You are on page 1of 346

KATA PENGANTAR

Buku yang tersaji dihadapan anda ini disusun dengan maksud agar dapat
dipergunakan sebagai bahan untuk mempelajari, memahami dan
mengimplementasikan prinsip-prinsip ketatanegaraan Indonesia dalam rangka
menuju konsolidasi sistem demokrasi. Buku ini merupakan hasil revisi dari buku yang
sudah pernah penulis susun, berjudul Hukum Tata Negara, Kewarganegaraan dan Hak
Asasi Manusia.
Judul buku ini memang sengaja penulis ubah, karena penulis menyadari bahwa
dalam sepanjang sejarah ketatanegaraan Indonesia, proses menuju konsolidasi sistem
demokrasi selalu diupayakan oleh setiap penyelenggara Negara. Namun demikian
sangat disayangkan, proses tersebut belum mampu dilaksanakan dengan baik. Hal ini
berarti konsolidasi sistem demokrasi masih terus berjalan.
Bertitik tolak dari gambaran singkat tersebut, maka perubahan judul tersebut
dimaksudkan agar buku ini menjadi semacam inspirasi bagi penulis-penulis buku
sejenis ataupun para pihak yang tertarik dengan Hukum Tata Negara Indonesia, untuk
dapat dilengkapi dengan ide-ide atau gagasan-gagasan lain yang lebih bagus dan
lengkap.
Tidak dapat dipungkiri bahwa sejak Undang-Undang Dasar 1945 diamandemen
oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, maka mulai saat itu sistem ketatanegaraan
Indonesia mengalami perubahan yang sangat cepat. Di tingkat kehidupan masyarakat
dan bangsa Indonesia sendiri, perubahan tersebut menimbulkan kegagapan tersendiri.
Hal ini merupakan gejala wajar bagi suatu masyarakat dan bangsa yang sudah lama
hidup dalam struktur dan sistem ketatanegaraan yang otoritarian.
Perlu diketahui bahwa langkah untuk melaksanakan konsolidasi sistem demokrasi
sudah barang tentu akan melalui berbagai macam tahapan. Bahkan tidak jarang
tahapan-tahapan tersebut memunculkan kesan adanya eksperimentasi atau uji coba
sistem ketatanegaraan. Oleh sebab itu konsolidasi sistem demokrasi yang berarti suatu
langkah untuk memperteguh atau memperkuat demokrasi dalam sistem
ketatanegaraan tentu tidak dengan serta merta dapat dihitung dalam jangka waktu
tertentu. Apalagi dengan memberikan patokan setelah tahun 2009, seperti yang
diungkapkan oleh Akbar Tanjung atau Daniel Sparringga yang menganggap sebagai
masa transisi dengan ukuran progresif berlangsung 2 tahun, dan ukuran konvensional
sekitar 10 tahun. (Kompas, 16/2/2009).
Sebagai sebuah langkah pemantapan atau penguatan sistem demokrasi, maka bagi
negara yang belum akrab dengan sistem demokrasi seperti Indonesia, konsolidasi
demokrasi tentu akan melewati beberapa langkah eksperimentasi atau uji coba. Seperti
uji coba infra struktur demokrasi, perumusan perangkat hukum untuk mengawal
jalannya sistem demokrasi, serta uji coba penerapan sistem demokrasi. Eksperimentasi
itu diarahkan untuk membangun budaya demokrasi dalam konsolidasi demokrasi.
Dengan demikian, sebenarnya prasyarat penguatan atau peneguhan demokrasi
melalui konsolidasi memang tidak hanya berpijak pada sistem demokrasi prosedural
belaka, melainkan yang lebih utama adalah menyangkut substansi demokrasi yakni
kultur demokrasi itu sendiri. Henry B. Mayo mengemukakan bahwa demokrasi di
samping sebagai suatu sistem pemerintahan dapat juga dikatakan sebagai suatu life
style yang mengandung unsur-unsur moril, seperti penyelesaian secara damai dan
melembaga,
Kata Pengantar — v

terjadinya perubahan secara damai, menyelesaikan pergantian kepemimpinan secara


teratur, membatasi pemakaian kekerasan, menganggap wajar adanya
keanekaragaman, dan menjamin tegaknya keadilan. Unsur-unsur moril seperti ini jelas
belum semuanya diterapkan dalam budaya demokrasi di Indonesia.
Banyak contoh yang dapat dikemukakan di sini. Maraknya demonstrasi yang
dibarengi dengan aksi kekerasan dan memakan korban, hilangnya kesantunan dalam
berpendapat atau berargumentasi, black campaign para elit politik, menunjukkan bahwa
budaya demokrasi di Indonesia masih jauh dari nilai-nilai yang dikemukakan oleh
Henry B. Mayo tersebut. Dengan demikian sejak tahun 1998 ketika reformasi
dikumandangkan sampai dengan amandemen UUD 1945, semuanya tidak termasuk
kategori konsolidasi demokrasi, melainkan lebih bernuansakan eksperimentasi
demokrasi.
Penataan sistem demokrasi prosedural yang mulai dilakukan pasca reformasi 1998
termasuk melakukan amandemen UUD 1945 pada hakikatnya hanya merupakan
langkah eksperimentasi demokrasi. Tidak ada satupun yang sifatnya definitif dan
subtantif melalui pendekaan kultur demokrasi. Akibatnya sistem demokrasi yang
dikembangkan hampir semuanya bersifat coba-coba. Belum ada yang menunjukkan
kemantapan dan penguatan kultur demokrasi. Dari tingkatan infra sruktur politik
sampai dengan tingkatan supra struktur politik masih tetap menyisakan berbagai
persoalan.
Di tingkatan infra struktur politik, terutama pembenahan kehidupan kepartaian
jauh dari idealisme budaya demokrasi. Pembatasan jumlah Parpol melalui electoral
threshold dan parliamentary threshold sebagai prasyarat dari sistem presidensiil tetap
belum final. Uji coba seperti ini malah memunculkan tuntutan Partai-partai kecil
melalui yudicial review Mahkamah Konstitusi yang nuansa uji cobanya juga sangat
kental. Artinya disetujui oleh Mahkamah Konstitusi atau tidak yang penting nuntut
dulu di Mahkamah Konstitusi.
Sementara itu keputusan Mahkamah Konstitusi itu sendiri juga bernuansakan
coba-coba, karena keputusan tersebut mengakibatkan terjadinya inkonsistensi dalam
menrerjemahkan makna pemilihan presiden/wakil presiden bila dihubungkan dengan
norma kesamaan hukum dan pemerintahan sebagaimana tertuang di dalam Pasal 27
ayat (1) UUD 1945. Artinya calon pasangan Presiden dan Wakil Presiden dari tokoh-
tokoh independen dan nonpartisan sudah tertutup. Higemoni parpol dalam kancah
kehidupan ketatanegaraan semakin menguat. Hal ini berarti tidak semua warga
negara memiliki kesamaan di depan hukum dan pemerintahan khususnya dalam
mencalonkan diri untuk menjadi Presiden atau Wakil Presiden, kecuali yang
dicalonkan oleh partai politik atau gabungan partai politik.
Demikian pula dengan sistem pemilu dengan mencontreng nama caleg
menunjukkan bahwa budaya demokrasi di tubuh internal Parpol melalui penguatan
sistem pencalegan juga belum berjalan. Mekanisme mencontreng nama caleng di
masing-masing Parpol dalam pemilu, sebenarnya dapat dilakukan melalui mekanisme
internal Parpol melalui konvensi. Di lingkungan internal Parpol, Caleg-caleg itu di fit
and propertest terlebih dahulu dengan melibatkan konsituen dan simpatisan masing-
masing parpol. Kemudian hasil dari fit and propertest tersebut dipergunakan sebagai
dasar untuk penentuan caleg yang ditawarkan kepada pemilih. Cara seperti ini jelas
akan membangun budaya demokrasi di masing-masing parpol.
Ternyata mekanisme ideal yang seharusnya seperti ini, ditempuh melalui
pemungutan suara dalam Pemilu 2009. Akibatnya kemungkinan terjadi konflik antar
caleg di masing-masing parpol terbuka lebar. Hal ini berarti konflik antara caleg
dengan Parpolnya seperti yang terjadi menjelang Pemilu 2004 karena perebutan nomor
urut, diubah melalui eksperimentasi dengan cara menyerahkan pilihan mentah caleg
kepada rakyat lewat mencontreng dalam pemilu legislatif tahun 2009.
Eksperimentasi demokrasi memang selalu mengandung fenomena coba-coba. Hal
ini mengakibatkan rakyat sebagai pemegang kedaulatan justru berperan sebagai kelinci
percobaan. Sebagai kelinci percobaan dari elit-elit politik dalam menterjemahkan sistem
demokrasi prosedural, maka rakyat hanya sekedar menerima produk-produk hukum
yang mengikat mereka untuk dilaksanakan. Penerimaan rakyat ini tidak dapat
dikatakan sebagai sebuah penguatan atau peneguhan demokrasi, karena penerimaan
mereka tidak didasarkan pada kehendak dan aspirasi mereka sendiri, melainkan atas
dasar paksaan melalui instrument atau preparat eksperimen elit politik. Partisipasi
sebagai salah satu nilai terpenting dari budaya demokrasi direduksi menjadi prosedur
demokrasi. Besar kecilnya suara di parlemen justru mendominasi pengambilan
keputusan politik.
Dalam kesempatan yang sangat baik ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih
kepada istri tercinta Maria Bernadeth Maitimo, SH yang selalu memberikan semangat
kepada penulis untuk terus berkarya di bidang akademik. Dia pernah mengatakan:
"Jangan berhenti untuk menulis, karena dengan tulisan itu, kamu dapat menuangkan ide-ide
dan ikut mencerahkan masyarakat, walau kamu belum meraih derajad kesarjanaan yang paling
tinggi. Biarkan orang lain yang menilai karya-karyamu". Dorongan semangat seperti inilah
yang menyebabkan buku ini bisa tersusun. Untuk anak-anak penulis, Giovanni
Battista Maheswara dan Alexandra Kevin Maheswara, penulis juga ucapkan terima
kasih atas pengertian dan pengorbanan kalian. Karena ambisi papamu yang seperti ini,
kadang kala kalian menjadi kurang perhatian. Tidak lupa penulis juga mengucapkan
terima kasih kepada Mas Joki staff di bagian Penerbitan Universitas Atma Jaya
Yogyakarta. Tanpa bantuannya pasti buku ini tidak mungkin dapat diterbitkan.
Penulis tidak mungkin mampu mengingat satu persatu para pihak yang ikut
mendorong penulis untuk menyelesaikan naskah buku ini. Oleh sebab itu, sembari
menanti sapaan, kritikan, saran, bahkan mungkin cemoohan dari semua pihak guna
penyempurnaan buku ini, penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya.
Akhir kata, dengan mengutip kata-kata bijak Pujangga Besar Indonesia,
Pramoedya Ananta Toer dalam salah satu karya tetraloginya berjudul Rumah Kaca:
"Pergunakan ilmumu itu kemudian untuk menuntun bangsamu ke luar dari kegelapan yang
tiada habis-habisnya ini", Penulis menyampaikan semoga buku ini bermanfaat. Selamat
membaca dan Berkah Dalem.

Kotagede, Medio April 2009.


Penulis;

B. Hestu Cipto Handoyo.


Contents
Bab I PENDAHULUAN..................................................................8
A. Batasan Pengertian.................................................................8
1. Pengertian Hukum............................................................8
B. Pengertian Negara Hukum.................................................18
D. Definisi Hukum Tata Negara dan Peristilahan................23
E. Hubungan Hukum Tata Negara Dengan Ilmu-ilmu
Lainnya.......................................................................................26
F. Sumber-Sumber Hukum Tata Negara..............................31
Bab II...............................................................................................55
SEJARAH KETATANEGARAAN INDONESIA.......................55
A. Pendahuluan.........................................................................55
B. Periodesasi Sejarah Ketatanegaraan Indonesia................56
Bab III..............................................................................................89
SISTEM PEMERINTAHAN NEGARA, BENTUK NEGARA
DAN BANGUNAN NEGARA.....................................................89
A. Pengertian Sistem.................................................................90
B. Pengertian Pemerintahan....................................................90
C. Tiga Pengertian Sistem Pemerintahan Negara.................91
D. Bentuk Negara......................................................................93
E. Bangunan Negara................................................................93
F. Organisasi Sistem Pemerintahan Negara.........................95
G. Bentuk Pemerintahan dan Sistem Pemerintahan.............98
1. Sistem Pemerintahan Parlementer (Parliamentary
Executive)................................................................................99
2. Sistem Pemerintahan Presidensiil (Fixed Executive).. 100
H. Demokrasi dan Sistem Pemerintahan Negara................106
I. Sistem Pemerintahan Negara Republik Indonesia.........111
Bab IV............................................................................................123
LEMBAGA PERWAKILAN RAKYAT INDONESIA..............123
A. Pengertian Umum..............................................................123
B. Majelis Permusyawaratan Rakyat....................................125
C. Dewan Perwakilan Rakyat................................................130
D. Dewan Perwakilan Daerah................................................132
Bab V.............................................................................................139
SUPRA STRUKTUR POLITIK DAN INFRA STRUKTUR
POLITIK........................................................................................139
A. Pengertian............................................................................139
B. Supra Struktur Politik........................................................142
C. Infra Struktur Politik..........................................................143
D. Hubungan Supra Struktur Politik dan Infra Struktur
Politik Dalam Pengambilan Keputusan Politik...................146
E. Mekanisme Sistem Politik Demokrasi Menurut UUD
1945............................................................................................147
Bab VI............................................................................................159
PEMILIHAN UMUM DAN PARTAI POLITIK.......................159
A. Menuju Konsolidasi Sistem Demokrasi Melalui Reformasi
Pemilu.......................................................................................159
B. Pemilu dan Rekrutmen Kepemimpinan Nasional.........166
B. Pemilu dan Rekrutmen Kepemimpinan Nasional.........169
C. Asas-Asas Pemilu...............................................................177
D. Partai Politik........................................................................180
Bab VII PEMERINTAHAN LOKAL..........................................196
A. Peristilahan..........................................................................196
B. Bentuk Pemerintahan Lokal.............................................197
C. Asas-Asas Penyelenggaraan Pemerintahan Lokal.........199
D. Sistem Rumah Tangga Daerah..........................................211
F. Hakikat Otonomi Daerah Menurut Sistem Rumah
Tangga Daerah.........................................................................233
Bab VIII KEWARGANEGARAAN............................................238
A. Pengertian dan Batasan.....................................................238
B. Konsekuensi Yuridis Status Kewarganegaraan.............242
C. Kewarganegaraan Menurut UUD 1945...........................244
D. Tinjauan Kritis Terhadap UU No. 12 Tahun 2006 Tentang
Kewarganegaraan Republik Indonesia.................................245
E. Asas-asas Kewarganegaraan Menurut Undang-Undang
No. 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan Republik
Indonesia..................................................................................247
F. Kehilangan Kewarganegaraan Republik Indonesia......249
G. Syarat dan Tata Cara Memperoleh Kewarganegaraan
Republik Indonesia.................................................................250
H. Hukum Kewarganegaraan Dalam Perspektif
Konvensi Internasional...........................................................251
I. Status Yuridis Bagi Orang yang Tidak Memiliki
Kewarganegaraan Menurut Konvensi Internasional.226.....254
Bab IX............................................................................................258
HAK-HAK ASASI MANUSIA...................................................258
A. Pendahuluan.......................................................................258
B. Sejarah Perkembangan......................................................259
C. Dimensi Universalitas dan Kontekstualitas Dalam Hak
Asasi Manusia..........................................................................262
D. Beberapa Pemikiran Founding Fathers Tentang Hak
Asasi Manusia di Indonesia...................................................265
E. Perumusan Hak Asasi Manusia Dalam Amandemen
UUD 1945.................................................................................270
F. Hak Asasi Manusia Menurut Undang-Undang No. 39
Tahun 1999...............................................................................273
DAFTAR KEPUSTAKAAN........................................................278
Bab I PENDAHULUAN

Negara se6agai sebuah organisasi kekuasaan memiCiki otoritas


untuk^ memaksakan kefiendak^kepada warganya. 'Pemaksaan
kehendak^tersebut memiCiki tujuan agar ketertiban dan keamanan
hidup bersama dalam organisasi kekuasaan dapat terwujud. Namun
demikian otiritas untuk^ memaksakan kehendak^ tanpa dilandasi
dengan perangkat aturan akan mengakibatkan Negara melakukan
tindakan yang sewenang-wenang dan menindas. <Disinuah arti
pentingnya keberadaan Hukum Tata Negara

A. Batasan Pengertian.

1. Pengertian Hukum.
Di dunia Ilmu Hukum terdapat dua kelompok besar yang
memahami pengertian mengenai hakikat hukum, yaitu mereka
yang memahami pengertian hukum dari sudut pandang
sosiologis, dan yang memahami hakikat hukum dari sudut
pandang normatif yuridis. Dari sudut pandang sosiologis,
hukum dipahami sebagai salah satu dari sekian banyak nilai
yang terdapat di dalam pergaulan hidup masyarakat. Ini
berarti hukum dipandang sebagai salah satu gejala sosial
kemasyarakatan. Oleh sebab itu konsep-konsep teori hukum
(bahkan penemuan hukum) diperoleh dari realitas sosial di
dalam masyarakat. Sedangkan yang memahami hukum dari
sudut pandang normatif yuridis, menekankan pandangannya
pada hukum sebagai seperangkat peraturan-peraturan tertulis
yang logis dan konsisten.1
Dalam pemahaman pengertian sosiologis tersebut, hukum
tidak mungkin dilepaskan dari lain-lain sektor kehidupan
masyarakat. Dalam hubungan ini dikenal adanya 4 (empat)
proses yang bekerja dalam masyarakat, yaitu:
a. Proses adaptasi, meliputi ekonomi, penggunaan ilmu
pengetahuan dan teknologi;
b. Proses penetapan tujuan/pengambilan keputusan
(goal
pursuance) yang meliputi sistem politik;
c. Proses mempertahankan pola masyarakat yang meliputi
sosialisasi; dan
d. Proses integrasi yang dilakukan oleh hukum.2

Terkait dengan 4 (empat) proses yang bekerja di dalam


masyarakat itu, maka hukum bekerja sebagai mekanisme
pengintegrasian dengan memperoleh input dari ketiga
subsistem yang lain tersebut. Dalam rangka pengintegrasian
itulah hukum memegang peranan untuk melakukan
stabilisasi, sinkronisasi dan harmonisasi bekerjanya sistem-
sistem yang ada di dalam masyarakat tersebut.
Berdasarkan kerangka teoritis tersebut, maka jika ditinjau
dari sudut pandang sosiologis, maka pengertian hukum
adalah kumpulan nilai-nilai ataupun norma-norma
kemasyarakat sebagai hasil dari proses integrasi dari sektor-
sektor (sub-sub sistem) yang terdapat di dalam pergaulan
hidup manusia dalam masyarakat.
Dalam kerangka teori hukum, pemahaman hukum jika
ditinjau dari sudut pandang sosiologis sebenarnya mulai
dikenal pada waktu Von Savignij mengemukakan teori hukum
historis. Fokus pemahaman mengenai hakikat hukum menurut
teori ini ada pada perkembangan dan pertumbuhan suatu
masyarakat. Hukum dianggap merupakan produk dari

1 Satjipto Rahardjo, 1977, Pemanfaatan Ilmu-ilmu Sosial


Bagi Pengembangan Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, him.
19, dst.
2 Talcott Parsons, dalam Ibid, him. 146.
kebudayaan masyarakat dan berkembang sejalan dengan
peradaban serta kebudayaan masyarakat itu sendiri. Inti dari
teori hukum historis sebagaimana dikemukakan oleh Von
Savigny, antara lain adalah :

a. Titik tolak pandangannya teori hukum historis


menganggap
bahwa setiap bangsa mempunyai volkgeist (jiwa rakyat)
yang
berbeda, baik menurut waktu maupun tempat.
Pencerminan
dari volkgeist ini nampak pada kebudayaan masing-masing
bangsa. Oleh sebab itu hukum haruslah bersumber dari
volkgeist tersebut.
b. Hukum itu tidak dibuat, tetapi tumbuh dan berkembang
dari suatu masyarakat sederhana yang tercermin pada
setiap
tingkah laku individu-individu kepada masyarakat
kompleks,
dimana kesadaran hukum nampak pada ucapan-ucapan
para
ahli hukumnya.3
Pengaruh konsep teori yang dikemukakan oleh Von
Savigny tersebut, diikuti oleh para ahli hukum jauh di luar
Jerman. Bahkan sampai di Indonesia yang dibawa oleh
para ahli hukum Belanda, seperti Van Vollenhoven, Ter
Haar serta tokoh hukum adat lainnya, seperti Soepomo
dan Imam Sudiyat.
Kendatipun teori hukum seperti ini mempunyai
pengaruh yang sangat luas, akan tetapi teori ini tetap
mengandung kelemahan yang sangat mendasar.
Kelemahan yang paling kelihatan di permukaan adalah
tidak diberikannya tempat bagi ketentuan-ketentuan
hukum yang bersifat tertulis (Peraturan Perundang-
undangan) dalam sistem hukum secara keseluruhan. Oleh
sebab itu, sumbangan teori ini bagi teori perundang-
undangan tidak begitu besar, bahkan dapat dikatakan
3 Satjipto Rahardjo, dalam Lili Rasyidi, 1991, Filsafat
Hukum Apakah Hukum Itu?, Remaja Rosdakarya,
Bandung, him. 47-49.
4 B. Hestu Cipto Handoyo, 2008, Prinsip-prinsip Legal
tidak ada sama sekali. Hal ini mengingat hukum hanya
dipandang sebagai gejala sosial yang tumbuh dan
berkembang sejalan dengan kebudayaan masyarakat.4
Dari pemahaman normatif yuridis, hukum dipandang
sebagai sarana pengendali sosial yang mengarahkan
kepada tercapainya suatu tertib atau pola kehidupan yang
telah ada. Dalam pengertian seperti ini fungsi hukum
hanya dianggap hanya sekedar menjaga agar setiap orang
menjalankan peranannya sebagaimana yang telah
ditentukan, atau sebagaimana yang diharapkan dari
padanya.5 Dari pengertian yang demikian inilah, maka
hukum dianggap sebagai sarana untuk mempertahankan
status quo dan tidak tanggap terhadap perubahan-
perubahan yang terjadi di dalam masyarakat.

Oleh karena menurut pemahaman hukum dari sudut


pandang normatif yuridis yang demikian itulah, maka hukum
dianggap hanya berfungsi mempertahankan pola kehidupan
yang sudah ada. Oleh sebab itu tidaklah berlebihan jikalau
hukum hanya dipandang sebagai sekumpulan peraturan-
peraturan yang tertulis dan bersifat logis, konsisten dan
tertutup serta berfungsi untuk mengatur kehidupan manusia
dalam ikatan pergaulan masyarakat. Hukum merupakan
kristalisasi norma-norma yang terdapat di dalam masyarakat
yang dituangkan dalam bentuk tertulis dan diakui
kebenarannya, sehingga menjadi pedoman yang mengikat
dalam melaksanakan pergaulan hidup bersama.
Munculnya dua pemahaman mengenai hakikat hukum
tersebut disebabkan oleh adanya dua madzhab besar di bidang
filsafat hukum yang masing-masing melahirkan teori hukum
yang relatif berbeda. Dua madzhab besar di bidang hukum
tersebut adalah madzhab hukum historis yang dalam
perkembangannya melahirkan teori sosiologi hukum dan
madzhab positivisme hukum yang melahirkan teori hukum
murni.

Hukum Ditinjau dari Perspektif Sosiologis-Empiris.


Von Savignij sebagai pengagas madzhab hukum historis
menegaskan inti ajarannya bahwa das Recht wird nicht gemacht,
est ist und wird mit dem Volke (hukum itu tidak dibuat, tetapi
tumbuh dan berkembang bersama masyarakat). Pandangan
seperti ini bertitik tolak dari pandangan bahwa di dunia ini
terdapat banyak bangsa, dan tiap-tiap bangsa tadi memiliki
suatu volksgeist (jiwa rakyat/bangsa). Jiwa rakyat/bangsa
[volksgeist) ini berbeda-beda, baik menurut waktu maupun
tempat. Percerminannya nampak pada kebudayaannya
masing-masing yang berbeda-beda. Hukum bersumber dari
jiwa rakyat/bangsa ini, oleh karena itu hukum itu akan
berbeda-beda pada setiap waktu dan tempat.6 Lebih lanjut
Savignij berpendapat:
"Apa yang menjadi isi hukum itu ditentukan oleh
pergaulan hidup manusia dari masa ke masa. Hukum
berkembang dari suatu masyarakat sederhana yang
tercermin pada setiap tingkah laku individu-individu
kepada masyarakat yang kompleks, dimana kesadaran
hukum rakyat nampak dari ucapan-ucapan para ahli
hukumnya".7
Berkaitan dengan pandangan seperti ini Soerjono Soekanto
mengemukakan argumentasi sebagai berikut:
"Saran dari Von Savignij seperti ini tidak dapat
dikesampingkan begitu saja. Oleh sebab itu bagi ahli
sosiologi, penelitian tentang hubungan antara hukum
dengan struktur masyarakat beserta sistem nilainya
sangatlah penting. Dengan demikian pendapat ini nampak
menjadi pegangan banyak ahli sosiologi yang melihat
bahwa sistem hukum sesungguhnya tidak terlepas dari
sistem sosial yang lebih luas, dan antara sistem hukum tadi
dengan aspek-aspek sistem sosial lainnya terdapat
hubungan timbal balik dan saling mempengaruhi".8

Berdasarkan dua pendapat tersebut, maka menurut aliran


sosiologis, pemahaman hukum akan selalu dikaitkan dengan
struktur masyarakat dan sistem nilai yang ada di dalamnya.
Hal ini berarti hukum tidak dapat dilepaskan dari konteks
gejala sosial kemasyarakatan. Oleh sebab itulah konsep-konsep
hukum maupun teori hukum akan selalu diketemukan di
dalam

Hukum Ditinjau Dari Perspekstif Normatif Yuridis.


Madzhab positivisme hukum merupakan akar dari
pemahaman hukum dari perspektif normatif yuridis. Madzhab
ini melahirkan teori hukum murni yang pada hakikatnya
menolak pandangan dari madzhab hukum historis Von
Savignij. Dari perspektif ini hukum dipandang sebagai
perintah penguasa yang dituangkan dalam Undang-Undang
(perundang-undangan). Artinya hukum tidak lain adalah
suatu perintah dari mereka yang memegang kekuasaan
tertinggi atau yang memegang kedaulatan. Oleh sebab itu
menurut pandangan ini tidak ada hukum di luar Undang-
Undang (perundang-undangan). Hukum harus bersifat logis
(dapat ditangkap oleh akal budi manusia), konsisten (selalu
tetap dan tegas), dan tertutup (tidak dipengaruhi oleh
kepentingan-kepentingan yang tidak yuridis). Dalam
pemahaman ini, hukum harus dilepaskan dari anasir-anasir
yang tidak yuridis, seperti sejarah, ekonomi, politik, budaya
dan anasir lain yang tidak yuridis.11
Pandangan yang demikian inilah yang sering
memunculkan argumentasi bahwa hukum, undang-undang
maupun perundang-undangan adalah sama. Bahkan tidak
jarang, jika terjadi suatu peristiwa hukum yang tidak ada
parangkat peraturan secara tertulis (Undang-
Undang/Perundang-undangan) orang langsung menganggap
telah terjadi suatu rechtsvacuum (kekosongan hukum).
Dari argumentasi yang seperti inilah, maka pengertian
hukum dapat dirumuskan sebagai seperangkat paraturan yang
sengaja dibentuk oleh penguasa dan tersusun secara tertulis
yang dipergunakan untuk mengatur kehidupan masyarakat
dan berlaku serta bersifat mengikat umum yang apabila
dilanggar akan dikenai sanksi yang tegas.
Dalam kaitan dengan pengertian tersebut di atas, John
Austin menegaskan adanya 4 (empat) unsur penting untuk
dapat dinamakan hukum, yaitu perintah, sanksi, kewajiban,
dan kedaulatan. Ketentuan-ketentuan yang tidak mengandung
keempat unsur ini bukanlah merupakan hukum positif,
melainkan hanya sebagai moral positif. Lebih lanjut
dikemukakan bahwa keempat unsur tersebut memiliki
keterkaitan yang dapat dijelaskan sebagai berikut:

"Unsur perintah berarti bahwa satu pihak


menghendaki agar orang lain melakukan kehendaknya,
pihak yang diperintah akan mengalami penderitaan jika
perintah itu tidak dijalankan atau ditaati. Perintah itu
merupakan pembedaan kewajiban terhadap yang
diperintah, dan yang terakhir ini hanya dapat terlaksana
jika yang memerintah itu adalah pihak yang berdaulat.
Dan yang memiliki kedaulatan itu dapat berupa
seseorang atau sekelompok orang (a souvereign person, or a
souvereign body of person)".12

Dari pandangan positivisme hukum ini, maka kita bisa


membedakan hukum ditinjau dari perspektif sosiologis
empiris dan dari perspektif normatif yuridis. Berdasarkan
perspektif sosiologis empiris, hukum itu tidak dibuat, karena
tumbuh dan berkembang bersamaan dengan pertumbuhan
dan perkembangan masyarakat itu sendiri. Sanksi yang
dimunculkan bukan berdasarkan pada pemegang kedaulatan,
melainkan muncul dengan sendirinya, karena sanksi itu justru
berasal dari masyarakat itu sendiri. Sanksi yang dimaksud
disini - menurut kacamata positivisme hukum -hanyalah dalam
dataran moral positif.
Sedangkan dari sudut pandang normatif yuridis, hukum
itu selalu dibuat, dan yang membuat hukum itu adalah
penguasa yang memiliki kedaulatan. Pembuatan hukum itu
harus melalui rumusan yang konkrit, yakni tertulis, dan jikalau
ada yang tidak menjalankan atau mentaati, maka akan dikenai
sanksi oleh pembuat hukum, yakni seseorang atau sekelompok
orang yang dianggap berdaulat tersebut. Sanksi yang
dimaksud disini tidak lain adalah berupa penderitaan.

2. Pengertian Negara.
Untuk mengkaji berbagai hal yang berkaitan dengan
Hukum Tata Negara, maka kita perlu memahami terlebih
dahulu pengertian dan hakikat negara itu sendiri. Hal ini
penting, karena Hukum Tata Negara pada intinya mengatur
perihal kehidupan organisasi yang disebut negara.

Menurut LJ. Van Apeldorn pengertian negara menunjuk


pada berbagai gejala yang sebagian termasuk pada kenyataan,
dan sebagian lagi menunjukkan gejala-gejala hukum. 13 Lebih
lanjut dikemukakan bahwa negara mempunyai berbagai arti,
yaitu:
a. Perkataaan negara dipakai dalam arti penguasa, jadi untuk
menyatakan orang atau orang-orang yang memiliki
kekuasaan
tertinggi atas persekutuan rakyat yang bertempat tinggal
dalam suatu daerah;
b. Perkataan negara juga dapat diartikan sebagai suatu
persekutuan
rakyat, yakni: untuk menyatakan suatu bangsa yang hidup
dalam suatu daerah, di bawah kekuasaan tertinggi,
menurut
kaidah-kaidah hukum yang sama;
c. Negara ialah suatu wilayah tertentu. Dalam hal ini,
perkataan
negara dipakai untuk menyatakan sesuatu daerah, dimana
diam sesuatu bangsa di bawah kekuasaan yang tertinggi;
d. Negara diartikan sebagai Kas Negara atau fiskus, yang
maksudnya ialah harta yang dipegang oleh penguasa guna
kepentingan umum.14

Beberapa arti negara sebagaimana dikemukakan oleh


Apeldorn tersebut di atas menunjukkan bahwa unsur utama
dan terpenting dari negara adalah kekuasaan dan penguasa.
Hal ini berarti pemahaman mengenai negara dan kekuasaan
menjadi satu kesatuan yang tak terpisahkan, artinya suatu
persekutuan atau organisasi yang ada tanpa ada unsur
kekuasaan dan penguasa tentu belum dapat dikategorikan
sebagai negara.
Lain daripada itu pengertian tersebut di atas mengandung
pemahaman mengenai negara baik dalam lingkup sosiologis
maupun lingkup hukum. Dengan demikian pemahaman
mengenai negara mengandung dua dimensi, yaitu pertama;
5 LJ. Van Apeldorn, 1981, Pengantar Ilmu Hukum, Pradya
Paramita, Jakarta, him. 204.
negara sebagai suatu persekutuan rakyat yang berada di
bawah satu kekuasaan menurut kaidah-kaidah hukum yang
sama. Kedua; negara ditempatkan dalam persoon-persoon
(badan-badan) tertentu yang melakukan kekuasaan tertinggi
dalam suatu wilayah (daerah). Berpijak dari pengertian ini,
maka pelajaran Hukum Tata Negara tentunya berkisar pada
dimensi pengertian tersebut, negara ditnjau dari aspek Hukum
sekaligus juga ditinjau dari aspek sosial (politik).

