untuk selanjutnya ditata dan di-manage menjadi sebuah bangunan
kehidupan yang indah, anggun dan nyaman mencerminkan kalimat rahmatan
lil'alamin.
3. Membumikan Islam
“Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu
yaitu bagi orang-orang yang mengharap rahmat Allah dan kedatangan Hari
Kiamat dan dia banyak menyebut Allah,” (QS. al-Anfal [33]: 21).
Kemajemukan suatu bangsa seringkali menjadi pemicu konflik, baik antar
suku, budaya, maupun agama. Mayoritas umat manusia belum terbiasa hidup
rukun dalam perbedaan. Klaim kebenaran dan perasaan superior dari suku,
budaya, dan agama yang berbeda menjadi penyebab intoleransi hidup. Bahkan
satu sama lain cenderung ingin saling mendominasi. Latar belakang yang berbeda,
tak jarang menciptakan disharmoni dalam kehidupan berbangsa dan
bermasyarakat. Sikap anarkis yang dipertontonkan sebagian kelompok Islam
menunjukkan dangkalnya akidah mereka. Karena akidah yang murni dan kuat akan
membuahkan ibadah yang khusyuk, akhlak yang mulia, dan menjadi modal dakwah
yang luar biasa. Akidah yang murni dan kuat juga akan melahirkan sikap toleran
atas perbedaan yang merupakan sunnatullah.
Agama Islam mengajarkan kita untuk menghargai perbedaan. Hal ini akan
melahirkan sikap toleran (tasamuh) yang pada akhirnya akan menciptakan
manusia-manusia yang beradab. Dalam konteks ini, menciptakan terwujudnya
masyarakat yang berdadab adalah bagian dari jihad. Karena itu, penyempitan
makna jihad hanya pada perjuangan fisik dan angkat senjata tidaklah tepat. Lebih
dari itu, tingkatan jihad yang tertinggi bukanlah perjuangan fisik atau angkat
senjata, melainkan jihad melawan hawa nafsu. Hal ini terungkap dalam sabda Nabi
Muhammad Saw sepulang dari Perang Badar.
Nabi kita Muhammad Saw., seperti beragama dengan cerdas dan beramal dengan
ikhlas.
Sebagian kelompok Islam meyakini bahwa keterpurukan yang diderita umat
saat ini disebabkan atau direkayasa oleh setan (sebuah kekuatan), di mana mereka
datang dan menyusup dari segala penjuru dan dengan segala cara. Hal ini sudah
dijelaskan Allah bahwa mereka itu datang dari depan, belakang, atas, bawah,
kanan dan kiri. Hal ini merupakan suatu keniscayaan. Tapi ada hal yang tidak perlu
kita lupakan, yaitu introspeksi. Dengan introspeksi kita akan menyadari bahwa
keterpurukan umat saat ini tidak semata-mata disebabkan faktor luar, tapi juga
bersumber dari dalam. Ketidakacuhan kita dalam belajar, misalnya, adalah salah
satu sebab kemunduran umat.
Hal lain yang mesti diingat, adalah jaminan kepada orang-orang yang
beriman berupa penjagaan dan orang beriman akan diberikan kemenangan
disebabkan ia dekat dengan Allah. Ada dua jalan keluar agar umat Islam terbebas
dari keterpurukannya. Pertama, memiliki quwwat ar-ruh (kekuatan jiwa) yang
sering disebut dengan kekuatan rohani. Kedua, memiliki quwwat al-jasad
(kekuatan fisik). Kekuatan jiwa terbagi menjadi dua, yakni kekuatan iman dan
kekuatan ilmu. Sementara kekuatan fisik itu di dalamnya ada sosial politik,
ekonomi, budaya, dan militer. Dengan memiliki kekuatan ini, umat Islam
menghadapi kekuatan luar yang berusaha menzalimi umat serta mampu
mengembangkan diri. Dua kekuatan ini hanya akan bisa direngkuh jika pendidikan
di tubuh umat berjalan dengan efektif.
Kita semua sadar akan keterpurukan yang yang diderita oleh umat Islam
saat ini diseluruh penjuru dunia, sayangnya para ulama, tokoh, pemimpin belum
mampu merapatkan barisan untuk berjihad memerangi kebodohan dan kemiskinan
itu. Kita juga belum bisa menyatukan kekuatan “lahir” dan “batin” dalam
perjuangan itu. Kita hanyut dalam firqah-firqah dan cenderung menyalahkan
kelompok di luar kita. Menganggap kelompok sendiri paling benar dan kelompok
lain salah adalah virus yang meluluh-lantakkan Ukhuwah Islamiyah. Kelompok yang
memperjuangkan kemajuan umat lewat jalur politik, pendidikan, dan dakwah
hendaknya bergandengan tangan. Bukan saling mendiskreditkan, apalagi
menyatakan kelompok lain sebagai Muslim tidak kaffah (sempurna).
Ada hal yang lain yang harus kita renungi dan perbaiki, kita hanyut dalam
keasyikan ibadah (shalat, puasa, haji, dan zakat) atau zikir, tapi maksiat jalan terus.
Shalat yang dinyatakan dalam Allah Swt Al-Qur’an bisa mencegah perbuatan keji
dan munkar (QS al-‘Ankabut [29]: 45), ternyata tidak membekas dalam diri kita.
