You are on page 1of 795

i

i
DAFTAR ISI


PKMI Kelompok 1

Kode Judul Nama_Ketua PT
PKMI-1-1 Gambaran Pemilihan Bahan
pangan Sumber Protein Pasca
Pemberitaan Penyalahgunaan
Formalin dalam bahan makanan di
Kecamatan Medan Tuntungan
M. Freddy Candra
Sitepu
Univ. Sumatera
Utara
PKMI-1-2 Efektivitas Penyulingan Daun
Nilam Destilation dengan
Perlakuan Pendahuluan
Pengeringan Suhu Rendah
Termodifikasi
Betty Herlina Universitas
Bengkulu
PKMI-1-3 Fortifikasi Cookies dengan Fe
Organik dari Bayam (Amaranthus
tricolor L) untuk Wanita
Menstruasi
Dian Sukma K Institut Pertanian
Bogor
PKMI-1-4 Kloning Fragmen DNA Genom
Yang Terlibat Dalam Toleransi
Asam-Aluminium Pada
Bradyrhizobium Japonicum
Rika Indri Astuti Inst. Pertanian
Bogor
PKMI-1-5 Metode Pelatihan Pengelolaan
Sampah Domestik bagi Ibu
Rumah Tangga di Pemukiman
Sub-urban. (Studi Kasus : Desa
Bojongkacor Kelurahan
Cibeunying Kaler Kec.Cimenyan
Kabupaten Bandung
Tri Yunia Metya Inst. Teknologi
Bandung
PKMI-1-6 Efektivitas Penggunaan Metode
Solfegio Untuk Pembelajaran
Keterampilan Bermain Musik di
Sekolah Dasar
Mochamad Usman
Wafa
Universitas Negeri
Semarang
PKMI-1-7 Efek Teh (Camillia sinensis (L)
O.K.) Dalam Mencegah
Peningkatan Ketebalan Dinding
Arteri Koronaria tikus Putih
(Rattus novergicus) akibat
Pemberian Diet Tinggi Lemak
Avrillia Ekawati Universitas Gadjah
Mada
PKMI-1-8 Pemanfaatan Abu Tandan Kosong
Kelapa Sawit sebagai Katalis Basa
pada Reaksi Transesterifikasi
Minyak Kelapa Sawit unto
Pembuatan Biodiesel
Yoeswono Univ. Gadjah Mada
PKMI-1-9 Komunikasi Politik Elit nahdatul
Ulama di Media
Eka Nada Shofa
Alkhajar
Univ. Sebelas
Maret Surakarta
PKMI-1-10 Selulosa Cross and Bevan Tangkai
Daun Eceng Gondok sebagai
Bahan Baku Papan Partikel
Willy Saputra Institut Teknologi
10 Nopember
Surabaya

ii
PKMI-1-11 Dampak Pembangunan Mal
Olympic Garden Terhadap
Resapan dan Limpasan
Chairul Maulidi Univ. Brawijaya
PKMI-1-12 Pengaruh Kebiasaan Nyethe
Terhadap Kehidupan Sosial
Masyarakat di kabupaten
Tulungagung Jawa Timur
Qoni' Zamili Univ. Negeri
Malang
PKMI-1-13 Harapan dan Ancaman Kenaikan
Tarif Dasar Listrik
Bagas Nugroho Univ. Mulawarman
PKMI-1-14 Situs Porno, Ancaman pada Etika
Generasi Muda
Amirul Muslim Univ.
Muhammadiyah
Sumatera Utara
PKMI-1-15 Perlakuan Penyeduhan Air Panas
pada Proses Fermentasi Singkong
dengan Aspergillus niger
Pratiwi Erika Universitas
Katholik Indonesia
Atmajaya Jakarta
PKMI-1-16 Perbandingan Prestasi Belajar
siswa Dalam Mata Pelajaran
Matematika Antara Yang
Menggunakan Kurikulum 1994 Di
SMA PGRI Rancaekek
Usep Kosasih Univ. Islam
Nusantara Bandung
PKMI-1-17 Masker (Mask) Standar dan
Murah untuk Pengendara Sepeda
Motor
Muhammad Iqbal Univ. Ahmad
Dahlan Yogyakarta
PKMI-1-18 Pengaruh Ekstrak Biji Mimba
terhadap Penekanan Serangan
Wereng Batang Padi Coklat
Hasan Basri
Nasution
Universitas Tunas
Pembangunan
Surakarta
PKMI-1-19 Pengembangan Potensi Wisata
Sejarah Perpustakaan Persada
Bung Karno di Kota Blitar
Sebagai Wujud Wisata Pendidikan
Cristin Cahyanti Univ.
Muhammadiyah
Malang
PKMI-1-20 Optimalisasi Dosis Hormon Metil
Testosteron dan Lama
Perendaman Benih Ikan Gurami
(Osphronemus gouramy Lac.)
Terhadap Keberhasilan
Pembentukan Kelamin Jantan
Sunandar Univ.
Muhammadiyah
Malang


PKMI Kelompok 2

Kode Judul Nama_Ketua PT
PKMI-2-1 "Sistem Pembiayaan Pendidikan
Indonesia Menuju Millenium
Development Goals (MDG) 2015"
Wiko Saputra Universitas Andalas
PKMI-2-2 Regenerasi Bentonit Bekas Secara
Kimia Fisika dengan Aktivator
Asam Klorida dan Pemanasan
Pada Proses Pemucatan CPO
Meldia Evika Fikri Universitas
Lampung
PKMI-2-3 Isolasi Bakteri Amilolitik Toleran
pH9 dari Tanah di Taman Wisata
Alam Situ Gunung Sukabumi
Tika Tresnawati Institut Pertanian
Bogor

iii
PKMI-2-4 Analisis Respon Masyarakat Desa
Terhadap Program Keluarga
Berencana (KB) Dalam Rangka
Meningkatkan Kualitas Sumber
Daya Manusia (Studi Kasus Desa
Cihedeung Udik Kab.Bogor)
Riski Dwijayanti Inst. Pertanian
Bogor
PKMI-2-5 Software Analyzer Untuk
Menganalisis Gandengan Tiga
Pipa Sebagai Filter Akustik
Lia Laela Sarah Universitas
Pendidikan
Indonesia
PKMI-2-6 Pemanfaatan Rangkaian Pengukur
Intensitas Cahaya Untuk Rancang
Bangun Alat Pengukur Tingkat
Kekeruhan air
Riza Uldin Akhyari Universitas Negeri
Semarang
PKMI-2-7 Ekstrak Etanol Biji Mahkota
Dewa (Phaleria macrocarpa
(Scheff) Boerl) Meningkatkan
Ekspresi Caspase-3 Aktif pada
Cell Line Ca Colon WiDr
Anis Widyasari Univ. Gadjah Mada
PKMI-2-8 Aplikasi Sistem Informasi
Geografis untuk Membuat Peta
Penduduk Digital di Kecamatan
Tawangmangu Kabupaten
Karanganyar Propinsi Jawa
Tengah
M. Nurhadi Satya Universitas Negeri
Yogyakarta
PKMI-2-9 Aplikasi Linear Programming
untuk Penjadwalan Produksi Mie
Kering di PT. Tiga Pilar Sejahtera
Elisabet Univ. Sebelas
Maret Surakarta
PKMI-2-10 Upaya Meningkatkan
Keselamatan Lalu Lintas Jalan
Raya di Indonesia Dengan
Pendekatan Psikologi Persuasi
Hetty Oktaviana Institut Teknologi
10 Nopember
Surabaya
PKMI-2-11 Studi Pembuatan French Fries Ubi
Jalar (Ipomoea batatas L) Kajian
Perlakuan Blanching dan
Konsentrasi CaCL2 sebagai
Larutan Peredam.
Idan Daniawan Univ. Brawijaya
PKMI-2-12 Aktivitas Fibrinolisis Jus Bawang
Putih (Allium Sativum) Pada
Tikus Wistar Yang di Papar Asam
Traneksamat
Samsul Arifin Universitas Jember
PKMI-2-13 Pelatihan Membuat Cendramata
Perahu Pinishi dari Limbah Kayu
Gergajian pada Anak Panti
Asuhan Setia Karya Kota
Makassar

Akmal Baharuddin Universitas Negeri
Makassar
PKMI-2-14 Pengukuran Kekuatan dan
Perilaku Mekanik Helmet Industri
yang Dikenai Beban Impak
Kecepatan Tinggi Menggunakan
Teknik Dua Gage.

Jon Heri Univ.
Muhammadiyah
Sumatera Utara

iv
PKMI-2-15 Nilai Kadar Protein dan Aktivitas
Amilase Selama Proses
Fermentasi Umbi Kayu Dengan
Aspergillus Niger
Erick Sidarta UNIKA Atma
Jaya, Jakarta
PKMI-2-16 Hambatan Pembinaan Siswa
Bermasalah oleh Konselor di SMP
Muhammadiyah 7 Kotagede
Yogyakarta
Ahfi Wahyu
Hidayat
Universitas
Muhammadiyah
Yogyakarta
PKMI-2-17 Sittotoksisitas Fraksi Protein Daun
Mimba (Azadicachta indica A.
Juss) Hasil Pengendapan dengan
Amonium Sulfat 30%, 60% dan
100% Jenuh terhadap Kultur Sel
HeLa dan Sel Raji
Robbyono Univ. Sanata
Dharma
Yogyakarta
PKMI-2-18 Pengaruh Limbah Padat Pabrik
Kertas Terhadap Hasil Tanaman
Bawang Merah
Woro Hastutik Univ. Tunas
Pembangunan
Surakarta
PKMI-2-19 Efek Getah Pelepah Pisang (Musa
spp) Terhadap Pertumbuhan
Pseudomonas aeruginosa Secara
In Vitro
Dharma Hananta Univ.
Muhammadiyah
Malang
PKMI-2-20 Pemanfaatan Nilai-nilai Didaktik
Nyanyian Permainan Anak-anak
Sapeken di Pulau Sapeken
Kecamatan Sapeken Kabupaten
Sumenep
Ulfa Riza Umami Univ.
Muhammadiyah
Malang



PKMI Kelompok 3

Kode Judul Nama_Ketua PT
PKMI-3-1 Makna Filosofis pada Ukiran Itiak
Pulang Patang dalam Adat
Mingkabau
Syayid Sandi
Sukandi
Universitas Andalas
PKMI-3-2 Uji Ketahanan Korosi Temperatur
Tinggi (550OC) Dari Logam
Zirkonium dan Ingot Paduan Zr-
Mo-Fe-Cr Sebagai Kandidat
Kelongsong (Cladding) Bahan
Bakar Nuklir
Beni Hermawan Univ. Lampung
PKMI-3-3 Potensi Ekstrak Biji Mahoni
(Swietenia macrophylla) dan Akar
Tuba (Derris Elliptica) Sebagai
Bioinsektisida Untuk
Pengendalian Hama Caisin
Bayo Alhusaeri
Siregar
Inst. Pertanian
Bogor
PKMI-3-4 Inventarisasi Gen Myostatin
Dalam Rangka Peningkatan
Kualitas Domba dan Kambing di
Indonesia

Taufiq Maulana Inst. Pertanian
Bogor

v
PKMI-3-5 Karakteristik Morfologi dan Optik
Film Tipis Ti O2 : Co yang
Ditumbuhkan dengan Metode
Mocud Diatas Substrat Silikon
Iing Mustain Universitas
Pendidikan
Indonesia
PKMI-3-6 Prototipe Percobaan Rutherford
sebagai Alat Peraga Pembelajaran
Model Atom Rutherford untuk
Meningkatkan Hasil Belajar Siswa
(Studi Kasus Penggunaan
Prototipe Percobaan Rutherford di
SMA 2 Kendal)
Khamdan
Kurniawan
Univ. Negeri
Semarang
PKMI-3-7 "Tracking " : Cara Mudah
Mengenal Hutan dan Praktek
Berbahasa Inggris Melalui Model
Permainan
Ari Darmawan Univ. Gadjah Mada
PKMI-3-8 Pemanfaatan Lahan Pasir Pantai
untuk Budidaya Buah Naga
(Cactaceae hylocereus)
Andri Eko
Riyantoro
Universitas Negeri
Yogyakarta
PKMI-3-9 Perilaku Korosi Material Amorf
Gelas Metalik Biner dan Tersier
Berbasis Zirkonium Terhadap
Laju Korosi
M. Mukhlas
Roziqin
Universitas
Airlangga
PKMI-3-10 Mekanisme Sistem Penjualan di
PT. Jawa Pos Surabaya
Surya Dian
Enitasari
Universitas Negeri
Surabaya
PKMI-3-11 Pendaftaran Merk Masal Sebagai
Alternatif Meminimalisasi
Pembajakan Merek Menuju Law
Enforcement HKI (Studi Kasus di
Sentra UKM Tas dan Koper
Kecamatan Tanggulangin
Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur)
Ika Arlina Prabowo Univ. Brawijaya
PKMI-3-12 Hubungan Penyuluhan Kesehatan
Gigi dan Mulut Dengan Perilaku
Mngobati Sendiri dan angka
Terjadinya Karies gigi pada
Masyarakat Desa Mlokoerejo
Kec. Puger Antara Usia 12 - 50
Tshun
Berlian
Prihatinningrum
Univ. Jember
PKMI-3-13 Pelatihan Membuat Lampu Hias
dan Maket Rumah Panggung
Berbagai Model dengan
memanfaatkan Kayu Tusuk Es
Crim pada Anak Jalanan di kota
Makassar
Misbahuddin Univ. Negeri
Makassar
PKMI-3-14 Pengemasan Listrik Lagu Popular
Dewasa Dalam Versi Anak
Sebagai Upaya
Mentranspormasikan Nilai-Nilai
Edukatif Kepada Anak Jalanan
Maulana Yudha
Anggara
Univ.
Muhammadiyah
Sumatera Utara
PKMI-3-15 Evaluasi Hasil Fermentasi Limbah
Sawit dari Tempat Pengolahan
Kelapa sawit
Fandi Setyawan UNIKA Atma
Jaya, Jakarta

vi
PKMI-3-16 Sosialisasi Siswa Akselerasi SMP
Pangudi Luhur Domenico Savio
Semarang
FX. Yanuar
Sidharta
Universitas
Katholik
Soegijapranata
Semarang
PKMI-3-17 Etika Politik dalam Karikatur
Surat Kabar Harian Solo Pos
Bandung Mawardi Universitas
Muhammadiyah
Surakarta
PKMI-3-18 Kajian Karakteristik Selai Tempe
Dengan Variasi Penambahan Gula
dan Coklat Bubuk
Nur'aini Dwi
Kurniati
Univ. Slamet
Riyadi, Surakarta
PKMI-3-19 Perbandingan Kinerja Middle
Manajer Perusahaan
Multinasional dan Nasional
Eka Wulandiri Univ.
Muhammadiyah
Malang
PKMI-3-20 Perbaikan Sifat Tanah Lempung
Ekspansif Dengan Penambahan
Abu Terbang (Fly Ash)
Abib Nur Rahman Universitas Widya
Gama Malang


PKMI Kelompok 4

Kode Judul Nama_Ketua PT
PKMI-4-1 Analisa Kalsium dan Posfor
Dalam Dadih
Gusri Yanti Univ. Andalas
PKMI-4-2 Analisis dan Pengkajian Hasil
Survei Jentik serta Hubungannya
dengan Kasus Demam Berdarah
Dengue di Tiga Kelurahan di
Jakarta Pada Tahun 2004
Wulan Tristiyanti Universitas
Indonesia
PKMI-4-3 Kearifan Tradisional Masyarakat
Suku Dayak di Sun DAS Sibau
Taman Nasional Betung Kerihun
Dalam Melestarikan Burung
Gilang Fajar
Ramadhan
Inst. Pertanian
Bogor
PKMI-4-4 Uji Fitokimia dan Konsentrasi
Letal (LC50) Minyak Pala
Wulan Tri Wahyuni Inst. Pertanian
Bogor
PKMI-4-5 Flora Sunda : Tafsir Cultural
Studies Idiom dan Peribahasa
Sunda
Aditia Gunawan Univ. Pendidikan
Indonesia
PKMI-4-6 Pendekatan Sets (Science,
Environment, Technology, dan
Sciety) dalam pembelajaran
Sistem Periodik dan Struktur
Atom Kelas X SMA
Indah Lestari Univ. Negeri
Semarang
PKMI-4-7 Preparasi Membran Polimer
Elektrolit Sebagai Komponen
Dasar Fuel Cell Dengan Matriks
Yang Berasal Dari Bahan Alami
Indonesia

Khairil Amri Univ. Gadjah Mada
PKMI-4-8 Biosorpsi Logam Berat Kadmium
Oleh Ragi Yarrowia Lipolitica

Elmi Hanifah Univ. Negeri
Yogyakarta

vii
PKMI-4-9 Pembuatan Model Manekin
Tangan Buatan Lokal untuk
Latihan Ketrampilan Medik
Iffa Ahsanur
Rasyida
Universitas
Airlangga
PKMI-4-10 Formulasi Feromon Sintetik
dengan Metode
Elektroantenografi (EAG) Untuk
Pengendalian Hama Kumbang
Kelapa Rhynchophorus spp.
Denok Rachmawati Universitas
Brawijaya
PKMI-4-11 Tanaman Koleksi Kebun Raya
Purwodadi Peredam Kebisingan
Sashadi Sofyan Univ. Brawijaya
PKMI-4-12 Formulasi Karboksi Metil
Selulosa (CMC) dan Tepung
Tapioka Sebagai Bahan Pengisi
Dalam Pembuatan Tepung Lidah
Buaya.
Mahmudi Herman Univ. Tanjungpura
PKMI-4-13 Implementasi Strategi Konflik
Kognitif dalam Pembelajaran
Fisika di SMP Negeri I Singaraja
(Studi Kuasi Eksperimen Pada
Pokok Bahasan Gerak dan Gaya)
I Ketut Wijaya Ikip Negeri
Singaraja
PKMI-4-14 Faktor-Faktor Penunjang
Keberhasilan Pembelajaran dalam
Menyiapkan Tenaga Siap Kerja
Di Jurusan Teknik Mekanik
Polman Timah
Surya Dharma Poltek Manufaktur
Timah Bangka
PKMI-4-15 Hambatan Komunikasi dalam
Perusahaan jepang di Indonesia
Siti Nur Aulyana Univ. Bina
Nusantara
PKMI-4-16 Motivasi Pengembangan Usaha
Pengolahan Rumput Laut di Desa
Gempol Sewu Kecamatan
Rowosari Kabupaten Kendal
Alfons Rosario
Fernandez
Universitas
Katholik
Soegijapranata
Semarang
PKMI-4-17 Upaya Meningkatkan Ketrampilan
Menulis Wacana
Miftakhul Huda Universitas
Muhammadiyah
Surakarta
PKMI-4-18 Pengujian Lama Aerasi Terhadap
Produksi Mikroalga Anabaena
azollae pada Media Tunggal
Magnesium dalam Skala
Biorektor
Siti Nurjana Universitas
Muhammadiyah
Malang
PKMI-4-19 Proses Pengolahan Mengkudu
(Morinda Citrifolia L.) Instan
Lucia Triastuti Univ.
Muhammadiyah
Malang


PKMI Kelompok 5

Kode Judul Nama_Ketua PT
PKMI-5-1 Pengaruh penambahan Abu
terbang terhadap Kuat Tekan
Mortar Bubuk Kaca

Hendra Gunawan Univ. Riau

viii
PKMI-5-2 Kuasa Perempuan Pada Masa
Jawa Kuna Terkait dengan Peran
yang Dimilikinya: Data Prasasti
Abad 7-15 Masehi
Timurti Novia K. Universitas
Indonesia
PKMI-5-3 Bio-Filter Nikotin Asap Rokok
Dari Chitin-Chitosan
R. Ronaldo Inst. Pertanian
Bogor
PKMI-5-4 Rancang Bangun Mesin Pengurai
Dan Pengayak Tembakau
Ja,afar Sodiq Poltek Negeri
Jakarta
PKMI-5-5 Pembuatan Biodiesel dari Minyak
Goreng Bekas dengan Proses
Catalytic Cracking
Rizky Widyo
Laksito
Univ. Diponegoro
PKMI-5-6 Efek Anti Proliferatif Ekstrak
Etanolik Daun Gynura
procumbens (Lour) Merr. Pada
Hepar Tikus (Rattus norvegicus)
Betina Galur Spargue Dawley
Terinduksi 7,12-dimentil
Benz(a)Antrazena
Esti Widayanti Universitas Gadjah
Mada
PKMI-5-7 Pemanfaatan Biji Bengkuang
(Pachyrhizuserosus Urb) sebagai
Insektisida Alami Ulat Grayak
(Spodoptera litura)
Th. Desy Askitosari Univ. Gadjah Mada
PKMI-5-8 Studi Optimasi Pengaruh
Orientasi Serat dan tebal Lamina
pada Komposit Sandwich Serat
Glass dengan Core Divinyl Cell
Arief Ismayanto Univ. Sebelas
Maret Surakarta
PKMI-5-9 Uji Aktifitas Antimalaria Ekstrak
Air Daun Jambu Biji (Psidium
guajava) pada Kultur Plasmodium
Falciparum in Vitro
Achmad Fachrizal Univ. Airlangga
PKMI-5-10 Studi Senyawa Kairomon Batang
Kelapa Sebagai Pengendali
Kumbang Kelapa
(Rhynchophorus spp.)
Muhammad Idris Universitas
Brawijaya
PKMI-5-11 Peran Mahasiswa Melalui
Program Kuliah Kerja Nyata
(KKN) Dalam Usaha Reboisasi
Hutan Mangrove Di Kawasan
Pesisir
Yusron Hidayat Univ. Brawijaya
PKMI-5-12 Efisiensi Pengikatan Substrat
Amilium Oleh Enzim x- Amilase
Saliva pada Penderita Demam
Berdarah Dengue
Tenno Ukaga Univ. Lambung
Mangkurat
PKMI-5-13 Uji Kualitas Tanah Liat Merah
(Earthenware) di Desa Banyuning,
Tukad Mungga, dan Sumbangan
Kab. Buleleng sebagai Bahan
Dasar Pembuatan Keramik
Erna Risdiana IKIP Negeri
Singaraja
PKMI-5-14 Peningkatan Potensi Limbah
Organik dalam Budi Daya
Lentinula edodes dan Pleurotus
ostreatus
Lakshmi Sandhow Universitas
Katholik Indonesia
Atmajaya Jakarta

ix
PKMI-5-15 Pengembangan Serta Penanganan
Gangguan Pada Jaringan Akses
Pelanggan Oleh Subdinas
Transmisi Akses Pelanggan PT.
Telkom
July Five Sekolah Tinggi
Teknologi Telkom
Bandung
PKMI-5-16 Mengembangkan Kreativitas
Anak Melalui Menggambar dan
Mewarnai
Tiya Dwi
Rachmanti
UNIKA
Soegijapranata
Semarang
PKMI-5-17 Tradisi Pementasan Wayang
Topeng Dalam Rangka Sedekah
Bumi dan Dampaknya Bagi
Masyarakat (Studi Kasus di
Dukuh Kedung Panjang Desa
Soneyan Kecamatan Margoyoso
Kabupaten Pati Jawa Tengah)
Triningsih Univ.
Muhammadiyah
Surakarta
PKMI-5-18 Aplikasi GKM (Gugus Kendali
Mutu) Mengurangi Jumlah
Komplain Customer Terhadap
Kualitas Susu Sapi Perah Program
Kereatifitas Mahasiswa Ilmiah
Achmad Priyono
Winarko
Univ.
Muhammadiyah
Malang
PKMI-5-19 Nilai Ketangguhan dan Bentuk
Perpatahan Hasil Pengelasan
Busur Terendam Pipa Spiral Baja
Api 5L X-52.
Muhammad Sukron Univ.
Muhammadiyah
Malang



PKMI-1-1-1

GAMBARAN PEMILIHAN BAHAN PANGAN SUMBER PROTEIN
PASCA PEMBERITAAN PENYALAHGUNAAN FORMALIN DALAM
BAHAN MAKANAN DI KECAMATAN MEDAN TUNTUNGAN

M. Freddy C Sitepu, A Ardi, TAP Siregar, YS Nasution, Fila Effendi
Program Studi Pendidikan Dokter Universitas Sumatera Utara

ABSTRACT
Incidence of formalin issues in protein food-stuff could increase of
malnutrition prevalence especially Protein Energy Malnutrition to affect
degradation of human resource in Indonesia. This research purpose explained
society behavior in chosening protein source food after news formalin issues in
food-stuff. It was a descriptive survey with cross sectional design. Amount of
sample in this research was 60 respondens in compilation of household menu in
Medan Tuntungan Subdistrict. The result of research indicated the decreasing
frequency of protein source food after news formalin issues in food-stuff. This
research can be expected for database and reference materials in effort improve
awareness of society about compilation of well-balanced menu to prevent
malnutrition because of it news influence and decrease malnutrition prevalence.

Key words: Malnutrition, Protein Sources, Formalin

PENDAHULUAN
Pada bulan Desember 2005 sampai dengan Februari 2006 pemberitaan
penyalahgunaan formalin dalam bahan pangan semakin meningkat.
1-4

Berdasarkan hasil sampling dan pengujian laboratorium di beberapa kota besar
Indonesia diperoleh data tentang bahan pangan yang mengandung formalin untuk
produk tahu terdapat 1,91 % (terbanyak di Kendiri sekitar 10,42 %), untuk mi
basah terdapat 2,41 % (terbanyak di Bandar Lampung 15 %),
5
dan untuk ikan
basah sebanyak 26,36 %.
6
Selanjutnya, pengujian sampling yang dilakukan di
Medan terdapat produk mi basah, bakso, dan ikan asin sebagai bahan pangan yang
mengandung formalin
7
dan bahan pangan lain seperti ayam potong, cumi-cumi,
dan jenis ikan segar lainnya.
1
Formalin yang dijadikan sebagai pengawet bahan pangan tersebut adalah
suatu zat kimia dengan nama dagang larutan formaldehid dalam air dengan kadar
30 40 %. Di pasaran, formalin dapat diperoleh dalam bentuk yang telah
diencerkan, yaitu dengan kadar formaldehid-nya 40, 30, 20 dan 10 % serta dalam
bentuk tablet yang beratnya masing-masing sekitar 5 gram. Formalin ini
digunakan sebagai: bahan baku industri lem, playwood, dan resin; desinfektan
untuk pembersih lantai, kapal, gudang, dan pakaian; germisida dan fungisida pada
tanaman dan sayuran; serta pembasmi lalat dan serangga lainnya.
Terdapatnya penyalahgunaan formalin dalam bahan pangan dikarenakan
formalin dapat mengawetkan bahan pangan sumber protein dalam jangka waktu
yang cukup lama. Selain itu, bahan ini juga dinilai murah dan mudah diperoleh.
Namun, formalin tidak diperbolehkan dan dilarang penggunaannya dalam bahan
pangan
8-11
karena merupakan: zat beracun; karsinogenik yang menyebabkan
kanker; mutagen yang menyebabkan perubahan sel dan jaringan tubuh; korosif;
dan iritatif.
10-11
PKMI-1-1-2

Penyalahgunaan formalin dalam bahan pangan sumber protein seperti tahu,
mi basah, ikan laut, cumi-cumi, ikan asin, bakso, daging ayam potong, dan
sebagainya sangat berbahaya bagi kesehatan. Padahal sumber protein ini
merupakan salah satu zat gizi kebutuhan utama tubuh manusia terutama pada
masa pertumbuhan dan perkembangan bayi dan anak.
12-13
Protein memiliki
banyak fungsi antara lain untuk: pertumbuhan dan perkembangan; micronutrients
transport; memperbaiki sel-sel yang rusak; dan sebagai sistem imunitas tubuh.
14
Salah satu dampak akibat kekurangan protein tersebut adalah terjadinya
gizi buruk, terutama Kurang Kalori Protein/Protein Energy Malnutrition yang
rawan terjadi pada balita (bayi dibawah 5 tahun).
15-17
Berdasarkan hasil surveilans
Dinas Kesehatan Propinsi di Indonesia dari bulan Januari sampai dengan bulan
November 2005 total kasus gizi buruk di Indonesia berjumlah 71.815 balita.
18

Jumlah ini dikuatirkan dapat terjadi peningkatan kasus setelah berkembangnya
pemberitaan penyalahgunaan formalin dalam bahan pangan sumber protein yang
nantinya akan berdampak pada penurunan sumber daya manusia Indonesia.
Oleh karena itu, penelitian yang dilakukan ini bertujuan untuk menjelaskan
perilaku masyarakat terhadap pemilihan bahan pangan sumber protein pasca
pemberitaan penyalahgunaan protein dalam bahan makanan. Penelitian ini
diharapkan dapat bermanfaat sebagai bahan acuan dalam usaha meningkatkan
kesadaran masyarakat tentang pemilihan bahan pangan yang baik, serta sebagai
data awal dan referensi untuk melakukan penelitian selanjutnya sehingga dapat
menurunkan prevalensi gizi buruk.

METODE PENELITIAN
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Medan Tuntungan, yang
dilaksanakan pada Minggu III bulan Januari Minggu II bulan Maret 2006.
Cara Pemilihan Lokasi dan Sampel
Pemilihan Kecamatan Medan Tuntungan sebagai lokasi penelitian
dilakukan secara sengaja berdasar data karakteristik sosial ekonomi dan frekuensi
konsumsi makanan responden pra pemberitaan penyalahgunaan formalin dalam
makanan.
19
Teknik penarikan sampel yang digunakan adalah random sampling,
20

berjumlah 60 responden. Responden dalam penelitian ini adalah ibu rumah tangga
yang terlibat dalam penyusunan menu makanan keluarga sehari-hari.
Kerangka Penelitian
Bahan pangan dan gizi memiliki hubungan yang sangat erat, sebab
keadaan gizi seseorang tergantung pada jenis dan kondisi bahan pangan yang
dikonsumsinya. Pemilihan bahan pangan dipengaruhi oleh masalah ketahanan
pangan di tingkat rumah tangga, yaitu kemampuan rumah tangga memperoleh
makanan untuk semua anggota keluarga dengan terjaminnya konsumsi yang
cukup jumlah dan nilai gizi (mutu), yang dipengaruhi baik oleh faktor internal
(karakteristik keluarga) maupun faktor eksternal (lingkungan di luar keluarga).
Selain itu, juga harus memperhatikan aspek keamanan pangan. Aman yang
dimaksud disini berarti bebas dari pencemaran fisik, intrinsik, dan ekstrinsik
berupa: toksin alami; zat antinutrisi dalam pangan; kontaminasi biologis,
mikrobiologis, kimia, dan logam berat; serta pencemaran lain yang dapat
merugikan dan membahayakan kesehatan manusia.

PKMI-1-1-3
























Gambar 1. Kerangka Konsep Penelitian

Jenis dan Cara Pengumpulan Data
Jenis data yang dikumpulkan terdiri dari data primer dan data sekunder.
Data primer yang dikumpulkan meliputi identitas keluarga, konsumsi dan
frekuensi makanan, yang diperoleh melalui wawancara mendalam (indepth
interview) dengan menggunakan alat ukur kuesioner.
Data identitas keluarga meliputi nama, umur, jenis kelamin, tingkat
pendidikan, pekerjaan, pendapatan keluarga per bulan, dan jumlah anggota
keluarga. Data konsumsi dan frekuensi makanan terdiri dari recall konsumsi
makanan dalam waktu satu hari (24 jam) sebelum hari dilakukannya wawancara.
Data konsumsi dan frekuensi makanan ini (pokok, sumber protein hewani dan
nabati) dipakai untuk mengetahui perilaku pemilihan bahan pangan sumber
protein pasca pemberitaan penyalahgunaan formalin dalam bahan makanan.
Data sekunder yang meliputi keadaan penduduk dan keadaan umum
wilayah penelitian, diperoleh melalui wawancara dengan petugas kelurahan,
pengamatan langsung pada lokasi penelitian, dan penelusuran kepustakaan.
21,22


Pengolahan dan Analisa Data
Data dikumpulkan dan ditabulasi, kemudian dianalisa secara deskriptif.
Data karakteristik keluarga yang meliputi tingkat pendidikan, pekerjaan,
pendapatan keluarga per bulan, dan jumlah anggota keluarga dianalisa secara
deskriptif. Data konsumsi dan frekuensi makanan juga dianalisa secara deskriptif.
Data perubahan perilaku konsumsi dianalisa secara deskriptif dengan
menggunakan tabulasi sederhana guna mengetahui sumber media yang
PKMI-1-1-4

menginformasikan penyalahgunaan formalin pada beberapa bahan pangan sumber
protein, dan melihat perubahan perilaku yang terjadi akibat pemberitaan tersebut.

HASIL PENELITIAN
Keluarga responden mayoritas memiliki karakteristik sebagai berikut
(Tabel 1): berpendidikan menengah (6-12 tahun); pekerjaan sebagai ibu rumah
tangga; pendapatan keluarga antara Rp 500.000,- sampai dengan Rp 1.000.000,-;
dan jumlah anak kurang dari 3 orang.
Tabel 1. Karakteristik Keluarga Responden

Variabel

n

%


Variabel

n

%
Lama Pendidikan Responden Pendapatan Keluarga
Rendah (< 6 thn) 26 43% Rendah (<500 ribu) 22 37%
Menengah (6-12 thn) 32 53% Menengah (500 ribu 1 juta) 34 57%
Tinggi (>12 thn) 2 3% Tinggi (>1 juta) 4 7%
Total 60 100% Total 60 100%

Pekerjaan Responden Jumlah Anak
Petani 6 10% <3 orang anak 31 52%
Wira Usaha 12 20% 3-5 orang anak 24 40%
Buruh 4 7% >5 orang anak 5 8%
Ibu Rumah Tangga 37 62% Total 60 100%
Guru 1 2%

Total 60 100%

Keterangan: n = jumlah responden

Tabel berikut memperlihatkan pola konsumsi sehari-hari keluarga
responden yang terdiri dari: nasi sebagai makanan pokok; telur sebagai sumber
protein hewani; serta tempe dan kacang-kacangan sebagai sumber protein nabati.
Tabel 2. Sebaran Keluarga Responden Menurut Pola Konsumsi Sehari-Hari

Frekuensi Konsumsi

n

%

Makanan Pokok
Nasi 60 100 %
Roti/Mi 4 7 %
Singkong/Jagung 1 2 %
Protein Hewani
Telur 15 25 %
Ikan Segar 13 22 %
Ikan Asin 9 15 %
Protein Nabati
Tahu 6 10 %
Tempe 11 18 %
Kacang-Kacangan 5 18 %
Keterangan: n = jumlah responden
PKMI-1-1-5

0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
t
e
l
u
r

a
y
a
m
i
k
a
n

s
e
g
a
r
i
k
a
n

a
s
i
n
t
a
h
u
t
e
m
p
e
k
a
c
a
n
g
-
k
a
c
a
n
g
a
n
Jenis Bahan Pangan
P
e
r
s
e
n
t
a
s
e
Sebelum Pemberitaan
Pasca Pemberitaan
Gambar 2 memperlihatkan perubahan perilaku konsumsi sumber protein pra
19
dan
pasca pemberitaan penyalahgunaan formalin dalam bahan pangan.


















Gambar 2. Sebaran Keluarga Responden Menurut Persentase
Konsumsi Sumber Protein

PEMBAHASAN
Karakteristik Keluarga Responden
Berdasarkan hasil penelitian (Tabel 1) diperoleh bahwa umumnya
responden berpendidikan menengah (53 %) dan rendah (43 %). Lamanya
pendidikan yang diperoleh diduga terkait dengan kemampuan menyerap sumber
informasi tentang gizi sehingga dapat mencerminkan pengetahuan ibu dalam
memilih bahan pangan sumber protein. Tingkat pendidikan juga berpengaruh
terhadap jenis pekerjaan yang diperoleh. Mayoritas pekerjaan responden adalah
ibu rumah tangga (62 %) serta pendapatan keluarga responden umumnya
menengah (57 %) dan rendah (37 %) sesuai dengan jenis pekerjaan yang
diperoleh. Semakin tinggi tingkat pendidikan semakin terbuka lapangan pekerjaan
yang memadai sehingga mempermudah peningkatan pendapatan keluarga.
Menurut Hatmadji dan Anwar (1993), jumlah anak mempengaruhi
pendidikan orang tua dan tingkat pendapatan keluarga.
23
Sebagian besar
responden memiliki jumlah anak kurang dari 3 orang (52 %) dan antara 3 5
orang (40 %). Jumlah anak akan menentukan penyesuaian pendapatan keluarga
dalam memilih bahan pangan sumber protein. Semakin sedikit jumlah anak
semakin siap orang tua untuk memenuhi kebutuhan hidup anak-anaknya.

Perubahan Pola Konsumsi Makanan Sumber Protein
Berdasarkan hasil penelitian, terlihat bahwa tidak ada perubahan konsumsi
nasi sebagai makanan pokok (100 %) pasca pemberitaan penyalahgunaan formalin
dalam makanan. Roti, mi, singkong, dan jagung hanya merupakan makanan
selingan atau jajanan saja (Tabel 2).
PKMI-1-1-6

Keluarga responden tidak mengkonsumsi daging (ayam dan sapi) sebagai
bahan pangan sumber protein hewani dikarenakan pendapatan keluarga yang
terbatas dalam pemenuhan kebutuhan keluarga. Responden mengetahui bahwa
daging merupakan salah satu makanan sumber protein terbaik. Hal ini didukung
oleh pemahaman responden tentang makanan empat sehat lima sempurna
(Lampiran 1). Selain itu, konsumsi ikan asin lebih rendah daripada konsumsi ikan
segar dan telur, masing-masing dalam persentase 15 %, 22 %, dan 25 %. Padahal
ikan asin merupakan bahan pangan sumber protein dengan harga lebih terjangkau
daripada ikan segar dan telur, terutama pasca kenaikan harga bahan bakar minyak
yang diikuti kenaikan harga bahan-bahan pokok. Sedangkan untuk protein nabati,
konsumsi tempe (18 %) dan kacang-kacangan (18 %) lebih tinggi daripada
konsumsi tahu (10 %). Hal ini dikarenakan bahan pangan sumber protein seperti
ikan asin, ikan segar, tahu, mi basah, bakso, ayam potong, dan cumi-cumi
24-25

telah diketahui responden mengandung formalin melalui media massa.
1-7

Berdasarkan hasil penelitian yang dapat dijelaskan pada Gambar 2 terlihat
adanya perubahan perilaku konsumsi sumber protein pra dan pasca pemberitaan
penyalahgunaan formalin dalam bahan makanan. Konsumsi telur ayam sedikit
mengalami penurunan walaupun tidak diisukan mengandung formalin, ini
dikarenakan keterbatasan pendapatan keluarga dalam memilih bahan pangan
sumber protein. Konsumsi ikan segar, ikan asin, dan tahu cenderung mengalami
penurunan pasca pemberitaan penyalahgunaan formalin.
Namun, untuk memenuhi kebutuhan protein, para responden melakukan
perubahan perilaku dalam memilih bahan pangan sumber protein dengan
meningkatkan konsumsi tempe dan kacang-kacangan.
Perubahan perilaku dalam memilih bahan pangan sumber protein ternyata
dipengaruhi oleh pemahaman responden tentang makanan empat sehat lima
sempurna. Meskipun demikian, dalam pemilihan makanan responden lebih
mempertimbangkan selera dan harga daripada nilai gizi yang terkandung dalam
bahan pangan tersebut (Lampiran 2). Selain itu, peranan media massa sebagai
transfer pengetahuan terutama dalam hal gizi dan makanan sumber protein, juga
sangat menentukan. Televisi menjadi media informasi dominan (Lampiran 3).
Namun, informasi tentang gizi dan kesehatan akan lebih optimal jika sumbernya
langsung dari puskesmas atau posyandu. Hal ini dikarenakan bahwa puskesmas
dan posyandu setempat lebih mengetahui situasi dan kondisi masyarakat sehingga
mempermudah usaha untuk melakukan pemilihan bahan pangan pengganti.
Pemberitaan penyalahgunaan formalin dalam makanan sangat
mempengaruhi pengetahuan keluarga dalam pemilihan bahan pangan sumber
protein. Oleh karena itu, pemahaman keluarga tentang pentingnya protein bagi
tubuh dan kesehatan harus lebih dioptimalkan. Penyuluhan dan pembagian leaflet
(Lampiran 4) sebagai media informasi yang tepat sasaran dan berkesinambungan
akan meningkatkan pemahaman keluarga tentang fungsi dan pemilihan bahan
pangan sumber protein yang baik sehingga dapat membantu menurunkan
prevalensi gizi buruk di Indonesia.

KESIMPULAN
Pemberitaan penyalahgunaan formalin dalam bahan makanan
menyebabkan perubahan perilaku terhadap pemilihan bahan pangan sumber
protein. Pengetahuan tentang gizi serta pertimbangan selera dan harga dapat
PKMI-1-1-7

mempengaruhi perilaku dalam pemilihan bahan pangan sumber protein. Maka
dari itu, penelitian ini diharapkan dapat menjadi data awal untuk melakukan
perbaikan konsumsi gizi dan penelitian lanjutan dalam usaha menurunkan kasus
gizi buruk (Kurang Kalori Protein/Protein Energy Malnutrition) di Kota Medan.
Selain itu, dari pertimbangan hasil yang diperoleh sebagai keluaran, disusun
sebuah leaflet yang berisi informasi sumber dan fungsi protein bagi tubuh untuk
melakukan penyuluhan gizi seimbang, yang dapat menjawab permasalahan yang
timbul pasca pemberitaan penyalahgunaan formalin dalam bahan makanan,
sehingga informasi yang disampaikan lebih mudah dimengerti oleh orang-orang
yang terlibat dalam penyusunan menu makanan keluarga sehari-hari.

DAFTAR PUSTAKA
1. Sudjianto T. Laporan Hasil Pengujian Laboratorium. Bidang Sertifikasi dan
Layanan Informasi Konsumen BB-POM. Surabaya. Kamis, 29 Desember
2005.
2. Nashihah M. Awas, Bahaya Formalin. Suara Merdeka. Senin, 2 Januari 2006.
3. Febriane S. Kini Konsumen Pilih yang Buruk dan Cepat Basi. Kompas.
Senin, 9 Januari 2006.
4. Widaryana IDM. Formalin yang Kontroversial. Laporan Staf Seksi
Penyehatan Lingkungan Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Tengah. Health
Learning Resource Centre. Yogyakarta. Rabu, 15 Februari 2006.
5. Sampurno. Keterangan Pers Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan
Republik Indonesia No Kh.00.01.1.241.029 tentang Hasil Tindak Lanjut
Pengawasan terhadap Penyalahgunaan Formalin sebagai Pengawet Tahu dan
Mi Basah. Jakarta. Selasa, 24 Januari 2006.
6. Badan Pengawas Obat dan Makanan. Hasil Temuan Produk Mi Basah, Tahu,
dan Ikan Berformalin. Data Januari 2006.
7. Manurung J. Laporan Kepala Bidang Sertifikasi dan Layanan Konsumen
BBPOM. Medan. Selasa, 3 Januari 2006.
8. Lubis NDA. Pengawetan Makanan yang Aman. Disampaikan pada Seminar
Dampak Penyalahgunaan Formalin di Fakultas Kedokteran Universitas
Sumatera Utara tanggal 14 Januari 2006. Medan.
9. Lanita. Himbauan Staf Ahli Teknologi Pangan Politeknik Kesehatan
Departemen Kesehatan RI pada Simposium Dampak Buruk Formalin bagi
Kesehatan Manusia di FK UI tanggal 13 Januari2006. Jakarta.
10. Syam AF. PB PAPDI: Soal Formalin Sangat Berbahaya bagi Kesehatan
Manusia. Laporan Humas PB PABDI. Jakarta. Senin, 2 Januari 2006.
11. Anwar J. Dampak Formalin bagi Kesehatan. Disampaikan pada Seminar
Dampak Penyalahgunaan Formalin di Fakultas Kedokteran Universitas
Sumatera Utara tanggal 14 Januari 2006. Medan.
12. Departemen Kesehatan. Rencana Aksi Pangan dan Gizi Nasional 2001-2005.
2001.
13. Griffiths M, Dickin K, Favin M. Promoting the Growth of Children: What
Works. Rationale and Guidance for Programs. The World Bank. 1996.
14. WHO. Nutrition for Health and Development. WHO, Geneva. 2000.
15. UNICEF. The State of the Worlds Children 2000. UNICEF, New York. 2000.
16. ACC/SCC. Fourth Report on the World Nutrition Situation. WHO, Geneva.
2000.
PKMI-1-1-8

17. Anderson PP, Pellettier D, Alderman H (ed). Child Growth and Nutrition
Development in Developing Countries. Ithaca New York: Cornell University
Press; 1995.
18. Perkembangan Penanggulangan Gizi Buruk di Indonesia (Keadaan sampai
Bulan November Tahun 2005). Diperoleh dari: URL: http: //www.gizi.net/
busung-lapar/Bahan%20Gizi%20Buruk-Nop2005.pdf. Pada hari Senin,
tanggal 13 Februari 2006 pukul 16.25 WIB.
19. Survey Dasar Pangan dan Gizi di Propinsi Sumatera Utara Tahun 2005. Dinas
Kesehatan Propinsi Sumatera Utara. Medan. 2005.
20. Singarimbun M, Effendi S. Metode Penelitian Survei. Jakarta: LP3ES; 1989.
21. Biro Pusat Statistik. Medan dalam Angka. BPS Medan. 2004
22. Biro Pusat Statistik. Medan Tuntungan dalam Angka. BPS Medan. 2004.
23. Hatmadji S, Anwar EN. Transisi Keluarga di Indonesia: Perspektif Global.
Makalah Seminar Mengisi Hari Keluarga Nasional. 1993.
24. National Academy of Sciences: Recommended Dietary Allowances. 10
th
ed.
Washington DC: National Academy Press; 1989.
25. United States Department of Agriculture: Food Guide Pyramid. A Guide to
Daily Food Choices. Home and Garden Bulletin; No. 252. Washington DC:
Human Nutrition Information Services; 1992.





























PKMI-1-1-9

LAMPIRAN

Lampiran 1. Pemahaman tentang Makanan Empat Sehat Lima Sempurna
Keterangan:
n = 60 responden








Lampiran 2. Peringkat Faktor Penentu Pemilihan Bahan Pangan



















Keterangan: n = 60 responden



Lampiran 3. Media Pemberitaan Formalin dalam Makanan














Keterangan: n = 60 responden


PKMI-1-1-10

Lampiran 4. Leaflet Zat Gizi Sumber Protein

















PKMI-1-2-1
EFEKTIFITAS PENYULINGAN DAUN NILAM METODE STEAM
DESTI LLATI ON DENGAN PERLAKUAN PENDAHULUAN
PENGERINGAN SUHU RENDAH TERMODIFIKASI

Betty Herlina, Harry Perjaka, Derry Arisandi, Yuli Henriyani, Hendres DJ

Program Studi Teknologi Industri Pertanian
Fakultas PERTANIAN Universitas Bengkulu, Bengkulu

ABSTRAK
Propinsi Bengkulu merupakan salah satu daerah penghasil minyak nilam yang
memiliki potensi untuk dikembangkan menjadi komoditi ekspor. Salah satu
masalah yang dihadapi petani minyak nilam di wilayah Bengkulu adalah
rendemen minyak nilam masih rendah sekitar 2-2,5% dan mutunya kurang baik.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh antara penyulingan
dengan pendahuluan pengeringan suhu rendah termodifikasi dan penyulingan
dengan perlakuan tinggi tumpukan bahan terhadap efektifitas penyulingan
berdasarkan rendemen minyak yang dihasilkan. Manfaat penelitian ini adalah
sebagai bahan evaluasi dan pembanding antara proses penyulingan yang
dilakukan pada penelitian ini dan yang dilakukan oleh petani/pekebun nilam dan
sebagai kajian dan pedoman bagi petani pekebun nilam dalam melakukan
perlakuan pendahuluan dan penyulingannya, sehingga kinerja dari proses
penyulingan yang telah dilakukan dapat diperbaiki dan akan meningkatkan
kesejahteraannya. Berdasarkan penelitian ini diperoleh informasi hasil
penyulingan nilam jenis nilam aceh (Pogostemon cablin), dengan metode steam
destillation dan perlakuan pendahuluan suhu termodifikasi menghasilkan
rendemen penyulingan tertinggi pada kecepatan pengeringan minimum, yaitu
3,312% serta hasil terendah diperoleh pada kecepatan pengeringan minimum
dengan ketinggian tumpukan rendah yaitu 2,29%. Secara signifikan hasil
penelitian menunjukan bahwa rendemen minyak meningkat dengan peningkatan
kecepatan pengeringan dan meningkatnya tinggi tumpukan bahan dalam katel
suling.

Kata kunci : Nilam, Steam Destillation, Perlakuan Pendahuluan


PENDAHULUAN
Tanaman nilam (Pogostemon cablin) merupakan salah satu tanaman
penghasil minyak atsiri utama di Indonesia dan memiliki nilai ekonomis yang
tinggi. Indonesia merupakan negara pensuplai minyak nilam terbesar dipasaran
dunia, hampir 70% dari total kebutuhan minyak nilam dunia berasal dari
Indonesia. Sedangkan negara pemasok nilam lainnya adalah dari Cina (Lutony,
1994). Pulau Sumatera merupakan daerah penghasil minyak nilam, tak terkecuali
propinsi Bengkulu. Propinsi Bengkulu merupakan salah satu daerah penghasil
minyak nilam yang memiliki potensi untuk dikembangkan menjadi komoditi
ekspor.
Minyak nilam merupakan suatu komoditi ekspor yang memiliki prospek
yang sangat cerah dan selalu dibutuhkan secara berkesinambungan dalam

PKMI-1-2-2
industri-industri parfum, wewangian, kosmetik, sabun, farmasi, flavouring agent
dan lain-lain. Minyak nilam dalam industri dipakai sebagai fiksasi yang sampai
saat ini belum dapat digantikan oleh minyak lain. Selain itu, minyak nilam adalah
minyak atsiri yang tidak dapat dibuat secara sintetis. (Ketaren, 1985) dan
(Anonim, 1991) dalam (Dewi, 1994).
Salah satu masalah yang dihadapi petani minyak nilam di wilayah
Bengkulu adalah rendemen minyak nilam masih rendah sekitar 2-2,5% dan
mutunya kurang baik. Menurut Guenther (1948) dan Sieng (1962) dalam Dewi
(1994), mutu minyak nilam dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain mutu
daun, penyulingan dan penyimpanan minyak. Menurut Ketaren (1985), ada
beberapa cara penanganan bahan sebelum penyulingan yaitu, pengecilan ukuran
bahan, pengeringan, pelayuan dan fermentasi oleh mikro organisme. Menurut
Hernani dan Risfaheri (1989), dalam Anonim (1989), menyatakan bahwa semakin
lama penjemuran cenderung menurunkan rendemen minyak dan sebaliknya,
pelayuan yang semakin lama memperlihatkan kenaikan rendemen minyak nilam.
Menurut Wijaya (2000), pada penelitian penyulingan jeruk purut dinyatakan
bahwa rendemen minyak jeruk purut dipengaruhi oleh tinggi tunpukan bahan
dalam drum penyuling dan pengecilan ukuran bahan yang disuling. Pada
tumpukan bahan yang rendah didapatkan hasil rendemen yang lebih tinggi bila
dihaluskan, kemudian pada tumpukan bahan yang tinggi dihasilkan rendemen
yang tinggi bila bahan dirajang.
Salah satu faktor yang mempengaruhi rendemen minyak nilam adalah
perlakuan sebelum minyak nilam disuling atau perlakuan pendahuluan. Perlakuan
tersebut adalah pengeringan daun nilam. Pengeringan adalah pengurangan
sebagian kandungan air dalam bahan dengan cara termal.
Faktor lain yang mempengaruhi rendemen adalah cara penyulingan.
Menurut Anonim (1986) dan Ketaren (1985), ada 3 cara penyulingan daun nilam
yaitu antara lain :
a. Penyulingan dengan air (water destillation), ini merupakan cara yang paling
sederhana karena daun nilam yang akan disuling dimasukkan kedalam drum
kemudian ditambahkan air dan dipanaskan, kemudian uap yang terjadi
dialirkan melalui kondensor dan minyak nilam yang terjadi ditampung dalam
tempat penampung atau botol. Penyulingan ini jarang dilakukan karena
minyak nilam yang diperoleh mutunya rendah dan rendemennya juga rendah.
b. Penyulingan dengan air dan uap (water and steam destillation). Penyulingan
ini banyak dilakukan oleh petani nilam di Sumatera Utara dan Aceh dengan
kapasitas bahan (daun nilam) 35 kg. Daun nilam yang akan disuling
ditempatkan didalam tempat atau drum penyuling dan tidak dicampur dengan
air, namun air tersebut dipanaskan dalam bioler dan uap yang terjadi dialirkan
kedalam drum penyulingan , kemudian uap yang terjadi dari penyulingan
dialirkan melalui kondensor, cara ini biasanya disebut dengan pengkukusan.
Waktu penyulingan sekitar 5 jam, menghasilkan rendemen minyak nilam 2,5
3,0 % dan mutunya cukup bagus.
c. Penyulingan dengan uap ( steam destillation). Cara penyulingan ini biasanya
dilakukan oleh pabrik penyulingan dengan kapasitas yang besar yaitu 250 kg,
caranya adalah mengalirkan uap dari tabung uap ketumpukan daun nilam pada
tabung destilasi dimana tabung uap dan tabung destilasi tempatnya terpisah.
Rendemen minyak nilam yang dihasilkan sekitar 2-2,5%.

PKMI-1-2-3

Faktor-faktor yang mempengaruhi rendemen minyak nilam antara lain :
jenis tanaman, umur tanaman, waktu panen, perubahan bentuk daun (pengecilan
ukuran daun), perlakuan pendahuluan sebelum penyulingan (cara pengeringan)
dan teknik penyulingan (metode uap, metode uap air, pengaturan tumpukan bahan
dalam drum penyulingan, tekanan dalam drum penyulingan dan besarnya energi
untuk perebusan).
Penelitian ini mempunyai tujuan untuk mengetahui besarnya rendemen
minyak nilam dari masing-masing perlakuan, untuk mengetahui tingkat efektivitas
masing-masing perlakuan penyulingan minyak nilam, dan mengetahui
kemampuan puncak minyak nilam yang dihasilkan pada masing-masing
kombinasi perlakuan.
Pada penelitian ini akan dilakukan pengamatan dan kajian pada pengaruh
perlakuan pendahuluan daun nilam sebelum penyulingan terhadap rendemen dan
hubungan antara laju kecepatan perolehan minyak dengan waktu penyulingan
(efektivitas pengeringan). Perlakuan pendahuluan yang akan dikerjakan adalah
cara pengeringan daun nilam dengan menggunakan alat pengering pada suhu
udara kamar akan tetapi kecepatan udara yang dihembuskan ke ruang pengering
bervariasi. Cara penyulingan yang akan dilakukan adalah penyulingan metode uap
air penumpukan bahan (daun nilam) yang bervariasi. Perlakuan-perlakuan tersebut
diharapkan dapat menghasilkan minyak nilam dengan rendemen yang tinggi,
memenuhi syarat standar mutu dan dapat dilihat efektivitas dari masing-masing
perlakuan.


METODE Penelitian
Tempat dan Waktu
Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Teknologi Pertanian Program
Studi Teknologi Industri Pertanian Jurusan Budidaya Pertanian Fakultas Pertanian
Universitas Bengkulu dan Laboratorium Kimia FMIPA UNIB, dimulai pada
bulan Januari 2005 dan berakhir bulan Maret 2005.

Bahan dan Alat
Bahan yang akan dipakai dalam penelitian ini adalah daun nilam
(Pogostemon cablin BENT) yang berasal dari tanaman petani di Rejang lebong,
air, minyak tanah dan alat tulis.
Alat yang digunakan adalah alat pengering tray dryer yang
dimodifikasikan pengaturan kecepatan udara pengeringnya, termometer, stop
wacth, blower, komponen pemanas (kawat elemen pemanas), alat pengontrol suhu
udara, alat pengukur kecepatan udara (anemometer), meteran, seperangkat alat
penyuling metode uap (steam destillation), gunting, botol warna hijau (gelap),
timbangan biasa, timbangan analitik, gelas ukur, pipet, saringan, kompor gas dari
minyak tanah, kalkulator, corong, wadah penampung hasil minyak nilam, kertas
grafik, alat tulis dan kertas.




PKMI-1-2-4
Tahapan Penelitian

Tahapan Penelitian meliputi :
1. Persiapan bahan baku: bahan baku yang digunakan adalah daun nilam
(Pogostemon cablin BENT).
2. Pengecilan ukuran: daun nilam yang berada dibagian ujung cabang
dipotong, yaitu pada pangkal tempat bersatunya helai daun.
3. Pengeringan: pengeringan daun nilam dilakukan dengan menggunakan
alat pengering tray dryer (rak pengering) dengan modifikasi suhu udara
pengering yang diatur sedikit diatas suhu kamar yaitu sekitar 35
0
C. Untuk
mengatur suhu kamar yang stabil dan konstan , dipasang elemen pemanas
elektrik yang kemudian suhunya diatur dengan alat pengontrol suhu
(thermo control). Kecepatan udara pengeringan juga diatur mulai dari
kecepatan udara normal (di ruang terbuka) hingga ditentukan suatu
interval kecepatan udara diatas normal. Cara untuk menentukan kecepatan
udara pengeringan dengan menggunakan anemometer. Kemudian
ditentukan 3 variasi kecepatan udara pengeringan (V1,V2,V3).
Pengeringan diakhiri setelah kadar air bahan mencapai 14%, selama
pengeringan daun nilam perlu dibolak-balik sehingga kadar air akhir dari
daun nilam dapat merata.
4. Penyulingan: penyulingan dilakukan dengan alat penyuling yang biasa
dilakukan petani/pekebun nilam sekarang ini yaitu menggunakan metode
uap (steam destillation). Ketel suling dengan ketinggian 74,5 dan
diameter30 cm dibagi 2 ruangan (lihat Lampiran 1).
5. Nilam yang sudah dikenai perlakuan pendahuluan dengan kadar air 14%
disuling dengan metode steam destillation dengan perlakuan penyulingan
tiga tinggi tunpukan bahan, yaitu tinggi bahan penuh, tinggi bahan ,
tinggi bahan setengan drum penyuling.
6. Untuk mengetahui volume dan berat minyak nilam yang dihasilkan dari
proses penyulingan dapat dilakukan dengan mengukur volume dan
menimbang berat perolehan minyak nilam dengan menggunakan gelas
ukur setiap periode waktu tertentu yaitu setiap 15 menit. Pengukuran
volume dan penimbangan berat minyak nilam selalu dicatat berdasarkan
waktu proses penyulingan minyak nilam.
7. Pengeplotan volume dan berat minyak nilam.Hasil yang diperoleh dari
pengukuran volume maupun berat minyak diplotkan pada kertas grafik
atau dibuat grafik, sehigga akan terlihat hubungan antara volume dan berat
minyak nilam berdasrkan interval waktu proses penyulingan.

Analisis hasil penelitian yang dilakukan terdiri atas :
1. Analisis grafis, yaitu menentukan efektivitas penyulingan minyak nilam
berdasarkan hasil ploting atau grafik yang dihasilkan pada masing-masing
kombinasi perlakuan.
2. Menentukan kemampuan dan kemampuan puncak minyak nilam yang
dihasilkan pada masing-masing kombinasi perlakuan
3. Analisis menggunakan Rancang Acak Lengkap (RAL).
4. Membuat kesimpulan efektifitas kombinasi perlakuan yang terbaik dari
proses penyulingan minyak nilam. Menganalisa masing-masing kombinasi
perlakuan proses penyulingan minyak nilam dilihat dari aspek teknisnya.

PKMI-1-2-5
HASIL DAN PEMBAHASAN

Rendemen Minyak Nilam Hasil Penyulingan
Rendemen minyak nilam dinyatakan dengan persentase berat minyak
nilam yang dihasilkan per berat daun yang disuling. Rata-rata tertinggi hasil
penyulingan terdapat pada kecepatan pengeringan 1, terlihat pada tinggi tumpukan
penuh (V1H3) yaitu 3,312 %. Rata-rata terendah hasil penyulingan terdapat pada
kecepatan penering 1, pada tinggi tumpukan rendah (V1H1) yaitu 2,29%.
Rendemen hasil penyulingan dapat dilihat pada gambar 2 . Penelitian Dewi (1994)
menyatakan bahwa rendemen hasil penyulingan untuk daerah Bengkulu hanya
mencapai 2-2,5%. Rendemen yang diperoleh melalui penyulingan yang dilakukan
secara langsung dengan uap menurut Rusli dan Syafril (1991), dan Weiss (1997)
dapat mencapai 1,8% sampai dengan 2,5%.
Gambar 1. Redemen Hasi Peyulingan Nilam
0
0.5
1
1.5
2
2.5
3
3.5
30 60 80 120 150 180 210 240
Waktu (menit)
R
e
n
d
e
m
e
n

V1H1
V1H2
V1H3
V2H1
V2H2
V2H3
V3H1
V3H2
V3H3

Rekapitulasi rata-rata hasil pengukuran rendemen minyak disajikan pada tabel 1.
Hasil analisis varian menunjukkan bahwa faktor H (tinggi tumpukan bahan pada
saat penyulingan ) memberikan pengaruh yang nyata terhadap rendemen minyak
nilam yang dihasilkan, sedangkan faktor V (kecepatan udara pengeringan) tidak
memiliki perbedaan yang nyata atau dengan kata lain kecepatan udara
pengeringan tidak mempengaruhi rendemen minyak yang dihasilkan.

Tabel 1. Rekapitulasi rata-rata rendemen hasil penyulingan.

No Perlakuan Rata-rata
1 V1H1 2,229
2 V1H2 3,186
3 V1H3 3,312
4 V2H1 2,561
5 V2H2 2,883
6 V2H3 3,113
7 V3H1 2,649
8 V3H2 2,389
9 V3H3 3,032


PKMI-1-2-6
Hasil dari uji lanjut DMRT terhadap faktor H (tinggi tumpukan bahan),
didapat bahwa faktor H1 dengan tinggi tumpukan bahan 30 cm tidak memiliki
perbedaan yang nyata terhadap faktor H2 dengan tinggi tumpukan bahan 45 cm,
demikian juga halnya dengan faktor H3 dengan tinggi tumpukan bahan 60 cm
tidak memiliki perbedaan yang nyata terhadap faktor H2 dengan tinggi tumpukan
bahan 45 cm, akan tetapi faktor H3 dengan tinggi tumpukan bahan 60 cm
memiliki perbedaan yang nyata terhadap faktor H1 dengan tinggi tumpukan bahan
30 cm. Hasil analisis varian dapat dilihat pada tabel 2.


Tabel 2 Analisis varian pada berbagai perlakuan penyulingan

Source SS Df MS F P
Main Effects
H 2.701486519 2 1.350743259 9.630370334 0.0014 **
V 0.232643185 2 0,116321593 0,829336002 0,4523 ns

Interaction
H x V 0,493012593 4 0,123253148 0,878755791 0,4961 ns

Error 2.52465667 18 0,140258704
Total 5,951798963 26

Berdasarkan Uji Lanjut DMRT memperlihatkan bahwa H3 (tinggi
tumpukan bahan 60 cm) memberikan rendemen minyak tertinggi dibandingkan
dengan perlakuan tinggi tumpukan bahan yang lainnya. Hasil Uji Lanjut DMRT
Tinggi Tumpukan Bahan terhadap Rendemen minyak nilam dapat dilihat pada
tabel 3. Uji Lanjut DMRT faktor V (kecepatan udara pengeringan)
memperlihatkan bahwa rendemen minyak nilam hasil penyulingan tertinggi
dicapai pada perlakuan V1 (kecepatan udara pengeringan 90 m/menit).

Tabel 3. Uji Lanjut DMRT Tinggi Tumpukan Bahan Terhadap Rendemen Minyak
Nilam

Rank Trt # Mean N Non significant ranges
1 3 3,15222 9 a
2 2 2,906 9 a
3 1 2,392889 9 b

Hasil penelitian ini menunjukan bahwa rendemen minyak nilam yang
dihasilkan meningkat dengan kecepatan pengeringan yang paling rendah (V1) dan
meningkatnya tinggi tumpukan bahan dalam ketel suling.

Titik Maksimum /Kemampuan Puncak
Titik maksimum/kemampuan puncak rata-rata yang dicapai hanya pada
awal penyulingan (pada menit ke-30) diwakili oleh perlakuan V1H1 dapat dilihat
pada gambar 2.

PKMI-1-2-7
Gambar 2. Hubungan antara pertambahan jumlah minyak terhadap interval waktu penyulingan
0
0.5
1
1.5
30 60 90 120 150 210 240
Waktu Penyulingan (menit)
P
e
r
t
a
m
b
a
h
a
n

J
u
m
l
a
h

M
i
n
y
a
k



Hasil dari penelitian ini dapat dilihat secara umum titik maksimum/
kemampuan puncak yang dicapai adalah hanya pada awal penyulingan (pada
menit ke 30) dan terus menurun hingga pada batas waktu yang ditentukan.

Waktu Proses Penyulingan Nilam dan Efektifitas Penyulingan
Penentuan proses penyulingan dilakukan dengan menimbang minyak atsiri
yang dihasilkan setiap 30 menit sekali. Berdasarkan hasil penelitian, persentase
rata-rata tertinggi rendemen dan efektifitas penyulingan perlakuan H1 (tinggi
tumpukan bahan 30 cm) terdapat pada kombinasi perlakuan V3H3 yaitu sebesar
3,032%. Hal ini disebabkan perlakuan V3 (kecepatan udara pengeringan 125
m/menit) merupakan kecepatan udara pengering yang paling tinggi dibanding
dengan perlakuan kecepatan udara pengering yang lainnya (V1 dan V2). Proses
pengeringan dan pelayuan menyebabkan kandungan air dalam bahan berkurang,
dengan menguapnya air maka sel minyak pecah sehingga ada celah yang
memudahkan air masuk dan menarik minyak keluar, dengan demikian proses
penyulingan lebih mudah dan rendemen akan lebih tinggi (anonim, 1989).
Rendemen dan efektifitas penyulingan dengan tinggi tumpukan bahan 1 dapat
dilihat pada gambar 3.
Gambar 3.Hubungan Redemen dengan waktu pada tinggi tumpukan bahan 1
0
0.5
1
1.5
2
2.5
3
30 60 80 120 150 180 210 240
Waktu (menit)
R
e
n
d
e
m
e
n

V1H1
V2H1
V3H1

KESIMPULAN

Rendemen minyak nilam dinyatakan dengan persentase berat minyak
nilam yang dihasilkan per berat daun yang disuling. Rata-rata tertinggi hasil
penyulingan terdapat pada kecepatan pengeringan , terlihat pada tinggi tumpukan
penuh (V1H3) yaitu 3,312 %. Rata-rata terendah hasil penyulingan terdapat pada

PKMI-1-2-8
kecepatan pengeringan 1 pada tinggi tumpukan rendah (V1H1) yaitu 2,29%. Hasil
analisis menunjukan bahwa faktor tinggi tumpukan bahan pada saat penyulingan
memberikan pengaruh yang nyata terhadap rendemen minyak nilam yang
dihasilkan, sedangkan kecepatan udara pengeringan tidak memiliki perbedaan
yang nyata. Dapat disimpulkan bahwa rendemen minyak nilam yang dihasilkan
meningkat dengan kecepatan pengeringan yang paling rendah dan meningkatnya
tinggi tumpukan bahan dalam ketel suling.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2003. Peranan Program Unit Pelayanan Pengembangan dan
Pengolahan Hasil Pertanian dalam Rangka Mendukung
Pengembangan Agroindustri Pedesaan di Propinsi Bengkulu. Seminar
HIMATIN UNIB. Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Propinsi
Bengkulu, Bengkulu.
Dewi, R. 1994. Pengaruh Berbagai Tipe Pengeringan Terhadap Rendemen dan
Mutu Minyak Nilam (Pogostemon cablin Bent). Skripsi Jurusan
Budidaya Pertanian. Fakultas Pertanian. Universitas bengkulu,
Bengkulu (tidak dipublikasikan)
Hernani dan Risfaheri. 1989. Pengaruh Perlakuan Bahan Sebelum Penyulingan
Terhadap Rendemen dan Karakteristik Minyak Nilam. Pemberitaan
Penelitian Tanaman Industri. Vol. XV (2) : 84-86
Ketaren, S. 1985. Pengantar Teknologi Minyak Atsiri. Balai Pustaka. Jakarta.
Lutony. 1994. Produksi dan Perdagangan Minyak Atsiri. Jakarta
Santoso, H.R. 1990. Bertanaman Nilam (Bahan Industri Wewangian). Kanisius,
Yogyakarta.
Wijaya,H.S. 2000. Ekstraksi Minyak Atsiri dari Daun Jeruk (Citrus hystrix DC)
pada skala Pilot-Plant. Jurnal Teknologi Industri Pertanian Vol.9 (3) :
164-171.
Wiraadmaja, H.,S.taib,G.,Said,G. 1987. Operasi Pengeringan Pada
Pengolahan Hasil Pertanian. Mediatama Sarana. Jakarta.


















PKMI-1-2-9
Lampiran 1. Gambar Skema Alat Penyuling Metode Steam Destillation


TOWER
Penampungan
Nilam
Penampungan
Nilam

Sumber Air
xxx
xxx
xxx
xxx xxx
xxx
xxx
BOILER
Katel Suling
Sumber Panas
Tan
Plat
Alumanium
Air
Pendingin
Nilam
Pengeluaran
Air






PKMI-1-03-1
FORTIFIKASI Fe ORGANIK DARI BAYAM (Amaranthus tricolor L)
DALAM PEMBUATAN COOKI ES UNTUK WANITA MENSTRUASI

Dian Sukma Kuswardhani, Yaniasih, Bot Pranadi
Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Institut Pertanian Bogor, Bogor


ABSTRAK
Defisiensi zat besi dapat menyebabkan anemia, yaitu berkurangnya jumlah sel
darah merah sehingga oksigen yang dibawa ke jaringan menurun. Akibatnya
terjadi kekurangan energi, kelesuan, sakit kepala, dan pusing-pusing. Anemia
lebih banyak dialami oleh wanita karena pada wanita terjadi kehilangan zat besi
yang lebih banyak akibat kehilangan darah selama menstruasi. Hal ini dapat
dicegah dengan cara mengkonsumsi makanan yang mengandung zat besi yang
cukup tinggi. Bayam merupakan salah satu sumber zat besi dengan kandungan
sebesar 3.9 mg/g. Penambahan bayam pada produk cookies diharapkan dapat
meningkatkan kadar zat besi produk tersebut sehingga baik dikonsumsi oleh
wanita menstruasi. Pemilihan fortifikasi pada produk cookies karena produk ini
sudah banyak dikenal konsumen, disukai karena teksturnya yang renyah,
pembuatannya mudah, dan biaya pembuatannya relatif murah. Penelitian
pembuatan cookies dilakukan dengan menggunakan enam formula konsentrasi
penambahan bayam, yaitu sebesar 0%, 5%, 10%, 15%, 20%, dan 25%. Formula
penambahan bayam yang paling baik berdasarkan kadar Fe dan penerimaan
organoleptik adalah cookies bayam 10%. Kandungan Fe pada cookies bayam
10% adalah sebesar 0.0749 mg/g cookies. Bila kebutuhan Fe wanita menstruasi
sebesar 1.2 2.0 mg per hari maka kebutuhan ini dapat dipenuhi dengan
mengkonsumsi minimal 9 cookies per hari dengan asumsi daya serap Fe pada
cookies bayam sebesar 20%.

Kata kunci : zat besi, bayam, cookies, wanita menstruasi

PENDAHULUAN
Fe (zat besi) merupakan mineral penting yang berperan dalam
metabolisme tubuh. Fe berfungsi sebagai pembentuk hemoglobin, katalisator
perubahan betakaroten menjadi vitamin A, sintesis purin dan kolagen, produksi
antibodi, dan detoksifikasi obat-obatan dalam hati (Hadisoeganda, 1996).
Fe dalam tubuh secara otomatis diperbaharui oleh makanan. Namun bila
kehilangan Fe tidak segera diganti, lama kelamaan akan terjadi defisiensi Fe yang
mengakibatkan metabolisme tubuh terganggu. Dalam urin, keringat, hasil
pernafasan, dan feses yang diekskresikan manusia setiap hari terkandung sejumlah
Fe. Melalui proses itulah terjadi kehilangan Fe dari tubuh. Total Fe yang hilang
dari tubuh per hari mencapai 0.71.0 mg (Guthrie, 1975). Angka tersebut
merupakan kisaran jumlah Fe yang hilang secara umum pada orang dewasa pria.
Pada wanita terjadi peningkatan kehilangan Fe akibat proses menstruasi 28
hari sekali. Jumlah Fe yang hilang sekitar 16-32 mg per bulan atau 0.5-1.0 mg per
hari. Ini berarti, wanita menstruasi membutuhkan sekitar 0.5-1.0 mg Fe per hari
untuk mengganti Fe yang hilang. Dengan asumsi bahwa daya absorbsi tubuh

PKMI-1-03-2
adalah 20% dari total zat besi yang dikonsumsi dalam satu hari maka jumlah
konsumsi Fe per hari harus digandakan beberapa kali lipat sesuai kebutuhannya.
Bayam mempunyai kandungan Fe yang tinggi, yaitu 3.9 mg/100 g. Selain
itu, bayam juga kaya serat, harganya murah, dan siklus pemanenannya sangat
cepat (2 minggu ) (Hadisoeganda 1996). Oleh karena itu, produk yang dihasilkan
dari penambahan bayam diharapkan memiliki kadar Fe yang tinggi, baik untuk
dikonsumsi wanita menstruasi, dan dapat dijangkau oleh seluruh lapisan
masyarakat.
Hal yang tidak kalah penting adalah kandungan vitamin C bayam yang
cukup tinggi, yaitu 80.0 mg/100 g. Vitamin C ini sangat penting untuk membantu
reduksi Fe
3+
menjadi Fe
2+
sehingga lebih mudah diserap oleh tubuh. Vitamin C ini
juga membantu penyerapan zat besi 36 kali.
Untuk meningkatkan konsumsi Fe pada wanita menstruasi, dilakukan
fortifikasi Fe dari bayam ke dalam cookies. Cookies menjadi pilihan karena bahan
dasarnya, yaitu tepung terigu telah dikenal konsumen, dapat langsung dikonsumsi,
kadar airnya rendah sehingga tahan lama, teksturnya digemari karena renyah, dan
mudah dibuat. Untuk itu, fortifikasi Fe dalam cookies dapat dijadikan sebagai
terobosan baru dalam pengembangan pangan fungsional saat ini.
Tujuan umum penelitian ini adalah membuat produk cookies dengan kadar
Fe tinggi dari campuran bayam untuk mengatasi kehilangan Fe pada wanita
menstruasi. Tujuan khusus penelitian ini adalah mengetahui metode pembuatan
cookies yang difortifikasi oleh Fe organik dari bayam segar untuk mengatasi
kekurangan Fe yang terjadi pada wanita selama proses menstruasi, mengetahui
formula yang tepat dalam pembuatan cookies bayam, dan melakukan analisa
kimia terhadap kadar Fe serta uji organoleptik terhadap cookies yang dihasilkan.

BAHAN DAN METODE
Penelitian Pendahuluan
Penelitian dimulai dengan menyusun formula cookies dengan mengadopsi
peneliian Sufianti (1992). Formula dasar terdiri atas tepung teigu (450 g), gula
halus (150 g), margain (250 g), kuning telur (35 g), baking powder (1 g), dan
garam (1 g). Total bobot fomula dasa adalah 887 gram. Selanjutnya ke dalam
formula dasar ditambahkan bayam sebanyak 0%, 5%, 10%, 15%, 20%, dan 25 %
terhadap bobot formula dasar.
Pembuatan cookies terdiri dari tiga tahapan penting yaitu pembuatan
adonan, pencetakan adonan dan pemanggangan adonan. Pada tahap pembuatan
adonan dilakukan pembuatan krim melalui pencampuran gula halus, garam dan
kuning telur dengan menggunakan mixer. Hal ini bertujuan untuk
menghomogenkan campuran sehingga diperoleh kualitas sensori yang diinginkan.
Setelah semua adonan tercampur, bayam yang telah diblanching dan diblender
dimasukkan dalam adonan sambil ditambahkan terigu sedikit demi sedikit. Tahap
pencetakan adonan dilakukan dengan mencetak adonan yang telah ditipiskan
sesuai bentuk yang diinginkan. Setelah dicetak, cookies dipanggang pada suhu
200
o
C selama 30 menit.Proses pembuatan cookies bayam dapat dilihat pada
diagram alir pada Gambar 1.


Bayam segar Gula halus dan margarin

PKMI-1-03-3

























Gambar 1. Skema proses pembuatan cookies dengan penambahan bayam


Penelitian Utama
Penelitian utama yang dilakukan meliputi pembuatan cookies bayam, uji
organoleptik, dan analisis sifat kimia.
Penilaian organoleptik dilakukan dengan menggunakan formulir hedonik
scale dengan skor kesukaan (1) sangat tidak suka, (2) tidak suka, (3) agak tidak
suka, (4) agak suka, (5) suka dan (6) sangat suka. Analisa lengkap hasil uji
organoleptik menggunakan uji lanjut Duncan pada =5%. Panelis yang dipilih
adalah wanita dewasa sebanyak 25 orang.
Sifat kimia yang dianalisis, yaitu kadar air, kadar abu (Apriyantono et al.,
1989), kadar protein metode Mikro Kjeldahl, kadar lemak metode Ekstraksi
Soxhlet (AOAC, 1984), kadar karbohidrat by different, jumlah kalori by
calculation (DSN, 1992) dan kadar Fe dengan alat AAS (Atomic Absorption
Spectrophotometer).
Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah
rancangan acak lengkap satu faktor dengan enam taraf dengan dua kali ulangan.
Uji organoleptik dilakukan terhadap enam sampel penambahan bayam oleh 25
panelis.


HASIL DAN PEMBAHASAN
Pencucian
Blansir (100
o
C, 2 menit)
Pengirisan
Pengadukan (mixer)
Penggilingan dengan blender
Bubur bayam
Kuning telur
Tepung terigu
Pengadukan
Adonan Pencetakan
Pemanggangan (200
o
C, 30 menit) Cookies

PKMI-1-03-4

Karakteristik Organoleptik Cookies
Hasil uji organoleptik menunjukkan bahwa perlakuan penambahan enam
tingkat konsentrasi bayam pada produk cookies memberikan hasil yang berbeda
nyata (p < 0.05) terhadap tingkat kesukaan konsumen pada atribut sensori warna,
aroma, kerenyahan dan rasa. Skor uji organoleptik produk cookies dapat dilihat
pada Gambar 2.

0
1
2
3
4
5
6
7
Warna Aroma Kerenyahan Rasa
Atribut Sensori
S
k
o
r

P
e
n
i
l
a
i
a
n

P
a
n
e
l
i
s
0% 5% 10% 15% 20% 25%


Gambar 2. Skor uji organoleptik produk cookies

Warna
Warna merupakan atribut sensori pertama yang dapat langsung diamati
panelis. Oleh karena itu warna merupakan faktor sensori yang memegang peranan
penting dan mempengaruhi sifat sensori yang lain (Sufianti, 2002). Produk
cookies semakin berwarna hijau gelap dengan semakin tingginya konsentrasi
bayam yang ditambahkan. Hal ini disebabkan bayam hasil blender yang
ditambahkan ke dalam adonan berwarna hijau pekat. Skor tingkat kesukaan warna
cookies berkisar antara 2.6 5.2 atau agak tidak suka sampai suka. Nilai skor
rata-rata cookies dengan penambahan bayam 10% adalah 4.2 (agak suka). Ini
artinya warna cookies bayam 10% paling diterima panelis.

Aroma
Peranan aroma dalam makanan sangat penting karena aroma turut
menentukan daya terima konsumen terhadap makanan (Lasmini, 2002). Skor
kesukaan rata-rata aroma cookies berkisar antara 3.3 5.1 atau antara agak tidak
suka sampai suka. Nilai skor rata-rata cookies dengan penambahan bayam 5%
adalah 4.2 (agak suka) yang menujukkan sampai konsentrasi penambahan ini
produk cookies masih dapat diterima. Nilai skor aroma rata-rata cookies dengan
penambahan bayam 10% adalah 3.7 (agak tidak suka) yang menunjukkan bahwa
pada konsentrasi bayam 10%, aroma produk cookies mulai kurang disukai. Bayam
yang digiling dengan blender mengeluarkan aroma yang khas. Karena proporsi
bahan lain yang digunakan untuk membuat adonan sama, aroma khas bayam ini
memberikan pengaruh terhadap aroma akhir produk.

PKMI-1-03-5

Kerenyahan
Skor tingkat kesukaan rata-rata kerenyahan cookies berkisar antara 2.95.2
atau agak suka sampai suka. Nilai kesukaan terhadap cookies dengan penambahan
bayam 5% adalah 4.7 (agak suka). Sedangkan Nilai skor rata-rata cookies dengan
penambahan bayam 10% adalah 3.5 (agak tidak suka) yang menujukkan pada
konsentrasi penambahan ini, kerenyahan produk cookies mulai kurang disukai.
Penambahan bayam yang semakin besar menyebabkan penurunan tingkat
kerenyahan cookies. Hal ini disebabkan oleh bertambahnya kadar air yang berasal
dari bayam sehingga dengan waktu pemanggangan yang sama, air belum
menguap dengan sempurna.

Rasa
Nilai skor kesukaan rata-rata terhadap rasa cookies berkisar antara 3.0 -
5.2. Nilai kesukaan tertinggi adalah terhadap kontrol, diikuti oleh cookies dengan
penambahan bayam 5% dan 10%. Penambahan bayam yang semakin tinggi
menyebabkan penurunan tingkat kesukaan. Hal ini disebabkan oleh rasa yang
khas dari bayam.

Karakteristik Kimia dan Gizi Cookies
Sifat kimia dan gizi yang dianalisis meliputi kadar air, kadar abu
(Apriyantono et al, 1989), kadar protein metode Mikro Kjeldahl, kadar lemak
metode Ekstraksi Soxhlet, kadar karbohidrat by different, jumlah kalori by
calculation dan kadar Fe dengan alat AAS (Atomic Absorption
Spectrophotometer). Karakteristik kimia dan gizi cookies dapat dilihat pada
Gambar 3, Gambar 4, dan Gambar 5.

0
10
20
30
40
50
60
70
Kadar air Kadar abu Kadar protein Kadar lemak Kadar
karbohidrat
Sifat Kimia
K
a
d
a
r

(
%
)
0% 5% 10% 15% 20% 25%


Gambar 3. Hasil analisis sifat kimia cookies

Kadar Air

PKMI-1-03-6
Kadar air produk cookies yang dihasilkan berkisar antara 2.129.18%.
Berdasarkan standar mutu SNI No. 01-2973-1992 (DSN, 1992) kadar air cookies
adalah 5%, sehingga hanya cookies dengan konsentrasi bayam 5 dan 10% yang
memenuhi syarat mutu SNI. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa
penambahan bayam berpengaruh nyata terhadap kadar air cookies (p < 0.05).
Secara umum kadar air meningkat dengan semakin meningkatnyan konsentrasi
bayam. Hal ini disebabkan karena kadar air bayam yang cukup tinggi yaitu sekitar
87% pada bayam segar (Direktorat Gizi Depkes RI, 1979). Dengan demikian
produk cookies bayam ini akan tahan lama disimpan.

Kadar Abu
Abu adalah komponen yang tidak menguap pada pembakaran senyawa
organik. Kadar abu pada produk cookies yang dihasilkan berkisar antara 1.19
1.60%. Berdasarkan standar SNI No. 01-2973-1992 (DSN, 1992), kadar abu
cookies maksimum adalah 1.5%, sehingga cookies dengan penambahan bayam 5,
10, dan 15% telah memenuhi standar mutu SNI. Hasil uji statistik kadar abu
menunjukkan bahwa penambahan bayam berpengaruh nyata terhadap kadar abu
cookies (p < 0.05). Secara umum kadar abu meningkat dengan semakin
meningkatnya penambahan bayam. Hal ini disebabkan banyaknya kandungan
mineral dalam bayam sehingga kadar abunya meningkat.

Kadar Protein
Protein merupakan unsur gizi yang penting, sehingga hampir dalam semua
produk jumlahnya selalu disyaratkan. Kadar protein cookies dalam SNI No. 01-
2973-1992 (DSN, 1992) minimal 9%, sementara kadar protein rata-rata produk
hasil adalah 5.786.25%. Hal ini menunjukkan bahwa semua cookies yang
ditambah bayam belum memenuhi syarat mutu SNI. Hasil uji statistik
menunjukkan tidak ada pengaruh nyata (p > 0.05) penambahan jumlah terhadap
kadar protein cookies. Secara umum kadar protein semakin menurun dengan
semakin bertambahnya bayam, hal ini disebabkan oleh kadar protein bayam yang
lebih rendah dibandingkan kadar protein adonan. Oleh karena itu, diperlukan
adanya penambahan bahan yang mempunyai kadar protein yang cukup tinggi,
misalnya tepung kedelai.

Kadar Lemak
Lemak dalam cookies berfungsi sebagai pemberi citarasa dan pelembut
tekstur. Lemak yang digunakan adalah lemak dari margarin. Kadar lemak rata-
rata produk berkisar antara 23.0627.51%. Dengan demikian seluruh cookies
memenuhi standar mutu SNI No. 01-2973-1992 (DSN, 1992) yang ditetapkan
minimum 9%. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa penambahan cookies
berpengaruh nyata terhadap kadar lemak cookies. Kadar lemak semakin menurun
dengan semakin banyaknya bayam yang ditambahkan. Hal ini disebabkan oleh
rendahnya kadar lemak dalam bayam. Namun kekurangan tersebut sudah dapat
ditutupi oleh lemak dari bahan yang lainnya.



Kadar Karbohidrat

PKMI-1-03-7
Kadar karbohidrat rata-rata cookies berkisar antara 54.4063.25%, dengan
demikian cookies dengan penambahan bayam belum memenuhi standar SNI yang
ditetapkan sebesar 70%. Hal ini disebabkan terjadi hidrolisis polisakarida menjadi
monosakarida akibat suhu pemanggangan yang tingga (di atas titik lebur gula).
Hasil uji statistik menunjukkan bahwa penambahan bayam berpengaruh nyata
terhadap kadar karbohidrat (p< 0.05). Secara umum penambahan bayam
menyebabkan penurunan kadar karbohidrat karena kadar karbohidrat bayam yang
rendah, yaitu 6.5% (Direktorat Gizi Depkes RI, 1979).


Kadar Fe
Hasil analisis kadar Fe menunjukkan kadar Fe rata-rata berkisar antara
4.65-10.99 mg Fe/100 gram cookies. Kadar Fe semakin meningkat dengan
semakin besarnya konsentrasi bayam yang ditambahkan. Hal ini dapat dilihat pada
Gambar 4. Hasil uji statistik menunjukkan penambahan bayam berpengaruh nyata
terhadap peningkatan kadar Fe cookies (p < 0.05).

0
2
4
6
8
10
12
0 5 10 15 20 25
% Penambahan Bayam
K
a
d
a
r

F
e

(
m
g
/
1
0
0
g
)


Gambar 4. Hasil analisis kadar Fe cookies

Kalori
Kalori rata-rata produk cookies yang dihasilkan berkisar antara 448.16
524.33 Kkal dalam 100 gram cookies. Syarat mutu cookies yang ditetapkan SNI
adalah sebebsar 400 Kkal/100 gram, sehingga produk cookies memenuhi syarat
mutu kalori SNI. Hasil uji statistik menunjukkan penambahan bayam berpengaruh
nyata terhadap kalori (p < 0.05). Bila dilihat dari Gambar 5, kalori cookies
menurun dengan penambahan konsentrasi bayam. Hal ini dikarenakan kalori
bayam yang rendah hanya sekitar 36 kkal/100 gram (Direktorat Gizi Depkes RI,
1979).
Meskipun cookies dengan penambahan bayam 5% lebih diterima secara
organoleptik, namun dari segi kadar Fe masih lebih baik cookies dengan
penambahan bayam 10% meskipun secara organoleptik lebih rendah tetapi masih
bisa diterima. Pemilihan ini didasarkan pada tujuan awal penelitian, yaitu
memperoleh produk dengan kandungan Fe yang cukup tinggi dan dapat diterima
konsumen.

PKMI-1-03-8
0
100
200
300
400
500
600
0 5 10 15 20 25
% Penambahan Bayam
K
a
l
o
r
i

(
K
k
a
l
)


Gambar 5. Hasil analisis kalori cookies

Cookies dengan penambahan bayam 10% mengandung Fe sebesar 7.49
mg/100 gram, berarti terdapat 0.0749 mg tiap gram cookies. Wanita menstruasi
membutuhkan 1.2 2.0 mg per hari untuk mengganti Fe yang hilang. Dengan
asumsi hanya 20% dari total Fe cookies yang dapat diserap tubuh, maka cookies
yang dikonsumsi harus mengandung minimal 10 mg Fe. Angka 10 ini merupakan
angka yang aman karena dianggap wanita menstruasi juga masih mengkonsumsi
sumber Fe yang lain untuk menutupi kehilangan Fe, sehingga jika dihitung
dengan bobot tiap cookies yang diproduksi sebesar 15 gram maka tiap cookies
mengandung 0.0749 mg/g x 15 g = 1.1235 mg Fe. Dengan demikian untuk
menutupi keghilangan Fe dengan mengkonsumsi 10 mg Fe dari cookies
dianjurkan untuk mengkonsumsi cookies sebanyak 10 mg / 1.1235 mg yaitu 9
keping cookies per hari.

KESIMPULAN
Hasil uji organoleptik menunjukkan bahwa penambahan bayam
memberikan pengaruh nyata terhadap tingkat kesukaan konsumen pada atribut
warna, aroma, kerenyahan maupun rasa cookies (p < 0.05). Secara umum, atribut
sensori pada penambahan bayam hingga 10% masih dapat diterima oleh
konsumen. Berdasarkan hasil uji kandungan Fe dan uji organoleptik cookies yang
dipilih adalah cookies dengan penambahan bayam 10%.
Hasil analisis statistik kandungan gizi menunjukkan bahwa penambahan
bayam berpengaruh nyata terhadap kadar air, abu, lemak, karbohidrat, kalori dan
Fe (p < 0.05), namun tidak berpengaruh nyata terhadap kadar protein (p > 0.05).
Penambahan bayam menyebabkan terjadinya peningkatan kadar Fe, kadar air
serta kadar abu, sedangkan kadar protein, kadar lemak, kadar karbohidrat dan
kalori cenderung menurun dengan semakin naiknya jumlah bayam yang
ditambahkan.
Cookies terbaik berdasarkan penelitian ini adalah cookies dengan
konsentrasi bayam 10% dengan kadar air 5.02%, kadar abu 1.29%, kadar protein
6.25%, kadar lemak 26.75%, karbohidrat 61.70%, kalori 512.53 kkal/100 gram
serta kadar Fe sebesar 7.74 mg/100 gram. Secara umum kandungan gizi cookies
tersebut telah memenuhi persyaratan mutu yang ditetapkan SNI. Dengan demikian

PKMI-1-03-9
untuk memenuhi kebutuhan Fe wanita menstruasi, jumlah cookies dengan
konsentrasi 10% yang harus dikonsumsi minimal 9 keping per hari.
Kandungan protein dan karbohidrat cookies yang belum memenuhi standar
SNI dapat diatasi dengan menambahkan bahan yang dapat meningkatkan kadar
zat tersebut. Berdasarkan penelitian Fortifikasi Fe Organik dari Bayam
(Amaranthus tricolor L) dalam Pembuatan Cookies untuk Wanita Menstruasi,
disarankan adanya penelitian lanjutan guna mengkaji aplikasinya dalam skala
industri sehingga dapat cookies bayam dapat diolah sebagai pangan fungsional
yang bermanfaat bagi kesehatan dan berdaya jual.

DAFTAR PUSTAKA
AOAC. 1984. Official Methods of Analysis of Association of Afficial Chemistry
Analytical Chemist. Virginia, USA.
Apriyantono, A., Fardiaz,D., Puspitasari, N.L, Sedanawati, dan Budiyanto, S.
1989. Petunjuk Laboratorium Analisis Pangan. Institut Pertanian Bogor
Press. Bogor.
Direktorat Gizi Depkes RI. 1982. Daftar Komposisi Bahan Makanan. Bharata
Karya Aksara. Jakarta.
Guthrie, H.A. 1975. Introductory Nutrition. The CV. Mosby Company. Saint
Louis.
Hadisoeganda, A.W. 1996. Bayam: Sayuran Penyangga Petani di Indonesia. Balai
Penelitian Tanaman Sayuran. Bandung.
Lasmini, A.Y. 2002. Pemanfaatan Tepung Iles-iles Kuning (Amorphallus
oncophyllus) sebagai Sumber Serat pada Pembuatan Cookies Berserat
Tinggi. Skripsi. Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi. Fateta, IPB. Bogor.
DSN. 1992. Standar Mutu Cookies.Dewan Standardisasi Nasional. Jakarta.
Sufianti, F. 2002. Pengaruh Penambahan Tepung Bayam (Manihot esculenta, c)
dan Terong Panjang (Solanum melongena, I) serta Margarin Kaya Asam
Lemak Tidak Jenuh terhadap Mutu Cookies. Skripsi. Jurusan Teknologi
Pangan dan Gizi, Fateta IPB. Bogor.




PKMI-1-04-1
KLONING FRAGMEN DNA GENOM YANG TERLIBAT DALAM
TOLERANSI ASAM-ALUMINIUM PADA
BRADYRHI ZOBI UM J APONI CUM

Rika Indri Astuti, Dewi Monasari, Sarah Asih Faulina
Departemen Biologi, Fakultas MIPA, Institut Pertanian Bogor.
Jl. Raya Pajajaran Bogor 16144

ABSTRAK
Mutan sensitif asam-aluminium dari bakteri Bradyrhizobium japonicum galur 38
(AAS38) berhasil dikonstruksi melalui mutagenesis transposon untuk
mengidentifikasi gen yang terlibat dalam sifat toleransi asam-aluminium pada
bakteri bintil akar kedelai, B. japonicum. Transposon ditransfer ke dalam sel B.
japonicum toleran asam-Al melalui proses konjugasi antara sel Escherichia coli
S17-1 ( pir) yang membawa pUTmini-Tn5Km1 dengan B. japonicum toleran
asam-Al pada tiga waktu inkubasi mating yang berbeda. Frekuensi
transkonjugasi tertinggi sebesar 6.5 x 10
-7
cell tiap resipiennya setelah inkubasi
mating selama 18 jam. AAS38 tidak mampu tumbuh pada media Ayanaba (pH
4.5) yang ditambahkan 50 M aluminium. Fragmen DNA sebesar 0.8 kb berhasil
diisolasi dengan teknik inverse polymerase chain reaction (Inverse PCR) dari
genom AAS38. Fragmen tersebut berhasil diklon ke dalam pGEM-T Easy (~3 kb)
untuk mendapatkan plasmid rekombinan yang didesain sebagai pGEMT-38 (~3.8
kb).

Kata kunci: Bradyrhizobium japonicum, Toleran asam-aluminium, Transposon
Mutagenesis, Kloning

PENDAHULUAN
Efektivitas sistem simbiosis antara bakteri bintil akar (BBA) dengan
tanaman legum sangat dipengaruhi oleh kondisi tanah. Keyser & Munns (1979)
menyatakan bahwa aluminium dengan konsentrasi tinggi (50 M) merupakan
salah satu faktor cekaman yang dapat menghambat pertumbuhan dan
memperpanjang fase lag BBA. Richardson et al. (1988) juga menyatakan bahwa
konsentrasi Al sebesar 7.5 M pada pH 4.8 dapat menghambat ekspresi gen nod
yang berperan untuk nodulasi. Lebih jauh Johnson & Wood (1990) menyatakan
bahwa kation Al
3+
dapat mengikat PO
4
3-
pada DNA sehingga menghambat proses
replikasi maupun transkripsi DNA. Oleh karena itu, galur BBA yang toleran
terhadap asam dan Al tinggi penting digunakan sebagai inokulan tanaman legum
sehingga dapat meningkatkan produksi kedelai secara keseluruhan. Dalam
simbiosisnya dengan tanaman legum, BBA berperan untuk memfiksasi nitrogen
dan mengubahnya menjadi amonia yang dapat digunakan oleh tanaman.
Beberapa galur BBA kedelai tumbuh lambat, Bradyrhizobium japonicum,
yang efektif dalam menambat nitrogen dapat memenuhi lebih kurang 74%
pasokan nitrogen yang dibutuhkan tanaman kedelai tanaman kedelai (Yutono
1985). Beberapa di antaranya diketahui mampu tumbuh pada media Keyser dan
Munns (pH 4.5) dan toleran terhadap konsentrasi Al yang cukup tinggi (50M).
Oleh karena itu, telaah mengenai gen yang bertanggung jawab terhadap sifat
toleransi asam-Al tersebut penting diketahui untuk menelaah lebih lanjut respons

PKMI-1-04-2
fisiologi dan karakter molekuler yang berperan dalam sifat toleransi asam-Al pada
B. japonicum.
Mutagenesis transposon merupakan teknik yang banyak digunakan untuk
analisis genetika molekuler pada berbagai macam bakteri (Voelker & Dybvig
1998). Transposon merupakan elemen DNA yang dapat berpindah dan menyisip
dari satu tempat ke tempat lainnya dalam suatu genom (Snyder & Champness
2003). Transposon yang sering digunakan untuk mutagenesis pada bakteri gram
negatif adalah Tn5 (Bruijn & Lupski 1984).
Transposon yang digunakan dalam penelitian ini ialah mini-Tn5Km1 yang
membawa gen penanda resistensi terhadap kanamisin. Transposon ini merupakan
salah satu turunan dari Tn5 (de Lorenzo et al. 1990) yang dapat menyisip secara
acak pada genom bakteri dan penyisipannya bersifat stabil (Herero et al. 1990).
Penyisipan mini-Tn5Km1 ke dalam genom akan menjadikan bakteri tersebut
memiliki sifat resisten terhadap kanamisin. Dalam penelitian ini, mutagenesis
transposon Mini-Tn5Km1 dan inverse PCR dilakukan untuk mengidentifikasi gen
atau fragmen DNA genom yang terlibat dalam toleransi asam-Al pada B.
japonicum.
Penelitian ini bertujuan mengklon fragmen DNA genom yang terlibat dalam
sistem toleransi asam-aluminium pada B. japonicum melalui mutagenesis
transposon.

BAHAN DAN METODE
Galur Bakteri, Plasmid, dan Kondisi Pertumbuhan.
Galur B. japonicum 38 (Endarini et al. 1995) secara rutin ditumbuhkan pada
media yeast mannitol agar-agar dengan komposisi manitol 10 g/L, K
2
HPO
4
0.5
g/L, MgSO
4
.7H
2
O 0.2 g/L, NaCl 0.2 g/L, ekstrak khamir 5 g/L, Congo Red (CR)
0.0025%) ditambah rifampisin (Rif) 100 g/ml dan diinkubasi pada suhu ruang.
Galur Escherichia coli DH5 ditumbuhkan pada media Luria broth (LB) (tripton
10 g/L, NaCl 10 g/L, ekstrak khamir 5 g/L) pada suhu 37
o
C dan E. coli S17-1
( pir) yang membawa plasmid pUTmini-Tn5Km1 ditumbuhkan pada media
Luria broth yang ditambah kanamisin (Km) 50 g/ml dan ampisilin 50 g/ml
(Herrerro et al. 1990). Plasmid pGEM-T Easy (~3 kb) (Promega) digunakan
sebagai vektor dalam kegiatan kloning hasil inverse PCR (TA Cloning).

Mutagenesis transposon.
Mutagenesis dilakukan dengan konjugasi menggunakan membran filter
(Wahyudi et al. 1998) yang dimodifikasi. Konjugasi antara B. japonicum 38
sebagai resipien dan E. coli S 17-1 ( pir) pembawa plasmid pUT-MiniTn5Km1
yang membawa tansposon Mini-Tn5Km1 sebagai donor, dilakukan dengan
perbandingan 1:1 (jumlah sel sekitar 10
8
). Perkawinan antara kedua galur tersebut
dilakukan dengan lama waktu yang berbeda-beda, selama 12, 18 dan 24 jam, di
atas membran filter (0.45 m) pada media Luria agar-agar modifikasi dengan
kandungan NaCl 10 % dari komposisi NaCl pada media LA biasa. Inkubasi
dilakukan pada suhu ruang (Wahyudi et al. 1998). Hasil konjugasi disebar pada
media YMA yang ditambah rifampisin (50 g/ml) dan kanamisin (50 g/ml) dan
diinkubasi pada suhu ruang selama 5-7 hari.
Seleksi Mutan

PKMI-1-04-3
Mutan yang tumbuh pada masing-masing cawan YMA + CR 0.0025% + Rif
50 g/ml + Km 50 g/ml dibuat replikanya pada media yang sama. Setiap koloni
pada cawan ditumbuhkan pada media Ayanaba (pH 4.5) yang ditambahkan 50 M
Al (Ayanaba et al. 1983) dan diinkubasi pada suhu ruang selama 10 hari. Koloni
yang tidak menampakkan adanya pertumbuhan diduga merupakan koloni B.
japonicum 38 yang sensitif terhadap asam-Al.

Isolasi DNA Genom Mutan B. japonicum Sensitif Asam-Al
Sel mutan B. japonicum 38 sensitif asam-Al ditumbuhkan dalam 25 ml
media cair YMB + Rif (50 g/ml) + Km (50 g/m) dan diinkubasi pada inkubator
bergoyang dengan kecepatan 140 rpm selama 4-5 hari pada suhu ruang. Isolasi
DNA genom dilakukan mengikuti metode standar seperti yang diterangkan oleh
Sambrook & Russel (2001).

Amplifikasi Fragmen DNA Genom Pengapit Transposon dengan I nverse
PCR
Strategi untuk melakukan inverse PCR mengikuti metode seperti yang
diterangkan Wahyudi et al. (2001). DNA genom mutan sensitif asam-Al dipotong
dengan EcoRV (enzim ini diketahui tidak memotong transposon mini-Tn5Km1),
selanjutnya diekstraksi dengan menggunakan metode ekstraksi fenol/khloroform
(Sambrook & Russell 2001). DNA yang telah dipotong kemudian diligasikan
kembali (sirkularisasi) menggunakan enzim DNA ligase T4 untuk membentuk
lingkaran monomerik. Untuk mengamplifikasi DNA genom yang mengapit
transposon mini-Tn5Km1, DNA yang telah disirkularisasi tersebut diamplifikasi
dengan menggunakan mesin PCR 2400 (Perkin Elmer, USA) pada reaksi
campuran yang mengandung 8 L dNTP, 25 L GC buffer II, 0.5 L LA Taq
Polymerase, 1 L primer Km (I) dan Km (0) dengan konsentrasi masing-masing
10 pmol, kemudian ditambahkan DNA (hasil ligasi) sebanyak 5 L. Campuran
ditera dengan ddH
2
O hingga volume akhir 50 L. Sekuens primer Km (I) yang
digunakan adalah :5-ACACTGATGAATGTTCCGTTG-3 dan primer Km (O)
adalah :5-ACCTGCAGGCATG- CAAGCTTC-3 (Wahyudi et al. 2001). Proses
denaturasi DNA cetakan dilakukan pada suhu 95
o
C selama 2 menit, annealing
pada 58
o
C selama 1 menit dan elongasi pada suhu 72
o
C selama 1 menit dan 10
menit untuk siklus terakhir. DNA diamplifikasi sebanyak 30 siklus. Fragmen
DNA produk PCR kemudian dipisahkan dengan elektroforesis gel agarosa 1%.

Kloning Fragmen DNA Genom Pengapit Transposon
Fragmen DNA genom pengapit transposon hasil inverse PCR dipurifikasi
menggunakan Gene clean II kit (Bio 101) dan diligasikan ke dalam plasmid
pGEMT Easy (~3 kb; Promega) membentuk plasmid rekombinan pGEMT-38.
Plasmid rekombinan ini kemudian ditransformasi ke dalam sel E.coli DH5
dengan metode heat shock (Sambrook & Russell 2001). Transforman diseleksi
menggunakan media LA yang ditambah ampisilin 50 g/ml dan X-Gal 40 g/ml.
Koloni putih yang tumbuh pada media tersebut selanjutnya dikultur dan diisolasi
plasmid rekombinannya, dipotong dengan EcoRI, dan dipisahkan dengan
elektroforesis gel agarosa 1%.



PKMI-1-04-4
HASIL
Mutagenesis transposon dan Seleksi Mutan
Transkonjugan atau sel mutan merupakan sel B. japonicum yang genomnya
tersisipi transposon mini-Tn5Km1 sehingga memiliki sifat resistensi kanamisin.
Sifat resisten ini dibawa oleh transposon mini-Tn5Km1. Frekuensi transkonjugasi
yang didapatkan dari konjugasi B. japonicum 38 dengan E. coli S17-1 ( pir)
tertera pada Tabel 1. Waktu inkubasi mating 18 dan 24 jam tidak terlalu berbeda
yakni berada pada kisaran 10
-7
sel/resipien.
Dari proses seleksi mutan didapatkan satu mutan sensitif asam-Al dari B.
japonicum 38 yakni AAS38. AAS38 kemudian digunakan untuk analisis genetika
sifat toleransi asam-Al pada B. japonicum

Tabel 1. Frekuensi transkonjugasi transposon mini-Tn5Km1 dari E. coli S17-1 (
pir) ke B. japonicum 38 pada berbagai waktu inkubasi mating
Lama mating (jam) Frekuensi transkonjugasi
12 6.7 x 10
-8

18 6.5 x 10
-7

24 1.3 x 10
-7


Amplifikasi DNA Genom Pengapit Transposon dengan I nversePCR
Hasil inverse PCR fragmen DNA genom pengapit transposon dari genom
mutan AAS38 menunjukkan ukuran fragmen DNA hasil amplifikasi berukuran
sekitar 0.8 kilo pasang basa (kpb), seperti terlihat pada Gambar 1A.

Kloning Fragmen DNA Genom Pengapit Transposon
Fragmen DNA genom pengapit transposon telah berhasil diligasi kedalam
vektor plasmid pGEM-T Easy membentuk plasmid rekombinan pGEMT-38 dan
ditransformasi ke dalam sel E. coli DH5. Koloni putih hasil transformasi setelah
diekstrak plasmid rekombinannya, dipotong dengan EcoRI, dan dipisahkan
dengan elektroforesis gel agarosa 1%, hasilnya tertera pada Gambar 1B.
















Gambar 1. A) Hasil elektroforesis gel agarosa 1% dari DNA genom pengapit
transposon yang diamplifikasi dengan inverse PCR dari genom mutan AAS38.
~ 3kb
(pGEMT-Easy)
~ 0.8 kb
(DNA pengapit
transposon)
B
kb
3
2
1.65
1
0.85
~ 0.8 kb
1 2
12
kb
3
2
1.65
1
0.85
1 2 3
12
A

PKMI-1-04-5
Sumur 1: marker DNA (1 kb ladder plus), sumur 2: DNA hasil inverse PCR. B)
Hasil elektroforesis plasmid pGEMT-38 yang dipotong dengan enzim EcoRI.
Sumur 2 dan 3 terdapat dua pita yang berukuran ~3 kb (pGEMT-Easy) dan ~0.8
kb (DNA genom pengapit transposon) hasil pemotongan EcoRI.

Hasil pemotongan dengan enzim EcoRI didapatkan dua pita yang
menunjukkan adanya plasmid vektor pGEM-T (~3 kb) dan DNA sisipan yaitu
fragmen DNA genom pengapit transposon yang terlibat dalam toleransi asam-Al
(0.8 kb). Peta plasmid rekombinan pGEMT-38 (~3.8 kb) dapat dilihat pada
Gambar 2.
















Gambar 8. Peta Plasmid rekombinan pGEMT-38 (~3.8 kb) hasil ligasi fragmen
DNA genom yang terlibat dalam toleransi asam-Al (~0.8 kb) dengan pGEMT-
Easy (~3kb).


PEMBAHASAN
Koloni B. japonicum 38 berbentuk bulat, berwarna putih, elevasi cembung,
dengan diameter koloni melebihi 1 mm setelah inkubasi 10 hari pada suhu ruang.
Selain itu, B. japonicum 38 ini memiliki konsistensi lengket dan berlendir. Tipe
koloni BJ 38 umumnya disebut dengan tipe large watery (Endarini et al. 1995).
Menurut Keyser & Munns (1979) galur-galur B. japonicum yang menghasilkan
lendir banyak atau memiliki tipe koloni large watery lebih memiliki sifat toleran
terhadap kondisi asam dibandingkan tipe koloni yang sedikit menghasilkan lendir
atau yang biasa disebut dengan tipe koloni small dry (kering). B. japonicum telah
diketahui memiliki sifat resistensi terhadap antibiotik rifampisin (100 g/ml),
tetrasiklin (100 g/ml) dan ampisilin (100 g/ml). Namun demikian, B. japonicum
tersebut tidak mampu tumbuh pada media yang mengandung antibiotik kanamisin
(50 g/ml) (Wahyudi 1998). Sifat sensitivitas terhadap kanamisin ini merupakan
salah satu alasan penggunaan transposon mini-Tn5Km1, sehingga kanamisin
dapat digunakan sebagai penanda seleksi transkonjugan.
Frekuensi konjugasi B. japonicum 38 berkisar 10
-8
hingga 10
-7
sel per
resipien. Waktu inkubasi mating 18 jam memberikan frekuensi konjugasi yang

PKMI-1-04-6
lebih besar dibandingkan mating selama 12 jam dan 24 jam. Namun demikian,
frekuensi konjugasi pada waktu inkubasi 18 dan 24 jam tidak berbeda jauh yakni
pada kisaran 10
-7
sel per resipien. Dalam hal ini waktu inkubasi 18 jam
merupakan waktu mating yang dianggap cukup untuk mendapatkan koloni mutan
dari B. japonicum 38 jika dibandingkan penggunaan waktu mating 24 jam.
Wahyudi et al. (1998) yang juga telah melakukan konjugasi pada B. japonicum
BJ 11 mendapatkan frekuensi konjugasi sebesar 3.6 x 10
-9
sel per resipien.
Frekuensi konjugasi ini didapatkan dengan melakukan proses konjugasi
menggunakan perbandingan konsentrasi sel E. coli S 17-1 ( pir) dengan B.
japonicum sebesar 1:10. Pada penelitian ini digunakan perbandingan E. coli S 17-
1 ( pir) dengan B. japonicum sebesar 1:1, dan memperlihatkan frekuensi
konjugasi yang lebih besar. Hal ini memperlihatkan bahwa perbandingan donor
dan resipien nampaknya mempengaruhi hasil konjugasi. Perbedaan frekuensi
transkonjugasi berdasarkan waktu inkubasi mating, juga dapat disebabkan
keberhasilan transposisi yang dipengaruhi oleh DNA polimerase I, faktor
terminasi transkripsi (Rho) dan protein serupa histon (Berg 1989). Menurut
Braam et al. (1999) frekuensi transposisi juga ditentukan oleh aktivitas gen tnp
yang menyandikan enzim transposase (53 kDa; 476 aa) yang berperan dalam
proses eksisi transposon dari plasmid pembawanya. Waktu inkubasi mating yang
lebih lama dan tepat dapat menghasilkan frekuensi konjugasi yang besar karena
dapat mempengaruhi keberhasilan transfer pUT miniTn5 Km1 ke dalam sel B.
japonicum.
Telaah molekuler genom mutan AAS38 memperlihatkan hasil inverse PCR
sebesar 0.8 kb yang merupakan fragmen DNA genom yang terlibat dalam
toleransi asam-Al kemungkinan besar belum mengindikasikan sekuen gen
lengkap yang berperan dalam sifat toleransi asam-Al. Hal ini karena tidak
menutup kemungkinan adanya sistem operon yang berperan dalam sifat toleransi
ini. Namun demikian, hasil inverse PCR ini merupakan bukti kuat adanya
keterlibatan fragmen DNA genom/gen dalam toleransi asam-Al pada B.
japonicum 38, karena dengan adanya penyisipan mini-Tn5Km1 pada fragmen
genom tersebut menyebabkan terganggunya sistem fisiologis yang berperan dalam
sifat toleransi terhadap asam-Al.
Studi genetik pada sel rhizobia toleran asam memperkirakan sedikitnya
dua lokus dari megaplasmid atau kromosom dalam hal ini gen pengatur pH yang
diperlukan dalam pertumbuhan rhizobia toleran pada pH rendah (Chen et al.
1991; 1993). Pada R. loti, sifat toleran pH rendah berhubungan dengan komposisi
dan struktur membran. Pada galur R. loti yang toleran asam terdapat satu protein
membran dengan ukuran 49.5 kDa dan tiga protein terlarut dengan ukuran
66.0, 85.0, dan 44.0 kDa. Protein-protein tersebut yang merupakan hasil ekspresi
gen yang meningkat ketika sel ditumbuhkan pada pH 4.0. Sifat toleransi R. loti
pada kondisi asam diperkirakan melibatkan mekanisme yang bersifat konstitutif
seperti permeabilitas membran luar dengan respon adaptif termasuk fase
pertumbuhan sel dan perubahan ekspresi protein (Correa & Borneix 1997). Flis et
al. (1992) juga menyatakan beberapa fungsi fisiologis untuk ketahanan rhizobia
terhadap asam-Al diantaranya ialah pengikatan ion Al
3+
oleh eksopolisakarida
untuk meminimalkan toksisitas Al.
Pada sel B. japonicum yang tidak toleran asam-Al umumnya memiliki
kandungan posfat yang lebih rendah dibandingkan sel toleran. Posfat merupakan

PKMI-1-04-7
salah satu molekul anion yang dapat mengikat Al
3+
sehingga mengurangi
toksisitas Al (Flis et al. 1992). Dari kondisi tersebut mungkin dapat dihipotesiskan
adanya mekanisme antiport H
+
/posfat sebagai salah satu mekanisme toleransi
asam-Al pada B. japonicum. Adanya penyisipan transposon pada gen yang
menyandikan protein permease yang berperan dalam sistem antiport tersebut
dapat menyebakan B. japonicum menjadi sensitif terhadap asam-Al.
Plasmid rekombinan hasil ligasi antara vektor pGEMT-Easy dengan DNA
sisipan merupakan alat penting untuk telaah molekuler lebih lanjut. Plasmid
rekombinan yang ditransformasi ke dalam sel E. coli DH5 ini dimaksudkan
untuk pembentukan klon, yaitu sel-sel individu yang mengandung molekul DNA
rekombinan yang dapat dipropagasi dan disimpan untuk memproduksi molekul
DNA rekombinan dalam jumlah besar sehingga dapat digunakan untuk
mempelajari karakter fisiologis tertentu ataupun untuk mengkonservasi molekul
DNA rekombinan dalam keadaan stabil (Dawson et al. 1996). Plasmid
rekombinan ini juga dapat digunakan untuk menganalisis sekuen DNA sisipan
(DNA yang terlibat dalam toleransi asam-Al), sehingga dapat ditemukan sekuen
homologinya dengan sekuen organisme lain pada database GeneBank. Selain itu
juga dapat digunakan untuk mengetahui protein yang disandikan oleh sekuen gen
tersebut dengan cara membandingkan dan mensejajarkan data urutan asam amino
DNA sisipan dengan data GeneBank.


KESIMPULAN
Fragmen DNA genom sebesar 0.8 kb yang terlibat dalam toleran asam-Al
pada B. japonicum 38 telah berhasil diisolasi dengan menggunakan teknik inverse
PCR, melalui mutagenesis transposon mini-Tn5Km1. Fragmen DNA tersebut
berhasil diklon ke dalam plasmid vector pGEMT-Easy (~3kb) menghasilkan
plasmid rekombinan pGEMT-38 yang berukuran ~ 3.8 kb.


DAFTAR PUSTAKA
Ayanaba A, Asanuma S, Munns DN. 1983. An Agar plaete method for rapid
screening of Rhizobium for tolerance to acid-aluminium stress. Soil Sci
Soc Am J 47: 256-258.
Berg DE. 1989. Transposon Tn5. Di dalam Berg DE, Howe MM (editor). Mobile
DNA. Washington: Washington Press. hlm 185-210.
Braam LAM, Goryshin IY, Reznikoff WS. 1999. A Mechanism for Tn5 Inhibition
carboxyl-terminal dimerization. J Biol Chem 274: 86-92.
Bruijn FJ, Lupski JR. 1984. The use of transposon Tn 5mutagenesis in the rapid
generation of correlated physical and geneticalmaps of DNA segments
cloned into multicopy plasmids. A review. Gene 27:131-149.
Chen H, Gartner E, Rolfe BG. 1991. Involvement of genes on a megaplasmid in
the acid-tolerant phenotype of Rhizobium leguminosarum biovar trifolii.
Appl Environ Microbiol 59:1058-1064 [Abstrak].
Chen H, Richardson AE, Rolfe BG. 1993. Studies on the physiological and
genetic basis of acid tolerance in Rhizobium leguminosarum biovar
trifolii. Appl Environ Microbiol 59:1798-1800 [Abstrak].

PKMI-1-04-8
Correa OS, Barneix AJ. 1997. Cellular mechanisms of pH tolerance in Rhizobium
loti. World J Microbiol Biotechnol 13:153-157.
Dawson MT, Powell R, Gannon F. 1996. Gene Technology. Graham JM,
Billington D, Gilmartin PM, editor. Oxford: BIOS Scientific Publ. Ltd.
hlm 91-95.
De Lorenzo V, Herrero M, Jakubzik U, Timmis KN. 1990. Mini -Tn5 Transposon
derivatives for insertion mutagenesis, promoter probing, and
chromosomal insertion of cloned DNA in gram negative eubacteria. J
Bacteriol 172: 6568-6572.
Endarini T. Wahyudi AT, Imas T. 1995. Seleksi galur-galur Bradyrhizobium
japonicum indigenus toleran medium asam-Al. Hayati 2: 15-18.
Flis SE, Glenn AR, Dilworth MJ. 1992. The interaction between aluminium and
root nodule bacteria. Soil Biol Biochem 25:403-417.
Herrero M, de Lorenzo V, Timmis KN.1990. Transposon vectors containing non-
antibiotic resistance selestion markers for cloning and stable
chromosomal insertion of foreign genes in gram negative bacteria. J
bacteriol 172:6557-6567.
Johnson AC,Wood M. 1990. DNA, a possible site of action of aluminum in
Rhizobium spp. Appl Environ Microbiol 56:3629-3633.
Keyser HH, Munns DN. 1979. Tolerance of Rhizobia to acidity, aluminum and
phospate. Soil Sci Soc Am J 43:519-523.
Richardson AE, Simpson RJ, Djordjevic MA, Rolfe BJ. 1988. Expression of
nodulation genes in Rhizobium leguminosarum bv. trifolii is affected by
low pH and by Ca
2+
and Al ions. Appl Environ Microbiol 54:2541-
2548.
Sambrook W, Russel DW. 2001. Molecular Cloning: A Laboratory Manual. Vol
1. Ed ke-3. New York: Cold Spring Harbor Laboratory Press.
Snyder L, Champness W. 2003. Molecular Genetics of Bacteria. Washington
DC: ASM Press.
Voelker LL, Dybvig K. 1998. Transposon mutagenesis. Methods Mol Biol
104:235-238.
Wahyudi AT, Suwanto A, Tedja-Imas T, Tjahjoleksono A. 1998. Screening of
acid-aluminium tolerant Bradyrhizobium japonicum strains: analysis of
marker genes and competition in planta. Aspac J Mol Biol Biotechnol 6
: 13-20.
Wahyudi AT, Matsunaga T, Takeyama H. 2001. Isolation of Magnetospirillum
magneticum AMB-1 Mutants Defective in Bacterial Magnetic Particle
Synthesis by Transposon Mutagenesis. Appl Biochem Biotechnol 91-
93:147-154.
Yutono.1985. Inokulasi Rhizobium pada kedelai . Di dalam: Somaatmadja et al.
(editor). Kedelai. Balai Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
Bogor: Puslitbangtan


PKMI-1-05-1
METODE PELATIHAN PENGELOLAAN SAMPAH DOMESTIK BAGI
IBU RUMAH TANGGA DI PERMUKIMAN SUB-URBAN
(Studi Kasus : Desa Bojongkacor Kelurahan Cibeunying
Kecamatan Cimenyan Kabupaten Bandung)

Tri Yunia M., Rakhmita Akhsayanty, R. Maya Sarah G.K., Dewi Lestariyani A.
Program Studi Teknik Lingkungan, Institut Teknologi Bandung

ABSTRAK
Meningkatnya volume sampah di Bandung telah menimbulkan masalah yang
kompleks dalam pengelolaannya. Untuk itu dibutuhkan strategi yang efektif untuk
mereduksi volume sampah sejak dari sumbernya, terutama sampah domestik, di
mana ibu rumah tangga berperan penting di dalamnya. Bagaimana ibu rumah
tangga mengelola sampah dipengaruhi oleh tingkat pengetahuan dan
kesadarannya. Untuk itu dibutuhkan sebuah metode pelatihan yang mampu
mengakomodasi kebutuhan tersebut. Selama ini belum ada metode pelatihan yang
baku dan sesuai dengan potensi dan kebutuhan ibu rumah tangga. Penelitian ini
merekomendasikan sebuah metode pelatihan pengelolaan sampah bagi ibu rumah
tangga yang disesuaikan dengan modalitas belajar dan tingkat pengetahuannya.
Dalam mengidentifikasi faktor-faktor tersebut dilakukan survei dan pengambilan
sampel yang dilakukan dengan metode simple cluster random sampling pada
daerah sub-urban, sebagai studi kasus yaitu Desa Bojongkacor RW 22 Kelurahan
Cibeunying Kecamatan Cimenyan Kabupaten Bandung. Metode pelatihan yang
dihasilkan dalam penelitian ini sesuai dengan modalitas belajar dominan ibu
rumah tangga, yaitu visual dan kinestetik. Materi pelatihan yang diberikan
ditekankan pada aspek-aspek yang mampu meningkatkan pemahaman
persampahan dan pengelolaannya serta aplikatif dilakukan dalam skala rumah
tangga. Selain itu, untuk mencapai kualitas output yang berkesinambungan,
diperhatikan pula prakondisi seperti penyelenggaraan lomba kebersihan.
Penetapan materi sederhana yang aplikatif serta metode yang mendukung
modalitas belajar visual dan kinestetik dalam metode pelatihan yang telah dibuat
diprediksi akan memberikan hasil yang lebih efektif.

Kata kunci : sampah domestik, ibu rumah tangga, modalitas belajar, tingkat
pengetahuan, metode pelatihan.


PENDAHULUAN
Sampah menjadi persoalan yang cukup pelik bagi Pemerintah Kota
Bandung terutama setelah tanggal 21 Februari 2005, jutaan kubik sampah setinggi
30 meter di TPA Leuwigajah Kecamatan Cimahi Selatan longsor hingga
menewaskan 143 jiwa. Adapun TPA yang kemudian dipergunakan pascatragedi
Leuwigajah seperti TPA Cicabe, Pasir Impun, dan Jelekong ternyata tidak memiliki
kapasitas sebesar TPA Leuwigajah. Dengan produksi sampah warga Kota Bandung
yang mencapai 7.500 meter kubik per hari ditambah masalah keterbatasan TPA,
sampah yang menggunung dan belum terangkut di TPS-TPS seputar kota Bandung
menjadi pemandangan yang tidak asing dan tidak sedap dipandang mata (Pikiran
Rakyat, 2006).

PKMI-1-05-2
Sebagian besar sampah dihasilkan dari aktivitas rumah tangga, dikenal
sebagai sampah domestik (Damanhuri, 2004). Peranan ibu rumah tangga dalam
keluarga cukup besar untuk mengatur dan mengurus segala kepentingan dan
keperluan keluarga. Hal ini salah satunya digambarkan oleh hasil penelitian yang
pernah dilakukan dimana peran seorang istri dalam pengambilan keputusan rumah
tangga yakni kebutuhan sehari-hari (75,7%) belanja sehari-hari (82,4%) mengganti
perabot rumah tangga (56,2%) (Wiludjeng, et al., 2005).
Akan tetapi, bagaimana seorang ibu rumah tangga mengelola sampah
rumah tangga akan sangat bergantung pada pengetahuannya tentang pengelolaan
persampahan yang baik dan kesadaran untuk melaksanakannya. Sebuah hasil
penelitian di Kota Surabaya memperlihatkan bahwa ibu-ibu rumah tangganya
memiliki manifestasi perilaku yang sangat rendah tentang pemisahan sampah
domestik, program 3R yang meliputi reduce atau mengurangi, reuse atau
menggunakan kembali, recycle atau mendaur ulang, dan pemusnahan sampah
domestik. Sedang manifestasi perilaku yang sangat tinggi ditunjukkan dalam hal
penyediaan tempat sampah domestik dan retribusi sampah (Irawati, 1999).
Untuk meningkatkan pengetahuan sekaligus menumbuhkan kesadaran para
ibu rumah tangga itulah dibutuhkan sebuah metode pelatihan yang memperhatikan
kondisi nyata ibu rumah tangga, terutama terkait dengan modalitas belajar dan
pengetahuan yang telah dimiliki. Hal ini menjadi penting untuk dilakukan karena
sampai saat ini pihak pemerintah terkait belum memiliki metode baku untuk
pelatihan dengan tujuan sejenis. Pelatihan yang selama ini diadakan bersifat
insidental dan hanya menggunakan metode ceramah dimana efektivitasnya
dominan ditentukan oleh kelihaian teknik komunikasi pembicara (PD Kebersihan
Kota Bandung, 2006)
Peranan ibu rumah tangga yang signifikan dalam mereduksi sampah
domestik, makin banyaknya desa-desa yang beralih fungsi menjadi permukiman
sub-urban di masa depan, dan belum adanya sebuah metode pelatihan yang baku
bagi mereka untuk mengubah perilakunya terhadap lingkungan menjadikan hasil
penelitian ini penting untuk dikembangkan dan diaplikasikan.
Masalah yang akan dibahas pada penelitian ini yaitu bagaimana metode
pelatihan bagi para ibu rumah tangga yang sesuai dengan modalitas belajar,
pengetahuan, dan kebutuhannya akan pengelolaan sampah.
Tujuan penelitian ini adalah membuat sebuah rekomendasi metode
pelatihan yang sesuai dengan modalitas belajar, pengetahuan, dan kebutuhan para
ibu rumah tangga terhadap pengelolaan sampah.

METODE PENDEKATAN
Analisis Kebutuhan
Langkah analisis kebutuhan diperlukan untuk mengetahui keterampilan
kerja spesifik yang dibutuhkan, menganalisis keterampilan dan kebutuhan calon
peserta (Dessler, Gary. 2004). Dalam menentukan analisis kebutuhan, penulis
menggunakan metode pendekatan kuantitatif dengan survei. Selanjutnya, dalam
penelitian digunakan pendekatan kualitatif dalam rangka mendukung data
kuantitatif. Pengambilan sampel dilakukan dengan metode simple cluster random
sampling. Kehomogenan sampel terletak pada status sosial responden yaitu
perempuan yang telah menikah dan bekerja sebagai ibu rumah tangga.
Data primer diperoleh melalui wawancara mendalam, kuesioner, dan pengamatan

PKMI-1-05-3
berperanserta. Sementara itu, data sekunder diperoleh melalui penelusuran literatur
atau studi pustaka baik dari buku maupun internet.
Penelitian dilakukan terhadap 30 orang ibu rumah tangga di daerah sub-urban
tepatnya Desa Bojongkacor RW 22 Kelurahan Cibeunying Kecamatan Cimenyan
Kabupaten Bandung. Waktu pelaksanaan penelitian yaitu minggu terakhir bulan
Februari hingga minggu pertama bulan Maret 2006.
Jenis-jenis pertanyaan yang diberikan terkait dengan modalitas belajar,
pengetahuan tentang pengelolaan sampah, pengelolaan sampah eksisting, dan
animo mengikuti pelatihan.
Penetapan pra-kondisi
Penetapan pra-kondisi dibutuhkan untuk memastikan kesadaran peserta
telah mulai terbangun dan terdapat persiapan program partisipatoris struktural
pascapelatihan sehingga hasil pelatihan dapat terjaga secara kontinu.
Penetapan blok materi
Materi dalam training dibagi menjadi blok-blok materi berdasarkan
kesamaan tema yang ingin disampaikan. Satu blok materi terdiri atas beberapa
metode dan materi pelatihan.
Penetapan materi dan metode
Materi dan metode ditentukan dengan mempertimbangkan kondisi input
mengenai pengetahuan persampahan serta modalitas belajar untuk mencapai
tujuan-tujuan khusus
Penetapan suasana dan kelengkapan
Penetapan suasana dan kelengkapan pelatihan yang dibutuhkan untuk
menciptakan lingkungan pelatihan yang nyaman bagi peserta terutama untuk
mendukung modalitas belajar peserta.
Penentuan metode evaluasi
Penentuan metode evaluasi untuk mengukur ketercapaian tujuan pelatihan.
Metode yang dipilih untuk digunakan adalah focus group discusion.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Dari survei diperoleh hasil bahwa sebagian besar responden yang berusia
30 hingga 50 tahun (80%) dan berpendidikan di bawah SMU (52%) memiliki
pengetahuan tentang persampahan masih relatif rendah. Hal ini dapat dilihat pada
Gambar 1.

Pengetahuan dan Perilaku Responden
Pengetahuan tentang istilah persampahan diukur berdasarkan pengetahuan
terhadap istilah sampah organik, istilah ini dianggap paling penting untuk
diketahui dan paling mewakili pengetahuan tentang istilah persampahan karena
merupakan istilah dasar untuk pemilahan sampah yang merupakan langkah awal
pengelolaan sampah yang baik. Ternyata sebagian besar ibu rumah tangga (70%)
mengetahui istilah ini sehingga istilah ini tidak ditekankan untuk diperkenalkan
ulang pada pelatihan. Para ibu rumah tangga juga sebagian besar telah mengetahui
tentang pemilahan sampah (69%), namun dalam aplikasinya sebagian besar belum
melakukan (53%) dengan beragam cara seperti terlihat pada Gambar 1-2. Dari sini
direkomendasikan untuk menekankan motivasi, penekanan urgensi, dan contoh
praktis yang mudah dilakukan oleh ibu rumah tangga untuk mengaplikasikan
pemilahan sampah.

PKMI-1-05-4






Gambar 1. Pengetahuan Responden

Dalam pengelolaannya, 53 % responden tidak melakukan pemisahan
sampah menurut jenisnya. Demikian pula dengan pengelolaan sampah yang masih
bernilai ekonomis hanya 7 % responden yang memanfaatkan kembali, sebagian
besar dijual (62%), dan sisanya dibuang (31%).
Dari seluruh responden yang belum pernah mendapatkan pelatihan atau
penyuluhan mengenai persampahan, sebagian besar (90%) antusias untuk
mengikuti pelatihan atau penyuluhan jika diadakan.
















Gambar 2. Perilaku Responden


Dari data yang didapat, modalitas belajar responden yang cenderung
menonjol yaitu gaya belajar visual dan kinestetik. Hal ini dapat dilihat pada
Gambar 3.

PKMI-1-05-5




Untuk memperoleh hasil yang diinginkan dari suatu metode pelatihan,
langkah awal yang penting dilakukan adalah mengenali modalitas belajar
seseorang sebagai modalitas visual, auditorial, atau kinestetik, yang menyatakan
bagaimana seseorang mampu menyerap informasi dengan mudah (DePorter, 1992).
Berdasarkan hasil survei, diketahui bahwa sebagian besar ibu rumah tangga
memiliki modalitas belajar visual dan kinestetik. Karakteristik khas seseorang
dengan modalitas belajar visual adalah mengolah informasi dengan cara melihat,
sedangkan kinestetik mengolah informasi dengan cara bergerak, bekerja, dan
menyentuh. Akan halnya auditorial mengolah informasi dengan cara mendengar
dan ini tidak dominan ditemui pada sampel. Karenanya, metode pelatihan yang
dibuat harus mengedepankan aspek-aspek visual dan kinestetik agar informasi
yang diberikan mudah diserap oleh para ibu rumah tangga.
Pendekatan visual dalam metode dilakukan dengan menggunakan alat
bantu berupa poster di sekeliling ruangan, film pendek, slide-show, fotonovela, dan
memastikan posisi pembicara terlihat oleh seluruh peserta (khusus untuk materi
indoor). Sedangkan pendekatan kinestetik dilakukan dengan memperbanyak sesi
praktek untuk beberapa materi seperti pewadahan, pemilahan, dan komposting.
Pembicara juga diusahakan untuk selalu melakukan kontak fisik dengan peserta.
Untuk mendukung output yang dihasilkan, keluarga akan dilibatkan dalam sebuah
momentum bersama dengan tema persampahan yang termasuk dalam blok materi
review dan remotivation.
Untuk mendukung kenyamanan suasana belajar, ruangan akan diisi dengan
musik-musik yang dapat menstimulus kerja otak, yakni musik klasik. Pencahayaan
juga diatur agar selalu sesuai dengan suasana yang akan dibangun. (DePorter,
1992)
Materi pelatihan yang diberikan ditekankan pada aspek-aspek yang mampu
meningkatkan pemahaman persampahan dan pengelolaannya serta aplikatif
dilakukan dalam skala rumah tangga.


PKMI-1-05-6
Berdasarkan hasil survei, diketahui bahwa sebagian besar ibu rumah tangga
belum mengetahui istilah-istilah persampahan, urgensi pemilahan di sumber dan
3R, serta bagaimana melakukan pengelolaan yang baik secara aplikatif di rumah
tangga.
Dengan kebutuhan yang disebutkan di atas, pelatihan ini dirancang dengan
memperhatikan kondisi awal (prakondisi), materi dan metode pelatihan untuk
mendapatkan suatu kondisi ideal yang tertuang dalam tujuan pelatihan. Diagram
alir pelatihan persampahan disajikan dalam Gambar 4.




Gambar 4. Diagram Alir Pelatihan Sampah

Sebelum pelatihan dilakukan, prakondisi yang dibutuhkan adalah
terstimulasinya kepekaan masyarakat terhadap pengelolaan sampah dan kesiapan
manajerial dari aparat dalam sistem pengelolaan sampah. Beberapa alternatif yang
ditawarkan yaitu pengadaan lomba kebersihan antar RT, pengadaan sarana
komposting terpusat, dan fasilitasi pengumpulan sampah bernilai ekonomi. Tanpa
prakondisi, pelatihan dapat berjalan, akan tetapi hasilnya tidak lebih terjamin akan
berkesinambungan ketimbang dengan adanya pra-kondisi.
Adapun materi pelatihan dibagi atas blok-blok materi dengan tujuannya
masing-masing yang dilaksanakan secara serial. Evaluasi diadakan di akhir
pelatihan dengan mengadakan focus group discussion untuk menilai motivasi dan
pemahaman peserta pascapelatihan.
Deskripsi dari pelaksanaan metode beserta tujuannya disajikan dalam
Tabel 1 6




PKMI-1-05-7
Tabel 1. Deskripsi Blok Materi I

Blok Materi I
Tujuan Peserta termotivasi mengikuti training hingga akhir
Materi Manfaat training
Metode Talk show
Games kelompok tebak gambar
Suasana Indoor
Kondisi duduk peserta huruf U
Pencahayaan cukup
Ada musik
Penempelan gambar dan poster
Kelengkapan Doorprize
Sound system
Hadiah
Gambar-gambar
Laptop/ komputer
Lagu
Parameter Keberhasilan
Seluruh peserta dilibatkan secara aktif
Games diikuti dengan antusias



Tabel 2. Deskripsi Blok Materi II

Blok Materi II
Tujuan
Menyadarkan pentingnya peranan ibu dalam perbaikan
kualitas dan kesehatan keluarga serta pengelolaan
persampahan
Materi
Urgensi peranan ibu rumah tangga dalam pengelolaan
sampah Urgensi pengelolaan sampah domestik rumah tangga
Metode Pemutaran film pendek
Pembacaan puisi
Refleksi film
Suasana Pengaturan pencahayaan
Back sound
Cahaya terang
Kelengkapan Infokus
Laptop/ computer
Parameter
Keberhasilan
Seluruh peserta antusias mengikuti acara








PKMI-1-05-8
Tabel 3. Deskripsi Blok Materi III

Blok Materi III
Tujuan Memberikan pengetahuan tentang persampahan
Materi
Karakteristik sampah dan urgensi pemilahan serta
pewadahan sampah
Pengetahuan
Komposting
Metode Lomba memilah sampah
Ceramah
Composting Group
Suasana Nyaman dan santai
Outdoor
Ada musik
Kelengkapan Kantong plastic
Sampel sampah
Sound system
Lagu
Sarung tangan
Komposter
Parameter
Keberhasilan
Peserta mampu secara mandiri melakukan pemilahan dan
composting
Peserta mampu menjelaskan kembali langkah-langkah
pengerjaannya.
Peserta bersemangat melakukan pemilahan sampah di
rumahnya



Tabel 4. Deskripsi Blok Materi IV

Blok Materi IV
Tujuan Review dan remotivasi peserta
Materi 3R (Reuse-Recycle-Reduce)
Metode
Lomba kreativitas keluarga (Memanfaatkan
barang-barang bekas)
Launching program oleh aparat kelurahan
Suasana Santai
Outdoor
Ada musik
Kelengkapan Barang-barang bekas
Sound system
Lagu
Parameter
Keberhasilan
Seluruh keluarga peserta hadir
Terbangun suasana yang menyenangkan dan penuh
kebersamaan


PKMI-1-05-9
Tabel 5. Deskripsi Blok Materi V

Blok Materi V
Tujuan
Membangun kesadaran dan partisipasi aktif warga dan
aparat desa dalam pengelolaan sampah
Materi Program-program Follow Up
Metode dan waktu
Musyawarah/rembug desa
Suasana Indoor
Semi-serius
Kelengkapan Sound system
Papan tulis
Parameter
Keberhasilan
Seluruh aparat terkait dan tokoh-tokoh masyarakat hadir dan
berpartisipasi aktif dalam rembug.



Tabel 6. Deskripsi Blok Materi VI

Blok Materi VI
Tujuan
Mengevaluasi tingkat keberhasilan training dan
rekomendasi perbaikan
Materi -
Metode
Diskusi dalam kelompok dipandu oleh assesor (focus
group discussion)
Suasana Indoor
Semi-serius
Kelengkapan Fasilitator, assesor
Parameter
Keberhasilan Seluruh peserta berperanserta aktif dalam diskusi



KESIMPULAN
Identifikasi modalitas belajar dan pengetahuan riil eksisting ibu rumah
tangga terkait dengan pengelolaan sampah penting sebagai dasar awal pembuatan
sebuah pelatihan sehingga kemungkinan akan tingginya tingkat efektivitas
pelatihan akan semakin besar.
Survei menunjukkan bahwa sebagian besar ibu rumah tangga memiliki
modalitas belajar visual dan kinestetik dengan pengetahuan dasar pengelolaan
sampah yang relatif sedikit. Materi pelatihan yang telah dibuat meliputi pemberian
motivasi, pemahaman urgensi peranan ibu rumah tangga dalam pengelolaan
sampah, pengetahuan persampahan, review dan remotivation, rembug program dan
partisipasi aktif warga-aparat desa, serta evaluasi. Penetapan materi sederhana yang
aplikatif serta metode yang mendukung modalitas belajar visual dan kinestetik
dalam metode pelatihan yang telah dibuat diprediksi akan memberikan hasil yang
lebih efektif.

PKMI-1-05-10

DAFTAR PUSTAKA
Damanhuri, Enri. 2001. Diktat Pengelolaan Sampah. Bandung, Penerbit ITB.
DePorter, Bobbi dan Hernacki, Mike. 1992. Quantum Learning Membiasakan
Belajar Nyaman dan Menyenangkan. Bandung, Kaifa.
Dessler, Gary. 2004. Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta, PT INDEKS.
Irawati, Henie Mimien. 1999. Manifestasi Perilaku Ibu-ibu Rumah Tangga dalam
Pengelolaan Sampah Rumah Tangga di Kotamadya Surabaya. Malang,
Universitas Negeri Malang.
PD Kebersihan Kota Bandung. Sumber fakta dari Kepala Humas PD Kebersihan
Kota Bandung, Bapak S. Yosep.
Wiludjeng, H. Habsjah, A. dan Wibawa, Dhevy S. 2005. Dampak Pembakuan
Peran Gender terhadap Perempuan Kelas Bawah di Jakarta. Jakarta,
LBH-APIK.
www.pikiranrakyat.com. Diakses tanggal 26 Februari 2006.


PKMI-1-06-1
EFEKTIVITAS PENGGUNAAN METODE SOLFEGI O
UNTUK PEMBELAJARAN KETRAMPILAN BERMAIN MUSIK
DI SEKOLAH DASAR

Mochamad Usman Wafa, Ferry Bayu Arianto, Bagasworo D.S.
Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Semarang, Semarang



ABSTRAK
Pada umumnya proses pembelajaran musik di Sekolah Dasar belum disertai
penerapan metode yang tepat. Berkaitan dengan hal tersebut penelitian ini secara
khusus akan mengujicobakan metode solfegio pada pembelajaran praktek
instrumen musik. Penelitian ini dilakukan di SD Negeri 01 Sekaran Gunungpati
Semarang. Penelitian ini menggunakan metode tindakan kelas yang didukung
dengan strategi pencarian data yang meliputi: (1) observasi partisipatif, (2)
dokumentasi, dan (3) angket. Analisis yang diperlukan adalah teknik deskriptif
dengan prosentase. Berdasarkan data penelitian diperoleh informasi bahwa
metode solfegio dapat meningkatkan efektivitas, keaktifan, efisiensi dan
keterlibatan siswa sehingga dapat mengatasi kendala-kendala yang dihadapi
dalam pembelajaran ketrampilan bermain musik (ansembel). Hasil penelitian
menunjukkan bahwa sebelum diterapkan metode solfegio hanya 10% siswa yang
mampu belajar musik Setelah dilakukan tindakan pembelajaran dengan
menggunakan metode solfegio sight reading terdapat peningkatan kualitas dalam
penguasaan musik. Peningkatan tersebut dapat dilihat dari rincian data berikut:
31% siswa menguasai materi belajar dengan tingkat sangat baik, 43% siswa
menguasai materi belajar dengan tingkat baik, 26% siswa menguasai materi
belajar dengan tingkat sedang. Ketika diujicobakan metode solfegio ear training.
Dari hasil observasi penampilan bermain musik, hasilnya adalah 20% siswa
menguasai materi belajar dengan tingkat sangat baik, 46% siswa menguasai
materi belajar dengan tingkat baik, 34% siswa menguasai materi belajar dengan
tingkat sedang. Berkaitan dengan hal tersebut, maka disarankan agar guru musik
mnenerapkan metode solfegio dalam setiap kegiatan belajar mengajar
ketrampilan bermain musik disetiap kelas, sesuai keragaman materi seni yang
diajarkan di Sekolah Dasar.

Kata kunci: metode solfegio (Sight Reading dan Ear training), ketrampilan musik

PENDAHULUAN
Tidak dapat disangkal bahwa seni termasuk seni musik merupakan bagian
yang tak terpisahkan dari kehidupan manusia. Salah satu implementasi dari
ketakterpisahan ini adalah berupa peran seni dalam mempengaruhi perkembangan
jiwa manusia. Pemanfaatan ini tentunya dalam arti positif, yaitu pengkajian seni
untuk mengembangkan aspek estetis yang dimiliki manusia. Usaha untuk
mencapai tujuan tersebut antara lain melalui pendidikan seni yang
diselenggarakan di sekolah.
Keragaman materi dan teknik pengajaran ketrampilan berkesenian
menuntut digunakannya berbagai metode belajar kesenian (musik) yang dapat


PKMI-1-06-2
dilaksanakan untuk keberhasilan pembelajaran. Hal ini berdampak pula pada
corak pembelajaran ketrampilan bermain musik yang dilakukan oleh guru musik
dan akan pula menentukan intensitas dan keajegan pembelajaran sesuai dengan
alokasi waktu yang tersedia.
Pengalaman di lapangan menunjukkan bahwa dalam proses pembelajaran
ketrampilan bermain musik (ansambel musik sekolah) ternyata memerlukan
sebuah metode yang spesifik sehingga relevan dengan karakteristik mata pelajaran
seni musik. Pada saat peneliti mulai mengajar di kelas V di SD Sekaran 01
Semarang, peneliti mendapatkan data bahwa dari jumlah 35 siswa kelas V, hasil
belajar ketrampilan bermain musik (ansambel) menunjukkan hanya 10% siswa
yang menguasai ketrampilan bermain musik, sedang sisanya 90% mengalami
kesulitan.
Secara eksplisit tujuan penelitian ini adalah untuk meningkatkan kualitas
pembelajaran KTK di SD, melalui penerapan metode solfegio. Secara implisit
penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan efektifitas penggunaan metode
solfegio serta penggunaan teknik sight reading dan ear training dalam
pembelajaran keterampilan bermain musik bagi siswa SD.
1. Untuk mendeskripsikan efektifitas penggunaan metode solfegio untuk
pembelajaran ketrampilan bermain musik bagi siswa kelas V SD 01 Sekaran
Semarang.
2. Untuk mendeskripsikan efektifitas penggunaan tehnik ear training dan sight
reading untuk pembelajaran ketrampilan bermain musik bagi siswa SD 01
Sekaran Semarang.
3. Untuk mendeskripsikan ada atau tidaknya peningkatan kualitas pembelajaran
KTK siswa kelas V SD 01 Sekaran Semarang.

Musik adalah bahasa emosi yang bersifat universal. Melalui pendengaran
musik dapat dimengerti dan dirasakan makna dan kesan yang terkandung
didalamnya. Manusia normal sejak lahir sudah dibebani dengan kemampuan
reaksi terhadap bunyi atau musik. Sehingga tanpa kegiatan mendengar, manusia-
manusia tidak dapat memberikan reaksi terhadap rangsangan yang berbentuk
bunyi (Jamalus, 1981 : 49). Selanjutnya dikemukakan pula bahwa dalam
mempelajari teori musik, harus diberikan melalui bunyinya, sehingga siswa dapat
mendengar dan menghayati apa yang disebut dengan tangga nada, interval, melodi
dan kord.
Dalam dunia musik dikenal suatu metode yang disebut Solfegio yaitu
istilah yang mengacu pada menyanyikan tangga nada, interval dan latihan-latihan
meoldi dengan sillaby zolmization, yaitu menyanyikan nada musik dengan
menggunakan suku kata (Stanley, 1980 : 454). Dalam perkembangan selanjutnya
solfegio tidak hanya menyanyikan saja tetapi juga mendengar nada. Kemampuan
membaca not disebut dengan istilah sight reading dan kemampuan mendengar not
disebut dengan istilah ear training.
Sight Reading merupakan membaca not tanpa persiapan (Last 1980 : 135).
Selanjutnya dinyatakan bahwa sight reading adalah kesanggupan sekaligus untuk
membaca dan memainkan notasi musik yang belum pernah dikenal sebelumnya.
Hal ini sering disebut dengan istilah prima vista.
Kennedy (1985 : 667) mendefinisikan sight reading sebagai berikut: The
reading of music at first sight in order to performance it. Selain berfungsi untuk


PKMI-1-06-3
meningkatkan kemampuan membaca dan menambah pengetahuan tentang bahasa
musik, sight reading juga berfungsi untuk menemukan hal-hal baru dalam musik
dan memberikan kenikmatan dalam bermusik bagi pemain atau penyaji musik
hingga pada tingkat ketrampilan (kemahiran ) yang tinggi.
Untuk dapat menguasai sight reading dibutuhkan banyak latihan yang teratur.
Namun demikian bukan banyaknya latihan yang penting melainkan latihan-latihan
(meskipun sedikit) yang dilakukan tiap hari secara teratur dan terus-menerus akan
lebih dirasakan manfaatnya (Last 1980 : 136).
Florentinus (1997 : 60) membagi lebih lanjut kemampuan membaca not
(sight reading) ke dalam tiga indikator kemampuan, yaitu: (1) kemampuan
membaca ritme/irama, (2) kemampuan membaca melodi/rangkaian nada, dan (3)
kemampuan membaca akord/keselarasan gabungan nada.
Ear training merupakan latihan kemampuan pendengaran atau ketajaman
pendengaran musik, baik ketepatan ritmik maupun ketepatan nadanya.
Kemampuan ini merupakan gabungan dari dua faktor, yaitu faktor kebiasaan dan
pembawaan (Benward 1989 : 9). Faktor kebiasaan ini dapat dikembangkan
melalui latihan teratur disamping faktor lain yang tidak dapat dipisahkan darinya
yaitu faktor pembawaan dan musikalitas.


METODE PENELITIAN
Model Penelitian
Dalam penelitian ini dipilih model Spiral ( Kemmis dan Taggart, 1988)
dengan langkah-langkah meliputi: (1) perencanaan/persiapan; (2) siklus I; dan (3)
siklus II.

Subyek dan Variabel Penelitian
Subyek penelitian ini adalah 35 siswa kelas V SD Sekaran 01
Gunungpati Semarang.
Variabel penelitian dikelompokkan menjadi tiga, yaitu: (1) Variabel input
meliputi kondisi awal siswa, persiapan guru dan mahasiswa, serta keberadaan
sarana dan prasarana yang menunjang dan menarik perhatian siswa dalam
pembelajaran musik, (2) Variabel proses meliputi kondisi proses pembelajaran
musik dengan metode solfegio dengan evaluasi tiap siklus, (3) Variabel output
meliputi kondisi siswa berkaitan dengan peningkatan ketrampilan bermain musik
(ansambel) tiap siklus.

Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data diperoleh melalui: (1) Observasi partisipasif yang
dilakukan peneliti bersama guru kelas/musik selama metode solfegio digunakan
sebagai cara pembelajaran ketrampilan bermain musik di SD Sekaran 01; (2)
Dokumentasi hasil belajar musik siswa setelah pembelajaran; (3) Angket balikan
yang diisi langsung oleh siswa berkaitan dengan hambatan ketrampilan bermain
musik setelah PBM selesai.



PKMI-1-06-4
Teknik Analisis Data
Data yang diperoleh diolah dengan: (1) Pengecekan kelengkapan data; (2)
Pentabulasian data; dan (3) Analisis data. Analisis yang diperlukan adalah tehnik
deskriptif dengan prosentase. Selanjutnya dari hasil analisis tersebut
dideskripsikan dalam tindakan: (a) Afektifitas penggunaan metode solfegio untuk
pembelajaran ketrampilan musik; (b) Hambatan dalam proses pembelajaran KTK
di SD.

HASIL PEMBAHASAN
Kondisi Awal Pembelajaran
Mengenai kondisi awal pembelajaran ketrampilan bermain musik kelas V
di SDN Sekaran 01 Semarang, menunjukan yaitu: (1) Pembelajaran seni kelas V
di SDN Sekaran 01 Semarang diisi dengan ketrampilan bermain musik (ansambel
musik), (2) Pengajarnya adalah guru kelas (3) Materi pelajaran yang diberikan
mengacu pada standar kompetensi ketrampilan bermain musik untuk kelas V SD,
(4) Faktor yang menyebabkan hambatan pembelajaran ketrampilan bermain musik
adalah keterbatasan bahan lagu-lagu model, belum tersedianya media
pembelajaran, model pembelajaran musik yang tepat, dan keterbatasan
kemampuan terampil dan kreativitas siswa.

Pelaksanaan Tindakan Kelas
Siklus I
Pembelajaran materi ketrampilan bermain musik di kelas V dengan
metode solfegio (sight reading) dengan menggunakan notasi angka dan notasi
balok. Hasil monitoring selama tindakan berlangsung adalah dapat meningkatkan
kualitas proses dan hasil belajar ketrampilan bermain musik. Berdasarkan survey
awal hanya 10% siswa yang mampu menguasai ketrampilan bermain musik
dengan baik dan benar. Setelah mendapat pembelajaran dengan metode sight
reading terdapat banyak peningkatan siswa yang mampu menguasai ketrampilan
bermain musik di atas rata-rata. Aktivitas individu siswa lebih baik dan
bersemangat, meskipun tingkat kemajuannya berbeda-beda/bervariasi. Dari hasil
observasi penampilan bermain musik, hasilnya adalah 31% telah menguasai
dengan sangat baik, 43% menguasai dengan tingkat baik, 26% menguasai pada
tingkat sedang, dan 0% belum bisa menguasai atau pada tingkatan buruk.
Hambatannya adalah keterbatasan waktu dan ketrampilan siswa, hal ini
disebabkan karena sejak kelas I hingga 4 belum banyak dikenalkan dan diajarkan
teknik bermain instrumen musik sekolah (rekorder, pianika, glockenspiel, snare
drum dan bass drum). Persoalannya adalah belum ada guru yang secara khusus
mampu/memiliki kompetensi untuk membelajarkan kemampuan memainkan
instrumen musik sekolah tersebut.

Siklus I I
Pembelajaran ketrampilan bermain musik di kelas V dengan metode
Solfegio (ear training) baik dengan notasi angka maupun balok. Hasil observasi


PKMI-1-06-5
Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) hasilnya adalah: (1) Penggunaan metode ear
training dapat meningkatkan kualitas proses dan hasil pembelajaran ketrampilan
musik. Setelah mendapatkan pembelajaran dengan metode ear training terdapat
banyak peningkatan siswa mampu menguasai ketrampilan bermain musik di atas
rata-rata. Siswa terampil memainkan lagu Mother How Are You Today tanpa
kesulitan yang berarti meskipun sebagian masih kurang cermat dalam ketepatan
membidik nada dan pernafasan yang tidak sama, (2) Dari hasil observasi
penampilan bermain musik, hasilnya adalah 20% telah menguasai dengan sangat
baik, 46% menguasai dengan tingkat baik, 34% menguasai pada tingkat sedang,
dan 0% menguasai pada tingkat buruk, (3) Pembelajaran bermain musik dengan
metode ear training dapat efektif meningkatkan ketrampilan bermain musik siswa
kelas V SDN Sekaran 01 Semarang dalam memainkan lagu model, (4) Kendala
penelitian ini adalah keterbatasan kemampuan ketrampilan dan kreativitas siswa,
waktu, lagu model, dan pengalaman dalam penelitian tindakan kelas.


KESIMPULAN
Dari hasil penelitian dan analisis yang telah dilakukan dapat disimpulkan
bahwa metode solfegio dapat diterapkan pada setiap materi praktek berolah
ketrampilan bermain musik yang diajarkan di SD. Metode ini juga dapat
meningkatkan keefektifitasan, keaktifan, efisiensi dan keterlibatan belajar siswa
sehingga dapat mengatasi kendala-kendala yang dihadapi dalam pembelajaran
ketrampilan bermain musik (ansambel). Dapat pula disimpulkan bahwa metode
solfegio berpotensi memberikan kesempatan berekspresi, berkreasi memberi
keterampilan musik melalui kegiatan pengalaman musik sesuai dengan tuntunan
kurikulum 2004 yang berbasis kompetensi untuk perbaikan kualitas proses
pembelajaran musik di SD khususnya kelas V. Dengan demikian, maka metode
solfegio dapat berfungsi sebagai alat bantu / strategi mengajar guru dan sebagai
sumber belajar siswa dalam ketrampilan bermain musik khususnya di kelas V SD.


DAFTAR PUSTAKA
Benward, Burt. 1989. Work Book in Ear Training. New York: Brown Company
Publisher.
Florentinus, Totok, S., 1997. Pengembangan Instrument Pengukuran Kemampuan
Solfegio. Thesis. Jakarta: IKIP Jakarta.
Jamalus, 1988. Pengajaran Musik Melalui Pengalaman Musik. Jakarta
Depdikbud.
Kennedy, M., 1980. The Concise Oxford Dictionary of Music. London: Oxford University Press.
Kennedy, M., 1980. The Concise Oxford Dictionary of Music. London: Oxford
University Press.
Kodiyat, Latifah., 1983. Istilah Istilah Musik. Jakarta: Depdikbud.
Last, Joan., 1980. Interpretation in Piano Study. New York: Oxford University
Press.
Wisbey, A.Stanley., 1980. Music as The Source of Learning. Baltimore: Iniversity
Park Press.


PKMI-1-07-1
PENGARUH TEH HITAM (CAMELLIA SINENSIS (L.)O.K.) TERHADAP
KETEBALAN DINDING ARTERI KORONARIA TIKUS PUTIH (RATTUS
NORVEGICUS) YANG DIBERI DIET TINGGI LEMAK

A. Ekawati, D. D. Andriyani, I. S. Rukmini, L. Indriani
Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta


ABSTRAK
Teh hitam merupakan sumber flavonoid yang memiliki efek anti oksidan yang kuat.
Beberapa antioksidan menunjukkan peningkatan fungsi endotel dan penghambatan
LDL oksidasi. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui pengaruh teh hitam
terhadap peningkatan ketebalan dinding arteri koronaria tikus putih setelah
pemberian diet tinggi lemak. Penelitian ini menggunakan metode randomized
control trial terhadap 35 ekor tikus putih yang dikelompokkan menjadi 5 kelompok.
Kelompok I, tidak diberi diet tinggi lemak ataupun seduhan teh hitam. Kelompok II
diberi diet tinggi lemak tetapi tidak diberi seduhan teh hitam. Kelompok III, IV, dan
V diberi diet tinggi lemak dan teh hitam dengan dosis berturut-turut 2,5%, 5%, dan
10% sebanyak 2 ml 2 kali sehari. Data penelitian yang diambil berupa rata-rata
rasio tebal dinding terhadap jari-jari arteri (T/R). Pada akhir penelitian diperoleh
rasio T/R kelompok I (0,49 0,13), kelompok II (0,690,21), kelompok III (0,58
0,19), kelompok IV (0,51 0,14), dan kelompok V (0,50 0,18). Dari analisis post
hoc test dapat diketahui bahwa kelompok IV (0,51 0,14) dan kelompok V (0,50
0,18) memiliki rasio T/R yang tidak berbeda secara bermakna (p>0,05) dengan
kelompok I (0,49 0,13), sedangkan kelompok II (0,690,21) dan kelompok III
(0,58 0,19) berbeda bermakna secara statistik (p<0,05) dengan kelompok I
(0,49 0,13). Disimpulkan bahwa pemberian teh hitam berpengaruh terhadap
ketebalan dinding arteri koronaria tikus putih.

Kata Kunci: Teh Hitam, Flavonoid, Antioksidan, Dinding arteri koronaria,
Arterosklerosis


PENDAHULUAN
Teh hitam mengandung beberapa kandungan organik, diantaranya
memberikan keuntungan medis dan kesehatan. Selain protein dan karbohidrat, teh
juga mengandung substansi polifenol. Senyawa ini mempunyai aktivitas biologis
yang unik dan diperkirakan mempunyai efek terhadap kesehatan
1,2
.
Flavanoid yang merupakan komponen polifenol sering ditemukan di dalam
berbagai jenis tumbuhan mempunyai efek antioksidan secara in vitro dan ex vivo
serta mempunyai efek menurunkan kolesterol pada manusia maupun hewan.
Menurut Wiseman, beberapa studi epidemiologi menunjukan hubungan antara
konsumsi teh hitam atau flavonoid dengan resiko penyakit jantung
3
.


PKMI-1-07-2
Penyakit kardiovaskuler merupakan penyebab kematian utama di dunia,
yaitu sepertiga dari seluruh kematian total di dunia. Sekitar 85% dari kematian
akibat penyakit kardiovaskuler tersebut terjadi di negara-negara miskin atau di
negara-negara yang sedang berkembang termasuk Indonesia. Di Asia Tenggara
total kematian akibat penyakit kardiovaskuler pada tahun 1999 adalah 3,797 juta
jiwa, dan 1,972 juta jiwa dari kematian tersebut disebabkan oleh Penyakit Jantung
Koroner (PJK)
4
.
PJK dapat disebabkan oleh arterosklerosis yang merupakan penebalan pada
dinding arteri koronaria. Keadaan tersebut ditandai oleh pembentukan bercak
jaringan ikat-lemak dalam tunika intima yang ditunjukkan oleh adanya gumpalan di
bagian tengah yang kaya akan lemak, dan menyebabkan penyempitan lumen
pembuluh darah
5
.
Salah satu faktor resiko terjadinya arterosklerosis adalah hiperlipidemia
akibat mengkonsumsi lemak jenuh dan kolesterol dari bahan makanan hewani.
Berbagai upaya telah ditempuh untuk menanggulangi masalah tingginya kadar
kolesterol dalam darah, dan salah satu caranya adalah dengan mengurangi dan
menghindari konsumsi lemak jenuh dan kolesterol, atau dengan mengupayakan
bahan makanan penggantinya yang aman bagi kesehatan
6
. Apabila upaya
pencegahan dengan pengaturan diet tidak mampu menurunkan kadar kolesterol,
maka dapat dilakukan terapi dengan intervensi bahan-bahan obat agar kadar
kolesterol yang terlanjur tinggi tersebut dapat turun ke nilai normal, atau setidaknya
tidak berlanjut ke aterom
7
.
Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan pengaruh teh hitam (Camellia
sinensis (L.) O.K.) terhadap penebalan dinding arteri koronaria akibat pemberian
diet tinggi lemak pada tikus putih (Rattus norvegicus).
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metode randomize control trial terhadap 35
ekor tikus putih (Rattus norvegicus) betina, galur Wistar murni, berumur 2 bulan,
berat badan berkisar 95 110 gram, yang diperoleh dari Unit Pengembangan
Hewan Coba (UPHP) UGM.
Sebelum penelitian hewan coba diadaptasikan di kandang UPHP selama 3
hari. Ketiga puluh lima hewan coba tersebut dikelompokkan menjadi 5 kelompok
secara acak. Kelompok I, tidak diberi diet tinggi lemak ataupun seduhan teh hitam.
Kelompok II diberi diet tinggi lemak tetapi tidak diberi seduhan teh hitam.
Kelompok III, IV, dan V diberi diet tinggi lemak dan teh hitam dengan dosis
berturut-turut 2,5%, 5%, dan 10% sebanyak 2 ml 2 kali sehari. Diet tinggi lemak
AIN-93 diberikan selama 7 hari kemudian dilanjutkan pemberian diet standar dan
pemberian seduhan teh hitam sesuai dosis masing-masing selama 30 hari. Teh
diperoleh dari fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada. Pengukuran darah
dilakukan pada 3 titik waktu: (1) awal penelitian; (2) setelah pemberian diet tinggi
lemak; (3) setelah pemberian seduhan teh hitam.
Pengukuran data dilakukan setelah 37 hari perlakuan. Hewan coba dibedah
untuk diambil dan diamati arteri koronaria yang terletak antara ventrikel kanan dan
ventrikel kiri. Hewan coba dikorbankan dengan cara dekapitasi, karena penggunaan

PKMI-1-07-3
eter dapat menurunkan tonus otot polos pembuluh darah, sehingga mempengaruhi
gambaran mikroanatominya. Selanjutnya jantung diambil dan difiksasi dengan
larutan Formalin 10% kemudian dipotong 3 mm di distal perbatasan atrium dan
ventrikel.
Pembuatan preparat mikroskopis dengan cara memotong jantung yang telah
difiksasi kemudian diambil untuk dibuat preparat mikroskopis sesuai dengan
prosedur dan diwarnai dengan pengecatan HE. Data penelitian yang diambil berupa
rata-rata rasio tebal dinding terhadap jari-jari arteri (T/R). Data yang diperoleh
dianalisis menggunakan one way anova dengan post Hoc Test. Signifikansi
diterima jika p<0,05.
Analisis biokimia dilakukan sebagai penunjang untuk menujukkan
gambaran kadar kolesterol dalam darah selama perlakuan terhadap tikus putih.
Kolesterol total diukur dengan metode CHOD-PAP, kemudian dianalisis
menggunakan one way anova dengan post hoc test.
Hasil
Seluruh hewan coba mampu menyelesaikan semua tahap penelitian. Rasio
rata-rata tebal dinding arteri koronaria terhadap jari-jari arteri koronaria (T/R) dapat
dilihat pada tabel 1 serta gambar 1.
Tabel 1. Rasio rata-rata tebal dinding terhadap jari-jari arteri (T/R)
Kelompok Rata-rata T/R SD
I 0,49 0,13
II 0,69 0,21
III 0,58 0,18
IV 0,51 0,14
V 0,50 0,18


Gambar 1. Grafik rasio rata-rata tebal dindng terhadap jari-jari arteri (T/R)
Dari analisis Post Hoc Test diketahui bahwa kelompok IV dan kelompok
V memiliki rasio T/R yang tidak berbeda bermakna dengan kelompok I,
sedangkan kelompok II dan kelompok III berbeda bermakna dengan kelompok I.
Hasil pemeriksaan kadar kolesterol pada 3 titik pemeriksaan selama penelitian
dapat dilihat pada tabel 2. Analisis statistik one way anova menunjukkan bahwa pada

PKMI-1-07-4
pemeriksaan pertama, yaitu sebelum pemberian diet tinggi lemak (sebelum perlakuan)
kadar kolesterol semua kelompok tidak berbeda bermakna. Pada pemeriksaan kedua,
setelah 7 hari pemberian diet tinggi lemak, kadar kolesterol darah kelompok II, III, IV
dan V mengalami peningkatan dan berbeda bermakna secara statistik dengan kelompok
I. Pada pemeriksaan ketiga terjadi penurunan kadar kolesterol pada kelompok III, IV
dan V secara bermakna.

Tabel 2. Rerata kadar kolesterol total dalam mg/dL
Pemerik
saan ke
Kelompok
I II III IV V
1 98.11 1.49 98.94
0.92
98.46
1.30
98.94 4.17 99.53
1.05
2 98.77 1.34 201.06
2.21
201.10
3.55
203.19
4.18
203.18
3.66
3 100.83 1.79 199.05
1.88
172.73
5.00
137.80
4.39
106.26
3.36




a. Kelompok I d. Kelompok IV



PKMI-1-07-5


Gambar 2. Gambaran penampang melintang arteri koronaria tikus putih (Rattus
norvegicus)

Diskusi
Keadaan hiperlipidemi dapat menyebabkan penumpukan kolesterol dan ester
kolesterol dari lipoprotein yang mengandung Apo B-100 pada jaringan ikat dinding arteri
koronaria. Keadaan ini memudahkan terjadinya jejas endotel akibat radikal bebas yang
dihasilkan dari auto-oksidasi lipid darah
8
. Jejas endotel ini akan memacu monosit untuk
bermigrasi ke lapisan subendotel dari pembuluh darah arteri koronaria dan menginduksi
sekresi growth factor dari endotel (PDGF). Di lapisan subendotelium tersebut monosit
yang sudah berdeferensiasi menjadi makrofag memfagositosis kolesterol yang ada dalam
lapisan tersebut, dan terbentuklah foam cells. Makrofag tersebut juga akan merusak
endotel sehingga memacu timbulnya agregasi platelet. Akibat dari sekresi growth factor
dan agregasi platelet memacu proliferasi endotel, sehingga terjadi penonjolan dinding ke
arah lumen
9
.
Pada penelitian ini didapatkan hasil yang menunjukkan adanya penghambatan
penebalan dinding arteri koronaria akibat tingginya kadar kolesterol dalam darah oleh
kandungan antioksidan dalam teh hitam. Hal ini sesuai dengan mekanisme peningkatan
fungsi endotel serta penghambatan LDL oksidasi yang sesuai dengan penelitian-penelitian
sebelumnya tentang fungsi antioksidan.
Dalam teh hitam terkandung antioksidan yang menurut beberapa penelitian
antioksidan ditengarai mampu mencegah terjadinya lesi aterosklerosis. Antioksidan
tersebut adalah katekin yang termasuk golongan polifenol
10
. Banyak penelitian mengenai
efek antioksidan polifenol. Secara in vitro, katekin teh adalah antioksidan kuat dengan
kemampuan untuk membersihkan radikal bebas bersumber dari oksigen termasuk
OH
-
reaktif
2
. Senyawa ini efisien membersihkan peroksidan seperti H2O2 (hidrogen
peroksida), SOR (superoxide anion radical), dan askorbil radikal
11
.
Hasil penelitian Kaul dan Khanduja menemukan bahwa polifenol menghambat
produksi SOR (superoxide anion radical) yang diinduksi BPO (benzoil peroxide).
Penghambatan XO (xantin oxidase) juga dapat dilakukan oleh EGCG. Enzim ini banyak
terdapat di hepar yang berperan memproduksi asam urat dan ROS (reactive oxygenase)
selama katabolisme purin
12
.
Pada penelitian lain yang dilakukan oleh Middleton dan Kandaswami,
dikemukakan beberapa mekanisme kerja polifenol (terutama katekin) antara lain : Katekin
mencegah LDL dari kerusakan akibat oksidasi baik melalui kemampuannnya mengkhelat
logam; menghambat radikal bebas; maupun dengan cara mendaur-ulang antioksidan lain
seperti vitamin E
13
.
Selain sebagai antioksidan, katekin juga dapat menurunkan kadar kolesterol, LDL,
dan trigliserida. Mekanisme penurunan tersebut adalah dengan cara meningkatkan

PKMI-1-07-6
aktivitas lipoprotein lipase, sehingga katabolisme lipoprotein kaya trigliserida seperti
VLDL dan IDL meningkat. Kadar kolesterol HDL meningkat secara tidak langsung akibat
menurunnya kadar trigliserida VLDL atau karena meningkatnya produksi apo AI dan apo
AII. Efek penurunan kolesterol LDL diduga berhubungan dengan meningkatnya bersihan
VLDL dan IDL dalam hati sehingga produksi LDL menurun
14
.
Selain mengandung katekin, teh hitam juga mengandung resin. Resin menurunkan
kadar kolesterol dengan cara mengikat asam empedu dalam saluran cerna atau dengan kata
lain mengganggu sirkulasi enterohepatik sehingga ekskresi steroid dalam tinja meningkat.
Penurunan kadar empedu karena pemberian resin akan menyebabkan meningkatnya
produksi asam empedu yang berasal dari kolesterol. Karena sirkulasi enterohepatik
dihambat oleh resin, maka kolesterol yang diabsorbsi lewat saluran cerna akan terhambat
dan keluar bersama tinja. Kedua hal ini akan menyebabkan penurunan kolesterol dalam
hati. Selanjutnya penurunan kolesterol dalam hati akan akan menyebabkan dua hal, yaitu:
meningkatnya reseptor LDL sehingga katabolisme LDL meningkat dan meningkatnya
HMG CoA reduktase. Dari sini tampak pula bahwa efek resin tergantung kemampuan sel
hati dalam meningkatkan reseptor LDL fungsional untuk menangkap LDL sirkulasi
14
.
Antioksidan flavonoid dalam teh hitam mampu mencegah stres oksidasi yang
disebabkan LDL teroksidasi, sementara resin dan katekin mampu mengurangi kadar lipid
darah. Kedua hal tersebut bersama-sama mencegah pembentukan plak aterom sehingga
penebalan dinding arteri tidak terjadi.
KESIMPULAN
Pemberian seduhan teh hitam sebanyak 4 ml per hari selama 30 hari berpengaruh terhadap
ketebalan dinding arteri koronaria tikus putih (Rattus norvegicus). Pada dosis 5 % dan 10
% teh hitam mampu menurunkan ketebalan dinding arteri koronaria tikus putih hingga
tidak berbeda bermakna dengan kelompok yang tidak diberi diet tinggi lemak.
DAFTAR PUSTAKA
1 Beecher, G.R., Warden, B.A., and Merken, H. 1999. Analysis of Tea Polyphenols.
PSEBM, Vol 220
2 Gunawijaya, F.A. 1996. Penentuan LD-50 Ekstrak Teh Hijau pada Mencit Strain C3H.
Majalah Ilmiah FK USAKTI, Vol 15 : 4. International Limited. 4
TH
Ed. New Zealand
3 Davies et al. 2003. Black Tea Consumption Reduces Total and LDL Cholesterol in
Mildly Hypercholesterolemic Adults, Vol. 0022:3166. American Society for
Nutritional Sciences
4 World Health Organization. 2002. Integrated Management of Cardiovascular Risk.
Health and Development Network. France
5 Petch, Michael. 1991. Penyakit Jantung. Penerbit Arcan. Jakarta : 33-44
6 Saidin, Muhammad. 1999. Kandungan Kolesterol dalam Berbagai Bahan Makanan
Hewani Vol. 27 No. Buletin Penelitian Kesehatan Departemen Kesehatan. Jakarta :
224-230
7 Kusmana, D. 1997. Penyakit Jantung Koroner Penyebab Kematian Utama. Berita
Ikatan Dokter Indonesia. Kusmana, D. 1997, Penyakit Jantung Koroner Penyebab
Kematian Utama. Berita Ikatan Dokter Indonesia. Yayasan penerbit IDI. 16:4. Jakarta
8 Mayes, P.A., Murray R.K., Granner D.K., dan Rodwell V.W. 1997. Biokimia Harper.
EGC. Jakarta
9 Underwood, J.C.E. 2000. Patologi Umum dan Sistemik. Edisi 2. EGC. Jakarta
10 Dreosti, I.E. 1996. Bioacktive Ingredients : Antioxidants and Polyphenols in Tea.
Nutrition Reviews, Vol. 54 (11) : 551-558. EGC. Ed. 24. Jakarta. FK-UI. Ed. 4. Jakarta
11 Merken, H.M., and Beecher, G.R. Measurement of Food Flavonoids by High

PKMI-1-07-7
Performance Liquid Chromatography : A Review. Journal of Agricultural and Food
Chemistry, Vol 48 (3) : 577-599
12 Aucamp, J., Gaspar, A., Hara, Y., and Apostolides, Z. 1997. Inhibition of Xanthine
Oxidase by Catechine from Tea (Camellia sinensis). Anticancer, 17(60) : 4381-4385
13 Anderson, J. W., Smith, B. M., and Washnock, C. S. 2001. Cardiovasculer and
Renal Benefit of Dry Soybean Intake. Am J Clin Nutr 70:464-474
14 Suyatna F.D, S.K. dan Tony Handoko. 1995. Hipolipidemik dalam Farmakologi
dan Terapi FK UI. FK UI. Jakarta


PKMI-1-08-1
PEMANFAATAN ABU TANDAN KOSONG KELAPA SAWIT SEBAGAI
KATALIS BASA PADA REAKSI TRANSESTERIFIKASI DALAM
PEMBUATAN BIODIESEL

YOESWONO, JOHAN SIBARANI, SYAHRUL KHAIRI
Jurusan Kimia Fakultas MIPA Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta

ABSTRAK
Telah dilakukan reaksi transesterifikasi minyak kelapa sawit dalam media
metanol dengan memanfaatkan abu tandan kosong kelapa sawit sebagai katalis
basa. Karakterisasi abu TKKS dilakukan dengan uji AAS dan titrasi indikator.
Variabel yang dipelajari adalah pengaruh berat abu tandan kosong kelapa sawit
(5 g, 10 g, 15 g, 20 g dan 25 g) yang direndam di dalam 75 mL metanol dan rasio
mol metanol-minyak (3:1;6:1;9:1 dan 12:1). Biodiesel diperoleh dengan
merefluks minyak kelapa sawit dengan metanol yang telah terlebih dahulu
direndam di dalamnya abu tandan kosong kelapa sawit. Refluks dilakukan pada
temperatur kamar selama 2 jam. Lapisan ester didistilasi pada temperatur 74 C,
diekstraksi dengan aquades, kemudian sisa air diikat dengan penambahan
Na
2
SO
4
anhidrat dan disaring. Biodiesel yang dihasilkan dikarakterisasi dengan
kromatografi gas-spektroskopi massa (GC-MS), ASTM D 1298 (gravitasi spesifik
pada 60/60F), ASTM D 97 (titik tuang), ASTM D 2500 (titik kabut), ASTM D 93
(titik nyala), ASTM D 445 (viskositas kinematik pada 40C), ASTM D 482 (kadar
abu), dan ASTM D 189 (sisa karbon Conradson). Biodiesel yang diperoleh
memiliki penyusun utama berupa campuran metil ester dengan senyawa utama
berupa metil palmitat. Kenaikan berat abu tandan kosong kelapa sawit
memberikan konversi biodiesel maksimum pada berat abu sebesar 15 g, dan
menurun untuk berat yang lebih besar. Kenaikan jumlah mol metanol menaikkan
konversi biodiesel sampai optimum pada perbandingan mol metanol minyak 9:1
(84,12%) dan menurun pada rasio 12:1 (75,58%). Sebagian besar biodiesel yang
dihasilkan telah sesuai dengan karakter fisis minyak solar dan minyak diesel.

Kata Kunci: abu tandan kosong kelapa sawit, biodiesel, transesterifikasi,
metanol.

PENDAHULUAN
Kebutuhan minyak bumi yang semakin besar merupakan tantangan yang
perlu diantisipasi dengan pencarian alternatif sumber energi. Minyak bumi
merupakan sumber energi yang tak terbarukan, butuh waktu jutaan bahkan ratusan
juta tahun untuk mengkonversi bahan baku minyak bumi menjadi minyak bumi,
peningkatan jumlah konsumsi minyak bumi menyebabkan menipisnya jumlah
minyak bumi. Dari berbagai produk olahan minyak bumi yang digunakan sebagai
bahan bakar, yang paling banyak digunakan adalah bahan bakar diesel, karena
kebanyakan alat transportasi, alat pertanian, peralatan berat dan penggerak
generator pembangkit listrik menggunakan bahan bakar tersebut.
Biodiesel merupakan salah satu solusi dari berbagai masalah tersebut.
Biodiesel merupakan bahan bakar alternatif pengganti minyak diesel yang
diproduksi dari minyak tumbuhan atau lemak hewan. Penggunaan biodiesel dapat
dicampur dengan petroleum diesel (solar) (anonim, 2003). Biodiesel mudah

PKMI-1-08-2
digunakan, bersifat biodegradable, tidak beracun, dan bebas dari sulfur dan
senyawa aromatik. Selain itu biodiesel mempunyai nilai flash point (titik nyala)
yang lebih tinggi dari petroleum diesel sehingga lebih aman jika disimpan dan
digunakan.
Penggunaan minyak kelapa sawit atau minyak nabati lainnya sebagai
bahan bakar diesel menimbulkan suatu masalah karena tingginya viskositas yang
dapat menyebabkan kerusakan pada mesin. Untuk mengatasinya dapat dilakukan
pereaksian minyak dengan alkohol berantai pendek dengan bantuan katalis, proses
ini dikenal dengan reaksi transesterifikasi atau alkoholisis. Reaksi transesterifikasi
dengan katalis basa biasanya menggunakan logam alkali alkoksida, NaOH, KOH,
dan NaHCO
3
sebagai katalis. Katalis basa ini lebih efektif dibandingkan katalis
asam, konversi hasil yang diperoleh lebih banyak, waktu yang dibutuhkan juga
lebih singkat serta dapat dilakukan pada temperatur kamar (Juwita, 2005). Logam
dari basa terekstraksi ke dalam alkohol yang kemudian bereaksi dengan alkohol
membentuk alkoksida yang bersifat nukleofilik, alkoksida akan menyerang gugus
karbonil. Reaksi ini diikuti tahap eliminasi yang menghasilkan ester dan alkohol
baru. Secara umum reksi transesterifikasi minyak dengan alkohol dapat dituliskan
pada gambar 1.
Penggunaan katalis ini dapat diganti dengan menggunakan abu tandan
kosong kelapa sawit, hasil pembakaran tandan kosong kelapa sawit yang berupa
abu ternyata memiliki kandungan kalium yang cukup tinggi sebesar 30-40%
sebagai K
2
O. Abu tandan ternyata memiliki komposisi 30-40% K
2
O, 7% P
2
O
5
,
9% CaO, 3% MgO dan unsur logam lainnya (Fauzi, 2005). Dengan melarutkan
sejumlah tertentu abu ke dalam sejumlah tertentu alkohol (metanol atau etanol),
logam kalium akan terekstraksi ke dalam alkohol dan diharapkan akan bereaksi
lebih lanjut membentuk garam metoksida jika menggunakan metanol atau garam
etoksida jika menggunakan etanol. Garam inilah yang akan membantu
mempercepat proses reaksi transesterifikasi minyak nabati.
Telah diketahui, bahwa pengolahan kelapa sawit selain menghasilkan
CPO (Crude Palm Oil) juga menghasilkan produk-produk samping dan limbah,
yang bila tidak diperlakukan dengan benar akan berdampak negatif terhadap
lingkungan. Satu ton tandan buah segar kelapa sawit mengandung 230250 kg
tandan kosong kelapa sawit (TKKS), 130-150 kg serat, 65-65 kg cangkang dan
55-60 kg biji dan 160-200 kg minyak mentah (Fauzi, 2005). Penggunaan tandan
kosong kelapa sawit selama ini adalah sebagai substrat dalam budidaya jamur,
bahan bakar boiler, dan dibakar untuk dimanfaatkan abunya.
Pembuatan biodiesel dari minyak kelapa sawit dengan katalis abu tandan
kosongnya, diharapkan mampu mengatasi berbagai permasalahan, di antaranya
meningkatkan nilai jual minyak kelapa sawit ketika produk kelapa sawit
membanjir di pasaran, menambah khazanah penelitian bahan bakar alternatif, juga
mengoptimalkan penggunaan kelapa sawit tidak hanya produk minyak tetapi juga
limbah yang dihasilkan industri tersebut.







PKMI-1-08-3

H
2
C OCOR
1
HC
H
2
C
OCOR
2
OCOR
3
3 ROH
RCOOR
1
RCOOR
2
RCOOR
3
H
2
C OH
HC
H
2
C
OH
OH
katalis
+
+
+
trigliserida
alkohol campuran alkil ester gliserol
+


Gambar 1. Reaksi transesterifikasi molekul minyak

METODE

Preparasi Abu Tandan Kosong Kelapa Sawit

Abu TKKS digerus dengan dengan mortar dan disaring dengan
penyaring mesh 100. Selanjutnya abu dikeringkan dalam oven pada temperatur
110C selama 2 jam. Karakterisasi abu TKKS dilakukan dengan uji AAS dan
titrasi indikator.
Proses Pembuatan biodiesel

Sejumlah tertentu abu tandan kosong kelapa sawit direndam dalam 75
mL metanol teknis dari Brataco Chemika (BM = 32,04 g mol
-1
) selama 48 jam
pada temperatur kamar. Ekstrak yang diperoleh dicukupkan volumenya sehingga
diperoleh rasio mol metanol/minyak tertentu yang akan digunakan untuk
melakukan reaksi transesterifikasi terhadap 250 g minyak goreng curah (dengan
asumsi bahwa minyak goreng curah merupakan minyak kelapa sawit dengan BM
= 704 g mol
-1
).
Reaksi transesterifikasi dilakukan pada labu leher tiga kapasitas 500 mL, yang
dilengkapi dengan pemanas listrik, termometer, pengaduk magnet, dan sistem
pendingin, refluks dilakukan pada temperatur kamar. Ditimbang 250 g minyak
goreng curah dan dituang dalam labu leher tiga, kemudian dirangkai dengan
sistem pendingin. Sejumlah tertentu larutan metanol yang telah dipersiapkan
dituang ke dalam labu leher tiga tersebut, dan pengaduk magnet dihidupkan.
Waktu reaksi dicatat sejak pengaduk magnet dihidupkan.
Setelah reaksi berjalan 2 jam, pengadukan dihentikan, campuran yang
terbentuk dituang dalam corong pemisah, dibiarkan terjadi pemisahan selama 2
jam pada temperatur kamar. Lapisan metil ester yang terbentuk dipisahkan dari
lapisan gliserol, selanjutnya didistilasi sampai temperatur 74C untuk
menghilangkan sisa metanol. Untuk menghilangkan sisa katalis dan gliserol dalam
metil ester dilakukan pencucian dengan menggunakan air berulang kali, sampai
diperoleh lapisan air yang jernih. Kemudian metil ester dikeringkan dengan
penambahan Na
2
SO
4
anhidrat p.a (E.Merck).
Prosedur proses transesterifikasi di atas dilakukan dengan variasi berat
abu (rasio mol metanol minyak 6 : 1, waktu reaksi 2 jam, temperatur kamar, dan
kecepatan pengadukan dijaga konstan), variasi rasio mol metanol/minyak (berat
abu terpilih, waktu reaksi 2 jam, temperatur kamar, dan kecepatan pengadukan
dijaga konstan), dan variasi temperatur (berat abu terpilih, waktu reaksi 2 jam,
rasio metanol/minyak terpilih, dan kecepatan pengadukan dijaga konstan).

PKMI-1-08-4
Analisis Biodiesel

Lapisan metil ester yang telah dimurnikan ditimbang, sehingga dapat
diketahui persentase hasil, dengan rumus sebagai berikut.

B
P
W
W
X 100 hasil % = (1)

Keterangan:
W
P
= berat produk yang diperoleh, g, dan
W
B
= berat bahan baku, g.
Komposisi metil ester yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan
GC-MS (Shimadzu QP-5000) jenis pengionan EI (Electron Impact).
Untuk menetapkan kesesuaian biodiesel yang dihasilkan sebagai bahan
bakar alternatif pengganti minyak solar, dilakukan analisis dengan beberapa
metode-metode uji ASTM (ASTM D 1298, ASTM D 97, ASTM D 2500, ASTM
D 93, ASTM D 445, dan ASTM D 482) (Laboratorium Penguji Produksi
Pusdiklat Migas)

HASIL
Berdasarkan analisis kadar logam total dalam abu tandan kosong sawit
(TKKS) dengan AAS, logam kalium merupakan kandungan logam terbesar yang
terdapat dalam abu TKKS sebesar 196,63 g/kg berat abu. Dengan temperatur
pengabuan yang kurang dari 900 C dimungkinkan kalium tersebut sebagai
kalium karbonat. Kalium karbonat mempunyai kelarutan dalam metanol sebesar
16,500 ppm (Anonim, 2006).
Untuk masing-masing berat abu (5; 10; 15; 20; dan 25 g) yang diekstrak
dengan metanol, jumlah kalium yang terekstrak dapat ditampilkan seperti pada
Tabel 1.
Untuk memastikan kalium yang terdapat pada abu TKKS berada dalam
bentuk senyawa kalium karbonat (K
2
CO
3
), dapat diketahui melalui uji alkalinitas
dengan metode titrasi indikator. Berdasarkan hasil data pengujian dapat diambil
kesimpulan bahwa anion karbonat (CO
3
=
) merupakan anion yang paling dominan
yang terdapat pada abu TKKS dengan kadar sebesar 196,63 g/kg berat abu.
Dengan demikian dapat dipastikan bahwa kalium yang terdapat dalam abu TKKS
berada dalam bentuk persenyawaan K
2
CO
3
.

Tabel V.1 Kadar kalium dalam ekstrak abu TKKS dengan 75 mL metanol teknis

Berat abu TKKS, g Kalium terekstrasi, mg
5,0075 238,60
10,0179 377,09
15,0180 510,04
20,0234 543,19
25,0120 601,95

Pada penentuan berat abu maksimum, dilakukan variasi berat abu yang
direndam ke dalam 75 mL metanol selama 48 jam pada temperatur kamar, berat

PKMI-1-08-5
abu yang digunakan adalah 5, 10, 15, 20 dan 25 g. Specific gravity digunakan
sebagai indikator untuk melihat berat abu terbaik yang dapat digunakan.

Tabel 2. Specific gravity biodiesel hasil transesterifikasi dengan variasi berat abu

No Berat Abu,g Rasio mol Sp. gr. Obsd. Tempt. Obsd., F Sp. Gr. 60/60F
1 5 6:01
2 10 6:01 0,895 84,5 0,904
3 15 6:01 0,893 83,5 0,901
4 20 6:01 0,890 84,0 0,898
5 25 6:01 0,888 84,5 0,897

Dari Tabel 2 dapat dilihat bahwa biodiesel hasil transesterifikasi dengan
menggunakan katalis abu tandan kosong kelapa sawit sebanyak 10 gram
memberikan specific gravity yang paling tinggi diantara abu dengan berat 15, 20,
dan 25 g. Pada sistem dengan berat abu sebesar 5 g, biodiesel tidak terbentuk
dalam waktu reaksi selama 2 jam karena jumlah kalium yang terekstraksi untuk 5
g berat abu TKKS terlalu sedikit, sehingga katalis tersebut belum efektif
digunakan sebagai katalis dalam reaksi transesterifikasi. Pengukuran Specific
gravity menggunakan alat uji standar ASTM D 1298.
Pengaruh rasio mol metanol-minyak terhadap konversi hasil metil ester
diamati dengan memvariasi rasio mol metanol-minyak 3:1, 6:1, 9:1 dan 12:1.
Rekasi seluruhnya dilakukan pada kondisi tetap yaitu katalis sebesar 15 g per 75
mL metanol, selanjutnya direfluks pada temperatur kamar. Konversi biodiesel
dihitung dengan persamaan (1) sehingga diperoleh hasil seperti disajikan pada
Gambar 2.
66.8
70.36
84.12
75.58
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
3:01 6:01 9:01 12:01
Rasio molar metanol/minyak
K
o
n
v
e
r
s
i
,

%

Gambar 2. Rasio minyak-metanol dengan konversi biodiesel

Analisis dengan menggunakan GC dan GC-MS bertujuan untuk
mengetahui komponen-komponen yang terdapat dalam biodiesel serta mengetahui
kuantitas masing-masing komponen tersebut. Persentase dari komponen biodiesel
hasil konversi dari minyak kelapa sawit disajikan dalam Tabel 3.






PKMI-1-08-6
Tabel 3. Komponen biodiesel hasil transesterifikasi dengan variasi mol reaktan

Rasio mol metanol-minyak
3:01 6:01 9:01 12:01
Nama
senyawa
Peak
no
% Peak
no
% Peak
no
% Peak
no
%
Metil kaprilat 2 7,56 3 9,19 5 8,75 3 6,56
Metil kaprat 3 5,82 5 7,11 6 7,57 4 6,59
Metil laurat 4 8,75 6 8,29 8 8,76 5 9,69
Metil miristat 5 18,15 7 17,36 10 18,25 6 19,39
Meil palmitat 6 50,06 8 47,91 11 46,79 7 48,17
Metil oleat 7 5,99 9 6,31 12 5,97 8 5,99
Metil stearat 8 3,36 10 2,69 13 2,87 9 3,49

Data karakteristik produk biodiesel selengkapnya disajikan pada Tabel 3.
karakteristik biodiesel diuji dengan alat-alat uji standar ASTM D 1298 untuk berat
jenis, ASTM D 97 untuk titik tuang, ASTM D 2500 untuk titik kabut, ASTM D
93 untuk titik nyala, ASTM D 445 untuk viskositas kinematis, dan ASTM D 482
untuk kandungan abu.

Tabel 4. Sifat-sifat fisik biodiesel

Hasil uji
Rasio mol metanol-minyak
Batasan diesel
dan solar
No Parameter
3:01 6:01 9:01 12:01 min maks
1
Berat jenis pada
60/60 F
0,9104 0,9143 0,8721 0,8714 0,840 0,920
2
Viskositas
kinematik pada
100 F, cSt
16,81 10,68 3,063 2,823 1,6 7,0
3
Viskositas
redwood pada
100 F, sec *)
68,08 43,25 12,40 11,43 6,84 28,35
4 Titik tuang, F 55 40 25 25 - 65
5 Titik kabut, F 59 42,8 32 41 - -
6
Sisa karbon
Conradson,
%berat
0,0826 0,0836 0,0799 0,0737 - 1
7
Titik nyala, cc,
C
142 128 112 114 150 -
8
Kandungan abu,
%berat
0,0810 0,0825 0,0757 0,0739 - 0,02

(Trisunaryanti, 2004)



PKMI-1-08-7
PEMBAHASAN
Secara stoikhiometri 1 mol alkohol bereaksi dengan 3 mol trigliserida,
tetapi untuk menggeser reaksi kearah produk, digunakan pereaksi yang berlebih,
dalam hal ini alkohol dibuat berlebih. Sesuai dengan hukum kesetimbangan kimia,
jika reaktan yang berada disebelah kiri panah reaksi ditambah kuantitasnya, maka
kesetimbangan akan bergeser kearah produk yang berada di sebelah kanan panah
reaksi, begitu juga sebaliknya. Oleh karena itu, ketika reaktan ditambah, maka
produk akan terbentuk hingga terjadi kesetimbangan antara produk dan reaktan,
begitu juga ketika produk yang terbentuk diambil, maka reaktan akan terkonversi
menjadi produk hingga terjadi kesetimbangan.
Dari Gambar 2 dapat dilihat pada rasio mol metanol-minyak kelapa
sawit sebesar 9:1 memberikan hasil konversi biodiesel yang paling besar yaitu
sebesar 84,12%. Peningkatan rasio mol pereaksi diikuti dengan meningkatnya
konversi metil ester yang dihasilkan sampai optimum pada rasio mol 9:1,
kemudian terjadi penurunan konversi metil ester pada perbandingan mol reaktan
12:1. Konversi metil ester yang dihasilkan pada rasio mol 3:1 paling rendah
(66,8%) disebabkan oleh terjadinya reaksi penyabunan terhadap hasil ester yang
terbentuk. Hal yang sama terjadi paada rasio mol 6:1 meskipun sabun yang
terbentuk lebih sedikit. Reaksi penyabunan/saponifikasi ini disebabkan oleh
adanya air.
Meskipun keberadaan air tak dapat dihindari, ternyata pada rasio mol 9:1
dan 12:1 tidak terbentuk padatan sabun. Penggunaan metanol yang berlebihan
semakin memperlambat laju hidrolisis (penyabunan) terhadap ester karena
metanol dalam bentuk ion metoksida berekasi cepat dengan trigliserida
menghasilkan metil ester. Akan tetapi pada rasio mol 9:1 dan 12:1 terbentuk
semacan emulsi yang agak sulit dipisahkan dalam campuran metil ester. Hal ini
disebabkan metanol yang berlebihan melarutkan gliserol yang konsentrasinya
semakin meningkat. Emulsi yang terbentuk pada rasio mol 12:1 lebih sulit
dipisahkan daripada rasio mol 9:1. Dengan demikian penambahan rasio mol
metanol-minyak cenderung menyebabkan emulsi dalam campuran metil ester
sekaligus menyulitkan pengambilan kembali gliserol yang larut dalam metanol.
Emulsi akan hilang dengan pendiaman beberapa lama (2-3 hari) serta melalui
penyaringan.
Penurunan konversi pada rasio 12:1 kemungkinan juga disebabkan oleh
metanol yang berlebihan larut dalam gliserol yang terbentuk. Akibatnya metanol
yang bereaksi dengan trigliserida untuk membentuk metil ester semakin
berkurang. Selain itu dengan adanya peningkatan hasil ester dan gliserol yang
terus terbentuk selama reaksi berlangsung mengakibatkan reaksi dapat berbalik
arah membentuk senyawa antara seperti monogliserida. Hal ini sebagaimana
dinyatakan oleh Krisnangkura dan Simamaharrnnop dalam Encinar et al. (2002)
bahwa keberadaan gliserol dapat menyebabkan kesetimbangan kembali bergeser
ke arah kiri (reaktan) sehingga mengurangi hasil ester. Peningkatan konversi metil
ester seiring penambahan mol metanol juga berkaitan dengan distribusi katalis
antara lapisan ester dan lapisan gliserol. Pada transesterifikasi minyak kelapa
dengan rasio mol 3:1 dimungkinkan katalis lebih tertarik ke lapisan gliserol
sebagaimana yang dinyatakan oleh Junek dan Mittel (dalam Encinar et al, 2002)
bahwa untuk rasio molar metanol/minyak 3:1, katalis lebih tertarik ke lapisan
gliserin. Oleh karenanya katalis tidak cukup tersedia pada lapisan ester, yang

PKMI-1-08-8
menyebabkan reaksi transesterifikasi tidak berjalan sempurna. Dengan kata lain
tidak seluruh trigliserida bereaksi membentuk metil ester. Selanjutnya menurut
Junek dan Mittel, metanol yang berlebihan mengakibatkan distribusi katalis
semakin merata di kedua lapisan ester dan gliserol. Dengan didasari oleh
pernyataan tersebut maka pada eksperimen ini ditunjukkan bawa penggunaan
metanol berlebih yang menyebabkan distribusi katalis semakin merata pada
lapisan ester dan lapisan gliserol ternyata diikuti oleh peningkatan konversi metil
ester sampai batasan optimun pada rasio mol metanol-minyak 9:1.
Pada Tabel 3 dapat dilihat bahwa metil palmitat merupakan komponen
utama penyusun biodiesel dengan persentase paling besar, karena asam palmitat
pada trigliserida (minyak) kelapa sawit merupakan komponen terbesar, pada
konversi biodiesel dari perbandingan 9:1 diperoleh metil palmitat sebesar 46,79%,
kemudian diikuti dengan metil laurat sebagai komponen kedua terbanyak sebesar
18,25% dan sisanya adalah metil ester yang berasal dari asam-asam lemak lain
penyusun minyak kelapa sawit, yaitu metil kaprilat, metil kaprat, metil miristat,
metil oleat dan metil stearat.
Untuk mengetahui kualitas biodiesel yang dihasilkan maka dapat
diketahui dari data pengujian karakteristik biodiesel seperti yang tercantum dalam
tabel 4. Penambahan mol metanol dalam reaksi transesterifikasi minyak kelapa
sawit disertai dengan penurunan viskositas, dari viskositas minyak murni sekitar
30 cSt turun menjadi 3,063 cSt untuk biodiesel dengan perbandingan reaktan 9:1.
Penambahan mol metanol menyebabkan biodiesel yang dihasilkan semakin murni
karena semakin banyak jumlah trigliserida yang terkonversi menjadi metil ester.
Campuran metil ester masih dimungkinkan mengandung trigliserida yang tidak
bereaksi, sisa minyak atau senyawa hidrokarbon rantai panjang. Dari keempat
variasi, hanya biodiesel dengan rasio mol pereaksi 3:1 dengan viskositas yang
tidak masuk spesifikasi karena masih melampaui batas maksimum yang diijinkan,
dan biodiesel dengan rasio mol 6:1 berada sedikit di atas nilai viskositas yang
telah ditentukan.
Titik tuang berkaitan erat dengan viskositas karena semakin rendah
viskositas maka semakin mudah biodiesel untuk mengalir pada kondisi tertentu.
Nilai titik tuang biodiesel semuanya masuk spesifikasi karena masih di bawah 65
C. Nilai titik tuang biodiesel 9:1 dan 12:1 adalah sama karena keduanya memiliki
viskositas yang hampir sama. Karakter fisik biodiesel lain yang diamati adalah
berat jenis (spesific gravity) pada 60/60 F. Berat jenis biodiesel naik dari rasio
mol 3:1 ke 6:1 dan kemudian turun sampai rasio mol 12:1. Karakter titik nyala
biodiesel seluruhnya masuk spesifikasi bahan bakar diesel standar nilai rata-rata di
atas 65.5 F. Karakter ini mempengaruhi keamanan bahan bakar untuk disimpan
pada kondisi temperatur tertentu. Semakin tinggi nilai titik nyala, maka bahan
bakar semakin aman untuk disimpan pada kondisi temperatur yang relatif rendah.
Titik nyala biodiesel yang dihasilkan cukup baik yaitu di atas 100 C.
Karakter sisa karbon Conradson dari seluruh biodiesel yang dihasilkan
cukup baik karena masih di bawah batas maksimum bahan bakar diesel sebesar
0,1. Karakter ini berhubungan dengan parameter kebersihan biodiesel, yaitu
kecenderungan untuk meninggalkan deposit karbon pada mesin setelah
pembakara. Biodiesel memilik karakter sisa karbon yang rendah, sehingga dapat
dikatakan bahwa pembakaran biodiesel cukup sempurna tanpa banyak

PKMI-1-08-9
meninggalkan residu berupa arang/karbon yang dapat mengganggu operasi mesin
diesel.
Berbeda dengan karakter fisik biodiesel lainnya, kadar abu dari biodiesel
yang dihasilkan ternyata tidak memenuhi spesifikasi bahan bakar diesel standar.
Kadar abu yang tinggi pada biodiesel ini dapat disebabkan oleh adanya kotoran-
kotoran yang memang sejak awal telah terkandung dalam minyak kelapa sawit.
Kadar abu yang tinggi dapat mengganggu operasi mesin diesel.

KESIMPULAN
Berdasarkan hasil analisis logam-logam dengan AAS dalam abu TKKS,
logam kalium merupakan komponen terbesar (29,8 % massa). Logam kalium
dalam abu TKKS dimungkinkan berada dalam bentuk senyawa karbonat. Hal ini
dibuktikan dengan uji alkalinitas terhadap abu TKKS. Dengan sifat basa yang
dimiliki kalium karbonat maka abu TKKS mempunyai potensi untuk digunakan
sebagai sumber katalis basa dalam pembuatan biodiesel. Penambahan rasio mol
metanol terhadap minyak (3:1, 6:1, 9:1 dan 12:1) meningkatkan konversi
Biodiesel. Besarnya konversi tersebut adalah rasio mol 3:1 = 66,8% ; 6:1 =
70,36% ; 9:1 = 84,12% dan 12:1 = 75,58%. Reaksi dengan rasio mol metanol-
minyak 9:1 merupakan kondisi optimun dalam pembuatan biodiesel karena
menghasilkan konversi biodiesel tertinggi dan memiliki karakter fisik yang paling
sesuai dengan spesifikasi bahan bakar diesel standar.

DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 2006, Potassium Carbonate Handbook, http://www.armandroducts.com,
13 Februari 2006.
Anonim, 2003, National Biodiesel board, website, www.biodiesel.org
Encinar, J. M., Gonzales, J.F., Rodriguez, J.J., Tejedor, A., 2002, Biodiesel Fuels
from Vegetable Oils : Transesterefication of Cynara cardunlus L. Oils
with Ethanol, Energy & Fuels. J.A.C.S.,16
Fauzi, Y., 2005, Kelapa Sawit, Budi Daya Pemanfaatan Hasil dan Limbah,
Analisis Usaha dan Pemasaran, edisi revisi, Penebar Swadaya, Jakarta
Juwita, A., 2005, Kajian Pengaruh Rasio Mol Metanol Minyak Kelapa Terhadap
Kuantitas dan Kualitas Biodiesel Hasil Transesterifikasi Minyak Kelapa
dengan katalis NaOH, Skripsi, Jurusan Kimia, FMIPA UGM, Yogyakarta
Trisunaryanti, W., Yahya, M.U., Julia, D., 2004, Kajian Pengaruh Temperatur
dan Persen Berat Katalis KOH Terhadap Hasil Transesterifikasi Minyak
Kelapa Dalam Media Metanol pada Pembuatan Biodiesel, Prosiding
Seminar Nasional Kimia XV, Yogyakarta

PKMI-1-09-1
KOMUNIKASI POLITIK ELIT NAHDLATUL ULAMA DI MEDIA
Eka Nada Shofa Alkhajar, Anastasia Lilin Yuliantina, Bagus Sandi Tratama
Jurusan Ilmu Komunikasi, Universitas Sebelas Maret, Surakarta

ABSTRAK
Sebagai organisasi Islam terbesar di dunia, sangatlah beralasan jika setiap gerak
langkah organisasi Nahdlatul Ulama (NU) mendapat perhatian dari media
massa. Namun, dinamika NU dalam muktamar ke-31 di Boyolali mempunyai
perbedaan dibanding muktamar-mukatmar sebelumnya. Mengingat muktamar
kali ini telah menyeret elit NU ke dalam pusaran konflik. Puncaknya adalah
terpolarisasinya kekuatan menjadi dua kubu. Yaitu kubu NU struktural pimpinan
Hasyim Muzadi di satu sisi dan NU kultural di bawah kendali Abdurrahman
Wahid (Gus Dur) di sisi yang berlawanan. Menariknya, kedua kubu sama-sama
merasa didukung poros kiai sebagai pemegang saham NU terbesar. Penelitian
ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana Harian Kompas dan Harian
Republika memaparkan komunikasi politik para elit NU pada masa pelaksanaan
muktamar ke-31 NU dan mengetahui bagaimana framing kedua media tadi dalam
mengambil sudut pandang (angle) pemberitaan terhadap komunikasi elit NU di
media. Dengan menggunakan teknik analisis framing, peneliti mencoba
menganalisis permasalahan melalui teks berita dan wawancara mendalam (in-
depth interview) dengan praktisi media yang terlibat dalam liputan muktamar
NU. Kesimpulan dalam penelitian ini adalah wacana konflik elit NU dalam
muktamar ke-31 NU dianggap penting oleh Kompas dan Republika. Terbukti,
kedua harian nasional tersebut memberikan halaman khusus untuk setiap berita
muktamar NU. Hal itu dibuktikan lagi melalui hasil wawancara penulis terhadap
praktisi media dari Kompas dan Republika konflik elit NU memiliki nilai berita
(news value) yang tinggi. Karena dianggap penting, Kompas dan Republika
memiliki kebijakan khusus terhadap isu ini. Kebijakan khusus itu mempunyai
pengaruh terhadap frame pemberitaan di masing-masing media. Kompas
memberikan apresiasi yang tinggi kepada Gus Dur dan kelompok kulturalnya
dibandingkan Hasyim Muzadi. Sebaliknya, Republika memberikan apresiasi lebih
tinggi kepada Hasyim Muzadi dan kelompok strukturalnya dibandingkan Gus
Dur.

Kata kunci : komunikasi, politik, pemimpin NU


PENDAHULUAN
Indonesia adalah negara berpenduduk muslim terbesar di dunia. Melihat
Islam tentu tidak dapat dipisahkan dengan Nahdlatul Ulama (NU) dengan warga
lebih dari empat puluh juta menjadikannya sebagai organisasi Islam terbesar di
dunia, sangatlah beralasan jika setiap gerak langkah organisasi Nahdlatul Ulama
(NU) mendapat perhatian dari media massa. Namun, dinamika NU dalam
muktamar ke-31 di Boyolali mempunyai perbedaan dibanding muktamar-
muktamar sebelumnya. Mengingat muktamar kali ini telah menyeret elit NU ke
dalam pusaran konflik. Puncaknya adalah terpolarisasinya kekuatan menjadi dua
kubu. Yaitu kubu NU struktural pimpinan Hasyim Muzadi dan kubu NU kultural

PKMI-1-09-2
di bawah kendali Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Menariknya, kedua kubu sama-
sama merasa didukung pemegang saham NU terbesar yakni poros kiai.
Permasalahan yang muncul adalah adanya perpecahan internal di tubuh
NU. Pecahnya nahdliyin ke dalam dua kubu besar : NU struktural pro Hasyim di
satu kubu dan NU kultural pro Gus Dur di kubu lain. Meski telah terbiasa dengan
kultur berbeda pendapat, tetapi perpecahan NU kali ini telah mencapai tahap yang
mengancam eksistensi organisasi. Sumber konflik dua kubu besar ini adalah
konflik dua orang yang masing-masing memiliki pengaruh besar di NU yaitu KH
Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan Hasyim Muzadi.
Komunikasi politik diantara elit NU selama menjelang dan pada saat
pelaksanaan muktamar di atas diliput dan diberitakan oleh media sehingga
memunculkan realitas baru yaitu realitas simbolik (symbolic reality) tentang
Hasyim Muzadi yang mendapat dukungan NU struktural dan Gus Dur yang
mewakili kelompok NU kultural. Citra kelompok dan tokoh NU yang merebutkan
pengaruh tidak saja dipengaruhi oleh realitas objektif dari para pelaku sosial
politiknya, tetapi juga dipengaruhi oleh penggambaran yang dilakukan oleh
media.
Hampir dalam setiap penyelenggaraan muktamar, konggres, atau
pertemuan politik lainnya media di satu sisi, menjadi tumpuan masyarakat dalam
hal penyebarluasan informasi dan membantu menciptakan situasi yang kondusif.
Di sini pers dituntut perlunya kejujuran (honesty), akurasi (accuracy), dan
keseimbangan (fairness).
Pada muktamar ke-31 NU yang di dalam sistemnya memberikan
kesempatan lebih luas kepada seluruh warga NU untuk ikut mengamati dan
berpartisipasi, pers dituntut bekerja tidak hanya lebih keras, tetapi juga lebih
profesional. Muktamar kali ini memiliki potensi konflik yang lebih besar sehingga
pers bekerja dalam situasi yang lebih rentan.
Dengan demikian muncul pertanyaan bagaimana cara Harian Kompas dan
Republika memaparkan komunikasi politik NU dan bagaimana framing yang
dilakukan mengingat pemilihan Calon rois aam dan ketua PBNU tertentu dengan
visi-misi tertentu harus diberitakan seperti apa, angle liputan apa dan harus ditulis
bagaimana ketika perbedaan begitu tajam, dan di mana posisi yang harus diambil
pers ketika terjadi konflik menjadi hal yang sangat esensial dalam setiap
pemberitaan.
Besarnya tuntutan publik atas media dengan keterbatasan sumber daya
membuat posisi pers dalam upayanya memuaskan semua pihak menjadi tidak
mungkin. Pers juga memiliki keterbatasan ruang. Padahal berbagai aktivitas
politik pada masa muktamar ke-31 NU cukup banyak dan berlangsung dalam
waktu yang relatif bersamaan. Keterbatasan-keterbatasan ini, ditambah dengan
orientasi politik media (ideologi), membuat pers harus memilih. Pers akan
menyeleksi, menonjolkan peristiwa tertentu, dan mengabaikan peristiwa yang
lain.
Dalam situasi demikian media sudah tidak dapat lagi sebagai saluran yang
pasif, netral, dan sekedar menjadi kumpulan medium yang melaporkan informasi.
Akan tetapi, pers telah menjadi arena sosial atau panggung publik yaitu suatu
arena dimana berbagai kelompok berusaha menampilkan definisi situasi serta
definisi realitas sosial menurut versi mereka sendiri (Nugroho, 1991 : viii). Dalam

PKMI-1-09-3
kondisi serba sulit dan penuh kemustahilan pers akan cenderung langkah-langkah
yang realistis dan pragmatis.
Media tentu tidak dapat dimaknai secara harfiah sebagai suatu institusi
yang hanya menyalurkan realitas ke dalam bentuk teks. Karena, media memiliki
realitas sendiri, memiliki kaidah-kaidah sendiri, dan memiliki kesepakatan-
kesepakatan proses yang dilembagakan sendiri. Bahkan orang-orang dalam
struktur internal media sangat mungkin memiliki agenda, atau minimal perspektif
sendiri. Hal itu menjadikan kemasan peristiwa dalam bentuk berita dan isu
tertentu dibingkai menurut perspektif mereka sendiri.
Institusi media adalah kumpulan banyak orang yang memiliki beragam
realitas subjektif yang bergabung dalam satu komponen. Hasilnya realitas objektif
media tidak lebih dari hasil sintesa dari proses dialektika realitas subjektif masing-
masing aktor di balik media. Hasil proses itu kemudian menerpa kembali setiap
awak media massa dan mempengaruhi realitas subjektif masing-masing.
Dinamika internal itulah yang bersifat dinamis itulah yang menjadi awal realitas
simbolik media.
Lepas dari ideologi dan agenda politik, media pada dasarnya adalah
institusi ekonomi. Pengusaha media sudah tidak bisa lagi mengandalkan idealisme
dalam mengelola perusahaan, tetapi harus meningkatkannya menjadi industri
(Djuroto, 2000 : 5). Hingga lahir era industrialisasi media yang artinya, mau tidak
mau agar bisa bertahan, pers harus dikelola dengan profit oriented. Meski tidak
sepenuhnya, arus kepentingan ekonomi dan ideologi pasar menjadikan pilihan dan
ruang manuver para aktor media menjadi terbatas. Dalam kondisi ini media hanya
sebatas meliput konflik tanpa memperhatikan konteks karena acuan utamanya
adalah oplah.
Komunikasi politik elit NU menjadi wacana yang berskala nasional. Hal
ini tidak lepas dari peran media massa yang dalam waktu singkat menyebarkan
berita-berita kepada khalayak luas. Selanjutnya, khalayak sering terpengaruh oleh
sisi-sisi yang ditonjolkan oleh media dan mengesampingkan fakta yang tidak
ditampilkan. Kondisi ini akan mempengaruhi kognisi dan persepsi khalayak
terhadap gagasan, komunikasi, dan kesimpulan yang diambil. Persepsi tersebut
akan menimbulkan rentang yang cukup lebar bagi posisi khalayak dalam
mengambil sikap terhadap gagasan, konflik, dan komunikasi politik yang
dibangun (Zen, 2004 : 4).

METODE PENELITIAN
Paradigma berguna untuk memandu peneliti selama melakukan proses
penelitian. Paradigma yang digunakan dalam penelitian ini adalah paradigma
konstruksionisme maka seluruh elemennya : ontologi, epistemologi, dan
aksiologi harus menggunakan ruh konstruksionis.
Asumsi ontologis pada paradigma konstruktivisme adalah besifat relatif.
Artinya, realitas sosial dari suatu masalah yang diteliti merupakan realitas sosial
buatan yang memiliki unsur relativitas yang cukup tinggi dan berlaku sesuai
konteks spesifik yang dinilai relevan oleh pelaku sosial. Asumsi epistemologis
dalam pendekatan ini bersifat subjektif-dialektikal. Artinya pemahaman atau
temuan suatu realitas yang terdapat di dalam teks media merupakan hasil dari
penalaran peneliti secara subjektif dan sebagai hasil kreatif peneliti dalam
membentuk realitas. Asumsi aksiologis dalam paradigma ini adalah peneliti

PKMI-1-09-4
bertindak sebagai passionate participant, yakni berperan sebagai fasilitator yang
menjembatani keragaman subjektivitas pelaku sosial.
Analisis framing memiliki implikasi penting bagi komunikasi politik.
Framing menuntut perhatian terhadap beberapa aspek dari realitas dengan
mengabaikan elemen-elemen lainnya yang memungkinkan khalayak memiliki
dukungan berbeda.
Dari sejumlah item berita yang terdapat pada periode penelitian, yaitu
selama November-Desember 2004, terdapat lima berita pada masing-masing surat
kabar yang berkaitan dengan tema yang diangkat penulis.
Teknik pengumpulan data pada penelitian framing bersifat multilevel
karena akan dibagi menjadi dua level. Pertama, pengumpulan data pada level teks
media dan kedua, pengumpulan data pada level manajemen redaksional (produksi
berita) yang dilakukan oleh bagian redaksional dari masing-masing institusi
suratkabar (Birowo, 2004 : 186-187).
Dengan teknik analisis framing, peneliti mencoba menganalisis
permasalahan melalui teks berita dan wawancara mendalam (in-depth interview)
dengan praktisi media yang terlibat dalam liputan muktamar NU. Wawancara
dilakukan dengan asumsi bahwa pengalaman dan pengetahuan individu akan
mengendap dan mengkristal kemudian memberikan kemampuan bagi individu
yang bersangkutan untuk memetakan, menerima, mengidentifikasi, dan
memberikan label pada informasi yang diterima (Goffman dalam Agus Sudibyo,
2001)
Subyek penelitian wawancara ini sebanyak lima orang dengan rincian dua
wartawan Kompas dan tiga wartawan Republika yang melakukan liputan
langsung. Dari sini diharapkan informan benar-benar memiliki kompetensi dan
relevansi dengan permasalahan yang diangkat.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Wartawan Kompas dalam tataran implementasinya lebih mengedepankan
aspek humanisme transedental sesuai dengan visi misi yang diamanatkan redaksi.
Bentuknya berupa upaya untuk tidak menyakiti siapapun dalam setiap karya
jurnalistiknya. Mengingat melukai perasaan satu orang saja berarti mengingkari
nilai-nilai kemanusiaan yang ditekankan oleh Kompas. Awak media juga melihat
bahwa Kompas hidup di masyarakat yang sedemikian plural. Oleh karena itu
langkah untuk mengembangkan semangat toleransi dalam pluralitas harus
dijunjung tinggi.
Hal ini diungkapkan oleh redaktur Kompas, Nugroho sebagai berikut :
Berusaha agar berita-berita kita sesuai dengan visi dan misi Kompas yaitu
memberi pencerahan bagi masyarakat Indonesia agar lebih bermartabat,
demokratis dan kemanusiaan yang transendental. Kemanusiaan di tempat kita itu
namanya humanisme transendental. Berusaha untuk menyakiti orang karena
kemanusiaan itu benar-benar kemanusiaan, karena ketika satu orang pun kita tulis
itu adalah kemanusiaannya dia, kita berusaha tidak menyakiti, mengeluarkan
kalimat yang vulgar karena basisnya kemanusiaan memang seperti itu dimana
saja. (Wawancara dengan Nugroho, koordinator liputan Muktamar NU Kompas,
28 April 2005).


PKMI-1-09-5
Di lain pihak, wartawan Republika pun memahami betul bahwa medianya
bergerak untuk menyuarakan kepentingan Islam. Konsekuensinya meski tampil
sebagai koran umum, Republika lebih menitikberatkan untuk membela
kepentingan Islam. Bentuknya bisa diterjemahkan dalam semua aspek
pembahasan yang kemudian dikaitkan dengan Islam. Nilai aspek Islam dalam
politik, nilai Islam dalam praktik ekonomi, nilai Islam dalam pemanfaatan iptek,
nilai Islam dalam menjaga kesehatan jasmani rohani, aplikasi nilai budaya Islam
dan aspek kehidupan lainnya. Hasilnya dapat terlihat tampilan Republika kental
sebagai koran Islam.
Hal di atas diakui oleh redaktur dan wartawan Republika dalam proses
wawancara dengan penulis sebagai berikut :
Visinya kita koran Islam, berbasiskan Islam, dan memang lebih
menyuarakan suara umat Islam. Hal itu lebih menonjol. Sekalipun kita tetap koran
umum, tetapi lebih menitikberatkan pada menyuarakan aspirasi umat Islam.
(Wawancara dengan Eko Widiyanto, Redaktur berita Muktamar NU di
Republika, 9 Maret 2005).

Kedua media, baik Kompas maupun Republika memandang NU sebagai
organisasi yang memiliki news value yang tinggi. Setiap langkah, sikap, konflik,
dan pernak-pernik organisasi ini selalu menarik untuk diberitakan. Selain karena
jumlah massanya yang besar, bahkan menjadi yang terbesar se-dunia untuk ormas
Islam, NU juga memiliki sikap yang moderat dan inklusif. NU memiliki cara
penyelesaian konflik khas yang bisa dijadikan rujukan elemen lain bangsa ini. Hal
itu sesuai yang dikatakan Redaktur Kompas yang juga menjadi koordinator
Kompas untuk liputan muktamar NU yang lalu, Nugroho, sebagai berikut :
Kita selalu memberi perhatian khusus, perhatian besar terhadap NU.
(Alasannya apa?). Pertama, karena NU itu empat puluh juta (anggotanya), itu 25
persen dari penduduk kita dan empat puluh juta itu penyebarannya merata, di
Sumatera, di Jawa. Jadi dia (NU) bagian yang sangat inheren dari bangsa ini.
Kedua, penyikapan kita ini sangat berkepentingan untuk juga mendukung NU
yang lewat ajaran ahlussunnah wal jamaah, ajaran-ajarannya sangat menghargai
pluralisme. Ketika mendukung hal itu karena kita sadar Indonesia yang sangat
beragam. Walaupun kita tidak menihilkan organisasi-organisasi yang sektarian,
karena bagaimanapun kita media. Kita tidak menghilangkan fakta. Kita mengakui
bahwa itu fakta yang ada, ada Laskar Jihad, organisasi-organisasi, Hizbut Tahrir.
Itu kita tidak mengingkari. Tapi kalau penyikapan kita memberi perhatian kepada
NU memang karena NU ini menghargai pluralisme. (Wawancara dengan
Nugroho, koordinator liputan Muktamar NU Kompas, 28 April 2005)

Pengakuan yang sama juga diungkap oleh Republika melalui salah
seorang wartawannya sebagai berikut :
Sekarang malah lagi mendekati kalangan NU karena NU kan merupakan
kekuatan Islam yang sangat besar. Lagi mengarah ke sana. Dan kebetulan orang
Republika juga banyak yang berlatarbelakang NU, nahdliyin. Seperti wapemred-
nya juga orang NU, Mas Ichwanul Kirom. Beberapa wartawan juga orang NU.
Atas dasar itu, Pak Hasyim Muzadi itu masih menulis kolom di Republika setiap
minggu, ya bergantian. Sejak beberapa tahun ini dia rutin menulis kolom di
Republika. Berita-berita NU sekarang sering dimuat. Makanya muktamar NU itu

PKMI-1-09-6
diberi porsi besar. Satu halaman penuh di halaman sembilan dan di halaman
depan. Isu-isu yang sangat penting dimasukkan di halaman depan, porsinya
memang sangat besar. (Wawancara dengan Anjar Fahmiarto, 26 Maret 2005 ).

Dari komentar dua wartawan di atas memang ada kesamaan diantara
Kompas dan Republika dalam melihat NU sebagai organisasi yang menarik untuk
diberitakan. Akan tetapi kalau kita mencermati lebih lanjut, argumentasi dasar
yang digunakan kedua media tersebut berbeda. Kompas melihat NU penting
karena NU dianggap sebagai organisasi yang mampu menjaga nilai-nilai
pluralitas. Meski jumlahnya mayoritas tetap menghormati hak-hak minoritas.
Langkah NU selalu inklusif dan toleran terhadap keberagaman, termasuk
keberagaman beragama.
Dengan alasan yang berbeda, Republika juga menganggap NU sebagai
organisasi yang penting. Sebagai koran yang bervisi Islam, maka segmen
pembaca terbesarnya adalah umat Islam. Kalau berbicara umat Islam di Indonesia,
maka NU adalah ormas Islam dengan massa terbesar. Maka memberitakan
kepentingan dan gerak NU berarti juga memberitakan sebagian besar kepentingan
dan gerak umat Islam Indonesia. Atas alasan ini cukup beralasan jika Republika
juga memberikan perhatian lebih dalam aktivitas organisasi NU dalam muktamar
ke-31 di Boyolali.
Republika memiliki catatan sejarah khusus dalam konflik NU. Dalam
muktamar ke-29 tahun 1994 di Cipasung, Republika sempat berpihak kepada
salah satu calon tertentu dan sempat terlibat masuk dalam pusaran konflik.
Kedekatan Republika dengan pemerintah yang berkuasa saat itu, menjadikan
pemberitaan harian ini lebih membela calon yang didukung pemerintah saat itu.
Hal itu wajar karena selama masa orde baru NU dianggap menjadi organisasi
yang pheriperial dan bersikap kritis terhadap penguasa. Dari kasus itu, Republika
akhirnya berbenah dan mulai ada kesepahaman bersama antara awak media,
manajemen, dan direksi untuk tidak membenturkan kelompok Islam satu dengan
yang lain.

KESIMPULAN
Wacana konflik elit NU dalam muktamar ke-31 NU dianggap penting
oleh media, khususnya Kompas dan Republika. Terbukti, kedua harian nasional
tersebut memberikan halaman khusus untuk berita muktamar NU. Hal itu
dibuktikan lagi hasil wawancara penulis terhadap praktisi media dari Kompas dan
Republika konflik elit NU memiliki news value yang tinggi.
Karena dianggap penting, Kompas dan Republika memiliki kebijakan
khusus terhadap isu konflik elit politik NU dalam muktamar ke-31 NU. Kebijakan
khusus itu mempunyai pengaruh terhadap frame pemberitaan di masing-masing
media.
Kompas menilai isu konflik elit NU dalam muktamar penting karena dua
hal. Pertama, massa NU jumlahnya besar tetapi sangat mengedepankan
pluralisme dan menghormati kaum minoritas. Hal ini sesuai dengan misi Kompas.
Kedua, ada yang patut diteladani dari cara khas NU dalam menyelesaikan
masalahnya. Menurut Kompas, NU tidak pernah menyelesaikan masalahnya
dengan kekerasan dan nantinya akan berakhir dengan bijaksana.

PKMI-1-09-7
Republika memandang isu konflik elit NU dalam muktamar penting
karena media ini memiliki misi Islam. Mengingat massa Islam terbesar di
Indonesia berada di bawah payung organisasi NU, maka setiap gerak roda
organisasi NU layak untuk diberitakan di Republika.
Kompas memberikan apresiasi yang tinggi kepada Gus Dur dan kelompok
kultural dibanding Hasyim Muzadi. Hal ini terlihat dari pemberitaan dan hasil
wawancara penulis kepada praktisi media Kompas.
Sebaliknya, Republika memberikan apresiasi yang lebih tinggi kepada
Hasyim Muzadi. Hal ini juga terlihat dari pemberitaan dan hasil wawancara
penulis kepada praktisi media Republika. Faktor yang mempengaruhi hal ini
adalah Republika pernah memiliki sejarah yang kurang baik terhadap Gus Dur
dan kedekatan Republika terhadap sosok Hasyim Muzadi sebagai pengisi salah
satu rubrik di harian ini.
Metode wawancara mendalam (in-depth interview) lebih memperjelas
praktik framing yang dilakukan oleh media. Dengan melakukan wawancara
mendalam kepada praktisi media peneliti akan mengetahui lebih mendalam alur
lahirnya berita dari sebuah wacana menjadi berita, termasuk kecenderungan-
kecenderungan yang menyertainya.
Dalam menggali dan mengkonstruksi sebuah wacana di media cetak
dengan menggunakan analisis framing belum cukup menggunakan satu model dan
satu teori saja. Pendekatan dengan model dan teori lain akan lebih memperkaya
analisis bagi penentuan kedekatan antara realitas obyektif dan realitas semu.

DAFTAR PUSTAKA
Birowo, Antonius. (2004). Metode Penelitian Komunikasi Teori dan Aplikasi,
Yogyakarta, Gitanyali.
Djuroto, Totok. (2000). Manajemen Penerbitan Pers, Bandung, Rosda.
Nugroho, Bimo, Eriyanto, and Sudarsis F. (1991). Politik Media Mengemas
Berita, Jakarta, ISAI.
Sudibyo, Agus. (2001). Politik Media dan Pertarungan Wacana, Yogyakarta,
LkiS.
Zen, Fathurin. (2004). NU Politik; Analisis Wacana Media, Yogyakarta, LKiS.






PMI-1-10-1

SELULOSA CROSS AND BEVAN TANGKAI ECENG GONDOK
SEBAGAI BAHAN BAKU PAPAN PARTIKEL

Willy Saputra, Dedy Dwi Prasetyo
Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya

ABSTRAK
Eceng gondok termasuk tumbuhan air yang sangat berguna jika populasinya
dapat dikendalikan. Sebaliknya, eceng gondok juga dapat mengganggu
lingkungan dan aktivitas manusia jika populasinya tidak dapat dikendalikan.
Pertumbuhan eceng gondok yang sangat cepat memerlukan penanganan yang
serius. Kandungan selulosa Cross and Bevan eceng gondok sebesar 64,51% dari
berat total (Joedodibroto, 1983) memungkinkan eceng gondok dapat dipakai
sebagai bahan baku pembuatan papan partikel. Pemanfaatan eceng gondok
sebagai bahan baku pembuatan papan partikel merupakan salah satu alternatif
manfaat yang memberikan nilai tambah eceng gondok bagi masyarakat. Dengan
bertambahnya cara pemanfaatan eceng gondok maka populasinya diharapkan
dapat dikontrol, sehingga permasalahan yang timbul sebagaimana yang
dipaparkan sebelumnya dapat diatasi. Penlitian ini bertujuan untuk mengetahui
pengaruh komposisi resin dan ukuran partikel terhadap mutu papan berdasarkan
standar SII 1983 dan SNI 1996 pada pembuatan papan partikel dari selulosa
Cross and Bevan tangkai eceng gondok dan menganalisa prospek ekonominya.
Persiapan penelitian dimulai dengan mengeringkan batang batang eceng gondok,
memotongnya sepanjang 1 cm kemudian menggilingnya. Setelah itu dilakukan
pemisahan partikel yang berukuran lebih dari 20 mesh dankurang dari 20 mesh.
Selanjutnya mengoven partikel eceng gondok tersebut pada suhu 105
o
C hingga
kadar airnya 2-8%. Tahap akhir dari persiapan bahan ini adalah mempersiapkan
perekat dengan campuran resin, air, kanji, dan hardener dengan perbandingan
100:80:50:6

Kata kunci:

PENDAHULUAN

Eceng gondok (Eichhornia crassipes) termasuk tumbuhan air yang
menyebar ke seluruh dunia dan tumbuh pada daerah dengan ketinggian berkisar
antara 0-1600 m di atas permukaan laut, pada iklim tropis dan sub tropis. Eceng
gondok termasuk tumbuhan air yang sangat berguna jika populasinya dapat
dikendalikan. Sebaliknya, eceng gondok juga dapat mengganggu lingkungan dan
aktivitas manusia jika populasinya tidak dapat dikendalikan. Eceng gondok sangat
sulit dikendalikan populasinya karena pertumbuhannya sangat cepat dan daya
tahan hidupnya tinggi. Pertumbuhan eceng gondok yang sangat cepat
memerlukan penanganan yang serius. Pemberantasan secara mekanik, kimia, dan
biologi di beberapa negara tidak pernah memberikan hasil yang optimal. Bahkan
karena hal ini akan berdampak negatif (Amin dkk, 2002). Indonesia mempunyai
lebih dari satu juta hektar danau alami dan danau buatan. Banyak dari perairan
tersebut yang ditumbuhi eceng gondok sebagai gulma, terutama di Jawa,



PMI-1-10-2

Kalimantan, dan Sumatera. Bahkan Danau Sentani di Irian Jaya sebagian
permukaannya telah tertutup eceng gondok (Tjondronegoro dan Pantjawarni,
1999). Hal ini memerlukan penanganan yang serius agar populasi eceng gondok
dapat dikendalikan.
Meningkatnya jumlah penduduk menyebabkan kebutuhan kayu
meningkat. Kebutuhan kayu untuk industri perkayuan di Indonesia diperkirakan
sebesar 70 juta m
3
per tahun dengan kenaikan rata-rata sebesar 14,2% pertahun.
Produksi kayu bulat diperkirakan hanya sebesar 25 juta m
3
per tahun, dengan
demikian terjadi defisit sebesar 45 juta m
3
(Priyono, 2001 dalam Setyawati,
2004). Hal ini menunjukkan bahwa daya dukung hutan sudah tidak dapat
memenuhi kebutuhan kayu. Keadaan ini diperparah oleh adanya konversi hutan
alam menjadi lahan pertanian, perladangan berpindah, kebakaran hutan, praktek
pemanenan yang tidak efisien dan pengembangan infrastruktur lain yang diikuti
oleh perambahan hutan. Kondisi ini menuntut penggunaan kayu secara efisien dan
bijaksana dan pengembangan produk-produk inovatif bahan lain pengganti kayu.
Salah satu upaya untuk meningkatkan efisiensi penggunaan kayu dapat
dilakukan dengan teknik laminasi. Dengan teknik laminasi, potongan-potongan
kayu atau bahan berligno-selulosa lainnya yang relatif kecil ukurannya dipadukan
untuk memperoleh lembaran papan kayu yang lebih luas sebelum digunakan
sebagai bahan konstruksi. Produk laminasi yang ada antara lain berupa papan
serat, papan partikel, kayu lapis, serta produk-produk perekatan lainnya (Fakhri,
2002).
Kandungan selulosa Cross and Bevan eceng gondok sebesar 64,51% dari
berat total (Joedodibroto, 1983) memungkinkan eceng gondok dapat dipakai
sebagai bahan baku pembuatan papan partikel. Kandungan ekstraktifnya rendah,
yaitu sekitar 6% dari berat total, sehingga tidak mengganggu perekatan.
Pemanfaatan eceng gondok sebagai bahan baku pembuatan papan partikel
merupakan salah satu alternatif manfaat yang memberikan nilai tambah eceng
gondok bagi masyarakat. Dengan bertambahnya cara pemanfaatan eceng gondok
maka populasinya diharapkan dapat dikontrol, sehingga permasalahan yang
timbul sebagaimana yang dipaparkan sebelumnya dapat diatasi.
Tujuan dari penlitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh komposisi
resin dan ukuran partikel terhadap mutu papan berdasarkan standar SII 1983 dan
SNI 1996 pada pembuatan papan partikel dari selulosa Cross and Bevan tangkai
eceng gondok dan menganalisa prospek ekonominya.

Eceng Gondok
Winarno (1993) menyebutkan bahwa dekomposisi kimiawi eceng gondok dari
berat total adalah 36,59 % bahan organik, 21,23% C organik, 0,28% N, 0,0011%
P, dan 0,016% K. Joedodibroto (1983) mengemukakan hasil analisis komponen
kimia eceng gondok yang tidak digiling ternyata mengandung kadar abu 12% dan
setelah digiling menjadi 5,77%. Kandungan zat ekstraktif juga mengalami
penurunan setelah digiling.


Tabel 1. Susunan Kimia Batang Eceng Gondok Dalam Keadaan Kering Tanur.




PMI-1-10-3

Eceng gondok
No Analisa Sebelum digiling
(%)
Setelah digiling
(%)
1.
2.
3.
4.
5.

Abu
Silikat
Lignin
Pentosan
Selulosa Cross and Bevan
12,00
5,56
7,69
15,61
64,51

5,77
0,65
8,93
18,14
72,63
Sumber : Joedodibroto, 1983

Papan Partikel

Papan partikel adalah papan komposit yang dibuat dari potongan-potongan kecil
kayu, termasuk serbuk gergaji atau bahan berligno-selulosa lain. Potongan-
potongan tersebut direkatkan dengan perekat atau resin sintetis, kemudian ditekan
sehingga membentuk papan dengan disain dan ukuran tertentu (Salomba dan
Purwanto, 1995).
Geometri partikel, jumlah resin, densitas papan, dan proses pembuatan
dapat dimodifikasi untuk menghasilkan produk yang sesuai pemakaian dan
spesifikasi. Pada proses pembuatan, bahan aditif dapat ditambahkan agar papan
partikel mempunyai karakteristik yang lebih stabil, tahan api, tahan kelembaban
dan lebih kuat.
Papan partikel biasanya dibuat dari pohon jarum (konifera). Papan partikel
juga dapat dibuat dari serat selain kayu, misalnya ampas tebu, bambu, dan rami.
Menurut Kolman dan Cote (1975), papan partikel dapat digunakan untuk dinding,
lantai, platform rumah, almari atau perabot lainnya yang menggunakan papan
lebar.




Gambar 2.3. Papan Partikel



METODE PENELITIAN

Variabel Penelitian

Variabel Bebas terdiri dari



PMI-1-10-4

Komposisi resin : 20 % (a
1
), 30 % (a
2
), 40 % (a
3
) berat partikel

Ukuran partikel : > 20 mesh (b


1
) dan < 20 mesh (b
2
)

Variabel yang ditetapkan terdiri dari
Komposisi bahan perekat : resin, air, kanji, dan hardener
dengan perbandingan 100:80:50:6
Tekanan Kempa : 60 kg/cm
2

Suhu pengovenan papan : 110
o
C

Alat dan Bahan

Peralatan yang digunakan adalah alat press hidrolik, cetakan, oven,
blender, dan ayakan berukuran 20 mesh. Bahan baku adalah eceng gondok yang
diperoleh dari sungai di daerah Gunung Sari, Surabaya. Bahan perekat yang
digunakan berupa resin urea formaldehid, diperoleh dari Intan Wijaya Chemical
Industries, Tangerang dengan merk dagang UFP 1001. Hardener menggunakan
ammonium sulfat, dan bahan pengisi menggunakan tepung kanji.

Prosedur Penelitian

Persiapan Bahan baku
Persiapan penelitian dimulai dengan mengeringkan batang batang eceng gondok,
memotongnya sepanjang 1 cm kemudian menggilingnya. Setelah itu dilakukan
pemisahan partikel yang berukuran lebih dari 20 mesh dankurang dari 20 mesh.
Selanjutnya mengoven partikel eceng gondok tersebut pada suhu 105
o
C hingga
kadar airnya 2-8%. Tahap akhir dari persiapan bahan ini adalah mempersiapkan
perekat dengan campuran resin, air, kanji, dan hardener dengan perbandingan
100:80:50:6

Pembuatan Papan partikel
Pembuatan papan partikel dimulai dengan mencampur partikel eceng gondok
dengan perekat, sesuai variabel komposisi resin. Campuran yang telah dimasukan
ke dalam cetakan yang telah diolesi mirror glaze, dikempa dengan tekanan 60
kg/cm
2
selama 30 menit. Memasukkan campuran ke dalam oven yang bersuhu
110
o
C selama 30 menit. Mendinginkan dan melepaskan papan partikel dari
cetakan.

Pengujian Papan Partikel
Pada pengujian papan, papan diuji kekuatan lentur, Kerapatan, dan uji tahan
kelembaban papan partikel berdasarkan standar SII 1983 dan SNI 1996.

HASIL DAN PMBAHASAN

Hasil Penelitian

Dari penelitian ini dihasilkan papan uji berbentuk silinder dan papan
berukuran 28 x 8 x 2,5 cm. Papan berbentuk silider digunakan untuk pengujian



PMI-1-10-5

kerapatan papan dan pengembangan volume papan dalam air sedangkan papan
berukuran 28 x 8 x 2,5 digunakan untuk pengujian kekuatan lentur.

Tabel 3.1. Hasil Pengujian

Memenuhi
standar
Memenuhi
standar b
1
( > 20 mesh )
Ya tidak
b
2
( <20 mesh )
Ya tidak
a
1
20%
Resin
-kekuatan lentur = 75.6
kg/cm
2

-kerapatan = 0,768 g/ml
-pengembangan volume 2
jam = 16,90 %
-pengembangan volume
24 jam = 22,69 %

-kekuatan lentur = 68,04
kg/cm
2

-kerapatan = 0,792 g/ml
-pengembangan volume
2 jam =26,46 %
-pengembangan volume
24 jam = 47,22 %

a
2
30%
Resin


-kekuatan lentur = 105,84
kg/cm
2

-kerapatan = 0,802 g/ml
-pengembangan volume 2
jam = 10,36 %
-pengembangan volume
24 jam = 12,37 %


-kekuatan lentur =83,16
kg/cm
2

-kerapatan = 0,813 g/ml
-pengembangan volume 2
jam = 11,92 %
-pengembangan volume
24 jam = 29,56 %

a
3
40%
Resin
-kekuatan lentur = 158,76
kg/cm
2

-kerapatan = 0,873 g/ml
-pengembangan volume 2
jam = 3,94 %
-pengembangan volume
24 jam = 7,41 %


-kekuatan lentur =
113,40 kg/cm
2

-kerapatan = 0,897 g/ml
-pengembangan volume
2 jam = 4,74 %
-pengembangan volume
24 jam = 8,23 %



Kekuatan Lentur Papan
Rata-rata kekuatan lentur papan partikel berada diantara 158.76 68.04
kg/cm
2
. Berdasarkan standar SII 1983 menyebutkan bahwa persyaratan minimal
kekuatan lentur papan adalah 100 kg/cm
2
. Dari tabel 1. dapat menginformasikan
bahwa papan yang memenuhi persyaratan minimum kekuatan lentur adalah papan
dengan perlakuan a
3
b
1
, a
3
b
2
, dan a
2
b
1
.
Gambar 1. menginformasikan hasil penelitian bahwa kekuatan lentur
papan meningkat dengan meningkatnya komposisi resin. Meningkatnya jumlah
resin akan meningkatkan persen luasan kontak antar partikel, sehinga ikatan antar
partikel semakin besar. Semakin besar ikatan antar partikel menyebabkan rongga
antar partikel semakin kecil, sehingga papan semakin padat dan kompak. Fakhri
(2002) mengatakan bahwa semakin padat dan kompak ikatan antar partikel, maka
sifat mekaniknya akan semakin baik.
Gambar 1.juga menginformasikan pengaruh ukuran partikel terhadap
kekuatan lentur. Partikel yang lebih kecil mempunyai luasan permukaan kontak
yang lebih besar dan membutuhkan banyak resin untuk melingkupi seluruh
permukaan partikel, artinya semakin kecil ukuran partikel, kebutuhan resin
semakin besar (Walker, 1997). Pada jumlah resin yang sama, papan dengan
ukuran partikel lebih kecil akan mempunyai persen kontak antar partikel semakin
kecil. Lin dan Huang (2004) melaporkan bahwa semakin meningkatnya persen
kontak antar partikel akan meningkatkan ikatan antar partikel. Jalaluddin, dkk
(2004) melaporkan hasil penelitiannya tentang pembuatan papan partikel dari



PMI-1-10-6

bambu bahwa semakin besar ukuran partikel, semakin bagus modulus of rupture
dan modulus of elasticity. Hal inilah yang menyebabkan papan partikel struktural
dibuat dari partikel yang relatif panjang dan lebar (Walker, 1997).

60
100
140
180
0 20 40 60
Komposisi Resin (%)
K
e
k
u
a
t
a
n

L
e
n
t
u
r

(
k
g
/
c
m
2
)
>20 mesh
<20 mesh


Gambar IV.1. Grafik hubungan komposisi resin dan kelenturan papan

Menurut Joedodibroto (1983), eceng gondok yang telah digiling dan
disertai penyaringan dapat menghilangkan sel-sel halus non serat. Sel-sel halus ini
adalah sel parenkim yang mempunyai susunan sedemikian hingga kadar abu dan
ekstraktifnya tinggi. Penghilangan sel-sel parenkim mempunyai implikasi positif
untuk meningkatkan mutu papan partikel. Untuk mendapatkan papan partikel
dengan kekuatan yang memadai, maka diperlukan ukuran papan yang tepat, kadar
air yang tepat, kadar ekstraktif, dan abu yang kecil (Walker, 1997).

Kerapatan Papan Partikel
Gambar 2. menginformasikan bahwa komposisi resin mempengaruhi
kerapatan papan. Kerapatan papan semakin besar sesuai dengan kenaikan
komposisi resin. Semakin besar jumlah resin yang digunakan resin semakin kuat
mengikat partikel dan mengisi rongga-rongga antar partikel, sehingga partikel
semakin rapat. Pada semua perlakuan, kerapatan papan masih sesuai dengan
standar yang diizinkan menurut SNI 1996, yaitu antara 0,5 0,9 g/cm
3
.
Gambar 2. juga menginformasikan bahwa ukuran partikel mempengaruhi massa
jenis papan. Semakin besar ukuran partikel, maka kerapatan papan semakin kecil.
Lin dan Huang (2004), menyebutkan bahwa semakin besar partikel, semakin
besar fraksi rongga. Sedangkan semakin besar rongga antar partikel, massa
jenisnya semakin kecil.




PMI-1-10-7

0.72
0.76
0.8
0.84
0.88
0.92
0 20 40 60
komposisi resin (%)
k
e
r
a
p
a
t
a
n

(
g
/
c
m
3
)
>20 mesh
<20 mesh


Gambar IV.2. Grafik Hubungan Komposisi Resin Terhadap Kerapatan Papan


Persentase Pengembangan Volume dalam Air
Uji pengembangan dalam air bertujuan untuk mengetahui ketahanan
papan terhadap air. Pengembangan volume papan ditetapkan setelah contoh uji
direndam dalam air dingin / suhu kamar (30
o
C) selama 2 jam dan 24 jam. Pada
perendaman dalam air selama 2 jam, hanya papan dengan komposisi resin 40%
yang memenuhi SII 1983, yaitu maksimal pengembangan volumenya 10%.
Sedangkan pada perendaman selama 24 jam, yang memenuhi standar adalah
papan dengan perlakuan a
3
b
1
, a
3
b
2
, dan a
2
b
1
.

0.00
5.00
10.00
15.00
20.00
25.00
30.00
0 10 20 30 40 50
komposisi resin (%)
p
e
n
g
e
m
b
a
n
g
a
n

v
o
l
u
m
e

(
%
)
>20 mesh
<20 mesh


Gambar IV.3. Hubungan komposisi resin terhadap % pengembangan
volume dalam air selama 2 jam



PMI-1-10-8

0
10
20
30
40
50
0 10 20 30 40 50
komposisi resin (%)
p
e
n
g
e
m
b
a
n
g
a
n

v
o
l
u
m
e

(
%
)
>20 mesh
<20 mesh


Gambar IV.4. Hubungan komposisi resin terhadap % pengembangan
volume dalam air selama 24 jam

Hasil pengujian (gambar 3. dan 4.) menunjukkan bahwa semakin besar
komposisi resin, maka % pengembangan volume papan semakin kecil atau
semakin tahan terhadap kelembaban. Carll (1997) menyimpulkan dari hasil
penelitian sebelumnya bahwa pengembangan volume papan dalam air berkurang
sesuai dengan bertambahnya jumlah bahan perekat yang digunakan.
Ukuran partikel mempengaruhi terhadap pengembangan volume papan dalam air.
Gambar IV.3. dan IV.4. menunjukkan bahwa semakin besar ukuran partikel, maka
% pengembangan volume dalam air semakin kecil. Semakin besar ukuran
partikel, maka absorbsi air semakin kecil. Semakin kecil absorbsi air maka %
pengembangan volume papan dalam air semakin kecil (Carll, 1997).

Aspek Ekonomi

Peluang Produksi
Saat ini cadangan sumber kayu semakin menipis karena luas hutan sebagai
sumber kayu semakin berkurang (Massijaya, 2004). Fenomena ini terjadi karena
manajemen hutan yang salah dan eksploitasi secara besar-besaran pada masa yang
lalu. Pada beberapa tahun mendatang, produksi kayu dari hutan alam akan
mengalami penurunan secara signifikan (Massijaya, 2004).
Berkurangnya sumber kayu dapat menyebabkan industri pengolahan kayu
semakin menurun di masa yang akan datang. Keadaan ini dapat menyebabkan sisa
dari industri pengolahan kayu semakin berkurang. Berkurangnya sisa pengolahan
kayu akan menimbulkan dampak negatif pada industri yang memanfaatkan sisa
pengolahan kayu, seperti industri papan partikel, MDF, dan lain sebagainya.
Sekitar 95% industri papan partikel menggunakan bahan baku dari sisa
pengolahan kayu, sedangkan sisanya dibuat dari bahan serat bukan kayu, seperti
bagas dari tebu, rami, dan bambu. Penggunaan bahan-bahan, baik bahan kayu
maupun serat non kayu, seringkali mengalami kendala akibat terbatasnya
persediaan bahan baku. Bahan kayu penyediaannya terkendala karena produksi
kayu yang semakin berkurang seperti yang dipaparkan sebelumnya, sedangkan
serat non kayu penggunaannya sangat terbatas karena tumbuhnya tergantung pada



PMI-1-10-9

musim (Walker, 1997). Kesulitan dalam penyediaan bahan baku turut
mempengaruhi produksi papan partikel.

Kelayakan Bahan Baku
Kandungan selulosa Cross and Bevan tangkai eceng gondok sekitar
64,51% (Joedodibroto, 1983) memungkinkan eceng gondok dapat dimanfaatkan
sebagai bahan baku pembuatan papan partikel. Purwanto dan Salomba (1995)
mengatakan bahwa papan partikel merupakan komposit yang terbuat dari bahan
berligno-selulosa. Kandungan ekstraktif eceng gondok juga sangat kecil, yaitu
sekitar 6%, sehingga tidak mengganggu dalam proses perekatan. Bahkan dengan
proses penggilingan, kandungan ekstraktif eceng gondok tersebut mengalami
penurunan (Joedodibroto, 1983). Oleh karena itu, pemanfaatan eceng gondok
sebagai bahan baku pembuatan papan partikel sangat mungkin dilakukan.

Kelangsungan Produksi
Pertumbuhan eceng gondok perlu diperhatikan untuk menjaga
kesinambungan penyediaan eceng gondok sebagai bahan baku industri papan
partikel. Kelangsungan produksi papan partikel dengan menggunakan bahan baku
eceng gondok sangat terjamin jika dilihat dari ketersediaan bahan baku.
Pertumbuhan eceng gondok sangat cepat, yaitu 0,45 - 0,3 kg/(hari . m
3
)
(Roekmijati, 1986). Dalam waktu 6 hari populasi eceng gondok menjadi dua kali
lipat (Batcher, 2004). Jika eceng gondok yang ada di Rawa Pening hanya
dipertahankan 25% saja atau 20% permukaan perairan tertutup eceng gondok agar
populasinya tidak mengganggu ekosistem di sekitarnya, maka perhari eceng
gondok di Rawa Pening bisa diprediksikan mampu menghasilkan papan sebesar
5.750 lembar papan berukuran 1200x2440x12 mm perhari atau setara dengan
2.181.945 m
3
perhari. Jumlah ini juga masih lebih besar jika dibandingkan dengan
produksi total papan partikel Indonesia yang hanya 470.000 m
3
/tahun. Terlebih
lagi, Indonesia masih mempunyai banyak perairan-perairan luas yang ditumbuhi
eceng gondok seperti Danau Tondano (Sulwesi Utara), Danau Tempe (Sulawesi
Selatan), Waduk Saguling (Jawa Barat), Rawa Jombor (Jawa Tengah), Danau
Kerinci (Jambi), Waduk Batutulegi (Jambi), dan lain sebagainya.

Potensi Ekonomi
Perhitungan analisis ekonomi pada Lampiran 3 dilakukan dengan
menghitung rate of return invesment (laju pengembalian modal), minimum pay
out period (waktu minimal pengembalian modal), dan break even point (BEP).
Perhitungan analisis ekonomi ini menggunakan data dari pabrik papan partikel
di Padalarang, Bandung dengan kapasitas produksi
90.000 m
3
.
Rate of Return Invesment (laju pengembalian modal) hasil perhitungan
adalah sebesar 72,65%. Angka ini jauh lebih besar dari suku bunga deposito yang
hanya 6,5% (BNI, 3 Mei 2005). Informasi ini menunjukkan bahwa modal lebih
baik diinvestasikan dari pada disimpan di bank sebab hasilnya lebih
menguntungkan.



PMI-1-10-10

Minimum pay out period (waktu minimal pengembalian modal) hasil
perhitungan adalah sebesar 1,33 tahun. Jangka waktu ini menguntungkan karena
modal sudah dapat kembali minimal 1,33 tahun.
Perhitungan BEP dilakukan untuk mengevaluasi jumlah produksi. BEP
hasil perhitungan adalah sebesar 10,63%. BEP atau titik impas menunjukkan
bahwa pada kondisi ini produksi tidak mengalami kerugian dan memperoleh
keuntungan. BEP diperoleh dengan mengalikan asumsi produksi awal (90.000 m
3

pertahun) dengan BEP hasil perhitungan.

Sehingga produksi papan partikel
minimal harus diprodukasi sebanyak 9.576 m
3
/tahun.
Dari perhitungan secara ekonomis, pembuatan papan partikel dari eceng
gondok masih menguntungkan. Apalagi bila diproduksi dalam jumlah besar,
mengingat permintaan dunia akan produk papan partikel mengalami kenaikan tiap
tahun. Hal ini karena papan partikel banyak digunakan untuk keperluan industri
mebel, ubin lantai, pegangan tangga, pengemasan barang, dan kayu struktural.
Dengan adanya produksi papan partikel eceng gondok akan mempunyai
keuntungan, yaitu menambah pendapatan daerah, menambah lapangan pekerjaan,
dan menaikkan nilai ekonomi eceng gondok. Pemanfaatan eceng gondok secara
besar-besaran dan kontinu dapat mengendalikan perkembangan eceng gondok.
Eceng gondok harus dimanfaatkan secara kontinu agar pengendaliannya bisa
dilakukan secara kontinu pula. Oleh karena itu, selain memikirkan cara
pemberantasan eceng gondok, juga diperlukan penjajakan kemungkinan
memanfaatkan eceng gondok untuk keperluan industri secara luas sebagai
komoditas yang bernilai ekonomis, misalnya dengan memanfaatkan sebagai bahan
baku pembuatan papan partikel.
Pemanfaatan selulosa cross and bevan tangkai eceng gondok sebagai
bahan baku papan partikel sangat potensial untuk diteliti lebih lanjut. Untuk
penelitian lebih lanjut, penulis menyarankan proses pencampuran partikel eceng
gondok dan resin perlu dilakukan dengan menggunakan mesin pencampur untuk
mendapatkan campuran yang homogen. Pengempaan proses pembuatan papan
partikel sebaiknya dilakukan dengan menggunakan pengempaan panas.


PKMI-1-11-1
DAMPAK PEMBANGUNAN MAL OLYMPIC GARDEN
TERHADAP RESAPAN DAN LIMPASAN
Chairul Maulidi, Anjarwati S, Asia Ameliya S
Jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota, Universitas Brawijaya, Malang
ABSTRAK
Kecamatan Klojen yang merupakan pusat Kota Malang memiliki kondisi
resapan paling kritis dibandingkan dengan kecamatan lainnya di Kota Malang.
Air hujan yang teresap ke dalam tanah di Kecamatan Klojen hanya sebesar
1,61% dari curah hujan seluruhnya, sedangkan 98,39% lainnya menjadi limpasan.
Hal ini disebabkan sedikitnya luasan lahan resapan dan luasnya penutupan
permukaan tanah oleh lapisan kedap air. Luas area resapan Kecamatan Klojen
akan semakin berkurang dengan adanya rencana pembangunan Mal Olympic
Garden (MOG) seluas 8,408 hektar. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa
pembangunan MOG akan menimbulkan volume limpasan sebesar 148.818,05 m
3
tiap tahunnya. Salah satu alternatif solusi untuk mengurangi dampak negatif
terhadap resapan dan limpasan ialah dengan pembangunan kolam resapan.
Kata kunci: Resapan, limpasan, mal olympic garden.
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kota Malang merupakan kota terbesar kedua di Propinsi Jawa Timur
setelah Surabaya memiliki luas wilayah sebesar 110,06 km. Dalam kurun waktu
10 tahun terakhir Kota Malang telah mengalami perkembangan cukup pesat. Hal
ini dapat dilihat dari pertumbuhan jumlah penduduk dan perubahan tata guna
lahan di Kota Malang.
Sebagai konsekuensi dari pembangunan perkotaan adalah meluasnya area
terbangun. Padatnya bangunan menyebabkan semakin luasnya penutupan tanah
yang mengakibatkan ketidak-seimbangan lingkungan, misalnya proses-proses
yang melibatkan pergerakan air seperti limpasan permukaan, erosi dan resapan air
kedalam lapisab kedap air.
Kecamatan Klojen yang merupakan pusat Kota Malang memiliki kondisi
resapan yang paling kritis dibandingkan dengan kecamatan lainnya di Kota
Malang. Di samping itu, Kecamatan Klojen juga merupakan kecamatan dengan
luas lahan terbangun terbesar. Pada tahun 2002 kawasan terbangun telah mencapai
91,56% dari total luas kecamatan. (RDTRK Kecamatan Klojen 2003-2008).
Berdasarkan prosentase tersebut, lahan yang dapat dimanfaatkan baik sebagai
cadangan perkembangan kota maupun sebagai fungsi lindung adalah sebesar
8,44%.
Air hujan yang teresap ke dalam tanah di Kecamatan Klojen hanya sebesar
1,61% dari curah hujan seluruhnya, sedangkan 98,39% lainnya menjadi limpasan
(Azizah, 2001). Besarnya limpasan permukaan Kecamatan Klojen dirasakan
dampaknya pada Minggu sore tanggal 29 Januari 2006, banjir melanda 146 rumah
yang terletak di Kelurahan Bareng Kecamatan Klojen.. Penyebab terjadinya banjir
dikarenakan sistem drainase Kecamatan Klojen tidak mampu menampung
limpasan permukaan dari daerah sekitarnya (Malang Post, 30 Januari 2006).
Luas area resapan Kecamatan Klojen akan semakin berkurang dengan
adanya rencana pembangunan Mal Olympic Garden (MOG). Pembangunan yang
akan dilaksanakan di atas lahan seluas 8,408 hektar ini, terdiri atas mal,
hipermarket, hotel, wisma atlet, gedung perkantoran serta kolam renang. Dengan

PKMI-1-11-2
adanya MOG maka luasan permukaan tanah yang tertutup lapisan tidak tembus air
akan bertambah sehingga dapat diperkirakan akan semakin menurunkan resapan
air hujan serta meningkatkan limpasan air permukaan yang melebihi daya
tampung saluran drainase utama dan memperparah permasalahan banjir di
Kecamatan Klojen.
Penulisan ini disusun untuk mengetahui seberapa besar penurunan volume
resapan dan peningkatan volume limpasan dan perkiraan dampak yang
ditimbulkan oleh pembangunan Mal Olympic Garden. Hasil perhitunganan dan
analisa dampak selanjutnya dipergunakan dalam penyusunan saran untuk
minimalisir dampak negatif resapan dan limpasan dari pembangunan MOG.
Ruang Lingkup Penulisan
Untuk mencapai tujuan tersebut di atas, maka pembahasan dibatasi dalam
ruang lingkup konsep hidrologi pada aspek resapan dan aspek limpasan.
Sedangkan lokasi studi adalah lokasi rencana Pembangunan MOG, yaitu kawasan
Stadion Gajayana dan wilayah sekitarnya yang berada dalam satu area daerah
aliran sungai (DAS). Menurut batas administratif, mencakup Kelurahan Kauman
dan Kelurahan Bareng, Kecamatan Klojen, Kota Malang
METODE PENDEKATAN
Pendekatan Masalah
Penulisan menggunakan pendekatan konsep hidrologi aspek resapan dan
limpasan. Air hujan yang jatuh ke permukaan bumi akan teresap ke dalam tanah
dengan gaya gerak gravitasi dan kapiler dalam suatu aliran resapan. Pertama-tama
air akan meresap ke dalam tanah untuk meningkatkan kelembaban tanah,
selanjutnya akan turun menjadi air tanah. Namun, bila permukaan tanah telah
mencapai titik puncak kelembabannya dan hujan terus berlangsung. Maka air
hujan tidak lagi dapat teresap melainkan mengalir di atas permukaan tanah ke alur
sungai terdekat
Penelitian ini dimulai dengan melakukan pengukuran volume resapan dan
limpasan yang terjadi di lokasi studi sebelum pembangunan. Volume resapan
setelah pembangunan MOG diperoleh dari rumus yang sama tetapi menggunakan
variabel luas daerah tangkapan yang diperoleh dari pengukuran site plan.
Selanjutnya, penghitungan peningkatan volume limpasan setelah pembangunan
MOG diperoleh dengan menambahkan selisih volume resapan sebelum dengan
volume resapan setelah pembangunan ke angka volume limpasan sebelum
pembangunan MOG.
Asumsi yang digunakan dalam melakukan pengukuran volume resapan
dan limpasan adalah sebagi berikut :
1. Pada saat terjadi hujan, air yang diuapkan melalui proses eveporasi dan
transpirasi dianggap nol, karena saat itu udara dalam keadaan jenuh uap air
(tekanan uap air telah maksimum).
2. Sisa air yang tertinggal di kawasan terbuka (tergenang) dimasukkan sebagai
bagian air yang teresapkan ke dalam tanah.

Alat dan Bahan
Dua buah silinder infiltrometer mempergunakan kaleng plastik yang
dipotong menjadi silinder. Silinder pertama berdiamter kurang lebih 20 cm dan
silinder kedua berdiamter kurang lebih 35 cm. Peralatan lainnya adalah penggaris
besi, galon, gayung, dan gelas berskala.

PKMI-1-11-3
Peta hasil foto udara dipergunakan untuk menentukan batasan DAS lokasi
studi dan untuk analisa lokasi yang akan terkena dampak dari peningkatan
limpasan.
Tahapan Penulisan
Penulisan dilakukan melalui tiga tahapan yaitu, tahap pengumpulan data,
pengolahan data dan analisa sintesis.

Pengumpulan Data
Survei primer dilakukan untuk memperoleh angka laju resapan tanah di
lokasi rencana pembangunan MOG. Pengukuran laju resapan dilakukan dengan
menggunakan infiltrometer. Infiltrometer adalah sebuah tabung pendek yang
bergaris tengah lebar, atau perbatas kedap lainnya yang mengelilingi suatu luasan
tanah. Kedua cincin digunakan secara sepusat seperti pada gambar 1. Cincin
digenangi air hingga kedalaman 5 mm di atas permukaan tanah dan diisi kembali
terus-menerus untuk mempertahankan kedalaman tadi, dan pemasukan air ke
tabung yang tengah diukur. Tabung yang diluar berfungsi untuk meniadakan
pengaruh resapan ke arah samping oleh tanah yang lebih kering.





Gambar 1. Model Infiltrometer (Ersin, 1990)

Survei sekunder berupa pengumpulan teori-teori ruang terbuka hijau, resapan,
limpasan permukaan, dan penanggulangan limpasan permukaan, serta gambaran
umum mengenai karakteristik fisik dasar Kecamatan Klojen dan peta hasil foto
udara. Sumber dan jenis data yang diperlukan dapat dilihat pada tabel berikut;

Tabel 1. Sumber dan Jenis Data
No Sumber Data Jenis Data
1 Buku Teori tentang ruang terbuka hijau
Teori tentang resapan dan limpasan
permukaan
Teori tentang penanggulangan resapan
2 Jurnal, thesis, skripsi Penelitian terdahulu mengenai limpasan
permukaan Kota Klojen
Teknik penghitungan resapan dan limpasan
Teknik penanggulangan limpasan permukaan
3 RDTRK Karakteristik fisik dasar Kecamatan Klojen
4 Bakosurtanal Peta topografi lokasi studi
Pengolahan Data
Pengolahan data terdiri atas peghitungan koefisien resapan (C), volume
resapan (I), dan volume limpasan (R) sebelum dan setelah pembangunan MOG..
1. Penghitungan koefisien resapan (C)
Untuk penghitungan koefisien memerlukan data curah hujan dan data laju
resapan hasil pengukuran lapangan dan mempergunakan rumus berikut;
C = (I x 365 x A) / (P x A)
I : laju resapan (baseflow) (mm/hari)
35 cm
20 cm
Air yang Meresap
Kedalaman
5 mm
3-10 cm

PKMI-1-11-4
A: luas daerah tangkapan air (m
2
)
P: curah hujan tahunan (mm/tahun)
2. Penghitungan volume resapan (I)
Selanjutnya angka koefisien resapan hasil perhitungan (C) dipergunakan
untuk mendapatkan angka volume air hujan yang teresap.
Ia = CH(A) / 1000
Ia : imbuhan alami/ air hujan yang teresap (m
3
/tahun)
C : angka koefisien resap
H : curah hujan tahunan (mm/tahun)
A: luas kawasan terbuka (m
2
)


3. Penghitungan volume limpasan (R)
Penghitungan volume limpasan mempergunakan rumus yang dikemukan
oleh Linsley (1982);
Ro = P I
Ro : limpasan permukaan (mm)
P : curah hujan (mm)
I : resapan (mm)
Analisa Sintesis
Volume resapan dan limpasan hasil pengolahan data dipergunakan sebagai
bahan untuk menganalisa dampak yang ditimbulkan oleh pembangunan MOG.
Analisa dampak berupa angka yang menunjukkan seberapa besar penurunan
volume resapan dan peningkatan volume limpasan yang akan terjadi setelah
pembangunan MOG. Selanjutnya, analisa dilakukan untuk menentukan solusi
alternatif yang dapat meminimalisir dampak yang ditimbulkan.
HASIL
Pembangunan Mal Olympic Garden
Pembangunan Mal Olympic Garden dilaksanakan oleh PT. Mustika
Taman Olympic di atas lahan ruang terbuka hijau kawasan Stadion Gajayana
seluas 8,408 hektar. Pembangunan meliputi fasilitas olah raga lainnya seperti
kolam renang, lapangan tenis indoor dan outdoor, lapangan sepak bola luar, mal,
hotel bintang empat dan taman. Site rencana pembangunan MOG menunjukkan
bahwa pembangunan MOG akan memperkecil luasan ruang terbuka hijau yang
semula 8,408 hektar menjadi 1,6 hektar.
Kondisi Umum Lokasi Studi
Lokasi studi terbagi menjadi dua lokasi yang memiliki karakteristik fisik
yang berbeda, yaitu lokasi pembangunan MOG yang terletak di Kelurahan
Kauman dan Kelurahan Bareng. Kawasan Stadion Gajayana yang merupakan
lokasi rencana pembangunan Mal Olympic Garden terletak di Kelurahan Kauman
Kecamatan Klojen. Kelurahan ini terletak pada ketinggian 413 500 di atas
permukaan laut dengan kemiringan 0 15 %. Sedangkan Kelurahan Bareng yang
berada di sebelah selatan Kawasan Stadion Gajayana merupakan dataran paling
rendah di Kecamatan Klojen dengan kemiringan hingga 40 %.
Kelurahan Kauman dan Kelurahan Bareng berada dalam satu area DAS
dengan saluran drainase utamanya adalah Sungai Kasin. Saluran drainase
sekunder dari lokasi studi seluruhnya mengalir ke Sungai Kasin. Sungai yang

PKMI-1-11-5
berfungsi sebagai saluran pembuangan dari tengah Kota Malang ini mengalir dari
arah utara ke selatan.
Temperatur rata-rata di Kecamatan Klojen berkisar pada suhu 24,4
o
C
dengan curah hujan setahun 1.989 mm dan curah hujan rata-rata 82 mm. Pada
bulan Desember sampai Mei pada siang hari temperatur rata-rata Kecamatan
Klojen berkisar antara 20 25
o
C. Bulan Juni sampai agustus pada siang hari
berkisar antara 20 28
o
C. Bulan September sampai dengan November pada siang
hari berkisar antara 20 25
o
C.
Kecamatan Klojen sebagai pusat bagian wilayah Kota Malang memiliki
intensitas kegiatan yang padat. Pelayanan fasilitas yang terdapat di Kecamatan
Klojen menduduki hirarkhi tertinggi di Kota Malang dengan skala baik lokal
maupun regional. Berdasarkan Evaluasi RTRW Kota Malang tahun 2001 2010,
pemanfaatan lahan di Kecamatan Klojen diarahkan pada ;
- pusat perdagangan regional
- pusat pemerintahan Kota Malang
- pusat pendidikan skala nasional
- pusat pelayanan kesehatan skala regional
- perumahan
Penggunaan lahan Kelurahan Kauman didominasi oleh sarana perdagangan dan
jasa. Sedangkan Kelurahan Bareng merupakan daerah permukiman penduduk
menengah ke bawah.

Penghitungan Resapan dan Limpasan
Penghitungan mempergunakan data dasar berupa data curah hujan, angka
laju resapan, dan luasan daerah tangkapan. Lokasi studi memiliki curah hujan
rata-rata sebesar 1.989 mm/tahun dan memiliki angka laju resapan tanah sebesar 3
mm/hari. Sebelum pembangunan MOG daerah tangkapan lokasi studi seluas
8,408 hektar, sedangkan setelah pembangunan MOG daerah tangkapan hanya
sebesar 1,607 hektar.

Tabel 2. Data Volume Resapan dan Limpasan
Variabel
Sebelum
pembangunan
Setelah
pembangunan
Sumber
Luas daerah tangkapan
(m
2
)
84.080 16.075,5 Data sekunder
Volume resapan
(m
3
/tahun)
96.327,43 18.417,12 Perhitungan rumus
Volume limpasan
(m
3
/tahun)
70.907,74 148.818,05 Perhitungan rumus
Sumber: hasil perhitungan
PEMBAHASAN
Dampak Pembangunan MOG Terhadap Resapan
Pembangunan MOG mengharuskan perubahan fungsi guna lahan Kawasan
Stadion Gajayana sebagai ruang terbuka hijau menajadi lahan terbangun. Lahan
ruang terbuka hijau seluas 8,408 hektar berkurang menjadi 1,607 hektar karena
tertutupi oleh berbagai fasilitas olah raga, gedung, mall dan hotel serta bahan
pengeras lainnya seperti aspal dan paving block. Berkurangnya lahan yang mampu
meresapkan air, akan mengakibatkan semakin parahnya kondisi lahan resapan
Kecamatan Klojen yang kritis, yang mana pada tahun 2001 nilai resapan

PKMI-1-11-6
Kecamatan Klojen hanya sekitar 1,61% dari seluruh curah hujan yang jatuh
(Azizah, 2001).
Berkurangnya nilai resapan berakibat pada penurunan kuantitas
ketersediaan air tanah Kecamatan Klojen. Sebelum pembangunan MOG, lokasi
studi mampu meresapkan air ke dalam tanah sebesar 96.327,43 m
3
/tahun.
Sedangkan setelah adanya pembangunan MOG, lokasi studi hanya mampu
meresapkan air kedalam tanah sebesar 18.417,12 m
3
/tahun.
Dampak Pembangunan MOG Terhadap Limpasan
Pembangunan MOG di kawasan Stadion Gajayana akan mengakibatkan
peningkatan limpasan seiring dengan penurunan resapan Kecamatan Klojen. Air
hujan yang semula dapat diresapkan akan berubah menjadi limpasan karena
tertutupnya permukaan tanah oleh lapisan kedap air. Peningkatan volume air
limpasan yang akan terjadi di Kecamatan Klojen akibat perubahan guna Lahan
ruang terbuka hijau Kawasan Stadion Gajayana menjadi Mal Olympic Garden
diperkirakan sebesar 148.818,05 m
3
tiap tahunnya.
Air limpasan dari kawasan Stadion Gajayana akan mengalir di permukaan
tanah ke lokasi yang lebih rendah. Hasil permodelan aliran permukaan terhadap
garis ketinggian (kontur) menunjukkan limpasan akan mengalir ke Kelurahan
Bareng (lihat gambar 2). Permodelan ini diperkuat oleh keadaan eksisting bahwa
saluran drainase dari Kawasan Stadion Gajayana mengalir ke Sungai Kasin
melalui Kelurahan Bareng. Peningkatan volume limpasan yang mengalir ke
Kelurahan Bareng, akan membebani sistem drainase kelurahan yang didominasi
oleh guna lahan sebagai permukiman kelas menengah ke bawah ini.









Saluran drainase dari wilayah Taman Gayam, APP, Simpang Ijen, Jalan
Kawi (lokasi studi) dan Jl. Raya Langsep mengalir ke saluran di Kelurahan
Bareng khusunya RW08/RT14. kondisi ini menjadikan RT 14 sebagai salah satu
lokasi titik merupakan lokasi rawan banjir Kota Malang. Pada tanggal 29 Januari
2006 yang lalu RT 14 telah mengalami banjir genangan setelah hujan deras
selama 2 jam (Malang Post, 30 Januari 2006). Rampungnya pembangunan MOG
yang diperkirakan akan mengakibatkan peningkatan volume limpasan yang tentu
akan semakin memperparah permasalahan banjir di Kelurahan Bareng.
Kolam Resapan Sebagai Alternatif Solusi
Sebagaimana hasil perhitungan sebelumnya, dengan terselesaikannya
pembangunan Mal Olympic Garden, dapat diperkirakan limpasan Kecamatan
Klojen akan meningkat hingga 148.818,05 m
3
/tahun. Limpasan akan mengalir ke
kawasan permukiman penduduk menengah ke bawah yang terletak di Kelurahan
Bareng. Limpasan tersebut tentu akan merugikan masyarakat Kelurahan Bareng
karena memperbesar ancaman terjadinya banjir di kawasan tersebut.. Selain itu,
Gambar 2. Aliran Limpasan di Lokasi Studi
Lokasi MOG
Permukiman
Kontur
Aliran limpasan
Kel. Bareng
Kel. Kauman
Sungai Kasin

PKMI-1-11-7
Kecamatan klojen akan kehilangan pengisian cadangan air tanah sebanyak
148.818,05 m
3
tiap tahunnya sehingga menggangu kelestarian air tanah.
Oleh karena itu diperlukan upaya untuk meminimalisir dampak
peningkatan limpasan dan penurunan resapan yang diakibatkan oleh
pembangunan MOG. Satu cara yang dapat meminimalisir dua dampak negatif
tersebut adalah dengan memasukkan air hujan ke dalam tanah dengan
menggunakan sumur resapan. Sumur resapan ditujukan untuk dapat menampung
air hujan sebanyak 148.818,05 m
3
dalam waktu yang lebih lama sehingga lebih
banyak waktu untuk meresap ke dalam tanah dan tidak menjadi limpasan.
Pembangunan MOG sangat perlu untuk disertai oleh penyediaan sumur
resapan. Mal Olympic Garden yang direncanakan bernuansa taman kota sangat
cocok mempergunakan metode sumur resapan kolektif berupa kolam resapan.
Yaitu satu atau dua sumur resapan yang berbentuk kolam taman berkapasitas
148.818,05 m
3
untuk menampung aliran air hujan dari seluruh kawasan MOG.
Supaya air mengalir dengan lancar, kolam resapan sebaiknya diletakkan pada
lahan yang paling rendah diantara kawasan yang dilayani.











Gambar 3. Model Kolam Resapan
KESIMPULAN
1. Pembangunan Mal Olympic Garden diperkirakan dapat menurunkan resapan
dari 96.327,43 m
3
menjadi 18.417,12 m
3
tiap tahunnya dan meningkatkan
volume limpasan Kecamatan Klojen dari 70.907,74 m
3
menjadi 148.818,05 m
3
tiap tahunnya.
2. Penurunan resapan mengakibatkan penurunan kuantitas air tanah. Sedangkan
peningkatan limpasan akan memperparah masalah banjir di Kelurahan Bareng.
3. Kolam resapan diperlukan untuk menampung air hujan supaya dapat meresap
ke dalam tanah dan tidak menjadi limpasan permukaan.
DAFTAR PUSTAKA
Asdak, C. 2004. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai, Gajah Mada
University Press, Yogyakarta
Azizah, S. 2001. Akibat Perkembangan Kota, Thesis, tidak diterbitkan
Linsley, R.K. 1996. Hidrologi untuk Insinyur, Erlangga, Jakarta
Malang Post. Ratusan Rumah Terendam. Senin 30 Januari 2006
Seyhan, Ersin. 1990. Dasar-dasar Hidrologi, Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta
Soemarto, CD. 1999. Hidrologi Teknik, Erlangga, Jakarta
Sosrodarsono, S. 1985. Hidrologi Untuk Pengairan, PT Pradnya Paramita, Jakarta
Suripin. 2004. Sistem Drainase Perkotaan yang Berkelanjutan, Andi, Yogyakarta

PKMI-1-11-8
Wilson, E.M. 1993. Hidrologi Teknik, ITB, Bandung

PKMI-1-12-1
PENGARUH KEBIASAAN NYETHE TERHADAP KEHIDUPAN SOSIAL
MASYARAKAT DI KABUPATEN TULUNGAGUNG, JAWA TIMUR


Qoni Zamili, M. Nur Hidayad, A.F. Sulaiman, Eryunpas Setya N.
Jurusan Sastra Inggris, Universitas Negeri Malang


ABSTRAK
Nyethe merupakan kebiasaan perokok di daerah Tulungagung yang sering
mendapat asumsi negatif dari masyarakat yang menganggap bahwa nyethe
merupakan aktivitas yang membuang-buang waktu (wasting time). Untuk itu
diperlukan penelitian untuk membuktikan asumsi negatif itu benar atau tidak.
Penelitian ini bertujuan untuk mendiskripsikan kegiatan apa saja yang
dilaksanakan dalam nyethe, pengaruh kebiasaan nyethe terhadap proses interaksi
sosial masyarakat dan pembentukan komunitas baru di masyarakat. Hasil
penelitian menunjukan bahwa kebiasaan nyethe bukan hal yang membuang-
buang waktu, tetapi merupakan aktivitas yang dapat menjalin kebersamaan
masyarakat melalui interaksi sosial yang terjadi, bahkan dapat dikatakan sebagai
awal pembentukan komunitas dan budaya baru di masyarakat Tulungagung.

Kata kunci: Nyethe, asumsi negatif, interaksi sosial, komunitas, budaya


PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Di dalam masyarakat Tulungagung, terdapat sebuah kebiasaan yang cukup
unik yaitu nyethe. Nyethe adalah suatu kebiasaan menggambar atau melukis di
atas rokok dengan menggunakan media endapan kopi (dalam bahasa jawa: cethe).
Kebiasaan ini dilakukan para perokok di warung-warung kopi khususnya warung
yang menyediakan kopi khusus untuk nyethe. Kebiasaan ini sudah membudaya di
kalangan masyarakat perokok di Tulungagung.
Berpijak dari uraian diatas, timbul suatu permasalahan sosial di
masyarakat bahwa telah terbentuk suatu kebiasaan baru yang kontroversial di
masyarakat karena ada berbagai pihak yang membuat generalisasi bahwa
kebiasaan tersebut merupakan kegiatan yang membuang-buang waktu. Disisi lain,
ada pihak yang menolak asumsi negatif tersebut. Mereka menganggap bahwa
nyethe bukan termasuk kegiatan yang membuang-buang waktu. Oleh karena itu,
perlu dilakukan penelitian untuk memperoleh gambaran objektif dan
komprehensif mengenai hal di atas dan bagaimana permasalahan tersebut ditinjau
dari sudut pandang sosial budaya.

Rumusan Masalah
Bertolak dari asumsi negatif dari masyarakat tersebut, dapat dirumuskan
masalah yang dibahas dalam artikel ini yaitu: (1) kegiatan apa saja yang dilakukan
pada waktu nyethe; (2) bagaimana pengaruh kebiasaan nyethe terhadap proses
interaksi sosial masyarakat; (3) bagaimana dampak kegiatan nyethe terhadap
pembentukan komunitas baru di masyarakat Tulungagung.

PKMI-1-12-2
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh kebiasaan nyethe
terhadap kehidupan sosial masyarakat di Kabupaten Tulungagung, Jawa Timur.
Adapun tujuan tersebut dapat dirinci sebagai berikut: (1) mendiskripsikan
kegiatan apa saja yang dilaksanakan pada saat nyethe; (2) mendiskripsikan
pengaruh kebiasaan nyethe terhadap proses interaksi sosial masyarakat; (3)
mendiskripsikan dampak kegiatan nyethe terhadap proses pembentukan
komunitas baru di masyarakat. Dari hasil pembahasan ini diharapkan dapat
meluruskan asumsi negatif dari masyarakat sehinga masyarakat sadar bahwa
nyethe merupakan salah satu bentuk interaksi sosial yang bermanfaat.


METODE PENELITIAN
Sesuai dengan tujuan penelitian, maka penelitian ini menggunakan metode
penelitian kualitatif. Penelitian dilaksanakan pada tanggal 14 sampai 20 Agustus
2005. Tempat penelitian meliputi warung-warung kopi cethe yang berada di
Tulungagung dan rumah-rumah masyarakat sekitar. Warung kopi tersebut
misalnya: Waris (di Kecamatan Kalangbret), Bilkop (di desa Tunggulsari), WK
(di desa Gilang) dan warung-warung kecil lainya yang tidak ada namanya. Subjek
penelitian sebagai sumber data adalah pelaku nyethe di Tulungagung yang berada
di warung-warung tersebut dan masyarakat yang bertempat tinggal di sekitar
warung chethe yang ditetapkan secara purposif. Adapun jumlah subjek penelitian
adalah 21 orang, yang terdiri dari 11 orang pelaku nyethe dan 10 orang dari
masyarakat sekitar.. Sumber data dipilih karena dianggap dapat mewakili
karakteristik yang dimiliki subjek penelitian secara umum.
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah wawancara
(interview) dan observasi lapangan. Dalam hal ini peneliti datang ke warung-
warung dan terjun langsung bergabung dengan subjek penelitian. Hal ini
dimaksudkan agar peneliti dapat memperoleh data verbal yang valid yang
langsung diambil dari habitatnya yang asli (Latief , 1999:112). Selain itu peneliti
melakukan wawancara secara terbuka terhadap masyarakat untuk mengetahui
anggapan masyarakat tentang nyethe.
Instrumen kunci dalam penelitian ini adalah human instrument, artinya
penelitilah yang mengumpulkan data, menyajikan data, mereduksi data,
mengorganisasi data, memaknai data, dan menyimpulkan hasil peneltian (Bogdan
dan Biklen, 1982).
Analisis data dilakukan secara terus menerus dan dilakukan hampir
bersamaan dengan proses pengumpulan data (Bodgan dan Biklen, 1982).
Pendekatan analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan
analisis data interaktif yang disarankan oleh Mile dan Huberman (1984) (dalam
Denzin dan Lincoln, 1994) sebagaimana pada bagan berikut.
Pengumpulan data dilakukan dengan memeriksa kembali catatan lapangan.
Pengurangan data dilakukan dengan memilih data yang relevan untuk dianalisis
dan membuang data yang kurang relevan. Sedangkan penyajian data dilakukan
dengan cara identifikasi, klasifikasi, penyusunan, penjelasan data secara
sistematis, obyektif, dan meyeluruh, dan pemaknaan. Penyimpulan dilakukan
berdasarkan pemaknaan data. Setelah kesimpulan diperoleh, dilakukan cek ulang
dengan melihat data yang sudah terkumpul maupun yang sedang dalam

PKMI-1-12-3
pengumpulan. Hal ini dilakukan untuk memperoleh data yang valid. Validitas data
diambil dengan cara; data diobservasi secara terus-menerus, data didiskusikan dan
dianalisis berdasarkan literatur, dan data diperiksa kembali secara cermat.




1.1 Bagan Analisis Data Kualitatif

HASIL PENELITIAN
Kegiatan Yang Dilakukan Pada Waktu Nyethe
Hasil penelitian menunjukan bahwa kegiatan yang dilakukan pada waktu
nyethe meliputi merokok, minum kopi, ngobrol, duduk-duduk santai, dan melukis
pada rokok. (2) para pengunjung warung cethe terdiri dari berbagai lapisan
masyarakat mulai dari pelajar, anak muda, wirausahawan, penganguran dan
sebagainya. (3) pengunjung biasanya datang ke warung bersama teman, jarang
sekali datang sendiri tanpa teman, (4) pengunjung biasanya duduk berkelompok
dua sampai lima orang atau lebih, (5) dalam satu kali kunjung ke warung,
pengunjung biasanya menghabiskan waktu dua sampai lima jam untuk nyethe; (6)
topik yang dibicarakan pada saat ngobrol sangat bervariasi, tergantung subyek
yang membicarakanya, mulai dari hal-hal yang bersifat ringan dan tidak serius
sampai hal-hal yang bersifat serius, misalnya tentang pacar, jual beli motor,
negosiasi harga handphone, masalah isu-isu di masyarakat yang sedang marak,
tentang berita di televisi, mengenai even-even terdekat yang akan diikuti, tentang
keluarga, mengenai pertandingan sepak bola, masalah isu-isu politik dan lain
sebagainya.

Pengaruh Nyethe Terhadap Proses Interaksi Sosial Masyarakat
Hasil penelitian menunjukan bahwa pengunjung yang berasal dari
berbagai lapisan, baik dari kalangan tua maupun muda, berbaur menjadi satu.
Mereka saling akrab dan tidak membedakan golongan tua maupun muda, kaya
maupun miskin.

Pengaruh Nyethe Terhadap Pembentukan Komunitas Baru

Dari data penilitian yang diperoleh dapat diketahui bahwa sering diadakan
lomba nyethe atau sering disebut Nyethe Competition di berbagai tempat baik
itu di warung-warung, di plasa atau dalam even-even peringatan hari besar.
Pengumpulan Data
Pengurangan Data
Kesimpulan:
Penggambaraan dan
Verifikasi
Penyajian Data

PKMI-1-12-4
PEMBAHASAN
Kegiatan-Kegiatan Yang Dilakukan Pada Waktu Nyethe
Dari hasil penelitian, didapat beberapa temuan tentang kegiatan apa saja
yang dilakukan pada waktu nyethe. Dari data yang diperoleh tersebut, dapat
dibuat beberapa pengklasifikasian antara lain temuan yang mendukung asumsi
negatif dari masyarakat dan temuan yang menolak anggapan negatif masyarakat
tentang nyethe yang membuang-buang waktu. Adapun temuan yang mendukung
asumsi negatif masyarakat misalnya waktu yang biasa dihabiskan oleh orang yang
sedang melakukan nyethe yaitu 2 sampai 5 jam untuk satu kali nyethe. Ini bisa
benar jika dalam jangka waktu yang cukup panjang tersebut, orang yang nyethe
tidak melakukan hal-hal yang bermanfaat, misalnya hanya duduk-duduk santai
dan membicarakan hal-hal yang kurang penting dan berguna, apalagi
menggunjing atau membicarakan kejelekan-kejelekan orang lain (bahasa jawa:
ngrasani). Di sisi lain, juga ada beberapa temuan yang menolak ataupun
mengklarifikasi asumsi negatif dari masyarakat misalnya temuan tentang orang-
orang yang datang ke warung sering ngobrol lama dan topik yang dibicarakan
mengenai bisnis atau bahkan negoisasi jual beli sesuatu yang berakhir dengan
adanya transaksi maupun persetujuan. Hal ini menunjukan bahwa nyethe juga bisa
digunakan sebagai media untuk melakukan hal-hal yang penting dan berguna,
tidak selalu membuang-buang waktu.