Oleh Apeldorn dikemukakan bahwa salah satu pengertian


negara adalah suatu wilayah atau daerah tertentu yang didiami
oleh suatu bangsa. Pengertian negara yang demikian ini sudah
tidak lagi sesuai dengan perkembangan abad modern seperti
sekarang ini. Kenyataan menunjukkan bahwa di dalam suatu
negara tidak hanya terdiri dari satu bangsa saja, melainkan
juga dijumpai adanya negara yang di dalamnya terdiri dari
berbagai bangsa (multi bangsa).
Pendapat Apeldorn tersebut dapat diterima sepanjang
pengertian bangsa yang dimaksud disini dalam lingkup
nasionaliteit (kewarganegaraan). Sehubungan dengan hal ini
Keniche Ohmae mengemukakan bahwa, kita sekarang hidup
dalam dunia tanpa batas, di mana negara bangsa telah menjadi
sebuah "rekaan" dan dimana para politikus telah kehilangan
semua kekuatan efektif mereka.15
Ketidaksesuaian pendapat yang dikemukakan oleh
Apeldorn dengan kenyataan yang berkembang dewasa ini,
telah disempurnakan oleh Bierens de Hans yang
mengemukakan bahwa negara adalah lembaga manusia;
manusialah yang membentuk negara. Manusia yang
membentuk negara itu, merupakan mahluk perorangan
(endelwezen) dan merupakan juga mahluk sosial
(gemeenschapswezen). Masyarakat dalam dirinya secara alami
mengandung keinginan untuk berorganisasi yang timbul
15 Anthony Giddens, 1999, The Third Way Jalan Ketiga
Pembaruan Demokrasi Sosial, PT. Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta, him. 33.
karena
dorongan dari dalam. Negara adalah bentuk berorganisasinya
suatu masyarakat, yaitu masyarakat bangsa. Meskipun masya-
rakat bangsa terbagi dalam kelompok-kelompok, negara mem-
bentuk kesatuan yang bulat dan mewakili sebuah cita (een idee
vertegemuoordigt).™

Dalam kaitan dengan pengertian negara, Miriam Budiarjo


mengemukakan bahwa negara adalah organisasi kekuasaan
atau integrasi dari kekuasaan politik, ia adalah organisasi
pokok dari kekuasaan politik. Negara adalah agency (alat) dari
masyarakat yang mempunyai kekuasaan untuk mengatur
hubungan-hubungan manusia dalam masyarakat.17
Pengertian tersebut lebih menunjukkan adanya hubungan
timbal balik antara manusia sebagai individu dan mahluk
sosial di satu pihak dengan gejala-gejala kekuasaan yang ada
di dalam masyarakat di pihak yang lain. Pendek kata, menurut
Miriam Budiardjo, negara adalah organisasi kekuasaan politik.
Dengan demikian, pandangan ini belum melihat negara dari
perspektif hukum.
Di dalam setiap pergaulan hidup masyarakat, akan selalu
dijumpai adanya fenomena kekuasaan. Pendek kata,
kekuasaan merupakan hal yang wajar di dalam setiap
kehidupan masyarakat dan interaksi sosial yang ada. Oleh
sebab itulah keberadaan negara dapat dipergunakan sebagai
sarana (alat) bagi pengaturan kekuasaan-kekuasaan dalam
masyarakat tersebut agar dapat dipergunakan sebagaimana
mestinya. Artinya kekuasaan-kekuasaan tersebut dapat
dipergunakan selaras dengan norma-norma atau kaidah-
kaidah hidup bersama, dan kekuasaan tersebut dapat
dijalankan dengan tertib.
Konsep pengertian negara sebagaimana dikemukakan oleh
Miriam Budiardjo tersebut nampaknya lebih mendekati
kenyataan,

16 Bierens de Hans, dalam Hamid S. Attamimi, 1990, (Disertasi), Peranan Keputusan Presiden
RI Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara (Suatu Analisis Mengenai Keputusan
Presiden Yang Berfungsi Pengaturan Dalam Kurun Waktu PELITA I - PELITA TV),
Pascasarjana UI, Jakarta, him. 53-54.
17 Miriam Budiardjo, 1986, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia, Jakarta, him. 38.

khususnya jika diletakkan dalam konteks terbentuknya suau


organisasi kemasyarakatan yang disebut negara. Hal ini
mengingat terjadinya atau terbentuknya negara di dasarkan
oleh adanya penggabungan (baca: integrasi) dari kekuasaan-
kekuasaan politik yang terdapat di dalam masyarakat.
Penggabungan ini mempunyai tujuan untuk menertibkan
kekuasaan dalam masyarakat itu sendiri.
Berdasarkan pemahaman yang demikian itu, pengertian
negara sudah mulai dihubungkan dengan perangkat peraturan
(rule of the game). Oleh sebab itu keberadaan hukum di dalam
pembentukan suatu negara menjadi bagian yang tidak
terpisahkan antara satu dengan yang lain. Dengan adanya
gejala perangkat peraturan hukum inilah, tindakan penertiban
terhadap gejala-gejala kekuasaan (politik) di dalam masyarakat
dapat dilakukan. Lain daripada itu membicarakan suatu
organisasi yang disebut negara, maka akan dijumpai adanya
unsur yang tidak dapat dipisahkan, yaitu kekuasaan.
Pertanyaannya adalah apa hakikat dari sumber kekuasaan itu?
Berkaitan dengan pertanyaan tersebut, Mochtar
Kusumaatmaja mengemukakan bahwa kekuasaan sering
bersumber pada kekuatan fisik (force), akan tetapi hal ini tidak
menjadi satu-satunya ukuran untuk menentukan ada tidaknya
kekuasaan. Di samping itu kekuasaan dapat juga bersumber
pada wewenang formal (formal authority). Berdasarkan pada
pemahaman ini, maka kekuasaan adalah fenomena yang
beraneka ragam bentuknya (polyform) dan banyak macam
sumbernya. Hanya hakikat kekuasaan dalam berbagai bentuk
itu tetap sama, yaitu kemampuan seseorang untuk
memaksakan kehendaknya atas pihak lain.18
Bila hakikat kekuasaan itu kita hubungkan dengan
pengertian negara, maka yang dimaksud disini adalah
kemampuan yang dimiliki oleh unsur-unsur masyarakat untuk
memaksakan kehendak atas terbentuknya suatu organisasi
yang disebut negara. Hal
18 Mochtar Kusumaatmaja, Tanpa tahun, Fungsi dan
Perkembangan Hukum dalam Pembangunan Nasional,
Bina Cipta, Jakarta, him. 4-6.

ini berarti masyarakatlah yang mempunyai kekuasaan (dalam


arti kekuatan) untuk melaksanakan kehendak-kehendaknya,
khususnya dalam membentuk suatu organisasi yang disebut
negara. Pandangan semacam ini dalam perkembangan ilmu
negara sering diletakkan dalam konsepsi teori kedaulatan
rakyat.
Johan Galtung memberikan argumentasi mengenai sifat
kekuasaan dengan dua dimensi yang nampak dipermukaan,
yaitu dimensi yang mempesona sekaligus dimensi yang
menakutkan. Kekuasaan mempunyai sifat dalam konteks
dimensi yang mempesona karena dengan kekuasaan itu orang
atau kelompok orang akan memperoleh berbagai fasilitas baik
materiil maupun moril, dan sekaligus dengan kekuasaan yang
dimiliki tersebut akan dapat mengendalikan chaos
(kesemrawutan) di dalam masyarakat. Sedangkan dimensi sifat
yang menakutkan karena kekuasaan itu cenderung untuk
disalahgunakan, menindas, manipulatif yang pada akhirnya
sering menyengsarakan masyarakat baik secara individual
maupun struktural.19
Di samping unsur kekuasaan menjadi sendi pokok dalam
organsasi yang disebut negara, maka ada sendi lain yang tidak
dapat dilupakan begitu saja. Sendi yang dimaksud disini
adalah menyangkut ada tidaknya proses penyatuan
masyarakat-masyarakat (integrasi) dalam rangka membentuk
organisasi yang disebut negara. Sehubungan dengan hal ini CR
Birch mengemukakan bahwa secara teoritik integrasi
masyarakat tersebut dapat dibedakan dan sekaligus melalui
dua tahapan sebagai berikut:
a. Integrasi Nasional; adalah proses menyatunya kelompok-
kelompok masyarakat dalam bidang politik-historis, sosio-
kultural, interaksi (transportasi-komunikasi) dan
ekonomis, sehingga menjadi kelompok yang lebih besar
dari kelompok daerah (regional), tetapi bukan kelompok
internasional yang mempunyai identitas berbeda dari
kelompok lain sesamanya. Integrasi nasional seperti ini
disebut Bangsa.
b Integrasi negara; adalah proses munculnya kelompok
penguasa yang menguasai wilayah bangsa itu secara
bertahap. Pertama, menundukkan saingan-saingannya;
kedua, menentukan batas-batas kekuasaannya; ketiga,
menciptakan polisi dan pengadilan untuk menciptakan
ketertiban, dan keempat, tahap penetrasi administrasi, yaitu
pembentukan birokrasi untuk melaksanakan Undang-
Undang dan pengumpulan pajak.20

Argumentasi CF. Birch tersebut di atas menunjukkan sekali


lagi bahwa yang dimaksud negara tidak lain adalah organisasi
kemasyarakatan yang dibentuk melalui dua tahapan proses,
vakni integrasi nasional dan integrasi negara. Dalam tahapan
proses integrasi negara itulah unsur kekuasaan mulai
memainkan peranan penting, khususnya dalam hal melakukan
pengaturan hidup bersama. Sementara itu dalam proses
integrasi nasional yang membentuk bangsa, unsur kekuasaan
bukan menjadi satu-satunya pilar untuk mengikat kelompok-
kelompok masyarakat melainkan lebih pada unsur politik-
historis, sosio-kultural dan interaksi antar kelompok yang
menjadi pilar utamanya.
Masih berkaitan dengan pengertian negara, Max Weber
mengemukakan bahwa negara adalah satu-satunya lembaga
yang memiliki keabsahan untuk melakukan tindakan kekerasan
kepada warganya. Hal ini menunjukkan bahwa kalau kita
berbicara mengenai negara salah satu aspek yang paling
menonjol adalah kekuasaan yang besar.21 Argumentasi seperti
ini menunjukkan bahwa unsur utama dan pertama dari suatu
organisasi yang disebut negara tidak lain adalah kekuasaan
(dalam arti keabsahan untuk melakukan kekerasan). Oleh sebab
itulah tidak berlebihan jikalau negara bisa juga disebut sebagai
organisasi kekuasaan.
Sebagai suatu organisasi kekuasaan, maka di dalam negara
tentunya tidak hanya terdiri dari satu kekuasaan tunggal saja,
melainkan tentunya terdapat berbagai jenis kekuasaan.
20 PJ. Suwarno, 1994, Hamengku Buwono IX Dan Sistem
Birokrasi Pemerintahan Yogyakarta 1942-1974 Sebuah
Tinjauan Historis, Kanisius, Yogyakarta, him. 37.
21 Arief Budiman, 1996, Teori Negara (Negara, Kekuasaan
Dan Ideologi), Gramedia, Jakarta, him. 6.
Organisasi kekuasaan sama artinya dengan adanya berbagai
kekuasaan yang melakukan penggabungan membentuk suatu
persekutuan (organisasi). Argumentasi seperti ini dilandasi oleh
anggapan bahwa yang disebut organisasi - entah apapun
bentuk dan tujuannya -di dalamnya akan selalu menyangkut
berbagai unsur yang saling berhubungan antara satu dengan
lain guna mewujudkan suatu tujuan yang sama. Untuk
mencapai tujuan tersebut maka unsur-unsur yang ada di
dalamnya saling melakukan kerja sama dan pembagian tugas.

Negara sebagai organisasi kekuasaan tentunya juga


mempergunakan dasar pemahaman yang demikian. Oleh sebab
itu sebagai suatu kumpulan kekuasaan yang terintegrasi di
dalam suatu organisasi, maka diperlukan perangkat penataan
agar ketika kekuasaan-kekuasaan tersebut dilaksanakan justru
tidak menimbulkan dimensi sifat yang menakutkan,
sebagaimana dikemukakan oleh Johan galtung di atas. Lain
daripada itu perangkat pengaturan tersebut juga sangat
diperlukan, mengingat sifat kodrati dari kekuasaan itu
cenderung disalahgunakan, seperti yang pernah dikemukakan
oleh Lord Acton.
Perangkat pengaturan yang dimaksud antar lain
menyangkut pembentukannya, tugas, fungsi, wewenang dan
tanggung jawab yang dimiliki oleh masing-masing kekuasaan
serta hubungan antara komponen kekuasaan yang satu dengan
lainnya maupun hubungan kekuasaan-kekuasaan itu dengan
masyarakat yang dikuasai. Terkait dengan hal ini prinsip yang
terpenting adalah bagaimanakah kekuasaan-kekuasaan tersebut
dibatasi. Komponen pengaturan inilah yang akan menjadi
pokok kajian Hukum Tata Negara.

B. Pengertian Negara Hukum.


Munculnya pemikiran tentang negara hukum sebenarnya
dimulai sejak abad XIX sampai dengan abad XX. Arti negara
hukum itu sendiri pada hakikatnya berakar dari konsep teori
kedaulatan hukum yang pada prinsipnya menyatakan bahwa
kekuasaan tertinggi di dalam suatu negara adalah hukum, oleh
sebab itu seluruh alat perlengkapan negara apapun namanya
termasuk warga negara harus tunduk dan patuh serta
menjunjung tinggi hukum tanpa kecuali. Krabe
mengemukakan:
"Negara sebagai pencipta dan penegak hukum di
dalam segala kegiatannya harus tunduk pada hukum yang
berlaku. Dalam arti ini hukum membawahkan negara.
Berdasarkan pengertian hukum itu bersumber dari
kesadaran hukum rakyat, maka hukum mempunyai
wibawa yang tidak berkaitan dengan seseorang
(impersonal)" ?2

Berdasarkan konsep teori inilah berkembang konsep negara


hukum yang menghendaki adanya unsur-unsur tertentu dalam
penyelenggaraan sistem ketatanegaraan, yaitu:
1. Jaminan Hak Asasi Manusia (Warganegara). Unsur ini di-
tempatkan yang pertama kali karena sejatinya negara itu
terbentuk karena adanya kontrak sosial. Dari kontrak sosial
inilah individu-individu dalam ikatan kehidupan bersama
dalam negara menyerahkan hak-hak politik dan sosialnya
kepada komunitas negara, maka negara harus memberikan
jaminan kepada hak-hak yang melekat di dalam inividu-
individu maupun di dalam ikatan kehidupan
kemasyarakatan. Hal ini bisa terjadi, karena di dalam
kontrak sosial tersebut kedudukan antara negara sebagai
suatu ikatan organisasi di satu pihak dengan warga negara
secara keseluruhan di pihak lain adalah sejajar. Masing-
masing mempunyai hak dan kewajiban yang sama. Oleh
sebab itulah diantara keduanya harus saling memberikan
perlindungan, dan karena negara adalah organisasi
kekuasaan - dimana sifat kodrati kekuasaan itu cenderung
disalahgunakan - maka kewajiban untuk melindungi hak-
hak asasi warga negara menjadi mutlak dan diletakkan
dalam tanggung jawab maupun tugas dari negara.

Pemisahan atau Pembagian Kekuasaan. Untuk memberikan


jaminan terhadap perlindungan hak-hak asasi manusia, maka
kekuasaan di dalam negara harus dipisah-pisah dan
dilaksanakan oleh beberapa organ negara. Sejarah peradaban
manusia membuktikan bahwa ketika kekuasaan itu dilaksana-
kan secara absolut oleh satu tangan dan dilaksanakan secara
otoriter karena tidak dilandasi aturan main, maka terjadilah
penindasan terhadap harkat dan martabat kemanusiaan. Oleh
sebab itulah, antara kekuasaan menjalankan pemerintahan
(eksekutif), kekuasaan membentuk perundang-undangan
(legislatif), dan kekuasaan untuk melaksanakan peradilan
(yudikatif) harus dipisahkan. Implementasi dari prinsip pe-
misahan kekuasaan ini dapat beraneka ragam. Ada yang
berdimensi pembagian kekuasaan, yakni pemisahan dari aspek
kelembagaan sedangkan mengenai fungsi dan tugasnya masih
tetap bisa saling berhubungan. Ada juga yang berdimensi
pemisahan secara tegas baik secara kelembagaan maupun
fungsi dari masing-masing pemegang kekuasaan tersebut.
Terlepas dari implementasi tersebut, pada hakikatnya unsur
adanya pemisahan atau pembagian kekuasaan yang ada di
dalam organisasi kekuasaan yang disebut negara tetap
bertujuan agar kekuasan-kekuasaan itu tidak disalahgunakan
yang pada akhirnya justru menindas harkat dan martabat
kemanusiaan dari warga negara.
Asas Legalitas Pemerintahan. Maksud dari asas ini adalah pe-
merintah dalam melaksanakan tugas dan tanggungjawabnya
harus berdasarkan pada hukum atau peraturan perundang-
undangan yang berlaku. Hukum harus menjadi landasan bagi
negara dalam menjalankan pemerintahan. Prinsip peradilan
yang bebas dan tidak memihak. Prinsip seperti ini bagi negara
hukum sangatlah penting. Supremasi hukum yang diletakkan
dalam kehidupan ketatanegaraan harus benar-benar terjamin
pelaksanaannya. Peradilan yang bebas dan tidak memihak
tidak semata-mata diletakkan dalam konteks kebebasan
lembaga peradilan, yakni melalui prinsip
Pendahuluan — 19

independensi hakim, melainkan harus diletakkan dalam


konteks proses peradilan dalam rangka penegakan hukum
(law enforcement). Dengan demikian dalam mekanisme
proses peradilan yang harus bebas dan tidak memihak
menyangkut organ-organ penegak hukum, seperti hakim,
Jaksa, Kepolisian maupun para pengacara (advokat).

Unsur-unsur yang terdapat di dalam konsep negara hukum


yang demikian ini, menjadikan negara berperan sebagai
pencipta hukum sekaligus penegak hukum dalam rangka
menjaga keamanan dan ketertiban hidup bersama dalam ikatan
organisasi kekuasaan yang disebut negara. Kendati negara
adalah pencipta hukum, namun negara harus tetap tunduk
pada hukum ciptaannya. Argumentasi inilah yang
mengakibatkan negara hanya berfungsi layaknya sebagai
penjaga malam. Artinya negara berfungsi menciptakan hukum,
dan melalui hukum ciptaannya itulah diharapkan dapat
tercipta keamanan dan ketertiban di dalam negara. Negara
hanya dikonstruksikan sebagai alat untuk menjunjung tinggi
keamanan dan ketertiban hidup bersama. Konsepsi seperti ini
kemudian lazim disebut Negara Hukum Formal.
Seturut dengan perkembangan pemikiran mengenai negara
dan hukum, unsur-unsur yang terdapat di dalam konsep
negara hukum formal tersebut di atas juga mengalami
perkembangan. Pendek kata, dalam perkembangan pemikiran
negara dan hukum, tugas dan fungsi negara tidak hanya
terbatas pada konstruksi tugas dan fungsi ketiga kekuasaan
yang ada (legislatif, eksekutif dan yudikatif) serta menjaga
keamanan dan ketertiban. Hal ini mengingat semakin
beragamnya kehidupan masyarakat (warga negara) dengan
berbagai macam dimensi yang ada di dalamnya. Pola-pola
kehidupan dan kegiatan dari warga negara makin lama sukar
untuk dipisahkan dengan pola dan kegiatan yang dilakukan
oleh negara (pemerintah). Di lingkungan warga negara muncul
organisasi-organisasi yang manifestasinya juga mengarah
kepada kekuasaan, seperti partai politik, golongan fungsional,
dan lain sebagainya.
diletakkan dalam tataran ide, konsep, dan gagasan yang masih
bersifat teoritis dengan pendekatan filsafati. Sedangkan Hukum
Tata Negara obyek kajiannya adalah negara dalam pengertian
yang konkrit. Pengertian konkrit disini adalah mengkaji
Hukum Tata Negara Positif, yakni Hukum Tata Negara yang
berlaku saat ini dan di suatu tempat, dalam hal ini adalah
Indonesia.
Telah kita ketahui bersama bahwa hakikat negara tidak lain
adalah organisasi kekuasaan. Sebagai suatu organisasi tentunya
susunan negara terdiri dari bagian-bagian yang mempunyai
ikatan dengan keseluruhan dan saling melakukan kerjasama
untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Dalam rangka
melakukan kerjasama tersebut maka suatu organisasi juga
harus ada mekanisme pembagian tugas, fungsi dan wewenang
diantara bagian-bagian tersebut. Bagian-bagian yang dimaksud
di dalam organisasi kekuasaan tersebut tidak lain dan tidak
bukan adalah cerminan dari aspek-aspek kekuasaan itu sendiri.
Dalam lingkup pengetahuan Hukum Tata Negara aspek-aspek
dari pelaksana kekuasaan seperti ini sering disebut sebagai alat-
alat perlengkapan negara.
Untuk mencapai tujuan tertentu alat-alat perlengkapan
negara tersebut masing-masing mempunyai wewenang, tugas,
kewajiban dan tanggungjawab. Akan tetapi dalam
melaksanakan hal ini, alat-alat perlengkapan negara tersebut
tidak dapat melepaskan diri dari ikatan antara satu dengan
yang lain sebagai satu kesatuan organisasi. Berdasarkan
pemahaman ini, maka pokok kajian Hukum Tata Negara akan
berkisar pada:
1. Bentuk dan cara pembentukan atau penyusunan alat-alat
perlengkapan negara. Dalam hal ini juga menyangkut
bentuk organisasi negara yang dikehendaki;
2. Wewenang, fungsi, tugas, kewajiban dan tanggungjawab
dari masing-masing alat perlengkapan negara;
3. Hubungan antara alat perlengkapan negara baik yang
bersifat vertikal maupun horizontal;
4. Hubungan antara warga negara termasuk hak-hak asasi
dari warga negara sebagai anggota organisasi.

Keempat bidang kajian tersebut pada prinsipnya tidak


dapat dipisahkan antara satu dengan yang lain, sebab baik
bentuk, hubungan antar alat perlengkapan negara secara
vertikal maupun horizontal (termasuk wewenang, fungsi,
tugas, kewajiban dan tanggung jawab masing-masing), serta
hubungan antara warga negara dengan negara (termasuk hak-
hak asasi manusia/ warga-negara) pada akhirnya akan
melahirkan suatu sistem tertentu yang akan dipergunakan
dalam menggerakkan mekanisme kehidupan organisasi dari
negara yang bersangkutan.

Hubungan Antar Alat Perlengkapan Negara.

1. Hubungan Horizontal.
Yang dimaksud hubungan horizontal adalah hubungan
antar alat perlengkapan negara di tingkat pusat sebagai akibat
adanya prinsip trias politika yang menghendaki adanya
pemisahan/ pembagian kekuasaan terhadap cabang-cabang
kekuasaan di dalam negara. Dengan demikian dimensi dari
hubungan ini tidak lain adalah hubungan antara pemegang
kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Namun demikian
dalam tataran implementasi teori ketatanegaraan yang
bersumber pada prinsip negara hukum, hubungan yang
dimaksud disini tidak lain hanyalah hubungan antara
kekuasaan legislatif dan eksekutif. Hanya menyangkut
hubungan antara pemegang kekuasaan legislatif dan eksekutif,
karena sebagaimana telah dikemukakan terdahulu dalam
memahami negara hukum, kekuasaan yudikatif (peradilan)
diletakkan sebagai kekuasaan yang bebas dan tidak memihak.
Berdasarkan pemahaman mengenai hubungan antara kedua
alat perlengkapan negara ini, maka dapat diketahui sistem
pemerintahan yang dipergunakan di tingkat pusat. Apakah itu
sistem pemerintahan parlementer, presidensiil, campuran
ataukah sistem pemerintahan dengan mempergunakan
mekanisme Badan Pekerja (Swiss).
2. Hubungan Verikal.
Sebagaimana telah kita ketahui bersama bahwa salah satu
unsur terpenting dari negara menurut Konvensi Montevideo
adalah memiliki suatu wilayah tertentu. Dengan adanya unsur
ini, maka hubungan yang bersifat vertikal dalam kajian Hukum
Tata Negara adalah mengenai kedudukan wilayah-wilayah di
dalam negara tersebut. Apakah juga berkedudukan layaknya
sebagai suatu negara, ataukah masih dalam satu ikatan negara.
Titik tolak pembahasan yang menyangkut hubungan vertikal
ini pada hakikatnya berkisar pada persoalan pemencaran
kekuasaan dari Pemerintah Pusat (Negara) sampai ke tingkat
pemerintahan yang paling rendah. Dengan demikian
pembahasan yang dimaksud menyangkut:
1. Bentuk negara ditinjau dari susunannya, yakni negara
serikat, konfederasi, dan kesatuan (dengan asas
desentralisasi ataukah sentralisasi); dan
2. Sistem Pemerintahan Daerah.

3. Hubungan Negara dengan Warga Negara dan Hak-hak


Asasi Manusia.
Berdasarkan teori terbentuknya suatu negara, maka warga
negara merupakan salah satu unsur terpenting yang harus di-
penuhi. Hal ini disebabkan pada hakikatnya tidak ada satupun
negara yang tersusun atau lahir secara tiba-tiba tanpa melalui
proses yang melibatkan orang-orang yang ada di dalamnya
untuk menggabungkan diri ke dalam ikatan organisasi yang
disebut negara. Orang-orang yang menggabungkan diri dalam
ikatan organisasi kekuasaan yang disebut negara inilah yang
kemudian disebut sebagai Warga Negara. Oleh sebab itulah
keberadaan warga negara perlu mendapat perhatian dalam
melaksanakan pengkajian mengenai obyek Hukum Tata
Negara. Pengkajian yang dimaksud meliputi asas-asas dan
persyaratan bagi kewarganegaraan dan perlindungan terhadap
hak-hak asasi manusia yang dilakukan oleh negara.
D. Definisi Hukum Tata Negara dan Peristilahan.
Setelah kita membahas pengertian mengenai Hukum dan
negara dengan berbagai seluk beluknya serta obyek kajian
Hukum Tata Negara, maka secara umum dapat ditarik
pemahaman bahwa definisi Hukum Tata Negara adalah:
sekumpulan peraturan baik tertulis (berwujud peraturan
perundang-undangan) maupun tidak tertulis
(kebiasaan/konvensi) yang mengatur organisasi kekuasaan
yang disebut negara. Pengaturan tersebut meliputi:
1. Bentuk Negara yang dikehendaki;
2. Tata cara pembentukan alat-alat pemegang kekuasaan
(alat-alat perlengkapan negara);
3. Wewenang, tugas, fungsi, kewajiban, dan tanggungjawab
masing-masing alat perlengkapan negara;
4. Hubungan antar alat perlengkapan negara (baik secara
vertikal maupun horizontal); serta
5. Hubungan antara organisasi kekuasaan (negara dengan
warga negara berikut hak-hak asasi manusia).

Dengan demikian secara umum, Hukum Tata Negara


tidak lain adalah hukum yang mengatur organisasi kekuasaan
yang disebut negara beserta seluk-beluk yang ada di
dalamnya. Dalam kaitan dengan hal ini di lingkungan Ilmu
Hukum Ketatanegaraan, dikenal berbagai macam istilah yang
memilki arti yang berbeda-beda, yakni:
1. Constitutional Law. Istilah ini dipergunakan di Inggris yang
pada intinya berdasarkan pada alasan bahwa Hukum Tata
Negara lebih menitik beratkan kepada unsur-unsur yang
terdapat di dalam konstitusi. Dengan kata lain pokok
kajian yang akan dilakukan adalah mengenai hukum
konstitusinya.
2. State Law. Istilah ini merupakan variasi dari istilah
Constitutional Law, dan di dasarkan pada pertimbangan
bahwa Hukum Negaralah yang lebih dipentingkan;
3. Droit Constitutionel yang dilawankan dengan Droit
Administrative. Peristilahan ini dipergunakan di Perancis
dan bertujuan
untuk membedakan antara Hukum Tata Negara dengan
Hukum Administrasi Negara. Istilah ini pararel dengan
yang dipergunakan di Jerman, yakni Verfassungrecht dan
Vervaltungrecht.24

Bagi khasanah Hukum di Indonesia yang tradisinya tidak


banyak berbeda dengan tradisi hukum Belanda, tidaklah
mengherankan jikalau sebagian besar pendapat para ahli
Hukum Tata Negara terdapat garis hubungan dengan
pendapat para ahli Hukum Tata Negara Belanda. Penggunaan
istilah Hukum Tata Negara pun pada intinya merupakan
terjemahan dari istilah bahasa Belanda, yakni Staatsrecht.
Dalam kamus hukum diketemukan bahwa pengertian
Staatsrecht sama dengan Hukum Tata Negara atau Hukum
Negara, yakni keseluruhan dari norma-norma hukum yang
mengatur bagaimana negara itu harus diselenggarakan,
perundang-undangan, peradilan dan penentuan kekuasaan
masing-masing badan serta hubungannya satu dengan yang
lain.25
Istilah Staatsrecht menurut kepustakaan Belanda
mempunyai 2 (dua) arti, yaitu Staatsrecht in ruimere zin
(Hukum Tata Negara dalam arti luas) dan Staatsrecht in engere
zin (Hukum Tata Negara dalam arti sempit). 26 Selanjutnya
Hukum Tata Negara dalam arti luas dapat dibagi dalam dua
golongan, yaitu:
1. Hukum Tata Negara dalam ari sempit, atau hanya disebut
Hukum Tata Negara; dan
2. Hukum Tata Usaha Negara (Administrative Recht), yang
dalam khasanah ilmu Hukum di Indonesia lebih populer
dengan sebutan Hukum Administrasi Negara.27

24 Moh. Kusnardi & Harmaily Ibrahim, 1983, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Pusat
Kajian HTN-UI, Jakarta, him. 23. Lihat Pula Kartasapoetra RG, 1987, Sistematika Hukum
Tata Negara, Bina Aksara, Jakarta, him. 1.
25 Simorangkir JTC, et.all, 1980, Kamus Hukum, Cet H, Aksara Baru, Jakarta, him. 161.
26 Moh. Kusnardi & Harmaily Ibrahim, Op,cit, him. 20.
27 Usep Ranawijaya, Op.cit, him. 11.
Pengertian tersebut di atas terasa membingungkan,
akan tetapi kalau dicermati lebih mendalam, maka yang
dimaksud dengan pengertian Hukum Tata Negara dalam
arti luas adalah gabungan antara Hukum Tata Negara (arti
sempit) dan Hukum Administrasi Negara. Sedangkan
pengertian Hukum Tata Negara sebagaimana judul dalam
buku ini tidak lain adalah Hukum Tata Negara dalam arti
sempit. Perumusan seperti ini mendasarkan pada prinsip
residu yang menyatakan bahwa Hukum Administrasi itu
merupakan Hukum Tata Negara dalam arti luas dikurangi
Hukum Tata Negara dalam arti sempit.28
Ph. Kleintjes dalam buku yang berjudul Staatinstelling van
Ned. Indiee mengatakan bahwa Hukum Tata Negara Belanda
terdiri dari kaidah-kaidah hukum mengenai tata (inrichting)
Hindia Belanda, yaitu tentang alat-alat perlengkapan
kekuasaan negara (de met overheidsgezag bekleede organen) yang
harus menjalankan tugas Hindia Belanda, dan tentang
susunan (samenstelling), tata (inrichting), wewenang
(bevoegdhegen), dan perhubungan kekuasaan (onderlinge
machtverhouding) diantara alat-alat perlengkapan itu.29
Van Vollenhoven mengemukakan bahwa, Hukum Tata
Negara itu mengatur semua masyarakat hukum tingkat atas
dan bawah, yang selanjutnya menentukan wilayah
lingkungan, menentukan badan-badan yang berkuasa,
berwenang dan berfungsi dalam masyarakat hukum tersebut.30
Sementara itu Van Der Pot mengemukakan bahwa Hukum
Tata Negara itu merupakan peraturan-peraturan yang
menentukan berbagai badan yang demikian diperlukan,
termasuk wewenang, fungsi dalam hubungan antara badan-
badan itu dan antara badan-badan itu dengan para individu
serta kegiatan-kegiatannya.31 Sedangkan Wade dan Philips
mengatakan bahwa, Hukum Tata Negara merupakan
kumpulan peraturan yang dimaksud untuk

28 Moh. Kusnardi & Harmaily Ibrahim,


Op.cit, him. 32.
29 Ph. Klientjes dalam Usep Ranawijaya,
Op,rit, him. 12.
30 Van Vollenhoven, dalam Kartasapoetra,
pengaturan alat-alat perlengkapan negara termasuk tugas-
tugas dan hubungan antar alat perlengkapan negara tersebut.32
Berdasarkan beberapa pendapat para ahli tersebut di atas,
maka dapat disimpulkan bahwa Hukum Tata Negara adalah
sekumpulan peraturan (baik tertulis maupun tidak tertulis)
yang mengatur mekanisme pembentukan tugas, fungsi, dan
wewenang dari alat-alat perlengkapan negara serta hubungan
antar alat-alat perlengkapan negara tersebut. Kesimpulan ini
memang terasa belum lengkap untuk mewakili pemahaman
mengenai definisi Hukum Tata Negara. Oleh sebab itu menurut
hemat penulis yang dapat dianggap mewakili adalah
pengertian yang telah penulis kemukakan di awal pembahasan
ini.

E. Hubungan Hukum Tata Negara Dengan Ilmu-ilmu


Lainnya.

1. Hubungan Hukum Tata Negara dengan Ilmu Negara.


Antara Hukum Tata Negara dengan Ilmu Negara
merupakan dua bidang kajian ilmu yang memiliki hubungan
sangat dekat. Ilmu Negara mempelajari negara dalam
pengertian abstrak (tidak terikat waktu maupun tempat),
artinya mempelajari negara yang masih dalam tataran ide
ataupun gagasan. Dalam Ilmu Negara yang menjadi pokok
bahasan adalah prinsip-prinsip atau konsep-konsep, serta teori-
teori mengenai negara dan seluk beluk yang ada di dalamnya.
Dengan kata lain, Ilmu Negara merupakan suatu cabang ilmu
yang berusaha untuk mengkaji mengenai hakikat negara.
Sedangkan Hukum Tata Negara pada prinsipnya mempelajari
negara dalam keadaan konkrit, artinya sudah terikat waktu
maupun tempat. Disebut demikian karena dasar pijakan yang
dipergunakan untuk mempelajari dan mengkaji Hukum Tata
Negara adalah hukum positif yang berlaku di dalam suatu
negara.
Kendatipun demikian diantara Hukum Tata Negara dan
Ilmu Negara sebenarnya sama-sama membahas negara dalam
keadaan "diam". Maksud dari pernyataan ini adalah: Hukum
Tata Negara mempelajari negara ditinjau dari strukturnya atau
dapat dikatakan mempelajari "anatomi" negara, sedangkan
Ilmu Negara mempelajari negara dari aspek ide dan
konsepnya. Dengan demikian, keduanya sama-sama
mempelajari negara yang belum melaksanakan fungsi maupun
tugasnya secara nyata, oleh sebab itu kedua ilmu itu dapat
dikatakan mempelajari negara dalam keadaan "diam".
Berdasarkan masing-masing kajian dari kedua bidang ilmu
tersebut, maka hubungan antara Hukum Tata Negara dengan
Ilmu Negara dapat diterangkan sebagai berikut. Untuk
mempelajari Hukum Tata Negara dan segala aspek yang
terkandung di dalamnya, tentu harus mempelajari dan
menguasai terlebih dahulu Ilmu Negara. Artinya Ilmu Negara
yang mempelajari dan mengkaji konsep-konsep, ide-ide
maupun teori kenegaraan, pada hakikatnya merupakan sumber
utama bagi penyelenggaraan praktek kehidupan kenegaraan.
Sedangkan penyelenggaraan praktek kehidupan kenegaraan
bila ditinjau dari aspek hukum jelas diatur oleh Hukum Tata
Negara. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa landasan
teori untuk mempelajari dan mengkaji Hukum Tata Negara
tidak lain dan tidak bukan adalah Ilmu Negara.

2. Hubungan Hukum Tata Negara Dengan Ilmu Politik.


Antara Hukum Tata Negara dan Ilmu Politik mempunyai
kedekatan hubungan timbal balik yang sangat erat, bahkan
kadang kala terasa sulit untuk dipisahkan. Oleh sebab itu
hubungan yang semacam ini sering diibaratkan layaknya dua
sisi dalam satu keping mata uang (two sides of one coin).
Kedekatan seperti ini disebabkan oleh karena antara kedua
ilmu tersebut pada hakikatnya membahas aspek kekuasaan
dalam negara dan segala seluk beluk yang ada di dalamnya.
Hukum Tata Negara mempelajari paraturan-peraturan hukum
baik tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur organisasi
kekuasaan, sedangkan Ilmu Politik juga mengkaji persoalan
kekuasaan ditinjau dari aspek perilaku kekuasaan tersebut.
Berbagai ketentuan hukum yang digariskan oleh Hukum
Tata Negara sering disebabkan oleh adanya konsep-konsep
perilaku kekuasaan negara sebagaimana dipelajari oleh Ilmu
Politik. Demikian pula sebaliknya implementasi dari perilaku
kekuasaan di dalam negara sering dan harus di dasarkan oleh
konsep hukum yang terkandung di dalam Hukum Tata
Negara.
Peraturan Perundang-undangan jika ditinjau dari sudut
pandang Ilmu Politik sejatinya merupakan hasil dari proses
politik yang diwarnai oleh perilaku kekuasaan. Bahkan
Peraturan Perundang-undangan itu pada hakikatnya
merupakan bentuk dari suatu keputusan politik. Mengapa
demikian? Karena Peraturan Perundang-undangan pada
hakikatnya disusun dan dibentuk oleh lembaga-lembaga
politik. Lain daripada itu Peraturan perundang-undangan pada
hakikatnya merupakan kebijakan politik yang sarat dengan
kepentingan-kepentingan politik. Sementara itu bagi Hukum
Tata Negara, Peraturan Perundang-Undangan adalah produk
hukum yang dibentuk oleh alat-alat perlengkapan negara yang
diberi wewenang untuk itu dengan melalui prosedur dan tata
cara yang telah digariskan oleh Hukum Tata Negara.
Dengan mempergunakan cara pandang yang lain dapat
juga dikemukakan bahwa perancangan Peraturan Perundang-
undangan di samping merupakan sebuah proses politik karena
melibatkan komponen infra maupun supra struktur politik,
sekaligus juga merupakan proses hukum. Kondisi yang
demikian ini mengakibatkan para perancang peraturan
perundang-undangan harus memformulasikan berbagai
kepentingan termasuk perilaku kekuasaan yang ada ke dalam
norma hukum perundang-undangan sepanjang tidak
melanggar kaidah-kaidah dan asas-asas hukum yang dikenal
dalam lingkup ilmu hukum termasuk Hukum Tata Negara.33
Politik (sebagai ilmu) dapat dikatakan sebagai ibu dari
Hukum Tata Negara, artinya politiklah yang melahirkan
rumusan-rumusan Hukum Tata Negara. Sebaliknya rumusan-
rumusan Hukum Tata
33 B. Hestu Cipto Handoyo, Prinsip-Prinsip Legal

Negara dapat pula bertindak sebagai Ibu dari politik, artinya


perilaku politik (dalam arti kekuasaan) harus berlandaskan
pada rumusan-rumusan Hukum Tata Negara. Pemahaman
semacam ini dapat dianalogkan dengan pertanyaan "lebih
duluan mana antara telur dengan ayam".
Gambaran lain mengenai hubungan Hukum Tata Negara
dengan Ilmu Politik diungkapkan oleh Barents yang
memberikan perumpamaan bahwa Hukum Tata Negara itu
diibaratkan sebagai kerangka manusia, sedangkan Ilmu Politik
bisa diibaratkan daging yang membalut kerangka tersebut.34
Sementara itu dalam argumentasi yang lain Moh. Kusnardi dan
Harmaily Ibrahim mengemukakan bahwa dalam beberapa hal
untuk mengetahui latar belakang dari suatu peraturan
perundang-undangan sebaiknya perlu dibantu dengan
mempelajari Ilmu Politik, karena kadang-kadang sukar
diketahui apa maksud serta bagaimana terbentuknya suatu
perundang-undangan itu.35

3. Hubungan Hukum Tata Negara dengan Hukum


Administrasi Negara.
Sebagaimana telah penulis kemukakan terdahulu bahwa,
Hukum Administrasi Negara merupakan bagian dari Hukum
Tata Negara dalam arti luas setelah dikurangi Hukum Tata
Negara dalam arti sempit. Dengan kata lain, Hukum
Administrasi Negara merupakan bagian dari Hukum Tata
Negara dalam arti luas. Konsepsi seperti ini sering menjadi
bahan perdebatan dikalangan ahli hukum. Disatu pihak ada
yang menganggap bahwa antara Hukum Tata Negara dengan
Hukum Administrasi Negara terdapat perbedaan yang bersifat
prinsipiil, sedangkan dipihak yang lain menganggap bahwa
antara keduanya tidak dijumpai adanya perbedaan yang
bersifat prinsipiil.
Golongan yang menganggap bahwa Hukum Tata Negara
dan Hukum Administrasi Negara terdapat perbedaan yang
bersifat prinsipiil adalah Van Vollenhoven, Logemann dan
34 Barent, dalam Moh. Kusnardi & Harmaily
Ibrahim, Op.cit, hlm. 30-31.
Stelingga. Sedangkan golongan yang menganggap tidak ada
perbedaan prinsip adalah Kranenburg, Van der Pot dan
Vegting.36

Bagi golongan yang menganggap ada perbedaan yang


berifat prinsipiil antara Hukum Tata Negara dan Hukum
Administrasi Negara melandaskan pada argumentasi-
argumentasi sebagai berikut:
1. Hukum Administrasi Negara merupakan peraturan-
peraturan hukum yang tidak masuk di dalam lingkup
bidang hukum materiil, baik Hukum Tata Negara Materiil,
Hukum Perdata Materiil maupun Hukum Pidana Materiil.
Ini berarti Hukum Administrasi Negara dianggap masuk
dalam kategori Hukum Formil.
1. Hukum Tata Negara mempelajari struktur organisasi dari
suatu negara beserta aspek-aspek yang terkandung di
dalamnya, seperti fungsi dan wewenang organ-organ yang
terdapat di dalam organisasi yang disebut negara,
hubungan antar organ-organ negara, hubungan antara
organ negara dan penduduknya. Sedangkan Hukum
Administrasi Negara mempelajari jenis hukum dan akibat-
akibat hukum yang dilakukan oleh organisasi yang disebut
negara.
2. Hukum Tata Negara mempelajari negara dalam keadaan
diam, artinya hanya mempelajari susunan organisasi dari
suatu negara yang menyangkut tugas, wewenang dan
kewajiban. Sedangkan Hukum Administrasi Negara
mempelajari negara dalam keadaan bergerak, yaitu
mempelajari bagaimana prinsip-prinsip hukum mengenai
pelaksanaan dari tugas, wewenang dan kewajiban negara
tersebut.37

Sementara itu bagi golongan yang berpendapat bahwa


Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara tidak
ada

36 Lihat Kartasapoetra RG,


perbedaan yang bersifat prinsipiil melandaskan pada
argumentasi-argumentasi sebagai berikut:

1. Antara Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi


Negara tidak ada perbedaan yang bersifat prinsipiil.
Kalaupun ada pembedaan hal itu semata-mata sebatas
berfungsi sebagai pembagian kerja dalam rangka
memenuhi kepentingan Ilmu Pengetahuan.
2. Bidang kajian Hukum Tata Negara dan Hukum
Administrasi Negara adalah sama. Sedangkan langkah-
langkah pembedaan yang dilakukan hanyalah bermaksud
untuk lebih memperjelas mengenai sistem-sistem hukum
yang berlaku diantara keduanya.
3. Obyek kajian Hukum Tata Negara dan Hukum
Administrasi Negara, yaitu negara sedangkan yang
membedakan adalah penyelidikannya, yaitu bahwa
Hukum Tata Negara melakukan penyelidikan mengenai
hal-hal yang asasi tentang negara. Sedangkan Hukum
Administrasi Negara melakukan penyelidikan mengenai
hal-hal yang bersifat teknis mengenai negara.38

Dari kedua golongan pandangan tersebut di atas, penulis


lebih condong mengikuti pandangan yang mengemukakan
bahwa antara Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi
Negara tidak ada perbedaan yang bersifat prinsipiil. Hal ini
disebabkan kedua merupakan cabang Ilmu Hukum yang sama-
sama mengatur mengenai organisasi kekuasaan yang disebut
negara. Pembedaan disini hanya menyangkut substansi
pengkajiannya. Hukum Tata Negara melakukan pengkajian
tentang organisasi negara dan seluk beluk yang ada di
dalamnya ditinjau dari aspek hukum materiilnya. Sedangkan
Hukum Administrasi Negara melakukan pengkajian tentang
organisasi negara, namun subtansinya menyangkut hukum
formilnya (acara), artinya mengkaji aspekaspek hukum ketika
organisasi kekuasaan yang disebut negara itu melaksanakan
aktifitasnya.