Sejatinya ketakwaan atau kesalehan tidak berjalan bersamaan dengan
kemunkaran. Tapi kita melihat sebaliknya. Acara-acara keagamaan semakin
semarak, tapi kemaksiatan juga makin marak. Memang agak aneh, tapi itulah
realitas yang kita alami. Apakah ini yang menyebabkan bangsa ini ditimpa pelbagai
musibah? Mari kita bertafakur dan berintrospeksi diri.
yang dilakukan oleh bangsa-bangsa Barat. Umat Islam masa lalu mampu
membuktikan kepada dunia bahwa Islam adalah agama rahmat. Tapi saat ini,
wajah rahmat Islam babak-belur akibat ulah segelintir kelompok Islam yang
melakukan aksi-aksi kekerasan dan terorisme atas nama jihad. Akibatnya, makna
suci jihad tercemari lalu diidentikkan dengan terorisme oleh masyarakat Barat.
Mereka itu tidak melihat wajah Islam yang sebenarnya, dan dunia Barat
sepertinya memelihara penilaian tersebut. Hal ini lahir dari keyakinan mereka
bahwa Islam “tidak benar”. Sedangkan menurut kita (umat Islam), Islam adalah
agama salam, rahmatan lil alamin. Oleh sebab itu, kita harus membuktikan bahwa
kita cinta damai. Jihad bukanlah aksi terorisme, tapi segala perbuatan guna
membumikan ajaran Ilahi di muka bumi dengan cara-cara yang diridhai-Nya. Jihad
dalam arti perang hanya dipakai jika diserang atau diganggu, misalnya
mempertahankan/membela diri dan kehormatan seperti di Palestina.
Umat Islam saat ini masih belum sepenuhnya mampu menunjukkan Islam
rahmatan lil alamin. Umat masih jauh dari perilaku dan akhlak Islami. Artinya,
banyak umat Islam yang belum “Islam”. Masjid banyak, tapi yang shalat berjamaah
sedikit. Umat Islam juga memiliki kelemahan di berbagai lini kehidupan.
Kemiskinan dan kebodohan menjadikan kita sebagai umat yang lemah dan inilah
yang menjadi musuh kita. Marilah kita maknai jihad untuk membangun tatanan
ekonomi yang Islami. Jihad kita pakai untuk bersungguh-sungguh memerangi
kebodohan dan kemiskinan, jihad memerangi kekufuran yang ada pada diri kita,
keluarga, lingkungan, dan jagad raya ini.
Ibadah sebagai kewajiban manusia dalam Islam memiliki dimensi yang luas
mencakup segala aspek kehidupan sebagai bentuk pengabdian kepada Allah. Kerja
akal, seperti berpikir, meneliti adalah manifestasi dari tafakur dan tadabbur. Kerja
fisik, berbicara, menulis, mencari nafkah dan sebagainya adalah ibadah. Demikian
halnya dengan kerja batin, seperti berdzikir, mengingat, berkeinginan, harapan
adalah manifestasi dari dzikurullah.
Ada suatu firman suci yang hari-hari ini barangkali mendesak untuk kita
renungkan dan amalkan, maknanya: ”Katakan (hai Muhammad), Aku hanyalah
menasehatkan satu perkara saja kepada kamu semua, yaitu hendaknya kamu
berdiri menghadap Allah, berdua-dua (bersama orang lain) ataupun sendirian,
kemudian kamu berfikir. Dengan kata lain, Nabi SAW. Diperintahkan untuk
menyampaikan pesan yang terdiri dari dua hal namun hakikatnya tunggal, yaitu
beribadat dan berfikir.
Bagi banyak kaum Muslim makna firman itu sudah jelas, yaitu bahwa
beribadat dan berfikir adalah dua kegiatan yang tidak boleh dipisahkan. Beribadat
yang mempunyai efek pendekatan pribadi kepada Allah mengandung arti
penginsafan diri pribadi akan makna hidupnya, yaitu makna hidup yang berpangkal
dari kenyataan bahwa kita berasal dari Tuhan dan akan kembali kepada-Nya. Oleh
karena itu, dengan sendirinya diharapkan bahwa seseorang yang beribadat akan
sekurang-kurangnya memiliki perbentengan diri dari kemungkinan tergelincir
kepada kejahatan. Inilah makna firman bahwa shalat mencegah seseorang dari
perbuatan keji dan munkar.
Secara lebih positifnya, beribadat diharapkan mempunyai efek tumbuh dan
menguatnya komitmen moral, yaitu rasa keterikatan bathin kepada keharusan
berbuat baik kepada sesama manusia. Juga berarti diharapkan bahwa seseorang
yang beribadat mempunyai dorongan yang tulus untuk bekerja dan berkegiatan
yang membawa manfaat kepada sesamanya. Di sinilah relevansinya berfikir
sebagai gandengan beribadat. Yaitu bahwa kita tidak dibenarkan begitu saja
melakukan sesuatu yang kita anggap baik sebagai hasil dorongan ibadat kita,
namun tanpa pengetahuan yang diperlukan untuk merealisasikan secara benar.
Dalam masyarakat sering terjadi seseorang dengan dorongan kemauan baik
hendak berbuat suatu kebaikan, namun hasilnya justru merugikan orang lain. Maka
orang itu karena kemauan baiknya, mungkin akan tetap mendapatkan pahala di
akhirat nanti; tapi karena pengakuannya, kemauan baiknya sendiri yang ia
laksanakan secara tidak benar akibat tiadanya ilmu padanya, mungkin saja ia malah
akan membuat sesamanya celaka. Itulah sebabnya ditegaskan dalam Kitab Suci
(QS. Al-Mujadalah/58:11) bahwa keunggulan akan diberikan Allah kepada mereka
yang beriman dan berilmu. Jadi beriman saja tanpa ilmu dan juga tidak berilmu
saja tanpa iman.