Nyethe dalam Perspektif Interaksi Sosial
Ada dua pendapat yang dikemukakan oleh ahli sosiologi mengenai definisi
dari interaksi sosial, S.S Sargen menjelaskan interaksi sosial sebagai tingkah laku
sosial yang selalu dalam kerangka kelompok seperti struktur dan fungsi dalam
kelompok. Sementara itu, H. Bonner mendefinisikan interaksi sosial sebagai suatu
hubungan antara dua atau lebih individu manusia dimana kelakuan individu yang
satu mengubah atau memperbaiki kelakuan individu yang lain atau sebaliknya
(Santoso, 1992).
Kedua definisi tersebut tidak membedakan satu sama lain tetapi saling
melengkapi sehingga dapat ditarik kesimpulan tentang aspek-aspek interaksi
sosial. Aspek-aspek tersebut meliputi: adanya individu, adanya tujuan, adanya
hubungan antar individu maupun kelompok, dan adanya hubungan dengan
struktur dan fungsi kelompok (Santoso, 1992). Dalam proses interaksi sosial yang
nyata, keempat aspek tersebut saling mempengaruhi satu sama lain.
Dari data penelitian mengenai kegiatan-kegiatan yang dilakukan dalam
nyethe, jika dihubungkan dengan definisi dan aspek-aspek interaksi sosial,
terdapat kesamaan-kesamaan yang bisa menjadi dasar untuk menyatakan bahwa
dalam kegiatan nyethe terdapat unsur-unsur interaksi sosial. Kesamaan-kesamaan
tersebut bisa dilihat dari bentuk-bentuk kegiatan yang dilakukan dalam nyethe
yang lebih bersifat kelompok bukan secara individu, misalnya duduk
berkelompok dan mengobrol. Sangat jelas bahwa ketika beberapa orang duduk
bersama dan membicarakan sesuatu, disitulah terjadi suatu komunikasi.
Komunikasi ini menunjukan adanya hubungan antar individu dalam sekelompok
orang tersebut dan adanya tujuan tertentu dari komunikasi yang berlangsung. Dari
analisis ini jelas bahwa sedikitnya terdapat dua aspek yang membuktikan bahwa
nyethe dapat dikategorikan sebagai salah satu proses interaksi sosial yang terjadi
di masyarakat khususnya pada masyarakat perokok.

PKMI-1-12-5
Jika nyethe bisa dikategorikan sebagai interaksi sosial, maka muncul
pertanyaan yaitu interaksi sosial yang bagaimana yang terjadi dalam nyethe. Krout
(1983) (dalam Santoso, 1992) menyatakan bahwa terdapat empat macam interaksi
sosial yaitu komensialisme, parasialisme, mutualisme, dan sosiality. Dari keempat
macam interaksi sosial tersebut, nyethe dapat dikategorikan kedalam dua dari
empat macam interaksi sosial. Pertama, nyethe dapat dikategorikan sebagai
mutualisme yaitu interaksi sosial yang menguntungkan kedua belah pihak. Pihak
dalam pengertian tersebut tidak harus diartikan harus dua belah pihak, tetapi pihak
bisa lebih dari dua belah pihak atau beberapa pihak. Dalam kegiatan nyete tidak
ada salah satu pihak yang dirugikan tetapi semua pihak mendapat keuntungan
sesuai dengan peran dan tujuan masing-masing pihak yang terlibat, misalnya
pemilik warung mendapat laba dari kopi dan rokok yang dijual sedangkan
pngunjung mendapat kepuasan menikmati kopi dan rokok sambil nyethe di
warung. Di antara sesama pengunjung juga tidak ada individu yang dirugikan,
misalnya dalam berinteraksi mereka saling berukar pendapat, informasi maupun
sekedar ngobrol yang membuat masing-masing individu merasa sama-sama
senang dan enjoy. Yang kedua, selain dikategorikan sebagai mutualisme, nyethe
juga bisa dikategorikan sebagai sosiality. Sosiality adalah suatu interaksi sosial
yang bersifat kemasyarakatan.(Santosa, 1992). Kemasyarakatan didefinisikan
sebagai bentuk interaksi sosial yang bersumber dari masyarakat yang ada dan
berpengaruh pada masyarakat itu sendiri. Jika ditinjau dari segi historis, kegiatan
nyethe tercipta dari kesenangan (hobi) masyarakat khisusnya perokok sebagai
subyek pelaku, dan berpengaruh pada masyarakat itu sendiri secara sempit
maupun masyarakat keseluruhan secara umum.

Interaksi Sosial Sebagai Pembentuk Komunitas Baru di Masyarakat
Individu tidak dapat dilepaskan dari situasi dimana ia berada dan situasi
ini sangat berpengaruh terhadap kelompok yang terbentuk akibat situasi tersebut
(Santosa, 1992). Pengunjung warung cethe sebagai individu juga tidak terlepas
dari situasi warung dimana ia sedang berada. Karena terdapat beberapa
pengunjung dalam satu tempat yang melakukan hal yang sama yaitu nyethe maka
terciptalah suatu situasi nyethe yang selanjutnya membentuk kelompok atau
komunitas dalam satu tempat tersebut.
Santosa (1992) menyatakan bahwa situasi yang dihadapi individu dalam
kelompok dapat dibagi menjadi dua, yaitu situasi kelompok sosial dan situasi
kebersamaan. Situasi kelompok sosial didefinisikan sebagai suatu situasi dimana
terdapat dua individu yang telah mengadakan interaksi sosial yang mendalam satu
sama lain. Sedangkan situasi kebersamaan artinya suatu situasi dimana berkumpul
sekumpulan individu secara bersama sama. Berdasarkan definisi tersebut, situasi
nyethe dapat dikategorikan sebagai situasi kebersamaan. Situasi kebersamaan
dapat menciptakan kelompok kebersamaan yakni suatu kelompok individu yang
berkumpul pada suatu ruang dan waktu yang sama, tumbuh dan mengarahkan
tingkah laku secara spontan (Kinch, 1983) (dalam Santoso, 1992). Kelompok
kebersamaan memiliki ciri-ciri: bertanggung jawab dalam waktu yang relatif
pendek, para pesertanya berhubungan secara fisik, kurang adanya aturan yang
terorganisir, dan interaksinya bersifat spontan (Santosa, 1992). Berdasarkan ciri-
ciri tersebut, nyethe juga bisa dikatakan sebagai kelompok kebersamaan yang

PKMI-1-12-6
terbentuk dari situasi kebersamaan sebagai implikasi interaksi sosial yang terjadi
dalam aktivitas nyethe.
Kelompok kebersamaan yang terbentuk dalam aktivitas nyethe
selanjutnya secara jangka panjang dapat membentuk suatu komunitas baru di
masyarakat Tulungagung yaitu komunitas cethe mania.. Hal ini terbukti dengan
data hasil penelitian yang menyatakan bahwa sering diadakanya kegiatan-kegiatan
yang berusaha mengumpulkan dan mewadahi kreatifitas para pelaku nyethe,
misalnya lomba nyethe atau nyethe competition se-kabupaten Tulungagung.
Karena nyethe sudah menjadi kebiasaan para perokok khususnya di
daerah Tulungagung, maka nyethe bisa dikatakan sebagai budaya perokok di
daerah Tulungagung. Hal ini sesuai dengan definisi budaya. Culture is the
informal and often hidden patterns of human interactions, viewpoints, and
expressions that people share (Mutmainah, 2005). Budaya merupakan bentuk-
bentuk tersembunyi dan informal dari interaksi, pandangan dan ekpresi manusia .
dari definisi tersebut, diketahui bahwa nyethe termasuk budaya yang mempunyai
unsur ekspresi, interaksi, dan kebiasaan yang dilakukan secara umum dan
berulang-ulang di masyarakat Tulungagung khususnya masyarakat perokok.

KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan diatas, dapat disimpulkan bahwa asumsi negatif
dari masyarakat yang menganggap nyethe adalah aktivitas yang membuang-buang
waktu tidak selalu benar. Hal ini terbukti dengan adanya data hasil penelitian yang
menunjukan bahwa kegiatan-kegiatan yang dilakukan pada waktu nyethe
bervariasi dan hanya sedikit yang mengandung unsur membuang-buang waktu.
Bahkan ada yang menganggap nyethe mempunyai unsur seni. Membuang-buang
waktu atau tidaknya kegiatan nyethe sangat bergantung pada subyek pelaku
nyethe itu sendiri, apakah mereka memanfaatkan nyethe untuk hal-hal yang
berguna atau tidak.
Dipandang dari segi sosial budaya dan kemasyarakatan, nyethe merupakan
cikal bakal terbentuknya suatu interaksi sosial yang lebih bersifat positif. Dari
interaksi sosial tersebut selanjutnya terbentuk komunitas baru di masyarakat
Tulungagung yang secara langsung maupun tidak langsung menciptakan budaya
baru di kalangan masyarakat perokok di daerah Tulungagung.


DAFTAR PUSTAKA
Bodgan, Robert C. & Biklen, Sarri Krop. (1982). Qualitative Research for
Education: An Introduction to Theory and Methods, Toronto, Allyn &
Bacon, Inc.
Denzin, Norman K. & Lincoln, Yvonna S. (1994). Handbook of Qualitative
Research, California, Sage Publication.
Latief, Mohamad Adnan. (1999). Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif, Forum
Penelitian Kependidikan, 2, 112.
Mutmainah, Siti Nurul. (2005). Cross Cultural Understanding, Malang, English
Department UM.
Santoso, Slamet. (1992). Dinamika Kelompok, Jakarta, Bumi Aksara



PKMI-1-13-1
HARAPAN DAN ANCAMAN KENAIKAN TARIF DASAR LISTRIK

ANISA WARDAH, BAGAS NUGROHO, I GEDE HARIANDANA, SITI
FATIMAH, SITI MARFUAHABSTRAK
UNIVERSITAS MULAWARMAN, SAMARINDA

ABSTRAK
Studi ini merupakan kajian teoritas dan empiris, oleh sebab itu perlu ditinjau
labih lanjut agar nantinya dapat menghasilkan data yang akurat. Dalam hal ini
harga BBM mrupakan inti dari permasalahan dari kenaikan TDL bagi konsumen,
kenaikan harga selalu menjadi masalah, apalagi dalam situasi perekonomian saat
ini. Kenaikan tariff listrik yang direncanakan dikhawatirkan akan menekan daya
beli masyarakat yang sudah terpuruk saat ini. Alas an TDL dinaikan karena
Perusahaan Listrik Negara (PLN) tidak sanggup menenggung biaya operasional
yang harus dikeluarkan setiap bulan. Tapi apakah hal itu hanya berkaitan
langsung dengan kenaikan BBM atau tidak, belum dapat dipastikan. Sebab,
sebagaimana perusahaan negara lain, PLN juga tidak lepas dari permasalahan
manajemen. Untuk mendapatkan keterangan tersebut dikumpulkan data dan
informasi dengan menggunakan metode Interview kepada pihak-pihak yang
bersangkutan, dalam hal ini adalah pihak PLN. Selain itu digunakan juga metode
Dokumentasi sebagai pelengkap data. Penelitian ini bertujuan untuk
menganalisis hubungan harga BBM dengan meningkatnya biaya operasional
TDL, penyebab kenaikan TDL, pengaruh kenaikan TDL, terhadap berbagai
kalangan, dan upaya penggulangan masalah kenaikan TDL. Dalam hal ini jika
TDL dinaikan, maka PLN yang beberapa tahun belakangan ini selalu mengalami
deficit dapat diminimalisir kerugiannya dan berpengaruh pada membaiknya
pelayanan PLN terhadap pelanggan, sedangkan bagi masyarakat hal ini
dirasakan sangat memberatkan. Tetapi lain halnya jika TDL tidak dinaikan maka
ketidakseimbangan antara biaya produksi dan pendapatan akan semakin besar
pada neraca keuangan PLN, selain itu mengakibatkan pelayanan terhadap
pelanggan menjadi tidak maksimal.

Kata kunci : BBM, kenaikan TDL, biaya operasional, permasalahan deficit


PENDAHULUAN
Seiring dengan lajunya pertumbuhan penduduk yang terjadi,
perkembangan perekonomian di Indonesia belakangan ini sangat memberatkan
bagi masyarakat. Perekomian di Indonesia mengalami pasang surut mulai dari
krisis moneter tahun 1998, melemahnya nilai rupiah terhadap kurs dollar, dan
kenaikan BBM. Imbas kenaikan bahan bakar minyak (BBM) belum hilang.
masyarakat kembali dihadapkan pada rencana pemerintah untuk menaikan tarif
dasar listrik (TDL). Rencana pemerintah untuk menaikkan TDL ternyata menurut
pihak PLN disebabkan merupakan rentetan akibat dari kenaikan BBM yang
semakin melambung. Saat harga BBM naik secara otomatis biaya produksi PLN
pun meningkat sehingga anggaran dana yang dialokasikan untuk biaya operasi

PKMI-1-13-2
tidak mencukupi. Hal lain yang memicu rencana kenaikan TDL adalah
pertumbuhan yang penduduk yang pesat mendorong kebutuhan akan listrik
meningkat. Dengan biaya operasional yang tidak seimbang dengan pendapatan
sangat sulit bagi PLN dapat memenuhi permintaan masyarakat yang semakin
banyak. Hal ini masih didukung oleh permasalahan manajemen di tubuh PLN itu
sendiri yang sampai sekarang dirugikan oleh banyak pihak . Salah sata solusi yang
terpikirkan oleh pihak PLN karena berbagai permasalahan ini adalah menaikan
TDL. Tetapi di sisi lain kenaikan TDL dikhawatirkan akan berpengaruh terhadap
kerterpurukan ekonomi yang berdampak pada menurunnya tingkat kesejahteraan
masyarakat, Saat TDL naik pengeluaran masyarakat untuk membayar biaya listrik
akan naik dan mengurangi pengalokasian dana pada kebutuhan yang lain. Dalam
hal ini posisi PLN sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang tidak hanya
berorientasi Prnfit oriented tetapi lebih kearah pelayanan masyarakat perlu
diperhatikan. Apabila TDL jadi dinaikan beban hidup masyarakat akan semakin
berat, masyarakat harus membayar dengan sangat mahal hak mereka atas energi
(listrik), yang sesungguhnya adalah milik mereka. DI sisi lain, keterbatasan
kemampuan keuangan negara kini tidak memungkinkan untuk melakukan
pembangunan di sektor listrik. Akibatnya terjadi pemadaman bergilir di berbagai
wilayah, dan ancaman pemadaman di wilayah lainnya. Pemerataan kesempatan
menikmati sambungan listrik kian sulit karena terhambatnya pembangunan
infrastruktur bank. Pada akhirnya, krisis listrik akan memperlambat roda
perekonomian. Dari permasalahan di atas peneliti berusaha mengungkapkan hal-
hal yang mendasari kenaikan TDL yang direncanakan pemerintah dengan dasar
pemikiran teori Biaya dan Demand Supply pada pasar monopoli.
Adapun permasalahan yang diungkapkan penulis adalah mengenai
besarnya pengaruh BBM terhadap biaya operasi, penyebab kenaikan TDL,
analisis biaya produksi listrik, pengaruh kenaikan TDL terhadap berbagai pihak
dimasyarakat, dan upaya dalam menanggulangi kenaikan TDL.
Studi dibuat dengan tujuan untuk mengetahui pengaruh BBM terhadap
biaya operasional PLN sehingga nantinya diharapkan dapat memberikan masukan
kepada pihak-pihak yang berkompeten. Dengan mengetahui pengaruh biaya
produksi terhadap kegiatan operasional maka dapat dibentuk system pelaksanaan
yang ekonomis, efektif, dan efisien. Selain itu dapat juga dijadikan dasar dalam
pengidentifikasian manajemen PLN serta sebagai kontrol dalam pelaksanaan
kegiatannya, sehingga hal-hal yang merugikan seperti kebocoran (losses) akibat
administrasi maupun penyusutan serta tunggakan dari para pelanggan dapat
diminimalisir. Selain itu Karya Ilmiah ini dibuat untuk mengetahui pengaruh
kenaikan TDL. terhadap masyarakat, dan mencari solusi yang dapat dijadikan
pertimbangan dalam masalah kenaikan TDL ini.

METODE PENDEKATAN
Karya ilmiah ini dibuat dengan menggunakan Metode Interview dan
Dokumentasi. Metode Interview digumakan sebagai metode utama dalam
pengumpulan data, metode pelengkap dalam memperoleh informasi, serta sebagai
kriterium (pengukur) untuk meyakinkan atau mengukur suatu kebenaran
imformasi. Dalam penelitian ini pengiunpulan data dilakukan melalui interview

PKMI-1-13-3
dengan pihak PLN ( Persero ) Samarinda, yang dalam hal ini merupakan pajak
yang berkompeten dalam menyikapi masalah ini. Sedangkan Metode
Dokumentasi digunakan dalam pengumpulan data yang ditujukan kepada subyek
penelitian dan merupakan bahan penelitian yang merekam peristiwa penting.

HASIL
Menurut pemeriksa keuangan (BPK) yang datanya dilihat penulis dari
Tribun Samarinda pada bulan Maret 2006 , diketahui bahwa harga tarif dasar
listrik pada Agustus 2003 berdasarkan Kurs Dollar As Rp.8,871. inflast sebesar
6,63%, dan harga solar per liter Rp.1668. BPK dengan asumsi Kurs Dollar As
Rp.9700, inflasi 8 % dan harga sollar per liter Rp. 5000, memperoleh nilai deficit
keuangan PLN RP. 27,2 Triliun, dengan kemampuan subsidi pemerintah Rp. 17
Triliun.
Berdasarkan hasil interview dengan pihak PLN (PERSERO) Samarinda
pada tanggal 13 Maret 2006, diperoleh data bahwa harga jual listrik Rp.
630,00/kwh dengan rincian biaya produksi untuk BBM sebesar Rp. 5000,00 untuk
3 kwh. Biaya produksi untuk biaya selain BBM sebesar Rp. 1000,00 untuk 3 kwh,
sehingga didapat biaya total produksi sebesar Rp. 6.000,00 untuk 3 kwh atau Rp.
2000,00/kwh. Dimana perhitungan mengasilkan nilai defisit PLN sebesar 34
Triliun Rupiah, dengan kemampuan subsidi pemerintah 17 Triliun rupiah,
sehingga PLN masih mengalami kekurangan dana untuk menutupi sebesar Rp. 17
triliun.

BBM Naik
Nilai rupiah turun Biaya produksi PLN naik

Inflasi naik TDL naik

Daya beli masyarakat turun

Pengangguran


Gambar rantai kenaikan TDL

Saat harga naik, maka biaya produksi PLN meningkat, hal ini dikarenakan
BBM merupakan bahan baku utama dalam proses produksi, sehingga berpengaruh
pada kenaikkan TDL. Saat TDL naik maka biaya produksi perusahaan juga naik.,
akibatnya perusahaan melakukan efisiensi tenaga kerja (PHK), Oleh karena itu
terjadi pengangguran dan membuat daya beli masyarakat menurun, kemudian
berpengaruh pada kenaikan harga Inflasi. Untuk menutupi kerugian pemerintah
maka kembali lagi pemerintah mengambil kebijakan untuk menaikkan harga
BBM.




PKMI-1-13-4
PEMBAHASAN
Alasan kenaikan tarif listrik yang mengemuka saat ini tampak bagi
sebagian pihak tak masuk akal. PLN mengusulkan kenaikan TDL dengan
mengemukakan alasan depresiasi rupiah terhadap dollar AS, harga jual yang
masih rendah dari harga pokok produksi (HPP ), meningkatnya harga BBM,
kebuhihan investasi untuk memenuhi permintaan listrik yang tumbuh 10 persen
per tahun, dan kesepakatan kenaikan TDL menuju tarif keekonornian pada tahun
2004.
Korelasi antara kenaikan BBM dan biaya produksi adaiah dengan naiknya
harga BBM secara otomatis menaikan biaya bahan baku (BBB). Dalam operasi
kegiatan produksi di PLN, biaya BBM mempengaruhi sekitar 70% dari total
biaya, sehingga saat biaya BBM naik maka hal ini berimbas sangat besar terhadap
biaya pokok produksi (BPP).
Dengan fluktuasi kenaikan kurs dollar mengakibatkan harga perolehan
spare part meningkat. Apabila spare part tersebut di gunakan untuk perawatan
atau pemeliharaan mesin, maka itu akan menambah biaya pemeliharaan mesin,
dan apabila spare part tersebut di gunakan sebagai pengganti mesin yang rusak,
rnaka akan menambah biaya penyrrsutan. Korelasi antara biaya pemeliharaan dan
biaya penyusutan terhadap produksi yaitu balk biaya pemeliharaan maupun biaya
penyusutan termasuk dalam biaya overhead pabrik: ( BOP ). BOP merupakan
salah satu elemen dari BPP. Jadi, dapat disimpulkan saat biaya untuk spare part
tersebut naik, maka BPP pun meningkat.
karena adanya penrbahan harga mata yang rupiah pihak PLN melakukan
revaluasi asset untuk mengetahui nilai asset mereka saat ini. Revaluasi asset ini.
dilakukan pada tahun 2002. Akibatnya, jika dibandingkan dengan nilai asset PLN
yang pada tahun 2001 sebesar 79,9 triliun rupiah, pada tahun 2002 naik tiga kali
lipat menjadi 213,8 triliun nrpiah. Konsekuensi peningkatan nilai asset itu adalah
pada peningkatan biaya depresiasi. Jika volume depresiasi PLN untuk tahun buku
2001 hanya 3,4 triliun rupiah, maka tahun buku 2002 meningkat menjadi 15,6
triliun rupiah. Akibatnya, untuk tahun-tahun selanjutnva, seperti halnya tahun
2002, biaya penyusutan naik. Jadi kesimpulannya revalusi asset juga membuat
melonjaknya biaya produksi.
Seperti halnya perusahaan swasta, selain biaya produksi PLN, BBB,BOP,
dan BTK juga perlu diperhatikan. Untuk beberapa tahun belakangan ini BTK
tidak terlalu ada perubahan, hal ini disebabkan tidak adanya kenaikan gaji. Tapi
tidak menutup kemungkinan kedepannya.BTK ini akan naik, hal ini didorong oleh
tuntutan karyawan yang menginginkan kesejahteraan yang lebih baik dari semula.
Dikarenakan PLN adalah sebuah perusahaan yang sangat besar maka tidak
heran kalau dalam kegiatannya kadang melakukan kesalahan misalnya, kesalahan
perhitungan, kesalahan pembacaan meteran, atau kesalahan pencatatan, serta
pencurian. Karena hal ini menyebabkan kerugian semakin besar, maka PLN harus
efisien agar losses berkurang sehingga BPP dapat ditekan sampai harga yang lebih
murah.
Kenaikan BPP juga diakibatkan oleh mahalnya harga pembelian dari
Iistrik swasta. Working Group on Power Sector Restructuring (WGPSR)
menemukan bahwa harga pembelian listrik dari pembangkit listrik swasta oleh

PKMI-1-13-5
PLN rata-rata sebesar Rp 491,28 (5,8 sen dollar AS per kWh), jauh lebih tinggi
dari rata-rata harga listrik yang diproduksi anak perusahaan PLN, lndonesia
Power, yaitu Rp 344,54 (4 sen dollar AS per kWh). Sesuai data WGPSR, PLN
harus mengalokasikan dana sebesar Rp 11,5 triliun, atau 19 persen dari total
beban usaha PLN tahun 2003, guna membeli listrik swasta tersebut. Masalahnya
tidak seluruh listrik dari swasta dapat diserap oleh PLN karena ada masalah
dengan transmisi listrik di jaringan Jawa-Bali. Walaupun demikian, PLN tetap
wajib membayar listrik tersebut karena terikat kontrak take or pay.
Sebagai suatu perusahaan yang negara PLN sering mengalami kesulitan
dalam menagih pembayaran (piutang) kepada instansi. Karena untuk menjaga
nama baik instansi yang bersangkutan. PLN tidak bisa mengekspos hal ini,
sehingga sering terjadi tunggakan yang menumpuk dan relatif besar pada suatu
instansi.
Sebagai sebuah perusahaan salah satu pendapatannya berasal dari
pembayaran beban listrik. Selain itu juga ada tambahan dari pembayaran denda
akibat pelanggan terlambat membayar atau melakukan pelanggaran. Berbeda
dengan perusahaan swasta, PLN yang merupakan BUMN mendapat
subsidi dari pemerintah.
Rencana pemerintah utuuk menaikkan TDL menuai berbagai macam
reaksi dari berbagai macam kalangan, tidak hanya mahasiswa, Lembaga Swdaya
Masyarakat (LSM), masyarakat, dan sektor bisnis Juga menyuarakan
ketidaksetujuannya atas rencana pemerintah tersebut. Kenaikan TDL ditakutkan
masyarakat akan berpengaruh kuat terhadap kenaikan inflasi, karena dengan
naiknya TDL ini mengakibatkan biaya produksi menjadi naik dan otomatis diikuti
dangan kenaikan harga barang lain (spiral effect), sehingga daya beli masyarakat
menurun. Bila biaya produksi dalam suatu usaha meningkat maka perusahaan
cenderung melakukan efisiensi tenaga kerja (PHK), dan dengan kenaikkan TDL,
PLN akan mencapai titik BEP, dengan konsekuensi akan menurunkan
kesejahteraan rakyat.
untuk menutupi besarnya Biaya PLN guna melayani kebutuhan
konsekuensi dapat dilakukan berbagai upaya yaitu, memperbaiki manajemen
dalam tubuh PLN. menekan konsumsi BBM seoptimal munakin. dan
meningkatkan efisiensi penagihan dalam rangka mengurangi biaya losses yang
terjadi, menambah subsidi TDL dari berbagai macam pos-pos APBN.

KESIMPULAN
Gagasan menaikkan TDL berlandaskan pada alasan bahwa Perusahaan
Listrik Negara ( PLN ) sudah tidak mampu lagi menanggung beban biaya
produksi, jika revenue berpatokan pada TDL sekarang maka subsidi pemerintah
tidak cukup untuk menutupi beban biaya produksi PLN yang membengkak akibat
kenaikan tajam harga Bahan Bakar Minyak ( BBM ).
Selain BBM ada beberapa faktor yang membuat rencana kenaikan TDL
terlontar, misalnya adanya kebocoran dan revaluasi aset dimana ini semua
membuat BPP TDL (biaya pokok produksi tarif dasar listrik) meningkat.
Apabila kenaikan TDL dijadikan jalan satu-satunya maka dikhawatirkan
daya beli dan kesejahteraan masyarakat akan menurun. hal ini dikarenakan

PKMI-1-13-6
pengeluaran masyarakat untuk pembayaran beban listrik naik dan diikuti
menurunnya pengeluaran di kebutuhan yang lain. Dikarenakan oleh hal ini maka
rencana untuk menaikan TDL perlu dikaji ulang.
Selain dengan menaikan TDL, apabila PLN bisa memperbaiki
manajemennya, melakukan efisiensi, ada kemungkinan hal ini bisa menutupi
biaya produksi yang meningkat.


DAFT AR PUSTAKA
Reksoprayito. Soediyono. (2000). Pengantar Ekonomi Makro, edisi VI, BPFE-
Yokyakarta.
Mukyadi. (1999). Akuntansi Biaya, Aditya Media. Yokyakarta
Kaltim,, tribun.(2006 ). Purnomo: Kita Pusing Tujuh keliling, hlm 1. Samarinda.
Samarinda, Tribun. (2006). Tarif Listrik tak Jadi Naik, hlm 5, Samarinda
Http: www. Tribun Kaltim.comPT PLN PERSERO. (2001).
Berevetisasi Juru Tera III, Pandaan. Jawa Timur



PKMI-1-14-1
SITUS PORNO ANCAMAN PADA ETIKA GENERASI MUDA

Amirul Muslim, Fatimah Sari Siregar, dan Dian Hariyanti
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara, Medan

ABSTRAK
Pergaulan bebas, hamil di luar nikah, atau kasus aborsi yang banyak terjadi
akhir-akhir ini menunjukkan betapa rendahnya etika generasi muda bangsa ini.
Fenomena tersebut menarik perhatian kami sebagai tim Peneliti untuk mencari
salah satu penyebabnya. Peneliti coba berfokus pada pengguna layanan warung
internet yang menyediakan situs porno. Hal ini dilakukan untuk membuktikan
terdapat pengaruh yang signifikan antara situs porno pada media internet
terhadap etika generasi muda, khususnya perilaku seks remaja yang menyimpang.
Dengan menggunakan metode Korelasi Asosiatif (hubungan sebab-akibat),
instrumen pengumpul data dengan cara menyebarkan angket kepada subjek
penelitian sebanyak 87 orang pengunjung warung internet Triple G II Medan,
dan teknik analisis data yang digunakan adalah teknik analisis Korelasi
Spearman Rank. Berdasarkan hasil penelitian, hasil yang diperoleh adalah
tingginya peminat situs porno yang berdampak pada perilaku seks menyimpang
para remaja kota Medan. Kesimpulannya adalah terdapat pengaruh yang
signifikan antara situs porno terhadap etika generasi muda, khususnya perilaku
seks remaja.

Kata kunci : Situs Porno-Perilaku Seks Remaja

PENDAHULUAN
Internet merupakan sebuah jaringan komputer yang terdiri dari berbagai
macam ukuran jaringan komputer di seluruh dunia mulai dari sebuah personal
computer (PC), dan jaringan-jaringan lokal berskala kecil dan menengah
(Purwandi, 1997: 1). Ketidakterbatasan ruang lingkup internet yang mampu
menembus seluruh jaringan komputer yang ada di seluruh penjuru dunia telah
membawa peradaban baru manusia yang mengarah pada suatu perkembangan
pengetahuan dan teknologi yang lebih pesat dan cepat. Layanan yang diberikan
pun beraneka, seperti situs (Homepage), email, dan sebagainya.
Namun realita yang ditemukan ketika menjamurnya warung-warung
internet, fasilitas yang lebih digemari untuk dimanfaatkan adalah membuka
berbagai jenis situs porno yang dapat membangkitkan syahwat manusia. Bahkan
pemakainya lebih mengarah pada kalangan remaja.
Hal yang paling dikhawatirkan dari kebiasaan tersebut adalah
mempengaruhi timbulnya berbagai aktivitas seks yang menyimpang pada diri
remaja, seperti melakukan masturbasi, seks bebas dengan orang lain, dan yang
lebih mengerikan lagi adalah tersebarnya penyakit AIDS atau penyakit kelamin
yang menuntut nyawa taruhannya. Jika situs porno telah menjadi media untuk
membangkitkan gairah seks remaja, maka kesulitan yang akan dihadapi remaja
tersebut adalah mengendalikan gairah pada saat keinginan untuk berhubungan
badan seks dalam diri muncul (Gilbert dan Lumoindong, 1996:18).

PKMI-1-14-2
Dengan demikian ada dua rumusan masalah yang akan menjadi landasan
kami melakukan penelitian ini, yaitu :
1. Bagaimana minat pengunjung remaja untuk membuka situs porno
pada warung internet Triple G II Medan?
2. Bagaimana pengaruh situs porno terhadap etika generasi muda,
khususnya perilaku seks menyimpang remaja?
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk menemukan salah satu
faktor penyebab maraknya perilaku seks menyimpang di kalangan remaja yang
disebabkan oleh kebiasaan mengunjungi warung internet untuk membuka situs
pornoyang menampilkan berbagai bentuk gambar dan tulisan yang bersifat
sensualitas dan membangkitkan nafsu syahwat yang melihatnya.
Manfaat yang diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai bahan rujukan
bagi seluruh lapisan masyarakat agar mewaspadai perkembangan warung-warung
internet pada saat ini yang telah dimanfaatkan oleh para remaja untuk melihat hal-
hal yang tidak senonoh dan kurang manfaatnya dari pada memfungsikan internet
sebagai media untuk memperluas wawasan ilmu pengetahuan.
Peneliti berpandangan, kurangnya sikap tegas para aparatur pemerintah
terhadap para pengusaha warung internet yang menyediakan fasilitas situs porno
sama halnya dengan mengijinkan disebarluaskannya VCD porno.

METODE PENELITIAN
Pendekatan
Penelitian ini dilakukan selama kurang lebih sepuluh hari, terhitung mulai
dari penyebaran angket kepada para pengunjung Warnet Triple G II Medan yang
berada Jl. Dr. Mansur No. 80A Medan sampai dengan penyerahan laporan hasil
penelitian.
Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskripsi kuantitatif
dengan instrumen penelitian memanfaatkan penyebaran angket yang bersifat
tertutup. Teknik pengambilan sampel yakni menggunakan teknik asidental yang
berdasar pada rumus Taro Yamane (Rakhmat, 2002:82), yaitu :
1
2
+
=
Nd
N
n (Ket
. n : jumlah sampel, N: jumlah populasi,
2
d : tingkat kesalahan penarikan sampel
yaitu 10 %) yang sebelumnya peneliti mengajukan pertanyaan secara lisan untuk
mengetahui usia pengunjung.
Berdasarkan rumus di atas, diperoleh sampel penelitian sebanyak 87 orang
dari 650 orang pengunjung warung internet Triple G II Medan yang memenuhi
syarat, yang salah satu syaratnya adalah seluruh remaja dengan rentang usia 14
sampai dengan 24 tahun (defenisi remaja berdasarkan usia sebagai standar batas
usia remaja yang dilakukan aparat pemerintah pada saat melakukan sensus
penduduk pada tahun 1984).

Operasionalisasi Variabel
Operasionalisasi variable, peneliti sajikan dalam bentuk tabel di bawah
ini:





PKMI-1-14-3
Tabel.1 Operasionalisasi Variabel

Variabel Operasional Variabel
Variabel Independen
Situs Porno
Kategori :
1. Gambar Porno
2. Tulisan Porno
3. Karikatur Porno
4. Film Porno
Variabel Dependen
Etika Generasi Muda
Kategori :
1. Sikap Seks
2. Masturbasi
3. Melakukan Hubungan Seks
4. Kepuasan Pribadi
Variabel Antara
Generasi Muda
Kategori :
1. Usia
2. Jenis Kelamin
Catatan : Variabel antara diabaikan.

Defenisi Situs Porno, Etika, dan Generasi Muda
Tretter (dalam Purwandi, 1997:17) menyatakan bahwa situs (homepage)
merupakan sebuah menu yang disajikan dalam sebuah program internet yang
merupakan halaman depan dari sebuah alamat informasi. Sedangkan porno
diartikan sebagai segala sesuatu baik gambar maupun tulisan yang isinya tidak
senonoh atau cabul (Lesmana, 1995,70). Jadi, situs porno adalah salah satu menu
yang disajikan pada program internet berupa gambar dan tulisan yang isinya tidak
senonoh atau cabul.
Mengenai defenisi etika, peneliti lebih condong pada pendapat yang
dikemukakan oleh Sudarsono (1991:127), sebagai berikut :
Istilah etika yang berasal dari bahasa Yunani yaitu etos artinya
kebiasaan. Dan kata etika ini juga dikaitkan dengan moral yang dikenal
dengan susila. Moral dan etika mengandung arti praktis, ia merupakan ide-
ide universal tentang tindakan manusia yang tidak baik dan wajar dalam
masyarakat.

Salomoon (1991:7) menambahkan bahwa moralitas lebih khusus
merupakan hukum etika. Dengan demikian, bermoral-tidaknya seseorang dalam
bertindak dan berperilaku tidak dapat distandarkan pada setiap kalangan
masyarakat, melainkan bergantung pada konvensi suatu masyarakat tentang etis
atau tidaknya perilaku seseorang.
Generasi muda adalah generasi penerus suatu bangsa. Bila generasi muda
suatu bangsa baik, maka baiklah bangsa tersebut di masa yang akan dating,
demikian sebaliknya. Hal ini seperti isi GBHN yang menjelaskan bahwa generasi
muda sebagai generasi penerus cita-cita perjuangan bangsa dan sumber insani
bagi pembangunan nasional, perlu pembinaan dan pengembangan serta diarahkan
sehingga menjadi manusia yang berjiwa pancasila.
Generasi muda yang dimaksudkan pada penelitian ini adalah tingkat
remaja dengan rentang usia seperti yang disebutkan sebelumnya yaitu antara usia

PKMI-1-14-4
14 sampai dengan 24 tahun, dan mengabaikan jenis kelamin, pekerjaan,
pendidikan, atau tempat tinggal.
Menurut Sarwono (2002:8), remaja adalah suatu periode peralihan
perkembangan individu dari masa anak-anak menuju masa dewasa dengan
berbagai perkembangannya. Perkembangan tersebut mencakup antara lain sebagai
berikut :
1. Perkembangan biologis seperti matangnya hormon-hormon
reproduksi, termasuk perkembangan alat vital
2. Perkembangan psikologis, mencakup perkembangan kognitif, emosi,
kepribadian, dan moral
3. Perkembangan sosiologis yang lebih banyak dipengaruhi oleh
lingkungan masyarakat, teman sebaya, lingkungan tempat tinggal, dan
media massa
Namun dalam perkembangan dirinya, hal yang tersulit dihadapi oleh
remaja adalah mengendalikan dirinya, terlebih mengontrol seksualitasnya. Saputra
(dalam Sarwono, 2002:21), seorang psikiater lulusan Fakultas Kedoteran UI,
menyatakan bahwa dorongan seks manusia itu sudah ada semenjak manusia
dilahirkan. Oleh karena dorongan seks pada diri manusia sudah ada semenjak
lahir ketika ada suatu stimulus yang membangkitkan gairah seks seseorang, maka
seketika itu juga orang tersebut akan mencari objek untuk melampiaskan
hasratnya tersebut hingga kontrol diri hilang.

Pengukuran dan Penilaian
Angket yang disebarkan kepada para Pengunjung Warnet Triple G II
Medan dengan metode asidental dengan berdasar pada rumus Taro Yamane.
Berdasarkan instrumen tersebut diperoleh data yang peneliti sajikan dalam bentuk
tabel masing-masing variabel, sebagai berikut :

Tabel.2
Distribusi Responden untuk Variabel Independen
dengan Empat Kategori Layanan
Kategori : Gambar Porno
No
Jawaban
Responden
Frekuensi Persentase
1 Sangat sering 20 22,99%
2 Sering 47 54,02%
3 Kadang-kadang 19 21,84%
4 Tidak pernah 1 1,15%
J u m l a h 87 100%
Kategori : Karikatur Porno
No
Jawaban
Responden
frekuensi Persentase
1 Sangat sering 6 6,90%
2 Sering 40 45,98%
3 Kadang-kadang 24 27,58%
4 Tidak pernah 17 19,54%
J u m l a h 87 100%
Kategori : Tulisan Porno
No
Jawaban
Responden
Frekuensi Persentase
1 Sangat sering 39 44,83%
2 Sering 23 26,44%
3 Kadang-kadang 15 17,24%
4 Tidak pernah 10 11,49%
J u m l a h 87 100%
Kategori : Film Porno
No
Jawaban
Responden
Frekuensi Persentase
1 Sangat sering 3 3,45%
2 Sering 41 47,13%
3 Kadang-kadang 32 36,78%
4 Tidak pernah 11 12,64%
J u m l a h 87 100%
Catatan : skor untuk masing-masing opsi yaitu : Sangat sering : 4
Sering : 3
Kadang-kadang : 2
Tidak pernah : 1

PKMI-1-14-5

Pengunjung yang membuka situs porno dengan kategori gambar porno
sebanyak 86 orang (98,85%) dan yang tidak pernah hanya 1 orang (1,15%),
kategori karikatur porno sebanyak 70 orang (80,46%) dan yang tidak pernah
sebanyak 17 orang (19,54%), kategori tulisan porno sebanyak 77 orang (88,54%)
dan yang tidak pernah sebanyak 11 orang (11,49%), dan kategori film porno
berjumlah 76 orang (87,36%) dan yang tidak pernah 11 orang (12,64%).

Tabel.3
Distribusi Responden untuk Variabel Dependen
dengan Empat Kategori Perilaku
Kategori : Sikap Seks
No
Jawaban
Responden
Frekuensi Persentase
1
Sangat
terdorong
36 41,38%
2 Terdorong 27 31,03%
3
Kurang
terdorong
19 21,84%
4
Tidak
terdorong
5 5,57%
J u m l a h 87 100%
Kategori : Melakukan Hubungan Seks
No
Jawaban
Responden
frekuensi Persentase
1
Sangat
terdorong
7 8,04%
2 Terdorong 43 49,43%
3
Kurang
terdorong
17 19,54%
4
Tidak
terdorong
20 22,99%
J u m l a h 87 100%
Kategori : Masturbasi
No
Jawaban
Responden
Frekuensi Persentase
1
Sangat
terdorong
18 20,69%
2 Terdorong 46 52,87%
3
Kurang
terdorong
18 20,69%
4
Tidak
terdorong
5 5,57%
J u m l a h 87 100%
Kategori : Kepuasan Pribadi
No
Jawaban
Responden
Frekuensi Persentase
1
Sangat
terdorong
17 19,54%
2 Terdorong 45 51,72%
3
Kurang
terdorong
22 25,29%
4
Tidak
terdorong
3 3,45%
J u m l a h 87 100%
Catatan : skor untuk masing-masing opsi yaitu : Sangat terdorong : 4
Terdorong : 3
Kurang terdorong : 2
Tidak terdorong : 1

Hasil jawaban responden tentang perilaku seks remaja pada masing-
masing kategori setelah membuka situs porno memberikan pengaruh yang besar.
Untuk kategori sikap seks yang menyatakan sangat terdorong sebanyak 36 orang
(41,38%), menyatakan terdorong 27 orang (31,03%), sebanyak 19 orang (21,58%)
menyatakan kurang terdorong, dan hanya 5 orang (5,57%) yang menyatakan tidak
terdorong. Untk kategori perilaku melakukan hubungan seks yaitu 7 orang
(8,04%) menyatakan sangat terdorong, 43 orang (49,43%) menyatakan terdorong,
17 orang (19,54%) menyatakan kurang terdorong, dan 20 orang (22,99%) yang
menyatakan tidak terdorong.
Distribusi perilaku seks remaja untuk bermasturbasi yaitu yang
menyatakan sangat terdorong 18 oarang (20,69%), menyatakan terdorong 46
orang (52,87%), menyatakan kurang terdorong sebanyak 18 orang (20,69%), dan
yang menyatakan tidak terdorong hanya 5 orang (5,57%). Serta untuk kategori
kepuasan pribadi distribusi yang diperoleh adalah 17 orang (19,54%) menyatakan

PKMI-1-14-6
sangat terdorong, 45 orang (51,72%) menyatakan terdorong, 22 orang (25,29%)
menyatakan kurang mendorong, dan hanya 3 orang (3,45%) menyatakan tidak
terdorong.
Guna menguji hipotesis keorelasi antara variabel independen terhadap
variabel dependen, peneliti menggunakan rumus Spearman Rank yaitu
) 1 (
6
1
2
2

=

n n
bi
p (Sugiyono, 2000:229). Agar memudahkan pengolahan data,
peneliti membuat tabel penolong sebagai berikut :

Tabel.4
Tabel Penolong untuk Menghitung Korelasi Spearman Rank
No
Variabel
Independen
Variabel
Dependen
Rank Variabel
Independen
Rank Variabel
Dependen
bi
2
i b
1 270 268 1 1 0 0
2 209 211 4 4 0 0
3 265 251 2 3 -1 1
4 210 250 3 2 1 1
J U M L A H

= 2
2
i b


Berdasarkan tabel penolong di atas, maka data tersebut dimasukkan ke
dalam rumus Spearman Rank di atas, dan hasil yang diperoleh harga rho 0,8.
namun hasil tersebut belum menjadi patokan untuk menarik kesimpulan, sebab
rho tabel terbatas n=30. oleh karena itu, untuk menguji signifikansinya untuk
n>30 menggunakan rumus
hit
t , yaitu
2
1
2
r
n
r t
hit

= , dan diperoleh nilai


hit
t =1,888. maka perlu dibandingkan antara
hit
t dengan
tab
t untuk uji dua pihak
dengan dk=85 dan tingkat kesalahan 5% diperoleh perbandingan
hit
t >
tab
t
(1,888>0,679). Dan untuk melihat seberapa besar persentase variable independent
terhadap variable dependen, peneliti menggunakan rumus determinasi
% 100 px D = dengan besar persentasenya adalah 80 % (merupakan nilai yang
cukup tinggi).
Dengan demikian, hasil yang diperoleh dari penelitian ini yaitu terdapat
pengaruh yang signifikan situs porno terhadap etika generasi muda, khususnya
perilaku seks remaja yang menyimpang.

PEMBAHASAN

Kegemaran Remaja Membuka Situs Porno

Menjamurnya warung-warung internet pada era globalisasi saat ini, telah
banyak memberikan dampak bagi perkembangan remaja. Internet dengan ruang
gerak yang tidak terbatas memberikan wacana baru kepada pemakainya untuk
lebih mengenali bagaimana perkembangan yang terjadi di seluruh penjuru dunia.
Namun fenomena yang dihadapi dari kemajuan tersebut adalah di samping
memberikan dampak yang positif bagi ilmu pengetahuan dan teknologi, tetapi

PKMI-1-14-7
juga terdapat dampak yang negatif. Dampak tersebut salah satunya adalah
fenomena yang peneliti angkat pada PKMI ini.
Warung-warung internet pada saat ini sangat mudah untuk ditemukan dan
dimanfaatkan fasilitasnya, apalagi untuk wilayah pusat kota. Namun yang lebih
mengherankan adalah lokasi berdirinya warung-warung internet yang lebih
banyak berada di sekitar sekolah atau perguruan tinggi. Memang hal yang tepat
jika pemanfaatan warnet lebih difungsikan sesuai dengan fungsi edukatifnya
sebagai media pemerolehan informasi dan komunikasi modern untuk menambah
pengetahuan tentang perkembangan yang terjadi di seluruh penjuru dunia. Tetapi
jika sebaliknya, layanan warnet-warnet yang ada digunakan untuk melakukan hal-
hal negatif, seperti membuka situs-situs yang kurang bermanfaat tetntu akan lain
pula dampak yang diberikan.
Buktinya adalah seperti karya tulis yang disajikan ini. Ternyata lebih
dominan para pengunjung internet menggandrungi situs porno sebagai tujuan
mengunjungi warnet. Mulai dari hanya sekedar membuka tulisan-tulisan porno,
karikatur porno, sampai pada membuka situs yang menampilkan gambar manusia
bugil bahkan praktek melakukan hubungan senggama. Jelas kesemuanya itu
secara kodrati manusia akan membangkitkan gairah seks. Timbulnya perasaan
dipengaruhi oleh rangsangan atau stimulus tertentu, seperti rangsangan seksual
dan rangsangan emosional (Rakhmat, 2000:231).
Bardasarkan hasil penelitian yang tim peneliti lakukan terhadap 87 orang
Pengunjung Warnet Triple G II Medan, kurang lebih 77 orang gemar membuka
situs porno dengan berbagai kategori. Jika pada satu warnet yang membuka situs
porno sebanyak data yang diperoleh pada penelitian ini, maka dapat
dikuantitatifkan berapa banyak pengunjung melakukan hal yang sama. Dan
apalagi bila pengunjung tersebut lebih didominasi oleh para remaja, khusunya lagi
pelajar, dikarenakan letak warnet yang dekat dengan mereka.
Hal yang terjadi sesuai dengan pendapat yang dinyatakan oleh beberapa
ahli yang telah disebutkan sebelumnya. Remaja akan kehilangan kontrol dirinya
dan akan melakukan hal-hal menyimpang ketika ada sesuatu yang menstimulasi
perasaannya, seperti masturbasi atau juga melakukan hubungan seks dengan orang
lain. Dan dampak dari perilaku menyimpang tersebut sudah dapat diperkirakan.
Putus sekolah, pernikahan dini, hamil pranikah, praktek aborsi, bahkan terjangkit
penyakit-penyakit yang membahayakan, seperti terjangkit HIV-AIDS yang
sampai saat ini belum ada penawarnya.
Menurut pengamatan tim peneliti, ada beberapa faktor yang menyebabkan
tingginya tingkat pemakai situs porno, yaitu sebagai berikut :
1. Tingkat perkembangan remaja yang ingin menemukan jati dirinya,
seperti perkembangan biologis yang mencakup kematangan alat-alat
reproduksi, perkembangan psikologis yang mencakup kematang
kognitif, emosi, kepribadian, dan moral, atau juga perkembangan
social yang lebih dipengaruhi oleh lingkungan sekitar yang terdekat
dengan remaja.
2. Keberadaan dan ketersedian fasilitas yang mendukung. Hal ini
mengarah pada banyaknya warnet-warnet yang memberikan sajian
ekstra (situs porno) yang dapat dinikmati dengan biaya yang murah
dan keamanan yang lebih terjamin. Untuk warnet Triple G II Medan,
memberikan harga promosi yang cukup murah kepada

PKMI-1-14-8
pengunjungnya, khusunya bagi para pelajar. Hanya dengan membayar
Rp. 2.500,00 per-jamnya, pengunjung dapat menggunakan fasilitas
yang ada diwarnet tersebut. Harga tersebut bisa dikatakan lebih murah
jika dibandingkan dengan membeli atau menyewa kaset VCD porno di
rental-rental VCD.
3. Kurangnya perhatian dan ketegasan hukum dari Aparatur
Pemerintahan setempat terhadap para pengusaha warnet yang
memberikan layanan situs porno. Seperti pernyataan yang peneliti
pada bagian sebelumnya, bahwa tindakan penyediaan situs porno di
warung-warung internet sama dengan tindakan penyebaran VCD-
VCD porno.
4. Minimnya pengetahuan agama yang dimiliki oleh para remaja.
Sekolah sebagai lembaga yang menyalurkan ilmu pengetahuan dan
teknologi kepada siswanya hendaknya juga dibarengi dengan
membentengi siswa dengan nilai-nilai religi yang kuat. Sehingga
remaja dapat memilah-pilah mana hal yang baik untuk dilakukan dan
mana hal yang harus dihindarkan.

Pengaruh Situs Porno Terhadap Etika Generasi Muda

Dorongan seks pada diri manusia jika mendapat stimulus, maka akan
mendorong orang tersebut untuk melampiaskan hasratnya (Sarwono, 2002:21).
Situs porno yang menjadi konsumsi pengunjung internet akan membangkitkan
gairah seks pengunjung tersebut untuk menyalurkan hasratnya. Apakah
sekompleks adegan yang disajikan seperti melakukan hubungan senggama dengan
orang lain atau lebih sederhana lagi dengan melakukan masturbasi.
Hal ini dapat dilihat dari hasil pengolahan data yang tim peneliti peroleh
dari pengunjung yang gemar membuka situs porno. Mulai dari sikap seks,
melakukan hubungan seks, masturbasi, sampai kepuasan pribadi menunjukkan
frekuensi yang cukup tinggi.
Frekuensi tertinggi untuk perilaku menyimpang remaja setelah membuka
situs porno tampak pada kebiasaan melakukan masturbasi, bahkan sebanyak 50
orang pengunjung menyatakan dirinya terdorong ingin melakukan hubungan seks
setelah melihat situs porno tersebut. Untuk bermasturbasi secara normal mungkin
masih diterima akal jika hal itu yang terjadi, tetapi jika tuntutan untuk melakukan
hubungan seks pada remaja lebih kuat apakah juga masih dapat diterima akal?
Sehingga tidak mengherankan jika banyak anak-anak remaja yang putus sekolah
dengan alasan telah hamil di luar nikah.
Remaja tidak lagi merasa canggung untuk melakukan hal-hal negatif
bersama lawan jenisnya, berlaku tidak jujur kepada orang tua dan guru, dan yang
paling penting perasaan berdosa kepada Tuhan Yang Maha Esa karena melakukan
hal-hal yang melanggar hukum tuhan.

KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan terhadap para Pengunjung
Warnet Triple G II Medan untuk mengetahui korelasi antara situs porno terhadap
etika generasi muda, menunjukkan pengaruh yang signifikan di antara keduanya.
Para pengunjung warnet lebih gemar membuka situs porno, seperti tulisan porno,

PKMI-1-14-9
gambar porno, karikatur porno, dan film porno, daripad memnambah pengetahuan
tentang perkembangan yang terjadi di seluruh penjuru dunia.
Dan dampak dari kebiasaan membuka situs porno tersebut terhadap etika
generasi muda adalah munculnya perilaku seks remaja yang menyimpang seperti
sikap seks, kepuasan pribadi, masturbasi, dan mendorong remaja untuk
melakukan hubungan seks.

DAFTAR PUSTAKA
BP-7 Pusat.(1993). Bahan Penataran Penghayatan dan Pengamalan Pancasila,
UUD 1945. GBHN : Jakarta
Gilbert, I, dan Reinda Lumoindong.(1996). Pelacuran di Balik Seragam Sekolah.
Yogyakarta: Yayasan Andi (Anggota IKAPI)
Purwandi,H,Daniel.(1997). Mengenal Internet Jaringan Informasi Dunia. Jakarta:
Alex Media Komputindo
Rakhmat, Jalaluddin.(2000). Psikologi Komunikasi. Bandung: Remaja
Rosdakarya
.(2002). Metode Penelitian Komunikasi. Bandung: Remaja
Rosdakarya
Sudarsono.(1991). Etika Islam tentang Kenakalan Remaja. Jakarta: Rhineka Cipta
Sugiyono.(2000). Statistik untuk Penelitian. Bandung: Alfabetha
Sarwono, Sarlito,W.(2002). Psikologi Remaja. Jakarta: Rajagrafindo Persada



PKMI-1-15-1
PERLAKUAN PENYEDUHAN AIR PANAS PADA PROSES
FERMENTASI SINGKONG DENGAN ASPERGI LLUS NI GER

Pratiwi Erika, Sherly Widjaja, Lindawati, Fransisca Frenny
Fakultas Teknobiologi, Universitas katolik Indonesia Atma Jaya, Jakarta

ABSTRAK
Umbi singkong dapat digunakan sebagai pakan ternak karena kandungan pati
yang tinggi serta nilai jualnya yang rendah. Akan tetapi, kadar protein singkong
sangat kecil (1-3%) sehingga kurang efektif dalam penggunaannya sebagai pakan
ternak terutama unggas. Peningkatan kadar protein singkong dapat dilakukan
dengan proses fermentasi substrat padat. Substrat yang dipakai diberi perlakuan
dengan diseduh terlebih dahulu sebagai pengganti proses pengukusan dan
disuplementasi dengan amonium sulfat. Penyeduhan substrat sebelum proses
fermentasi efektif digunakan. Selain lebih ekonomis, kelangsungan proses
fermentasi tidak terhambat. Penambahan amonium sulfat pada substrat
menjadikan kandungan protein sejati (kadar protein kasar dikurangi sisa nitrogen
amonium sulfat) setelah proses fermentasi menjadi lebih tinggi dibandingkan
substrat tanpa penambahan amonium sulfat. Kenaikan nilai kadar protein sejati
mencapai 107%.

Kata kunci: umbi singkong, protein, Aspergillus niger, amonium sulfat, seduh


PENDAHULUAN
Produksi singkong di Indonesia terbilang cukup tinggi. Hal tersebut
disebabkan karena singkong merupakan tanaman yang mudah tumbuh bahkan
pada kondisi tanah yang miskin akan unsur hara. Pada masa panen, karena
produksi yang melimpah, harga jual singkong dapat menurun.
Dalam usaha peternakan, 70% biaya produksi ditentukan oleh biaya pakan.
Oleh karena itu, faktor keuntungan yang besar dapat diperoleh apabila ransum
dapat dimanipulasi secara efektif dan efisien, terutama dalam penggunaan bahan
pakan yang kaya akan protein (Manurung,1995). Tuntutan akan kebutuhan pakan
dengan kandungan protein tinggi semakin meningkat. Hal ini menyebabkan
Indonesia harus mengimpor pakan berkualitas baik, terutama dengan kandungan
protein yang tinggi seperti bungkil kedelai dan tepung ikan (Purwadaria et
al.,1997). Oleh sebab itu, pengembangan pakan ternak dengan sumber protein
lokal sangat diperlukan.
Umbi singkong memenuhi kriteria sebagai bahan pakan ternak karena
memiliki beberapa keuntungan. Keuntungan penggunaan singkong sebagai pakan
ternak antara lain ialah harganya yang relatif murah, mudah didapatkan, dan
kandungan patinya tinggi sehingga dapat digunakan sebagai karbohidrat terlarut.
Akan tetapi, singkong memiliki kandungan protein yang rendah sehingga
diperlukan suatu pengolahan yang dapat meningkatkan kadar protein dalam umbi
singkong tersebut. Peningkatan kandungan protein pada singkong dapat
menjadikan singkong sebagai pakan ternak dengan kualitas yang baik. Fermentasi
substrat padat dengan kapang Aspergillus niger dapat digunakan untuk


PKMI-1-15-2
meningkatkan kadar protein singkong. Umbi singkong yang telah difermentasikan
dengan menggunakan kapang A. niger dikenal sebagai cassava protein (cassapro)
(Sinurat et al., 1995).
Cassapro memiliki kandungan protein yang lebih tinggi dari bahan asalnya
yaitu singkong. Dengan demikian, cassapro dapat digunakan sebagai bahan
tambahan pada pakan ternak khususnya unggas (Kompiang et al., 1995; Sinurat et
al., 1995; Supriyati, 2003). Penambahan cassapro juga memberikan keuntungan
karena apabila ditambahkan pada pakan ternak utama dapat meningkatkan daya
cerna ternak terhadap pakan tersebut (Kompiang et al., 1995). Hal tersebut
disebabkan karena kemampuan A. niger untuk menghasilkan enzim-enzim
pencernaan seperti selulase, amilase, protease, fitase, dan mananase yang dapat
membantu mencerna pakan ternak (Ogundero, 1982; Sani et al., 1992; Purwadaria
et al., 1997; Purwadaria et al., 1998).
Pada proses pembuatan cassapro, substrat yang dipakai terlebih dahulu
dikukus. Hal ini dilakukan untuk mengurangi kontaminasi selama proses
fermentasi dan gelatinasi. Untuk fermentasi dalam skala besar, metode
pengukusan dapat menjadi masalah karena membutuhkan biaya yang cukup besar.
Oleh karena itu, gelatinasi dapat dilakukan dengan menyeduh umbi singkong.
Penambahan amonium sulfat diharapkan dapat meningkatkan kadar protein
selama proses fermentasi karena akan digunakan kapang A. niger untuk
membentuk selnya.
Penelitian ini bertujuan meningkatkan kadar protein sejati produk cassapro
dengan perlakuan penyeduhan dan mengetahui pengaruh penambahan amonium
sulfat terhadap peningkatan kadar protein sejati.


METODOLOGI

Sumber Isolat dan Substrat
Isolat kapang yang digunakan ialah inokulum A. niger dari Balai
Penelitian Ternak. Substrat yang digunakan berupa substrat umbi singkong
kering. Singkong dikupas kulitnya kemudian dicacah dan dikeringkan dengan
sinar matahari.

Produksi Cassapro
Sebanyak 800 g singkong dibagi menjadi dua bagian masing-masing
bagian 400 g. Setiap bagian diseduh dengan air panas sebanyak 400 ml selama
dua jam. Kemudian singkong seduh dimasukkan ke dalam baki terpisah dan 8 g
inokulum A. niger ditaburkan secara merata. Satu bagian singkong ditambah
dengan 23.2 g dan satu bagian tanpa amonium sulfat. Jadi pada produksi cassapro
terdapat dua perlakuan yang berbeda, yaitu perlakuan diseduh tanpa penambahan
amonium sulfat dan perlakuan diseduh dengan penambahan amonium sulfat. Baki
ditutup dengan kertas hisap dan disimpan pada suhu 28
o
C - 30
o
C selama tiga hari
untuk proses fermentasi.





PKMI-1-15-3
Pengamatan Visual Pertumbuhan Kapang
Pengamatan secara visual dilakukan pada pembentukan air, pertumbuhan
miselia dan jumlah spora, serta aroma yang terbentuk setelah masa inkubasi tiga
hari.
Analisis Kimia
Analisis kimia dilakukan pada singkong sebelum fermentasi dan cassapro
setelah fermentasi. Analisis yang dilakukan meliputi penentuan kadar air, pH,
kehilangan bahan kering, kadar protein kasar dan protein terlarut, serta kadar
protein sejati dari masing-masing bagian. Penentuan kadar air dilakukan dengan
menghitung hasil pengurangan bobot singkong sebelum dikeringkan pada suhu
100
o
C dengan bobot singkong yang sudah dikeringkan pada suhu 100
o
C yang
kemudian dibagi dengan bobot singkong sebelum dikeringkan dan kemudian
dihitung dalam persentase. Pengukuran pH dilakukan menggunakan pH meter,
kadar protein kasar menggunakan metode AOAC (Williams, 1984), penentuan
kadar protein terlarut menggunakan metode Kjeldahl. Kadar protein sejati
diperoleh dengan cara mengurangi total protein dengan protein terlarut (Supriyati,
2003).

HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil pengamatan visual terhadap pertumbuhan kapang selama fermentasi
substrat padat singkong dengan A. niger menunjukkan bahwa penambahan
(NH
4
)
2
SO
2
mempengaruhi pembentukkan spora (Tabel 1). Hal ini berkaitan dengan
ketersediaan zat gizi, khususnya sumber nitrogen. Pada perlakuan tanpa amonium
sulfat, sumber nitrogen terbatas hanya dari bahan singkong. Oleh karena itu,
substrat lebih membatasi pertumbuhan miselia.setelah pertumbuhan miselia
terhenti. Spora akan langsung terbentuk untuk melidungi dirinya dari cekaman
kekurangan zat gizi. Dengan demikian, pada perlakuan dengan amonium sulfat,
pertumbuhan miselia menjadi lebih baik.

Tabel 1 Fermentasi singkong dengan penyeduhan dan penambahan (NH
4
)
2

SO
4
menggunakan Aspergillus niger

Perlakuan Miselia Jumlah Aroma Kandungan
Singkong Spora Air
Seduh + (NH
4
)
2
SO
4
Banyak Sedang Kurang Menyengat Banyak
- (NH
4
)
2
SO
4
Banyak Banyak Menyengat Banyak

Berdasarkan pada pengamatan kuantitatif terjadi penurunan pH setelah
fermentasi selama tiga hari (Tabel 2). Perubahan pH yang terjadi setelah proses
fermentasi menurun pada singkong yang diseduh dengan air panas, baik pada
perlakuan yang diberi penambahan ataupun tanpa penambahan amonium sulfat.
Akan tetapi, penurunan pH pada perlakuan penambahan amonium sulfat lebih
besar (2.64) dibandingkan dengan tanpa penambahan amonium sulfat (1.41).
Penurunan pH ini merupakan bukti telah terjadi proses fermentasi yang dilakukan
oleh kapang di mana karbohidrat singkong diubah oleh amilase dan selulase
kapang menjadi glukosa (Purwadaria et al., 1997) yang kemudian diubah menjadi


PKMI-1-15-4
asam. Pada perlakuan dengan amonium sulfat, pertumbuhan kapang menjadi lebih
baik sehingga karbohidrat yang dipecah menjadi asam lebih tinggi. Dengan
demikian, proses fermentasi pada substrat yang diberi perlakuan dengan amonium
sulfat berlangsung lebih baik dibandingkan dengan proses fermentasi tanpa
amonium sulfat.

Tabel 2 Hasil analisis kimia cassapro sebelum dan sesudah fermentasi

Masa Inkubasi Perlakuan (NH
4
)
2
SO
4
Analisis Kimia
(hari) Dengan Tanpa
Nilai pH 0 6.42 6.41
3 3.78 5.00
Kadar air (%) 0 51.20 49.60
3 52.34 49.84
Kehilangan bahan kering (%) 0 0.00 0.00
3 8.48 6.49
Kadar protein kasar (%) 0 9.42 2.10
3 12.06 2.90
Kadar protein terlarut (%) 0 6.20 0.00
3 5.43 0.00
Kadar protein sejati (%) 0 3.32 2.17
3 6.87 2.98

Kadar air setelah fermentasi pada perlakuan dengan penambahan amonium
sulfat mengalami peningkatan sedikit lebih tinggi (1.14%) dibandingkan
dengan perlakuan amonium sulfat (0.24%). Pada perlakuan amonium sulfat
pertumbuhan kapang lebih baik sehingga lebih meningkatkan kadar air respirasi
yang dilakukan oleh kapang.
Penurunan bahan kering terjadi pada singkong dengan perlakuan
ammonium sulfat dan singkong tanpa amonium sulfat. Penurunan bahan kering
tersebut menunjukkan adanya bahan kering singkong yang hilang selama proses
fermentasi. Kapang yang tumbuh selama fermentasi kemungkinan menyebabkan
terjadinya kehilangan bahan kering singkong (substrat) karena kapang tersebut
melakukan proses respirasi yang merubah bahan kering organik singkong menjadi
air dan karbon dioksida selama proses fermentasi untuk proses pertumbuhannya.
Oleh karena itu, semakin besar kehilangan bahan kering, semakin baik pula
pertumbuhan mikroorganismenya. Pada perlakuan dengan atau tanpa penambahan
amonium sulfat nilai persentase kehilangan bahan kering cukup besar (8.48 versus
6.49%). Nilai persentase kehilangan bahan kering pada perlakuan dengan
amonium sulfat lebih besar dibandingkan dengan perlakuan tanpa amonium sulfat.
Kapang menggunakan amonium sulfat sebagai sumber nitrogen sehingga
pertumbuhannya menjadi lebih baik.
Kadar protein sejati pada singkong dengan perlakuan amonium sulfat
setelah fermentasi selama tiga hari mengalami peningkatan, yaitu dari 2-3% pada
0 hari menjadi 2-6% setelah fermentasi selama 3 hari. Peningkatan kadar (%)
protein sejati menunjukkan adanya protein yang terbentuk selama proses
fermentasi. Hal ini disebabkan karena kapang menggunakan amonium sulfat
sebagai sumber nitrogen untuk membuat protein dengan energi dan sumber
karbon dari proses pemecahan pati singkong. Sedangkan pada singkong dengan
perlakuan tanpa amonium sulfat, kapang hanya sedikit membentuk protein karena


PKMI-1-15-5
tidak tersedia sumber nitrogen yang melimpah. Peningkatan protein disebabkan
karena kehilangan karbohidrat (kehilangan bahan kering) sehingga menyebabkan
terjadinya pemekatan protein.
Pertumbuhan kapang dan peningkatan kadar protein dapat dilakukan
dengan perlakuan substrat singkong yang diseduh dengan air panas. Selain itu
pembentukan protein selama fermentasi membutuhkan penambahan amonium
sulfat. Peningkatan kadar protein pada perlakuan dengan penambahan mineral
akan lebih tinggi daripada perlakuan tanpa mineral (Kompiang et al., 1994).
Amonium sulfat merupakan mineral yang terdiri atas nitrogen anorganik. Jadi,
perlakuan substrat yang terbaik untuk fermentasi substrat padat pada singkong
adalah diseduh dengan air panas dan diberi penambahan amonium sulfat.
Untuk produksi cassapro sebagai pakan ternak dalam skala besar dapat
dilakukan metode penyeduhan sebelum proses fermentasi berlangsung. Metode ini
selain bertujuan untuk mengurangi kontaminasi dari kapang dan bakteri dapat
pula mengurangi biaya produksi. Biaya produksi yang tinggi disebabkan karena
proses pengukusan atau sterilisasi dengan autoklaf membutuhkan banyak biaya
dan energi. Melalui hasil penelitian ini terlihat bahwa metode penyeduhan mampu
menghasilkan cassapro yang berkualitas dengan biaya produksi dan penggunaan
energi yang lebih kecil dari penggunaan metode pengukusan. Dengan demikian
apabila ingin memproduksi cassapro sebagai pakan ternak dapat dipakai metode
penyeduhan ini agar lebih ekonomis. Selain itu, untuk memperoleh cassapro
dengan kandungan protein yang lebih tinggi maka sebelum dilakukan proses
fermentasi substrat singkong terlebih dahulu disuplementasi dengan amonium
sulfat.

KESIMPULAN
Peningkatan kadar protein sejati pada perlakuan dengan penambahan
amonium sulfat setelah tiga hari fermentasi lebih tinggi (3-6%) dibandingkan
dengan peningkatan kadar protein sejati tanpa amonium sulfat (2%). Dengan
demikian diketahui bahwa pembentukan protein selama fermentasi membutuhkan
penambahan amonium sulfat sebagai sumber nitrogennya. Jadi, perlakuan substrat
yang baik untuk fermentasi substrat padat ialah diseduh dengan air panas dan
diberi penambahan amonium sulfat. Kadar cassapro dalam pakan ternak perlu
diteliti lebih lanjut untuk mengetahui batas maksimal pemberian cassapro.

DAFTAR PUSTAKA
Kompiang I.P., Purwadaria T., Darma J., Supriyati K., & Haryati T. 1994.
Pengaruh kadar mineral terhadap sintesis protein dan laju pertumbuhan
Aspergillus niger. Pros. Sem. Hasil Penelitian dan Pengembangan
Bioteknologi II. Cibinong, 6-7 September, 1994. hlm. 468-473.
Kompiang I.P., Sinurat A.P., Purwadaria T., Darma J., dan Supriyati. 1995.
Cassapro in broiler ration: interaction with rice bran. JITV. 1(2):86-88.
Manurung T. 1995. Penggunaan hijauan leguminosa pohon sebagai sumber
protein ransum sapi potong. JI TV. 1(3):143-148.
Ogundero V. W. 1982. The production and activity of hydrolytic exoenzymes by
toxigenic species of Aspergillus from gari. Nigerian J. Sci. 16:11-20.


PKMI-1-15-6
Purwadaria T., Haryati T., Sinurat A.P., Kompiang I.P., Supriyati, and Darma J.
1997. The correlation between amylase and cellulose activities with starch
an fibre contents on the fermentation of cassapro (cassava proein) with
Aspergillus niger. Proc. Indonesian Biotechnology Conference. Jakarta,
17-19 Juni, 1997. Vol. I. hlm. 379-390.
Sani A., Awe F.A., dan Akiyanju J. A. 1992. Amylase synthesis in Aspergillus
flavus and Aspergillus niger grown on cassava peel. J. Indust. Microbiol.
10:55-59.
Sinurat A.P., Setiadi P., Purwadaria T., Setioko A.R., dan Dharma J. 1995. Nilai
gizi bungkil kelapa yang difermentsikan dan pemanfaatannya dalam
ransom itik jantan. JITV. 1(3):161-168.
Supriyati. 2003. Onggok terfermentasi dan pemanfaatannya dalam ransum ayam
ras pedaging. JITV. 8(3):146-150.
Williams J. 1984. Analytical Official Methods of Chemistry. Mc Graw-Hill Book
Co. New York.


PKMI-1-16-1
PERBANDINGAN PRESTASI BELAJAR SISWA DALAM MATA
PELAJARAN MATEMATIKA ANTARA YANG MENGGUNAKAN
KURIKULUM BERBASIS KOMPETENSI DENGAN KURIKULUM 1994
DI SMA PGRI RANCAEKEK
Usep Kosasih, Rani Suminar, Roswita, Jajang Hirdiyana, Tita Rosdiana
Jurusan Pendidikan Matematika dan IPA, Universitas Islam Nusantara Bandung
(Jalan Soekarno-Hatta No. 530 Bandung 40286 Tlp. (022)7509655)


ABSTRAK
Pendidikan pada hakikatnya merupakan proses memanusiakan manusia melalui
pengembangan seluruh potensinya sesuai dengan tuntutan yang berkembang di
lingkungannya. Pemerintah telah berupaya menyempurnakan sistem pendidikan
nasional, antara lain dengan pembaharuan kurikulum yang merubah tataran
paradigma pembelajaran. Pembelajaran matematika sampai saat ini masih
dihadapkan pada masalah besar yaitu siswa tidak mampu mencapai nilai
minimum yang disyaratkan dalam ketuntasan belajar. Pembelajaran berdasarkan
Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK), menyebabkan terjadinya pergeseran dari
penekanan isi (apa yang tertuang) ke kompetensi (bagaimana harus berpikir,
belajar dan melakukan), perubahan ini diharapkan memberikan hasil yang lebih
baik. Bertitik tolak dari hal tersebut, penulis tertarik untuk meneliti prestasi
belajar siswa dalam mata pelajaran matematika antara yang menggunakan KBK
dengan kurikulum 1994. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya
perbedaan prestasi belajar siswa dalam mata pelajaran matematika antara yang
menggunakan KBK dengan kurikulum 1994. Metode yang digunakan adalah
metode deskriptif, dengan objek penelitian nilai raport siswa kelas 1 tahun ajaran
2003/2004 dan 2004/2005, sumber data dari Pembantu Kepala Sekolah (PKS)
bidang kurikulum dan hasil wawancara dengan guru matematika. Teknik
pengumpulan data dengan cara meminta nilai raport kepada PKS bidang
kurikulum dan mewawancarai guru matematika. Teknik analisis data
menggunakan statistik penelitian untuk dua perlakuan. Berdasarkan hasil
pengolahan data diperoleh rata-rata nilai raport kelas yang menggunakan KBK
5,89 dan deviasi standar 0,62, sedangkan kelas yang menggunakan kurikulum
1994 memiliki rata-rata nilai 6,83 dan deviasi standar 0,74. Hasil pengujian
hipotesis diperoleh nilai W<W
0,01 (80)
atau 0<1082, berarti terdapat perbedaan
prestasi belajar siswa dalam mata pelajaran matematika antara yang
menggunakan KBK dengan kurikulum 1994.

Kata kunci : Kurikulum 1994, KBK, Prestasi Belajar.

PENDAHULUAN

Pendidikan pada hakikatnya merupakan suatu proses memanusiakan
manusia melalui pengembangan seluruh potensinya sesuai dengan tuntutan yang
berkembang di lingkungannya. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana
untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik
secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta

PKMI-1-16-2
keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara (UU RI No.
20 tahun 2003).
Upaya meningkatkan kualitas pendidikan dalam mencapai tujuan pendidikan
nasional terus menerus dilakukan baik secara konvensional maupun inovatif.
Pemerintah telah melakukan upaya penyempurnaan sistem pendidikan nasional, salah
satunya dengan pembaharuan dalam bidang kurikulum, yaitu mengganti kurikulum
1994 dengan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK).
Kurikulum 1994 merupakan kurikulum yang berbasis kepada pencapaian
tujuan. Pembelajaran yang sering digunakan dalam kurikulum 1994 adalah
pembelajaran aktif atau sering disebut Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA). Pengertian
CBSA sendiri tidak mudah didefinisikan secara tegas, sebab kadar keaktifan siswa
untuk disebut siswa aktif itu tidak sama. T. Raka Jono (dalam Kusnanto, 2004)
menjelaskan bahwa hakikat CBSA menunjuk kepada keaktifan mental, meskipun
untuk maksud ini dalam banyak hal dipersyaratkan keterlibatan langsung dalam
berbagai keaktifan fisik. Mc. Keachi (dalam Kusnanto, 2004) mengemukakan kadar
keaktifan CBSA ditentukan oleh tujuh dimensi yaitu: (1) Partisipasi siswa dalam
menetapkan kegiatan pembelajaran, (2) Tekanan pada afektif dalam pembelajaran, (3)
Partisipasi siswa dalam pelaksanaan pembelajaran terutama interaksi antar siswa, (4)
Penerimaan guru terhadap perbuatan dan konstribusi siswa yang kurang relevan
bahkan salah sama sekali, (5) Kekohesian kelas sebagai kelompok, (6) Kesempatan
yang diberikan kepada siswa untuk mengambil keputusan, (7) Jumlah waktu yang
dipergunakan untuk menanggulangi masalah pribadi.
Sejalan dengan perkembangan zaman, maka kurikulum pun mengalami
penyesuaian. Kurikulum 1994 dikaji ulang dan diperbaharui sehingga
diberlakukannya Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) pada tahun 2004
sebagai pengganti kurikulum 1994. Sebagai hasil revisi KBK diharapkan dapat
memenuhi tuntutan perkembangan zaman.
KBK merupakan seperangkat rencana dan pengaturan tentang kompetensi
yang dibakukan dengan penerapannya disesuaikan dengan keadaan (kontekstual).
KBK dapat diartikan sebagai suatu konsep yang menekankan pada pengembangan
kemampuan melakukan (kompetensi) tugas-tugas dengan standar performansi
tertentu, sehingga hasilnya dapat dirasakan oleh peserta didik berupa penguasaan
terhadap seperangkat kompetensi tertentu. untuk mengimplementasikan KBK
mencakup tiga kegiatan pokok, yaitu : (1) Pengembangan program pengajaran, (2)
Pelaksanaan pembelajaran, (3) Evaluasi hasil belajar, (Mulyasa 2002).
Perbedaan Kurikulum 1994 dengan KBK (Depdiknas 2003) adalah sebagai
berikut: (1) Pendekatan penguasaan pengetahuan pada kurikulum 1994
menekankan pada materi berupa kecakapan kognitif, sedangkan KBK
menekankan kepada pemahaman, kemampuan atau kompetensi tertentu yang
berkaitan dengan pekerjaan di masyarakat. (2) Standar akademis pada kurikulum
1994 diterapkan secara seragam bagi setiap peserta didik, sedangkan pada KBK
memperhatikan perbedaan individu. (3) Kurikulum 1994 berbasis konten,
sehingga peserta didik dipandang sebagai kertas putih yang perlu ditulisi dengan
sejumlah pengetahuan, sedangkan KBK berbasis kompetensi, sehingga peserta
didik berada dalam proses perkembangan yang berkelanjutan dari seluruh aspek
kepribadian. (4) Pengembangan kurikulum pada kurikulum 1994 dilakukan secara
sentralisasi, sedangkan KBK dilakukan secara desentralisasi. (5) Materi yang
dikembangkan pada kurikulum 1994 seringkali tidak sesuai dengan potensi

PKMI-1-16-3
sekolah, kebutuhan dan kemampuan peserta didik, serta kebutuhan masyarakat
sekitar sekolah, sedangkan pada KBK sekolah diberi keleluasaan untuk
mengembangkan silabus mata pelajaran sehingga dapat mengakomodasi potensi
sekolah, kebutuhan dan kemampuan peserta didik serta kebutuhan masyarakat
sekitar sekolah. (6) Peran guru pada kurikulum 1994 menentukan segala sesuatu
yang terjadi di kelas, sedangkan pada KBK bertugas mengkondisikan lingkungan
belajar peserta didik. (7) Kecakapan pada kurikulum 1994 dikembangkan melalui
latihan, sedangkan pada KBK dikembangkan berdasarkan pemahaman yang
membentuk kompetensi individual. (8) Pembelajaran pada kurikulum 1994
cenderung hanya dilakukan di dalam kelas, sedangkan pada KBK mendorong
terjalinnya kerja sama antara sekolah, masyarakat dan dunia kerja dalam
membentuk kompetensi peserta didik. (9) Evaluasi nasional pada kurikulum 1994
tidak dapat menyentuh aspek-aspek kepribadian peserta didik, sedangkan pada
KBK evaluasi berbasis kelas.
Pemberlakuan KBK diharapkan dapat meningkatkan prestasi belajar siswa
sehingga dapat mencapai kompetensi yang diharapkan. Kata prestasi belajar
berasal dari bahasa Belanda yaitu practice, kemudian diterjemahkan kedalam
bahasa Indonesia menjadi prestasi yang berarti hasil usaha. Arifin (dalam
Herdiyana, 2004). Menurut Abas Nurudin (dalam Herdiyana, 2004) pengertian
prestasi belajar yaitu hasil belajar dari individu yang dimanifestasikan kedalam
pola tingkah laku dan perbuatan, skill dan pengetahuan serta dapat dilihat dari
hasil belajar itu sendiri. Dalam KBK, penilaian hasil belajar siswa dilihat dari
tiga aspek kompetensi, yaitu: (1) Kompetensi kognitif, (2) Kompetensi afektif, (3)
Kompetensi psikomotorik (Bloom dalam Depdiknas, 2003).
Peningkatan prestasi belajar khususnya dalam mata pelajaran matematika,
sampai saat ini masih dihadapkan pada masalah besar yaitu sulitnya siswa untuk
mencapai nilai minimum yang disyaratkan dalam ketuntasan belajar. Hal ini
dikarenakan kurang siapnya sekolah untuk menerapkan KBK. Oleh karena itu,
implementasi KBK masih perlu dikaji oleh semua pihak.
Bertitik tolak dari hal tersebut, penulis tertarik untuk meneliti prestasi
belajar siswa dalam mata pelajaran matematika antara yang menggunakan KBK
dengan kurikulum 1994. Rumusan masalah pada penelitian ini adalah Apakah
ada perbedaan antara prestasi belajar siswa SMA dalam mata pelajaran
matematika yang menggunakan KBK dengan kurikulum 1994?.
Penelitian ini bertujuan untuk: (1) Mengetahui ada atau tidak adanya
perbedaan prestasi belajar siswa dalam mata pelajaran matematika antara yang
menggunakan KBK dengan kurikulum 1994. (2) Mengetahui kesulitan-kesulitan
yang dihadapi oleh guru matematika dalam menerapkan KBK. Sedangkan
manfaat dari penelitian ini adalah memberi gambaran tentang implementasi KBK
dalam pembelajaran matematika di sekolah.

HIPOTESIS
Hipotesis keberadaannya sangat perlu dalam suatu penelitian karena
merupakan suatu rumusan yang menunjang tercapainya tujuan penelitian yang
berfungsi untuk mengarahkan kegiatan di dalam penelitian. Hipotesis dalam
penelitian ini adalah adanya perbedaan prestasi belajar siswa dalam mata
pelajaran matematika antara yang menggunakan KBK dengan kurikulum 1994.


PKMI-1-16-4
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif yang bertujuan untuk
mengetahui bagaimana perbandingan prestasi belajar siswa dalam mata pelajaran
matematika antara yang menggunakan KBK dengan Kurikulum 1994. Penelitian
dilaksanakan selama dua bulan yaitu pada bulan Mei dan bulan Juni tahun 2005.
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas 1 SMA PGRI
Rancaekek Kabupaten Bandung tahun ajaran 2003-2004 dan tahun ajaran 2004-
2005. Sedangkan sampelnya berupa sampel total yaitu seluruh populasi dijadikan
sampel.
Data yang digunakan berupa nilai raport mata pelajaran matematika siswa
kelas 1 tahun ajaran 2003-2004 yang menggunakan kurikulum 1994 dan nilai
raport siswa kelas 1 tahun ajaran 2004-2005 yang menggunakan KBK serta hasil
wawancara yang diperoleh dari guru mata pelajaran matematika. Data nilai raport
diperoleh dari pembantu kepala sekolah (PKS) bidang kurikulum. Data-data yang
diperoleh digunakan untuk mencari perbandingan antara kedua variabel yang
diteliti.
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah Pedoman
Wawancara dengan guru mata pelajaran matematika yang bertujuan untuk
mengetahui kesulitan-kesulitan yang dihadapi dalam melaksanakan pembelajaran
berdasarkan pada KBK. Hasil pengolahan data nilai raport siswa digunakan untuk
melihat ada atau tidaknya perbedaan prestasi belajar.
Data-data yang telah diperoleh diolah dan dianalisis untuk menguji
kebenaran dari hipotesis yang diajukan. Teknik pengolahan data dilakukan
dengan menggunakan statistik penelitian untuk dua perlakuan, langkah-
langkahnya yaitu: (1) Mengetes normalitas dari distribusi masing-masing; (2) Jika
ternyata keduanya berdistribusi normal dilanjutkan dengan pengetesan tentang
homogenitas variansinya; (3) Jika ternyata kedua variansinya homogen
dilanjutkan dengan tes t; (4) Jika ternyata minimal satu dari dua distribusi tersebut
tidak normal, langkah selanjutnya diteruskan dengan menggunakan statistik tak
parametrik, yaitu tes wilcoxon; (5) Jika keduanya berdistribusi normal, tetapi
variansinya tidak homogen, dilanjutkan dengan tes t (Nurgana 1993).
Langkah-langkah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: (1)
Melakukan observasi awal. (2) Membuat instrumen penelitian dan
mengkonsultasikannya dengan pembimbing . (3) Mengumpulkan data nilai raport
siswa dari Pembantu Kepala Sekolah Bidang Kurikulum (PKS) dan melakukan
wawancara dengan guru mata pelajaran matematika. (4) Mengolah dan
menganalisis data hasil penelitian serta melakukan pembahasan. (5) Menentukan
kesimpulan hasil penelitian.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil pengolahan data diperoleh rata-rata nilai raport untuk kelas yang
menggunakan KBK 5,89 dan deviasi standar 0,62, sedangkan untuk kelas yang
menggunakan kurikulum 1994 memiliki rata-rata nilai 6,83 dan deviasi standar
0,74. Data nilai raport siswa kelas 1 yang menggunakan kurikulum 1994 dan kelas
1 yang menggunakan KBK dapat dilihat pada tabel 1 dibawah ini.
(tabel 1)
Data Prestasi Siswa


PKMI-1-16-5
Nilai Raport
Banyak Siswa
4 4.5 5 5.5 6 6.5 7 8
Kurikulum 1994 0 0 0 0 24 0 47 11
KBK 2 1 3 28 26 14 6 0

Berikut adalah hasil pengolahan data secara statistik: Kelas 1 yang
menggunakan KBK: Rata-rata: x = 5,89; deviasi standar:
n 1
= 0,62; Chi-
Kuadrat:
2
= 44,1; derajat kebebasan: db = 77; nilai
2
dari daftar:
2
0,99 (77)
=
100,4; normalitas:
2
<
2
0,99 (77)
atau 44,1 < 100,4, maka nilai pada kelas 1 yang
menggunakan KBK berdistribusi normal. Sedangkan kelas Satu yang
menggunakan Kurikulum 1994: Rata-rata: x = 6,83; deviasi standar:
n 1
=
0,74; Chi-Kuadrat:
2
= 175,57; derajat kebebasan: db = 80; nilai
2
dari daftar:

2
0,99 (80)
= 112,3; normalitas:
2
>
2
0,99 (80)
atau 175,57 > 112,3, maka nilai pada
kelas satu yang menggunakan kurikulum 1994 berdistribusi tidak normal. Karena
salah satu data berdistribusi tidak normal, maka digunakan tes Wilcoxon (statistik
tak parametrik). Tes Wilcoxon diperoleh: (1) daftar rank, (2) nilai W = 0, (3) nilai
W dari daftar: W
0,01(80)
= 1082, (4) Pengujian hipotesis: W<W
0,01(80)
atau 0<1082.
Hasil dari pengujian hipotesis: W < W
0,01(80)
atau 0 < 1082 menunjukkan
adanya perbedaan prestasi belajar siswa dalam mata pelajaran matematika antara
yang menggunakan KBK dengan kurikulum 1994, sehingga hipotesis diterima.
Berdasarkan hasil wawancara dengan salah seorang guru matematika kelas 1
SMA PGRI Rancaekek, kesulitan penerapan KBK dalam pembelajaran adalah
adanya Syarat Ketuntasan Belajar Minimun (SKBM) yang disesuaikan dengan (1)
sulit tidaknya suatu materi, (2) esensial tidaknya suatu materi, (3) daya dukung
sekolah, (4) kemampuan siswa. Nilai SKBM pada mata pelajaran matematika di
kelas 1 SMA PGRI Rancaekek adalah 5,0, sehingga apabila ada siswa yang
nilainya kurang dari 5,0, maka guru memberikan remedial maksimal tiga kali.
Meskipun nilai rata-rata raport mata pelajaran matematika untuk kelas yang
menggunakan KBK lebih kecil dari pada kelas yang menggunakan kurikulum
1994, akan tetapi pada pembelajaran yang menggunakan KBK ketuntasan belajar
siswa telah tercapai. Beberapa hal yang menyebabkannya yaitu: (1) Kurangnya
pemahaman guru terhadap aplikasi KBK, (2) Guru hanya menggunakan tes
sebagai alat penilaiannya, (3) Kurangnya sarana dan prasarana yang dapat
membantu mengaplikasikan KBK. Sedangkan kendala-kendala yang dihadapi
oleh guru matematika SMA PGRI Rancaekek adalah: (1) Kurangnya alat peraga
atau media pembelajaran matematika, (2) Kebijakan pemerintah yang belum jelas
seperti SKBM yang selalu berubah, (3) Penilaian pada KBK yang rumit, (4)
Adanya kesalahan pada buku laporan siswa.
Berdasarkan hasil pengujian hipotesis, ditemukan perbedaan prestasi
belajar siswa antara yang menggunakan KBK dengan kurikulum 1994. Nilai rata-
rata pada KBK lebih rendah daripada kurikulum 1994. Kurikulum 1994
menunjukkan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan KBK. Hal ini terjadi
karena KBK baru dimplementasikan sehingga masih menghadapi berbagai macam
kendala dalam penerapannya. Kurang siapnya sekolah dalam memenuhi tuntutan
KBK menjadi kendala dalam mengimplementasikan KBK, seperti fasilitas sumber
belajar yang kurang memadai, kurang memahaminya guru terhadap prinsip
pelakasanaan pengajaran berdasarkan KBK termasuk cara mengevaluasi hasil
belajar siswa. Kendala lain adalah kurangnya sosialisasi KBK kepada sekolah atau

PKMI-1-16-6
guru sehingga sekolah menemui hambatan dalam menentukkan SKBM terutama
dalam mata pelajaran matematika.
Sedangkan kurikulum 1994 telah diterapkan lebih dari sepuluh tahun,
sehingga sekolah sudah dapat menyesuaikan dengan tuntutan kurikulum tersebut.
Guru sebagai pelaksana kurikulum pun sudah tidak asing lagi dengan prinsip
CBSA, sehingga penerapannya tidak menemui bayak kendala Selain itu Selain itu
prinsip-prinsip pengajaran matematika lebih sesuai dengan prisip-prinsip
pengajaran CBSA atau kurikulum 1994, sehingga hasilnya lebih baik
dibandingkan dengan KBK. Temuan ini menguatkan pendapat Ruseffendi yang
mengemukakan Pembelajaran matematika dengan menggunakan CBSA baik
digunakan karena CBSA sudah sesuai dengan prinsip pengajaran matematika
modern dan dianjurkan untuk diterapkan (Russeffendi 1991)
KBK merupakan salah satu hasil pembaharuan dalam bidang kurikulum
yang diharapkan dapat meningkatkan prestasi belajar siswa. Kenyataannya,
prestasi belajar siswa dengan menggunakan kurikulum 1994 lebih baik apabila
dibandingkan dengan KBK. Kondisi ini menunjukan bahwa CBSA masih relevan
untuk diterapkan dalam pembelajaran matematika. Hal ini sesuai dengan pendapat
yang diungkapakn oleh Russeffendi (1991) Pembelajaran matematika dengan
menggunakan CBSA baik digunakan karena CBSA sudah sesuai dengan prinsip
pengajaran matematika modern dan dianjurkan untuk diterapkan.

KESIMPULAN
Kesimpulan dari penelitian ini adalah: (1) Adanya perbedaan prestasi
belajar siswa antara yang menggunakan kurikulum 1994 dengan yang
menggunakan KBK. (2) Prestasi belajar siswa pada mata pelajaran matematika
yang menggunakan kurikulum 1994 lebih baik dari pada yang menggunakan
KBK. (3) Penerapan KBK masih menghadapi kendala yakni kurang siapnya
sekolah untuk memenuhi tuntutan KBK tarmasuk kurang pahamnya guru mata
pelajaran matematika terhadap teknik evaluasi pada KBK.

DAFTAR PUSTAKA
Direktoriat Dikmenum (2003). Pengembangan Kurikulum dan Sistem Penilaian
Berbasis Kompetensi. Jakarta: Depdiknas.
Herdiyana, Yana. (2004). Skripsi Perbandingan Prestasi Belajar Siswa dalam
Matematika Antara yang Pembelajarannya Menggunakan Metode
Permainan Kartu dengan Metode Ekspositori di Kelas II SLTP
Warungkondang Kabupaten Bandung. Bandung: Uninus.
Kusnanto, Imam. (2002). Skripsi Perbandingan Prestasi Belajar Siswa dalam
Matematika Antara yang Mendapat Pelajaran pada Jam Awal dengan Jam
Akhir di Kelas 1 SMU Pasundan 9 Bandung. Bandung: Uninus.
Mulyasa, E. (2002). Kurikulum Berbasis Kompetensi. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya.
Nurgana, Endi. (1993). Statistik untuk Penelitian. Bandung: CV. Permadi.
Ruseffendi, ET. (1991). Pengantar kepada Membatu Guru Mengembangkan
Kompetensinya dalam Pengajaran Matematika untuk Meningkatkan
CBSA. Bandung: Tarsito.
Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UU RI No. 20 Tahun 2003).
Jakarta : Absolut.

PKMI-1-17-1
MASKER (MASK) STANDAR DAN MURAH
UNTUK PENGENDARA SEPEDA MOTOR

Muhammad Iqbal, Akhida Riyawati, Bheti Nur Eva N., Sukmawan R.
Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Ahmad Dahlan, Yogyakarta

ABSTRAK
Peningkatan aktivitas manusia dan kemajuan teknologi dalam bidang
transportasi berpengaruh terhadap kebersihan udara, khususnya akibat proses
pembakaran bahan bakar berupa fosil yang menghasilkan gas-gas sebagai zat
pencemar udara. Udara yang tercemar sangat berbahaya bagi kesehatan
manusia, terutama bagi pengendara sepeda motor di jalan raya. Oleh karena itu,
perlu dilakukan tindakan preventif untuk mencegah terjadinya akumulasi gas-gas
berbahaya di dalam paru-paru, salah satunya dengan menggunakan masker yang
dapat menyaring partikel-partikel dan molekul-molekul beracun yang terdapat di
udara. Untuk menyaring gas pencemar di udara digunakan Kalsium Dihidroksida
(Ca(OH)
2
) sebagai absorber, terutama untuk mengabsorbsi Karbon Monoksida
(CO) dan Karbon Dioksida (CO
2
). Ca(OH)
2
yang sangat reaktif terhadap CO dan
CO
2
dapat diperoleh dengan harga yang sangat murah. CO
2
di udara bersifat
lebih stabil dari pada CO, sehingga CO tetap dapat diabsorbsi selama CO
2
masih
terabsorbsi. Untuk mengetahui efektivitas Ca(OH)
2
dalam mengabsorbsi CO
2
,
dilakukan uji eksperimental. Sampel udara diambil dari asap knalpot sepeda
motor. Untuk mengidentifikasi CO
2
dalam sampel, digunakan spektrofotometer
inframerah. Konsentrasi CO
2
di dalam sampel blanko (kontrol) adalah 5,17%.
Konsentrasi CO
2
dari asap knalpot berkurang setelah melewati absorber dan
mulai jenuh setelah absorber dialiri 3.860 liter udara. Setelah dikonversi ke
udara ambien, ditemukan life time masker yang sesungguhnya, yaitu selama
215,84 jam (sekitar 70 hari pemakaian dengan rata-rata pemakaian 3 jam/hari),
sehingga tingkat efektivitas masker dalam mengabsorbsi CO dan CO
2
memenuhi
standar untuk pemakaian.

Kata Kunci: masker, standar, murah, pengendara sepeda motor.

PENDAHULUAN
Peningkatan aktivitas manusia dan kemajuan teknologi di bidang
transportasi akan berpengaruh terhadap kebersihan udara, khususnya akibat dari
proses pembakaran bahan bakar kendaraan bermotor. Hasil pembakaran tersebut
menghasilkan gas-gas yang tercampur dengan udara, sebagai zat pencemar. Udara
di kota-kota yang tingkat kepadatan lalu lintasnya tinggi akan mudah tercemar
oleh gas-gas hasil pembakaran bahan bakar fosil, sehingga mengancam kesehatan
para pengguna jalan raya, terutama pengendara sepeda motor. Bahan kimia yang
merupakan zat pencemar udara paling besar adalah Sulfur Dioksida (SO
2
), Karbon
Monoksida (CO), Oksida Nitrogen (NO
x
), Hidrokarbon, dan partikulat (Yen,
1999).
Bahan-bahan kimia pencemar udara akan sangat berbahaya jika
terakumulasi dalam tubuh manusia, sesuai dengan kadarnya di dalam tubuh.
Misalnya keracunan gas CO untuk keadaan yang ringan ditandai dengan gejala-
gejala pusing, sakit kepala, dan mual. Keadaan lebih berat dapat berupa

PKMI-1-17-2
menurunnya kemampuan gerak tubuh, gangguan pada sistem kardiovaskuler,
serangan jantung sampai pada kematian (Wardhana, 1995). Oleh sebab itu, para
pengguna jalan raya terutama pengendara sepeda motor perlu melakukan tindakan
preventif untuk mencegah terjadinya keracunan gas-gas beracun yang terjadi
secara akumulatif di dalam tubuh, selain tetap melakukan tindakan pelestarian
lingkungan hidup.
Salah satu tindakan preventif untuk mencegah terjadinya keracunan gas
beracun terutama di jalan raya adalah dengan memakai masker (mask). Masker
yang banyak beredar sekarang masih mempunyai kelemahan, yaitu harganya
mahal dan dari segi estetika kurang menarik, sehingga para pengendara sepeda
motor lebih memilih menggunakan sapu tangan atau kain (biasa disebut slayer)
sebagai media untuk menyaring udara terpolusi, padahal media tersebut belum
memenuhi standar sebagai masker yang bisa menyaring partikel dan molekul
berbahaya yang ada di udara. Berdasar permasalahan tersebut, perlu diketahui
model dan bahan masker yang memenuhi standar dalam penyaringan partikel dan
molekul berbahaya di udara, tetapi harganya murah, dan dapat terjangkau
masyarakat, dalam hal ini kelompok menengah ke bawah.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas Ca(OH)
2
sebagai
absorber masker dalam mengabsorbsi CO dan CO
2
, sehingga dapat menjadi
komponen masker tersebut. CO
2
yang terdapat di udara bersifat lebih stabil dari
pada CO, sehingga absorber masker tetap dapat mengabsorbsi CO selama CO
2

masih terabsorbsi. Oleh karena itu, parameter yang diuji dalam penelitian ini
hanya CO
2
, dengan asumsi bahwa CO tetap terabsorbsi.
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah untuk pencegahan
penyakit akibat kerja para pengendara sepeda motor yang disebabkan oleh polusi
udara. Pemakaian masker bagi pengendara sepeda motor dan sepeda dapat
memberikan kenyamanan dalam berkendaraan, memperkecil risiko kecelakaan
dan penyakit. Masker saat ini sebagai perlengkapan primer dalam berkendaraan di
jalan raya. Masker yang dihasilkan juga dapat digunakan untuk pekerjaan lain,
misalnya untuk polisi lalu lintas, petugas dinas kebersihan kota, dan sebagainya.
Telah dilakukan penelitian oleh beberapa perusahaan berkaitan dengan
masker (respiratory protection), misalnya oleh Shigematsu Works Company
Limited. Masker yang dibuat menggunakaan cartridge dengan komposisi utama
karbon aktif sebagai absorber (bahan aktif dalam masker sebagai penyerap
partikel dan molekul beracun di udara) (Yamada, tanpa tahun). Masker ini dipakai
sebagai salah satu Alat Perlindungan Diri (APD) pekerja pada pabrik-pabrik yang
mempunyai risiko sangat besar terpapar gas-gas berbahaya, yang ditimbulkan oleh
proses produksinya. Namun, sepanjang pengetahuan peneliti, penelitian tentang
penggunaan Ca(OH)
2
sebagai absorber pada masker belum pernah dilakukan.
Spektrofotometri inframerah mempunyai fungsi utama untuk mengetahui
gugus fungsional (gugus yang menentukan sifat-sifat senyawa). Kegunaan yang
lain adalah untuk mengidentifikasi senyawa, menentukan struktur molekul,
mengetahui kemurnian, kontrol produksi, dan mempelajari reaksi yang sedang
berjalan (Hardjono dan Anwar, 1984). Ikatan-ikatan yang berbeda (C-C, C=C,
CC, C-O, C=O, O-H, N-H, dan sebagainya) mempunyai frekuensi vibrasi yang
berbeda. Adanya ikatan-ikatan tersebut dapat dideteksi dalam molekul organik
dengan mengidentifikasi frekuensi-frekuensi karakteristiknya sebagai pita serapan
dalam spektrum inframerah (Hardjono dan Anwar, 1984).

PKMI-1-17-3
Instrumen yang digunakan untuk mengukur serapan (absorban) radiasi
oleh suatu zat disebut fotometer dan spektrofotometer. Fotometer ialah istilah
yang sangat umum (menyatakan alat yang mengukur intensitas cahaya).
Spektrofotometer adalah fotometer yang dilengkapi dengan beberapa komponen
khusus, sehingga alat tersebut dapat mengukur perubahan terhadap intensitas sinar
monokromatis yang dilewatkan melalui suatu media (misalnya larutan).
Dalam penggunaan spektrofotometer, pertama larutan pembanding
(reference solution) yang disebut juga dengan larutan standar dimasukkan ke
dalam kuvet, alat kemudian dihidupkan dan skala pembacaan diatur agar %T (%-
transmittance) menunjuk ke skala 100 (absorban adalah 0). Kedua, larutan sampel
dipasang dan angka akan langsung menunjukkan harga %T-nya. Untuk
menghitung serapan dari suatu larutan dari %T, digunakan rumus:
Absorbans (A) = log(1/T) (Willard et al, 1988).
Udara di alam bebas pada umumnya mempunyai komposisi yang terdiri
dari unsur-unsur yang bermanfaat bagi kesehatan dan unsur-unsur yang kurang
bermanfaat bagi kesehatan. Menurut Sanropie (1989), unsur udara bebas pada
umumnya terdiri dari Oksigen (20,7%), Nitrogen (78,8%), CO
2
(0,04%), uap air
(0,46%), Ozon (0,3%), Amoniak, gas cair, dan partikulat. Unsur-unsur tersebut
sering disebut dengan udara ambien.
Volume udara dalam paru manusia dibagi menjadi empat, yaitu: (1)
volume tidal yang besarnya kira-kira 500 ml, (2) volume cadangan inspirasi yang
besarnya mencapai 3000 ml, (3) volume cadangan ekspirasi yang besar normalnya
sekitar 1100 ml, dan (4) volume residu yang besarnya kira-kira 1200 ml (Guyton
dan John, 1997). Jumlah udara yang dihirup manusia dalam proses respirasi sama
dengan besar volume tidal, yaitu volume yang diinspirasi atau diekspirasi setiap
kali bernafas sebesar 500 ml atau 0,5 liter. Rata-rata respirasi yang dilakukan oleh
manusia dalam keadaan normal sebanyak 12 kali per menit (Shier et al, 1999).
Dengan demikian, volume udara yang dihirup manusia per jam adalah 12 x 60 x
0,5 liter = 360 liter.

METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental, dengan melakukan
percobaan yang berupa rancangan atau desain untuk mengetahui konsentrasi CO
2

dalam asap knalpot baik sebelum atau setelah melewati absorber. Variabel
penelitian terdiri dari variabel bebas dan variabel terikat. Variabel bebas penelitian
ini adalah Ca(OH)
2
sebagai absorber masker, sedangkan variabel terikat adalah
konsentrasi CO
2
dalam asap knalpot setelah melewati absorber.
Absorber masker terbuat dari kapas murni (selulosa) yang dicelupkan ke
dalam larutan jenuh Ca(OH)
2
. Larutan tersebut dibuat dengan melarutkan kapur
delingo (CaO) dengan aquades di dalam gelas beaker kemudian didiamkan
sampai terjadi pengendapan. Kapas dikeringkan di dalam wadah yang hampa
udara (eksikator) selama 24 jam. Udara yang ada di dalam eksikator disedot
dengan menggunakan pompa vacuum. Setelah kering, kapas tersebut ditimbang
dengan menggunakan timbangan analitik. Bahan-bahan lain yang digunakan
untuk pembuatan masker terdiri dari karbon aktif, kain, benang, dan karet elastis.
Pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan seperangkat alat
yang telah didesain khusus. Pertama diambil blanko untuk mengetahui konsentrasi
CO
2
di dalam asap knalpot tanpa melalui absorber. Setelah itu diambil sampel

PKMI-1-17-4
asap knalpot setelah melalui absorber dengan volume yang berbeda, yaitu 0,01,
0,06, 0,36, 0,86, 1,8, dan 3,8 m
3
. Udara diambil dengan menggunakan air pump
yang telah dikalibrasi sebelumnya. Agar kecepatan air pump stabil, digunakan
orifice meter untuk mengukur tekanan udara yang dipompa oleh air pump.
Rangkaian alat penguji masker dapat dilihat pada gambar berikut:



Gambar 1. Rangkaian Alat Penguji Masker


Untuk mengidentifikasi senyawa CO
2
di dalam sampel, digunakan
spektrofotometer inframerah. Pengujian dilakukan di Laboratorium Penelitian dan
Pengujian Terpadu (LPPT) Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta pada tanggal 23
Oktober 2005. Dengan menggunakan perangkat lunak (soft ware) Microsoft
Office Excel 2003, ditemukan persamaan linier dari gas standar CO
2
yang akan
digunakan untuk menghitung konsentrasi CO
2
yang ada di dalam sampel.
Absorber masker dianggap jenuh (tidak berfungsi lagi) jika konsentrasi CO
2
di
dalam asap knalpot yang melewati absorber pada volume sama dengan
konsentrasi CO
2
di dalam blanko.
Konsentrasi CO
2
yang diperoleh dari blanko dikonversi ke dalam
konsentrasi CO
2
pada udara ambien untuk menentukan life time masker yang
sesungguhnya. Efektivitas masker yang sesungguhnya diasumsikan 15% dari
efektivitas masker pada sampel. Asumsi ini diambil karena kapas yang
mengandung Ca(OH)
2
di dalam sampel dan masker memiliki ketebalan, diameter,
dan berat yang berbeda.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Gas CO
2
Standar
Tabel 1. Nilai Bacaan Spektrofotometer Inframerah Pada Gas Standar
Konsentrasi
CO
2
(%)
Panjang Gelombang
(cm
-1
)
Nilai %T Absorban (A)
0 634,0 95,6 0,0195
1 660,0 92,7 0,0329
2 642,0 87,7 0,0570
3 650,0 81,9 0,0867
4 640,0 79,1 0,1018
5 640,0 77,9 0,1085
6 648,0 74,5 0,1278

PKMI-1-17-5

Konsentrasi CO
2
di Dalam Sampel
Tabel 2. Nilai %T, A, dan Konsentrasi CO
2
Pada Sampel
Sampel
(liter)
Panjang
Gelombang (cm
-1
)
Nilai %T
Absorban
(A)
Konsentrasi
CO
2
(%)
10 646,0 82,3 0,0846 4,42
60 626,0 84,3 0,0742 3,87
360 644,0 86,8 0,0615 3,20
860 650,0 85,7 0,0670 3,50
1800 676,0 84,8 0,0716 3,75
3800 640,0 80,4 0,0947 4,99
Blanko 624,0 79,8 0,0980 5,17

Unit Cost Bahan-bahan Masker
Tabel 3. Unit Cost dari Bahan-bahan Masker
No. Nama Bahan
Harga
(Rupiah)
Harga Per Unit
(Rupiah)
1 Kapas 50 gram 4.300 225
2 Karbon aktif 1 kg 15.000 250
3 Kapur delingo 1 kg 4.500 250
4 Kain, elastis, dan ongkos jahit 5.000 5.000
Total per unit Rp5.825,00

Regresi Linier dari Gas CO
2
Standar
Gas pembanding (gas CO
2
standar) yang dimasukkan ke dalam kuvet
dengan skala pembacaan diatur agar %T menunjuk ke skala 100 (absorban = 0)
dibaca dengan tajam oleh spektrofotometer inframerah pada panjang gelombang
636,0 cm
-1
dengan %T = 14,3. Dari hasil pembacaan gas pembanding di atas,
ditemukan nilai-nilai dari %T sebagaimana terlihat pada lampiran 1. Pada gambar
tersebut terdapat panjang gelombang inframerah dan nilai %T.

Pada grafik di atas, terdapat persamaan: y = 0,0186 x + 0,0019. Nilai y
adalah %T yang didapat dari hasil pembacaan spektrofotometer inframerah, dan
nilai x merupakan konsentrasi CO
2
di dalam sampel (persen volume).

Untuk mengetahui konsentrasi serapan (absorban), nilai %T dimasukkan
ke dalam rumus: Absorbans (A) = log (1/T). Hasil perhitungannya dapat dilihat
pada tabel 1. Dari hasil perhitungan ini ditemukan persamaan linier yang
digunakan untuk menghitung nilai dari %T pada sampel, sebagaimana terlihat
pada gambar berikut:


PKMI-1-17-6
Standar Gas CO2
0.0195
0.0329
0.057
0.0867
0.1018
0.1085
0.1278
y = 0.0186x + 0.0019
0
0.02
0.04
0.06
0.08
0.1
0.12
0.14
0 1 2 3 4 5 6
Konsentrasi CO2 (%V)
A
b
s
o
r
b
e
r

(
A
)
Series2
Linear
(Series2)

Gambar 2. Grafik Persamaan Linier Gas CO
2
Standar

Life Time Masker
Sampel udara knalpot yang diambil pada percobaan dimasukkan ke dalam
spektrofotometer inframerah untuk mengidentifikasi senyawa CO
2
yang ada di
dalamnya. Hasil pembacaan spektrofotometer inframerah menunjukkan %T dari
masing-masing sampel. Nilai %T dari masing-masing sampel dapat dilihat pada
tabel 2 (lihat juga lampiran 2!). Jika nilai-nilai tersebut dimasukkan ke dalam
persamaan y = 0,0186 x + 0,0019, dengan x adalah konsentrasi CO
2
dalam %V,
maka diperoleh hasil sebagaimana pada gambar berikut:
Konsentrasi CO2 dalam Sampel
4.42
3.87
3.2
3.5
3.75
4.99
5.17
0
1
2
3
4
5
6
10 60 360 860 1860 3860 Blanko
Volume udara yang dialiri (liter)
K
o
n
s
e
n
t
r
a
s
i

C
O
2


(
%
V
)
Konsentrasi CO2

Gambar 3. Grafik Konsentrasi CO
2
Dalam Sampel

Pada grafik di atas terdapat nilai konsentrasi CO
2
dari udara knalpot sebelum
melewati absorber (blanko) yaitu 5,17% dan konsentrasi CO
2
dari udara knalpot
setelah melewati absorber, dari volume 10 liter sampai 3.860 liter.
Konsentrasi CO
2
dalam Sampel
---- Konsentrasi CO
2
Standar Gas CO
2
Konsentrasi CO
2
(%)

PKMI-1-17-7
Absorber masker pada pengujian dikatakan jenuh jika konsentrasi CO
2

dalam sampel udara yang melewati absorber sama dengan konsentrasi CO
2
pada
sampel blanko. Pada gambar 3 dapat dilihat bahwa konsentrasi CO
2
dari sampel
yang melewati absorber mulai mendekati 5,17% pada volume 3.860 liter
(konsentrasi CO
2
= 4,99%). Artinya absorber tidak aktif lagi untuk menyerap CO
2

setelah dialiri kurang lebih 4.000 liter (4 m
3
) udara yang berasal dari knalpot
sepeda motor.
Untuk menentukan life time masker, dilakukan perbandingan terhadap
ukuran absorber pada sampel dengan ukuran absorber pada masker yang
sebenarnya. Dengan mengetahui volume udara yang dihirup manusia per jam dan
perbandingan konsentrasi CO
2
pada asap knalpot (sampel blanko) dengan
konsentrasi CO
2
pada udara ambien maka life time masker yang sesungguhnya
dapat ditemukan.
Ketebalan absorber pada masker yang sebenarnya adalah 2 cm dengan
berat 23,4 gram. Adapun tebal absorber pada sampel adalah 20 cm dan
diameternya 2,5 cm dengan berat 48,5 gram. Berdasar perbandingan tersebut,
efektivitas masker yang sesungguhnya diasumsikan 15% dari efektivitas absorber
pada sampel, sehingga efektivitas masker yang sesungguhnya adalah setelah
masker dialiri udara sebanyak 4.000 liter x 0,15 = 600 liter. Artinya, masker yang
sesungguhnya tidak aktif lagi dalam mengabsorbsi CO dan CO
2
setelah dialiri 600
liter udara dari knalpot.
Dari pustaka, diketahui bahwa volume udara yang dihirup manusia
(volume tidal) per jam sebanyak 360 liter. Masker yang dipakai oleh pengendara
akan berinteraksi dengan udara sebanyak udara yang dihirup oleh manusia selama
memakai masker. Dari rata-rata volume udara yang dihirup manusia per jam,
maka life time masker terhadap asap knalpot adalah 600 liter : 360 liter/jam = 1,67
jam. Jadi, masker dapat mengabsorbsi CO
2
dari asap knalpot selama 1,67 jam.
Konsentrasi CO
2
pada udara ambien yang didapat dari pustaka adalah
0,04%. Life time masker yang sesungguhnya dapat dihitung dengan mengalikan
life time masker pada sampel dengan hasil bagi antara konsentrasi CO
2
udara
knalpot dengan konsentrasi CO
2
udara ambien, sehingga:
Life time masker = 1,67 jam x
04 , 0
17 , 5
= 215,84 jam.
Dari perhitungan tersebut diketahui bahwa masker dapat aktif mengabsorbsi CO
2

selama 215,84 jam. Jika masker tersebut dipakai rata-rata 3 jam per hari, maka life
time masker adalah sekitar 70 hari.
Kalsium Hidroksida (Ca(OH)
2
) bersifat sangat reaktif terhadap CO dan
CO
2
. Secara kimiawi, reaksi yang terjadi adalah:
Ca(OH)
2
+ CO
2
CaCO
3
+ H
2
O
Gas CO di udara tetap diabsorbsi oleh Ca(OH)
2
selama CO
2
masih terabsorbsi
karena sifatnya lebih stabil dibandingkan dengan CO. Untuk menghindari
interaksi antara Ca(OH)
2
dengan partikel dan molekul lain di udara seperti NO
x
,
SO
x
dan partikulat, maka di depan Ca(OH)
2
diberi kapas murni (selulosa) dan
karbon aktif, sehingga efektivitas Ca(OH)
2
lebih lama. Bahan-bahan tersebut
mudah didapat dengan harga yang relatif murah (lihat tabel 3!).




PKMI-1-17-8
KESIMPULAN
Kalsium Hidroksida (Ca(OH)
2
) yang berfungsi sebagai absorber masker
efektif mengabsorbsi CO dan CO
2
selama 215,84 jam. Jika masker tersebut
dipakai rata-rata 3 jam per hari, maka life time masker adalah sekitar 70 hari.
Saran yang diberikan berdasar kesimpulan penelitian ini adalah: (1) agar
dilakukan penelitian eksperimental lebih lanjut untuk mengetahui efektivitas
selulosa (kapas murni) dalam mengabsorbsi Sulfur Dioksida (SO
2
) dan Oksida
Nitrogen (NO
x
), (2) agar dilakukan penelitian eksperimental lebih lanjut tentang
desain masker yang paling ergonomis (adjustable) untuk menghasilkan produk
yang terbaik, dan (3) perlu adanya sosialisasi penggunaan masker tersebut bagi
para pengendara sepeda motor.

DAFTAR PUSTAKA
1. Guyton, A.C. dan John, E.H. (1997). Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, Jakarta,
Penerbit Buku Kedokteran EGC.
2. Hardjono, S. dan Anwar, C. (1984). Spektrometri Inframerah, Yogyakarta,
Laboratorium Analisa Kimia dan Fisika Pusat, Universitas Gadjah Mada.
3. Sanropie, D. (Editor). (1989). Pengawasan Penyehatan Lingkungan
Pemukiman, Jakarta, Pusat Pendidikan Tenaga Kesehatan, Departemen
Kesehatan Republik Indonesia.
4. Shier, D., Jackie, B. and Ricki, L. (1999). Holes Human Anatomy and
Physiology, North America, McGraw-Hill Book Co-Ltd.
5. Wardhana, W.A. (1995). Dampak Pencemaran Lingkungan, Yogyakarta,
Penerbit Andi Offset.
6. Willard, H.H., Lynne, L.M., John, A.D., and Frank, A.S. (1988). Instrumental
Methods of Analysis, California, Wadsworth, Inc.
7. Yamada, H. (tanpa tahun). Respiratory Protection, Jakarta, PT Keska Lestari.
8. Yen, T.F. (1999). Environmental Chemistry: Essentials of Chemistry for
Engineering Practice, Volume 4A, New Jersey, Prentice-Hall Inc.




PKMI-1-18-1
PENGARUH EKSTRAK BIJI MIMBA TERHADAP
PENEKANAN SERANGAN WERENG BATANG PADI COKLAT

Dies Rina Kusumastanti, Diana Puji Rahayu dan Rina Hastarita Nilawati
Fakultas Pertanian, Universitas Tunas Pembangunan, Surakarta

ABSTRAK
Wereng Batang Padi Coklat merupakan salah satu hama penting tanaman padi.
Pemakaian pestisida kimiawi secara terus-menerus akan menyebabkan resistensi,
resurgensi, ledakan hama kedua, terbubuhnya serangga hama bukan sasaran dan
tertinggalnya residu sehingga mengganggu keseimbangan lingkungan. Untuk
mengurangi dampak tersebut, pemakaian pestisida kimiawi sebaiknya diganti
dengan pestisida nabati, salah satunya adalah nimba (Azadirachta indica).
Penelitian ini bertujuan mengetahui pengaruh pestisida biologis (ekstrak biji
nimba) terhadap penekanan serangan Wereng Batang Padi Coklat (WBPC) pada
tanaman padi. Penelitian ini dilaksanakan didesa Triagan, kecamatan
Mojolaban, kabupaten Sukohardjo pada bulan Maret 2004 sampai dengan Mei
2004 dengan jenis tanah regosol pada ketinggian tempat 110 meter diatas
permukaan laut. Penelitian ini merupakan percobaan faktorial dengan rancangan
lingkungan Rancangan Acak Kelompok Lengkap dengan 2 perlakuan dengan 12
kombinasi perlakuan yang masing-masing diulang 3 kali. Faktor pertama
konsentrasi ekstrak biji Mimba yang terdiri 5 taraf yaitu kontrol (air), 12,5
gram/l; 25 gram/l ; 50 gram/l dan 100 gram/l. Faktor kedua: Pelarut ekstrak
yang terdiri 2 taraf yaitu pelarut air dan pelarut metanol. Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa LC50 dicapai pada konsentrasi minimal 50%, macam
pelarut tidak berpengaruh nyata pada nilai LC50. Semakin tinggi konsentrasi
ekstrak biji mimba semakin tinggi pula tingkat kematian hama wereng batang
padi coklat, dan tidak ada perbedaan yang nyata mengenai tingkat kematian
hama pada pelarut ekstrak yang berbeda.

Kata kunci: Ekstrak, mimba, wereng, padi, LC50


PENDAHULUAN
Wereng batang padi coklat (WBPC)) Nilaparvata lugens Stal (Homoptera:
Delphacidae) merupakan salah satu hama penting tanaman padi di daerah tropik
termasuk Indonesia. Populasi WBPC sering ditemukan dalam jumlah tinggi yang
dapat mengakibatkan gagal panen. Selain merusak tanaman padi secara langsung
dengan cara menghisap cairan tanaman, WBPC juga dapat menularkan penyakit
virus kerdil rumput dan kerdil hampa (Anonim, 1990). Menurut Bahagiawati
(1987) hama ini dapat menyerang tanaman padi pada semua fase pertumbuhan,
baik di lahan sawah irigasi maupun di lahan rawa.
Keberadaan WBPC di Indionesia telah diketahui sebelum tahun 1930, saat
itu bukan merupakan hama penting tanaman padi. Pada tahun 1931, ditemukan
kerusakan tanaman di Bogor. Tahun 1939 di Mojokerto dan tahun 1940 di
Yogyakarta. Pada tahun 1968-1969, WBPC juga merusak tanaman padi di Jawa
tengah (Tegal, Brebes dan Klaten) seluas 2.000 ha dan di Jawa Barat (Subang dan



PKMI-1-18-2
Indramayu) seluas 50.000ha (Soehardjan, 1973). Menurut laporan Mochida
(1979) tahun 1972-1977 luas serangan berkisar 25.700-526.900 ha dan laporan
Wiyanti (1988) pada tahun 1984-1986 serangan WBPC di Indosesia lebih dari
50.000 ha.
Pengendalian WBPC telah dilakukan dengan menerapkan Sistem
Pengelolaan Hama Terpadu (PHT), yang didasarkan pada pertimbangan ekologi
dan efisiensi ekonomi. Selama sepuluh tahun terakhir sejak dilaksanakan program
nasional PHT, di daerah jawa tengah dan derah Istimew Yogyakarta (DIY) tidak
pernah terjadi letusan WBPC. Tetapi menurut laporan Mahrub (2000) pada
musim tanam (MT) 1998/1999 dan 1999 telah terjadi letusan WBPC di
Kabupaten Sleman Barat, DIY dan tahun 2002 kembali terjadi letusan WBPC di
beberapa tempat antara lain di Klaten seluas 888 ha (komunikasi pribadi dengan
Penyuluh Pertanian Lapangan Kabupaten Klaten).
Di tingkat petani, aplikasi pestisida kimia tetap merupakan pilihan utama
kerana cepat dapat dilihat hasilnya. Hal ini sesuai laporan penelitian Mahrub
(2000) bahwa sampai saat ini 80% petani di Kabupaten Sleman, DIY untuk
mengatsi serangan WBPC masih menggunakan pestisida kimiawi, sedangkan
sisanya (20%) menggunakan cara pengendalian lainnya seperti varietas tahan atau
bercocok tanam.
Pemakaian pestisida secara terus-menerus dan dengan dosis yang selalu
bertambah menyebabkan terjadinya resistensi, resurjensi, ledakan hama kedua,
terbunuhnya serangga bukan sasaran dan tertinggalnya residu sehingga
mengganggu keseimbangan lingkungan.Untuk mengurangi dampak tersebut pada
dua dasa warsa terakhir pemakaian pestisida kimia mulai beralih ke pestisida
nabati, salah satunya adalah nimba (Azadirachta indica).
Bagian tanaman nimba yang biasa digunakan dan diketahui mengandung
bahan aktif azadirachtin adalah kulit batang, daun dan biji. Menurut penelitian biji
paling banyak kandungan bahan aktif azadirachtin yaitu antara 2-4 mg/gram biji
(National Research Council, 1992).
Zat aktif azadirachtin dapat menimbulkan berbgai pengaruh pada
pertumbuhan dan perkembangan pada serangga melalui 1) penghambatan
perkembangan telur, larva atau pupa, 2) Memblokir proses ganti kulit selama
stadium larva, 3) gangguan terhadap proses kawin, terutama proses komunikasi
seksual, 4) Penolakan makan pada larva dan dewasa , 5) Mencegah meletakkan
telur, 6)Membuat serangga mandul, 7) Meracun larva dan dewasa (National
Research Council, 1992).

METODE PENELITIAN
Penelitian ini telah dilaksanakan pada bulan Maret sampai Oktober 2004.
dengan menggunakan bahan-bahan : benih padi varietas Mamberamo, biji Mimba,
Pupuk Organik Bokhasi, pupuk Urea , TSP, KCl. dan fungisida.
Penelitian ini dirancang faktorial dengan rancangan lingkungan Rancangan
Acak Kelompok Lengkap dengan 3 blok sebagai ulangan. Faktor pertama adalah
konsentrasi ekstrak biji nimba (K), terdiri atas lima aras, yaitu :
K0 = kontrol (air)
Kl = 12,5 gram / l
K2 = 25 gram / l



PKMI-1-18-3
K3 = 50 gram / l
K4 = 100 gram /
Faktor kedua adalah pelarut ekstrak (P)), terdiri atas dua aras, yaitu :
P1 = pelarut air
P2 = pelarut metanol.

Persiapan serangga :Wereng Batang Padi Coklat dibiakkan di laboratorium
Entomologi terapan UGM.

Persiapan biji mimba : Biji mimba diperoleh dari Ngawi, Jawa Timur. Biji
dijemur dan disaring, kemudian dihaluskan. Kemudian dibuat dua ekstrak, taitu
dengan pelarut air dan pelarut metanol. Untuk ekstrak dengan pelarut air cara
membuatnya serbuk biji mimba langsung direndam dalam air, diaduk dan
bibiarkan satu hari, setelah itu baru digunakan. Ekstrak dengan pelarut metanol
dibuat dengan metode penguapan (Martono, 1998).

Cara pengujian : Menyiapkan gelas plastik yang bagian bawahnya dilubangi 5
buah. Masing-masing lubang diisi 2 bibit padi varietas Mamberamo umur 5 hari.
Kemudian diinfestasi 20 ekor WBPC nimfa instar IV dan segera ditutup kain kasa
agar tidak terbang. Sehari kemudian tanaman disemprotlarutan biji mimba baik
pelarut air maupun pelarut metanol sesuai perlakuan.

Pengamatan : Pengamatan dilakukan 1,2,3,4,5,6 dan 7 hari setelah perlakuan.
Parameter pengamatan :
1. Nilai LC50 dihitung dari pengamatan hari ke-7
2. Mortalitas dihitung hari ke 1,2,3,4,5, dan 6
Analisis data dengan LC50 dan mortalitas dengan uji Duncan Multiple
Range Test taraf nyata 5%.


HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil Pengamatan

Tabel 1. Nilai LC50 pada berbagai Tingkat Konsentasi Ekstrak Biji Mimba

Konsentrasi (gram/liter)

LC50
100
50
25
12,5
Kontrol (air)
50 d
40 c
20 b
15 a









PKMI-1-18-4
Tabel 2. LC50 pada berbagai Jenis Pelarut Ekstrak

Pelarut LC50
Air
Metanol
42 a
45 a


Tabel 3. Mortalitas Wereng Batang Padi Coklat (WBPC) dengan Perlakuan
berbagai Konsentrasi Ekstrak Biji Mimba (hari ke-6)

Konsentrasi (gram/l) Mortalitas (%)
100
50
25
12,5
Kontrol (air)
100 d
65 c
60 b
25 a



Tabel 4. Mortalitas Wereng Batang Padi Coklat (WBPC) dengan perlakuan
macam pelarut ekstrak (hari ke-6)

Pelarut Mortalitas (%)
Air
Metanol
90 a
95 a
Keterangan :
Nilai Mortalitas yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata taraf 5%
DMRT

Pembahasan
Dari pengamatan LC50 dari berbagai konsentrasi yang diperlakukan yaitu
konsentrasi 100 gram/liter bisa mematikan wereng 50 (jumlah wereng uji 60
ekor), konsentrasi 50 gram/liter bisa mematikan wereng 40, konsentrasi 25
gram/liter bisa mematikan wereng 20 ekor dan konsentrasi 12,5 gram/liter hanya
bisa mematikan wereng sebanyak 15 ekor dari jumlah 60 ekor. Hal ini artinya
konsentrasi yang dapat mematikan wereng batang padi coklat (WBPC) lebih 50%
adalah pada konsentrasi 50 gr/liter. Hal ini berarti dengan konsentrasi yang lebih
rendah dari 50 gram ekstrak biji mimba / liter pelarut belum bisa mematikan 50%
wereng batang padi coklat sehingga minimal harus menggunakan konsentrasi
50%.
Macam pelarut tidak berpengaruh secara signifikan terhadap LC50 artinya
baik pelarut air maupun pelarut metanol sama walaupun secara angka tidak sama
tetapi secara statistik tidak signifikan. Pada Tabel 2 tersebut diatas terlihat pelarut
metanol bisa mematikan 45 dari 60 wereng yang diujikan sedang dengan pelarut
air hanya 42 wereng yang mati dari 60 wereng yang diujikan.
Berdasarkan pengamatan dan uji statistik tingkat mortalitas pada berbagai
tingkat konsentrasi ekstrak biji mimba adalah sebagai berikut:
Pada konsentrasi 100% pada hari ke-6 sudah bisa mematikan wereng
100%, dengan konsentrasi 50% mematikan wereng 65%. Konsentrasi 25%
mematikan wereng 60% dan pada konsentrasi 12,5% hanya bisa mematikan



PKMI-1-18-5
wereng 25%. Konsentrasi 100% signifikan terhadap konsentrasi yang lain. Hal ini
berarti semakin tinggi konsentrasi ekstrak biji mimba tingkat kematian wereng
batang padi coklat semakin tinggi. Hal ini karena ekstrak biji mimba mengandung
senyawa azadirachtin yang bisa menimbulkan berbagai pengaruh pada
pertumbuhan dan perkembangan serangga antara lain 1) penghambatan
perkembangan telur, larva atau pupa 2) memblokir proses ganti kulit selama
stadium larva, 3) gangguan terhadap proses kawin, 4)penolakan makan pada larva
dan dewasa, 5)mencegah meletakkantelur, 6) membuat serangga mandul, 7)
meracun larva dan dewasa (National Research Council, 1992)
Dari hasil pengamatan dan uji statistik ternyata macam pelarut tidak
signifikan terhadap tingkat mortalitas wereng batang padi coklat. Pelarut air bisa
mematikan 90% populasi hama, sedang pelarut metanol bisa mematikan 95%
pupulasi hama yang diujikan. Hal ini membuktikan bahwa kedua pelarut dalam
melarutkan bahan aktif mempunyai kemampuan yang sama sehingga membuat
kematian wereng yang sama secara statistik.

KESIMPULAN
1. Konsentrasi ekstrak biji mimba berpengaruh terhadap LC 50 maupun
mortalitas wereng batang padi coklat.
2. Jenis pelarut ekstrak biji mimba tidak berpengaruh pada LC50 maupun
mortalitas wereng batang padi coklat.
3. Konsentrasi terbaik adalah 100% pada LC50 maupun mortalitas wereng
batang padi coklat.


DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 1990. Wereng Batang Padi Coklat. Lokakarya Pengamatan Dan
Peramalan Organisme Pengganggu Tingkat Nasional. Juni-Juli 1990. 13
Hal.
Anonim, 1992. Budidaya Tanaman Padi. Kanisius. Yogyakarta. 172 Hal.
Bahagiawati, 1987. Perkembangan Biotipe Wereng Coklat di Indonesia.
Balittanpan Bogor. Hal.32-42.
Mahrub, 2000. Kajian terjadinya letusan Populasi Wereng Batang Padi Coklat di
Kabupaten Sleman (Studi Kasus : Tingkat pemahaman Petani Terhadap
prinsip Dasar PHT). Mediagama II : 26-32.
Mochida, 1979. Brown Planthopper Recuced Rice Production. J. Ind. Agric. Res.
And Dev l (1 & 2) : 2-7.
National Research Council, 1992. Neem : A tree For Soving Global Problems.
National Academy Press. Washington, D.C. 141 p.
Soehardjan, 1973. Observation Leafhoppers And Planthoppers On Rice In Java.
Cenr. CRIA. Bogor 3 : 1-10.
Harjadi,SS. 1996. Pengantar Agronomi. Gramedia. Jakarta. 197 Hal.
Wiyanti, 1988. Pengaruh Residu Insektisida Diazenon 60 EC, Elsan 60 EC,
Nogos 50 EC, lebaycid 550 EC dan Sumithion 50 EC Terhadap Populasi
Nilaparvata lugens Stall (Homoptera : Delphacidae) Generasi kedua
pada Varietas Padi PB 5. Laporan Khusus. IPB. 30 Hal.


PKMI-1-19-1
PENGEMBANGAN POTENSI WISATA SEJARAH PERPUSTAKAAN
PERSADA BUNG KARNO KOTA BLITAR SEBAGAI MODEL WISATA
PENDIDIKAN

Cristin. C, Danu P. P, Deny W. T, Marmorittarieta S.G
Jurusan Ilmu Komunikasi, Universitas Muhammadiyah Malang, Malang

ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengemas model pengembangan wisata
pendidikan berdasarkan potensi sejarah perpustakaan Bung Karno. Penelitian
dilakukan pada Desember 2005 sampai Februari 2006, di Perpustakan Persada
Bung Karno, beralamat di Jalan Kalasan No.1 Kota Blitar 66133, karena
perpustakaan ini berbeda dengan perpustakaan lainnya. Perpustakaan ini
berlatar belakang sejarah. Teknik pengumpulan data antara lain : observasi,
wawancara, kepustakaan dan dokumentasi, diperoleh dari Dinas Inkomparda
Kota Blitar dan Perpustakaan Persada Kota Blitar. Teknik analisa data yang
dipakai yaitu menggunakan metode kualitatif naratif. Data disusun selengkap-
lengkapnya, dirinci dan dianalisa berdasarkan hasil dari data di lokasi
penelitian. Hasil penelitian menyatakan bahwa Perpustakaan Persada Bung
Karno sebagai wisata sejarah juga berpotensi menjadi wisata pendidikan. Selain
melihat wisata sejarah, pengunjung diajak untuk menikmati koleksi buku yang
tersedia.

Kata Kunci : Sejarah, Wisata pendidikan, Perpustakaan

PENDAHULUAN
Wisata cenderung berada dalam frame pemikiran sebagai suatu yang
menyenangkan, tempat tempat untuk melepas lelah dan berlibur. Dengan makin
majunya kehidupan,wisata tidak lagi berada dalam frame yang sesempit itu.
Beragam sebutan mulai bermunculan mengikuti kata wisata tersebut sesuai
kebutuhannya. Mulai dari wisata budaya,wisata sejarah,wista pendidikan,dan lain-
lain. Karena makin majunya peradaban, maka manusia pun semakin mengalami
kemajuan pola berpikirnya. Dari sini unsur pendidikan makin ditekankan. Wisata
pendidikan menjadi suatu model alternatif untuk hal ini. Saat ini model wisata
pendidikan lebih diwujudkan pada sebuah studi lapangan, dengan perpustakaan
menjadi acuan utama. Perpustakaan biasanya mempunyai beberapa koleksi
berupa buku-buku ilmu pengetahuan,jurnal-jurnal umum,cerita-cerita fiksi-non
fiksi,artikel-artikel dan lain sebagainya. Meskipun ada model wisata pendidikan
lainnya seperti mengadakan kunjungan belajar (study tour) ke tempat-tempat
pendidikan, tetapi perpustakaan tetap menjadi model wisata pendidikan yang
permanent selama ini.
Sebagian besar model wisata pendidikan berupa perpustakaan terkesan
monoton dan membosankan bagi pengunjungnya. Hal ini disebabkan
perpustakaan hanya menyajikan menu yang monoton bagi pengunjungnya,
contohnya pengunjung hanya disediakan buku-buku pada saat memasuki
perpustakaan. Sehingga hanya pengunjung yang benar-benar hobby membaca saja
yang akan betah berada di perpustakaan. Berdasarkan hal ini, dihadirkan konsep
perpustakaan yang tidak terkesan monoton bagi pengunjungnya yaitu


PKMI-1-19-2
Perpustakaan Persada Bung Karno Kota Blitar. Perpustakaan Bung Karno Kota
Blitar tidak hanya menyuguhkan buku-buku, tetapi pengunjung juga disuguhi
beberapa fasilitas lain seperti perpustakaan audio visual, ruang baca ber-AC,ruang
seminar dan yang paling penting ialah pelayanan dari staf yang tanggap dan
cekatan.Seperti kita tahu bahwa sesuatu yang disuguhkan dalam bentuk audio
visual akan lebih menarik minat seseorang daripada yang bersifat manual, karena
visualisasi tidak akan membosankan. Saat ini Perpustakaan Bung Karno kurang
mengadakan publikasi yang bersifat besar sehingga pengunjung yang datang
kebanyakan merupakan wisatawan domestik. Keberadaan Perpustakaan Persada
Bung Karno di lingkungan Makam Bung Karno dan di sebelah museum Bung
Karno menambah keunggulan Perpustakaan Persada Bung Karno . Selain bisa
menikmati wisata pendidikan, pengunjung juga bisa menikmati wisata sejarah.
Penelitian ini bertujuan untuk mengemas model pengembagan wisata
pendidikan, berdasarkan potensi sejarah Perpustakaan Bung Karno.

METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metode kuaklitatif naratif yaitu metode
penelitian dengan cara memaparkan cerita dari data-data yang didapat dari lokasi
penelitian, kemudian disusun. Penelitian ini berlokasi di Perpustakaan Persada
Bung Karno Kota Madya Blitar, yang beralamat di jalan Kalasan Nomor 1 Kota
Blitar pada bulan Desember 2005 sampai dengan Pebruari 2006. teknik
pengumpulan data menggunakan data primer sebagai berikut:
1. Observasi: mengadakan pengamatan langsung yang meliputi pencarian
data dan pengamatan ruang,yakni mengamati keberadaan perpustakaan
bung karno dan mencari model wisata pendidikan
2. Dokumentasi: peneliti mengumpulkan data-data yang berupa dokumen-
dokumen atau arsip-arsip perpustakaan,foto-foto, kliping, Koran, internet
dan lain sebagainya
Untuk melengkapi data primer kita juga menggunakan data sekunder sebagai
berikut:
1. Wawancara: dilakukan tanya jawab dengan pihak atasan dan staf
Perpustakaan Persada Bung Karno yang dianggap memiliki pengetahuan
yang memadai tentang persoalan atau fenomena yang sedang diamati
sehingga peneliti mengetahui lebih rinci tentang permasalahan penelitian.
2. Kepustakaan: sejumlah buku yang dapat dijadikan acuan pada pra, proses
dan hasil penelitian.
Setelah data terkumpul kemudian data tersebut di analisis dengan metode
kualitatif naratif yaitu memilah-milah data yang dianggap perlu dan mewakili.
Kemudian data yang telah dipilah disusun secara naratif (cerita runtut) dan
dipaparkan sesuai dengan keadaan sebenarnya pada saat penelitian. Penelitian ini
juga melewati beberapa tahapan kegiatan diantaranya :
1. Desember 2005, mengadakan observasi ke lokasi wisata Perpustakaan Persada
Bung Karno. Mengurus perijinan ke instansi terkait, kemudian melakukan
wawancara dengan pihak terkait.
2. Januari 2006, melanjutkan proses observasi dengan menambah kegiatan yaitu
dokumentasi dengan mengambil gambar-gambar Perpustakaan Persada Bung
Karno. Kami juga melengkapi data yang didapat dengan kegiatan kepustakaan


PKMI-1-19-3
3. Pebruari 2006, mengerjakan proses akhir yaitu pengolahan data yang didapat
dalam bentuk makalah dan data gambar yang didapat dalam bentuk video
profile.

HASIL PENELITIAN
Setelah mengadakan penelitian, akhirnya kami mendapatkan fenomena-
fenomena sejarah yang sangat menarik karena mampu berkolaborsi dengan unsur
pendidikan. Pengunjung yang datang tidak hanya sekedar melihat obyek wisata,
tetapi juga diajak untuk mengetahui tentang sejarah hidup dan perjuangan Bung
Karno dan beberapa tokoh negara sampai akhir hayatnya. Pengetahuan tentang
sejarah hidup Bung Karno bisa didapat dari koleksi perpustakaan, baik berupa
buku maupun peninggalan-peninggalan sejarah. Perpustakaan dibangun tanggal 7
Agustus 2003 dan selesai 3 Juli 2004 sekaligus merupakan peresmian
Perpustakaan tersebut.
Ide awal pembangunan Perpustakaan Persada Bung Karno berasal dari
Perpustakaan Nasional RI untuk mengenang jasa Bung Karno sebagai
Proklamator RI. Pembangunan gedung Perpustakaan Persada Bung Karno
memakan biaya Rp12 miliar, terbagi atas Rp 4,5 miliar anggaran Perpustakaan
Nasional RI dan Rp7,5 miliar dari Pemkot Blitar. Dana sebesar 12 miliar rupiah
tersebut termasuk untuk koleksi buku-bukunya. Gedung UPT Perpustakaan
Persada Bung Karno diresmikan oleh Megawati Soekarnoputri pada tanggal 3 Juli
2004.
Pengunjung Perpustakaan berasal dari berbagai daerah di Indonesia, yakni
wilayah Jawa Timur, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jakarta Bali, Kalimantan,
Sumatera, Sulawesi, NTT, serta NTB. Jumlah rata-rata pengunjung baik koleksi
buku maupun non buku kurang lebih 100 orang/hari, untuk hari libur kurang lebih
200-500 orang/hari.
Arsitektur bangunan Perpustakaan Persada Bung Karno oleh Baskoro
Tedjo, seorang dosen ITB (Institut Teknologi Bandung). Bentuk bangunan
mencontoh peninggalan Candi Penataran. Atap tanpa genteng bermaknaberatap
langit yaitu mempunyai cita-cita tinggi. Tiang-tiang kokoh yang berjajar dari
utara ke selatan sebanyak 21 buah dan tinggi 6 meter bermakna tanggal wafatnya
Bung Karno. 21 ujung yang berbeda-beda di tiap tiang dimaknai sebagai budaya
yang berbeda dari seluruh Nusantara. Relief pada dinding yang memanjang
sepanjang jalan yang menghubungkan antara Makam Bung Karno dengan
Perpustakaan Persada Bung Karno. dari bahan perunggu merupakan biografi
Bung Karno dari lahir sampai wafatnya.
Perpustakaan Persada Bung Karno merupakan Unit Pelaksana Teknis
(UPT) Perpustakaan Nasional RI berdasarkan persetujuan Menteri Pendayagunaan
Aparatur Negara nomor: B/141/M.PAN/I.2005 tanggal 20 Januari tentang
Organisasi dan Tata Kerja UPT Perpustakaan Persada Bung Karno dan keputusan
Kepala Perpustakaan Nasional RI nomor 04 Tahun 2005 tanggal 8 Februari 2005.
Sebagai suatu model wisata pendidikan, Perpustakaan Persada Bung
Karno memiliki Maksud dan Tujuan, antara lain:
1. Menyediakan informasi lengkap dan obyektif kepada masyarakat tentang
perjalanan hidup Sang Proklamator Bung Karno.
2. Menyediakan informasi dan rekaman peristiwa perjuangan Bung Karno
3. Pelestarian fakta sejarah perjuangan Bung Karno


PKMI-1-19-4
4. Memperkaya khasanah wisata Makam Bung Karno sehingga wisatawan dapat
memperdalam apresiasinya tentang Bung Karno melalui kisah Sang Putra
Fajar di perpustakaan yang lokasinya dekat dekat makam.
Jumlah koleksi buku dalam Perpustakaan ini kurang lebih mencapai
20.000 buku dari kapasitas koleksi buku sebanyak 40.000 buku. Ada beragam
jenis koleksi Perpustakaan Persada Bung Karno, diantaranya;
1. Koleksi khusus (gedung A lantai 1 timur)
Berupa otobiografi Bung Karno, buku-buku karya Bung Karno, buku-buku
tentang Bung Karno dan buku-buku tentang lukisan dan patung Bung
Karno.
2. Koleksi Referensi (gedung A lantai 1 timur), berupa:
a.Kamus
Antara lain: kamus bahasa (Indonesia,Inggris,Mandarin,Spanyol,Jawa
Kuno,Tionghoa, dan sebagainya), kamus elektronika, fisika, kimia,
computer, filsafat, pariwisata, istilah perbankan, dan sebagainya.
b. Ensiklopedia
c. Perundang-undangan
d. Buku-buku langka
3. Terbitan Berkala (gedung A lantai 1 timur), berupa:
a. harian c. bacaan anak atau remaja
b. tabloid
4. Koleksi Umum (gedung A lantai 2 timur), jenis koleksinya berupa:
a. karya umum g. ilmu-ilmu terapan (teknologi)
b.filsafat h. kesenian dan olah raga
c. agama i. kesusastraan
d. ilmu-ilmu sosial j. Sejarah dan geografi
e. bahasa
f. ilmu-ilmu murni
5. Koleksi non buku (gedung A lantai 1 barat), berupa:
a. lukisan Bung Karno
b.peninggalan Bung Karno berupa baju dan koper
c. uang seri Bung Karno tahun 1964
d. serial lukisan Bung Karno di Rengas Dengklok
sebelum kemerdekaan
e. foto-foto Bung Karno sejak muda sampai menjadi presiden
6. Koleksi BOI (Books On Indonesia) di gedung B, berupa; Buku-buku tentang
Indonesia, yaitu terbitan dari berbagai negara, sebelum dan sesudah Indonesian
merdeka. Jenis koleksinya berupa; budaya, geografi, pemerintahan, ekonomi, dan
lain sebagainya.
7. Koleksi Audio Visual, berupa:
a. compact disk (CD) pidato Bung Krno c. teknologi dan sebagainya
b. ilmu pengetahuan

8. Internet
website: www.perpusbungkarno.go.id
E-mail : info@perpusbungkarno.net
Beberapa koleksi buku dan non buku dalam Perpustakaan tersebut merupakan
sumbangan atau berasal dari; Perpustakaan Nasional, Perpustakaan Mastrip,


PKMI-1-19-5
Perpustakaan Ida Ayu, negara-negara lain yang simpatik dengan Bung Karno,
sumbangan dari masyarakat, dan juga didapat dengan system copy digital.
Perpustakaan Persada Bung karno menyediakan beberapa fasilitas,
diantaranya:
1. Semua ruangan, baik untuk ruang koleksi buku maupun non buku dan ruang
pertemuan dilengkapi dengan AC.
2. Ruang Audio Visual (gedung C)
Untuk menikmati koleksi audio visual dalam bentuk CD dengan kapasitas 100
orang.
3. Ruang Seminar (gedung C)
Untuk kegiatan seminar,talk show, pelatihan singkat, presentasi. Terdapat 2
ruang dengan kapasitas @50 orang.
Ada satu ruangan yang hingga kini belum direalisasikan, namun sudah masuk
dalam rancangan, yaitu Amphi Theatre, sebuah panggung terbuka di samping
perpustakaan ini yang diproyeksikan sebagai tempat penampilan karya budaya
dan kesenian anak bangsa.
Karena pengunjung yang kian hari kian bertambah banyak, maka pihak
staf pengurus Perpustakaan Persada Bung Karno membuat waktu layanan bagi
pengunjungnya, yaitu:
1. Layanan Koleksi Buku
- dibuka setiap hari pukul 08.00-15.00 wib
- khusus hari Jumat, istirahat pukul 11.00-13.00 wib.
2. Layanan non Buku
- dibuka setiap hari pukul 07.00-17.00 wib
- khusus hari Jumat, istirahat pukul 11.00-13.00 wib.
3. Untuk sementara waktu perpustakaan ini masih menggunakan sistem layanan
tertutup dan koleksi hanya bisa dibaca di tempat.
Staf Perpustakaan Bung Karno yang melayani para wisatawan ini
berjumlah kurang lebih 59 orang, dengan Status sebagian PNS dan sebagian
dengan status Dipekerjakan.,waktu dan sistem kerja staf pun sama dengan
pegawai lainnya, kecuali hari sabtu diberlakukan sistem shift (bergantian) dengan
masing-masing 15 orang petugas pelayanan.
Dari banyaknya pengunjung yang datang setiap harinya, maka staf
pengurus membuka layanan keanggotaan pada perpustakaan ini. Dan syarat
menjadi anggota Perpustakaan Persada Bung Karno yaitu terbuka untuk seluruh
warga negara Indonesia berusia 13 tahun ke atas dengan persyaratan administrasi
sebagai berikut:
1. Mengisi formulir keanggotaan
2. menyerahkan kartu identitas (KTP/SIM/Kartu Pelajar)
3. khusus siswa SD harap melampirkan surat keterangan dari sekolah.
Dengan diajaknya pengunjung untuk belajar mengetahui sejarah Bung
Karno dan kontribusinya dimasa sekarang , maka wisata sejarah Bung Karno tidak
menjadi wisata sejarah belaka tetapi sudah mengalami pengembangan menjadi
model wisata pendidikan. Pengunjung diajak aktif untuk mencari tahu tentang
makna dibalik bangunan sejarah tersebut.





PKMI-1-19-6
KESIMPULAN
Dalam pembahasan ini wisata sejarah Bung Karno ternyata tidak hanya
menyuguhkan suatu bentuk bangunan sejarah seperti makam dan museum.
Dengan keberadaan Perpustakaan Persada Bung Karno, akan menjadi nilai
tambah model wisata pendidikan.
Perpustakaan Persada Bung Karno yang telah mengalami pengembangan
potensi dari wisata sejarah, menjadi model wisata pendidikan mampu memberi
penjelasan tentang makna tersimpan pada bangunan bersejarah. Pengunjung
diajak aktif untuk memahami dengan berfikir tentang makna sejarah melalui-
fasilitas-fasilitas yang disediakan.

DAFTAR PUSTAKA
Inkomparda. Kawasan Wisata Makam Bung Karno. Blitar: Dinas Inkomparda
Kota Blitar; 2004
Inkomparda. Pesona Wisata Kota Blitar. Blitar: Dinas Inkomparda Kota Blitar;
2004
Hamidi. Metode Penelitian Kualitatif, Aplikasi Praktis Pembuatan Proposal dan
Laporan Penelitian. Malang: UMM Press; 2004
Soekarno. Pidato Presiden Soekarno pada Hut Ke-21 Republik
Indonesia.Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah ( Never Leave
History ). Jakarta: Departemen Penerangan RI; 1966.
LPPM dan Tim Desain ITB. Laporan Pekerjaan Perancangan Konsep Desain
Gedung Perpustakaan Bung Karno di Blitar. Bandung; 2003.
Dokumentasi Dinas Inkomparda Kota Blitar
Dokumentasi Perpustakaan Persada Bung Karno
Web Site :
Perpustakaan Bung Karno Senilai Rp 12 Milyar Dibangun di Blitar (On-
line)www.pnri.go.id.Sabtu, 14 januari 2006 15.00 WIB
Melongok Perpustakaan Bung Karno. Juni 2005.www.suaramerdeka.com. (serial
0n-line 1(2):tggl akses : Senin, 16 Januari 2006, 17:42 WIB
Membangun Perpustakaan Bung Karno.www.perpusbungkarno.go.id. Senin,16
Januari 2006,17.50 WIB



PKMI-1-20-1
PERENDAMAN BENIH IKAN GURAMI (Osphronemus gouramy Lac.)
TERHADAP KEBERHASILAN PEMBENTUKAN
KELAMIN JANTAN

Sunandar, Tri Makmun Arifin, Nunik Yuliani
Jurusan Perikanan, Universitas Muhammadiyah Malang, Malang


ABSTRAK
Pemenuhan kebutuhan akan konsumsi ikan gurami dan adanya permasalahan
yang spesifik yaitu lambatnya pertumbuhan ikan gurami mendorong untuk
melakukan riset tentang teknologi rekayasa pembentukan kelamin jantan ikan
gurami dengan menggunakan hormon metiltestosteron. Tujuan praktikum ini
untuk mengetahui pengaruh dosis hormon metiltestosteron dan lama perendaman
benih ikan gurami terhadap keberhasilan pembentukan kelamin jantan ikan
gurami, untuk mengetahui dosis hormon metiltestosteron dan lama perendaman
benih ikan gurami yang optimal dan kelulushidupan (survival rate) benih ikan
gurami yang terbaik. Metode praktikum yang digunakan adalah eksperimen
dengan Rancangan Acak Kelompok Faktorial dengan 12 perlakuan meliputi,
faktor 1 (dosis hormon metiltestosteron 0 mg/l, 2.5 mg/l, 5 mg/l, 7.5 mg/l) dan
faktor 2 (lama perendaman 3 jam, 6 jam dan 9 jam) dengan 3 ulangan blok.
Analisa data menggunakan ANAVA dan uji BNT sedangkan untuk mengetahui
dosis optimal menggunakan analisa regresi. Hasil praktikum ini menunjukkan
dosis 4.906 mg/l merupakan perlakuan dosis yang optimal dalam menghasilkan
66.986% ikan gurami jantan dan 30.267% ikan gurami betina, sedangkan lama
perendaman tidak bedanyata antar perlakuan, maka lama perendaman optimum
yang memiliki waktu lebih singkat yaitu lama perendaman 3 jam. Pengaruh dosis
hormon metiltestosteron dan lama perendaman tidak ada pengaruhnya terhadap
kelulushidupan benih ikan gurami. Kesimpulan dalam praktikum ini adalah
pemberian dosis hormon metiltestosteron pada ikan gurami berpengaruh sangat
nyata terhadap keberhasilan pembentukan kelamin jantan, sedangkan perlakuan
lama perendaman tidak berpengaruh. Dosis optimal dalam pembentukan kelamin
jantan ikan gurami adalah 4.906 mg/l. Pengaruh hormon metiltestosteron dan
lama perendaman benih ikan gurami selama perendaman dan selama
pemeliharaan tidak berpengaruh terhadap kelulushidupan benih ikan gurami.

Kata kunci: Kelamin jantan, metiltestosteron, perendaman

PENDAHULUAN
Ikan gurami (Oshpronemus gouramy Lac.) merupakan ikan asli Indonesia.
Ikan ini merupakan salah satu komoditi perikanan air tawar yang penting dilihat
dari permintaannya yang besar dan harganya yang relatif tinggi dan merupakan
salah satu sumber protein yang cukup tinggi, oleh sebab itu tidak mengherankan
apabila ikan gurami menjadi salah satu komoditi unggulan di sektor perikanan air
tawar.
Produksi ikan gurami di Indonesia pada tahun 1995 mencapai sekitar
7.000 ton (Tempo, 17 Oktober 2003). Selama periode 1991-1995, produksi
gurami mengalami peningkatan rata-rata 1.183,7 ton per tahun. Kemudian pada


PKMI-1-20-2
tahun 2000 meningkat menjadi 14.065 ton, dan pada tahun 2001 sampai sekarang
produksinya mencapai 19.027 ton (Kompas, 24 Februari 2004).
Akan tetapi terdapat permasalahan spesifik dalam produksi ikan gurami
yaitu ikan gurami memiliki pertumbuhan yang lambat, karena dalam masa
pemeliharaannya ikan gurami dari benih sampai ukuran konsumsi dengan berat
500 gram memerlukan waktu sampai 18 bulan (Adnan, dkk., 2002) . Terlalu lama
bagi bisnis di tingkat petani Indonesia. Maka, perlu adanya usaha menemukan
teknik yang tepat guna memacu pertumbuhan ikan gurami.
Pada ikan gurami diketahui pertumbuhan ikan jantan lebih cepat
dibandingkan ikan betina, jantan berumur 10-12 bulan dapat mencapai berat rata-
rata 250 gr/ekor, sedangkan betina hanya 200 gr/ekor. Ini berarti pertumbuhan
gurami jantan 20% lebih cepat dibandingkan gurami betina. Sehingga dengan
hanya memproduksi ikan gurami jantan saja dapat meningkatkan produksi dari
pembesaran ikan gurami.
Sex reversal adalah proses memproduksi ikan monosex atau memproduksi
ikan dengan satu jenis kelamin yaitu jantan atau betina saja. Sex reversal dengan
pemberian metiltestosteron dikenal cukup efektif untuk memproduksi populasi
jantan. Pemberian metiltestosteron melalui oral (pakan) dianggap kurang efisien
karena memerlukan dosis tinggi dan waktu pemberiannya relatif lebih lama
walaupun tingkat keberhasilan merubah kelamin jantan dapat mencapai 96100%,
sedangkan pemberian metiltestosteron melalui metode perendaman (dipping)
lebih efisien karena dosis yang diberikan relatif kecil dan waktu kontaknya lebih
singkat walaupun tingkat keberhasilan merubah kelamin jantan dibawah 96%
(Zairin, 2002), hal ini didukung oleh penelitian Priambodo (1998), pada ikan nila
bahwa dengan dosis 0,9-1,2 dengan lama perendaman dua jam sudah dapat
merubah jenis kelaminnya.
Maka untuk mengetahui pengaruh dosis dan lama perendaman benih ikan
gurami yang terbaik terhadap persentase pembentukan jenis kelamin dan waktu
kontak perlu dilakukan penelitian, apakah dosis hormon metiltestosteron dan
lama perendaman berpengaruh pada benih ikan gurami atau tidak.
Tujuan dari praktikum ini adalah untuk mengetahui pengaruh dosis
hormon metiltestosteron dan lama perendaman benih ikan gurami terhadap
keberhasilan pembentukan kelamin jantan ikan gurami, untuk mengetahui dosis
hormon metiltestosteron dan lama perendaman benih ikan gurami yang optimal
dalam pembentukan kelamin jantan dan kelulushidupan (survival rate ikan
gurami.


MATERI DAN METODE
Waktu dan Tempat
Praktikum ini dilaksanakan pada bulan OktoberDesember 2005, di
Kolam petani ikan gurami di Blitar dan Laboratorium Perikanan Fakultas
PeternakanPerikanan Universitas Muhammadiyah Malang.

Materi dan Alat Penelitian
Materi yang digunakan dalam praktikum ini adalah benih ikan gurami
berumur 21 hari yang berjumlah 18000 ekor, Hormon Metiltestosteron, Alkohol
96%, Asetokarmin dan Oksigen.


PKMI-1-20-3
Alat-alat yang digunakan untuk perlakuan adalah kolam berukuran 5 x 4
m
2
, happa, kantong plastik, karet gelang dan alat untuk mengukur kualitas air
(thermometer, pH, dan Oximeter), sedangkan untuk pengamatan morfologi
menggunakan mikroskop, dan section set.


Metode dan Rancangan Praktikum
Metode yang digunakan dalam praktikum ini adalah metode eksperimen,
dan rancangan yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok Faktorial
(RAKF) dengan Rancangan Acak Kelompok Faktorial (RAKF) adalah Faktor 1
(A0

= Dosis 0 mg/liter, A1 = Dosis 2,5 mg/liter, A2 = Dosis 5 mg/liter, A3 =
Dosis 7,5 mg/liter) dan Faktor 2 (B1 = Lama perendaman 3 jam), (B2 = Lama
perendaman 6 jam, (B3 = Lama perendaman 9 jam).
Blok ulangan yang digunakan perbedaan wilayah kolam pemeliharaan
masing-masing adalah Blok I, Blok II, Blok III. Jumlah perlakuan 4 untuk dosis
hormon metiltestosteron dan 3 perlakuan untuk lama perendaman.

Prosedur Praktikum
1. Persiapan Praktikum
Menyediakan benih ikan gurami yang berumur 21 hari sebanyak 500 ekor
untuk 36 unit percobaan.
Menyiapkan materi penelitian
Menyiapkan alat dan bahan penelitian
2. Pelaksanaan Praktikum
a. Perlakuan pemberian dosis dan lama perendaman dengan metiltestosteron
Menyiapkan dosis metiltestosteron sesuai dengan perlakuan.
Melarutkan hormon dengan alkohol 96 % sebanyak 3 ml.
Menyiapkan kantong plastik sebanyak tiga buah pada tiap perlakuan
sehingga kantong plastik yang harus disediakan sebanyak 36 buah
serta mengisi kantong plastik dengan air sebanyak 1 liter.
Memasukkan benih yang berumur 21 hari sebanyak 500 ekor pada
tiap-tiap kantong plastik yang telah disiapkan.
Memasukkan hormon metiltestosteron sesuai dosis perlakuan ke
dalam kantong plastik, melakukan perlakuan lama perendaman
yaitu: lama perendaman 3 jam, lama perendaman 6 jam, lama
perendaman 9 jam.
Menambahkan O
2
ke dalam kantong plastik dan mengikatnya
dengan karet gelang.
Mengamati dan mencatat survival rate (SR) benih ikan gurami
selama perendaman dalam kantong plastik.
b. Pemeliharaan Benih Ikan Gurami pada Keramba dalam Kolam
Mempersiapkan happa berukuran 1 m
2
yang di letakkan di kolam,
mengisi air ke kolam sampai ketinggian 30 cm. Persiapan ini
dilakukan 2 hari sebelum benih ikan gurami ditebar.
Setelah perlakuan benih ikan gurami dimasukkan ke dalam happa.
Selama pemeliharaan diberi makanan alami (cacing tubifek)
Selama pemeliharaan mengamati parameter kualitas air dan
kelulushidupan (Survival Rate).


PKMI-1-20-4
c. Pengamatan Keberhasilan
Mengamati keberhasilan presentase pembentukan jenis kelamin
jantan, betina dan intersex. Pengamatan keberhasilan pembentukan
jenis kelamin dilakukan histology. Pengamatan histologi yaitu
dengan cara mengambil gonad ikan ikan uji dengan membedah ikan
uji. Metode pengamatan secara histology sebagai berikut:
Mengambil ikan uji sebanyak 15% dari 500 ekor atau sebanyak
75 ekor pada tiap unit percobaan, sesuai pendapat Arikunto
(2002), untuk pengambilan sampel kurang dari 100, lebih baik
diambil semua, selanjutnya jika jumlah samplel lebih dari 100
dapat diambil antara 10% atau 20% sampai 25% atau lebih.
Membedah sampel ikan uji dengan cara menggunting bagian
perut ikan mulai dari operculum sampai anus.
Mengambil sebagian gonad dan dileburkan dengan alat pencet.
Menetesi gonad dengan larutan asetokarmin sebanyak + 2 tetes.
Membiarkan selama + 10 menit agar larutan asetokarmin
meresap kedalam jaringan gonad.
Menutup gonad dengan cover glass.
Mengamati dibawah mikroskop dengan pembesaran 100x.
Menentukan jenis gonad atau kelamin ikan uji.
Mencatat presentase jenis kelamin jantan, dan betina untuk
menentukan keberhasilan perlakuan.

Parameter Uji
1. Parameter Utama
Parameter utama yang diamati dalam praktikum ini adalah keberhasilan
pembentukan jenis kelamin jantan. Menurut Zairin, (2002) keberhasilan
pembentukan jenis kelamin diukur dengan menggunakan rumus:
Jumlah Ikan Gurami Jantan (J)
J (%) = x100%
Sampel Ikan Jumlah
Jantan Ikan Jumlah

Jumlah Ikan Gurami Betina (B)
B (%) = x100%
Sampel Ikan Jumlah
Betina Ikan Jumlah

2. Parameter Penunjang
Parameter penunjang dalam praktikum ini berupa kelulushidupan ikan
gurami, pertumbuhan ikan gurami dan parameter kualitas air media ikan.
Kelulushidupan atau Survival Rate (SR) menurut Zonneveld, dkk (1991)
adalah persentasi ikan yang hidup pada akhir penelitian.
Pengukuran Parameter Kualitas Air
Pengukuran parameter kualitas air dilakukan dipagi, siang dan sore hari
meliputi pengukuran pH, oksigen terlarut dan suhu.

Analisa Data
Data yang diperoleh dianalisa dengan analisis variansi (ANAVA) di
lanjutkan dengan uji BNT (Beda Nyata Terkecil). Untuk mengetahui hubungan
antara perlakuan terhadap respon (hasil) dilakukan analisis regresi.


PKMI-1-20-5
HASIL PRAKTIKUM
Hasil praktikum ini didapatkan data rata-rata persentase keberhasilan
pembentukan kelamin dan kelulushidupan ikan gurami (Osphronemus gouramy
Lac.) pada Tabel 1. berikut ini :
Tabel P. Data Rata-rata Keberhasilan Pembentukan Kelamin (%) dan
Kelulushidupan (%) Ikan Gurami (Osphronemus gouramy Lac.)
PERLAKUAN
0 mg 2,5 mg 5 mg 7,5 mg
PRAMETER
UJI
3
Jam
6
Jam
9
Jam
3
Jam
6
Jam
9
Jam
3
Jam
6
Jam
9
Jam
3
Jam
6
Jam
9
Jam
Jumlah Kelamin (%)
- Jantan
56 54.22 59.11 71.56 76.89 77.78 83.11 86.67 89.33 80.44 68 73.78
- Betina
44.00 45.78 40.89 26.67 22.22 21.78 16.44 12.89 10.67 19.56 32.00 26.22
- Intersex
0.00 0.00 0.00 1.78 0.89 0.44 0.44 0.44 0.00 0.00 0.00 0.00
Kelulushidupan (%)
- Pada saat
Perendaman
99.80 99.87 99.80 99.73 99.73 99.87 99.53 99.87 99.80 99.67 99.67 99.53
- Pada saat
Pemeliharaan
56.60 71.27 56.33 68.40 68.40 63.93 66.87 70.40 67.47 61.80 64.93 62.93

PEMBAHASAN
Pembentukan Kelamin Jantan
Hasil praktikum optimalisasi dosis hormon metiltestosteron dan lama
perendaman terhadap pembentukan kelamin jantan ikan gurami, hasil persentase
keberhasilan terbaik dari uji BNT ditemukan pada perlakuan dosis 5 mg/l (66.979
persen), sedangkan lama perendaman benih dengan menggunakan hormon tidak
berpengaruh nyata. Dosis optimun dari analisa regresi yang ditunjukkan oleh
Gambar 2, pembentukan kelamin jantan menunjukkan kecenderungan garis
kuadratik yaitu semakin tinggi dosis yang diberikan sampai batas dosis 4.906 mg/l
(66.986 persen) akan semakin tinggi persentase kelamin jantan yang dihasilkan.
Akan tetapi, apabila dosis melebihi 4.906 mg/l, maka akan terjadi sebaliknya yaitu
semakin menurun pembentukan kelamin jantan yang dihasilkan dan justru
memberikan pembentukan kelamin betina, hal ini dikarenakan dosis hormon
metiltestosteron yang berlebih dapat menyebabkan terhambatnya proses
pembentukan kelamin dan berakibat timbulnya proses sebaliknya, sesuai pendapat
Mukti (2002) kelebihan dosis hormon metiltestosteron yang diberikan pada ikan
dapat mengurangi jumlah kelamin jantan yaitu hormon metiltestosteron semakin
memacu perkembangan kelamin atau gonad betina ikan (bukan kelamin jantan).


PKMI-1-20-6
Grafi k Hubungan Dosi s Hormon Metiltestosteron
Terhadap Keberhasi l an Pembentukan
Kel ami n Jantan Bani h Ikan Gurami
y = -7.0527x
2
+ 69.202x + 433.12
r = 0.985
0
100
200
300
400
500
600
700
0 1 2 3 4 5 6 7 8
Dosis Hormon Metiltestosteron
K
e
b
e
r
h
a
s
i
l
a
n

P
e
m
b
e
n
t
u
k
a
n

K
e
l
a
m
i
n

J
a
n
t
a
n

Gambar P. Grafik Hubungan Dosis Hormon Metiltestosteron Terhadap
Keberhasilan Pembentukan Kelamin Jantan

Pada dosis optimal 4.906 mg/l (66.986 persen) ternyata belum
menghasilkan pembentukan kelamin jantan maksimal seperti dugaan awal, yaitu
pembentukan kelamin jantan dengan metode perendaman (dipping) dapat
menghasilkan pembentukan kelamin jantan sebesar 93.3 persen (Santoso, 2004).
Tidak berpengaruhnya lama perendaman dan masih adanya kelamin betina
sebesar 30.267 persen diduga dipengaruhi oleh umur benih ikan gurami (21 hari)
memiliki gonad yang hampir sempurna (terdifferensiasi), maka laju difusi hormon
metiltestosteron yang akan masuk organ target terhambat karena permaebilitas
dari tubuh larva rendah, sehingga pembentukan kelamin jantan ikan gurami
menjadi tidak maksimal, hal ini didukung oleh pendapat Hepher dan Pruginin
(1982) yang menyatakan differensiasi gonad ikan terjadi antara 21 sampai 30 hari
setelah telur menetas.
Pemberian hormon metiltestosteron pada benih ikan gurami tidak
menyebabkan perubahan genetik ikan, karena hormon ini hanya akan mencapai
dan mempengaruhi organ target saja dan bukan kelamin ikan, differensiasi
kelamin atas pengaruh pemberian hormon mengubah fenotip kelamin, tetapi tidak
mengubah genotipnya (Zairin, 2002). Efektifitas pembentukan kelamin jantan
sangat ditentukan oleh ketepatan pemberian dosis hormon metiltestosteron dan
umur ikan sebelum gonad terdifferensiasi, karena dosis dan masa differensiasi
yang tepat akan menghambat pembentukan ovari dan sebaliknya pembentukan
gonad jantan semakin cepat, sehingga gonad akan berkembang menjadi testis.
Pematang gonad ikan yang bekerja dibawah kendali hormon-hormon,
secara umum mekanisme terjadi secara alamiah dan rekayasa (rangsangan).
Mekanisme secara alamiah kerja hormon untuk perkembangan dan pematangan
gonad dimulai dari adanya rangsangan dari luar seperti visual untuk fotoperiode,
kemoreseptor untuk suhu dan metabolit yang kemudian diterima oleh susunan
saraf otak melalui reseptor-reseptor penerima rangsangan susunan saraf otak
kemudian merangsang hipotalamus untuk melepaskan Gonadropin Releasing
Hormon (GnRH) untuk mestimulasi kelenjar hipofisa (pituitary) untuk
mengsekresikan Gonadotropin Hormon (GtH) kemudian dialirkan ke dalam darah
untuk merangsang kematangan gonad akhir melalui simulasi untuk mensintesis
hormon-hormon steroid pematangan (seperti hormon testoteron dan estradiol)
dalam ovarium atau testis, dan mempengaruhi perkembangan kelamin sekunder.


PKMI-1-20-7
Mekanisme rangsangan pembentukan gonad jantan dengan menggunakan
hormon metiltestosteron (hormon steroid) dimulai dari penyepan hormon kedalam
tubuh ikan secara difusi dan disekresikan melalui saluran darah (Montgonery, et
all., 1983). Proses bagaimana hormon steroid tersebut dapat merangsang
pemasakan oosit maupun sperma mekanismenya belum diketahui, tetapi diduga
melalui tranfer kode terjemahan RNA (Darwisito, 2002).

Kelulushidupan Benih Ikan Gurami
Hasil kelulushidupan benih ikan gurami selama perendaman dihasilkan
semua perlakuan memiliki rata-rata kelulushidupan sebesar 99,4 persen sampai
dengan 100 persen, dari hasil analisa sidik ragam diperoleh kesimpulan bahwa
perlakuan dosis dan lama peredaman hormon metiltestosteron tidak berpengaruh
terhadap kelulushidupan selama perendaman, karena dari perhitungan F hitung
lebih kecil dari F tabel 5% dan 1%. Tidak berpengaruhnya hormon terhadap
kelulushidupan selama perendaman membuktikan bahwa hormon metiltestosteron
pada dosis 7.5 mg/l tidak bersifat racun pada ikan gurami, karena hormon steroid
semacam metiltstosteron menurut Nurhidayat dalam Mukti (2002) mengatakan,
semakin tinggi dosis hormon yang diberikan dapat menurunkan tingkat
kelulushidupan ikan karena adanya sifat racun (toxit) dari hormon kepada ikan.
Berbeda dengan kelulushidupan benih ikan gurami selama pemeliharaan
didapatkan persentase kelulushidupan yang rendah yaitu rata-rata 56.33% sampai
dengan 70.40% dan hasil analisa sidik ragam memilki kesimpulan bahwa
perlakuan dosis dan lama peredaman hormon metiltestosteron yang berbeda tidak
berpengaruh terhadap kelulushidupan selama pemeliharaan, tetapi pemeliharaan
benih ikan gurami dalam happa berpengaruh terhadap kelulushidupan yang
rendah. Kelulushidupan yang rendah selama pemeliharaan diduga banyak
dipengaruhi oleh faktor penanganan (handling) dan ada pengaruh dari hormon
meskipun dari hasil analisa sidik ragam tidak berpengaruh, selain itu
kelulushidupan benih ikan gurami yang rendah memang dikarenakan
kelulushidupan masa benih cukup rendah, sesuai pendapat Adnan, dkk. (2002)
tingkat mortalitas atau kelulushidupan ikan gurami masa benih hanya mencapai
sekitar + 50% saja.

Kualitas Air
Hasil pengukuran kualitas air diperoleh kisaran media pemeliharaan masih
optimum untuk dipergunakan pemeliharaan benih ikan gurami. Suhu pagi hari
didapatkan rata-rata 24.7
0
C, siang hari suhu rata-rata 30.4
0
C, sore hari rata-rata
28.5
0
C. pH tidak ada perubahan dari pagi hari sampai sore hari memliki pH
sebesar 8. Oksigen terlarut pagi hari rata-rata 5.56 mg/l, siang hari oksigen terlarut
rata-rata 6.42 mg/l dan pada sore hari rata-rata 5,92 mg/l.
Kualitas air yang optimum pada pemeliharaan benih ikan gurami menurut
Prihartono (2004) suhu yang baik untuk pemeliharaan benih ikan gurami berisar
antara 25
0
C30
0
C dan untuk pH berkisar antara 6.58.5. Untuk kandungan
oksigen terlarut yang baik menurut Tim Agro Media Pustaka (2001) kandungan
oksigen untuk pertumbuhan ikan gurami tidak boleh kurang 5 mg/l.





PKMI-1-20-8
KESIMPULAN
Hasil praktikum optimalisasi dosis hormon metiltestosteron dan lama
perendaman yang berbeda pada pada benih ikan gurami (Osphronemus gouramy
Lac.) terhadap keberhasilan pembentukan kelamin jantan diperoleh kesimpulan
bahwa, perlakuan dosis hormon metiltestosteron yang berbeda pada ikan gurami
(Osphronemus gouramy Lac.) berpengaruh sangat nyata terhadap keberhasilan
pembentukan kelamin jantan dan untuk perlakuan lama perendaman ikan gurami
(Osphronemus gouramy Lac.) tidak berpengaruh terhadap keberhasilan
pembentukan kelamin jantan. Sehingga didapatkan dosis optimal yang
memberikan pembentukan kelamin jantan ikan gurami yaitu pada dosis 4.906
mg/l sebesar 66.986%, untuk pengaruh hormon metiltestosteron dan lama
perendaman benih ikan gurami selama perendaman dan selama pemeliharaan
tidak berpengaruh terhadap kelulushidupan benih ikan gurami.

DAFTAR PUSTAKA
Adnan, D.W., Martawijaya, E.L., dan Setiawan, B.D. (2002). Pembenihan
Gurami di Dalam Akuarium. PT. Agro Media Pustaka. Jakarta
Darwisito, S. (2002). Stretegi Reproduksi Pada Ikan Kerapu. http://www. iptek.
net.id/ind/warintek/Budidaya_perikanan_idx.php?doc=3a2. diakses pada
tanggal 15 April 2005
Hepher, B. dan Pruginin, Y. (1982). Cemmercial Fish Farming. John Wiley and
Sons. New York. 261p
Kompas. (Kamis 26 Februari 2004). Seiring Wabah Flu Burung, Bisnis Perikanan
Bergairah Lagi. http://www.kompas.com/kompas-cetak/0402/26/jateng/
879329.htm. diakses pada tanggal 15 April 2005
Montgomery, R., Dryer. R. L., Conway, R. W., dan Spector A. A. (1983).
Biokimia: Suatu Pendekatan Berorietasi-Kasus Jilid 2 Edisi Keempat.
Gajah Mada Univercity. Yogyakarta
Mukti, A.T., Priambodo, B., Rustidja, dan Widodo, M.S. (2002). Optimalisasi
Dosis Hormon Sintetis 17 -Metiltestosteron dan Lama Perendaman
Larva Ikan Nila (Oreochromis spp.) Terhadap Keberhasilan Perubahan
Jenis Kelamin. http://digilib.brawijaya.ac.id/ virtuallibrary/mlgserial/Pdf%
20Material/Biosain%20Edisi%20. diakses pada tanggal 15 April 2005
Priambodo, B. (1998). Optimalisasi Dosis Hormon Sintetis 17 -Metiltestosteron
dan Lama Perendaman Larva Ikan Nila (Oreochromis spp.) Terhadap
Keberhasilan Perubahan Jenis Kelamin. Fakutas Perikanan Universitas
Brawijaya. Malang
Prihartono, P.E., 2004. Permasalahan Gurami dan Solusinya. Penebar Swadaya.
Jakarta
Tempo. (2003). Produksi Ikan Gurami Tiap Tahun Meningkat 35 Persen.
http://www.tempo.co.id/hg/ekbis/2003/10/17/brk%2C2003101740%2Cid.
html. diakses pada tanggal 15 April 2005
Tim Agro Media Pustaka, 2001. Budidaya Gurami. PT. Agro Media Pustaka.
Jakarta
Zairin, M. (2002). Sex Reversal: Memproduksi Benih Ikan Jantan atau Betina.
Penebar Swadaya. Jakarta
Zonneveld, N., Huisman, E. A. dan Boon, J. H. (1991). Prinsip-prinsip Budidaya
Ikan. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta


PKMI-2-1-1
PEMBIAYAAN PENDIDIKAN INDONESIA:
MENUJU MILLINEUM DEVELOPMENT GOALS (MDGs) 2015

Wiko Saputra, Ayu Yuliana Tasya, Jorrie Andrean
Jurusan Ekonomi Pembangunan Universitas Andalas Padang


ABSTRAK
Salah satu kesepakatan dalam Millenium Development Goals (MDGs) 2015
adalah peningkatan kualitas sumber daya manusia diseluruh dunia dengan
agenda utama tersedianya akses pendidikan dasar bagi seluruh lapisan
masyarakat. Secara eksplisit, MDGs 2015 mengarah pada program wajib belajar
sembilan tahun, dimana negara harus menyediakan kesempatan yang luas bagi
anak usia 7-15 tahun untuk mendapatkan pendidikan. Menghadapi MDGs 2015,
bidang pendidikan di Indonesia harus berbenah diri, hal utama yang dilakukan
adalah memperbaiki program wajib belajar sembilan tahun dan secara bertahap
mencanangkan program wajib belajar dua belas tahun. Masih minimnya
anggaran untuk sektor pendidikan (7-8 % dari APBN) dan kesalahan kebijakan
alokasi anggaran pendidikan yang sebagian besar digunakan bukan untuk
peningkatan kualitas pendidikan dan tersentralisasi pada level pusat bukanya
pada level sekolah merupakan masalah utama dalam pendidikan. Dilihat dari
segi financial, peranan pemerintah terhadap pembiayaan pendidikan masih kecil,
sebagian besar biaya pendidikan masih ditanggung oleh rumah tangga. Untuk
menuju MDGs 2015 permasalahan tersebut harus dapat diatasi. Diperlukan
peranan pemerintah dalam penyedian akses pendidikan terutama pembiayaan
pendidikan itu sendiri. Pemerintah harus berusaha menyediakan pendidikan yang
murah sehingga masyarakat mampu mengakses pendidikan. Sebuah tantangan
yang harus dihadapi bangsa Indonesia untuk dapat bersaing dalam MDGs 2015.

Kata kunci : Millenium Development Goals 2015, wajib sembilan belas tahun,
wajib belajar dua belas tahun, pembiayaan pendidikan, anggaran
pendidikan.


PENDAHULUAN

Sebuah harapan akan kehidupan madani yang menjadi cita-cita setiap
masyarakat mulai menjadi paradigma baru dalam tatanan kehidupan masyarakat
dunia pada saat ini. Masalah kemiskinan, diskriminasi, kelaparan,
keterbelakangan yang selama ini hidup dibawah kemerlapan dunia sehingga
menimbulkan perbedaan yang tajam antara masyarakat miskin dan masyarakat
kaya. Menghadapi masalah tersebut, negara-negara di dunia membuat sebuah
komitmen dan kesepakatan bersama yang tertuang dalam program Millenium
Development Goals (MDGs) 2015. Salah satu agenda MDGs 2015 adalah
perbaikan kualitas sumber daya manusia melalui penyedian kesempatan yang luas
bagi masyarakat untuk mendapatkan pendidikan dasar atau secara eksplisit tidak
ada anak usia 7-15 tahun yang tidak bersekolah. Bagaimana pendidikan Indonesia
menghadapi MDGs 2015 ?.


PKMI-2-1-2
Sumber : www.worldbank.org/data

Untuk pendidikan dasar, Indonesia
masih agak tertinggal dengan
beberapa negara lain, tingkat
partisipasi sekolah untuk pendidikan
dasar baru mencapai 85-94 % (lihat
gambar 1.1). Untuk SMP masih
berkisar 55 % dan SMA baru
mencapi 32 % (Balitbang Diknas
2004). Bandingkan dengan Malaysia
yang telah mampu mewujudkan
wajib belajar sembilan tahun.
Menghadapi MDGs 2015 hal utama
yang perlu dilakukan adalah secara
bertahap merancang program wajib
belajar dua belas tahun. Minimnya
anggaran untuk sektor pendidikan
merupakan penyebab utama masih
rendahnya angka partisipasi sekolah.

Beban biaya pendidikan sebagian besar ditanggung oleh rumah tangga
sehingga banyak bagian masyarakat yang belum mampu mengakses pendidikan
terutama masyarakat miskin. Masalah lain adalah kecilnya alokasi anggaran
pendidikan yang kecil, banyak yang tidak tepat sasaran. Alokasi masih
terkosentrasi pada level pusat bukan pada level sekolah dan desentralisasi belum
menunjukan perubahan yang signifikan dalam kebijakan anggaran. Sistem inilah
yang harus diperbaiki untuk menuju MDGs 2015 sehingga wajib belajar dua belas
tahun dapat dilaksanakan di Indonesia.

TINJAUAN PUSTAKA
Konsep Pembiayaan Pendidikan
Selama ini sudah banyak study yang membahas satuan biaya pendidikan.
Dari berbagai study dengan karakteristik masing-masing menghasilkan suatu
definisi yang terus berkembang. Tapi yang jelas biaya (cost) pendidikan
merupakan semua jenis pengeluaran yang dikeluarkan untuk penyelenggaraan
pendidikan. Dari defenisi ini para praktisi pendidikan mengembangkan study
masing-masing. Richanson (dalam Ghazali, 2000a) menjabarkan konsep biaya
pendidikan dengan pendekatan biaya langsung kedalam yang terdiri dari biaya
adminstrasi, pengajaran, operasional, gedung dan perlengkapan. Sedangkan Koch
(dalam Ghazali, 2000a) menyatakan biaya pendidikan terdiri dari biaya langsung
dari murid, pengeluaran masyarakat dan pendapatan yang hilang dari
melaksanakan pendidikan (earning forgone). Seiring dengan konsep biaya
pendidikan yang dikemukan oleh Koch, Cohn (dalam Gahzali, 2000a),
memasukan earning forgone dan opportunity cost sebagai salah satu bagian dari
pembiayaan pendidikan. Pilihan pendidikan yang diambil oleh individu akan
menghilangkan kesempatan untuk mendapatkan penghasilan bila individu tersebut
Gambar 1.1
Angka Partisipasi Sekolah Dasar di
Beberapa Negara, 2004


PKMI-2-1-3
bersekolah sehingga pendapatan dan kesempatan yang hilang menjadi biaya tidak
langsung (indirect cost) dari pendidikan.
Woodhal (dalam Ghazali, 2000a) membedakan menjadi dua kategori
yaitu: pertama, biaya lancar (recurent cost) yang mencakup semua pengeluaran
untuk keperluan konsumtif seperti bahan-bahan dan buku pelajaran, jasa-jasa yang
memberikan manfaat jangka pendek dan secara reguler diperbaharui, kedua, biaya
kapital (capital cost) meliputi pembelian barang tahan lama seperti gedung atau
perlengkapan lain yang memberikan manfaat dalam jangka panjang. Selain
konsep tersebut, dalam perhitungan biaya pendidikan juga dikenal dengan biaya
uang (monetary cost) dan biaya bukan uang (non monetary cost) serta biaya yang
dikeluarkan individu (private cost) dan biaya yang ditanggung oleh masyarakat
untuk pendidikan (social cost). Selain biaya pendidikan, konsep pembiayaan
pendidikan juga memasukan anggaran biaya pendidikan sebagai instrument dasar
analisa pembiayaan. Dalam anggaran pendidikan yang terdiri dari pendapatan dan
pengeluaran pendidikan, dikenal istilah anggaran rutin (recurrent budget) dan
anggaran pembangunan (development budget) yang dialokasikan oleh untuk
pelaksanaan pendidikan. Luasnya konsep pembiayaan pendidikan, merupakan
suatu tantangan bagi pengambil kebijakan pendidikan dalam melihat dimensi
pembiayaan pelaksanaan pendidikan. Kesalahan kebijakan anggaran akan
menyebabkan pendidikan akan terjebak kedalam suatu sistem yang inefisiensi dan
pada akhirnya akan berpengaruh terhadap kualitas dan kuantitas output
pendidikan.

Study Terdahulu Satuan Biaya Pendidikan
Dari beberapa srudy yang telah dilakukan untuk meganalisa seberapa besar
biaya pendidikan (unit cost) yang dikeluarkan baik oleh pemerintah dan
masyarakat untuk mendapatkan layanan pendidikan melihatkan indikasi yang
berbeda dalam besaran biaya. Munculnya perbedaan ini dapat dilihat dari dua
aspek. Pertama, terjadi perbedaan konsep analisis yang dilakukan dari beberapa
penelitian. Ditjend PUOD Depdagri (1993) menembangkan penelitian satuan
biaya pendidikan untuk tingkat SD melalui pendekatan makro dengan unit analisis
pada level dana pemerintah. Hal yang sama juga dikembangkan oleh David Clark
(ADB, 1996) tapi dengan memperluas cakupan analisis mulai SD sampai SMA.
Tahun 2001, model ini tetap dipakai oleh Walter, M. Mahon (World Bank, 2001)
dengan analisis biaya pendidikan pada level SD. Study terakhir dilakukan oleh
Dedi Supriadi (2004) dengan pendekatan mikro berbasis dana rumah tangga,
masyarakat dan pemerintah. Model ini dipakai oleh Depdiknas dalam strategi
pembiayaan pendidikan 2005-2009 (Depdiknas, 2005).
Dengan model yang relatif berbeda dan tahun penelitian yang juga berbeda
telah memberikan sebuah gambaran yang menarik dari perhitungan satuan
pembiayaan pendidikan di Indonesia. Study yang dilakukan oleh Ditjend PUOD
Depdagri (1993), untuk level pendidikan dasar, kebutuhan biaya pendidikan per
siswa (unit cost) sebesar Rp.140.850. Dengan model yang hampir mirip David
Clark menemukan sebesar Rp.221.000 untuk SD, Rp. 377.000 untuk SMP dan
Rp.721.000 untuk SMA. Walter W. MacMahon menghitung dalam studynya
sebesar Rp.467.000 untuk level pendidikan dasar. Dengan pendekatan mikro,


PKMI-2-1-4
study yang dilakukan oleh Dedi Supriadi (2004) mengasilkan perhitungan sebesar
Rp.1.324.166 untuk SD, Rp.2.743.605 untuk SMP dan Rp.3.552.269 untuk SMA.
Tujuan dari studi ini adalah untuk : 1) Menghitung satuan biaya
pendidikan dasar dan menengah dan komposisi peranan pemerintah, rumah tangga
dan masyarakat dalam pembiayaan pendidikan, 2) Menganalisa pola pembiayaan
ideal pendidikan dalam program wajib belajar dua belas tahun dan menghitung
besaran anggaran yang dibutuhkan menghadapi MDGs 2015, 3) Menganalisa
perubahan sistem anggaran pendidikan sebelum dan setelah desentralisasi di
Indonesia menghadapi MDGs 2015

METODE PENELITIAN

Lingkupan Penelitian

Study ini menganalisa sistem pembiayaan pendidikan di Indonesia
menghadapi MDGs 2015 dengan memperbaiki program wajib belajar sembilan
tahun menuju program wajib belajar dua belas tahun. Bagaimana pola pembiayaan
dan anggaran pendidikan terlebih dahulu mengungkap fenomena-fenomena mikro
yang terjadi saat ini. Dari fenomena mikro dikembangkan untuk melihat kondisi
makro dari pola pembiayaan dan anggaran pendidikan menghadapi MDGs 2015.
Pembiayaan pendidikan dalam penelitian ini memakai konsep pembiayaan
pendidikan secara mikro dengan unit analisis pada dana pemerintah, rumah tangga
dan masyarakat sehingga hasil perhitungan menunjukan nilai riil dari pembiayaan
pendidikan.Biaya pendidikan dihitung berdasarkan biaya langsung (direct cost)
yang dikeluarkan untuk pendidikan dan biaya tidak langsung (indirect cost) tapi
mendukung proses pendidikan. Tidak memasukan earning forgone atau
opportunity cost dalam perhitungan. Dengan kondisi yang terjadi, dapat dianalisa
pola kebijakan pembiayaan dan kebutuhan anggaran serta sistem pembiayaan
yang ideal untuk pendidikan dalam menghadapi program wajib belajar dua belas
tahun menuju MDGs 2015.

Sample Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan mengunakan data primer dengan dua jenis
level data yaitu data pada level siswa dan data pada level sekolah. Agar penelitian
ini memberikan gambaran yang luas terhadap perhitungan biaya pendidikan
diperlukan data dengan komposisi 144 data siswa dan 44 data sekolah
mengunakan empat daerah sample yang respresentatif terhadap hasil perhitungan
(lihat Tabel 1.1).

Kriteria dan Prosedur Pemilihan Sampel

Agar perhitungan satuan biaya pendidikan dasar dan menengah dapat mewakili
semua komponen strata ekonomi masyarakat maka dalam pemilihan sampel
ditentukan berdasarkan kriteria status sosial ekonomi (SSE) siswa. Berdasarkan
kriteria tersebut maka ada tiga kategori sekolah yang ditetapkan sebagai sampel
penelitian yaitu :



PKMI-2-1-5
1) Sekolah yang mewakili SSE tinggi atau sekolah favorit, indikator :
(a) Lebih 75 % siswanya berasal dari SSE tinggi dilingkungan masyarakat
tempat sekolah tersebut.
(b) Memeiliki popularitas atau terfavorit karena mutunya lebih baik
dibanding sekolah lain dilingkungan sekitar.
(c) Jumlah RAPBS merupakan tertinggi dibanding sekolah lain.
(d) Oleh Dinas Pendidikan sebagai sekolah unggulan.
2) Sekolah yang mewakili SSE menengah, indikator :
(a) Sekitar 50-75 % siswanya berasal dari SSE tinggi dan selebihnya
berasal dari SSE rendah dilingkungan masyarakat dilokasi sekitar.
(b) Popularitas sekolah tersebut berada pada level menengah dibanding
sekolah lain.
(c) Jumlah RAPBS sekolah tersebut termasuk rata-rata dibanding sekolah
lain.
(d) Oleh Dinas Pendidikan dinilai sebagai sekolah dengan kualitas
menengah.
3) Sekolah yang mewakili SSE rendah, indikator :
(a) Sekitar 75 % siswanya berasal dari SSE rendah dilingkungan
masyarakat dilokasi sekolah berada.
(b) Termasuk sekolah dengan reputasi rendah.
(c) Jumlah RAPBS termasuk yang rendah dibanding sekolah lain.
(d) Oleh Dinas Pendidikan dinilai sebagai sekolah dengan kualitas rendah.

Tabel 1.1 Distribusi Sampel Siswa Sekolah Dasar dan Menengah Negeri

JENJANG
PENDIDIKAN
PADANG B.TINGGI PARIAMAN SOLOK TOTAL
5 5 5 5 20 SD
Sampel RT 12 12 12 12 48
3 3 3 3 12 SMP
Sampel Siswa 12 12 12 12 48
3 3 3 3 12 SMA
Sampel siswa 12 12 12 12 48
Jumlah sekolah 11 11 11 11 44
Jumlah siswa/RT 36 36 36 36 144

Pengumpulan dan Pengolahan Data

Ada dua data yang digunakan dalam study ini. Pertama data primer yang
akan digunakan untuk menghitung satuan biaya pendidikan dasar dan menengah.
Ada dua kategori isian angket yang akan digunakan. (1) Angket untuk sekolah,
angket ini memuat rincian identitas sekolah dan pembiayaan pendidikan. (2)
Angket untuk siswa/orang tua siswa diberikan dalam bentuk kuisioner yang diisi
oleh siswa. Sampel diambil dari siswa kelas II untuk SMP dan SMA karena telah
satu tahun menempuh pendidikan. Untuk SD sampel diambil dari rumah tangga
yang memiliki anak, yang sedang menempuh pendidikan dasar. Pengambilan
sampel secara purpose random sampling, pada level sekolah bersifat purpose
dengan kriteria yang telah ditetapkan (rekomendasi dari Dinas Pendidikan) dan


PKMI-2-1-6
pada level rumah tangga bersifat systematical random sampling dengan
mengambil kelas tertentu yang tingkat variasinya banyak (rekomendasi pihak
sekolah). Tiap sekolah/ kelas diambil 4 orang siswa dengan teknik urutan tempat
duduk yang dipilih secara sistematik (star dari pintu masuk hitung 10 diambil
untuk satu sampel lalu kelipatan 10 untuk selanjutnya). Kedua data sekunder
berasal dari Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Pendidikan
Nasional, Badan Pusat Statistik dan Human Development Report dari Bank
Dunia. Selain itu juga mengunakan study kepustakaan. Data diolah dengan
mengunakan statistical package for social sciences (SPSS)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Satuan Biaya Pendidikan Dasar dan Menengah

Dengan pendekatan mikro pembiayaan pendidikan berbasis dana
pemerintah, rumah tangga dan masyarakat menunjukan nilai riil dari pembiayaan
pendidikan. Dari tabel (1.2) terlihat, pemerintah hanya berperan kecil dalam
pembiayaan pendidikan. Hampir 70-80 % pembiayaan pendidikan ditanggung
oleh rumah tangga. Ini memperlihatkan bahwa pemerintah belum maksimal dalam
pelayanan pendidikan. Dilihat dari alokasi dana pemerintah, terlihat semakin
tinggi jenjang pendidikan semakin kecil kontribusi pemerintah dalam pembiayaan
pendidikan. Sebagian subsidi pemerintah diserap untuk anggaran rutin terutama
pembayaran gaji (93 %) sedangkan sisanya untuk biaya pembangunan. Sedangkan
biaya yang ditanggung oleh rumah tangga sebagian besar diserap oleh biaya tidak
langsung (inderict cost) pendidikan terutama biaya transportasi dan uang saku
siswa. Alokasi pengeluaran rumah tangga dapat dilihat pada tabel (1.3).

Pendidikan Indonesia : Menuju Millenium Development Goals (MDGs) 2015
Sebuah tantangan bagi dunia pendidikan di Indonesia dalam melihat
dimensi MDGs 2015 karena secara struktural Indonesia masih jauh dari MDGs
2015. Agenda utama yang harus dilakukan oleh pemerintah Indonesia adalah
membenahi program wajib belajar sembilan tahun dan secara bertahap
melaksanakan program wajib belajar dua belas tahun untuk menuju MDGs 2015.
Target yang ingin dicapai adalah tersedianya kases pendidikan bagi seluruh anak
usia 7-15 tahun pada tahun 2010 dan anak usia 7-18 tahun pada tahun 2015.
Program ini akan memerlukan anggaran yang besar dan pola alokasi yang efisien.
Bagaimana pendidikan Indonesia menuju MDGs 2015, terutama masalah
pembiayaan dan anggaran pendidikan dapat dianalisis pada bagian ini.

Tabel 1.2 Satuan Biaya Pendidikan Dasar dan Menengah

SD SMP SMA Komponen
Pembiayaan

Jumlah (Rp) % Jumlah (Rp) % Jumlah (Rp) %
Pemerintah 518.942 28,1 684.942 23,4 813.356 21,4
Rumah tangga 1.321.428 71,6 2.235.632 76,3 2.965.054 78,1
Masyarakat 6.231 0,3 10.125 0,3 17.100 0,5
Total 1.846.601 100 2.930.699 100 3.795.510 100


PKMI-2-1-7
Tabel 1.3 Komponen Pembiayaan Pendidikan yang Ditanggung Rumah
Tangga

Jumlah (%)
No Komponen
SD SMP SMA
1 Uang pangkal/uang pembangunan 7,3 6,7 6,4
2 Iuran rutin sekolah 6,8 8,1 12,1
3 Kegiatan ekstrakulikuler 2,3 1,4 2,0
4 Pembelian buku pelajaran dan LKS 6,9 7,9 7,3
5 Pembelian buku dan alat tulis 5,8 4,9 4,3
6 Pembelian tas sekolah 3,6 2,6 2,2
7 Pembelian sepatu sekolah 3,7 3,6 2,4
8 Biaya transportasi atau jemputan sekolah 13,4 17,7 17,7
9 Pembelian seragam sekolah dan atribut 7,2 5,7 7,6
10 Pembelian pakaian olahraga 3,5 1,9 1,4
11 Kursus atau les di sekolah 7,1 6,7 11,8
12 Uang saku dan jajan siswa 32,4 32,8 24,8
Total
Total Rp,-
100
(1.321.428)
100
(2.235.632)
100
(2.965.054)


Satuan Biaya Pendidikan Ideal Menuju MDGs 2015

Pada bagian sebelumnya terlihat bahwa dalam pembiayaan pendidikan,
sebagian besar ditanggung oleh rumah tangga. Untuk menuju MDGs 2015 dengan
program wajib belajar dua belas tahun maka hal mendasar yang perlu dibenahi
adalah peningkatan kontribusi pemerintah dalam pembiayaan pendidikan. Wajib
belajar menuntut peran negara sebagai penyedia layanan pendidikan.


Tabel 1.4. Pola Pembiayaan Ideal Pendidikan Dasar dan Menengah
Menuju MDGs 2015

Keadaan Sekarang Menuju MDGs 2015
Tingkat Unit Cost
Pemerintah RT Masyarakat Pemerintah RT Masyarakat
SD

1.846.601
(100)
518.942
(28,1)
1.321.428
(71,6)
6.231
(0,3)
996.002
(53,9)
844.368
(45,8)
6.231
(0,3)
SMP

2.930.694
(100)
684.942
(23,4)
2.235.632
(76,3)
10.125
(0,3)
1.483.305
(50,6)
1.437.269
(49,1)
10.125
(0,3)
SMA

3.795.510
(100)
813.356
(21,4)
2.964.054
(78,1)
17.100
(0,5)
1.905.346
(50,2)
1.871.186
(49,3)
17.100
(0,5)

Dengan kondisi pembiayaan pendidikan sekarang, dimana peran
pemerintah hanya berkisar 20-30 % dari total pembiayaan pendidikan sedangkan
70-80 % ditanggung oleh rumah tangga menunjukan suatu ketimpangan dalam
peran serta pendidikan. Untuk menuju program wajib belajar dua belas tahun
dalam MDGs 2015 dituntut peran serta pemerintah yang besar dalam pelayanan
pendidikan. Pemerintah bertanggung jawab menyediakan akses pendidikan. Pada
tabel (1.4), terlihat untuk menghadapi MDGs 2015, peran pemerintah terhadap
pembiayaan pendidikan harus ditingkatkan. Komponen pembiyaan yang selama


PKMI-2-1-8
ini dibebankan pada rumah tangga seperti uang pembangunan, iuran rutin sekolah,
iuran kegiatan ekstrakulikuler, pembelian buku pelajaran, LKS, buku dan alat tulis
serta peningkatan mutu pembelajaran harus ditanggung oleh pemerintah sehingga
peran pemerintah mencapai 50 % dari total pembiayaan dan mengurangi beban
rumah tangga dalam pembiayaan pendidikan. Ini merupakan kondisi ideal dalam
kontribusi pemerintah terhadap pembiayaan pendidikan.

Anggaran Pendidikan dan Program Wajib Belajar Dua Belas Tahun Menuju
MDGs 2015

Hal dasar yang diperlukan dalam pelaksanaan program wajib belajar dua
belas tahun menuju MDGs 2015 adalah anggaran pendidikan. Untuk mencapai
program wajib belajar dua belas tahun, pemerintah harus merealisasikan 20 % dari
APBN untuk sektor pendidikan, komitmen ini sebenarnya telah tertuang dalam
UUD 1945 pasal 31 (4) tapi belum terealisasi sampai saat ini.
Dari tabel (1.5) dapat dilihat, angka partisipasi sekolah di Indonesia masih
rendah terutama pada level pendidikan menengah yang hanya berkisar 55,7 %
untuk SMP dan 32,3 % untuk SMA sedangkan untuk SD sudah mencapai 94,5 %.
Masih ada sekitar 16.337.204 atau 31,2 % anak usia 7-18 tahun yang tidak
mendapatkan akses pendidikan. Dengan dua agenda utama yaitu wajib belajar
sembilan tahun secara bertahap dapat dilaksanakan secara optimal pada tahun
2010 dan untuk wajib belajar dua belas tahun pada tahun 2015. Pada tabel (1.5)
juga dapat dilihat kondisi anggaran pendidikan, sekarang baru terealisasi sebesar
21,3 triliun untuk sektor pendidikan dasar dan menengah. Untuk mencapai
program wajib belajar sembilan tahun, pemerintah harus menyediakan anggaran
sebesar Rp.44,3 triliun, diperkirakan akan tercapai pada tahun 2010 sedangkan
untuk program wajib belajar dua belas tahun, pemerintah harus menyediakan
anggaran sebasar Rp. 70 triliun dengan target pada tahun 2015, semua anak usia
7-18 tahun dapat akses pendidikan. Dengan arti kata, diperlukan peningkatan
lebih 300 % dari anggaran pendidikan sekarang.


Desentralisasi Penyelenggaraan Pendidikan Menuju MDGs 2015

Perubahan tata kelola pemerintah di Indonesia dari sentralisasi menjadi
desentralisasi memberikan perubahan terhadap pengambilan kebijakan
pemerintah. Salah satu sektor yang diotonomikan adalah sektor pendidikan.
Namun perlu dipahami bahwa dalam kontek otonomi adalah tidak ada otonomi
pendidikan, yang ada adalah otonomi daerah dalam penyelenggaraan pendidikan
(Supriadi, 2004). Desentralisasai penyelenggaraan pendidikan menempatkan
sekolah sebagai pemegang peran besar dalam kewenangan putusan, kemandirian
mengelola dana dan akuntabilitas penyelenggaraan pendidikan. Sebelum
desntralisasi peranan tersebut lebih dominan pada level pemerintah pusat dan
propinsi dengan berbagai birokrasi yang rumit sehingga pencapaian hasil tidak
optimal. Keadaan tersebut telah menimbulkan krisis dalam pendidikan di
Indonesia. Tujuan utama yang ingin dicapai dalam desentralisasi penyelenggaraan
pendidikan yaitu pemberdayaan sekolah, masyarakat dan daerah dalam


PKMI-2-1-9
mengembangkan potensi yang dimiliki. Pola perubahan dari sentralisasi ke
desentralisasi dapat dilihat pada tabel dibawah.

Tabel 1.5 Angka Partisipasi Sekolah dan Anggaran Biaya Pendidikan
Wajib Belajar 12 Tahun Menuju MDG 2015

Keterangan
Keadaan
Sekarang
(2004)
(MDGs 2015) Tambahan Target
Angka Partisipasi
Murni*

SD

SMP

SMA

Total


Anggaran Pendidikan
(triliun Rp)

SD
SMP
SMA
Total

Program

Wajib Belajar 9 Thn
Wajib Belajar 12 Thn



24.435.036
(94,5)
7.293.961
(55,7)
4.354.759
(32,3)
36.083.756
(68,8)




12,9*
4,9*
3,5*
21,3*



25.857.177
(100)
13.095.083
(100)
13.466.700
(100)
52.418.900
(100)




24,9
+

19,4
+

25,7
+

70
+



44,3
+

70
+




1.422.141
(5,5)
5.801.122
(44,3)
9.11.941
(68,7)
16.337.204
(31,2)




12
+

14,5
+

22,2
+

48,7
+







Tahun 2010



Tahun 2015











Tahun 2010
Tahun 2015
Ket : *dengan kondisi unit cost sekarang

+
dengan kondisi unit cost ideal menuju MDG 2015
(lihat tabel 3.3)

Tabel 1.5 Perubahan Penyelenggaraan Pendidikan dari Sentralisasi ke
Desentralisasi

Tingkat

Kewenangan
Membuat Putusan
Kemandirian
Mengelola Dana
Akuntabilitas
Hasil
Sekolah :
Sebelum MBS
Setelah MBS

Kecil
Besar/meningkat

Kecil
Besar/meningkat

Besar
Besar/meningkat
Kab/Kota :
Sebelum Otda
Setelah Otda

Kecil
Besar/meningkat

Kecil
Besar/meningkat

Besar
Besar/meningkat
Propinsi :
Sebelum Otda
Setelah Otda

Besar
Kecil/menurun

Besar
Kecil/menurun

Kecil
Kecil/menurun
Pusat :
Sebelum Otda
Setelah Otda

Besar
Kecil/menurun

Besar
Kecil/menurun

Kecil
Kecil/menurun
Sumber : Supriadi (2004)


PKMI-2-1-10
KESIMPULAN

Minimnya alokasi anggaran untuk sektor pendidikan terutama pendidikan
dasar dan menengah yang hanya berkisar Rp. 21 triliun (7,8 % dari APBN 2005)
merupakan kendala utama dalam dunia pendidikan di Indonesia. Keadaan ini
menyebabkan sebagian besar pembiayaan pendidikan masih ditanggung oleh
runmah tangga, pemerintah hanya berperan sebesar 20-30 % dari total
pembiayaan pendidikan sehingga ada sekitar 16.337.204 atau sekitar 31,2 % anak
usia 7-18 tahun yang tidak mendapatkan akses pendidikan.
Secara eksplisit MDG 2015 mengarah pada penerapan wajib belajar dua
belas tahun, dimana tidak ada lagi anak usia 7-18 tahun yang tidak mendapatkan
akses pendidikan. Untuk merealisasi program tersebut, hal utama yang perlu
diperbaiki adalah peningkatan anggaran dan sistem pembiayaan untuk sektor
pendidikan. Permasalahan bukan saja pada anggaran tapi yang perlu juga
dipebaiki adalah sistem kebijakan anggaran yang selama ini masih belum sampai
pada sasaran. Desentralisasi penyelenggaraan pendidikan di Indonesia harus
sesuai dengan tatanan kebijakan, dimana anggaran pendidikan terkosentrasi pada
level sekolah sehingga teralokasi pada kebutuhan dari peningkatan mutu
pendidikan.


DAFTAR PUSTAKA
Ariasinggam & Patrinos (1999), Decentralization Education : Demand-Side
Financing, The World Bank, Washington D.C
Boediono, (1994), Pembangunan Sektor Pendidikan dalam Hubungan dengan
Pengembangan SDM dalam REPELITA VI, Kelola No.5/III/Januari 1994
Boediono, (1983), Pengukuran Economies of Scale Pengeluaran Sekolah, Jurnal
Analisis Pendidikan tahun 1983
Clark, D. et, al, (1998), Financing of Education In Indonesia, Manila : Asian
Development Bank
Ditjen PUOD, (1993), Penelitian dan Pengkajian Satuan Biaya Pendidikan
Sekolah Dasar, Jakarta : Ditjen PUOD Depdagri
Depdiknas, (2001), Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah, Buku
Paduan, Jakarta : Dirjen Dikdasmen, Depdikbud
Elfindri, (2005), Financing Education in Indonesia : Phenomena Mikro to Makro
Policies, UKM Malaysia (akan terbit)
Fatah, Nanang, (2000), Ekonomi dan Pembiayaan Pendidikan, Rosda Bandung
Ghazali, Abbas, (2000a), Analisis Biaya Manfaat SMU dan SMK, Jurnal
Pendidikan dan Kebudayaan No. 022, tahun ke-5, Maret 2000
Ghazali, Abbas, (2000b), Pendidikan Antara Investasi Manusia dan Alat
Diskriminasi, Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan. No.023 Tahun ke-6, Mei
2000
Jalal, F dan Supriadi, D, (2001), Reformasi Pendidikan dalam Kontek Otonomi
Daerah, Yogyakarta, Adicita Karya Nusa
Koster, Wayan, (2002), Study Pembiayaan Pendidikan : Dampak Mekanisme
Pengalokasian dan Pemanfaatan Dana Pendidikan Terhadap Mutu
Pendidikan SLTP Negeri di Jakarta, Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan No.
034, than ke-8, Januari 2002


PKMI-2-1-11
OECD/UNESCO, (2002), Financing Education : Investment and Return Analysis
of The World Education Indicator 2002, UNESCO Institute for Statistic, Paris
Supriadi, Dedi, (2004), Satuan Biaya Pendidikan Dasar dan Menengah, Rosda
Bandung
The World Bank (2004), World Development Indicator 2004,
www.worldbank.org/data
UNESCO (2000), Education for All : Year 2000 Assesment, Technical
Guildelines, www.unescobkk.org/infores/efa2000/tech2.html





PKMI-2-2-1
REGENERASI BENTONIT BEKAS SECARA KIMIA FISIKA DENGAN
AKTIVATOR ASAM KLORIDA DAN PEMANASAN PADA PROSES
PEMUCATAN CPO

Meldia Evika Fikri dan Reni Kusumadewi
Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Universitas Lampung, Lampung


ABSTRAK
Warna merupakan parameter utama dalam penentuan kualitas minyak pada
industri minyak kelapa sawit dan digunakan sebagai parameter di dalam dunia
perdagangan. Semakin gelap warna CPO, semakin mahal biaya yang dibutuhkan
dalam proses pemurnian. Selain itu yang gelap juga menandakan kualitas
minyak yang rendah. Salah satu tahap dalam pemurnian CPO menjadi minyak
goreng adalah tahap pemucatan (bleaching), yaitu dengan cara menambahkan
adsorben bentonit sebanyak 1,5% dari berat CPO ke dalam CPO. Industri
pemurnian CPO untuk menjadi minyak goreng merupakan konsumen terbesar
bentonit. Sekitar 200.000 ton/tahun bentonit digunakan dalam industri ini.
Bentonit sendiri merupakan sumber daya alam yang tak terbarukan. Dalam
upaya menghemat penggunaan bentonit maka dilakukan regenerasi bentonit
bekas (bentonit yang telah dikontakkan dengan CPO). Proses regenerasi yang
digunakan adalah regenerasi kimia fisika yaitu dengan menggunakan aktivator
asam klorida dan dilanjutkan dengan pemanasan. Parameter yang digunakan
adalah konsentrasi HCl dengan variasi 8% v/v, 10% v/v, 12% v/v dan temperatur
yang divariasikan 190
o
C, 270
o
C, 350
o
C. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
bleached palm oil (CPO yang telah dikontakkan dengan bentonit) memiliki
kualitas terbaik setelah melewati proses pemucatan dengan menggunakan
bentonit hasil regenerasi pada perlakuan konsentrasi HCl 8% dan temperatur
190
o
C dengan persen removal yang diperoleh adalah 47,86 %. Hasil ini lebih
baik dibandingkan dengan menggunakan persen removal sebesar 28,57 % dengan
waktu pengontakan 30 menit.

Keywords : pemucatan, bentonit bekas, CPO, bentonit regenerasi, bleached
palm oil

PENDAHULUAN
Bentonit adalah istilah yang digunakan di dalam dunia perdagangan untuk
sejenis lempung yang mengandung mineral montmorilonit. Potensi endapan
bentonit cukup banyak dan tersebar di berbagai daerah di Indonesia, seperti Jawa
Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatra Utara, Sumatra Barat dan Lampung
(Prosiding Seminar Teknologi, 2003). Di daerah Lampung cadangan bentonit
terdapat di T Serdang, Pugung, Tanggamus, Way Umpu, dan Way Kanan namun
belum sampai pada tahap eksplorasi sehingga belum dapat dimanfaatkan secara
optimal (Dinas Pertambangan Lampung, 2003).
Pasaran bentonit di dalam negeri cukup besar untuk berbagai keperluan
industri. Hal ini dapat dilihat dari kebutuhan Ca-bentonit untuk industri minyak
goreng, kimia dasar, dan bahan galian non logam yang pada tahun 1993
mengkonsumsi sekitar 90,4% dari total konsumsi bentonit yaitu mencapai 20.498


PKMI-2-2-2
ton. Industri pemurnian minyak merupakan konsumen terbesar bentonit sebagai
bahan pemucat CPO, diperkirakan sekitar 200.000 ton bentonit dibutuhkan oleh
industri pemurnian minyak (Kun-She Low, 1998).
Proses pemurnian diperlukan untuk menghilangkan rasa serta bau yang
tidak enak, warna yang tidak menarik sehingga memperpanjang masa simpan
minyak. Pada pengolahan minyak pengerjaan yang dilakukan tergantung pada
sifat alami minyak tersebut dan juga tergantung dari hasil akhir yang dikehendaki.
Umumnya tahap-tahap pemurnian minyak terdiri dari degumming, netralisasi,
pemucatan (bleaching), deodorisasi dan pendinginan (Ketaren, 1986).
Kualitas minyak kelapa sawit ditentukan oleh tingkat kemurnian CPO.
Minyak kelapa sawit mentah masih mengandung beberapa impurities baik yang
terlarut maupun yang tidak terlarut dalam minyak serta suspensi yang turut
terekstraksi pada waktu pengepresan kelapa sawit (Ketaren, 1986). Impurities
pada minyak kelapa sawit ini sangat merugikan karena dapat menyebabkan warna
merah gelap yang tidak diinginkan pada minyak.
Dalam industri minyak kelapa sawit, warna merupakan parameter utama
dalam penentuan kualitas minyak dan digunakan sebagai dasar dalam penentuan
apakah minyak tersebut diterima atau tidak dalam dunia perdagangan. Semakin
gelap warna CPO maka akan semakin mahal biaya yang dibutuhkan dalam proses
pemurnian, selain itu warna yang gelap juga menandakan kualitas minyak yang
rendah (Kun-She Low, 1998).
Proses pemucatan dilakukan dengan cara penambahan adsorben bentonit
yang terdapat sebagai deposit di alam. Secara geologis bentonit terbentuk dari
abu vulkanik yang telah mengalami perubahan (alterasi) dan digolongkan sebagai
sumber daya alam yang tak terbarukan.
Bentonit yang telah digunakan sebagai penyerap impurities pada CPO lama-
kelamaan akan terdeaktifasi, yang ditunjukkan dengan berkurangnya atau bahkan
sama sekali tidak mampu lagi mengadsorb impurities pada CPO. Hal ini terjadi
karena bentonit tersebut memang benar-benar sudah jenuh dikarenakan seluruh
pori-porinya telah terisi penuh atau karena sisi aktifnya tertutupi oleh impurities.
Untuk alasan tersebut perlu dilakukan suatu proses regenerasi bentonit bekas yang
bertujuan untuk membersihkan permukaan bentonit dari impurities sehingga
membuka ruang sisi aktif yang tertutup impurities yang memperbesar luas
permukaan pori dan volume spesifiknya.
Bentonit bekas memungkinkan untuk diregenerasi sehingga menghasilkan
daya pemucatan mendekati daya pemucatan bentonit baru. Hal ini dikarenakan
bentonit memiliki kemampuan untuk melakukan pertukaran ion selain itu
peristiwa adsorpsi yang terjadi adalah adsorpsi fisik yang bersifat reversibel. Gaya
yang dihasilkan pada adsorpsi fisik ini adalah gaya van der Waals dengan
membentuk ikatan hidrogen yang lemah sehingga mudah diputuskan. Zat yang
diadsorpsi bersifat reversibel, sehingga relatif mudah dilepaskan dari permukaan
adsorben dengan cara melakukan regenerasi. Bentonit hasil regenerasi tersebut
dapat digunakan kembali sebagai adsorben pada pemucatan CPO, dengan cara ini
maka dapat menghemat penggunaan bentonit baru.
Konsentrasi asam dan temperatur merupakan parameter yang perlu
diperhitungkan dalam menentukan kondisi optimum regenerasi secara kimia-fisis.
Regenerasi secara fisika dilakukan dengan pemanasan yang bertujuan
menguapkan senyawa-senyawa yang mudah menguap seperti air, gas, asam dan


PKMI-2-2-3
zat-zat organik yang terperangkap dalam rongga bentonit. Regenerasi secara
kimia menggunakan asam yang bertujuan melarutkan logam dan melepaskan
impurities yang terdapat pada bentonit. Penelitian ini akan meregenerasi bentonit
bekas secara kimia-fisis yang merupakan gabungan dari kedua metode di atas
sehingga diharapkan daya adsorpsi bentonit yang telah diregenerasi dapat
mendekati daya adsorpsi bentonit baru (fresh bentonite). Daya pemucatan bentonit
hasil regenerasi ditunjukkan oleh warna merah dan kuning pada alat lovibond
tintometer setelah bentonit hasil regenerasi dikontakkan dengan CPO.

Minyak Kelapa Sawit
Minyak kelapa sawit mentah atau dikenal juga dengan Crude Palm Oil
(CPO) diperoleh dari ekstraksi sabut (mesokarp) buah kelapa sawit (Elaeis
guinensis, Jacq). Jenis pigmen yang menyebabkan warna kuning atau oranye
pada CPO adalah karotenoid. Diantara 55-65% dari karotenoid adalah dan
karoten sedangkan sisanya adalah Lycopen dan karotenoid yang bukan vitamin A
aktif sehingga dapat dihilangkan dengan proses pemucatan menggunakan
adsorben (Ketaren, 1986).

Rumus bangun karotenoid dapat dilihat pada gambar 1 berikut :


Gambar 1. Rumus bangun karotenoid Winarno dan Jennie (1973)

Komposisi Bentonit
Bentonit sebagai mineral lempung, terdiri dari 85 % montmorilonit dengan
rumus kimia bentonit adalah (Mg, Ca) xAl
2
O
3.
ySiO
2
. n H
2
O dengan nilai n
sekitar 8 dan x,y adalah nilai perbandingan antara Al
2
O
3.
dan SiO
2
.. Fragmen sisa
bentonit umumnya terdiri dari campuran kristoballit, feldspar, kalsit, gipsum,
kaolinit, plagioklas, illit (Gillson, 1960).
Setiap struktur kristal bentonit mempunyai tiga lapisan yaitu lapisan
oktahedral dari alumunium dan oksigen yang terletak antara dua lapisan
tetrahedral dari silikon dan oksigen. Penyusun terbesar bentonit adalah silikat
dengan oksida utama SiO
2
(silika) dan Al
2
O
3
(aluminat) yang terikat pada molekul
air. Penggabungan pada satu lapisan tetrahedral silika dengan satu lapisan
oktahedral alumina membentuk dua lapisan silika-alumina.
Dari gambar 2 skema struktur bentonit dapat dilihat bahwa setiap struktur
kristal bentonit mempunyai tiga lapisan yaitu lapisan oktahedral dari alumunium
dan oksigen yang terletak antara dua lapisan tetrahedral dari silikon dan oksigen.
Pada regenerasi secara kimia dengan pengontakan asam reaksi yang terjadi
adalah sebagai berikut:
H
+

Al
4
Si
8
O
20
(OH)
4
+ 3H
+
Al
3
Si
8
O
20
(OH)
2
+ Al
3+
+ 2 H
2
O


PKMI-2-2-4









Gambar 2 Skema Struktur Bentonit

Pada kondisi di atas separuh dari atom Al berpindah dari struktur bersama
dengan gugus hidroksil, sehingga terjadi perubahan gugus oktahedral menjadi
gugus tetrahedral. Atom Al yang tersisa masih terkoordinasi dalam rangkaian
tetrahedral dengan empat atom oksigen tersisa (Thomas et al, 1984).
Perubahan dari gugus oktahedral menjadi tetrahedral membuat kisi kristal
bermuatan negatif. Muatan negatif pada permukaan kristal dapat dinetralkan oleh
logam-logam alkali dan alkali tanah yang terdapat pada bentonit. Ikatan antara
ion Al dengan kation penetral tersebut adalah ikatan ion yang mudah diputuskan,
karena kation-kation tersebut bukan bagian dari kerangka bentonit sehingga dapat
dengan mudah dipertukarkan. Selanjutnya, Ion H
+
yang berasal dari asam akan
menggantikan kation-kation logam alkali dan alkali tanah dari bentonit.
Penelitian ini bertujuan untuk melakukan regenerasi bentonit bekas sehingga
mampu memucatkan CPO dan mempelajari pengaruh konsentrasi HCl dan
temperatur terhadap proses regenerasi bentonit bekas.

METODE PENDEKATAN
Alat dan Bahan
Peralatan dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
A. Proses regenerasi bentonit bekas
Alat yang digunakan pada proses regenerasi bentonit antara lain gelas
beaker, ayakan (mesh) kertas saring, oven, penggerus, labu ukur, pipet tetes,
erlenmeyer, corong, wadah porcelen dan furnace. Bahan yang digunakan dalam
proses regenerasi adalah HCl dan bentonit bekas dari CV. Bumi Waras.
B. Proses pemucatan CPO
Alat yang digunakan dalam proses pemucatan CPO antara lain pengaduk
magnetik yang dilengkapi hot plate, gelas beaker, thermometer, lovibond
tintometer, dan kertas saring. Bahan yang digunakan pada proses pemucatan CPO
adalah bentonit hasil regenerasi dan CPO yang diperoleh dari CV. Bumi Waras

Rancangan Percobaan
Penelitian ini menggunakan rancangan percobaan full factorial dengan dua
faktor. Faktor A (temperatur) mempunyai 3 level yaitu 190
o
C, 270
o
C dan 350
o
C.
Faktor B (konsentrasi) mempunyai 3 level yaitu 8 % v/v, 10 % v/v dan 12 % v/v.


PKMI-2-2-5
Cara Kerja
A. Tahap persiapan bahan baku
1. Bentonit bekas digerus hingga berukuran seragam yaitu 325 mesh.
2. Membuat larutan HCl dengan variasi konsentrasi asam 8 % v/v, 10 % v/v,
dan 12 % v/v.

B. Tahap regenerasi
1. Bentonit bekas yang telah digerus sebanyak 50 gr diaduk dengan 250 ml HCl
selama lima jam pada suhu ruang, kemudian disaring untuk memisahkan
filtrat dari bentonit.
2. Bentonit yang telah disaring dikeringkan di dalam oven selama 24 jam
pada
suhu 105
o
C.
3. Bentonit digerus kembali kemudian dimasukkan ke dalam furnace dengan
variasi temperatur 190
o
C, 270
o
C dan 350
o
C selama 24 jam.

C. Tahap pemucatan minyak sawit mentah (CPO)
1. CPO sebanyak 50 gram dimasukkan ke dalam gelas beaker dan dipanaskan
hingga suhu mencapai 70
o
C.
2. Bentonit hasil regenerasi sebanyak 0,75 gr (1,5% dari berat CPO)
dikontakkan dengan CPO sambil diaduk dan dipanaskan hingga mencapai
suhu proses yaitu 105
o
C selama 30 menit.
3. Selanjutnya minyak disaring dari bentonit dengan menggunakan kertas
saring.

D. Tahap Analisa
1. Minyak yang telah melalui tahap pemucatan ditempatkan di glass cell.
2. Glass cell diletakkan ke dalam Lovibond Tintometer.
3. Warna sampel dicek dengan cara mengukur rak warna sampai warna yang
tepat.
4. Data diperoleh dalam bentuk perbandingan warna merah dan kuning.

Perhitungan Persen Removal Warna Minyak
Persen removal warna minyak setelah pengontakan dengan bentonit dapat
diketahui dengan membandingkan warna CPO awal.

Dari hasil pengamatan diketahui :
Warna CPO awal : M = 70, K = 53,5
Warna CPO setelah dikontakkan dengan bentonit bekas : M = 70, K = 54
Warna CPO setelah dikontakkan dengan bentonit baru (fresh bentonite) :
M = 50, K = 70

Keterangan:
M = Merah K = Kuning

Persen removal warna merah pada CPO setelah pengontakan dengan bentonit
dapat dihitung dengan menggunakan persamaan berikut :
c
x c
x 100 %


PKMI-2-2-6
Keterangan :
c = warna merah CPO awal
x = warna merah CPO setelah pengontakan dengan bentonit bekas/ bentonit
baru/bentonit hasil regenerasi pada masing-masing konsentrasi HCl dan
temperatur untuk masing-masing data pengamatan

Tabel 6.1 Penurunan kekeruhan warna minyak (% removal)
Kondisi Merah % removal Kuning % removal
CPO awal 70 53,5 23,57
CPO + bentonit bekas 70 0 54 22,86
CPO + bentonit baru 50 28,57 70
CPO + bentonit regenerasi
8 %, 190
o
C 36,5 47,86 64 8,57
8 %, 270
o
C 40,45 42,21 52.5 25
8 %, 350
o
C 45 35,71 46 34,28
10%, 190
o
C 38 45,71 65 7,14
10%, 270
o
C 42 40,0 42 40
10%, 350
o
C 46,5 33,57 31,5 55
12%, 190
o
C 39,2 44 61,5 12.14
12%, 270
o
C 44 37,14 46 34,28
12%, 350
o
C 48 31,42 43,5 37,86

HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil analisis warna CPO yang telah dikontakkan dengan bentonit oleh
lovibond tintometer pada penelitian ini diplot pada grafik hubungan antara
pengaruh konsentrasi HCl dan temperatur regenerasi terhadap hasil pemucatan
dengan warna merah dan kuning yang diperoleh. Pengaruh konsentrasi HCl dan
temperatur regenerasi terhadap hasil pemucatan ditunjukkan oleh warna merah
dan kuning dapat dilihat pada gambar 3.

30
35
40
45
50
55
60
65
70
190 270 350
Temperatur
W
a
r
n
a
8%Merah
10%Merah
12%Merah
8%Kuning
10%kuning
12%kuning

Gambar 3. Grafik pengaruh konsentrasi HCl dan temperatur regenerasi terhadap
hasil pemucatan yang ditunjukkan oleh warna merah dan kuning


PKMI-2-2-7
Bentonit hasil regenerasi diharapkan daya pemucatannya mendekati daya
pemucatan bentonit baru sehingga data warna merah dan kuning yang diperoleh
dari bentonit hasil regenerasi dibandingkan dengan warna merah dan kuning yang
diperoleh dari fresh bentonite.

Pengaruh Temperatur Regenerasi Terhadap Warna Merah
Warna merah dan kuning yang terukur pada alat lovibond tintometer untuk
fresh bentonite adalah 50 dan 70. Dari gambar 3 dapat dilihat bahwa warna merah
yang terukur pada alat lovibond tintometer untuk bentonit hasil regenerasi lebih
rendah dibandingkan dengan fresh bentonite untuk semua kondisi temperatur dan
konsentrasi HCl. Namun warna merah terendah didapat dari konsentrasi HCl 8 %
dan temperatur 190
o
C.
Hal ini dapat dijelaskan karena perlakuan pemanasan terhadap bentonit
bekas akan mempengaruhi sifat fisik bentonit, yaitu bertambahnya luas
permukaan kontak bentonit, yang disebabkan terbukanya pori-pori bentonit yang
tertutupi impurities yang berupa air, udara, dan asam. Hal ini berarti telah terjadi
dehidrasi yang mengakibatkan kation-kation pada permukaan bentonit tak
terlindung dan terlepas sehingga secara fisik bentonit menjadi lebih aktif.
Akibatnya bentonit ini mampu mengadsorb impurities lebih banyak (Heri
Sucahyo, 1995).
Pada konsentrasi HCl tetap dan temperatur berubah, yaitu untuk
konsentrasi 8% dan temperatur 190
o
C warna merah yang terukur pada lovibond
tintometer lebih rendah dibandingkan pada temperatur 270
o
C dan 350
o
C.
Kecenderungan yang sama juga terjadi untuk konsentrasi HCl 10 % dan 12 %
dimana pada konsentrasi HCl tetap, warna merah yang terukur pada alat lovibond
semakin tinggi dengan meningkatnya temperatur regenerasi. Penjelasan untuk hal
ini adalah pada pemanasan dengan temperatur yang lebih tinggi lagi daya adsorpsi
bentonit menjadi berkurang, yang ditunjukkan oleh tingginya warna merah yang
terukur pada alat lovibond tintometer. Hal ini disebabkan pada temperatur
pemanasan yang terlalu tinggi Al pada kisi struktur bentonit dapat terlepas dan
mengakibatkan terjadi sedikit kerusakan pada struktur bentonit (Hairil Puad,
2001).

Pengaruh Konsentrasi HCl Terhadap Warna Merah
Dari gambar 3 pada temperatur tetap dan konsentrasi HCl berubah dapat
dilihat bahwa terjadi penurunan warna merah yang tajam dari bentonit baru jika
dibandingkan dengan bentonit hasil regenerasi pada temperatur regenerasi 190
o
C
dan konsentrasi asam 8%, namun pada temperatur yang sama warna merah yang
terukur pada alat lovibond tintometer lebih tinggi pada konsentrasi 10% dan 12%.
Kecenderungan yang sama juga terjadi untuk temperatur 270
o
C dan 350
o
C.
Hal ini menunjukkan bahwa pada temperatur tetap, warna merah yang
terukur pada alat lovibond tintometer lebih tinggi dengan meningkatnya
konsentrasi HCl. Di sini asam berfungsi membersihkan permukaan pori bagian
dalam dan luar bentonit dengan cara melarutkan kation-kation yang mengotori
permukaan bentonit dan membuang senyawa pengotor. Ion H
+
yang berasal dari
penambahan asam akan menggantikan kation logam-logam alkali dan alkali tanah
pada bentonit. Ion H
+
ini memiliki keelektronegatifan yang lebih tinggi dari
logam-logam alkali tersebut sehingga dapat mengadsorb karoten lebih banyak.


PKMI-2-2-8
Dengan konsentrasi HCl yang semakin tinggi maka semakin banyak
molekul-molekul HCl yang melarutkan logam-logam, tetapi hasil yang diperoleh
adalah sebaliknya yaitu semakin tinggi konsentrasi HCl maka warna merah yang
yang terukur pada alat lovibond tintometer semakin tinggi. Hal ini terjadi diduga
karena konsentrasi HCl yang tinggi telah menyebabkan terjadinya pelarutan
sebagian Al yang disebut dealuminasi, sehingga daya pemucatannya berkurang
yang ditandai dengan penurunan warna merah yang rendah (Hilyati, 1991).

Pengaruh Temperatur Regenerasi dan Konsentrasi HCl terhadap Warna
Kuning
Berbeda dengan warna merah, pada gambar 3, warna kuning cenderung
tidak konsisten. Pada konsentrasi tetap dan temperatur berubah memang terdapat
kecenderungan penurunan warna kuning tetapi pada temperatur tetap dan
konsentrasi berubah warna kuning yang didapat tidak menunjukkan
kecenderungan yang sama.
Hal ini dapat dilihat pada temperatur 190
o
C dan konsentrasi 8% warna
kuning mengalami penurunan dari bentonit baru, namun pada konsentrasi 10%
warna kuning yang terukur pada alat lovibond tintometer lebih tinggi, kemudian
pada konsentrasi 12% warna kuning kembali menurun. Pada temperatur 270
o
C
memberikan hasil yang berbeda, dimana awalnya warna kuning mengalami
penurunan dari bentonit baru pada konsentrasi 8%, kemudian warna kuning yang
terukur lebih rendah lagi pada konsentrasi 10%. Pada konsentrasi 12 % warna
kuning yang terukur lebih tinggi dibandingkan pada konsentrasi 10 %.
Kecenderungan yang sama dengan temperatur 270
o
C juga terjadi pada temperatur
350
o
C.
Warna kuning yang terukur pada alat lovibond tintometer menyesuaikan
dari warna merah untuk mendapatkan warna yang sesuai dengan warna minyak
yang terdapat pada cell. Artinya skala warna merah sangat berpengaruh terhadap
perubahan warna minyak namun skala warna kuning tidak terlalu berpengaruh.
Dengan kata lain beda satu angka pada warna merah memberikan pengaruh yang
besar dibandingkan beda satu angka pada skala warna kuning. Untuk itulah pada
dunia industri yang paling berperan dalam menentukan kualitas minyak adalah
warna merah. (Lovibond Model E Tintometer, Instruction Manual).

Perbandingan dengan Hasil Penelitian Lain
Dari hasil penelitian Kun-She Low, regenerasi bentonit bekas dengan
menggunakan H
2
SO
4
dan pemanasan diperoleh kondisi terbaik pada konsentrasi
asam 10 % dan temperatur 350
o
C. Hasil yang berbeda diperoleh dari penelitian
ini dengan kondisi regenerasi terbaik pada konsentrasi HCl 8 % dan temperatur
190
o
C.
Dari kedua hasil penelitian tersebut dapat dilihat bahwa regenerasi kimia
menggunakan HCl memberikan hasil yang lebih ekonomis, karena selain harga
HCl yang lebih murah, konsentrasi asam dan temperatur yang dibutuhkan juga
lebih rendah dibandingkan bentonit bekas yang diregenerasi menggunakan H
2
SO
4
.
HCl dengan konsentrasi 8 % telah mampu membersihkan impurities yang
mengotori permukaan pori bagian luar dan pori bagian dalam bentonit sehingga
perlakuan dengan pemanasan cukup dengan temperatur 190
o
C.



PKMI-2-2-9
KESIMPULAN DAN SARAN
Dari penelitian ini dapat diambil kesimpulan bahwa bentonit hasil
regenerasi dapat digunakan kembali sebagai adsorben pada proses pemucatan
CPO. Kondisi terbaik regenerasi bentonit bekas yang dilakukan secara kimia
fisika dengan aktivator asam HCl dan pemanasan dicapai pada konsentrasi HCl 8
% dan temperatur 190
o
C dengan persen removal sebesar 47,86 %. Semakin
tinggi konsentrasi HCl, maka akan semakin sedikit warna merah yang mampu
diserap dan semakin rendah kualitas minyak. Semakin tinggi temperatur
regenerasi, maka akan semakin sedikit warna merah yang mampu diserap dan
semakin rendah kualitas minyak.
Kondisi terbaik didapat pada variasi konsentrasi HCl dan temperatur
terendah yaitu 8% dan 190
o
C sehingga disarankan untuk penelitian selanjutnya
sebaiknya mengambil range temperatur dibawahnya dengan batasan tertentu,
untuk temperatur minimal pada 105
o
C. Selain itu perlu dilakukan variasi terhadap
waktu untuk mempelajari waktu kesetimbangan guna mengetahui life time (usia
kerja) bentonit hasil regenerasi.

DAFTAR PUSTAKA
Akhrizal. 1996. Pengaruh Konsentrasi Adsorben dan Suhu pada Proses
Pemucatan Minyak sebagai Bahan Baku Sabun Mandi. Institut Pertanian
Bogor. Bogor.
Dinas Pertambangan Lampung. 2003. Bandar Lampung.
Gillson, 1960 dalam Iwan Agustiawan. 1992. Aktivasi Bentonit dengan Limbah
Sulfat. Institut Teknologi Indonesia. Serpong.
Hairil, P. 2001. Pemanfaatan Zeolit Lampung yang diaktivasi dengan NaOH
sebagai Adsorben Uap pada Kondensasi Uap Industri Karet Remah
(Crumb Rubber). Universitas Lampung. Bandar Lampung.
Hanafiah, K. A. 2000. Rancangan Percobaan. Teori dan Aplikasi. Edisi revisi.
PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta.
Hilyati dan Widihastono, B. 1991. Adsorpsi Zat Warna Tekstil Pada Zeolit Alam
dari Bayah. Jurnal Kimia Terapan Indonesia. Vol. 1, No. 2.
Keenan, Klleinfelter, and Wood. 1992. Kimia untuk Universitas. Jilid 2.
Erlangga. Jakarta.
Ketaren, S. 1986. Pengantar Teknologi Minyak dan Lemak Pangan. UI Press.
Jakarta.
Kun-She Low, Chnoong-Kheng Lee, dan Lee-Yong Kong. 1998. Decolorisation
of CPO by Acid Activated Spent Bleaching Earth. Journal of Chemical
Technology and Biotechnology. Volume 72. Hal 67-73.
Lovibond Model E Tintometer AF 900. Instruction Manual.
Oxtoby, Gillis, and Nachtrieb. 2001. Prinsip-prinsip Kimia Modern. Jilid 1.
Edisi 4. Jakarta.
Patterson, HBW. 1992. Bleaching and Purifying Fats and Oil. American Oil
Chemistry. Illeneis.
Ragina, Friga S. 2002. Kajian Pemucatan Minyak Kelapa Sawit Sebagai Bahan
Dasar Rolling Oil dengan Menggunakan Bentonit dan Asam Sitrat.
Institut Pertanian Bogor. Bogor.


PKMI-2-2-10
Sucahyo, H. 1995. Pengaruh Pengaktifan Zeolit Lampung Dengan Pemanasan
Sebagai Adsorben Ion Amonium. Universitas Lampung. Bandar
Lampung.
Suyartono dan Husaini. 1992. Kegiatan Penelitian dan Pengembangan Zeolit
Indonesia Periode 1980-1981. Majalah Pertambangan dan Energi Nomor
5 Tahun XVII, 1992. Hal 52 - 61.
Thomas, Hickey, and Stecker dalam Iwan Agustiawan. 1992. Aktivasi Bentonit
dengan Limbah Sulfat. Institut Teknologi Indonesia. Serpong.
Winarno dan Jennie, 1973 dalam Eka Puspita , 2003. Optimasi Produksi Pigmen
Klorofil dan Karotenoid dari Mikroalga kelas Bacillariophyceae.
Universitas Lampung. Bandar Lampung.
http://www.distam-propsu.go.id
http://www.kutaitimur.com




PKMI-2-3-1
ISOLASI BAKTERI AMILOLITIK TOLERAN pH 9 DARI TANAH DI
TAMAN WISATA ALAM SITU GUNUNG-SUKABUMI

Tika Tresnawati, Anna Mariam Fadhillah, Asih Widayani
Departemen Biologi, Institut Pertanian Bogor, Bogor

ABSTRAK
Sebanyak lima isolat bakteri amilolitik yang toleran pH 9 berhasil diperoleh dari
contoh tanah di TWA Situ Gunung, Sukabumi. Bakteri amilolitik yang dimaksud
adalah bakteri yang mampu memproduksi enzim amilase dan memecah pati di
luar selnya. Contoh tanah diambil dari empat lokasi yang berbeda yaitu tepi
hutan (TH), hutan (H), lapang (TL), dan tepi danau (TD). Dari contoh tanah
tersebut didapatkan 16 isolat bakteri yang mampu tumbuh pada media yang
mengandung pati dengan pH 9. Lima isolat di antaranya menghasilkan zona
bening di sekitar koloni. Hal tersebut menunjukkan adanya aktivitas amilase
ekstraselular. Tiga isolat yang menghasilkan zona bening terbesar yaitu isolat H
1.1, H 3.1, dan TL 1.1. Ketiga isolat tersebut masing-masing memiliki aktivitas
spesifik sebesar 4.128 U/mg, 0 U/mg, dan 0 U/mg. Dari hasil pengukuran, isolat
yang memiliki aktivitas amilase hanya isolat H 1.1 yaitu sebesar 0.161 U/ml
dengan kadar protein sebesar 0.039 mg/ml. Sedangkan untuk isolat TL 1.1
memiliki kadar protein sebesar 0.099 mg/ml dan isolat H 3.1 memiliki kadar
protein sebesar 0.048 mg/ml.

Kata kunci : Amilolitik, Amilase, pH 9, aktivitas amilase.

PENDAHULUAN
Taman Wisata Alam (TWA) Situ Gunung terletak 15 km dari Sukabumi,
tepatnya di daerah Cisaat Desa Kadudampit, Kecamatan Kadudampit, Kabupaten
Sukabumi, Jawa Barat. Daerah ini terletak di lereng hutan tropis dan termasuk ke
dalam wilayah Taman Nasional Gunung Pangrango dengan ketinggian 1000 m
dari permukaan laut. TWA Situ Gunung merupakan kawasan yang memiliki
keanekaragaman flora dan fauna yang cukup tinggi. Flora yang terdapat di sana
diantaranya puspa, rasamala, damar, saninten, hamirung, dan beberapa jenis
anggrek yang dilindungi, serta terdapat 62 jenis satwa liar. Kondisi hutan tersebut
sangat memungkinkan terdapatnya keanekaragaman bakteri yang tinggi antara
lain bakteri amilolitik. Substrat untuk pertumbuhan bakteri pendegradasi pati ini
melimpah di TWA Situ Gunung.
Amilase merupakan enzim yang bekerja menghidrolisis pati yang dapat
dihasilkan oleh bakteri, fungi, tumbuhan dan hewan. Amilase yang dihasilkan
oleh bakteri banyak dimanfaatkan dalam industri, terutama industri makanan,
minuman, tekstil, farmasi, dan detergen. Hal ini karena umumnya amilase asal
bakteri mempunyai aktivitas yang tinggi dan bersifat lebih stabil dibandingkan
yang berasal dari tumbuhan dan hewan. Sebagian besar industri, seperti industri
makanan dan minuman menggunakan amilase tahan asam (Whittaker 1994).
Namun lain halnya dalam industri detergen yang justru menggunakan amilase
basa atau alkalin. Selain itu, amilase juga mampu menghasilkan
maltooligosakarida spesifik dalam hidrolisis pati pada tingkat yang cukup tinggi
(Tigue et al. 1995). Hal tersebut dapat dimanfaatkan sebagai bahan pembuat



PKMI-2-3-2
detergen dan obat. Fungsi amilase dalam detergen untuk menyingkirkan kotoran
seperti coklat, keringat, dan telur dari pakaian.
Bakteri amilolitik merupakan adalah bakteri yang memproduksi enzim
amilase dan memecah pati (Frazier & Westhoff 1988). Genus bakteri yang
termasuk kelompok bakteri amilolitik yang cukup dikenal luas ialah Bacillus dan
Clostridium, Bacteriodes, Lactobacillus dan Micrococcus (Pelczar 1988).
Dalam dasawarsa terakhir ini, pemakaian enzim yang sifatnya efisien,
selektif, mengatalisis reaksi tanpa produk samping dan ramah lingkungan
meningkat pesat. Oleh karena itu diperlukan upaya seleksi bakteri yang
mempunyai aktivitas amilolitik. Upaya tersebut akan lebih bermanfaat jika
dilakukan seleksi sehingga diperoleh bakteri amilolitik yang unggul.
Tujuan dari penulisan ini adalah untuk mengungkapkan isolat bakteri
amilolitik alkali yang didapat dari hasil penelitian yang dilakukan pada beberapa
contoh tanah. Penelitian ini dilakukan dua tahap, yaitu pengambilan contoh tanah
yang dilakukan pada tanggal 26-28 Juli 2004 di TWA Situ Gunung, Sukabumi
dan seleksi bakteri penghasil enzim ekstraseluler dan pengujian aktivitas -
amilase yang dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi, Departemen Biologi,
FMIPA, IPB, Bogor.

BAHAN DAN METODE
Bahan
Bahan yang digunakan yaitu contoh tanah dari beberapa lokasi di TWA
Situ Gunung, yang terdiri atas (1) tepi hutan (TH), merupakan tanah berserasah
yang diambil pada jarak 6 meter dari tepi jalan aspal; (2) hutan (H), merupakan
tanah yang berasal dari tepi hutan, dimana vegetasi tanamannya berupa pohon; (3)
lapang (TL), merupakan tanah dari lapangan terbuka yang tidak ditumbuhi oleh
vegetasi apapun di pinggir danau; dan (4) tepi danau (TD), merupakan tanah yang
diambil dari tepi danau, yaitu 2 m dari tepi danau.

Pengambilan Contoh
Contoh tanah dimasukkan ke dalam kantung plastik dan dibawa ke
laboratorium untuk dianalisis kandungan bakteriologis yang terdapat di dalamnya
dan diukur derajat keasamannya (pH). Derajat keasaman tanah diukur dengan
mencampur 3.0 gram contoh tanah dengan 7.5 ml akuades (perbandingan 1:2.5).
Sebelum diukur, tanah dan akudes diaduk dan partikel tanah dibiarkan
mengendap. Bagian supernatan diukur pH-nya dengan kertas pH indikator
universal.

Seleksi Mikrob Amilolitik
Mikrob diseleksi dengan cara ditumbuhkan dalam 50 ml medium adaptasi
dan pengayaan yaitu media kaldu yang mengandung pati tepung tapioka 0.5%,
KH
2
PO
4
0.13%, MgSO
4
.
7H
2
O 0.05%, ekstrak khamir 1%. Medium ini ditetapkan
pada pH 9 dengan menambahkan NaOH 0.1 M. Isolat diinkubasi pada suhu 37 C
dengan kecepatan 140 rpm selama 48 jam. Biakan pengayaan ini digores dengan
metode kuadran di media agar-agar pati ber-pH 9 dengan komposisi pati tepung
tapioka 0.5%, KH
2
PO
4
0.13%, MgSO
4
.
7H
2
O 0.05%, ekstrak khamir 1%, dan
agar-agar 2%. Biakan diinkubasi pada suhu 37 C. Setelah 48 jam koloni yang
tumbuh digores kembali pada medium agar-agar pati untuk disiapkan menjadi



PKMI-2-3-3
inokulum. Sisa koloni yang terdapat pada agar cawan ditetesi larutan iodium
(komposisi : Kalium Iodida (KI) 4.0 gram, I
2
4.0 gram, air suling 600 ml) untuk
pengamatan zona bening dan pengukuran indeks amilolitik. Setelah 24 jam
sebanyak 2 lup koloni yang tumbuh pada agar-agar pati diinokulasikan ke dalam
tabung ulir yang berisi 10 ml medium agar pati dengan komposisi yang sama.
Tabung ulir diinkubasi pada suhu 37 C selama 24 jam dan pada akhir masa
inkubasi biakan siap dipakai sebagai inokulum.

Penapisan Isolat
Penentuan indeks amilolitik (IA) dilakukan dengan cara mengukur
diameter zona bening yang terbentuk di sekitar koloni bakteri, kemudian dibagi
dengan diameter koloni yang tumbuh. Untuk memperjelas pembentukan zona
bening, cawan berisi isolat ditetesi dengan larutan iodium. Pati yang tidak terurai
akan berwarna biru kehitaman karena mengikat iodium. Tiga isolat dengan IA
terbesar ditapis lebih lanjut berdasarkan aktivitas amilase yang dihasilkan.
Sebanyak dua lup bakteri ditumbuhkan dalam 25 ml media kaldu pati dengan
komposisi yang sama dengan media pengayaan. Lalu dikocok selama 24 jam pada
suhu kamar. Supernatan yang mengandung ekstrak kasr enzim dperoleh dengan
cara disentrifus dengan kecepatan + 2700 x g selama 20 menit.

Identifikasi Isolat
Isolat diidentifikasi berdasarkan ciri-ciri morfologi koloni, pewarnaan
gram, dan endospora.

Pengukuran Aktivitas -amilase dan Kadar Protein
Sebanyak 1 ml ekstrak kasar enzim hasil sentrifugasi dicampur dengan 1
ml subtrat (pati terlarut 1% dalam bufer tris HCl 0.05 M pH 9) lalu diinkubasi
selama 10 menit pada suhu 30 C. Reaksi dihentikan dengan penambahan 2 ml
asam 3,5 dinitrosalisilat (DNS) kemudian dikocok kuat-kuat dengan vortex dan
dipanaskan dalam air mendidih selama 5 menit (Bernfeld 1955). Lalu didinginkan
di dalam air es selama 20 menit. Setelah dingin diukur absorbansinya pada =550
nm. Blanko mendapat perlakuan yang sama dengan sampel, namun penambahan
enzim dilakukan setelah campuran dipanaskan. Satu unit aktivitas -amilase
didefinisikan sebagai jumlah enzim yang diperlukan untuk melepas 1 mol gula
pereduksi/menit atau setara dengan 1 mol maltosa/menit. Kurva standar maltosa
dibuat pada kisaran konsentrasi maltosa 100 500 g/ml dengan selang 100
g/ml.
Penentuan kadar protein dilakukan berdasarkan metode Bradford (1976),
dengan cara mencampur 0.4 ml ekstrak kasar enzim dengan 4 ml reagen Bradford
lalu dikocok dengan vortex, kemudian diukur absorbansi pada =595. Standar
protein yang digunakan ialah bovin serum albumin (BSA) pada kisaran
konsentrasi 0.01 0.1 mg/ml dengan selang 0.01 mg/ml.

HASIL
Isolasi dan Identifikasi Isolat Amilolitik
Dari enam contoh tanah yang diambil di Taman Wisata Alam Situ
Gunung-Sukabumi, berhasil diisolasi 16 isolat yang tumbuh pada pH 9, lima dari
keseluruhan isolat merupakan isolat amilolitik. Tabel 1 menunjukkan kondisi
contoh tanah yang diambil dari Situ Gunung.



PKMI-2-3-4
Tabel 1 Kondisi contoh tanah dari TWA Situ Gunung- Sukabumi

Contoh Tanah
Keterangan Tepi
Hutan
Hutan 1 Hutan 2 Hutan 3
Tanah
Lapang
Tepi
Danau
Suhu (C) 18 19 21 18 21 19
pH 6 5 5 6 5 4.5
Warna
Tanah
coklat
kehitaman
coklat
tua
coklat
keabu-
abuan
coklat
kehitaman
coklat
muda
coklat
muda
Jenis tanah gembur gembur kering lembab lembab lumpur
Jumlah total
isolat
2 3 2 2 3 4
Jumlah isolat
amilolitik
1 1 - 1 2 -
Keterangan : pengambilan contoh tanah dilakukan antara pukul 08.49-11.12,
tanggal 27 Juli 2004.

Dari lima isolat yang memiliki indeks amilolitik dipilih tiga isolat yang
indeks amilolitiknya paling besar yaitu TL 1.2, H 1.1, dan H 3.1 untuk pengujian
aktivitas -amilase (Tabel 2). Berdasarkan pewarnaan gram dan spora, bakteri TL
1.2 dan H 3.1 menunjukkan ciri-ciri yang sama yakni bakteri gram positif
berbentuk batang, aerob, dan menghasilkan endospora yang diduga termasuk
genus Bacillus. Sedangkan bakteri H 1.1 adalah bakteri gram negatif yang
berbentuk bulat (Tabel 3)












Gambar 1. Koloni isolat H 1.1 yang dikelilingi oleh zona bening.

Tabel 2 Indeks amilolitik kelima isolat terpilih

Isolat Asal koloni (mm) Zona (mm)
Indeks
Amilolitik (IA)
H1.1 Tanah tengah hutan 2 8 3
H3.1 Tanah tengah hutan 2.3 9 2.9
TH1.2 Tanah tepi hutan 10 23 1.3
TL1.1 Tanah lapang 5 13 1.6
TL1.2 Tanah Lapang 1 7 6



PKMI-2-3-5
Tabel 3 Morfologi isolat amilolitik terpilih

Bakteri Warna Elevasi Tepi
Sifat
Gram
Bentuk Endospora
TL 1.2 Kuning
tua
Cembung Licin Positif Batang Ada
H 1.1 Putih
keruh
Timbul Berombak Negatif Bulat Tidak ada
H 3.1 Kuning Cembung Licin Positif Batang Ada

Pengukuran Kadar Protein dan Aktivitas Amilase
Kadar protein pada isolat TL 1.2 sebesar 0.099 mg/ml dan kadar protein pada
isolat H 3.1 sebesar 0.048 mg/ml (Gambar 2, 3 dan 4). Isolat yang memiliki
aktivitas amilase hanya pada isolat H 1.1, yaitu sebesar 0.161 U/ml dengan kadar
protein sebesar 0.039 mg/ml dan aktivitas spesifik sebesar 4.128 U/mg.



Gambar 2. Kadar protein isolat amilolitik terpilih.

Gambar 3. Aktivitas -amilase isolat amilolitik terpilih diukur pada pH 9 suhu
37 C.



PKMI-2-3-6

Gambar 4. Aktivitas spesifik isolat amilolitik terpilih diukur pada pH 9 suhu
37C.


PEMBAHASAN
Dari 16 isolat yang berhasil diseleksi, hanya terdapat 5 isolat (31.25%)
yang memiliki aktivitas -amilase. Isolat yang menghasilkan amilase ekstraseluler
terlihat dari pembentukan zona bening di sekitar koloni bakteri. Pembentukan
zona bening menunjukkan bahwa pati yang terdapat di dalam media dihidrolisis
oleh enzim amilase menjadi senyawa yang sederhana seperti maltosa, dekstrin dan
glukosa (Winarno 1983). Untuk memperjelas adanya zona bening, media pati
padat yang telah ditumbuhi bakteri ditetesi larutan iodium. Daerah di luar zona
bening akan berwarna biru setelah diberi larutan ini, warna biru yang terbentuk
karena larutan ini bereaksi dengan pati yang tidak dihidrolisis. Zona bening tidak
ikut terwarnai karena pada zona tersebut pati sudah terhidrolisis menjadi senyawa
yang lebih sederhana seperti disakarida atau monosakarida. Enzim amilase
ekstraseluler yaitu enzim yang dikeluarkan dan menghidrolisis makromolekul
seperti pati yang ada di lingkungan luar sel, kemudian hasil hidrolisis diserap
kembali ke dalam sel (Crueger & Crueger 1982).
Faktor lingkungan mempengaruhi produksi enzim. Faktor-faktor tersebut
meliputi kandungan nutrisi, derajat keasaman media, tekanan osmotik, tingkat
aerasi, suhu, dan kontrol terhadap kontaminasi selama fermentasi (Pandey et al.
2000).
Berdasarkan pengamatan morfologi koloni, pewarnaan gram, dan
endospora, ketiga isolat terpilih tidaklah memiliki ciri yang sama. Isolat TL 1.2
dan H 3.1 adalah gram positif dengan bentuk batang dan memiliki endospora,
sedangkan isolat H 1.1 adalah gram negatif dengan bentuk bulat. Pengujian
sampai tingkat spesies tidak dilakukan karena diperlukan uji lebih lanjut seperti
ciri-ciri mikroskopiknya.
Isolat yang memiliki aktivitas amilase hanya pada H 1.1. Aktivitas amilase
tidak ditemukan pada isolat TL 1.2 dan H 3.1. Indeks amilolitik yang tinggi tidak
selalu menunjukkan aktivitas enzim yang optimum. Seperti pada isolat TL yang
memiliki IA terbesar namun tidak memiliki aktivitas amilase. Hal ini diduga
karena kondisi pH dan suhu tidak berada pada kondisi optimum untuk aktivitas -
amilase. Secara umum, pH optimum sebagian besar enzim amilase yaitu 5-6



PKMI-2-3-7
(Tigue et al. 1995). Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, diketahui bahwa
Bacillus licheniformis memiliki aktivitas optimum amilase pada pH 6-7 (Tigue et
al. 1995) dan B. firmus KH. 9.4 memiliki aktivitas optimum pada pH 6 dan suhu
80
o
C (Rachmania et al. 2004).
Kondisi optimum untuk produksi enzim perlu dicari untuk mengetahui
aktivitas enzim tertinggi dari mikroorganisme penghasilnya. Mencari kondisi
optimum bagi sintesis enzim dapat pula berarti mencari kondisi optimum bagi
pertumbuhan mikrob dan mencari hubungan antara sintesis enzim spesifik dengan
kecepatan pertumbuhan. Faktor-faktor yang mempengaruhi fermentasi antara lain
pH, suhu, aerasi dan jenis media (Crueger & Crueger1982).
Amilase umumnya stabil pada kisaran pH 5.5-8 dan aktivitas optimum
biasanya terdapat di antara pH 4.8 dan 6.5. Tetapi nilai optimum pH bergantung
pula pada sumber penghasil enzim. Dalam penelitian sebelumnya, diketahui pada
Bacillus TS-23 derajat keasaman awal optimal untuk produksi enzim amilase
yaitu 8.5 ( Lin et al. 1998). Sedangkan pada Bacillus sp. IMD derajat keasaman
optimal untuk produksi amilase yaitu 10.0 (Tigue et al. 1995).
Pada penelitian ini isolat bakteri penghasil amilase yang didapat adalah
isolat bakteri yang tahan pada pH 9. Walaupun sebagian besar industri, seperti
industri makanan dan minuman, menggunakan amilase yang tahan pada pH asam,
amilase yang tahan pada pH basa pun diperlukan, misalnya pada industri sabun
atau detergen.

KESIMPULAN
Sebanyak lima isolat dari 16 isolat toleran pH 9 yang berhasil diisolasi dari
tanah Taman Wisata Alam Situ Gunung, Sukabumi adalah bakteri yang memiliki
aktivitas amilolitik ekstraseluler. Dua isolat amilolitik diantaranya memiliki
indeks amilolitik tinggi dan diidentifikasi sebagai Bacillus sp. Isolat H 1.1 yang
termasuk bakteri gram negatif memiliki aktivitas spesifik tertinggi dibandingkan
dengan isolat lainnya.
Ketiga isolat amilolitik toleran pH 9 berpotensi untuk menghasilkan enzim
amilase ekstraseluler yang dapat digunakan dalam industri, misalnya detergen.

DAFTAR PUSTAKA
Bernfeld P. 1955. Amylases - and -. Di dalam : Colowick SP, Kaplan NO
(Eds). Methods In Enzymologyl. New York: Academic Pr. pp: 149-150.
Bradford M.M. 1976. A rapid and sensitive method for the quantification of
microgram quantities of protein utilizing the principles of protein-dye
binding. Anal Biochem 72: 248-254.
Crueger W, Crueger A . 1982. Biotechnology. Madison: Science Tech, Inc.
Frazier WC, Westhoff. 1988. Food Microbiology. New York: McGraw-Hill.
Lin LL, Chyau CC, Hsu WH. 1998. Production and properties of a raw-starch-
degrading amylase from the thermophilic and alkaliphilic Bacillus sp. ST-
23. Biotechnol Appl Biochem 28: 61-68.
Pandey A et al. 2000. Advances in microbial amylases [review]. Biotechnol Appl
Biochem 31: 135-152.
Pelczar MJ, Chan ECS. 1988. Dasar-dasar Mikrobiologi Jilid 2. Terjemahan
Ratna Siri, Tedja Imas, S. Sutarmi Tjitrosomo, Sri Lestari Angka. Jakarta:
UI-Press.



PKMI-2-3-8
Rachmania N, Iswati R, Imas T. 2004. Karakterisasi -amilase Bacillus firmus
KH.9.4 alkalotoleran dari limbah cair tapioka. Biota 3: 129-135.
Tigue M.A.Mc, Kelly C.T, Doyle E.M, Fogarty W.M. 1995. The alkaline amylase
of the alkalophilic Bacillus sp. IMD 370. Enzyme Microbial Technol 17:
570-573.
Whittaker JR. 1994. Principles of Enzymology for the Food Sciences. New York:
Marcel Dekker Inc.
Winarno, FG. 1983. Enzim Pangan. Jakarta: PT. Gramedia.




PKMI-2-4-1
ANALISIS RESPON MASYARAKAT DESA TERHADAP PROGRAM
KELUARGA BERENCANA (KB) DALAM RANGKA PENINGKATAN
KUALITAS SUMBER DAYA MANUSIA (SDM)
(Studi Kasus Desa Cihideung Udik Kabupaten Bogor)

Riski Dwijayanti, A Anas, E Sumanto, DV Panjaitan, A Jayanthy FAF
PS Ilmu Ekonomi Institut Pertanian Bogor

ABSTRAK
Penelitian ini menekankan pada respon masyarakat desa terhadap program
Keluarga Berencana (KB) dalam rangka peningkatan kualitas sumber daya
manusia. Respon yang diamati mencakup alasan-alasan mengapa masyarakat
desa menggunakan atau tidak menggunakan KB, siapa yang paling berperan
dalam memberikan informasi KB dan bagaimana hubungan antara tingkat
pendidikan orang tua dengan peningkatan kualitas anak. Penelitian ini dilakukan
secara purposive dengan menyebarkan kuisioner ke masyarakat Desa Cihideung
Udik di empat sub-desa, yakni Sinagar, Babakan Kemang, Pabuaran, dan
Cinangneng yang kemudian diambil contoh sebanyak seratus responden. Dari
hasil penelitian, mayoritas responden sebesar 82 % menggunakan alat KB
dengan alasan utama agar dapat menjaga jarak antar anak (30 %), dan yang
paling berperan dalam memberikan informasi KB adalah bidan (50 %). Pada
kasus desa Cihideung Udik, faktor pendidikan terakhir orang tua tidak cukup
berpengaruh terhadap jumlah anak yang dimiliki. Hal ini ditunjukkan dengan 22
% responden yang berpendidikan terakhir SD memiliki dua orang anak.
Berdasarkan hasil penelitian, masyarakat belum memprioritaskan pendidikan
sebagai aspek yang penting, oleh karena itu pola pikir tersebut perlu untuk
diubah, termasuk persepsi masyarakat mengenai program KB, sehingga program
KB tidak hanya dipandang sebagai cara untuk membatasi jumlah anak, tetapi
juga bertujuan untuk meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia, karena pada
dasarnya anak merupakan investasi yang bernilai ekonomis bagi orang tua di
masa yang akan datang.

Kata Kunci: Keluarga Berencana, responden, Sumber Daya Manusia.

PENDAHULUAN
Isu kependudukan merupakan isu yang mendesak, mengingat jumlah
penduduk Indonesia pada tahun 2005 yang mencapai 219 juta jiwa mengharuskan
pemerintah untuk memberikan perhatian khusus pada masalah ini (BKKBN,
2005). Selain itu, Indonesia menyandang peringkat 111 dari 177 negara pada
Human Development Index (HDI) 2005 yang membuktikan bahwa peningkatan
jumlah penduduk tersebut tidak diikuti oleh peningkatan Sumber Daya Manusia
(SDM). Salah satu cara yang dilakukan pemerintah untuk mengendalikan jumlah
penduduk ini melalui program Keluarga Berencana (KB). Menurut BKKBN
(2004), Keluarga Berencana adalah usaha untuk mengontrol jumlah dan jarak
kelahiran anak, untuk menghindari kehamilan yang bersifat sementara dengan
menggunakan kontrasepsi sedangkan untuk menghindari kehamilan yang sifatnya
menetap yang bisa dilakukan dengan cara sterilisasi dan aborsi bisa digunakan
untuk mengakhiri kehamilan jika terjadi kegagalan kontrasepsi.

PKMI-2-4-2
Visi Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) yaitu
melakukan reorientasi dan reposisi pembangunan program KB berupa "Menuju
Keluarga Berkualitas 2015". Definisi keluarga berkualitas menurut BKKBN
adalah keluarga yang bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, sejahtera, sehat,
maju, mandiri, memiliki jumlah anak ideal, bertanggung jawab, harmonis, dan
berwawasan ke depan. Visi baru ini berorientasi luas, tidak hanya pendekatan
demografi. Dalam visi baru itu jumlah anak ideal tidak dibatasi dua, melainkan
sesuai keinginan dan kemampuan keluarga, namun tetap memperhatikan
kepentingan sosial. Dengan adanya reorientasi Program KB Nasional tersebut,
berarti akan menjamin kualitas pelayanan KB dan kesehatan reproduksi lebih
baik. Dalam arti lain, program ini menghargai dan melindungi hak-hak
reproduksi, yang menjadi bagian dari hak asasi manusia universal (BKKBN,
2004).
Penelitian mengenai peningkatan kualitas SDM telah banyak dilakukan
terutama di sektor pendidikan. Sedangkan penelitian mengenai SDM dari sisi
pengaturan jumlah anak masih terbatas, padahal dari sisi tersebut dapat dilihat
upaya peningkatan kualitas SDM seiring dengan peningkatan kesejahteraan anak.
Agar pengaturan jumlah anak berhasil diperlukan sosialisasi program KB yang
berkesinambungan. Untuk mewujudkannya diperlukan peran aktif dari semua
pihak, baik pemerintah, masyarakat maupun mahasiswa. Salah satu peran yang
dapat dilakukan mahasiswa adalah melalui program Kuliah Kerja Nyata (KKN),
program KKN ini dilakukan di Desa Cihideung Udik, Kecamatan Ciampea Bogor.
Berdasarkan data tahun 2003, penduduk desa Cihideung Udik umumnya
berpendidikan Sekolah Dasar yaitu sebesar 7.243 jiwa dari 7.826 penduduk yang
mengenyam pendidikan atau sebesar 92,55 %. Sedangkan Jumlah Akseptor KB di
desa tersebut mencapai 1.473 jiwa. Oleh karena itu, dalam program KKN
mahasiswa dapat berperan aktif dalam menganalis respon masyarakat desa
terhadap program Keluarga Berencana.
Dalam penelitian ini dirumuskan beberapa hal yang berkaitan dengan
perilaku masyarakat terhadap program KB, yaitu: (1) Mengapa masyarakat desa
menggunakan atau tidak menggunakan KB ?; (2) Siapa yang paling berperan
dalam memberikan informasi KB ?; (3) Bagaimana hubungan antara tingkat
pendidikan orang tua dengan kualitas anak ?
Adapun penelitian ini memiliki tujuan sebagai berikut: (1) Mengetahui dan
menganalisis alasan masyarakat desa memilih menggunakan KB atau tidak; (2)
Menganalisis siapa yang paling berperan dalam memberikan informasi KB; (3)
Menganalisis hubungan antara tingkat pendidikan orang tua dengan kualitas anak.
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi berbagai pihak
yaitu: Pertama, manfaat bagi pemerintah Indonesia dimana hasil penelitian ini
dapat membantu pemerintah dalam memberikan informasi tentang pelaksanaan
program KB di masyarakat desa, sehingga pemerintah dapat terus membantu dan
mendukung usaha meningkatkan jumlah sarana dan prasarana kesehatan, serta
tenaga medis khususnya bagi program KB di desa.
Kedua, penelitian ini merupakan wujud kepedulian kepada masyarakat,
khususnya masyarakat desa dalam memanfaatkan program KB. Usaha ini
dilakukan dalam rangka meningkatkan kualitas SDM masyarakat desa. Ketiga,
manfaat bagi mahasiswa yang diharapkan dapat menumbuhkan kepekaan dan
kepedulian terhadap program KB, mengembangkan kecerdasan emosional

PKMI-2-4-3
khususnya dalam hal membina kerjasama dan kekompakan dalam tim,
membiasakan diri untuk berpikir ilmiah, cerdas dalam menganalisis permasalahan
dan membantu mewujudkan visi "Menuju Keluarga Berkualitas 2015".

METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan proses pengambilan contoh dengan metode
judgement (purposive) sampling. Langkah-langkah penelitian ini adalah sebagai
berikut:
1. Pemilihan lokasi: purposive karena lokasi ini merupakan tempat Kuliah
Kerja Nyata (KKN) periode Juni-Agustus 2005, dan dari data diketahui
bahwa jumlah akseptor KB Desa Cihideung terbanyak serta tenaga
pelayan kesehatan juga terbanyak diantara 19 desa di Kecamatan Ciampea
(BPS Kabupaten Bogor, 2004).
2. Pemilihan contoh responden secara purposive di empat sub-desa yaitu:
Sinagar, Babakan Kemang, Pabuaran, dan Cinangneng, dimana masing-
masing sub-desa diambil 25 responden sehingga total responden seratus.
3. Berdasarkan peta kerja. Enumerator mengunjungi alamat responden dan
menunjuk ibu rumah tangga sebagai responden. Tidak dijadikannya suami
sebagai responden karena umumnya keikutsertaan suami mengikuti
program KB masih rendah, ini didukung oleh laporan BKKBN mengenai
kesertaan ber-KB pria sampai dengan tahun 2002 yaitu di bawah 2,5 %.
4. Enumerator menanyakan secara langsung dan menuliskan jawaban
kuisioner (schedule).

Penelitian ini menggunakan beberapa parameter pengukuran, yaitu: (1)
Menggunakan atau tidak menggunakan KB dengan berbagai alasan; (2) Sumber
informasi KB; (3) Tingkat pendidikan orang tua. Adapun analisis data dilakukan
secara statistik dan deskriptif. Jenis data yang dikumpulkan meliputi:
1. Data primer yang meliputi data karakteristik responden (nama responden,
umur, tempat tinggal, pendidikan terakhir, usia pasangan saat menikah,
pekerjaan, jumlah anak), data faktor internal (alasan menggunaan KB atau
tidak, jenis KB yang digunakan, lama penggunan, kecocokkan penggunaan
KB), dan data faktor eksternal (sumber informasi KB).
2. Data sekunder yang diambil dari BPS Kabupaten Bogor 2004 dan
Pemerintah Desa Cihideung Udik 2004.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Responden
Penelitian ini dilakukan terhadap seratus ibu rumah tangga sebagai
responden. Tabel 1 memperlihatkan karakterisitik responden berdasarkan
pendidikan terakhir orang tua, jenis pekerjaan dan jumlah anak.

Tabel 1. Karakteristik Responden
Pendidikan Terakhir
Orang Tua
Persentase
Jenis
Pekerjaan
Persentase
Jumlah
Anak
Persentase
Tidak Tamat SD 0
Ibu rumah
tangga
87 Satu 28
SD dan/ MI

63 Pedagang 6 Dua 35

PKMI-2-4-4
SMP dan/ MTs 24 Tukang kredit 3 Tiga 15
SMA 12
Karyawati
konveksi
2 Empat 9
AKPER 1
Pegawai
swasta
1 Lima 9
S1/ S2/ S3 0 Wiraswasta 1
Diatas
Lima
4

Tabel di atas menunjukan bahwa tingkat pendidikan responden mayoritas
lulusan SD sebesar 63 % dan responden dengan tingkat pendidikan tertinggi
merupakan lulusan AKPER sebesar 1 %. Berdasarkan jenis pekerjaannya
mayoritas responden sebagai ibu rumah tangga, yaitu sebesar 87 % sehingga
memiliki cukup waktu untuk mengurus rumah tangganya. Sebanyak 35 %
responden memiliki dua anak, jumlah anak yang dimiliki responden ini
memperlihatkan sudah adanya kesadaran responden untuk membatasi jumlah
anaknya.

Faktor Internal
Alasan menggunakan atau tidak menggunakan KB
Sebanyak 18 % responden yang tidak menggunakan alat KB dengan
berbagai alasan, dikarenakan faktor usia lanjut sebesar 1 %, karena sudah steril
sebesar 2 %, malas menggunakan KB 1 %, sakit dan mengalami pendarahan 2 %,
baru menikah 1 %, anak sudah besar 2 %, ingin mempunyai anak lagi 3 %, dan
tidak memberikan alasan sebesar 6 %. Sedangkan 82 % responden menggunakan
alat KB karena berbagai alasan yang dapat dilihat dari diagram 1 berikut:










Diagram 1. Alasan Menggunakan Alat KB

Berdasarkan diagram 1 dapat diketahui bahwa 30 % responden
menggunakan alat KB agar ada jarak beberapa tahun diantara anaknya, 25 %
responden merencanakan berapa jumlah anak yang akan dilahirkan dengan cara
mengatur jumlah anak, 11 % responden mencegah kehamilan karena kondisi fisik
dan mentalnya belum siap. Responden yang ingin menekan jumlah anak sebesar 6
% karena merasa bahwa jumlah anak mereka telah cukup, 5 % berikutnya karena
pertimbangan ekonomi dimana responden lebih mengambil perspektif dalam
jangka panjang, yaitu perlunya mengeluarkan biaya yang besar dengan semakin
banyaknya jumlah anak, termasuk biaya pendidikan sekolah. Kemudian 3 %
responden merasa bahwa jika mempunyai anak harus memberikan pendidikan
terkait dengan masalah moral dan etika dalam keluarga yang cukup bagi anaknya,
sehingga tidak dibutuhkan banyak anak, dan 2 % sisanya karena alasan repot
mengurus anak.
Tidak pakai
18%
Pertimbangan ekonomi
5%
Ada jarak antar anak
30%
Repot mengurus anak
2%
Pemberian pendidikan
dalam keluaraga
3%
Mencegah kehamilan
11%
Mengatur jumlah anak
25%
Menekan jumlah anak
6%
Tidak pakai Pertimbangan ekonomi Ada jarak antar anak
Repot mengurus anak Pemberian pendidikan dalam keluarga Mencegah kehamilan
Mengatur jumlah anak Menekan jumlah anak
Repot mengurus
anak 2 %

PKMI-2-4-5
Dari kecenderungan tersebut dapat ditarik informasi bahwa mayoritas
responden yang merupakan masyarakat desa hanya berpikir tentang jangka
pendek, sebab hanya 5 % dari mereka yang berpikir untuk meningkatkan kualitas
hidup anak melalui pendidikan sekolah dalam jangka panjang.

Jenis Alat KB yang digunakan
Berdasarkan hasil penelitian yang terdapat pada tabel 2, mayoritas
responden yakni sebesar 64 % menggunakan alat suntik KB yang disuntikkan
sekali tiap tiga bulan, hal ini dikarenakan penggunaan alat suntik KB yang mudah
dan murah.

Tabel 2. Jenis Alat KB yang digunakan
No. Jenis Alat KB yang digunakan Jumlah Responden (%)
1. Alat Suntik KB 64
2. Pil KB 17
3. Sterilisasi 1

Sebanyak 17 % responden lainnya menggunakan pil KB, walaupun
harganya relatif lebih mahal dibandingkan alat suntik, tetapi beberapa responden
khusus menggunakannya seperti ibu-ibu yang sedang menyusui. Responden yang
menggunakan sterilisasi sebesar 1 %, persentase yang kecil ini disebabkan
disamping harganya yang lebih mahal juga karena sifatnya yang permanen.

Lama Penggunaan KB
Mayoritas 49 % responden menggunakan alat KB selama 1-5 tahun dan
pemakaiannya dilakukan secara bertahap. Setelah mempunyai anak, responden
memakai alat KB dan jika ingin mempunyai anak lagi maka pemakaian alat KB
dihentikan. Data selengkapnya mengenai lama penggunaan KB dapat dilihat pada
tabel dibawah ini.
Tabel 3. Lama Penggunaan KB
No. Lama Penggunaan KB (tahun) Jumlah Responden (%)
1.
< 1 6
2.
1-5 49
3.
6-10 18
4.
11-15 3
5.
16-20 3
6.
21-25 2
7.
25-30 1

Mayoritas responden yaitu sebesar 84 % mengaku cocok menggunakan
alat KB, ini berarti efek negatif yang dirasa responden lebih kecil dibandingkan
manfaat yang diperolehnya. Dibandingkan dengan 5 % responden yang tidak
cocok baik karena mengalami pendarahan, mual, obesitas ringan, dan tidak enak
badan, persentase responden yang cocok jauh lebih besar, hal ini membuktikan
bahwa alat KB cocok untuk digunakan. Responden yang memberikan jawaban
tidak tahu sebanyak 11 % dikarenakan baru menikah dan belum pernah memakai
alat KB.

PKMI-2-4-6
Kecocokan Penggunaan KB
Persentase kecocokan menggunakan alat KB dapat dilihat dalam diagram
2 berikut :










Diagram 2. Kecocokan Menggunakan Alat KB

Faktor Eksternal
Sumber Informasi KB
Mayoritas responden (50 %) mendapat informasi tentang KB dari bidan
walaupun jumlah bidan di Desa Cihideung Udik hanya satu orang ini
membuktikan bahwa keberadaan bidan sangat efektif dalam menginformasikan
KB. Dari puskesmas/ posyandu/ poliklinik sebesar 24 % meskipun biaya relatif
terjangkau tetapi keberadaan pelayanan kesehatan ini kurang bisa memberikan
informasi karena terbatasnya jumlah kader-kader KB.









Sumber informasi KB pada diagram 3 menunjukkan peranan dokter hanya
sebesar 11 %, dikarenakan jika melakukan konsultasi ke dokter maka biaya yang
dikeluarkan relatif lebih mahal. Media televisi memberikan peranan 6 % dalam
membantu menyebarkan informasi tentang KB karena hanya sedikit responden
yang memiliki televisi selain itu, informasi KB di televisi juga kurang, dan dari
pihak lainnya sebesar 9 %, yaitu dorongan dari suami, tetangga, dan orang tua.

Analisis Hubungan antara Tingkat Pendidikan Orang Tua dengan Kualitas
Anak
Diagram 4 menunjukkan hubungan antara pendidikan terakhir orang tua
dengan jumlah anak yang dimiliki.
Perspektif yang ada selama ini mengindikasikan bahwa semakin tinggi
tingkat pendidikan orang tua maka ia akan memiliki kesadaran yang cukup tinggi
untuk mengatur dan merencanakan jumlah anak yang harus dimiliki, sehingga
anak tersebut lebih mendapat perhatian dan pada akhirnya kualitas anak akan
meningkat. Berdasarkan diagram 4 terlihat bahwa orang tua yang memiliki tingkat
Cocok
84%
Tidak cocok 5%
Tidak tahu 11%
Cocok Tidak cocok Tidak tahu
Diagram 3 : Sumber Informasi KB
Bidan
50%
Puskesmas/
Posyandu/
Poliklinik
24%
Dokter
11%
Lainnya
9%
TV
6%
Bidan Puskesmas/ Posyandu/ Poliklinik Dokter Lainnya TV
Diagram 3. Sumber Informasi KB

PKMI-2-4-7
pendidikan terakhir SD (22 %) memiliki dua orang anak, meski demikian yang
memiliki jumlah anak lebih dari dua juga besar. Hal ini mengindikasikan bahwa
untuk kasus desa Cihideung Udik faktor pendidikan terakhir orang tua tidak
cukup berpengaruh terhadap jumlah anak yang dimiliki.















Diagram 4. Jumlah Anak Berdasarkan Pendidikan Terakhir Orang Tua

Rendahnya pemikiran untuk meningkatkan kualitas hidup anak disebabkan
karena pola pikir masyarakat masih cenderung homogen. Rata-rata tingkat
pendidikan masyarakat Desa Cihideung Udik adalah lulusan SD, yaitu sebesar 63
% dari total responden. Hal ini akan berdampak pada pola pikir orang tua dalam
membesarkan anak, bahwa pendidikan bukanlah prioritas yang penting, sehingga
tingkat pendidikan anak-anak mereka juga cenderung rendah. Pola pikir seperti ini
menyebabkan kualitas SDM menjadi rendah dan pada akhirnya produktivitas
mereka akan rendah pula.
Pola pikir masyarakat tersebut perlu untuk diubah, termasuk persepsi
masyarakat mengenai program KB, sehingga program KB tidak hanya dijadikan
sebagai cara untuk membatasi jumlah anak, tetapi juga bertujuan untuk
meningkatkan kualitas SDM, karena pada dasarnya anak merupakan investasi
yang bernilai ekonomis bagi orang tua di masa yang akan datang.
Semakin sedikit jumlah anak yang dimiliki maka kesejahteraan anak akan
lebih terjamin. Dalam jangka panjang, hal ini merupakan pendorong peningkatan
kualitas anak. Salah satu tujuan program KB adalah untuk membatasi jumlah anak
dalam rangka meningkatkan kualitas hidup anak. Menurut Todaro (2004) dalam
teori Ekonomi Fertilitas yang berlaku di negara-negara berkembang, penambahan
jumlah anak dianggap sebagai bentuk investasi.
Dalam memutuskan perlu tidaknya menambah jumlah anak, orang tua
diasumsikan memperhitungkan keuntungan dan kerugian secara ekonomis.
Keuntungan ekonomi yang diharapkan adalah pendapatan yang dihasilkan oleh
anak bila ia bekerja, serta jaminan keuangan bagi orang tua di masa depan. Di lain
pihak, terdapat dua bentuk kerugian atau biaya yang diperhitungkan. Pertama,
biaya oportunitas (opportunity cost) berupa waktu ibu untuk memelihara si anak,
sehingga tidak sempat melakukan kegiatan yang produktif. Kedua, biaya
pendidikan anak yang menyebabkan orang tua menghadapi dilema. Jika anaknya
Diagram 4 : Jumlah Anak Berdasarkan
Pendidikan Terakhir Orang Tua
0
5
10
15
20
25
SD dan/
MI
SMP dan/
MTs
SMA AKPER
Jenis Pendidikan
J
u
m
l
a
h

R
e
s
p
o
n
d
e
n

(
%
)
Satu
Dua
Tiga
Empat
Lima
Enam
Tujuh
Delapan

PKMI-2-4-8
sedikit mereka bisa menyekolahkannya setinggi mungkin, sehingga berpotensi
mendapatkan penghasilan yang tinggi. Di sisi lain, jika anaknya banyak,
kemungkinan untuk menyekolahkan anak sampai jenjang yang tinggi lebih kecil,
sehingga potensi anak untuk menghasilkan pendapatan yang potensial di masa
mendatang tidak bisa terlalu diharapkan.
Berdasarkan hasil penelitian, 63 % responden memiliki satu sampai dua
anak, sementara 87 % responden berperan sebagai ibu rumah tangga yang dilihat
dari sisi ekonomi kegiatan tersebut dinilai tidak produktif. Seharusnya dengan
sedikitnya jumlah anak, para ibu dapat melakukan kegiatan ekonomi yang
produktif.
Pembatasan jumlah anak melalui program KB memungkinkan orang tua
memberikan kesempatan pendidikan yang lebih tinggi. Menurut teori Human
Capital, kualitas SDM selain ditentukan oleh kesehatan juga ditentukan oleh
pendidikan. Pendidikan dapat menambah pengetahuan dan juga meningkatkan
keterampilan tenaga kerja yang pada gilirannya akan meningkatkan produktivitas.
Produktivitas di satu pihak dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan di lain
pihak dapat meningkatkan penghasilan dan kesejahteraan penduduk. Informasi
yang didapat dari hasil penelitian menunjukkan bahwa hanya 5 % dari responden
yang berpikir untuk meningkatkan kualitas hidup anak melalui pendidikan
sekolah dalam jangka panjang.

KESIMPULAN
Program KB merupakan salah satu cara yang dilakukan untuk
mengendalikan jumlah penduduk, hal ini dilakukan dengan membatasi jumlah
anak yang akan dilahirkan. Dari hasil penelitian di desa Cihideung Udik dapat
diketahui bahwa masyarakat yang melakukan KB lebih terdorong karena ingin
menjaga jarak antar anak, dan karena ingin merencanakan jumlah anak yang akan
dilahirkan, ini menunjukkan bahwa keikutsertaan dalam program KB tidak
terdorong untuk meningkatkan kualitas hidup anaknya.
Peranan bidan sangat besar dalam menginformasikan KB, ini terlihat
bahwa meskipun di Desa Cihideung Udik hanya terdapat satu bidan tetapi mampu
melayani keperluan KB masyarakat desa. Mayoritas responden yaitu sebesar 84 %
mengaku cocok menggunakan alat KB, ini didukung oleh 64 % responden yang
menggunakan alat suntik KB. Dengan adanya 82 % responden yang menggunakan
alat KB dapat dilihat bahwa kesadaran masyarakat desa cukup tinggi sebab
mereka merasa efek negatif yang dirasakannya lebih kecil dibandingkan manfaat
yang diperolehnya.
Pada kasus desa Cihideung Udik, faktor pendidikan terakhir orang tua
tidak cukup berpengaruh terhadap jumlah anak yang dimiliki. Hal ini ditunjukkan
dengan 22 % responden yang berpendidikan terakhir SD memiliki dua orang anak
Pendidikan sebagai aspek yang penting belum diprioritaskan oleh sebagian
besar masyarakat, sehingga pola pikir tersebut perlu untuk diubah, termasuk
persepsi masyarakat mengenai program KB, sehingga program KB tidak hanya
dipandang sebagai cara untuk membatasi jumlah anak, tetapi juga bertujuan untuk
meningkatkan kualitas SDM, karena pada dasarnya anak merupakan investasi
yang bernilai ekonomis bagi orang tua di masa yang akan datang.



PKMI-2-4-9
DAFTAR PUSTAKA
Anas, Azwar et. al. 2005. Peningkatan Kualitas Sumber Daya Desa Cihideung
Udik Melalui Pemberdayaan Potensi Sumber Daya Alam dan Sumber
Daya Manusia. LPPM IPB, Bogor.
Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional. 2004. Kesehatan Reproduksi
Menuju Keluarga Berkualitas. http://www.bkkbn.go.id. [9 Maret 2006].
. 2005. Keluarga Berencana Prasyarat Pembangunan Sumber Daya
Manusia dan Ekonomi. http://www.bkkbn.go.id. [13 Maret 2006].
Badan Pusat Statistik Kabupaten Bogor. 2004. Katalog BPS 1403. 3201. BPS,
Bogor.
Juanda, Bambang. 2003. Metodologi Penelitian. Departemen Ilmu Ekonomi
Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Medicastore. 2005. Keluarga Berencana. http://www.medicastore.com/cybermed/
detail_pyk.php?idktg=17&iddtl=575 - 50k. [13 Maret 2006].

Noerdin, Mazwar. 2003. Peningkatan Kesejahteraan Rakyat melalui Program
Keluarga Berencana Nasional. BKKBN, Jakarta.
Pemerintah Desa Cihideung Udik. 2004. Laporan Pelaksanaan Tugas Kepala
Desa Cihideung Udik Kecamatan Ciampea. Pemerintah Kabupaten Bogor,
Bogor.
Supriyoko, Ki. 2004. "HDI Indonesia Tetap Rendah". [Kompas Online].
http://www.jpkm-online.net .[13 Maret 2006].
Todaro, Michael P. Dan Stephen C. Smith. 2004. Pembangunan Ekonomi di
Dunia Ketiga. Erlangga, Jakarta.


PKMI-2-5-1
SOFTWARE ANALYZER UNTUK MENGANALISIS
GANDENGAN TIGA PIPA SEBAGAI FILTER AKUSTIK

Lia Laela Sarah
Jurusan pendidikan Fisika, Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung

ABSTRAK
Gandengan tiga pipa sebagai filter akustik dapat dianalisis dari persamaan
transmitansi akustiknya. Harga transmitansi akustik ini bergantung pada
perbandingan luas penampang pipa dan panjang buffer. Analisis konstruksi dapat
dipermudah dengan software analyzer yang telah dibuat menggunakan delphi 5.
Software ini juga dapat digunakan untuk menentukan panjang buffer yang
optimal untuk menapis frekuensi yang dikehendaki.