Lain daripada itu, sebenarnya pandangan yang


mengatakan bahwa antara Hukum Tata Negara dan Hukum
Administrasi Negara merupakan cabang ilmu hukum yang
mengandung perbedaan-perbedaan yang bersifat prinsipiil,
sebenarnya merupakan pandangan klasik yang dewasa ini
sudah tidak mungkin lagi dapat dijadikan referensi.
Argumentasi seperti ini berlandaskan pada pemahaman bahwa
dewasa ini pola kehidupan kenegaraan sudah mengalami
perubahan yang sedemikian pesat, khususnya sejak
diterapkannya konsep Negara Hukum Materiil atau sering
disebut Negara Kesejahteraan (welfare state).
Dalam konsep negara hukum materiil fungsi negara tidak
hanya sebatas kepada fungsi pemerintahan (eksekutif),
pembentukan perundang-undangan (legislatif), dan fungsi
peradilan (yudikatif). Fungsi negara hanya sebatas
menciptakan ketertiban dan keamanan hidup bersama. Fungsi
negara dalam konsep negara hukum materiil sudah bergeser
kearah public services dalam rangka peningkatan kesejahteraan
umum warga negara.
Dengan adanya pergeseran fungsi yang demikian inilah,
maka konsep-konsep yang terdapat di dalam bidang kajian
Hukum Tata Negara dan yang terdapat di dalam bidang kajian
Hukum Administrasi Negara sukar sekali untuk dipisahkan.
Walaupun mungkin masih tetap dapat dibedakan. Bahkan
dalam berbagai kesempatan, pengkajian terhadap kedua
konsep ilmu pengetahuan ini menjadi satu kesatuan dan tidak
bisa untuk dipisahkan. Contohnya adalah fungsi pembentukan
peraturan perundang-undangan.
Peraturan Perundang-undangan sebagai produk hukum
selalu akan dilandasi dan sekaligus dikaji oleh doktrin-doktrin
(teori) Hukum Tata Negara. Kendatipun demikian, dalam
proses penyusunan peraturan perundang-undangan, baik itu
dari aspek perencanaannya, proses penyusunannya, proses
pengesahannya serta pengundangannya, sumbangan dari
doktrin (teori) Hukum Administrasi Negara tidak mungkin
dinafikan begitu saja. Hal ini mengingat ditinjau dari aspek
perencanaan, penyusunan draft yuridis sampai dengan
pengesahan dan pengundangan dari suatu peraturan
perundang-undangan, kerja-kerja yang bersifat administratif
menjadi bagian yang tak terpisahkan.
Contoh lain yang dapat dikemukakan disini adalah
menyangkut obyek penyelidikan Hukum Tata Negara
mengenai pengertian dan hakikat Pemerintah. Pengertian dan
hakikat Pemerintah sebagaimana dikembangkan pada saat
berlakunya prinsip negara hukum klasik (formal) tentunya
sudah tidak sesuai lagi dengan pengertian dan hakikat
pemerintah menurut paham negara hukum kesejahteraan
(materiil).
Dalam konsep negara hukum kesejahteraan, pengertian dan
hakikat Pemerintah tidak hanya sebatas pada fungsi-fungsi
eksekutif semata, bahkan kadang kala juga melaksanakan
fungsi pengaturan dan fungsi yudisiil. Hal ini disebabkan tugas
dan fungsi pemerintah dalam konsep negara kesejahteraan
sudah sedemikian kompleks bahkan menjangkau sebagian
besar kehidupan ketatanegaraan dan warga negara. Mengapa
demikian? Ya karena untuk melaksanakan fungsi public services
dalam rangka meningkatkan kesejahteraan umum, Pemerintah
(negara) diberi wewenang untuk mengatur berbagai aspek
kehidupan negara dan warga negara.
Berdasarkan pemahaman arti pemerintah menurut konsep
negara hukum kesejahteraan yang demikian inilah, maka
Hukum Tata Negara yang salah satu kajiannya menyangkut
tugas, fungsi dan wewenang Pemerintah tidak mungkin akan
terlepas dari pelaksanaan dari fungsi dan tugas-tugas secara
konkrit yang merupakan bidang kajian Hukum Administrasi
Negara. Berkaitan dengan hal ini, Sudargo Gautama
mengemukakan:
"Negara hukum yang modern dianggap mempunyai
kewajiban yang lebih luas. Negara yang modern harus
mengutamakan kepentingan seluruh masyarakat.
Kemakmuran dan keamanan sosial, bukan hanya
keamanan senjata yang harus dikejar. Kemakmuran
seluruh lapisan masyarakat yang harus dicapai.
Berdasarkan tugas pemerintah ini, maka penguasa jaman
sekarang turut serta aktif dalam mengatur pergaulan
hidup dari khalayak ramai. Lapangan kerja penguasa
pada waktu ini jauh lebih besar daripada pemerintah
model kuno".39
Lebih lanjut dikemukakan bahwa untuk menjalankan tugas
dengan sempurna, maka penguasa sekarang sangat
memerlukan kemerdekaan bergerak. Untuk memelihara
kesejahteraan umum, badan penyelenggara penguasa ini, yang
lazim disebut administrasi, memerlukan kebebasan bertindak.
Segala sesuatu dalam batas-batas patokan yang dalam garis
besar ditentukan oleh Undang-Undang.40
Dari pendapat yang dikemukakan oleh Sudargo Gautama
tersebut di atas, nampak jelas bahwa pengkajian mengenai
pengertian dan hakikat Pemerintah dalam lingkup Hukum
Tata Negara dewasa ini menjadi tidak terpisahkan dengan
pengertian dan hakikat pemerintah sebagaimana juga dibahas
dan dikaji di dalam Hukum Administrasi Negara. Bahkan
menurut Sudargo Gautama kata pemerintah dan penguasa
dikonotasikan sebagai administrasi. Hal ini merupakan salah
satu bukti dari sekian banyak bukti yang menunjukkan bahwa
konsepsi negara kesejahteraan (negara hukum modern) baik
yang dikaji di dalam Hukum Tata Negara maupun Hukum
Administrasi Negara tidak dapat dipisahkan.

F. Sumber-Sumber Hukum Tata Negara.

Pengertian Umum Sumber Hukum.


Dalam buku yang berjudul Hukum Tata Negara Indonesia
Dasar-Dasarnya, Usep Ranawijaya mengemukakan bahwa
perkataan sumber hukum sebenarnya mempunyai dua arti.
Pertama; sumber hukum sebagai penyebab adanya hukum.
Penyebab adanya hukum tidak lain adalah keyakinan hukum
dari orang-orang yang melakukan peranan menentukan
tentang apa yang harus

38 Sudargo Gautama, 1983, Pengertian Tentang Negara


Hukum, Alumni, Bandung, hlm. 10.
menjadi hukum di dalam negara (welbron). Kedua; sumber
hukum dalam arti bentuk perumusan dari kaidah-kaidah
Hukum Tata Negara yang terdapat di dalam masyarakat
darimana kita dapat mengetahui apa yang menjadi hukum itu
(kenbron).^ Pengertian seperti ini menunjukkan bahwa sumber
hukum terdiri dari segala sesuatu yang menentukan isi dari
hukum (sumber hukum ditinjau dari aspek materiil) dan
sumber hukum yang menunjukkan pada bentuk perumusan
kaidah-kaidah hukum (sumber hukum dalam pengertian
formil).

Eugen Ehrlich, pemuka aliran sosiologi hukum antara lain


mengemukakan bahwa hukum positif yang baik (dan
karenanya efektif) adalah hukum yang sesuai dengan living law
yang sebagai inner order dari masyarakat mencerminkan nilai-
nilai yang hidup di dalamnya. Oleh sebab itu di dalam
pembuatan Undang-Undang hendaklah diperhatikan apa yang
hidup di dalam masyarakat.42 Pendapat ini bila dihubungkan
dengan pandangan dari Usep Ranawijaya menunjukkan bahwa
yang dimaksud sumber hukum dalam arti yang pertama
(welbron) tidak lain wujudnya adalah living law yang
mencerminkan nilai-nilai yang hidup di dalam masyarakat.
Dengan demikian sumber hukum dalam arti materiil tidak lain
adalah nilai-nilai yang hidup di dalam masyarakat yang diakui
kebenarannya serta diberlakukan secara umum dan bersifat
mengikat.
Dormer mengemukakan bahwa sumber hukum adalah
ajaran yang memberikan ukuran atau kriteria apakah suatu
ketentuan itu berlaku umum atau tidak. Jika ketentuan itu
berlaku umum maka disebut hukum, sedangkan jika tidak
berlaku umum maka bukan merupakan hukum.43 Lebih lanjut
dikemukakan bahwa untuk menentukan apakah suatu
ketentuan itu berlaku umum atau tidak, ukuran atau
kriterianya adalah:

40 Usep Ranawijaya, Op.cit, hlm. 22.


41 Eugen Ehrlich, dalam Mochtar Kusumaatmaja, Op.cit,
hlm. 3.
42 Dormer dalam Sugeng Istanto, 1983, Hand Out Hukum
Tata Negara I, Universitas Atma Jaya Yogyakarta, hlm. 3.

1. Ukuran materiil, yakni ukuran yang dipergunakan untuk


menilai apakah isi dari ketentuan tersebut dapat menjadi
ketentuan hukum atau tidak; dan
2. Ukuran formil, yakni ukuran yang dipergunakan untuk
menilai apakah proses pembentukan suatu ketentuan itu
menjadi ketentuan hukum dapat dipenuhi, atau proses
tnempositifkan ketentuan yang berlaku umum
menjadi ketentuan hukum. Proses pembentukan yang
dimaksud disini menyangkut:
a. Perumusan;
b. Pembahasan;
c. Pengesahan; dan
d. Pemberlakuan.

Berdasarkan kedua ukuran atau kriteria itulah, maka


dikenal adanya sumber hukum materiil yang menyangkut isi
sebuah ketentuan itu berlaku umum atau tidak, dan sumber
hukum formil menyangkut proses pembentukan atau
proses tnempositifkan suatu ketentuan umum itu
menjadi ketentuan hukum.
Jika pandangan seperti ini diterapkan dalam konteks
Hukum Tata Negara Indonesia, maka dapat ditarik garis
pemahaman sebagai berikut:
1. Sumber Hukum materiil dari Hukum Tata Negara Indonesia
adalah isi dari suatu ketentuan yang berlaku umum, dan
bagi bangsa Indonesia tidak lain adalah Pancasila yang ber-
kedudukan sebagai Staatsfundamentalnorm. Dalam
kedudukan yang demikian ini Pancasila dapat
dikategorikan sebagai isi dari ketentuan yang berlaku
umum, karena Pancasila merupakan kristalisasi dari nilai-
nilai yang hidup dan melekat di dalam masyarakat dan
bangsa Indonesia. Nilai-nilai tersebut telah diakui
kebenarannya serta menjadi pedoman hidup (way of life)
masyarakat dan bangsa Indonesia. Dengan demikian
Pancasila yang terdiri dari lima prinsip (the Five Principles)
merupakan manifestasi isi dari berbagai ketentuan yang
berlaku umum sehingga nilai-nilai tersebut merupakan isi
dari hukum. Dari pandangan seperti ini, maka dapat
disimpulkan bahwa Pancasila adalah Sumber Hukum Tata
Negara dalam arti materiil.
2. Sumber Hukum Tata Negara Formil tidak lain adalah seluruh
tahapan proses untuk membentuk suatu ketentuan umum
itu menjadi ketentuan hukum. Atau semua tahapan
mempositifkan suatu ketentuan umum menjadi ketentuan
hukum. Dalam kaitan dengan hal inilah, maka bentuk dari
sumber Hukum Tata Negara Formil adalah:
a. Perundang-undangan, yakni proses yang dilakukan
oleh
alat-alat perlengkapan negara untuk membentuk
ketentuan
umum menjadi ketentuan-ketentuan hukum yang
mengikat
dan dituangkan dalam satu kitab (kodifikasi). Hasil dari
proses ini bisa dalam bentuk Undang-Undang,
Peraturan
Pemerintah, Peraturan Presiden maupun Peraturan
Daerah,
yang kesemuanya itu bersifat pengaturan.
b. Yurisprudensi, yakni proses penemuan hukum yang
dilakukan oleh hakim berdasarkan kasus-kasus konkrit
yang terjadi dalam masyarakat yang kemudian menjadi
preseden bagi keputusan-keputusan hakim berikutnya
yang
memeriksa kasus-kasus konkrit yang sifatnya sejenis.
c. Kebiasaan atau Konvensi, yakni proses
memformulasikan
suatu praktek kehidupan ketatanegaraan yang tidak
tertulis
namun dilakukan secara berulang-ulang dan bersifat
mengikat.
d. Traktat, yakni proses merumusan kesepakatan-
kesepakatan
dalam perjanjian internasional yang kemudian
mengikat
negara peserta dan dijadikan sebagai ketentuan yang
termuat di dalam hukum nasional.
e. Doktrin atau pendapat para sarjana, yakni proses mem-
formulasikan teori-teori ketatanegaraan melalui
serangkaian
penelitian dan pengujian, kemudian dipergunakan
sebagai
referensi bagi pembentukan Hukum Tata Negara.

Kelima hal tersebut di atas dikatakan sebagai Sumber


Hukum Tata Negara dalam arti formil karena kesemuanya
menunjuk kepada serangkaian proses dan sekaligus organ
yang membentuk. Dengan demikian yang disebut Sumber
Hukum Tata Negara formil bukan menunjuk pada jenisnya,
seperti UUD, Undang-Undang, Peraturan Pemerintah dan lain
sebagainya. Jenis-jenis peraturan perundang-undangan ini
pada hakikatnya adalah hasil atau produk dari suatu proses.
Sebagaimana telah penulis kemukakan bahwa titik tolak
pengkajian terhadap Hukum Tata Negara Indonesia adalah
hukum positif yakni hukum-hukum yang menyangkut
kehidupan ketatanegaraan Indonesia yang berlaku dewasa ini.
Berkaitan dengan hal inilah, maka Sumber Hukum Tata
Negara Positif perlu mendapat porsi penjelasan yang cukup
memadai, agar tidak dijumpai adanya pemahaman yang
keliru, sehingga mengakibatkan kerancuan yang mengarah
kepada penyamaan arti sumber hukum dan dasar Hukum Tata
Negara Indonesia.
Pengertian Dasar Hukum Tata Negara Indonesia jelas
berbeda dengan pengertian Sumber Hukum Tata Negara
Indonesia. Perbedaan tersebut terletak pada sifat dari
keduanya. Dasar Hukum sifatnya konkrit, artinya sudah
menunjuk pada landasan berpijak dari setiap tingkah laku
manusia dalam melakukan hubungan hukum dengan manusia
yang lain. Sehingga dasar hukum lebih mengarah kepada
bentuk atau jenis peraturan perundang-undangan yang
dipergunakan sebagai pedoman manusia dalam melakukan
hubungan hukum. Sedangkan sumber hukum sifatnya masih
abstrak, karena menyangkut isi suatu ketentuan itu berlaku
umum atau tidak dan bagaimana proses atau mempositifkan
ketentuan yang berlaku umum itu menjadi ketentuan hukum.
Hamid S. Attamimi mengemukakan bahwa arti sumber
hukum (rechtsquelle) dapat beraneka ragam, bergantung jenis
hukum yang kita maksud, hukum tertulis atau tidak tertulis.
Bagi hukum tidak tertulis sumber hukum itu antara lain adat,
petunjuk lisan, petuah, dan kebiasaan. Sedangan bagi hukum
tertulis sumber hukum ialah dasar-dasar bagi berlakunya
hukum tertulis tersebut, baik berupa norma-norma maupun
berupa aturan yang lebih tinggi
hirarkhisnya daripada jenis hukum tertulis yang dimaksud,
sebagaimana dasar-dasar bagi suatu jenis perundang-
undangan.44
Dari pandangan yang demikian ini, maka kalau diterapkan
dalam pemahaman sumber Hukum Tata Negara Indonesia,
maka makna sumber Hukum Tata Negara - khususnya dalam
arti yang formil - tidak diletakkan dalam pengertian proses
mempositifkan ketentuan umum menjadi ketentuan hukum,
melainkan justru diletakkan dalam pengertian jenis atau
bentuk. Menurut hemat penulis, pemahaman seperti ini
menimbulkan kerancuan pengertian sumber hukum dengan
dasar hukum. Pandangan tersebut seolah-olah menyamakan
sumber hukum dengan dasar hukum.
Dasar hukum - di samping telah penulis kemukakan
terdahulu - memang sudah menunjuk pada jenis atau bentuk
dari peraturan perundang-undangan berdasarkan hirarkhinya.
Sedangkan sumber hukum sebenarnya masih terkait dengan
kriteria atau ukuran apakah suatu ketentuan itu berlaku umum
atau tidak, jadi nuansanya masih bersifat abstrak.
Dengan demikian sumber Hukum Tata Negara Indonesia
seharusnya diletakkan dalam pengertian dan argumentasi
sebagaimana dikemukakan oleh Dormer. Kalaupun Hukum
Tata Negara Indonesia berpijak pada Hukum Positif (Hukum
Tata Negara yang berlaku pada saat ini), maka bagi sumber
Hukum Tata Negara dalam pengertian formil bukan berarti
menunjuk pada jenis atau bentuk peraturan perundang-
undangan yang berlaku dewasa ini, melainkan tetap mengacu
pada proses mempositifkan suatu ketentuan menjadi
ketentuan hukum. Terkait dengan hal ini, Undang-Undang No
10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan menegaskan antara lain:
1. Pancasila merupakan sumber dari segala hukum negara.45

43 Hamid S. Attamimi, 1992, Pancasila Cita Hukum Dalam


Kehidupan Hukum Bangsa Indonesia, dalam Oetojo
Oesman dan Alfian, Pancasila Sebagai Ideologi Dalam
Berbagai Bidang Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa
dan Bernegara, BP7 Pusat, Jakarta, hlm. 71.
44 Pasal 2 Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 Tentang

2. Jenis dan hirarkhi Peraturan Perundang-undangan adalah


sebagai berikut:
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia;
b. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Penggantu Un-
dang-Undang;
c. Peraturan Pemerintah;
d. Peraturan Presiden;
e. Peraturan Daerah.46

Menurut Penjelasan Pasal 2 Undang-Undang No. 10 Tahun


2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
dinyatakan bahwa penempatan Pancasila sebagai sumber dari
segala sumber hukum negara adalah sesuai dengan
Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 yang menempatkan Pancasila sebagai
dasar negara dan ideologi negara serta sekaligus dasar filosofis
bangsa dan negara sehingga setiap materi muatan Peraturan
Perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan nilai-
nlai yang terkandung dalam Pancasila. Dari pernyataan
tersebut, nyata dan jelas bahwa Pancasila merupakan ukuran
materiil dan sekaligus sebagai sumber hukum materiil dari
setiap materi muatan peraturan perundang-undangan.
Pasal 3 Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 Tentang Pem-
bentukan Peraturan Perundang-undangan menegaskan bahwa
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 merupakan hukum dasar dalam Peraturan Perundang-
undangan. Ketentuan seperti ini, dalam penjelasannya
dinyatakan bahwa Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 yang memuat hukum dasar merupakan
sumber hukum bagi pembentukan Peraturan Perundang-
Undangan di bawah Undang-Undang Dasar.
Penjelasan tersebut sekali lagi menunjukkan bahwa
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 disamping sebagai hukum dasar sekaligus merupakan
46 Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang No. 10 Tahun 2004
Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
sumber hukum bagi
pembentukan Peraturan Perundang-undangan di bawahnya.
Hal ini berarti posisi Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 bersifat ganda, yakni bertindak sebagai
hukum dasar sekaligus sebagai sumber hukum pembentukan
peraturan perundang-undangan di Indonesia.

Ketentuan seperti itu menunjukkan sekali lagi adanya


kerancuan tentang penggunaan istilah sehingga menimbulkan
pemahaman yang ambigu antara hukum dasar dan sumber
hukum. Seharusnya Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 itu diletakkan dalam pengertian Aturan
Dasar atau Aturan Pokok (Staatsgrundgesetz) yakni kelompok
norma hukum di bawah Norma Fundamental Negara dan
merupakan aturan-aturan yang masih bersifat pokok dan
merupakan aturan-aturan umum yang masih bersifat garis
besar, sehingga masih merupakan norma hukum tunggal.47
Jika seperti ini pemahamannya maka Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 bukan merupakan
sumber Hukum, melainkan dasar hukum. Mengapa demikian?
Karena Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 sudah merupakan norma hukum tunggal, artinya
sudah jadi norma hukum. Padahal untuk mencari sumber
hukum baik materiil maupun formil bagi Hukum Tata Negara
Indonesia tidak lain adalah dengan merumuskan tentang apa
yang menjadi isi dan bagaimanakah proses yang
mengakibatkan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 muncul.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 sejatinya bersumber pada staatsfundamentalnorm, yakni
Pembukaan yang di dalamnya terdapat Pancasila. Inilah yang
menjadi Sumber Hukum materiil dari Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945. sedangkan sumber
hukum formilnya tidak lain adalah proses mempositifkan isi
dari sumber hukum materiil, yakni Pancasila ke dalam
ketentuan-ketentuan yang terdapat di dalam Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
i7 Maria Farida Indrati S, 2007, Ilmu Perundang-Undangan
(Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan), Kanisius, Yogyakarta,
hlm. 48.

1945. Pendek kata, Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan


Republik Indonesia Tahun 1945 pada hakikatnya adalah
produk dari proses. Jadi bukan merupakan sumber hukum.
Sebagai sumber hukum yang dijadikan bahan untuk
penyusunan peraturan perundang-undangan, pada
hakikatnya sifat dan bentuknya masih belum dapat diletakkan
dalam pemahaman tertulis maupun tidak tertulis, melainkan
harus diletakkan dalam pemahaman ukuran atau kriteria baik
materiil maupun formil bagi penyusunan peraturan
perundang-undangan.

G. Hakikat Konstitusi.
Sebagaimana telah penulis kemukakan bahwa Hukum
Tata Negara berasal dari kata Constitutional Law. Kata ini jika
diterjemahkan secara harafiah artinya Hukum Konstitusi.
Dengan demikian dapat diambil pemahaman bahwa pada
hakikatnya mempelajari Hukum Tata Negara juga
menyangkut pengkajian mengenai Konstitusi dari suatu
negara. Berkaitan dengan hal inilah, maka dalam membahas
Hukum Tata Negara perlu disampaikan pula mengenai
pengertian dan seluk-beluk konstitusi tersebut.
Dalam hal memahami konstitusi, terdapat dua kelompok
yang mempunyai pandangan berbeda antara satu dengan
yang lain. Satu pihak berpandangan bahwa Konstitusi adalah
sama dengan Undang-Undang Dasar, sedangkan di pihak
yang lain memandang bahwa Konstitusi berbeda dengan
Undang-Undang Dasar. Perbedaan pendapat semacam ini
disebabkan oleh adanya dua sudut pandang yang berbeda,
seperti halnya orang memandang pengertian dan hakikat dari
hukum. Satu sisi memandang Konstitusi dari kacamata
normatif yuridis dan di sisi lain memandang Konstitusi dari
kacamata sosiologis empiris.
Bagi pihak yang memandang Konstitusi dari kacamata
normatif yuridis akan selalu beranggapan bahwa konstitusi itu
sama dengan Undang-Undang Dasar, yakni kumpulan dari
norma-norma hukum dasar yang tertulis dan terangkum
dalam satu kitab (terkodifikasi). Sedangkan bagi pihak yang
memandang konstitusi dari kacamata
sosiologis empiris, konstitusi tidak sebatas pada norma hukum
dasar yang tertulis dalam satu kitab, melainkan juga tersebar
di dalam praktek atau konvensi ketatanegaraan. Berkaitan
dengan pandangan berdimensi sosiologis empiris tersebut,
Herman Heller mengemukakan:
1. Konstitusi mencerminkan kehidupan politik di dalam
masyarakat sebagai suatu kenyataan (Die politische
Verfassung als gesellschafliche Wirklichkeit) dan ia belum
merupakan konstitusi dalam arti hukum (ein
Rechtsverfassung) atau dengan perkataan lain konstitusi itu
masih merupakan pengertian sosiologis atau politis belum
merupakan pengertian hukum.
2. Baru setelah orang mencari unsur-unsur hukumnya dari
konstitusi yang hidup di dalam masyarakat itu untuk
dijadikan sebagai suatu kesatuan kaidah hukum, maka
konstitusi itu disebut Rechtsverfassung (Die verselbstandigte
Rechtsverfassung). Tugas mencari unsur-unsur hukum
dalam ilmu pengetahuan hukum disebut abstraksi.
3. Kemudian orang mulai menulisnya dalam suatu naskah
Undang-Undang yang tertinggi yang berlaku dalam suatu
negara.48

Berdasarkan pendapat di atas, dapat ditarik pemahaman


bahwa antara Konstitusi dengan Undang-Undang Dasar
mempunyai makna yang berbeda. Konstitusi memiliki
pengertian yang lebih luas daripada Undang-Undang Dasar.
Dengan kata lain, Undang-Undang Dasar merupakan bagian
dari Konstitusi yang sifatnya tertulis. Lain daripada itu
Konstitusi sebenarnya tidak hanya bermakna yuridis semata
melainkan juga bermakna sosiologis dan politis.49
Menurut Wirjono Prodjodikoro, istilah konstitusi berasal
dari bahasa Perancis constituer yang berarti membentuk.
Dalam hubungannya dengan kehidupan ketatanegaraan
istilah konstitusi mengandung maksud pembentukan suatu
48 Herman Heller, dalam Moh. Kusnardi & Harmaily
Ibrahim, Op.cit, hlm 65.
negara atau menyusun dan menyatakan negara. 50 Pendapat
seperti ini masih menunjukkan adanya kelemahan. Jikalau
konstitusi itu dianggap mengandung maksud pembentukan
suatu negara atau menyusun suatu negara, maka secara
empiris negara itu terbentuk tidak karena adanya konstitusi.
Dengan kata lain negara tidak terbentuk karena konstitusi.
Banyak negara yang dibentuk sebelum konstitusi itu ada.
Contohnya konstitusi tertulis Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 terbentuk dan dinyatakan
berlaku pada tanggal 18 Agustus 1945, sementara
kemerdekaan atau terbentuknya Negara Kesatuan Republik
Indonesia adalah tanggal 17 Agustus 1945.

ECS Wade dalam buku Constitutional Law mengatakan


bahwa Undang-Undang Dasar adalah naskah yang
memaparkan rangka dan tugas pokok dari badan-badan
pemerintahan suatu negara dan menentukan pokok cara kerja
badan tersebut.51 Pendapat ini tidak melihat hakikat dari sifat
Konstitusi, melainkan hanya memandang dari substansinya.
Wade nampaknya tidak mempersoalkan sifat dari konstitusi,
apakah tertulis dalam satu naskah ataukah tersebar dalam
berbagai naskah, yang terpenting disini adalah substansi dari
konstitusi itu harus mencerminkan kerangka dari
ketatanegaraan suatu negara.

Rekonstruksi Konstitusi Menuju Konsolidasi Sistem


Demokrasi.
Samuel P. Huntington pernah mengemukakan bahwa
dalam negara demokrasi, perubahan dramatis jarang terjadi
dalam satu malam, perubahan itu hampir selalu bersifat
moderat dan sedikit demi sedikit. Sistem demokrasi jauh lebih
kebal terhadap pergolakan besar revolusioner ketimbang
sistem otoriter.52
50 Wirjono Prodjodikoro, Tanpa tahun, Asas-asas Hukum
Tata Negara Indonesia, Dian Rakyat, Jakarta, hlm. 10.
51 RCS Wade, dalam Sobirin Melian, 2001, Gagasan
Perlunya Konstitusi Baru Pengganti UUD 1945, UH Press,
Yogyakarta, hlm. 14.
52 Samuel P. Huntington, 1997,Gelombang Demokratisasi
Pendapat seperti tersebut sengaja penulis kemukakan
dalam buku ini dengan maksud untuk mengingatkan bahwa
reformasi dengan tujuan utama membangun sistem kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara menuju tatanan yang
lebih demokratis tidak mungkin terwujud jikalau jalan untuk
mengarahkan tujuan tersebut dilakukan secara gegabah,
sembrono, dan tergesa-gesa. Menuju tatanan kehidupan yang
demokratis tidak seperti membalikkan telapak tangan.

Reformasi yang bergulir di negeri ini sejak tahun 1998 dan


bertujuan membangun tatanan kehidupan yang lebh
demokratis haruslah dilakukan secara bertahap, terencana,
sistematis dan terstruktur serta mengindahkan aturan-aturan
main yang lazim dikenal dalam konteks negara modern. Tanpa
mengindahkan itu semua niscaya reformasi hanya merupakan
suatu tindakan yang sia-sia bahkan kalau boleh mengatakan
sebagai suatu tindakan yang utopis. Arah reformasi justru akan
menuju hal-hal yang kontra produktif, misalnya terjadinya
anarkisme politik atau berbaliknya sistem politik ke arah yang
semakin otoriter. Pendek kata, jika reformasi tidak diletakkan
dalam sifat yang moderat dan berlangsung sedikit demi sedikit,
maka justru paradigma non-demokratis yang akan dihadapi
oleh suatu negara atau bangsa.
Proses yang relatif lambat ini harus dilalui mengingat di
dalam perjalanan demokratisasi pada hakikatnya ditempuh
melalui pentahapan yang jalannya relatif panjang, yaitu
pertama; pengakhiran rezim non demokratis. Kedua;
pengukuhan rezim demokratis, dan kemudian ketiga;
pengkonsolidasian sistem demokratis.53 Dalam konteks
reformasi di Indonesia sejak tahun 1998, relevansi proses
pentahapan tersebut nampak jelas dari tahapan-tahapan
sebagai berikut:
1. Tahap pengakhiran rezim non demokratis. Tahapan ini telah
berlangsung ketika gerakan reformasi di Indonesia tahun
1998 telah berhasil menggulingkan rezim Orde Baru di
bawah kekuasaan Presiden Soeharto yang memegang

53 Ibid, hlm. 8.
tampuk
kekuasaan negara selama lebih kurang 32 tahun. Gerakan
reformasi tersebut dipicu oleh keterpurukan Indonesia
karena krisis moneter dan mengarah kepada krisis multi
dimensional. Ketidakmampuan Indonesia untuk segera
bangkit dari keterpurukan tersebut disebabkan oleh
runtuhnya moralitas para penyelenggara negara karena
praktek-praktek korupsi, kolusi dan nepotisme serta
keterlibatan militer dalam setiap aktifitas politik sipil di
Indonesia. Dalam skala global reformasi tersebut
sebenarnya juga dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal
seperti terjadinya gelombang demokrasi di belahan dunia
lain yang mengakibatkan runtuhnya rezim otoriter seperti
Marcos di Filipina, runtuhnya komunisme di Uni Sovyet,
dan tragedi Tiananmen di RRC. Faktor perkembangan
informasi dan telekomunikasi turut memberikan andil,
karena dengan adanya kecanggihan komunikasi dan
telekomunikasi semua informasi yang terjadi di belahan
dunia dapat di akses dengan cepat oleh seluruh masyarakat
dunia, termasuk masyarakat Indonesia.
2. Tahap pengukuhan rezim demokrasi. Tahapan ini telah
terjadi pada waktu diselenggarakannya Pemilihan Umum
Tahun 1999 yang dianggap merupakan Pemilihan Umum
paling demokratis sepanjang sejarah Indonesia setelah
Pemilu tahun 1955. Hasil dari Pemilihan Umum 1999
tersebut telah tersusun pemerintahan di bawah KH.
Abdurrahman "Gus Dur" Wahid sebagai Presiden RI yang
kemudian dilanjutkan oleh Megawati Sukarno Putri
sebagai akibat "mosi tidak percaya" dari parlemen yang
menjatuhkan Presiden melalui Sidang Istimewa Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR) tahun 2000. Terlepas dari
pro dan kontra penjatuhan Presiden KH. Abdurrahman
Wahid melalui Sidang Istimewa MPR tahun 2000 tersebut,
peristiwa ini tetap merupakan manifestasi dari demokrasi
yang berlangsung di Indonesia. Mengapa demikian?
Karena sejak Orde Baru sakralisasi jabatan Presiden
sungguh luar biasa besarnya. Tidak ada satupun organ
negara di Indonesia yang berani menyentuh posisi Presiden
yang begitu kuat. Sidang Istimewa MPR Tahun
2000 tersebut merupakan manifestasi desakralisasi kedudukan
presiden dalam sistem ketatanegaraan yang demokratis. 3.
Tahap Pengkonsolidasian Sistem Demokrasi. Tahapan ini
mulai berlangsung ditandai dengan Amandemen Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 se-
banyak 4 (empat) kali. Dalam amandemen tersebut struktur
ketatanegaraan yang demokratis mulai dibangun dan diberi
landasan konstitusional. Memang dalam rangka melakukan
amandemen terhadap Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 masih diwarnai dengan
kepentingan dari kelompok atau partai-partai Politik yang
menduduki mayoritas di Majelis Permusyawaratan Rakyat,
namun amandemen tersebut telah mampu mengubah
paradigma supremasi eksekutif menjadi supremasi parlemen.
Kendatipun demikian, sampai saat ini upaya-upaya untuk
terus menyempurnakan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia tahun 1945 terus dilakukan. Upaya-upaya
penyempurnaan itu antara lain:
a. Penegasan mengenai sistem Presidensiil;
b. Penguatan DPD-RI dalam sistem Keparlemenan Indo-
nesia;
c. Penegasan kembali kekuasaan kehakiman yang
meliputi
MA, MK dan KY;
d. Mekanisme Check and Balances sebagai konsekuensi
sistem
presidensiil;
e. Keberadaan calon Presiden/wk Presiden dari tokoh
independen dalam rangka mengimplementasikan Pasal
27
UUD 1945

Dari tahapan-tahapan tersebut di atas, maka dapat


disimpulkan bahwa amandemen terhadap Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pada
hakikatnya merupakan pengejawantahan konsolidasi sistem
demokrasi sebagaimana dikemukakan oleh Samuel P.
Huntington tersebut. Perlu diketahui fa ahwa demokrasi
bukanlah merupakan tujuan, melainkan merupakan sarana
untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Oleh sebab itu
pengkosolidasian sistem demokrasi akan terus berlanjut
sampai tujuan yang hendak dicapai oleh Negara Kesatuan
Republik Indonesia, sebagaimana tertuang di dalam
Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia tahun 1945 tercapai.
Reformasi di Indonesia tidak hanya sekedar sebuah
tuntutan melainkan memang sudah merupakan suatu
keharusan. Dalam kondisi yang demikian inilah, paradigma-
paradigma baru dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa
dan bernegara tidak bisa dilepaskan dari paradigma global
dalam rangka menuju tatanan dunia baru. Isu-isu
demokratisasi dan hak asasi manusia, kesetaraan gender,
lingkungan hidup, transparansi dan akuntabilitas peme-
rintahan, good governance, desentralisasi pemerintahan
merupakan isu-isu sentral yang secara langsung maupun tidak
langsung menjadi substansi yang harus diperhatikan dalam
menata kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Terkait dengan isu-isu global tersebut, maka tak pelak lagi
jikalau reformasi di Indonesia menuntut berbagai pembenahan
tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Pembenahan tatanan itu tidak hanya diletakkan dalam tataran
moral etis belaka, melainkan harus masuk sampai kepada
tatanan sistem hukum yang responsif terhadap tuntutan akan
terpenuhinya isu-isu di atas secara yuridis. Hal ini disebabkan
jikalau hanya mengandalkan pembenahan tatanan dalam
ranah moralitas etik, maka dimungkinkan hanya akan terjebak
dalam wacana kepatutan dalam konteks tafsir belaka, tanpa
adanya kepastian hukum yang mampu mengarahkan
perubahan masyarakat. Argumentasi ini mengacu pada
pandangan Roscoe Pound yang mengatakan Law as a tool of
social engineering. Hukum adalah sarana perubahan
masyarakat.
Berkaitan dengan hal tersebut, maka reformasi di
Indonesia jelas menuntut adanya rekonstruksi dari dasar
pijakan secara struktual dan sistemik melalui pengkajian ulang
dan penyusunan sistem ketatanegaraan Indonesia dalam
konstitusi (tertulis). Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 sebagai konstitusi tertulis memang sejak
semula dinyatakan
sebagai konstitusi yang singkat dan darurat. Dikatakan
singkat, karena hanya berisi pokok-pokok aturan main (rule of
the game) dari ketatanegaraan Indonesia. Sedangkan dikatakan
darurat, karena dibentuk "hanya" untuk memenuhi kebutuhan
landasan hukum bagi keberadaan Negara Proklamasi
Kemerdekaan 17 Agustus 1945 sebagai suatu organisasi
kekuasaan yang berdaulat.
Sifat yang demikian inilah mengakibatkan efisiensi dan
efek-tifitas Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 dalam mengmplementasikan prinsip-prinsp
Negara demokrasi belum dapat berjalan dengan baik.
Sehubungan dengan hal ini, Kari Leowenstein mengemukakan
tiga jenis penilaian konstitusi sebagai berikut:
1. Nilai Normatif, yaitu suatu konstitusi telah resmi diterima
oleh suatu bangsa dan bagi mereka konstitusi itu bukan
saja berlaku dalam arti hukum (legal), tetapi juga
merupakan suatu kenyataan (reality) dalam arti
sepenuhnya diperlukan dan efektif. Dengan kata lain
konstitusi itu dilaksanakan secara murni dan konsekuen.
2. Nilai nominal. Dalam hal ini konstitusi itu menurut hukum
memang berlaku, tetapi kenyataannya tidak sempurna.
Ketidak sempurnaan berlakunya suatu konstitusi ini
maksudnya adalah konstitusi tersebut secara hukum
berlaku, namun berlakunya itu tidak sempurna karena ada
pasal-pasal dari konstitusi itu dalam kenyataannya tidak
berlaku.
: Nilai semantik, artinya konstitusi secara hukum tetap berlaku,
tetapi dalam kenyataannya hanya sekedar untuk memberi
bentuk dari tempat yang telah ada dan untuk
melaksanakan kekuasaan politik. Mobilitas kekuasaan yang
dinamis untuk mengatur, yang menjadi maksud esensiil
dari suatu konstitusi diberikan demi kepentingan
pemegang kekuasaan. Dengan kata lain konstitusi itu ada
hanya sekedar istilah, sedangkan dalam pelaksanaannya
selalu dikaitkan dengan kepentingan rihak penguasa.54