Kesatuan antara iman dan ilmu itu dalam Islam menjadi dasar bagi
perkembangan ilmu pengetahuan di zaman klasiknya yang Jaya. Kini para sarjana
sepakat bahwa sebagian besar dari ilmu pengetahuan modern sekarang ini
merupakan pengembangan lebih lanjut dari pokok-pokok pemikiran ilmiah zaman
klasik Islam.
Di samping itu, ada faktor lain yang membuat beribadat dan berfikir itu
penting dilaksanakan serentak, yaitu berfikir tentang beribadat itu sendiri. Ibadat
memang sangat diperlukan tapi ia harus berdasarkan sesuatu potensial masuk akal,
bukan dongeng atau mitologi. Karena itu disebutkan bahwa satu kualitas orang-
orang yang beriman ialah bahwa mereka itu ”jika diingatkan akan ayat-ayat Tuhan
mereka, tidak tunduk sebagai orang yang tuli dan buta” (QS. Al-Furqan/25:73).
Melainkan, seperti dikatakan A. Hosen, mereka tunduk dengan ikhlas dan dengan
pengetahuan yaitu, karena menggunakan pikiran.
Ajaran Islam, seperti Shalat, Zakat, amar ma’ruf nahi munkar, dan sebagainya pada
dasarnya merupakan ajaran yang bermakna keadilan sosial, kebersihan moral, dan
kemanusiaan. (QS. 22:41) ”(yaitu) orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan
mereka di muka bumi niscaya mereka mendirikan sembahyang, menunaikan zakat,
menyuruh berbuat ma'ruf dan mencegah dari perbuatan yang mungkar; dan kepada Allah-
lah kembali segala urusan.”
utama, nasi sampah menjadi biasa. Tak mengherankan jika kemudian penjualbelian
daging limbah menjadi pilihan.
Peran ideal agama sebagai pembebas dan pengubah kondisi sosial di sini
menjadi makin diharapkan. Peran inilah yang akan mengantarkan dan membentuk
masyarakat mulia dan beradab (masyarakat madani) sebagai tujuan agama
menjadi makin nyata.
Namun, mungkinkah hal ini bisa terwujud di tengah kondisi paham
masyarakat yang masih berkutat pada paham formal agama? Menghayati dan
mengamalkan agama sebatas ajaran fikih, bertindak berdasarkan nilai etik wajib-
haram, pahala-dosa belaka?
Paham agama dengan etika fikih akan sangat kesulitan menghadapi
persoalan hidup dan keumatan. Paham etika fikih akan melahirkan kekakuan
pelaksanaan agama. Alih-alih menjadi pembebas, paham ini justru sering menjadi
pemicu keterbelengguan. Dari pemikiran dan paham agama seperti ini sangat jauh
diharapkan munculnya keprihatinan sosial yang sesungguhnya, yakni keprihatinan
yang bisa melahirkan kesadaran untuk dengan ikhlas mengantarkan transformasi
kehidupan masyarakat lapis bawah, mengentaskan kemiskinan, dan menegakkan
keadilan.
Suatu pembaruan sosial, bahkan perubahan sosial dari sudut agama, baru
betul-betul konkret jika memang didasari oleh ajaran agama itu sendiri. Perubahan
ini berkelindan dengan pemahaman agama di tingkat masyarakat. Usaha
mengubah masyarakat tidak akan berarti tanpa adanya perubahan pemahaman
agama di tingkatan praksis. Menurut M Dawam Raharjo, usaha perubahan harus
dimulai dengan pencerahan, yakni mengubah pemahaman masyarakat terlebih
dahulu. Perubahan pemahaman ini dapat dilakukan dengan berpijak pada dua hal.
Pertama, kesadaran baru tentang sisi historis kelahiran agama bahwa
sebuah agama muncul untuk merespons penderitaan dan kesengsaraan yang
mencekam kehidupan umat manusia akibat penindasan dan eksploitasi yang
dilakukan komunitas sosial maupun individul yang dominan. Agama lahir sebagai
bentuk keprihatinan atas realitas sosial yang timpang. Untuk itu, kehadiran agama
merupakan upaya kritik dan pembelaan atas upaya-upaya dehumanisasi, penistaan
terhadap harkat dan nilai-nilai kemanusiaan.
Kedua, dari sisi doktrinal-normatif agama, teks-teks suci agama yang
bersifat normatif sangat perlu dipahami secara utuh, sehingga nilai-nilai substansial
agama dapat ditangkap secara keseluruhan. Dalam banyak hal ayat Al Qur'an,
misalnya, dapat ditemukan penjelasan bahwa agama mengandaikan keseimbangan
antara dua kepentingan: Tuhan dan manusia. Bahkan, problem kemanusiaan
terkadang lebih penting untuk dikedepankan. Dalam surat Al-Ma'un (107),
misalnya, ditegaskan bahwa para pendusta agama adalah mereka yang hanya
menikmati sembahyang (juga ritus-ritus formal lainnya), tapi lupa akan nasib
orang-orang yang tereliminasi dan menderita secara sosial-ekonomi.
Tanpa mengadakan pembaruan pemikiran dan pemahaman keagamaan
dan etos kepedulian sosial yang tidak mengacu pada misi utama Islam sebagai
pembebas dan penyelamat, akan sangat sulit mendapati Islam beperan dalam
perkembangan masyarakat dewasa ini. Karena itu, pembaruan pemikiran dan
pemahaman keagamaan kiranya masih perlu diusahakan terus-menerus agar
agama Islam dapat mengulang kembali peranannya sebagai pembela kaum miskin,
pencipta masyarakat yang adil dan sejahtera.
