You are on page 1of 42

1.

AZAB DAN SENGSARA

Pengarang : Merari Siregar (13 Juni 1886-23 April 1940)


Penerbit : Balai Pustaka
Tahun : 1920; Cetakan IX, 1990

A minuddin adalah anak Baginda Diatas, seorang kepala kampung yang


terkenal kedermawanan dan kekayaannya. Masyarakat di sekitar Sipirok
amat segan dan hormat pada keluarga itu. Adapun Mariamin, yang masih punya
ikatan dengan keluarga itu, kini tergolong anak miskin. Ayah Mariamin, Sutan
Baringin almarhum, sebenainya termasuk keluarga bangsawan kaya. Namun,
Earena" semasa hidupnya terlalu boros dan serakah, ia akhirnya jaruh miskin dan
meninggal dalam keadaan demikian.

Bagi Aminuddin, kemiskinan keluarga itu tidaklah menghalanginya untuk


tetap bersahabat dengan Mariamin. Keduanya memang sudah berteman -akrab
sejak kecil dan terus meningkat hingga dewasa. Tanpa terasa, benih cinta kedua
remaja itu pun tumbuh subur. Belakangan, mereka sepakat untuk hidup bersama,
membina rumah tangga. Aminuddin pun berjanji hendak rnempersunting gadis itu
jika kelak ia sudah bekerja. Janji pemuda itu akan segera dilaksanakan jika ia
sudah mendapat pekerjaan di Medan. Aminuddin segera mengirim surat kepada
kekasihnya bahwa ia akan segera membawa Mariamin ke Medan.

Berita itu tentu saja amat menggembirakan hati Mariamin dan ibunya yang
memang selalu berharap agar kehidupannya segera berubah. Setidak-tidaknya, ia
dapat melihat putrinya hidup bahagia.

Niat Aminuddin itu disampaikan pula kepada kedua orang tuanya. Ibunya
sama sekali tidak berkeberatan. Bagaimanapun, almarhum ayah Mariamin masih
kakak kandungnya sendiri. Maka, jika putranya kelak jadi kawin dengan
Mariamin, perkawinan itu dapatlah dianggap sebagai salah satu usaha menolong
keluarga miskin itu.

Namun, lain halnya pertimbangan Baginda Diatas, ayah Aminuddin.


Sebagai kepala kampung yang kaya dan disegani, ia ingin agar anaknya

1
beristrikan orang yang sederajat. Menurutnya, putranya lebih pantas kawin
dengan wanita dari keluarga kaya dan terhormat. Oleh karena itu, jika Aminuddin
kawin dengan Mariamin, perkawinan itu sama halnya dengan merendahkan
derajat dan maruibat dirinya. Itulah sebabnya, Baginda Diatas bermaksud
menggagalkan niat putranya.

Untuk tidak menyakiti hati istrinya, Baginda Diatas mengajaknya pergi ke


seorang dukun untuk melihat bagaimana nasib anaknya jika kawin dengan
Mariamin. Sebenarnya, itu hanya tipu daya Baginda Diatas. Oleh karena
sebelumnya, dukun itu sudah mendapat pesan tertentu, yaitu memberi ramalan
yang tidak menguntungkan rencana dan harapan Aminuddin. Mendengar
perkataan si dukun bahwa Aminuddin akan mengalamii nasib buruk jika kawin
dengan Mariamin, ibu Aminuddin tidak dapat berbuat apa-apa selain menerima
apa yang menurut suaminya baik bagi kehidupan anaknya.

Kedua orang tua Aminuddin akhirnya meminang seorang gadis keluarga


kaya yang menurut Baginda Diatas sederajat dengan kebangsawanan dan
kekayaannya. Aminuddin yang berada di Medan, sama sekali tidak mengetahui
apa yang telah dilakukan orang tuanya. Dengan penuh harapan, ia tetap menanti
kedatangan ayahnya yang akan membawa Mariamin.

Selepas peminangan itu, ayah Aminuddin mengirim telegram kepada


anaknya bahwa calon istrinya akan segera dibawa ke Medan. la juga minta agar
Aminuddin menjemputnya di stasiun.

Betapa sukacita Aminuddin setelah membaca telegram ayahnya. la pun


segera mempersiapkan segala sesuatunya. la membayangkan pula kerinduannya
kepada Mariamin akan segera terobati.

Namun, apa yang terjadi kemudian hanyalah kekecewaan. Ternyata,


ayahnya bukan membawa pujaan hatinya, melainkan seorang gadis yang
bermarga Siregar. Sungguhpun begitu, sebagai seorang anak, ia harus patuh pada
orang tua dan adat negerinya. Aminuddin tidak dapat berbuat apa-apa selain
menerima gadis yang dibawa ayahnya. Perkawinan pun berlangsung dengan

2
keterpaksaan yang mendalam pada diri Aminuddin. Berat hati pula ia
mengabarkannya pada Mariamin.

Bagi Mariamin, berita itu tentu saja sangat memukul jiwanya. Harapannya
musnah sudah. la pingsan dan jatuh sakit sampai beberapa lama. Tak terlukiskan
kekecewaan hati gadis itu.

Setahun setelah peristiwa itu, atas kehendak ibunya, Mariamin terpaksa


menerima lamaran Kasibun, seorang lelaki yang sebenarnya tidak diketahui asal-
usulnya. Ibunya hanya tahu, bahwa Kasibun seorang kerani yang bekerja di
Medan. Menurut pengakuan lelaki itu, ia belum beristri. Dengan harapan dapat
mengurangi penderitaan ibu-anak itu, ibu Mariamin terpaksa menjodohkan
anaknya dengan Kasibun. Belakangan diketahui bahwa lelaki itu baru saja
menceraikan istrinya hanya karena akan mengawini Mariamin.

Kasibun kemudian membawa Mariamin ke Medan. Namun rupanya,


penderitaan wanita itu belum juga berakhir. Suaminya ternyata mengidap penyakit
berbahaya yang dapat menular bila keduanya melakukan hubungan suami-istri.
Inilah sebabnya, Mariamin selalu menghindar jika suaminya ingin berhubungan
intim dengannya. Akibatnya, pertengkaran demi pertengkaran dalam kehidupan
rumah tangga itu tak dapat dihindarkan. Hal yang dirasakan Mariamin bukan
kebahagiaan, melainkan penderitaan berkepanjangan. Tak segan-segan Kasibun
menyiksanya dengan kejam.

Dalam suasana kehidupan rumah tangga yang demikian itu, secara


kebetulan, Aminuddin datang bertandang. Sebagaimana lazimnya kedatangan
tamu, Mariamin menerimanya dengan senang hati, tanpa prasangka apa pun.
Namun, bagi Kasibun, kedatangan Aminuddin itu makin mengobarkan rasa
cemburu dan amarahnya. Tanpa belas kasihan, ia menyiksa istrinya sejadi-
jadinya.

Tak kuasa menerima perlakuan kejam Kasibun, Mariamin akhirnya


mengadu dan melaporkan tindakan suaminya kepada polisi. Polisi kemudian
memutuskan bahwa Kasibun harus membayar denda dan sekaligus memutuskan
hubungan tali perkawinan dengan Mariamin.

3
Janda Mariamin akhirnya terpaksa kembali ke Siprok, kampung
halamannya. Tidak lama kemudian, penderitaan yang silih berganti menimpa
wanita itu, sempurna sudah dengan kematiannya. “azab dan sengsara dunia ini
telah tinggal di atas bumi, berkubur dengan jasad yang kasar itu”.

***

U mumnya, para pengamat sastra Indonesia menempatkan novel Azab dan


Sengsara ini sebagai novel pertama Indonesia dalam khazanah kesusastraan
Indonesia modern. Penempatan novel ini sebagai novel pertama lebih banyak
didasarkan pada anggapan bahwa kesusastraan Indonesia modern lahir tidak dari
peran berdirinya Balai Pustaka, 1917, yang cikal bakalnya berdiri tahun 1908.
Sungguhpun sebenarnya tidak sedikit novel yang terbit sebelum Balai Pustaka
berdiri, dalam hal pemakaian bahasa Melayu sekolahan, Azab dan Sengsara yang
mengawalinya. Dalam konteks itulah novel ini menempati kedudukan penting.

Tema Azab dan Sengsara sendiri yang mempermasalahkan perkawinan


dalam hubungannya dengan harkat dan martabat keluarga, bukanlah hal yang
baru. Novel-novel yang terbit di luar Balai Pustaka—yang umumnya
menggunakan bahasa Melayu rendah atau bahasa Melayu pasar juga banyak yang
bertema demikian. Novel bahasa Sunda, Baruang ka Nu Ngarora (Racun Bagi
Kaum Muda; 1914) karya D.K. Ardiwinata (1866-1947) yang diterbitkan Balai
Pustaka, juga bertema perkawinan dalam hubungan-nya dengan harkat dan
martabat keluarga. Jadi, secara tematik, novel Azab dan Sengsara, belumlah
secara tajam mempermasalahkan perkawinan dalam hubungannya dengan adat.

Sejauh ini, studi terhadap novel Azali dan Sengsara, baru dilakukan pada
tingkat sarjana muda, sebagaimana yang tampak dari penelitian Ahmad Tohir
(UGM, 1969), Dzukifli Salleh (FSUI, 1962), dan Yacob bin Mohamed Tara (FS
Unas, 1980).

4
2. SITI NUR BAYA
(Kasih Tak Sampai)

Pengarang : Marah Rusli (7 Agustus 1889-17 Januari 1968)


Penerbit : Balai Pustaka
Tahun : 1922; Cetakan XX, 1990

S utan Mahmud Syah termasuk salah seorang bangsawan yang cukup terkenal
di Padang. Penghulu yang sangat disegani dan dihormati penduduk di
sekitarnya itu, mempunyai putra bernama Samsulbahri, anak tunggal yang berbudi

5
dan berperilaku baik. Bersebelahan dengan rumah Sutan Mahmud Syah, tinggal
seorang saudagar kaya bernama Baginda Sulaiman. Putrinya, Sitti Nurbaya, juga
merupakan anak tunggal keluarga kaya-raya itu.

Sebagaimana umumnya kehidupan bertetangga, hubungan antara keluarga


Sutan Mahmud Syah dan keluarga Baginda Sulaiman, berjalan dengan baik.
Begitu pula hubungan Samsulbahri dan Sitti Nurbaya. Sejak anak-anak sampai
usia mereka menginjak remaja, persahabatan mereka makin erat. Apalagi,
keduanya belajar di sekolah yang sama. Hubungan kedua remaja itu berkembang
menjadi hubungan cinta. Perasaan tersebut baru mereka sadari ketika Samsulbahri
akan berangkat ke Jakarta untuk melanjutkan sekolahnya.

Sementara itu, Datuk Meringgih, salah seorang saudagar kaya di Padang,


berusaha untuk menjatuhkan kedudukan Baginda Sulaiman. la menganggap
Baginda Sulaiman sebagai saingannya yang harus disingkirkan, di samping rasa
iri hatinya melihat harta kekayaan ayah Sitti Nurbaya itu. "Aku sesungguhnya
tidak senang melihat perniagaan Baginda Sulaiman, makin hari makin bertambah
maju, sehingga berani ia bersaing dengan aku. Oleh sebab itu, hendaklah ia
dijatuhkan," demikian Datuk Meringgih berkata (hlm. 92). la kemudian menyuruh
anak buahnya untuk membakar dan menghancurkan bangunan, toko-toko, dan
semua harta kekayaan Baginda Sulaiman.

