You are on page 1of 11

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Implementasi desentralisasi di banyak daerah otonom kini tidak sepenuhnya

bersifat reaksioner. Beranjak dari pengalaman getir bahwa kebijakan otonomi daerah di

Indonesia diwarnai arogansi pemerintah daerah dalam membuat perda, tindakan

eksploitatif terhadap sumberdaya & stakeholders demi penimbunan PAD, serta

ketimpangan antardaerah berdasarkan polarisasi kaya-miskin, kini sedikit-banyak

mulai memiliki alternatif bentuk aplikasi yang terencana, inovatif, dan tentunya

reformis. Jumlahnya tidak banyak, memang, tetapi taksiran awal sebanyak hanya 5%

dari seluruh kabupaten/ kota dan propinsi di Indonesia yang berinovasi serta

melaksanakan reformasi birokrasi dalam pemerintah daerahnya bisa menjadi bukti

bahwa otonomi daerah memiliki dampak positif dalam skala lokal, regional, dan

nasional.

Peran Pemerintah Daerah dalam pelaksanaan pembangunan daerah merupakan

salah satu syarat mutlak dalam era kebebasan dan keterbukaan ini. Pengabaian terhadap

faktor ini, terbukti telah menyebabkan terjadinya deviasi yang cukup signifikan

terhadap tujuan pembangunan itu sendiri yaitu keseluruhan upaya peningkatan

ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Pemborosan keuangan negara merupakan

implikasi lain deviasi tersebut. Proses pelibatan partisipasi masyarakat lokal dalam

implementasi proyek-proyek pembangunan di tingkat kabupaten/kota, terbukti telah

berhasil membawa perubahan-perubahan mendasar dalam peningkatan kesejahteraan

keluarga-keluarga pedesaan (John Clark:1995; John Friedmann:1992). Lebih lanjut

Gunawan Sumodiningrat (1996) mengemukakan bahwa pemihakan dan pemberdayaan

masyarakat—dalam keseluruhan rangkaian penyusunan program-program

1
pembangunan, perlu diyakini oleh aparatur pemerintah daerah sebagai strategi yang

tepat untuk menggalang kemampuan ekonomi nasional, sehingga mampu berperan

secara nyata dalam meningkatkan ekonomi dan kesejahteraan rakyat. Selanjutnya,

keyakinan itu juga perlu terus ditanamkan dalam diri aparatur yang secara fungsional

menangani proses-proses penyusunanan program pada kabupaten/kota untuk

selanjutnya ditingkatkan serta dimasyarakatkan, kemudian yang terpenting dan juga

menjadi tantangan utama adalah bagaimana menerjemahkannya dalam usaha-usaha

yang nyata. Upaya-upaya ke arah tersebut tidak secara serta merta dapat terwujud dan

tidak semudah seperti membalikkan telapak tangan, melainkan harus melalui proses

berliku-liku yang akan menghabiskan banyak waktu serta tenaga, dan tampaknya harus

dilakukan oleh aparatur yang memiliki integritas dan hati nurani yang jernih, karena

dalam pelaksanaannya dalam masyarakat akan banyak mempergunakan mekanisme

komunikasi timbal balik, mendengar dan menampung dengan penuh kesabaran, dan

sikap toleransi dalam menghadapi pandangan yang berbeda (community approach).

B. PERUMUSAN MASALAH

Pembangunan daerah tentu memiliki banyak aspek dan pekerjaan rumah yang

menumpuk sehingga sulit bagi pemerintah daerah jika harus menggarap semua aspek

dan jenis pembangunan. Untuk mengoptimalkan pembangunan daerahnya, pemerintah

daerah mesti mencari daya pengungkit (leverage) yang berujung pada penentuan skala

prioritas. Dari Pendahuluan di atas, maka bagaimanakah peran Pemerintah Daerah

dalam menangani hal-hal berikut ini?