”Dan janganlah engkau turut apa-apa yang tidak ada pengetahuan tentangnya.
Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati masing-masing akan diperiksa
(bertanggungjawab).” (QS. 17:36)
Islam memberi lawan-lawannya hak untuk mengajukan pertanyaan-
pertanyaan mereka dalam diskusi yang rasional, dan memperhatikan bukti-bukti
mereka, serta mendengarkan jawaban-jawaban.
”Katakanlah: ’tunjukkanlah dalil (alasanmu) jika kamu orang-orang yang benar’.”
(QS. 2:111)
Hal ini merupakan alasan bagi banyaknya orang Yahudi, Nasrani, dan orang-
orang dari golongan lain yang berada pada pihak yang menentang Islam, datang
kepada Nabi atau para imam suci, dan duduk berdiskusi tentang pemikiran-
pemikiran mengenai agama mereka.
Islam memberikan nilai penting untuk pemikiran. Ia memerintahkan orang-
orang yang berilmu dan bijak untuk berfikir dan berfikir lagi tentang
penciptaannya, waktu, malam dan siang, langit, bumi, kehidupan binatang,
manusia dan alam serta apa-apa yang didalamnya. Allah berfirman dalam Surat Al-
Baqarah, ayat 164:
”Sesungguhnya tentang kejadian langit dan bumi, perbedaan malam dan siang,
kapal yang berlayar di lautan (membawa) barang-barang yang berfaedah bagi
manusia, hujan yang diturunkan Allah dari Langit, lalu dihidupkan-Nya dengan ia
bumi yang telah mati, berkaliaran di atasnya tiap yang melata, angin yang bertiup,
dan awan yang terbentang antara langit dan bumi, sesunguhnya segala yang
tersebut ini menjadi ayat-ayat (bukti-bukti atas kekuasaan Allah) bagi kaum yang
berfikir.” (QS. 2:164)
Ia juga memerintah mereka melakukan penelitian terhadap kehidupan
orang-orang sebelumnya, pemikiran-pemikiran mereka, dan sebab-sebab
keruntuhan dan kemunduran mereka, supaya mereka terjauhkan dari jurang
kehancuran yang sama.
”Sesungguhnya telah lalu beberapa peraturan (Allah) sebelum kamu, maka
berjalanlah kamu di muka bumi dan perhatikanlah, bagaimana akibatnya orang-
orang yang mendustakan agama. (Qur’an) ini adalah keterangan untuk manusia,
jadi petunjuk dan pengajaran bagi orang-orang taqwa.” (QS. 3:136-137)
Singkatnya, Islam menghendaki agar manusia berfikir dalam-dalam dan
bebas, serta melakukan perjalanan jauh menyeberangi cakrawala pemikiran dan
ilmu pengetahuan, dan mengambil manfaat yang terbaik bagi perkembangan
keberadaannya.
Karena alasan inilah Islam menghargai kemajuan-kemajuan ilmu dan
penemuan-penemuan yang berguna untuk mendukung kemajuan kemanusiaan.
Itulah sebabnya mengapa para ilmuwan dan sarjana-sarjana besar bermunculan
pada abad-abad setelah kedatangan Islam, untuk menghias jalan tinggi peradaban
manusia dengan permata yang merupakan hasil keilmuan mereka. Begitu
banyaknya sehingga nama-nama besar mereka akan bersinar selamanya di puncak
sejarah ilmu pengetahuan.
Islam Humanis
Nabi pun menemui 'Utsman bin Mazh'un dan bersabda: ''Hai 'Utsman!
Tidakkah padaku ada contoh bagimu?" Dia menjawab: ''Demi ayah-ibuku, engkau
memang demikian." Lalu, Nabi bertanya: ''Apakah benar engkau berpuasa setiap hari
dan beribadat sepanjang malam?" Dia menjawab: ''Aku memang melakukannya." Nabi
bersabda: ''Jangan kau lakukan! Sesungguhnya matamu punya hak dan keluargamu
pun punya hak atas engkau! Maka salat dan tidurlah, puasa dan makanlah!"
Kemudian diceritakan bahwa 'Utsman bin Mazh'un membeli sebuah rumah,
lalu tinggal di dalamnya sepanjang waktu untuk beribadat. Berita itu datang kepada
Nabi SAW, maka beliau pun datang dan menariknya ke luar rumah sambil bersabda:
''Wahai 'Utsman, sesungguhnya Allah tidaklah mengutus aku dengan ajaran
kerahiban." Nabi mengulang kalimat itu dua atau tiga kali, lalu bersabda: ''Dan
sesungguhnya sebaik-baik agama di sisi Allah ialah al-hanafiyyah al-samhah, semangat
pencarian kebenaran yang lapang dan toleran."
Suatu ketika Nabi SAW mendengar berita bahwa segolongan sahabat menjauhi
perempuan dan menghindari makan daging. Maka, Nabi SAW pun memberikan
peringatan keras dan bersabda: ''Sesungguhnya aku tidak diutus dengan membawa
ajaran kerahiban! Sesungguhnya sebaik-baik agama ialah semangat pencarian
kebenaran yang lapang dan toleran."
Nabi selalu menegaskan bahwa beliau tidak diutus untuk mengajarkan
kerahiban atau monastisisme, yaitu sikap mengingkari kewajaran atau hidup dengan
cara yang ekstrem dan menganiaya diri sendiri.