Kata kunci: filter akustik, transmitansi akustik, software analyzer

PENDAHULUAN
Dalam kehidupan sehari-hari gandengan tiga pipa telah banyak digunakan
berkaitan dengan fungsinya sebagai filter akustik, misalnya untuk mengurangi
tingkat kebisingan, pada kendaraan bermotor biasa dilengkapi dengan mufflers
atau disebut juga filter. Mufflers atau filter memiliki konstruksi yang khas yaitu
merupakan gandengan tiga pipa dengan diameter dua pipa bagian tepi berukuran
sama dan penampang pipa tengah (buffer) lebih besar dari keduanya, tampak pada
Gambar 1. Contoh lain dari penerapan gandengan tiga pipa sebagai filter akustik
diantaranya pada saluran pembuangan gas (exhaust chamber), peredam pistol
(silencer), bahkan kalau diperhatikan prinsip gandengan ini terdapat juga dalam
konstruksi ruang pleno atau ruang pertunjukan yang bertujuan untuk
mengeleminasi adanya pengaruh gelombang bunyi dari luar.


Gambar 1 Knalpot Kendaraan bermotor

Dalam bidang fisika, salah satu penggunaan gandengan tiga pipa sebagai
filter akustik yaitu pada eksperimen Spektroskopi Fotoakustik (SFA) misalnya
yang telah digunakan oleh Angeli pada tahun 1991, lihat Gambar 2.










Gambar 2 Filter Akustik pada eksperimen SFA (Angeli,1991)
50
8
8
42


PKMI-2-5-2
Oleh karena itu penulis melakukan suatu studi literatur mengenai analisis
perambatan gelombang dalam gandengan tiga pipa dan hasil yang diperoleh
dituangkan dalam sebuah software analyzer yang dapat digunakan untuk
mempermudah analisis selanjutnya.

Gelombang Akustik
Pada dasarnya gelombang akustik merupakan fluktuasi tekanan dalam
medium yang fungsinya dinyatakan oleh persamaan (Kinsler,1985) :
) ( ~ t kx i
Ae p

= (1)
Perbandingan dari tekanan gelombang akustik p
~
dalam medium dengan
kecepatan partikel medium u didefinisikan sebagai impedansi spesifik akustik
dari medium z yang dinyatakan (Kinsler, 1985) :
u
p
z
~
= , (2)
Untuk gelombang yang menjalar ke arah kanan dan dengan mensubstitusikan
harga kecepatan gelombang dalam medium maka persamaan di atas menjadi :
v z = . (3)
yang disebut juga impedansi karakteristik. Sifat fisis lain dari medium dalam pipa
yang dilalui gelombang dinyatakan oleh besaran impedansi akustik. Impedansi
akustik Z dari medium yang menempati ruang dengan luas permukaan S
didefinisikan sebagai perbandingan antara tekanan gelombang akustik p
~
pada
permukaan dengan kecepatan aliran elemen volume medium yang dinyatakan
oleh persamaan (Kinsler, 1985) :

dt dX
p
Z
~
= (4)
Untuk satu fase gelombang yang melalui luas permukaan tertentu, karena
gerak partikel elemen fluida searah permukaan pada setiap titik maka :posisi
elemen fluida yang melalui permukaan diperikan oleh persamaan (Zahara
Muslim,1998) :
S X = , (5)

dan dengan menurunkannya terhadap t kemudian mensubstitusikan pers.(2) dan
pers. (4) diperoleh harga impedansi akustik sebesar :
S
z
Z = (6)
Harga impedansi akustik ini merupakan variabel yang mempengaruhi besarnya
daya atau arus energi gelombang dalam pipa tersebut yang besarnya dapat
dituliskan :
Z
p
P
2 ~
= (7)
Adapun perbandingan daya gelombang yang ditransmisikan (P
t
) dengan daya
gelombang datang (P
d
) didefinisikan sebagai besaran transmitansi (T) :
d
t
P
P
T = (8)



PKMI-2-5-3
Transmisi Gelombang Akustik Dalam Gandengan Tiga Pipa
Dalam gandengan tiga pipa seperti gb.(3), gelombang akustik yang
menjalar pada pipa pertama S
1
, dinyatakan oleh :
) (
1 ) 1 (
kx t i
i
e A p

=

(9)
Setelah gelombang ini melewati perbatasan pada x = 0, karena pada pipa kedua S
2

ada perbedaan impedansi akustik, maka daya gelombang yang ditransmisikan
menjadi berubah, sebagian daya gelombang dipantulkan kembali menuju pipa
pertama.











Gambar 3 Gandengan tiga pipa dengan luas penampang berbeda

Adapun persamaan gelombang tekanan yang dipantulkan menuju pipa satu
dan persamaan gelombang yang diteruskan ke pipa 2 dinyatakan berturut-turut
oleh pers. (10) dan pers.(11) yaitu :

) (
1 ) 1 (
kx t i
r
e B p
+
=

(10)
) (
2 ) 2 (
kx t i
i
e A p

=

. (11)

Demikian juga pada saat melewati perbatasan pipa ketiga yaitu pada x = l,
sebagian daya gelombang yang diteruskan dan sebagian lagi dipantulkan kembali.
Sehingga dalam pipa dua persamaan gelombang pantulnya adalah :

) (
2 ) 2 (
kx t i
r
e B p
+
=

(12)

dan persamaan gelombang tekanan yang ditransmisikan dalam pipa tiga yaitu :

)] ( [
3 ) 3 (
l x k t i
t
e A p

=

(13)

Dalam hal ini A
1
, B
1
, A
2
, B
2
, A
3
merupakan amplitudo gelombang pada masing-
masing pipa, k yaitu bilangan gelombang , yaitu frekuensi gelombang dan l
yaitu panjang pipa kedua (buffer).
Pada saat gelombang melalui perbatasan x = 0, berlaku kontinuitas
tekanan artinya total seluruh gelombang pada pipa pertama akan sama dengan
total gelombang pada pipa kedua, sehingga berlaku :
) 2 ( ) 2 ( ) 1 ( ) 1 ( r i r i
p p p p + = + (14)
Selain kontinuitas tekanan, pada perbatasan ini juga berlaku kontinuitas kecepatan
aliran fluida, dalam hal ini adalah kontinuitas kecepatan partikel medium yang
berosilasi antara pipa pertama dan pipa kedua pada saat dilalui gelombang.
Persamaan kontinuitas kecepatan aliran partikel ini memenuhi :
S
3
S
2
S
1

x = 0
x = l


PKMI-2-5-4
) ( ) (
) 2 ( ) 2 ( 2 ) 1 ( ) 1 ( 1 r i r i
u u S u u S + = + , (15)
Demikian juga pada saat gelombang melewati perbatasan pipa x=l,
berlaku kontinuitas tekanan dan kontinuitas aliran partikel, sehingga diperoleh
persamaan :
} { kl s s i kl s
A
A sin ) ( cos ) 1 (
2
23 12 13
3
1
+ + + = (16)
dengan
1
2
12
S
S
s = ,
2
3
23
S
S
s = dan
1
3
13
S
S
s =
Dengan demikian harga transmitansi akustik yang berlaku dalam
gandengan tiga pipa sesuai dengan gb.3 adalah :
kl s s kl s
s
T
2 2
23 12
2 2
13
13
sin ) ( cos ) 1 (
4
+ + +
= (17)
Harga stasioner dari persamaan transmitansi tersebut terjadi pada saat dilalui oleh
gelombang yang frekuensinya memenuhi persamaan :
l
nv
f
2
= atau (18)
l
v n
f
4
) 1 2 (
= (19)
Bila disubstitusikan dalam persamaan derivatif kedua dari persamaan transmitansi
tersebut akan menghasilkan transmitansi maksimum sebesar :
2
13
13
) 1 (
4
s
s
T
maks
+
= (20)
dan menghasilkan transmitansi minimum sebesar :
2
23 12
13
min
) (
4
s s
s
T
+
= (21)

SOFTWARE ANALYZER
Software analyzer merupakan suatu program grafik yang berguna untuk
mempermudah analisis konstruksi gandengan tiga pipa sebagai filter akustik
dilihat dari grafik transmitansinya. Selain itu program ini juga dapat digunakan
untuk menentukan panjang buffer yang optimal sehingga mampu menapis
frekuensi yang dikehendaki. Program ini dibuat dengan menggunakan delphi 5.
Adapun tampilan program tampak pada gb.4.
Tampilan pada gb.(4.a) merupakan halaman keterangan yaitu mengenai
keterangan pembuat program, dalam hal ini adalah penulis sendiri. Tampilan pada
gb.(4.b) yaitu halaman penentuan karakteristik pipa, tampilan ini merupakan
program grafik transmitansi pers.(17) dengan variabel bebas frekuensi dan
transmitansi minimum sesuai pers.(21). Pada halaman ini, kita dapat menganalisis
suatu filter akustik dengan memasukan harga konstruksi pipa. Dan tampilan 3
gb.(4.c) yaitu halaman penentuan panjang pipa, fungsinya adalah untuk
menentukan panjang buffer optimal sehingga mampu menapis gelombang akustik
dengan frekuensi sesuai yang diharapkan.
Kelemahan software ini adalah belum dapat menentukan perbandingan
luas penampang yang optimal bila transmitansi minimumnya telah ditentukan
terlebih dahulu. Untuk mengatasinya, kita dapat melakukan teknik ujicoba yaitu


PKMI-2-5-5
dengan memasukan data terlebih dahulu dalam konstruksi pipa, kemudian dilihat
harga transmitansi minimumnya, bila tidak sesuai kita bisa mengganti data
masukannya dengan mudah sampai diperoleh harga transmitansi yang diinginkan.



Gambar 4.a. Tampilan 1




Gambar 4.b. Tampilan 2



PKMI-2-5-6

Gambar 4.c Tampilan 3

ANALISIS DAN PEMBAHASAN
Dari pers.(17) tampak bahwa besarnya transmitansi akustik dalam
gandengan tiga pipa bergantung pada perbandingan luas penampang pipa dan
panjang buffer. Karena bilangan gelombang dalam hal ini bukan bagian dari
konstruksi pipa, maka tidak dapat dikatakan sebagai karakteristik pipa. Dengan
mengambil hubungan antara bilangan gelombang dan frekuensinya, maka
persamaan di atas secara praktis dapat digunakan untuk menganalisis konstruksi
gandengan tiga pipa sebagai filter akustik dalam rentang frekuensi yang
diharapkan dengan memerikannya dalam grafik.
Selanjutnya, mari kita tinjau suatu filter akustik yang digunakan oleh
Angeli pada tahun 1991 dengan diameter pipa pertama sama dengan diameter pipa
ketiga sebesar 8 mm dan diameter buffer 50 mm panjangnya 42 mm tampak pada
gb.(2). Grafik transmitansinya terlihat pada gb.(5).
Dari grafik dapat dilihat untuk rentang frekuensi antara 0-2000 Hz grafik fungsi
menurun, dari 2400-3000 Hz grafik mulai terlihat naik kembali. Hal ini
menunjukan bahwa daya gelombang akustik yang berfrekuensi sekitar 1800 Hz
2300 Hz (~2 kHz) mengalami transmisi yang paling kecil dilihat dari harga
transmitansinya yang merupakan transmitansi minimum dan harganya cukup kecil
(t
min
= 0.0026). Dari tafsiran grafik tersebut dapat disimpulkan bahwa konstruksi
ini dapat menapis frekuensi gelombang akustik yang memiliki range frekuensi
sekitar 2 kHz. Hasil analisis ini sesuai dengan hasil eksperimen yang dilakukan
oleh Angeli (1991).


PKMI-2-5-7


Gambar 5. Grafik Transmitansi dari filter akustik Angeli.(1991)


Bila konstruksi ini ingin kita gunakan sebagai filter akustik yang mampu
menapis gelombang akustik dengan range frekuensi 3000 Hz, maka panjang
buffer yang optimal dapat ditentukan dari grafik transmitansi Gambar 6 :



Gambar 6 Grafik transmitansi untuk menentukan panjang buffer


Dari grafik, terlihat panjang buffer yang dapat menapis frekuensi tersebut
berada pada rentang 24-34 mm dan panjang buffer dengan transmitansi minimum
yaitu sekitar 28 mm. Dari tafsiran ini dapat disimpulkan bahwa konstruksi pipa di
atas bila ingin dijadikan filter akustik yang mampu menapis frekuensi 3 kHz maka
panjang buffer optimal yang dapat digunakan yaitu 28 mm.



PKMI-2-5-8
KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan persamaan transmitansi gelombang akustik, gandengan tiga
pipa dapat dianalisis sebagai filter akustik untuk range frekuensi tertentu.
Besarnya transmitansi minimum akustik ditentukan oleh perbandingan luas
penampang pipa Adapun untuk mendapatkan filter akustik yang mampu menapis
harga frekuensi tertentu dapat divariasikan dari panjang buffer. Dalam
menganalisis dan merancang filter akustik dipermudah dengan bantuan software
analyzer yang telah dibuat menggunakan Delphi 5.
Untuk penelitian lebih lanjut dapat dibahas mengenai :
1. Harga optimal perbandingan luas penampang filter akustik yang dapat
digunakan sehingga transmitansi akustik yang diperoleh sangat minimum atau
mendekati nol.
2. Menganalisa konstruksi filter yang hanya mampu menapis satu frekuensi
gelombang akustik.
3. Melakukan eksperimen untuk mengetahui frekuensi gelombang dalam
kendaraan bermotor baik dalam keadaan diam maupun dalam keadaan
bergerak, kemudian dianalisis sehingga diperoleh konstruksi filter yang
sesuai.

DAFTAR PUSTAKA
Angeli, G.Z., Bozoki, Z.,Miklos, A., Lorinz, A., Thony, A, Sigrist, M. W.1991.
Design an Characterization of windowless resonant Photoacoustic
Chamber Equippedwith Resonance Locking Circuitry. Rev. Sci. Instrum.
Vol.62, No. 3, 810-813.
Kinsler, E. Lawrence dan Frey, R.Austin, 1985. Fundamental of Acoustic. John
Wiley & Sons. INC., London
Muslim, Zahara.1998. Gelombang dan Optika. Jurusan Fisika FPMIPA-UGM,
Yogyakarta.
Nurulhana, M. 2002. Pemrograman Software Multimedia Pembelajaran Dengan
Bahasa Delphi. Laboratorium Komputer Pendidikan Jurdik Kimia UPI,
Bandung


PKMI-2-6-1
PEMANFAATAN RANGKAIAN PENGUKUR INTENSITAS CAHAYA
UNTUK RANCANG BANGUN ALAT PENGUKUR
TINGKAT KEKERUHAN AIR

Riza Uldin A, Masroah
Jurusan Fisika, Fakultas MIPA, Universitas Negeri Semarang, Semarang

ABSTRAK
Air yang keruh akan menyebabkan intensitas cahaya yang masuk kedalamnya
berkurang. Dengan demikian tingkat kekeruhan air dapat dideteksi dengan alat
pengukur intensitas cahaya. Kegiatan rancang bangun dilakukan dengan tujuan
untuk menghasilkan alat yang dapat digunakan untuk mengukur tingkat
kekeruhan air sebagai pemanfaatan piranti elektronika berupa fototransistor.
Proses rancang bangun meliputi pembuatan rangkaian Op-Amp sederhana yang
berfungsi sebagai penguat dan desain sistem sensor fototransistor yang bekerja
berdasar prinsip efek fotolistrik. Alat hasil kegiatan rancang bangun
dikarakterisasi dengan melakukan kalibrasi. Caranya adalah dengan
membandingkan besaran keluaran yang ditunjukkan oleh alat ukur, yaitu berupa
tegangan, dengan hasil pengukuran intensitas cahaya yang dihasilkan oleh
luxmeter produk industri. Ujicoba aplikasi alat untuk mengukur tingkat kekeruhan
air dilakukan pada air yang dibuat keruh secara sengaja, yaitu dengan
menambahkan bahan berupa tinta dan bubuk susu coklat. Hasil karakterisasi
menunjukkan bahwa perubahan konsentrasi larutan tinta dan susu coklat
(sebagai indikasi tingkat kekeruhan) pada air berpengaruh pada tegangan
keluaran yang dihasilkan. Semakin bertambah konsentrasinya (yang berarti
semakin keruh) tegangan keluaran yang dihasilkan juga semakin kecil.
Perubahan tegangan keluaran terhadap tingkat kekeruhan mengikuti pola
eksponensial turun, sebagaimana terjadi pada banyak proses yang berlangsung
secara alamiah. Cara pengukuran tingkat kekeruhan air dengan alat ini tidak
dapat dilakukan oleh alat pengukur intensitas cahaya yang tidak resisten
terhadap cairan, seperti luxmeter produk industri yang ada di Laboratorium
Fisika UNNES. Sifat sistem sensornya yang permisif untuk dicelupkan ke dalam
air dan biaya pembuatannya yang murah adalah di antara keunggulan dari alat
ini selain hasil pengukuran yang baik.

Kata Kunci: Fototransistor, Turbidymeter, luxmeter, Intensitas cahaya, LED.

A. PENDAHULUAN
Secara fisis air bersih diindikasikan dengan keadaannya yang bening, tidak
berwarna dan tidak berbau. Kondisi seperti ini terjadi jika air tidak dikotori oleh
bahan organik atau anorganik. Sedangkan secara optis, air yang tercampuri oleh
bahan pengotor keadaannya akan berubah, mungkin menjadi berwarna atau
menjadi keruh.
Air yang keruh akan menyebabkan intensitas cahaya yang masuk
kedalamnya menjadi berkurang. Cahaya yang melewati air yang keruh akan
mengalami pengurangan intensitas cahaya secara mencolok. Hal tersebut
disebabkan cahaya yang melewati air keruh mengalami penyerapan atau
pemantulan, sehingga hanya sedikit yang diteruskan. Berkurangnya intensitas

PKMI-2-6-2
cahaya tersebut dapat dideteksi oleh alat yang peka terhadap perubahan intensitas
cahaya, yaitu fototransistor.
Fototransistor dapat dimanfaatkan sebagai rangkaian pengukur intensitas
cahaya dengan sebuah rangkaian penguat sederhana berdasar rangkaian Op Amp.
Dengan demikian secara praktis rangkaian pengukur intensitas cahaya yang
bekerja karena perubahan intensitas cahaya ini dapat digunakan juga untuk
mendeteksi tingkat kekeruhan air.
Sebenarnya di pasaran telah tersedia alat untuk menentukan tingkat
kekeruhan air, misalnya alat yang dinamakan Turbidymeter. Sayangnya alat
tersebut berharga sangat mahal, sehingga hanya pihak-pihak (biasanya
perusahaan) tertentu saja yang memilikinya. Oleh karena itu kegiatan
pengembangan rancang bangun alat pengukur tingkat kekeruhan air ini memiliki
prospek kedepan yang bagus. Meskipun wujud rancang bangunnya sederhana,
tetapi unjuk kerjanya sangat baik. Selain itu alat ini sangat ekonomis, karena biaya
pembuatannya sangat murah dan mudah dalam mengoperasikannya. Dengan
demikian alat ini sangat cocok untuk digunakan oleh masyarakat umum yang
tidak memerlukan unjuk kerja berpresisi tinggi.
Dalam tulisan ini dilaporkan hasil kegiatan yang bertujuan melakukan
studi mengenai proses rancang bangun dan karakterisasi alat untuk mengukur
tingkat kekeruhan air dengan memanfaatkan rangkaian pengukur intensitas
cahaya.

Air dan intensitas cahaya
Air bersih yang ideal adalah jernih, tidak berwarna, tidak berasa, tidak
berbau, tidak mengandung pathogen, tidak mengandung zat kimia yang dapat
mengubah fungsi tubuh, tidak korosif dan tidak meninggalkan endapan pada
seluruh jaringan distribusinya. Pada hakekatnya, tujuan pembuatan batasan
tersebut untuk mencegah terjadinya serta meluasnya penyakit bawaan air (water-
borne diseases). (Juli Soemantri Slamet, 1994). Di Indonesia, standar air minum
yang berlaku di buat pada tahun 1975 yang kemudian diperbaiki pada tahun 1990.
Kekeruhan air disebabkan oleh zat padat yang terlarut, baik yang bersifat
anorganik maupun yang organik (Siti Khanafiah dkk., 1999). Zat anorganik
biasanya berasal dari lapukan batuan dan logam, sedangkan yang organik dapat
berasal dari lapukan tanaman dan kotoran hewan. Buangan industri dapat pula
merupakan sumber kekeruhan. Zat organik dapat menjadi makanan bakteri,
sehingga mendukung perkembangbiakannya. Bakteri ini juga merupakan zat
organik terlarut, sehingga pertambahannya akan menambah pula kekeruhan air.
Air yang keruh sulit didesinfeksi, karena mikroba terlindung oleh zat terlarut
tersebut. Hal ini tentu berbahaya bagi kesehatan, bila mikroba ini pathogen.
Tingkat kekeruhan air dapat diukur dengan alat ukur yang disebut
Turbidymeter, atau dengan membandingkan tingkat kekeruhan suatu air dengan
atau perairan dengan air bersih. (Gabriel. J.F. 1996).
Pengukuran intensitas cahaya didasarkan pada banyaknya energi cahaya
yang diterima oleh alat ukur. Banyaknya energi cahaya yang diterima atau diukur
oleh alat ukur dipengaruhi oleh fluks cahaya dan penghalang atau pengotor.
Bermacam-macam satuan pengukuran intensitas cahaya digunakan selama
bertahun-tahun. Satuan Lux berkaitan dengan banyaknya energi cahaya yang jatuh
pada suatu permukaan dalam satu detik yang disebut kuat penerangan (illuminasi).

PKMI-2-6-3
Satuan yang berkaitan dengan pancaran cahaya dari sumber cahaya standar adalah
candela ( tidak jauh berbeda dengan cahaya yang dipancarkan dari lilin sebagai
sumber cahaya standar awal).


t
Q
F = ..................................................................................1
dimana:
F = fluks cahaya (lumen)
Q = energi cahaya (lumen second atau lum.sec)
t = waktu (second).
Jika fluks cahaya mengenai sebuah permukaan, maka dikatakan bahwa
permukaan itu diterangi. Illuminasi E adalah fluks cahaya yang menyinari daerah
per satuan luas.
dA
dF
E = ..................................................................................2
dimana:
dF = fluks cahaya yang mengenai daerah luasan kecil (lumen)
dA = daerah luasan kecil (m
2
)
jika kuat penerangan sama untuk semua titik pada permukaan dengan luasan
tertentu, dan F adalah fluks cahaya yang mengenai permukaan tersebut, maka
besarnya kuat penerangan dirumuskan
A
F
E = ....................................................................................3

Fototransistor
Fototransistor adalah sebuah detektor cahaya yang merupakan kombinasi
fotodioda dan penguatan transistor (Malcolm Plant, Jan stuart. 1985). Disini lensa
memfokuskan cahaya pada bagian tipe P (sangat kecil), sedangkan penutupnya
yaitu tipe N kolektor dan tipe N emitor. Walaupun fototransistor terbagi atas 3
bagian, tapi transistor hanya mempunyai dua pin. Arus listrik yang mengalir pada
komponen ini berasal dari cahaya yang jatuh pada sambungan basis-kolektor pada
fototransistor.
Arus listrik fototransistor sangat dipengaruhi oleh intensitas cahaya yang
masuk pada jendela transistor dan sedikit dipengaruhi oleh tegangan yang
digunakan pada rangkaian luar. Besarnya sudut yang dibentuk transistor dan
sumber cahaya adalah faktor yang penting. Diasumsikan bahwa illuminasi
fotojunction adalah sebanding dengan cosinus sudut arah pancaran cahaya yang
tegak lurus terhadap permukaan fotojunction. Adanya lensa optik atau jendela
akan lebih mempertajam kepekaan fototransistor.

Light Emiting Diode (LED)
LED merupakan suatu semikonduktor sambungan PN yang memancarkan
cahaya apabila diberi panjar maju (Sutrisno. 1987). Semikonduktor tipe N
mempunyai sejumlah elektron bebas. Sedangkan semikondukor tipe P memiliki
sejumlah hole bebas. Jika semikonduktor tipe N dan P disambungkan akan
terbentuk suatu penghalang energi (junction). Baik hole bebas maupun elektron
bebas tidak memiliki cukup energi untuk berekombinasi. Apabila diberi suatu
tegangan maju maka besarnya junction akan mengecil, sehingga elektron bebas

PKMI-2-6-4
dan hole bebas memiliki cukup energi untuk berpindah melewati sambungan,
maka elektron akan turun kebidang valensi dan kemudian berekombinasi dngan
hole tersebut. Energi yang dilepaskan pada peristiwa itu akan diubah menjadi
energi optik dalam bentuk foton. (Sutrisno. 1987)

Rangkaian pengukur intensitas cahaya
Rangkaian ini pada dasarnya memanfaatkan perubahan intensitas cahaya.
Alat yang memiliki kepekaan terhadap intensitas cahaya adalah fototransistor.
Karena fototransistor menghasilkan sinyal yang kecil maka perlu diperkuat
sehingga dapat diukur oleh alat ukur (meter). Gambar 1 menunjukkan sebuah
rangkaian penguat sederhana yang didasarkan atas Op Amp 741 yang
menghasilkan tegangan keluaran menurut persamaan

V
out
=-I
ph
x R
f
...........................................................................4

dimana:
V
out
= tegangan keluaran (V)
I
ph
= arus listrik yang dihasilkan fototransistor (A)
R
f
= nilai hambatan pada variable resistor (VR
1
) (Ohm)
















Gambar 1. Rangkaian pengukur intensitas cahaya
(Herman Widodo Soemitro. 1992)

METODE PENDEKATAN
Tahap Perancangan Alat Ukur
Perancangan telah dilakukan pada beberapa elemen yang diperlukan untuk
membuat alat ukur. Tahap pertama adalah membuat rancangan sistem rangkaian
elektronika yang dapat digunakan untuk mendeteksi perubahan intensitas cahaya
dengan menggunakan sensor berupa piranti fototransistor. Selanjutnya dibuat pula
rancangan atau desain PCB yang diperlukan untuk merealisasi pembuatan
rangkaian. Selain itu didesain pula kotak alat ukur yang berfungsi sebagai
kemasan sekaligus melindungi sistem rangkaian elektronika yang ada di
dalamnya. Perancangan alat ukur dilengkapi dengan desain rangkaian sensor
eksternal yang berfungsi sebagai detektor.
LM
741 Fototransistor
R
cahaya

G

PKMI-2-6-5













Gambar 2. Inset desain jalur rangkaian alat ukur pada PCB dan desain
bagian dalam kotak alat ukur.






Tahap Pembuatan Alat Ukur
Pembuatan alat ukur diawali dengan membuat sistem rangkaian
elektronika yang diperlukan dan selanjutnya dicoba pada papan proyek (project
board atau bread board). Setelah uji rangkaian dengan papan proyek berjalan atau
berhasil, selanjutnya dibuat PCB dengan menggunakan bahan pertinaks berlapis
tembaga yang dijual di pasaran. Setelah PCB selesai, komponen-komponen sistem
rangkaian elektronika dipasang pada PCB tersebut (dengan disolder). Selanjutnya
rangkaian yang sudah jadi dipasang pada kotak alat yang berfungsi memberi
tampilan alat sekaligus melindungi komponen elektronika yang ada di dalamnya.











Gambar 3. Desain kotak alat ukur tingkat kekeruhan air






7
6
5
4
3 2
1
8
inset
Keterangan:
1. Fototransistor 5. PCB (rangkaian)
2. Tempat baterai 9 volt 6. Penghubung
3. Tampilan (display) 7. Potensio
4. Potensio pengatur tegangan 8. Trimpot untuk mengatur batas voltmeter
Keterangan;
1. Kotak alat ukur 6. Saklar pengatur fungsi alat
2. Tampilan 7. Saklar On-Off
3. Pengatur keterangan LED out 8. Penghubung sensor eksternal
4. Pengkalibrasi (pengatur gain) 9. Fototransistor
5. LED penunjuk On
1
8
6
7 4
5
3
2
9

PKMI-2-6-6
Kotak alat dibuat dengan menggunakan bahan utama berupa lempeng
alumunium. Pengerjaan pembuatan kotak dilakukan di ruang Workshop/Bengkel
Laboratorium Fisika UNNES. Selanjutnya dibuat sistem sensor yang berfungsi
sebagai detektor. Sistem kotak alat ukur dan sensor tersebut kemudian digabung
dan siap untuk digunakan atau dikarakterisasi.









Gambar 4. Desain rangkaian sensor eksternal yang berfungsi sebagai detektor.


Karakterisasi
Karakterisasi alat dilaksanakan dengan melakukan kalibrasi alat, yaitu
membandingkan hasil pengukuran intensitas cahaya dengan alat hasil rancang
bangun dengan hasil pengukuran dengan memggunakan luxmeter. Sensor
fototransistor dan luxmeter diletakkan pada jarak yang sama terhadap satu sumber
cahaya. Oleh alat hasil rancangan, besarnya intensitas sumber cahaya ditunjukkan
oleh indikator keluaran berupa tegangan. Ketika melakukan kalibrasi, alat tersebut
dioperasikan bersama-sama dengan luxmeter dan tegangan keluaran yang
dihasilkan dikalibrasi terhadap nilai yang ditunjukkan oleh luxmeter. Kuat
penerangan sumber cahaya (lampu) yang ddigunakan dibuat bervariasi dengan
cara mengubah masukan V
i
dari pengatur tegangan dengan rentang tegangan 10-
240 volt.

Pengukuran Tingkat Kekeruhan Air
Aplikasi alat untuk mengukur tingkat kekeruhan air dilakukan pada air
yang dibuat keruh secara sengaja. Manipulasi tingkat kekeruhan dilakukan dengan
menggunakan tinta dan bubuk susu coklat dengan cara mengubah-ubah
konsentrasinya. Tingkat kekeruhan hasil penambahan tinta atau susu coklat
tersebut dicari pengaruhnya terhadap tegangan keluaran yang dihasilkan alat.


HASIL DAN PEMBAHASAN
Alat ukur tingkat kekeruhan air menggunakan sensor fototransistor yang
berfungsi mengubah energi cahaya menjadi arus listrik. Cahaya yang mengenai
fototransistor menghasilkan arus fotolistrik i
ph
yang dikonversikan menjadi
tegangan (current to voltage converter). Tegangan keluaran yang dihasilkan
dirumuskan sebagai V
out
=i
ph
x R
f
. hambatan R
f
merupakan hambatan dari
potensio VR
1
. dan ditampilkan dalam voltmeter sehingga dapat dikatakan bahwa
yang berperan sebagai pengatur besar tegangan hasil adalah hambatan R
f
. prinsip
inilah yang digunakan pada pengukuran tingkat kekeruhan air. Cahaya LED yang
diatur sedemikian rupa akan diterima fototransistor yang diletakkan tepat
didepannya. Semakin keruh air yang terletak antara komponen LED dan
1
2
3
Keterangan:
1. LED
2. Fototransistor
3. Penghubung

PKMI-2-6-7
fototransistor, maka semakin kecil cahaya LED yang diterima fototransistor
akibatnya tegangan yang dihasilkan akan semakin kecil.

Karakterisasi alat ukur tanpa filter

Grafik karakterisasi alat ukur tingkat kekeruhan air
-1.00
0.00
1.00
2.00
3.00
4.00
5.00
6.00
7.00
8.00
9.00
0 50 100 150 200 250 300
Tegangan masukan (volt)
T
e
g
a
n
g
a
n

k
e
l
u
a
r
a
n

(
v
o
l
t
)
data naik
data turun


Gambar 5. Grafik karakterisasi alat ukur tingkat kekeruhan air tanpa filter

Pada gambar 5 tampak bahwa tegangan keluaran akan meningkat, ketika
tegangan masukkan berkisar 0 sampai 80 volt. Pada tegangan masukan 80 volt
dihasilkan tegangan keluaran tertinggi 7,88 volt. Dan ketika tegangan masukan
lebih dari 80 volt, maka tegangan keluaran yang dihasilkan adalah konstan atau
cenderung menurun. Hal ini disebabkan fototransistor memiliki karakteristik
dipengaruhi oleh intensitas cahaya yang masuk pada jendela transistor dan sedikit
dipengaruhi oleh tegangan yang digunakan dalam rangkaian. Fototransistor
bertindak sebagai sumber arus listrik konstan, dan arus listrik itu hampir semua
tergantung pada illuminasi dan tegangan. Dapat dikatakan bahwa pada tegangan
masukan 80 volt fototransistor menghasilkan arus yang paling tinggi, selebihnya,
arus yang dihasilkan fototransistor adalah konstan atau cenderung menurun.

Karakterisasi alat ukur dengan filter
Graf ik karakterisasi (naik-turun) pada alat ukur kekeruhan
air dengan f ilter
-1.00
0.00
1.00
2.00
3.00
4.00
5.00
6.00
7.00
8.00
9.00
0 20 40 60 80 100 120 140 160 180 200 220 240 260
Tegangan masukan (volt)
T
e
g
a
n
g
a
n

k
e
l
u
a
r
a
n

(
v
o
l
t
)
data naik
data turun


Gambar 6. Grafik karakterisasi alat ukur tingkat kekeruhan air dengan filter.


PKMI-2-6-8
Gambar 6 pada dasarnya menyerupai gambar 5. hanya saja tegangan
masukan yang digunakan maksimal 90 volt. Tegangan masukan 90 volt
menghasilkan tegangan keluaran sebesar 7,92 volt. Dan dari gambar 6 dapat
dikatakan bahwa pemberian filter berupa mika, dapat meningkatkan daerah
pengukuran pada alat ukur.

Pengukuran Tingkat Kekeruhan Air
Pada gambar 7 dan 8, tampak bahwa perubahan konsentrasi larutan tinta
dan susu coklat pada air bersih mempengaruhi besarnya tegangan keluaran.
Penambahan konsentrasi tinta dan susu coklat pada air bersih mengakibatkan
penurunan tegangan keluaran, yang berlangsung secara eksponensial.


Graf ik kekeruhan air oleh oleh tinta
0.000
0.050
0.100
0.150
0.200
0.00 0.50 1.00 1.50 2.00 2.50
konsentrasi larutan (ml/100ml)
T
e
g
a
n
g
a
n

(
v
o
l
t
)
data 1
data 2
data 3
data 4
data 5


Gambar 7. Grafik tingkat kekeruhan air oleh tinta


Graf ik kekeruhan air oleh susu coklat
0.000
0.050
0.100
0.150
0.200
0.000 5.000 10.000 15.000
Konsentrasi larutan (gram/100ml)
T
e
g
a
n
g
a
n

(
V
o
l
t
)
data 1
data 2
data 3
data 4
data 5

Gambar 8. Grafik tingkat kekeruhan air oleh susu coklat

Penurunan tegangan yang dihasilkan oleh penambahan konsentrasi tinta
inilah yang dinamakan pencemaran. Jadi semakin tinggi tingkat pencemaran maka
akan semakin menurun tegangan keluaran yang dihasilkan.

PKMI-2-6-9
Dari kedua macam perlakuan tersebut, grafik yang dihasilkan memiliki
bentuk hampir sama yaitu keduanya berbentuk grafik eksponensial hanya saja
tegangan terlihat berbeda pada konsentrasi sama. Hal ini dikarenakan bahan
pencemar pada ample berbeda. Grafik yang tampak ini menyerupai proses
peluruhan yang terjadi di alam.

KESIMPULAN
Berdasarkan karakterisasi terhadap alat hasil rancangan dapat disimpulkan
bahwa alat yang telah dibuat mampu memberikan respon yang signifikan terhadap
perubahan tingkat kekeruhan air. Respon meningkatnya kekeruhan air ini berupa
penurunan tegangan yang memiliki kecenderungan eksponensial.
Agar alat ukur tingkat kekeruhan air dapat dipakai oleh masyarakat umum
secara mudah maka perlu dipikirkan mengenai konversi respon tegangan kedalam
bentuk display yang disesuaikan dengan skala kekeruhan yang berlaku.


DAFTAR PUSTAKA
Gabriele J. F. 1996. Fisika Kedokteran. Jakarta: EGC.
Juli Soemirat Slamet. 1994. Kesehatan Lingkungan. Jogjakarta: Gajah Mada
University Press.
Malcolm Plant, Jan stuart. 1985. Pengantar Ilmu Instrumentasi. Jakarta: PT
Gramedia.
Robert F.C dan Frederick F. D. 1985, diterjemah: Herman Widodo Soemitro.
1992. Penguat Operasional dan Rangkaian Terpadu Linier. Jakarta: PT
Gelora Aksara Pratama.
Siti Khanafiah dkk. 1999. Fisika Lingkungan. Semarang: Fisika FMIPA UNNES.
Sutrisno. 1987. Elektronika 2. Teori dan Penerapannya. Bandung: penerbit ITB
Bandung


PKMI-2-7-1
EKSTRAK ETANOL BIJI MAHKOTA DEWA (PHALERI A
MACROCARPA (SCHEFF.) BOERL.) MENINGKATKAN EKSPRESI
CASPASE-3 AKTIF PADA CELL LI NE CA COLON WIDR

Anis Widyasari, Dwi Retnoningsih, Naima Lassie

Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta

ABSTRAK
Tanaman mahkota dewa (Phaleria macrocarpa (Scheff.) Boerl.) oleh masyarakat
sering digunakan untuk pengobatan kanker, namun mekanismenya sebagai
antikanker belum diketahui. Baru-baru ini, ekstrak etanol biji mahkota dewa
diperlihatkan memiliki efek sitotoksik pada cell line Ca colon WiDr. Pada
penelitian ini kami ingin mengetahui apakah kematian cell line Ca colon yang
diberi ekstrak etanol biji mahkota dewa tersebut terjadi dengan pengaktifan jalur-
jalur apoptosis, dengan melihat ekspresi dari caspase-3 aktif. Cell line ca colon
WiDr diinkubasi dengan ekstrak etanol biji mahkota dewa dengan tiga
konsentrasi yang berbeda selama 48 jam. Ekspresi Caspase-3 aktif dilihat dengan
metode imunohistokimia dan dihitung persentase sel imunopositif. Pada
perlakuan dengan ekstrak etanol biji mahkota dewa 45,4 ug/ml (2xIC
50
), 22,7
ug/ml (IC
50
) and 11,35 ug/ml (1/2 IC
50
) ditemukan sel imunopositif sebanyak
63%, 49% and 20,4%. Pada perlakuan dengan 5-FU dosis IC
50
hanya ditemukan
sel imunopositif sebanyak 27,4%. Analisis dengan uji Chi-Square memberikan
hasil yang bermakna (p<0,05). Efek sitotoksik ekstrak etanol biji mahkota dewa
terjadi dengan pengaktifan caspase-3. Ekstrak etanol mahkota dewa
meningkatkan pengaktifan caspase-3 lebih banyak dari 5-FU.

Kata kunci: Mahkota Dewa cell line WiDr Caspase 3 - apoptosis

PENDAHULUAN
Kanker masih merupakan masalah kesehatan utama di negara industri, dan
juga di negara berkembang. Pada tahun 2005 di Amerika Serikat terdapat kira-kira
1.372.000 penduduk yang terdiagnosis menderita kanker dan 570.280 orang
diperkirakan akan meninggal karenanya. Kanker kolorektal adalah kanker yang
biasa terjadi dan menempati posisi keempat di dunia. Insiden kanker kolon lebih
tinggi pada negara-negara maju dibandingkan dengan negara-negara berkembang.
Angka kejadian di negara-negara berkembang tidak mencapai sepertiga dari
kejadian kanker seluruhnya. Di Indonesia insiden kanker kolorektal terus
meningkat walaupun secara statistik belum terdapat angka yang pas (1).
Bagi kebanyakan orang, menerima diagnosis kanker hampir serupa dengan
menerima vonis kematian, karena masalah pembiayaan pengobatan kanker yang
sangat mahal. Masalah utama yang saat ini dihadapi dalam menangani kanker
ialah toksisitas dari kemoterapi dan radioterapi terhadap jaringan normal (2).
Salah satu upaya pengobatan yang sudah dirintis sejak jaman dulu adalah
pemanfaatan fitofarmaka, menggali kandungan unsur kimiawi dalam tumbuh-
tumbuhan yang potensial dapat dipakai sebagai obat. Banyak tanaman yang
sudah digunakan sebagai obat untuk berbagai penyakit, namun penelitian untuk
mengetahui zat aktif yang terkandung di dalamnya, titik tangkap dan dosis terapi
serta efek sampingnya masih perlu ditingkatkan. Dari beribu-ribu tanaman yang

PKMI-2-7-2
telah digunakan oleh masyarakat sebagai obat, salah satunya ialah tanaman
mahkota dewa (Phaleria macrocarpa (Scheff.) Boerl.) (3).
Tanaman mahkota dewa oleh masyarakat Indonesia telah banyak
digunakan untuk pengobatan berbagai penyakit termasuk kanker (3). Ekstrak
etanol biji dan buah mahkota dewa bersifat sitotoksik terhadap Artemia salina
Leach (4). Ekstrak etanol bijinya juga menimbulkan kematian cell line Ca colon
WiDr dan kanker payudara T47-D (5,6). Namun demikian, kandungan zat aktif
dalam mahkota dewa dan mekanismenya sebagai antikanker belum banyak
diteliti.
Kematian sel kanker dapat terjadi dengan pengaktifan jalur apoptosis yang
ditandai dengan pengaktifan caspase. Caspase-3 merupakan enzim sentral yang
teraktifkan melalui jalur pengaktifan death receptor maupun dari jalur
mitokondria sehingga caspase-3 sering dipakai sebagai penanda sel yang telah
mengaktifkan program apoptosisnya (7,8). Penelitian ini untuk mengetahui
apakah kematian cell line Ca colon yang diberi ekstrak etanol biji buah mahkota
dewa tersebut terjadi dengan pengaktifan jalur apoptosis dengan melihat ekspresi
caspase-3 aktif.

CARA PENELITIAN
Alat dan Bahan
Alat
Untuk membuat ekstrak tanaman diperlukan alat-alat antara lain: peralatan
gelas, neraca analitik (Sartorius), blender (National), penyaring 360 mesh dan
rotary evaporator (Laboratorium Equipment Sydney). Sedang alat yang
digunakan untuk kultur sel ialah microplate 24 sumuran, cover slip, tissue culture
flask (TCF) 75 cm
2
, tabung 15 ml, tabung 50 ml, pipet eppendrof, yellow tip, blue
tip, inkubator CO
2
, laminary flow cabinet. Dan alat untuk uji imunohistokimia
ialah blue tip, yellow tip, peralatan gelas, gelas obyek, mikroskop cahaya.

Bahan
Penelitian ini menggunakan ekstrak etanol biji mahkota dewa sebagai
bahan utama. Cell line Ca colon WiDr diperoleh dari Laboratorium Ilmu Hayati
UGM, koleksi Drs. M. Ghufron M.S. Untuk kultur sel diperlukan media yang
terdiri dari RPMI 1640, Fetal Bovine Serum (FBS) 10%, fungizon, penisilin &
streptomisin (penstrep), tripsin dan 5-Fluorouracil. Sedang bahan yang diperlukan
untuk uji imunohistokimia antara lain: 3% hidrogen peroksidase dalam metanol,
Phosphate-Buffered Saline (PBS), substrat 1,3-diamino benzidin (DAB), konjugat
streptavidin terhadap peroksidase (Lab Vision), streptavidin, antibodi biotinilasi
sekunder (biotinylated anti-rabbit secondary antibody), aquades, PBS/0,1%
Tween 20, serum normal, antibodi anti caspase-3 aktif (Promega), Hematoxilin,
alkohol 70%-90%, Xylena dan mounting media.

Determinasi Tanaman Mahkota Dewa
Tanaman mahkota dewa (buah, batang, daun, bunga) yang diperoleh pada
bulan Desember 2004 di daerah Godean Yogyakarta dilakukan determinasi di
Bagian Farmakognosi Laboratorium Biologi Fakultas Farmasi UGM.


PKMI-2-7-3
Pembuatan Ekstrak
Biji mahkota dewa diblender sampai halus, disaring dengan ukuran 360 mesh,
kemudian direndam dalam etanol selama 24 jam. Selanjutnya ampas diperas dan
disaring. Hal tersebut diulangi sampai tiga kali. Cairan diuapkan dengan rotary
evaporator hingga didapatkan cairan yang pekat.

Penanaman Sel
Cell line Ca colon WiDr dikultur dalam medium RPMI 1640 yang
ditambah streptomisin 2%, fungizon 0,5% dan FBS 10%. Dalam microplate 24
sumuran yang telah diberi cover slip, masing-masing ditanam sebanyak 500.000
sel. Terdapat 5 kelompok perlakuan yaitu perlakuan dengan ekstrak etanol biji
mahkota dewa 45,4 ug/ml (2xIC
50
), 22,7 ug/ml (IC
50
), 11,35 ug/ml (1/2xIC
50
), 5-
flourouracil (5-FU) 46,56 ug/ml (IC
50
) dan kontrol negatif. Konsentrasi tersebut
sesuai dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Riastiti (5). Selanjutnya sel
diinkubasi dalam almari lembab dengan kadar CO
2
5% pada suhu 37C selama 48
jam.

Uji Imunohistokimia
Sel pada cover slip difiksasi dengan paraformaldehid 2% dalam PBS
selama 5 menit. Setelah dicuci dengan PBS, peroksidase endogen diblok dengan
H
2
O
2
dalam methanol. Sel diinkubasi dengan serum normal, dilanjutkan inkubasi
dengan antibodi anti caspase-3 aktif dengan pengenceran 1:200 selama 24 jam
pada suhu 4
o
C. Sel imunopositif diperlihatkan dengan metode imunoperoksidase
dengan pemberian DAB. Seluruh inti sel dicat dengan hematoksillin sehingga
seluruh sel baik yang imunopositif dan imunonegatif dapat dihitung.

Pengukuran Hasil dan Analisis
Ekspresi caspase-3 aktif pada cell line Ca colon WiDr diamati
menggunakan mikroskop cahaya. Sel yang mengekspresikan caspase-3 aktif akan
memberikan warna coklat, sedangkan yang tidak mengekspresikan akan berwarna
biru pada intinya. Ekspresi caspase-3 aktif dihitung berdasarkan jumlah sel
imunopositif per 500 sel yang dinyatakan dalam satuan %. Perbedaan persentase
sel imunopositif pada masing-masing kelompok diuji dengan Uji Chi-Square.

HASIL
Sel kanker yang masih hidup berbentuk poligonal membentuk satu lapisan
sel pada gelas penutup. Sedangkan sel yang mati bentuknya menjadi bulat dan
ukurannya lebih kecil dari sel hidup. Sel kanker kolon WiDr yang
mengekspresikan caspase-3 aktif berwarna coklat pada inti dan sitoplasmanya dan
sel imunonegatif hanya berwarna biru pada intinya karena pengecatan
hematoksilin (gambar 1).
Pada kelompok tanpa perlakuan (gambar 1D) hampir tidak ditemukan
adanya sel imunopositif. Sel pada kelompok tersebut terlihat tersebar padat,
melekat pada gelas penutup. Sel WiDr yang diberi perlakuan dengan ekstrak
etanol biji mahkota dewa sebesar xIC
50
memperlihatkan adanya sel-sel
imunopositif yang tersebar (gambar 1A). Morfologi sel secara umum masih belum
banyak memperlihatkan perbedaan dengan sel yang tidak diberi perlakuan.
Pemberian dosis ekstrak etanol biji mahkota dewa sebesar IC
50
membuat semakin

PKMI-2-7-4
banyak sel imunopositif yang terlihat (gambar 1B) dibandingkan dengan
kelompok sel yang diberi ekstrak etanol biji mahkota dewa dengan dosis sebesar
xIC
50
. Pada kelompok ini sel tidak lagi tersebar merata pada cover slip, namun
terlihat membentuk kelompok-kelompok sel. Jumlah sel pada kelompok ini
terlihat berkurang dibandingkan dengan kelompok yang diberi dosis xIC
50,
namun ukuran sel terlihat masih belum jauh berbeda dengan yang terlihat pada
kelompok tanpa perlakuan dan kelompok perlakuan dengan dosis xIC
50
.
Pemberian dosis 2xIC
50
(gambar 1C) juga menjadikan sel tergabung dalam
kelompok-kelompok sel
.
Ukuran sel menjadi lebih kecil dengan jumlah sel
imunopositif yang lebih banyak dibandingkan jumlah sel imunopositif pada
kelompok IC
50
. Namun demikian, sel imunonegatif juga masih dapat ditemukan
pada kelompok ini. Pemberian 5-FU dosis IC
50
(46.56 ug/ml) juga memberikan
gambaran berkurangnya jumlah sel dengan adanya sel-sel imunopositif yang lebih
sedikit dari sel imunopositif pada kelompok perlakuan dengan ekstrak mahkota
dewa IC
50
gambar 1 E.



Gambar 1. Imunohistokimia sel WiDr dengan antibodi anti-
caspase-3 aktif. Sel difiksasi 48 jam setelah perlakuan. A.
Mahkota dewa xIC
50
, B. Mahkota dewa IC
50
, C. Mahkota
dewa 2xIC
50
, D. tanpa perlakuan, E. 5-FU. Tanda panah
menunjukkan sel immunopositif terlihat sebagai sel dengan
warna kecoklatan pada sitoplasmanya.

Perbedaan kelompok perlakuan 5-FU dengan perlakuan ekstrak etanol biji
mahkota dewa adalah sel-sel pada kelompok perlakuan 5-FU terlihat lebih
tersebar dengan ukuran yang tidak jauh berbeda dengan ukuran sel pada kelompok
tanpa perlakuan. Pada setiap kelompok diamati dan dihitung jumlah sel
imunopositif pada 500 sel. Hasil perhitungan diperlihatkan pada gambar 2.
30 um

PKMI-2-7-5
63
49
20,4
27,4
0
0
10
20
30
40
50
60
70
MD 2xIC50 MD IC50 MD 1/2xIC50 5-FU Kontrol
kelompok
p
e
r
s
e
n
t
a
s
e

s
e
l

i
m
u
n
o
p
o
s
i
t
i
f


Gambar 2. Persentase sel imunopositif pada lima kelompok perlakuan.
Persentase tertinggi ada pada kelompok MD2xIC
50
. Pada kelompok
kontrol tidak ditemukan sel imunopositif. Sel imunopositif pada kelompok
5-FU lebih rendah dari kelompok MDIC
50
.


Pada gambar 2 terlihat bahwa perlakuan dengan ekstrak etanol biji
mahkota dewa dosis IC
50
terdapat sel imunopositif sebesar 49.0%, sedangkan pada
pemberian 5-FU sebesar IC
50
dapat ditemukan sel imunopositif sebanyak 27.4%.
Uji Chi-Square memberikan hasil yang bermakna pada semua kelompok
perlakuan (p<0,05).

PEMBAHASAN
Dari hasil di atas terlihat bahwa peningkatan dosis ekstrak etanol mahkota
dewa menyebabkan peningkatan persentase sel yang mengekspresikan caspase-3
aktif. Dosis xIC
50
mahkota dewa hanya mengaktifkan apoptosis pada kurang
dari seperlima jumlah sel dengan jumlah sel yang relatif masih belum terlalu jauh
berkurang dibandingkan dengan jumlah sel pada kelompok kontrol negatif. Pada
dosis IC
50
ekstrak etanol biji mahkota dewa terlihat bahwa jumlah sel telah jauh
berkurang dibandingkan kontrol negatif dan bahkan bila dibandingkan dengan sel
dengan perlakuan dosis xIC
50.

Bila dibandingkan dengan pemberian 5-FU yang juga menggunakan dosis
IC
50,
dapat kita lihat bahwa ekstrak etanol biji mahkota dewa mengakibatkan
pengaktifan apoptosis yang lebih banyak. Hal ini menunjukkan adanya
kemungkinan bahwa mekanisme pengaktifan caspase-3 oleh ekstrak etanol biji
mahkota dewa melalui titik tangkap yang berbeda dengan mekanisme yang
terjadi pada pemberian 5-FU. Ekstrak etanol mahkota dewa juga mungkin
memiliki lebih dari satu zat aktif sehingga ekstrak mahkota dewa bekerja melalui
beberapa titik tangkap yang berbeda dan menghasilkan efek yang lebih besar dari
5-FU dalam mengaktifkan caspase-3.
5-FU telah diketahui mengaktifkan caspase-3 (8). Di dalam tubuh, 5-FU
diubah menjadi 5-Fluoro-2deoxyuridin-5-monophosphate (5-FdUMP) yang

PKMI-2-7-6
menghambat aktivitas dari thymidylate synthase (TS), enzim yang berperan pada
sintesis de novo dTMP (deoxythymidine monophosphate) dari dUMP (deoxyuridin
mono phosphate). Penghambatan enzim tersebut akan menyebabkan terjadinya
kerusakan DNA yang akan mengaktifkan proses apoptosis, akhirnya terjadilah
thymineless death, kematian sel sebagai akibat terhambatnya aktivitas TS (9).
Sejak diperkenalkan oleh Berger et.al (1957), 5-FU benar-benar menjadi obat
antineoplasma yang paling penting dalam terapi kanker kolorektal (2). Namun 5-
FU hanya bisa menyembuhkan kanker kolon sebesar 24% dan karsinoma
hepatoseluler sebesar 21,5% (10,11). Mekanisme terjadinya resistensi sel kanker
terhadap obat ini antara lain dapat disebabkan mutasi gen yang mengkode TS atau
defisiensi 5,10-methilene tetrahydrofolate yang mempertahankan kompleks
FdUMP dan TS (2). Karena itu diperlukan obat lain yang dapat digunakan pada
kasus resistensi 5-FU tersebut.
Ekstrak etanol mahkota dewa mengaktifkan caspase-3 pada sel WiDr
namun belum diketahui dimana titik tangkap sebenarnya. Namun bila melihat zat
aktif yang terkandung di dalamnya (12) ekstrak etanol biji mahkota dewa
kemungkinan bekerja melalui kandungan flavonoid, alkaloid dan saponinnya.
Flavonoid diketahui memacu apoptosis dengan meningkatkan kadar protein pro-
apoptosis Bax dan Bad serta menurunkan kadar protein anti-apoptosis Bcl-2 dan
Bcl-xl (13). Sementara itu, efek anti kanker alkaloid telah dibuktikan pada
tanaman tapak dara (14). Alkaloid memacu apoptosis dengan meningkatkan
permeabilitas membran mitokondria sehingga terjadi pelepasan sitokrom c
menuju sitosol (15). Saponin juga telah diketahui memiliki aktivitas dalam
memacu apoptosis, tetapi belum diketahui letak titik tangkapnya (16).
Untuk dapat lebih memahami efek sitotoksik ekstrak etanol biji mahkota
dewa pada sel kanker perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk mengetahui titik
tangkap pengaktifan jalur apoptosis oleh ekstrak etanol biji mahkota dewa ini.
Selain itu perlu juga dipelajari lebih lanjut zat aktif yang terkandung di dalamnya.
Efek pada sel normal juga perlu dipelajari sehingga dapat meminimalkan efek
samping bila nantinya dapat digunakan dalam terapi kanker. Pengujian in vivo
merupakan langkah selanjutnya dalam upaya pengembangan biji mahkota dewa
sebagai obat pada terapi kanker terutama pada kasus yang telah mengalami
resistensi terhadap 5-FU.

KESIMPULAN
Dari penelitian ini dapat diambil kesimpulan bahwa ekstrak etanol biji
mahkota dewa (Phaleria macrocarpa (Scheff.) Boerl) bersifat sitotoksik pada sel
cell line Ca colon WiDr melalui pengaktifan caspase-3. Peningkatan dosis
menyebabkan peningkatan ekspresi caspase-3 aktif. Ekstrak etanol biji mahkota
dewa (Phaleria macrocarpa (Scheff.) Boerl.) lebih poten dibandingkan dengan 5-
FU dalam mengaktifkan caspase-3 pada cell line Ca colon WiDr.

UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terima kasih kami haturkan kepada dr.Rina Susilowati, Ph.D dan
Dr.Med.dr.Indwiani Astuti selaku dosen pembimbing, Drs. M. Ghufron M.S yang
telah memberikan cell line ca colon WiDr dan kepada semua pihak yang telah
membantu jalannya penelitian hingga tahap akhir penyelesaian laporan penelitian
ini.

PKMI-2-7-7

DAFTAR PUSTAKA
1. Siregar GA. Deteksi Dini Karsinoma Kolo-Rektal. Nusantara
2002;35(4):157-161.
2. Devita VT, Hellman S. Cancer Principles and Practice of Oncology. 6
th

ed. Philadelphia: Lippincot Williams and Wilkins,2001.
3. Harmanto N. Sehat dengan Ramuan Tradisional Mahkota Dewa Obat
Pusaka Para Dewa. Jakarta: Agro Media Pustaka, 2001.
4. Purwantini I, Setyowati EP dan Hertiani P. Uji Aktivitas Ekstrak Etanol:
Buah, Biji, Daun Makuto Dewo (Phaleria macrocarpa (Scheff.) Boerl.)
terhadap Artemia salina Leach dan Profil Kromatografi Lapis Tipis Ekstrak
Aktif. Majalah Farmasia Indonesia 2002;13(2):101-6.
5. Riastiti Y. Pengaruh Ekstrak Etanol Biji Buah Mahkota Dewa (Phaleria
macrocarpa) terhadap Proliferasi dan Apoptosis Sel Ca Colon [thesis],
Program Pasca Sarjana: Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 2004.
6. Bakhriansyah M. Uji Sitotoksik Ekstrak Etanol Biji Buah Mahkota Dewa
(Phaleria macrocarpa (Scheff.) Boerl.) dan Pengaruhnya terhadap Ekspresi
Siklooksigenase-2 Sel Kanker Payudara [thesis], Program Pasca Sarjana:
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 2004.
7. Smolewski P, Darzynkiewicz Z, Robak T. Caspase-mediated Cell Death in
Hematological Malignancies: Theoretical Considerations, Method of
Assessment, and Clinical Implications. Leukimia & Lymphoma
2003;44(7):1089-1104.
8. Tamaki T and Naomoto Y. Apoptosis in Normal Tissue Induced by Anti-
Cancer Drugs. The Journal of International Medical Research 2003;31:6-
16.
9. Katzung BG, Trevors AJ. Pharmacology-Examination and Board Review.
6
th
ed. Singapore: Mc.GrawHill, 2003
10. Moertel CG. Chemotherapy for Colorectal Cancer. The New England
Journal of Medicine. [serial online] 2001 April 21 [cited 2005 Nophember
23]. Available from URL: http://www.nejm.org
11. Enjoji M, et al. Re-evaluation of Antitumor Effects of Combination
Chemotherapy with Interferon-a and 5-fluorouracil for Advanced
Hepatocellular Carcinoma. World J Gastroenterol [serial online] 2005
September 28 [cited December 17]; 11(36):5685-5687.
12. Padua LS, Bunyapraphatsara N, Lemmens RHMJ. Plant Resources of Soth-
East Asia. Bogor: Prosea, 1999.
13. Nichenametla SN, et al. A Review of the Effects and Mechanism of
Polyphenolics in Cancer. Critical Reviews in Food Science and Nutrition
2006;46:161-183.
14. Soedibyo M. Alam Sumber Kesehatan : Manfaat dan Kegunaan. Jakarta:
Balai Pustaka, 1998.
15. Kluza J, et al. Apoptosis Induced by the Alkaloid Sampangine in HL-60
Leukimia Cells. Ann.N.Y.Acad.Sci. 2003;1010:331-334.
16. Hoffmann JJ, et al. Triterpenoid Saponins from Acacia victoriae (Bentham)
Decrease Tumor Cell Proliferation and Induce Apoptosis. Cancer Research
2001;61:5486-5490.


PKMI-2-8-1
APLIKASI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS UNTUK MEMBUAT
PETA PENDUDUK DIGITAL DI KECAMATAN TAWANGMANGU
KABUPATEN KARANGANYAR PROPINSI JAWA TENGAH

M. Nurhadi Satya, Ardian Sinta Budiyono, Arif Ashari
Pendidikan Geografi, Universitas Negeri Yogyakarta, Yogyakarta

ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk membuat model penyajian peta dalam bentuk
digital yang dapat disimpan, diakses, diupdate dan dicetak secara massal.
Penelitian ini merupakan penelitian yang merancang dan membuat model peta
penduduk digital. Teknik pengumpulan data menggunakan cara dokumentasi.
Dokumen ini diperoleh dari instasi-instansi yang terkait dengan pembuatan peta
digital ini. Peta ini dapat dimanfaatkan untuk memantau perkembangan jumlah
penduduk suatu kecamatan dan sebagai bahan acuan untuk melakukan kebijakan-
kebijakan untuk pengembangan wilayah. Peta tentafif Rupa Bumi Indonesia shet
Tawangmangu dan Poncol serta data monografi Kecamatan Tawangamangu
digunakan sebagai masukan yang terdiri dari informasi tentang jumlah penduduk
dan jumlah penduduk usia sekolah. Kecamatan Tawangmangu terdiri dari
sepuluh desa yang mempunyai potensi alam dan penduduk yang cukup tinggi
maka diperlukanlah informasi yang dapat diakses oleh banyak kalangan karena
masih terbatasnya informasi dalam bentuk peta digital. Proses digitasi on screen
dilakukan dengan perangkat lunak AutoCad Map 2000i untuk membuat layer
administratif, jalan, sungai dan permukiman sedangkan editing, labeling,
penghitungan koordinat astronomis dan pembangunan topologi layer dilakukan
dengan perangkat lunak Arc Info versi 3.5. Layout peta digital menggunakan
perangkat lunak ArcView versi 3.3 dan pembuatan halaman muka menggunakan
Microoft Front Page XP yang berbasiskan Hypertext Markup Language (HTML).
Dari hasil perancangan pembuatan peta penduduk digital ini dapat dibuat tiga
buah peta digital yaitu: peta jumlah penduduk, peta jumlah penduduk menurut
usia sekolah 4-12 tahun, dan peta jumlah penduduk menurut usia sekolah 13-18
tahun. Dalam penelitian ini peta digital ini sudah dapat diakses lewat browser
internet karena sudah menggunakan protokol Hypertext Markup Language pada
halaman mukanya.

Kata kunci: peta digital, digitasi, layer, hypertext markup language

PENDAHULUAN
Perkembangan komputer saat ini sangat pesat dalam hal perangkat keras
maupun perangkat lunaknya. Ditemukannnya teknologi hypertriding pada
prosessor, memori dua kanal hingga kapasitas harddisk yang mampu menyimpan
data hingga ratusan gigabyte adalah bukti perkembangan perangkat keras
komputer. Munculnya sistem operasi baru dan program aplikasi lainnya
merupakan imbas perkembangan teknologi perangkat lunak. Teknologi pemetaan
digital juga mengalami perkembangan yang cukup pesat. Ditemukannnya alat-alat
bantu untuk pemetaan hingga munculnya perangkat lunak pengolah citra satelit
dan pemetaan yang mendukung dengan berbagai macam sistem operasi.

PKMI-2-8-2
Berkembangnya teknologi pemetaan digital membuat langkah-langkah
dalam membuat peta dapat menjadi lebih cepat, efektif, efisisen, mudah diupdate,
disimpan serta dicetak secara massal. Masih sedikitnya pengguna peta digital ini
jika dibandingkan dengan pengguna peta konvensional merupakan permasalahan
tersendiri karena peta digital ini baru dimanfaatkan oleh kalangan akademisi dan
sebagian kecil instansi padahal peta ini jelas lebih unggul daripada peta
konvensional. Peta digital yang sudah digabungakan dengan halaman muka yang
berformat html, xml maupun php dapat juga diakses melalui internet.
Penelitian ini memfokuskan untuk membuat peta digital yang dapat
diakses lewat internet untuk daerah Kecamatan Tawangmangu Kabupaten
Karanganyar karena daerah ini memiliki potensi penduduk dan alam yang cukup
besar untuk dikembangkan dan layak untuk dipublikasikan secara luas. Dari
uraian sebelumnya maka penelitian ini berjudul Aplikasi Sistem Informasi
Geografis Untuk Membuat Peta Penduduk Digital Di Kecamatan Tawangmangu
Kabupaten Karanganyar Propinsi Jawa Tengah

Sistem Informasi Geografis (SIG)
Sistem Informasi Geografis (SIG) merupakan suatu sistem (berbasiskan
komputer) yang digunakan untuk menyimpan, dan memanipulasi informasi-
informasi geografis. SIG dirancang untuk mengumpulkan, menyimpan dan
menganalisis objek-objek dan fenomena-fenomena dimana lokasi geografis
merupakan karakteristik yang penting atau kritis untuk dianalisis. Dengan
demikian SIG merupakan sistem komputer yang memiliki kemampuan dalam
menangani data yang berefensi geografis yaitu masukan, keluaran manajemen
data (penyimpanan dan pemanggilan data ), analisis dan manipulasi data.
a) Sistem Informasi Geografis dapat diaplikasikan dalam hal-hal berikut :
b) Sumber daya alam (inventarisasi, majemen dan kesesuaian lahan pertanian,
perkebunan, kehutanan, perencanaan, tataguna lahan, analisis daerah bencana
alam, evaluasi kesesuaian lokasi pertambangan, geologi dan perminyakan)
c) Perencanaan (perencanaan permukiman, tata ruang wilayah, relokasi industri,
pasar dan permukiman)
d) Lingkungan dan pemantauannya (pencemaran sungai, danau, laut, evaluasi
pengendapan air lumpur baik disekitar danau, sungai, pantai, permodelan
pencemaran udara, limbah berbahaya dan sebagainya)
e) Utility (inventarisasi dan manajemen informasi jaringan pipa air minum,
sistem informasi pelanggan perusahaan air minum, perencanaan, pemeliharaan
dan perluasan jaringan air minum, pipa (listrik dan gas), utilitas struktur
jaringan bawah tanah.
f) Pariwisata (inventarisasi daerah pariwisata dan analisis potensi daerah
unggulan untuk pariwisata)
g) Militer (penyajian data spasial untuk analisis rute-rute perjalanan logistik,
peralatan perang, dan sebagai tools untuk kebutuhan wargame)







PKMI-2-8-3
Sistem Informasi Geografis juga mempunyai subsistem sebagai berikut:





















ArcView
ArcView merupakan perangkat lunak yang dikembangkan oleh
Environmental System Research Institute (ESRI). ArcView mempunyai
kemampuan :

Pertukaran data : Membaca dan menuliskan data dari atau ke format
SIG lainnya
Operasi : Dapat melakukan operasi statistik dan matematis
Tampilan : Menampilkan data spasial dan atribut
Peta : Dapat membuat peta dengan tema-tema tertentu
Script : Menyediakan bahasa pemrograman untuk
mengotomasikan pengoperasian rutin

Arc Info 3.5
ArcInfo 3.5 merupakan salah satu program pembuatan peta digital yang
dijalankan melalui dos promt. ArcInfo 3.5 mempunyai kemampuan mengolah data
grafis maupun data tributnya. Hal ini dimungkinkan karena perangkat lunak ini
perpaduan antara perangkat lunak pengolah data grafis dan data atribut.
Tujuan penelitian ini adalah mengetahui bagaimana cara membuat peta
penduduk digital Kecamatan Tawangmangu Kabupaten Karanganyar Propinsi
Jawa Tengah. Peta ini dapat dimanfaatkan untuk memantau perkembangan
jumlah penduduk suatu kecamatan dan sebagai bahan acuan untuk melakukan
kebijakan-kebijakan untuk pengembangan wilayah seperti penentuan berapa
jumlah sekolah yang harus dibangun, lapangan pekerjaan apa yang paling sesuai
untuk dikembangkan dan mengetahui tingkat kemakmuran penduduk. secara cepat
dan akurat.

DATA INPUT
Tabel
Pengukuran
Lapangan
Peta
Konvensional
Citra satelit
Foto Udara
Data Lainnya
DATA
MANAGEMENT &
MANIPULATION
Retrieval
Processing
Storage
(database)
DATA OUTPUT
Inforamsi
Digital
Peta
Tabel
Laporan
Gambar 1. Bagan sub sistem SIG

PKMI-2-8-4
II. METODOLOGI
Desain Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian yang merancang dan membuat
model peta penduduk digital memeanfaatkan teknologi web mapping..

Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Geografi FIS UNY pada
bulan Maret 2005.

Alat dan Bahan
Perangkat Keras
1. Processor Intel Celeron 1,7 GHz
2. Harddisk 5 GB free disk space
3. On board VGA 8 MB
4. Memori 128 MB
5. Monitor SVGA, resolusi 1024 x 768, 32 bit color, 60 Hz refresh rate
6. CD RW, Printer & Mouse

Perangkat Lunak
1. ArcView 3.3
2. Arc Info 3.5
3. Auto Cad 2000i
4. Microsoft Front Page XP
5. Adobe Photoshop 7.0

Bahan
A. Peta Rupa Bumi Indonesia shet Tawangamangu skala 1 : 25.000
B. Peta Rupa Bumi Indonesia shet Poncol.skala 1 : 25.000
C. Data atribut
1. Data jumlah penduduk.
2. Data jumlah penduduk usia sekolah.

Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data menggunakan cara dokumentasi. Dokumen
ini diperoleh dari instansi-instansi yang terkait dengan pembuatan peta digital ini.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Deskripsi Daerah Penelitian
Letak Kecamatan Tawangmangu
Letak astronomis berada pada 07
o
3730 LS - 07
o
4200 LS dan
111
o
0400 BT - 111
o
1200 LS. Batas wilayah Kecamatan Tawangmangu di
sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Ngargoyoso, sebelah selatan dengan
Kecamatan Jatiyoso, sebelah barat dengan Kecamatan Matesih dan Karangpandan
sedangkan sebelah timur berbatasan dengan Propinsi Jawa Timur.

Luas Wilayah
Luas wilayah Kecamatan Tawangmangu adalah 70,03 km
2
. Desa yang
memiliki wilayah terluas adalah Desa Gondosuli yaitu 1.925,475 ha dan yang
terkecil adalah Desa Karanglo yaitu 185,8740 ha.

PKMI-2-8-5
Kondisi Topografi dan Tanah
Kecamatan Tawangmangu memiliki topografi kasar berupa perbukitan,
lembah dan pegunungan dengan ketinggian rata-rata 880 m dpal dengan kondisi
tanah sebagian besar merupakan tanah andosol yang menurut Balai RLKT Solo
sifatnya peka terhadap erosi dan sebagian besar penggunaan tanahnya masih
berupa hutan maupun semak belukar. Dan yang lainnya dimanfaatkan sebagai
lahan pertanian, sawah, bangunan/pekarangan dan tegalan.

Pembuatan Peta Penduduk Digital
Digitasi Peta
Proses digitasi adalah mengubah peta tentatif RBI shet Poncol dan
Tawangmangu menjadi format digital. Pengubahan ini dilakukan agar peta RBI
dapat dibaca oleh komputer sehingga peta tentatif RBI menjadi data raster input
yang berformat JPEG. Digitasi dilakukan dengan bantuan perangkat lunak
AutoCad Map 2000i dengan menginput peta tentatig yang sudah berformat JPEG
sebagai raster image. Peta penduduk ini memiliki empat buah data raster meliputi
batas administratif, jalan, sungai dan permukiman. Fasilitas layer pada AutoCad
Map 2000i dimanfaatkan untuk membuat empat data raster tersebut. Hasil digitasi
agar dapat dibaca oleh Arc Info 3.5 harus disimpan dalam file yang berekstensi
dxf.




Konversi
Proses ini bertujuan untuk memecah file yang ada pada Autocad Map
2000i agar empat layer dapat muncul dan diedit secara terpisah. Syntaxnya adalah
dxfarc nama file lama(yang berisi 4 layer) nama file baru (berisi file tertentu:
jalan, permukman, sungai, batas administrafif)

Editing
Editing dilakukan untuk melihat kembali apakah dalam proses digitasi ada
yang salah, seperti tidak tersambungnya garis atau berlebihnya garis. Syntaxnya
antara lain ef arc, sel all, sel many dan delete.

Gambar 2. Tampilan layer pada AutoCad 2000i

PKMI-2-8-6
Labeling dan ID
Pembuatan label bertujuan untuk membedakan keterangan-keterangan peta
yang muncul di legenda. Label dibuat untuk topologi poligon sedangkan ID
diberikan pada topologi garis. Pada penelitian ini label dibuat untuk layer
permukiman sedangkan layer jalan, sungai dan batas administratif diberikan ID.
Syntaxnya adalah ef label dan memasukkan numeric label yang digunakan.

Titik Ikat (TIC)
Titik ikat berfungsi untuk membuat garis lintang dan bujur secara otomatis
pada peta digital. Input data astronomis harus mengubah unsur derajat, menit dan
detik dalam bentuk desimal. Letak astronomis Kecamatan Tawangmangu yang
berada pada : 07
o
3730 LS - 07
o
4200 LS dan 111
o
0400 BT - 111
o
1200 LS
dihitung sebagai berikut :

Tabel 1. Tabel perhitungan titik ikat (TIC)
tic X Y
1 111+(4/60)+(00/3600)= 111.0667 -7+(37/60+(30/3600) = -7.7000
2 111+(12/60)+(00/3600)= 111.2000 -7+(37/60+(30/3600)= -7.7000
3 111+(4/60)+(00/3600) = 111.0667 -7+(42/60+(00/3600) = -7.6250
4 111+(12/60)+(00/3600)= 111.2000 -7+(42/60+(00/3600) = -7.6250

Topologi
Bentuk-bentuk pada peta digital yang berupa garis dibangun topologi line
yaitu batas adminisratif, sungai dan jalan sedangkan bentuk poligon dibangun
topologi poly yaitu permukiman. Syntaxnya build poly/line

Input data atribut
Input data ini dilakukan setelah membuat theme di perangkat lunak
ArcView 3.3. Data yang diinput berupa data jumlah penduduk setiap desa dan
jumlah penduduk usia sekolah setiap desa. Hasil data ini dimunculkan dengan
grafik batang.















Gambar 3. Tampilan data atribut pada ArcView 3.3

PKMI-2-8-7
Layout
Peta dilayout menurut kaidah kartografis dengan memunculkan grid,
proyeksi, legenda dan unsur peta lainnya. Dalam tahap ini peta dapat dicetak
secara massal



















Halaman Muka
Pembuatan halaman muka ini mengunakan Microsof Front Page yang
berbasiskan HTML











Gambar 5. Tampilan halaman muka pada Microsof Front Page XP
Gambar 4. Tampilan layout peta pada ArcView 3.3

PKMI-2-8-8
KESIMPULAN
Peta penduduk digital Kecamatan Tawangmangu Kabupaten Karanganyar
dapat dibuat dari input data raster peta tentatif RBI shet Poncol dan shet
Tawangmangu ditambah input data atribut dari data monografi Kecamatan
Tawangmangu. Digitasi dapat dilakukan menggunakan cara digitasi on scren
yang memanfaatkan Auto Cad 2001. Arc info 3.5 dimanfaatkan untuk proses
editing, labeling, TIC dan topologi. Layout dan input data penduduk dilakukan
dengan ArcInfo 3.3
Hasil perancangan pembuatan peta penduduk digital ini dapat dibuat tiga
buah peta digital yaitu : peta jumlah penduduk, peta jumlah penduduk menurut
usia sekolah 4-12 tahun, dan peta jumlah penduduk menurut usia sekolah 13-18
Tahun. Dalam penelitian ini peta digital ini sudah dapat diakses lewat browser
internet karena sudah menggunakan protokol Hypertext Markup Language pada
halaman mukanya.

DAFTAR PUSTAKA
Arikunto Suharsimi. 1998. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktis.
Jakarta: Rineka Cipta.
Eddy Prahasta, 2002. Konsep Konsep Dasar Sistem Informasi Geografis.
Bandung : CV Informatika.
Eddy Prahasta, 2002. Sistem Informai Geografis : Tutorial ArcView. Bandung :
CV Informatika.
Eko Budiyanto, 2002. Sistem Informasi Geografis Menggunakan Arc View
GIS. Yogyakarta : ANDI.
Kardi, 2003. Pelatihan Operator Modul ArcView. Jakarta : PT ENVICON.
Koordinator Statistik Kecamatan Tawangmangu, 2002. Kecamatan
Tawangmangu Dalam Angka 2001. Karanganyar :BPS
Sampurna, 2000. Belajar Sendiri Membuat Home Page dengan HTML. Jakarta:
PT Elex Media Komputindo.

PKMI-2-9-1
APLIKASI PEMROGRAMAN LINIER PADA PENJADWALAN
PRODUKSI MIE KERING DI PT. TIGA PILAR SEJAHTERA

Elisabet, Nuriyati, Andriyani, Titus
Jurusan Teknik Industri, Universitas Sebelas Maret, Surakarta

ABSTRAK
Proses produksi mie kering di PT. Tiga Pilar Sejahtera (TPS) dilakukan dalam
delapan lini mesin yang memiliki kapasitas yang berbeda. Penjadwalan
produksinya mengalokasikan tiap jenis produk terhadap lini mesin secara intuitif
dengan berdasar pada kapasitas mesin dan jumlah order produk saja sedangkan
alokasi waktu produksi belum diperhatikan. Hal ini menyebabkan terjadinya
pemborosan waktu produksi karena pengalokasian produk pada lini mesin yang
kurang optimal. Akibatnya pemenuhan order produk tidak memenuhi target yaitu
rata-rata sebesar 8.74% dan adanya kelebihan produksi dari order yang diminta
yaitu rata-rata sebesar 22.28%. Berawal dari permasalahan tersebut, tujuan dari
penelitian ini adalah melakukan penjadwalan produksi untuk meminimasi waktu
produksi menggunakan metode pemrograman linier (PL). Data primer dan
sekunder yang didapatkan dari observasi diformulasikan menjadi variabel
keputusan, fungsi tujuan dan fungsi kendala. Variabel-variabel ini menjadi
masukan (input) ke dalam software WinQSB untuk mendapatkan alokasi produk
terhadap lini mesin dan kemudian dijadikan dasar dalam melakukan penjadwalan
produksi. Hasil penelitian menunjukkan waktu total proses produksi untuk
periode produksi 1 minggu, 8 lini mesin dan 33 jenis dengan penjadwalan
pemrograman linier selama 997.13 jam sedangkan penjadwalan metode lama
(milik TPS) selama 1183.29 jam sehingga diperoleh selisih keduanya sebesar
waktu 186.16 jam. Penjadwalan produksi dengan pemrograman linier dapat
mengalokasikan waktu produksi secara tepat untuk semua jenis produk yang akan
diproduksi.

Kata kunci : minimasi, waktu produksi, kapasitas mesin, pemrograman linier,
penjadwalan

PENDAHULUAN
Penjadwalan produksi adalah pengaturan waktu dari suatu kegiatan operasi
(Baroto, 2002). Menurut Herjanto (1997) penjadwalan mencakup kegiatan
mengalokasikan fasilitas, peralatan maupun tenaga kerja bagi suatu kegiatan
operasi dan menentukan urutan pelaksanaan kegiatan operasi.
Penjadwalan adalah untuk melaksanakan rencana agregat dan jadwal
produksi induk yang telah dibuat (Sofyan, 1993). Penjadwalan yang tidak efektif
akan menghasilkan tingkat penggunaan yang rendah dari sumebr daya yang ada.
Sebagai akibatnya biaya produksi membengkak dan menurunnya produktivitas
perusahaan. Pemrograman linier dapat diaplikasikan untuk membuat penjadwalan
produksi dengan tujuan mengoptimalkan sumber daya. Pemrograman linier
merupakan teknik riset operasional (operation research technique) yang
dipergunakan secara luas dalam berbagai jenis masalah manajemen (Winardi,
1987). Menurut Gaspersz (2001) karakteristik utama pemrograman linier adalah
fungsi tujuan (maksimasi ataupun minimasi), fungsi kendala, sifat linieritas, sifat
homogenitas, dan sifat divisibility.

PKMI-2-9-2
PT. Tiga Pilar Sejahtera (TPS) unit 1 produksi mie kering mempunyai
delapan lini mesin dan proses produksinya bersifat flowline/continuous serta
dikerjakan dalam waktu 24 jam, terbagi menjadi 3 shift kerja. Jenis produk mie
kering berjumlah 51 jenis dengan berat yang berbeda, terbagi dalam empat grade
yaitu grade A, grade B, premium 1 dan premium 2. Grage adalah komposisi bahan
baku mie kering. Tiap-tiap grade memiliki komposisi bahan baku yang berbeda.
Dari semua jenis produk tersebut dikelompokkan dalam dua kategori produk
utama yaitu produk make to stock dan produk make to order. Produk make to
stock dijadwalkan memiliki buffer stock sedangkan produk make to order tidak
memiliki buffer stock (Soman, 1998). Menurut Fogarty (1991) buffer stock adalah
persediaan produk minimal yang harus ada untuk mengantisipasi lonjakan
permintaan dari konsumen.
PPIC menjadwalkan order distributor dengan mengacu pada kapasitas
mesin dan jumlah ordernya saja, tidak memperhatikan waktu proses produksi.
Akibatnya permintaan jenis produk dengan jumlah besar mendapat prioritas untuk
dijadwalkan sedangkan jenis produk dengan jumlah permintaan kecil sering
terlewatkan untuk dijadwalkan.
Berdasarkan latar belakang di atas maka penjadwalan produksi harus
dilakukan untuk mengoptimalkan sumber daya yaitu mesin dan operator dengan
menggunakan pemrograman linier.

METODE PENDEKATAN
Penelitian yang dilakukan ini merupakan penelitian terapan yaitu untuk
menyelesaikan masalah yang sedang dialami perusahaan. Tahap-tahap metode
dalam penelitian ini mencakup studi lapangan, studi pustaka, perumusan masalah,
pengumpulan data, pengolahan data, analisis data, kesimpulan dan saran.
Studi lapangan adalah melakukan pengamatan terhadap objek yang akan
diteliti yaitu PT. Tiga Pilar Sejahtera terutama unit 1 untuk produksi mie kering.
Setelah dilakukan pengamatan secara keseluruhan mengenai proses bisnis dan
lantai produksinya, kemudian dilakukan pemahaman pada bagian PPIC yang
berada di bawah Departemen Logistik. Studi pustaka merupakan review teori-
teori yang akan dipakai sebagai dasar untuk menyelesaikan masalah.
Perumusan masalah yang diselesaikan dalam penelitian ini telah
didefinisikan dalam bab pendahuluan diatas. Pengumpulan data dalam penelitian
menggunakan metode observasi dan wawancara langsung yang menghasilkan data
primer dan sekunder. Data primer yaitu informasi dari pihak perusahaan yang
tidak bisa didaptkan dari dokumen atau catatan tertulis perusahaan sedangkan data
sekunder merupakan catatan valid yang didokumentasikan oleh perusahaan.
Pengolahan data dalam penelitian ini menggunakan metode pemrograman
linier (Mustafa, 1999) dengan model umum seperti pada tabel 1.
Hasil formulasi dari pemrograman linier kemudian dimasukkan ke program
WinQSB (Miswanto, 1995) yang sebelumnya dilakukan langkah-langkah:
penentuan waktu proses, penentuan jumlah produk yang diproduksi dan
perancangan model analitis.





PKMI-2-9-3
Tabel 1. Model Umum Pemrograman Linier










HASIL
Berikut ini adalah data sekunder yang digunakan untuk menentukan
variable-variabel yang terdapat dalam formulasi pemrograman linier. Pertama,
data order 33 produk mi kering periode 1-7 Agustus 2005 dilengkapi data buffer
stock, stock awal dan DPO (Distributor Purchase Order).(tabel 2)

Tabel 2. Rekap Data Order Mi Kering Periode 1-7 Agustus 2005
No Nama Produk Berat (Kg) Grade Buffer Stock (Ball) Stock Awal DPO
1 MAEE 2.45 A 8,265 5,002 7,904
2 MADH 1.20 B 8,550 2,320 16,852
3 MFDH 1.20 B 855 200 359
: : : : : : :
32
MA2T 210 4.00 P1 2,280 224 2,667
33 MA2T 25 1.05 P2 0 362 3,634

Kedua, kapasitas mesin untuk semua lini mesin. Satu lini mesin belum
tentu dapat mengerjakan semua jenis produk. Pada data kapasitas mesin dapat
diketahui produk mana saja yang dapat dikerjakan dalam suatu lini mesin. Tabel 2
menunjukkan contoh beberapa data kapasitas mesin yang mewakili keempat grade
produk dalam satuan ball/shift.

Tabel 3. Kapasitas Mesin
Nama Produk Grade Lini 1 Lini 2 Lini 3 Lini 4 Lini 5 Lini 6 Lini 7 Lini 8
MAEE A 1,807 1,807 2,216
MADH B 2,733 2,733 3,416 3,416
MA2T 210 P1 714
MA2T 25 P2 4,179 4,179 3,000

Penentuan Waktu Proses
Penentuan waktu proses per ball produk didapat dari membagi waktu total
proses dalam satu shift dengan produk yang dihasilkan dalam ball, sehingga dapat
dituliskan menjadi:
Waktu proses per ball produk =
dihasilkan yg Produk
Shift 1 Proses Total Waktu


Fungsi Tujuan : Maksimum (atau minimum) Z = C
1
X
1
+ C
2
X
2
+ ...+ C
n
X
n
Fungsi kendala : A
11
X
11
+ A
12
X
12
+ ... + A
1n
X
1n
B
1

A
21
X
21
+ A
22
X
22
+ ... + A
2n
X
2n
B
2
:
A
m1
X
m1
+ A
m2
X
m2
+ ... + A
mn
X
mn
B
m

Di mana C
n,
A
mn,
dan B
m
adalah konstanta.

PKMI-2-9-4
Jumlah Produk yang Diproduksi
Jumlah produk yang akan diproduksi diperoleh dari permintaan
distributor dijumlahkan dengan buffer stock yang harus ada pada akhir periode
dan dikurangi dengan initial stock yang ada. Dari penjelasan tersebut dapat
dirumuskan menjadi berikut:
Jumlah produk yang diproduksi =

= = =
+
51
1
51
1
51
1 j
j
j
j
j
j
S B D

Perancangan Model Analitis
Variabel Keputusan
Variabel keputusan diberi simbol X
ijk
, artinya penugasan line ke-i untuk
memproduksi produk ke-j grade ke-k; di mana total line 8 buah, total produk 51
buah, dan terdapat 4 grade produk. Sehingga kombinasi variabel keputusan
berjumlah 143 variabel. Tabel 3 menampilkan beberapa variabel keputusan.

Tabel 4. Contoh Variabel Keputusan
No Decision Variabel Keterangan
1 X11A Penugasan Line 1 untuk memproduksi produk MAEE grade A
123 X641B Penugasan Line 6 untuk memproduksi produk MSPCB B grade B
134 X746P Penugasan Line 7 untuk memproduksi produk MA2T 210 grade Premium 1
143 X851p Penugasan Line 8 untuk memproduksi produk MA2T 25 grade Premium 2

Fungsi Tujuan
Minimasi waktu proses produksi Minimasi Z = ) (
8
1
51
1 1
ijk
i j
n
k
ijk
X Wp

= = =

Fungsi Kendala :
Permintaan
Pada fungsi kendala permintaan terdapat 61 persamaan. Kendala permintaan
maksudnya jumlah produk yang diproduksi pada line mesin sama dengan besar
permintaan ditambah besar buffer stock dikurangi besar safety stock.

= = = =
+ =
51
1
51
1
51
1
51
1 j
j
j j
j
j
j ijk
S B D X

Waktu Produksi
Waktu total produksi yang tersedia dalam satu periode penjadwalan tiap-tiap line
membatasi jumlah produk yang akan diproduksi. Pada kendala waktu produksi ini
terdapat 8 persamaan. Berikut diberikan contoh persamaan pada line 2.

Line 2

=

2
) (
i
total ijk ijk
T X Wp Penentuan W
setup
= 30 menit
0.1057X
222B
+ 0.1057X
223B
+ 0.1057X
224B
+ 0.1057X
225B
+ 0.0905X
233B
+
0.0905X
234B
+ 0.0905X
235B
9370

Fungsi tujuan dan fungsi kendala (59 kendala) diinputkan ke dalam
program WinQSB. Hasilnya adalah variabel keputusan dengan nilainya sebagai
jumlah produk yang akan diproduksi pada lini mesin yang ditunjuk (lihat lampiran
4).

PKMI-2-9-5
Tabel 5. Keterangan Simbol
Keterangan simbol-simbol
Wp(ijk) Waktu proses pada line ke-i produk ke-j grade ke-k
Xijk Penugasan line ke-i untuk memproduksi produk ke-j grade ke-k
Dj Permintaan produk ke-j
Bj Buffer stock yang harus dipenuhi di akhir periode untuk produk ke-j
Sj Stock sisa awal periode untuk produk ke-j
Ttotal Waktu total yang tersedia dalam satu periode penjadwalan (1 minggu)
i Line mesin 1, 2, 3, , 8
j Produk mie kering 1, 2, 3, , 51
k Grade A, B, P, p

PEMBAHASAN
Penjadwalan menggunakan pemrograman linear dapat mengalokasikan
sumber daya waktu yang ada dengan lebih efisien, sehingga waktu yang tersisa
dapat digunakan untuk memenuhi permintaan distributor (revisi order).
0
2000
4000
6000
8000
10000
12000
Lini 1 Lini 2 Lini 3 Lini 4 Lini 5 Lini 6 Lini 7 Lini 8
Lini mesin ke-
W
a
k
t
u

(
m
e
n
i
t
)
Waktu Tersedia
Pemrograman Linear
Tiga Pilar Sejahtera

Sumber: Hasil pengolahan data primer
Gambar 1. Waktu Produksi PT. Tiga Pilar Sejahtera vs Pemrograman Linear

Pengggunakan metode pemrograman linear mengurangi beban staff PPIC
untuk meng-update jadwal produksi, karena dapat dengan mudah mengetahui lini
mesin mana yang mempunyai sisa waktu. Waktu produksi yang diperlukan
dengan metode penjadwalan Tiga Pilar Sejahtera pada lini mesin 1, 3, dan 8
terbukti lebih besar dibandingkan penjadwalan menggunakan metode
pemrograman linear (lihat gambar 1). Dengan demikian PT. Tiga Pilar Sejahtera
melakukan pemborosan waktu.
Pada penjadwalan PT. Tiga Pilar Sejahtera terdapat beberapa produk yang
diproduksi melebihi target yang ditetapkan dan ada pula yang tidak dijadwalkan
untuk diproduksi seperti produk MFDEO (lihat gambar 2). Hal ini mungkin
dikarenakan pengalokasian waktu untuk produk tertentu lebih besar dari yang
diminta sehingga mengurangi kapasitas waktu yang diperlukan untuk
mengerjakan produk yang lainnya. Sedangkan penjadwalan dengan LP dapat
mengalokasikan waktunya dengan tepat untuk semua produk yang akan
diproduksi. Berikut ditampilkan pemenuhan permintaan produk grade A.

PKMI-2-9-6
0
3000
6000
9000
12000
15000
18000
MAEE MAEOA MSDEO MFDEO MSLDO
LK
MPDO MACO-B MFCO-B MSDCO MFDCO
Jenis Produk
J
u
m
l
a
h

P
r
o
d
u
k

(
b
a
l
l
)
Permintaan
Pemrograman Linear
Tiga Pilar Sejahtera

Sumber: Hasil pengolahan data primer
Gambar 2. Pemenuhan Permintaan Produk Grade A

KESIMPULAN
Waktu total proses produksi dengan metode penjadwalan pemrograman
linear untuk periode produksi satu minggu, 8 lini mesin, 33 jenis produk
membutuhkan waktu selama 997.13 jam sementara penjadwalan dengan metode
lama (Tiga Pilar Sejahtera) membutuhkan waktu selama 1183.29 jam, sehingga
diperoleh selisih keduanya sebesar waktu 186.16 jam.
Untuk periode produksi selanjutnya, PT. Tiga Pilar Sejahtera dapat
melakukan penjadwalan secara sistematis menggunakan metode pemrograman
linear dengan langkah-langkah antara lain menyiapkan data jumlah produk yang
akan diproduksi, lalu memasukkan data jumlah produk tersebut ke software
WinQSB, selanjutnya merunning problem solving pada software WinQSB, dan
langkah terakhir mencetak output software WinQSB yang nantinya akan
digunakan sebagai acuan urutan penjadwalan.

DAFTAR PUSTAKA
Assauri, S., 1993, Manajemen Produksi dan Operasi, LPFEUI, Jakarta.
Baroto, T., 2002, Perencanaan dan Pengendalian Produksi, Penerbit: Ghalia
Indonesia.
Bedworth, David D, 1986, Integrated Production Control System, John Wiley &
Sons Singapore.
Fogarty, Donald W, 1991, Production & Inventory Management, APICS.
Gaspersz, Vincent, 2001, Production Planning and Inventory Control
berdasarkan Pendekatan Sistem Terintegrasi MRO II dan JIT Menuju
Manufacturing 21, Penerbit: Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Herjanto, E., 1997, Manajemen Produksi dan Operasi, Grasindo, Jakarta.
Miswanto, 1995, Analisis Manajemen Kuantitatif dengan QSB+, STIE YKPN,
Yogyakarta.
Mustafa, Z., 1999, Belajar Cepat Linear Pemrograman dengan QS, EKONISIA,
Yogyakarta.
Soman, Chetan Anil and Gaalman, Gerard, 1998, Combined make-to-order and
make-to-stock in a food production system, International Journal of
Production Economics, vol. 56-57, pp. 649-659.
Winardi, SE, 1987, Pengantar Operations Research, Tarsito, Bandung.

PKMI-2-10-1



PKMI-2-10-2


PKMI-2-10-3


PKMI-2-10-4


PKMI-2-10-5


PKMI-2-10-6


PKMI-2-10-7


PKMI-2-10-8


PKMI-2-10-9


PKMI-2-10-10

KESIMPULAN


PKMI-2-11-1
STUDI TENTANG PEMBUATAN FRENCH FRI ES UBI JALAR
(I pomoea batatas L.) KAJIAN PERLAKUAN
BLANCHI NG DAN KONSENTRASI CaCl
2
SEBAGAI LARUTAN PERENDAM

Idan Daniawan, Andalusia DA, Ira Purwaning A, Khoesti Virly, Silvia P
Jurusan Teknologi Hasil Pertanian, FTP-Universitas Bawijaya, Malang

ABSTRAK
French fries adalah suatu jenis makanan ringan yang biasanya dibuat dari
kentang. Produk ini berupa kentang yang digoreng setengah matang dan
kemudian dibekukan. Karena sudah mengalami pemasakan pendahuluan,
penyiapan untuk konsumsi lebih cepat dan mudah. Ubi jalar juga dapat diolah
menjadi french fries. Tentu saja bentuk, warna dan rasanya tidak sama dengan
french fries yang terbuat dari kentang, tetapi french fries ubi jalar (FFUJ) dapat
dijadikan alternatif di samping french fries kentang. Penelitian ini bertujuan
untuk mengetahui kombinasi terbaik dari perlakuan proses blanching dan
penambahan CaCl
2
sebagai larutan perendam dalam berbagai konsentrasi (0%,
0.5%, 1%). Hasil penelitian menunjukkan perlakuan terbaik diperoleh dengan
kombinasi antara perlakuan blanching dan tanpa penggunaan CaCl
2
pada
larutan perendam I. Sebagai hasilnya B1C1 dengan perlakuan blanching tanpa
penambahan CaCl
2
pada larutan perendam I menunjukkan hasil perlakuan
terbaik, di mana diperoleh nilai analisa warna L a* b* Twinter sebesar (L= 57.40
; a*= 12.30 ; b*= 23.40) dan nilai tekstur sebesar 93.00 mm.gram/detik. Sebagai
kelanjutan dari penelitian ini perlu dilakukan studi lebih lanjut mengenai
pengaruh dextrose dan blanching terhadap penghambatan reaksi pencoklatan
pada ubi jalar.

Kata Kunci : French fries, ubi jalar, blanching, CaCl
2

PENDAHULUAN
Dikaitkan dengan keragaman kegunaannya ubi jalar berperan penting
dalam pengembangan diversifikasi pangan dan agribisnis. Dari berbagai
penelitian, ubi jalar memiliki berbagai keunggulan, antara lain: mengurangi risiko
terkena penyakit jantung dan kanker, mengontrol kenaikan kadar gula darah bagi
penderita diabetes, dan dapat menjaga daya ingat (anti pikun).
Ubi jalar kaya akan kandungan serat, karbohidrat kompleks, dan
rendah kalori. Hal ini sangat menguntungkan bagi penderita diabetes karena bisa
mengontrol atau memperlambat peningkatan kadar gula dalam darah penderita
diabetes. Kelebihan lain dari ubi jalar adalah kandungan vitamin B yaitu B6 dan
asam folat yang cukup mengesankan. Kedua vitamin ini sangat dibutuhkan untuk
mengopimalkan kerja otak sehingga daya ingat dapat dipertahankan.
Kita mengenal ada beberapa jenis ubi jalar yang paling umum adalah
ubi jalar putih. Selain itu ada juga yang ungu maupun merah. Ubi jalar putih
mengandung 260 mkg (869 SI) betakaroten per 100 gram, ubi merah yang
berwarna kuning emas tersimpan 2900 mkg (9675 SI) betakaroten, ubi merah
yang berwarna jingga 9900 mkg (32967 SI). Makin pekat warna jingganya.
makin tinggi kadar beta karotennya yang merupakan bahan pembentuk vitamin A


PKMI-2-11-2
dalam tubuh (Apraidji, 2000).
Selain direbus atau digoreng, ubi jalar dapat diolah jadi keripik, tepung
ubi jalar, french fries ubi jalar, bahan campuran garam meja, CMC
(carboxymetyhyl cellulose), dan bahan MSG.
Friench fries biasanya dibuat dari kentang. Produk ini berupa kentang
yang digoreng setengah matang yang kemudian dibekukan. Penggorengan
kentang tidak sampai garing, tapi hanya setengah matang. Karena sudah
mengalami pemasakan pendahuluan, penyiapan untuk konsumsi lebih cepat dan
mudah (Anonymous
b
, 2004). Ubi jalar juga dapat diolah menjadi french fries.
Tentu saja bentuk, warna dan rasanya tidak sama dengan french fries yang terbuat
dari kentang. French fries ubi jalar dapat dijadikan alternatif di samping french
fries kentang (Anonymous
a
, 2004).
Blanching adalah suatu proses pemanasan yang diberikan terhadap
suatu bahan yang bertujuan untuk menginaktivasi enzim, melunakkan jaringan
dan mengurangi kontaminasi mikroorganisme yang merugikan. Namun dalam
penelitian ini proses blanching lebih ditujukan untuk menginaktivasi enzim
terutama enzim polifenoloksidase yang dapat menyebabkan pencoklatan pada
buah dan sayuran (Fellows, 1990).
Kalsium Khlorida (CaCl
2
) termasuk bahan pengeras atau Firming
Agent untuk buah dan sayuran. Garam ini merupakan elektrolit kuat, sehingga
mudah larut dalam air dan ion-ion Ca mudah terabsorbsi ke dalam jaringan yang
mengakibatkan dinding sel makin kuat, sehingga menghambat hidrolisis atau
pemecahan. Selain dapat memperkuat tekstur, garam CaCl
2
juga dapat mencegah
reaksi pencoklatan non enzimatis yang disebabkan oleh efek khelasi (chelation)
ion Ca terhadap asam-asam amino. Hal tersebut disebabkan karena ion Ca
++

bereaksi dengan asam amino, sehingga menghambat reaksi asam amino dengan
gula reduksi yang menyebabkan pencoklatan pada saat bahan pangan dipanaskan
(Faust and Klein, 1973).
Permasalahan yang pelu dikaji dalam penelitian ini adalah bagaimana
pengaruh proses blanching dan penambahan CaCl
2
dalam berbagai konsentrasi
pada larutan perendam I terhadap sifat fisik produk FFUJ yang meliputi tekstur,
rasa, warna, dan aroma. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memperoleh
bahan pangan alternatif di samping umbi kentang sebagai produk french fries
dengan sifat fisik yang dapat diterima oleh konsumen.

METODE PENELITIAN
Alat dan Bahan
Bahan yang digunakan dalam pembuatan french fries ubi jalar dengan
perlakuan blanching dan penambahan CaCl
2
pada larutan perendam I antara lain:
ubi jalar varietas Jepang, dextrose, CaCl
2
, minyak padat, minyak nabati dan
bumbu french fries bubuk.
Peralatan yang digunakan dalam proses pembuatan French Fries Ubi
Jalar adalah pisau dan talenan, wadah perendam, panci, deep fryer, waterbath,
neraca digital dan lemari pembeku.
Sedangkan untuk analisa fisik digunakan alat-alat mortar, plastik, dan
color reader untuk analisa warna. Analisa Tekstur menggunakan jarum
penetrometer, neraca digital, penetrometer.



PKMI-2-11-3
Pelaksanaan Penelitian
Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) yang
disusun secara faktorial terdiri atas dua faktor. Faktor pertama adalah perlakuan
blanching (B) yang terdiri atas dua perbandingan, yaitu:
B1 : Blanching
B2 : Non-Blanching
Faktor kedua adalah konsentrasi larutan kalsium klorida (C) dalam
larutan perendam I yang terdiri atas 3 level, yaitu:
C1 : CaCl
2
0%
C2 : CaCl
2
0.5%
C3 : CaCl
2
1%
Masing-masing kombinasi perlakuan diulang tiga kali.
Variabel yang diamati antara lain tekstur, warna, rasa dan aroma.
Data hasil pengamatan dianalisis menggunakan sidik ragam. Apabila hasil
menunjukkan pengaruh nyata dilanjutkan dengan uji DMRT. Sedangkan
perlakuan terbaik ditentukan dengan metode indeks efektifitas De Garmo.
Pelaksanaan penelitian meliputi: pemotongan, sulfitasi, pemanasan
ringan I, pemanasan ringan II, pembekuan I, penggorengan, penyiapan untuk
dikonsumsi.
1. Pemotongan
Umbi dicuci, kemudian dikupas, dan dicuci kembali. Setelah itu umbi
dipotong-potong berbentuk memanjang dengan ukuran tinggi 10 cm, atau
sesuai dengan ukuran umbi yang tersedia; lebar dan panjang 1 cm.
2. Perendaman dengan Larutan Dextrose 5%
Potongan umbi direndam di dalam larutan Dextrose 5% selama 15~20
menit yang bertujuan untuk mencegah reaksi pencoklatan dan untuk
menggantikan Natrium meta-bisulfit yang lebih bersifat toksik.
3. Blanching
Potongan ubi jalar diblanching pada suhu 100C selama 5-10 menit.
4. Pemanasan Ringan I
Kalsium khlorida dengan berbagai konsentrasi (0%, 0.5%, 1%) dilarutkan
dalam air kemudian dipanaskan sampai suhu 65C dan dipertahankan pada
suhu tersebut. Ke dalam larutan tersebut dimasukkan potongan ubi jalar
sambil dipanaskan selama 30 menit sambil diaduk pelan-pelan. Angkat.
5. Pemanasan Ringan II
Buat larutan Kalsium khlorida 1% dengan melarutkannya ke dalam air
hangat. Potongan umbi yang sudah mendapat pemanasan ringan I segera
diangkat dan dicelupkan ke dalam larutan yang disiapkan ini selama 3
menit sambil diaduk pelan-pelan. Setelah itu umbi didinginkan dan
ditiriskan.
6. Pembekuan I
Potongan ubi jalar pada perlakuan sebelumnya didinginkan kemudian
dikemas dalam kantung plastik dan disimpan pada freezer bersuhu - 20C
selama 18 jam.
7. Penggorengan I
Bahan digoreng dengan menggunakan minyak goreng partial
hydrogenated (campuran minyak padat dan minyak nabati dengan


PKMI-2-11-4
perbandingan 1:1) pada suhu 175C selama 2 menit kemudian diangkat,
ditiriskan dan didinginkan.
8. Pembekuan II
Setelah dingin, bahan dikemas di dalam kantong plastik, dan segera
dibekukan pada suhu -20C sebagai french fries ubi jalar.
9. Penyiapan Untuk Konsumsi
French fries beku dikeluarkan dari lemari pembeku (freezer), dan
kemudian digoreng dalam minyak panas hingga matang. Selain itu, bahan
ini dapat dipanggang pada oven. Bahan ini dapat juga dibumbui dengan
cabe, merica, dan lain-lain sesuai dengan selera.
10. Pengujian
Pada produk dilakukan beberapa pengujian fisik, yang meliputi analisa
warna dengan metode L a* b* Twinter dan tekstur dengan penetrometer.
Sedangkan mengenai derajat penerimaan konsumen digunakan pegujian
organoleptik yang meliputi warna, tekstur, dan rasa.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Uji Fisik
Tekstur
Nilai tekstur FFUJ yang dihasilkan setelah penggorengan berkisar
antara 33,00-93,00 mm/gr detik. Dari hasil analisa, tekstur tertinggi dengan nilai
93.00 mm/gr detik diperoleh perlakuan blanching dan tanpa penambahan CaCl
2
.
Sedangkan tekstur terendah dipeoleh dari perlakuan tanpa blanching dengan
konsentrasi CaCl
2
0.5%. Pengaruh perlakuan blanching dan konsentrasi CaCl
2
terhadap tekstur ditunjukkan pada gambar 1. berikut ini.
93.0
87.2
77.9
51.0
33.0 33.4
0.0
10.0
20.0
30.0
40.0
50.0
60.0
70.0
80.0
90.0
100.0
0 0,5 1
Konsentrasi CaCL2 (%)
R
e
r
a
t
a

n
i
l
a
i

t
e
k
s
t
u
r

(
m
m
.
g
/
d
e
t
i
k
)
Blanching tanpa Blanching

Gambar 1. Rerata Nilai Tekstur FFUJ ( mm/gr.detik)

Dari hasil analisa ragam nampak bahwa proses blanching dan
penambahan CaCl
2
berpengaruh nyata pada nilai tekstur. Proses blanching
menyebabkan senyawa pektin yang tidak larut air terhidrolisis sebagian menjadi
pektin yang larut sehingga tekstur lunak (Muchtadi, 1992). Hal inilah yang
menyebabkan nilai tekstur produk yang diblanching lebih tinggi daripada produk
non-blanching. Sedangkan penambahan CaCl
2
memberi kontribusi dalam
meningkatkan kekokohan jaringan sel, hal ini sesuai dengan pernyataan Fennema
(1997) yang menyatakan bahwa untuk memperoleh tekstur yang lebih keras dapat
ditambahkan CaCl
2.



PKMI-2-11-5
Warna
Rerata nilai warna berkisar antara L = 48.6 57.4; a* = 10.5 18.6;
b*= 20.2 23.4. Nilai analisa warna dengan tingkat kecerahan tertinggi diperoleh
pada proses blanching dan konsentrasi CaCl
2
0% (57.4). Sedangkan nilai a*
tertinggi yang menunjukkan warna lebih ke arah merah diperoleh pada perlakuan
blanching dengan konsentrasi CaCl
2
1% (18.6). Nilai b* tertinggi yang
menunjukkan warna lebih ke arah kuning diperolah pada perlakuan blanching
dengan konsentrasi CaCl
2
0% (23.4). Hasil dari analisa ini dapat dilihat pada
Tabel 1.

Tabel 1. Rerata Nilai Warna karena Pengaruh Kombinasi Perlakuan Blanching
dan Penambahan CaCl
2
dalam Berbagai Konsentrasi
Rerata Warna
Perlakuan
Konsentrasi
CaCl
2
(%)
L a* b*
Blanching
0
0.5
1
57.4
57.2
53.6
12.3
15.1
18.6
23.4
22.2
22.3
Non-Blanching
0
0.5
1
50.0
50.8
48.6
10.7
10.5
14.2
21.9
20.7
20.2

Hasil tersebut di atas menunjukkan bahwa proses blanching dan
penambahan CaCl
2
berpengaruh nyata terhadap nilai warna produk FFUJ. Hal ini
disebabkan perlakuan blanching dapat mencegah terjadinya pencoklatan. Hal ini
sesuai dengan Siddiq et all (1992) dalam Kumalaningsih, dkk (2004) yang
menyatakan bahwa perlakuan blanching diatas 70
0
C dapat menginaktifkan enzim
PPO sehingga perubahan warna dapat dicegah. Sedangkan menurut Faust &
Klein (1973), CaCl
2
juga dapat mencegah terjadinya pencoklatan non enzimatis
karena ion Ca
2+
akan berikatan dengan asam amino sehingga menghambat
terjadinya reaksi antara amino dan gula reduksi yang menyebabkan pencoklatan
saat pemanasan.

Uji Organoleptik
Rasa
Dari analisis ragam (= 0,05) diketahui adanya pengaruh yang nyata
dari perlakuan blanching serta konsentrasi CaCl
2
terhadap rasa. Total rangking
penilaian panelis terhadap rasa yang dihasilkan berkisar antara 4,30-5,35.
Tingkat kesukaan panelis terhadap rasa diperoleh nilai terendah pada
perlakuan Non-blanching dengan konsentrasi CaCl
2
0 %. Sedangkan nilai
kesukaan tertinggi diperoleh pada perlakuan blanching dengan konsentrasi CaCl
2



PKMI-2-11-6
0.5 %. Tingkat kesukaan rasa french fries ubi jalar akibat perlakuan blanching
dan konsentrasi CaCl
2
ditunjukkan pada Gambar 2 dibawah ini

5.35
4.70
5.20
4.30
4.70
5.05
0.00
1.00
2.00
3.00
4.00
5.00
6.00
0 0.5 1
Konsentrasi CaCl2
R
e
r
a
t
a

n
i
l
a
i

R
a
s
a
Blanching Tanpa Blanching

Gambar 2. Penilaian Panelis terhadap rasa dari FFUJ

Dari gambar di atas, terlihat bahwa tingkat kesukaan panelis terhadap
rasa french fries ubi jalar semakin meningkat dengan adanya perlakuan blanching.
Hal ini disebabkan karena perlakuan blanching dapat memperbaiki warna produk.
Anonymous (2005) menyatakan bahwa warna makanan sangat mempengaruhi
penerimaan konsumen terhadap rasa suatu produk. Warna yang menarik akan
memberikan asumsi makanan tersebut memiliki rasa yang enak dibandingkan
dengan suatu produk yang memiliki warna tidak menarik meskipun komposisinya
sama. Makanan yang kurang menarik sering diasumsikan memiliki rasa yang
tidak enak (Anonymous, 2005).

Warna
Dari analisis ragam (= 0,05) diketahui adanya pengaruh yang nyata
dari perlakuan blanching serta konsentrasi CaCl
2
terhadap warna. Total rangking
penilaian panelis terhadap warna yang dihasilkan berkisar antara 3,60-5,15.
Tingkat kesukaan panelis terhadap warna didapatkan nilai terendah pada
perlakuan Non-blanching dengan konsentrasi CaCl
2
0.5%, sedangkan nilai
kesukaan panelis yang tertinggi terdapat pada perlakuan blanching dengan
konsentrasi CaCl
2
0 %. Tingkat kesukaan warna French Fries Ubi Jalar
ditunjukkan pada Gambar 3 dibawah ini:
5.25
4.05
4.20
5.05
3.85 3.90
0.00
1.00
2.00
3.00
4.00
5.00
6.00
0 0.5 1
konsentrasi CaCl2
r
e
r
a
t
a

n
i
l
a
i

w
a
r
n
a
Blanching Tanpa Blanching

Gambar 3. Penilaian Panelis terhadap warna dari FFUJ



PKMI-2-11-7
Grafik diatas menunjukkan jumlah rangking kesukaan terhadap warna
french Fries Ubi Jalar. Semakin meningkat dengan perlakuan blanching diduga
panelis menyukai French Fries Ubi Jalar dengan perlakuan tersebut karena
memiliki warna cerah. Sedangkan perlakuan Non-blanching cenderung berwarna
gelap, hal ini seperti yang dijelaskan sebelumnya.

Aroma
Total rangking penilaian panelis terhadap aroma yang dihasilkan
berkisar antara 4,15 - 4,70. Tingkat kesukaan panelis terhadap aroma didapatkan
nilai terendah pada perlakuan Non-blanching dengan konsentrasi CaCl
2
0.5%.
Sedangkan nilai tertinggi pada perlakuan Non-blanching dengan konsentrasi
CaCl
2
1 %.
Tingkat kesukaan aroma french fries Ubi Jalar ditunjukkan pada
Gambar 4 dibawah ini:
4.60
4.35 4.35
4.25
4.15
4.70
3.80
3.90
4.00
4.10
4.20
4.30
4.40
4.50
4.60
4.70
4.80
0 0.5 1
Konsentrasi CaCl2 (%)
R
e
r
a
t
a

n
i
l
a
i

A
r
o
m
a
Blanching Tanpa Blanching

Gambar 4. Penilaian Panelis terhadap Aroma dari FFUJ

Dari hasil analisa sebenarnya tidak ada pengaruh perlakuan terhadap
aroma FFUJ. Skor aroma yang berbeda-beda disebabkan karena penggunaan
bubuk keju sebagai taburan FFUJ yang bervariasi jumlahnya.

Kenampakan
Total rangking penilaian panelis terhadap rasa yang dihasilkan berkisar
antara 3,35- 4,95.
Tingkat kesukaan panelis terhadap kenampakan terendah pada
perlakuan Non-blanching dengan konsentrasi CaCl
2
1%. Sedangkan nilai ke-
sukaan tertinggi didapat pada perlakuan blanching dengan konsentrasi CaCl
2
0 %.
Kecenderungan jumlah rangking terhadap kenampakan french fries
Ubi Jalar akibat blanching dan konsentrasi CaCl
2
terlihat pada Gambar 5.
Pada gambar tersebut ditunjukkan bahwa kenampakan french fries ubi
jalar semakin meningkat dengan perlakuan blanching. Hal ini disebabkan adanya
penghambatan reaksi pencoklatan oleh perlakuan blanching.


PKMI-2-11-8

4.15
3.75
3.55
3.85
3.55
3.45
0.00
0.50
1.00
1.50
2.00
2.50
3.00
3.50
4.00
4.50
0 0.5 1
Konsentrasi CaCl2 (%)
R
e
r
a
t
a

N
i
l
a
i

K
e
n
a
m
p
a
k
a
n
Blanching Tanpa Blanching

Gambar 5. Penilaian Panelis terhadap Kenampakan dari FFUJ


Pemilihan Perlakuan Terbaik
Berdasarkan analisis De Garmo Test untuk rasa, warna, aroma dan
kenampakan. Pemilihan perlakuan terbaik dari uji organoleptik untuk rasa, warna
dan kenampakan diperoleh dari produk B1C1 yaitu produk dengan perlakuan
blanching dan perendaman dengan konsentrasi CaCl
2
0%. Sedangkan untuk
kenampakan, perlakuan terbaik diperoleh dari produk B2C3 yaitu produk dengan
perlakuan tanpa blanching dengan konsentrasi CaCl
2
1%. Hasil perhitungan nilai
perlakuan blanching dan konsentrasi CaCl
2
terhadap French Fries Ubi Jalar dapat
dilihat pada Gambar 6 berikut ini:

0.74
0.23
0.37
0.52
0.36
0.71
0.00
0.10
0.20
0.30
0.40
0.50
0.60
0.70
0.80
B1C1 B1C2 B1C3 B2C1 B2C2 B2C3
Jenis Perlakuan
T
o
t
a
l

N
i
l
a
i

P
e
r
l
a
k
u
a
n
Nilai Perlakuan

Gambar 6. Nilai Perlakuan dari Setiap Jenis Produk FFUJ

Berdasarkan grafik tersebut diatas diketahui bahwa perlakuan terbaik
didapatkan pada kombinasi 2 perlakuan yaitu blanching dan konsentrasi CaCl
2

0%. Perlakuan terbaik tersebut mempunyai nilai tekstur 93 mm g/detik, warna


PKMI-2-11-9
(L*) 57.4, sedangkan nilai organoleptik meliputi rasa 5.35, aroma 4.6,
kenampakan 4.95 dan warna 5.15.

KESIMPULAN
Ubi jalar dapat digunakan sebagai bahan baku pengganti kentang dalam
pembuatan french fries.
Perlakuan blanching berpengaruh terhadap reaksi pencoklatan akibat aktivitas
enzim polifenol oksidase.
Penambahan CaCl
2
memberikan kontribusi yang nyata terhadap ketegaran
jaringan sel.
Perlakuan terbaik diperoleh dari produk B1C1 yaitu produk dengan perlakuan
blanching dan penambahan konsentrasi CaCl
2
0% pada perendaman I.

DAFTAR PUSTAKA
Anonymous. 2005. French Fries Taste So Good. Page 1-16.
http://www.rense.com/general7/whyy.htm
Anonymous
a
. 2004. French Fries. pg 1-5.
http://en.wikipedia.org/wiki/friench_fries,2004
Anonymous
b
. 2004. Teknologi Tepat Guna. pg 1-6.
http://www.warintek.progressio.or.id/ttg/pangan/ubi jalar,2004
Apraidji, Wied Harry. 2000.
http://www.pondokrenungan.com/isi.php?table=sehat&id=15&next=0
Faust, M and JD Klein. 1973. Levels and Sites of Metabolically active Ca in
Apple Fruit. CRC Press. Boca Raton Florida
Fellows, P. 1990. Food Processing Technology Principles and Practice.
Departement Catering Management. Oxford. Ellis Horwood. New York
Fennema, OR. 1976. Principle of Food Science. Part I Food Chemistry. Marcell-
Dekker, Inc. NY & Bassel
Kumalaningsih, S., S Haryono dan Y. F. Amir. 2004. Pencegahan Pencoklatan
Umbi Ubi Jalar (I pomea batatas L.) Untuk Pembuatan Tepung:
Pengaruh Kombinasi Asam Askorbat dan Sodium Acid
Phyrophosphate. Jurnal Teknologi Pertanian Vol.5 No 1; 11-19
Mucthtadi, D. 1992. Fisiologi Pasca Panen Sayuran dan Buah-Buahan. PAU.
Pangan dan Gizi. IPB. Bogor
Siddiq, M., N.K Sinha, and Cash J.N. 1992. Characterization of PPO from
Stanley Plums dalam Kumalaningsih, S., S Haryono dan Y. F. Amir.
2004. Pencegahan Pencoklatan Umbi Ubi Jalar (I pomea batatas L.)
Untuk Pembuatan Tepung: Pengaruh Kombinasi Asam Askorbat dan
Sodium Acid Phyrophosphate. Jurnal Teknologi Pertanian Vol.5 No 1;
11-19

PKMI-2-12-1
AKTIVITAS FIBRINOLISIS JUS BAWANG PUTIH
(Allium sativum) PADA TIKUS WISTAR
YANG DIPAPAR ASAM TRANEKSAMAT

Samsul Arifin
Program Studi Pendidikan Dokter, Universitas Jember, Jember

ABSTRAK
Jus bawang putih dapat mencegah terjadinya trombosis pada kardiovaskuler.
Untuk mengetahui pengaruhnya terhadap fibrinolisis digunakan tikus wistar
betina yang diberi bawang putih dengan dosis 2,4 dan 6 g/kg BB dengan disertai
pemberian asam traneksamat sebagai antiplasmin selama 7 hari lalu diukur lysis
timenya. Jika dibandingkan dengan kelompok kontrol dan kelompok 1 (diberi
asam traneksamat saja), kelompok yang diberi jus bawang putih dapat
meningkatkan aktivitas fibrinolisis secara signifikan pada dosis 2,4 dan 6 g/kg
BB. Sehingga bawang putih dapat digunakan untuk mencegah terjadinya
trombosis. Pengaruh ini mungkin melalui peningkatan tissue plasminogen
activator (t-PA).

Kata kunci: Bawang putih, trombosis, fibrinolisis, tissue plasminogen activator.


PENDAHULUAN
Asetil salisilat yang digunakan untuk mencegah infark miokard akut dan
angina adalah bersifat hepatotoksik.
1
Lebih dan 90% pasien infark miokard akut
transmural berkaitan dengan trombosis koroner.
2
Trombosis merupakan
pembentukan massa bekuan darah (trombus) dalam sistem kardiovaskuler yang
tidak terkendali.
3
Trombus terbentuk jika trombosit melekat pada permukaan yang
abnormal seperti plak aterosklerosis atau endotelium yang rusak sehingga
merangsang trombosit mensekresi adenosin difosfat dan tromboksan A
2
(TXA
2
).
Adenosin difosfat akan menginduksi trombosit untuk melekat ke trombosit lain
(agregrasi). Tromboksan A
2
merupakan perangsang agregasi trombosit yang
sangat kuat dan menyebabkan vasokonstriksi. Selain itu trombosit yang sudah
diaktifkan akan mempercepat pembentukan trombin dan mengaktifkan faktor V
dan faktor VII serta akhirnya mengubah fibrinogen menjadi fibrin.
4
Bila trombus
terbentuk tidak dipecah maka lumen arteri tersumbat dan bisa terjadi iskhemia
jaringan.
Trombus akan dicegah dan dihancurkan oleh sistem antikoagulan dan
fibrinolitik tubuh. Diketahui pula bahwa ajoene, allicin dan polisulfid yang
terdapat dalam bawang putih sangat efektif sebagai antitrombosis. Menurut
Chutani dan Bordia dengan mengkonsumsi bawang putih mentah 0,5 gram/kg per
hari, aktivitas fibrinolisis meningkat 72 % 6 jam setelah makan bawang putih dan
84,8 % pada hari ke-28.
5
Selain itu pemberian bawang putih 2 gram/kg selama 4
minggu yang dilakukan oleh Huey Chen et al
6
mampu menurunkan adenosin
difosfat serta berdasarkan penelitian Banerjee et al,
7
ajoene dan polisulfid mampu
menghambat pembentukan tromboksan Az, sehingga bawang putih dapat
digunakan sebagai antitrombosis.Dari uraian di atas akan dibuktikan peranan jus
bawang putih terhadap peningkatan waktu lysis time pada tikus Wistar yang di
papar asam traneksamat.

PKMI-2-12-2
Hemostasis
Hemostasis merupakan peristiwa penghentian perdarahan akibat putus atau
robeknya pembuluh darah.
8
Ada empat fase pada hemostasis, yaitu:konstriksi
pembuluh darah, pembentukan jendalan (agregrat) trombosit, pembentukan jala
fibrin dan pelarutan parsial atau total jendalan hemostatik atau trombus oleh
plasmin.

Koagulasi
Ada 2 lintasan yang membentuk bekuan fibrin, yaitu lintasan intrinsik dan
lintasan ekstrinsik. Kedua lintasan ini menjadi satu dalam final common pathway,
yang melibatkan aktivasi protrombin menjadi trombin dan proses pemecahan
fibrinogen yang dikatalisasi oleh trombin untuk membentuk bekuan fibrin. Dalam
lintasan akhir bersama (final common pathway), faktor Xa mengaktifkan
protrombin (faktor II) menjadi trombin (faktor IIa) yang kemudian mengubah
fibrinogen menjadi fibrin. Selain itu trombin juga mengubah faktor XIII menjadi
XIIIa sehingga bekuan fibrin lebih stabil.
8

Sistem Antikoagulasi
Sistem koagulasi normalnya berada dalam keseimbangan dinamis.
Plasmin yaitu protease serin yang bertanggung jawab atas proses penguraian
fibrin dan fibrinogen. Plasmin berada dalam sirkulasi sebagai zimogen inaktif
yaitu plasminogen. Plasmin dalam sirkulasi dihambat oleh antiplasmin
2
. Jika
terdapat luka pada vaskuler plasminogen akan terikat dengan fibrinogen dan
fibrin.
8
Dalam bekuan plasminogen akan diaktifkan oleh aktivator plasminogen
jaringan (t-PA) yang dihasilkan oleh endotel vaskuler. Sehingga plasmin akan
menguraikan fibrinogen dan fibrin menjadi fibrinogen degradation product
(FDP).
1,7,9
FDP sendiri mempunyai sifat antikoagulan dan dengan demikian dapat
menghambat proses koagulasi yang berlebihan.
2
Selain menguraikan bekuan tubuh juga menghambat kerja trombin oleh
antitrombin. Inhibitor trombin yang paling penting adalah antitrombin III yang
memberikan kurang lebih 75 % dari aktivitas antitrombin. Antitrombin III juga
menghambat faktor IXa, Xa, XIa dan XIIa. Aktivitas antitrombin III diperkuat
heparin melalui peningkatan pengikatan antitrombin III pada trombin.
8
Sel endotel mensintesis prostasiklin (PGI
2
) yang merupakan inhibitor kuat
agregrasi trombosit dengan melawan kerja tromboksan A
2
. Prostasiklin bekerja
dengan merangsang aktivitas adenilil siklase dalam membran trombosit sehingga
cAMP meningkat dan akan melawan peningkatan Ca
2+
intrasel. Selain itu endotel
juga menghasilkan ADPase yang menghidrolisis adenosin difosfat dan aktivator
plasminogen jaringan (t-PA).
8,9

Asam Traneksamat
Obat ini mempunyai indikasi dan mekanisme kerja yang sama dengan
asam aminokaproat, tetapi 10 kali lebih poten dan efek sampingnya lebih ringan.
1

Asam aminokaproat yang analog asam traneksamat bersifat menghambat secara
kompetitif aktivasi plasminogen dan menghambat plasmin.
1,10
Plasmin adalah
protease serin yang terutama bertanggung jawab atas penguraian fibrin dan

PKMI-2-12-3
fibrinogen.
8
Penderita disseminated intravascular coagulation (DIC) merupakan
kontraindikasi karena dapat menyebabkan pembentukan trombus yang mungkin
bersifat fatal.
1

Bawang Putih (Allium sativum)
Tanaman bawang putih diklasifikasikan sebagai berikut:
Kingdom : Plantae (tumbuh-tumbuhan)
Divisi : Spermatophyta (Tumbuhan berbiji)
Subdivisi : Angiospermae (berbiji tertutup)
Kelas : Monocotyledonae (biji berkeping satu)
Bangsa : Lililes
Famili (Suku) : Liliaceae
Genus (Marga) : Allium
Spesies (Jenis) : Allium sativum

Struktur morfologi bawang putih terdiri atas: akar, batang utama, batang
semu, tangkai bunga yang pendek atau sekali tidak keluar, dan daun. Akar bawang
putih terbentuk di pangkal bawah batang sebenimya (discus). Sistem perakaran
tanaman ini menyebar ke segala arah. Di atas discus terbentuk batang semu yang
dapat berubah bentuk dan fungsinya sebagai tempat penyimpanan makanan
cadangan atau disebut "umbi". Umbi bawang putih terdiri atas beberapa bagian
bawang putih yang disebut "siung". Siung-siung ini terbungkus oleh selaput tipis
yang kuat, sehingga tampak dari luar seolah-olah umbi yang berukuran besar.
Bawang putih merupakan tanaman herba yang tumbuh berumpun dan memiliki
ketinggian sekitar 60 cm. Bagian bawahnya bersiung-siung, bergabung menjadi
umbi besar berwama putih. Daunnya berbentuk pita (pipih memanjang). Tanaman
yang bunganya berwama putih ini banyak ditanam diladang-ladang di daerah
pegunungan yang cukup mendapat sinar.
11

Bawang Putih Meningkatkan Fibrinolisis dan Antiagregrasi
Berdasarkan uji in vitro maupun in vivo, bawang putih memiliki aktivitas
antitrombosis. Aktivitas ini meliputi penurunan konsentrasi fibrinogen serum dan
peningkatan aktivitas fibrinolisis.
12
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa
pemberian minyak bawang putih dan bawang putih mentah secara akut dan kronik
akan meningkatkan aktivitas fibrinolisis. Menurut penelitian yang dilakukan oleh
Chutani dan Bordia dengan mengkonsumsi bawang putih mentah 0,5 gram/kg,
aktivitas fibrinolisis meningkat 72% 6 jam setelah makan bawang putih dan 84,8
% pada hari ke-28
5
dan berdasarkan studi yang dilakukan oleh Legnani et al,
menyatakan bahwa peningkatan aktivitas fibrinolisis sebanding dengan
peningkatan tissue plasminogen activator (t-PA) pada pemberian bawang putih
(Allium sativum) dalam bentuk powder secara akut dan kronik.
7
Uji in vivo lainnya pemberian bawang putih mentah 2 gram/kg selama 4
minggu pada tikus dapat menurunkan tekanan darah, meningkatkan waktu
perdarahan, meningkatkan cAMP dan prostasiklin.
6
Menurut Banerjee et al
7

ekstrak bawang putih segar efektif menurunkan sintesis tromboksan A2 baik pada
uji in vitro maupun in vivo. Penelitian lain menunjukkan bahwa bawang putih
dapat menghambat trombin untuk menginduksi trombosit sehingga
mengakibatkan menurunnya sintesis tromboksan A
2
. Oleh karena itu bawang

PKMI-2-12-4
putih dapat menurunkan agregrasi trombosit sehingga dapat mencegah terjadinya
trombosis.

Allicin dan Derivatnya
95 % total sulfur dalam bawang putih terkandung pada sistein sulfosida
dan y-glutamilsistein. Selanjutnya sebagian Y-glutamilsistein ini akan diubah
menjadi sistein sulfosida juga. Sistein sulfosida sebagian besar terdiri dari alliin.
Sistein sulfosida oleh enzim alliinase akan diubah menjadi senyawa-senyawa
thiosulfonat diantaranya allicin, allil metan thiosulfonat. Di air senyawa-senyawa
thiosulfonat secara spontan akan bembah menjadi senyawa sulfid diantaranya
adalah diallil trisulfid, diallil disulfid, allil metil trisulfid dan allil metil disulfid.
13
Allicin yang terdapat dalam bawang putih adalah salah satu inhibitor kuat
release dan antiagregrasi trombosit melalui inhibisi sintesis tromboksan A
2
,
hambatan aktivasi fosfolipase membran dan mobilisasi kalsium ke intraseluler.
12

Menurut G. Siegal et al allicin dapat menyebabkan hiperpolarisasi membran
melalui pembukaan kanal ion K
+
yang selanjutnya akan menutup kanal Ca
2+

sehingga Ca
2+
intraseluler menurun dan mengakibatkan agregrasi trombosit
menurun.
13
Diallil disulfid dan diallil trisulfid secara in vivo mampu menghambat
secara aktif pembentukkan trombus pada stenosis arteri koronaria dan diduga
polisulfid mampu menghambat sintesis.tromboksan A
2
.
7
Hal ini didukung oleh
hasil penelitian Belman S et al
15
yang menunjukkan bahwa diallil trisulfida, allil
metil trisulfid dan diallil disulfid adalah inhibitor kompetitif dari enzim
lipooksigenase dari soybean.
Metil allil trisulfid (MATS) yang berasal dari degradasi allicin mampu
secara efektif mengurangi kecenderungan penggumpalan trombosit. Hal ini
didukung dengan penelitian 3 orang dan Nippon University School of Medicine
yang menunjukkan bahwa efek dari diallil disulfid adalah sepersepuluh kali dari
efek metil allil trisulfid.
5
Dengan memngkatnya kasus tromboemboli yang dapat menyebabkan
gangguan pada kardiovaskuler seperti angina pektoris, ischemic attacks infark
miokard dan lain lain yang merupakan salah satu penyebab kematian terbesar di
Indonesia. Untuk itu maka pada penelitian ini secara umum bertujuan untuk
mencari obat altematif dan mengembangkan obat yang potent, murah, aman dan
mudah didapatkan terutama yang berasal dari tanaman, salah satu diantaranya
adalah bawang putih, sehingga dapat digunakan untuk mencegah terjadinya
gangguan kardiovaskuler akibat tromboemboli. Sedangkan secara khusus
penelitian ini bertujuan membuktikan bahwa jus bawang putih dapat
meningkatkan aktivitas fibrinolisis pada tikus yang dipapar asam traneksanat.

METODE PENELITIAN
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Farmakologi Fakultas
Kedokteran Gigi Unaversitas Jember dari tanggal 10 Juli 2004 sampai 16 Juli
2004.

PKMI-2-12-5
Bahan Penelitian
Bahan yang digunakan untuk penelitian ini adalah jus bawang putih dan
asam traneksamat.

Alat Penelitian
Alat yang digunakan untuk penelitian ini adalah: kandang tikus, tempat
makanan dan minuman, timbangan, sonde, spuit, tabung, inkubator dan
stopwatch.
Pada penelitian digunakan tikus putih betina strain Wistar dengan berat
badan 150 - 250 g berumur 3-4 bulan yang diperoleh dari PUSVETMA Surabaya,
yang mengalami penyesuaian dan dipelihara dengan cara yang sama.

Pembuatan Jus Bawang Putih
Bawang putih yang telah dikupas diblender dengan kecepatan tinggi
selama 10 menit. Jus bawang putih yang telah diperoleh digunakan untuk
penelitian.

Uji Aktivitas Fibrinolisis
Tikus sebanyak 40 ekor dibagi secara acak dalam lima kelompok
perlakuan masing-masing kelompok terdiri 8 ekor tikus putih. Jus bawang putih
diberikan secara oral dengan menggunakan sonde sehari sekali selama 7 hari.
Perincian mengenai perlakuan terhadap masing-masing kelompok adalah sebagai
berikut:

Kelompok kontrol:
Kelompok kontrol: diinjeksi asam traneksamat 50 mg/kg.

Kelompok Perlakuan
Kelompok 2 : diinjeksi asam traneksamat 50 mg/kg dan jus bawang putih 2 g/kg
Kelompok 3 : diinjeksi asam traneksamat 50 mg/kg dan jus bawang putih 4 g/kg
Kelompok 4 : diinjeksi asam traneksamat 50 g/kg dan jus bawang putih 6 g/kg

Kelompok Pembanding
Kelompok 1 : aquadest 1 cc
Setelah 7 hari, binatang percobaan dianestesi dengan eter dan diambil
darahnya secara langsung melalui jantung (Cardiac puncture) sebanyak 2 ml.
Darah yang diambil kemudian dimasukkan dalam tabung dan dibiarkan sampai
terbentuk bekuan. Lysis time diukur mulai dari saat bekuan terbentuk sampai saat
mulai terjadinya lisis dari bekuan.
16

Rancangan Penelitian dan Analisis Data
Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap
dan data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan uji Anova. Apabila pada
hasil perlakuan yang diberikan terdapat perbedaaan yang bermakna maka
dilanjutkan dengan uji Tukey-HSD dengan taraf 5 %.
17




PKMI-2-12-6
Kerangka Konseptual Penelitian
Pengambilan darah dari jantung menyebabkan dilepaskannya
tromboplastin jaringan. Selanjutnya tromboplastin jaringan akan mengaktifkan
faktor VII menjadi faktor Vila. Sedangkan kaca tabling mengaktifkan faktor XII
menjadi faktor XIIa. Selanjutnya faktor XIIa akan mengaktifkan faktor XI
menjadi faktor XIa dan juga faktor XIa akan mengaktifkan faktor IX menjadi
faktor IXa.
Faktor IXa bersama dengan faktor Va, Vila, Villa dan Ca
24+
akan
mengaktifkan faktor X menjadi faktor Xa. Aktifnya faktor Xa akan menyebabkan
pengaktifan protrombin menjadi trombin yang kemudian mengubah fibrinogen
menjadi fibrin. Asam traneksamat secara tidak langsung meningkatkan bekuan
darah dengan menghambat kerja plasmin secara kompetitif. Akibatnya adalah
meningkatnya fibrin dalam darah.
Selain mampu mencegah peningkatan agregrasi trombosit, bawang putih
juga dapat meningkatkan aktivitas fibrinolisis baik pada pemberian secara akut
maupun kronik. Pemberian bawang putih dalam bentuk powder dapat
meningkatkan aktivitas fibrinolisis yang sebanding dengan peningkatan aktivitas
tissue plasminogen activator.
Bila terjadi peningkatan fibrin akibat paparan asam traneksamat, maka
yang muncul adalah peningkatan lamanya waktu fibrinolisis. Lamanya waktu
fibrinolisis ini dapat diukur dengan pemeriksaan lysis time.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Dari hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa kelompok tikus betina
yang diinjeksi asam traneksamat dan diberi jus bawang-putih dapat meningkatkan
aktivitas fibrinolisis. Dari tabel 3.1. dengan menggunakan uji anovaterlihat bahwa
p=0,000, hal ini berarti terdapat perbedaan lysis lime yang signifikan antar
kelompok-kelompok perlakuan (p < 0,05)

Tabel 3.1. Tabel Hasil Uji Anova

Variabel Tergantung F Sig
Lysis Time 494,106 ,000

Untuk menentukan apakah terdapat perbedaan yang nyata antar kelompok
maka dilakukan uji lanjutan Tukey-HSD. Pada kelompok yang di beri asam
traneksamat saja (kelompok satu), menunjukkan adanya peningkatan waktu lisis
bekuan dan pada uji lanjutan Tukey-HSD terdapat perbedaan yang nyata dengan
kelompok kontrol dan juga dengan kelompok jus bawang putih dosis 2,4 dan 6
gram/kg pada p < 0,05. Sedangkan pada kelompok perlakuan yang diberi jus
bawang putih dosis 2,4 dan 6 gram/kg memperlihatkan perbedaan yang sangat
nyata dengan semua kelompok percobaan.





PKMI-2-12-7
Tabel 3.2 Tabel hasil uii statistik

Kelompok N Mean + Standar Deviasi
Kontrol 6 1820,00+63,77*
Satu 8 1932,50 17,45 b*
Dua 6 1603,33+38,94*
Tiga 5 1378,00+30,33*
Empat 5 1095,00+3,87 a*
Keterangan : N = Jumlah sampel
Satuan lysis time = menit
a = nilai terendah
b = nilai tertinggi
* = berbeda signifikan terhadap kontrol

Berdasarkan data penelitian di atas, menunjukkan bahwa asam
traneksamat pada tikus dapat menghambat fibrinolisis, hal ini disebabkan karena
asam traneksamat dapat menghambat secara kompetitif aktivasi plasminogen dan
menghambat kerja plasmin.
1,10
Plasmin adalah protease serin yang terutama
bertanggungjawab atas penguraian fibrin dan fibrinogen,
8
sehingga jika jumlah
plasmin berkurang maka fibrinolisis akan terhambat.
Kemampuan jus bawang putih dalam meningkatkan aktivitas fibrinolisis
pada tikus wistar yang dipapar inhibitor plasmin yaitu asam traneksamat
dimungkinkan karena kandungan senyawa dalam bawang putih dapat
meningkatkan aktivasi plasminogen dan aktivitas dari plasmin. Hal ini didukung
oleh hasil penelitian Legnani et al, yang menyatakan bahwa peningkatan aktivitas
fibrinolisis sebanding dengan peningkatan tissue plasminogen activator (t-PA)
pada pemberian bawang putih dalam bentuk powder.
7
Plasmin yang meningkat
selain menguraikan fibrin, juga akan menguraikan fibrinogen sehingga fibrinogen
akan menurun jumlahnya. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan
oleh Harenberg et al
17
bahwa bawang putih mampu menurunkan fibrinogen
secara signifikan sebesar 10%.
Tissue plasminogen activator merupakan suatu protease yang dihasilkan
oleh endotel vaskuler oleh karena itu dimungkinkan senyawa - senyawa yang
terdapat dalam jus bawang putih seperti allicin dan turunannya mempengaruhi
endotel vaskuler untuk mengeluarkan tissue plus ninogen activulor (t-PA)
8

.Adanya pengaruh bawang putih terhadap endotel vaskuler ini juga didukung oleh
hasil penelitian bahwa bawang putih dapat memodulasi produksi dan fungsi
Endotelium Derived Relaxing Factor (EDRF). Dan ada dugaan senyawa yang
mempengaruhi endotel vaskuler itu adalah allicin, oleh karena allicin dapat
meningkatkan sintesis nitrit oksid (NO) oleh endotel vaskuler.
7

Pada tabel 3.2 dapat dideskripsikan bahwa dosis jus bawang putih pada
kelompok dua, tiga dan empat akan menyebabkan perbedaan hasil lysis time yang
berbeda secara bermakna. Sedangkan pada kurva dosis respon menunjukkan
bahwa dosis bawang putih sebesar (5 gram/kg memberikan potensi atau respon
yang paling besar terhadap peningkatan aktivitas fibrinolisis jika dibandingkan

PKMI-2-12-8
dengan dosis 2 dan 4 gram/kg. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi dosis
bawang putih yang diberikan maka aktivitas fibrinolisisnyajuga akan meningkat.
Peningkatan aktivitas fibrinolisis ini mungkin karena pada dosis yang semakin
besar maka jumlah tissue plasminogen activator (t-PA) semakin besar dan
selanjutnya aktivitas plasmin juga meningkat sehingga aktivitas fibrinolisis akan
meningkat.














Gambar 3.1 Kurva dosis - respon pada kelompok yang diberi jus bawang putih

KESIMPULAN
- Jus Bawang putih berperan sebagai antitrombosis dengan meningkatkan
fibrinolisis pada tikus yang dipapar asam traneksamat.
- Jus bawang putih dengan dosis 2,4 dan 6 g/kg adalah dosis yang secara
signifikan atau berpotensi meningkatkan aktivitas fibrinolisis pada tikus yang
dipapar asam traneksamat.
- Bawang putih mungkin dapat meningkatkan tissue plasminogen activator pada
tikus yang dipapar asam traneksamat.


DAFTAR PUSTAKA
1. Ganiswarna, Sulistia G. 1995. Antikoagulan, antitrombosis, trombolitik dan
hemostatik. Farmakologi dan terapi, 51 (4): 755 - 61.
2. Suyono, S, Sarwono, W dan Leurenttius L. 2001. Hematologi. Ilmu penyakit
dalam.5(3) : 577-78.
3. Robbins SL dan Vijay Kumar. 1997. Gangguan cairan dan hemodinamik. Buku
ajar patologi I. 3(4): 66- 78.
4. Stamler, Kaplan. 1991. Pencegahan penyakit jantung : 148-51
5. Roser, David. 2000. Bawang putih untuk kesehatan : 52-60.
6. Huey Chen J, Hsiun-ing Chen, Shun -Jen Tsay and Chauying JJ. Chronic
consumption of raw but not boiled welsh onion juice inhibit rat platelet .-
function. [Serial on line] 2000. Available from http://www. nutrition, org
7. Banerjee. SK, Maulik SK, Effec of garlie on cardiovascular disorder; a review
[Serial on line] 2002. Available from http://www. gordonresearch.com
0
500
1000
1500
2000
1 2 3
Dosis Perlakuan (gram/kg BB)
L
y
s
i
s

T
i
m
e

(
m
e
n
i
t
)
Series2
Series1
2 4 6

PKMI-2-12-9
8. Murray, RK, Daryl KG, Peter AM dan Victor. 1999. Protein plasma
imunoglobin dan pembekuan darah. Biokimia Harper. 59 (24): 743-53.
9. Guyton AC, Hall JE. 1997. Buku ajar fisiologi kedokteran: 579-88.
10. Katzung, B G. 2001. Farmakologi dasar dan klinik .541
11. Rukmana R. Budidaya bawang putih : 18-31.
12. Carol, AN. 1996. Garlic.Herbal medicine : 129-33.
13. The Phytochemistry of herbs. Available from http:// www. Garlic advanced,
com
14. Siegal, G. et al. Changes in vascular tone and calcium metabolisme. Available
' from http:// www.mistral.co.uk.
15. Belman S, Solomon J, Block E and Barany G. Inhibition of soybean
lipoxygenase and mouse skin tumor promotion by onion and garlic
components, [serial on line] 1989. Available from http:// www.Pubmed.
com
16. Eveline, Jane, Hamot, Rini, R dan Irine EM. 2002. Clot retraction. Petunjuk
praktikum patologi klinik 14 (1): 52 - 53.
17. Harenberg, Giese C and Zimmermann R. Effec of dried garlic on blood
coagulation, fibrinolysis, platelet aggregation and serum cholesterol levels
in patients with hyperlipoproteinemia. [Serial on line] 1988.Available from
http:// www.Pubmed. com
18. Santoso, Singgih. 2003. One way Anova. SPSS versi 10:261.

PKMI-2-13-1
PELATIHAN MEMBUAT CENDRAMATA
PERAHU PINISI DARI LIMBAH KAYU GERGAJIAN PADA
ANAK PANTI ASUHAN SETIA KARYA KOTA MAKASSAR *)

Akmal Baharuddin dan Ridwan
Jurusan Teknik Sipil dan Perencanaan
Fakultas Teknik Universitas Negeri Makassar, Makasar

ABSTRAK
Tujuan Program Kreativitas Mahasiswa Pengabdian Masyarakat (PKMM) ini
adalah: (1) Terciptanya anak panti asuhan, dan mahasiswa yang kreatif dalam
memanfaatkan limbah kayu gergajian yang terbuang percuma menjadi komuditas
bernilai ekonomi yaitu konstruksi cendramata perahu pinishi berbagai ukuran,
model dan bentuk, (2) Terciptanya anak panti asuhan dan mahasiswa mempunyai
pengetahuan dan terampil membuat cendramata perahu pinishi berbagai ukuran,
model dan bentuk dengan memanfaatkan limbah kayu gergajian dari
penggergajian kayu yang bernilai seni dan bernilai ekonomi. Metode yang
ditempuh dalam kegiatan ini adalah: (1) Pada saat pemberian materi penyuluhan
tentang pemanfaatan limbah kayu gergajian menjadi cendramata perahu pinishi
dan desainnya metode yang digunakan yaitu: ceramah diskusi, tanya jawab, dan
simulasi, (2) Pada saat membuat cendramata perahu pinishi dari limbah kayu
gergajian, metode yang digunakan adalah demonstrasi, dan tanya jawab. Hasil
yang dicapai adalah: (1) Anak panti asuhan dan mahasiswa memiliki
pengetahuan dalam hal pemanfaatan limbah kayu gergajian untuk pembuatan
cendramata perahu pinishi berbagai model dan bentuk untuk peruntukan
berbagai kebutuhan ruang, (2) Anak panti asuhan dan mahasiswa memiliki
keterampilan membuat cendramata perahu pinishi berbagai model dan bentuk
dari limbah kayu gergajian yang bernilai seni dan bernilai ekonomi.

Kata Kunci: cendramata, limbah, kayu gergajian.

PENDAHULUAN
Panti Asuhan Setia Karya yang berlokasi di Jalan Manuruki Raya No. 29
A Makassar memiliki anak asuh sebanyak 61 orang, yang terdiri dari 41 laki-laki
dan perempuan 20 orang. Dari 41 orang laki-laki tersebut, 8 orang yang sekolah di
SMU, 22 orang di SMP, dan 11 orang yang sekolah di SD (Kelas 5 dan kelas 6).
Sementara perempuannya 5 orang yang sekolah di SMU, 12 orang sekolah SMP,
dan 3 orang sekolah di SD, (Sumber Data: Panti Asuhan Setia Karya Kota
Makassar, 2002).
Menurut pimpinan Panti Asuhan M. Muzakkar, S.Ss, kemungkinan
besar anak asuh yang didiknya tidak dapat melanjutkan studinya ke perguruan
tinggi, mengingat biaya yang dibutuhkan cukup tinggi. Oleh karena itu harapan
saya ebagai pimpinan Panti Asuhan Setia Karya, kiranya anak asuhnya dapat
memiliki pengetahuan dan keterampilan, apakah kerja kayu, kerja mesin, kerja
batu dan sebagainya. Dengan keterampilan anak yang saya asuh ini, yang
dimilikinya itu memungkinkan anak-anak panti ini kelak nantinya mandiri
dan dapat membantu mengembangkan panti asuhan (Wawancara tgl. 20 Agustus
2002 di Panti Asuhan Setia Karya).

PKMI-2-13-2
Melihat kurikulum Sekolah Menengah Umum (SMU) dan Sekolah
Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) yang ada sekarang terutama muatan lokal tidak
banyak menyajikan keterampilan terutama keterampilan kayu dalam hal membuat
cendramata. Padahal jika seorang anak siswa (dalam hal ini anak panti asuhan)
yang tidak dapat meneruskan pendidikannya lagi, dan memiliki keterampilan
kayu, maka besar kemungkinannya untuk mengembangkan diri untuk berusaha
keterampilan kayu.
Lanjutan wawancara dengan Pimpinan Panti Asuhan Setia Karya, saya
sebagai Mahasiswa Jurusan Teknik Arsitektur dan Teknik Sipil Fakultas Teknik
Universitas Negeri Makassar, bertanya Apakah Anak panti telah diberikan
keterampilan membuat cenramata misalnya: perahu pinisi dari serpihan kayu ?,
jawaban dari pimpinan panti mengatakan tidak pernah. Hal itu disebabkan tidak
ada orang yang bersedia dan terampil untuk melatih mereka dalam hal mengasah
alat-alat kerja kayu bermesin dan tidak bermesin dan mempraktekkan
penggunaaanya, serta membuat cendramata seperti disebut di atas. Selanjutnya
saya mengatakan Apakah bapak bersedia menerima tim kami melakukan
pelatihan membuat cenramata perahu pinisi dengan memanfaatkan serpihan kayu
buangan penggergajian kayu ?. Spontanitas Pimpinan Panti Asuhan Setia Karya
Muh. Muzakar, S.Ss, saya sangat bersedia dan mengucapkan banyak terima kasih.
Di sisi lain, disekitar panti asuhan banyak pengegergajian kayu yang
membuang serpihan-serpihan kayu berupa papan dan balok berbagai macam
ukuran, yang masih dapat dimanfaatkan atau diproses menjadi konstruksi
cenramata perahu pinisi berbagai ukuran serta berbagai bentuk dan model. Oleh
karena itu sangat tepat untuk memanfaatkan kayu buangan tersebut untuk melatih
anak panti asuhan membuat cendramata perahu pinisi dari limbah serpihan kayu
gergajian.
Melihat kenyataan di lapanagan dan sebagai mahasiswa yang sementara
mengikuti kuliah pada Jurusan Teknik Arsitektur dan Teknik Sipil Fakultas
Teknik Universitas Negeri Makassar dimana telah kami mendapatkan mata kuliah
Rupa dasar yaitu dapat berkreasi dalam memanfaatkan barang yang tidak berguna
menjadi barang atau cendramata yang bias menjadi suatu karya seni yang
dipandang artistik. Mata kuliah Studio Perancangan Arsitektur (desain bangunan
rumah tinggal, hotel, restoran, dan cafe), Merencana ruang dalam termasuk
penataan prabot serta pada berbagai kamar atau ruang (interior), dan kerja
maket, yaitu mahasiswa membuat gambar fisik karya Arsitektur, dan dituntut
membuat maket karya tersebut dengan skala kecil.
Pengalaman kuliah berikutnya adalah mata kuliah kerja kayu, di sini juga
kami dapatkan pengalaman-pengalaman membuat berbagai macam benda-benda
dari kerajinan kayu. Dari pengalaman tersebut diatas kami sebagai mahasiswa
Teknik Arsitektur merasa terpanggil untuk melakukan pelatihan membuat
cendramata perahu pinisi dengan memanfaatkan limbah kayu gergajian pada Panti
asuhan Setia Karya Kota Makassar. Adanya pelatihan ini akan sangat
memungkinkan anak asuh Panti Asuhan Setia Karya memiliki keterampilan
mengasah dan menggunakan alat kerja kayu bermesin dan tidak bermesin dengan
baik dan benar, serta memiliki keterampilan membuat cendramata perahu pinisi
dari serpihan-serpihan kayu. Adanya keterampilan membuat cendramata perahu
pinisi dengan memanfaatkan serpihan-serpihan kayu gergajian memungkinkan

PKMI-2-13-3
anak panti dapat berwirausaha, dan dapat mengembangkan panti Asuhan Setia
Karya dimasa yang akan datang.
Oleh karena itu masalah dalam Kegiatan / Program ini adalah sebagai
berikut: (1) Limbah kayu gergajian seperti papan, dan balok-balok berbagai
ukuran menjadi limbah di kawasan penggergajian kayu dan bahkan hanya diambil
sebagai kayu bakar, (2) Papan dan balok-balok kayu berbagai ukuran tersebut
ternyata tidak dimanfaatkan oleh masyarakat menjadi barang berharga atau
bernilai ekonomi seperti halnya konstruksi perahu pinisi dengan berbagai ukuran,
model dan bentuk untuk berbagai keperluan, (3) Adanya permintaan pimpinan
panti asuhan Setia Karya untuk didesainkan cendramata perahu pinisi berbagai
ukuran, model dan bentuk dari limbah kayu gergajian yang bisa bernilai ekonomi,
(4) Adanya pengalaman mata kuliah seperti rupa dasar, studio perancangan
arsitektur, dan kerja maket sehingga kami berkeinginan untuk memanfaatkan
papan, dan balok berbagai ukuran, model dan bentuk untuk berbagai keperluan,
(5) Adanya pengalaman praktek workshop kayu juga telah kami alami sehingga
baik menggunakan alat maupun membuat cendramata perahu pinisi dari limbah
kayu gergajian tidak menyulitkan bagi kami, (6) Anak panti asuhan yang diasuh
oleh Panti Asuhan Setia Karya tidak memiliki pengetahuan keterampilan
mengasah alat-alat kerja kayu, dan menggunakan alat-alat kerja kayu yang
bermesin dan tidak bermesin dengan baik dan benar, (7) Anak Panti Asuhan yang
diasuh oleh Panti Asuhan Setia Karya tidak memiliki pengetahuan dan
keterampilan membuat cendramata perahu pinisi dari serpihan kayu gergajian
yang dapat bernilai ekonomi.
Tujuan Program ini adalah sebagai berikut: (1) Terciptanya mahasiswa
yang mempunyai pengetahuan, dan terampil membuat cendramata perahu pinisi
dengan memanfaatkan limbah serpihan-serpihan kayu gergajian dari
penggergajian kayu, (2) Terciptanya mahasiswa yang kreatif dan inofatif dalam
memanfaatkan sumber daya alam yang terbuang percuma menjadi komuditas
bernilai ekonom, (3) Terciptanya anak panti asuhan yang mempunyai
pengetahuan, dan terampil membuat cendramata perahu pinisi berbagai ukuran,
model dan bentuk dengan memanfaatkan limbah serpihan-serpihan kayu
gergajian dari penggergajian kayu, (4) Terciptanya anak panti asuhan Setia Karya
yang kreatif dan inovatif dalam memanfaatkan sumber daya alam yang terbuang
percuma menjadi komuditas bernilai ekonomi yaitu: konstruksi cendramata
perahu pinisi berbagai ukuran, model dan bentuk dengan memanfaatkan limbah
serpihan-serpihan kayu gergajian dari penggergajian kayu yang dapat dikomsumsi
setiap rumah tangga, hotel, dan penginapan, baik dalam negeri maupun luar negeri
(manca negara) oleh karena itu merupakan komudirtas ekspor.
Rangka cendramata perahu pinisi berbagai ukuran dengan memanfaatkan
limbah serpihan-serpihan kayu gergajian, dapat dipasangi layar dan landasan
sehingga menjadi cendramata perahu pinisi. Cendramata perahu pinishi berbagai
ukuran merupakan komoditi yang dibutuhkan oleh setiap rumah tangga, seperti
halnya cendramata dari limbah serpihan kayu lainnya (Dalih, dan Sutiarna,1978).
Mesin yang digunakan dalam membelah kayu gelondongan adalah
soumel, kayu gelondongan tersebut dibuat papan dan balok, dan serpihan-serpihan
kayu gergajian tersebut tidak dimanfaatkan. Menurut Sonny (1992) bahwa
penggunaan alat mesin (teknologi sederhana) bertujuan untuk membantu manusia
untuk melaksanakan tugas-tugasnya dan untuk menambah/meningkatkan

PKMI-2-13-4
produksi. Selain dari pada itu, penggunaan teknologi sederhana menyebabkan
manusia dapat bekerja dengan mudah, menimbulkan kenyamanan bekerja.
Dengan demikian ikut meningkatkan harkat dan martabat manusia.
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa alat yang digunakan
untuk membelah yaitu mesin soumel, dengan membelah kayu gelondongan
menjadi papan dan balok, dan menghasilkan serpihan-serpihan kayu.
Kayu mempunyai banyak manfaat, seperti untuk bangunan, untuk
dijadikan perabot rumah tangga, untuk kerajinan cendramata, hiasan dinding dan
lain-lain (Janto,1988). Serpihan-serpihan kayu gergajian bisa dimanfaatkan
menjadi suatu karya seni yang artistik tergantung fungsi dan keguanaanya
(Soedjana,1978)
Dengan uraian tersebut atas dapat disimpulkan bahwa limbah kayu
gergajian yang terbuang dapat didesain dan dimodel menjadi komoditi yang
bernilai seni dan artistik baik diperuntukkan untuk kebutuhan rumah tangga
maupun kebutuhan lainnya, seperti halnya rangka cendramata perahu pinisi
berbagai ukuran.
Alat yang dibutuhkan dalam pekerjaan kayu yaitu: (1) Alat-alat bermesin
seperti: ketam listrik, bor listrik, mesin roter, (2) Alat-alat tanpa mesin (alat-alat
tangan) seperti: ketam biasa, gergaji belah dan potong, gergaji punggung, bor
tangan, siku, klem, meter dan lain-lain (Janto 1979). Dengan demikian alat-alat ini
juga digunakan sebagai alat membuat rangka cendramata perahu pinisi berbagai
ukuran, , dan sangat tergantung bentuk rangka cendramata perahu pinisi yang
akan dibuat.
Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka dapat disimpulkan bahwa limbah
serpihan-serpihan kayu gergajian yang terbuang dapat dimanfaatkan menjadi
suatu karya seni yang artistik dan bernilai ekonomi yang tinggi yaitu rangka
cendramata perahu pinishi berbagai ukuran. Untuk memberikan keterampilan
membuat rangka cendramata perahu pinisi, pada anak panti asuhan Setia Karya
Kota Makassar, dengan menggunakan alat-alat pertukangan kayu bermesin yaitu:
mesin ketam, bor listrik, mesin roter. Dan menggunakan alat-alat kerja kayu yang
tidak bermesin (alat-alat tangan) seperti: ketam biasa, gergaji belah dan potong,
gergaji punggung, bor tangan, siku, klem, meter dan lain-lain.

METODE PENDEKATAN
Khalayak sasaran antara yang strategis dalam program ini adalah sebagai
berikut: (1) Dinas Sosial Kota Makassar yang membidangi panti asuhan, (2)
Ketua Yayasan Setia Karya, (3) Ketua dan Pembina panti asuhan Setia Karya
Kota Makassar, (4) Anak panti pada panti asuhan Setia Karya Kota Makassar
(khalayak sasaran yang dilatih langsung).
Metode utama yang ditempuh dalam kegiatan ini adalah: (1) Pada saat
pemberian materi penyuluhan tentang pemanfaatan limbah kayu gergajian
menjadi cendramata perahu pinisi dan desainnya metode yang digunakan yaitu:
ceramah diskusi, tanya jawab, dan simulasi, (2) Pada saat membuat cendramata
perahu pinisi dari limbah kayu gergajian, metode yang digunakan adalah
demonstrasi, dan tanya jawab.
Metode demonstrasi digunakan untuk mendemonstrasikan membuat
cendramata perahu pinisi dari limbah kayu gergajian, diterangkan dahulu cara
memilih bahan, langkah kerja, dimensi, bahan dan alat yang digunakan, teknik

PKMI-2-13-5
menggunakan alat. Disini khalayak sasaran (anak panti asuhan) ikut langsung
melakukan, mengerjakan setiap jenis pekerjaan bersama dengan mahasiswa. Pada
saat itu juga terjadi diskusi, terutama sekali yang menyangkut sistimatika
pekerjaan tersebut.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil yang dicapai dalam program ini adalah: (1) Anak panti asuhan dan
mahasiswa memiliki pengetahuan dalam hal cendramata perahu pinisi berbagai
ukuran dari limbah hayu gergajian, yaitu: (a) Memiliki pengetahuan tentang
pemilihan bahan untuk hiasan perahu pinisi: pemilihan limbah kayu gergajian
yang cocok untuk dibuat untuk perahu pinisi, (b) Memiliki pengetahuan tentang
pembuatan cendramata perahu pinisi berbagai ukuran dari limbah hayu gergajian:
membuat desain dan gambar kerja, memotong limbah kayu sesuai ukuran,
membentuk badan pinisi, membuat tiang layar, membuat layar dari kain, membuat
landasan dari papan atau multipleks, membuat les landasan dari kayu profil,
membuatkan alur kaca, memasang perahu pinishi pada landasan, pinishing dan
pengecetan perahu pinisi dengan vernis atau pelitur, dan pemasangan kaca, (2)
Anak panti asuhan dan mahasiswa memiliki keterampilan membuat cendramata
perahu pinisi berbagai ukuran dari limbah hayu gergajian yaitu: (a) Pemilihan
limbah kayu gergajian untuk pembuatan perahu pinisi berbagai ukuran, (b)
Terampil membuat cendramata perahu pinisi berbagai ukuran dari limbah hayu
gergajian yaitu: membuat desain dan gambar kerja, memotong limbah kayu
sesuai ukuran, membentuk badan pinisi, membuat tiang layar, membuat layar dari
kain, membuat landasan dari papan atau multipleks, membuat les landasan dari
kayu profil, membuatkan alur kaca, memasang perahu pinishi pada landasan,
pinishing dan pengecetan perahu pinishi dengan vernis atau pelitur, dan
pemasangan kaca. Selain itu motivasi khalayak sasaran bersama anggota tim
program ini cukup tinggi mengikuti penyuluhan dan pelatihan dari awal sampai
selesai.
Program ini dianggap juga berhasil karena: (1) Khalayak sasaran tidak
menemukan kesulitan dalam memahami materi penyuluhan dan pelatihan yang
diberikan, (2) Khalayak sasaran berkeinginan menerapkan membuat cendramata
perahu pinisi berbagai ukuran dari limbah hayu gergajian ini pada rumahnya
masing-masing, (3) Khalayak sasaran berkeinginan untuk menyampaikan
penerapan membuat cendramata perahu pinisi berbagai ukuran dari limbah hayu
gergajian kepada khalayak sasaran yang lain (yang tidak sempat ikut penyuluhan
dan pelatihan).

KESIMPULAN
Berdasarkan penyuluhan dan pelatihan dilapangan, maka dapat
disimpulkan sebagai berikut: (1) Mahasiswa memiliki pengetahuan dan
keterampilan membuat cendramata perahu pinisi dari limbah kayu gergajian yang
bernilai seni dan ekonomi. Hal ini didukung oleh adanya masukan-masukan dan
diskusi yang dilakukan bersama dengan dosen pendamping, (2) Mahasiswa
mempunyai inovasi dan kreatif dalam memanfaatkan sumber daya alam dalam hal
ini limbah serpihan kayu gergajian untuk pembuatan cendramata perahu pinisi
yang dapat bernilai seni dan ekonomi. Hal ini didukung oleh adanya masukan-
masukan dan diskusi yang dilakukan bersama dengan dosen pendamping, (3)

PKMI-2-13-6
Anak panti asuhan memiliki pengetahuan dan keterampilan membuat cendramata
perahu pinisi dari limbah kayu gergajian yang bernilai seni ekonomi. Hal ini
didukung oleh adanya masukan-masukan dan diskusi dari mahasiswa dan dosen
pendamping, (3) Anak panti asuhan mempunyai inovasi dan kreatif dalam
memanfaatkan sumber daya alam dalam hal ini limbah serpihan-serpihan kayu
gergajian untuk pembuatan cendramata perahu pinisi yang bernilai seni dan
ekonomi. Hal ini didukung oleh adanya masukan-masukan dan diskusi dengan
mahasiswa serta dosen pendamping.

DAFTAR PUSTAKA
Dalih S.A, Sutiana. 1978. Petunjuk Mengerjakan kayu I. Jakarta: Proyek
Pengadaan Buku/Diktat Pendidikan menengah Teknologi Depdiknas
Gunawan. 1986. Mebel Kayu Lapis . Rancangan Disain, Bahan-bahan yang
Dipakai, dan Tahap Pelaksanaan. Jakarta: PT. Gramedia
Gunawan. 1986. Mebel Praktis . Disain Kayu Lapis yang Unik dan Serba Guna.
Jakarta: PT. Gramedia
Janto J.B. 1979. Pengetahuan Alat-alat Kayus. Yogyakarta: Yayasan Karnisius
Sampurno, Edi. 1978. Beberapa Rancangan Mebel Kayu Lapis. Jakarta: PT.
Gramedia
Subarkah, I. (1988 ). Konstruksi Bangunan Gedung. Bandung: Idea Dharma
Bandung.
Sugiharjo, 1975, Gambar-gambar Konstruksi Bangunan Gedung, Jakarta.
CV. Teknik
Supriadi . et.al. 1991. Profil Teknologi Padat Karya. Jakarta: Pengembangan
Sumber daya Manusia
Supribadi. I.K. 1986. Ilmu Bangunan Gedung. Bandung. Armico.
Sumadi. 1981, Konstruksi Kayu. Bandung: Institut Teknologi Bandung
Wilkening, F. 1987. Tata Ruang. Pendidikan Industri Kayu. Semarang : Kanisius.


PKMI-2-14-1
STUDI KARAKTERISTIK PENGUKURAN TEGANGAN DAN
RESPON HELMET INDUSTRI

Jon Heri, Eko Hardiansyah, Chandra.A Siregar, Muhammad Daud
Fakultas Teknik, Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara, Medan

ABSTRAK
Pengujian ketahanan helmet terhadap beban impak telah banyak dilakukan dan
terus berkembang, dengan menjatuhkan impaktor dari suatu ketinggian tertentu
(2 sampai dengan 3 m) menggunakan test rig jatuh bebas. Teknik standard ini
dipandang tidak efektif bila diaplikasikan pada helmet yang dipakai untuk
lapangan kerja konstruksi bangunan bertingkat, yang diperkirakan sebuah benda
dapat jatuh dari suatu ketinggian yang melebihi 3 meter. Paper ini
memperkenalkan suatu metode pengukuran respon helmet yang dikenai beban
impak kecepatan tinggi. Teknik pengukuran itu disebut dengan teknik dua gage,
yaitu menggunakan teori propagasi tegangan dalam batang suatu dimensi. Untuk
mendapatkan beban impak kecepatan tinggi impaktor ditempatkan dalam sebuah
barel dan ditembakkan ke lokasi impak helmet yang akan diuji, menggunakan alat
uji Kompresor Impak (KOMPAK). Dari hasil penelitian diperoleh bahwa set-up
teknik dua gage relatif mudah digunakan. Helmet yang diuji memberikan respon
beban dan waktu impak (tegangan insiden) sesuai dengan karakteristik
pembebanan.

Kata kunci : helmet industri, impak kecepatan tinggi, teknik dua gage

PENDAHULUAN
Selama ini helmet diuji menggunakan prosedur pengujian standard
menggunakan test rig dengan teknik jatuh bebas. Pengujian standard ini bertujuan
untuk melihat sejauh mana kemampuan helmet dalam menyerap energi impak.
Selain itu uji standard juga bertujuan meneliti keparahan rusak helmet yang
memungkinkan merusak lapisan kulit kepala lewat penetrasi. Teknik ini telah
banyak digunakan oleh berbagai pusat pengujian helmet, misalnya Sirim Berhad,
Malaysia dan B4T Deperindag, Bandung Indonesia, dan juga Pusat Riset Impak
dan Keretakan, Jurusan Teknik Mesin USU.
Memakai uji standard yang ada, baik memakai standard Jepang (JIS)
maupun Standard Nasional Indonesia (SNI) striker hanya dijatuhkan dari
ketinggian H=2 sampai dengan 3 meter. Dengan demikian kecepatan striker
hanya lebih kurang, gH v 2 = =6.3 m/detik. Kecepatan striker sebesar ini masih
tergolong kecepatan impak rendah. Padahal kenyataan di lapangan besar
kemungkinan suatu benda jatuh dari suatu ketinggian yang lebih tinggi.
Katakanlah sebuah benda jatuh bebas dari suatu gedung berlantai 10 (H=40m)
yang sedang dibangun dan menimpa pekerja yang menggunakan helmet standard.
Pertanyaannya apakah helmet tersebut akan tahan menerima benda jatuh dari
ketinggian tersebut?. Menggunakan rumus yang sama kita dapat memperkirakan
kecepatan jatuh benda tadi yaitu v=28.2 m/detik, kecepatan sebesar ini sudah
tergolong kecepatan impak tinggi. Dengan demikian menggunakan prosedur
standard yang sudah umum dipakai akan tidak mampu memberi keamanan kepada
sipekerja. Dalam hal ini helmet untuk pekerja konstruksi atau industri seperti itu

PKMI-2-14-2
seyogianya dibuat dari bahan dan desain yang khusus sehingga akan mampu
menahan beban impak kecepatan tinggi.
Dengan dilandasi pada latar belakang di atas peneliti telah
mengembangkan suatu teknik pengukuran respon helmet menggunakan sebuah
cara baru yang cocok untuk helmet tahan terhadap impak tinggi, yaitu teknik
pengukuran menggunakan set-up pengujian terbaru dari alat uji impak,
Kompresor Impak (KOMPAK) [1,2]. Pada gilirannya, teknik ini dapat digunakan
untuk mengukur kekuatan helmet industri akibat beban impak.

BAHAN DAN METODE
Bahan
Dalam penelitian ini spesimen helmet yang akan diuji adalah helmet
yang non-standard di peroleh dari toko-toko penjualan helmet industri tersebut.
Helmet industri jenis ini (Gambar 1), ternyata masih banyak digunakan
pada beberapa industri di Sumatera Utara, terutama pekerja konstruksi bangunan.
Peneliti mengasumsikan bahwa helmet jenis ini belum memenuhi kategori
standard. Alasannya karena tidak terdapat label dan sticker uji standard yang
ditempel pada helmet.
Untuk pengujian diperkirakan akan menggunakan sebanyak 10 buah
helmet, yang terdiri dari: (1) uji helmet non-standard dengan pengimpakan atas,
(2) hal yang serupa dilakukan dengan variasi jarak pemasangan biaxial strain
gage 15 mm dari titik pengimpakan.


(a) (b) (c) (d)
(a) tampak depan, (b) tampak samping, (c) tampak belakang, dan (d) tampak atas
Gambar 1. Helmet industri nonstandard.
Metoda
Set-up peralatan uji
Untuk mendapatkan respon helmet yang dikenai beban impak kecepatan
tinggi dilakukan dengan menggunakan KOMPAK. Beban impak (tegangan
insiden) yang dimaksudkan dalam makalah ini adalah tegangan yang masuk ke
permukaan impak, yaitu bagian atas tempurung helmet. Tegangan insiden pada
lokasi impak tersebut tidak dapat diukur secara langsung; karena itu dalam
penelitian ini tegangan insiden diukur dengan menggunakan set-up KOMPAK
dengan teknik dua gage.
Konstruksi peralatan uji impak secara skematik ditunjukkan pada
Gambar 2. KOMPAK telah dimodifikasi sehingga dapat digunakan secara khusus
untuk pengujian helmet. Helmet industri yang akan diuji (8) ditempatkan
bersentuhan dengan salah satu ujung batang penerus ujung tumpul dengan
panjang 1,5 m (7). Beban impak diperoleh dengan menumbukkan batang impak

PKMI-2-14-3
(panjang 0,5m) (6) ke batang penerus. Variasi kecepatan batang impak diperoleh
dengan mengatur tekanan udara lepas dan jarak impak, yaitu jarak tumbukan
batang impak dan batang penerus [3].
Pengukuran beban impak yang dibangkitkan pada lokasi impak dan
ditransmisikan ke helmet dilakukan dengan menggunakan teknik strain gage yang
dipasangkan di dua lokasi titik ukur pada batang penerus, yaitu pada a dan b.
Gelombang tegangan yang ditangkap oleh strain gage pada lokasi a dan b
tersebut [4], selanjutnya dengan bantuan bridge box (Kyowa), perubahan tahanan
gage R/R diubah menjadi voltase output V
o
pada transient converter, melalui
signal conditioner. Data digital yang direkam transient converter selanjutnya
dikirim ke komputer dengan memakai interface. Channel 1 atau 2 yang terdapat
pada transient converter digunakan untuk mendeteksi gelombang tegangan yang
melewati strain gage (pada lokasi a dan b). Tegangan insiden yang dihasilkan di
atas itulah yang dimaksud dengan respon helmet.


















1 Kompresor 8 Spesimen Helmet dan test rig
2 Tangki Udara 9 Strain Gage
3 Pressure Regulator 10 Bridge Head
4 Katup Solenoid 11 Signal Conditioner
5 Pipa Barel 12 Transient Converter
6 Striker 13 Personal Computer
7 Input bar 14 Interface

Gambar 2. Set-up Alat Uji KOMPAK








Gambar 3. Set-up batang dan helmet
Detail
8
Input Bar Striker
1300
1100
1500
500
Spesimen helmet
gage b gage a
10
2
3
4
5
6 7
9
1
0001V
0001V
12
13
11
14
8
4000 mm 3000 mm

PKMI-2-14-4
Tabel I. Sifat Mekanik Batang ujung tumpul

Material E (GPa) (kg/m
3
) C
o
(m/s)
Batang impak (Striker) Al-6061 68 2713 5006
Batang penerus (input bar) Al-6061 68 2713 5006











Gambar 4. Set-up pengukuran helmet secara langsung dengan biaxial, (b= 15 mm)


Metoda pengukuran tegangan
Pada Gambar 3 ditunjukkan secara detail susunan batang helmet yang
akan diuji. Perhitungan tegangan insiden tekan pada lokasi impak dari helmet
didasarkan pada teori penjalaran gelombang elastik [5,6]. Berikut ini diberikan
rumus menghitung besarnya gelombang tegangan pada lokasi b:


b
(t) =
R
(t) +
L
(t) (1)

dimana
R
(t) dan
L
(t) adalah tegangan yang berpropagasi ke kiri dan ujung
kanan batang penerus. Ambil t
1
= l/C
o
, di mana l jarak antara gage a dan b, juga c
dan C
o
adalah kecepatan rambat gelombang elastik dalam batang. Tegangan pada
lokasi a dan c dapat dihubungkan sbb:


a
(t) =
R
(t + t
1
) +
L
(t-t
1
) (2)
dan

c
(t) =
R
(t - t
1
) +
L
(t+t
1
) (3)

Jika persamaan (3) disederhanakan dalam
a
dan
b
, tegangan insiden yang
ditransmisikan ke dalam helmet, pada lokasi c, dapat dihitung, sebagai berikut:


c
(t) =
b
(t + t
1
) +
b
(t - t
1
) -
a
(t) (4)

Di sini, t adalah waktu dan t
1
= jarak dari a ke b/c
0
, dimana c
0
adalah kecepatan
rambat gelombang dalam batang yang dihitung dengan rumus

E
C =
0
. Di sini E ,
Modulus elastisitas dan , masa jenis batang penerus (input bar).
Pengujian dilakukan dengan berbagai variasi beban impak yang diatur
dengan cara merubah jarak impak. Dalam pengujian ini tekanan tangki udara
diatur pada 0,4 MPa, dengan variasi jarak pengimpakan, (Impact distance).


b

Titik Impak
Y
X
biaxial gage
Input Bar Striker
1500 mm 500 mm
biaxial gage

PKMI-2-14-5
HASIL PENELITIAN

















Gambar 5. Tegangan impak dan tegangan insiden (P=0,4 MPa; ID= 100mm)


Gambar 6. Tegangan impak dan tegangan insiden (P=0,4 MPa; ID= 150mm)
Stress vs Time
60.12
50.77
-80
-60
-40
-20
0
20
40
60
80
0 400 800 1200
Time (s)
S
t
r
e
s
s

(
M
P
a
)
Incident Stress
16.61
-20
-15
-10
-5
0
5
10
15
20
0 200 400 600
Time (s)
S
t
r
e
s
s

(
M
P
a
)
Input Bar Striker
P : 0,4 MPa
Impact distance: 150mm
Incident Stress
6.82
15.48
-20
-15
-10
-5
0
5
10
15
20
0 200 400 600 800
Time (s)
S
t
r
e
s
s

(
M
P
a
)
Stress vs Time
48.35
41.33
-60
-30
0
30
60
0 400 800 1200
Time (s)
S
t
r
e
s
s

(
M
P
a
)
Input Bar Striker
P : 0,4 MPa
Impact distance: 100mm

PKMI-2-14-6



Gambar 7. Tegangan impak dan tegangan insiden (P=0,4 MPa; ID= 200mm)



-2,58
1,55
-3
-2,5
-2
-1,5
-1
-0,5
0
0,5
1
1,5
2
2000 3000 4000 5000 6000 7000 8000
Waktu (s)
T
e
g
a
n
g
a
n

(
M
P
a
)
CH1 (arah-X)
CH2 (arah-Y)




-2,58
-1
0
1
2
3
2000 3000 4000 5000 6000 7000 8000
Waktu ( s)
T
e
g
a
n
g
a
n

(
M
P
a
)
1,55
-1
0
1
2
2000 3000 4000 5000 6000 7000 8000
Waktu ( s)
T
e
g
a
n
g
a
n

(
M
P
a
)


Gambar 8. Respon helmet pada P=0,4 MPa; ID= 100mm

Stress vs Time
69.17
62.54
-80
-60
-40
-20
0
20
40
60
80
0 400 800 1200
Time (s)
S
t
r
e
s
s

(
M
P
a
)
Incident Stress
13.72
-20
-15
-10
-5
0
5
10
15
20
0 200 400 600 800
Time (s)
S
t
r
e
s
s

(
M
P
a
)
Input Bar Striker
P : 0,4 MPa
Impact Distance: 200 mm
1
5

m
m

Titik Impak
Y
X
Biaxial Gage
2996

PKMI-2-14-7
Tabel II. Variasi tegangan insiden yang masuk ke helmet
Kondisi beban Tegangan Impak
(MPa)
Tegangan Insiden
(MPa)
0,4 MPa; 100mm 48,35 16,48
0,4 MPa; 150mm 60,12 16,61
0,4 MPa; 200mm 69,17 13,72


Tabel III. Variasi tegangan dan waktu yang masuk ke helmet dengan metode
pengukuran langsung

Kondisi beban Tegangan (MPa) Waktu (s)
Arah -X Arah -Y Arah -X Arah Y
0,4 MPa; 70mm -1,91 1,09 3299 3009
0,4 MPa; 80mm -2,31 1,21 3568 3267
0,4 MPa; 90mm -2,38 1,35 3631 3270
0,4 MPa; 100mm -2,58 1,55 3906 3329
0,4 MPa; 110mm -2,77 1,63 3989 3594


PEMBAHASAN
Pengukuran Respon Helmet Secara Tidak Langsung
Dalam penelitian ini pengukuran kekuatan impak helmet dilakukan pada
arah impak atasa saja. Set-up uji ditunjukkan pada Gambar 3 untuk mengetahui
respon helmet terhadap beban impak. Respon tersebut dapat diartikan sebagai
resistensi helmet dalam mendukung gelombang tegangan impak yang masuk ke
lokasi impak melewati ujung batang penerus. Respon helmet diperkirakan berbeda
tergantung lokasi impak dan intensitas beban dan juga geometri ujung batang
penerus yang bersentuhan langsung dengan permukaan helmet.
Menggunakan set-up seperti ditunjukkan pada Gambar 3 dan metoda
yang dijelaskan di atas sebanyak 10 buah helmet industri merek X juga dikenakan
berbagai variasi beban impak.
Konfigurasi tegangan insiden akibat ujung tumpul ditunjukkan pada
Gambar 5 sampai dengan Gambar 7, dimana gelombang tersebut memberikan
beberapa informasi penting, yaitu: Waktu impak untuk jarak 100 mm, (t
i
)=498 s,
jarak 150 mm, (t
i
)=462 s, dan jarak 200 mm, (t
i
) berkisar antara 300 - 400 s,;
waktu impak ini tergantung pada ukuran batang impak yang digunakan. Dalam
penelitian ini digunakan batang impak yang panjangnya 500 mm. Tegangan yang
masuk pada helmet dengan tekanan konstan 0,4 MPa dan variasi jarak impak 100,
150, dan 200 mm ditunjukkan pada Tabel II.

Pengukuran Respon Helmet Secara Langsung
Pengukuran respon helmet secara langsung dilakukan adalah untuk
melihat respon helmet pada lokasi tertentu diluar daerah impak. Pada Gambar 3
ditunjukkan set-up pemasangan biaxial gage pada jarak 15 mm dari titik
pengimpakan sebelah atas. Pemasangan pada jarak 15 mm ini bertujuan untuk
mendeteksi tegangan sedekat mungkin dengan beban impak.
Pengujian helmet dengan menggunakan biaxial gage (arah-X dan Y)
yang terpasang 15 mm dari titik impak, dipergunakan tekanan yang diset konstan

PKMI-2-14-8
sebesar 0,4 MPa dan melakukan pengujian impak dengan jarak dari 70 mm
sampai dengan 110 mm pada bagian atas spesimen, seperti yang terlihat pada
Gambar 4 yang merupakan kronologi pengujian spesimen helmet yang memakai
strain gage biaxial. Dari pengujian ini diperoleh karakteristik propagasi tegangan
yang berbentuk impulse. Bentuk karakteristik propagasi tegangan yang dihasilkan
pada permukaan helmet ditunjukan pada Gambar 8.
Dari keterangan di atas, bahwa rambatan gelombang yang besar terjadi pada
spesimen adalah rambatan gelombang yang menuju arah-X dimana waktu yang
diperlukan untuk perambatan membentuk suatu gelombang impulse dengan
pembacaan strain gage arah-X yang berjarak 15 mm dari titik pengimpakan
dengan tekanan 0,4 Mpa dan variasi jarak impak dari 70 mm sampai dengan 110
mm terlihat pada Tabel III.

KESIMPULAN
Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa Metoda dua gage dan set-
upnya mudah untuk digunakan; untuk mendapatkan tegangan insiden tidak
disyaratkan diketahui sifat mekanik helmet yang akan diuji. Dimana bentuk dan
intensitas tegangan impak yang timbul tergantung pada laju pembebanan batang
impak, dan dapat pula disimpulkan bahwa karakteristik tegangan dengan
pengukuran langsung pada helmet dengan menggunakan biaxial gage
menunjukkan adanya perbedaan respon yang diterima oleh helmet pada lokasi
tertentu (15 mm dari titik impak), hal ini bergantung kepada besarnya beban
impak yang diberikan.

DAFTAR PUSTAKA
[1] Syam B, etal., Pembuatan Alat Uji Air Gun Compressor dan Penyelidikan
Perilaku mekanik Beberapa Material Keramik Akibat Beban Impak,
Laporan Komprehensif Penelitian Hibah Bersaing VI/1 dan VI/2,
Medan, 1999.
[2] Syam B., A Measuring Method for Impact Tensile Strength and Impact
Fracture Behaviors of Brittle Material, A Doctoral Dissertation,
Muroran Institute of Tecnology, Muroran, Japan, March 1996, pp.
29-98
[3] Mahadi, B, etal., Aplikasi Teknik Dua Gage dalam Obserpasi Respon Helmet
Industri yang Dikenai Beban Impak, Buletin Utama Teknik, Vol.8
No.1, Januari 2004, pp. 29-35.
[4] Sabri, M., Perilaku Strain Gage sebagai Sensor pada Pengukuran Regangan,
Jurnal Teknik SIMETRIKA Vol.2 No.2, Agustus 2003, pp.6-13
[5] Yanagihara, N., Theory of One-Dimensial Elastic Wave for the Measurement
of the Impact Force, Buletin of JSME, Vol.43, 1977, pp.40-48
[6] Johnson, W., Impact Strength of Material, Edward Arnold, London, 1972.



PKMI-2-15-1
NILAI KADAR PROTEIN DAN AKTIVITAS AMILASE SELAMA
PROSES FERMENTASI UMBI KAYU DENGAN Aspergillus niger

Erick Sidarta*, Dwi Adi Syaputra, Fandy Djafar
Fakultas Teknobiologi, Universitas Katolik Atma Jaya, Jakarta

ABSTRAK
Singkong yang terdiri hanya dari pati dan selulosa memiliki kadar protein
yang rendah (1-3%). Peningkatan kadar protein pada singkong dapat dilakukan
dengan fermentasi substrat padat oleh Aspergillus niger pada substrat yang
ditambahkan dan campuran amonium sulfat dan fosfat. Proses fermentasi
dilakukan selama 3 hari dan dibandingkan substrat dengan dan tanpa
penambahan mineral terhadap pertumbuhan kapang, pH, kehilangan bahan
kering dan kadar protein. Pada perlakuan dengan mineral pertumbuhan kapang
lebih merata dan menebal daripada perlakuan tanpa mineral. Nilai pH pada
perlakuan mineral menurun drastis dari sebelum fermentasi (6.2) menjadi 3.1
pada hari ke-3, sedangkan penurunan pH pada perlakuan tanpa mineral hanya
turun dari 6.8 menjadi 5.8. Setelah masa inkubasi tiga hari, kehilangan bahan
kering pada perlakuan dengan mineral lebih tinggi daripada dengan tanpa
mineral, 32.7 vs 30.1%. Penambahan mineral meningkatkan kadar protein sejati
(selisih kadar protein kasar dan terlarut) sebanyak 82%, sedangkan pada
perlakuan tanpa mineral hanya meningkat 39%. Dalam proses fermentasi
tersebut aktivitas enzim amilase yang dihasilkan oleh A. niger juga diukur dan
dilihat korelasinya terhadap pembentukan glukosa dan kadar protein sejati.
Aktivitas enzim amilase yang diukur pada 0 jam, 2, dan 3 hari fermentasi
berturut-turut untuk perlakuan dengan mineral 6.9, 14.7, dan 29.0 U.g
bk
-1
dan
pada perlakuan tanpa mineral 2.3, 21.4, dan 17.5 U.g
bk
-1
. Kadar glukosa pada
perlakuan mineral, yang diukur pada waktu yang sama, berturut-turut adalah
0.46, 0.61, dan 0.4 g.100g
bk
-1
dan pada perlakuan tanpa mineral 0.24, 0.34, dan
0.33 g.100g
bk
-1
. Penambahan mineral dapat meningkatkan aktivitas enzim
amilase yang menyebabkan peningkatan kadar glukosa dan kadar protein.

Kata kunci: umbi singkong, Aspergillus niger, amonium sulfat, fosfat, amilase.

PENDAHULUAN
Dalam industri peternakan, 70% biaya produksi merupakan biaya
pembelian pakan, sehingga harga pakan diusahakan serendah mungkin dengan
hasil yang diusahakan maksimal atau efisiensi pakan tersebut dapat ditingkatkan.
Oleh karena itu, pemberian pakan diusahakan memiliki kandungan-kandungan
nutrisi yang baik
* Penulis korespondensi, telp. (021)5675794, Hp 08159728099, e-mail: X_Sidarta@yahoo.com
bagi ternak. Pemberian pakan ternak yang kaya akan protein merupakan cara yang
efisien dan efektif untuk meningkatkan pertambahan bobot badan (Manurung
1995).
Umbi singkong merupakan pakan ternak yang potensial di Indonesia
karena harganya yang murah, terutama pada musim panen (Pakpahan et al. 1993),
serta kandungan pati yang tinggi sebagai sumber karbohidrat. Akan tetapi,
kandungan umbi singkong yang terdiri dari pati tersebut tidak memiliki


PKMI-2-15-2
kandungan protein yang melimpah sehingga diperlukan adanya pengolahan lebih
lanjut (Kompiang 1993). Pengolahan singkong juga dimaksudkan untuk
mengurangi kandungan cyanogenic glucosides yang merupakan toksin (Birk et al.
1996 dan Oboh 2006).
Pengolahan singkong untuk meningkatkan kadar protein dapat dilakukan
dengan fermentasi substrat padat yang ditambahkan dengan nitrogen anorganik.
Proses fermentasi dapat meningkatkan nutrisi pada pakan melalui biosintesis
vitamin, asam amino esensial dan protein dengan meningkatkan kualitas protein
dan pencernaan. Selain itu, fermentasi juga dapat meningkatkan ketersediaan
mikronutrien dan membantu mendegradasi faktor antinutrisi (Achinewhu et al.
1998). Dalam melakukan fermentasi substrat padat dengan substrat singkong,
kapang yang digunakan harus memiliki sistem enzim amilase (Sukara dan Doelle
1989). Fermentasi substrat padat untuk singkong dapat dilakukan dengan bantuan
kapang Aspergillus niger. Fermentasi singkong untuk meningkatkan kandungan
protein pada singkong ini disebut cassapro (cassava protein) (Sinurat et al. 1995).
Selama fermentasi singkong yang dilakukan oleh kapang A. niger terjadi
penguraian pati dan selulosa yang terkandung pada singkong oleh enzim hidrolisis
amilase dan selulase (Okolie dan Ugochukwu 1988, Sukara dan Doelle 1989,
Purwadaria et al. 1997, Parada et al. 1996). Enzim amilase dan selulase yang
terbentuk akan menguraikan pati yang terdapat pada singkong menjadi glukosa.
Glukosa yang terbentuk akan digunakan oleh kapang A. niger untuk
pertumbuhannya. Senyawa ini bersama dengan amonium akan membentuk
protein. Oleh karena itu, perlu dilihat hubungan antara protein yang dibentuk oleh
kapang dengan aktivitas dari enzim hidrolisis tersebut.
Penambahan mineral dalam produksi cassapro harus dilakukan untuk
memperoleh hasil yang lebih baik (Kompiang et al. 1994). Mineral yang paling
sering digunakan dalam produksi cassapro umumnya adalah amonium sulfat.
Amonium sulfat digunakan sebagai sumber nitrogen untuk kapang yang
dikarenakan keterbatasan sumber nitrogen pada singkong. Selain amonium sulfat,
fosfat juga ditambahkan pada percobaan ini. Fosfat yang digunakan juga berfungsi
untuk meningkatkan produksi protein (fosfoprotein) pada kapang. Selain itu,
fosfat juga berfungsi untuk membentuk asam nukleat dan fosfolipid. Penambahan
mineral untuk meningkatkan pertumbuhan kapang dan produksi protein sudah
umum dilakukan untuk produk fermentasi (Ramos-Valdivia et al. 1983 dan Sani
et al. 1992).
Penelitian ini bertujuan meningkatkan kadar protein cassapro dengan
penambahan mineral (campuran amonium sulfat dan fosfat), mengetahui pengaruh
mineral terhadap pembentukan enzim amilase, serta pengaruh enzim amilase
terhadap kadar protein produk fermentasi.

METODOLOGI
Sumber Isolat dan Substrat
Isolat kapang yang digunakan ialah inokulum A. niger dari Balai
Penelitian Ternak. Substrat yang digunakan berupa substrat umbi singkong
kering. Singkong dikupas kulitnya kemudian dicacah dan dikeringkan dengan
sinar matahari.




PKMI-2-15-3
Produksi Cassapro
Sebanyak 2 kg singkong dibagi menjadi dua masing-masing bagian 1 kg.
Setiap bagian diseduh dengan air panas sebanyak 1 liter selama dua jam. Setelah
agak dingin satu bagian singkong ditambah dengan 12.5 g inokulum A. niger, 60 g
amonium sulfat dan 11 g fosfat. Sedangkan satu bagian lain hanya ditambah 12.5
g inokulum. Setelah penambahan inokulum dan mineral, singkong langsung
diaduk supaya homogen. Jadi pada produksi cassapro terdapat dua perlakuan yang
berbeda, yaitu perlakuan ditambah mineral (amonium sulfat dan fosfat) dan
perlakuan tanpa ditambah mineral. Baki ditutup dengan kertas koran dan disimpan
pada suhu ruang selama fermentasi
Pengamatan Visual Pertumbuhan Kapang
Pengamatan secara visual dilakukan untuk melihat pertumbuhan miselia,
pembentukan spora, dan suhu baki selama masa inkubasi tiga hari.
Ekstraksi Enzim Amilase
Ekstraksi enzim amilase diambil dari hasil fermentasi cassapro. Dua gram
sampel dicampur dengan 20 ml buffer Na-asetat 0.05M (pH 5.5). Lalu, disentrifus
7000 rpm selama 20 menit pada suhu 4
0
C. Supernatan diambil dan disimpan pada
suhu -10
0
C sebelum dilakukan analisis.
Analisis Aktivitas Enzim Amilase
Aktivitias enzim diukur dengan mengurangi kadar glukosa hasil inkubasi
filtrat enzim dan substrat pati 1% selama 30 menit pada suhu 50
o
C dengan
campuran yang sama tapi tanpa diinkubasi terlebih dahulu (Purwadaria et al.
1997). Pengukuran kadar glukosa dilakukan dengan metode DNS (Miller 1959).
Hasil perhitungan lalu dilakukan konversi menjadi unit/gram berat kering (U.g
bk
-
1
).
Analisis Kimia
Analisis kimia dilakukan pada singkong pada waktu 0 jam (sebelum
fermentasi), 2 dan 3 hari setelah fermentasi. Analisis yang dilakukan meliputi
penentuan kadar air, pH, kehilangan bahan kering, kadar protein kasar, kadar
protein terlarut, kadar protein sejati, dan kadar glukosa dari masing-masing
perlakuan. Penentuan kadar air dilakukan dengan metode AOAC (AOAC 1984).
Pengukuran pH dilakukan menggunakan pH meter, kadar protein kasar
menggunakan metode AOAC, penentuan kadar protein terlarut menggunakan
metode Conway. Kadar protein sejati diperoleh dengan cara mengurangi total
protein kasar dengan protein terlarut (Supriyati 2003). Kadar glukosa didapatkan
dengan mengukur kadar glukosa kontrol dari filtrat enzim dan pati 1% tanpa
inkubasi lalu ditambah pereaksi DNS dan dilakukan pembacaan absorbansi pada
540 nm (Miller 1959). Pengukuran kadar protein kasar, terlarut, sejati dan kadar
glukosa dilakukan konversi menjadi gram/100 gram berat kering (g.100g
bk
-1
)

HASIL
Pengaruh mineral terhadap pertumbuhan miselia dapat dilihat dari
perbandingan pertumbuhan miselia antara perlakuan tanpa mineral dan dengan
mineral (Tabel 1). Pertumbuhan miselia pada perlakuan tanpa mineral baru merata
pada hari ke-3, sedangkan dengan penambahan mineral sudah merata pada hari
ke-2. Perubahan suhu baki sejalan dengan pertumbuhan miselia. Pada hari
pertama dan ke-2 perlakuan tanpa mineral, suhu baki tidak terlalu mengalami
peningkatan sampai pada hari ke-3 yang mulai lebih hangat. Akan tetapi, pada


PKMI-2-15-4
perlakuan dengan mineral suhu langsung menghangat pada hari ke-2 dan ke-3.
Pada proses fermentasi ini tidak ditemukan adanya spora selama waktu inkubasi.
Penambahan mineral tidak mempengaruhi pH pada awal perlakuan. Dapat dilihat
pada pH dengan waktu 0 jam untuk ke dua perlakuan tidak terlalu jauh berbeda
(6.2 dan 6.8). Pada hari-hari berikutnya terjadi penurunan yang drastis untuk
perlakuan mineral sampai pada pH 3.1 pada hari terakhir fermentasi. Pada
perlakuan tanpa mineral pada hari ke-2 turun sampai 5.1 dan naik lagi pada hari
berikutnya sampai 5.8.
Kehilangan bahan kering (Gambar 1) pada hari ke-2 fermentasi untuk
perlakuan tanpa mineral lebih sedikit daripada perlakuan dengan mineral (14.6%
vs 27.9%). Akan tetapi, pada hari ke-3 kehilangan bahan kering yang terjadi untuk
kedua perlakuan tidak terlalu berbeda jauh seperti pada hari ke-2 (30.1% vs
32.6%).
Kadar protein kasar pada perlakuan tanpa mineral mengalami peningkatan
sampai pada hari terakhir fermentasi (dari 2.3 menjadi 3.2 g.100g
bk
-1
). Kadar
protein terlarut pada perlakuan ini mendekati 0 g.100g
bk
-1
. Kadar protein sejati
pada perlakuan ini merupakan kadar protein kasar saja tanpa adanya pengaruh dari
kadar protein terlarut (Gambar 2a). Pada perlakuan dengan mineral setelah proses

Tabel 1. Pengamatan fermentasi Singkong dengan penambahan mineral selama 3
hari menggunakan Aspergillus niger.

Perlakuan
singkong
Waktu
Inkubasi
Pertumbuhan
Miselia
Pembentukan
Spora
Suhu
Baki
pH
- mineral 0 hari - - - 6.8
1 hari + TA H TD
2 hari + TA H 5.1
3 hari ++ TA HH 5.6
+ mineral 0 hari - - - 6.2
1 hari + TA H TD
2 hari ++ TA HHH 3.5
3 hari +++ TA HHH 3.1
+ miselia tidak merata H sedikit hangat
++ miselia merata HH lebih hangat
+++ miselia lebih tebal HHH hangat
TA tidak ada spora - Belum ada pertumbuhan
TD tidak dilakukan

0
5
10
15
20
25
30
35
2 hari 3 hari
Waktu inkubasi
%

K
B
K
Tanpa mineral
Dengan mineral

Gambar 1. Perubahan kehilangan bahan kering (KBK) selama proses fermentasi
umbi singkong.


PKMI-2-15-5
fermentasi 3 hari kadar protein kasar meningkat drastis (10.4 menjadi 15.0
g.100g
bk
-1
protein) dan juga diikuti dengan penurunan kadar protein terlarut (dari
3.6 menjadi 2.6 g.100g
bk
-1
) (Gambar 2b). Kadar protein sejati, merupakan
peningkatan kadar protein karena fermentasi, mengalami peningkatan yang lebih
besar dibandingkan tanpa mineral (dari 6.8 menjadi 12.4 g.100g
bk
-1
).
Kadar glukosa pada masing-masing perlakuan mengalami peningkatan
pada hari ke-2 dan penurunan pada hari ke-3 dengan kadar yang berbeda (Gambar
3a). Pada perlakuan tanpa mineral pada hari ke-2 naik menjadi 0.61 g.100 g
bk
-1

dan turun menjadi 0.40 g.100 g
bk
-1
pada hari ke-3. Pada perlakuan dengan mineral
pada hari ke-2 naik menjadi 0.34 g.100 g
bk
-1
dan turun menjadi 0.33 g.100 g
bk
-1

pada hari ke-3.


Gambar 2. Perubahan kadar protein selama proses fermentasi umbi singkong
pada perlakuan tanpa mineral (a) dan dengan mineral (b).

A. Kadar glukosa
0
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
0.6
0.7
0 hari 2 hari 3 hari
Waktu pertumbuhan (hari)
g
.
1
0
0
g
b
k
-
1
B. Aktivitas enzim amilase
0
5
10
15
20
25
30
35
0 hari 2 hari 3 hari
Waktu inkubasi
U
.
g
b
k
-
1
Tanpa mineral
Dengan mineral

Gambar 3. Perubahan kadar glukosa (a) dan aktivitas enzim amilase (b) selama
proses fermentasi umbi singkong.

Aktivitas enzim amilase (Gambar 3b) pada perlakuan tanpa penambahan
mineral langsung mengalami peningkatan melebihi perlakuan dengan
penambahan mineral pada hari ke-2 (21.4 vs 14.7 U.g
bk
-1
). Akan tetapi, pada hari
ke-2 perlakuan tanpa penambahan mineral aktivitas enzimnya mengalami
penurunan sedangkan pada perlakuan dengan mineral aktivitasnya tetap naik (17.5
vs 29 U.g
bk
-1
).
A. Kadar protein tanpa mineral
0
0.5
1
1.5
2
2.5
3
3.5
0 hari 2 hari 3 hari
Waktu inkubasi
[
p
r
o
t
e
i
n
]

g
.
1
0
0
g
b
k
-
1
B. Kadar protein dengan mineral
0
2
4
6
8
10
12
14
16
0 hari 2 hari 3 hari
Waktu inkubsi (hari)
[
p
r
o
t
e
i
n
]

g
.
1
0
0
g
b
k
-
1
Kadar protein kasar
Kadar protein terlarut
Kadar protein sejati


PKMI-2-15-6
PEMBAHASAN
Hasil pengamatan visual terhadap fermentasi singkong dengan
menggunakan A. niger menunjukkan adanya pengaruh dari penambahan mineral
(amonium sulfat dan fosfat) terhadap kecepatan pertumbuhan miselia dari A. niger
(Tabel 1). Hal ini berkaitan dengan kurangnya sumber nitrogen yang terdapat
didalam singkong. Pada perlakuan singkong yang tidak disuplementasi dengan
mineral terjadi keterbatasan dalam sumber nitrogen yang hanya berasal dari
singkong. Oleh karena itu. Pertumbuhan miselia menjadi lambat sehingga pada
perlakuan singkong yang diberikan penambahan mineral pertumbuhan miselia
menjadi lebih baik. Erika et al. (2005)* juga melaporkan pertumbuhan kapang
yang baik pada perlakuan penambahan amonium sulfat saja. Penambahan
campuran fosfat dan amonium sulfat pada percobaan ini tidak nyata
mempengaruhi pertumbuhan miselia secara visual.
Suhu pada baki ditimbulkan oleh respirasi yang dilakukan oleh A. niger.
Semakin banyak miselia yang terbentuk mengakibatkan respirasi yang terjadi
semakin banyak sehingga suhu baki semakin hangat. Suhu baki yang semakin
hangat
menunjukkan pertumbuhan miselia yang baik.
Pada masing-masing perlakuan tidak ditemukan adanya spora yang
terbentuk selama fermentasi. Kondisi lingkungan yang buruk akan menstimulasi
terbentuknya spora. Apabila dalam lingkungan hidup kapang makanan sudah
tidak tersedia lagi, maka kapang akan berusaha untuk tetap survive dengan
membentuk spora. Purwadaria et al. (1997) mengungkapkan spora terbentuk pada
masa inkubasi 70 jam untuk substrat kulit singkong disebabkan oleh kandungan
pati yang rendah, sedangkan pada substrat singkong yang telah dikupas kulitnya
tidak terbentuk spora. Konsentrasi pati yang tinggi pada percobaan ini membentuk
gula tereduksi yang tinggi dan menghalangi pembentukan spora.
Berdasarkan pada pengamatan kuantitatif terjadi penurunan pH setelah
fermentasi selama tiga hari (Tabel 1). Perubahan pH yang terjadi terlihat menonjol
antara singkong dengan perlakuan penambahan mineral dan singkong dengan
perlakuan tanpa penambahan mineral. Penurunan pH selama 3 hari pada
perlakuan penambahan mineral lebih besar (3.1) dibandingkan pada perlakuan
tanpa penambahan mineral (turun 1.7 untuk 2 hari lalu naik 0.5 pada hari ke-3).
Dalam mineral yang ditambahkan terdapat amonium sulfat, sehingga kapang A.
niger yang mengambil sumber nitrogen dari mineral amonium sulfat akan
menyisakan sulfat yang akan menurunkan pH. Penurunan pH ini merupakan bukti
telah terjadi proses fermentasi yang dilakukan oleh kapang di mana karbohidrat
singkong diubah oleh amilase dan selulase kapang menjadi glukosa yang
kemudian diubah menjadi asam. Pada perlakuan tanpa penambahan mineral, hari
ke-3 terjadi kenaikan pH yang disebabkan karena penguraian protein menjadi
asam amino oleh kapang A. niger (Purwadaria et al. 1997).
Hasil perhitungan terhadap bobot singkong selama fermentasi
menunjukkan penurunan bahan kering dari singkong terjadi selama proses
fermentasi (Gambar 1). Kehilangan bahan kering terjadi pada ke dua perlakuan
yaitu tanpa mineral dan dengan mineral. Penurunan bahan kering ini disebabkan
karena kapang tersebut memproduksi enzim amilase untuk memecah pati pada
singkong menjadi gula sederhana yang dapat dipakai untuk pertumbuhan kapang.


PKMI-2-15-7
Kemudian, gula sederhana diuraikan menjadi energi dan CO
2
yang dihasilkan
dilepaskan ke udara. Dalam proses
fermentasi dan respirasi, materi-materi organik dihidrolisis menjadi molekul yang
lebih kecil, CO
2
, H
2
O, dan energi (Purwadaria et al. 1997). Oleh karena itu
semakin baik pertumbuhan kapang akan semakin besar kehilangan bahan kering
dari singkong. Kehilangan bahan kering pada singkong dengan perlakuan mineral
lebih besar (32.7%) daripada singkong tanpa mineral (30.1%). Hal ini sesuai
dengan hasil pertumbuhan miselia kapang (Tabel 1).
Kadar protein sejati pada singkong dengan penambahan mineral
mengalami peningkatan sebanyak 5.6 g.100g
-1
(82%) selama fermentasi (Gambar
2b). Kenaikan kadar protein sejati pada singkong dengan perlakuan mineral sangat
besar jika dibandingkan dengan tanpa perlakuan mineral (Kompiang et al. 1994).
Mineral yang ditambahkan memiliki amonium sulfat sebagai sumber nitrogen
sehingga dapat digunakan oleh kapang untuk sintesis protein. Produksi protein
pada kapang meliputi, penambahan suplai karbon yang difiksasi oleh siklus
Calvin, fiksasi dari nitrogen, diikuti dengan konversi yang membutuhkan energi
untuk membuat protein yang spesifik (Sukara dan Doellet 1988). Pengambilan
amonium sulfat pada mineral yang disuplementasikan juga dapat dilihat dari kadar
protein terlarut yang semakin berkurang pada tiap harinya (dari 3.6 menjadi 2.7
g.100g
bk
-1
pada hari ke-2 lalu 2.6 g.100g
bk
-1
pada hari ke-3). Kenaikan kadar
protein sejati sebesar 3-4 g.100g
bk
-1
juga dilaporkan oleh Erika et al. (2005)*
untuk perlakuan dengan penambahan amonium sulfat saja. Kenaikan kadar
protein sejati pada percobaan ini mencapai 5-6 g.100g
bk
-1
yang mungkin
disebabkan oleh penambahan fosfat terlarut. Pada perlakuan tanpa mineral, pada
singkong sendiri hanya sedikit memiliki sumber nitrogen sehingga protein yang
terbentuk terbatas hanya pada kadar nitrogen yang dimiliki singkong. Kadar
nitrogen yang dimiliki singkong sangat sedikit dapat dilihat dari kenaikan kadar
protein sejati pada perlakuan tanpa mineral yang hanya meningkat 0.9 g.100 g
bk
-1

(39%) dari hari sebelum fermentasi sampai hari terakhir fermentasi. Peningkatan
kadar protein kasar dan sejati pada perlakuan tanpa mineral murni bukan karena
adanya penambahan mineral dari luar, yang dapat dilihat dari kadar protein
terlarutnya yang mendekati 0 g.100 g
bk
-1
. Peningkatan kadar protein tersebut
dikarenakan oleh kehilangan bahan kering selama fermentasi (Ramos-Valdivia et
al. 1983).
Dari grafik kadar glukosa dapat dilihat terjadi peningkatan pada hari ke
dua. Hal ini menunjukkan bahwa enzim amilase yang terbentuk memecah pati
menjadi glukosa. Glukosa tersebut digunakan oleh A. niger untuk tumbuh.
Namun, dapat dilihat kenaikan kadar glukosa yang terjadi pada hari ke-2 untuk
perlakuan tanpa mineral mencapai 0.15 g.100 g
bk
-1
. Tingginya kenaikan kadar
glukosa pada hari ke-2 disebabkan oleh pertumbuhan kapang yang lambat
sehingga tidak menggunakan seluruh glukosa yang diuraikan oleh enzim amilase.
Glukosa yang dihasilkan tidak diubah menjadi protein karena kekurangan
amonium dan fosfat. Pada hari ke-3 terjadi penurunan kadar glukosa yang drastis
(0.21 g.100g
bk
-1
) dikarenakan kapang tidak lagi memproduksi enzim amilase. Hal
ini dapat dilihat dari penurunan aktivitas enzim pada hari ke-3 untuk perlakuan
tanpa mineral (Gambar 3b). Oleh karena itu, glukosa yang sudah dipecah oleh
enzim amilase digunakan langsung oleh kapang. Penggunaan glukosa menjadi
lebih banyak daripada pemecahan pati menjadi glukosa. Pada perlakuan dengan


PKMI-2-15-8
mineral pada hari ke-2 terjadi peningkatan kadar glukosa sebesar 0.1 g.100g
bk
-1
.
Kenaikan yang terjadi tidak sebanyak perlakuan tanpa mineral dikarenakan
pertumbuhan miselia pada perlakuan dengan penambahan mineral terjadi dengan
cepat dan baik, sehingga menggunakan seluruh glukosa yang terbentuk untuk
produksi sel protein. Pada hari ke-3 terjadi penurunan kadar glukosa sebesar 0.01
g.100g
bk
-1
dikarenakan dinamika yang seimbang antara pembentukan glukosa
oleh amilase dan penggunaan glukosa oleh kapang. Glukosa yang dihasilkan
digunakan oleh kapang sehingga pertumbuhan kapang pada perlakuan dengan
mineral lebih cepat.
Produksi enzim dari A. niger yang diberi perlakuan tanpa mineral
mengalami peningkatan pada hari ke-2 (19.1 U.g
bk
-1
) dan turun pada hari ke-3 (3.9
U.g
bk
-1
). Peningkatan pada hari ke-2 disebabkan oleh pertumbuhan dari kapang
yang semakin banyak sehingga enzim yang diproduksi semakin banyak.
Penurunan pada hari ke-3 dikarenakan kapang tersebut sudah berhenti tumbuh
atau pertumbuhannya melambat sehingga amilase yang dihasilkan sedikit
sedangkan enzim yang sudah terbentuk kehilangan keaktifannya karena tidak
stabil. Pada perlakuan pemberian mineral enzim yang dihasilkan meningkat pada
hari ke-2 (7.8 U.g
bk
-1
) dan meningkat lagi pada hari ke-3 (14.3 U.g
bk
-1
).
Peningkatan pada hari ke-2 perlakuan dengan mineral tidak sebesar pada
peningkatan hari ke-2 dari perlakuan tanpa mineral. (7.8 vs 19.1 U.g
bk
-1
).
Terbentuknya enzim amilase rendah pada hari ke-2 dan lebih tinggi pada hari ke-3
pada perlakuan dengan mineral mungkin dikarenakan penambahan mineral yang
dilakukan memperlambat waktu pembentukan enzim. Pada perlakuan tanpa
mineral produksi enzim langsung terjadi, tetapi kemudian terhenti segera karena
pertumbuhan sel juga berhenti.
Peningkatan kadar protein dan aktivitias enzim amilase berjalan selaras
seiring dengan waktu untuk fermentasi (Gambar 2 dan Gambar 3b untuk
perlakuan dengan mineral). Semakin tinggi aktivitas enzim amilase maka semakin
tinggi kadar protein yang dihasilkan. Enzim amilase berfungsi untuk menyediakan
gula sederhana (glukosa) sebagai bahan dasar untuk sintesis protein. Glukosa
merupakan sumber dari asam piruvat, yang merupakan komponen utama untuk
pembentukan asam amino. Akan tetapi, sintesis protein yang terjadi juga
membutuhkan sumber nitrogen. Gambar 2a dan gambar 3b untuk perlakuan tanpa
mineral menunjukkan kenaikan kadar protein yang sedikit (0.9 g.100 g
bk
-1

meskipun aktivitas enzim yang dihasilkan cukup tinggi (21.4 U.g
bk
-1
untuk 2 hari
dan 17.5 U.g
bk
-1
untuk 3 hari). Penambahan mineral yang memiliki sumber
nitrogen menjadi esensial untuk meningkatkan protein sejati dari cassapro.
Penambahan mineral, selain bermanfaat untuk meningkatkan kadar protein
dari A. niger dan aktivitas enzim amilase, bermanfaat untuk mempercepat
pertumbuhan dan memperlama waktu hidup dari A. niger. Berdasarkan analisis
yang dilakukan, dapat dilihat dari kenaikan kehilangan bahan kering (Gambar 1)
yang besar dari hari ke-2 sampai hari ke-3 fermentasi (15.5%) menunjukkan
pertumbuhan kapang yang optimum pada hari tersebut. Akan tetapi, pertumbuhan
tersebut tidak disertai penambahan dari aktivitas enzim yang dihasilkan kapang
tanpa perlakuan mineral (Gambar 3b). Bila dilihat, aktivitas enzim tanpa
perlakuan mineral mengalami penurunan sebesar 3.9 U.g
bk
-1
pada hari ke-3
fermentasi. Penurunan aktivitas enzim akan terjadi apabila kapang tersebut
berhenti tumbuh atau pati yang terdapat pada substrat sudah habis diuraikan


PKMI-2-15-9
menjadi glukosa. Dalam hal ini, pada perlakuan dengan mineral tetap mengalami
kenaikan sebesar 22.1 U.g
bk
-1
dari hari sebelum fermentasi. Selain itu, pada
perlakuan tanpa mineral terjadi peningkatan dalam pemakaian glukosa pada hari
ke-3 fermentasi yang ditandai oleh turunnya kadar glukosa kontrol yang drastis
(Gambar 3a). Dapat dilihat tidak terjadi dinamika antara pemakaian glukosa untuk
pertumbuhan kapang dengan pemecahan glukosa oleh amilase, sehingga dapat
diketahui kapang tanpa perlakuan ke-3 telah berhenti tumbuh dan akhirnya kadar
protein yang lebih tinggi juga didapatkan pada perlakuan dengan penambahan
mineral.

KESIMPULAN
Penambahan mineral terutama yang memiliki sumber nitrogen sangat
esensial untuk menaikkan kadar protein pada cassapro (5.6 g.100 g
bk
-1
) setelah
fermentasi 3 hari. Penambahan mineral tersebut juga bermanfaat untuk:
mempercepat dan memperlama pertumbuhan kapang A. niger dalam fermentasi
cassapro dan menaikkan produksi enzim amilase yang dihasilkan. Peningkatan
kadar protein sejati pada produk cassapro sejalan dengan peningkatan pada
aktivitas enzim amilase, tetapi peningkatan masih terbatas pada sumber nitrogen
dan fosfat yang diberikan.

DAFTAR PUSTAKA
Achinewhu SC, Barber LI, Ijeoma IO. 1998. Physicochemical properties and
garification (gari yield) of selected cassava cultivars in Rivers State,
Nigeria. Plant Food Hum Nut. 52:133-140.
[AOAC] Association of Official analytical Chemist. 1984. Official methods of
analysis of the Association of Official Analytical Chemist. Washington:
AOAC International.
Birk R, Bravdo B, Shoseyov O. 1996. Detoxification of cassava by Aspergillus
niger B-1. Appl Microbiol Biotechnol. 45:411-414.
Kompiang IP. 1993. Prospect of Biotechnology on improvement of nutritional
quality of feedstuffs. IARD- J. 15:86-90.
Kompiang IP, Purwadaria T, Darma J, Supriyati K, Haryati T. 1994. Pengaruh
kadar mineral terhadap sintesis protein dan laju pertumbuhan Aspergillus
niger. Pros Sem Hasil Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi II.
Cibinong, 6-7 September, 1994. hlm. 468-473.
Manurung T. 1995. Penggunaan hijauan leguminosa pohon sebagai sumber
protein ransum sapi potong. JI TV. 1:143-148.
Miller GL. 1959. Use of dinitrosalicylic acid reagent for determination of
reducing sugar. Anal Chem. 31: 426.
Oboh G. 2006. Nutrient enrichment of cassava peels using a mixed culture of
Saccharomyces cerevisae and Lactobacillus spp solid media fermentation
techniques. Elect J Biotechnol. 9: 46-39.
Okolie PN, Ugochukwu EN. 1988. Changes in activities of cell wall degrading
enymes during fermentation of cassava (Manihot esculenta Crantz) with
Citrobacter freundii. J Sci Food Agric. 44: 51-61.
Pakpahan A, Pasaribu SM, Djauhari A, Nasution A. 1993. Cassava marketing
system in Indonesia. IARD- J. 15:52-59.


PKMI-2-15-10
Parada JL, Zapata E, de Fabrizio SV, Martinez A. 1996. Microbiological and
technological aspects of cassava-starch fermentation. World J Microbiol
Biotechnol. 12: 53-56.
Purwadaria T et al. 1997. The correlation between amylase and cellulase activities
with starch an fibre contents on the fermentation of cassapro (cassava
protein) with Aspergillus niger. Proc. Indonesian Biotechnology
Conference. Jakarta, 17-19 Juni, 1997. Vol. I. hlm. 379-390.
Ramos-Valdivia A, de la Torre M, Casas-Campillo C. 1983. Solid state
fermentation of cassava with Rhizopus oligosporus. In Production and
Feeding of Single Cell Protein. Ed. M.P. Ferranti dan A. Fiechter. Appl Sci
Pub. London.
Sani A, Awe FA, Akinyanju JA. 1992. Amylase synthesis in Aspergillus flavus
and Aspergillus niger grown on cassava peel. J Indust Microbiol. 10: 55-
59.
Sinurat AP, Setiadi P, Purwadaria T, Setioko AR, Dharma J. 1995. Nilai gizi
bungkil kelapa yang difermentsikan dan pemanfaatannya dalam ransom
itik jantan. JITV. 1:161-168.
Sukara E, Doelle HW. 1989. A one-step process for the production of single cell
protein and amyloglucosidase. Appl Microbiol Biotechnol. 30: 135-140
Supriyati 2003. Onggok terfermentasi dan pemanfaatannya dalam ransum ayam
ras pedaging. JITV. 8:146-150.



PKMI-2-16-1
HAMBATAN PEMBINAAN SISWA BERMASALAH OLEH KONSELOR
DI SMP MUHAMMADIYAH 7 KOTAGEDE YOGYAKARTA

A Kusuma Paksi, A Wahyu Hidayat, Marganingtyas N, Nugroho BN, Harits DW

PS Hubungan Intenasional, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Yogyakarta

ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengaitkan antara tugas dan peran penting
konselor dan faktor-faktor apa saja yang mendukung peran konselor dalam usaha
pembinaan siswa bermasalah terutama ditingkat Sekolah Menengah Pertama
(SMP). Dalam penelitian ini objek yang diteliti adalah peran konselor dalam
usaha pembinaan siswa bermasalah di SMP Muhammadiyah 7 Kotagede
Yogyakarta. Bila menilik dunia pendidikan di Indonesia tercatat banyak sekali
siswa yang bermasalah. Seorang siswa dikategorikan sebagai anak
bermasalah apabila ia menunjukkan gejala-gejala penyimpangan dari perilaku
yang lazim dilakukan oleh anak-anak pada umumnya. Penyimpangan perilaku
ada yang sederhana, ada juga yang ekstrim. Penyimpangan perilaku yang
sederhana semisal mengantuk, suka menyendiri, kadang terlambat datang.
Sedangkan yang ekstrim semisal sering membolos, memeras teman-temannya,
ataupun tidak sopan kepada orang lain dan juga kepada gurunya. Selama ini
orang banyak berpendapat bahwa untuk membina dan membimbing seorang
siswa bermasalah, mutlak harus disiapkan sorang konselor yang benar-benar
matang dan memahami bagaimana cara menghadapi setiap karakteristik
permasalahan yang dihadapi terkait dengan para siswa. Namun ternyata apa
yang ditemukan di SMP Muhammadiayah 7 Kotagede Yogyakarta justru sangat
berbeda dengan hal tersebut karena dari hasil perolehan data-data yang ada
mengenai siswa bermasalah walaupun konselor telah berupaya mengeluarkan
segala kemampuan yang dimilikinya dalam rangka pembinaan siswa tersebut
ternyata tidak menjadi sebuah faktor penentu dalam keberhasilan pembinaan
siswa bermasalah. Pada kenyataannya ada faktor lain yang juga memberikan
kontribusi yang sangat berarti dalam upaya pembinaan siswa bermasalah
tersebut yaitu faktor keluarga dan lingkungan pergaulan.

Kata Kunci: Pendidikan, Konselor, Siswa, Bermasalah, Penanganan.

PENDAHULUAN
Upaya meningkatkan potensi dan sumber daya manusia menjadi semakin
penting bagi setiap bangsa dalam menghadapi era globalisasi. Tanpa sumber daya
manusia yang berkualitas, suatu bangsa akan tertinggal dari bangsa lain dalam
percaturan dan persaingan di dunia internasional yang semakin kompetitif. Sarana
yang paling efektif dan strategis untuk meningkatkan kualitas sumber daya
manusia adalah pendidikan.
Pendidikan merupakan wahana yang penting untuk membangun seorang
remaja. Pada gilirannya manusia hasil pendidikan itu menjadi sumber daya
pembangunan. Karena itu, pendidikan dalam melaksanakan tugasnya diharapkan
tidak membuat kesalahan-kesalahan mendidik. Sebab kesalahan mendidik bisa
berakibat fatal karena sasaran pendidikan itu adalah manusia. Kesalahan-
kesalahan mendidik hanya bisa dihindari jika pendidik memahami apa pendidikan


PKMI-2-16-2
itu sebenarnya. Gambaran yang jelas dan benar tentang pendidikan dapat
diperoleh melalui pengkajian terhadap arti dan tugas pendidikan, konsep-konsep
yang mendasarinya, unsur-unsurnya dan kesatu paduan unsur itu dalam wujud
sistem.
Pendidikan, baik dalam makna formal, non-formal, informal, maupun
jaringan-jaringan kemasyarakatan, merupakan proses memanusiakan manusia
(Danim, 200: 4). Proses memanusiakan manusia merupakan kata lain dari proses
pemanusiaan, sedangkan kemanusiaan berarti segala sesuatu yang berhubungan
dengan manusia dengan seperangkat potensi dan perilaku kesehariannya.
Pendidikan merupakan kunci masa depan. Pendidikan membekali siswa dengan
seperangkat sikap, cara pandang dan nilai-nilai yang berguna di masa mendatang.
Secara konseptual, pendidikan lebih terbuka bagi transformasi nilai-nilai baru
yang tidak membelenggu dan membebaskan (Diarsi, 1989: 27). Menurut Dewey
(1966: 1-9) pendidikan adalah proses pembaharuan makna-makna pengalaman
lewat proses transformasi nilai-nilai insidental dan intensional. Sehingga wajar
bila perkembangan dan kemajuan siswa beserta segala permasalahannya harus
diawasi secara komperhensif sehingga siswa tersebut dapat menjalani proses
pendidikan dengan baik (Hamalik, 2004: 93).
Dari sekian banyak faktor determinatif akselerasi atau deakselerasi
pembangunan, faktor SDM, terutama dalam makna human resources,
memberikan sumbangan paling besar. Faktor SDM suatu negara akan menentukan
status negara itu, apakah negara terbelakang, sedang berkembang atau maju. Oleh
karena itu, modernisasi pembangunan suatu negara pada umumnya dan
pembangunan ekonomi industri pada khususnya, mensyaratkan transformasi
SDM-nya, tidak hanya dalam arti kognitif dan psikomotor, akan tetapi juga cara
hidup keseharian dan rasa bangga menjadi warga negara. Keberhasilan
pembangunan Indonesia, harus sejalan dengan sikap mental SDM yang
mendukung proses pembangunan itu. Proses kerja dan akselerasi pencapaian
tujuan pembangunan, sangat ditentukan oleh kapasitas SDM yang mengelola
kegiatan pembangunan itu dan kapasitas dalam mengapresiasi hasil-hasilnya.
Sebagai bagian dari agenda kerja kependidikan, konsep ini mengisyaratkan bahwa
wahana pengembangan sumber daya manusia adalah pendidikan (Barnadib, 1996:
18) dan karenanya pendidikan itu harus mampu mengasilkan SDM dengan tiga
kemampuan sekaligus. Pertama, kemampuan melahirkan manusia yang dapat
memberikan sumbangan terhadap pembangunan nasional. Kedua, kemampuan
untuk menghasilkan manusia yang dapat mengapresiasi, menikmati dan
memelihara hasil-hasil pembangunan itu. Ketiga, kemampuan melahirkan proses
pemanusiaan dan kemanusiaan secara terus menerus menuju bangsa yang adil dan
bijak lagi bajik, dalam makna pertumbuhan dan perkembangan, pembangunan
mensyaratkan kemampuan SDM untuk membangun, memelihara, dan menyikapi
secara positif hasil-hasil pembangunan. Termasuk di dalamnya adalah rasa
memiliki inventaris publik dan privat serta sumber-sumber lingkungan hidup,
lingkungan fisik dan non-fisik.
Bila dikaitkan dengan realitas pendidikan yang ada, tidak sedikit siswa
yang ternyata memiliki permasalahan dalam dunia pendidikan. Sebut saja
membolos disaat-saat jam sekolah. Ini menjadi salah satu penyakit yang mau tidak
mau menjadi salah satu agenda diskusi untuk dicari jalan penyelesaiannya.
Bahkan terkadang, ada beberapa sekolah yang mengambil langkah yang ekstrim


PKMI-2-16-3
dalam menindak siswa tersebut semisal Drop Out (dikeluarkan). Apakah itu jalan
penyelesaian yang terbaik?, pertanyaan itulah yang akan muncul dari benak kita
semua ketika hal tersebut terjadi.
Seorang pakar pendidikan Freire mengungkapkan bahwa pendidikan harus
memiliki konsep Humanisme (Murtiningsih, 2004: 10). Artinya seorang siswa
tidak boleh dilakukan semena-mena, seolah-olah gagal di dalam pendidikan
tersebut. Bagaimanapun juga pendidikan adalah hak yang harus dihormati bagi
setiap orang seperti yang disampaikan oleh Mialarat (1993). Lebih jauh kita harus
memberikan pendidikan yang lebih pada anak tersebut. Menurut Dalyono (2001)
sekolah adalah miniatur masyarakat yang menampung bermacam-macam siswa
dengan latar belakang kepribadian mereka. Karena adanya perbedaan individual
diatas maka ada diantara sejumlah siswa tersebut yang dikategorikan sebagai
siswa bermasalah. Latar belakang mereka harus diketahui, bentuk-bentuk masalah
dan sekaligus penanganannya karena ini mengacu pada tujuan pendidikan
nasional yaitu menciptakan suatu sistem dan iklim pendidikan nasional yang
demokratis dan bermutu, dalam rangka mengembangkan kualitas Indonesia
(Tilaar, 2002: 113). Sudah menjadi keharusan untuk mencari pemecahan masalah-
masalah dalam dunia pendidikan tersebut. Terutama masalah proses pendidikan
siswa di sekolah karena ini merupakan hak yang menyangkut sumber daya
manusia Indonesia. Salah satu hal yang menjadi pilar utama bagi pembinaan para
siswa yang bermasalah di sekolah tersebut adalah keberadaan Bimbingan
Konseling (BK).
Menurut Sukmadinata (2003) tujuan program bimbingan konseling adalah
agar para siswa di sekolah mencapai perkembangan yang optimal yaitu
perkembangan yang setinggi-tinginya sesuai dengan potensi-potensi yang
dimilikinya. Layanan bimbingan dan konseling merupakan salah satu bentuk
kegiatan pendidikan. Dikatakan demikian, sebab melalui layanan bimbingan dan
konseling siswa dituntut untuk mampu menjadi manusia yang paripurna, dalam
arti mampu mewujudkan diri sendiri sesuai dengan kemampuannya. Untuk
mencapai tujuan itu, tentunya peranan konselor sebagai kunci dari keberhasilan
siswa sangat dibutuhkan.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui sejauh mana usaha yang
dilakukan oleh konselor SMP Muhammadiyah 7 Kotagede Yogyakarta dalam
usahanya membina siswa bermasalah serta untuk mengetahui hambatan-hambatan
apa saja yang ditemui dalam rangka pembinaan siswa bermasalah tersebut.

METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan di SMP Muhammadiyah 7 Kotagede Yogyakarta.
Penelitian ini adalah penelitian kualitatif di mana bahan yang digunakan
bersumber dari dua data, yaitu data primer dan data sekunder. Untuk data primer
diperoleh melalui wawancara dengan beberapa pihak sekolah termasuk konselor
yang terlibat dalam pembinaan para siswa bermasalah tersebut. Sedang data
sekundernya berasal dari dokumen dan catatan lain yang juga dibutuhkan karena
memberi informasi terkait. Hal lain yang juga mendukung dalam proses
pengumpulan data adalah penggunaan metode observasi di mana peneliti berusaha
untuk melihat secara langsung tentang fenomena-fenomena penanganan yang
terjadi di lapangan sehingga dapat lebih mengoptimalkan data-data yang ada.


PKMI-2-16-4
Setelah data-data terkumpul, maka selanjutnya data-data tersebut
dianalisa. Tekhnik analisa data yang digunakan dalam penelitian ini mengikuti
saran Miles & Huberman (1992) terutama teknik analis dengan model analisis
interaktif, yaitu analisis yang bergerak dalam tiga komponen, yaitu (1) Reduksi
Data (reduction), (2) Sajian Data (display), dan (3) Penarikan Kesimpulan dan
Verifikasi (conclusion drawing).
Reduksi data yang dimaksud adalah dengan melakukan proses menyeleksi,
mempertegas, memperpendek, membuat fokus, membuang hal-hal yang tidak
penting dan mengatur data sedemikian rupa sehingga kesimpulan akhir dapat
dilakukan. Sajian data adalah suatu rakitan organisasi informasi yang
memungikinkan kesimpulan riset dapat dilakukan. Sajian data meliputi berbagai
jenis matriks, gambar/skema, jaringan kerja keberkaitan kegiatan, dan tabel.
Kesemuanya dirancang untuk dapat merakit informasi secara teratur supaya
mudah dilihat dan dimengerti dalam satuan bentuk yang kompak (menyeluruh).
Penarikan kesimpulan dan verifikasi adalah kegiatan analisis yang dilakukan
setelah reduksi data dan sajian data dibuat/disusun. Karena penelitian kualitatif
analisis datanya setiap saat dimulai sejak peneliti mulai mengumpulkan data
sampai perolehan data itu dirasa cukup, maka tidak ada kesimpulan akhir yang
baku sebelum proses pengumpulan data secara keseluruhan selesai/cukup.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Sebelum langsung masuk kedalam pembahasan tentang hasil-hasil apa saja
yang diperoleh dalam penelitian tersebut, ada baiknya kita melihat beberapa teori
yang ditawarkan oleh beberapa orang para ahli mengenai tawaran solusi untuk
penanganan siswa bermasalah.
Dalam teori mengenai pembinaan siswa yang bermasalah, Ridwan (1998:
16-17) menekankan pada pentingnya pengenalan diri konselor pribadi sebelum
menangani kliennya (siswa bermasalah). Hal senada juga dikuatkan oleh Teori
Client Centered Counceling yang disampaikan oleh Winkle (1987) yang
mendeskripsikan corak konseling yang menekankan peranan konselor sendiri
dalam proses konseling. Ini berarti penekanan pemecahan masalahnya terletak
pada peningkatan SDM konselor itu sendiri sehingga dapat membina para siswa
yang bermasalah tersebut.
Dari kedua macam teori diatas, ternyata sangat berbeda dengan hasil
temuan data-data yang ada di SMP Muhammadiyah 7 Kotagede Yogyakarta
karena dari hasil wawancara, studi dokumen dan observasi yang dilakukan
ternyata walaupun seorang konselor memiliki kemampuan yang lebih didalam
penyelenggaraan bimbingan konseling, tetap tidak dapat meraih hasil yang
optimal. Hal ini dikarenakan ada faktor lain yang sangat menunjang proses
pembinaan siswa bermasalah tersebut. Hal ini dikuatkan oleh Pedoman
Bimbingan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan yang merumuskan:
"bimbingan dan konseling di sekolah adalah proses bantuan khusus yang
diberikan kepada semua siswa dalam membantu siswa memahami, mengarahkan
diri, bertindak dan bersikap sesuai dengan tuntutan dan keadaan lingkungan siswa
di sekolah, keluarga dan masyarakat dalam rangka mencapai perkembangan diri
yang optimal" (Walgito, 2004: 6).
Bagaimanapun juga tidak selalu menjadi acuan bahwa siswa itu
bermasalah karena faktor pribadi dalam dirinya. Dalyono (2001) mengungkapkan


PKMI-2-16-5
bahwa ada dua sebab yang bisa menyebabkan siswa itu bermasalah yaitu, faktor
internal dan eksternal. Faktor internal siswa tersebut bermasalah karena ada
kelainan fisik dan psikis. Sedang faktor eksternal siswa tersebut bermasalah
karena keluarga dan lingkungan pergaulan.
Dari hasil analisa yang dilakukan melalui wawancara dan studi
dokumenter dan observasi dalam tahun ajaran Juli 2004 Juni 2005 diperoleh
data yang menunjukkan bahwa presantase siswa bermasalah rata-rata setiap
tahunnya berjumlah 5% dari total 610 siswa yang ada. Konselor yang ada telah
berupaya seoptimal mungkin dalam mengadakan pembinaan terhadap para siswa
tersebut terutama pendekatan psikologis ketika mereka berada di sekolah melalui
serangkaian pertanyaan-pertanyaan dan juga arahan yang lebih menggali tentang
alasan apa yang membuat siswa tersebut bermasalah. Hal yang juga mendukung
dalam proses pengawasan perkembangan siswa bermasalah tersebut adalah
dengan diterbitkannya buku perkembangan akademik yang fungsinya untuk
mengamati sejuh mana perkembangan terhadap pembinaan siswa bermasalah
tersebut. Buku ini harus selalu dibawa oleh siswa, bukan hanya ketika di sekolah
tetapi ketika mereka di rumah. Artinya ada usaha dialogis antara orang tua dan
konselor dalam upaya melihat bagaimana perkembangan siswa. Dalam buku
tersebut juga dibuat scoring (penilaian) pelanggaran yang pernah dilakukan oleh
seorang siswa beserta tindakan-tindakan yang dilakukan oleh konselor dalam
upaya mengarahkan siswa yang bermasalah tersebut. Untuk lebih jelasnya dapat
dilihat pada Tabel 1 dan 2 berikut.

Tabel 1. Kategori Pelanggaran Tata Tertib Sekolah

No Klas Jenis Pelanggaraan Point
1 A Melakukan tindak sosial, pelecehan seksual 200
2 A Pemalsuan dokumen sekolah/Ijazah/rapot 200
3 A Membawa bacaan,gambar,vcd porno 200
4 A
Membawa, mengedarkan, memakai NAPZA atau MIRAS di
sekolah
200
5 A Berkelahi melibatkan pihak luar 200
6 A Menganiaya guru/karyawan/wati/teman dan menimbulkan cidera. 200
7 A Berurusan dengan pihak berwajib karena tindak kriminal 200
8 B
Berkata tidak sopan pada guru karyawan/wati (membanting pintu
saat disuruh keluar, meludah di depan guru/karyawan,berkata
kasar, menantang, membentak)
100
9 B
Membawa/bermain permainan berindikasi perjudian di
lingkungan sekolah
100
10 B Mencuri di lokasi sekolah ( yang sifatnya mengarah kriminal) 100
11 B Memalsu tanda tangan Kepala Sekolah/guru/karyawan 100
12 C Berkelahi sesama teman/siswa 50
13 C
Tidak mengikuti program agama (iqro dan jamaah sholat), tidak
bawa Al Quran
50
14 C
Membawa sajam/mercon/meledakkan mercon dan sejenisnya
kecuali ada ijin pihak berwajib
50
15 C Tidak mengikuti ekstra wajib HW / Kepanduan 50
16 C Meminta uang teman/NARGET (secara paksa disertai ancaman) 50
17 C Mengambil/menukar buku perpustakaan sekolah milik teman 50


PKMI-2-16-6
18 C Merusak sarana sekolah 50
19 C Menjadi anggota Geng/perkumpulan anak nakal (ABG) 50
20 C Anggota tubuh ditato 50
21 C Putra hidung, telinga,bibir di tindik 50
22 C
Mencorat-coret dinding, meja, kursi (diminta membawa cat
sewarna 5 Kg dan diminta membersihkan)
50
23 C Membawa motor saat mengikuti kegiatan sekolah 50
24 C Membawa dan atau merokok di lingkungan sekolah 50
25 C Memalsu tanda tangan orang tua/wali 50
26 D Membohongi orang tua/wali dengan alasan kegiatan sekolah 30
27 D Keluar lokasi sekolah saat KBM tanpa ijin (membolos) 30
28 D Bercanda berakibat fatal/cidera 30
29 D
Mencorat-coret baju,celana,rok,kerudung,tas,topi (barang di minta
dibersihkan, jika tidak mungkin barang disita sekolah)
30
30 D Mengeluarkan kata-kata jorok/tidak sopan 30
31 D Makan dalam kelas saat KBM 30
32 D
Bersikap tidak sopan pada teman (memegang organ
rawan,memanggil dengan sebutan orang tua, menghina,mengejek)
30
33 E Keluar kelas tanpa ijin guru kelas/piket (jika kosong) 15
34 E Tidak mengikuti kegiatan les sekolah (diminta mengganti) 15
35 E Keluar masuk sekolah lewat pagar 15
36 E Keluar masuk kelas lewat jendela 15
37 E Keluar kelas saat pergantian jam pelajaran tidak ijin 15
40 F Duduk, berdiri di meja guru/meja siswa 10
41 F Tidak masuk tanpa ijin 10
42 F
Memakai seragam tidak sesuai ketentuan sekolah termasuk
seragam olah raga (dipulangkan mengganti)
10
43 F
Tidak membawa buku pelajaran/diktat/LKS/tidak rapi tidak di
sampuli
10
44 F Menyontek saat ulangan 5
45 F Tidak mengikuti upacara 5
46 F Tidak mengikuti kegiatan Hari Besar Agama tanpa ijin 5
47 F Tidak mengikuti Hari Besar Nasional tanpa ijin 5
48 F Model rambut tidak sopan,disemir (diminta menghitamkan) 5
49 F Memakai kerudung rambut kelihatan/tidak di kepang 5
50 F Masuk MCK lain jenis 5
51 F Ramai dikelas saat KBM 5
52 F
Membawa barang yang tidak ada hubungan dengan KBM
(termasuk barang elektronika)
5
53 F Memakai perhiasan, berhias berlebihan (putri) 5
54 F Terlambat masuk sekolah 5
55 F Tidak melaksanakan piket rutin 5
56 F Tidak menegerjakan PR/tugas lain dari guru 5
57 F Tidak membawa perlengkapan upacara 5
58 F Seragam tidak rapi/didedel/tidak dimasukkan 5
59 F Seragam tidak lengkap atributnya 5
60 F Tidak memakai ikat pinggang hitam 5
61 F Tidak menggunakan sepatu dan kaos kaki sesuai ketentuan 5
62 F Sepatu berhak tinggi 5
63 G Menaiki sepeda dihalaman dalam sekolah sewaktu KBM 3
64 G Parkir sepeda tidak pada tempatnya 3


PKMI-2-16-7
65 G Pinjam barang temannya tidak ijin 3
66 G Buang sampah sembarangan 3
67 G Buku catatan digambari (corat-coret) 3
68 G Kuku panjang/memelihara kuku 3
69 G Kuku dicat/dipacar 3


Tabel 2. Penilaian Pelanggaran

No Skor Tindakan Sangsi Pelaksana
1
03-10 Teguran I Peringatan lesan Guru bersangkuan
2
11-20 Teguran II Peringatan tertulis tembusan orang tua Wali kelas
3
21-35 Sangsi I Pernyataan tertulis orang tua hadir di sekolah Wali kelas dan BK
4
36-55 Sangsi II Skorsing 3 hari wajib hadir di sekolah BK
5
56-75 Sangsi III Skorsing 6 hari wajib hadir di sekolah BK
6
76-100 Sangsi III Tidak naik kels/lulus
Kepala Sekolah,wali kelas dan
BK
7
>200 Sangsi IV Disarankan mengundurkan diri Kepala Sekolah

Hasilnya, dari keseluruhan siswa yang bermasalah itu terdapat 2% siswa
yang dikembalikan karena konselor merasa siswa tersebut tidak dapat dibina lagi.
Ternyata dari hasil penelusuran mengenai kegagalan pembinaan tersebut adalah
peran orang tua yang minim dan juga didukung oleh faktor lingkungan pergaulan
siswa itu sendiri. Hampir sebagian besar pembinaan siswa bermasalah tersebut
tidak terlaksana secara optimal karena peran orang tua yang kecil dalam berbagai
hal yang akhirnya membuat siswa tersebut kehilangan semangat belajar dan
memilih kelompok pergaulan yang salah. Ini berarti orang tua juga seharusnya
ikut berperan aktif dalam usaha pembinaan para siswa tersebut. Tak jarang
konselor SMP Muhammadiyah 7 Kotagede Yogyakarta kadang melakukan
pemanggilan kepada orang tua si anak, bahkan berusaha untuk mendatangi.
Namun pada kenyataannya para orang tua dari siswa yang bermasalah tersebut
tidak menunjukkan suatu sikap perubahan yang mendukung dalam proses
pengarahan anak-anak yang bermasalah.

KESIMPULAN
Pembinaan siswa bermasalah mutlak sangat diperlukan dalam dunia
pendidikan, terutama dalam pendidikan formal seperti sekolah. Sekolah memiliki
peran yang besar, juga harus bisa menyediakan pelayanan-pelayanan yang juga
mendukung dalam pembinaan kualitas generasi muda kita. Keberadaan konselor
paling tidak salah satu yang menjadikan bukti bahwa sekolah tersebut benar-benar
ikut serta dalam proses kemajuan bangsa. Namun tugas yang besar tersebut tidak
hanya dibebankan kepada para konselor saja tetapi lingkungan keluarga dan
masyarakat sangat memiliki kontribusi yang besar dalam upaya tercapainya
keberhasilan tersebut.
Perlu ditanamkan bahwa di dalam dunia pendidikan tidak boleh ada kata
gagal karena pendidikan mutlak harus diberikan para generasi muda. Dari sinilah
sumber daya manusia indonesia yang cakap dan terampil dapat dihasilkan
sehingga dapat memberikan kontribusi yang sangat signifikan dalam proses
kemajuan bangsa.


PKMI-2-16-8
DAFTAR PUSTAKA
Barnadib, Imam. 1996. Dasar-dasar Kependidikan; memahami makna dan
perspektif beberapa teori pendidikan. Jakarta: Balai Aksara, Yudhistira
Dalyono, Muhammad. 2001. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta
Dewey, J. 1962. The Child and the Curriculum and the School and Society.
Chicago: The University of Chicago Press, Illinois USA
Diarsi, M. 1989. Ideologi Gender Dalam Pendidikan. Dalam Radar, serial 6 -,
p.25-30
Hamalik, Oemar. 2004. Proses Belajar Mengajar. Jakarta: Bumi Aksara
Mialarat, Gaston. 1993. Hak Anak-anak Untuk Memperoleh Pendidikan. Jakarta:
Balai Pustaka
Milles, Matthew & Huberman, A. Michael. 1992. Analisis Data Kualitatif.
Jakarta: UI Press
Murtiningsih, Siti. 2004. Pendidikan Alat Perlawanan; teori pendidikan radikal
Paulo Freire. Yogyakarta: Resist Book
Ridwan. 1998. Bimbingan dan Konseling di Sekolah. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Sudarwin Danim. 2003. Agenda Pembaharuan Sistem Pendidikan. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar
Sukmadinata, Nana S. 2003. Landasan Psikologi Proses Pendidikan. Bandung:
PT Remaja Rosdakarya
Tilaar, HAR. 2002. Membenahi Pendidikan Nasional. Jakarta: PT. Adi Mahasatya
Walgito, Bimo. 2004. Bimbingan dan Konseling di Sekolah. Yogyakarta: Andi
Offset
Winkle, WS. 1987. Bimbingan dan Konseling di Sekolah Menengah. Jakarta: PT.
Gramedia 339 (4) 705

PKMI-2-17-1
SITOTOKSISITAS FRAKSI PROTEIN DAUN MIMBA
(Azadirachta indica A. Juss.) HASIL PENGENDAPAN DENGAN
AMONIUM SULFAT 30%, 60%, DAN 100% JENUH TERHADAP
KULTUR SEL HeLa DAN SEL RAJI
Robbyono, Nadia Belinda Suwanto, Eddy Sugianto
Jurusan Farmasi, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.

ABSTRAK
Kanker merupakan salah satu penyakit penyebab kematian terbesar. Suatu
penelitian untuk menemukan obat antikanker dari tanaman mimba (Azadirachta
indica A. Juss) menyimpulkan bahwa fraksi protein total daun mimba memiliki
efek sitotoksik terhadap sel HeLa dan sel Raji namun tidak berpotensi untuk
dikembangkan sebagai antikanker. Mengacu pada penelitian tersebut, pada
penelitian ini dilakukan fraksinasi protein secara bertingkat untuk mendapatkan
efek sitotoksik yang lebih besar. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui
fraksi protein daun mimba manakah dari hasil pengendapan dengan amonium
sulfat 30%, 60%, dan 100% jenuh yang memiliki potensi terbesar untuk
dikembangkan sebagai antikanker. Penelitian ini adalah penelitian eksperimental
murni yang dilakukan mengikuti rancangan acak lengkap pola satu arah. Uji
sitotoksisitas dilakukan secara in vitro terhadap sel HeLa dan sel Raji
menggunakan metode MTT (3-4(4,5-dimetil-diazol-2-il)-2,5-diphenil tetrazolium
bromid). Fraksi protein diperoleh lewat pengendapan dengan penambahan
amonium sulfat dengan konsentrasi 30%, 60% dan 100% jenuh. Hasil uji
dinyatakan dalam prosentase kematian yang selanjutnya diolah dengan analisis
statistika one way anova dan probit. Hasil uji sitotoksisitas menunjukkan harga
LC
50
untuk fraksi protein yang diendapkan dengan ammonium sulfat 30%, 60%
dan 100% jenuh terhadap sel HeLa berturut-turut sebesar 1,0 g/ml ; 4,1 g/ml,
dan 407,7 g/ml sedangkan harga LC
50
untuk fraksi protein 30% dan 60% jenuh
terhadap sel Raji sebesar 15,3 g/ml dan 24,0 g/ml. Fraksi protein hasil
pengendapan dengan amonium sulfat 30% jenuh memiliki efek sitotoksik yang
terbesar terhadap sel HeLa dan sel Raji serta memiliki potensi untuk
dikembangkan sebagai antikanker.

Kata kunci : daun mimba, sitotoksisitas, HeLa, Raji

PENDAHULUAN
Banyak usaha yang telah dilakukan untuk menyembuhkan penyakit
kanker. Umumnya, pengobatan kanker dilakukan dengan obat-obat sintesis dan
radiasi tetapi terapi yang digunakan tersebut banyak menimbulkan efek samping
yang merugikan penderita. Oleh karenanya, kini banyak dilakukan penelitian-
penelitian untuk mencari alternatif pengobatan kanker terutama yang
menggunakan bahan-bahan alam (Ganiswara & Nafrialdi, 1995).
Tanaman merupakan salah satu bahan alam yang kini sering diteliti untuk
mencari alternatif pengobatan kanker. Daun tanaman mimba (Azadirachta indica
A. Juss) telah lama dikenal memiliki banyak manfaat dalam dunia kesehatan
antara lain, sebagai antiinflamasi, antirematik, antipiretik, penurun gula darah, dan
lain-lain (Sukrasno, 2003). Dewasa ini, kepopulerannya terus melambung karena
dipercaya dapat digunakan sebagai obat antikanker (Kardinan & Taryono, 2003).

PKMI-2-17-2
Menurut NCI (National Cancer Institut), suatu senyawa dinyatakan
berpotensi sebagai antikanker jika harga LC
50
20 g/ml (Sufness and Pezzuto,
1991). Suatu penelitian oleh Febriani (2004) dan Ariyani (2004) tentang fraksi
protein total daun mimba terhadap sel HeLa dan sel Raji menyatakan bahwa fraksi
protein total daun mimba memiliki efek sitotoksik terhadap sel HeLa dan sel Raji.
Namun, karena harga LC
50
yang didapat pada kedua penelitian tersebut ternyata
lebih dari 20 g/ml yakni, 64,20 g/ml dan 303,7 g/ml maka fraksi total protein
daun mimba tersebut disimpulkan tidak memenuhi syarat sebagai suatu senyawa
yang berpotensi untuk dikembangkan lebih lanjut sebagai antikanker.
Ada dugaan, besarnya harga LC
50
yang didapat pada penelitian tersebut
dikarenakan protein yang memiliki aktivitas sebagai antikanker konsentrasinya
terlalu kecil dibandingkan dengan total proteinnya. Hal inilah yang kemungkinan
besar mengakibatkan efek yang ditimbulkan menjadi kurang maksimal. Oleh
karena itu, pada penelitian kali ini akan dilakukan fraksinasi proteinnya dengan
pengendapan secara bertingkat menggunakan amonium sulfat dengan konsentrasi
30%, 60%, dan 100% jenuh. Dengan demikian, akan dapat diketahui pada fraksi
mana protein yang memiliki potensi sebagai antikanker tersebut lebih banyak
terendapkan. Selain itu, karena diendapkan ke dalam tiga fraksi secara bertingkat
maka diharapkan protein yang beraktivitas tersebut dapat berefek lebih maksimal
karena tidak lagi berada di dalam total proteinnya seperti pada penelitian
sebelumnya. Jika efek sitotoksik yang ditimbulkan lebih maksimal maka akan
didapatkan harga LC
50
yang lebih kecil.

METODE PENDEKATAN
Penelitian dilakukan di Laboratorium Ilmu Hayati, Universitas Gajah
Mada, Yogyakarta, pada bulan Juni 2005 dalam waktu 15 hari. Bahan utama yang
digunakan adalah daun mimba. Bahan untuk uji sitotoksik adalah sel HeLa dan sel
Raji; larutan dapar natrium fosfat 5mM pH 7,2; larutan dapar natrium fosfat 5mM
pH 7,2 yang mengandung 0,14 M NaCl; amonium sulfat; medium RPMI 1640
(Sigma), FBS 10% (v/v) (Gibco), penisilin-streptomisin 1% (v/v) (Gibco),
fungison 0,5% (v/v) (Gibco), reagen stopper yang berisi SDS 10% dalam HCl
0,01 N (Merck), larutan MTT dalam media RPMI (Sigma). Alat-alat penelitian
yang digunakan, antara lain : sentrifuge (K PLC series), laminar air flow (Nuaire
Class II type A/B3), inkubator (Nuaire IR Airflow), 96-well plate (Nunc), dan
membran dialisa (Sigma).

Tata Cara Penelitian
Pembuatan Fraksi Protein
Fraksi protein dibuat dengan cara menambahkan amonium sulfat dengan
konsentrasi 30%, 60%, dan 100% jenuh secara bertingkat kedalam ekstrak gubal
daun mimba.
Pengukuran Konsentrasi Protein
Konsentrasi protein diukur menggunakan spektrofotometer UV (CECIL CE
292 serie 2) pada panjang gelombang 260 nm dan 280 nm dengan blanko larutan
dapar natrium fosfat 5 mM pH 7,2. Menurut Layne (1957), konsentrasi protein
yang diperoleh dapat dihitung dengan rumus : Konsentrasi protein = A
280
x faktor
koreksi x faktor pengenceran

PKMI-2-17-3
Pembuatan Medium Pencuci (RPMI 1640) dan Medium Penumbuh (RPMI-serum)
(Sambrook et al, 1989)
Propagasi Sel HeLa (Sambrook et al, 1989)
Panen Sel HeLa (Sambrook et al, 1989)
Uji Sitotoksisitas
Kontrol terdiri dari sel, medium RPMI, dan larutan dapar natrium fosfat 5mM
pH 7,2. Blanko terdiri dari medium RPMI, larutan dapar natrium fosfat 5mM pH
7,2 dan fraksi protein daun mimba hasil pengendapan dengan amonium sulfat
30%, 60%, dan 100% jenuh. Perlakuan untuk uji sitotoksisitas terdiri dari sel,
medium RPMI, larutan dapar natrium fosfat 5mM pH 7,2 dan fraksi protein daun
mimba hasil pengendapan dengan amonium sulfat 30%, 60%, dan 100% jenuh.
Fraksi protein daun mimba diberikan dalam 6 seri konsentrasi yakni, 200 g/ml,
100 g/ml, 50 g/ml, 25 g/ml, 12,5 g/ml dan 6,25 g/ml.
Penghitungan Persen Kematian Sel Menggunakan Metode MTT
Larutan MTT dimasukkan kedalam sumuran. Sel yang hidup akan membentuk
kristal formazan berwarna ungu yang intensitasnya dapat diukur dengan ELISA
Reader (SLT 340ATC). Absorbansi yang terbaca sebanding dengan jumlah sel
hidup
Analisis Hasil
Sitotoksisitas fraksi protein daun mimba dianalisa dengan menghitung
prosentase kematian sel yang diperoleh dari perhitungan menggunakan modifikasi
rumus Abbot (Meyer, Ferrigni, Putnam, Jacobsen, Nochols, Laughlin ; 1982 ) :

% kematian = 100% x
A
C) (B A


Keterangan :
A = Rata-rata absorbansi kontrol
B = Rata-rata absorbansi perlakuan
C = Rata-rata absorbansi perlakuan tanpa sel
Harga LC
50
dihitung menggunakan analisis probit dan untuk menganalisis
signifikansi antara perlakuan dan kontrol, dilakukan perhitungan secara statistika
menggunakan analisis varian satu arah.

HASIL
Prinsip dari metode MTT adalah adanya pemecahan garam tetrazolium
MTT (3-(4,5-dimetil-tiazol-2-il)-2,5-dipheniltetrazolium bromid) oleh sistem
enzim reduktase suksinat tetrazolium yang terdapat di dalam mitokondria sel
hidup sehingga terbentuklah kristal formazan berwarna ungu. Iintensitas warna ini
selanjutnya dapat dibaca dengan ELISA Reader. Sel yang masih hidup berarti
masih aktif melakukan aktivitas metabolisme sehingga adanya MTT pada
lingkungannya akan segera dipecah oleh enzim reduktase suksinat tetrazolium
yang terdapat di dalam mitokondria sel tersebut membentuk kristal formazan
berwarna ungu (Freshney, 1986).
Data hasil uji sitotoksisitas fraksi protein daun mimba hasil pengendapan
dengan amonium sulfat 30%, 60% dan 100% jenuh terhadap sel HeLa dan sel Raji
yang dinyatakan dalam persen kematian dapat dilihat di bawah ini.


PKMI-2-17-4
0
20
40
60
80
100
0 50 100 150 200 250
Konsentrasi Protein Daun Mimba (g/ml)
P
e
r
s
e
n

K
e
m
a
t
i
a
n

(
%
)
Fraksi Protein 30%
Fraksi Protein 60%
Fraksi Protein 100%
0
20
40
60
80
100
0 50 100 150 200 250
Konsentrasi Protein Daun Mimba (g/ml)
P
e
r
s
e
n

K
e
m
a
t
i
a
n

(
%
)
Fraksi Protein 30%
Fraksi Protein 60%
Fraksi Protein 100%
0
20
40
60
80
100
0 50 100 150 200 250
Konsentrasi Protein Daun Mimba (g/ml)
P
e
r
s
e
n

K
e
m
a
t
i
a
n

(
%
)
Fraksi Protein 30%
Fraksi Protein 60%
Fraksi Protein 100%
0
20
40
60
80
100
0 50 100 150 200 250
Konsentrasi Protein Daun Mimba (g/ml)
P
e
r
s
e
n

K
e
m
a
t
i
a
n

(
%
)
Fraksi Protein 30%
Fraksi Protein 60%
Fraksi Protein 100%













Gambar 1. Grafik prosentase kematian sel HeLa yang diinkubasi dengan
fraksi protein daun mimba hasil pengendapan dengan amonium
sulfat 30%, 60%, dan 100% jenuh.














Gambar 2. Grafik prosentase kematian sel Raji yang diinkubasi dengan
fraksi protein daun mimba hasil pengendapan dengan amonium
sulfat 30%, 60%, dan 100% jenuh.

PEMBAHASAN
Data yang telah dikoreksi dengan menggunakan modifikasi rumus Abbot
kemudian dianalisis menggunakan analisis probit dengan taraf kepercayaan 95%
untuk mendapatkan harga LC
50
yang merupakan gambaran efek sitotoksik suatu
senyawa. Khusus untuk fraksi protein daun mimba yang diendapkan dengan
amonium sulfat 100% jenuh terhadap sel Raji, tidak dapat ditentukan harga LC
50

nya karena tidak memenuhi persyaratan probit. Menurut NCI (National Cancer
Institut) jika suatu uji sitotoksik suatu senyawa menghasilkan harga LC
50
20
g/ml maka senyawa tersebut dinyatakan memiliki potensi untuk dikembangkan
sebagai senyawa antikanker (Sufness and Pezzuto, 1991). Dari hasil pengolahan
data diperoleh harga LC
50
untuk fraksi protein daun mimba hasil pengendapan
dengan amonium sulfat 30%, 60% dan 100% jenuh terhadap sel HeLa berturut-
turut sebesar 1,0 g/ml; 4,1 g/ml; dan 407,7 g/ml; dan harga LC
50
untuk fraksi
protein daun mimba yang diendapkan dengan amonium sulfat 30% dan 60%
jenuh terhadap sel Raji adalah 15,3 g/ml dan 24,0 g/ml. Harga LC
50
yang

PKMI-2-17-5
berbeda untuk sel HeLa dan sel Raji walaupun dengan perlakuan fraksi protein
yang sama dimungkinkan karena tiap sel kanker memiliki reseptor yang berbeda-
beda. Dari analisis one way anova diperoleh hasil p < 0,05 yang berarti minimal
ada satu data yang berbeda bermakna atau berbeda secara signifikan terhadap data
yang lain. Selanjutnya, dengan analisis Tukey, diketahui bahwa semua perlakuan
untuk setiap fraksi protein berbeda bermakna dibandingkan kontrol.
Hasil penelitian ini jauh berbeda dengan hasil penelitian sebelumnya oleh
Febriani (2004) dan Ariyani (2004), dimana fraksi protein total daun mimba
menghasilkan harga LC
50
sebesar 64,20 g/ml terhadap sel HeLa dan 303,7 g/ml
terhadap sel Raji. Hal ini dapat terjadi kemungkinan dikarenakan protein yang
beraktivitas antikanker tersebut tidak lagi berada didalam total proteinnya
sehingga dapat berefek lebih maksimal.

KESIMPULAN
Dari hasil penelitian tampak bahwa protein yang memiliki aktivitas
antikanker lebih banyak terendapkan pada penambahan amonium sulfat 30%
jenuh. Dalam penelitian ini dapat ditarik kesimpulan bahwa fraksi protein daun
mimba hasil pengendapan dengan amonium sulfat 30% jenuh memiliki efek
sitotoksik yang terbesar terhadap sel HeLa dan sel Raji dengan harga LC
50
sebesar
1,0 g/ml dan 15,3 g/ml. Fraksi protein daun mimba hasil pengendapan dengan
amonium sulfat 30% jenuh dapat dinyatakan sebagai senyawa yang memiliki
potensi untuk dikembangkan sebagai antikanker.

DAFTAR PUSTAKA
Ariyani. (2004). Sitotoksisitas Fraksi Protein Daun Mimba (Azadirachta indica A.
Juss) terhadap Kultur Sel Raji, Skripsi, Fakultas Farmasi Universitas
Sanata Dharma, Yogyakarta.
Febriani, A.C. (2004). Sitotoksisitas Fraksi Protein Daun Mimba (Azadirachta
indica A. Juss) terhadap Kultur Sel HeLa, Skripsi, Fakultas Farmasi
Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.
Freshney, R.I. (1986). Culture of Animal Cell a Manual of Basic Technique,
second (2
nd
) Ed, Liss. Inc, New York.
Ganiswara, S. dan Nafrialdi. (1995). Antikanker dan Immunosupresan, dalam
Ganiswara, S., (Ed), Farmakologi dan Terapi, Bagian Farmakologi
Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia.
Kardinan, A dan Taryono. (2003). Tanaman Obat Penggempur Kanker, 22-29, PT
Agromedia Pustaka, Jakarta.
Layne, E. (1957). Spectrophotometric and Turbidimetric Methods for Measuring
Proteins, Methods Enzymol, Colomick and Kaplan Academic Press, New
York, 3, 477.
Meyer, B.N., Ferrigni, N.R., Putnam, J.E., Jacobsen, L.B., Nochols, D.E., Mc
Laughlin, J.L. (1982). Brine shrimp : a convinient general bioassay for
active plant convinient, vol 45, planta medica.
Sambrook, J., Fritsch, E.F., Maniatis, T. (1989). Molecular Cloning A Laboratory
Manual, Jilid 1, 2, dan 3, 2
nd
ed, Cold Spring Harbor laboratory Press.
Suffness, M., and J.M. Pezzuto. (1991). Assays Related to Cancer Drug
Discovery, Methods in plant Biochemistry: Assays for Bioactivity Vol. 6,
Academic Press, London.


PKMI-2-18-1
PENGARUH LIMBAH PADAT PABRIK KERTAS TERHADAP
HASIL TANAMAN BAWANG MERAH

Woro Hastutik, Apriyanto dan Hasan Basri Nasution
Jurusan Budidaya Pertanian, Fakultas Pertanian
Universitas Tunas Pembangunan, Surakarta

ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh macam limbah padat pabrik
kertas pada berbagai dosis pemberian terhadap hasil tanaman bawang merah.
Penelitian ini dilaksanakan di Desa Klodran, Kecamatan Colomadu,Kabupaten
Karanganyar pada bulan Desember 2004 sampai dengan Februari 2005 dengan
jenis tanah regosol pada ketinggian tempat 110 meter diatas permukaan laut.
Penelitian ini merupakan percobaan faktorial dengan rancangan lingkungan
Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 2 perlakuan dengan 12 kombinasi
perlakuan yang masing-masing diulang 3 kali. Faktor pertama macam limbah
padat pabrik kertas yang terdiri 3 taraf yaitu sludge, biosludge dan pith. Faktor
kedua : dosis limbah padat pabrik kertas yang terdiri 4 taraf yaitu 0 ton/ha
(kontrol), 10 ton/ha, 20 ton/ha dan 30 ton/ha. Hasil penelitian ini menunjukkan
bahwa perlakuan macam dan dosis limbah padat pabrik kertas berpengaruh
sangat nyata terhadap semua komponen hasil. Ada interaksi antara macam
limbah padat pabrik kertas dengan dosis limbah padat pabrik kertas pada semua
paramter yang diamati. Berat umbi kering konsumsi tertinggi dicapai pada
kombinasi limbah sludge dengan dosis 20 ton/ha sebesar 26,67 gram per
tanaman.

Kata Kunci : Limbah padat, bawangmerah, sludge, biosludge, pith

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Hasil Bawang merah nasional tergolong rendah. Berdasarkan survey
pertanian pada tahun 1991, produksi rata-rata baru mencapai 7,17 ton/hektar dari
luas areal 70,989 hektar dengan produksi 509.013 ton (Rukmana, 1994).
Untuk mendapatkan bawang merah dengan produksi optimum dan umbi
yang baik dibutuhkan pupuk kandang 20 ton per hektar dan pupuk buatan berupa
120 kg N/ha, 150 kg P2O5/ha dan 100 kg K2O/ha (Rismunanadar, 1989).
Pemanfaatan pupuk kandang yang sudah ada sekarang ini sering mengalami
kesulitan sehingga usaha untuk mencari sumber bahan organik alternatif masih
tetap diperlukan.
Limbah merupakan salah satu sumber bahan organik alternatif. Limbah
(Sumarwoto dan Siregar, 1988) adalah bahan yang dihasilkan dalam suatu proses
yang tidak berguna lagi untuk proses tersebut. Limbah padat merupakan salah satu
bentuk limbah yang terdapat di lingkungan. Limbah padat yang terbuang ke
lingkungan sering dan banyak menimbulkan masalah bagi kehidupan manusia
(Murtado dan said, 1987).
Produksi limbah padat pabrik kertas Leces yang berupa sludge, biosludge
dan pith cukup besar. Hal ini sejalan dengan perkembangan kapasitas produksi


PKMI-2-18-2
dan meningkatnya pemakaian bahan baku pembuatan kertas. Dari hasil
wawancara dengan LITBANG PT KERTAS LECES diketahui bahwa saat ini
produksi sludge mencapai 400 ton/hari, biosludge 80 ton/hari dan pith 120
ton/hari. Limbah pabrik sebanyak itu biasanya ditumpuk disekitar pabrik
sehingga bila tidak dimanfaatkan dapat menjadi sumber pencemaran yang
potensial.
Dengan pemanfaatan limbah padat tersebut berarti memanfaatkan energi
yang ada pada bahan tersebut sekaligus mencegah pencemaran lingkungan hidup.

Tinjauan Pustaka
Morfologi dan AgronomiTanaman Bawang merah
Menurut Rahayu (1994), bawang merah mempunyai sistematika divisio
Spermatophyta, Sub Divisio Angiospermae, klassis Monocotyledonae, ordo
Liliaflorae, famili Amaryllidaceae, genus Allium dan species Allium
ascalonicum L.
Tanaman Bawang merah merupakan tanaman semusim.batangnya pendek,
tumbuh tegak dan tingginya antara 15-20 cm. Akarnya merupakan akar serabut,
daunnya panjang seperti pipa dan berwarna hijau. Daun dibagian pangkalnya
mengalami perubahan bentuk dan fungsinya yakni membengkok membentuk
umbi lapis. Pembentukan umbi merupakan akibat penggelembungan pangkal daun
ataupun akar (Setiawan, 1994).
Selain persyaratan iklim, kondisi tanah juga perlu diperhatikan terutama
yang menyangkut jenis tanah, kandungan unsur hara dan derajat kemasaman (pH)
yang sesuai (Setiawan, 1994).

Peranan limbah Padat pabrik kertas sebagai Sumber bahan Organik
Limbah padat pabrik kertas mengandung unsur kalium (K). peranan unsur
ini untuk memperlancar fotosintesis, memacu pertumbuhan tanaman pada titik
awal, memperkuat batang dan menambah daya tahan tanaman terhadap serangan
hama dan penyakit serta kekeringan (Suriatna, 1994).
Limbah padat pabrik kertas juga mengandung unsur-unsur antara lain :
kalsium, magnesium, besi, dan sulfida yang juga berguna bagi pertumbuhan
tanaman.
Limbah padat pabrik kertas terdiri dari :
a. Sludge
Sludge adalah suatu bahan yang terdiri atas padatan 90% dan air 10%.
Sludge didapat dari proses pengendapan pada efflument treatment plant,
mengandung bahan organik yang berasal dari bahan baku pulb.
b. Biosludge
Biosludge adalah hasil samping dari efflument treatment yakni dari
proses biological aeration, tersusun dari bahan baku pulb, selain mengandung
mikroorganisme sebagai efek dari biological aeration.
c. Pith
Pith adalah bahan dari proses depething plant yaitu proses pemisahan
secara mekanik bahan baku pulb yaitu antar bahan serat dan bahan bukan serat
(Hammer, 1977).




PKMI-2-18-3
Tujuan Penelitian :
Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam melakukan penelitian ini adalah
untuk mengetahui pengaruh limbah padat pabrik kertas terhadap hasil tanaman
bawang merah.

METODE PENELITIAN
Tempat dan Waktu Penelitian :
Penelitian ini dilaksanakan di Desa Klodran, Kecamatan Colomadu,
Kabupaten Karanganyar pada bulan Desember 2004 sampai dengan Februari
2005.

Bahan :
a. Bibit Bawang merah varietas Bima
b. Limbah padat pabrik Kertas (Sludge, biosludge dan Pith)
c. Pupuk anorganik (ZA, TSP, dan KCl).
d. Pestisida
e. Fungisida

Pelaksanaan Percobaan
Metode Percobaan
Penelitian ini dilaksanakan dengan menggunakan Rancangan Lingkungan
Rancangan Acak Lengkap (RAL) yang disusun secara faktorial dengan 3 ulangan.
Faktor-faktornya :
I. Macam limbah organik, terdiri 3 taraf, yaitu :
L1 = limbah padat Sludge
L2 = limbah padat Biosludge
L3 = limbah padat Pith
II. Dosis Limbah organik, terdiri 4 taraf, yaitu :
D0 = Kontrol
D1 = Dosis 10 ton per hektar
D2 = Dosis 20 ton per hektar
D3 = Dosis 30 ton per hektar

Cara Penelitian
1. Persiapan Tanah
Tanah diambil sedalam lapisan olah (30 cm). Setelah itu
dikeringanginkan, ditumbuk dan disaring berdiameter 2 mm. Kebutuhan tanah
3 kg per polybag. Tanah dicampur bahan organik (limbat padat) sesuai
perlakuan.
2. Penanaman
Umbi yang akan ditanam dipilih yang seseragam mungkin, selanjutnya
dilakukan pemotongan bibit bagian untuk merangsang tumbuhnya umbi
samping dan pertumbuhan tunas. Umbi dimasukkan dalam lubang tanam
dengan ujung umbi rata dengan permukaan tanah. Setiap polybag ditanam 1
bibit.
3. Pemupukan
Pupuk dasar digunakan limbah padat pabrik kertas yang sudah
dikelompokkan kurang lebih 1,5 bulan, diberikan sesuai perlakuan. Pemberian


PKMI-2-18-4
limbah padat pabrik kertas sebagai pupuk dasar diberikan bersamaan dengan
persiapan tanah 1 minggu sebelum tanam. Unuk pupuk buatan diberikan 1 hari
sebelum tanam, dengan dosis ;
- ZA = 120 kg/ha atau 0,12 gram/polybag
- TSP = 150 kg/ha atau 0,15 gram/polybag
- KCl = 100 kg/ha atau 0,10 gram/polybag
Untuk pupuk ZA diberikan dua kali yaitu 0,5 bagian diberikan satu hari
sebelum tanam dan 0,5 bagian sisanya diberikan umur dua minggu setelah
tanam.
4. Pemeliharaan
a. Pengairan
Pengairan dengan cara penyiraman tanah sampai keadaan kapasitas
lapang.
b. Penyulaman
Penyulaman dilakukan terhadap tanaman yang mati, dilakukan pada
umur 10 hari setelah tanam.
c. Penyiangan
Penyiangan dengan mencabut gulma dengan tangan.
d. Pengendalian hama dan penyakit
Untuk pengendalian hama digunakan Furadan 3G dengan dosis 20
kg/ha diberikan pada saat tanam dengan cara disebar merata. Pada saat
tanaman berumur 1 minggu disemprot dengan Bayrusil 25 EC dengan
konsentrasi 2 cc/l air sampai tanaman berumur 1 bulan. Setelah tanaman
berumur 1 bulan disemprot dengan Diazinon 60 EC dengan konsentrasi 2
cc/l air sampai dengan 2 minggu sebelum panen. Untuk mencegah penyakit
disemprot Dithane M-45 dengan konsentrasi 2 gram/l air, dilakukan 1
minggu sekali sampai menjelang panen atau 2 minggu sebelum panen.
5. Pemanenan
Pemanenan dilakukan umur 65 hari atau melihat tanda-tanda 60% daun
menguning, daun terkulai jika dipegang pangkal daunnya lemas. Cara
pemanenan dicabut atau dicongkel dengan solet secara perlahan-lahan agar
umbi tidak rusak.

Teknik Pengambilan Data
Pengamatan dilaksanakan pada saat panen
Parameter yang diamati meliputi :
1 .Jumlah umbi.
2. Berat umbi segar.
3. Berat umbi kering.

Analisis Data
Analisis data dilakukan dengan sidik ragam dan perlakuan yang signifikan
di uji lanjut dengan Uji Duncan taraf nyata 5%.






PKMI-2-18-5
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Tabel 1. Sidik Ragam Komponen Hasil Tanaman


Perlakuan

Jumlah Umbi

Berat Segar Umbi
(gram)
Berat kering
Umbi
(gram)
L
D
L X D
**
**
**
*
**
**
**
**
**

Keterangan :
NS = Tidak berbeda nyata
* = Berbeda nyata
** = Berbeda sangat nyata
L = Macam Limbah Organik
D = dosis Limbah Organik
L X D = Interaksi L dengan D

Tabel 2. Uji Jarak Berganda Duncan pengaruh Macam, Dosis Limbah Padat
Pabrik Kertas dan Interaksi Kedua Perlakuan Terhadap Komponen Hasil

Parameter
Perlakuan
Jumlah Umbi
Berat Umbi segar
Per tanaman (gram)
Berat umbi kering
Konsumsi (gram)
Macam Limbah Padat Pabrik Kertas
L1
L2
L3
7,89
11,14
6,38
51,53
39,05
37,49
22,45
13,59
10,53
Dosis Limbah Padat Pabrik Kertas
D0
D1
D2
D3
4,33
8,59
9,74
11,22
33,30
46,35
42,59
48,52
11,89
15,42
17,06
17,74
Interaksi antara Macam Limbah Padat Pabrik Kertas terhadap berbagai Dosis
L1D0
L1D1
L1D2
L1D3
L2D0
L2D1
L2D2
L2D3
L3D0
L3D1
L3D2
L3D3
3,89 a
8,22 de
8,77 ef
10,66 f
4,77 c
11,33 g
13,22 g
15,33 g
4,33 b
6,22 c
7,22 d
7,77 de
33,65 b
50,32 g
60,99 g
61,14 g
32,45 a
47,08 fg
36,17 cd
40,50 cde
33,79 bc
41,65 def
30,60 a
43,92 efg
13,44 b
25,13 d
26,67 e
24,55 cd
11,11 b
14,44 bc
14,21 b
14,59 cd
11,09 a
6,67 a
10,29 a
14,07 b

Keterangan : Angka-angka dalam satu kotak pada kolom yang sama dan diikuti
huruf kecil yang sama tidak berbeda nyata menurut uji DMRT pada
taraf 5%.


PKMI-2-18-6
Pembahasan
Hasil tanaman bawang merah yang diamati meliputi jumlah umbi, berat
segar umbi dan berat kering umbi. Untuk mengetahui hasil analisis sidik ragam
dari berbagai komponen hasil tanaman dapat dilihat pada Tabel 1.
Berdasarkan Tabel 1, pada paramter jumlah umbi, perlakuan macam
limbah padat pabrik kertas, dosis limbah maupun interaksinya ada perbedaan yang
signifikan. Selanjutnya untuk mengetahui taraf-taraf dari interaksi yang mana
yang signifikan selanjutnya diuji dengan uji Duncan 5% yang disajikan pada
Tabel 2.
Berdasarkan Tabel 2, pada perlakuan limbah sludge, limbah biosludge
maupun limbah pith dari pabrik kertas semuanya dengan meningkatnya dosis ada
kecenderungan meningkatkan jumlah umbi yang terbentuk.
Meningkatnya jumlah umbi yang terbentuk ini karena terkait dengan
ketersediaan unsur hara yang semakin meningkat. Dengan penambahan dosis
limbah berarti akan menambah unsur hara yang disediakan termasuk unsur
kalium. Menurut Supardi (1993) untuk pembentukan umbi yang baik diperlukan
banyak unsur kalium. Hal ini karena kalium mempunyai fungsi untuk katalisator
translokasi fotosintat dari daun ke umbi. Semakin banyak unsur kalium yang
tersedia bagi tanaman maka proses translokasi fotosintat akan semakin lancar dan
cepat sampai pada batas dosis kalium tertentu.
Penggunaan limbah sludge menaikkan berat segar umbi, namun dengan
meningkatknya dosis tidak diikuti meningkatnya berat segar umbi yang
signifikan. Namun demikian pada dosis 30 ton/ha dicapai berat segar umbi
tertinggi. Hal ini diduga pada limbah sludge dengan pH sekitar netral yaitu 6,8
memungkinkan phosphor tersedia bagi tanaman sehingga dengan meningkatnya
dosis limbah, unsur P yang tersedia meningkat pula, Menurut Sarief (1981) unsur
hara phosphor tersedia pada pH tanah 6,5, sedangkan Fitter and Hay (1981)
mengatakan bahwa P organik tidak secara langsung penting dalam tanah, karena
untuk menjadi tersedia bagi tanaman haruslah dilepaskan sebagai H2PO4
-
dimana
akan cepat diabsorbsi oleh permukaan besi, aluminium maupun kalsit di tanah.
Pada penggunaan limbah biosludge pada parameter berat segar umbi
menunjukkan perbedaan yang signifikan dibanding kontrol. Hal ini karena
kandungan unsur hara relatif paling tinggi apabila dibandingkan dengan dua
macam limbah yang lain yang diujikan. Pada dosis 10 ton/ha menghasilkan berat
segar umbi tertinggi. Apabila dosis ditingkatkan menjadi 20 ton/ha sampai 30
ton/ha justru menurunkan berat segar umbi. Hal ini diduga walaupun kandungan
unsur hara biosludge lebih tinggi dibanding dua macam limbah padat pabrik
kertas yang lain yaitu sludge dan pith (analisis kimiawi) tetapi ketersediaan unsur
hara ini belum termanfaatkan secara optimal. Hal ini diduga karena P terikat
dalam persenyawaan yang tidak larut dengan besi mengingat tingginya kandungan
besi pada biosludge sehingga akan berpengaruh terhadap proses pembentukan
umbi bawang merah.
Penggunaan limbah pith secara signifikan meningkatkan berat segar umbi
apabila dibandingkan dengan kontrol. Hal ini diduga karena unsur hara yang
tersedia terutama P dapat dimanfaatkan oleh tanaman karena tidak terikat oleh
besi menjadi suatu persenyawaan yang tidak larut. Sehingga dengan
meningkatnya dosis dari 20 ton/ha menjadi 30 ton/ha masih dapat meningkatkan


PKMI-2-18-7
berat segar umbi. Menurut Sutejo (1987) salah satu peranan P adalah mendorong
pembentukan buah atau umbi.
Penggunaan limbah biosludge meningkatkan berat umbi kering secara
signifikan dan berat umbi kering tertinggi dicapai pada dosis 20 ton/ha. Hal ini
diduga berkaitan dengan kandungan kimiawi sludge dan masalah ketersediaan
unsur hara bagi tanaman bawang merah. Limbah sludge dengan pH 6,8
memungkinkan unsur phosphor tersedia bagi tanaman sehingga bisa dimanfaatkan
oleh tanaman bawang merah untuk proses metabolismenya akhirnya hasil
assimilasi dapat tersimpan di dalam umbi dalam bentuk umbi bawang merah ini.
Menurut pendapat Sarief (1986) unsur hara phosphor tersedia secara optimum
pada pH 6,5. Sedangkan Setyamidjaja (1986) mengatakan bahwa pada
pertumbuhan generatif tanaman banyak memerlukan unsur phosphor sedangkan
unsur phosphor lambat tersedia bagi tanaman karena unsur P ini tidak mudah larut
seperti halnya N dan K.
Sedangkan apabila dosis ditingkatkan dari 20 ton/ha menjadi 30 ton/ha
ternyata berat umbi kering akan menurun. Hal ini diduga dengan dosis 30 ton/ha
aktivitas fotosintesis justru menurun dan hasil fotosintesis juga menurun.
Prawiranata dkk (1981) berat kering mencerminkan status nutrisi karena bobot
kering tergantung laju fotosintesis dan respirasi.
Pada limbah biosludge dan pith apabila dosis ditingkatkan dari 20 ton/ha
menjadi 30 ton/ha akan meningkatkan berat umbi kering. Hal ini diduga dengan
meningkatnya dosis limbah maka kebutuhan unsur P tercukupi sehingga aktivitas
fotosintesis meningkat pula sehingga penimbunan assimilat pada umbi juga
meningkat dan akan berpengaruh terhadap berat umbi kering.

KESIMPULAN
1. Perlakuan macam limbah padat pabrik kertas berpengaruh nyata terhadap
semua komponen hasil : jumlah umbi, berat segar umbi dan berat kering umbi.
2. Perlakuan dosis limbah padat pabrik kertas berpengaruh nyata terhadap semua
komponen hasil tanaman bawang merah.
3. Ada interaksi dari kedua perlakuan pada semua parameter hasil tanaman
bawang merah.
4. Berat umbi kering konsumsi tertinggi dicapai pada interaksi antara limbah
sludge dengan dosis 20 ton/ha sebesar 26,67 gram dan terendah limbah pith
dengan dosis 10 ton/ha sebesar 6,67 gram.

DAFTAR PUSTAKA
Fitter and Hay, 1981. Environmental Physiology of Plants. Terjemahan Oleh Sri
Andani dan Ed. Purbayanti, 1994. Fisiologi Lingkungan Tanaman.
Gadjahmada University Press. 139 Hal.
Murtadho, J dan Said E.G., 1987. Penanganan Pemanfaatan Limbah Padat.
Melton Putra. Jakarta. 122 Hal.
Prawiranata, W. Said Haran dan Pin Tjondronegoro, 1981.Dasar-dasar Fisiologi
II. Departemen Botani. Fakultas Pertanian. IPB. Bogor. 293 Hal.
Rahayu, E dan Berlian N., 1994. Bawang merah. Penebar Swadaya. Jakarta. 94
Hal.
Sarief S.,1986. Ilmu Tanah Pertanian. Pustaka Buana. Bandung. 157 Hal.


PKMI-2-18-8
Setiawan A.I.,1994. Sayuran Dataran Tinggi Budidaya dan Pengaturan Panen.
Penebar Swadaya. Jakarta. 155 Hal
Setyawidjaja D., 1986. Pupuk dan Pemupukan. Simpleks. Jakarta. 120 hal.
Soepardi, G.,1989. Sifat dan Ciri Tanah. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 591
Hal.
Sudarmo H., 1990. Prospek Pemanfaatan VAM Sebagai Salah Satu Pilihan Untuk
Pengelolaan Tanah Bermasalah Flora Phosphor. Makalah Seminar
Nasional Pengelolaan Tanah Bermasalah di Indonesia. Universitas Sebelas
Maret. Surakarta. 51 hal.
Suriatna S., 1991. Pupuk dan Pemupukan. Melton Putra. Jakarta. 64 Hal.
Sutedjo,M M., 1987. Pupuk dan Cara Pemupukan. Rineka Cipta. Jakarta. 176
Hal.


PKMI-2-19-1

EFEK GETAH PELEPAH PISANG (Musa spp) TERHADAP
PERTUMBUHAN Pseudomonas aeruginosa SECARA I N VI TRO

Dharma Hananta, Ika Listyarini, Lina Haryati
Fakultas Kedokteran, Universitas Muhammadiyah Malang, Malang

ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan efek antimikroba getah pelepah
pisang terhadap pertumbuhan Pseudomonas aeruginosa secara in vitro yang
dilaksanakan pada bulan Mei sampai dengan bulan Oktober 2005. Bahan yang
digunakan adalah bakteri Pseudomonas aeruginosa, nutrient agar, MacConkey
agar, kristal violet, lugol, alkohol 70% dan 96%, safranin, aquades, kertas uji
oksidase, getah pelepah pisang, tissue, kertas roti, kertas penanda, plester bening,
korek api. Perlakuan pada penelitian ini (konsentrasi getah pelepah pisang 0%,
20%, 40%, 60%, 80%, dan 100%) dilakukan pada lima isolat Pseudomonas
aeruginosa. Metode Penelitian meliputi pembuatan Nutrient Agar Plate,
identifikasi bakteri Pseudomonas aeruginosa, perbenihan cair, uji antimikroba
getah pelepah pisang terhadap pertumbuhan Pseudomonas aeruginosa dengan
menggunakan metode dilusi tabung dan modifikasi metode difusi agar, analisa
data jumlah koloni dan diameter zona hambatan pertumbuhan Pseudomonas
aeruginosa melalui analisis statistik one way ANOVA, korelasi dan regresi. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa peningkatan konsentrasi getah pelepah pisang
menyebabkan penurunan jumlah koloni Pseudomonas aeruginosa dan
peningkatan diameter zona hambatan bakteri tersebut. Kadar Hambat Minimal
(KHM) dan Kadar Bunuh Minimal (KBM) getah pelepah pisang terhadap
pertumbuhan Pseudomonas aeruginosa tidak dapat ditentukan dengan
menggunakan metode uji dilusi tabung.

Kata Kunci : Pseudomonas aeruginosa, getah pelepah pisang, KHM, KBM,
diameter zona hambatan.

PENDAHULUAN
Permasalahan kesehatan di masyarakat yang tidak pernah dapat diatasi
secara tuntas salah satunya adalah infeksi. Infeksi masih merupakan penyakit
teratas penyebab kesakitan dan kematian di negara berkembang termasuk
Indonesia (Anonymous, 2004). Walaupun infeksi sendiri saat ini diatasi dengan
berbagai antibiotik, namun muncul permasalahan baru yaitu resistensi bakteri
terhadap antibiotik yang ada. Resistensi bakteri terhadap antibiotik yang ada saat
ini disebabkan penggunaan antibiotik yang tidak tepat sehingga menimbulkan
infeksi nosokomial.
Infeksi nosokomial adalah infeksi yang diperoleh di RS (Rumah Sakit) dan
penyebabnya adalah bakteri RS. Bakteri di RS umumnya sudah resisten terhadap
berbagai antibiotik. Pusat penyakit menular di Atlanta, Amerika Serikat,
menyatakan bahwa setiap tahunnya sampai dengan 2.000.000 pasien mengalami
infeksi nosokomial saat dirawat di RS dan menyebabkan sejumlah 90.000
kematian (Anonymous, 2005). Bakteri yang paling banyak ditemukan di rumah
sakit adalah Klebsiella sp, E.coli, Pseudomonas sp, Staphylococcus sp, dan
Streptococcus sp (Soebandrio, 2004).