Akal busuk Datuk Meringgih berhasil. Baginda Sulaiman kini jatuh


miskin. Namun, sejauh itu, ia belum menyadari bahwa sesungguhnya,
kejatuhannya akibat perbuatan licik Datuk Meringgih. Oleh karena itu, tanpa
prasangka apa-apa, ia meminjam uang kepada orang yang sebenarnya akan
mencelakakan Baginda Sulaiman.

Bagi Datuk Meringgih kedatangan Baginda Sulaiman itu ibarat "Pucuk


dicinta ulam tiba", karena memang hal itulah yang diharapkannya. Rentenir kikir
yang tamak dan licik itu, kemudian meminjamkan uang kepada Baginda Sulaiman
dengan syarat harus dapat dilunasi dalam waktu tiga bulan. Pada saat yang telah
ditetapkan, Datuk Meringgih pun datang menagih janji.

6
Malang bagi Baginda Sulaiman. la tak dapat melunasi utangnya. Tentu
saja Datuk Meringgih tidak mau rugi. Tanpa belas kasihan, ia mengancam akan
memenjarakan Baginda Sulaiman jika utangnya tidak segera dilunasi, kecuali
apabila Sitti Nurbaya diserahkan untuk dijadikan istri mudanya.

Malang bagi Baginda Sulaiman. la tak dapat melunasi utangnya. Tentu


saja Datuk Meringgih tidak mau rugi. Tanpa belas kasihan, ia mengancam akan
memenjarakan Baginda Sulaiman jika utangnya tidak segera dilunasi, kecuali
apabila Sitti Nurbaya diserahkan untuk dijadikan istri mudanya.

Baginda Sulaiman tentu saja tidak mau putri tunggalnya menjadi korban
lelaki hidung belang itu walaupun sebenarnya ia tak dapat berbuat apa-apa. Maka,
ketika ia sadar bahwa dirinya tak sanggup untuk membayar utangnya, ia pasrah
saja digiring polisi dan siap menjalani hukuman. Pada saat itulah, Sitti Nurbaya
keluar dari kamarnya dan menyatakan bersedia menjadi istri Datuk Meringgih
asalkan ayahnya tidak dipenjarakan. Suatu keputusan yang kelak akan
menceburkan Sitti Nurbaya pada penderitaan yang berkepanjangan.

Samsulbahri, mendengar peristiwa yang menimpa diri kekasihnya itu


lewat surat Sitti Nurbaya, juga ikut prihatin. Cintanya kepada Sitti Nurbaya tidak
mudah begitu saja ia lupakan. Oleh karena itu, ketika liburan, ia pulang ke
Padang, dan menyempatkan diri menengok Baginda Sulaiman yang sedang sakit.
Kebetulan pula, Sitti Nurbaya pada saat yang sama sedang menjenguk ayahnya.
Tanpa sengaja, keduanya pun bertemu lalu saling menceritakan pengalaman
masing-masing.

Ketika mereka sedang asyik mengobrol, datanglah Datuk Meringgih. Sifat


Meringgih yang culas dan selalu berprasangka itu, tentu saja menyangka kedua
orang itu telah melakukan perbuatan yang tidak pantas. Samsulbahri yang merasa
tidak melakukan hal yang tidak patut, berusaha membela diri dari tuduhan keji itu.
Pertengkaran pun tak dapat dihindarkan.

Pada saat pertengkaran terjadi, ayah Sitti Nurbaya berusaha datang ke


tempat kejadian. Namun, karena kondisinya yang kurang sehat, ia jatuh dari
tangga hingga menemui ajalnya.

7
Ternyata ekor perkelahian itu tak hanya sampai di situ. Ayah Samsulbahri
yang merasa malu atas tuduhan yang ditimpakan kepada anaknya, kemudian
mengusir Samsulbahri. Pemuda itu terpaksa kembali ke Jakarta. Sementara Sitti
Nurbaya, sejak ayahnya meninggal merasa dirinya telah bebas dan tidak perlu lagi
tunduk dan patuh kepada Datuk Meringgih. Sejak saat itu ia tinggal menumpang
bersama salah seorang familinya yang bernama Aminah.

Sekali waktu, Sitti Nurbaya bermaksud menyusul kekasihnya ke Jakarta.


Namun, akibat tipu muslihat dan akal licik Datuk Meringgih yang menuduhnya
telah mencuri harta perhiasan bekas suaminya itu, Sitti Nurbaya terpaksa kembali
ke Padang. Oleh karena Sitti Nurbaya tidak bersalah, akhirnya ia bebas dari
tuduhan. Namun, Datuk Meringgih masih juga belum puas. la kemudian
menyuruh seseorang untuk meracun Sitti Nurbaya. Kali ini, perbuatannya
berhasil. Sitti Nurbaya meninggal karena keracunan.

Rupanya, berita kematian Sitti Nurbaya membuat sedih ibu Samsulbahri.


la kemudian jatuh sakit, dan tidak berapa lama kemudian meninggal dunia.

Berita kematian Sitti Nurbaya dan ibu Samsulbahri, sampai juga ke


Jakarta. Samsulbahri yang merasa amat berduka, mula-mula mencoba bunuh diri.
Beruntung, teman-nya, Arifin, dapat menggagalkan tindakan nekat Samsulbahri.
Namun, lain lagi berita yang sampai ke Padang. Di kota ini, Samsulbahri
dikabarkan telah meninggal dunia.

Sepuluh tahun berlalu. Samsulbahri kini telah menjadi serdadu kompeni


dengan pangkat letnan. la juga sekarang lebih dikenal dengan nama Letnan Mas.
Sebenarnya, ia menjadi serdadu kompeni bukan karena ia ingin mengabdi kepada
kompeni, melainkan terdorong oleh rasa frustrasinya mendengar orang-orang
yang dicintainya telah meninggal. Oleh karena itu, ia sempat bimbang juga ketika
mendapat tugas harus memimpin pasukannya memadamkan pemberontakan yang
terjadi di Padang. Bagaimanapun, ia tak dapat begitu saja melupakan tanah
leluhurnya itu. Ternyata pemberontakan yang terjadi di Padang itu didalangi oleh
Datuk Meringgih.

8
Dalam pertempuran melawan pemberontak itu, Letnan Mas sempat
mendapat perlawanan cukup sengit. Namun, akhirnya ia berhasil menumpasnya,
termasuk juga menembak Datuk Meringgih, hingga dalang pemberontak itu
tewas. Namun, Letnan Mas luka parah terkena sabetan pedang Datuk Meringgih.

Rupanya, kepala Letnan Mas yang terluka itu, cukup parah. la terpaksa
dirawat di rumah sakit. Pada saat itulah, timbul keinginan Letnan Mas untuk
berjumpa dengan ayahnya. Ternyata, pertemuan yang mengharukan antara "Si
anak yang hilang" dan ayahnya itu merupakan pertemuan terakhir sekaligus akhir
hayat kedua orang itu. Oleh karena setelah Letnan Mas menyatakan bahwa ia
Samsulbahri, ia mengembuskan napas di depan ayahnya sendiri. Adapun Sutan
Mahmud Syah, begitu tahu bahwa Samsulbahri yang dikiranya telah meninggal
beberapa tahun lamanya tiba-tiba kini tergolek kaku menjadi mayat akhirnya pun
meninggal dunia pada keesokan harinya.

***

H ampir semua kritikus sastra Indonesia menempatkan novel Sitti Nurbaya


ini. sebagai karya penting dalam sejarah kesusastraan Indonesia. Secara
tematik, seperti yang disinggung H.B. Jassin, Zuber Usman, Ajip Rosidi, Sapardi
Djoko Damono, maupun Teeuw, novel ini tidak hanya menampilkan latar sosial
lebih jelas, tetapi juga mengandung kritik yang tajam terhadap adat-istiadat dan
tradisi kolot yang membelenggu. Novel ini pula yang pertama kali menampilkan
masalah perkawinan dalam hubungannya dengan persoalan adat, yang kemudian
banyak diikuti oleh pengarang-pengarang Indonesia sesudahnya.

Pada tahun 1969, novel ini memperoleh hadiah penghargaan dari


pemerintah Indonesia sebagai hadiah tahunan yang diberikan setiap tanggal 17
Agustus—kini Hadiah Tahunan Pemerintah ini tidak dilanjutkan lagi—.

Berbagai artikel maupun makalah yang membahas novel ini sudah banyak
ditulis oleh para pengamat sastra Indonesia, baik dalam maupun luar negeri.
Hingga kini, ulasannya masih terus banyak dilakukan, baik dalam konteks sejarah
kesusastraan Indonesia modern, maupun dalam konteks sosial dan emansipasi
wanita.

9
Di Malaysia, novel ini terbit pula dalam edisi bahasa Melayu. Pada tahun
1963 saja, di Malaysia itu, Sitti Nurbaya sudah mengalami cetak ulang ke-11.
Untuk pengajaran sastra di tingkat sekolah lanjutan, novel ini merupakan salah
satu novel wajib.

Tahun 1991, TVRI menyiarkan sinetron Sitti Nurbaya dengan pemeran


utamanya Novia Kolopaking (sebagai Sitti Nurbaya) dan Gusti Randa (sebagai
Samsulbahri).

3. SALAH ASUHAN
Pengarang : Abdul Muis (1886 - 17 Juli 1959)
Penerbit : Balai Pustaka
Tahun : 1928; Cetakan XIX, 1990

H anafi adalah pemuda pribumi asal Minangkabau. Sesungguhnya, ia


termasuk orang yang sangat beruntung dapat bersekolah di Betawi sampai
tamat HBS (Hoogere Burger School). Ibunya yang sudah janda, memang berusaha
agar anaknya kelak menjadi orang pandai, melebihi sanak keluarganya yang lain.
Oleh karena itu, ia tidak segan-scgan menitipkan Hanafi pada keluarga Belanda
walaupun untuk pembiayaannya ia harus meminta bantuan mamaknya, Sutan
Batuah. Setamat HBS, Hanafi kembali ke Solok dan bekerja sebagai klerek di
kantor Asisten Residen Solok. Tak lama kemudian, ia diangkat menjadi komis
(hlm. 27).

10
Pendidikan dan pergaulan yang serba Belanda, memungkinkan Hanafi
berhubungan erat dengan Corrie Du Busse, gadis Indo-Perancis. Hanafi kini
merasa telah bebas dari kungkungan tradisi dan adat istiadat negerinya. Sikan,
pemikiran, dan cara hidupnya, juga sudah kebarat-baratan. Tidaklah heran jika
hubungannya dengan Corri ditafsirkan lain oleh Hanafi karena ia kini sudah
bukan lagi sebagai orang "inlander". oleh arena itu, ketika Corrie datang ke Solok
dalam rangka mengisi liburan sekolahnya, bukan main senangnya hati Hanafi. Ia
dapat berjumpa kembali dengan sahabat dekatnya.