Mengapa kerahiban dikecam dalam Islam? Sebab, kerahiban dapat berjalan
sejajar dan berimpit dengan kefanatikan, keekstreman, dan sikap-sikap
pembelengguan diri orang bersangkutan, dan mungkin tanpa disadarinya. Sikap seperti
itu adalah suatu bentuk pengamalan keagamaan yang tidak wajar, tidak alami, dan
tidak sejalan dengan fitrah manusia, serta berakibat pengingkaran hak kemanusiaan
diri dan orang lain.
Tidak salah jika Eric Fromm selaku psikoanalis memandang bahwa kesehatan
jiwa bergantung kepada sikap pemihakan kepada kebenaran secara tulus tanpa
pembelengguan diri dan kepada semangat cinta-kasih kepada sesama manusia. Tentu
saja hal ini akan sulit dicapai kecuali dalam agama humanistik. Sebab, agama
humanistik didasarkan atas kepercayaan akan adanya Tuhan Yang Mahakasih dan
Mahasayang. Sifat Mahakasih dan Mahasayang (al-Rahman dan ar-Rahim) adalah sifat
Kebenaran Mutlak (Tuhan) yang paling banyak disebutkan dalam Alquran.
Dalam banyak hadis, Nabi SAW mengatakan bahwa hendaknya kita mencontoh
akhlak Tuhan Mahakasih dan Mahasayang. Jadi, cinta kepada kebenaran adalah juga
cinta kepada Yang Mahacinta, dan ini pada gilirannya membawa kita kepada cinta
sesama manusia.
Karena itulah, dalam hadits di atas, Nabi SAW menegur 'Utsman bin Mazh'un
karena telah menelantarkan bukan saja dirinya, melainkan juga keluarganya.
Logikanya, jika seseorang memang mempunyai hubungan cinta kepada Tuhan (hablun
minallah), maka seharusnya dia juga mempunyai hubungan cinta kepada sesama
manusia (hablun minannas) dua nilai hidup yang bakal menjamin keselamatan
manusia, dunia-akhirat.
Kita harus memiliki pandangan yang positif dan konstruktif kepada sesama
manusia. Pandangan positif seperti ini hanya ada dalam agama humanistik, bukan
pada agama otoritarian yang selalu melihat manusia itu penuh dosa dan memandang
Tuhan sebagai Maha Penyiksa.
Islam mengajarkan bahwa manusia pada dasarnya adalah baik (QS. al-Tiin,
95:4), sebab manusia diciptakan dalam fitrah atau kejadian asal yang suci-bersih.
Kejahatan pada manusia, yaitu keadaan menyimpang dari fitrahnya yang suci-bersih,
harus dipandang sebagai sesuatu yang datang dari luar, khususnya dari pengaruh
lingkungan budaya.
Karena itu, Nabi SAW melukiskan setiap anak lahir dalam kesucian fitrahnya,
dan kedua orang tuanyalah yang membuatnya menyimpang dari fitrah itu, yang
membuatnya berpandangan komunal dan sektarian, yang membelenggu dan
membatasi kebebasannya.
Semangat keterbukaan dalam beragama itu sejalan dengan dimensi kerohanian
dan kecintaan lllahi sebagaimana dikembangkan oleh sufi terkenal lbn 'Arabi. Ajaran ini
dikembangkan demi meng-counter paham keagamaan yang formalistik-ritualistik serta
literalisme kosong.
Selanjutnya, lbn 'Arabi mengajarkan agar kita menghayati makna salat sebagai
penyatuan roh dengan Allah; menghayati zakat sebagai penyatuan diri dengan
kemanusiaan; menghayati haji sebagai penyatuan seseorang dengan seluruh umat;
dan menghayati puasa sebagai media pendekatan diri kepada Allah dan sekaligus
membangun empati kepada mereka yang kelaparan.
1. Syari’at Islam
Syari’at memberikan garis pemisah antara hak-hak Allah (huquq Allah) dan hak-hak
hamba Allah (huquq al-ibad).
Padahal, kalau kita mau bicara jujur serta mengaca pada sejarah,
sesungguhnya semenjak Nabi Muhammad S.A.W. memperoleh kenabiannya (abad
ke-7 Masehi, atau sekira lima ratus tahun/lima abad sebelum Magna Charta lahir),
sudah dikenalkan HAM serta dilaksanakan dan ditegakkannya HAM dalam Islam.
Atas dasar ini, tidaklah berlebihan kiranya bila sesungguhnya konsepsi HAM dalam
Islam telah lebih dahulu lahir tinimbang konsepsi HAM versi Barat. Bahkan secara
formulatif, konsepsi HAM dalam Islam relatif lebih lengkap daripada konsepsi HAM
universal.
Untuk memverifikasi benar-tidaknya bahwa konsepsi HAM dalam Islam telah
lahir lebih dulu tinimbang konsepsi HAM versi Barat atau universal, maka perlu
ditelusuri tentang sejarah HAM universal dan sejarah HAM dalam Islam. Selain itu,
perlu pula ditelaah mengenai konsepsi HAM universal dibandingkan dengan
konsepsi HAM dalam Islam. Dari sini, diharapkan akan terkuak kebenaran "historis"
tentang sejarah HAM dan konsepsi HAM secara universal serta sejarah HAM dan
konsepsi HAM dalam Islam.
Madinah dan mendirikan secara penuh suatu negara Islam sesuai dengan petunjuk
Illahi, maka beliau segera menerapkan program jangka panjang untuk menghapus
segala bentuk tekanan yang ada terhadap hak-hak asasi manusia.