- ■ 3S. ~_eowenstein, dalam Moh. Kusnardi & Harmaily


Berdasarkan nilai-nilai konstitusi tersebut di atas dan
berpijak dari sifat Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 yang singkat dan darurat tersebut,
maka walaupun rezim Orde Baru dan Majelis
Permusyawaratan Rakyat masa itu menegaskan akan
melaksanakan secara murni dan konsekuen (Nilai
Normatif), namun dalam pelaksanaannya Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah
dikonstruksikan menjadi konstitusi tertulis yang nilainya
nominal dan semantik.
Dikatakan bernilai semantik, karena dalam pelaksanaanya
sangat tergantung dari aspek penafsiran yang dilakukan oleh
para penyelenggara negara. Implementasi semacam ini jelas
menimbulkan deviasi dan distorsi pelaksanaan sistem ketata-
negaraan secara umum. Contohnya adalah kerancuan
Peraturan Perundang-Undangan, kerancuan sistem
pemerintahan, lemahnya penegakan hukum dan
penyimpangan-penyimpangan lain dari asas-asas sistem
ketatanegaraan yang modem dan demokratis.
Sedangkan hanya bernilai nominal, karena kenyataan me-
nunjukkan banyak pasal-pasal dari Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang hanya berfungsi
sebagai dokumen historis yang tidak memiliki kekuatan
yuridis apapun. Contohnya Pasal 18, Pasal 33 dan Pasal 37
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945. Oleh sebab itulah sinkronisasi dan kepastian hukum
dalam rangka mengarahkan perubahan tatanan kehidupan
organisasi (negara) di era reformasi, maka konstitusi Indonesia
harus mulai diberi muatan yang tegas seturut dengan prinsip-
prinsip negara hukum yang demokratis. Persoalannya adalah,
dengan mempergunakan mekanisme yang bagaimanakah
penguatan nilai normatif dari Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 tersebut dapat tercipta, dan
substansi minimal apa saja yang harus dimasukkan dalam
materi muatan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia
Tahun 1945?
Antara Amandemen (Perubahan) dan Penggantian
Konstitusi.
Mekanisme penguatan yuridis atau memberikan nilai
normatif kepada suatu konstitusi (Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945) menjadi wacana
publik, ketika beberapa ahli Hukum Tata Negara dan Politik
menyampaikan gagasan perlu dibentuknya sebuah Komisi
Konstitusi. Gagasan ini muncul karena dalam kenyataannya
Panitia Ad Hoc (PAH) I Badan Pekerja Majelis
Permusyawaratan Rakyat yang diberi wewenang untuk
melakukan perumusan Rancangan Amandemen Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD
1945) dianggap belum mampu melaksanakan tugasnya dengan
baik. Walaupun PAH I BP MPR telah dilengkapi dengan Tim
Asistensi (Tim Ahli) dari berbagai disiplin ilmu termasuk di
dalamnya para ahli Hukum Tata Negara yang kredibilitasnya
tidak diragukan lagi. Sistematika amandemen UUD 1945 yang
sudah dilakukan sejak Tahun 1999 masih bisa dibilang
tumpang tindih dan tidak runtut. Kepentingan-kepentingan
politik sesaat masih sangat mendominasi perumusan
amandemen UUD 1945.
Keberadaan Tim Asistensi ini sebenarnya sudah memenuhi
standar pelaksanaan amandemen suatu konstitusi di berbagai
negara. Misalnya di Amerika Serikat. Menurut Article I
Konstitusi AS yang melakukan amandemen konstitusi adalah
Senate dan Congress. Namun dalam prakteknya Senate dan
Congress ini memanggil masyarakat sipil (para ahli dalam
bidangnya) dan membentuk Komisi Konstitusi. Dengan
demikian berdasarkan kelaziman inilah, keberadaan Komisi
Konstitusi, sudah dapat diakomodasi oleh Tim Ahli dari PAH I
BP MPR tersebut, namun sayangnya keberadaan Komisi ini
ternyata hanya diberi tugas untuk melakukan penyelarasan
dan rekomendasi substansi UUD 1945 yang sifatnya tidak
mengikat. Lain daripada itu, keberadaan Komisi Konstitusi ini
baru diletakkan dalam konteks mengamandemen (mengubah)
UUD 1945, bukan untuk melakukan penggantian terhadap
UUD 1945.
Terlepas dari keberadaan Komisi Konstitusi tersebut,
sebenarnya dalam konstruksi UUD 1945 persoalan
kelembagaan dan mekanisme dalam rangka penggantian
konstitusi belum secara eksplisit dan implisit di atur dalam
UUD 1945. Dalam Pasal 3 UUD 1945 sebelum amandemen
ditegaskan bahwa Majelis Permusyawaratan Rakyat
menetapkan UUD dan Garis-garis Besar daripada Haluan
Negara. Kata menetapkan disini tentu menimbulkan penafsiran
yang berbeda-beda. Apakah menetapkan itu berkaitan dengan
setelah MPR mengganti UUD 1945 dengan UUD yang baru.
sama sekali, ataukan menetapkan setelah MPR melakukan
amandemen terhadap UUD 1945? Penjelasan terhadap Pasal
ini hanya menegaskan Cukup Jelas. Namun demikian, jika Pasal
3 tersebut dihubungkan dengan Pasal 37 ayat (1) yang
menyatakan bahwa untuk mengubah Undang-Undang Dasar
sekurang-kurangnya 2/3 dari pada jumlah anggota Majelis
Permusyawaratan Rakyat harus hadir, maka kata menetapkan
tersebut hanya dipergunakan oleh MPR setelah melakukan
amandemen (mengubah) UUD. Hal ini berarti secara yuridis
konstitusional persoalan kelembagaan dan prosedur untuk
melakukan penggantian terhadap UUD 1945 tidak diatur
secara tegas. Oleh sebab itu, kalau ada kehendak untuk
mengganti UUD 1945 dengan UUD yang baru sama sekali,
maka satu-satunya jalan yang harus ditempuh adalah dengan
melakukan amandemen terlebih dahulu terhadap Pasal 3 dan
Pasal 37 ayat (1) UUD 1945.
Menurut hemat penulis untuk melakukan penggantian ter-
hadap UUD 1945 dapat ditempuh dengan mencontoh
konstitusi yang pernah berlaku di Indonesia, yakni Konstitusi
RIS dan UUDS 1950. Menurut kedua konstitusi tertulis yang
pernah berlaku di Indonesia tersebut, mekanisme dan
kelembagaan dari organ yang berwenang untuk mengganti
konstitusi secara tegas telah diatur. Dalam Pasal 134 UUDS
1950 ditegaskan bahwa Konstituante (Sidang Pembuat
Undang-Undang Dasar) bersama-sama dengan Pemerintah
selekas-lekasnya menetapkan Undang-Undang Dasar
Republik Indonesia yang akan menggantikan Undang-Undang
Dasar Sementara ini. Sedangkan dalam Pasal 186 Konstitusi
RIS dinyatakan bahwa Konstituante (Sidang Pembuat
Konstitusi), bersama-sama dengan Pemerintah selekas-
lekasnya menetapkan Konstitusi Republik Indonesia Serikat
yang akan menggantikan Konstitusi sementara ini. Dari kedua
ketentuan dalam kedua konstitusi tersebut, jelas kiranya
bahwa organ yang berwenang untuk mengganti konstitusi
adalah Konstituante.
Lebih lanjut dalam kedua konstitusi tersebut juga
ditegaskan bahwa dalam penyusunan keanggotaan dari
Konstituante tersebut dilakukan melalui Pemilihan Umum.
Persoalannya adalah bisakah mekanisme seperti ini
dipergunakan sebagai referensi untuk menyusun dan
membentuk sebuah Komisi Konstitusi yang bertugas baik
untuk mengamandemen ataupun mengganti UUD 1945?
Jawaban atas pertanyaan tersebut adalah bisa dan sangat
lazim, khususnya jikalau dilihat dari konteks teori
ketatanegaraan pada umumnya, sebagaimana dikemukakan
oleh JJ. Rousseau, John Locke, dan Hobbes, negara dibentuk
karena adanya kontrak sosial. Keberadaan Konstitusi dalam
suatu negara pada hakikatnya adalah perwujudan dari
kontrak sosial tersebut. Oleh sebab itulah dalam rangka untuk
mengakomodasi kontrak sosial ini tidaklah mungkin
dilakukan oleh rakyat secara langsung, melainkan perlu
direpresentasikan dalam suatu kelembagaan melalui
Pemilihan Umum. Berarti keberadaan Komisi Konstitusi, mau
tidak mau, suka tidak suka harus dibentuk berdasarkan
Pemilihan Umum.
Jika Komisi Konstitusi dikehendaki bersifat independen
dan non partisan dengan cara merekrut para ahli di bidangnya
masing-masing, maka para ahli ini dapat ditunjuk dan
ditawarkan kepada masyarakat secara langsung untuk dinilai
sifat independensinya. Sementara itu komposisi yang diambil
dari unsur masyarakat lain seperti Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM) dan tokoh-tokoh masyarakat lainnya yang
dipilih melalui Pemilihan Umum, maka hendaknya ditentukan
berdasarkan sistem distrik dan tanpa melibatkan tokoh-tokoh
politik yang sementara ini dianggap belum mampu
mencerminkan aspirasi masyarakat dan hanya mementingkan
golongannya sendiri.
Sidang Tahunan MPR tahun 2002, membuka wacana baru
dalam persoaan amandemen UUD 1945. Muncul
perkembangan positif terhadap berbagai tuntutan masyarakat
yang menghendaki penuntasan amandemen UUD 1945. Dalam
kaitannya dengan hal ini, menurut catatan media massa,
terdapat 11 Fraksi yang menghendaki UUD 1945 hasil
amandemen I, II, III, dan IV akan diletakkan dalam UUD
Transisi.35 Dengan kedudukan semacam ini, maka keberadaan
Komisi Konstitusi menjadi sangat urgen (penting), dan
lembaga ini diharapkan akan menuntaskan amandemen yang
sudah dilakukan oleh MPR dengan cara melakukan
sinkronisasi serta pembenahan terhadap hasil-hasil
amandemen tersebut. Kemudian hasil dari sinkronisasi dan
pembenahan substansi amandemen UUD 1945 diserahkan
kepada MPR hasil Pemilu 2004 untuk ditetapkan sebagai UUD
yang definitif.

Substansi Konstitusi.
Prinsip negara hukum demokrasi sudah menjadi
paradigma teori ketatanegaraan yang tidak terbantahkan.
Dalam dataran paham konstitusionalisme Indonesia, prinsip
semacam ini telah ditegaskan secara eksplisit di dalam UUD
1945 (sebelum dan sesudah amandemen). Prinsip-prinsip yang
dimaksud adalah menghendaki adanya perlindungan
terhadap hak-hak asasi manusia, Pemisahan Kekuasaan,
Legalitas Pemerintahan, dan peradilan yang bebas. Oleh sebab
itulah dalam rangka untuk memberikan isi atau muatan
konstitusi Indonesia, maka minimal unsur-unsur inilah yang
harus dipergunakan sebagai referensi utama. Dengan
demikian substansi konstitusi antara lain menyangkut:
1. Terjaminnya Perlindungan Hak asasi manusia yang meliputi
Hak Asasi manusia dalam aspek individu (klasik) maupun
aspek sosial politik (HAM Modern). Hal ini memberikan
indikasi bahwa persoalan perlindungan Hak Asasi
Manusia di samping dituangkan di dalam sebuah Undang-
Undang, juga harus di tuangkan di dalam Konstitusi.
Perbedaannya adalah, kalau Hak asasi manusia yang
dituangkan di dalam konstitusi sifatnya adalah pokok-
pokok yang harus menjadi dasar pelaksanaan
perlindungan Hak Asasi Manusia. Sedangkan yang
dituangkan di dalam Undang-Undang adalah per-
lindungan Hak asasi manusia yang sifatnya lebih
terperinci, termasuk di dalamnya adalah mekanisme
pelaksanaan untuk melakukan penegakan hukumnya.
2. Pemisahan kekuasaan. Sebelum UUD 1945 diamendemen
persoalan pemisahan kekuasaan dalam struktur
ketatanegaraan Indonesia belum secara tegas dimasukkan
di dalam UUD. Balikan dalam kaitannya dengan
mekanisme hubungan antar lembaga tinggi negara pernah
hanya dituangkan di dalam Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat. Padahal keberadaan Ketetapan
Majelis ini dulunya pernah menimbulkan perdebatan,
karena keberadaannya selalu dikaitkan dengan konvensi
ketatanegaraan. Oleh sebab itulah untuk mempertegas
unsur pemisahan kekuasaan ini, maka mekanisme
hubungan antar lembaga tinggi negara harus dimasukkan
dalam UUD. Tidak cukup hanya diatur dalam Ketetapan
MPR atau Undang-Undang.
3. Legalitas pemerintahan. Tidak dapat dipungkiri bahwa
pemerintahan (dalam arti luas) yang berdasarkan rambu-
rambu hukum sangat dibutuhkan untuk membatasi
pelaksanaan kekuasaan pemerintahan yang ada. Secara
teoritis kekuasaan pemerintahan (negara) ini menyangkut
tiga cabang kekuasaan, yaitu kekiiasaan pengaturan
(legislatif), kekuasaan untuk melaksanakan pemerintahan
(eksekutif), dan kekuasaan untuk melaksanakan peradilan
(yudikatif). Ketiga cabang kekuasaan ini harus mulai
ditegaskan mengenai kelembagaan dan mekanisme
hubungan antara satu dengan yang lain. Kerancuan-
kerancuan yang terjadi sebelum UUD 1945 diamendemen,
seperti sistem pemerintahan yang dikehendaki, apakah
presidensiil ataukan parlementer harus secara tegas
dinyatakan di dalam UUD. Kekuasaan eksekutif dalam
mengimplementasikan freiss ermessen yang menimbulkan
kebijakan-kebijakan diskresi harus mulai dibatasi, karena
secara empiris kebijakan-kebijakan yang sifatnya diskresi
ini menjadi sumber utama korupsi.
4. Peradilan yang bebas. Unsur ini sampai sekarang masih
belum menunjukkan tanda-tanda adanya jaminan
pelaksanaannya. Lembaga Peradilan masih banyak
dipengaruhi oleh cabang kekuasaan lainnya. Pengawasan
terhadap peradilan yang bebas ini juga masih perlu
diformulasikan seturut dengan prinsip akuntabilitas. Lain
daripada itu prinsip peradilan yang bebas seharusnya
tidak hanya ditujukan kepada lembaga peradilan (hakim)
semata, melainkan harus dikembangkan dalam tataran
proses peradilan. Oleh sebab itu institusi-institusi yang
terkait dengan proses peradilan harus dimandirikan
(independen). UUD harus mengakomodasi persoalan ini,
khususnya dalam rangka menegakkan supremasi hukum
yang merupakan mata rantai dari sistem demokrasi.

Berdasarkan prinsip-prinsip negara hukum tersebut di


atas, dapat disimpulkan bahwa rekonstruksi UUD dalam
rangka menangkap tuntutan dan keharusan reformasi
Indonesia merupakan sebuah keniscayaan. Reformasi tanpa
pembenahan UUD jelas akan mati suri. Hal ini disebabkan
dalam praktek ketatanegaraan yang otoritarian, UUD hanya
dipergunakan sebagai alat untuk mempertahankan hegemoni
kekuasaan. Celakanya UUD 1945 sebelum di amandemen
memang berlanggam executive heavy. Amandemen I, II, III dan
IV UUD 1945 sudah terjadi. Namun demikian, kesan tergesa-
gesa memang sangat terasa dalam proses amandemen UUD
1945 tersebut. Padahal dalam dataran praktis maupun teori,
amandemen terhadap suatu konstitusi selalu sejalan dengan
perkembangan masyarakat dan berproses terus menerus tanpa
henti.
Pendek kata, untuk melakukan amandemen terhadap
konstitusi tidak hanya dibatasi oleh periodesasi masa jabatan
dari badan yang berwenang untuk melakukan amandemen
UUD. Kondisi-kondisi tersebut semakin diperparah dengan
adanya anggapan bahwa selama UUD 1945 masih dalam
proses amandemen, sistem ketatanegaraan seperti berjalan
tanpa arah, tanpa aturan main, tanpa landasan konstitusional.
Para pelaku politik sudah tidak mengindahkan pakem aturan
main secara yuridis. Keadaan semacam ini harus segera
dihentikan. Cara yang laing efektif adalah dengan melakukan
rekonstruksi konstitusi sambil tetap menjalankan konstitusi
yang sudah ada secara normatif tanpa penafsiran yang
ambigu. Serahkanlah penafsiran yang ada kepada lembaga
yang diberi wewenang untuk itu, yaitu Mahkamah Konstitusi.

Prinsip Dasar Melakukan Amandemen Konstitusi.


Tidak pernah ada yang namanya konstitusi itu sifatnya
tetap. Konstitusi sifatnya selalu akan terus berkembang
(working constitution). Nah oleh sebab itu pengkajian kembali
terhadap amandemen UUD 1945 tentunya mencakup tiga
persoalan utama, yaitu menyangkut substansi, sistematika
dan bahasa.
Pertama aspek substansi. Bila ditinjau dari aspek substansi,
pada umumnya suatu konstitusi dapat dibedakan ke dalam
dua jenis, yakni konstitusi politik dan konstitusi sosial. Konstitusi
politik tidak lain adalah konstitusi yang materi muatannya
hanya mengatur mengenai kekuasaan negara yang dilakukan
oleh lembaga-lembaga negara, termasuk di dalam menyangkut
hubungan antar lembaga-lembaga negara tersebut. Sedangkan
konstitusi sosial tidak lain adalah konstitusi yang disamping
mengatur mengenai kekuasaan negara juga mengatur
mengenai prinsip-prinsip yang dipergunakan oleh negara
dalam mencapai tujuan dan cita-cita nasionalnya. UUD 1945
dapat diindikasikan sebagai konstitusi sosial.
Berdasarkan konsep dasar mengenai jenis konstitusi bila
ditinjau dari aspek substansi tersebut di atas, maka jikalau kita
akan - encoba melakukan kajian-kajian terhadap amandemen
UUD 1945 tentunya harus ditegaskan terlebih dahulu tentang
jenis konstitusi pang dikehendaki, apakah Konstitusi Politik
ataukah Konstitusi Sosial. Penentuan jenis semacam ini perlu
dilakukan, mengingat dalam tataran wacana konstitusi di
Indonesia berkembang pemahaman-pemahaman yang saling
bertolak belakang. Di satu sisi ada yang berkehendak untuk
merumuskan muatan materi konstitusi secara singkat (hanya
pokok-pokoknya saja), khususnya yang menyangkut
pembagian kekuasaan. Sedangkan di sisi lain ada yang
berkehendak untuk merumuskan materi muatan UUD yang
begitu rinci, laksana UU biasa.
Kedua; ditinjau dari sistematika muatan materi. Secara para-
digmatik konstitusi tidak lain adalah perwujudan dari kontrak
sosial yang dilakukan oleh seluruh komponen rakyat untuk
membentuk ikatan hidup bersama dalam suatu organisasi
kekuasaan yang disebut negara. Lain daripada itu, keberadaan
konstitusi dalam sistem ketatanegaraan modern pada
hakikatnya merupakan tuntutan dari prinsip negara hukum
yang demokratis.
Berdasarkan konsep pemikiran semacam inilah, maka sis-
tematika dari suatu UUD (konstitusi tertulis) seharusnya
tersusun dalam kerangka pasal-pasal yang disesuaikan dengan
unsur-unsur dari negara hukum yang demokratis. Oleh sebab
itulah, secara singkat kerangka pasal-pasal yang terdapat
dalam suatu konstitusi dapat disusun secara sistemik, yaitu (a)
pasal-pasal yang mengatur tentang Hak Asasi manusia, (b)
Pasal-pasal yang mengatur pemisahan/ pembagian
kekuasaan, (c) Pasal-pasal tentang legalitas pemerintahan, (d)
pasal-pasal tentang independensi lembaga-lembaga yang
melaksanakan proses peradilan, dan (e) pasal-pasal yang
mengatur tentang prinsip-prinsip pelayanan publik yang
dilakukan negara dalam rangka menunjang tercapainya
kesejahteraan umum masyarakat.
Prinsip-prinsip pelayanan publik tersebut perlu diatur,
karena dalam paradigma welfare state negara harus bertindak
sebagai pelayan masyarakat dalam rangka meningkatkan
kesejahteraan umum warganegara. Menurut Anthony Giddens
paradigma semacam ini akan berdampak pada munculnya
sifat negara yang intervensionis. Negara akan selalu terlibat
dalam persoalan-persoalan kemasyarakatan bahkan kalau
perlu "memasuki" perse >.>l<in-persoalan dalam area privat.
Nah kalau tidak diatur secara
tegas di dalam Pasal-pasal UUD, maka kemungkinan
terjadinya pelanggaran terhadap prinsip-prinsip negara
hukum justru semakin besar.
Kalau kita memperhatikan keseluruhan hasil amandemen
UUD 1945, maka materi muatan yang terkandung di dalamnya
justru tidak tersusun secara sistemik. Pasal-pasal yang
menyangkut Warganegara dan perlindungan Hak Asasi
Manusia justru diletakkan dibagian paling belakang. Setelah
Pasal-paal yang mengatur tentang pilar-pilar kekuasaan
negara, seperti MPR, DPR dan DPD, Presiden, Kehakiman
serta Pemerintahan Daerah. Sistematika semacam ini tentunya
tidak selaras dengan paradigma negara hukum yang
demokratis dan paradigma konstitusi sebagai aktualisasi dari
kontrak sosial.
Di dalam paradigma negara hukum yang demokratis,
unsur perlindungan terhadap HAM justru ditempatkan
sebagai prinsip yang pertama kali yang harus dipenuhi.
Sedangkan dalam paradigma konstitusi sebagai aktualisasi
dari kontrak sosial, maka persoalan yang menyangkut hak-hak
maupun kewajiban-kewajiban dari rakyat sebagai peserta
kontrak sosial harus diatur terlebih dahulu. Penyusunan
substansi UUD dengan mempergunakan sistematika seperti ini
merupakan bentuk pengintegrasian paradigma konstitusi
sebagai perwujudan kontrak sosial dan paradigma negara
hukum yang demokratis.
Khusus menyangkut pasal-pasal yang mengatur tentang
legalitas pemerintahan (Pemerintahan berdasarkan hukum)
tentunya harus dikembangkan dalam konteks pengertian yang
luas, yaitu menyangkut penyelenggaraan negara yang
dilakukan oleh lembaga-lembaga negara. Lain dari pada itu, di
dalam substansi pengaturannya juga harus memuat tentang
bentuk ataupun jenis pemndang-undangan yang
dipergunakan untuk melaksanakan lebih lanjut ketentuan-
ketentuan yang ada di dalam konstitusi.
Ketiga, ditinjau dari aspek bahasa. Amandemen UUD 1945
masih tetap menyisakan persoalan yang berkaitan dengan pe-
nafsiran, Persoalan Ini jika tidak segera ditanggulangi akan se-
ni, il in menimbulkan kfftidak pastian penafsiran terhadap
UUD dikemudian hari. Hal ini mengingat setelah dilakukan
empat kali amandemen, maka UUD 1945 hanya terdiri dari
Pembukaan dan pasal-pasal (Pasal II Aturan Tambahan).
Padahal menurut teori perundang-undangan, konsepsi yuridis
yang tertuang di dalam naskah perundang-undangan -
termasuk UUD - harus mengandung ketegasan makna dan
kepastian hukum.
Ketegasan makna diperlukan karena, menurut teori
perundang-undangan ketentuan yang ada di dalamnya
merupakan bentuk penemuan hukum yang mengarah kepada
terbangunnya teori Hukum. Dalam konteks Konstitusi (UUD),
maka keberadaan konsep yuridis yang terdapat di dalam
pasal-pasalnya jelas akan membangun teori Hukum Tata
Negara. Oleh sebab itu, jikalau ketegasan makna yang
diapresiasikan melalui bahasa UUD dapat secara tuntas
dirumuskan, niscaya tidak akan terjadi perdebatan yang
menyangkut penafsiran makna dari pasal-pasal yang ada.
Salah satu contoh ketidak tegasan makna yang masih
terkandung di dalam Amandemen UUD 1945 adalah
menyangkut Pasal 26 ayar (1) yang menegaskan bahwa "Yang
menjadi warganegara ialah orang-orang bangsa Indonesia Asli
dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-
undang sebagai warganegara". Termasuk Pasal 18 D yang
menegaskan bahwa negara mengakui dan menghormati
satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau
bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang.
Ketentuan Pasal 26 ayat (1) tersebut menimbulkan dua
persoalan pokok, yaitu menyangkut kriteria atau ukuran yang
dapat dipergunakan untuk menentukan "orang-orang bangsa
Indonesia asli" serta prosedur untuk memperoleh status
kewarganegaraan Indonesia. Pasal tersebut menyiratkan suatu
ketentuan bahwa untuk memperoleh status kewarganegaraan
bagi orang-orang bangsa lain harus disahkan dengan undang-
undang. Sebuah langkah yang terlampau berlebihan.
Sedangkan Pasal 18 D ayat (1) tidak ada ketegasan, apakah
UU yang dimaksud itu adalah UU Kriteria Kekhususan atau
Keistimewaan Suatu Daerah, ataukah UU tentang
Pembentukan Suatu Pemerintahan Daerah yang bersifat
khusus atau istimewa.
Rumusan bahasa UUD harus mengandung kepastian
hukum, karena menyangkut standarisasi dalam rangka
penegakan hukum. A rtinya dengan kepastian hukum
tersebut, maka kepastian ukuran-ukuran yang menyangkut
nilai norma yuridis konstitusional dapat ditentukan.
Pentingnya standarisasi norma yuridis konstitusional tersebut
adalah berguna bagi kristalisasi dari sistem ketatanegaraan
Indonesia yang dirancang dalam rangka menuju konsolidasi
sistem demokrasi. Kedepan, diharapkan sistem ketatanegaraan
tidak lagi menimbulkan perdebatan yang melelahkan diantara
para pakar ntau mungkin malah terus menerus menjadi
proyek.
Bab II

SEJARAH KETATANEGARAAN INDONESIA

(Pencarian jati diri yang relatif paling baik^adaCah dengan melamakan


penelusuran mengenai sejarah perjalanan hidup secara jujur. (Demikian
pula hanya dalam mencari jati diri ketatanegaraan suatu bangsa.
Keberadaan Hukum Tata Negara Indonesia tidak^mungkin dilepaskan dari
perjalanan sejarah kehidupan Negara %esatuan ^epuBlik^Indonesiayang
diproklamasikan sejakj-anggal17 Agustus 1945.

A. Pendahuluan.
Pada umumnya untuk melakukan penelitian dan
pengkajian mengenai sejarah akan bersumber pada 3 (tiga)
jenis data utama, yakni peninggalan sejarah yang berupa
dokumen/arsip, benda atau prasasti, dan sumber hidup dari
pelaku sejarah. Kenyataan selama ini menunjukkan bahwa
sumber-sumber sejarah tersebut ternyata lidak mampu
menelusuri suatu peristiwa sejarah secara obyektif. I Ini ini
disebabkan sumber-sumber data tersebut memiliki sifat
kelemahan yang cukup substansiil.
Sumber sejarah yang berwujud dokumen atau arsip mudah
rusak dan hilang sebagai akibat dari kecerobohan pengelola
sumber-sumber data yang berwujud seperti ini. Tradisi untuk
mendokumentasikan pengelolaan data-data atau sumber-
sumber secara rapi dari berbagai peristiwa sejarah masih
belum dikatakan baik. Bahkan tidak jarang sumber-sumber
sejarah yang berupa dokumen atau arsip sering dipalsukan
atau sengaja dihilangkan guna menghapus memori sejarah
yang dianggap merugikan. Contoh paling aktual adalah
menyangkut naskah SUPERSEMAR (Surat Perintah Sebelas
Maret) yang misterius itu.
Benda atau prasasti juga relatif sulit untuk dipertahankan
keasliannya. Hal ini mengingat data atau sumber sejarah yang
berwujud seperti ini relatif tidak kuat menahan serangan alam
(hujan dan panas). Sedangkan data atau sumber sejarah yang
berasal dari pelaku sejarah juga kadang kala masih diragukan
orisinalitasnya, karena memori dan daya ingat manusia jelas
sangat terbatas.
Berdasarkan keadaan yang melingkupi sumber-sumber
atau data penelusuran sejarah tersebut, maka tidak
mengherankan jikalau wacana publik dewasa ini menghendaki
adanya penelusuran ulang sejarah perjalanan bangsa Indonesia
secara obyektif. Hal ini mengingat banyak penulisan sejarah
ditengerai telah banyak terjadi upaya penipuan sejarah yang
dilakukan penguasa. Permasalahan seperti ini juga ditambah
dengan adanya suatu pandangan yang menganggap bahwa
penulisan sejarah bangsa dan negara dengan berbagai aspek
yang terkandung di dalamnya sangat dipengaruhi oleh
kepentingan-kepentingan politik dari penguasa, khususnya
dalam membangun legitimasi "sang Penguasa" dalam
mempertahankan kekuasaannya. Kasus yang menyangkut
peristiwa penggagas Serangan Umum 1 Maret 1949, apakah Sri
Sultan Hamengku Buwono IX ataukah Kol. Soeharto, dan
kasus Pemberontakan G-30-S PKI dapat dipergunakan sebagai
salah satu contoh.
Lain daripada itu, penulisan kembali sejarah suatu bangsa
masih juga memunculkan wacana yang pada hakikatnya
mempersoalkan, apakah penelitian sejarah dan pengkajiannya
itu sampai pada taraf memberikan penilaian benar ataukah
salah terhadap suatu peristiwa sejarah tertentu yang ditulis
menurut versi tertentu? Menurut hemat penulis, penulisan dan
pengkajian sejarah sebenarnya hanyalah langkah untuk
menyampaikan suatu realitas perjalanan suatu kehidupan. Jadi
tidak sampai pada taraf memberikan argumentasi benar atau
salah terhadap realitas sejarah yang ada. Artinya penulisan
dalam versi apapun seharusnya tidak sampai pada
pembenaran atau penyalahan suatu peristiwa sejarah.
Penulisan sejarah dengan berbagai metode dan versinya
masing-masing pada hakikatnya hanyalah merupakan bentuk
pencatatan kejadian masa lampau tanpa ditambah ataupun
dikurangi dengan rgumentasi-argumentasi yang justru akan
mengaburkan sejarah itu sendiri.
Oleh karena penulis bukan merupakan ahli di bidang
sejarah maupun salah satu pelaku dari sejarah ketatanegaran
Indonesia, maka dalam menyusun sejarah ketatanegaraan
Indonesia - dengan berbagai konsekuensinya - penulis akan
tetap melandaskan pada dokumen-dokumen tertulis yang
pernah disampaikan oleh para penulis terdahulu, serta tidak
berusaha untuk memberikan penilaian terhadap benar atau
salah mengenai peristiwa sejarah ketatanegaraan Indonesia
yang terjadi.
Kendatipun demikian, penulisan sejarah ketatanegaraan
Indonesia ini juga tidak akan melihat dan mengkaji hal-hal
yang bersifat sosiologis, budaya maupun perjuangan revolusi
bangsa Indonesia, melainkan hanya melihat dari aspek hukum
dan perubahan yang terjadi. Hal ini mengingat sejarah yang
dimaksud disini menyangkut persoalan perjalanan suatu
organisasi kekuasaan yang disebut negara yang tentunya
landasan yang dipergunakan adalah sistem hukum yang
berlangsung pada saat masing-masing sejarah itu berjalan.

B. Periodesasi Sejarah Ketatanegaraan Indonesia.


Sebagai sebuah organisasi kekuasaan, maka sejarah ketata-
negaraan Indonesia tentunya bersumber pada berbagi hal yang
berkaitan dengan terbentuknya organisasi negara itu sendiri.
Seperti pernah kita pelajari bersama, ketika kita masih duduk
di bangku Sekolah Dasar sampai dengan Sekolah Menengah
Atas
(SMA), sejarah Indonesia telah dikaji dan dipelajari sebagai
suatu mata pelajaran yang substansinya bermula dari adanya
peradaban bangsa Indonesia, yakni ketika orang-orang yang
berada di wilayah Nusantara ini membentuk kesatuan
masyarakat hukum yang masih bersifat sederhana, seperti
kesatuan masyarakat hukum yang berbentuk Desa (dengan
berbagai sebutannya), karajaan maupun persekutuan-
persekutuan hukum otonom yang dibentuk berdasarkan
hukum asli Indonesia atau Hukum adat.
Berkaitan dengan hal tersebut di atas, maka penulisan
kembali Sejarah Ketatanegaran Indonesia di dalam Bab ini,
hanya bertitik tolak dari munculnya suatu organisasi
kekuasaan yang menguasai wilayah nusantara ini, yakni ketika
bangsa asing masuk dan menduduki wilayah nusantara.
Dengan demikian pada intinya sejarah ketatanegaran
Indonesia akan dibagi ke dalam periodessi sebagai berikut:
1. Periode Sebelum Kemerdekaan 17 Agustus 1945 yang me-
liputi:
a. Masa Penjajahan Belanda.
b. Masa Pendudukan Bala Tentara Jepang.
2. Periode Setelah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945
yang meliputi:
a. Pasca Pemberlakuan UUD 1945 Sejak 18 Agustus 1945;
b. Ketatanegaraan Indonesia di bawah Konstitusi
Republik
Indonesia Serikat;
c. Ketatanegaraan Indonesia di bawah UUDS 1950;
d. Ketatanegaraan Indonesia di bawah UUD 1945 (Dekrit
Presiden 5 Juli 1959);
3. Ketatanegaraan Indonesia pada masa Orde Baru.
4. Ketatanegaraan Setelah Reformasi 1998: Menuju
Konsolidasi Sistem Demokrasi.

Periodesasi tersebut di atas menjadi acuan karena diantara


masa-masa yang terdapat di dalamnya, masing-masing
menunjukkan adanya karakteristik pengaturan organisasi
kekuasaan (negara) yang berbeda antara satu dengan yang
lain, khususnya bila ditinjau dari sistem ketatanegaraan yang
diberlakukan.

1. Periode Sebelum Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus


1945.

a. Masa Penjajahan Belanda.


Pada masa ini Indonesia (yang selanjutnya disebut Hindia
Belanda) dikonstruksikan merupakan bagian dari Kerajaan
Belanda. Hal ini nampak jelas tertuang di dalam Pasal 1 UUD
Kerajaan Belanda (IS 1926). Dengan demikian kekuasaan
tertinggi di Hindia Belanda ada di tangan Raja. Akan tetapi
dalam pelaksanaannya Raja (Ratu) tidak melaksanakan
kekuasaannya sendiri di Hindia Belanda, melainkan dibantu
oleh Gubernur Jenderal sebagai reiaksana. Ratu Belanda
sebagai pelaksana Pemerintahan Keraja-i~ Belanda harus
bertanggung jawab kepada parlemen. Ini menunjukkan sistem
pemerintahn yang dipergunakan di negeri Belanda adalam
sistem Parlementer Kabinet.
Adapun peraturan perundang-undangan dan lembaga
negara mg ada pada masa Hindia Belanda adalah:
a Undang-Undang Dasar Kerajaan Belanda 1938.
1. Pasal 1: Indonesia merupakan bagian dari Kerajaan
Belanda;
2. Pasal 62: Ratu Belanda memegang pemerintahan
tertinggi atas Pemerintahan Indonesia, dan Gubernur
Jenderal atas nama Ratu Belanda menjalankan
Pemerintahan Umum;
B. Pasal 63: Ketatanegaraan Indonesia ditetapkan dengan
Undang-Undang, soal-soal intern Indonesia diserahkan
pengaturannya kepada badan-badan di Indonesia,
kecuali ditentukan lain dengan Undang-Undang.
: 'ndische Staatsregeling (IS) pada hakikatnya adalah Undang-
Undang. Tetapi karena subtansinya mengatur tentang
pokok-pokok dari Hukum Tata Negara yang berlaku di
Hindia Belanda (Indonesia), maka secara materiil IS dapat
dianggap sebagai Undang-Undang Dasar Hindia Belanda.
Berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-
Undangan tersebut di atas, dapat ditarik pemahaman
bahwa sistem ketatanegaraan dan pemerintahan yang
dilaksanakan oleh Pemerintah Kerajaan Belanda adalah
dengan mempergunakan asas dekonsentrasi. Dengan
demikian secara umum, kedudukan dari Gubernur Jenderal
dapat disetarakan sebagai Kepala Wilayah atau alat
perlengkapan pusat (Pemerintah Kerajaan Belanda).
Adapun bentuk-bentuk peraturan perundang-undangan
yang dikenal dimasa berlakunya IS, adalah :
a. Wet: dibentuk oleh badan pembentuk Undang-Undang
Negeri
Belanda, yaitu mahkota (Ratu bersama-sama dengan
menteri-
nya) dan Parlemen;
b. Algemene Maatsregelen van Bestuur (AmvB), dibentuk oleh
mahkota sendiri (dalam sistem perundang-undangan
Indonesia
dewasa ini dapat disejajarkan dengan Peraturan
Pemerintah);
c. Ordonnantie, dibentuk oleh Gubernur Jenderal bersama-
sama dengan Volksraad (dalam sistem perundang-
undangan
Indonesia dewasa ini dapat disejajarkan dengan Peraturan
Daerah);
d. Reggering Verordeningen (RV), peraturan yang dibentuk
oleh
Gubernur Jenderal sendiri.56

Keempat peraturan perundang-undangan ini disebut


Algemene Verordeningen (Paraturan Umum). Di samping itu
juga dikenal adanya Local Verordeningen (Paraturan lokal) yang
dibentuk oleh pejabat yang berwenang di tingkat lokal seperti
Gubernur, Bupati, Wedana, dan Camat.
Pada masa Hindia Belanda ini sistem pemerintahan yang
dipergunakan adalah sentralistik. Akan tetapi agar corak
sentralistik tersebut tidak terlalu mencolok, maka asas yang
dipergunakan adalah dekonsentrasi yang dilaksanakan dengan
seluas-luasnya. Hal ini menjadikan Hindia Belanda (Indonesia)
tidak memiliki

56 Soehino, 1984, Hukum Tata Negara Sejarah Ketatanegaraan Indonesia, Liberty, Yogyakarta,
hlm. 3.

kewenangan otonom sama sekali, khususnya dalam mengatur


dan mengurus urusan rumah tangga sendiri. Sistem
ketatanegaraan seperti ini nampak dari hal-hal sebagai berikut:
a. Kekuasaan eksekutif di Hindia Belanda ada pada
Gubernur
Jenderal dengan kewenangan yang sangat luas dan
dibantu
oleh Raad van Indie (Badan Penasehat);
b. Kekuasaan Kehakiman ada pada Hoge Rechshof (Mahkamah
Agung);
c. Pengawas keuangan dilakukan oleh Algemene Reken Kamer.