Hanafi mulai merasakan tumbuhnya perasaan asmara. Sikap Corrie


terhadapnya juga dianggap sebagai "gayung bersambut kata berjawab". Maka,
betapa terkejutnya Hanafi ketika ia membaca surat dari Corrie. Corrie
mengingatkan bahwa perkawinan campuran bukan hanya tidak lazim untuk
ukuran waktu itu, tetapi juga akan mendatangkan berbagai masalah. "...Timur
tinggal Timur, Barat tinggal Barat, tak akan dapat ditimbuni jurang yang
membatasi kedua bahagian itu" (hlm. 59). Perasaan Corrie sendiri sebenarnya
mengatakan lain. Namun, mengingat dirinya yang Indo—dan dengan sendirinya
perilaku dan sikap hidupnya juga berpijak pada kebudayaan Barat— serta Hanafi
yang pribumi, yang tidak akan begitu saja dapat melepaskan akar budaya
leluhurnya.

Dalam surat Corrie selanjutnya, ia meminta agar Hanafi mau memutuskan


pertalian hubungannya itu (hlm. 61). Surat itu membuat Hanafi patah semangat. la
pun kemudian sakit. Ibunya berusaha menghibur agar anak satu-satunya itu, sehat
kembali. Di saat itu pula ibunya menyarankan agar Hanafi bersedia menikah
dengan Rapiah, anak mamaknya, Sutan Batuah. Ibunya menerangkan bahwa
segala biaya selama ia bersekolah di Betawi, tidak lain karena berkat uluran
tangan mamaknya, Sutan Batuah. Hanafi dapat mengerti dan ia menerima Rapiah
sebagai istrinya.

Kehidupan rumah tangga Hanafi dan Rapiah, rupanya tak berjalan


lempang. Hanafi tidak merasa bahagia, sungguhpun dari hasil perkawinannya
dengan Rapiah, mereka dikaruniai seorang anak laki-laki, Syafei. Lagi pula,
semua teman-temannya menjauhi dirinya. Dalam anggapan Hanafi, penyebab

11
semua itu tak lain adalah Rapiah. Rapiah kemudian menjadi tempat segala
kemarahan Hanafi. Walaupun diperlakukan begitu oleh Hanafi, Rapiah tetap
bersabar.

Suatu ketika, setelah mendamprat Rapiah, ia duduk termenung seorang diri


di kebun. Ibunya menghampiri anaknya dan berusaha menyadarkan kembali
kelakuan anaknya yang sudah lewat batas itu. Nanrtun, Hanafi justru
menanggapinya dengan cara cemooh. Di saat yang sama, tiba-tiba seekor anjing
gila menggigit tangan Hanafi.

Dokter segera memeriksa gigitan anjing gila pada tangan Hanafi. Dokter
menyarankan agar Hanafi berobat ke Betawi. Anjuran dokter itu sangat
menyenangkan hatinya. Sebab, bagaimanapun, kepergiannya ke Betawi itu
sekaligus memberi kesempatan kepadanya untuk bertemu kembali dengan Corrie.

Suatu peristiwa yang sangat kebetulan terjadi. Dalam suatu kecelakaan


yang dialami Corrie, Hanafi yang sedang berada di Betawi, justru menjadi
penolong Corrie. Pertemuan itu sangat menggembirakan keduanya. Corrie yang
sudah ditinggal ayahnya, mulai menyadari bahwa sebenarnya ia memerlukan
sahabat. Pertemuan itu telah membuat Hanafi mengambil suatu keputusan. Ia
bermaksud tetap tinggal di Betawi. Untuk itu, ia telah pula mengurus kepindahan
pekerjaannya. Setelah itu, ia mengurus surat persamaan hak sebagai bangsa Eropa.
Dengan demikian, terbukalah jalan untuk segera menceraikan Rapiah, sekaligus
meluruskan jalan baginya untuk mengawini Corrie.

Semua rencana Hanafi berjalar. lancar. Namun, kini justru Corrie yang
menghadapi berbagai persoalan. Tekadnya untuk menikah dengan Hanafi
mendapat antipati dari teman-teman sebangsanya. Akhirnya, dengan cara diam-
diam mereka melangsungkan pernikahan.

Sementara itu, Rapiah yang resmi dicerai lewat surat yang dikirim Hanafi,
tetap tinggal di Solok bersama anaknya, Syafei, dan ibu Hanafi.

Adapun kehidupan rumah tangga Hanafi dan Corrie tidaklah seindah yang
mereka bayangkan. Teman-teman mereka yang mengetahui perkawinan itu, mulai

12
menjauhi. Di satu pihak menganggap Hanafi besar kepala dan angkuh; tidak
menghargai bangsanya sendiri. Di lain pihak, ia menganggap Corrie telah
menjauhkan diri dari pergaulan dan kehidupan Barat. Jadi, keduanya tidak lagi
mempunyai status yang jelas; tidak ke Barat, tidak juga ke Timur. Inilah awal
malapetaka dalam kehidupan rumah tangga mereka.

Kehidupan rumah tangga mereka kini terasa bagai bara api neraka dunia.
Corrie yang semula supel dan lincah, kini menjadi nyonya yang pendiam.
Kemudian Hanafi, kembali menjadi suami yang kasar dan bengis. Bahkan, Hanafi
selalu diliputi perasaan syak wasangka dan curiga. Lebih-lebih lagi, Corrie sering
dikunjungi Tante Lien, seorang mucikari.

Puncak bara api itu pun terjadi. Tanpa diselidiki terlebih dahulu, Hanafi
telah menuduh istrinya berbuat serong. Tentu saja, Corrie tidak mau dituduh dan
diperlakukan sekehendak hati suaminya. Maka, dengan ketetapan hati, Corrie
minta diceraikan. "Sekarang kita bercerai, buat seumur hidup.... Bagiku tidak
menjadi kependngan, karena aku tidak sudi menjadi istri lagi dan habis perkara"
(hlm. 183).

Setelah itu, Corrie meninggalkan Betawi dan berangkat ke Semarang. la


bekerja di sebuah panti asuhan.

Segala kejadian itu membuat Hanafi menyadari bahwa sebenarnya istrinya


tidak bersalah. la menyesal dan mencoba menyusul Corrie. Namun, sia-sia. Corrie
tetap pada pendiriannya.

Perasaan berdosa makin menambah beban penderitaan Hanafi. Di tambah


lagi, teman-temannya makin menjauhi. Hanafi dipandang sebagai seorang suami
yang kejam dan tidak bertanggung jawab. Dalam keadaan demikian, barulah ia
menyesal sejadi-jadinya. la juga ingat kepada ibu, istri, dan anaknya di Solok.

Akibat tekanan batin yang berkelanjutan, Hanafi jatuh sakit. Pada saat itu
datang seorang temannya yang mengatakan tentang pandangan orang
terhadapnya. Ia sadar dan menyesal., la kembali bermaksud minta maaf kepada
Corrie dan mengajaknya rujuk kembali. la pergi ke Semarang. Namun rupanya,

13
pertemuannya dengan Corrie di Semarang merupakan pertemuan terakhir. Corrie
terserang penyakit kolera yang kronis. Sebelum mengembuskan napasnya, Corrie
bersedia memaafkan kesalahan Hanafi. Perasaan sesal dan berdosa tetap membuat
Hanafi sangat menderita. Batinnya goncang. ia jatuh sakit kembali.

Setelah sembuh, Hanafi bermaksud pulang ke kampungnya. la ingin minta


maaf kepada ibunya dan Rapiah, istrinya. Di samping itu, ia juga ingin melihat
keadaan anaknya sekarang. la berharap agar anaknya kelak tidak mengikuti jejak
ayahnya yang sesat.

Dengan kebulatan hatinya, berangkatlah Hanafi kembali ke tanah


kelahirannya.

***

N ovel pertama Abdul Muis ini, secara tematik tidak lagi memasalahkan adat
kolct yang sering sudah tidak sejalan lagi dengan kemajuan zaman,
melainkan jelas hendak mempertanyakan kawin campur antarbangsa. Dilihac dari
perkembangannya sejak Sitti Nurbaya, tampak jelas adanya pergeseran tema;
persoalannya tidak lagi kawin adat (Marah Rusli), kawin antarsuku (Adinegoro),
tetapi kawin antarbangsa. Ternyata, persoalannya tidak sederhana; ia menyangkut
perbedaan adat-istiadat, tradisi, agama, budaya, serta sikap hidup yang tidak
gampang begitu saja ditinggalkan.

Pada tahun 1969, novel ini memperoleh Hadiah Tahunan Pemerintah,


bersama tiga novel lainnya, yaitu Sitti Nurbaya, Belenggu, dan Atheis. Tahun
1972, novel ini diangkat ke layar perak oleh Asrul Sani dengan Dicky Zulkarnaen
sebagai pemeran Hanafi.

Kajian dan penelitian terhadap novel ini pernah dilakukan oleh Djajanto
Supra (FS "JI, 1969), sedangkan Pamusuk Eneste (FS UI, 1977) meneliti dalam
kaitannya dengan ekranisasi (Karya Sastra dalam Film) yang secara mendalam
membandingkannya pula jengan novel Anak Perawan di Sarong Penyamun
(1941) karya Sutan Takdir Alisjahbana, dan novel Aiheis (1949) karya Achdiat
Karta Mihardja. Peneliti lain adalah Jamil Bakar, dan kawan-kawan (Pusat

14
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1985) yang khusus membicarakan novel
ini. Adapun Sri H. Wijayanti (FS UI, 1989), membandingkan Salah Asuhan
dengan novel Malaysia, Mencari Istri.

Menurut Liang Liji (1988), Salah Asuhan sudah diterjemahkan ke dalam bahasa
Cina, dan merupakan novel terjemahan Lris di Tiongkok. Adapun menurut
Morimura Shigeru (1988), mahaguru Osaka University of Foreign Studies,
Jepang, Salah Asuhan juga sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Jepang.

4. KATAK HENDAK JADI LEMBU

Pengarang : Nur Sutan Iskandar


Penerbit : Balai Pustaka
Tahun : 1935; Cetakan V, 1978

Z akaria adalah seorang haji yang kaya-raya. Ia mempunyai anak tunggal


bernama Suria. Sejak kecil Suria hidup berkecukupan dan selalu dimanjakan
ayahnya. Dengan didikan yang seperti itu, ia justru menjadi seorang anak yang
pongah dan sombong. Bahkan, sifat dan tabiatnya yang buruk itu terbawa sampai
masa akhir hayatnya.

Haji Hasbullah, teman karib Haji Zakaria, termasuk seorang haji yang
kaya-raya pula. la pun mempunyai seorang anak gadis satu-satunya, bernama
Zubaedah (Edah). Zubaedah berparas cantik dan berbudi baik. Ayah Zubaedah
telah memilihkan calon suaminya, Raden Prawira, yang berpangkat manteri polisi.
Akan tetapi, suatu ketika Haji Zakaria datang kepada Haji Hasbullah, memohon
agar Zubaedah dinikahkan dengan Suria. Haji Hasbullah tak dapat menolak
permintaan teman karibnya itu. Maka, pernikahan Suria dan Zubaedah
dilaksanakan.