Nabi Muhammad S.A.W. telah mengadakan berbagai tindakan sebagaimana
telah ditetapkan dalam Al Qur`an yang menghendaki terwujudnya pelaksanaan hak-
hak asasi mansia. Selain itu, beliau telah memproklamasikan kesucian hak-hak asasi
manusia ini untuk segala zaman ketika berkhutbah di depan kaum muslim pada
waktu haji wada` (perpisahan), yakni sebagaimana diriwayatkan dalam H.R. Muslim
("Kitab al-Hajj"), sebagai berikut :
"Jiwamu, harta bendamu, dan kehormatanmu adalah sesuci hari ini. Bertakwalah
kepada Alloh dalam hal istri-istrimu dan perlakuan yang baik kepada mereka,
karena mereka adalah pasangan-pasanganmu dan penolong-penolongmu yang
setia. Tak ada seorang pun yang lebih tinggi derajatnya kecuali berdasarkan atas
ketakwaan dan kesalehannya. Semua manusia adalah anak keturunan Adam, dan
Adam itu diciptakan dari tanah liat. Keunggulan itu tidak berarti orang Arab berada
di atas orang nonArab dan begitu juga bukan nonArab di atas orang Arab.
Keunggulan juga tidak dipunyai oleh orang kulit putih lebih dari orang kulit hitam
dan begitu juga bukan orang kulit hitam di atas orang kulit putih. Keunggulan ini
berdasarkan atas ketakwaannya"
Kedudukan penting HAM sesudah wafatnya Rosulullah S.A.W. dan
diteruskan oleh Khulafa ar-Rosyidin, serta sistem kekuasaan Islam berganti dengan
monarki. Di sini HAM dalam Islam tetap mendapatkan perhatian luar biasa
masyarakat Islam. HAM dalam Islam bukanlah sifat perlindungan individu terhadap
kekuasaan negara yang terbatas, namun merupakan tujuan dari negara itu sendiri
untuk menjaga hak-hak asasi manusia terutama bagi mereka yang terampas hak-
haknya. Jadi, setiap prinsip dasar pemerintahan Islam pada hakikatnya adalah
berlakunya suatu praktik usaha perlindungan dari terjadinya pelanggaran HAM. Kini
Islam telah memberikan sinar harapan bagi umat manusia yang menderita dengan
cara memberikan, melaksanakan, dan menjamin respek terhadap hak-hak asasi
manusia itu.
Selanjutnya, untuk menandai permulaan abad ke-15 Era Islam, bulan
September 1981, di Paris (Perancis), telah diproklamasikan Deklarasi HAM Islam
Sedunia. Deklarasi ini berdasarkan Kitab Suci Al-Qur`an dan As-Sunnah serta telah
dicanangkan oleh para sarjana muslim, ahli hukum, dan para perwakilan pergerakan
Islam di seluruh dunia.
Deklarasi HAM Islam Sedunia itu terdiri dari Pembukaan dan 22 macam hak-
hak asasi manusia yang harus ditegakkan, yakni mencakup:
1. Hak Hidup
2. Hak Kemerdekaan
3. Hak Persamaan dan Larangan terhadap Adanya Diskriminasi yang Tidak
Terizinkan
4. Hak Mendapat Keadilan
5. Hak Mendapatkan Proses Hukum yang Adil
6. Hak Mendapatkan Perlindungan dari Penyalahgunaan Kekuasaan
7. Hak Mendapatkan Perlindungan dari Penyiksaan
8. Hak Mendapatkan Perlindungan atau Kehormatan dan Nama Baik
9. Hak Memperoleh Suaka (Asylum)
Islam agama kesimbangan dan sesuai dengan fitrah dan tabiat manusia. Ia mampu
memakmurkan bumi ini dan memenangkan kebenaran.
Islam memberikan bimbingan kepada manusia pada setiap lapangan hidup.
Orang yang menjalankan bimbingan itu dialah manusia yang hakiki, yakni manusia
yang memperoleh hidayah Ilahi. Aspek kemasyarakatan dalam Islam sama halnya
dengan aspek akidah dan ibadah dalam agama itu sendiri.
Sedangkan orang yang tidak mau menerimanya berarti ia tidak mau
menerima agama itu secara totalitas. Karenanya Islam memandang hubungan yang
terjadi antara individu dan masyarakat sama artinya dengan hubungan yang terkait
dengan Akidah dan Ibadah. Islam telah merealisir sejak 14 abad yang lalu.
a. Perjuangan Islam
Islam adalah agama yang universal dalam memandang persoalan hidup
manusia yang ada didunia. Manusia yang menjadi "manusia" adalah manusia yang
mempunyai kesadaran akan aspek transendent sebagai realitas tertinggi. Islam
mengarahkan manusia untuk mencapai tujuan dan idealisme yang dicita-citakan,
yang mana untuk tujuan idealisme tersebut mereka rela berjuang dan berkorban
demi keyakinannya. Islam senantiasa mengilhami dan memimpin serta
mengorganisir perjuangan, perlawanan dan pengorbanan yang luar biasa untuk
melawan semua status quo, belenggu dan penindasan terhadap umat manusia.
Dalam sejarah Islam Nabi Muhammad telah memperkenalkannya kepada
bangsa Arab suatu keyakinan, serta memimpin rakyat kebanyakan dalam praktek-
praktek mereka untuk melawan kaum penindas.Nabi lahir dan muncul yang oleh Al-
Quran dijuluki "ummi".