1. Reformasi birokrasi pemerintah daerah

2. Peningkatan Ekonomi dan Kesejahteraan Masyarakat

3. Perluasan akses pendidikan bagi masyarakat

4. Peningkatan kualitas kesehatan masyarakat

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Reformasi Birokrasi Pemerintah Daerah

Reformasi birokrasi publik pada pemerintah daerah dilaksanakan tidak hanya

mencakup pembenahan—jika tidak disebut perombakan—struktural menuju

perampingan ukuran dan komponen birokrasi, sebagaimana diamanatkan dalam PP No.

8 Tahun 2003. Lebih dari itu, reformasi birokrasi publik juga mencakup perubahan

secara gradual terhadap nilai (public value) dan budaya aparat pemerintah daerah yang

berimplikasi pada etos kerja, kualitas pelayanan publik, hingga perubahan perilaku

sebagai penguasa (ambtenaar) menjadi pelayanan & pengayoman.

Pemerintah Kabupaten Sragen, misalnya, melakukan perombakan struktural

dengan penambahan satuan kerja adhoc. Kelembagaan satker adhoc ini tidak masuk ke

dalam struktur birokrasi pemda tetapi mengemban fungsi yang justru menunjang

pelaksanaan fungsi-fungsi pemerintahan lainnya agar lebih optimal. Marketing Unit

(MU) dibentuk Pemkab Sragen sebagai unit fungsional yang bertugas dalam

memasarkan potensi sumberdaya kompetitif, peluang investasi, serta produk-produk

unggulan kepada pihak-pihak di dalam dan luar Kabupaten Sragen. Bentuk

kelembagaan adhocracy unit fungsional ini tidak hanya menjadikan MU dapat lincah

dan leluasa bergerak dengan koordinasi langsung dengan Bupati/ Wakil Bupati tetapi

juga memenuhi ketentuan PP No. 8 Tahun 2003 yang lebih menekankan keterpenuhan

fungsi daripada pengayaan struktur birokrasi.

Lembaga adhoc lain yang dibentuk adalah Engineering Services ((ES) yang

dibentuk untuk membuat seluruh perencanaan yang bersifat konstruksi. Perencanaan

berikut estimasi yang dibuat oleh satker ini akan menyelaraskan kebutuhan biaya

konstruksi dengan sumberdaya yang harus dikeluarkan pada setiap proyek konstruksi.

3
Cara kerja ini mirip sekali dengan Tim Owner Estimate (OE) bentukan Pemkab

Jembrana, Bali. Tim OE, melalui estimasi dan kalkulasi matematis atas kebutuhan

pekerjaan konstruksi, memberikan second opinion kepada Bupati perihal kebutuhan

yang sesungguhnya dari suatu pekerjaan konstruksi. Kerja kedua satker ini, baik ES

maupun OE, diarahkan pada minimasi praktek korupsi yang hamper menjadi

keumuman di banyak tempat terjadi dalam proyek-proyek konstruksi.

Reformasi struktural birokrasi pemda juga memiliki varian lain, yakni

reengineering process terhadap pelayanan publik. Reformasi ini menekankan pada

rekayasa mekanisme pelayanan publik yang dilekatkan dengan aspek struktural suatu

birokrasi publik. Contoh nyata varian reformasi ini adalah pelayanan satu pintu (one

stop service), tidak sekadar satu atap, untuk melaksanakan pelayanan perizinan dan

nonperizinan. Bentuk pelayanan ini baru bisa direkayasa dengan restrukturisasi organ

satuan kerja ke dalam satu Badan berikut pelimpahan kewenangan padanya, dipadukan

dengan penggunaan teknologi informasi intranet sebagai pewujudan e-government

dalam pengertian yang sebenarnya. Sebagai contoh, Pemkab Kutai Timur membentuk

Badan Sistem Informasi Manajemen Pemerintahan Kabupaten (Badan Simpekab) yang

melayani 42 jenis pelayanan. Dalam ragam yang sama, Pemkab Sragen membentuk

Badan Pelayanan Terpadu (BPT) yang melayani 62 jenis pelayanan dengan batas

waktu pelayanan maksimal 12 hari (khusus pelayanan IMB 15 hari). Pengambil

keputusan dalam pemberian izin tidak lagi bergantung pada Bupati tetapi telah

diserahkan kepada Kepala BPT.