Struktur ketatanegaraan seperti ini berlangsung sampai de-


ngan masa pendudukan Bala Tentara Jepang dan berakhir
pada saat Proklamasi kemerdekaan.
Memperhatikan susunan ketatanegaraan tersebut di atas,
maka dari segi Hukum Tata Negara, Hindia Belanda belum
dapat disebut sebagai suatu negara. Hal ini mengingat tidak
dipenuhinya unsur-unsur untuk disebut negara, seperti
mempunyai wilayah, mempunyai rakyat, dan mempunyai
pemerintahan yang berdaulat.
Memang realitasnya ketiga unsur tersebut dapat dikatakan
sudah terpenuhi. Wilayahnya ada, rakyatnya ada, bahkan
pemerintahan yang berdaulat terpenuhi. Akan tetapi hakikat
keberadaan ketiga unsur tersebut tidak muncul karena
dibangun oleh bangsa Indonesia sendiri, melainkan di
dasarkan pada kondisi kolonialisme yang berlangsung pada
saat itu. Maksudnya wilayah dan rakyat yang ada di Hindia
Belanda sebenarnya sudah ada sejak Belanda belum masuk
dan menduduki Indonesia. Dengan kata lain, wilayah
nusantara dan masyarakat yang mendiami nusantara itu sudah
ada sejak jaman dulu. Ditinjau dari adanya unsur
pemerintahan yang berdaulat, sebenarnya Hindia Belanda
tidak dapat dikatakan sebagai sebuah pemerintahan yang
berdaulat, karena kedaulatan Hindia Belanda ada pada
Kerajaan Belanda. Sedangkan Gubernur Jenderal hanya
berfungsi sebagai penyelenggara pemerintahan umum di
wilayah Hindia Belanda sebagai daerah jajahan kerajaan
Belanda.
b. Masa Pendudukan Bala Tentara Jepang.
Sejarah menunjukkan bahwa dengan adanya Perang Asia
Timur Raya atau terkenal dengan sebutan Perang Dunia II
muncullah kekuatan angkatan perang yang cukup dominan
yaitu Bala Tentara Jepang. Dengan kekuatan inilah hampir
seluruh kawasan Asia mampu diduduki oleh Bala Tentara
Jepang, tidak terkecual Indonesia yang pada saat itu masih
berada di bawah kolonialisme Belanda. Dalam sejarah Perang
Asia Timur Raya dapat digambarkan bahwa kedudukan
Jepang di Indonesia adalah:
1. Sebagai Penguasa Pendudukan.
Sebagai penguasa Pendudukan, maka Jepang tidak di-
benarkan untuk mengubah susunan
ketatanegaraan/Hukum di Hindia Belanda. Hal ini
disebabkan wilayah Pendudukan Jepang merupakan
wilayah konflik yang menjadi medan perebutan antara
Bala Tentara Jepang dengan pihak Belanda. Oleh karena
itu Jepang hanya meneruskan kekuasaan Pemerintah
Belanda atas Hindia Belanda. Namun dalam hal ini
kekuasaan tertinggi tidak lagi ada di tangan Pemerintah
Belanda, melainkan diganti oleh kekuatan Bala Tentara
Jepang.
2. Jepang berusaha mengambil simpati dari bangsa-bangsa
yang ada di kawasasan Asia Timur Raya termasuk
Indonesia
dengan menyebut dirinya sebagai saudara tua. Dalam
sejarah
Indonesia, sebutan seperti ini dilanjutkan dengan
pemberian
janji kemerdekaan kepada Indonesia dikelak kemudian
hari.
Janji tersebut direalisir dengan membentuk BPUPK (Badan
Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan) yang kemudian
melaksanakan persidangan sebanyak dua kali:
a. 28 Mei sampai dengan 1 Juni 1945 menghasilan
Rancangan
Dasar Negara;
b. 10 Juli sampai dengan 17 Juli 1945 menghasilkan
Rancangan
Undang-Undang Dasar.
Setelah menghasilkan dua karya ini BPUPKI bubar dan
dibentuk PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia)
pada tanggal 11 Agustus 1945.

Sebelum PPKI berhasil melaksanakan sidang-sidang untuk


melanjutkan upaya-upaya yang telah dilaksanakan BPUPKI,
Jepang menyerah kepada sekutu pada tanggal 14 Agustus
1945. Pada saat itu pula Sekutu belum masuk ke wilayah
Indonesia. Menurut Hukum Internasional, penguasa
pendudukan yang menyerah harus tetap menjaga agar
kedudukan wilayah pendudukan tetap dipertahankan seperti
sedia kala atau dalam kondisi status quo.
Perlu diketahui pula pada masa Pendudukan Bala Tentara
Jepang, wilayah Indonesia dibagi menjadi tiga wilayah besar,
yaitu:
1. Daerah yang meliputi Pulau Sumatera di bawah kekuasaan
Pembesar Angkatan Darat Jepang dengan pusat
kedudukan di BukitTinggi;
Z. Daerah yang meliputi Pulau Jawa berada di bawah
kekuasaan Angkatan Darat yang berkedudukan di Jakarta;
dan
?. Daerah-daerah selebihnya berada di bawah kekuasaan
Angkatan Laut yang berkedudukan di Makasar.57

Dari pembagian wilayah ini membuktikan bahwa pada


masa Pendudukan Bala Tentara Jepang paham militeristik
menjadi model bagi pengaturan sistem ketatanegaraan di
Indonesia.
I: del militeristik seperti ini dipandang lebih efektif karena
lebih — engedepankan jalur komando dan mampu
menghimpun kekuatan yang cukup signifikan guna
menghadapi serangan musuh. Dengan menggunakan model
seperti ini tidak pelak lagi ukalau sistem ketatanegaraan yang
diberlakukan adalah bersifat ~er.tTalistik.

f" Ibid, hlm. 13.

2. Periode Setelah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945.

a. Pasca Pemberlakuan UUD 1945 Sejak 18 Agustus 1945.


Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 merupakan
titik tolak keberadaan Hukum Tata Negara Indonesia, sebab
sebelum Proklamasi tidak dijumpai produk Hukum Tata
Negara Indonesia, kecuali IS (Produk Belanda) dan Hukum
Tata Negara Adat yang berlaku di satuan-satuan
pemerintahan asli Indonesia. Proklamasi kemerdekaan bagi
suatu Bangsa untuk mendirikan suatu organisasi negara yang
merdeka dan berdaulat, merupakan suatu perbuatan hukum
dalam lapangan hukum internasional. Sedangkan hakikat
perbuatan hukum itu sendiri adalah suatu tindakan atau
perbuatan yang menimbulkan akibat hukum serta
mengandung dimensi hak dan kewajiban.
Proklamasi Kemerdekaan adalah pernyataan sepihak
tentang Kemerdekaan dari suatu bangsa yang berhak
menentukan nasibnya sendiri (self determination). Oleh sebab
itu Proklamasi (deklarasi) Kemerdekaan mempuyai dua aspek
atau dimensi, yaitu:
1. Kebebasan dari belenggu kekuasaan negara lain. Dalam
konteks kemerdekaan Indonesia maka yang dimaksud
disini adalah dari kekuasaan Pendudukan Bala Tentara
Jepang secara de facto. Artinya, secara sosio-historis bangsa
Indonesia telah melepaskan diri dari kekuasaan Bala
Tentara Jepang melalui kemerdekaan, serta kekuasaan
Belanda secara de jure, artinya ditinjau dari aspek yuridis,
Indonesia telah melepaskan diri dari ikatan sistem Hukum
Belanda.
2. Kemerdekaan juga berarti mengambil kekuasaan tertinggi
-baik secara paksa maupun perjanjian - di tangan sendiri
untuk menentukan nasibnya sendiri.

Berdasarkan rumusan (teks) Proklamasi yang


dikumandangkan oleh Ir. Soekarno dan Drs. Mohammad
Hatta, maka di dalamnya termuat tiga substansi pokok yang
selanjutnya disebut Norma Hukum Pertama dari norma-
norma hukum yang akan dibentuk oleh Negara Indonesia
yang berdaulat. Tiga substansi pokok tersebut adalah:
1. Pernyataan Kemerdekaan tersebut mengandung arti
sebagai pernyataan akan kedaulatan penuh dalam
mengatur atau menata sistem ketatanegaraan sendiri;
2. Pemindahan kekuasaan dan lain-lain diselenggarakan
dalam waktu sesingkat-singkatnya. Maksud dari
pernyataan ini adalah pemindahan kekuasaan - baik itu
dilakukan secara paksa maupun dengan jalan
perundingan - akan diikuti dengan pembenahan struktur
kekuasaan bagi Bangsa Indonesia yang dilakukan
secepatnya. Konsekuensi dari pernyataan ini adalah akan
dibentuk Dasar Hukum Ketatanegaraan Indonesia dan
berbagai peraturan perundang-undangan lain untuk me-
lengkapi sistem ketatanegaraan Indonesia; dan
3. Proklamasi kemerdekaan tersebut merupakan
pemberitahuan kepada seluruh rakyat Indonesia dan
masyarakat internasional, bahwa telah berdiri satu negara
baru dan berdaulat, yakni Negara Republik Indonesia
dengan bentuk dan susunan pemerintahannya akan diatur
oleh Undang-Undang Dasar.

Dasar Hukum Proklamasi kemerdekaan adalah


Proklamasi itu sendiri. Hal ini disebabkan proklamasi itu
sendiri diterima atas dasar kenyataan dan dikehendaki oleh
seluruh bangsa Indonesia (Solus Populi Suprema Lex: Kehendak
rakyat adalah hukum yang tertinggi). Dengan demikian
Proklamasi adalah NORMA PERTAMA dari Tata Hukum
Indonesia, maksudnya adalah norma yang adanya pertama
kali, karena menjadi dasar bagi berlakunya norma-norma yang
lainnya.58 Norma seperti ini sering disebut sebagai Norma
Fundamental Negara (staatsfundamentalnorm) yakni norma
tertinggi di dalam suatu negara yang tidak dibentuk oleh
suatu norma yang lebih tinggi lagi, tetapi bersifat presupposed
atau ditetapkan terlebih dahulu oleh masyarakat dalam suatu
negara dan merupakan norma yang menjadi tempat
bergantungnya norma-norma hukum di bawahnya.59

Menurut Hans Nawiasky, isi Staatsfundamentalnorm ialah


norma yang merupakan dasar bagi pembentukan konstitusi
atau Undang-Undang Dasar suatu negara (Staatsverfassung),
termasuk norma pengubahannya. Hakikat hukum suatu
Staatsfundamentalnorm ialah syarat berlakunya suatu konstitusi
atau Undang-Undang Dasar. Ia ada lebih dahulu sebelum
adanya konstitusi atau Undang-Undang Dasar. Konsttusi
menurut Cari Schmitt merupakan keputusan atau konsensus
bersama tentang sifat dan bentuk suatu kesatuan politik (eine
Gesammtentscheidung Uber Art und Form einer politischen
Einheit), yang disepakati oleh suatu bangsa.60 Berdasarkan
konsep teoritis seperti ini menunjukkan bahwa antara
Proklamasi dan Staatsfundamentalnorm terhadap hubungan
yang sangat erat bahkan merupakan satu kesatuan yang tak
terpisahkan. Hal ini mengingat antara keduanya merupakan
suatu yang tidak dibentuk oleh norma yang lebih tinggi lagi.
Konsep seperti ini nampak jelas terungkap di dalam Alinea IV
Pembukaan UUD 1945 yang menyatakan:
"Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu
pemerintahan negara Indonesia yang melindungi segenap
bangsa Indonesia seluruh tumpah darah Indonesia dan
untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan
kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban
dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi
dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan
kebangsaan Indonesia ini dalam suatu Undang-Undang
Dasar Negara Indonesia".

Lain daripada itu, akibat dari proklamasi adalah bahwa


Indonesia membebaskan diri dari kolonialisme dan berdiri
sebagai negara merdeka. Oleh karena itu masuknya kembali
kekuatan asing di Indonesia setelah proklamasi merupakan
suatu tindakan yang tidak sah. Oleh sebab itulah untuk
melengkapi Negara Proklamasi dilakukan usaha-usaha
sebagai berikut:
59 Maria Farida Indrati S, 2007, Ilmu Perundang-Undangcm
Jenis, Fungsi dan Materi Muatan, Kanisius, Yogyakarta,
hlm. 46.
60 Hamid S. Attamimi, dalam Ibid.
Sejarah Ketatanegaraan
Indonesia — 77

Menetapkan UUD Negara Republik Indonesia pada


tanggal 18 Agustus 1945;
I Penetapan Soekarno dan Moh. Hatta sebagai Presiden dan
Wakil Presiden oleh PPKI; 1 Pembentukan Departemen-
departemen oleh Presiden;
Pengangkatan anggota KNIP (Komite Nasional
Indonesia
Pusat) oleh Presiden yang akan bekerja sama dengan
Presiden;
dan
r. Pembentukan delapan Provinsi oleh PPKI.

Usaha-usaha tersebut kemudian dilanjutkan pada tanggal


16 Oktober 1945 melalui penerbitan Maklumat Wakil Presiden
No. X Tahun 194561 untuk memberikan penguatan secara
hukum :e:hadap langkah-langkah demokratisasi pemerintahan
setelah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Isi dari
Maklumat tersebut antara lain:
1. KNIP diserahi kekuasaan legislatif dan ikut membuat atau
menetapkan Garis-garis Besar daripada Haluan Negara,
sebelum terbentuknya MPR dan DPR;
Z. Pekerjaan sehari-hari KNIP dilakukan oleh Badan Pekerja
(BP) KNIP.

Ditinjau dari aspek konstitusional (berdasarkan UUD 1945


yang berlaku saat itu) Maklumat ini jelas menimbulkan
persoalan, karena di dalam UUD 1945 fungsi dan wewenang
KNIP semata-mata hanyalah pembantu Presiden sebelum MPR,
DPR, dan DPA terbentuk. Hal ini nampak jelas di dalam
ketentuan Pasal IV Aturan Peralihan UUD 1945 yang
menyatakan bahwa sebelum Majelis Permusyawaratan Rakyat,
Dewan Perwakilan Rakyat dan
61 Maklumat ini dikeluarkan oleh Wakil Presiden dan tidak
diberi nomor. Oleh sebab itu nomor dari maklumat
tersebut adalah X (bukan sepuluh romawi). Wakil
Presiden mengeluarkan Maklumat karena pada waktu itu
Presiden Soekarno berada di luar negeri, dan ini
merupakan satu-satunya keputusan Wakil Presiden yang
dikeluarkan dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia.
Dalam khasanah sistem perundang-undangan Indonesia

Dewan Pertimbangan Agung dibentuk menurut Undang-


Undang Dasar ini, segala kekuasaannya dijalankan oleh
Presiden dengan bantuan sebuah Komite.
Konstruksi Pasal yang demikian ini dapat ditafsirkan
bahwa kedudukan KNIP pada hakikatnya adalah pembantu
Presiden dalam menjalankan kekuasaan MPR, DPR, dan DPA.
Hal ini menunjukkan bahwa kedudukan KNIP tersebut dapat
disetarakan dengan kedudukan Menteri yang membantu
Presiden dalam melaksanakan fungsi Pemerintahan.
Dengan munculnya Maklumat No. X Tahun 1945 tersebut,
maka telah terjadi perubahan kedudukan dari KNIP yang
dulunya sebagai pembantu Presiden dalam melaksanakan
kekuasaan MPR, DPR, dan DPA, menjadi sejajar dengan
Presiden, khususnya dalam menjalankan fungsi legislatif dan
dalam menetapkan Garis-garis Besar daripada Haluan Negara.
Berkaitan dengan hal inilah muncul permasalahan, yakni
apakah Maklumat No. X Tahun 1945 tersebut telah mengubah
UUD 1945, dan bagaimanakah eksistensi maklumat tersebut
bila ditinjau dari kedudukan UUD 1945 sebagai Hukum Dasar
yang tertinggi?
Menurut Joeniarto maklumat tersebut pada hakikatnya
telah mengubah UUD 1945. Hal ini mengingat rumusan yang
menyatakan bahwa KNIP diserahi kekuasaan legislatif dan ikut
serta membuat Garis-garis Besar daripada Haluan Negara
mengandung makna bahwa KNIP bersama-sama dengan
Presiden menetapkan Undang-Undang dan Garis-garis Besar
daripada Haluan Negara. Makna ini jelas berbeda dengan
makna yang terkandung di dalam Pasal IV Aturan Peralihan
UUD 1945 yang tegas-tegas menyatakan bahwa KNIP
membantu Presiden dalam menjalankan kekuasaan MPR, DPR,
dan DPA. Dengan kata lain kata ikut serta mengandung makna
adanya kedudukan yang sejajar antara KNIP dan Presiden.
Sedangkan kata membantu mengandung makna bahwa
kedudukan KNIP tersubordinasi oleh Presiden. Lain daripada
itu dengan adanya Maklumat ini kekuasaan Presiden dalam
menjalankan fungsi legislatif dan membuat Garis-garis Besar
daripada Haluan Negara menjadi berkurang, sebagai akibat
sebagian dari fungsi ini dilimpahkan secara bersama-sama
dengan KNIP.
Menurut Sugeng Istanto keberadaan Maklumat No. X
Tahun 1945 pada hakikatnya tidak mengubah UUD 1945,
melainkan hanya berfungsi untuk menjelaskan Pasal IV Aturan
Peralihan UUD 1945. Kata-kata dibantu oleh KNIP selaras
dengan kata ikut serta atau bersama-sama sebagaimana tertuang
di dalam Maklumat tersebut. Menurut Sugeng Istanto adanya
makna yang selaras harus dihubungkan dengan Pasal 5 ayat (1)
UUD 1945 (pen: sebelum amandemen T) yang menegaskan bahwa
Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan
membentuk Undang-Undang dengan Persetujuan Dewan
Perwakilan Rakyat. Dengan demikian menurut argumentasi
Sugeng Istanto kata bantuan yang dimaksud Pasal IV Aturan
Peralihan UUD 1945 itu hanya sebatas pada bidang tertentu,
yakni bidang membuat Undang-Undang dan Garis-garis Besar
daripada haluan Negara, tidak mengenai bidang eksekutif.
Menurut hemat penulis, argumentasi seperti ini jelas tidak
dapat diterima menurut logika yuridis konstitusional. Hal ini
disebabkan Pasal IV Aturan Peralihan UUD 1945 pada
hakikatnya telah memberikan kekuasaan yang besar kepada
Presiden untuk menjalankan kekuasaan MPR, DPR, dan DPA.
Dengan adanya ketentuan Pasal IV Aturan Peralihan UUD 1945
tersebut jelas bahwa Presiden menduduki posisi yang super
supreme. Dia adalah pengejawantahan kekuasaan MPR, DPR,
dan DPD sebelum lembaga-lembaga tersebut dibentuk
berdasarkan UUD 1945 ini. Oleh sebab itulah kata dibantu oleh
sebuah Komite tetap meletakkan kedudukan Komite ini di
bawah kekuasaan Presiden. Hal ini jelas berbeda dengan
rumusan yang terkandung di dalam Maklumat No. X Tahun
1945 yang tegas-tegas menyatakan diserahi kekuasaan legislatif
dan ikut serta membuat atau menetapkan Garis-garis Besar
daripada Haluan Negara. Oleh sebab itulah penulis tetap
berpegang pada argumentasi yang dikemukakan oleh Juniarto.
Lain daripada itu jikalau Sugeng Istanto (aim) menyatakan
bahwa Maklumat tersebut hanya berfungsi menjelaskan Pasal
IV Aturan Peralihan UUD 1945, maka argmentasi tersebut jelas
tidak dapat diterima, karena pada waktu itu perangkat
kelembagaan yang berwenang untuk memberikan penjelasan
terhadap makna dari ketentuan UUD 1945 tidak dikenal.
Bahkan jikalau diletakkan dalam konteks hubungan dengan
Pasal 5 ayat (1) UUD 1945, maka pendapat tersebut juga tidak
dapat diterima secara yuridis konstitusional, karena kekuasaan
Presiden untuk membuat Undang-Undang adalah kewenangan
untuk membentuk sebuah peraturan perudang-undangan di
bawah UUD 1945. Apalagi sesuai dengan hirarkhi perundang-
undangan tidak dibenarkan jikalau sebuah Undang-Undang
mengandung materi muatan yang menyimpang dari UUD
1945.
Berkaitan dengan persoalan yang melingkupi Maklumat
No. X Tahun 1945 tersebut, maka bila dikaji dari sudut
pandang konstitusionalisme menurut UUD 1945, dapat
diterangkan sebagai berikut. Sumber hukum dari keberadaan
Maklumat No. X Tahun 1945 tidak lain adalah konvensi
ketatanegaraan (Convention of Constitution). Argumentasi ini
berdasarkan pada pandangan Decey dalam buku yang berjudul
Convention of Constitution yang mengemukakan bahwa suatu
peristiwa Hukum Tata Negara dapat dikategorikan sebagai
konvensi jika peristiwa tersebut mengandung salah satu dari
kriteria, yakni:
1. Understandings, yakni adanya saling pengertian diantara
organ atau lembaga negara yang akan mengeluarkan satu
produk hukum tata negara;
2. Habits, yaitu kebiasaan atau kelumrahan yang dikenal di
dalam kehidupan ketatanegaraan; dan
3. Practices, yaitu praktek-praktek ketatanegaraan, walaupun
itu tidak tertulis di dalam sebuah konstitusi.62

Dari ketiga kriteria atau parameter tersebut di atas, jika


diletakkan pada konteks keluarnya Maklumat No. X Tahun
1945 maka hal tersebut belum dapat dikategorikan sebagai
konvensi
62 Decey, dalam Islamil Suny, 1986, Pergeseran Kekuasaan
Eksekutif, Aksara Baru, Jakarta, hlm. 36-37.
Sejarah Ketatanegaraan Indonesia — 81

berdasarkan Habits dan Practices. Dengan demikian, satu-


satunya kriteria yang dapat dimasukkan disini adalah
Understandings, yakni adanya saling pengertian dan
kesepahaman antara Presiden (dalam hal ini dilakukan oleh
Wakil Presiden) dengan KNIP. Bahkan peralihan tersebut
memang dikehendaki oleh KNIP itu sendiri.
Walaupun Maklumat No. X Tahun 1945 dikatakan
menyimpang dari ketentuan Pasal IV Aturan Peralihan UUD
1945, namun keluarnya Maklumat tersebut tetap memiliki
dasar hukum yang jelas, yakni Pasal IV Aturan Peralihan UUD
1945 itu sendiri. Berkaitan dengan hal ini Assat
mengemukakan bahwa hal-hal yang diatur dalam Maklumat
No. X seharusnya diatur oleh Undang-Undang Dasar. Dalam
hal ini, Presiden telah menggunakan kekuasaan MPR untuk
mengubah Undang-Undang Dasar berdasarkan ketentuan
Peralihan Pasal IV, karena itu, Maklumat No. X mempunyai
kedudukan yang sama dengan Pasal-pasal UUD 1945.63
Lebih lanjut Assat mengatakan bahwa Maklumat No. X ini
merupakan langkah demokratis yang progresif, mengingat ke-
nyataan bahwa pemilihan umum tidak selayaknya diadakan
pada saat Indonesia masih berperang melawan Belanda yang
ingin mengembalikan dominasi kolonial di Indonesia.64
Pendapat tersebut di atas didukung oleh Pringgodigdo
yang mengatakan bahwa Maklumat No. X mempunyai
kedudukan hukum yang setingkat dengan ketetapan
konstitusional yang dibuat oleh MPR berdasarkan Pasal 37
yang sesuai dengan Pasal IV Aturan Peralihan. Dikemukakan
pula bahwa Presiden berwenang •antuk menjalankan
kekuasaan MPR untuk mengubah Undang-"Jndang Dasar.
Syarat bahwa sekurang-kurangnya 2/3 (dua per riga) dari
anggota MPR harus hadir dan bahwa keputusan harus
i:dukung oleh sekurang-kurangnya 2/3 (dua per tiga) dari
i3 Assat, dalam Aduan Buyung Nasution, 1995, Aspirasi
Pemerintahan Konstitusional di
Indonesia Studi Sosio-Legal atas Konstituante 1950-1959,
Grafiti, Jakarta, hlm. 17. H Ibid.
anggota yang hadir, sudah dipenuhi, karena MPR telah diganti
oleh satu
orang, sehingga persyaratan itu sudah dipenuhi 100% (seratus
persen). KNIP juga membantu karena usul untuk
mengeluarkan Maklumat tersebut berasal dari KNIP.65

Berdasarkan argumentasi yuridis konstitusional inilah,


maka sumber hukum keberadaan maklumat No. X Tahun 1945
tersebut adalah konvensi ketatanegaraan dengan berlandaskan
pada kriteria understandings, sedangkan dasar hukum dari
Maklumat tersebut adalah Pasal IV Aturan Peralihan Jo Pasal
37 UUD 1945. Untuk menindaklanjuti pelaksanaan Maklumat
No. X Tahun 1945, dikeluarkanlah Maklumat Pemerintah
Tanggal 14 Nopember Tahun 1945. Dalam Maklumat
Pemerintah ini dinyatakan antara lain:
1. Pengumuman tentang terbentuknya Kabinet Baru; dan
2. Pengumuman bahwa Kabinet yang baru terbentuk
tersebut bertanggungjawab kepada KNIP.

Substansi Maklumat Pemerintah ini juga menimbulkan


persoalan di bidang sistem pemerintahan.
Di dalam Pasal 4 UUD 1945 (pen: sebelum amandemen)
ditegaskan bahwa Presiden memegang kekuasaan
pemerintahan. Sedangkan Pasal 17 menegaskan bahwa
Menteri Negara membantu Presiden serta diangkat dan
diberhentikan oleh Presiden. Kedua pasal tersebut
memberikan penegasan bahwa sistem pemerintahan yang
dikehendaki oleh UUD 1945 adalah sistem presidensiil. Akan
tetapi di dalam Maklumat Pemerintah tersebut justru
meletakkan mekanisme pertanggungjawaban kabinet kepada
KNIP yang jelas-jelas merupakan ciri dari sistem parlementer
(Jikalau KNIP dianggap sebagai sebuah parlemen).
Berkaitan dengan hal ini Joeniarto mengatakan bahwa ke-
beradaan Maklumat Pemerintah 14 Nopember 1945 tetap
dapat dibenarkan. Hal ini mengingat Maklumat No. X Tahun
1945 juga dapat dibenarkan, karena sumber hukumnya adalah
konvensi ketatanegaraan. Bahkan dasar hukumnya adalah
Pasal 37 Jo Pasal IV Aturan Peralihan UUD 1945. Sementara itu
menurut S u geng Istanto, keberadaan Maklumat Pemerintah
ini jelas-jelas :: dak dapat dibenarkan, karena melanggar Pasal
4 dan Pasal 17 UUD 1945. Dengan demikian Maklumat
Pemerintah ini tidak ada dasar hukumnya atau tidak ada
ketentuan hukum yang dapat dipergunakan untuk
mengeluarkan Maklumat Pemerintah tersebut.
Sehubungan dengan perbedaan pendapat tersebut YB.
Mangunwijaya mengemukakan bahwa historis nyatanya UUD
1945 yang begitu otoriter segera terasa tidak pas dengan
suasana Revolusi, dimana setiap orang dan kelompok
gandrung besar akan kemerdekaan berpikir, berpendapat,
berkumpul dan berserikat. Maka perlulah Presiden Soekarno
dan Wakil Presiden Mohammad Hatta, tanggal 14 Nopember
1945, menetapkan keputusan, yang disebut Revolusi ke-2 tetapi
penuh damai untuk menyimpan dulu sistem UUD 1945 yang
memang otokris dan serba tergesa-gesa dibuat sekadar,
sementara, kilat, kurang lengkap dan kurang sempurna itu;
diganti dengan sistem demokrasi revolusioner. Bukan demo-
krasi parlementer seperti yang biasanya di P4-kan, karena
waktu itu belum ada parlemen.65
Berdasarkan berbagai argumentasi tersebut di atas,
menurut hemat penulis keberadaan Maklumat pemerintah ini
merupakan bentuk penyimpangan67 terhadap UUD 1945 yang
pertama kali setelah Indonesia membentuk organisasi
ketatanegaraan dan memiliki Hukum Dasar tertulis. Hal ini
disebabkan karena sejak keluarnya Maklumat No. X Tahun
1945 seharusnya setiap ke-putusan yang menyangkut
perubahan sistem ketatanegaraan harus dikeluarkan dengan
produk hukum sebagai hasil kerja sama antara KNIP dan
Pemerintah (Presiden). Produk hukum tersebut tidak hanya
sebatas Maklumat Pemerintah, melainkan minimal harus
berwujud Undang-Undang yang dikeluarkan sebagai hasil

66 YB. Mangunwijaya, 1998, Menuju Republik Indonesia


Serikat, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hlm. 20.
67 Menurut terminologi Mangunwijaya disebut
"menyimpan dulu sistem UUD 1945".
kerja sama antara Presiden dan KNIP. Oleh sebab itu dapat
dikatakan bahwa adanya Maklumat Pemerintah ini telah
terjadi perubahan sistem pemerintahan Indonesia tanpa
melakukan amandemen terhadap UUD 1945.

Keadaan tersebut di atas tentunya tidak bisa dilihat dari


kacamata normatif yuridis. Ada faktor penting yang
mengakibatkan sistem ketatanegaraan begitu cepat berubah
tanpa melakukan perubahan terhadap UUD 1945. Secara
politis perubahan yang begitu cepat memang sangat
dibutuhkan bagi Negara Indonesia yang baru merdeka. Sistem
Pemerintahan masih dicari bentuk yang paling ideal. Dalam
rangka inilah konstelasi politik di tingkat global tidak mungkin
untuk dinafikan begitu saja. Pendek kata pencarian bentuk
sistem ketatanegaraan yang akan dibangun dan dikembangkan
oleh Negara Indonesia sangat dipengaruhi oleh peta politik di
tingkat internasional pada saat itu.
Kemerdekaan Indonesia - yang bertepatan setelah Perang
Dunia II usai - juga relatif bersamaan dengan kemerdekaan
dari bangsa-bangsa di kawasan Asia Pasifik, bahkan di
kawasan Eropa. Pada saat itu konstelasi politik di tingkat
global menganggap bahwa terjadinya Perang Dunia II yang
memporak porandakan harkat dan martabat kemanusiaan
disebabkan oleh ulah pemimpin-pemimpin negara yang tidak
demokratis, seperti Jerman di bawah Adolf Hitler, Italia di
bawah Benito Mussolini, dan Jepang di bawah rezim militer.
Oleh sebab itulah ketika Sekutu di bawah AS dan Rusia
memenangkan konflik bersenjata dalam Perang Dunia II ada
fenomena politik yang menghendaki adanya jaminan
kehidupan demokrasi dan perlindungan Hak-hak asasi
manusia yang harus dipenuhi dalam rangka memberikan
pengakuan kepada negara-negara yang baru merdeka tersebut.
Kita juga mencatat bahwa Deklarasi Sedunia Hak-hak Asasi
Manusia juga dikumandangkan oleh Perserikatan Bangsa-
bangsa (PBB) pada tanggal 10 Desember 1948. Tahun dimana
Perang Dunia II masing membekas dalam ingatan masyarakat
internasional pada saat itu.
Fenomena politik inilah yang kemudian memunculkan
kecenderungan bagi negara-negara yang baru merdeka itu
untuk menamakan dirinya sebagai negara demokrasi dan
pelindung Hak hak asasi manusia. Terlepas dari substansi
yang terkandung di dalamnya benar-benar demokratis atau
tidak. Contohnya Republik Rakyat Cina (RRC), Republik
Demokrasi Jerman (Jerman Timur), Republik Demokrasi Korea
(Korea Utara). Jika kita lihat walaupun -egara-negara tersebut
mempergunakan nama demokrasi namun kenyataannya
negara-negara itu belum dapat dikategorikan seba-cai negara
demokrasi. Pencantuman nama demokrasi oleh negara-negara
tersebut semata-mata hanya dipergunakan untuk memperoleh
pengakuan di dunia internasional, khususnya Sekutu.
Kondisi semacam ini secara politis juga berpengaruh bagi
Negara Republik Indonesia yang baru merdeka. Oleh sebab :tu
untuk memperoleh pangakuan dunia internasional, maka
dilakukanlah modifikasi atau perubahan-perubahan sistem
ketatanegaraan kearah yang lebih demokratis. Hal ini
mengingat menurut konstruksi UUD 1945 sistem
ketatanegaraan yang dipergunakan adalah executive heavy atau
supremasi eksekutif. Dengan demikian, untuk mengindari
anggapan masyarakat internasional bahwa Indonesia yang
baru merdeka itu adalah negara yang otoriter (non
demokratis), maka jalan satu-satunya adalah dengan
melakukan perubahan sistem ketatanegaraan tanpa mengubah
UUD 1945, walaupun secara konstitusional adalah tidak
dibenarkan alias tidak sah. Cara semacam ini tetap dilakukan
karena untuk mengamandemen UUD 1945 membutuhkan
proses yang cukup panjang.
Dari perubahan-perubahan sistem ketatanegaraan tersebut
di atas, dapat ditarik pemahaman bahwa para pendiri negara
pada waktu itu menganggap bahwa sistem parlementer
dianggap lebih demokratis bila dibandingkan dengan sistem
presidensiil sebagaimana digariskan oleh UUD 1945.
Anggapan semacam ini tetap saja dapat dibenarkan jika
menyangkut persoalan tentang ada tidaknya mekanisme
pertanggungjawaban penyelenggara pemerintahan secara
konkrit. Memang dalam sistem parlementer dikenal adanya
lembaga mosi tidak percaya yang mengakibatkan kabinet
sebagai penyelenggara pemerintahan menjadi tumbang, ketika
pertanggungjawabannya tidak diterima oleh parlemen sebagai
representasi rakyat. Mekanisme semacam ini tidak dikenal di
dalam sistem presidensiil.
Akan tetapi sebaliknya bila ditinjau dari mekanisme pe-
nentuan kepala pemerintahan, sistem presidensiil bisa
dikatakan relatif demokratis, karena rakyat dapat menentukan
sendiri secara langsung figur-figur kepala pemerintahan sesuai
dengan kehendaknya melalui pemilihan umum. Sedangkan di
dalam sistem Parlementer penentuan figur kepala
pemerintahan jelas dilakukan secara bertingkat. Artinya rakyat
melakukan pemilihan umum secara langsung untuk memilih
wakil-wakil yang akan duduk di parlemen, kemudian
parlemen inilah yang akan menentukan kepala pemerintahan.
Inilah yang mungkin menjadi alasan mengapa sistem
pemerintahan Indonesia pada saat itu mengalami perubahan
yang cukup signifikan.

b. Katatanegaraan di Bawah Konstitusi Indonesia Serikat.


Dengan Proklamasi 17 Agustus 1945 maka kemerdekaan
bangsa Indonesia telah tercapai. Menurut Soekarno Proklamasi
merupakan jembatan Emas untuk menuju perikehidupan dan
peri kebangsaan yang merdeka dan berdaulat. Akan tetapi
kenyataan menunjukkan bahwa Belanda masih tetap ingin
menguasai Negara Indonesia yang merdeka dan berdaulat.
Belanda masih tetap mempunyai anggapan bahwa kedaulatan
atas Hindia Belanda masih berada di tangan Pemerintah
Kerajaan Belanda. Alasan seperti ini didasarkan pada:

a. Ketentuan Hukum Internasional, yang menyatakan bahwa


suatu wilayah yang diduduki sebelum Perang statusnya
tidak berubah. Konsekuensi dari ketentuan seperti ini
adalah Hindia Belanda yang diduduki oleh Bala Tentara
Jepang masih tetap merupakan bagian dari Kerajaan
Belanda. Oleh karena itu setelah Jepang menyerah, maka
yang berkuasa atas Hindia Belanda adalah Pemerintah
Kerajaan Belanda sebagai pemilik atau penguasa semula.
b. Perjanjian yang diadakan menjelang berakhirnya Perang
Dunia II (Perjanjian Postdamn). Perjanian Postdamn
merupakan perjanjian yang dilakukan oleh Negara-negara
yang bergabung dalam Sekutu dengan pihak Jepang.
Dalam perjanjian tersebut antara lain menetapkan bahwa
setelah Perang Dunia II selesai, yakni dengan
dihancurkannya kekuatan Jepang, Jerman, dan Italia, maka
wilayah yang diduduki oleh ketiga negara tersebut akan
dikembalikan kepada penguasa semula. Oleh karena
adanya perjanjian seperti ini, maka Belanda masih merasa
memiliki kedaulatan atas Hindia Belanda secara de jure.