Kata Ummi menurut Ali Syari'ati (dalam bukunya ideologi intelektual) yang
disifatkan pada nabi berarti bahwa ia dari kelas rakyat yang didalamnya adalah
orang-orang awam yang buta huruf, para budak, anak yatim, janda dan orang-orang
miskin (mustadh'afin) yang luar biasa menderitanya. Jelas orang-orang ini bukan
berasal dari kaum borjuis, aristokrat dan elit penguasa. Dari komunitas mustadh'afin
inilah Muhammad memulai dakwahnya untuk mewujudkan cita-cita dan idealnya
agama Islam.
Cita-cita ideal Islam adalah, adanya transformasi terhadap ajaran-ajaran dasar
Islam tentang persaudaraan universal (universal brotherhood), kesetaraan (equality)
dan keadilan sosial (social justice) dan keadilan ekonomi (economical justice). Islam
sangat menekankan kepada keadilan di semua aspek kehidupan.
Dan keadilan tersebut tidak akan tercipta tanpa membebaskan masyarakat
lemah dan marginal dari penderitaan, serta memberi kesempatan kepada mereka
(kaum mustadh'afin) untuk menjadi pemimpin.
Menurut Al-Quran mereka adalah pemimpin dan pewaris dunia. "Kami hendak
memberikan karunia kepada orang-orang tertindas dimuka bumi. Kami akan
menjadikan mereka pemimpin dan pewaris bumi". (QS.AL-Qashash:5) "Dan kami
wariskan kepada kaum yang tertindas seluruh timur bumi dan seluruh baratnya
yang kami berkati." (QS.AL-A’araf: 37).
Di tengah-tengah suatu bangsa,ketika orang-orang kaya hidup mewah di atas
penderitaan orang miskin, ketika budak-budak merintih dalam belenggu tuannya,
ketika para penguasa membunuh rakyat yang tak berdaya hanya untuk kesenangan,
ketika para hakim memihak pemilik kekayaan dan penguasa, sehingga mereka
b. Perjuangan Sosialis
Sosialis lahir atas kritikan terhadap jalannya revolusi industri yang ada di
inggris dan perancis. Memang eropa pada hari itu bangkit dalam perekonomiannya,
tetapi di balik itu ternyata mengundang banyak kekecewaan dalam hal upah buruh
yang bekerja di pabrik-pabrik. Kaum pemilik modal dalam hal kerja sangat
memperkosa hak-hak buruh, kaum buruh sangat tergantung hidupnya dari kaum
kapital tadi. Terjadinya penghisapan ekonomi antara kelas kaya terhadap kelas
miskin jelas merupakan persoalan besar yang dialami oleh orang miskin. karena
alat-alat dan pemilik modal dikuasai oleh sekelompok orang, sementara kelompok
yang mayoritas (kaum miskin/pekerja) sangat tergantung hidupnya dengan pemilik
faktor-faktor produksi.
Kelompok pemikir dari pihak sosialis percaya bahwa nilai-nilai baru yang ada di
masyarakat akan berkembang dengan sangat baik ketika terjadi pemerataan
ekonomi setiap manusia yang hidup di suatu daerah dengan tidak adanya kelas-
kelas di masyarakat. Dalam kamus sosialis percaya bahwa masyarakat ditakdirkan
berevolusi dari tata yang rendah ke tata yang lebih tinggi, sehingga sistem yang
kurang baik akan digantikan oleh sistem yang lebih baik. Sosialis percaya alat
produksi dimiliki secara bersama, sehingga tidak terjadi penghisapan antara
kelompok masyarakat yang ada kepada kelompok masyarakat lain.
Apa akibat dari alat produksi tidak di miliki secara bersama? Akibat yang paling
fatal menurut sosialis adalah para tuan tanah akan menindas para pekerja, para
tuan tanah akan menindas dan menghisap kaum buruh tani, dan para pemilik modal
akan menghisap kaum buruh. Hal yang paling menarik dalam kontes perjuangan
sosialis ini adalah eksploitasi yang dilakukan oleh kelompok pemilik modal terhadap
buruh akan memungkinkan terjadinya akumulasi modal sementara hasil yang
diterima oleh buruh adalah terjadinya penyengsaraan dan pemiskinan di kalangan
buruh.
Islam dan Sosialisme adalah gambaran yang berbeda dalam lingkaran
kehidupan umat manusia, tetapi ada kesamaan spirit keduanya dalam menegakkan
keadilan dalam realitas sosial yang ada di masyarakat. Keduanya sama-sama
berpihak terhadap perjuangan si miskin, yang nelangsa hidupnya dalam kungkungan
gemerlap dan benderangnya wangi penguasa yang menzalimi nasibnya, keduanya
merupakan ornamen dan cahaya baru untuk meninggikan derajat rakyat miskin
multikulturalisme seperti ini dapat dipandang sebagai titik tolak dan fondasi bagi
kewarganegaraan yang berkeadaban. Di sini, multikulturalisme dapat dipandang
sebagai landasan budaya (cultural basis) bagi kewargaan, kewarganegaraan, dan
pendidikan.
Multikulturalisme sebagai landasan budaya, lebih jauh lagi, terkait erat
dengan pencapaian civility (keadaban) yang sangat esensial bagi demokrasi yang
berkeadaban dan keadaban yang demokratis (democratic civility). Dalam upaya
penumbuhan dan pengembangan democratic civility, maka civil society (CS) dan
pendidikan menduduki peran sangat instrumental.