PKMI-2-19-2

Pseudomonas aeruginosa merupakan salah satu spesies dari genus
Pseudomonas yang dapat menimbulkan penyakit infeksi pada manusia.
Pseudomonas aeruginosa dalam jumlah kecil seringkali merupakan flora normal
pada intestin (saluran cerna) dan kulit manusia, di samping dapat ditemukan pada
tanah dan air. Infeksi pada manusia biasanya bersifat oportunistik dan merupakan
salah satu penyebab infeksi nosokomial (Dzen dkk, 2003). Pseudomonas
aeruginosa merupakan bakteri yang multiresisten terhadap berbagai golongan
antibiotik. Luka yang terjadi di kulit jika tidak ditangani dengan benar sering
menimbulkan infeksi. Hal ini terjadi karena di kulit banyak hidup flora normal
diantaranya Pseudomonas aeruginosa (Dzen dkk, 2003).
Sebelum gel penutup luka dan cairan antiseptik dengan berbagai merek
beredar di pasaran, secara tradisional sejumlah tanaman dan hewan telah
digunakan untuk mencegah peradangan dan menyembuhkan luka. Di antaranya
adalah getah pelepah pisang (Anonymous, 2005). Menurut penelitian dari
Laboratorium Patologi Veteriner, Bagian Parasitologi dan Patologi, Fakultas
Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor bahwa luka pada mencit yang diolesi
getah pelepah pisang menutup dua kali lebih cepat daripada luka pada mencit
yang tidak diobati dan tidak meninggalkan jaringan parut. Kemampuan getah
pelepah pisang menyembuhkan luka diduga akibat kandungan saponin,
antrakuinon dan kuinon yang berfungsi sebagai antibiotik dan analgetik.
Sementara kandungan lektin berfungsi menstimulasi pertumbuhan sel kulit
(Priosoeryanto, 2003).
Dari uraian di atas diduga bahwa keempat kandungan getah pelepah
pisang memiliki efek antimikroba terhadap Pseudomonas aeruginosa yang
merupakan salah satu penyebab infeksi nosokomial. Oleh karena itu, perlu
dilakukan suatu penelitian ilmiah tentang efek antimikroba getah pelepah pisang
terhadap pertumbuhan Pseudomonas aeruginosa sebagai alternatif untuk
pengobatan terhadap infeksi oleh Pseudomonas aeruginosa mengingat sifat
bakteri tersebut yang multiresisten terhadap banyak antibiotik.

METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan pada bulan Mei sampai dengan Oktober 2005 di
Laboratorium Terpadu Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Malang
dengan menggunakan sampel bakteri Pseudomonas aeruginosa yang diambil
secara acak dari pasien luka bakar di Rumah Sakit Saiful Anwar Malang.
Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental laboratorik in vitro dengan
menggunakan metode dilusi tabung sebagai metode penelitian untuk menentukan
Kadar Hambat Minimum (KHM) dan Kadar Bunuh Minimum (KBM) getah
pelepah pisang terhadap pertumbuhan Pseudomonas aeruginosa. Untuk
menguatkan hasil penelitian dengan metode dilusi tabung, penelitian ini juga
dilakukan dengan menggunakan modifikasi metode difusi agar. Alat-alat yang
digunakan dalam penelitian ini yaitu tabung reaksi, rak tabung reaksi, cawan petri,
object glass, pinset / penjepit, gunting, gelas ukur 10 cc, gelas ukur 500 cc atau
1.000 cc, Erlenmeyer, pengaduk Beaker glass, pengaduk kaca, jarum inokulasi,
spidol, pemanas listrik, pulpen, botol gelap, pipet, ose kawat, spatula atau sendok,
inkubator, timbangan, autoklaf, spektrofotometri, counter colony. Bahan-bahan
yang digunakan dalam penelitian ini yaitu nutrient agar, MacConkey agar, kristal
violet, lugol, alkohol 70% dan 96%, safranin, aquades, kertas uji oksidase, biakan


PKMI-2-19-3

Pseudomonas aeruginosa, getah pelepah pisang, tissue, kertas roti, kertas
penanda, plester bening, korek api.
Jumlah perlakuan P = 6 (macam konsentrasi getah pelepah pisang),
sehingga estimasi besar sampel adalah (Lukito, 1998) : P (n-1) > 15, 6 (n-1) > 15,
6n 6 > 15, 6n > 21, n > 3,5, n = 4. Jumlah sampel yang digunakan dalam
penelitian ini paling sedikit ada 4 isolat Pseudomonas aeruginosa.
Variabel bebas dalam penelitian ini adalah konsentrasi getah pelepah
pisang (Musa spp) yaitu : 0% (kontrol bakteri), 20%, 40%, 60%, 80%, dan 100%.
Sedangkan variabel terikat dalam penelitian ini yaitu tingkat kekeruhan pada
tabung dilusi sebagai parameter penentuan KHM getah pelepah pisang (Musa spp)
terhadap Pseudomonas aeruginosa (didapatkan dari metode dilusi tabung), jumlah
koloni Pseudomonas aeruginosa pada cawan petri sebagai parameter penentuan
KBM getah pelepah pisang (Musa spp) terhadap Pseudomonas aeruginosa
(didapatkan dari metode dilusi tabung), diameter zona hambatan pertumbuhan
Pseudomonas aeruginosa (didapatkan dari metode sumuran / modifikasi metode
difusi kertas cakram).
Sterilisasi alat dilakukan dengan autoklaf dan alkohol 70% untuk
menjamin tidak adanya kontaminasi bakteri selain Pseudomonas aeruginosa pada
lingkungan kerja.
Pelaksanaan penelitian adalah sebagai berikut :
1. Uji Antimikroba Getah Pelepah Pisang terhadap Pertumbuhan Pseudomonas
aeruginosa dengan Menggunakan Metode Dilusi Tabung
Menyiapkan tabung steril sebanyak 13 buah dan suspensi bakteri
Pseudomonas aeruginosa dengan konsentrasi 10
6
sel/cc pada tabung 1 + 1 cc
larutan pengencer. Getah pelepah pisang dengan konsentrasi 0%, 20%, 40%, 60%,
80%, dan 100% dimasukkan pada tabung 2-7, masing masing sebanyak 1 cc.
Menambahkan 1 cc suspensi Pseudomonas aeruginosa pada tabung 2-7,
kemudian diinkubasikan pada suhu 37C selama 24 jam. Melakukan streaking
suspensi bakteri yang telah diencerkan dari tabung 2 sebagai original inoculate
pada nutrient agar plate (NAP), kemudian inkubasikan.pada suhu 37C selama 24
jam. Jumlah koloni Pseudomonas aeruginosa yang tumbuh pada NAP dihitung
pada hari ke-2. Pada hari ke-2 dilakukan pengamatan terhadap kekeruhan pada
masing-masing tabung hasil pengenceran (2-7) dan tentukan KHM getah pelepah
pisang terhadap Pseudomonas aeruginosa dengan cara menentukan konsentrasi
terendah larutan getah pelepah pisang yang tidak menunjukkan kekeruhan.
Tabung 2-7 diencerkan sebanyak 10.000 kali, kemudian melakukan streaking
suspensi bakteri yang telah diinkubasi selama 24 jam dari tabung hasil
pengenceran 2-7 pada nutrient agar plate (NAP) dan menginkubasikannya pada
suhu 37C selama 24 jam. Pada hari ke-3, jumlah koloni Pseudomonas
aeruginosa yang tumbuh pada nutrient agar plate dihitung. Menentukan KBM
getah pelepah pisang terhadap Pseudomonas aeruginosa.

HASIL PENELITIAN
Pengamatan pada Tabung.
Pengamatan tingkat kekeruhan tabung pada penelitian ini menunjukkan
bahwa semakin tinggi konsentrasi getah pelepah pisang yang digunakan, maka
campuran di dalam tabung semakin keruh dan terdapat perbadaan warna antara
tabung yang berisi biakan Pseudomonas aeruginosa tanpa getah pelepah pisang


PKMI-2-19-4

(kelompok perlakuan getah pelepah pisang 0%) dengan biakan yang dicampur
getah pelepah pisang dimana biakan tanpa getah pelepah pisang berwarna
kehijauan dan biakan dengan getah pelepah pisang berwarna coklat (warna dasar
getah pelepah pisang adalah coklat). Peningkatan kekeruhan getah pelepah pisang
ini menyebabkan KHM tidak dapat ditentukan.













Gambar 1. Tingkat Kekeruhan pada Tube Dilution Methode (konsentrasi
getah pelepah pisang dari kiri ke kanan 0%, 20%, 40%, 60%, 80%, dan 100%)


PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN
Pada penelitian ini KHM tidak dapat ditentukan karena semakin tinggi
konsentrasi getah pelepah pisang maka semakin keruh pula campuran dalam
tabung. Secara teoritis, KHM adalah konsentrasi terendah obat pada tabung yang
ditunjukkan dengan hasil biakan yang mulai tampak jernih atau tidak ada
pertumbuhan mikroba (Dzen dkk, 2003). Peningkatan kekeruhan isi tabung pada
penelitian ini mungkin karena wujud dasar getah pelepah pisang adalah keruh
sehingga semakin tinggi konsentrasi getah pelepah pisang maka semakin tinggi
pula kekeruhannya. Metode dilusi agar tidak dipilih dalam penelitian ini karena
metode dilusi agar hanya dapat digunakan untuk mencari KHM sedangkan tujuan
dari penelitian ini adalah mencari KHM dan KBM. Selain itu, metode ini tidak
dipilih peneliti karena getah pelepah pisang yang digunakan sebagai bahan
antimikroba berwarna coklat dan keruh sehingga menyulitkan pengamatan pada
metode ini.
Selain KHM, KBM getah pelepah pisang terhadap Pseudomonas
aeruginosa juga tidak dapat ditentukan karena dari semua kelompok perlakuan
pada isolat A, B, C, dan D tidak ditemukan jumlah koloni Pseudomonas
aeruginosa yang < 0,1% dari jumlah original inoculate. KBM adalah kadar agens
antimikroba terendah yang menunjukkan pertumbuhan bakteri < 0,1% dari
inokulum asal (Finegold and Baron, 1986). Namun demikian, secara umum
terlihat adanya penurunan jumlah koloni.
Data rata-rata jumlah koloni Pseudomonas aeruginosa (isolat A, B, C, dan
D) pada tiap kelompok perlakuan konsentrasi menunjukkan bahwa semakin tinggi
konsentrasi getah pelepah pisang maka semakin sedikit jumlah koloni
Pseudomonas aeruginosa pada NAP, kecuali pada konsentrasi 60%. Hasil
perlakuan pada isolat A, B, C, dan D menunjukkan bahwa semakin tinggi


PKMI-2-19-5

konsentrasi getah pelepah pisang maka jumlah koloni bakteri relatif semakin
berkurang, tetapi pada konsentrasi 40% (isolat A dan C), 60% (isolat B dan C),
80% (isolat A), dan 100% (isolat D) terjadi ketidak-konsistenan penurunan jumlah
koloni bakteri. Hal ini mungkin terjadi karena faktor homogenitas isolat dan
resistensi bakteri
Hasil penelitian di atas diperkuat oleh hasil pengamatan diameter zona
hambatan getah pelepah pisang terhadap Pseudomonas aeruginosa yang
dilakukan dengan menggunakan modifikasi metode difusi agar. Data rata-rata
diameter zona hambatan pertumbuhan Pseudomonas aeruginosa pada tiap
kelompok perlakuan konsentrasi menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi
getah pelepah pisang maka semakin besar diameter zona hambatan pertumbuhan
Pseudomonas aeruginosa. Hasil analisis data jumlah koloni Pseudomonas
aeruginosa dengan menggunakan korelasi regresi menunjukkan bahwa semakin
tinggi konsentrasi getah pelepah pisang maka jumlah koloni Pseudomonas
aeruginosa semakin berkurang dan konsentrasi getah pelepah pisang
mempengaruhi jumlah koloni Pseudomonas aeruginosa sebesar 34,3%.
Analisis korelasi regresi data diameter zona hambatan pertumbuhan
Pseudomonas aeruginosa menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi getah
pelepah pisang maka semakin besar diameter zona hambatan pertumbuhan
Pseudomonas aeruginosa dan konsentrasi getah pelepah pisang mempengaruhi
diameter zona hambatan pertumbuhan Pseudomonas aeruginosa sebesar 85,1%.
Hasil analisis data jumlah koloni Pseudomonas aeruginosa dan diameter zona
hambatan pertumbuhan Pseudomonas aeruginosa menunjukkan bahwa getah
pelepah pisang memiliki efek antimikroba terhadap Pseudomonas aeruginosa.
Dari hasil penelitian ini dapat dikatakan kemungkinan getah pelepah pisang hanya
bersifat bakteriostatik terhadap Pseudomonas aeruginosa.
Efek antimikroba getah pelepah pisang terhadap Pseudomonas aeruginosa
disebabkan kandungan aktifnya yaitu saponin, kuinon, antrakuinon, dan lektin
(Priosoeryanto, 2005). Keempat bahan aktif tersebut bekerja pada permukaan
membran sitoplasma. Kerja saponin, kuinon, antrakuinon, dan lektin yang terdapat
dalam getah pelepah pisang menyebabkan rusaknya membran sitoplasma
Pseudomonas aeruginosa sehingga menyebabkan gangguan metabolisme energi
dan pertumbuhan bakteri tersebut.

KESIMPULAN
Getah pelepah pisang yang digunakan masyarakat tradisional sebagai obat
luka bakar terbukti memiliki efek menghambat pertumbuhan Pseudomonas
aeruginosa. Peningkatan konsentrasi 60% dan 80%, getah pelepah pisang
cenderung menyebabkan penurunan jumlah koloni Pseudomonas aeruginosa dan
peningkatan diameter zona hambatan Pseudomonas aeruginosa.
Kadar Hambat Minimal (KHM) dan Kadar Bunuh Minimal (KBM) getah
pelepah pisang terhadap pertumbuhan Pseudomonas aeruginosa tidak dapat
ditentukan dengan menggunakan metode uji dilusi tabung

DAFTAR PUSTAKA
Albert B, Bray D, Lewis J, Raff M, Roberts K, Watson JD, 1994. Biologi
Molekuler Sel Edisi II Jilid 1. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Hal:
27


PKMI-2-19-6

Anonymous, 2004. Konsumen. Suara Merdeka, 09 Juni 2004
________ , 2005. Penyembuh Luka di Sekitar Kita. Kompas, 24 Juli 2003
Dorland, 1996. Kamus Kedokteran. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta. Hal:
116, 1002
Dzen SM, Santoso S, Roekistiningsih, Winarsih S, 2003. Bakteriologi Medik.
Edisi I. Bayumedia Publishing. Malang. Hal: 16-22, 122-123, 247-251
Finegold, MS dan Baron J.E. 1986. Bailey and Scotts Diagnostic Microbiology
7
th
Edition. Mosby Company. Toronto. Hal: 182
Ganishwarna SG, Setiabudy R, Suyatna FD, Purwantyastuti, Nafrialdi, 1995.
Farmakologi dan Terapi Edisi 4. Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Jakarta. Hal: 571
Gunawan, D dan Mulyani, 2004. Ilmu Obat Alam (Farmakognosi) Jilid 1. Penebar
Swadaya. Jakarta. Hal: 77-82, 87-92
Jawetz, Melnick, and Adelberg, 1996. Mikrobiologi Kedokteran Edisi 20.
Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta. Hal: 249-251
Lukito, H. 1998. Rancangan Penelitian Suatu Pengantar. FKIP. Malang. Hal: 25-
27
Mashuri. 2004. Tannin: The Antimicrobial Coumpounds of Plants. Biology
Laboratory of UMM. Malang
Murray, PR; Patrick Ellien JO Baron; Fred C Tenover; and Robert H Yolken.
1999. Manual of Clinical Microbiology 7
th
Edition. American Society for
Microbiology, ASM Press. Washington DC. Hal: 1527-1536
Pelczar, MJ and E.C.S. Chan. 1986. Dasar-dasar Mikrobiologi Jilid 2. Penerbit
Universitas Indonesia. Jakarta. Hal: 452
Prabu, BDR. 1996. Penyakit-penyakit Infeksi Umum Jilid 1. Penerbit Widya
Medika. Jakarta. Hal: 1-2


PKMI-2-20-1
PEMANFAATAN NILAI-NILAI DIDAKTIK NYANYIAN PERMAINAN
ANAK-ANAK SAPEKEN DI PULAU SAPEKEN KECAMATAN
SAPEKEN KABUPATEN SUMENEP

Ulfa Riza Umami, Supriyadi
PS Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Muhammadiyah Malang, Malang

ABSTRAK
Nyanyian permainan anak-anak Sapeken merupakan salah satu folklor lisan yang
masih tetap bertahan di lingkungan masyarakat Sapeken sampai saat ini.
Nyanyian permainan anak-anak tumbuh dan berkembang dalam masyarakat
dengan memakai bahasa daerah setempat, yaitu bahasa Bajo, sehingga mudah
diterima oleh masyarakat. Keinginan untuk hidup lebih baik membuat masyarakat
berusaha menanamkan nilai-nilai pendidikan di semua aspek kehidupannya
dengan media dan sumber yang bermacam-macam. Penelitian ini bertujuan untuk
mengeksplorasi dan menguraikan secara objektif nilai-nilai didaktik nyanyian
permainan anak-anak Sapeken. Sumber datanya adalah peneliti sendiri dan
penduduk asli Pulau Sapeken. Teknik penelitian ini adalah teknik observasi,
wawancara, perekaman, dan dokumentasi. Hasil analisis penelitian ini
menunjukkan bahwa nilai didaktik nyanyian permainan anak-anak Sapeken
mengandung nilai pendidikan sosial yang berkaitan dengan kebersatuan hidup,
dan adil terhadap orang lain. Perwujudan nilai kebersatuan hidup berupa
laragan untuk melakukan perbuatan buruk yang dapat merugikan orang lain, dan
musyawarah dalam memecahkan masalah. Perwujudan nilai adil terhadap orang
lain berupa kebebasan untuk memilih pemimpin. Perwujudan nilai keberanian
hidup pantang menyerah dalam mewujudkan cita-cita atau menghadapi
permasalahn hidup. Perwujudan nilai kerealistisan hidup berupa rajin bekerja
dan hemat. Perwujudan nilai kejujuran berupa kesesuaian ucapan dengan
perbuatan, tidak lari dari tanggung jawab dan mendahulukan kewajiban dari
pada hak. Nilai-nilai tersebut dimanfaatkan masyarakat Sapeken membentuk
kepribadian anak-anak Sapeken.

Kata Kunci: Folklor Lisan, Nyanyian Permainan Anak-anak

PENDAHULUAN
Masyarakat Sapeken memiliki folklor lisan (bahasa rakyat, ungkapan
tradisional, cerita prosa rakyat, puisi rakyat, nyanyian rakyat); folklor sebagian
lisan (kepercayaan rakyat, permainan rakyat, adat-istiadat, upacara, pesta rakyat,
dan lain-lain); dan folklor bukan lisan (arsitektur rakyat, kerajinan tangan rakyat,
pakaian dan perhiasan tubuh rakyat, makanan dan obat-obatan tradisional). Gerak
pertumbuhan dan perkembangan masyarakat begitu cepat dan kompleks, sehingga
sebagian folklor ada yang sudah dilupakan atau punah, dan ada sebagian yang
masih bertahan.
Nyanyian permainan anak-anak Sapeken merupakan salah satu folklor
lisan yang masih tetap bertahan di lingkungan masyarakat Sapeken sampai saat
ini. Nyanyian permainan anak-anak tumbuh dan berkembang dalam masyarakat
dengan memakai bahasa daerah setempat, yaitu bahasa Bajo, sehingga mudah
diterima oleh masyarakat. Cara penyampaianya yang sederhana dan tidak diiringi
oleh alat musik apapun menyebabkan nyanyian permainan anak-anak Sapeken

PKMI-2-20-2
semakin mudah untuk dipahami, diingat, dan dipraktikkan. Keinginan untuk hidup
lebih baik membuat masyarakat Sapeken berusaha menanamkan nilai-nilai
pendidikan di semua aspek kehidupannya dengan media dan sumber yang
bermacam-macam.
Nyanyian permainan anak-anak Sapeken lebih banyak berbentuk pantun
(bersajak) yang dilagukan. Lagu satu dengan yang lainnya relatif sama dan jumlah
liriknya lebih banyak dari bentuk atau jenis permainannnya. Satu bentuk
permainan mempunyai lima lirik. Ketidakseimbangan jumlah lirik dengan jumlah
bentuk permainan maupun lagu pengaruh dari kebiasaan masyarakat Sapeken
yang senang berpantun dan bersyair pada saat menjalankan aktivitas sehari-hari,
seperti saat memancing, membuat perahu, mencari kerang, mengadakan acara
sunatan atau pernikahan, dan bahkan saat berkumpul dengan keluarga.
Pendidikan dilaksanakan di dalam suatu kesatuan hidup bersama
(masyarakat). Artinya setiap anggota masyarakat adalah pendidik bagi anggota
masyarakat lainya dengan lingkungan sebagai mediumnya. Dengan demikian
makna kehidupan ditentukan oleh nilai-nilai hidup yang mendasari persatuan
hidup bersama. Bagi masyarakat Sapeken pendidikan memiliki arti yang sangat
penting, sebab pendidikan merupakan jembatan bagi masyrakat untuk mentransfer
nilai etika, moral, dan keindahan kepada masyarakat baru (generasi muda),
sehingga hidup dan kehidupan menjadi lebih indah, harmonis dan lebih baik di
masa kini dan di masa depan.
Penelitian terhadap nyanyian permainan anak-anak Sapeken belum pernah
dilakukan, dengan demikian penelitian ini merupakan penelitian yang pertama.
Penelitian sejenis pernah dilakukan oleh Khoirul Huda dan Sri Mardiyah Utami,
tetapi objek kajian dan tujuannya berbeda. Penelitian yang dilakukan oleh Sri
Mardiyah Utami berjudul Tembang Dolanan Anak Jawa. Secara umum
penelitian ini bertujuan mendeskripsikan nilai-nilai dalam teks tembang dolanan
anak Jawa dari aspek religius dan nilai sosial.
Beberapa pernyataan dapat dijadikan acuan untuk memperoleh data
mengenai pemanfaatan nilai-nilai didaktik yang terkandung dalam nyanyian
permainan anak-anak Sapeken. Di antaranya (1) bagaimana perwujudan
nilaipendidikan sosial yang berupa kebersatuan hidup, (2) bagaimana perwujudan
nilai pendidikan sosial yang berupa adil terhadap orang lain, (3) bagaimana
perwujudan nilai pendidikan kepribadian yang berupa keberanian hidup, (4)
bagaimana perwujudan nilai pendidikan kepribadian yang berupa kerealistisan
hidup, (5) bagaimana perwujudan nilai pendidikan kepribadian yang berupa
kejujuran.
Pernyataan tersebut dijadikan bahan untuk mencapai tujuan penelitian.
Adapun tujuan tersebut adalah untuk mengeksplorasi dan menguraikan secara
objektif nilai-nilai didaktik nyanyian permainan tersebut.
Manfaat dari penelitian nyanyian permainan anak-anak Sapeken adalah
melestarikan seni dan budaya daerah Sapeken yang memiliki nilai tinggi. Dengan
nyanyian permainan ini dapat mendidik putra-puteri agar memiliki kepribadian
tinggi dalam keluarga dan masyarakat. Selain itu, agar generasi muda mengetahui
identitas suku bangsa Indonesia dengan wacana folklor dan referense penelaahan
nilai didaktik sastra Indonesia dan sastra daerah di dalam pengajaran bahasa dan
sastra Indonesia di lembaga-lembaga pendidikan.


PKMI-2-20-3
Folklor Lisan
Folklor secara keseluruhan ialah sebagian kebudayaan suatu kolektif yang
tersebar dan diwariskan turun-temurun di antara kolektif macam apa saja secara
tradisional dalam versi yang berbeda baik dalam bentuk lisan maupun contoh
yang disertai dengan gerak, isyarat atau pembantu pengingat (Danandjaya,
1994:2). Banyak orang menyamakan atau mengidentikkan folklor dengan cerita
rakyat yang hakikatnya adalah salah satu bagian dari folkor. Bruvand (dalam
Danandjaya, 1994:21) seorang ahli folklor dari Amerika Serikat menggolongkan
folklor ke dalam tiga kelompok besar berdasarkan tipenya, yaitu: (1) foklor lisan
(verbal folklor); (2) folklor sebagian lisan (partly verbal folklor); dan (3) folklor
bukan lisan (non verbal folklor).
Nyanyian rakyat merupakan salah satu sumber dan media dalam
mengaktualisasikan diri sebagai perwujudan dan pancaran dari sifat manusia yang
senang berkesenian dan bermain. Selaras dengan pandangan Brunvand (dalam
Danandjaya, 1994:141) bahwa nyanyian rakyat adalah salah satu bentuk folklor
yang terdiri dari kata-kata dan lagu yang beredar secara lisan di antara anggota
kolektif tertentu berbentuk tradisional, serta banyak mempunyai varian.
Nyanyian rakyat terbagi menjadi dua golongan. Pertama, nyanyian rakyat
yang salah satu unsurnya (lirik atau lagu) lebih menonjol atau lebih kuat.
Golongan ini disebut nyanyian rakyat yang tidak sesungguhnya. Kedua, nyanyian
rakyat yang kedua unsurnya sama-sama kuat atau seimbang di dalam
perkembangannya, yang disebut nyanyian rakyat yang sesungguhnya.
Nyanyian rakyat yang sesungguhnya berupa nyanyian rakyat yang
berfungsi, diantaranya adalah nyanyian kelonan, nyanyian kerja, dan nyanyian
permainan. Nyanyian rakyat yang bersifat liris yang berupa nyanyian rakyat liris
yang sesungguhnya, dan nhyanyian rakyat liris yng bukan sesungguhnya
(Brunvand dalam Danandjaya, 1994:146). Selain itu, nyanyian rakyat yang
bersifat berkisah (narrative folksong).
Nyanyian rakyat tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Masyarakat
adalah sekelompok orang yang mempunyai kebudayaan yang sama atau
setidaknya mempunyai sebuah kebudayaan bersama yang dapat dibedakan dari
yang dimiliki oleh kelompok lainnya. Mereka tinggal satu daerah wilayah
tertentu, mempunyai perasaan akan adanya persatuan akan anggota-anggotanya
dan menganggap dirinya sebagai satu kesatuan yang berbeda dengan yang
lainnya.
Menurut Dayakisni dan Salis Yuniardi (2004:10) budaya dapat diartikan
sebagai seperangkat sikap, nilai, keyakinan, dan perilaku yang dimiliki oleh
sekelompok orang, namun ada derajat perbedaan pada setiap individu dan
dikomunikasikan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Selanjutnya
Koentjoroningrat (1979:12) menjelaskan bahwa pada hakikatnya seluruh
kebudayaan yang ada memiliki tujuh unsur kebudayaan yang universal, dan
sekaligus merupakan isi kebudayaan yang ada di dunia. Ke tujuh unsur tersebut
meliputi sistem religi dan upacara keagamaan, sistem dan organisasi
kemasyarakatan, sistem pengetahuan, bahasa, kesenian, sistem mata pencaharaian
hidup, dan sistem teknologi dan peralatan.




PKMI-2-20-4
Hakikat Nilai dan Konsep Didaktik
Nilai merupakan bagian terpenting dalam sisi kehidupan manusia dalam
melakukan interaksi dengan manusia lainnya maupun dengan alam dan Tuhan
Yang Maha Esa. Nilai itu sifatnya abstrak sama dengan ide, tidak bisa ditangkap
oleh pancaindera, yang dapat dilihat hanyalah objek yang mempunyai nilai atau
tingkah laku yang mengandung nilai. Di sisi lain, nilai mengandung harapan,
bersifat normatif yang harus diwujudkan dalam tingkah laku manuasia. Nilai-nilai
tersebut antara lain nilai kebersatuan hidup, adil terhadap orang lain, keberanian
hidup, kerealistisan hidup, dan kejujuran.
Kebersatuan hidup memiliki persamaan arti dengan istilah kebersamaan
didefinisikan kebersamaan hidup sebagai suatu kondisi yang selaras, tenteram
tanpa perselisihan dan pertentangan serta bersatu dalam mencapai tuyjuan.
Konsep ini merupakan usaha manusia untuk menciptakan perdamaian demi
keselamatan bersama.
Adil terhadap orang lain atau keadilan merupakan tindakan yang berusaha
menjaga keselarasan masyarakat atau suatu tindakan yang berusaha meletakkan
posisi sesuatu pada posisinya. Mewujudkan suatu keadilan harus memiliki
keberanian hidup yaitu suatu semangat hidup yang membuat seseorang sanggup
menanggung resiko, untung rugi, hidup atau mati, tetapi dengan pemikiran yang
tenang dan bisa dipertanggungjawabkan.
Kerealistisan hidup adalah suatu kondisi pada manusia berupa
kesanggupan menerima kenyataan hidup yang telah dialami atau yang sedang
dialami. Kerealistisan hidup juga berarti menerima apa yang diberikan Tuhan
tanpa menginginkan milik orang lain. Kejujuran yang berarti jujur adalah tidak
pernah membohongi, menipu, menjatuhkan dan merugikan orang lain demi
keuntungan dan tujuan pribadi.
Nilai-nilai tersebut diharapkan dapat membentuk pribadi seseorang dan
memberikan kehidupan yang lebih baik bagi masyarakat. Di dalam pengertian
yang lebih umum pendidikan atau didaktik diartikan sebagai suatu proses yang
bertujuan mengubah atau membentuk mental atau watak, sikap dan tata laku
seseorang atau sekelompok orang menjadi lebih baik dan lebih dewasa serta
mampu membangun diri sendiri dan alam sekitar. Didaktik memberi aturan yang
dalam keadaan konkrit harus dilaksanakan dan dalam pelaksanaan itu harus harus
selalu memperhatikan segala macam keadaan (Pasaribu dan B. Simandjuntak,
1986:4).
Anak berkembang tidak hanya dalam segi bakatnya saja, tetapi juga buah
kerjasama antara perseorangan dan manusia sesamanya. Bertolak dari hal ini,
pendidikan juga berkaitan dengan fungsi yang luas dari pembinaan dan perbaikan
kehidupan masyarakat terutama membawa masyarakat yang baru (generasi muda)
pada penunaian kewajiban dan tanggung jawabnya di dalam masyarakat (Syam
dalam Tim Dosen FIP-IKIP, 1988:4). Adapun pendidikan berupa pendidikan
sosial dan pendidikan kepribadian.
Purwanto (1997:171) mengatakan bahwa pendidikan sosial adalah
pengaruh yang sengaja datang dari pendidik yang berguna untuk menjadikan anak
anggota yang baik dalam golongannya. Pendidikan kepribadian adalah pendidikan
yang membentuk watak anak dengan cara mendidik keempat unsur wataknya,
seperti anak harus dididik agar mempunyai kemauan yang keras untuk melakukan
segala perbuatan yang baik dan menjauhi yang buruk; memiliki persaan halus,

PKMI-2-20-5
mencintai segala sesuatu yang baik dan indah; jernih atau adil dalam mengambil
keputusan yang berkaitan dengan persoalan pribadi maupun persoalan orang lain;
memiliki empati dan simpati terhadap nasib orang lain (Kerschennsteiner dalam
Purwanto, 1997:29).

METODE PENELITIAN
Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif kualitatif,
yaitu prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata atau
tulisan. Penelitian kualitatif adalah suatu penelitian yang ditujukan untuk
mendeskripsikan dan menganalisis fenomena, peristiwa, aktivitas sosial, sikap,
kepercayaan, persepsi, pemikiran orang secara individual maupun kelompok
(Sukmadinata, 2005: 60). Penelitian ini bertujuan menggambarkan, mengungkap,
dan menjelaskan.
Data utama penelitian adalah nyanyian permainan anak-anak Sapeken
yang diperoleh dari hasil observasi dan wawancara dengan masyarakat Sapeken
yang didokumentasikan dalam bentuk rekaman, transkripsi, dan transliterasi.
Penelitian ini dilakukan pada tahun 2005 kemarin, ketika mengambil data untuk
memenuhi tugas akhir semester VI (enam) mata kuliah Penelitian Sastra Indonesia
dan Pengajaran Sastra Indonesia.
Adapun sumber data primer adalah penduduk asli pulau Sapeken. Agar
didapat data yang valid, maka teknik penelitiannya dilaksanakan dengan teknik
observasi, wawancara, perekaman dan dokumenter. Observasi dilakukan terhadap
aktivitas anak-anak dalam bermain. Observasi ini untuk memperoleh data berupa
bentuk dan simulasi permainan yang diiringi oleh nyanyian.
Wawancara dilakukan dengan tokoh masyarakat atau orang yang dianggap
paham mengenai nyanyian permainan anak-anak Sapeken. Hal ini untuk
memperoleh informasi lebih banyak dan lebih akurat mengenai nyaynian
permainan anak-anak Sapeken. Perekaman dan dokumentasi untuk merekam dan
mendokumentasikan aktivitas anak-anak dalam menyanyikan nyanyian permainan
mereka dan informasi penting mengenai nyanyian anak-anak Sapeken.

Tabel 1. Pengumpulan Data Tentang Nilai-nilai Didaktik Nyanyian
Permainan Anak-anak Sapeken

Aspek
No. Judul Transkripsi Transliterasi Interpretasi
PS PK
KH AO KbH KrH Kj


Keterangan:
PS = Nilai Pendidikan Sosial
KH = Nilai Pendidikan Sosial yang berupa Kebersatuan Hidup
AO = Nilai Pendidikan Sosial yang berupa Adil terhadap Orang Lain
PK = Nilai Pendidikan Kepribadian
KbH = Nilai Pendidikan Kepribadian yang berupa Kebersatuan Hidup
KrH = Nilai Pendidikan Kepribadian yang berupa Kerealistisan Hidup
Kj = Nilai Pendidikan Kepribadian yang berupa Kejujuran


PKMI-2-20-6
Agar pengumpulan data lancar digunakan instrumen penelitian yang
berupa peneliti sendiri sebagai instrumen utama dan instrumen pembantu berupa
kisi-kisi obeservasi, kisi-kisi wawancara, alat perekam dan pendokumentasian.
Adapun kisi-kisinya dapat dilihat pada Tabel 1..
Analisis data dalam penelitian dilakukan dalam dua tahap yaitu analisis
data selama pengumpulan data dan analisis data setelah semua data terkumpul.
Hal ini dimaksudkan untuk menghindari ketumpangtindihan data dan untuk
mempermudah proses analisis, sehingga memmperoleh hasil yang optimal.
Eriyanti (2001:10) menamakan model analisis ini dengan analisis berbentuk
siklus.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Tabel 2. Hasil Pengumpulan Data

Aspek
No. Judul Transkripsi Transliterasi Interpretasi
PS PK
KH AO KbH KrH Kj
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
1 Kedo-
Kedo
Bakke
Kedo-kedo
Bake
Penje si
Bakke
Pore ngala
Bowe
Appo
lemmbarane
Tasundit
buyohni
Bergerak-
gerak bangkai
Kemana si
bangkai
Kesana
mengambil air
Patah
pikulannya
Tertusuk
zakarnya
Nilai yang
ter-kandung
yaitu
larangan un-
tuk tidak me-
rugikan
orang lain
dalam bentuk
apa-pun

2 Bente-
bente
Nai
Bente-bente
nai
Nai lukat
Simambolo
Simambolo
Pela iye
Pela iye
Tak eem..tak
eem..tak
eem
Dayah aiko?
Dayah ikan
hias
.
Berbentur-
bentur kaki
Kaki
terkelupas
Kena bambu
Kena bambu
Semakin jadi
Semakin jadi
Tak eem..tak
eem..tak
eem
Ikan apa
kamu?
Ikan hias
Nyanyian ini
mengandung
nilai kebeba-
san untuk
me-milih

3







Reah-
reah
Suman
gat




Reah-reah
sumangat
Mennundapat
ka bulan api
Si Ettet
cannit celan
Sepulu arene
kayu bau.
Bergemerincin
g semangat
Untuk menda-
pat ke bulan
api
Si Ettet lagi
ber-jalan
Sepuluh
Nilai yang
ter-kandung
yaitu anjuran
untuk bersifat
pan-tang
menye-rah
dalam me-
wujudkan ci-









































PKMI-2-20-7


Bagai
sampan ma
tengnga
bangkau
Jaritit jale
pinggawe
Mak
enggoh
Mak buyaten
buaye
ngebbon
harinya kayu
baru.
Bagai sampan
di tengah
bakau
Baroebekan
jala nahkoda
Mak
kumbang
Mak buyarlah
buaya
mengebom
ta-cita
4 Keken
gkean
Galad
ak
Kekengkean
ga-ladak
Galadak bolo
Pepetti celeh
Didindeh
papan
Ruruma batu
Jinjit-jinjitan
pedati
Pedati bambu
Peti-peti cele-
ngan
Berdinding pa-
pan
Berumah ge-
dung
Nilai yang
ter-kandung
di dalamnya
ya-itu
anjuran untuk
rajin bekerja
dan hemat

5 Popote
an
Taberr
oh
Popotean
taberroh ma
diya kuboh
Tabaraku
dede alat
boborokan
buline
Bintang Taber-
roh di bawah
pelangi
Sangkaku
wani-ta baik
penuh borok
pantatnya
Nilai yang
ter-kandung
di dalamnya
ya-itu
anjuran untuk
menye-
suaikan uca-
pan dengan
perbuatan


Hasil analisis data dalam penelitian ini menunjukkan bahwa nilai didaktik
nyanyian permainan anak-anak Sapeken memiliki nilai pendidikan sosial dan nilai
pendidikan kepribadian. Adapun perwujudan nilai pendidikan sosial mengandung
unsur kebersatuan hidup dan adil terhadap orang lain. Nilai pendidikan
kepribadian mengandung unsur keberanian hidup, kerealistisan hidup, dan
kejujuran.

Perwujudan Nilai Pendidikan Sosial
Perwujudan nilai pendidikan sosial yang berupa kebersatuan hidup
terdapat dalam nyanyian Kedo-kedo Bakke adalah larangan untuk melakukan
perbuatan buruk yang dapat merugikan dan meresahkan orang lain dalam bentuk
apapun. Unsur yang terdapat dalam nyanyian Kedo-kedo Bakke yaitu: (a) apapun
bentuk dan jenis kejahatan tetap merupakan prilaku yang tidak terpuji dan tidak
mendapat tempat di masyarakat serta nilainya sama dengan sebuah bangkai, (b)
semua perbuatan buruk akan mendapat balasan yang sangat menyakitkan, (c)
pengaitan hukuman dengan buah zakar sangat tepat karena hal yang paling
menakutkan bagi laki-laki adalah kehilangan buah zakarnya. Nilai yang
terkandung dalam nyanyian ini dimanfaatkan dan ditanamkan pada anak untu
tidak melakukan perbuatan buruk, karena akan medapat balasan dari perbuatan
buruk tersebut.

PKMI-2-20-8
Perwujudan nilai sosial yang berupa adail terhadap orang lain terdapat
dalam nyanyian Bente-bente Nai. Bente-bente Nai adalah kebebasan untuk
memilih pemimpin. Beberapa unsurnya yaitu: (a) kebebasan untuk memilih
merupakan wujud keadilan dari seorang calon ketua dan anggota, karena bisa
memberikan rasa puas kepada kedua pihak, (b) keadilan tercipta dari kerjasama
yang baik antara pemimpin dan yang dipimpin, dan (c) keadilan itu dinamis,
berulang-ulang dan tahan uji. Nilai yang terkandung didalamnya dimanfaatkan
untuk menanamkan sikap kepemimpinan dan bijaksana dalam bermasyarakat
utamanya berorganisasi.

Perwujudan Nilai Pendidikan Kepribadian
Perwujudan nilai pendidikan kepribadian yang berupa keberanian hidup
dalam terkandung dalam nyanyian Reah-reah Sumangat. Reah-reah Sumangat
adalah pantang menyerah mewujudkan cita-cita atau menghadapai permasalahan
hidup. Unsur yang terkandung yaitu, (a) tidak ada keberhasilan tanpa suatu usaha,
(b) setiap cita-cita atau keinginan memiliki hambatan tersendiri, (c) setiap
manusia harus memiliki tujuan hidup atau cita-cita, (d) sikap pantang menyerah
merupakan sikap terbaik dalam menghadapi permasalahan hidup. Nilai yang
terkandung dimanfaatkan untuk mengajarkan anak untuk tidak mudah putus asa
dn terbiasa berjuang dalam mencapai cita-cita dan berusaha memecahkan masalah
dengan sebaik-baiknya.
Perwujudan nilai pendidikan kepribadian yang berupa kerealistisan hidup
terdapat dalam nyanyian Kekengkean Galadak. Kekengkean Galadak adalah rajin
bekerja dan hemat. Unsur yang terkandung di dalamnya yaitu, (a) kunci suatu
keberhasilan terletak pada sikap menghargai suatu pekerjaan. Dalam arti rajin
menabung dan hemat. (b) manusia adalah makhluk yang kreatif, hemat dan selalu
waspada, (c) kehidupan itu suatu proses yang berkelanjutan, dan (d) nasib
manusia ditentukan oleh dirinya sendiri bukan orang lain. Nilai yang terkandung
dimanfaatkan untuk mengajari anak sejak dini untuk mandiri, sehingga anak dapat
menentukan kepribadiannya sebagai seorang manusia yang berjiwa sosial.
Perwujudan nilai pendidikan kepribadian yang berupa kejujuran dalam
nynyian Popotean Taberroh. Popotean Taberroh adalah kesesuaian ucapan
dengan perbuatan. Unsur yang terkandung di dalamnya yaitu, (a) pencitraan
secara negatif bertujuan untuk menghadirkan efek satire, (b) hakikat perkataan
manusia terletak pada aplikasi yang benar dari ucapan, (c) kebanyakan manusia
hanya melihat kesalahan orang lain dan menganggap dirinya benar, (d) orang
yang baik adalah orang yang selalu mengoreksi dirinya sendiri. Kandungan
nilainya ditanamkan kepada anak untuk belajar berkata jujur kepada orang lain
sejak dini.
Beberapa unsur dalam nyanyian permainan anak-anak Sapeken
dimanfaatkan oleh masyarakat Sapeken dalam menanamkan nilai-nilai pendidikan
di semua aspek kehidupan. Hal ini dilakukan untuk memperbaiki hidup menjadi
lebih baik. Nyanyian permainan anak-anak ini dijadikan suatu media dalam
membentuk kepribadian yang berlandaskan nilai-nilai yang baik.

KESIMPULAN
Hasil analisis menunjukkan bahwa nilai didaktik dalam nyanyian
permainan anak-anak Sapeken mengandung nilai pendidikan sosial dan

PKMI-2-20-9
pendidikan kepribadian. Unsur yang terkait dengan nilai pendidikan sosial yaitu,
kebersatuan hidup dan adil terhadap orang lain. Nilai yang terkandung dalam
pendidikan kepribadian adalah keberanian hidup, kerealistisan, dan kejujuran.
Perwujudan nilai kebersatuan hidup berupa laragan untuk melakukan
perbuatan buruk yang dapat merugikan orang lain, dan musyawarah dalam
memecahkan masalah. Perwujudan nilai adil terhadap orang lain berupa
kebebasan untuk memilih pemimpin.
Perwujudan nilai keberanian hidup pantang menyerah dalam mewujudkan
cita-cita atau menghadapi permasalahn hidup. Perwujudan nilai kerealistisan
hidup berupa rajin bekerja dan hemat. Perwujudan nilai kejujuran berupa
kesesuaian ucapan dengan perbuatan, tidak lari dari tanggung jawab dan
mendahulukan kewajiban dari pada hak.

DAFTAR PUSTAKA
Danandjaja, James. 1994. Folklor Indonesia: Ilmu Gosip, Dongeng dan lain-lain.
Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.
Dayakisni, Tri dan Salis Yuniardi. 2004. Psikologi Lintas Budaya. Malang: UMM
Press.
Eriyanti, Ribut Wahyu. 2001. Identifikasi Permasalahan yang Dihadapi Guru
Bahasa dan Sastra Indonesia di SMP Swasta Kota Madya Malang dalam
Melaksanakan Kurikulum 1994. (Usulan Penelitian Dosen Muda tidak
diterbitkan). Malang: FKIP-Universitas Muhammadiyah Malang.
Koentjaraningrat. 1979. Kebudayaan Mentalitet dan Pembangunan. Jakarta:
Gramedia.
Pasaribu, I.L. dan B. Simandjuntak, 1986. Didaktik dan Metodik. Bandung:
Tarsito.
Purwanto, M. Ngalim. 1997. Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis. Bandung:
Remaja Rosdakarya.
Sukmadinata, Nana Syaodih. 2005. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: PT
Remaja Rosdakarya.
Tim Dosen FIP-IKIP Malang. 1988. Pengantar Dasar-Dasar Kependidikan.
Surabaya: Usaha Nasional.
Utami, M. Sri. 1995. Tembang Dolanan Jawa (Sebuah Tinjauan Folklor). Skripsi
tidak diterbitkan: UMM.


PKMI-3-1-1

MAKNA FILOSOFIS PADA UKIRAN ITIAK PULANG PATANG
DALAM ADAT MINANGKABAU

Syayid Sandi Sukandi, Eka Tizar, Andi Asrizal
Fakultas Sastra, Universitas Andalas, Padang


ABSTRAK
Dalam masyarakat Minangkabau dikenal tiga macam jenis ukiran. Ketiga ukiran
tersebut terinspirasi dari alam. Perbedaannya didasarkan kepada inspirasi dari
motif ukiran. Pertama, ukiran yang terinspirasi dari nama tumbuh-tumbuhan
seperti Aka Duo Gagang, Aka Barayun dan Kaluak Paku jo Kacang Balimbiang.
Kedua, ukiran yang terinspirasi oleh nama hewan seperti Itiak Pulang Patang,
Ruso Balari dalam Ransang dan Tupai Managun. Ketiga, ukiran yang terinspirasi
dari nama benda dalam kehidupan sehari-hari seperti Ampiang Taserak,
Limpapeh dan Ambun Dewi. Penulisan ini bertujuan untuk membahas dan
menginterpretasikan makna filosofis yang terkandung dalam ukiran Itiak Pulang
Patang yang mencerminkan pola kehidupan masyarakat Minangkabau. Ukiran
ini pada umumnya banyak terdapat di dinding Rumah Adat Minangkabau yang
terkenal dengan nama Rumah Gadang. Adapun pendekatan yang digunakan
dalam penulisan adalah pendekatan teoretik yaitu pendekatan yang dilakukan
untuk menelaah ukiran Itiak Pulang Patang berdasarkan suatu teori, dalam hal
ini teori filosofi mengenai estetika. Sedangkan metode analisis yang dipakai
adalah metode analisis aposteriori, yakni. suatu metode analisis yang dilakukan
secara konsepsional mengenai ukiran Itiak Pulang Patang dengan merujuk
kepada pengertian-pengertian yang sudah ada dan menjadi pola hidup
masyarakat Minangkabau yang didasarkan kepada pepatah Alam Takambang
Jadi Guru. Dalam tulisan ini diketahui bahwa ukiran Itiak Pulang Patang
ternyata memiliki enam makna filosofis yang terlihat dalam kehidupan
masyarakat Minangkabau yang masih ada dan dipertahankan samapai sekarang.
Makna tersebut adalah pertama, mengenai keselarasan dan keserasian kehidupan
masyarakat Minangkabau dengan alamnya; kedua, tata pergaulan dalam
kehidupan sehari-hari antar individu dalam masyarakat; ketiga, tatanan sistem
pemerintahan; keempat, hubungan sinergis pada hubungan system kekerabatan
antara mamak dan kemenakan; kelima, keteguhan dalam menjalankan prinsip-
prinsip hidup; keenam, kebersamaan dan kekompakan dalam kehidupan
masyarakat Minangkabau.

Kata kunci : Makna Filosofis, Ukiran, Itiak Pulang Patang, Adat Minangkabau.

PENDAHULUAN

Bangsa Indonesia adalah bangsa yang kaya akan seni dan budaya
(Widagho, Djoko,dkk. 2001). Kekayaan yang dikandungnya tidak hanya berupa
materi seperti sumber daya alam namun juga berupa kekayaan abstrak yang ada
dan senantiasa dianut dan dipelihara ditengah-tengah masyarakat Indonesia
seperti kesenian dan kebudayaan yang beragam. Kebudayaan, menurut


PKMI-3-1-2

Koetjaraningrat (1994 : 115) Kebudayaan adalah keseluruhan manusia dari
kelakuan dan hasil kelakuan yang teratur oleh tata kelakuan yang harus
didapatnya dengan belajar dan yang semuanya tersusun dalam kehidupan
masyarakat. Di dalam kebudayaan terdapat unsur-unsur kebudaayaan. Unsur-
unsur kebudayaan tersebut adalah unsur pengetahuan, unsur mata pencaharian
hidup atau unsur ekonomi, unsur peralatan atau teknologi, unsur kekerabatan,
unsur religi atau kepercayaan, unsur bahasa dan unsur kesenian. Lebih lanjut
Koentjaraningrat (1994) juga menjelaskan tentang seni. Menurutnya seni dibagi
atas seni rupa dan seni suara. Seni rupa terbagi atas seni bangunan, seni relief, seni
patung, seni lukis atau gambar, seni rias, seni kerajinan, dan seni olah raga.
Sedangkan seni suara terbagi atas seni musik dan seni vokal.
Salah satu contohnya adalah kesenian dan kebudayaan di Sumatera Barat.
Kebudayaan tersebut adalah kebudayaan Minangkabau. Kebudayaan ini banyak
memiliki rangkaian Mustika Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah.
Adat Basandi Syarak maksudnya adalah Adat kebudayaan orang Minangkabau
berlandaskan Syarak. Syarak artinya Agama, yakni Agama Islam (Hakimy, Dt.
Rajo Panghulu, Idrus. 1994). Kenyataan bahwa kebudayaan Minangkabau sangat
unik dan wajib untuk dilestarikan kepada setiap generasinya adalah suatu hal yang
tidak terelakkan. Di samping berperan untuk memperkaya khasanah kebudayaan
bangsa Indonesia tapi Kebudayaan Minangkabau juga berperan sebagai identitas
bangsa Indonesia.
Aspek seni rupa yang menonjol pada kesenian Minangkabau adalah seni
bangunan. Seni bangunan pada bangunan tradisional Minangkabau -Rumah
Gadang- merupakan perpaduan seni arsitektur dan seni ukiran. Seni ukiran selalu
terdapat pada Rumah Gadang bahkan pada setiap Rumah Gadang. Siat, Hasni,
Rusmita dan Riza Mutia. (1998/1999) , menerangkan bahwa ukiran tradisional
Minangkabau terbagi atas tiga jenis berdasarkan inspirasi terbentuknya ukiran.
Pertama adalah ukiran yang terinspirasi dari nama tumbuh-tumbuhan seperti Aka
Barayun, Aka Duo Gagang, Aka Taranang, Bungo Anau, Buah Anau, Bungo
Taratai dalam Aie, Daun Puluik-puluik, Daun Bodi jo Kipeh Cino, Kaluak Paku
Kacang Balimbiang, Siriah Gadang dan Siriah Naiak. Kedua, adalah ukiran yang
terinspirasi dari nama hewan, seperti Ayam Mancotok dalam Kandang, Bada
Mudiak, Gajah Badorong, Harimau dalam Parangkok, Itiak Pulang Patang,
Kuciang lalok, Kijang Balari dalam Ransang dan Tupai Managun dan yang
terakhir adalah ukiran yang terinspirasi dari benda-benda yang dipakai dalam
kehidupan sehari-hari seperti Ambun Dewi, Aie Bapesong, Ati-ati, Carano Kanso,
Jalo Taserak, Jarek takambang, Jambua Cewek Rang Pitalah, Kaluak Baralun,
Lapiah Duo, Limpapeh, Kipeh Cino dan Sajamba Makan.
Semua jenis ukiran tersebut diatas menunjukkan bahwa unsur penting
pembentuk budaya Minangkabau bercerminkan kepada apa yang ada di alam. Hal
ini sesuai dengan yang disampaikan oleh Marah, Risman (1987/1988) bahwa
budaya Minangkabau adalah suatu budaya yang berguru kepada alam dengan
istilahnya Alam Takambang Jadi Guru. Pernyataan ini memiliki pengertian bahwa
hampir semua aspek kehidupan masyarakat Minangkabau berinspirasikan kepada
alam.
Tidak banyak literatur mengenai ukiran tradisional Minangkabau.
Kalaupun ada, hanya membahas bagian umumnya dan tidak mencakup hubungan
ukiran tersebut dengan sendi-sendi nilai kehidupan masyarakat Minangkabau.


PKMI-3-1-3

Maka, berdasarkan uraian di atas, tulisan ini bertujuan untuk membahas unsur
kesenian yang ada di dalam kebudayaan Minangkabau dengan menggambarkan
falsafah hidup masyarakat Minangkabau. Namun secara khusus tulisan ini lebih
menitikberatkan kepada ukiran Itiak Pulang Patang dengan menginterpretasikan
dan menelaah makna filosofis ukiran dengan motif Itiak Pulang Patang.

METODE PENDEKATAN

Penulisan mengenai Makna Filosofis pada Ukiran Itik Pulang Patang
dalam Adat Minangkabau ini menggunakan pendekatan teoritis dengan
menggunakan teori yang relevan untuk mendukung pembahasan topik tulisan ini.
Teori yang akan digunakan adalah teori tentang makna dan teori tentang filosofi.
Pengertian makna di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1989) , merupakan
pesan yang terdapat pada suatu hal. Hal tersebut bisa berupa benda berwujud atau
benda tak berwujud. Antara filosofi dan estetika saling berhubungan. Estetika
merupakan masalah-masalah konsepsional yang berhubungan dengan baik
keindahan alami, seperti pegunungan dan matahari terbenam, atau seperti hasil
karya seni seperti hasil lukisan dan simfoni atau nada (Earle, William James.
1992) Sedangkan kata filosofi merupakan bentuk kata sifat dari filsafat. Dengan
kata lain, segala sesuatu yang ada di dunia ini yang berhubungan dengan filsafat
memiliki nilai-nilai filosofis. Maka dapat disimpulkan secara analogi bahwa yang
dimaksud dengan makna filosofis adalah makna yang dibentuk oleh pemikiran
tentang suatu objek yang berkaitan dengan satu atau beberapa aspek kajian
filsafat.
Adapun pendekatan yang dipergunakan dalam tulisan ini adalah salah satu
metode penelitian filsafat yaitu metode analisis-aposteriori (Sudarto:1966).
Metode analisis-aposteriori adalah suatu metode pendekatan yang digunakan
untuk melakukan penelaahan secara konsepsional berdasarkan pengalaman
indrawi manusia atas suatu pernyataan, sehingga dapat diperoleh kejelasan arti
yang terkandung dalam pernyataan tersebut.. Oleh karena itu penjelasan makna
filosofis ukiran Itiak Pulang Patang ialah penelaahan secara konsepsional atas
pernyataan makna ukiran Itiak Pulang Patang dengan menilik kepada
pengertian-pengertian yang sudah ada terutama yang berhubungan dengan
pengalaman indrawi masyarakat Minangkabau. Hasilnya terdapat beberapa makna
yang secara implisit terkandung dalam seni ukir masyarakat Minangkabau
khususnya, dalam hal ini ukiran Itiak Pulang Patang yang dapat dijabarkan dalam
tulisan ini.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Bentuk Ukiran Itiak Pulang Patang

Sebagaimana telah diuraikan pada bagian sebelumnya bahwa seni ukiran
di Minangkabau pada hakikatnya terinspirasi oleh alam. Hal ini sesuai dengan
falsafah orang Minangkabau yaitu Alam Takambang Jadi Guru. Oleh karena itu,
banyak sekali motif-motif ukiran yang terdapat di Ranah Minang yang
mencerminkan alam yang diantaranya terlihat pada gambar-gambar berikut :


PKMI-3-1-4

Contoh salah satu gambar dari masing-masing jenis ukiran.


Gambar 1. Ukiran Daun Bodi jo Kipeh Cino sebagai ukiran yang terinspirasi dari
nama tumbuh-tumbuhan.



Gambar 2. Ukitan Itiak Pulang Patang sebagai ukiran yang terinspirasi dari nama
hewan.


Gambar 3. Ukiran Limpapeh sebagai ukiran yang terinspirasi dari nama benda
dalam kehidupan sehari-hari.

Menurut informasi yang tertulis di situs www.geocities.com/pakguruonline
menjelaskan bahwa letak ukiran pada Rumah Gadang di Minangkabau bervariasi.
Hal ini didasarkan kepada keberadaan motif besar dan motif kecil. Motif besar
dan motif kecil dapat dibedakan berdasarkan kepada luas bidang datar yang
ditempatinya. Sementara posisi letak ukiran di Rumah Gadang terbagi atas tiga
penempatan. Penempatan tersebut yaitu pada anjung rumah (bagian depan rumah),
pada badan rumah dan pada tempat-tempat umum lainnya.
Berdasarkan namanya, ukiran Itiak Pulang Patang termasuk kategori
ukiran yang terinspirasi oleh nama hewan yaitu Itiak. Nama ukiran ini terdiri
atas tiga kata yaitu Itiak, Pulang dan Patang. Itiak adalah itik, Pulang
adalah kembali dari perjalanan atau suatu daerah tujuan dan Patang memiliki
dua arti yaitu kemarin dan senja hari. Dalam konteks ini, Patang artinya adalah
senja hari. Jadi secara harfiah, Itiak Pulang Patang berarti itik yang baru kembali
dari perjalanannya di waktu senja. Contoh gambar ukiran Itiak Pulang Patang
dapat dilihat pada gambar 4 dan 5.


Gambar 4. Ukiran Itiak Pulang Patang dalam bentuk sketsa.


PKMI-3-1-5


Gambar 5. Gambar Foto Ukiran Itiak Pulang Patang di bagian Paso-Paso
Rumah Gadang (Museum Adityawarman).

Jika dilihat dengan jelas bentuk ukiran ini pada gambar diatas terlihat
keunikannya yang terletak pada penamaan ukiran itu sendiri. Sebuah petanyaan
yang mungkin muncul adalah mengapa harus menggunakan kata Itiak dan tidak
menggunakan kata Ayam? Jawaban dari pertanyaan ini merujuk kepada sifat
yang dimiliki oleh kedua hewan tadi. Itik apabila terkena lumpur dan bertelur,
tidak nampak perubahan yang signifikan terjadi pada tubuhnya.Tubuhnya tetap
bersih dan seimbang serta terkesan lihai dalam bergerak. Sedangkan ayam, jelas
sekali nampak perbedaannya terutama pada sang betina pada saat setelah bertelur.
Tubuhnya menjadi bulat dan terkesan lamban. Sehingga kata Itiak yang lebih
sesuai menggambarkan karakteristik budaya Minang yang tidak berubah dalam
kondisi apapun.
Keunikan lain yang dapat dilihat adalah bahwa ukiran ini dimulai dari
tengah dengan bentuk dua ukiran yang bertolak belakang (satu ke kiri dan yang
lainnya kekanan). Posisi titik pisah ukiran yang terletak ditengah-tengah memiliki
maksud sebagai kampung halaman, sebagai pusat, di mana setiap orang Minang
yang menetap ataupun merantau bertemu kembali. Arah yang berlawanan pada
arah itik bermaksud sifat orang Minang yang suka merantau dan menyebar di
seluruh pelosok negeri dalam mencapai tujuan hidupnya.
Penempatan ukiran Itiak Pulang Patang di Rumah Gadang terutama
sekali di bagian anjung rumah yaitu pada paso-paso, bidang yang tidak terlalu luas
tapi memanjang, pada rangkiang dan pada tempat-tempat yang umum lainnya
seperti pada tepi ukiran besar dan lesplank atau les tempe.
Contoh gambar terdapatnya ukiran Itiak Pulang Patang di Rumah
Gadang dapat dilihat pada gambar 6, 7 dan 8.



Gambar 6. Rangkiang di sebelah kanan Rumah Gadang.



PKMI-3-1-6


Gambar 7. Anjung Rumah Gadang


Gambar 6. Rangkiang di sebelah kiri Rumah Gadang

Makna Filosofis pada ukiran Itiak Pulang Patang.

Di dalam konteks budaya dan adat Minangkabau, makna filosofis yang
dikandung dalam ukiran Itiak Pulang Patang ini sangat beragam. Keragaman
ini terjadi karena variasi sudut pandang masyarakat Minangkabau dalam
memberikan persepsi terhadap ukiran itu sendiri. Ukiran Itiak Pulang Patang
memiliki arti filosofis yang sangat mendalam yang dipengaruhi oleh falsafah adat
Minangkabau yakni Alam Takambang Jadi Guru.. Bagi orang Minang, alam
sekelilingnya adalah guru sebenar-benar guru. Banyak sifat-sifat alam yang dapat
dijadikan panutan dalam kehidupan sehari-hari. Alam yang dinamis dijadikan
sumber pembelajaran bagi orang Minangkabau. Aspek kehidupan mereka yang
bersumberkan kepada alam diimplementasikan dalam berbagai bentuk. Salah
satunya dalam bentuk seni ukir seperti ukiran Itiak Pulang Patang. Bagi
masyarakat Minang kesadaran bahwa manusia adalah bagian dari alam
menimbulkan pemahaman tentang manusia dan segala macam isi alam saling
berdampingan dan membutuhkan satu sama lainnya. Dibutuhkan keserasian antara
satu sama lainnya sehingga kehidupan berjalan sebagaimana mestinya.. Hal ini
merupakan makna pertama dari ukiran Itiak Pulang Patang.
Selanjutnya, makna kedua yang tercermin dalam ukiran ini adalah
mengenai tata pergaulan dalam kehidupan sehari-hari antar individu dalam
masyarakat. Dalam konteks ini, lebih dititikberatkan adalah pada pergaulan anak
gadis Minangkabau. Bagi masyarakat Minang kaum perempuan sangat
ditinggikan posisinya sebagai Bundo Kanduang. Seorang gadis akan pulang


PKMI-3-1-7

sebelum larut malam layaknya itik yang pulang ke kandang bila hari sudah petang
dengan sendirinya. Aib akan membuat keluarga dan lingkungan si anak gadis
menjadi malu bila hal ini diabaikan oleh si gadis. Nilai moral inilah yang
diingatkan oleh ukiran Itiak Pulang Patang.
Makna ketiga mengenai tatanan sistem pemerintahan. Dalam hal
keselarasan dan keharmonisan dalam tatanan pemerintahan layaknya pada
keteraturan barisan itik yang pulang ke kandang di sore hari. Tata pemerintahan
yang diterapkan pada masyarakat Minangkabau adalah tata pemerintahan yang
rapi dan tertata dengan aturan-aturan yang jelas atas kesepakatan dari ninik
mamak. Pola pemerintahan disebut dengan Laras. Ada dua kelarasan di
Minangkabau yaitu Laras Bodi Caniago, dipimpin oleh Datuak Parpatiah nan
Sabatang dan Laras Koto Piliang, dipimpin oleh Datuak Katumanggungan .
Kedua laras ini berbeda dalam hal sistemnya. Laras Bodi Caniago bersistem
mambasuik dari bumi (segala keputusan menurut kehendak rakyat) sedangkan
Laras Koto Piliang bersistem Titiak dari Ateh (segala keputusan menurut pola
pikir pimpinan). Walaupun berbeda sistem, namun dalam pelaksanaannya kedua
laras ini dijalankan dalam keteraturan tanpa perselisihan.
Makna ke empat adalah hubungan sinergis pada hubungan sistem
kekerabatan antara mamak dan kemenakan. Seorang kemenakan akan selalu
mengikuti kebijakan mamaknya selama tidak bertentangan dengan Agama Islam
dan Hukum Adat. Hal ini terlihat dari sifat itik yang selalu mengikuti itik yang
berada di depannya. Itik ke dua mengikuti langkah itik pertama, itik ke tiga
mengikuti lankah itik yang ke dua, demikian seterusnya.
Itik pertama disimbolkan sebagai mamak dan itik ke dua adalah
kemenakan yang pada akhirnya akan menjadi mamak bagi itik ke tiga dan
demikian selanjutnya. Mamak adalah saudara laki-laki dari ibu si anak dan
kemenakan adalah anak dari saudara perempuan mamak. Antara mamak dan
kemenakan terdapat hubungan simbiosis mutualisme. Hal ini tersirat pada bait
berikut ini: Biriak-biriak turun ke samak, dari samak mamakan padi. Dari niniak
turun ke mamak, dari mamak turun ke kemenakan.(Birik-birik turun ke semak,
dari semak memakan padi. Dari ninik turun ke mamak, dari mamak turun ke
kemenakan.) Jadi, makna bait di atas menunjukkan tentang hubungan yang turun
temurun antara mamak dan kemenakan. Posisi mamak akan diturunkan kepada
kemenakan dan kemenakan pun akan menjadi mamak. Begitu selanjutnya
sehingga menciptakan suatu hubungan yang bersinergis. Layaknya itik yang
selalu berkesinambungan dalam barisannya. Itik pertama dibutuhkan oleh itik ke
dua sebagai pemandu jalan dan begitu pun itik ke dua dibutuhkan oleh itik
pertama untuk mengatur barisan bagi itik ke tiga dan itik selanjutnya, sehingga
membentuk suatu kesatuan utuh yang kuat hingga sampai ke kandang sebelum
senja hari.
Makna kelima mengenai keteguhan dalam menjalankan prinsip-prinsip
hidup. Sikap hidup orang Minang yang selalu teguh pendirian dan konsekuen
dalam menjalani prinsip-prinsip hidup yang telah dihayati dan dijalankan sejak
dahulu. Barisan itik yang teratur dan terarah mencerminkan kekonsekuensian dan
keteguhan pendirian serta prinsip hidup orang Minang dalam mengisi
kehidupannya baik dengan agama maupun dengan ilmu pengetahuan.
Makna keenam mengenai kebersamaan dan kekompakan dalam
masyarakat. Dalam menghadapi masalah-masalah masyarakat Minangkabau


PKMI-3-1-8

mengutamakan pemecahan masalah dengan musyawarah mufakat. Apabila sudah
didapat kata mufakat, maka apapun keputusan itu akan dijalankan secara kompak
bersama-sama. Tidak akan ada itik yang memisahkan diri dari rombongan atau
barisan. Barisan itik akan tetap bersama dan mempertahankan formasinya sampai
mereka tiba di kandang. Jadi, sebelum tujuan hidupnya tercapai, sekelompok
orang Minang yang sudah terikat dengan satu komitmen bersama tidak akan
pernah melepaskan ikatan kebersamaannya.

KESIMPULAN
Adat Minangkabau adalah satu dari sebagian kecil warisan budaya lokal
yang masih bertahan hingga hari ini. Sebagai kekhasan yang paling menonjol
adalah seni ukir. Kekayaan aset berupa seni ukir masih terus dipertahankan hingga
hari ini. Bukan hanya secara lahiriah, namun juga secara lebih mendalam, makna-
makna filosofis yang terkandung pada ukiran tersebut masih tetap diupayakan
untuk dipegang teguh sebagai falsafah hidup masyarakat Minangkabau. Bentuk-
bentuk ukiran dikembangkan dengan mengambil inspirasi dari tiga hal yaitu nama
tumbuh-tumbuhan, nama hewan dan nama benda-benda yang dipakai dalam
kehidupan sehari-hari.
Salah satu ukiran yang mengandung makna filosofis tinggi adalah ukiran
yang terinspirasi dari hewan, yaitu itiak pulang patang. Pada ukiran ini
terkandung makna filosofis yaitu menggambarkan keselarasan dan keserasian
kehidupan masyarakat Minangkabau dengan alamnya, tata pergaulan dalam
kehidupan sehari-hari antar individu dalam masyarakat, tatanan sistem
pemerintahan, hubungan sinergis pada hubungan sistem kekerabatan antara
mamak dan kemenakan, keteguhan dalam menjalankan prinsip-prinsip hidup serta
kebersamaan dan kekompakan dalam masyarakat Minangkabau.


PKMI-3-2-1
UJI KETAHANAN KOROSI TEMPERATUR TINGGI (550
O
C)
DARI LOGAM ZIRKONIUM DAN INGOT PADUAN Zr-Mo-Fe-Cr
SEBAGAI KANDIDAT KELONGSONG (CLADDI NG)
BAHAN BAKAR NUKLIR

Beni Hermawan, Incik Budi Permana, Robi Martin, dan Misbahuddin Nur
Jurusan Kimia FMIPA Universitas Lampung, Jl Prof. Soemantri Brojonegoro
No.1 Bandar Lampung, Indonesia 35143

ABSTRAK
Kebutuhan akan energi listrik saat ini terus meningkat. Pembangkit Listrik
Tenaga Nuklir (PLTN) merupakan salah satu sumber energi listrik yang cukup
efisien dibandingkan dengan sumber energi listrik lainnya. PLTN memerlukan
suatu pengamanan yang lebih, salah satunya adalah pengamanan kelongsong
(cladding) bahan bakar nuklir. Dalam kerja praktek ini, telah diuji ketahanan
logam zirkonium dan Paduan Zr-Mo-Fe-Cr sebagai kelongsong bahan bakar
terhadap korosi pada temperatur 550
o
C selama 24 jam, dengan dialiri uap air.
Hasil uji korosi mengunakan Magnetic Suspension Balance (MSB) menunjukkan
bahwa Paduan Zr-Mo-Fe-Cr mempunyai ketahanan korosi lebih besar
dibandingkan dengan logam zirkonium. Mikrostruktur permukaan logam
zirkonium dan Paduan Zr-Mo-Fe-Cr yang terkorosi dikarakterisasi dengan
menggunakan Scanning Electron Microscope (SEM) dan X-Ray Difractometer
(XRD).

Kata kunci : PLTN, cladding, korosi, logam zirkonium, Paduan Zr-Mo-Fe-Cr

PENDAHULUAN
Kebutuhan akan energi listrik di Indonesia saat ini terus meningkat.
Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) merupakan salah satu alternatif sumber
energi listrik yang menjanjikan di masa depan, di mana efisiensinya lebih besar
dibandingkan dengan pembangkit-pembangkit listrik lainnya. Energi yang
dihasilkan adalah sebesar 17 milyar kilo kalori, atau setara dengan energi yang
dihasilkan dari pembakaran 2,4 juta kilogram (2.400 ton) batubara. Energi ini
berasal dari panas yang dikeluarkan dari pembelahan inti satu kilogram bahan
bakar nuklir
235
U (Akhadi, 1997).
Selain efesiensi yang besar, PLTN juga memiliki resiko yang lebih besar
dibandingkan dengan pembangkit listrik lainnya. Oleh karena itu, PLTN
memerlukan suatu pengamanan yang lebih dibandingkan dengan pembangkit
lainnya. Salah satunya adalah masalah kelongsong (cladding) bahan bakar nuklir.
Masalah kelongsong sangat penting karena bahan bakar yang digunakan dalam
PLTN (
235
U) dapat menghasilkan radiasi sehingga tidak sembarang bahan dapat
digunakan sebagai kelongsong (Akhadi,1997).
Syarat utama suatu bahan dapat digunakan sebagai kelongsong adalah
harus mampu mengungkung unsur-unsur hasil fisi sehingga unsur-unsur tersebut
tidak akan larut dalam air pendingin atau keluar dari teras reaktor. Selain itu,
bahan yang digunakan harus tahan terhadap korosi pada temperatur tinggi baik
dalam kondisi uap dan air. Ini dilakukan agar efisiensi daya dari bahan bakar
dapat dicapai dengan mudah. Efisiensi daya akan mudah dicapai jika temperatur
operasi teras dinaikkan menjadi antara 400-600
o
C (Sugondo dan Futichah, 2005).

PKMI-3-2-2
Saat ini, logam Paduan Zr-Mo-Fe-Cr merupakan salah satu kandidat bahan
struktur elemen bahan bakar nuklir di masa mendatang. Paduan zirkonium ini
dibuat dari campuran serbuk Zr, Mo, Fe, dan Cr dengan persentase berat tertentu
di dalam tungku, pada kondisi vakum untuk menghasilkan ingot (bongkahan).
Berdasarkan hasil-hasil penelitian sebelumnya (Sungkono, 1999 & 2004, Sugondo
dan Futicah, 2005) diperkirakan bahwa penambahan unsur Mo antara 0,3%
sampai 1,3%, Fe hingga 1,0% dan Cr hingga 1,6% akan meningkatkan ketahanan
korosi dari Paduan zirkonium dalam uap air jenuh pada temperatur tinggi.
Korosi secara umum didefinisikan sebagai suatu peristiwa kerusakan atau
penurunan kualitas suatu bahan yang disebabkan oleh terjadinya reaksi dengan
lingkungannya. Korosi pada logam (perkaratan) yaitu peristiwa perusakan pada
logam yang disebabkan oleh reaksi oksidasi. Kerusakan terhadap logam-logam
tersebut dipengaruhi oleh adanya gas oksigen, amonia, klorida, air, larutan garam,
basa, asam, dan juga akibat arus listrik. Pada umumnya korosi yang paling banyak
terjadi adalah korosi oleh udara dan air (Fontana, 1986). Banyak cara yang dapat
dilakukan untuk mencegah korosi diantaranya adalah dengan pelapisan pada
logam, proteksi katodik, penambahan inhibitor, dan membuat Paduan logam yang
tahan terhadap korosi.
Berdasarkan uraian diatas, maka pada kerja praktek ini akan diuji
ketahanan korosi dari Paduan Zr-Mo-Fe-Cr pada temperatur tinggi dengan
menggunakan instrumen Magnetic Suspension Balance (MSB), dan sebagai
pembanding digunakan logam zirkonium standar dengan tanpa penambahan unsur
logam lainnya. Temperatur proses yang dipilih adalah temperatur 550
O
C. Hal ini
dikarenakan temperatur 550
O
C merupakan salah satu temperatur yang ideal agar
efisiensi daya dari bahan bakar nuklir menjadi tinggi. Morfologi dan lapisan
oksida yang terbentuk pada permukaan Paduan zirkonium yang terkorosi,
dikarakterisasi menggunakan Scanning Elektron Microscope (SEM) dan X-Ray
Difractometer (XRD).

METODE PENDEKATAN
Waktu dan Tempat
Kerja Praktek ini dilaksanakan pada bulan Agustus-September 2005 di
Pusat Penelitian dan Pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Bahan
Badan Tenaga Nuklir Nasional (P3IB-BATAN) Serpong Tangerang. Preparasi
sampel hingga karakterisasi dilakukan di P3IB-BATAN.

Preparasi Sampel
Logam standar dan Paduan zirkonium diamplas dengan kertas amplas
grade 120, 400, 600, 800, 1000, 1200, 1500, dan 2000 menggunakan mesin poles
sampai permukaan logam halus dan bersih dari zat pengotor seperti lemak atau
oksida yang melekat pada sampel.
Logam dan Paduan zirkonium yang telah diamplas kemudian direndam
dalam larutan etanol selama lima menit untuk menghilangkan lemak-lemak yang
masih melekat pada sampel. Sampel dikeringkan dengan tisu dan diusahakan tidak
tersentuh oleh tangan atau kotoran yang lain.




PKMI-3-2-3
-0.2
0
0.2
0.4
0.6
0.8
1
1.2
1.4
1.6
1.8
0 200 400 600 800 1000 1200 1400 1600
Waktu (menit)
P
e
r
u
b
a
h
a
n

M
a
s
s
a

(
m
G
r
a
m
)
Zr Standar
Zr-Mo-Fe-Cr
Oksidasi dengan Magnetic Suspension Balance (MSB)
Sampel yang telah dibersihkan dan dikeringkan, kemudian dioksidasi
menggunakan peralatan analisis termal Magnetic Suspension Balance (MSB)
selama 24 jam pada temperatur 550
o
C dengan dialiri uap air demineralisasi.

Karakterisasi dengan X-Ray Diffractometer (XRD)
Sampel logam zirkonium standar dan Paduan zirkonium yang telah
mengalami oksidasi dikarakterisasi dengan X-Ray Diffractometer (XRD). Alat ini
telah dihubungkan dengan sebuah komputer yang dilengkapi dengan JCPDS
database.

Karakterisasi dengan Scanning Elektron Microscope (SEM)
Permukaan logam zirkonium standar dan Paduan zirkonium yang telah
terkorosi dikarakterisasi menggunakan Scanning Electron Microscope (SEM).
Sebelum dianalisis, logam zirkonium standar dan Paduan zirkonium harus dilapisi
dengan bahan pelapis (coating) yang dapat menghantarkan panas (konduktor).

HASIL DAN PEMBAHASAN
Oksidasi dengan Magnetic Suspension Balance (MSB)
Pengaruh temperatur terhadap laju korosi logam zirkonium standar dan
Paduan zirkonium dilakukan dengan menggunakan Magnetic Suspension Balance
(MSB) pada temperatur 550
o
C selama 24 jam dengan dialiri uap air.
Dari Gambar 1, diketahui bahwa Paduan logam Zr-Mo-Fe-Cr mempunyai
laju korosi yang lebih lambat dibandingkan dengan logam zirkonium standar, hal
ini dapat dilihat dari perubahan massa terhadap waktu korosi. Pada Paduan
zirkonium produk korosi yang terbentuk lebih sedikit dibandingkan dengan
zirkonium standar, sehingga Paduan zirkonium mengalami pertambahan massa
yang lebih sedikit dibandingkan dengan zirkonium standar. Hal ini disebabkan
oleh adanya unsur Mo dalam Paduan zirkonium yang dapat membentuk lapisan
oksida (MoO
2
). Lapisan oksida ini dapat menghambat peristiwa oksidasi,
sehingga semakin banyak lapisan oksida yang terbentuk maka laju korosi akan
semakin menurun.














Gambar 1. Grafik hasil oksidasi logam zirkonium standar dan Paduan
zirkonium pada suhu 550
o
C selama 24 jam dalam suasana uap air

PKMI-3-2-4
Karakterisasi dengan X-Ray Difractometer (XRD)
Senyawa oksida yang terbentuk pada permukaan logam zirkonium dan
Paduan Zr-Mo-Fe-Cr dikarakterisasi dengan XRD. Puncak-puncak dari logam dan
senyawa oksidanya yang terbentuk dapat dilihat pada gambar 2 dan 3.
Logam zirkonium dan Paduannya yang telah dioksidasi ditembakkan oleh
sinar-X pada sudut tertentu. Berdasarkan hasil dari difraksi sinar-X terbentuk
puncak-puncak yang menunjukkan adanya logam zirkonium dan Paduannya
beserta senyawa-senyawa oksida yang terbentuk dengan intensitas yang tinggi.
Pada Tabel 1 dan Tabel 2 dituliskan unsur-unsur atau senyawa-senyawa oksida
yang terbentuk dari difraksi sinar-X terhadap logam zirkonium dan Paduannya.
Dalam Tabel 1 dan 2 dituliskan bahwa hasil dari difraksi sinar-X pada
logam Zr standar, terdapat puncak dari logam zirkonium dan oksidanya. Senyawa
oksida yang terbentuk hanya satu macam yaitu ZrO
2
,

sedangkan pada Zr-Mo-Fe-
Cr terdapat lebih dari satu senyawa oksida yang terbentuk. Senyawa oksida itu
diantaranya adalah ZrO
2
dan MoO
2
. Senyawa-senyawa oksida ini bersifat isolator
(tidak menghantarkan arus), yang membentuk lapisan film fasif yang akan
menghambat laju korosi. Selain dari ZrO
2
dan MoO
2
, senyawa oksida yang
kemungkinan terbentuk adalah Cr
2
O
3
, Fe
2
O
3,
Fe
3
O
4,
dan FeO.













Gambar 2. Pola difraksi sinar-X dari logam zirkonium setelah
dioksidasi pada suhu 550
o
Cselama 24 jam dalam uap air













Gambar 3. Pola difraksi sinar-X dari Paduan logam Zr-Mo-Fe-Cr
Setelah dioksidasi pada suhu 550 C
o
selama 24 jam dalam uap air

PKMI-3-2-5
Tabel 1. Karakterisasi XRD pada Zr standar
2 I Unsur/Senyawa
34,001 1000 ZrO
2

36,331 510 Zr
71,067 130 ZrO
2

73,397 200 ZrO
2

63,426 870 Zr
82,338 180 Zr

Tabel 2. Karakterisasi XRD pada Paduan Zr-Mo-Fe-Cr
2 I Unsur/Senyawa
33,838 265 ZrO
2

36,331 400 Zr
63,480 360 MoO
2


Karakterisasi dengan Scanning Elektron Microscope (SEM)
Mikrostruktur logam zirkonium standar dan Paduan logam zirkonium yang
telah dioksidasi pada suhu 550
o
C selama 24 jam dalam uap air, ditunjukkan
dalam Gambar 4 dan 5 yang merupakan hasil pengamatan menggunakan SEM
dengan perbesaran 1,25 x 10
3
kali.





















Gambar 4. Mikrostruktur logam zirkonium standar yang telah
dioksidasi pada temperatur 550
o
C selama 24 jam dalam suasana
uap air



PKMI-3-2-6



















Gambar 5. Mikrostruktur dari Paduan logam Zr-Mo-Fe-Cr yang
telah dioksidasi pada temperatur 550
o
C selama 24 jam dalam
suasana uap air


Gambar 4 dan 5 dengan jelas memperlihatkan bahwa logam zirkonium
standar mempunyai permukaan yang lebih kasar dan terdapat butiranbutiran
yang merupakan produk oksidasi dari zirkonium. Sedangkan pada Paduan logam
Zr-Mo-Fe-Cr, permukaannya terlihat lebih halus. Ini disebabkan adanya unsur Mo
yang dapat memperhalus ukuran butir dan membentuk senyawa intermetalik
(ZrMo
2
) dengan zirkonium. Selain itu, Paduan logam zirkonium yang telah
mengalami oksidasi juga membentuk lapisanlapisan oksida yang dapat
menghambat laju korosi seperti Fe
2
O
3
, MoO
2
, dan Cr
2
O
3
.
Pada analisis EDAX, komposisi kimia yang terdapat pada Paduan logam
Zr-Mo-Fe-Cr yaitu 96,84 persen berat Zr dan 3,16 persen berat Fe. Sementara itu
unsur Cr dan Mo tidak terdeteksi, ini dimungkinkan oleh 2 hal yaitu, (1) jumlah
unsur Cr dan Mo pada Paduan sangat kecil, sehingga tidak dapat dideteksi oleh
peralatan EDAX, (2) semua unsur Mo dan Cr telah membentuk senyawa oksida.

KESIMPULAN
Berdasarkan hasil percobaan dan uraian pembahasan, maka dapat
disimpulkan bahwa Paduan Zr-Mo-Fe-Cr mempunyai ketahanan yang lebih baik
terhadap korosi pada temperatur tinggi (550
o
C) dibandingkan dengan logam
zirkonium standar. Hal ini disebabkan oleh adanya logam-logam yang tahan
korosi pada Paduan zirkonium seperti Mo dan Cr. Selain itu juga lapisan
pelindung (senyawa oksida) yang terbentuk pada Paduan zirkonium lebih banyak
daripada logam zirkonium standar. Oleh sebab itu Paduan zirkonium dapat
digunakan sebagai kelongsong (cladding) bahan bakar nuklir pada PLTN.


PKMI-3-2-7

UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada Dr. Salim Mustofa dan
Dr. Mohammad Dani selaku komisi pembimbing selama pratek kerja lapangan di
P3IB-BATAN.

DAFTAR PUSTAKA
Akhadi, Muklis, 1997. Pengantar Teknologi Nuklir, PT. Rineka Cipta, Jakarta.
Fountana, M.C. and M.D. Greene. 1967. Corrosion Enginering. Mc Graw Hill
Book Company. New York.
Sungkono, 1999. Studi pengaruh penambahan kandungan Mo terhadap
mikrostruktur dan kekerasan ingot Paduan Zr-Mo-Fe-Cr, Laporan
Penelitian PEBN 1998/1999, BATAN Serpong.
Sungkono, 2004. Pengaruh parameter proses homogenisasi terhadap
mikrostruktur dan kekerasan Paduan Zr-0,4Mo-0,5Fe-0,5Cr, Jurnal
Konduktor Padat Vol.5, Edisi Khusus 2004. 33-37.
Sugondo dan Futichah, 2005. Karakterisasi ukuran kristalit, regangan mikro dan
kekuatan luluh Zr-1%Sn-1%Nb-1%Fe dengan difraksi sinar-X, Jurnal
Sains Materi Indonesia, Vol.6, No 2, BATAN Serpong.


PKMI-3-3-1
POTENSI EKSTRAK BIJI MAHONI (SWI ETENI A MACROPHYLLA) DAN
AKAR TUBA (DERRI S ELLI PTI CA) SEBAGAI BIOINSEKTISIDA
UNTUK PENGENDALIAN HAMA CAISIN

Bayo Alhusaeri Siregar, Didiet Rahayu Diana, Herma Amalia
PS Proteksi Tanaman, Institut Pertanian Bogor, Bogor

ABSTRAK
Serangan hama utama caisin yaitu Crocidolomia pavonana, Plutella xylostella,
dan Phyllotetra sp. menjadi kendala utama dalam pengembangan budidaya caisin
(Brassicaceae). Petani biasa menggunakan pestisida sintetik dalam pengendalian
hama caisin. Akan tetapi, pemakaian pestisida sintetik secara terus-menerus
dapat menyebabkan kerusakan lingkungan dan bahaya keracunan. Dampak
negatif yang disebabkan oleh pestisida sintetik, menjadikan pestisida nabati
sebagai alternatif dalam pengendalian hama dan penyakit tanaman. Dalam 30
tahun terakhir, tidak kurang dari 1500 tanaman telah dilaporkan aktif terhadap
serangga. Laporan aktivitas insektisida paling sering melibatkan jenis-jenis
tumbuhan dari famili Meliaceae, Annonaceae, Asteraceae, Piperaceae, dan
Rutaceae. Salah satu ekstrak tumbuhan yang efektif dalam mengendalikan
serangga adalah Swietenia macrophylla dan Derris elliptica. Tujuan penelitian
ini adalah untuk menguji keefektifan ekstrak biji mahoni dan akar tuba dalam
mengendalikan hama caisin di lapang. Lahan pertanaman caisin dibagi dalam 5
petak untuk 5 ulangan. Masing-masing petak terdiri dari 10 bedengan yang
dibagi untuk 5 perlakuan. Jenis perlakuan antara lain: (1) ektrak mahoni 5%, (2)
ekstrak akar tuba 5%, (3) mahoni 2,5% + akar tuba 2,5%, (4) Insektisida
pembanding Baccilus thuringiensis 2 g/L, dan (5) kontrol (air+detergen). Pada
tiap petak perlakuan dipilih 20 tanaman contoh secara acak. Parameter yang
diamati yaitu populasi hama yang ditemukan dan intensitas kerusakan. Ekstrak
mahoni 5% dapat menyelamatkan kehilangan hasil terbesar dibandingkan bahan
ekstrak lain. Sedangkan ektrak akar tuba 5% memiliki toksisitas yang sangat
tinggi untuk ketiga spesies hama yang diamati yaitu Phyllotetra sp., Crocidolomia
pavonana, dan Plutella xylostella dibuktikan dengan jumlah populasi terkecil.
Ekstrak mahoni bekerja sebagai antifeedent sedangkan akar tuba sebagai racun
perut dan kontak. Kedua ekstrak ini mengandung senyawa Rotenon.

Kata Kunci : Pestisida nabati, akar tuba, biji mahoni, antifeedant, rotenon.

PENDAHULUAN
Salah satu kendala dalam upaya pengembangan tanaman caisin
(Brassicaceae) adalah serangan ulat tanaman kubis, seperti Crocidolomia
pavonana dan Plutella xylostella yang dapat menyebabkan kegagalan bila tidak
segera dikendalikan (Sastrosiwojo 1975). Menurut Uhan (1993) kerusakan yang
disebabkan C. pavonana dapat menurunkan hasil baik kualitas maupun kuantitas,
karena menyebabkan kerusakan krop kubis bahkan tidak bisa membentuk krop.
Kehilangan hasil akibat C. pavonana dapat mencapai 65.8%. Menurut Kalshoven
(1981) keberadaan pada tanaman sawi dapat menyebabkan kerugian 100%.
Petani sampai saat ini masih mengandalkan penggunaan insektisida
sintetik untuk mengendalikan hama tanaman sayuran, salah satunya terhadap C.
Pavonana. Namun, penggunaan insektisida yang berlebihan dapat membunuh


PKMI-3-3-2
serangga lain yang merupakan musuh alaminya. Selain itu, penggunaan
insektisida yang kurang bijaksana juga dapat menimbulkan berbagai dampak
klasik lain seperti, resistensi dan resurjensi hama sasaran, bahaya bagi
penggunaan dan konsumen serta pencemaran lingkungan secara umum (Balk&
Koeman 1984; Metcalf 1986)
Untuk menyikapi dampak negatif penggunaan insektisida sintetik,
sekarang banyak diteliti dan dikembangkan insektisida botani yang lebih aman
dan ramah bagi lingkungan. Disamping itu, beberapa insektisida dapat disiapkan
secara sederhana yang persiapannya dapat dilakukan dengan mudah di kalangan
petani.
Dalam 30 tahun terakhir, tidak kurang dari 1500 tanaman telah dilaporkan
aktif terhadap serangga (Grainge & Ahmed 1988; Jacobson 1990, Hedin et al
1997). Laporan aktivitas insektisida paling sering melibatkan jenis-jenis
tumbuhan dari famili Meliaceae, Annonaceae, Asteraceae, Piperaceae, dan
Rutaceae (Arnason et al. 1989; Prijono et al. 1995; Prakash & Rao 1997).
Insektisida dari tanaman Meliaceae umumnya bersifat racun yang bekerja
lambat serta memiliki efek penghambat makan dan menghambat perkembangan
(Prijono 1998). Penelitian Genus Swietenia (mahoni) sekarang ini semakin
berkembang. Dadang dan Ohsawa (2000) melaporkan ekstrak biji S. mahagoni
pada konsentrasi 5% dapat memberi penghambatan makan 100% larva
P.xylostella. Menurut Prijono (1998) ekstrak biji mahoni pada konsentrasi 0.25%
dapat menyebabkan kematian larva C. pavonana 10.4% pada instar 2 dan 43.7 %
pada instar 2-3 dengan residu pada daun brokoli yang dipaparkan selana dua hari.
Selain famili Meliaceae, akar tuba telah lebih dahulu dimanfaatkan dalam
pengendalian hama. Berdasarkan pengalaman di masyarakat, akar tuba ternyata
lebih toksik dibandingkan pyrethrin yang merupakan pestisida nabati tertua
yang diperoleh dari ekstrak bunga Chrysanthemum cinenariafolium. Akar tuba
sangat potensial dalam pengendalian hama karena tidak berbahaya terhadap
mamalia, akan tetapi sangat toksik terhadap ikan dan hewan air lainnya.
Akar tuba mengandung senyawa rotenon yang diidentifikasi merupakan
senyawa dengan rumus molekul C
23
H
22
O dan sangat potensial melawan
beberapa hama. Senyawa ini bersifat insektisida kontak dan racun perut dengan
daya racun yang lamabat. Dilaporkan rotenon bersifat racun pada C. pavonana , P.
Interpunctella, Idiocerus sp. Dan Aonidiella aurantii (Prakash & Rao 1997).
Prijono (1995) melaporkan, bahwa ektrak akar tuba mampu membunuh 85%
populasi Cricodolomia pavonana pada stadia pupa.
Keberhasilan pengendalian menggunakan biji mahoni dan akar tuba di
laboraturium akan dilakukan pengujian di lapangan. Hal ini dilakukan karena
belum diketahui dampak terhadap lingkungan secara langsung. Oleh karena itu,
penelitian ini dilakukan langsung di lahan pertanaman.
Tujuan penelitian ini yaitu untuk mengetahui keefektifan ekstrak biji
mahoni dan akar tuba dalam mengendalikan hama caisin di lapangan. Manfaat
yang dapat diambil yaitu dihasilkannya produk insektisida dari ekstrak tanaman
biji mahoni dan akar tuba yang efektif dalam pengendalian hama tanaman kubis
yang ramah bagi lingkungan dan aman bagi konsumen.





PKMI-3-3-3
METODE PENELITIAN
Tempat dan Waktu
Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Fisiologi dan Toksikologi,
Departemen Proteksi Tanaman, Institut Pertanian Bogor dan di lahan pertanian
daerah Cinangneng, Kecamatan Ciampea, Bogor mulai bulan April sampai
dengan November 2005.
Sumber Ekstrak.
Biji mahoni dan akar tuba diperoleh dari pekarangan rumah penduduk di
daerah Jawa Timur dan Kebun Raya Bogor di daerah Jawa Barat.

Penanaman Kubis
Penanaman kubis dilakukan pada lahan seluas 600 m
2
yang disewa dari
petani. Lahan tersebut dibagi dalam lima petak. Masing-masing petak terdiri dari
sepuluh bedengan untuk lima perlakuan dengan lima kali ulangan. Setiap petak
memiliki luas 10 m 5 m. Pengolahan awal dan pemeliharaannya dilakukan oleh
petani.

Pembuatan Ektrak
Biji mahoni dan akar tuba yang akan diekstrak dikeringkan terlebih dahulu
selama 24 jam dalam suhu kamar. Kemudian dihaluskan dengan blender. Serbuk
tanaman yang diperoleh diayak dengan menggunakan ayakan 1 mm. Jumlah
ekstrak yang dibutuhkan kurang lebih satu kilogram bobot kering yang telah
diblender. Kedua serbuk tanaman uji kemudian masing-masing dicampur dengan
air dengan perbandingan 50 gram serbuk untuk setiap 1000 ml air. Langkah
selanjutnya adalah dengan penambahan detergen secukupnya sebagai pelarut.
Campuran tersebut disaring dengan corong gelas yang diamati kain kasa.
Kemudian disimpan di tempat yang dingin atau jauh dari penyinaran matahari
langsung.

Perlakuan Dan Pengamatan di Lapangan
Pada tanaman percobaan dilakukan lima perlakuan aplikasi insektisida
masing-masing lima ulangan yang terbagi dalam petak-petak tanaman. Perlakuan
insektisida tersebut adalah:
Ekstrak mahoni 5%
Ekstrak akar tuba 5%
Ekstrak campuran mahoni 2,5%dan akar tuba 2.5%
Insektidida pembanding Bacillus thuringiensis 2 gram/liter
Control air dan detergen
Pada setiap petak perlakuan dipilih 20 tanaman contoh yang dipilih secara acak
(bukan tanaman pinggir). Tanaman contoh tersebut kemudian diamati sampai
panen.
Pengamatan pertama dilakukan satu minggu setelah tanam (MST). Pada
pengamatan pertama ditemukan populasi Phyllotetra sp, P. Xylostella dan C.
Pavonana pada jumlah yang telah melebihi ambang ekonomi (AE) sehingga harus
dilakukan penyemprotan. Pengamatan berikutnya dilakukan pada interval waktu
satu minggu. Penyemprotan pertama dilakukan satu hari setelah pengamatan
pertama. Pada setiap pengamatan diamati jumlah populasi hama dan tingkat
kerusakan tanaman. Selama waktu penelitian penyemprotan yang dilakukan


PKMI-3-3-4
sebanyak dua kali dan pengamatan yang dilakukan sebanyak tiga kali.
Pengamatan terakhir dilakukan pada satu hari sebelum panen.

Analisis Data
Percobaan disusun dalam rancangan acak kelompok. Data-data yang
diperoleh dari percobaan, seperti jumlah populasi hama dan tingkat kerusakan
yang disebabkan oleh C. Pavonana, P. Xylostella dan hama caisin lainnya diolah
dengan menggunakan sidik ragam, yang dilanjutkan dengan uji selang berganda
Duncan pada taraf 5%.

HASIL PENELITIAN
Tabel 1. Rata-rata populasi Phyllotetra sp. setelah tiga kali pengamatan
Perlakuan Jumlah Phyllotetra sp. / 30 tanaman
*

Biji mahoni 5% 2,9 b

Akar tuba 5% 2,4 c
Mahoni 2,5% + Akar tuba 2,5% 3,2 b
B. Thuringiensis 4 a
Kontrol 4,7 a
*
Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukan tidak
berbeda nyata dengan uji Duncan pada selang kepercacayaan 95%.















Gambar 1. Pengaruh lima jenis perlakuan terhadap populasi hama Phyllotetra
sp. pada caisin.

Tabel 2. Rata-rata populasi Plutella xylostella. setelah tiga kali pengamatan
Perlakuan Jumlah P. xylostella / 30 tanaman
*

Biji mahoni 5% 3,2 c

Akar tuba 5% 2,7 d
Mahoni 2,5% + Akar tuba 2,5% 2,9 cd
B. Thuringiensis 3,9 b
Kontrol 5 a
*
Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukan tidak
berbeda nyata dengan uji Duncan pada selang kepercacayaan 95%.

Populasi Phyllotetra sp Pada Tiga Waktu Pengamatan
0
5
10
15
20
25
Pengamatan 1 Pengamatan 2 Pengamatan 3
Waktu pengamatan
J
u
m
l
a
h

p
o
p
u
l
a
s
i
Mahoni 5%
Akar Tuba 5%
Mahoni 2,5% + Tuba 2,5%
B. thuringensis
Kontrol


PKMI-3-3-5















Gambar 2. Pengaruh lima jenis perlakuan terhadap populasi hama Plutella
xylostella pada caisin.


Tabel 3. Rata-rata populasi Crocidolomia pavonana setelah tiga kali pengamatan
Perlakuan Jumlah C. Pavonana / 30 tanaman
*

Biji mahoni 5% 2 c

Akar tuba 5% 1,1 d
Mahoni 2,5% + Akar tuba 2,5% 1,9 c
B. Thuringiensis 3,5 b
Kontrol 6,2 a
*
Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukan tidak
berbeda nyata dengan uji Duncan pada selang kepercacayaan 95%.





















Gambar 3. Pengaruh lima jenis perlakuan terhadap populasi hama Crocidolomia
pavonana pada caisin


Populasi Crocidolomia pavonana Pada Tiga Waktu Pengamatan
0
5
10
15
20
25
30
35
Pengamatan 1 Pengamatan 2 Pengamatan 3
Waktu pengamatan
J
u
m
l
a
h

p
o
p
u
l
a
s
i
Mahoni 5%
Akar Tuba 5%
Mahoni 2,5% + Tuba 2,5%
B. thuringensis
Kontrol
Populasi Plutella xylostella Pada Tiga Waktu Pengamatan
0
5
10
15
20
25
30
Pengamatan 1 Pengamatan 2 Pengamatan 3
Waktu pengamatan
J
u
m
l
a
h

p
o
p
u
l
a
s
i
Mahoni 5%
Akar Tuba 5%
Mahoni 2,5% + Tuba 2,5%
B. thuringensis
Kontrol


PKMI-3-3-6
Tabel 4. Rata-rata luas serangan (%) hama caisin pada daun
Perlakuan Luas serangan (%)
*

Biji mahoni 5% 13,85 c

Akar tuba 5% 16 b
Mahoni 2,5% + Akar tuba 2,5% 16,22 b
B. Thuringiensis 13,92 c
Kontrol 17,33 a
*
Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukan tidak
berbeda nyata dengan uji Duncan pada selang kepercacayaan 95%.

PEMBAHASAN
Pengamatan dilakukan untuk melihat populasi serangga hama caisin di
lapang dan tingkat serangannya. Hama caisin yang didapat di lapang, yaitu larva
Plutella xylostella, larva Crocidolomia pavonana, dan kumbang Phyllotetra sp.
Pada pengamatan terhadap populasi hama Phyllotetra sp. pada masing-masing
petak perlakuan menghasilkan jumlah yang berbeda-beda. Perlakuan akar tuba
mampu menekan populasi hama paling cepat dibandingkan dengan perlakuan
lainnya. Perlakuan ekstrak mahoni mampu mengurangi populasi hama seperti
pada perlakuan ekstrak akar tuba, tetapi dengan waktu yang relatif lambat
(gambar 1).
Pada tabel 1 menunjukan pengaruh perlakuan terhadap jumlah populasi
Phyllotetra sp. yang ditemukan pada tiga waktu pengamatan. Pada tiga waktu
pengamatan tersebut menunjukan bahwa perlakuan ekstrak akar tuba
menyebabkan populasi Phyllotetra sp. yang paling rendah. Selain itu perlakuan
akar tuba berbeda nyata dengan perlakuan lainnya dan kontrol. Sedangkan
penggunaan insektisida pembanding berbahan aktif B. thuringensis tidak berbeda
nyata dengan kontrol.
Hama lain yang menyerang caisin adalah larva Plutella xylostella. Pada
pengamatan pertama populasi larva tersebut sudah tinggi. Setelah pengamatan
kedua, terjadi penurunan populasi larva P. xylostella yang sangat drastis pada
perlakuan ekstrak akar tuba. Hal ini menunjukan bahwa ekstrak akar tuba
menyebabkan mortalitas tertinggi secara cepat. Namun pada akhir pengamatan,
populasi P. xylostella terendah didapat pada perlakuan ekstrak mahoni (Gambar
2). Meskipun demikian, rata-rata populasi P. xylostella pada tiga pengamatan
menunjukan bahwa ekstrak akar tuba mampu menghasilkan populasi terendah
diikuti oleh campuran ekstrak akar tuba dan mahoni, ekstrak mahoni, dan
insektisida pembanding (Tabel 3).
Selain P.xylostella dan Phyllotetra sp. hama penting lain pada caisin
adalah Crocidolomia pavonana. Hama ini belum terlihat pada pengamatan
pertama, namun populasi C. pavonana semakin meningkat seiring dengan
pembentukan krop caisin. Berdasarkan hasil pengamatan semua perlakuan yang
diberikan, perlakuan yang paling efektif dalam menekan laju peningkatan
populasi C. pavonana adalah perlakuan dengan ekstrak akar tuba.
Penggunaan ekstrak akar tuba dan ekstrak biji mahoni dalam
mengendalikan hama caisin memberikan hasil yang nyata. Penurunan populasi
hama caisin terbesar terjadi pada perlakuan ekstrak akar tuba. Menurut Prijono
(2003) akar tuba mengandung bahan aktif rotenon yang bersifat sebagai racun


PKMI-3-3-7
perut dan kontak, bekerja sebagai racun respirasi sel, serta aktif terhadap berbagai
jenis serangga pemakan daun dan bertubuh lunak.
Rotenoid merupakan racun penghambat metabolisme dan sistem syaraf
yang bekerja perlahan. Serangga yang teracuni sering mati karena kelaparan yang
disebabkan oleh kelumpuhan alat-alat mulutnya. Namun demikian, rotenon relatif
aman bagi kesehatan manusia serta mudah terdegradasi oleh sinar matahari dan
udara terbuka (Kardinan 2002).
Biji mahoni yang juga dapat menurunkan populasi hama caisin telah lama
dikenal sebagai insektisida botani. Menurut Dadang dan Ohsawa (2000) ekstrak
biji S. mahagoni pada konsentrasi 5% dapat memberi penghambatan makan 100%
larva P.xylostella yang dielusi dengan 2% metanol dalam diklorometana.
Sedangkan pada konsentrasi 2% ekstrak biji mahoni ini dapat menyebabkan
penghambatan makan 92,9% larva P. xylostella. Selain itu menurut Prijono (1998)
ekstrak biji mahoni pada konsentrasi 0.25% dapat menyebabkan kematian larva C.
pavonana 10.4% pada instar 2 dan 43.7 % pada instar 2-3 dengan residu pada
daun brokoli yang dipaparkan selama dua hari.
Masing-masing bagian tanaman mahoni mengandung senyawa yang
berbeda-beda. Pada kulit batang mengandung senyawa triterpenoid yang dapat
diekstrak dengan menggunakan heksana, sedangkan biji mahoni mengandung
senyawa flavonoid dan saponin yang diekstrak dengan menggunkan metanol.
Salah satu senyawa flavonoid yang dapat berperan sebagai insektisida adalah
rotenon (Sianturi 2001). Menurut Prijono (2003), mahoni juga mengandung
senyawa limonoid yang bersifat sebagai antifeedant.
Berdasarkan hasil pengamatan terhadap tingkat kerusakan, pada lahan
caisin yang memperoleh perlakuan menunjukan tingkat kerusakan yang berbeda-
beda pada setiap perlakuan. Pada petak dengan perlakuan ekstrak mahoni
menunjukan tingkat kerusakan yang paling rendah, diikuti pestisida pembanding
berbahan aktif Bacillus thuringensis (2 gram /liter), kemudian ekstrak akar tuba
dan campuran ekstrak akar tuba + biji mahoni. Tingkat kerusakan pada daun
caisin mengakibatkan daun tidak dapat dipasarkan sehingga petani sering
mengalami kerugian.
Perbedaan tingkat kerusakan ini disebabkan oleh cara kerja penghambatan
oleh masing-masing ekstrak yang berbeda. Biji mahoni memberikan
penghambatan berupa antifeedant yang dapat menyebabkan ulat (larva serangga)
melakukan penolakan untuk memakan daun caisin sampai residu ektrak mahoni
terdegradasi dari permukaan daun caisin. Sehingga tingkat kerusakan yang terjadi
sangat kecil.
Berbeda dengan biji mahoni, ektrak akar tuba bersifat racun kontak dan
racun perut. Sebagai racun kontak, serangga akan mengalami kematian apabila
terjadi kontak langsung dengan ekstrak. Cara kerja kontak ini tidak dapat
mematikan serangga yang tidak mengalami kontak dengan ekstrak secara
langsung sehingga serangga masih dapat melakukan perusakan pada daun caisin.
Sebagai racun perut, ekstrak akar tuba meracuni serangga setelah serangga
memakan daun caisin, sehingga perusakan daun caisin tetap terjadi walaupun
setelah itu serangga mati. Hal ini menunjukan bahwa ekstrak mahoni paling
efektif dalam upaya pengendallian hama caisin sebab dapat menyelamatkan
kehilangan hasil paling besar dibandingkan bahan ekstrak lain.



PKMI-3-3-8
KESIMPULAN
Ekstrak mahoni 50 g/L yang diaplikasikan pada pertanaman caisin dapat
menyelamatkan kehilangan hasil terbesar dibandingkan bahan ekstrak lain.
Dibuktikan dengan intensitas kerusakan yang ditimbulkan hama paling rendah
pada pertanaman caisin yang memperoleh perlakuan ekstrak mahoni.
Ektrak akar tuba 50 g/L memiliki toksisitas yang sangat tinggi untuk
ketiga spesies hama yang diamati yaitu Phyllotetra sp., Crocidolomia pavonana,
dan Plutella xylostella. Hal ini menunjukan bahwa kandungan senyawa yang
terdapat dalam akar tuba bersifat toksik dan dapat mematikan serangga sehingga
efektif untuk pengendalian hama caisin.

DAFTAR PUSTAKA
Arnanson JT, Phylogene BJ, Morand P, editor. 1989. Insecticides of Plant Origin.
Washington DC:ACS.
Balk F, Koeman JH. 1984. Future Hazard from Pesticides Use With Special
Reference to West Africa and South-Asia. Gland (Switzerland):IUCN.
Dadang, Ohsawa K. 2000. Penghambatan aktivitas makan larva Plutella xylostella
L. (Lepidoptera:Yponomeutidae) yang diperlakukan ektrak biji Swietenia
mahogani Jacq (Meliaceae). Bul HPT 12: 27-32.
Grainge M, Ahmed S. 1988. Handbookof Plant with Pest Control Properties.
New York: J. Wiley.
Jacobson, M. 1989. Botanical pesticides: past, present and future, pp. 1-10 In JT
Arnanson, BJR Phylogene, P Morand (eds). Insecticides of Plant Origin.
Washington DC:ACS.
Jacobson, M. 1990. Glossary of Plant-Derived Insect Deterrens. Boca Raton
(Florida): CRC Pr.
Kalshoven LGE. 1981. The Pest of Crops in Indonesia. Van Der Laan PA,
penerjemah. Jakarta: PT Ichtiar Baru-Van Hoeve. Terjemahan dari : DE
Plagen Van de Cultuurgewassen in Indonesie.
Kardinan, A. 2002. Pestisida Nabati: Ramuan dan Aplikasi. Jakarta: Penebar
Swadaya.
Metcalf RL. 1986. The ecology of insecticides and the chemical control of insects,
Dalam: Kogan M, editor. Ecological Theory an Integrated Pest
Management Practice. New York: J Wiley. Hlm 251-297.
Prakash A, Rao J. 1997. Botanical Pesticides in Agriculture. New York: Lewis pub
Prijono D, Gani MS, Syahputra E. 1995. Screening of insecticidal activity of
annonaceous, fabaceous, and melioceous seed extract againt cabbage head
caterpillar, Crocidolomia binotalis Zeller (Lepidoptera: Pyralidae). Bul
HPT 9 (1): 1-6.
Prijono D. 1998. Insecticidal activity of meliaceous seed extract againt cabbage
head caterpillar, Crocidolomia binotalis Zeller (Lepidoptera: Pyralidae).
Bul HPT 10 (1): 1-6.
Prijono D. 2003. Teknik Ekstraksi, Uji Hayati, dan Aplikasi Senyawa Bioaktif
Tumbuhan: Panduan bagi Pelaksana PHT Perkebunan Rakyat. Bogor:
Departemen HPT, Faperta IPB.
Sastrosiswojo B. 1975. Hubungan antara waktu tanam tanaman kubis dengan
dinamika populasi Plutella maculipennis Curt. Dan Crocidolomia
binotalis Zell. Bul. Panel. Horti 3: 3-14

PKMI-3-4-1
INVENTARISASI GEN MYOSTATIN DALAM RANGKA
PENINGKATAN KUALITAS DOMBA DAN KAMBING DI INDONESIA

Taufiq Maulana, Andalusia, Ramsi Eka Putra
PS Biologi Fakultas MIPA, Institut Pertanian Bogor , Bogor

ABSTRAK
Pertumbuhan dan diferensiasi jaringan otot tubuh dikendalikan oleh Myostatin
atau Growth Differentiations Factor 8 yang merupakan anggota dari superfamili
Transforming Growth Factor-. Hipertrofi maupun hiperplasia merupakan
fenomena yang terjadi apabila myostatin tidak ada di dalam sel. Fenomena ini
akan menyebabkan pembesaran jaringan otot yang melebihi normal, kondisi
tersebut ditemukan pada kasus Double Muscling sapi Belgian Blue. Dalam
kasus tersebut kemudian diketahui bahwa penyebabnya ialah adanya mutasi pada
gen penyandi myostatin. Hal ini tentunya membuka peluang akan keberadaan
penyandi myostatin pada hewan ternak lain. Genotiping gen penyandi myostatin
pada ternak domba dan kambing lokal Indonesia bisa dijadikan langkah awal
untuk dimanfaatkan sebagai penanda molekuler terhadap pertumbuhan hewan
tersebut. Pemanfaatan ini sangat potensial bagi petani di Indonesia yang
memelihara kambing dan domba sebagai usaha sampingan karena mereka akan
mendapat penghasilan tambahan dalam waktu yang lebih cepat. Keragaman dan
kespesifikan kambing dan domba yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia
merupakan inventarisasi awal yang berguna.

Kata kunci : Myostatin, hipertrofi, hiperplasia, Double muscling, inventarisasi
genetik

PENDAHULUAN
Indonesia merupakan negara agraris yang sebagian besar masyarakatnya
bekerja sebagai petani. Untuk menambah pendapatan, biasanya mereka
memelihara ternak sebagai usaha sampingan. Usaha sampingan yang banyak
dilakukan oleh para petani adalah memelihara domba dan kambing. Pemeliharaan
yang dilakukan oleh para petani masih secara tradisional, seperti pemilihan bibit
unggul hanya dari penampakan luar. Hal ini mengakibatkan kurang maksimalnya
hasil usaha ternak para petani. Oleh karena itu, langkah-langkah strategis harus
dilakukan pemerintah untuk menyediakan bibit unggul ternak, misalnya ternak
dengan laju pertumbuhan yang cepat dan menghasilkan daging banyak.
Karakter cepat tumbuh pada suatu makhluk hidup dikendalikan oleh banyak
faktor dan bersifat multigen. Salah satu faktor yang mengendalikan pertumbuhan
adalah myostatin atau Growth Differentiations Factor 8 (GDF8) yang merupakan
anggota dari superfamili Transforming Growth Factor- (TGF-) yang
mengontrol pertumbuhan dan diferensiasi jaringan otot tubuh. Ketidakberadaan
myostatin di dalam sel menyebabkan pembesaran jaringan otot yang melebihi
normal baik hipertrofi maupun hiperplasia, kondisi tersebut ditemukan pada kasus
Double Muscling sapi Belgian Blue (Oldham et al. 2001). Pencarian tipe gen
tersebut pada ternak domba dan kambing lokal di Indonesia merupakan cara yang
baik untuk meningkatkan kualitas dan mendapatkan bibit unggul. Dalam hal ini
ternak dengan masa pertumbuhan yang cepat dan memiliki massa otot yang lebih
besar dapat meningkatkan penghasilan ekonomi dan taraf kehidupan para petani.

PKMI-3-4-2
Selain itu tidak adanya proses rekayasa genetik merupakan keutamaan agar daging
yang dihasilkan aman dikonsumsi.

METODE
Metode penulisan dilakukan melalui telaah atau studi dari pustaka primer
maupun sekunder berupa jurnal-jurnal yang berhubungan dengan topik yang
diangkat.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Gen Myostatin
Gen merupakan faktor hereditas pembawa sifat pada makhluk hidup yang
diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Ekspresi dari berbagai gen
dicerminkan pada penampakan luar makhluk hidup tersebut.
Pada umumnya otot tumbuh dengan tiga cara, yaitu pertambahan serabut
otot dalam jumlah, panjang, maupun ukuran atau jumlah lilitan myostatin.
Mekanisme yang mengatur perbanyakan dan ukuran sel otot ini salah satunya
diatur oleh gen penyandi myostatin. Gen myostatin atau Growth Differentiations
Factor 8 (GDF8) merupakan anggota dari superfamili Transforming Growth
Factor- (TGF-) yang mensekresikan protein untuk mengontrol pertumbuhan dan
diferensiasi jaringan tubuh. Gambar 1 menunjukkan peranan penting myostatin
sebagai umpan balik feed back negative pada pertumbuhan massa otot, dimana
myostatin menghambat myogenin sehingga myoblast tidak dapat berdiferensiasi
menjadi myotubes, yang akan berkembang menjadi serat otot.



Gambar 1 Mekanisme kerja myostatin dalam pertumbuhan otot dan diferensiasi
(Langley et al. 2002)

Myostatin disintetis dan disekresikan sebagai polipeptida tidak aktif.
Myostatin yang masih muda membelah dan menjadi dewasa. Myostatin berikatan
dengan folistatin dan kemudian berikatan dengan reseptor, activin receptor IIB
yang ada di otot. Reseptor ini bekerja dengan memberi signal interseluler bagi jalur
dan aktivitas protein gen regulator, sehingga berperan dalam pangaturan massa otot
(McNally 2004).
Penghambatan atau ketidakberadaan myostatin di dalam sel menyebabkan
hipertropi dan hiperplasia, yaitu pembesaran jaringan atau bagian otot yang
melebihi normal atau lebih dikenal dengan Double Muscling, misalnya dapat
dilihat pada sapi Belgian Blue (Oldham et al. 2001).

PKMI-3-4-3
Double Muscling
Fenomena Double Muscling pertama kali didokumentasikan oleh
seorang petani Inggris bernama George Culley pada pertengahan abad ke-18.
Selama hampir 200 tahun fenomena ini telah menarik perhatian para breeders dan
peneliti (Arnold H et al. 2001). Fenomena ini didapati pada sapi dan beberapa
spesies lainnya seperti babi dan tikus. Gambar 2 menunjukkan Double muscling
yang terjadi pada tikus, terlihat bahwa tikus yang mengalami penghambatan gen
myostatin memiliki massa otot yang jauh lebih besar.



Gambar 2 Pertumbuhan massa otot tikus yang mengalami penghambatan
gen myostatin (McPherron et al. 1997).

Pada sapi Belgian Blue fenomena ini menyebabkan peningkatan massa otot
sekitar 20-25% (Cieslak et al. 2003), sehingga menghasilkan hewan dengan jumlah
daging yang lebih banyak. Fenomena ini merupakan ketidaknormalan
pertumbuhan massa otot dan merupakan karakteristik fenotip makhluk hidup
dengan proporsi tulang yang rendah, proporsi otot yang tinggi serta proporsi lemak
yang rendah (Dumont 1973).

Pertumbuhan dan Gen Myostatin
Definisi sederhana dari pertumbuhan yaitu bertambahnya massa atau berat.
Pertumbuhan pada hewan dapat dibagi menjadi dua macam. Pertama, pertumbuhan
yang tetap yaitu tubuh tumbuh pada beberapa titik tertentu kemudian berhenti,
misalnya karakteristik spesies dan jenis kelamin. Pada mamalia, seperti tikus dan
paus, titik akhir dapat berupa ukuran tubuh. Kedua, pertumbuhan tidak tetap yang
banyak terjadi pada keturunan hewan bertulang belakang, seperti pada ikan dimana
pertumbuhan terjadi terus menerus sepanjang hidup walau lajunya menurun seiring
bertambahnya usia (Carlson 1996).

PKMI-3-4-4
Perkembangan suatu organisme sebagian besar ditentukan oleh genom
zigot dan organisasi sitoplasma sel telur. Setelah fertilisasi menghasilkan sebuah
zigot, pembelahan sel akan mempartisi atau membagi sitoplasma sedemikian rupa
sehingga nukleus sel-sel embrionik yang berbeda menjadi terpapar lingkungan
embrionik yang berbeda-beda. Hal ini akan membuka kemungkinan ekspresi
gen-gen yang berbeda dalam sel yang berbeda pula. Seiring berjalannya
perkembangan sel dan berkembangannya embrio, sifat-sifat bawaan muncul
melalui mekanisme selektif yang mengontrol ekpresi gen, yang menyebabkan
terjadinya diferensiasi (spesiasi sel) (Langley et al.2002).
Pada hewan ternak kambing dan domba, pertumbuhan dan perkembangan yang
baik didefinisikan sebagai hewan yang sehat atau tidak rentan penyakit dan
memiliki sifat-sifat unggul seperti dapat tumbuh dan berkembang dengan cepat,
dapat berkembangbiak dalam waktu yang relatif singkat, berbobot besar, serta
dapat menghasilkan susu dan daging dalam jumlah yang besar.
Adanya penghambatan atau ketidakberadaan gen pengatur pertumbuhan myostatin
pada ternak domba dan kambing dapat menyebabkan perbesaran otot dalam waktu
yang singkat seperti pada fenomena Double muscling. Hal ini sangat
memungkinkan bagi hewan-hewan ternak tersebut untuk memiliki sifat-sifat
unggul seperti yang diharapkan. Genotiping atau pencarian sifat-sifat unggul
melalui inventarisasi gen myostatin pada ternak kambing dan domba yang ada di
Indonesia merupakan langkah penting untuk meningkatkan kualitas pertumbuhan
dan perkembangan keturunan selanjutnya.

Penandaan Molekuler
Inventarisasi pada proses budi daya tentunya bukan hal yang mudah
dilakukan, terutama pada gen-gen yang menyandi sifat yang tidak terlihat secara
fisik. Oleh karena itu dibutuhkan metode penandaan molekular, sehingga
pelaksanaan inventarisasi gen dapat lebih mudah dan memiliki tingkat keberhasilan
yang lebih tinggi.
Salah satu metode penanda molekuler adalah dengan menggunakan Marker
Assisted Selection atau seleksi dengan bantuan penanda genetik. Penanda genetik
adalah gen yang dapat dideteksi atau fragmen DNA yang berada cukup dekat
dengan lokus tempat gen yang diinginkan (Bourdon 1997). Melalui metode ini
dapat diketahui sifat individu dengan melihat penanda gen yang ada padanya, serta
sifat yang tidak atau belum terekspresi.

Pemuliaan
Pangan dengan tingkat kualitas dan kuantitas yang mencukupi tentunya
menjadi tuntutan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat sebagai konsumen.
Masalah yang berkembang saat ini adalah tidak seimbangnya jumlah pangan yang
tersedia dengan yang dibutuhkan masyarakat. Rekayasa genetika dinilai sebagai
salah satu jalan keluar masalah ini.
Rekayasa genetika berhasil meningkatkan efisiensi metabolisme ternak dan
ikan, seperti peningkatan penyerapan pakan, peningkatan kualitas daging, dan
produksi susu. Meskipun begitu tidak tertutup kemungkinan terdapatnya efek
negatif dari produk hasil rekayasa genetika. Perang pro dan kontra tentang produk
hasil rekayasa genetika ini masih banyak diperdebatkan (Helianti 2001). Selain itu
di kalangan masyarakat, khususnya masyarakat Indonesia, masih terdapat keraguan

PKMI-3-4-5
untuk mengkonsumsi produk rekayasa genetika. Hal-hal inilah yang mendesak
dilakukannya metode baru dalam peningkatan kualitas produk hasil ternak.
Salah satu cara yang dapat ditempuh yaitu dengan cara pemuliaan hasil
ternak dengan dasar inventarisasi gen myostatin. Cara ini lebih terfokus dan lebih
efektif dari pemuliaan konvensional karena didasarkan pada sifat genetik.
Inventarisasi gen myostatin melalui metode penandaan molekular memungkinkan
kita untuk mengetahui dan memilih ternak yang memiliki sifat-sifat gen unggul.
Sifat-sifat gen unggul yang mempunyai kualitas dan pertumbuhan yang baik dari
berbagai jenis domba dan kambing di Indonesia dapat diketahui sejak dini. Dengan
demikian pemuliaan ternak berkualitas atau dengan sifat unggul terutama massa
otot yang besar akan lebih bermakna.

Aplikasi Gen Myostatin
Keadaan geografis Indonesia yang beragam menyebabkan jenis gen
myostatin pada domba dan kambing lokal yang dipelihara di Indonesia beragam
pula. Hal ini juga menyebabkan bervariasinya tingkat massa otot yang
diekspresikan. Dengan kata lain berbagai domba dan kambing lokal di Indonesia
dapat menghasilkan massa otot dengan tingkat perkembangan yang berbeda.
Peningkatan kualitas massa otot pada ternak di Indonesia dapat dilakukan
dengan menginventarisasi serta membudidayakan kambing dan domba yang
memiliki gen myostatin. Sehingga dapat dengan mudah didapatkan ternak yang
menghasilkan massa otot berkualitas baik dalam waktu relatif singkat tanpa adanya
proses rekayasa genetik.

KESIMPULAN
Gen myostatin merupakan gen yang mengatur pertumbuhan massa otot
pada kambing dan domba. Inventarisasi gen myostatin pada kambing dan domba
lokal Indonesia merupakan cara yang efektif untuk membudidayakan ternak
dengan massa otot yang besar. Selain itu keutamaan hasil produk yang didapat
melalui cara pemuliaan atas dasar inventarisasi gen myostatin ini adalah aman
dikonsumsi masyarakat. Dengan demikian peningkatan kualitas kambing dan
domba akan meningkatkan pendapatan petani yang beternak kambing dan domba
sebagai usaha sampingan.

DAFTAR PUSTAKA
Andersson L, George M. 2004. Domestic-animal genomics: deciphering the
genetics of complex traits [ulasan]. Nature 5 : 202-212.
Arnold H, Della-Fera MA, Baite CA. 2002. Review of myostatin history,
physiology and applications.
Bourdon RM. 1997. Understanding Animal Breeding. New Jersey: Prentice Hall.
Carlson BM. 1996. Pattens Fondation of Embryology. Ed ke-6. New York:
McGraw-Hill.
Cieslak D, Blicharski T, Kapelaski W, Pherzchala M. 2003. Investigation of
polymorphisms in the porcine myostatin (GDF8;MSTN) gene. Czech J
Anim Sci 48(2): 69-75.
Dumont BL, Schmitt O. 1973. Consquences de lhypertrophie musculaire
hrditaire sur la trame conjonctive du muscle de bovin. Ann Genet Sel
Anim 5: 499-506.

PKMI-3-4-6
Helianti Is. 2001. Perang terhadap Produk Rekayasa Genetik, Haruskah?.
[terhubung berkala]. http: //www.kompas.com/kompas-cetak/08108/iptek/
pera22.htm. [03 Maret 2006].
Langley et al. 2002. Myostatin inhibits myoblast differentiation by
down-regulating MyoD expression. J Biol Chem 277(51): 49831-40.
McNally EM. 2004. Powerful genes myostatin regulation of human muscle mass.
N Engl J Med 350;26: 2642-2644.
McPherron, AC, AM Lawler, SJ Lee. 1997. Regulation of skeletal muscle mass in
mice by a new TGF-b superfamily member. Nature 387: 83.
Oldham et al. 2001. Molecular expression of myostatin and MyoD is greater in
double-muscled than normal-muscled cattle fetuses. Am J Physiol
Regulatory Integrative Comp Physiol 280: R1488-R1493.

PKMI-3-5-1
KARAKTERISTIK MORFOLOGI DAN OPTIK FILM TIPIS TiO
2
:Co
YANG DITUMBUHKAN DENGAN METODE MOCVD DI ATAS
SUBSTRAT SILIKON

Iing Mustain
Jurusan pendidikan Fisika, Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung

ABSTRAK
Telah dilakukan karakterisasi film tipis TiO
2
:Co yang ditumbuhkan dengan
metode MOCVD di atas substrat silikon dengan temperatur penumbuhan yang
bervariasi. Karakterisasi meliputi morfologi, karakteristik optik, kekristalan, dan
sifat kemagnetan dengan menggunakan Scanning Electron Microscope (SEM),
Photoluminescence (PL), X-Ray diffractometer (XRD), dan Vibrating Sample
Magnetometer (VSM). Hasil karakterisasi menunjukkan bahwa morfologi film
sangat dipengaruhi oleh temperatur penumbuhan yang digunakan. Morfologi film
terbaik terjadi pada film yang ditumbuhkan dengan temperatur 450
o
C, yang
ditandai dengan butiran kristal yang tersebar merata dan kompak membentuk
ketebalan film yang merata. Pola pertumbuhan butiran berbentuk kolumnar.
Kehadiran atom-atom Co dalam film ditandai dengan adanya pergeseran nilai
celah pita energi dari celah pita energi bahan dasarnya TiO
2
. Sampel film
TiO
2
:Co yang ditumbuhkan dengan temperatur penumbuhan 450
o
C memiliki
orientasi kristal tunggal dengan struktur kristal anatase pada bidang (213). Film
ini menunjukkan sifat ferromagnetik yang tergolong bahan magnet lunak (soft
magnetic) yang ditandai dengan nilai koersifitas sekitar 100 Oersted.

Kata kunci: Morfologi, Opik, MOCVD, TiO
2
:Co, temperatur penumbuhan

PENDAHULUAN
Adanya kendala dalam transport listrik pada sistem persambungan
semikonduktor/sumber spin (logam feromagnetik) pada struktur piranti spintronik
merupakan salah satu alasan dikembangkannya semikonduktor magnetik yang
dikenal dengan Dilute Magnetic Semiconductor (DMS) sebagai pengganti bahan
logam feromagnetik. Dengan menggunakan DMS, maka sistem persambungan
semikonduktor/sumber spin (DMS) pada piranti spintronik akan memiliki kualitas
baik karena keduanya sama-sama merupakan bahan semikonduktor sehingga akan
memiliki konduktivitas listrik yang hampir sama. Dengan hampir samanya nilai
konduktivitas listrik antara bahan semikonduktor dan bahan sumber spin, maka
nilai efisiensi injeksi arus spin dari sumber spin dapat ditingkatkan, bahkan hingga
nilai optimumnya (Flederling, R., 1999; Chambers, S. A., 2003)
Semikonduktor magnetik dapat diperoleh dengan cara mendadah bahan
semikonduktor dengan suatu elemen magnetik (Matsumoto, Y., 2001).
Pengembangan DMS terutama diarahkan pada pencarian bahan yang memiliki
temperatur curie yang tinggi (high temperature curie). Hal ini dilakukan dengan
harapan divais spintronik yang dikembangkan nantinya dapat dioperasikan pada
temperatur ruang (300 K). Pada awalnya, penelitian intensif dilakukan terhadap
bahan semikonduktor GaAs yang didadah unsur Mn (GaAs:Mn) (Ohno, Y., 1999).
Akan tetapi DMS ini memiliki temperatur curie di bawah temperatur kamar, yaitu
sekitar 110 K. Sehingga bahan ini dinilai kurang manjanjikan untuk aplikasinya.

PKMI-3-5-2
Pencarian bahan baru untuk kepentingan ini terus dilakukan, dan akhir-
akhir ini bahan semikonduktor oksida TiO
2
yang didadah unsure Cobalt (TiO
2
:Co)
ditemukan menunjukkan sifat feromagnetisme pada temperatur ruang (Matsumoto,
Y., 2001). Tentunya penemuan ini memberikan kemajuan yang signifikan dalam
pengembangan bahan DMS selanjutnya.
Sifat fisis bahan TiO
2
:Co dalam bentuk film tipis sangat dipengaruhi oleh
metode dan kondisi penumbuhannya. Film TiO
2
:Co yang ditumbuhkan dengan
metode PLD (pulsed laser deposition) pada tekanan parsial tinggi (>10
-6
Torr)
tidak menunjukka efek anomali, sementara penumbuhan pada tekanan parsial
yang lebih rendah menghasilkan film dengan kekosongan oksigen tinggi, yang
dapat menyebabkan peningkatan nilai resistivitas bahan (Hong, N. H., 2003).
Penumbuhan film TiO
2
:Co dengan MBE (molecular beam epitaxy) menghasilkan
kluster-kluster logam Co yang berukuran beberapa puluh nanometer yang
menghasilkan pulau-pulau berkonduktivitas listrik tinggi (Yang, J. S., 2003).
Salah satu metode penumbuhan film tipis semikonduktor yang akhir-akhir
ini banyak dipergunakan adalah MOCVD (metalorganic chemical vapor
deposition). Metode ini memiliki beberapa keunggulan terutama dalam hal
menghasilkan film yang memiliki ketebalan merata dan sangat tipis, bahkan hanya
beberapa monolayer saja, kemudahan dalam pengaturan persen dadahan, dan
kemudahan dalam penumbuhan struktur multilapisan. Sehingga dengan
menggunakan MOCVD, persen dadahan Co pada semikonduktor TiO
2
akan
sangat mudah dikontrol. Parameter kunci dalam penumbuhan bahan
semikonduktor dengan MOCVD adalah temperatur penumbuhan, laju alir sumber-
sumber metalorganik, dan tekanan reaktor (Razeghi, M., 1995)
Dalam makalah ini dipaparkan tentang kebergantungan karakteristik film tipis
TiO
2
:Co yang ditumbuhkan dengan MOCVD terhadap temperatur penumbuhan.
Karakteristik film TiO
2
:Co yang ditinjau meliputi karakteristik kekristalan,
morfologi, sifat optik dan respon magnetiknya.

METODE PENDEKATAN
Film tipis TiO
2
:Co ditumbuhkan dengan metode MOCVD di atas substrat
silicon (100) dengan metode MOCVD vertikal, menggunakan parameter
penumbuhan seperti ditunjukkan pada tabel 1. Sumber metalorganik yang
digunakan adalah Cairan Titanium (IV) Isoproxide [Ti{OCH(CH
3
)
2
}
4
] 99,99 %
dan serbuk Tris (2,2,6,6-tetramethyl-3,5 heptanedionato) cobalt (III), Co(TMHD)
3

99%, dan gas oksigen sebagai sumber O. Serbuk Co(TMHD)
3
dilarutkan dalam
pelarut Tetrahydrofuran (THF,C
4
H
8
O) dengan konsentrasi 0,2 mol per liter. Hasil
larutan dan bahan cair Ti{OCH(CH
3
)
2
}
4
kemudian dicampur dengan
perbandingan tertentu dan kemudian dimasukkan ke dalam bubbler yang
dihubungkan dengan ruang reaksi dengan sistem pempipaan. Bubbler dipanaskan
untuk menguapkan bahan. Uap bahan dialirkan dari bubbler ke ruang reaksi
dengan dibonceng oleh gas Argon (Ar). Tekanan uap dalam bubbler dikendalikan
dengan suatu katup pengendali. Tekanan awal ruang reaksi divakum hingga 10
-2

Torr. Gas O
2
dilairkan ke ruang reaksi ketika proses penumbuhan berlangsung.
Skema sistem reactor MOCVD vertikal yang digunakan untuk penumbuhan film
TiO
2
:Co diperlihatkan pada gambar 1.


2

PKMI-3-5-3
Tabel 1. Parameter penumbuhan film tipis TiO
2
:Co diatas substrat silikon
Sampel Parameter deposisi
penumbuhan #1 #2 #3 #4
Temperatur penumbuhan 400
o
C 450
o
C 500
o
C 550
o
C
Temperatur bubbler (T
b
) 50
o
C 50
o
C 50
o
C 50
o
C
Tekanan uap bahan campuran (P
b
) 260 Torr 260 Torr 260 Torr 260 Torr
Laju aliran gas O
2
60 sccm 60 sccm 60 sccm 60 sccm
Laju aliran gas Ar 100
sccm
100
sccm
100
sccm
100
sccm
Tekanan total penumbuhan (P
T
) 2 Torr 2 Torr 2 Torr 2 Torr
Waktu penumbuhan 2 jam 2 jam 2 jam 2 jam

Karakteristik kekristalan film diinvestigasi dari pola difraksi sinar-X hasil
karakterisasi XRD (X-ray diffractometer) menggunakan radiasi Cu K ( =
1,54056 A) merek Philips tipe PW3710. Ketebalan dan morfologi permukaan
film dianalisis dari hasil pencitraan SEM (scanning electron microscope) tipe
Jeol JSM 6360LA. Sifat optik diwakili oleh nilai celah pita energi optik bahan
yang ditentukan berdasarkan hasil pengukuran PL (photoluminescence), dan sifat
magnetic film diuji dengan sistem VSM (vibrating sample magnetometer).




HASIL DAN PEMBAHASAN
Dari hasil penumbuhan film tipis TiO
2
:Co dengan metode MOCVD diatas
substrat silikon pada temperatur yang berbeda diperoleh empat sampel film
Gambar 1. Skema reaktor MOCVD vertikal
Katup Throttle
Ti,Co
Filter
Pompa Root
Blower
Pompa Rotary
Bubbler
Heater
Manometer

Jarum
Katup
Pencampur
Gas
Jalur pipa
Yang dipanaskan
MFC
MFC
Ar O
2

PKMI-3-5-4
dengan masing-masing temperatur penumbuhan 400
o
C, 450
o
C, 500
o
C, dan
550
o
C.
Morfologi film tipis TiO
2
:Co untuk masing-masing temperatur
penumbuhan ditunjukkan oleh gambar 2. Dari keempat bentuk morfologi film
TiO
2
:Co, sampel yang ditumbuhkan dengan temperatur penumbuhan 450
o
C
memiliki morfologi paling baik yang ditandai dengan ketebalan film yang
seragam, batas butiran kristal tampak jelas dan pola pertumbuhan yang
membentuk kolumnar, serta butiran-butiran kristal tersebar dengan sangat rapat
tanpa membentuk pori.








Gambar 2. Potret SEM penampang lintang film tipis TiO
2
:Co yang
ditumbuhkan pada masing-masing temperatur (a) 400
0
C, (b) 450
0
C, (c) 500
0
C, (d) 550
0
C


Karakeristik optik film tipis TiO
2
:Co ditunjukkan oleh gambar 3. Dari
gambar tersebut dapat dilihat bahwa keempat sampel film tipis TiO
2
:Co yang
ditumbuhkan memiliki karakteristik optik yang relatif sama. Puncak intensitas PL
terjadi pada panjang gelombang 4440 , besar panjang gelombang ini bersesuaian
dengan nilai celah pita (Eg) sekitar 2.79 eV. Masuknya Co pada matriks TiO
2

telah memperkecil nilai celah pita energi basisnya (TiO
2
) yang bernilai sekitar
3,10 eV. Hasil karakteristik optik ini dapat dipastikan bahwa film TiO
2
:Co telah
terbentuk. Dari hasil ini juga tampak bahwa variasi temperatur penumbuhan tidak
mempengaruhi nilai Eg bahan.
Pola difraksi sinar-x dari sampel film tipis TiO
2
:Co yang ditumbuhkan
pada temperatur penumbuhan 450
o
C ditunjukkan pada gambar 4. Tampak bahwa
orientasi kekristalan bahan sudah mengarah pada orientasi kristal tunggal yaitu
orientasi bidang anatase (213). Hal ini menunjukkan bahwa butiran penyusun
film tumbuh ke sat arah orientasi tertentu yaitu arah bidang (213). Hasil ini
sesuai dengan hasil potret SEM penampang lintang sampel ini yang menunjukkan
(a) (b)
(c) (d)

PKMI-3-5-5
bentuk butiran penyusun film yang secara umum seragam. Dengan tumbuhnya
struktur kristal anatase, sangat menguntungkan dari segi kepemilikikan mobilitas
pembawa muatan yang lebuh tinggi jika disbanding dengan struktur rutile.

Grafik PL FilmTipis TiO2:Co
4000 4500 5000 5500 6000
Panjang Gelombang (Angstrom)
I
n
t
e
n
s
i
t
a
s

(
a
.
u
)
30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80
2 Theta (derajat)
I
n
t
e
n
s
i
t
y

(
a
.
u
.
)
Si (400)
A(213)
Gambar 3. Grafik intensitas PL (a.u)
terhadap panjang gelom-bang
() untuk setiap sampel yang
ditumbuhkan pada temperatur
penum-buhan : (a) 400
o
C, (b)
450
o
C, (c)

500
o
C, dan (d) 550
o
C
Gambar 4. Pola XRD film tipis
TiO
2
:Co yang ditumbuhkan
pada temperatur 450
o
C

Hasil pengujian sifat kemagnetan film tipis TiO
2
:Co yang ditumbuhkan
pada temperatur 450
o
C ditunjukkan dengan kurva histerisis magnetisasi pada
gambar 5. Dari kurva histerisis magnetisasi tersebut dapat ditentukan medan
koersif sekitar 100 Oe, magnetisasi remanen sekitar 350 emu/cm
3
dan faktor
demagnetisasi nya sekitar 0.394. Berdasarkan nilai-nilai karakteristik kemagnetan
ini, maka film tipis TiO
2
:Co yang ditumbuhkan tergolong pada magnet lunak (soft
magnetic). Munculnya sifat kemagnetan bahan ini sekali lagi menunjukkan bahwa
unsur magnetik Co telah masuk pada matrik TiO
2
, karena awalnya bahan TiO
2
ini
bukan merupakan bahan magnetik.

-3
-2
-1
0
1
2
3
-12 -8 -4 0 4 8 12
M
(
x
1
0
3
)
(
e
m
u
/
c
m
3
)
H(x10
3
)(Oe)


Gambar 5. Kurva Histerisis Magnetisasi Antara Medan koersif (Hc) Terhadap
Magnetisasi Remanen (Mr) Pada Film Tipis TiO
2
:Co Yang
Ditumbuhkan Pada Temperatur 450
o
C.

KESIMPULAN
Berdasarkan hasil analisis data yang diperoleh dari berbagai hasil
karakterisasi bahan TiO
2
:Co yang ditumbuhkan dengan MOCVD pada
temperature penumbuhan bervariasi, maka dapat disimpulkan bahwa :
-10
-8
-6
-4
-2
0
2
4
6
8
10
-3 -2 -1 0 1 2 3
H( x10
2
) ( Oe)
(d)
(a)
(b)
(c)
7

PKMI-3-5-6
1. Karakteristik film tipis TiO
2
:Co yang ditumbuhkan dengan metode MOCVD
secara umum dipengaruhi oleh temperatur penumbuhan yang digunakan.
Morfologi film tipis terbaik terjadi pada sampel yang ditumbuhkan dengan
temperatur penumbuhan 450
O
C.
2. Pergeseran nilai pita energi TiO
2
:Co dari celah pita energi bahan dasarnya
TiO
2
menunjukkan bahwa atom Co telah terinkorporasi kedalam matrik TiO
2
.
Variasi temperatur penumbuhan tidak mempengaruhi nilai celah pita energi
optik bahan secara signifikan.
3. Struktur kekristalan film tipis TiO
2
:Co yang ditumbuhkan dengan temperatur
penumbuhan 450
o
C adalah anatase dengan orietasi kristal tunggal pada
bidang (213). Film ini menunjukkan sifat feromagnetik yang tergolong
magnet lunak (soft magnetic), yang ditandai dengan nilai medan koersifnya
sekitar 100 Oe.

DAFTAR PUSTAKA
Flederling, R., Keim, M., Reuscher, G., Ossau, W., Schmidt, G., Waag, A., &
Molenkamp, L. W., Injection and detection of a spin-polarized current in
a light-emitting diode, Nature 402, 788 (1999)
Chamber, S. A., & Yoo, Y, K., New materials for spintronic, MRS Bulettin 28,
706 (2003)
Hong, N. H., Sakai, J., Prellier, W., & Hassini, A., Co distribution in
ferromagnetic rutile Co-doped TiO
2
thin film grown by laser ablation on
silicon substrate, Appl. Phys. Lett. 83, 3129 (2003)
Matsumoto, Y., Murakami, M., Shono, T., Hasegawa, T., Fukumura, T.,
Kawasaki, M., Ahmet, P., Chikyow, T., Koshihara, s., & Koinuma, H.,
Room-temperature ferromagnetism in transparent transition metal-doped
titanium dioxide, Science 291, 854 (2001)
Ohno, Y., Young, D. K., Beschoten, B., matsukura, F., Ohno, H., & Awschalom,
D. D., Electrical spin injection in a ferromagnetic semiconductor
heterostructure, Nature 402, 790 (1999)
Razeghi, M., The MOCVD Challenge Volume 2: A Survey of GaInAsP-GaAs
for photonic and electronic device application, Institute of Physics
Publishing , pp. 29-42, Philadelphia, Pennsylvania (1995)
Yang, J. S., Kim, D. H., Bu, S. D., Noh, T. W., Park, S. H., Khim, Z. G., Lyo, I.
W., & Oh, S. J., Surface structures of a Co-doped anatase TiO
2
(001) film
investigated by scanning tunneling microscopy, Appl. Phys. Lett. 82, 3080 (2003)


PKMI-3-6-1
PROTOTIPE PERCOBAAN RUTHERFORD SEBAGAI ALAT PERAGA
PEMBELAJARAN MODEL ATOM RUTHERFORD UNTUK
MENINGKATKAN HASIL BELAJAR SISWA DI SMA 2 KENDAL

Khamdan Kurniawan, Amin Purnomo, Ani Rosiyanti
Jurusan Kimia FMIPA Universitas Negeri Semarang
Kampus Sekaran Gunungpati Semarang 50229. Email: kimia_unnes@plasa.com

ABSTRAK
Sebagian besar siswa SMA masih sulit memahami model atom Rutherford yang
didasarkan pada eksperimen Ernest Rutherford pada tahun 1911. Hal ini
dikarenakan siswa tidak melakukan eksperimen secara langsung. Oleh karena itu
diperlukan alat peraga yang dapat membantu mengatasi kesulitan siswa tersebut
yaitu dengan prototipe percobaan Rutherford. Prototipe percobaan Rutherford
merupakan alat peraga mengenai eksperimen Rutherford dan sejauh pengetahuan
penulis, alat peraga ini belum pernah ada di tempat manapun. Kegiatan rancang
bangun dilakukan untuk menghasilkan alat yang dapat membantu siswa
memahami model atom Rutherford. Alat hasil rancang bangun kemudian
diujicobakan pada siswa dan selanjutnya dilakukan pengukuran hasil belajar
mengenai materi model atom Rutherford. Metode pengumpulan data
menggunakan metode tes, metode angket dan metode dokumentasi. Berdasarkan
analisis data yang telah dilakukan, pembelajaran dengan menggunakan Prototipe
Percobaan Rutherford lebih baik (t
hitung
= 17,33) daripada pembelajaran dengan
tidak menggunakan Prototipe Percobaan Rutherford (t
hitung
= 10,77). Berdasarkan
hasil uji ketuntasan belajar, kelompok yang memperoleh pembelajaran dengan
menggunakan Prototipe Percobaan Rutherford telah mencapai ketuntasan belajar
dengan t
hitung
= 7,40 > t
tabel
1,69 sedangkan kelompok yang memperoleh
pembelajaran dengan tidak menggunakan Prototipe Percobaan Rutherford belum
mencapai ketuntasan belajar dengan t
hitung
= -3,954 < t
tabel
1,69. Oleh karena itu
dapat disimpulkan bahwa Prototipe Percobaan Rutherford merupakan alat
peraga yang dapat membantu siswa dalam memahami model atom Rutherford
dan sekaligus dapat meningkatkan hasil belajar siswa. Dengan alat peraga ini
siswa diajak mempraktikan percobaan sekaligus menyimpulkan hasil percobaan
secara mandiri dengan arahan guru sehingga pemahaman siswa menjadi lebih
mendalam dan hasil belajar meningkat.

Kata kunci: rutherford, pembelajaran, hasil belajar.

PENDAHULUAN
Selama ini ada suatu kesan pada sebagian besar siswa SMA terhadap
pelajaran kimia pada materi struktur atom, khususnya tentang model atom
Rutherford yang merupakan materi yang sangat sulit dan menjemukan. Hal ini
dikarenakan antara lain: (1) masih sulitnya sebagian besar siswa SMA berpikir
atom yang bersifat abstrak, (2) masih sedikitnya media pembelajaran tentang
struktur atom yang dipakai selama ini, (3) metode penyampaian materi oleh
pendidik (guru) yang monoton dan kurang menarik serta tidak dikaitkan dengan
kemajuan teknologi yang ada atau tidak dikaitkan dengan kehidupan sehari-hari
membuat siswa bosan dan jemu, (4) belum optimalnya keterlibatan siswa dalam
proses belajar mengajar atau masih sedikitnya penciptaan pengalaman belajar

PKMI-3-6-2
(learning experience) dalam pembelajaran materi pokok struktur atom. Hal ini
mengakibatkan kurangnya pemahaman siswa terhadap mata pelajaran kimia
sehingga hasil belajar rendah. Padahal materi pelajaran tentang atom khususnya
tentang model atom Rutherford merupakan pijakan atau dasar bagi siswa untuk
mempelajari struktur atom, spektrum, konfigurasi elektron, radioaktifitas dan lain-
lain.
Pembelajaran adalah suatu kegiatan yang dilakukan oleh guru sedemikian
rupa, sehingga tingkah laku siswa berubah ke arah yang lebih baik (Darsono, 2000
: 24). Proses pembelajaran di sekolah biasa dipimpin oleh guru seperti yang terjadi
di SMA 2 Kendal. Namun pada proses pembelajaran model atom Rutherford di
SMA 2 Kendal, guru cenderung menggunakan metode ceramah dan hanya
menjelaskan materi secara teoritis saja. Akibatnya sebagian besar siswa SMA 2
Kendal masih sulit memahami model atom Rutherford. Berdasarkan laporan guru
kimia kelas X SMA 2 Kendal, lebih dari 70 % siswa masih mengalami kesulitan
dalam memahami model atom Rutherford. Hal ini terlihat dari hasil ulangan
harian pada dua tahun terakhir yaitu lebih dari 70 % siswa mendapat nilai di
bawah tujuh.
Apabila keadaan ini tidak segera diatasi dikhawatirkan konsep dasar
mengenai atom yang merupakan materi dasar ilmu kimia tidak dikuasai dengan
matang oleh siswa sehingga berdampak sulitnya siswa mengikuti pelajaran kimia
selanjutnya misalnya konfigurasi elektron, struktur atom, radioaktivitas, dan lain-
lain. Dampak yang lebih parah adalah menurunnya minat belajar terhadap mata
pelajaran kimia sehingga hasil belajar menjadi rendah.
Salah satu upaya yang dapat dilakukan agar siswa dapat memahami
konsep model atom Rutherford adalah dengan menggunakan alat peraga pada saat
proses pembelajaran di kelas, salah satunya menggunakan prototipe percobaan
Rutherford.
Alat peraga adalah suatu alat, biasanya tidak dalam bentuk perangkat (set)
yang digunakan dapat membantu memudahkan memahami konsep secara tidak
langsung (Mujadi, 1995: 5). Dikatakan tidak langsung karena konsep materi
diperoleh melalui penjelasan dengan menggunakan percobaan. Alat peraga
pembelajaran merupakan alat-alat yang digunakan guru dalam proses
pembelajaran untuk membantu memperjelas materi pelajaran dan mencegah
timbulnya verbalisme pada diri siswa (Lemlit UNNES, 2004: 12).
Agar fungsi alat peraga dapat terpenuhi sesuai dengan yang diharapkan
maka perlu diperhatikan beberapa persyaratan yang harus dimiliki alat peraga,
terutama jika akan membuat alat peraga. Menurut Mujadi (1995: 7) syarat yang
harus dimiliki alat peraga antara lain: (1) tahan lama (dibuat dari bahan-bahan
yang cukup kuat), (2) bentuk dan warnanya menarik, (3) sederhana dan tidak
rumit, (4) ukurannya sesuai (seimbang dengan ukuran anak), (5) sesuai dengan
konsep materi, (6) dapat menjelaskan konsep dan bukannya mempersulit
pemahaman konsep, (7) agar siswa dapat belajar secara aktif (sendiri atau
kelompok) alat peraga diharapkan dapat dimanipulasikan, yaitu dapat diraba,
dipegang, dipindahkan, dan sebagainya.
Hasil penelitian Ahmad Muslimin didapat bahwa nilai rata-rata prestasi
belajar siswa yang diajar oleh guru-guru yang sering menggunakan alat peraga
lebih tinggi daripada nilai rata-rata siswa yang diajar guru-guru yang jarang
menggunakan alat peraga (Ahmad Muslimin dalam Soekamto, 1998: 20).

PKMI-3-6-3
Sementara Rawi M. Caronge menyatakan bahwa semua sarana/prasarana yang
menunjang dalam kelas mempunyai korelasi yang positif dengan hasil belajar
(Rawi M. Caronge dalam Soekamto, 1998: 29). Berdasarkan hasil penelitian di
atas dapat diambil simpulan bahwa alat peraga pembelajaran sangat menunjang
hasil belajar siswa.
Alat peraga merupakan salah satu macam media (Gagne dalam Sadiman,
2003: 6). Apabila media itu membawa pesan-pesan atau informasi yang bertujuan
instruksional atau mengandung maksud-maksud pengajaran maka media itu
disebut media pembelajaran (Heinich dalam Arsyad, 2004: 4). Pemilihan suatu
media pembelajaran diperlukan suatu pertimbangan khusus yang meliputi
pertimbangan produksi, peserta didik, isi, dan guru (Rohani, 1997: 12).
Prototipe percobaan Rutherford merupakan alat peraga pembelajaran
kimia khususnya mengenai materi model atom Rutherford. Sejauh pengetahuan
penulis prototipe percobaan Rutherford belum pernah ada di tempat manapun.
Pembelajaran dengan menggunakan prototipe percobaan Rutherford diharapkan
dapt mengatasi kesulitan siswa mengenai model atom Rutherford, meningkatkan
keaktifan siswa dalam proses pembelajaran karena keterlibatan emosi siswa
sangat besar (learning experience) sehingga pada akhirnya dapat meningkatkan
kualitas hasil belajar. Selain itu dengan prototipe percobaan Rutherford siswa
diajak mempraktikkan percobaan yang merupakan dasar penetapan model atom
Rutherford dan menyimpulkan hasil percobaan secara mandiri di bawah arahan
guru. Dengan demikian alat peraga ini sangat bermanfaat baik bagi guru maupun
siswa.
Pada tulisan ini dilaporkan hasil kegiatan yang bertujuan melakukan studi
mengenai rancang bangun alat peraga, uji coba sekaligus mengukur hasil belajar
siswa sebagai tolok ukur keberhasilan alat peraga dalam meningkatkan hasil
belajar siswa.

METODE PENDEKATAN
Tahap Perancangan Prototipe Percobaan Rutherford
Perancangan telah dilakukan pada beberapa komponen yang diperlukan
untuk membuat prototipe percobaan Rutherford. Komponen-komponen tersebut
disesuaikan dengan eksperimen Rutherford yang sebenarnya. Meskipun
komponen-komponen pada rancangan berbeda dengan komponen-komponen yang
ada pada eksperimen Rutherford, namun komponen-komponen pada rancangan
dapat dianalogikan dengan keadaan sebenarnya sehingga diharapkan tidak
mengubah konsep eksperimen model atom Rutherford sebenarnya.

Tahap Pembuatan Prototipe Percobaan Rutherford
Proses pembuatan dilakukan di Laboraturium Kimia UNNES dan
bekerjasama dengan bengkel las HARAPAN MAJU milik Masur yang
beralamat di Jl. Barito Raya Blok H/156 Semarang. Pembuatan alat peraga
diawali dengan pembuatan papan alas. Selanjutnya membuat sistem putaran
dengan tenaga listrik menggunakan komponen-komponen yang sudah disiapkan.
Sistem putaran yang sudah berhasil dibuat kemudian diterapkan pada papan alas.
Langkah terakhir adalah pemasangan komponen-komponen yang lain pada papan
alas dilanjutkan pengecatan hingga dihasilkan prototipe percobaan Rutherford
yang siap untuk diujicobakan.

PKMI-3-6-4
Tahap Ujicoba Prototipe Percobaan Rutherford
Pada tahap ini dilakukan ujicoba penggunaan prototipe percobaan
Rutherford pada pembelajaran model atom Rutherford. Ujicoba ini bertujuan
untuk mengetahui sejauh mana penerimaan siswa tentang proses pembelajaran
model atom Rutherford dengan menggunakan prototipe percobaan Rutherford.
Oleh karena itu, dilakukan penyebaran angket terhadap siswa peserta ujicoba
dengan jumlah soal sepuluh butir.

Tahap Pengukuran Hasil Belajar Siswa
Pada tahap ini dilakukan pengukuran hasil belajar siswa setelah
memperoleh pembelajaran baik yang menggunakan prototipe percobaan
Rutherford maupun yang tidak. Populasi yang diteliti adalah seluruh siswa kelas
X SMA 2 Kendal tahun ajaran 2005/2006 yaitu sebanyak 200 siswa yang tersebar
dalam lima kelas. Pengambilan sampel menggunakan teknik cluster random
sampling. Sampel penelitian diambil kelas XB dan XD. Pada penelitian ini yang
menjadi variabel bebas adalah pembelajaran dengan menggunakan prototipe
percobaan Rutherford dan pembelajaran dengan tidak menggunakan prototipe
percobaan Rutherford, sedangkan variabel terikatnya adalah hasil belajar kimia
siswa yang berkaitan dengan materi model atom Rutherford. Penelitian ini
menggunakan desain penelitian randomize control group only design. Metode
pengumpulan data menggunakan metode tes, metode angket dan metode
dokumentasi. Metode analisis data dipisahkan menjadi dua yaitu analisis tahap
awal dan analisis tahap akhir. Pada analisis tahap awal dilakukan uji normalitas,
uji homogenitas, dan uji kesamaan keadaan awal populasi untuk menetapkan
kelompok sampel yang diteliti. Data yang digunakan pada analisis tahap awal ini
adalah nilai NEM IPA SMP siswa kelas X SMA 2 Kendal. Analisis tahap akhir
meliputi uji normalitas, estimasi rata-rata hasil belajar, uji ketuntasan belajar, uji
peningkatan hasil belajar, uji kesamaan dua varians dan uji perbedaan dua rata-
rata. Data yang digunakan adalah data hasil belajar siswa kelompok perlakuan.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Kegiatan rancang bangun menghasilkan satu unit prototipe percobaan
Rutherford sebagai alat peraga dalam pembelajaran model atom Rutherford
dengan ukuran panjang 120 cm, lebar 80 cm, dan tinggi 28 cm. Prototipe
percobaan Rutherford dapat dilihat pada gambar 1.
Prototipe percobaan Rutherford merupakan alat peraga pembelajaran
model atom Rutherford yang sejauh pengetahuan penulis, alat peraga ini belum
pernah ada di tempat manapun. Alat peraga ini bermanfaat untuk menjelaskan
eksperimen Rutherford sehingga siswa lebih mudah memahami model atom
Rutherford. Percobaan eksperimen Rutherford dapat dilihat pada gambar 2.
Pada eksperimen Rutherford berkas partikel ditembakkan ke lapisan
emas yang tipis melalui celah pelat timbal. Pengamatan terhadap perilaku partikel
yang menembus partikel emas dilakukan dengan memasang lempeng berlapis
seng sulfida. Lempeng ini akan berpendar jika partikel mengenainya sehingga
dapat diamati secara visual. Pengamatan menunjukkan bahwa sebagian besar
partikel menembus lapisan emas tanpa mengalami pembelokan atau hambatan
(A), sebagian kecil dibelokkan (B) dan sedikit sekali yang dipantulkan kembali

PKMI-3-6-5
(C). Berdasarkan eksperimen tersebut, Rutherford mengemukakan model atomnya
sebagai berikut:
Atom tersusun dari inti yang bermuatan positif dikelilingi oleh elektron-elektron
yang bermuatan negatif. Massa atom terpusat pada inti atom dan sebagian besar
volume atom merupakan ruang hampa. (Johari dan Rahmawati. 2004: 34). Model
atom Rutherford dapat dilihat pada gambar 3.

















Gambar 1. Prototipe Percobaan Rutherford













Gambar 2. Eksperimen Rutherford (Sumber: Johari dan Rahmawati, 2004: 33)









Gambar 3. Model Atom Rutherford (Sumber: Johari dan Rahmawati, 2004: 34)

PKMI-3-6-6
Pada Prototipe Percobaan Rutherford bola kecil berwarna kuning
menandakan partikel yang ditembakkan, sedangkan bola besar menandakan inti
atom, dan daerah di luar bola besar merupakan ruang hampa. Pada media ini bola
kecil berjumlah empat buah, hal ini menandakan bahwa pada dasarnya partikel
berjumlah banyak sekali. Apabila media ini dijalankan maka bola kecil akan
bergerak sesuai dengan lintasannya. Apabila bola kecil berjalan lurus menabrak
bola besar ternyata akan dipantulkan, namun apabila bola kecil ini tidak menabrak
bola besar maka bola kecil akan diteruskan. Prototipe Percobaan Rutherford dapat
menjelaskan eksperimen Rutherford, yaitu sebagai berikut: (1) bola kecil
dipantulkan karena menabrak bola besar. Ini menandakan bahwa partikel pada
eksperimen Rutherford yang ditembakkan ternyata menabrak inti atom dari
lempeng emas. Inti atom ini dimungkinkan oleh Rutherford sangat pejal dan
sebagian besar massa atom berpusat padanya. (2) bola kecil diteruskan karena
tidak menabrak bola besar. Ini menandakan bahwa partikel pada eksperimen
Rutherford tidak mengenai inti atom, tetapi melewati ruang hampa pada atom.
Pada eksperimen Rutherford sebagian besar partikel diteruskan. Rutherford
mengungkapkan bahwa sebagian besar ruang dalam atom adalah ruang hampa. (3)
bola kecil dibelokkan karena mendekati bola besar. Ini menandakan bahwa
partikel pada eksperimen Rutherford mengalami gaya tolak menolak dengan inti
atom karena mempunyai muatan listrik yang sejenis yaitu muatan listrik positif.
Prototipe Percobaan Rutherford mampu menjelaskan eksperimen
Rutherford sehingga dapat diperoleh simpulan mengenai model atom Rutherford,
oleh karena itu media ini sangat tepat digunakan pada proses pembelajaran di
sekolah.
Prototipe Percobaan Rutherford merupakan alat peraga yang memenuhi
syarat-syarat seperti yang dikemukakan oleh Mujadi (1995: 7) antara lain: tahan
lama, bentuk dan warnanya menarik, sederhana, tidak rumit, ukurannya sesuai
dengan ukuran siswa, dapat diraba, dipegang, dipindahkan, dan dapat menjelaskan
konsep materi.
Keunggulan-keunggulan Prototipe Percobaan Rutherford antara lain: (1)
dapat membantu siswa memahami model atom Rutherford, (2) dapat membantu
guru dalam menjelaskan model atom Rutherford kepada siswa, (3) belum pernah
ada di tempat manapun, (4) mudah digunakan karena media ini praktis dan untuk
menjalankannya cukup dengan menggunakan energi listrik, (5) mudah
dipindahkan dan (5) tidak membutuhkan perawatan khusus.

Ujicoba Prototipe Percobaan Rutherford
Hasil ujicoba penggunaan Prototipe Percobaan Rutherford dalam
pembelajaran model atom Rutherford dapat dilihat pada tabel 1.
Berdasarkan tabel 1 terlihat bahwa 52,5 % responden (siswa) tertarik pada
materi model atom Rutherford, namun 82,5 % responden (siswa) merasa kesulitan
dalam memahami materi tersebut sebelum menggunakan prototipe percobaan
Rutherford. Sebesar 62,5 % responden merasa tertarik pada proses pembelajaran
dengan menggunakan prototipe percobaan Rutherford yang digunakan.
Penggunaan prototipe percobaan Rutherford dalam pembelajaran dapat
memunculkan kekreativan siswa (75 %), memusatkan perhatian (62,5 %) dan
keaktifaan siswa (75 %). Sebesar 75 % responden tidak mengalami kesulitan
pada saat menggunakan prototipe percobaan Rutherford dan 65 % responden

PKMI-3-6-7
dapat memahami materi model atom Rutherford dengan baik. Data-data tersebut
menunjukan bahwa prototipe percobaan Rutherford merupakan alat peraga yang
mampu meningkatkan pemahaman siswa mengenai model atom Rutherford.

Tabel 1. Penerimaan Siswa Mengenai Prototipe Percobaan Rutherford
Responden SS Responden S Responden TS Responden STS No
soal Jml % Jml % Jml % Jml %
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
17
33
10
6
2
5
0
3
1
9
42,5
82,5
25
45
5
12,5
0
7,5
2,5
22,5
21
3
25
29
30
25
1
31
32
26
52,5
7,5
62,5
72,5
75
62,5
2,5
77,5
80
65
2
2
5
4
8
7
30
5
6
5
5
5
12,5
10
20
17,5
75
12,5
15
12,5
0
0
0
1
0
0
9
1
1
0
0
0
0
2,5
0
0
22,5
2,5
2,5
0

Keterangan:
SS : sangat setuju
S : setuju
TS : tidak setuju
STS : sangat tidak setuju
No. Soal 1 : ketertarikan siswa pada materi pembelajaran
No. Soal 2 : kesulitan siswa pada materi pembelajaran
No. Soal 3 : ketertarikan siswa pada proses pembelajaran menggunakan
prototipe percobaan Rutherford
No. Soal 4 : ketertarikan siswa pada prototipe percobaan Rutherford yang
digunakan
No. Soal 5 : penggunaan prototipe percobaan Rutherford bisa memunculkan
kekreatifan siswa
No. Soal 6 : prototipe percobaan Rutherford dapat memusatkan perhatian
selama proses pembelajaran
No. Soal 7 : keaktifan siswa pada saat pembelajaran dengan menggunakan
prototipe percobaan Rutherford
No. Soal 8 : kesulitan saat menggunakan prototipe percobaan Rutherford
No. Soal 9 : dengan prototipe percobaan Rutherford dapat mengatasi
kebosanan siswa pada saat pembelajaran
No. Soal 10 : dengan prototipe percobaan Rutherford membuat siswa jelas dan
paham mengenai model atom Rutherford.

Pengukuran Hasil Belajar Siswa
Pada analisis tahap awal, menunjukkan kedua kelompok berdistribusi
normal, variansinya sama dan rata-rata nilai pretesnya tidak berbeda. Pada analisis
tahap akhir, hasil belajar kedua kelompok berbeda secara signifikan. Uji-t
menunjukkan t
hitung
kelompok yang memperoleh pembelajaran dengan
menggunakan prototipe percobaan Rutherford sebesar 17,33 sedangkan t
hitung

kelompok yang memperoleh pembelajaran dengan tidak menggunakan prototipe

PKMI-3-6-8
percobaan Rutherford sebesar 10,77. Hal ini berarti bahwa pembelajaran
menggunakan prototipe percobaan Rutherford lebih baik daripada pembelajaran
yang tidak menggunakan prototipe percobaan Rutherford. Hasil uji ketuntasan
belajar kelompok yang menggunakan prototipe percobaan Rutherford, t
hitung
= 7,40
> t
tabel
= 1,69 berarti pembelajaran dengan menggunakan Prototipe Percobaan
Rutherford telah mencapai ketuntasan belajar sedangkan t
hitung
kelompok yang
tidak menggunakan prototipe percobaan Rutherford dalam pembelajaran sebesar -
3,954 < t
tabel
1,69 yang berarti pembelajaran yang tidak menggunakan prototipe
percobaan Rutherford belum mencapai ketuntasan belajar.
Penggunaan Prototipe Percobaan Rutherford dalam proses pembelajaran
kimia merupakan suatu pembaruan atau terobosan baru dalam rangka
meningkatkan mutu pendidikan khususnya mata pelajaran kimia. Melalui
penggunaan Prototipe Percobaan Rutherford pada proses pembelajaran, siswa
dapat mempraktikkan percobaan yang merupakan dasar penetapan model atom
Rutherford dan menyimpulkan hasil percobaan secara mandiri di bawah arahan
guru. Siswa juga dapat ikut aktif dalam proses belajar mengajar sehingga dapat
memperoleh pengalaman belajarnya sendiri. Keaktifan siswa dalam proses
pembelajaran juga meningkat karena keterlibatan emosi siswa sangat besar
(learning experience) sehingga pada akhirnya dapat meningkatkan kualitas hasil
belajar seperti yang diungkap oleh Rawi M Caronge (dalam Soekamto, 1998: 29).

KESIMPULAN
Prototipe percobaan Rutherford merupakan alat peraga yang dapat
membantu siswa memusatkan perhatian selama proses pembelajaran,
memunculkan kekreativan dan keaktivan siswa sehingga siswa lebih mudah
memahami model atom Rutherford. Oleh karena itu penggunaan prototipe
percobaan Rutherford dalam pembelajaran dapat meningkatkan hasil belajar
siswa.

DAFTAR PUSTAKA
Arsyad, Azhar. (2004). Media Pembelajaran. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Depdiknas. (2003). Pedoman Khusus Pengembangan Silabus dan Sistem
Penilaian Mata Pelajaran Kimia Kurikulum 2004 SMA. Jakarta:
Depdiknas.
Johari dan Rahmawati. (2004). Kimia SMA untuk Kelas X. Jakarta: Esis.
Lemlit UNNES. (2004). Ujicoba Pembelajaran Matematika dengan
Menggunakan Alat Peraga di Sekolah Dasar. Draf Laporan Akhir
Penelitian Tidak diterbitkan=UNNES.
Mujadi. (1995). Materi Pokok Desain dan Pembuatan Alat Peraga. Jakarta:
Depdikbud.
Rohani, Ahmad. (1997). Media Instruksional Edukatif. Jakarta: Rineka Cipta.
Sadiman, Arief S. (2003). Media Pendidikan: Pengertian, Pengembangan, dan
Pemanfaatannya. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Soekamto, Tutik. (1998). Teori Belajar. Jakarta: Aneka Ilmu.



PKMI-3-7-1
TRACKI NG : CARA MUDAH MENGENAL HUTAN
DAN PRAKTEK BERBAHASA INGGRIS MELALUI MODEL
PERMAINAN

Ari Darmawan, Eko Prasetyo, Arom Figyantika, Eska Arganita, S.N.Hidayat
Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta

ABSTRAK
Tracking merupakan langkah menarik untuk mengkombinasi pengenalan objek-
objek kehutanan yang dikombinasikan dengan praktek bahasa Inggris dengan
cara yang menyenangkan. Tujuan dari kegiatan ini adalah mengenal hutan dan
praktek berbahasa Inggris melalui tracking model permainan. Untuk mengenal
hutan dilakukan tracking hutan pada lima pos yang berbeda yaitu profil tanah
dan suksesi, permudaan cendana, tegakan eboni, tegakan mahoni, dan
agroforestry. Sedangkan untuk praktek berbahasa Inggris dilakukan kegiatan
presentasi dan diskusi hasil tracking tiap pos dalam bahasa Inggris. Presentasi
dan diskusi dilakukan melalui model permainan. Hasil kegiatan ini adalah
peserta dapat mengenal hutan secara lebih nyata. Peserta dapat melakukan
presentasi dan diskusi dalam bahasa Inggris secara lebih lancar dengan suasana
yang lebih menyenangkan. Keberanian peserta menyampaikan pendapat dalam
bahasa Inggris meningkat. Disimpulkan bahwa tracking dapat meningkatkan
kemampuan mahasiswa dalam penguasaan bahasa Inggris dan pemahaman
tentang objek-objek kehutanan.

Kata kunci : Hutan, Tracking, Bahasa Inggris, Praktek, Permainan

PENDAHULUAN
Peran universitas sebagai lembaga pendidikan tinggi adalah
mengembangkan potensi yang dimiliki generasi muda bangsa melalui dasar-dasar
ilmu pengetahuan dan teknologi. Mahasiswa dituntut agar mampu menghadapi
tantangan di masa depan, serta dapat memberikan kontribusi yang nyata kepada
masyarakat dari ilmu yang telah diperoleh di bangku kuliah. Pada era globalisasi
ini, peran mahasiswa sebagai calon-calon pemimpin bangsa sangat diharapkan
mampu menghadapi era tersebut.
Universitas diharapkan mampu menghasilkan mahasiswa yang
mempunyai kualitas yang unggul dalam bidangnya masing-masing. Melalui ide,
tulisan, kepemimpinan, dan tindakannya peran mahasiswa dapat bermanfaat
dalam bermasyarakat. Walaupun di masa serba instan dan global seperti sekarang
ini, mahasiswa dituntut untuk semakin profesional dalam menghadapi perubahan-
perubahan yang terjadi dalam skala nasional maupun internasional.
Agar sikap dalam menghadapi hal tersebut dapat diandalkan dan
diamalkan kepada masyarakat maka mahasiswa harus menimba bekal ilmu
pengetahuan dan pengalaman praktek yang didapatkan melalui bangku kuliah.
Didalam proses perkuliahan, selain mahasiswa, ada aspek lain yang mendorong
lancarnya proses perkuliahan antara lain profesionalisme dosen dan metode atau
sistem pembelajaran karena dengan pemilihan metode perkuliahan yang tepat
akan sangat membantu mahasiswa merasa senang dalam menerima materi
perkuliahan dan materi yang diterima tidak membosankan.


PKMI-3-7-2
Metode pembelajaran atau perkuliahan yang ada saat ini sebagian besar
masih dilakukan di dalam kelas (indoor). Hanya beberapa mata kuliah yang
disertai dengan pelaksanaan praktikum, dan sebagian besar mata kuliah yang ada
tanpa disertai dengan adanya praktek. Proses perkuliahan didominasi dengan
pemberian materi langsung dari dosen, dimana mahasiswa pada posisi
mendengarkan dan mencatat. Dengan cara ini mahasiswa seringkali merasa bosan
dan malas karena sistem pembelajaran tersebut tidak menarik minat atau motivasi
mahasiswa dalam mempelajari materi perkuliahan.
Salah satu tantangan dalam menghadapi era pasar bebas atau era
globalisasi adalah kemampuan berbahasa Inggris para mahasiswa yang masih
kurang, padahal bahasa Inggris merupakan modal mendasar dalam menghadapi
persaingan pasar bebas. Mahasiswa seringkali menganggap bahwa bahasa Inggris
adalah suatu hal yang sulit dilakukan dan dipraktekkan secara lisan maupun
tulisan. Mahasiswa menganggap bahasa Inggris sulit karena adanya aturan-aturan
tertentu dalam penulisan kalimatnya dan pengucapannya berbeda dengan tulisan
yang ada sehingga bahasa Inggris jarang sekali digunakan atau dipraktekkan oleh
mahasiswa.
Untuk itu diperlukan suatu alternatif metode pembelajaran atau
perkuliahan baru yang dapat mencakup dan memecahkan kedua masalah tersebut
di atas yaitu suatu metode pembelajaran yang dapat menarik minat atau motivasi
mahasiswa untuk mempelajari mata kuliah Pengantar Ilmu Kehutanan dan Bahasa
Inggris dengan cara yang menyenangkan. Hal ini dapat dilakukan dengan cara
pengadaan praktikum di lapangan disertai dengan menggunakan Bahasa Inggris
(bilingual). Dengan observasi di lapangan, mahasiswa dapat langsung mengenal
dan memahami suatu objek atau materi perkuliahan.
Lingkungan sebagai sumber belajar, jika digunakan dalam proses belajar
mengajar, akan sangat membantu kualitas pendidikan.
Pemanfaatan lingkungan sebagai sumber belajar mempunyai banyak
keuntungan yaitu :
1. Lingkungan adalah sumber belajar yang murah dan mudah dijangkau.
2. Objek permasalahannya banyak dan beraneka ragam.
3. Siswa akan memperoleh pengetahuan yang betul, nyata, dan autentik.
4. Siswa dapat dan akan lebih banyak melakukan kegiatan observasi.
( Purwanti, 1997:1-5 )
Suatu pendekatan agar materi yang disampaikan tidak terlalu
membosankan dapat juga ditambah dengan game-game yang dapat menambah
kekompakan/melatih kerjasama (team work) antar mahasiswa. Hal ini selain
meningkatkan dan mengaktifkan kemampuan lisan/berkomunikasi dalam bahasa
Inggris mahasiswa, pada saat yang sama juga dapat mengenal jenis-jenis tanaman
kehutanan dan objek kehutanan dengan cara yang menyenangkan.
Tujuan kegiatan ini adalah memberikan masukan model pembelajaran
dalam hal pengenalan jenis-jenis pohon kehutanan dengan metode penggabungan
antara mata kuliah Pengantar Ilmu Kehutanan dengan Bahasa Inggris melalui
tracking.

METODE PENDEKATAN
Kegiatan tracking dalam bahasa Inggris dan Forestry Camp dalam Praktek
Pengantar Ilmu Kehutanan ini dilaksanakan di Wanagama I pada bulan Desember


PKMI-3-7-3
2005. Bahan dan alat kegiatan yang digunakan adalah tanaman kehutanan di
Wanagama I, slayer, alat tulis, radio atau tape recorder, kaset, megaphone, dan
bendera warna-warni.
Prosedur outbond bahasa Inggris dilaksanakan setelah peserta tiba di
Wanagama I dan dilakukan pembagian kelompok. Areal tracking dibagi menjadi
lima pos. Pos tersebut adalah pos profil tanah dan suksesi, tegakan cendana,
tegakan eboni, tegakan mahoni, dan agroforestry. Setelah tracking selasai
dilakukan, selanjutnya dilakukan presentasi kelompok dan diskusi.

HASIL
Peserta berkumpul di Fakultas Kehutanan sebelum acara pemberangkatan
ke tujuan di Hutan Penelitian Wanagama I. Sampai di Wanagama I Gunung
Kidul, peserta berkumpul di aula untuk mendapatkan pembekalan materi kegiatan.
Selanjutnya peserta dibagi menjadi kelompok-kelompok kecil.
Tiap-tiap anggota kelompok memperkenalkan diri dengan menggunakan
bahasa Inggris kemudian harus menyebutkan benda dalam bahasa Inggris yang
huruf awalnya sama dengan huruf pertama namanya. Demikian juga anggota
kelompok yang ada di sampingnya melakukan hal yang sama dengan
menyebutkan nama dan benda yang yang telah disebutkan oleh anggota kelompok
sebelumnya.
Contoh :
My name is Ari
I will bring an apple
Lalu teman di sebelahnya berkata
My name is Eko
I will bring an egg
And his name is Ari
He will bring an apple

Begitu seterusnya sehingga tiap-tiap anggota kelompok saling mengenal
teman-temannya dalam satu kelompok.
Setelah acara keakraban dalam satu team/kelompok selesai dilakukan,
kemudian diadakan permainan lagi yaitu permainan mengurutkan anggota team
berdasarkan besar nomor sepatu, tanggal lahir, bulan lahir, dan lain-lain. Dalam
permainan ini dibutuhkan kekompakan diantara anggota team.
Setelah acara pembukaan dan kekompakan antar kelompok tersebut selesai
dilakukan, persiapan tracking dilakukan dengan membagi peserta menjadi
kelompok-kelompok kecil (beberapa orang). Games juga diadakan untuk
meningkatkan rasa kekompakan dan keakraban di tiap-tiap kelompok.
Pelaksanaan tracking dilakukan dengan membagi jalur tracking menjadi
lima pos. Pada setiap pos mahasiswa mencoba untuk menjelaskan tentang materi
yang ada di pos tersebut sesuai kemampuannya dalam bahasa Inggris yang
kemudian akan dievaluasi oleh Dosen tentang bagian yang salah dan perlu
diperbaiki atau ditambahi.
Pada pos satu, kegiatan yang dilakukan adalah menjelaskan objek yang
ada yaitu tentang profil tanah. Tanah yang ada di Wanagama I adalah tanah kapur
yang seharusnya tidak bisa ditumbuhi oleh tanaman tetapi karena adanya proses
pelapukan maka secara bertahap ditumbuhi tanaman juga. Disini peserta


PKMI-3-7-4
diperlihatkan contoh-contoh lapisan tanah dan jenis-jenis tanah, proses
pembentukan tanah dan faktor-faktor yang mempengaruhinya, serta manajemen
suksesi yang terjadi di Kehutanan. Hal-hal yang berkaitan dengan suksesi serta
perannya dalam membentuk suatu tegakan hutan dijelaskan secara menyeluruh.
Pada sesi ini dapat diambil satu kesimpulan bahwa faktor yang
mempengaruhi pelapukan yaitu batuan induk, iklim, kemiringan lereng, waktu,
dan vegetasi, sesuai dengan uraian yang diberikan Pramoedidyo dkk (2004).
Kegiatan selanjutnya di pos satu yaitu permainan Guessing Word. Salah
satu anggota team menebak suatu kata dalam bahasa Inggris. Teman-teman yang
lain membantu satu orang tadi untuk menebak dengan memberikan
definisi/gambaran tentang kata-kata tersebut dalam bahasa Inggris tetapi tidak
boleh dibantu dengan gerak tubuh. Contoh :

This is a traditional vehicle
It have three wheel
We usually see it in Malioboro
Answer : pedicab

Pos dua adalah pos tentang Cendana (Santalum album). Cendana
tergolong ke dalam kayu mewah karena dijual per kiloan sehingga kerap dijadikan
aset yang berharga dalam dunia kehutanan. Berbagai karakteristik Cendana
dijelaskan di pos 2 ini sehingga peserta mengetahui informasi tentang tanaman
Cendana.
Permainan di pos ini adalah meniru gaya. Seorang korban ditutup
matanya dan seorang lagi sebagai model bergaya/berpose yang aneh-aneh. Teman
satu team yang lain memberi instruksi kepada korban untuk menirukan gaya
modelnya dengan menggunakan bahasa Inggris. Pada permainan ini dituntut
penguasaan kata-kata bahasa Inggris/vocabulary terutama menyebutkan gerakan
anggota tubuh dalam bahasa Inggris.
Pos tiga mahasiswa menjelaskan tentang tegakan Eboni (Kayu Hitam).
Nama latin Eboni adalah Diospyros celebica. Hal-hal yang berkaitan tentang
Eboni dijelaskan di pos ini. Mulai dari kenampakan pohon atau aspek Dendrologi
sampai dengan fungsi dan nilai jual kayu Eboni tersebut. Permainan yang
dilakukan di pos 3 adalah mengubah satu lagu berbahasa Indonesia menjadi
bahasa Inggris. Selain menemui kesulitan menemukan kata yang cocok, nada
yang sesuai juga perlu dicari agar lagu tersebut tidak terdengar sumbang.
Permainan ini dapat menambah penguasaan kata-kata bahasa Inggris/vocabulary
sehingga pesertanya menjadi semakin lancar dalam berbahasa Inggris.
Pos empat adalah pos tentang Mahoni. Jenis mahoni di dunia terdiri atas
dua spesies yakni Swietenia macrophylla King dan Swietenia mahagoni (L) jacg.
Swietenia macrophylla dengan nama perdagangan mahoni daun lebar berasal dari
Amerika Tengah, pertama kali masuk Indonesia tahun 1972 dari India. Daun
majemuk ganda dua sempurna, sukar terbakar. Pembuahan antara bulan Juni
sampai bulan Agustus dan mulai berbuah pada umur 12 tahun. Perakaran waktu
muda mempunyai akar tunggang yang cepat tumbuh dan sedikit akar cabang,
lebih banyak akar permulaan yang panjang dengan akar tunggang yang dalam
dengan banyak akar penghisap.


PKMI-3-7-5
Permainan di pos ini adalah permainan tentang debat dalam bahasa Inggris
sehingga mahasiswa benar-benar diharapkan mampu menerapkan bahasa Inggris
dalam percakapan (speaking) dalam aktivitas sehari-hari.
Pos terakhir dalam acara tracking ini adalah pos tentang agroforestry.
Berbagai pengetahuan tentang agroforestry dijelaskan kepada peserta baik tentang
manfaat agroforestry tersebut maupun berbagai kendala yang timbul dalam
pelaksanaannya. Penanaman dan wawancara tentang masalah sosial di daerah
sekitar Hutan Wanagama dilakukan. Diskusi dilakukan untuk mensarikan seluruh
kegiatan.
Setelah acara tracking selesai dilakukan, diadakan diskusi tiap kelompok
dengan membahas apa yang telah diperoleh selama tracking berlangsung. Hasil
diskusi tersebut kemudian dipresentasikan di depan kelompok dengan bimbingan
dosen untuk evaluasi.
Pengambilan kesimpulan akhir diambil setelah semua kelompok selesai
dengan presentasinya dan telah disetujui oleh semua kelompok beserta dengan
dosen.

PEMBAHASAN
Dengan adanya kegiatan tracking ini mahasiswa mendapatkan manfaat
yaitu meningkatkan kemampuan softskill mereka. Kemampuan softskill itu antara
lain team work, kepemimpinan, kedisiplinan, konsentrasi, dan kekompakan.
Ketika diadakan permainan di aula yaitu perkenalan anggota kelompok dalam satu
team, kemampuan mahasiswa dalam mengingat nama teman dan benda apa yang
dibawanya sangat diperlukan. Berarti hal ini memacu mahasiswa agar dapat
berkonsentrasi tetapi melalui cara yang menyenangkan, sehinggga mahasiswa
tidak merasa bosan dan tertekan.
Selanjutnya, permainan antar kelompok dengan mengurutkan tanggal
lahir, nomor sepatu, hobi, dan lain-lain dapat meningkatkan kemampuan
mahasiswa dalam bekerja sama. Disini juga dituntut kemampuan mahasiswa
dalam berkomunikasi, jika tidak maka barisan yang seharusnya urut alphabet akan
kacau balau. Pos satu mahasiswa melakukan permainan guessing word. Dalam
permainan ini mahasiswa melatih kemampuan berkonsentrasi dengan
mendengarkan petunjuk-petunjuk yang diberikan oleh temannya agar dapat
menebak kata apa yang dimaksudkan oleh temannya. Dalam permainan ini
mahasiswa harus berpikir kritis untuk menebak kata tersebut. Karena dikemas
dalam bentuk permainan mahasiswa merasa tertarik, sehinggga memacu mereka
untuk berkonsentrasi. Pos dua ada permainan guessing style yaitu salah seorang
mahasiswa yang ditutup matanya harus menirukan gaya yang dilakukan
temannya. Mahasiswa tersebut harus berpikir cepat dan memutuskan tindakan apa
yang akan ia lakukan walaupun tindakan itu belum tentu benar, tetapi dengan
petunjuk yang terus menerus maka akhirnya menjadi benar. Disini ada proses
perbaikan yang terus-menerus atau continous improvement. Pos tiga ada
permainan menterjemehkan lagu bahasa indonsia menjadi bahasa inggris. Softskill
yang ada di- sini yaitu kemampuan menjadi seorang pemimpin untuk memutuskan
lagu apa yang diterjemahkan dan kreativitas dalam menerjemahkan lagu sangat
diperlukan. Pos empat meningkatkan rasa percaya diri mahasiswa. Mahasiswa
menyampaikan argumen mereka agar tidak menjadi korban yang ditinggalkan di


PKMI-3-7-6
dalam pesawat. Padahal jika di dalam perkuliahan biasa di dalam kelas jarang
sekali ada mahasiswa yang menyampaikan pendapat atau bertanya.
Kegiatan tracking yang dilakukan dalam kegiatan ini dapat membantu
mahasiswa untuk mengenal dan melihat secara langsung objek-objek yang ada di
kehutanan kaitannya dengan objek yang ada dalam rute tracking. Tracking ini
dibagi menjadi lima pos yang masing-masing pos tersebut berisi satu materi
tentang ilmu kehutanan. Disetiap pos tersebut mahasiswa akan mendapatkan
penjelasan atau kuliah lapangan tentang materi yang ada dan disertai dengan
contohnya di lapangan untuk masing-masing pos. Misalnya saja, di pos pertama
adalah pos tentang profil tanah dan manajemen suksesi. Di pos ini mahasiswa
diberi penjelasan tentang profil tanah, jenis-jenis tanah atau batuan, asal-usul
tanah serta faktor-faktor pembentuk tanah yaitu organisme, iklim, waktu, batuan
induk, dan topografi tempat.
Hal-hal tersebut menjadi lebih mudah diingat oleh mahasiswa karena cara
penyampaian yang langsung disertai dengan contohnya. Hal-hal yang berkaitan
dengan objek kehutanan misalnya saja pohon atau tumbuhan dapat langsung
diperkenalkan pada saat perjalanan tracking yang disertai dengan tebak pohon
terlebih dahulu sehingga tercipta suasana yang menyenangkan. Objek yang dapat
diperkenalkan menjadi lebih banyak dan tanpa batasan bab atau kurikulum
perkuliahan karena peserta/mahasiswa dapat langsung menanyakan suatu pohon
atau objek yang tidak diketahui sehingga menjadi lebih jelas mulai dari aspek
dendrologi sampai dengan aspek fungsi ataupun nilai ekonominya. Melalui
kegiatan tracking ini visualisasi objek kehutanan menjadi lebih jelas dan
sepanjang perjalanan dapat digunakan sebagai sarana diskusi tentang masalah atau
tantangan yang ada di kehutanan sekarang ini. Pemahaman mahasiswa dalam
materi perkuliahan yang disertai dengan melihat langsung objek yang dijelaskan
akan membuatnya mudah diingat atau tidak cepat lupa sehingga menjadi lebih
efektif dibandingkan dengan perkuliahan di dalam kelas.
Kegiatan ini mengasah ketrampilan berbahasa Inggris mahasiswa karena
setiap percakapan yang dilakukan menggunakan bahasa Inggris. Dengan demikian
setiap peserta terpacu untuk praktek bahasa Inggris. Percakapan yang dilakukan
antar sesama anggota bersifat datar yaitu tidak ada yang menggurui. Dengan
suasana tersebut, setiap peserta menjadi tidak canggung untuk praktek bahasa
Inggris. Peserta menjadi lebih berani mengungkapkan pendapat menggunakan
bahasa Inggris, meskipun belum mengetahui apakah benar atau salah. Keberanian
ini muncul karena suasana yang tercipta yaitu menyenangkan, tidak
menegangkan, dan berjalan santai. Berbeda dengan materi di dalam kelas yang
sangat serius sehingga mahasiswa tidak berani praktek bahasa Inggris, kegiatan
tracking ini membebaskan mahasiswa untuk berbicara menggunakan bahasa
Inggris walaupun hanya percakapan mengenai hal-hal yang kecil. Keberanian para
peserta sangat nampak pada permainan di pos empat yaitu debate in English.
Setiap peserta memberi pendapat dan mempertahankannya dalam bahasa Inggris.
Di dalam debat tersebut peserta menjadi terbiasa menggunakan bahasa Inggris,
dan membiasakan mahasiswa dengan kata-kata dalam bahasa Inggris yang belum
diketahui. Permainan pada pos satu yaitu guessing word dapat membantu
menambah vocabulary dari peserta. Dengan mengetahui kata kunci seperti vehicle
(kendaraan) dan three wheel (roda tiga) peserta dapat menjawab kata yang
dimaksud yaitu pedicab (becak). Games ini dapat menambah perbendaharaan


PKMI-3-7-7
kata dalam bahasa Inggris. Jika kita menghafal dari kamus mengenai vocabulary
akan mudah lupa karena tidak langsung memahami maksud dari kata tersebut.
Dengan metode permainan mahasiswa akan selalu ingat kata-kata yang telah
diucapkan karena kita akan selalu ingat hal-hal yang menyenangkan.

KESIMPULAN
Tracking dapat meningkatkan kemampuan mahasiswa dalam penguasaan
bahasa Inggris, pemahaman materi perkuliahan dan objek-objek kehutanan
dengan cara yang menyenangkan serta dapat menjadi alternatif metode
pembelajaran yang menarik bagi mahasiswa.

DAFTAR PUSTAKA
Pramoedidyo,R.I.S. 2004. Dari Bukit-Bukit Gundul Sampai ke Wanagama I.
Yayasan Sarana Wana Jaya: Yogyakarta.
Purwanti, Tina. 1997 . Pemanfaatan Lingkungan Sebagai Sumber Belajar dalam
proses Belajar Mengajar di Sekolah Dasar se-Ranting Dinas P dan K
Kecamatan Srandakan Kabupaten Bantul. Skripsi. Yogyakarta : UNY : h.
1-5.

PKMI-3-8-1
PEMANFAATAN LAHAN PASIR PANTAI UNTUK BUDI DAYA
BUAH NAGA (Cactaceae Hylocereus)

Andri Eko Riyantoro, Amin Padmo Fitri
Pendidikan Geografi, Universitas Negeri Yogyakarta

ABSTRAK
Sektor pertanian di Pulau Jawa dihadapkan pada masalah konversi lahan dan
masalah pasar bagi produk pertanian. Mengingat tantangan yang komplek bagi
pertanian di Pulau Jawa, maka diperlukannya pembangunan pertanian di lahan
pasir pantai dengan menggunakan teknik pengelolaan dan pemanfaatan yang
sesuai sehingga menjadi lahan pertanian yang produktif, salah satunya untuk
budi daya buah naga (`cactaceae hylocereus). Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui pemanfaatan lahan pasir pantai untuk budi daya buah naga
(cactaceae hylocereus) dan cara membudidayakannya. Penelitian ini merupakan
penelitian deskriptif eksploratif yang mendeskripsikan segala sesuatu yang ada di
lapangan yang berhubungan dengan pemanfaatan lahan pasir untuk budi daya
buah naga (cactaceae hylocereus). Teknik analisis data yang digunakan ialah
analisis deskriptif yaitu mendeskripsikan data yang tersaji dan diinterpretasikan
berdasarkan teori yang ada. Berdasarkan hasil analisis data menunjukkan bahwa
lahan pasir pantai selatan mengandung pasir >95%, mempunyai struktur kasar,
konsistensi lepas, kurang baik menahan air, permeabilitas dan drainase sangat
cepat, serta miskin kandungan hara. Sehingga, penanaman buah naga (cactaceae
hylocereus) di lahan pasir pantai harus ditambah tanah lempung dan pupuk
kandang dengan perbandingan 1:1. Cara membudidayakannya meliputi:
pemilihan bibit yang baik dengan ukuran batang 50-80 cm dan diameter 8 cm,
penanaman pada beton sebanyak 4 bibit, melakukan pemeliharaan setelah
seminggu yaitu tanaman yang mati, rusak atau busuk harus segera diganti
dengan setek yang baru, pemangkasan agar tanaman menjadi teratur, pengairan
yang teratur dan disesuaikan dengan kebutuhan, pemupukan dilakukan sebagai
penyimpan air, menjaga kelembaban tanah, dan penghemat air penyiraman, serta
pemanenan dengan ciri buah yang sudah tua, kulit berwarna merah tua
mengkilap dan pasca panennya pada batang bekas buah dipotong untuk
merangsang pertumbuhan tunas baru. Pemasaran untuk saat ini di pasarkan ke
swalayan dan toko buah-buahan segar atau pedagang langsung menemui petani.
Manfaat dari budi daya ini dapat sebagai tanaman obat, menambah pendapatan
petani, pemasukan devisa daerah dan sebagai kawasan wisata pertanian
(agrowisata).

Kata Kunci: pemanfaatan, lahan pasir, pertanian, buah naga, agrowisata

PENDAHULUAN
Sektor pertanian di Pulau Jawa dihadapkan pada masalah konversi lahan
untuk industri atau pemukiman dan masalah pasar bagi produk pertanian,
mengingat Pulau Jawa telah menjadi pasar yang baik untuk produk-produk impor.
Oleh karena itu, tantangan bagi pertanian di Pulau Jawa adalah bagaimana
memperbesar produktivitas seiring menyempitnya lahan, meningkatkan daya
saing produk seiring derasnya arus impor dan kuatnya tuntutan untuk promosi
ekspor, membangun citra pertanian serta meningkatkan kesejahteraan petani.

PKMI-3-8-2
Pembangunan pertanian dapat dilakukan di lahan pasir pantai seiring
menyempitnya lahan pertanian. Lahan pasir pantai tidak bisa dimanfaatkan secara
optimal oleh masyarakat di sekitar pantai untuk kegiatan pertanian, karena selama
ini lahan pasir pantai dinilai tidak layak sebagai media tanam serta memiliki
keterbatasan dan pengelolaannya lebih sulit dibandingkan lahan tegalan maupun
lahan sawah. Lahan tersebut dapat diolah dengan menggunakan teknik bercocok
tanam di lahan pasir pantai sehingga menjadi lahan pertanian yang produktif.
Pembukaan lahan pantai bisa mengatasi keterbatasan lahan pertanian di Kulon
Progo dan Bantul.
Pada tahun 2003 lahan pasir pantai di Kabupaten Kulon Progo telah
dikembangkan menjadi pertanian buah naga (cactaceae hylocereus) sejenis
tanaman kaktus, yang berasal dari Amerika Tengah. Tanaman tersebut belum
banyak dikembangkan, karena buah naga (cactaceae hylocereus) merupakan
komoditas baru yang belum banyak dikenal masyarakat. Oleh karena itu, jika akan
dikembangkan menjadi tanaman pertanian atau budi daya harus diketahui dulu
cara yang efektif untuk menanam buah naga (cactaceae hylocereus) di lahan pasir
pantai serta faktor-faktor iklim yang mempengaruhi pertumbuhan buah naga
(cactaceae hylocereus). Tujuan dalam penelitian ini adalah mengetahui
pemanfaatan lahan pasir pantai untuk budi daya buah naga (cactaceae hylocerus)
dan cara membudidayakannya.

1.Lahan Pasir Pantai
Lahan pasir pantai merupakan tanah yang mengandung lempung, debu, dan
zat hara yang sangat minim. Akibatnya, tanah pasir mudah mengalirkan air,
sekitar 150 cm per jam. Sebaliknya, kemampuan tanah pasir menyimpan air
sangat rendah, 1,6-3% dari total air yang tersedia. Angin di kawasan pantai selatan
itu sangat tinggi, sekitar 50 km per jam. Angin dengan kecepatan itu mudah
mencerabut akar dan merobohkan tanaman. Angin yang kencang di pantai bisa
membawa partikel-partikel garam yang dapat mengganggu pertumbuhan tanaman.
Suhu di kawasan pantai siang hari sangat panas. Ini menyebabkan proses
kehilangan air tanah akibat proses penguapan sangat tinggi (Prapto dkk., 2000).

2.Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Usaha Tani
Wahyu (2003) berpendapat bahwa faktor-faktor yang memepengaruhi usaha
tani antara lain: (a) tekstur tanah, (b) jenis tanah, (c) iklim, (d) topografi, (e) air
dan drainase.

3.Syarat Tumbuh Buah Naga
Daniel (2003) menyimpulkan bahwa tanaman buah naga termasuk tanaman
tropis dan sangat mudah beradaptasi pada berbagai lingkungan dan perubahan
cuaca seperti sinar matahari, angin dan curah hujan. Curah hujan yang ideal untuk
pertumbuhan dan perkembangan tanaman ini adalah sekitar 60 mm/bulan atau 720
mm/tahun. Pada curah hujan 600-1.300 mm/tahun pun tanaman ini masih dapat
tumbuh. Namun, tanaman ini tidak tahan dengan genangan air. Hujan yang terlalu
deras dan berkepanjangan akan menyebabkan kerusakan yang ditandai dengan
proses pembusukan akar yang terlalu cepat dan akhirnya merambat sampai
kepangkal batang. Sementara intensitas sinar matahari yang disukainya sekitar 70-
80%. Tanaman ini sebaiknya ditanam dilahan yang tidak terdapat naungan,
sirkulasi udaranya harus baik. Pertumbuhan dan perkembanagan tanaman ini akan

PKMI-3-8-3
lebih baik ditanam di daerah dataran rendah antara 0-350 m dpal. Suhu udara ideal
bagi tanaman ini antara 26
0
C-36
0
C dan kelembaban 70-90%. Sementara derajat
keasaman (PH) tanah yang disukainya bersifat sedikit alkalis 6,5-7. Agar tanaman
tumbuh baik dan dapat memberikan hasil maksimal maka media tumbuhnya harus
subur, gembur, dan mengandung bahan organik tinggi dengan kandungan
kalsiumnya tinggi. Media tersebut tidak boleh mengandung garam. Sementara
drainase harus baik dan bersifat porous, karena tanaman ini tidak menyukai
genangan. Bahan organik ini berfungsi untuk menjaga kelembaban, menyangga
kation dan aktivitas mikroorganisme, serta menyediakan hara. Beberapa bahan
organik, mediapun perlu dicampur dengan bahan anorganik untuk memperlancar
aerasi dan drainase serta mempertahankan dan mengubah sifat fisik media.

METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif eksploratif untuk
mendeskripsikan pemanfaatan lahan pasir untuk budi daya buah naga (cactaceae
hylocereus). Penelitian ini dilaksanakan di lahan pasir Pantai Glagah dan Pantai
Trisik Kabupaten Kulon Progo Daerah Istimewa Yogyakarta. Waktu penelitian
dilaksanakan pada bulan April 2005. Variabel dalam penelitian ini ialah
pemanfaatan lahan pasir pantai untuk budi daya buah naga (cactaceae hylocereus)
dan cara membudidayakan buah naga (cactaceae hylocereus) di lahan pasir pantai
yang meliputi; pengadaan bibit, pembuatan media tanam, penanaman bibit,
pemeliharaan buah naga, panen dan pasca panen, pemasaran, serta manfaat.
Teknik pengumpulan data dilakukan melalui observasi (pengamatan), interview
(wawancara), dan dokumentasi. Teknik analisis data yang digunakan dalam
penelitian ini adalah analisis deskriptif yaitu mendeskripsikan data yang tersaji
dan diinterpretasikan berdasarkan teori-teori yang ada.

HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil
1. Deskripsi Daerah Pengamatan
Letak wilayah pantai pesisir Daerah Istimewa Yogyakarta berada di sebelah
selatan yang tercakup dalam wilayah Kabupaten Bantul, Kulonprogo dan Gunung
Kidul. Bentangan pantai selatan Daerah Istimewa Yogyakarta panjangnya lebih
dari 70 km yang potensial sebagai obyek wisata. Tapi sayangnya, lahan pasir
pantai yang cukup luas tersebut masih merupakan lahan tidur dan belum banyak
diberdayakan (Reki, 2003). Lahan pasir pantai yang telah dikembangkan untuk
budi daya buah naga (cactaceae hylocereus) ialah Pantai Glagah Kecamatan
Temon dan Pantai Trisik Kecamatan Galur Kabupaten Kulonprogo.

2. Kondisi I klim
Iklim daerah pesisir pantai selatan Trisik dan Glagah mempunyai temperatur
23
0
C-33
0
C, kelembaban relatif 61,1%-97,1%. Rata-rata curah hujan per tahun
pada bulan kering 4,5 mm/tahun, bulan basah 6,7 mm/tahun, bulan lembab 0,8
mm/tahun.

3. Kondisi Topografi dan Tanah
Ketinggian lahan pasir Pantai Trisik dan lahan pasir Pantai Glagah rata-rata
mencapai 0-10 meter dpal. Keadaan fisiografisnya merupakan dataran rendah

PKMI-3-8-4
pantai dengan memiliki kemiringan 2%-8%. Reki, (2003) menyimpulkan bahwa
kondisi tanah di lahan pasir pantai selatan Trisik dan lahan pasir pantai Glagah,
termasuk jenis tanah regosol dan subordo Psamments yang mengandung pasir
>95%, mempunyai sifat yang kurang baik terutama struktur, konsistensi lepas,
menahan air, permeabilitas dan drainase sangat cepat menyebabkan tanah
menjadi miskin kandungan hara.

4. Pemanfaatan Lahan Pasir untuk Lahan Pertanian
Hingga kini pemanfaatan lahan pasir pantai selatan di Daerah Istemewa
Yogyakarta masih tergolong terbatas. Sebagian besar masih lahan kosong yang
ditumbuhi beberapa tanaman liar dan dibiarkan begitu saja. Untuk beberapa
wilayah seperti; Pantai Bugel dan Pantai Samas sudah diusahakan untuk pertanian
cabai merah, kacang tanah, bawang merah, semangka, jagung dan tanaman
lainnya. Pengembangan budi daya buah naga untuk saat ini baru dikembangkan
di 2 daerah yaitu Pantai Trisik yang dikelola Pemda Kulonprogo selama 1
tahun dan Pantai Glagah yang dikelola oleh seorang petani yang bernama Dr.
Paulus Tribatra. Di wilayah Pantai Glagah ini sudah dikembangkan 2 jenis buah
naga (cactaceae hylocereus) yaitu buah naga daging merah (super) dan buah naga
daging putih.

B. Pembahasan
1. Asal-usul Buah Naga (Cactaceae Hylocereus)
Hingga kini buah naga (cactaceae hylocereus) sudah menyebar luas ke
penjuru dunia. Daerah asal kaktus hutan yang buahnya berwarna merah dan
bersisik ini adalah Meksiko, Amerika Tengah, dan Amerika Utara. Di Daerah
asalnya buah naga atau dragon fruit ini dinamai pitahaya atau pitayo roja.
Penduduk Indian sering memanfaatkan buah yang berasa manis agak asam ini
sebagai buah meja atau buah yang dikonsumsi segar. Memang buah naga berasal
dari Amerika. Namun, tanaman ini lebih dikenal sebagai tanaman dari Asia. Hal
ini disebabkan buah naga (cactaceae hylocereus) dikembangkan besar-besaran di
Asia seperti Vietnam dan Thailand. Di Indonesia, buah naga (cactaceae
hylocereus) mulai dikenal sekitar pertengahan tahun 2000, itupun bukan hasil budi
daya negeri sendiri, tetapi hasil impor dari Thailand. Daerah Indonesia hingga kini
sudah mengembangkan tanaman buah naga ialah Pasuruan Jember, Mojokerto,
dan Jombang. Daerah yang diketahui pertama kali menanam tanaman buah naga
adalah Pasuruan kearah Tosari, daerah desa Pohgading, Kecamatan Pasrepan.
Hingga kini luas areal penanaman tanaman ini relatif masih sedikit. Hal ini dapat
dimaklumi karena buah naga masih tergolong langka (Daniel, 2003).

2. Pemanfaatan Lahan Pasir Pantai Untuk Budi Daya Buah Naga
(Cactaceae Hylocereus)
Lahan pasir pantai Glagah sampai Trisik termasuk jenis tanah regosol dan
termasuk subordo Psamments yang mengandung pasir >95% mempunyai sifat
yang kurang baik terutama struktur, konsistensi lepas, kurang baik menahan air,
permeabilitas dan drainase sangat cepat yang menyebabkan tanah menjadi miskin
kandungan hara. Oleh karena itu, tanaman buah naga (cactaceae hylocereus) yang
ditanam di lahan pasir pantai harus ditambah tanah lempung dan pupuk kandang
dengan perbandingan 1:1. Sutardi dkk. (2004) mengemukakan bahwa pupuk

PKMI-3-8-5
kandang atau bahan organik dapat berfungsi sebagai penyimpan air, menjaga
kelembaban tanah, penghemat air penyiraman dan efisiensi penggunaan pupuk.
Dengan demikian budi daya buah tersebut bisa dilakukan baik pada musim
hujan maupun pada musim kemarau karena drainasenya baik.
Budi daya buah naga (cactaceae hylocereus) di lahan pasir pantai
merupakan salah satu teknologi pengelolaan dan pemanfaatan lahan yang kurang
berpotensi menjadi lahan yang berpotensi. Budidaya buah naga (cactaceae
hylocereus) merupakan salah satu alternatif usaha tani yang efisien, lestari,
berkelanjutan dan berwawasan agrobisnis yang perlu dikembangkan. Komoditas
tersebut memiliki kelebihan pada umur tanaman yang relatif panjang sampai
dengan 15-20 tahun, selain itu juga dapat meningkatkan produktivitas lahan dan
mempunyai nilai ekonomi tinggi. Budi daya buah tersebut didukung oleh PEMDA
Kulonprogo untuk dikembangkan di lahan pasir pantai Glagah, Bugel dan Trisik.
Dengan adanya kawasan pertanian tersebut, sekarang lahan pasir pantai Glagah
telah menjadi kawasan wisata pertanian (agrowisata) buah naga (cactaceae
hylocereus) yang mendukung area wisata pantai Glagah. Sementara di lahan pasir
pantai Trisik dan Bugel baru saja dikembangkan. Berkembangnya budidaya buah
naga di lahan pasir pantai diharapkan akan dapat membantu peningkatan
produktivitas lahan dan meningkatkan pendapatan petani setempat. Pemanfaatan
lahan pasir pantai bisa mengatasi keterbatasan lahan pertanian di Kulon Progo dan
Bantul.

3. Cara Membudidayakan Buah Naga (Cactaceae Hylocereus) di Lahan
Pasir Pantai
a. Pengadaan Bibit
Kriteria bibit yang baik antara lain berwarna hijau kebiruan atau hijau gelap,
penampilan fisik kekar dan keras, serta tampak tua. Ukuran yang ideal untuk bibit
setek batang adalah 50-80 cm dengan diameter batang mencapai 8 cm. Ukuran
ideal bibit setek batang adalah panjang 20-30 cm dan diameter 4-5 cm. Untuk
bibit asal biji harus dipilih yang tampak sehat, tua, matang di pohon dan bebas
dari hama penyakit. Bibit demikian tampak dari fisik, keseragaman pertumbuhan
dan warna.

b. Pembuatan media tanam.

(a) (b)

(c) (d)

Gambar 1. Pembuatan lubang tanaman buah naga.


PKMI-3-8-6
Keterangan:
(a) Buat lubang tanam berukuran 60 x 60 cm dan kedalaman 50 cm
(b) Buat lubang di tengah lubang tanam dengan ukuran 10cmx10cmx15cm
(c) Pasang tiang panjat pada lubang kecil di tengah lubang tanam
(d) Masukan media tanam dalam lubang tanam, lalu disiram.

c. Penanaman Bibit
Bibit ditanam pada tiap-tiap beton sebanyak 4 bibit, bila panjang bibit 50-80 cm
maka harus dimasukan kedalam tanah sedalam 10 cm dan sedalam 4-8 cm kalau
panjang bibit berukuran kurang dari 50 cm. pembenaman empat bibit tersebut
harus merapat pada tiang panjat secara melingkar. Jarak setiap bibit dengan
pangkal panjatan 10 cm dengan posisi merapat ke tiang panjatan supaya sulur
tanaman memeluk tiang panjatan. Ikat keempat bibit pada tiang panjatan dengan
kawat atau rapia agar tidak mudah jatuh dan pengikat jangan terlalu erat karena
akan merusak permukaan dan daging bibit.

d. Pemeliharaan Buah Naga (Cactaceae Hylocereus)
Dalam budi daya buah naga (cactaceae hylocereus) di lahan pasir pantai
diperlukan beberapa tindakan diantaranya sebagai berikut:
1) Perawatan tanaman
Perawatan pertama yang biasa dilakukan adalah penggantian tanaman
setelah seminggu penanaman, tanaman yang mati, busuk pada pangkal batang,
tidak tumbuh atau kerusakan fisik lainnya, sering terjadi busuk pangkal batang
setek. Setek demikian harus segera diganti dengan setek yang baru. Demikian juga
dengan setek yang mati atau yang tidak tumbuh harus segera diganti. Pengaturan
letak cabang atau batang dilakukan dengan pengikatan. Pengikatan harus
dilakukan pada saat pertumbuhan cabang atau batang sudah bertambah dan diubah
letaknya. Dengan demikian batang atau cabang dapat diarahkan pertumbuhannya.
Pengikatan yang terlambat akan membuat pertumbuhan cabang atau batang
melengkung tidak teratur atau menyimpang dari arah tiang. Hal ini akan
mempengaruhi pertumbuhan cabang dan bakal cabang produktif kearah atas.
Pemangkasan tanaman harus dilakukan sedini mungkin dan berkala guna
memperoleh keseimbangan pertumbuhan. Bila pemangkasan tidak dilakukan
maka percabangan akan saling bersaing dan akhirnya menjadi tidak produktif.
2) Pengairan

Pengairan buah naga harus diperhatikan dengan baik dan bila lahan pasir terlalu
kering harus segera disiram. Penyiraman tidak perlu terlalu banyak atau jangan
sampai terendam. Bila ini terjadi maka tanaman dapat terserang busuk batang.
Dalam penyiraman buah naga (cactaceae hyloceraeus) di lahan pasir pantai harus
diperhatikan drainasenya.

3) Pemupukan
Pemupukan buah naga di lahan pasir pantai perlu dilakukan sebagai
penyimpan air, menjaga kelembaban tanah, penghemat air penyiraman.
Komposisi pupuk yang digunakan dalam budi daya buah naga (cactaceae
hylocereus) adalah pupuk organik dan anorganik. Pupuk organik berupa pupuk

PKMI-3-8-7
kandang berasal dari hewan, sapi, kambing, ayam dan limbah kandang lainnya.
Sedangkan dosis pemupukan anorganik dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 1. Dosis dan jenis pupuk per patok per bulan

Bulan ZA (g) TSP (g) KCl (g) NPK (g) ZK (g)
1
2
3
4
5
6
20
30
30
30
-
-
50
30
10
-
-
-
10
-
-
15
-
-
-
-
-
-
50
50
-
-
-
-
10
10
Sumber : (Daniel, 2003).

e. Panen dan Pasca Panen
Buah naga (cactaceae hylocereus) yang siap panen biasanya pertama dilakukan
saat tanaman berumur 9-12 bulan sebanyak dua buah per tanaman atau sekitar 1
kg. buah siap petik umumnya merupakan buah yang sudah tua dengan beberapa
penampakan atau tanda-tanda sebagai berikut: kulit buah sudah berubah warna
menjadi merah tua atau merah mengkilap. Mahkota buah sudah mengecil. Kedua
pangkal buah sudah berkeriput. Bentuk buah bulat besar dengan berat masing-
masing buah sudah mencapai 500 g. Wang (2004) berpendapat bahwa pasca
panen batang bekas buah dipotong untuk merangsang pertumbuhan tunas-tunas
baru itu tumbuh besar dan menghadap ke langit. Tunas-tunas itu dibiarkan tinggi
lurus hingga mencapai kurang lebih 1,5 meter, kemudian dipotong pucuknya
kurang lebih 3 cm. Pemotongan batang ini berfungsi merangsang pertumbuhan
tunas baru. Upayakan tunas baru yang tumbuh jangan sampai lebih dari 5 tunas
karena dapat mengganggu pertumbuhan buah naga hitam. Tunas-tunas baru
tersebut nanti akan tumbuh membesar dan menjadi percabangan sekaligus sebagai
tempat buah.

f. Pemasaran
Pemasaran buah naga untuk saat ini dapat dikatakan masih sulit untuk di
pasarkan, karena buah naga belum banyak dikenal masyarakat.
Oleh karena itu, buah naga (cactaceae hylocereus) di pasarkan petani langsung ke
swalayan dan toko buah-buahan segar atau pedagang langsung menemui petani.
Para pedagang buah naga untuk saat ini mempromosikan buah naga sebagai
tanaman obat untuk membidik konsumen yang ingin coba-coba dan penasaran
terhadap buah langka tersebut.

g. Manfaat
Membudidayakan buah naga (cactaceae hylocereus) banyak sekali manfaatnya
selain sebagai tanaman obat, juga bisa dijadikan sebagai tanaman pertanian yang
menghasilkan banyak keuntungan, selain itu dapat dijadikan sebagai pemasukan
devisa daerah dan sebagai kawasan wisata pertanian (agrowisata). Buah naga
(cactaceae hylocereus) dijadikan sebagai tanaman obat, karena mepunyai khasiat
antara lain: sebagai penyeimbang kadar gula darah, pencegah kanker usus,
pelindung kesehatan mulut, pengurang kolesterol, pencegah pendarahan, keluhan
keputihan. Daniel (2003) mengemukakan bahwa buah naga (cactaceae

PKMI-3-8-8
hylocereus) umumnya dikonsumsi dalam bentuk segar sebagai penghilang dahaga.
Hal ini disebabkan oleh kandungan airnya sangat tinggi, sekitar 90,20 % dari berat
buah. Rasanya cukup manis karena didukung oleh kadar gula yang mencapai 13-
18 briks. Selain dikonsumsi langsung, penyajian buah naga dapat berupa jus, es
krim, sari buah, manisan maupun selai.

KESIMPULAN
A. Kesimpulan
1. Pemanfaatan Lahan Pasir Pantai Untuk Budidaya Buah Naga
Lahan pasir pantai selatan mengandung pasir >95%, mempunyai struktur kasar,
konsistensi lepas, kurang baik menahan air, permeabilitas dan drainase sangat
cepat miskin kandungan hara. Oleh karena itu, penanaman buah naga di lahan
pasir pantai harus ditambah tanah lempung dan pupuk kandang dengan
perbandingan 1:1.
2. Cara Membudidayakan Buah Naga di Lahan Pasir Pantai
Kriteria bibit yang baik harus berwarna hijau kebiruan atau hijau gelap,
penampilan fisik kekar dan keras, serta tampak tua. Ukuran batang 50-80 cm
dengan diameter batang 8 cm. Penanaman tiap-tiap beton sebanyak 4 bibit.
Pemeliharaan setelah seminggu penanaman yaitu tanaman yang mati, busuk pada
pangkal batang, tidak tumbuh atau kerusakan fisik lainnya harus segera diganti
dengan setek yang baru. Pemangkasan tanaman bertujuan untuk memperoleh
keseimbangan pertumbuhan dan dilakukan sedini mungkin supaya tanaman
menjadi lebih teratur. Pengairan buah naga di lahan pasir pantai jangan terlalu
kering harus segera disiram dan penyiraman jangan terlalu banyak karena kalau
terendam akan terserang busuk batang. Pemupukan buah naga perlu dilakukan
sebagai penyimpan air, menjaga kelembaban tanah, penghemat air penyiraman.
Komposisi pupuk yang digunakan dalam budidaya buah naga adalah pupuk
organik dan anorganik. Buah naga yang siap panen umunya merupakan buah yang
sudah tua, kulit berwarna merah tua mengkilap. Pasca panen batang bekas buah
dipotong untuk merangsang pertumbuhan tunas baru. Pemasaran buah naga untuk
saat ini di pasarkan oleh petani langsung ke swalayan dan toko buah-buahan segar
atau pedagang langsung menemui petani. Manfaat budidaya buah naga bisa
dijadikan sebagai tanaman obat, menambah pendapatan petani, pemasukan devisa
daerah dan sebagai wisata pertanian (agrowisata).

B. Saran
Petani dalam mengolah lahan pasir pantai harus menambah pupuk organik
dan anorganik. Petani dapat menanam tanaman lain selain buah naga. Pemerintah
perlu memberikan penyuluhan dan memfasilitasi petani supaya dapat
mengembangkan lahan tersebut menjadi produktif. Pemerintah dapat
merehabilitasi kawasan wisata pantai pesisir selatan yang lahannya masih kosong
untuk dijadikan lahan pertanian buah naga dan sekaligus dijadikan sebagai
kawasan wisata pertanian (agrowisata).

DAFTAR PUSTAKA
Suharsimi, A. 1998. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktis. Rineka Cipta,
Jakarta. hlm. 99 .

PKMI-3-8-9
Reki, H., dkk. 2003. Upaya peningkatan teknologi budi daya cabai merah di
lahan pasir pesisir selatan Yogyakarta. Dalam Prosiding Seminar
Nasional Penerapan Teknologi Tepat Guna dalam Mendukung Agribisnis
Bekerjasama dengan INSTIPER Yogyakarta. Yogyakarta. hlm. 128-129.
Daniel, K. 2003. Buah Naga: Pembudidayaan di Pot dan di Kebun. Penebar
Swadaya, Jakarta. hlm. 5-7, 18 dan 55 .
Wahyu, N. 2003. Pemanfaatan Lahan Pasir Pantai Untuk Usaha Tani Bawang
Merah dan Cabai Merah di Desa Srigading Kecamatan Sanden
Kabupaten Bantul. Skripsi. hlm. 19 .
Sutardi, dkk. 2004. Penggunaan pupuk guano, pengaruhnya terhadap
pertanaman tanaman semangka di lahan pasir pantai. Dalam Prosiding
Seminar Nasional Inovasi Teknologi Dalam Agribisnis Sebagai Upaya
Pemberdayaan Rumah Tangga Tani.Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian PPPSEP Badan Pengkajian Teknologi Pertanian Yogyakarta
Bekerjasama dengan Universitas Widya Mataram Yogyakarta.
Yogyakarta. hlm. 56.
Wang, S. 2004. Naga Yang Gampang di Budidaya. Buletin Agrobis. Minggu I
September. (589): 5.
Prapto, Y., dkk. 2000. Menyulap Tanah Pasir Menjadi Lahan Subur.
http/www.suara merdeka.com/harian/0402/06/ked08.htm-5k,1.

PKMI-3-9-1
PERILAKU MATERIAL AMORF GELAS METALIK BINER DAN
TERSIER BERBASIS ZIRKONIUM TERHADAP LAJU KOROSI

M. Mukhlas Roziqin, Indah Tri Wahyuni
Jurusan Fisika, Universitas Airlangga, Surabaya

ABSTRAK
Penelitian untuk menentukan nilai laju korosi material amorf gelas metalik
berbasis zirkonium dilakukan dengan mempelajari perilaku korosinya dalam
lingkungan HNO
3
dan pengaruh jenis elemen pemandu terhadap nilai laju
korosinya. Bahan yang digunakan adalah material amorf gelas metalik dua, tiga
dan empat komponen seperti ZrCu, ZrNi, ZrNiAl, dan ZrCuNiAl yang berupa
potongan-potongan berbentuk silinder pipih dengan diameter 13mm dan tebal
2mm. Digunakan potensiostat PGS-201T untuk menguji laju korosi material
amorf gelas metalik berbasis zirkonium ini. Dengan demikian didapatkan kurva
potensial lawan log intensitas arus. Dari kurva tersebut nilai arus korosi dapat
diketahui sehingga nilai laju korosinya juga dapat ditentukan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa paduan logam ZrNi lebih tahan
terhadap serangan korosi jika dibandingkan dengan paduan yang lain.

Kata kunci: Laju korosi, material amorf, zirkonium, potensiostat

PENDAHULUAN
Berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi, menuntut penggunaan
material secara tepat. Untuk dapat menggunakan meterial dengan tepat, maka
harus dikenali dengan baik sifat-sifat material yang mungkin akan di pilih untuk
dipergunakan. Salah satu sifat penting yang perlu dipertimbangkan dalam proses
pemilihan material adalah sifat tahan korosi. Korosi merupakan masalah yang
sangat serius dalam dunia material, karena jika tidak diantisipasi lebih awal
dengan pemilihan bahan yang tepat akan dapat mengakibatkan kerugian-kerugian
yang lebih besar, antara lain : bisa menimbulkan kebocoran, mengakibatkan
berkurangnya ketangguhan/kekuatan, robohnya suatu konstruksi, meledaknya
suatu pipa/bejana bertekanan, dan mungkin juga akan membuat pencemaran pada
suatu produk.
Salah satu penelitian yang saat ini banyak dilakukan adalah mengenai
bahan-bahan baru dari logam yang berstruktur amorf, misalnya adalah gelas
metalik berbasis zirkonium, sebab sebagaimana diketahui struktur amorf
mempunyai sifat keuletan yang tinggi. Zirkonium merupakan unsur yang
mempunyai kegetasan (brittle) tinggi. Pemakaian zirkonium saat ini masih relatif
sedikit, salah satu yang sudah lama dikenal adalah ZrO
2
. Melalui rekayasa
material, diharapkan paduan zirkonium akan mempunyai sifat keuletan (ductility)
yang tinggi dan ketahanan terhadap oksidasi yang lebih tinggi. Sebagai referensi
awal akan manfaat atau aplikasi dari logam zirkonium ini adalah telah
ditemukannya sifat kekerasan yang tinngi pada material ini setelah dilapiskan
pada tongkat pemukul (stick) golf sehingga mempunyai daya mekanik yang cukup
tinggi. Dalam bidang militer, pelapisan zirkonium pada ujung proyektil peluru
akan memberikan daya tembus (penetrasi) pada obyek sasaran yang cukup tinggi
(Hufnagel, John Hopkins University) dan juga aplikasi zirkonium sebagai
indikator korosi pada dinding selubung bagian dalam pipa laju aliran minyak
PKMI-3-9-2
(www.migas-indonesia.com). Berkaitan dengan hal tersebut diatas, maka perlu
dilakukan penelitian terhadap perilaku korosi material amorf gelas metalik
berbasis zirkonium. Sehingga dapat diketahui faktor-faktor yang berpengaruh agar
supaya dihasilkan material amorf gelas metalik berbasis zirkonium yang
mempunyai daya tahan yang unggul terhadap korosi (resistan terhadap korosi).
Penelitian ini membatasi masalah yang akan dibahas, antara lain : Sampel yang
digunakan adalah material amorf gelas metalik dua dan tiga komponen berbasis
Zirkonium yaitu ZrCu, ZrNi, ZrCuAl, ZrNiAl, dan sampel dianalisis dengan
menggunakan alat uji korosi dengan metode polarisasi potensiostatik.
Tujuan Penelitian ini adalah untuk mempelajari perilaku korosi material
amorf gelas metalik berbasis zirkonium dalam lingkungan HNO
3
, menentukan
nilai laju korosi material amorf gelas metalik berbasis zirkonium, dan mempelajari
pengaruh jenis elemen pemadu terhadap nilai laju korosi material amorf gelas
metalik berbasis zirkonium.

Pembentukan Struktur Gelas
Ditinjau dari susunan atom-atomnya, padatan dapat diklasifikasikan
menjadi dua, yaitu padatan kristal dan padatan amorf. Gelas metalik adalah metal
yang mempunyai struktur amorf, yang ditandai dengan adanya titik transisi, yaitu
titik transisi gelas. Gelas metalik dapat disintetis dari fasa cairnya melalui
pendinginan dengan kecepatan tinggi atau metode pemadatan cepat. Pendinginan
dari fasa cair ke padatan kristal maupun padatan amorf akan sangat tergantung
pada laju pendinginan (T/t). Semakin besar laju pendinginan yang diberikan,
maka temperatur kristalisasi bahan gelas metalik tersebut akan semakin meningkat
(Schoers, 2000).
Kemampuan paduan untuk membentuk struktur gelas yang tinggi (mudah
terbentuk paduan dengan struktur amorf) mengikuti aturan empirik (Inoue dan
Zhang, 1996) :
1. Paduan terdiri dari 3 elemen penyusun.
2. Perbedaan ukuran atom elemen penyusun lebih besar dari 12%.
3. Panas pencampuran antar elemen paduan harus negatif (G pencampuran<0).

Beberapa penelitian aktual dilakukan oleh Koester dkk. (1999), Meinhardt
(1997), dan Koester (1993) dalam rangka memperbaiki kinerja material.
Penelitian tersebut terkait dengan kondisi struktur mikro (kristal atau amorf) baik
melalui parameter sintetis material yaitu temperatur, waktu dan tekanan, maupun
melalui penambahan elemen unsur pemadu dengan prosentase < 3%.

Stabilitas Bahan Gelas Metalik
Gelas metalik merupakan metal dengan atom-atom yang tersusun periodik
dan berjangkauan pendek. Susunan gelas metalik pertama kali ditemukan oleh P.
Duwez pada tahun 1960, yaitu gelas metalik dari paduan Au-Si (Klement,1960).
Bahan gelas metalik secara termodinamik berada pada keadaan metastabil, artinya
struktur ini dengan mudah akan bertransformasi menuju ke keadaan yang lebih
stabil jika mendapatkan tambahan energi
Jika bahan gelas metalik diberi perlakuan panas, maka bahan akan
mendapatkan tambahan energi yang akan digunakan untuk transformasi fasa dari
PKMI-3-9-3
amorf menuju kristal (gambar 1.1). Sebab kondisi kristal merupakan keadaan
yang lebih stabil dibandingkan amorf maupun cair.


Energi


1
Komposisi
Gambar 1.1. Diagram skematik keseimbangan (West, 1985)


Korosi
Korosi atau pengkaratan merupakan fenomena kimia pada bahan - bahan
logam pada dasarnya merupakan reaksi logam menjadi ion pada permukaan
logam yang kontak langsung dengan lingkungan berair dan oksigen. Dengan
pengertian lain korosi adalah penurunan mutu logam akibat reaksi kimia dengan
lingkungannya (Trethewey, 1991). Korosi memulai proses perusakannya sebagai
sebab dari luka yang timbul pada permukaan metal, pada bagian yang dilas, atau
disebabkan adanya tegangan. Faktor yang berpengaruh terhadap korosi dapat
dibedakan menjadi dua, yaitu yang berasal dari bahan itu sendiri dan dari
lingkungan. Faktor dari bahan meliputi kemurnian bahan, struktur bahan, bentuk
kristal, unsur - unsur kelumit yang ada dalam bahan, teknik pencampuran bahan
dan sebagainya. Faktor dari lingkungan meliputi suhu, kelembaban, keberadaan
zat - zat kimia yang bersifat korosif dan sebagainya. Ketika atom logam
mengalami suatu reaksi korosi, atom itu diubah menjadi sebuah ion melalui reaksi
dengan suatu unsur yang terdapat di lingkungannya (Trethewey, 1991).
Penurunan mutu logam tidak hanya melibatkan reaksi kimia namun juga
reaksi elektro kimia, yakni antara bahan - bahan bersangkutan terjadi perpindahan
elektron. Karena elektron adalah sesuatu yang bermuatan negatif, maka
perpindahannya menimbulkan arus listrik, sehingga reaksi demikian dipengaruhi
oleh potensial listrik. Adapun tahap - tahap terjadinya korosi pada logam adalah
sebagai berikut:
1. Terbentuknya awal luka atau lubang.
2. Proses autocatalyc mempercepat larutan yang bersifat korosif terkonsentrasi
dan membuat larutan tersebut menjadi lebih agresif.
3. Kebocoran timbul apabila lubang menembus permukaan.

Secara singkat proses terbentuknya karat dijelaskan sebagai berikut :

Fe(OH)
2
teroksidasi membentuk Fe(OH)
3

4Fe(OH)
2
+ O
2
+ 2H
2
O 4Fe(OH)
3
(ferric oxide)


Keterangan :
1. Metastabil
2. Tidak stabil
3. Keadaan stabil
2
3
PKMI-3-9-4








Gambar 1.2. Mekanisme terbentuknya karat



Pembentukan karat berdasarkan reaksi sebagai berikut (gambar 1.2) :

Fe(OH)
3
FeO(OH) + H
2
O
Atau
2Fe(OH)
3
Fe
2
O
3
+ 3H
2
O (karat berwarna merah)


METODE PENELITIAN
Bahan yang digunakan adalah material amorf gelas metalik dua, tiga, dan
empat komponen berbasis zirkonium yaitu ZrCu, ZrNi, ZrCuAl, ZrNiAl, dan
ZrCuNiAl.
Alat penelitian yang digunakan yakni : Mikrometer, alat uji laju korosi
Potensostat PGS 210-T yang dirangkai dengan computer, jangka sorong dan
larutah HNO
3
sebagai lingkungan pengkorosi.
Prosedur penelitian adalah dimulai dengan menyiapkan bahan berupa
potongan material amorf gelas metalik yang ada (dibuat dengan menggunakan
peralatan Melt-Spinning di Laboratorium Material Science and Corrosion,
University of Dortmund Republik Federal Jerman). Kemudian potongan dari
material amorf gelas metalik dibentuk berupa silinder pipih dengan diameter 13
mm dan tebal 2 mm. Masing-masing sample permukaannya dibuat halus dan rata.
Berikutnya seluruh sample akan diuji nilai laju korosinya dengan metode
penentuan intensitas arus korosi logam menggunakan Potensiostat PGS 201T
Secara umum prosedur penelitian yang dilakukan dinyatakan pada
diagram alir yang ditunjukkan seperti pada gambar 2.1.

Penentuan Laju Korosi dengan Metode Polarisasi Potensiodinamik

Untuk mengetahui kualitas ketahanan terhadap serangan korosi pada material
amorf gelas metalik berbasis Zirkonium dalam penelitian ini didasarkan pada nilai
laju korosi dari masing-masing logam. Pengukuran intensitas arus korosi logam
digunakan sebagai ukuran ketahanan korosi.
PKMI-3-9-5









Gambar 2.1. Diagram Alir Penelitian


Laju korosi (mpy) =
d
EW I
kor
) )( )( 13 , 0 (
(2.1)
Dengan: 0,13 = faktor konversi metrik dan waktu
I
kor
= intensitas arus korosi (
2
m
A
)
EW = berat ekivalen (berat atom / valensi)
d = densitas (g / cm
3
)
Nilai I
kor
diperoleh dengan melakukan analisa Tafel secara semi manual dari
kurva potensial lawan log intensitas arus melalui komputer yang dirangkai dengan
potensiostat PGS-201T.












Gambar 2.2. Kurva potensial lawan log intensitas arus korosi

Pada gambar 2.2. ditunjukkan kurva potensial lawan log intensitas arus
korosi yang telah dilakukan analisa Tafel. Penentuan potensial batas ruas
perhitungan (calculation zone CZ) dari kurva katoda maupun anoda
berpengaruh pada hasil perhitungan slope kurva katoda (
kat
) dan anoda
(
an
) yang secara langsung menentukan harga I
kor
. Hal ini ditunjukkan oleh
persamaan:
Persiapan Bahan Penelitian Material Amorf gelas
metalik (ZrCu, ZrNi, ZrCuAl, ZrNiAl,)
Pengolahan
Uji Nilai Laju Korosi
Analisis Data
PKMI-3-9-6
I
kor
(
2
cm
A
) =
p an kat
an kat
R A. ) .( 3 , 2
) )( (


+
(2.2)

Dengan :
kat
= slope kurva katoda (mV)

an
= slope kurva anoda (mV)
2,3 = faktor konversi
A = luas (cm
2
)
R
p
= tahanan polarisasi (k / cm
2
)

Besarnya slope kurva katoda maupun anoda untuk masing-masing unsur
atau jenis logam belum tentu sama, tergantung pada valensi yang bersesuaian
dalam reaksi korosi yang terjadi. Pada buku manual potensiostat PGS-201T
disebutkan bahwa besarnya
kat
dan
an
yang baik mendekati atau bahkan
sama dengan valensi dikalikan tetapan 118, disebutkan sebagai 118n dengan n
valensi logam.

Analisis Data Pengujian Laju Korosi
Setelah dilakukan uji laju korosi menggunakan metode penentuan
intensitas arus korosi logam menggunakan potensiostat PGS-201T maka akan
didapatkan kurva potensial lawan log intensitas arus. Dari kurva tersebut juga
akan diperoleh nilai-nilai
kat
,
an
, tahanan polarisasi (R
p
) yang selanjutnya
dengan menggunakan persamaan (2.2) akan diperoleh nilai arus korosi (I
kor
).
Setelah didapatkan nilai I
kor
, maka dengan menggunakan persamaan (2.1) akan
diperoleh nilai laju korosi sampel tersebut dalam satuan meter per tahun (mpy).
Nilai laju korosi ini dapat menunjukkan ketahanan korosi relatif (mampu korosi).


HASIL DAN PEMBAHASAN
Reaksi pada lempeng logam dapat diukur melalui reaksi reduksi dan
oksidasi. Lempeng logam dimasukkan kedalam elektroda kerja (Working
Elektrode), disamping itu juga digunakan elektroda pembanding (Reference
Elektrode) yang berupa larutan kalomel KCl jenuh dan elektrode pembantu
(Auxilary Elektrode) berupa logam platina (Pt). Agar reaksi reduksi dan oksidasi
dapat berjalan dengan baik, maka kedalam sistem sel elektrokimia diberi potensial
yang bervariasi. Potensial tersebut akan mengakibatkan arus yang bervariasi pula
dan hubungan antara potensial lawan log intensitas arus yang dihasilkan
menggambarkan kurva anoda dan katoda. Setelah dilakukan starting program
pada potensiostat PGS-201T terhadap bahan uji logam seng, diperoleh kurva
potensial lawan log intensitas arus.
Dengan melakukan analisis tafel secara semi manual diperoleh harga I
kor
.
Teknik penentuan intensitas arus korosi dengan cepat dan benar sangat diperlukan
untuk mendapatkan hasil ikor yang sesungguhnya. Penentuan potensial batas ruas
Calculation Zone CZ dan kurva katoda maupun anoda untuk menghasilkan slope
yang tepat tidak mudah untuk dilakukan, karena seringkali perlu dilakukan
berulang-ulang sampai beberapa kali untuk memperoleh hasil
kat
atau
an
yang
harganya mendekati atau bahkan sama dengan perhitungan yang semestinya.
PKMI-3-9-7
Besarnya
kat
atau
an
untuk setiap unsur atau logam tergantung pada valensi yang
bersesuaian dengan reaksi korosi yang terjadi.







Gambar 3.1 Grafik intensitas arus korosi 2 paduan








Dari beberapa uji karakteristik yang telah dilakukan terhadap spesimen logam
paduan material amorf gelas metalik dua, tiga, dan empat komponen berbasis
zirkonium yaitu ZrCu, ZrNi, ZrCuAl, dan ZrNiAl maka akan didapat suatu hasil
yang dapat memberikan informasi tentang karakteristik masing-masing material
yang berbeda satu sama lain dan pengaruh jenis paduan sehingga akan diketahui
pemadu yang mana yang lebih baik atau lebih tahan terhadap laju korosi.

Tabel 3.1. hasil perhitungan laju korosi masing-masing sampel
Jenis Sampel I
kor
(A/cm
2
) V
kor
(mpy)
Zr
67
Ni
33
5.31 19.7817
Zr
67
Cu
33
12.13 27.8967
Zr
70
Cu
15
Ni
15
14.62 104.60656
Zr
65
Cu
27.5
Al
7.5
69.50 401.00679

Dari hasil tersebut dapat diketahui bahwa paduan logam ZrNi lebih resistan
terhadap serangan korosi dengan dibuktikan adanya nilai intensitas arus korosi
dan laju korosi yang relatif lebih kecil jika dibandingkan dengan paduan yang
lain, seangkan paduan ZrCuAl menempati urutan paling tidak resistan terhadap
serangan korosi dibuktikan dengan intenitas arus dan laju korosinya yang relatif
lebih besar dibandingkan dengan paduan yang lain. Dilaihat dari pengaruh variasi
paduan yang digunakan pada sampel diketahui bahwa paduan yang mengandung
Gambar 3.2. Grafik intensitas arus korosi 3 paduan
PKMI-3-9-8
unsur Ni memiliki intensitas arus korosi maupun laju korosi lebih kecil sehingga
dapat dikatakan bahwa adanya unsur Ni mampu menghambat lserangan korosi
dengan cara atayu kemampuan unsur ini untuk menghambat timbulnya pasivasi
pada paduan ketika proses elektrokimia berlangsung. Variasi paduan logam dapat
menentukan besar intensitas arus korosinya, tidak terkait dengan jumlah
pemadunya pada material basic, yaitu unsur zirkonium. Sedangkan paduan yang
mengandung unsur Al ternyata berpotensi menimbulkan fenomena pasivasi
daripada logam Cu meskipun keduanya ternyata mampu memunculkan pasivasi.
Hal ini dapat di lihat jika membandingkan grafik hasil eksperimen pada paduan
ZrCu dan ZrCuAl, dimana potensi Cu lebih kecil dibandingkan potensi Al dalam
membentuk lapisan pasivasi.Adanya lapisan pasivasi inilah yang meningkatkan
besar nilai laju korosi paduan meskipun sebenarnya pasivasi ini pada awalnya
melapisi paduan logam dan berfungsi menahan atau memperlambat serangan
korosi, namun pada akhirnya serangan yang ditimbulkan setelah munculnya
pasivasi jauh lebih membahayakan karena berangsur-angsur terjadi gejala
transpasivasi pada daerah potensial yang sangat positif, potensial yang positif ini
dapay diakibatkan oleh media pengkorosi yang masuk pada saat terjadinya korosi
butir atau diakibatkan adanya potensial yang lebih anodik (positif) antar logam
pemadu saat terjadi korosi celah. Pada grafik yang lain tidak ditemukan adanya
grafik yang menunjukkan fenomebna pasifasi dan nilai intensitas laju korosinya
lebih kecil, sehinggga fungsi unsur Ni pada paduan tersebut menghambat pasivasi
dan transpasifasi.
Dalam penelitian ini tidak digunakan variasi konsentrasi media korosifnya
karena dari hasil penelitian sebelumnya (Helani R.,2004) yang menunjukkan
linearitas grafik hubungan pengaruh konsentrasi larutan korosif terhadap
intensitas arus korosi dengan keterangan bahwa pada konsentrasi rendah, proses
korosi terjadi secara lambat. Pada konsentrasi rendah, ion nitrat tidak dapat
langsung memberikan reaksi elektrokimia terhadap bahan uji, karena terlebih
dahulu membentuk lapisan pasivasi. Pasifasi merupakan fenomena yang biasa
teramati selama terjadinya proses korosi. Secara sederhana pasifasi didefinisikan
sebagai berkurangnya reaktifitas kimia akibat kondisi lingkungannya. Kejadian
tersebut dikarenakan sebagai akibat terbentuknya lapisan yang berupa oksida yang
dapat berfungsi sebagai pelindung lingkungannya. Lapisan pasifasi adalah lapisan
oksida hasil reaksi korosi yang terbentuk pada permukaan logam. Adanya lapisan
pasifasi menyebabkan proses korosi yang terjadi terhambat. Akibatnya arus korosi
yang terdeteksi sangat kecil, sedangkan pada konsentrasi nitrat yang lebih tinggi,
lapisan pasifasinya rusak (terkelupas) akibat reaktifitas ion nitrat. Oleh karena itu
sebaiknya menggunakan media larutan yang tidak terlalu rendah konsentrasinya.
Tahapan korosi selanjutnya adalah terjadinya transpasifasi yang dapat ditunjukkan
dengan naiknya potensial serta kerapatan arus anodik kritisnya atau arus korosi.
Transpasifasi ini akibat rusaknya lapisan oksida yang berfungsi sebagai pelindung
pada daerah potensial yang sangat positif.
Ketepatan penentuan harga intensitas arus korosi (I
kor
) penting sekali
diperhatikan karena I
kor
merupakan unsur pokok yang langsung berpengaruh
dalam perhitungan laju korosi suatu material. Pada tingkat korosi dengan
intensitas arus korosi yang tinggi, penentuan analisa Tafelnya cenderung lebih
mudah karena bentuk kurva yang terjadi lebih curam dan rentang potensial batas
ruas perhitungan CZ tidak begitu lebar. Sebaliknya untuk tingkat korosi dengan
PKMI-3-9-9
intensitas arus korosi yang rendah, penentuan CZnya cenderung lebih sulit
karena bentuk kurva yang terjadi lebih landai.

KESIMPULAN
1. Adanya pasivasi dan transpasivasi mempercepat tingginya nilai laju korosi
2. Nilai laju korosi material ZrNi lebih resistan terhadap serangan korosi dan
material ZrCuAl paling tidak resistan terhadap serangan korosi
3. Jenis elemen pemadu berpengaruh terhadap nilai laju korosi material, dan
paduan yang mengandung unsur nikel (Ni) mampu menghambat laju korosi.

DAFTAR PUSTAKA
Callister, W.D., 1990, Material Science and Engineering, Second Edition, John
Wiley and Sons, Inc., New York.
Inone, A. and T. Zhang, 1996, Fabrication of Bulk Glassy Zr
55
Al
10
Ni
5
Cu
30
of 30
nm In diameter by a Suction Casting Method, Mat. Trans JIM 37,
Halaman 185 - 187.
Kehl, G.L., 1949, The Principles of Metallographic Laboratory Practice, Third
Edition, Mc Graw Hill Book Company, New York.
Koester, Vwe, 1993, Phase Transformation in Rapidly Solidification Alloy, Key
Engineering Material 81 83, Halaman 647 662.
Koester, Vwe et al., 1999, Influence of Oxygen on Nanocrystallization of Zr
Bassed Metallic Glasses, Mater. Sci. Forum 307, Halaman 9 16.
Klement, W. et al., 1976, Introduction to Ceramic, John Wiley & Sons.
Schoers, Jan and William L. Johnson, 2000, History Dependent Cristallisation of
Zr
41
Ti
14
Cu
12
Ni
10
Be
23
Melt. Journal of Applied Physics Vol. 88 No. 1.
Trethwey, K.R., Chamberlain, J., 1991, Korosi Untuk Mahasiswa Sains dan
Rekayasawan, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Uhlig, H.H., Revie, R.W., 1985, Corrosion and Corrosion Control, Third Edition,
John Wiley and Sons, New York.
Vlack, V.L.H., 1985, Science and Elements of Materials Engineering, Fourth
Edittion, Addison Wesley Publishing Company, USA.


PKMI-3-10-1
MEKANISME SISTEM PENJUALAN
DI PT. JAWA POS SURABAYA

Surya Dian Enitasari, Lutfi May Widarti, Nur Rochmawati, Anis Choirul Nisa
Pendidikan Ekonomi, Universitas Negeri Surabaya, Surabaya

ABSTRAK
Pada era globalisasi dan lingkungan kompetisi atau persaingan bisnis yang ketat,
semakin sulit ditemukan perusahaan yang mampu bertahan di posisi atas.
Keunggulan lompetitif dari suatu perusahaan juga dapat ditunjukkan dengan
tanggapan atas keinginan konsumen yang beragam serta mampu mencapai
efisiensi biaya. Perusahaan yang sukses membuktikan bahwa adanya kesempatan
untuk mengadakan perubahan dan menghadapi tantangan selama perusahaan
masih dapat dikendalikan. Untuk menyediakan informasi keuangan yang
dibutuhkan oleh manajemen diperlukan sistem akuntansi. Sistem akuntansi tidak
hanya digunakan untuk mencatat transaksi keuangan yang telah terjadi saja,
tetapi juga memiliki peran besar sebagai alat melaksanakan bisnis perusahaan.
Penelitian yang dilakukan di PT. Jawa Pos akan mengulas tentang sistem
akuntansi penjualan. Kegiatan penjualan terdiri dari transaksi penjualan barang
kredit dan tunai. Dalam transaksi penjualan kredit, jika order pelanggan telah
dipenuhi dengan pengiriman barang untuk jangka waktu tertentu perusahaan
memiliki piutang terhadap pelanggannya. Kegiatan penjualan secara kredit ini
ditangani oleh perusahaan melalui sistem penjualan kredit. Sedangkan penjualan
tunai dilaksanakan oleh perusahaan dengan cara mewajibkan pembeli melakukan
pembayaran harga lebih dahulu sebelum barang diserahkan oleh perusahaan
kepada pembeli. Setelah uang diterima oleh perusahaan, barang kemudian
diserahkan kepada pembeli setelah itu transaksi penjualan tunai dicatat oleh
perusahaan. Kegiatan penjualan secara tunai ini ditangani oleh perusahaan
melalui sistem penjualan tunai.

Kata kunci: Sistem akuntansi , sistem penjualan tunai, sistem penjualan kredit.

PENDAHULUAN
Dalam menghadapi era globalisasi saat ini, perekonomian mengalami
kemajuan yang sangat pesat. PT. Jawa Pos merupakan salah satu bagian yang
menggerakkan perekonomian. Di dalam menghadapi kondisi dan situasi
perekonomian Indonesia yang semakin sulit dan penuh ketidakpastian seperti
sekarang ini tentu saja menimbulkan tingkat persaingan diantara perusahaan yang
memproduksi barang sejenis sangat ketat. Keadaan seperti ini merupakan
tantangan tersendiri bagi manajemen perusahaan yang dituntut lebih waspada dan
jeli dalam membaca situasi sehingga mampu membawa perusahaan ke arah tujuan
dan sasaran yang diinginkan.
Penjualan merupakan bagian yang terpenting dalam perusahaan. Dari
penjualan, perusahaan akan dapat mendistribusikan produknya, mendapatkan laba
dan penjualan adalah pusat penerimaan kas yang utama bagi perusahaan. Agar
kuantitas penjualan sesuai dengan yang diharapkan, perusahaan harus mempunyai
sistem penjualan yang tepat. Sistem penjualan ini harus dapat mendistribusikan
produknya kepada konsumen tepat pada waktunya.

PKMI-3-10-2
PT. Jawa Pos adalah perusahaan penerbitan surat kabar yang terbit setiap
hari. Oleh karena itu sistem penjualan seperti apa yang diterapkan oleh PT. Jawa
Pos yang sesuai dengan kondisi produknya agar produk itu dapat diterima
konsumen sesuai yang diharapkan dan perusahaan dapat mencapai tujuan dan
sasaran yang diharapkan.

METODE PENELITIAN
Penulisan karya ilmiah ini bersifat deskriptif karena hanya
mendeskripsikan mekanisme sistem penjualan di PT. Jawa Pos. Sesuai dengan
adanya pembatasan waktu penelitian dan berdasarkan pembatasan judul, maka
yang menjadi sasaran penelitian ini adalah mekanisme sistem penjualan di PT.
Jawa Pos.
Subyek penelitian yang dipilih ialah PT. Jawa Pos yang berhubungan
dengan Kepala Seksi Penjualan dan Manajer Sirkulasi yang dilakukan di PT. Jawa
Pos di Gedung Graha Pena, Jl. A. Yani No. 88, Surabaya.
Metode pengumpulan data dilakukan dengan wawancara. Wawancara
dilakukan terhadap pegawai PT. Jawa Pos bagian penjualan, yakni mengetahui
mekanisme sistem penjualan di PT. Jawa Pos dengan menggunakan cara
wawancara yang tidak terstruktur. Daftar pertanyaan disusun secara ketat. Tanya
jawab dilakukan dalam percakapan sehari-hari sehingga sifatnya lebih fleksibel.
Teknik pengumpulan data dengan dokumentasi, dilakukan dengan
mengadakan pencatatan terhadap dokumen-dokumen yang diperlukan dalam
membahas masalah.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil Penelitian
PT. Jawa Pos selalu berusaha meningkatkan volume penjualannya tiap
tahun. Volume penjualan ditingkatkan dengan melakukan beberapa inovasi dan
didukung dengan produksi yang stabil sehingga diharapkan para pelanggan tetap
loyal pada PT. Jawa Pos, bahkan dapat merebut pelanggan dari surat kabar lain.
Salah satu tujuan dari setiap perusahaan adalah menjaga kelangsungan hidup
perusahaannya, PT. Jawa Pos juga ingin menjadi leader dari pasar yang ada.
Kelangsungan hidup perusahaan akan terjamin jika perusahaan yang bersangkutan
dapat menguasai pasar yang ada. Untuk memperoleh laba dari pasar yang ada
maka PT. Jawa Pos menetapkan target penjualan yang meningkat dari waktu ke
waktu.
PT. Jawa Pos merasa bahwa dari penjualan selama ini masih belum cukup
dari yang diharapkan. Hal ini disebabkan oleh dari tahun ke tahun peningkatan
volume penjualan selalu diiringi dengan perkembangan produk yang menuntut
perusahaan untuk menaikkan harga jual demi terpenuhinya keseimbangan dengan
biaya operasional yang dikeluarkan oleh perusahaan. Hal ini dapat dilihat dari
data pada Tabel 1 dan Tabel 2.
Data di atas menunjukkan perubahan harga jual dari tahun ke tahun
cenderung mengalami peningkatan. Dengan peningkatan tersebut perusahaan
mengkhawatirkan daya beli dari konsumennya. Semakin banyak perusahaan yang
memproduksi barang sejenis, maka semakin ketat pula persaingan di pasar. Hal ini
menuntut perusahaan untuk mengembangkan produk yang dihasilkan agar
memenuhi selera konsumen yang selalu berubah-ubah dari waktu ke waktu

PKMI-3-10-3
mengikuti perubahan zaman. Krisis ekonomi nasional yang terjadi pada tahun
1998 menuntut perusahaan untuk meningkatkan harga jual agar dapat menutupi
biaya operasional yang dikeluarkan perusahaan. Maka, untuk mengimbangi
tingginya harga jual yang ditetapkan maka PT. Jawa Pos menetapkan memperluas
saluran distribusi penjualan yaitu melalui agen dan penyalur. Dengan sistem ini
masyarakat mudah untuk mendapatkan harian pagi Jawa Pos. Selain itu
menghemat biaya pemasaran, karena biaya yang dikeluarkan untuk membayar
para agen/perantara lebih kecil jika dibandingkan dengan biaya pemasaran yang
dilakukan secara langsung oleh perusahaan.

Tabel 1. Tabel Pengembangan Produk
Tahun 1998 1999 2000 2001 2002 2003
Semester I II I II I II I II I II I II
Frekuensi
Pengembangan
Produk
1 1 1 2 0 2 1 2 1 2 1 2
Sumber : Intern Perusahaan PT. Jawa Pos

Tabel 2. Tabel Peningkatan Harga Jual dari Tahun ke Tahun
Tahun 1998 1999 2000 2001 2002 2003
Semester I II I II I II I II I II I II
Harga
Jual (Rp)
700 700 750 750 1200 1200 1500 1500 1700 1700 2000 2000
Sumber : Intern Perusahaan PT. Jawa Pos

Untuk meningkatkan penjualan, PT. Jawa Pos memberi insentif bagi
penyalur dan agen yang menjalankan fungsinya dengan baik. Penyalur yang
bertugas melayani penjualan kredit mendapat komisi 4% dari pembayaran dimuka
tiap 1 bulan sekali tiap tanggal 10 yang diterima dalam tabungan. Agen yang
bertugas melayani penjualan tunai menyetor penjualannya tiap Senin dan Kamis
mendapat bonus dalam tabungan.

Pembahasan
Sistem Penjualan Tunai
Penjualan tunai di PT. Jawa Pos dimulai dari penerbit. Lalu disalurkan
melalui agen/pengecer. Setalah surat kabar tersebut didistribusikan ke pengasong
untuk kemudian dijual ke konsumen. Dalam sistem penjualan ini akan dibahas
mengenai fungsi yang terkait, informasi yang diperlukan oleh manajemen,
dokumen yang digunakan, catatan akuntansi yang digunakan, sistem pengendalian
intern, praktik yang sehat dan bagan alir dari sistem penjualan.
Fungsi yang terkait di PT. Jawa Pos terdiri dari dua, yaitu bagian keuangan
dan pemasaran. Pada bagian keuangan adalah fungsi kasir yang menerima kas dari
agen/pengecer dan fungsi pembukuan yang mencatat transaksi, penerimaan kas
dan laporan penjualan. Sedangkan pada bagian pemasaran adalah fungsi penjualan
yang menerima pesanan dari agen/pengecer, mengisi faktur penjualan tunai dan
menyerahkan faktur pada agen/pengecer ke fungsi kas (kasir). Fungsi pengiriman
yang menyerahkan barang yang dibayar pada agen/pengecer.

PKMI-3-10-4












GAMBAR 1. BAGAN ORGANISASI SISTEM PENJUALAN TUNAI
Sumber: Intern Perusahaan PT. Jawa Pos

Informasi yang diperlukan oleh manajemen adalah jumlah pendapatan
penjualan selama jangka waktu tertentu, jumlah kas yang diterima dari penjualan
tunai, jumlah harga pokok surat kabar yang dijual selama jangka waktu tertentu,
nama dan alamat agen, kuantitas surat kabar yang dijual, nama pengirim yang
melakukan penjualan, otorisasi pejabat yang berwenang.
Dokumen yang digunakan dalam penjualan tunai terdiri dari dua, yaitu:
faktur penjualan tunai dan rekapitulasi harga pokok penjualan. Faktur penjualan
tunai yang merekam berbagai informasi yang diperlukan manajemen mengenai
transaksi penjualan tunai, yaitu : faktur jumlah koran hari ini yang terdiri dari
faktur harian dan bulanan, faktur total eksemplar koran. Rekapitulasi harga pokok
penjualan yang meringkas harga pokok surat kabar yang dijual selama satu
periode.
Catatan akuntansi yang digunakan dalam penjualan tunai terdiri dari Jurnal
Penjualan yang mencatat dan meringkas data penjualan, Jurnal Umum yang
mencatat harga pokok surat kabar yang dijual, Jurnal Penerimaan Kas yang
mencatat penerimaan kas dari penjualan tunai.
Sistem Pengendalian Intern pada penjualan tunai terdiri dari organisasi dan
sistem otorisasi dan prosedur pencatatan. Organisasi meliputi fungsi pemasaran
harus terpisah dari fungsi kasir, fungsi kasir harus terpisah dari fungsi pembukuan
dan transaksi penjualan tunai harus dilaksanakan oleh fungsi pemasaran, fungsi
kasir, fungsi pemasaran (ekspedisi) dan fungsi pembukuan (akuntansi). Sistem
otorisasi dan prosedur pencatatan meliputi penerimaan order dari pembeli di
otorisasi oleh fungsi pemasaran dengan menggunakan formulir faktur penjualan
tunai, penerimaan kas diotorisasi oleh fungsi kas dengan memberikan tanda
lunas pada faktur penjualan tunai, penyerahan barang diotorisasi oleh fungsi
pengiriman (ekspedisi) dengan memberikan tanda sudah diserahkan pada faktur
penjualan tunai, pencatatan ke dalam buku jurnal diotorisasi oleh fungsi
pembukuan dengan memberikan tanda pada faktur penjualan tunai.
Praktik yang sehat pada penjualan tunai adalah faktur penjualan
dipertanggungjawabkan oleh fungsi pemasaran.
Pimpinan
Perusahaan
Kasir

Pembukuan Ekspedisi Penjualan
Pelanggan

PKMI-3-10-5
Bagan alir dari sistem penjualan tunai adalah fungsi penjualan menerima
pesanan dari agen (pengecer). Lalu dibuatkan surat order. Berdasarkan surat order
itu dibuatkan surat order pengiriman dan faktur. Surat order pengiriman dibuat
rangkap lima yang masing-masing diserahkan pada : bagian produksi, agen,
bagian pengiriman, bagian kas, bagian pembukuan.
































GAMBAR 2. BAGAN ALIR SISTEM PENJUALAN TUNAI


Sumber: Observasi di PT. Jawa Pos
Keterangan:
1. Bagian produksi
2. Agen
3. Bagian pengiriman
4. Bagian kasir
5. Bagian pembukuan

Menerima
order dari
pembeli
Dilakukan oleh
bagian
pemasaran
Surat order
Membuat surat
order
pengiriman
Surat order
pengiriman
1
2
3
4
5
Mulai

PKMI-3-10-6
Sistem Penjualan Kredit
Penjualan kredit dilaksanakan oleh perusahaan dengan cara mengirimkan
surat kabar sesuai dengan pesanan yang diterima oleh penyalur dan untuk jangka
waktu tertentu perusahaan mempunyai tagihan pada konsumen yang menerima
surat kabar dari penyalur. Konsumen memperoleh surat kabar dari loper untuk
setiap hari terbitnya.














GAMBAR 3. BAGAN ORGANISASI SISTEM PENJUALAN KREDIT
Sumber: Intern Perusahaan PT. Jawa Pos

Fungsi yang terkait di PT. Jawa Pos terdiri dari dua, yaitu bagian keuangan
dan bagian pembukuan. Pada bagian keuangan, fungsi yang terkait adalah fungsi
inkaso yang membuat dan mengirimkan surat penagihan pada pelanggan,
menyediakan copy faktur bagi kepentingan pencatatan transaksi penjualan. Fungsi
pembukuan yang mencatat piutang yang timbul dari transaksi penjualan kredit,
membuat dan mengirimkan pernyataan piutang pada para pelanggan, membuat
laporan penjualan, dan mencatat harga pokok surat kabar yang dijual. Sedangkan
pada bagian pemasaran fungsi yang terkait adalah fungsi penjualan yang
menerima surat pesanan dari pelanggan untuk menambahkan informasi yang
belum ada pada saat pesan. Fungsi pengiriman (ekspedisi) yang menyerahkan
surat kabar atas surat pesanan yang diterimanya dari fungsi penjualan dan
menjamin tidak ada surat kabar yang keluar dari perusahaan tanpa otorisasi dari
yang berwenang.
Informasi yang diperlukan oleh manajemen dalam penjualan kredit adalah
jumlah pendapatan penjualan selama jangka waktu tertentu, jumlah piutang
kepada setiap debitur, jumlah harga pokok surat kabar yang dijual selama jangka
waktu tertentu, nama dan alamat pelanggan, kuantitas surat kabar yang dijual,
nama pengirim yang melakukan pengiriman, otorisasi pejabat yang berwenang.
Dokumen yang digunakan dalam penjualan kredit terdiri dari empat, yaitu:
Surat order pengiriman dan tembusannya, lembar pertama surat order pengiriman
yang memberikan otorisasi kepada fungsi pengiriman untuk mengirimkan jenis
Pimpinan
Perusahaan
Inkaso

Pembukuan Ekspedisi Penjualan
Pelanggan

PKMI-3-10-7
barang dengan jumlah dan spesifikasi seperti yang tertera dalam dokumen itu.
Fakturdan tembusannya, dokumen yang dipakai sebagai dasar untuk mencatat
timbulnya piutang, yaitu: faktur jumlah koran hari ini yang terdiri dari faktur
harian dan bulanan, faktur total eksemplar koran. Rekapitulasi harga pokok
produk, dolumen pendukung untuk menghitung total harga pokok surat kabar
yang dijual dalam periode akuntansi.























GAMBAR 4. BAGAN ALIR SISTEM PENJUALAN KREDIT
Sumber: Observasi di PT. Jawa Pos

Keterangan:
1. Bagian produksi
2. Pelanggan
3. Bagian pengiriman (ekspedisi)
4. Bagian inkaso
5. Bagian pembukuan
Mulai
Menerima
order dari
pelanggan
Dilakukan
oleh bagian
pengiriman
Surat
order
Membuat
surat order
pengiriman
dan faktur
Surat order
pengiriman
1
2
3
4
5

PKMI-3-10-8
Catatan akuntansi yang digunakan dalam penjualan kredit terdiri dari
Jurnal Penjualan yang mencatat dan meringkas data penjualan, Jurnal Umum yang
mencatat harga pokok surat kabar yang dijual, Jurnal Penerimaan Kas yang
mencatat penerimaan kas dari penjualan tunai.
Sistem Pengendalian Intern pada penjualan tunai terdiri dari organisasi dan
sistem otorisasi dan prosedur pencatatan. Organisasi meliputi fungsi pemasaran
(penjualan) harus terpisah dari fungsi inkaso, fungsi pembukuan (akuntansi) harus
terpisah dari fungsi kasir dan transaksi penjualan kredit yang dilaksanakan secara
lengkap hanya oleh satu fungsi saja, dalam hal ini fungsi pemasaran (penjualan),
fungsi inkaso, dan fungsi pembukuan (akuntansi). Sistem otorisasi dan prosedur
pencatatan meliputi penerimaan order dari pembeli diotorisasi oleh fungsi
pemasaran dengan menggunakan formulir surat order pengiriman, persetujuan
pemberian kredit diberikan oleh fungsi inkaso dengan membubuhkan tanda tangan
pada tembusan surat order pengiriman, pengiriman barang kepada para pelanggan
diotorisasi oleh fungsi penjualan dengan menandatangani tembusan surat order
pengiriman penetapan harga jual dan potongan penjualan dilakukan oleh kepala
bagian pemasaran, dan terjadinya piutang diotorisasi fungsi inkaso dengan
memberikan tanda tangan pada faktur penjualan dan pencatatannya dilakukan oleh
fungsi akuntansi dengan didasarkan pada faktur penjualan yang didukung dengan
surat order pengiriman
Praktik yang sehat pada penjualan kredit adalah surat order pengiriman
dipertanggungjawabkan oleh fungsi pemasaran dan faktur penjualan
dipertanggungjawabkan oleh fungsi inkaso.
Bagan alir dari sistem penjualan kredit adalah fungsi penjualan menerima
pesanan dari pelanggan. Lalu dibuatkan surat order. Berdasarkan surat order itu
dibuatkan surat order pengiriman dan faktur. Surat order pengiriman dibuat
rangkap lima yang masing-masing diserahkan pada bagian produksi, pelanggan,
bagian pengiriman, bagian inkaso, bagian pembukuan.

KESIMPULAN
PT. Jawa Pos menetapkan sistem penjualan produknya melalui dua jalur,
yaitu sistem penjualan tunai dan sistem penjualan kredit. Pada sistem penjualan
tunai dokumen penting yang digunakan adalah faktur penjualan tunai dan
rekapitulasi harga pokok penjualan. Dalam prosedur penjualan tunai terdapat surat
order penjualan yang diserahkan pada bagian produksi, agen, bagian pengiriman,
bagian kasir dan bagian pembukuan. Sedangkan pada sistem penjualan kredit
dokumen penting yang digunakan adalah surat order pengiriman dan faktur.
Dalam prosedur penjualan kredit terdapat surat order pengiriman yang diserahkan
pada bagian produksi, pelanggan, bagian pengiriman, bagian inkaso dan bagian
pembukuan. PT. Jawa Pos menggunakan sistem retur penjualan untuk para
pelanggannnya jika tidak menerima surat kabar tepat pada waktu dan tanggalnya.

DAFTAR PUSTAKA
Baridwan, Z. 1998. Sistem Akuntansi Penyusunan Prosedur dan Metode.
Yogyakarta: BPFE-Yogyakarta.
Djuroto T, Suprijadi B. 2005. Menulis Artikel dan Karya Ilmiah. Bandung:
Remaja Rosdakarya.

PKMI-3-10-9
Kotlet, P. 1993. Manajemen Pemasaran. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas
Ekonomi Universitas Indonesia.
Mulyadi. 2001. Sistem Akuntansi. Jakarta: Salemba Empat.


PKMI-3-11-1
PENDAFTARAN MEREK MASAL SEBAGAI ALTERNATIF
MEMINIMALISASI PEMBAJAKAN MEREK
MENUJU LAW ENFORCEMENT HKI
(Studi Kasus di Sentra UKM Tas dan Koper Kecamatan Tanggulangin,
Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur)

Ika Arlina Prabowo, Wyka Ari Cahyanti, Kurniasih Bahagiati
Universitas Brawijaya, Malang

ABSTRAK
Pendaftaran merek masal bagi kalangan usaha kecil dan menengah, khususnya di
Sentra UKM Tas dan Koper di Kecamatan Tanggulangin, Kabupaten Sidoarjo,
Jawa Timur merupakan langkah tepat yang dapat ditempuh pemerintah,
pengrajin dan pengusaha saat ini sebagai alternatif meminimalisasi pembajakan
merek dalam rangka menuju law enforcement HKI. Ternyata strategi pendaftaran
merek masal tersebut dapat meminimalisasi pembajakan merek dan sedikit
menyadarkan pengrajin dan pengusaha untuk menggunakan mereknya sendiri
dan mendaftarkan merek atas produk yang dihasilkan secara masal. Yang perlu
diperhatikan pada tahap awal adalah bagaimana pengrajin dan pengusaha dapat
menggunakan hak mereknya sendiri dengan cara mendaftarkan merek secara
masal.

Kata kunci: Pendaftaran merek masal, Pembajakan merek, Law enforcement.

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Produk-produk tas dan koper di Sentra Usaha Kecil dan Menengah (yang
selanjutnya disebut dengan UKM) Tas dan Koper di Kecamatan Tanggulangin,
Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur sudah tidak asing lagi bagi masyarakat
Indonesia. UKM tersebut mulai menggeliat ketika ada pesanan koper haji dari
Departemen Agama, yang diperuntukkan bagi jamaah haji seluruh Indonesia pada
awal tahun 1980-an.
Dalam perkembangan selanjutnya, produk UKM Tas dan Koper di
Tanggulangin dijadikan sebagai produk unggulan Kabupaten Sidoarjo dalam
rangka program Gerakan Kembali ke Desa (GKD) tahun 1993. Program ini juga
mendapat dukungan penuh dari Gubernur Jawa Timur yang saat itu dijabat oleh
Basofi Soedirman.
Penggunaan merek asing pada tas dan koper yang mereka (pengrajin dan
pengusaha) produksi maupun yang mereka jual menyebabkan Tanggulangin
terkenal sebagai sentra produk tas dan koper bajakan. Praktek pembajakan merek
di Tanggulangin tersebut berlangsung tanpa ada hambatan yang berarti. Hal ini
menyebabkan para pengrajin dan pengusaha terus saja melakukan praktek
pembajakan yang lebih dikenal dengan piracy.
Pada tahun 1997 terjadi razia merek oleh Kepolisian sebagai akibat dari
pengaduan Perusahaan Aiten Aigner, perusahaan tas yang berasal dari Jerman.
Hal ini berakibat dilakukannya penyitaan produk bajakan Aiten Aigner. Akan
tetapi kasus ini tidak berlanjut ke Pengadilan karena Indonesia belum memasuki
law enforcement era Hak Kekayaan Intelektual (yang kemudian disebut dengan


PKMI-3-11-2
HKI) akibat keterikatannya dengan the Treaty of Trade Related Intelectual
Property Rights (yang selanjutnya disebut dengan TRIPs), yang berlaku bagi
seluruh anggota World Trade Organization (WTO). Indonesia baru memasuki law
enforcement era TRIPs mulai 1 Januari 2000.
Dampak razia tersebut ternyata cukup mengejutkan. Selain itu, sedikit
membuat mereka jera serta menyadarkan sebagian pengrajin dan pengusaha di
Tanggulangin. Sejumlah merek dagang lokal telah didaftarkan secara masal.
Sejumlah kurang lebih 13 (tiga belas) merek dagang terdaftar yang dimiliki oleh
sejumlah pengrajin dan pengusaha, tetapi hal tersebut tidak menjadikan kebiasaan
membajak merek-merek terkenal (asing) menjadi berkurang atau berhenti sama
sekali. Bahkan merek dagang terdaftar milik mereka sendiri tidak digunakan
karena alasan tidak diminati oleh konsumen.
Pendaftaran merek masal dinilai sebagai terobosan yang tepat bagi
pemerintah dalam upaya meminimalisasi pembajakan merek menuju law
enforcement HKI. Namun harus diakui bahwa dalam pelaksanaannya saat ini
masih menghadapi hambatan-hambatan, terutama yang berkaitan dengan budaya
hukum masyarakat yang suka meniru dengan alasan ingin memperoleh
keuntungan yang lebih cepat. Tulisan ini mencoba menyempurnakan model yang
berupa menemukan alternatif pemecahan masalah hukum yang menjadi hambatan
selama ini.

Rumusan Masalah
Dari uraian yang terdapat pada latar belakang masalah, maka penelitian ini
akan berusaha mensosialisasikan pendaftaran merek masal sebagai alternatif
meminimalisasi pembajakan merek menuju law enforcement HKI.

Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mendorong dan meningkatkan kesadaran HKI
di kalangan pengrajin dan pengusaha tas dan koper, khususnya penggunaan
merek terdaftar yang diharapkan dapat diperoleh dengan mengajukan model
pendaftarkan merek secara masal. Penggunaan model pendaftaran merek secara
masal dimaksud, di satu sisi memudahkan para pengrajin untuk memperoleh
merek terdaftar, sedang di sisi lain bertujuan sebagai alternatif meminimalisasi
pembajakan merek dalam kerangka law enforcement HKI di Indonesia.

Manfaat Penelitian
1. Bagi Pemerintah
a. Dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam menyusun sebuah
kebijakan yang berkaitan dengan pendaftaran merek masal.
b. Dapat dijadikan sebagai bahan untuk mengevaluasi kinerja Pemerintah
Daerah dalam mensosialisasikan pendaftaran merek masal di Sentra UKM
Tas dan Koper di Kecamatan Tanggulangin, Kabupaten Sidoarjo, Jawa
Timur.
2. Bagi pengrajin dan pengusaha tas dan koper di Sentra UKM Tas dan Koper di
Kecamatan Tanggulangin, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur
a. Meningkatkan kesadaran pengrajin dan pengusaha tas dan koper di Sentra
UKM Tas dan Koper di Kecamatan Tanggulangin, Kabupaten Sidoarjo,
Jawa Timur untuk mendaftarkan merek atas produk yang dihasilkan secara
masal.


PKMI-3-11-3
b. Meningkatkan kesadaran para pengrajin dan pengusaha dalam upaya
peningkatan kualitas hasil produksi agar dapat bersaing secara sehat
dengan produk-produk luar negeri.

METODE PENELITIAN
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Sentra UKM Tas dan Koper di Kecamatan
Tanggulangin, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur pada tanggal 22 Januari-18
Februari 2006.

Populasi dan Sampel
Populasi penelitian ini adalah seluruh pengrajin dan pengusaha tas dan koper
yang berada di Sentra UKM Tas dan Koper di Kecamatan Tanggulangin,
Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur yang berjumlah 1000 pengrajin. Sampel yang
diteliti dengan teknik random sampling adalah sejumlah 200 pengrajin.
Kesimpulan hasil penelitian terhadap responden unit sampel adalah untuk
menggambarkan keseluruhan populasi.

Pendekatan dan Jenis Penelitian
Penelitian ini termasuk penelitian yuridis sosiologis. Karena dalam penelitian
ini penulis gejala-gejala sosial secara langsung yang terjadi di masyarakat,
khususnya masalah pembajakan merek dan pendaftaran merek masal.

Jenis Data Penelitian
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis data primer dan
jenis data sekunder. Data primer yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari
hasil wawancara dengan pengrajin dan pengusaha tas dan koper di Sentra UKM
Tas dan Koper di Kecamatan Tanggulangin, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur dan
Disperindag Kabupaten Sidoarjo tentang penggunaan merek atas produk yang
dihasilkan pengrajin dan pengusaha tas dan koper. Data sekunder yang digunakan
dalam penelitian ini berasal dari bahan hukum yang berupa Peraturan Perundang-
undangan dan literatur-literatur. Subjek penelitian ini adalah pengrajin didalam
menggunakan merek dagang, baik yang sudah terdaftar melalui model
pendaftaran merek masal maupun yang belum menggunakan merek terdaftar.

Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini diperoleh dari hasil
wawancara secara langsung dengan pengrajin dan pengusaha tas dan koper di
Sentra UKM Tas dan Koper di Kecamatan Tanggulangin, Kabupaten Sidoarjo,
Jawa Timur dan Disperindag Kabupaten Sidoarjo. Adapun data sekunder
diperoleh dari Peraturan Perundang-undangan yang mengatur tentang merek dan
berbagai literatur-literatur yang membahas tentang HKI, khususnya merek.

Teknik Analisis Data
Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif-
eksploratif, yaitu dengan cara menjelaskan dan mengeksplorasi hasil penelitian
yang diperoleh di lapangan.


PKMI-3-11-4
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Berlakunya law enforcement era TRIPs di Indonesia sejak 1 Januari 2000
memberikan dampak pada berlakunya Hak atas Kekayaan Intelektual (HKI) bagi
negara-negara anggota World Trade Organization (WTO), termasuk
Indonesia(Afrillyanna Purba, dkk, 2005). Dengan berlakunya HKI di Indonesia,
maka pemerintah mengeluarkan peraturan-peraturan yang berhubungan dengan
HKI. Salah satu peraturan yang berhubungan dengan HKI adalah Undang-undang
No. 15 Tahun 2001 tentang Merek (H.OK Saidin, 2003).
Implementasi dari berlakunya Undang-undang No. 15 Tahun 2001 tentang
Merek adalah penggunaan merek dagang terdaftar pada barang atau jasa yang
memiliki tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka-angka,
susunan warna, atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang memiliki daya
pembeda, tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku,
moralitas agama, kesusilaan atau ketertiban umum, dan merek itu bukan
merupakan keterangan atau berkaitan dengan barang atau jasa yang bersangkutan
(Insan Budi Maulana, 2005: 130).
Sentra Usaha Kecil dan Menengah (UKM) Tas dan Koper di Kecamatan
Tanggulangin, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur yang merupakan penghasil tas
dan koper, baik dari bahan kulit maupun imitasi membutuhkan merek dagang
terdaftar untuk produk yang dihasilkan sebagai implementasi berlakunya Undang-
undang No. 15 Tahun 2001 tentang Merek. Pemerintah mengharapkan pengrajin
dan pengusaha tas dan koper tersebut menggunakan merek dagang terdaftar untuk
produk yang dihasilkan sehingga dapat membawa dampak positif bagi
perkembangan UKM Tas dan Koper di Kecamatan Tanggulangin, Kabupaten
Sidoarjo, Jawa Timur.
Pengrajin dan pengusaha tas dan koper di Sentra UKM Tas dan Koper di
Kecamatan Tanggulangin, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur baru memiliki merek
dagang terdaftar pada tahun 1997. Hal ini dikarenakan pada tahun tersebut terjadi
razia merek oleh Kepolisian sebagai akibat pengaduan dari perusahaan Aiten
Aigner, perusahaan tas yang berasal dari Jerman kepada aparat Kepolisian karena
pemalsuan merek yang dilakukan oleh pengrajin dan pengusaha tas dan koper di
Sentra UKM Tas dan Koper di Kecamatan Tanggulangin, Kabupaten Sidoarjo,
Jawa Timur. Hal ini mengakibatkan produk bajakan Aiten Aigner disita oleh
aparat Kepolisian.
Kasus tersebut tidak berlanjut ke Pengadilan karena ditemukan jalan tengah
antara pengrajin dan pengusaha tas dan koper di Sentra UKM Tas dan Koper di
Kecamatan Tanggulangin, Kabupaten Sidoarjo Jawa Timur dengan perusahaan
Aiten Aigner, yaitu dengan menandatangani perjanjian bahwa pengrajin dan
pengusaha tas dan koper di Sentra UKM Tas dan Koper di Kecamatan
Tanggulangin, Kabupaten Sidoarjo Jawa Timur tidak akan membajak produk
yang dibuat oleh perusahaan Aiten Aigner. Selain itu, pada saat itu Indonesia
belum memasuki law enforcement era HKI. Razia tersebut sedikit membuat
pengrajin dan pengusaha jera serta menyadarkan sebagian pengrajin dan
pengusaha tas dan koper di Tanggulangin untuk mendaftarkan merek sehingga
pada tahun tersebut telah berhasil didaftarkan 13 merek secara masal.
Dalam perkembangan selanjutnya, setelah kasus dengan Aigten Aigner
berakhir, pengrajin dan pengusaha tas dan koper di Sentra UKM Tas dan Koper di
Kecamatan Tanggulangin, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur kembali meniru atau


PKMI-3-11-5
membajak merek-merek luar negeri, terutama yaitu merek-merek terkenal yang
berasal dari Paris (Perancis) dan Milan (Italia) karena kiblat mode dunia berasal
dari kedua daerah tersebut dengan alasan untuk menumbuhkan image terhadap
barang yang diproduksi. Tapi, alasan yang utama karena pengrajin dan pengusaha
ingin mendapatkan keuntungan dalam waktu singkat karena orientasi sebagian
besar pengrajin dan pengusaha, terutama yang usahanya berskala kecil adalah
bagaimana caranya mendapatkan keuntungan yang besar dalam waktu singkat.
Sampai saat ini, praktek pembajakan merek di Sentra UKM Tas dan Koper di
Kecamatan Tanggulangin, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur masih terus
berlangsung. Hal ini terbukti berdasarkan hasil penelitian penulis di lapangan
yang menunjukkan masih minimnya pengrajin dan pengusaha yang menggunakan
merek dagang sendiri (merek dagang terdaftar) .
Berdasarkan hasil penelitian penulis di Sentra UKM Tas dan Koper di
Kecamatan Tanggulangin, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur menunjukkan bahwa
hanya sekitar 30 % pengrajin dan pengusaha yang memiliki merek dagang
terdaftar. Pengrajin dan pengusaha tersebut diantaranya adalah:
1. Koperasi Industri Tas dan Koper (INTAKO) yang mempunyai dua merek
dagang terdaftar, yaitu Intako dan Roro.
2. CV Citra Mulia Perkasa yang mempunyai dua merek dagang terdaftar, yaitu
Luzsafrati dan Luis Dappuci.
3. CV Mitra Jaya yang mempunyai empat merek dagang terdaftar, yaitu Karl
Perati, Karl Sangkoni, Massuti, dan Agyta.
4. CV Choiri yang mempunyai merek dagang terdaftar, yaitu Le Choir
5. Pengurus Koperasi Industri Tas dan Koper (INTAKO) yang rata-rata juga
sudah mempunyai merek dagang terdaftar, yaitu:
a. Ketua I (First Chairman) Koperasi Industri Tas dan Koper (INTAKO),
Bapak H. Shodiqun Said yang mempunyai merek dagang terdaftar, yaitu
Deltoni.
b. Ketua II (Second Chairman) Koperasi Industri Tas dan Koper (INTAKO),
Bapak Darip Muntadji yang mempunyai merek dagang terdaftar, yaitu
Dapmun.
c. Sekretaris I Koperasi Industri Tas dan Koper (INTAKO), Bapak Drs. H.
M. Khozin yang mempunyai merek dagang terdaftar,yaitu Marzini
d. Bendahara Koperasi Industri Tas dan Koper (INTAKO), Bapak H. M.
Misbach yang mempunyai merek dagang terdaftar, yaitu La Dufa
(Katalog Intako Tahun 2006)

Sedangkan 70 % pengrajin dan pengusaha tas dan koper lainnya masih
menggunakan merek dagang produk luar negeri yang terkenal dengan alasan
karena untuk mendapatkan atau mengurus merek dagang terdaftar sangat sulit
karena birokrasi yang berbelit-belit dan juga membutuhkan biaya yang banyak.
Disamping itu, juga disebabkan karena masih banyaknya konsumen yang fanatik
terhadap merek-merek tertentu, terutama merek-merek terkenal yang berasal dari
luar negeri.

Hambatan Pendaftaran Merek Masal
Ada beberapa hambatan dalam pendaftaran merek masal, diantaranya adalah:
1. Budaya hukum masyarakat (bangsa) Indonesia yang suka meniru atau
membajak.


PKMI-3-11-6
2. Pengesahan pendaftaran merek berdasarkan PP No. 25 Tahun 2000 masih
sepenuhnya menjadi kewenangan Pemerintah pusat, artinya tidak
didistribusikan kepada Pemerintah propinsi maupun kabupaten/kota.
3. Berdasarkan PP No. 26 Tahun 1999 yang diubah dengan PP No.50 Tahun
2001 masalah tarif pendaftaran merek mengalami kenaikan secara tajam,
sehingga sangat memberatkan pengrajin dan pengusaha (Sentot Prihandajani
Sigito, 2003)

Penyelesaian Hambatan Pendaftaran Merek Masal
Hambatan pendaftaran merek masal sebagai alternatif meminimalisasi
pembajakan merek menuju law enforcement HKI penting untuk dipecahkan
dengan strategi:
1. Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah yang mengatur tentang
pendaftaran merek masal sehingga pendaftaran merek masal mempunyai
landasan hukum yang kuat, bukan merupakan kebijakan yang bersifat
temporal.
2. Pemerintah membentuk Panitia Pendaftaran Merek di Daerah otonom
Kabupaten/Kota sehingga pendaftaran merek tidak terpusat atau tidak menjadi
kewenangan Pemerintah Pusat saja, tetapi juga menjadi kewenangan
Pemerintah Daerah propinsi, kabupaten/kota.
3. Pemerintah mengeluarkan format peraturan khusus untuk memfasilitasi
pendaftaran merek masal sebagai alternatif meminimalisasi pembajakan merek
menuju law enforcement HKI.
4. Pemerintah mengadakan pembinaan HKI pada pengrajin dan pengusaha dan
menjadikan program pembinaan HKI sebagai program prioritas.
5. Pemerintah menyediakan tenaga ahli HKI untuk pendampingan di sentra
UKM.
6. Meningkatkan kesadaran pengrajin dan pengusaha untuk tidak membajak
merek dan bangga menggunakan merek sendiri karena menggunakan merek
sendiri adalah lebih baik daripada membajak.

Analisis tentang Pendaftaran Merek Masal sebagai Alternatif
Meminimalisasi Pembajakan Merek Menuju Law Enforcement HKI
Pendaftaran merek masal sebagai alternatif meminimalisasi pembajakan
merek menuju law enforcement HKI terbukti cukup berhasil. Hal ini dapat dilihat
pada keberhasilan pendaftaran 13 merek secara masal oleh pengrajin dan
pengusaha di Sentra UKM Tas dan Koper di Kecamatan Tanggulangin,
Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur sebagai akibat pembajakan merek yang
dilakukan oleh pengusaha tas dan koper di Sentra UKM Tas dan Koper di
Kecamatan Tanggulangin, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur terhadap merek
Aigten Aigner, perusahaan milik Jerman. Semenjak kasus tersebut, pengrajin dan
pengusaha sedikit jera dan mulai sadar untuk menggunakan merek sendiri (merek
dagang terdaftar). Walaupun, sampai saat ini kebiasaan membajak masih melekat
pada sebagian besar pengrajin dan pengusaha tas dan koper di Sentra UKM Tas
dan Koper di Kecamatan Tanggulangin, Kabupaten Sidoarjo. Untuk mengubah
kebiasaan meniru atau membajak yang melekat pada pengrajin dan pengusaha
diperlukan suatu usaha secara terus-menerus untuk menyadarkan masyarakat
bahwa menggunakan merek sendiri adalah lebih baik daripada membajak.


PKMI-3-11-7
Oleh karena itu, untuk meminimalisasi pembajakan merek, khususnya di
Sentra UKM Tas dan Koper di Kecamatan Tanggulangin, Kabupaten Sidoarjo,
Jawa Timur diperlukan suatu upaya berupa pendaftaran merek secara masal. Hal
ini karena dengan pendaftaran merek secara masal, maka dapat menghemat atau
meminimalisasi biaya yang harus dikeluarkan oleh pengrajin dan pengusaha untuk
mendaftarkan merek atas barang yang diproduksi sehingga kendala atau hambatan
pendaftaran merek berupa kendala atau hambatan financial dapat diatasi yang
pada akhirnya dapat membawa dampak positif, yaitu berkurangnya pembajakan
merek dan meningkatnya kesejahteraan masyarakat di Sentra UKM Tas dan
Koper di Kecamatan Tanggulangin, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur. Dengan
memiliki merek sendiri (merek dagang terdaftar), taraf hidup masyarakat di Sentra
UKM Tas dan Koper di Kecamatan Tanggulangin, Kabupaten Sidoarjo, Jawa
Timur dapat meningkat karena tas dan koper yang memiliki merek dagang
terdaftar mempunyai nilai jual yang lebih tinggi dan kualitas yang lebih bagus
dibandingkan tas dan koper yang belum memilki merek dagang terdaftar (tas dan
koper yang masih menggunakan merek bajakan/merek luar negeri).

KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, dapat diambil kesimpulan
bahwa pendaftaran merek masal sebagai alternatif meminimalisasi pembajakan
merek menuju law enforcement HKI terbukti cukup berhasil, walaupun dalam
praktek di lapangan masih ada pengrajin dan pengusaha yang menggunakan
merek bajakan. Oleh karena itu, perlu dibuat suatu peraturan khusus untuk
memfasilitasi pendaftaran merek masal dan meningkatkan kesadaran masyarakat
bahwa memiliki merek sendiri adalah jauh lebih baik daripada membajak
sehingga dapat meminimalisasi pembajakan merek dalam rangka menuju law
enforcement HKI.