15
Perkawinan yang tanpa didasari rasa cinta sama cinta itu justru membaua
petaka bagi Zubaedah. Kesempatan bagi Suria adalah setelah ayahnya meninggal
dunia. la berfoya-foya dengan harta peninggalan ayahnya itu. Selama tiga tahun,
ia pun meninggalkan Zubaedah yang baru melahirkan anaknya yang pertama,
Abdulhalim.

Ketika harta ayahnya telah ludes, Suria kembali pada Zubaedah. la


mengakui bahwa perbuatannya selama ini telah salah. Pada waktu itu Suria telah
bekerja sebagai juru tulis di kantor asisten di kabupaten. Penghasilannya yang
kecil selalu tak mencukupi kebutuhan keluarganya. Maka, Abdulhalim terpaksa
dibawa kakeknya dan disekolahkan di sekolah Belanda, lalu dilanjutkan ke
sekolah bergengsi di Bandung. Sementara itu, anak Suria terus bertambah. Kedua
adik Abdulhalim bernama Saleh dan Aminah. Oleh Suria, keduanya disekolahkan
di HIS. Itu semua dilakukan Suria hanya karena ia ingin dipandang dan dihomati
masyarakat. Layaknya orang mengatakan "besar pasak daripada tiang". Utang
Suria semakin bertumpuk. Untuk menutupi utang-utang suami dan biaya sekolah
anak-anaknya, Zubaedah sering berkirim surat pada ayahnya, meminta agar
dikirimi uang.

Seringkali terjadi pertengkaran mulut antara Zubaedah dan Suria.


Zubaedah tak kuat lagi menahan malu kepada para penagih yang selalu datang ke
rumahnya. Namun, Suria sendiri bersikap tak acuh menghadapi kenyataan itu.
Bahkan, ia kini ingin naik pangkat ketika didengarnya ada lowongan klerek. Hal
itu ia ceritakan kepada istrinya bahwa beberapa hari yang lalu ia mengirim
permohonan untuk mengisi lowongan itu. Ia begitu yakin atasannya akan
berusaha menolongnya. "Tak usah mengeluh juga, Edah," ujarnya, "kalau sudah
keluar surat angkatan akang jadi klerk, tentu klerk kelas 1, tak perlu kita disokong
ayah dari Rasik lagi. Dengan sekejap saja kita sudah lebih dari pada manteri polisi
yang tertua dinasnya" (hlm. 89).

Utang Suria terus menggunung. Apalagi karena Suria berani mengambil


barang-barang lelangan atasannya. Maka, untuk melunasi utang-utang itu, Suria
jadi gelap mata. la "telan" uang kas di kantornya. Perbuatannya itu diketahui oleh

16
atasannya. Kemudian, ketika Suria dipanggil atasannya, ia bahkan mengajukan
permohonan berhenti bekerja.

Rupanya, Suria telah merencanakan sebelumnya. Dalam pikirannya,


setelah berhasil menggelapkan uang kas, ia akan membawa istri dan anak-anaknya
pindah ke rumah Abdulhalim yang kini telah bekerja dan telah pula berkeluarga.
Suria mengirim surat kepada anaknya dan mengutarakan maksudnya itu. Sebagai
seorang anak yang ingin membalas budi orang tua, Abdulhalim sama sekali tak
merasa berkeberatan dengan keinginan ayahnya. Mulai saat itu, Suria tinggal di
rumah anaknya.

Orang tua itu rupanya benar-benar tak tahu diri. la tetap bersikap seperti
tuan rumah layaknya. Adapun Abdulhalim dan menantunya dianggapnya sebagai
anak yang harus patuh pada orang tua, sekalipun Abdulhalim sebagai kepala
rumah tangga. "...Patutkah seorang menantu menghinakan mertuanya, patutkah
seorang perempuan berkata sekasar itu terhadapku, bekas manteri kabupaten?
Sudah salah ayahmu mengawinkan Abdulhalim dengan anak jaksa kepala itu.
Mengharapkan gelar dan paras saja. Coba diturutkan nasihatku dahulu:
dikawinkan Abdulhalim dengan anak wedana, yang telah jadi guru di Tasik itu,
tentu takkan begini jadinya" (hlm. 164).

Tak kuasa Zubaedah melihat tingkah laku suaminya yang sering


mencampuri urusan rumah tangga anaknya. Hal itu pula yang membuat kehidupan
rumah tangga anaknya mulai sering diwarnai percekcokan. Bagi Zubaedah,
keadaan demikian sungguh membuatnya tidak enak hati. Bagaimanapun, sebagai
seorang ibu, ia ingin melihat anaknya hidup bahagia. Kebahagiaan anaknya, justru
terganggu oleh ulah Suria yang merasa bebas berbuat sekehendak hati terhadap
anaknya. la menyesalkan sikap suaminya. "Sesal Zubaedah terhadap Suria
semata-mata, dan sesal tak putus itulah yang mendatangkan penyakit kepadanya"
(hlm. 166). Tekanan batin yang mendatangkan penyakit itu pula yang
mengantarkan Zubaedah mengembuskan napasnya yang penghabisan. la
meninggal di hadapan semua kaum keluarganya.

17
Kematian istrinya telah membuat Suria merasa sangat malu terhadap
kelakuannya sendiri. Ia telah mengganggu ketenteraman rumah tangga anaknya. la
pula yang menyebabkan istrinya menderita hingga maut menjemputnya. Perasaan
malu yang tak tertanggungkan itu, memaksa Suria mengambil keputusan; ia pergi
entah ke mana. Pergi bersama kesombongan dan keangkuhannya. Menggelandang
membawa sifatnya yang tak juga berubah.

***

N ovel Katak Hendak jadi Lembu ini, termasuk salah satu novel terbaik yang
dihasilkan Nur Sutan Iskandar. Agak mengherankap bahwa pengarang
kelahiran Sumatra Barat ini, mampu menulis novel yang begitu kuat
menghadirkan latar tempat dan latar sosial masyarakat Pasundan. Latar tempatnya
memang terjadi di daerah Jawa Barat. Hampir semua tempat di seputar jawa Barat
—Cirebon, Tasikmalaya, Sumedang, dan Bandung—berikut panorama alamnya
dilukiskan dengan amat meyakinkan. Begitu pula perilaku dan sikap para
bangsawan berikut sebutan-sebutan yang khas Sunda.

Dalam hal tersebut, tersirat pengarangnya hendak melakukan kritik


terhadap priayi atau bangsawan Sunda yang terlalu membanggakan
kebangsawanannya hingga tak mau bekerja keras dan lebih suka dilayani segala
sesuatunya. Hal tersebut tampak jelas dari gambaran sosok pribadi Suria. Jadi,
dalam hal ini, Nur Sutan Iskandar tidak lagi memasalahkan kawin adat, melainkan
sikap dan perilaku bangsawan Sunda yang hanyut oleh obsesi kebangsawanannya.

Studi mengenai karya Nur Sutan Iskandar, lihat ulasan pada ringkasan
Hulubalang Raja.

18
5. LAYAR TERKEMBANG

Pengarang : S. Takdir Alisjahbana


Penerbit : Balai Pustaka
Tahun : 1937; Cetakan XVIII, 1988

T uti adalah putri sulung Raden Wiriaatmadja. la dikenal sebagai seorang


gadis yang berpendirian teguh dan aktif dalam berbagai kegiatan organisasi
wanita. Watak Tuti yang selalu serius dan cenderung pendiam, sangat berbeda
dengan adiknya, Maria. la seorang gadis yang lincah dan periang.

Suatu hari, keduanya pergi ke pasar ikan. Ketika mereka sedang asyik
melihat-lihat akuarium, mereka bertemu dengan seorang pemuda. Pertemuan itu
berlanjut dengan perkenalan. Pemuda itu bernama Yusuf, seorang Mahasiswa
Sekolah Tinggi Kedokteran di Jakarta. Ayahnya adalah Demang Munaf, tinggal di
Martapura, Sumatra Selatan.

Perkenalan yang tiba-tiba itu menjadi semakin akrab dengan diantarnya


Tuti dan Maria pulang. Bagi Yusuf, pertemuan itu ternyata berkesan cukup
mendalam. la selalu teringat kepada kedua gadis itu, dan terutama Maria. Kepada
gadis lincah inilah perhatian Yusuf lebih banyak tertumpah. Menurutnya, wajah
Maria yang cerah dan berseri-seri serta bibirnya yang selalu tersenyum itu,
memancarkan semangat hidup yang dinamis.

19
Esok harinya, ketika Yusuf pergi ke sekolah, tanpa disangka-sangka ia
bertemu lagi dengan Tuti dan Maria di depan Hotel Des Indes. Yusuf pun
kemudian dengan senang hati, menemani keduanya berjalan-jalan. Cukup hangat
mereka bercakap-cakap mengenai berbagai hal.

Sejak itu, pertemuan antara Yusuf dan Maria berlangsung lebih kerap.
Sementara itu, Tuti dan ayahnya melihat hubungan kedua remaja itu tampak
sudah bukan lagi hubungan persahabatan biasa.

Tuti sendiri terus disibuki oleh berbagai kegiatannya. Dalam Kongres Putri
Sedar yang berlangsung di Jakarta, ia sempat berpidato yang isinya membicarakan
emansipasi wanita; suatu petunjuk yang memperlihatkan cita-cita Tuti untuk
memajukan kaumnya.

Pada masa liburan, Yusuf pulang ke rumah orang tuanya di Martapura.


Sesungguhnya, ia bermaksud menghabiskan masa liburannya bersama keindahan
alam tanah leluhurnya. Namun, ternyata, ia tak dapat meaghilangkan rasa
rindunya kepada Maria. Dalam keadaan demikian, datang pula kartu pos dari
Maria yang justru membuatnya makin diserbu rindu. Berikutnya, surat Maria
datang lagi. Kali ini mengabarkan perihal perjalanannya bersama Rukamah,
saudara sepupunya yang tinggal di Bandung. Setelah membaca surat itu, Yusuf
memutuskan untuk kembali ke Jakarta, kemudian menyusul sang kekasih ke
Bandung. Setelah mendapat restu ibunya, pemuda itu pun segera meninggalkan
Martapura.

Kedatangan Yusuf tentu saja disambut hangat oleh Maria dan Tuti. Kedua
sejoli itu pun lalu melepas rindu masing-masing dengan berjalan-jalan di sekitar
air terjun di Dago. Dalam kesempatan itulah, Yusuf menyatakan cintanya kepada
Maria.

Sementara hari-hari Maria penuh dengan kehangatan bersama Yusuf, Tuti


sendiri lebih banyak menghabiskan waktunya dengan membaca buku.
Sungguhpun demikian, pikiran Tuti tidak urung diganggu oleh keinginannya
untuk merasakan kemesraan cinta. Ingat pula ia pada teman sejawatnya, Supomo.
Lelaki itu pernah mengirimkan surat cintanya kepada Tuti.

20
Ketika Maria mendadak terkena demam malaria, Tuti menjaganya dengan
sabar. Saat itulah tiba adik Supomo yang ternyata disuruh Supomo untuk meminta
jawaban Tuti perihal keinginannya untuk menjalin cinta dengannya. Sungguhpun
gadis itu sebenarnya sedang merindukan cinta kasih seseorang, Supomo
dipandangnya sebagai rukan lelaki idamannya. Maka, segera ia menulis surat
penolakannya.