Kerja BPT ditunjang oleh teknologi informasi (TI), menggunakan intranet

dalam aplikasi Kantaya (Kantor Maya) yang secara resiprokal menjamin pertukaran

informasi secara efisien sekaligus mekanisme pengawasan secara transparan

antarsatker. Secara lebih luas Pemkab Sragen memanfaatkan TI dalam pengoperasian

4
kerja pemda sehingga tidak terbatas pada BPT. Keberadaan Badan pelayanan satu pintu

semacam ini memangkas kesemrawutan pengurusan izin di berbagai dinas sehingga

pelayanan bisa memanfaatkan waktu yang lebih singkat.

Perubahan struktural mesti diikuti oleh perubahan kultural, berupa internalisasi

mindset dan perilaku, serta revitalisasi etos kerja. Beranjak dari keinginan untuk

melepaskan diri dari budaya birokratis yang kaku, beberapa kepala daerah

mengarahkan perubahan kultural menuju corporate culture yang berlandaskan

semangat kewirausahaan. Bupati Sragen, misalnya, selama enam bulan pertama masa

jabatannya secara rutin mengadakan pertemuan dengan kepala-kepala satker untuk

membicarakan persoalan masyarakat yang terakumulasi dan belum terselesaikan untuk

kemudian dipecahkan bersama saat pertemuan itu juga. Bupati juga mencanangkan

nilai-nilai publik di tengah-tengah jajaran birokrasi pemda berupa 5K: Komitmen,

Konseptual, Kontinu, Konsisten, dan konsekuen. 5K tidak sekadar dicanangkan tapi

diintegraskan dalam mekanisme kerja harian, terutama yang bersinggungan langsung

dengan tupoksi Bupati/ Wakil Bupati. Pemkab Sragen juga mengundang pelaku bisnis

di perusahaan swasta untuk memberikan pelatihan perilaku organisasi bagi pegawai

BPT agar mereka berperilaku dan bertindak selayaknya karyawan swasta yang

berorientasi pada kepuasan pengguna jasa (consumer, customer). Di samping itu,

pelatihan ESQ telah beberapa kali diselenggarakan.

Berbeda dengan Pemkab Sragen, Gubernur Gorontalo mengurangi mekanisme

honorarium sebagai cara pemberian insentif berbasis take-home pay. Sebagai gantinya,

penilaian kinerja pegawai dilakukan secara terukur berdasarkan produktivitas kerja

sehingga diterapkan insentif bagi pegawai yang tercatat berprestasi dalam aktivitas

mereka. Di samping itu, pengerjaan kegiatan-kegiatan Pemprov Gorontalo tidak lagi

menggunakan sistem proyek. Setiap elemen dalam satuan kerja telah memiliki

5
pembagian tugasnya masing-masing dan bertindak atas job specification yang telah

dibagi itu. Inilah salah satu wujud penerapan anggaran berbasis kinerja, pegawai

dengan kinerja bagus akan mendapatkan insentif tersendiri. Di samping menekankan

anggaran berbasis kinerja dan efisiensi keuangan, transparansi dan akuntabilitas

Pemprov Gorontalo diwujudkan dengan pemuatan laporan keuangan yang spesifik di

media massa.