DAFTAR PUSTAKA
Budi Maulana, Insan. 2005. Bianglala HaKI (Hak Kekayaan Intelektual). Jakarta:
PT. Hecca Mitra Utama.
Katalog Intako Tahun 2006.
M. Echols, John, Hassan Shadily. 1997. Kamus Indonesia-Inggris. Jakarta:
Gramedia.
OK. Saidin, H. 2003. Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual (Intellectual
Property Rights). Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 2000.
Peraturan Pemerintah No. 26 Tahun 1999.
Peraturan Pemerintah No. 50 Tahun 2001.
Prihandajani Sigito, Sentot. 2003. Legislasi sebagai Pemecahan Masalah Hukum
tentang Model Pendaftaran Merek Masal bagi Industri Kecil dalam
Kerangka Pelaksanaan Otonomi Daerah. Malang: Universitas Brawijaya.
Purba, Afrillyana, dkk. 2005. TRIPs-WTO & Hukum HKI Indonesia. Jakarta:
Rineka Cipta.
Undang-undang No. 15 Tahun 2001 tentang Merek.


PKMI-3-12-1
HUBUNGAN PENYULUHAN KESEHATAN GIGI DAN MULUT
DENGAN PERILAKU MENGOBATI SENDIRI DAN ANGKA
TERJADINYA KARIES GIGI PADA MASYARAKAT DESA
MLOKOREJO KECAMATAN PUGER ANTARA USIA 12-50 TAHUN

Berlian P, Susantin, Laily Isriya
Fakultas Kedokteran Gigi, Universitas Jember, Jember

ABSTRAK
Manusia modern yang hidup dalam masyarakat industri yang sudah maju,
karies merupakan hal yang sudah biasa, tetapi frekuensi karies berbeda di tiap
negeri dan di antara individu di dalam negeri itu sendiri. Karies adalah suatu
proses kronis dan regresif yang dimulai dengan larutnya mineral email gigi.
Berdasarkan hasil observasi awal yang dilakukan pada beberapa keluarga di
Desa Mlokorejo, didapatkan bahwa insiden karies di masyarakat masih cukup
tinggi (kurang lebih 63,64%). Akan tetapi, kesadaran masyarakat untuk
mengatasi keluhan penyakit gigi dan mulut dengan memanfaatkan sarana
pelayanan di puskesmas, masih sangat kurang. Hasil obeservasi diuji dengan
menggunakan uji korelasi Spearman (p<0,05), didapatkan bahwa tidak terdapat
hubungan antara penyuluhan dengan perilaku mengobati sendiri dan angka
terjadinya karies. Tidak adanya hubungan antara penyuluhan dengan perilaku
mengobati sendiri dan angka terjadinya karies disebabkan karena untuk merubah
perilaku seseorang dibutuhkan waktu yang panjang disertai motivasi yang kuat
dari individu tersebut. Disamping itu, adanya sarana dan prasarana kesehatan
yang mendukung juga berpengaruh terhadap perubahan perilaku masyarakat.
Kesimpulan dari penelitian ini adalah tidak adanya hubungan antara penyuluhan
dengan perilaku mengobati sendiri dan angka terjadinya karies pada masyarakat
Desa Mlokorejo Kecamatan Puger antara usia 12-50 tahun.

Kata kunci: penyuluhan, pengobatan sendiri, angka terjadinya karies.

PENDAHULUAN
Penyuluhan menurut Van Woerkom dalam Houwink (1993:342) adalah
menunjukkan contoh untuk orang lain, mengajar memberi nasehat, memberi
penjelasan, memberikan penyuluhan dan mempengaruhi sesuatu. Penyuluhan
pada bidang kesehatan biasanya mengenai masalah kesehatan yang pada jangka
pendek dapat dipecahkan oleh pembentukan pendapat dan pembentukan
kesimpulan. Pendidikan digunakan dalam arti menasehati, menolong dan
membimbing terutama mengenai perubahan kebiasaan pada jangka panjang. Bila
penyuluhan dihubungkan dengan kesehatan maka sering disebut PKP
(Penyuluhan Kesehatan dan Pendidikan). Muninjaya (2004) menyatakan bahwa
tujuan penyuluhan kesehatan masyarakat adalah untuk meningkatkan kesadaran
penduduk akan nilai kesehatan, sehingga masyarakarat dengan sadar mau
mengubah perilakunya menjadi perilaku sehat. Adapun sasaran penyuluhan adalah
kelompok-kelompok masyarakat yang berisiko tertular penyakit maupun
masyarakat umum. Kegiatan penyuluhan dilakukan secara berkala untuk
kelompok-kelompok masyarakat di wilayah kerja puskesmas. Penyuluhan tidak
saja dilakukan dengan ceramah, tetapi juga dengan menggunakan alat peraga dan
media (demonstrasi/ peragaan).


PMI-3-12-2
Karies adalah suatu proses kronis, regresif yang dimulai dengan larutnya
mineral email, sebagai akibat terganggunya keseimbangan antara email dan
sekelilingnya yang disebabkan oleh pembentukan asam mikrobial dari substrat
(medium makanan bagi bakteri), kemudian timbul destruksi komponen-komponen
organic, dan akhirnya terjadi kavitasi (pembentukan lubang). Menurut Tarigan
(1992), karies gigi merupakan masalah yang banyak didapatkan dari berbagai
tingkatan usia sejak gigi erupsi, hal ini berwal dari perilaku individu dalam
menjaga kebersihan mulut dimana gigi geligi berada. Telah dibuktikan bahwa gigi
yang bersih sedikit sekali kemungkinannya terserang karies gigi, karena itu perlu
dilakukan semua usaha, untuk mempertahankan gigi agar gigi tetap sehat
sepanjang hidup.
Desa Mlokorejo merupakan salah satu Desa di Kecamatan Puger, yang
terdiri dari tiga dusun, yaitu: Dusun Krajan Barat, Dusun Krajan Timur, dan
Dusun Sembungan. Luas wilayah Desa Mlokorejo kurang lebih 778,2 Ha yang
sebagian besar merupakan daerah pertanian. Jumlah penduduk Desa Mlokorejo
adalah 10.184 jiwa (5077 laki-laki dan 5107 perempuan) yang tercakup ke dalam
2837 Kepala Keluarga. Sebagian besar penduduknya bermata pencaharian sebagai
petani dan buruh tani ( kurang lebih 97%).
Berdasarkan hasil observasi awal yang dilakukan pada beberapa keluarga
di Desa Mlokorejo, didapatkan bahwa insiden karies di masyarakat masih cukup
tinggi (kurang lebih 63,64%). Hal ini bisa dilihat dari tindakan masyarakat yang
lebih senang mengobati sendiri dan membiarkan saja keluhan-keluhannya Selain
itu, data sekunder yang didapat dari puskesmas Kasiyan juga menunjukkan bahwa
kunjungan pelayanan kesehatan gigi dan mulut sedikit.
Masalah yang ada di masyarakat, terutama karies gigi (63%) dan perilaku
pengobatan sendiri (68%) serta aktivitas penyuluhan kesehatan yang diikuti
masyarakat Desa Mlokorejo sebesar 0%, maka peneliti ingin mengetahui lebih
lanjut apakah tingginya angka karies dan perilaku pengobatan sendiri tersebut
berhubungan dengan rendahnya aktivitas penyuluhan kesehatan di lingkungan
tersebut.
Tujuan penelitian ini adalah mengetahui hubungan penyuluhan tentang
kesehatan gigi dan mulut dengan pengobatan sendiri karies gigi dan terjadinya
angka karies pada masyarakat Desa Mlokorejo Kecamatan Puger usia 12-50
tahun. Manfaat penelitian adalah memberikan informasi pada Puskesmas Kasiyan
Kecamatan Puger untuk meningkatkan mutu pelayanan kesehatan masyarakat
Desa Mlokorejo dan memberikan gambaran kepada peneliti tentang kondisi
kesehatan gigi dan mulut masyarakat Desa Mlokorejo sehingga mampu
memberikan solusi yang lebih baik dalam meningkatkan mutu pelayanan di masa
yang akan datang.

METODE PENDEKATAN
Jenis penelitian adalah penelitian deskriptif observasional dengan
pendekatan cross sectional. Besar sampel didapatkan sebesar 376 sampel dari
total populasi warga Desa Mlokorejo usia 12-50 tahun yang berjumlah 6.530 jiwa
dengan pembagian wilayah meliputi dusun Krajan Timur, Krajan Barat, dan
Sembungan. Teknik pengambilan sampel menggunakan stratified random
sampling. Besar sampel didapatkan berdasarkan rumus sampel sebagai berikut
(Notoatmodjo, 2005):

PKMI-3-12-3
Jumlah Sampel = n = N
1+ N(d
2
)
Keterangan :
d = Penyimpangan terhadap populasi atau derajat ketepatan yang di inginkan,
biasanya 0,05 atau 0.01
N = Besarnya populasi
n = Besarnya sampel
Observasi awal dilaksanakan Senin tanggal 23 Januari 2006 dan observasi
yang sebenarnya (akhir) dilaksanakan pada hari Rabu tanggal 25 Januari 2006 di
Desa Mlokorejo Kecamatan Puger yang terbagi atas tiga dusun, yaitu dusun
Krajan Timur, Krajan Barat, dan Sembungan.
Alat dan bahan yang digunakan antara lain kuesioner, kaca mulut, sonde,
neirbekhen (tempat untuk meletakkan alat dasar kedokteran gigi), dappen dish
(gelas kecil tempat alkohol), alkohol 70%, dan kapas. Alat ukur yang digunakan
untuk mengukur kegiatan penyuluhan kesehatan gigi dan mulut serta pengobatan
sendiri adalah kuesioner, disajikan dalam bentuk pertanyaan tertutup. Alat ukur
yang digunakan untuk mengukur angka karies gigi adalah indeks karies, yaitu
dengan pemeriksaan pada semua gigi permanen (tetap) menurut Kidd (1992)
dengan rumus sebagai berikut:
DMF-t = skor DMF-t
sampel
Keterangan:
D (Decay) = jumlah gigi karies yang tidak ditambal
M (Missing) = jumlah gigi karies yang sudah dicabut atau seharusnya dicabut
F (Filling) = jumlah gigi yang sudah ditambal
Kategori tinggi rendah prevalensi karies di suatu daerah :
(0,0 1,1) = sangat rendah
(1,2 2,6) = rendah
(2,7 4,4) = sedang
(4,5 6,6) = tinggi
(> 6,6) = sangat tinggi
Analisa data pada penelitian ini disajikan pada tabel distribusi frekuensi
kemudian dilakukan uji korelasi Spearman rank dengan menggunakan SPSS dan
derajat kepercayaan 95% (p=0,05).

HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambaran Proporsi Responden Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada responden usia 12-50 tahun di Desa
Mlokorejo Kecamatan Puger Kabupaten Jember. Sampel didapatkan dari 3 dusun,
yaitu dusun Krajan Barat, Krajan Timur, dan Sembungan. Dari total penduduk
usia 12-50 tahun didapatkan sampel sebanyak 379 orang, sebagian besar berusia
28-31 tahun, yaitu sebanyak 54 orang (14,2%). Responden terdiri atas 263
perempuan dan 116 orang laki-laki (tabel 1).
Penelitian dilakukan secara langsung dengan mengisi kuesioner tentang
pengetahuan kesehatan gigi dan mulut serta pemeriksaan indeks karies gigi
dengan menggunakan DMF-t. Gambaran distribusi frekuensi responden
berdasarkan kelompok usia responden dan jenis kelamin pada tabel 1.



PMI-3-12-4
Tabel 1. Distribusi Frekuensi Umur terhadap Jenis Kelamin
Umur
Laki -
Laki % Perempuan % Jumlah
Total
Prosentase
12-15 7 1.8 23 6.1 30 7.9
16-19 13 3.4 17 4.5 30 7.9
20-23 4 1.1 31 8.2 35 9.2
24-27 10 2.6 35 9.2 45 11.9
28-31 15 4.0 39 10.3 54 14.2
32-35 16 4.2 30 7.9 46 12.1
36-39 11 2.9 20 5.3 31 8.2
40-43 12 3.2 28 7.4 40 10.6
44-47 12 3.2 16 4.2 28 7.4
48-51 16 4.2 24 6.3 40 10.55
Jumlah 116 30.6 263 69.4 379 100.0

Pengetahuan Kesehatan Gigi dan Mulut
Kuesioner yang berisi tentang pengetahuan kesehatan gigi dan mulut dari
379 responden didapatkan hasil sebesar 247 responden (65,3%) menjawab tidak
pernah mendapatkan penyuluhan. Hanya sekitar delapan responden (2,1%) yang
menjawab pernah mendapat penyuluhan. Sedang sekitar 118 responden (31,2%)
tidak menjawab. Dengan demikian bisa disimpulkan bahwa hanya sebagian kecil
dari responden yang mengetahui tentang kesehatan gigi dan mulut, yaitu sekitar
2,1% (tabel 2).
Responden yang mengisi kuesioner tentang perilaku mengobati sendiri
didapatkan hasil sebesar 139 responden (36,8%) mengobati sendiri keluhan sakit
gigi dengan membeli obat sendiri di warung. Sedang yang memberi obat pada
lubang sebesar 23 responden (6,1%). 191 responden (50,5%) tidak menjawab
dikarenakan responden kurang memahami maksud dari pertanyaan dalam
kuesioner tersebut (tabel 3). Dengan kata lain, terdapat kesalahan baik reliabilitas
maupun validitas dari pembuatan kuesioner karena tidak menyertakan pertanyaan
penapis. Selain kurang memahami, sebagian responden yang tidak menjawab
tersebut memang tidak mengetahui jawaban dari pertanyaan yang terdapat di
kuesioner. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat Desa
Mlokorejo masih memiliki kesadaran yang kurang dalam mengatasi keluhan sakit
giginya. Selain itu, pengetahuan masyarakat Desa Mlokorejo terhadap kesehatan
gigi dan mulut relatif masih kurang. Hal ini menunjukkan bahwa semakin rendah
tingkat pengetahuan masyarakat maka semakin rendah pula kesadaran akan nilai-
nilai kesehatan. Hasil ini sesuai dengan pernyataan Tjitarsa (1992), bahwa tingkat
pemahaman seseorang terhadap kesehatan berhubungan dengan tingkat
pengetahuan seseorang terhadap kesehatan. Seseorang yang memiliki tingkat
pengetahuan yang luas maka tingkat pemahamannya akan kesehatan juga akan
tinggi, hal ini diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari yang selalu
mengutamakan nilai-nilai kesehatan. Sedang seseorang yang memiliki tingkat
pengetahuan yang kurang akan selalu mengalami gangguan kesehatan (Tjitarsa,
1992). Dalam hal ini tingkat pengetahuan masyarakat yang kurang berdampak
terhadap kurangnya kesadaran untuk berobat ke Puskesmas atau masyarakat

PKMI-3-12-5
cenderung mengobati sendiri keluhan sakitnya, disamping kendala biaya dan
kurangnya sarana dan prasarana pelayanan kesehatan.

Tabel 2. Distribusi Frekuensi Penyuluhan Kesehatan Gigi dan Mulut
Penyuluhan Kesehatan Gigi dan Mulut
Pelaksanaan Jumlah Prosentase (%)
Pernah 8 2.1
Tidak Pernah 247 65.3
Kadang-kadang 5 1.3
Tidak Menjawab 118 31.2
Total 379 100

Tabel 3. Distribusi Frekuensi Perilaku Mengobati Sendiri
Perilaku Mengobati Sendiri
Keterangan Frekuensi Prosentase (%)
Beli obat di warung 139 36.8
Diobati sendiri 5 1.3
Memberi obat pada lubang 23 6.1
Lainnya 20 5.3
Tidak menjawab 191 50.5
Total 379 100


Tabel 4. Distribusi Frekuensi Penyuluhan terhadap Perilaku Mengobati Sendiri
Jenis Kegiatan Penyuluhan Kesehatan Gigi dan Mulut
Perilaku
Mengobati
Sendiri Pernah
Tidak
Pernah
Kadang-
Kadang
Tidak
Menjawab
Frek % Frek % Frek % Frek %
Beli Obat di
Warung 4 1,1 86 22,8 1 0,3 48 12.7
Diobati Sendiri - - 3 0.8 2 0.5 - -
Memberi Obat
pada Lubang - - 16 4.2 - - 7 1.9
Lainnya 4 1.1 15 4 - - 5 1.3
Tidak Menjawab - - 127 33.6 2 0.5 58 15.3
Total 8 2.2 247 65.3 5 1.3 118 31.2

Distribusi Angka Terjadinya Karies Berdasarkan Indeks Karies
Berdasarkan pemeriksaan indeks karies yang dilakukan melalui
pemeriksaan skor DMF-T pada 379 responden di Desa Mlokorejo didapatkan
bahwa indeks karies tertinggi pada interval usia 44-47 tahun sebesar 7,07 (sangat
tinggi) dengan jumlah 29 responden. Sedang indeks karies rendah didapatkan
pada usia 28-31 tahun sebesar 1,47 (53 responden) (tabel 5). Hal ini tidak sesuai
dengan pernyataan Budiharto (1998) bahwa semakin tingginya usia maka


PMI-3-12-6
pendidikannya relatif lebih tinggi, maka wawasan dan pengetahuan yang dimiliki
semakin luas, sehingga lebih mudah dalam menerima berbagai informasi yang
lebih baik atau positif untuk kesehatannya, terutama kesehatan gigi dan mulut. Hal
ini disebabkan bahwa tingkat pendidikan pada masyarakat Desa Mlokorejo
berdasarkan buku Profil Desa tahun 2005 rata-rata adalah tamatan SD, sehingga
tingkat pengetahuannya juga semakin kurang. Meskipun dalam praktek sehari-hari
perilaku menjaga kebersihan mulut dengan menyikat gigi sudah tinggi sebanyak
118 orang (31,2%) tetapi waktu pelaksanaan menyikat gigi masyarakat Desa
Mlokorejo tergolong kurang benar yaitu pagi dan sore hari setelah mandi sebesar
108 responden (28,6%) (tabel 6).

Tabel 5. Distribusi Frekuensi Umur terhadap Indeks Karies
USIA (thn)
SKOR
DMF-t
Jumlah
Sampel
Indeks
Karies Kriteria
12-15 49 30 1.63 Rendah
16-19 44 30 1.47 Rendah
20-23 69 34 2.02 Rendah
24-27 132 45 2.93 Sedang
28-31 78 53 1.47 Rendah
32-35 196 46 4.26 Sedang
36-39 120 32 3.75 Sedang
40-43 206 40 5.15 Tinggi
44-47 205 29 7.07 Sangat Tinggi
48-51 205 40 5.13 Tinggi
Total 1304 379 3.44 Sedang


Tabel 6. Distribusi Frekuensi Antara Frekuensi Menyikat Gigi terhadap Angka
Terjadinya Karies
Angka Kesakitan
Frekuensi
Menyikat Ya Tidak Tidak Menjawab
Frekuensi % Frekuensi % Frekuensi %
Total
1x 14 3.7 5 1.3 - -
2x 118 31.2 59 15.6 2 0.5
3x 108 28.6 58 15.3 - -
Lainnya 4 1.1 5 1.3 1 0.3
Tidak
Menjawab 2 0.5 2 0.5 - -
Total 246 65.1 129 34.1 3 0.8 379




PKMI-3-12-7
Hubungan Pengetahuan Terhadap Angka Terjadinya Karies
Berdasarkan hasil analisa dengan menggunakan distribusi frekuensi dan
diuji statistik dengan uji Spearman dengan tingkat signifikansi = 0,05 dan
tingkat kepercayaan sebesar 95% didapatkan hasil bahwa antara penyuluhan
dengan angka terjadinya karies tidak terdapat hubungan (rs
hitung
= -0,17).
Dikatakan tidak berhubungan karena rs
hitung
< 0,05. Tingkat signifikansi yang
didapat bertanda negatif hal ini menunjukkan semakin meningkat frekuensi
penyuluhan maka akan meningkatkan pengetahuan tentang kesehatan gigi dan
mulut yang berdampak menurunkan angka terjadinya karies.

Tabel 7. Distribusi Frekuensi Penyuluhan Terhadap Angka Terjadinya Karies
Penyuluhan
Kesehatan
Gigi dan
Mulut Angka Kesakitan Total
Ya Tidak
Tidak
Menjawab
Keterangan Frek % Frek % Frek % Frek %
Pernah 7 1.9 1 0.3 - 2.1 8 2.1
Tidak
Pernah 160 42.3 85 22.5 2 0.5 247 65.4
Kadang-
Kadang 3 0.8 2 0.5 - - 5 1.3
Tidak
Menjawab 76 20.1 41 10.8 1 0.3 118 31.2
Total 379 100

Hasil pengisian kuesioner yang berisi pengetahuan tentang kesehatan gigi
dan mulut melalui penyuluhan dan angka terjadinya karies dari 379 responden
didapatkan bahwa 160 orang (42,3%) yang tidak pernah mendapat penyuluhan
ternyata menderita sakit gigi. Sedang hanya 7 orang (1,9%) yang pernah mendapat
penyuluhan menderita sakit gigi (tabel 7). Hal ini menunjukkan bahwa masih
kurangnya pengetahuan tentang kesehatan gigi dan mulut masyarakat Desa
Mlokorejo usia 12-50 tahun, maka diperlukan suatu upaya untuk meningkatkan
pengetahuan masyarakat dengan meningkatkan penyuluhan, salah satunya dari
Puskesmas atau instansi kesehatan yang lain. Selain itu, juga diperlukan suatu
perubahan perilaku masyarakat dalam merawat giginya melalui praktek sehari-
hari karena kesehatan gigi dan mulut tidak hanya ditentukan oleh pengetahuannya
saja tetapi juga kesadaran untuk menjaga kebersihan gigi dan mulutnya.
Menurut Budiharto (1998), bahwa perubahan perilaku kesehatan gigi yang
terjadi pada individu atau masyarakat senantiasa melalui proses yang memerlukan
sumberdaya, baik tenaga pengajar atau orang yang mampu memberikan informasi,
sarana dan prasarana serta waktu yang diperlukan untuk berlangsungnya proses.
Hal ini juga senada dengan yang diungkapkan Haditomo dalam Suwelo (1992)
yang menyatakan bahwa mengubah sikap dan perilaku seseorang harus didasari
motivasi tertentu sehingga yang bersangkutan mau melakukannya secara sukarela.
Oleh karena itu, perlu adanya suatu motivasi peningkatan pengetahuan kesehatan
gigi dan mulut pada masyarakat Desa Mlokorejo ini oleh petugas kesehatan dari


PMI-3-12-8
Puskesmas atau pihak yang terkait (dalam hal ini dokter gigi), misalnya melalui
kegiatan penyuluhan kesehatan gigi dan mulut.

KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan pada
bab-bab sebelumnya, dapat ditarik kesimpulan bahwa masyarakat usia 12-50
tahun di Desa Mlokorejo Kecamatan Puger mempunyai pengetahuan kesehatan
gigi dan mulut sebesar 2,1%. Masyarakat Desa Mlokorejo usia 12-50 tahun
mempunyai perilaku mengobati sendiri keluhan sakit gigi sebesar 44,2 %.
Masyarakat Desa Mlokorejo usia 12-50 tahun mempunyai indeks karies rata-rata
3,44 dan termasuk kriteria sedang, serta tidak terdapatnya hubungan antara
penyuluhan dengan perilaku mengobati sendiri dan angka terjadinya karies.

DAFTAR PUSTAKA
Budiharto. 1998. Kontribusi Usia, Pendidikan, Jumlah Anak, Status Ekonomi
Keluarga, Pemanfaatan Fasilitas Kesehatan Gigi dan Pendidikan
Kesehatan Gigi Terhadap Perilaku Ibu. Jurnal Kedokteran Gigi
Universitas Indonesia 5 (2). Jakarta
Hariwijaya, M. & Djaelani, B. M. 2004. Teknik Menulis Skripi dan Thesis.
Jogjakarta : Zenith Publisher.
Houwink, B., Dirks, B.O., Cramwinckel. 1984. Preventieve Tandheelkunde.
Dalam Suryo, S. (Penyadur). Ilmu Kedokteran Gigi Pencegahan.
Jogjakarta : UGM Press.
Kidd, E. A. M., Bechal, S. J. 1992. Essentials of Dental Caries (The Disease and
Its Management ). Dalam Sumawinata (Penyadur) N. & Faruk, S. Dasar-
dasar Karies (penyakit dan penangggulangannya). Jakarta : EGC.
Muninjaya, A. A. G. 2004. Manajemen Kesehatan edisi 2. Jakarta : EGC
Notoatmodjo, S. 2005. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta : PT Asdi
Mahasatya.
Suwelo, Ismusuharsono. 1992. Karies Gigi pada Anak dengan Pelbagai Faktor
Etiologi. Jakarta : EGC
Tarigan, R. 1992. Karies Gigi. Jakarta : Hipokrates
Tjitarsa, I. B. 1992. Pendidikan Kesehatan Edisi 1. Bandung : Penerbit ITB dan
Udayana


PKMI-3-13-1
PELATIHAN MEMBUAT LAMPU HIAS DAN
MAKET RUMAH PANGGUNG BERBAGAI MODEL DAN BENTUK
DENGAN MEMANFAATKAN LIMBAH KAYU TUSUK ES CRIM
PADA ANAK JALANAN DI KOTA MAKASSAR

Misbahuddin, Fadli, Hasbullah
Teknik Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Negeri Makassar

ABSTRAK
Tujuan program ini adalah: (1) Terciptanya anak jalanan yang kreatif dan
inovatif dalam memanfaatkan kayu tusuk es crim yang terbuang percuma menjadi
komuditas bernilai ekonomi yaitu lampu hias dan maket rumah panggung dari
limbah kayu tusuk es crim berbagai model dan bentuk untuk berbagai kebutuhan
ruang, (2) Terciptanya anak jalanan yang mempunyai pengetahuan, dan terampil
membuat lampu hias dan maket rumah panggung berbagai model dan bentuk
dengan memanfaatkan limbah kayu tusuk es crim untuk berbagai kebutuhan
ruang yang dapat bernilai ekonomi. Khalayak sasaran dalam program ini adalah
anak jalanan di Kota Makassar. Metode yang digunakan dalam penyampaian
materi penyuluhan adalah metode ceramah, diskusi dan tanya jawab, untuk
pelatihan digunakan metode demonstrasi. Hasil yang dicapai adalah: (1) Anak
jalanan memiliki pengetahuan dalam hal pemanfaatan limbah kayu tusuk es crim
untuk dibuat lampu hias dan maket rumah panggung untuk berbagai kebutuhan
ruang yang dapat bernilai ekonomi, (2) Anak jalanan memiliki keterampilan
membuat lampu hias dan maket rumah panggung berbagai model dan bentuk
dengan memanfaatkan limbah kayu tusuk es crim untuk berbagai kebutuhan
ruang yang dapat bernilai ekonomi

Kata Kunci: memanfaatkan, limbah, kayu tusuk es crim.

PENDAHULUAN
Pegangan tusuk es crim banyak ditemukan dimana-mana, karena pemakan
es baik anak-anak maupun orang dewasa setelah habis dimakan esnya, kayu
pegangan tusuk esnya langsung dibuang begitu saja baik pada halaman rumah, di
pinggir jalan maupun pada kave, maupun pada temat-tempat acara perkawinan
yaitu hanya dibuang begitu saja sehingga menjadi sampah dan merupakan
permasalahan lingkungan.
Limbah kayu pegangan tusuk es crim tersebut masih memungkinkan
dibuat atau dimanfaatkan menjadi barang bernilai ekonomi, hanya saat ini belum
banyak yang melihatnya sebagai barang yang bernilai ekonomi, misalnya
membuat lampu hias, maket rumah panggung, bingkai foto, vas kembang, tempat
guci-guci, tempat parsel, mainan anak-anak, dan bahkan dapat dimanfaatkan
sebagai hiasan dinding berbagai bentuk/model dan prototype serta bernilai seni
untuk kepentingan ruang.
Survei yang dilakukan pada 2 (dua) Dekolah Dasar (SD) Kompleks IKIP
Makassar (sekarang Universitas Negeri Makassar), dinyatakan bahwa dalam satu
hari ditemukan 50 70 pegangan tusuk es srim yang dibuang ke tempat sampah.
Jadi dalam 1 (satu) bulan diperkirakan 1500 buah pegangan tusuk es crim yang
dibuang tiap sekolah. Kebutuhan pegangan tusuk es crim dalam satu hiasan yang
berbentuk lampu hias rata-rata 50 buah, dan maket rumah panggung rata-rata 70

PKMI-3-13-2
buah (uji coba yang dilakukan di Studio Kerja Maket Teknik Arsitektur Fakultas
Teknik Universitas Negeri Makassar, September 2003). Oleh karena itu pegangan
tusuk es crim ini sangat potensil untuk dirakit menjadi hiasan yang bernilai
ekonomi dan seni.
Menurut salah satu pimpinan pada Dinas Sosial Kota Makassar yang
membidangi anak-anak jalanan dan anak terlantar, mengatakan bahwa peluang
anak jalanan untuk mendapatkan pekerjaan yang dapat menghidupi diri dan
keluarganya akan sangat besar bila diberikan kepada mereka pelatihan
keterampilan yang bernilai ekonomi. Dan selama ini belum ada yang menawarkan
kepada kami untuk memberikan keterampilan kerajinan pada anak jalanan dan
anak terlantar. Oleh karena itu harapan saya sebagai pimpinan yang membidangi
anak-anak jalanan dan anak terlantar), kiranya anak-anak jalanan dan anak
terlantar di Kota makassar memiliki pengetahuan dan keterampilan, apakah
keterampilan kerja kayu, dan kerajinan lainnya. Dengan keterampilan anak
jalanan dan anak terlantar yang dimilikinya itu memungkinkan nantinya madiri
dan bisa berwirausaha (wawancara Agustus 2002).
Sebagai mahasiswa yang sementara mengikuti kuliah pada Jurusan Teknik
Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Negeri Makassar dimana telah kami
mendapatkan mata kuliah Rupa dasar, Nirmana ruang dan Nirmana datar (tekstur
dan hiasan dinding), Studio Perancangan Arsitektur (desain bangunan rumah
tinggal, maket rumah tradisional, hotel, restoran, dan cafe), Kerja maket prabot
dan bangunan, Fisika bangunan (pencahayaan buatan termasuk berapa lumen
yang dibutuhkan cahaya dalam ruang).
Khusus dalam mata kuliah interior dan pencahayaan telah kami dapatkan
bagaimana menempatkan posisi lampu yang menarik dipandang dan sesuai
peruntukan ruangnya serta berapa lumen serta watt yang dibutuhkan ruang/kamar
sesuai dengan fungsinya. Mata kuliah interior dan pencahayaan ini, dosen
mengarahkan pada berbagai peruntukkan atau fungsinya misalnya untuk rumah
tinggal, penginapan, hotel, kantin, restoran, kafe, dan mall.
Sedangkan mata kuliah Rupa dasar, Nirmana ruang dan Nirmana datar,
mahasiswa dituntut bisa berkreasi dalam memanfaatkan barang yang tidak
berguna, menjadi barang atau hiasan yang bisa menjadi suatu karya seni yang
dipandang artistik. Begitupun mata kuliah kerja maket, mahasiswa membuat
gambar fisik karya arsitektur, dan dituntut membuat maket karya tersebut dengan
skala kecil (maket rumah panggung, gedung, kompleks perumahan, dan lain-lain).
Pengalaman lain yang kami alami yakni membuat lampu hias dan maket
rumah panggung dari limbah kayu gergajian. Dari sinilah lahir pemikiran bahwa
mungkin ada baiknya limbah-limbah kayu pegangan tusuk es yang terbuang dapat
pula dibuat berbagai model dan bentuk hiasan ruangan berupa lampu hias, dan
souvenir maket rumah panggung untuk berbagai kepentingan ruang yaitu pada
rumah tinggal, restaurant, penginapan, hotel, kave, dan lain-lain sebagainya. Dan
kami juga sudah pernah membuat tugas mata kuliah Nirmana ruang dan datar
yaitu membuat lampu hias dan maket rumah panggung dengan memanfaatkan
kayu pegangan tusuk es crim, dan kami uji cobakan pada Studio Kerja Maket
Teknik Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Negeri Makassar, dengan benbagai
model dan bentuk hiasan ruangan berupa lampu hias, dan souvenir maket rumah
panggung dari kayu pegangan tusuk es crim, hasilnya bagus dan memuaskan.
Desain tersebut disamping bernilai seni yang tinggi juga bernilai ekonomi.

PKMI-3-13-3
Dengan demikian lampu hias dan souvenir maket rumah panggung dan limbah
kayu tusuk es dapat diberikan keterampilan pada anak-anak jalanan dan anak
terlantar di Kota Makassar.
Setelah anak jalanan terampil membuat lampu hias dan maket rumah
panggung berbagai model dengan memanfaatkan kayu tusuk es crim
memungkinkan setiap anak jalanan dapat membuat 1 (satu) buah lampu hias atau
maket rumah panggung, jadi satu bulan (dianggap 24 hari) dapat dibuat 24
buah/bulan/orang, dengan harga Rp.25.000/buah, jadi 24 x Rp. 25.000 = Rp.
600.000. Dan kira-kira bahan yang digunakan Rp. 5 000/ buah, jadi 24 x
Rp. 5.000 = Rp. 120.000,- . Jadi dengan demikian setiap anak jalanan setelah
terampil dapat memperoleh penghasilan /bulan yaitu: Rp. 600.000 - Rp. 120.000 =
Rp. 480.000/orang/bulan.. Penghasilan yang didapatkan melalui keterampilan
membuat lampu hias dan maket rumah panggung ini dapat meningkatkan taraf
hidup anak jalanan.
Oleh karena itu masalah program ini adalah sebagai berikut: (1) Tusuk es
crim seperti tusuk es miami, tusuk es wals dan lain-lain dari berbagai ukuran
ternyata tidak dimanfaatkan oleh masyarakat menjadi barang bernilai ekonomi
seperti halnya hiasan ruangan seperti: lampu hias, dan souvenir maket rumah
panggung berbagai model dan bentuk untuk berbagai kebutuhan ruang, (2)
Adanya permintaan dari Dinas Sosial yang menangani anak jalanan dan anak
terlantar mengatakan bahwa peluang anak jalanan untuk mendapatkan pekerjaan
yang dapat menghidupi diri dan keluarganya akan sangat besar bila diberikan
kepada mereka pelatihan keterampilan yang bernilai ekonomi, (3) Adanya
pengalaman mata kuliah seperti rupa dasar, nirmana ruang dan datar, studio
perancangan arsitektur, dan kerja maket, dan pencahayaan buatan yang telah kami
alami, sehingga kami berkeinginan untuk memanfaatkan tusuk es crim berbagai
ukuran menjadi hiasan ruang seperti: lampu hias, dan souvenir maket rumah
panggung berbagai model dan bentuk untuk berbagai untuk berbagai kebutuhan
ruang, (4) Anak jalanan tidak terampil mendesain lampu hias dan maket rumah
panggung berbagai model dan bentuk dengan memanfaatkan limbah kayu tusuk es
crim untuk berbagai kebutuhan ruang yang dapat bernilai ekonomi, (5) Anak
jalanan tidak terampil membuat rangka lampu hias dan maket rumah panggung
berbagai model dan bentuk dengan memanfaatkan limbah kayu tusuk es crim
untuk berbagai kebutuhan ruang yang dapat bernilai ekonomi, (6) Anak jalanan
tidak terampil merakit rangka lampu hias dan maket rumah panggung berbagai
model dan bentuk dengan memanfaatkan limbah kayu tusuk es crim untuk
berbagai kebutuhan ruang yang dapat bernilai ekonomi, (7) Anak jalanan tidak
terampil pekerjaan finishing lampu hias dan maket rumah panggung berbagai
model dan bentuk dengan memanfaatkan limbah kayu tusuk es crim untuk
berbagai kebutuhan ruang yang dapat bernilai ekonomi.
Tujuan program ini adalah sebagai berikut: (1) Terciptanya anak-anak
jalanan yang mempunyai pengetahuan, dan terampil membuat lampu hias dan
maket rumah panggung berbagai model dan bentuk dengan memanfaatkan limbah
kayu tusuk es crim untuk berbagai kebutuhan ruang yang dapat bernilai ekonomi,
(2) Terciptanya anak jalanan terampil mendesain lampu hias dan maket rumah
panggung berbagai model dan bentuk dengan memanfaatkan limbah kayu tusuk es
crim untuk berbagai kebutuhan ruang yang dapat bernilai ekonomi, (3)
Terciptanya anak jalanan terampil membuat rangka lampu hias dan maket rumah

PKMI-3-13-4
panggung berbagai model dan bentuk dengan memanfaatkan limbah kayu tusuk es
crim untuk berbagai kebutuhan ruang yang dapat bernilai ekonomi, (4)
Terciptanya anak jalanan terampil merakit rangka lampu hias dan maket rumah
panggung berbagai model dan bentuk dengan memanfaatkan limbah kayu tusuk es
crim untuk berbagai kebutuhan ruang yang dapat bernilai ekonomi, (5)
Terciptanya anak jalanan terampil pekerjaan finishing lampu hias dan maket
rumah panggung berbagai model dan bentuk dengan memanfaatkan limbah kayu
tusuk es crim untuk berbagai kebutuhan ruang yang dapat bernilai ekonomi, (6)
Terciptanya anak jalanan yang kreatif dan inovatif dalam memanfaatkan kayu
tusuk es crim yang terbuang percuma menjadi komuditas bernilai ekonomi yaitu:
lampu hias, dan souvenir maket rumah panggung dengan berbagai model dan
bentuk untuk berbagai kebutuhan ruang yang dapat dikomsumsi setiap rumah
tangga, restaurant, penginapan, hotel, kafe dan lain-lain sebagainya.

Alat yang digunakan Keterampilan Kerajinan Kayu Tusuk Es Crim
Alat yang dibutuhkan dalam pekerjaan pembuatan kerajinan hiasan dari
limbah kayu tusuk es crim yaitu: (1) Alat-alat bermesin seperti: bor listrik, dan
lain-lain, (2) Alat-alat tanpa mesin (alat-alat tangan) seperti: gergaji, gergaji
punggung, bor tangan, catter, parang, pisau, siku, meter dan lain-lain (Janto 1979).
Selanjutnya dikatakan bahwa alat-alat ini juga digunakan sebagai alat membuat
kerajinan kayu yaitu kerajinan tangan hiasan dari limbah kayu tusuk es crim
berbagai model dan bentuk yang akan dibuat yaitu: membuat lampu hias dan
maket rumah panggung berbagai model dan bentuk serta prototype yang bernilai
seni dan ekonomi untuk berbagai kepentingan.

Pemanfaatan Limbah Kayu Tusuk Es Crim
Kerajinan tangan hiasan misalnya: lampu hias dan maket rumah panggung
dan lain-lain dengan memanfaatkan limbah kayu tusuk es crim (Wilkening, 1993;
Gunawan 1986). Kerajinan tangan hiasan dari limbah kayu tusuk es crim dapat
dimodel atau dibuat sesuai dengan keinginan orang atau pembuatnya. Sangat
tergantung pada sudut mana orang melihatnya sebagai suatu karya seni. Jenis
kerajinan tangan dari limbah kayu tusuk es crim berbagai model dan bentuk yang
dapat bernilai seni dan ekonomi: lampu hias, maket rumah panggung dan lain-
lain.

Hiasan Ruangan
Kerajinan tangan hiasan dari limbah kayu tusuk es crim berbagai model
dan bentuk yang dapat bernilai seni dan ekonomi, misalnya lampu hias dan maket
rumah panggung dan lain-lain yang .bernilai seni dan ekonomi, misalnya
membuat lampu hias dan maket rumah panggung dan lain-lain., dapat
ditempatkan diatas meja atau pada dinding sudut ruangan yang memperindah
ruangan yaitu; ruang tamu, ruang keluarga, ruang santai, ruang makan, ruang
tunggu dan lain-lain (Wilkening, 1994, Gunawan, 1986). Selanjutnya (Sampurno,
Edi. 1978) menyatakan hiasan apa saja yang bernilai seni dan artistik merupakan
hiasan yang dapat ditempatkan pada berbagai keguanaan pada rumah tinggal,
kantor, restoran, kafe, penginapan dan lain sebagainya, hanya disesuaikan model,
keguanaan, dan fungsi ruangan.
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa: kerajinan tangan
hiasan dari limbah kayu tusuk es crim berbagai model dan bentuk yang

PKMI-3-13-5
menggunakan landasan dapat ditempatkan pada ruang tamu, ruang keluarga,
ruang makan, ruang santai pada rumah tinggal untuk menghiasi meja, sudut-sudut
ruang, hiasan pada dinding dan lain-lain sehingga memper-indah ruangan, dan
juga merupakan hiasan pada berbagai keguanaan pada kantor, restoran, hotel,
kafe, penginapan dan lain sebagainya. Dengan demikian keterampilan kerajinan
tangan hiasan dari limbah kayu tusuk es crim berbagai model dan bentuk yang
dapat bernilai seni dan ekonomi, misalnya lampu hias dan maket rumah panggung
dan lain-lain, dapat diterapkan dan merupakan keterampilan kerajinan tangan
hiasan dengan memanfaatkan limbah kayu tusuk es crim yang terbuang percuma
menjadi hiasan artistik dapat diberikan sebagai keterampilan kerajinan tangan
hiasan pada anak jalanan di Kota Makassar, karena merupakan komoditi yang
sangat bernilai seni dan ekonomi.

Nilai Ekonomis
Kerajinan tangan dari limbah kayu tusuk es crim berbagai model dan
bentuk, dapat menambah penghasilan meningkatkan pendapatan pengrajin kayu
dan bersaing dipasaran sehingga dapat meningkatkan pendapatan pengrajin kayu
dan pengusaha kerajinan kayu.
Atas dasar uraian tersebut diatas maka anak jalanan di Kota Makassar
perlu diberikan pelatihan keterampilan kerajinan tangan hiasan dengan
memanfaatkan limbah kayu tusuk es crim berbagai model dan bentuk yang dapat
bernilai seni dan ekonomi, misalnya lampu hias dan maket rumah panggung dan
lain-lain. Jika mereka terampil membuat berbagai macam bentuk dan model
hiasan dari limbah kayu tusuk es crim, maka mereka akan menjual ke pasar, dan
toko-toko souvenir sehingga mendapatkan nilai tambah dan meningkatkan
kehidupannya, bahkan bisa menjadi pengusaha hiasan kerajian tangan dari kayu
tusuk es crim.
Berdasarkan uraian tersebut diatas, untuk memberikan keterampilan
kerajinan tangan hiasan dari limbah kayu tusuk es crim berbagai model dan
bentuk yang dapat bernilai seni dan ekonomi, misalnya lampu hias dan maket
rumah panggung dan lain-lain pada anak jalanan di Kota Makassar terlebih dahulu
memperkenalkan alat-alat kerajinan tangan yang cocok digunakan, dan
mempraktekkan cara mengoperasikan dan mengasah alat-alat kerja kerajinan
tangan dengan baik dan benar untuk pembuatan kerajinan tangan hiasan dari
limbah kayu tusuk es crim berbagai model dan bentuk yang dapat bernilai seni
dan ekonomi, untuk kebutuhan berbagai kepentingan ruang.

BAHAN DAN METODE
Bahan dan alat yang digunakan dalam keterampilan membuat lampu hias
dan maket rumah panggung berbagai model dan bentuk dengan memanfaatkan
limbah kayu tusuk es crim untuk berbagai kebutuhan ruang yang dapat bernilai
ekonomi adalah sebagai berikut:
1) Bahan: limbah tusuk es crim, multipleks, karfet, kaca polos, vitting lampu,
kabel, saklar, stop kontak, balon kecil 5 wat, paku, lem fox putih, lem fox
bening, dan lem alteco, lem kaca, minyak cet, pelitur/vernis dan bahan lain.
2) Peralatan: ketam, gergaji, mesin bor, mata bor, pahat, pisau catter, palu besi,
pemotong kaca, tang, obeng, mistar siku, pensil, amplas, dan peralatan lain.

PKMI-3-13-6
Khalayak sasaran dalam program ini adalah anak jalanan yang dikoordinir
oleh pengelola rumah singgah Insan Cita Kota Makassar (khalayak sasaran yang
dilatih langsung).
Metode utama yang ditempuh dalam kegiatan ini adalah: (1) Pada saat
pemberian materi penyuluhan pembuatan dan desain lampu hias dan maket rumah
panggung berbagai model dan bentuk dengan memanfaatkan limbah kayu tusuk es
crim untuk berbagai kebutuhan ruang yang dapat bernilai ekonomi metode yang
digunakan adalah; ceramah, diskusi, tanya jawab, dan simulasi, (2) Pada saat
pelatihan membuat lampu hias dan maket rumah panggung berbagai model dan
bentuk dengan memanfaatkan limbah kayu tusuk es crim untuk berbagai
kebutuhan ruang yang dapat bernilai ekonomi, metode yang digunakan adalah
demonstrasi.
Metode demonstrasi digunakan untuk mendemonstrasikan membuat lampu
hias dan maket rumah panggung berbagai model dan bentuk dengan
memanfaatkan limbah kayu tusuk es crim, diterangkan dahulu cara memilik
bahan, langkah kerja, dimensi, bahan dan alat yang digunakan. Disini khalayak
sasaran ikut langsung melakukan, mengerjakan setiap jenis pekerjaan bersama
dengan mahasiswa. Pada saat itu juga terjadi diskusi, terutama sekali yang
menyangkut sistimatika pekerjaan tersebut.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil yang dicapai adalah: (1) Anak jalanan memiliki pengetahuan dalam
hal lampu hias dan maket rumah panggung berbagai model dan bentuk dengan
memanfaatkan limbah kayu tusuk es crim untuk berbagai kebutuhan ruang yang
dapat bernilai ekonomi, yaitu: (a) Memiliki pengetahuan tentang pemilihan bahan
untuk pembuatan lampu hias dan maket rumah panggung berbagai model dan
bentuk dengan memanfaatkan limbah kayu tusuk es crim untuk berbagai
kebutuhan ruang yang dapat bernilai ekonomi, (b) Memiliki pengetahuan tentang
pembuatan lampu hias dan maket rumah panggung berbagai model dan bentuk
dengan memanfaatkan limbah kayu tusuk es crim untuk berbagai kebutuhan ruang
yang dapat bernilai ekonomi. Konstruksi lampu hias yaitu: membuat landasan
lampu hias dari papan atau multipleks, memotong tusuk es crim sesuai desain,
memasang rangka lampu hias, memasang plastic atau vaiber pada dinding lampu
hias, memasang instalasi listrik lampu hias, memasang vitting lampu pada bagian
dalam lampu hias, memasang kap lampu hias, finishing dan vernis/pelitur.
Konstruksi maket rumah panggung yaitu: membuat landasan maket rumah
panggung dari papan atau multipleks, memotong tusuk es crim sesuai desain,
memasang rangka rumah panggung, memasang plastic ataiu vaiber pada dinding
jendela rumah panggung, memasang instalasi lintrik rumah panggung, memasang
vitting lampu pada bagian dalam rumah panggung, memasang kap atau penutup
atap maket rumah panggung, finishing dan vernis/pelitur, (2) Anak jalanan
memiliki keterampilan membuat lampu hias dan maket rumah panggung berbagai
model dan bentuk dengan memanfaatkan limbah kayu tusuk es crim untuk
berbagai kebutuhan ruang yang dapat bernilai ekonomi, yaitu: (a) Terampil
memilih bahan untuk pembuatan lampu hias dan maket rumah panggung berbagai
model dan bentuk dengan memanfaatkan limbah kayu tusuk es crim untuk
berbagai kebutuhan ruang yang dapat bernilai ekonomi, (b) Terampil membuat
lampu hias dan maket rumah panggung berbagai model dan bentuk dengan

PKMI-3-13-7
memanfaatkan limbah kayu tusuk es crim untuk berbagai kebutuhan ruang yang
dapat bernilai ekonomi. Konstruksi lampu hias yaitu: membuat landasan lampu
hias dari papan atau multipleks, memotong tusuk es crim sesuai desain,
memasang rangka lampu hias, memasang plastic atau vaiber pada dinding lampu
hias, memasang instalasi listrik lampu hias, memasang vitting lampu pada bagian
dalam lampu hias, memasang kap lampu hias, finishing dan vernis/pelitur.
Konstruksi maket rumah panggung yaitu: membuat landasan maket rumah
panggung dari papan atau multipleks, memotong tusuk es crim sesuai desain,
memasang rangka rumah panggung, memasang plastic ataiu vaiber pada dinding
jendela rumah panggung, memasang instalasi lintrik rumah panggung, memasang
vitting lampu pada bagian dalam rumah panggung, memasang kap atau penutup
atap maket rumah panggung, finishing dan vernis/pelitur. Selain itu motivasi
khalayak sasaran bersama anggota tim cukup tinggi mengikuti penyuluhan dan
pelatihan dari awal sampai selesai.
Program ini dianggap juga berhasil karena: (1) Khalayak sasaran tidak
menemukan kesulitan dalam memahami materi penyuluhan dan pelatihan yang
diberikan, (2) Khalayak sasaran berkeinginan menerapkan membuat lampu hias
dan maket rumah panggung berbagai model dan bentuk dengan memanfaatkan
limbah kayu tusuk es crim untuk berbagai kebutuhan ruang yang dapat bernilai
ekonomi ini pada rumahnya masing-masing, (3) Khalayak sasaran berkeinginan
untuk menyampaikan penerapan membuat lampu hias dan maket rumah panggung
berbagai model dan bentuk dengan memanfaatkan limbah kayu tusuk es crim
untuk berbagai kebutuhan ruang yang dapat bernilai ekonomi kepada khalayak
sasaran yang lain (yang tidak sempat ikut penyuluhan dan pelatihan).

KESIMPULAN
Berdasarkan penyuluhan dan pelatihan dilapangan, maka dapat
disimpulkan sebagai berikut: (1) Anak jalanan yang mempunyai pengetahuan
membuat lampu hias dan maket rumah panggung berbagai model dan bentuk
dengan memanfaatkan limbah kayu tusuk es crim untuk berbagai kebutuhan ruang
yang dapat bernilai ekonomi, (2) Anak jalanan terampil mendesain lampu hias dan
maket rumah panggung berbagai model dan bentuk dengan memanfaatkan limbah
kayu tusuk es crim untuk berbagai kebutuhan ruang yang dapat bernilai ekonomi,
(3) Anak jalanan terampil membuat rangka lampu hias dan maket rumah
panggung berbagai model dan bentuk dengan memanfaatkan limbah kayu tusuk es
crim untuk berbagai kebutuhan ruang yang dapat bernilai ekonomi, (4) Anak
jalanan terampil merakit rangka lampu hias dan maket rumah panggung berbagai
model dan bentuk dengan memanfaatkan limbah kayu tusuk es crim untuk
berbagai kebutuhan ruang yang dapat bernilai ekonomi, (5) Anak jalanan terampil
pekerjaan finishing lampu hias dan maket rumah panggung berbagai model dan
bentuk dengan memanfaatkan limbah kayu tusuk es crim untuk berbagai
kebutuhan ruang yang dapat bernilai ekonomi.

DAFTAR PUSTAKA
Gunawan. 1986. Mebel Kayu Lapis . Rancangan Disain, Bahan-bahan yang
Dipakai, dan Tahap Pelaksanaan. Jakarta: PT. Gramedia
Gunawan. 1986. Mebel Praktis . Disain Kayu Lapis yang Unik dan Serba Guna.
Jakarta: PT. Gramedia

PKMI-3-13-8
Mardanas, Izarisma. Dkk. (1985/1986). Arsitektur Rumah Tradisional Daerah
Sulawesi Selatan, Ujung Pandang,: Depdikbud.
Sampurno, Edi. 1978. Beberapa Rancangan Mebel Kayu Lapis. Jakarta: PT.
Gramedia
Subarkah, I. 1988. Konstruksi Bangunan Gedung. Bandung : Idea Dharma
Bandung.
Sugiharjo, 1975, Gambar-gambar Konstruksi Bangunan Gedung,
Jakarta. CV. Teknik
Supriadi. et.al. 1991. Profil Teknologi Padat Karya. Jakarta: Pengembangan
Sumber daya Manusia
Supribadi. I.K. 1986. I lmu Bangunan Gedung. Bandung. Armico.
Sumadi. 1981, Konstruksi Kayu. Bandung: Institut Teknologi Bandung
Wilkening, F. 1987. Tata Ruang. Pendidikan Industri Kayu. Semarang : Kanisius.


PKMI-3-14-1
PENGEMASAN LIRIK LAGU POPULAR DEWASA DALAM VERSI
ANAK SEBAGAI UPAYA MENTRANSFORMASIKAN NILAI-NILAI
EDUKATIF KEPADA ANAK JALANAN

Maulana Yudha Anggara, Yukhi Septiyanti, Lukmanul Hakim Daulay
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara, Medan

ABSTRAK
Pemberian materi yang bersifat edukatif kepada anak-anak tidak harus melalui
lembaga pendidikan formal. Pembelajaran nilai-nilai pendidikan dapat pula
diintegrasikan melalui hal-hal yang bersifat menghibur dan dirasa tidak
memberatkan anak-anak. Salah satunya melalui media Lagu, yaitu dengan
memanfaatkan lagu-lagu yang sedang diminati anak-anak. Jika diperhatikan, saat
ini banyak sekali anak-anak jalanan yang gemar terhadap lagu-lagu remaja atau
dewasa yang penuh dengan nilai-nilai romantisme, cinta, kekerasann dan
arogansi yang sebenarnya belum pantas untuk mereka terima. Hingga akhirnya
lirik dari lagu-lagu tersebut mereka serap didalam otak. Didalam otak dan
ditransfer kedalam intelektual mereka sehingga akhirnya terbentuk menjadi
tingkah laku. padahal hal itu dapat membawa dampak negatif bagi anak-anak
karena memang makna dari syair-syairnya tersebut tidak sesuai dengan
perkembangan kognitif anak. Dengan melihat hal itu maka diperlukan suatu
metode untuk mengubah dampak negatif tersebut menjadi sesuatu yang positif,
yaitu melalui pengemasan lagu-lagu yang disukai anak-anak tetapi menggunakan
lirik yang berbeda dari lagu aslinya dan diganti dengan lirik yang bersifat
edukatif. Tujuan dari penelitian pengemasan lirik lagu popular dewasa dalam
versi anak ini agar dapat mengubah bahasa anak menjadi lebih santun,dengan
mengetahui nilai-nilai yang positif dari lagu tersebut, mengetahui faktor yang
membentuk kepribadian seorang anak, serta cara yang dapat digunakan untuk
mentransformasi nilai edukatif pada anak. Metode yang dipakai adalah penelitian
kualitatif dengan pendekatan fenomenologis. Penggunaan media ini terbukti
efektif karena memang telah disosialisasikan kepada anak-anak Jalanan. Jadi
manfaat dari media lagu bukan hanya untuk menghibur perasaan anak-anak
tetapi dapat juga mengintegrasikan hal-hal yang bersifat edukatif terhadap anak-
anak.

Kata kunci : Pengemasan Lirik, Perkembangan Kognitif Anak, Nilai-nilai
Edukatif, Anak Jalanan.

PENDAHULUAN
Dewasa ini pengetahuan merupakan hal yang sangat penting dan wajib
dimiliki oleh setiap orang. Semakin tinggi pengetahuan yang dimiliki seseorang
maka akan semakin berharga orang itu di mata masyarakat, akan tetapi saat ini
proses integrasi ilmu pengetahuan kebanyakan masih bersifat monoton, yaitu
melalui pendidikan formal di sekolah yang dirasa masih kurang efektif karena
banyaknya materi pelajaran yang harus dimengerti olah para siswa. Belum lagi
permasalahan yang ditimbulkan dari proses kegiatan belajar mengajar di sekolah
seperti: mengantuk, metode pengajaran guru yang membosankan dan lain-lain.

PKMI-3-14-2
Padahal apabila proses pengintegrasian ilmu pengetahuan itu dikemas dengan
lebih ringan dan menghibur, maka anak-anak dapat lebih mudah untuk mengerti
dan mengingat materi pelajaran.
Ada beberapa metode lain untuk mengintegrasikan ilmu pengetahuan
kepada anak-anak yang lebih mudah dicerna dan diingat oleh anak-anak, salah
satunya adalah dengan memanfaatkan media lagu yang menggunakan lagu-lagu
yang sedang diminati oleh anak-anak, tetapi memakai lirik yang mengandung
nilai-nilai edukatif. Karena lagu-lagu yang dipakai adalah lagu-lagu yang sudah
tidak asing lagi ditelinga anak-anak dan memang sudah digemari sebelumnya,
maka hal ini akan mempermudah proses integrasi ilmu pengetahuan terhadap
anak-anak. Selain itu metode inipun sesuai dengan perkembangan kognitif anak.
Karena menurut tinjauan psikologis, penyajian materi ajar harus disesuaikan
dengan tahap perkembangan kognitif anak, jika tidak sesuai dengan hal tersebut,
dikhawatirkan akan mengakibatkan anak mempunyai pendapat dan penilaian yang
absolut dalam menilai sesuatu. Dengan demikian apabila anak menerima materi
yang tidak sesuai dengan tahap perkembangan kognitifnya, maka proses
pembelajaran bisa menjadi kurang efektif bahkan kontra produktif.
Keadaan yang terlihat saat ini adalah banyak sekali anak-anak yang putus
sekolah yang disebabkan oleh berbagai faktor, misalnya masalah biaya pendidikan
yang terbilang mahal dan lain sebagainya. Penulis mengambil contoh anak
jalanan, Anak-anak jalanan bisa saja mendengarkan lagu-lagu tersebut dan dapat
terekam dalam memori mereka. Sehingga dapat membawa dampak negatif bagi
anak jalanan, karena memang makna dari syair-syairnya tersebut tidak sesuai
dengan perkembangan kognitif anak. Idealnya, materi yang diintegrasikan dengan
nilai-nilai pendidikan harus disesuaikan dengan taraf kemampuan kognitif anak
dalam menyerap materi-materi yang diberikan.
Untuk menjawab persoalan di atas, ada beberapa perumusan permasalahan
yang diajukan yaitu :
1. Bentuk dan nilai-nilai apa saja yang terkandung pada lirik lagu popular
dewasa?
2. Apakah faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan kepribadian anak
pada lirik lagu popular dewasa?
3. Bagaimana cara mentransformasikan nilai-nilai edukatif yang ada pada
lirik lagu kepada anak jalanan?
Tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui bentuk dan nilai-nilai apa saja yang terkandung pada
lirik lagu popular dewasa.
2. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi
pembentukankepribadian anak pada lirik lagu popular dewasa.
3. Untuk mengetahui dan menganalisis bagaimana cara mentransformasikan
nilai-nilai edukatif yang ada pada lirik lagu kepada anak jalanan.

METODE PENDEKATAN
I. Bentuk dan Strategi Penelitian
Metode yang dipakai adalah penelitian kualitatif dengan pendekatan
fenomenologis. Melalui pendekatan fenomonologis ini peneliti berusaha untuk
bisa masuk kedalam dunia konseptual subjek penelitiannya agar dapat memahami
bagaimana dan apa makna yang disusun subjek tersebut disekitar kejadian-

PKMI-3-14-3
kejadian dalam kehidupan kesehariannya. Dengan fenomenologi akan terjadi
interaksi dengan orang lain. Maka makna dari pengalaman itulah yang
membentuk kenyataan atau realitas. Hasil dari pendekatan fenomonologis peneliti
melihat dampak negatif yang sangat perlu untuk segera dicarikan pemecahannya.
Dampak tersebut adalah anak-anak jalanan seolah-olah telah menjadi orang
dewasa dalam bentuk miniatur.

II. Objek /Fokus penelitian
Objek atau Fokus pada penelitian ini adalah semua anak jalanan usia 2 7
tahun di daerah simpang jalan Adam Malik/ Gatot Subroto Medan atau yang lebih
dikenal dengan nama simpang Majestik.

III. Sumber Data Penelitian
a. Sumber primer (dari sumber asli)
b. Sumber sekunder (melalui pihak kedua)

IV. Teknik Pengumpulan Data
a. Wawancara berstruktur dan tidak berstruktur.
b. Observasi.
c. Kajian Literatur.

V. Teknik Analisa Data Kualitatif
Dalam mengkaji pengemasan lirik lagu-lagu popular dewasa, beberapa
langkah yang peneliti lakukan :
1. Melihat lagu-lagu apa yang digemari anak-anak jalanan;
2. Menetapkan jenis masalah yang dihadapi anak jalanan, jika terlalu menggemari
lirik-lirik lagu yang dianggap tidak sesuai dengan perkembangan kognitifnya;
3. Mencari sebab-sebab timbulnya masalah yang dihadapi anak jalanan,
berkaitan dengan gemarnya anak-anak jalanan terhadap lagu-lagu dewasa;
4. Dengan informasi yang telah lengkap, dengan faktor penyebab masalah yang
dihadapi anak jalanan tersebut, peneliti dapat memberikan alternatif
pemecahannya dengan mengemas lirik-lirik lagu popular dewasa dalam upaya
mentransformasikan nilai-nilai edukatif kepada anak-anak jalanan.
Instrumen yang digunakan adalah key instrument , artinya peneliti
sebagai alat peneliti utama. Peneliti sendiri mengadakan pengamatan, wawancara
berstruktur, studi literatur dan kemudian dilakukan pencatatan. Alasan
penggunaan instrumen ini bahwa segala sesuatu belum mempunyai bentuk yang
pasti, masalah, fokus penelitian, prosedur penelitian, data yang akan dikumpulkan,
asumsi yang akan digunakan, bahkan hasil. Segala sesuatu masih perlu
dikembangkan sepanjang penelitian dilakukan. Alasan manusia sebagai instrumen
adalah 1) peneliti sebagai alat peka dan dapat berinteraksi terhadap segala
stimulus dari lingkungan yang harus diperkirakannya bermakna atau tidak bagi
penelitian, 2) peneliti sebagai alat dapat menyesuaikan diri terhadap semua aspek
keadaan dan dapat mengumpulkan aneka ragam data sekaligus, 3) suatu situasi
yang melibatkan interaksi manusia, tidak dapat dipahami dengan pengetahuan
semata-mata, untuk memahaminya kita sering perlu merasakannya, menyelaminya
berdasarkan penghayatan kita, 4) peneliti sebagai intrumen dapat segera
menganalisis data yang diperoleh, 5) hanya manusia sebagai instrumen dapat

PKMI-3-14-4
mengambil kesimpulan berdasarkan data yang dikumpulkan pada suatu saat dan
segera menggunakannya sebagai balikan untuk memperoleh penegasan,
perubahan, perbaikan atau penolakan.
Bertitik tolak dari fokus penelitian, maka yang dijadikan subjek dalam
penelitian ini adalah Anak-anak jalanan usia 2-7 tahun didaerah simpang jalan
Adam Malik/ Gatot Subroto Medan atau yang lebih dikenal dengan nama simpang
Majestik.
Menurut teori Piaget, periode usia yang disebut pra-oprasional ini, anak
belum mampu melaksanakan operasi-operasi mental. Dan pada periode ini anak
lebih mudah meniru apa yang ada disekitarnya.
Alasan pemilihan lokasi pada daerah di daerah simpang jalan Adam
Malik/ Gatot Subroto Medan atau yang lebih dikenal dengan nama simpang
Majestik adalah terdapat banyak anak jalanan sesuai dengan priode usia pra-
operasional, yang juga berprofesi sebagai pengamen. Pada saat mengamen dapat
dipastikan lagu yang dinyanyikan merupakan lagu popular dewasa, yang
sebenarnya lagu tersebut tidak sesuai dengan perkembangan kognitif anak.
Teknik Pengumpulan Data yang dilakukan melalui : 1. Wawancara
berstruktur dan wawancara tidak terstruktur, wawancara dapat dipandang sebagai
teknik pengumpulan data dengan cara tanya jawab, yang dilakukan dengan
sistimatik dan berlandaskan kepada tujuan penelitian, 2. Observasi (pengamatan)
partisipasi dalam penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan fenomena yang riil
dan aktual tentang segala sesuatu yang terjadi di dalam situasi kehidupan anak
jalanan berlangsung, 3. Kajian Literatur.
Studi dokumentasi yang dilakukan merupakan study pustaka, yaitu
mempergunakan sumber-sumber tertulis untuk memperoleh data.

HASIL DAN PEMBAHASAN
I. Bentuk dan Nilai-Nilai yang Terkandung pada Lirik Lagu Popular Dewasa
Sebagai pemeran utama dalam proses komunikasi, manusia
melangsungkan komunikasi dengan prilaku yang dimilikinya. Manusia selalu
memproses pesan yang diterimanya, bagaimana cara berpikir dan cara melihat
manusia lain yang dipengaruhi oleh lambang-lambang. Hal ini juga terjadi pada
diri anak-anak, sesuatu yang mereka lihat, mereka dengar dan mereka rasakan
akan cepat ditangkap dan ditiru tanpa pemahaman terlebih dahulu. Banyak sekali
anak-anak yang menyanyikan lagu-lagu yang sebenarnya belum layak mereka
dengar dan tentu belum layak pula untuk dilantunkan oleh mereka. Namun
ironisnya hal itu sering sekali dianggap lucu, bahkan menjadi hal yang
menyenangkan jika anak-anak kecil tersebut membawakan lagu-lagu cinta.
Padahal secara tidak sadar terdapat efek atau dampak yang buruk bagi anak-anak
yang ditimbulkan dari berbagai nyanyian-nyanyian tersebut. Lagu TTM (teman
Tapi Mesra) misalnya, selain belum cocok dinyanyikan oleh anak-anak karena sisi
romantisnya tetapi juga dikarenakan lagu ini mengajarkan suatu sikap yang
menyimpang dari nilai adat maupun religi, walaupun masih terkandung sikap
positif dari lagu tersebut. Untuk itu penulis mencoba menguraikan nilai-nilai yang
diperkenalkan oleh lagu Teman Tapi Mesra.



PKMI-3-14-5
Tabel 1. Kategorisasi dan nilai-nilai yang terintegrasi dalam lirik lagu Teman
Tapi Mesra (Duo-Ratu)

LIRIK LAGU NILAI YANG DIPERKENALKAN
Aku punya teman
Teman sepermainan
Dimana ada dia selalu ada aku.
Dia anak manis dan juga baik hati
Dia selalu ada waktu untuk
membantuku
Namun aku bingung
Ketika dia bilang cinta
Dan dia juga katakan ku ingin jadi
kekasihmu.
Cukuplah saja berteman denganku
Janganlah kau meminta lebih
Ku tak mungkin mencintaimu
Kita berteman saja
Teman tapi mesra
Aku memang suka pada dirimu
Namun aku ada yang punya
Lebih baik kita berteman
Kita berteman saja
Teman tapi mesra
-Menumbukan rasa Kesetia-kawanan .
-Memiliki rasa kebersamaan dan
bekerja sama dengan teman.
-Adanya sikap keragu-raguan dalam
mengambil sikap karena adanya
perasaan sayang diluar dari
pertemanan.
-Dengan perasaan sayang yang dimiliki
sehingga menimbulkan budaya jatuh
cinta
-Menanamkan rasa persahabatan juga
dapat menimbulkan kemesraan.
-Bersahabat dan bermesraan bukan hal
yang tidak mungkin.


Dari tabel diatas, dapat kita ketahui bahwa nilai-nilai tersebut tentu saja
berpengaruh pada psikologis mereka karena hal tersebut tidak sesuai dengan
perkembangan kognitif anak. Karena pada lagu-lagu dewasa lebih
mengedepankan nilai-nilai romantisme, cinta, nilai-nilai kekerasan, arogan, dan
tidak jarang yang mengesampingkan nilai-nilai religius yang seharusnya menjadi
fundamental bagi mereka. Pada awalnya manusia hanya memaknai sesuatu nilai
hanya pada tingkatan kebenaran saja, namun melupakan unsur-unsur kebaikan.
Melalui revisi lagu TTM yang awalnya mengandung substansi kebenaran tentang
kewajiban untuk selalu menjalin kemesraan dalam persahabatan, namun ini tidak
mengandung nilai kebaikan jika dilakukan oleh anak-anak dibawah umur.
Disinilah manusia pada awal perkembangan intelektualnya hanya menyadari
sesuatu melalui indranya saja, kemudan baru meningkat kepada kesadaran yang
lebih rasional, yaitu kesadaran atas nilai-nilai ilmiah. Pada tahap selanjutnya
peneliti melihat adanya nilai kemanusiaan pada unsur lagu TTM tersebut dan
estetika. Tetapi kembali lagi pada penetapan objek yang salah, jika dilagukan oleh
anak dibawah umur, dan sudah pasti realisasinya akan salah sasaran juga. Dengan
merubah lirik melalui versi edukatif nilai estetika dan kemanusiaan tetap hidup
dalam pembentukan kepribadian anak. Hal ini dapat diamati dalam versi
perubahan.



PKMI-3-14-6
II. Faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan kepribadian anak
pada lirik lagu popular dewasa.
Berbagai faktor ditemui dalam lagu dewasa yang diminati oleh anak-anak
sehingga mempengaruhi pembentukan kepribadian anak. Antara lain faktor-faktor
tersebut adalah:
1. Faktor Lingkungan (Emperisme)
Hampir setiap hari lagu-lagu dewasa didengar oleh anka-anak. Tentu hal itu
lambat laun menjadi perhatian dari anak-anak. Bagi John Locke(Mohammad
41:1986) faktor pengalaman yang berasal dari lingkungan itulah yang menentukan
pribadi seseorang. Karena lingkungan itu relatif dapat diatur dan dikuasai
manusia.

2. Faktor Hereditas
Perkembangan kepribadian seseorang juga ditentukan oleh hereditas, faktor dalam
yang bersifat kodrat. Potensi-potensi hereditas itulah pribadi seseorang, bukan
hasil pendidikan. Tanpa potensi hereditas yang baik seseorang tidak mungkin
mencapai taraf yang dikehendaki. Teori ini jika dihubungkan dengan anak
jalanan, maka dengan proses pengamatan yang dilakukan terhadap kepribadian
yang ditampilkan peneliti dapat menginterpretasikan, bahwa pada dasarnya anak-
anak jalanan disimpang majestic, mempunyai hereditas yang baik tinggal
bagaimana kita mengolahnya.

3. Faktor Konvergensi
Perkembangan kepribadian seseorang ditentukan oleh hasil kerjasama faktor
internal maupun faktor eksternal, yaitu hereditas dan lingkungan serta pendidikan.
Pembentuka kepribadian akhir dari seorang individu adalah hasil pertemuan
antara kedua faktor tersebut. Mengemati perkembangan ank jalanan, yang peneliti
posisikan dengan hereditas yang baik, akan tampil sebagai pribadi yang paripurna
atau kaffah (Utuh), jika kita dapat memaksimalkan kemampuan intelektualnya
melalui pengenalan linggkungan yang positif dengan mentransfer nilai-nilai
pendidikan didalam aktivitas kesehariannya.

III. Cara mentransformasikan nilai-nilai edukatif yang ada pada lirik lagu
kepada anak jalanan.

Cara mentransformasikan nilai-nilai edukatif yang penulis lakukan adalah
dengan mengubah lirik lagu yang digemari anak-anak jalanan dengan kemasan
yang lebih edukatif serta sesuai dengan perkembangan kognitif anak.
Berikut ini langkah-langkah Pengemasan Lirik Lagu, yang dilakukan
penulis dalam mengubah lirik lagu Popular dewasa ke dalam lirik yang Edukatif:
1. Memahami dengan benar lirik lagu yang akan diubah.
Dengan adanya pemahaman terhadap lirik lagu dan nadanya, maka akan
memberikan kemudahan untuk proses selanjutnya, karena hal ini merupakan
landasan awal untuk membuat lirik edukatif pada sebuah lagu.
2. Tentukan tema edukatif yang akan dipakai.
Menentukan tema dari sebuah lagu, berarti memperkecil cakupan pembahasan
tentang suatu hal yang akan disampaikan melalui lirik lagu. Apabila tema telah
ditentukan, maka akan mempermudah pembuatan liriknya.

PKMI-3-14-7
3. Mengubah lirik lagu sesuai dengan bahasa anak-anak.
Lirik yang akan dijadikan sebagai lirik baru dalam sebuah lagu diubah dengan
versi anak-anak, sehingga memudahkan mereka mencermati setiap kata-kata
dari lagu tersebut yang akan mereka lantunkan. Setelah memahami lirik lagu
asli dan telah menentukan temanya maka dimulai pembuatan kata-kata yang
mengandung nilai-nilai edukatif. Dan kemudian dirangkai sedemikian rupa
agar dapat dimasukkan kedalam nada dari lagu popular yang asli dengan tepat.
4. Memberikan pengertian terhadap lirik lagu yang telah diubah.
5. Memaknai lirik tersebut dan mengajak anak-anak untuk mengimplementasi-
kannya sehingga terjadi proses transformasi nilai-nilai edukatif pada sang anak.

Berikut hasil gubahan lirik lagu TTM, yang penulis lakukan dan
kategorisasi nilai-nilai yang ingin penulis sampaikan.

Tabel 2. Lirik Hasil Gubahan dan Nilai yang Hendak Diperkenalkan
Lirik lagu asli Lirik Lagu Gubahan Nilai-Nilai yang di
perkenalkan
Aku punya teman
Teman sepermainan
Dimana ada dia selalu ada
aku.
Dia anak manis dan juga
baik hati
Dia selalu ada waktu untuk
membantuku
Namun aku bingung
Ketika dia bilang cinta
Dan dia juga katakan ku
ingin jadi kekasihmu.
Cukuplah saja berteman
denganku
Janganlah kau meminta
lebih
Ku tak mungkin
mencintaimu
Kita berteman saja
Teman tapi mesra
Aku memang suka pada
dirimu
Namun aku ada yang punya
Lebih baik kita berteman
Kita berteman saja
Teman tapi mesra
Aku punya teman
Teman sepermainan
Dimana ada dia selalu
ada aku.
Dia anak manis dan juga
baik hati
Dia selalu ada waktu
untuk membantuku
Teman tetap teman
Janganlah kamu
bermusuhan
Kita semua diciptakan
untuk saling
mengasihi
Ayolah teman-temanku
Lihatlah keindahan
Tuhan
Tuhan ciptakan semua
Semua dicipta tuhan
Tuk saling ngasihi
Aku memang sayang
pada dirimu
Kamu juga sayang
padaku
Lebih baik dari sekarang
Kita bekerja sama tuk
saling ngasihi


Nilai Religi, yakni
melihay kebesaran
Tuhan dari
keindahan
persahabatn, dan
hendaknya
mensyukuri nikmat
tersebut.
Nilai Estetika, yakni
memaknai
keindahan dengan
memahami dan tetap
menjaga nilai
estetika tersebut.
Nilai sosial, yakni
sikap persahabatn
dan sikap kerjasama
untuk suatu yang
baik. Dan pada
proses selanjutnya
diharapkan untuk
saling memupuk
nilai kerjasama dan
persahabatan
tersebut.
Nilai Ekonomi,
yakni sikap
kerjasama dan
menjaga prinsip
untuk persahabatan.

PKMI-3-14-8
Kemudian penulis mencoba menggubah lagu dalam versi pengetahuan,
yakni tentang bagian tulang dan nilai yang berbeda pula.

Tabel 3. Kategorisasi dan nilai-nilai yang terintegrasi dalam lirik lagu gubahan
yang dikutip dari Struktur Tulang Tengkorak Manusia, yang penulis
teliti.

LIRIK LAGU NILAI YANG DIPERKENALKAN
Manusia punya rangka
Dibagian kepala
Ada tulang dahi dan 2 tulang ubun-
ubun
1 tulang kepala belakang, 1 tulang baji
2 tulang pelipis dan 2 tulang tapis
Dibagian muka
Ada 2 rahang atas
Juga 2 rahang bawah
2 tulang pipi, 2 tulang langit-langit
2 tulang hidung , 2 tulang air mata
Dan 1 tulang lidah yang terdapat
dibagian muka.
Itulah nama-nama tulang bagian
tengkorak, yang harus kamu kenal lagi
Agar kamu tahu bagian apa saja yang
terdapat dalam tubuhmu

-Memberikan pengetahuan bahwa
manusia mempunyai bagian-bagian
tulang pada tengkorak .
-Menumbuhkan rasa keharusan untuk
mengenal nama-nama tulang bagian
tengkorak.
-Menanam rasa ingin tahu pada bagian
tubuh sendiri.
-Dengan mengetahui bagian-bagian
tulang yang terdapat di tengkorak
maka secara tidak langsung dapat
mengatahui fungsi dari tulang-tulang
tersebut.

Dengan contoh yang demikian maka akan lebih mudah materi tersebut
dijadikan perhatian. Perhatian yaitu proses mental ketika stimuli atau rangkaian
stimuli menjadi menonjol dalam kesadaran pada saat stimuli lainnya melemah.
Perhatian akan terjadi bila seseorang konsentrasi dirinya pada salah satu alat
indranya dan mengesampingkan masukan-masukan melalui alat indra yang lain.
Hal ini merupakan langkah pertama dalam proses pembelajaran sosial. Langkah
berikutnya adalah proses retensi atau ingatan(memori), dimana peristiwa yang
menarik perhatian dimasukkan kedalam benak dalam bentuk lambang secara
verbal atau imarginal sehingga menjadi ingatan. Berpatokan kepada lagu tersebut,
berikan dulu rangsangan kepada anak dalam bentuk pengenalan lirik lagu yang
baru dengan tetap mempertahankan melodi yang ada. Alasan kenapa melodi lagu
tersebut tetap dipertahankan, karena anak sudah sudah senang dan terbiasa dengan
melodinya. Menurut teori Operant Conditioning (Skinner, 1996:24), orang akan
melakukan sesuatu perbuatan jika ada konsekuensi yang menyenangkan yang
diterima dengan melakukan sesuatu. Keadaan ini dibawakan kepada anak jalanan,
pada awalnya giring emosi mereka terlebih dahulu agar menyenangi lirik lagu
yang baru. Pada tahap selanjutnya akan terjadi proses pembiasaan kemudian
bermuara kepada pembudayaan (mempribadi). Jika suatu stimulus yang diberikan
sudah mempribadi, maka perubahan tingkah laku akan terjadi dengan sendirinya,
yang sudah pasti didahului oleh perkembangan nilai edukatifnya.


PKMI-3-14-9
KESIMPULAN
Kesimpulan dari konsep metode yang berjudul Pengemasan Lirik Lagu
Popular Dewasa Dalam Versi Anak Sebagai Upaya Mentransformasikan Nilai-
nilai Edukatif Kepada Anak Jalanan yaitu :
Penulis banyak menemukan dipersimpangan jalan, anak-anak jalanan
menyanyikan lagu-lagu seperti Peterpan, Dewa, Ratu dan lainnya demi
mengharapkan persenan rupiah. Secara lambat-laun, walau mereka tidak mengerti
dengan apa yang dinyanyikannya tetapi mereka bersikap seolah-oleh orang
dewasa yang telah paham dengan yang diucapkan. Nyanyian Rock misalnya yang
bernuansa keras mempengaruhi sikap mental sang anak untuk berwatak keras pula
dan kelihatan lebih agresif.
Apa yang menyebabkan lagu-lagu yang disukai anak jalanan, dapat
berpengaruh kepada pembentukan kepribadian anak jalanan tersebut, dikarenakan
secara singkat memori melewati 3 proses yaitu perekaman, penyimpanan dan
pemanggilan. Perekaman(encoding) adalah pencatatan informasi melalui reseptor
indra. Penyimpanan adalah menentukan berapa lama informasi itu berada, dalam
bentuk apa, dan dimana. Penyimpanan bisa aktif atau pasif, menyimpan secara
aktif bila menambahkan informasi tambahan dan secara pasif terjadi tanpa
penambahan. Sedangkan pemangilan adalah menggunakan informasi yag
disimpan. Langkah ketiga adalah proses reproduksi motorik atau gerakan, dimana
ingatan menjadi bentuk prilaku. Dan langkah terakhir adalah proses motivasional,
berupa prilaku akan berwujud apabila terdapat nilai peneguhan berupa ganjaran.
Cara mentransformasikan nilai-nilai edukatif yang penulis lakukan adalah
dengan mengubah lirik lagu yang digemari anak-anak jalanan dengan kemasan
yang lebih edukatif serta sesuai dengan perkembangan kognitif anak.
Berikut ini langkah-langkah Pengemasan Lirik Lagu, yang dilakukan penulis
dalam mengubah lirik lagu Popular dewasa ke dalam lirik yang Edukatif :
memahami terlebih dahulu lagu tersebut, mengubah lirik lagu sesuai dengan
bahasa anak-anak dengan di integrasikan dengan nilai-nilai edukatif, memberikan
pengertian terhadap lirik lagu yang telah diubah, memaknai lirik tersebut dan
mengajak anak-anak untuk mengimplementasikannya sehingga terjadi proses
transformasi nilai-nilai edukatif pada sang anak.
Apabila lagu yang telah diubah liriknya tersebut dapat dinyanyikan dengan
baik, tanpa merubah nada lagu aslinya, maka proses perubahan lirik tersebut telah
berjalan dengan baik

DAFTAR PUSTAKA
Effendy, Onong Uchjana.1984.Televisi Siaran Teori dan Praktek. Bandung.
Penerbit Alumni
Effendy, Onong Uchjana.1986.Dimensi-dimensi Komunikasi. Bandung. Penerbit
Alumni
Effendy, Onong Uchjana.2003.Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi.Bandung. PT
Citra Aditya Bakti
Endraswara, S. 2003. Metodologi penelitian kebudayaan. Yogyakarta. Gadjah
Mada
University Perss.
Rakhmat, Jalaluddin.2004.Psikologi Komunikasi. Bandung. PT Remaja
Rosdakarya

PKMI-3-14-10
Sudaryanto. 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa. Yogyakarta. Duta
Wacana University Perss.
Sumardi.2000.Buku Pelajaran Bahasa Indonesia SD (Sebagai Sarana
Pengembangan Kepribadian, Penalaran, Kreativitas, dan Keterampilan
Berkomunikasi Anak). Jakarta. PT Grasindo
Wilis Dahar, Ratna. 1996. Teori-Teori Belajar. Jakarta. Penerbit Erlangga

PKMI-3-15-1
EVALUASI HASIL FERMENTASI LIMBAH SAWIT DARI TEMPAT
PENGOLAHAN KELAPA SAWIT

Fandi Setyawan, Fandy Djafar, Alfred, Erick Sidarta
Jurusan Biologi, Fakultas Teknobiologi,
Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, Jakarta

ABSTRAK
Setiap tahun, luas area Perkebunan dan Pengolahan Kelapa Sawit
(PPKS) di Indonesia semakin meningkat. Demikian pula jumlah limbah yang
dihasilkan sehingga terjadi penumpukan dan menimbulkan pencemaran
lingkungan. Penanggulangan masalah tersebut dapat dilakukan melalui
penerapan Sistem Integrasi Sawit Sapi (SISS). Pada SISS digunakan ternak sapi
yang awalnya digunakan sebagai pembantu transportasi menjadi mesin untuk
memanfaatkan limbah PPKS. Dalam hal ini, limbah berupa campuran bungkil
inti sawit, solid dan heavy paste diubah menjadi pakan sapi. Sebelum dijadikan
pakan sapi, limbah PPKS harus melalui tahap fermentasi karena pemberian
langsung dapat mengakibatkan diare pada sapi. Proses fermentasi dilakukan
dengan bantuan Aspergillus niger, dan dilakukan melalui fermentasi dua tahap
yaitu fermentasi aerob dan fermentasi anaerob. Di dalam proses fermentasi
anaerob terjadi peningkatan nilai kadar protein kasar dan sejati sebesar 23.8-
21.5% serta daya cerna bahan kering dan organik sebesar 18.4-4.6%
dibandingkan dengan hasil fermentasi aerob. Selain itu, pengembangan inokulum
juga harus dilakukan untuk menghasilkan pakan ternak yang konsisten mutunya.
Penerapan hasil fermentasi sebagai pakan konsentrat memperbaiki penampilan
sapi.

Kata kunci: Kadar protein, daya cerna, limbah sawit, fermentasi, dan Sistem
Integrasi Sawit Sapi (SISS).

PENDAHULUAN
Kelapa sawit merupakan tanaman penghasil minyak nabati yang terdiri
atas crude palm oil (CPO) dan palm kernel oil (PKO). Setiap tahun, luas area
perkebunan dan pengolahan kelapa sawit (PPKS) di Indonesia semakin
meningkat. Hal ini menimbulkan permasalahan seperti peningkatan limbah berupa
pelepah sawit, tandan kosong, sisa serat perasan, bungkil inti sawit (BIS), dan
limbah cair CPO yang memiliki kandungan bahan organik yang tinggi sehingga
pembuangan secara langsung ke sungai mampu mencemari lingkungan akuatik
(Wenten 2004).
Untuk mengatasi hal tersebut, PT Agricinal sebagai salah satu PPKS
menggunakan teknologi dekanter dan membran keramik untuk mengurangi
kandungan bahan organik yang terdapat pada limbah cair CPO. Pada proses
tersebut, limbah cair CPO yang dimasukkan ke decanter akan menghasilkan tiga
macam keluaran yaitu heavy phase, light phase, dan solid. Sedangkan heavy
phase akan dilanjutkan ke membran keramik dan menghasilkan dua macam
keluaran yaitu filtrat dan pasta (Wenten 2004). Selain itu PT Agricinal juga
menerapkan sistem integrasi sawit sapi (SISS) dengan memelihara sapi pada area
perkebunan. Sapi tersebut digunakan sebagai tenaga pengangkut tandan sawit
pada proses pemanenan. Di dalam SISS, limbah sawit digunakan sebagai pakan

PKMI-3-15-2
sapi. Akan tetapi, pemberian pasta dan solid mentah langsung kepada ternak dapat
mengakibatkan ternak mengalami diare. Hal ini dikarenakan tingginya kadar
lemak pada limbah tersebut. Untuk mengoptimalkan penggunaan limbah yang
dihasilkan, diperlukan suatu perlakuan tambahan yaitu fermentasi.
Proses fermentasi yang dilakukan bertujuan untuk mengubah limbah
menjadi pakan ternak yang potensial. Pada PT Agricinal, fermentasi dilakukan
dengan menggunakan Aspergillus niger yang ditumbuhkan pada media campuran
limbah yaitu; BIS, pasta, dan solid. Penggunaan A. niger ini, dikarenakan
kemampuannya dalam menghasilkan enzim-enzim pencernaan yang dapat
membantu proses pecernaan pakan ternak (Ogundero 1982, Sani et al. 1992, dan
Purwadaria et al. 1997,1998)
Melalui studi ini, diharapkan semakin banyak pihak yang menyadari
bahwa penumpukan limbah PPKS dapat mengakibatkan pencemaran lingkungan.
Oleh karena itu, diperlukan suatu langkah yang tepat untuk mengatasinya. Pada
makalah ini dipelajari teknologi fermentasi untuk meningkatkan mutu limbah
sawit. Di dalam teknologi fermentasi, perlu dikembangkan inokulum A. niger
yang banyak untuk menghasilkan pakan ternak yang bermutu. Peningkatan nilai
mutu limbah sawit diharapkan mampu memenuhi kebutuhan pakan ternak sapi
yang berperan dalam sistem integrasi sapi sawit ini.

METODOLOGI
Sumber Isolat, Substrat, dan Mineral
Isolat kapang yang digunakan ialah inokulum A. niger dari balai penelitian
ternak (BPT). Isolat A. niger yang berasal dari BPT dikembangkan sendiri oleh
PT Agricinal. Media fermentasi berasal dari tiga jenis limbah PPKS PT Agricinal
yaitu BIS, pasta, dan solid. Selain itu, pada media fermentasi dilakukan
penambahan campuran mineral yang didapat dari BPT.
Produksi Inokulum A. niger di PT Agricinal
Inokulum A. niger yang dipakai PT Agricinal dikembangbiakkan melalui
media produksi dengan substrat beras. Sebanyak 10 kg beras dikukus selama 20
menit dan dilanjutkan dengan penambahan air mendidih sebanyak 10 L.
Kemudian beras ditaruh pada baki plastik dengan ketebalan beras kurang lebih 1-2
cm dan ditunggu hingga dingin. Sebanyak 10 gr spora A.niger ditimbang dan
dilarutkan dalam 200 ml air untuk inokulum media produksi. Selanjutnya
disemprotkan ke media produksi yang berada pada baki plastik. Langkah
berikutnya ialah penutupan media produksi yang telah disemprot spora A. niger
dengan baki plastik. Inkubasi dilakukan pada suhu 30 C dengan RH 97% selama
3-4 hari. Pertumbuhan spora diamati selama fermentasi karena rentan terhadap
kontaminasi. Jika pada hari ke-3 terjadi kontaminasi maka tidak dapat dilakukan
pemanenan spora. Produk fermentasi yang telah ditutupi dengan spora
dikeringkan dengan penjemuran pada sinar matahari selama sehari penuh. Setelah
spora dijemur sampai kering kemudian digiling dengan blender. Kemudian untuk
mengetahui tingkat kontaminasi pada spora inokulum A.niger ditentukan melalui
metoda agar tuang dengan menggunakan media potato dextrose agar (PDA).

Penentuan Mikrob Kontaminan di Ruang Fermentasi PT Agricinal
Penentuan mikrob kontaminan yang ada di ruang fermentor dilakukan
melalui teknik isolasi mikrob yang ada di udara. Media yang digunakan ialah

PKMI-3-15-3
PDA dan media tersebut dibiarkan dalam keadaan terbuka selama satu dan tiga
menit. Pengambilan sampel dilakukan di dalam ruang fermentor dan lingkungan
ruang fermentasi.

Produksi Fermentasi Limbah Sawit untuk Pakan Ternak
Komposisi limbah (%) pada media fermentasi limbah sawit terdiri atas
BIS 37.5, pasta 48.0, solid 12.5, spora A. niger 0.5, dan campuran mineral 1.5.
Seluruh bahan tersebut diaduk merata di dalam mesin pengaduk semen. Setiap
kali pengadukan dilakukan kurang lebih 50 kg dan dilanjutkan dengan pembagian
hasil pengadukan ke dalam baki. Pembagian hasil pengadukkan pada tiap baki,
diukur bobotnya hingga mencapai 2.5 kg. Setelah itu, dilakukan masa inkubasi
pada ruang fermentor dengan suhu 37
0
C selama 3 hari (fermentasi aerob).
Pemanenan dilakukan pada hari ke-3 dan keseluruhan media fermentasi limbah
sawit dicampur menjadi satu. Setelah dicampur, media tersebut dimasukkan ke
dalam kantung plastik yang berukuran 80x60 cm dan diusahakan isi dalam
kantung plastik menjadi padat. Pemadatan dihentikan ketika berat kantung plastik
mencapai kurang lebih 20 kg. Lalu kantung plastik tersebut diikat kuat hingga
tidak ada pertukaran udara dan diinkubasi pada suhu ruang selama 2-3 hari
(fermentasi anaerob). Setelah masa inkubasi selesai, hasil fermentasi anaerob
dapat dipanen dan dijadikan pakan sapi. Pemberian media hasil fermentasi pada
sapi dilakukan pada saaat makan pagi dan sore karena pada siang hari sapi
tersebut memakan rumput.

Pengamatan Visual Pertumbuhan Kapang
Pengamatan secara visual dilakukan pada pembentukan air, pertumbuhan
miselium pada fermentasi aerob, serta aroma yang terbentuk pada masa fermentasi
anaerob.

Analisis Kimia
Analisis kimia dilakukan pada media setelah fermentasi aerob dan
anaerob. Analisis yang dilakukan meliputi penentuan kadar air (KA) dan kadar
protein kasar (KPK) serta sejati (KPS) dengan metoda Kjeldahl. Selain itu juga
dilakukan pengukuran daya cerna bahan kering (in-vitro dry matter digestibility /
IVDMD) dan bahan organik (in-vitro organic matter digestibility / IVOMD).

Tabel 1. Perkembangan fermentasi aerob dan anaerob limbah sawit dengan A.
niger

Sampel Fermentasi Aerob Fermentasi Anaerob
Hari ke-1 Hari ke-2 Hari ke-3 Hari ke-1 Hari ke-2 Hari ke-3
A. niger + ++ +++ * ** ***
PT Agrcinal
Keterangan:
+ : Terlihat pertumbuhan miselium
++ : Terlihat pertumbuhan miselium putih menutupi media fermentasi
+++ :Terbentuknya spora hitam A. niger
* : Sedikit tercium aroma alkohol
** : Tercium aroma alkohol
*** : Aroma alkohol menyengat

PKMI-3-15-4
Pengukuran KPK dengan metoda kjeldahl mengikuti metode AOAC (Williams,
1984). Sedangkan pengukuran KPS dilakukan melalui pelarutan sampel seberat
0.4 gr ke dalam akuades sebanyak tiga kali selama lima menit, dan dilanjutkan
dengan metoda kjeldahl. Terakhir, dalam menentukan IVDMD dan IVOMD
terhadap sapi, digunakan metode Tilley & Terry (1963).

HASIL
Perkembangan kapang A. niger selama fermentasi aerob (Tabel 1) terlihat
berbeda setelah hari kedua waktu fermentasi. Pada hari kedua, pertumbuhan
miselium telah merata menutupi media fermentasi. Sedangkan pada hari ketiga,
sudah terbentuk spora A. niger pada media fermentasi. Selanjutnya, pada
fermentasi anaerob (Tabel 1) terlihat bahwa semakin lama waktu inkubasi maka
aroma alkohol yang tercium semakin menyengat. Perbandingan hasil fermentasi
aerob dengan anaerob memiliki perbedaan
yang cukup signifikan, secara berurutan nilai KPK dan KPS pada fermentasi
aerob adalah 13.0 dan 12.1%. Dibandingkan dengan fermentasi aerob, nilai KPK
dan KPS pada fermentasi anaerob mencapai 16.1 dan 14.7%. Nilai IVDMD dan
IVOMD secara berurutan pada fermentasi aerob ialah 70.8 dan 92.1%, sedangkan
IVDMD dan IVOMD pada fermentasi anaerob ialah 83.8 dan 96.3%. Hasil
pemberian pakan konsentrat produk fermentasi limbah sawit pada sapi terlihat
pada penampilannya yang sehat (Gambar 1). Data konsumsi dan pertambahan
berat badan sapi tidak dicantumkan pada makalah ini (akan dipublikasi).
Inokulum A. niger yang dikembangkan PT Agricinal memiliki kandungan
spora A. niger gr
-1
lebih tinggi dibandingkan dengan inokulum yang
dikembangkan oleh BPT, demikian juga dengan kandungan kontaminannya
(Tabel 3). Pada Tabel 4, terlihat bahwa kandungan kontaminan pada ruang
fermentor lebih sedikit dibandingkan dengan lingkungan ruang fermentasi.
Kontaminan yang dominan pada lingkungan ruang fermentasi ialah kapang,
sedangkan kontaminan yang dominan pada ruang fermentor ialah bakteri dan atau
khamir.

Tabel 2. Kadar protein, IVDDM, dan IVDOM produk fermentasi limbah sawit
Produk Fermentasi KPK (%) KPS (%) IVDMD (%) IVOMD (%)
Fermentasi aerob 13.0 12.1 70.8 92.1
Fermentasi anaerob 16.1 14.7 83.8 96.3

Tabel 3. Pertumbuhan kapang A. niger pada media fermentasi limbah sawit dan
jumlah spora A. niger

Sampel A. niger Kapang lain Bakteri &/ khamir
(Spora gr
-1
) (Spora gr
-1
) (Koloni gr
-1
)
Inokulum A.niger BPT 295x10
10
7 x10
10
-
Inokulum A. niger PT
Agricinal 341 x10
10
60 x10
10
30 x10
10

Keterangan:
- : Tidak ada pertumbuhan
Gr
-1
: Gram di dalam inokulum

PKMI-3-15-5
Tabel 4. Tingkat kontaminan ruang fermentasi PT Agricinal
Tempat Kontak dengan Mikrob kontaminan
udara (menit) Bakteri &/ Khamir Kapang
Ruang 1 17 11
fermentor 3 98 16
Lingkungan 1 47 71
ruang fermentasi 3 12 163

Pembahasan
Pada perlakuan fermentasi aerob dari Tabel 1 menunjukkan bahwa
pertumbuhan A. niger berkembang dengan cepat pada hari ke-2. Hal ini ditandai
dengan pertumbuhan miselium yang menutupi hampir keseluruhan permukaan
media fermentasi. Fermentasi aerob bertujuan untuk menumbuhkan A. niger pada
media fermentasi limbah sawit. Seiring dengan pertumbuhan A. niger enzim-
enzim ekstraseluler juga dihasilkan sehingga mampu menurunkan kadar lemak
dan meningkatkan daya cerna ternak pada hasil fermentasi limbah sawit
(Ogundero 1982, Sani et al. 1992, dan Purwadaria et al. 1997,1998). Selanjutnya
pada hari ke-3 terlihat adanya pembentukan spora A. niger pada media fermentasi
limbah sawit. Umumnya spora yang terbentuk disebabkan kurangnya nutrisi pada
media dan dan faktor usia A. niger yang semakin tua (Frazier & Whesthoff 1981).
Pembentukkan spora harus dihindari dalam pembuatan media fermentasi pakan
karena spora lebih sulit dicerna dibandingkan miselium. Dengan demikian, untuk
mendapatkan pakan ternak yang mudah dicerna cukup melakukan fermentasi
aerob A. niger selama dua hari.
Berdasarkan pengamatan kualitatif terhadap aroma alkohol yang
dihasilkan (Tabel 1) semakin lama waktu inkubasi dalam fermentasi anaerob,
tingkat aroma alkoholnya semakin meningkat. Hal ini menunjukkan bahwa
enzim yang dihasilkan


Gambar 1 Penampakan sapi yang sehat

A. niger tetap bekerja pada keadaan anaerob. Fermentasi anaerob bertujuan
memaksimalkan kerja enzim yang dikeluarkan oleh A. niger. Keadaan anaerob
dilakukan untuk menghentikan pertumbuhan A. niger sehingga A. niger tidak akan
membentuk spora. Selain itu, aroma alkohol mampu meningkatkan nafsu makan
ternak pada hasil fermentasi limbah sawit.

PKMI-3-15-6
Kadar protein merupakan salah satu parameter yang sering diuji pada
proses fermentasi. Parameter ini dapat dibagi menjadi dua yaitu kadar protein
kasar dan kadar protein sejati. KPK ialah kadar protein yang masih kasar dalam
arti masih adanya kadar nitrogen secara bebas pada sampel, sedangkan KPS ialah
kadar protein yang sebenarnya terjadi selama proses fermentasi. Penghilangan
kadar nitrogen bebas dilakukan melalui pelarutan sampel dengan akuades. Pada
fermentasi anaerob terjadi penyusutan bahan kering sehingga menyebabkan KPK
dan KPS meningkat secara berurutan sebesar 23.8 dan 21.5% (Tabel 2).
Penyusutan bahan kering menyebabkan nilai protein menjadi lebih pekat
dibandingkan sebelum proses fermentasi aerob. Selain peningkatan kadar protein,
proses fermentasi anaerob menyebabkan limbah sawit menjadi lebih mudah
dicerna. Hal ini disebabkan komponen penyusun limbah sawit menjadi lebih
sederhana dibandingkan sebelum difermentasi. Fermentasi anaerob juga mampu
meningkatkan daya cerna bahan organik dan bahan kering secara berurutan
sebesar 18.4 dan 4.6% (Tabel 2). Kenaikan ini menunjukkan bahwa hasil
fermentasi media limbah sawit lebih cocok diberikan kepada sapi sebagai pakan
dibandingkan bahan mentahnya (Sinurat et al. 2005). Dengan demikian,
diharapkan pemberian media hasil fermentasi tersebut dapat mudah dicerna oleh
sapi.
Inokulum A. niger yang dikembangkan oleh PT Agricinal memiliki jumlah
spora yang tinggi (341x10
10
spora gr
-1`
) dibandingkan inokulum yang
dikembangkan oleh BPT (295x10
10
spora gr
-1
). Selain itu, pada inokulum A. niger
PT Agrcinal mengandung kontaminan berupa kapang lain yang cukup tinggi
(60x10
10
spora gr
-1)
dibandingkan dengan BPT (7x10
10
spora gr
-1
) (Tabel 3).
Penyebab tingginya kontaminan, karena dalam pembuatan inokulum A. niger PT
Agrcinal tidak dilakukan secara aseptis dan lingkungan tempat fermentasi
berlangsung berdekatan dengan PPKS sehingga udara di sekitar ruangan
fermentasi tidak bersih (Tabel 4). Dengan demikian, untuk menghasilkan hasil
fermentasi limbah sawit yang konsisten mutunya membutuhkan inokulum A.
niger dengan kandungan kontaminan yang rendah.

KESIMPULAN
Pemakaian alat berupa dekanter dan membran keramik menghasilkan jenis
limbah yang berpotensi sebagai bahan pakan ternak. Akan tetapi, limbah tersebut
tidak dapat diberikan langsung ke ternak. Dengan demikian, diperlukan cara
tambahan berupa fermentasi. Penggunaan A. niger dalam proses fermentasi
limbah sawit sangatlah tepat. Karena proses fermentasi yang terbagi menjadi dua
tahap mampu meningkatkan kadar protein kasar dan sejati serta daya cerna bahan
organik dan kering. Jadi, melalui fermentasi tersebut mampu dihasilkan bahan
pakan ternak yang berkualitas baik. Untuk menjaga konsistensi mutu diperlukan
inokulum spora A. niger yang kandungan kontaminan rendah. Selanjutnya,
melalui fermentasi ini menimbulkan sistem baru yaitu SISS, dengan adanya SISS
mampu menurunkan pembuangan limbah dari PPKS.

DAFTAR PUSTAKA
Frazier WC, Westhoff DC. 1981. Food Microbiology. New Delhi: Tata McGrawa
Hill Pub.
Ogundero V. W. 1982. The production and activity of hydrolytic exoenzymes by
toxigenic species of Aspergillus from gari. Nigerian J Sci 16:11-20.

PKMI-3-15-7
Purwadaria T et al.. 1997. The correlation between amylase and cellulose
activities with starch an fibre contents on the fermentation of cassapro
(cassava protein) with Aspergillus niger. Proc Indonesian Biotechnology
Conference. Jakarta, 17-19 Juni, 1997. Vol. I. hlm. 379-390.
Purwadaria T et al. 1998. Korelasi antara aktivitas enzim mananase dan selulase
terhadap kadar serat lumpur sawit hasil fermentasi dengan Aspergillus
niger. JITV 3:230-236.
Sani A, Awe FA, dan Akiyanju J. A. 1992. Amylase synthesis in Aspergillus
flavus and Aspergillus niger grown on cassava peel. J Indust Microbiol
10:55-59.
Sinurat AP et al. 2005. Pengembangan Teknologi Fermentasi Limbah Sawit
(Ferlawit) untuk Pakan Ternak Skala Produksi Komersil[Tidak
dipublikasi]. Bogor: Balai Penelitian Ternak-Ciawi.
Tilley JMA, Terry RA. 1963. A two stage technique for the in-vitro digestion of
forage crops. J Bri Grassl Soc 18:104-111.
Williams J. 1984. Analytical Official Methods of Chemistry. Mc Graw-Hill Book
Co. New York.
Wenten IG. 2004. Solusi terpadu program zero waste effluent dan integrasi kebun-
ternak dalam CPO. Di dalam: Sistem Integrasi Tanaman-Ternak.
Prosiding Seminar Nasional; Denpasar, 20-22 Jul 2004. Bogor: Balai
Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Balai Pengkajian Teknologi
Pertanian Provinsi Bali, dan Crop-Animal System Research Network
(CASREN). hlm 413-423.



PKMI-3-16-1
SOSIALISASI SISWA AKSELERASI
SMP PANGUDI LUHUR DOMENICO SAVIO SEMARANG

FX. Yanuar Sidharta, Cahyaningsih, Anastasia Jayanti
Fakultas Psikologi, Universitas Katolik Soegijapranata, Semarang

ABSTRAK
Di era globalisasi ini, perkembangan teknologi makin pesat, namun kualitas SDM
yang tersedia tidak sebanding dengan kualitas teknologi tersebut. Keadaan yang
demikian menyebabkan Indonesia sangat memerlukan SDM yang berkualitas.
SDM yang kreatif akan lebih meningkatkan dan mendukung laju pertumbuhan
dan perkembangan Iptek, kesenian, serta kebudayaan yang tetap mengedepankan
aspek humasisasi. Dalam proses meningkatkan kualitas SDM, tentunya tidak
terlepas dari peranserta lembaga pendidikan yang ikut memberikan materi baik
secara akademik maupun non akademik. Disini penulis melihat besarnya peran
serta lembaga pendidikan yang memberikan pelayanan khusus bagi anak/siswa
yang berbakat, khususnya di bidang akademis. Pemerintah memberikan
pelayanan khusus ini dalam bentuk program kecepatan belajar (akselerasi) yang
telah diterapkan di Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, dan Sekolah
Menengah Atas. Sistem pembelajaran program akselerasi ini menggunakan
kurikulum 1994 sama dengan kurikulum untuk kelas reguler dengan penekanan
pada materi esensial yang dikembangkan melalui sistem pembelajaran yang
dapat memacu perkembangan spiritual, etika, logika dan estetika, serta dapat
mengembangkan kemampuan berfikir (kreatif, sistematis, dsb.) untuk dapat
memenuhi bantuan masa kini dan yang akan datang. Namun dalam
pelaksanaannya masih terdapat banyak kendala-kendala baik dari siswa, orang
tua, maupun guru. Dalam penelitian ini, peneliti berusaha mencoba untuk
menguraikan kendala-kendala tersebut berdasarkan data-data yang diperoleh
dan mencoba untuk memberikan alternatif solusi yang memungkinkan untuk
diimplementasikan di lingkungan yang berkaitan. Kendala yang peneliti soroti
disini terbatas pada sisi sosialisasi siswa selama mengikuti program akselerasi.

Kata Kunci: pembelajaran, sosialisasi, akselerasi, reguler.

PENDAHULUAN
Indonesia sangat membutuhkan Sumber Daya Manusia yang berkualitas,
kreatif, dan inovatif agar mampu bersaing dengan negara-negara lain, khususnya
di era globalisasi ini. Adanya SDM yang kreatif akan lebih meningkatkan dan
mendukung laju pertumbuhan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi, kesenian serta kebudayaan yang tetap mengedepankan aspek
humanisme.
Dalam pembentukan SDM yang berkualitas, anak tidak mungkin lepas dari
pendidikan. Anak sejak kecil hingga dewasa mendapatkan minimal dua macam
pendidikan secara bersamaan, yaitu pendidikan formal, yang didapatkan dari
kegiatan belajar mengajar di sekolah dan pendidikan nonformal melalui hal-hal
yang diajarkan oleh orang tua di dalam keluarga dan lingkungannya. Sehingga
peran pendidikan adalah sangat penting dalam pembentukan kualitas SDM.
Pendidikan yang dilaksanakan di Indonesia pada umumnya masih
cenderung menggunakan fungsi otak kiri saja. Hal ini dapat dilihat dari sistem


PKMI-3-16-2
belajar-mengajar yang mengharuskan anak untuk dapat menghafal berbagai
macam pelajaran. Anak diwajibkan untuk mendapat nilai yang bagus pada mata
pelajaran yang sangat menggunakan aspek kognitif mereka. Kemampuan kognitif
anak dituntut untuk terus berkembang tanpa diikuti keseimbangan dari aspek
afektif maupun konatifnya. Seorang anak hidup dalam dunia dengan interaksi
yang sempit yang hanya mengetahui kasih sayang dan simpati dari lingkungan
sekitarnya. Dari sempitnya ruang interaksi yang dimilikinya, mereka diajak untuk
mengenal dunia luar melalui lingkungan sekolah dan secara tidak langsung
mereka dituntut untuk mempelajari bermacam-macam ilmu pengetahuan.
Pendidikan adalah upaya untuk membantu peserta didik mengembangkan
dirinya dalam dimensi intelektual, moral dan psikologis. Pendidikan sejak awal
adalah tugas orang tua dan masyarakat. Perkembangan masyarakat yang modern
menuntut bahwa sebagian tugas pendidikan dijalankan oleh institusi yang disebut
sekolah, khususnya di bidang pengajaran.

Akselerasi
Dari sekian banyak bentuk program pendidikan yang dapat dipilih,
terdapat dua jenis program yang terbanyak dilaksanakan yaitu program Pengayaan
(enrichment) dan program Percepatan (acceleration).
Program Pengayaan (enrichment) yaitu Pemberian pelayanan pendidikan
sesuai potensi kecerdasan dan bakat istimewa yang dimiliki siswa, dengan
penyediaan kesempatan dan fasilitas belajar tambahan yang bersifat
perluasan/pendalaman, setelah yang bersangkutan menyelesaikan tugas-tugas
yang diprogramkan untuk siswa lainnya. Program ini cocok untuk siswa yang
bertipe enrich learner.
Program Percepatan (acceleration) (Dikbud, 2004) yaitu : Pemberian
pelayanan pendidikan sesuai potensi kecerdasan dan bakat istimewa yang dimiliki
oleh siswa, dengan memberi kesempatan kepada mereka untuk dapat
menyelesaikan program regular dalam jangka waktu yang lebih singkat
disbanding teman-temannya. Program ini cocok untuk siswa yang bertipe
accelerated learner.
Akselerasi berasal dari kata acceleration yang artinya adalah percepatan,
perlajuan. Secara umum akselerasi yang diterapkan di dunia pendidikan adalah
sistem kelas akselerasi yang siswanya memiliki sistem yang berbeda dengan
kelas-kelas lain dalam proses belajar mengajar. Pada kelas akselerasi ini siswa
akan belajar dengan cepat, sehingga materi yang diserap akan lebih banyak. Atau
dengan kata lain: siswa akselerasi akan menyelesaikan masa studinya lebih cepat
bila dibandingkan dengan siswa pada umumnya. Hal ini dapat dijumpai pada
salah satu SMP di Semarang yaitu SMP PL Domenico Savio yang beralamat di
jalan Dr. Soetomo no 6 Semarang.

Siswa Program Akselerasi
Saat ini beberapa sekolah di beberapa kota di Indonesia telah dilaksanakan
program pendidikan bagi siswa berbakat dalam bidang akademik, yaitu dengan
program akselerasi (percepatan belajar). Dengan program ini siswa yang berbakat
istimewa di bidang kecerdasan dapat menyelesaikan studinya dengan lebih cepat
dari waktu yang telah ditentukan, untuk Sekolah Dasar sekurang-kurangnya lima


PKMI-3-16-3
tahun. Ini berarti siswa berbakat mempunyai kesempatan untuk menyelesaikan
studi lebih cepat dari anak seusianya. (Widyorini, 2002, h.15).
Siswa program akselerasi adalah siswa dengan kemampuan umum di atas
rata-rata, dimensi kreativitas cukup, dan pengikatan diri terhadap tugas baik
dengan ciri-ciri: membaca lebih banyak dan lebih cepat, memiliki perbendaharaan
kata yang luas, mempunyai rasa ingin tahu yang kuat, mempunyai minat yang luas
termasuk terhadap masalah orang dewasa, mempunyai inisiatif untuk bekerja
sendiri, memberikan jawaban yang baik, memberikan banyak gagasan, luwes
dalam berpikir, berkonsentrasi dalam jangka waktu yang lama, mempunyai
pengamatan yang tajam, berpikir kritis, senang mencoba hal baru, cepat
menangkap hubungan-hubungan, daya imajinasi yang kuat, daya ingat yang kuat,
tidak cepat puas dengan prestasinya, peka dalam menggunakan intuisi, dan
menginginkan kebebasan dalam gerakan dan tindakan.
Program percepatan belajar merupakan program layanan pendidikan
khusus bagi siswa yang mampu dan cerdas, yang telah diselenggarakan secara
khusus, bertujuan pokok (Murtirahari, 2004) untuk melayani anak berbakat anak
berbakat akademik, supaya dapat menyelesaikan pendidikan lebih cepat sesuai
jenjang pendidikannya dengan mampu berpikir dan bernalar secara komprehensif
dan optimal serta untuk mengembangkan kreativitas.
Murtirahari (2004) menyebutkan proses pelaksanaan dan evaluasi
pembelajaran akselerasi dibagi menjadi 2 bagian:
1. Guru
Guru yang mengajar di kelas akselerasi ini adalah guru yang juga mengajar di
kelas reguler. Cara penyampaian materi/metode mengajar tidak jauh berbeda
dengan kelas reguler. Perbedaan terletak pada bagaimana kami dapat
menyampaikan materi yang begitu banyak (yaitu dengan penyampaian materi
essensial dan pemadatan materi non essensial) dalam waktu yang relatif
singkat sehingga pada akhir tahun pelajaran mereka tetap dapat mengerjakan
soal Uanas dengan baik, benar, dan lancar. Masing-masing guru mempunyai
kekhasan dan kreativitas sendiri dalam mengajar. Kami diberi kebebasan
untuk berkreasi dalam mengajar (bebas yang bertanggung jawab).
2. Bimbingan dan Konseling
Prinsip yang digunakan dalam pendampingan di kelas akselerasi ini adalah
bahwa kami harus dapat memberikan hal-hal/kegiatan bimbingan yang
mampu menyeimbangkan, membuat siswa rileks, menyenangkan, mudah
dilakukan dan sekaligus ada nilai-nilai hidup yang harus diperoleh siswa
dalam kegiatan.

Para siswa akselerasi merupakan anak-anak pilihan. Ketika awal
pendaftaran, mereka wajib mengikuti tes untuk dapat masuk dalam kelas
akselerasi. Atau dengan kata lain siswa akselerasi merupakan siswa unggulan.
Pada umumnya mereka adalah anak-anak yang cerdas dan berbakat, sehingga
tidaklah mengherankan apabila mereka mampu menyerap materi lebih cepat dan
lebih baik dila dibandingkan dengan siswa lainnya.Kecenderungan perilaku yang
ditampakkan beberapa siswa tersebut antara lain: egois, tidak peduli pada teman,
tidak mau bergaul atau bergabung dengan teman, menyendiri, atau mungkin asyik
dengan diri sendiri. Akibat dari perilaku tersebut adalah adanya penolakan teman.


PKMI-3-16-4
Banyak teman lain yang tidak mau menerima siswa tersebut, dijauhi, atau
mungkin dikucilkan.

Sosialisasi
Cohen (1983, h. 132) mendefinisikan sosialisasi adalah proses melalui
mana manusia mempelajari tatacara kehidupan dalam masyarakatnya, untuk
memperoleh kepribadian dan membangun kapasitas untuk berfungsi baik sebagai
individu maupun sebagai anggota kelompok. Pada usia sangat muda seorang anak
melalui orang lain akan mempelajari perilaku yang diharapkan dan tipe orang lain
yang diharapkannya.
Menurut Astrid (Kusumawati, 1997, h. 10) sosialisasi merupakan salah
satu gejala dimana seseorang mampu melakukan perubahan, penyesuaian diri dan
pembentukan diri. Usaha untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya bila
dilakukan dengan terus-menerus akan mengalami kemajuan dan perkembangan
pada tiap individu.
Buchler (Kusumawati, 1997, h. 10) mengatakan bahwa sosialisasi adalah
suatu proses yang membantu individu melalui belajar dan menyesuaikan diri.
Secara luas sosialisasi diartikan sebagai suatu proses, dimana warga masyarakat
dididik agar dapat mengenal, memahami, mentaati, dan menghormati norma-
norma dan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa sosialisasi adalah kemampuan
kemampuan seseorang untuk melakukan aktivitas dengan cara menyesuaikan diri,
mengenal, memahami, norma-norma yang berlaku serta mengembangkan hal
yang didapatkan di dalam lingkungannya.
Menurut Mollie & Smart (1972, h. 234) faktor-faktor yang mempengaruhi
sosialisasi adalah faktor dari dalam individu (internal) yaitu umur, intelegensi,
jenis kelamin, pendidikan, keterbukaan, dan keinginan mempunyai status dan
faktor dari luar individu (eksternal) yaitu keadaan sekeliling dan interaksi
parental.
Berbagai macam hal tersebut di atas menunjukkan bahwa siswa program
akselerasi mengalami suatu beban dalam masa studinya. Siswa akselerasi dituntut
untuk memiliki prestasi yang tinggi di bidang akademis, sebab nilai atau prestasi
sangat menentukan eksistensi siswa. Di sisi lain, siswa akselerasi juga memiliki
tuntutan untuk dapat bersosialisasi dengan baik. Padahal masalah yang sering
dijumpai adalah masalah pribadi dan sosial. Apabila antara bidang pribadi, sosial,
dan akademis tidak seimbang, maka akan berdampak secara keseluruhan.
Misalnya ada yang mengalami kesulitan dalam pergaulan, tidaklah mengherankan
bila prestasi akademiknya akan menurun. Hal ini disebabkan karena antara satu
bidang dengan bidang yang lainnya saling berkaitan, atau saling berpengaruh satu
sama lain.
Tujuan dengan diadakannya penelitian ini adalah untuk mengetahui secara
deskriptif sosialisasi siswa akselerasi SMP dengan mengambil kasus di SMP PL
Domenico Savio.

METODE PENELITIAN
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kualitatif,
yaitu penelitian yang menekankan analisisnya pada proses penyimpulan deduktif
dan induktif serta pada analisis terhadap dinamika hubungan antar fenomena yang


PKMI-3-16-5
diamati dengan menggunakan logika ilmiah. Penelitian kualitatif tidak
menekankan pada pengujian hipotesis, melainkan pada usaha menjawab
pertanyaan penelitian melalui cara-cara berpikir formal dan argumentatif (Azwar,
1998, h. 5).

Populasi Penelitian
Populasi penelitian ini adalah siswa akselerasi SMP PL Domenico Savio
Semarang tingkat II.

Metode Pengambilan Data
Pengambilan data dilakukan dengan metode observasi, wawancara, dan tes
psikologi. Observasi dilakukan secara non-partisipan. Hal-hal yang diobservasi
adalah sikap dan perilaku subyek yang berkaitan dengan aspek sosialisasi meliputi
perilaku subyek di dalam kelas maupun perilaku subyek di luar kelas dalam
lingkungan sekolah, dan pada saat pelaksanaan wawancara dan pelaksanaan tes
psikologi. Wawancara dilakukan dengan subyek untuk mengetahui latar belakang
subyek dan segala aktivitas subyek dalam kehidupan sehari-hari subyek serta
data-data lain yang diperlukan dalam penelitian. Tes psikologi yang diberikan
kepada subyek adalah tes grafis

Analisis Data
Berdasarkan tujuan penelitian dan jenis data yang ada, teknik analisis yang
digunakan adalah analisis induktif, yaitu analisis yang dilakukan dengan
menguraikan hal-hal yang khusus untuk kemudian disimpulkan berdasarkan
macam-macam data yang ada pada setiap subyek.
Melihat data observasi dan wawancara dari masing-masing subyek,
peneliti menganalisis dengan memperhatikan aspek-aspek sosialisasi kemudian
dibuat dinamika psikologis. Dinamika psikologis tersebut masih merupakan
gambaran individual subyek. Langkah berikutnya yaitu memberikan kode (simbol
+/-) pada masing-masing aspek pada ketiga subyek tersebut secara bersamaan.
Pengkodean untuk setiap aspek berbeda-beda, tergantung dari data yang
diperoleh, kemudian ditarik kesimpulan pada tiap aspeknya. Selanjutnya, mulai
diberi penjelasan pada tiap aspeknya dengan menggabungkan hasil observasi dan
wawancara serta tes psikologi, dan yang terakhir diambil suatu kesimpulan umum
dari seluruh penjelasan yang telah disusun.

Jaminan Keabsahaan Data
Uji keabsahan data dalam penelitian ini dilakukan dengan metode:
pemeriksaan sejawat melalui diskusi, dengan cara mengekspos hasil sementara
ataupun hasil akhir yang diperoleh dalam bentuk diskusi analitik dengan rekan
sejawat; ketekunan pengamatan sampai menghasilkan kedalaman pemahaman
terhadap permasalahan.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Pelaksanaan penelitian dilaksanakan di SMP Pangudi Luhur Domenico
Savio Semarang, terletak di jalan Dr. Soetomo No. 6 Semarang. Tepatnya di
sekitar ruang kelas program Akselerasi yang terletak di lantai III gedung belakang
SMP Pangudi Luhur Domenico Savio.


PKMI-3-16-6
Pelaksanaan penelitian dilaksanakan pada bulan Oktober 2004. Proses
pengumpulan data dengan menggunakan metode observasi dan wawancara,
sehingga membutuhkan waktu yang cukup lama selama proses pengambilan data.
Subyek yang digunakan dalam penelitian adalah tiga (3) orang siswa akselerasi
yaitu satu orang siswa laki-laki dan dua orang siswa perempuan.
Berdasarkan hasil wawancara terhadap ketiga subyek penelitian maka
dapat dibuat tabel sebagai berikut:

NO ASPEK-ASPEK S1 S2 S3 KESIMPULAN
1. Kontak Sosial + + + Suatu hubungan sosial antara
individu satu dengan individu lain
yang tergolong rendah.
2. Komunikasi ++ +++ +++ Penyampaian pendapat, ide,
pengetahuan, informasi, sikap atau
perbuatan dan perasaan kepada
oranglain sehingga terjadi timbal-
balik antara komunikator
(penyampai) dan komunikan
(penerima) dan terjadilah respon
terhadap apa yang disampaikan
oleh orang lain, tergolong cukup
tinggi.
3. Aktivitas Bersama ++ ++ ++ Individu lebih senang
menggunakan waktu luangnya
bersama-sama orang lain,
tergolong sedang.
4. Identitas + - - Individu sulit untuk
mengidentifikasikan dirinya ke
dalam kelompok lainnya yang
dianggap sebagai kelompok.
5. Imitasi + + - Rendahnya keinginan individu
untuk meniru pandangan-
pandangan dan pikiran-pikiran
individu lain di sekelilingnya.
Keterangan:
+++ : tinggi ++ : sedang +: rendah - : tidak ada

Widyorini (2002,h. 125) mengatakan bahwa Program Akselerasi ini
merupakan salah satu program pendidikan bagi anak-anak yang memiliki bakat
istimewa di bidang akademik yang mempunyai kemampuan mempelajari sesuatu
hal dengan cepat, dengan demikian mereka mempunyai kesempatan untuk
mendapatkan kurikulum sesuai dengan kemampuannya. Oleh karena itu dalam
lingkungan sekolahnya siswa akselerasi akan menjadi sorotan yang cukup tajam
bagi teman-temannya yang berada di program regular, guru-guru yang mengajar,
dan secara tidak langsung seluruh staff karyawan sekolah yang memiliki program
akselerasi tersebut juga memperhatikan pola sikap dan perilaku serta hubungan
social/sosialisasi yang dimiliki oleh sekelompok siswa yang memiliki bakat
istimewa ini. Dalam lingkungan keluarganya pun akan mendapat perhatian yang
lebih supaya perkembangan anak dapat lebih terkontrol. Pengukuran sosialisasi


PKMI-3-16-7
didasarkan pada aspek-aspek sosialisasi yang dilakukan oleh Soekanto (1987),
dan Mollie & Smart (1972).
Aspek-aspek yang diungkap dalam penelitian ini meliputi aspek pertama:
Kontak Sosial, yang didalamnya meliputi hubungan social antara individu satu
dengan individu lain terdiri dari hubungan antara orang-perorangan; antara
perorangan dengan suatu kelompok masyarakat atau sebaliknya; antara kelompok
manusia dengan kelompok manusia lain. Pada Subyek I terlihat memiliki kontak
social yang cukup baik dengan orang-orang di sekitarnya. Dia cukup ramah
dengan orang lain, hal ini dapat dilihat dari kesehariannya Subyek yang murah
senyum terhadap orang lain. Sedangkan pada Subyek II, tampak bahwa Subyek
rendah dalam hal kontak social. Hal ini dapat dilihat bahwa subyek tidak
berkomunikasi atau berhubungan dengan para tetangganya atau orang-orang di
sekitar rumahnya. Namun pada Subyek III, kontak sosialnya terlihat cukup baik.
Hal ini sangat tampak dengan gaya pembawaanya yang ceria, menunjukkan dia
cukup ramah dengan orang lain.
Aspek kedua: Komunikasi, yang di dalamnya meliputi cara menyampaikan
pendapat, ide, informasi, pengetahuan, sikap atau perbuatan dan perasaan kepada
orang lain, sehingga pasti terdapat timbal-balik baik sebagai penyampai
(komunikator) maupun sebagai penerima (komunikan). Dalam hal komunikasi,
ternyata didapatkan kesamaan antara ketiga subyek, yaitu ketiganya dapat
menjalin komunikasi dengan baik. Ketiga Subyek dapat menyampaikan pendapat,
ide, pengetahuan, informasi dengan sikap yang baik sehingga terjadi timbal balik
secara efektif antara komunikator dengan komunikan. Komunikasi Subyek I
terlihat baik ketika Subyek mampu menjawab dan berpendapat secara lancar. Hal
yang sama dialami oleh Subyek II, yaitu memiliki nilai yang tinggi dalam hal
berkomunikasi, yang tampak ketika subyek menyatakan pendapatnya di hadapan
teman-temannya dan selalu mendapatkan tanggapan baik itu secara negatif
maupun positif. Begitu juga dengan Subyek III yang sangat mudah dalam
mengutarakan pendapatnya, dan mampu memperhatikan orang lain.
Aspek ketiga: Aktivitas Bersama yang didalamnya meliputi bagaimana
individu menggunakan waktu luangnya apakah dengan melakukan suatu aktivitas
secara bersama atau perorangan di lingkungannya. Pada ketiga Subyek memiliki
hal yang sama di bidang aktivitas bersama. Dalam hal aktivitas bersama, ketiga
Subyek tergolong cukup atau sedang. Hal ini dapat dilihat dari aktivitas yang
sering dilakukan adalah menghabiskan waktu luangnya untuk belajar menyiapkan
ulangan atau ujian, maupun mengerjakan tugas-tugas sekolah. Subyek sangat
perhatian sekali dengan prestasi akademisnya, sehingga hal tersebut menjadi
prioritas utama pada ketriga subyek. Namun, ketika ketiga subyek memiliki waktu
luang, maka ketiga subyek akan menghabiskan waktunya dengan teman
kelompoknya masing-masing, yang masih juga dalam kelas akselerasi.
Aspek keempat: Identitas Kelompok, yang meliputi bagaimana individu
mengidentifikasikan dirinya dengan kelompok (di lingkungan) dan kemudian
menghadapi kelompok lainnya yang dianggapnya sebagai lawan. Subyek satu dan
tiga termasuk kategori rendah dalam identifikasi kelompok. Hal ini tampak ketika
subyek satu dan tiga menghadapi konflik yaitu dikatakan sombong oleh teman-
temannya yang menyebabkan subyek sulit untuk mengidentifikasikan diri dengan
teman-teman dekatnya. Sedangkan pada subyek pertama, tidak terdapat indicator
yang menerangkan subyek mampu mengidentifikasikan dirinya terhadap teman-


PKMI-3-16-8
teman sekelompoknya. Hal ini dikerenakan subyek tidak ada keinginan untuk
mengidentikkan diri dalam teman-teman sekelompoknya.
Dan aspek yang kelima: Imitasi, yang didalamnya meliputi seberapa besar
individu meniru pandangan-pandangan dan pikiran-pikiran individu lain di
sekelilingnya. Pada subyek pertama dan kedua memiliki nilai yang sama
rendahnya dalam hal imitasi. Subyek pertama mencoba meniru pola pikir dan
kebiasaan yang positif pada teman dekatnya. Subyek kedua pernah ingin mencoba
meniru kebiasaan teman dekatnya namun tidak bisa karena kurang cocok dengan
kebiasaan yang telah dimilikinya sejak awal. Sedangkan pada subyek ketiga tidak
ada keinginan untuk meniru pola pikir atau kebiasaan yang dimiliki teman-teman
dekatnya.
Aspek-aspek tersebut digunakan untuk mengungkap bagaimana sosialisasi
siswa akselerasi. Berdasarkan hasil observasi dan wawancara yang telah
dilakukan, siswa akselerasi cenderung memiliki kemampuan berpikir yang relatif
kritis terhadap teori-teori yang mereka dapatkan. Hal ini tampak ketika didalam
kelas mereka selalu tenang dan serius dalam mengikuti pelajaran, mereka selalu
mengerjakan tugas-tugas dan latihan yang diberikan oleh guru yang bersangkutan
saat itu. Kemudian mereka akan bertanya dengan mengangkat tangan untuk
menanyakan hal-hal yang sekiranya belum dimengerti atau kadang menyanggah
pendapat yang dikemukakan oleh guru atau teman-temannya.
Selain itu hubungan sosial yang mereka miliki terhadap lingkungannya
juga dipengaruhi oleh keadaan internal (dalam diri Subyek) dan eksternal (luar
diri Subyek). Siswa akselerasi sering mendapat teguran-teguran atau perkataan
yang membuat mereka merasa sakit hati, seperti: mereka pernah dikatakan oleh
teman sendiri sombong ketika masuk program akselerasi padahal sebenarnya
mereka tidak ingin seperti itu, namun teman-teman lamanya menganggap seperti
itu karena sejak masuk program akselerasi mereka jarang bermain bersama-sama
lagi dan hal ini menyebabkan semakin jauhnya hubungan antar teman. Dari dalam
Subyek sendiri, dilihat secara usia, mereka belum memiliki emosi yang cukup
matang, sehingga jika mendapat suatu teguran dari orang lain apalagi teman
sendiri maka mereka akan cenderung marah dan malas untuk berkomunikasi
dengan mereka, yang akhirnya menyebabkan siswa akselerasi hanya bergaul
dengan teman-teman tertentu saja dan sulit untuk menerima orang lain dalam
pergaulannya. Di samping itu, dari sisi intelektual dan akademis, siswa akselerasi
memang memiliki daya pikir yang lebih tinggi daripada siswa yang berada di
program regular, dan tanggung jawab atas waktu belajar program akselerasi lebih
berat daripada di program regular, hal ini menyebabkan mereka lebih banyak
memfokuskan dirinya untuk belajar dan belajar dan tidak bisa dihindari kalau
mereka memang saling bersaing terutama dalam hal nilai prestasi.
Sedangkan di lingkungan rumah, siswa akselerasi juga cenderung tidak
tahu-menahu siapa tetangga-tetangga sebelahnya. Hal ini dikarenakan kebiasaan-
kebiasaan yang telah lama dilakukan yaitu tiada hari tanpa belajar, kemudian
fasilitas yang didapat dan dimiliki mereka relatif mencukupi, sehingga mereka
lebih senang menghabiskan waktunya dengan kegiatan di dalam rumah bersama
orang-orang terdekatnya saja. Hal lain seperti lokasi rumah yang kurang
memungkinkan seperti: di samping rumah hanya tanah kosong, di depannya
universitas dan rumahnya jauh dari tetangga membuat siswa malas untuk bergaul
dengan lingkungan sosialnya. Selain itu, bila memiliki keinginan bergaul dengan


PKMI-3-16-9
lingkungan sekitranya, namun ketika setelah dilakukan beberapa saat siswa
akselerasi merasa kurang cocok mereka dan akhirnya pun malas untuk
berkomunikasi dengan mereka. Dalam hubungannya dengan orang tua, siswa
akselerasi jarang mendapat tekanan dari orang tuanya untuk tidak boleh bergaul
dengan lingkungannya. Namun karena kebiasaan-kebiasaan yang telah lama
dilakukan oleh siswa akselerasi yaitu jadwal keseharian yang telah teratur dan
banyak waktu untuk belajar membuat siswa akselerasi merasa nyaman dengan
keadaan seperti itu dan akhirnya membuat mereka tidak ingin keluar dari
kenyaman yang telah mereka dapatkan.
Keadaan tersebut diatas sesuai dengan faktor-faktor yang mempengaruhi
sosialisasi menurut Mollie & Smart (1972) terdiri dari faktor internal dan
eksternal. Berdasarkan hasil penelitian ditemukan bahwa siswa akselerasi
mempunyai tanggung jawab atas waktu belajar lebih banyak daripada siswa di
program regular., kemudian mereka memiliki keadaan emosi yang cenderung
mementingkan kesenangan diri sendiri dan hanya memiliki hubungan dekat
dengan beberapa teman terdekat saja, serta mereka telah memiliki kebiasaan-
kebiasaan yang telah tertata dan itu semua berlaku untuk diri pribadi sehingga
kurang memperhatikan situasi lingkungan sekitarnya yang menyebabkan
sosialisasi mereka masih terbatas dan masih perlu dilatih dan dikembangkan lagi.

KESIMPULAN
Berdasarkan hasil analisis ketiga subyek tersebut dapat disimpulkan bahwa:
Ketiga subyek memiliki kontak sosial yang rendah, sehingga mereka hanya
berinteraksi dengan orang-orang yang terbatas, dengan demikian sosialisasi
mereka juga menjadi kurang baik. Tetapi dengan orang-orang ini mereka dapat
menjalin komunikasi interpersonal yang baik. Rata-rata ketiga subyek lebih
senang menghabiskan waktu luangnya bersama dengan teman-teman terdekatnya
saja. Ketiga subyek termasuk sulit dalam mengidentifikasikan dirinya sendiri di
dalam kelompoknya dan subyek tidak ingin meniru pandangan-pandangan dan
pikiran-pikiran yang dimiliki oleh teman-teman dekatnya.

DAFTAR PUSTAKA
Murtirahari, A. 2004. Kilas Balik Kelas Akselerasi. Makalah yang
dipresentasikan di dalam Seminar Anak Berbakat di Unika Soegijapranata
Semarang.
Azwar, S. 1998. Metode Penelitian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Cohen, J. B. 1983. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta, Penerbit : PT Bina Aksara.
Depdikbud. 2004. Pendidikan Anak Berbakat. Makalah yang dipresentasikan di
dalam Seminar Anak Berbakat di Unika Soegijapranata Semarang.
Kusumawati, D. 1997. Kemampuan Sosialisasi Ditinjau Dari Keintiman Remaja
Dengan Orang Tua. Skripsi (Tidak Diterbitkan). Semarang: Fakultas
Psikologi Universitas Katolik Soegijapranata.
Mollie, S and Smart, R. C. 1972. Children Development and Relationships.
London: Macmilan Company.
Soekanto, S. 1987. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Radar Jaya Offset.
Widyorini, E. 2002. Berbakat Tapi Berkesulitan Belajar. Psikodimensia. Volume I
No. 3 (h. 123-130). Semarang : Fakultas Psikologi Universitas Katolik
Soegijapranata.


PKMI-3-17-1
ETIKA POLITIK DALAM KARIKATUR SURAT KABAR HARIAN SOLOPOS

Bandung Mawardi

Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah,
Universitas Muhammadiyah Surakarta, Surakarta

ABSTRAK
Studi ini dilakukan dengan tujuan untuk mendeskripsikan pemakaian gaya bahasa
satire dan menjelaskan makna etika politik dalam karikatur surat kabar harian
Solopos. Analisis data dalam studi ini menggunakan metode padan dan agih.
Untuk metode padan digunakan teknik dasar dengan metode referensial dan
translasional. Untuk metode agih digunakan teknik dasar bagi unsur langsung
dan teknik lanjutan berupa teknik perluas. Gaya bahasa satire yang dipakai
dalam karikatur surat kabar harian Solopos mengandung makna kritik, ejekan,
dan sindiran sebagai respon terhadap keadaan, peristiwa, individu, kelompok,
dan lembaga. Etika politik yang terkandung dalam karikatur surat kabar harian
Solopos merupakan etika politik yang memiliki relevansi dengan persoalan
tanggung jawab, suksesi, korupsi, keadilan sosial, dan partai politik.

Kata kunci: politik, etika, karikatur, harian, bahasa.

PENDAHULUAN
Gaya bahasa dalam Kamus Linguistik diartikan sebagai pemanfaatan atas
kekayaan bahasa oleh seseorang dalam bertutur atau menulis (Kridalaksana, 2001:
63). Istilah gaya bahasa secara terminologi adalah cara yang memperlihatkan jiwa,
kepribadian penulis atau pengarang. Pemakaian gaya bahasa memungkinkan kita
dapat menilai pribadi, watak, dan kemampuan seseorang yang menggunakan
bahasa itu (Keraf, 2000: 113).
Perbedaan pemakaian gaya bahasa menunjukkan adanya variasi pemakai
yang disesuaikan dengan konteks kebahasaan dan konteks sosialnya. Pemakaian
suatu gaya bahasa didasarkan pada kapasitas dan kesanggupan pemakainya dalam
mengungkapkan ide, gagasan, pemikiran, dan perasaan terhadap orang lain.
Pemakaian gaya bahasa tertentu dalam bentuk lisan atau tulisan didasarkan pada
motif dan tujuan pemakai dengan pertimbangan efektivitas pesan yang
disampaikan pada pendengar atau pembaca.
Satire merupakan gaya bahasa yang memiliki keunikan dalam bentuk
ungkapannya untuk penyampaian pesan dalam komunikasi. Kata satire diturunkan
dari kata satura yang berarti talam yang penuh berisi macam-macam buah-
buahan. Gaya bahasa satire adalah ungkapan yang mentertawakan atau menolak
sesuatu. Bentuk-bentuknya banyak berisi kritik terhadap kelemahan manusia.
Tujuan utamanya adalah agar diadakan perbaikan secara etis maupun estetis
(Keraf, 2000: 114).
Satire dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai gaya
bahasa yang dipakai dalam kesusastraan untuk menyatakan sindiran terhadap
suatu keadaan atau seseorang. Pemakaian gaya bahasa satire pada dasarnya
merupakan ungkapan kritik, ejekan, atau sindiran untuk merespon keadaan,
peritiwa, individu, kelompok, dan lembaga, yang cenderung efektif dan kritis
(Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1990: 787).


PKMI-3-17-2
Situasi politik Indonesia sejak terjadinya reformasi pada tahun 1998
mengalami masa transisi demokrasi yang dinamis. Perkembangan demokratisasi
politik Indonesia menimbulkan implikasi yang signifikan dalam konteks sosial,
ekonomi, hukum, budaya, dan lain-lain. Kritik terhadap kebijakan politik pada
pihak penguasa menjadi manifestasi partisipasi politik oleh masyarakat. Kritik
politik secara terbuka bisa disampaikan pada individu, kelompok, lembaga, dan
pemerintah dengan pelbagai media, cara, dan bentuk.
Persoalan politik Indonesia di masa sekarang menjadi wacana terbuka
untuk dikritisi oleh masyarakat yang tercermin dalam peran media massa cetak
dan elektronik. Surat kabar sebagai media informasi berperan besar dalam
mengungkapkan fenomena-fenomena politik aktual yang terjadi di Indonesia.
Peran kritis surat kabar terlihat dari salah satu sajiannya, yakni kolom karikatur.
Kolom karikatur dinilai efektif untuk memberikan informasi dan kontribusi dalam
pendidikan politik yang sifatnya kritis dan efektif pada masyarakat.
Istilah etika berasal dari bahasa Yunani, yakni ethos yang berarti tempat
tinggal biasa, padang rumput, kandang, kebiasaan, adat, akhlak, watak, perasaan,
sikap, dan cara berpikir. Istilah etika dalam bentuk jamaknya, yakni ta etha berarti
adat kebiasaan. Pengertian etika secara terminologi terbagi menjadi tiga arti,
yakni: (1) nilai-nilai dan norma-norma moral yang menjadi pegangan bagi
seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya; (2) kumpulan
asas atau nilai moral; (3) ilmu tentang yang baik dan buruk (Bertens, 2000: 4-6).
Etika merupakan suatu keniscayaan dalam aktivitas kehidupan manusia.
Etika menjadi acuan yang mengikat dan implikasinya mengenai pada individu dan
kelompok sosial. Oleh karena itu, etika menjadi nilai-nilai atau norma-norma
kompleks dalam kehidupan sosial yang majemuk dengan pelbagai persoalan
hidup. Sifat dasar etika adalah sifat kritis. Etika bertugas untuk mempersoalkan
norma-norma yang dianggap berlaku (Magnis, 1979: 13).
Etika pada hakikatnya mengamati realitas moral secara kritis. Etika tidak
memberikan ajaran, tetapi memeriksa kebiasaan, nilai-nilai, norma-norma dan
pandangan-pandangan moral secara kritis. Etika menuntut pertanggungjawaban
dan mau menyingkapkan kerancuan. Etika tidak membiarkan pendapat-pendapat
moral begitu saja, tetapi menuntut agar pendapat-pendapat moral yang
dikemukakan dipertanggungjawabkan. Etika berusaha untuk menjernihkan
permasalahan moral (Magnis-Suseno, 1991: 18).
Etika dalam dunia politik tak terlepas dari persoalan ideologi yang dianut negara dan individu-
individu yang ada di dalamnya. Etika politik berfungsi sebagai sarana kritik ideologi (Magnis-
Suseno, 1991: 5). Artinya, etika politik mempertanyakan legitimasi moral terhadap sikap dan
kebijakan individu, kelompok, lembaga, dan negara berdasarkan otoritas dan dimensi politisnya.
Posisi etika politik pada dasarnya ditentukan oleh persoalan-persoalan
yang timbul akibat adanya singgungan kepentingan politis atau kekuasaan
antarmanusia sebagai individu, anggota kelompok, institusi atau lembaga, atau
negara menyangkut nilai kebaikan, keadilan, kebenaran, kebebasan, dan lain-lain.
Oleh sebab itu, inti permasalahan etika politik adalah masalah legitimasi etis
kekuasaan yang dapat dirumuskan dalam pertanyaan: dengan hak moral apa
seseorang atau sekelompok orang memegang dan mempergunakan kekuasaan
yang mereka miliki (Magnis-Suseno, 1991: 30)?
Karikatur merupakan keunikan tersendiri dalam menyikapi persoalan-
persoalan politik yang terjadi dengan kombinasi gambar dan kata. Karikatur
adalah gambar bermuatan humor atau satire dalam berbagai media massa dengan


PKMI-3-17-3
mengambil tokoh-tokoh yang terkenal. Untuk menampilkannya secara lebih
humoristis tokoh-tokoh itu digambarkan dengan perubahan bentuk tubuh dan
wajah (Wijana, 2004: xx).
Istilah karikatur berasal dari bahasa Italia caricatura yang berarti
berkelebihan; dari caricare yang berarti bermuatan penuh atau berlebih-lebihan.
Karikatur berarti lukisan satirik dan berlebih-lebihan yang bertujuan sebagai
ungkapan kritik atau perlawanan sosial terhadap perorangan, lembaga, atau
peristiwa kemasyarakatan. Karikatur dalam arti luas sudah dikenal sejak lama,
bahkan berasal dari jaman Renaissance dan menunjukkan keterlibatan para
pelukis terhadap kepincangan-kepincangan masyarakat. Tidak jarang terjadi
bahwa lembaga pemerintah lebih takut menghadapi karikatur politik daripada
karangan politik biasa (Shadily, 1986: 1670).
Karikatur merupakan gambar tangan yang sifatnya melebih-lebihkan
sesuatu pertandaan, ciri, sifat, tindak atau gerak seseorang atau kelompok manusia
dengan cara yang menggelikan. Bidang yang ditempuh oleh karikaturis
kebanyakan adalah bidang politik (Shadily, 1993: 531). Karikatur identik dengan
tokoh-tokoh politik atau orang-orang yang karena peristiwa tertentu menjadi pusat
perhatian. Perubahan atau variasi bentuk jasmani terhadap tokoh-tokoh yang
digambarkan tidak selamanya dimaksudkan sebagai sindiran, tetapi dapat juga
hanya menampilkannya secara humoristis (Wijana, 2004: 7).
Karikatur dalam surat kabar memiliki peran besar dalam bentuk
ungkapannya yang efektif dan kritis. Karikatur cenderung berperan membentuk
dan mempengaruhi opini publik berdasarkan pada pandangan dari sebuah surat
kabar terhadap fenomena-fenomena yang terjadi dalam masyarakat. Persoalan-
persoalan aktual yang diungkapkan dalam karikatur meliputi persoalan politik,
sosial, budaya, hukum, ekonomi, pendidikan, dan lain-lain. Jadi, karikatur
merupakan bentuk ungkapan yang multideminsional dan multifungsional dalam
memberi tanggapan dan penilaian terhadap fenonena-fenomena yang terjadi
dalam masyarakat.
Peran dan fungsi karikatur terkait dengan misi sebuah surat kabar dalam
memberikan informasi terhadap pembaca. Jakob Oetama mengemukakan bahwa
karikatur adalah bagian surat kabar. Surat kabar dan karikatur yang baik tidak
sekadar menyajikan fakta, melainkan fakta dalam kaitan sosialnya, fakta dalam
tiga dimensi, yakni: akar, perkembangan aktual kini, dan perspektifnya (Sudarta,
1980: ix).
Karikatur dalam surat kabar sebagai bentuk ungkapan kritik politik
memiliki sisi menarik, yakni pemakaian bahasa satire dan persoalan etika politik.
Kecenderungan pemakaian gaya bahasa satire dalam karikatur terkait erat dengan
fenomena-fenomena politik aktual. Gaya bahasa satire dalam karikatur
dipengaruhi oleh sikap kritis untuk menyampaikan kritik politik pada individu,
kelompok, lembaga, atau negara.
Gaya bahasa dalam karikatur menjadi medium yang efektif untuk bisa
menyatakan kritik politik terhadap kebijakan yang diambil oleh elite politik atau
penguasa. Pada dasarnya gaya bahasa satire adalah ungkapan yang mentertawakan
atau menolak sesuatu. Bentuk-bentuknya banyak berisi kritik terhadap kelemahan
manusia (Keraf, 2000: 144). Pengertian satire sebagai bentuk ungkapan kritik
memiliki relevansi dengan persoalan etika politik yang terlihat dalam dinamika
politik Indonesia.


PKMI-3-17-4
Etika politik adalah sifat moral tentang dimensi politis kehidupan manusia.
Definisi ini bisa diartikan bahwa etika politik sekadar membicarakan nilai-nilai
moral terkait dengan persoalan politik tanpa menjadi suatu sistem atau cara
penyelesaian. Fungsi etika politik dalam masyarakat terbatas pada penyediaan
alat-alat teoretis untuk mempertanyakan serta menjelaskan legitimasi politik
secara bertanggung jawab. Jadi, tidak berdasarkan emosi, prasangka, dan apriori,
tetapi secara rasional, objektif, dan argumentatif (Magnis-Suseno, 1991: 2-8).
Penelitian tentang karikatur sudah dilakukan sebelumnya oleh Hendri
Dunan (1999) berjudul Analisis Karikatur Agoes Jumianto di Surat Kabar
Kedaulatan Rakyat pada Mei-Juni 1999 yang menyebutkan bahwa dalam
karikatur Agoes Jumianto terdapat kritik terhadap masalah politik, sosial, budaya,
dan pendidikan. Kritik terhadap masalah politik merupakan masalah yang
dominan, yakni terdapa 11 kritik politik dari 14 karikatur yang diteliti.
Penelitian oleh Dewi Savitri (2004) berjudul Kode Ringkas dalam
Wacana Karikatur yang membicarakan kode ringkas terkait dengan penanda
kohesi gramatikal yang meliputi referensi, substitusi, elipsis, dan konjungsi.
Penelitian kode ringkas tersebut dimaksudkan sebagai penjelasan dalam konteks
kebahasaan untuk memahami wacana karikatur.
Hasil-hasil penelitian tersebut merupakan acuan pendukung dalam
penelitian ini. Persamannya adalah meneliti wacana karikatur. Perbedaannya
adalah penelitian ini memberi perhatian pada gaya bahasa satire dan etika politik
yang terdapat dalam karikatur.
Tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan pemakaian gaya bahasa
satire dan menjelaskan makna etika politik dalam karikatur surat kabar harian
Solopos.

METODE PENELITIAN
Objek dalam penelitian ini adalah gaya bahasa satire dalam karikatur surat
kabar harian Solopos.
Penyediaan data adalah penyediaan data yang benar-benar data,
penyediaan data yang terjamin sepenuhnya akan kesahihannya (Sudaryanto, 1993:
131). Peneliti mengumpulkan dan mencatat data karikatur dari surat kabar harian
Solopos edisi 20 Januari, 22 Januari, 27 Januari, 19 Pebruari, dan 29 Maret 2005.
Teknik analisis data dalam penelitian ini menggunakan metode padan dan
agih. Metode padan adalah metode yang alat penentunya di luar, terlepas, dan
tidak menjadi bagian dari bahasa (langue) yang bersangkutan. Alat penentu yang
digunakan adalah referen yang disebut metode referensial dan langue lain yang
disebut metode tranlasional. Metode agih adalah metode yang alat penentunya
terdapat dalam bahasa yang bersangkutan itu sendiri. teknik lanjutan yang
digunakan adalah teknik perluas, yaitu melakukan perluasan unsur satuan lingual
ke kiri (ke depan) atau ke kanan (ke belakang) (Sudaryanto, 1993: 14-55).
Data yang sudah dianalisis disajikan oleh peneliti dalam pentuk penyajian
informal, yakni perumusan dengan kata-kata biasa (Sudaryanto, 1993: 145).
Artinya, hasil analisis data disajikan dengan menggunakan kata-kata biasa yang
disesuaikan dengan kaidah penulisan hasil penelitian.





PKMI-3-17-5
HASIL DAN PEMBAHASAN
Etika Politik dan Tanggung Jawab
Perhatikan gambar berikut:



Gambar 1. Solopos (20 Januari 2005)

Teks : UNTUK KURBAN APA KORBAN PAK?
Analisis : (Kambing-kambingnya) untuk kurban apa korban(,) Pak?

Gaya bahasa satire dalam karikatur pada gambar 1 ditunjukkan dari
tuturan seorang bocah pada seorang pejabat tentang dua kambing. Pertanyaan
kritis bocah tersebut merupakan representasi suara dari rakyat kecil terhadap
penguasa terkait dengan adanya perayaan Idhul Adha dan fenomena politik
Indonesia. Pertanyaan dengan mengajukan alternatif jawaban antara untuk kurban
atau korban menunjukkan adanya ejekan dan kritik terhadap perilaku para elite
politik.
Kambing putih dan kambing hitam bisa menjadi hewan kurban yang
disembelih dalam perayaan Idhul Adha asalkan memenuhi syarat-syarat tertentu.
Keberadaan kambing hitam dalam konteks politik adalah korban dari konspirasi
politik. Kambing hitam adalah orang, kelompok, atau lembaga yang harus
menanggung kesalahan dan dikorbankan sebagai akibat tindakan politik, meski
orang, kelompok, atau lembaga itu bukanlah pihak yang bersalah. Fenomena
kambing hitam mengacu pada catatan sejarah hukum dan politik Indonesia, yakni
elite politik memiliki kecenderungan menimpakan kesalahan pada orang atau
kelompok lain untuk mencari keselamatan diri dari tuntutan moral, hukum, dan
politik.
Kenyataan hukum dan politik di Indonesia sering memperlihatkan adanya
pengaburan dan pemutarbalikkan fakta suatu kasus dengan mencari kambing
hitam. Perilaku dari para elite politik dengan menghindar atau cuci tangan dari
suatu kasus sudah sering terjadi dan hal tersebut diketahui oleh masyarakat.
Perbuatan mencari kambing hitam atau menimpakan kesalahan dan tanggung
jawab pada orang lain, kelompok, atau lembaga merupakan tindakan yang
melanggar nilai-nilai etis dalam politik dan hukum.


PKMI-3-17-6
Relasi etika dengan tanggung jawab adalah kesediaan untuk bertanggung
jawab, termasuk kesediaan untuk diminta atau memberikan pertanggungjawaban
atas tindakan-tindakannya atas pelaksanaan tugas dan kewajibannya (Magnis-
Suseno, 1998: 146). Persoalan etika politik yang diungkapkan dalam karikatur
pada gambar 1 adalah persoalan tindakan dan tanggung jawab. Jadi tindakan
mencari kambing hitam merupakan tindakan yang tidak memenuhi tanggung
jawab etis dalam politik dan hukum.

Etika Politik dan Suksesi
Perhatikan gambar berikut:



Gambar 2. Solopos (22 Januari 2005)

Teks : MONGGO MIYOS MRIKI KANGMAS
LHA NJIH MONGGO, DIMAS
Analisis : Silahkan pergi ke sini, Kangmas.
Kalau begitu silahkan, Dimas.

Gaya bahasa satire dalam karikatur pada gambar 2 ditunjukkan dari
tuturan KGPH Tedjowulan pada KGPH Hangabehi. Tuturan dari KGPH
Tedjowulan merupakan ajakan untuk menempuh jalur hukum dalam
menyelesaikan persoalan suksesi di Keraton Kasunanan Surakarta. Tuturan itu
dijawab KGPH Hangabehi dengan menyetujui ajakan KGPH Tedjowulan.
Pemakaian tuturan tersebut cenderung sebagai ejekan dan sindiran terhadap
perilaku perilaku politik KGPH Tedjowulan dan KGPH Hangabehi dalam
perebutan kekuasaan untuk menjadi raja yang sah.
Perebutan kekuasaan dalam pandangan budaya Jawa pada dasarnya
menjadi persoalan kompleks yang dihadapi oleh individu dan masyarakat Jawa.
Pandangan Jawa tradisionalis mengakui bahwa kekuasaan bukanlah hasil
kekayaan, pengaruh, relasi, kekuatan fisik atau militer, kepintaran, atau keturunan
saja. Berusaha untuk mencapai kekuasaan melalui faktor-faktor empiris itu adalah
usaha bodoh. Hanya ada satu cara untuk merebut kekuasaan, yakni melalui
pemusatan tenaga kosmis (Magnis-Suseno, 1993: 103).


PKMI-3-17-7
Persoalan yang menjadi perhatian etika politik dalam karikatur pada
gambar 2 adalah suksesi dan legitimasi kekuasaan. Suksesi dalam sistem politik
modern adalah peritiwa perebutan, pengalihan, atau pergantian kekuasaan
membutuhkan legitimasi moral, hukum, dan politik. Padahal dalam pandangan
Jawa tradisional tidak mengenal legitimasi moral dan politik, sebab kekuasaan
bagi orang Jawa adalah realitas adi kodrati dan berdasarkan pada kekuatan kosmis
(Magnis-Suseno, 1993: 110-111).
Bentuk legitimasi kekuasaan raja Jawa sering didasarkan pada wahyu yang
diterimanya (Onghokham, 2003: 9). Paham kekuasaan ini berbenturan dengan
sistem politik modern yang menghendaki adanya legitimasi moral, hukum, dan
politik. Sistem politik modern tampak pengaruhnya pada suksesi di Keraton
Kasunanan Surakarta yang pada akhirnya ingin diselesaikan dengan menempuh
jalur hukum untuk menguatkan legitimasi kekuasaan raja.
Perebutan kekuasaan yang terjadi di Keraton Kasunanan Surakarta tampak
pada konflik dua sosok raja yang dinobatkan dengan klaim hak dan legitimasi
politik. Konflik internal seputar pemahaman pengganti Paku Buwono XII pada
akhirnya berujung pada penobatan dua raja dan langkah itulah yang dipilih oleh
putera puteri dalem Paku Buwono XII untuk mengakhiri masalah suksesi di
Keraton Kasunanan Surakarta (Utomo, 2004: 155).

Etika Politik dan Korupsi
Perhatikan gambar berikut:



Gambar 3. Solopos (27 Januari 2005)

Teks : MASIH 1.700 HARI LAGI KOK PAK
Analisis : (Waktunya) masih 1.7000 hari lagi kok(,) Pak.


Gaya bahasa satire dalam karikatur pada gambar 3 ditunjukkan dari
tuturan seorang koruptor pada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tentang
persoalan korupsi dan kinerja pemrintah. Tuturan koruptor tersebut merupakan
ejekan dan kritik terhadap kebijakan pemberantasan korupsi, kolusi, dan
nepotisme (KKN) sebagai bukti visi dan misi politik pemerintahan Susilo
Bambang Yudhoyono.


PKMI-3-17-8
Kebijakan pemberantasan korupsi diawali dengan program kerja 100 hari
sebagai bukti keseriusan pemerintah. Pada kenyataannya kebijakan
pemberantasan korupsi berjalan lambat dan cenderung sekadar sebagai janji atau
jargon politik saja, sebab banyak kasus korupsi yang tidak terungkap dan belum
bisa terungkap secara tuntas. Persoalan tersebut menjadi alasan bagi sosok
koruptor untuk mengingatkan masa pemerintahan yang tersisa untuk mengetahui
keseriusan pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono dalam pemberantasan
korupsi.
Kenyataan buruk KKN di Indonesia pada dasarnya melawan nilai-nilai
etika, hukum, dan demokrasi. KKN merupakan wujud paling buruk dan ganas dari
gejala kemorosotan moral dari kehidupan bermasyarakat dan berbangsa. KKN
adalah produk dari relasi sosial-politik dan ekonomi yang pincang dan tidak
manusiwai. Relasi yang dikembangkan adalah relasi yang diskriminatif, alienatif,
tidak terbuka, dan melecehkan kemanusiaan (Sumartana, 1999: 100).
Pada intinya korupsi adalah perwujudan immoral dari dorongan untuk
memperoleh sesuatu dengan metode pencurian dan penipuan (Alatas, 1987: 225).
Persoalan yang menjadi perhatian etika politik adalah tindakan korupsi sebagai
bentuk pelanggaran etika menimbulkan kerugian bagi rakyat terkait dengan
kepentingan politik, hukum, budaya, dan ekonomi. Kebijakan pemberantasan
korupsi harus didasarkan pada prinsip keberanian moral yang disertai dengan
tindakan hukum dan politik.


Etika Politik dan Keadilan Sosial
Perhatikan gambar berikut:


Gambar 4. Solopos (19 Pebruari 2005)

Teks : TENANG SAJA, NGGAK BIKIN KAGET KOK
Analisis : (Jangan)(khawatir)(,) tenang saja, (tidak) (membuat) kaget kok(,) (Pak.)
Gaya bahasa satire dalam karikatur pada gambar 4 ditunjukkan dari
tuturan seorang bocah pada seorang pejabat pemerintah tentang kebijakan
kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) yang akan diberlakukan mulai 1
Maret 2005. Tuturan bocah tersebut merupakan sindiran dan kritik terhadap
pemerintah atas kebijakan yang tidak memihak kepentingan rakyat kecil. Tuturan
ini secara implisit merupakan reaksi penolakan terhadap kenaikan harga BBM.


PKMI-3-17-9
Kebijakan pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono adalah kebijakan
dilematis yang dihadapi oleh pemerintahan-pemerintahan sebelumnya. Hal itulah
yang menyebabkan tuturan bocah menyatakan bahwa kebijakan pemerintah
tentang kenaikan harga BBM tidak membuat kaget atau mengejutkan rakyat kecil
sebab kebijakan itu sudah jadi masalah umum yang diketahui oleh masyarakat.
Persoalan etika politik yang menjadi perhatian dalam karikatur pada
gambar 4 adalah hak rakyat atas keadilan sosial dan perbaikan tingkat hidup yang
menjadi tanggung jawab negara. Hak keadilan sosial yang dituntut oleh rakyat
dihadapkan pada kebijakan pemerintah yang dengan pertimbangan-pertimbangan
tertentu terpaksa menaikkan harga BBM. Pemerintah dalam konteks politik
memiliki hak untuk menentukan kebijakan publik meski implementasinya tidak
sesuai dengan keinginan rakyat. Ketidaksesuaian tersebut menimbulkan implikasi
sosial terkait dengan nilai-nilai etika sosial dan norma politik, yakni kesadaran
hak dan kewajiban antara pemerintah dan rakyat dalam persoalan keadilan sosial.
Keadilan sosial adalah keadilan yang pelaksanaannya tergantung dari
struktur-struktur kekuasaan dalam masyarakat yang terdapat dalam bidang politik,
ekonomi, sosial, budaya, dan ideologi. Membangun keadilan sosial berarti
menciptakan struktur-struktur yang memungkinkan pelaksanaan keadilan
(Magnis-Suseno, 1988: 44). Keadilan sosial tersebut yang diinginkan rakyat
dengan tuntutan moral terhadap pemerintah atas kebijakan kenaikan harga BBM.

Etika Politk dan Partai Politik
Perhatikan gambar berikut:


Gambar 5. Solopos (29 Maret 2005)

Teks : TUNJUKKAN, BERDEMOKRASI DENGAN BAIK
Analisis : (Apakah) (bisa) (kau) tunjukkan, bagaimana berdemokrasi
dengan baik (dan) (dewasa)(?)

Gaya bahasa satire dalam karikatur pada gambar 5 ditunjukkan dari
tuturan seorang bocah pada seekor banteng sebagai lambang Partai Demokrasi
Indonesia Perjuangan (PDI-P) terkait dengan pelaksanaan kongres di Bali, 28
Maret-2 April 2005. Tuturan bocah tersebut merupakan ungkapan sindiran dan
kritik terhadap PDI-P sebagai partai politik besar yang memiliki pengaruh besar
dalam konstelasi politik di Indonesia.


PKMI-3-17-10
Peristiwa politik yang mempengaruhi citra PDI-P sebelum pelaksanaan
kongres di Bali adalah kericuhan dalam sidang DPR yang melibatkan para
fungsionaris PDI-P dan terjadinya perpecahan dalam tubuh partai terkait dengan
tuntutan suksesi kepemimpinan partai. Hal-hal tersebut yang menyebabkan
tuturan bocah menyatakan bahwa nilai-nilai demokrasi yang baik dan dewasa
yang seharusnya dimiliki dan dibuktikan oleh PDI-P.
PDI-P sebagai partai politik niscaya terkait dengan kepentingan kekuasaan
dan partisipasi politik. Sigmund Neumann menyebutkan bahwa partai politik
adalah organisasi dari aktivitas-aktivitas politik yang berusaha untuk menguasai
kekuasaan pemerintahan serta merebut dukungan rakyat atas dasar persaingan
dengan suatu golongan atau golongan-golongan lain yang mempunyai pandangan
berbeda (Budiarjo, 1992: 162). Berdasarkan pengertian tersebut PDI-P memiliki
tanggung jawab secara politis untuk menunjukkan diri sebagai partai yang bisa
mewujudkan nilai-nilai demokrasi sebagai paradigma politiknya.
Persoalan etika politik yang menjadi perhatian dalam karikatur pada gambar 5
terkait dengan aktivitas politik PDI-P yang diharapkan sesuai dengan moralitas
politik. Persoalan nilai-nilai demokrasi dituntut untuk bisa dimanifestasikan dalam
perilaku politik dan kebijakan partai. Moralitas politik dan nilai-nilai demokrasi
tersebut menjadi tuntutan yang ditujukan pada PDI-P dalam kongres di Bali
sebagai bentuk aktivitas partai politik dan pembelajaran politik bagi masyarakat
Indonesia.


KESIMPULAN

Karikatur dalam surat kabar harian Solopos memiliki keunikan dalam
pemakaian gaya bahasa satire dan pengungkapan persoalan etika politik.
Pemakaian gaya bahasa satire cenderung sebagai ungkapan ejekan, sindiran, dan
kritik terhadap fenomena-fenomena politik aktual di Indonesia. Karikatur dalam
surat kabar harian Solopos yang diteliti membuktikan bahwa karikatur mampu
merekam dan memberi penilaian yang efektif dan kritis terhadap suatu keadaan,
peristiwa, individu, kelompok, atau pemerintah dengan persoalan-persoalan yang
dihadapi.
Persoalan etika politik yang menjadi perhatian dalam karikatur surat kabar
harian Solopos terkait erat dengan implementasi nilai-nilai etis dalam politik,
hukum, agama, ekonomi, sosial, dan budaya. Etika politik menjadi penilaian yang
kritis terhadap bentuk penyimpangan, penentangan, pelecehan, dan pelanggaran
etika yang dipengaruhi oleh tindakan, peristiwa, dan situasi politis. Etika politik
dalam karikatur surat kabar harian Solopos yang diteliti memiliki relevansi dengan
persoalan tanggung jawab dalam politik dan hukum, suksesi di Keraton
Kasunanan Surakarta, pemberantasan korupsi, kebijakan kenaikan harga BBM,
dan kongres PDI-P di Bali.

DAFTAR PUSTAKA
Alatas, S.H. 1987. Korupsi: Sifat, Sebab, dan Fungsi. Jakarta: LP3ES.
Bertens, K. Etika. Jakarta: Gramedia.
Budiardjo, Miriam. 1992. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia.
Keraf, Gorys. 2000. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: Gramedia.


PKMI-3-17-11
Kridalaksana, Harimurti. 2001. Kamus linguistik. Jakarta; Gramedia.
Magnis, Frans von. 1979. Etika Umum: Masalah-masalah Pokok Filsafat Moral.
Yogyakarta: Kanisius.
Magnis-Suseno, Frans. 1998. Kuasa dan Moral. Jakarta: Gramedia.
_________________ . 1991. Etika Politik: Prinsip-prinsip Moral Dasar
Kenegaraan Modern. Jakarta: Gramedia.
__________________ . 1993. Etika Jawa: Sebuah Analisa Falsafi tentang
Kebijaksanaan Hidup Jawa. Jakarta: Gramedia.
____________________ . 1998. Etika Dasar: Masalah-masalah Pokok Filsafat
Moral. Yogyakarta: Kanisius.
Onghokham. 2003. Wahyu yang Hilang Negeri yang Guncang. Jakarta: Tempo
dan Freedom Institut.
Sudarta, G.M. 1980. Indonesia 1967-1980. Jakarta: Gramedia.
Sudaryanto. 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa. Yogyakarta: Duta
Wacana University Press.
Shadily, Hasan. 1986. Ensiklopedia Indonesia. Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve.
___________ . 1993. Ensiklopedia Umum. Yogyakarta: Kanisius.
Sumartana, Th. 1999. Etika dan Penanggulangan Korupsi, Kolusi, dan
Nepotisme di Era Reformasi dalam Edy Suandi Hamid dan Muhammad
Sayuti (Editor) Korupsi, Kolusi, Nepotisme di Indonesia. Yogyakarta:
Aditya Media.
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 1990. Kamus
Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Utomo, Mulyanto, Wahyu Susilo, dan Farid Achmadi. 2004. Di Balik Suksesi
Keraton Surakarta Hadiningrat. Surakarta: Aksara Solopos.
Wijana, I Dewa Putu. 2004. Kartun: Studi tentang Permainan Bahasa.
Yogyakarta: Ombak.


PKMI-3-18-1
KAJIAN KARAKTERISTIK SELAI TEMPE DENGAN VARIASI
PENAMBAHAN GULA DAN COKLAT BUBUK

Nuraini Dwi Kurniati, Dwi Lasetyoningsih, Yogi Huda Setyawan
PS Teknologi Hasil Pertanian, Universitas Slamet Riyadi, Surakarta

ABSTRAK
Tempe merupakan sumber protein nabati yang sangat potensial bagi kesehatan,
akan tetapi tempe masih dianggap sebagai makanan murah dan kurang
bergengsi. Penelitian ini dilakukan untuk mencari inovasi baru guna
meningkatkan penampilan dan cita rasa tempe yaitu dalam bentuk selai tempe.
Penelitian menggunakan Rancangan Acak Kelompok Lengkap (RAKL) dengan
dua faktor perlakuan, yaitu penambahan gula (250 g, 300 g , dan 350 g) dan
coklat bubuk (0 g, 10 g, dan 20 g) dianalisis dengan uji sidik ragam dan
dilanjutkan Uji Jarak Berganda Ducan (DMRT). Hasil Penelitian menunjukkan
bahwa konsumen menyukai selai tempe dengan penambahan gula 350 g dan
coklat bubuk 20 g. Selai tempe pada perlakuan tersebut mempunyai kadar protein
30,207 % , kadar gula total 63,418 % , kadar air 27,833 % , kadar abu 0,980
%, kadar padatan tidak terlarut 0,800
0
brix , warna coklat sangat tua (4,730),
rasa sangat manis (3,100), agak terasa tempe (1,800), aroma tempe tidak nyata
(1,470), dan sangat mudah dioles (3,300).

Kata Kunci : Selai tempe, Gula, Coklat bubuk

PENDAHULUAN
Indonesia merupakan negara penghasil tempe terbesar di dunia dan
menjadi pasar kedelai terbesar di Asia. Sekitar 57 persen dari konsumsi kedelai
Indonesia dikonsumsi dalam bentuk tempe, 38 persen dikonsumsi dalam bentuk
tahu dan sisanya dikonsumsi dalam produk lain (tauco, kecap, dan lain-lain). Pada
tahun 1990 konsumsi tempe orang Indonesia mencapai 1,8 juta ton atau sekitar
1.048.800 ton (Sarwono, 1994).
Tempe merupakan salah satu makanan tradisional yang sudah berabad-
abad dikenal di Indonesia, terutama dalam tatanan budaya makan masyarakat
Jawa khususnya Surakarta dan Jogjakarta. Tempe diolah melalui proses
fermentasi, dengan bahan dasar kacang-kacangan (kedelai) yang diinokulasi
dengan jamur Rhizopus sp, yang berwarna putih kapas sehingga terbentuk padatan
kompak berwarna putih kapas karena diselubungi miselia jamur pada
permukaannya. Jamur Rhizupos sp merupakan salah satu jamur yang dapat
menguraikan protein dalam kedelai menjadi asam amino sehingga lebih mudah
dicerna oleh tubuh (Steinkraus, 1983).
Tempe sebagai makanan fungsional sering dianggap sebagai makanan
yang kurang bergengsi karena dikonotasikan dengan kalangan rakyat jelata yang
miskin dan papa. Untuk meningkatkan penerimaan masyarakat terhadap tempe
maka perlu dicari inovasi baru terhadap produk olahan tempe sehingga cita rasa
dan penampilannya menjadi lebih bergengsi, salah satunya dibuat selai tempe.
Permasalahan dalam pembuatan tempe adalah bau langu yang berasal dari kedelai,
yang menyebabkan selai tempe sedikit beraroma langu sehingga konsumen
kurang menyukai, untuk mengatasi hal tersebut perlu ditambahkan suatu bahan
yang dapat mengurangi aroma langu tersebut. Salah satunya dengan penambahan


PKMI-3-18-2
coklat bubuk. Penambahan coklat bubuk dan gula dapat berpengaruh terhadap
penerimaan konsumen, kemudahan dioles, karakteristik selai tempe yang
dihasilkan serta memberikan warna yang lebih menarik pada produk tersebut.
Penelitian ini bertujuan untuk menentukan jumlah penambahan gula dan coklat
bubuk sehingga dapat dihasilkan selai tempe yang disukai konsumen.

METODE PENELITIAN
Rancangan Percobaan
Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok
Lengkap (RAKL) Faktorial. Faktor I : variasi penambahan gula (250 g, 300 g,
350 g). Faktor II : variasi penambahan coklat bubuk (0 g, 10 g, 20 g). Sehingga
diperoleh 9 kombinasi perlakuan yang masing-masing diulang 3 kali. Data yang
diperoleh dianalisis dengan sidik ragam F pada jenjang 0,05. Jika ada beda nyata
dilanjutkan Uji Jarak Berganda Duncan (DMRT) 5% untuk mengetahui beda
nyata antar perlakuan.

Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Rekayasa Pengolahan Pangan,
Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Slamet Riyadi Surakarta. Waktu
penelitian selama 4 bulan, mulai bulan April s/d Juli 2005.

Bahan dan Alat Penelitian
Bahan penelitian terdiri atas tempe kedelai segar dengan waktu inkubasi
40 jam, gula pasir, coklat bubuk (cacao powder), garam halus, air, vanilli.
Bahan analisis yang digunakan antara lain : xylene, alcohol, aquadest,
glukosa standar, larutan fenol 5 %, asam sulfat (H
2
SO
4
96 %), bovin serum
albumin (BSA), trichloro acetic acid (TCA), reagen D, reagen E, larutan buffer
didapat dari Brataco Surakarta dan UGM Yogyakarta.
Peralatan yang digunakan untuk analisis menyewa di Laboratorium FTP
UNISRI, antara lain : spektrometer, elektromantel, alat destilasi, hand
refraktometer, kurs, muffle furnace, eksikator, dan peralatan gelas pyrex.

Cara Penelitian
Resep Selai Tempe Untuk Penelitian
- 200 g tempe kedelai segar, 900 ml air, 1 g vanilli, 0,3 g garam halus.
- 250 g, 300 g , 350 g gula pasir (sesuai perlakuan)
- 0 g, 10 g, 20 g coklat bubuk (sesuai perlakuan)

Proses Pembuatan Selai Tempe
Tempe segar dengan waktu inkubasi 40 jam, ditimbang 200 gram. Tempe diiris
tipis-tipis setebal 3 mm, dikukus 20 menit pada suhu 80
0
C - 90
0
C, kemudian
dihaluskan/diblender dengan ditambah 200 ml air. Tempe yang telah dihaluskan
dicampur dengan bahan-bahan yang lain yaitu gula pasir (250 g, 300 g, 350 g), air
700 ml, vanilli 1 g, garam halus 0,3 g dan coklat bubuk (0 g, 10 g, 20 g), lalu
dimasak selama 45 menit. Selai diaduk agar tidak mengerak/gosong, supaya
semua bahan dapat tercampur, mencegah pengendapan, serta panasnya pun dapat
merata. Dilakukan analisis yang meliputi uji organoleptik, kadar air, kadar abu,
kadar protein, kadar padatan tidak terlarut dan kadar gula total.


PKMI-3-18-3
Cara Pengumpulan Data
Untuk mengumpulkan data yang diperlukan dari perlakuan dilakukan analisis
- Kadar air dengan metode destilasi toluena (Baedhowi dan
Pranggonowati,1982).
- Kadar abu (AOAC, 1992)
- Kadar gula total (Apriyantono et al., 1989)
- Kadar protein dengan metode Lowry Follin (AOAC, 1992)
- Kadar padatan tidak terlarut (Gardjito dan Wardana, 2003)
- Analisis organoleptik meliputi rasa, warna, aroma, serta kemudahan dioles
dengan metode skoring dan kesukaan keseluruhan metode hedonic tes (Utami,
1992).

HASIL
Tabel 1. Hasil Analisis Selai Tempe
Perlakuan

Gula Coklat
bubuk
Kadar
Protein
(%)
Kadar
Gula Total
(%)
Kadar Air
(%)
Kadar
Abu
(%)
Padatan
Tidak
Terlarut
(brix)
250 g 0 g 21,028 c 17,671 a 20,940 a 0,519 a 0,180 a
300 g 10 g 30,021 e 19,467 b 21,934 b 0,645 a 0,205 ab
350 g 20 g 39,375 g 25,276 c 23,880 c 0,748 a 0,350 ab
250 g 0 g 18,154 b 27,520 d 23,928 c 0,694 a 0,405 abc
300 g 10 g 35,991 f 29,803 e 25,620 d 0,777 a 0,500 abc
350 g 20 g 36,232 f 35,834 f 26,393 e 0,833 a 0,550 abc
250 g 0 g 14,365 a 53,688 g 24,974 c 0,798 a 0,750 bc
300 g 10 g 24,539 d 60,277 h 25,974 de 0,858 a 0,800 c
350 g 20 g 30,207 e 63,418 i 27,833 f 0,980 a 0,800 c
Keterangan : Rerata yang diikuti huruf yang berbeda pada kolom yang sama
menunjukkan berbeda nyata pada taraf signifikan 5 %



Tabel 2. Hasil Analisis Uji Organoleptik Selai Tempe
Perlakuan
Gula Coklat
bubuk
Warna Rasa
Manis
Rasa
Tempe
Aroma Kemudahan
Dioles
Kesukaan
Keseluruhan
250 g 0 g 1,130 a 2,870 a 3,200 d 2,400 d 2,600 bc 2,070 a
300 g 10 g 2,800 b 2,870 a 2,060 abc 2,100 abc 1,930 a 2,670 ab
350 g 20 g 4,470 d 2,600 a 1,870 ab 1,600 ab 2,470 ab 3,470 c
250 g 0 g 1400 a 3,060 ab 2,530 bc 2,200 bc 3,300 c 2,270 ab
300 g 10 g 2,930 bc 2,800 a 2,330 abc 2,270 bc 3,000 c 2,870 bc
350 g 20 g 4,600 d 3,100 ab 2,000 ab 1,470 a 2,870 bc 3,470 c
250 g 0 g 1,400 a 3,730 b 2,400 abc 2,130 abc 5,470 d 2,070 a
300 g 10 g 3,470 c 3,130 ab 2,730 cd 1,800 abc 3,200 c 2,470 ab
350 g 20 g 4,730 d 3,100 ab 1,800 a 1,470 a 3,300 c 3,470 c
Keterangan : Rerata yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada kolom yang sama
menunjukkan berbeda nyata pada taraf signifikasi 5 %.




PKMI-3-18-4
Analisis organoleptik :
Warna = Purata semakin tinggi menunjukkan warna selai
semakin coklat tua (coklat gelap).
Rasa manis = Purata semakin tinggi menunjukkan nilai rasa
manis semakin tinggi/manis.
Rasa tempe = Purata semakin rendah menunjukkan rasa tempe
semakin tidak terasa.
Aroma = Purata semakin rendah menunjukkan aroma tempe
semakin tidak nyata.
Kemudahan dioles = Purata semakin tinggi menunjukkan semakin mudah dioles.
Kesukaan keseluruhan = Purata semakin tinggi menunjukkan selai tempe semakin
disukai.

PEMBAHASAN
Kadar Air
Hasil analisis selai tempe terhadap semua jenis variasi perlakukan
menunjukkan beda nyata pada taraf signifikan 5 %. Semakin banyak gula dan
coklat bubuk yang ditambahkan semakin tinggi pula kadar air selai tempe. Hal ini
disebabkan kadar air pada selai tempe dipengaruhi oleh gula yang bersifat
mengikat air. Selain itu dengan kadar gula yang tinggi, pada saat pemasakan gula
akan membentuk gel yang berupa jendalan, sehingga air yang ada dalam selai
tempe sukar menguap. Penambahan coklat bubuk juga mempengaruhi kadar air
selai tempe karena coklat bubuk memiliki sifat yang dapat mengikat air. Keadaan
tersebut menyebabkan semakin banyak gula dan coklat bubuk yang ditambahkan
kadar air selai tempe semakin meningkat.

Kadar Gula Total
Hasil analisis kadar gula total selai tempe terhadap semua jenis variasi
perlakuan menunjukkan beda nyata pada taraf signifikan 5 %. Semakin banyak
sukrosa yang ditambahkan maka kadar gula total cenderung akan naik. Hal ini
dikarenakan semakin banyak pula kadar gula total yang ada pada bahan
pencampurnya. Kadar gula total dinyatakan banyaknya sukrosa yang terkandung
dalam bahan tersebut.

Kadar Protein
Hasil analisis kadar protein selai tempe menunjukkan bahwa ada pengaruh
yang nyata antar perlakuan. Hasil analisis protein menunjukkan bahwa kadar
protein pada semua kondisi penambahan coklat bubuk mempunyai kecenderungan
meningkat, karena pada penelitian ini analisis protein dilakukan dengan metode
Lowry Follin. Metode ini dapat mengukur kandungan protein larutan sampel
berdasarkan warna biru yang terjadi oleh pereaksi Follin Ciocalteu. Semakin
banyak coklat bubuk yang ditambahkan warna pada larutan sampel selai tempe
yang dianalisis semakin biru tua (mendekati hitam), maka nilai absorbansinya
semakin meningkat. Sebaliknya semakin sedikit coklat bubuk yang ditambahkan
atau tanpa penambahan coklat bubuk, warna pada larutan sampel selai tempe
semakin biru muda, nilai absorbansinya pun semakin kecil.
Pengukuran kadar protein dengan metode Lowry Follin ini berdasarkan
warna yang dideteksi pada larutan sampel pada panjang gelombang 540 nm.
Seperti halnya pada penelitian ini, apabila warna larutan sampel terlalu gelap atau
6


PKMI-3-18-5
pekat, maka perlu adanya pengenceran hingga warna larutan sampel tersebut
dapat dideteksi pada panjang gelombang yang telah ditentukan, yaitu 540 nm.
Kandungan protein gula lebih rendah dari kandungan protein tempe,
sehingga semakin banyak gula yang ditambahkan kadar protein selai tempe
semakin menurun, hal ini sesuai dengan tabel 1.

Kadar Abu
Hasil analisis kadar abu selai tempe, menunjukkan bahwa penambahan
gula dan coklat bubuk berpengaruh tidak nyata terhadap kadar abu selai tempe
Semakin banyak gula yang ditambahkan, kadar abu selai tempe semakin
meningkat. Hal ini diduga karena adanya sisa zat anorganik yang digunakan pada
proses pembuatan gula yaitu proses pemutihan, seperti bubur kapur tohor
(Ca(OH)
2
). Sebagai bahan dasar pembuatan gula pasir, nira yang dihasilkan dari
perasan tebu juga mengandung banyak zat anorganik seperti P
2
O
5
, SO
3
, K
2
O,
MgO, dan CaO (Martoharsono, 1979).
Pada penambahan coklat bubuk yang semakin besar, kadar abu selai tempe
juga semakin meningkat, karena diduga coklat bubuk yang digunakan
mengandung kotoran baik bahan mineral ataupun komponen anorganik.

Kadar Padatan Tidak Terlarut
Hasil analisis menunjukkan bahwa penambahan gula dan coklat bubuk
berpengaruh tidak nyata terhadap kadar padatan tidak terlarut selai tempe.
Semakin besar gula dan coklat bubuk yang ditambahkan menyebabkan
kadar padatan tidak terlarut selai tempe semakin meningkat. Hal ini karena diduga
penggunaan kapur tohor (Ca(OH)
2
) pada proses penjernihan nira dan pemutihan
gula berpenguruh pada kadar padatan tidak terlarut selai tempe, karena ion OH
menyebabkan pH nira berubah, pada pH tertentu asam anorganik dan organik
akan mengion dan bereaksi dengan ion kalsium dan membentuk garam yang tidak
larut seperti Ca-Oksalat, Ca-fosfat, dan Ca-SO
4
(Martoharsono, 1979). Adanya
garam yang tidak larut ini berpengaruh pada kadar padatan tidak terlarut selai
tempe.
Pada penambahan coklat bubuk, semakin banyak coklat bubuk yang
ditambahkan, kadar padatan tidak terlarut selai tempe semakin besar. Hal ini
disebabkan coklat bubuk mengandung serat, salah satu sifat serat adalah tidak
larut dalam air. Dalam 100 g coklat bubuk mengandung 5,8 g serat (Anonim,
2004).

Uji Organoleptik
Uji organoleptik selai tempe dilakukan untuk mengetahui tingkat
penerimaan dan tingkat kesukaan panelis terhadap selai tempe tervariasi yang
dihasilkan. Hasil analisis uji organoleptik dapat dilihat pada tabel 2.

Warna Selai Tempe
Hasil analisis menunjukkan bahwa penambahan gula berpengaruh tidak
nyata terhadap warna selai tempe, sedangkan penambahan coklat bubuk
berpengaruh nyata terhadap warna selai tempe.
Hasil pengukuran warna selai tempe tertinggi yaitu 4,730 menunjukkan
warna coklat sangat tua diperoleh dari perlakuan penambahan 350 g gula dan 20 g
coklat bubuk. Hal ini karena pada perlakuan tersebut penambahan gula dan coklat
7
8


PKMI-3-18-6
bubuk adalah yang terbesar sehingga warna coklat yang didapat selain dari
penambahan coklat bubuk sendiri juga dari penambahan gula. Pada kadar gula
yang tinggi selama proses pemanasan akan mengalami reaksi pencoklatan, yang
terjadi karena proses karamelisasi yaitu reaksi antara gula reduksi dengan asam
amino bebas (Winarno, 1984).
Untuk purata terendah menunjukkan warna coklat muda sekali diperoleh
dari perlakuan penambahan 250 g gula dan 0 g coklat bubuk sebesar 1,130. Ada
kecenderungan penambahan gula dan coklat bubuk sangat mempengaruhi warna
selai tempe. Semakin banyak gula dan coklat bubuk yang ditambahkan warna
selai tempe akan semakin coklat gelap (coklat sangat tua sekali).

Rasa Manis Selai Tempe
Hasil analisis menunjukkan bahwa penambahan gula berpengaruh nyata
terhadap rasa manis selai tempe sedangkan penambahan coklat bubuk
berpengaruh tidak nyata terhadap rasa manis selai tempe.
Hasil pengukuran menunjukkan bahwa rasa manis selai tempe tertinggi
yaitu sangat manis diperoleh dari perlakuan penambahan 350 g gula dan 0 g
coklat bubuk, sebesar 3,730 karena pada perlakuan tersebut digunakan kadar gula
paling tinggi serta tanpa ada penambahan coklat bubuk. Coklat bubuk sendiri
mengandung kafein sebesar 36,0 mg/100 g (Anonim, 2004) yang dapat
berpengaruh pada rasa manis selai tempe karena kafein memiliki senyawa yang
dapat menimbulkan rasa pahit. Untuk rasa manis selai tempe terendah diperoleh
dari perlakuan penambahan 250 g gula dan 20 g coklat bubuk sebesar 2,600. Hal
ini karena pada perlakuan tersebut penambahan gula adalah terendah tetapi
penambahan coklat bubuk terbesar, sehingga rasa manis tidak begitu nyata karena
dipengaruhi oleh kafein yang terkandung dalam coklat bubuk.

Rasa Tempe Pada Selai Tempe
Hasil analisis menunjukkan bahwa penambahan gula berpengaruh tidak
nyata terhadap rasa tempe pada selai tempe, sedangkan penambahan coklat bubuk
berpengaruh nyata terhadap rasa tempe pada selai tempe.
Purata pengukuran rasa tempe pada selai tempe menunjukkan rasa tempe
sangat terasa sekali yaitu 3,200 diperoleh dari perlakuan penambahan 250 g gula
dan 0 g coklat bubuk. Hal ini disebabkan pada perlakuan tersebut tanpa ada
penambahan coklat bubuk, kadar gulanya juga paling rendah sehingga rasa tempe
sangat nyata sekali terutama rasa langu dari kedelai.
Untuk purata terendah yaitu 1,800 menunjukkan rasa tempe sangat tidak
terasa diperoleh dari perlakuan penambahan 350 g gula dan 20 g coklat bubuk.
Karena pada perlakuan tersebut penambahan gula dan coklat bubuk adalah yang
terbesar, sehingga rasa langu dari kedelai dapat tertutupi. Selain itu penambahan
coklat bubuk juga memberi rasa yang berbeda pada selai tempe dibandingkan
tanpa penambahan coklat bubuk. Hal ini juga dipengaruhi kurang meratanya
pengadukan selama pemasakan. Penambahan coklat bubuk dapat berpengaruh
pada rasa tempe yang ada (rasa tempe akan berkurang). Semakin banyak coklat
bubuk yang ditambahkan rasa tempe semakin tidak nyata atau tidak terasa.

Aroma Selai Tempe
Hasil analisis varian menunjukkan adanya kecenderungan bahwa aroma
selai tempe yang dihasilkan semakin spesifik aroma tempe seiring berkurangnya
9


PKMI-3-18-7
coklat bubuk yang ditambahkan atau tanpa penambahan coklat bubuk. Hasil
analisis menunjukkan bahwa penambahan gula berpengaruh tidak nyata terhadap
aroma selai tempe dan penambahan coklat bubuk berpengaruh nyata terhadap
aroma selai tempe
Tabel 2. menunjukkan bahwa aroma selai tempe terbesar, sangat nyata
aroma tempe diperoleh pada perlakuan penambahan 250 g gula dan 0 g coklat
bubuk yaitu sebesar 2,400 karena pada perlakuan tersebut tanpa ada penambahan
coklat bubuk sehingga aroma langu dari tempe sangat nyata. Sedangkan aroma
tempe sangat tidak nyata pada penambahan 300 g gula dan 30 g coklat bubuk
serta penambahan 350 g gula dan 30 g coklat bubuk yaitu sebesar 1,470. Hal ini
disebabkan karena adanya aroma coklat bubuk yang kuat sehingga bau langu
tempe dapat tertutupi.

Kemudahan Dioles Selai Tempe
Hasil analisis menunjukkan bahwa penambahan gula dan coklat bubuk
berpengaruh nyata terhadap tingkat kemudahan dioles selai tempe.
Tabel 2. menunjukkan bahwa selai tempe sangat tidak mudah dioles
diperoleh dari penambahan 250 g gula dan 10 g coklat bubuk yaitu sebesar 1,930.
Untuk selai tempe sangat mudah dioles diperoleh pada penambahan 350 g gula
dan 0 g coklat bubuk. Hal ini dipengaruhi oleh besarnya penambahan gula,
dengan kadar gula yang tinggi selai akan mudah dioles karena gula akan
membantu pembentukan tekstur selai dan menghasilkan penampakan yang ideal.
Kekurangan gula akan membentuk gel yang kurang kuat yang dapat berpengaruh
pada konsistensi selai sehingga daya oles selai pun menjadi rendah (Suryani et al.,
2004). Untuk waktu pemasakan pada semua perlakuan sama yaitu 45 menit
sehingga air yang teruapkan sama besar.

Kesukaan Keseluruhan Selai Tempe
Hasil analisis menunjukkan bahwa penambahan gula berpengaruh tidak
nyata terhadap tingkat kesukaan keseluruhan selai tempe dan penambahan coklat
bubuk berpengaruh nyata terhadap tingkat kesukaan keseluruhan selai tempe.
Tabel 2. menunjukkan bahwa purata kesukaan keseluruhan selai tempe,
pada penambahan 20 g coklat bubuk untuk setiap penambahan gula yang berbeda
(250 g, 300 g, 350 g gula) yaitu sebesar 3,470 sangat disukai oleh panelis. Hal ini
karena pada ketiga perlakuan tersebut penambahan coklat adalah terbesar. Selai
tempe yang dihasilkan pun memiliki aroma coklat yang sangat kuat sehingga
aroma dan bau langu tempe tidak nyata lagi (aroma dan bau langu tempe
tertutupi). Ada kecenderungan semakin banyak coklat bubuk yang ditambahkan
maka bau langu, rasa dan aroma tempe semakin tidak nyata.
Berdasarkan kriteria mutu selai (Anonim, 1994) dan tingkat kemudahan
dioles, dari ketiga perlakuan tersebut di atas masing-masing memiliki kelebihan
dan kekurangan, dapat dilihat pada tabel 2, apabila ketiga perlakuan di atas
dibandingkan, hasil yang paling optimal diperoleh dari perlakuan penambahan
350 g gula dan penambahan 20 g coklat bubuk. Untuk purata tingkat sangat tidak
disukai adalah pada perlakuan penambahan 0 g coklat bubuk dan penambahan
250 g gula serta penambahan 350 g gula yang menunjukan penerimaan panelis
sama pada perlakuan tersebut yaitu sebesar 2,070 dikarenakan pada kedua
perlakuan tersebut tanpa ada penambahan coklat bubuk sehingga bau langu, rasa
10
11


PKMI-3-18-8
dan aroma tempe sangat nyata. Ada kecenderungan naik turunnya purata kesukaan
keseluruhan selai tempe dipengaruhi oleh faktor kesukaan individu setiap panelis.

KESIMPULAN
Penambahan gula berpengaruh nyata terhadap kadar air, kadar gula total,
dan kadar protein.. Semakin banyak gula yang ditambahkan kadar air, kadar gula
total, kadar abu, dan kadar padatan tidak terlarut serta tingkat kemudahan selai
untuk dioles semakin meningkat. Akan tetapi kadar protein semakin menurun.
Penambahan coklat bubuk berpengaruh nyata terhadap kadar air, kadar
gula total, dan kadar protein . Semakin banyak coklat bubuk yang ditambahkan
kadar air, kadar gula total, kadar protein, kadar abu dan kadar padatan tidak
terlarut semakin meningkat.
Berdasarkan kriteria mutu selai (Anonim, 1994) dan uji organoleptik maka
hasil penelitian menunjukkan bahwa hasil yang paling disukai panelis diperoleh
dari perlakuan penambahan 350 g gula dan penambahan 20 g coklat bubuk,
dengan kadar protein 30,207 %, kadar gula total 63,418 %, kadar air 27,833 %,
kadar abu 0,980 %, kadar padatan tidak terlarut 0,800
0
brix, warna coklat sangat
tua (4,730), rasa sangat manis (3,100), agak terasa rasa tempe (1,800), aroma
tempe tidak nyata (1,470), dan sangat mudah dioles (3,300).

DAFTAR PUSTAKA
Anonim. (1994). Standar Nasional Indonesia Selai. Jakarta : Dewan Standarisasi
Nasional.
Anonim. (2004). Coklat bubuk. http/www/geogle.com
AOAC., (1992). Official Methods Of Analysis Of The Association Of Official
Analylical Chemist. Washington DC : Benyamin Franklin.
Apriyantono, A., Dedi Fardiaz, Niluh Puspita, Sedarnawati, Slamet Budiyanto.
(1989). Petunjuk Laboratorium Analisa Pangan. Bogor : Pusat Antar
Universitas Pangan dan Gizi IPB.
Badhowie dan Pranggonowati, Sri, B. (1982). Petunjuk Praktek Pengawasan
Mutu Hasil Pertanian I. Jakarta : Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan.
Gardjito, Murdiyati dan Wardana, Agung Setya. (2003). Holtikultura Teknik
Analisa Pasca Panen. Jogjakarta : Transmedia.
Martoharsono, Soeharsono. (1997). Pengolahan Tebu (Saccharum Officinarum)
Menjadi Gula. Jogjakarta : Yayasan Pembina Fakultas Teknologi
Pertanian, UGM.
Sarwono, B. (1994). Membuat Tempe dan Oncom. Jakarta : Penebar Swadaya.
Steinkraus, K.H. (1983). Hand Book Of Idigenous Fermented Food. New York :
Marcel Dekker Inc.
Suryani, Ani, Erliza Hambali dan Mira Rivai. (2004). Membuat Aneka Selai.
Jakarta : Penebar Swadaya.
Utami, I.S. (1992). Uji Inderawi. Evaluasi Tekstur, Warna, Profil Sensoris.
Jogjakarta : PAU Pangan dan Gizi UGM.
Winarno, F.G. (1984). Pengantar Teknologi Pertanian. Jakarta : PT Gramedia
Pustaka Utama.
12


PKMI-3-19-1
PERBANDINGAN KINERJA MIDDLE MANAJER PERUSAHAAN
MULTINASIONAL DAN NASIONAL

Eka Wulandiri, Reny Maulidia A. dan Yessi Winatasari
Program Studi Akuntansi-Fakultas Ekonomi-Universitas Muhammadiyah Malang

ABSTRAK
Globalisasi berakibat menjamurnya perusahaan multinasional di dunia, tidak
terkecuali di Indonesia. Perbedaan kebudayaan antara negara asal dengan
negara tuan rumah merupakan satu hal yang penting untuk dipertimbangkan. Top
manajer dan middle manajer pada perusahaan multinasional harus beradaptasi
satu sama lain, sehingga dapat tercapai keselarasan antara keinginan bawahan
dengan kebijakan top manajer di dalam perusahaan. Manajer perusahaan
nasional kemungkinan besar tidak memiliki kesulitan dengan perbedaan budaya.
Sehingga diharapkan kinerja manajer, terutama middle manajer, perusahaan
nasional dapat lebih baik dari perusahaan multinasional. Tujuan dari penelitian
ini adalah untuk mengetahui kinerja manajer mana yang terbaik. Penelitian ini
dilakukan terhadap 30 middle manajer perusahaan multinasional dan 34 middle
manajer perusahaan nasional. Hasil analisis t-test menunjukkan bahwa kinerja
middle manajer pada perusahaan multinasional lebih baik daripada middle
manajer perusahaan nasional (t = 2,067, = 0,043). Hal ini menunjukkan
indikasi bahwa masalah perbedaan budaya pada perusahaan multinasional dapat
diselesaikan dengan baik dan terjadi keselarasan antara keinginan dan
kebutuhan pimpinan tertinggi dengan middle manajer perusahaan.

Kata kunci : kebudayaan, kinerja manajer, multinasional, nasional

PENDAHULUAN
Salah satu dimensi utama gelombang globalisasi adalah globalisasi dalam
investasi, yang mendorong pertumbuhan dan penyebaran perusahaan
multinasional (Multinational Corporation / MNC). MNC merupakan perusahaan
yang melakukan bisnis meliputi sejumlah negara (multinasional) dan biasanya
diatur dalam suatu divisi produk global (Kuncoro, 2003:297).
Hal ini yang mendorong perusahaan untuk melakukan ekspansi ke luar
negeri, diantaranya adalah untuk: (1) mencari dan mengejar keuntungan global;
(2) mencari dan memperoleh bahan mentah; dan (3) melayani market secara
langsung. Banyaknya alasan perusahaan untuk berekspansi, sepadan dengan
rumitnya cara untuk mengatur dan menjalankannya. MNC bisa saja eksis dan
berkembang, tapi tidak menutup kemungkinan perusahaan itu akan merugi.
Semua itu tergantung bagaimana seorang manajer MNC mampu beradaptasi
dengan lingkungan yang baru.
Manajer MNC menghadapi masalah organisasi yang multidimensi, dan
yang paling menyita perhatian manajer adalah masalah geografi yang terkait
dengan kebudayaan negara tuan rumah. Para manajer MNC harus
menyelaraskan Management Control System (MCS) mereka dengan kebudayaan
negara di mana mereka beroperasi
Hofstede (dalam Robbins, 2002:29) menyatakan bahwa ada empat dimensi
kebudayaan nasional, yaitu: (1) jarak kekuasaan (power distance); (2) dimensi
individualistis vs kolektivitas; (3) penghindaran ketidakpastian (uncertainty


PKMI-3-19-2
advoidance); dan (4) maskulinitas dan femininitas. Jarak kekuasaan adalah
perbedaan status dan otoritas antara atasan dan bawahan. Perbedaan ini
mempengaruhi kegiatan Sumber Daya Manusia, yaitu sikap yang berbeda
terhadap otoritas manajemen. Maksud dimensi individualistis vs kolektivitas
adalah di mana sebagian orang di suatu negara lebih cenderung untuk bersifat
individual dibandingkan untuk bersama-sama. Hal ini berakibat sedikitnya
kompetisi individu di negara yang menganut dimensi kolektivitas. Dimensi
penghindaran terhadap ketidakpastian mengacu kepada kecenderungan
masyarakat pada suatu negara tehadap situasi yang terstruktur dan tidak
terstruktur. Kegunaan faktor ini adalah untuk mengantisipasi bagaimana seorang
di negara asing akan bereaksi terhadap perubahan di dalam organisasi. Sedang
dimensi maskulinitas vs femininitas mengacu pada tingkat dimana nilai
maskulinitas (sikap asertif, orientasi pada kinerja, kesuksesan dan kompetisi)
menang terhadap nilai femininitas (kualitas hidup, kedekatan hubungan pribadi
dan perhatian).
Amerika Serikat, negara yang perekonomiannya sudah sangat maju dan
memiliki perusahaan multinasional (MNC) di banyak negara, memiliki sedikit
jarak kekuasaan, yang berarti semakin kecilnya perbedaan status dan otoritas
antara atasan dan bawahan. Para manajer di Amerika Serikat cenderung
menganggap bawahan sebagai rekan kerja dan bersikap demokratis dalam
pengambilan keputusan. Mengenai dimensi individualitas, Amerika Serikat
memiliki tingkat individualisme paling tinggi, sehingga mampu mendorong
kompetisi antar individu. Masyarakat Amerika Serikat juga lebih fleksibel
terhadap sesuatu yang tidak pasti dan cenderung menganggapnya sebagai suatu
tantangan untuk berwirausaha dengan resiko yang harus diterima. Selain itu,
masyarakat Amerika Serikat memiliki dimensi kebudayaan maskulinitas yang
tinggi, yang dapat mempengaruhi penugasan seorang wanita pada tingkat manajer
(Mathis dan Jackson, 2001:125)
Tentunya ada kesamaan dan perbedaan kebudayaan dari tiap-tiap negara.
Disini penulis ingin menyoroti kesamaan dan perbedaan negara kita, Indonesia,
dengan kebudayaan negara barat, seperti Amerika Serikat. Masyarakat Indonesia
cukup fleksibel terhadap hal-hal yang tidak pasti, dan ini merupakan kesamaan
budaya Indonesia dengan Amerika Serikat. Selain itu, saat ini Indonesia mulai
bergerak menuju dimensi maskulinitas. Hal ini dibuktikan dengan tumbuhnya
keberanian perusahaan-perusahaan untuk mempercayakan jabatan-jabatan penting
di perusahaan kepada wanita. Mengenai dimensi jarak kekuasaan (power
distance) dan individualitas vs kolektivitas, Indonesia benar-benar berbeda dengan
Amerika Serikat. Di Indonesia, masih terdapat jarak kekuasaan yang tinggi yang
mengakibatkan besarnya perbedaan status dan otoritas antara atasan dan bawahan,
dan pendekatan manajemen cenderung bersifat otokrasi. Hal ini bisa dibuktikan
dengan kuatnya paternalisme di Indonesia dan pentingnya perbedaan status.
Selain itu di Indonesia juga memiliki dimensi kolektivitas yang tinggi. Mereka
cenderung untuk mengerjakan segala sesuatunya bersama-sama sehingga tidak
mampu mendorong kompetisi antar individu (Danandjaja, 1986:61).
Berlatar belakang diatas, dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan
budaya yang sangat signifikan antara negara barat khususnya Amerika Serikat
dengan Indonesia. Seorang middle manajer perusahaan multinasional harus
menyelaraskan sistem yang digunakan dan kebijakan top manajer dengan


PKMI-3-19-3
kebudayaan bawahannya. Sedangkan middle manajer perusahaan nasional tidak
menghadapi permasalahan yang sama karena tidak terdapat kesulitan yang
disebabkan perbedaan kebudayaan. Karena permasalahan yang dihadapi middle
manajer perusahaan nasional tidak begitu kompleks, dengan demikian dapat
diharapkan kinerja middle manajer di perusahaan ini akan lebih baik daripada
kinerja middle manajer perusahaan multinasional.
Oleh karena itu, penulis ingin membuktikannya dengan cara
membandingkan kinerja middle manajer milik perusahaan multinasional Amerika
Serikat dengan middle manajer perusahaan nasional. Dari hasil penelitian
diharapkan dapat diketahui kinerja middle manajer mana yang terbaik dan dapat
dijadikan pertimbangan bagi para manajer dalam aplikasi sistem manajemen di
perusahaannya. Selain itu, hasil penelitian ini juga dapat dijadikan bahan
pertimbangan untuk penelitian selanjutnya, yakni terkait dengan mengapa kinerja
middle manajer tersebut lebih baik.

METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan untuk membandingkan kinerja manajer tingkat
menengah yang bekerja pada perusahaan multinasional dan perusahaan nasional.
Dalam pengumpulan data kinerja manajer, penelitian ini menggunakan kuesioner
seperti yang digunakan oleh Mahoney et al. (1965). Kinerja setiap manajer diukur
berdasarkan persepsi dari masing-masing manajer tentang kemampuan mereka
pada delapan bidang berikut: perencanaan, penyelidikan, pengkoordinasian,
pengevaluasian, pengawasan, pengaturan kerja, negosiasi, dan perwakilan. Selain
itu para manajer juga diminta untuk menilai kemampuan manajerial mereka
secara keseluruhan (skala 1-7, lihat lampiran 1). Mahoney et al. (1965)
menyatakan bahwa jika hasil regresi dari kedelapan bidang kinerja tersebut
terhadap kinerja keseluruhan mencapai nilai R-square minimal 55%, maka nilai
kinerja keseluruhan bisa digunakan sebagai single item untuk mngukur kinerja
manajer. Oleh karena itu dalam penelitian ini, jika nilai R-square memenuhi
(55%) maka analisis lebih lanjut akan dilakukan hanya terhadap respon yang
berkaitan dengan kinerja manajer secara keseluruhan. Untuk mengetahui
karakteristik responden maka kuesioner dilengkapi dengan beberapa pertanyataan
yang berkaitan dengan data demografi, meliputi jenis kelamin, usia, kualifikasi
pendidikan, dan lama bekerja.

Tahapan pelaksanaan penelitian adalah sebagai berikut:
a. Pemilihan responden penelitian
- Satu perusahaan multinasional milik Amerika Serikat dan satu perusahaan
nasional ditentukan peneliti berdasarkan pertimbangan kesediaan data dari
perusahaan tersebut.
- Responden adalah mereka yang memiliki karakteristik sebagai middle
manajer yang bertanggung jawab atas divisi, departemen atau unit tertentu
dalam perusahaan tersebut.
- 60 kuesioner didistribusikan secara acak kepada middle manajer di masing-
masing perusahaan tersebut.
- 30 respon diperoleh dari manajer perusahaan multinasional dan 34 respon
diperoleh dari perusahaan nasional.



PKMI-3-19-4
b. Pembahasan hasil dan analisis data
- Profil Responden
Profil responden disajikan untuk mengetahui secara rinci persamaan dan
perbedaan karakteristik manajer yang diteliti.
- Descriptive statistics
Ringkasan hasil descriptive statistic disajikan sebelum menganalisis
perbedaan kinerja manajer untuk memberikan gambaran distribusi kinerja
manajer yang meliputi nilai rata-rata, nilai minimum dan nilai maksimum.
- Untuk menguji perbedaan kinerja manajer dari kedua perusahaan tersebut,
dilakukan analisa statistik Compare Mean-Independent samples t-test
(Coakes & Steed, 2003, p.70). Untuk menguji signifikansi perbedaan
kinerja tersebut, penulis memilih alpha 5% untuk mendapatkan tingkat
keyakinan 95%. Apabila tingkat signifikansi dari hasil analisis data
menunjukkan nilai dibawah 0.05, maka dapat disimpulkan bahwa kinerja
manajer kedua jenis perusahaan tersebut berbeda secara signifikan.

HASIL
Tabel 1. Profil Middle Manajer
Multinasional Nasional
No Profil Uraian
Frekuensi % Frekuensi %
Laki-laki 23 76,7 16 47,1
1 Jenis Kelamin
Perempuan 7 23,3 18 52,9
20 29 1 3,3 6 17,6
30 39 25 83,3 14 41,2
40 49 4 13,3 10 29,4
2 Usia (tahun)
50 0 0 4 11,8
SMU 2 6,7 4 11,8
S1 14 46,7 24 70,6
Diploma 7 23,3 5 14,7
3
Kualifikasi
Pendidikan
S2 atau S3 6 20 1 2,9
< 1 1 3,3 4 11,8
1 5 13 43,3 7 20,6
6 10 16 53,3 12 35,3
4
Lama Bekerja
(tahun)
> 10 0 0 11 32,4

Tabel 2. Descriptive Statistics
Actual Range Possible Range Tipe
Perusahaan
N Mean
Standard
Deviation Min Max Min Max
Multinasional 30 5,60 0,814 2 6 1 7 Overall
Performance Nasional 34 5,15 0,925 3 7 1 7

Tabel 3. Independent Sample T-Test Tiap Bidang Kinerja
Bidang Kinerja T Sig. Keterangan
Perencanaan 1,116 0,269 Tidak Signifikan
Penyelidikan 1,807 0,076 Signifikan*
Pengkoordinasian 1,489 0,142 Tidak Signifikan**
Pengevaluasian 0,706 0,483 Tidak Signifikan
Pengawasan 0,903 0,370 Tidak Signifikan
Pengaturan Pekerja -0,316 0,753 Tidak Signifikan
Negosiasi 1,555 0,125 Tidak Signifikan**
Perwakilan 0,943 0,349 Tidak Signifikan
* = Signifikan pada = 0,1 , ** = Mendekati signifikan pada = 0,1


PKMI-3-19-5
Tabel 4. Regresi Linear 8 bidang kinerja dengan Kinerja Keseluruhan
Model R R Square Adjusted R Square
Std. Error of the
Estimate
1 0,767(a) 0,588 0,528 0,616

Tabel 5. Independent Sample T-Test Kinerja Keseluruhan
Levenes Test
for Equality of
Variances
t-test for Equality of Means
95% Confidence
Interfal of the
Different

F Sig. t Df
Sig.
(2-
tailed)
Mean
Differ
ence
Std.
Error
Differ
ence Lower Upper
Equal
variances
assumed
0,209 0,649 2,067 62 0,043 0,453 0,219 0,015 0,891 Ove-
rall
Perf
orma
nce
Equal
variances
not
assumed
2,083 62,000 0,041 0,453 0,217 0,018 0,888

PEMBAHASAN
Data profil middle manajer pada table 1 menunjukkan bahwa pada
perusahaan multinasional yang diteliti, manajer yang berjenis kelamin laki-laki
lebih banyak (76,7 %). Sedangkan pada perusahaan nasional, manajer yang
berjenis kelamin laki-laki hanya 47,1 %. Dari perhitungan tersebut diketahui
bahwa perusahaan multinasional yang diteliti kemungkinan lebih mempercayakan
kedudukan middle manajer pada laki-laki.
Berkaitan dengan usia, pada perusahaan multinasional dan nasional
jabatan manajer paling banyak diduduki oleh manajer yang berusia 30 -39 tahun.
Pada perusahaan multinasional tidak terdapat manajer yang berusia 50 tahun atau
lebih, sedangkan pada perusahaan nasional masih terdapat manajer yang berusia
50 tahun atau lebih. Hal ini mungkin dikarenakan perusahaan multinasional
menganggap usia 30 39 tahun merupakan usia paling produktif dan memiliki
pengalaman yang cukup, yang dibuktikan dengan 83,3 % manajernya berusia 30 -
39 tahun. Sedangkan pada perusahaan nasional, manajer dengan usia 30 -39 tahun
hanya 41,2 %.
Pada perusahaan multinasional, kedudukan manajer lebih banyak
dipegang oleh mereka yang berpendidikan S1 yakni sebesar 46,7 %. Akan tetapi,
jumlah manajer yang berpendidikan Diploma dan S2 atau S3 relatif sama.
Sedangkan pada perusahaan nasional, manajer dengan pendidikan S1 ditunjukan
pada tabel sebesar 70,6 %. Ini berarti, kualifikasi pendidikan merupakan faktor
yang cukup berpengaruh untuk memperoleh jabatan manajer.
Perusahaan multinasional dan nasional memiliki pandangan yang sama
terkait dengan pemberian kepercayaan jabatan middle manajer yakni pada mereka
yang bekerja 1 10 tahun. Akan tetapi, pada perusahaan multinasional sudah
tidak terdapat jabatan middle manajer yang diduduki oleh mereka yang usia
kerjanya lebih dari 10 tahun. Ini menunjukkan bahwa pada perusahan
multinasional memiliki rentan waktu yang cukup singkat dalam restrukturisasi
jabatan.


PKMI-3-19-6
Overall performance pada perusahaan multinasional memiliki nilai
minimum 3 dan nilai maksimum 7. Sedangkan pada perusahaan nasional memiliki
nilai minimum 2 dan nilai maksimum 6. Ini berarti tidak ada middle manajer yang
menganggap kinerjanya berada pada tingkat terendah. Kinerja middle manajer
pada perusahaan multinasional nampak lebih baik daripada perusahaan nasional.
Hal ini dibuktikan dengan hasil perhitungan (pada tabel 2) yang menunjukkan
rata-rata 5,60 pada perusahaan multinasional, sedangkan pada perusahaan
nasional sebesar 5,15 ini mengindikasikan para middle manajer pada perusahaan
multinasional dapat menyelaraskan sistem manajemen perusahaannya dengan
kebudayaan Indonesia.
Tabel 3 menunjukkan perbandingan masing-masing bidang kinerja middle
manajer. Hasil t-test menunjukkan bahwa hanya kinerja penyelidikan yang
berbeda secara signifikan. Akan tetapi, karena hasil regresi linear antara delapan
bidang kinerja dengan variable kinerja keseluruhan menunjukkan R Square lebih
dari 55% (table 4, R Square 58,8%) maka variable kinerja keseluruhan digunakan
sebagai single indikator dari kinerja manajer.
Berdasarkan tabel 5, tes levene mempunyai tingkat probabilitas > 0,05
(0,649) ini berarti varian dari kedua populasi tersebut seimbang. Oleh karena itu,
kita dapat menggunakan nilai t, df, dan Sig.2-tailed untuk mengetahui sinifikansi
perbedaan kinerja manajer. Pada tabel 5 diketahui bahwa nilai Sig.2-tailed < 0,05
(0,043), hal ini berarti perbedaan kinerja manajer kedua perusahaan tersebut
secara statistik terbukti signifikan. Artinya, kinerja middle manajer perusahaan
multinasional lebih baik daripada perusahaan nasional. Dengan demikian, dugaan
bahwa kinerja middle manajer perusahaan nasional akan lebih baik daripada
perusahaan multinasional tidak terbukti. Hal ini menunjukkan bahwa middle
manajer perusahaan multinasional dapat menyelaraskan sistem yang digunakan
dan kebijakan top manajer dengan kebudayaan bawahannya.

KESIMPULAN
Berdasarkan hasil dan pembahasaan di atas, dapat disimpulkan bahwa
jabatan middle manajer pada perusahaan multinasional yang diteliti lebih banyak
diduduki oleh mereka yang berjenis kelamin laki-laki, berusia 30 39 tahun,
berpendidikan S1, dan memiliki lama kerja 1 10 tahun. Meskipun terdapat
perbedaan budaya yang cukup signifikan antara Amerika Serikat dengan
Indonesia, akan tetapi, mereka dapat menyelaraskan sistem dan budaya mereka
dengan baik. Hal ini terbukti dari hasil dan pembahasan di atas, yang
menunjukkan bahwa kinerja middle manajer pada perusahaan multinasional lebih
baik daripada kinerja middle manajer pada perusahaan nasional.

DAFTAR PUSTAKA
Coakes, S.J. & Steed, L.G. 2003, SPSS analysis without anguish version 11 for
windows. Australia : John Wiley.
Danandjaja, Andreas A. 1986. Sistem Nilai Manajer I ndonesia : Tinjauan Kritis
Berdasar Penelitian. Jakarta : Pertja.
Dubrin, Andrew J. 2005. Leadership. Jakarta : Prenada.
Kuncoro, Mudrajat. 2003. Ekonomi Pembangunan : Teori, Masalah, dan
Kebijakan. Yogyakarta : AMP YKPN.


PKMI-3-19-7
Mahoney, T.A, Jerdee, T.H. & Carroll, S.J. 1965, The job(s) of management,
I ndustrial Relations, pp. 97- 110.
Mathis, Robert L. & John H. Jackson. 2001. Manajemen Sumber Daya Manusia.
Jakarta : Salemba Empat.
Merchant, Kenneth A. & Win A. Van der Stede. 2003. Management Control
Systems : Performance Measurement, Evaluation and I ncentives.
England. : Prentice Hall.
Robbins, Stephen P. 2002. Prinsip-prinsip Perilaku Organisasi. Jakarta :
Erlangga.


PKMI-3-20-1
PERBAIKAN SIFAT TANAH LEMPUNG EEKSPANSIF
MENGGUNAKAN ABU TERBANG (FLY ASH)

Abib Nur Rahman, Zainul Fauzi, Aaan Suyuti
Jurusan Teknik Sipil Universitas Widyagama Malang, Malang

ABSTRAK
Tanah ekspansif yang mempunyai perilaku kembang susut yang besar karena
pengaruh perubahan kadar air akan menyebabkan kerusakan kerusakan pada
struktur bangunan diatasnya. Untuk mengatasi hal ini, salah satu metode yang
berkembang di Indonesia adalah dengan melakukan stabilisasi tanah dengan
bahan kimia. Metode stabilisasi kimia yang digunakan dalam penelitian ini
adalah stabilisasi dengan menggunakan abu batubara (fly ash). Bahan aditif ini
digunakan karena relatif murah harganya dan ketersediaan material ini sangat
melimpah dengan semakin banyaknya pembangunan PLTU. Tanah lempung
ekspansif yang distabilisasi diambil dari perumahan Citra Raya Surabaya. Hasil
stabilisasi diukur dengan melakukan pengujian terhadap sifat-sifat fisik dan
mekanik tanah ekspansif natural dan yang telah distabilisasi. Komposisi
campuran abu batubara sebesar 5%, 10%, 15% dan 20% dengan masa
pemeraman selama 7 hari. Hasil penelitian menunjukkan nilai Indeks Plastisitas
(IP) tanah asli 48, 590% setelah distabilisasi menjadi 14, 368% dengan kadar
abu batubara 15% . Nilai potensial pengembangan tanah asli sebesar 10, 512%
setelah distabilisasi dengan abu batubara menjadi 6, 670% kadar campuran 10%.
Untuk kuat geser tanah asli sebesar 0,940 kg/cm
2
menjadi 2,556 kg/cm
2
untuk
stabilisasi dengan abu batubara kadar 10%.

Kata kunci: ekspansif, stabilisasi, abu batubara, indeks plastisitas, kuat geser.

PENDAHULUAN
Penelitian tentang tanah sangat dibutuhkan untuk menjamin stabilitas
bangunan karena kekuatan struktur secara langsung akan dipengaruhi oleh
kemampuan tanah dasar atau fondasi setempat dalam menerima dan meneruskan
beban yang bekerja. Lempung merupakan salah satu jenis tanah yang sangat
dipengaruhi oleh kadar air dan mempunyai sifat cukup kompleks. Kadar air
mempengaruhi sifat kembang susut dan kohesinya. Lempung yang memiliki
fluktusi kembang susut tinggi disebut lempung ekspansif. Tanah ekspansif ini
sering menimbulkan kerusakan pada bangunan seperti retaknya dinding,
terangkatnya pondasi, jalan bergelombang dan sebagainya.
Penelitian tentang tanah lempung ekspansif sudah banyak dilakukan, akan
tetapi penelitian terbuka luas terutama usaha perbaikan sifat kembang susut
dengan bahan tambah dikaitkan dengan pengukuran tekanan pengembangan
secara langsung. Dalam penelitian ini dilakukan, usaha stabilitasi kimiawi
lempung dengan penambahan kapur sebagai stabilizing agent untuk mengurangi
tekanan pengembangan lempung ekspansif.

Sifat Umum Tanah
Dalam pandangan teknik sipil, tanah adalah himpunan mineral, bahan
organik dan endapan-endapan yang relatif lepas (loose), yang terletak diatas
batuan dasar (bedrock). Ikatan antara butiran yang relatif lemah dapat disebabkan


PKMI-3-20-2
oleh karbonat, zat organik atau oksida-oksida yang mengendap diantara partikel-
partikel. Ruang diantara partikel-partikel dapat berisi air, udara ataupun keduanya
(Hardiyatmo,1992).
Tanah digunakan sebagai bahan bangunan pada berbagai macam pekerjaan
sipil, berfungsi juga sebagai pendukung pondasi dari bangunan. Jadi seorang
teknik sipil harus mempelajari sifat-sifat dasar tanah seperti; asal-usulnya,
penyebaran ukuran butiran, daya rembesan, sifat kemampatan bila dibebani
(compressibility), kekeuatan geser, kapasitas daya dukung terhadap beban dan
lain-lain.

Karakteristik Tanah Lempung Ekspansif
ASTM memberi batasan bahwa secara fisik ukuran lempung adalah lolos
saringan No. 200, sama dengan batasan ukuran lanau. Untuk menentukan jenis
lempung tidak culup hanya dilihat dari ukuran butirannya saja tetapi perlu
diketahui mineral pembentuknya.
Menurut Chen (1975), mineral lempung terdiri dari tiga komponen penting
yaitu montmorillonite, illite dan kaolinite. Mineral montmorilinite mempunyai
luas permukaan lebih besar dan sangat mudah menyerap air dalam jumlah banyak
bila dibandingkan dengan mineral lainnya, sehingga tanah yang mempunyai
kepekaan terhadap pengaruh air ini sangat mudah mengembang. Karena sifat-sifat
tersebut montmorilonite sangat sering menimbulkan masalah pada bangunan.
Montmorilonite mempunyai tingkat pengembangan yang paling tinggi, mineral ini
terdiri atas Na-montmorillonite dan Ca-montmorilonite.
Jenis dan jumlah kandungan mineral mempengaruhi tingkat
pengembangan tanah. ONeill dan Poormoeyed (1980) menyatakan bahwa uji
difraksi sinar X dan uji daya pertukaran kation sangat berguna untuk menentukan
jenis mineral tanahnya, sehingga dapat ditentukan bentuk dan unsure struktur
kristalnya (Hotlz dan Kovaes, 1981). Disamping uji difraksi sinar X, analisa kimia
juga diperlukan untuk mengetahui bentuk isomer, letak dan jenis kation serta
pertukaran kation yang terjadi dalam struktur tanah.

Klasifikasi Tanah Lempung Ekspansif
Berdasarkan nilai aktifitas dan indeks plastisitas dari tanah, maka tanah
mengembang dapat diklasifikasikan menjadi empat jenis yaitu:
1. Tanah Sangat Mengembang (Very High Ekspansion Soil)
Tanah sangat mengembang mempunyai kemampuan mengembang dan
menyusut yang sangat besar. Dimana perubahan volume total pada kondisi
kering permukaan (dry saturated condition) > 30%, indeks plastisitasnya >
30%, kadar air koloit yang terkandung dalam tanah tersebut > 28% dan batas
susutnya < 11 (Holyz dan Kovacs,1981).
2. Tanah Mengembang Tinggi (High Ekspansion Soil)
Biasanya tanah akan mempunyai sifat mengembang yang tinggi apabila
kemungkinan perubahan volume total pada kondisi kering permukaannya
berkisar antara 20% sampai 30%, indeks plastisitasnya berkisar antara 25%
sampai 30% dan batas susutnya berkisar antara 7 sampai 12 (Holyz dan
Kovacs,1981).
3. Tanah Mengembang Sedang ( Medium Ekspansion Soil)


PKMI-3-20-3
Tanah mengembang sedang ini mempunyai perubahan volume totalnya pada
kondisi kering permukaan ( Dry Saturated Condition) berkisar antara 10%
sampai 20%, indeks plastisitasnya berkisar antara 15 sampai 28 kandungan
koloitnya berkisar antara 13% sampai 23%, dan batas susutnya berkisar
antara 10 sampai 16 (Holyz dan Kovacs,1981).
4. Tanah Mengembang Rendah (Low Ekspansion Soil)
Tanah mengembang rendah terjadi bila kemungkinan perubahan volume
totalnya pada kondisi kering permukaan ( Dry Saturated Condition) < 10%,
indeks plastisitasnya < 18 kandungan koloitnya < 15% dan batas susutnya >
15 (Holyz dan Kovacs,1981).

Mekanisme Penyusutan Tanah Lempung Ekspansif
Peristiwa kapiler pada tanah terjadi bila tanah dalam keadaan tidak jenuh
(nonsaturated). Pada peristiwa ini tegangan efektif antara butiran tanah
( = - U) akan lebih besar dari pada tegangan efektif mula-mula. Hal ini
disebabkan harga tegangan air pori (u) pada peristiwa kapiler adalah negatif.
Sehingga massa tanah seakan-akan tertekan dan volumenya cenderung menyusut
(strinking). Penyusutan ini terjadi dalam tiga arah (3 dimensi). Semakin kecil
kadar air tanah makin besar tegangan kapiler. Hal ini mengakibatkan pula
tegangan efektif yang timbul semakin besar.
Berkurangnya kadar air dalam tanah umumnya terjadi karena proses
pengeringan. Jadi dapat dikatakan bahwa penyusutan (stranking) pada tanah
(terutama tanah lempung), yaitu pengurangan volume tanah akibat berkurangnya
kadar air umumnya terjadi pada musim kemarau.

Mekanisme Pengembangan Tanah Lempung Ekspansuf
Pengembangan yang terjadi dalam tanah pada dasarnya adalah merupakan
penambahan volume dalam tanah tersebut.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Van der Merwe (1964)
menunjukan bahwa potensi penambahan volume tanah akibat peningkatan kadar
air, tergantung kepada indeks plastisitas, gradasi butir dan tekanan overburden.
Sedangkan menurut Komornik dan David (1969) pengembangan tanah dapat
disebabkan oleh dua hal yaitu;
1. Sebab Mekanis
Pengembangan tanah disebabkan oleh peristiwa yang merupakan kebalikan
dari peristiwa kapiler. Bila kadar air dalam tanah dan tanah menjadi jenuh
karena peningkatan kadar air dari kadar air tanah asli, maka tegangan kapiler
akan mengecil serta tegangan air pori dapat sama dengan tegangan hidrostatis
biasa. Sehingga menyebabkan berkurangnya tegangan efektif antar butiran
tanah dan tanah cenderung untuk mengembang kembali pada volume semula.
2. Sebab Fisika Kimia
Pengembangan yang disebabkan oleh masuknya air diantara partikel-partikel
lempung jenis tertentu, misalnya montmorillonite, mengakibatkan
membesarnya jarak antar unit lapisan struktur dasar sehingga volume tanah
menjadi meningkat. Kondisi ini terjdi pada saat kadar air dalam tanah naik.




PKMI-3-20-4
Abu Terbang (Fly Ash)
Abu Terbang (Fly Ash) adalah bagian dari hasil pembakaran batu bara
pada pabrik peleburan baja yang dibawa keluar dari tungku pembakaran melalui
dust colector atau hasil pembakaran batu bara pada pusat pembangkit listrik
tenaga uap yang dibawa keluar melalui ketel uap (boiler) melewati cerobong asap
dan disuling dengan electrostatic precipitator atau dengan cyclone separators.
Abu terbang berbentuk partikel halus yang dapat dipandang sebagai silt
(lanau) halus yang tidak plastis berdasarkan Unifielt Soil Classification System,
tidak porous dan memiliki sifat pozzolanik. Sifat pozzolanik yang dimiliki oleh
abu terbang dikarenakan abu terbang mengandung bahan pozzolan yaitu, silika
dan kalsium.
Sifat-sifat abu terbang yang telah diproduksi diberbagai tempat didunia ini
tidak seragam disebabkan komponen mineral pembentuk batu bara bervariasi dari
satu tempat ke tempat lainnya. Selanjutnya ketidak seragaman tersebut dapat
dihasilkan karena proses pembakaran batu bara, kehalusan batu bara selama
proses pembakaran dan tipe tungku pembakaran yang digunakan.
Menurut ASTM C618, komposisi kimia abu terbang mengandung
minimum 70% oksida-oksida yaitu silica (SiO
2
), alumina (Al
2
O
3
), ferric oxida
((Fe
2
O
3
), dan calcium oxida (CaO). Keempat unsur tersebut merupakan unsur
pokok kimianya. Sedangkan unsur kimia lainnya adalah sulfat atau titaniun oxida
(TiO
2
), magnesium oxida (MgO), alkali (Na
2
O dan K
2
O), sulphur trioxida (SO
3
),
phosphorous oxida (P
2
O
5
) serta sejumlah carbon.

Stabilisasi Tanah Lempung Ekspansif (Soil Stabilization)
Salah satu upaya untuk mendapatkan sifat tanah yang memenuhi syarat-
syarat teknis tertentu adalah dengan metode stabilisasi tanah . Metode stabilisasi
tanah dapat dibagi menjadi 2 klasifikasi utama yaitu berdasarkan sifat teknisnya
dan berdasarkan pada tujuannya, dimana beberapa variasi dapat digunakan. Dari
sifat teknisnya, stabilisasi dapat dibagi menjadi 3 jenis yaitu :
1. Stabilisasi Mekanis.
Yaitu perbaikan tanah yang dilakukan tanpa penambahan bahan-bahan lain ke
dalam tanah. Perubahan terhadap sifat-sifat tanah tersebut adalah:
a. Membuang udara atau mengurangi volume rongga dari tanah dengan cara
dipadatkan.
b. Menjaga kadar air dalam suatu batas yang konstan, misalnya dengan
drainase.
a. Perbaikan gradasi, yaitu menambahkan fraksi tanah yang masih kurang.
2. Stabilisasi Fisik.
Yaitu dengan memanfaatkan perubahan-perubahan fisik yang terjadi seperti:
a. Hidrasi, misalnya proses hidrasi semen akan membentuk ikatan antar
partikel tanah sehingga campuran semen tanah akan mengeras.
b. Adsorpsi, seperti yang terjadi pada stabilisasi dengan bitumen, dimana
aspal harus dicairkan dulu atau dipanaskan agar dapat bercampur.
3. Stabilisasi Kimiawi.
Yaitu dengan menggunakan reaksi kimia yang akan mengakibatkan perubahan
sifat atau karakteristik tanah misalnya:
a. Proses pertukaran ion, dimana terjadi reaksi pertukaran ion-ion antara
butiran-butiran tanah.


PKMI-3-20-5
b. Pengendapan, yaitu dengan menyampur dua macam campuran, sehingga
akan menimbulkan suatu campuran baru yang dapat memadatkan tanah.

Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian skripsi ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui pengaruh penambahan abu terbang terhadap sifat-sifat fisik
tanah lempung ekspansif yang meliputi ; Atterberg Test, Spesifik Grafity (Gs),
Permeabilitas (k), Berat Volume ( ), Kadar Air (w) dan Uji Pemadatan
(compaction test).
2. Untuk mengetahui bagaimana pengaruh penambahan abu terbang terhadap
sifat-sifat mekanik tanah lempung mengembang yang meliputi ; CBR,
Swelling, dan Unconfined Compresion.

METODE PENELITIAN
Tempat Penelitian
Dalam penelitian ini, tanah lempung ekspansif diambil dari daerah
perumahan Citra Raya Darmo Surabaya dengan bahan penstabilisasi adalah abu
terbang (fly ash) yang diambil dari PLTU Paiton Proboliongg. Penelitian ini
dilakukan di laboratorium mekanika tanah Teknik Sipil Universitas Widyagama
Malang mulai Maret s/d Agustus 2004.
Rancangan Penelitian

Gambar 1. Diagram Alir Penelitian
Pengujian Tanah Asli
- Analisis Hidrometer
- Atterberg Test (Konsistensi/Kekentalan)
- Standart Compaction Test(Pemadatan Standar)
- Specific Grafity (Berat J enis)
- Berat Volume ( )
- Permeabilitas (k)
- Kadar Air ( )

Pencampuran / Pembuatan Benda Uji
Tanah + 5%
Abu Terbang
Tanah + 10%
Abu Terbang
Tanah + 15 %
Abu Terbang
- Compaction Test - Permeabilitas (k)
- Atterberg Test - Berat Volume ( )
- Specific Grafity - Kadar Air ( )
Penambahan Kadar Air (OMC)
Pemeraman / Perawatan: 7 hari
Pengujian Benda Uji
Hasil Penelitian
Tanah + 20% Abu
Terbang
START
Tanah +0%
Abu Terbang
- CBR
- SWELLING
- UNCONFINED COMPRESSION
Persiapan Tanah dan Peralatan
Kesimpulan dan Saran
Selesai


PKMI-3-20-6
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil Penelitian Sifat - Sifat Fisik Tanah Lempung Ekspansif
Hasil Pemeriksaaan Berat Volume ( )
Dari hasil pengamatan berat volume, diperoleh hasil pada tabel 3.1. Pada
pengamatan tersebut diperoleh peningkatan nilai berat volume pada tanah
campuran terhadap tanah asli.

Tabel 3.1. Hasil pengamatan Berat Volume
Perlakuan Berat Volume ( )
Tanah Asli
Tanah Asli + 5% Abu Terbang
Tanah Asli + 10% Abu Terbang
Tanah Asli + 15% Abu Terbang
Tanah Asli + 20% Abu Terbang
3,25
3,94
3,97
3,94
4,12

Hasil Pemeriksaaan Kadar Air (w)
Dari hasil pengamatan kadar air, diperoleh hasil pada tabel 3.2. Pada
pengamatan tersebut diperoleh penurunan nilai kadar air pada tanah campuran
terhadap tanah asli.

Tabel 3.2. Hasil Pengamatan Kadar Air
Perlakuan Kadar Air (w), %
Tanah Asli
Tanah Asli + 5% Abu Terbang
Tanah Asli + 10% Abu Terbang
Tanah Asli + 15% Abu Terbang
Tanah Asli + 20% Abu Terbang
14,49
8,13
9,34
7,34
6,84

Hasil Pemeriksaaan Berat J enis (Gs) dan Batas-Batas Atteberg
Dari hasil pengamatan berat jenis, diperoleh hasil pada table 3.3. Pada
pengamatan tersebut diperoleh peningkatan nilai berat jenis pada tanah campuran
terhadap tanah asli. Hal ini disebabkan berat jenis bahan campuran abu terbang
memiliki berat jenis yang lebih besar daripada berat jenis tanah asli.

Tabel 3.3. Hasil Pengamatan Berat Jenis
Perlakuan Spesifik Gravity (Gs)
Tanah Asli
Tanah Asli + 5% Abu Terbang
Tanah Asli + 10% Abu Terbang
Tanah Asli + 15% Abu Terbang
Tanah Asli + 20% Abu Terbang
2,352
2,688
2,610
2,536
2,937

Tabel 3.4. Hasil Atteberg Limit
Material LL (%) PL (%) PI (%) SL (%)
Tanah Asli 88,358 42,468 45,890 20,056
Tanah Asli + 5% Abu Terbang 71,048 27,771 43,277 19,19
Tanah Asli + 10% Abu Terbang 65,347 28,322 37,025 12,53
Tanah Asli + 15% Abu Terbang 56,178 41,810 14,368 7,12


PKMI-3-20-7
Hasil Pemeriksaaan Pemadatan Standar
Dari hasil uji pemadatan tanah standar cara A, diperoleh nilai kadar air
optimum (OMC) dan berat isi kering ( d ) maksimum seperti pada tabel 3.5

Tabel 3.5. Hasil Uji Pemadatan Standar
Material OMC (%)
d Maks. (gr/cm
3
)
Tanah Asli
Tanah Asli + 5% Abu Terbang
Tanah Asli + 10% Abu Terbang
Tanah Asli + 15% Abu Terbang
Tanah Asli + 20% Abu Terbang
16,5
13,35
10,99
4,64
4,47
1,475
1,314
1,361
1,452
1,563

Hasil Penelitian Sifat-Sifat Mekanik Tanah Lempung Mengembang
Hasil Pemeriksaan CBR Laboratorium
CBR ialah perbandingan antara beban penetrasi suatu bahan terhadap bahan
standar dengan kedalaman dan kecepatan penetrasi yang sama.

Tabel 3.6. Hasil Pengujian Nilai CBR
Material Nilai CBR (%) Kategori
Tanah Asli 3,032 Sangat Buruk
Tanah Asli + 5% Abu Terbang 4,91 Buruk
Tanah Asli + 10% Abu Terbang 7,363 Sedang
Tanah Asli + 15% Abu Terbang 4,547 Buruk
Tanah Asli + 20% Abu Terbang 9,677 Sedang

Hasil Pemeriksaan Pengembangan (Swelling)
Pengembangan pada uji CBR adalah perbandingan antara perubahan
tinggi selama perendaman terhadap tinggi benda uji semula, dinyatakan dalam
persen. Hasil penelitian dapat dilihat pada tabel 3.7

Tabel 3.7. Hasil Pengujian Pengembangan (Swelling)
Material Swelling (%) Air Terserap
Tanah Asli 10,512 25,287
Tanah Asli + 5% Abu Terbang 7,65 53,809
Tanah Asli + 10% Abu Terbang 6,67 26,950
Tanah Asli + 15% Abu Terbang 7,21 30,903
Tanah Asli + 20% Abu Terbang 7,97 26,590

Hasil Pemeriksaan Kuat Tekan Bebas (Unconfined)
Tabel 3.8. Hasil Uji Kuat Tekan Bebas
Material Qu Rata-rata cu Rata-rata
(kg/cm) (kg/cm)
Tanah Asli 1,880 0,940
Tanah Asli + 5% Abu Terbang 5,111 2,556
Tanah Asli + 10% Abu Terbang 5,082 2,541
Tanah Asli + 15% Abu Terbang 4,452 2,226
Tanah Asli + 20% Abu Terbang 4,238 2,119


PKMI-3-20-8
Pembahasan Sifat - Sifat Fisik Tanah Lempung Mengembang
Berat Volume ( )
Dari gambar 3.1. terlihat semakin besar penambahan abu terbang maka
semakin besar berat volume tanah lempung ekspansif.

y = -0.0031x
2
+ 0.0965x + 3.3417
R
2
= 0.8333
0.0
2.0
4.0
6.0
0 5 10 15 20 25
Persentase Campuran (%)
B
e
r
a
t

V
o
l
u
m
e
,

g
r


Gambar 3.1.. Hubungan Persentase Campuran dengan Berat Volume

Kadar Air (w)
Untuk kadar air menunjukkan semakin besar penambahan abu terbang
semakin kecil kadar air dari lempung ekspansif. Seperti terlihat pada gambar 3.2.
y = 0.0243x
2
- 0.8081x + 13.662
R
2
= 0.8137
0.0
5.0
10.0
15.0
20.0
0 5 10 15 20 25
Persentase Campuran (%)
K
a
d
a
r

A
i
r
,

%


Gambar 3. 2.Hubungan Persentase Campuran dengan Kadar Air

Berat J enis (Gs)
Pada penambahan abu terbang menyebabkan berat jenis tanah lempung
ekspansif semakin besar seperti terlihat pada gambar 3.3.

y = 0.0004x
2
+ 0.0127x + 2.4401
R
2
= 0.5702
0.0
1.0
2.0
3.0
4.0
0 5 10 15 20 25
Persentase Campuran (%)
B
e
r
a
t

J
e
n
i
s


Gambar 3.3. Hubungan Persentase Campuran dengan Berat Jenis

Batas-Batas Atteberg
Batas-batas Aterberg merupakan sifat fisik yang penting pada tanah
lempung ekspanssif. Dari hasil perhitungan menunjukkan semakin besar
penambahan abu terbang maka semakin kecil nilai batas cair (LL), Batas susut


PKMI-3-20-9
(SL) dan indeks plastisita. Seperti terlihat pada gambar 3.4. Khusus untuk nilai
batas plastis (PL) terjadi nilai optimum pada kadar penambahan abu terbang 7,5
%.

y = 0.0814x
2
- 3.266x +
87.604
R
2
= 0.9794
0.0
50.0
100.0
0 5 10 15 20
Persentase Campuran (%)
L
L

(
%
)

y = 0.2818x
2
- 4.2562x + 42.352
R
2
= 0.9987
0.0
10.0
20.0
30.0
40.0
50.0
0 5 10 15 20
Persentase Campuran (%)
P
L

(
%
)


y = -0.2004x
2
+ 0.9902x + 45.252
R
2
= 0.9868
0.0
10.0
20.0
30.0
40.0
50.0
0 5 10 15 20
Persentase Campuran (%)
P
I

(
%
)

y = -0.0454x
2
- 0.2278x + 20.408
R
2
= 0.9777
0.0
5.0
10.0
15.0
20.0
25.0
0 5 10 15 20
Persentase Campuran (%)
S
L

(
%
)


Gambar 3.4 Hubungan Persentase Campuran dengan Batas-batas Atterberg

Pemadatan
Pada uji pemadatan menunjukan semakin besar penambahan abu terbang
maka semakin besar . Ini menunjukan tanah semakin baik, seperti terlihat pada
gambar 3.5.

y = 0.0017x
2
- 0.0273x + 1.4542
R
2
= 0.9006
0.0
0.5
1.0
1.5
2.0
0 10 20 30
Persentase Camapuran (%)
P
e
m
a
d
a
t
a
n

S
t
a
n
d
a
r

(
g
r
/
c
m
3
)


Gambar 3.5. Hubungan Persentase Campuran dengan Pemadatan Standar


Pembahasan Sifat-Sifat Mekanik Tanah Lempung Mengembang
CBR (California Bearing Ratio )
CBR tanah terlihat dari gambar 3.6. semakin besar penambahan abu terbang
maka semakin tinggi nilai CBR.





PKMI-3-20-10

y = 0.0035x
2
+ 0.188x + 3.4968
R
2
= 0.6129
0.0
5.0
10.0
15.0
0 5 10 15 20 25
Persentase Campuran (%)
C
B
R

(
%
)


Gambar 3.7. Hubungan Persentase Campuran dengan nilai CBR


Pengembangan (Swelling)
Pada pengujian swelling menunjukan terjadi nilai optimum pada kadar 10 %
penambahan abu terbang.

y = 0.025x
2
- 0.6113x + 10.359
R
2
= 0.9673
0.0
5.0
10.0
15.0
0 5 10 15 20 25
Persentase Campuran (%)
S
w
e
l
l
i
n
g

(
%
)


Gambar 3.6. Hubungan Persentase Campuran dengan nilai Swelling

Kuat Tekan Bebas (Unconfined)
Pada pengujian tekan bebas didapatkan nilai optimum pada kadar 10 %.
y = -0.0214x
2
+ 0.5092x +
2.2711
R
2
= 0.8027
0.0
2.0
4.0
6.0
0 10 20 30
Persentase Campuran (%)
Q
u

R
a
t
a
-
r
a
t
a

(
k
g
/
c
m
2
)
y = -0.0107x
2
+ 0.2546x +
1.1357
R
2
= 0.8025
0.0
1.0
2.0
3.0
0 10 20 30
Persentase Campuran (%)
c
u

R
a
t
a
-
r
a
t
a

(
k
g
/
c
m
2
)


Gambar 3.7. Hubungan Persentase Campuran dengan nilai Kuat Tekan Bebas

KESIMPULAN
Berdasarkan hasil pengujian dan pembahasan, maka dapat ditarik
kesimpulan sebagai berikut:
1. Penggunaan bahan campuran abu terbang sebagai bahan stabilisasi dapat
meningkatkan kepadatan maksimum tanah. Hal ini karena pori-pori tanah
terisi oleh abu terbang yang memiliki berat jenis yang lebih besar dari tanah
lempung mengembang. Disamping itu abu terbang mengikat butiran tanah
menjadi semakin rapat.


PKMI-3-20-11
2. Penggunaan bahan campuran abu terbang sebagai bahan stabilisasi untuk
tanah lempung mengembang dapat menyebabkan penurunan pada batas cair
sehingga nilai PI pada masing-masing perlakuan menjadi lebih kecil. Hal ini
menunjukkan bahwa dengan penambahan abu terbang akan menurunkan
plastisitas tanah lempung mengembang.
3. Penggunaan bahan campuran abu terbang sebagai bahan stabilisasi untuk
tanah lempung mengembang dapat meningkatkan berat jenis tanah pada
semua perlakuan terhadap tanah lempung mengembang. Hal ini dikarenakan
abu terbang mempunyai berat jenis yang lebih besar dari pada berat jenis
tanah.
4. Penggunaan bahan campuran abu terbang sebagai bahan stabilisasi untuk tanah
lempung mengembang dapat menurunkan permeabilitas tanah pada semua
perlakuan terhadap tanah lempung mengembang.
5. Penambahan abu terbang sebagai bahan stabilisasi dapat mengurangi kadar air
tanah pada setiap perlakuan terhadap tanah lempung mengembang. Hal ini
disebabkan oleh adanya air yang semula mengisi pori-pori tanah digantikan
dengan bahan campuran abu terbang, sehingga mengakibatkan terjadinya
reaksi penggantian kation dan pembentukan butiran tanah yang lebih besar.
Dengan demikian tanah lebih efektif dipadatkan pada kadar air yang rendah.
6. Pada penambahan bahan campuran abu terbang,terjadi penurunan nilai
pengembangan tanah yang diikuti dengan meningkatnya nilai CBR tanah pada
masing-masing perlakuan terhadap tanah asli. Ini menunjukkan bahwa dengan
penambahan bahan campuran abu terbang dapat memperkecil potensi
pengembangan tanah serta menaikkan daya dukung tanah lempung
mengembang. Turunnya potensi pengembangan dan meningkatnya daya
dukung tersebut disebabkan oleh adanya proses pengikatan yang erat antar
butiran tanah akibat pengaruh penambahan abu terbang, sehingga membentuk
tanah menjadi lebih kokoh dan kedap air.
7. Dari hasil pengujian Unconfined diperoleh peningkatan nilai kuat tekan bebas
pada setiap perlakuan terhadap tanah lempung mengembang. Hal ini
disebabkan oleh adanya reaksi pengikatan yang erat antara partikel-partikel
tanah dengan abu terbang.

DAFTAR PUSTAKA
Anonim,2001. Buku Petunjuk Praktikum Mekanika Tanah. Fakultas Teknik
Universitas Widya Gama Malang, Malang.
Anonim,2000. Buku Petunjuk Praktikum Mekanika Tanah. Fakultas Teknik
Universitas Brawijaya , Malang.
Bowles, J.E, 1984. Sifat-Sifat Fisis dan Geoteknis Tanah. Penerbit Erlangga,
Jakarta.
Das, Braja .M, 1993. Mekanika Tanah (Prinsip-Prinsip Rekayasa Geoteknis).
Erlangga, Jakarta.
Djadmiko Soedarmo, G, dan Edy Purnomo, S.J,1997. Mekanika Tanah J ilid I .
Penerbit Kanisius, Yogyakarta.
Fanani F, T dan Adi A, D, 1999, Perbaikan Sifat Lempung Ekspansif dengan
Penambahan Kapur, Seminar Nasional Goeteknik, Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta.
Hardiyatmo,Christady Hary. Mekanika Tanah I Edisi Kedua. Universitas Gajah Mada,
Yogyakarta.

PKMI-4-1-1
ANALISA KALSIUM DAN FOSFOR DALAM DADIH

Gusri yanti, Neny Rosita, Nofri Yani
Fakultas Pertanian, Universitas Andalas, Padang

ABSTRAK
Dadih sebagai produk olahan susu kerbau dengan fermentasi merupakan
makanan yang sudah lama dikenal di Sumatera Barat yang mempunyai nilai gizi
yang tinggi. Selain kandungan gizi, dadih juga mengandung beberapa unsur
mineral seperti kalsium dan fosfor yang kadarnya lebih tinggi dibandingkan
dengan Air Susu ibu (ASI), susu sapid an susu onta yang sangat diperlukan oleh
tubuh. Untuk mengetahui seberapa besar kadar unsure unsure mineral pada
dadih maka dilakukan analisa kalsium dan fosfor dalam dadih. Penelitian ini
bermanfaat untuk mengetahui cara pembuatan dadih dari susu kerbau serta
manfaat dari unsurmineral beserta kadar yang terdapat didalamnya. Preatikum
ini dilaksanakan di pada tanggal 26 30 Oktober di Laboratorium Sekolah
Menengah Analis Kimia (SMAK) Padanag dan Laboratorium Balai Standarisasi
Industri dan perdagangan (Baristand Indag). Dalam pengukuran kadar kalsium
digunakan metoda metoda Spektrofotometer Serapan Atom, untuk pengukuran
kadar fosfor digunakan metoda Spektrofotometri dan uji Mikrobiologi digunakan
metoda Hitungan Cawan. Kadar kalsium yang didapatkan 0,018% dan kadar
fosfor dari dadih tidak dapat terbaca oleh alat karena kadar yang rendah.

Kata kunci:

PENDAHULUAN
Buckle dkk (1985) mengemukakan bahwa susu pada umunya diguinakan
sebagai produk pangan. Dipandang dari segi gizi, susu merupakan makanan yang
hampir sempurna dan merupakan makanan alamiah bagi binatang menyusui yang
baru lahir, dimana susu merupakan satu satunya sumber makanan pemberi
kehidupan segera sesudah kelahiran. Susu didefinisikan sebagai sekresi darim
kelenjer susu binatang yang menyusui anaknya.
Komposisi susu sangat tergantung pada beberapa factor, tetapi angka rata-
rata untuk semua jenis air susu adalah : lemak 3,9%. Protein 3,4%, laktosa 4,8 %,
abu 0,72 %, air 87,10 %. Bersama dengan bahan lain dalam jumlah sedikit seperti
sitrat, enzim enzim, fospolipit, vitamin A, vitamin B dan vitamin C. sebagai
bahan pangan, susu juga mengandung mineral penting yang sangat diperlukan
oleh tubuh seperti kalsium dan fosfor. Kandungan kalsium dan fosfor susu kerbau
jauh lebih besar dibandingkan kadar kalsium dan fosfor dalam ASI, susu sapid an
susu onta.
Susu merupakan minuman yang mengandung nilai gizi yang cukup tinggi,
baik yang dikonsumsi dalam bentuk susu bubuk, susu kental manis maupun dalam
bentuk susu segar yang diperas. Semakin tingginya kebutuhan manusia akan
manfaat susu, maka susu tidak hanya dimanfaatka dalam bentuk murninya saja
tetapi juga produk olahan susu.
Dadih adalah salah satu produk olahan susu yang dimanfaatkan sebagai
makanan bagi sebagian masyarakat, karena dadih memiliki nilai gizi yang cukup
tinggi untuk dikonsumsi. Pembuatan dadih dari susu kerbau adalah salah satu

PKMI-4-1-2
alternatif yang baik dalam pemanfaatan susu kerbau, karena kerbau memilki
lemak yang tinggi disbanding dengan susu sapi, susu kerbau memiliki ciri khas
yaitu ketiadaan karoten sehingga membuat warna susu lebih putih dari pada susu
sapi (Murti,2002).
Menurut informasi yang diterima dari masyarakat gadut, Bukittinggi dan
sekitarnaya, dadih dapat dimanfaatkan sebagai lauk pauk yang dimakan langsung
sebagai pendamping nasi, sebagai pembuatan bahan perekat dan dimakan bersama
emping dan manisan atau madu yang dikenal dengan emping dadih, dan juga
dimanfaatkan sebagai obat tradisional yaitu obat kanker.
Sughita (1996) menyatakan bahwa dadih merupakan makanan yang sidah
lama dikenal di Sumatera Barat yang bisa dikatakan sebagai makanan yang
disukai oleh masyarakat pedesaan yang cara pengolahanya m,asih sangat
sederhana. Pembuatan dadih dilakukan melalui proses fermentasi alami susu
kerbau yang telah dimasukan kedalam tabung bambu, lalu ditutup dengan daun
pisang tanpa dipasteurisasi dan dibiarkan selama 2 3 hari pada suhu kamar 28
30o C (hingga mengental membentuk dadih).
Hudaya (1982) menyatakan bahwa sebagai hasil olahan dari proses
fermentasi menyebapkan dadih lebih mudah diserap oleh tubuh karena adanya
bakteri penghasil asam laktat yaitu Lactobacillus sp yang mengubah laktosa yang
ada pada susu menjadi molekul yang lebih sederhana yang mudah diserap oleh
tubuh dibandingkan jika kita mengkonsumsi air susu kerbau yang segar.

Fermentasi
Fermentasi dapat terjadi karena adanya aktifitas mikroba penyebab
fermentasi dan substrat organic yang sesuai. Terjadinya fermentasi ini dapat
menyebapkan perubahan sifat bahan pangan, sebagai akibat dari pemecahan
kandungan kandungan bahan pangan tersebut. Sebagai contoh misalnya : buah
atau sari buah dapat menghasilkan rasa atau bau alkohol, ketela pohon dan ketan
dapat berbau alcohol atau asem (tape), susu menjadi asdam dan lain- lain.
Hudaya, dkk (1982) menyatakan bahwa keuntungan dari fermentasi
adalah makanan yang mengalami fermentasi biasanya, mempunyai nilai gizi yang
tinggi dari pada bahan asalnya, hal ini disebapkan karena ad proses fermentasi
yang terutama disebapkan oleh aktifitas kapang tertentu, dapat menjadi pecahan
zat zat makanan yang tidak dapat dicerna oleh tubuh seperti serat (selulosa,
hemilose, dan lain-lain) menjadi persenyawaan gula yang lebih sederehana. Proses
pemecahan ini dimungkinkan karena kapang kaya akan enzim yang dapat
menguraikan serat. Makanan hasil fermentasi juga lebih mudah dimakan dari pada
bentuk aslinya dan juga mempunyai cita rasa yang lebih baik.

Air
Sampai sekarang belum diperoleh suatu istilah untuk air yang ada dalam
makanan. Istilah yang dipakai saat ini adalah air terikat. Kandungan air dalam
makanan mempengaruhi daya tahan bahan makanan terhadap serangan mikroba
yang dinyatakan dalam Avinitas water (aw), yaitu jumlah air bebas yang dapat
digunakan oleh mikroorganisme untuik pertumbuhanya.
untuk memperpanjang daya tahan suatu bahan, sebagian air dalam
makanan harus dihilngkan dengan berbagai cara tergabtung dari jenis bahan.
Umunya dilakukan pengeringan, baik dengan penjemuran atau dengan alat

PKMI-4-1-3
pengering buatan, seperti pada alat penjemuran padi, ikan, dan lain sebagainya.
Pada bahan yang berkadar air tinggi seperti susu dilakukan evaporasi atau
penguapan (winarno, 1995).

Abu
Badhowie (1982), menyatakan bahwa yang dimaksud dengan abu total
suatu bahan adalah residu yang diperoleh setelah perusakan bahan organik dari
bahan dengan jalan memanaskan dan mengabukan pada suhu 550 oC hingga
didaptkan bobot tetap. Kandungan mineral dalam suatu bahan makanan yang
sangat diperlukan, tetapi ada pula beberapa mineral yang dalam jumlah tertentu
sangat membahayakan manusia. Penetapan mineral baik yang berupa kation
maupun anion sangat penting. Karena pada batas batas tertentu dalam bahan
tertentu bisa dikatakan sangat berbahaya seperti : arsen dan logam logam berat.

Kalsium
Winarno (1995) menyatakan bahwa tubuh kita mengandung lebih banyak
kalsium dari pada mineral lain. Diperkirakan 2% berat badan orang dewasa atau
sekitar 1,0-1,4 kg terdiri dari kalsium. Meskipun pada bayi kalsium hanya sedikit
(25-30), setelah usia 20 tahun secara normal akantrjadi penempatan sekitar 1.200
g kalsium dalam tubuhnya. Sebagian besar kalsium terkosentrasi dalam tulang
rawan dan gigi, sisanya terdapt dalam cairan tubuh dan jaringan lunak.
Peranan kalsium dalam tubuh pada umumya dapat dibagi dua, yaitu
membantu membentuk tulang rawan dan gigi dan mengatur proses biologis dalam
tubuh. Keperluan terbesar tubuh pada saat pertumbuhan. Tetapi juga keperluan
keperluan kalsium masih diteruskan meskipun sudah mencapai usia dewasa. Pada
pembentukan tulang, bila tulang baru dibentuk maka tulang yang tua dihancurkan
secara stimulum (Winarno, 1995).
Keperluan kalsium dalam tbuh biasanya dihitung dengan keseimbangan
kalsuim, kira kira sama dengan berat yang digunakan untuk menhitung
keseimbangan nitrogen. Orang dewasa memerlukan 700 mg (0,7 g) kalsium
perhari. Menurut Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi (1978) konsumsi yang
dianjurkan untuk anak dibawah 10 tahun sebanyak 0,5 g per orang per hari dan
dewasa 0,7 g per orang per hari.
Bila konsumsi urin menurun dapat terjadi kekurangan kalsium yang
menyebabkan osteomalasia. Pada osteomalasia tulang menjadi lunak karena
matriksnya kekurangan kalsium. Sebap mostelasia yang sesungguhnya adalah
kekurangan vitamin D. disamping itu bila keseimbangan kalsium negatif,
osteoporosis atau masa tulang menurun dapat terjadi. Hal ini disebapkan kalsium
rendah, adsorbsi yang rendah atau terlalu banyak kalsium yangb terbuang bersama
urin.

Fosfor
Kurang lebih satu persen berat tubuh kita terdiri dari fosfor. Dengan
demikian fosfor merupakan mineral kedua terbanyak setelah kalsium. Peranan
fosfor mirip kalsium yaitu untuk pembentukan tulang dan gigi dan penyimpanan
dan pengeluran energi (Winarno, 1995).
Fosfor juga penting untuk mengontrol reaksi metabolisme yang
menghasilkan energi juga juga untuk mengontrol keseimbangan asam basa

PKMI-4-1-4
didalam darah. Dalam bahan pangan, fosfor terdapat dalam berbagai bahan
organic dan anorganik dari ikatanya dengan bahan organic. Sebagian fosfor
diserap oleh tubuh dalam bentuk anorganik, khususnya dibagian atas duodenum
yang bersifat alkalis 70 % yang dicerna akan diserap.
Pada umunya jumlah fosfor yang dianjurkan untuk dikonsumsi sebanyak
0,7 g per orang dewasa perhari, kira kira sama dengan kalsium. Sumber fosfor
utama yang adalah bahan makanan dengan kadar protein tinggi seperti daging,
unggas, ikan dan telur. Biji bijian yang utuh juga banyak mengandung fosfor.
Bahan pangan yang kaya protein dan kalsium biasanya juga kaya akan fosfor.
Berdasarkan pentingnya fungsi dari fosfor dan kalsium bagi tubuh maka
penulis telah melakukan analisa terhadap unsur tersebut maka penulis memberi
judul karya tulis ini dengan ANALISA KALSIUM DAN FOSFOR DALAM
DADIH.
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah agar dapat menetahui cara
pembuatan dadih, kadar kalsium, kadar fosfor, dan air serta jumlah koloni bakteri
yang terdapat dalam dadih.
Dari hasil penelitian ini penulis berharap hasil yang diperoleh dapat
dimanfaatkan oleh masyarakat luas agar masyarakat mengetahui, memanfaatkan
dan mengkonsumsi dadih karena selain nilai gizi yang cukup tinggi dadih juga
memiliki kandungan mineral yang dibutuhkan tubuh, selain itu agar dapat
menambah pengetahuan penulis tentang pemanfaatan dadih.

BAHAN DAN METODA
Penelitian dilakukan pada tanggal 26 30 Oktober 2004, selama 4 hari di
laboratorium SMAK Padang dan Laboratorium Baristand Indag Ulu Gadut
Padang.
Adapun cara pembuatan dadih adalah susu kerbau yang baru diperas
dimasukan kedalam tabung bambu setelah itu ditutup dengan daun pisang lalu
didiamkan pada suhu kamar selama 2-3 hari.

Pengukuran Kadar Air
Pengukuran kadar air menggunakan metoda Gravimetri menurut SNI 01-
2891, dengan cara sebagai berikut :
Alat dan Bahan : cawan penguap, oven, desikator, neraca analitik, 2 g dadih.
- Timbang dengan seksama 2 g dadih pada sebuah cawan penguap yang sudah
diketahui bobot tetapnya
- Dikeringkan didalam oven pada suhu 105
o
C selama 3 jam
- Dinginkan dalam desikator dan timbang
- Pengeringan diulangi sampai mencapai bobot tetap

Pengukuran Kadar Abu
Pengukuran kadar abu dilakukan menurut SNI 01-2891 dengan cara
sebagai berikut :
Alat dan Bahan : cawan porselen, penangas air, kompor, tanur listrik, desikator,
dadih 2-5 g
- Timbang dengan seksama 5 g contoh kesebuah cawan poselen yang telah
diketahui bobotnya, uapkan diatas penangas air samapi kering

PKMI-4-1-5
- Arangkan diatas nyala pembakar, lalu abukan dalam tanur listrik pada suhu
maksimum 550
o
C sampai pengabuan sempurna
- Dinginkan dalam desikator sampai bobnot tetap

Pengukuran Kadar Kalsium
Setelah didapatkan abu, maka dilakukan penentuan kadar kalsuim dengan
metoda Spektrofotometri Serapan Atom (AAS) dengan cara sebagai berikut :
Alat dan Bahan : cawan porselen, kompor, furnace, labu ukur 100 mL, kertas
saring whatman, corong, dadih 5 g, HCl 4 N, SnCl
2

- Abu yang dihasilkan dilarutkan dengan HCL 4 N dan dimasukan kedalam
labu ukur 100 mL
- Paskan dengan menggunakan aquades sampai tanda garis dan dihomogenkan
- Saring dengan kertas whatman No 1
- Hasil saringan ditambah beberapa tetes SnCl
2
dan siap di ukur dengan AAS

Pengukuran Kadar Fosfor
Pengukuran kadar fosfor dilakukan dengan menggunakan metoda
Spektrofotometri.
Alat dan bahan : Neraca, labu ukur 100 mL, labu ukr 25 mL (7 buah ),
Spektrofotometer, 0,0200 g Na
2
PO
4
, reagen Fosfor
Sebelumnya harus dibuat larutan standar dengan cara:
- Timbang dengan teliti 0,0200 g natrium hydrogen pospat, diencerkan dengan
sedikit aquadest dan dimasukan kedalam labu ukur 100 mL (larutan standar
berisi 100 ppm P
2
O
5
)
- Sediakan 7 buah labu ukur 25 mL dimasukan larutan standar 100 ppm P
2
O
5

dengan komposisi 0; 0,25; 0,5; 1; 2; 4; 8 mL
- Tambah 10 mL fosfor kedalam masing masing labu ukur dan dipaskan
dengan labu ukur sampai tanda garis
- Ukur absorben deretan standar P
2
O
5
pada panjang gelombang 440 nm
- Buat kurva standar antara adsorben dengan konsentrasi standar
Setelah selesai dibuat larutan standar maka dilakukan pengukuran fosfor dengan
cara:
- Timbang 10 g sample dan dimasukan kedalam Erlenmeyer
- Tambahkan 25 mL HCl 25% dikocok (sebaiknya dengan alat pengocok )
selama 6 jam kemudian dilakukan penyaringan ditampungb ekstraknya dalam
Erlenmeyer
- Pipet 2 mL ekstrak HCl kedalam labu ukur 50 mL dan ditambahkan 10 mL
reagen fosfor dan diencerkan sampai tanda garis
- Homogenkan selama 10 menit dan diukur dengan Spektrofotometer dengan
panjang gelombang 440 nm
- Dibuat grafik dan hitung % P

Pengukuran Angka Lempeng Total
Pengukuran angka lempeng total dilakukan dengan car sebagai berikut :
- Sediakan 4 buah tabung reaksi yang telah berisi 9 mL aquadest yang telah
steril
- Ambil sample 1 mL, dimasukan dalam tabung reaksi 10
-1
yangb telah berlabel
- Pipet 1 mL larutan dari tabung reaksi 10
-1
ke 10
-2
dan seterusnya sampai 10
-4


PKMI-4-1-6
- Pipet 1 mL larutan 10
-4
masukan kedalam cawan Petri steril, baru dimasukan
media PCA, diputar seperti angka delapan
- Inkubasi selama 2 x 24 jam dan diamati mikroba yang tumbuh
- Hitung jumlah koloni dengan menggunakan alat Colloni Center

HASIL
Tabel 1. Hasil Penentuan Kadar Air Dadih
No Berat
sample
(gram)
Berat cawan +
sampel (gram)
Berat cawan +
sample kering
(gram)
Kadar air
(%)
Rata -
rata
1. 2,0375 44,0332 43,2308 39,38
2. 2,0439 43,1859 42,4078 38,07
3. 2,0333 44,4550 43,6600 39,09
38,85

Tabel 2. Hasil Penentuan Kadar Abu Dadih
No Berat
sample (g)
Berat cawan
kosong (gram)
Berat cawan
+ sample
kering (g
Kadar air (%) Rata
rata
1. 2,0095 34,8622 34,8707 0,42
2. 2,0276 31,0276 31,0370 0,47
3. 2,0319 34,6721 34,6821 0,49
0,46

Tabel 3. Hasil Penentuan Kadar Kalsium (Ca) Dadih
No Berat
sample
(gram)
Absorban (A) Kosentrasi
sample (ppm)
Kadar
kalsium (%)
Rata-
rata
1. 0,7108 18,7709 0,0183
2. 0,7139 18,8767 0,0184
3.
5,1406
0,7180 19,0166 0,0185
0,0184

Table 4. Hasil Penetapan Kadar fosfor (P)
Absorban (A) No Berat
sample
(gram)
Deret standar sampel
Kadar fosfor
(%)
Rata-
rata
1. 3.2157 0.122 0.0072 -
2. 0.128

Tabel 5. Hasil Uji Mikrobilologi dadih
No Parameter Hasil Yang Didapat
1. Angka Lempeng Total 42 koloni x 10-4 g/mL
2. Jenis Bakteri Gram (+) Lactobacillus sp



PKMI-4-1-7
PEMBAHASAN
Dari penelitian yang dilakukan ddapatkan kadar air sebanyak 38,85 %.
Kadar air ini yang tinggi didalam dadih tersebut dapat mempengaruhi mutu dari
dadih yang menyebabkan dadih tidak bisa bertahan lama pada suhu kamar, karena
pertumbuhan mikroba sangat baik.
Pada table dua dapat diketahui kadar abu yang didapat pada dadih adalah
sebanyak 0,46 %. Kadar abu yang didapat ini sangat berhubungan sekali dengan
kandungan mineral yang didapat didalam dadih. Bila dilihat dengan susu kerbau
segar yaitu sebanyak 0,71 % (Murty, 2002) dan pada penentuan kadar kalsium
dan fosfor, kadar kalsium yang didapat yaitu 0,018 % dan kadar fosfor tidak dapat
terbaca oleh alat.
Terjadi penurunan kandungan mineral yang terdapat pada dadih. Hal ini
disebapkan oleh jenis susu yang digunakan, makanan yang dimakan ternak serta
kesehatan ternak itu sendiri. Pada penentuan kadar fosfor, nilai adsorban yang
didapatkan untuk sample posfor tidak masuk kedalam renk deret standar adsorben
yang diperiksa. Hal ini dikarenakan persentase fosfor didalam sample jumlahnya
terlalu rendah sehingga tidak terbaca oleh alt yang digunakan.
Angka lempeng total yang didapat dalam dadih dapat dilihat pada table 4.
jumlah koloni pada pengenceran 10
-4
sebanyak 42 koloni dengan jenis bakteri
Lactobacillus sp dan bersifat gram (+) artinya jumlah koloni yang didapat masih
dalamm range yang diperbolehkan didalam makanan yaitu 30 300 koloni
(Fardias, S.1993)

KESIMPULAN
Dari penelitian yang dilakukan ternyata pembuatan dadih tidaklah sulit.
Dadih mengandung beberapa unsure mineral seperti kalsium dan fosfor yang
sangat dibutuhkan oleh tubuh. Kadar air dalam dadih sebesar 38,85% dan kalsium
0,018 %. Untuk kadar fosfor tidak bisa terbaca oleh alat karena kadar yang sangat
rendah. Selain itu jumlah mikroorganisme yang terdapat dalam dadih sebanyak 42
koloni dengan jenis gram (+) yaitu lactobacillus sp.

DAFTAR PUSTAKA
Badhowie, M dan Pranggonowati, S. (1982). Petunjuk Praktek Pengawasan
Mutu Hasil Pertanian,Departemen Pendidikan dan kebudayaan, Jakarta.
Buckle, K. A. R. A Edwards, G. H. Fleet dan M. Wooton.(1987). Ilmu Pangan,
Universitas Indonesia. Jakarta
Fardias, S (1993). Analisis Biologi Pangan, PT Raja Gravindo Persada, Jakarta.
Hudaya, I. M. (1996). Dadih : Olahan Susu Kerbau, Manfaat, Kendala dan
prospeknya dalam Era Industrial, Jurnal Peternakan dan Lingkungan,
Vol. 2 no.02. Universitas Andalas
Winarno, F. G. 1995. Kimia Pangan dan Gizi. PT gramedia Jakarta.








PKMI-4-1-8
LAMPIRAN
Contoh Perhitungan :
1. Kadar abu Pada dadih
Diketahui : Bobot contoh + Cawan Sesudah diabukan = 34,8707 g
Bobot Contoh Cawan kosong = 34,8622 g
Bobot contoh sebelum diabikan = 2,0095 g
Kadar Abu = % 100
contoh Bobot
abu Bobot

= % 100
0095 , 2
) 8622 , 34 8707 , 345 ( gram

= 0,42 %
2. Kadar Air Pada dadih
Diketahui : Bobot contoh + Bonot cawan = 44,03032 g
Bobot cawan Setelah Contoh diabukan = 43,2308 g
Bobot Contoh = 2,0375 g
Kadar air = % 100
ker
x
ingkan Di Setelah h Bobotconto
n pengeringa setelah Bobot kehilangan

= % 100
0375 , 2
2308 , 43 0332 , 44
x
g
g g

= 39,85 %
3. Kadar Kalsium
Diketahui = Kosentrasi sample (Cx) = 18,709 ppm
Volume Contoh (Vtc) = 50 mL
Berat sample = 5140,6 mg
Kadar Kalsium = % 100
6 , 5140
10
3
mg
x Vtc x Cx

= % 100
6 , 5140
10 50 7709 , 18
3
mg
x x

= 0,0183 %







PKMI-4-2-1
ANALISIS DAN PENGKAJIAN HASIL SURVEI JENTIK
SERTA HUBUNGANNYA DENGAN KASUS DEMAM BERDARAH
DENGUE DI TIGA KELURAHAN DI JAKARTA PADA TAHUN 2004

Wulan Tristiyanti, Karisma Prameswari, Eva Febia
Jurusan Kedokteran, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta

ABSTRAK
Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan salah satu penyebab mortalitas dan
morbiditas tertinggi di Indonesia. Satu-satunya pencegahan DBD ialah
memberantas vektornya melalui program Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN).
Pengkajian kasus dan survei entomologi vektor DBD sangat diperlukan sebagai
evaluasi program PSN yang digalakkan pemerintah bersama-sama dengan
partisipasi aktif masyarakat. Senat Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia bekerjasama dengan Departemen Kesehatan melaksanakan survei
jentik di 991 rumah di tiga kelurahan di Jakarta pada tahun 2004. Data-data
hasil survei tersebut menunjukkan besarnya angka indikator penyebaran dan
kepadatan vektor, yaitu House Index, Container Index dan Breteau Index. House
Index di Rawamangun, Kayu Putih, dan Cikini ialah 23,5%; 17,6%; dan 12,3%.
Container Index di Rawamangun, Kayu Putih, dan Cikini ialah 9,4%; 8,6%; dan
6,2%. Breteau Index di Rawamangun, Kayu Putih, dan Cikini ialah 29,0%;
23,3%; dan 13,4%. Besarnya House Index, Container Index, dan Breteau Index
mempunyai korelasi cukup tinggi dengan besarnya kasus DBD di tiga kelurahan
tersebut. House Index, Container Index, dan Breteau Index di daerah endemik,
yaitu di Rawamangun dan Kayu Putih lebih tinggi dibandingkan dengan di
daerah non-endemik, yaitu di Cikini. Survei jentik yang telah dilakukan juga
menunjukkan bahwa kontainer yang paling banyak positif jentiknya ialah drum,
vas bunga, tempayan, dan bak mandi. Karakteristik kontainer yang paling banyak
positif jentiknya ialah berbahan semen, plastik, dan berwarna gelap, yaitu hitam
dan biru.

Kata kunci: House Index, Container Index, Breteau Index, Pemberantasan
Sarang Nyamuk (PSN), survei entomologi

PENDAHULUAN
Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan salah satu penyebab
morbiditas dan mortalitas di negara tropis dan subtropis di seluruh dunia. Lebih
dari dua perlima populasi dunia, yaitu 2,5 milyar penduduk hidup di daerah
endemik DBD. Prevalensi DBD di dunia lebih dari 50-100 juta penderita, meliputi
24.000 kematian setiap tahun. Pada tahun 1973, epidemi DBD pertama kali di
Indonesia muncul di Semarang dengan 7000 penderita.
1,2

Sejak epidemi yang pertama tersebut, kasus DBD terus meningkat setiap
tahun, terutama pada musim hujan. Pada awal tahun 2004, kejadian luar biasa
(KLB) DBD mengakibatkan kematian kumulatif sebesar 389 dari 26.015
penderita terhitung sejak 1 Januari hingga 5 Maret 2004 (Case Fatality Rate
1,53%). Hal itu membuktikan bahwa upaya penanggulangan, terutama
pencegahan DBD masih belum optimal.
3


PKMI-4-2-2
DBD merupakan penyakit yang disebabkan oleh virus dan ditularkan oleh
nyamuk Aedes aegypti yang terdapat sepanjang tahun di Indonesia. Obat antivirus
dan vaksin DBD belum ditemukan, sehingga satu-satunya cara mengendalikan
DBD ialah memberantas vektornya. Program pemberantasan vektor berupa
Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) digalakkan pemerintah bersama-sama
dengan partisipasi aktif masyarakat.
4

Untuk menunjang keberhasilan PSN, diperlukan survei entomologi DBD,
salah satunya berupa survei jentik/larva nyamuk Ae.aegypti. Tujuan survei jentik
ialah mengukur indikator penyebaran dan kepadatan vektor, serta menggambarkan
karakteristik wadah air/kontainer yang potensial sebagai tempat perindukan
nyamuk.
5-7

Indikator penyebaran dan kepadatan vektor diukur berdasarkan angka
rumah (House Index), angka kontainer (Container Index), angka Breteau (Breteau
Index) yang dapat memantau perkiraan kasus DBD di suatu wilayah, termasuk
perkiraan KLB. Berdasarkan penelitian, batas Container Index dan House Index
yang aman supaya tidak terjadi KLB ialah 5%.
5-7

Makalah ini berisi pengkajian survei jentik dan jumlah kasus DBD di tiga
kelurahan di Jakarta. Dua kelurahan, yaitu kelurahan Rawamangun dan Kayu
Putih merupakan wilayah endemik DBD, sedangkan satu kelurahan, yaitu
kelurahan Cikini merupakan wilayah non-endemik DBD.
Tujuan dan manfaat penulisan makalah ini ialah untuk mendeskripsikan
besarnya angka indikator penyebaran dan kepadatan vektor DBD berupa House
Index, Container Index dan Breteau Index sebagai pemantauan jumlah kasus DBD
di suatu wilayah. Selain itu makalah ini juga bertujuan untuk menggambarkan
karakteristik tempat-tempat perindukan nyamuk yang potensial. Secara umum,
makalah ini bermanfaat untuk memantau dan mencegah kasus DBD, serta
menciptakan program PSN yang lebih efektif bagi pemerintah dan masyarakat.

METODOLOGI PELAKSANAAN PROGRAM
Kegiatan survei jentik nyamuk dilaksanakan oleh Senat Mahasiswa FKUI
bekerjasama dengan Departemen Kesehatan Republik Indonesia Direktorat
Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan pada
bulan Juli 2004. Survei jentik dilakukan di tiga kelurahan di Jakarta, yaitu
Kelurahan Rawamangun, Kayu Putih, dan Cikini.
Kelurahan Rawamangun dan Kayu Putih memiliki kasus demam berdarah
tertinggi di Jakarta pada tahun 2004 dan termasuk kelurahan endemik DBD.
Sebagai contoh lain, dilakukan survei jentik di Kelurahan Cikini yang merupakan
kelurahan non-endemik DBD, sehingga diharapkan terdapat perbedaan hasil
survei yang nyata di tiga kelurahan tersebut.
Pelaksanaan survei jentik dilakukan dengan memeriksa 2815 kontainer
yang terdapat di 991 rumah di tiga kelurahan tersebut. Pemeriksaan jentik di
Kelurahan Rawamangun meliputi 1452 kontainer yang tersebar di 469 rumah
warga. Pemeriksaan jentik di Kelurahan Kayu Putih meliputi 1152 kontainer yang
tersebar di 425 rumah warga. Pemeriksaan jentik di Kelurahan Cikini meliputi
211 kontainer yang tersebar di 97 rumah warga.
Pemeriksaan jentik dilaksanakan oleh 30 mahasiswa FKUI dan dibimbing
oleh ibu-ibu kader Puskesmas. Pemeriksa jentik memeriksa kontainer yang


PKMI-4-2-3
terdapat di dalam atau di luar rumah dan menuliskan apakah kontainer tersebut
positif atau negatif jentik nyamuk dalam formulir entomologi Departemen
Kesehatan Republik Indonesia.
Sebagai indikator survei jentik House Index, Container Index dan Breteau
Index, yang dianjurkan oleh World Health Organization. House Index ialah
persentase rumah yang positif jentik Ae.aegypti; merupakan indikator penyebaran
vektor Ae.aegypti. Container Index ialah persentase kontainer yang positif jentik;
merupakan indikator kepadatan vektor Ae.aegypti. Breteau Index ialah jumlah
kontainer yang positif jentik dalam 100 rumah; merupakan indikator penyebaran
dan kepadatan vektor Ae.aegypti. Rumus ketiga angka tersebut ialah sebagai
berikut:

House Index (%): jumlah rumah positif jentik x 100
jumlah rumah yang diperiksa

Container Index (%): jumlah kontainer positif jentik x 100
jumlah kontainer yang diperiksa

Breteau Index (%): jumlah kontainer positif jentik x 100
jumlah rumah yang diperiksa


HASIL DAN PEMBAHASAN
Data House I ndex, Container I ndex, dan Breteau I ndex di Tiga Kelurahan

Tabel 1. Jumlah rumah dan kontainer yang positif/negatif jentik nyamuk

Jumlah rumah Jumlah kontainer
Kelurahan
Positif Negatif Total Positif Negatif Total
Rawamangun 110(23,5%) 359(76,5%) 469(100%) 136(9,4%) 1316(90,6%) 1452(100%)
Kayu Putih 76 (17,9%) 349(82,1%) 425(100%) 99 (8,6%) 1056(91,4%) 1155(100%)
Cikini 12 (12,3%) 85 (87,7%) 97 (100%) 13 (6,2%) 198(93,8%) 211 (100%)

Persentase jumlah rumah yang positif jentik dibandingkan jumlah rumah
yang diperiksa merupakan House Index. Jumlah rumah yang positif jentik di
Kelurahan Rawamangun ialah 110 dari 469 rumah, sehingga House Index di
Kelurahan Rawamangun ialah 110 per 469 rumah atau 23,5%. House Index di
Kelurahan Kayu Putih ialah 76 per 425 rumah atau 17,9%. House Index di
Kelurahan Cikini ialah 12 per 97 rumah atau 12,3%.
House Index terbesar di Kelurahan Rawamangun sebesar 23,5%. House
Index terkecil di Kelurahan Cikini, sebesar 12,3%.
Persentase jumlah kontainer yang positif jentik dibandingkan jumlah
kontainer yang diperiksa merupakan Container Index. Jumlah kontainer yang
positif jentik di Kelurahan Rawamangun ialah 136 dari 1452 kontainer yang
diperiksa, sehingga Container Index di Kelurahan Rawamangun ialah 136 per
1452 kontainer atau 9,4%. Container Index di Kelurahan Kayu Putih ialah 99 per


PKMI-4-2-4
1155 kontainer atau 8,6%. Container Index di Kelurahan Cikini ialah 13 per 211
kontainer atau 6,2%.
Container Index terbesar di Kelurahan Rawamangun, sebesar 9,4%.
Container Index terkecil di Cikini, sebesar 6,2%.
Persentase jumlah kontainer yang positif jentik dibandingkan jumlah
rumah yang diperiksa merupakan Breteau Index. Jumlah kontainer yang positif
jentik di Kelurahan Rawamangun ialah 136 kontainer dari 469 rumah yang
diperiksa, sehingga Breteau Index di Kelurahan Rawamangun ialah 136 kontainer
per 469 rumah atau 29,0 %. Breteau Index di Kelurahan Kayu Putih ialah 99
kontainer per 425 rumah atau sebesar 23,3%. Breteau Index di Kelurahan Cikini
ialah 13 kontainer per 97 rumah atau sebesar 23,3%.
Breteau Index terbesar di Kelurahan Rawamangun sebesar 29,0%. Breteau
Index terkecil di Kelurahan Cikini sebesar 13,4%.

Data Karakteristik Jenis Kontainer Positif Jentik di Tiga Kelurahan

Tabel 2. Rincian jenis kontainer yang positif/negatif jentik di Kelurahan
Rawamangun dan Kayu Putih

Kelurahan Rawamangun Kelurahan Kayu Putih
Jenis Kontainer
+ - Total % + + - Total % +
Bak mandi 63 407 470 13,4 55 318 373 14,7
Bak WC 1 38 39 2,6 2 15 17 11,8
Drum 5 24 29 17,2 8 18 26 30,8
Tempayan 8 44 52 15,4 4 63 67 6,0
Ember 23 468 491 4,7 14 448 462 3,0
Kaleng bekas 4 15 15 27,6 1 3 4 25,0
Ban bekas 1 3 4 25,0 0 1 1 0
Gelas/botol
bekas
1 9 10 10,0 0 3 3 0
Vas/pot bunga 6 8 14 42,9 3 10 13 23,1
Kolam/akuarium 9 162 171 5,3 11 107 118 9,3
Talang ait 0 8 8 0 0 9 9 0
Tempat minum
burung
3 34 37 8,1 0 27 27 0
Saluran air 3 4 7 42,9 0 3 3 0
Lain-lain 9 57 66 13,6 1 33 34 2,9
TOTAL 136 1316 1452 9,4 99 1056 1155 8,6

Keterangan tabel 2
+ : kontainer yang positif jentik
- : kontainer yang negatif jentik
%+ : persentase kontainer yang positif jentik

Tabel 2 menunjukkan rincian jenis-jenis kontainer yang positif jentik di
Kelurahan Rawamangun dan Kayu Putih.
Di Kelurahan Rawamangun persentase kontainer dengan positif jentik
paling tinggi ialah vas bunga dan saluran air sebesar 42,9%, kemudian disusul
kaleng bekas (27,6%), ban bekas (25,0%), dan drum (17,2%). Hal itu tidak jauh


PKMI-4-2-5
berbeda dengan Kelurahan Kayu Putih. Kontainer dengan persentase positif jentik
tertinggi di Kelurahan Kayu Putih ialah drum sebesar 30,8%, disusul dengan
kaleng bekas (25%) dan vas bunga (23,1%).
Hal yang perlu diperhatikan ialah bahwa kontainer seperti vas bunga,
saluran air, kaleng bekas, ban bekas, dan drum merupakan tempat-tempat yang
sering luput dari perhatian masyarakat. Tempat-tempat tersebut pada umumnya
jarang dibersihkan sehingga merupakan tempat potensial bagi perkembangan
jentik nyamuk.
Pada tabel diatas, kontainer yang paling banyak diperiksa ialah bak mandi.
Persentase bak mandi yang positif jentik di Kelurahan Rawamangun dan Kayu
Putih cukup tinggi, yaitu sebesar 13,4% dan 14,7%.
Data jenis kontainer di Kelurahan Cikini menunjukkan bahwa kontainer
dengan persentase positif jentik terbanyak ialah drum (25%), tempat dispenser
(20,0%), penampungan kulkas (11,1%) dan bak mandi (9,1%).
Kontainer-kontainer seperti tempat dispenser dan penampungan kulkas
juga harus diwaspadai sebagai tempat perindukan nyamuk potensial yang sering
luput dari perhatian masyarakat dan petugas pemantau jentik Puskemas.


Tabel 3. Rincian jenis kontainer yang positif/negatif jentik di Kelurahan Cikini

JENIS KONTAINER POSITIF NEGATIF TOTAL
Bak mandi
Bak WC
Drum
Tempayan
Ember
Kaleng bekas
Kolam/akuarium
Saluran air
Penampungan kulkas
Tempat dispenser
7 (9,1%)
0 (0%)
1 (25%)
0 (0%)
3 (2,8%)
0 (0%)
0 (0%)
0 (0%)
1 (11,1%)
1 (20,0%)
70 (90,9%)
2 (100%)
3 (75%)
2 (0%)
104 (97,2%)
1 (100%)
3 (100%)
1 (100%)
8 (88,9%)
4 (80%)
77
2
4
2
107
1
3
1
9
5
TOTAL 13 (6,2%) 198 (93,8%) 211 (100%)


Data tabel 4 menunjukkan kontainer dengan persentase positif jentik
tebanyak di Kelurahan Rawamangun, Kayu Putih, dan Cikini ialah semen, yaitu
sebesar 24,6%; 20,4%; dan 9,4%.
Kontainer dari bahan keramik memiliki angka positif jentik cukup tinggi,
yaitu 11,7% di Kelurahan Rawamangun, 11,3% di Kelurahan Kayu Putih, dan
8,6% di Kelurahan Cikini. Kontainer dari bahan logam juga memiliki persentase
positif jentik cukup banyak.


PKMI-4-2-6
Data Karakteristik Bahan Kontainer Positif Jentik di Tiga Kelurahan

Tabel 4. Bahan kontainer yang positif/negatif jentik di Tiga Kelurahan

Kelurahan Rawamangun Kelurahan Kayu Putih Kelurahan Cikini Bahan
+ - total %+ + - total %+ + - total %+
Semen 35 107 142 24,6 23 90 113 20,4 3 29 32 9,4
Plastik 52 751 803 6,5 35 641 676 5,2 7 131 138 5,1
Kaca 4 137 141 2,8 7 83 90 7,8 0 3 3 0
Keramik 34 256 290 11,7 28 220 248 11,3 3 32 35 8,6
Logam 6 34 40 15,0 2 15 17 11,8 0 3 3 0
Lainnya 5 31 36 13,9 2 9 11 18,2 0 0 0 0
Total 136 1316 1452 9,4 99 1056 1155 8,6 13 198 211 6,2

Keterangan tabel 4
+ : kontainer yang positif jentik
- : kontainer yang negatif jentik
%+ : persentase kontainer yang positif jentik

Berdasarkan teori didapatkan bahwa nyamuk Ae.aegypti senang
berkembang baik di kontainer berdinding kasar. Data tabel diatas menunjukkan
bahwa kontainer dengan dinding lebih kasar seperti semen memiliki persentase
positif jentik lebih tinggi dibandingkan kontainer dengan dinding halus seperti
kaca dan plastik. Tetapi, jentik nyamuk juga dapat berkembang biak di kontainer
berbahan plastik dan kaca seperti ditunjukkan pada tabel di atas.