Sementara itu, keadaan Maria makin bertambah parah. Kemudian


diputuskan untuk merawatnya di rumah sakit. Ternyata, menurut keterangan
dokter, Maria mengidap renyakit TBC. Dokter yang merawatnya menyarankan
agar Maria dibawa ke rumah penyakit TBC di Facet, Sindanglaya, Jawa Barat.

Perawatan terhadap Maria sudah berjalan sebulan lebih lamanya. Namun,


keadaannya tidak juga mengalami perubahan. Lebih dari pada itu, Maria mulai
merasakan kondisi kesehatan yang makin lemah. Tampaknya, ia sudah pasrah
menerima kenyataan.

Pada suatu kesempntan, di saat Tuti dan Yusuf berlibur di rumah Ratna
dan Saleh di Sindanghya, di situlah mata Tuti mulai terbuka dalam memandang
kehidupan di pedesaan. Kehidupan suami-istri yang melewati hari-harinya dengan
bercocok tanam itu, ternyata juga telah mampu membimbing masyarakat
sekitarnya menjadi sadar akan pentingnya pendidikan. Keadaan tersebut benar-
benar telah menggugah alam pikiran Tuti. la menyadari bahwa kehidupan mulia;
mengabdi kepada masyarakat, tidak hanya dapat dilakukan di kota atau dalam
kegiatan-kegiatan organisasi, sebagaimana yang selama ini ia lakukan, tetapi juga
di desa atau di masyarakat mana pun, pengabdian itu dapat dilakukan.

Sejalan dengan keadaan hubungan Yusuf dan Tuti yang belakangan ini
tampak makin akrab, kondisi kesehatan Maria sendiri justru kian
mengkhawatirkan. Dokter yang merawatnya pun rupanya sudah tak dapat berbuat
lebih banyak lagi. Kemudian, setelah Maria sempat berpesan kepada Tuti dan
Yusuf agar keduanya tetap bersatu dan menjalin hubungan rumah tangga, Maria
mengembuskan napasnya yang terakhir. "Alangkah bahagianya saya di akhirat
nanti, kalau saya tahu, bahwa kakandaku berdua hidup rukun dan berkasih-

21
kasihan seperti kelihatan kepada saya dalam beberapa hari ini... Inilah permintaan
saya yang penghabisan, dan saya, saya tidak rela selama-lamanya, kalau
kakandaku masing-masing mencari peruntungan pada orang lain" (hlm. 209).
Demikianlah pesan terakhir almarhum, Maria. Lalu, sesuai dengan pesan tersebut,
Yusuf dan Tuti akhirnya tidak dapat berbuat lain, kecuali melang-sungkan
perkawinan karena cinta keduanya memang sudah tumbuh bersemi.

***

K arya penting ketiga di antara roman-roman sebelum perang menurut


anggapan umum, ialah Layar Terkembang..." demikian tulis Teeuw (Sastra
Baru Indonesia I, 1980). Sebagian besar kritikus sastra, antara lain, Ajip Rosidi,
Zuber Usman, Amal Hamzah, H.B. Jassin, maupun Teeuw, menyebut novel Layar
Terkenibang sebagai novel bertendensi. Di antaranya juga ada yang berpendapat
bahwa sikap dan pemikiran tokoh Tuti lebih menyerupai sebagai sikap dan
pemikiran S. Takdir Alisjahbana, khususnya dalam usaha mengangkat harkat
kaum wanita (Indonesia). Tokoh Tuti yang digambarkan sebagai wanita modem
yang aktif dalam berbagai kegiatan organisasi, memang tidak sedikit melontarkan
gagasan progresif. la juga selalu merasa terpanggil untuk ikut terjun memajukan
bangsanya sendiri, khususnya kaum wanita.

Mengenai tahun terbit novel ini, Pamusuk Eneste, Ajip Rosidi, H.B. Jassin,
dan Teeuw menyatakan bahwa novel ini terbit tahun 1936. Namun, pada cetakan
VII (1959) dan cetakan XVIII (1988) tertulis bahwa cetakan pertama tahun 1937.

Pada tahun 1963, novel ini terbit dalam edisi bahasa Melayu di Kuala
Lumpur dan hingga kini masih terus dicetak ulang.

Studi mengenai novel ini pernah dilakukan Mariam binti Hj. Ismail (1973) dan
Moh. Basir bin Haji Noor (1975) keduanya merupakan studi sarjana muda FS
Unas. Sebelum itu, Noer Islam Moenaf (FS UI, 1961) melakukan penelitian
terhadap novel itu sebagai bahan skripsi sarjananya. Adapun Somi Moh. Hatta
(FKIP UI, 1961) lebih banyak memaparkan kepujanggaan Alisjahbana secara
cukup lengkap. Hal yang juga pernah dilakukan A. H. Johns (1959), guru besar
yang kini mengajar di Australian National University.

22
6. BELENGGU

Pengarang : Armijin Pane (18 agustus 1908-6 Februari


1970)
Penerbit : Dian Rakyat
Tahun : 1940; Cetakan XIII, 1988

D okter Sukartono (Tono) adalah seorang dokter yang bijaksana. la tak


pernah meminta bayaran apabila mengetahui pasiennya adalah orang tidak
mampu hingga ia dikenal sebagai dnkter yang dermawan. Selain itu, ia
mempunyai sifat ramah : terhadap siapa saja yang dikenalnya.

Namun, karena kesibukannya sebagai dokter, Tono hampir tak mempunyai


waktu untuk memberi perhatian kepada Tini (Sumartini), istrinya. Tini yang
merasa tidak mendapat perhatian dari suaminya, mencari kesibukan di luar rumah.
Akibat kesibukan mereka, Tono dan Tini jarang mempunyai waktu bersama-
sama. Hal ini menimbulkan akibat lain, mereka tidak dapat mengkomunikasikan
pikiran masing-masing. Masalah-masalah yang timbul sering hanya dipikirkan
sendiri-sendiri sehingga timbul kesalahpahaman yang sering menimbulkan
pertengkaran yang mewarnai rumah tangga mereka.

Pandangan Tono dan Tini juga berbeda dalam hubungan suami-istri. Tono
berpendapat, tugas seorang wanita adalah mengurus anak, suami, dan segala hal
yang berhubungan dengan rumah tangga. Sebaliknya, Tini menginginkan adanya
persamaan hak antara pria dan wanita. Bahkan, ia menganggap pria sebagai
saingan, sekalipun terhadap suaminya. Akibat pandangannya itu, Tini melupakan
tugasnya sebagai seorang istri.

Sebenarnya, penyebab utama ketidak harmonisan hubungan suami-istri itu


terletak pada tidak adanya rasa saling mencintai di antara mereka. Tono

23
memperistri Tini karena kecantikan, kecerdasan, dan keceriaan wanita itu yang
dianggap pantas menjadi pendamping seorang dokter seperti dirinya. Bahkan,
Tono tidak mempedulikan keadaan Tini yang tidak perawan lagi ketika menikah.
Di lain pihak, Tini bersedia menjadi istri Tono karena ia ingin melupakan masa
lalunya yang kurang baik. Ia berharap, dengan menjadi istri yang baik, masa
lalunya yang dianggap aib dapat terhapus. Akan tetapi, aib itu selalu membayangi
kehidupannya hingga menimbulkan rasa rendah diri dalam diri Tini.

Kekacauan rumah tangga Tono dan Tini diperburuk dengan hadirnya


orang ketiga, yang memperkenalkan diri sebagai Nyonya Eni. Nyonya Eni
sebenarnya bernama Yah (Siti Rohayah alias Siti Hayati). la seorang penyanyi
keroncong dan juga seorang wanita panggilan. Dahulu, Yah adalah tetangga dan
teman sekolah Tono. Diam-diam, ia mencintai Tono dan mendambakannya
menjadi suaminya. Namun, kemudian, ia menjadi korban kawin paksa dan
akhirnya ia melarikan diri hingga terjerumus dalam lembah kenistaan.

Ketika Yah mengetahui alamat Tono, ia berpura-pura sakit dan memanggil


dokter itu. Berkat pengalamannya bertemu dan bergaul dengan banyak laki-laki,
Yah dapat memikat Tono dalam pelukannya. la mengetahui kelemahan Tini yang
membutakan pikiran dan perasaan terhadap keinginan laki-laki. Kemudian Yah
melimpahkan kasih sayangnya. Bagi Tono, curahan kasih sayang Yah itu tak ia
rasakan dari istrinya sendiri.

Kehadiran Yah bagi dokter itu, justru seolah-olah menemukan kembali


kehangatan cinta yang selama ini ia dambakan. Yah menjadi curahan perasaan
dan keluh-kesahnya. la mulai merasakan, sebuah cinta mulai bersemi di hatinya.
Akhirnya, tempat tinggal perempuan itu menjadi rumah kedua Tono.

Lambat-laun, hubungan gelap mereka diketahui juga oleh Tini. Lalu, tanpa
sepengetahuan suaminya, ia mendatangi wanita yang telah merebut suaminya. Ia
penasaran, macam apakah sosok perempuan itu. "Tini mulai tertarik hatinya. Patut
Tono tertarik. Tidak benar ia penyanyi keroncong, tingkah lakunya tertib. Sambil
merasa heran demikian diikutinya Yah naik tangga, diturutnya ajakan Yah supaya
duduk" (him. 142).

24
Menghadapi perilaku dan sikap Yah yang begitu santun dan tertib itu, Tini
merasa malu sendiri. Perasaan marah dan cemburu yang dibawanya dari rumah,
luluh sudah, dan berbalik mengagumi perempuan itu. Ia menyadari kelebihan
Yah. la juga menyadari kekurangannya selama ini, telah menyia-nyiakan Tono,
suaminya. Dengan ikhlas Tini menyatakan kerelaannya menerima kenyataan itu;
rela Yah merebut suaminya.

Apa yang ia ketahui tentang Yah dan kenyataan yang ia hadapi dalam
hubungan suami-istri, Tini kemudian membicarakan persoalan itu dengan
suaminya. Betapa terkejut Tono melihat sikap istrinya yang demikian. la berusaha
untuk menahan istrinya agar tetap mau bersamanya. Namun, sikap Tini tetap tak
berubah. Perpisahan suami-istri itu rupanya tak terelakkan lagi. Sungguhpun berat
bagi Tono untuk bercerai dari istrinya, ia sendiri tak dapat memaksakan
kehendaknya. la terpaksa merelakan kepergian istrinya walaupun Tono masih
tetap berharap agar hubungan mereka baik kembali. Kapan pun Tono akan tetap
bersedia menerima Tini kembali.

Sekepergian sang istri, Tono bermaksud mengunjungi Yah di rumahnya.


Namun, betapa terkejutnya Tono, wanita yang selalu menjadi curahan hatinya itu,
kini tak ada lagi. Yah pergi ke New Caledonia. Pergi meninggalkan cinta sang
dokter yang selalu mendambakan kehangatan hidup berumah tangga.