Cara berbeda diterapkan Walikota Tarakan. Pemkot Tarakan, Kalimantan

Timur, melakukan outsourcing SDM dari luar jajaran Pemkot untuk duduk menjabat

sebagai kepala satker tertentu. Kepala Bappeda Kota Tarakan bisa menjadi salah satu

contoh. Target yang hendak dicapai melalui cara ini adalah terjadinya transfer

pengetahuan, budaya, cara berpikir, dan cara kerja baru di lingkungan Pemkot. Pihak

luar yang digandeng untuk ikut menjalankan roda pemerintahan daerah diasumsikan

memiliki karakter yang masih segar dan belum mengalami kontak asimilasi budaya

dengan pegawai lama. Posisinya yang strategis memudahkannya dalam mengambil

keputusan sekaligus menjalankan peran pentng di lingkungan satker tempat ia bertugas.

Langkah lain adalah dengan memangkas pengelolaan fungsi-fungsi yang bukan

merupakan pekerjaan pokok (core-business) pemkot. Pengelolaan pasar, melalui sistem

tender yang terbuka dan akuntabel, dikelola perusahaan swasta dengan regulasi tetap di

tangan Pemkot sehingga intervensi pengelolaan pasar dan pengelolaan keuangan oleh

Pemkot melalui Perusahaan Daerah (Perusda) menjadi berkurang. Hal ini di Tarakan

diterapkan di Pasar Boom-Panjang yang sekarang dikenal sebagai pasar dengan

kreativitas penggalian potensi laba, bersih dan apik, berbeda dengan kondisi pasar-

pasar tradisional pada umumnya. Perusahaan swasta dalam mengelola pasar hanya

menggunakan setengah karyawannya, setengah kebutuhan jumlah pengelola diambil

dari kalangan pedagang pasar per blok.

6
B. Peningkatan Ekonomi dan Kesejahteraan Masyarakat

Berkaitan dengan pelaksanaan otonomi daerah yang dititikberatkan pada daerah

kota dan kabupaten serta keberpihakan pemerintah pada sektor pengusaha kecil dan

menengah sebagai pelaku ekonomi, GBHN telah menggariskan arah kebijakan dalam

pembangunaan daerah diantaranya:

a. Mengembangkan otonomi daerah secara luas, nyata, dan bertanggung jawab dalam

rangka pemberdayaan masyarakat, lembaga ekonomi, lembaga politik, lembaga

hukum, lembaga keagamaan, lembaga adat, dan lembaga swadaya masyarakat

dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

b. Mempercepat pembangunan ekonomi daerah yang efektif dan kuat dengan

memberdayakan pelaku dan potensi ekonomi daerah , serta memperhatikan

penataan ruang , baik fisik maupun sosial sehingga terjadi pemerataan

pertumbuhan ekonomi sejalan dengan pelaksanaan otonomi daerah.

c. Mempercepat pembangunan pedesaan dalam rangka pemberdayaan masyarakat

terutama petani dan nelayan melalui penyediaan prasarana, pembangunan sistem

agribisnis, industri kecil dan kerajinan rakyat, pengembangan kelembagaan,

penguasaan teknologi, dan pemanfaatan sumber daya alam.

Menurut Effendi (2001) pembangunan daerah pada dasarnya adalah upaya untuk :

a. Mengembangkan kemampuan ekonomi daerah untuk menciptakan kesejahteraan

dan memperbaiki kondisi kehidupan material secara adil dan merata

b. Meningkatkan kondisi kesehatan, pendidikan, perumahan, dan kesempatan kerja

c. Mendorong penegakan hak-hak asasi manusia, kebebasan politik dan demokrasi

d. Mengembangkan peradaban

e. Meningkatkan kesadaran perlunya pembangunan berkelanjutan.