Data Karakteristik Warna Kontainer Positif Jentik di Tiga Kelurahan
Data tabel 5 menunjukkan bahwa kontainer berwarna gelap seperti hitam,
coklat, dan biru memiliki persentase positif jentik tertinggi, disusul dengan warna
merah dan putih.
Di Kelurahan Rawamangun kontainer dengan persentase positif jentik
tertinggi ialah hitam (14,1%), putih (10,5%) dan coklat (10,0%). Di Kelurahan
Kayu Putih kontainer dengan persentase positif jentik tertinggi adalah coklat
(10,5%), biru (10,2%), dan hitam (9,9%). Di Kelurahan Cikini warna dengan
persentase positif jentik terbanyak ialah biru (10,4%), merah (7,3%), dan hitam
(6,7%).
Kontainer dengan persentase positif jentik tertinggi di Kelurahan
Rawamangun, Kayu Putih dan Cikini adalah hitam (14,1%), coklat (10,5%), dan
biru (10,4%). Hal itu sesuai dengan penelitian yang menyatakan bahwa warna
gelap merupakan warna yang lebih disukai nyamuk Ae.aegypti untuk berkembang
biak.



PKMI-4-2-7
Tabel 5. Warna kontainer yang positif/negatif jentik di Tiga Kelurahan

Kelurahan Rawamangun Kelurahan Kayu Putih Kelurahan Cikini
Warna
+ - total %+ + - total %+ + - total %+
Hitam 34 207 241 14,1 20 183 203 9,9 3 42 45 6,7
Putih 30 256 286 10,5 19 196 215 8,8 2 40 42 4,8
Merah 8 123 131 6,1 9 153 162 5,6 3 38 41 7,3
Biru 26 294 320 8,1 30 265 295 10,2 5 43 48 10,4
Coklat 2 18 20 10,0 2 17 19 10,5 0 2 2 0
Lainnya 36 418 454 7,9 19 242 261 7,3 0 33 33 0
Total 136 1316 1452 9,4 99 1056 1155 8,6 13 198 211 6,2

Keterangan tabel 5
+ : kontainer yang positif jentik
- : kontainer yang negatif jentik
%+ : persentase kontainer yang positif jentik

Tetapi jentik nyamuk Ae.aegypti dapat pula berkembang biak di warna
terang seperti putih. Hal itu ditandai dengan persentase positif jentik yang cukup
tinggi pada kontainer warna putih di Kelurahan Rawamangun, yaitu 10,5%.

Data Hubungan Antara House I ndex, Container I ndex dan Breteau I ndex
dengan Kasus DBD di Tiga Kelurahan

Tabel 6. Indikator dan kasus DBD di Rawamangun, Kayu Putih dan Cikini

Kelurahan House Index Container
Index
Breteau
Index
Kasus DBD
(Jan 2004-Jan 2005)
Rawamangun 23,5% 9,4% 29,0% 143 (endemik)
Kayu Putih 17,9% 8,6% 23,3% 175 (endemik)
Cikini 12,3% 6,2% 13,4% 22 (non-endemik)

Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa House Index, Container Index dan
Breteau Index di Kelurahan Rawamangun, Kayu Putih dan Cikini ketiganya
berbanding lurus.
Pada daerah endemik DBD, yaitu di Kelurahan Rawamangun dan Kayu
Putih terdapat House Index, Container Index dan Breteau Index yang lebih tinggi
dibandingkan dengan di Kelurahan Cikini. Analisis statistik menunjukkan adanya
korelasi cukup besar antara besarnya angka indikator penyebaran dan kepadatan
vektor berupa House Index, Container Index, dan Breteau Index dengan jumlah
kasus demam berdarah di tiga kelurahan tersebut.
Hal yang penting adalah data tabel 6 menunjukkan bahwa House Index,
Container Index dan Breteau Index di tiga kelurahan di Jakarta tersebut melebihi
batas aman penularan vektor Ae.aegypti, yaitu 5%. Hal itu berarti penularan
vektor DBD masih dapat terjadi sehingga memungkinkan munculnya kasus DBD
baru.
Vektor Ae.aegypti terus berada di seluruh wilayah di Indonesia sepanjang
tahun, sehingga penting untuk berupaya memutus transmisi DBD melalui
vektornya. Salah satu upaya adalah dengan menjaga agar seluruh wilayah


PKMI-4-2-8
memiliki House Index, Container Index dan Breteau Index serendah mungkin di
bahwa batas aman 5%.

KESIMPULAN
Berdasarkan hasil survei jentik dan hubungannya dengan jumlah kasus
demam berdarah dengue di Kelurahan Rawamangun, Kayu Putih dan Cikini,
didapatkan analisis sebagai berikut:
1. Besarnya angka indikator penyebaran dan kepadatan vektor berupa House
Index, Container Index dan Breteau Index di tiga kelurahan, yaitu Kelurahan
Rawamangun, Kayu Putih dan Cikini telah melebihi 5%. Hal itu berarti
penularan kasus DBD dapat terjadi sehingga memungkinkan terjadinya KLB.
2. House Index, Container Index, dan Breteau Index jauh lebih tinggi di dua
kelurahan endemik DBD, yaitu Kelurahan Rawamangun dan Kayu Putih,
dibandingkan dengan di Kelurahan Cikini yang non-endemik DBD. Hal itu
menunjukkan bahwa semakin tinggi besarnya angka indikator penyebaran dan
kepadatan vektor maka kasus DBD semakin banyak.
3. Disimpulkan bahwa House Index, Container Index, dan Breteau Index dapat
digunakan untuk memantau penyebaran dan kepadatan vektor yang
berpengaruh pada jumlah kasus DBD. Dengan menjaga agar angka-angka
indikator penyebaran dan kepadatan vektor tersebut dibawah batas ambang
penularan Ae.aegypti, yaitu 5% maka diharapkan KLB tidak akan terjadi.
Upaya sangat penting ialah untuk menjaga agar seluruh daerah mempunyai
House Index, Container Index dan Breteau Index serendah mungkin dibawah
5%.
4. Kontainer dengan persentase positif jentik tertinggi di tiga kelurahan ialah
drum, tempayan, vas bunga, kaleng bekas, tempat dispenser, dan
penampungan kulkas, selain bak mandi. Tempat-tempat tersebut harus
diwaspadai karena jarang dibersihkan dan kurang mendapat perhatian. Warna
yang lebih disukai nyamuk ialah warna gelap seperti hitam, coklat, dan biru.
Bahan yang disukai ialah semen dan keramik. Hal itu sesuai dengan teori
bahwa nyamuk menyukai tempat yang berwarna gelap, tidak berlantai tanah
dan berdinding kasar.
5. Dengan adanya pengetahuan karakteristik kontainer yang disukai nyamuk,
diharapkan pemerintah, masyarakat, tokoh lingkungan, tenaga kesehatan dan
kader-kader puskesmas dapat melaksanakan program PSN yang lebih efektif.
Perlu dilakukan penyuluhan untuk menyebarluaskan informasi mengenai
karakteristik tempat-tempat perindukan nyamuk tersebut dan mendorong
partisipasi aktif warga masyarakat dalam program PSN.

DAFTAR PUSTAKA
1. Gibbons RV, Vaughn DW. Dengue: an escalating problem. Brit Med J
2002;324:1563-6.
2. Eram S, Setyabudi Y, Sadono TI, Sutrisno DS, Gubler DJ, Saroso JS.
Epidemic dengue hemorrhagic fever in rural Indonesia II: clinical studies. Am
J Trop Med Hyg 1979;28:711-6.
3. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Kasus Demam Berdarah Dengue
di Indonesia: 11 Maret 2004. Terdapat di: http://www.depkes.go.id


PKMI-4-2-9
4. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Survei Entomologi
Demam Berdarah Dengue. Cetakan Kedua. Jakarta: Direktorat Jenderal
Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan; 2002.
5. Djakaria S. Vektor Penyakit Virus, Riketsia, Spiroketa dan Bakteri. Dalam:
Gandahusada S, Ilahude HD, Pribadi W (editor). Parasitologi Kedokteran.
Edisi ketiga. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2003.h.236-42
6. Soegijanto S. Prospek Pemanfaatan Vaksin Dengue untuk Menurunkan
Prevalensi di Masyarakat. Dipresentasikan pada Peringatan 90 Tahun
Pendidikan Dokter di FK Unair Surabaya. Surabaya; 2003.
7. Kay BH, Nam VS, Tien TV, Yen NT, Phong TV, Diep VTB, dkk. Control of
Aedes vectors of DBD in three provinves of Vietnam by use of Mesocyclops
(Copepoda), and community based menthods validated by entomological,
clinical, and serological surveillance. Am J Trop Med Hyg 2002;66:40-8.


PKMI-4-3-1
KEARIFAN TRADISIONAL MASYARAKAT SUKU DAYAK
DI SUB-DAS SIBAU TAMAN NASIONAL BETUNG KERIHUN DALAM
MELESTARIKAN BURUNG

Gilang F Ramadhan, Tyas D Djuanda, R Risnawati, H Fadly dan Udi Kusdinar
PS Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Institut Pertanian Bogor, Bogor

ABSTRAK
Burung adalah salah satu kekayaan hayati yang besar yang dimiliki oleh
Indonesia. Tingkat ketergantungan masyarakat adat yang tinggi terhadap sumber
daya alam akan memiliki pengaruh yang besar terhadap kondisi alam termasuk
keanekaragaman burung. Suku bangsa Dayak sebagai masyarakat hukum adat
mempunyai hubungan yang erat dengan lingkungan hidupnya. Tujuan penulisan
ini adalah: (1) Menganalisa keanekaragaman jenis burung di Taman Nasional
Betung Kerihun. (2) Menjelaskan bentuk kearifan tradisional masyarakat Suku
Dayak di Sub-DAS Sibau. (3) Menjelaskan ancaman terhadap kearifan serta
menganalisis cara menangkal ancaman. Pencarian data menggunakan observasi
langsung berupa eksplorasi dan wawancara pada narasumber yang dapat
dipercaya. Masyarakat Dayak Taman-Sibau menganggap burung Enggang
sebagai Tuhan yang satu. Ancaman terbesar bagi kearifan Suku Dayak
sehubungan dengan pelestarian alam adalah ekonomi, maka dibutuhkan peranan
pengelola taman nasional mengikutsertakan masyarakat Suku Dayak dalam
segala kegiatan guna meningkatkan kesejahteraan.

Kata kunci: Keanekaragaman jenis burung, masyarakat Dayak Taman-Sibau,
burung Enggang, ekonomi, pengelola taman nasional.

PENDAHULUAN
Pola kehidupan masyarakat lokal atau masyarakat adat di dalam dan di
sekitar kawasan TNBK dengan kondisi budaya (adat istiadat) dan perilaku sosial
yang spesifik memiliki interaksi yang spesifik pula dengan keberadaan
sumberdaya alam atau lingkungan di sekitarnya. Suku Dayak sebagai masyarakat
hukum adat mempunyai hubungan yang erat dengan lingkungan hidupnya.
Mereka sering dipengaruhi oleh alam pikiran religio magis atau sakral. Religio
magis artinya percaya kepada kekuatan gaib (magis) sebagai suatu kekuatan yang
menguasai alam semesta dan seisinya dalam keadaan kesinambungan (Muslim
dan Frans 1994). Djuweng (1992) dalam Moniaga (1994) menyatakan bahwa
sumberdaya alam bagi masyarakat Dayak berfungsi sangat vital terhadap seluruh
tata kehidupan mereka. Tingkat ketergantungan masyarakat adat yang tinggi
terhadap sumberdaya alam akan memiliki pengaruh yang besar terhadap kondisi
alam salah satunya keanekaragaman burung serta kondisi sosial budaya
masyarakat itu sendiri. Sehubungan dengan perkembangan eksploitasi hutan
secara besar-besaran akan mengubah kearifan dalam pemanfaatan burung.
Berdasarkan permasalahan tersebut di atas, maka tujuan penulisan ini
adalah menganalisa keanekaragaman jenis burung di TNBK, menjelaskan bentuk
kearifan masyarakat Suku Dayak di Sub-DAS Sibau, menjelaskan ancaman
terhadap kearifan serta menganalisa cara menangkal ancaman.



PKMI-4-3-2
BAHAN DAN METODE
Waktu dan Tempat
Lokasi pengamatan burung bertempat di Sub-DAS Sibau TNBK, Kabupaten
Kapuas Hulu, Propinsi Kalimantan Barat yang meliputi jalur sepanjang sungai
dan lokasi di dalam hutan/bukit. Daerah yang termasuk lokasi pengamatan
meliputi Sungai Sibau, Sungai Apyang, Sungai Menyakan, Anak Sungai Sibau,
Bukit Apyang, dan Bukit Menyakan Hulu. Sedangkan lokasi wawancara
bertempat di Nangapotan, Sibau TNBK. Kegiatan pengamatan burung
berlangsung dari tanggal 6-8 Juli 2005, dan kegiatan wawancara berlangsung dari
tanggal 9-10 Juli 2005.



Gambar 1. Lokasi Pengamatan Burung di Sub-DAS Sibau, TN Betung Kerihun

Alat dan Bahan
Objek pengamatan ini mencakup seluruh jenis burung yang terdapat di Sub-
DAS Sibau dan masyarakat Suku Dayak di Nangapotan. Peralatan yang
digunakan adalah : Binokuler, Buku Panduan Lapang: Pengenalan Jenis Burung
di Sumatera, Jawa, Bali dan Kalimantan oleh MacKinnon et al. 1998, kamera
foto, tape recorder, handycam, chronometer (pengukur waktu), tally sheet, alat
tulis menulis.

Metode Pengambilan Data
Seluruh data burung diambil dengan menggunakan metode jalur dan
pengamatan titik (Bibby et al. 1998). Sebanyak 2 jalur dibuat di hutan atau bukit,
dan 4 jalur menggunakan aliran sungai. Panjang masing-masing jalur 500 m.
112.45 113.00
01.00
113.155 113.30
01.15

LOKASI
PENGAMATAN
BURUNG
DI SUB-DAS SIBAU
TAMAN NASIONAL
BETUNG KERIHUN




Lokasi
Pengamatan

Batas taman
nasional

Sungai

Ibu kota
kabupaten




PKMI-4-3-3
Seluruh titik pengamatan diletakkan di dalam jalur dengan jumlah 10 titik pada
setiap jalur. Jarak antar titik sepanjang 50 meter dengan radius pengamatan 25 m.
Pengamatan dilakukan 2 kali dalam sehari, yaitu pagi pada pukul 07.00-11.00
WIB dan sore hari pada pukul 14.00-17.00 WIB.
Data mengenai kearifan tradisional masyarakat Suku Dayak diambil dengan
cara wawancara, yaitu dengan cara mengunjungi secara langsung orang-orang
yang dituakan (Kepala Desa, Ketua Adat dan Ketua RT) dan anggota masyarakat
yang dianggap mengetahui kondisi sosial budaya masyarakat (informan). Jumlah
responden yang diwawancarai sebanyak 30 orang dengan umur diatas 25 tahun
dari dua desa yang berada di Sub-DAS Sibau yaitu Nanga Potan dan Tanjung
Lasa (Tabel 1). Wawancara dilaksanakan pada sore hari (pukul 15.00-17.00 WIB)
dan malam hari (pukul 20.00-22.00 WIB), dengan cara semi terstruktur.

Tabel 1. Rincian Jumlah Responden Menurut Umur, Jenis Kelamin dan
Jabatan/Status dalam Masyarakat

Umur
(tahun)
Jenis
Kelamin
Jabatan/Statu
s
Lokasi
25-35 >35
Kepala
Desa
Kepala
Adat
Ketua
RT
Lain-
lain
Nanga
Potan
15 7 16 6 0 1 1 20
Tanjung
Lasa
5 3 6 2 1 0 0 7
Total 20 10 22 8 1 1 1 27
Keterangan: = Laki-laki; = Perempuan

Analisis Data
Kelimpahan burung (Pi)
Kelimpahan burung merupakan total jumlah individu burung yang
ditemukan selama pengamatan. Perhitungan jumlah dari setiap jenis burung yang
ada dengan menggunakan rumus menurut van Balen (1984). Penentuan nilai
kelimpahan ini untuk mengetahui atau menetapkan jenis-jenis burung yang
melimpah (banyak) atau tidak.

Pi = Jumlah Burung spesies ke-i _
Jumlah total burung

I ndeks keanekaragaman jenis (H)
Kekayaan jenis burung ditentukan dengan menggunakan Indeks
Keanekaragaman Shannon-Wiener dengan rumus :

H = - pi ln pi
Keterangan: H = indeks keanekaragaman jenis
pi = proporsi nilai penting
ln = logaritma natural





PKMI-4-3-4
HASIL PENELITIAN
Kekayaan Jenis Burung
Sejumlah 93 jenis burung dari 31 suku dan 67 marga dijumpai di Sub-DAS
Sibau TNBK, dengan jumlah total 660 individu (Tabel 2) dan nilai indeks
keanekaragaman jenis (H) sebesar 3,77 dan kemerataan jenis (E) sebesar 0.83.
Dari seluruh jenis tersebut, terdapat 39 jenis burung yang merupakan
catatan baru (new record) untuk kawasan Sub-DAS Sibau, meskipun bukan
catatan baru untuk TNBK. Seluruh jenis yang dijumpai pada kegiatan ini,
sebelumnya sudah pernah tercatat ditemukan pada wilayah DAS lain yang
termasuk kawasan TNBK.

Tabel 2. Kekayaan Jenis Burung di Sub-DAS Sibau TNBK
Nama Jenis Burung
No
Nama Ilmiah Nama Indonesia

Suku Ardeidae
1 Egretta garzetta * Kuntul kecil 1
Suku Accipitridae
2 Haliastur indus Elang bondol 4
3 Spilornis cheela Elang-ular bido 2
4 Ictinaetus malayensis Elang hitam 2
5 Spizaetus cirrhatus * Elang brontok 2
Suku Phasianidae
6 Argusianus argus Kuau raja 6
Suku Rallidae
7 Amaurornis phoenicurus * Kareo padi 1
Suku Psittacidae
8 Psittinus cyanurus * Nuri tanau 2
Suku Cuculidae
9 Cacomantis merulinus * Wiwik kelabu 2
10 Phaenicophaeus curvirostris Kadalan birah 2
11 Centropus bengalensis * Bubut alang-alang 2
Suku Strigidae
12 Ketupa ketupu * Beluk ketupa 1
Suku Apodidae
13 Collocalia fuciphaga Walet sarang putih 100
14 Cypsiurus balasiensis * Walet-palem asia 80
Suku Hemiprocnidae
15 Hemiprocne comata Tepekong rangkang 50
Suku Trogonidae
16 Harpactes kasumba * Luntur kasumba 2
17 Harpactes whiteheadi * Luntur kalimantan 1
Suku Alcedinidae
18 Alcedo meninting Raja-udang meninting 10
19 Alcedo euryzona Raja-udang kalung-biru 3
20 Ceyx erithacus * Udang api 1
21 Pelargopsis capensis Pekaka emas 10
22 Halcyon pileata * Cekakak cina 2
Suku Meropidae
23 Nyctyornis amictus Cirik-cirik kumbang 1


PKMI-4-3-5
Suku Bucerotidae
24 Anorrhinus galeritus * Enggang klihingan 5
25 Aceros comatus Enggang jambul 4
26 Anthracoceros malayanus Kangkareng hitam 10
27 Anthracoceros albirostris Kangkareng perut-putih 5
28 Buceros rhinoceros Rangkong badak 2
29 Buceros vigil Rangkong gading 8
Suku Capitonidae
30 Megalaima chrysopogon Takur gedang 2
31 Megalaima henricii * Takur topi-emas 5
32 Megalaima australis Takur tenggeret 4
Suku Indicatoridae
33 Indicator archipelagicus * Pemandu-lebah asia 10
Suku Picidae
34 Sasia abnormis Tukik tikus 1
35 Picus miniaceus Pelatuk merah 2
36 Meiglyptes tristis Caladi batu 1
37 Mulleripicus pulverulentus * Pelatuk kelabu-besar 1
38 Hemicircus concretus * Caladi tikotok 1
39 Reinwardtipicus validus * Pelatuk kundang 1
Suku Eurylaimidae
40 Cymbirhynchus macrorhynchos Sempur-hujan sungai 8
41 Eurylaimus javanicus Sempur-hujan rimba 2
42 Eurylaymus ochromalus Sempur-hujan darat 2
Suku Campephagidae
43 Hemipus hirundinaceus * Jingjing batu 6
44 Pericrocotus flammeus * Sepah hutan 20
Suku Chloropseidae
45 Aegithina viridissima * Cipoh jantung 12
46 Chloropsis cyanopogon * Cica daun kecil 8
47 Chloropsis sonnerati * Cica-daun besar 8
48 Chloropsis cochinchinensis Cica-daun sayap-biru 8
Suku Pycnonotidae
49 Pycnonotus simplex Merbah corok-corok 5
50 Pycnonotus brunneus * Merbah mata-merah 3
51 Tricholestes criniger * Brinji rambut-tunggir 3
Suku Dicruridae
52 Dicrurus leucophaeus Srigunting kelabu 2
53 Dicrucus paradiseus Srigunting batu 2
Suku Corvidae
54 Corvus enca Gagak hutan 3
55 Pityriasis gymnocephala * Tiong-batu kalimantan 11

Suku Sittidae
56 Sitta frontalis Munguk beledu 1
Suku Timaliidae
57 Pellorneum pyrrogenis * Pelanduk bukit 6
58 Malacocincla sepiarium Pelanduk semak 10
59 Malacopteron magnum Asi besar 5
60 Stachyris poliocephala * Tepus kepala-kelabu 3


PKMI-4-3-6
61 Stachyris maculata Tepus tunggir-merah 3
62 Stachyris leucotis * Tepus telinga-putih 4
63 Alcippe brunneicauda * Wergan cokelat 3
Suku Turdidae
64 Copsychus saularis Kucica kampung 6
65 Copsychus malabaricus Kucica hutan 4
66 Enicurus ruficapillus Meninting cegar 7
67 Enicurus leschenaulti * Meninting besar 13
68 Monticola solitarius * Murai-batu tarung 4
Suku Silviidae
69 Orthotomus atrogularis Cinenen belukar 7
70 Orthotomus sericeus Cinenen merah 5
Suku Muscicapidae
71 Rhinomyas ruficauda Sikatan-rimba dada- kelabu 3
72 Muscicapa griseisticta Sikatan burik 3
73 Eumyias indigo * Sikatan ninon 3
74 Cyornis unicolor * Sikatan biru-muda 7
75 Cyornis caerulatus * Sikatan biru-langit 6
76 Cyornis superbus Sikatan kalimantan 5
77 Cyornis turcosus Sikatan melayu 3
78 Rhipidura javanica * Kipasan belang 2
79 Hypothymis azurea Kehicap ranting 3
80 Terpsiphone paradisi Seriwang asia 7
Suku Sturnidae
81 Gracula religiosa Tiong emas 5
Suku Nectariniidae
82 Anthreptes simplex * Burung-madu polos 7
83 Anthreptes malacensis * Burung-madu kelapa 7
84 Nectarinia sperata Burung-madu pengantin 3
85 Nectarinia jugularis Burung-madu sriganti 15
86 Arachnothera longirostra Pijantung kecil 10
87 Arachnothera flavigaster Pijantung tasmak 3
88 Arachnothera chrysogenys Pijantung telinga-kuning 4
Suku Dicacidae
89 Prionochilus thoracicus Pentis kumbang 2
90 Prionochilus percussus Pentis pelangi 5
91 Dicaeum trigonostigma Cabai bunga-api 2
92 Dicaeum cruentatum * Cabai merah 3
Suku Ploceida
93 Lonchura fuscans Bondol kalimantan 20
Keterangan : (*): New Record untuk Sub-DAS Sibau



Terdapat juga variasi indek keanekaragaman jenis pada setiap lokasi, seperti
ditunjukkan Tabel 3.






PKMI-4-3-7
Tabel 3. Nilai indeks keanekaragaman jenis burung pada setiap lokasi
pengamatan di Sub-DAS Sibau, Taman Nasional Betung Kerihun

No Lokasi H
1. Sungai Sibau 2.2392
2. Sungai Apyang 2.8311
3. Sungai Menyakan 2.8897
4. Anak Sungai Sibau 1.8581
5. Bukit Apyang 3.5129
6. Bukit Menyakan Hulu 2.3983

Kearifan Tradisional Masyarakat Suku Dayak di Sub-DAS Sibau
Masyarakat Dayak Taman-Sibau mewujudkan kepercayaannya dengan
mengangkat suatu jenis fauna tertentu sebagai lambang masyarakat mereka dan
dijadikan sebagai ciri khas kesukuan mereka. Fauna yang menjadi lambang bagi
masyarakat Dayak Taman-Sibau adalah burung Enggang (Indonesia: Rangkong
Badak, nama ilmiah: Buceros rhinoceros) yang melambangkan kegagahan,
kemakmuran, kejayaan dan alat komunikasi dengan para leluhur.
Selain burung Enggang, terdapat pula burung-burung penanda: (1) Sasia
abnormis (ketupung: nama daerah) yang apabila terdengar suaranya satu kali
menandakan musibah sedangkan lebih dari dua kali menandakan kesenangan;
berguna saat bepergian, (2) Harpactes whiteheadi dan Harpactes kasumba
(beragai) yang melambangkan fenomena alam, ketika bersuara menandakan akan
turun hujan, (3) Terpsiphone paradisi (Seriwang asia: nama Indonesia), yang
dipercaya apabila bertemu dengan burung ini akan mendapatkan musibah.

PEMBAHASAN
Kekayaan Jenis Burung
Penemuan jenis burung sebanyak 93 jenis burung dengan 39 jenis sebagai
catatan baru (new record) untuk kawasan Sub-DAS Sibau merupakan sebuah
penemuan yang menunjukkan bahwa kawasan ini sangat kaya akan
keanekaragaman jenis burung. Sebelumnya di Sub-DAS Sibau tercatat 149 jenis
burung (Taman Nasional Betung Kerihun, 2000). Hanya 54 jenis saja yang
tercatat kembali dalam kegiatan pengamatan kali ini, atau 36,24% dari catatan
sebelumnya.
Bila dibandingkan dengan jumlah jenis burung yang tercatat di TN Betung
Kerihun sebanyak 301 jenis burung (Taman Nasional Betung Kerihun, 2000)
maka pengamatan ini menemukan 30,90%. Namun apabila dibandingkan dengan
jumlah jenis burung di Indonesia, pengamatan ini hanya menemukan 6,07% saja.
Nilai indeks keanekaragaman jenis burung yang didapatkan menunjukkan bahwa
kawasan tersebut memiliki nilai yang cukup tinggi yaitu sebesar 3,77 jika
dibandingkan dengan penelitian di tempat lain. HIMAKOVA (2004) mendapatkan
nilai indeks keanekaragaman sebesar 2,4-3,4 untuk beberapa lokasi pengamatan di
Taman Nasional Bukit Barisan Selatan Propinsi Lampung. Wisnubudi (2004)
mendapatkan indeks keanekaragaman 3,4-3,9 untuk beberapa jalur pengamatan di
Taman Nasional Gunung Halimun Propinsi Jawa Barat.




PKMI-4-3-8
Kearifan Tradisional Masyarakat Suku Dayak di Sub-DAS Sibau
Masyarakat Dayak merupakan masyarakat yang percaya terhadap kekuatan
magis dan supranatural. Hampir seluruh aspek kehidupan mereka terkait dengan
kekuatan-kekuatan magis tersebut. Mulai dari ketika mereka akan pergi berladang
hingga pada berbagai upacara adat yang mereka lakukan. Pada dasarnya mereka
memiliki kepercayaan animisme, dinamisme dan totemisme. Tuhan tertinggi yang
satu, yang mendiami dunia atas dilambangkan oleh burung Enggang sebagai
manifestasi dari keberadaan hutan. Hal ini menunjukkan bahwa eksistensi hutan
dan kehidupan alam lainnya di sekitar masyarakat pedalaman adalah suatu
jaminan bagi keberadaan dan keberlanjutan hidup mereka.
Salah satu hal yang menyebabkan Suku Dayak menjadi cukup dikenal oleh
banyak orang, tidak hanya dalam negeri tetapi juga luar negeri, yakni karena
kebudayaannya yang cukup unik yang salah satunya tercermin dalam aspek
agama dan kepercayaan yang mereka yakini. Agama dan kepercayaan yang
mereka yakini penuh dengan berbagai hal yang berbau mistik dan magis. Hal-hal
yang berkaitan dengan kemistikan dan kemagisan tersebut banyak yang
berhubungan dengan aktivitas, kebiasaan serta pola perilaku harian. Selain itu
juga tercermin dalam berbagai upacara serta ritual adat yang mereka lakukan.

Ancaman Terhadap Kearifan dan Cara Menangkalnya
Ancaman terbesar yang paling mengancam kearifan tradisional Suku
Dayak Taman-Sibau terhadap kekayaan burung di alam adalah keadaan ekonomi
masyarakat Dayak Taman-Sibau. Hal ini dipacu oleh kebiasaan atau mata
pencaharian Dayak Taman-Sibau yang menggantungkan hidupnya pada alam,
yaitu melalui berladang dan berburu mamalia untuk dikonsumsi seperti babi dan
kijang muncak. Keadaan masyarakat Dayak Taman-Sibau saat ini mengalami
kemunduran akibat tekanan masyarakat luar yang melakukan pembalakan hutan
secara liar sehingga menghilangkan mata pencaharian Suku Dayak Taman-Sibau
yang selama ini dijadikan pegangan hidup mereka. Selain itu masuk pula
kebiasaan-kebiasaan baru yang dibawa oleh para transmigran, terutama
transmigran asal Pulau Jawa. Mereka memiliki minat yang sangat tinggi terhadap
burung baik untuk dipelihara dalam kandang maupun untuk dikonsumsi. Hal ini
akan mengancam kearifan tradisional Suku Dayak Taman-Sibau. Sering
terlihatnya para pemburu burung dari luar kawasan diduga akan menimbulkan
minat berburu yang serupa pada masyarakat Dayak Taman-Sibau.
Adanya desakan ekonomi dan tekanan serta pengaruh masyarakat luar
akan mengubah mata pencaharian utama Suku Dayak Taman-Sibau yakni
berladang berubah menjadi berburu, terutama berburu burung yang terbilang
mudah dan memiliki harga jual yang cukup tinggi jika dibandingkan dengan harga
kayu di pasaran. Kenyataan seperti itu akan menyebabkan keanekaragaman jenis
burung di Sub-DAS Sibau terancam dan cenderung menurun.
Keanekaragaman jenis burung di Sub-DAS Sibau akan terjaga apabila
kearifan Suku Dayak Taman-Sibau terhadap alam, terutama menjaga kekayaan
jenis burung, dapat dilestarikan. Oleh karenanya, pihak pengelola TNBK perlu
mengikutsertakan masyarakat Dayak Taman-Sibau dalam seluruh kegiatan yang
berhubungan dengan pelestarian alam guna menambah penghasilan masyarakat.
Selain itu juga perlu diadakan penyuluhan maupun lokakarya yang mengingatkan
bahwa kehidupan manusia tidak akan lepas dari alam.


PKMI-4-3-9
KESIMPULAN
Keanekaragaman jenis burung di Sub-DAS Sibau cukup tinggi yaitu
ditunjukkan dengan nilai indeks keanekaragaman sebesar 3,77 dan penemuan 93
jenis burung dari 31 suku. Terdapat 39 jenis burung yang merupakan catatan baru
(new records) untuk Sub-DAS Sibau TNBK. Burung Enggang dilambangkan
sebagai Tuhan yang satu, sehingga burung merupakan unsur utama dalam
kehidupan masyarakat Dayak Taman-Sibau. Ancaman terbesar dalam kehidupan
arif masyarakat Dayak Taman-Sibau adalah ekonomi. Oleh karenanya dibutuhkan
peran pengelola TNBK guna memenuhi kebutuhan hidup masyarakat Dayak
TamanSibau.

DAFTAR PUSTAKA
Van Balen, B. (1984). Bird Counts And Bird Observation in The Neighbourhood
of Bogor. Nature Conservation Dept. Agriculture University Wageningan.
Wageningen, The Netherlands.
Bibby, C., Jones, M. dan Marsden, S. (1998) Expedition Field Techniques Birds
Surveys. Expedition Advisor Centre. London, UK.
HIMAKOVA. (2004). Laporan Kegiatan Studi Konservasi Lingkungan
[SURILI]: Eksplorasi Ilmiah Keanekaragaman Hayati Satwa Indikator
Kesehatan Lingkungan Hutan dan Tumbuhan di Taman Nasional Bukit
Barisan Selatan, Lampung. Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan
Fakultas Kehutanan IPB, Bogor.
MacKinnon, J., Phillipps, K. dan van Balen, B. (1998). Seri Panduan Lapangan
Burung-Burung di Sumatera, Jawa, Bali dan Kalimantan. Birdlife
International-Indonesia ProgramPusat Penelitian dan Pengembangan
Biologi LIPI, Cibinong.
Muslim, I.A. dan Frans, S.J.E. (1994). Makna dan Kekuatan Simbol Adat Pada
Masyarakat Dayak: Di Kalimantan Barat Ditinjau Dari Pengelompokan
Budaya. LP3S-Institute of Dayakology Research and Development-
Gramedia Widiasarana. Indonesia.
Moniaga, S. (1994). Pengetahuan Masyarakat Dayak Sebagai Alternatif dalam
Penanganan Permasalahan Kerusakan Sumber Daya Alam di
Kalimantan: Suatu Kebutuhan Mendesak. LP3S-Institute of Dayakology
Research and Development-Gramedia Widiasarana. Indonesia.
Taman Nasional Betung Kerihun. (2000). Rencana Pengelolaan Taman Nasional
(RPTN) Betung Kerihun Periode 2000-2024 (Buku I). Balai Taman
Nasional Betung Kerihun. Putussibau.
Wisnubudi, G. (2004). Keanekaragaman Dan Kelimpahan Jenis Avifauna Untuk
Pengembangan Ekowisata Birdwatching di Taman Nasional Gunung
Halimun Jawa Barat. Tesis tidak dipublikasikan. Sekolah Pascasarjana
Institut Pertanian Bogor, Bogor.

PKMI-4-4-1
UJI FITOKIMIA DAN KONSENTRASI LETAL (LC
50
)
MINYAK PALA

Wulan Tri Wahyuni, N Rofiah, Nita H Dini, Debby Isdarulyanti, Yuyu Yundhana
PS Kimia, Institut Pertanian Bogor, Bogor

ABSTRAK
Pala (Myristica fragrans) merupakan tanaman asli Indonesia yang termasuk
famili Myristicaceae dan berdasarkan bobotnya terdiri atas 89.55% daging buah,
10.45% biji pala (fuli, tempurung, daging biji). Distilasi 105 gram biji pala
menghasilkan minyak berwarna kuning sebanyak 2.7 ml dan 160 gram fuli pala
menghasilkan minyak tidak berwarna sebanyak 17.2 ml. Minyak biji dan fuli pala
mengandung senyawa toksik (miristisin). Melalui uji toksisitas terhadap larva
udang diketahui bahwa minyak biji dan fuli pala dapat membunuh 50% populasi
larva udang (LC
50
) pada konsentrasi 267.11 ppm dan 181.71 ppm. Daging buah
pala olahan aman untuk dikonsumsi karena kadar senyawa toksiknya rendah. Uji
fitokimia terhadap daging buah, biji, dan fuli pala menunjukkan keberadaan
flavonoid dan tanin yang berpotensi sebagai zat antikanker dan antioksidan.

Kata kunci: Pala, Myristica fragrans, miristisin, flavonoid, tanin.

PENDAHULUAN
Tanaman pala (Myristica fragrans) merupakan salah satu tanaman asli
Indonesia. Tanaman ini diketahui telah banyak digunakan oleh masyarakat luas
untuk berbagai keperluan pangan seperti bumbu, rempah, dan manisan. Tanaman
pala termasuk dalam famili Myristicaceae dan merupakan tanaman asli kepulauan
Maluku dan pulau-pulau di sekitarnya yang terletak di sebelah barat daya Papua
Nugini.
Tanamanan pala menghasilkan senyawa miristisin yang merupakan
komponen toksik dari biji pala dengan kandungan sebesar 4%. Menurut Caserett
(1975) 25% dari fraksi miristisin adalah elimisin yang dalam metabolismenya
membentuk 3-metoksi-4,5-metilenadioksiamfetamina (MMDA) dan
trimetoksiamfetamina. Kedua senyawa tersebut mempunyai potensi halusinogen.

O
O H
3
C
CH
2 C
H
CH
2

Gambar 1 Struktur Miristisin.

Rumus molekul miristisin ialah C
11
H
12
O
3.
Zat ini merupakan senyawa
tidak berwarna, terang, mudah menguap dengan bau aromatik yang kurang tajam,
tidak membeku pada suhu rendah dan dapat diperoleh dengan cara distilasi vakum
(Shulgin 1966). Miristisin terdapat dalam minyak pala dan minyak fulinya.
Minyak fuli mengandung lebih banyak senyawa miristisin daripada minyak biji
pala (Raphael 1969). Tingkat konsumsi yang tinggi terhadap biji, fuli, dan daging
buah pala perlu diwaspadai karena konsumsi pala sebanyak 8 gram dapat

PKMI-4-4-2
menyebabkan kematian terutama akibat senyawa miristisin (Flach dan Willink
1966).
Berdasarkan kondisi tersebut penelitian penentuan konsentrasi letal (LC
50
)
minyak miristisin pala dilakukan. Di samping itu dilakukan uji fitokimia untuk
melihat kemungkinan pala mengandung senyawa metabolit sekunder yang dapat
digunakan sebagai antikanker dan antioksidan.

BAHAN DAN METODE
Pembuatan Serbuk Sampel
Buah pala segar dikupas kemudian diambil biji, fuli, dan daging buahnya.
Daging buah pala yang diperoleh dipilah, dicuci, kemudian dilumatkan dengan
blender. Biji dan fuli dikeringkan dengan oven pada suhu 40

C. Selanjutnya biji
dan fuli yang telah kering dilumatkan dengan blender. Daging buah, biji, dan fuli
didistilasi dan diidentifikasi kandungan bahan aktifnya melalui uji fitokimia yang
selanjutnya digunakan untuk penetapan kadar minyak atsiri dan uji fitokimia.

Penetapan Kadar Minyak Atsiri
Setiap sampel dimasukkan ke dalam labu distilasi dan ditambahkan air
akuades. Peralatan distilasi kemudian dipasang dan dipanaskan. Setelah proses
distilasi selesai, uap air berisi minyak dari hasil distilasi dipisahkan dengan corong
pisah menggunakan pelarut n-heksana. Fraksi air yang diperoleh dari pemisahan
tersebut dibuang sementara fraksi n-heksana dirotavapor sehingga diperoleh
minyak pala.

Identifikasi Tanin
Sebanyak 50 mg serbuk sampel dilarutkan dalam 5 ml metanol dan
ditambahkan beberapa tetes FeCl
3
1%. Adanya tanin ditunjukkan dengan
terbentuknya warna hijau.

Identifikasi Alkaloid
Sebanyak 50 mg serbuk sampel ditambah 10 ml kloroform-amonia dan
disaring dalam tabung reaksi tertutup. Ekstrak kloroform dalam tabung reaksi
dikocok dengan 10 tetes H
2
SO
4
2M, kemudian lapisan asamnya dipisahkan dan
diuji dengan pereaksi dragendorf, mayer, dan wagner.

Identifikasi Flavonoid
Sebanyak 50 mg serbuk sampel ditambah 100 ml air panas, sampel
dididihkan dan disaring. Ke dalam 5 ml filtrat ditambahkan serbuk Mg, 1 ml HCl
pekat, dan 1 ml amil alkohol. Campuran dikocok kuat-kuat. Hasil positif
ditunjukkan dengan terbentuknya warna merah atau kuning pada lapisan amil
alkohol.

Identifikasi Saponin
Sebanyak 50 mg serbuk sampel ditambah dietil eter. Residu yang tidak
larut dalam dietil eter dipisahkan dan ditambah 5 ml air, kemudian dikocok hingga
timbul busa dengan ketinggian mencapai 2-3 cm.


PKMI-4-4-3
Uji Konsentrasi Letal 50 % (LC
50
)
Minyak yang diperoleh dari penyulingan diuji dosis letalnya
menggunakan larva udang. Konsentrasi yang digunakan beragam mulai dari 0.001
ppm sampai 10 000 ppm. Konsentrasi tersebut diperoleh dari pengenceran minyak
dengan air dan dihomogenkan dengan Tween-80. Ke dalam setiap konsentrasi
minyak dimasukkan sepuluh ekor larva udang. Setelah 24 jam, jumlah larva udang
yang mati dihitung dan dibuat kurva hubungan antara persen kematian dan
konsentrasi minyak. Persamaan garis yang diperoleh dari hubungan linear persen
kematian dengan konsentrasi minyak digunakan untuk menentukan nilai LC
50
.

HASIL PENELITIAN
Ciri Sampel. Buah pala yang digunakan berasal dari daerah Ciawi Bogor
pada ketinggian 400 dpl. Buah tersebut berasal dari pohon pala berusia 10 tahun,
sedangkan buah palanya berusia 3-5 bulan. Bobot rerata buah pala sebesar 33.50
gram/buah, dengan bobot rerata biji (fuli, tempurung, daging) sebesar 3.50 gram
dan bobot rerata daging buah sebesar 30 gram.
Distilasi Daging Buah, Biji, dan Fuli Pala. Hasil distilasi menunjukkan
bahwa biji dan fuli pala dapat menghasilkan minyak yang cukup banyak dengan
rendemen berturut-turut 2.57% dan 10.75%. Sementara itu, distilasi daging buah
pala tidak menghasilkan minyak (Tabel 1).

Tabel 1 Distilasi daging buah, biji, dan fuli pala
Nama sampel Bobot sampel (gram) Lama distilasi (jam) Volume minyak (ml)
Daging buah 1000 2.5 -
Biji pala 105 3 2.7
Fuli pala 160 2 17.2

Uji Fitokimia. Daging buah pala segar dan biji kering pala bereaksi positif
terhadap uji flavonoid ditunjukkan berturut-turut dengan warna kuning dan merah.
Uji alkaloid dan saponin buah segar, biji, dan fuli pala menunjukkan hasil negatif.
Sementara itu, uji tanin bereaksi positif terhadap biji dan fuli kering pala yang
ditunjukkan dengan warna hijau (Tabel 2).

Tabel 2 Uji fitokimia daging buah, fuli, dan biji pala


Jenis Uji

Daging buah segar Biji kering Fuli kering
Flavonoid + + -
Alkaloid - - -
Saponin - - -
Tanin - + +

Uji Konsentrasi Letal 50% (LC
50
). Konsentrasi minyak biji dan fuli pala
di atas 100 ppm dapat membunuh 100% jumlah kematian larva udang. Pada
konsentrasi 0.001 ppm larva mati 80% akibat minyak biji pala dan 60% akibat
minyak fuli pala (Tabel 3). Dari persamaan linear yang merupakan hubungan
antara konsentrasi dan persen kematian diperoleh konsentrasi letal (LC
50
) minyak
biji dan fuli pala berturut-turut ialah 267.11 ppm dan 181.71 ppm (Gambar 2).

PKMI-4-4-4

Tabel 3. Jumlah letal larva udang pada uji toksisitas minyak dalam biji dan fuli
pala

Jumlah rerata larva udang yang mati
dalam minyak (ekor)
Konsentrasi minyak
(ppm)
Biji fuli
0.001 8.33 7.33
0.010 8.33 6.00
0.100 6.66 7.00
1.000 10.00 6.00
10.000 9.67 9.00
100.000 10.00 10.00
1000.000 10.00 10.00
10 000.000 10.00 10.00















Gambar 2 Kurva LC
50
minyak biji dan fuli pala.


PEMBAHASAN
Penelitian dilakukan dengan menggunakan buah pala berusia muda (3-5
bulan) karena kadar minyaknya tinggi dan belum mengalami pembentukan lemak.
Di samping itu, buah muda belum mengalami pembentukan tempurung sehingga
lebih mudah untuk dipecah bijinya (Rismunandar 1988). Sampel buah pala yang
digunakan mengandung daging buah sebanyak 89.55% dan biji (fuli dan
tempurung) sebanyak 10.45%.
Distilasi biji dan fuli pala menghasilkan minyak pala berturut-turut 2.7 ml
dan 17.2 ml. Sementara itu, minyak dari daging buah tidak terukur karena diduga
sejumlah minyak atsiri yang dikandungnya menguap selama proses. Hal ini
disebabkan oleh pengecilan ukuran sampel yang memberikan efek kesalahan
negatif terhadap rendemen. Daging buah pala memberikan rendemen sekitar 0.5%
(Rampengan 1996).
Uji fitokimia terhadap sampel daging buah, fuli, dan biji pala dilakukan
untuk mengetahui kandungan bioaktif (metabolit sekunder) yang dimiliki buah
y = 1.5653x
R
2
= -1.5134
y = 1.6829x
R
2
= -8.239
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
0 2 4 6 8 10
konsentrasi (ppm)
j
u
m
l
a
h

l
a
r
v
a

u
d
a
n
g

y
a
n
g

m
a
t
i

(
e
k
o
r
)
minyak biji
minyak fuli
Linear (minyak fuli )
Linear (minyak biji)

PKMI-4-4-5
pala. Uji alkaloid terhadap daging buah, biji, dan fuli pala memberikan hasil
negatif. Secara kualitatif daging buah dan biji menunjukkan hasil positif akan
kandungan flavonoid, sementara biji dan fuli menunjukkan keberadaan tanin.
Flavonoid diketahui dapat digunakan sebagai zat antikanker. Di samping
itu, flavonoid juga dapat digunakan untuk melancarkan peredaran darah,
mencegah terjadinya penyumbatan pembuluh darah, mengurangi kandungan
kolesterol, mengurangi penumpukan lemak pada dinding pembuluh darah,
mengurangi risiko penyakit jantung koroner, mengandung antiinflamasi
(antiradang), berfungsi sebagai antioksidan dan membantu mengurangi rasa sakit
jika terjadi pendarahan atau pembengkakan. Sementara itu, tanin merupakan
polimer alam yang memiliki aktivitas antioksidan. Hal ini mengindikasikan bahwa
pala memiliki potensi menghasilkan senyawa bioaktif antikanker dan antioksidan
(flavonoid dan tanin). Di samping mengandung senyawaan terpenoid, pala
mengandung minyak atsiri. Minyak ini terdiri atas -pinena, kamfena, limonena,
dipentena, p-simena, -terpineol, safrol, geraniol, eugenol, dan asam
miristat/miristisin. Komponen utama minyak pala miristisin merupakan senyawa
aromatik eter (50% dari jumlah minyak fuli) (Shulgin 1967).
Miristisin ialah salah satu komponen yang menyebabkan minyak pala
bersifat toksik (Maarse 1991). Efek racun pada minyak pala tidak hanya
disebabkan oleh miristisin, tapi juga disebabkan oleh produk metabolit miristisin
yaitu 3-metoksi-4,5-metilendioksiamfetamina (MMDA) dan p-
metoksiamfetamina (PMA) (Ellenhorn & Barceloux 1988). Miritisin memiliki
struktur yang mirip dengan amfetamin, oleh karena itu buah pala memiliki efek
psikotropik. Pengaruh yang ditimbulkan senyawa miristisin adalah menaikkan
kecepatan denyut jantung, mulut kering, pupil membesar, dan akibat yang
ekstrem adalah susah buang air besar.
Toksisitas minyak pala hasil penyulingan diuji melalui penentuan
konsentrasi letal 50% (LC
50
) larva udang. Nilai LC
50
minyak biji

pala sebesar
267.11 ppm sementara LC
50
fuli pala sebesar 181.71 ppm. Data ini menunjukkan
minyak pala mengandung senyawa yang sangat toksik (dapat membunuh 50%
populasi pada konsentrasi yang kecil). Sifat toksik pala perlu diwaspadai karena
konsumsi buah pala lebih dari 8 gram dapat menyebabkan kematian. Sejauh ini
penggunaan minyak pala melebihi 0.08% dalam industri makanan tidak
diizinkan. Namun demikian, kandungan minyak miristisin daging buah pala dapat
menguap dengan pemanasan sehingga kadar racunnya berkurang dan daging
buah pala yang telah diolah cukup aman untuk dikonsumsi.
Toksisitas minyak pala di sisi lain dapat memberikan keuntungan. Minyak
pala dapat digunakan sebagai pestisida. Penggunaan minyak pala sebagai pestisida
didasari oleh fakta bahwa minyak pala juga memiliki aktivitas insektisidal,
fungisidal, dan bakterisidal. Minyak pala mengandung senyawa monoterpena
(kamfena) yang merupakan zat pembius dan penolak serangga (Willis 1960).

KESIMPULAN
Efektivitas penyulingan minyak pala dan rendemen minyak yang diperoleh
bergantung usia buah pala yang digunakan dan lama proses distilasi. Rendemen
yang diperoleh dari penyulingan biji ialah sebesar 2.57% sementara penyulingan
fuli memberikan rendemen sebesar 10.75%.

PKMI-4-4-6
Komponen kimia yang ditemukan pada buah pala berdasarkan uji
fitokimia adalah flavonoid dan tanin. Flavonoid dan tanin dapat dimanfaatkan
sebagai zat antikanker dan antioksidan. Di sisi lain buah pala juga mengandung
komponen toksik berupa miristin, hal ini dapat dilihat dari konsentrasi letal 50%
(LC
50
) terhadap larva udang dari minyak biji dan fuli pala berturut-turut sebesar
267.1094 dan 181.7124 ppm.
Daging buah pala yang sudah diolah aman untuk dikonsumsi karena kadar
senyawa toksiknya rendah. Konsumsi biji dan fuli pala secara berlebihan perlu
dihindari karena kadar toksisitasnya tinggi. Untuk itu perlu diadakan penelitian
lebih lanjut mengenai batas jumlah buah pala yang dapat dikonsumsi agar tidak
membahayakan.

DAFTAR PUSTAKA
Ellenhorn & Barceolux. 1988. Medical Toxycology Diagnosis and Treatment of
Human Poisoning. New York: Elsevier.
Flach M & Willink MT. 1966. Myristica fragrans Hout. Prosiding:143.
Maarse H. 1991. Species and Condiments I. Di dalam: Volatile Compaunds in
Foods and Beverage. New York: Marcel Dekker.
Raphael I. 1988. Natural Product A Laboratory Guide. New York: Departement
of Organic Chemistry.
Rampengan VF. 1996. Analisis komponen minyak atsiri yang terikat secara
glikosidik pada daging buah pala (Myristica fragrans Hout) [Tesis].
Manado: Program Pascasarjana, Universitas Sam Ratulangi.
Rismunandar. 1988. Budidaya dan Tata Niaga Pala. Jakarta: Penebar Swadaya.
Shulgin AT. 1966. Possible implication of myristin as a psichotropic substance.
Nature, 210:380-384.
Somaatmadja DAS. 1984. Penelitian Pengembangan Pengolahan Pala dan Fuli.
Komunikasi. No. 215. Bogor: BBPPIHP.
Willis TE. 1960. Text Book of Pharmacognosy. London: J & A Churcill Ltd.


PKMI-4-5-1
FLORA SUNDA:
TAFSIR CULTURAL STUDI ES IDIOM DAN PERIBAHASA SUNDA

Aditia Gunawan, Ade Suarsa, Kamila Sari, Nopita Depi
Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung

ABSTRAK.
Tulisan ini memaparkan hasil telaah atas idiom dan peribahasa Sunda.
Penelaahan berfokus pada konstruk kultural manusia Sunda dalam memaknai
kekayaan flora berdasarkan pengalaman inderawi (sensouous)-nya yang
kemudian diungkapkan dalam bentuk idiom dan peribahasa. Penelitian ini
bertujuan untuk mendeskripsikan flora dalam idiom dan peribahasa Sunda
beserta konstruksi budaya didalamnya. Konstruksi budaya dibaca melalui
pembacaan cermat dengan mengamati nama dan karakteristik flora yang
terdapat dalam idiom dan peribahasa Sunda. Hasil penelitian ini menunjukan
bahwa 64,86% dari idiom dan peribahasa menunjukan stereotip masyarakat
Sunda saat ini. Stereotip tersebut kemudian diklasifikasikan menjadi empat
kategori. Satu sampel dari masing-masing kategori ditelaah dan ditafsirkan
dengan pendekatan cultural studies. Tulisan ini mengungkap keterkaitan antara
nama dan karakteristik flora dengan makna idiom yang digunakan oleh
masyarakat Sunda.

Kata kunci: idiom, peribahasa, cultural studies dan sensouous.

PENDAHULUAN
Indonesian heritage (dalam Whitten: 2002) menunjukan data bahwa 10%
jenis tumbuhan di dunia terdapat di Indonesia. Sebagai negara kepulauan,
Indonesia memperlihatkan beragam komposisi jenis hutan. Hutan di pulau
Sumatra mungkin tidak serupa dengan hutan di pulau Jawa. Faktor tipe tanah dan
curah hujan berpengaruh pada keberagaman floranya. Hal tersebut membuktikan
kekayaan dan keberagaman flora di Indonesia.
Manusia dengan karunia pancaindra dan potensi estetik mencipta wacana
tubuh yang berurusan dengan sesuatu yang inderawi (sensouous) yang konkret,
bersifat nisbi, terbatas, sementara dan tak bisa dikendalikan oleh kerangka
diskursif (Eagleton dalam Sahal, 2000). Dengan wacana tubuh tersebut manusia
memberikan nama dengan katakata tertentu sebagai hasil dari refleksinya
terhadap alam sekitar. Cara manusia memberi nama atau sebutan itulah yang
kemudian melahirkan idiom dan peribahasa.
Sejalan dengan Prawirasumantri (dalam Sudaryat, 2003: 93), bahwa proses
pemberian nama atau sebutan dapat diklasifikasikan menjadi beberapa bagian,
berdasarkan suara, persamaan, bahan, tempat asal, pencipta (kreator), penemu,
sifat, dan sebagian anggapan. Sebutan yang berdasarkan persamaan seringkali
disebut metafora gaya bahasa yang sering kita temukan dalam idiom dan
peribahasa.
Idiom dan peribahasa Sunda memiliki kedudukan penting bagi
pemakainya, mengingat vitalitas yang dimilikinya tidak atau belum tersisihkan
jaman. Hal tersebut terlihat dari produktivitas penggunaan baik dalam ungkapan
lisan maupun dalam karya sastra Sunda. Sesuai dengan pendapat Brunvard (1968)


PKMI-4-5-2
bahwa salah satu syarat suatu peribahasa ialah harus memiliki vitalitas (daya
hidup) tradisi lisan, yang dapat dibedakan dari bentuk-bentuk klise tulisan yang
berbentuk syair, iklan, reportase olahraga, dan sebagainya.
Dalam setiap bahasa, bahasa apapun itu, tentu memiliki sebuah ungkapan
dan peribahasa. Ungkapan berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah
kelompok kata atau gabungan kata yang memiliki makna khusus. Sementara
berdasarkan kamus Umum Badudu-Zain (dalam Rosidi: 2005), ungkapan adalah
kata atau istilah yang mengandung arti kiasan. Artinya ungkapan dalam bahasa
Indonesia sering diartikan sebagai pengganti istilah idiom dalam bahasa Inggris.
Sementara itu, dalam Rosidi (2005), dikenal istilah babasan yang tiada lain
adalah untuk menggantikan kata ungkapan dan idiom dalam bahasa Sunda.
Kamus Besar Bahasa Indonesia menyebut peribahasa sebagai kelompok
kata atau kalimat yang tetap susunannya dan biasanya mengiaskan maksud
tertentu. Peribahasa juga berarti ungkapan atau kalimat-kalimat ringkas yang
berisi perbandingan, perumpamaan, nasihat, prinsip hidup, atau aturan tingkah
laku. Istilah peribahasa dalam bahasa Sunda dikenal dengan kata Paribasa
(Rosidi: 2005).
Cultural studies tak pelak merupakan fenomena penting dan kontroversial
selama kurang lebih tiga dekade terakhir. Pretensinya bukanlah kajian-kajian steril
yang selama ini tampak dalam disiplin akademis yang ada, melainkan kajian yang
berwatak emansipasi, yakni berpihak kepada yang terpinggirkan baik dari segi
kelas sosial, ras, maupun gender dalam kanon resmi suatu kebudayaan. (Sahal:
2000).
Dalam bahasa kita, sebutan cultural studies mungkin tidak bisa dengan
mudah diterjemahkan menjadi kajian-kajian budaya, karena istilah tersebut
mengandung riwayat hidup dan karakteristik yang khas (Sahal: 2000). Ada
baiknya jika kita lacak genealogi dan kita usut karakteristiknya.
Simon During (dalam Sahal: 2000) menunjukan dua jalur genealogi
cultural studies. Jalur pertama adalah mereka yang melihat kebudayaan sebagai
efek hegemoni. Hegemoni adalah sebuah istilah yang berasal dari Antonio
Gramsci yang berarti dominasi yang berlangsung tidak dengan cara paksaan yang
kasat mata, melainkan dengan persetujuan (concent) dari pihak yang didominasi.
Dalam bingkai hegemoni inilah kebudayaan terletak. Cultural studies jenis ini
lebih menekankan pembacaan budaya sebagai tindakan kontra hegemoni dan
pembelaan terhadap subkultur.
Sedangkan cultural studies jalur kedua, yang mendapat banyak pengaruh
dari pemikiran poststrukturalis Prancis, menggeser perhatiannya dari kontra
hegemoni menuju perayaan kemajemukan satuan-satuan kecil. Kebudayaan
dilihat sebagai wacana pendisiplinan dan normalisasi, yang tidak dihadapi dengan
makro politik karena relasi politik tidak selalu bersifat vertikal tapi menyebar dan
merata dalam setiap hubungan masyarakat dan lebih tepat dihadapi dengan mikro
politik. Foucault merumuskan cultural studies sebagai insurrection of the
subjugated knowledge (membangkitkan pengetahuan-pengetahuan yang tertekan).
Di jalur kedua inilah penelitian ini berdiri.
Sebagai bahasa komunikasi, idiom dan peribahasa mempunyai struktur
bahasanya sendiri (language structure). Secara struktural, Idiom dan peribahasa
terdiri dari tanda-tanda (signs), yaitu unsur terkecil bahasa yang terdiri dari
penanda (signifier), yaitu sesuatu yang bersifat materi, seperti bentuk fisik pohon,


PKMI-4-5-3
bunga, hewan, dan petanda, yaitu konsep (signified) atau makna (meaning) yang
ada di balik penanda tersebut (Amir Piliang:2003).
Strukturalisme dalam cultural studies menganggap pemaknaan
(signification) sebagai efek dari struktur dalam bahasa yang mewujud dalam
fenomena cultural yang spesifik atau dalam manusia berbicara, bukan produk dari
niat-niat pelaku. Dengan demikian, strukturalisme hendak menyelidiki bagaimana
makna kultural diciptakan, memahami budaya sebagai analog dengan suatu
bahasa (Barker, 2005: 21)
Bagi Raymond William (Antariksa: 2000) kebudayaan juga meliputi seni,
nilai, norma-norma, dan benda-benda simbolik dalam hidup sehari-hari, ia
merupakan bagian totalitas relasi-relasi sosial. Idiom dan peribahasa hidup
bersama benda-benda simbolik sehari-hari. Idiom dan peribahasa telah menjadi
budaya pop. Bagaimana tidak, bentuk prosa karya sastra Sunda sampai saat ini
masih menunjukan keproduktifan kemunculan idiom dan peribahasa, seperti yang
tercatat Ajip Rosidi (2005), sedikitnya ada 25 karya sastra Sunda didalamnya
terdapat idiom dan peribahasa Sunda. Demikian pula dengan bahasa lisan; dalam
pidato, ceramah, dakwah bahkan dalam diskusi-diskusi idiom dan peribahasa
selalu muncul. Upaya pelanggengan idiom dan peribahasa juga dilakukan melalui
transformasi budaya dengan memanfaatkan pendidikan formal yang
dijewantahkan dalam kurikulum.
Cultural studies memberikan ruang gerak yang lebih luas untuk memaknai
bagian dari totalitas relasi-relasi sosial tadi, mengingat cultural studies
mempunyai daya peluk interdisipliner yang secara selektif mengambil berbagai
perspektif dari disiplin lain (Barker, 2005: 8-9). Hal tersebut memungkinkan kita
untuk merayakan kemajemukan satuan-satuan kecil; antara sastra dan psikologi,
antara kebudayaan dan biologi, atau mungkin antara kerajinan tangan dan filsafat
sesuatu yang tidak terduga.

METODE PENELITIAN
Tulisan ini mengkaji nama dan karakteristik flora dalam idiom dan
peribahasa Sunda. Idiom dan peribahasa Sunda dibaca cermat (close reading).
Untuk mendapatkan data dipilih idiom dan peribahasa yang di dalamnya terdapat
nama flora dari beberapa sumber buku Idiom dan peribahasa Sunda; Rosidi
(2005), Sumarsono (2001), Natawisastra (1978), dan Samsudi (1986). Genealogi
dan karakteristik flora tersebut diobservasi dan ditelaah. Idiom dan peribahasa
kemudian kami klasifikasikan berdasarkan stereotip kondisi masyarakat Sunda
saat ini. Untuk menganalisis data, diambil satu sampel idiom dan peribahasa
Sunda yang mewakili stereotip masyarakat Sunda saat ini dari masing-masing
kategori, kemudian ditafsirkan dengan pendekatan cultural studies.

HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Terdapat 37 idiom dan peribahasa yang didalamnya tercatat nama flora.
2. Dari 37 idiom dan peribahasa tersebut terdapat 36 nama flora dengan berbagai
karakteristiknya yang khas. (Tabel 1)
3. Terdapat 25 (64,86%) dari 37 idiom dan peribahasa Sunda yang mewakili
stereotip kondisi masyarakat Sunda saat ini.
4. Idiom dan peribahasa yang mewakili stereotip kondisi masyarajat Sunda saat
ini dapat diklasifikasikan menjadi 4 kategori, yaitu kearifan lokal di tengah isu


PKMI-4-5-4
globalisasi, sistem kekerabatan, stratifikasi sosial, dan dominasi laki-laki atas
perempuan. (Tabel 2)

Tabel 1. Flora Dalam Idiom Dan Peribahasa Sunda
NO
IDIOM &
PERIBAHASA
MAKNA
NAMA
FLORA
KARAKTERISTIK
1. Alak-alak
cumampaka
Orang miskin ingin
menyamai orang
kaya
- Alak-alak

- Campaka
(Michelia alba)
Tumbuhan yang mirip dengan
cempaka, hanya bunganya tidak
wangi.
Nama pohon dan bunga, setiap bagian
tumbuhan bermanfaat. Bunganya
wangi, kayunya halus.
2. Ngaliarkeun
taleus ateul
Menceritakan
kejelekan orang lain
Taleus/Talas
(Colocasia esculenta)
Flora berumbi, daun muda dan
tangkai mudanya dapat disayur
3. Ambekna sakulit
bawang
Mudah marah Bawang
(Allium)
Tanaman umbi lapis, biasa dipakai
bumbu dapur.
4. Buruk-buruk
papan jati
Meskipun saudara
me-lakukan
kesalahan, kita selalu
ingin memaaf-kannya
Jati (Tectonia grandis) Pohon yang kayunya keras dan ulet,
daunnya besar, bulat dan berbulu
halus pada bagian bawah dan licin
pada bagian atas.
5. Dah bawang dah
kapas
Ini barangnya, ini
uangnya!
- Bawang (Allium)
- Kapas (Gossypium)
Lih. No 3
Pohon yang buahnya menghasilkan
kapas berbentuk serat putih yang
dapat dipintal menjadi benang, dsb.
6. Bontng
ngalawan kadu
Lemah melawan kuat - Bontng/ Mentimun
(Cucumis sativus)


- Kadu/Durian
(Durio zibethinu)
Flora yang menjalar, bentuk buahnya
bulat panjang, berwarna hijau, hijau
muda, atau kuning dan dimakan
mentah sebagai lalap dan dibuat acar.
Buah yang berkulit tebal dan berduri,
berbentuk bundar lonjong atau bundar
telur, buahnya berwarna putih, kuning
tua, atau putih kekuning-kuningan.
7. Deukeut-deukeut
anak taleus
Walaupun rumahnya
dekat, kita tidak tahu
bahwa orang tersebut
sebenarnya masih
saudara.
Taleus/Talas
(Colocasia esculenta)
Flora berumbi, daun muda dan
tangkai mudanya dapat disayur.
8. Ulah tiis-tiis jahe Harus hati-hati Jah
(Zingiber officinal)
Flora berakar tunggang (umbi-nya
pedas, dipakai sebagai aromatik,
bumbu dapur, dan obat), berdaun
lonjong dan lancip.
9. Jogjog neureuy
buah loa
Mengharapkan yang
bukan tan-dingan
Buah loa
(Ficus glomerata
ROXB)
Jenis pohon tinggi, raksasa rimba.
Buah loa tumbuh pada batang sampai
dekat tanah. Rasa buah manis tawar.
Rasanya enak, lebih enak dari ficus
jenis lain.
10. Dipiamis buah
gintung
Disangka orang baik,
ternyata tidak.
Buah Gintung/ Gadog
(Bischofia javanica)
Tampak luar terlihat menggiurkan,
tapi tidak dapat dimakan.
11. Monyt
ngagugulung
kalapa
Hanya tahu luarnya
saja, sedangkan
isinya tidak tahu
Kalapa/Kelapa
(Cocos nucifera)
Tumbuhan palem yang berpokok
tinggi, buahnya tertutup serabut dan
tempurung yang keras, di dalamnya
terdapat daging dan air, merupakan
tumbuhan serba guna.
12. Bungbulang
tunda
Menitipkan lagi tu-
gasnya pada orang
lain.
Bungbulang
(Bougainvillea)
Bunga kertas, jenis tumbuhan
merambat.
13. Kawas kacang
ninggang kajang
Bicaranya keras dan
cepat
Kacang
(Arachis hypogaea)
Tanaman perdua-perduan yang
ditanam di sawah atau di ladang,
berbuah polong.
14. Ngembang bold Jelas/ ttla Bold
(Iponomoea batatas
poir)
Kelompok Olacaceae. Jenis tanaman
menjalar. Rasa buahnya manis.


PKMI-4-5-5
15. Ngembang kadu Melongo /olohok Kadu/Durian
(Durio zibethinu)
Lih. no.6
16. Ulah cara ka
kembang malati,
kudu cara ka
picung
jangan mudah bosan
terhadap perempuan,
seharusnya lebih
lama lebih bertambah
cinta.
- Malati/Melati
(Jasminum sambac)


-Picung/ Keluwak
(Pengium edulle)
Flora perdu suku Rubiaceae, warna
bunganya putih berbentuk bintang.
Bunganya harum, hanya tidak tahan
lama. Biasa dipakai dalam upacara-
upacara.
Pohon yang tingginya mencapai 40
meter. Buahnya bulat lonjong, dengan
biji banyak, berbentuk segitiga pipih.
Buah ini dimanfaatkan untuk bumbu
dapur. Sebenarnya buah & seluruh
ba-gian pohon ini beracun, karena
me-ngandung Asam Sianida(HCrl).
Tetapi racun itu hilang dalam
pengolahan.
17. Muncang labuh
ka puhu
Pulang ke kampung
halaman
Muncang/ Kemiri
(Aleurites moluccana)
Bentuknya agak bulat, sebesar ibu jari
kaki, kulitnya hitam keras, kulit
luarnya kaku, isinya berwarna kuning
dan terdiri atas dua belahan.
18. Cacad nangkaeun Tidak beres, tidak
rata
Nangka
(Artocarpus
heterophyllus)
Buahnya berkulit tapi tidak tajam,
berwarna kuning tua kalau sudah
matang.
19. Ti batan
meunang pala,
anggur meunang
palu
Tadinya berharap
bahagia, malah
sengsara
Pala
(Myristica fragrans)
Buah batu yang berdaging kuning
muda kehijauan, berbentuk lonjong
dan beralur memanjang, bijinya
dibuat bumbu penyedap atau ramuan
obat.
20. Monyt
kapalingan
jagong
Tukang tipu kena
tipu
Jagong/Jagung
(Zea may)
Tanaman yang termasuk Gramineae,
berdaun pita lebar.
21. Ccndt mand
kiara
Orang miskin ingin
menyamai orang
kaya
- Ccndt
(Physais angulata)


- Kiara
(ficus roxburghii)
- Terna semusim. Ketinggian pohon
hanya sampai 1 meter. Daunnya
berkhasiat untuk darah tinggi.
Buahnya ditutupi kelo-pak suka
dimakan sebagai penganan.
- Pohon jenis ficus yang getahnya
banyak. Ada yang berupa pohon,
tumbuhan perdu, dan tumbuhan
memanjat.
22. Nunggul pinang Menyendiri tak
punya ayah dan ibu
Pinang/Areca cotechu Flora berumpun, berbatang lurus,
buah yang tua berwarna kuning
kemerahan, biasa dipakai sebagai
teman sirih
23. Nya picung nya
hulu maung
Tidak nyambung Picung/ Keluwak
(Pengium edulle)
Lih. no. 16
24. Pucuk awian Mudah terpengaruh Awi/Bambu
(Bambusa Sp.div)
Tumbuhan yang tumbuh berumpun,
berakar serabut yang ba-tangnya bulat
berongga. Ujung daunnya tipis dan
cenderung bergemerisik bila ditiup
angin.
25. Tungkul ka jukut
tanggah ka
sadapan
Orang yang serius
dalam bekerja
Jukut/Rumput

Flora jenis ilalang berbatang kecil dan
beruas, daunnya sempit panjang,
bunganya berbentuk bulir, serta
buahnya berupa biji-bijian. Banyak
jenisnya, seperti; rumput benggala;
rumput gajah; Panicum maximum;
rumput golf; Poa protensis; rumput
manila; Zoysia matrolla.
26. Rujak sentul Orang yang tidak
paham maksud
pembicaraan orang
lain
Sentul/Kecapi
(Sandoricum koetjape)
Pohon, buahnya boleh dimakan,
masam rasanya, kayunya dibuat
papan.
27. Seuseut batan Susah sekali Keueus (Musa Jenis pisang liar. Kelompok


PKMI-4-5-6
neureuy keueus acuminata colla) scitaminaceae.
28. Ari dipiara
supana kudu
dipiara catangna
Apapun yang
memberikan hasil
kepada kita harus kita
urus dengan benar
Supa/Cendawan
(Fungi)
Sekelompok tumbuhan rendah tak
berklorofil, tetapi sudah berinti. Dapat
dipakai sebagai bahan makanan
(Tempe, Kecap Tauco), dsb.
29. Pakokolot supa Umur yang tidak jauh
beda
Supa/Cendawan
(Fungi)
Idem
30. Kawas supa jadi Mudah tumbuh dan
berkembang
Supa/Cendawan
(Fungi)
Idem
31. Kawas cai dina
daun taleus
Menghiraukan
nasehat orang lain
Taleus/Talas
(Colocasia esculenta)
Lih. no. 7
32. Tamiang meulit
ka bitis
Celaka akibat per-
buatannya sendiri
Tamiang Bambu tipis
33. Rumbak caringin
di buruan
Tak ada lagi yang
akan memperingati
dan menasehati
karena saudara yang
lebih tua sudah tidak
ada.
Caringin/Beringin
(Ficus Benjamina)
Termasuk pohon besar, tingginya bisa
mencapai 20-35 meter. Berakar
tunggang. Daunnya lebat berbentuk
seperti payung.
34. Ngadu bako Bercakap-cakap
kesana kemari, arah
pembicaraannya
tidak jelas, biasanya
hal yang dibicarakan
adalah hal yang tidak
penting.
Bako/ Tembakau
(Nicitiana tabacum)
Tumbuhan berdaun lebar, daunnya
diracik halus dan dike-ringkan untuk
bahan rokok, cerutu, dan sebagainya.
36. Hanta hantung
hantigong
hantriweli
Wajah dan penampi-
lannya bagus, tapi
sebenarnya tidak bisa
apa-apa.
- Hanta

- Hantigong
- Hantriweli/Pare
/Peria
- Buah kalayar, berwarna merah dan
indah, tapi tidak dapat dimakan
- Lih. Buah Gintung
- Tumbuhan menjalar, bunganya
kecil-kecil berwarna kuning hampir
serupa dengan bunga mentimun. Rasa
buahnya pahit.
37. Kawas kapuk
kaibunan
Tak berdaya Kapuk
(Ceiba pentandra)
Kapas kasar dari pohon randu sebagai
pengisi kasur, bantal dan sebagainya.


Tabel 2. Klasifikasi Idiom dan Peribahasa Sunda berdasarkan Stereotip Kondisi
Masyarakat Sunda Saat Ini

NO KLASIFIKASI
IDIOM DAN
PERIBAHASA
MAKNA
Ulah tiis-tiis jah Harus hati-hati terhadap orang ini, karena jahe diam
diam menyimpan panas. Globalisasi perlu berhati-hati,
karena pengaruh yang masuk ada yang berbahaya.
Monyt ngagugulung
kalapa
Hanya tahu luarnya saja, sedangkan isinya tidak tahu.
Dengan kata lain, melakukan pekerjaan yang tidak
bermanfaat untuk dirinya sendiri. Contohnya dalam ilmu
pengetahuan, orang banyak mengimpor pengetahuan
dari luar yang pada aplikasinya justru tidak bermanfaat
bagi diri dan bangsanya sendiri.
Bungbulang tunda Bungbulang adalah kembang kertas, peribahasa ini
bermakna amanah, orang yang diberi amanah kiranya
harus bertanggung jawab kepada kepercayaan yang
diberikannya, jangan melimpahkannya lagi kepada
orang lain.
1. Kearifan lokal di
tengah isu
globalisasi
Ti batan meunang pala
anggur meunang palu
Berharap untung malah buntung. Seperti halnya
pemerintah kita yang terus-terusan menghutang dengan
harapan dapat memperbaiki kondisi bangsa. Apa yang
didapat? Kondisi bangsa ini semakin terpuruk, semakin
buntung.


PKMI-4-5-7
Tungkul ka jukut
tanggah ka sadapan
Orang yang serius dalam bekerja. Peribahasa ini
ditunjukan kepada orang yang mampu mengukur
kemampuan dirinya sendiri. Keprofesionalan dalam
bekerja terkandung dalam peribahasa ini.
Tamiang meulit ka bitis Celaka akibat perbuatannya sendiri. Pada kenyataanya,
manusia sering celaka akibat perbuatannya sendiri.
Bencana alam yang saat ini sering melanda, selain dari
peringatan tuhan, juga akibat ulah manusia yang sering
merusak alamnya sendiri.
Ngadu bako Bercakap-cakap kesana kemari, arah pembicaraannya
tidak jelas, biasanya hal yang dibicarakan adalah hal
yang tidak penting. Seperti itulah fenomena saat ini,
orang sering membicarakan hal-hal yang tidak jelas dan
tidak penting sementara tuntutan jaman semakin kuat
dan orang sering mempermasalahkan persoalan yang
tidak esensial.
Kawas cai dina daun
taleus
Tidak pernah mempedulikan perkataan orang lain,
masuk telinga kanan keluar telinga kiri. Sebaik apapun
yang orang katakan, baginya tidak berguna, yang
berguna adalah apa yang dianggapnya berguna.
Monyt kapalingan
jagong
Raja maling kemalingan. Sepandai apapun orang
berkelit pada suatu waktu ia akan berjumpa dengan
kemalangannya.
Dipiamis buah gintung Disangka orang baik, ternyata tidak. Fenomena saat ini
menunjukan gejala yang sama, banyak orang yang
berpenampilan menarik, tapi sebenarnya berniat buruk.
Kasus kejahatan bermotif penipuan di negara kita salah
satu indikasinya.
Dah bawang dah kapas Artinya kontan. Peribahasa ini ada sebelum manusia
mengenal uang, apalagi kartu kredit. Dalam masyarakat
modern, terkadang uang malah dijadikan segalanya.
Bentuk perdagangan dan sirkulasi ekonomi pun
terkadang lebih rentan kepicikan dan manipulasi.
Ambekna sakulit bawang Mudah marah, inilah bentuk kearifan lokal itu.
Masyarakat modern pada kenyataanya tidak bisa
mengatur emosinya, fenomenanya dapat kita lihat dari
berbagai tindak kekerasan, kerusuhan, dan rentannya
provokasi.
Ngaliarkeun taleus ateul Menceritakan kejelekan orang lain. Media dalam
infotainment menunjukan gejala ini, aib-aib dibuka
secara vulgar tanpa rasa malu. Dan celakanya, sering
dijadikan contoh.
Ari dipiara supana kudu
dipiara catangna
Kalau mengharapkan hasilnya kita harus merawat
sumbernya. Masyarakat modern justru sering lengah,
pembangunan dan eksploitasi terjadi tanpa pertimbangan
yang matang. Indonesia yang kaya akan sember alam,
justru tidak bisa menuai hasilnya, karena sumbernya
bukan lagi milik empunya.

Hanta hantung
hantigong hantriweli
Dari luar nampak menakjubkan, ternyata kondisi
didalamnya buruk. Orang seperti ini memiliki
kepribadian ganda yang sukar diterka. Segala bentuk
bantuan yang dianggap baik, ternyata menyimpan
kebusukan.
Buruk-buruk papan jati Saudara sendiri selalu dianggap baik walaupun ia
berkelakuan sangat tidak terpuji. Sikap seperti ini adalah
benih atas lahirnya budaya nepotisme yang kini merebak
di negara kita.
Deukeut-deukeut anak
taleus
Walaupun rumahnya dekat, kita tidak tahu bahwa orang
tersebut sebenarnya masih saudara. Saat ini, sistem
kekerabatan mulai melemah, terutama di lingkungan
kota. Pagar-pagar semakin menjulang, sehingga tidak
menutup kemungkinan, sekalipun berdekatan, tidak
saling mengenal satu sama lain.
2. Sistem
Kekerabatan
Nunggul pinang Menyendiri, tak punya siapa-siapa lagi. Peribahasa ini


PKMI-4-5-8
berindikasi pada kemandirian masyarakat Indonesia
yang masih minim. Rata-rata orang Indonesia dapat
hidup mandiri setelah usia 25 tahun ke-atas.
Rumbak caringin di
buruan
Tak ada lagi yang akan memperingati dan menasehati
karena saudara yang lebih tua sudah tidak ada.
Peribahasa ini mengindikasikan ketergantungan kepada
orang tua. Ketika kehilangan orang tua yang mampu
menasehati, saat itulah kita merasa kehilangan
segalanya.

Muncang labuh ka puhu Sejauh-jauhnya berkelana, akan pulang ke kampung
halamannya. Peribahasa ini menunjukan sistem
kekerabatan yang kuat di masyarakat Sunda. Berbeda
dengan suku-suku lain yang mampu hidup sebagai
pengembara, urang Sunda pada umumnya lebih suka
kembali ke kampung halamannya.
Ccndt mand kiara Orang miskin ingin menyamai orang kaya, sebuah
pertunjukan stratifikasi sosial yang melekat di
masyarakat Sunda.
Alak-alak cumampaka Orang yang tidak cantik ingin menyamai orang cantik.
Fenomena ini terlihat dari maraknya mode-mode busana
yang ada dalam masyarakat. Adanya trend busana yang
berorientasi barat membuat kesenjangan di masyarakat
semakin kentara.
Bontng ngalawan kadu Yang lemah melawan yang kuat, dua penanda (signifier)
menunjukan stratifikasi sosial. Bonteng, bagaimanapun,
tidak mampu mengalahkan kadu. Peribahasa ini
merupakan bentuk sikap pesimistik yang berujung pada
sikap yang tidak kritis melihat suatu permasalahan.
3. Stratifikasi sosial
Jogjog neureuy buah loa Mengharap yang bukan tandingan. Burung sekecil
jogjog tak akan mampu menelan buah loa yang
ukurannya besar. Ini adalah bentuk kepesimisan orang
kecil yang impian dan harapannya seolah dibatasi oleh
peribahasa ini.
4. Dominasi laki-laki
atas perempuan
Ulah cara ka kembang
malati, kudu cara ka
picung
Jangan mudah bosan terhadap perempuan, seharusnya
lebih lama lebih bertambah cinta. Walaupun berisi
petuah, tapi peribahasa ini menggambarkan posisi
wanita yang dimarginalkan. Perempuan disamakan
dengan picung yang mengandung racun, tapi bila diolah
oleh laki-laki, akan bermanfaat.

Sebagai sebuah bahasa komunikasi, idiom dan peribahasa menyampaikan
pesan berupa pepatah dan filsafat tentang bagaimana kehidupan ini dijalani.
Bukan hanya itu, idiom dan peribahasa memberikan ruang pada kita untuk sejenak
memikirkan tentang sesuatu hal yang kadang dianggap sepele belaka.
Bronislaw Malinowsky (dalam Saidi, 2006: 46), mengatakan bahwa
seluruh arti bahasa bersumber dari pengalaman badaniah Manusia secara inderawi
merepresentasikan tingkah laku, lambang-lambang, dan simbol simbol yang
dilihat, dirasa, dipakai, dan yang sehari-hari dipikirkannya.
Dalam menyampaikan informasi pemikirannya, idiom dan peribahasa
mengambil sebuah perspektif yang disesuaikan dengan latar belakang kultur
penggunanya. Informasi pemikiran itu disampaikan lewat berbagai cara, salah
satunya dengan pengandaian terhadap sesuatu hal. Keberagaman flora yang ada di
lingkungan sekitarnya direpresentasikan kembali dalam bentuk idiom dan
peribahasa.
Secara etnolinguistik, seluruh idiom dan peribahasa dalam tabel.2
menunjukan sebuah gejala yang menarik. Penulis pernah mendatangi sebuah
pedesaan yang secara geografis letaknya terpencil. Dan ketika ditanyai mengenai


PKMI-4-5-9
idiom dan peribahasa di atas, mayarakat desa pada umumnya lebih mengetahui
idiom dan peribahasa tersebut dibandingkan masyarakat kota.
Hal tersebut disebabkan karena idiom dan peribahasa Sunda lebih
dipahami secara inderawi oleh masyarakat desa dibandingkan sengan masyarakat
perkotaan. Penanda (signifier) dalam idiom dan peribahasa seperti ccndt, buah
loa, picung, tamiang, bungbulang dan buah gintung masih dikenal oleh masarakat
desa karena masih tumbuh di lingkungan sekitarnya. Berbeda dengan di kota yang
pohon-pohonnya telah rubuh dan beton-beton menjulang tumbuh.
Beberapa analisis idiom dan peribahasa berikut ini dapat memberikan
gambaran tentang hubungan flora, idiom, peribahasa dan makna yang terkandung
didalamnya berdasarkan stereotip kondisi masyarakat Sunda saat ini:

Kearifan lokal di tengah isu globalisasi
Peribahasa: Ari dipiara supana kudu dipiara catangna
Makna:
Supa (jamur) dalam peribahasa ini bisa dikorelasikan langsung dengan
sumber penghidupan, yang mampu menghidupi hidup manusia, layaknya nasi dan
sebagainya. Supa (jamur) biasa hidup diatas tanah lembab atau batang kayu yang
telah tergolek di tanah. Batang kayu itulah yang disebut catang. Idiom ini
merupakan bentuk kearifan lokal di tengah isu globalisasi. Ketika kita
menghendaki hasil dari suatu hal, maka kita diharuskan untuk menjaga
sumbernya. Seorang petani yang hidup dari hasil pertaniannya, seyogyanya tetap
memelihara sumber-sumber pendukung hasil tani seperti air, tanah, kerbau, bibit,
dan sebagainya.
Hal ini berlaku pula pada bidang-bidang lain dalam kehidupan manusia,
termasuk ekonomi dan politik. Melalui peribahasa ini, manusia Sunda memahami
keterpaduan hubungan ekosistem alam. Antara batang dengan jamur, antara hama
dengan padi, dan sebagainya. Dalam konstruk
masyarakat modern, ketika Indonesia sedikit
mengalihkan perhatiannya pada industri,
keseimbangan ekosistem alam mulai terganggu.
Hama dibasmi menggunakan pestisida. Padahal
pestisida tersebut terserap tumbuhan, dan akan ikut
termakan oleh manusia. Apabila faktor pendukung
dan penyeimbang ekosistem alam tidak dijaga,
niscaya hasil tidak akan diperoleh, dan kita tinggal
menunggu kerusakan.
Globalisasi seolah salah kaprah. Faktor
pendukung kelangsungan ekosistem diabaikan.
Bentuk-bentuk privatisasi seperti pembangunan fisik, eksploitasi air,
pertambangan, dan industri dilakukan tidak dengan pertimbangan jangka panjang.
Emas, timah, ikan, dan kekayaan alam lainnya bukan lagi milik empunya, karena
tanahnya telah digadaikan, karena catang-nya tidak dipiara.
Sistem Kekerabatan
Peribahasa: Buruk-buruk papan jati.
Makna:
Papan jati berasal dari pohon jati (tectanus grandis), Pohon ini biasanya
memiliki karakter kuat, tidak mudah rapuh. Meskipun pohon jati sudah busuk,
Gambar 1.
Supa (cendawan) yang tumbuh di
atas catang (batang)


PKMI-4-5-10
tapi hanya kulitnya saja, dalamnya masih memiliki daya jual yang layak
dibandingkan dengan pohon lain. Buruk-buruk papan jati; sejelek apapun perilaku
saudara kita, kita akan tetap mengakuinya sebagai saudara. Seperti papan jati,
yang walaupun telah sedikit melapuk, ciri-ciri kepapan-jatiannya tetap kentara
dan oleh sebab itu kita akan tetap menyebutnya papan jati.
Seperti itulah kecenderungan masyarakat Sunda, dimana pengakuan
terhadap saudara dijunjung tinggi. Kecenderungan tersebut sebenarnya dapat
memberikan ekses buruk apabila dikaitkan dengan etika dan hukum. Seorang
penegak hukum berusaha membebaskan seorang penjahat, seorang koruptor ulung
dibiarkan berkembang biak dengan dalih buruk-buruk papan jati. Dalam hal ini
terdapat penyimpangan makna (fake meaning) yang justru pada akhirnya
membentuk konstruksi nilai-nilai etika yang berlaku pada masyarakat.
Hukum dan etika mengalami gradasi nilai, karena di titik ini manusia
mengalami dilema. Di satu titik manusia berada dalam pengakuan dan
perlindungannya terhadap saudara, sedang di titik lain berada dalam konstruksi
nilai hukum yang mutlak, yang tersurat melalui undang-undang dan peraturan-
peraturan. Dampaknya, terjadilah pembenaran dan pengecualian pada hukum
yang telah dibuat oleh manusia itu sendiri. Pada akhirnya antara taar kening
(pikiran) dan tuur lutut (tindakan) sering tidak sejalan.

Stratifikasi sosial
Peribahasa: Ccndt mand kiara
Makna:
Ccndt (Physais angulata) yang tingginya jarang melebihi 1 meter dan
akarnya mampu dicabut dengan hanya satu lengan saja, melawan kiara dengan
tubuh besar, berakar kuat dan merambat membentuk kekuatan yang tiada tara.
Sebuah pertunjukan stratifikasi sosial yang mengakar pada masyarakat Sunda.
Dalam konteks ini, si lemah dilarang melawan sang
kuat, yang miskin haram untuk melawan yang kaya.
Boleh jadi, maksudnya adalah menghormati harkat
dan martabat manusia, namun pada prakteknya sering
merupakan bentuk hegemoni satu golongan terhadap
golongan lain yang berujung pada praktek-praktek
perbudakan.
Hal ini berbanding terbalik dengan konsepsi
yang telah disetujuai massa di seluruh dunia dengan
declaration of human rights-nya. Bahwa manusia
pada dasarnya adalah sama. Manusia diujung benua
harus diperlakukan sama dengan manusia yang
tinggal di tengah benua. Tak ada pembeda antara
sesama manusia, apalagi hanya karena harta dan
tahta. Artinya, ccndt; selama ia berdiri pada kebenaran dan tentu saja mampu
melakukannya, mengapa tidak melawan kiara.

Dominasi Laki-laki atas Perempuan
Peribahasa: Ulah cara ka kembang malati, kudu cara ka picung.
Makna:
Gambar 4.
Ccndt (Physais angulata)


PKMI-4-5-11
Peribahasa ini tiada lain adalah sebuah petuah tentang kehidupan dua insan
yang terikat dalam pernikahan dan kehidupan rumah tangga. Seperti itulah
harusnya perlakuan terhadap pasangan hidup. Jangan memperlakukannya
layaknya pada bunga melati. Ketika masih wangi, masih memberikan aroma
kebahagiaan, kita terus menggenggamnya. Dan ketika wangi itu hilang, tak ada
lagi yang patut kita nikmati, melati dicampakan begitu saja. Sebaliknya, perlakuan
kita terhadap pasangan hidup seharusnya layaknya
pada buah picung. Buah picung berbentuk lonjong,
dengan biji banyak, berbentuk segitiga pipih. Buah ini
dimanfaatkan untuk bumbu dapur. Sebenarnya buah
& seluruh bagian pohon ini beracun, karena
mengandung Asam Sianida(HCrl). Tetapi bila diolah,
racun itu akan hilang dan memberikan kita kelezatan.
Seperti itulah perlakuan kita (pada perempuan).
Peribahasa ini didominasi oleh laki-laki.
Konteks peribahasa tersebut merupakan pepatah yang
ditujukan untuk laki-laki bagaimana seharusnya
mengurus perempuan. Dalam peribahasa ini,
stereotipe atau asumsi gender tercermin. Perempuan
hanya diposisikan sebagai objek yang inferior dan lemah. Perempuan adalah hasil
bentukan laki-laki. Laki-laki mengolah perempuan yang pada mulanya dianggap
racun menjadi bermanfaat untuk Laki-laki. Laki-laki memposisikan diri sebagai
subjek pelaku dan tujuan, sedangkan perempuan hanya sebagai objek.
Meskipun dalam peribahasa tersebut mengisyaratkan pepatah untuk
kelanggengan kehidupan rumah tangga, tapi justru peribahasa tersebut yang
diwariskan turun temurun merupakan indikasi pelanggengan budaya patriarki.
Fenomena perempuan saat ini, sejalan dengan Wood (1993: 193) dalam
Kurniawan (2005: 155), meskipun upaya upaya emansipasi dan penyetaraan
gender terus diupayakan, hubungan cinta beda jenis kelamin secara umum terus
mencerminkan perspektif gender tradisional yang dikuatkan oleh budaya, salah
satunya peribahasa ini.

KESIMPULAN
Upaya menafsirkan idiom dan peribahasa Sunda tidak terlepas dari
konstruk kultural pemakainya. Teks tidak terlepas dari konteks. Manusia Sunda
pencipta idiom dan peribahasa hidup dengan konteks alam yang masih kaya akan
flora, yang kemudian merupakan sumber inspirasi metafor masyarakat Sunda
mencipta sebuah ungkapan dan peribahasa. Masyarakat desa (subkultur) lebih
mampu memaknai idiom dan peribahasa dibandingkan masyarakat kota karena
masyarakat desa lebih mengetahui penanda (signifier) dari idiom dan peribahasa
tersebut. Ketidakberhasilan transformasi idiom dan peribahasa di masyarakat
Sunda disebabkan karena idiom dan peribahasa tidak lagi hidup dalam
pengalaman badaniah masyarakat Sunda.
Walaupun berisi petuah dan pepatah, tetapi tidak semua idiom dan
peribahasa relevan dengan kehidupan masyarakat Sunda saat ini, tentunya,
melalui proses penafsiran.


Gambar 2
Picung (Pengium edulle)


PKMI-4-5-12
DAFTAR PUSTAKA
Amir Piliang, Yasraf .(2003). Hipersemiotika: Tafsir Cultural Studies atas
Matinya Makna, Yogyakarta, Jalasutra.
Antariksa .(2000). Raymond William, Newsletter Kunci no.6-7, Mei-Juni 2000.
Barker, Chris .(2005). Cultural Studies: Teori dan Praktik, Yogyakarta, Bentang.
Corner, E.J.H & K. Watanabe D.S .(1969). Illustrated Guide to Tropical Plant,
vol. 1 & 2, Jepang: Hirokawa Publishing Company, Inc. Tokyo.
Danandjaya, James .(2002). Folklor Indonesia: Ilmu gosip, dongeng, dan lain-lain
Jakarta, Pustaka Utama Grafiti.
Heyne. K. .(1987). Tumbuhan Berguna Indonesia, jilid I-IV. Jakarta, Badan
Litbang Kehutanan Jakarta.
Iwan Saidi, Acep.(2006). Basa Sunda Leungiteun Jiwa. Cupumanik no.34, Mei
2006.
Kurniawan, Eri.(2005). Representasi Ideologi Patriarki dalam Masyarakat
Manhattan, Jurnal Bahasa & Sastra vol. 5 no.2 edisi Oktober 2005.
Lembaga Basa jeung Sastra Sunda .(1995). Kamus Umum Basa Sunda, Bandung,
Tarate.
Natawisastra, Mas.(1978). Saratus Paribasa jeung Babasan, Jilid 1, Jakarta,
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Proyek Penerbitan Bacaan dan
Sastra Indonesia dan Daerah.
Panitia Penyusun Ensiklopedia .(1989). Ensiklopedi Nasional Indonesia Jilid 4,
10, 12, 13, Jakarta, PT Cipta Adi Pusaka.
Panitia Penyusun Kamus.(1996). Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi kedua,
Jakarta, Balai Pustaka.
Rosidi, Ajip.(2005). Babasan & Paribasa: Kabeungharan Basa Sunda, Bandung,
Kiblat.
Sahal, Ahmad.(2000). Cultural studies dan Tersingkirnya Estetika, Esei-Esei
Bentara 2002. hal. 151160.
Samsudi.(1986). Babasan jeung Paribasa Sunda, CV Tirta Kancana.
Sudaryat, Yayat.(2003). Ulikan Semantik Sunda, Bandung, Geger Sunten.
Sumarsono, Tatang.(2000). Babasan jeung Paribasa Sunda: Larapna dina
Omongan, Bandung, Geger Sunten.
Whitten, Tony & Jane Whitten .(2002). Tetumbuhan, Jakarta, Buku Antar Bangsa.

PKMI-4-6-1
PENDEKATAN SETS (SCI ENCE, ENVI RONMENT, TECHNOLOGY,
AND SOCIETY) DALAM PEMBELAJARAN SISTEM PERIODIK
DAN STRUKTUR ATOM KELAS X SMA

Indah Lestari, Dyah Ahsina Fahriyati, Ani Rosiyanti
PS Kimia FMIPA Universitas Negeri Semarang, Semarang

ABSTRAK
Selama ini, proses pembelajaran kimia khususnya pembelajaran sistem periodik
dan struktur atom hanya menekankan pada sains murni. Akibatnya siswa kurang
memiliki kemampuan memandang sains sebagai satu kesatuan yang terintegrasi
dengan lingkungan, teknologi, dan masyarakat sehingga pemahaman siswa
kurang mendalam dan hasil belajar rendah. Berdasarkan pemikiran tersebut,
pendekatan SETS (Science, Environment, Technology, and Society) dapat
dijadikan alternatif dalam pembelajaran sistem periodik dan struktur atom.
Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan bahwa secara signifikan
pembelajaran sistem periodik dan struktur atom dengan pendekatan SETS lebih
baik daripada pendekatan NONSETS yang dapat diketahui melalui hasil belajar
kimia siswa. Metode pengumpulan data menggunakan metode tes dan metode
dokumentasi. Metode analisis data meliputi analisis tahap awal dan analisis
tahap akhir. Pada analisis tahap awal dilakukan uji normalitas, uji homogenitas,
dan uji anava sedangkan pada analisis tahap akhir meliputi uji normalitas, uji
kesamaan dua varians, dan uji hipotesis. Pada tahap uji hipotesis diperoleh t
hitung

= 4,167 sedangkan t
tabel
= 1,66. Hal ini menunjukkan bahwa ada perbedaan yang
signifikan antara hasil belajar kimia siswa dengan menggunakan pendekatan
SETS dan pendekatan NONSETS. Pembelajaran dengan pendekatan SETS lebih
baik daripada pendekatan NONSETS. Siswa yang memperoleh pembelajaran
dengan pendekatan SETS memiliki kemampuan memandang sesuatu secara
terintegratif dengan memperhatikan keempat unsur SETS sehingga dapat
memperoleh pemahaman yang lebih mendalam tentang materi yang sedang
dipelajari.

Kata kunci: SETS, NONSETS, sistem periodik, struktur atom.

PENDAHULUAN
SMA Negeri 1 Kendal merupakan salah satu SMA yang terdapat di
Kabupaten Kendal tepatnya di Jl Soekarno Hatta Kendal. Guru yang mengampu
mata pelajaran kimia seluruhnya ada empat orang. Berdasarkan laporan guru
kimia kelas X, lebih dari 65 % siswa masih mengalami kesulitan dalam
memahami materi sistem periodik dan struktur atom. Hal ini terlihat dari hasil
ulangan harian materi sistem periodik dan struktur atom pada dua tahun terakhir
yaitu lebih dari 65 % siswa mendapat nilai di bawah tujuh.
Pendidikan berbasis kompetensi adalah pendidikan yang menekankan pada
kemampuan yang harus dimiliki oleh lulusan suatu jenjang pendidikan.
Kompetensi lulusan suatu jenjang pendidikan, sesuai dengan tujuan pendidikan
nasional, mencakup komponen pengetahuan, ketrampilan, kecakapan,
kemandirian, kreativitas, kesehatan, akhlak, ketakwaan dan kewarganegaraan.

PKMI-4-6-2
Dan tingkat keberhasilan belajar yang dicapai peserta didik dapat dilihat pada
hasil belajar, yang mencakup ujian, tugas-tugas dan pengamatan.
Ilmu Kimia, Biologi, Matematika dan Fisika merupakan dasar bagi ilmu-
ilmu pengetahuan yang lain seperti kedokteran, geologi, teknik dan lain-lain.
Mempelajari ilmu kimia tidak hanya bertujuan menemukan zat-zat kimia yang
langsung bermanfaat bagi kesejahteraan umat manusia belaka, akan tetapi ilmu
kimia dapat pula memenuhi keinginan seseorang untuk memahami berbagai
peristiwa alam yang ditemukan dalam kehidupan sehari-hari, mengetahui hakikat
materi dan perubahannya, menanamkan metode ilmiah, mengembangkan
kemampuan dalam mengajukan gagasan-gagasan dan memupuk ketekunan serta
ketelitian bekerja. Ilmu kimia mengkhususkan diri di dalam mempelajari struktur,
susunan, sifat dan perubahan materi serta energi yang menyertai perubahan materi
(Depdiknas, 2003: 2).
Salah satu standar kompetensi mata pelajaran kimia di SMA adalah
mendeskripsikan struktur atom, sifat-sifat periodik unsur, dan ikatan kimia serta
struktur molekul dan sifat-sifatnya. Dan hal tersebut dapat diperoleh melalui salah
satu materi pokok kimia yaitu sistem periodik dan struktur atom yang terdapat
pada pelajaran kimia SMA kelas X semester 1 (Depdiknas, 2003: 46-51). Materi
pokok ini membahas tentang perkembangan sistem periodik, hubungan
konfigurasi elektron dengan sistem periodik, golongan dan periode unsur-unsur
dalam tabel periodik, sifat periodik (energi ionisasi, afinitas elektron, jari-jari
atom dan keelektronegatifan), struktur atom, jumlah proton, jumlah elektron,
jumlah netron, nomor atom, nomor massa, isotop, isobar, isoton, sifat-sifat unsur,
massa atom relatif dari tabel periodik, serta perkembangan teori atom. Materi ini
merupakan materi dasar ilmu kimia sehingga harus dikuasai dengan matang oleh
siswa agar siswa tidak menemui kesulitan dalam mengikuti pelajaran kimia
selanjutnya.
Pembelajaran adalah suatu kegiatan yang dilakukan oleh guru sedemikian
rupa, sehingga tingkah laku siswa berubah ke arah yang lebih baik (Darsono,
2000: 24). Proses pembelajaran di sekolah biasa dipimpin oleh guru seperti juga
yang terjadi di SMA Negeri 1 Kendal. Namun proses pembelajaran kimia
khususnya pembelajaran sistem periodik dan struktur atom di SMA Negeri 1
Kendal, guru cenderung lebih menekankan pada materi pelajaran atau pada sains
murni tanpa mengaitkan antara sains yang dipelajari dengan lingkungan, teknologi
dan masyarakat sebagai satu kesatuan (terintegrasi). Selain itu prioritas
pembelajaran pada umumnya adalah selesainya semua materi pelajaran tanpa
menghubungkan materi pelajaran tersebut dengan kenyataan hidup sehari-hari.
Akibatnya siswa kurang memiliki kemampuan memandang materi pelajaran atau
sains sebagai satu kesatuan yang saling terkait dengan lingkungan, teknologi dan
masyarakat. Dampak yang lebih parah adalah kurangnya pemahaman siswa
terhadap mata pelajaran kimia sehingga hasil belajar siswa menjadi rendah. Oleh
karena itu, di SMA Negeri 1 Kendal khususnya kelas X perlu diperkenalkan
pendekatan pembelajaran baru yang mengaitkan antara unsur sains, lingkungan,
teknologi dan masyarakat serta pengalaman siswa sehari hari yaitu dengan
pendekatan SETS (Science, Environment, Technology, and Society).
Pendekatan SETS (Science, Environment, Technology, and Society) bisa
dijadikan alternatif dalam pembelajaran kimia. Urutan singkatan SETS membawa
pesan bahwa untuk menggunakan sains (S-pertama) ke bentuk teknologi (T)

PKMI-4-6-3
dalam memenuhi kebutuhan masyarakat (S-kedua) diperlukan pemikiran tentang
berbagai implikasinya pada lingkungan (E) secara fisik maupun mental (Binadja
1999a: 2). Pendekatan SETS sekurang-kurangnya dapat membuka wawasan
peserta didik untuk memahami hakikat pendidikan sains, lingkungan, teknologi
dan masyarakat (SETS) secara utuh. Hal ini ditujukan untuk membantu peserta
didik mengetahui sains, perkembangannya dan bagaimana perkembangan sains
dapat mempengaruhi lingkungan, teknologi dan masyarakat secara timbal balik.
Menurut Binadja (1999a: 1) secara mendasar dapat dikatakan bahwa
melalui pendekatan SETS diharapkan siswa memiliki kemampuan memandang
sesuatu secara terintegratif dengan memperhatikan keempat unsur SETS, sehingga
memperoleh pemahaman yang mendalam tentang pengetahuan yang dimiliki.
Pada penelitian ini unsur sains menjadi perhatian utama. Namun tidak menutup
kemungkinan pada penelitian yang lain unsur lingkungan, teknologi maupun
masyarakat yang menjadi perhatian utama. Dengan meletakkan sains sebagai
fokus perhatian, seperti yang biasa dilakukan dalam kegiatan pengajaran sains,
maka guru sains serta para siswa yang menghadapi pelajaran sains dapat dibawa
melihat bentuk keterkaitan sebenarnya dari ilmu yang dipelajarinya (sains)
dikaitkan unsur lain dalam SETS. Oleh karena itu dalam pengajaran sains
seharusnya guru dan siswa dapat mengambil berbagai contoh serta fakta yang ada
atau kemungkinan fakta yang dapat dikaitkan secara terpadu dalam pengenalan
atau pembelajaran konsep sains yang dihadapi sesuai dengan tujuan pengajaran
dan pada saat memungkinkan siswa mengembangkan diri berdasarkan
pengetahuan yang dipelajari tersebut. Adapun keterkaitan antara keempat unsur
SETS dapat dilihat pada gambar 1.







Gambar 1. Keterkaitan antar Unsur SETS (Sumber: Binadja,1999b)

Titik berat pembelajaran sains berwawasan SETS adalah mengaitkan
antara konsep sains yang dipelajari dengan keberadaan serta implikasi konsep
tersebut pada lingkungan, teknologi, dan masyarakat dalam konteks SETS
(Binadja, 2001: 6). Demikian halnya pembelajaran sistem periodik dan struktur
atom dengan pendekatan SETS. Guru sedapat mungkin membawa siswa ke arah
pemikiran yang menyeluruh (integral) dengan mengaitkan antara materi sistem
periodik dan struktur atom yang dipelajari dengan keberadaan serta implikasi
materi tersebut dengan lingkungan, teknologi dan masyarakat.
Pada proses pembelajaran, guru dapat mengangkat isu yang berkembang
di masyarakat mengenai sistem periodik dan struktur atom, kemudian mencoba
mengaitkan ke bentuk teknologi dan dampaknya terhadap lingkungan dan
masyarakat serta cara pemecahannya dan tindakan positif apa yang dapat
dilakukan menanggapi isu tersebut. Siswa akan dituntut berpikir aktif dan kreatif.
Pemikiran yang kreatif mendorong siswa menguasai pengetahuan, manfaat dan
efek sampingnya.

PKMI-4-6-4
Sumber belajar pada pembelajaran sistem periodik dan struktur atom tidak
hanya berasal dari guru tetapi juga berasal dari lingkungan dan masyarakat,
misalnya dari media massa, media elektronik, buku-buku pengetahuan umum
serta lingkungan sekitar. Hal ini diperlukan mengingat teknologi informasi
berkembang sedemikian cepat dalam menyajikan berbagai macam informasi
terkini yang perlu selalu diikuti perkembangannya baik oleh guru maupun siswa.
Dengan demikian proses pembelajaran akan menjadi lebih menarik sehingga pada
akhirnya dapat meningkatkan hasil belajar siswa.
Hasil belajar merupakan perubahan perilaku yang diperoleh pembelajar
setelah mengalami aktivitas belajar (Anni, 2004: 4). Perolehan aspek-aspek
perubahan perilaku tersebut tergantung pada apa yang dipelajari oleh pembelajar.
Perubahan yang terjadi tersebut sebagai akibat dari kegiatan belajar yang telah
dilakukan oleh individu. Informasi hasil belajar siswa sangat diperlukan untuk
memotivasi siswa dan untuk perbaikan serta peningkatan kualitas pembelajaran
oleh guru.
Berdasarkan uraian di atas, muncul permasalahan sebagai berikut: adakah
perbedaan yang signifikan antara hasil belajar kimia siswa dengan menggunakan
pendekatan SETS dan pendekatan NONSETS dan apakah pembelajaran dengan
pendekatan SETS lebih baik daripada pendekatan NONSETS.
Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan bahwa secara signifikan
pembelajaran sistem periodik dan struktur atom dengan pendekatan SETS lebih
baik daripada pendekatan NONSETS yang dapat diketahui melalui hasil belajar
kimia siswa.

METODE PENELITIAN
Populasi penelitian ini adalah semua siswa kelas X SMA Negeri I Kendal
tahun ajaran 2005/2006. Populasi yang diteliti sebanyak 356 siswa yang tersebar
dalam sembilan kelas dengan anggota kelas antara 37-40 siswa. Pengambilan
sampel menggunakan teknik cluster random sampling. Sampel penelitian diambil
dari kelas XA dan XC sebagai sampel. Pada penelitian ini yang menjadi variabel
bebas adalah pendekatan pembelajaran yang divariasi dalam bentuk pendekatan
SETS dan pendekatan NONSETS, sedangkan variabel terikatnya yaitu hasil
belajar kimia siswa yang berkaitan dengan materi pokok sistem periodik dan
struktur atom. Metode pengumpulan data menggunakan metode tes dan metode
dokumentasi. Instrumen dalam penelitian ini adalah berbagai rancangan
pembelajaran yang berupa silabus, rencana pembelajaran, bahan ajar dan tes hasil
belajar. Metode analisis data dipisahkan menjadi dua yaitu analisis tahap awal dan
analisis tahap akhir. Pada analisis tahap awal dilakukan uji normalitas, uji
homogenitas dan uji kesamaan keadaan awal populasi untuk menetapkan
kelompok sampel yang diteliti. Data yang digunakan pada analisis tahap awal ini
adalah nilai NEM IPA SMP siswa kelas X SMA Negeri I Kendal. Analisis tahap
akhir meliputi uji normalitas, uji kesamaan dua varians dan uji hipotesis dari data
kelompok-kelompok sampel setelah mendapat perlakuan penelitian. Oleh karena
itu, data yang digunakan adalah nilai hasil belajar siswa kelompok perlakuan.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil analisis tahap awal yaitu uji normalitas, diperoleh hasil
bahwa data berdistribusi normal karena pada seluruh data awal didapatkan

PKMI-4-6-5

2
hitung
<
2
tabel
. Oleh karena itu pada uji selanjutnya menggunakan statistik
parametrik. Uji homogenitas selanjutnya menggunakan uji Bartlett. Pada uji
homogenitas diperoleh
2
hitung
(5,758) <
2
tabel
(15,51) yang berarti populasi
mempunyai varians yang sama (homogen). Selanjutnya dilakukan uji anava untuk
menguji kesamaan keadaan awal populasi pada umumnya dan keadaan awal
sampel pada khususnya. Berdasarkan uji anava diperoleh F
hitung
(1,9481) < F
tabel

(1,97) sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan rata-rata yang
signifikan dari kesembilan kelas anggota populasi yang berarti juga keadaan awal
sampel tidak berbeda. Berdasarkan uji homogenitas dan uji kesamaan keadaan
awal populasi maka pengambilan sampel dapat dilakukan dengan cara cluster
random sampling. Secara acak diambil kelas XA sebagai kelompok SETS dan
kelas XC sebagai kelompok NONSETS. Setelah ditetapkan kelompok yang
diteliti maka langkah selanjutnya adalah mengadakan perlakuan pada kelompok
sampel.
Pada proses pembelajaran kedua kelompok memperoleh perlakuan yang
berbeda. Kelompok SETS memperoleh pembelajaran dengan pendekatan SETS
sedangkan kelompok NONSETS memperoleh pembelajaran dengan pendekatan
NONSETS. Oleh karena itu perubahan yang terjadi pada sampel setelah perlakuan
disebabkan oleh perlakuan-perlakuan dalam proses pembelajaran tersebut. Pada
akhir pembelajaran kedua kelompok melakukan tes hasil belajar yang digunakan
untuk membandingkan kelompok mana yang memiliki hasil belajar yang lebih
baik.
Nilai rata-rata hasil belajar kelompok SETS sebesar 7,45 dengan standar
deviasi 0,91 sedangkan nilai rata-rata hasil belajar kelompok NONSETS sebesar
6,68 dengan standar deviasi 0,72. Berdasarkan hasil analisis tahap akhir, data hasil
belajar kelompok SETS dan kelompok NONSETS keduanya berdistribusi normal
karena pada masing-masing data
2
hitung
<
2
tabel
. Oleh karena itu pada uji
selanjutnya menggunakan statistik parametrik. Hasil uji kesamaan dua varians
data hasil belajar antara kelompok SETS dan kelompok NONSETS diperoleh
bahwa F
hitung
(1,567) < F
tabel
(1,89), jadi dapat disimpulkan bahwa kedua
kelompok mempunyai varians yang sama. Berdasarkan uji hipotesis yang telah
dilakukan, diperoleh t
hitung
= 4,167 sedangkan t
tabel
= 1,66, maka dapat disimpulkan
bahwa kelompok SETS lebih baik daripada kelompok NONSETS.
Perbedaan hasil belajar yang signifikan terjadi antara kelompok SETS dan
kelompok NONSETS dimana kelompok SETS lebih baik daripada kelompok
NONSETS bukanlah suatu kebetulan, tetapi perbedaan tersebut disebabkan karena
perbedaan perlakuan selama proses pembelajaran berlangsung. Konsep sains yang
dipelajari siswa pada materi pokok sistem periodik dan struktur atom baik dengan
pendekatan SETS maupun pendekatan NONSETS pada dasarnya sama, hanya
karena pembelajaran yang terintegrasi dengan memperhatikan keempat unsur
SETS yaitu Science, Environment, Technology, dan Society, maka siswa yang
memperoleh pembelajaran dengan pendekatan SETS memperoleh pemahaman
yang lebih mendalam tentang pengetahuan yang dimilikinya. Tentu saja karena
sifat pembelajaran dengan pendekatan SETS memungkinkan siswa memperoleh
pengetahuan yang lebih mendalam dibandingkan pembelajaran dengan
pendekatan NONSETS seperti diungkap oleh Binadja (1999a: 1-2 ). Penelitian
pada kedua kelas yang telah dilakukan dengan pendekatan SETS dan NONSETS
membuktikan kebenaran ungkapan tersebut. Sebagaimana hasil penelitian yang

PKMI-4-6-6
sudah disampaikan, kelompok SETS memiliki nilai rata-rata hasil belajar 7,45
dengan standar deviasi 0,91 lebih tinggi dibanding kelompok NONSETS yang
memiliki nilai rata-rata hasil belajar 6,68 dengan standar deviasi 0,72.
Berdasarkan hasil pengamatan, pembelajaran dengan pendekatan SETS
membuat siswa mengerti keterkaitan antara sains yang sedang dipelajari dengan
teknologi, lingkungan dan masyarakat. Hal ini dapat ditunjukkan saat
pembelajaran bahwa pengetahuan siswa bertambah bukan hanya hafalan materi
dan konsep sains saja, tetapi juga aplikasi ke bentuk teknologi serta dampaknya
bagi lingkungan dan masyarakat.
Pada pembelajaran mengenai perkembangan sistem periodik, siswa yang
memperoleh pembelajaran dengan pendekatan SETS dapat memahami keterkaitan
antara sains dengan teknologi secara timbal balik. Sejalan dengan adanya
kemajuan teknologi maka unsur-unsur yang dikenal manusiapun semakin
bertambah. Hal ini menuntut manusia untuk dapat mengelompokkan unsur-unsur
yang diketahui tersebut secara lebih sistematis. Oleh karena itu susunan unsur-
unsur atau lebih dikenal dengan sistem periodik unsur dari waktu ke waktu
berubah, mulai dari sistem periodik menurut Dobereiner, Newlands, Mendeleev,
Moseley hingga akhirnya terbentuk sistem periodik modern. Dengan adanya
sistem periodik modern manusia lebih mengenal unsur-unsur sehingga dapat
memanfaatkannya untuk kehidupan sehari-hari dalam hidup bermasyarakat yang
menempati lingkungan tertentu. Dengan demikian siswa dapat mengetahui
bagaimana teknologi mempengaruhi laju pertumbuhan sains serta dampaknya
bagi lingkungan dan masyarakat. Adapun siswa yang memperoleh pembelajaran
dengan pendekatan NONSETS tidak diajak berpikir global seperti halnya pada
pendekatan SETS. Siswa hanya mempelajari perkembangan sistem periodik
menurut Dobereiner, Newlands, Mendeleev, Moseley hingga sistem periodik
modern.
Pemikiran terintegratif bahwa teknologi dapat mempengaruhi laju
pertumbuhan sains juga terbentuk pada siswa kelompok SETS ketika siswa
belajar mengenai Ar (massa atom relatif) maupun Mr (massa molekul relatif) yang
dapat diketahui menggunakan spektrometer massa (alat yang digunakan untuk
menentukan massa atom). Di samping itu juga ketika siswa belajar mengenai
partikel dasar atom, sifat-sifat unsur, perkembangan teori atom yang berarti juga
pada pembelajaran sistem periodik dan struktur atom secara umum.
Konsep sains dalam hal ini pengetahuan mengenai unsur-unsur dalam
sistem periodik mendorong manusia untuk dapat memanfaatkannya dalam
memenuhi kebutuhan mereka. Namun ada kalanya proses pemenuhan kebutuhan
itu dapat merugikan masyarakat dan lingkungan baik lingkungan fisik maupun
lingkungan mental. Seperti pada peristiwa pengeboman kota Nagasaki dan
Hiroshima Jepang pada tahun 1945. Pada peristiwa ini manusia menerapkan
konsep sains (isotop) ke bentuk teknologi (bom nuklir) untuk mencapai ambisi
kemenangan dalam perang. Jatuhnya bom nuklir di kedua kota tersebut telah
menelan korban yang tidak sedikit, lingkungan fisik rusak parah, lingkungan
mental para korban bencanapun menyedihkan. Pada kelompok SETS guru
mengajak siswa berdiskusi mengenai peristiwa pengeboman tersebut. Banyak
siswa yang menentang dan mengecam keras pengeboman sadis itu dengan alasan
dapat merugikan masyarakat dan lingkungan, namun di sisi lain ada siswa yang
mendukung peristiwa itu karena dengan hancurnya Jepang bangsa Indonesia dapat

PKMI-4-6-7
memproklamasikan kemerdekaan. Pada proses pembelajaran siswa aktif
menyampaikan pendapat mereka masing-masing yang tentunya ditinjau dari segi
sains, lingkungan, teknologi dan masyarakat. Gurupun memberi wacana bahwa
peristiwa itu perlu ditinjau dari berbagai sudut pandang, dalam hal ini sudut
pandang sains, lingkungan, teknologi, dan masyarakat. Kesimpulan diskusi ini
bahwa penerapan ilmu pengetahuan (ilmu isotop) ke dalam bentuk teknologi yang
akan dimanfaatkan oleh masyarakat sedapat mungkin tidak membahayakan
lingkungan. Inilah manfaat pendekatan SETS dalam pembelajaran, bahwa peserta
didik mempunyai pola pikir yang menyeluruh (terintegrasi) antara ilmu
pengetahuan, lingkungan, teknologi dan masyarakat. Pada kelompok NONSETS
pembelajaran konsep sains dalam hal ini konsep isotop sangat menekankan pada
sains yang dipelajari. Pembelajaran menekankan pada upaya bagaimana siswa
dapat menguasai konsep isotop dan pengertiannya secara lebih mendalam. Diskusi
yang terjadipun lebih mengarah pada pemahaman materi dan bukannya
terintegrasi dengan aspek lingkungan, teknologi dan masyarakat. Siswapun tidak
diajak berpikir tentang pemanfaatan isotop dalam kehidupan sehari-hari.
Penggunaan pendekatan SETS dalam pembelajaran mendorong siswa aktif
dan kreatif mencari alternatif pemecahan masalah yang dihadapkan pada mereka.
Siswapun menjadi tahu bahwa pada saat yang bersamaan masyarakat di
lingkungan mereka sedang mengalami permasalahan yang harus segera
diselesaikan. Oleh karena itu, siswa setiap saat harus peka terhadap lingkungan
dan masyarakat dengan selalu mengikuti informasi-informasi baik melalui media
massa maupun media elektronik karena dalam pendekatan SETS lebih
mengutamakan agar siswa memperoleh kegiatan pembelajaran dan bukan
pengajaran serta mengambil pengalaman siswa dalam proses pembelajaran
sebagaimana diungkap oleh Binadja (1999b: 4). Saat belajar, siswa perlu terbiasa
berpikir dan bertindak secara menyeluruh dengan mengaitkan materi sains dengan
unsur lain dalam SETS.
Penggunaan pendekatan NONSETS dalam pembelajaran seperti yang
diperoleh kelompok NONSETS dalam penelitian ini, sebenarnya sudah umum
terjadi di sebagian besar sekolah. Pada pembelajaran dengan pendekatan
NONSETS, pembelajaran lebih menekankan pada penguasaan materi pokok
dalam bentuk konsep sains tanpa mengaitkan dengan kenyataan hidup sehari-hari
siswa. Padahal konsep sains yang dipelajari siswa sebenarnya sangat terkait
dengan lingkungan di sekitar siswa, teknologi, masyarakat maupun kehidupan
sehari-hari siswa. Pembelajaran ini menuntut siswa dapat menguasai konsep sains
secara lebih mendalam sehingga sebagian besar waktu pembelajaran digunakan
guru untuk menjelaskan seluruh materi dalam bentuk konsep sains kepada siswa
dengan menggunakan metode ceramah bermakna, diskusi informasi dan
penugasan. Penugasan yang diberikan guru pada kelompok NONSETS pun
cenderung lebih menekankan pada pemahaman konsep sains. Siswa perlu
menggali informasi lebih banyak melalui buku-buku pelajaran meskipun buku-
buku pelajaran yang digunakan tidak mengandung muatan SETS. Guru sangat
menganjurkan siswa dapat mengerjakan soal-soal latihan sehingga pemahaman
siswa mengenai konsep sains dalam hal ini sistem periodik dan struktur atom
lebih mendalam.
Melalui pendekatan NONSETS, guru tidak mengajak siswa ke arah
pemikiran yang menyeluruh (komprehensif) dan kreatif dalam mengaitkan antara

PKMI-4-6-8
materi sains (sistem periodik dan struktur atom) dengan keberadaan serta
implikasi materi tersebut terhadap lingkungan, teknologi dan masyarakat
akibatnya siswa tidak memiliki kamampuan memandang sains secara terintegratif
dengan lingkungan, teknologi dan masyarakat. Siswa cenderung belajar
menganalisis materi pokok dalam bentuk konsep sains tanpa menghubungkannya
dengan kehidupan sehari-hari. Kegiatan pembelajaran siswa cenderung pasif,
hanya menerima informasi dari guru. Siswa kurang menyadari bahwa sebenarnya
konsep sains yang mereka pelajari sangat terkait erat dengan kehidupan mereka
sebagai anggota masyarakat yang menempati lingkungan tertentu.
Secara umum dari kedua kelas yang diteliti, tampak bahwa pembelajaran
dengan pendekatan SETS lebih menarik, membuat siswa aktif, kreatif, kooperatif
dan selalu berpikir global sesuai unsur-unsur dalam SETS. Siswa aktif dalam
kegiatan pembelajaran dan menggali informasi dari berbagai sumber serta kreatif
menyampaikan ide-ide terutama dalam mencari alternatif pemecahan masalah
yang ditawarkan melalui permasalahan yang dihadapkan pada mereka, termasuk
dalam mencari alternatif teknologi dalam setiap pembahasan.

KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian maka dapat disimpulkan bahwa ada
perbedaan yang signifikan antara hasil belajar kimia siswa dengan menggunakan
pendekatan SETS dan pendekatan NONSETS. Pembelajaran dengan pendekatan
SETS lebih baik daripada pendekatan NONSETS. Siswa yang memperoleh
pembelajaran dengan pendekatan SETS memiliki kemampuan memandang
sesuatu secara terintegratif dengan memperhatikan keempat unsur SETS sehingga
dapat memperoleh pemahaman yang lebih mendalam tentang materi yang sedang
dipelajari.

DAFTAR PUSTAKA
Anni, Catharina Tri, dkk. 2004. Psikologi Belajar. Semarang: UPT MKK Unnes.
Binadja, Achmad. 1999a. Hakekat dan Tujuan Pendidikan SETS (Science,
Environment, Technology, and Society) dalam Konteks Kehidupan dan
Pendidikan yang Ada. Makalah ini disajikan dalam Seminar Lokakarya
pendidikan SETS, kerjasama antara SEAMEO RECSAM dan Unnes,
Semarang, 14-15 Desember 1999.
Binadja, Achmad. 1999b. Pendidikan SETS (Science, Environment, Technology,
and Society) Penerapannya pada Pengajaran. Makalah ini disajikan
dalam Seminar Lokakarya pendidikan SETS, kerjasama antara SEAMEO
RECSAM dan Unnes, Semarang, 14-15 Desember 1999.
Binadja, Achmad. 2001. Pembelajaran Sains Berwawasan SETS (Science,
Environment, Technology, and Society) untuk Pendidikan Dasar. Makalah
ini disajikan pada pelatihan guru sains Madrasah Ibtidaiyah dan
Tsanawiyah se Jawa Tengah.
Darsono, Max, dkk. 2000. Belajar dan Pembelajaran. Semarang: IKIP Semarang
Press.
Depdiknas. 2003. Pedoman Khusus Pengembangan Silabus dan Sistem Penilaian
Mata Pelajaran Kimia Kurikulum 2004 SMA. Jakarta: Depdiknas.
Depdiknas. 2003. Standar Kompetensi Mata Pelajaran Kimia SMA dan MA.
Jakarta: Depdiknas

PKMI-4-7-1
PREPARASI MEMBRAN POLIMER ELEKTROLIT SEBAGAI
KOMPONEN DASAR FUEL CELL DENGAN MATRIKS YANG
BERASAL DARI BAHAN ALAM INDONESIA
a


Khairil Amri, Ari Yustisia Akbar, Haryo Satriya Oktaviano
PS Kimia, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta

ABSTRAK
Telah dilakukan preparasi dan karakterisasi membran fuel cell dengan matriks
berupa campuran polimer poli(eugenol sulfonat), polisulfon tersulfonasi dan
poli(vinilidin)fluorida dengan penambahan dioktilptalat sebagai plasticizer.
Preparasi membran dilakukan dengan melarutkan poli(eugenol sulfonat),
polisulfon tersulfonasi, poli(vinilidin)floride dan dioktilptalat dengan pelarut
dimetil sulfooksida, kemudian dibuat suatu lapisan tipis dan dilakukan
pengeringan pada suhu 80
0
C selama satu hari dalam kondisi vakum. Membran
dibuat dengan variasi komposisi poli(eugenol sulfonat) dan polisulfon
tersulfonasi, sedangkan komposisi poli(vinilidin)florida dan dioktilptalat dibuat
tetap. Karakterisasi membran dilakukan melalui uji water uptake, uji stabilitas
oksidatif, uji konduktivitas proton pada variasi temperatur dan kelembaban,
penentuan stabilitas termal, penentuan karakteristik struktural dan pengamatan
distribusi polimer penyusun membran dengan foto permukaan. Dari hasil uji
water uptake tampak bahwa prosentase water uptake akan semakin besar dengan
bertambahnya poli(eugenol sulfonat), hal ini dapat terjadi karena poli(eugenol
sulfonat) merupakan suatu polimer yang sangat higroskopis. Untuk uji kestabilan
oksidatif dilakukan perendaman selama 2 jam pada suhu 80
0
C pada fenton
reagen. Hasilnya tidak menunjukan perubahan berarti pada membran. Pada uji
konduktivitas proton, membran menunjukkan kenaikkan konduktivitas saat
kelembaban relatif dinaikkan atau suhu diturunkan. Dari peak yang muncul pada
termogram DTA, secara umum dapat diketahui bahwa membran mengalami
perubahan struktur geometri pada suhu 155-170
0
C dan pelepasan suatu gugus
yaitu gugus (SO)
x
pada suhu 224-240
0
C. Karakteristik struktural dari membran
dengan X-RD menunjukkan sifat amorf. Foto permukaan dengan perbesaran 1000
kali menunjukkan distribusi homogen dari membran semakin berkurang dengan
bertambahnya komposisi dari polimer poli(eugenol sulfonat).

Kata kunci : Fuel cell, konduktivitas, poli(eugenol sulfonat), matriks, membran.

PENDAHULUAN
Indonesia telah lama dikenal sebagai salah satu negara penghasil minyak
cengkeh dunia, namun masih dalam tahap mengekspor bahan dasar dan sedikit
yang diproses menjadi bahan olahan yang bernilai ekonomi lebih tinggi.
Konstituen minyak daun cengkeh dapat dibagi menjadi dua kelompok, kelompok
pertama merupakan senyawa fenolat dan eugenol merupakan komponen paling
besar. Senyawa ini mudah diisolasi dengan NaOH dan kemudian dinetralkan
dengan asam mineral. Kelompok kedua mengandung senyawa-senyawa non
fenolat yaitu -kariofilen, -kubeben, -kopaen, hulumen, -kadien, dan kadina
1,3,5-trien (Hardjono,2004).
Polimerisasi dengan bahan baku senyawa alam telah banyak diteliti,
misalnya polimerisasi eugenol dan turunannya. Polimer eugenol dapat

PKMI-4-7-2
ditambahkan gugus SO
3
H pada cincin aromatisnya melalui reaksi sulfonasi.
Sulfonasi pada dasarnya merupakan reaksi subtitusi elektrofilik dimana terjadi
pembentukan gugus SO
3
H dalam molekulnya. Pereaksi sulfonasi dapat berupa
asam sulfat pekat berasap, asam sulfat pekat, asam klorosulfonat, asam sulfonat,
asam sulfit, atau sulfo alkil agen seperti sulfomethylating agent dan
sulfoethylating agent. Elektrofil reaktifnya yaitu HSO
3
+
dan SO
3
bebas,
bergantung pada kondisi reaksinya (Handayani,1999). Keberadaan gugus sulfonat
ini dapat dijadikan sebagai gugus penghantar proton pada membran fuel cell.
Dalam penelitian ini, preparasi membran menekankan akan kontribusi gugus
sulfonat pada konduktifvitas proton.
Fuel cell adalah sistem elektrokimia yang memiliki elektroda dan
dilengkapi oleh suatu membran khusus yang bekerja dengan mengkonversi energi
kimia secara langsung menjadi energi listrik dengan efisiensi tinggi dengan emisi
polutan yang rendah (Steele, 2001). Baker (2000) mengklasifikasikan tipe fuel
cell yang dikenal dewasa ini berdasarkan jenis elektrolit yang digunakan sebagai
berikut ; AFC (Alkaline Fuel cell), PEMFC (Polymer Electrolyte Membrane Fuel
Cell), PAFC (Phosphoric Acid Fuel Cell), MCFC (Molten Carbonate Fuel Cell)
dan SOFC (Solid Oxide Fuel Cell).
Membran polimer merupakan alat vital dari fuel cell karena dalam
membran terjadi hantaran proton (H
3
O
+
) sehingga memungkinkan terjadinya
reaksi elektrokimia untuk menghasilkan tenaga listrik. Proton exchange
membrane merupakan lembaran polimer tipis yang dapat melewatkan ion
hidrogen tapi tidak dapat melewatkan elektron. Reaksi-reaksi yang terjadi di
PEMFC adalah reaksi antara hidrogen dengan oksigen yang menghasilkan listrik
dan panas. ( Indriyati, et al. 2004).
Ledjeff (2000) menemukan bahwa bahan polimer merupakan penghantar
proton karena gugus asam yang terdapat pada polimer backbone. Katalis untuk
reaksi elektrokimia pada temperatur rendah adalah logam platinum. Pada
temperatur operasi 80
0
C setiap materi yang terkondensasi pada rentang
temperatur ini terlebih dahulu dipindahkan dari bahan bakar. Efisiensi dari fuel
cell adalah cukup tinggi dengan rentang antara 40 dan 70 % tergantung kondisi
operasi.
Fuel cell muncul sebagai salah satu sumber energi alternatif mengingat
sumber energi yang sudah ada persediaannya semakin menipis, sedangkan volume
pemakaian semakin lama semakin meningkat. Sumber energi yang dibutuhkan
saat ini adalah sumber energi dengan biaya murah, efisien digunakan dan ramah
lingkungan.

Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan potensi eugenol yang
merupakan bahan alam yang banyak dimiliki Indonesia sebagai bahan dasar untuk
membuat salah satu matriks membran polimer elektrolit pada fuel cell.
Penggunaan eugenol tentunya akan membuat membran yang dihasilkan
lebih murah atau lebih terjangkau harganya dibandingkan membran komersil
lainnya dengan kualitas bisa menyamai atau bahkan lebih unggul terutama pada
konduktivitas dan selektifitas proton membran tersebut.



PKMI-4-7-3
METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilakukan di Laboratorium Kimia Fisika Fakultas MIPA,
Universitas Gadjah Mada dari bulan September sampai dengan November 2005.
Bahan dan Alat
Bahan berupa eugenol, asam sulfat pekat, timbal sulfat, dimetil
sulfooksida, polisulfon (PS), poli(vinilidin)fluorida (PVDF), dioktil phtalat
(DOP), akuades, kertas saring, silika gel, ferri sulfat, hidrogen peroksida, dan ferri
klorida.
Peralatan yang digunakan antara lain berupa satu set peralatan gelas, oven,
multitester, stirrer magnetik, Hot Plate, penangas, termometer, plat PCB, pompa
vakum, desikator, alumunium foil, labu leher tiga, pendingin bola, filamen
pemanas, hygrometer dan alat-alat untuk analisis berupa FT-IR, DTA, XRD, dan
mikroskop optik.

Tahapan Pelaksanaan
Sintesis Poli(eugenol sulfonat)
Poli(eugenol sulfonat) (PES) dibuat dengan cara memanaskan campuran
asam sulfat pekat, eugenol dan PbSO
4
di dalam penangas uap pada suhu 90
0
C.
Hasilnya dianalisis dengan spektrofotometer inframerah. (Handayani, 1999).

Sulfonasi Polisulfon
Sistem yang dipakai adalah sistem batch, yaitu dengan cara pelarutan
polisulfon dalam diklorometan, diikuti dengan penambahan asam sulfat dan
diaduk selama 12 jam. Endapan dicuci dengan akuades dan metanol. Besarnya
derajat sulfonasi diperoleh dari spektrofotometer FT-IR dengan menggunakan
persamaan :

% 100
Polisulfon
cm 2873,7 pada Abs
cm 1010,6 pada Abs
si tersulfona - PS
cm 2873,7 pada Abs
cm 1010,6 pada Abs
Sulfonasi Derajat
1 -
1 -
1 -
-1
x

=


Sintesis Membran
Polisulfon tersulfonasi ditambahkan ke dalam labu yang telah berisi
poli(eugenol sulfonat) dan PVDF dalam pelarut DMSO. Prosentase komposisi
PES masing-masing sebesar 0%, 5%, 10%, dan 15% (b/b) sedangkan PS-
tersulfonasi 20%, 15%, 10%, dan 5% (b/b).
Campuran polimer tersebut dibentuk menjadi membran dan dikeringkan
pada temperatur 80
0
C selama satu hari pada kondisi vakum (Shul,____ ). Pada
blending polimer diatas ditambahkan DOP sebagai plasticizer-nya.

Uji Aktivitas Membran
Uji Water uptake
Membran hasil sintesis dikeringkan dengan memanaskannya dalam
desikator sampai diperoleh berat yang konstan. Membran kering kemudian
diekspos terhadap uap air pada kelembaban 93-97 % dan temperatur 35
0
C,

PKMI-4-7-4
setelah terekspos ditimbang untuk mengetahui selisih massa membran pada saat
basah dan kering.
Stabilitas Oksidatif
Membran hasil sintesis direndam pada fenton reagent (80
0
C) selama 2
jam kemudian diidentifikasi perubahan permukaan membran yang terjadi setelah
perendaman.
Uji Konduktivitas Proton pada Variasi Temperatur
Membran di-casting pada plat PCB kemudian diletakan di dalam
eksikator yang dilengkapi filamen pemanas, hygrometer, multitester dan
termometer digital. Kemudian dicatat hambatan pada perubahan temperatur dari
35 100
0
C dengan interval 5
0
C dan kelembaban relatif diatur konstan pada 70%.
Uji Konduktivitas Proton pada Variasi Kelembaban
Membran di-casting pada plat PCB kemudian diletakkan di dalam
eksikator yang dilengkapi multimeter, hygrometer dan thermometer digital.
Kemudian hambatan dicatat pada perubahan kelembaban relatif 55 - 100% pada
suhu kamar dengan interval 5%.
Karakteristik Struktural
Membran hasil sintesis dianalisis menggunakan XRD untuk mengetahui
apakah membran merupakan suatu kristalin atau suatu amorf.
Stabilitas Termal
Pengukuran stabilitas termal dilakukan dengan menggunakan Differensial
Thermal Analysis (DTA) dengan laju kenaikan suhu 10
0
C/menit hingga mencapai
suhu 350
0
C.

Foto permukaan membran menggunakan mikroskop optik
Untuk mengetahui visualisasi permukaan membran dan melihat distribusi
komponen penyusun membran, maka permukaan membran diperbesar 1000 kali
menggunakan alat mikroskop optik.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Sintesis Poli(eugenol sulfonat)
Hasil sintesis poli(eugenol sulfonat) dengan bahan awal eugenol berupa
serbuk padatan hitam dengan berat 1,6429 gram, dengan efisiensi hasil 51,34 %.
Spektra FT-IR poli(eugenol sulfonat) menunjukkan adanya serapan pada 3421.5
cm
-1
merupakan vibrasi dari OH. Serapan pada 3000-2800 cm
-1
menunjukkan
rentangan Csp
3
-H dan adanya metilen ditunjukkan oleh pita serapan 1458.1 cm
-1
.
Vibrasi rentangan S=O dari SO
3
H ditunjukkan oleh serapan pada bilangan
gelombang 1037.6 cm
-1
.

Sulfonasi Polisulfon
Spektra inframerah polisulfon dan polisulfon tersulfonasi menunjukkan
serapan vibrasi rentang S=O pada bilangan gelombang 1010,6 cm
-1
dan serapan
C-H sp
3
pada bilangan gelombang 2873,7 cm
-1
. Derajat sulfonasi yang diperoleh
sebesar 109% atau terdapat kenaikan serapan gugus S=O sebesar 9%. Hal ini
mengindikasikan bahwa proses sulfonasi polisulfon telah berhasil.




PKMI-4-7-5
Uji Aktivitas Membran
Uji Water Uptake
Kandungan air di dalam membran merupakan salah satu bagian yang
cukup penting karena berhubungan dengan kemampuan konduktivitasnya. Dari
hasil uji water uptake tampak bahwa prosentase water uptake akan semakin besar
dengan bertambahnya poli(eugenol sulfonat), hal ini dapat terjadi karena
poli(eugenol sulfonat) merupakan suatu polimer yang sangat higroskopis.
Disamping itu polisulfon juga merupakan polimer yang higroskopis, namun dari
data yang diperoleh pengaruh PES ternyata lebih signifikan.


Gambar I Spektra FT-IR poli(eugenol sulfonat)


Uji Stabilitas Oksidatif
Dari hasil penelitian, diperoleh data bahwa selama 2 jam perendaman di
larutan fenton reagent, membran belum mengalami pelarutan ataupun proses
dekomposisi. Hasil ini didapat karena penggunaan backbone dengan PVDF yang
mempunyai ketahanan oksidatif yang cukup tinggi.

Uji Stabilitas Termal
Untuk mengetahui kestabilan termal membran dapat diukur dengan
instrumen Differential Termal Analysis (DTA). Pengukuran dilakukan dengan laju
kenaikan 10
0
C/menit hingga mencapai suhu 350
0
C. Berikut salah satu
termogram hasil analisisa membran dengan DTA :
Dari peak yang muncul pada termogram DTA, secara umum dapat
diketahui bahwa membran mengalami perubahan struktur geometri pada suhu
155-170
0
C. Kesimpulan ini diambil karena munculnya puncak (eksotermis) pada
suhu 155-170
0
C. Pada puncak kedua (endotermis), terjadi peristiwa pelepasan
suatu gugus yaitu (SO)x.
Perubahan struktur pada suhu 155
0
C menunjukkan bahwa membran sudah
memiliki kestabilan termal yang cukup baik untuk kondisi aplikasi, karena unjuk
kerja maksimal PEMFC berada pada suhu 80
0
C.

PKMI-4-7-6
0.00 10.00 20.00 30.00
Time [min]
-60.00
-40.00
-20.00
0.00
20.00
uV
DTA
0.00
100.00
200.00
300.00
C
Temp
158.65C
233.11C
Detector: DTA50
Acquisition Date 05/11/28
Acquisition Time 09:45:46
Sample Name: membran varian 2
Sample Weight: 5.000[mg]
Cell: Platinum
Atmosphere: Nitrogen
Flow Rate: 3[ml/min]
[Temperature Program]
Temp. Rate Hold Temp. Hold Time
[ C/min ] [ C ] [ min ]
10.00 350.0 0














Gambar II. Termogram DTA variasi 2 (PES 5%)

Foto Permukaan Membran Menggunakan Mikroskop Optik
Hasil dari foto permukaan dengan menggunakan optical microscope
digunakan untuk menganalisa distribusi polimer yang membentuk membran. Hasil
foto permukaan salah satu membran adalah sebagai berikut :


Gambar III. Foto permukaan membran variasi 2 (PES 5%)

Distribusi PES pada membran variasi 2 cukup merata, konsentrasi PES
semakin besar dalam melapisi permukaan sehingga membran semakin terlihat
berwarna hitam. Pada konsentrasi PES 10% dan 15% terdapat noktah hitam tebal
yang disebabkan karena permukaan membran tidak merata pada saat casting.
Metode casting yang digunakan belum bisa membuat ketebalan membran sama,
akibatnya ada beberapa membran yang kelihatan mengandung noktah-noktah.
Noktah ini juga disebabkan oleh gelembung udara yang terbentuk diantara
distribusi matrik membran.

Karakterisasi struktural dengan X-RD
Analisis kristalinitas membran dengan menggunakan X-RD didapat suatu
difraktogram yang mempunyai puncak-puncak yang sangat berhimpit. Tidak
adanya pemisahan peak secara jelas menunjukkan bahwa membran tersebut

PKMI-4-7-7
bersifat amorf. Sifat amorf dari membran mendukung proses difusi proton karena
banyak menciptakan ruang kosong.

Uji konduktivitas proton dengan variasi kelembaban
Suatu proton dalam bergerak dari katoda menuju anoda memerlukan
media air untuk mensolvasinya selama proses transfer terjadi. Meningkatnya
kelembaban relatif menyebabkan semakin banyak molekul air yang teradsorb
dalam membran sehingga hantaran proton semakin baik. Kenyataan ini yang
teramati dalam pengukuran konduktivitas dengan variasi kelembaban.
Pada kondisi tertentu, kemampuan adsobsi terhadap molekul air mencapai
batas maksimal yang ditunjukkan dengan konduktivitas yang konstan walaupun
kelembaban dinaikkan.

Konduktivitas Variasi Kelembaban
-5
-4.5
-4
-3.5
-3
40 90
Kelembaban Relatif (%)
l
o
g


Membran 1
Membran 2
Membran 3
Membran 4

Grafik I. Variasi konduktivitas terhadap kelembaban

Uji konduktivitas proton dengan variasi temperatur
Pada membran, peningkatan temperatur ternyata mempunyai efek terhadap
penurunkan konduktivitas. Hal ini disebabkan oleh proses desorbsi molekul air.
Semakin tinggi temperatur, molekul air akan mendapatkan tambahan energi untuk
terlepas dari membran. Pada kondisi konduktivitas konstan, proses desorbsi telah
maksimal. Molekul air tidak ada yang terlepas lagi pada temperatur tersebut.


Grafik II. Variasi konduktivitas terhadap temperatur
Konduktivitas variasi temperatur
-4.1
-3.9
-3.7
-3.5
-3.3
-3.1
-2.9
-2.7
-2.5
20 30 40 50 60 70 80 90 100 110
Temperatur (
0
C)
log
Membran 1
Membran 2
Membran 3
Membran 4

PKMI-4-7-8
KESIMPULAN
1. Membran elektrolit polimer dengan matriks poli(eugenol sulfonat) telah
dapat disintesis dan membutuhkan plasticizer DOP supaya dapat
dibentuk menjadi film tipis.
2. Matriks poli(eugenol sulfonat) dapat meningkatkan kemampuan water
uptake dari membran.
3. Pada uji pengaruh kelembaban terhadap konduktivitas proton membran
diperoleh fakta bahwa konduktivitas membran naik sejalan dengan
kenaikan kelembaban relatif.
4. Pada uji pengaruh temperatur terhadap konduktivitas proton membran
diperoleh fakta bahwa konduktivitas membran turun apabila temperatur
dinaikan.
5. Foto permukaan menunjukkan bahwa membran 1 dan 2 mempunyai
distribusi polimer yang paling homogen.
6. Penambahan poli(eugenol sulfonat) ke dalam membran memberikan hasil
yang cukup positif asalkan komposisinya tidak terlalu besar sebab dengan
adanya poli(eugenol sulfonat) dapat meningkatkan prosentase water
uptake dan meningkatkan nilai konduktivitas, akan tetapi bila
poli(eugenol sulfonat) terlalu banyak justru mengakibatkan distribusi
membran yang tidak rata.

UCAPAN TERIMA KASIH
Kami mengucapkan terima kasih kepada PROYEK DUE-Like BATCH IV UGM
TAHUN 2005 yang telah mendanai penelitian ini melalui program Grant Karya
Inovasi Mahasiswa Tahun 2005.

DAFTAR PUSTAKA
Baker, and Richard, W. (2000). Membrane technology and applications, Mc
Graw Hill, New York, pp. 373-403.
Davidson, H. (2002). Applied chemistry, a textbook for engineers and
technologists, Gesser, New York, pp. 86-89.
Gray, M. and Fiona. (1997). Polymer Electrolyte, Royal Society of Chemist,
Cambridge, pp. 61-81,158-167.
Handayani, D.S. (1999). Sintesis poli(eugenol sulfonat) dan aplikasinya sebagai
katalis asam reaksi siklisasi sitronelal, Prosiding Seminar Nasional Kimia
VI, Jurusan Kimia FMIPA UGM, Yogyakarta, pp. 224-233.
Harris, C. and Daniel, (1989). Quantitative Chemical Analysis, 5
th
edition, W.H.
Freeman and Co, New York, pp. 383-391.
Indriyati, Hendrana, S. and Pujiastuti, S. (2004). Karakterisasi membran
polistirena tersulfonasi, Prosiding Pertemuan Ilmiah Ilmu Pengetahuan
dan Teknologi Bahan 2004, Serpong, pp. 92-96.
Kallio, T. (2003). Electrochemical and physicochemical characterization of
radiation-grafted membranes for fuel cell, Departement of Chemistry
Technology, University of Helsinki, Finland, pp 2-31
Ledjeff, H.K. (2000). Fuel cell for electricity generation from carbonaceous fuels,
pp. 333- 342

PKMI-4-7-9
Nadia, W. (2001). Preparation and characterisation of radiation-grafted
membranes for fuel cell, Departement of Chemistry, University of
Helsinki, Finland, pp. 4-32
Sastrohamidjojo, H. (2004). Kimia Minyak Atsiri, Gadjah Mada University
Press, pp. 119-120
Sequeira, C.R.C. and Moffal, J.B. (1998). Chemistry, energy and the
environment, Royal Society of Chemist, Cambridge, pp. 333-342.
Shul, Y.G. ( ____ ). New polymer electrolyte membranes for fuel cell, artikel
bebas.
Steele, B.C.H and Heinzel, A. (2001). Material for fuel-cell technologies, Nature
vol. 414, no.6861 pp. 345 352.

PKMI-4-8-1
BIOSORPSI LOGAM BERAT KADMIUM OLEH
RAGI YARROWI A LI POLYTI CA

Elmi Hanifah, Retnaningsih Limastuti, Yudi Artianto, Ahmad Fathoni
Fakultas MIPA Universitas Negeri Yogyakarta, Yogyakarta

ABSTRAK
Kemajuan teknologi disamping membawa keberuntungan juga membawa dampak
negatif. Semakin bertambahnya jumlah industri di Indonesia maka limbah
industri yang dihasilkan juga semakin kompleks, terutama limbah yang
mengandung logam berbahaya. Beberapa metode penanganan limbah industri
sudah dilakukan, salah satunya adalah menggunakan mikroorganisme sebagai
biosorben. Metode ini memiliki beberapa keunggulan sehingga cukup efektif
apabila diterapkan. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui adakah pengaruh
waktu kontak proses dan pH media terhadap efisiensi penyerapan logam
kadmium menggunakan mikroorganisme ragi Yarrowia lipolytica. Sebanyak 16,6
mL media YPD yang telah disterilkan dan ditambahkan starter 5 mL diinkubasi
menggunakan shaker dengan kecepatan 168 rpm selama 6 jam, kemudian
ditambahkan larutan Cd(II) 43,636 ppm. Inkubasi menggunakan shaker dengan
kecepatan 168 rpm dilakukan selama 10 jam kemudian dilanjutkan dengan
pengukuran OD
600
menggunakan Spectronic 20 pada setiap variasi waktu kontak
0, 2, 4, 6, 8, 10 jam dan sentrifus pada 3000 rpm selama 15 menit untuk
mendapatkan supernatan. Konsentrasi ion logam kadmium yang terserap
ditentukan secara Spektrofotometri Serapan Atom. Waktu kontak optimum yang
diperoleh kemudian digunakan dalam penentuan efisiensi penyerapan ion logam
kadmium berdasarkan variasi pH media. Hasil penelitian menunjukkan adanya
pengaruh antara waktu kontak proses dan pH media terhadap efisiensi
penyerapan logam kadmium (Cd) oleh ragi Y. lipolytica. Nilai efisiensi
penyerapan logam Cd pada waktu kontak 0, 2, 4, 6, 8, 10 jam masing-masing
sebesar 64,685%; 67,548%; 68,464%; 74,848%; 75,636%; dan 77,772%. Nilai
efisiensi penyerapan Cd(II) untuk pH 3, 4, 5, 6.8, dan 8 masing-masing 75,617%;
87,577%; 85,210%; 84,365%; dan 82,740%. Waktu kontak optimum yaitu 10 jam
dengan efisiensi penyerapan sebesar 77,772% dan pH media optimum yaitu pH 4
dengan efisiensi penyerapan 87,577%.

Kata kunci: Yarrowia lipolytica, biosorpsi, kadmium.

PENDAHULUAN
Masalah limbah menjadi salah satu perhatian khusus bagi masyarakat dan
pemerintah Indonesia terutama sejak semakin maraknya pembangunan di bidang
industri. Limbah yang dihasilkan biasanya banyak mengandung logam berat yang
dapat membahayakan kehidupan makhluk hidup. Logam-logam tertentu sangat
berbahaya bila ditemukan dalam konsentrasi tinggi pada lingkungan karena
mempunyai sifat yang merusak jaringan tubuh makhluk hidup. Pencemaran
lingkungan oleh logam berbahaya dapat terus meningkat jika tidak ada
penanganan serius dalam pengolahan limbah.
Logam berbahaya seperti kadmium (Cd) dapat diserap oleh hewan air
melalui insang dan saluran pencernaan. Logam ini merupakan logam berbahaya
yang menyebabkan keracunan bahkan kematian pada organisme jika kadar logam
berat tersebut berada di atas nilai ambang batas yang diperbolehkan. Bila

PKMI-4-8-2
organisme itu tahan terhadap kandungan logam yang tinggi, maka logam itu dapat
tertimbun dalam jaringan khususnya hati dan ginjal, kemudian dalam jangka
waktu tertentu dapat membahayakan kesehatan. Keracunan kronis akibat
kadmium pernah terjadi di Jepang yang dikenal dengan nama itai-itai yang
artinya berteriak keras karena rasa sakit yang menyerang tiba-tiba (Darmono,
1995:10).
Sumber utama pencemaran kadmium berasal dari aktivitas manusia, yaitu
produksi tambang kadmium, industri logam, industri kimia, minyak bumi, batu
bara, tekstil, pembuatan keramik, pigmen, plastik, dan reaktor atom. Meskipun
perkembangan teknologi dan industri memperlihatkan adanya dampak positif bagi
kemajuan kehidupan manusia, namun resiko polusi lingkungan tidak dapat
diabaikan begitu saja, sehingga diperlukan adanya metode pengolahan limbah
dengan tujuan mengurangi bahkan menghilangkan logam-logam berbahaya yang
mencemari lingkungan terutama di perairan.
Salah satu pengolahan limbah yang telah dilakukan secara konvensional
adalah dengan cara pengendapan, yaitu pencemar logam yang terlarut diubah
menjadi hidroksida tak larut atau endapan sulfida, dan dikumpulkan sebagai
lumpur (sludge), kemudian ditimbun dalam tanah. Melalui cara ini ketoksisan
lumpur dapat dilepas kembali oleh asam sehingga dapat membahayakan
kehidupan di sekitarnya.
Cara lain yang lebih modern adalah elektrolisis dan osmosis, namun kedua
metode ini membutuhkan energi tinggi dan tidak dapat dipakai pada situasi
kecepatan alir tinggi. Cara ini juga menghasilkan limbah pekat yang memerlukan
pengendapan dan pembuangan ke tanah (Jasmidi, 1998: 179). Pengolahan limbah
dengan cara-cara di atas menunjukkan kurang efektif dan efisien, oleh karena itu
perlu dikembangkan alternatif cara lain, diantaranya dengan memanfaatkan
kemampuan beberapa mikroorganisme dalam menyerap logam berat.
Menurut Gadd (1992:59-88), mikroorganisme seperti jamur, khamir,
bakteri dan alga secara efisien dapat menyerap logam-logam berat dan
radionuklida. Penggunaan mikroorganisme untuk mengolah limbah cair industri
yang mengandung logam berbahaya memiliki berbagai keunggulan. Selain lebih
murah dibandingkan dengan sistem fisiko-kimia, juga lebih aman bagi lingkungan
(Jasmidi, 1998:179). Penelitian menggunakan mikroorganisme untuk menyerap
ion-ion logam telah dilakukan oleh Tsezos dan Volesky (1981: 583-604), White
dan Gadd (1990:331-343), Gadd (1992:59-88), Mashuni (1998:158-163), dan
Jasmidi (1998:178-186) menggunakan mikroorganisme seperti Saccharomyces
cereviseae, Aspergillus niger, dan Rhyzopus arrhizus. Hasil yang dikemukakan
yaitu mikroorganisme tersebut dapat dijadikan biosorben yang cukup efektif.
Adapun biosorpsi menggunakan mikroorganisme nonkonvensional belum diteliti
secara intensif, oleh karena itu dalam upaya pengembangan aplikasi di bidang
bioteknologi perlu diadakan penelitian menggunakan mikroorganisme
nonkonvensional.
Penelitian ini akan mempelajari penyerapan logam kadmium
menggunakan salah satu jenis ragi nonkonvensional yaitu Yarrowia lipolytica
(Y. lipolytica). Ragi Y. lipolytica diduga dapat dipakai sebagai biosorben karena
memiliki banyak kelebihan dibandingkan ragi jenis lainnya, antara lain: tidak
patogen, tumbuh sangat baik dalam substrat hidrofob seperti alkana dan lemak,
produksi protein yang bernilai ekonomis dalam jumlah besar, serta dapat
menggunakan alkohol, alkana, trigliserida dan asam asetat sebagai sumber karbon.

PKMI-4-8-3
Dengan berbagai kelebihan yang dimiliki, terdapat kemungkinan bahwa ragi Y.
lipolytica dapat dijadikan sebagai biosorben yang lebih efektif.
Perumusan masalah dalam penelitian ini adalah: Adakah pengaruh waktu
kontak proses dan pH media terhadap efisiensi penyerapan logam kadmium oleh
ragi Y. lipolytica?. Sesuai dengan perumusan masalah, maka tujuan dalam
penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh waktu kontak proses dan pH
media terhadap efisiensi penyerapan logam kadmium oleh biomassa Y. lipolytica.
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat antara lain
pemberdayaan ragi Y. lipolytica yang belum banyak dikenal masyarakat luas,
mengetahui potensi ragi Y. lipolytica sebagai ragi nonkonvensional pada aplikasi
di bidang bioteknologi, memberikan alternatif cara mengurangi kadar logam
kadmium pada limbah industri, dan sebagai acuan bagi penelitian selanjutnya.

BAHAN DAN METODE
Penelitian ini dilakukan pada bulan Juli - Agustus 2005 yang bertempat di
Laboratorium Mikrobiologi Jurusan Perndidikan Biologi FMIPA UNY.
Metode penelitian yang digunakan adalah metode eksperimen. Subjek penelitian
berupa logam kadmium dalam CdSO
4
.8H
2
O dan objek penelitiannya adalah
biosorpsi logam kadmium oleh ragi Y. lipolytica.

Bahan dan Alat
Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah Yeast Extract,
pepton, glukosa, agar, serbuk, CdSO
4
.8H
2
O dan mikroorganisme Y. lipolytica
strain H222. Alat utama yang digunakan adalah Spektrofotometer Serapan Atom
(SSA Hitachi Z.8000 Polarized Zeeman), spectronic 20 Milton Roy, shaker eyela,
autoklaf Model 25 no 25X Wisconsin Aluminum, sentrifus H-103n Kokusan,
laminar Air Flow (LAF) SCB-4000A Shimadzu.

Cara Kerja
Pengamatan Pengaruh Waktu Kontak antara Larutan Cd(II) dengan Y. Lipolytica
Terhadap Efisiensi Penyerapan Logam Cd

Sebagian besar kerja dalam penelitian ini dilakukan pada kondisi aseptis/
steril. Ketika perlakuan menggunakan media pertumbuhan dan ragi, semua alat
gelas, kawat ose dan YPD cair disterilkan menggunakan autoklaf pada suhu
121C selama 15 menit. Inokulasi dilakukan di Laminar Air Flow (LAF) yang
sebelumnya telah diberi sinar ultraviolet dan disemprotkan dengan alkohol 70%.
Sebelum melakukan pengamatan pengaruh waktu kontak antara larutan
Cd(II) dengan Y. lipolytica terhadap efisiensi penyerapan logam Cd, terlebih dulu
dibuat larutan induk Cd(II) 2181,82 ppm dari serbuk CdSO
4
.8H
2
O sebanyak
0,684 g. Kemudian dilakukan peremajaan ragi, pembuatan kultur awal (starter),
pengamatan profil pertumbuhan Y. Lipolytica, dan pengamatan pengaruh
konsentrasi larutan Cd(II) terhadap profil pertumbuhan Y. lipolytica untuk
memperoleh informasi konsentrasi larutan Cd(II) optimal

dimana ragi masih dapat
hidup dengan baik.
Pengamatan pengaruh waktu kontak antara larutan Cd(II) dengan Y.
lipolytica terhadap efisiensi penyerapan logam Cd, pertama-tama dilakukan
dengan menggunakan 18 buah erlenmeyer yang berisi media YPD masing-masing
sebanyak 16,6 mL, kemudian ditambahkan 5 mL starter kedalam masing-masing

PKMI-4-8-4
erlenmeyer dan masing-masing diambil 2 mL untuk pengukuran OD
600
(Optical
Density pada panjang gelombang 600 nm).
Pengukuran OD
600
dilakukan untuk memperoleh gambaran tentang profil
pertumbuhan Y. lipolytica pada setiap variasi waktu kontak: 0, 2, 4, 6, 8, dan 10
jam. Langkah selanjutnya adalah dengan melakukan sentrifus pada 3000 rpm
selama 15 menit untuk masing-masing kultur utama ragi. Supernatan diambil
dengan hati-hati, diencerkan 25 kali, kemudian dilakukan pengukuran absorbansi
menggunakan SSA. Larutan standar yang disiapkan yaitu 0; 0,25; 0,5; 1; 1,5; dan
2 ppm. Konsentrasi Cd(II) akhir dapat diketahui dengan kurva kalibrasi larutan
standar Cd. Waktu kontak optimum yang didapatkan akan digunakan pada
prosedur kerja selanjutnya, yaitu untuk mengetahui pertumbuhan ragi dan
efisiensi penyerapan logam Cd berdasarkan variasi pH media.

Pengaruh Variasi pH Media Terhadap Efisiensi Penyerapan Logam Cd
Penelitian ini menggunakan variasi pH media 3; 4; 5; 6,8 (sebagai
kontrol); dan 8 dengan penambahan HCl 1M dan NaOH 1 M. Mengambil 16,6
mL media YPD dari masing-masing variasi pH kemudian dicampurkan dengan
starter 5 mL kedalam masing-masing erlenmeyer dan masing-masing diambil 2
mL untuk pengukuran OD
600
. Masing-masing kultur utama ragi disentrifus pada
3000 rpm selama 15 menit. Supernatan diambil dengan hati-hati, diencerkan 25
kali, kemudian dilakukan pengukuran absorbansi dengan menggunakan SSA.
Larutan standar yang disiapkan yaitu 0; 0,25; 0,5; 1; 1,5; dan 2 ppm. Konsentrasi
Cd(II) akhir dapat diketahui dengan kurva kalibrasi larutan standar Cd. pH media
yang paling efektif yaitu pada pH dimana konsentrasi Cd akhir yang terendah.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengaruh Waktu Kontak antara Larutan Cd(II) dengan Y. Lipolytica
terhadap Efisiensi Penyerapan Logam Cd

Pengamatan mengenai pengaruh waktu kontak antara larutan Cd(II)
dengan ragi Y. Lipolytica diperoleh dengan melakukan pengukuran OD
600
.
Pengukuran tersebut dilakukan untuk memperoleh gambaran tentang profil
pertumbuhan ragi pada setiap variasi waktu kontak: 0, 2, 4, 6, 8, dan 10 jam.
Pengukuran OD
600
dilakukan sebelum dikontakkan dengan larutan Cd(II) yaitu
pada jam ke 6 dan setelah dikontakkan dengan larutan Cd(II) selama 10 jam yaitu
pada jam ke 16. Hasil yang diperoleh ditampilkan pada Tabel 1 dan Gambar 1.

Tabel 1. Data OD
600
Ragi Y. lipolytica pada Variasi Waktu Kontak
Sebelum dikontakkan Setelah dikontakkan
OD
600
OD
600
Sampel
Rerata
Waktu
Kontak
(jam)
Rerata
G
1
0,886 0,886 0,884 0,912 0,912 0,914
G
2
0,898 0,898 0,898 0,922 0,924 0,924
G
3
0,878 0,876 0,876

0,886

0
0,916 0,920 0,918

0,918

H
1
0,872 0,874 0,870 1,488 1,490 1,488
H
2
0,878 0,876 0,876 1,462 1,464 1,464
H
3
0,880 0,886 0,884

0,877

2
1,436 1,438 1,436

1,462
I
1
0,874 0,874 0,880 2,340 2,360 2,340

PKMI-4-8-5
I
2
0,868 0,864 0,864 2,480 2,480 2,460
I
3
0,884 0,880 0,882
0,874 4
2,640 2,680 2,620
2,488
J
1
0,880 0,884 0,884 3,120 3,160 3,120
J
2
0,882 0,884 0,884 3,380 3,300 3,380
J
3
0,876 0,874 0,876

0,880

6
3,120 3,120 3,120

3,202
K
1
0,896 0,898 0,892 3,330 3,340 3,320
K
2
0,892 0,894 0,894 3,440 3,440 3,420
K
3
0,884 0,886 0,886

0,891

8
3,640 3,660 3,640

3,470
L
1
0,880 0,880 0,882 3,520 3,520 3,520
L
2
0,878 0,878 0,876 3,460 3,480 3,480
L
3
0,886 0,884 0,884

0,880

10
3,580 3,580 3,600

3,526















Gambar 1. Grafik Pertumbuhan Ragi Y. lipolytica pada Variasi Waktu Kontak
dengan Larutan Cd(II) 43,636 ppm

Penambahan larutan Cd(II) menunjukkan pengaruh yang signifikan
terhadap pertumbuhan ragi Y. lipolytica yaitu dengan besarnya beda relatif > 2%,
kecuali antara sampel K dan L. Gambar 1 menunjukkan hubungan bahwa semakin
lama waktu kontak antara ragi dengan larutan Cd(II) maka semakin besar rerata
OD
600.

Rerata OD
600
diperoleh melalui perhitungan OD
600
tiap sampel dengan tiga
kali pengulangan pengukuran OD
600
(Tabel 1). Rerata OD
600
sebelum
dikontakkan dengan larutan Cd(II) menunjukkan tidak ada beda relatif antara
rerata OD
600
. Hal ini dapat diterangkan dengan Uji Beda Relatif (Hargis, Larry G.,
1988) pada Lampiran.
Data absorbansi Cd(II) dalam sampel diperoleh melalui pengukuran
menggunakan SSA (pada Lampiran). Pengukuran dengan SSA dilakukan terhadap
supernatan yang diambil dari tiap sampel (5 sampel). Data ini digunakan untuk
mengetahui konsentrasi larutan Cd(II) yang terserap dan efisiensi penyerapan
logam Cd oleh ragi Y. Lipolytica pada variasi waktu kontak. Berdasarkan hasil
yang didapatkan maka dapat diketahui bahwa ragi masih dapat tumbuh meskipun
adanya logam Cd dalam media dapat menghambat pertumbuhan ragi.
Pengukuran yang dilakukan pada variasi waktu kontak 0, 2, 4, 6, 8 dan 10
jam menunjukkan nilai efisiensi penyerapan logam Cd masing-masing sebesar
64,685%; 67,548%; 68,464%; 74,848%; 75,636%; dan 77,772% (Gambar 2).
0.0
0.2
0.4
0.6
0.8
1.0
1.2
1.4
1.6
1.8
2.0
2.2
2.4
2.6
2.8
3.0
3.2
3.4
3.6
3.8
G H I J K L
waktu kontak (jam)
O
D
6
0
0
sebelum dikontakkan dengan CD, inkubasi 6 jam
setelah dikontakkan dengan Cd, waktu kontak 0, 2, 4, 6, 8, dan 10 jam

PKMI-4-8-6













Gambar 2. Grafik Efisiensi Penyerapan Logam Cd pada Variasi Waktu Kontak
antara Y. lipolytica dengan larutan Cd(II) 43,636 ppm

Data rerata OD
600
dan absorbansi logam Cd dari tiap sampel menunjukkan
bahwa ragi masih dapat tumbuh dan memiliki efisiensi penyerapan logam Cd
maksimum pada waktu kontak 10 jam. Hal ini disebabkan karena semakin banyak
ragi dalam sampel sehingga semakin besar pula efisiensi penyerapan logam Cd.
Waktu kontak 10 jam ini digunakan pada prosedur kerja selanjutnya, yaitu untuk
mengetahui efisiensi penyerapan logam Cd berdasarkan variasi pH media.

Pengaruh Variasi pH Media terhadap Efisiensi Penyerapan Logam Cd
Profil pertumbuhan ragi Y. lipolytica ketika dikontakkan dengan larutan
Cd(II) 43,636 ppm pada variasi pH media 3; 4; 5; 6,8 dan 8 disajikan pada Tabel 2
dan Gambar 3. Pengukuran OD
600
dilakukan sebelum dikontakkan dengan larutan
Cd(II) 43,636 ppm yaitu pada jam ke 6 dan setelah dikontakkan dengan larutan
Cd(II) 43,636 ppm selama 10 jam yaitu pada jam ke 16. Data OD
600
diperlukan
untuk memperoleh gambaran tentang kemampuan tumbuh ragi Y. lipolytica
sebelum dan sesudah dikontakkan dengan larutan Cd(II) 43,636 ppm pada variasi
pH media. Pengukuran dengan SSA dilakukan terhadap supernatan yang diambil
dari tiap sampel.
Data absorbansi Cd(II) dalam sampel diperoleh melalui pengukuran
menggunakan SSA (pada Lampiran). Data ini digunakan untuk mengetahui
konsentrasi larutan Cd(II) yang terserap dan efisiensi penyerapan logam Cd oleh
ragi Y. Lipolytica pada variasi pH media.
Rerata OD
600
sebelum dan setelah dikontakkan dengan larutan Cd(II)
menunjukkan adanya beda relatif antara rerata OD
600
pada sampel M dan N serta
P dan Q, dan tidak ada beda relatif antara rerata OD
600
pada sampel N dan O serta
O dan P. Data rerata OD
600
dan absorbansi Cd(II) pada tiap sampel menunjukkan
bahwa ragi masih dapat tumbuh dan memiliki efisiensi penyerapan logam Cd
optimum pada pH 4. Hal ini dapat disebabkan pada kondisi basa (pH 8) Cd(II)
dapat membentuk endapan Cd(OH)
2
sehingga tidak terserap oleh ragi Y.
lipolytica.




64.685%
67.548%
68.464%
74.848%
75.636%
77.772%
0%
10%
20%
30%
40%
50%
60%
70%
80%
90%
G H I J K L
Sampel
%

E
f
i
s
i
e
n
s
i

P
e
n
y
e
r
a
p
a
n

PKMI-4-8-7
Tabel 2. Data OD
600
Ragi Y. lipolytica pada Variasi pH Media

Sebelum dikontakkan Setelah dikontakkan Sampel PH
Rerata Rerata
3
1
0,698 0,698 0,698 3,270 3,270 3,270
3
2
0,720 0,720 0,724 3,300 3,330 3,330 M
3
3
0,742 0,742 0,742

0,720
3,240 3,240 3,210

3,273
4
1
0,864 0,868 0,864 3,630 3,630 3,630
4
2
0,880 0,874 0,874 3,570 3,576 3,576 N
4
3
0,884 0,882 0,880

0,874
3,660 3,660 3,660

3,621
5
1
0,866 0,868 0,868 3,510 3,510 3,510
5
2
0,854 0,856 0.854 3,540 3.540 3,570 O
5
3
0,870 0,870 0,870

0,864
3,620 3,620 3,620

3,560
6,8
1
0,870 0,868 0,868 3,570 3,570 3,570
6,8
2
0,850 0,848 0,850 3,480 3,480 3,480 P
6,8
3
0,856 0,856 0,856

0,858
3,420 3,426 3,426

3,491
8
1
0,780 0,776 0,776 3,420 3,420 3,420
8
2
0,774 0,776 0,776 3,510 3,510 3,510 Q
8
3
0,798 0,798 0,798

0,783
3,480 3,480 3,486

3,470











Gambar 3. Grafik Pertumbuhan Ragi Y. Lipolytica pada Variasi pH Media

Variasi pH media pertumbuhan ragi Y. lipolytica mempengaruhi jumlah
ragi yang diperoleh dan efisiensinya terhadap penyerapan logam Cd. Ragi pada
pH 3 tidak dapat hidup dengan baik. Pada pH 4; 5; 6,8 dan 8 grafik yang diperoleh
semakin menurun, dengan pertumbuhan optimum pada pH 4. Demikian pula pada
efisiensi penyerapan logam kadmium, dengan nilai efisiensi masing-masing
sebesar 75,617%; 87,577%; 85,210%; 84,365%; dan 82,740% untuk pH 3, 4, 5, 6.8,
dan 8 (Gambar 4).
75.617%
87.577%
85.210%
84.365%
82.740%
68%
70%
72%
74%
76%
78%
80%
82%
84%
86%
88%
90%
M N O P Q
sampel
%

e
f
i
s
i
e
n
s
i

p
e
n
y
e
r
a
p
a
n

Gambar 4. Grafik Efisiensi Penyerapan Logam Cd pada Variasi pH Media
0
0.5
1
1.5
2
2.5
3
3.5
4
3 4 5 6.8 8
pH
O
D
6
0
0

Sebelum dikontakkan dengan Cd(II) Setelah dikontakkan dengan Cd(II) selama 10 jam

PKMI-4-8-8
KESIMPULAN
Berdasarkan uraian pembahasan dan sesuai dengan tujuan dalam
penelitian ini, maka dapat diambil dua simpulan, yaitu waktu kontak proses
berpengaruh terhadap efisiensi penyerapan logam kadmium (Cd) oleh ragi
Yarrowia lipolytica, dengan waktu kontak optimum 10 jam. Besarnya pH media
berpengaruh terhadap efisiensi penyerapan logam kadmium (Cd) oleh ragi
Yarrowia lipolytica, dengan pH optimum 4.

DAFTAR PUSTAKA
Darmono. (1995). Logam dalam Sistem Biologi Makhluk Hidup, Jakarta, UI Press.
Gadd. (1992). Microbial Control of Heavy Metal Pollutions, General
Microbiology Symposium, Cambridge, Cambridge University Press, pp.
59-88.
Jasmidi. (1998). Pengaruh pH Awal Larutan Terhadap Biosorpsi Timbal dan
Seng oleh Biomassa Saccharomyces cereviseae, Prosiding Seminar
Nasional Kimia III, Jurusan Kimia FMIPA UGM, Yogyakarta.
Mashuni. (1998). Biosorpsi Tembaga oleh Biomassa Saccharomyces cereviseae,
Prosiding Seminar Nasional Kimia III, Jurusan Kimia FMIPA UGM,
Yogyakarta.
Tsezos dan Volesky. (1981). Biosorpsi of Uranium and Thorium, Biotech and
Bioeng, 23: 583-604.
White dan Gadd. (1990). Biosorption of Radionuclides by Fungal Biomass, J.
Chem. Tecnol. Biotechnol, 49: 331-343.


PKMI-4-9-1
PEMBUATAN MODEL MANEKIN TANGAN BUATAN LOKAL UNTUK
LATIHAN KETRAMPILAN MEDIK

Iffa A Rasyida, Imam M Zamzami, R Krismantoro, Dewi R Sari, A Fachrizal
Fakultas Kedokteran, Universitas Airlangga, Surabaya

ABSTRAK
Salah satu simulator yang menjadi media pelatihan ketrampilan medis adalah
manekin tangan dengan empat fungsi pembelajaran yaitu latihan penyuntikan di
lengan atas, penyuntikan obat intravena, pemasangan infus, dan pengambilan
sampel darah vena. Harga manekin impor mencapai Rp. 12.000.000,00 yang
cukup mahal seiring dengan meningkatnya biaya pendidikan. Tujuan penelitian
ini adalah menghasilkan model anatomi yaitu manekin tangan yang berfungsi
untuk simulasi injeksi intra vena, arteri dan muskular serta infus dari bahan
lokal. Pembuatan manekin tangan lokal cukup sederhana dengan memanfaatkan
bahan yang mudah didapat di pasaran lokal, di antaranya: kayu sebagai tulang
rangka, spon elastis sebagai daging, karet silikon untuk kulit, cat minyak dan
pewarna resin untuk pewarna kulit, pompa celup sebagai jantung, rangkaian
saklar variabel untuk mengatur frekuensi denyut pompa, kotak plastik penampung
darah dan pompa celup, selang elastis untuk pembuluh darah arteri dan vena.
Proses pembuatan satu unit manekin tangan lokal dapat diselesaikan dalam
waktu tiga hari dengan lima orang tenaga kerja. Biaya pembuatan 1 unit manekin
tangan lokal adalah Rp.1.103.975,00. Manekin tangan lokal untuk simulator
latihan keterampilan medik ini adalah langkah awal inovasi dalam bidang alat
peraga pendidikan medis. Dengan pembinaan dan pengembangan yang baik
diharapkan tercipta inovasi lain yang dapat memajukan dunia pendidikan medis.
Manekin tangan lokal ini diharapkan dapat dipasarkan sebagai alat peraga
pendidikan kepada institusi pendidikan medis di Indonesia yaitu pendidikan
dokter, akademi keperawatan, akademi kebidanan, dan analis medis.

Kata kunci: Manekin, simulator latihan ketrampilan medis, murah, bahan lokal

PENDAHULUAN
Penguasaan ketrampilan medis mahasiswa kedokteran sangat penting
untuk meningkatkan mutu pendidikan dan profesionalisme kerja (PBL FK Unair,
2002). Mahasiswa di institusi pendidikan kedokteran, diantaranya pendidikan
dokter, akademi keperawatan, akademi kebidanan, dan analis medis dituntut untuk
menguasai keterampilan medis sejak dini. Kegiatan keterampilan medis dasar
sebaiknya dilakukan pada boneka atau alat peraga dahulu sebelum praktek
langsung terhadap manusia (PBL FK Unair, 2002, Wirjoatmodjo, 2000).
Praktik langsung pada pasien yang dilakukan mahasiswa bersifat trial and
error dapat menimbulkan dampak negatif fisik maupun psikologis. Misalnya,
karena canggung atau kurang berpengalaman, mahasiswa tidak bisa melakukan
penyuntikan tepat pada sasaran. Hal ini membuat pasien menjadi lebih takut dan
kesakitan, serta akan mengurangi kepercayaan pasien yang sebelumnya
mengganggap dokter yang menanganinya sudah ahli.
Pelatihan keterampilan medis mahasiswa di berbagai institusi pendidikan
kesehatan saat ini telah menggunakan manekin untuk menghindari praktik
langsung kepada pasien. Manekin adalah boneka simulator menyerupai bagian


PKMI-4-9-2
tubuh manusia yang dibuat khusus untuk memenuhi fungsi pembelajaran
keterampilan medis tertentu (Anonim, 2005). Salah satu simulator impor tersebut
adalah manekin berbentuk tangan dengan empat fungsi pembelajaran yaitu latihan
penyuntikan di lengan atas, penyuntikan obat pada vena, pemasangan infus, dan
pengambilan sampel darah vena. Harga manekin impor mencapai Rp.
12.000.000,00, cukup mahal seiring dengan meningkatnya biaya pendidikan.
Inovasi pembuatan manekin lokal yang lebih murah diharapkan dapat menjadi
alternatif dalam mengatasi masalah tersebut.
Penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan model anatomi manekin
tangan yang berfungsi untuk simulasi latihan ketrampilan medik, meliputi injeksi
intra vena, arteri dan intramuskular serta pemasangan infus dari bahan lokal.
Manfaat yang telah dicapai di antaranya mampu mengintegrasikan konsep
dan berbagai ilmu kedokteran yang telah diterima dalam mengembangkan model
anatomi tangan yang fungsional, menghemat biaya pembelian manekin yang
sebelumnya diimpor dan mengembangkan penelitian pengembangan alat
teknologi peraga kedokteran.

METODE PENGEMBANGAN
Pembuatan manekin tangan lokal cukup sederhana dengan memanfaatkan
bahan yang mudah didapat di pasaran lokal. Bahan tersebut antara lain: kayu yang
dibentuk sedemikian rupa sebagai tulang rangka, spon elastis sebagai daging,
karet silikon untuk kulit, cat minyak dan pewarna resin untuk pewarna kulit,
pompa celup sebagai jantung, rangkaian saklar variabel untuk mengatur frekuensi
denyut pompa, kotak plastik penampung darah dan pompa celup, selang elastis
untuk pembuluh darah arteri dan vena.
Proses pembuatan satu unit manekin tangan lokal dapat diselesaikan dalam
waktu tiga hari dengan lima orang tenaga kerja, dengan metode hasil eksplorasi
yang telah dilakukan terlebih dahulu. Langkah-langkah pembuatannya dapat
dijabarkan sebagai berikut. Langkah awal adalah dengan membentuk rangka dari
kayu ukuran (75x3x3) cm menjadi tiga bagian yaitu lengan atas, lengan bawah
dan telapak tangan. Kemudian membalut rangka kayu dengan spon elastis sesuai
bentuk anatomi tangan manusia. Kulit dicetak dengan cara melapiskan silikon cair
ke cetakan positif tangan dari gips (sebelumnya cetakan ini telah dibuat dengan
menggunakan tangan manusia asli). Silikon ini akan menjadi tiruan kulit elastis
setelah kering dan dilepaskan dari cetakan positif tangan.
Selang elastis dihubungkan dengan pompa celup dalam kotak plastik
penampung darah untuk membuat sirkulasi tertutup dari pembuluh arteri
(membuat denyut nadi), untuk pembuluh darah vena cukup dibuat saluran selang
satu arah. Selang diatur posisinya (Putz, 2000; Snell, 1998; Wirono 2003) dan
difiksasi di permukaan spon yang telah terbalut di rangka kayu sesuai dengan
anatomi pembuluh darah arteri dan vena seperti diilustrasikan pada gambar 1.
Kulit tiruan disarungkan ke dalam spons yang telah dipasangi selang pembuluh
darah kemudian menghubungkan pompa yang dicelupkan dalam kotak berisi
darah tiruan dengan saklar variabel dan aliran listrik AC. Finishing, dengan
merapikan rangkaian bahan-bahan di atas sehingga penampilan model anatomi
(manekin) tangan buatan lokal cukup menarik (Gambar 1).



PKMI-4-9-3











Gambar 1. Gambar Konsep Manekin Tangan


HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Pada penelitian ini telah dibuat satu unit manekin dengan spesifikasi warna
coklat muda, panjang (80x20x20)cm, berat 1-1,5 kg. Komposisi terdiri dari
manekin model anatomi tangan, mesin saklar variabel dan kotak berisi pompa
celup. Fungsi yang bisa diperoleh pada manekin ini adalah perabaan denyut nadi
arteri radialis, penyuntikan intramuskular, pemasangan infus, pengambilan sampel
darah vena dan arteri dan penyuntikan intravena (Gambar 2).















Gambar 2. Manekin Tangan Lokal Jadi

Pembahasan
Penguasaan ketrampilan medis dasar yang meliputi teknik penyuntikan
obat, pemasangan jarum infus, pengambilan darah vena dan arteri, penggunaan
stetoskop dan pemberian nafas buatan penting untuk dikuasai oleh mahasiswa
kedokteran (PBL FK Unair, 2002). Untuk mengurangi kesalahan dalam
praktiknya, diperlukan simulator virtual yang dapat memberikan pelatihan
realistik tanpa membahayakan pasien. Melalui model anatomi tangan, bisa
diperoleh lima fungsi pembelajaran yaitu untuk latihan penyuntikan intramuskular


PKMI-4-9-4
lengan atas, penyuntikan obat melalui vena, pemasangan infus, pengambilan
sampel darah vena, serta fungsi tambahan yaitu pengambilan sampel darah arteri.
Modal awal dan biaya penelitian pengembangan pembuatan manekin
tangan didapatkan dari pihak Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga. Rincian
biaya pembuatan manekin tangan dari bahan lokal ini dapat dilihat pada tabel 1.

Tabel 1. Total pembuatan 1 unit manekin tangan lokal adalah

Macam biaya Nominal
Total biaya Bahan Baku Rp 575.925
Total Biaya Perlengkapan Rp 13.550
Total Biaya Umum Rp 430.000
Total Perlengkapan Simulasi Rp 58.100
10% Total Biaya Peralatan Rp 26.400
Biaya Pembuatan Rp 1.103.975

Material bahan baku didapat dari toko bahan kimia dan alat kedokteran
yang banyak terdapat di Surabaya. Pembuatan manekin tangan lokal dikerjakan
secara manual dengan peralatan rumah tangga dan pertukangan sederhana.
Prosesnya dikerjakan secara paruh waktu oleh mahasiswa FK Unair.
Manekin tangan yang dihasilkan memiliki ukuran (80x20x20)cm,
seukuran dengan manekin tangan impor. Bentuk manekin dibuat seanatomis
mungkin dengan kenyataan. Penempatan selang elastis sebagai vena juga
disesuaikan dengan letak vena yang ada di tangan. Slang kenyal untuk arteri
diposisikan seperti arteri radialis dan ulnaris tangan. Posisi anatomis tersebut akan
mempermudah mahasiswa kesehatan mengaplikasikannya pada manusia.
Berat manekin yang dihasilkan adalah 1-1,5 kg termasuk ringan
dibandingkan manekin impor. Manekin yang ringan akan mudah dibolak-balik
untuk mencari tempat penyuntikan yang sesuai dan diinginkan. Manekin juga
menjadi mudah untuk dipindahkan. Dimensi benda yang pas akan mempermudah
dalam penyimpanan.
Kotak kayu juga diperlukan untuk wadah penyimpanan. Wadah dibuat dan
didesain bisa ditempati satu unit manekin tangan berserta perlengkapannya yang
meliputi set penggunaan dan saklar serta pembangkit listrik untuk membuat
denyut nadi. Kotak yang baik dimaksudkan untuk mempermudah penyimpanan
sekaligus menaikkan harga jual.
Prosedur penggunaan manekin ini diawali dengan cara menghubungkan
saklar variabel dengan arus listrik AC. Saklar ini akan mengatur frekuensi nyala
pompa yang dicelupkan ke dalam kotak berisi darah tiruan. Pompa ini identik
dengan jantung. Darah yang dipompa akan mengalir ke dalam selang yang
berfungsi sebagai pembuluh darah arteri dan kembali menuju kotak darah.
Tekanan pompa yang mengalirkan darah secara pulsatif akan menimbulkan
denyut nadi yang bisa diraba sebagaimana pada manusia (Ganong, 2002; Guyton,
1997). Darah yang mengalir pada pembuluh darah vena berasal dari botol infus
berisi darah tiruan yang diletakkan lebih tinggi dari manekin. Darah ini pun
dialirkan ke kotak darah.
Selanjutnya manekin siap untuk digunakan sebagai simulator dalam
latihan penyuntikan intramuskuler lengan atas, penyuntikan obat melalui vena,


PKMI-4-9-5
pemasangan infus, pengambilan sampel darah vena, serta fungsi tambahan yaitu
pengambilan sampel darah arteri. Prosedur yang dilakukan sesuai dengan praktek
di klinik. Belum adanya alternatif alat peraga jenis ini di pasar lokal yang murah
dan berkualitas merupakan peluang yang dibidik produk ini. Fungsi dan kualitas
manekin tangan lokal yang cukup bersaing dengan manekin tangan impor serta
penetapan penetration pricing produk yang cukup murah dapat menarik minat
konsumen. Investasi yang diperlukan juga tidak terlalu besar mengingat proses
produksi yang cukup sederhana.
Manekin tangan lokal ini diharapkan dapat dipasarkan sebagai alat peraga
pendidikan kepada institusi pendidikan medis di berbagai wilayah Indonesia
diantaranya pendidikan dokter, akademi keperawatan, akademi kebidanan, dan
analis medis. Dengan mempertimbangkan biaya pembuatan, penetrasi pasar,
persaingan pasar dan laba, harga jual 1 unit manekin tangan lokal ditetapkan
sebesar Rp 2.000.000,00. Harga manekin tangan lokal yang lebih murah, fungsi
serta kualitas yang tidak kalah dengan manekin tangan impor dapat menarik minat
konsumen. Penggunaan manekin ini juga dapat menekan mahalnya biaya
operasional untuk penyediaan alat peraga dibidang pendidikan medis. Pemasaran
produk manekin tangan lokal ini dapat dilakukan dengan penjualan langsung atau
melalui kerjasama dengan distributor alat-alat kesehatan dan kedokteran.

Tabel 2. Perbandingan Manekin Tangan Lokal Impor

Perbandingan Manekin tangan lokal Manekin tangan impor
Harga Jual Rp 1.103.975,- (rincian
selengkapnya ada di
lampiran )
Rp 12.000.000,00
Denyut Nadi Ada Tidak Ada
Pengambilan darah arteri Bisa Tidak Bisa
Pengambilan darah vena Bisa Bisa
Pemasangan infus Bisa Bisa
Penyuntikan Intra
Muskular
Bisa Bisa
Bahan baku Mudah didapat Impor jadi
Perawatan Relatif mudah dan tidak
perlu perlakuan khusus
Perlu perlakuan
khusus
Dimensi benda (80x20x20)cm
Berat 1-1,5 kg(Ringan)
(80x20x20)cm
Berat 2,5-3 kg

Manekin ini dapat bersifat substitutif karena dapat digunakan sebagai
pengganti manekin tangan impor. Bahkan manekin tangan lokal memiliki lebih
banyak keunggulan dibanding manekin impor. Perbandingan manekin tangan
lokal dengan manekin tangan impor adalah sebagai berikut (Tabel 1).
Manekin tangan lokal untuk simulator latihan keterampilan medik ini
adalah sebuah langkah awal inovasi dalam bidang alat peraga pendidikan medis.
Dengan pembinaan dan pengembangan yang baik diharapkan dapat tercipta
inovasi-inovasi lain yang dapat memajukan dunia pendidikan medis pada
khususnya dan bangsa Indonesia pada umumnya.


PKMI-4-9-6
Saat ini tim pembuat manekin tangan lokal dipercaya pihak Fakultas
Kedokteran Unair untuk memproduksi lebih banyak produk sejenis sebagai
pengganti manekin tangan impor. Produksi terbatas ini berfungsi sebagai
pengujian produk dan uji marketing untuk menetapkan terpenuhinya persyaratan
kinerja dalam tingkat komersialisasi. Penelitian pengembangan juga terus
dilakukan untuk membuat alat peraga jenis lain yang lebih murah dan inovatif.
Produk ini ditujukan kepada institusi pendidikan kedokteran di Indonesia,
diantaranya pendidikan dokter, akademi keperawatan, akademi kebidanan, dan
analis medis sebagai alat peraga keterampilan medik. Mungkin juga bisa
ditawarkan kepada produsen lokal alat-alat kedokteran atau dilakukan kerjasama
dengan distributor dan toko alat-alat kedokteran sebagai upaya pemasaran.

KESIMPULAN
Manekin tangan lokal bisa dibuat dari bahan dan peralatan yang ada di
pasaran lokal. Manekin tangan tersebut bisa digunakan sebagai alat pembelajaran
latihan ketrampilan medik karena bisa berfungsi untuk simulator pemasangan
infus, pengambilan darah vena dan arteri, injeksi intramuskuler dan intrarterial.
Biaya pembuatan menekin lokal jauh lebih murah daripada manekin impor
dimana untuk pembuatan 1 unit dibutuhkan biaya sekitar Rp. 1.103.975,-
dibandingkan pembelian manekin impor seharga Rp. 12.000.000,-. Produk
manekin lokal ini nantinya bisa digunakan untuk mahasiswa kedokteran,
keperawatan, kebidanan dan analis medis di seluruh Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2005. Menkes: Masyarakat memerlukan Pelayanan Kesehatan Secara
Cepat dan Terjangkau. www.d-infokom-jatim.go.id. Diakses tanggal 13
Mei 2005 jam 13.00 WIB.
Anonim. 2005. Sheffield Hallam University: New Building is a Picture of Health,
Artificial Patient. www.shu.ac.id. 13 November 2005. diakses tangal 2
November 2005 jam 14.00.
Ganong, W.F. 1999.Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 77. Jakarta: EGC.
Guyton & Hall. 1997. Fisiologi Kedokteran. Edisi 9 Jakarta : EGC.
PBL FK UNAIR. 2002. Pedoman Keterampilan Medik Semester 3 Edisi 2.
Surabaya: Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga.
Puts, R. dan Pabst, R. 2000. Atlas Anatomi Manusia Sobotta Jilid 1 Edisi 21.
Jakarta: EGC.
Snell, R. 1998. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran, Bagian 2 Edisi 3.
Jakarta: EGC.
Wirjoatmodjo, K. 2000. Anestesiologi dan Reanimasi Modul Dasar untuk
Pendidikan Sl Kedokteran., Surabaya: RSUD Dr Soetomo/ FK Unair.
Wirono, M. 2003. Anatomi 1 Edisi 7. Surabaya: Laboratorium Anatomi-Histologi
FK Unair.
PKMI-4-10-1
FORMULASI FEROMON SINTETIK DENGAN METODE
ELEKTROANTENOGRAFI (EAG) UNTUK PENGENDALIAN HAMA
KUMBANG KELAPA Rhynchophorus spp.

Denok Rachmawati, Rikka Khrisdayanti, Yuni Nurcahyani
Jurusan Kimia, Universitas Brawijaya, Malang

ABSTRAK
Keberhasilan pengendalian hama kumbang kelapa Rhynchophorus spp. dengan
menggunakan umpan feromon sangat tergantung pada formula feromon sintetis.
Dalam penelitian ini dilakukan cara formulasi umpan tersebut dengan
menggunakan metode elektroantenografi (EAG). Larutan feromon yang
mengandung 4-metil-5-nonanol dan 3-metil-4-oktanol dalam berbagai
konsentrasi diuji aktifitasnya berdasarkan respon Rhynchophorus spp. Dengan
menggunakan sistem elektroantenografi yang terdiri dari antena kumbang yang
dilengkapi kawat Ag sebagai elektrode dapat diamati perubahan sinyal EAG
dengan menggunakan storage oscilloscope yang dicatat sebagai sinyal amplitudo
versus waktu. Hasil pencatatan menunjukkan bahwa respon antena terbesar
terjadi pada konsentrasi 700 ppm untuk 3-metil-4-oktanol dan konsentrasi 300
ppm untuk 4-metil-5-nonanol.

Kata Kunci: Formulasi, feromon, elektroantenogram (EAG), pengendalian hama,
Rhynchophorus spp.

PENDAHULUAN
Rhynchophorus spp. merupakan hama utama pada kelapa, palem dan tebu.
Di Indonesia, penelitian terhadap kumbang ini paling banyak dilaporkan dari
Kalimantan dan Sumatera. Adanya serangan hama pada perkebunan kelapa
dilaporkan dapat menyebabkan penurunan produksi kopra sebesar 20.000-30.000
ton/tahun. Kumbang kelapa dewasa melukai batang kelapa saat meletakkan
telurnya. Larva akan tumbuh dengan cepat, lalu membuat saluran ke ujung tunas
atau batang dari dahan pohon menyebabkan patahnya dahan pohon yang untuk
selanjutnya menyebabkan kematian (Griffith, et al., 1987).
Untuk menanggulangi hama Rhynchophorus spp., petani biasanya
menggunakan insektisida. Penggunaan insektisida ini dilakukan berdasarkan
sifatnya yang mempunyai kemampuan untuk membunuh serangga secara cepat.
Tetapi dalam perkembangan penggunaannya didapati bahwa insektisida ternyata
memberikan dampak negatif bagi kelangsungan hidup ekosistem dan kehidupan
manusia secara global. Selain itu penggunaan insektisida ini dianggap kurang
efektif karena pola habitasi kumbang ini sulit dijangkau oleh insektisida serta
dalam pemakaian jangka panjangnya dapat mengakibatkan resistensi pada hama
(Weissling and Gibblin-Davis, 1996). Oleh karena itu diperlukan teknik
pengendalian hama yang lebih efisien, aman dan ramah lingkungan.
Teknologi baru yang direkomendasikan untuk mengatasi masalah hama
pada tanaman kelapa ini adalah Pengendalian Hama Terpadu (PHT) dengan
menggunakan feromon sebagai komponen penting. Feromon serangga adalah
suatu bahan yang sering disekresi sebagai alat untuk berkomunikasi diantara
serangga yang terdapat sebagai senyawa tunggal maupun dari berbagai macam
senyawa (Atkins, 1978). Menurut Giblin-Davis, et.al (1996) kumbang kelapa
PKMI-4-10-2
dalam sub famili Rhynchophorinae (Curculionidae) (Rhynchophorus spp.)
menggunakan feromon agregat yang diproduksi oleh kumbang jantan untuk
berkomunikasi. Feromon mengandung 8, 9, atau 10 karbon, cabang metil, dan
alkohol sekunder. Beberapa jenis feromon Rhynchophorus spp. yang telah dapat
diidentifikasi antara lain (4S,5S)-4-metil-5-nonanol (ferrugineol) merupakan
feromon agregat pada R. Vulneratus dan R. Palmarum sedangkan (3S,4S)-3-metil-
4-oktanol (phoenicol) merupakan feromon agregat pada R. cruentatus, R.
phoenicis, dan R. palmarum. Struktur senyawa 4-metil-5-nonanol (Weissling dan
Gibblin-Davis, 1996) dan senyawa 3-metil-4-oktanol (Mori et.al, 1991)
ditunjukkan pada Gambar 1.

OH

OH

(a ) (b)

Gambar 1. Senyawa (a) 4-metil-5-nonanol dan (b)3-metil-4-nonanol

Namun hasil yang diperoleh dari isolasi feromon sangat sedikit dan
memerlukan waktu yang lama. Salah satu upaya untuk mendapatkan feromon ini
dalam jumlah besar dan singkat adalah dengan jalan sintesis. Feromon hasil
sintesis tersebut perlu diuji untuk mengetahui kemampuannya untuk menarik
serangga.
Selama ini uji aktivitas feromon sintetis lebih sering dilakukan dengan
menggunakan olfaktometer dan uji lapang karena metodenya yang relatif
sederhana. Akan tetapi olfaktometer dinilai kurang efektif dalam uji aktifitas
karena hasil yang didapatkan hanya berupa derajat ketertarikan suatu spesies
terhadap senyawa tertentu sehingga data yang diperoleh kurang spesifik,
sedangkan penggunaan uji lapang sangat dipengaruhi oleh keadaan lingkungan
misalnya kecepatan angin, arah angin, cuaca dan kelembapan sehingga metode ini
juga tidak efektif untuk dilakukan. Metode lain yang lebih efektif untuk menguji
aktivitas senyawa feromon sintetik adalah dengan menggunakan
elektroantenografi (EAG), dengan metode ini selain dapat diketahui dosis yang
tepat untuk senyawa tersebut, formulasi yang tepat atau yang memberikan respon
tertinggi jika digunakan senyawa campuran juga dapat ditentukan.
Prinsip metode EAG didasarkan pada impuls listrik dari sistem syaraf
antena serangga yang merupakan bentuk respon terhadap suatu rangsang pada
indera penciuman. Interaksi feromon dengan reseptor kumbang terjadi sebagai
berikut (Kaissling, 2001): Feromon diabsorpsi oleh antena kumbang kemudian
sebagian besar feromon tersebut masuk ke dalam haemolymph pada antena.
Feromon dalam haemolymph dapat bereaksi dengan 3 senyawa yaitu protein
pengikat feromon dalam bentuk tereduksi (P
red
) dan teroksidasi (Poks) serta
enzim, akan tetapi hanya feromon yang terikat dengan Pred (FP
red
) yang dapat
berinteraksi lebih lanjut dengan sel reseptor. FP
red
yang berikatan dengan sel
reseptor (FP
red
R) akan berubah menjadi bentuk teraktivasinya (FP
red
R`) yang
selanjutnya memicu aktivitas neural sel. Aktivitas neural sel inilah yang
dinyatakan sebagai respon kumbang terhadap feromon dalam bentuk beda
PKMI-4-10-3
potensial pada elektroantenogram. Elektroantenogram (EAG) sering digunakan
dalam berbagai macam serangga sebagai prosedur pemeriksaan feromon dan bau-
bauan lainnya. Hasil EAG yang ditunjukkan adalah sebanding dengan
kemampuan penciuman serangga diantara elektrodanya (Nagai, 1981; Mayer et
al., 1984; White, 1991). Prinsip metode EAG didasarkan pada rangsangan
feromon oleh antena kumbang dan ditransmisikan ke otak sebagai aktivitas syaraf.
Sebagian besar sel reseptor sensoris bereaksi terhadap rangsang spesifiknya
dengan menimbulkan potensial reseptor yang selanjutnya menimbulkan impuls
syaraf (Kaissling, 1971). Berdasarkan penelitian Obata pada tahun 1981 diketahui
bahwa reseptor yang berpengaruh terhadap respon serangga berada di kepala.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa serangga yang dihilangkan antenanya tidak
bereaksi terhadap senyawa-senyawa volatil yang berfungsi sebagai feromon
(Youn, 2002).
Respon kumbang terhadap feromon dapat diketahui dari elektro-
antenogram yang merupakan grafik hubungan antara beda potensial versus waktu.
Beda potensial yang ditunjukkan besarnya sebanding dengan respon kumbang,
semakin besar beda potensialnya semakin besar pula respon kumbang tersebut
(Kuwana, 1999).











Gambar 2. Model elektroantenogram antena Rhynchophorus spp.

Dari hasil uji EAG tersebut dapat diketahui formulasi feromon sintetis
Rhynchophorus spp. sebagai salah satu aplikasi pengendalian hama terpadu.

METODE PENELITIAN
Penelitian dilakukan secara eksperimental di Laboratorium Kimia Organik
FMIPA Unibraw pada bulan Mei sampai Juli 2004. Feromon sintetik terdiri dari
4-metil-5-nonanol dan 3-metil-4-oktanol yang disintesis menurut Ashadi (2004),
sedangkan pelarut n-pentanol dibeli dari E-Merck. Pencatatan sinyal EAG
dilakukan dengan menggunakan elektroda yang dihubungkan dengan Interface
Cassy E dan komputer yang dilengkapi dengan menu Storage Oscilloscope.
Sebelum digunakan dalam uji aktivitas Rhynchophorus schach dewasa
hidup dibius menggunakan dietil eter selama 10 menit tergantung dari daya
tahan kumbang. Kumbang dibius dengan cara dimasukkan dalam tabung yang
sudah dijenuhi uap dietil eter. Setelah dibius kumbang dijepit dan dimasukkan
dalam kotak EAG. Bagian ujung antena dipotong sedikit sehingga cairan
haemolymph pada antena keluar. Salah satu ujung elektroda ditancapkan pada
pangkal antena kumbang dan ujung elektroda yang lain disentuhkan pada bagian
Beda potensial
Baseline EAG
PKMI-4-10-4
ujung antena yang baru dipotong. Kedua elektroda dihubungkan dengan osiloskop
serta perekam data pada komputer. Larutan feromon sebanyak 1 mL dimasukkan
dalam sebuah botol cuplikan dan ditempatkan pada tempat sampel dalam
rangkaian alat EAG. Kotak EAG ditutup kemudian dihembusi dengan gas
nitrogen. Hembusan nitrogen ke dalam kotak EAG dilakukan selama 5 menit.
Saat nitrogen dihembuskan aliran udara keluar dalam keadaan terbuka. Pelarut n-
pentanol dihembuskan selama 3600 milidetik kemudian larutan feromon
dihembuskan juga dalam rentang 3600 milidetik dan respon kumbang dicatat, saat
pelarut dan larutan feromon dihembuskan aliran udara ke luar dalam keadaan
tertutup. Penghembusan dilakukan menggunakan pompa udara yang akan
mengalirkan udara melewati tempat sampel berisi feromon menuju kotak EAG
dengan kecepatan konstan sebesar 1640 L/menit. Metode ini dilakukan untuk
setiap konsentrasi feromon dari tiap komponen dan masing-masing dilakukan
pengulangan sebanyak tiga kali.
Hasil rekaman elektroantenogram berupa grafik hubungan antara beda
potensial (E) dan waktu (t). Respon kumbang terhadap feromon direkam per 3600
milidetik. Untuk analisa lebih lanjut, elektroantenogram dikonversikan ke dalam
bentuk data beda potensial tiap 10 milidetik menggunakan program Cassy E
Interface. Elektroantenogram yang telah diperoleh kemudian dianalisa, amplitudo
terbesar dari masing-masing grafik tersebut disusun dalam sebuah tabel data
respon kumbang terhadap senyawa feromon kemudian dibuat grafik hubungan
antara respon dengan konsentrasi feromon, dari grafik ini dapat diketahui
konsentrasi feromon yang menunjukkan respon terbesar. Analisa data statistik
menggunakan 0ne-Way ANOVA (Analisa varian univariat satu arah) dan analisis
lanjut menggunakan prosedur Post Hoc Multiple Comparison Test dengan metode
Duncan pada program SPSS 10.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Uji EAG didasarkan pada rangsangan feromon yang diterima oleh antena
kumbang dan ditransmisikan ke otak sebagai aktivitas syaraf (neural activities).
Sebagian besar sel reseptor sensoris bereaksi terhadap rangsang spesifiknya
dengan menimbulkan potensial reseptor yang selanjutnya menimbulkan impuls
saraf. Saat sel reseptor sensoris pada antena kumbang dirangsang, akan terjadi
peningkatan permeabilitas membran sel reseptor terhadap semua ion yang
mengakibatkan adanya suatu aliran ion baik ke dalam maupun keluar sel.
Perubahan konsentrasi ion-ion tersebut mengakibatkan peningkatan voltase pada
sel reseptor di atas potensial standarnya, potensial ini disebut dengan potensial
aksi. Potensial aksi inilah yang terukur pada rangkaian alat EAG sebagai bentuk
respon kumbang terhadap rangsangan feromon.
Hasil uji aktivitas feromon sintetis yaitu 3-metil-4-oktanol dan 4-metil-5-
nonanol terhadap kumbang hama kelapa dengan metode elektroantenografi
ditampilkan dalam bentuk grafik hubungan antara beda potensial versus waktu.
Beda potensial yang ditunjukkan besarnya sebanding dengan respon kumbang,
semakin besar beda potensialnya semakin besar pula respon kumbang tersebut.
Contoh hasil rekaman respon kumbang dapat dilihat pada Gambar 3.
Amplitudo terbesar dari masing-masing elektroantenogram yang diperoleh
untuk kedua senyawa feromon tersebut pada tiap-tiap konsentrasi disusun dalam
tabel 1 dan 2.
PKMI-4-10-5











(a) (b)
Gambar 3. Respon kumbang terhadap (a). 3-metil-4-oktanol pada konsentrasi
700 ppm dan (b). 4-metil-5-nonanol pada konsentrasi 300 ppm dalam
n-pentanol


Tabel 1. Respon kumbang terhadap senyawa 4-metil-5-nonanol

Konsentrasi (ppm) Respon (V)
100 0,00346
200 0,00483
300 0,0219
400 0,00471
500 0,00788
600 0,00555
700 0,00509
800 0,0067
900 0,00713
1000 0,00408


Tabel 2. Respon kumbang terhadap senyawa 3-metil-4-oktanol

Konsentrasi (ppm) Respon (V)
100 0,00300
200 0,00317
300 0,00340
400 0,00417
500 0,00452
600 0,00651
700 0,00846
800 0,00584
900 0,00522
1000 0,00376


0
0.005
0.01
0.015
0.02
0.025
0.03
0 1000 2000 3000 4000
t (ms)
R
E
S
P
O
N

(
v
)
n-pentanol feromon
0
0.002
0.004
0.006
0.008
0.01
0 1000 2000 3000 4000
t (ms)
R
E
S
P
O
N

(
V
)
f eromon n-pentanol
PKMI-4-10-6
Beda potensial tertinggi yang ditunjukkan oleh elektroantenogram dari
masing-masing konsentrasi larutan feromon diplotkan dalam grafik hubungan
konsentrasi vs respon. Gabungan data respon kumbang terhadap kedua senyawa
feromon pada berbagai konsentrasi ditunjukkan pada gambar 4.

0
0.005
0.01
0.015
0.02
0.025
0 200 400 600 800 1000
Konsentrasi (ppm)
R
e
s
p
o
n

(
v
)
4-metil-5-nonanol 3-metil-4-oktanol


Gambar 4. Grafik Hubungan Respon Kumbang Terhadap Senyawa Feromon
Sintetis 4-metil-5-nonanol dan 3-metil-4-oktanol


Berdasarkan Gambar 4 nampak bahwa konsentrasi 4-metil-5-nonanol yang
menunjukkan respon tertinggi yaitu sebesar 0,0219 volt pada konsentrasi 300 ppm
sedangkan untuk 3-metil-4-oktanol sebesar 0,00846 volt pada konsentrasi 700
ppm. Grafik pada Gambar 4 tidak membentuk garis linier sesuai dengan
bertambahnya konsentrasi tetapi menunjukkan suatu titik optimal. Hasil
pengukuran menunjukkan adanya hubungan antara dosis yang diberikan dengan
respon serangga. Peningkatan konsentrasi setelah titik optimal mengakibatkan
respon yang lebih kecil pada kumbang. Efek ini terjadi karena adanya adaptasi
dari kumbang yang disebabkan rangsangan yang diberikan sebelumnya.
Berkurangnya respon mungkin disebabkan karena reseptor-reseptor serangga
menjadi kurang sensitif atau mengalami perubahan sifat membran sel reseptor
setelah menerima stimulus dosis tinggi.
Senyawa 4-metil-5-nonanol memberikan intensitas respon yang lebih
besar dibanding 3-metil-4-oktanol dan diperlukan konsentrasi yang lebih kecil
untuk menimbulkan respon tersebut. Berdasarkan data tersebut formula feromon
sintetis yang direkomendasikan sebagai umpan hama kumbang kelapa
Rhynchophorus spp. adalah 3-metil-4-oktanol pada konsentrasi 700 ppm dan 4-
metil-5-nonanol pada konsentrasi 300 ppm.

KESIMPULAN
Senyawa 4-metil-5-nonanol dan 3-metil-4-oktanol dapat digunakan sebagai
pengendali kumbang kelapa Rhynchophorus spp. Formula feromon sintetis yang
direkomendasikan sebagai umpan hama kumbang kelapa Rhynchophorus spp.
adalah 3-metil-4-oktanol pada konsentrasi 700 ppm dan 4-metil-5-nonanol pada
konsentrasi 300 ppm.

PKMI-4-10-7
DAFTAR PUSTAKA
Ashadi, A. 2004. Sintesis 4-metil-5-nonanol Melalui Reaksi Adisi Nukleofilik
Sekunder Amil Magnesium Bromida Terhadap Valeraldehid. Skripsi.
FMIPA Universitas Brawijaya. Malang.
Atkins, M.D. 1978. Insect in Perspective. Mac Millan Publishing Co. Inc., New
York. United Stated of America. pp. 184-186.
Giblin, D. M. R., A. C. Oehlschlager, A. Perez, G. Gries, T. J. Weissling, C. M.
Chinchilla, J. E. Pena, R. H. Hallet, H. D. Pierce, L. M. Gonzalez. 1996.
Chemical and Behavioral Ecology of Palm Weevil (Curculionidae:
Rhynchophorinae). Florida Entomologist. 79 (2):153-160.
Griffith, K. R., R. M. Giblin., Gerber. 1987. Comparison of Rhynchophouus
species as vectors of the Red Ring Nematode. Rhadinaphelinchus
cocophilus. Journal of Nematology. 9 (4):524-524.
Kaissling, K. 2001. Olfactory Perireseptor and Reseptor Events on Moths: A
Kinetic Model. Chem. Senses. 26:125-150.
Mayer, M.S., R. W. Mankin dan G. F. Lemire. (1984). Quantitation of the Insect
electroanntenogram: measurement of sensillar contributions. elimination
of background potensials. and relationship to olfactory sensation. J. Insect
Physiol. 27:889-894.
Mori, K., H. Kiyota, D. Rochat. 1991. Synthesis of the steroisomers of 3-methyl-
4-octanol to determine the absolute configuration of the naturally
occurring (3s.4s)-isomer isolated as the male-produced aggregation
pheromone of the African Palm Weevil Rhynchophorus phoenicis. Liebigs
Ann. Chem. 865-870.
Nagai, T. 1981. Electrantennogram Response Gradient on The Antena of The
European Corn Borer. Ostrinia Nubilalis. J. Insect Physiol. 27:757-763.
Voskamp, K.E., C. J. Den Otter dan N. Noorman. 1998. Electroantennogram
Responses of Tsetse Flies (Glossina pallidipes) to Host Odours in an Open
Field and Riverine Woodland. Physiological Entomology. 132:97- 103.
Weissling, T.J., C. F. Vanderbilt, R. M. Gibblin-Davis. 1998. Mating Behaviour
and Sexual Response To Pheromone Aggregation of Rynchophorus
Cruentatus (Coleoptera: Curculionidae). Florida Entomologist. 20:505-
515.
White, P.R. 1991. The Electroantennogram Response: Effects of Varying
Sensillum Numbers and Recording Electrode Position in a Clubed Antena.
J. Insect Pysiol. 37:145-152.
Youn, Y.N. 2002. Electroantennogram Responses of Nilaparvata lugens
(Homoptera: Delphacidae) to Plant Volatile Compounds. J. Econ.
Entomol. 95(2) : 269-277



PKMI-4-11-1
KEMAMPUAN TANAMAN KOLEKSI KEBUN RAYA PURWODADI
DALAM MEREDAM KEBISINGAN JALAN RAYA

Sashadi Sofyan, Prastiyo, Ahmad Fatihuddin
Jurusan Biologi, Universitas Brawijaya, Malang

ABSTRAK
Kebisingan jalan raya tidak nyaman dan dapat mengganggu pendengaran
manusia. Selama ini kebisingan diatasi dengan penggunaan peredam pada mesin
dan pemasangan insulator berupa tembok maupun tutup telinga. Cara tersebut
memerlukan biaya dan kurang nyaman sehingga dibutuhkan alternatif untuk
mengatasinya, antara lain dengan pemanfaatan tanaman. Penelitian ini bertujuan
untuk menentukan peranan vegetasi dalam meredam kebisingan jalan raya
Malang-Surabaya, menentukan lokasi di Kebun Raya Purwodadi yang memenuhi
Baku Tingkat Kebisingan sebagai tempat rekreasi dan pendidikan serta
menentukan daya redam 13 spesies tanaman lokal koleksi Kebun Raya. Intensitas
kebisingan jalan raya diukur dengan sound level meter yang diawali 5,0 meter
dari jalan raya, setiap selang 5,0 meter ke arah tegak lurus menjauh dari sumber
kebisingan. Pengukuran dilakukan di dua titik dalam Kebun Raya Purwodadi dan
sebagai pembanding dilakukan pengukuran di persawahan di seberang jalan dari
Kebun Raya. Pengukuran di dalam Kebun Raya dilakukan hingga mencapai
intensitas suara 55 dB, sedangkan di ruang terbuka hingga jarak 25 meter dari
jalan raya. Pengukuran daya redam dilakukan pada 13 spesies tanaman lokal dan
sebagai kontrol dilakukan pada daerah tanpa tanaman. Hasil penelitian
menunjukkan vegetasi di Kebun Raya mampu meredam kebisingan jalan raya
Malang-Surabaya. Lokasi di Kebun Raya yang memenuhi Baku Tingkat
Kebisingan sebagai tempat rekreasi dan pendidikan berjarak 85 meter dari jalan
raya. Daya redam tumbuhan bervariasi dengan urutan tertinggi adalah Phylantus
buxifolius 9,2 % kebisingan per meter tajuk, Musa sp. 6,1 %m
-1
, Decaspermum
fruticosum 4,1 %m
-1
, Ixora paludosa 3,7 %m
-1
, Garcinia sp. 3,4 %m
-1
, Citrus
aurantifolia 3,3 %m
-1
, Stelecarpus burahol 3,1 %m
-1
, Hibiscus rosa-sinensis 2,8
%m
-1
, Ixora longifolia 2,6 %m
-1
, Diospyros celebica 2,5 %m
-1
, Podocarpus
neriifolius 2,4 %m
-1
, Bambusa agrestis 2,0 %m
-1
dan Drypetes sp. 1,5 %m
-1
. Daya
redam tersebut diduga terkait dengan luas tajuk penahan suara, ketebalan daun
dan kerapatan daun. Tanaman peredam kebisingan dapat ditanam sebagai pagar
atau komponen taman.

Kata kunci : Daya redam, kebisingan, tanaman lokal, Kebun Raya Purwodadi.

PENDAHULUAN
Kemajuan industri dan teknologi ditandai dengan adanya pemakaian
mesin-mesin yang dapat mengolah dan memproduksi barang serta adanya
penggunaan alat-alat transportasi untuk membantu mobilitas manusia. Pemakaian
mesin-mesin serta alat transportasi tersebut berdampak pada timbulnya kebisingan
yang merupakan suara tidak dikehendaki yang dapat mengganggu dan merusak
pendengaran manusia. Salah satu cara untuk menyatakan tingkat suatu kebisingan
adalah dengan pengukuran intensitas suara yang didefinisikan sebagai
perbandingan tegangan suara yang datang dan tegangan-tegangan suara standar
yang dapat didengar oleh manusia normal pada frekuensi 1000 Hz. Kebisingan


PKMI-4-11-2
menurut sumbernya dapat dikelompokkan menjadi tiga macam: (1) Kebisingan
empulsif, yaitu kebisingan yang terjadi secara terpotong-potong, (2) Kebisingan
kontinyu, yaitu kebisingan yang datang terus menerus dalam waktu yang cukup
lama dan (3) Kebisingan intermiten, yaitu kebisingan kontinyu yang terjadi dalam
waktu singkat (Wardhana, 2001).
Pengaruh utama kebisingan pada tubuh manusia berupa gangguan pada
indera pendengaran yang dapat mengakibatkan ketulian. Efek kebisingan pada
pendengaran pada mulanya bersifat sementara dan akan segera hilang setelah
kebisingan dihentikan. Apabila terus menerus berada di dekat sumber kebisingan,
daya pendengaran seseorang dapat hilang selamanya dan tidak dapat pulih
kembali. Kebisingan juga dapat menimbulkan gangguan terhadap lingkungan
seperti gangguan komunikasi, gangguan konsentrasi, gangguan daya kerja dan
gangguan ketenangan hidup masyarakat (Supardi, 1994). Badan Kesehatan Dunia
(WHO) melaporkan bahwa pada tahun 1998 terdapat 8% sampai 12% penduduk
dunia yang mengalami gangguan pendengaran yang diakibatkan oleh adanya
kebisingan (Hadian, 2000). Studi yang dilakukan di Jerman menyatakan bahwa
kebisingan juga dapat meningkatkan risiko tekanan darah tinggi (Republika
online, 2003).
Kebisingan terjadi karena adanya sumber bising, media penghantar dan
manusia yang menerima kebisingan tersebut. Pengendalian kebisingan dapat
dilakukan terhadap salah satu bagian tersebut atau gabungan ketiganya (Hadian,
2000). Pengendalian kebisingan selama ini dilakukan melalui penempatan alat
peredam suara pada sumber bising serta penempatan penghalang pada jalan
transmisi dengan menggunakan insulator (Supardi 1994). Penanggulangan
tersebut memerlukan biaya dan kurang nyaman sehingga dibutuhkan alternatif
lain untuk mengatasinya.
Salah satu upaya pengendalian kebisingan khususnya kebisingan yang
berasal dari dari jalan raya adalah dengan penanaman tanaman karena menurut
Hadian (2000), tanaman dapat mengurangi dampak yang diakibatkan oleh adanya
kebisingan. Penanaman berbagai jenis tanaman dengan berbagai strata yang cukup
rapat dilaporkan juga dapat mengurangi kebisingan karena tanaman dapat
meredam suara dengan cara mengabsorbsi gelombang suara melalui daun, cabang
dan ranting (Dahlan, 2004). Tanaman yang selama ini digunakan sebagai peredam
kebisingan pada umumnya merupakan spesies eksotik yang berakibat pada
semakin kurangnya perhatian terhadap spesies-spesies tanaman lokal. Potensi
spesies tanaman lokal sebagai peredam kebisingan perlu digali lebih lanjut
sehingga dapat menjadi salah satu alternatif cara untuk mencegah dampak-
dampak yang diakibatkan oleh adanya kebisingan.
Penelitian ini bertujuan untuk menentukan peranan vegetasi dalam
meredam kebisingan, menentukan lokasi di Kebun Raya Purwodadi yang
memenuhi Baku Tingkat Kebisingan sebagai tempat rekreasi dan pendidikan serta
menentukan daya redam 13 spesies tanaman lokal koleksi Kebun Raya. Penelitian
ini bermanfaat dalm rangka mendukung usaha konservasi sumber daya lokal
dengan memanfaatkan spesies tanaman lokal Indonesia sebagai peredam
kebisingan, mendukung usaha untuk mengurangi dampak yang diakibatkan oleh
adanya kebisingan jalan raya serta mendukung program penghijauan kota melalui
penanaman tanaman di sepanjang tepi jalan raya untuk meredam kebisingan.



PKMI-4-11-3
METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai bulan April 2005 di
Kebun Raya Purwodadi Kecamatan Purwodadi Kabupaten Pasuruan Jawa Timur.
Analisis data dilakukan di Laboratorium Ekologi dan Diversitas Hewan, Jurusan
Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas
Brawijaya, Malang

Peranan Vegetasi dalam Meredam Kebisingan
Intensitas suara sumber kebisingan jalan raya diukur dengan sound level
meter yang diawali 5,0 meter dari jalan raya dengan selang 5,0 meter. Pengukuran
dilakukan di dua titik dalam Kebun Raya Purwodadi (KRP 1 serta KRP 2) dan
sebagai pembanding dilakukan pengukuran di persawahan seberang jalan dari
Kebun Raya. Pengukuran di dalam Kebun Raya dilakukan hingga mencapai
intensitas suara 55 dB, sedangkan di ruang terbuka hingga jarak 25 meter dari
jalan raya.

Penentuan Daya Redam 13 Spesies Tanaman Lokal Koleksi Kebun Raya
Purwodadi
Spesies tanaman lokal yang ditentukan daya redamnya adalah Bambusa
agrestis, Citrus aurantifolia, Decaspermum fruticosum, Diospyros celebica,
Drypetes sp., Garcinia sp., Hibiscus rosa-sinesis, Ixora longifolia, Ixora
paludosa, Musa sp., Phylantus buxifolius, Podocarpus neriifolius dan Stelecarpus
burahol. Sumber suara megaphone diberikan pada salah satu sisi tanaman
kemudian intensitasnya setelah melewati tanaman diukur pada sisi yang
berlawanan menggunakan sound level meter. Pengukuran yang sama pada ruang
kosong yang merupakan proyeksi dari daerah pengukuran tersebut dilakukan
sebagai pembanding. Setiap pengukuran diulang pada sisi yang berbeda sampai
didapat data yang berasal dari tiga sisi. Daya redam spesies tanaman ditentukan
dengan rumus :




dimana :
- dBu = intensitas suara pada daerah kosong (tanpa tanaman) (dB).
- dBt = intensitas suara pada perlakuan (dB).
- jarak = jarak sumber suara dengan pengukuran (tebal kanopi) (m).


HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil penelitian menunjukkan vegetasi di Kebun Raya Purwodadi mampu
meredam kebisingan jalan raya Malang-Surabaya. Keadaan di ruang terbuka lebih
bising daripada di dalam Kebun Raya (Gambar 1) di mana hal tersebut
diakibatkan oleh adanya vegetasi tanaman dalam Kebun Raya yang berperan
dalam meredam kebisingan jalan raya. Menurut Marsh (1991, dalam Meilani,
X 100%
% peredaman =
Jarak
dBu
(dBu dBt)


PKMI-4-11-4
2002), vegetasi tanaman mampu mereduksi energi suara yang keluar dari sumber
kebisingan sehingga intensitas kebisingan berkurang. Sedangkan tingkat
penurunan kebisingan pada lokasi pengamatan KRP 2 yang lebih besar dari pada
KRP 1 dikarenakan tanaman yang menyusun vegetasi di KRP 2 memiliki
kepadatan dan kerimbunan yang lebih besar sehingga daya redam terhadap
kebisingannya lebih tinggi. Carpenter et al. (1975, dalam Sagitawaty, 2001)
menyatakan bahwa tingkat kebisingan yang dapat direduksi oleh tanaman
bergantung kepada kepadatan tanaman, tinggi tanaman dan lebar penanaman.
60
65
70
75
80
85
5 10 15 20 25
Jarak dari Jalan Raya (m)
K
e
b
i
s
i
n
g
a
n

(
d
B
)
Ruang Terbuka
KRP 1
KRP 2

Gambar 1. Penurunan Kebisingan Jalan Raya pada Tiga Tempat
Pengukuran yang Berbeda.

Lokasi di Kebun Raya yang memenuhi Baku Tingkat Kebisingan sebagai
tempat rekreasi dan pendidikan berjarak 85 meter dari jalan raya (Gambar 2).
Intensitas suara yang berasal dari jalan raya pada jarak tersebut adalah 55 dB.
Berdasarkan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 48/MEN
LH/11/1996 tentang Baku Tingkat Kebisingan, standar tingkat kebisingan di
tempat rekreasi dan tempat pendidikan adalah 55 dB.
Daya redam spesies tanaman bervariasi dengan urutan tertinggi tajuk
Phylantus buxifolius 9,2 % kebisingan per meter tajuk, Musa sp. 6,1 %m
-1
,
Decaspermum fruticosum 4,1 %m
-1
, Ixora paludosa 3,7 %m
-1
, Garcinia sp. 3,4
%m
-1
, Citrus aurantifolia 3,3 %m
-1
, Stelecarpus burahol 3,1 %m
-1
, Hibiscus rosa-
sinensis 2,8 %m
-1
, Ixora longifolia 2,6 %m
-1
, Diospyros celebica 2,5 %m
-1
,
Podocarpus neriifolius 2,4 %m
-1
, Bambusa agrestis 2,0 %m
-1
dan Drypetes sp.
1,5 %m
-1
(Gambar 3). Hasil tersebut lebih baik daripada hasil yang pernah
dicapai oleh Meilani (2002), yaitu Acasia mangium sebesar 0,34 %m
-1
, Ficus
benjamina sebesar 0,46 %m
-1
, Mimusops elengi sebesar 0,15 %m
-1
dan Swietenia
mahagoni sebesar 0,31 %m
-1
. Perbedaan tersebut diduga dikarenakan spesies
tanaman yang digunakan dalam penelitian ini merupakan herba yang memiliki
kerapatan daun lebih besar daripada spesies pohon.
Kontrol


PKMI-4-11-5
Daya redam yang dimiliki Phylantus buxifolius sebesar 9,2 %m
-1
dan
Musa sp. sebesar 6,1 %m
-1
dikarenakan kedua spesies tanaman tersebut memiliki
daun yang tebal serta luas tajuk penahan suara besar sehingga kemampuannya
dalam meredam suara sangat baik. Menurut Sagitawaty (2001), semakin besar
luas tajuk penahan perambatan suara, suara yang dipantulkan atau dibiaskan
menjadi semakin besar.

50
55
60
65
70
75
80
85
5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85
Jarak dari Jalan Raya (m)
K
e
b
i
s
i
n
g
a
n

(
d
B
)
KRP2
KRP 1

Gambar 2. Penurunan Kebisingan Jalan Raya di KRP 1 dan KRP 2 sampai
Intensitas yang Memenuhi Baku Mutu sebagai Tempat
Rekreasi dan Pendidikan.

Daya redam yang rendah pada Bambusa agrestis dan Drypetes sp.
dibandingkan spesies tanaman yang lain dikarenakan kedua spesies tanaman
tersebut memiliki luas tajuk penahan suara kecil dan kerapatan daun dalam tajuk
rendah. Menurut Widagdo (1998, dalam Meilani, 2002), kerapatan daun tanaman
dalam tajuknya berperan penting dalam mereduksi kebisingan.

0
2
4
6
8
10
12
14
16
18
20
P
h
y
la
n
t
u
s

b
u
x
i
f
o
l
iu
s
M
u
s
a

s
p
.
D
e
c
a
s
p
e
r
m
u
m

f
r
u
t
i
c
o
s
u
m
I
x
o
r
a

p
a
lu
d
o
s
a
G
a
r
c
in
i
a

s
p
.
C
it
r
u
s

a
u
r
a
n
t
i
f
o
l
ia
S
t
e
l
e
c
a
r
p
u
s

b
u
r
a
h
o
l
H
ib
i
s
c
u
s

r
o
s
a
-
s
i
n
e
n
s
i
s
I
x
o
r
a

l
o
n
g
i
f
o
l
ia
D
io
s
p
y
r
o
s

c
e
l
e
b
ic
a
P
o
d
o
c
a
r
p
u
s

n
e
r
ii
f
o
l
iu
s
B
a
m
b
u
s
a

a
g
r
e
s
t
i
s

D
r
y
p
e
t
e
s

s
p
.
D
a
y
a

r
e
d
a
m

(
%
/
m
)

Gambar 3. Daya Redam 13 Spesies Tanaman Koleksi Kebun Raya Purwodadi


PKMI-4-11-6
Informasi mengenai daya redam beberapa spesies tanaman memiliki arti
penting dalam rangka mendukung upaya untuk mengurangi dampak yang
diakibatkan oleh adanya kebisingan jalan raya. Menurut Sagitawaty (2001),
kemampuan tanaman dalam mereduksi kebisingan bergantung pada jenis
tanaman, kerapatan vegetasi, ketebalan tajuk serta jarak tanam dari jalan raya.
Oleh karena itu, pemanfaatan tanaman sebagai peredam kebisingan jalan raya
akan lebih optimal dengan membuat desain vegetasi taman yang terdiri dari
beberapa spesies tanaman yang memiliki kemampuan meredam kebisingan dan
disusun dalam berbagai strata. Spesies tanaman berupa herba dapat ditempatkan
pada strata awal yang behadapan langsung dengan sumber kebisingan jalan raya,
sedang spesies tanaman berupa pohon ditanam pada strata di belakangnya.

KESIMPULAN
Vegetasi di Kebun Raya Purwodadi memiliki kemampuan dalam
mereduksi kebisingan jalan raya Malang-Surabaya. Lokasi di dalam Kebun Raya
Purwodadi yang memenuhi Baku Tingkat Kebisingan sebagai tempat rekreasi dan
pendidikan (55 dB) berjarak 85 meter dari jalan raya.
Daya redam spesies tanaman lokal koleksi Kebun Raya bervariasi dengan
urutan tertinggi tajuk Phylantus buxifolius 9,2 %m
-1
, Musa sp. 6,1 %m
-1
,
Decaspermum fruticosum 4,1 %m
-1
, Ixora paludosa 3,7 %m
-1
, Garcinia sp. 3,4
%m
-1
, Citrus aurantifolia 3,3 %m
-1
, Stelecarpus burahol 3,1 %m
-1
, Hibiscus rosa-
sinensis 2,8 %m
-1
, Ixora longifolia 2,6 %m
-1
, Diospyros celebica 2,5 %m
-1
,
Podocarpus neriifolius 2,4 %m
-1
, Bambusa agrestis 2,0 %m
-1
dan Drypetes sp.
1,5 %m
-1
. Spesies tanaman yang memiliki potensi sebagai peredam kebisingan
adalah spesies tanaman yang memiliki daun tebal, kerapatan daun tinggi dan luas
tajuk penahan suara yang besar.

DAFTAR PUSTAKA
Dahlan, E. N. (2004). Hutan Kota, http://www.bonet.co.id/dephut/HKOTA.HT,
Diakses pada tanggal 20 Mei 2005 pukul 13.04 WIB.
Hadian, A. (2000). Bising Bisa Timbulkan Tuli, http://www.indomedia.com/
intisari/200_0/januari/bisi---2000, Diakses pada tanggal 20 Mei 2005 pukul
13.30 WIB.
Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup (1996). Konsep KEPMEN Mengenai
Pedoman Penetapan Baku Mutu Tanah, Baku Tingkat Getaran, Kebisingan,
Kecahayaan, Kebauan dan Radiasi, Jakarta.
Meilani, E. A. (2002). Kemampuan Jenis-Jenis Tanaman dalam Mereduksi
Kebisingan, Skripsi tidak dipublikasikan, Institut Pertanian Bogor, Bogor,
hal. 1 dan 5.
Republik Online (2003). Kebisingan Lalu Lintas Berhubungan dengan Tekanan
Darah Tinggi, http://www.republika.co.id/suplemen/cetak_detail.asp?
id=2&id=120815&kat_id=105&kat_id1=150&kat_id2=255, Diakses pada
tanggal 20 Mei 2005 pukul 13.35 WIB
Sagitawaty, L. A. (2001). Peranan Vegetasi dalam Mereduksi Kebisingan Jalan
Raya, Skripsi tidak dipublikasikan, Institut Pertanian Bogor, Bogor, hal. 11.
Supardi, I. (1994). Lingkungan Hidup dan Kelestariannya, Penerbit Alumni,
Bandung, hal. 43-47.
Wardhana, W. A. (2001). Dampak Pencemaran Lingkungan, Penerbit ANDI,
Yogyakarta, hal. 62-63.
PKMI-4-12-1
FORMULASI KARBOKSI METIL SELULOSA DAN TEPUNG TAPIOKA
SEBAGAI BAHAN PENGISI DALAM PEMBUATAN
TEPUNG LIDAH BUAYA

Mahmudi Herman, Fahrianto, Adhitiyawarman, Harry Mahfuzan
Jurusan Kimia, Universitas Tanjungpura, Pontianak

ABSTRAK
Bahan pengisi yang banyak digunakan untuk memproduksi tepung lidah buaya
adalah karboksi metil selulosa (Carboxy Methyl Cellulose, CMC). Bahan pengisi
lain yang dapat digunakan adalah tepung tapioka. Hal ini didasarkan pada
kesamaan struktur dasar pada kedua bahan pengisi yaitu glikosida. Akan tetapi,
berdasarkan kajian literatur belum ada publikasi mengenai formulasi yang tepat
untuk penggunaan tepung tapioka sebagai bahan pengisi. Tujuan penelitian ini
adalah mencari formulasi yang tepat pada penggunaan CMC dan tepung tapioka
sebagai bahan pengisi pada pembuatan tepung lidah buaya yang sesuai dengan
standar industri. Hal ini diharapkan dapat memberikan nilai tambah pada tepung
tapioka. Penelitian ini merupakan penelitian laboratorium yang difokuskan untuk
mencari konsentrasi optimal tepung tapioka sebagai bahan pengisi maupun
bahan penstabil (stabilizer) pada pembuatan tepung lidah buaya. Pada penelitian
ini dilakukan pembuatan tepung lidah buaya dengan berbagai variasi konsentrasi
CMC dan tepung tapioka sebagai bahan pengisinya. Hasil penelitian
menunjukkan konsentrasi optimal pada formulasi CMC dan tepung tapioka
sebagai bahan pengisi pada pembuatan tepung lidah buaya adalah CMC :
tapioka = 0,75% (w/w) : 0,25% (w/w).

Kata kunci : Karboksi metil selulosa (Carboxy Methyl Cellulose, CMC), tepung
tapioka, bahan pengisi, tepung lidah buaya.

PENDAHULUAN
Selama ini tepung lidah buaya untuk industri masih diimpor dari Amerika
Serikat dengan harga yang relatif mahal yaitu sekitar US $ 100-150 perkilogram.
Hal ini sangat ironis karena daerah Kalimantan Barat (khususnya Kota dan
Kabupaten Pontianak) mempunyai lahan yang berpotensi untuk pengembangan
tanaman lidah buaya. Areal penanaman lidah buaya di Kalimantan Barat sudah
mencapai 100 ha yang tersebar di Kota dan Kabupaten Pontianak. Areal
pengembangan lidah buaya di Kalimantan Barat ini direncanakan 20.000 hektar.
Berdasarkan kesesuaian agroklimat, Kalimantan Barat merupakan daerah yang
strategis dan merupakan daerah penghasil utama lidah buaya, sehingga disebut
sentra lidah buaya nasional (Furnawanthi, 2002).
Bahan pengisi yang banyak digunakan untuk memproduksi tepung lidah
buaya adalah CMC. Bahan pengisi lain yang dapat digunakan adalah tepung
tapioka. Hal ini didasarkan pada kesamaan struktur dasar pada kedua bahan
pengisi yaitu glikosida. Akan tetapi, berdasarkan kajian literatur belum ada
publikasi mengenai formulasi yang tepat untuk penggunaan tepung tapioka
sebagai bahan pengisi. Hal ini dapat memberikan nilai tambah pada tepung
tapioka dan tepung lidah buaya.
Tujuan penelitian ini adalah menentukan konsentrasi optimal tepung tapioka dan
CMC sebagai bahan pengisi pada pembuatan tepung lidah buaya dan
mendapatkan serbuk lidah buaya yang sesuai dengan standar industri.
PKMI-4-12-2
Manfaat yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah untuk memberikan
informasi ilmiah tentang pemanfaatan tepung tapioka sebagai bahan pengisi pada
pembuatan tepung lidah buaya dan memberikan nilai tambah pada tepung tapioka.

Tepung Lidah Buaya
Tepung lidah buaya yang ada di pasaran dan digunakan dalam industri
mempunyai spesifikasi standar mutu seperti yang ditetapkan oleh Terry
Laboratories, Amerika Serikat seperti terlihat pada tabel (1) berikut ini
(Furnawanthi, 2002).

Tabel (1) Standar Mutu Tepung Lidah Buaya (Menurut Terry Laboratories)
Spesifikasi
Tepung Lidah Buaya yang
Dikeringkan dengan cara
Spray Dried
Tepung Lidah Buaya
yang Dikeringkan dengan
cara Freeze Dried
Penampakan Butiran halus Butiran halus
Warna
Krem muda, cokelat keabu-
abuan (beige)
Putih, cokelat keabu-abuan
(light beige)
Kadar air (maksimum) 8% 8%
Kecepatan disperse (25
0
C) 5 menit 5 menit
Total Padatan 100% 100%
Keasaman (pH) 3,5-5,0 3,5-5,0
Gravity @ 25
0
C 0,990-1,010 0,990-1,010
Mikrobiologi
<100 cfu/g
tidak ada patogen
<10 cfu/g
tidak ada patogen

Bahan Pengisi
Dalam pembuatan bubuk lidah buaya membutuhkan bahan pengisi sebagai
bibit untuk terbentuknya kristal bubuk dan bahan pemekat cairan. Proses ini dapat
diterapkan dalam cairan daun lidah buaya yang telah di saring dan mempunyai
total padatan 0,5 1 brix.
Bahan pengisi yang umum digunakan dalam pembuatan tepung lidah
buaya adalah gum arabic. Gum arabic dapat digunakan sebagai bahan pengisi
dengan konsentrasi 1-5%. Di dalam penggunaannya sebagai bahan pengisi,
gum arabic dapat di campur dengan derivat metil selulosa. CMC dapat kompak
dengan gum arabic dalam larutan 2% CMC dan gum arabic dengan
perbandingan 3:1, 1:1 dan 1:3.
CMC banyak digunakan sebagai pelindung koloid dalam industri
penyabunan karena CMC yang tinggi mempunyai kekuatan mensuspensi tanah
didalam larutan pencuci. Perkembangan selanjutnya, CMC digunakan untuk
mengentalkan krim pasta. CMC banyak juga digunakan untuk industri keramik,
tekstil, kertas dan pembuatan elektroda. Bentuk fisik ada yang dalam bentuk
bubuk dan granula.
CMC dapat dibuat dari limbah selulosa (limbah dari industri kain dan
kertas) yang direaksikan dengan larutan sodium hidroksida diikuti dengan
mereaksikan asam monokloroasetat atau sodium monokloroasetat dengan reaksi
eterifikasi Williamson (Taguchi and Ohmiya, 1985):

Cell-OH + NaOH + ClCH
2
COONa Cell-OCH
2
COONa + NaCl + H
2
O
Carboxy Methyl Cellulose
PKMI-4-12-3
METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian laboratorium yang difokuskan untuk
mencari konsentrasi optimal tepung tapioka sebagai bahan pengisi maupun bahan
penstabil (stabilizer) pada pembuatan tepung lidah buaya. Pada penelitian ini
dilakukan pembuatan tepung lidah buaya dengan berbagai variasi konsentrasi
CMC dan tepung tapioka sebagai bahan pengisinya.

Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Politeknik Negeri Pontianak,
Laboratorium Kesehatan Kota Pontianak dan Laboratorium Kimia FMIPA
Universitas Tanjungpura Pontianak selama 6 bulan.

Bahan dan Alat
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah akuades, lidah
buaya, tepung tapioka merk Rose Brand (Produksi PT. Acid Jaya Tbk.), CMC
Daiichi RH 582 (Produksi Brataco Chemika), FeCl
3
,

asam sitrat dan natrium
benzoat.
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah neraca elektronik
Balance CHYO Muke MP-3000, spray dryer, pisau, lemari es, blender, mixer,
sentrifuge, kain penyaring, erlenmeyer, beaker glass, pH meter Begman,
viskometer Ostwald dan pipet tetes.

Cara Kerja
Penelitian utamanya adalah perlakuan dengan memvariasikan konsentrasi
CMC dan tepung tapioka. Rancangan formula selengkapnya dapat dilihat pada
tabel (2). Tahap selanjutnya adalah pengujian dilakukan dengan membandingkan
produk dengan standar yang dikeluarkan oleh Terry laboratories, Amerika
Serikat.

Tabel (2) Rancangan Formula Tepung Lidah Buaya
Formula/konsentrasi
Bahan-bahan
I II III IV V
Tepung Tapioka 0 g 5 g 10 g 15 g 20 g
CMC 20 g 15 g 10 g 5 g 0 g
Natrium benzoat 2 g 2 g 2 g 2 g 2 g
Asam sitrat 2 g 2 g 2 g 2 g 2 g
Gel Aloe vera 2 kg 2 kg 2 kg 2 kg 2 kg

Tahap pembuatan tepung lidah buaya adalah sebagai berikut:
1. Preparasi Sampel
Daun lidah buaya segar dibersihkan dari kotoran yang melekat. Setelah itu, kulit
daun lidah buaya disayat dengan menggunakan pisau. Selama perlakuan ini, gel
lidah buaya selalu direndam dalam air untuk menghindari reaksi enzimatis.
Kemudian gel lidah buaya dihancurkan dengan blender sehingga terjadi
pemisahan cairan dan seratnya. Kemudian disaring menggunakan kain saring.
Untuk menghentikan atau mematikan aktivitas enzim, maka cairan lidah buaya
perlu dipanaskan pada suhu 70-80
0
C selama 10 menit. Setelah itu, cairan lidah
PKMI-4-12-4
buaya disentrifugasi selama 15 menit untuk menghilangkan pengotor yang
berupa koloid. Setelah itu pengotor yang mengendap dipisahkan dari cairan
lidah buaya.
2. Penambahan Bahan Pengisi dan Pengawet
Setelah cairan bebas dari pengotor, ditambahkan bahan pengawet untuk
mencegah terjadinya kontaminasi oleh bakteri dan atau jamur. Kemudian
dimasukkan bahan pengisi sebagai bibit pada proses pembentukan kristal
tepung lidah buaya. Konsentrasi bahan pengisi yang berupa CMC dan tepung
tapioka divariasikan agar diperoleh hasil optimal.
3. Pengeringan
Sampel yang telah ditambahkan bahan pengisi dikeringkan menggunakan alat
spray dryer. Pengeringan ini bertujuan agar terbentuk tepung yang diharapkan.
Tepung yang dihasilkan akan dikeluarkan melalui cyclon.

Proses pembuatan tepung lidah buaya secara singkat dapat digambarkan
dalam skema kerja berikut ini:






















Gambar (1) Diagram Alir Cara Kerja Penelitian
daun lidah buaya segar
gel lidah buaya bersih
(tanpa kulit)
cairan lidah buaya
ampas
bubuk lidah buaya
- di bersihkan
- dikupas kulitnya
- diblending
- disaring
- dipanaskan pada suhu 70-80
o
C selama 10 menit
- disentrifugasi selama 15 menit
- ditambah natrium benzoat dan asam sitrat
- ditambah bahan pengisi (CMC dan tapioka)
- dikeringkan dengan spray dryer
Analisis kualitas
tepung lidah buaya
PKMI-4-12-5
Analisis Kualitas Tepung Lidah Buaya
Prosedur analisis tepung lidah buaya adalah:
1. Kadar air
Kadar air ditentukan dengan metode pemanasan pada suhu 105
0
C dan
penimbangan sehingga diperoleh berat konstan kemudian dihitung kehilangan
bobot.
2. Derajat keasaman (pH)
Bubuk lidah buaya diencerkan menjadi 0,5 % larutan kemudian diukur dengan
pH meter Begman.
3. Rasio bubuk dan daun lidah buaya
Rasio bubuk dan daun lidah buaya merupakan perbandingan berat per berat
(w/w) antara bubuk yang diperoleh dengan jumlah bahan yang digunakan untuk
menghasilkan bubuk tersebut.
4. Penentuan aloin
Adanya aloin ditentukan secara kualitatif dengan cara pengetesan dengan
larutan feriklorida. Senyawa aloin pada larutan akan memberikan warna coklat
kehijau-hijauan.
5. Kekentalan
Kekentalan tepung lidah buaya ditentukan dengan Viskometer Ostwald, yaitu
dengan mencatat waktu yang diperlukan untuk mengalirkan 5 ml cairan
kemudian dibandingkan dengan waktu yang diperlukan akuades dan digunakan
tabel viskositas air standar untuk perhitungan.
6. Mikrobiologi
Pada uji mikrobiologi dihitung jumlah bakteri E. Coli sebagai bakteri patogen.

HASIL PENELITIAN
Sifat tepung lidah buaya yang dihasilkan dapat dilihat pada tabel (3)
berikut ini.

Tabel (3) Sifat Tepung Lidah Buaya yang Dihasilkan
Formula Hasil Pengamatan Sifat Tepung
Feed pump = 15
T
1
= 112
0
C; T
2
= 112
0
C; T
3
= 50
0
C
Inlet = 106
0
C
Outlet = 94
0
C
I
Aloe powder (di dalam cyclon) = 15,1672 g
Sifat tepung lidah buaya (aloe
powder): butiran halus, bau
asam, warna putih kekuningan
dan lembut.
Feed pump = 15
T
1
= 112
0
C; T
2
= 112
0
C; T
3
= 50
0
C
Inlet = 106
0
C
Outlet = 94
0
C
II
Aloe powder (di dalam cyclon) = 14,5803 g
Residu (di dalam chamber) = 51,0100 g
(Brix = 3 %)
Sifat tepung lidah buaya (aloe
powder): butiran halus, bau
asam, warna putih kekuningan
dan lembut.
Sifat residu (di dalam
chamber): berbentuk cairan,
kental dan terdapat endapan
putih.
Feed pump = 15
T
1
= 112
0
C; T
2
= 112
0
C; T
3
= 50
0
C
III
Inlet = 106
0
C
Sifat tepung lidah buaya (aloe
powder): butiran halus, bau
asam, warna putih kekuningan
PKMI-4-12-6
Outlet = 94
0
C
Aloe powder (di dalam cyclon) = 11,2389 g
dan agak kasar.
Feed pump = 15
T
1
= 112
0
C; T
2
= 112
0
C; T
3
= 50
0
C
Inlet = 106
0
C
Outlet = 94
0
C
IV
Aloe powder (di dalam cyclon) = 14,0818 g
Sifat tepung lidah buaya (aloe
powder): berbentuk granula,
bau asam, warnanya putih
kekuningan dan kasar.
Feed pump = 15
T
1
= 112
0
C; T
2
= 112
0
C; T
3
= 50
0
C
Inlet = 106
0
C
Outlet = 94
0
C
V
Aloe powder (di dalam cyclon) = 10,8035 g
Sifat tepung lidah buaya (aloe
powder): berbentuk granula,
bau asam, warnanya kuning
dan kasar.

Analisis Tepung Lidah Buaya
Hasil analisis tepung lidah buaya dapat dilihat pada tabel berikut ini.

Tabel (4) Hasil Uji Kadar Air
Formula
Berat basah
(gram)
Berat kering
(gram)
Berat air
(gram)
% air
I 0,2604 0,2415 0,0189 7,26
II 0,2605 0,2388 0,0217 8,33
III 0,2603 0,2397 0,0206 7,91
IV 0,2617 0,2392 0,0225 8,60
V 0,2602 0,2392 0,0210 8,07

Tabel (5) Hasil Uji Derajat Keasaman (pH)
Formula PH
I 4,7
II 5,4
III 4,8
IV 4,7
V 4,8

Tabel (6) Rasio Bubuk dan Daun Lidah Buaya
Formula Berat Sampel
Berat Tepung
yang Dihasilkan
Perbandingan Berat Sampel
dan Berat Tepung (% w/w)
I 2 kg 15,1672 g 0,76
II 2 kg 14,5803 g 0,73
III 2 kg 11,2389 g 0,56
IV 2 kg 14,0818 g 0,70
V 2 kg 10,8035 g 0,54
PKMI-4-12-7
Tabel (7) Hasil Uji Aloin
Formula Hasil Pengamatan
I Terbentuk koloid berwarna coklat kehijauan; larutan coklat muda
II Terbentuk koloid berwarna coklat kehijauan; larutan coklat muda
III
Terbentuk dua lapisan; lapisan atas berwarna kuning dan lapisan
bawah berwarna coklat kehijauan
IV Terbentuk koloid berwarna coklat kehijauan; larutan coklat muda
V Terbentuk larutan coklat kehijauan; ada endapan putih

Tabel (8) Hasil Uji Kekentalan
Waktu alir (sekon)
Formula
I II III Rerata
Viskositas pada
27
0
C (Nm
-2
s)
I 19,65 19,91 19,79 19,77 3,06.10
-3

II 12,47 12,16 12,40 12,34 1,91.10
-3
III 9,12 9,00 9,00 9,04 1,38.10
-3

IV 7,75 7,72 7,72 7,73 1,19.10
-3

V 5,69 5,69 5,57 5,65 1,91.10
-3

Akuades 5,53 5,57 5,46 5,52 8,67.10
-4


Hasil uji mikrobiologi menunjukkan semua sampel tepung lidah buaya negatif
mengandung bakteri patogen Eschericia coli.

PEMBAHASAN
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tepung dengan formulasi I memiliki
kualitas terbaik dari segi sifatnya yaitu berbentuk butiran halus, baunya asam,
berwarna putih kekuningan dan terasa lembut. Tepung yang memiliki kualitas
terbaik dengan bahan pengisi yang berupa formulasi CMC dan tepung tapioka
adalah formulasi II dengan sifat tepung lidah buaya tersebut adalah berbentuk
butiran halus, baunya asam, berwarna putih kekuningan dan terasa lembut.
Tepung yang dihasilkan dari formulasi IV dan V berbentuk granula. Hal ini
disebabkan kemampuan tepung tapioka dalam mengikat air.
Menurut standar yang telah ditetapkan Terry Laboratories, kadar air
tepung lidah buaya yang baik maksimal 8 %. Berdasarkan pengujian yang telah
dilakukan, kadar air tepung lidah buaya dengan formulasi I dan III memiliki
kadar air yang sesuai dengan standar yang ada, yang dikeluarkan oleh Terry
Laboratories. Namun demikian, perbedaan kadar air tepung lidah buaya hasil
penelitian dan standar tidak terlalu signifikan.
Pada uji pH, dapat diketahui bahwa tepung lidah buaya yang dihasilkan
mempunyai tingkat keasaman yang memenuhi standar Terry Laboratories yaitu
pada pH 3,5 5,0 kecuali pada tepung dengan formulasi II yang mempunyai pH
diatas standar.
Berdasarkan literatur perbandingan antara bahan baku dengan tepung yang
dihasilkan adalah 100:1. Dari hasil penelitian, bahwa randemen tepung yang
dihasilkan relatif kecil yaitu 100:0,54 sampai 100:0,76. Hal ini dapat disebabkan
adanya tepung lidah buaya yang masih melekat pada outlet spray dryer sehingga
mengurangi hasil penelitian.
PKMI-4-12-8
Uji aloin dilakukan untuk menentukan kandungan aloin yang terdapat
didalam tepung lidah buaya yang dihasilkan. Aloin merupakan senyawa yang
sangat bermanfaat dalam bidang kesehatan. Struktur senyawa aloin dapat dilihat
pada gambar (2) berikut ini.

O
O
CH
2
OH
OH
OH
OH
OH OH
CH
2
OH
Gambar (2) Struktur Senyawa Aloin


Uji tersebut ditentukan secara kulitatif dengan cara melarutkan tepung
dengan akuades, kemudian diteteskan dengan beberapa tetes larutan feriklorida
(FeCl
3
). Penambahan feriklorida ini memberikan hasil positif jika larutan
memberikan warna coklat kehijau-hijauan. Badasarkan uji yang telah dilakukan,
terlihat bahwa secara umum semua tepung dengan berbagai formulasi
memberikan hasil yang positif. Hasil tersebut memberikan penampakan yang
relatif berbeda secara visual. Pada tepung dengan formulasi I, II dan IV
memberikan hasil yang hampir sama yaitu terbentuk koloid berwarna coklat
kehijauan dan larutan berwarna coklat muda. Untuk formulasi III terbentuk dua
lapisan yaitu lapisan atas yang berwarna kuning dan lapisan bawah yang berwarna
coklat kehijauan sedangkan tepung yang dihasilkan dari formulasi V memberikan
larutan bewarna coklat kehijauan dan endapan putih.
Berdasarkan pengukuran viskositas larutan tepung lidah buaya yang
dihasilkan, diperoleh viskositas larutan tepung tertinggi adalah tepung pada
formulasi I. Sedangkan viskositas larutan terendah dimiliki oleh tepung pada
formulasi V. Berdasarkan data tersebut diperoleh suatu hubungan bahwa semakin
tinggi konsentrasi CMC maka viskositas larutan meningkat sedangkan semakin
tinggi dan semakin rendah konsentrasi CMC maka viskositas larutan semakin
kecil.
Hasil uji mikrobiologi didapatkan hasil yang negatif terhadap bakteri
patogen Eschericia coli. Menurut standar yang telah ditetapkan oleh Terry
Laboratories, tepung lidah buaya yang dikeringkan dengan cara spray drying
mempunyai standar tidak adanya bakteri patogen. Berdasarkan standar tersebut
dapat disimpulkan bahwa tepung yang dihasilkan dari berbagai formulasi telah
memenuhi standar.

KESIMPULAN
Konsentrasi optimal pada formulasi tepung tapioka dan karboksi metil
selulosa (CMC) sebagai bahan pengisi pada pembuatan tepung lidah buaya adalah
CMC : tapioka = 0,75% (w/w) : 0,25% (w/w) yang hasilnya relatif sama dengan
tepung lidah buaya yang menggunakan bahan pengisi CMC 1 % (w/w).
PKMI-4-12-9
DAFTAR PUSTAKA
Asghar, A., Anjum, F.M., Tariq, M.W. and Hussain, S. (2005). Effect of Carboxy
Methyl Cellulose and Gum Arabic on the Stability of Frozen Dough for
Bakery Products, Turk J. Biol, vol. 29, pp. 237-241.
Desrosier, N.W. (1988). Teknologi Pengawetan Pangan, Penerjemah: M.
Muljohardjo, Jakarta, UI Press.
Furnawanthi, I. (2002). Khasiat dan Manfaat Lidah Buaya Si Tanaman Ajaib,
Jakarta, Agro Media Pustaka.
Hazairin. (2001). Profil Agribisnis Aloe vera di Kota Pontianak, Pontianak,
Dinas Urusan Pangan Kota Pontianak.
Reynolds, T. (2003). A Review: The Compounds in Aloe Leaf Exudates, Botan.
J. of the Linnean Soc., vol. 90, pp. 157-77.
Sudarto, Y. (1997). Lidah Buaya: Seri Tanaman Hias, Yogyakarta, Penerbit
Kanisius.
Taguchi, A. and Ohmiya, T. (1985). US Patent 2.517.955.


PKKMI-4-13-1
IMPLEMENTASI STRATEGI KONFLIK KOGNITIF
DALAM PEMBELAJARAN FISIKA DI SMP NEGERI I SINGARAJA
(Studi Kuasi Eksperimen Pada Pokok Bahasan Gerak dan Gaya)

Wijaya, Sumiada, Elta Disaswindu
Jurusan Pend. Fisika, Fak. Pend. MIPA, IKIP N Singaraja

ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan (1) mendeskripsikan profil konsepsi siswa dalam
pembelajaran fisika, (2) mendeskripsikan dan menganalisis persentase penurunan
jumlah siswa yang mengalami miskonsepsi dengan strategi konflik kognitif dan
strategi konvensional, dan (3) menganalisis perbedaan hasil antara siswa yang
belajar menggunakan strategi konflik kognitif dan siswa yang belajar
menggunakan strategi konvensional. Rancangan penelitian yang digunakan
adalah The Non Equivalen Pre-Test Post-Test Control Group Design. Populasi
dalam penelitian ini adalah semua siswa kelas I SMP Negeri 1 Singaraja tahun
ajaran 2004/2005. Sampel penelitian diperoleh dengan menggunakan teknik
Random Sampling Klaster yang terdiri dari dua kelas yaitu satu kelas sebagai
kelompok eksperimen dan satu kelas sebagai kelompok kontrol. Data penelitian
profil konsepsi siswa, persentase penurunan jumlah siswa yang mengalami
miskonsepsi, dan hasil belajar siswa dikumpulkan dengan tes hasil belajar yang
berbentuk pilihan yang disertai alasan, dan selanjutnya dianalisis secara
deskriptif dan statistik dengan ANAVA satu-jalur yang dilanjutkan dengan uji
Scheffe. Hasil penelitian ini menunjukkan (1) profil konsepsi siswa dalam
pembelajaran fisika sebelum mereka belajar secara formal di sekolah cukup
bervariasi, namun sebagian besar masih berlabel miskonsepsi. Setelah
pembelajaran sebagian besar dari konsepsi mereka berubah menjadi konsepsi
ilmiah, (2) persentase penurunan jumlah siswa yang mengalami miskonsepsi
dengan menggunakan strategi konflik kognitif lebih besar daripada dengan
menggunakan strategi konvensional, dan (3) Hasil belajar siswa yang belajar
menggunakan strategi konflik kognitif lebih baik dari pada hasil belajar siswa
yang menggunakan strategi konvensional.

Kata Kunci: strategi konflik kognitif, konsepsi siswa, miskonsepsi, hasil belajar.

PENDAHULUAN
Pendidikan IPA khususnya fisika sebagai bagian dari pendidikan formal,
ikut memberikan kontribusi dalam membangun sumber daya yang berkualitas
tinggi sehingga mampu bersaing dalam pasar globalisasi. Namun di lapangan
menunjukkan kualitas mutu pendidikan IPA (fisika) masih rendah. Masih
rendahnya hasil belajar siswa tersebut merupakan indikator rendahnya penguasaan
mereka terhadap konsep-konsep fisika, sehingga mencerminkan rendahnya
kualitas mutu pendidikan fisika.
Menurut aliran konstruktivisme, proses pembelajaran adalah pemberian
tekanan pada pengkonstruksian makna pengetahuan secara aktif oleh siswa
dengan menggunakan pengetahuan yang telah ada sebelumnya dan menekankan
pada pentingnya hubungan-hubungan antar konsep oleh siswa di dalam
mengkonstruksi makna dari konsep yang sedang dipelajari. Belajar menurut
pandangan konstruktivis adalah merupakan modifikasi dari ide-ide yang ada pada


PKKMI-4-13-2
diri siswa. Artinya pengertian tentang belajar itu adalah merupakan suatu proses
pembentukan pengertian dari pengalaman-pengalaman dalam hubungannya
dengan pengetahuan siswa sebelumnya (Tobin, 1990). Sebagai konsekuensi dari
pengertian ini adalah guru harus memberi perhatian yang besar terhadap
pengetahuan awal siswanya dalam upaya mengoptimalkan proses belajar siswa.
Fosnot (1989) mengemukakan empat prinsip dasar konstruktivisme
sebagai berikut. (1) Pengetahuan terdiri atas konstruksi-konstruksi masa silam
(past constructions), (2) Pengkonstruksian pengetahuan terjadi melalui proses
asimilasi dan akomodasi, (3) Mengacu kepada belajar sebagai suatu proses
penemuan, dan (4) Mengacu kepada mekanisme yang memungkinkan
berlangsungnya perkembangan kognitif.
Berg (1991) mengatakan bahwa guru dalam perannya sebagai fasilitator
atau mediator yang kreatif dalam pembelajaran mempunyai ciri-ciri (1) tidak
melakukan upaya transfer pengetahuan kepada siswa, dan selalu sadar bahwa
pengetahuan dibangun di dalam pikiran siswa berdasarkan struktur kognitif yang
telah ada, (2) menyiapkan kondisi yang kondusif bagi berlangsungnya proses
pembelajaran dengan menyajikan masalah-masalah yang menantang siswa, (3)
berupaya untuk menggali dan memahami konsepsi awal siswa, (4) selalu
menggunakan konsepsi awal siswa baik dalam merancang maupun dalam
mengimplementasikan program pembelajaran, (5) berusaha untuk merangsang
dan memberi kesempatan yang luas kepada siswa, dan (6) menggunakan strategi
pengubah konsepsi dalam upaya mengubah miskonsepsi siswa menjadi konsepsi
ilmiah.
Berg (1991) menyatakan bahwa salah satu penyebab yang universal atas
rendahnya mutu pendidikan fisika, yang secara umum diterima oleh guru fisika
adalah sebagian besar siswa mengalami kesulitan belajar fisika. Salah satunya
diduga bersumber dari miskonsepsi yang terjadi pada diri siswa. Sadia (1997) juga
mengatakan bahwa salah satu penyebab masih rendahnya kualitas pembelajaran
fisika karena para guru khususnya guru fisika masih menerapkan proses belajar-
mengajar yang berdasarkan asumsi tersembunyi bahwa pengetahuan dapat
dipindahkan secara utuh dari pikiran guru ke pikiran siswa. Jadi, dapat
diindikasikan bahwa rendahnya kualitas mutu pendidikan fisika disebabkan oleh
beberapa komponen dalam proses pembelajaran yaitu guru dan siswa.
Konsepsi adalah tafsiran seseorang terhadap suatu konsep (Berg, 1991).
Konsepsi siswa merupakan pengetahuan pribadi mereka, yang terbentuk melalui
belajar informal dalam proses memahami pengalaman sehari-hari, atau belajar
secara formal pada jenjang pendidikan sebelumnya. Konsepsi siswa pada
umumnya berbeda dengan konsepsi ilmuwan. Konsepsi ilmuwan bersifat ilmiah,
lebih kompleks, dan melibatkan lebih banyak hubungan antar konsep. Jika
konsepsi siswa bertentangan dengan konsepsi para ilmuwan, maka disebut
miskonsepsi. Menurut para ahli, miskonsepsi disebut juga intuisi (intuitions),
konsepsi alternatif (alternative conception), kerangka alternatif (alternative
framework), dan teori naif (Driver, 1989).
Munculnya miskonsepsi karena mereka hanya menggunakan pola pikir
intuitif atau akal sehat (common sense), dan tidak menggunakan pola berpikir
ilmiah dalam menanggapi dan menyelesaikan permasalahan yang mereka hadapi.
Dalam situasi formal misalnya dalam tes ujian para siswa menggunakan konsepsi
ilmiah akan tetapi jika mereka berhadapan dengan masalah-masalah dalam


PKKMI-4-13-3
kehidupan sehari-hari, maka mereka kembali menggunakan konsepsinya yang
miskonsepsi (Osborne, 1986). Berg (1991) menyebutkan bahwa (1) miskonsepsi
sulit sekali diperbaiki, (2) seringkali sisa miskonsepsi terus-menerus mengganggu
pembentukan konsepsi ilmiah. Soal-soal yang sederhana dapat dikerjakan tetapi
dengan soal yang lebih sukar miskonsepsi muncul lagi, (3) seringkali terjadi
regresi yaitu siswa yang sudah pernah menyadari miskonsepsinya, suatu saat
muncul lagi, dan (4) siswa, mahasiswa, guru maupun peneliti dapat mengalami
miskonsepsi.
Dalam mengubah miskonsepsi siswa menuju konsepsi ilmiah diperlukan
strategi pengubahan konseptual yang tepat dan diberikan pada saat yang tepat
pula. Strategi konflik kognitif dikembangkan dari pandangan Piaget dalam belajar.
Menurut Piaget belajar merupakan proses perubahan konsep. Konsep dibangun
melalui proses asimilasi dan akomodasi (Suparno, 1997). Slavin (1997)
mengatakan bila seseorang menyadari adanya ketidaksesuaian antara pengetahuan
yang sudah ada dengan pengalaman baru, maka akan terjadi konflik dalam
pikirannya (konflik kognitif). Ia akan memodifikasi pengetahuannya dan
membentuk pengetahuan yang baru. Oleh karena itu guru dalam fungsinya
sebagai fasilitator atau mediator belajar, bagaimana membangkitkan konflik
kognitif siswa terhadap konsepsi yang tidak sesuai dengan konsepsi ilmiah
(Underhil dan Tech, 1992).
Strategi konflik kognitif merupakan strategi pengubahan konseptual
(conceptual change strategy) yaitu suatu strategi pembelajaran bagaimana
membuat pikiran siswa agar menyadari kekeliruan konsepsinya, sehingga melalui
proses akomodasi diharapkan dapat berubah menjadi konsepsi ilmiah. Beberapa
langkah yang perlu dilakukan dalam implementasi strategi konflik kognitif dalam
pembelajaran sebagai berikut. (1) Identifikasi konsepsi awal siswa sebelum
memulai pembelajaran. Identifikasi konsepsi awal siswa dapat dilakukan melalui
tes berbentuk uraian, tes berbentuk pilihan yang disertai alasan, peta konsep, dan
interview klinis. Dari analisis jawaban siswa tersebut dapat diketahui pola
konsepsinya. (2) Apabila konsepsi awal siswa belum sesuai dengan konsepsi
ilmiah (miskonsepsi), maka perlu diupayakan strategi pengubahan konsepsi untuk
membangkitkan situasi konflik dalam struktur kognitif siswa. Konflik disini
maksudnya konflik antara konsep yang sudah ada dengan pengalaman belajar
yang baru, sehingga terjadi proses akomodasi. Dengan terjadinya proses
akomodasi diharapkan dapat dihasilkan konsepsi baru yang sifatnya ilmiah.
Untuk meningkatkan hasil belajar siswa tersebut, maka dipandang perlu
untuk beralih pandangan mengenai cara mengajar dari pandangan tradisional yang
menganggap pengetahuan itu dapat dipindahkan secara utuh dari pikiran guru ke
pikiran siswa menuju pandangan konstruktivis yang mengatakan bahwa
pengetahuan dibangun dalam pikiran siswa berdasarkan struktur kognitif yang
telah ada sebelumnya pada diri siswa (Bodner, 1986).
Guru dalam menjalankan fungsinya sebagai fasilitator atau mediator
pembelajaran, pada saat munculnya miskonsepsi dapat menggunakan strategi
pengubah konsepsi (conceptual change strategy). Salah satu strategi pengubah
konsepsi yang dapat digunakan adalah strategi konflik kognitif. Strategi konflik
kognitif merupakan strategi pengubahan konseptual, yang memungkinkan
membuat pikiran siswa agar menyadari kekeliruan konsepsinya. Strategi konflik
kognitif menekankan pada upaya pengubahan miskonsepsi yang terjadi pada


PKKMI-4-13-4
siswa menuju konsepsi ilmiah. Beberapa strategi konflik kognitif yang dapat
digunakan untuk merekonstruksi konsepsi siswa adalah pemberian contoh
tandingan (counter example) dan interaksi pasangan, analogi, demonstrasi, serta
eksperimen. Melalui strategi konflik kognitif dapat diharapkan akan terjadi proses
belajar yang lebih efektif dan bermakna, yang pada akhirnya bermuara pada
peningkatan hasil belajar siswa.
Penelitian ini mempunyai tujuan untuk (1) mendeskripsikan profil
konsepsi siswa dalam pembelajaran fisika sebelum dan sesudah proses
pembelajaran, (2) mendeskripsikan dan menganalisis penurunan miskonsepsi
siswa yang belajar dengan menggunakan strategi konflik kognitif dan siswa yang
belajar dengan menggunakan strategi konvensional sebelum dan sesudah proses
pembelajaran, dan (3) mengetahui perbedaan hasil belajar antara siswa yang
belajar menggunakan strategi konflik kognitif dan siswa yang belajar
menggunakan strategi konvensional

METODE PENELITIAN
Populasi dan Sampel Penelitian
Penelitian kuasi eksperimental ini dilakukan di kelas I SMP Negeri I
Singaraja tahun ajaran 2004/2005. Sampel penelitian diperoleh dengan
menggunakan Random Sampling Klaster yang terdiri dari dua kelas yaitu satu
kelas sebagai kelompok eksperimen (KE) dan satu kelas sebagai kelompok
kontrol (KK). Kesetaraan kelas-kelas yang digunakan sebagai sampel didasarkan
pada homogenitas nilai ujian akhir nasional (NUAN).

Desain Penelitian
Dalam penelitian kuasi eksperimen ini, desain penelitian yang digunakan
adalah The Non Equivalent Pre-test Post-test Control Group Design (Hadjar,
1999), dengan Tabel 1 sebagai berikut.

Tabel 1 Desain Penelitian
Kelompok Tes Awal (pre-test) Treatment Tes Akhir (post-test)
KE T1 X1 T2
KK T1 X2 T2

Dengan KE : kelompok eksperimen, KK : kelompok kontrol, T1 : tes sebelum
perlakuan (pre-test) pada kelompok eksperimen dan kelompok kontrol, X1:
perlakuan dengan strategi konflik kognitif, X2 : perlakuan dengan strategi
konvensional, T2 : tes sesudah perlakuan (post-test) pada kelompok eksperimen
dan kelompok kontrol.

Prosedur Penelitian
Langkah-langkah penelitian terdiri atas tujuah tahapan yaitu sebagai
berikut.
(1) Orientasi dan observasi terhadap rancangan dan pelaksanaan KBM di kelas
dan interview secara intensif dengan guru pengajar kelas yang bersangkutan.
(2) Identifikasi konsepsi siswa, dimaksudkan untuk menjaring konsepsi awal
yang dimiliki oleh siswa.


PKKMI-4-13-5
(3) Analisis konsepsi siswa yang dilakukan dengan menelusuri tes hasil belajar
siswa (pre-test) untuk menyiapkan program pembelajaran.
(4) Merancang program pembelajaran dan perangkat pembelajaran strategi
konflik kognitif berdasarkan miskonsepsi siswa.
(5) Peneliti menyusun perangkat pembelajaran yang terdiri dari SP, RP dan LKS
yang mendukung pembelajaran dengan strategi konflik kognitif.
(6) Implementasi pembelajaran dengan strategi konflik kognitif pada kelompok
eksperimen dan strategi konvensional pada kelompok kontrol.
(7) Evaluasi perubahan konsepsi siswa dan hasil belajar siswa,
(8) Analisis terhadap perubahan konsepsi dan hasil belajar siswa.

Instrumen Penelitian dan Teknik Pengumpulan Data
Jenis instrumen dan teknik pengumpulan data yang digunakan dalam
penelitian ini dirangkum pada Tabel 2 sebagai berikut.

Tabel 2 Instrumen dan Teknik Pengumpulan Data

Jenis Data Sumber
Data
Teknik
Pengumpulan
Data
Instrumen Waktu
Konsepsi dan
hasil belajar
siswa
Siswa Pemberian Tes Tes hasil belajar
(berbentuk pilihan
disertai alasan)
Sebelum dan
sesudah
pembelajaran

Sebelum tes hasil belajar digunakan sebagai instrumen penelitian, terlebih
dahulu diuji validitas isi dan validitas susunannya dengan cara instrumen tersebut
dijudgement atau ditimbang oleh 3 orang penimbang yaitu 2 orang dosen
pembimbing dan seorang guru fisika. Tes yang telah disusun akan diuji cobakan,
hasil uji coba akan dianalisis lebih lanjut untuk mendapatkan gambaran secara
empirik apakah instrumen hasil belajar layak digunakan sebagai instrumen
penelitian.

Teknik Analisis Data
Analisis Deskriptif Konsepsi Siswa, Perubahan Miskonsepsi dan Hasil Belajar
Siswa
Data tentang profil konsepsi siswa pada konsep gerak dan gaya dianalisis
secara kualitatif (non statistik) dan hasil analisis dideskripsikan secara naratif.
Perubahan miskonsepsi siswa dianalisis secara deskriptif yang dinyatakan dalam
persentase. Data hasil belajar siswa pada konsep gerak dan gaya dianalisis secara
statistik deskriptif. Untuk menentukan persentase ketercapaian hasil belajar siswa
digunakan daya serap (ketuntasan) individual dan klasikal.

Ketuntasan individu tercapai bila KI 65%, yang dihitung dengan rumus:

Nilai yang dicapai siswa
KI = x 100%
Nilai maksimum
Ketuntasan klasikal tercapai bila KK 85%, yang dihitung dengan rumus:


PKKMI-4-13-6
Jumlah siswa yang tuntas
KK = x 100% (Depdikbud, 1993)
Jumlah seluruh siswa

Uji Komparatif Hasil Belajar Siswa
Untuk menguji keunggulan komparatif strategi konflik kognitif terhadap
strategi konvensional dalam meningkatkan hasil belajar siswa pada konsep gerak
dan gaya, maka data hasil belajar siswa dianalisis dengan menggunakan uji
ANAVA satu-jalur yang dilanjutkan dengan uji Scheffe.
Sebelum dilakukan uji ANAVA satu-jalur dan uji Scheffe terhadap data
hasil belajar siswa, maka terlebih dahulu dilakukan uji prasyarat yaitu uji
normalitas dan uji homogenitas varians terhadap data hasil belajar siswa.
Jika dengan menggunakan uji ANAVA terbukti ada perbedaan hasil
belajar antara siswa yang belajar menggunakan strategi konflik kognitif dan siswa
yang belajar menggunakan strategi konvensional maka dilanjutkan dengan uji
Scheffe (Ruseffendi, 1998) dengan perumusan sebagai berikut.


) 1 (
1 1
) (
2 1
2
2 1

=
k
n n
RK
X X
F
d


Keterangan:
1
X : rata-rata hasil belajar kelompok eksperimen,

2
X : rata-rata hasil belajar kelompok kontrol,

1
n : jumlah kelompok eksperimen

2
n : jumlah kelompok kontrol.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Deskripsi Konsepsi Siswa dan Perubahannya Setelah Proses Pembelajaran
Berdasarkan hasil analisis miskonsepsi siswa sebelum dan sesudah
pembelajaran ditemukan bahwa pembelajaran dengan menggunakan strategi
konflik kognitif dalam konsep gerak pada kelompok eksperimen dapat
menurunkan persentase jumlah siswa yang mengalami miskonsepsi sebesar rata-
rata 51,92% sedangkan pada kelompok kontrol yang menggunakan strategi
konvensional hanya dapat menurunkan persentase jumlah siswa yang mengalami
miskonsepsi sebesar rata-rata 21,15%. Dari hasil analisis miskonsepsi sebelum
dan sesudah pembelajaran ditemukan bahwa pembelajaran dengan menggunakan
strategi konflik kognitif dalam konsep gaya pada kelompok eksperimen dapat
menurunkan persentase jumlah siswa yang mengalami miskonsepsi sebesar rata-
rata 58,75%, sedangkan pada kelompok kontrol yang menggunakan strategi
konvensional hanya dapat menurunkan persentase jumlah siswa yang mengalami
miskonsepsi sebesar rata-rata 26,75%.
Berdasarkan temuan tersebut, tampak bahwa rata-rata persentase
penurunan jumlah siswa yang mengalami miskonsepsi dalam pembelajaran
konsep gerak dan gaya pada kelompok eksperimen lebih besar dibandingkan
dengan kelompok kontrol.



PKKMI-4-13-7
Deskripsi Hasil Belajar Siswa
Berdasarkan hasil analisis pre-test, post-test, dan hasil belajar tampak
bahwa rata-rata skor pre-test pada kelompok eksperimen dan kelompok kontrol
dalam konsep gerak masing-masing sebesar 15,68 dan 14,10, sedangkan dalam
konsep gaya masing-masing sebesar 13,93 dan 13,98. Berdasarkan hasil ini dapat
disimpulkan bahwa siswa yang berangkat ke sekolah tersebut tidak dengan kepala
kosong (blank mind), artinya siswa telah memiliki gagasan-gagasan atau konsepsi
awal sebelum mengikuti proses pembelajaran. Rata-rata skor post-test yang
dicapai siswa pada kelompok eksperimen dan kelompok kontrol dalam
pembelajaran konsep gerak masing-masing sebesar 33,00 dan 26,45, sedangkan
dalam pembelajaran konsep gaya masing-masing sebesar 33,55 dan 26,20. Hal ini
menunjukkan bahwa setelah proses pembelajaran terjadi peningkatan perolehan
skor tes baik dengan strategi konflik kognitif maupun dengan strategi
konvensional.
Hasil belajar siswa diperoleh dengan mencari selisih antara skor post-test
dengan skor pre-test. Dari hasil perhitungan, diperoleh rata-rata hasil belajar siswa
pada kelompok eksperimen untuk konsep gerak dan gaya masing-masing sebesar
17,33 dan 19,63 dengan simpangan baku masing-masing sebesar 4,34 dan 5,47.
Sedangkan rata-rata hasil belajar pada kelompok kontrol untuk konsep gerak dan
gaya masing-masing sebesar 12,35 dan 12,23, dengan simpangan baku masing-
masing sebesar 3,99 dan 5,37. Dengan melihat rata-rata hasil belajar siswa pada
masing-masing konsep yaitu konsep gerak dan konsep gaya baik pada kelompok
eksperimen maupun kelompok kontrol, tampak bahwa rata-rata hasil belajar siswa
pada kelompok eksperimen lebih besar dibandingkan dengan kelompok kontrol.

Pengujian Hipotesis Penelitian
Berdasarkan hasil uji hipotesis pada taraf signifikansi 5%, maka dapat
disimpulkan sebagai berikut.
Hipotesis nol (Ho) yaitu Hasil belajar siswa yang belajar menggunakan strategi
konflik kognitif tidak lebih baik daripada hasil belajar siswa yang belajar
menggunakan strategi konvensional, ditolak. Hal ini berarti hipotesis alternatif
(Ha) yang menyatakan Hasil belajar siswa yang menggunakan strategi konflik
kognitif lebih baik daripada hasil belajar siswa yang belajar menggunakan strategi
konvensional, diterima.
Proses pembelajaran, melalui penerapan strategi konflik kognitif pada
kelompok eksperimen dan kelompok kontrol mampu menurunkan persentase
jumlah siswa yang mengalami miskonsepsi pada konsep gerak dan gaya masing-
masing rata-rata sebesar 51,92%; 58,75%, dan 21,15%; 26,75%. Berdasarkan
hasil ini tampak bahwa persentase penurunan jumlah siswa yang mengalami
miskonsepsi pada kelompok eksperimen lebih besar daripada kelompok kontrol,
artinya pembelajaran dengan strategi konflik kognitif lebih baik dibandingkan
dengan strategi konvensional dalam merekonstruksi konsepsi siswa yang masih
bersifat miskonsepsi menjadi konsepsi ilmiah.
Hasil analisis deskriptif terhadap skor post-test menunjukkan bahwa rata-
rata skor post-test yang dicapai siswa pada kelompok eksperimen dalam konsep
gerak dan gaya masing-masing sebesar 33,00 dan 33,55 dengan ketuntasan belajar
masing-masing adalah 90% dan 92,5%. Sedangkan pada kelompok kontrol adalah
26,45 dan 26,20 dengan ketuntasan belajar masing-masing adalah 62,5% dan


PKKMI-4-13-8
60%. Hal ini mengindikasikan bahwa pembelajaran dengan menggunakan strategi
konflik kognitif lebih baik dibandingkan dengan menggunakan strategi
konvensional.
Lebih lanjut kesimpulan di atas diperkuat oleh hasil analisis uji hipotesis
pada taraf signifikansi 5% mengenai hasil belajar siswa, dimana hasil uji tersebut
memberikan arti bahwa pembelajaran pada konsep gerak dan gaya dengan strategi
konflik kognitif lebih baik secara signifikan dalam meningkatkan hasil belajar
siswa dibandingkan dengan menggunakan strategi konvensional
Temuan ini diperkuat oleh hasil penelitian yang dilakukan oleh Berg
(1991), yang menyatakan bahwa strategi konflik kognitif merupakan salah satu
strategi alternatif untuk meremidiasi miskonsepsi dan meningkatkan hasil belajar
siswa. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Sadia (1997), yang menyatakan
bahwa strategi konflik kognitif lebih efektif dalam mengubah miskonsepsi siswa
menjadi konsepsi ilmiah daripada strategi konvensional. Hasil penelitian
Mariawan (2001), yang menyatakan bahwa penerapan strategi konflik kognitif
dalam setting pembelajaran diskusi dapat mereduksi atau mengubah miskonsepsi
siswa menjadi konsepsi ilmiah.
Dilihat dari hasil analisis terhadap penurunan persentase jumlah siswa
yang mengalami miskonsepsi baik pada kelompok eksperimen maupun kelompok
kontrol, walaupun pada kelompok eksperimen memberikan hasil penurunan
jumlah siswa yang mengalami miskonsepsi lebih besar dibandingkan dengan
kelompok kontrol, akan tetapi pada kelompok eksperimen yang menggunakan
strategi konflik kognitif belum mampu 100% menurunkan miskonsepsi siswa
menjadi konsepsi ilmiah. Hal ini disebabkan oleh adanya beberapa faktor antara
lain (1) miskonsepsi sulit sekali diperbaiki atau dikatakan bersifat resisten, karena
masing-masing individu membangun pengetahuannya persis dengan
pengalamannya sehari-hari, (2) miskonsepsi dapat muncul kapan saja, dan (3)
rancangan strategi konflik kognitif yang disajikan oleh peneliti masih belum
optimal dalam menggoyahkan miskonsepsi serta mengubahnya menjadi konsepsi
ilmiah sehingga belum sepenuhnya tepat sasaran.
Hal yang dikaji dalam penelitian memberikan dampak terhadap ketuntasan
belajar siswa, dimana ketuntasan yang dicapai secara klasikal pada kelompok
eksperimen yang menggunakan strategi konflik kognitif adalah rata-rata sebesar
90% dan belum mampu mencapai ketuntasan 100%. Walaupun demikian halnya,
berdasarkan pengujian hipotesis secara statistik dapat disimpulkan bahwa strategi
konflik kognitif dalam pembelajaran konsep gerak dan gaya secara signifikan
lebih baik dibandingkan dengan strategi konvensional dalam meningkatkan hasil
belajar siswa.

KESIMPULAN
Berdasarkan rumusan masalah, tujuan, dan hasil analisis data dapat
diambil simpulan sebagai berikut. (1) Profil konsepsi siswa dalam pembelajaran
fisika menunjukkan bahwa gagasan-gagasan siswa terhadap suatu konsep sebelum
mereka belajar secara formal di sekolah cukup bervariasi, namun sebagian besar
dari gagasan mereka masih berlabel miskonsepsi. (2) Persentase penurunan
jumlah siswa yang mengalami miskonsepsi dengan menggunakan strategi konflik
kognitif lebih besar daripada menggunakan strategi konvensional. (3) Hasil


PKKMI-4-13-9
belajar siswa yang belajar menggunakan strategi konflik kognitif lebih baik
daripada hasil belajar siswa yang belajar menggunakan strategi konvensional.

DAFTAR PUSTAKA
Berg, H. D. E (Editor). 1991. Miskonsepsi Fisika dan Remidiasi. Salatiga:
Universitas Kristen Satya Wacana.
Bodner, G. M. 1986. Constructivism: A Theory of Knowledge. Journal of
Chemical Education. Vol. 63, No. 10.
Depdikbud. 1993. Kurikulum SMP Garis-Garis Besar Program Pengajaran
(GBPP). Jakarta: Depdikbud.
Driver, R. 1989. Changing Conceptions. Center for Studies in Science and
Mathematics Educations. University of Leeds.
Fosnot, C. T. 1989. Eguiring Teachers Eguiring Leaners: A Constructivist
Approach for Teaching. New York: Teacher College Press.
Mariawan, I Made. 2001. Penerapan Strategi Konflik Kognitif dalam Setting
Pembelajaran Diskusi Untuk Mereduksi Miskonsepsi Siswa Kelas I SMU
Lab. STKIP Singaraja. Tesis (Tidak Diterbitkan). Surabaya: Universitas
Negeri Surabaya.
Obsorne, R. 1986. Learning in Science: The Implications of Childrens Science.
London: Portsmount N. H.
Russefendi, H. E. T. 1998. Statistika Dasar Untuk Penelitian Pendidikan.
Bandung: IKIP Bandung Prees.
Sadia, I Wayan. 1997. Efektivitas Strategi Konflik Kognitif dalam Mengubah
Miskonsepsi Siswa (Suatu Studi Eksperimental dalam Pembelajaran
Konsep Energi, Usaha, dan Gerak Gesek di SMUN 1 Singaraja). Laporan
Penelitian (Tidak Diterbitkan). Singaraja: STKIP Singaraja.
Slavin, R. E. 1997. Educational Psychology: Theory and Practice Fourth Edition.
Massachusetts: Allyn and Bacon Publishers.
Suparno, P. 1997. Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan. Yogyakarta:
Kanisius.
Tobin, K. 1990. Social Constructivist Perspectives on The Reform of Science
Education. The australian Science Teachers Journal. Vol. 36, No. 4.
Underhil, R & Virginia, T. 1992. Mathematical Evaluation and Remidiation0.
Research Ideas for The Clasroom-Early Childhood Mathematics. New
York: Macmilan Publising Company.


PKMI-4-14-1

FAKTOR-FAKTOR PENUNJANG KEBERHASILAN PEMBELAJARAN
DALAM MENYIAPKAN TENAGA SIAP KERJA DI JURUSAN TEKNIK
MEKANIK POLMAN TIMAH SUNGAILIAT

Surya Dharma, Rachmawati, Nurmega
Politeknik Manufaktur Timah Sungailiat, Bangka

ABSTRAK
Rendahnya mutu pendidikan pada setiap jenjang pendidikan, khususnya
pendidikan tinggi adalah salah satu permasalahan utama yang dihadapi oleh
bangsa Indonesia, terutama di Kepulauan Bangka Belitung. Kehadiran Jurusan
Teknik Mekanik Polman Timah diharapkan dapat menjawab permasalahan
tersebut. Profesi sebagai ahli mesin dituntut memiliki intelektualitas, kreatifitas,
keterampilan dan kepekaan yang tinggi. Oleh karena itu, Jurusan Teknik Mekanik
Polman Timah mengupayakan mempersiapkan tenaga-tenaga terdidik baik secara
teori maupun keterampilan praktiknya dalam permesinan. Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui pelaksanaan kurikulum yang diterapkan, metode
yang dipakai dalam pembelajaran di Jurusan Teknik Mekanik, dan tingkat
keberhasilan yang dicapai oleh mahasiswa di Jurusan Teknik Mekanik. Metode
penelitian ini adalah bersifat deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Subjek
dalam penelitian ini adalah Jurusan Teknik Mekanik Polman Timah. Objeknya
adalah faktor-faktor penunjang keberhasilan program pembelajaran berupa
penerapan kurikulum, metode pembelajaran, dan ketercapaian keberhasilan.
Teknik pengumpulan datanya adalah observasi dan wawancara. Lulusan Teknik
Mekanik Politeknik Manufaktur Timah sangat diperlukan oleh industri dan pihak
swasta untuk menjadi tenaga kerja yang ahli dan menguasai bidangnya.
Masyarakat membutuhkan sumbangsih dari para lulusan Teknik Mekanik untuk
dapat mengaplikasikan keahliannya serta mampu berkomunikasi dalam
kehidupan bermasyarakat. Selain itu, diharapkan para lulusan Teknik Mekanik
mampu menjadi panutan masyarakat dalam membangun peradaban masyarakat
mandiri dan dapat membuka lapangan kerja. Pemanfaatan lulusan Jurusan
Teknik Mekanik di tingkat daerah tidak terbatas pada wilayah Kepulauan
Bangka-Belitung saja, melainkan juga pada daerah lain, seperti misalnya
Jakarta, Batam , Bandung, dan Kalimantan.