Terkat dengan adanya perjanjian ini. Wolhoff memberikan


gambaran yang terjadi di Indonesia bila ditinjau dari persoalan
kedaulatannya. Wolhof mengemukakan bahwa sejak tanggal
17 Agustus 1945 dalam bagian wilayah Koninkrijk der
Nederlanden (wilayah Hindia Belanda) berkembanglah dua
macam pemerintahan sentral dan lokal, yaitu:
1. Pemerintah Republik Indonesia yang mempertahankan hak
kedaulatannya atas seluruh bekas wilayah Hindia Belanda,
baik terhadap Koninkrijk der Nederlanden maupun terhadap
dunia internasional berdasarkan hak mutlak setiap bangsa
untuk menentukan nasibnya sendiri.
2. Pemerintah Nederlands Indie, suatu persekutuan hukum
otonoom dalam ikatan negara Koninkrijk der Nederlanden
yang kedaulatannya atas wilayah Hindia Belanda diakui
secara de jure oleh dunia internasional berdasarkan traktat
dan perjanjian-perjanjian internasional.

Baik pemerintah Indonesia maupun pemerintah


Nederlands Indie, berusaha menguasai wilayah tersebut secara
de facto maupun de jure.66
Dari gambaran seperti ini, maka kedaulatan Indonesia
yang dinyatakan bersamaan dengan Proklamasi
68 Wolhoff, dalam Tolchah Mansoer, 1983, Pembahasan
Tentang Kekuasaan Eksekutif dan Legislatif Negara
Indonesia, Pradnya Paramita, Jakarta, hlm. 16-17.
Kemerdekaan 17
Agustus 1945 jelas menimbulkan permasalahan tersendiri.
Bagi Pemerintah Republik Indonesia butir pertamalah yang
harus dipergunakan sebagai dasar pijakan untk mengakui
kedaulatan negara. Pijakan ini bersumber dari moral
internasional yang menggariskan bahwa setiap bangsa
mempunyai hak mutlak untuk menentukan nasibnya sendiri.
Sebaliknya bagi pemerintah Nederland Indie butir kedualah
yang harus menjadi landasan berpijak dalam menentukan
kedaulatan bagi suatu wilayah, sebab secara de jure wilayah
Hndia Belanda telah diakui oleh traktat maupun perjanjian
internasional. Pijakan yang dipergunakan oleh pemerintah
Nederlands Indie adalah hukum internasional.
Pemerintah Republik Indonesia menganggap telah
memiliki kedaulatan penuh atas seluruh bekas wilayah Hindia
Belanda sejak Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945
dengan melandaskan pada moral internasional yang sifatnya
universal. Kedaulatan adalah hak setiap bangsa untuk
menentukan nasibnya sendiri. Sedangkan pemerintah
Nederlands Indie merasa masih tetap berdaulat atas seluruh
wilayah Hindia belanda karena secara de jure diakui oleh
Hukum Internasional melalui traktat-traktat atau perjanjian-
perjanjian internasional.
Berpijak dari pandangan pemerintah Nederlands Indie
itulah, maka Indonesia yang secara de facto telah merdeka
dianggap bukan merupakan subyek hukum internasional.
Indonesia hanya dianggap sebagai obyek hukum internasional
dan dibicarakan dalam traktat-traktat atau perjanjian-
perjanjian internasional. Pandangan seperti inilah yang
mengakibatkan pemerintah Nederlands Indie menganggap tetap
memiliki hak untuk kembali dan menguasai Indonesia setelah
Jepang menyerah tanpa syarat kepada sekutu.
Untuk melaksanakan hak inilah Belanda mengadakan per-
janjian dengan Inggris yang pada intinya meminta Inggris
untuk membantu Belanda kembali ke Indonesia. Oleh sebab
itulah ketika Inggris datang sebagai salah satu negara anggota
Sekutu, Belanda ikut serta di dalamnya. Kejadian seperti inilah
kemudian memunculkan konflik bersenjata antara Tentara
Rakyat Indonesia (TRI) dengan NICA pada tanggal 10
Nopember 1946 di Surabaya. Konflik senjata ini didamaikan
Inggris, tetapi berdasarkan kesepakatan antara Inggris dan
Belanda tersebut, pihak Inggris tetap lebih condong untuk
membantu Belanda.
Pada tanggal 17 Nopember 1946 terjadi perundingan
antara Indonesia dengan Belanda yang pada akhirnya
mengalami kegagalan. Kemudian pada tanggal 25 maret 1947
diadakan perundingan di Linggarjati, yang antara lain
menghasilkan:
1. Belanda mengakui RI berkuasa secara de facto atas Jawa,
Madura dan Sumatera. Di wilayah lainnya yang berkuasa
adalah Belanda;
2. Belanda dan Indonesia akan bekerja sama membentuk
Republik Indonesia Serikat; serta
3. Belanda dan Indonesia akan membentuk Uni Indonesia
Belanda.

Dalam kenyataannya persetujuan ini justru tidak


mendamaikan, karena ada perbedaan penafsiran terhadap
substansi perjanjian Linggarjati, yakni mengenai kedaulatan
Indonesia - Belanda, yaitu:
a. Belanda mengatakan: sebelum RIS terbentuk yang
berdaulat
adalah Belanda, maka hubungan luar negeri atau
internasional
hanya boleh dilakukan oleh Belanda;
b. Indonesia berpendapat: sebelum RIS terbentuk, Indonesia
sudah berdaulat setidaknya di Jawa, Madura, dan
Sumatera,
maka hubungan internasional juga boleh dilakukan oleh
Indonesia.
c. Belanda meminta dibuat Polisi bersama. Dalam hal ini
Indonesia menolak.

Akibat adanya perbedaan penafsiran inilah terjadi Clash I


antara Indonesia dan Belanda pada tanggal 21 Juli 1947 dan
Clash II pada tanggal 19 Desember 1948. Menurut Indonesia
kedua Clash tersebut pada hakikatnya adalah bentuk agresi
atau aksi militer yang dilakukan Belanda di sebuah negara
yang berdaulat.
Sedangkan menurut Belanda Clash tersebut adalah aksi
kepolisian dalam rangka melakukan penertiban di salah satu
wilayah kedaulatan Belanda.
Bentrok bersenjata ini kemudian dilerai oleh Perserikatan
Bangsa Bangsa dan melakukan gencatan senjata serta
persetujuan baru di atas kapal Renville pada tahun 1948. Isi
dari perjanjian tersebut antara lain:
1. Wewenang Indonesia dalam persetujuan ini diperkecil, dan
Belanda dianggap berdaulat penuh diseluruh Indonesia
(Hindia Belanda) sampai terbentuknya Republik Indonesia
Serikat.
2. RIS mempunyai kedudukan sejajar dengan Belanda.
3. Republik Indonesia hanya merupakan bagian dari RIS.

Untuk mengupayakan berakhirnya konflik antara


Indonesia dan Belanda, maka diadakanlah Konferensi Meja
Bundar (KMB), akan tetapi sebelum berlangsung konferensi
tersebut, Indonesia sudah dipecah-pecah menjadi banyak
negara bagian. Kemudian sebagai pelaksanaan dari KMB
tersebut, pada tanggal 27 Desember 1949 dibentuklah Negara
Republik Indonesia Serikat dengan Konstitusi RIS. Kondisi
seperti ini merupakan bentuk kemunduran dari konsepsi
Negara Kesatuan yang disepakati oleh para pendiri negara di
dalam UUD 1945.
Berubahnya negara kesatuan menjadi negara serikat pada
hakikatnya tidak hanya disebabkan oleh adanya campur
tangan pihak luar, dalam hal ini Belanda dan PBB. Akan tetapi
kondisi internal Indonesia juga memberikan sumbangan.
Beberapa ahli sejarah dan pakar Indonesia (Indonesianist) pada
intinya menyampaikan bahwa daerah-daerah di Indonesia
memang sejak semula mempunyai keinginan untuk
melepaskan diri dari ikatan Negara Kesatuan dan membentuk
negara sendiri-sendiri. Daerah-daerah ini pada hakikatnya
tidak puas terhadap kebijaksanaan Pemerintah Pusat (Jakarta).
Mereka menganggap bahwa kebijaksanaan yang diambil oleh
Pemerintah Pusat tidak mencerminkan rasa keadilan antara
pusat dan daerah. Banyak daerah yang melakukan
pemberontakan, misalnya PRRI (Permesta), dan
pemberontakan yang dilakukan oleh personil-personil
Angkatan Darat yang ditempatkan di daerah, seperti Kol.
Simbolon. Perlawanan daerah-daerah inilah yang ikut memicu
berubahnya Indonesia ke bentuk Negara Serikat.
Republik Indonesia Serikat berlangsung sampai dengan
tanggal 17 Agustus 1950, dan menurut Konstitusi Republik
Indonesia Serikat sistem pemerintahan negara yang
dipergunakan adalah sistem semi parlementer. Hal ini nampak
jelas tertuang di dalam Pasal 122 yang menyatakan bahwa
Dewan Perwakilan Rakyat yang ditunjuk menurut Pasal 109
dan pasal 110 tidak dapat memaksa kabinet atau masing-
masing menteri meletakkan jabatannya. Konstruksi seperti ini
dikatakan sebagai sistem semi parlementer, karena prinsip
yang dipergunakan tidak sesuai dengan prinsip sistem
parlementer murni, dimana Dewan Perwakilan Rakyat dapat
memberikan mosi tidak percaya kepada kabinet atau masing-
masing menteri, dan jika mosi tidak percaya ini disampaikan,
maka kabinet atau masing-masing menteri dapat meletakkan
jabatannya.
Dalam proses perjalanan antara 27 Desember 1949 sampai
dengan 17 Agustus 1950, golongan unitaris menghendaki agar
Indonesia menjadi negara kesatuan kembali, dan menyarankan
agar negara-negara bagian yang dibentuk oleh Belanda mau
menggabungkan diri kepada Republik Indonesia yang
berkedudukan di Yogyakarta. Kehendak seperti ini
menunjukkan tanda-tanda keberhasilan, terbukti mulai bulan
Mei 1950 anggota RIS tinggal 3 (tiga) negara bagian, yakni
Republik Indonesia, Negara Sumatra Timur, dan Negara
Indonesia Timur.
Usaha untuk mengesahkan penggabungan negara-negara
bagian atau kesatuan kenegaraan ini dinyatakan sah jikalau di-
lakukan dengan UU Federal. Hal ini nampak jelas tercantum
dalam ketentuan Pasal 44 KRIS yang menyatakan:
"Perubahan daerah sesuatu daerah bagian, begitu pula
masuk ke dalam atau menggabungkan diri kepada suatu
daerah bagian yang telah ada, hanya boleh dilakukan oleh
suatu daerah - sungguhpun sendiri bukan daerah bagian
- menurut aturan yang ditetapkan dengan undang-
Undang Federal dengan menjunjung asas seperti
tersebut dalam pasal 43, dan sekedar hal ini mengenai
masuk atau menggabungkan diri, dengan persetujuan
daerah bagian yang bersangkutan".

Kenyataan menunjukkan bahwa penggabungan negara-


negara bagian hingga tinggal 3 (tiga) negara bagian tersebut di
atas tidak dilakukan dengan UU federal. Berkaitan dengan hal
inilah, maka penggabungan tersebut perlu disahkan dengan
menggunakan landasan pasal 139 KRIS yang menyatakan:
(1) Pemerintah berhak atas kuasa dan tanggung
jawab sendiri menetapkan Undang-Undang Darurat
untuk mengatur hal-hal penyelenggaraan Pemerintah
Federal yang karena keadaan-keadaan yang mendesak
perlu diatur dengan segera.
(2) Undang-Undang Darurat mempunyai
kekuasaan dan kuasa Undang-Undang Federasi;
ketentuan ini tidak mengurangi yang ditetapkan dalam
pasal berikut.

Berdasarkan ketentuan Pasal 139 itulah, maka dikeluarkan


Undang-Undang Darurat No. 11 Tahun 1950 Tentang Tata
Cara Perubahan Susunan Kenegaraan dari Wilayah Negara
Republik Indonesia Serikat.
Usaha-usaha tersebut di atas kemudian dilanjutkan
dengan usaha untuk menyatukan tiga Negara bagian yang
masih ada, yakni RI, Negara Indonesia Timur, dan Negara
Sumatera Timur. Berkaitan dengan hal inilah diadakan
perundingan antara RIS (mewakili Negara Sumatera Timur
dan Negara Indonesia Timur) dan RI. Dalam perundingan
tersebut diajukan tiga alternatif untuk menuju Negara
Kesatuan Republik Indonesia, yaitu:
1. Pasal-pasal di dalam Konstitusi RIS yang bersifat federalis
dihilangkan dan diganti dengan Pasal-pasal yang bersifat
kesatuan;
2. Negara Kesatuan dibentuk melalui cara meleburkan
Negara Republik Indonesia (Yogyakarta) ke dalam RIS;
3. Negara Kesatuan dibentuk dengan cara menggabungkan
RIS ke dalam ikatan Negara Republik Indonesia
(Yogyakarta).69

Dari ketiga alternatif tersebut, alternatif pertamalah yang


akan dipergunakan sebagai ide dasar untuk menuju Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Kemudian pada tanggal 19 Mei
1950 berhasil ditandatangani Piagam Persetujuan yang pada
intinya memuat pernyataan bahwa dalam waktu sesingkat-
singkatnya bersama-sama melaksanakan Negara Kesatuan,
sebagai jelmaan dari Republik Indonesia berdasarkan
Proklamasi 17 Agustus 1945.70
Sehubungan dengan adanya persetujuan ini, maka perlu
ditempuh dengan melakukan perubahan atau penggantian
Konstitusi. Menurut Konstitusi RIS untuk melakukan
penggantian Konstitusi dipergunakan Pasal 186 KRIS yang
menyatakan bahwa Konstituante (Sidang Pembuat Konstitusi)
bersama-sama dengan Pemerintah selekas-lekasnya
menetapkan Konstitusi Indonesia Serikat yang akan
menggantikan Konstitusi sementara ini. Sedangkan untuk
melakukan perubahan atas Konstitusi dipergunakan ketentuan
Pasal 190 KRIS yang menyatakan:

(1) Dengan tidak mengurangi yang ditetapkan dalam Pasal


51, ayat kedua, maka Konstitusi ini hanya dapat diubah
dengan Undang-Undang Federal dan menyimpang dari
ketentuan-ketentuan hanya diperkenankan atas kuasa
Undang-Undang Federal; baik Dewan Perwakilan
Rakyat maupun Senat tidak boleh bermufakat ataupun
mengambil keputusan tentang usul untuk itu, jika tidak
sekurang-kurangnya dua pertiga dari jumlah anggota
sidang menghadiri rapat.
(2) Undang-Undang sebagaimana dimaksud dalam ayat
pertama dirundingkan pula oleh Senat menurut
ketentuan Bagian II Bab IV.
(3) Usul Undang-Undang untuk mengubah Konstitusi ini
atau menyimpang dari ketentuan-ketentuannya hanya
69 Moh. Kusnardi & Harmaily Ibrahim, 1988, Pengantar
Hukum Tata Negara Indonesia, Pusat Studi HTN-UI,
Jakarta, hlm. 94.
70 Soehino, Op.cit, hlm. 61.
diterima oleh Dewan Perwakilan Rakyat ataupun oleh
Senat dengan sekurang

kurangnya dua pertiga jumlah suara anggota yang


hadir. Jika usul itu dirundingkan lagi menurut yang
ditetapkan dalam Pasal 132, maka Dewan Perwakilan
Rakyat hanya dapat menerima dengan sekurang-
kurangnya tiga perempat dari jumlah suara anggota
yang hadir.

Berdasarkan kedua ketentuan Pasal tersebut di atas, maka


untuk mengubah bentuk Negara Serikat menuju Negara
Kesatuan jelas tidak mungkin dilakukan dengan upaya
penggantian Konstitusi, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal
186 KRIS. Hal ini mengingat untuk membentuk Konstituante
harus dilakukan dengan Pemilihan Umum yang tentunya akan
memakan waktu relatif lama. Sebaliknya bila dilakukan
dengan cara perubahan Konstitusi, maka langkah ini bisa
dikatakan relatif cepat, karena bisa dilakukan dengan
mempergunakan Undang-Undang Federal, sebagaimana
ditegaskan dalam Pasal 190 KRIS. Berdasarkan hal tersebut,
diterbitkanlah Undang-Undang Federal No. 7 tahun 1950
Tentang Perubahan Konstitusi Sementara Republik Indonesia
Serikat menjadi Undang-Undang Dasar Sementara Republik
Indonesia. Dengan demikian payung hukum Undang-Undang
Dasar Sementara 1950 pada hakikatnya adalah Undang-
Undang Federal tersebut.
Perbedaan antara penggantian Konstitusi dengan
perubahan Konstitusi sebenarnya tidak pada hakikat atau
esensinya, melainkan hanya berbeda pada tingkatan atau
gradasinya. Perubahan Konstitusi pada intinya terjadi
penggantian sebagian Pasal-pasal yang terdapat di dalamnya,
sedangkan pada penggantian Konstitusi langkah yang
dilakukan adalah dengan mengganti secara total pasal-pasal
yang terdapat di dalam Konstitusi.

a. Ketatanegaraan di Bawah Undang-Undang Dasar


Sementara 1950.
Pasal I Undang-Undang Federal No. 7 Tahun 1950
menegaskan bahwa Konstitusi Sementara Republik Indonesia
Serikat diubah menjadi Undang-Undang Dasar Sementara
Republik Indonesia sehingga naskahnya berbunyi:
MUKADIMAH
Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak
segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas
dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri-
kemanusiaan dan peri-keadilan.
Dan perjuangan pergerakan Kemerdekaan Indonesia
telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan
selamat sentausa mengantarkan Rakyat Indonesia kedepan
pintu gerbang kemerdekaan Negara Indonesia, yang
merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.
Dengan berkat rahmat Tuhan tercapailah tingkatan
sejarah yang berbahagia dan luhur.
Maka demi ini kami menyusun kemerdekaan kami itu
dalam suatu piagam negara yang berbentuk republik-
kesatuan, berdasarkan pengakuan ke-Tuhanan yang Maha
Esa, peri-kemanusiaan, kebangsa-an, kerakyatan dan
keadilan sosial, untuk mewujudkan kebahagiaan,
kesejahteraan, perdamaian dan kemerdekaan dalam
masyarakat dan Negara-hukum Indonesia Merdeka yang
berdaulat sempurna.

Kemudian Pasal 134 menyatakan bahwa Konstituante i


Sidang pembuat Undang-Undang Dasar) bersama-sama
dengan Pemerintah selekas-lekasnya menetapkan Undang-
Undang Dasar Republik Indonesia yang akan menggantikan
Undang-Undang Dasar Sementara ini. Kedua ketentuan
tersebut menggariskan letak kesementaraan dari konstitusi,
oleh sebab itu perlu dilakukan langkah-langkah untuk
menetapkan Konstitusi secara definitif.
Sistem pemerintahan yang digariskan oleh Undang-
Undang Dasar Sementara (UUDS) 1950 tidak menunjukkan
ketegasan sebagaimana sistem Pemerintahan yang terdapat di
dalam Konstitusi RIS. Pasal 83 UUDS menyatakan:
1) Presiden dan Wakil Presiden tidak dapat diganggu gugat.
(2) Menteri-menteri bertanggungjawab atas seluruh
kebijaksanaan Pemerintah, baik bersama-sama untuk
seluruhnya, maupun masing-masing untuk bagiannya sendiri-
sendiri.

Kemudian Pasal 84 UUDS 1950 menegaskan bahwa


Presiden berhak membubarkan Dewan perwakilan Rakyat.
Keputusan Presiden yang menyatakan pembubaran itu,
memerintahkan pula untuk mengadakan pemilihan Dewan
Perwakilan Rakyat baru dalam 30 hari.
Kendatipun kedua ketentuan Pasal tersebut di atas
menunjukkan adanya ciri-ciri sistem parlementer, seperti
kedudukan Presiden dan Wakil Presiden yang tidak dapat
diganggu gugat, dan adanya pertanggungjawaban menteri
baik sendiri-sendiri maupun secara kolektif, namun secara
yuridis konstitusional masih tetap belum dapat dikategorikan
mempergunakan sistem parlementer. Hal ini disebabkan
mekanisme pertanggungjawaban yang dilakukan menteri
tidak menunjukkan kejelasan kepada organ mana dan apa
konsekuensinya jikalau pertanggungjawaban tersebut tidak
diterima. Bahkan tidak lazim jikalau Presiden dapat
membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat, sebagaimana
ditegaskan dalam Pasal 84 UUDS 1950.
Berkaitan dengan hal ini, Soehino memberikan catatan
bahwa dalam jawaban Pemerintah Republik Indonesia Serikat
atas laporan Panitia pelapor Dewan Perwakilan Rakyat
tertanggal 3 Agustus 1950 diterangkan bahwa pasal 83 ayat (2)
tidak menentukan bahwa Kabinet itu harus bersifat
parlementer, melainkan pasal tersebut menetapkan bahwa
Kabinet harus bertanggungjawab kepada perlemen. Lebih
lanjut dikatakan bahwa Kabinet yang bertanggung jawab itu
dapat bersifat parlementer, dapat pula bersifat extra
parlementer atau zaken Kabinet, akan tetapi tidak bersifat
kabinet presidensiil yang tidak bertanggungjawab.71
Argumentasi atau catatan tersebut di atas jelas
menunjukkan keragu-raguan untuk menentukan sistem
pemerintahan apakah yang dianut oleh UUDS 1950. menurut
hemat penulis sistem pemerintahan yang dianut oleh UUDS
1950 tidak mengikuti pakem teori yang lazim dikenal dalam
Hukum Tata Negara khususnya menyangkut sistem
pemerintahan, karena tidak secara tegas menunjukkan
mekanisme pertanggungjawaban Kabinet yang dimaksud.
Oleh sebab itu penulis berpendapat bahwa sistem yang
dipergunakan oleh UUDS 1950 mengarah kepada sistem
otoritarianisme, dimana kedudukan Presiden tidak dapat
diganggu gugat bahkan dapat membubarkan Dewan
Perwakilan Rakyat.

Sistem seperti ini dipergunakan karena komposisi


keanggotaan Dewan Perwakilan Rakyat tidak didasarkan
pada prinsip-prinsip representasi rakyat, melainkan
didasarkan pada penunjukkan, dan yang menunjuk tidak lain
adalah Presiden. Padangan seperti ini bersumber pada
argumentasi Soehino yang menyampaikan bahwa berulang-
ulang Presiden Soekarno menyatakan pada rapat-rapat
raksasa, bahwa beliau bukan saja Presiden Konstitusional,
melainkan beliau adalah pemimpin Rakyat. Sebagai Bapak
negara dan Pemimpin Rakyat beliau merasa wajib tiap-tiap
kali memberi amanat kepada khalayak ramai.72
Catatan sejarah seperti ini menunjukkan sekali lagi bahwa
Presiden (Soekarno) memang menduduki posisi sentral dalam
setiap bentuk penyelenggaraan pemerintahan negara. Oleh
sebab itu tidaklah berlebihan jikalau sistem yang
dipergunakan oleh UUDS 1950 mengandung unsur-unsur
sistem otoritarianisme. Sistem ini mencapai puncaknya ketika
Presiden membubarkan Konstituante melalui Dekrit Presiden
5 Juli 1950.
Pasal 134 UUDS 1950 menegaskan bahwa Konstituante
(Sidang pembuat Undang-Undang Dasar) bersama-sama
Pemerintah selekas-lekasnya menetapkan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia yang akan menggantikan
Undang-Undang Dasar Sementara ini. Ketentuan seperti ini
menegaskan bahwa jalan satu-satunya untuk memperlakukan
UUDS 1950 adalah dengan cara penggantian. Bukan dengan
perubahan. Untuk melaksanakan ketentuan tersebut, maka
yang diberi wewenang adalah Konstituante dan pemerintah.
Berkaitan dengan kewenangan Pemerintah dalam
melakukan penggantian UUDS 1950 tersebut, Pasal 137 ayat
(3) UUDS 1950 menegaskan bahwa apabila Konstituante
sudah menerima Rancangan Undang-Undang Dasar, maka
dikirimkannya rancangan itu kepada Presiden untuk disahkan
oleh Pemerintah. Pemerintah harus mengesahkan rancangan
itu dengan segera. Pemerintah mengumumkan Undang-
Undang Dasar itu dengan keluhuran.

Ketentuan semacam ini secara tegas memberikan garis


kewenangan bagi Pemerintah dalam hal penggantian UUDS
1950, yakni dalam hal pengesahan dan pengumumannya.
Pemerintah dan/atau Presiden hanya memiliki kewenangan
yang bersifat administratif, yakni mengesahkan dan
mengumumkan Undang-Undang Dasar yang menggantikan
UUDS 1950. Oleh sebab itu dapat ditarik pemahaman bahwa
yang diberi wewenang penuh untuk mempersiapkan dari
perancangan draft sampai dengan persetujuan rancangan
Undang-Undang Dasar tidak lain adalah Konstituante.
Sedangkan Pemerintah hanya melaksanakan fungsi
administratif dalam rangka mengesahkan dan
mengumumkan.
Untuk membentuk Konstituante, maka menurut pasal 135
UUDS 1950 ditegaskan, antara lain:
(1) Konstituante terdiri dari sejumlah anggota yang besarnya
ditetapkan berdasarkan perhitungan setiap 150.000 jiwa
penduduk warganegara Indonesia mempunyai seorang
wakil.
(2) Anggota-anggota Konstituante dipilih oleh warga negara
Indonesia dengan dasar umum dan dengan cara bebas dan
rahasia menurut aturan-aturan yang ditetapkan dengan
undang-undang.

Bertitik tolak dari ketentuan tersebut, maka diterbitkanlah


Undang-Undang No. 7 Tahun 1953 tentang Pemilihan Umum
Untuk Anggota-anggota Konstituante dan Dewan Perwakilan
Rakyat. Inilah Undang-Undang pertama yang mengatur
tentang Pemilihan Umum sejak Proklamasi kemerdekaan 17
Agustus 1945. berdasarkan undang-Undang ini maka pada
bulan September 1955 dilaksanakan pemilu untuk memilih
anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan pada bulan Desember
1955 dilaksanakan Pemilu untuk memilih anggota-anggota
Konstituante.
Menurut Disertasi Adnan Buyung Nasution, pada
hakikatnya Konstituante tidak dapat dikatakan gagal dalam
merumuskan Undang-Undang Dasar. Pada waktu itu
Presiden dengan bantuan dari Angkatan Darat ingin
menerapkan gagasan demokrasi Terpimpin. Gagasan seperti
ini kemudian direalisasikan melalu ndang yang
diselenggarakan oleh Kabinet Karya pada tanggal 19 Itebruari
1959 dengan keputusan untuk melaksanakan demokrasi
:erpimpin dengan cara kembali kepada Undang-Undang dasar
1945.73
Prosedur untuk kembali kepada Undang-Undang Dasar
1945 sebagaimana diputuskan oleh Kabinet Karya, adalah:
1 . Setelah terdapat kata sepakat antara Presiden dan Dewan
Menteri, maka pemerintah meminta supaya diadakan
sidang Pleno Konstituante;
1. Atas nama Pemerintah disampaikan Presiden amanat ber-
dasarkan pasal 134 Undang-Undang Dasar sementara 1950
kepada Konstituante yang berisi anjuran supaya Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945
ditetapkan;
2. Jika anjuran itu diterima oleh Konstituante, maka
Pemerintah atas dasar ketentuan Pasal 134 UUDS 1950
mengumumkan UUD 1945 itu dengan keluhuran.
Pengumuman dengan keluhuran itu dilakukan dengan
suatu Piagam yang ditandatangani dalam suatu sidang
pleno Konstituante di Bandung oleh Presiden, para
Menteri dan para anggota Konstituante, yang antara lain
memuat Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945.74

Setelah melalui berbagai macam usaha, Konstituante tidak


dapat mengambil keputusan untuk menerima anjuran
Pemerintah tersebut. Hal ini memang dapat dibenarkan
mengingat kewenangan untuk mempersiapkan dan
membentuk Undang-Undang Dasar tetap berada di tangan
Konstituante, sedangkan Pemerintah yang berpijak pada
ketentuan Pasal 137 ayat (3) UUDS 1950 hanya memiliki fungsi
administratif yakni mengesahkan dan mengumumkan. Oleh
sebab itu langkah yang dilakukan Pemerintah dengan
mengemukakan anjuran tersebut dapat

73 Adnan Buyung Nasution,


dianggap merupakan bentuk intervensi kewenangan
Pemerintah dalam membentuk UUD.

Berdasarkan kondisi itulah Presiden kemudian


mengeluarkan Dekrit pada tanggal 5 Juli 1959 yang pada
intinya menegaskan untuk kembali kepada UUD 1945 dan
membubarkan Konstituante. Menurut Djokosoetono tindakan
Presiden mengeluarkan Dekrit dalam rangka memberlakukan
UUD 1945 dan membubarkan Konstituante adalah sah
berdasarkan doktrin staatsnoodrechts dan noodstaatsrecht.75
Adapun yang dimaksud dengan staatsnoodrecht adalah hak
darurat yang dimiliki oleh penguasa untuk mengeluarkan
produk-produk hukum yang menyimpang dari asas-asas
perundang-undangan yang baik, karena adanya kegentingan
yang memaksa dan membahayakan keselamatan negara.
Penentuan apakah suatu keadaaan dikategorikan sebagai
"kegentingan yang memaksa" tersebut dilandasi oleh dua
kriteria, yaitu subyekif dan obyektif. Kegentingan memaksa
diukur dari aspek subyektif, jikalau unsur-unsur keadaan
yang dikategorikan sebagai kegentingan yang memaksa itu
semata-mata hanya merupakan penafsiran atau persepsi dari
penguasa. Sedangkan kegentingan memaksa diukur dari
aspek obyektif apabila keadaan yang dikategorikan sebagai
suatu kegentingan yang memaksa itu sudah ditentukan atau
sudah diatur di dalam suatu peraturan perundang-undangan.
Berkaitan dengan dua ukuran ini, maka Dekrit Presiden 5 Juli
1959 sebenarnya dikategorikan sebagai staatsnoodrecht
subyektif.
Menurut Djokosoetono, kegentingan yang memaksa
hingga mengakibatkan Presiden mengeluarkan Dekrit
Presiden 5 Juli 1959 tersebut mengandung kelemahan yaitu:
1. Keadaan staatsnoodrecht pada waktu itu nampaknya tidak
ada, karena semua alat perlengkapan negara masih utuh
dan bekerja secara normal. Ancaman terhadap
keselamatan negara
75 Yusril Ihza Mahendra, 1996, Dinamika Tata Negara
Indonesia Kompilasi Aktual Masalah Konstitusi, Dewan
Perwakilan Rakyat dan Sistem Kepartaian, Gema Insani
Prss, Jakarta, hlm. 82.
juga tidak ada, karena kekuatan PRRI dan Permesta pada
pertengahan tahun 1959 telah berada pada titik lemah; 1
Hukum kenegaraan RI pada masa itu tidak berada dalam
keadaan darurat. Sementara yang terjadi hanyalah penolakan
dari Majelis Konstituante terhadap anjuran Pemerintah untuk
kembali ke pada UUD 1945. Secara hukum, andaipun majelis
Konstituante gagal membuat UUD yang definitif, maka UUDS
1950 masih berlaku sebagai UUD RI yang sah.76

Menurut Logemann dan Mohammad Hatta, secara


akademis riridakan dekrit bukannya harus dinilai atas dasar
staatsnoodrecht ■taupun noodstaatsrecht, melainkan suatu
revolusi hukum. Jadi ■ebagai tindakan revolusioner, dan
keabsahannya harus dicari secara post pactum, yaitu sejauh
manakah Presiden Soekarno mampu —empertahankan
langkah yang diambilnya. Kalau berhasil mem-rertahankan
keputusannya, maka keputusan itu akan menjadi sah.
Sebaliknya, jika gagal, Ia mungkin dapat didakwa melakukan
Tindakan coup d'etat atau sekurang-kurangnya melakukan
tindakan inkonstitusional .77
Argumentasi ini menurut pandangan penulis adalah
argumentasi yang paling masuk akal daripada
mempergunakan alasan staatsnoodrecht. Hal ini mengingat
untuk menentukan suatu keadaan itu sifatnya darurat dan
membahayakan keselamatan negara tentunya harus dilandasi
oleh ketentuan-ketentuan hukum yang tegas supaya
keputusan yang diambil mencerminkan adanya kepastian
hukum. Apalagi sesuai dengan Mukadimah UUDS 1950
dinyatakan bahwa Indonesia merupakan negara hukum.
Dengan demikian Dekrit Presiden 5 Juli 1959 jelas bersifat
extra Konstitusional. Kendatipun demikian, dalam
perkembangan lebih lanjut keberadaan Dekrit Presiden 5 Juli
1959 telah disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat hasil
Pemilihan Umum 1959 secara aklamasi pada tanggal 22 Juli
1959, dan kemudian dikukuhkan oleh Majelis
Permusyawaratan Rakyat Sementara dengan Ketetapan No.
XX/MPRS/1966.

3. Ketatanegaraan di Bawah Undang-Undang Dasar Negara


Republik Indonesia (Dekrit Presiden 5 Juli 1959).
Dengan pemberlakuan kembali UUD 1945, serta
mengingat bahwa Lembaga-lembaga Negara sebagaimana
digariskan oleh UUD 1945 belum lengkap, maka dilakukanlah
beberapa langkah sebaga berikut:
a. Pembaharuan susunan Dewan Perwakilan Rakyat melali
Penetapan Presiden No. 3 Tahun 1960;
b. Penyusunan Dewan Pewakilan Rakyat Gotong Royong
(DPRGR)
dengan Penetapan Presiden No. 5 Tahun 1960 yang antara
lain menentukan bahwa anggota-anggota Dewan
Perwakilan
Rakyat diberhentikan dengan hormat dari jabatannya
terhitung
mulai tanggal pelantikan Dewan Perwakilan Rakyat
Gotong
Royong oleh Presiden;
c. Untuk melaksanakan Dekrit Presiden, oleh Presiden
dikeluar-
kan Penetapan Presiden No. 2 Tahun 1959 Tentang Majelis
Permusyawaratan Rakyat Sementara; dan dilanjutkan
dengan
d. Penyusunan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara
dengan Penetapan Presiden No. 12 Tahun 1960;
e. Dikeluarkan Penetapan Presiden No. 3 tahun 1959 tentang
Dewan Pertimbangan Agung Sementara.

Ditinjau dari aspek Konstitusional, langkah-langkah


Presiden dalam menyusun DPRGR dan MPRS melalui
penetapan Presiden jelas menyimpang dari UUD 1945 yang
berlaku berdasarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Apalagi
langkah tersebut terlebih dahulu diawali dengan pembubaran
DPR hasil Pemilihan Umum berdasarkan Undang-Undang
No. 7 Tahun 1953. Lain daripada itu, dalam sistematika UUD
1945 produk hukum (perundang-undangan) yang berjenis
Penetapan Presiden sama sekali tidak dikenal. Oleh sebab itu
langkah-langkah yang diambil oleh Presiden dalam rangka
melaksanakan demokrasi terpimpin dan kembali kepada UUD
1945 justru merupakan langkah yang jauh menyimpang dari
Konstitusi. Bahkan kalaupun dalam melakukan langkah-
langkah tersebut dianggap berlandaskan pada Pasal IV Aturan
Peralihan UUD 1945, hal tersebut tetap melanggar Konstitusi,
sebab Dewan Perwakilan Rakyat sudah terbentuk melalui
Pemilu tahun 1955.
Dengan demikian sejak berlakunya kembali UUD 1945
berdasarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959, ketentuan-ketentuan
yang terdapat di dalam UUD 1945 belum dapat dilaksanakan
secara murni dan konsekuen. Banyak penyimpangan-
penyimpangan yang terjadi, seperti:

a. Lembaga-lembaga Negara seperti MPR, DPR, dan DPA


belum dibentuk berdasarkan Undang-Undang, serta
lembaga-
lembaga yang ada masih bersifat sementara;
b. Pengangkatan Presiden Soekarno sebagai Presiden seumur
hidup melalu ketetapan MPRS No. III/MPRS/1963.
Ketetapan
ini jelas-jelas melanggar ketentuan Pasal 7 UUD 1945 yang
secara tegas menyatakan bahwa Presiden dan Wakil
Presiden
memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya
dapat
dipilih kembali.