7
Pembangunan daerah pada era otonomi tidak terlepas dari implementasi dari

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, dimana sebagai

implikasinya kewenangan pemerintah daerah lebih luas baik dari derajat kuantitas dan

kualitasnya. Kewenangan tersebut tidaklah hanya sekedar pada pelaksanaannya saja ,

tetapi juga mulai dari pemikiran, pengkonsepan dan perencanaannya. Hal ini semua di

dalam rangka pencapaian tujuan otonomi yang mengarah kepada terjadinya

kemandirian daerah dan kemandirian masyarakat (Utomo, 2001:2)

Pemerintah sendiri tidak bisa lepas tangan begitu saja dalam pembangunan

daerah sebagaimana dikemukakan oleh Arsyad (1999:121) ada empat peran yang

dapat diambil oleh pemerintah daerah yaitu sebagai entrepreneur, koordinator,

fasilitator dan stimulator bagi lahirnya inisiatif-inisiatif pembangunan daerah. Terkait

dengan aktivitas ekonomi di daerah agar lebih melokalisasi dampak multiplier suatu

aktivitas ekonomi , salah satu jalan keluarnya adalah dengan memberdayakan

pengusaha lokal sebagai pelaku ekonomi lokal yang diharapkan dapat meraup

sebagian tetesan dari output ekonomi yang dihasilkan oleh pengusaha luar daerah.

Tumbuhnya pengusaha lokal sebagai pelaku ekonomi yang tangguh dalam jangka

panjang merupakan kekuatan inti dari perekonomian suatu daerah.(Brodjonegoro,

2002:154-155)

Kemandirian pemerintah dan kemandirian masyarakat adalah wujud dari

pengembangan kemampuan ekonomi daerah untuk menciptakan kesejahteraan dan

memperbaiki kehidupan material secara adil dan merata yang pada ujungnya

berpangkal pada pemberdayaan masyarakat. Pemberdayaan masyarakat sendiri berdiri

pada satu pemikiran bahwa pembangunan akan berjalan dengan sendirinya apabila

masyarakat diberi hak untuk mengelola sumber daya alam yang mereka miliki dan

menggunakannya untuk pembangunan masyarakatnya (Soetrisno, 1995:136).

8
Paradigma pemberdayaan masyarakat menjadi sangat populer dikalangan para

perencana pembangunan didunia ketiga khususnya para anggota lembaga swadaya

masyarakat yang melihat bahwa paradigma pemberdayaan akan lebih mampu

mencapai tujuan pembangunan yaitu menghilangkan kemiskinan.

Pemerintah daerah (pemda) sering mengalami kesulitan dalam menerjemahkan

dan menerapkan konsep otonomi daerah. Otonomi daerah seolah diimplementasikan

sebagai keleluasaan bagi pemda untuk membuat kebijakan yang menguntungkan

daerahnya dengan sasaran peningkatan pendapatan asli daerah (PAD) tanpa harus

memikirkan ekonomi rakyat (Wirawan dkk, 2001:152). Padahal otonomi daerah

adalah upaya untuk memberikan kewenangan pada pemda untuk memberdayakan

potensi daerah termasuk ekonomi kerakyatan. Hal itu tidak hanya berarti materi,

karena didalamnya ada juga keharusan untuk memperhatikan aspirasi masyarakat

C. Perluasan Akses Pendidikan bagi Masyarakat

Upaya memajukan dunia pendidikan merupakan investasi jangka panjang, jauh

melebihi usia tampuk pemerintahan seorang kepala daerah, bahkan hingga dua kali

masa jabatannya. Inilah yang menyebabkan tidak banyak kepala daerah menjejakkan

program-programnya pada sektor ini karena dalam kurun waktu periode kekuasaannya,

hasilnya tidak langsung dirasakan, pun bersifat intangible. Tidak banyak pula pemda

yang menjadikan upaya peningkatan kualitas pendidikan sebagai pengungkit utama

dalam mencapai kemajuan daerah. Namun, yang menjadi tren adalah mengasumsikan

kegiatan penarikan investor dan pengembangan kegiatan-kegiatan jasa sebagai

pengungkit kemajuan daerah. Hal ini tidak sepenuhnya salah, memang, tetapi

memandang dunia pendidikan sebelah mata jelas bukan sikap yang bijak.