Terdapat persepsi dalam masyarakat untuk secara taken for granted
menerima bahwa CS selalu mendorong keadaban dan demokrasi. Padahal, terdapat
kecenderungan, bahwa CS terorganisasi berdasarkan distingsi sosial, budaya, etnis,
dan agama—sehingga cenderung eksklusif dan merasa paling benar sendiri;
akibatnya dapat kontra-produktif tidak hanya terhadap multi-kulturalisme, tetapi
juga bahkan terhadap demokrasi. Karena itu, dalam hal CS seperti ini, perlu
pengembangan sikap inklusif, toleran, dan respek terhadap pluralitas. Pada saat
yang sama, juga harus dikembangkan CS yang mengatasi berbagai garis demarkasi
tersebut, menjadi organisasi yang melintasi batas-batas etnis, agama dan sosial,
sehingga pada gilirannya dapat menjadi “social and cultural capital” yang esensial
bagi pengembangan dan pemberdayaan civilitas dan demokrasi yang berkeadaban
(cf. Hefner 2001:9-10).
Dalam konteks pengembangan CS yang benar-benar merupakan “social and
cultural capital” bagi keadaban dan demokrasi, pendidikan merupakan salah satu—
jika tidak satu-satunya—sarana terpenting. Tidak perlu uraian panjang lebar, “social
and cultural capital” sangat krusial dan instrumental bagi terwujudnya social and
cultural cohesiveness dan, pada gilirannya, integrasi negara-bangsa. Sebaliknya,
negara-bangsa dan masyarakat akan mengalami disintegrasi jika tidak memiliki
social and cultural capital. Dalam kerangka pengembangan social and cultural
capital, diperlukan tidak hanya peningkatan pengetahuan dan pemahaman tentang
berbagai nilai sosial-budaya, tetapi juga pengejawantahan nilai-nilai tersebut dalam
kehidupan bersama, bermasyarakat, berbangsa-bernegara. Di sinilah terletak peran
instrumental pendidikan.
Untuk penumbuhan dan pengembangan “social and cultural capital” Melalui
pendidikan, pendidikan kewargaan (civic education) menjadi sebuah keharusan.
Keadaban dan demokrasi, sekali lagi, tak bisa dicapai secara trial and error atau
diperlakukan secara taken for granted; sebaliknya justru harus diprogramkan secara
konseptual dan komprehensif pada setiap jenjang pendidikan, dan pada setiap
lembaga pendidikan, baik formal, non-formal, maupun informal. Melalui Civic
Education dapat ditumbuhkan tidak hanya pemahaman lebih benar tentang
demokrasi, HAM, pluralitas, dan respek dan toleransi di antara berbagai komunitas,
tetapi juga pengalaman berdemokrasi keadaban (Azra 2002).
Interkulturalisme...
5. Ukhuwah Islamiyah.
Pada hakekatnya seluruh umat manusia adalah berada dalam bingkai
”keluarga besar kemanusiaan”. Al-Qur’an menceritakan bahwa semula umat
manusia itu merupakan satu umat, satu tujuan, satu haluan yang berupaya hidup
baik, berupaya menegakkan keadilan dan tidak saling menganiaya, bersatu tidak
bercerai-berai, hidup sejahtera dan bahagia. Tetapi karena mereka banyak yang
berbalik haluan, berselisih satu sama lain, kerusakan pun timbul. Untuk
mengembalikan mereka menjadi menjadi baik kembali, Allah mengutus para rasul-
Nya untuk menggembirakan yang mau kembali kepada kebaikan dan
memperingatkan yang tetap durhaka. Pada rasul dibekali al-Kitab oleh Allah yang
membawa kepada kebenaran, guna dijadikan pedoman dalam menetapkan hukum
terhadap perselisihan di kalangan umat manusia yang semula satu itu (QS 2:213).
Diutusnya rasul Allah ini secara berkesinambungan, berarti bahwa setiap
terjadi penyimpangan dari ajaran kebenaran yang dibawa oleh rasul Allah, maka
Allah mengutus rasul-Nya lagi untuk mengajak umat manusia kembali kepada jalan
yang benar. Hingga akhirnya datanglah Rasul pamungkas (khatamun nabiyyin),
Muhammad SAW., yang membawa misi rahmat kasih sayang Allah kepada semesta
alam (QS 21: 107). Menghadapi seruan serta ajakan rasul pamungkas itu – seperti
umat terdahulu − ada yang mau menerima dan ada yang pula dengan keras
menolak. Yang menerima ajakan Rasulullah Muhammad tergolong ke dalam umat
mukminin dan yang menolak tergolong kepada kafirin. Hubungan umat mukminin
dengan umat kafirin dipupuk dalam suasana kekeluargaan dan kedamaian, sehingga
selalu dapat menumbuhkan semangat kerja sama kemanusiaan yang serasi. Namun
kadang-kadang terjadi juga ketegangan dalam suasana persaingan, bahkan konflik
kepentingan. Padahal umat mukminin wajib melanjutkan misi dalam meratakan
rahmat dan kasih sayang Allah kepada seluruh manusia kepada kebaikan,
menyerukan yang ma’ruf dan mencegah yang munkar menuju hidup yang sejahtera,
bahagian di bawah naungan ridha Allah (QS 3: 104). Al-Qur’an bahkan menegaskan
bahwa umat mukminin adalah umat terbaik yang dilahirkan di tengah-tengah
kehidupan manusia, karena misinya yang amat mulia – yakni menyeluruh kepada
kebaikan dan mencegah kemungkaran dengan bekal iman kepada Allah (QS 3: 110).