Sejarahketatanegaraanlndonesiamencatatbahwa
penyimpangan-penyimpangan Konstitusi ini mencapai
Puncaknya di bidang politik dengan terjadinya
pemberontakan G 30 S PKL Catatan kelam dan misterius
menyangkut pemberontakan ini sampai sekarang masih
menjadi perdebatan. Sejarah mengenai peristiwa berdarah G
30 S PKI masih menyimpan kontroversi. Banyak ahli sejarah
dan bahkan pelaku sejarah mencoba melakukan penelusuran
kembali sejarah peristiwa tersebut, namun sayangnya banyak
dokumen yang hilang. Menurut Kol Sugondho ada 9
(sembilan) versi yang mencatat siapa dalang dibalik
pemberontakan PKI tersebut, yaitu:
1. Versi PKI;
i. Versi Cornell;
?. Versi Prof Wertheim;
4. Vers Arnold Brackman;
5. Versi Mainstream;
6. Versi Marxist;
7. Versi Dake;
8. Versi K.O.K (Kritik-Oto-Kritik) dan tripanji PKI Pasca 1
Oktober; dan
9. Versi presiden Soekarno sendiri.78

Berdasarkan sembilan versi ini, menurut Atmadji


Sumarkidjo dapat dikategorikan menjadi enam versi utama,
yaitu:
a. Pelaku G 30 S adalah Partai Komunis Indonesia. Versi ini
adalah
versi resmi yang dipegang oleh Pemerintah RI dan
berpatokan
pada dua buku resmi, yaitu tulisan Nugroho Notosusanto
dan
Ismail Saleh, The Coup Attempt of the September 30
Movement in
Indonesia, 1968 dan buku keluaran Sekretariat Negara
tahun
1994 yaitu Buku Putih Pengkhianatan G 30 SIPKI
(sepengetahuan
penulis buku ini justru bersampul warna hitam);
b. G 30 S adalah persoalan internal TNI Angkatan Darat.
Hasil
riset pertama yang mendukung versi ini adalah kertas
kerja
yang dikeluarkan oleh Universitas Cornell, Ithaca, New
York
tahun 1965 yang berjudul A Preliminary Analysis of the
October
1, 1965 Coup in Indonesia dan kemudian diikuti oleh
berbagai
buku dan penelitian seperti buku yang berjudul Whose
Plot?
New Light on the 1965 Events tulisan Prof. Wertheim.
c. Versi Presiden Soekarno sebagai dalang Pemberontakan
ter-
sebut. Versi ini muncul dari gerakan mahasiswa yang
tidak
puas dengan langkah pemegang mandat Surat Perintah 11
Maret 1966, yaitu Jenderal Soeharto, karena tidak
melakukan
penangkapan terhadap Presiden Soekarno. Versi ini juga
nampak dari judul buku Siapa Menabur Angin Akan Menuai
78 Atmadji Sumarkidjo, 2000, Mendung Di Atas Istana
Merdeka, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, him. 15.
Badai, tulisan Sugiarto Suroso.

d. Versi yang menyatakan Jenderal Soeharto sebagai dalang


pemberontakan. Versi ini muncul sejak adanya Cornell
Paper.
Ada dua asumsi yang dapat dipergunakan untuk
menyatakan
pendapat ini, yaitu adanya pertemuan antara Kolonel (Inf)
A. Latief dengan Mayjen Soeharto di RSPAD dan mengapa
Mayjen Soeharto tidak ikut diculik bersama dengan
jenderal
yang lain.
e. Versi yang menyatakan bahwa G 30 S digerakkan oleh
kekuatan
dinas inteljen luar negeri antara lain CIA, Inggris dan
China.
Versi ini muncul sejak adanya dokumen palsu yang
kemudian
dikenal sebagai Dokumen Gilchrist, serta analisis Peter
Dale
Scott yang mengasumsikan bahwa CIA tidak ingin
Indonesia
jatuh ke tangan komunis.
f. Versi G 30 S terjadi karena adanya kombinasi dari berbagai
kepentingan dan pihak, baik itu PKI, negara-negara Barat
maupun TNI Angkatan Darat.79

Terlepas dari kebenaran dari masing-masing versi


tersebut, peristiwa G 30 S PKI telah menimbulkan kekacauan
sosial budaya dan instabilitas pemerintahan serta
meninggalkan sejarah hitam dalam peta politik dan hukum
ketatanegaraan Indonesia. Puncak dari peristiwa ini adalah
jatuhnya legitimasi Presiden Soekarno dalam memegang
tampuk kepemimpinan nasional. Legitimasi tersebut semakin
terpuruk dengan dikeluarkannya Surat Perintah 11 maret 1966
(SUPERSEMAR) yang pada hakikatnya merupakan perintah
Presiden Soekarno kepada Letnan Jenderal Soeharto untuk
mengembalikan segala tindakan dalam menjamin keamanan
dan ketenteraman serta stabilitas jalannya pemerintahan.
Keberadaan SUPERSEMAR itu sendiri sampai sekarang
masih tetap misterius, bahkan penerbitan SUPERSEMAR itu
sendiri memunculkan kontraversi sejarah yang berbeda-beda.
Kemudian dengan Ketetapan MPRS No. IX/MPRS/1966,
SUPERSEMAR dikukuhkan dengan masa berlaku sampai
terbentuknya MPR RI hasil pemilihan umum yang akan
datang.™' Oleh karena pemilihan umum yang sedianya akan
diselenggarakan pada tanggal 5 Juli 1968 ditunda hingga 5 Juli
1971 dan mengingat dikeluarkannya Ketetapan MPR No.
XXXIII/MPRS/1967 Tentang Pencabutan Kekuasaan
Pemerintahan Negara dari Tangan Presiden Soekarno, maka
demi tercapainya kepemimpinan nasional yang kuat dan
terselenggaranya stabilitas politik, ekonomi dan Hankam,
maka dikeluarkanlah Ketetapan MPRS No. XLIV/MPRS/1968
Tentang Pengangkatan Pengemban Ketetapan MPRS No
IX/MPRS/1966 Sebagai Presiden Republik Indonesia, yang
antara lain menyatakan bahwa mengangkat presiden Soeharto
sebagai Presiden Republik Indonesia hingga terpilihnya
Presiden oleh MPR hasil pemilihan umum. 81 Terlepas dari
kontroversi peralihan kekuasaan dari Presiden Soekarno
kepada Letnan Jenderal Soeharto melalui SUPERSEMAR yang
kemudian dikukuhkan melalui Ketetapan MPR tersebut,
sejarah ketatatanegaraan Indonesia memasuki babakan baru
yang sering disebut sebagai Era Orde Baru.

4. Ketatanegaraan Indonesia Pada Masa Orde Baru.


Dengan jatuhnya Presiden Soekarno dari tampuk
kepemimpinan nasional, maka Jenderal Soeharto mulai
memegang kendali pemerintahan dan di masa ini disebut
sebagai Era Orde Baru. Di era ini konsentrasi penyelenggaraan
pemerintahan negara menitik beratkan pada aspek stabilitas
politik dalam rangka menunjang pembangunan nasional.
Untuk mendukung terwujudnya stabilitas politik dalam
rangka pembangunan nasional, maka dilakukanlah upaya-
upaya pembenahan sistem ketatanegaraan dan format politik
dengan menonjolkan pada hal-hal sebagai berikut:
a. Konsep Dwi Fungsi ABRI dipergunakan sebagai platform
politik Orde Baru. ABR (militer) tidak hanya berfungsi
sebagai alat pertahanan negara atau mesin perang dalam
rangka menjaga kedaulatan negara, melainkan juga
memainkan peranan sosial politik dan terlibat dalam
80 Soehino, Op.cit,
him. 138.
pengambilan keputusan-keputusan

politik.
I). Pengutamaan Golongan Karya;
C. Magnifikasi kekuasaan di tangan eksekutif;
d. Diteruskannya sistem pengangkatan dalam Lembaga-
lembaga
perwakilan rakyat; i\ Kebijakan depolitisasi khususnya
masyarakat pedesaan melalui
konsep masa mengambang (floating mass); dan
f. Kontrol Arbriter atas kehidupan pers.82

Konsep Dwi Fungsi ABRI secara implisit sebenarnya


sudah dikemukakan oleh Kepala Staf Angkatan Darat, Mayjen
Abdul Haris Nasution pada tahun 1958. Menurut Nasution
Dwi Fungsi ABRI merupakan konsep jalan tengah. Prinsipnya
menegaskan bahwa peran militer atau tentara tidak terbatas
pada tugas profesional militer belaka, melainkan juga
mempunyai tugas-tugas lain di bidang sosial politik. 83 Dengan
konsep seperti inilah dimungkinkan bahkan menjadi
kewajiban jikalau militer berpartisipasi di bidang politik.
Sebuah konsep yang tidak lazim di negara demokrasi yang
lebih mengedepankan konsep penguatan masyarakat sipil
(empowering civil society)
Penerapan konsep jalan tengah melalui Dwi Fungsi ABRI
ini menurut pandangan penguasa Orde Baru dan Militer
bersumber dari ketentuan Pasal 2 ayat (1) UUD 1945 (sebelum
amandemen) yang menegaskan bahwa Majelis
Permusyawaratan Rakyat terdiri dari anggota Dewan
Perwakilan Rakyat ditambah dengan utusan-utusan dari
daerah-daerah dan golongan-golongan, menurut aturan yang
ditetapkan dengan undang-undang. Dengan demikian
menurut Orde Baru dan Militer, golongan-golongan yang
dimaksud oleh Pasal tersebut adalah termasuk golongan
Militer. Sebuah penafsiran UUD 1945 yang menyimpang dari
penafsiran konstitusional yang termuat di dalam Penjelasan
82 Mochtar Pabottinggi, dalam Syamsudin Haris & Riza
Sihbudi, 1995, Menelaah Kembali Format Politik Orde
Baru, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, him. xii-xiii.
83 Harold Crouch, dalam Ibid, him. 97.
UUD 1945.

Penjelasan Pasal 2 ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa


yang dimaksud dengan golongan-golongan, ialah badan-
badan seperti koperasi, serikat sekerja dan lain-lain badan
kolektif. Aturan demikian memang sesuai dengan aliran
zaman. Berhubung dengan anjuran sistem koperasi dalam
ekonomi, maka ayat ini mengingat akan adanya golongan-
golongan dalam badan-badan ekonomi. Penjelasan seperti ini
sama sekali tidak menyebut golongan militer. Yang dititik
beratkan oleh Penjelasan pasal tersebut adalah badan-badan
yang terkait dengan kehidupan ekonomi termasuk badan
kolektif yang dibentuk oleh masyarakat sipil (Civil Society).
Dari penafsiran sepihak yang dilakukan oleh penguasa
Orde Baru dan Militer tersebut, ABRI termasuk di dalamnya
POLRI memperoleh jatah di lembaga-lembaga politik baik di
tingkat pusat maupun daerah. Mereka memperoleh jatah
tersebut tanpa berjuang melalui pemilihan umum, melainkan
memperoleh jatah karena pengangkatan atau penunjukan. Di
tingkat Pemerintahan Daerah, hampir sebagian besar Kepala
Daerah baik tingkat Provinsi Daerah Tingkat I, maupun
Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II berasal dari
kalangan Militer (termasuk POLRI). Kondisi seperti ini
menunjukkan adanya paradigma ketatanegaraan yang tidak
lazim dikenal dalam negara demokrasi. Paradigma tersebut
lazim dikenal di negara yang mempergunakan paham
militeristik.
Di bidang kehidupan kepartaian, pada tanggal 27 Pebruari
1970, Presiden Soeharto mengadakan konsultasi dengan
Parpol-parpol guna membahas gagasan untuk
mengelompokkan partai-partai yang ada. Gagasan ini dengan
tujuan jangka pendek yaitu mempertahankan stabilitas
nasional dan kelancaran pembangunan dalam menghadapi
pemilihan umum, sedangkan tujuan jangka panjangnya
adalah menyederhanakan kehidupan kepartaian sesuai
dengan amanat ketetapan MPRS No. XII/MPRS/1966. Sekali
lagi stabilitas keamanan menjadi titik sentral dalam
mengambangkan sistem ketatanegaraan di era Orde Baru.
Dengan pendekatan stabilitas keamanan inilah, maka mesin
politik yang paling efektif adalah mempergunakan kekuatan
Militer.
Menurut Orde Baru penyederhanaan kehidupan
kepartaian tersebut tidak hanya mengandung arti
pengurangan jumlah partai politik, tetapi juga perombakan
sikap dan pola kerja partai politik menuju pada orientasi
program. Di samping itu juga disarankan oleh Presiden
Soeharto agar partai-partai tersebut mempergunakan asas
Pancasila dan UUD 1945. Berdasarkan gagasan inilah, maka
disarankan pembentukan dua kelompok, yaitu:
a. Kelompok materiil-spirituil yang terdiri atas partai-partai
yang
menekankan pembangunan materiil tanpa mengabaikan
aspek
spirituil. Kelompok ini terdiri dari PNI, Murba, 1PKI,
Partai
katolik, dan Partai Kristen Indonesia (Parkindo);
b. Kelompok spirituil-materiil yang terdiri dari partai-partai
yang
menekankan pembangunan spirituil tanpa mengabaikan
aspek
materiil dan terdiri dari NU, Parmusi, PSII dan Perti.84
Bila ditinjau dari aspek logika politik berdasarkan
ideologi, maka dua pengelompokan ini nampak tidak lazim.
Mengapa Partai Katolik dan Partai Kristen Indonesia
(Parkindo) tidak dimasukkan kedalam kelompok spirituil-
materiil. Ketidak laziman ini memang ada benarnya karena
fenomena ideologis dari partai-partai yang dimasukkan dalam
kelompok spirituil materiil adalah berbasis Islam, tidaklah
mungkin mengelompokkan beberapa partai menjadi satu
sementara basis ideologinya sangat berbeda.
Menindak lanjuti pengelompokan tersebut, pada tanggal 9
Maret 1970 terjadi pengelompokan Partai Politik (fusi) yang
ditandai dengan terbentuknya kelompok Demokrasi
Pembagunan yang terdiri dari PNI, Partai Katolik, Parkindo,
IPKI, dan Murba. Kemudian pada tanggal 13 Maret 1970
Kelompok Persatuan Pembangunan terbentuk dan terdiri dari
gabungan NU, Parmusi, PSII, dan Perti. Langkah terakhir
pada tanggal 5 dan 10 Januari 1977 terbentuklah Partai
Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi
Indonesia (PDI).

Menurut penguasa Orde Baru, disamping kedua


kelompok Partai Politik tersebut, ternyata dalam
perkembangannya terdapat golongan-golongan fungsional
yang tidak dapat dimasukkan ke dalam salah satu dari
kelompok partai tersebut. Golongan-golongan fungsional ini
kemudian membentuk kelompok tersendiri yang kemudian
disebut Golongan Karya (GOLKAR). Golongan ini dalam
kehidupan masyarakat masing-masing menyumbangkan
peranan khusus bagi berfungsinya masyarakat seperti
organisasi ekonomi, kultural, sosial dan pertahanan.85 Dari
konsep seperti inilah, maka di dalam kehidupan politik
Indonesia ada keterkaitan antara GOLKAR dan ABRI (Militer).
Dalam Pemilu tahun 1977 hanya terdapat tiga kekuatan
sosial politik, yaitu dua Partai Politik (PDI dan PPP) dan satu
GOLKAR yang dianggap tidak merupakan Partai Politik tetapi
golongan fungsional, padahal sepak terjangnya dibidang
politik. Keberadaan ketiga kekuatan sosial politik tersebut
diperkuat dengan Undang-Undang No. 3 Tahun 1975 tentang
partai Politik dan Golongan Karya. Dengan adanya Undang-
Undang inilah dalam kurun waktu lebih kurang 32 tahun
konstelasi politik di Indonesia hanya membatasi adanya dua
partai politik dan satu golongan karya yang dianggap sah dan
berhak hidup di Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Sejarah menunjukkan bahwa dalam setiap
penyelenggaraan Pemilu di era Orde Baru, GOLKAR selalu
menjadi single majority, dan setiap Pemilihan Presiden yang
dilakukan oleh MPR, Soeharto selalu dapat terpilih kembali
secara aklamasi untuk menjadi Presiden Republik Indonesia.
Kondisi semacam ini mengakibatkan adanya tiga fenomena
ketatanegaraan di Indonesia, yaitu:
1. Sistem Ketatanegaraan yang dijalankan pada waktu itu
lebih menekankan pada stabilitas politik dan memang
berhasil;
2. Terjadinya pemasungan hak-hak politik bagi warganegara,
khususnya dalam hal berserikat atau berkumpul karena
adanya pembatasan Partai Politik dan pengawasan
terhadap r u h Kctatnnc^itniiui linUnir-.iu

Seluruh organisasi kemasyarakatan, termasuk pengawas,in


terhadap Media masa; 3, Terpilihnya Suharto sebagai Presiden
yang berulang kali mengakibatkan karakter kepemimpinan
makin lama semakin otoriter dan tidak terkontrol, akibatnya
gejala Kolusi, Korupsi, dan Nepotisme semakin merajalela.

Tidak dapat dipungkiri bahwa rezim Orde Baru memang


berhasil dalam mewujudkan stabilitas politik melalui
pendekatan keamanan. Pembangunan dapat berjalan secara
bertahap dan berkelanjutan. Tingkat pertumbuhan ekonomi
rata-rata 7%. Bahkan Indonesia telah mampu berswasembada
pangan. Indikator-indikator inilah yang dapat dipergunakan
untuk menilai keberhasilan rezim Orde Baru. Akan tetapi
sebaliknya di lingkungan infrastruktur politik, telah terjadi
pembelengguan hak politik warganegara sebagai pemegang
kedaulatan. Puncak dari keadaan semacam ini adalah
terjadinya gerakan reformasi sebagai akibat adanya krisis
multidimensional pada akhir tahun 1997 dan awal tahun 1998.
Kemudian karena krisis tersebut tidak kunjung teratasi, maka
diawali dengan terjadinya kerusuhan tanggal 13 s.d 14 Mei
1998, Presiden Soeharto meletakkan jabatannya pada tanggal
20 Mei 1998 dan diganti oleh wakil Presiden BJ. Habibie.
Pergantian jabatan tersebut menurut sementara pihak
merupakan langkah konstitusional, sebab Pasal 8 UUD 45
telah menegaskan bahwa jika Presiden mangkat, berhenti atau
tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya,
ia digantikan oleh Wakil Presiden sampai habis waktunya.
Dipihak lain, proses penggantian jabatan tersebut dianggap
inkonstitusional, karena proses penggantian tersebut tidak
ditandai dengan penyerahan kembali Mandat yang diterima
oleh Soeharto kepada MPR.
Dalam sistem perundang-undangan di masa Orde Baru
dikenal adanya Ketetapan MPR yang memiliki dua sifat, yaitu:
1. Ketetapan MPR yang sifatnya einmalig yaitu berisi norma
hukum yang berlaku sekali saja dan sifatnya hanya
menetapkan, sehingga dengan adanya penetapan itu
norma hukum tersebut

selesai. Ketetapan MPR yang sifatnya seperti ini mirip dengan


Keputusan atau Ketetapan Administrasi Negara yang konkrit,
individual dan final; dan 2. Ketetapan MPR yang sifatnya
Dauerhaftig yang berisi norma hukum yang berlaku terus
menerus dalam jangka waktu yang tidak terbatas, sampai
dicabut atau diganti yang baru. Ketetapan MPR inilah yang
masuk dalam kategori Peraturan Perundang-undangan.86

Berdasarkan dua sifat tersebut, maka Ketetapan MPR yang


memberikan Mandat kepada Soeharto sebagai Presiden
Republik Indonesia pada hakikatnya bersifat einmalig, seperti
Keputusan atau Ketetapan Administrasi Negara yang konkrit,
individual dan final. Artinya konkrit adalah hanya ditujukan
pada satu obyek hukum tertentu. Individual, artinya hanya
ditujukan kepada satu subyek hukum tertentu, dan final
artinya hanya menimbulkan satu akibat hukum tertentu.
Berdasarkan sifat seperti inilah, maka peralihan jabatan
Presiden dari Soeharto kepada Wakil Presiden BJ. Habibie
harus diawali dengan pengembalian mandat (Ketetapan MPR)
terlebih dahulu, kemudian MPR menerbitkan lagi Ketetapan
MPR yang mengangkat BJ Habibie menjadi Presiden. Pendek
kata, Mandat sebagaimana digariskan oleh Ketetapan MPR
tidak dapat dialihkan begitu saja.

5. Ketatanegaraan Indonesia Setelah Reformasi 1998:


Menuju Konsolidasi Sistem Demokrasi.
Dengan tumbangnya rezim Orde Baru, maka dimulailah
penataan sistem ketatanegaraan menuju konsolidasi sistem
demokrasi di Indonesia. Konsolidasi yang paling penting
disini tidak lain adalah dengan melakukan perubahan dan
penggantian berbagai Peraturan Perundang-undangan yang
dirasa tidak memberikan ruang gerak bagi kehidupan
demokrasi dan prinsipprinsip kedaulatan rakyat. Peraturan
86 Maria Farida Indrati S, dalam B. Hestu Cipto Handoyo,
2008, Prinsip-Prinsip Legal Drafting & Desain Naskah
Akademik, Univ. Atma Jaya Yogyakarta, Yogyakarta, him.
Perundang-undangan yang dimaksud antara lain:

a. Ketetapan MPR No. IV/MPR/1983 Tentang Referendum;


b. Undang-Undang No. 5 tahun 1985 Tentang Referendum;
c. Undang-Undang No. 5 tahun 1974 Tentang Pemerintahan
Di
daerah;
d. Paket Undang-Undang Bidang Politik (UU Susduk MPR
DPR, DPRD, UU Pemilihan Umum, dan UU Partai Politik
dan
Golongan Karya).

Di samping melakukan perubahan terhadap Peraturan


Perundang-undangan tersebut di atas, maka sesuai dengan
amanat reformasi, dilakukanlah langkah-langkah untuk
mengamandemen UUD 1945. Amandemen UUD 1945
merupakan prasyarat utama bagi terselenggaranya sistem
ketatanegaraan yang demokratis. Hal ini mengingat
sistematika yang tertuang di dalam UUD 1945 tidak
memberikan ruang yang cukup untuk mengembangkan
konsep demokrasi pemerintahan dan prinsip negara yang
berkedaulatan rakyat.
Dalam rangka melaksanakan amandemen UUD 1945, MPR
mempergunakan dasar hukum Pasal 37 UUD 1945. Berkaitan
dengan hal inilah, maka dalam kurun waktu tahun 1999
sampai dengan tahun 2002, dalam setiap tahunnya MPR
melakukan pengesahan terhadap hasil-hasil amandemen UUD
1945 yang dilakukan oleh Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja
MPR. Pengesahan tersebut dilakukan sebanyak empat kali,
yakni setiap MPR melaksanakan Sidang Tahunan pada bulan
Agustus tahun 1999, 2000, 2001, dan 2002.
Setelah amandemen IV UUD 1945 dikukuhkan pada
Sidang Tahunan MPR tahun 2002, maka sistem ketatanegaraan
Indonesia secara singkat dapat dikemukakan sebagai berikut:
a. Bentuk (Bangunan) Negara Kesatuan tetap dipertahankan
dan
sudah merupakan keputusan yang final;
b. Sistem Pemerintahan Negara Republik Indonesia, adalah
sistem
Presidensiil Murni, di mana Presiden dan Wakil Presiden
di-

114

pilih langsung oleh rakyat yang calonnya diajukan oleh Partai


Politik atau Gabungan Partai Politik yang memperoleh
20% kursi di DPR-RI atau 25% memperoleh suara sah
dalam Pemilu Legislatif.
c. Sistem Keparlemenan mempergunakan soft bicameral
system,
bahkan bisa dianggap sistem keparlemenan dengan tiga
kamar, karena MPR, DPR dan DPD masing-masing
memiliki
wewenang sendiri-sendiri serta masing-masing
mempunyai
Ketua;
d. Seluruh anggota Parlemen (DPR dan DPD) dipilih melalui
Pemilihan umum. Tidak dikenal lagi adanya cara
penunjukan
atau pengangkatan;
e. Majelis Permusyawaratan Rakyat tidak lagi menjadi
Lembaga
Tertinggi Negara, melainkan hanya merupakan sarana
bergabungnya DPR dan DPD. Wewenang dari lembaga ini
hanya mengubah UUD, Mengangkat atau melantik
Presiden
dan Wakil Presiden hasil Pemilihan Umum,
Memberhentikan
Presiden dan/atau wakil Presiden jika menurut Keputusan
Mahkamah Konstitusi dianggap telah melakukan
pelanggaran
hukum berat;
f. Sistematika UUD 1945 hanya terdiri dari Pembukaan dan
pasal-pasal;
g. Hubungan Alat Perlengkapan Negara dalam garis vertikal
mempergunakan asas desentralisasi dan tugas
pembantuan
dengan otonomi luas;
h. Dijumpai adanya Mahkamah Konstitusi yang mempunyai
wewenang untuk melakukan judicial review Undang-
Undang
terhadap UUD 1945, Penyelesaian Sengketa Pemilihan
Umum,
Memeriksa Presiden dan/atau Wakil Presiden atas
permintaan
DPR, jika mereka dianggap telah melakukan pelanggaran
hukum berat, dan menyelesaikan sengketa kewenangan
antar
lembaga negara.

Dari gambaran sejarah ketatanegaraan Indonesia


sebagaimana penulis kemukakan dalam Bab ini, dapat ditarik
garis pemahaman bahwa sejak Proklamasi kemerdekaan 17
Agustus 1945, konsolidasi sistem demokrasi terus dilakukan
dengan berbagai pasang-surut yang terkandung di dalamnya.
Hal ini membuktikan bahwa konsolidasi sistem demokrasi di
Indonesia masih terus mencari bentuk yang paling ideal dan
sesuai dengan jiwa bangsa Indonesia.
Proses konsolidasi sistem demokrasi yang terus berlanjut
ini memang memberikan kesan kuat bahwa langkah-langkah
eksperimentasi sistem ketatanegaraan Indonesia terus
dilakukan. Hal ini wajar, karena membangun sistem
demokrasi memang tidak akan pernah selesai. Mengingat
demokrasi itu sendiri bukanlah merupakan suatu tujuan
melainkan hanya merupakan sarana untuk mencapai tujuan
yang dicita-citakan bangsa Indonesia sebagaimana terangkum
dalam Pembukaan UUD 1945.

Bab III

SISTEM PEMERINTAHAN NEGARA,


BENTUK NEGARA DAN BANGUNAN
NEGARA

JLktijitas negara sebagai organisasi kekuasaan menampakkan


diri dalam sistem pemerintahan negara yang dikembangkan.
Apapun b'entuk^sistem pemerintahan negara yang akan
dipergunakan oleh suatu negara f alitor terpenting yang patut
dikedepankan adalah tingkat kepercayaan atau legitimasi dari
sistem tersebut di hadapan warga negara berdasakan prinsip
demokrasi dan kedaulatan rakyat

A. Pengertian Sistem.
Menurut bahasa kaum awam, pengertian sistem sering
disamakan dengan cara yang akan ditempuh dalam mencapai
suatu tujuan, misalnya pertandingan Sepakbola dengan
mempergunakan sistem setengah kompetisi atau sistem gugur.
Pengertian seperti ini dalam lingkup Ilmu Hukum
Ketatanegaraan jelas tidak dapat diikuti, sebab dengan
menunjuk pada pengertian awam tersebut, maka makna yang
terkandung di dalamnya bisa ambigu dengan pengertian
metode ataupun strategi.
Menurut Cari J. Friedrich sistem adalah suatu keseluruhan,
terdiri dari beberapa bagian yang mempunyai hubungan
fungsional baik antara bagian maupun hubungan fungsional
terhadap keseluruhan, sehingga hubungan itu menimbulkan
ketergantungan antara bagian-bagian yang akibatnya jika
salah satu bagian tidak bekerja dengan baik akan
mempengaruhi keseluruhannya itu.87 Dengan demikian
menurut bahasa Ilmu Pengetahuan sistem adalah suatu
tatanan/susunan yang berupa suatu struktur yang terdiri dari
bagian-bagian atau komponen-komponen yang berkaitan
antara satu dengan lainnya secara teratur dan terencana untuk
mencapai suatu tujuan. Apabila salah satu dari
komponen/bagian tersebut berfungsi melebihi atau kurang
dari kapasitasnya, maka akan mempengaruhi keseluruhan.
Hamid S Attamimi mengemukakan bahwa dalam kata
sistem pemerintahan, terdapat bagian-bagian dari
pemerintahan yang masing-masing mempunyai tugas dan
fungsi sendiri-sendiri namun secara keseluruhan bagian-
bagian itu merupakan satu kesatuan yang padu dan bekerja
sama secara rasional.88 Dengan mencermati argumentasi
semacam ini, maka pengertian sistem akan selalu berkaitan
dengan mekanisme dan cara kerja suatu lembaga, institusi
ataupun organ dalam mencapai tujuan yang diinginkan.

B. Pengertian Pemerintahan.
Di lingkungan Ahli Hukum Tata Negara, pemahaman
mengenai kata "Pemerintahan" masih belum ada kesepahaman
yang sama. Hal ini disebabkan oleh adanya cara pandang
yang berbeda dalam memberikan arti dari Pemerintahan itu.
Ketidak sepahaman ini merupakan sesuatu yang lumrah di
dalam dunia akademik dan Ilmu Pengetahuan, dan tentunya
tidak perlu diperdebatkan sampai berlaurt-larut.
Jikalau kata "Pemerintahan" itu diambil dari kata
Pemerintah (yang kemudian diberi akhiran "an"), maka hal ini
87 Cari J Friedrich, dalam Moh. Kusnardi & Harmaily
Ibrahim, 1980, Hukum Tata Negara Indonesia, Pusat Studi
HTN-UI, Jakarta, him. 160.
88 Hamid S. Attamimi, (disertasi), 1990, Peranan Keputusan
Presiden Republik Indonesia Dalam Penyelenggaraan
Negara Suatu Studi Analisis Mengenai Keputusan Presiden
jelas akan menimbulkan penafsiran yang berbeda-beda.
Sebagian ada yang

menyamakan dengan eksekutif, dan sebagian yang lain me-


nyamakan dengan "negara". Berkaitan dengan dua pandangan
mengenai akar kata "Pemerintahan" tersebut, maka dapat
diambil pemahaman bahwa kata "Pemerintahan" memang
mengandung pengertian ganda, yaitu bisa hanya mengacu
pada konotasi eksekutif dan bisa juga mengacu pada konotasi
negara.
Perbedaan pendapat semacam ini disebabkan oleh adanya
ajaran trias politika yang membagi kekuasaan negara kedalam
tiga pilar kekuasaan utama, yaitu Eksekutif (kekuasaan untuk
melaksanakan Peraturan Perundang-undangan), Legislatif (ke-
kuasaan untuk membuat Peraturan Perundang-undangan),
dan Yudikatif (Kekuasaan untuk melaksanakan penegakan
Peraturan Perundang-undangan atau sering disebut
kekuasaan peradilan). Oleh sebab itu untuk menambah
pemahaman mengenai pengertian "Pemerintahan", maka
disini penulis mencoba untuk memberikan jalan tengah, yaitu
dengan meletakkan pengertian "Pemerintahan" dalam dua
arti, yakni arti luas dan sempit.
Pemerintahan dalam arti luas adalah segala bentuk
kegiatan atau aktifitas penyelenggaraan negara yang
dilakukan oleh organ-organ atau alat-alat perlengkapan
negara yang memliki tugas dan fungsi sebagaimana
digariskan oleh konstitusi. Pengertian seperti ini mencakup
kegiatan atau aktifitas penyelenggaraan negara yang
dilakukan oleh Eksekutif, Legislatif, dan Yudikatif dalam
suatu organisasi kekuasaan yang disebut negara.
Sedangkan pengertian Pemerintahan dalam arti sempit
tidak lain adalah aktifitas atau kegiatan yang diselenggarakan
oleh organ pemegang kekuasaan Eksekutif sesuai dengari
tugas dan fungsinya yang dalam hal ini dilaksanakan oleh
Presiden ataupun Perdana Menteri sampai dengan level
birokrasi yang paling rendah tingkatannya. Dengan kata lain,
penyelenggaraan tugas dan fungsi Administratuur atau Bestuur
inilah yang disebut sebagai Pemerintahan dalam arti sempit.
Bertitik tolak dari dua pengertian tersebut, maka dalam
melakukan pembahasan mengenai Pemerintahan Negara,
penekanannya menyangkut Pemerintahan dalam arti luas,
yaitu meliputi pembagian kekuasaan dalam negara, hubungan
antar alat perlengkapan negara yang menjalankan kekuasaan
tersebut baik secara horizontal (pemisahan atau pembagian
kekuasaan) maupun vertikal (pemencaran kekuasaan) antara
pemerintah pusat dan pemerintah daerah (Local Government).
Dengan demikian, jika pengertian Pemerintahan tersebut
dikaitkan dengan pengertian sistem, maka yang dimaksud
dengan Sistem Pemerintahan Negara adalah suatu tatanan
atau susunan pemerintahan yang berupa suatu struktur yang
terdiri dari organ-organ pemegang kekuasaan di dalam negara
dan saling melakukan hubungan fungsional diantara organ-
organ tersebut baik secara horizontal maupun vertikal untuk
mencapai suatu tujuan yang dikehendaki.
Berdasarkan pengertian Sistem Pemerintahan inilah, maka
pengkajian akan difokuskan pada segala aktifitas ataupun
urusan yang dilakukan oleh negara dalam menyelenggarakan
kesejahteraan rakyat dan kepentingan negara itu sendiri,
sehingga tidak diartikan sebagai Pemerintahan yang hanya
difokuskan pada tugas dan fungsi Eksekutif belaka.

C. Tiga Pengertian Sistem Pemerintahan Negara.


Pada umumnya orang menganggap bahwa yang
dimaksud dengan Sistem Pemerintahan negara hanya berkisar
pada mekanisme hubungan antara sebagian alat perlengkapan
negara, khususnya alat perlengkapan negara pemegang
kekuasaan Eksekutif dan Legislatif. Anggaran seperti ini tetap
dapat dibenarkan sepanjang yang dimaksud dalam sistem
pemerintahan ini diletakkan di tingkat Pusat.
Menurut doktrin Hukum Tata Negara yang tertuang di
dalam konstitusi, Sistem Pemerintahan Negara dapat dibagi
kedalam 3 (tiga) pengertian, yaitu:
1. Sistem Pemerintahan dalam arti Paling Luas, yaitu suatu
tatanan yang berupa struktur dari suatu negara dengan
menitik beratkan pada hubungan antara negara dengan
rakyatnya. Pengertian seperti ini akan menimbulkan
bentuk Sistem Pemerintahan Negara yang bercorak
Monarkhi, Aristokrasi, atau Demokrasi.
Sistem Pemerintahan Negara dalam Arti Luas, yaitu suatu
tatanan atau struktur pemerintahan negara yang bertitik tolak
pada hubungan antara semua organ negara, termasuk
hubungan antara Pemerintah Pusat (Central Government)
dengan bagian-bagian yang terdapat di dalam negara di
tingkat lokal (Local Government). Pengertian seperti ini akan
menimbulkan corak sistem Pemerintahan Negara berdasarkan
bangunannya, yaitu :
a. Bangunan Negara Kesatuan, dimana Pemerintah Pusat
memegang otoritas penuh (berkedudukan lebih tinggi) bila
dibandingkan dengan Pemerintahan Lokal.
b. Bangunan Negara Serikat (Federal), yakni Pemerintah
Pusat
dengan Negara-negara bagian mempunyai kedudukan
yang sama.
c. Bangunan Negara Konfederasi, dimana Pemerintah Lokal
(kanton/wilayah) mempunyai kedudukan yang lebih
tinggi
dari Pemerintah Pusat.
Sistem Pemerintahan Negara dalam Arti Sempit, yakni suatu
tatanan atau struktur pemerintahan yang bertitik tolak dari
hubungan sebagian organ negara di tingkat pusat, khususnya
hubungan antara Eksekutif dan Legislatif. Struktur atau
tatanan seperti ini akan menimbulkan corak Sistem
Pemerintahan Negara, yaitu:
a. Sistem Parlementer, yakni Parlemen (legislatif) mempunyai
kedudukan yang lebih tinggi daripada eksekutif. Parlemen
dapat membubarkan Eksekutif melalui mosi tidak percaya.
Contohnya di Inggris dan Jepang.
b. Sistem Pemisahan Kekuasaan (Sistem Presidensiil), yakni
antara Parlemen (legislatif) dengan Eksekutif mempunyai
kedudukan yang sama dan tidak dapat saling menjatuhkan
melainkan saling melakukan kontrol dan keseimbangan
(checks and balances) dalam melaksanakan kewenangannya.
Contohnya di AS. c. Sistem Pemerintahan Badan Pekerja
(Sistem Pemerintahan dengan Pengawasan Langsung oleh
Rakyat), yakni Pemerintah (eksekutif) pada hakikatnya
adalah Badan Pekerja dari Parlemen (legislatif), dengan
kata lain eksekutif merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari legislatif (parlemen). Oleh karena itu
parlemen tidak diberi wewenang untuk melakukan
pengawasan kepada eksekutif, sehingga yang berhak
mengawasi parlemen dan eksekutif adalah rakyat secara
langsung. Contohnya di Swiss.

Perlu diketahui pula bahwa di samping pengertian Sistem


Pemerintahan atau sering disebut bentuk pemerintahan,
dikenal juga adanya istilah bentuk negara dan bangunan
negara. Kedua istilah yang terakhir ini sering disamakan
dengan Sistem Pemerintahan dan bentuk pemerintahan.
Berkaitan dengan inilah, maka dalam Bab ini penulis mencoba
memberikan beberapa pandangan mengenai kedua
peristilahan tersebut.

D. Bentuk Negara.
Pemahaman mengenai bentuk negara seharusnya
dikaitkan dengan persoalan yang menyangkut kriteria
sebagaimana di-kemukakan oleh Leon Duguit maupun
George Jellinek, yakni menyangkut bentuk negara republik
dan monarkhi. Intinya bentuk negara itu berkisar pada pola
penentuan kepala pemerintahan dan pola pengambilan
keputusan yang dilakukan di dalam negara tersebut.
Negara dikatakan berbentuk republik, apabila mekanisme
penentuan kepala pemerintahan negara dilakukan melalui
pemilihan (langsung atau melalui suatu majelis yang
merepresentasikan rakyat) dengan periodesasi masa jabatan
yang telah ditentukan.
Sedangkan pengambilan keputusan di dalam negara yang
bentuknya Republik dilakukan dalam sebuah forum majelis
atau dewan yang mencerminkan representasi rakyat.
Sedangkan negara dikatakan berbentuk monarkhi apabila
penentuan kepala pemerintahan dilakukan berdasarkan
prinsip pewarisan alias turun temurun, dan pengambilan
keputusannya dilakukan tidak memalui suatu forum majelis
atau dewan yang merepresentasikan kepentingan rakyat.
Berdasarkan dua pemahaman bentuk negara inilah kita dapat
lebih tegas membedakan antara sistem pemerintahan negara
dengan pemahaman mengenai bangunan negara.

E. Bangunan Negara.
Membahas mengenai bangunan negara, maka kriteria
yang harus dipergunakan adalah menyangkut struktur atau
susunan negara. Dalam hal ini titik tolaknya tertuju pada
pembagian dan hubungan kekuasaan antara Central
Government (Pemerintah Pusat) dengan Local Government
(Pemerintah Lokal). Sehubungan dengan hal ini, maka pada
garis besarnya dikenal adanya tiga macam bangunan negara,
yaitu Negara Kesatuan (unitaris), negara Serikat (Federalis),
dan Serikat negara-negara (Konfederalis).
Bangunan negara kesatuan (unitaris), apabila hanya ada
satu kekuasaan yang berwenang untuk membuat Undang-
Undang yang berlaktx untuk seluruh wilayah negara, yakni
Pemerintah Pusat. Sedangkan Local Government hanya
melaksanakan atau menyesuaikan dengan Undang-Undang
yang dibuat oleh Pemerintah Pusat. Kalaupun ada
kewenangan untuk membentuk Peraturan Perundang-
undangan di tingkat lokal, maka kewenangan itu bersumber
pada delegasi kewenangan maupun atribusi ke-wenangan.
Delegasi kewenangan adalah pelimpahan kewenangan
membentuk Paraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi
kepada Peraturan perundang-undangan yang lebih rendah,
baik dinyatakan dengan tegas maupun tidak. Hasil dari
delegasi kewenangan
ini berupa Peraturan pelaksana. Kewenangan delegasi ini
tidak diberikan, melainkan "diwakilkan", serta kewenangan
delegasi ini bersifat sementara dalam arti dapat
diselenggarakan sepanjang pelimpahan tersebut masih ada.
Sedangkan atribusi kewenangan adalah pemberian
kewenangan membentuk Peraturan perundang-undangan
kepada suatu lembaga negara atau pemerintah. Hasil dari
adanya kewenangan atribusi ini tidak lain adalah Peraturan
Otonom. Kewenangan ini melekat terus menerus dan dapat
dilaksanakan atas prakarsa sendiri setiap waktu diperlukan,
sesuai dengan batas-batas yang diberikan.89
Terkait dengan ada atau tidaknya kedua kewenangan
dalam membentuk Peraturan Perundang-undangan di tingkat
lokal tersebut, maka sangat tergantung corak dari bangunan
negara kesatuan itu sendiri berdasarkan pada asas
penyelenggaraan pemerintahannya, yakni:
1. Negara Kesatuan dengan mempergunakan asas
desentralisasi, dimana Pemerintah Lokal dapat
membentuk Paraturan Perundang-undangan di tingkat
lokal untuk mengatur dan mengurus urusan-urusan
pemerintahan sendiri (Otonomi) atas dasar delegasi
kewenangan ataupun atribusi kewenangan; dan
2. Negara Kesatuan dengan mempergunakan asas
sentralisasi, dimana Pemerintah Lokal tidak dapat
membentuk Peraturan perundang-undangan di tingkat
lokal, karena seluruh kebijakan negara sifatnya terpusat,
dan Pemerintah Lokal hanya sekedar sebagai alat dari
Pemerintah Pusat.