Kata kunci: penunjangan, peningkatan mutu, keterampilan, pembelajaran.

PENDAHULUAN
Salah satu permasalahan pendidikan yang dihadapi oleh bangsa Indonesia,
khususnya di Bangka Belitung adalah rendahnya mutu pendidikan pada setiap
jenjang dan satuan pendidikan, khususnya pendidikan tinggi. Berbagai usaha telah
dilakukan untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional, antara lain melalui
berbagai pelatihan dan peningkatan kompetensi dosen, pengadaan media
pengajaran yang lebih baik, perbaikan sarana dan prasarana pendidikan, dan
peningkatan mutu manajemen kampus. Namun demikian, berbagai indikator mutu
tenaga ahli belum menunjukkan peningkatan yang berarti.
Menurut Depdiknas (2001), setidaknya ada tiga faktor yang menyebabkan
mutu pendidikan tidak mengalami peningkatan secara merata. Faktor pertama,
kebijakan dan penyelenggaraan pendidikan nasional menggunakan pendekatan


PKMI-4-14-2

analisis yang tidak dilaksanakan secara konsekuen. Pendekatan ini, menurut Sidi
(2001), melihat bahwa lembaga pendidikan berfungsi sebagai pusat produksi yang
apabila dipenuhi semua input (masukan) yang diperlukan dalam kegiatan produksi
tersebut maka lembaga ini akan menghasilkan output yang dikehendaki. Landasan
teori yang berhasil dalam dunia industri ini ternyata tidak selalu dapat dibuktikan
dalam dunia pendidikan, ini disebabkan lembaga pendidikan tidak bisa disamakan
dengan pabrik dalam dunia industri sebab input pendidikan bukan input statis
melainkan input dinamis yang banyak dipengaruhi oleh berbagai faktor,
khususnya faktor proses dan konteks pendidikan. Faktor kedua, penyelenggaraan
pendidikan nasional dilakukan secara birokratik/sentralistik sehingga
menempatkan perguruan tinggi sebagai penyelenggara pendidikan sangat
bergantung pada putusan birokrasi yang mempunyai jalur yang sangat panjang
dan kadang-kadang kebijakan yang dikeluarkan tidak sesuai dengan kondisi di
perguruan tinggi setempat. Dengan demikian, perguruan tinggi kehilangan
kemandirian, motivasi dan inisiatif untuk mengembangkan dan memajukan
lembaganya termasuk peningkatan mutu pendidikan sebagai salah satu tujuan
pendidikan nasional. Faktor ketiga, peran serta masyarakat, khususnya orang tua
mahasiswa dalam penyelenggaraan pendidikan selama ini sangat minim.
Partisipasi masyarakat selama ini pada umumnya lebih banyak bersifat dukungan
input berupa dana, bukan pada proses pendidikan, seperti pengambilan keputusan,
monitoring, evaluasi, dan akuntabilitas. Berkaitan dengan akuntabilitas, perguruan
tinggi tidak mempunyai beban untuk mempertanggungjawabkan hasil pelaksanaan
pendidikan kepada masyarakat, khususnya orang tua mahasiswa, sebagai salah
satu unsur utama yang berkepentingan dengan pendidikan.
Menyadari bahwa rendahnya kualitas SDM yang ada bukan dikarenakan
oleh faktor inherent di dalam diri masyarakat Kepulauan Bangka Belitung, tetapi
lebih disebabkan oleh minimnya fasilitas pendidikan yang ada di daerah Bangka
Belitung, terutama dalam hal pendidikan tinggi, bila dibandingkan dengan
provinsi lain, misalnya dengan Provinsi Sumatera Selatan, DKI Jakarta, Jawa
Timur ataupun Jawa Barat masih jauh untuk dikatakan baik.
Kurikulum pendidikan nasional masa depan dikembangkan berdasarkan
kompetensi dasar. Dalam konsep ini, kurikulum disusun berdasarkan kemampuan
dasar minimal yang harus dikuasai oleh seorang mahasiswa setelah yang
bersangkutan menyelesaikan satu unit mata kuliah dalam satu satuan waktu
pendidikan. Materi kurikulum masa depan harus ditekankan pada mata kuliah
yang sanggup menjawab tantangan global dan perkembangan iptek yang sangat
cepat, khususnya pendidikan pada Jurusan Teknik Mekanik di Polman Timah.
Hal ini setidaknya dihadapi oleh Jurusan Teknik Mekanik Polman Timah
dalam hubungannya dengan penyiapan tenaga yang siap kerja. Jurusan ini telah
mampu memberikan gambaran keberhasilan maka dipilihlah sebagai objek
penelitian dengan judul Faktor-faktor Penunjang Keberhasilan Pembelajaran

Dalam Menyiapkan Tenaga Siap Kerja di Jurusan Teknik Mekanik Polman
Timah.
Jurusan Teknik Mekanik Polman Timah didirikan pada tahun 1994 sebagai
respon terhadap kegelisahan sejumlah akademisi terhadap sistem pendidikan di
tanah air yang hanya mampu menghasilkan ijazah, sertifikat, tanpa diimbangi skill
seperti yang dibutuhkan di dunia industri saat ini. Oleh karena itu, Jurusan Teknik


PKMI-4-14-3

Mekanik Polman Timah yang terletak di Kawasan Industri Air Kantung Sungailiat
yang memiliki visi untuk menjadikan ahli teknik yang bisa bersaing baik skala
nasional maupun internasional.
Adapun tujuan dari penulisan ini diharapkan kita bisa mengetahui faktor-
faktor penunjang di Jurusan Teknik Mekanik dan bisa digunakan sebagai
informasi bahwa Jurusan Teknik Mekanik ini dipandang layak untuk digunakan
sebagai tempat penelitian karena telah berdiri selama kurang lebih 12 tahun dalam
pengelolaan pendidikan dan telah mendapat pengakuan dari BAN PT sebagai
jurusan dengan akreditasi B serta kepercayaaan dari masyarakat terhadap
kualitasnya. Hal ini telah terbukti bahwa jurusan ini tidak pernah kekurangan
mahasiswa, tetapi malah mengalami peningkatan karena banyak juga pelajar-
pelajar dari luar Kepulauan Bangka Belitung yang menimba ilmu di Jurusan
Teknik Mekanik Polman Timah sehingga menjadikan jurusan ini semakin terkenal
di Indonesia.
Oleh karena itu, keberadaan Jurusan Teknik Mekanik Polman Timah
sangat dibutuhkan dalam rangka mengembangkan dan meningkatkan mutu
sumber daya manusia, mengembangkan ilmu pengetahuan dan keahlian, dan akan
berperan pada proses pembangunan yang komprehensif di Provinsi Kepulauan
Bangka Belitung pada khususnya dan Indonesia pada umumnya.
Untuk mempermudah analisis maka penulis membatasi masalah pada
bagaimana penerapan kurikulum pengajaran di Jurusan Teknik Mekanik Polman
Timah, bagaimana penerapan metode pengajaran di Jurusan Teknik Mekanik dan
bagaimana tingkat keberhasilan mahasiswa Jurusan Teknik Mekanik dalam
menerima dan mempraktikkan materi pengajaran yang disampaikan dengan
metode yang diterapkan di Jurusan Teknik Mekanik Polman Timah.

METODE PENDEKATAN
Pada penelitian ini kami mengadakan peninjauan terhadap berbagai media
pendukung di Jurusan Teknik Mekanik Polman Timah diantaranya adalah
fasilitas-fasilitas penunjang pembelajaran.
Tempat penelitian yang penulis lakukan adalah pada salah satu jurusan
teknik di Polman Timah, yaitu Jurusan Teknik Mekanik yang beralamatkan di
Kawasan Industri Air Kantung Sungailiat Bangka. Alasan pemilihan tempat
penelitian ini karena jurusan ini telah mampu memberikan gambaran keberhasilan
dalam dunia kerja khususnya dunia industri.
Waktu penelitian yang dilakukan oleh penulis selama empat minggu,
meliputi persiapan, pelaksanaan, pengolahan, dan penyusunan data serta
penyusunan laporan.
Adapun subjek penelitian yang dipilih oleh penulis adalah Jurusan Teknik
Mekanik Polman Timah. Sedangkan objek penelitiannya adalah faktor-faktor
penunjang keberhasilan pembelajaran di Jurusan Teknik Mekanik Polman Timah.
Teknik pengumpulan data besar sekali manfaatnya sehingga dapat
menentukan berhasil atau tidaknya suatu penelitian. Dalam penelitian ini, penulis
memakai dua teknik pengumpulan data, yaitu observasi dan wawancara.
Observasi dalam penelitian ini dilakukan secara langsung terhadap hal-hal atau
objek yang berkaitan, yaitu dengan berpartisipasi dalam kelas dan bengkel
mekanik pada saat pembelajaran berlangsung serta kegiatan di kampus sehari-
hari. Sedangkan wawancara dilakukan dengan berpedoman pada pertanyaan-


PKMI-4-14-4

pertanyaan yang dibuat berkaitan dengan pelaksanaan pembelajaran yang meliputi
kurikulum, metode, pendidikan belajar, sarana, tenaga pengajar, mahasiswa, dan
lingkungan kampus yang sangat mempengaruhi proses pembelajaran. Wawancara
dilakukan oleh penulis dengan dosen pengajar dan mahasiswa. Pertanyaan dalam
wawancara dikelompokkan kedalam tiap-tiap jenis, yaitu permasalahan yang
menyangkut bidang kurikulum, metode belajar mengajar, tenaga pengajar, dan
tingkat keberhasilan.
Data yang diperoleh sesuai dengan permasalahan dan teknik pengumpulan
datanya, penulis melakukan observasi sebagai salah satu instrumen penelitian.
Instrumen penelitian yang lainnya dibuat berdasarkan pada fokus permasalahan
tentang kurikulum, metode pembelajaran, serta tingkat keberhasilan yang dicapai
oleh mahasiswa Jurusan Teknik Mekanik Polman Timah dalam kaitannya untuk
menyiapkan tenaga siap kerja, sedangkan instrumen untuk wawancara
berpedoman pada pertanyaan-pertanyaan yang dibuat berkaitan dengan
pelaksanaan pembelajaran.
Alat bantu yang digunakan dalam penelitian ini berupa daftar-daftar butir
pertanyaan tertulis yang digunakan untuk wawancara guna menekan sekecil
mungkin kelemahan yang akan terjadi dari pertanyaan yang tidak tertulis.
Pertanyaan tersebut diberikan kepada dosen pengajar untuk menjaring data yang
akurat dan terpercaya. Sedangkan kepada mahasiswa digunakan untuk menjaring
data sesuai dengan keadaan yang dialami oleh mahasiswa itu sendiri. Alat bantu
yang lain yaitu berupa rekam suara atau tape recorder yang berfungsi untuk
merekam jawaban-jawaban pertanyaan sehingga data dan informasi lebih lengkap.
Selain itu, digunakan juga alat bantu lain, seperti buku catatan untuk mencatat
data observasi dan lain-lain.
Data yang telah disusun, direduksi/ dihilangkan bagian-bagian yang tidak
relevan untuk kemudian ditafsirkan dan disusun kesimpulan penelitiannya, dengan
cara melakukan kategorisasi data berdasarkan masalah dan tujuan penelitian yang
katagorisasi tersebut berdasarkan kurikulum, metode belajar mengajar dan tingkat
keberhasilan.
Data yang diperoleh dari hasil penelitian secara sistematis kemudian
ditarik kesimpulan dengan memberikan gambaran/ penjabaran terhadap data yang
telah dikumpul dalam bentuk uraian kalimat sehingga pada akhirnya dapat
mengantarkan pada kesimpulan.

Tabel 1: Jadwal Kegiatan Penelitian
Minggu
NO Jenis Kegiatan
Pertama Kedua Ketiga Keempat
1 Rencana Penelitian


2 Observasi


3 Pengumpulan Data

4 Analisis Data
5 Penyusunan Laporan

HASIL DAN PEMBAHASAN
Bagian ini diuraikan tentang hasil penelitian yang berupa deskripsi data
dan pembahasan masalah, pembahasan ini bertujuan untuk mengetahui faktor-


PKMI-4-14-5

faktor penunjang keberhasilan pembelajaran dalam menyiapkan tenaga siap kerja
di Jurusan Teknik Mekanik.
Temuan penelitian merupakan hasil pengumpulan data dengan berbagai
teknik yang meliputi:
a. Data Observasi
Data observasi diambil dari proses belajar mengajar dan kegiatan praktik
dan bengkel mekanik yang menyangkut masalah:
1. Interaksi belajar mengajar
2. Pengelolaan kelas
3. Metode pengajaran
4. kegiatan praktik di bengkel mekanik
5. kegiatan di laboratorium
b. Data Interview
Data interview didapat dari wawancara dengan dosen pengajar dan
sejumlah mahasiswa tentang kurikulum, sarana, tenaga pengajar, keberhasilan
yang dicapai mahasiswa dan lingkungan kampus yang mempengaruhi proses
pembelajaran. Dengan adanya wawancara tersebut penulis bisa mengetahui
faktor-faktor penunjang keberhasilan pembelajaran di Jurusan Teknik Mekanik
Polman Timah.

Tabel 2: Faktor-Faktor Penunjang Keberhasilan Pembelajaran dalam
Menyiapkan Tenaga Siap Kerja di Jurusan Teknik Mekanik Polman
Timah

NO DATA PEMBELAJARAN DI JURUSAN TEKNIK MEKANIK POLMAN TIMAH
DATA OBSERVASI
a. Metode Mengajar Demonstrasi, diskusi, tanya jawab, pemberian
tugas, dan praktik
b. Metode Belajar Latihan, tugas, dan pengerjaan benda kerja
c. Pedekatan Belajar Mengajar Individual dan kelompok
d. Pengelolaan kelas dan
Bengkel
Disiplin dan interaksi
e. Waktu evaluasi Penilaian harian, mingguan dan bulanan
f. Bentuk Evaluasi Tes dan Praktik, Program Praktik Industri, dan
Tugas Akhir
1.
g. Pemarkahan Nilai dan huruf
DATA INTERVIEW
Interview dengan Dosen Pengajar
2.
a.
1) tujuan kurikulum














a. Menyiapkan tenaga siap kerja pada berbagai
jenis perusahaan.
b Bisa berperan dan beradaptasi secara efektif
dalam lingkungan keilmuannya yang
berkembang fleksibel dan cepat yang sesuai
dengan pekembangan dan pemeliharaan,
perbaikan dan pembuatan mesin yang ada.
c. Memungkinkan studi lanjut di jalur diploma
maupun sarjana baik di dalam negeri mapun di
luar negeri.
d. Memiliki wawasan kewirausahaan, dimana
dengan keterampilan dan pengetahuan serta
sikap yang dibekalkan suatu saat diharapkan
mampu melakukan usaha sendiri.



PKMI-4-14-6

2) Bentuk kurikulum

3) Susunan (struktur)
kurikulum
70% praktik dan 30% teori

program 3 tahun terdiri dari 24 SKS pada
semester I, 24 SKS pada semester II, 24 SKS pada
semester III, 24 SKS
pada semester IV, 6 SKS pada semester V, dan 20
SKS pada semester VI

Interview Dengan Mahasiswa

b.
1) Fasilitas





2) Lingkungan
3) Keberhasilan yang
dicapai
a. Sarana (peralatan) terdiri dari media OHP
b. Prasarana (tempat) terdiri dari ruang kelas,
laboratorium komputer, perpustakaan, dan
bengkel mekanik
c. media berkarya terdiri dari laboratorium bahasa
inggris dan fasilitas olahraga
tenang dan nyaman
Dapat menjadi tenaga siap kerja dan bisa
menciptakan lapangan kerja sendiri

Makna yang ada dalam tabel dapat diuraikan sebagai berikut :
1. Data Observasi
a. Data observasi pada butir pertama Jurusan Teknik Mekanik menerapkan
metode mengajar yaitu diskusi, tanya jawab dan pemberian tugas. Metode
diskusi, pengajar memberikan suatu bahasan kepada mahasiswa untuk
didiskusikan dalam kelompok. Kegiatan ini dilakukan di kelas maupun di
perpustakaan. Sehingga dengan adanya metode diskusi ini suatu masalah
akan dapat dipecahkan secara bersama oleh mahasiswa. Metode tanya jawab
dilakukan pada saat proses belajar mengajar berlangsung setelah pengajar
memberikan materi, dengan adanya metode ini diharapkan mahasiswa dapat
berkomunikasi secara langsung dengan pengajar dan diharapkan pula timbul
interaksi antara mahasiswa dengan pengajar. Pemberian tugas dilakukan
setelah proses pemberian materi selesai sehingga mahasiswa dapat
mengaplikasikan apa yang sudah diajarkan oleh pengajar.
b. Metode belajar ditekankan pada pengerjaan latihan, tugas, dan pengerjaan
benda kerja. Latihan, tugas, dan pengerjaan benda kerja dilakukan secara
bertahap selama waktu yang telah ditentukan, sehingga hasil yang dicapai
dapat maksimal.
c. Pendekatan belajar mengajar mengutamakan penerapan pendekatan yang
bersifat individual dan kelompok. Penerapan ini diharapkan mahasiswa dapat
berinteraksi dengan kelompok maupun dengan pengajar.
d. Pengelolaan kelas menerapkan sistem interaksi dan disiplin agar terjadi
kelancaran pada kegiatan belajar mengajar. Dengan adanya penerapan sistem
ini diharapkan tidak timbul kesenjangan antar mahasiswa. Penerapan disiplin
diharapkan mahasiswa dapat terbiasa dengan pola yang teratur yang
merupakan modal utama dalam menghadapi dunia kerja.
e. Evaluasi proses belajar mengajar berupa tugas-tugas harian, dan bulanan.
Evaluasi ini diberikan kepada mahasiswa agar materi yang telah diberikan
dapat diserap dengan baik oleh mahasiswa.
f. Sedangkan pemarkahan nilai berupa huruf dan angka. Kode penilaian tugas
harian dengan huruf A+, A, A-, B+, B, B-, C+, C, C-, D, dan E yang


PKMI-4-14-7

dibulatkan menjadi A, B, C, D, dan E untuk merata-rata nilai harian dan
nilai-nilai lainnya.

2. Data Interview
Data interview dengan mahasiswa tentang fasilitas yang ada di Jurusan
Teknik Mekanik Polman Timah terdiri dari media OHP sebagai sarana
pembelajaran. Bengkel mekanik, laboratorium komputer, perpustakaan,
laboratorium bahasa inggris, toilet, dan sarana parkir kendaraan sebagai prasarana
pembelajaran.
Berbagai macam alat dan bahan yang digunakan oleh mahasiswa dalam
praktik seperti mesin-mesin CNC dan lain-lain. Dari pihak institusi juga
menyediakan laboratorium bahasa inggris, dan fasilitas olahraga sebagai sarana
berkarya. Sedangkan kondisi lingkungan yang strategis sangatlah mendukung
proses belajar dan mengajar antara dosen dan mahasiswa. Oleh karena itu, Jurusan
Teknik Mekanik Polman Timah menargetkan lulusannya menjadi tenaga siap
kerja yang berbasis industri.
Setelah mendapatkan temuan penelitian yang diambil dari data observasi,
wawancara, maka pembahasan temuan penelitian ini dapat diungkapkan sebagai
berikut:
1. Kurikulum Pembelajaran Teknik Mekanik
a. Bentuk kurikulum terdiri dari 70% praktik dan 30% teori yang
menggambarkan bahwa teori disini berfungsi sebagai pengantar praktik.
Kurikulum yang diterapkan menunjukkan hasil yang baik dalam
pemahaman mahasiswa karena telah ditunjang oleh fasilitas yang memadai
sebagai sarana pembelajaran bagi mahasiswa yang orientasinya telah
mengacu kepada kebutuhan industri dimasa kini.
b. Penerapan kurikulum bersifat dinamis yang disesuaikan dengan kondisi
maupun perkembangan industri tanpa mengubah tujuan pendidikan yang
diterapkan berupa media latihan benda kerja dan studi kasus yang
disesuaikan dengan permasalahan di industri.
c. Tujuan kurikulum pada dasarnya menekankan pengasahan keterampilan
untuk menciptakan tenaga siap kerja.
d. Dengan adanya tujuan kurikulum ini mahasiswa dapat menerapkan
keterampilan yang didapat selama kuliah sehingga dapat diterapkan di
dunia industri setelah mahasiswa menyelesaikan studinya di Politeknik
Manufaktur Timah.
e. Tujuan kurikulum di Jurusan Teknik Mekanik menekankan penguasaan
kemampuan dalam menangani pekerjaan di bidang permesinan dan
memberikan bekal keterampilan dengan berorientasi pada kebutuhan
industri, menekankan pada skill, serta pada penalaran yang sesuai dengan
kebutuhan tenaga kerja. Dengan demikian dilihat dari bentuk dan tujuan
kurikulum yang diterapkan di Jurusan Teknik Mekanik bahwa kurikulum
yang disusun berorientasi pada kebutuhan industri. Dari data bahwa
banyak pamflet-pamflet lowongan kerja dari perusahaan-perusahaan yang
diterima oleh pihak jurusan dan banyak pula mahasiswa lulusan Jurusan
Teknik Mekanik yang diterima di perusahaan terkenal dan terkemuka di
Indonesia.




PKMI-4-14-8

2. Metode Pembelajaran di Jurusan Teknik Mekanik
Metode pembelajaran yang digunakan meliputi penggunaan metode
mengajar dan belajar serta media pembelajaran yang efektif. Metode mengajar
meliputi demonstrasi, diskusi, tanya jawab, konsultasi, pemberian tugas dan
praktik, sedangkan metode belajar adalah metode teori dan praktik. Dalam
penggunaan media pembelajaran mahasiswa dapat memakai fasilitas yang
disediakan oleh instansi dan menyiapkan peralatan sendiri yang akan digunakan.
Pendekatan belajar mengajar yang dilakukan di Jurusan Teknik Mekanik lebih
menekankan pada pendekatan yang bersifat individual dan kelompok karena
pendekatan tersebut dirasa paling efektif dalam menekan adanya pembauran antar
mahasiswa, sehingga cara pendekatan dosen lebih optimal pada mahasiswa yang
kemampuannya kurang dan bisa disamakan dengan yang lain apabila perbedaan
kemampuan itu ada. Untuk mendapatkan lagi kemampuan setiap mahasiswa juga
digunakan pendekatan personal maupun kelompok. Dosen di Jurusan Teknik
Mekanik memiliki cara-cara khusus untuk mengetahui dan mengontrol
perkembangan kemampuan mahasiswa yaitu dengan mengadakan dialog dan
konsultasi tentang kesulitan belajar, memberikan kritik, saran, dan tips-tips yang
bermanfaat sehingga mahasiswa dapat mengatasi kesulitannya dan termotivasi
untuk menjadi lebih baik.
Media yang digunakan di Jurusan Teknik Mekanik sangat beragam sesuai
dengan jenis tugas dan materi pelajaran yang diajarkan, yaitu media OHP dengan
transparansi pada bidang teori. Pembelajaran menggunakan media OHP dirasakan
kurang oleh mahasiswa karena tidak menarik, tetapi mahasiswa menganjurkan
agar pembelajaran pada bidang teori menggunakan metode lain seperti
pemanfaatan teknologi multimedia power point karena apabila menggunakan
media OHP kurang komunikatif dan kurang menarik dengan pembelajaran
tersebut. Sedangkan pada praktik meliputi proses permesinan, yaitu :

Tabel 3: Jenis dan jumlah mesin

TABEL KETERANGAN MESIN
NO NAMA MESIN JUMLAH
1 BOR 8
2 FRAIS 20
3 SEKRAP 4
4 GERINDA SILINDER 2
5 GERINDA DATAR 2
6 BUBUT HORIZONTAL 21
7 LAS LISTRIK 15
8 LAS GAS 2
9 CNCT 2
10 CNCM 2

Pembelajaran praktik, mahasiswa merasa puas dengan fasilitas penunjang
praktik yang telah tersedia, karena mesin-mesin yang tersedia telah sesuai dengan
kebutuhan yang diterapkan di dunia industri.
Bentuk-bentuk evaluasi berupa penilaian langsung setelah mahasiswa
melakukan tugas dan tes pada bidang teori, sedangkan pada bidang praktik berupa
proses pengerjaan pada permesinan dan laporan praktik mingguan.


PKMI-4-14-9

Jurusan Teknik Mekanik memiliki pandangan bahwa kriteria penilaian
beserta fungsinya ditentukan oleh minimum jumlah kehadiran dan waktu
pengumpulan benda kerja dan laporan praktik. Penjelasan hal ini diberikan pada
awal perkuliahan agar memenuhi jumlah dan standar mutu yang ditetapkan.
Evaluasi mengacu pada proses kreativitas yang didalamnya bertujuan untuk
mengasah keterampilan mahasiswa.
Pelaksanaan Program Praktik Industri (PPI) dilaksanakan pada semester V
selama 6 bulan di perusahaan yang tersebar di luar Kepulauan Bangka Belitung
yang bergerak di bidang industri seperti Maspion, Osram, Golden Agin, Izumi,
Federal, Toyota, dan Astra. Hal ini dilakukan agar terjadi peningkatan
kemampuan dan mendekati kenyataan kemampuan beradaptasi bagi mahasiswa
dengan kondisi yang ada di dunia kerja karena mahasiswa telah dibekali dengan
pengetahuan dan keterampilan maka mereka mampu mengikuti perkembangan
dan keperluan industri. Apabila mahasiswa telah dibekali dengan keterampilan
yang cukup maka diharapkan selama PPI mahasiswa bisa menerapkan ilmu yang
diperolehnya selama kuliah untuk diterapkan ketika PPI berlangsung. Sehingga
diharapkan industri bisa merasa puas dengan kinerja para mahasiswa. Bahkan ,
sebagian besar mahasiswa direkrut di perusahaan tempat mahasiswa melakukan
PPI tersebut.
Sedangkan tugas akhir adalah suatu proses untuk menyelesaikan
pendidikan DIII di Politeknik Manufaktur Timah berupa pembuatan alat yang
dapat digunakan dalam kehidupan masyarakat, yang dibuat oleh mahasiswa secara
berkelompok yang ditentukan oleh mahasiswa itu sendiri.
Bagi mahasiswa yang menglami kesulitan pendanaan dalam pembuatan
tugas akhir bisa mengajukan suatu program yang dinamakan Student Grant.
Dengan adanya Student Grant ini diharapkan mahasiswa bisa mengembangkan
ide-ide yang lebih kretif dan bermanfaat bagi khalayak ramai.
3. Latar Belakang Tenaga Kerja
Jurusan Teknik Mekanik memanfaatkan dosen pengajar dari kalangan
akademisi dengan kualitas yang baik dan disesuaikan dengan latar belakang
bidang keahlian. Dengan adanya latar belakang tersebut diharapkan mahasiswa
mendapatkan ilmu serta pengalaman langsung dari dunia kerja. Kita harus
menyadari bahwa tenaga pengajar merupakan salah satu pilar penting dalam
mewujudkan calon tenaga kerja yang terampil, kreatif dan mandiri. Tenaga
pengajar di Jurusan Teknik Mekanik adalah lulusan dari
Politeknik Manufaktur Negeri Bandung dan diperkuat oleh tenaga profesional
yang sangat menguasai bidang ilmu yang diajarkan baik teoritis maupun praktik
dan yang lebih penting lagi mereka sangat demokratis terhadap mahasiswa
sehingga proses transfer ilmu dapat berlangsung secara maksimal serta tercapai
apa yang telah diharapkan.
4. Target Keberhasilan Yang Ingin Dicapai
Target kelulusan yang dicapai bahwa lulusan diharapkan bisa menjadi
generasi siap kerja. Dalam hal ini keahliannya dapat dipakai dimana saja pada
dunia kerja dan mampu mengerjakan pekerjaan di permesinan sesuai dengan
tuntutan industri dan dapat diterima baik di masyarakat maupun dunia industri.
Mahasiswa yang diterima di perusahaan biasanya memberikan informasi
keberadaannya kepada Polman Timah, jenis pekerjaannya, serta posisinya di
perusahaan tersebut. Hubungan ini tetap terjalin antara alumnus dengan pihak


PKMI-4-14-10

lembaga. Dengan adanya kerja sama dalam bidang ini, penyaluran lulusan dengan
suatu perusahaan akan terjalin dengan baik. Ada juga lulusan yang menciptakan
lapangan pekerjaan sendiri dengan kemampuan dan modal yang dimiliki.
Jurusan Teknik Mekanik di Politeknik Manufaktur Timah ternyata
menunjukkan hasil yang memiliki kelebihan pada tujuan lembaga, karena
berorientasi pada kebutuhan industri. Kelebihan dan kekurangan yang ada pada
pembelajaran yang dilaksanakan di Jurusan Teknik Mekanik Polman Timah
ditunjukkan dengan adanya pelaksanaan kurikulum strategi yang luwes sehingga
dapat menghasilkan lulusan yang dapat menghasilkan lulusan yang mampu
bekerja secara langsung di dunia industri.

KESIMPULAN
Dari hasil pembahasan terhadap faktor-faktor penunjang keberhasilan
pembelajaran dalam menyiapkan tenaga siap kerja di Jurusan Teknik Mekanik
Polman Timah dapat disimpulkan sebagai berikut :
Pertama, penerapan kurikulum. Pelaksanaan kurikulum yang diterapkan
bersifat dinamis pada kondisi kebutuhan industri, sehingga kurikulum yang
digunakan dapat dirubah atau direvisi oleh lembaga sesuai dengan perkembangan
zaman.
Kedua, penggunaan metode belajar mengajar. Strategi belajar mengajar
meliputi penggunaan seluruh metode belajar mengajar. Interaksi belajar mengajar
dalam pengelolaan kelas bersifat tidak menekan dan saling berinteraksi untuk
menciptakan suasana belajar mengajar yang menyenangkan. Dalam proses belajar
mengajar, setiap dosen pengajar dapat menggunakan media pembelajaran yang
diperlukan, baik dari segi peralatan, tempat, bahan, dan fasilitas yang tersedia.
Sesuai dengan jadwal pemakaian yang diatur dengan saksama.
Ketiga, prosedur evaluasi untuk menentukan tingkat keberhasilan yang
dicapai. Prosedur evaluasi yang digunakan adalah metode penilaian secara
terintegrasi dengan menerapkan evaluasi secara harian, mingguan dan bulanan.
Bentuk penilaian berupa huruf dan angka. Evaluasi mengacu pada proses kreatif
dari hasil karya mahasiswa yang berupa barang-barang untuk produksi. Dari hasil
karya tersebut dapat dilihat mana barang yang baik dan mana yang kurang baik.
Dengan evaluasi tersebut ketercapaian keberhasilan akan terlihat. Keberhasilan
juga dikarenakan tenaga pengajar yang ahli dan kompeten dan memberikan materi
pengajaran permesinan juga tidak lepas dari faktor fasilitas yang mendukung
proses belajar mengajar sehingga hasil karya yang dibuat oleh mahasiswa dapat
terbuat secara maksimal dan dapat memenuhi permintaan industri melalui
perusahaan-perusahaan. Para lulusan adalah generasi yang siap kerja yang
keahliannya dapat diterapkan di dunia industri.

DAFTAR PUSTAKA
Azhar,LM.(1993). Proses Belajar Mengajar Pola CBSA. Surabaya : Usaha
Nasional.
Depdikbud. (1990). Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi II. Jakarta : Balai
Pustaka.
Hamalik,O. (1994). Strategi Belajar Mengajar. Bandung : Mandar Maju.
Shadily. (1992). Kamus Inggris-Indonesia. Jakarta : Gramedia.


PKMI-4-14-11

Wojowasito, S. (1980). Kamus Lengkap Inggris-Indonesia, Indonesia-
Inggris.Bandung : Angkasa Offset.
-----. (1989). Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta : Bumi Aksara.
-----. (2002). Rambu-rambu Penulisan Karya Ilmiah. Yogyakarta.

PKMI-4-15-1
HAMBATAN KOMUNIKASI DALAM PERUSAHAAN JEPANG
DI INDONESIA

Siti NurA., Clara Swandari J., Ilham A.
Jurusan Sastra Jepang, Universitas Bina Nusantara, Jakarta

ABSTRAK
Indonesia merupakan salah satu Negara yang banyak diminati oleh investor asing,
salah satunya oleh Jepang. Banyak perusahaan Jepang di Indonesia yang
menanamkan modal dalam berbagai bidang. Perusahaan perusahaan ini banyak
memberikan lapangan pekerjaan bagi tenaga kerja lokal, oleh karena itu
diperlukan komunikasi yang baik agar tercapai kinerja perusahaan yang baik.
Dengan adanya perbedaan budaya, bahasa dan pola pikir menyebabkan terjadinya
kemungkinan hambatan dalam komunikasi perusahaan. Dalam penelitian ini akan
dibahas tentang hambatan yang terjadi, pengaruhnya terhadap perusahaan dan
cara mengatasi hambatan tersebut.

Kata kunci : Hambatan komunikasi, Budaya, Bahasa, Perusahaan Jepang.

PENDAHULUAN
Kami memilih perusahaan Jepang sebagai bahan penelitian karena Jepang
memiliki peranan penting dalam perkembangan ekonomi Indonesia. Jepang
memegang 22% ekspor dan 13 % pasar impor Indonesia
(http://www.tempointeraktif.com). Investasi pihak Jepang sendiri pada tahun 2003
mencapai 11 miliar dolar Amerika, dengan lebih dari 900 perusahaan dan 282.000
karyawan lokal ( http://suara merdeka.com). Terutama setelah adanya SIAP
(Strategic Investment Action Plan ) dari pemerintah RI dan pemerintah Jepang,
kerjasama ini diperkirakan akan meningkatkan investasi Jepang di Indonesia
selama 5 tahun kedepan sebanyak 10 milyar Dolar Amerika dan pertumbuhan
jumlah perusahaan sebanyak 2 kali lipat.
Dengan banyaknya perusahaan tersebut, bisa dipastikan jumlah lapangan
pekerjaan bagi pekerja lokal akan bertambah. Untuk menjembatani perbedaan
budaya, bahasa dan pola pikir diperlukan komunikasi yang baik untuk
meningkatkan kinerja dalam perusahaan asing tersebut. Tetapi
perbedaan-perbedaan tersebut dapat memicu timbulnya hambatan dalam
komunikasi. Dalam penelitian ini kami mencoba untuk menganalisis tentang:
1) Apakah yang menjadi hambatan komunikasi di perusahaan Jepang?
2) Apa pengaruh hambatan komunikasi bagi Perusahaan Jepang?
3) Bagaimana mengatasi hambatan komunikasi dalam perusahaan
Jepang tersebut?

Karakteristik Komunikasi
Komunikasi merupakan proses penyampaian dan penerimaan pesan.
Komunikasi efektif bisa tercapai pada saat adanya pemahaman yang sama dari dua
belah pihak. Komunikasi ini dibagi menjadi komunikasi secara verbal dan non
verbal. Komunikasi verbal berarti komunikasi lisan dan tulisan, komunikasi non
verbal lebih mengarah kepada bahasa tubuh yang terlihat ketika pesan tersebut
diterima.

PKMI-4-15-2
Karakteristik Perusahaan Jepang
Menurut Woronoff (The No Non-Sense Guide to Doing Bussiness in Japan,
1991, h 2-10), perusahaan Jepang memiliki disiplin tinggi dan karakter yang kuat.
Pengaturan waktu yang ketat dan loyalitas di antara para karyawannya amat sangat
dihargai oleh perusahaan Jepang. Tata Krama menjadi salah satu hal terpenting
yang dilihat oleh perusahaan tersebut ketika merekrut karyawan (JAC Indonesia,
2006). Kemampuan seseorang bekerja sama dalam tim juga menjadi pertimbangan
penting bagi perusahaan tersebut, karena dalam budaya perusahaan Jepang posisi
kunci perusahaan umumnya masih didominasi oleh orang Jepang.

Karakteristik karyawan Jepang
Karyawan jepang memiliki etos kerja yang tinggi. Hal itu dikarenakan latar
belakang budaya mereka yang menurut mereka untuk berbuat sesuatu yang terbaik.
Disiplin diri dan ketertiban kerja sangat kental terlihat dalam keseharian kerja
mereka. Konsep soto dan uchi juga tercermin pada karyawan Jepang (Furuta
1994), dimana soto adalah pihak luar (pihak luar perusahaan) dan uchi adalah pihak
dalam (pihak dalam perusahaan itu sendiri).

Karakteristik karyawan Indonesia
Pada dasarnya karyawan Indonesia memiliki latar budaya beragam yang
terimplementasi dalam etos kerja mereka sehari-hari. Biasanya mereka cenderung
menghindari konfrontasi langsung dan tidak terlalu terikat dengan waktu. Mereka
juga biasanya lebih menyukai bimbingan langsung dari atasan (Brandt 1997).

METODE PENELITIAN
Kami melakukan penelitian dengan pendekatan secara kuantitatif dimana
kami menyebarkan angket lalu menghitung persentase dari jawaban responden.
Kami menyebarkan angket secara acak sebanyak 150 lembar ke lima perusahaan
Jepang di daerah Tangerang, Solo dan Jababeka. Responden merupakan karyawan
(93 orang) dan manajer (57 orang) dalam perusahaan-perusahaan tersebut.
Dalam angket yang kami sebarkan ini kami menanyakan dan menganalisis
tentang apakah pernah terjadi hambatan komunikasi, factor yang menyebabkan hal
tersebut, dan solusi untuk mengatasinya. Dari 150 angket yang disebarkan 150
orang menyatakan adanya hambatan komunikasi di perusahaan. Dari 150 orang
tersebut 85 orang menyatakan hambatan komunikasi terjadi karena faktor bahasa,
38 orang menyatakan karena factor pola pikir, dan 27 orang karena faktor
lainnya seperti budaya dan pendidikan. Angket ini kami sebarkan kepada karyawan
di perusahaan Jepang baik karyawan Indonesia maupun karyawan asing.
Alat ukur yang kami gunakan untuk survey adalah melalui angket yang
kami sebar dan mengadakan wawancara secara langsung. Dari proses tersebut kami
menghitung persentasenya.
Teknik analisis deskriptif kami gunakan untuk memaparkan masalah
komunikasi yang ada melalui latar belakang perusahaan Jepang di Indonesia,
karakteristik-karakteristik yang bersangkutan dan factor-faktor pemicunya lalu
manganalisa untuk mencari jalan keluar dan penyelesaiannya.



PKMI-4-15-3
HASIL PENELITIAN
1. Tabel faktor penyebab terjadinya hambatan komunikasi
no Faktor penyebab Persentase jawaban
responden
1 Perbedaan bahasa 60%
2 Perbedaan pola pikir 23%
3 Perbedaan budaya &
pendidikan
17%


2. Tabel waktu terjadinya hambatan komunikasi
no Waktu terjadi Persentase jawaban
dari responden
1 Instruksi kerja 85%
2 Penerjemahan dan
penerapan budaya kerja
15%


3. Tabel solusi mengatasi hambatan komunikasi
no Solusi untuk mengatasi
hambatan komunikasi
Persentase jawaban
dari responden
1 Secara langsung 77%
2 Melalui Fasilitator 23%


PEMBAHASAN
Dalam Perusahaan asing banyak sekali perbedaan di antara dua belah pihak
(karyawan dari negara asal perusahaan dan karyawan lokal) yang dapat
menghambat komunikasi. Ini juga terjadi pada internal perusahaan Jepang di
Indonesia. Menurut angket, hambatan komunikasi hampir selalu terjadi ketika
atasan memberi instruksi kerja kepada bawahan.
Tingkat kepahaman dan penggunaan bahasa terasa penting dalam
kelancaran komunikasi ini. Secara struktural bahasa Jepang dan bahasa Indonesia
memiliki perbedaan secara signifikan. Contohnya dalam penerapan kalimat bentuk
lampau, bentuk sekarang dan bentuk yang akan datang. Dalam bahasa Indonesia
perbedaan antara bentuk yang akan dating, bentuk lampau dan bentuk sekarang
tidak begitu terlihat. Namun dalam bahasa Jepang terdapat bentuk lampau
(~mashita), berarti pekerjaan yang telah lalu dan selesai dikerjakan, bentuk
sekarang (~te imasu), berarti pekerjaan yang sedang dikerjakan dan bentuk yang
akan dating (~masu), berarti pekerjaan yang akan dikerjakan (Minna no Nihongo I,
2000).
Bila penggunaan tidak digunakan secara tepat akan terjadi kesalahan
interpretasi. Misalnya di suatu pabrik ketika atasan bertanya kepada divisi produksi
Apakah sudah dikerjakan? (mou yarimashita?), bawahannya ingin menjawab
Sudah (dengan maksud sedang dikerjakan tetapi ia salah memilih bentuk kata

PKMI-4-15-4
sehingga ia menjawab Hai yatte imasu (sedang dalam tahap pengerjaan). Di sini
atasan akan menganggapbawahan sudah menyelesaikan pekerjaan, dimana
kenyataannya pekerjaan tersebut belum selesai. Sehingga ketika waktu distribusi
tiba ternyata barang tersebut belum siap dan akhirnya mempengaruhi proses
distribusi pada konsumen. Hal ini menggambarkan bahwa kekurang pahaman
terhadap bahasa pengantar dapat memberi efek yang fatal.
Faktor intonasi dan kecepatan pengucapan bahasa juga menjadi kendala
tersendiri. Intonasi bahasa Jepang yang keras dan mengejutkan (terutama bila
diucapkan oleh pria) terkadang membuat lawan bicara menjadi segan dan gugup
sehingga seringkali lawan bicara merasa terlalu takut dan tidak sanggup
menangkap kata-kata selanjutnya. Pada akhirnya komunikasi tidak berjalan lancar.
Bahasa Jepang juga mempunyai satu tingkatan bahasa yang disebut Keigo.
Sebagai pembedaan cara berbicara terhadap atasan dan bawahan, senior dan junior.
Penggunaan Keigo sangat penting karena pada dasarnya orang Jepang
mengutamakan tata karma di segala bidang. Hambatan terjadi karena tidak semua
karyawan Indonesia memahami tingkatan bahasa seperti Keigo karena bahasa
Indonesia tidak memiliki tingkatan bahasa. Hasilnya sulit sekali bagi para
karyawan Indonesia untuk mengerti Keigo.
Dalam keadaan dimana dua belah pihak tidak menguasai bahasa asal
masing-masing dibutuhkan bahasa Inggris sebagai pengikat. Tetapi pada umumnya
orang Jepang kurang menguasai pelafalan dan penggunaan bahasa Inggris, tetapi
hamper tidak bisa berbicara dalam bahasa Indonesia dengan baik. Berlawanan
dengan orang Indonesia yang sejak dini diajarkan bahasa Inggris sebagai bahasa
kedua, namun tidak begitu menguasai bahasa Jepang. Disinilah terjadi benturan
dalam komunikasi antara pihak karyawan Jepang dan Indonesia.
Pola pikir yang berbeda juga memberikan interpretasi berbeda atas
komunikasi yang dilakukan. sebagian besar karyawan Indonesia menghindari
adanya konfrontasi langsung. Mereka cenderung lari dari masalah yang ada tanpa
mencari cara untuk penyelesaian atas masalah tersebut. Sedangkan orang Jepang
akan langsung mencari jaln keluar dan penyelesaian atas masalah tersebut. Karena
Indonesia menganut paham Asal Bapak Senang, para karyawan cenderung
menyembunyikan masalah yang timbul, sehingga semakin lama masalahnya
semakin berlarut-larut. Hal yang sama juga terjadi dalam efisiensi waktu. Bagi
karyawan Indonesia waktu bukanlah harga mati dan menunda-nunda sesuatu
bukanlah hal yang perlu dipermasalahkan. Prinsip ini berbeda dengan orang Jepang
yang mempunyai prinsip efisiensi waktu sangatlah berharga. Tidak ada alasan
untuk membuang-buang waktu atau menunda-nunda pekerjaan.
Para orang Jepang cenderung menggambarkan ketidaksukaan dan
ketidaksetujuan mereka dengan cara non-verbal seperti raut muka, ataupun nada
bicara. Mereka tidak langsung mengatakan sesuatu itu jelek dan tidak benar, tapi
mengatakan chotto.. yang merupakan ekspresi keragu-raguan. Menurut
wawancara terhadap salah satu manajer PT SEI, para atasan mayoritas adalah orang
Jepang, mereka menunjukan raut muka tidak puas ketika melihat beberapa hasil
kerja yang kurang baik, namun mereka juga tidak memberitahu cara
penyelesaiannya. Mereka mengharapkan para karyawan bisa mengenali dan
menyadari kesalahan mereka sendiri lalu memperbaikinya. Prinsip tersebut
bertabrakan dengan pandangan orang Indonesia pada umumnya yang melihat
perusahaan sebagai sebuah keluarga. Brandt (Bussiness in Indonesia, 1997:h. 89-91)

PKMI-4-15-5
mengatakan bahwa bagi karyawan Indonesia, atasan adalah Bapak yang
membimbing bawahannya dalam segala kesempatan
Faktor lain yang juga berpengaruh adalah faktor budaya. Konsep soto dan
uchi memerankan peraan penting dalam komunikasi perusahaan. Sebenarnya
konsep ini membedakan antara pihak luar perusahaan dan pihak intern perusahaan.
Tetapi, dengan adanya dua budaya yang berbeda dalam satu perusahaan, konsep ini
akhirnya juga tercipta di dalam perusahaan tersebut, antara para karyawan Jepang
dan non-Jepang. Meskipun ada komunikasi antara dua pihak ini, komunikasi
tersebut tidak bisa berjalan dengan baik karena adanya paradigma bahwa pihak satu
adalah pihak luar atau soto (non-Jepang) dan pihak lain adalah pihak dalam atau
uchi (sesama Jepang). Hal ini mempengaruhi persatuan di dalam perusahaan dan
kinerja tim.
Hal terakhir yang juga ikut memberikan dampak adalah latar belakang
pendidikan baik dari karyawan Jepang maupun karyawan Indonesia. Mereka yang
berpendidikan tinggi biasanya memiliki tutur bahasa dan pola kalimat yang baik
karena ketika mereka mengenyam pendidikan bereka diajarkan bagaimana
seharusnya bersikap dan bertutur kata dengan baik. Berbeda dengan karyawan yang
berpendidikan rndah ataupun tidak mengenyam pendidikan biasanya berbicara dan
bersikap sesuai lingkungannya, tanpa mengetahui tatacara berkomunikasi formal
secara baik dan benar. Perbedaan tingkat pendidikan ini juga mempengaruhi cara
berpikir dan interpretasi seseorang tehadap suatu masalah dan pemahaman orang
tersebut akan komunikasi yang terjadi.

Solusi
Dalam masalah perbedaan bahasa, perusahaan sebaiknya memberikan pelatihan
baik Bahasa Indonesia maupun bahasa Jepang kepada karyawan-karyawannya
untuk menjembatani perbedaan bahasa, sehingga kesalah pahaman bisa dihindari.
Penggunaan penerjemah juga bisa menjadi alternatif. Hanya saja hasilnya tidak
begitu efektif bila dibandingkan dengan perusahaan yang memiliki karyawan
dengan kemampuan berbahasa, baik bahasa Jepang maupun bahasa Indonesia, akan
lebih baik lagi jika ternyata kemampuan ini dibarengi dengan kemampuan bahasa
Inggris sebagai bahasa internasional.
Untuk menghadapi masalah seperti pola pikir, budaya, dan latar belakang
pendidikan, sebaiknya antara dua belah pihak (Jepang & Indonesia) harus
ditumbuhkan rasa saling pengertian atas perbedaan masing-masing agar memacu
kinerja tim yang lebih baik lagi, sehingga akan memberi efek positif di dalam
lingkungan perusahaan. Kedua belah pihak harus lebih terbuka agar masalah yang
timbul tidak terjadi berlarut-larut. Bila terjadi masalah serius, sebaiknya dilakukan
diskusi antara pihak-pihak yang berkepentingan. Penyelesaian melalui sistem
manajerial, untuk menuntaskan masalah-masalah yang timbul karena hambatan
komunikasi tersebut juga dilihat sebagai salah satu jalan keluar.

KESIMPULAN
Melalui analisis kami di atas dapat disimpulkan bahwa yang menjadi hambatan
komunikasi di perusahaan Jepang adalah perbedaan bahasa, pola pikir, budaya dan
pendidikan. Halhal tersebut dapat menimbulkan kesulitan berkomunikasi antar
karyawan dan dapat bepengaruh buruk bagi kinerja perusahaan. Oleh sebab itu,
pelatihan bahasa di perusahaan-perusahaan Jepang dapat menjadi salah satu solusi

PKMI-4-15-6
untuk menyelesaikan permasalahan ini. Penggunaan penerjemah juga merupakan
jalan keluar yang baik agar komunikasi dapat berjalan lancar dan tercapainya
kinerja yang baik di perusahaan.

DAFTAR PUSTAKA
Brandt, Thomas (1997). Bussiness in Indonesia, Berlin, Goasia Verlag.
Courtland, L dan Thill, .J. (1997). Bussiness Communication Today, New Jersey.
Prentice-Hall.
Furuta, Gyo (1994). Komunikasi Antar Budaya, Jakarta, CV Antarkarya.
Woronoff, Jon (1991). The No Nonsense Guide to Doing Bussiness in Japan,
Tokyo. Yohan Publication Inc.
Ogawa, Iwao (2000). Minna no Nihongo I, Japan, 3A Production.
Asmara, Mariko (2005). Keunikan Pasar Jepang, PT JAC Indonesia. URL:
http//www.Jacindonesia.com/modules.php?op=modload&%20name=News&fi1e
=article&sid=62
Sutarto (2005). Investasi di Indonesia Meningkat Pesat, Tempo Interaktif. URL:
http:/www.tempointeraktif.com/hg/ekbis/2005/07/13/brk,20050713-63839,id. html

PKMI-4-16-1
MOTIVASI PENGEMBANGAN USAHA
PENGOLAHAN RUMPUT LAUT

Alfons Rosario F, Sugiarto, Meike Yostapila

Fakultas Psikologi, Universitas Katolik Soegijapranata, Semarang

ABSTRAK
Penelitian ini dilakukan untuk memberikan motivasi dalam pengembangan usaha
budidaya rumput laut yang dilakukan oleh kelompok Rejo Santoso. Dalam
perkembangannya, kelompok Rejo Santosa mengalami kendala penumpukan
rumput laut kering karena adanya keterbatasan konsumen rumput laut jenis
Gracilaria sp yang biasanya dijual ke pabrik. Oleh sebab itu, rumput laut harus
diolah dalam bentuk produk agar tidak rusak. Tujuan dari penelitian ini untuk
memberikan motivasi kelompok Rejo Santoso menghasilkan produk baru yang
berbasis rumput laut, yang dalam hal ini berbentuk dodol rumput laut. Metoda
Motivasi yang dilakukan dibagi menjadi dua, metode langsung (Direct
Motivation) dengan cara melakukan berbagai uji coba pembuatan dodol rumput
laut memberikan motivasi informasi tentang dodol rumput laut berupa buku dan
artikel dan tidak langsung (Indirect Motivation) serta dan. Berbagai formulasi
yang diujikan menggunakan bahan bubur rumput laut, tepung ketan, gula merah,
gula pasir, santan, margarin dengan komposisi 6:1, 3:4 dan 2:5. Dari berbagai
formulasi yang diujikan dengan uji organoleptik, komposisi 2:5 lebih disukai
daripada komposisi yang lain karena memiliki warna yang tidak terlalu pekat,
dan tekstur yang kenyal dan tidak lembek.

Kata kunci: rumput laut, dodol, komposisi, Gracilaria sp.

PENDAHULUAN
Usaha Kecil dan Menengah (UKM) atau Small Medium Enterprises
(SME's) merupakan istilah yang sudah popular. Istilah tersebut banyak dipakai
oleh kalangan yang menekuni dan mengkaji hal-hal yang terkait dengan
pengembangan usaha kecil dan menengah. Keberadaan usaha kecil dan menengah
secara perorangan, patungan, atau koperasi terkadang kurang diperhitungkan
walaupun sebagian besar kebutuhan kita sehari-hari dipasok mereka. Mungkin
karena kondisi nyata usaha yang memiliki keterbatasan modal dan kurang serius
diperhatikan karena tampilannya kumuh dan terkesan seadanya. Di dalam
kekurangan dan keterbatasan, ternyata UKM mampu bertahan dan menyesuaikan
diri dengan perubahan drastis yang sering terjadi. Katakanlah dalam kondisi kritis,
satu-satunya kelompok usaha yang mampu bertarung dan hadir setiap saat di
mana pun, kapan pun, dan dalam situasi apa pun adalah kelompok usaha kecil dan
menengah. UKM siap mandiri, siap mengibarkan dan bernaung di bawah bendera
merah putih sampai kapan pun walau pun kekecilan mereka semakin menjadi
akibat makin membaranya tekanan globalisasi ekonomi dunia. Hambatan-
hambatan yang biasanya dialami UKM adalah (1) Produksi dan Pengolahan; (2)
Pemasaran; (3) Sumber Daya Manusia; (4) Modal; (5) Teknologi; dan (6)
Informasi.
Usaha pembudidayaan rumput laut berdiri pada bulan September tahun
2003. Pertama kali usaha pembudidayaan rumput laut mengalami kegagalan
karena kurangnya pengalaman. Pada bulan Januari Kelompok Rejo Santoso

PKMI-4-16-2
(kumpulan dari berbagai nelayan di daerah Tawang, Kendal) mendapatkan
bantuan dari Bapak Abe berupa benih rumput laut Gracilaria sp. sebanyak 3 ton
untuk dibudidayakan. Setelah dua kali pembudidayaan pada akhirnya pada bulan
September 2004 usaha budidaya ini dapat menghasilkan rumput laut.
Lokasi dari tambak yang digunakan dalam pembudidayaan rumput laut
terletak di Desa Gempol Sewu RT OS RW 04, Kecamatan Rowosari Kendal.
Tambak yang digunakan bukan milik pribadi. Kelompok Rejo Santoso menyewa
tambak yang kemudian digunakan untuk membudidayakan rumput laut.
Namun dalam perkembangan budidaya rumput laut ini, kelompok Rejo
Santoso mengalami kendala dalam hal pemasaran sehingga terjadi penumpukan
rumput laut kering. Hal ini disebabkan karena keterbatasan konsumen rumput laut
jenis Gracilaria sp yang biasanya dijual ke pabrik dengan harga yang sangat
murah sehingga tidak sesuai dengan biaya pembudidayaan yang telah dikeluarkan.
Oleh karena itu masalah yang ingin dibahas adalah mengenai pengolahan
bahan pokok rumput laut untuk dijadikan suatu produk makanan yang benar-benar
baru bagi kelompok Rejo Santoso karena belum mengetahui cara pengolahan
rumput laut.
Adapun tujuan dengan diadakan pendampingan yang berlokasi di Desa
Gempol Sewu adalah untuk memberikan motivasi kepada kelompok Rejo Santoso
agar termotivasi mengolah rumput laut menjadi produk dodol rumput laut.
Diharapkan kelompok Rejo Santoso dapat menghasilkan produk baru berbasis
rumput laut sehingga perekonomian kelompok Rejo Santoso dapat meningkat.
Kata Motivasi berasal dari bahasa Latin "Movere", yang dalam bahasa
Inggris berarti to move atau bergerak. Motivasi merupakan suatu proses yang ikut
mengatur aktivitas manusia. Motivasi dapat juga mendorong seseorang untuk
bertindak atau untuk tidak bertindak dalam situasi yang bermacam-macam.
Motivasi adalah suatu konstruk teoritis mengenal terjadinya perilaku meliputi
aspek-aspek pengaturan (regulasi), pengarahan (direksi) serta tujuan (insentif
global) dari perilaku.
Menurut Suryabrata (1995) motivasi adalah keadaan dalam pribadi
seseorang yang mendorong individu untuk melakukan aktivitas-aktivitas tertentu
guna mencapai tujuan. Sedangkan menurut Wexley dan Yukl dalam As'ad (1995)
motivasi yang melatar belakangi individu berbuat sesuatu untuk mencapai
pemenuhan dan pemuasan kebutuhan. Motivasi menurut Handoko (1992) adalah
suatu tenaga atau faktor yang terdapat di dalam diri manusia yang menimbulkan,
mengarahkan dan mengorganisasikan tingkah lakunya. Rusyan (1992)
mendefinisikan motivasi sebagai penggerak tingkah laku dan perubahan energi
dalam diri seseorang dengan didasari adanya suatu kebutuhan yang ditandai
dengan timbulnya perasaan dan reaksi untuk mencapai tujuan. Dapat disimpulkan
bahwa motivasi adalah penggerak tingkah laku pada diri seseorang yang berasal
dari dalam untuk melakukan suatu aktivitas atau tindakan guna mencapai tujuan .
Jika seseorang menjalankan sebuah usaha maka haruslah mempunyai
motivasi untuk selalu menjalankan dan mengembangkan usahanya. Motivasi
bertindak sebagai penggerak yang berasal dari dalam diri individu sehingga
individu dapat melakukan tindakan dan mengambil keputusan yang bertujuan
untuk memajukan usahanya. Menurut Bararuallo (2001) Walau motivasi
menggerakkan perilaku tetapi hubungan antara kedua konstruk ini cukup
kompleks. Berikut ini
.
beberapa ciri motivasi dalam perilaku yaitu: Penggerakan

PKMI-4-16-3
perilaku menggejala dalam bentuk tanggapan-tanggapan yang bervariasi. Motivasi
tidak hanya merangsang suatu perilaku tertentu saja, tetapi merangsang berbagai
kecenderungan berperilaku yang memungkinkan tanggapan yang berbeda-beda
dan Kekuatan dan efisiensi perilaku mempunyai hubungan yang bervariasi dengan
kekuatan determinan.

Rangsang yang lemah mungkin menimbulkan reaksi hebat atau sebaliknya.
a. Motivasi mengarahkan perilaku pada tujuan tertentu.
b. Penguatan positif (positive reinforcement) menyebabkan suatu perilaku
tertentu cenderung untuk diulangi kembali.
c. Kekuatan perilaku akan melemah bila akibat dari perbuatan itu bersifat tidak
enak.

Menurut Dirgagunarsa (1996) aspek dari motivasi adalah:
a. Mempertahankan keseimbangan atau keadaan homeostatis dalam jiwa
manusia.
b. Seseorang akan berusaha untuk mencapai keseimbangan apabila dirinya
berada dalam ketidakseimbangan.
c. Pencapaian suatu tujuan.
d. Tindak lanjut akan terarah pada suatu tujuan yang ingin dicapai.
e. Pemenuhan kebutuhan

Faktor-faktor yang Mempengaruhi UKM dalam Melanjutkan Usahanya
a. Faktor Instrinsik
Adalah faktor yang berasal dari dalam diri seseorang. Termasuk di dalamnya
adalah motivasi. Motivasilah yang menggerakkan segala tingkah laku atau
tindakan-tindakan yang muncul pada individu. Menjalankan usaha tidaklah
mudah jika seseorang tidak mempunyai motivasi. Jika seseorang tidak
mempunyai motivasi dalam menjalankan usaha meskipun sudah didukung
oleh faktor-faktor dari luar individu, maka usaha itu tidak dapat berjalan lama
danberkembang. Walaupun dapat berjalan lama, hasil yang diperoleh tidak
maksimal. Motivasi juga dibutuhkan untuk mengarahkan individu dalam
mencapai suatu tujuan. Sehingga target-target atau tujuan yang sudah
direncanakan sejak awal berdirinya suatu usaha dapat tercapai atau terpenuhi.

b. Faktor Ekstrinsik
Adalah faktor yang berasal dari luar individu. Faktor-faktor yang termasuk di
dalamnya adalah:
1) Manajemen Operasional
Segala kegiatan di dalam suatu usaha perlu perencanaan dan pengendalian.
Merencanakan semua kegiatan yang akan dilakukan di dalam suatu usaha
dapat mengurangi kesalahan, sehingga dapat mengurangi kerepotan dan
membuat segala sesuatu lebih lancar bagi usaha dan orang yang
menjalankan usaha itu. Pengendalian operasi dapat dilakukan untuk
mencapai efisiensi karyawan terhadap jam kerja produktifnya. Keuntungan
lain, dapat diketahui di mana letak kesalahan metode yang telah
direncanakan dengan membandingkan perencanaan dengan kenyataan.
Lebih jauh lagi, bisa mengetahui hambatan sebelum kesalahan terjadi.

PKMI-4-16-4
2) Pemasaran dan Penjualan
Tanpa pemasaran yang baik dan penjualan yang efektif, sebuah usaha
tidak akan berjalan dan berkembang. Pemasaran yang baik bertujuan
mempermudah penjualan yang menguntungkan, pemasaran yang baik
dapat membuat keuntungan dari produk sederhana, sementara pemasaran
yang buruk menimbulkan kerugian.
3) Manajemen Keuangan
Pada usaha kecil, pembiayaan dihitung dengan cara sederhana. Bagian ini
sangat penting karena ada kaitannya dengan masalah kelangsungan hidup
usaha. Kegiatan keuangan harus tercatat jelas agar tidak terjadi
penyimpangan/kesalahan di dalam penghitungan yang dapat menyebabkan
kerugian.

Kedua faktor diatas saling mendukung. Jika salah satu tidak ada maka
hasil yang diperoleh di dalam usaha tidak maksimal. Dan kemungkinan usaha
tidak dapat berjalan lama dan berkembang ungkap Morris (1993)

METODE PENDEKATAN
Metode yang digunakan untuk mengetahui permasalahan yang terjadi di
masyarakat sasaran dengan mengumpulkan data-data deskriptif berupa penjelasan
secara lisan dari kelompok Rejo Santoso, kemudian memberikan penyuluhan
pemanfaatan bahan pokok rumput laut. Dalam penyuluhan tersebut disampaikan
bahwa rumput laut dapat diolah menjadi dodol sebagai alternatif pemasaran
rumput laut. Langkah kedua dilakukan kelompok dengan mengadakan beberapa
uji coba pembuatan dodol dengan bahan dasar rumput laut, tepung ketan, gula
merah, gula pasir, santan dan margarin. Sebagai upaya memberikan penguatan
untuk merangsang perilaku yang berlujuan untuk memajukan usaha, dalam hal ini
pembuatan produk dodol oleh kelompok Rejo Santoso.
Sebagai penguatan positif (positive reinforcement) yang menyebabkan
perilaku pembuatan dodol rumput laut cenderung untuk diulangi kembali,
kelompok membantu memasarkan produk tersebut dan memberikan masukan
dalam perbaikan kualitas berupa masukan komposisi bahan dalam uji coba
berikutnya. Komposisi persentase perbandingan bubur rumput laut dan tepung
ketan yang digunakan diperlihatkan dalam table 1.
Dalam percobaan pertama pembuatan dodol rumput laut dilakukan dengan
menggunakan formulasi perbandingan antara rumput laut dan tepung ketan 5:2,
yaitu 250 gram bubur rumput laut, 100 gram tepung ketan, 350 gram gula merah,
50 gram gula pasir, 220 gram santan, 30 gram margarin dengan komposisi
perbandingan air dan tepung 2:1. Hasil yang didapatkan dalam penggunaan
formulasi 5:2 menghasilkan dodol rumput laut dengan rasa yang kurang enak dan
tidak dapat dibentuk.
Pada formulasi l, kadar rumput laut terlalu banyak dengan perbandingan
antara rumput laut dan tepung ketan 5:2. Hal ini menyebabkan dodol rumput laut
memiliki kekentalan yang tinggi dan menyebabkan rasa dodol yang dihasilkan
kurang enak serta sulit untuk dibentuk. Oleh sebab itu pada percobaan kedua
pembuatan dodol rumput laut dilakukan dengan mengurangi kadar rumput laut
dan menambah kadar tepung ketan dengan formulasi perbandingan rumput laut
dan tepung ketan 4:3, yaitu 150 gram bubur rumput laut, 200 gram tepung ketan,

PKMI-4-16-5
50 gram gula merah, 50 gram gula pasir, 220 gram santan, 30 gram margarin.
Hasil yang diperoleh dalam penggunaan formulasi 4:3 menghasilkan dodol
rumput laut dengan rasa yang enak namun belum dapat dibentuk.

Tabel 1. Formulasi Dodol Rumput Laut
Komposisi (%)
Bahan perbandingan
5:2 4:3 2:5
Bubur Rumput Laut
25 20 10
Tepung Ketan 10 15 25
Gula Merah 35 35 35
Gula Pasir 5 5 5
Santan 22 22 22
Margarin 3 3 3
Jumlah 100 100 100

Pada formulasi 2, pengujian dengan perbandingan 4:3 antara rumput laut
dan tepung ketan sudah mengalami perbaikan kualitas rasa yang sudah enak
namun kekentalan dodol rumput laut masih terlalu tinggi sehingga dodol masih
sulit dibentuk. Sehingga dalam percobaan ketiga pembuatan dodol rumput laut
dilakukan dengan menggunakan formulasi perbandingan antara rumput laut dan
tepung ketan 2:5 yaitu 100 gram bubur rumput laut, 250 gram tepung ketan, 50
gram gula merah, 50 gram gula pasir, 220 gram santan, 30 gram margarin dengan
komposisi perbandingan air dan tepung 2:1. Hasil percobaan dalam penggunaan
formulasi 2:5 menghasilkan dodol rumput laut dengan rasa enak, tekstur kenyal;
sehingga mudah dibentuk sesuai dengan harapan.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan pernyataan Morris (1993) agar dalam meningkatkan motivasi
kelompok Rejo Santoso mencapai hasil yang maksimal, digunakan dua
pendekatan yaitu secara Intrinsik dan Ekstrinsik.

Faktor Instrinsik
Secara Intrinsik dilakukan pendekatan kepada kelompok Rejo Santoso
dengan memberikan alternatif pilihan dengan memaparkan keuntungan dan
kerugian untuk masing-masing pilihan. Apabila melakukan terobosan dengan
menciptakan produk baru, keuntungannya tidak banyak mengalami kerugian
rumput laut yang membusuk dan menghasilkan penghasilan baru. Kelemahannya
perlu usaha ekstra keras, dan percobaan yang berulang-ulang. Sedangkan apabila
dijual mentah, keuntungannya tidak mengeluarkan biaya, tenaga dan pikiran
namun memiliki resiko busuknya rumput laut karena terlalu lama disimpan.
Pendekatan ini diharapkan mampu meningkatkan jiwa usaha kelompok Rejo
Santoso dan motivasi untuk melakukan terobosan.

Faktor Ekstrinsik
Untuk mendapatkan hasil yang maksimal, motivasi intrinsik diatas perlu
didukung dengan faktor faktor dari luar yang menunjang, antara lain:

PKMI-4-16-6
Langkah pertama yang ditempuh kelompok dalam membantu
meningkatkan motivasi keompok Rejo Santoso adalah dengan memberikan
bantuan berupa literatur dan buku yang menunjang pembuatan produk baru dari
rumput laut. Selain itu kelompok juga memberikan bantuan berupa peralatan yang
diperlukan namun belum dimiliki kelompok Rejo Santoso. Dan Untuk menjaga
agar produk ini terus dapat diproduksi, kelompok membantu memberikan
perhitungan sederhana pengeluaran, harga dalam menjual, dan keuntugan yang
diperoleh.
Dukungan secara Inrinsik dalam bentuk antusiasme kelompok Rejo
Santoso dan bantuan secara Ekstrinsik memberikan semangat bagi kelompok Rejo
Santoso untuk melakukan beberapa percobaan. Dalam percobaan pertama
pembuatan dodol rumput laut dilakukan dengan menggunakan formulasi
perbandingan antara rumput laut dan tepung ketan 5:2, yaitu 250 gram bubur
rumput laut, 100 gram tepung ketan, 350 gram gula merah, 50 gram gula pasir,
220 gram santan, 30 gram margarin dengan komposisi perbandingan air dan
tepung 2:1. Hasil yang didapatkan dalam penggunaan formulasi 5:2 menghasilkan
dodol rumput laut dengan rasa yang kurang enak dan tidak dapat dibentuk.
Pada formulasi l, kadar rumput laut terlalu banyak dengan perbandingan
antara rumput laut dan tepung ketan 5:2. Hal ini menyebabkan dodol rumput laut
memiliki kekentalan yang tinggi dan menyebabkan rasa dodol yang dihasilkan
kurang enak serta sulit untuk dibentuk. Oleh sebab itu pada percobaan kedua
pembuatan dodol rumput laut dilakukan dengan mengurangi kadar rumput laut
dan menambah kadar tepung ketan dengan formulasi perbandingan rumput laut
dan tepung ketan 4:3, yaitu 150 gram bubur rumput laut, 200 gram tepung ketan,
50 gram gula merah, 50 gram gula pasir, 220 gram santan, 30 gram margarin.
Hasil yang diperoleh dalam penggunaan formulasi 4:3 menghasilkan dodol
rumput laut dengan rasa yang enak namun belum dapat dibentuk.
Pada formulasi 2, pengujian dengan perbandingan 4:3 antara rumput laut
dan tepung ketan sudah mengalami perbaikan kualitas rasa yang sudah enak
namun kekentalan dodol rumput laut masih terlalu tinggi sehingga dodol masih
sulit dibentuk. Sehingga dalam percobaan ketiga pembuatan dodol rumput laut
dilakukan dengan menggunakan formulasi perbandingan antara rumput laut dan
tepung ketan 2:5 yaitu 100 gram bubur rumput laut, 250 gram tepung ketan, 50
gram gula merah, 50 gram gula pasir, 220 gram santan, 30 gram margarin dengan
komposisi perbandingan air dan tepung 2:1. Hasil percobaan dalam penggunaan
formulasi 2:5 menghasilkan dodol rumput laut dengan rasa enak, tekstur kenyal;
sehingga mudah dibentuk sesuai dengan harapan.
Kedua pendekatan yang diterapkan kelompok dalam meningkatkan
motivasi kelompok Rejo Santoso dapat dikatakan berhasil. Hal ini didasari dengan
adanya perubahan tingkah laku pada kelompok Rejo Santoso yang mau
melaksanakan beberapa percobaan untuk menemukan komposisi yang diinginkan
dalam upaya mengatasi keterbatasan konsumen rumput laut dan penumpukan
rumput laut kering.

KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian, Motivasi yang diterapkan untuk mendorong
kelompok Rejo Santoso melakukan pembuatan dodol rumput laut dalam usaha
penanganan masalah penumpukan rumput laut karena keterbatasan konsumen

PKMI-4-16-7
rumput laut kering dapat dikatakan berhasil. Hal ini dapat dilihat dari Kelompok
Rejo Santoso yang telah mampu memproduksi produk dodol rumput laut dengan
rasa enak, tekstur kenyal dan mudah dibentuk sebagai hasil akhir dari berbagai
percobaan.
Disarankan Kelompok Rejo Santoso agar dapat mempertahankan motivasi
dalam berproduksi dodol rumput laut dan dapat menindak lanjuti produksi dodol
rumput laut dengan memperluas daerah pemasaran produk dodol rumput laut
hingga dapat dikenal masyarakat luas.

PKMI-4-17-1
UPAYA MENINGKATKAN KETERAMPILAN
MENULIS WACANA

Miftakhul Huda, Hj. Rahmatia Rahiem, dan Ismi Apriani Sahalina
Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah
Universitas Muhammadiyah Surakarta, Surakarta

ABSTRAK
Studi ini dilakukan dengan tujuan sebagai berikut: (1) mendeskripsikan
kesalahankesalahan yang dilakukan mahasiswa dalam pembuatan wacana padu
melalui pemrosesan juduljudul berita, (2) menggali penyebab terjadinya
kesalahankesalahan tersebut, dan (3) mengevaluasi kemampuan mahasiswa
dalam pembuatan wacana padu melalui pemprosesan juduljudul berita. Analisis
data dalam Karya Tulis Ilmiah ini menggunakan metode agih dengan teknik baca
markah. Hasilnya adalah terdeskripsi kesalahankesalahan yang dilakukan
mahasiswa dalam pembuatan wacana padu melalui pemrosesan juduljudul
berita, antara lain: (1) penggunaan dan penempatan kata, (2) penyusunan kata,
(3) pembuatan alinea baru, (4) pemakaian konjungsi, (5) penyusunan kalimat, (6)
penggunaan kata klise yang berlebihan, dan (7) penggunaan kata yang tidak
baku. Penyebab terjadinya kesalahankesalahan tersebut antara lain: (1)
mahasiswa kurang mampu membuat kalimat, baik pemilihan kata yang tepat
maupun penyusunan struktur yang benar, (2) kurang mempunyai pengetahuan
yang cukup tentang paragraf, (3) kurang mempunyai pengetahuan tentang
penempatan konjungsi dan fungsi dari masing-masing konjungsi itu sehingga
penempatannya tidak benar dan menjadikan susunan kalimat menjadi tidak benar
dan sulit ditangkap maksud yang ingin disampaikan, dan (4) kurang mampu
membatasi diri dalam pengunaan katakata klise. Evaluasi kemampuan
mahasiswa dalam pembuatan wacana padu menggunakan metode penilaian
acuan patokan (PAP) karena penilaian itu mengacu pada suatu kriteria
pencapaian tujuan, yaitu kepaduan wacana. Nilai-nilai yang telah diperoleh
mahasiswa dibagi menjadi lima kelompok, yaitu: (1) A untuk mahasiswa yang
sangat mampu membuat wacana padu dengan nilai antara 8,1-10, (2) B untuk
mahasiswa yang mampu membuat wacana padu dengan nilai antara 6,1-8, (3) C
bagi mahasiswa yang cukup mampu membuat wacana padu dengan nilai antara
4,1-6, (4) D bagi mahasiswa yang kurang mampu membuat wacana padu dengan
nilai antara 2,1-4, dan (5) E untuk mahasiswa yang tidak mampu membuat
wacana padu dengan nilai antara 0-2. Pemberian nilai itu berdasarkan jumlah
kesalahan yang dilakukan mahasiswa dalam membuat wacana padu.

Kata Kunci: wacana, judul berita, metode agih, dan teknik baca markah.

PENDAHULUAN
Menulis adalah suatu keterampilan berbahasa yang dipergunakan untuk
berkomunikasi secara tidak langsung, tidak secara tatap muka dengan orang lain
(Tarigan, 1986:3) Adapun menurut Marwoto, dkk. (1985:12), menulis adalah
sebagai kemampuan seseorang untuk mengungkapkan ide, pikiran, pengetahuan,
llmu, dan pengalaman-pengalaman hidupnya dalam bahasa yang jelas, runtut,
ekspresif, enak dibaca, dan mudah dipahami orang lain.

PKMI-4-17-2
Tarigan (1983:24) berpendapat bahwa menulis adalah menurunkan atau
melukiskan lambang-lambang grafik yang menggambarkan suatu bahasa yang
dipahami oleh seseorang sehingga orang lain dapat membaca lambang-lambang
grafik tersebut kalau mereka memahami bahasa dan gambaran grafik itu.
Kecakapan menulis sebetulnya dapat menjadi milik semua orang yang
pernah duduk di bangku sekolah. Pada dasarnya kecakapan menulis merupakan
pemindahan pikiran dan ide-ide ke dalam bentuk lambang-lambang bahasa (Semi,
1990:8). Menurutnya, secara umum wacana dikembangkan ke dalam empat
bentuk, yaitu: (1) narasi, (2) ekspresi, (3) deskripsi, dan (4) argumen.
Dengan demikian, menulis adalah kemampuan seseorang mengungkapkan
ide, pikiran, pengetahuan, ilmu, dan pengalaman-pengalaman hidupnya dengan
menurunkan atau melukiskan lambang-lambang grafik yang menggambarkan
suatu bahasa yang dipahami oleh seseorang dengan jelas, runtut, ekspresif, dan
enak dibaca.
Menulis sebagai keterampilan berbahasa merupakan suatu kegiatan yang
membutuhkan keterampilan dan konsentrasi tinggi untuk memunculkan ideide
yang menarik yang kemudian diwujudkan ke dalam bentuk tulisan sehingga dapat
menghasilkan sebuah karya tulis yang bernilai.
Salah satu wujud penuangan ide-ide ke dalam bentuk tulisan sehingga
menghasilkan sebuah wacana, di antaranya adalah pemanfaatan juduljudul berita
dengan tema yang sama. Contoh tema tsunami di NAD dengan juduljudul berita
seperti: (1) Repot Sekali kalau Mau Buang Air..., (2) Masalah Kesehatan
Akibat Tsunami di NAD, (3) Kehidupan Harus Berjalan Terus, Bangkitlah!,
(4) Anak Tersebar di Pengungsian, (5) Garuda Siapkan Kursi Gratis Untuk
Relawan, (6) Banda Aceh Rawan Konflik Tanah, (7) Sekolah Rakyat,
Sekolah Anak Pengungsi, (8) Kehidupan Mulai Bergulir di Aceh, (9) Sekolah
Tanpa Buku Pelajaran, (10) Ratusan Mayat Masih Bearda di Reruntuhan, dan
(11) Pengungsi Andalkan Air Bersih Bantuan. Dari judul-judul itu dihasilkan
wacana semacam berikut:
Ratusan mayat masih berada di bawah reruntuhan bangunan yang rusak
akibat bencana tsunami, hal tersebut yang menyebabkan kehidupan di Aceh sulit
untuk mengambil mayat tersebut membutuhkan tenaga yang tidak sedikit,
sehingga Garuda memberikan kursi gratis bagi relawan yang ingin membantu
masyarakat Aceh. Masyarakat masih ada di gang dan tenda pengungsian yang
menyebabkan mereka kesulitan kalau mau buang air dan mereka juga masih
mengandalkan air bersih bantuan, tetapi masalah kesehatan akibat bencana
Tsunami di NAD lebih penting karena kurangnya bahan obat obatan
Anak-anak yang tersebar di tenda pengungsian, mereka kehilangan
sekolahnya sehingga mereka tidak dapat bersekolah. Pemerintah mendirikan
sekolah rakyat, sekolah anak pengungsi meskipun mereka sekolah tanpa buku
pelajarantetapi yang paling penting dan harus diwaspadai adalah sekarang para
korban tsunami rawan memperebutkan tanah yang belum jelas pemiliknya tetapi
itu tidak menjadi masalah yang berarti karena kehidupan harus berjalan terus,
bangkitlah.
Eka Widyawan. C. P.


PKMI-4-17-3
Wacana adalah seperangkat proposisi yang saling berhubungan untuk
menghasilkan suatu rasa kepaduan atau rasa kohesi bagi penyimak atau pembaca
(Deese dalam Tarigan, 1986:25).
Wacana adalah suatu peristiwa terstruktur yang dimanfaatkan dalam
perilaku linguistik (atau yang lain), sedangkan teks adalah suatu urutan ekspresi-
ekspresi linguistik terstruktur yang membentuk suatu kesatuan yang terpadu atau
uniter (Edmondson dalam Tarigan, 1986:25).
Dari pengertian-pengertian di atas mengenai wacana dapat disimpulkan
bahwa wacana adalah seperangkat proposisi yang saling berhubungan dengan
suatu peristiwa terstruktur yang dimanfaatkan dalam perilaku linguistik untuk
menghasilkan suatu rasa kepaduan bagi penyimak atau pembaca.
Menurut Ramlan (1993:10), kohesi adalah kepaduan wacana di bidang
bentuk. Sedangkan menurut Moeliono (1989:234), kohesi adalah keserasian
hubungan antara unsur yang satu dengan yang lain dalam wacana sehingga
terciptalah pengertian yang baik dan koheren. Adapun menurut Tarigan (1987:96),
kohesi adalah hubungan antar kalimat di dalam sebuah wacana, baik strata
gramatik maupun strata leksikal. Di dalam kata kohesi tersirat pengertian
kepaduan, keutuhan, dan kata koheren terkandung penertian penulisan hubungan
(Dewi, 2005:17). Dengan demikian, kohesi adalah kalimat-kalimat yang memiliki
hubungan bentuk sehingga menciptakan suatu wacana yang memiliki makna.
Dalam proses pembuatan wacana padu seseorang akan menghadapi
kendala karena untuk membuatnya tidak semudah membalikkan telapak tangan
tetapi perlu pengetahuan dan keterampilan khusus. Namun, hal itu bisa dijadikan
lebih mudah dengan mengetahui lebih dahulu hal yang menjadi kendala-kendala
bagi sesesorang dalam membuat sebuah wacana sehingga akan lebih banyak
belajar dan latihan untuk meminimalisasikan kendala-kendala tersebut, terutama
bagi pemula karena kesalahan-kesalahan yang dilakukan sebagian orang bisa
menjadi pengalaman bagi orang lain tanpa harus mengalaminya. Contoh bentuk
kesalahan-kesalahan yang terjadi dalam pemprosesan judul-judul berita menjadi
bentuk wacana, antara lain adalah kalimat yang tidak beraturan dan terdapat
wacana yang saling bertentangan. Dari hal itulah yang melatarbelakangi penulisan
ini dengan harapan penulis bisa membantu untuk mempermudah pembelajaran
dalam membuat wacana yang padu.
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mendeskripsikan kesalahan-
kesalahan penyebab wacana menjadi tidak padu, menggali penyebab munculnya
kesalahan, dan mengevaluasi kemampuan mahasiswa dalam pembuatan wacana
padu.

METODE PENELITIAN
Objek Penelitian
Objek penelitian ini adalah variasi wacana hasil penulisan 25 orang
mahasiswa yang terbentuk dari pemanfaatan judul-judul berita dengan tema yang
sama.

Teknik Pengumpulan Data
Data dalam penelitian ini diperoleh dari tugas matakuliah Komposisi oleh
peserta mahasiswa semester II dan semester atas yang mengulang, yaitu semester
IV, VI, dan VIII.

PKMI-4-17-4
Teknik Analisis Data
Metode yang digunakan oleh peneliti dalam menganalisis data adalah
metode agih, yaitu metode yang alat penentunya di dalam dan menjadi bagian dari
bahasa yang bersangkutan (Sudaryanto, 1993:31). Teknik yang digunakan dalam
penelitian untuk menganalisis data adalah teknik baca markah, yang dimaksudkan
ialah pemarkahan itu menunjukkan kejadian satuan lingual atau identitas
konstituen tertentu; dan kemampuan membaca peranan pemarkah itu (marker)
berarti kemampuan menentukan kejatian yang dimaksud (Sudaryanto, 1993:95).

Penyajian Hasil Analisis
Dalam Karya Tulis Ilmiah ini metode yang digunakan dalam penyajian
hasil analisis adalah metode penyajian informal. Metode penyajian informal
adalah perumusan dengan kata-kata biasa (Sudaryanto, 1993:145).

HASIL DAN PEMBAHASAN
Penyebab Wacana Menjadi Tidak Padu
Pendeskripsian kesalahan-kesalahan yang dilakukan dalam pembuatan
wacana ditempuh dengan cara : (1) menyalin seluruh kesalahan yang ada pada
wacana-wacana tersebut, (2) mengelompokkan kesalahan-kesalahan, mulai dari
kesalahan terbanyak yang dilakukan mahasiswa sampai dengan kesalahan yang
paling sedikit, dan (3) memprosentasikan kesalahan-kesalahan yang telah
dikelompokkan.
Setelah kesalahan-kesalahan tersebut dikelompokkan dan diketahui
jumlahnya, diperoleh hasil seperti ditunjukkan pada tabel 1.

Tabel 1. Hasil analisis kesalahan-kesalahan wacana
No Kesalahan

Jumlah
Kesalahan
Prosentase (%) Jenis
Kesalahan
Tak Fatal Fatal
1.
Penggunaan dan penempatan
kata
107 39,48% -
2. Penyusunan kata 66 24, 35 % -
3. Pembuatan alinea baru 23 8,49 % -
4. Pemakaian konjungsi 18 6,64 % -
5. Penyusunan kalimat 18 6,64 % -
6.
Penggunaan kata klise yang
berlebihan
12 4,43 % -
7.
Penggunaan kata yang tidak
baku
9 3,32% -
8.
Hubungan sebab-akibat yang
tidak jelas
8 2,95 % -
9. Penambahan imbuhan 6 2,21 % -
10. Penggunaan kata ganti orang 3 11,11 % -
11. Kesalahan Berita 1 0.37 % -

Dari tabel di atas diketahui bahwa kesalahan terbesar yang dilakukan
mahasiswa dalam pembuatan wacana adalah penggunaan dan penempatan kata

PKMI-4-17-5
dengan jumlah prosentase sebesar 39,48%. Adapun kesalahan terkecil adalah
kesalahan berita daengan jumlah prosentase 0,37%.
Untuk mengetahui fatal-tidaknya kesalahan-kesalahan tersebut, peneliti
mempertimbangkan akibat dari kesalahan tersebut, apakah itu berpengaruh besar
terhadap kepaduan wacana atau hanya berupa kesalahan-kesalahan kecil.

Penyebab Munculnya Kesalahan
Setelah mengetahui kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh mahasiswa
dalam pembuatan wacana, maka diketahui pula penyebab yang juga sebagai
kendala dalam membentuk wacana padu.
Penyebab terjadinya kesalahan-kesalahan tersebut adalah:
Pertama, mahasiswa kurang mampu membuat kalimat, baik pemilihan kata yang
tepat maupun penyusunan fungsional (SPOK) yang benar. Selain kurang mampu
membuat kalimat yang baik, mahasiswa juga lemah dalam menyusun kalimat
tersebut sehingga tercipta susunan kalimat dalam sebuah paragraf yang tidak
harmonis. Kedua, mahasiswa kurang mempunyai pengetahuan yang cukup
tentang paragraf. Mahasiswa kurang mampu memisahkan antara pokok
permasalahan yang satu dengan pokok permasalahan yang lain sehingga wacana
yang seharusnya terdiri dari beberapa paragraf , dibuat menjadi satu atau dua
paragraf saja. Ketiga, Mahasiswa kurang mempunyai pengetahuan tentang
penempatan konjungsi dan fungsinya masing-masing sehingga penempatannya
tidak benar dan menjadikan susunan kalimat menjadi tidak benar serta sulit
ditangkap maksud yang ingin disampaikan. Di samping konjungsi, mahasiswa
juga kurang mampu menghubungkan kalimat sebab-akibat sehingga juga
menyebabkan susunan kalimat tidak benar dan sulit dimengerti. Keempat,
mahasiswa kurang mampu membatasi diri dalam penggunaan kata-kata klise. Di
samping itu, mahasiswa kurang mampu mengenali kata-kata baku dan kata-kata
yang tidak baku sehingga dalam wacana terdapat kata-kata yang tidak baku.
Masih berhubungan dengan kata, mahasiswa juga tidak konsisten dalam
menggunakan kata ganti orang sehingga kata ganti yang digunakan tidak sesuai
dengan yang seharusnya. Kelima, mahasiswa kurang memiliki pengetahuan yang
cukup tentang kata imbuhan sehingga banyak terjadi kesalahan pemberian
imbuhan yang menyebabkan makna kalimat berubah. Keenam, mahasiswa tidak
memahami berita juga merupakan penyebab terjadinya kesalahan dalam wacana
sebab akan terjadi kerancuan berita.
Jadi, mereka kurang mampu membuat dan menyusun kalimat serta
rendahnya pengetahuan tentang paragraf, konjungsi, kata imbuhan, kata ganti
orang, dan kata-kata baku yang semuanya merupakan kendala dalam pembuatan
wacana padu. Di samping itu, mereka tidak mampu membatasi penggunaan kata
klise dan tidak mampu menghubungkan kalimat sebab-akibat.
Karena wacana-wacana yang dibuat oleh mahasiswa merupakan wacana
hasil pemrosesan dari judul-judul berita, maka tidak memahami isi berita yang
disampaikan juga merupakan kendala dalam pembuatan wacana padu.

Kemampuan Mahasiswa dalam Pembuatan Wacana Padu
Untuk mendeskripsikan kemampuan mahasiswa dalam membuat wacana
padu, peneliti melakukan pengevaluasian terhadap wacana-wacana yang telah
dibuat dengan cara :

PKMI-4-17-6
1. Memeriksa kepaduan wacana,
2. Memberi nilai pada wacana sesuai dengan tingkat kepaduan wacana.
Cara pemberian nilai terhadap wacana, peneliti mengacu pada nilai sepuluh
(10) untuk wacana yang mempunyai kepaduan sempurna, dan nilai nol (0)
untuk wacana yang sama sekali tidak memiliki kepaduan.
3. Menyimpulkan kemampuan mahasiswa berdasarkan nilai-nilai yang telah
diberikan sesuai dengan kepaduan wacananya.
Peneliti menyimpulkan kemampuan mahasiswa berdasarkan nilai-nilai dari
wacana yang telah diberikan oleh peneliti sebelumnya. Disebabkan satu orang
mahasiswa memiliki lebih dari satu wacana, maka nilai diambil dari nilai rata-
rata wacana yang telah dibuatnya.
Contoh: Mahasiswa 1 membuat tiga variasi wacana, dan wacana-wacana
tersebut masing-masing mendapatkan nilai 6, 7, dan 9 maka nilai rata-ratanya
adalah 7,3.

Dari pengevaluasian seluruh wacana dan pemberian nilai pada wacana-wacana
tersebut, diperoleh hasil seperti ditunjukkan pada tabel 2.


Tabel 2. Hasil penilaian pembuatan wacana

No Mahasiswa Jumlah
Wacana
Nilai Wacana Rata-
rata
Huruf
I II III IV V
1. Sri Mulyani 4 3 1 2 5 - 2,75 D
2. Septia Ani S 2 3 4 - - - 3,5 D
3. Ifa Rohim 4 0 0 0 5 - 1,25 E
4. Hafsah Pivit K 4 0 5 5 5 - 3,75 D
5. Nawang Yuanti 2 9 10 - - - 9,5 A
6. Dwi Irawati 2 9 7 - - - 8 B
7. Sapta Karina 3 3 5 5 - - 4,3 C
8. Rudi Yanto 4 1 5 7 0 - 3,25 D
9. Murni Asmorowati 3 7 9 9 - - 8,3 A
10. Septa Indriani 3 10 7 7 - - 8 B
11. Titik Ariyani H 3 6 7 5 - - 6 C
12. Eka Widyawan C.P 5 10 8 9 8 8 8,6 A
13. Nofa Ida K 4 7 6 9 9 - 7,75 B
14. Apri Ermawati 3 9 6 8 - - 7,7 B
15. Dini Isnina Arum 5 9 9 10 9 10 9,4 A
16. Dini Restiyanti P 4 9 9 10 10 - 9,5 A
17. Estykamuji 4 9 10 10 9 - 9,5 A
18. Tery Edy U 3 9 7 7 - - 7,7 B
19. Hariyani 4 10 9 9 8 - 9,0 A
20. Endah Kurniawati 2 8 7 - - - 7,5 B
21. Erna Suciati 3 10 9 6 - - 9,0 A
22. Nia Monti K 4 3 0 - 6 - 2,5 D
23. Heni Nurhayati 3 6 5 - - - 5,7 C
24. Sri Rahayu 3 7 7 - - - 7,3 B
25. Rizky Ayu N 3 9 9 8 -- -- 8,7 A


PKMI-4-17-7
Penilaian di atas menggunakan metode Penilaian Acuan Patokan (PAP)
karena penilaian itu mengacu pada suata kriteria pencapaian tujuan (kepaduan
wacana) yang telah dirumuskan. Nilai-nilai yang telah diperoleh mahasiswa
dihubungkan dengan tingkat pencapaian kepaduan wacana. Peneliti membagi
kemampuan mahasiswa ke dalam lima kelompok, yaitu:
A: 8,1-10 (sangat mampu),
B: 6,1-8 ( mampu),
C: 4,1-6 (cukup mampu),
D: 2,1-4 (kurang mampu), dan
E: 0-2 (tidak mampu).

Peneliti menetapkan penilaian tersebut didasarkan kesalahan mahasiswa
dalam membuat wacana padu. Contoh kesalahan yang dilakukan mahasiswa di
antaranya adalah penggunaan dan penempatan kata yang tidak sesuai, penggunaan
konjungsi yang tidak tepat, pemakaian kata yang tidak baku, penggunaan imbuhan
yang salah, dan penggunaan kata ganti orang yang tidak tepat.
Dengan demikian, dari 25 mahasiswa 36% masuk kelompok sangat
mampu karena mendapatkan nilai antara 8,1-10. 28% mahasiswa masuk ke dalam
kelompok mampu karena mendapatkan nilai antara 6,1-8. Selanjutnya, adalah
12% mahasiswa masuk ke dalam kelompok cukup mampu dengan nilai yang
diperoleh antara 4,1-6 dan 20% mahasiswa masuk kelompok kurang mampu
dengan nilai antara 2,1-4. Adapun mahasiswa yang tidak mampu membuat
wacana padu sebanyak 4% dengan nilai antara 0-2. Jadi, sebagian besar
mahasiswa sangat mampu membuat wacana padu.

KESIMPULAN
Dari hasil Karya Tulis Ilmiah yang berjudul Upaya Meningkatkan
Keterampialn Menulis Wacana, dapat disimpulkan bahwa kesalahankesalahan
yang terjadi dalam pembuatan wacana padu, yaitu: kesalahan penggunaan dan
penempatan kata, kesalahan penyusunan kata, kesalahan pembuatan alinea baru,
pemakaian konjungsi, kesalahan penyusunan kalimat, penggunaan kata klise yang
berlebihan, penggunaan kata yang tidak baku, penggunaan kata ganti orang yang
tidak tepat, dan salah penggunaan imbuhan. Penyebab terjadinya kesalahan
kesalahan tersebut adalah: (1) mahasiswa kurang mampu menyusun dan
menggunakan kata secara tepat, (2) kurang memahami pembuatan alinea baru, (3)
kurang mempunyai pengetahuan tentang konjungsi, (4) kurang membatasi diri
dalam penggunaan kata klise dan kata tidak baku, (5) kurang memahami
penggunaan konjungsi, dan (6) tidak konsisten dalam penggunaan kata ganti
orang. Dengan diketahuinya kesalahan-kesalahan dan penyebab terjadinya
kesalahan tersebut dapat dijadikan sebagai acuan pengajaran atau pelatihan
terhadap pembuatan wacana padu, baik untuk pengajar maupun pelajar dan
mahasiswa guna untuk meningkatkan upaya keterampilan menulis dan membuat
wacana padu dengan memperbanyak latihan penggunaan dan penempatan kata,
pembuatan alinea, penggunaan konjungsi, dan membatasi diri dalam penggunaan
kata klise serta kata yang tidak baku. Adapun upaya lainnya yaitu memperbanyak
membaca buku untuk menambah pengetahuan dan perbendaharaan kata. Dari 25
mahasiswa, 36% termasuk mahasiswa yang sangat mampu membuat wacana padu
karena memperoleh nilai antara 8,1-10. 28% mahasiswa adalah mahasiswa yang

PKMI-4-17-8
mampu membuat wacana padu dengan perolehan nilai antara 6,1-8. Mahasiswa
yang digolongkan ke dalam kelompok cukup mampu membuat wacana padu
sebanyak 12% dengan perolehan nilai antara 4,1-6. 20% termasuk ke dalam
kelompok yang kurang mampu membuat wacana padu dengan nilai antara 2,1-4.
Adapun mahasiswa yang tidak mampu membuat wacana padu sebanyak 4%
karena hanya mampu mendapat nilai antara 0-2%.

DAFTAR PUSTAKA
Dewi, Dina Rosiana. 2005. Skripsi. Analisis Kohesi Gramatikal dalam Wacana
Iklan Handphone (Hp) Pada Surat Kabar Jawapos Edisi Januari-Maret
2004. Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Marwoto; Suyatmi; Suyitno. 1985. Komposisi Praktis. Yogyakarta : PT.
Hanindita Offset.
Moeliono, Anton M. 1989. Kamus Besar Bahasa Indonesia Cetakan Ke 2. Jakarta
: Balai Pustaka.
Purwanto, Ngalim. 1994. Prinsip-prinsip dan Teknik Evaluasi Pengajaran.
Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Ramlan M. 1993. Paragraf Alur Pikiran dan Kepaduannya dalam Bahasa
Indonesia. Yogyakarta: Andi Offset.
Semi, M. Atar. 1990. Menulis Efektif. Bandung : Angkasa.
Sudaryanto. 1993. Metode dan Teknik Analisis Bahasa. Yogyakarta : Duta
Wacana.
Tarigan, H, G. 1984. Berbicara sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa. Bandung
: Angkasa.
__________. 1986. Menulis. Bandung : Angkasa.
__________. 1987. Pengajaran Wacana. Bandung : Aksara.


PKMI-4-18-1
PENGUJIAN LAMA AERASI TERHADAP PRODUKSI
MIKROALGA Anabaena azollaePADA MEDIA TUNGGAL MAGNESIUM
DALAM SKALA BIOREAKTOR

Siti Nurjana
Jurusan Budidaya Pertanian, Universitas Muhammadiyah Malang, Malang

ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk menguji pengaruh lama aerasi terhadap
pertumbuhan dan produksi mikroalga Anabaena azollae pada media tunggal
magnesium dalam skala bioreaktor yang dilakukan di Pusat Pengembangan
Bioteknologi Universitas Muhammadiyah Malang pada bulan Juni sampai
dengan bulan Oktober 2004. Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Acak
Lengkap (RAL) sederhana dengan 6 perlakuan yang diulang sebanyak 3 kali.
Bahan yang digunakan adalah Mikroalga Anabaena azollae kultur koleksi
Pusbang Biotek UMM, media isolasi allen-arnon, media magnesium sulfat
(MgSO
4
. 7H
2
O), aquadest steril, alkohol 70%, bacto agar 7,5 gram. Metode
pelaksanaan meliputi penyiapan bibit mikroalga Anabaena azollae, pembuatan
media, sterilisasi lingkungan kerja, penanaman, pemeliharaan dan pemanenan.
Parameter pengamatan meliputi berat segar dan berat kering biomassa
mikroalga Anabaena azollae, analisa kadar air, analisa kadar protein total dan
analisa asam amino. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan lama aerasi
tidak berpengaruh terhadap berat segar, berat kering dan kadar air dan kadar
protein biomasa mikroalga Anabaena azollae. Pada analisa kadar asam amino
mikroalga Anabaena azollae, diperoleh kandungan asam amino sebanyak 20
macam asam amino dengan asam amino utama adalah asam glutamat. Namun
pada metionin, hidroksi lysin dan hidroksi prolin kandungan asam aminonya
tidak diperoleh/tidak menunjukkan adanya asam amino.

Kata Kunci : mikroalga, Anabaena azollae, aerasi, bioreaktor

PENDAHULUAN
Dalam upaya pemenuhan kebutuhan pangan dimasa mendatang baik dari
segi kuantitas maupun kualitas, maka pemikiran untuk menggunakan
mikroorganisme termasuk mikroalga semakin besar. Penelitian mikroalga telah
mendapat perhatian khusus untuk dikembangkan lebih lanjut. Berbagai usaha
telah dilaksanakan dengan tujuan untuk dapat memanfaatkan potensi mikroalga.
Beberapa jenis mikroalga ini telah dikembangkan dalam skala industri, baik dalam
industri bahan pangan maupun industri lainnya seperti obat-obatan, kosmetik,
peternakan, perikanan, bahkan industri otomotif.
Mikroalga memiliki sifat umum yang menguntungkan untuk produksi
protein sel tunggal, antara lain : memiliki siklus regenerasi cukup pendek
sehingga mampu dipanen secara besar-besaran dalam jangka waktu relatif singkat,
kandungan protein relatif tinggi, sifat-sifat genetisnya mudah dirubah sehingga
dapat dikultur secara berkesinambungan, energi dan bahan dalam proses budidaya
tersedia melimpah serta relatif murah (Jay, 1978).
Anabaena sp. termasuk dalam kelompok alga hijau biru (Cyanophyta).
Klasifikasi dari Anabaena sp. Menurut Unus (1986) Klasifikasi mikroalga
Anabaena adalah sebagai berikut : Divisio : Cyanophyta, Klas : Cyanophyceae,

PKMI-4-18-2
Ordo : Oscillatoriales, Family : Nostocaceae, Genus : Anabaena, SpesiesG :
Anabaena sp. Mikroalga hijau biru (Cyanophyta) berbentuk uniseluler, filamen
yang terdapat pada sekeliling tubuhnya diselimuti lendir (Polysakarida) atau
berbentuk koloni sederhana. Termasuk kedalam kelompok jasad fotosintetik
karena banyak mengandung klorofil, disamping pigmen fikobilin (kebiru-biruan)
dan fukosantin (kecoklat-coklatan) dan fukoeritrin (kemerah-merahan). Umumnya
hidup didalam air bebas, pada tanah yang lembab atau bersimbiosis dengan jasad
lain, dari paku-pakuan (Azolla) sampai tanaman tingkat tinggi.
Kemampuan simbiosis Anabaena azollae dalam mereduksi N
2
dalam
amonia dilakukan oleh enzim nitrogenase. Enzim ini tidak dimiliki oleh Azolla
dalam bentuk bebas, dan disintesis baru setelah Anabaena masuk ke dalamnya.
Pengujian reduksi Asetilena, telah membuktikan bahwa fiksasi N
2
hanya terjadi
pada sel-sel Anabaena dan bukan pada Azolla (Khan, 1988).
Enzim Nitrogenase berada dalam heterosit. Energi dari fiksasi N
2
disuplai
dari fotosistem I atau siklus fosforilasi. Reduktan datang dari pentosa fosfor
oksidatif, kemudian bereaksi dengan N
2
yang selanjutnya disatukan dengan
introglutamin melalui enzim sintesa glutamin (GS) yang berada pada heterosit.
Enzim glutamin sintesa (GOGAT) ditemukan aktif hanya pada sel vegetatif, maka
glutamat disuplai dari sel vegetatif ke heterosit. Hubungan antara heterosit dengan
sel-sel vegetatif bahwa heterosit memfiksasi N kemudian ditranspor ke sel
vegetatif yang berdekatan. Sedangkan sel vegetatif memfiksasi karbon dan
mentransporkannya ke heterosit. Metabolisme nitrogen yang dibantu oleh sel
heterosit dan sel vegetatif, perpindahan glutamin dari sel heterosit ke sel vegetatif
dibantu oleh enzim transaminase.
Ada berbagai komposisi medium yang sering dipergunakan dalam kultur
mikroalga, yaitu medium Allen dan Arnon (medium AA) yang sesuai untuk alga
biru pengikat nitrogen (Anonymous, 1991 b). Pada penelitian ini dilakukan pada
skala produksi dalam kondisi lingkungan yang heterogen dengan menggunakan
salah satu unsur hara makro yaitu magnesium (Mg), karena dalam hidupnya
Anabaena azollae membutuhkan unsur hara makro dan mikro. Dari hasil
penelitian Fitrianti (1998) menunjukkan bahwa perlakuan magnesium dosis 100
ppm memberikan hasil terbaik terhadap biomassa (berat kering dan segar)
Anabaena azollae. Sedangkan dosis magnesium 80 ppm memberikan hasil terbaik
terhadap kadar protein Anabaena azollae .
Magnesium merupakan pusat molekul klorofil, yang merupakan chelat-
magnesium dalam kloroplas. Magnesium membentuk chelat dengan ADP, ATP
dan asam-asam organik. Magnesium membentuk suatu jembatan antara ATP dan
molekul enzim dan dibutuhkan untuk fosforilasi dalam reaksi dan sintesis dan
pembongkaran pada fotosintesis (Gardner et. al, 1991). Metabolisme nitrogen dan
sintesis protein juga tergantung pada adanya magnesium dan diperkirakan
magnesium menunjang integritas ribosom.
Lama aerasi pada pertumbuhan mikroalga diperlukan untuk mengatur
konsentrasi oksigen (udara) dalam bioreaktor. Penggunaan bioreaktor sangat
penting karena untuk produksi biomassa mikroalga Anabaena azollae dalam skala
besar (produksi) yang mana alat ini merupakan salah satu alternatif pilihan yang
dapat dilakukan. Mengingat pentingnya unsur hara seperti magnesium, maka perlu
dilakukan penelitian tentang pengujian lama aerasi terhadap produksi mikroalga
Anabaena azollae pada media tunggal magnesium dalam skala bioreaktor.

PKMI-4-18-3
Penelitian ini bertujuan untuk menguji pengaruh lama aerasi terhadap
pertumbuhan dan produksi mikroalga Anabaena azollae dalam media tunggal
magnesium (dalam bentuk MgSO
4
. 7H
2
O) dalam skala bioreaktor.

METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan di Pusat Pengembangan Bioteknologi
Universitas Muhammadiyah Malang pada bulan Juni sampai dengan Oktober
2004. Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah: Autoclave, laminar air
flow cabinet, gelas ukur, timbangan analitik, beaker glass 1000 ml, spatula, pipet
volume, pipet tetes, magnetik strirer, oven, mikroskop, botol kultur, cawan petri,
toples 5 lt, mikrowave, tabung reaksi, aerator, water bath, sentrifius, aluminium
foil, jarum ose, bunsen, tissue, isolasi dan alat tulis. Bahan-bahan yang digunakan
adalah : mikroalga Anabaena azollae, Allen-Arnon (sebagai media pembibitan),
media magnesium sulfat (MgSO
4
.7H
2
O),

aquadest steril, alkohol 70%, bacto agar
7,5 gram.
Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap Sederhana dengan
6 perlakuan yaitu : K0 (Kontrol / tanpa aerasi), K1 ( 0,5 jam / hari), K2 (1
jam/hari), K3 (1,5 jam / hari), K4 (2 jam / hari), K5 (2,5 jam / hari ). Masing-
masing perlakuan diulang 3 kali. Pengujian perbedaan diantara masing-masing
perlakuan dilaksanakan menggunakan uji Duncan 5%.
Pelaksanaan penelitian adalah sebagai berikut :
1. Penyiapan Bibit Mikroalga Anabaena azollae
Bibit diperoleh dari isolasi tanaman Anabaena azollae. Mikroalga
dikulturkan dalam media Allen-Arnon agar mendapatkan bibit yang murni,
tidak tercampur oleh mikroalga yang lain. Umur bibit yang dipakai 15 28
hari setelah inokulasi. Bibit ditanam dalam botol kultur dengan volume media
25 ml. Bibit diperoleh dari mengekstrak Azolla sp. yang ditumbuhkan sebagai
bibit murni dalam media agar.
2. Pembuatan Media
Semua peralatan yang digunakan disterilisasi. Menimbang magnesium
sulfat sebanyak 25 mg/l. Pengukuran pH dilakukan dengan menggunakan pH
meter sampai 6,8. Jika pH larutan terlalu asam dapat ditambahkan larutan
NaOH dan jika terlalu basa ditambahkan larutan HCL. Media yang telah siap
dimasukkan kedalam botol toples sebanyak 1000 ml untuk disterilisasi
kembali dalam autoclave pada tekanan 1,5 atm selama 20 menit.
3. Sterilisasi Lingkungan Kerja
Untuk menjamin keberhasilan dari penelitian harus dilakukan sterilisasi
lingkungan kerja.
4. Penanaman
Penanaman mikroalga Anabaena azollae dilakukan di dalam LAFC. Bibit
mikroalga dimasukkan ke dalam botol toples yang siap dipergunakan.
Pemasangan selang dilakukan didalam LAFC untuk menjaga agar tidak terjadi
kontaminasi. Masing-masing ujung selang pada toples dipasang alat pengatur
udara yang kemudian disambungkan pada aerator.
5. Pemeliharaan
Pemeliharaan dilakukan di dalam ruang kultur dengan sumber cahaya lampu
TL 40 Watt dan intensitas cahaya 2000 lux. Suhu dijaga dengan kisaran 28-29C.
6. Pemanenan

PKMI-4-18-4
Pemanenan dilakukan pada umur 20 hari setelah tanam. Biomassa yang
diperoleh dibiarkan sampai tidak mengandung banyak air, setelah cukup
diletakkan pada plastik siap untuk menimbang.
Pengamatan dilaksanakan pada umur 20 hari setelah inkubasi. Sedangkan
variabel (peubah) yang diamati antara lain :
1. Berat Segar Biomassa Mikroalga Anabaena azollae.
Hasil berat segar total diperoleh dari selisih berat awal dengan berat akhir.
2. Berat Kering Biomassa Mikroalga Anabaena azollae.
Berat kering total diperoleh dari berat setelah pengeringan (kering angin)
selama lebih kurang 2 x 24 jam.
3. Analisa Kadar Air Cara Pemanasan
Kadar air diperoleh dari hasil berat segar dikurangi hasil berat kering yang
sudah diketahui.
4. Analisa Kadar Protein Total
Penentuan kadar protein dilakukan dengan cara spektrofotometer, yang
sebelumnya menggunakan sistem Analisa Lowry. Biomassa yang dianalisa
adalah biomassa kering.
5. Analisa Asam Amino
Penentuan asam amino dilakukan dengan cara High Speed Amino Acid
Analyzer Hitachi Model 835 dengan menggunakan metode HPLC khusus,
deteksi Ninhydrin Postcolumn-reaction. Biomassa yang dianalisa adalah
biomassa kering yang diambil dari rata-rata kadar protein tertinggi.


HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Berat Segar Mikroalga Anabaena azollae
Dari hasil analisis ragam menunjukkan bahwa pengaruh perlakuan lama
aerasi tidak berbeda nyata terhadap berat segar mikroalga Anabaena azollae. Hasil
Uji Duncan taraf 5% dan rata-rata berat segar mikroalga Anabaena azollae
disajikan pada Tabel 1. Hasil menunjukkan bahwa perlakuan lama aerasi tidak
menunjukkan perbedaan terhadap berat segar mikroalga Anabaena azollae.
Pada pengamatan berat segar tanaman Anabaena azollae yang mengalami
pertumbuhan yang baik terjadi pada perlakuan dengan lama aerasi 0,5 jam/hari
sebesar 7,47 g/l dan terendah pada lama aerasi 2,5 jam/hari sebesar 2,98 g/l. Ini
diduga bahwa tanaman Anabaena azollae dapat tumbuh dengan baik tanpa ada
nitrogen yang diberikan, berarti Anabaena azollae dapat memenuhi kebutuhan
nitrogen untuk pertumbuhannya dari hasil fiksasi nitrogen.
Kondisi lingkungan sangat penting terhadap pertumbuhan tanaman
Anabaena azollae, faktor lingkungan tersebut antara lain cahaya yang dapat
diterima langsung 25-50% untuk kebutuhan fotosintesis dan penambatan nitrogen
(Arifin, 1996). Menurut Colman (1978) kecepatan pertumbuhan populasi
mikroalga dipengaruhi oleh nutrisi dan pertukaran gas seperti O
2
dan CO
2
. Faktor
lain yang mempengaruhi perkembangan Anabaena adalah factor cuaca, panas dan
kekeringan dapat mengurangi populasi Anabaena dan merendahkan fiksasi
nitrogen. Pengaruh temperatur terhadap fiksasi nitrogen sangat bervariasi
tergantung pada asosiasi azolla-anabaenanya.


PKMI-4-18-5
Tabel 1. Rata-rata Berat Segar Mikroalga Anabaena azollae (g)

Berat Segar Mikroalga Anabaena azollae
Perlakuan Asli Transformasi *
K0
K1
K2
K3
K4
K5
3,06 a
7,47 a
6,03 a
4,82 a
4,64 a
2,98 a
2,00
2,85
2,63
2,39
2,33
1,99
Keterangan : Angka yang didampingi oleh huruf yang sama pada kolom yang
sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji Duncan ( P=0,05).

* : Angka transformasi pada
) 1 x ( +


Berat Kering Mikroalga Anabaena azollae
Hasil analisis ragam menyatakan bahwa perlakuan lama aerasi tidak
berpengaruh terhadap peubah pengamatan berat kering tanaman. Hasil Uji
Duncan taraf 5% dan rata-rata berat kering mikroalga Anabaena azollae disajikan
pada Tabel 2. Hasil menunjukkan bahwa perlakuan lama aerasi tidak
menunjukkan perbedaan terhadap berat kering mikroalga Anabaena azollae.

Tabel 2. Rata-rata Berat Kering Mikroalga Anabaena azollae (g)

Berat Kering Mikroalga Anabaena azollae
Perlakuan Asli Transformasi *
K0
K1
K2
K3
K4
K5
0,042 a
0,067 a
0,066 a
0,059 a
0,051 a
0,037 a
0,20
0,26
0,25
0,24
0,22
0,19
Keterangan : Angka yang didampingi oleh huruf yang sama pada kolom yang sama
menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji Duncan ( P=0,05)
* : Angka transformasi pada
) 1 x ( +


Pada pengamatan berat kering Anabaena azollae perlakuan tertinggi pada
lama aerasi 0,5 jam/hari sebesar 0,067 g/l dan terendah pada lama aerasi 2,5
jam/hari sebesar 0,037 g/l. Berat kering total hasil panen merupakan hasil dari
penimbunan hasil bersih asimilasi CO
2
sepanjang musim pertumbuhan (Gardner
et al., 1991). Hasil fotosintesis akan diberikan untuk organ-organ tanaman yang
membutuhkan dan kelebihan dari hasil fotosintesis akan disimpan oleh tanaman,
sehingga bobot tanaman meningkat. Pertumbuhan tanaman tidak lepas dari
keberadaan komponen-komponen lain yang mendukung pertumbuhannya.
Pemberian aerasi bertujuan memberikan suplai oksigen pada pertumbuhan sel
serta mengoptimalkan pertumbuhan organisme dan aktivitas metabolisme secara
aerob. Pertumbuhan Anabaena azollae ditandai dengan bertambah besarnya
ukuran sel atau bertambah banyaknya jumlah sel. Dengan meningkatnya berat
segar tanaman akan mempengaruhi keberadaan bobot kering tanaman tersebut.

PKMI-4-18-6
Unsur-unsur yang diserap melalui perakaran bersama-sama air untuk
dimanfaatkan dalam proses fotosintesis. Proses fotosintesis akan menghasilkan
asam amino dan karbohidrat yang nantinya ditranslokasikan keseluruh tubuh
tanaman. Dengan demikian tanaman dapat memacu pertumbuhan dan ini
berpengaruh terhadap bobot kering tanaman.
Untuk berat kering tanaman Anabaena azollae (Tabel 2) dapat dijelaskan
bahwa pada hasil percobaan perlakuan lama aerasi 2,5 jam/hari berat keringnya
lebih rendah daripada perlakuan lama aerasi 0,5 jam/hari. Hal ini diduga terjadi
karena kandungan air suatu jaringan tanaman tidak sama satu dengan lainnya pada
waktu tertentu, yang dipengaruhi oleh faktor jaringan tanaman itu sendiri dan
lingkungannya. Penurunan berat kering menunjukkan bahwa kandungan air dalam
penimbangan berat basah masih tinggi dibanding dengan kadar air yang diperoleh
sehingga mempengaruhi pada penimbangan berat kering yang dilakukan setelah
penimbangan berat basah. Pedoman yang biasa digunakan untuk perolehan
biomassa adalah berat kering tanaman karena berat yang diperoleh konstan/tidak
banyak mengandung kadar air terlalu banyak.

Kadar Air Mikroalga Anabaena azollae
Dari hasil analisa menunjukkan bahwa pengaruh perlakuan lama aerasi
tidak berbeda nyata terhadap kadar air mikroalga Anabaena azollae. Hasil Uji
Duncan taraf 5% dan rata-rata kadar air mikroalga Anabaena azollae disajikan
pada Tabel 3. Hasil menunjukkan bahwa perlakuan lama aerasi tidak berbeda
terhadap rata-rata kadar air mikroalga Anabaena azollae.

Tabel 3. Rata-rata Kadar Air Mikroalga Anabaena azollae (%)

Berat Kadar Air Mikroalga Anabaena azollae
Perlakuan Asli Transformasi *
K0
K1
K2
K3
K4
K5
3,30 a
7,41 a
5,96 a
4,76 a
4,58 a
2,94 a
1,99
2,83
2,61
2,39
2,31
1,98
Keterangan : Angka yang didampingi oleh huruf yang sama pada kolom yang sama
menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji Duncan ( P=0,05)
* : Angka transformasi pada
) 1 x ( +


Kadar air pada Anabaena azollae mengalami penurunan seiring dengan
peningkatan lama aerasi. Hal ini diduga karena dengan makin lamanya aerasi
memungkinkan terjadi penguraian senyawa kompleks menjadi senyawa yang
lebih sederhana, yang mana kadar air yang cukup besar akibat dari kemampuan
tiap jaringan yang berlainan dalam menyerap air.

Kadar Protein Total
Hasil analisa menunjukkan bahwa pengaruh perlakuan lama aerasi tidak
berbeda nyata terhadap kadar protein total mikroalga Anabaena azollae. Hasil Uji
Duncan taraf 5% dan rata-rata kadar protein total mikroalga Anabaena azollae

PKMI-4-18-7
disajikan pada Tabel 4. Hasil menunjukkan bahwa perlakuan lama aerasi tidak
berbeda terhadap rata-rata kadar protein total mikroalga Anabaena azollae.

Tabel 4. Rata-rata Kadar Protein Total Mikroalga Anabaena azollae (%)
Kadar Protein Total Mikroalga Anabaena azollae
Perlakuan Asli Transformasi *
K0
K1
K2
K3
K4
K5
44,14 a
65,12 a
55,98 a
45,98 a
44,25 a
43,19 a
6,85
8,30
7,68
7,09
6,87
6,79
Keterangan : Angka yang didampingi oleh huruf yang sama pada kolom yang sama
menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji Duncan ( P=0,05)
* : Angka transformasi pada
) 1 x ( +


Semakin lamanya aerasi akan menyebabkan kadar protein total yang
dihasilkan rendah, hal ini diduga aerasi yang lama akan mempercepat
meningkatnya suhu dan proses penguapan pada media yang disertai dengan
meningkatnya penguapan nutrisi, sehingga menyebabkan sel Anabaena azollae
kekurangan nutrisi serta berdampak pada rendahnya hasil protein. Menurut
Satyani (2001), suhu sangat berpengaruh terhadap kadar oksigen. Pengaruh
terhadap oksigen ini pun seperti pada gas umumnya, yaitu makin tinggi suhu
maka makin rendah kadar oksigennya.

Analisa Asam Amino
Dari hasil analisa kadar asam amino mikroalga Anabaena azollae,
diperoleh kandungan asam amino sebanyak 20 macam. Perlakuan yang diambil
berasal dari hasil analisis protein yang tertinggi. Namun pada metionin, hidroksi
lysin dan hidroksi prolin kandungan asam aminonya tidak tampak, sedangklan
asam amino utama adalah asam glutamat.
Asam amino merupakan sub unit dari protein yang dapat dibentuk melalui
reaksi-reaksi metabolisme. Hasil analisis kadar asam amino menunjukkan bahwa
komposisi asam amino pada Anabaena azollae yang dihasilkan berbeda. Hal itu
terbukti setiap organisme mempunyai kandungan asam amino yang berlainan
seperti halnya pada hewan dan tumbuhan. Dari 20 asam amino penyusun
biomassa Anabaena azollae, 4 diantaranya (asam glutamat, asam aspartat, leusina,
alanina) memiliki konsentrasi lebih tinggi dari asam amino lainnya. Asam amino
utama yang terdapat dalam Anabaena azollae adalah asam glutamat (GLU).
Menurut Winarno dan Fardiaz (1979), sintesa asam glutamat dari asam -
ketoglutarat terjadi di dalam organisme-organisme yang dapat menggunakan
amonia sebagai sumber nitrogen untuk pertumbuhan dan perkembangan dari
organisme tersebut. Akan tetapi dari hasil ini menunjukkan bahwa di dalam
Anabaena azollae terdapat 16 asam amino. Sedangkan 3 asam amino lainnya
seperti metionin, hidroksi lysin dan hidroksi prolin tidak tampak dalam Anabaena
azollae, hal itu diduga hasil dari hidrolisis asam amino tersebut tidak kualitatif
(standar nilai rendah) dan pada Anabaena azollae sendiri tidak mengandung asam
amino tersebut serta tidak mampu untuk mensintesisnya. Menurut Winarno (1993)

PKMI-4-18-8
menyatakan bahwa seperti halnya produk protein nabati, protein sel tunggal asam
amino alga juga kekurangan asam amino sistein dan metionin, hal tersebut
kemungkinan juga berlaku pada asam hidroksi lysin dan hidroksi prolin, tetapi
sangat kaya akan tirosin dan serin.

Tabel 5. Analisa Asam Amino Mikroalga Anabaena azollae.

KADAR ASAM AMINO DALAM % B/B
Asam Amino I II III
No.
Berat Sampel 2,998 mg 3,470 mg 3,161 mg
Rata2
1 Asam aspartat (ASP) 2,846 % 2,347 % 3,311 % 2,835
2 Treonina (THR) 1,376 % 1,264 % 1,736 % 1,459
3 Serina (SER) 1,078 % 0,984 % 1,352 % 1,138
4 Asam Glutamat (GLU) 3,382 % 3,118 % 4,354 % 3,618
5 Glisina (GLY) 1,404 % 1,333 % 1,673 % 1,47
6 Alanina (ALA) 1,791 % 1,692 % 2,300 % 1,927
7 Sisteina (CYS) 0,151 % 0,097 % 0,110 % 0,119
8 Valina (VAL) 1,492 % 1,376 % 1,832 % 1,567
9 Metionina (MET) - - - -
10 Isoleusina (ILE) 1,414 % 1,264 % 1,765 % 1,481
11 Leusina (LEU) 2,118 % 1,943 % 2,641 % 2,234
12 Tirosina (TYR) 0,525 % 0,470 % 0,723 % 0,573
13 Fenilalanina (PHE) 1,232 % 1,102 % 1,419 % 1,251
14 Hidroksi lysin (HYLYS)

- - - -
15 Lisina (LYS) 1,185 % 1,032 % 1,474 % 1,230
16 NH
3
0,351 0,301 % 0,401 % 0,351
17 Histidina (HIS) 0,298 % 0,250 % 0,377 % 0,308
18 Arginina (ARG) 1,589 % 1,210 % 1,867 % 1,555
19 Hidroksi prolin (HYPRO)

- 0,105 % - 0,035
20 Prolina 0,823% 0,833% 1,257% 0,971
JUMLAH 23,123 20,721 28,591 24,122

Biomassa asam amino sangat erat kaitannya dengan sifat genetik dan
aktivitas fisiologis suatu organisme. Dwijoseputro (1983) menyatakan bahwa
penggabungan molekul-molekul asam amino dipengaruhi oleh kegiatan
fotofosforilasi. Faktor lain yang mempengaruhinya adalah kurangnya senyawa
anorganik yaitu CO
2
sebagai bahan dasar dalam proses fotosintesis, yang erat
kaitannya dengan perlakuan aerasi yang dilakukan yaitu penambahan O
2
pada
medium tunggal magnesium.
Sesuai dengan standart FAO bahwa Cyanobacteri memiliki kandungan
protein diatas 50% dan kandungan asam nukleat maksimal 1-3,2% (dari berat
kering) dan memiliki semua kandungan asam amino kecuali sistein, metionin,
tritophan (Sitompul, 1993). Dalam proses fotofosforilasi akan menghasilkan ATP
yang digunakan oleh sel heterosit untuk memfiksasi nitrogen bebas dari udara,
kemudian nitrogen dari hasil tersebut akan membentuk asam amino, sedangkan
protein tersusun dari asam amino. Penyusunan protein merupakan konsisten dari
protoplasma yang dilakukan di dalam ribosom.


PKMI-4-18-9
KESIMPULAN
Rata-rata hasil perlakuan yang diberikan terhadap berat segar, berat kering
dan kadar air serta kadar protein pada tanaman Anabaena azollae menunjukkan
tidak berbeda nyata. Perlakuan 0,5 jam/hari menunjukkan hasil yang tinggi pada
parameter berat segar, berat kering, kadar air dan kadar protein total. Hampir
semua asam amino esensial terbentuk kecuali metionin dan hidroksi lysin.

DAFTAR PUSTAKA
Anonymous, 1991 b. Kesuburan Tanah. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi,
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Arifin, Z., 1996. Azolla. Penebar Swadaya. Jakarta.
Colman, B., 1978. Excretion of Glycolate by Species of Chlorella sp.
(Chlorophyceae). J. Phycol.
Dwijoseputro, D., 1983. Pengantar Fisiologi Tumbuhan. Jakarta.
Fitriyanti, A., 1998. Pengaruh Berbagai Konsentrasi Mg dan Umur Panen
Terhadap Produksi Biomassa dan Protein Mikroalga Anabaena
azollae. Jurusan Budidaya Pertanian. Fakultas pertanian. UMM.
Gardner, F.P., R. B. Pearce & R.L. Mitchell, 1991. Fisiologi Tanaman
Budidaya. Universitas Indonesia. Jakarta.
Jay, J. M., 1978. Modern Food Microbiology. Van Nostrand Reinhold
Company. New York.
Khan, M., 1988. Azolla Agronomy. SEAMCO The Institut of Biological Scients
and SEARCA. Los Banos Philipina: P.51-55.
Satyani, D., 2001. Kualitas Air Untuk Ikan Hias Air Tawar. Penebar Swadaya.
Jakarta.
Sitompul, S.M., 1993. Biokimia Tanaman Metabolisme Nitrogen. Fakultas
Pertanian Unibraw. Malang.
Unus, S., 1986. Mikrobiologi. Universitas terbuka. PT. Karunia. Jakarta.S
Winarno, F.G. and S. Fardiaz, 1979, Biofermentasi dan Biosintesa Protein,
Penerbit Angkasa Bandung, Hal 66.
Winarno, F.G., 1993. Pangan, Gizi, Teknologi dan Konsumen. PT. Gramedia
Pustaka Utama. Jakarta. Hal 99-100.

PKMI-4-19-1
PROSES PENGOLAHAN MENGKUDU
(MORI NDA CI TRI FOLI A L.) INSTAN

Lucia Triastuti, Lintang P. Utami, M. Hafiz A., Bactiar Widianto
PS Teknologi Hasil Pertanian, Universitas Muhammadiyah Malang, Malang

ABSTRAK
Tanaman obat merupakan salah satu sumber daya kekayaan alam Indonesia yang
potensial, namun belum banyak dimanfaatkan. Sudah saatnya potensi ini digali
dan dikembangkan secara lestari, khususnya dalam rangka meningkatkan
kesehatan masyarakat, meningkatkan pendapatan dan taraf hidup masyarakat,
serta meningkatkan komoditas ekspor non-migas. Salah satu tanaman obat yang
mempunyai prospek baik adalah mengkudu (Morinda citrifolia L.), dimana
bagian yang paling banyak dimanfaatkan adalah buahnya. Berbagai penelitian
membuktikan mengkudu mampu menyembuhkan berbagai macam penyakit,
diantaranya meningkatkan daya tahan tubuh, menormalkan tekanan darah, anti
kanker, anti tumor, anti radang, anti alergi, mengatur siklus suasana hati, dan
mengatasi siklus energi tubuh. Kandungan gizi buah mengkudu terletak pada
kandungan kimia yang ada dalam buah mengkudu meliputi proxeronine, metil
asetil ester, analgesik, sedatif, damnachantal, dan terpenes.

Kata kunci : mengkudu, Morinda citrifolia L., proxeronine, metil asetil ester,
analgesik, sedatif, damnachantal, terpenes.

PENDAHULUAN
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi menunjukkan bahwa
pemakaian obat alami cenderung semakin meningkat. Perkembangan ini didorong
oleh munculnya berbagai pengaruh buruk penggunaan obat kimiawi sintesis.
Dengan bertambahnya jumlah penduduk serta berkembangya industri jamu di
Indonesia maka, diperkirakan mampu meningkatkan kebutuhan simplisia nabati
untuk jamu tradisional. Hal ini merupakan peluang besar bagi tanaman olahan
yaitu mengkudu sebagai alternatif produk olahan dalam dunia perdagangan.
Penggunaan berbagai macam tumbuhan untuk keperluan pengobatan telah dimulai
sejak 4000 tahun SM. Salah satu tanaman obat tersebut adalah tanaman mengkudu
(pace) ini dikenal sebagai obat yang sakti sejak ratusan tahun yang lalu. Tanaman
ini mudah untuk dibudidayakan serta bisa didapatkan dipekarangan yang banyak
digunakan sebagai tanaman peneduh.
Mengkudu (Morinda citrifolia L.) termasuk tumbuhan keluarga kopi-
kopian yang pada mulanya berasal dari wilayah daratan asia tenggara dan terdapat
sekitar 80 spesies yang termasuk dalam genus morinda.
Buah mengkudu dimanfaatkan sebagai bahan baku aneka industri
misalnya industri farmasi dan minuman sari buah mengkudu. Kandungan kimia
dalam buah mengkudu dapat menyembuhkan berbagai jenis penyakit berat seperti
sakit ginjal, TBC, diabetes, wasir, darah tinggi dan lain-lain. Bila dikembangkan
secara agribisnis, buah mengkudu dapat dimanfaatkan sebagai komoditas
unggulan dan sekaligus dapat diekspor. Prospek agribisnis tanaman mengkudu
terbuka luas, baik sebagai penghasil buah maupun sebagai bahan pengolahan
makanan dan minuman kesehatan. Produk mengkudu instan dalam berbagai
kemasan dapat dijumpai dipasaran.

PKMI-4-19-2
Tujuan dilakukannya pembuatan mengkudu instan adalah untuk
meningkatkan nilai ekonomis dari buah mengkudu selain di jual sebagai buah
segar.

METODE PENELITIAN
Pembuatan mengkudu instan ini dilaksanakan di Laboratorium
Teknologi Hasil Pertanian, Universitas Muhammadiyah Malang. Adapun alat-alat
yang digunakan antara lain : Timbangan, dandang, kompor, pisau, telenan, alat
penumbuk (alu, lumpang), gelas ukur, alat penyaringan, baskom, alat pengaduk,
ayakan, dan mesin sealer. Adapun bahan-bahan yang diperlukan yaitu buah
mengkudu sebanyak 3 kg, dan gula 3 kg.

Pelaksanaan pembuatan mengkudu instan adalah sebagai berikut :
1. Sortasi
Dimaksudkan untuk memilih mengkudu yang benar-benar baik kualitasnya.
Kriteria mengkudu yang dikehendaki yaitu mengkudu setengah matang, tidak
busuk, serta tidak cacat.
2. Pencucian
Pencucian berfungsi untuk menghilangkan kotoran yang melekat pada kulit
buah.
3. Penimbangan
Penimbangan dilakukan untuk mengetahui kapasitas produksi yang akan
digunakan untuk proses produksi serta untuk mengetahui kapasitas gula yang
akan digunakan.
4. Pengukusan
Pengukusan berfungsi untuk menghilangkan rasa gatal pada saat proses
pemerasan. Pengukusan dilakukan selama 3-5 menit.
5. Pengecilan ukuran
Pengecilan dilakukan secara manual dengan menggunakan pisau, hal ini
diperlukan untuk mempermudah proses penumbukan.
6. Penumbukan I
Berfungsi untuk melunakkan jaringan sel buah mengkudu agar dapat
mempermudah proses pemerasan mengingat daging buah mengkudu masih
agak keras. Dilakukan dengan menggunakan alu/lumpang.
7. Pemerasan
Pemerasan dilakukan dengan penambahan air secukupnya untuk memudahkan
proses pemerasan, air dalam bahan dapat keluar secara maksimal.
8. Penyaringan
Penyaringan dilakukan untuk memisahkan antara ekstrak mengkudu dengan
ampas.
9. Pemasakan
Pemasakan dilakukan selama 1 jam dengan penambahan gula sampai
mengkristal, setelah itu didinginkan.
10. Pendinginan
Bertujuan untuk menurunkan suhu produk. Pendinginan dilakukan dengan
cara dibolak-balik agar panas bisa keluar secara merata, dan diangin-anginkan
sampai produk menjadi dingin.


PKMI-4-19-3
11. Pengayakan I
Bertujuan untuk menghasilkan produk yang ukurannya seragam. Pada proses
ini dihasilkan produk yang lolos ayakan dan produk yang tidak lolos ayakan.
12. Penumbukan II
Bertujuan untuk memperkecil ukuran produk mengkudu instan yang tidak
lolos dalam pengayakan I.
13. Pengayakan II
Bertujuan untuk mendapatkan bentuk yang seragam, hasil dari pengayakan I
dicampur dengan pengayakan II.
14. Penimbangan
Dilakukan untuk mendapatkan produk yang sesuai dengan kapasitas kemasan
yang disediakan, yaitu masing-masing 100 gram.
15. Pengemasan
Pengemasan dengan menggunakan kemasan plastik.
16. Penyileran
Penyileran merupakan proses penutup kemasan plastik dengan menggunakan
mesin sealer.

HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil
Dari hasil uji coba pembuatan mengkudu instan menunjukkan bahwa
dari 3 kg mengkudu yang digunakan dan 3 kg gula pasir, didapatkan data bahwa
hasil akhir dari pembuatan mengkudu instan adalah 2,8 kg. dapat dikatakan bahwa
suatu produk (buah) yang mempunyai kandungan air di dalamnya, jika diolah
menjadi bahan kering maka dalam prosesnya akan terjadi penguapan air sehingga
kandungan air yang ada di dalam produk tersebut berkurang sehingga akan
mengalami penyusutan berat.

B. Pembahasan
Mengkudu merupakan tanaman obat yang digunakan sebagai obat
tradisional oleh sekelompok masyarakat untuk memelihara kesehatan maupun
untuk mengatasi gangguan kesehatan mereka. Dimana mengkudu tersebut dapat
diolah dengan penambahan gula menjadi mengkudu instan. Dalam hali ini gula
berperan dalam stabilitas mikroorganisme pada suatu produk makanan jika
diberikan dalam konsentrasi yang cukup (Buckle, et, al, 1987).
Kandungan kimia yang terdapat dalam buah mengkudu diantaranya
adalah zat nutrisi, Terpenoid, Zat anti bakteri, Scolopetin, Zat anti kanker,
Xeronine dan Proxeronine, Asam (Bangun dan Sarwono, 2002).
Senyawa terpenoid adalah hidrokarbon isomerik yang berfungsi untuk
mrmbantu tubuh dalam proses sintesis organik dan pemulihan sel-sel tubuh.
Skopoletin berfungsi untuk memperlebar saluran pembuluh darah dan
memperlancar peredaran darah, serta berkhasiat sebagai anti bakteri, anti alergi,
dan anti radang. Xeronine adalah salah satu alkaloid yang berfungsi untuk
mengaktifkan enzim-enzim dan mengatur serta membentuk struktur protein.
Acubin, alizrin, dan antraquinon termasuk zat-zat anti bakteri yang dapat
membunuh bakteri Pseudomonas aeruginosa, Proteus morganii, Staphylococcus
auerus, Bacillus subtilis, Escherichia coli, dan bahkan bakteri yang mematikan,
misalnya Salmonella dan Shigela (Rukmana, 2002).

PKMI-4-19-4
Gula pasir berfungsi sebagai pemanis dan pengawet sirup/instan
mengkudu. Gula pasir yang digunakan harus putih bersih. Gula pasir yang putih
bersih memiliki tingkat kemanisan yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang
kecoklatan dan produk yang dihasilkan tampak lebih jernih (Haryoto, 1998).
Menurut Hartono (1993), yang dimaksud dengan produk instan harus
memiliki ciri mudah didispersikan dalam media air. Proses pembentukan instan
adalah sebagai berikut :
Pada tahap awal terjadi tahap pemampatan partikel-partikel yang ada, ditambah
dengan proses pengadukan maka akan terjadi tabrakan antar partikel-partikel
yang ada, dan partikel saling mendekat, sehingga terjadi sedikit gumpalan yang
sifatnya tidak stabil.
Setelah dilakukan proses pembasahan untuk menstabilkan gumpalan-gumpalan
yang terbentuk. Pembasahan dapat dilakukan dengan larutan gula, hidrokoloid
atau menggunakan emulsi. Dan kemudian mulailah terjadi pemekaran pada
rongga-rongga kapiler.
Pada tahap akhir terjadi proses pengeringan yaitu dengan keluarnya air yang
ada. Hal ini menyebabkan terjadinya lekat gumpalan-gumpalan yang ada. Dan
akibatnya terbentuk bubuk yang memiliki struktur yang kasar.

KESIMPULAN
1. Mengkudu merupakan salah satu jenis tanaman obat yang berkhasiat dapat
menyembuhkan berbagai macam penyakit
2. Kandungan kimia yang terdapat dalam buah mengkudu diantaranya adalah zat
nutrisi, Terpenoid, Zat anti bakteri, Scolopetin, Zat anti kanker, Xeronine dan
Proxeronine, Asam.
3. Suatu produk yang mengandung komponen air, jika diolah menjadi produk
kering maka akan berpengaruh terhadap produk akhir yang dihasilkan.

DAFTAR PUSTAKA
Bangun dan Sarwono. 2002. Sehat dengan Ramuan Tradisional Khasiat dan
Manfaat Mengkudu. Agro Media Oustaka. Jakarta.
Buckle K.A, R.A Edwards, G.H. Fleet, M. Wooton. 1987. Ilmu pangan.
Universitas Indonesia Press. Jakarta.
Hartomo, A.J., Widiatmoko. M.C. 1993. Emulsi dan Pangan Instan Berlesitin.
Andi Offset. Yogyakarta.
Hartoyo. 1998. Produk Pangan Instan. Kanisius. Yogyakarta.
Rukmana, Rahmad. 2002. Budi Daya dan Prospek Agribisnis Mengkudu.
Kanisius. Jakarta.

PKMI-5-1-1
PENGARUH PENAMBAHAN ABU TERBANG TERHADAP KUAT
TEKAN MORTAR BUBUK KACA

Hendra Gunawan, Indra Kuswoyo, Munawir Anazli
Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas Riau, Pekanbaru

ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan mengkaji pemanfaatan abu terbang dengan persentase
tertentu terhadap kuat tekan mortar bubuk kaca. Pemakaian bahan tambah abu
terbang ini diharapkan dapat mengurangi reaksi alkali silika yang diakibatkan
oleh bubuk kaca pada mortar serta dapat menghemat penggunaan semen pada
campuran mortar. Selain itu akan berguna untuk memberikan nilai tambah
limbah industri yang belum dimanfaatkan secara optimal khususnya sebagai
bahan bangunan (akrab lingkungan). Perbandingan antara semen dan pasir pada
penelitian mortar ini adalah 1:4. Benda uji dibuat sebanyak 50 sampel kubus
berukuran 5x5x5 cm. Bubuk kaca dan abu terbang digunakan dengan persentase
3%, 5%, dan 8% terhadap berat semen sedangkan komposisi antara bubuk kaca
dan abu terbang yaitu 40-60, 45-50, 50-50, 55-45 dan 60-40. Sementara itu
sebagai pembanding dibuat campuran dengan kadar bubuk kaca dan abu terbang
0%. Hasil penelitian menunjukkan bahwa komposisi abu terbang pada campuran
mortar bubuk kaca yang efektif untuk memperoleh kuat tekan optimum pada
persentase 3% sebesar 45:55 dan untuk kadar 5% yakni 45:55. Sedangkan untuk
kadar 8% komposisi yang efektif adalah 50:50. Hal ini menunjukkan bahwa abu
terbang dapat digunakan sebagai bahan tambah pada campuran mortar.

Kata kunci: abu terbang, alkali silika, bubuk kaca, mortar, pozzolan

PENDAHULUAN
Mortar merupakan bahan bangunan berupa campuran dari semen, pasir
dan air. Mortar digunakan sebagai bahan pengikat sambungan bata, batu dan blok
beton. Mortar digunakan pada konstruksi struktural dan non struktural. Pada
konstruksi struktural mortar berfungsi sebagai spesi pondasi dan dinding,
sedangkan untuk konstruksi nonstruktural, mortar berfungsi sebagai pelapis
bagian terluar dinding.
Penelitian untuk menghasilkan mortar yang lebih baik, murah, awet dan
melekat baik pada bata terus dikembangkan. Salah satunya dengan menambahkan
bahan tambah mineral seperti abu terbang, abu sekam hingga bubuk kaca. Bahan
tambah ini ditujukan untuk memperbaiki sifat-sifat mortar yang dihasilkan.
Bahan tambah berupa abu terbang dapat meningkatkan sifat kekedapan air
serta silica fume untuk menambah kekakuan mortar. Berbagai penelitian
umumnya menitik beratkan pada sifat pozzolanic yang dimiliki bahan tambah
tersebut. Sifat ini memungkinkan abu berfungsi seperti semen yaitu sebagai
perekat dalam mortar. Abu terbang merupakan bahan padat buangan atau limbah
yang digunakan untuk bahan konstruksi mengingat limbah tersebut memiliki
unsur kimia (SiO
2
) yang mampu meningkatkan kinerja material mortar (Munaf,
2001).
Bubuk kaca sebagai bahan tambah dalam beton dan pekerjaan jalan raya
mulai banyak digunakan di negara maju. Komposisi kaca yang tidak berubah

PKMI-5-1-2
secara kimia menjadikan bahan ini mudah digunakan sebagai bahan daur ulang.
Kaca adalah bahan yang kaya silika, sehingga akan berkontribusi pada terjadinya
reaksi alkali-silika yang merugikan bahan tersebut. Untuk mengatasinya maka
dapat digunakan bubuk silika reaktif dalam campuran beton atau mortar yang
mengandung kaca.
Penelitian ini bertujuan untuk menyelidiki persentase dan komposisi
bubuk kaca dan abu terbang dalam campuran mortar. Hasil penelitian ini selain
dapat memberi nilai tambah pada abu terbang dan bubuk kaca, juga dapat
memberikan rekomendasi komposisi campuran mortar dengan mutu yang baik.

Bubuk Kaca
Kaca merupakan zat tembus cahaya dan jernih yang terjadi jika tanah
kersik dalam bentuk pasir kwarsa dan batu api yang ditumbuk atau batu pasir yang
dilebur bersama dengan zat-zat kimia (soda, potas, kapur, magnesium) dan oksid
logam (timah hitam, besi aluminium,dan sebagainya). Menurut Daryanto (1994),
sifat-sifat kaca secara umum adalah kerapatannya besar, kekerasannya besar pada
temperatur biasa, pada bidang patahannya terdapat kilapan yang kuat, penghantar
kalor yang jelek, sukar menghantarkan listrik, dapat mempertahankan kejernihan,
warna, kilapan, dan sifat kerasnya dalam jangka waktu yang sangat panjang, dan
memiliki kuat tarik yang besar. Komposisi kaca secara kimia berdasarkan ukuran
pecahannya dapat terlihat pada Tabel 1 berikut.

Tabel 1. Komposisi kandungan kaca berdasarkan pecahannya (Shayan
dan Xu, 2004)
Komposisi
Kaca pecah
(%)
Bubuk Kaca
(%)
Silika Fume
(%)
SiO
2

Al
2
O
3
Fe
2
O
3

CaO
MgO
Na
2
O
K
2
O
SO
3
LOI
71.62
1.38
0.48
11.70
0.56
13.12
0.38
0.09
0.22
72.20
1.54
0.48
11.42
0.79
12.85
0.43
0.09
0.36
89.75
0.14
0.03
0.38
0.05
0.19
0.34
0.04
6.54

Hasil temuan Topcu dan Canbaz (2004) menunjukkan bahwa penambahan
bubuk kaca dapat meningkatkan kekuatan pada campuran beton. Tetapi
pengunaan bubuk kaca secara berlebihan akan membawa dampak negatif pada
beton, yakni dengan timbulnya reaksi alkali silika pada beton. Reaksi alkali-silika
(Alkali-Silica Reaction, atau ASR) merupakan reaksi antara kandungan silika aktif
dalam bubuk kaca dan alkali dalam semen. Reaksi ini membentuk suatu gel alkali
silika yang menyelimuti butiran-butiran agregat. Gel tersebut dikelilingi oleh
pasta semen dan akibat pemuaian terjadilah tegangan internal, yang dapat
mengakibatkan retaknya atau pecahnya pasta semen. Pemuaian akibat reaksi
alkali-silika ini dapat dikurangi dengan menambah bubuk halus silika reaktif ke
dalam campuran mortar (Tjokrodimuljo, 1995). Penambahan abu tebang untuk
campuran mortar akan efektif dalam mengurangi reaksi alkali silika (Shi et al,
2005).

PKMI-5-1-3
Shayan dan Xu (2004) juga mengelompokkan kandungan kaca
berdasarkan jenis warnanya, seperti pada Tabel 2. Kaca bening memiliki
kandungan Silika Oksida terbesar jika dibandingkan dengan kaca berwarna coklat
ataupun berwarna hijau dengan 72,42%. Sehingga kaca bening lebih optimal jika
digunakan sebagai bahan tambah pada campuran beton.

Tabel 2. Komposisi kandungan kaca dari Shayan dan Xu (2004)
berdasarkan warna

Komposisi Gelas Bening (%) Gelas Coklat (%) Gelas Hijau (%)
SiO
2

Al
2
O
3

TiO
2

Cr
2
O
3

Fe
2
O
3

CaO
MgO
Na
2
O
K
2
O
SO
2
72.42
1.44
0.035
0.002
0.07
11.50
0.32
13.64
0.35
0.21
72.21
1.37
0.041
0.026
0.26
11.57
0.46
13.75
0.20
0.10
72.38
1.49
0.04
0.130
0.29
11.26
0.54
13.52
0.27
0.07

Abu Terbang
Bahan tambah pengganti sebagian semen yaitu slag, pozzolan alami dan
pozzolan buatan seperti abu terbang merupakan bahan yang tidak atau sedikit
menunjukkan sifat semen. Akan tetapi bahan yang mengandung senyawa silika,
alumina dan lainnya ini dalam bentuk halus dan dengan adanya air akan bereaksi
secara kimia dengan kalsium hidroksida pada suhu ruang membentuk senyawa
bersifat semen.
Penggunaan bahan tambah pengganti sebagian semen saat ini telah banyak
diteliti dan digunakan sebagai campuran mortar. Secara ekonomi, hal ini
memungkinkan adanya pengurangan biaya dengan menghemat jumlah semen
yang digunakan. Sedangkan secara teknis, bahan tambah dapat berfungsi sebagai
pengisi dalam campuran dan memperbaiki workability. Pemakaian bahan tambah
juga memberikan keuntungan di bidang ekologi karena berpotensi mengurangi
polusi udara dan air akibat penumpukan bahan ini dalam jumlah besar.
Abu terbang merupakan bahan pozzolanic, yaitu material yang tidak
mengikat seperti semen, namun mengandung senyawa Silika Oksida (SiO
2
),
Aluminium Oksida (Al
2
O
3
) dan Ferri Oksida (Fe
2
O
3
) aktif yang dapat bereaksi
dengan kapur bebas atau Kalsium Hidroksida (CaO) dengan air dan membentuk
material seperti semen yaitu Kalsium Silikat Hidrat dan Kalsium Aluminium
Hidrat. Sifat dasar abu terbang yang penting adalah sifat pengerasan sendiri
seperti sifat semen. Abu terbang akan mengeras dengan bertambahnya waktu,
karena itu kekuatannya juga akan meningkat.
Reaksi pozzolanic abu terbang dapat dilihat di bawah ini:

CaO + H
2
O Ca(OH)
2

Ca(OH)
2
Ca
++
+ 2(OH)
-

Ca
++
+ 2(OH)
-
+ SiO
2
CaO.SiO
2
.2H
2
O (Kalsium Silikat Hidrat)
Ca
++
+ 2(OH)
-
+ Al
2
O
3
CaO.Al
2
O
3
.2H
2
O (Kalsium Aluminium Hidrat)


PKMI-5-1-4
Komposisi kimia abu terbang hampir relatif sama, namun yang
membedakannya adalah persentase kandungan masing-masing unsur yang
terdapat di dalamnya. Berikut ini tabel komposisi kimia abu terbang dan
persentase dari masing-masing unsur berdasarkan ASTM (Tabel 2).

Tabel 3. Komposisi Kimia Abu Terbang (ASTM C 618-94a, 1994)
Komposisi Kimia Persentase
Silika (SiO
2
) 40-55
Oksida Besi (Fe
2
O) 5-10
Alumunium Oksida (Al
2
O
3
) 20-30
Kalsium Oksida (CaO) 2-7
Sulfur Trioksida (SiO
3
) 0.4-2
Kalsium Oksida (K
2
O) 1-5
Natrium Oksida (Na
2
O) 1-2
Magnesium Oksida (MgO) 1-4
Hilang Pijar 3-12

BAHAN DAN METODE
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini berupa agregat halus
yang berasal dari Danau Bingkuang, Kabupaten Kampar Riau dengan ukuran
butiran maksimum 4,75 mm, dan bahan dasar untuk campuran digunakan semen
tipe I yang diproduksi oleh PT Semen Padang, Sumatera Barat dengan berat jenis
3,15 gr/cm
3
, sedangkan air sebagai bahan pencampur diambil dari saluran air
bersih Laboratorium Teknologi Bahan Fakultas Teknik Universitas Riau. Bahan
tambah pengganti sebagian semen menggunakan abu terbang dari PT Riau
Andalan Pulp & Paper Pangkalan Kerinci Riau dan bubuk kaca diperoleh dari
limbah-limbah botol kaca yang tidak termanfaatkan lagi.
Penelitian dimulai dengan melakukan pengujian standar pada agregat
untuk menentukan sifat-sifat fisis dan mekanis, yaitu berat jenis, kadar air, kadar
lumpur, berat volume serta analisis saringan. Kemudian abu terbang sebelum
digunakan disaring terlebih dahulu dengan saringan no. 200 dan dilakukan
pemeriksaan berat jenisnya, selanjutnya limbah kaca dihaluskan hingga lolos
saringan no 200 untuk mendapatkan bubuk kaca.
Perencanaan campuran mortar (mix design) merupakan proses penentuan
komposisi material-material untuk mendapatkan mortar yang memiliki kekuatan
tekan karakteristik direncanakan. Pengujian material dilakukan hanya untuk
mendapatkan data-data yang diperlukan dalam perencanaan mortar. Metode
pembuatan campuran mortar pada penelitian ini menggunakan perbandingan
antara semen dan pasir yaitu 1:4.
Campuran direncanakan untuk 50 sampel kubus berukuran 5x5x5 cm.
Bubuk kaca + abu terbang digunakan dengan persentase 3%, 5%, dan 8%
terhadap berat semen sedangkan komposisi antara bubuk kaca dan abu terbang
yaitu 40:60, 45:50, 50:50, 55:45 dan 60:40. Sementara itu sebagai pembanding
dibuat campuran dengan kadar bubuk kaca dan abu terbang 0%. Nilai fas
ditentukan sebesar 0,59.
Pelaksanaan penelitian diawali dengan mempersiapkan segala material
yang akan digunakan. Pasir dipersiapkan di dalam mesin pengaduk, kemudian
semen, abu terbang serta bubuk kaca dimasukkan dan dicampur sambil memberi
air hingga campuran menjadi homogen. Selanjutnya dilakukan pembuatan benda

PKMI-5-1-5
uji berupa kubus 5x5x5 cm. Adukan mortar dimasukkan ke dalam cetakan
kemudian ditusuk-tusuk sebanyak 25 tusukan hingga padat. Cetakan benda uji
dibuka setelah 24 jam pembuatan mortar dicetak. Mortar direndam dalam bak air
pada suhu (23 2)
0
C sampai saat dilakukan pengujian pada umur 28 hari. Uji
kubus berupa pengujian kuat tekan, pengujian dilaksanakan menggunakan mesin
uji tekan (Compresion Machine) seri 0051869.

Tabel 4. Sampel pengujian kuat tekan mortar
Komposisi campuran bubuk kaca dan abu terbang
terhadap berat semen
No.
Persentase
bubuk kaca +
abu terbang
terhadap berat
semen
40-60 45-55 50-50 55-45 60-40
Jumlah
1 0 % - - - - - 5
2 3 % 3 3 3 3 3 15
3 5 % 3 3 3 3 3 15
4 8 % 3 3 3 3 3 15
Jumlah sampel uji tekan mortar 50

HASIL PENELITIAN
Hasil Pemeriksaan Agregat
Hasil pemeriksaan agregat halus pasir alam asal Danau Bingkuang Kampar
dapat dilihat pada Tabel 4 berikut ini.

Tabel 5. Hasil Pemeriksaan Agregat
No. Jenis pemeriksaan Standar spesifikasi Agregat Halus
1 Kadar lumpur (%) < 5 1,9
2 Berat jenis (gr/cm
3
)
a. Apparent specific gravity
b. Bulk specific gravity (kering)
c. Bulk specific gravity (SSD)
d. Absorption (%)

2,58-2,83
2,58-2,83
2,58-2,83
2-7

2,717
2,459
2,552
3,775
3 Kadar air (%) 3-5 3,529
4 Modulus kehalusan 1,5-3,8 7,546
5 Berat volume (gr/cm
3
)
a. Kondisi gembur
b. Kondisi padat

1,4-1,9
1,4-1,9

1,255
1,409

Hasil Pemeriksaan Berat Jenis Abu Terbang
Berat jenis abu terbang dari PT RAPP Pangkalan Kerinci Riau adalah
2,1520 gr/cm
3
. Menurut penelitian Clarke (1992), berat jenis abu terbang berkisar
antara 1,90 gr/cm
3
s/d 2,72 gr/cm
3
.

Hasil Pengujian Kuat Tekan Mortar
Kuat tekan didapat dari rata-rata tiga buah benda uji berbentuk kubus
dengan ukuran 5x5x5 cm untuk umur mortar 28 hari. Hasil uji kuat tekan dari
rancangan campuran mortar dengan variasi pemakaian bubuk kaca dan abu

PKMI-5-1-6
164
200
220
228
0
50
100
150
200
250
0% 3% 5% 8%
Persent ase bubuk kaca dan abu t erbang t erhadap berat semen
K
u
a
t

t
e
k
a
n

m
o
r
t
a
r

(
K
g
/
c
m
2
)
140
192
160
220
172
180
200
172
200 180
192
228
0
50
100
150
200
250
40:60 45:55 50:50 55:45 60:40
Komposisi campuran bubuk kaca dan abu t erbang t erhadap berat
semen
K
u
a
t

t
e
k
a
n

m
o
r
t
a
r

(
K
g
/
c
m
2
)
3%
5%
8%
terbang 0% dari berat semen pada umur 28 hari diperoleh nilai kuat tekan mortar
sebesar 164 kg/cm
2
. Untuk campuran mortar yang ditambahkan bubuk kaca dan
abu terbang terhadap berat semen sebanyak 3%, 5%, 8% diperoleh kuat tekan
masing-masing sebesar 200 kg/cm
2
, 220 kg/cm
2
dan 228 kg/cm
2
. Hasil uji kuat
tekan mortar di atas dapat diplot dalam bentuk grafik seperti Gambar 1 berikut ini.


















Gambar 1. Hubungan kuat tekan mortar dengan persentase
pemakaian bubuk kaca dan abu terbang terhadap berat
semen.



















Gambar 2. Hubungan kuat tekan mortar dengan komposisi
pemakaian bubuk kaca dan abu terbang terhadap
persentase berat semen.

PKMI-5-1-7
Gambar 2 menunjukkan bahwa pada umur mortar 28 hari dengan variasi
pemakaian bubuk kaca dan abu terbang sebesar 3% terhadap berat semen, kuat
tekan mortar tertinggi terdapat pada komposisi 45:55. Hal yang sama juga terjadi
untuk penambahan sebesar 5%. Komposisi 50:50 (bubuk kaca:abu terbang) untuk
kadar 8% memberikan kuat tekan tertinggi di antara semua variasi.

PEMBAHASAN
Hasil pemeriksaan sifat-sifat agregat halus sebagian besar memenuhi
spesifikasi yang disyaratkan. Nilai modulus kehalusan agregat halus diperoleh
sebesar 7,5459 dan nilai ini tidak memenuhi standar spesifikasi modulus halus
butir agregat halus yaitu 1,5-3,8, karena agregat halus asal Danau Bingkuang
tersebut cenderung berbutir kasar.
Hasil penelitian menunjukkan penambahan bubuk kaca dapat
meningkatkan kuat tekan pada mortar. Kenaikan akibat pemakaian bubuk kaca
dan abu terbang sebanyak 3% meningkatkan nilai kuat tekan mortar sebesar
21,95% dari mortar tanpa bahan tambah. Sedangkan untuk penambahan 5% dan
8% kekuatannya meningkat 34,15% dan 39,02%. Kenaikan kuat tekan ini
disebabkan mortar dicampur dengan bubuk kaca yang kaya akan senyawa silika.
Senyawa silika oksida dari kaca memberikan pengaruh baik karena cenderung
memperkuat ikatan bahan penyusun mortar.
Penambahan abu terbang dengan kadar yang optimum dapat mengatasi
reaksi alkali silika yang terjadi pada mortar bubuk kaca. Abu terbang akan
menambah daya ikat karena kandungan silika serta sifat amorf dan glassy (seperti
kaca) dari butirannya yang dapat menjaga kadar air tetap rendah dan mengurangi
gel pada mortar bubuk kaca. Hal ini sesuai dengan penelitian Shi et al (2005)
yaitu dengan penambahan abu terbang pada beton dapat mengatasi reaksi alkali
silika yang terjadi sehingga dapat meningkatkan kekuatan beton.
Untuk memperoleh kuat tekan optimum pada campuran abu terbang dan
mortar bubuk kaca sebesar 3% dan 5%, direkomendasikan menggunakan
komposisi 45:55. Sedangkan untuk campuran abu terbang dan mortar bubuk kaca
sebesar 8%, dapat digunakan komposisi 50:50. Penggunaan abu terbang secara
berlebihan akan menurunkan kuat tekan mortar, karena abu terbang juga
mengandung alkali silika yang menghasilkan gel sehingga dapat merusak mortar.

KESIMPULAN
Berdasarkan hasil pengujian dan pembahasan yang dilakukan terhadap
mortar bubuk kaca dengan bahan tambah abu terbang, maka dapat ditarik
kesimpulan pengujian sifat fisis yang dilakukan terhadap material pembentuk
mortar (agregat halus dan bahan tambah abu terbang) memberikan hasil yang
memenuhi syarat untuk pembuatan mortar. Untuk campuran mortar yang
ditambahkan bubuk kaca dan abu terbang terhadap berat semen sebanyak 3%, 5%,
8% diperoleh persentase kenaikan kuat tekan terhadap mortar tanpa bahan tambah
masing-masing sebesar 21,95%, 34,15% dan 39,02%. Komposisi abu terbang
pada campuran mortar bubuk kaca yang efektif untuk memperoleh kuat tekan
optimum pada persentase 3% sebesar 45:55, dan untuk kadar 5% yakni 45:55.
Sedangkan untuk kadar 8% komposisi yang efektif adalah 50:50. Oleh karena itu
penambahan abu terbang pada campuran mortar bubuk kaca dapat mengurangi
terjadinya reaksi alkali silika sehingga dapat meningkatkan kuat tekan mortar.

PKMI-5-1-8
DAFTAR PUSTAKA
ASTM. 1994. Annual Book of ASTM Standards. Philadelphia: ASTM.
Clarke. 1992, Structural Fill, University Of Newcastle Upon Tyne, USA.
Daryanto. 1994. Pengetahuan Teknik bangunan. Jakarta: Rineka Cipta.
Munaf, D.R. 2001, Perkembangan Teknologi Beton dan Peran Abu Terbang
dalam Beton Ringan Kinerja Tinggi, di dalam: Anonim, Trend Teknik Sipil
Era Milenium Baru, Bandung: Yayasan John Hi-Tech Idetama.
Shayan,A. and Xu, A. (2004). Value-added utilisation of waste glass in concrete,
Cement and Concrete Research 34 (2004): 8189.
Shi, et al. (2005). Characteristics and pozzolanic reactivity of glass powders,
Cement and Concrete Research, Vol 35, no 5, pp. 987-993.
Tjokrodimuljo, K. 1995. Buku Ajar Teknologi Beton. Yogyakarta: Universitas
Gajah Mada.
Topcu, I.B. & Canbaz, M. 2004. Properties of concrete containing waste glass.
Cement and Concrete Research. 34: 273.

PKMI-5-2-1
KEKUASAAN PEREMPUAN MASA JAWA KUNA TERKAIT DENGAN
PERAN YANG DIMILIKI: DATA PRASASTI ABAD 7-15 MASEHI

Timurti Novia P
Program Studi Arkeologi Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia, Jakarta

ABSTRAK
Secara fisik maupun psikologis perempuan berbeda dengan laki-laki yang pada
kodratnya adalah makhluk yang berjenis kelamin wanita, sebagai ibu yang
melahirkan keturunan, dan sebagainya. Secara psikologis laki-laki dianggap
lebih rasional, lebih aktis, dan lebih agresif sedangkan perempuan dianggap lebih
emosional, lebih pasif, dan submisif. Adanya perbedaan anggapan seperti itulah
yang menimbulkan terjadinya pembagian kerja yang didasarkan atas perbedaan
seks yang berlangsung sejak ribuan tahun yang lalu. Perdebatan tentang peran
perempuan di wilayah publik-domestik telah mencuatkan kesadaran baru.
Kesadaran bahwa secara sadar atau tidak, perempuan sejak masa lalu ternyata
telah memiliki power yang cukup penting. Memang tidak selamanya perempuan
dalam inferioritas. Studi tentang perempuan dalam berbagai aspek kehidupannya
memang telah cukup banyak. Kuasa perempuan pada masa Jawa Kuna membidik
kemampuan perempuan Jawa dalam memepengaruhi, menentukan, bahkan
mungkin mendominasi suatu keputusan. Dengan kedudukan yang dimilikinya,
secara otomatis ia mempunyai peranan yang cukup besar dalam mendominasi
kegiatan yang berlangsung dalam lingkungan masyarakat pada masa lalu.
Kemampuan perempuan untuk mempengaruhi aspek-aspek sosial dalam
masyarakat, misalnya dalam pengambilan keputusan tersebut bukan semata-mata
hanya pada saat keputusan itu diambil, melainkan merupakan sebuah proses
yang panjang dari proses adaptasi, pemaknaan kembali, hingga strategi
diplomasi. Dalam peran-peran strategis dan menentukan inilah yang selama ini
dilakukan perempuan di Jawa. Dalam batas-batas tertentu bisa jadi kaum pria
hanya sekedar menjadi juru bicara (jubir) perempuan.

Kata kunci: perempuan, sosial, jawa kuno, prasasti.

PENDAHULUAN
Dalam stereotip klasik, perempuan dan dimensi feminin tidak
mencantumkan gagasan kekuasaan. Umumnya stereotip perempuan meliputi
kesimpatikan, kepekaan terhadap kebutuhan sesama, memahami, merawat,
hangat, lembut, ramah, setia, dan tidak berbicara kasar. Sedangkan gagasan
kekuasaan menurut konsep Barat meliputi ketegaran dan keperkasaan. Akibatnya
menjadi wajar jika dalam budaya Barat secara tradisional perempuan tidak
memikirkan kekuasaan dalam diri mereka sendiri sebagimana pria mendefinisikan
kata tersebut. Kualitas feminin justru sangat berlawanan dengan definisi
tradisional kekuasaan (Cantor, 1992: 46-47) .
Kualitas yang didapat dari kekuasaan adalah kekuatan, ketegaran, otoritas
mengenai orang lain, dan membuat orang lain mematuhi apa yang dikatakannya.
Semua kualitas ini belum pernah dianggap sebagai ciri feminin, namun lebih
dianggap sebagi ciri maskulin. Implikasi dari dari konsep kekuasaan yang sarat
dengan dimensi maskulin ini bukan saja memberikan implikasi perbedaan

PKMI-5-2-2
kemampuan antara pria dan perempuan, melainkan juga berpengaruh terhadap
pembagian kekuasaan sosial pada perempuan.
Dari data arkeologi yang ada telah menunjukkan bahwa perempuan
mempunyai kuasa yang penting sejak awal perkembangan kebudayaan di
Nusantara hingga sekarang. Pemujaan terhadap perempuan terlihat dengan adanya
pemujaan terhadap Mother Goddes (Dewi Ibu) yang dipercaya menguasai
kesuburan, kelahiran, dan kematian. Tanam-tanaman dan buah-buahan yang
tumbuh dari tanah dianggap dikeluarkan dari rahim Dewi Ibu. Ketika seseorang
yang meninggal telah dikuburkan, ia pun dianggap kembali ke rahim Dewi Ibu.
Pada masa Hindu-Buddha, kedudukan perempuan telah dianggap cukup penting.
Hal ini dapat diketahui dengan kepercayaan terhadap konsep akti. akti
merupakan energi dewa yang yang dipancarkan dan diwujudkan dalam bentuk
dewi atau pasangan sang dewa. Tanpa aktinya, dewa akan lemas tak berdaya.
Banyak pemikir-pemikir besar masa lalu yang beranggapan bahwa
perempuan adalah makhluk yang lebih banyak menggunakan rasa emosinya
daripada logika, serta kurang emosional dalam bertindak. Emmanuel Kant,
seorang filsuf Jerman yang hidup pada abad ke-18 mengatakan bahwa sulit
dipercaya jika perempuan mempunyai kesanggupan untuk mengerti prinsip-
prinsip; atau Arthur Scopenhauer, seorang filsuf Jerman yang juga hidup pada
abad ke-18 mengatakan, perempuan dalam segala hal selalu terbelakang, tidak
mempunyai kesanggupan untuk berpikir dan berefleksi, posisi perempuan berada
di antara anak-anak dan pria dewasa, dan pada akhirnya mereka diciptakan hanya
sebagai alat pengembang keturunan (Budiman 1982:7).
Wacana tentang peranan perempuan secara umum merupakan suatu
perjuangan (struggle) untuk mendapatkan pengakuan (recognition). Dari segi
ilmiah gagasan awal tentang peranan perempuan yang diangkat dari pandangan
humanisme, feminisme, dan jenderisme (gender) mendapat tanggapan beragam
(mixed reactions). Penelitian mengenai masalah perempuan telah dilakukan secara
ekstensif dan intensif pada dasawarsa terakhir ini. Berbagai fakta mengenai
perempuan telah dikumpulkan dan diuraikan oleh berbagai disiplin ilmu, baik dari
perspektif biologi, sejarah maupun kebudayaan secara umum. Berbagai dokumen
sejarah dan hasil-hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa kedudukan dan
peranan perempuan Indonesia tidak dapat diabaikan begitu saja.
Pada masa Hindu-Buddha khususnya, beberapa kerajaan yang tidak dapat
dianggap kecil seperti misalnya kerajaan Majapahit yang memiliki wilayah
kekuasaan sampai ke luar Pulau Jawa, selama beberapa kali masa
pemerintahannya dipegang oleh penguasa-penguasa perempuan. Selain dalam hal
pemerintahan, pada masa tersebut kaum perempuan juga diketahui telah berperan
dalam kehidupan sosial, ekonomi, serta usaha-usaha pengembangan karya-karya
seni dan sastra, serta tidak ketinggalan dalam hal kehidupan beragama.
Banyak para sarjana yang telah membahas mengenai perempuan dari
berbagai sudut pandang yang berbeda, diantaranya Satyawati Suleiman, Sri
Soejatmi Satari, Titi Surti Nastiti dan Sri Unggul Azoel. Jika Satyawati Suleiman
menyuguhkan perempuan dalam perjalanan sejarah di Nusantara di masa lampau
khususnya Jawa dan Bali, berdasarkan kepada cerita rakyat, relief, prasasti dan
karya sastra tiap-tiap suku bangsa dengan berbagai visi, versi dan variasinya, Sri
Soejatmi Satari, Titi Surti Nastiti dan Sri Unggul Azoel menekankan

PKMI-5-2-3
pembicaraannya kepada identifikasi, peran, dan fungsinya sebagai perempuan
(gender) dan segala kiprah keperempuanannya.
Istilah gender diambil dari ejaan bahasa Inggris yang dibaca dan
diucapkan sama dalam bahasa Indonesia dan juga mengacu kepada penggolongan
menurut jenis kelamin atau penggolongan kata benda menurut jenis kelamin. Kata
gender menurut maknanya, sebenarnya adalah istilah yang dipakai secara umum
dan tidak tidak ditujukan kepada jenis kelamin wanita atau perempuan saja
melainkan istilah untuk menegaskan penggolongan segala jenis sesuatu jenis
dengan atau kepada yang lain, seperti manusia, binatang, tumbuhan, benda-benda
di sekeliling manusia dan benda-benda yang di buat oleh manusia. Istilah
perempuan yang baku bahasa Indonesia adalah klausa nomina yang dapat
diuraikan menjadi per-empu-an, berdasarkan kepada kata empu-ampu dari akar
kata pu yang merujuk kepada gelar kehormatan yakni tuan atau seseorang yang
sangat ahli yang dihubungkan kepada pembuat keris; diterapkan kepada hulu atau
kepala di dalam kaitan dengan ibu jari, kepala suatu lembaga atau keahlian
tertentu (Harimurti Kridalaksana 1993:111; 1995:262). Selanjutnya perempuan
dimengerti sebagai jenis kelamin tertentu, manusia yang mempunyai kelamin
dapat menstruasi, hamil, melahirkan anak, dan menyusui; wanita; istri; bini;
betina [khusus hewan]. Di sini kiranya perempuan menjadi lebih identik dengan
gender yang dihidupkan kembali sebagai istilah yang umum bahasa Indonesia
untuk menyebut khusus jenis kelamin wanita.
Sejalan dengan pandangan yang muncul dimasyarakat, lahirlah ungkapan-
ungkapan mengenai sifat-sifat perempuan seperti halus, lemah lembut, keibuan,
feminin, dan sebagainya. Ungkapan-ungkapan ini rupanya tidak hanya merupakan
sesuatu yang dianggap ideal oleh kaum pria, tetapi juga oleh kaum perempuan itu
sendiri. Anggapan ini rupanya anggapan yang paling tua, sehingga orang
cenderung mengatakan bahwa hal semacam itu adalah hal yang wajar, alamiah,
dan kodrati. Bagaimana keadaan perempuan di masyarakat Jawa Kuna? Timbul
sikap mendua di masyarakat. Di satu pihak perempuan harus tetap lemah lembut
dan feminin, di lain pihak ia harus berperan aktif bagi kehidupan masyarakat dan
keluarganya. Dengan adanya pandangan, dan anggapan yang merugikan dan
menghambat gerak kaum perempuan, tidak lantas membuat mereka berhenti
berkarya yang sesuai dengan tuntutan masyarakat akan kedudukannya.
Perempuan dan kekuasaan pemikiran-pemikiran di atas menjelaskan
peranan perempuan dalam lingkungan domestik. Di dalam lingkungan publik,
dilihat dari catatan etnografi, gambaran peranan perempuan tidak universal,
melainkan beragam. Peranan perempuan seringkali merupakan peran ganda:
domestik dan publik. Bentuk peranannya berbeda dari satu kebudayaan ke
kebudayaan yang lain, namun tuntutannya sama. Menjalankan fungsi yang
melibatkan kepentingan semua anggota masyarakatnya (umum). Karenanya justru
dapat di dilihat bahwa beban peranan dalam konteks seperti ini justru lebih berat
dibandingkan dengan peranan tunggal.
Perempuan memiliki kekuasaan dalam menentukan keputusan. Kekuasaan
yang akan dibahas dalam penelitian ini dibagi menjadi dua jenis, yaitu kekuasaan
dalam tingkat tradisional (keluarga) dan dalam administasi pemerintahan. Yang
dimaksud dengan kekuasaan adalah kemampuan untuk mempengaruhi atau
menentukan suatu kebiijakan dari proses hingga keputusannya. Definisi
kekuasaan yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah definisi mikro (yang

PKMI-5-2-4
sering dikaitkan dengan persoalan-persoalan kenegaraan yang sebenarnya
hanyalah salah satu dimensi dari kekuasaan) dan definisi mikro politik (kekuasaan
yang ada hubungannya dalam lingkup keluarga). Kekuasaan dalam penelitian ini
merupakan kekuasaan yang dimiliki sehubungan dengan status sosial atau jabatan
yang dimilikinya, dengan kata lain kuasa untuk memerintah dan mengambil
segala keputusan sehubungan dengan posisi yang dimilikinya.
Perempuan memiliki andil yang cukup penting, terutama dalam bidang
politik. Sebagaimana telah diketahui umum, perempuan telah menjadi aktor
politik penting dalam perjuangan kaum nasionalis dalam lingkungan publik yang
menandai masuknya bangsa ini ke era modernitas (Boserup, 1970). Berbicara
tentang peran seorang dalam suatu masyarakat, maka tidak terlepas dari status
sosial yang dimilikinya. Interaksi sosial yang dilakukan oleh seseorang
berhubungan erat dengan status (konsep kedudukan) sosial, dalam arti bahwa
status sosial memberi bentuk dan pola interaksi sosial. Di dalam bahasa sehari-
hari, istilah kedudukan dan status terutama kedudukan sosial, biasanya
diartikan sebagai kedudukan yang terpandang dan yang tinggi. Dalam ilmu
antropologi, sosiologi, dan ilmu-ilmu sosial lainnya, istilah kedudukan
mempunyai arti yang lebih netral, dapat tinggi, atau rendah, dan dapat juga
terpandang atau tidak terpandang.
Status sosial sering pula disebut kedudukan, yang diartikan sebagai suatu
peringkat atau posisi seseorang dalam suatu kelompok masyarakat. Pada
hakikatnya, status adalah rangkaian dari kewajiban dan hak setiap orang dalam
masyarakat. Status juga memberikan pola dan bentuk interaksi sosial,misalnya
pada hubungan antara raja dan rakyatnya. Dengan adanya status sosial yang
dimiliki, tentunya akan memberikan kemudahan, akses, power, bahkan
penguasaan untuk menguasai aspek ekonomi tertentu.
Status sosial juga berkaitan erat dengan peran sosial (social role, atau
role), yaitu tingkah laku individu yang mementaskan suatu kedudukan tertentu.
Jika status adalah aspek statis seseorang dalam hidup bermasyarakat, maka aspek
dinamisnya adalah peran sosial atau role. Peran sosial dapat didefinisikan sebagai
seperangkat harapan-harapan yang dibebankan pada individu yang menempati
status tertentu, atau perilaku yang diharapkan dari seseorang sesuai dengan status
tertentu.
Berdasarkan fenomena perempuan, terutama dalam kultur yang
berkembang di masyarakat Jawa Kuna, kajian ini secara khusus tertarik untuk
membahas tentang kekuasaan perempuan di Nusantara. Akan tetapi, studi ini
hanya memfokuskan pembahasan pada kekuasaan perempuan Jawa pada masa
Jawa Kuna dari beberapa aspek, seperti aspek sosial, ekonomi, agama, kesenian,
dan pemerintahan. Beberapa ahli politik yang meneliti tentang kepemimpinan di
Indonesia, menemukan adanya hegemoni Jawa sehingga untuk isu kepemimpinan
dalam kaitannya dalam masalah gender ini pun dapat dipelajari dalam budaya
Jawa. Perempuan yang dijadikan objek penelitian ini perempuan Jawa yang hidup
pada masa lalu (perempuan Jawa Kuna) yang disebutkan atau dilukiskan dalam
prasasti, relief, maupun naskah kuna yang muncul dan ada di wilayah Nusantara
pada abad 7-15 Masehi.
Dalam usaha untuk mengupas masalah kuasa perempuan berdasarkan
kedudukan dan peranan perempuan pada masyarakat Jawa Kuno, dipergunakan
prasasti sebagai data utama di samping naskah Ngarakrtgama (1365 M) dan

PKMI-5-2-5
berita Cina. Prasasti yang dipakai dalam tulisan ini berasal dari masa Mataram
Kuno sampai masa Majapahit (mulai abad ke-9 sampai dengan akhir abad ke-15).
Permasalahan yang kemudian timbul adalah seberapa jauhkah mereka
dapat menentukan nasibnya sendiri dan apakah mereka juga memiliki suatu power
dalam mensiasati posisi dan diskriminasi yang terjadi di masa lalu? Pada
dasarnya kita masih menghadapi masalah dalam mengidentifikasikan sejauh mana
perempuan turut berperan dalam semua jenis kegiatan yang telah disebutkan di
atas. Hal ini dikarenakan bahasa yang digunakan dalam inskripsi tidak
menjelaskan perbedaan dalam hal gender dalam bentuk dan kondisi tertentu.

METODE PENDEKATAN
Prasasti sebagai data arkeologi memiliki dimensi bentuk, ruang, dan
waktu, tetapi penelitian ini bertumpu pada data prasasti yang berhubungan dengan
aspek temporal karena mengkhususkan pada masalah kuasa perempuan Jawa
Kuna terkait dengan peran yang dimiliki berdasarkan data yang ada dalam prasasti
abad 7-15 Masehi. Dengan demikian akan diperoleh suatu gambaran mengenai
aktivitas kehidupan masyarakat pada masa Jawa Kuna, khususnya aktivitas yang
dilakukan oleh perempuan, mengenai peranan mereka dalam masyarakat pada
masa lalu.
Pendekatan yang ditempuh dalam penelitian ini adalah tahap heuristik atau
pengumpulan data, analisis data, interpretasi data, dan historiografi atau penulisan
data sejarah, tidak jauh berbeda dengan metode penelitian arkeologi.
Langkah awal pada tahap pengumpulan data adalah mengumpulkan
keterangan-keterangan selengkapnya mengenai data utama, yaitu transkripsi atau
pemindahan tulisan, jadi berupa salinan atau kopi, dan prasasti-prasasti Jawa
Kuna dari abad 7-15 Masehi yang telah diterbitkan. Dari sekian banyak prasati
yang telah diterbitkan, telah dibuat transkripsinya antara lain oleh de Casparis,
Sarkar, Brandes, dan Stuart. Dalam penelitian ini akan digunakan transkripsi yang
dibuat oleh Brandes yang berjudul Oud-Javaansche Oorkonden, karena hingga
saat ini transkripsi yang dibuat oleh Brandes memuat lebih lengkap daftar
prasasti-prasasti yang telah diterbitkan.
Pada tahap pengumpulan data ini, prasasti-prasasti yang belum mengalami
proses alihbahasa, terlebih dahulu dialihbahasakan dari bahasa Jawa Kuna ke
bahasa Indonesia. Hal ini untuk mempermudah proses analisis data yang akan
dilakukan kemudian. Sedangkan pada prasasti-prasasti yang telah mengalami
proses alihaksara dan alihbahasa, yang akan digunakan hanya prasasti-prasasti
yang memuat keterangan mengenai aktivitas yang dilakukan perempuan atau
penyebutan nama perempuan. Jadi yang ditampilkan hanyalah cuplikan dari
prasasti yang diduga memiliki atau menyebutkan keikutsertaan perempuan dalam
suatu kegiatan.
Langkah selanjutnya dalam pengumpulan data adalah mengumpulkan
berbagai keterangan mengenai data prasasti yang dibutuhkan, selain transkripsi
yang diperoleh dari Brandes. Keterangan ini dapat diperoleh dari berbagai buku,
laporan penelitian dan artikel sebagai data pendukung.
Setelah data yang diperlukan terkumpul, tahap selanjutnya adalah analisisi
data prasasti. Pada tahap ini dilakukan kritik terhadap data prasasti yang bertujuan
sebagai proses evaluasi sehingga dapat ditentukan apakah data yang dimiliki layak
atau menjadi data sejarah. Tinjauan terhadap isi prasasti diharapkan dapat

PKMI-5-2-6
menghapus diskriminasi serta pandangan-pandangan negatif yang selama ini
berkembang di masyarakat dan dapat juga dijadikan suatu bukti bahwa ternyata
perempuan dapat juga menjadi seorang pemimpin dalam suatu negara, pejabat di
suatu administrasi pemeritahan, dan peranan lain yang walaupun kelihatannya
kecil dan tidak terlihat, tetap saja memiliki pengaruh yang penting.
Setelah data prasasti telah melalui tahap analisis data, kemudian
dilakukan klasifikasi data yang bertujuan untuk mengetahui dalam bidang apa saja
dan jenis-jenis kegiatan seperti apa yang dilakukan perempuan Jawa Kuna abad 7-
15 Masehi, yang kemudian dilanjutkan dengan tahap interpretasi data. Tahap ini
harus dilakukan dengan hati-hati dan penuh ketelitian karena keterangan yang ada
dalam prasasti dapat menimbulkan berbagai macam interpretasi. Setelah itu, tahap
terakhir yang dilakukan adalah tahap penulisan sejarah atau historiografi.

Sumber Data
Sumber data yag dipergunakan dalam prasasti ini terdiri dari data primer
dan data sekunder. Data primer berasal dari transkripsi prasasti-prasasti Jawa
Kuna dari abad 9-15 M yang telah diterbitkan, baik yang sudah mengalami
alihaksara dan alihbahasa, maupun prasasti-prasasti yang baru dialihaksarakan
yang memuat keterangan mengenai kekuasaan perempuan. data sekunder yang
berfungsi sebagai data pembanding diambil dari sumber kepustakaan berupa
buku-buku, laporan penelitian, dan artikel yang berhubungan dan mendukung data
utama. Data sekunder dipergunakan untuk mengisi kekosongan atau
kerenggangan informasi yang diperoleh dari prasasti yang diteliti.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Perempuan dalam Pemerintahan
Dalam hal bina negara, raja perempuan sesungguhnya tidak diharapkan
baik dalam tradisi Hindu, Buddha, maupun Islam. Namun masyarakat Nusantara
tampaknya cenderung untuk tidak mau terikat oleh tradisi-tradisi asing tersebut.
Pada periode kerajaaan Hindu-Buddha. Sebagian besar raja-raja Jawa yang
memerintah adalah pria. Hanya dijumpai dua raja perempuan (Tribhuwana-
tunggadewi dan Suhita) sepanjang 746 tahun (732-11486) dari 50 raja yang
memerintah. Keduanya sama-sama memerintah di akhir periode Majapahit. Dari
berita Cina juga diperoleh keterangan bahwa pada abad ke-7, terdapat lagi satu
raja Jawa yang memerintah sekitar tahun 674 M, yaitu (ratu?) Si-mo (Groeneveldt
1960:14).
Kekuasaan yang didapat oleh seorang pria pada masa lalu, ternyata bisa
juga diberikan oleh seorang perempuan. Dalam hal ini, perempuan yang memang
akan menjadi rajamenyerahkan kekuasaannya kepada calon suaminya sehingga
suami tersebutlah yang kemudian naik tahta. Seperti disebutkan dalam
Nagarakrtagama tentang perkawinan antara Nararya Sanggramawijya (Raden
Wijaya) yang mengawini keempat putri Kertanegara dan menjadikan mereka
sebagai parameswari. Karena perkawinannya itu, Sanggramawijaya naik tahta
menggantikan raja Kertanegara dan memegang tampuk pemerintahan negara.
Dalam sejarah Majapahit terlihat bahwa kedudukan raja tidak semata-mata
diperuntukkan bagi pria.


PKMI-5-2-7
Dalam pemerintahan, seorang rani ikut menentukan keputusan-keputusan
penting yang berkenaan dengan kepentingan negara yang dipimpinnya. Terlihat
pada prasasti Camunda yang bertarikh tahun Caka 1254 (1332 A.D.) yang
dikeluarkan pada masa pemerintahan Tribhuwana Tunggadewi. Prasasti ini
menjelaskan pendirian patung Paduka dwipantara oleh Sri Maharaja. Mungkin
saja penegakan arca tersebut memiliki hubungan dengan kemenangan rani
Tribhuwana Tunggadewi terhadap Sadeng dan Keta di dalam usahanya
memperluas wilayah kerajaan Majapahit yang meliputi daerah Jawa dan Bali.
Selama pemerintahannya (1328-1350 Masehi), Tribhuwanatunggadewi telah
banyak berjasa dengan memadamkan pertikaian di dalam kerajaan, dan bahkan
menurut Pararaton sang ratu berhasil memadamkan pemberontakan Sadeng.
Seorang perempuan juga dapat menjadi raja seperti terbukti pada piagam
dalam O.J.O. LXXXIV. Didalamnya tercatat Sri Maharaja Sri Wisnuwardhani.
Tribhuwana Tunggadewi adalah raja perempuan (rani) pertama di Majapahit yang
memerintah dari tahun 1328-1351. ia naik tahta karena putra mahkota yang juga
merupakan kakaknya, yaitu Bhre Matahun, meninggal dunia ketika masih kecil
dan belum dinobatkan menjadi raja. Setelah memerintah Majapahit, kurang lebih
selama 22 tahun, ia mengundurkan diri dan menjadi pertapa mengikuti jejak
ibunya, yaitu Gayatri atau Ratnapani yang menjadi bhiksuni.
Selanjutnya tampuk pemerintahan diserahkan kepada putranya yang
bernama Hayam Wuruk. Raja perempuan yang kedua adalah Kusumawardhani,
yang disebut sebagai prabhu stri dalam Pararaton, memerintah dari tahun 1427-
1429 menggantikan suaminya Wikramawardhana. Berdasarkan adat, keturunan
Kusumawardhani adalah ahli waris tahta kerajaan Majapahit karena beliau adalah
puteri Dyah Hayam Wuruk Sri Rajasanagara yang lahir dari permaisuri Indudewi.
Bhre Wirabhumi juga putra Rajasanagara, tetapi ia lahir dari selir sehingga tidak
menjadi raja.
Setelah Kusumawardhani menikah menikah dengan Wikaramawardhana
(Bhre Pajang), hak atas tahta yang dimiliki oleh putri mahkota Kusumawardhani
diambil alih oleh Wisnuwardhana. Raja Perempuan yang ketiga adalah Dewi
Suhita (1429-1447), putri Wikramawardhana dalam perkawinannya dengan
Kusumawardhani. Penjelasan diatas menunjukkn bahwa seorang perempuan dapat
menduduki posisi tertinggi di dalam pemerintahan dan dengan posisi yang
tersebut ia memiliki hak dalam mengambil semua keputusan yang menyangkut
negara dan masyarakat yang tinggal di dalamnya.
Dalam pemerintahan perempuan dapat juga memiliki kekuasaan
menugaskan orang lain untuk menandai batas-batas sma, menetapkan sma, dan
ikut andil dalam kegiatan pemerintahan, baik yang duduk sebagai seorang
penguasa atau pejabat pemerintah yang duduk dalam Dewan Pertimbangan
Negara.

Perempuan Dalam Bidang Seni dan Budaya
Di semua jaman, di berbagai kalangan dalam masyarakat, bentuk-bentuk
seni tertentu terkait dan tergantung kepada pendukung dan pelindungnya masing-
masing. Pelindung adalah pihak yang menyediakan segala sarana agar kegiatan
kesenian dapat dilakukan yang biasa diberikan oleh seorang penguasa, sedangkan
pendukung adalah para pelaku dan penikmat yang sama-sama membutuhkan
karya-karya seni itu untuk dilahirkan.

PKMI-5-2-8
Dalam seni sastra terdapat bukti-bukti bahwa penulisan karya sastra dapat
terjadi karena adanya para pelindung para seniman (patronage system). Para
pelindung tersebut umumnya para raja dan bangsawan keluarga raja (royal
patron). Mereka sengaja memberikan fasilitas kepada para pujangga, namun di
lain pihak mereka terlalu ikut campur dalam proses pembuatan karya seni
tersebut. Dalam karya sastra Jawa Kuno juga disebutkan adanya pujangga kraton
kawi rajya yang mengembangkan kreasi seninya di bawah naungan kraton, para
raja, dan pangeran bertindak sebagai maecenasnya.
Sebagai pelindung seni, maka para penguasa yang memerintah (rani/ratu)
senantiasa diharapkan restunya agar seluruh karya si seniman dapat mencapai
hasil yang optimal dan dapat disetujui atau diterima dengan baik (anumata) serta
dapat dipersembahkan kepada penguasa pada waktu itu. Restu yang diberikan
bukan hanya sekedar dorongan moral, melainkan juga dukungan material berupa
hadiah-hadiahan yang mungkin lebih dari sekedar papan tulis dan tanah
sebagaimana diharapkan para kawi.
Salah satu contoh bahwa perempuan penguasa pada masa lalu mempunyai
kepedulian yang besar terhadap perkembangan seni antara lain dapat dilihat pada
tulisan-tulisan pendek yang ditemukan pada deretan kompleks percandian
Plaosan Lor. Secara jelas disebutkan tentang hadiah, anugerah (anumoda)
bangunan suci yang diberikan oleh permaisuri Rakai Pikatan pembangun Candi
Prambanan. Selain itu, di dalam prasasti pendek yang dipahatkan pada dereten
candi-candi perwara tersebut, terdapat pula nama-nama Dyah Saladu sebagai
putra mahkota dan Dyah Ranu sebagai istrinya yang juga ikut dalam
pembangunan candi (Casparis 1958:24). Barangkali kita juga dapat menduga
bahwa permaisuri maupun istri putra mahkota yang namanya disebut di dalam
prasasti-prasasti itu, tidak secara langsung menjadi pelaku dalam pembangunan
candi dan hanya bertindak sebagai pelindung karena kedudukannya dalam
struktur pemerintahan masa itu. Namun demikian sulit untuk diterima sekiranya
gagasan untuk mendirikan kompleks percandian yang begitu besar tanpa didasari
oleh pengetahuan tentang seni arsitektur masa itu.
Perempuan lain yang berkiprah dalam bidang seni, antara lain seperti
disebutkan dalam Nagarakretagama. Disebutkan nama juru i angin (The
Mistress of The Wind) yang mungkin berasal dari kata juruiyangin dan
diperkirakan merupakan penari perempuan yang memegang peranan penting
dalam festival di keraton Majapahit. Pigeaud bahkan mengaitkan peranan juru i
angin itu dengan Ratu Angin-Angin yang menurut kepercayaan masyarakat
dianggap sebagai perempuan penguasa Laut Selatan (Pigeaud 1952: 316). Dalam
Nagarakretagama, tari-tarian seperti Shori, Gutada yang umumnya dilakukan
oleh dua orang penari pria serta tari Tekes, merupakan jenis tarian yang sangat
termasyur yang dipertontonkan di istana Majapahit (Pigeaud: 327).
Kesenian pada upacara penetapan sma, merupakan suatu rangkaian
kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat masa lalu. Berbagai jenis kesenian
ditampilkan pada upacara suci tersebut, antara lain pertunjukan gamelan, tari-
tarian, dagelan, pembacaan naskah yang mungkin dapat disamakan dengan
mabasan di Bali, dan lain-lain. Istilah-istilah seperti widu amacangah, widu
mangidung, seringkali ditemukan dalam kesusastraan-kesusastraan Jawa Kuno.
Dalam Nagarakretagama, istilah nglarih yang berasal dari kata Jawa Kuno larih,
merupakan ungkapan untuk menyatakan penyanyi, baik laki-laki maupun

PKMI-5-2-9
perempuan, yang menyanyi sambil membawa minuman keras (Pigeaud 1962:
318).

Perempuan dalam Sosial-Ekonomi
Dalam prasasti Tri Tpussan (842 aka) menyebutkan tentang peresmian
wilayah perdikan (sma) dan pembuatan sawah oleh Sri Kahulunnan. Identitas
tokoh ini masih diperdebatkan, tetapi umumnya sepaham tentang posisinya yang
tinggi dalam pemerintahan. Mungkin ratu, puteri mahkota, atau istri raja (Jones
1984:98; de Casparis 1950:86). Pada periode Jawa Timur dijumpai tokoh-tokoh
perempuan yang memiliki wewenang untuk mendirikan lembaga-lembaga
keagamaan. Sebuah lembaga didirikan oleh orang bernama Rakryan ri
Paramesvari ri Warddhani pu Kbi yang di duga sebagai istri raja pada masa
pemerintahan Sindok. Dari masa Sindok, dijumpai pula dua buah prasasti yang
dikeluarkan oleh Rakryan Binihaji Rakryan Mangibil. Prasasti pertama memuat
perintah mendirikan sebuah bendungan, dan satunya lagi berkaitan dengan tiga
bendungan. Pada tahun 1015, dijumpai pula prasasti yang menyebutkan
peresmian lembaga keagamaan yang dilakukan oleh Paduka ri Mahadewi.
Beberapa sumber prasasti dari Balitung menyebutkan jabatan dalam
pemerintahan di pegang oleh perempuan (Suhadi 2001:582).
Partisipasi perempuan di bidang politik biasanya dikaitkan dengan
perannya yang sangat menonjol di bidang ekonomi, khususnya aktifitas pasar dan
perdagangan pada umumnya. Hubungan keduanya ini menyebabkan banyak
perempuan dipilih untuk menjalankan tugas-tugas diplomatik dalam urusan
pemerintahan. Pada masa Hindu-Buddha di Jawa, profesi juru bicara (parujar)
juga disebut-sebut dalam sumber prasasti (de Casparis 1981:147; Jones 1984:96-
98). Mereka juga dilibatkan sebagai saksi dalam kaitannya dengan masalah tanah.
Dalam beberapa masyarakat perempuan diakui sebagai penentu kegiatan
ekonomi yang sangat vital, dan dalam bidang lain perempuan hanya berpartisipasi
dalam tingkat perdagangan sederhana. Tidak peduli jenis kegiatan apa yang
mereka masuki, tapi satu hal yang jelas terlihat bahwa mereka dapat menghasilkan
uang dengan usahanya sendiri dan kadang kala usahanya tersebut memberi tempat
khusus dalam keluarga. Prasasti Panggumulan 2 (903 M) dan Prasasti Siddhayoga
(903 M) menyebutkan orang yang sama dalam hubungan dan usaha yang sama.
Tersebutlah Rakryan Wantil dan Pu Palaka bersama-sama dengan istrinya, Dyah
Prasada dan ketiga anaknya, membeli tanah dari Ramanta Panggumulan dengan
sebuah taman yang dinamakan Siddhayoga dan sawah di Paniluan. Karena tanah
tersebut di beli oleh Dyah Prasada dan keluarganya, maka hal tersebut dapat
menunjukkan kepada kita bahwa seluruh hak atas tanah tersebut harus berada
ditangan seluruh keluarga, bukan hanya di tangan sang suami.

Perempuan dalam politik
Partisipasi perempuan dalam bidang politik biasanya dikaitkan dengan
perannya yang sangat menonjol di bidang ekonomi, khusunya aktivitas pasar dan
perdagangan pada umumnya hubungan keduanya ini menyebabkan banyak
perempuan dipilih untuk menjalankan tugas-tugas diplomatik dalam urusan
pemerintahan. Pada masa Hindu-Buddha di Jawa, profesi guru bicara (parujar)
juga disebut-sebut dalam sumber prasasti (de Casparis 1981: 147; Jones 1984: 96-
98). Dengan profesi mereka yang seperti itu, otomatis semua keputusan berada di

PKMI-5-2-10
tangan mereka. Secara langsung mereka juga ikut menentukan nasib negara/orang
yang diwakili. Mereka juga dilibatkan sebagai saksi dalam kaitannya dengan
masalah tanah.
Gagasan tentang kepemimpinan perempuan memperlihatkan suatu gejala
di mana perempuan menempatkan diri sebagai pendamping atau penerus dari
kepemimpinan yang dilakukan oleh ayah atau suaminya. Masa Jawa Kuna
ditandai oleh pergantian raja-raja yang menempatkan perempuan dalam posisi
yang istimewa dalam sistem suksesi. Sistem kekerabatan yang bersifat bilineal
memberikan tempat bagi garis keturunan laki-laki dan perempuan yang tidak
berbeda. Khusus dalam proses suksesi tampaknya peranan perempuan sangat
penting. Prasasti Canggal (732 M) memuat informasi yang menjelaskan bahwa
raja Mataram pertama, yaitu Sanjaya, dapat naik tahta meskipun bukan putera
mahkota. Ada indikasi bahwa ia adalah anak saudara perempuan dari raja yang
berkuasa sebelumnya. Erlangga dapat menjadi raja di Jawa meskipun ia bukan
keturunan langsung dari raja yang berkuasa sebelumnya. Tokoh ini adalah putra
raja Bali yang ibunya merupakan salah satu keturunan dari raja Jawa.
Tokoh lainnya yaitu Ken Arok. Dalam Pararaton dikisahkan bahwa ia
dapat menjadi raja Singasari dengan cara membunuh penguasa sebelumnya. Ia
memiliki hak atas tahta karena ia mengawini Ken Dedes, yaitu bekas istri dari
raja yang dibunuhnya. Adapun raja Majapahit yang pertama yaitu Raden Wijaya
atau Kertarajasa Jayawardhana, yang dapat menjadi raja meskipun bukan seorang
putra mahkota. Garis keturunan dari dinasti sebelumnya diperoleh melalui
perkawinannya dengan putri-putri raja Kertanegara, yaitu raja Singasari terakhir.
Sementara itu, para penguasa pada masa Dyah Hayam Wuruk Sri Rajasanagara
memberikan penghormatan yang sangat besar dalam upacara sraddha kepada
mendiang Rajapatni, yaitu salah satu istri raja Majapahit yang pertama yang
diakui sebagai moyang mereka (Pigeaud 1962, IV:169-211).

Perempuan dalam Keagamaan
Keterlibatan perempuan dalam kehidupan beragama sesungguhnya telah
muncul sejak abad 9 Masehi yaitu terlihat dalam jalannya upacara penetapan
sma. Dari prasasti Kancana (860 M) dijelaskan bahwa raja Lokapala (Rakai
Kayuwangi) menganugerahkan kepada Paduka Mpungku i Boddhimimba dengan
menetapkan daerah Bungur Lor dan Asana sebagai dharma sma lpas. Kedua
orang anak Paduka Mpungku i Boddhimimba yang bernama Dyah Imbangi (anak
Laki-laki) dan Dyah Anargha (anak perempuan) diberi tempat tinggal di
lingkungan sma dan keduanya sama-sama mempunyai wewenang atas dharma
sma tersebut.
Di dalam prasasti Taji (891 M) dijumpai keterangan bahwa kabikuan di
Dewasabha dan sma-nya yang berupa sawah di desa Taji diserahkan kepada
anak perempuan Rakryan ri Watutihang pu Sanggramadhurandhara yang
bernama Rake Sri Bharu Dyah Dheta, istri dari Samgat Dmung pu Cintya. Dyah
Dheta kemudian ditugaskan untuk mengelola dan memelihara kabikuan tersebut.
dari prasasti ini juga diketahui keterangan bahwa kaum ibu juga memiliki
peranan dalam melaksanakan upacara keagamaan melalui tari-tarian yang
dimainkan sebagai bagian dari suatu ritus penetapan sma di desa Taji.
Prasasti Taji memberikan suatu gambaran tarian upacara, yaitu tarian para
rama (tetua desa) lalu para rena (rena = ibu) berkeliling melingkari tonggak

PKMI-5-2-11
upacara dalam rangkaian upacara penetapan sma. Dalam contoh ini, para rama
dan rena tersebut bukanlah penari-penari professional dalam arti mengkhususkan
dirinya pada tari menari ataupun mencari nafkah dengan menari. Mereka itu
adalah anggota-anggota masyarakat terpandang yang menari karena kedudukan
mereka tersebut.
Dari kedua prasasti tersebut diketahui bahwa Dyah Anargha dan Rake Sri
Bharu Dyah Dheta memperoleh pengakuan yang cukup tinggi sampai-sampai
dipercaya untuk mengelola dan menjaga sebuah banguanan suci. Satu-satunya
prasasti yang menyebutkan peranan perempuan dalam bidang upacara
pengukuhan tanah adalah prasasti Surodakan (1447 Masehi) yang ditemukan di
dekat Trenggalek, Jawa Timur. Prasasti ini dikeluarkan atas perintah raja
Wijayaparakramawardhana yang mengikutsertakan berbagai kepala propinsi
dalam keputusannya. Terdapat empat belas nama tempat, masing-masing diikuti
nama seorang pejabat tinggi. Tidak kurang dari sembilan nama adalah nama puteri
raja. Nama-nama perempuan yang tercatat di dalamnya itu berhak mensyahkan
semua keputusan yang diambil yang berkenaan dengan masalah sma.

KESIMPULAN
Pada dasarnya, pria dan perempuan mempunyai peluang untuk menduduki
posisi-posisi jabatan yang paling tinggi di tingkat kerajaan atau desa. Ada suatu
kecenderungan serupa yang menggambarkan bahwa posisi-posisi jabatan
kemasyarakatan terutanma didominasi pria yang berlaku uintuk seluruh periode
Jawa Kuna. Casparis menunjukkan bahwa di antara anggota karman terdapat
jabatan yang dimiliki oleh perempuan, misalnya ahli perbintangan perempuan
(wariga wadwan) sebagaimana disebutkan dalam Prasasti Paradah (943 M). Di
tingkat desa, perempuan juga menduduki hampir semua posisi yang dimiliki oleh
pria, dari jabatan samgat, I Hono, hingga maharaja (terutama pada masa
Majapahit). Perempuan dipandang terhormat tetapi peluang lebih banyak
diberikan kepada pria. Ada suatu masa di mana perempuan sangat berpegaruh
dalam pemerintahan yaitu masa Majapahit.
Bukti-bukti di atas menunjukkan bahwa perempuan dapat menduduki
posisi tinggi, bahkan tertinggi dalam sistem pemerintahan masa Hindu-Buddha,
meskipun bukan dalam kelompok yang dominan. Dengan tingginya posisi yang
dimiliki, semakin besar pula pengaruh mereka untuk masuk ke dalam berbagai
aspek kehidupan masyarakat. Periode Majapahit memberikan keterangan yang
cukup mengejutkan mengenai para bangsawan bawahan, yang justru negara-
negara bawahannya ini di dominasi oleh penguasa perempuan. Hal ini berlaku di
daerah bawahan-bawahan yang utama seperti Kahuripan (Janggala), Lasem, dan
Daha (Kediri). Di Kahuripan, dari tujuh raja yang pernah memerintah, lima di
antaranya adalah perempuan. Di Lasem, dari lima raja yang pernah memerintah,
semuanya perempuan. Di Daha, dari sepuluh raja yang pernah memerintah,
delapan di antaranya juga perempuan. Kenyataan ini menjadi petunjuk bahwa
kekuasaan dan peranan perempuan dalam pemerintahan semakin besar ketika
kerajaan Hindu-Buddha mencapai puncak perkembangannya. Kasus di Jawa
cukup menarik, karena di kerajaan-kerajaan yang mendapat pengaruh kuat dari
kebudayaan India atau Cina, raja perempuan jarang sekali dijumpai, baik di Siam,
Birma, maupun Vietnam.

PKMI-5-2-12
Adanya kesalahan pandangan yang berorientasi pria yang pada hakikatnya
menimbulkan dampak yang selalu merugikan perempuan. Melihat gambaran di
atas kelihatannya posisi subordinate dan dependent kaum perempuan terhadap
pria memang sulit untuk dihapus, apalagi untuk diubah menjadi sebaliknya.
Memang tidak selamanya perempuan dalam inferioritas, konco wingking, dan
sebagainya. Perempuan memiliki kuasa untuk mempengaruhi, menentukan,
bahkan mungkin mendominasi suatu keputusan.
Ditinjau dari sudut perkembangannya, tampak bahwa peranan perempuan
dalam wilayah politik menunjukkan cakupan yang cukup luas. Hal ini terutama
dapat dijumpai pada masa-masa sebelum agama Islam dan Kristen memberi
pengaruhnya secara dominan di wilayah Nusantara. Kecenderungan serupa
tampak juga di wilayah-wilayah Nusantara yang paling sedikit mendapat
pengaruh agama Hindu-Buddha. Hal ini mengindikasikan bahwa tradisi asli
bangsa Austronesia memiliki kecenderungan untuk tidak terlalu membedakan
peranan laki-laki dan perempuan.
Tradisi ini terhitung cukup kokoh sehingga peranan perempuan masih
tetap menonjol sampai sekitar abad ke-17. Sesudah periode itu, khususnya
memasuki abad ke-18 dan seterusnya, semakin tampak bahwa peranan perempuan
dalam dunia politik dan kekuasaan semakin terpinggirkan. Ideologi yang lahir dari
agama Islam dan Kristen tampaknya memberi pengaruh pada kecenderungan ini.
Terlepas dari berbagai prokontra mengenai potensi perempuan dan laki-
laki untuk menjadi pemimpin, Larwood dan Wood (1977) menyetujui bahwa
perempuan dan pria berbeda dalam ciri sifat yang yang menjadi konsekuensi
kepemimpinan, seperti kebutuhan untuk berprestasi, ketakutan untuk sukses,
ketegasan, penghargaan diri, ketergantungan, kecenderungan resiko, dan
kemampuan untuk berkompetensi. Dalam studi Rosenfeld dan Fowler (1976)
ditemukan beberapa perbedaan gambaran diri tentang pemimpin yang ideal bagi
pria dan perempuan. Pemimpin perempuan yang demokratis menekankan sifat
suka membantu, penuh kasih sayang, mengasuh, berpikiran terbuka, dan dapat
menerima kesalahan; sedangkan pemimpin pria yang demokratis lebih
menekankan sifat kematangan pribadi, semangat, kompeten, moral, bermanfaat,
analitis, dan menilai orang. Di samping itu ada beberapa sifat yang diungkapkan
baik oleh pria maupun perempuan tentang gambaran pemimpin yang ideal, antara
lain persuasif, menekankan hasil/produk, prediksi yang akurat, integrasi
kelompok, dan pengaruh yang superior.

DAFTAR PUSTAKA
Boechari. 1977. Candi dan Lingkungannya, dalam Majalah Ilmu-Ilmu Sastra
Indonesia, Jilid VII, No. 2. Bhratara.
Boserup, E. 1970. Womens Role in Economic Development. London: George
Allen and Unwin.
Budiman, Arief. 1982. Pembagian Kerja Secara Seksual. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama.
Cantor, D.W. dan T. Bernay. 1992. Women in Power (terjemahan). Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama.
de Casparis, J.G. 1958. Short Inscriptions from Candi Plaosan Lor. Berita Dinas
Purbakala No.4. Jakarta: Dinas Purbakala.

PKMI-5-2-13
Groeneveldt, W.P. 1960/1994. Historical Notes on Indonesia and Malaya
Compiled from Chinese Sources. Jakarta: Bhratara.
Harimurti Kridalaksana 1995. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi Kedua. Balai
Pustaka. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Jones, Antoinette M. Barret. 1984. Early Tenth Century Java From The
Inscriptions. Verhandelingen van het Koninklijk Instituut voortaal-, Land-
En Volkenkunde. Bordrecht-Holland: Foris Publication.
Pigeaud, C.H. 1960/1963. Java in The 14
th
Century: A Study in Cultural History.
Vol. I-V. The Hague: Martinus Nijhoff.
Rahardjo, Supratikno. 2001. Peradaban Jawa Abad ke-8 Sampai Dengan Abad
ke-15: Sebuah Kajian Tentang Dinamika Pranata-Pranata Politik, Agama,
dan Ekonomi. Disertasi. Depok: Program Pascasarjana Fakultas Sastra
Universitas Indonesia.
Salim, Peter. 1986. The Contemporary English-Indonesia Dictionary. Second
edition. Jakarta: Modern English Press
Schrieke, B.J.O. 1959. Indonesian Sociological Studies (part Two). Gravenhage:
N.V. Uitgeverij W. van Hoeve.

PKMI-5-3-1
BI O-FI LTER NIKOTIN ASAP ROKOK DARI
CHI TI N-CHI TOSAN

Ricci Ronaldo, Suminto, Aditya PM
PS Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Institut Pertanian Bogor, Bogor

ABSTRAK
Rokok mengandung kurang lebih 4000 elemen, dan setidaknya terdapat 200
elemen yang dinyatakan berbahaya bagi kesehatan, termasuk di dalamnya adalah
tar, nikotin, dan karbon monoksida. Tujuan dari kajian ilmiah ini adalah untuk
menurunkan kadar tar, nikotin serta karbon monoksida pada asap rokok dengan
penambahan chitin-chitosan pada filter rokok. Metode yang digunakan yaitu
dengan mempelajari karakteristik chitin-chitosan, kemudian menempatkan chitin-
chitosan pada filter rokok. Rokok dengan filter chitin-chiosan diujicobakan pada
25 orang panelis sebagai perokok aktif. Hasil penelitian menunjukkan adanya
perbedaan antara rokok filter konvensional dengan rokok filter chitin-chitosan.
Rokok dengan filter chitin-chitosan menjadi lebih ringan (mild), meskipun
terdapat sebagian panelis yang mengalami iritasi pada kerongkongan.

Key words : rokok, asap rokok, nikotin, chitin-chitosan, filter

PENDAHULUAN
Kanker merupakan penyakit pembunuh yang terbesar dan menakutkan
bagi umat manusia. Salah satunya adalah kanker paru-paru. Kanker ini membunuh
hampir 90% penderitanya, atau hampir 30% dari seluruh kematian yang di
akibatkan kanker serta setidaknya tercatat 4.000 kematian untuk perokok pasif per
tahun di Amerika. Namun sesungguhnya justru kanker paru-parulah yang paling
mudah dicegah. Survey dalam beberapa dekade menunjukkan bahwa satu-satunya
penyebab mayoritas kanker paru-paru adalah asap rokok.
Rokok mengandung kurang lebih 4000 elemen-elemen, dan setidaknya
200 diantaranya dinyatakan berbahaya bagi kesehatan. Racun utama pada rokok
adalah tar, nikotin, dan karbon monoksida. Tar adalah substansi hidrokarbon yang
bersifat lengket dan menempel pada paru-paru. Nikotin adalah zat aditif yang
mempengaruhi syaraf dan peredaran darah. Zat ini bersifat karsinogen, dan
mampu memicu kanker paru-paru yang mematikan. Karbon monoksida adalah zat
yang mengikat hemoglobin dalam darah, membuat darah tidak mampu mengikat
oksigen. Sehingga keperluan adanya upaya untuk mengurangi dampak dari asap
rokok tersebut, salah satunya adalah dengan mengurangi kadar tar, nikotin serta
karbon monoksida (CO) dari asap rokok yang dihasilkan.
Chitin merupakan turunan selulosa amino terbesar kedua di alam. Chitin
misalnya banyak terdapat pada dinding sel fungi, cangkang insekta atau serangga
dan crustacea (udang). Karakteristik kimianya yang khas diduga dapat memiliki
potensi yang besar sebagai filter terhadap racun yang ada pada asap rokok
(Austin, 1976). Limbah industri perikanan seperti udang, lobster dan kepiting
menghasilkan 10-13 % chitin. Sedangkan chitosan merupakan hasil deasetilisasi
dari chitin. Chitin dihidrolisis dengan menggunakan asam-basa kuat dalam air
mendidih dalam waktu yang tidak terlalu lama, kemudian dilanjutkan dengan

PKMI-5-3-2
netralisasi, filtrasi, pencucian dan pengeringan. Istilah chitin dan chitosan
penggunaannya bersifat interchangably.
Chitin mampu menyerap fenol, zat-zat asam, serta komponen organik lain
yang ada pada asap tembakau, dan hal ini akan meningkatkan fungsi dari filter
yang ada pada rokok (Austin, 1976). Beberapa kajian tentang ini telah dipatenkan
antara lain US Paten No. 3.978.802 tanggal 26 oktober 1976, dengan judul Chitin
as an extender and filter for tobacco, US Paten N0. 4.506684 tanggal 2 Agustus
1978, dengan judul Modified Cellulosic Smoking Material and Method for Its
Preparation.
Sebagai negara terbesar pemroduksi dan pengkonsumsi rokok, Indonesia
sudah seharusnya memperhatikan akibat yang ditimbulkan oleh rokok. Indonesia
menghasilkan berbagai jenis rokok, dan semua jenis rokok yang dihasilkan
mengandung tar, nikotin serta dalam pembakarannya menghasilkan gas karbon
monoksida (CO) yang membahayakan kesehatan manusia.
Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia
Nomor 62/MPP/Kep/2/2004 menyatakan bahwa, rokok ada dua jenis yaitu rokok
kretek tanpa filter dan rokok kretek dengan filter. Kretek adalah rokok yang
terbuat dari tembakau dan cengkeh tanpa menggunakan filter atau gabus
penyaring, sedangkan rokok dengan filter adalah rokok dengan penyaring atau
filter yang biasanya terbuat dari gabus. Namun di perusahaan rokok, filter yang
digunakan kebanyakan dalam bentuk gabus. Penggunaan chitin dan chitosan
masih belum ada. Sehingga pengembangan filter dalam bentuk serbuk pada rokok
sangat menarik untuk dilakukan.
Secara umum kajian penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
karakteristik rokok dengan chitin-chitosan sebagai bio-filter dalam menurunkan
kadar tar, nikotin serta karbon monoksida (CO) pada asap rokok. Sedangkan
tujuan khusus adalah untuk mengurangi resiko yang diakibatkan oleh asap rokok
serta mengaplikasikan chitin-chitosan pada rokok sebagai bio-filter.

METODOLOGI
Waktu dan Tempat
Penelitian dilakukan pada bulan Pebruari Maret 2006, bertempat
dilaboratorium industri, Departemen Teknologi Hasil Perairan FPIK-IPB.
Alat dan Bahan
Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain pencetak rokok
manual, sedangkan untuk penentuan tar dan nikotin ini adalah dengan uji
organoleptik.
Bahan yang digunakan yaitu rokok kretek, rokok filter, kertas serta bahan
lain yang digunakan dalam pengujian.
Metode Penelitian
Penelitian tentang kajian efektivitas dari chitosan sebagai bio-filter ini
dibagi dalam tiga tahap. Tahap pertama adalah mempelajari karakteristik dari
chitin-chitosan dengan berbagai sumber pustaka. Kemudian dilanjutkan dengan
pembuatan bio-filter dari chitin-chitosan serta aplikasi bio-filter chitin-chitosan
pada rokok, serta mempelajari karakteristik rokok.



PKMI-5-3-3
Karakteristik Chitin-Chitosan
Untuk mempelajari karakteristik chitin-chitosan dilakukan studi literatur
dari berbagai sumber pustaka. Beberapa sumber yang dijadikan acuan diantaranya
jurnal, paten, skripsi serta buku pendukung lainya.
Pembuatan Bio-filter Chitosan
Bio-filter Chitosan dibuat dengan mengkombinasikan filter konvensional
dengan penambahan chitosan. Bahan baku chitosan diperoleh dari laboratorium
Fisika Kimia Departmen Teknologi Hasil Perairan, FPIK-IPB. Sebanyak 0,5
gram, 0,75 gram dan 1 gram chitosan ditambahkan pada filter gabus pada rokok.
Dengan penggunaan chitosan yang berbeda, akan dilihat tingkat efektivitas dari
chitosan tersebut.
Karakterisasi Rokok
Karakteristik rokok yang dipelajari meliputi tingkat keringanan (mild),
efek iritasi pada kerongkongan, karakteristik asap, sifat self-propagating. Pada
tahap ini rokok diujicobakan pada 25 orang panelis untuk melihat sifat
organoleptik dari rokok. Format skor sheet organoleptik dapat dilihat pada
Lampiran 1.

HASIL PENELITIAN
Karakteristik Chitin-Chitosan
Struktur Molekul Chitin-Chitosan










Gambar 1. Struktur molekul chitin Gambar 2. Struktur molekul chitosan
(Sanford and Hucthing, 1987) (Sanford and Hucthing, 1987)

Pembuatan Bio-filter Chitosan
Hasil Pembuatan Rokok dengan Filter Chitin-Chitosan
Filter Gabus


tembakau


Chitosan
Gambar 3. Formulasi Bio-filter chitosan



PKMI-5-3-4
Karakterisasi Rokok
Tabel 2. Hasil uji organoleptik terhadap rokok
Perlakuan Karateristik rokok
A1B0 Rasa memuaskan, agak berat, ada sedikit iritasi pada
kerongkongan.
A1B1 Rokok terasa lebih ringan (mild), cool, rasa memuaskan,
terkadang terdapat iritasi pada kerongkongan
A1B2 Rokok terasa lebih baik, terdapat rasa ingin menambah
(self-propagating), lebih ringan (mild), dibanding rokok
tanpa chitin, rasa sedikit pahit.
A1B3 Lebih baik, terdapat sedikit iritasi ringan pada
kerongkongan, rasa lebih ringan (mild)

A1B0 : Kontrol (produk filter komersil)
A1B1 : Rokok + filter chitin dan chitosan 0.5 gram
A1B2 : Rokok + filter chitin dan chitosan 0.75 gram
A1B3 : Rokok + filter chitin dan chitosan 1 gram

PEMBAHASAN
Karakteristik Chitin-Chitosan
Chitosan merupakan produk deasetilasi chitin dengan menggunakan basa
kuat. Menurut Knorr (1982), chitosan adalah polimer dari 2-dioksi-2-amino
glukosa, yaitu chitin yang terdestilasi yang mempunyai ikatan (1-4) . Besarnya
gugus asetil yang hilang dari polimer chitin akan semakin memperkuat interaksi
antar ion dan ikatan hidrogen dari chitosan.
Chitin dan chitosan merupakan senyawa golongan karbon yang dihasilkan
dari limbah laut,khususnya golongan udang, kepiting, ketam dan kerang. Chitin
sebagai substansi organik kedua terbanyak di alam setelah selulosa (Suptijah, et
al.1992). Knorr (1984) menyebutkan bahwa chitin dapat ditemukan pada limbah
udang dan rajungan sebesar 14-27% dan 13-15% (berat kering) tergantung dari
jenis spesies dan faktor lain. Penelitian lain menyatakan kandungan chitin pada
limbah udang dan rajungan sebesar 20-3-% (Johnson, 1982).
Chitin-chitosan dalam perkembangannya telah dimanfaatkan dalam
berbagai bentuk dan tujuan. Beberapa penggunaan chitin-chitosan dapat dilihat
pada Tabel 1.

Tabel 1. Aplikasi chitin-chitosan

Aplikasi Contoh
Antimikroba Bakterisidal, fungisidal, pengukur kontaminasi jamur
Edible Film Mengatur perpindahan uap antara makanan dan
lingkungan, menahan pelepasan zat-zat mikroba,
antioksidan, menahan pelepasan zat nutrisi, dan falvor
Bahan aditif Mempertahankan flavor alami, bahan pengontrol
pengemulsi, pengental, stabilizer dan penstabil warna
Sifat nutrisi Serat diet, penurun kolesterol, bahan tambahan untuk

PKMI-5-3-5
pakan ikan, mereduksi lemak, protein sel tunggal, anti
gastritis
Pengolah limbah
makanan
Flokulan, dan pemecah agar
Pemurnian air Memisahkan ion-ion logam, pestisida, penjernihan,
Sumber : Shahidi et al (1999)

Beberapa penelitian mengenai pemanfaatan chitin-chitosan telah
dilakukan, di Departemen Teknologi Hasil Perairan , Institut Pertanian Bogor,
chitosan telah diaplikasikan sebagai koagulan dalam pengolahan limbah cair
perikanan (Prantommy, 2005), untuk menanggulangi masalah pencemaran
(Rosita, 2005) di mana chitosan mampu mengikat senyawa organik yang ada
diperairan, chitosan juga mampu mengkelat logam berat Pb sebesar 0.02 PPM.

Pembuatan Bio-filter Chitosan
Pembuatan bio-filter ini diawali dengan pemilihan chitin-chitosan sebagai
filter, kemudian pemotongan gabus filter rokok. Chitin-chitosan yang digunakan
yaitu dalam bentuk serbuk sehingga perlu adanya kecermatan dalam proses
formulasi chitin-chitosan kedalam gabus filter rokok. Chitin-chitosan yang sudah
disiapkan kemudian dimasukkan ke dalam filter gabus rokok. Chitin-chitosan
ditepatkan ditengah, diantara dua gabus. Kemudian dilanjutkan dengan perekatan
filter dengan pembungkus kertas sekaligus penyatuan dengan rokok. Rokok yang
dihasilkan kemudian diuji organoleptik untuk melihat pengaruh chitin-chitosan
terhadap karakteristik rokok yang dihasilkan. Sketsa rokok dengan filter chitin-
chitosan dapat dilihat pada Gambar 3.

Karakterisasi Rokok
Adanya penggunaan chitin dan chitosan, ternyata berpengaruh terhadap
karateristik rokok yang dihasilkan. Dengan penambahan konsentrasi chitin-
chitosan yang digunakan, rokok yang dihasilkan terasa lebih ringan. Asap rokok
yang dihasilkan lebih baik. Penggunaan chitin-chitosan juga menjadikan adanya
sifat self-propagating, yaitu perasaan ingin menambah.
Secara fisik, dengan penambahan chitin-chitosan akan menurunkan
penampakan dari rokok tersebut. Namun secara sensori, seperti rasa, mildness dan
coolness, rokok terasa lebih baik, meskipun dengan peningkatan chitin-chitosan
iritasi pada kerongkongan juga meningkat. Filter yang lebih efektif untuk rokok
dan tembakau diperlukan persyaratan-persyaratan untuk menurunkan tar, nikotin,
dan beberapa zat volatile lain pada asap rokok atau tembakau. Modifikasi chitin-
chitosan pada rokok sangat bagus sebagai filter asap rokok. Penggunaan chitin
dapat menyerap zat-zat phenolik, zat asam dan komponen organik lainnya pada
asap rokok.

KESIMPULAN
Secara fisik, dengan adanya penambahan chitin akan menurunkan
penampakan dari rokok tersebut. Namun secara sensori, seperti rasa, mildness dan
coolness, rokok terasa lebih baik, meskipun dengan peningkatan chitin iritasi pada
kerongkongan juga meningkat.

PKMI-5-3-6
Hasil penelitian menunjukkan adanya perbedaan antara rokok filter
komersial dengan rokok filter dengan chitin. Penambahan chitin menghasilkan
rokok dengan karateristik yang lebih baik. Chitin mampu menurunkan tar, nikotin
serta komponen asam yang ada pada asap rokok.

DAFTAR PUSTAKA
Austin, RP. 1976. Chitin as an extender and filter for tobacco. US Patent. No
3.987.802. 26 oktober 1976.
Johnson, EL, Peniston, QP. 1982. Utilization of shellfish waste for chitin and
chitosan productions. Di dalam: Martin, RE, Flick, GJ, Hebard, CE, Ward
DR (ed). Chemistry and biochemistry of marine food products. Wesport
Conecticut:AVI Publishing Company.
Knorr, D. 1982. Functional properties of chitin and chitosan. Journal of science
48: 36-41.
Philip, M. 1978. Modified cellulosic smoking material and method for its
preparation. US Paten N0. 4.506684 . 2 Agustus 1978.
Prantommy. 2005. Pemanfaatan kitosan dari kulit udang windu (Penaeus
monodon) untuk pengolahan limbah cair perikanan. Fakultas Perikanan
dan Ilmu Kelautan. Bogor: IPB
Rosita, N. 2005. Efektivitas kitosan dalam menurunkan kandungan timbal (Pb)
pada kerang hijau (Mytilus viridis) dengan sistem resirkulasi sederhana.
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Bogor: IPB.
Sanford, PA dan Hucthing, GP. 1987. Chitosan and natural cationic biopolymer,
commercial application. Di dalam: Yalpani (ed). Industrial polisaccarides.
Procceding symposium on the applications and modification of industrial
polysaccarides. New York. 5-7 April 1987. New York: Elseiver Sci. Co.
Inc.
Shahidi, F, Janak, KVA, You, JJ. 1999. Food Applications of chitin and chitosan.
Journal Food Science and Technology. 10: 37-51.
Suptijah, P, Salamah, E, Sumaryanto, H, Purwaningsih, S, Santoso, J. 1992.
Pengaruh berbagai isolasi khitin kulit udang terhadap mutunya.
Laporan penelitian. Bogor: FPIK IPB.

PKMI-5-4-1
MESIN PENGURAI DAN PENGAYAK TEMBAKAU

Jafar Sodik, Bayu Rahmat S, Dwi Pramono M, Indra Santoso
PS Teknik Mesin, Politeknik Negeri Jakarta, Depok

ABSTRAK
Salah satu proses industri rokok adalah mengurai tembakau dari bentuk
bal-bal dan mengayak tembakau. Rancang Bangun Mesin Pengurai dan
Pengayak Tembakau ini bertujuan mempermudah proses tersebut secara praktis
dan efisien. Mesin Pengurai dan Pengayak Tembakau ini dibagi atas dua unit
utama yaitu unit pengurai yang menggunakan silinder yang dipasangi pin dengan
kerapatan dan ketinggian tertentu yang dihubungkan dengan motor listrik, agar
tembakau dapat terurai dengan baik sebelum diayak, dan unit pengayak yang
menggunakan tiga buah tromol pengayak dengan mesh (tingkat kehalusan) yang
berbeda. Sumbu poros dipasang miring 5, dihubungkan dengan motor listrik,
sistem ini disebut sistem ayakan teleskop. Hasilnya tembakau terayak dengan
baik, dan langsung jatuh di tempat penampungan. Mesin ini mempermudah
proses penguraian dan pengayakan tembakau sehingga dapat meningkatkan
produktivitas.

Kata kunci: Unit pengayak, unit pengurai, silinder, bearing, kerangka, baut, mur,
pasak dan motor listrik.

PENDAHULUAN
Seperti kita ketahui bahwa hasil pertanian di Indonesia berupa rempah-
rempah termasuk yang terbesar dunia. Salah satu contohnya, yang merupakan
komoditas ekspor terbesar di Indonesia ialah tembakau. Tembakau tidak langsung
diekspor ke luar negeri, tetapi harus diolah terlebih dahulu menjadi barang yang
memiliki nilai jual lebih tinggi, oleh karena itu diperlukan suatu proses
pengolahan.
Kudus yang dijuluki Kota Kretek, merupakan kota penghasil tembakau
dan rokok terbesar di Indonesia. Namun dalam cara dan proses pengolahannya
masih sangat sederhana, seperti pada proses penguraian tembakau dari bentuk bal-
bal menjadi bentuk kecil, saat ini masih menggunakan tangan dengan cara
menggosokkan tembakau dalam bentuk bal-bal tersebut pada alat pemarut. Begitu
pula pada proses pengayakannya, dilakukan dengan cara menampi tembakau yang
telah diparut pada nampan secara manual. Hal ini tidak efisien, sehingga jumlah
tembakau yang diekspor sedikit dan berakibat minimnya pemasukan devisa yang
diperoleh dari komoditas tembakau.
Berdasarkan latar belakang tersebut, dirancanglah sebuah Mesin Pengurai
dan Pengayak Tembakau yang diharapkan mampu memudahkan proses
pengerjaan, sehingga lebih efektif dan efisien yang pada akhirnya dapat
meningkatkan devisa negara dari sektor tembakau.

BAHAN DAN METODE
Bahan dan metode yang digunakan pada Rancang Bangun Mesin Pengurai
dan Pengayak Tembakau:
1. Dua buah motor listrik masing-masing digunakan untuk unit pengayak dan
pengurai tembakau (dapat dibeli langsung).

PKMI-5-4-2
2. Satu buah unit pengurai dari bahan baja St 41 (cara pengerjaan: bor,
bubut, dan tap).
3. Satu buah unit pengayak dari bahan baja St 41, St 37, dan Alumunium
(cara pengerjaan: bor, bubut dan tap).
4. Satu kerangka mesin pengurai dan pengayak tembakau dari bahan baja St
41 (cara pengerjaan : las).
5. Satu buah hopper dari bahan stainless (cara pengerjaan: bending).

6. Masing-masing satu buah tutup bagian samping dan belakang dari bahan
triplek.
7. Masing-masing satu buah tutup depan dan atas dari bahan kayu.
8. Empat buah bak penampung dari bahan kayu.


HASIL DAN PEMBAHASAN



DIAGRAM ALIR KINERJA MESIN PENGURAI DAN PERNGAYAK
TEMBAKAU
START
Tembakau masuk
ke unit pengurai
Tembakau
terurai
Mengubah
Silinder
penguarai
Tembakau masuk ke
unit pengayak
Tembakau
turun
Memodifikasi
Pulley atau
mengurangi daya
motor listrik
Mesh
Tembakau
FINISH
Dengan tidak
Dengan
Tidak
Ya
Sesuai
Tidak sesuai

PKMI-5-4-3

Mesin Pengurai dan Pengayak Tembakau


I. Unit Pengurai
NO VISUALISASI KETERANGAN
1. Motor unit pengurai

- Motor AC 1 phase ; 0,5 [Hp]
N = 1420 [Rpm] dan = 65 %
P
Aktual
= 0,325 [Hp]

[ ] mm kg. 722 , 155 =

(Khurmi dan Gupta, 1982 : 107)
2. Pulley unit pengurai

[ ]
[ ]
[ ]
[ ] Rpm N
mm D
Rpm N
mm D
33 , 473
4 , 152
1420
8 , 50
2
2
1
1
=
=
=
=

(Khurmi dan Gupta, 1982 : 694
695)
3. Sabuk unit pengurai

- Sabuk jenis V tipe A
- Sudut alur 35
- Panjang sabuk, L = 991 [mm]
(Khurmi dan Gupta, 1982 : 660
680)

X

PKMI-5-4-4
4. Poros unit pengurai









- Diameter poros 20 [mm]
[ ] mm kg
eq
. 8161 , 1044 =
[ ] mm g b
eq
. 92135 , 833 =

[ ]
[ ]
2
2
/ 66515 , 0
/ 06178 , 1
mm kg
mm kg
p
b
=
=


(Khurmi dan Gupta, 1982 : 415 -
417)
5. Silinder pengurai


Silinder berbentuk Hollow,
diameter dalam 94 [mm] dan
diameter luar 100 [mm].
Silinder dipasangi pin dengan
kerapatan tertentu. Diameter
lubang pin dibor 4 [mm] dan
ditap M5, dengan jarak antar garis
lubang 15 [mm], sehingga jumlah
total lubang 294 buah.

II. Unit Pengayak
NO VISUALISASI KETERANGAN
1. Motor unit pengayak

Motor 1 phase, 1 [Hp];
N = 1420 [Rpm]; =71 %
P
Aktual
= 0,71 [Hp]
[ ] mm kg. 098 , 358 =
(Khurmi dan Gupta, 1982 : 107)
2. Pulley unit pengayak










[ ]
2 3
1
4
3
2
1
] [ 1420
] [ 4 , 152
] [ 8 , 50
] [ 4 , 152
8 , 50
N N
Rpm N
mm D
mm D
mm D
mm D
=
=
=
=
=
=

[ ]
[ ] Rpm N
Rpm N
77 , 157
33 , 473
4
2
=
=

(Khurmi dan Gupta, 1982 : 694 695)


PKMI-5-4-5
3. Sabuk unit pengayak

- Dua buah sabuk jenis V tipe A,
- Sudut alur 35
- Panjang sabuk, L = 991 [mm]
(Khurmi dan Gupta, 1982 : 660
680)
4. Pengayak

- Tiga buah ayakan tromol dengan
ukuran lubang ayak (mesh) yamg
berbeda.
- poros tromol dipasang miring 5
0

5. Poros unit pengayak

























- Tiga buah poros dengan diameter
yang berbeda.
- Poros 1, D = 20 [mm] dengan beban
kombinasi shock dan fatique.

[ ]
] . [ 3637 , 2406
. 3638 , 2406
mm kg M
mm kg
e
e
=
=

Maka, diperoleh nilai :

[ ]
[ ]
2
2
/ 0638 , 3
/ 5319 , 1
mm kg
mm kg
b
p
=
=


- Poros 2, D = 18 [mm], dengan
beban kombionasi shock dan
fatique.

[ ]
] . [ 7768 , 2858
. 9283 , 3580
mm kg M
mm kg
e
e
=
=

Maka, diperoleh nilai :

[ ]
[ ]
2
2
/ 9860 , 4
/ 1271 , 3
mm kg
mm kg
b
p
=
=


- Poros 3 , D = 25 [mm] dengan
beban kombinasi shock dan fatique.

[ ]
] . [ 4657 , 2667
. 5564 , 3450
mm kg M
mm kg
e
e
=
=

Maka, diperoleh nilai :

[ ]
[ ]
2
2
/ 739 , 1
/ 1247 , 1
mm kg
mm kg
b
p
=
=


(Khurmi dan Gupta, 1982 : 415 - 417)

1)
2)
3)
X


PKMI-5-4-6
III. Pasak
Ukuran poros 20 [mm] ukuran pasak dengan W = 6 [mm]; t = 6
[mm].
Poros dengan diameter 25 [mm], maka ukuran pasak menggunakan
W = 8 [mm]; t = 7 [mm].
(Khurmi dan Gupta, 1982 :463)
IV. Bearing
Menggunakan bantalan silinder dengan tipe Ball Bearing ( Style
Row Deep Groove Ball Bearing ). Tiap poros dipasang bearing
berdasarkan diameter poros tersebut.
(Khurmi dan Gupta, 1982 : 971 - 973)
V. Kerangka
Disain kerangka Mesin Pengurai dan Pengayak Tembakau ini
dapat dilakukan pengelasan dengan jenis Butt joint.
(Khurmi dan Gupta, 1982 : 271 - 280)
VI. Baut dan Mur
Ukuran-ukuran baut dan mur yang digunakan pada Mesin Pengurai dan
Pengayak Temabakau adalah:
Baut M 8, digunakan pada motor listrik unit pengurai.
Baut M 10, digunakan pada motor listrik unit pengayak, serta pada
pipa hole pengayak. (Khurmi dan Gupta, 1982 : 289 - 393)

Pada saat proses penagayakan tembakau berlangsung terdapat hambatan
yaitu hasil penguraian tidak turun dengan sempurna karena putaran yang terjadi
pada unit pengayak terlalu cepat (157 [Rpm]), maka dikurangi sampai diperoleh
putaran yang tepat yaitu 20-30 [Rpm].

Tabel 1: Data Hasil Pengujian Tembakau Tahap Pertama (20 30 [ Rpm )
BANYAK TEMBAKAU [kg] WAKYU DIBUTUHKAN [Menit]
0,25 4
0,25 4

Tabel 2: Data Hasil Pengujian Tembakau Tahap Kedua (20 30 [Rpm )
BANYAK TEMBAKAU [kg] WAKTU DIBUTUHKAN [Menit]
0,3 5
0,2 3

Tabel 3: Data Hasil Pengujian Tembakau Secara Keseluruhan Sebanyak 1 [kg]
(20 30 [Rpm])

NO. GRADE UKURAN
TEMBAKAU
[mm]
JUMLAH
[kg]
WAKTU
[Menit]
KETERANGAN
1. 1 > 15 0,2 16 Diolah lagi
2. 2 11 15 0,1 16 Untuk Kretek
3. 3 5 - 10 0,28 16 Untuk Filter
4. 4 5 0,35 16 Terhalus

PKMI-5-4-7
Berdasarkan data di atas, dapat dihitung presentase hasil penguraian dan
pengayakan, serta kapasitas mesin selama 1 jam pada setiap gradenya.
Grade 1 : 0,2 x 100 % = 20 %
Grade 2 : 0,1 x 100 % = 10 %
Grade 3 : 0,28 x 100 % = 28 %
Grade 4 : 0,35 x 100 % = 35 %

Jadi kapasitas mesin per-jam, ialah :
[ ]

=
Jam
kg
kg 75 , 3 1
16
60


KESIMPULAN
1. Model mesin pengurai dan pengayak tembakau sesuai dengan
perencanaan spsifikasi awal.
2. Mesin dapat melakukan penguraian dan pengayakan secara besar-
besaran.
3. Putaran yang baik untuk mengayak tembakau menggunakan sistem
ayakan tromol adalah 20 30 [Rpm] dengan kemiringan sumbu poros
sebesar 5.
4. Presentase hasil penguraian dan pengayakan tembakau untuk grade
ialah 20 %, grade 2 ialah 10 %, grade 3 ialah 28 %, dan grade 4 ialah
35 % untuk tiap 1 [kg].

DAFTAR PUSTAKA
Darmali, dan Ichwar. 1979. Ilmu Gaya Sipil 3. Jakarta: PT. Jaya Pirusa,
Jurusan Teknik Mesin, 2002. Pedoman Penulisan laporan Tugas Akhir
Mahasiswa Jurusan Teknik Mesin. PNJ.
Khurmi, R. S and Gupta, J. K. 1982. Text Book of Machine Design. New Delhi:
Eurasia Publishing House.
Shigley, Edward Joseph and Mitchell D. Larry. 1995. Perancangan Teknik Mesin.
Jakarta: Erlangga.
Shigley, E Joseph and Charles R. Mischke. 1976. Standart Hand Book Second
Edition. Mc. Graw-Hill.
Stolck, Jack and Kros, C. 1994. Elemen Mesin. Jakarta: Erlangga.
Sukrisno, Umar. 1984. Bagian-Bagian Mesin dan Merencana. Jakarta: Erlangga.
Sularso. 1978. Dasar Perencanaan Elemen Mesin. Jakarta: Pradnya Paramita.
Takhesi Sato, G. 2000. Menggambar Mesin menurut Standar ISO. Jakarta:
Pradnya Paramita.
Van Bergeyk, K and Ing. A. J. Liederken. 1981. Teknologi Proses Jilid 1. Jakarta:
Bhratara Karya Aksara.

PKMI-5-5-1
PEMBUATAN BIODIESEL DARI MINYAK GORENG BEKAS
DENGAN PROSES CATALYTI C CRACKI NG

Rizky Widyo Laksito, Tri Wulandari, Setya Artika A. S., Vidya Nurina A.
PS Teknik Kimia Fakultas Teknik Universitas Diponegoro, Semarang

ABSTRAK
Biodiesel merupakan bahan bakar pengganti minyak solar yang dapat diproduksi
dari minyak nabati. Umumnya biodiesel diperoleh dari proses esterifikasi dan
transesterfikasi dari minyak nabati. Namun bahan baku minyak goreng bekas
kurang ekonomis jika menggunakan proses esterifikasi dan transesterifikasi. Salah
satu proses pembuatan biodiesel adalah dengan proses perengkahan berkatalis
pada minyak goreng bekas ( jelantah ). Penelitian ini bertujuan mempelajari
pengaruh ukuran katalis Zeolit Alam, konsentrasi asam dan temperatur yang
digunakan terhadap produk yang akan dihasilkan. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa minyak goreng bekas dapat dikonversi menjadi biodiesel dengan cara
perengkahan berkatalis zeolite alam. Hasil dari perengkahan minyak goreng bekas
diperoleh karakteristik produk biodiesel yang mendekati spesifikasi solar yaitu
spesifik gravitas 60/60C 0,82 0,87, viscositas kinematik 100C 4,5 5,8 cSt,
nilai kalor 35 MJ/kg, bilangan setana 44,7 dan warna hijau kecoklatan. Variabel
operasi tunggal yang paling berpengaruh adalah ukuran zeolite, diikuti temperatur
perengkahan dan konsentrasi asam sulfat. Produk biodiesel yang dihasilkan
mempunyai komposisi terbesar senyawa C13H28 (tridekana) dan C15H32
(pentadekana).

Kata kunci : biodiesel, zeolite alam, ukuran zeolite, temperatur, konsentrasi asam

PENDAHULUAN
Bahan Bakar Minyak (BBM) di Indonesia merupakan salah satu produk
yang banyak dibutuhkan oleh masyarakat. Dengan bertambahnya penduduk maka
semakin meningkat pula konsumsi akan kebutuhan BBM tersebut, sehingga
cadangan energi dari minyak bumi semakin menipis dan suatu saat bisa habis. Di
sisi lain, bahan bakar minyak sendiri banyak menghasilkan gas buang yang dapat
menyebabkan pencemaran lingkungan sehingga perlu dicari bahan bakar yang
akrab lingkungan.
Penelitian-penelitian untuk memanfaatkan minyak goreng bekas di
Indonesia telah banyak sekali, diantaranya; Budi, 1999, meneliti tentang pirolisis
minyak goreng bekas menjadi bahan bakar alternatif dengan katalisator NaOH.
Penelitian ini menyimpulkan bahwa hasil dari pirolisis adalah senyawa dengan
sifat-sifat fisis mendekati kerosin. Setiawan, 1999, meneliti tentang dekarboksilasi
sabun dari minyak goreng bekas menjadi bahan bakar menggunakan pereaksi soda
api. Kusumo dkk, 2000, meneliti tentang kemungkinan penggunaan bahan bakar
minyak dari minyak goreng bekas melalui proses dekarboksilasi. Hasil
penelitiannya menyimpulkan bahwa proses ini dapat merubah sifat dan
karakteristik dari hidrokarbon yang berasal dari minyak jelantah serta
menghilangkan gugus CO2. Tahar dan Soerawidjaja, 2003, meneliti tentang
evaluasi teknis pembuatan biodiesel dari minyak jelantah. Hasil penelitian
menunjukan bahwa proses esterifikasi dan transesterifikasi tidak memungkinkan
untuk pembuatan biodiesel. Hal ini dikarenakan asam lemak bebas dalam minyak

PKMI-5-5-2
goreng bekas yang besar dan kandungan air cukup besar. Djaeni dkk, 2004,
meneliti tentang penggunaan minyak goreng bekas menjadi biodiesel dengan cara
transesterifikasi menggunakan katalis zeolite. Hasil penelitiannya menunjukkan
bahwa zeolite yang telah diaktivasi dengan asam sulfat mempunyai kemampuan
sebagai katalis dalam proses transesterifikasi minyak nabati bekas menjadi
biodiesel.
Disisi lain, alam Indonesia memiliki kandungan zeolite alam yang cukup
berlimpah dengan kemurnian lebih dari 84% (Subagjo, 1998), misalkan di
Lampung dan Malang. Harga zeolite alam yang beredar di pasaran cukup murah
berkisar Rp.7000,00/kg (Sumber Bratako, Semarang, 2002). Selama ini zeolite
alam hanya digunakan sebagai penyubur tanah dan pencampur makanan ternak.
Ironisnya, industri industri kimia di Indonesia banyak menggunakan zeolite
sintetis (import), yang harganya sangat mahal. Sehingga, kegiatan penelitian
penggunaan zeolite alam Indonesia ini masih merupakan tantangan yang cukup
besar bagi bangsa Indonesia. Laniwati, meneliti tentang isomerisasi 1 - buten
menggunakan zeolite alam asal Malang, Jawa Timur sebagai katalis. Zeolite alam
ini cukup baik untuk mengkatalisis reaksi isomerisasi 1 buten menjadi senyawa 2
buten pada suhu dibawah 450
o
C, sedangkan diatas suhu tersebut akan terjadi
reaksi perengkahan (Laniwati, 1999).
Minyak merupakan trigliserida yang tersusun atas tiga unit asam lemak,
berwujud cair pada suhu kamar (25C) dan lebih banyak mengandung asam lemak
tidak jenuh sehingga mudah mengalami oksidasi. Minyak yang berbentuk padat
biasa disebut dengan lemak. Minyak dapat bersumber dari tanaman, misalnya
minyak zaitun, minyak jagung, minyak kelapa, dan minyak bunga matahari.
Minyak dapat juga bersumber dari hewan, misalnya minyak ikan sardin, minyak
ikan paus dan lain-lain (Ketaren, 1986). Minyak sayur adalah jenis minyak yang
digunakan dalam pengolahan bahan pangan, biasanya terbuat dari kelapa maupun
kelapa sawit. Komposisi minyak goreng dari kelapa sawit seperti disajikan dalam
tabel 1.

Tabel 1. Komposisi Asam Lemak Minyak Kelapa Sawit (Ketaren, 1986)
Asam Lemak Kandungan
Asam miristat Asam
palmitat Asam
stearat
Asam oleat
Asam linoleat
1.1 - 2.5
40 - 46
3.6 - 4.7
39 - 45
7.0 - 11

Penggunaan minyak nabati berulang kali sangat membahayakan kesehatan.
Hal ini dikarenakan selain semakin banyaknya kotoran yang terkandung dalam
minyak goreng akibat penggorengan bahan makanan sebelumnya dan semakin
banyaknya senyawa senyawa asam karboksilat bebas di dalam minyak serta
warna minyak goreng yang semakin tidak jernih jika dipakai berulang kali.
Sedangkan pembuangan minyak goreng bekas secara langsung ke lingkungan akan
menimbulkan pencemaran.
Cracking atau perengkahan adalah suatu cara untuk memecah rantai
molekul hidrokarbon yang besar menjadi molekul yang lebih kecil. Pemecahan ini

PKMI-5-5-3
menggunakan suhu dan tekanan yang tinggi tanpa adanya katalis, atau suhu dan
tekanan yang rendah dengan menggunakan katalis. Keunikan dari reaksi ini adalah
molekul hidrokarbon dihancurkan secara acak untuk menghasilkan campuran
hidrokarbon yang lebih kecil (Clark, 2003). Suatu misal hidrokarbon C
15
H
32
dapat
dipecah dengan zeolite menjadi :

C
15
H
32
2C
2
H
4
+ C
3
H
6
+ C
8
H
18

ethena propene oktana

Atau dapat ditunjukkan secara lebih jelas yang terjadi pada berbagai
macam atom dan ikatannya.


Susunan ikatan ganda

Ini merupakan salah satu cara untuk memisahkan molekul tertentu. Etena
dan propena adalah material penting untuk membuat plastik atau memproduksi
bahan kimia organik yang lain. Sedangkan oktana adalah salah satu molekul yang
ada dalam minyak (Clark, 2003).
Prinsip kerja dari catalytic cracking adalah dengan cara memecah
hidrokarbon kompleks menjadi molekul yang lebih sederhana yang dapat
meningkatkan kualitas dan kuantitas produk dan juga dapat menurunkan jumlah
residu yang dihasilkan.
Ada tiga tipe dari proses catalytic cracking yaitu Fluid catalytic cracking
(FCC), moving bed catalytic cracking, dan thermofor catalytic cracking (TCC).
1. Fluid catalytic cracking
Proses ini lebih dikenal dengan sebutan FCC, dimana minyak dipecah
dengan adanya katalis dan dengan menjaga aerasi atau aliran fluida dalam
proses tersebut. Pemecahan ini dibagi menjadi dua bagian yaitu bagian
katalis dan bagian fraksinasi yang beroperasi bersama dalam suatu unit
proses. Bagian katalis terletak pada reaktor dan regenerator yang
dihubungkan dengan pipa hidran dan riser dalam satu unit sirkulasi katalis
dengan mengontakkan katalis dan uap minyak dengan steam sebagai
medianya. Katalis yang biasa digunakan dalam proses ini adalah dalam
bentuk bedak (powder), dimana katalis ini akan mengalir seperti cairan
ketika beragitasi dengan panas, udara atau uap.

Bahan baku masuk kolom dan secara cepat bereaksi dengan uap panas
katalis. Uap yang ada dapat menjaga fluidisasi katalis pada saat masuk ke
dalam reaktor, dimana pemecahan terjadi dan terfluidisasikan oleh uap
hidrokarbon. Katalis tersebut kemudian masuk ke dalam bagian dasar kolom
dimana hidrokarbon yang lebih volatil akan dipindahkan. Kemudian masuk
ke dalam tangki regenerator yang akan terfluidisasikan oleh campuran dan
produk hasil pembakaran yang diproduksi adalah katalis yang tidak

PKMI-5-5-4
beraktivitas lagi. Kemudian katalis tersebut kembali ke dalam reaktor.
Katalis akan berjalan secara kontinyu dengan cara sirkulasi antara reaktor,
stripper dan regenerator.

Gambar 1. Sistematika Fluid catalytic cracking

Katalis yang digunakan adalah campuran oksida alumina dan atau
silika alumina. Tetapi ada juga yang menggunakan katalis zeolite sintetis
yang memiliki waktu reaksi yang lebih pendek dan juga dapat meningkatkan
yield dan angka oktan dari pemecahan minyak tersebut.

2. Moving-bed catalytic cracking
Proses ini hampir sama dengan proses fluid catalytic cracking.
Perbedaannya terletak pada perlakuan katalis yang dipindahkan secara
kontinyu untuk dijatuhkan ke dalam reaktor dan kemudian diregenerasi.

3. Thermofor catalytic cracking
Proses ini dilakukan dengan cara memanaskan minyak terlebih dahulu,
kemudian dialirkan hingga mencapai reaktor bed katalitik. Dalam reaktor ini
uap akan terpisah dari katalis dan mengirimnya ke kolom fraksinasi (SET
Laboratories, Inc. 1999). Mekanisme reaksi perengkahan dengan katalis
perengkah alumina silikat

(Al2O3SiO2) berjalan melalui senyawa molekul antara ion karbonium yang
dibentuk dengan bantuan dua jenis inti aktif asam katalis perengkah tersebut, yaitu
inti asam Lewis dan inti asam Bronsted [Gates, dkk 1977]. Jumlah inti asam Lewis
menurun dengan berkurangnya atom alumina dan
katalis perengkah alumina silikat, dan pada perbandingan atom Al/Si tertentu dari
katalis perengkah alumina silikat dicapai jumlah inti asam Bronsted optimal.
Total asam Bronsted lebih besar daripada total asam Lewis dari katalis perengkah
alumina silikat. Molekul antara ion karbonium tidak stabil dan akan pecah menjadi
olefin dan ion karbonium kecil yang lebih stabil [Gemiain, 1969]. Sebagai hasil
pemecahan ion karbonium tersebut diperoleh produk ringan seperti : gas, bensin,
kerosin dan solar.
Zeolite (alumina silikat) dengan struktur kerangka berpori yang berisi kation

PKMI-5-5-5
dan molekul air dimana keduanya dapat bebas berpindah dalam batas pertukaran
ion reversibel. Zeolite adalah struktur rangka tiga dimensi dibangun oleh ion-ion
oksigen tetrahidra dimana masing-masing berhubungan dengan ion silikat sebagai
pusatnya.
Setiap ion oksigen terikat oleh dua tetrahidra. Setiap tetrahidra oksigen
adalah unit pembangun primer. Unit pembangun sekunder terbentuk dari
penggabungan tetrahidra oksigen membentuk cincin lingkar 4, 6, dan 8 atau
gabungan dua cincin lingkar 6 dan dua cincin lingkar 4.
Struktur kristal zeolite merupakan penyusun dari sejumlah unit pembangun
sekunder yang membentuk lubang dan saluran. Lubang dan saluran ini berisi
ion-ion logam dan molekul air, dimana keduanya bebas bergerak sehingga dapat
dipakai sebagai penukar ion, dan dapat didehidrasikan secara reversibel. Dalam
menentukan hubungan antara komposisi dan strukturnya dapat dipakai rumus :
M
X/N
{(AlO
2
)
X
(SiO
2
)
Y
}.zH
2
O
Dimana M adalah kation logam alkali atau alkali tanah. Sedangkan x, y, dan z
adalah bilangan-bilangan tertentu, dan n adalah muatan dari ion logam. Rumus
tersebut menunjukkan struktur atau satuan sel dari zeolite, bagian dalam kurung
menunjukkan komposisi rangka. Perbandingan y/x berkisar antara satu sampai
lima.(The Breck Group, 1975 ).
Penelitian bertujuan untuk mempelajari variabel konsentrasi asam, ukuran
katalis Zeolite Alam dan temperatur yang berpengaruh terhadap proses pembuatan
biodiesel dari minyak goreng bekas dengan proses perengkahan berkatalis.

METODE PENDEKATAN
Penelitian ini adalah penelitian laboratorium dan dilakukan di Laboratorium
Rekayasa Proses, Jurusan Teknik Kimia UNDIP Semarang. Bahan yang
digunakanadalah minyak goreng bekas yang diperoleh dari industri kerupuk di
Semarang, zeolit alam diperoleh dari CV Bratako Semarang, bahan kimia asam
sulfat, dan aquadest. Variabel tetap yang digunakan dalam penelitian ini adalah
minyak goreng bekas penggorengan krupuk, waktu operasi 3 jam, volume minyak
200 ml, dan suhu pemanasan minyak 250C. Variabel yang dipelajari seperti
disajikan pada tabel 2, yang meliputi variabel ukuran zeolit, temperatur operasi dan
konsentrasi asam. Penelitian dan pengolahan data menggunakan metode faktorial
design 2
3
. Peralatan utama untuk proses perengkahan berkatalis seperti disajikan
pada Gambar 1. Peralatan terdiri dari tangki penampung minyak goreng bekas dan
heater untuk pengapan minyak goreng bekas, reaktor berkatalis zeolit dan furnace
yang dilengkapi dengan thermoreglator dan kondensor untuk mengkondensasi
produk hasil perengkahan.
Langkah penelitian yang pertama adalah proses aktivasi zeolite dengan
larutan H2SO4 2 N dan 3 N. Proses aktivasi menngunakan metode kimia dengan
cara direndam di dalam larutan asam sulfat selama 8 jam pada temperatur 80
o
C.
Zeolite tersebut dicuci dengan aqua demin lalu diangin-anginkan dalam udara
terbuka selama 20 menit, setelah itu dikeringkan dalam oven pada suhu 110
0
C
selama 2 jam. Proses perengkahan dilakukan pada dengan alat seperti disajikan
pada Gambar 1. Minyak goreng bekas dipanaskan pada temperatur 250C dan
furnace yang telah disetting pada temperatur sesuai variabel dan dipertahankan
konstan. Uap minyak goreng bekas yang telah dilewatkan dalam furnace kemudian

PKMI-5-5-6
didinginkan, sehingga uap tersebut terkondensasi. Cairan hasil kondensasi
kemudian ditampung untuk dianalisa (volume, berat, analisa Gas Chromatography
and Mass Spectrometry /GCMS dan uji arakteristik produk). Uji GCMS dilakukan
Laboratoriu Kimia , Jurusan Kimia Fakultas MIPA UGM. Uji karakteristik
diakukan di Pusdiklat MIGAS CEPU .

Tabel 2. Variabel operasi dengan faktorial design 2
3

Variabel Interaksi
Run
A B C AB AC BC ABC
1
2
3
4
5
6
7
8
-
+
-
+
-
+
-
+
-
-
+
+
-
-
+
+
-
-
-
-
+
+
+
+
+
-
-
+
+
-
-
+
+
-
+
-

+
-
+
+
+
-
-
-
-
+
+
-
+
+
-
+
-
-
+

Keterangan : A = Ukuran Zeolite (-) =1,18 mm (+)= 0,85 mm
B = Konsentrasi asam (-) = 2N (+)= 3N
C = Temperatur Furnace (-) = 300 oC (+)= 450 oC


Gambar 2. Rangkaian Alat penelitian

HASIL DAN PEMBAHASAN
Persamaan Hubungan Antara Interaksi dan Probabilitas
Dari hasil perhitungan masing masing efek diperoleh bentuk persamaan
seperti dibawah ini :
Y = 40.74 + 19.445X
A
+ 7.77X
B
+ 10.765X
C
+
3.17X
A
X
B
+ 6.805X
A
X
C
-4.45X
B
X
C
- 4.44 X
A
X
B
X
C

Persamaan diatas, terlihat bahwa efek A (ukuran zeolite) memiliki posisi

PKMI-5-5-7
yang terjauh dari effect yang lain, ini berarti efek A (ukuran zeolite) adalah efek
yang paling berpengaruh pada proses perengkahan minyak goreng bekas dengan
katalis zeolite. Sedangkan efek kedua yang berpengaruh adalah C (temperatur
perengkahan), sedangkan konsentrasi asam tidak berpengaruh banyak pada
perengkahan minyak goreng bekas. Pada persamaan dapat dilihat koefisien XA
bernilai positif (XA disini adalah variabel ukuran zeolite), ini berarti semakin besar
nilai XA maka harga Y semakin besar pula. Hal ini disebabkan karena semakin
kecil ukuran diameter partikel zeolite, maka ukuran luas pori zeolite semakin luas
sehingga frekuensi tumbukan dengan minyak goreng bekas semakin besar pula.
Untuk koefisien XB bernilai positif (XB disini adalah variabel konsentrasi asam),
ini berarti semakin besar nilai XB, maka harga Y nya semakin besar. Hal ini
disebabkan karena semakin besar konsentrasi asam, maka kesempatan zeolite yang
telah teraktivasi untuk merengkahkan minyak goreng bekas akan semakin besar
sehingga yield yang dihasilkan semakin besar pula. Untuk koefisien XC bernilai
positif (XC adalah variabel temperatur perengkahan), ini berarti semakin besar nilai
XC, maka harga Y semakin besar. Ini disebabkan karena semakin tinggi temperatur
yang digunakan maka laju reaksi perengkahan minyak juga semakin meningkat,
sehingga yield yang dihasilkan juga semakin besar. Begitu pula untuk interaksi
koefisien X AB dan XAC yang bernilai positif , sedangkan untuk XBC dan XABC
bernilai negatif, ini berarti semakin kecil nilainya maka yield yang dihasilkan juga
semakin kecil. Ini disebabkan respon interaksi yang sangat kecil pada kondisi
reaksi perengkahan dibanding variabel lainnya, sehingga dapat diasumsi interaksi
XBC dan XABC pada kondisi perengkahan dapat diabaikan.

Karakteristik Produk
Produk proses perengkahan minyak goreng bekas (jelantah) dengan
menggunakan katalis zeolite dilakukan uji karakteristik dengan parameter spesifik
grafitas, viskositas kinematik, nilai kalor, warna dan bilangan setana (cetane
number). Hasil analisa karakteristik produk biodiesel seperti disajikan dalam tabel
berikut ini :
Tabel 3. Karakteristik Produk Biodiesel
Spesifikasi Solar
No Karakteristik Hasil Analisa
Min Max
1
2

3
4
5
Spesifik gravitas, 60/60C
Viscositas kinematik,
100C.cSt
Nilai kalor, MJ/kg
Calculated cetane number
Warna
0,847 0,869
4,1 6,9

40,1
44,7
Hijau coklat
0,82
4,5

35
48
Coklat
kehijauan
0,87
5,8

-
-
Coklat
kehijauan

Berdasarkan Tabel 3 di atas, dapat dilihat bahwa hasil perengkahan minyak
goreng bekas dengan katalis zeolite alam diperoleh data yang memenuhi spesifikasi
solar, seperti pada nilai spesifik gravitas yang sesuai dengan spesifikasi minyak
solar, demikianjuga dengan data viskositas kinematik, nilai kalor dan warna. Pada
parameter bilangan setana, produk hasil perengkahan minyak goreng bekas masih
terlalu rendah dibandingkan dengan spesifikasi minyak solar. Hal ini disebabkan
pada hasil perengkahan minyak goreng bekas masih mengandung asam palmitat

PKMI-5-5-8
dan hidrokarbon dengan C9-10. Hidrokarbon C9 dan C10 yang menyebabkan
bilangan setana rendah. Bilangan setana ini dapat diatasi dengan proses pemisahan
dan pemurnian terhadap produk biodiesel yang dihasilkan atau dengan
menambahkan zat aditif. Asam palmitat merupakan asam lemak yang mempunyai
gugus fungsional ( hidroksi ) dan memungkinkan terjadinya ikatan hidrogen. Ini
dapat ditunjukkan dengan titik didih asam lemak yang tinggi, sehingga diperlukan
suhu yang tinggi untuk merengkahkan asam lemak ini. Selain itu, asam palmitat
mengandung oksigen, sehingga hal ini menyebabkan perbandingan bahan bakar
dengan udara secara stoikiometri menjadi lebih kecil, yang berakibat kelambatan
penyalaan pada bahan bakar hasil perengkahan ini.

Hasil Proses Perengkahan Berkatalis

Gambar 3. Hasil analisa dengan GCMS Tabel 4. Hasil Analisa GCMS
Tabel 4. Hasil Analisa GCMS

PKMI-5-5-9
No. Waktu
retensi
Berat
Molekul
Rumus
Molekul
Nama
Senyawa
1 2 3
4 5 6
7 8 9
10
2,5 2,5
12,358
12,358
14,825
14,825
17,700
22,442
22,442
27,967
128 156 184
170 196 224
212 240 282
256
C9H18
C10H20
C13H28
C12H26
C14H28
C16H32
C15H32
C17H36
C20H42
C16H32O2
Nonana Dekana
Tridekana
Dodekana
Tetradekana
Heksadekana
Pentadekana
Heptadekan
Eicosane Asam
palmitat


Hasil analisa GCMS seperti disajikan pada Gambar 3. Hasil analisa
menunjukkan bahwa luas area terbesar terdapat pada waktu retensi 17,745 dimana
produk yang dihasilkan adalah C13H28 (Tridekana) dan C15H32 (Pentadekana).
Komponen tridekana dan pentadekana merupakan komponen penyusun biodiesel
atau solar (C12 C18). Produk-produk lain pada proses perengkahan minyak
goreng bekas seperti disajikan dalam Tabel 4. Untuk memperoleh biodiesel dengan
komposisi antara C12-C18 dengan proses pemisahan dan pemurnian seperti proses
distilasi.

KESIMPULAN
Dari hasil penelitian yang telah dilaksanakan, dapat diambil kesimpulan
bahwa, minyak goreng bekas yang digunakan dapat menjadi produk biodiesel
dengan cara perengkahan berkatalis zeolite. Variabel utama yang berpengaruh
terhadap proses perengkahan minyak goreng bekas dengan katalis zeolit adalah A
yaitu ukuran zeolite, yang kedua variabel C (temperatur perengkahan) kemudian
variabel B (konsentrasi asam). Produk proses perengkahan minyak goreng bekas,
mempunyai karakteristik spesifikasi solar kecuali bilangan setana/cetane number
untuk memenuhi karakteristik bilangan setana disarankan dilakukan pemurnian
terhadap produk biodiesel yang dihasilkan. Hasil analisa GCMS menunjukkan
bahwa luas area terbesar terdapat pada waktu retensi 17,745 dimana produk yang
dihasilkan adalah C13H28 (Tridekana) dan C15H32 (Pentadekana).

DAFTAR PUSTAKA
Budi, B. 1999. Pirolisis Minyak Goreng Bekas Menjadi Bahan Bakar Alternatif
Dengan Katalisator NaOH. Semarang : Laporan Penelitian Teknik Kimia
UNTAG.
Clark, Jim. 2003. Cracking Alkanes. http://www. chemguide. co. uk / organicprops
/cracking alkanes thermal and catalytic.htm.
Djaeni, M., Suherman, Robyansah, Hermawan H. 2004. Transesterifikasi Minyak
Nabati Bekas Menjadi Biodiesel Menggunakan Katalis Zeolite. Yogyakarta :
Prosiding Seminar Nasional Kejuangan Teknik Kimia, ISSN 1693 4393,
UPN Veteran.
Gates, B.C, dkk. 1977. Chemistry of Catalyst Processes. New York :
Academic.Germain, J. E. 1969. Catalytic Conversion of Hydrocarbons. Academic

PKMI-5-5-10
Pres Inc. Ketaren, S. 1986. Minyak dan Lemak Pangan. Indonesia : UI Press
Kusumo, Priyono dan M. F. Sri Mulyaningsih. 2004. Kemungkinan Bahan Bakar
Minyak Dari Minyak Goreng Bekas Melalui Proses Dekarboksilasi.
Semarang : Prosiding Seminar Nasional Rekayasa Kimia dan Proses Teknik
Kimia, ISSN 1411 4216, UNDIP.
Laniwati M. 1999. Isomerisasi 1 buten menggunakan zeolite alam asal malang
Jawa Timur Sebagai Katalis. http:// www. lp. itb. ac. id./ product/ vol31no2/
melia.html.
SET Laboratories, Inc. 1999. Catalytic Cracking. http:// www. setlaboratories.
com/ Cat cracking.htm.
Setiawan, R. W. 1999. Dekarboksilasi Sabun Dari Minyak Goreng Bekas Menjadi
Bahan Bakar Minyak Menggunakan Pereaksi Soda Api. Semarang : Laporan
Penelitian Teknik Kimia UNTAG.
Subagjo. 1998. Zeolite. Indonesia : Laboratorium Konversi Termokimia, Institut
Teknologi Bandung.
Sumber Bratako. 2002. Daftar Harga Katalis. Supplier Bahan Kimia. Semarang.
Tahar,A dan Soerawidjaja, T.H. 2003. Evaluasi Teknis Pembuatan Biodiesel Dari
Minyak Jelantah. Semarang : Prosiding Seminar Nasional Rekayasa Kimia
dan Proses Teknik Kimia, ISSN 1411 4216, UNDIP.
The Breck Group. 1975. Heterogeneous Catalysis and Zeolite Synthesis. http://
www. umich. edu/ ~becklab/ The Breck Group Current Research.htm.


PKMI-5-6-1
EFEK ANTI PROLIFERATIF EKSTRAK ETANOLIK DAUN
Gynura procumbens (Lour.) Merr. PADA HEPAR TIKUS
(Rattus norvegicus) BETINA GALUR SPRAGUE DAWLEY TERINDUKSI
7,12-DIMETIL BENZ(a)ANTRAZENA

Esti Widayanti, Annisa Dyah Lestari, Nur Latifah SW
Fakultas Farmasi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta

ABSTRAK
Gynura procumbens (Lour.) Merr. atau Sambung Nyawa oleh sebagian
masyarakat Indonesia telah digunakan sebagai obat kanker kandungan, payudara
dan kanker darah. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek ekstrak etanolik
daun Gynura procumbens (Lour.) Merr. pada proses karsinogenesis dengan
melihat aktivitas proliferasi sel hepar pada tahap inisiasi kanker. Tikus (Rattus
norvegicus) betina galur Sprague Dawley yang diinduksi kanker payudara
dengan pemberian DMBA dalam minyak jagung dosis 20 mg/kg BB peroral
seminggu 2 kali selama 5 minggu pada umur 1,5 bulan. Ekstrak etanolik Gynura
procumbens diberikan dengan dosis 250, 500 dan 750 mg/kg BB setiap hari
selama 14 hari sebelum inisiasi (pemberian DMBA) dan selama inisiasi kemudian
secara mikroskopis diamati dengan. pengecatan HE dan AgNOR. Analisis
dilakukan dengan kuantifikasi terhadap titik-titik AgNOR dengan parameter
pAgNOR. Data dianalisis statistik dengan metode One Way ANOVA dan tes
Tuckey taraf kepercayaan 95% (P<0,05) kemudian dibandingkan antar kelompok
perlakuan. Aktivitas proliferasi kelompok tikus yang diberi ekstrak etanolik
Gynura procumbens (Lour.) Merr. menunjukkan perbedaan yang signifikan
dibandingkan dengan kelompok kontrol positif DMBA. Maka dapat disimpulkan
bahwa pemberian ekstrak etanol Gynura procumbens (Lour.) Merr. selama masa
inisiasi dapat menghambat karsinogenesis hepar tikus terinduksi DMBA.

Kata kunci: Gynura procumbens (Lour.) Merr., DMBA, karsinogenesis, anti
proliferasi

PENDAHULUAN
Kanker merupakan penyakit yang ditandai oleh adanya pertumbuhan dan
penyebaran abnormal dari sel yang tidak terkontrol. Kanker ditandai dengan
adanya gangguan atau kegagalan mekanisme pengatur multiplikasi dan fungsi
homeostatis lainnya pada organisme multiseluler.
Pertumbuhan kanker merupakan proses mikroevolusioner yang dapat
berlangsung dalam beberapa bulan atau beberapa tahun. Proses pembentukan
kanker yang disebut karsinogenesis terdiri dari empat tahapan yaitu, inisiasi,
promosi, progresi, dan metastasis (Schneider,1997). Pada tahap inisiasi terjadi
perubahan genetik yang mengakibatkan proliferasi sel yang abnormal, perubahan
ini salah satunya karena terpapar zat karsinogenik misalnya DMBA. Senyawa
DMBA merupakan senyawa karsinogen yang poten untuk menginduksi kanker
payudara. Metabolit DMBA mampu membentuk adduct dengan basa guanine
dari DNA sehingga terjadi karsinogenesis (King,2000). Terjadinya perubahan-
perubahan genetik dan mutasi sel ini merupakan awal dari terjadinya kanker, dan
sering disebut sebagai inisiasi kanker (Sugiyanto et al., 1993).

PKMI-5-6-2
Penghambatan proses karsinogenesis dapat dilakukan dengan
menggunakan senyawasenyawa dari alam, salah satunya adalah Gynura
procumbens. Gynura procumbens atau yang biasa dikenal sebagai Sambung
Nyawa oleh sebagian masyarakat Indonesia digunakan sebagai obat kanker
kandungan, payudara dan kanker darah dengan memakan 3 lembar daun segar
sehari selama 7 hari (Meiyanto,1996). Tumbuhan ini mengandung senyawa
flavonoid, terutama bentuk glikosida kuersetin, tannin, saponin, steroid,
triterpenoid, asam klorogenat, asam kafeat, asam vanilat, asam para kumarat,
asam p-hidroksi benzoat (Suganda et al., 1988). Sugiyanto et al. (2003)
menemukan bahwa dalam ekstrak etanolik daun Gynura procumbens (Lour) Merr
terdapat flavonoid dari jenis flavon dan flavonol.
Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa ekstrak etanolik G. procumbens
dapat menghambat pertumbuhan tumor paru mencit yang diinduksi oleh B(a)P
(Sugiyanto et al., 2003). Cancer Research Group Fakultas Farmasi Universitas
Gadjah Mada juga menemukan bahwa ekstrak etanolik G. procumbens dapat
menghambat pertumbuhan tumor payudara pada tikus betina yang diinduksi oleh
DMBA. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek anti karsinogenesis
ekstrak etanolik daun Gynura procumbens (Lour.) Merr. dengan melihat aktivitas
anti proliferasinya pada sel hepar tikus yang diinduksi DMBA pada tahap inisiasi.
Pada penelitian ini, aktivitas anti proliferasi ekstrak G. procumbens diketahui
dengan melakukan pengecatan HE dan AgNOR dan mengamati secara
mikroskopis.

METODOLOGI PENELITIAN
Bahan Tanaman
Bahan yang diuji berupa simplisia kering daun tanaman G. procumbens,
yang diperoleh dari daerah Ngaglik Sleman Yogyakarta dan telah dideterminasi di
Bagian Biologi Farmasi Fakultas Farmasi UGM. Ekstrak dibuat dengan metode
soxhletasi dengan pelarut etanol 80% (Asia Lab). Untuk mendapatkan ekstrak
kental, pelarut diuapkan dengan water bath dengan aliran udara kurang dari 60
o
C,
CMC Na (E. Merck) sebagai bahan pensuspensi hasil ekstraksi simplisia,

Bahan Kimia
7,12-dimetilbenz(a)ntrazena /DMBA (Sigma) untuk induksi kanker, corn
oil sebagai pelarut DMBA, aquadest, formalin 10 % (Asia Lab) sebagai larutan
fiksasi organ, Haematoxyllin-Eosin sebagai pewarna pengecatan histopatologi,
etanol p.a (E. Merck).

Hewan Uji
Hewan uji yang digunakan adalah tikus (Rattus norvegicus) betina galur
Sprague Dawley yang berumur 1 bulan yang dibeli dari Unit Pengembangan
Hewan Percobaan Universitas Gadjah Mada.

Uji Karsinogenesis
Hewan uji dibagi menjadi 5 kelompok, masing-masing terdiri dari 10 ekor
tikus. Kelompok I yaitu kelompok kontrol positif, diberi perlakuan DMBA dalam
minyak jagung dengan dosis 20 mg/kg BB peroral 2 kali seminggu selama 5
minggu pada umur 1,5 bulan. 14 hari sebelumnya tikus hanya mendapat pakan
kontrol. Kelompok II-IV, yaitu kelompok perlakuan, diberi ekstrak etanolik

PKMI-5-6-3
G. procumbens dengan peringkat dosis 250 mg/kg BB, 500 mg/kg BB dan 750
mg/kg BB setiap hari selama 14 hari sebelum inisiasi (pemberian DMBA) dan
selama inisiasi. Dosis, cara dan frekuensi pemberian DMBA sama dengan
kelompok kontrol positif. Kelompok V yaitu kelompok kontrol pelarut minyak
jagung. Minyak jagung diberikan 2 kali seminggu selama 5 minggu. Setelah
pemberian DMBA yang terakhir, semua tikus diberi pakan kontrol hingga akhir
pengamatan. Pada akhir pengamatan (minggu ke-16), dilakukan pemeriksaan
makroskopis dengan melihat adanya nodul tumor pada organ hepar.

Pengamatan Histopatologi
Slide yang berisi preparat histologi jaringan dari organ hepar tikus
ditempatkan pada tempat slide. Parafin dihilangkan dan dihidrasi dengan xylene
sebanyak tiga kali masing-masing selama 3 menit. Lakukan juga dengan
menggunakan etanol 100%, etanol 95% dan etanol 80% masing-masing selama 3
menit dan terakhir dengan air terionisasi selama 5 menit. Preparat dicat dengan
Haematoxylin selama 3 menit, bilas dengan deionized water. Masukkan ke dalam
air ledeng selama 5 menit, benamkan 8-12 kali dalam etanol asam dengan cepat.
Cuci lagi dengan air, bilas dengan deionized water. Cat dengan Eosin selama 30
detik, masukkan ke dalam etanol 95% dan etanol 100% sebanyak tiga kali
masing-masing selama 3 menit. Terakhir, masukkan slide berisi preparat ke dalam
xylene sebanyak tiga kali masing-masing selama 5 menit. Biarkan semalam
(Anonim, 2004).

Pengamatan Proliferasi Sel dengan AgNOR
Preparat histologi jaringan diimersikan dalam buffer sodium sitrat (pH 6,0)
kemudian diinkubasi di dalam autoclave pada suhu 120C (tekanan 1,1-1,2 bar)
selama 20 menit. Dinginkan sampai suhu 37C, imersikan ke dalam solutio
pengecatan perak yang terdiri dari 1 bagian volume gelatin 2% dalam asam
formiat 1% dan 2 bagian larutan perak nitrat 25% dalam suhu 37C, selama 11
menit. Reaksi dihentikan dengan mencuci slide menggunakan aqua bidestilata
untuk menghilangkan presipitat perak non-spesifik. Selanjutnya, semua jaringan
didehidrasi menggunakan etanol dengan konsentrasi yang dinaikkan secara
bertingkat, dibersihkan dengan xylene dan ditempelkan bersama medium sintetis
(Bankfalvi et al., 2003).

Analisis Data
Analisis data dengan analisis kualitatif deskriptif terhadap pengamatan
makroskopis terhadap nodul tumor pada organ hepar dan kuantifikasi terhadap
titik-titik AgNOR dengan cara pAgNOR, yaitu menentukan berapa sel yang
memiliki titik hitam lebih dari 5 pada minimal 100 sel lalu dipersentasekan (Rizali
dan Auerkari, 2003). Analisis data hasil kuantifikasi menggunakan analisis
statistik dengan metode One Way ANOVA dengan tes Tuckey taraf kepercayaan
95% (P<0,05).


HASIL DAN PEMBAHASAN
Pada penelitian ini ingin diketahui efek antikarsinogenesis ekstrak etanolik
daun Gynura procumbens dengan mengamati efek antiproliferasi pada hepar
tikus betina yang terinduksi DMBA. Ekstrak diberikan pada masa preinisiasi

PKMI-5-6-4
(sebelum pemberian DMBA) dan selama inisiasi. Pengamatan dilakukan hingga
minggu ke-16 setelah pemberian DMBA terakhir dan dilakukan pembedahan
untuk mengetahui ada tidaknya nodul tumor. Berdasarkan pengamatan
makroskopis ternyata nodul tumor pada organ hepar masih belum terlihat (gambar
tidak ditampilkan). Hal ini karena untuk menumbuhkan tumor di hepar masih
diperlukan waktu yang lebih lama (Sugiyanto et al., 1993). Akan tetapi hal ini
bukan berarti perlakuan DMBA tersebut tidak menyebabkan terjadinya tumor
hepar. Tumor pada hepar kemungkinan sudah terjadi hanya saja masih sulit
diamati secara makroskopis. Oleh karena itu perlu dilakukan pengamatan secara
mikroskopis.
Organ hepar tersebut dibuat preparat histologi dengan pengecatan HE dan
AgNOR. Pada hepar tikus kelompok kontrol minyak jagung, susunan sel-sel hepar
tampak normal dan teratur. Inti sel-sel hepar normokromatis tercat ungu dengan
Hematoxyilin-eosin, bentuk sel tampak sama (isositosis) dan tidak terdapat
kelainan pada sitoplasma (Gambar 1A).
Sedangkan pada kelompok kontrol DMBA, inti menjadi lebih besar,
karena berisi nukleolus yang membelah sangat aktif. Bentuk sel sudah tidak sama
antara yang satu dengan yang lain (anisositosis) serta perbandingan besarnya inti
dan sitoplasma berubah yang menunjukkan terjadinya tumor primer pada hepar
(Gambar 1B)



1 2 3 4 5 5 6
Gambar1 . Gambaran organ hepar dengan pengecatan HE. Keterangan : A. Kelompok kontrol
pelarut minyak jagung , B. Kelompok kontrol positif. 1. Sinusoid, 2. Duktus Biliaris, 3. Vena
sentral , 4. Arteri, 5.Inti sel normal, 6. Inti sel tidak normal. Perbesaran 40X.

Pada Gambar 2A, terlihat bentuk sel-sel hepar pada kelompok perlakuan
dosis 250mg/kgBB sama dengan yang ada pada kelompok kontrol minyak jagung.
Susunan sel-sel hepar tampak normal dan teratur. Inti sel-sel hepar normokromatis
tercat ungu dengan Hematoxylin-eosin, bentuk sel tampak sama (isositosis) dan
tidak terdapat kelainan pada sitoplasma.
Pada Gambar 2B dan 2C, terlihat bentuk sel-sel hepar pada kelompok
perlakuan dosis 500mg/kgBB dan 750 mg/kgBB sama dengan yang ada pada
kelompok kontrol minyak jagung. Susunan sel-sel hepar tampak normal dan
teratur. Inti-inti sel hepar normokromatis tercat ungu dengan Hematoxylin-eosin,
bentuk sel tampak sama (isositosis) dan tidak terdapat kelainan pada sitoplasma
Untuk menentukan aktivitas proliferasi sel tumor, maka dilakukan teknik
pewarnaan perak (AgNOR) pada NOR. NOR (Nuclear Organizer Region) adalah
pita DNA pada tangan pendek kromosom akrosentrik (13,14,15,21 dan 22) yang
berhubungan dengan aktivitas gen ribosomal RNA, sintesa protein dan proliferasi
sel (Rizali dan Auerkari, 2003). NOR mempunyai struktur nuleoprotein yang khas
B A

PKMI-5-6-5
2
3
1
4
5 6
A
yang dipakai sebagai identifikasinya. Protein tersebut selama transkripsi bersifat
argirofilik (Ghozali dan Harijadi, 1997), sehingga dapat bereaksi dengan perak
nitrat dari pengecatan AgNOR. NOR akan tampak sebagai titik hitam (black dot)
yaitu berupa AgNOR yang kemudian dapat dihitung. Hasil pemeriksaan AgNOR
menunjukkan pewarnaan perak yang lebih jelas pada bagian nukleolus sedangkan
pada bagian lain dari nukleus, tampak difus (Rizali dan Auerkari, 2003).
Perbedaan tingkat proliferasi menyebabkan perbedaan jumlah AgNOR.

A















Gambar 2. Gambaran organ hepar dengan pengecatan HE. Keterangan : A. Kelompok dosis
250mg/kgBB, B. Kelompok dosis 500 mg/kgBB, C. Kelompok dosis 750 mg/kgBB. 1. Sinusoid,
2. Duktus Biliaris, 3. Vena sentral , 4. Arteri, 5. Inti sel normal, 6. Sitoplasma. Perbesaran 40X.

Pada Gambar 3A, pada kelompok minyak jagung, dot pada masing-masing
nukleus hanya berjumlah satu pada tiap sel, yang menunjukkan masih adanya
peristiwa proliferasi dalam batas yang normal (Rizali dan Auerkari, 2003).
Sedangkan pada Gambar 3B, pada kelompok kontrol positif, tampak sebagian sel-
sel hepar telah berubah bentuk dan black dot berjumlah banyak sekali dan hampir
menutupi seluruh permukaan nukleus. Kemungkinan terjadi proliferasi nukleolus
yang cukup pesat yang ditunjukkan dengan peningkatan jumlah NOR yang
hampir menutupi seluruh permukaan nukleus. Proliferasi nukleolus ini
menyebabkan perubahan genetik yang berlanjut pada perubahan bentuk sel-sel
hepar tersebut.









Gambar 3. Gambaran pewarnaan perak (AgNOR) sel hepar tikus. Keterangan : A. Kelompok
kontrol positif, B. Kelompok kontrol pelarut minyak jagung. 1. nukleus, 2 dot dari NOR, 3.
Sinusoid, 4. Sitoplasma, dan 5. Inti sel yang tidak normal. Perbesaran 1000X.
B
C

3
4
1
6
5
B
3
2
1
4
A
1
2
4
5
2 5 6
3
C

PKMI-5-6-6

Pada Gambar 4, terlihat nukleus-nukleus yang memiliki dot lebih dari lima
dan ada yang kurang dari itu. Tidak terjadi perubahan struktur sel akibat
perubahan genetik.Untuk kelompok perlakuan ekstrak etanol Gynura procumbens
dosis 750 mg/kgBB, juga masih terlihat adanya nukleus-nukleus yang memiliki
dot lebih dari 5 pada tiap-tiap selnya, dan ada pula yang kurang dari itu.


















Gambar 4. Gambaran pewarnaan perak (AgNOR) sel hepar tikus. Keterangan : A. Kelompok
dosis 250mg/kgBB, B. Kelompok dosis 500 mg/kgBB, C. Kelompok kontrol dosis 750mg/kgBB
1. nukleus, 2 dot dari NOR, 3. Sinusoid, 4. Sitoplasma. Perbesaran 1000X.

Tabel I. Hasil perhitungan jumlah sel yang memiliki dot lebih dari 5 per 100 sel

Kelompok Jumlah sel memiliki dot
lebih dari 5 per 100 sel
% Dot Mean
Kontrol DMBA 1
Kontrol DMBA 2
Kontrol DMBA 3
Kelompok Dosis I.1
Kelompok Dosis I.2
Kelompok Dosis I.3
Kelompok dosis II.1
Kelompok dosis II.2
Kelompok dosis II.3
Kelompok dosis III.1
Kelompok dosis III.2
Kelompok dosis III.3
7
7
7
2
3
3
4
5
5
4
3
3
0,07
0,07
0,07
0,02
0,03
0,03
0,04
0,04
0,05
0,04
0,03
0,03

7



3,33

4,67


3,33

Tabel 1 menunjukkan bahwa pada kelompok perlakuan dosis dengan ekstrak
etanol Gynura procumbens, jumlah sel yang memiliki dot lebih dari 5 berkurang
bila dibandingkan dengan kelompok kontrol positif DMBA.
Secara statistik, tikus betina yang digunakan sebagai sampel dalam
penelitian ini memberikan respon yang homogen atau terdistribusi homogen.
Parameter homogenitas yang digunakan adalah angka signifikansi lebih besar atau
sama dengan 0,05 (0,05) untuk taraf kepercayaan 95%. Dari hasil uji statistik ini
didapat nilai signifikansi test homogeneity of variances sebesar 0,95 (0,05).
B A
1
2
4 1
2
3
4
C
1
2
3
4

PKMI-5-6-7
Berarti data yang dianalisis terdistribusi homogen (tabel II). Ketiga kelompok
dosis perlakuan dengan ekstrak etanol Gynura procumbens (Lour.) Merr.
menunjukkan perbedaan bermakna dengan angka signifikansi 0,000 (<0,05).
Maka dapat ditarik kesimpulan bahwa pemberian ekstrak etanol daun Gynura
procumbens (Lour.) Merr. memberikan penghambatan secara bermakna pada
semua kelompok dosis yang diujikan.