Di sana, di sebuah kapal yang membawanya ke negeri baru, Yah tercenung


sendiri. "Rohayah berbalik ... di sana gelap juga, tapi semangatnya tahu, di
sanalah, lautan lepas, di sana dunia Iain, memang dunia baru, tapi sunyi ... Tono
tidak ada di sana, di New CaIedonia ..." (him. 162).

Tono kini sendiri. Yah telah pergi ke dunia yang baru. Tini juga pergi ke
Surabaya mengabdikan dirinya menjadi pengurus panti yatim piatu di kota itu.

Sungguhpun kini Tono sendiri, ia tidak hanyut dalam kesedihan yang


berlarut-larut. la menekuni bidangnya; mengabdikan diri dalam penelitian dan
pengabdian kepada masyarakat.

***

25
S ejauh ini, para pengamat sastra Indonesia selalu menempatkan novel ini
sebagai novel terpenting yang terbit sebelum perang. Sejak kemunculan yang
pertama, 1940, novel ini banyak memperoleh berbagai tanggapan dan pujian.
Semula novel ini ditolak oleh Penerbit Balai Pustaka karena isinya dianggap tidak
sesuai dengan kebijaksanaan Balai Pustaka. Baru pada tahun 1940, penerbit Dian
Rakyat—milik Sutan Takdir Alisjahbana—menerbitkan novel ini yang ternyata
mendapat sambutan luas berbagai kalangan. Novel ini juga dipandang sebagai
novel pertama Indonesia yang menampilkan gaya arus kesadaran (stream of
consciousness).

Pada tahun 1969, novel ini memperoleh Hadiah Tahunan Pemerintah


Indonesia. Menurut Prof. Liang Liji, dalam makalahnya "Pengajaran dan
Penelitian Bahasa dan Sastra Indonesia di Tiongkok" yang dibawakan dalam
Kongres Bahasa Indonesia V, 28 Oktober 1988, Belenggu, bersama Bila Malam
Bsrtambah Malam dan Jalan Tak Ada Ujung sudah diterjemahkan ke dalam
bahasa Cina. Pada tahun 1989, John H. McGlynn, juga menerjemahkan Belenggu
ke dalam bahasa Inggris dengan judul Shackles yang diterbitkan Yayasan Lontar,
Jakarta.

Studi mengenai novel ini pernah dilakukan Ign. Sumarno (FS UGM, 1971)
sebagai bahan penelitian sarjana mudanya. Penelitian yang lebih mendalam
dilakukan M. Saleh Saad (FS UI, 1963), Robert A. Crawford (University of
Melbourne, 1971), The Shackles of Doubt: Armijn Pane and His Art, serta J
Angles (Australian National University, Canberra, 1988) berjudul "The Fiction of
Armijn Pane." Pada tahun 1982, R. Carle (RFJ, Berlin) membuat tafsiran atas
novel Belenggu dalam penelitiannya yang berjudul "Die Gedankkliche Exposition
des Romans Belenggu von Armijn Pane." Pada tahun 1988, J. Djoko S.
Passandaran (FKIP, Universitas Palangkaraya) meneliti novel Belenggu sebagai
novel eksistensial.

Hingga kini, berbagai ulasan dan tanggapan, baik berupa makalah ilmiah
maupun artikel, masih banyak yang membahas novel ini, dengan berbagai tafsiran
dan sudut pandang.

26
Novel Belenggu yang pertama kali muncul di majalah Pujangga Baru, No.
7, 1940 ini sebenarnya ditulis Armijn Pane, tahun 1938. Pada tahun 1965, novel
ini terbit dalam edisi bahasa Melayu di Kuala Lumpur dan hingga kini terus
mengalami cetak ulang.

27
7. AKI

Pengarang : Idrus (21 September 1921-18 Mei 1979)


Penerbit : Balai Pustaka
Tahun : 1949

P enyakit TBC yang diidap Aki menyebabkannya seperti orang yang sudah
tua. Dalam usia yang baru berumur 29 tahun, lelaki kurus kering ini tampak
seperti berumur 42 tahun. Biasanya, keadaan orang seperti itu disebabkan masa
mudanya yang habis dengan main perempuan jahat. Selain itu, bentuk tubuhnya
yang bongkok membuat Aki menjadi bahan tertawaan yang mengasyikkan. Akan
tetapi, ternyata hal itu tak dilakukan teman-temannya di kantor. Bahkan, mereka
sangat hormat kepada orang yang di mata mereka adalah orang yang berhati lurus
dan bertingkah wajar.

Penyakit TBC yang diderita Aki itu suatu ketika mencapai titik kritis.
Puncaknya adalah ketidak bernafasan Aki untuk beberapa saat. Sebagai istri setia,
Sulasmi terkejut melihat kenyataan yang menimpa suaminya. la kalap. Akan
tetapi, tak lama kemudian suaminya siuman, bahkan sebuah senyum tersungging
di bibirnya. Di antara senyuman itu, Aki mengatakan dengan pasti bahwa ia akan
mati pada tanggal 16 Agustus tahun depan. la berharap Sulasmi mau menyediakan
segala perlengkapan yang diperlukan untuk menghadapi hari kematiannya itu.

Rekan-rekan Aki di kantor menganggap lelaki itu sudah gila. Tidak


terkecuali anggapan kepala kantornya. la yang sudah merencanakan kenaikan
pangkat dan gaji Aki, tidak percaya kepada omongan pegawai kesayangannya itu.
Diselidikinya tingkah laku lelaki itu, tetapi Aki memang tidak gila. "Di sini
didapatinya Aki sedang bercakap-cakap dengan seorang bawahannya tentang
pekerjaan. Sep itu seketika lamanya memperhatikan cakap Aki, tapi satu kata pun
tiada menandakan bahwa Aki telah gila. la pergi ke meja Aki, diperhatikannya
pekerjaan Aki yang sedang terbentang di atas meja. Pekerjaan itu tiada cacatnya"
(him. 17).

Hari kematian yang dikatakan Aki telah tiba. Semua orang bersiap-siap.
Akbar dan Lastri, anak-anak Aki, meminta izin tidak bersekolah. Pegawai-

28
pegawai kantor menghiasi mobil kantor dengan bunga-bungaan. Kepala kantor
berlatih menghapalkan pidato yang kelak akan dibacakan di kubur Aki. Lelaki itu
sendiri memakai pakaian terbagus yang dimilikinya untuk menyambut Malaikatul
maut yang akan menjumpainya pukul tiga sore nanti.

Ketika pukul tiga telah lewat, Sulasmi memberanikan diri untuk melihat
suaminya. Dilihatnya mata suaminya yang tertutup rapat. Lalu, dipanggilnya
nama Aki berulang-ulang, tetapi tak ada jawaban. Dengan diiringi tangis, Sulasmi
berlari ke luar kamar untuk menemui orang-orang yang menungguinya. Tahulah
para penunggu itu bahwa Aki telah meninggal. Saling berebut mereka masuk ke
kamar Aki. Akan tetapi, mereka terkejut dan berlarian dari kamar ketika melihat
Aki sedang merokok. "Tiada seorang pun yang berani mengatakan, apa yang
dilihat mereka dalam kamar itu. Mereka puntang-panting lari meninggalkan
rumah Aki. Dan yang belum masuk kamar, karena keinginan hendak tahu yang
amat besar, menjulurkan kepalanya juga, tapi segera pun mereka lari puntang-
panting keluar. Sehingga akhirnya semua pegawai itupun meninggalkan rumah
Aki secepat datangnya" (him. 36).

Sulasmi bersyukur bahwa Aki tidak mati. Ternyata, Aki hanya tertidur dan
tebangun karena keributan pegawai-pegawai teman sekantornya.

Entah mengapa, sejak peristiwa itu Aki selalu terlihat sehat. la tampak lebih
muda dari usia yang 42 tahun. Lalu, sebagai pengganti kepala kantor yang telah
meninggal tiga tahun yang lalu, ia terlihat atraktif. Bahkan, Aki kembali
bersekolah di fakultas lukum, bergabung dengan mahasiswa-mahasiswa yang
usianya jauh di bawah Aki. Tentang hidup? Lelaki yang telah sembuh dari TBC
ini ingin hidup lebih lama lagi. la mgin hidup seratus tahun lagi. Separuh
hidupnya akan diabdikan sebagai pegawai dan separuh hidupnya lagi akan
dipergunakan sebagai akademikus.

***

D alam sejarah kesusastraan Indonesia, Idrus dikenal sebagai pengarang yang


menampilkan gaya penulisan yang menurut H.B. Jassin sebagai
kesederhanaan baru (nieuwc zakcUjheid)—Ajip Rosidi menyebut gaya ini dengan

29
istilah gaya-menyoal-baru (nieuwe zakelijkhcids stijl) yang serba sederhana.
Gaya penulisan demikian itu, umumnya tampak kuat dalam cerpen-cerpen Idrus
yang paling awal.

"Yang paling baik ialah roman pendeknya yang berjudul Aki, 1950 (sic/)".
Demikian Teeuw (1980: 221) mengomentari novel Idrus ini. Selanjutnya Teeuw
mengatakan, "buku kecil ini menarik terutama karena leluconnya yang ringan,
yang dibiarkan berkembang sepenuhnya karena temanya yang tidak bersifat real
itu."

Dalam perjalanan novel Indonesia, tema yang ditampilkan Idrus dalam Aki
memang dapat dikatakan baru. Seseorang dapat menentukan saat
kematiannya yang dipercayai oleh orang-orang di sekelilingnya, adalah
hal yang aneh dan lucu. jadi, ada kesan bahwa Idrus ingin mengejek orang-
orang yang sangat ketakutan menghadapi kematian. Padahal, maut pasti
datang tanpa seorang pun tahu kapan waktunya.

8. PADA SEBUAH KAPAL

Pengarang : Nh. Dini (29 Februari 1936)


Penerbit : Gramedia
Tahun : 1973; Cetakan IV, 1985

30
P ada umur tiga belas tahun, Sri ditinggal wafat ayahnya. Meskipun ayahnya
bukan seorang pelukis terkenal, Sri sangat mengagumi orang tuanya. la
merasa kehilangan orang yang dianggapnya luar biasa itu. Ibunya kemudian
menghidupi anak-anaknya dengan membatik dan berjualan kue. Wanita itu
mendidik anak-anaknya dengan keras dan kuno meskipun berhati baik.

Selepas SMA, Sri bekerja sebagai penyiar RRI di kota tempat tinggalnya,
Semarang. Kesibukannya sebagai penyiar mengakibatkan Sri mengurangi
kegiatan menari. Tiga tahun bekerja menimbulkan rasa bosan dalam dirinya.
Ketika ia melihat kesempatan menjadi pramugari udara, ia melamar. Setelah lulus
dalam ujian seleksi di kotanya, ia dipanggil ke Jakarta untuk ujian selanjutnya.
Hasil tes di Jakarta membuatnya kecewa, ia tak lulus dalam tes itu. Noda di paru-
parunya menyebabkan ia tak diterima. la diminta datang ke Jakarta untuk
mendapat penjelasan. Empat bulan kemudian Sri datang ke Jakarta untuk
menerima penjelasan dari jawatan yang menangani tes itu. Di jawatan itu ia
mendapat pekerjaan lain, yakni bekerja sebagai wartawan dalam majalah yang
diterbitkan perusahaan itu. Akan tefapi, ia menolak kesempatan itu dan memilih
menjadi penyiar di RRI Jakarta. .