9
Ditengah-tengah menjamurnya tren tersebut, terdapat beberapa pemda yang

concern memajukan dunaia pendidikan dengan memperluas akses pendidikan bagi

masyarakat sekaligus memperbaiki mutu keberlangsungannnya. Jadilah kemudian

model sekolah ini berorientasi pada pengembangan pendidikan secara lebih inovatif,

muatan disiplin yang tinggi, pendidikan akhlak secara intensif, keterampilan praktis,

penguasaan IPTEK sejak dini, dan berwawasan global. Secara praktis sekolah ini

dilaksanakan dengan sistem asrama (boarding school) dengan konsep full-day school

dalam pengertian yang sebenarnya, ditandai dengan waktu belajar yang lebih lama

daripada sekolah-sekolah konvensional serta interaksi antara peserta didik dan

pengasuh/ gurunya lebih intensif.

D. Peningkatan Kualitas Kesehatan Masyarakat

Peran pemerintah sebagai pelaksana di sektor rumahsakit dilakukan terutama

oleh rumahsakit pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Di sektor rumahsakit

Indonesia, jumlah rumahsakit milik pemerintah sejak tahun 1995 berkurang sedikit.

Sebaliknya di sektor swasta antara 1995 – 2000 tercatat pendirian73 rumahsakit swasta

baru. Pertumbuhan ini berarti kenaikan 15%. Krisis ekonomi terlihat tidak

mempengaruhi kenaikan jumlah rumahsakit swasta.

Terlihat bahwa fungsi pemerintah sebagai pelaksana kegiatan relatif berkurang.

Sektor swasta berkembang, namun di Indonesia tidak terjadi proses privatisasi

rumahsakit pemerintah. Pemerintah tetap menjadi pemilik rumahsakit. Akan tetapi ada

proses otonomi manajemen rumahsakit dimana terjadi semacam pemisahan antara

fungsi pemerintah sebagai pemberi biaya atau regulator dengan fungsi pelayanan.

Kebijakan-kebijakan tersebut antara lain adanya perubahan RSUP menjadi Perjan, atau

RSD menjadi BUMD.

10
.BAB III
KESIMPULAN

Dinamika ekonomi daerah sangat dipengaruhi oleh dinamika perekonomian

mayarakat. Oleh karena itu upaya peningkatan peran serta masyarakat dan swasta dalam

dunia usaha dan investasi terus dintensifkan melalui peningkatan kapasitas maupun

fasilitas sarana dan prasarana.

Perubahan di daerah memang biasanya dimulai dengan pembenahan kelembagaan

birokrasi pemerintah daerah sebelum akhirnya merambah pada pembenahan di sektor lain,

misalnya peningkatan kualitas pendidikan dan perluasan akss masyarakat ke dalamnya,

peningkatan mutu kesehatan, penggalian potensi daerah untuk melakukan pembangunan

berbasis keunggulan lokal, penggalakan usaha-usaha di bidang jasa, dll. Beberapa

penelitian hingga kini masih menemukan bahwa perubahan-perubahan pada aparatur

pemda masih terkait erat dengan langgam keterikatan sistem yang diberlakukan secara

birokratis. Belum ada penemuan mutakhir bahwa perubahan tersebut mencakup perubahan

secara ideologis dan paradigmatik, dua hal yang justru menjadikan perubahan lebih

permanen tanpa ketergantungan pada sistem dan figur kepala daerah.

Hal yang sangat penting adalah penggunaan manajemen strategis dalam mengelola

aparat pemerintah daerah. Manajemen strategis, yang diarahkan dengan pemikiran yang

strategis pula, akan menjamin keberlangsungan pembangunan karena telah

memperhitungkan keuntungan sekaligus risiko di masa depan, jauh melampaui usia

periode kepemimpinan seorang kepala daerah. Di samping itu, manajemen strategis juga

menjadikan pemda turut mencurahkan perhatian mereka pada sektor-sektor yang

memberikan manfaat dalam jangka menengah dan panjang, misalnya sektor pendidikan

dan kesehatan.

11

You might also like