Tabel II. Hasil analisis statistik jumlah sel dengan dot lebih dari 5 dengan membandingkannya
antar kelompok perlakuan dan control

Kelompok (K) Kelompok (P) Signifikansi
Kontrol positif DMBA Kelompok Dosis 250 mg/kg BB 0,000*

Kontrol positif DMBA Kelompok Dosis 500mg/kg BB 0,000*
Kontrol positif DMBA Kelompok Dosis 750 mg/kg BB 0,000*
*ada perbedaan bermakna

Ada beberapa kemungkinan senyawa yang terdapat dalam ekstrak
etanolik daun Gynura procumbens (Lour.) Merr. yang dapat menghambat
karsinogenesis dan proliferasi sel hepar yaitu melalui mekanisme aktivasi
transkripsi. Senyawa sterol yang terkandung dalam ekstrak etanolik
(http://www.nhiondemand.com/, 2004) dan memiliki rangka steroid bisa menjadi
stimulator yang larut dalam lipid. Senyawa ini setelah berada di dalam sel akan
membentuk kompleks dengan reseptor spesifik, yaitu glucocorticoid receptor
(GR). GR akan mengalami perubahan konformasi, diikuti dengan pelepasan
protein Hsp90. Selanjutnya kompleks steroid-GR akan masuk ke dalam inti sel. Di
dalam inti sel, bagian DNA binding domain akan mengenali sekuen spesifik
dalam DNA yang disebut GRE, dan melakukan ikatan. Dalam hal ini GR
bertindak sebagai aktivator transkripsi, dan bagian Activation Domain akan
memacu transkripsi gen (Meiyanto, 2002).
Senyawa dalam ekstrak yang terbukti mempunyai aktivitas antioksidan
(Harun dan Syahri, 2002) dapat mengalami mekanisme yang sama melalui
pembentukan kompleks dengan antioxidant reseptor (AR) sehingga dapat
mengenali sekuen spesifik yang disebut ARE. Atau adanya senyawa-senyawa
polifenol yaitu flavonoid (Suganda et al. cit Sudarsono et al., 2002; Sugiyanto et
al., 2003), yang bersifat elektrofilik bisa mengalami mekanisme yang sama
melalui XRE.
Penemuan efek antimutagenik ekstrak etanolik Gynura procumbens
(Meiyanto, 1996) berkaitan dengan mekanisme penghambatan tumor melalui
enzim-enzim pemetabolisme baik fase I maupun fase II. Inhibisi aktivitas enzim
pemetabolisme fase I yaitu sitokrom P450 bisa jadi menghambat perkembangan
tumor. P-450 dapat memetabolisme senyawa DMBA menjadi metabolit epoksida
yang reaktif, dan bersifat karsinogen. Bila sitokrom P-450 dihambat akan
mengurangi jumlah metabolit sehingga dapat menurunkan jumlah metabolit
reaktif dari senyawa tersebut yang dapat berikatan dengan DNA, mempekecil
kemungkinan terjadinya perubahan pada DNA (antimutagenik).
Pemberian ekstrak etanolik Gynura procumbens dapat menghambat
proliferasi yang disebabkan induksi DMBA. Fenomena ini mungkin disebabkan
karena ekstrak etanolik daun tanaman Gynura procumbens (Lour.) Merr.
mengandung senyawa flavonoid, sterol tak jenuh, triterpen, polifenol dan minyak
atsiri. Telah dibuktikan bahwa beberapa senyawa flavonoid mempunyai potensi

PKMI-5-6-8
dan selektivitas yang tinggi untuk menghambat isoenzim CYP1A sitokrom P-450.
Keluarga CYP1A terdiri dari isoenzim CYP1A1 dan CYP1A2. CYP1A1 biasanya
memetabolisme senyawa-senyawa PAH, dimana salah satunya adalah DMBA,
sedangkan CYP1A2 mengaktifkan senyawa-senyawa aminofluoro dan nitrosamin
(Suoping Zhai et al., 1998). Pemberian ekstrak Gynura procumbens mungkin
telah mampu menghambat secara spesifik isoenzym CYP1A1 dengan adanya
kandungan flavonoid dalam ekstrak tersebut. Sehingga ketika diberi DMBA,
aktivasi DMBA ini menjadi metabolit yang reaktif menjadi turun.
Selain itu penghambatan tumor juga bisa terjadi melalui induksi enzim
detoksifikasi fase II. Bila aktivitas enzim meningkat, maka senyawa karsinogen
akan mengalami detoksifikasi lebih cepat dan cepat pula diekskresikan. Padahal
DMBA merupakan ultimate carcinogen yang bertanggungjawab akan terjadinya
proses inisiasi melalui reaksi dengan DNA sel. Bila reaksi detoksifikasi
dipercepat, maka dapat menurunkan aktivitas karsinogennya, sehingga bisa
menghambat inisiasi tumor (Song et al., 1999). Cancer Research Group Fakultas
Farmasi Universitas Gadjah Mada menemukan bahwa ekstrak etanolik daun
Gynura procumbens mampu meningkatkan ekspresi GST hepar tikus jantan yang
diinduksi DMBA. Oleh karena itu, dapat diperkirakan bahwa mekanisme
penghambatan terjadinya kanker dari ekstrak etanolik daun G. procumbens
mungkin terletak pada induksi enzim GST yang meningkatkan metabolisme
detoksifikasi senyawa xenobiotika sehingga dapat berfungsi sebagai
chemopreventive agent dengan meningkatkan ekskresi senyawa-senyawa
karsinogen dan menurunkan interaksi karsinogen-DNA.

KESIMPULAN
Ekstrak etanolik daun Gynura procumbens (Lour.) Merr. mempunyai efek
anti proliferatif sehingga mampu menghambat proses karsinogenesis pada hepar
tikus (Rattus norvegicus) betina galur Sprague Dawley yang diinduksi DMBA.
Perlu penelitian lebih lanjut mengenai mekanisme penghambatan proliferasi sel
tumor oleh ekstrak etanolik daun Gynura procumbens (Lour.) Merr. dan isolasi
senyawa-senyawa yang diduga mempunyai efek antikarsinogenesis, sehingga bisa
dipastikan mekanisme penghambatan tumornya dan bisa digunakan untuk
meningkatkan efektivitas daun tanaman Gynura procumbens (Lour.) Merr. ini
sebagai pencegah maupun obat kanker.

DAFTAR PUSTAKA
Anonim c, 2004, Gynura procumbens-professional data, diambil dari
http://www.nhiondemand.com/, diakses pada Maret 2004.
Bnkfalvi, A., Giffr, G., fner, D., Diallo, R., Poremba, C., Buchwalow, I.B.,
Barresi, V., Bcker, W., and Tuccari, G., 2003, Relationship Between
HER2 Status and Proliferation Rate in Breast Cancer Assessed by
Immunohistochemistry, Fluoresence In Situ Hybridisation and
Standardised AgNOR Analysis, International Journal of Oncology,
23:1285-1292
Ghozali, A., dan Harijadi, 1997, Pewarnaan Nuclear Organizer Region (AgNOR)
Pada Perubahan Fibrokistik Payudara, Berkala Ilmu Kedokteran, Vol.29,
No. 2, Juni 1997

PKMI-5-6-9
Harun, N., dan Syahri, W., 2002, Aktivitas Antioksidan Ekstrak Daun Dewa
(Gynura procumbens (Lour) Merr Dalam Menghambat Sifat Hepatotoksik
Halotan Dengan Dosis Subanestesi pada Mencit, Jurnal Sains dan
Teknologi Farmasi, Vol 7, No. 2, 63-70
King, R.J.B, 2000, Cancer Biology, Second Ed, Pearson education,England.
Meiyanto, E., 1996, Efek Antimutagenik Beberapa Fraksi Ekstrak Alkohol Daun
Gynura procumbens (Lour) Merr, Laporan Penelitian, Fakultas Farmasi
UGM, Yogyakarta
Meiyanto, E., 1999, Kurkumin Sebagai Obat Antikanker : Menelusuri Mekanisme
Aksinya, MFI, 10(4), 224-236
Meiyanto, E., 2002, Kuliah Biologi Molekuler, Fakultas Farmasi, UGM,
Yogyakarta
Mulyadi,1997, Kanker, Karsinogenik, Karsinogenesis, dan Antikanker,PT. Tiara
Wacana, Yogyakarta.
Rizali, E., dan Auerkari, E.I., 2003, Teknik Pewarnaan Silver (AgNOR) Sebagai
Salah Satu Cara Menentukan Aktivitas Proliferasi Sel Tumor dan
Apoptosis, JGKI: 10(3): 41-45
Sofyan, R., 2000, Terapi Kanker Pada Tingkat Molekular, Cermin Dunia
Kedokteran, 127 :5-10
Song, L.L., Kosmender II, J.M., Leee, S.K., Gerhauser, C., Lanvtit, D., Moor, R.,
Moriarty, R.M., and Pezzuto, J.M., 1999, Cancer Chemopreventif Activity
Mediated by 4-Bromoflavone, a Potent Inducer of Phase II Detoxification
Enzymes, Cancer Res, 59, 578-585
Sudarsono, Gunawan, D., Wahyuono, S., Donatus, I.A., Purnomo, 2002,
Tumbuhan Obat II, Hasil Penelitian, Sifat-sifat dan Penggunaannya,
PSOT UGM, Yogyakarta
Suganda, A., Sudiro, I., Ganthina, 1988, Skrining Fitokimia dan Asam Fenolat
Daun Dewa (Gynura procumbens (Lour) Merr), Simposium Penelitian
Tumbuhan Obat III, Universitas Indonesia, Jakarta
Sugiyanto, Sudarto, B., Meiyanto, E., 1993, Efek Penghambatan Karsinogenisitas
Benzo(a) Pirena oleh Preparat Tradisional Tanaman Gynura sp dan
Identifikasi Awal Senyawa Yang Berkhasiat, Laporan Penelitian P4M,
Fakultas Farmasi, UGM, Jogjakarta
Sugiyanto, Sudarto, B., Meiyanto, E., Nugroho, A.E., dan Jenie, U.A., 2003,
Aktivitas Antikarsinogenik Senyawa Yang berasal Dari Tumbuhan, MFI,
14(4)216-225
Suoping Zhai, Renke Dai, Fred K. Friedman, and Robert E. Vestal, 1998,
Comparative Inhibition of Human Cytochromes P450 1A1 and 1A2 by
Flavonoids, Drug Metabolism and Disposition, Vol 26, No. 10, 989-992

PKMI-5-7-1
PEMANFAATAN BIJI BENGKUANG SEBAGAI INSEKTISIDA ALAMI
ULAT GRAYAK

Th. Desy Askitosari , Rifai Rahman Saputro, Gatot Nugroho
Fakultas Biologi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta

ABSTRAK
Penelitian pemanfaatan ekstrak etanol biji bengkuang sebagai insektisida alami
pada ulat grayak telah dilakukan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
potensi daya bunuh ekstrak etanol biji bengkuang terhadap ulat grayak.
Pengujian yang dilakukan pada ulat grayak adalah uji pakan Poitou dengan
metode tetes. Dari hasil uji pendahuluan, didapatkan seri konsentrasi ekstrak
etanol biji bengkuang untuk uji akhir sebagai berikut : 12 mg/ml, 14 mg/ml, 16
mg/ml, 18 mg/ml, dan 20 mg/ml untuk larva ulat grayak instar II serta 76 mg/ml,
78 mg/ml, 80 mg/ml, 82 mg/ml, dan 84 mg/ml untuk larva ulat grayak instar IV.
Setiap konsentrasi dan kontrol dibuat tiga ulangan, masing-masing menggunakan
larva uji sebanyak 30 ekor. Data mortalitas larva ulat grayak digunakan untuk
menentukan nilai LC
50
dengan menggunakan analisis probit. Dengan
menggunakan analisis DMRT diketahui bahwa pada pemberian ekstrak etanol
biji bengkuang terdapat beda nyata antar perlakuan. Kemudian dengan
menggunakan analisis probit diperoleh nilai LC
50
ekstrak etanol biji bengkuang
pada larva ulat grayak instar II dan instar IV berturut-turut sebesar 13,867
mg/ml dan 77, 257 mg/ml pada perlakuan 72 jam. Hasil penelitian menunjukkan
ekstrak etanol biji bengkuang cukup efektif digunakan untuk mengendalikan larva
ulat grayak, terutama larva instar II.

Kata kunci : ekstrak etanol, biji bengkuang, ulat grayak, toksisitas

PENDAHULUAN
Serangan hama merupakan salah satu faktor penghambat dalam usaha
peningkatan produksi pertanian baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Salah
satu hama pertanian yang cukup menghambat peningkatan produksi pertanian
adalah ulat grayak (Spodoptera litura). Hama ini diketahui menyerang tanaman
padi, kubis, kedelai, tembakau, cabai, dan tanaman pertanian lainnya (Haryati,
1992).
Ulat grayak terbukti mampu menurunkan produksi pertanian karena
menyerang sejak dari pembibitan sampai menjelang panen. Daun tanaman dapat
dimakan habis sampai hanya tersisa tulang daunnya. Ulat mula-mula menyerang
secara berkelompok, tapi setelah beberapa hari menyebar kedaerah sekitarnya.
Kerusakan daun oleh ulat grayak berlangsung cepat dan banyaknya daun yang
dimakan akan terus bertambah, sejalan dengan perkembangan ulat tersebut.
Semasa hidupnya seekor ulat grayak mampu menghabiskan 2,16 gram daun segar
(Schreiner, 2000).
Selama ini pengendalian hama ulat grayak pada umumnya masih
menggunakan insektisida kimia sintetik. Namun dalam penggunaannya,
insektisida kimia sintetik telah terbukti menimbulkan berbagai dampak negatif
seperti resistensi hama, resurgensi hama, dan terbunuhnya parasit maupun
serangga predator hama. Selain itu akumulasi residu dari insektisida kimia dapat
membahayakan kesehatan petani dan lingkungan.

PKMI-5-7-2
Penggunaan insektisida alami yang berasal dari ekstrak tanaman terbukti
lebih aman karena mempunyai umur residu pendek. Setelah aplikasi, insektisida
tersebut akan terurai menjadi senyawa yang tidak berbahaya bagi manusia dan
lingkungan (Rusmana dan Mauladi, 1993). Insektisida yang diekstrak dari
tanaman dapat berpengaruh langsung sebagai racun (Utomo dkk, 1997).
Salah satu tanaman yang mengandung senyawa kimia toksik dan bersifat
sebagai insektisida adalah bengkuang (Pachyrrizus erosus). Ekstrak dari daun dan
biji tanaman ini bersifat toksik terhadap serangga dari ordo Lepidoptera, termasuk
ulat grayak (Syamsuhidayat dan Hutapea, 1991). Pada biji dan daun bengkuang
terdapat senyawa toksik yang sama seperti akar tuba yang umum dikenal sebagai
racun ikan. Zat racun ini disebut rotenon yang merupakan insektisida paling aktif
dari rotenoid. Rotenon merupakan insektisida penghambat metabolisme dan
menurut prinsip kerjanya termasuk racun perut dan racun kontak. Rotenon tidak
toksik terhadap vertebrata berdarah panas tetapi sangat toksik terhadap beberapa
jenis serangga (Hadi, 1981, dan Kerkut dan Gilbert, 1985).
Ekstrak biji bengkuang yang mengandung bahan aktif rotenon ini belum
banyak digunakan sebagai insektisida alami. Ekstrak biji ini dapat digunakan
sebagai insektisida alami yang efektif untuk menekan dan mengendalikan
populasi ulat grayak. Penelitian ini bertujuan mengetahui potensi daya bunuh
ekstrak etanol biji bengkuang terhadap ulat grayak.

METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan di dua laboratorium. Pembuatan larutan uji
dilakukan di laboratorium Biokimia Fakultas Biologi UGM. Pemeliharaan dan
pengujian pada ulat grayak dilakukan di laboratorium Entomologi Fakultas
Biologi UGM.

Ekstraksi Etanol Biji Bengkuang
Cara ekstraksi biji bengkuang berdasarkan pada metode Widhiono (1992).
Biji bengkuang dibeli dari daerah Prembun, Purworejo. Biji bengkuang
dikeringkan pada suhu ruangan, dihaluskan dengan menggunakan grinder,
selanjutnya 100 g serbuk biji bengkuang dimaserasi dalam 200 ml etanol 96% dan
didiamkan selama 24 jam, lalu disaring dan endapannya dimaserasi ulang. Filtrat
yang diperoleh diuapkan dalam oven pada suhu 50
0
C, dari padatan hasil ekstraksi
ini dibuat seri larutan uji.

Serangga Uji
Ulat grayak stadium larva tua dari lapangan dipelihara di laboratorium
dalam stoples dengan pakan formulasi Poitou. Pupa yang terbentuk dikumpulkan
dan dipindahkan ke dalam stoples yang lebih besar dengan pakan madu 10% dan
lipatan kertas tempat imago meletakkan telur. Telur yang diperoleh dipindahkan
ke dalam stoples steril, ditetaskan, dan dipelihara dengan pakan Poitou sampai
stadium larva instar kedua dan keempat yang digunakan sebagai larva uji.

Pengujian Mortalitas
Pengujian yang dilakukan pada ulat grayak adalah uji pakan dengan metode
tetes. Pakan formulasi Poitou dengan ukuran yang seragam (diameter 5 mm, tebal
2 mm) dimasukkan dalam botol uji. Seri larutan uji sebanyak 10 l diteteskan

PKMI-5-7-3
pada pakan Poitou menggunakan mikropipet. Pengujian mortalitas terdiri dari dua
pengujian, yaitu pengujian pendahuluan dan pengujian akhir.
Uji pendahuluan bertujuan untuk memperoleh kisaran konsentrasi larutan uji
yang menyebabkan kematian larva sampai 100%, setelah 24 jam aplikasi.
Konsentrasi ekstrak etanol yang digunakan pada uji pendahuluan ini adalah : 20
mg/ml, 40 mg/ml, 60 mg/ml, 80 mg/ml, dan 100 mg/ml.
Berdasarkan hasil pengujian pendahuluan, diperoleh kisaran konsentrasi
yang menyebabkan kematian larva uji 10-96% dan dibuat serangkaian
pengenceran. Dengan menggunakan hasil uji pendahuluan tersebut, maka dapat
ditentukan seri konsentrasi ekstrak etanol biji bengkuang untuk uji akhir. Setiap
konsentrasi dan kontrol dibuat tiga ulangan, masing-masing dengan larva uji
sebanyak 30 ekor.
Pengamatan mortalitas larva ulat grayak dilakukan setelah 24 jam, 48 jam,
dan 72 jam perlakuan. Mortalitas yang teramati kemudian dikoreksi dengan rumus
Abbots yaitu :
P = { ( P- C )/ ( 100 C ) } x 100%

Keterangan P : Persentase mortalitas terkoreksi
P : Persentase mortalitas pengamatan
C : Persentase mortalitas kontrol
Jika mortalitas pada kontrol mencapai 20% maka perlakuan diulang.
Selanjutnya mortalitas terkoreksi dianalisis menggunakan analisis probit untuk
menentukan LC
50
(Hayes, 1989).

HASIL DAN PEMBAHASAN
Mortalitas larva ulat grayak instar II dan IV pada uji pendahuluan
disajikan pada Tabel I.

Tabel 1. Mortalitas larva ulat grayak instar II dan IV dengan pemberian
ekstrak etanol biji bengkuang pada uji pendahuluan.

Mortalitas (%) Konsentrasi
(mg/ml) Instar II Instar IV
0 0 3,33
20 93,33 10,00
40 100 13,33
60 100 26,67
80 100 56,67
100 100 60,00

Ekstrak etanol biji bengkuang pada konsentrasi 20 mg/ml, mampu
membunuh larva ulat grayak instar II sampai 93,33%, sedangkan konsentrasi lebih
dari sama dengan 40 mg/ml mampu membunuh 100% larva ulat grayak instar II.
Pada larva ulat grayak instar IV, konsentrasi ekstrak etanol terendah yaitu 20
mg/ml mampu membunuh larva uji sebanyak 10,00%, sedangkan pada
konsentrasi yang tertinggi yaitu 100 mg/ml mampu membunuh larva uji sebanyak
60,00%.

PKMI-5-7-4
Dari hasil uji pendahuluan dapat ditentukan seri konsentrasi ekstrak etanol
biji bengkuang yang digunakan dalam uji akhir. Seri larutan uji yang digunakan
dalam uji akhir pada larva ulat grayak instar II adalah : 12 mg/ml, 14 mg/ml, 16
mg/ml, 18 mg/ml, dan 20 mg/ml, sedangkan seri larutan uji untuk uji akhir pada
larva ulat grayak instar IV adalah : 76 mg/ml, 78 mg/ml, 80 mg/ml, 82 mg/ml,
dan 84 mg/ml.
Pada pengujian akhir, hasil menunjukkan semakin tinggi konsentrasi
ekstrak etanol biji bengkuang maka semakin tinggi pula tingkat mortalitas larva
uji. Dengan menggunakan analisis DMRT diketahui bahwa pada pemberian
ekstrak etanol biji bengkuang terdapat beda nyata antar perlakuan. Kemudian
dengan menggunakan analisis probit diperoleh nilai LC
50
ekstrak etanol biji
bengkuang pada larva ulat grayak baik instar II maupun instar IV. Nilai LC
50

menunjukkan besarnya konsentrasi larutan uji yang mampu menyebabkan 50%
kematian larva uji. Nilai LC
50
secara lengkap disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Nilai LC
50
ekstrak etanol biji bengkuang pada larva ulat grayak
instar II dan IV

LC
50
(mg/ml) Instar
24 jam 48 jam 72 jam
II 16,720 16,665 13,867
IV 80,632 79,268 77,257

Pada Tabel 2 dapat dilihat bahwa nilai LC
50
larva ulat grayak instar II lebih
rendah dibandingkan dengan nilai LC
50
larva ulat grayak instar IV. Sehingga
untuk membunuh larva ulat grayak instar IV dibutuhkan konsentrasi yang jauh
lebih tinggi dibandingkan dengan konsentrasi yang diperlukan untuk membunuh
larva ulat grayak instar II. Efek penghambatan rotenon pada aktivitas sistem
succinoxidase sel otot dan saraf kepala, dada, dan kaki. Hal ini menyebabkan
berkurangnya pengambilan oksigen ke dalam sel otot dan saraf. Akibatnya terjadi
paralysis dan kegagalan konduksi saraf secara spontan. Pada larva instar II,
struktur jaringan otot dan saraf lebih sederhana daripada larva instar IV, sehingga
lebih rentan terhadap rotenon (Kerkut dan Gilbert, 1985 ).
Rotenon merupakan insektisida penghambat metabolisme. Aktivitas kerja
rotenon sebagai inhibitor kuat pada oksidasi asam glutamat. Pada otot yang
teracuni rotenon menunjukkan penurunan kemampuan dalam mensintesis ATP
melalui fosforilasi oksidatif. Koenzim Q dan NAD
+
berperan penting dalam
pertukaran elektron pada reaksi fosforilasi oksidatif. Penghambatan rotenon
terjadi pada titik oksidasi ganda NADH
2
dan flavoprotein. Penghambatan ini
terjadi pada substrat yang dioksidasi melalui sistem NAD seperti glutamat, -
ketoglutarat dan piruvat tapi tidak terjadi penghambatan pada oksidasi suksinat
(Hadi, 1981; dan Kerkut dan Gilbert, 1985).
Pada pengujian akhir yang terus berlanjut sampai hari ketiga (72 jam),
terlihat adanya mortalitas larva uji yang semakin bertambah. Hal ini terbukti
dengan nilai LC
50
yang semakin menurun dengan bertambahnya waktu perlakuan
baik pada larva ulat grayak instar II maupun instar IV. Ini menunjukkan bahwa
rotenon pada ekstrak etanol biji bengkuang, dalam waktu 3 hari masih mempunyai
daya racun terhadap larva uji.

PKMI-5-7-5
Jika dibandingkan dengan jenis insektisida-insektisida yang lain, ekstrak
etanol biji bengkuang mempunyai keefektifan yang lebih rendah. Pada
penggunaan ekstrak etanol biji bengkuang ini, LC
50
72 jam untuk larva ulat
grayak instar II dan IV secara berturut-turut adalah 13,867 mg/ml dan 77, 257
mg/ml. Sedangkan menurut penelitian Thalib (1992), nilai LC
50
Bactospeine WP,
Dipel WP, dan Thuricide HP secara berturut-turut adalah 1, 9815 g/l ; 1,6628 g/l ;
dan 1,1283 g/l. Kemudian menurut penelitian Haryati (1992), nilai LC
50

Deltametrin dan Monokrotofos pada larva ulat grayak berturut-turut adalah 0,
4132 cc/l dan 3, 4826 cc/l. Nilai LC
50
ekstrak biji Mindi pada larva ulat grayak
adalah 0,0121 g/100 ml (Aryanto, et.al., 1994).
Walaupun keefektifan ekstrak etanol biji bengkuang masih dibawah
insektisida-insektisida lainnya namun ekstrak etanol biji bengkuang ini masih
dapat digunakan sebagai larutan insektisida alami pengendali larva ulat grayak.
Rotenon yang berperan sebagai senyawa aktif dalam ekstrak etanol biji
bengkuang cepat mengalami biodegradasi di lingkungan dan hanya bersifat toksik
terhadap serangga hama, sehingga aplikasinya relatif tidak membahayakan
lingkungan dan kesehatan konsumen. Selain itu biji bengkuang mudah didapat,
murah dan dapat diperbanyak dengan budidaya bengkuang secara berkelanjutan,
sehingga petani mempunyai stok bahan insektisida yang sewaktu-waktu dapat
digunakan.

KESIMPULAN DAN SARAN
Ekstrak etanol biji bengkuang cukup efektif digunakan untuk mengendalikan
larva ulat grayak, terutama pada larva instar II. Penggunaan insektisida alami ini
diharapkan dapat mengurangi penggunaan insektisida sintetik yang mempunyai
dampak negatif bagi kesehatan petani dan lingkungan. Selain itu hasil penelitian
ini juga diharapkan dapat meningkatkan nilai tambah biji bengkuang.

DAFTAR PUSTAKA
Aryanto, E. Srihayu, D. Apriyanti, dan I.N. Tarigan. 1994. Biji Mindi (Melia
Azedarach L.) sebagai Salah Satu Alternatif Pengendalian Ulat Grayak
(Spodoptera litura F.) dan Kutu Daun Kedelai (Aphis glycines). Buletin
Ilmu Penalaran Mahasiswa. 1(3).Yogyakarta.
Hadi, S. 1981. Insektisida, Pestisida, dan Cara Aplikasinya. Bagian Kerjasama
Perguruan Tinggi Negeri Indonesia. Ujung Pandang.
Haryati, S. 1992. Uji Kombinasi Deltametrin dan Monokrotofos dengan Bacillus
thuringiensis Terhadap Perkembangan Spodoptera litura Pada Tembakau
Vorstenland.Tesis Fakultas Pertanian UGM. Jogjakarta.
Hayes, A.W. 1989. Principles and Methods of Toxicology 2
nd
ed. Raven Press,
New York.
Hayes, A.W. and E.R. Laws. 1999. Handbook of Pesticide Toxicology Vol.2.
Academic Press, Inc. New York.
Kerkut, G.A and L.I. Gilbert. 1985. Insect Control. Volume 12. Pergamon Press.
New York.
Rusmana, R dan L. Muladi. 1993. Potensi dan Prospek Pengembangan Usaha
Tani Tanaman Bengkuang (Pachyrrhizus erosus (Urb)) di Indonesia.
Proseding Seminar Hasil Penelitian Dalam Rangka Pemanfaatan
Pestisida Alami. Bogor.

PKMI-5-7-6

Schreiner, I. 2000. Cluster Caterpillar (Spodoptera litura (Fabricius)).
Agricultural Pest of The Pasific ADHP. 2000-3. Reissued February 2000.
Syamsuhidayat, S.S dan J.R. Hutapea. 1991. Inventaris Tanaman Obat Indonesia.
Jilid 1. Depkes RI. Balitbangkes. Jakarta.
Thalib, S. 1992. Uji Potensi Beberapa Insektisida Mikrobia, Insektisida
Deltametrin, dan Campurannya terhadap Ulat Grayak Spodoptera litura
(Fab.)(Lepidoptera : Noctuidae). Tesis Fakultas Biologi UGM. Jogjakarta.
Utomo, N.N, I.N. Andayani dan V. Martiyani. 1997. Pestisida Alami dan Peluang
Penggunaannya Dalam Pembangunan yang Berwawasan Lingkungan.
Kumpulan Makalah Konggres Entomologi IV. Perhimpunan Entomologi
Indonesia. Jogjakarta.
Widhiono, I. 1992. Pengaruh Ekstrak Daun Nimba (Azedarachta indica A. Juss.)
Terhadap Tungau Merah (Tetranichus urticae Koch.). Paper Masalah
Khusus Fakultas Pasca Sarjana UGM. Yogyakarta.


PKMI-5-8-1
STUDI OPTIMASI PENGARUH ORIENTASI SERAT DAN TEBAL
LAMINA PADA KOMPOSIT SANDWI CH SERAT GLASS DENGAN
CORE DI VI NYL CELL

Arief Ismayanto, Ratna Permatasari, Istanto
Teknik Mesin, Fakultas Teknik, Universitas Sebelas Maret, Surakarta

ABSTRAK
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji karakteristik pengaruh orientasi
serat dan tebal lamina terhadap kekuatan bending komposit sandwich. Komposit
lamina (skin) dibuat dengan menggunakan bahan resin unsaturated polyester
yukalac

157 BQTN-EX dan fiber glass jenis serat E-Glass berbentuk woven
roving dengan density 300 gr/m
2
sebagai bahan pengisi (filler). Skin Glass Fiber
Reinforced Plastic (GFRP) dibuat dengan metode hand lay up, terdiri dari 5
variasi orientasi yaitu : ,30
o
-90
o
, 45
o
-90
o
, 90
o
-90
o
,30
o
-(-30
o
) dan 45
o
-(-45
o
).
Setiap variasi menggunakan 4 layer serat. Komposit sandwich dibuat dengan
menggunakan metode hand lay up, terdiri dari 4 variasi ketebalan layer yaitu 2
layer ,4 layer ,6 layer dan 8 layer. Core yang digunakan adalah Divinyl cell H 60
dengan ketebalan 10 mm. Pengujian bending skin mengacu pada standar ASTM
D 790 dan pengujian bending komposit sandwich mengacu pada standart ASTM
C 393. Dari hasil pengujian diperoleh bahwa skin dengan orientasi serat 90
o
-90
o

memiliki kekuatan bending dan modulus elastisitas yang terbesar yaitu 300,63
MPa dan 5015,75 GPa. Pada pengujian komposit sandwich diperoleh kekuatan
bending terbesar 59,02 Mpa pada ketebalan 2 layer. Dari analisa penampang
patahan diketahui bahwa pada variasi ketebalan skin 4 layer terjadi kegagalan
core dan skin secara bersamaan.

Kata kunci : Skin, Core, Komposit sandwich, Kekuatan bending.

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam bidang rekayasa
material serta bergulirnya era persaingan bebas dunia menuntut kita untuk mampu
melakukan terobosan-terobosan baru dalam menciptakan material-material yang
berkualitas tinggi dengan harga murah. Saat ini, perkembangan teknologi
komposit sangat pesat, seperti pada peralatan olahraga, sarana transportasi baik
darat, laut maupun udara, konstruksi, dan pada dunia antariksa. Keuntungan
penggunaan komposit semakin dirasakan oleh industri dan masyarakat, misalnya
ringan, tahan korosi, tahan air, performance-nya menarik, dan tanpa proses
pemesinan. Harga produk komponen yang dibuat dari komposit dapat turun
hingga 60% dibandingkan dengan produk bahan logam (sumber: Kunjungan di
PT. INKA Madiun). Bahkan, penggunaan bahan komposit ini diprediksi akan
mampu mereduksi penggunaan bahan logam import, yang lebih mahal dan mudah
terkorosi.
Aplikasi struktur komposit sandwich ini sangat cocok digunakan untuk
atap mobil dan atap kereta api. Selama ini, atap tersebut masih dibuat dari logam
jadi import, dan diharapkan dapat diganti dengan atap komposit sandwich. Hasil
penelitian ini dapat mereduksi logam import jadi. Industri cukup membeli raw


PKMI-5-8-2
material saja (serat gelas, polyester, dan PVC), dan proses fabrikasi dapat
dilakukan sendiri.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka penelitian tentang komposit
sandwich merupakan hal yang sangat menarik untuk dikaji lebih lanjut. Dalam
penelitian ini akan diselidiki kekuatan bending skin dan komposit sandwich
dengan core Divinyl Cell type H 60. Keberhasilan ini akan menghasilkan inovasi
teknologi yang potensial untuk dikembangkan menjadi produk komersial.

Rumusan Masalah
Dari uraian latar belakang tersebut di atas, maka perumusan masalah
dalam penelitian ini adalah :
1. Menentukan orientasi serat skin yang paling tepat untuk diaplikasikan pada
komposit sandwich dengan menggunakan core Divinyl cell

type

H 60.
2. Bagaimanakah karakteristik kekuatan bending komposit sandwich dengan
ketebalan skin 2 layer, 4 layer, 6 layer dan 8 layer serta menggunakan core
Divinyl cell type H 60.

Tinjauan Pustaka
Kowangid, (2003), melakukan pengujian kekuatan bending dan impak
komposit sandwich menggunakan core PVC. Dari hasil pengujian didapatkan
bahwa komposit sandwich dengan core PVC type H 200 mempunyai kekuatan
bending 15,4 % lebih tinggi daripada dengan menggunakan core PVC type H 100.
Kekuatan bending komposit sandwich berbanding lurus terhadap kekuatan
corenya. Semakin tinggi kekuatan corenya, maka akan semakin tinggi pula
kekuatan komposit sandwichnya. Komposit sandwich dengan core PVC type H
200 mempunyai kekuatan impak 0,2 % lebih besar daripada dengan menggunakan
core PVC type H 100. Perbedaan kekuatan impak berbanding lurus dengan massa
jenis core yang digunakan. Semakin tinggi massa jenis core yang digunakan,
maka kekuatan impaknya akan semakin tinggi pula.
Pengujian kekuatan tarik, bending dan impak terhadap komposit serat
gelas 3 layer dalam bentuk chopped strand mat dengan per luasan 300 gram/m
2

dan 450 gram/m
2
secara berurutan dipeoleh kekuatan tarik sebesar 67.26 MPa dan
82.83 MPa, kekuatan bending 208,58 MPa dan 157,06 MPa, serta kekuatan
impaknya 0,0472 J/mm
2
dan 0,0872 J/mm
2
. Semakin tebal layer komposit yang
digunakan semakin tinggi pula sifat tarik dan impaknya. Khusus pada uji bending,
komposit dengan mat yang lebih tipis akan menghasilkan tebal komposit yang
tipis pula, sehingga sifat lenturnya semakin tinggi. Selain alasan tersebut, jumlah
fraksi volume serat pada mat yang lebih tipis juga semakin kecil (Yanuar dan
Diharjo, 2003)

Komposit
Komposit merupakan suatu bahan hasil penggabungan dua atau lebih
materi penyusun yang berbeda secara mikroskopik yang tidak larut satu dengan
yang lainnya (Shcwardz, 1984). Tujuan penggabungan material ini adalah untuk
menemukan material baru yang mempunyai sifat antara material penyusunnya
yang tidak akan diperoleh jika material penyusunnya berdiri sendiri.
Komposit merupakan bahan yang terdiri atas serat yang diselubungi oleh
matrik, biasanya berupa polimer, logam, atau keramik. Serat biasanya berupa


PKMI-5-8-3
bahan dengan kekuatan dan modulus yang tinggi yang berperan sebagai
penyandang beban utama. Sedangkan matrik harus menjaga serat tetap dalam
lokasi dan orientasi yang dikehendaki. Matrik juga berfungsi sebagai media
transfer beban antar serat, pelindung serat dari kerusakan karena pengaruh
lingkungan (environtment damage) sebelum, ketika dan setelah proses pembuatan
komposit, serta melindungi dari pengaruh abrasif antar serat.












Gambar 1. Pembagian kelas material.

Komposit Sandwich
Komponen utama dalam komposit sandwich ada dua yaitu skin dan core.
Jika digunakan bahan perekat yang menggabungkan skin dan core, maka lapisan
bahan perekat dapat dipertimbangkan sebagai komponen tambahan dalam
material tersebut. Ketebalan lapisan dapat diabaikan karena lebih kecil dari
ketebalan skin maupun core. Karakteristik komposit sandwich tergantung pada
sifat dari core dan skin, ketebalan relatif keduannya, serta karakteristik interfacial
antara core dan skin (Gibson, 1994).

Kekuatan Bending
Untuk mengetahuai kekuatan bending suatu material, dapat dilakukan
dengan pengujian bending terhadap material tersebut. Data hasil pengujian
kemudian dilakukan analisa dengan menggunakan persamaan 1.
2
b
bh 2
PL 3
= . (1)
Jika defleksi maksimum yang terjadi lebih dari 10 % dari jarak antar
penumpu (L), kekuatan bendingnya dapat dihitung dengan persamaan 2 yang
lebih akurat daripada persamaan 1.


+ =
2
2
b
L
4 1
bh 2
PL 3
. (2)
Modulus elastisitas bendingnya dapat dirumuskan dengan persamaan :

=
P
bh
L
4
1
E
3
3
b
. (3)
Kekuatan bending komposit sandwich merupakan penjumlahan dari
kekakuan masing-masing lapisan penyusunnya. Kekuatan bending komposit
sandwich dirumuskan seperti pada persamaan 4.


PKMI-5-8-4
b c d t
PL
) ( 2 +
= ................................................................................. (4)

Skema uji bending balok sandwich dapat kita lihat pada gambar 2 berikut :












METODOLOGI PENELITIAN
Bahan dan Alat Penelitian
Bahan-bahan yang diperlukan dalam pembuatan spesimen uji komposit
sandwich antara lain serat EGlass Woven Roving dengan berat 300 gr/m
2
, matrik
Unsaturated Polyester type 157 BQTN, katalis MEKPO, akselerator Cobalt
naphtenate, core Divinyl cell type H 60, max way, wax/miror, dan aceton.
Peralatan yang digunakan adalah gelas ukur, spet/jarum suntik, cetakan,
mistar, cutter/gunting, gergaji, dan alat uji bending kapasitas kecil di UGM.

Pembuatan Spesimen uji
Spesimen uji yang dibuat merupakan komposit jenis sandwich. Skin dibuat
dengan menggunakan Glass Fiber Reinforced Plastic (GFRP) dengan serat E
glass type woven roving dengan density 300 gr/m
2
dengan perbandingan volume
serat dan matrik adalah 40 : 60. Proses pembuatan komposit sandwich dilakukan
dengan menggunakan metode Hand Lay Up.
Spesimen uji bending untuk skin komposit dan komposit sandwich dibuat
berdasarkan standar ASTM D 790 dan ASTM C 393. Untuk memperoleh dimensi
yang presisi dilakukan pengamplasan pada bagian sisinya dari amplas kasar (no.
320) hingga amplas yang paling halus (no. 1000), hingga tercapai dimensi yang
sesuai.











t
2 P
L/2 L/2
b
t
1
y
3

y
1

Gambar 2. Potongan penampang komposit sandwich.


PKMI-5-8-5
0
50
100
150
200
250
300
350
90/90 30/90 45/90 30/-30 45/-45
Ori entasi Serat
K
e
k
u
a
t
a
n

B
e
n
d
i
n
g

(
M
P
a
)
0
1000
2000
3000
4000
5000
6000
90/90 30/90 45/90 30/-30 45/-45
Ori entasi Serat
M
o
d
u
l
u
s

E
l
a
s
t
i
s
i
t
a
s

(
G
P
a
)
0
10
20
30
40
50
60
70
2 Layer 4 Layer 6 Layer 8 Layer
Ketebalan Skin
K
e
k
u
a
t
a
n

B
e
n
d
i
n
g

(
M
P
a
)
Kekuatan Bending
Dari hasil uji bending terhadap skin komposit didapatkan pola grafik
sebagai berikut :












Gambar 3. Diagram batang hubungan
orientasi serat dan kekuatan bending.
Gambar 4. Diagram batang hubungan
orientasi serat dan modulus elastisitas.

Dari hasil pengujian skin komposit dengan menggunakan standar ASTM
D 790 didapatkan hasil yaitu kekuatan bending dan modulus elastisitas bending.
Dilihat pada grafik-grafik diatas, terlihat dengan jelas kekuatan bending dan
modulus elastisitas bending terbesar terdapat pada skin dengan arah orientasi serat
90
o
-90
o
. Skin dengan orientasi serat 90
o
menahan beban tekan dan tarik lebih
baik, karena serat pada penampang spesimen, sepenuhnya menahan beban yang
diterima.
Berdasarkan pengujian komposit sandwich dengan menggunakan standar
ASTM C 393 diperoleh data seperti terlihat dalam diagram di bawah ini.
















Gambar 4. Diagram batang hubungan tebal skin dan kekuatan bending.

Komposit sandwich dengan ketebalan skin 2 layer memiliki kekuatan
bending terbesar yaitu 59,02 Mpa. Terjadi penurunan kekuatan bending seiring
penambahan ketebalan jumlah skin. Penurunan tersebut terjadi disebabkan ketika


PKMI-5-8-6
core gagal, skin belum mengalami kerusakan. Identifikasi optimasi komposit
sandwich didapat dengan menganalisa kegagalan antara core dan skin. Komposit
sandwich yang optimal didapat jika kegagalan core dan skin terjadi secara
bersamaan. Berdasarkan uraian tersebut, komposit sandwich dengan ketebalan
skin 4 layer dianggap sebagai variasi yang paling optimal.














(a) (b) (c) (d)
Gambar 5. Penampang patahan (a) 2 layer, (b) 4 layer, (c) 6 layer, (d) 8 layer.


KESIMPULAN
Berdasarkan penelitian dan analisa data yang telah dilakukan, dapat
diambil kesimpulan sebagai berikut :
1. Kekuatan bending dan modulus elastisitas skin komposit dengan orientasi
serat 90
o
-90
o
diperoleh nilai yang paling besar dibandingkan dengan variasi
serat lainnya.
2. Perbedaan kekuatan bending komposit sandwich berbanding terbalik dengan
ketebalan skin yang digunakan. Semakin tebal skin yang digunakan, maka
kekuatan bendingnya akan semakin rendah.
3. Komposit sandwich dengan ketebalan skin 4 layer merupakan jenis variasi
paling optimal, karena kegagalan core dan skin terjadi secara bersamaan.

DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 1998. Annual Book ASTM Standart, USA.
Gibson, O. F., 1994. Principle of Composite Materials Mechanics, McGraw-
Hill Inc., New York, USA.
Kowangid dan Diharjo K.,(2003). Karakteristik Mekanis Komposit Sandwich
Serat Gelas dengan Core PVC , Skripsi, Jurusan Teknik Mesin FT UNS,
Surakarta.
Schwartz, 1984. Composite Materials Handbook, McGraw-Hill Book
Company, New York, USA.
Yanuar D., dan Diharjo K., (2003). Karakteristik Mekanis Komposit Sandwich
Serat Gelas Serat Chopped Strand Mat Dengan Penambahan Lapisan Gel
Coat, Skripsi, Teknik Mesin FT UNS, Surakarta.
Core mengkerut
Core pecah
Skin patah
Skin patah
Core mengkerut


PKMI-5-9-1
UJI AKTIFITAS ANTIMALARIA EKSTRAK AIR DAUN JAMBU BIJI
(PSI DI UM GUAJ AVA) PADA KULTUR PLASMODI UM FALCI PARUM
I N VI TRO

Achmad Fachrizal, Ferry Efendi, Dhianita Binarwati, Rinnelya Agustien
Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Surabaya, 2006

ABSTRAK
Malaria masih merupakan masalah kesehatan di dunia dan di Indonesia.
Penyakit malaria tersebar cukup merata di seluruh kawasan di Indonesia, namun
paling banyak dijumpai di luar wilayah Jawa-Bali, bahkan di beberapa tempat
dapat dikatakan sebagai daerah endemis malaria. Pengobatan malaria sebagai
penyakit menular sudah dilakukan sejak dulu tetapi sampai saat ini masih belum
menunjukkan hasil yang optimal. Salah satu kendala yang dihadapi adalah
meningkatnya resistensi Plasmodium terhadap obat antimalaria di berbagai
daerah sehingga sampai saat ini belum ada obat anti malaria yang ideal. Tujuan
dari penelitian ini adalah untuk mengetahui persentase penghambatan dan IC
50

ekstrak air daun jambu biji pada kultur P. falciparum secara in vitro. Penelitian
ini merupakan penelitian eksperimental laboratorium yang dilakukan secara in
vitro. Prosentase penghambatan pemberian ekstrak air daun jambu biji pada
kultur isolat P. falciparum secara in vitro pada dosis 0,01; 0,1; 1; 10; 100 g/ml
adalah sebesar 24,4; 43,9; 29,3; 48,8; 65,8 %. Pemberian ekstrak air daun jambu
biji mempunyai daya hambat terhadap pertumbuhan P. falciparum in vitro
dengan nilai IC
50
pada inkubasi 48 jam sebesar 7,35 g/ml.

Kata kunci : anti malaria, ekstrak air daun jambu biji, plasmodium falciparum,
in vitro

PENDAHULUAN
Malaria masih merupakan masalah kesehatan di dunia. Penyakit malaria
terjadi di sekitar 100 negara yang tersebar di beberapa belahan dunia, terutama di
negara-negara miskin, daerah tropis Afrika, Asia dan Amerika Latin. Lebih dari
90 % kasus malaria terjadi di daerah tropis Afrika, terutama menyerang anak-anak
kecil dan wanita hamil. Malaria menyebabkan sekitar 273 juta kasus klinik dan
1,12 juta kematian setiap tahun. Lebih dari 40 % populasi dunia (>2,1 milyar
penduduk) diperkirakan berisiko terjangkit penyakit ini (WHO, 2003).
Sekitar 1,2 milyar penduduk atau sekitar 85 % dari total populasi di Asia
Tenggara berisiko terkena penyakit malaria. Sekitar 30 % penduduk yang berisiko
tersebut hidup di daerah risiko sedang sampai risiko tinggi malaria. Sebagian
besar penduduk yang hidup di daerah risiko malaria berada di India, Indonesia,
Myanmar dan Thailand (Whosea, 2004). Obat malaria yang tertua adalah kina,
namun karena efek samping yang besar dan kemajuan di bidang kimia saat ini,
menyebabkan kina diganti dengan obat malaria sintetik seperti amodiakuin dan
klorokuin (Phillipson, 1991). Namun demikian, Plasmodium falciparum yang
resisten terhadap klorokuin telah ditemukan di seluruh bagian negara tropis di
dunia antara lain Kolombia dan Brazil. Kemudian secara berturut-turut ditemukan
juga di Asia Tenggara, Thailand, Malaysia, Kamboja, Vietnam, Laos, Filipina. Di
Indonesia, resistensi P. falciparum terhadap klorokuin ditemukan di Kalimantan


PKMI-5-9-2
Timur (1974), Sumatera Selatan (1978), Jawa Tengah (1981), dan Jawa Barat
(1981) (Kompas, 2004).
Timbulnya resistensi Plasmodium yang menyerang manusia terhadap
kloroquin dan beberapa obat sintetik lainnya menambah kesulitan pemberantasan
malaria. Salah satu cara mengatasinya yaitu dengan mencari bahan obat baru
yang berasal dari alam, khususnya dari tumbuhan (Sutaryo, 1994). Dari
penelitian-penelitian terdahulu diketahui bahwa sejumlah senyawa yang memiliki
struktur kimia seperti alkaloid, terpenoid, kuinolid, dan fenolik mengandung zat
aktif antiprotozoa yang umumnya senyawa kimia ini dapat diisolasi dari
tumbuhan tingkat tinggi. Dilaporkan juga bahwa keaktifan senyawa tersebut di
atas terhadap protozoa telah diuji secara in vitro maupun in vivo pada hewan
percobaan (Simanjuntak et al., 1995).
Penyakit malaria tersebar cukup merata di seluruh kawasan di Indonesia,
namun paling banyak dijumpai di luar wilayah Jawa-Bali, bahkan di beberapa
tempat dapat dikatakan sebagai daerah endemis malaria. Menurut hasil
pemantauan program diperkirakan sebesar 35% penduduk Indonesia tinggal di
daerah endemis malaria. Perkembangan penyakit malaria pada beberapa tahun
terakhir cenderung mengalami peningkatan di semua wilayah. Di wilayah Jawa-
Bali kasus malaria meningkat dari 12 per 100.000 penduduk pada tahun 1997
menjadi 81 per 100.000 penduduk pada tahun 2000, kemudian turun menjadi 62
per 100.000 penduduk pada tahun 2001. demikian pula untuk wilayah luar Jawa-
Bali meningkat dari 1600 per 100.000 penduduk pada tahun 1997 meningkat
menjadi 3100 pada tahun 2000 dan turun menjadi 2600 kasus per 100.000
penduduk pada tahun 2001. Peningkatan kasus tersebut juga diikuti dengan
beberapa kali peristiwa KLB yang menyerang 105 desa pada 16 kabupaten di 11
provinsi (Depkes RI, 2002).
Pengobatan malaria sebagai penyakit menular sudah dilakukan sejak dulu
tetapi sampai saat ini masih belum menunjukkan hasil yang optimal. Kendala
yang dihadapi diawali dengan kesulitan diagnosis sedini mungkin, keterlambatan
mendapatkan pengobatan, ketidaktepatan regimen dan dosis obat anti malaria
yang digunakan. Selain itu diperparah pula dengan meningkatnya resistensi
Plasmodium terhadap obat antimalaria di berbagai daerah sehingga sampai saat ini
belum ada obat anti malaria yang ideal (Harijanto, 2000). Mengingat Indonesia
merupakan negara yang sangat kaya akan flora, perlu diteliti lebih lanjut dengan
menggunakan kekayaan tanaman di Indonesia, yang sudah dikenal oleh salah satu
atau beberapa daerah di Indonesia sebagai obat tradisional malaria.
Air rebusan daun jambu biji telah dimanfaatkan oleh masyarakat Papua
untuk pengobatan malaria. Penggunaan air rebusan daun jambu biji tersebut telah
digunakan secara luas baik oleh penduduk asli ataupun masyarakat pendatang
yang bekerja di Papua. Daun jambu biji diduga mengandung senyawa alkaloid
dan flavonoid (Rabe & Van Staden, 1997). Namun, sampai saat ini uji efektifitas
daun jambu biji tersebut belum pernah dilakukan baik secara in vivo maupun in
vitro. Untuk itulah diperlukan suatu penelitian laboratorium untuk mengetahui
efektivitas (Inhibitor Concentration 50 (IC
50
) dan % penghambatan) ekstrak air
daun jambu biji terhadap P. falciparum sebagai penyebab penyakit malaria.
Semakin kecil IC
50
(<50g/ml) dan semakin besar % penghambatan maka ekstrak
tersebut berpotensi sebagai antimalaria (Ringwald, 1999). Diharapkan hasil
penelitian ini dapat dimanfaatkan untuk menyebarluaskan pemakaian air rebusan


PKMI-5-9-3
daun jambu biji sebagai alternatif pengobatan malaria, yang dapat digunakan oleh
seluruh lapisan masyarakat karena ekonomis, mudah didapatkan dan terdapat di
seluruh wilayah di Indonesia.
Dari uraian di atas maka perlu diteliti apakah ekstrak air daun jambu biji
mempunyai aktivitas anti malaria pada isolat P. falciparum? Dengan tujuan untuk
meneliti pengaruh pemberian ekstrak air daun jambu biji terhadap kultur in vitro
P. Falciparum, menjelaskan persentase penghambatan pemberian ekstrak air
daun jambu biji pada kultur P. falciparum secara in vitro, serta mengetahui IC50
pemberian ekstrak air daun jambu biji terhadap kultur in vitro P. falciparum.
Sehingga diharapkan hasil penelitian ini dapat menambah khasanah ilmu
pengetahuan pengobatan alternatif malaria dengan daun jambu biji serta
memaksimalkan pemanfaatan tanaman tradisional Indonesia.

METODE PENDEKATAN
Waktu dan Tempat Pengembangan
Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Malaria Tropical Disease
Center (TDC) Universitas Airlangga. Penelitian dilakukan selama 3 bulan yaitu
pada bulan Oktober 2005-Desember 2005.

Bahan dan Peralatan Pengembangan
Alat
Alat-alat yang Digunakan Untuk Uji Aktivitas Anti Malaria adalah
laminar flow, incubator, lemari pendingin, autoklaf, desikator dengan tempat lilin
(candle jar), mikroskop, gelas obyek, penyaring membran millipore 0,22mm,
tabung steril, gelas piala steril, labu Erlenmeyer, microplate (lempeng sumur
mikro) dengan 24 sumuran, botol atau flask medium yang steril, alat-alat tabung
centrifuge, alat suntik steril, pipet ukur, pipet Pasteur steril dan pH meter.

Bahan
Bahan kimia yang digunakan adalah methanol, etanol 96%, etil asetat,
kloroform, aquadest, medium RPMI 1640, HEPES buffer, natrium bikarbonat,
klorokuin difosfat, gentamisin, serum manusia, eritrosit manusia, antikoagulan
CPD, pewarna giemsa dan minyak emersi.
















PKMI-5-9-4
Cara Kerja
Simpanan beku parasit


Thawing (pencairan) pada suhu 37
o
C secara cepat


Pembiakan sinambung


Parasitemia tinggi Parasitemia rendah


Subkultur dengan penambahan RBC Ganti medium


Didapatkan kadar parasitemia 8-10% Kadar parasitemia 8-10%
(90% bentuk cincin) (90% bentuk cincin)


Dibuat parasitemia 1%


Dimasukkan ke dalam lempeng sumur mikro yang berisi bahan uji, kontrol negatif
dan kontrol positif


Inkubasi di candle jar selama 48 jam


Ambil suspensi pekat buat hapusan


Dihitung jumlah eritrosit yang terinfeksi parasit tiap 1000 eritrosit


Dihitung IC
50


Keterangan :
: Tidak dikerjakan oleh tim peneliti dalam penelitian ini

Pengamatan Hasil Percobaan
Pertumbuhan Parasit (% Pertumbuhan) (Harijanto, 2000)
Pengamatan dilakukan terhadap kultur parasit pada jam ke 0 dan jam ke 48
(0 jam sebelum dan 48 jam sesudah inkubasi).
% pertumbuhan : Jumlah eritrosit terinfeksi X 100%
1000 eritrosit



PKMI-5-9-5
Penghambatan Pertumbuhan Parasit (Harijanto, 2000)
Sediaan hapusan darah tipis diperiksa dengan mikroskop dengan
pembesaran 10X100. Pengamatan dilakukan terhadap jumlah eritrosit yang
terinfeksi oleh parasit dalam 1000 eritrosit, lalu dihitung % penghambatannya.
% penghambatan :



Xe = jumlah eritrosit yang terinfeksi parasit malaria pada bahan uji tiap 1000
eritrosit
Xk = jumlah parasit yang ada pada kontrol negatif tiap 1000 eritrosit

Metode Analisis
Data yang diperoleh kemudian dianalisa dengan program SPSS 13 menggunakan
analisis probit.

HASIL
Hasil pengamatan aktivitas antimalaria dapat dilihat pada tabel 1.
Tabel 1. Pertumbuhan dan penghambatan parasit berdasarkan penghitungan
eritrosit terinfeksi oleh masing-masing stadium dalam 1000 eritrosit pada hapusan
darah tipis yang dicat dengan Giemsa.
Jumlah eritrosit terinfeksi Nama
Bahan
K Konsen
trasi
(g/ml)
Ring Trofozoit Skizon
Jumla
h
%
pertum
buhan
%
pengham
batan
Kontrol
negatif
K- 0 23 2 16 41 4,1
K1 0,01 10 10 11 31 3,1 24,4
K2 0,1 13 3 7 23 2,3 43,9
K3 1 13 2 14 29 2,9 29,3
K4 10 7 6 8 21 2,1 48,8

Ekstrak
Psidium
Guajava
K5 100 6 2 6 14 1,4 65,8
Kontrol
positif
K+ 20 13 0 0 13 1,3 68,3
Parasit D0 8 2 0 10 1,0
Keterangan :
Kontrol negatif (K-) : suspensi parasit tanpa penambahan ekstrak jambu biji
Kontrol positif (K+) : klorokuin difosfat
D0 : Pengamatan pada 0 jam sebelum inkubasi

Data ini selanjutnya digunakan untuk memperoleh nilai IC
50
dengan
analisis probit pada program SPSS 13.0. Hasil analisis dapat dilihat pada
lampiran, sedangkan grafik probit vs % penghambatan pertumbuhan parasit pada
inkubasi 48 jam dapat dilihat pada gambar 3.2.
Dari hasil analisis probit tersebut diperoleh informasi mengenai
konsentrasi hambat 50 (Inhibitor Concentration = IC
50
) dari ekstrak air daun
jambu biji terhadap pertumbuhan P. falciparum pada inkubasi 48 jam. Nilai IC
50

ini menunjukkan besarnya konsentrasi ekstrak yang dapat menghambat 50%

100 - Xe X 100%
Xk


PKMI-5-9-6
pertumbuhan parasit. Semakin kecil nilai IC
50
, maka semakin besar efektivitas
penghambatan daun jambu biji terhadap pertumbuhan parasit.

0
10
20
30
40
50
60
70
0.01 0.1 1 10 100


Gambar 1 Grafik persen penghambatan

















Gambar 2. Grafik analisis probit psidium guajava terhadap isolat P. falciparum
pada inkubasi 48 jam













2 1 0 -1 -2
Log of dosis
0.50
0.25
0.00
-0.25
-0.50
-0.75
P
r
o
b
i
t


PKMI-5-9-7
A B









C
Keterangan gambar :
A = Bentukan cincin
B = Bentukan Trofozoit
C = Bentukan skizon





Gambar 3. Stadium Parasit P. falciparum Pada Hapusan Darah Tipis Dengan
Pewarna Giemsa (Dokumentasi penelitian)

PEMBAHASAN
Uji aktivitas anti malaria secara in vitro dengan menggunakan biakan P.
falciparum dapat digunakan sebagai uji pendahuluan untuk mengevaluasi bahan
alam hayati yang prospektif sebagai antimalaria.
Pada penelitian ini menggunakan ekstrak air daun jambu biji (Psidium
guajava) sebagai aktivitas antimalaria. Hal ini dimaksudkan untuk mengetahui
kadar optimum dari aktivitas antimalaria ekstrak air daun jambu biji.
Metode freeze drying digunakan untuk mengubah air rebusan daun jambu
biji menjadi bentuk serbuk tanpa merusak bahan aktif yang dikandungnya. Tujuan
dari pengubahan menjadi bentuk serbuk adalah untuk standarisasi simplisia dan
memudahkan dalam penentuan dosis uji. Ekstrak air daun jambu biji ditambahkan
pada medium sesuai yang tertulis pada metoda.
Uji aktivitas antimalaria pada penelitian ini digunakan isolat Plasmodium
falciparum 3D7 yang dibiakkan secara sinambung dengan metode modifikasi
Trager dan Jensen (1976). Isolat Plasmodium falciparum dibiakkan dengan
medium RPMI 1640, dapar HEPES, larutan natrium bikarbonat dan serum
manusia kemudian dimasukkan ke dalam desikator yang berisi lilin dan di
inkubasi dalam inkubator dengan kadar CO
2
5% dan suhu 37
o
C.
Satu siklus aseksual (skizogoni) Plasmodium falciparum berlangsung
dalam 48 jam. Untuk itu pada penelitian ini, pengamatan dilakukan pada 48 jam
yang sesuai dengan siklus aseksual (skizogoni). Setelah di inkubasi selama 48
jam, dibuat hapusan darah tipis dan diwarnai dengan pewarnaan Giemsa. Hapusan
tersebut diamati dengan bantuan mikroskop pada pembesaran 1000 kali dan
dihitung jumlah eritrosit yang terinfeksi parasit malaria tiap 1000 eritrosit.


PKMI-5-9-8
Pada inkubasi 48 jam, biakan isolat P. falciparum akan mengulangi fase
eritrosit pada siklus skizogoni (aseksual) sehingga parasit yang berbentuk skizon
akan pecah menjadi merozoit. Jika merozoit ini bertemu eritrosit baru maka akan
berkembang menjadi bentuk cincin. Pada tabel 3.1 dapat terlihat bahwa %
penghambatan semakin tinggi sejalan dengan peningkatan konsentrasi. Hal ini
bisa dilihat pada konsentrasi 0,01; 0,1; 10 dan 100 g/ml. Sehingga terlihat pada
gambar 3.1 grafik persen penghambatan akan berbentuk linier. Sebaliknya, pada
konsentrasi 1 g/ml cenderung terjadi penurunan persen penghambatan dengan
persen penghambatan sebesar 29,3%. Hal ini bisa disebabkan oleh beberapa faktor
diantaranya ketidakcermatan peneliti ketika melakukan pengamatan mikroskopis
(penghitungan sel eritrosit yang terinfeksi), pengambilan dosis uji ataupun
kontaminasi ketika melakukan fiksasi parasit pada gelas obyek.
Pada konsentrasi tertinggi larutan uji (100 g/ml) jumlah parasit yang
berbentuk ring dan skizon adalah terendah dan bentuk trofozoit paling sedikit
sehingga dapat dikatakan pembentukan trofozoit terhambat. Jika kita bandingkan
persen penghambatan antara kontrol positif (klorokuin difosfat) dengan ekstrak
psidium guajava pada konsentrasi 100 g/ml maka selisihnya sebesar 2,5%.
Sehingga dapat dikatakan kadar optimum dalam menghambat parasit malaria
berada pada kadar 100 g/ml. Pada kontrol positif tidak didapatkan pertumbuhan
trofozoit dan skizon pada inkubasi 48 jam.
Perhitungan aktivitas antimalaria digunakan analisis probit pada program
SPSS 13.0 akan didapatkan IC
50
(Inhibitor Concentration 50 yaitu konsentrasi air
rebusan daun jambu biji yang mempunyai daya skizontosida terhadap P.
falciparum sebanyak 50%). Suatu bahan dikatakan berpotensi sebagai antimalaria
jika IC
50
kurang dari 50 g/ml untuk ekstrak sedangkan untuk fraksi nilai IC
50
<25
(Ringwald, 1999). Pada penelitian ini dapat diketahui bahwa penghambatan
pertumbuhan parasit pada ekstrak air daun jambu biji sebanyak 50% dengan
inkubasi 48 jam sebesar 7,35 g/ml. Oleh sebab itu ekstrak air daun jambu biji
memiliki potensi sebagai obat antimalaria melalui penelitian lebih lanjut

KESIMPULAN
Kesimpulan yang diperoleh dari hasil penelitian ini adalah prosentase
penghambatan pemberian ekstrak air daun jambu biji pada kultur isolat P.
falciparum secara in vitro pada dosis 0,01; 0,1; 1; 10; 100 g/ml adalah sebesar
24,4; 43,9; 29,3; 48,8; 65,8 %; pemberian ekstrak air daun jambu biji mempunyai
daya hambat terhadap pertumbuhan P. falciparum in vitro dengan nilai IC
50
pada
inkubasi 48 jam sebesar 7,35 g/ml.

DAFTAR PUSTAKA
Depkes RI. 2002. Profil Kesehatan Indonesia. Pusat Data Kesehatan : Jakarta
Harijanto. 2000. Malaria : epidemiologi, patogenesis, manifestasi klinis dan
penanganan
Kompas. 2004. Resistensi Malaria Di Indonesia. Dalam www.kompas.com
(Tanggal akses 11 Desember 2005)
Phillipson, J. D., 1991. Assays for Antimalarial and Amoebicidal Activities.
Methods in Plant Biochemistry. Vol 6, London : Academic Press,
Hartcourt Brace Javanovich Published, hal 139


PKMI-5-9-9
Rabe, T., & J. van Staden. 1997. Antibacterial activity of South African plants
used for medicinal purposes. J Ethnopharmacol 56(1): 81-87.
Ringwald. 1999. In vitro activity of dihydroartemisinin against clinical isolates of
Plasmodium falciparum in Yaounde, Cameroon.
Am J Trop Med Hyg, 61:187-192
Simanjutak et al. 1989. Status Malaria di Indonesia. Cermin Dunia Kedokteran
Indonesia. No 55, hal 3-7
Sutaryo. 1994. Tumbuhan Sebagai Sumber Obat Antimalaria, Buletin ISFI Jatim.
Vol 22 No 1, hal 8-15
Trager W, Jensen JB. 1976. Human malaria parasites in continuous culture.
Science, 193:673-675
WHO. 2003. The Malaria Problem in The World. WHO : Geneva
Whosea. 2004. The Malaria Problem in South East Asia Region. Dalam
www.whosea.org , 11 Juli 2004

PKMI-5-10-1
POTENSI SENYAWA KAIROMON BATANG KELAPA SEBAGAI
PENGENDALI KUMBANG KELAPA (Rhynchophorus spp.)

Muhammad Idris, Dwi Retno Anggraheni, Luluk Palupi Mahareni
Jurusan Kimia, Universitas Brawijaya, Malang

ABSTRAK
Senyawa kairomon merupakan senyawa volatil dari batang kelapa (Cocos
nucifera L.) yang berpotensi sebagai pengendali hama kumbang kelapa
(Rhynchophorus spp.). Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengisolasi,
mengidentifikasi dan menguji aktivitas senyawa kairomon hasil isolasi batang
kelapa (Cocos nucifera L.). Metode yang digunakan adalah distilasi uap-ekstraksi
berkesinambungan (Likens-Nickerson). Isolat yang dihasilkan adalah isolat
dalam fasa n-heksana, kloroform, dan air. Hasil identifikasi dengan
menggunakan Kromatografi Gas Spektro-fotometer Massa (GC-MS)
menunjukkan bahwa komponen yang terkandung dalam isolat batang kelapa fasa
n-heksana adalah senyawa golongan alkana rantai panjang, sedangkan yang
terdapat dalam isolat batang kelapa fasa kloroform adalah etanol, etil asetat, dan
etil propionat yang diduga sebagai senyawa kairomon hasil isolasi batang
kelapa. Uji aktivitas secara Olfaktometri menunjukkan bahwa kumbang kelapa,
Rhynchophorus spp. lebih tertarik kepada isolat batang kelapa fasa kloroform
dengan persentase sebesar 65 % dan waktu orientasi tercepat sebesar 29,53
detik.

Kata Kunci: Batang kelapa, kairomon, kumbang kelapa, Olfaktometri.

PENDAHULUAN
Sebagai bahan komoditi yang bernilai tinggi, berbagai strategi telah
diupayakan untuk meningkatkan produksi kelapa nasional, seperti teknik
hibridisasi, budidaya, dan termasuk penanggulangan hama dan penyakit. Namun
fakta di lapang sering menghadapi hambatan, terutama adanya kecenderungan
terjadinya perubahan siklus serangga hama kelapa.
Diantara berbagai macam hama serangga kumbang kelapa,
Rhynchophorus spp. merupakan hama kumbang kelapa yang paling berbahaya
karena serangan kumbang ini sulit dideteksi dan hanya diketahui jika tanaman
kelapa telah terinfeksi dan rusak berat. Akibat serangan kumbang jenis ini,
perkebunan kelapa mengalami penurunan produksi kopra sebesar 20.000-30.000
ton pertahun. Hal ini tentunya mengakibatkan kerugian yang sangat besar bagi
petani kelapa (Setyamidjaja, 2000).
Pengendalian hama secara mekanis, biologis, dan kimiawi menggunakan
pestisida maupun eradikasi tidak cukup efektif untuk menghambat serangan
kumbang Rhynchophorus spp. dan hanya berorientasi pada pengendalian jangka
pendek. Dalam upaya untuk mempertahankan atau sekaligus meningkatkan
produksi kelapa perlu dikembangkan sistem pengendalian hama yang efektif,
efisien, dan ramah lingkungan dengan menggunakan senyawa kairomon hasil
isolasi batang kelapa.
Kairomon adalah senyawa yang diproduksi, diperoleh, atau dilepaskan
sebagai hasil dari aktivitas organisme, yang ketika terjadi kontak dengan individu

PKMI-5-10-2
dari spesies lain di alam menyebabkan respon tingkah laku atau fisiologi bagi
penerimanya tetapi tidak bagi yang mengemisikannya (Ruther, et al., 2002).
Kairomon merupakan senyawa volatil yang bekerja secara sinergis dengan
feromon agregat yang dihasilkan oleh serangga kelapa, gabungan senyawa ini
menarik beberapa serangga dewasa (Weissling dan Giblin, 1997).
Penggunaan kairomon sebagai senyawa penjebak hama kelapa di
Costarika, Afrika, Uni Emirat Arab dan Florida telah berjalan dengan sukses
(Giblin et al, 1996). Namun di Indonesia masih mengalami gangguan hama
kelapa. Hamonangan (2003), telah melakukan uji aktivitas senyawa-senyawa
volatil pada ujung batang kalapa yang berpotensi sebagai kairomon menggunakan
olfaktometer dengan kumbang kelapa jenis Rhynchophorus ferrugineus,
prosentase kumbang yang terorientasi sebasar 100 % dari 8 kumbang kelapa yang
digunakan.
Kairomon kelapa belum diketahui secara lengkap komponen-komponen
senyawanya, demikian juga perbandingan masing-masing komponen. Kairomon
kelapa yang diidentifikasikan dengan GC-EAD (Gas Chromatographic-
Electroantenographic Detection) dan GC-MS yang termasuk dalam Palm esters
meliputi etil asetat, etil propionat, etil butirat, dan etil isobutirat (Giblin, et al.,
2000). Menurut Aljabeer (2000), senyawa volatil dari kelapa dengan
menggunakan ekstrak CH
2
Cl
2
dan GC-MS diperoleh senyawa etil asetat, pentana,
heksanal, isopentanol, dan etanol. Sedangkan menurut Hamonangan (2003),
senyawa volatil dari ujung batang kelapa varietas puyuh dengan menggunakan
ekstrak dietil eter dan GC-MS diperoleh senyawa etanol, etil asetat, dan etil
propionat.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengisolasi dan mengidentifikasi
senyawa kairomon hasil isolasi batang kelapa (Cocos nucifera L.) serta menguji
aktivitas senyawa tersebut terhadap kumbang Rhynchophorus spp. secara
olfaktometri.

METODE PENELITIAN
Penelitian dilakukan secara eksperimental di Laboratorium Kimia Organik
FMIPA Unibraw pada bulan Mei sampai Juli 2004. Sebanyak 45 g batang kelapa
yang dipotong kecil-kecil dibungkus dengan kain dan dimasukkan dalam tempat
sampel pada alat distilasi uap-ekstraksi berkesinambungan (modifikasi Likens-
Nickerson). Bagian pengekstrak pada alat dimasukkan 20 mL n-heksana sebagai
pengekstrak dan pada labu alas bulat diisi akuades sebagai penyedia uap dalam
distilasi uap. Labu alas bulat dan penangas pengekstrak dipanaskan hingga
akuades dan n-heksana mendidih. Proses distilasi uap-ekstraksi
berkesinambungan dilakukan sebanyak 6 kali. Tiap proses dilakukan selama 3-4
jam dan diperoleh isolat fasa n-heksana dan fasa air. Fasa air sebanyak 75 mL
diekstrak dengan 100 mL (4x25 mL) kloroform. Isolat fasa n-heksana dan
kloroform yang diperoleh dipekatkan dengan gas N
2,
kemudian diidentifikasi
menggunakan GC-MS dan diuji aktivitasnya terhadap kumbang kelapa
(Rhynchophorus ferrugineus dan Rhynchophorus schach) menggunakan
Olfaktometer.




PKMI-5-10-3
HASIL DAN PEMBAHASAN
Isolasi Senyawa Kairomon dari Batang Kelapa
Pada isolasi senyawa kairomon dari batang kelapa digunakan metode
distilasi uap-ekstraksi berkesinambungan (modifikasi Likens-Nickerson) dengan
pelarut n-heksana. Penggunaan n-heksana bertujuan untuk mengambil senyawa
non polar yang diduga terkandung dalam batang kelapa dan mempunyai titik didih
lebih rendah (69
o
C) dari senyawa ester yang diduga juga terkandung dalam batang
kelapa. Fasa air diekstrak dengan 100 mL (4x25 mL) kloroform untuk mengambil
senyawa polar yang terkandung dalam batang kelapa, seperti golongan alkohol.
Metode ini dilakukan karena kandungan senyawa isolat dalam sampel sangat
sedikit dan bersifat volatil. Pada metode ini, uap air akan membawa senyawa
volatil dari bahan sampai pada kondensor uap terkondensasi, kemudian terjadi
proses ekstraksi oleh pelarut organik. Dalam ekstraksi ini, senyawa volatil akan
terdistribusi ke dalam dua macam pelarut yang tidak saling campur hingga terjadi
kesetimbangan (Masduki, 1997). Adapun keuntungan dari metode ini adalah
perlakuannya sederhana, cepat, dan pelarut yang digunakan relatif sedikit
(Hudiyono, 1994).
Sebanyak 270 g batang kelapa dalam proses isolasi menghasilkan isolat
pekat sebanyak kurang lebih 6 mL. Isolat pekat berupa larutan berwarna bening
kekuningan dan bersifat volatil serta berbau khas yang diduga sebagai senyawa
ester. Pemekatan dilakukan dengan gas N
2
karena sifat gas N
2
yang inert dan tidak
menimbulkan panas yang dapat merusak senyawa isolat.

Uji Aktivitas Isolat Fasa n-heksana dan Kloroform Terhadap Kumbang
Kelapa
Uji aktivitas isolat fasa n-heksana dan kloroform bertujuan untuk menguji
potensi senyawa isolat sebagai kairomon Rhynchophorus spp. Uji aktivitas
dilakukan secara olfaktometri. Kumbang kelapa yang digunakan adalah
Rhynchophorus ferrugineus dan Rhynchophorus schach karena kedua spesies
kumbang kelapa ini menyerang pada bagian batang kelapa (Weissling dan Giblin-
Davis, 1997). Pada penelitian ini digunakan waktu toleransi hingga 5 menit, jika
dalam waktu 5 menit kumbang tidak terorientasi maka kumbang dianggap tidak
tertarik oleh senyawa uji. Hasil uji aktivitas untuk isolat fasa n-heksana dan
kloroform ditunjukkan dalam Tabel 1 dan Tabel 2.
Berdasarkan hasil uji aktivitas, diperoleh waktu orientasi kumbang kelapa
terhadap isolat fasa n-heksana dan kloroform, masing-masing sebesar 39,83 detik
dan 29,53 detik. Sedangkan persentase jumlah kumbang kelapa yang tertarik pada
isolat fasa n-heksana dan kloroform masing-masing sebesar 30 % dan 65 %. Hasil
ini menunjukkan bahwa kumbang kelapa lebih tertarik dengan isolat fasa
kloroform daripada fasa n-heksana. Sehingga diasumsikan bahwa pada isolat
batang kelapa fasa kloroform terkandung senyawa kairomon yang lebih banyak
daripada isolat fasa n-heksana.






PKMI-5-10-4
Tabel 1. Hasil uji aktivitas isolat fasa n-heksana terhadap Rhynchophorus spp.

Arah Orientasi
Kumbang
ke-
Jenis
kumbang
Kolom
isolat
Kolom
blanko
n-heksana
Kolom
kosong
Waktu
Orientasi
(detik)
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
A
A
A
A
A
A
A
A
A
A
B
B
B
B
B
B
B
B
B
B
-

-
-

-
-
-
-
-

-
-
-
-
-


-

-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-


-
-


-
-
-
-

-
-

-
>5'
1'26''
>5'
>5'
49''
1'05''
29''
>5'
>5'
1'55''
24''
>5'
>5'
>5'
>5'
>5'
41''
27''
>5'
12''




Tabel 2. Hasil uji aktivitas isolat fasa kloroform terhadap Rhynchophorus spp.

Arah Orientasi
Kumbang
ke-
Jenis
kumbang
Kolom
isolat
Kolom
blanko
kloroform
Kolom
kosong
Waktu
Orientasi
(detik)
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
A
A
A
A
A
A
A
A
A
A
B
B
-
-

-
-

-




-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
>5'
>5'
39''
>5'
>5'
23''
>5'
28''
34''
23''
09''
18''

PKMI-5-10-5
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
B
B
B
B
B
B
B
B





-


-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
27''
15''
20''
2'33''
>5'
1'08''
47''
>5'

Keterangan : A = Rhynchophorus ferrugineus
B = Rhynchophorus schach

Identifikasi Senyawa Kairomon Menggunakan GC-MS
Identifikasi komponen-komponen yang terdapat dalam isolat pekat fasa n-
heksana menggunakan alat Kromatografi Gas-Spektrofotometer Massa (GC-MS).
Penggunaan alat ini dikarenakan sifat senyawa kairomon yang volatil sehingga
mudah dipisahkan dengan Kromatografi Gas yang terangkai langsung dengan
Spektrofotometer Massa sebagai pengkarakterisasi.
Pemisahan komponen-komponen dalam isolat fasa n-heksana
menggunakan GC pada GC-MS ditunjukkan pada Gambar 1.

Gambar 1. Kromatogram isolat batang kelapa fasa n-heksana

Berdasarkan kromatogram diatas, terdapat 10 komponen dengan tiga
komponen dominan terletak pada waktu retensi 12,592 menit (%total= 18,44 %),
13,225 menit (%total= 12,66 %), dan 14,758 menit (%total= 49,18 %). Sedangkan
puncak lain yang mempunyai intensitas kecil menunjukkan bahwa kandungannya
di dalam isolat batang kelapa fasa n-heksana relatif sedikit. Komponen-komponen
yang terkandung dalam isolat fasa n-heksana merupakan senyawa golongan
alkana rantai panjang. Hal ini ditandai dengan penurunan sebesar 14 satuan massa
yang merupakan pelepasan CH
2
secara berkelanjutan. Golongan alkana rantai
panjang tersebut diantaranya 6-metil tridekana (tR= 13,592 menit) dan senyawa
heptadekana (tR= 14,758 menit).
Pada pemisahan komponen dalam isolat fasa kloroform menggunakan GC
dalam GC-MS, diperoleh 4 kromatogram, yaitu pada waktu retensi (tR) 1,670
menit, 1,717 menit, 1,766 menit, dan 2,142 menit dengan % area masing-masing
sebesar 5,22 %; 0,51 %; 94,12 %; dan 0,45 %. Senyawa dengan waktu retensi
1,766 menit diduga sebagai sebagai pelarut kloroform. Sehingga dalam isolat
pekat fasa kloroform terdapat tiga senyawa volatil.

PKMI-5-10-6
Berdasarkan hipotesa hasil isolasi, fragmen ion (Tabel 3), spektra massa
pada (Gambar 2), tinjauan pustaka yang telah dilakukan (Giblin, et al., 2000),
maka senyawa dengan waktu retensi 1,670 menit diduga sebagai etil propionat.

Tabel 3. Ion molekul spektra massa tR 1,670

m/e Ion molekul
102
75
74
59
C
2
H
5
COOCH
2
CH
3
+
C
2
H
5
C(OH)
2
+
C
2
H
5
COOH
+
C
2
H
5
CHOH
+


Gambar 2. Spektra massa tR 1,670 menit

Menurut Silverstein, Bassler, dan Morrill (1986), puncak spektra pada m/e
= 74 merupakan puncak hasil fragmentasi penyusunan ulang Mc.Lafferty. Puncak
m/e= 59 merupakan fragmentasi pelepasan karbohidroksi yang disertai dengan
penataan ulang H, sedangkan puncak m/e= 75 merupakan puncak khas hanya
pada ester yang merupakan pelepasan alkil dan disertai dengan penataan ulang
atom H. Menurut Mc.Lafferty (1988), puncak-puncak lemah pada nilai m/e= 119,
66 dan 53 merupakan puncak-puncak tambahan yang hampir tidak terlihat yang
berasal dari senyawa-senyawa yang lepas (desorbing) dari dinding-dinding alat
atau bocoran dari sumber. Asumsi ini berdasarkan pada puncak m/e= 119
merupakan senyawa rantai panjang dengan titik didih tinggi, serta puncak kuat
yang karakteristik sebagai senyawa ester. Puncak ion molekul paling kanan
dianggap berada pada nilai m/e= 102 yang tampak sebagai M+1 pada nilai
m/e= 103. Hal ini khas dalam senyawa ester yang puncak spektra paling kanannya
bersifat lemah.
Berdasarkan hipotesa hasil isolasi, fragmen ion (Tabel 4), spektra massa
pada (Gambar 3), tinjauan pustaka yang telah dilakukan (Giblin, et al., 2000),
maka interpretasi spektra untuk senyawa dengan waktu retensi 1,717 menit
berorientasi pada senyawa alkohol.
Menurut Silverstein, Bassler dan Morrill (1986), puncak m/e= 46
merupakan berat molekul senyawa, diduga sebagai etanol (CH
3
CH
2
OH). Selain
itu senyawa ini memiliki puncak dasar yang karakteristik pada nilai m/e= 45
sebagai fragmen ion yang paling stabil, serta puncak-puncak M-1, M-2, dan M-3.



PKMI-5-10-7
Tabel 4. Ion molekul spektra massa tR 1,717 menit

m/e Ion molekul
46
45
44
43
CH
3
CH
2
OH
+
; CH
2
CH
2
OH
2
+
CH
3
CHOH
+
CH
3
CHO
+
CH
3
CO
+



Gambar 3. Spektra massa tR 1,717 menit

Berdasarkan hipotesa hasil isolasi, fragmen ion (Tabel 5), spektra massa
pada (Gambar 4), tinjauan pustaka yang telah dilakukan (Giblin, et al., 2000),
maka senyawa dengan waktu retensi 2,142 diduga sebagai senyawa golongan
ester, yaitu etil asetat.

Tabel 5. Ion molekul spektra massa tR 2,142 menit
m/e Ion molekul
86
74
59
45
44
43
42
H
3
CCOOCHCH
2
+
CH
3
COHOCH
2
+
OCOCH
3
+
HOCO
+
OCO
+
H
3
CCO
+
H
2
CCO
+




Gambar 4. Spektra massa tR 2,142 menit

PKMI-5-10-8
Menurut Silverstein, Bassler, dan Morrill (1986), berdasarkan puncak kuat
yang karakteristik pada nilai m/e= 45 dan 59 sebagai ion molekul yang
mengandung oksigen dan tipe fragmentasi alkil pada nilai m/e= 74, 59, 45 serta
puncak spektra paling kanan yang bersifat sangat lemah pada m/e= 88, maka
senyawa tersebut diperkirakan sebagai etil asetat (C
4
H
8
O
2
).
Fragmentasi etil asetat dapat melalui 4 jalur :
1. Fragmentasi jalur pertama
Menurut Mc.Lafferty (1988) dan Silverstein, Bassler, dan Morrill (1986,
jalur pertama melalui tata ulang atom H dan dilanjutkan dengan
fragmentasi alkil diperoleh nilai m/e= 74, 49, 45, 44, pada nilai m/e= 60
memiliki puncak lemah karena kestabilan ion molekul yang terbentuk
bersifat kurang stabil.
2. Fragmentasi jalur kedua
Menurut Silverstein, Bassler, dan Morril (1986), fragmentasi jalur kedua
merupakan fragmentasi pelepasan rantai karbonil (H
3
C-CO), diperoleh
puncak m/e= 45 dilanjutkan dengan fragmentasi atom H radikal dalam
fragmentasi alkohol, diperoleh puncak m/e= 43 dan 41.
3. Fragmentasi jalur ketiga
Menurut Silverstein, Bassler, dan Morrill (1986), fragmentasi jalur ketiga
merupakan fragmentasi pelepasan rantai karbohidroksi (H
3
C-CH
2
-O)
diperoleh puncak me= 43 dan dilanjutkan dengan pelepasan atom H
sehingga diperoleh puncak m/e= 42.
4. Fragmentasi jalur keempat
Fragmentasi keempat merupakan fragmentasi pelepasan atom H radikal,
diperoleh puncak m/e= 86 dan merupakan puncak yang paling kanan,
puncak yang lemah karena kurang stabil.

Berdasarkan hasil identifikasi isolat batang kelapa menggunakan GC-MS,
dapat diketahui bahwa isolat fasa kloroform mengandung senyawa dari golongan
alkohol dan ester dapat menarik kumbang kelapa, Rhynchophorus spp. (Giblin-
Davis, et al.,2000). Hal ini juga diperkuat dengan adanya uji aktivitas secara
olfaktometri yang menunjukkan bahwa isolat fasa kloroform mempunyai waktu
orientasi lebih cepat dan persentase ketertarikan yang lebih tinggi dibandingkan
isolat fasa n-heksana.

KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian, dapat diambil kesimpulan bahwa komponen-
komponen yang terdapat dalam isolat batang kelapa fasa n-heksana adalah
senyawa golongan alkana rantai panjang, sedangkan yang terdapat dalam isolat
batang kelapa fasa kloroform adalah etanol, etil asetat, dan etil propionat yang
diduga sebagai senyawa kairomon hasil isolasi batang kelapa (Cocos nucifera L.).
Uji aktivitas secara Olfaktometri menunjukkan bahwa kumbang kelapa,
Rhynchophorus spp. lebih tertarik kepada isolat batang kelapa fasa kloroform
dengan persentase sebesar 65 % dan waktu orientasi tercepat sebesar 29,53 detik.

DAFTAR PUSTAKA
Aljaber, A. 2000. Chemical Ecology of The Palm Weevil (Coleoptera:
Curculionidae): Agregation Pheromone and Host Plant Attraction.
www.Colostate.edu: 2.

PKMI-5-10-9
Bavappa, K.V.A., S.N., Darwis, dan D.D., Tarigans. 1995. Coconut Production
and Productivity in Indonesia, Asian and Pacific Coconut Community.
Jakarta: 80.
Giblin-Davids, et al, 1996. Chemical and Behavior Ecology of Palm Weevils
(Curculionidae: Rhynchophorinae). www.Floridaentomologist.com: 5-7.
Hamonangan, T.S. 2003. Isolasi, Karakterisasi dan Uji Aktivitas Senyawa-
senyawa Volatil dalam Ujung Batang Kelapa Varietas Puyuh (Cocus
nucifera, Pumila). Skripsi Jurusan Kimia. Fakultas MIPA. Universitas
Brawijaya. Malang: 11-15, Tidak Dipublikasikan.
Hudiyono, S. 1994. Metode Distilasi Uap-Mikrodistilasi, Suatu Cara Alternatif
Isolasi Senyawa Volatil untuk Analisa Komponen Suatu Aroma.
Proceeding UNESCO National Seminar. Jakarta.
Masduki. 1997. Isolasi dan Identifikasi Senyawa Volatil Hasil Ekstraksi Bunga
Tembakau (Nicotina tabaccum L.). Skripsi Jurusan Kimia. Fakultas MIPA.
Universitas Brawijaya. Malang. Tidak Dipublikasikan.
Mc. Lafferty, F.W. 1988. Interpretasi Spektra Massa, Edisi ketiga, Alih Bahasa:
Hardjono S. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta: 265, 276.
Ruther, J., T., Meiners, and J.L.M., Steidle. 2002. Rich in Phenomena-Lacking in
Term, a Classification of Kairomones. freie Universitat Berlin, Berlin:
161, 164.
Sastrohamidjojo. 1991. Spektroskopi, Edisi 2. Liberty. Yogyakarta:163-166.
Silverstein, Bassler dan Morrill. 1986. Penyidikan Spektrometrik Senyawa
Organik, Edisi keempat. Erlangga. Jakarta: 19-29.
Tarigans, D.D. 2003. Sistem Usaha Tani Berbasis Kelapa. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Perkebunan. Jakarta: 2.
Weissling, T.J., dan Giblin-Davis. 1997. Palmetto Weevils. University of Florida.
Florida: 4.

PKMI-5-11-1
PERAN MAHASISWA MELALUI PROGRAM KULIAH KERJA NYATA
(KKN) DALAM USAHA REBOISASI HUTAN MANGROVE DI
KAWASAN PESISIR

Yusron Hidayat, Agus Dwi Riyanti dan Abas Hidayat
Fakultas Perikanan, Universitas Brawijaya, Malang

ABSTRAK
Hutan Mangrove merupakan suatu komunitas tumbuhan yang hidup di kawasan
pinggiran pantai. Mangrove memiliki fungsi ekologi dalam menjaga
keseimbangan lingkungan dan fungsi ekonomis dalam meningkatkan
kesejahteraan masyarakat. Pengelolaan hutan Mangrove yang kurang tepat akan
menyebabkan kerusakan dan berkurangnya kedua fungsi hutan Mangrove.
Adanya pembabatan hutan Mangrove secara sporadis hanya demi kepentingan
sekelompok kecil masyarakat akan berakibat pada berkurangnya populasi pohon
Mangrove secara signifikan. Salah satu hutan Mangrove yang mengalami
kerusakan adalah di kawasan pesisir pantai Tamban desa Tambakrejo kecamatan
Sumbermanjing Wetan kabupaten Malang propinsi Jawa Timur. Kawasan ini
mengalami kerusakan dalam bentuk penggundulan hutan Mangrove akibat
adanya pengalihan fungsi hutan Mangrove menjadi tambak ikan, tempat
pemukiman, lokasi pariwisata, bahan bangunan dan kayu bakar. Di sisi lain,
tokoh masyarakat sekitar dan aparat setempat belum mengadakan usaha
perbaikan atau melakukan penataan hutan Mangrove yang sudah mengalami
kerusakan. Dalam rangka mengembalikan fungsi hutan Mangrove pantai Tamban
yang sudah mengalami penebangan secara liar, maka perlu diadakan usaha
reboisasi dan preventif dari kerusakan yang lebih parah. Salah satu usaha
reboisasi hutan Mangrove di Pantai Tamban dilakukan oleh mashasiswa fakultas
Perikanan universitas Brawijaya. Kegiatan ini dilaksanakan dalam rangkaian
program Kuliah Kerja Mahasiswa (KKM) pada bulan Juli-Agustus 2005. Para
mahasiswa melakukan langkah-langkah nyata untuk melakukan reboisasi hutan
Mangrove di sebagian pesisir pantai Tamban yang mengalami kerusakan akibat
penebangan liar. Selain itu, mahasiswa juga menyelenggarakan beberapa forum
diskusi atau penyuluhan untuk menjelaskan dan melakukan pembinaan kepada
masyarakat mengenai arti penting kelestarian hutan Mangrove sebagai fungsi
ekologis dan fungsi ekonomis yang berkelanjutan.

Kata kunci: hutan Mangrove, mahasiswa, KKM dan reboisasi.

PENDAHULUAN
Hutan Mangrove merupakan salah satu komunitas tumbuhan yang hidup
di kawasan pinggiran pantai. Menurut Santoso (2000), bahwa Ekosistem
Mangrove adalah suatu sistem di alam tempat berlangsungnya kehidupan yang
mencerminkan hubungan timbal balik antara makhluk hidup dengan
lingkungannya dan diantara makhluk hidup itu sendiri, terdapat pada wilayah
pesisir, terpengaruh pasang surut air laut, dan didominasi oleh spesies pohon atau
semak yang khas dan mampu tumbuh dalam perairan asin/payau.. Keberadaan
Mangrove menjadi tumbuhan khas pantai yang memiliki berbagai fungsi ekologis
maupun ekonomis yang berdampak langsung bagi kehidupan masyarakat, baik
yang tinggal di dalam maupun di luar kawasan pesisir. Kedua fungsi tersebut

PKMI-5-11-2
dapat berkelanjutan jika pemanfaatan hutan Mangrove dapat dilakukan dengan
memperhatikan aspek-aspek kelestarian lingkungan.
Menurut Bengen (2001), hutan Mangrove memiliki beberapa fungsi
ekologis antara lain sebagai peredam gelombang dan angin badai, pelindung
pantai dari abrasi, penahan lumpur, dan perangkap sedimen yang diangkut oleh
aliran permukaan, penghasil detritus dan mineral-mineral yang dapat
menyuburkan perairan, sebagai daerah nursery ground, feeding ground dan
spawning ground bermacam biota perairan.
Dari segi ekonomis, hutan Mangrove memainkan peran yang sangat vital
terhadap pembangunan ekonomi dan sosial pada masyarakat pantai disepanjang
kepulauan Indonesia (Tomascik et al, 1997). Hutan Mangrove merupakan
penghasil kayu pohon yang dapat dimanfaatkan untuk keperluan rumah tangga,
industri dan sebagai penghasil bibit pohon Mangrove.
Menurut Rochana (2001), fungsi ekologis hutan Mangrove adalah
sebagai pelindung garis pantai dari abrasi, mempercepat perluasan pantai melalui
pengendapan, mencegah intrusi air laut ke daratan, tempat berpijah aneka biota
laut, tempat berlindung dan berkembangbiak berbagai jenis burung, mamalia,
reptil, dan serangga serta sebagai pengatur iklim mikro. Sedangkan fungsi
ekonomis antara lain sebagai penghasil keperluan rumah tangga (kayu bakar,
arang, bahan bangunan, bahan makanan, obat-obatan), penghasil keperluan
industri (bahan baku kertas, tekstil, kosmetik, penyamak kulit, pewarna),
penghasil bibit ikan, nener udang, kepiting, kerang, madu, dan telur burung,
pariwisata, penelitian, dan pendidikan.
Sebagian manusia pada umumnya dan masyarakat pesisir pada khususnya,
dalam memenuhi keperluan hidupnya dilakukan dengan mengintervensi
ekosistem Mangrove. Hal ini dapat dilihat dari adanya alih fungsi lahan
(Mangrove) menjadi tambak, pemukiman, industri, dan berbagai keperluan rumah
tangga. Dampak ekologis akibat berkurang dan rusaknya ekosistem Mangrove
adalah hilangnya berbagai spesies flora dan fauna yang berasosiasi dengan
ekosistem Mangrove, yang dalam jangka panjang akan mengganggu
keseimbangan ekosistem Mangrove khususnya dan ekosistem pesisir umumnya.
Lebih lanjut Rochana (2001) menyatakan bahwa aktivitas tebang habis
untuk keperluan pertanian dan perikanan menyebabkan terancamnya regenerasi
stok-stok ikan dan udang di perairan lepas pantai yang memerlukan hutan (rawa)
Mangrove sebagai nursery ground larva dan stadium muda ikan dan udang,
penncemaran laut oleh bahan-bahan pencemar yang sebelum hutan Mangrove
dikonversi dapat diikat oleh substrat hutan Mangrove, pendangkalan peraian
pantai karena pengendapan sedimen yang sebelum hutan Mangrove dikonversi
mengendap di hutan Mangrove, intrusi garam melalui saluran-saluran alam yang
bertahankan keberadaannya atau melalui saluran-saluran buatan manusia yang
bermuara di laut dan erosi garis pantai yang sebelumnya ditumbuhi Mangrove.
Banyak kasus pengalihan lahan hutan Mangrove menjadi lahan pertanian
maupun perikanan (tambak) seperti di kawasan pesisir Probolinggo, Lekok
(Pasuruan), Muncar dan Sinjai (pulau Sulawesi). Selain itu, penebangan hutan
Mangrove untuk berbagai keperluan rumah tangga, industri dan pariwisata yang
tidak diiringi dengan reboisasi juga marak terjadi, seperti di kawasan pesisir
Tamban (Malang Selatan), Prigi (Trenggalek) dan Lamongan. Hal ini
mengakibatkan areal hutan Mangrove berkurang yang secara otomatis akan

PKMI-5-11-3
mengubah keseimbangan ekosistem kearah negatif dan mengancam kehidupan
manusia di sekitarnya. Di sisi lain usaha-usaha reboisasi hutan Mangrove semakin
gencar dilakukan oleh pemerintah dan berbagai Lembaga Swadaya Masyarakat
(LSM) lingkungan hidup, namun usaha reboisasi tersebut belum mampu
menanggulangi kerusakan hutan Mangrove yang terjadi.
Di kawasan pesisir Tamban kabupaten Malang, kerusakan hutan Mangrove
dalam kondisi yang memperihatinkan, karena sekitar 70% dari luas hutan
Mangrove semula telah mengalami pangalihan fungsi dan penebangan liar.
Akibatnya beberapa ancaman kerusakan lingkungan dapat terjadi, antara lain;
adanya abrasi air laut yang dapat mengikis lahan tepi pantai, pendangkalan laut,
terumbu karang di sekitar perairan pantai Tamban banyak mengalami kematian
akibat pasir yang masuk dan menghalangi cahaya masuk ke dalam perairan dan
banjir akibat meluapnya air laut. Kejadian banjir telah terjadi beberapa kali di
tahun 2005 akibat meluapnya air laut dan pada awal tahun 2005 banjir mencapai
betis orang dewasa. Meskipun demikian, aparat setempat belum melakukan
langkah-langkah reaktif untuk menangani kasus tersebut.
Melihat kondisi demikian, tim Kuliah Kerja Mahasiswa (KKM) kelompok
I fakultas Perikanan universitas Brawijaya yang berlokasi di desa Tambakrejo
kecamatan Sumbermanjing Wetan kabupaten Malang propinsi Jawa Timur,
melakukan beberapa langkah guna memperbaiki kondisi ekosistem hutan
Mangrove yang sudah mengalami kerusakan cukup parah. Langkah-langkah nyata
yang dilakukan oleh tim KKM ini adalah melakukan reboisasi dan penyuluhan.
Tujuan dari studi ini adalah mengkaji peranan mahasiswa fakultas
Perikanan Universitas Brawijaya melalui program Kuliah Kerja Mahasiswa
(KKM) dalam rangka melakukan reboisasi hutan Mangrove dan penyuluhan
kepada warga di kawasan pesisir Tamban desa Tambakrejo kecamatan
Sumbermanjing Wetan kabupaten Malang propinsi Jawa Timur.

METODE PENDEKATAN
Dalam studi kasus ini penulis menggunakan intrinsic case study yang
bertujuan untuk memahami dan mempelajari lebih jauh, lebih spesifik dari latar
belakang, hakekat dari kasus, sifat-sifat serta karakter yang khas dari kasus
ataupun kasus individu yang kemudian dari sifat-sifat tersebut dijadikan suatu hal
yang bersifat umum (Salim, 2001).

Jenis dan Sumber Data
Data Primer
Jenis data primer yang diambil meliputi; (1) dampak negatif aktivitas
warga dusun Tamban terhadap hutan Mangrove, (2) peran tim KKM fakultas
Perikanan universitas Brawijaya dalam usaha reboisasi hutan Mangrove dan (3)
langkah-langkah kongkret dari tim KKM dalam reboisasi hutan Mangrove di
dusun Tamban.
Data Sekunder
Data sekunder diperoleh dari hasil pengkajian terhadap buku-buku tentang
koperasi di Indonesia, jurnal-jurnal ilmiah, data-data dan informasi mengenai
lingkungan pesisir menyangkut hutan Mangrove dan warga yang tinggal di
sekitarnya.


PKMI-5-11-4
Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data yang digunakan adalah; (1) studi kepustakaan
atau data dokumen sebagai data sekunder, (2) wawancara mendalam dengan
warga dusun Tamban dan beberapa anggota tim KKM fakultas Perikanan
universitas Brawijaya, dan (3) observasi partisipatif selama satu bulan yaitu pada
tanggal 13 Juli 2005 hingga tanggal 12 Agustus 2005.

Metode Analisa Data
Data yang telah dikumpulkan selanjutnya dianalisa dengan menggunakan
analisa deskriptif. Analisa deskriptif dilakukan secara berurutan sesuai dengan
tujuan dari penulisan. Beberapa informasi yang perlu dihasilkan dari informan
meliputi; kondisi hutan Mangrove sebelum dan sesudah mengalami kerusakan,
program kerja tim KKM, kegiatan reboisasi dan penyuluhan oleh tim KKM akan
dianalisa terlebih dahulu untuk mengetahui peran tim KKM dalam usaha reboisasi
hutan Mangrove di dusun Tamban. Selanjutnya, seluruh informasi akan dianalisa
untuk memperoleh suatu bentuk kegiatan serupa dengan perencanaan dan
pelaksanaan program yang lebih baik.

HASIL
Dampak Aktivitas Masyarakat Tamban Terhadap Kerusakan Ekologi
Aktivitas yang dilakukan oleh sebagian besar warga Tamban untuk
mengeksploitasi hutan Mangrove masih belum memperhatikan aspek kelestarian
dan keramahan lingkungan. Sehingga mengakibatkan beberapa kerusakan pada
lingkungan tersebut, yaitu berkurangnya pohon Mangrove secara signifikan dan
menyebabkan tanah menjadi tandus.
Aktivitas warga Tamban yang menyebabkan kerusakan hutan Mangrove
adalah penebangan pohon Mangrove untuk kepentingan lahan pemukiman,
pertanian, perikanan dan keperluan rumah tangga. Setiap aktivitas tersebut tidak
diiringi dengan usaha perbaikan (reboisasi) yang berkelanjutan meskipun
penebangan dilakukan secara terus menerus. Akibatnya, sekitar 70% dari sekitar
sepuluh hektar lahan hutan Mangrove menghilang dan selebihnya terancam
ditebang lagi oleh warga sekitar.

Peran Mahasiswa tim KKM dalam Usaha Reboisasi Hutan Mangrove di
Kawasan Pesisir.
Kerusakan hutan Mangrove di kawasan pesisir Tamban perlu segera
ditangani agar tidak terjadi kerusakan yang lebih parah. Usaha-usaha perbaikan
terhadap lingkungan melalui kegiatan reboisasi dan penyadaran masyarakat
tentang fungsi hutan Mangrove dari segi ekonomi maupun ekologi merupakan
salah satu kegiatan yang dilakukan oleh sekelompok mahasiswa fakultas
Perikanan universitas Brawijaya.
Mahasiswa fakultas Perikanan universitas Brawijaya melalui program
Kuliah Kerja Mahasiswa (KKM) periode Juli-Agustus tahun 2005 melakukan
survey dan observasi terhadap kondisi hutan Mangrove di kawasan pesisir
Tamban. Dari hasil survey, diketahui bahwa hutan Mangrove di pesisir Tamban
sudah mengalami kerusakan sekitar 70% dari total luas semula. Kerusakan ini
diakibatkan oleh tiga faktor utama, yaitu:

PKMI-5-11-5
1. Pengalihan lahan untuk pemukiman, lahan perikanan dan lahan pertanian.
2. Penebangan liar untuk diambil kayunya sebagai keperluan rumah tangga,
seperti kayu bakar dan bahan bangunan.
3. Belum ada usaha konservasi dari aparat pemerintah setempat maupun
tokoh masyarakat sekitar.

Bentuk kerusakan yang terparah adalah gundulnya sebagian besar lahan
hutan Mangrove yang menyebabkan tanah tandus pada musim kemarau. Tindak
lanjut yang diambil oleh para mahasiswa tim KKM adalah menganalisa upaya
perbaikan yang dapat dilakukan yang kemudian diimplementasikan dalam
tindakan-tindakan kongkret.
Mahasiswa tim KKM menyimpulkan upaya penanganan terhadap kondisi
wilayah hutan Mangrove yang mengalami pengurangan jumlah pohon melalui
represif dengan reboisasi hutan Mangrove dan usaha preventif dilakukan melaui
program penyuluhan kepada warga sekitar.

Rangkaian Kegiatan Mahasiswa KKM dalam Reboisasi Hutan Mangrove
Mahasiswa fakultas Perikanan bertindak secara proaktif untuk melakukan
reboisasi hutan Mangrove di pantai Tamban serta melakukan penyuluhan sebelum
dan sesudah pelaksanaan reboisasi.

Tabel 1. Rangkaian kegiatan reboisasi yang dilakukan oleh tim KKM.
No Tanggal Kegiatan Hasil
1 13-15
Juli
2005
Mengadakan penyuluhan kepada
warga Tamban dan sosialisasi
penanaman bibit pohon
Mangrove di Tamban
Warga menyambut baik
dan bersedia turut serta
dalam reboisasi hutan
Mangrove
2 16 Juli
2005
Konfirmasi dengan departemen
Kehutanan Malang
Proposal disetujui oleh
pimpinan departemen dan
akan disediakan bibit
Mangrove secara gratis
3 22 Juli
2005
Pengambilan bibit Mangrove
jenis Avecennia sp (Api-api)
Tim KKM mendapat
bantuan sekitar 1000 bibit
Avicennia sp.
4 24 Juli
2005
Pelaksanaan reboisasi pada
lahan dengan luas sekitar 1000
m
2
Reboisasi dilaksanakan
bersama beberapa tokoh
masyarakat setempat dan
dewan pembina lapang
KKM.
5 30 Juli
2005
Penyuluhan lanjutan dan diskusi
untuk mengajak warga turut
serta menjaga kelestarian hutan
Mangrove yang direboisasi
Materi berupa pentingnya
menjaga eksistensi hutan
Mangrove secara wajar
yaitu minimal 30% dari
luas semula




PKMI-5-11-6
Bibit berkriteria baik
(tekstur halus, tanpa ada
kerusakan, panjang lebih
dari 15 cm, mudah lepas
dari tangkai dan lurus.
















Gambar 1. Skema penanaman bibit pohon Mangrove (Avecennia sp)



Gambar 2. Kegiatan reboisasi hutan Mangrove (penanaman bibit Avecennia sp)
yang dilakukan oleh tim KKM bersama warga dusun Tamban di desa
Tambak Rejo Malang Selatan.


Gambar 3. Forum diskusi antara tim KKM dan beberapa tokoh pemuda dan
pemuka masyarakat tentang populasi hutan Mangrove pesisir
Tamban yang semakin menurun.
Bibit langsung ditan-
capkan pada lubang
yang dibuat pada
tanah
Dibuatkan lubang pada
tanah dengan cara
menancapkan tongkat/
kayu

PKMI-5-11-7
PEMBAHASAN
Dampak dari aktivitas warga Tamban yang cenderung merusak ekosistem
hutan Mangrove tidak hanya menimpa warga yang melakukan eksploitasi namun
juga berimbas pada warga lain di sekitar hutan Mangrove. Banjir yang melanda di
awal tahun 2005 telah membuat sebagian besar rumah di dusun Tamban terendam
banjir. Demikian halnya, ketika musim kemarau datang maka suhu udara yang
meningkat dari sebelumnya akan menyelimuti dusun Tamban karena salah satu
pengontrol iklim yaitu hutan Mangrove yang mengalami penurunan fungsi secara
drastis. Pada kondisi normal, hutan Mangrove dapat mengganti udara kotor
menjadi udara bersih dan mendinginkan suhu di sekitarnya. Di sisi lain, kondisi
tanah menjadi tandus karena sedikitnya air simpanan di dalam tanah dan pohon
yang tersisa tidak mampu menahan air dalam jumlah besar.
Dalam rangka mengurangi dampak negatif dari aktivitas warga Tamban
pada ekologi pesisir, maka mahasiswa fakultas Perikanan universitas Brawijaya
melalui program KKM melakukan usaha reboisasi hutan Mangrove. Penanaman
pohon Mangrove jenis Avecennia sp (Api-api) berdasarkan kedekatan lahan yang
akan ditanami pohon Mangrove. Lahan yang ditanami merupakan yang terdekat
dengan air laut, substrat agak berpasir dan paling sering tergenang oleh air laut.
Peran mahasiswa dalam usaha menjaga kelestarian hutan Mangrove harus
dilakukan secara kontinyu. Penyelenggaraan Kuliah Kerja Mahasiswa (KKM)
fakultas Perikanan universitas Brawijaya di kawasan pesisir Tamban dilakukan
dalam beberapa periode. Masing-masing periode harus memiliki program kerja
yang terkait dengan dengan kelestarian hutan Mangrove, baik melalui usaha
reboisasi maupun penyuluhan.
Berdasarkan tingkat pertumbuhan hutan Mangrove, maka program KKM
sebaiknya dilakukan selama sepuluh periode atau lima tahun. Rentang waktu yang
diperlukan pohon Mangrove mulai dari bibit hingga ukuran minimal siap tebang
sekitar lima tahun. Penentuan usia maupun ukuran standar pohon Mangrove untuk
dapat ditebang akan mendukung pemanfaatan ekonomi hutan Mangrove yang
berkelanjutan.




Gambar 4. Pertumbuhan Mangrove selama lima tahun.

PKMI-5-11-8
Efektifitas peran mahasiswa dalam menjaga kelestarian hutan Mangrove
didukung oleh opini positif masyarakat pesisir terhadap kredibilitas mahasiswa.
Mereka menganggap bahwa mahasiswa merupakan salah satu pembela warga
dalam meningkatkan derajat kesejahteraan warga dusun Tamban, baik berupa
materi maupun keilmuan yang diajarkan oleh para mahasiswa.
Beberapa tindak lanjut yang perlu dilakukan untuk mengembalikan fungsi
hutan Mangrove di kawasan pesisir Tamban antara lain:
1. Panitia KKM di tingkat fakultas harus memiliki parameter evaluasi dalam
menyusun target keberhasilan pengembalian fungsi hutan Mangrove di
kawasan pesisir Tamban. Parameter-parameter ini dapat berupa prosentase
daya hidup dari total bibit pohon Mangrove yang ditanam, tingkat
kepedulian warga Tamban terhadap perbaikan hutan Mangrove dan
meningkatnya fungsi ekonomi dan fungsi ekologi hutan Mangrove bagi
warga Tamban.
2. Adanya penyuluhan secara berkala kepada masyarakat, terutama ketika
ada pelaksanaan KKM. Penyuluhan ini menyangkut pengelolaan hutan
Mangrove dari segi ekonomis dengan memperhatikan faktor-faktor
keseimbangan ekologis. Keseimbangan ekologis akan terwujud jika hutan
Mangrove dapat berfungsi secara normal, diantaranya sebagai pengontrol
iklim, mencegah intrusi air laut, mengurangi abrasi air laut dan sumber
ekonomi yang berkelanjutan.
3. Adanya monitoring perkembangan hutan Mangrove yang menjadi target
reboisasi, terutama pada rentang waktu yang tidak dilaksanakannya
program KKM yaitu antara pertengahan Februari hingga pertengahan Juli
dan pertengahan Agustus hingga pertengahan Januari. Hal ini menjadi
bahan evaluasi dari kegitan KKM yang telah dilakukan dan menjadi acuan
dalam menentukan strategi pengembangan kawasan Mangrove pada saat
melakukan program KKM berikutnya.
4.
KESIMPULAN
Mahasiswa fakultas Perikanan universitas Brawijaya melalui program
Kuliah Kerja Mahasiswa (KKM) memiliki peran strategis dalam upaya reboisasi
hutan Mangrove di kawasan pesisir Tamban. Reboisasi ini berfungsi untuk
memperbaiki hutan Mangrove dari kerusakan akibat aktivitas warga Tamban yang
menebang pohon Mangrove untuk kepentingan rumah tangga dan pengalihan
fungsi lahan menjadi tambak dan lahan pertanian. Kegiatan reboisasi didukung
dengan sistem penyuluhan kepada warga Tamban secara kontinyu. Penyuluhan
bertujuan untuk memberikan informasi tentang arti penting hutan Mangrove dari
aspek ekonomi sebagai sumber pendapatan warga Tamban dan aspek ekologis
sebagai pelindung atau mengurangi tempat tinggal warga dari kerusakan parah
yang diakibatkan bencana alam. Masyarakat Tamban perlu menjaga kelestarian
hutan Mangrove sehingga fungsi ekonomis maupun fungsi ekologis dapat terjadi
secara berkelanjutan. Untuk dapat memperoleh hasil yang lebih optimal,
pelaksanaan program KKM sebaiknya dilaksanakan dalam beberapa periode
dengan memasukan program kelestarian hutan Mangrove pada masing-masing
periode. Jangka waktu pelaksanaan KKM di Tamban didasarkan pada waktu
tumbuh bibit pohon Mangrove hingga pada usia minimal untuk ditebang (fungsi
ekonomi) yaitu selama lima tahun.

PKMI-5-11-9
DAFTAR PUSTAKA
Bengen, D.G. 2001. Pedoman Teknis Pengenalan dan Pengelolaan Ekosistem
Mangrove. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan Institut Pertanian
Bogor. Bogor.
Rochana, e. 2001. Ekosistem mangrove dan pengelolaan di indonesia. Institut
pertanian bogor. Bogor.
Salim, A., 2001. Teori dan Paradigma Penelitian Sosial. PT. Tiara Wacana
Yogyakarta.
Santoso, N. 2000. Pola Pengawasan Ekosistem Mangrove. Makalah disampaikan
pada Lokakarya Nasional Pengembangan Sistem Pengawasan Ekosistem
Laut Tahun 2000. Jakarta.
Tomascik, T., A.J. Mah, A. Nontji, and M.K. Moosa, 1997. The Ecology of the
Indonesian Seas (Part 2), Volume VIII. Periplus Edition (HK) Ltd.


PKMI-5-12-1
EFISIENSI PENGIKATAN SUBSTRAT AMILUM OLEH ENZIM -
AMILASE SALIVA PADA PENDERITA DEMAM BERDARAH DENGUE

Tenno Ukaga, Denny Miftahur Ramadhan, Alvina Rosana, Dini Permatasari
Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat, Banjarbaru

ABSTRAK
Demam Berdarah Dengue adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus
dengue, yang ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti. Gigitan nyamuk tersebut
akan memasukkan virus dengue ke aliran darah. Virus itu akan berada dalam
sirkulasi darah (viremia) dan menyebabkan peradangan sebagai reaksi
pertahanan tubuh terhadap infeksi. Peradangan akan menyebabkan peningkatan
pembentukan Senyawa Oksigen Reaktif. Senyawa Oksigen Reaktif dapat merubah
aktivitas enzim amylase. Penelitian ini merupakan penelitian belah lintang
dengan subjek adalah kelompok, yakni kelompok kontrol dan kelompok uji.
Kelompok kontrol adalah kelompok orang sehat, sedangkan kelompok uji adalah
kelompok penderita demam berdarah. Pengujian aktivitas pengikatan enzim-
substrat dilakukan dengan cara berikut. Sebelumnya disiapkan 6 buah tabung
reaksi. Kemudian, masing-masing tabung dimasukkan 5ml, 6ml, 7ml, 8ml, 9ml,
10ml larutan amilum. Setelah itu, ditambahkan saliva masing-masing 1 ml dan
indikator iodium sebanyak 2 tetes. Lalu dicatat waktu saat menambahkan iodium
hingga terjadi perubahan warna dari berwarna biru menjadi tak berwarna.
Larutan dikendalikan pada suhu 37
o
C dan pH 7,4. Setelah itu, dibuat grafik
antara waktu (t) dengan 1/[S] dengan bantuan program microsoft exell. Nilai
intersept akan digunakan untuk menghitung Vmax dan nilai slope digunakan
untuk mengukur nilai Km. Nilai Km untuk kelompok kontrol adalah 19,89 dengan
Vmax = 0,066. Pada kelompok uji, nilai Km dan Vmax masing-masing 11,24 dan
8,68 x 10
-4
. Disimpulkan bahwa terdapat penurunan nilai Km sebesar 43,49%
pada penderita Demam Berdarah Dengue.

Kata Kunci: Amilum, Senyawa Oksigen Reaktif, Saliva, Km

PENDAHULUAN
Demam berdarah dengue (DBD) merupakan masalah kesehatan di
Indonesia. Berdasarkan data Departemen Kesehatan RI, sejak Januari hingga
Maret 2004, total kasus DBD di seluruh propinsi di Indonesia sudah mencapai
26.015 jiwa (1).
DBD adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus dengue, yang
ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti. Gigitan nyamuk tersebut akan
memasukkan virus dengue ke aliran darah. Selanjutnya, virus ini akan
dipindahkan dari satu orang ke orang lain bersama liur nyamuk pada waktu
mengisap darah. Virus itu akan berada dalam sirkulasi darah (viremia) selama 4-7
hari dan dapat menyebabkan peradangan sebagai reaksi pertahanan tubuh terhadap
infeksi (2,3).
Pada peradangan terjadi aktivasi fagosit dan berbagai sel imun. Aktivasi
fagosit tersebut ditandai oleh peningkatan senyawa oksigen reaktif (SOR) yang
berbentuk radikal bebas maupun nonradikal. Misalnya: anion superoksida (O
2
),
radikal hidroksil (OH), dan peroksida (H
2
O
2
) (4,5).


PKMI-5-12-2
SOR merupakan senyawa turunan oksigen yang bersifat lebih reaktif
daripada oksigen dalam keadaan triplet. Reaktifitas SOR ini ditandai oleh
kemampuannya dalam menarik elektron dari atom atau molekul lain disekitarnya.
Hal ini berakibat pada kerusakan pada tingkat seluler atau molekuler (4,5).
Pada tingkat seluler, SOR dapat mengoksidasi molekul penyusun
membran sel. Hal ini dapat berakibat pada deformasi struktur molekul penyusun
membran sel, sehingga mudah pecah, yang selanjutnya dapat menyebabkan lisis
dan kematian sel. Pada tingkat molekuler, SOR dapat memutusan ikatan
fosfodiester dan ikatan-ikatan lain pada gula-gula ribosa pada DNA. SOR juga
dapat mengoksidasi lipid sehingga terjadi peroksidasi lipid. Selain itu, SOR dapat
menyebabkan pembentukan ikatan silang serta pemutusan ikatan hidrogen pada
protein (4,5).
Enzim merupakan molekul protein yang juga dapat dioksidasi oleh SOR.
Oksidasi ini dapat mengakibatkan perubahan konformasi molekul penyusun
enzim, pemutusan ikatan hidrogen, dan oksidasi asam-asam amino penyusunnya.
Hal ini dapat menyebabkan perubahan aktivitas enzimatik yang ditandai oleh
perubahan nilai Konstanta Michaelis Menten (Km), yaitu konstanta yang
menyatakan efektifitas pengikatan enzim terhadap substrat.
Penelitian aktivitas enzim yang dikaitkan dengan nilai Km sudah banyak
dilakukan. Akan tetapi, penelitian yang mengkaji nilai Km pada berbagai penyakit
jarang dilakukan. Oleh karena itu, penelitian ini perlu dilakukan, terutama pada
kajian nilai Km enzim amilase saliva pada pasien demam berdarah dengue. Hasil
penelitian ini, diharapkan mampu memberikan pijakan ilmiah bagi
penatalaksanaan pasien DBD di rumah sakit.

METODA
Bahan dan alat percobaan
Bahan yang digunakan antara lain amilum, saliva dan indikator iodium.
Alat yang digunakan antara lain alat gelas (pirex), stop watch, dan tabung reaksi.
Cara Kerja
Subjek pada penelitian ini terbagi atas dua kelompok, yakni kelompok
kontrol dan kelompok uji. Kelompok kontrol adalah kelompok orang sehat dan
kelompok uji adalah kelompok penderita demam berdarah, yang jumlahnya
masing-masing 30 orang. Pada kedua kelompok tersebut, saliva diambil pada pagi
hari setelah bangun tidur. Sampel saliva kemudian dibawa ke laboratorium
kimia/biokimia untuk diukur aktivitasnya.
Pengujian aktivitas pengikatan enzim-substrat dilakukan dengan cara
berikut. Sebelumnya disiapkan 6 buah tabung reaksi. Kemudian, masing-masing
tabung dimasukkan 5ml, 6ml, 7ml, 8ml, 9ml, 10ml larutan amilum. Setelah itu,
ditambahkan saliva masing-masing 1 ml dan indikator iodium sebanyak 2 tetes.
Lalu dicatat waktu saat menambahkan iodium hingga terjadi perubahan warna
dari berwarna biru menjadi tak berwarna. Larutan dikendalikan pada suhu 37
o
C
dan pH 7,4.
Data yang diperoleh kemudian dianalisis dengan rumus berikut (6,7):

1 1 Km
-- = --------- + ------------ dengan V 1/t
V V max V max [S]



PKMI-5-12-3
Dengan demikian, rumus di atas dapat diubah menjadi
1 Km
t = --------- + ------------
V max V max [S]

Setelah itu, dibuat grafik antara waktu (t) dengan 1/[S] dengan bantuan
program microsoft exell. Nilai intersept akan digunakan untuk menghitung Vmax
dan nilai slope digunakan untuk mengukur nilai Km.

HASIL PENELITIAN
Pengukuran aktivitas enzim ini didasarkan atas reaksi hidrolisis amilum
oleh enzim amilase yang ditandai oleh perubahan warna dari biru menjadi tidak
berwarna. Waktu yang diperlukan untuk perubahan warna tersebut, digunakan
sebagi indikator kecepatan reaksi enzimatik. Hasil pengukuran waktu perubahan
disajikan pada tabel 1.

Tabel 1. Rerata waktu hirolisis amilum oleh amilase
Waktu (detik)
Amilum (ml)
Kontrol Uji
5 47,31 1554,00
6 31,23 676,00
7 28,61 973,07
8 22,56 372,00
9 16,15 342,60
10 17,51 114,00

Berdasarkan tabel 1, selanjutnya dibuat grafik linier antara t vs 1/[S].
Grafik tersebut disajikan pada gambar 1.

y = 251.46x - 208.18
R
2
= 0.8028
y = 5.7226x + 7.1993
R
2
= 0.8681
0
200
400
600
800
1000
1200
1400
1600
1800
0 1 2 3 4 5 6 7
1/[S]
t

(
d
e
t
i
k
)

Gambar 1. Kecepatan hidrolisis amilum oleh enzim amilase dengan () adalah
kelompok kontrol sedangkan () merupakan kelompok uji.



PKMI-5-12-4
Berdasarkan gambar 1, maka dapat ditentukan besarnya Km untuk
kelompok kontrol adalah 19,89 dengan Vmax = 0,066. Pada kelompok uji, nilai
Km dan Vmax masing-masing 11,24 dan 8,68 x 10
-4
.

PEMBAHASAN
-amilase (-1,4-D-glukanohidrolase, EC 3.2.1.1) adalah endoglukonase
yang terdistribusi secara luas dalam tubuh makhluk hidup misalnya bakteri, archea
dan eucarya. Enzim ini merupakan golongan glikoside hidrolase yang berperan
pada reaksi hidrolisis dan transglikosilasi polisakarida (8).
Enzim -amylases disekresikan oleh kelenjar ludah dan pankreas. Enzim
-amilase saliva pada manusia merupakan monomerik, protein yang mengikat
kalsium dan terdiri atas 496 asam amino pada rantai polipeptida tunggal. Amilase
saliva mempunyai tiga domain, yaitu domain A (residu 199, 170404), domain B
(residu 100169) dan domain C (residu 405496) (8).
Tapak aktif amilase saliva terletak pada daerah A. Tapak aktif tersebut
berupa celah berbentuk V yang dalam. Tapak aktif daerah A dibedakan atas ikatan
glikon (-4,-3,-2, dan -1) dan ikatan aglikon (+1,+2,dan +3) (8).


Gambar 2. Struktur asam amino pada amilase saliva (8).

Pada penelitian ini, nilai Km kelompok kontrol lebih besar dibandingkan
nilai Km kelompok uji. Penurunan Km sebesar 43,49% ini disebabkan oleh
peningkatan jumlah oksidan yang bereaksi dengan enzim, sehingga pengikatan
substrat oleh enzim menurun. Hal ini merupakan parameter penting karena
menunjukan bahwa infeksi virus dapat menyebabkan stress oksidatif.
Virus dengue yang memasuki tubuh manusia akan menyebabkan
terjadinya viraemia dan peradangan. Peradangan merupakan reaksi pertahanan
tubuh terhadap infeksi. Pada peradangan terjadi aktivasi fagosit dan berbagai sel
imun. Sistem ini bekerja dengan mengeluarkan senyawa hidrogen peroksida,
yakni senyawa hasil peledakan pernafasan (respiratory burst) (9). Hidrogen
peroksida di dalam darah akan berikatan dengan besi (Fe) sehingga menghasilkan
radikal hidroksil. Mekanisme ini tersaji pada gambar 3 (8,10-16).



PKMI-5-12-5

Gambar 3. Mekanisme pembentukan radikal hidroksil pada peradangan (8).


Radikal hidroksil mempunyai sifat toksik terhadap sel, diantaranya DNA,
lipid membrane dan protein. Aktivitas radikal hidroksil terhadap protein penyusun
enzim dapat menurunkan aktivitas enzim. Oksidasi ini dapat mengakibatkan
perubahan konformasi molekul penyusun enzim, pemutusan ikatan hidrogen, dan
oksidasi asam-asam amino penyusunnya (4,5,12).

Hal ini dapat menyebabkan
perubahan aktivitas enzimatik yang ditandai oleh perubahan nilai Konstanta
Michaelis Menten (Km).
Penelitian ini didukung oleh penelitian sebelumnya. Penelitian Bentur
disimpulkan bahwa reaksi peradangan pada asma mampu menurunkan aktivitas
enzim antioksidan plasma (17). Artinya, peradangan mampu meningkatkan
kerusakan oksidatif pada biomolekul enzim.

KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa aktivitas amilase pada
demam berdarah dengue mengalami penurunan sebesar 43,49%. Hal ini diduga
disebabkan oleh reaktivitas radikal bebas sebagai pemicu kerusakan oksidatif pada
biomolekul enzim.

DAFTAR PUSTAKA
1. Kristina, Isminah, Leny Wulandary. Demam berdarah dengue. Jakarta: Badan
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan,2004.
2. Sungkar S. Bionomik Aedes aegyti, vektor demam berdarah dengue. Maj
Kedokt Indon 2005;55 (4):384-9.
3. Widodo D and Nainggolan L. Penatalaksanaan demam berdarah dengue pada
kehamilan. Maj Kedokt Indon 2005;54 (4):135-42.
4. Halliwell B. Free radical in biology and medicine. 3
rd
. New York: Oxford
University Press, 1999. p. 529-67.


PKMI-5-12-6
5. Hallliwel B, Whiteman M. Measuring reactive species and oxidative damage
in vivo and in cell culture how should you do it and what do the result mean ?
Br. J. Pharm 2004; 14 : 231-55.
6. Murray RK, Granner, Mayes PA, Rodwell VW. Biokimia Harper edisi 24.
Jakarta: EGC. 1999.
7. Shoemarker DP, Garland CW, Nibler JW. Experiments in physichal
chemestry. 6 th ed. New York ; 1996.
8. Halstead SB, Heinz B Barrett C, Roehrig. Dengue virus: molecular basis of
cell entry and pathogenesis, 2527 June 2003, Vienna, Austria. Vaccine
23:84956.
9. Torres MA and Dangl JL. Functions of the respiratory burst oxidase in biotic
interactions, abiotic stress and development. Biotic interactions 2005; 8:397
403.
10. Balmaseda A, Mara G, Hammond S. Diagnosis of dengue virus infection by
detection of specific immunoglobulin m (IgM) and IgAa antibodies in serum
and saliva. Clin Diagn Lab Immunol 2003;10 (2): 317-22.
11. Lei HY, Yeh TM, Liu HS. Immunopathogenesis of dengue virus infection. J
Biomed Sci 2001; 8:37788.
12. Kasinathan C, Ramaprasad P, Sundaram. Identification and characterization
of tyrosylprotein sulfotransferase from human saliva. Int J Biol Sci 2005; 1
(4):141-5.
13. Simpson JL, Timmins, Fakes. Effect of saliva contamination on induced
sputum cell counts, IL-8 and eosinophil cationic protein levels. Eur Respir J
2004; 23: 75962.
14. Thomas W and McDade. The ecologies of human immune function. Annu
Rev Anthropol 2005; 34 :495521.
15. Bentur L, Mansour Y, Brik R, Eizenberg Y, Nagler RM. Salivary oxidative
stress in children during acute asthmatic attack and during remission doi:
10.1016/j.rmed.2005.10.022.
16. Chen S and Schopfer. Hydroxyl-radical production in physiological reactions.
Eur J Biochem 1999; 260:726-75.
17. Ramasubbu N, Ragunath, Mishra PJ. Human salivary -amylase Trp58
situated at subsite -2 is critical for enzyme activity. Eur J Biochem 2004;
271:251729.

PKMI-5-13-1
UJI KUALITAS TANAH LIAT MERAH (EARTHENWARE) BEBERAPA
DAERAH DI BALI SEBAGAI BAHAN DASAR PEMBUATAN KERAMIK

Erna Risdiana, Komang Wisya Swadarma, Ahyati
PS Pendidikan Kimia, IKIP Negeri Singaraja, Singaraja

ABSTRAK
Bali, khususnya Buleleng mempunyai daerah-daerah penghasil tanah liat yang
berpotensi sebagai bahan dasar pembuatan keramik. Namun demikian, keramik
yang dihasilkan memiliki kualitas yang berbeda. Hal ini disebabkan oleh
kandungan tanah liat yang berbeda pada masing-masing daerah. Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui (1) kualitas tanah liat merah (earthenware) sebagai
bahan dasar pembuatan keramik yang berasal dari Desa Tukad Mungga,
Banyuning, dan Sambangan, (2) kualitas hasil campuran antara tanah liat merah
(earthenware) yang berasal dari Desa Banyuning, Tukad Mungga, dan
Sambangan sebagai bahan dasar pembuatan keramik. Populasi penelitian ini
adalah tanah liat merah (earthenware) yang ada di tiga Desa yaitu, Tukad
Mungga, Banyuning, dan Sambangan, sedangkan pengambilan sampel dilakukan
secara random di ketiga Desa tersebut. Metode penelitian ini adalah eksperimen
untuk mengetahui kualitas tanah liat merah (earthenware) sebagai bahan dasar
keramik yang meliputi pengukuran sifat-sifat fisika tanah liat yaitu plastisitas,
susut kering, susut bakar, dan porositas. Data tentang kualitas tanah liat
dikumpulkan dari hasil masing-masing pengukuran dan selanjutnya dianalisis
secara deskriptif dan kuantitatif untuk mengetahui kualitas tanah liat sebagai
bahan dasar keramik. Hasil penelitian menunjukkan (1) tanah liat yang memiliki
urutan kualitas paling baik, baik, dan kurang baik sebagai bahan dasar keramik
adalah tanah liat yang berasal dari Desa Tukad Mungga, Banyuning, dan
Sambangan, (2) komposisi tanah liat terbaik dari campuran ketiga tanah liat
yang berasal dari Banyuning, Tukad Mungga, dan Sambangan adalah komposisi
antara Sambangan 50% dan Tukad Mungga 50%.

Kata kunci: Uji kualitas, tanah liat merah, bahan dasar keramik.

PENDAHULUAN
Keramik merupakan barang yang sangat bermanfaat dalam kehidupan
sehari-hari. Bagi masyarakat, keramik hanya dikenal sebagai benda-benda hias
seperti gerabah, pot, bahan bangunan dan alat-alat rumah tangga. Keramik dapat
diklasifikasikan menjadi keramik tradisional dan keramik modern. Keramik
tradisional meliputi keramik-keramik seperti gerabah, bata, genteng, sedangkan
keramik modern meliputi keramik-keramik yang dibuat dengan fungsi-fungsi
khusus dengan sifat-sifat yang tertentu. Bahan dasar yang digunakan dalam
pembuatan keramik adalah tanah liat.
Tanah liat terbentuk dari mineral-mineral yang disebut kaolinit, yaitu
persenyawaan dari oksida alumina (Al
2
O
3
) dengan oksida silika (SiO
2
) dan air
(H
2
O). Tanah liat dalam ilmu kimia termasuk hidrosilikat alumina yang dalam
keadaan murni mempunyai rumus Al
2
O
3
.2SiO
2
.2H
2
O (Sugihartono, 1999). Untuk
memperoleh keramik dengan sifat-sifat tertentu dan khas diperlukan bahan dasar
(raw material) yang berkualitas. Kandungan atau komposisi mineral dari raw
material sangat menentukan sifat-sifat keramik yang dihasilkan. Selain itu,
proses pembuatan keramik atau tahapan pembuatan keramik juga merupakan

PKMI-5-13-2
faktor penentu kualitas keramik yang dihasilkan. Beberapa daerah di Bali,
khususnya Buleleng mempunyai tanah liat yang dapat dimanfaatkan sebagai
bahan dasar keramik.
Sentra industri keramik yang ada di Buleleng terletak di daerah Tukad
Mungga, Banyuning, dan Sambangan. Hal ini berkaitan dengan dihasilkannya
tanah liat sebagai bahan dasar pembuatan keramik di daerah-daerah tersebut.
Namun demikian, keramik yang dihasilkan mempunyai kualitas yang berbeda
karena kandungan tanah liat pada masing-masing daerah tersebut berbeda.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kualitas tanah liat dari ketiga daerah
sentra industri keramik yang ada di Buleleng yaitu, Desa Tukad Mungga,
Banyuning, dan Sambangan serta perbandingan komposisi tanah liat terbaik
sebagai bahan dasar keramik.

BAHAN DAN METODE
Sampel tanah liat yang digunakan berasal dari Desa Tukad Mungga,
Banyuning, dan Sambangan. Dipilihnya tiga tempat ini karena berkaitan dengan
adanya pengrajin gerabah dan batu bata disekitarnya. Kegiatan penelitian
dilakukan di SMK Negeri 1 Sukasada Kabupaten Buleleng pada tanggal 9
Nopember sampai 22 Desember 2005.
Pengolahan tanah liat dilakukan dengan mengunakan teknik kering yang
terdiri dari beberapa tahap yaitu, penjemuran, penumbukan, penyaringan,
penimbangan, pencampuran, pengulian, dan pemeraman.
Pada tahap penjemuran, bongkahan tanah liat dipecah-pecah hingga
menjadi butiran-butiran yang lebih halus, kemudian dikeringkan dengan cara
menjemur dibawah sinar matahari hingga betul-betul kering. Tanah liat yang
sudah kering ditumbuk sampai halus dengan mortal dan pestle atau alat
penumbuk kemudian digerus. Tanah liat yang sudah halus disaring dengan
menggunakan saringan 80 mesh kemudian ditimbang untuk masing-masing
komposisi tanah liat sebanyak 300 gram.
Tanah liat yang sudah ditimbang dicampur dalam suatu wadah dengan
cara diaduk, kemudian ditambahkan air sebanyak 30-40%. Penambahan air
dilakukan sedikit demi sedikit dan merata sambil diaduk sehingga kandungan air
dalam tanah liat cukup dan siap untuk diuji. Pengulian dilakukan dengan gerakan
diangkat keatas kemudian ditekan ke bawah menggunakan telapak tangan,
kemudian didorong ke depan. Proses ini dilakukan berulang-ulang hingga tanah
liat menjadi homogen dan plastis, kemudian dibentuk menjadi bulatan bola tanah
liat. Bulatan-bulatan bola tanah liat disimpan dalam kantong plastik dan ditutup
rapat selama 7 hari. Dalam proses ini terjadi fermentasi dari unsur-unsur
organik yang dikandungnya sehingga tanah liat menjadi lebih plastis (Saja,
2005).
Tanah liat yang telah diolah kemudian diuji untuk mengetahui sifat
fisikanya. Dalam pengujian tanah liat dilakukan dengan menggunakan teknik
kering yang terdiri dari beberapa tahap yaitu, pengujian plastisitas, susut kering,
susut bakar, dan porositas tanah liat.
Pada tahap pengujian plastisitas, disiapkan tanah liat plastis dari hasil
pemeraman dan dilakukan pengulian hingga menjadi homogen. Masing-masing
formula tanah liat diberikan kode yang berbeda-beda. Dari beberapa formula
tanah liat dibuat beberapa pilinan dengan diameter antara 1-1,5 cm dan panjang
15 cm kemudian pilinan dibengkokkan hingga membentuk simpul. Hasil

PKMI-5-13-3
lengkungan pilinan dari masing-masing formula tanah liat diamati kemudian
diklasifikasikan menurut tingkat plastisitasnya yaitu, sangat plastis, cukup plastis,
kurang plastis, dan tidak plastis. Hal tersebut dapat diamati dari ada tidaknya
keretakan pada puncak lengkungan pilinan tanah liat.
Pada tahap pengujian susut kering tanah liat, mula-mula dilakukan
pengulian masing-masing formula tanah liat yang telah dipersiapkan sehingga
menjadi homogen, kemudian dibuat lempengan tanah liat untuk pengujian
dengan ketebalan 0,5 cm dengan mengunakan slab roller atau rol kayu.
Lempengan tanah liat dipotong menjadi berukuran 6 cm x lebar 2,5 cm dan tebal
0,5 cm sebanyak 15 buah untuk setiap formula tanah liat, kemudian diberikan
kode potongan lempengan tanah liat. Pada permukaan lempengan tanah liat yang
telah dipotong sepanjang 5 cm dibuat goresan garis lurus dan diberi tanda pada
setiap ujungnya dengan garis. Susut kering dihitung dengn menggunakan rumus:
% 100 x
plastis panjang
kering panjang plastis panjang
kering susut

=
(Anonim, 2004)
Lempengan tanah liat (tile) yang sudah diukur susut keringnya dibakar
pada tiga suhu yang berbeda yaitu 600, 900, dan 1000
0
C selama 24 jam,
kemudian goresan garis lurus tanah liat yang ada pada masing-masing lempengan
tanah liat tersebut diukur. Persentase susut bakar dihitung dengan rumus:
% 100 x
kering panjang
bakar panjang kering panjang
bakar susut

=
(Anonim, 2004)
Masing-masing lempengan tanah liat (tile) yang telah dibakar kemudian
ditimbang dengan menggunakan neraca analitik. Lempengan tanah liat (tile) yang
telah ditimbang dimasukkan ke dalam baskom dan direndam dalam air selama 24
jam, kemudian lempengan tanah liat (tile) diambil dan dihapus dengan busa yang
lembab kemudian ditimbang kembali. Porositas masing-masing formula tanah
liat (tile) tersebut dihitung dengan menggunakan rumus:

% 100 x
basah berat
kering berat basah berat
porositas

=
(Anonim, 2004).

HASIL
Hasil pengujian plastisitas, susut kering, susut bakar, dan porositas yang
telah dilakukan terhadap tanah liat yang diambil dari Desa Tukad Mungga,
Banyuning, dan Sambangan disajikan dalam tabel berikut.


Tabel 1. Hasil Pengujian Plastisitas Tanah Liat
SIFAT FISIKA
SUSUT BAKAR (%) POROSITAS (%) LOKASI KODE
PLASTISITAS
SUSUT
KERING (%) 600 900 1000 600 900 1000
TM A Cukup Plastis 5,4 1,47 2,95 7,02 15,0 17,42 11,46
B E Kurang Plastis 8,0 2,59 1,30 10,69 13,27 13,55 9,04
S I Sangat Plastis 7,8 3,26 4,98 14,47 19,07 20,12 11,17



PKMI-5-13-4
Tabel 1. Hasil Pengujian Plastisitas Tanah Liat
SIFAT FISIKA
SUSUT BAKAR (%) POROSITAS (%) LOKASI KODE
PLASTISITAS
SUSUT
KERING (%) 600 900 1000 600 900 1000
TM 75%,
B25%
B Sangat Plastis
7,8 1,31 2,37 6,74 15,77 17,74 13,141
TM 50%,
B50%
C Sangat Plastis
7,0 1,07 2,99 6,67 13,92 15,98 13,11
TM 25%,
B 75%
D Sangat Plastis
17,8 0,49 1,23 6,21 12,65 15,79 11,69
B 75%,
S 25%
F Sangat Plastis
9,0 1,97 2,41 8,81 14,89 16,02 10,20
B 50%,
S 50%
G Sangat Plastis
8,2 2,17 2,62 12,36 15,54 19,26 6,29
B 25%,
S 75%
H Cukup Plastis
8,0 2,38 3,90 15,50 21,95 19,82 7,32
S 75%,
TM 25%
J Sangat Plastis
6,4 1,94 3,62 17,52 17,62 20,25 2,01
S 50%,
TM 50%
K Kurang Plastis
5,6 2,94 4,22 12,26 17,15 17,944 8,22
S 25%,
TM 75%
L Sangat Plastis
7,4 0,43 2,59 10,15 14,93 17,29 7,35
TM 50%,
B 25%,
S 25%
M Sangat Plastis
7,2 0,65 2,78 9,03 15,91 17,52 8,97
TM 25%,
B 50%,
S 25%
N Sangat Plastis
7,0 1,06 2,14 10,22 14,35 16,89 7,18
TM 25%,
B 25%,
S 50%
O Sangat Plastis
9,2 2,00 3,49 12,80 18,14 18,00 7,76

Keterangan :
TM = Tukad Mungga
S = Sambangan
B = Banyuning

PEMBAHASAN
Uji kualitas tanah liat yang dilakukan meliputi uji plastisitas, susut kering,
susut bakar, dan porositas. Pengujian plastisitas tanah liat bertujuan untuk
mengetahui sifat fisik tanah liat. Plastisitas merupakan suatu sifat tanah liat yang
mampu mempertahankan bentuk akhir walaupun proses pembentukan telah
selesai. Plastisitas tanah liat ditentukan oleh kehalusan partikel-partikelnya.
Tanah liat mempunyai permukaan yang luas karena ukurannya yang sangat kecil.
Akibatnya terdapat muatan besar pada permukaan tanah liat sehingga sanggup
mengikat air yang ada di sekelilingnya.
Perbedaan tingkat keplastisan tanah liat tergantung pada jenis tanah liat,
jumlah air yang diperlukan untuk membuat tanah liat kering menjadi plastis,
kehalusan partikel tanah liat, serta kandungan bahan-bahan organik seperti
humus. Pemeraman juga mempengaruhi tingkat plastisitas. Semakin lama proses
pemeraman, semakin baik proses pencampuran yang berlangsung. Enzim-enzim
yang bercampur dengan air plastisitas akan melapisi setiap partikel dan
membantu memudahkan setiap partikel untuk menggelincir saat ditekan.
Dari data yang diperoleh, diketahui bahwa tanah liat yang berasal dari
Sambangan memiliki tingkat keplastisan yang tinggi. Hal ini dipengaruhi oleh
keadaan lingkungan tempat tanah liat tersebut diambil. Di sekitar tempat
pengambilan tanah liat tersebut terdapat banyak pohon-pohonan sehingga
kandungan bahan organik tanah liat tersebut besar.

PKMI-5-13-5
Pada saat tanah liat dikeringkan terjadi penyusutan antara 5% sampai 8%
tergantung pada tingkat plastisitasnya. Penyusutan terjadi karena air bergerak dari
dalam massa tanah liat melalui pori-pori dan selanjutnya menguap ke udara,
kemudian karena daya tarik kapiler, air dari dalam bergerak ke permukaan dan
pada gilirannya akan menguap ke udara. Pada saat lapisan air yang berupa film
menyelimuti partikel tanah liat menguap ke udara, partikel-partikel menjadi
sangat dekat dan akibatnya seluruh massa menyusut. Demikian seterusnya,
proses ini berlangsung secara berulang-ulang sampai air yang menyelimuti
partikel tanah liat sehingga semua partikel saling mendekat dan mengakibatkan
susut massa.
Banyak sedikitnya susut kering tergantung pada ukuran partikel dan
jumlah air yang melapisi partikel tersebut. Untuk tanah liat yang berpartikel halus
dan berpori-pori banyak, susut keringnya akan relatif besar. Sebaliknya, tanah liat
yang berbutir kasar dan berpori-pori sedikit, susut keringnya relatif kecil.
Susut bakar suatu keramik disebabkan karena adanya perubahan sifat
kimia dan fisika secara permanen akibat pembakaran. Dalam setiap suhu
pembakaran terjadi proses yang berbeda-beda yaitu, pada suhu 100-150
O
C semua
air pembentuk telah hilang dan dapat dikatakan proses pengeringan telah selesai.
Pada suhu 350
O
C air kimia dari tanah liat mulai keluar. Pada suhu 500
O
C
terjadi proses dehidrasi sehingga tidak lagi larut dan terurai dalam air. Pada suhu
900
O
C terjadi pembakaran sempurna senyawa karbon, karbonat dan sulfat. Pada
suhu 573
O
C terjadi perubahan bentuk dari alpha ke beta. Dari data dapat dilihat
adanya kecenderungan kenaikan susut bakar dengan adanya kenaikan suhu bakar.
Uji porositas bertujuan untuk mengetahui tingkat penyerapan air suatu
benda uji dari massa tanah liat yang telah dibakar. Di dalam massa tanah liat
plastis terdapat pori atau celah diantara partikelnya. Pori-pori ini berisi air
plastisitas yang sewaktu-waktu dapat keluar masuk tergantung pada udara di
sekelilingnya. Pada suhu pembakaran 600
O
C, pori-pori kosong karena air
plastisitas menguap. Pada saat suhu dinaikkan melebihi 600
O
C, bahan-bahan
feldspatik berfungsi sebagai fluks yaitu bahan yang dapat menurunkan titik
matang tanah liat. Akibatnya bahan-bahan silika mencair dan mulai memasuki
pori-pori yang kosong disertai penyusutan volume. Semakin besar susut massa
tanah liat, semakin sedikit dan kecil ukuran pori-pori. Dengan kata lain, semakin
tinggi suhu bakar, badan tanah liat semakin kuat dan semakin kecil porositasnya.

KESIMPULAN
Berdasarkan hasil pembahasan dan data yang diperoleh, maka dapat
ditarik kesimpulan bahwa urutan tanah liat merah (earthenware) yang memiliki
kualitas paling baik, baik, dan kurang baik sebagai bahan dasar keramik adalah
tanah yang berasal dari Tukad Mungga, Banyuning, dan Sambangan. Komposisi
tanah liat terbaik yang dibuat dari campuran ketiga tanah liat merah
(earthenware) yang berasal dari Desa Sambangan, Tukad Mungga, dan
Banyuning, adalah campuran antara tanah liat Sambangan 50% dan Tukad
Mungga 50%.






PKMI-5-13-6
DAFTAR PUSTAKA
Ambar, Astuti. 1997. Pengetahuan Keramik. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.
Anonim. 2004. Peluang Pengembangan Daya Saing. Yogyakarta: PPPG
Kesenian Yogyakarta.
Razak. 1999. Industri keramik. Jakarta. Balai Pustaka.
Saja, I N. 2005. Proses Pembuatan keramik. Singaraja: SMK Negeri 1 Sukasada.
Sugihartono, et.al. 1999. Pembuatan Keramik. Yogyakarta: PPPG Kesenian
Yogyakarta.

















PKMI-5-14-1
PENINGKATAN POTENSI LIMBAH ORGANIK
DALAM BUDI DAYA Lentinula edodes DAN Pleurotus ostreatus

L Sandhow, TI Octavia, AA Suciptan, DS Kencana, A Fadilini
Fakultas Teknobiologi, Universitas katolik Indonesia Atma Jaya, Jakarta

ABSTRAK
Budi daya jamur di Bionic Farm menggunakan jenis Lentinula edodes dan
Pleurotus ostreatus sebagai jamur konsumsi yang kaya protein. Kedua jenis
jamur ini masing-masing memiliki suhu optimum 24 C dan 25-30 C untuk
pertumbuhan tubuh buah maksimumnya. Faktor lain yang mempengaruhi
pertumbuhan maksimum; antara lain, pH, aerasi, cahaya, dan kelembaban.
Proses budi daya ini dilakukan dengan menggunakan limbah organik serbuk
gergaji sebagai media bibit dan tanamnya. Selain itu, di dalam media juga
ditambahkan nutrisi, seperti gips, kalsium karbonat, dedak, dan air. Sterilisasi
media bibit dan tanam dilakukan selama 1.5 jam pada 121 C dan 1 atm. Tujuan
dari budi daya jamur ini ialah untuk meningkatkan potensi penggunaan dari
limbah organik dengan menggunakannya sebagai media bibit dan tanam
sehingga menghasilkan suatu produk yang lebih menguntungkan. Pada akhirnya,
limbah organik seperti serbuk gergaji dapat dikurangi.

Kata kunci: bionic farm, jamur, L. edodes, P. ostreatus, dan serbuk gergaji.

PENDAHULUAN
Salah satu daya tarik cendawan dalam kehidupan ini ialah kemampuannya
untuk memenuhi kebutuhan pangan manusia. Dalam pangan, cendawan dapat
dimanfaatkan untuk menghasilkan produk pangan yang baru. Rhizopus
oligosporus yang melakukan fermentasi pada kacang kedelai dapat menghasilkan
tempe sebagai produk pangan. Sementara itu, tubuh buah jamur cendawan yang
berukuran makroskopis dikonsumsi langsung. Cendawan dalam ukuran
makroskopi dan dapat digenggam dengan tangan ini, selanjutnya disebut sebagai
jamur (Gunawan 1999).
Beberapa jamur konsumsi yang diminati tergolong jamur kayu. Sebutan
ini muncul karena jamur tersebut memiliki substrat pertumbuhan berupa kayu.
Jamur konsumsi telah banyak diminati oleh masyarakat karena kandungan gizinya
yang cukup tinggi dan beragam, rasanya yang enak, dan tekstur yang kenyal
(Chang & Miles 1989). Kandungan gizi protein kasar jamur ialah sebanyak 19-
35% dari bobot kering dan asam lemak tidak jenuh tinggi. Selain itu, jamur juga
mengandung tiamin (vitamin B1), riboflavin (vitamin B2), niasin, biotin, dan
asam askorbat (Gunawan 1997). Keunggulan jamur sebagai bahan pangan inilah
yang memberikan ketenaran sebagai bahan pangan bergizi sehingga
memunculkan suatu minat pasar.
Meningkatnya minat pasar akan jamur konsumsi mendorong terbentuknya
upaya budi daya jamur konsumsi. Terdapat lima spesies jamur konsumsi yang
telah dibudidayakan hingga taraf industri, yaitu jamur kancing (Agaricus
bisporus), jamur kuping (Auricularia auricula), jamur shiitake (Lentinula
edodes), jamur tiram putih (Pleurotus ostreatus), dan jamur merang (Volvariella
volvacea) (Chang 1993). Dua jenis jamur kayu yang telah dibudidayakan di

PKMI-5-14-2
Bionic Farm ialah L. edodes (Gambar 1) dan P. ostreatus (Gambar 2). Kedua
jenis jamur ini mengalami peningkatan dunia secara global hingga 64.4% dan
42.6% pada tahun 1989-1991 (Chang 1993). Kini L. edodes dan P.ostreatus tetap
memiliki kepopuleran sebagai jamur konsumsi dan terus diproduksi dalam budi
daya jamur Bionic Farm.










Gambar 1 Jamur Pleurotus ostreatus (Sutikno 1996).









Gambar 2 Jamur Lentinula edodes (Adiyuwono 1999).

Sebagai salah satu jamur konsumsi, L. edodes telah diproduksi dalam skala
dunia dan menempati urutan kedua setelah A. bisporus. Minat pasar yang amat
tinggi disebabkan L. edodes mengandung berbagai enzim yang dapat menurunkan
kadar kolesterol; vitamin D2 untuk membangun tulang dan memperkuat janin;
vitamin B12 untuk asimilasi asam amino sehingga efektif melawan penyakit
diabetes dan anemia; vitamin B1 untuk membantu metabolisme karbohidrat; dan
eritadenin sebagai penstimulir kemampuan pankreas untuk menyembuhkan
penyakit diabetes (Suriawiria 1997). Lebih lanjut, shiitake juga telah diproduksi
menjadi berbagai produk seperti bumbu, kecap, atau teh. Dengan demikian, budi
daya shiitake dapat menghasilkan produk-produk baru di samping produksi jamur
shiitake untuk konsumsi saja.
P. ostreatus juga tidak kalah populernya dibandingkan dengan L. edodes.
Jumlah produksi P. ostreatus dalam skala dunia menempati urutan kelima setelah
A. bisporus, A. bitorquis, L. edodes, dan V. volvacea (Gunawan 1999). Selain

PKMI-5-14-3
tingginya minat pasar akan P. ostreatus, budi daya jamur ini mudah dilakukan
sehingga upaya pemenuhan minat pasar dapat dilakukan secara optimal.
Di samping kandungan gizi dan cita rasanya yang nikmat, faktor
pendorong budi daya jamur yang lain ialah keuntungan yang dapat diperoleh.
Untuk shiitake, sebuah perusahaan budi daya jamur dapat memperoleh
keuntungan hingga 3.6 milyar per tahun pada tahun 1997 (Dadang 1997).
Keuntungan ini diperoleh dengan harga jual Rp15 000.00/kg. Saat ini, Bionic
Farm memiliki harga jual sebesar Rp45 000.00/kg shiitake. Dengan demikian,
keuntungan yang diperoleh dapat bertambah sangat besar. Keadaan ini tentunya
harus dipertahankan dengan menjaga kualitas jamur produksi dan penekanan
biaya produksi.

BAHAN DAN METODE
Media Bibit dan Pembibitan
Untuk membuat media bibit L. edodes dan P. osteratus digunakan serbuk
gergaji, dedak, dan kapur. Ketiga bahan tersebut dicampur rata lalu dimasukkan
ke dalam botol. Sebaiknya serbuk gergaji yang digunakan telah mengalami proses
pengomposan. Pada tahap akhir, botolnya disterilisasi dengan autoklaf selama 1.5
jam pada suhu 121 C dan tekanan 1 atm. Setelah proses sterilisasi media usai
maka bibit L. edodes dan P. osteratus diinokulasikan ke dalam media bibit secara
aseptik.

Media Tanam dan Penanaman
Media tanam L. edodes dan P. osteratus menggunakan serbuk gergaji
sebanyak 1305 g yang dicampur dengan 150 g dedak, 22.5 g gips, 22.5 g CaCO
3
,
dan air secukupnya hingga semua bahan ini dapat tercampur secara merata dan
padat. Campuran ini perlu diaduk hingga diperoleh campuran yang apabila
digenggam tetap menggumpal serta tidak ada air yang menetes. Campuran yang
telah memadat ini kemudian dimasukkan ke dalam wadah plastik menjadi bag log
dan ditutup dengan potongan pipa pralon. Untuk memudahkan inokulasi bibit ke
dalam bag log maka di bagian tengah pipa pralon ditempatkan tip yang
diselubungi dengan kapas. Setelah itu, bag log ini ditutup dengan kertas dan diikat
dengan karet untuk disterilisasi dengan autoklaf. Inokulasi bibit dari media bibit
ke media tanam ini dilakukan setelah sterilisasi selesai dengan menggunakan
teknik aseptik.

Penempatan dan Pemeliharaan Media Tanam
Media tanam yang telah diinokulasi bibit ditempatkan pada rak-rak di
rumah jamur. Untuk pemeliharaannya dilakukan penyiraman setiap hari hingga
terbentuk tubuh buah.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil produksi tubuh buah L. edodes pada budi daya jamur Bionic Farm
rata-rata ialah 2 ton per bulan. Pada setiap bulannya, perusahaan ini membuat
sekitar 28 000 bag log dengan biaya pembuatan satu bag log adalah Rp1 500.00.
Tubuh buah L. edodes ini dijual ke pasaran seharga Rp37 500.00/kg. Komoditas
kedua, yaitu P. ostreatus, hasil produksinya sebesar 1 ton per bulan. Pada setiap
bulannya, perusahaan ini mampu membuat sekitar 28 000 bag log dengan biaya

PKMI-5-14-4
pembuatan satu bag log sebesar Rp1 500.00. Tubuh buah P. ostreatus ini dijual ke
pasaran seharga Rp10 000.00/kg.
Berdasarkan pengamatan akan proses produksi Bionic Farm, diketahui
bahwa bahan dasar dalam budi daya jamur ialah serbuk gergaji. Serbuk gergaji
hanyalah merupakan sisa dari penggergajian kayu yang tidak memiliki nilai apa
pun. Nilai yang dimaksud adalah tidak adanya kemampuan serbuk gergaji untuk
menghasilkan produk yang bermanfaat secara langsung. Serbuk gergaji ini
biasanya dapat digunakan sebagai media bibit dan media tanam L. edodes dan P.
ostreatus (Gambar 3 dan 4).










Gambar 3 Media tanam L. edodes. Gambar 4 Media tanam P. osteratus.

Media bibit merupakan media untuk menyimpan bibit jamur budi daya
yang umumnya mempergunakan serbuk gergaji dan sorgum sebagai bahan dasar.
Sebagai wadah penyimpanannya, dapat dipergunakan botol ataupun plastik.
Namun, penggunaan botol akan mengurangi risiko terjadinya kontaminasi
dibandingkan penggunaan plastik. Hal ini didasarkan karena plastik mudah
sekali sobek dan memungkinkan terjadinya kontaminasi bakteri ataupun
cendawan penganggu lainnya.
Selain media bibit, media tanam juga diperlukan dalam menumbuhkan
jamur. Media tanam ini dapat menggunakan serbuk gergaji maupun bahan
lainnya. Bahan lain ini dapat berupa gelondongan kayu maupun kombinasi antara
kompos serbuk gergaji dan kompos tongkol jagung (Chang & Miles 1989).
Penggunaan gelondongan kayu sebagai media pertumbuhan jarang digunakan
karena harganya relatif mahal dan juga gelondongan ini dapat dibuat suatu produk
meubel yang memiliki nilai jual yang lebih tinggi.
Kombinasi antara kompos serbuk gergaji dan kompos tongkol jagung akan
meningkat pertumbuhan tubuh buah yang lebih banyak dibandingkan penggunaan
serbuk gergaji atau tongkol jagung saja ( Kartika et al. 1995). Hal ini dapat terjadi
karena kombinasi kedua bahan ini menghasilkan suatu media campuran dengan
tekstur yang lebih baik. Dengan demikian, miselium jamur dapat lebih mudah
masuk di antara partikel substrat media dan menyerap nutrisi dari kompos
tersebut.
Penggunaan serbuk gergaji dan tongkol jagung sebagai media
pertumbuhan jamur menunjukkan bahwa limbah organik yang tidak memiliki
nilai dapat dimanfaatkan untuk menghasilkan suatu produk pangan yang bergizi
dengan kadar protein yang relatif tinggi. Pemanfaatan serbuk gergaji dan tongkol
jagung sebagai media budi daya jamur tentunya memberikan suatu solusi terhadap
masalah limbah organik yang menumpuk.

PKMI-5-14-5
Disamping penggunaan serbuk gergaji dan tongkol jagung, alang-alang
dapat pula dipergunakan sebagai media budi daya P. ostreatus (Sutikno 1996).
Dengan demikian, penggunaan media alang-alang dapat mereduksi masalah
pertumbuhan alang-alang yang relatif cepat. Penggunaan media dengan bahan
dasar alang-alang ini dipergunakan dengan menggunakan campuran dihidrogen
fosfat, magnesium sulfat, kapur, besi sulfat, dan tepung kedelai. Sebagai
pengganti tepung kedelai dapat pula dipergunakan dedak, gips, kapur, dan pupuk
TS. Komposisi pengganti ini serupa dengan campuran media tanam untuk L.
edodes dan P. osteratus yang dibudidayakan oleh Bionic Farm; hanya saja tidak
dipergunakan pupuk TS dalam media budi dayanya.
Untuk mencegah terjadinya kontaminasi bakteri ataupun cendawan
pengganggu lainnya, perlu dilakukan proses sterilisasi terhadap media tanam
maupun media bibit. Bionic Farm memiliki alat sterilisasi skala besar yang dapat
menampung 7 000 bag log. Dengan sterilisasi skala besar ini, akan meningkatkan
efisiensi produksi dari media bibit dan media tanam (Gambar 5).




Gambar 5 Alat sterilisasi media tanam di Bionic Farm, kapasitas 7000 bag
log ukuran 120 g.

Budi daya jamur memang memiliki bahan dasar yang relatif murah.
Namun, untuk memaksimalkan fungsi bahan dasar sehingga mampu menunjang
pertumbuhan jamur dibutuhkan pula kondisi lingkungan yang optimum bagi
pertumbuhan jamur budi daya. Kondisi lingkungan yang utama adalah suhu, pH,
aerasi, cahaya, dan kelembaban.
Suhu yang dibutuhkan L. edodes pada masa inkubasi berkisar antara 5-35
C dengan suhu optimumnya 24 C dan untuk pertumbuhan tubuh buahnya
dibutuhkan suhu optimum yang lebih rendah. Sementara itu, P. ostreatus
memiliki kisaran suhu sebesar 7-37 C saat masa inkubasi berlangsung dan suhu
25-30 C saat pertumbuhan tubuh buahnya (Gunawan 1999). Pertumbuhan
miselium P. osteratus yang optimum adalah sebesar 30 C (Zadrazil 1978). Akan
tetapi, bila suhu yang dipergunakan pada pertumbuhan tubuh buah adalah 30 C
maka akan terjadi penghambatan dari pertumbuhan tubuh buah (Kartika et al.
1995).

PKMI-5-14-6
Pada suhu tinggi, risiko terjadinya kontaminasi oleh T. harzianum lebih
besar. Interaksi antara miselium L. edodes dan T. harzianum ditandai oleh
penghambatan pertumbuhan L. edodes dan tertutupnya miselium L. edodes oleh
misellium T. harzianum (Nurhasanah et al. 1994). Adanya kontaminasi T.
harzianum akan menyebabkan lisis, yaitu kosongnya miselium L. edodes karena
proses antibiosis. Kondisi lain yang dapat terjadi ketika L. edodes terkontaminasi
T. harzianum ialah melilitnya miselium T. harzianum pada miselium L. edodes
yang dapat merusak dinding sel L. edodes (Dennis & Webster 1971).
Berkaitan dengan pH, pengaruhnya bagi pertumbuhan jamur didasarkan
pada ketersediaan ion logam tertentu, permeabilitas membran sel, produksi CO
2
atau NH
3
, dan asam organik. Untuk P. osteratus dibutuhkan pH berkisar antara
5.4-6.0 bagi pertumbuhan miseliumnya. Sementara itu, untuk pertumbuhan L.
edodes dibutuhkan kisaran pH 4.7-4.8 saat masa inkubasi.
Aerasi juga merupakan faktor lingkungan yang berkaitan bagi
pertumbuhan jamur budi daya. Aerasi dapat dilakukan dengan membuka sumbat
atau pun melepaskan bungkus plastik sebagian atau seluruhnya. Kondisi yang
berkaitan dengan aerasi ini akan mempengaruhi kadar O
2
dan CO
2
yang
dibutuhkan jamur budi daya untuk tumbuh. Kadar CO
2
yang terlalu tinggi pada
saat pembentukan tubuh buah akan menyebabkan cacatnya tubuh buah. Hal ini
tentunya akan mempengaruhi pendapatan produsen budi daya jamur tersebut.
Bagi produsen yang ingin mendapatkan jumlah tubuh buah yang banyak dalam
waktu yang singkat maka dapat dilakukan proses pelepasan plastik seluruhnya.
Akan tetapi, apabila produsen ingin mendapatkan tubuh buah dalam jangka waktu
yang relatif lama maka bungkus plastik hanya dibuka sebagian saja. Hal ini
berguna agar bag log dapat digunakan kembali bagi pembentukan tubuh buah.
Untuk mendukung pertumbuhan tubuh buah dari L. edodes (Gambar 6)
dan P. osteratus (Gambar 7) juga dibutuhkan cahaya dalam intensitas tertentu.
Pada saat masa inkubasi, pertumbuhan miselium L. edodes membutuhkan
intensitas cahaya kurang dari 60%. Masa inkubasi ini berlangsung selama 2 bulan
dan untuk menjaga intensitas cahaya maka dipergunakan tirai hitam pada budi
daya jamur di Bionic Farm. Namun, untuk merangsang pertumbuhan tubuh buah
atau primodium diperlukan intesitas cahaya sebesar 80% sehingga tirai yang
dipergunakan oleh Bionic Farm diganti dengan menggunakan tirai berwarna
hijau. Penggunaan dua tirai yang berbeda warna ini bertujuan untuk
memungkinkan penyimpanan media tanam L. edodes dan P. osteratus hanya pada
satu rumah jamur saja.



.



Gambar 6 Pertumbuhan tubuh buah Gambar 7 Pertumbuhan tubuh buah
L. edodes. P. osteratus.

PKMI-5-14-7
Faktor lingkungan terakhir yang perlu diperhatikan adalah kelembaban.
Umumnya, jamur memang membutuhkan kelembaban sebesar sekitar 95% untuk
menunjang pertumbuhannya (Gunawan 1999).
Penempatan media tanam saat inkubasi ataupun saat pertumbuhan tubuh
buah yang dilakukan pada satu rumah akan mengurangi risiko terjadinya
kontaminasi. Hal ini disebabkan karena media tanam yang telah diinokulasi bibit
jamur tidak mengalami perpindahan rumah untuk memulai pertumbuhan tubuh
buah setelah masa inkubasi selesai. Akan tetapi, dikarenakan rumah jamur
dipergunakan untuk masa inkubasi sekaligus masa pertumbuhan maka kondisi
rumah jamur haruslah dijaga agar tetap bersih dan terhindar dari berbagai kotoran
seperti sampah ataupun sarang laba-laba.
Usaha budi daya jamur di Bionic Farm memang mempergunakan limbah
organik berupa serbuk gergaji sebagai media tanamnya (Gambar 4). Media tanam
untuk L. edodes dapat dipergunakan untuk 3 kali masa panen dan selama 2
minggu untuk setiap masa panen perlu diberikan waktu dormansi bagi media
tanam tersebut. Jadi, setelah masa dormansi usai maka media tanam L. edodes
telah siap dipergunakan untuk menghasilkan tubuh buah L. edodes yang baru.
Untuk mencegah terjadinya kontaminasi pada saat panen dilakukan maka
tubuh buah dari L. edodes harus terangkat semua dari media tanam sehingga tidak
ada bagian dari tubuh buah yang tertinggal pada media tanam. Apabila masih
terdapat tubuh buah yang tertinggal maka bagian tersebut harus diangkat, tidak
dipotong secara sembarangan karena akan menyisakan sebagian dari tubuh buah
pada media tanam.
Budi daya tubuh buah P. osteratus memiliki beberapa keuntungan
dibandingkan dengan L. edodes. Hal ini dapat dilihat dari penggunaan media
tanam untuk beberapa kali masa panen selama masih terdapat kandungan nutrisi
pada media tanam. Selain itu, P. osteratus juga memiliki daya tumbuh yang relatif
cepat dibandingkan dengan L. edodes.
Setelah kandungan nutrisi dari media tanam P. osteratus dan L. edodes
telah habis maka sisa media dapat dimanfaatkan untuk menghasilkan suatu produk
yang bermanfaat, yaitu pupuk kompos. Di Bionic Farm, sisa-sisa media tanam P.
osteratus dan L. edodes ditumpuk pada satu tempat dan dibiarkan hingga terjadi
pengomposan secara alami. Tujuan dari pengomposan ini ialah dihasilkannya
suatu pupuk organik yang dapat dipergunakan untuk menunjang pertanian
organik. Hal ini didasarkan karena bahan dasar dari pupuk ini adalah limbah
organik; yaitu serbuk gergaji. Hanya saja, proses pengomposan yang dilakukan
tidak efektif karena hanya didasarkan pada waktu saja; sementara telah terdapat
suatu produk yang dapat mempercepat terjadinya pengomposan.
Produk yang membantu pengomposan ini merupakan formula dari T.
pseudokoningii dan Cryptophaga sp. yang dihasilkan oleh Balai Penelitian
Bioteknologi Perkebunan Indonesia (BPBPI). Kedua mikrob ini memiliki
kemampuan untuk menurunkan nisbah C/N secara cepat dan mensintesis enzim
pelapuk lignin serta selulosa secara bersamaan. Dengan demikian, penggunaan
produk ini tentunya dapat mempercepat proses pengomposan sisa media tanam.





PKMI-5-14-8

KESIMPULAN
Budi daya L. edodes dan P. osteratus merupakan suatu upaya pemenuhan
permintaan konsumen akan jamur konsumsi. Selain pemenuhan permintaan pasar,
budi daya jamur ini memiliki arti lebih bagi penanganan masalah lingkungan
khususnya. Hal ini disebabkan karena budi daya L. edodes dan P. osteratus
memberikan peluang untuk pemanfaatan limbah-limbah organik yang merupakan
sisa-sisa industri sehingga limbah-limbah organik tersebut dapat dimanfaatkan
untuk menghasilkan suatu produk pangan yang bergizi dan berprotein tinggi.
Produk pangan yang dimaksud adalah jamur konsumsi seperti L. edodes dan P.
osteratus itu sendiri.
Dalam budi daya L. edodes dan P. osteratus, perlu diperhatikan berbagai
faktor lingkungan yang mempengaruhi pertumbuhan jamur budi daya. Faktor
lingkungan tersebut ialah suhu, pH, aerasi, cahaya, dan kelembaban. Hal ini
dimaksudkan untuk memaksimalkan pertumbuhan dari jamur yang
dibudidayakan. Pada akhirnya, sisa media tanam dari L. edodes dan P. osteratus
dapat dimanfaatkan kembali melalui proses pengomposan untuk menghasilkan
pupuk kompos bagi pertanian organik. Untuk itu perlu adanya suatu usaha
maksimal dalam pengomposan sisa media tanam; misalnya, dengan menggunakan
T. pseudokoningii dan Crypthopaga sp.

DAFTAR PUSTAKA
Adiyuwono NS. Agustus 1999. Apa yang Diingikan oleh Jamur Shiitake. Trubus:
86-88.
Chang ST, Miles PG. 1989. Edible Mushrooms and Their Cultivation. Boca
Raton, Florida : CRC Press, Inc.
Chang ST. 1993. Mushroom biology :the impact on mushroom production and
mushroom product. Di dalam: S.T. Chang, J.A. Buswell & S.W. chin,
editor. Proceedings of the First Internasional Conference : Hongkong, 23-
28 August 1993. Hongkong : The chiense University Press. hlm 3-20.
Dadang WI. 1 Februari 1997. Lima Belas Juta per Hari dari Shiitake. Trubus: 6-9.
Dennis C, Webster J. 1971. Antagonistic properties of species groups of
Trichoderma. III. Hypal Interaction. Trans Br. Mycol. Soc. 57(3):363-369.
Gunawan AW. 1993. Tiga metode aerasi pada budidaya jamur tiram putih. J
Mikrobiol Indones 2(2):10-13.
Gunawan AW. 1997. Status penelitian biologi dan budi daya jamur di Indonesia
[ulasan]. Hayati 4(3):80-84.
Gunawan AW. 1999. Usaha Pembibitan Jamur. Bogor : Penebar Swadaya.
Kartika L, Pudyastuti Y MPD, Gunawan AW. 1995. Campuran serbuk gergaji
kayu sengon dan tongkol jagung sebagai media untuk budi daya jamur
tiram putih. Hayati 2(1): 23-27.
Nurhasanah S, Rahayu G, Gunawan AW. 1994. Pengaruh suhu inkubasi tehadap
interaksi antara Lentinus edodes dan Trichoderma harzianum. Hayati 1(1)
: 5-9.
Suriawiria HU. 1 Februari 1997. Khasiat Ajaib Jamur dari HIV sampai sup 1000
Selir. Trubus: 10-13.

PKMI-5-14-9
Suryaningrat M, Zuwendra R, Atmawidjaja, Manan S. 1989. Potensi dan
Pemanfaatan Limbah Kayu. Di dalam : F.G. Suratmo, I. Soerianegara,
C.G. Sarajar, dan S.Ruhendi; editor. Pemanfaatan Limbah Kayu. Bogor :
Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. hlm. 39-45.
Sutikno AI. 1 April 1996. Alang-alang Media Jamur Tiram. Trubus : 89-90.
Zadrazil F. 1978. Cultivation of Pleurotus. Di dalam:S.T Chang dan W.A Hayes,
editor. The Biology and Cultivation of Edible Mushrooms. New
York:Academic Press. hlm 521-556.
PKMI-5-15-1
GELADI SEBAGAI ASSET SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI TELKOM
(STT TELKOM) UNTUK MENINGKATKAN KEAHLIAN
MAHASISWANYA

July Five, Amanda Intan R. W.
Jurusan Teknik Elektro, Sekolah Tinggi Teknologi Telkom, Bandung

ABSTRAK
Sejalan dengan program Departemen Pendidikan Nasional yang dikenal dengan
keterkaitan dan kesepadanan (Link and Match), maka menjadi tekad seluruh
civitas akademika STT Telkom untuk terus mengembangkan dan meningkatkan
mutu pendidikan agar mampu mengimbangi laju perubahan. Melihat
perkembangan era globalisasi dan informasi yang demikian pesat,
mempengaruhi ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) di masa mendatang.
Seperti halnya, dalam pelaksanaan sistem pendidikan di STT Telkom, para
mahasiswa tidak hanya dituntut untuk memiliki ilmu pengetahuan di bidang
teknologi dan informasi semata, namun lebih penting lagi para mahasiswa yang
telah selesai mengikuti pendidikan, juga akan memiliki keterampilan serta
kemampuan untuk menerapkan ilmu yang dimilikinya, yang akan diterapkan
dalam setiap pelaksanaan tugas di lapangan. Sejak berdiri pada tahun 1990, STT
Telkom mulai melaksanakan program praktek kerja yang disebut geladi, yang
diikuti oleh para mahasiswa yang sudah mengikuti program pendidikan paling
sedikit 2 semester, program ini dilaksanakan di PT. Telkom. Melalui program ini
setiap mahasiswa berkesempatan untuk dapat memahami serta menghayati
pekerjaan di lapangan. Apabila mereka menemukan hal-hal yang belum jelas
atau kurang dimengerti, hal ini dapat dibahas bersama para dosen pembimbing
atau pembimbing di lapangan. Saat mengikuti program ini, penulis sedang
ditempatkan pada kantor daerah Telkom Jakarta Barat, pada subdinas Transmisi
Akses Pelanggan (TRANSELANG), dimana saat itu sedang melaksanakan proyek
pembangunan ONU di daerah Tanjung Duren. Pembangunan ONU dilaksanakan
dalam rangka pengembangan jaringan akses bagi pelanggan PT Telkom,
subdinas ini juga bertugas untuk menangani berbagai macam gangguan yang
terjadi pada jaringan transmisi akses pelanggan, dan dilakukan secara rutin atau
teratur. Pengecekan gangguan dilakukan mulai dari MDF sampai ke ONU atau
RK, pengecekan gangguan tidak sampai ke pelanggan, karena tugas tersebut
dilaksanakan oleh subdinas Pelayanan Gangguan (YANGAN).

Kata kunci: transeslang, geladi, praktek kerja.

PENDAHULUAN
Secara sempit pengertian geladi adalah suatu latihan dengan menggunakan
metode pendekatan laboratori. program ini dilaksanakan di PT. Telkom. Saat
mengikuti program ini, penulis sedang ditempatkan pada kantor daerah Telkom
Jakarta Barat, pada subdinas Transmisi Akses Pelanggan (TRANSELANG),
dimana saat itu sedang melaksanakan proyek pembangunan ONU di daerah
Tanjung Duren. Pembangunan ONU dilaksanakan dalam rangka pengembangan
jaringan akses bagi pelanggan PT Telkom, subdinas ini juga bertugas untuk
menangani berbagai macam gangguan yang terjadi pada jaringan transmisi akses
pelanggan, dan dilakukan secara rutin atau teratur. Pengecekan gangguan
PKMI-5-15-2
dilakukan mulai dari MDF sampai ke ONU atau RK. Proses pengecekan
gangguan dimulai setelah mendapatkan Work Order, Kemudian dilakukan
pengecekan di MDF, jika ternyata gangguan bukan pada MDF maka pengecekan
dilakukan di ONU atau RK. Pengecekan di ONU atau RK ini biasanya juga
dimonitor dari MDF.
Adapun maksud dari palaksanaan geladi yaitu agar mahasiswa dapat
mempraktekkan pengetahuannya di lapangan juga dapat menimba pengalaman
kerja dari para pegawai tempat geladi baik teknis maupun non teknis. Sementara
maksud umum pelaksanaan geladi ini dapat dijabarkan bagi kemanfaatan dua
pihak, yaitu pihak penyelenggara geladi ( dalam hal ini STT Telkom ) dan pihak
institusi atau perusahaan penerima mahasiswa geladi.
1. Bagi STT Telkom
a. Untuk membantu menberikan pembekalan pengetahuan dan keterampilan
kepada setiap mahasiswa tentang kondisi yang terdapat di lapangan atau
secara nyata.
b. Dapat lebih membuka wawasan bagi para mahasiswa untuk mendapatkan
pengetahuan melalui praktek di lapangan.
c. Sebagai perwujudan program keterkaitan dan kesepadanan antara dunia
pendidikan dan dunia industri.
2. Bagi Institusi penerima mahasiswa geladi.
a. Dapat saling tukar menukar informasi dibidang teknologi antara lembaga
sebagai pengguna teknologi dengan perkembangan pengetahuan yang
terjadi di lembaga perguruan tinggi.
b. Sebagai upaya alih generasi dibidang teknologi telekomunikasi.
c. Peserta geladi dapat dimanfaatkan untuk melaksanakan pekerjaan-
pekerjaan.
d. Menilai kemampuan yang dimiliki oleh mahasiswa peserta geladi.

Dalam kegiatan kurikuler di STT Telkom, Geladi merupakan suatu kegiatan yang
harus ditempuh oleh mahasiswa dari semua jurusan, baik untuk program S1
maupun D3.

Tujuan dilakukannya geladi tersebut adalah :
1. Untuk memberikan pengalaman praktek kerja secara langsung serta menggali
berbagai masalah / pekerjaan yang timbul di lapangan.
2. Untuk meningkatkan keterampilan dan wawasan baik secara teknis maupun
hubungan kemanusiaan.
3. Untuk membentuk perilaku positif bagi para mahasiswa peserta geladi melelui
penyesuaian diri dengan lingkungan kerja tempat geladi.
4. Untuk memupuk rasa kebersamaan tim secara baik, terutama dalam
mensukseskan suatu program kerja.
5. Untuk mengukur kemampuan masing-masing peserta, setelah yang
bersangkutan berhadapan dengan berbagai masalah dilapangan.

Dengan berbekalkan pengalaman latihan kerja di lapangan diharapkan para
mahasiswa dapat mengetahui masalah-masalah dari tingkat dasar sampai dengan
tingkat yang lebih tinggi yang ada di lapangan serta dapat merasakan bagaimana
berinteraksi nyata dengan sesama karyawan dalam pekerjaan.
PKMI-5-15-3
Program geladi bagi mahasiswa STT Telkom, merupakan suatu kewajiban
yang harus dijalani oleh setiap mahasiswa. Sehingga untuk geladi ini, dimasukkan
sebagai satu mata kuliah wajib untuk semua jurusan dengan bobot 2 SKS.

Tujuan khusus yang diharapkan dari kegiatan geladi antara lain :
1. Agar mahasiswa mempunyai pengalaman praktek sesuai dengan program
studinya masing-masing
2. Mahasiswa mempunyai gambaran nyata mengenai lingkungan kerjanya, mulai
dari tingkat bawah sampai dengan tingkat yang lebih tinggi.
3. Mahasiswa dapat mengisi masa liburan antar semester dengan sesuatu yang
berguna dan menunjang keahliannya.
4. Kehadiran mahasiswa peserta geladi, diharapkan dapat memberikan manfaat
dan wawasan baru bagi dirinya serta tempat kerja praktek.

MEODE PENDEKATAN
Geladi dilaksanakan selama 30 hari kerja, kurang lebih selama satu
setengah bulan, selama libur semester genap. Geladi dilaksanakan di PT. Telkom,
terutama pada daerah-daerah divisi regionalnya. Sebagian besar wilayah pulau
Jawa, serta kota Medan dan Makassar.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Bidang Kerja
Adapun bidang kerja pada PT. Telkom yang tersedia bagi peserta geladi
adalah sebagai berikut:

1. Subdinas Pelayanan Gangguan (YANGAN)
Subdinas pelayanan gangguan (YANGAN) merupakan bagian dari
Jaringan dimana jaringan sendiri merupakan sub dari bidang switching Telkom.
Tugas dari subdinas ini adalah menangani pelayanan gangguan khusus fixed
phone (telepon rumah) yang merupakan produk tertua Telkom.
Gangguan merupakan suatu ketidaknormalan atau ketidaksesuaian dengan
ketentuan teknis yang telah ditetapkan yang terjadi pada jaringan kabel atau
saluran yang membawa dampak menurunnya mutu hubungan atau putusnya
hubungan sama sekali.

2. Subdinas Pemeliharaan Jaringan (PEMELJAR)
Subdin PEMELJAR merupakan subdinas yang mengatur tentang
pemeliharaan jaringan telekomunikasi yang diselenggarakan ole PT. Telkom
terutama perangkat-perangkat jaringan. Pemeliharaan jaringan yang dilakukan
adalah berupa pemeliharaan jaringan kabel lokal yang menggunakan media
tembaga.

Pemeliharaan yang dilakukan adalah sebagai berikut:
1. pemeliharaan ruas Rangka Pembagi Utama (RPU)
2. pemeliharaan ruas primer / duct / manhole
3. pemeliharaan ruas Rumah Kabel (RK)
4. pemeliharaan ruas sekunder
5. pemeliharaan ruas Kotak Pembagi (KP)
6. pemeliharaan ruas Saluran Penanggal (SP)
PKMI-5-15-4
7. pemeliharaan ruas Instalasi Rumah (IR)
8. pemeliharaan ruas Terminal.

3. Subdinas Administrasi dan Validasi Jaringan (ADVALJAR)
Subdin ADVALJAR merupakan salah satu subdin dari Dinas Jaringan.
Subdin ini memiliki jobdesk yaitu mencatat seluruh aset data jaringan yang akan
didokumentasikan ke dalam SISKA dan GIS (sebagai bank data PT. Telkom).
SISKA (Sistem Informasi Kastamer) merupakan software yang terintegrasi dan
menjadi referensi utama di PT. TELKOM. Data yang diinputkan ke SISKA adalah
data teknik (data MDF, RK, DP, billing, dsb). Sedangkan GIS (Geographycal
Information System) meliputi alamat pelanggan (nama jalan, nomor rumah,
RT/RW/Desa), lokasi RK, DP, map jaringan yang divisualisasikan dalam gambar.
SISKA dan GIS merupakan alat bantu yang saling terkait satu dengan yang
lainnya, tetapi mempunyai fungsi masing masing dengan rujukan kondisi riil
yang ada di lapangan.
Pada Subdin ADVALJAR terdapat tiga seksi, yaitu Seksi Entry Data,
bagian ini menangani masalah data teknis, meliputi penambahan data, perubahan
data, dan penghapusan data. Bagian Entry Data juga melayani permintaan pasang
baru (PSB), blokir PSB (baik Un maupun Si). Seksi lain yaitu seksi Advaldatajar,
dan Seksi Area DP & GIS.



Gb. 1. Alur Input Data

4. Subdinas Customer Corporate Access Network (CCAN)
Divisi yang berada di Telkom salah satunya adalah divisi jaringan. CCAN
merupakan subbidang dari divisi jaringan yang melayani jasa telekomunikaasi
kepada masyarakat atau pelanggan yang meminta pelayanan telekomunikasi
dalam jumlah yang besar seperti perusahaan-perusahaan, bank dan beberapa
instansi-instansi tertentu yang membutuhkan.

5. Subdinas Transmisi Akses Pelanggan (TRANSESLANG)
Subdinas TRANSESLANG melakukan pengembangan jaringan akses ke
pelanggan. Subdinas ini melakukan segala kegiatan pembangunan jaringan baru,
misal pembangunan ONU, pembangunan MDF pada suatu gedung, pembangunan
BTS untuk keperluan jaringan akses radio, pengembangan jaringan akses fiber
optik serta pengembangan jaringan akses tembaga. Terkadang subdinas ini juga
menangani gangguan jaringan baik akses tembaga, radio maupun fiber optik.

Pelaksanaan Geladi
Setiap mahasiswa peserta geladi, akan dikelompokkan kedalam bidang
kerja tersebut. Saat pelaksanaan geladi, penulis masuk kedalam kelompok bidang
kerja transmisi akses pelanggan (TRANSESLANG) PT. Telkom wilayah Jakarta
Barat. Pada saat itu, subdinas ini sedang melaksanakan proyek pembangunan 3
PKMI-5-15-5
buah ONU di daerah Tanjung Duren, Jakarta Barat. Selain pelaksanaan proyek
tersebut, subdinas ini sering juga menangani berbagai gangguan yang terjadi pada
jaringan transmisi akses pelanggan baik jaringan akses tembaga maupun fiber
optik.

Macam- macam Gangguan Jaringan Kabel
Pada umumnya gangguan terhadap jaringan kabel terjadi sebagai akibat
saluran kontak sesamanya yang mengakibatkan hubungan singkat (short circuit).
Ketika terjadi hubungan singkat antara dua kawat yang bermuatan arus listrik bisa
mengakibatkan gangguan terhadap penyaluran informasi yang sedang
berlangsung.
Jenis gangguan yang kedua adalah putusnya saluran sehingga nilai tahanannya
sangat tinggi. Gangguan ini disebut dengan saluran isolasi (saluran terisolasi) satu
sama lain.
Bentuk gangguan yang lain adalah akibat terjadinya induksi antara saluran
kabel dengan tegangan yang berasal dari saluran lain atau asing. Jenis gangguan
yang sering terjadi adalah gangguan akibat saluran bocor (afleading).

Penanganan Di Lapangan

Pelanggan digolongkan atas lima golongan yaitu:
1. Penyelesaian gangguan pelanggan GOLD...................... = 24 jam
2. Penyelesaian gangguan pelanggan SILVER................... = 48 jam
3. Penyelesaian gangguan pelanggan STANDAR.............. = 96 jam
4. Pelayanan ODS................................................................ = 86%(dari jml Ggn)
5. Jumlah gangguan berulang(GULA)................................ = 18%(dari jml Ggn).

Prioritas layanan gangguan didasarkan pada penggolongan di atas.
Artinya, apabila terjadi banyak laporan gangguan dalam satu hari maka prioritas
penanganan secara berurut adalah sebagai berikut : Platinum (12 jam), Gold (24
jam), Silver (48 jam), Standart (96 jam), terhitung dari tanggal dan jam pelanggan
melapor.

Langkah langkah Penanganan Gangguan Secara Umum
1. Pertama- tama pegawai Yangan yang bertugas harus menerima atau
mengambil Work Order (WO). WO adalah selembar kertas yang berisi data-
data pelanggan dan data teknis, diantaranya : nama pelanggan, alamat, nomor
telepon pelanggan, wilayah tanggung jawab, data RK (Rumah Kabel), nomor
kabel primer, nomor kabel sekunder, nomor DP (Distribution Point) dan
nomor EQN (Equipment Number).
2. Kemudian Pegawai tersebut melakukan pengecekan ke MDF (Main
Distribution Frame). Adapun yang dicek adalah apakah kerusakan yang
dilaporkan pelanggan berasal dari MDF.
3. Bila di bagian MDF terjadi kerusakan (tidak ada tone telepon) maka petugas
akan melapor ke sentral, tetapi bila tidak ada kerusakan maka pengecekan
akan dilanjutkan ke RK.
4. Petugas melakukan pengecekan di RK, pada umumnya masalah yang terjadi di
RK adalah terjadi hubung singkat (short circuit) antara kabel primer dan
sekunder. Bila terjadi hubung singkat maka kabel primer akan ditarik,
PKMI-5-15-6
kemudian ujungnya diperbaiki dan akhirnya di dop kembali. Kemudian
Petugas akan melakukan tes ulang apakah kabel primer dan sekunder masih
hubung singkat atau tidak.


Gb. 2. Flow chart penanganan gangguan

5. Kemudian petugas melakukan pengecekan di pelanggan (khusus pelanggan
rumah). Bila pelanggan memiliki MDF sendiri (biasanya perusahaan besar
atau apartemen), maka pegawai Telkom tidak perlu langsung terjun ke rumah
pelanggan, tapi cukup menghubungi teknisi di MDF tersebut.
6. Setelah semua selesai, petugas akan melaporkan bahwa WO sudah
dilaksanakan kepada bagian Dispatch and Clear. Maka petugas bagian
Dispatch and Clear akan menghapus WO tersebut.

KESIMPULAN
Pelaksanaan geladi dapat memberi pengalaman yang berharga serta
pengetahuan tentang segala hal dasar tentang industri telekomunikasi pada
umumnya dan jaringan telekomunikasi pada khususnya. Dengan berbekalkan
pengalaman latihan kerja di lapangan diharapkan para mahasiswa dapat
mengetahui masalah-masalah dari tingkat dasar sampai dengan tingkat yang lebih
tinggi yang ada di lapangan, serta dapat merasakan bagaimana berinteraksi nyata
dengan sesama karyawan dalam pekerjaan. Namun peserta geladi sebenarnya
mengharapkan lebih dari itu semua. Sehingga diharapkan PT. Telkom
merencanakan atau membuat semacam program verja yang khusus dipersiapkan
untuk peserta geladi, sehingga pelaksanaannya dapat mencapai hasil yang
maksimal. Namun setidaknya, penulis telah mendapatkan pengalaman kerja yang
sangat berharga dengan mengikuti program ini. Penulis dapat merasakan sendiri
keadaan lapangan kerja, terutama tugas-tugas yang dilakukan oleh subdinas
TRANSESLANG PT. Telkom, Jakarta Barat.
PKMI-5-15-7
DAFTAR PUSTAKA
Five, July. 2004. Laporan Geladi Kandatel Jakarta Barat 2004. Bandung, 2004.
Mulyana, Asep. 2004. Bahan Kuliah Jaringan Telekomunikasi: Perangkat
Terminal (CPE). Bandung: Sekolah Tinggi Teknologi Telkom, 2004.
_____________. 2005. Bahan Kuliah Jaringan Telekomunikasi: Jaringan Akses.
Bandung: Sekolah Tinggi Teknologi Telkom, 2005.
_____________. 2005. Bahan Kuliah Jaringan Telekomunikasi: PSTN. Bandung:
Sekolah Tinggi Teknologi Telkom, 2005.
Risti, Telkom. 2004. Basic Knowledge Costumer Premises Equipment.
Knowledge Management PL-1. Bandung: Telkom RisTi, 2004.


PKMI-5-16-1
MENGEMBANGKAN KREATIVITAS ANAK
MELALUI MENGGAMBAR DAN MEWARNAI

Tiya Dwi R, Elika Budi W, Rena Annisa O, Vauzul Moena, Elisabeth NP
PS Arsitektur, PS Sipil, PS Psikologi, PS Psikologi, PS Manajemen
Universitas Katolik Soegijapranata, Semarang

ABSTRAK
Dalam masa kanak-kanak, banyak faktor yang mempunyai pengaruh terhadap
perkembangan dan pendidikan anak serta mempunyai peranan yang besar dalam
perwujudan potensi anak, antara lain faktor lingkungan keluarga, sekolah, dan
masyarakat. Sekolah Taman Kanak-kanak (TK) adalah salah satu tempat
pendidikan dasar yang pertama kali dialami oleh sebagian besar anak-anak.
Banyak ditemukan kendala-kendala yang dialami anak selama menjalani
pendidikan di TK, dalam hal ini penulis lebih menekankan pada permasalahan
kreatifitas anak dalam menggambar dan mewarnai. Problematika yang biasa
dihadapi anak pada saat menggambar antara lain, kurangnya latihan, kurangnya
stimulasi dari lingkungan (keluarga, sekolah, dan lingkungan sekitar), dan
kurangnya sarana untuk merealisasikan kreativitas anak tersebut, dalam hal ini
sarana yang dapat mendukung anak untuk berkreasi yang dituangkan dalam
bentuk gambar. Kegiatan mengembangkan kreatifitas anak melalui menggambar
dan mewarnai ini bertujuan untuk memberikan wawasan bahwa menggambar
adalah salah satu tehnik yang dapat berguna untuk mengembangkan dan
meningkatkan kreatifitas anak sejak dini, untuk mengetahui minat dan bakat anak
dalam bidang seni menggambar serta dapat memberikan wawasan bagi para
guru TK mengenai metode yang mudah dalam memberikan bimbingan belajar
menggambar dan mewarnai. Kegiatan ini merupakan salah satu program
individu yang bersifat program penunjang selama kegiatan Kuliah Kerja
Nyata(KKN), pendekatan yang digunakan dalam melaksanakan program ini
adalah pendekatan deskriptif, pendakatan tersebut dilakukan dengan melalui
metode observasi, wawancara, dokumentasi serta literatur-literatur. Hasil yang
dapat dicapai dari pelaksanaan kegiatan ini antara lain, dapat mengetahui
minat, bakat, serta tingkat kreatifitas anak dalam menggambar dan mewarnai.

Key Words: Minat, Bakat, Kreativitas.

PENDAHULUAN
Perlunya kreativitas ditingkatkan akhir-akhir ini makin terasa,
sebagaimana nyata dari banyaknya tulisan dan ungkapan pendapat di media massa
mengenai masalah ini. Kreativitas adalah ungkapan (ekspresi) dari keunikan
individu dalam interaksi dengan lingkungannya.
Menjadi kreatif juga penting artinya bagi anak kecil karena menambah
bumbu dalam permainannya yang merupakan pusat kegiatan hidup mereka. Jika
kreativitas dapat membuat permainan menyenangkan, mereka akan merasa
bahagia dan puas.
Taman kanak-kanak (TK) merupakan salah satu sarana pendidikan yang
pertama kali dialami oleh sebagian besar anak-anak, selain mendapatkan teman
bermain, mereka juga akan mulai belajar tentang banyak hal diantaranya belajar
bernyanyi, mengenal huruf, menggambar, dan lain-lain. Selain itu, setidaknya

PKMI-5-16-2
mereka mempunyai kesempatan untuk mengembangkan kreatifitas dan potensi
yang ada dalam diri masing-masing anak selama menjalani pendidikan di TK.
Oleh sebab itu dirasa perlu adanya pemberian materi tambahan mengenai hal yang
berkaitan dengan peningkatan kreatifitas anak guna melatih dan mengembangkan
cara serta pola pikir anak, sehingga dapat meningkatkan mutu dan kualitas respon
atau daya tangkap siswa terhadap pelajaran di sekolah. Jadi untuk menuju jenjang
pendidikan yang lebih tinggi siswa benar-benar dapat menggunakan daya
kreatifitas yang telah di milikinya, dan pada akhirnya dapat meningkatkan
prestasinya dalam bidang akademik.
Manfaat dari kegiatan peningkatan kreativitas melalui menggambar dan
mewarnai ini antara lain :
1. Mengembangkan fungsi otak kanan anak-anak dalam berkreativitas dan
berimajinasi.
2. Sebagai sarana belajar yang dapat dilakukan sambil bermain (santai).
3. Dapat mengetahui bakat yang dimiliki anak dalam bidang seni menggambar.
4. Melatih anak untuk belajar menggambar dengan media yang benar, dalam hal
ini anak tidak lagi mencorat-coret dinding.
5. Melatih anak untuk peka terhadap apa yang mereka lihat di lingkungan
sekitarnya.
Pada hasil observasi di TK Tarbiyatul Atfal Kutoharjo, penulis
menemukan beberapa problematik yang dapat menjadi kendala dalam menunjang
peningkatan kreatifitas pada anak, hal tersebut dapat terlihat pada beberapa faktor
berikut ini, antara lain sarana maupun kondisi yang kurang mendukung bagi
perkembangan kreatifitas anak seperti desain atau suasana kelas yang kurang
nyaman dan kurang ceria (tampak dari warna cat yang tidak cerah, tidak adanya
gambar-gambar yang menarik bagi anak, adanya sekat yang memisahkan dua
kelas sekaligus dalam satu ruangan sehingga menimbulkan kebisingan). Kondisi
yang demikian tentunya akan menyebabkan anak-anak kurang mendapatkan
stimulus yang dapat menumbuhkan imajinasi mereka. Oleh karena itu penulis
tertarik untuk mengadakan kegiatan dengan tema mengembangkan kreatifitas
anak melalui menggambar dan mewarnai, dengan adanya kegiatan ini diharapkan
anak-anak mendapatkan suatu media untuk berekplorasi dan bermain, yang
merupakan unsur penting dari semua kreatifitas. Dalam kegiatan ini anak-anak
tidak hanya belajar, melainkan dapat sambil bermain. Dengan adanya program ini
anak-anak dapat lebih meningkatkan kualitas pendidikannya yaitu lebih
memahami pelajaran dengan cepat, lebih kreatif. Selain itu anak-anak juga lebih
termotivasi belajar dan mengikuti pelajaran dengan sungguh-sungguh.
Secara umum kendala-kendala yang dapat menghambat kelangsungan
proses peningkatan kreatifitas menggambar dan mewarnai ini antara lain, sarana
dan prasarana yang kurang tersedia di TK mereka, fasilitas ruang kelas yang
belum memadai, serta keterbatasan tenaga pengajar. Sedangkan problematika
yang dihadapi pada saat pelaksanaan program bimbingan menggambar dan
mewarnai secara khusus antara lain, sulitnya membuat anak untuk berkonsentrasi
ketika menerima bimbingan belajar mnggambar dan mewarnai, ada beberapa anak
yang kesulitan untuk mengikuti pelajaran menggambar yang sedang diberikan,
serta kurangnya sarana dan prasarana yang dapat menunjang kelancaran
pelaksanaan program baik untuk pengajar maupun siswa TK.

PKMI-5-16-3
Salah satu ekspresi kreativitas di masa kanak-kanak yaitu dengan
permainan konstruktif. Dalam hal ini, salah satu jenis permainan konstruktif yaitu
menggambar. Bermain konstruktif awal sifatnya reproduktif, yaitu anak meniru
apa saja yang dilihatnya dalam kehidupan sehari-hari. Dengan bertambahnya usia,
mereka kemudian menciptakan konstruksi dengan menggunakan benda dan situasi
sehari-hari serta mengubahnya agar sesuai dengan khayalannya. Biasanya anak
meniru gambar dalam buku menggambar, yang berarti sifatnya reproduktif.
Gambar anak kecil biasanya mewakili benda yang dikenal, jarang sekali desain.
Bentuk yang biasa populer digambar oleh anak antara lain rumah dan pepohonan.
Permainan konstruktif secara langsung bermanfaat untuk membantu penyesuaian
pribadi yang berupa kepuasan ego dan secara tidak langsung membantu
penyesuaian pribadi dengan menghalau rasa bosan dan perasaan sial yang timbul
bila mereka tidak mempunyai teman bermain.
Menggambar merupakan salah satu jenis permainan konstruktif untuk
mengekpresikan kreativitas di masa kanak-kanak sehingga teknik ini dapat
menjadi sarana untuk mengembangkan dan meningkatkan kreativitas anak sejak
dini, karena secara tidak langsung dengan belajar menggambar sekaligus
mewarnai, anak dapat membayangkan atau berimajinasi sesuai dengan apa yang
ingin digambar, serta dapat melatih anak dalam mengenal aneka macam warna
yang dapat mereka salurkan pada media gambar yang benar. Selain itu, dengan
cara menggambar maka anak-anak mempunyai sarana untuk bermain dan
mengeksplorasi kemampuan mereka untuk lebih kreatif, hal tersebut merupakan
unsur terpenting dari semua kreativitas.
Berikut ini ada beberapa kondisi yang dapat meningkatkan kreativitas,
antara lain:
1. Dorongan
Anak-anak harus didorong untuk kreatif dan bebas dari ejekan dan kritik yang
seringkali dilontarkan pada anak yang kreatif.
2. Sarana
Sarana untuk bermain dan kelak sarana lainnya harus disediakan untuk
merangsang dorongan eksperimentasi dan ekplorasi, yang merupakan unsur
penting dari semua Kreativitas.
3. Lingkungan Yang Merangsang
Lingkungan rumah dan sekolah harus merangsang Kreativitas dengan
memberikan bimbingan dan dorongan untuk menggunakan sarana yang akan
mendorong Kreativitas. Ini harus dilakukan sedini mungkin sejak masa bayi
dan dilanjutkan hingga masa sekolah dengan mejadikan Kreativitas suatu
pengalaman yang menyenangkan dan dihargai secara sosial.
4. Kesempatan Untuk Memperoleh Pengetahuan
Kreativitas tidak muncul dalam kehampaan. Semakin banyak pengetahuan
yang dapat diperoleh anak, semakin baik dasar untuk mencapai hasil yang
kreatif. Pulaski mengatakan, anak-anak harus berisi agar dapat berfantasi.
Sehubungan dengan pengembangan kreatifitas, ada salah satu aspek
kreatifitas yang perlu kita perhatikan yaitu proses. Dalam hal ini, anak perlu diberi
kesempatan untuk bersibuk diri secara kreatif. Pendidik hendaknya dapat
merangsang anak untuk melibatkan dirinya dalam kegiatan kreatif, dengan
membantu mengusahakan sarana prasarana yang diperlukan. Yang terpenting
ialah memberi kebebasan kepada anak untuk mengekspresikan dirinya secara

PKMI-5-16-4
kreatif, tentu saja dengan persyaratan yang tidak merugikan orang lain atau
lingkungan.
Setiap orang memiliki kemampuan kreatif dengan tingkat yang berbeda-
beda, tidak ada orang yang sama sekali tidak memiliki kreatifitas, dan yang
diperlukan adalah bagaimanakah mengembangkan kreatifitas tersebut. Karya
kreatif tidak lahir hanya karena kebetulan, melainkan melalui serangkaian proses
kreatif yang menuntut kecakapan, ketrampilan, dan motivasi yang kuat.
Berdasarkan beberapa uraian dan rujukan teori yang telah penulis
kemukakan, maka program peningkatan kreatifitas melalui menggambar dan
mewarnai ini sangatlah tepat untuk dilakukan. Harapan yang ingin dicapai dalam
pelaksanaan program bimbingan belajar menggambar dan mewarnai ini adalah
anak-anak TK mulai terlatih dan terampil dalam menggambar sehingga pada
akhirnya dapat memunculkan potensi kreatif yang sesungguhnya ada pada diri
mereka masing-masing. Selain itu, dengan adanya program ini, para pendidik
memberikan kesempatan pada anak-anak untuk bersibuk diri secara kreatif dan
yang tidak kalah penting, bahwa para guru di TK tersebut akhirnya dapat
mengetahui metode dan cara memberikan bimbingan belajar menggambar dan
mewarnai dengan cara yang mudah diterima oleh murid-muridnya.

METODE PENDEKATAN
Kegiatan ini merupakan salah satu program individu Kuliah Kerja Nyata
(KKN), yang merupakan program penunjang. Dalam melaksanakan program ini,
penulis menggunakan metode deskriptif yang meliputi observasi, wawancara,
dokumentasi dan literatur.
Metode tersebut diawali dengan melakukan observasi dengan cara
pencarian data-data sekolah TK yang ada di Desa Kutoharjo melalui kantor
kelurahan, kemudian baru melaksanakan survey awal di sekolah-sekolah TK di
desa Kutoharjo. Selanjutnya penulis melakukan pendekatan dengan cara
wawancara dengan pihak sekolah untuk mendapatkan informasi yang dibutuhkan
penulis untuk melaksanakan program, kemudian dari hasil wawancara tersebut
maka penulis dapat memutuskan sekolah yang tepat untuk pelaksanaan program
peningkatan kreatifitas anak. Pada saat pelaksanaan program dilakukan, penulis
masih melakukan observasi untuk mengetahui minat, bakat serta tingkat
kreativitas anak melalui bimbingan belajar menggambar dan mewarnai, kemudian
penulis mengambil gambar selama proses pelaksanaan program yang digunakan
untuk dokumentasi, selanjutnya untuk melengkapi data yang dibutuhkan pada
laporan maka penulis menggunakan beberapa literatur sebagai acuan.
Selain itu, penulis juga ikut serta mengajar dan membimbing secara
langsung untuk memberikan bimbingan pada anak-anak cara menggambar dan
mewarnai yang baik. Oleh karena itu, alat dan langkah langkah yang digunakan
dalam pelaksanaan program ini adalah sebagai berikut:

1. Alat-alat yang digunakan :
Kapur warna : alat untuk memberikan contoh
gambar serta cara mewarnai.
Papan Tulis : sebagai media yang digunakan untuk
memberikan contoh gambar.
Penghapus : alat untuk menghapus gambar.

PKMI-5-16-5
Buku Gambar : media untuk menggambar.
Pensil : digunakan untuk menggambar
Pensil warna : digunakan untuk mewarnai gambar

2. Langkah-langkah Pelaksanaan Program :
a. Menetukan lokasi untuk mengadakan bimbingan menggambar,
yang dilaksanakan di TK. Tarbiyathul Atfal.
b. Meminta izin kepada pihak pengajar di Tarbiyathul Atfal dengan
surat pengantar dari kelurahan.
c. Bimbingan dilaksanakan pada tanggal : 9 dan 10 februari. Dan
lomba menggambar dilaksanakan tanggal 13 februari.
d. 9 & 10 Februari 2006 Pelaksanaan kegiatan bimbingan belajar
anak-anak TK dalam menggambar dan mewarnai, selama 2 hari
berturut-turut. (Mulai Pk.07.30 09.15 WIB)
e. 13 Februari 2006 Pelaksanaan lomba menggambar dan
mewarnai, yang diikuti seluruh murid TK dengan jumlah + 120
peserta dan diakhiri dengan pembagian hadiah.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Kegiatan yang penulis lakukan pertama kali yaitu melakukan bimbingan
menggambar dan mewarnai di TK. Tarbiyatul Atfal. Pada kegiatan ini, penulis
menggunakan obyek pohon dan rumah untuk digambar oleh anak-anak karena
kedua obyek tersebut biasa dilihat oleh anak-anak di lingkungannya. Selain itu,
perlu diketahui bahwa gambar anak kecil biasanya mewakili benda yang dikenal,
jarang sekali desain sehingga bentuk yang biasa populer digambar oleh anak
antara lain rumah dan pepohonan. Penulis memberikan bimbingan bagaimana
menggambar pohon dan rumah yang sederhana serta bagaimana cara
mewarnainya. Dari hasil pengamatan, penulis melihat bahwa banyak anak-anak
yang pada kenyataanya masih ada yang kesulitan menggambar dan mewarnai
dengan baik, bahkan ada yang hanya mencorat-coret secara tidak beraturan dan
tidak mau menggambar sama sekali. Namun setelah melalui beberapa proses
bimbingan dan pelatihan, anak-anak mulai mampu menggambar dengan mudah
dan dengan proporsi yang tepat, bahkan adapula yang mulai menunjukkan potensi
kreatifitasnya dengan menambahkan berbagai detail gambar lain disamping
gambar pohon dan rumah. Dalam hal ini, metode yang digunakan adalah
permainan konstruktif yaitu menggambar. Selain itu penulis juga ikut serta
mengajar dan membimbing secara langsung untuk memberikan bimbingan pada
anak-anak cara menggambar dan mewarnai yang baik lalu mengadakan lomba
menggambar.
Dengan cara tersebut, mereka mulai terstimulasi untuk menggambar apa
yang ingin mereka gambar sesuai dengan apa yang mereka imajinasikan. Dengan
melihat kenyataan tersebut, sangatlah jelas bahwa menggambar merupakan salah
satu jenis permainan konstruktif untuk mengekspresikan kreatifitas di masa
kanak-kanak sehingga tehnik ini dapat menjadi sarana untuk mengembangkan dan
meningkatkan kreatifitas anak semenjak dini. Secara tidak langsung, dengan
belajar menggambar dan mewarnai, anak dapat membayangkan atau berimajinasi
sesuai dengan apa yang ingin digambar. Oleh karena itu, melalui kegiatan belajar

PKMI-5-16-6
menggambar dan mewarnai ini, anak-anak menjadi mempunyai sarana untuk
bermain dan bereksplorasi yang merupakan unsur penting dari semua kreatifitas.
Selain itu, melalui program bimbingan belajar menggambar dan mewarnai
ini, anak-anak diberi bimbingan bagaimana cara menggambar dan mewarnai
dengan baik dan tentunya mereka melalui serangkaian proses kreatif dimana anak-
anak tersebut mempunyai kesempatan untuk bersibuk diri secara kreatif selama
program ini dilaksanakan sehingga sangatlah jelas bahwa karya kreatif tidak lahir
hanya karena kebetulan, melainkan melalui serangkaian proses kreatif yang
menuntut kecakapan, ketrampilan, dan motivasi yang kuat.
Setelah melalui bimbingan belajar menggambar dan mewarnai, kegiatan
yang dilakukan penulis pada hari berikutnya yaitu mengadakan lomba
menggambar dan mewarnai. Kegiatan lomba ini diikuti kurang lebih 120 siswa
TK. Dari hasil pengamatan selama lomba berlangsung, penulis mendapati bahwa
nampak sekali kemajuan yang dialami oleh masing-masing anak, khususnya
dalam hal kreatifitas mereka. Hal tersebut dapat dilihat dari kualitas gambar yang
lebih kreatif daripada sebelum mengikuti bimbingan belajar menggambar dan
mewarnai. Anak-anak yang sebelumnya kesulitan dalam menggambar dan hanya
menggambar yang biasa-biasa saja menjadi nampak lebih kreatif. Berkaitan
dengan hal tersebut, jelaslah bahwa bakat kreatif sesungguhnya dimiliki setiap
anak, tetapi bakat ini memerlukan kesempatan untuk berkembang dalam
lingkungan yang menghargai, memupuk, dan menunjang kreatifitas.
Dari keseluruhan hasil observasi dan hasil penelitian yang penulis peroleh,
maka jelaslah bahwa kreatifitas dapat ditingkatkan dengan adanya dorongan,
sarana (dalam hal ini yaitu adanya sarana yang berupa program bimbingan belajar
menggambar dan kreatifitas), lingkungan yang merangsang (dalam hal ini yaitu
adanya lingkungan yang merangsang dimana para guru dan orangtua ikut
merangsang anak untuk melibatkan dirinya dalam kegiatan kreatif melalui
program bimbingan belajar menggambar dan mewarnai ini dengan membantu
mengusahakan sarana prasarana yang diperlukan), dan kesempatan untuk
memperoleh pengetahuan (melalui program ini, anak-anak menjadi memperoleh
pengetahuan mengenai bagaimana menggambar dan mewarnai dengan baik
sehingga anak-anak dapat memperoleh dasar untuk mencapai hasil yang kreatif,
terbukti dengan adanya kemajuan kreatifitas yang dialami masing-masing anak).
Setelah melalui proses pelaksanaan kegiatan bimbingan belajar dan
penyelenggaraan lomba menggambar yang diikuti oleh +120 siswa TK Tarbiyatul
Atfal, serta berdasarkan observasi langsung dan kriteria penilaian lomba
menggambar oleh tim KKN yang juga dibantu oleh para pengajar, maka dapat
diperoleh hasil-hasil sebagai berikut :

1. Dapat megetahui anak yang mempunyai minat dalam bidang gambar.
2.
No Kategori Persentase Keterangan
1. Berminat 70 % dari 120 siswa,
yaitu : 84 siswa.
Adanya antusias, dan semangat
yang tinggi saat mengikuti lomba
menggambar.
2. Kurang
Berminat
25 % dari 120 siswa,
yaitu : 30 siswa
Kurang adanya antusias, dan
kurang bersemangat saat
mengikuti lomba menggambar.

PKMI-5-16-7
3. Tidak
Berminat
5 % dari 120 siswa,
yaitu : 6 siswa
Tidak adanya antusias, dan tidak
bersemangat sama sekali saat
mengikuti lomba menggambar,
sehingga anak tersebut tidak mau
memperhatikan maupun
menggambar.

2. Dapat mengetahui anak yang mempunyai Bakat dalam bidang gambar.
No Kategori Persentase Keterangan
1. Berbakat 10% dari 120 siswa,
yaitu : 12 siswa
Dilihat dari Komposisi
gambar dan pewarnaan
sudah memenuhi syarat.
2. Kurang berbakat 60% dari 120 siswa,
yaitu : 72 siswa
Dilihat dari Komposisi
gambar dan pewarnaan
kurang memenuhi syarat.
3. Tidak berbakat 30% dari 120 siswa,
yaitu : 36 siswa
Dilihat dari Komposisi
gambar dan pewarnaan tidak
memenuhi syarat serta
gambar terlihat asal-asalan.

3. Dapat megetahui anak yang mempunyai Kreatifitas dalam menggambar.
No Kategori Persentase Keterangan
1. Kreatif 20% dari 120 siswa,
yaitu : 24 siswa
Adanya orisinalitas dan
bentuk gambar yang
bervariasi dalam
menggambar.
2. Kurang Kreatif 50% dari 120 siswa,
yaitu : 60 siswa
Kurang adanya orisinalitas
dan bentuk gambar kurang
bervariasi dalam
menggambar.
3. Tidak Kreatif 30% dari 120 siswa,
yaitu : 36 siswa
Tidak adanya orisinalitas
gambar dan bentuk gambar
tidak mempunyai variasi.

Dari hasil tabel diatas maka dapat diketahui bahwa minat anak-anak di
sekolah tersebut dalam belajar menggambar sekaligus mewarnai sangat besar,
karena belajar dengan cara meggambar merupakan salah satu cara penyampaian
yang sangat disukai oleh anak usia TK, tetapi anak yang mempunyai bakat dan
kreatifitas dalam menggambar masih tergolong kurang, hal tersebut dapat terlihat
dari hasil akhir gambar.
Dengan demikian, perlunya kreativitas dikembangkan sejak dini adalah
bermanfaat bagi perkembangan anak selanjutnya terutama dalam hal perwujudan
diri pribadi dan penyesuaian diri yang baik terhahadap pribadi dan lingkungannya.
Dengan metode permainan konstruktif yaitu menggambar, setidaknya anak
mampu menemukan bakat kreatif dan dapat meningkatkan Kreativitas mereka
karena adanya dorongan, sarana, lingkungan yang merangsang, dan kesempatan

PKMI-5-16-8
untuk memperoleh pengetahuan melalui kegiatan mengembangkan kreativitas
anak dengan menggambar dan mewarnai ini.

KESIMPULAN
Setelah melalui beberapa proses pelaksanaan kegiatan yang bertujuan
untuk mengembangkan kreativitas anak, penulis dapat mengambil kesimpulan
secara umum bahwa pengembangan kreativitas anak dapat dilakukan salah
satunya dengan menggambar dan mewarnai yang diterapkan dengan sistem
permainan konstruktif dan pengadaan lomba, dengan menggunakan sistem
tersebut maka penulis dapat mengetahui secara langsung anak yang mempunyai
minat, bakat maupun kreativitas dalam menggambar dan mewarnai. Sedangkan
berdasarkan hasil pengamatan selama pelaksanaan program dalam pengembangan
kreativitas anak dengan menggambar dan mewarnai di TK Tarbiyatul Atfal,
penulis juga dapat menyimpulkan bahwa dengan minat yang besar dari anak, jika
tidak ditunjang dengan bakat dan kreativitas yang tinggi, tentu hasil yang
diperoleh tidak akan maksimal, akan tetapi jika minat anak besar dan diikuti bakat
serta kreativitas yang tinggi maka hasil yang diperoleh akan maksimal.

DAFTAR PUSTAKA
Hurlock, Elisabeth, B. 1993. Perkembangan Anak. PT.Gelora Aksara Pratama,
Erlangga, Jakarta.
Munandar, Utami, Dr.Prof. 1999. Pengembangan Kreativitas Anak Berbakat,
PT.Rineka Cipta, Jakarta.
Supriadi, Dedi, Dr. 1994. Kreativitas, Kebudayaan & Perkembangan IPTEK,
Alfabeta, Bandung.
PKMI-5-17-1
TRADISI PEMENTASAN WAYANG TOPENG DALAM RANGKA
SEDEKAH BUMI DAN DAMPAKNYA BAGI MASYARAKAT
Studi Kasus di Dukuh Kedung Panjang Desa Soneyan, Kecamatan
Margoyoso Kabupaten Pati, Jawa Tengah

Triningsih, Moh. Trio Subagja, Tri Wahyuni
PS PPKn FKIP Universitas Muhammadiyah Surakarta, sURAKARTA

ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan mengkaji latar belakang, rangkaian tatacara pelak-
sanan, upaya pelestarian dan pengembangan, serta dampak pelaksanaan tradisi
pementasan wayang topeng dalam rangka sedekah bumi bagi masyarakat di
dukuh Kedung Panjang, Desa Soneyan, Margoyoso, Pati. Penelitian ini bersifat
deskriptif analitis serta merupakan studi empiris dan naturalistik, dengan strategi
studi kasus tunggal yang terpancang (embedded case study). Sumber data
mencakup manusia sebagai informan, tempat dan peristiwa, serta arsip dan
dokumen. Teknik pengum-pulan data berupa wawancara mendalam, observasi
langsung, serta mencatat arsip dan dokumen. Cuplikan bersifat purposive
sampling, sehingga peneliti senantiasa memilih informan yang dianggap tahu dan
dapat dipercaya sebagai sumber data yang mantap. Untuk menguji keabsahan
data digunakan teknik triangulasi sumber dan analisis data menerapkan model
analisis interaktif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sedekah bumi yang selalu
menyertakan wayang topeng dalam rangkaian kegiatannya merupakan satu
bentuk upacara ritual tahunan yang sudah menjadi tradisi bagi masyarakat
Kedung Panjang. Sejak awal kemunculan tahun 1896 sampai sekarang wayang
topeng mengalami perkembangan fungsi, dari sekedar berfungsi ritual sebagai
sarana upacara sedekah bumi sampai fungsi sosial lainnya, sehingga sangat
besar artinya bagi masyarakat. Kegiatan ritual sedekah bumi tanpa disertai
pertunjukan wayang topeng dikhawatirkan membawa akibat terjadinya hal-hal
yang tidak diinginkan bagi ketenteraman masyarakat, seperti terkena wabah
penyakit menular, ancaman hama tanaman, berkurangnya kesuburan lahan
pertanian, dan sebagainya. Saat ada pementasan wayang topeng masyarakat
dapat memanfaatkan peluang dengan menjual makanan dan minuman serta
membuka area parkir maupun jasa ojek, sehingga mendatangkan keuntungan.
Ritual tersebut dapat mempersatukan kelompok-kelompok masyarakat dalam
ikatan yang paling erat untuk hidup bersama dalam kerukunan dan
kegotongroyongan. Pementasan itu banyak melibatkan kaum santri dan para
ulama, yang beranggapan bahwa wayang topeng merupakan kesenian yang tidak
melanggar tata kesusilaan dan tidak bertentangan dengan ajaran agama Islam.
Tradisi tersebut juga memperkaya khasanah budaya dan dapat dijadikan sebagai
media pembelajaran pelestarian budaya serta pembelajaran hidup bermasyarakat
dengan damai. Dengan demikian tradisi pementasan wayang topeng memberikan
dampak dalam bidang ekonomi, sosial dan budaya, religius, serta pendidikan
bagi masyarakat setempat.

Kata kunci : tradisi, wayang topeng, sedekah bumi, dan dampak.


PKMI-5-17-2
PENDAHULUAN
Realitas budaya Indonesia yang beraneka ragam, suku, dan tradisi yang
ber- beda, serta agama dan aliran yang berbau mitos merupakan dasar kehidupan
sosial dan budaya. Catatan sejarah membuktikan bahwa bangsa Indonesia sejak
dahulu percaya adanya kekuatan gaib yang mengatur alam ini. Kekuatan gaib
tersebut ada yang menguntungkan dan ada pula yang merugikan. Untuk itu
manusia senantiasa harus berupaya melembutkan hati pemilik kekuatan gaib
dengan mengadakan upacara ritual, ziarah, sesaji, kaul, termasuk pementasan seni
tertentu.
Pada masyarakat Jawa, tradisi yang berkaitan dengan peristiwa kelahiran,
kamatian dan perkawinan, serta berbagai peristiwa lainnya ternyata banyak
ragam-nya. Berbagai tradisi itu secara turun temurun dilestarikan oleh para
pendukungnya dengan berbagai motivasi dan tujuan yang tidak lepas dari
pandangan hidup masyarakat Jawa pada umumnya. Menurut Mulder (1981: 30),
pandangan hidup masyarakat Jawa sangat menekankan pada ketenteraman batin,
keselarasan, dan keseimbangan, serta sikap menerima terhadap segala peristiwa
yang terjadi sambil menempatkan individu di bawah masyarakat serta masyarakat
di bawah alam. Individu memiliki tanggung jawab berupa hak dan kewajiban
terhadap masyarakat, dan masyarakat mempunyai kewajiban terhadap alam.
Hubungan manusia dengan individu manusia (mikro kosmos) dilestarikan dengan
upacara-upacara (ritual).
Hubungan manusia dengan alam (makro kosmos) melahirkan kepercayaan
yang juga dilestarikan. Dalam rangka menjaga keharmonisan hubungan antara
individu dengan leluhurnya ataupun dengan alam (hubungan mikro kosmos dan
makro kosmos), masyarakat Jawa mengembangkan tradisi selamatan maupun
ziarah kubur serta ziarah ke tempat-tempat lain yang dikeramatkan. Hal ini
disebabkan dalam pandangan masyarakat Jawa roh yang meninggal itu bersifat
abadi. Orang yang telah meninggal, arwahnya tetap memiliki daya sakti, yaitu
dapat memberi pertolongan pada yang masih hidup, sehingga anak cucu yang
masih hidup senan-tiasa berusaha untuk tetap berhubungan dan memujanya
(Koentjaraningrat, 1984).
Sebelum Islam datang di Jawa, masyarakat Jawa menganut agama Hindu
dan Budha serta kepercayaan asli Jawa. Kedua agama tersebut (Hindu dan Budha)
didatangkan untuk keperluan legitimasi kekuasaan raja. Di samping itu menurut
Buchori (1983: 29), Hindu dan Budha didatangkan untuk keperluan istana guna
manyerap pengetahuan tentang teknik membuat candi sekaligus merupakan
aktivitas untuk menunjukkan kebesaran kraton, upacara istana, teknik memerintah
dan sebagainya. Pengaruh Hindu dan Budha lebih terserap pada kalangan elit dan
penguasa daripada kalangan masyarakat umum, yang hidup jauh dari pusat
kerajaan. Masyarakat umum lebih banyak melakukan tradisi-tradisi dari
kebudayaan aslinya dan mereka memegang teguh pada adat istiadat serta
kepercayaan lama yang diperoleh dari nenek moyangnya.
Maraknya tradisi memperingati dan ataupun merayakan peristiwa penting
dalam perjalanan hidup manusia dengan melaksanakan serangkaian upacara itu, di
samping merupakan bagian dari kebudayaan masyarakat sekaligus sebagai
manifes-tasi upaya manusia untuk mendapatkan ketenangan rokhani. Hal ini
masih cukup kuat berakar pada sebagian masyarakat Jawa modern. Penelitian
Kartodirdjo (1990) membuktikan masih adanya tradisi Jawa sebagai suatu sikap
PKMI-5-17-3
kuat yang dimiliki oleh masyarakat Jawa, meskipun proses pembangunan dan
modernisasi terus berlang-sung. Menurut Magnis Suseno, sebagaimana dikutip
Sarjono (1992: 27), ciri khas kebudayaan Jawa adalah terletak pada
kemampuannya yang luar biasa untuk membiarkan diri dibanjiri gelombang
kebudayaan dari luar, namun tetap mampu mempertahankan keasliannya.
Demikian pula hasil penelitian Sumardjoko dan Murofiquddin (1998) maupun
Setyadi (2001) antara lain membuktikan bahwa meskipun masyarakat Jawa sudah
memasuki era modern tetapi keyakinan terhadap kekuatan arwah tetap tidak
usang.
Kehidupan masyarakat Jawa pada dasarnya sarat dengan nilai-nilai religi.
Religi berasal dari religare yang berarti meyakini, bersatu padu dengan
samadi. Religi sebagai gerak keterlibatan hari nurani manusia yang meyakini
adanya nilai-nilai kudus sehingga membuat manusia tunduk dengan sendirinya
tanpa adanya suatu paksaan. Fraser, sebagaimana dikutip Koentjaraningrat (1982)
antara lain menyebutkan bahwa munculnya religi bersifat evolusif, yakni mula-
mula manusia memecahkan persoalan hidupnya melalui pengetahuan dan akalnya.
Soal-soal yang tidak terpecahkan dengan akal diselesaikan dengan magic, dan
akhirnya manusia menyadari bahwa alam didiami oleh makhluk halus. Bersamaan
dengan makin lemahnya kemampuan rasional manusia mengakibatkan tumbuh-
suburnya keyakinan terhadap sesuatu yang gaib, seperti keyakinan terhadap dewa,
alam, hantu, dan roh nenek moyang. Religi merupakan suatu respons terhadap
kebutuhan akan konsepsi yang tersusun mengenai alam semesta dan sebagai
mekanisme dalam rangka mengatasi kegagalan akibat ketidakmampuan manusia.
Jadi, religi sebenarnya merupakan segala sistem perbuatan manusia untuk
mencapai suatu maksud dengan cara menyandarkan diri kepada kemauan dari
kekuasaan makhluk halus, seperti roh, dewa dan sebagainya yang menempati
alam.
Masyarakat Jawa mengenal berbagai ibadat dan upacara trandisional.
Nenek moyang orang Jawa hidup dalam alam pikiran sederhana yang berpengaruh
pada cara berpikirnya. Pandangan mereka terhadap masalah-masalah kehidupan
dunia sering sempit dan lebih dipengaruhi hal-hal di alam gaib. Mereka
beranggapan dunia dihuni bermacam-macam makhluk halus dan kekuatan gaib
yang dapat menimbul- kan kebahagiaan dan kesengsaraan. Menghadapi dunia
gaib, manusia menggunakan perasaan, misalnya: menghormati, mengagungkan,
takut, cinta dan ngeri. Perasaan ini muncul dalam berbagai perbuatan yang
berhubungan dengan dunia gaib melalui upacara. Pada dasarnya upacara
merupakan permohonan dalam pemujaan atau pengabdian yang ditujukan kepada
kekuasaan leluhur yang menguasai kehidupan manusia, sehingga keselamatan
serta kesengsaraan manusia tergantung pada kekuasaan itu.
Menurut Geertz (1983), upacara merupakan suatu adat atau kebiasaan yang
diadakan secara tepat menurut waktu dan tempat, peristiwa atau keperluan
tertentu. Kemudian, menurut Subagya (1987), upacara merupakan bentuk kegiatan
simbolis yang menkonsolidasikan atau memulihkan tata alam dengan
menempatkan manusia dalam tata alam tersebut, di mana dalam ritus, atau upaya
tersebut dipakai kata-kata, doa-doa, dan gerak-gerak tangan atau badan.
Sementara itu Koentjaraningrat (1981) memformulasikan bahwa sistem upacara
mengandung empat komponen, yaitu tempat upacara, saat upacara, benda-benda
dan alat-alat upacara, serta orang yang melakukan dan memimpin upacara. Semua
PKMI-5-17-4
yang berperan dalam upacara tersebut sifatnya sakral sehingga tidak boleh
dihadapi dengan sembarangan, karena dapat menimbulkan bahaya. Demikian juga
orang yang berhadapan dengan hal-hal keramat harus mengindahkan berbagai
macam larangan.
Dari berbagai pendapat tentang upacara dapat dipahami bahwa upacara
yang dilakukan oleh manusia pada hakekatnya merupakan tata alam sesuai dengan
adat kebiasaan untuk mendapatkan ketenteraman dan keselamatan hidup serta
sebagai perwujudan dari keterbatasan kemampuan manusia dalam menghadapi
tantangan hidup, baik yang berasal dari diri sendiri atau dari alam sekitarnya.
Berbagai upacara yang dilakukan oleh masyarakat bertujuan mengadakan kontak
langsung dengan para leluhur, roh-roh, dewa-dewa dan juga dengan Yang Maha
Kuasa.
Para penganut agama asli Indonesia percaya adanya aturan tetap, yang
meng-atasi segala kejadian di dunia yang dilakukan manusia. Apa yang sesuai
atau selaras dalam hidup manusia dengan latar belakang kehidupan mutlak adalah
beres. Apa yang menyimpang, tidak cocok, atau menentangnya adalah
disfungsional, salah, sesat dan merupakan dosa. Partisipasi tingkah laku manusia
dalam aturan alam raya itu mengangkat hidup manusia menjadi otentik, berarti
dan bernilai (Subagya, 1987).
Kelakuan simbolis manusia yang menghadapkan keselamatan itu
bentuknya banyak, seperti: menceritakan kembali mitos asal, mementaskan isi
mitos, melakukan upacara adat, menghadirkan tata alam dalam tari-menari, cara
khusus menanam atau mengetam padi, beraneka perayaan korban, makan bersama
(selamatan), penegasan jenjang peralihan dalam hidup dan lain-lain (Subagya,
1987). Kesediaan manusia mengikuti tata upacara yang ditentukan karena percaya
aturan itu sebagai kelakuan simbolis, yang menghadapkan keselamatan yang
menceritakan kembali mitos asal.
Upacara tradisional adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan perbuatan
yang bersifat turun temurun, antara lain pandangan hidup, kepercayaan, kesenian,
upacara yang semuanya dilakukan menurut adat atau aturan agama dan keyakinan
yang dianut manusia pendukungnnya. Upacara itu juga merupakan kegiatan sosial
yang meliputi warga masyarakat dalam usaha mencapai tujuan keselamatan
bersama dan menjadi bagian integral dari kebudayaan masyarakat. Tradisi
memperingati atau merayakan peristiwa penting dalam perjalanan hidup manusia
dengan melaksanakan upacara merupakan bagian dari kebudayaan masyarakat
sekaligus manifestasi upaya manusia mendapatkan ketenangan rokhani, yang
masih kuat berakar sampai sekarang.
Upacara sedhekah bumi yang mempunyai makna vertikal dan horisontal
bagi masyarakat Jawa ternyata masih cukup kuat berakar dilaksanakan secara
konsisten oleh sebagian besar masyarakat Jawa. Bagi masyarakat dukuh Kedung
Panjang tradisi ini mempunyai syarat khusus yang relatif berbeda dengan
masyarakat Jawa pada umumnya. Kekhususannya terutama terletak pada
pelaksanaan tradisi pementasan wayang topeng dengan syarat-syarat,
perlengkapan, serta tatacara khusus, sebagai bagian tak terpisahkan dari upacara
sedhekah bumi, yang tidak terdapat di daerah lain. Dalam konteks ini dipandang
perlu penelitian mengenai tradisi pementasan wayang topeng dalam rangka
sedhekah bumi dan dampaknya bagi masyarakat sekitarnya.
PKMI-5-17-5
Berdasarkan latar belakang di atas maka dapat dirumuskan permasalahan,
yaitu: (1) bagaimanakah latar belakang, rangkaian tata cara pelaksanaan, serta
upaya peles-tarian dan pengembangan tradisi pementasan wayang topeng dalam
rangka upacara sedhekah bumi di dukuh Kedung Panjang desa Soneyan ?; dan (2)
bagaimanakah dampak pelaksanaan tradisi tersebut bagi masyarakat sekitarnya ?.
Dengan demikian berarti penelitian ini bertujuan untuk: (1) memperoleh
gambaran riil latar belakang tradisi pementasan wayang topeng dalam rangka
upacara sedhekah bumi, (2) mendeskripsikan rangkaian tata cara pelaksanaan
tradisi pementasan wayang topeng, (3) mengetahui upaya-upaya masyarakat guna
melestarikan dan mengembangkan tradisi pementasan wayang topeng, serta (4)
mendeskripsikan dampak pelaksanaan tradisi pementasan wayang topeng tersebut
bagi masyarakat sekitarnya.
Melalui kegiatan penelitian ini diharapkan dapat diperoleh beberapa
manfaat, terutama: (1) secara teoritis, hasil penelitian ini dapat memperluas
cakrawala pengetahuan, khususnya mengenai tradisi pementasan wayang topeng
pada upacara sedhekah bumi bagi masyarakat dukuh Kedung Panjang sebagai
bagian dari budaya bangsa Indonesia, yang secara langsung telah menyentuh
kehidupan sosial budaya, ekonomi maupun religius masyarakat sekitarnya; serta
(2) secara praktis, hasil peneli-tian ini dapat digunakan sebagai salah satu
masukan dan kerangka acuan yang sangat berharga bagi para pengambil kebijakan
(decision maker), terutama berkaitan dengan pengelolaan tradisi pementasan
wayang topeng pada upacara sedhekah bumi itu.

METODE PENELITIAN
Penelitian ini bersifat deskriptif analitis serta merupakan studi empiris
dan naturalistik. Bentuk penelitian ini memusatkan pada lokasi riset tunggal,
dengan memusatkan diri pada pencatatan secara rinci aspek-aspek suatu fenomena
tunggal yang bisa berupa sekelompok manusia ataupun merupakan proses
gerakan sosial.
Riset ini bersifat holistik karena tidak hanya mengarahkan pada salah satu atau
beberapa variabel tertentu yang menjadi perhatian peneliti. Strategi penelitian
yang diterapkan adalah studi kasus tunggal yang terpancang (embedded case
study). Strategi ini dipilih karena dalam penelitian ini telah ditentukan beberapa
variabel pokok yang akan menjadi pusat kajian (Sutopo,1993: 10). Dengan
demikian ada penekanan yang diarahkan pada beberapa variabel pokok pada suatu
totalitas tunggal.
Sumber data dalam penelitian ini mencakup manusia sebagai informan,
tempat dan peristiwa, serta arsip maupun dokumen. Informan terdiri dari sesepuh
desa, perangkat desa, tokoh masyarakat, pemuka agama, dalang wayang topeng,
pelaku pementasan wayang topeng lainnya, serta beberapa warga masyarakat di
sekitar tempat pelaksanaan tradisi pementasan wayang topeng. Tempat dan
peristiwa meliputi lokasi pelaksanaan tradisi pementasan wayang topeng serta
penyelenggaraan maupun aktivitas manusia yang terlibat dalam peristiwa tersebut.
Selanjutnya, arsip maupun dokumen terutama yang berhubungan dengan bebagai
kegiatan yang terkait dengan tradisi pementasan wayang topeng. Di samping itu
didokumentasikan pula benda-benda yang berkaitan dengan pelaksanaan
pementasan wayang topeng guna melengkapi data dan temuan yang diperoleh
dalam penelitian ini.
PKMI-5-17-6
Sesuai karakteristik data yang dikumpulkan dalam penelitian ini maka
teknik pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara mendalam, observasi
langsung, serta mencatat arsip dan dokumen. Menurut Miles and Huberman
(1984), wawancara mendalam sering disebut indepth interviewing atau the long
interview memungkinkan terciptanya good rapport antara peneliti dan informan.
Hal ini penting karena dapat menghilangkan rasa takut dan ragu-ragu maupun
curiga dari informan terhadap pene-liti (Lucas,1982: 35). Bahkan lebih jauh
menurut Faisal (1990: 27 ) hal ini merupakan suatu syarat pokok, sehingga
menjamin kelancaran pengembangan wawancara.
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif sehingga cuplikan yang
digunakan bersifat purposive sampling. Untuk itu peneliti selalu memilih
informan yang diang-gap tahu dan dapat dipercaya sepenuhnya sebagai sumber
data yang mantap serta mengetahui permasalahan yang diteliti secara lebih
mendalam (Sutopo, 1993: 27).
Teknik cuplikan yang juga disebut internal sampling ini bukan dimaksudkan
untuk kepentingan generalisasi sebagaimana yang biasa dilakukan dalam
penelitian kuanti-tatif. Melalui cuplikan ini berarti peneliti berusaha memilih
informan kunci (key informant) yang dipandang paling mengetahui permasalahan,
terutama: sesepuh desa, perangkat desa, tokoh masyarakat, pemuka agama, dalang
wayang topeng, pelaku pementasan wayang topeng lainnya, serta beberapa warga
masyarakat di sekitar tempat pelaksanaan tradisi pementasan wayang topeng.
Informan kunci ini dapat menunjuk informan lain yang dipandang mengetahui
lebih banyak hal-hal yang ingin diungkapkan melalui penelitian ini, sehingga
jumlah informan akan berkembang sesuai kebutuhan, dan berhenti apabila data
telah cukup terkumpulkan. Dengan demikian dalam penelitian ini sekaligus
diterapkan pola snowball sampling.
Langkah selanjutnya, peneliti mengambil keputusan berkaitan dengan
pikiran yang muncul mengenai apa yang sedang dikaji, dengan siapa peneliti
berbicara, kapan perlu melakukan observasi yang paling tepat, dan berapa jumlah
dokumen yang perlu diteliti. Untuk menguji keabsahan data digunakan teknik
triangulasi, khususnya triangulasi sumber, yakni dengan jalan membandingkan
dan mengecek balik derajat kepercayaan suatu informasi dalam waktu dan dengan
alat yang berbeda.
Pemilihan rancangan analisis untuk penelitian kualitatif selalu didasarkan
pada tiga komponen utama, yaitu data reduction, data display, dan conclusion
drawing (Miles and Huberman, 1984). Penelitian ini menerapkan model analisis
interaktif (interactive model of analysis), yaitu suatu analisis yang dilakukan
dalam bentuk interaktif dari ketiga komponen analisis itu. Penggunaan model
analisis interaktif didasarkan alasan bahwa penelitian yang dilakukan
menggunakan proses siklus.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Wayang topeng merupakan bentuk seni pementasan yang menggunakan
topeng sebagai penutup muka sekaligus menunjukkan karakter tokoh-tokohnya.
Topeng bisa dibuat dari kayu, kertas, atau bahan lain yang menggambarkan tokoh
manusia, dewa, raksasa, binatang, setan, dan lain-lain. Topeng merupakan sarana
menghilangkan identitas pemakainya sekaligus untuk memerankan karakter suatu
tokoh tertentu.
PKMI-5-17-7
Keberadaan wayang topeng Kedung Panjang muncul sejak tahun 1896
dan telah mengalami tiga periode dalang, mulai dari Suro Astono, kemudian
Surat, dan dilanjutkan Ngusbi, yang merupakan satu keturunan. Suro Astono
menjadi dalang wayang topeng sejak tahun 1986 sampai tahun 1941. Setelah
Suro Astono meninggal pada tahun 1941 dalang wayang topeng dilanjutkan
cucunya yang bernama Surat tahun 1942 sampai tahun 1977. Karena usia lanjut,
posisi Surat digantikan anaknya yang bernama Ngusbi yang menjadi dalang
wayang topeng sejak tahun 1978 sampai sekarang. Topeng yang digunakan dalam
pementasan wayang topeng Kedung Panjang telah beralih tangan atau pemilik
beberapa kali, mulai dari Sarman (almarhum), Singa Lasiman (almarhum),
Suwoto (almarhum), dan sekarang oleh Edris. Topeng tersebut telah mengalami
renovasi berupa pengecatan kembali warna topeng pada tahun 1970 dan tahun
1974.
Pementasan wayang topeng di Kedung Panjang merupakan satu rangkaian
ritual upacara sedhekah bumi setiap satu tahun sekali pada bulan Selo hari Sabtu
Kliwon, sebagai tanda syukur dari masyarakat atas hasil panen yang melimpah.
Pementasan tersebut berlangsung dua kali, yaitu siang hari (mulai pukul 11.00
sampai 17.00 WIB), dan malam hari (mulai pukul 21.00 03.00 WIB).
Pementasan siang hari dilaksanakan di kabumen atau kalangan, yaitu suatu
bangunan atau rumah terbuka dalam ukuran kecil yang terletak pada tanah
kosong, sedangkan pementasan malam hari diselenggarakan di rumah Kepala
Dukuh.
Pementasan wayang topeng di siang hari diawali dengan ritual sedhekah
bumi yang melibatkan seluruh warga dukuh Kedung Panjang. Sajen (sesaji) yang
disiapkan sebelum pementasan wayang topeng terdiri dari: pisang raja sepasang,
kupat lepet, bumbu wiwit, nasi buceng (nasi tumpeng yang di atasnya diberi
cabe), kendi kecil, kaca, sisir rambut, bubur merah, cengkaruk pala (irisan pala
digoreng), horog-horog (nasi urap dengan kelapa parutan dan garam), emplek-
emplek (tepung dibungkus daun kemudian dibakar), bubur koleh atau bubur sum-
sum yang terbuat dari tepung beras dan diberi gula merah, rujak adu manis (terdiri
tebu, cengkir atau kelapa yang masih kecil, dan mengkudu atau dapat diganti
belimbing), beras, gula jawa (gula merah), serta jambe suruh.
Sebelum acara dimulai seorang sesepuh desa melakukan sesaji obong-
obong dengan meletakkan bunga setaman dan membakar dupa di bawah pohon
beringin, yang diperuntukkan bagi arwah leluhur desa setempat yang disebut
Mbah Danyang. Sesaji yang diikuti dengan doa (donga) tersebut sekaligus
dimaksudkan sebagai permohonan ijin pementasan wayang topeng kepada
danyang setempat. Setelah acara ritual sedhekah bumi selesai barulah dimulai
acara pementasan wayang topeng dengan memainkan lakon Sren, dengan tokoh
sentral Dewi Sri yang diyakini sebagai tokoh pemberi kesuburan dan keberhasilan
usaha pertanian masyarakat.
Pementasan wayang topeng pada malam hari tata urutan maupun
kelengkapan sesajinya sama dengan pementasan siang hari, hanya saja tidak
diawali dengan ritual sedhekah bumi. Lakon yang ditampilkan pada pementasan
malam hari sama dengan yang ditampilkan pada siang hari. Namun demikian,
dimungkinkan menampilkan lakon yang berbeda dengan lakon yang dimainkan
pada pementasan siang harinya.


PKMI-5-17-8
Wayang topeng Kedung Panjang telah mengalami perkembangan fungsi
yang cukup berarti. Pada awalnya wayang topeng hanya berfungsi ritual sebagai
bagian dari upacara selamatan sedhekah bumi. Melalui sedhekah bumi yang
disertai pementasan wayang topeng ini oleh masyarakat diyakini akan menjadikan
tanaman subur dan mereka mendapatkan hasil melimpah. Dalam
perkembangannya, wayang topeng juga menjadi sarana hiburan dan tontonan
dalam berbagai acara, diantaranya: peringatan hari kemerdekaan, khitanan,
perkawinan dan sebagainya. Berkaitan dengan kekuatan supranatural, wayang
topeng berfungsi sebagai sarana penyembuhan terhadap penyakit, terutama
penyakit akibat gangguan roh gaib (kesurupan). Penyembuhan dilakukan oleh
pawang dengan cara memberikan segelas air putih yang telah diberi kemenyan
dan dimintakan doa penyembuh kepada danyang topeng untuk selanjutnya
diminumkan pada orang yang mengalami kesurupan itu. Pemelihara topeng setiap
malam Jumat Pahing memberi sesaji dan kemenyan sebagai makanan roh gaib
(danyang) pada topeng itu, sehingga diyakini topeng tersebut mempunyai
kekuatan supranatural untuk penyembuhan.
Upaya pelestarian dan pengembangan wayang topeng telah dilakukan
segenap elemen masyarakat, diantaranya dengan cara: menjaga keberlangsungan
pementasan wayang topeng, membangkitkan minat generasi muda untuk ikut
melestarikannya, menyebarluaskan pementasan wayang topeng,
memodernisasikan tradisi pementasan yang sudah ada, meningkatkan kualitas
pementasan, serta mencari dukungan pada pihak-pihak terkait (misalnya
pemerintah kabupaten Jepara). Kelompok kesenian wayang topeng sebagai
pelaku seni berusaha melestarikan dan mengembangkan dengan cara
menampilkan wayang topeng secara rutin dalam acara sedhekah bumi, mengganti
penari yang sudah tua dengan penari-penari muda, menampilkan wayang topeng
di daerah lain sehingga bisa lebih menyebar luas, serta memberikan selingan
dalam pertunjukkan wayang topeng agar lebih menarik penonton melalui
penambahan gerak tari maupun lagu-lagu campursari.
Tradisi pementasan wayang topeng membawa dampak secara ekonomis
bagi masyarakat, karena mereka dapat memanfaatkan peluang pada saat ada
pementasan dengan menjual makanan dan minuman dan membuka area parkir
maupun jasa ojek, sehingga mendatangkan keuntungan. Dari segi sosial budaya,
ritual pementasan wayang topeng dapat mempersatukan kelompok-kelompok
masyarakat dalam ikatan yang paling erat untuk dapat hidup bersama dalam
kerukunan dan kegotongroyongan.
Secara religius pementasan tersebut banyak melibatkan kaum santri dan
para ulama, yang beranggapan pementasan wayang topeng itu merupakan
kesenian yang tidak melanggar tata kesusilaan dan tidak bertentangan dengan
ajaran agama Islam. Sementara itu dari segi pendidikan, tradisi tersebut
memperkaya khasanah budaya dan dapat dijadikan sebagai media pembelajaran
pelestarian budaya serta pembelajaran hidup bermasyarakat dengan damai.
Tradisi pementasan wayang topeng di dukuh Kedung Panjang sarat dengan
simbol, ritual (prosesi), dan perlengkapan yang mengandung makna khusus.
Sebelum acara dimulai masyarakat terlebih dahulu membuat Jolen, yaitu tempat
yang terbuat dari bambu dengan diberi kertas warna-warni, berisi berbagai macam
makanan yang diantar ke kabumen dan pada akhirnya diperebutkan oleh warga.
PKMI-5-17-9
Hal ini merupakan simbol melimpah-ruahnya hasil bumi dan meningkatnya
penghasilan masyarakat.
Pembuatan Jolen dan Sajen merupakan simbol kesadaran manusia sebagai
makhluk yang mempunyai kekurangan dan kelebihan serta kekhilafan. Untuk
itulah manusia memohon pengampunan kepada Tuhan. Selanjutnya, ritual
pembacaan doa pada rangkaian upacara sedhekah bumi dan pementasan wayang
topeng merupakan inti dari ibadah manusia pada yang maha kuasa. Kesemuanya
itu menunjukkan masih kuatnya tradisi yang sarat dengan makna simbolik, bagi
sebagian masyarakat Jawa modern.

KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan sebagaimana dipaparkan di
atas maka dapat diambil beberapa kesimpulan. Pertama, maraknya berbagai
tradisi untuk memperingati dan ataupun merayakan peristiwa penting dalam
perjalanan hidup manusia dengan melaksanakan serangkaian upacara itu, di
samping merupakan bagian dari kebudayaan masyarakat sekaligus sebagai
manifestasi upaya manusia untuk mendapatkan ketenangan rokhani. Kedua, ritual
sedhekah bumi yang di dalamnya terdapat pementasan wayang topeng yang
selalu dilaksanakan masyarakat di dukuh Kedung Panjang merupakan bukti masih
kuatnya kepercayaan sebagian orang Jawa terhadap kekuatan-kekuatan dunia
gaib, sekalipun mereka saat ini sudah memasuki era modern. Tradisi upacara
sedhekah bumi bagi masyarakat Jawa ternyata masih cukup kuat berakar dan
selalu dilaksanakan secara konsisten oleh sebagian besar masyarakat Jawa. Bagi
warga dukuh Kedung Panjang tradisi ini mempunyai syarat khusus yang relatif
berbeda dengan masyarakat Jawa pada umumnya. Kekhususan terutama pada
adanya pelaksanaan pementasan wayang topeng dengan syarat-syarat,
perlengkapan, serta tatacara khusus yang merupakan satu rangkaian dengan tradisi
sedekah bumi yang diawali dengan kegiatan bersih desa dengan segala
aktivitasnya.
Ketiga, sejak awal kemunculan tahun 1896 sampai sekarang wayang
topeng mengalami perkembangan fungsi, dari sekedar berfungsi ritual sebagai
sarana upacara sedhekah bumi sampai pada fungsi sosial lain termasuk untuk
hiburan, tontonan, serta sarana penyembuhan penyakit tertentu. Keempat, peranan
wayang topeng sangat besar artinya bagi masyarakat Kedung Panjang. Kegiatan
ritual sedhekah bumi tanpa disertai pertunjukan wayang topeng dikhawatirkan
membawa akibat terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan bagi ketenteraman
masyarakat, seperti terkena wabah penyakit menular, ancaman hama tanaman,
maupun berkurangnya kesuburan lahan. Kelima, tradisi pementasan wayang
topeng terbukti membawa dampak dalam bidang ekonomi, sosial dan budaya,
religius, serta pendidikan bagi masyarakat setempat.

DAFTAR PUSTAKA
Buchari, Ibrahim. 1983. Sejarah Masuknya Islam dan Proses Islamisasi di
Indonesia (Terjemahan). Jakarta: FIS UI.
Faisal, Sanapiah. 1990. Penelitian Kualitatif Dasar dan Aplikasi. Malang: YAS.
Geertz, Clifford. 1983. Abangan, Santri, dan Priyayi dalam Masyarakat Jawa.
Jakarta: Pustaka Jaya.
PKMI-5-17-10
Kartodirjo, Suyatno. 1990. Pengkajian Sejarah Mengenai Kebudayaan Daerah
dan Pengembangan (Laporan Penelitian). Surakarta: Universitas Sebelas
Maret.
Koentjaraningrat. 1981. Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Jakarta: Dian
Rakyat.
Koentjaraningrat. 1982. Sejarah Teori Antropologi I. Jakarta: UI Press.
Koentjaraningrat. 1984. Kebudayaan Jawa. Jakarta: Balai Pustaka.
Lucas, Anton. 1982. Masalah Wawancara dengan Informan Pelaku Sejarah di
Jawa: Aspek Manusia dalam Penelitian Masyarakat. Jakarta: Gramedia.
Miles, Mathews B. and A. Michael Huberman. 1984. Qualitative Data Analysis.
Beverly Hills London: Sage Publications.
Mulder, Niels. 1981. Kepribadian Jawa dan Pembangunan Nasional.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Sardjono, Maria A. 1992. Paham Jawa. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Subagya, Rahmat. 1987. Kepercayaan dan Agama. Yogyakarta: Kanisius.
Sumardjoko, Bambang dan Murofiquddin. 1998. Tradisi Sanggaran di
Peziarahan R. Ng. Yosodipuro I Pengging dan Dampaknya bagi
Maasyarakat Sekitarnya (Laporan Penelitian). Surakarta: Lemlit
Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Sutopo, HB. 1990. Metodologi Penelitian Kualitatif II Proposal dan Laporan
Penelitian. Surakarta: Universitas Sebelas Maret.
Setyadi, Yulianto Bambang. 2001. Tradisi Peziarahan pada Petilasan Pertapaan
Panembahan Senopati di Kahyangan Dlepih dan Dampaknya bagi
Masyarakat Sekitarnya dalam Jurnal Penelitian Humaniora Vol. 2 No. 2
Agustus 2001 (168-182). Surakarta: Lembaga Penelitian Universitas
Muhammadiyah Surakarta.

PKMI-5-18-1
APLIKASI GUGUS KENDALI MUTU
DALAM MENGHINDARI KOMPLAIN PELANGGAN TERHADAP
KUALITAS SUSU SAPI PERAH

Achmad Priyono Winarko, Laksono Budi Santoso, Reno Andika
Universitas Muhammadiyah Malang, Malang

ABSTRAK
Gugus Kendali Mutu (GKM atau Quality Control Cyrcle) adalah aktivitas untuk
mengajak partisipasi peternak melalui sumbangan pemikiran yang dituangkan
dalam siklus PDCA (Plan-Do-Chack-Action) dalam mengatasi masalah yang
dihadapi. Pada penelitian ini akan membahas tentang implementasi GKM untuk
Menghindari komplain customer terhadap kualitas susu sapi perah dengan cara
pemeliharaan yang baik. Dari data sebelum tindakan, target dan sesudah
dilakukan tindakan maka % produk cacat dapat ditekan dari rata-rata 31 per4
bulan manjadi rata-rata 27 per 4 bulan. Hal tersebut telah melampui target yang
ditetapkan sebelumnya yaitu 29 per bulan.

Key Words : Gugus Kendali Mutu, Jumlah cacat, Susu

PENDAHULUAN
Perkembangan dunia pendidikan tingkat tinggi yang sangat pesat sehingga
memicu persaingan yang semakin ketat. Usaha paling kritis adalah memenuhi
harapan dari mahasiswa dan masyarakat, beberapa harapan karakteristik mutu
pada pelayanannya serta menghasilkan sarjana yang cakap dan memiliki
kualifikasi yang kompetitip. Gugus Kendali Mutu (GKM) merupakan metode
pemeliharaan sekaligus peningkatan terhadap produktivitas yang telah dicapai.
Tujuan dari GKM adalah untuk memberi motivasi dalam membina dan
mengembangkan etos disiplin dan motifasi kerja dengan melibatkan semua pihak .
Dalam penerapan teknik QCC terdapat 7 (tujuh) alat yang digunakan dalam
mengadakan cyrcle.
Tujuh alat (seven tools) untuk perbaikan dalam kegiatan QCC adalah :
Lembar Pengumpulan Data
Lembar pengumpulan data dirancang sesuai dengan keperluan dan
strafikasi ka diperlukan untuk :
Membantu memahami situasi
Memudahkan menganalisis data
Mengendalikan proses / pekerjaan
Mengambil keputusan
Membuat rencana atau perbaikan
Stratifikasi
Stratifikasi bertujuan menguraikan / mengklasifikasikan persolaan yang
ada menjadi unsur-unsur tunggal serta menghilangkan interuptasi.
Stratafikasi berguna untuk melihat dengan terinci karakteristik kualitas dan
juga akibat dari pelaksanaan asumsi pada karakterisitk kualitas tersebut.
Diagram Pareto
Diagram ini menggambarkan secara detail perbandingan masing-masing
jenis masalah, mempersempit masalah yang dominan. Dengan demikian

PKMI-5-18-2
diagram pareto akan dapat menggambarkan jenis persoalan sebelum dan
sesudah perbaikan.
Diagram Sebab Akibat
Diagram sebab akibat dengan istilah fish bone, karena bentuknya yang
mirip dengan tulang ikan. Hal-hal penting dalam diagram sebab akibat ini
adalah :
Menentukan faktor-faktor yang berpengaruh pada karakteristik
mutu.
Prinsipnya terhadap penyebab-penyebab yang sebenarnya dan
masing-masing berdiri sendiri.
Untuk pengisian digunakan sumbang saran.
Dalam menentukan faktor-faktor yang berpengaruh digunakan
4M dan 1L, yaitu : faktor mesin / alat, manusia, metode kerja,
material dan lingkungan.
Histogram
Histogram digunakan dalam QCC utuk memudahkan dalam mengetahui
penyebaran ghgk kkj ,bn,kk,mdengan jelas. Dalam hal ini
diperlukanpengetahuan tentang statistik distribusi normal, sehingga
batasan rata-ratanya dapat lebih jelas.
Diagram Pencar / Korelasi
Diagram ini memperlihatkan hubungan dari suatu penyebab atau faktor
yang berkesinambungan terhadap karakteristik mutu.
Interpretasi suatu diagram pencar tersebut dapat berupa :
Adanya korelasi positif
Adanya korelasi positif tetapi mungkin dari faktor lain yang
berpengaruh
Tidak tampak adanya korelasi
Adanya korelasi negatif
Grafik / Bagan Pengendali Mutu
Grafik pengendali mutu dapat berupa grafik balok, grafik lingkaran atau
grafik garis. Grafik ini dibuat dengan maksud agar data lebih cepat, mudah
untuk dibaca, jelas dan menarik untuk dilihat. Sedangkan bagan
pengendalian merupakan grafik garis dengan mencantumkan batas
maksimum dan minimum yang merupakan batas pengendalian, sehingga
penyimpangan dapat diamati dengan cepat dari waktu ke waktu.

Ukuran Keberhasilan Program QCC
Keberhasilan program QCC dapat diukur dalam 3 golongan utama :
b. Mutu, ini dapat diukur dengan :
Tingkat kerusakan per jam atau per orang
Data pengembalian dari pelanggan
c. Biaya, misalnya :
Biaya kegagalan
Biaya total pembuatan
Biaya total mutu
Biaya penjualan


PKMI-5-18-3
d. Sikap yang bisa tercerminkan dalam hal :
Perpindahan tenaga kerja
Absensi
Pengurangan tingkat kecelakaan
Penumpukan barang atau menunggu
Survey sikap

Taguchi membagi tiga bagian dalam off line quality control (Ross, 1998)
yaitu :
1. Desain Sistem
Merupakan tahap pertama dalam desain dan merupakan tahap konseptual
pada pembuatan produk baru atau inovasi proses. Tahap ini memerlukan
pengetahuan teknik yang baik dan pengalaman luas. Desain sistem bukan
merupakan metode desain optimasi, seperti dalam eksperimen klasik tetapi
lebih merupakan rekayasa desain untuk menggunakan teknologi yang sesuai.
2. Desain Parameter
Desain parameter berujuan untuk mereduksi ongkos dan meningkatkan
kualitas dengan metode desain eksperimen. Secara teknis kegiatan pada tahap
ini adalah mengidentifikasi setting parameter yang akan memberi pengaruh
paling minimum terhadap variasi dan menetukan pengaruh dari faktor tidak
terkontrol pada variasi. Tahap ini adalah tahapan paling utama dari pendekatan
off line control. Hasil dari tahap ini adalah didapatkan kombinasi yang optimal
dari faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas.
3. Desain Toleransi
Desain toleransi adalah proses melakukan kontrol terhadap faktor-faktor
yang mempunyai pengaruh pada target dengan cara meningkatkan kualitas
komponen tetapi tidak menaikkan ongkos. Penentuan toleransi ini dikaitkan
dengan kerugian masyarakat akibat penyimpangan spesifikasi produk dari
target. Dengan demikian toleransi yang sempit dari suatu produk itu semakin
baik dan kerugian masyarakat semakin kecil.

METODOLOGI
Penelitian ini di laksanakan di koprasi Susu Ds Bayem Kecamatan
kasembon pada bulan januari sampai dengan februari 2006. Penelitian ini
menggunakan aplikasi Gugus Kendali Mutu (GKM) yang meliputi 7 langkah
dalam penerapanya, yaitu menentukan tema, menentukan penyebab, menentukan
penyebab dominan, menentukan rencana dan target perbaikan, melakukan
tindakan perbaikan, meneliti hasil dan yang terakhir standarisasi kerja.
Langkah-langkah dalam penerapan GKM adalah:
Menentukan tema dan pokok masalah dengan melihat alasan pemilihan
tema, tujuan dari data produksi yang di dapat pada bulan januari sampai februari
2006 di Ds Bayem Kecamatan Kasembon Malang.
Menentukan penyebab atau analisa sebab akibat dengan menggunakan
diagram fish bone atau tulang ikan dan tabel analisa sebab akibat.
Menentukan penyebab yang dominan dengan cara membuat tabel pareto
dan diagram pareto.

PKMI-5-18-4
Menentukan rencana dan target perbaikan ayau merencanakan
penangulangan dengan cara membuat tbel mengenai faktor, masalah dan
perbaikan.
Melakukan tindakan perbaikan dengan cara membuat tabel faktor perbaikan
kegiatan sebelum dan sesudah penanggulangan masalah yang ada.
Meneliti hasil degan cara membandingkan hasil perhitungan sebelum dan
sesudah penerapan GKM, serta membuat tabel asosiasi dan diagarm pareto.
Membuat standarisasi kerja sebagai hasil dari penerapan GKM.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Agar mempermuda dalam melakukan penelitian GKM ini maka kami perlu
menentukan parameter-parameter yang dapat membantu dan mampu mendukung
kerja kami.

LANGKAH I
Menentukan Tema Dan Pokok Masalah
Tema
Menghindari komplain pelanggan terhadap kualitas susu sapi perah dengan
cara pemeliharaan yang baik.

Alasan pemilihan tema
Dengan adanya komplain produksi dalam hal ini maka susu akan terbuang
percuma, terjadi pemborosan bahan, tenaga dan waktu serta dapat mengakibatkan
terganggunya stabilitas usaha.

Tujuan
Mendapatkan hasil produksi yang maksimal dengan kecacatan sekecil
mungkin

Data:

a. Data hasil produksi sapi perah hasil produksi bulan Sep05-jan06
No Uraian Jumlah sampel
1 Hasil produksi yang berhsil 171
2 Kadar susu kurang dari standard 31
3 Kontaminasi 3
4 Kondisi sapi kurang baik 3

b. Data permasalahan pada produksi sapi perah
No
masalah
Uraian Jumlah
kasus
prosetase Prosentase
komulatif
1 Kadar susu kurang dari standard 31 83.78 83.78
2 Kontaminasi 3 8.11 91.89
3 Kondisi sapi kurang baik 3 8.11 100




PKMI-5-18-5
c. diagram pareto dari data tersebut adalah sbb:
1
0
5
10
15
20
25
30
35
j
u
m
l
a
h

k
a
s
u
s
jenis masalah
Series1
Series2
Series3


kesimpulan : dilihat dari diagram paretro di atas , maka masalah dominan dan
harus segera di atasi adalah kadar susu kurang dari standard

LANGKAH II

MENCARI PENYEBAB MASALAH
A. FISH BNE DIAGRAM













B. ANALISA SEBAB AKIBAT
Faktor Masalah Sebab Akibat
Manusia Pemberian pakan
yang salah atau
kurang memadai
Oprator sekil kurang Kadar susu kurang
memenuhi kualitas
Metode Kesalahan cara
memerah
Pengetahuan kurang Susu terkontaminasi
Hewan Tertular penyakit Hewan terkenapenyakit
akibat makanan atau
kodisi lingkungan
Susu menjadi kurang
atau terbuang
percuma



PKMI-5-18-6
LANGKAH III
MENCARI PENYEBAB DOMINAN

NO FAKTOR PENYEBAB MASAAH BOBOT KETERANGAN
BOBOT
1
2
3
MANUSIA
METODE
HEWAN
Salah pemberian pakan
Kesalahan memerah
Tertular penyakit
65
20
15
JUMLAH 100
10-30:kurang berpengaruh
31-60:berpengaruh
61-100:sangat berpengaruh


C. TABEL PARETO
NO FAKTOR PENYEBAB MASAAH BOBOT %
%
komula
tif
1
2
3
MANUSIA
METODE
HEWAN
Salah pemberian pakan
Kesalahan memerah
Tertular penyakit
65
20
15
65
20
15
65
85
100
JUMLAH 100 100

D. DIAGRAM PARETO
0
10
20
30
40
50
60
70
bobot
1 2 3
penyebab masalah
Series1


Kesimpulan: berdasarkan data yang di peroleh faktor yang berpengaruh dalam
masalah ini adalah faktor manusia, karena kegagalan dalam produksi yang
diakibatkan oleh kesalahan pemberian pakan ternak



LANGKAH IV
MERENCANAKAN PENANGGULANGAN



PKMI-5-18-7

No Faktor Masalah Rencana
perbaikan
waktu Penanggung
jawab
1



2



3

MANUSA



METODE



HEWAN
Salah
pemberian
pakan

Kesalahanme
merah


Tertular
penyakit
Memberikan
rasum yang
berkualitas

Memberikanp
engetahuan
cara memerah

Membersihka
n knadang
tiap hari
Sep05-jan06



Sep05-jan06



Sep05-jan06

Saritem



Hartono



Paijo



LANGKAH V
MELAKSANAKAN PENANGGULANGAN

No Faktor Sebelum penanggulangan Setelah penanggulangan
1


2

3
MANUSA


METODE

HEWAN
Pembrian pakan hanya
dengan rumput saja

Oprator skil kurang

Kandang dibersihkan setiap
seminggu sekali
Pemberian pakan dengan
menggunakan suplemen sapi

Oleh tenaga ahli

Membersihkan setiap 3 hari
sekali

LANGKAH VI
EVALUASI HASIL

No Jenis masalah Sebelum Sesudah Penurunan dari
seluruh masalah
1 kadar susu kurang dari
standard
31 2
2 kontaminasi 3 1

3 Kondisi sapi kurang baik 3 1

Jumlah 37 4
(37-4) x 100% = 89,19%
37
penurunan masalah
utama
(31-2) x 100% = 93,35%
31


Tabel ASOSIASI
SEBELUM GKM SESUDAH GKM
No
masalah
Kasus % % komulatif No masalah Kasus % % komulatif
1 31 83,78 83,78 1 2 50 50
2 3 8,11 91,89 2 1 25 75
3 3 8,11 100% 3 1 25 100%

PKMI-5-18-8
DIAGRAM PARETO

SESUDAH GKM
0
0,5
1
1,5
2
2,5
1 2 3
JENIS MASALAH
J
U
M
L
A
H

K
A
S
U
S
Series1

KETERANGAN
1 = Kadar susu kurang dari standard
2 = Kontaminasi
3 = Kondisi sapi kurang baik

LANGKAH VII
STANDARISASI
KETENTUAN JENIS PEKERJAAN PETUNJUK PELAKSANAAN
Penyuluhan kepada
para peternak
Peternak sapi perah Setiap peternak diberi pengetahuan
tentang sapi perah

KESIMPULAN
Dari data di atas diketahui jumlah kasus terbesar pada pemerahan sapi
perah di karenakan kadar susu kurang dari standard dan faktor utamanya adalah
manusii yang salah memberikan pakan ternak yang baik untuk sapi setelah
digunakn konsep qulity qontrol terjadi penambahan personil dan hasilnya faktor
kecacatan prodak menurun.

DAFTAR PUSTAKA
Ariani Wahyu, Dorothea, Pengendalian Kualitas Statistik (Pendekatan
kuantitatif dalam manajemen kualitas), Penerbit Andi, Yogyakarta, 2003
Grant L. Eugene, dan Leavenwort S. Richard, Pengendalian Kualitas Statistik,
(Edisi ke-5), Erlangga, Jakarta, 1998
Montgomery C. Douglas, Pengendalian Kualitas Statistik, (Terjermahan),
Gajah Mada Uneversity Pers, Yogyakarta, 1990
Nazir Mohammad, Metodologi Penelitian, Cetakan Ketiga, PT. Ghalia
Indonesia, Jakarta, 1998
Philip. J Ross (1989), Taguchi Techniques for Quality Engineering, McGraw-Hill
International Edition
Strauss, George; Sayle Leonard R, Manajemen Personalia Jilid II, Seri
Manajemen No. 62B, PT. Pustaka Binaman Pressindo, jakarta 1986
LAPORAN KKN T KELOMPOK 37 2006 Ds Bayem Kasembon, MALANG
SEBELUM GKM
0
5
10
15
20
25
30
35
1 2 3
JENIS MASALAH
J
U
M
L
A
H

K
A
S
U
S
Series1

PKMI-5-19-1
NILAI KETANGGUHAN DAN BENTUK PERPATAHAN HASIL
PENGELASAN BUSUR TERENDAM PIPA SPIRAL BAJA API 5L X-52

Muhammad Sukron dan Suprayogo Sukmo Waskito, Muhammad Suudi
Jurusan Teknik Mesin, Universitas Muhammadiyah Malang

ABSTRAKSI
Las submerged arc welding (SAW) merupakan bentuk pengelasan yang banyak
digunakan untuk fabrikasi pipa, misalnya pipa spiral. Luasnya pemakaian las
submerged arc welding (SAW) disebabkan karena pengelasan dapat dilakukan
secara otomatis dan memiliki keandalan yang tinggi. Ketangguhan las
dipengaruhi oleh banyak faktor diantaranya masukan panas, kuat arus, filler dan
fluk, kecepatan las dan laju pendinginan. Tujuan dari penelitian ini dimaksudkan
untuk mendapatkan struktur mikro yang memberikan ketangguhan sambungan las
yang disebabkan oleh jumlah struktur mikro acikular ferit yang lebih banyak dan
menyelidiki bentuk patahan dari hasil pengujian. Hal ini dilakukan dengan
membuat variasi kuat arus pengelasan. Percobaan dilakukan menggunakan
bahan Baja API 5L X-52 dengan variasi kuat arus DC 800 , 825, 850, 875 dan
900 Amper pada pengelasan pipa spiral di bagian luar, dengan kecepatan13,67
mm/s dan Voltase 35 volt. Pengujian diawali dengan pengamatan struktur mikro
dan di uji ketangguhan pada suhu -60
0
C, -40
0
C, -20
0
C, 0
0
C, 26
0
C dan 60
0
C.
Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai ketangguhan logam las tertinggi
dicapai pada kuat arus 900 Amper dikarenakan jumlah ferit acikular lebih
banyak dengan suhu transisiberada pada range -20
0
C dan 0
0
C. Perpatahan
bentuk dimple memiliki nilai ketangguhan tertinggi dan bentuk serpihan
memiliki nilai ketangguhan kecil

Keywords : Pipa spiral, kuat arus, ketangguhan, baja api 5L X-52

PENDAHULUAN
Indonesia merupakan salah satu negara penghasil minyak dan gas bumi
terbesar di dunia, diantaranya tersebar di wilayah : Sumatra, Natuna, Jawa,
Kalimantan, Sulawesi, Papua dan dilepas pantai Indonesia. Sebagai
konsekuensinya, kebutuhan akan pipa transmisi sebagai sarana untuk
menghubungkan sumber dan pengguna energi tersebut semakin meningkat,
sehingga hal ini merupakan peluang bisnis khususnya untuk industri baja dan
industri yang memproduksi pipa.
Pada saat ini, pengelasan merupakan salah satu teknik penyambungan
yang banyak digunakan pada perpipaan, misalnya pada konstrusi pipa
pemancangan, pipa minyak dan pipa gas. Hal ini disebabkan oleh banyaknya
keuntungan yang dapat diperoleh dari sambungan las. Menurut Cary (1989)
luasnya penggunaan proses penyambungan dengan pengelasan disebabkan oleh
biaya murah, pelaksanaan relatif lebih cepat, lebih ringan, dan bentuk konstruksi
lebih variatif. Salah satu teknik pengelasan yang banyak dipakai untuk
penyambungan pada konstruksi baja adalah las busur terendam atau submerged
arc welding (SAW). Pada pengelasan dengan las submerged arc welding (SAW),
logam cair ditutup dengan fluks yang diatur melalui suatu penampang, fluks dan
logam pengisi yang berupa kawat pejal diumpankan secara terus menerus
(Wiryosumarto dan Okumura, 2000) sehingga pengelasan dapat dilakukan secara

PKMI-5-19-2
otomatis, oleh karena itu memberi kenyamanan dalam pengoperasiannya dan
memiliki keandalan yang tinggi.
Spesifikasi yang harus dipenuhi oleh baja yang digunakan untuk pipa gas
dan minyak diantaranya adalah baja tersebut harus mempunyai kekuatan tarik
yang tinggi yaitu sekitar 500 MPa dan ketangguhan impak (Charpy impact
toughness) yang baik, yaitu sebesar 100 Joule pada suhu 0

C atau 27 Joule pada


suhu -50

C. Baja paduan tegangan tinggi atau HSLA (high strength low alloy
steel) yang diproduksi dengan menggunakan thermomechanical controlled
processing (TMCP) biasanya memenuhi persyaratan diatas dan digunakan sebagai
bahan pipa gas dan minyak.
Di beberapa negara Eropa, pipa untuk gas dan minyak biasanya diproduksi
dengan sambungan las spiral (spiral welded pipes) dan las yang digunakan berupa
las busur terendam atau submerged arc welding (SAW), karena proses
pengelasanya dapat dilakukan secara otomatis dan memiliki keandalan yang
tinggi. Untuk memenuhi persyaratan perpipaan, sambungan las harus mempunyai
kekuatan dan ketangguhan mendekati logam induknya. Untuk itu dalam
pengelasan harus diperhatikan faktor-faktor seperti komposisi kimia filler dan
fluks, kekuatan arus, heat input, kecepatan las dan laju pendinginan.

Submerged Arc Welding (SAW)
Submerged Arc Welding (SAW) merupakan proses pengelasan otomatis
dimana busur listrik dan logam cair tertutup oleh lapisan serbuk fluks, sedangkan
kawat pengisi diumpankan secara kontinyu. Karena panas yang hilang dalam
bentuk radiasi sangat kecil maka efisiensi perpindahan panas dari elektroda ke
logam las sangat tinggi yaitu sekitar 90 % (Wiryosumarto dan Okumura, 2000)
Fluks
Fungsi dari fluks adalah sebagai sumber terak untuk melindungi logam
cair dari udara sekitarnya, menjaga busur listrik agar tetap stabil, sebagai
deoksidator, menghasilkan gas pelindung, mengurangi percikan api dan uap
padapengelasan, dan sebagai sumber dari unsur paduan.Basicity Index ( BI ) atau
indeks kebasaan digunakan untuk menentukan derajat keasaman atau kebasaan
suatu fluks. Menurut IIW (International Institute of Welding), BI dapat dibedakan
menjadi 4 jenis yaitu :bersifat asam jika BI < 1, bersifat netral untuk 1 < BI <
1,5, bersifat semi basa untuk 1,5 < BI < 2,5 dan bersifat basa jika BI > 2,5.

Masukan Panas ( Heat I nput )
Masukan panas adalah besarnya energi panas tiap satuan panjang las
ketika sumber panas bergerak. Masukan panas (H), dinyatakan dengan persamaan
sebagai berikut :

H = P/v = EI/v .................................. (1)

dimana,
P : Tenaga input ( Watt ) v : Kecepatan pengelasan ( mm/s )
E : Potensial listrik ( volt ) I : Arus listrik ( Amper )

Heat input juga mempengaruhi bentuk penampang lintang lasan ( bead on
plate ) yang meliputi besarnya permukaan logam induk yang mencair, permukaan
bahan pengisi dan HAZ.

PKMI-5-19-3
Pengaruh Energi Panas Pada Pengelasan
Fungsi utama sumber panas pada las cair (fusion welding) adalah untuk
mencairkan logam, yang mempunyai dua fungsi yaitu:
1. Sebagai bahan pengisi (filler) pada bagian yang disambung sehingga terbentuk
bahan yang kontinyu.
2. Membersihkan permukaan sambungan dengan reaksi kimia.
Efisiensi cair (melting efficiency) adalah masukan panas yang digunakan untuk
mencairkan logam yang besarnya bisa dihitung dengan bantuan gambar.
Bentuk penampang lintang dari gambar dinamakan bead on plate (logam las
diatas las).

Siklus Thermal Daerah Lasan
Dareah lasan terdiri dari 3 bagian yaitu logam lasan, daerah pengaruh
panas (Heat Affected Zone) dan logam induk. Logam lasan adalah bagian logam
yang pada waktu pengelasan mencair dan kemudian membeku. Daerah pengaruh
panas atau daerah HAZ adalah logam dasar yang bersebelahan dengan logam las
yang selama proses pengelasan mengalami siklus termal pemanasan dan
pendinginan cepat. Logam induk tak terpengaruhi adalah bagian logam dasar
dimana panas dan suhu pengelasan tidak menyebabkan terjadinya perubahan-
perubahan struktur dan sifat.
Selama proses pengelasan berlangsung, logam las dan daerah pengaruh
panas akan mengalami serangkaian siklus thermal yang berupa pemanasan sampai
mencapai suhu maksimum dan diikuti dengan pendinginan. Pada pengelasan baja,
kandungan C pada logam las biasanya dibuat rendah yaitu 0,1 % massa, dengan
tujuan untuk mempertahankan sifat mampu las atau weldability (Easterling, 1992).
Sebagai akibatnya, jika kondisi kesetimbangan (equilibrium) tercapai maka logam
las akan mengalami serangkaian transformasi fasa selama proses pendinginan,
yaitu dari logam las cair berubah menjadi ferit- kemudian (austenit) dan
akhirnya menjadi (ferrit). Pada umumnya laju pendinginan pada proses
pengelasan cukup tinggi sehingga kondisi kesetimbangan tidak terjadi dan
akibatnya struktur mikro yang terbentuk tidak selalu mengikuti diagram fasa.
Faktor lain yang mempengaruhi siklus termal adalah waktu pendinginan
(cooling time ). Suhu yang dipakai sebagai acuan dalam menentukan waktu
pendinginan adalah antara 800

C-500

C.
Besarnya waktu pendinginan dapat dihitung dengan persamaan berikut :

=
0 0
5 / 8
800
1
500
1
2
/
T T k
v q
t

(2)

Struktur Mikro Las
Penambahan unsur paduan pada logam las menyebabkan struktur mikro
cenderung berbentuk bainit dengan sedikit ferit batas butir, kedua macam struktur
mikro tersebut juga dapat terbentuk jika ukuran butir austenitnya besar.
Nilai t
8/5
yang semakin besar (waktu pendinginan semakin lama) akan
meningkatkan ukuran ferit batas butir, selain itu waktu pendinginan yang lama akan
menyebabkan struktur mikro yang paling banyak terbentuk adalah ferit
widmanstatten. Kandungan oksigen yang besar juga akan menyebabkan
terbentuknya ferit Widmanstatten dan ferit batas butir dengan ukuran yang besar.

PKMI-5-19-4
Untuk mendapatkan struktur mikro hasil pengelasan yang baik yaitu berupa
ferit acicular maka unsur paduan, kandungan oksigen, waktu pendingin (At
8/5
) dan
ukuran butir austenit harus tepat.
Dari beberapa bentuk struktur mikro, ferit acicular merupakan struktur
mikro yang diinginkan karena dapat meningkatkan kekuatan dan ketangguhan
logam las seperti yang dilaporkan oleh Harrison dan Farrar (1981). Peningkatan
kekuatan ini disebabkan karena ferit acicular berbutir halus sesuai dengan
persamaan Hall-Petch berikut :
=
o
+ kd
-1/2

(3)
dimana:
: Tegangan luluh

o
: Tegangan friksi (friction stress)
K : Koefisien penguat (strengthening coefficient)
d : Ukuran (diameter) butir
Pada sisi lain, ketangguhan las disebabkan karena struktur ferit acicular
berbentuk anyaman (interlocking structure) sehingga dapat memberikan
ketangguhan yang baik.

METODOLOGI PENELITIAN
Bahan
Bahan penelitian ini : Plat Baja API 5L X52
Spesifikasi pipa : tebal :12 mm, luar : 711,2 mm
Spesifikasi bahan pipa
- Tegangan luluh (max) : 52.000 Psi
- Tegangan tarik (max) : 66.000 Psi

Metode Pengelasan
Proses Pengelasan : Submerged Arc Welding (SAW)
Jenis elektrode : AWS A5.17-80:EM 12 K 3,0 mm
Jenis fluk : OK Flux 10.71. (by ESAB)

Cara pengelasan
Plat yang berbentuk koil dirol tekuk membentuk pipa spiral yang dilas
bagian dalam kemudian pada jarak 1,5 meter dilas pada bagian luar pipa dengan
las SAW. Dari model pengelasan spiral kontinyu yang divariasi adalah pengelasan
luar pipa. Prosedur pengelasan adalah menurut standard AWS A5.17. Pengelasan
dilakukan dengan 3 jenis variasi kuat arus yaitu 800, 825, 850, 875 dan 900
Amper.









Gambar 1. Penampang Pengelasan Pipa Spiral
Perataan
permukaa
n
Coil pelat
Rolls
Pengelasan
dalam
Pengelasan
luar

PKMI-5-19-5
Tabel 1. Komposisi kimia logam induk (wt %)
C Mn S P
0,28 1,25 0,03 0,03

Tabel 2. Komposisi kimia elektrode las (wt %)
C Mn Si P S Cr Ni Mo Cu Al
0,11 1,09 0,29 0,009 0,011 0,03 0,02 0,0
1
0,12 0,00

Tabel 3. Komposisi kimia fluks (wt %)
AL
2
O
3

SiO
3
Mg
O
CaO Mn
O
Zr
O
2

Ti
O
Na
2
O
K
2
O Fe F S P
22-
26
18-
22
15-
19
11-15 6-10 4-
7
2-
5
1-3 1 1-
3
8 <0,0
3
<0,0
3

HASIL DAN PEMBAHASAN
Foto Makro
Foto makro bertujun untuk mengetahui bentuk dan batas antara daerah las,
HAZ, logam induk, las bagian luar dan las bagian dalam. Pada pengelasan pipa
faktor kekuatan terdapat pada pengelasan bagian luat, dari gambar terlihat bahwa
daerah las luar lebih besar dari pada yang dalam.















Gambar 2. Foto Makro Las


Ketangguhan Impak Daerah Las
Pengujian impak pada daerah las bertujuan untuk mengetahui ketanguhan
daerah las. Pengujian ketangguhan dilakukan pada suhu -60 C, -40 C, -20 C, 0
C, 26 C dan 60 C. Pengujian impak menunjukkan bahwa besarnya kuat arus
mempengaruhi ketanguhan lasan.
Las bagian luar
HAZ
Las bagian dalam

PKMI-5-19-6
Gambar grafik 3 di bawah menunjukkan bahwa kuat arus sangat
mempengaruhi ketangguhan sambungan las. Secara umum terjadi ketangguhan
yang tertinggi pada penggunaan kuat arus 900 Amper. Ketangguhan tertinggi
ini dipengaruhi oleh besarnya prosestase ferit acicular logam las (Kou, 1987)
Hasil uji ketangguhan impak pada daerah las terlihat bahwa variasi
suhu pengujian sangat mempengaruhi nilai ketangguhan dari sambungan las.
Dari pengujian ditunjukkan bahwa semakin rendah suhu pengujian maka nilai
ketangguhan dari sambungan las semakin rendah, dan semakin tinggi suhu
pengujian maka semakin besar nilai ketangguhan sambungan las. Pada
pengujian terendah kuat arus tidak mempengaruhi ketangguhan suatu
pengelasan karena pada grafik terihat kecil sekali perubahannya.

Uji Impak Daerah Las
0
20
40
60
80
100
120
140
160
180
200
220
-80 -60 -40 -20 0 20 40 60 80
Suhu pengujian (
o
C)
E
n
e
r
g
i

(
J
o
u
l
e
)
800 A
825 A
850 A
875 A
900 A


Gambar 3. Grafik Ketangguhan Impak Daerah Las

Yang dimaksud suhu transisi adalah suhu dimana terjadi perubahan
sifat ketangguhan pada logam dari getas menjadi ulet. Pada kondisi dibawah
suhu transisi logam mempunyai sifat getas sedangkan suhu diatas suhu transisi
logam mempunyai sifat ulet. Semakin kecil suhu transisi maka ketangguhan
logam semakin baik. Suhu transisi pada logam daerah pengelasan dengan
menggunakan kuat arus 800 dan 875 Amper mempunyai range 0 C sampai
dengan 26 C sedangkan pada pengelasan dengan kuat arus 825, 850 dan 900
Amper terjadi pada range suhu -20 C sampai dengan 0 C
Dari tabel diatas menunjukkan bahwa nilai pengujian impak logam las
pada suhu -50 C bernilai 7 Joule kecuali pada kuat arus 875 yang memiliki
ketangguhan dibawah 7 Joule, sedangkan pada suhu pengujian 0 C dari semua
perlakuan menunjukkan nilai dibawah 100 Joule. Dari data tersebut diatas
dapat diartikan bahwa pengelasan ini sesuai untuk sambungan konstruksi
karena memiliki ketangguhan yang disyaratkan yaitu 7 Joule pada suhu -50 C.

Pengamatan Fraktografi
Faktrografi (patahan) dapat diamati dengan 2 macam pengematan yaitu
dengan menggunakan foto SEM (Scaning Electron Microscope) dan foto
makro.

PKMI-5-19-7








a b c d

Gambar 4. Foto makro patahan : a). Logam Induk b). HAZ
c). Logam las d). Logam las -20
o
C













Gambar 5. Fraktografi dengan foto SEM pada a) Logam induk b)Daerah HAZ

Hasil pengamatan permukaan patah hasil pengujian impak dari setiap
daerah pengujian terdapat perbedaan bentuk patahan getas (clevage
fracture),dan patahan ulet. Pada pengujian impak di daerah logam induk
menunjukkan fraktografi permukaan yang dipenuhi dengan dimple-dimple
yang hampir merata sehingga memiliki ketangguhan yang tinggi, hal ini
ditandai dengan adanya cekungan-cekungan yang berbentuk parabola atau
elips terlihat pada gambar 5a. Perpatahan jenis ini adalah jenis perpatahan ulet
(Dieter, 1987). Perpatahan jenis ini juga terjadi pada daerah HAZ yang
memiliki ketangguhan lebih tinggi, hal ini dikarenakan memiliki orientasi
perpatahan berbetuk dimpel juga ada bentuk serabut-serabutnya terlihat pada
gambar 5b.
Fraktografi permukaan yang berbeda terjadi pada daerah logam las
dimana sudah banyak menunjukkan patah getas (clevage fracture), patah ini
juga dikatakan patah belah dimana perpatahan terjadi sepanjang kristalografi,
yang memiliki ciri perpatahan fase datar yang sama besarnya dengan ukuran
butir ferit dan berbentuk sungai (Dieter, 1987), perpatahan jenis ini terjadi
pada pengujian impak di logam las dengan suhu pengujian -20 C. Hasil
ketangguhan menunjukkan nilai yang sangat kecil, bentuk fraktografinya
seperti pada gambar 6b.


a b

PKMI-5-19-8












Gambar 6. Fraktografi dengan foto SEM pada a). logam las
b). Logam las -20
o
C.

Kombinasi antara patah getas dan patah ulet terjadi pada pengujian
impak didaerah logam las yang ditunjukkan bentuk perpatahan antara dimpel
dan bumbungan cabik sekitar ferit, oleh Dieter, (1987), dinamakan perpatahan
belah semu. Perpatahan ini bisa dilihat pada gambar 6a dengan nilai
ketanguhan yang baik dan memiliki kekerasan yang lebih tinggi.
Dari penjelasan di atas sangat jelas bahwa ketagguhan suatu material
bisa dilihat dari bentuk fraktografi permukaan patahannya dimana yang
memiliki bentuk patahan yang dipenuhi dimple dan serabut memiliki
ketangguhan yang paling tinggi sedang untuk patahan berbentuk serpihan yang
menterupai sungai memiliki ketangguhan yang paling kecil.

KESIMPULAN
Peningkatan kuat arus dari 800 Amper ke 900 Amper dan
meningkatkan jumlah prosentase ferit acicular dari ketangguhan sambungan
las, sedangkan suhu pengujian impach sangat mempengaruhi ketangguhan
sambungan las, ketangguhan optimal terjadi pada kuat arus 900 Amper yang
ekivalen dengan masukan panas 2,304 kJ/mm dan suhu transisi dengan range -
20
0
C. 0
0
C dilihat dari bentuk perpatahan, perpatahan bentuk dimple
memiliki nilai ketangguhan tertinggi dan bentuk serpihan memiliki nilai
ketangguhan kecil.

DAFTAR PUSTAKA
Cary, H.B., 1989, Modern Welding Technology, Third Edition, Printice Hall,
New Jersey
Dieter, G.E., 1987, Metalurgi Mekanik, Edisi 3, Penerbit Erlangga Jakarta.
Easterling, K.E., 1993, Introduction to the Phisical Metallurgy of Welding,
Sutterworths, pp. 115 -123
Harrison, P.L, dan Farrar, R.A., 1981, Influence of Oxigen-rich Inclusions
on the - a Phase Transformation in High Strength Low Alloy
(HSLA) Steel Weld Metals, Journal of Material Science, 16, pp 2218-
2226.
Kou, S., 1987, Welding Metallurg y, John Welley and Sons
b a

PKMI-5-19-9
Messler, Robert, W., 1999, Principles of Welding Processes, Physics,
Chemistry, & Metallurgy, John Wiley & Sons, New York.
Wiryosumarto, H. dan Okumura, T., 2000, Teknologi Pengelasan Logam, PT.
Pradya Paramita, Jakarta.

You might also like