Tujuh bulan setelah Sri tinggal di Jakarta, ibunya meninggal dunia. Sri
pulang ke Semarang. Beberapa hari kemudian ia kembali ke Jakarta meneruskan
pekerjaan dan kegiatan menarinya. Kepandaiannya menari membawa Sri menari
di istana pada hari-hari bersejarah dan penyambutan tamu-tamu negara.

Di antara pemuda yang mengelilinginya dan mengharapkan cintanya, Sri


memilih seorang perwira penerbang bernama Saputro. Dia dan Saputro
merencanakan akan menikah. Secara lahir dan batin, keduanya telah menjalani
kehidupan sebagai suami-istri meskipun belum resmi. Akan tetapi, kenyataan
berbicara lain. Sri harus menghadapi peristiwa pahit: Saputro gugur, jatuh
bersama pesawat yang ditumpanginya. Sri hancur hatinya. la istirahat ke Yogya.
Carl, seorang petugas yayasan yang membantu mahasiswa-mahasiswa di negeri-

31
negeri berkembang, mendekati Sri. Namun, ia menolak cinta Carl seperti ia
menolak cinta Yus, seorang pelukis.

Akhirnya, Sri memutuskan menerima lamaran Charles Vincent, seorang


diplomat di kedutaan Perancis. la tidak mempedulikan reaksi keluarganya yang
tak menyetujui perkawinan itu. Mulanya, Sri tertarik kepada pria itu karena
budinya halus dan mengerti perasaannya, tetapi beberapa waktu kemudian barulah
tampak sifat asli Vincent. Pria itu keras terhadap Sri dan merasa tak mau disaingi
oleh ketenaran istrinya sebagai penari. Pertengkaran sering terjadi di antara
mereka, bahkan kelahiran anak pertama, ternyata tak mengurangi percekcokan.

Ketika keluarga Vincent mendapat cuti ke Perancis, Charles memutuskan


perjalanan terpisah dengan istrinya. Sri diminta naik kapal laut, sedangkan ia
sendiri melakukan perjalanan dengan pesawat.

Sri menemukan kembali eksistensi dan kebebasannya di kapal yang


membawanya ke Perancis. Di kapal ini, ia bertemu dengan Michel, pelaut yang
menaruh hati padanya. Akhirnya, terjadilah hubungan intim—bahkan terlalu intim
—selama perjalanan itu.

Sebelum bertugas di kapal, Michel pernah menjadi tentara. Ia ikut


berjuang membela dan merebut negerinya, Perancis, dari tangan jajahan Jerman.
Setelah kembali ke Perancis, Michel Dubanton, menikah dengan Nicole.
Perkawinan yang diresrui keluarganya ini, ternyata tidak membahagiakan Michel
meskipun sudah dikaruniai dua orang anak. Nicole mempunyai sifat cemburu
yang berlebihan terhadap suaminya, apalagi suaminya tampan dan lebih muda
daripada dirinya.

Dalam perjalanan kali ini, Michel jatuh hati pada seorang nyonya muda
yang dikenalnya sebagai nyonya Vincent, yang tak lain adalah Sri. la merasa
bahagia ketika nyonya muda itu memiliki perasaan yang sama terhadapnya.
Michel menemukan kelembutan dan kasih sayang pada diri Sri. Sebaliknya, Sri
menemukan kasih sayang dan pengertian dari Michel. Hubungan intim kedua
insan yang kesepian itu tetap berlanjut setelah mereka tiba di Perancis. Michel

32
sering menulis surat kepada Sri ketika dalam pelayaran, dan Sri sering menunggu
Michel dalam kerinduan ketika pria pujaannya sedang berlayar.

Sri makin merasakan perbedaan antara Michel dan suaminya, Charles,


ketika ia berkumpul kernbali dengan keluarganya. Dari pergaulannya dengan adik
Charles, Sri mengetahui tabiat suaminya yang mau menang sendiri—sekalipun
terhadap istrinya— "Kehidupanku selama hampir empat tahun dengan Charles
cuma berisi duri-duri yanr mengilukan. Aku bahkan kadang-kadang berpikir
siapakah sebenarnya yang kukawim itu. ...Aku selalu takut mendapat teguran.
...Dan ketika itulah aku melihat Michel, ketika aku merasakan sentuhannya, tetap
lembut dalam gelagak nafsunya, aku mencintainya" (hlm. 179), kata Sri tentang
dua lelaki itu.

Kemudian Sri dan suaminya kembali ke Jepang. Hubungan rumah tangga


mereka masih diliputi ketegangan. Permintaan Sri untuk bercerai, tak ditanggapi
oleh suaminya. Itulah yang sering membuat Sri merasa tersiksa. Dalam saat-saat
yang demikian itu, Michel merupakan sosok lelaki yang mampu memberikan
kesejukan. la menemukan kebahagiaan pada diri lelaki pelaut itu. "Michel yang
mengerti kesanggupanku untuk menjelajah keragaman dunia cinta yang tak
terputuskan" (hlm. 217).

Ketika masa tugas Charles Vincent habis, ia berniat memboyong istri dan
anak-anaknya dari Jepang ke Perancis. Kabar itu didengar oleh Michel dari
seorang kawannya dalam perjalanan. Michel kemudian membatalkan niatnya
untuk bekerja di darat di Yokohama, setelah mendengar kabar itu. la mengajukan
permohonan untuk tetap bekerja sebagai pelaut dan meminta berlayar tidak terlalu
jauh dari Paris. "Kerja darat di Yokohama kubatalkan. Dan sesudah masa liburku
habis perjalanan pendek ini nanti ingin mendapatkan pelayaran-pelayaran yang
singkat dan selalu dekat dengan Perancis," (hlm. 349) katanya. Itulah rencana
yang telah diputuskan Michel. la mengambil keputusan itu, agar ia dapat terus
berdekatan dengan Sri.

***

33
H ampir semua pengamat sastra Indonesia mengomentari novel Pada Sebuah
Kapal sebagai novel terpenting di antara karya-karya Nh. Dini. Terpenting,
tidak hanya karena novel ini menampilkan dua pencerita, Sri (Bagian satu: Penari)
dan Miche. (Bagian dua: Pelaut)—yang kemudian dipandang sebagai novel
beralur ganda, sesudah Hulubalang Raja—tetapi juga secara tema dianggap masih
punya hubungan dengan tema-tema yang sejak Sitti Nurbaya selalu dipersoalkan,
yakni kedudukan wanita dari perkawinan. Dalam Pada Sebuah Kapal, Sri ddak
har.ya bebas menentukan pilihannya tetapi juga merasa mempunyai hak yang
sama dengan kaum pria, yang sering me-lakukan penyelewengan. Dalam hal ini,
penyelewengan yang terjadi antara Sri dan Michel merupakan wujud
ketidakbahagiaan rumah tangga masing-masing. Hubungan gelapnya sama sekali
tak membuat Sri merasa berdosa; bahkan ia merasa menemukan kebahagiaan pada
diri kekasihnya, Michel, dan bukan pada diri suaminya. Hal itu pun yang
dirasakan oleh Michel.

Studi terhadap novel ini, antara lain, pernah dilakukan oleh Agung Ardni
Matararr (FS UI, 1979) yang berjudul "Dunia dan Pengucapan Nh. Dini" yang
didalamnya secara cermat menghitung waktu penceritaan untuk menentukan sifat
alur novel ini; berapa jumlah kata pada bagian "Penari" dan berapa jumlah kata
pada bagian "Pelaut". Lukman Hakim (FKIP Muhammadiyah, 1975) meneliti
novel ini secara cukup mendalam; sebuah lagi yang meneliti novel ini dilakukan
Paulus Yos Adi Riyadi (FS Unud, 1977). Penelitian lain yang berhubungan
dengan Pada Sebuah Kapal, antara lain Asih Heryana (FSUI, 1981) berjudul
"Tokoh-tokoh Wanita dalam Novel Indonesia Mutakhir", dan Th. Sri Rahayu
Prihatmi (Pustaka Jaya, 1977); sedangkan yang khusus meneliti novel ini dalam
hubungannya pusat pengisahan (focus of narration) dan penokohannya dilakukan
oleh Kismarmiati (FS Undip, 1981). Para peneliti asing atau yang dilakukan di
luar negeri, misalnya A. Bellis berjudul "Writting in the margin: Characterization
of Women in Nh. Dini's Novel" (Sydney, 1984), A.B. Soeradinata dalam "Nh.
Dini's Treatmen of Male Character in Her Novel" (Melbourne), dan Tineke
Hellwig dalam "Autobiografie en Roman bij Nh. Dini" (Leiden, 1982).

34
Novel ini pertama kali diterbitkan tahun 1973 oleh penerbit Pustaka Jaya
hingga cetakan ketiga. Sejak tahun 1985 (cetakan keempat) diterbitkan oleh
Gramedia.

9. KEMELUT HIDUP
Pengarang : Ramdan K.H
Penerbit : Pustaka Jaya
Tahun : 1977

35
A bdurrahman adalah seorang kepala kantor pada instansi perburuhan.
Jabatan itu seharusnya membuat Abdurrahman bisa hidup enak, tidak
terlalu dipusingkan oleh masalah ekonomi, yang biasanya menjadi masalah pokok
bagi orang yang lebih rendah jabatannya daripada dia; tetapi kenyataannya lain.
Perekonomian keluarga Abdurrahman morat-marit. Hanya untuk memenuhi
kebutuhan makan dan minum sehari-hari saja, keluarga itu harus mengutang ke
sana kemari. Hal itulah yang menyebabkan Susana, putri Abdurrahman,
mengambil jalan pintas. Susana tak tahan dengan kehidupan seperti itu. la ingin
seperti tetangga-tetangganya, punya uang, punya mobil, dan bisa main ke mana ia
suka. Jalan yang paling cepat untuk mendapatkan semua itu hanya dengan cara
memanfaatkan tubuh dan kecantikannya. Keadaan itulah yang menjadi pangkal
sengketa antara Abdurrahman dan Ina, istrinya. Ketidak harmonisan senantiasa
mewarnai kehidupan mereka.

Saat yang ditakutkan Abdurrahman datang juga. la harus melepaskan


jabatannya sebagai kepala kantor. la pensiun. Itu berarti penghasilannya sebagai
pensiunan akan sangat tak berarti. la harus mencari pekerjaan baru yang tidak
mungkin didapatkannya di kotanya. la harus mencari pekerjaan di Jakarta,
walaupun terpaksa harus meninggalkan anak dan istrinya di Bandung. Dengan
mengandalkan sarjana ekonominya—yang baru saja diraihnya—, ia berkeyakinan
akan cepat mendapat pekerjaan.

Rupanya Tuhan sedang menguji Abdurrahman. Kemelut demi kemelut


senantiasa menimpa diri dan keluarganya. Setelah menjalani pensiun, lelaki itu
didera masalah lain. Mariun, pamannya, mengambil alih semua warisan yang
bukan haknya. Abdurrahman yang juga merupakan ahli waris tidak puas dengan
perlakuan yang tidak adil dari adik ibunya itu. la berusaha menggugat lewat jalur
hukum. Belum beres masalah yang satu, ia harus menerima kenyataan lain;
Aminah, putrinya yang ketiga, dipulangkan dari tugas belajarnya di Negeri
Belanda. Selain tidak biasa dengan kehidupan di Belanda, rupanya Aminah hamil
akibat perbuatan dengan pacarnya sebelum ia pergi ke Belanda.

Kenyataan itu dihadapi oleh Abdurrahman dengan tabah. Niatnya semula


untuk mencari pekerjaan tetap dilakukannya. Secara kebetulan, Asikin—adiknya

36
lain ibu— pulang dari Jepang dan menawarkan pekerjaan kepada Abdurrahman
untuk mengawasi pembangunan rumah Asikin di Kebayoran Baru. Tentu saja ia
tak menolak pekerjaan itu, walaupun menurut pandangan orang-orang ia
diperlakukan oleh adik tirinya sebagai bawahan.

Hari demi hari berlalu dengan meninggalkan kepahitan. Abdurrahman jadi


seperti terbiasa menghadapi kejadian-kejadian yang menimpa dirinya. Ia tetap
tabah. Juga seperti ketika ia dipanggil Tini—ibu tirinya—yang memberitahukan
bahwa Ina telah serong dengan Sukanda—suami Tini. Tini sendiri sangat kecewa
dan tidak menyangka kalau kejadian tersebut menimpa dirinya. Keputusan Tini
adalah mutlak: ia menceraikan suaminya. Hal seperti itu sulit bagi Abdurrahman,
ia tak bisa mengambil keputusan yang sama dengan Tini.

Kejadian tersebut ternyata berbuntut lain. Asikin memecat Abdurrahman


dari pekerjaannya. Keputusan ini tidak terlepas dari perintah Tini, ibunya.

Kehidupan Abdurrahman jadi bertambah menyedihkan. la hidup


menumpang pada Fulia, adiknya. Dalam ketermenungan memikirkan hari esok,
Susana datang menemuinya. Abdurrahman sangat bahagia bertemu dengan
anaknya yang telah berubah sama sekali itu. Dengan kedatangan Susana, ia dapat
sedikit melupakan kemalangannya. Abdurrahman bahkan berterima kasih kepada
anaknya yang memberinya uang dan mau membiayai pengobatan Aminah yang
tak kunjung sembuh.

Adanya sedikit uang pemberian Susana mendorong Abdurrahman untuk


mengurus masalah warisan yang masih terkatung-Katung. Sepulang dari
mengurus warisan di Tasikmalaya, bus yang ditumpangi Abdurrahman menabrak
pohon. Hampir semua penumpang meninggal. Untung Abdurrahman selamat,
meskipun menderita cedera berat.

Saat Abdurrahman tergeletak di rumari sakit, datang berita yang


menggembirakan bahwa ia mendapat panggilan kerja di Cibinong. Setelah
sembuh, dengan optimisme yang besar—walaupun kedatangannya telah melewati
batas waktu yang ditentukan— Abdurrahman datang ke Cibinong. Ia sungguh
kecewa begitu mengetahui jabatannya telah diduduki orang lain. Ia bertambah

37
sedih sewaktu mendengar penjelasan dari bagian personalia bahwa ia tidak dipilih
karena ada yang mengabarkan bahwa ia meninggal dalam kecelakaan yang
menimpanya. Orang yang mengabarkan berita bohong itu adalah orang yang kini
menduduki jabatan yang seharusnya ditempati oleh Abdurrahman, yaitu
Suhendar, temannya sendiri.

Abdurrahman akhirnya pulang dengan tangan hampa, dengan sejuta


harapan yang tak terpenuhi. Namun, keluguannya, sikapnya yang gampang
percaya, serta rasa optimisme tak mampu menyurutkan tekadnya untuk mendapat
pekerjaan. "Saya mesti dapatkan pekerjaan. Mesti, tekadnya. Besok saya akan
turun lagi ke jalan untuk mencari pekerjaan. la tetap tawakal. Mengapa nasibnya
begini tidak dipikirkanya" (hlm. 139).

***

S emula naskah novel ini berjudul Tawakal yang berhasil memenangkan


hadiah Sayembara Mengarang Roman yang diselenggarakan Dewan
Kesenian Jakarta tahun 1975. Tahun 1977 diterbitkan dengan judul Kemelut
Hidup. Dilihat dan isi ceritanya, kedua judul itu memang mewakili; kemelut yang
berturut-turut menimpa diri Abdurrahman, sama sekali tidak membuatnya putus
asa. Abdurrahman yang jujur dan polos itu tetap tawakal, tidak menyerah pada
keadaan yang terus dirundung kemelut.

Tahun 1978, sutradara Asrul Sani mengangkat novel ini ke layar perak
dengan judul yang sama.

Studi terhadap novel ini pernah dilakukan oleh Metta Rosiati dan Haryono
(ke-duanya dari FS Undip), serta Nasrudin dan Pranoto Hartono (keduanya dari
FS UGM).

38
10.WANITA ITU ADALAH IBU
Pengarang : Sori Siregar (12 November 1939)
Penerbit : Balai Pustaka
Tahun : 1982

M eninggalnya Laura membuat Hezan merasa begitu sangat kehilangan


seseorang yang dicintainya. Cinta Hezan yang mendalam terhadap
istrinya itu menyebabkan ia bertekad untuk tidak mempunyai istri lagi. Dengan
hidup tetap menduda, ia merasa tidak mengkhianati cintanya kepada almarhumah.
Begitu pula ia merasa sanggup membesarkan putri tunggalnya, Prapti, tanpa perlu

39
mengakhiri status dudanya. Yang penting baginya, ia dapat menumpahkan kasih
sayangnya kepada putrinya seorang.

Sungguhpun demikian, Hezan juga tidak dapat membohongi dirinya


sendiri bahwa sesungguhnya ia begitu kesepian. Bertahun-tahun sejak istrinya
meninggal, ia merasakan kesepian itu. Namun, ia juga tidak ingin Prapti
mengetahui apa yang selama ini ia pendam dengan penuh kegelisahan.

Kesepian yang dirasakan Hezan makin terasa mengganggunya setelah


Prapti menikah dengan Tonton. Mitos untuk mempertahankan diri sebagai suami
yang setia, justru makin menggelisahkannya, apabila ia ingat kemunafikannya
selama ini. Di depan anaknya,Hezan berperan sebagai ayah yang taat beragama
dan setia mencintai almarhumah. Namun, di balik itu, Hezan mencari kepuasan
lewat perempuan-perempuan lain. Jadilah duda itu hidup seolah-olah dalam dua
dunia; sebagai ayah yang ideal di mata putrinya, dan sebagai lelaki yang butuh
kehangatan tubuh perempuan, di hadapan hati nuraninya sendiri.

Sebelum itu, Prapti sendiri pernah mengusulkan agar ayahnya menikah


lagi. Namun ternyata, Hezan sendiri menanggapinya secara lain; dengan kawin
lagi, ia khawatir hal itu justru merupakan pengkhianatan terhadap cintanya kepada
istrinya, almarhumah. "Aku sebenarnya tidak tahu, gagasan yang dikemukakan
Prapti kepadaku... Yang jelas aku terkejut dengan saran yang diajukan Prapti.
Betapa tidak. Setelah lima belas tahun mendampinginya dan membesarkannya
setelah kepergianmu, Prapti menyarankan kepadaku agar aku mencari
penggantimu" (hlm.21). Begitulah, Hezan seolah-olah hendak mengadukan
persoalannya kepada Laura, almarhumah.

Apa yang dirasakan Hezan, dirasakan pula oleh Prapti berkenaan dengan
usul agar ayahnya mencari pengganti ibunya. "Aku malah telah berbuat lebih
jauh. Meminta ayah untuk mencari pengganti Ibu. Sampai di mana sebenarnya
cintaku pada Ibu? Mungkin cintaku terlalu besar kepada ayah, yang membuatku
melupakan Ibu" (hlm. 34).

Bagi Hezan, dalam perkembangannya kemudian, persoalannya bukan lagi


pada kekhawatirannya mengkhianati cinta kepada istrinya, melainkan

40
kemunafikannya sendiri. Pada mulanya Hezan beranggapan bahwa tak ada artinya
perkawinannya nanti jika hanya karena hendak menghindari dosa. Karena
bagaimanapun juga, perkawinannya itu mesti dilandasi oleh perasaan cinta.
Padahal cintanya sudah tumpah pada Laura. "Yang jelas aku tidak akan bisa
menganggap istri baru seperti Laura. Cintaku kepada Laura tidak akan dapat
kualihkan kepadanya. Lalu, apa artinya perkawinan tanpa cinta?" (him. 49). Itulah
yang membuat Hezan lebih suka melakukan hubungan gelap—tanpa nikah—
daripada harus kawin, yang berarti mengalihkan cintanya dari Laura kepada
wanita yang dinikahinya.

Belakangan, munculnya Nuning, sosok wanita yang sedikit banyak


mengingatkannya kepada Laura, mulai mencairkan sikap Hezan dalam hal
keengganannya untuk menikah lagi. la mulai merasakan sesuatu yang lain, dan ia
merasa cintanya tumbuh kembali. "Cinta kita adalah cinta tua.... Aku akan
melupakan semua perasaan yang terpendam ini. Kalau kau memang telah
ditakdirkan untuk menjadi milikku, kau tidak akan pernah bisa dirampas oleh
siapa saja" (hlm. 121). Nuning pula yang kemudian ia tetapkan sebagai calon
istrinya yang baru. Sementara Prapti sendiri telah menemukan sosok ibunya pada
diri Nuning Maka, tidak ada alasan baginya untuk menolak Nuning sebagai ibu
tirinya. Apalagi, perempuan yang sudah mulai berumur itu pur. merasakan hal
yang sama: "Datanglah, datanglah sekali lagi. Aku akan membukakan pintu ini
lebar-lebar untukmu" (hlm, 123).

***

N ovel ini sebenarnya lebih banyak mengungkapkan konflik batin seorang


ayah yang merasa kesepian setelah istri tercintanya meriinggal dunia.
Bertahun-tahun ia menduda, hanya karena ingin mcncurahkan perhatian dan kasih
sayang kepada putri tunggalnya. Namun, di balik itu semua, sesungguhnya ia
telah membangun topeng kemunafikan. Di luar, duda itu mencari kchangatan
kepada perempuan lain, tanpa diketahui sedikit pun oleh putrinya. Jadi, seputar
itulah persoalan yang dikembangkan dalam novel ini.

41
Yang menarik dalam novel ini adalah adanya usaha pengarang untuk
mengangkat konflik psikologis yang terjadi pada diri para tokohnya. Pertentangan
batin pada diri sang ayah atau anak (Prapti) cukup menarik karena persoalannya
memang tidaklah sesederhana yang diduga.

Novel ini meraih Hadiah Perangsang Kreasi Sayembara Mengarang Roman


Devvan Kesenian Jakarta pada tahun 1978.

Daftar Pustaka

Mahayana M.S, Sofyan O., Dian A. (2000). Ringkasan dan Ulasan Novel
Indonesia Modern. Jakarta : PT Gramedia.

42

You might also like