Bangunan negara serikat (federalis), apabila antara


Pemerintah Pusat (Pemerintah Federal) dengan Pemerintah
Negara bagian (State) mempunyai wewenang yang sama
dalam membentuk UU. Bedanya hanya subtansi UU yang
dibentuk oleh Pemerintah federal (Pusat) berlaku dan bersifat
nasional, serta mengatur kewenangan-
89 Maria Indrati S, 2007, Ilmu Perundang-undangan (Jenis,
Fungsi, dan Materi Muatan), Kanisius, Yogyakarta, him. 55

Sittem Pemerintahan Negara — 12.5

kewenangan yang terkait dengan kedaulatan keluar seperti


politik luar negeri, pertahanan, moneter dan fiskal, peradilan.
Sedangkan UU yang dibentuk oleh masing-masing
Pemerintah Negara Bagian hanya berlaku secara internal di
negara bagian tersebut, dan substansinya menyangkut hal-hal
yang menjadi kewenangan masing-masing negara bagian.
Sumber dari pembentukan UU masing-masing negara bagian
bukan karena adanya delegasi ke-wenangan ataupun atribusi
kewenangan, melainkan karena adanya teori residu, yakni
teori pembagian kekuasaan sisa, dimana masing-masing
negara bagian telah mengambil kewenangan-kewenangan
terlebih dahulu sedangkan kewenangan sisa diserahkan
kepada Pemerintah Federal.
Bangunan negara yang berwujud Serikat Negara-negara
(konfederasi) justru sebaliknya. Asumsi dasar dari bangunan
negara seperti ini terdiri dari gabungan beberapa negara yang
sejak semula memang sudah memiliki kedaulatan penuh.
Penggabungan negara-negara tersebut tidak serta merta
menghapuskan kedaulatan dari masing-masing negara. Oleh
sebab itu kewenangan masing-masing negara masih tetap di
atas kewenangan Pemerintah Konfederasi.

F. Organisasi Sistem Pemerintahan Negara.


Pada umumnya dalam sistem pemerintahan negara, baik
itu di bangunan negara serikat maupun kesatuan dikenal
adanya dua organisasi (pengelompokan) dari sistem
pemerintahan yang saling melakukan interaksi antara satu
dengan yang lain. Organisasi dari sistem pemerintahan negara
yang dimaksud adalah:
1. Organisasi Sistem Pemerintahan Negara dalam garis
horizontal; dan
2. Organisasi Sistem Pemerintahan Negara dalam garis
vertikal.

Untuk lebih memahami mengenai kedua organisasi sistem


pemerintahan negara tersebut, di bawah ini disampaikan
sedikit gambaran pemahaman dari keduanya.

1. Organisasi Sistem Pemerintahan Dalam Garis


Horizontal.
Sebagaimana telah disinggung di dalam Ilmu Negara
bahwa konsep Trias Politika menghendaki agar kekuasaan di
dalam negara dibagi menjadi 3 (tiga cabang kekuasaan utama,
yaitu:
a. Kekuasaan Legislatif, yakni kekuasaan untuk membentuk
Undang-Undang. Biasanya diserahkan kepada Lembaga
Per-
wakilan Rakyat (Parlemen);
b. Kekuasaan Eksekutif, yakni kekuasaan untuk menjalankan
Undang-Undang atau disebut juga kekuasaan untuk
menjalankan pemerintahan. Kekuasaan ini biasanya
dilakukan
oleh pemerintah dalam arti sempit (Presiden atau Perdana
Menteri);
c. Kekuasaan Yudikatif, yakni kekuasaan untuk
melaksanakan
peradilan. Kekuasaan ini dilakukan oleh badan-badan per-
adilan dengan susunan yang bertingkat-tingkat sesuai
dengan
kewenangan masing-masing tingkat dan berpuncak pada
Supreme Court atau Mahkamah Agung.90

Ketiga cabang kekuasaan dalam negara ini dipegang oleh


lembaga atau badan kenegaraan yang sifatnya dapat terpisah
antara satu dengan yang lain secara tegas, dan dapat pula
terpisah secara kelembagaan, tetapi masing-masing masing
dapat saling melakukan hubungan antara satu dengan
lainnya. Kesemuanya itu tergantung dari sistem pemerintahan
yang dianut oleh masing-masing negara.
Jika sistem pemerintahannya mempergunakan sistem
presi-densiil, maka badan kenegaraan yang memegang
kekuasaan eksekutif dan legislatif pada hakikatnya terpisah
secara tegas dan tidak dapat saling mempengaruhi. Sedangkan
jika sistem pemerintahannya adalah sistem parlementer, maka
badan kenegaraan yang memegang kekuasaan eksekutif dan
90 Di samping dikenal adanya badan-badan peradilan yang
memegang kekuasaan Yudikatif, di dalam khasanah
Hukum Administrasi Negara juga dijumpai badan-badan
administratif yang melaksanakan fungsi mirip badan
peradilan, seperti Majelis Pertimbangan Pajak, Panitia
Penyelesaian Perselisihan Perburuhan. Badan-badan
legislatif dapat saling berhubungan dan saling mempengaruhi
antara satu dengan lainnya.
Maksud pembentukan organisasi sistem pemerintahan
negara seperti ini tidak lain agar kekuasaan yang terdapat di
dalam suatu negara tidak lagi dipegang atau menumpuk serta
dikendalikan oleh seseorang atau sekelompok orang yang
biasanya cenderung disalah gunakan. Dengan demikian
konsep pengorganisasian sistem pemerintahan dalam garis
horizontal pada hakikatnya merupakan implementasi dari
konsep trias politika yang dilandasi oleh reaksi terhadap
organisasi sistem pemerintahan yang absolut-diktatorik yang
pada umumnya terjadi dalam negara yang berbentuk
monarkhi absolut.
Memperlajari pengorganisasian Sistem Pemerintahan
Negara tersebut di atas tentu saja titik tolaknya berkisar pada
hubungan antara pemegang kekuasaaan Legislatif dan
Eksekutif. Titik tolak semacam ini hanya tertuju pada
hubungan Legislatif dan Eksekutif, karena dalam konsep
pemisahan atau pembagian kekuasaan sebagai salah satu dari
prinsip negara hukum secara doktriner badan pemegang
kekuasaan Yudikatif harus dipisahkan dan bebas dari
pengaruh kekuasaan-kekuasaan lain di dalam negara.

2. Organisasi Sistem Pemerintahan Negara Dalam Garis


Vertikal.
Membahas organisasi sistem pemerintahan negara dalam
garis vertikal pada intinya bertitik tolak dari bangunan negara,
khususnya bangunan negara serikat dan bangunan negara
kesatuan. Masing-masing bangunan ini memiliki satuan
pemerintahan yang lebih rendah di bawah pemerintah pusat.
Di negara serikat, satuan pemerintahan yang lebih rendah
diwujudkan dalam bentuk Negara-negara Bagian. Sedangkan
di negara kesatuan, khususnya yang mempergunakan asas
desentralisasi dikenal ada Pemerintahan Daerah yang
berwenang menyelenggarakan pemerintahan sendiri sesuai
dengan aspirasi masyarakat di masing-masing Daerah
(otonom).

Menurut Pasal 1 angka 7 Undang-Undang No. 32 Tahun


2004 Tentang Pemerintahan Daerah, dinyatakan bahwa
desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan
oleh Pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan
mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Definisi ini berbeda bila di
bandingkan dengan Undang-Undang yang pernah berlaku,
yakni Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 Tentang Pokok-
pokok Pemerintahan Di Daerah, dan Undang-Undang No. 22
Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah.
Di dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 Tentang
Pokok-pokok Pemerintahan Daerah yang diberlakukan
semasa Pemerintahan Orde baru, dinyatakan bahwa
desentralisasi adalah penyerahan urusan pemerintahan dari
pemerintah/Daerah Tingkat yang lebih atas kepada Daerah
untuk menjadi urusan rumah tangga sendiri. Sedangkan
menurut Undang-Undang No. 22 tahun 1999 Tentang
Pemerintahan Daerah dinyatakan bahwa desentralisasi adalah
penyerahan wewenang pemerintahan kepada Daerah otonom
dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Perbedaan definisi dari ketiga Undang-Undang tersebut di
atas, dapat ditinjau dari makna yang terkandung di dalamnya,
yakni:
1. Menurut Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 pengertian
desentralisasi dititik beratkan kepada penyerahan
wewenang
untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, dan
penyerahan tersebut ditujukan kepada Daerah Otonom.
Perumusan seperti ini mengandung makna:
a. Penyerahan wewenang yang dilakukan itu semata-
mata
dipergunakan untuk melaksanakan fungsi pengaturan
dan
pengurusan urusan-urusan pemerintahan; dan
b. Penyerahan tersebut ditujukan kepada daerah otonom.
Ini
berarti daerah otonom memang sudah terbentuk.
2. Menurut Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 Tentang
Pokok-
pokok Pemerintahan Daerah pengertian desentralisasi
dititik
beratkan pada penyerahan urusan pemerintahan. Hal ini
berarti sifal dari yang diserahkan itu adalah sempit, karena
menyangkut urusan pemerintahan. Oleh sebab itu ketika
urusan pemerintahan tersebut diserahkan, maka
wewenang dari daerah hanya sebatas pada bidang urusan
pemerintahan yang telah diserahkan tersebut. Pendek kata
wewenang untuk mengatur dan mengurus tersebut hanya
terbatas pada urusan pemerintahan yang telah diserahkan.
Lain dari pada itu, makna dari desentralisasi menurut UU
ini, menggambarkan bahwa ada atau tidaknya daerah
otonom sangat tergantung dari ada atau tidaknya
penyerahan urusan pemerintahan tersebut.
3. Menurut Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 Tentang
Pemerintahan Daerah, pengertian desentralisasi justru
diperluas, karena yang diserahkan adalah wewenang
pemerintahan. Artinya dengan adanya penyerahan
wewenang ini, maka daerah otonom dapat mengatur dan
mengurus urusan pemerintahan apa saja, sehingga
terjadilah perluasan wewenang yang pada akhirnya
karakteristik desentralisasi menurut UU ini menjadi
bercorak federalistis.

Terjadinya perbedaan makna dalam mendefinisikan


pengertian desentralisasi tersebut disebabkan memang dalam
sejarah perjalanan pengorganisasian Sistem Pemerintahan
Negara dalam garis vertikal di Indonesia telah mengalami
perdebatan yang cukup panjang. Ketika tuntutan reformasi
adalah memberikan otonomi luas kepada daerah, maka
rumusan desentralisasi harus dimaknai penyerahan
wewenang pemerintahan yang memungkinkan daerah-daerah
dapat mengatur dan mengurus urusan pemerintahan apa saja.
Alih-alih dari rumusan seperti inilah, maka terjadi otonomi
daerah yang kebablasan dan mengarah kepada konsep negara
federal.
Rumusan menurut Undang-Undang No. 22 Tahun 1999
tersebut merupakan koreksi total dari pengertian
desentralisasi pada zaman Orde Baru sebagaimana ditegaskan
dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 yang bernuansakan
sentralistik. Nuansa sentralistik ini nampak dari titik tekan
desentralisasi yang hanya menggariskan pada pemahaman
yang sempit yakni penyerahan urusan pemerintahan bila
dibandingkan dengan penyerahan wewenang pemerintahan.
Pendek kata, jika dikaji lebih mendalam maka pengertian
urusan pemerintahan itu sifatnya lebih sempit daripada
pengertian wewenang pemerintahan.
Menurut Kranenburg kedua satuan pemerintahan yang
lebih rendah, yakni negara bagian di negara serikat dan
Pemerintahan Daerah di Negara Kesatuan, masing-masing
mempunyai ciri-ciri yang berbeda antara satu dengan lainnya
bila ditinjau dari hukum positif, yaitu:
a. Negara Bagian yang terdapat di dalam Negara Serikat
memiliki
pouvoir constituent, yakni wewenang untuk membentuk
Undang-Undang Dasar sendiri serta mempunyai
wewenang
untuk membentuk organisasi sendiri dalam rangka dan
batas-
batas konstitusi federal. Sedangkan dalam Negara
Kesatuan,
organisasi bagian-bagian negara (Pemerintah Daerah)
secara
garis besar telah ditetapkan oleh pembentuk Undang-
Undang
Pusat.
b. Dalam Negara Federal (serikat), wewenang membentuk
Undang-Undang Pusat untuk hal-hal tertentu telah
diperinci
satu persatu dalam konstitusi federal. Sedangkan dalam
Negara Kesatuan, wewenang pembentukan Undang-
Undang
Pusat ditetapkan dalam satu rumusan umum dan
wewenang
pembentukan Undang-Undang rendahan (sering disebut
Peraturan Daerah/Perda) tergantung pada badan
Pembentuk
Undang-Undang Pusat itu.91

Menurut Hukum Tata Negara Indonesia, sebagaimana di-


tegaskan dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang
Pemerintahan Daerah, wewenang pembentukan Peraturan
Per-undang-Undangan tingkat Daerah (Peraturan Daerah)
dalam rangka mengatur dan mengurus Urusan-urusan
pemerintahan ditentukan oleh Pemerintah Pusat. Hal ini
nampak jelas di dalam ketentuan Pasal 10 ayat (1) yang
menegaskan bahwa Pemerintahan Daerah dapat
menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi
Kewenangannya kecuali urusan pemerintahan yang oleh
Undang-Undang ini ditentukan menjadi urusan pemerintah.
Selanjutnya di dalam ayat (3)-nya dinyatakan bahwa urusan
pemerintahan yang menjadi urusan Pemerintah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) meliputi: politik luar negeri,
pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional,
dan agama.

Menurut F. Isjwara, dalam negara federal wewenang


legislatif terbagi dalam dua bagian, yakni antara badan
legislatif pusat (federal) dan badan legislatif dari negara-
negara bagian. Sedangkan dalam negara kesatuan wewenang
legislatif berada dalam tangan badan legislatif pusat, untuk
kekuasaan legislatif rendahan (lokal) di dasarkan atas
penentuan dari badan legislatif pusat itu dalam bentuk
undang-undang organik.92
Hans Kelsen mengemukakan bahwa, dalam negara federal
tidak hanya wewenang legislatif saja yang dibagi antara
negara federal dengan negara-negara bagian, akan tetapi juga
wewenang eksekutif dan administratif.93 Sedangkan menurut
Sugeng Istanto prinsip yang terkandung pada negara kesatuan
ialah yang memegang tampuk kekuasaan tertinggi atas
segenap urusan negara ialah Pemerintah Pusat (Central
Government) tanpa adanya gangguan oleh delegasi atau
pelimpahan kekuasaan kepada pemerintah daerah (Local
government).w

G. Bentuk Pemerintahan dan Sistem Pemerintahan.


Pengertian bentuk pemerintahan dan sistem pemerintahan
pada hakikatnya adalah sama. Perbedaan antara keduanya
hanya di dasarkan pada sudut pandang dari masing-masing
peristilahan
92 F. Isjwara, dalam Ibid.
93 Hans Kelsen, dalam Ibid.
94 F. Sugeng Istanto, 1971, Beberapa Segi Hubungan
Pemerintah Pusat dan Daerah Dalam Negara Kesatuan
Indonesia, Karyaputera, Yogyakarta, him. 16.
tersebut. Jika sudut pandangnya adalah sosiologis maka sering
dipergunakan istilah bentuk pemerintahan. Hal ini mengingat
dalam sudut pandang tersebut kata bentuk lebih ditujukan
untuk menerangkan format atau model tertentu dari suatu
organisasi.

Sedangkan ditinjau dari susut pandang hukum (yuridis)


lebih tepat mempergunakan peristilahan sistem pemerintahan.
Hal ini disebabkan kata sistem lebih mengarah pada suatu pola
pengaturan yang baku atau suatu pola kerja sama antara bagian-
bagian berdasarkan aturan main tertentu, khususnya
hubungan antar alat perlengkapan negara sebagaimana diatur
dalam konstitusi. Sehubungan dengan hal ini, ada tiga sistem
pemerintahan, yaitu:
1. Sistem pemerintahan Parlementer (Parliamentary
Executive);
2. Sistem Pemerintahan Presidensiil (Fixed Executive); dan
3. Sistem pemerintahan dengan Pengawasan langsung oleh
rakyat terhadap badan legislatif melalui referendum atau
usul inisiatif rakyat.

1. Sistem Pemerintahan Parlementer (Parliamentary


Executive).
Pada prinsipnya sistem pemerinahan parlementer menitik
beratkan pada hubungan antara organ negara pemegang ke-
kuasaan eksekutif dan legislatif. Sistem ini merupakan sisa-
sisa peninggalan sistem pemerintahan dalam arti paling luas,
yakni monarkhi. Dikatakan demikian karena kepala negara
apapun sebutannya, mempunyai kedudukan yang tidak dapat
diganggu gugat. Sedangkan penyelenggara pemerintahan
sehari-hari diserahkan kepada Menteri (Perdana Menteri).
Menurut Arend Lijphart perkembangan sistem
parlementer ini pada umumnya melalui tiga fase. Pada
awalnya pemerintahan dipimpin oleh seorang raja yang
bertanggung jawab atas seluruh sistem politik atau sistem
kenegaraan. Kemudian muncul sebuah majelis dengan
anggota yang menentang hegemoni raja. Terakhir, majelis
mengambil-alih tanggung jawab atas pemerintahan dengan
bertindak sebagai parlemen, maka raja kehilangan sebagian
besar kekuasaan tradisionil.95
Adapun ciri-ciri sistem pemerintahan parlementer pada
umumnya dapat digambarkan sebagai berikut:
a. Terdapat hubunganyang erat antara eksekutif dan
legislatif
(parlemen), bahkan antara keduanya saling tergantung
satu
sama lain;
b. Eksekutif yang dipimpin oleh Perdana Menteri dibentuk
oleh
Parlemen dari Partai politik atau organisasi peserta pemilu
yang menduduki kursi mayoritas di parlemen. Dalam hal
ini rakyat tidak secara langsung memilih Perdana Menteri
dan kabinetnya. Jika ternyata di dalam parlemen tidak ada
satupun partai politik yang menduduki kursi mayoritas,
maka
penyusunan Kabinet dan Perdana Menteri pada umumnya
dilakukan dengan cara koalisi, yakni penggabungan dua
partai atau lebih di dalam parlemen untuk memperkuat
posisi
perolehan suara di parlemen;
c. Kepala Negara (apapun sebutannya) hanya berfungsi atau-
pun berkedudukan sebagai kepala negara. Tidak sebagai
kepala eksekutif atau pemerintah. Kedudukan seperti ini
mengakibatkan Kapala Negara tidak dituntut pertanggun-
jawaban konstitusional apapun, sebab Kepala Negara
hanya
berfungsi sebagai simbol negara atau personifikasi negara.
Kendatipun demikian Kepala Negara juga diberi
wewenang
untuk menunjuk formatur kabinet dan membubarkan
kabinet
bila keadaan negara menghendaki;
d. Dikenal adanya mekanisme pertanggungjawaban Manteri
kepada Perlemen yang mengakibatkan parlemen dapat
mem-
bubarkan atau menjatuhkan mosi tidak percaya kepada
Kabinet,
jika pertanggunjawaban atas pelaksanaan pemerintahan
yang
95 Arend Lijphart (disadur oleh Ibrahim, et.all), 1995, Sistem
Pemerintahan Parlementer dan Presidensial, PT. Raja
Grafindo Persada, Jakarta, him. 36.
dilakukan oleh Menteri baik di bidangnya masing-masing

ataupun atas dasar kolektifitas tidak dapat diterma


oleh parlemen.

2. Sistem Pemerintahan Presidensiil (Fixed Executive).


Sistem pemerintahan ini bertitik tolak dari konsep
pemisahan kekuasaan sebagaimana diajurkan oleh teori Trias
Politika. Sistem ini menghendaki adanya pemisahan
kekuasaan secara tegas, khususnya antara badan pemegang
kekuasaan eksekutif dan badan pemegang kekuasaan
legislatif. Adapun ciri-ciri utama dari sistem pemerintahan
presidensiil adalah:
a. Kedudukan Presiden di samping sebagai Kepala Negara
juga
sebagai Kepala Eksekutif (Pemerintahan);
b. Presiden dan Parlemen masing-masing dipilih langsung
oleh Rakyat melalui Pemilihan Umum. Sehingga tidaklah
mengherankan jikalau ada kemungkinan terjadi komposisi
Presiden berasal dari suatu Partai Politik yang berbeda
dengan
komposisi mayoritas anggota partai politik yang
menduduki
kursi di parlemen. Khusus mengenai pemilihan Presiden
memang ada berbagai varian yang ada di berbagai negara.
Contohnya di AS, pemilihan presiden dilakukan melalui
suatu
institusi yang disebut electoral college (Panitia Pengumpul
suara).
Sedangkan menurut Pasal 6 A UUD 1945 hasil
Amandemen
antara lain dinyatakan:
(1) Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu
pasangan secara langsung oleh rakyat.
(2) Pasangan calon Persiden dan Wakil Presiden diusulkan
oleh Partai Politik atau gabungan Partai Politik peserta
pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan
umum.
(3) Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden yang
mendapat suara lebih dari lima puluh persen dari
jumlah suara dalam pemilihan umum dengan
sedikitnya dua puluh persen suara di setiap provinsi
yang tersebar dari setengah jumlah provinsi di
Indonesia, dilantik menjadi Presiden dan Wakil
Presiden.
(4) Dalam hal tidak ada pasangan calon Presiden dan Wakil
Presiden terpilih, dua pasangan calon yang memperoleh
suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan
umum dipilih oleh rakyat secara langsung dan pasangan
yang memperoleh suara terbanyak dilantik sebagai
Presiden dan Wakil Presiden.
(5) Tata cara pelaksanaan pemilihan Presiden dan Wakil
Presiden lebih lanjut di atur dengan Undang-Undang.
Karena Presiden dan Parlemen dipilih langsung oleh rakyat
melalui pemilihan umum, maka kedudukan antara kedua
lembaga ini tidak bisa saling mempengaruhi (menjatuhkan
seperti halnya di sistem parlementer). Hal ini mengingat
kedua lembaga ini sama-sama bertanggungjawab kepada
rakyat pemilih. Pola semacam ini merupakan bentuk per-
luasan pola representasi rakyat, yaitu representasi rakyat
dalam pengambilan keputusan-keputusan politik nasional
(Pembentukan Undang-Undang) melalui parlemen, dan repre-
sentasi rakyat dalam melaksanakan pemerintahan melalui
Presiden.
Kendati Presiden tidak dapat diberhentikan oleh Parlemen di
tengah-tengah masa jabatannya berlangsung, namun jkalau
presiden melakukan perbuatan yang melanggar hukum, maka
presiden dapat dijatuhi Impeachment (Pengadilan DPR).
Pelaksanaan Impeachment ini dilakukan oleh Hakim Agung
pada Supreme Court (MA), tidak dilakukan oleh anggota-
anggota parlemen sendiri. Contoh yang dapat dikemukakan
disini adalah Impeachment yang dikembangkan di AS. Di
indonesia Impeachment juga dikenal sebagaimana di atur
dalam Pasal 7A UUD 1945 yang menyatakan:
"Presiden dan/ata Wakl Presiden dapat diberhentikan
dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat
atau atas usul Dewan Perwakilan Rakyat, baik apabila terbukti
telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan
terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat
lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak
lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil
Presiden".
Sehubungan dengan ketentuan Pasal 7 A UUD 1945
tersebut di atas, maka mekanisme pemberhentian Presiden
dan/atau Wakil Presiden tersebut diatur dalam Pasal 7 B UUD
1945 yang menegaskan:
(1) Usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden
dapat diajukan oleh Dewan Perwaklan Rakyat kepada
Majelis Permusyawaratan Rakyat hanya dengan terlebih
dahulu mengajukan permintaan kepada Mahkamah Kons-
titusi untuk memeriksa, mengadili, dan memutuskan
pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden
dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran
hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi,
penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan
tercela; dan/atau pendapat bahwa Presiden dan/atau
Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai
Presiden dan/ atau Wakil Presiden.
(2) Pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/
atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum
tersebut ataupun telah tidak memenuhi syarat sebagai
Presiden dan/atau Wakil Presiden adalah dalam rangka
pelaksanaan fungsi pengawasan Dewan Perwakilan
Rakyat.
(3) Pengajuan permintaan Dewan Perwakilan Rakyat kepada
Mahkamah Konstitusi hanya dapat dilakukan dengan
dukungan sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota
Dewan Perwaklan Rakyat yang hadir dalam sidang
paripurna yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari
jumlah angota Dewan Perwakilan Rakyat.
(4) Mahkamah Konstitusi wajib memeriksa, mengadili, dan
memutuskan dengan seadil-adilnya terhadap pendapat
Dewan Perwakilan Rakyat tersebut paling lama sembilan
puluh hari setelah permintaan Dewan Perwakilan Rakyat
itu diterima oleh Mahkamah Konstitusi.
(5) Apabila Mahkamah Konstitusi memutuskanbahwa
Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti melakukan
pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap
negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya,
atau perbuatan tercela; dan/atau terbukti bahwa Presiden
dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat
sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden, Dewan
Perwakilan Rakyat menyelenggarakan Sidang paripurna
untuk meneruskan usul pemberhentian Presiden dan/atau
Wakil Presiden kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat.
(6) Majelis Permusyawaratan Rakyat wajib menyelenggarakan
sidang untuk memutuskan usul Dewan Perwakilan Rakyat
tersebut paling lambat tiga puluh hari sejak Majelis
Permusyawaratan Rakyat menerima usul tersebut.
(7) Keputusan Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul
pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden harus
diambil dalam rapat paripurna Majelis Permusyawaratan
Rakyat yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya % dari
jumlah anggota dan disetujui oleh 2/3 dari jumlah anggota
yang hadir, setelah Presiden dan/atau Wakil Presiden
diberi kesempatan untuk menyampaikan penjelasan dalam
rapat paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat.
Dalam rangka menyusun Kabinet (Menteri), Presiden wajib
minta persetujuan Parlemen. Dalam kaitan dengan hal ini,
Presiden hanya menyampaikan nominasi anggota kabinet,
sedangkan parlemen memberikan persetujuan personil yang
telah diajukan oleh Presiden. Kemudian Presiden mengangkat
menteri-menteri tersebut setelah mendapat persetujuan par-
lemen.
Menteri-menteri yang diangkat oleh Presiden tersebut tunduk
dan bertanggungjawab kepada Presiden.
Di samping dikenal adanya sistem presidensiil dan
parlementer, dalam khasanah Ilmu Hukum Ketatanegaraan
dijumpai juga varian dari kedua sistem tersebut, yakni sistem
presidensiil semu (Quasi Presidensiil) dan sistem parlementer
semu (Quasi Parlementer).
Sistem presidensiil semu dikembangkan dalam pola
ketatanegaraan di Indonesia sebelum Amandemen UUD 1945.
Di dalam Pasal 4 UUD 1945 sebelum amandemen ditegaskan
bahwa Presiden memegang kekuasaan pemerintahan menurut
Undang-Undang Dasar. Kemudian di dalam Pasal 7 ayat (2)
UUD 1945 sebelum amandemen ditegaskan bahwa Menteri-
menteri itu diangkat dan diberhentikan oleh Presiden.
Konstruksi semacam ini jelas mengindikasikan bahwa Negara
Kesatuan Republik Indonesia menganut sistem presidensiil.
Akan tetapi jika kita mengkaji lebih jauh di dalam Penjelasan
Umum UUD 1945, maka unsur-unsur sistem parlementer juga
nampak di dalamnya.
Di dalam Penjelasan Umum UUD 1945 antara lain
dinyatakan bahwa Presiden yang diangkat oleh Majelis,
tunduk dan bertanggung jawab kepada Majelis. Ia adalah
mandataris dari Majelis. Ia wajib menjalankan putusan-
putusan Majelis. Presiden tidak neben, akan tetapi
untergeordnet kepada Majelis. Penjelasan seperti ini
mengandung unsur parlementer, karena bila ditinjau dari
komposisi keanggotaan MPR yang terdiri dari anggota DPR
ditambah utusan daerah dan utusan golongan, maka
menunjukkan bahwa MPR pada hakikatnya merupakan
lembaga negara yang memiliki karakter parlemen.
Dengan demikian bila ditinjau dari mekanisme sistem per-
tanggungjawaban pelaksana pemerintahan, maka dalam
sistem ketatanegaraan menurut UUD 1945 sebelum
amandemen, dikenal adanya dua mekanisme
pertanggungjawaban, yakni pertama; pertanggung jawaban
Menteri kepada Presiden sebagaimana ditegaskan dalam pasal
7 ayat (2) UUD 1945 yang mencerminkan sistem Presidensiil
dan kedua; pertanggungjawaban Presiden kepada Majelis yang
memiliki sifat lembaga perwakilan rakyat (Parlemen),
sebagaimana dinyatakan dalam Penjelasan Umum UUD 1945
yang mencerminkan sistem parlementer.
Sistem Pemerintahan Parlementer yang tidak murni dapat
dijumpai dalam pola ketatanegaraan Perancis. Di negara
Perancis, Presiden dipilih oleh rakyat dalam suatu pemilu.
Demikian pula dengan parlemennya. Pola seperti ini nampak
mirip dengan sistem presidensiil di AS. Di Perancis, Presiden
memiliki kekuasaan yang besar dalam seluruh kehidupan
negara dan pemerintah. Presiden juga dapat membubarkan
Parlemen, tetapi ia juga mempunyai wewenang untuk
mengangkat Perdana Menteri dari partai politik yang
menduduki kursi mayoritas di parlemen.
Perdana Menteri dan Kabinet bertanggungjawab kepada
parlemen. Akan tetapi jikalau pertanggungjawaban tersebut
ditolak oleh parlemen, tidak otomatis mengakibatkan kabinet
diberi mosi tidak percaya. Dalam kasus seperti ini Presiden akan
memberikan pertimbangan apakah mosi tidak percaya tersebut
memang disebabkan oleh kabinet yang tidak mampu lagi
menjalankan garis-garis kebijaksanaan politik yang ditetapkan
oleh parlemen, ataukah justru parlemen-lah yang sudah
bertindak melampaui batas-batas kewenangannya. Jikalau
dalam pertimbangan tersebut, Presiden menganggap
parlemen-lah yang ternyata melampaui batas kewenangannya,
maka justru parlemen-lah yang dapat dibubarkan oleh
Presiden. Demikian pula sebaliknya.
Kekuasaan Presiden Perancis yang demikian besar itu di-
sebabkan ia dipilih langsung oleh rakyat. Ini berarti Presiden
juga berkedudukan dan bertindak sebagai representasi rakyat
dan legitimate dalam mengemban amanat kedaulatan rakyat di
bidang pemerintahan. Oleh sebab itu, sangat logis jikakalu
dalam konflik kelembagaan antara Kabinet dan parlemen,
Presiden dapat bertindak sebagai mediator, bahkan dapat juga
disebut sebagai juri dalam menyelesaikan konflik antara
kabinet dan parlemen tersebut. Inilah letak ketidakmurnian
sistem parlementer di Perancis tersebut.

3. Sistem Pemerintahan Negara Dengan Pengawasan


Langsung Oleh Rakyat.
Sistem pemerintahan seperti ini sering disebut juga Sistem
Badan Pekerja. Negara Konfederasi Swiss mempergunakan
sistem seperti ini. Menurut Konstitusi Federal Konfederasi
Swiss dinyatakan antara lain:
a. Pemegang kedaulatan tertinggi di Negara Konfederasi
Swiss
adalah Sidang Federal yang terdiri dari dua kamar, yaitu
Dewan Nasional dan Dewan Negara.96
b. Pemegang kekuasaan eksekutif dan Badan Pelaksana
Kekuasa-
an Tertinggi Konfederasi Swiss dipegang oleh Dewan
Federal,
yang terdiri dari tujuh anggota dan dipilih oleh Sidang
Federal.97
c. Presiden dan Wakil Presiden Konfederasi Swiss dipilih
oleh
Sidang Federal, diantara para anggota Dewan untuk masa
jabatan satu tahun.98

Konstruksi ketatanegaraan seperti ini memang mirip


dengan sistem Parlementer, namun kalau dicermati lebih jauh
maka tidaklah mungkin apabila Sidang Federal (pemegang
kedaulatan tertinggi) dan Dewan Federal (Pemegang
kekuasaan eksekutif) saling melakukan kontrol seperti halnya
dalam sistem parlementer. Hal ini mengingat Dewan Federal
pada hakikatnya merupakan bagian yang tidak terpisahkan
dari Sidang Federal. Bahkan dapat dikatakan bahwa Dewan
Federal sebenarnya hanya merupakan Badan Pekerja dari
Sidang Federal dan masa jabatannya hanya satu tahun.
Pola seperti inilah yang mengakibatkan munculnya sistem
pemerintahan dengan pengawasan langsung oleh rakyat.
Dewan Federal (pemegang kekuasaan eksekutif) dan Sidang
Federal (pemegang kedaulatan tertinggi) sama-sama
memperoleh kekuasaan dari rakyat melalui pemilihan umum,
96 Pasal 71 Konstitusi Federal
Konfederasi Swiss.
97 Pasal 96 ayat (1) Konstitusi Federal
Konfederasi Swiss.
oleh sebab itu yang berhak untuk melakukan kontrol atas
jalarnya sistem ketanegaraan tidak lain adalah rakyat secara
langsung.

Adapun cara yang ditempuh oleh rakyat di Negara


Konfederasi Swiss untuk melakukan kontrol atas jalannya
pemerinahan adalah melalui:
1. Referendum, yaitu suatu kegiatan politik yang dilakukan
oleh
rakyat untuk memberikan keputusan setuju atau menolak
terhadap kebijaksanaan atau keputusan yang diambil oleh
parlemen atau setuju/menolak terhadap kebijaksanaan
yang
dimintakan persetujuan kepada akyat secara langsung.
Refe-
rendum ini terdiri dari 3 (tiga) macam, yaitu:
a. Referendum Obligator (Wajib), yaitu meminta
pendapat
secara langsung terhadap suatu Rancangan Undang-
Undang yang akan diundangkan;
b. Referendum Fakultatif, yaitu meminta pendapat secara
langsung kepada rakyat tentang setuju atau tidaknya
terhadap Undang-Undang yang sudah berlaku, tetapi
ada sementara rakyat yang menggugatnya. Dalam hal
ini
apabila mayoritas rakyat berpendapat bahwa Undang-
Undang tersebut tetap berlaku seperti semula, maka
Undang-Undang tersebut tetap berlaku. Demikian pula
sebaliknya.
c. Referendum Optatif, yaitu meminta pendapat secara
langsung kepada rakyat tentang setuju atau tidaknya
terhadap Rancangan Undang-Undang Pemerintah
Federal
atau Pemerintah Pusat di wilayah-wilayah negara
bagian
atau daerah otonom.
2. Usul Inisiatif Rakyat, yaitu hak rakyat untuk mengajukan
suatu Rancangan Undang-Undang kepada Parlemen atau
pemerintah.

Bila kita cermati bentuk-bentuk atau sistem pemerintahan


sebagaimana telah disebutkan di atas, maka dapat ditarik
pema-

haman bahwa bentuk atau sistem pemerintahan tersebut pada


hakikatnya dipergunakan untuk menampung tuntutan
demokrasi dan kedaulatan rakyat. Akan tetapi dari masing-
masing bentuk atau sistem pemerintahan, apakah itu sistem
parlementer ataukah presidensiil, kita tidak dapat dengan
serta merta mengemukakan bahwa salah satu dari sistem
tersebut lebih demokratis daripadayang lain. Berkaitan
dengan hal ini Arend Lijphart mengemukakan:
"Dalam pemerintahan parlementer, kepala
pemerintahan yang bisa dijabat oleh Perdana Menteri,
Presiden dan lainnya tergantung pada mosi atau
kepercayaan badan legislatif dan dapat turun dari
jabatannya melalui mosi tidak percaya dari legislatif.
Dalam pemerintahan presidensiil, kepala pemerintahan
hampir selalu disebut Presiden - dipilih untuk masa
jabatan yang ditentukan oleh UUD dan dalam keadaan
normal tidak dapat dipaksa untuk mengundurkan diri
oleh badan legislatif (meskipun terdapat kemungkinan
untuk memecat Presiden dengan proses pendakwaan luar
biasa)".89

Memperhatikan argumentasi tersebut di atas,


makanampak jelas bahwa ditinjau dari aspek akuntabilitas
atau pertanggungjawaban atas jalannya pemerintahan, maka
99 Arenl Lijphart, Op.cit, him. 5.
memang sistem parlementer bisa dianggap lebih demokratis
bila dibandingkan dengan sistem presidensiil. Hal ini
disebabkan dalam sistem parlementer dijumpai adanya
lembaga mosi yang mengakibatkan nasib Pemerintah
(eksekutif) sangat tergantung pada badan legislatif yang
merupakan pencerminan representasi rakyat. Akan tetap
kalau titik pandang kita tujukan pada mekanisme rekrutmen
kepala pemerintahan, maka dapat dikatakan bahwa sistem
presidensiil lebih demokratis daripada sistem parlementer.
Hal ini disebabkan dalam sistem presidensiil penentuan
kepala pemerintahan dilaksanakan melalui pemilihan secara
langsung oleh rakyat. Hal ini jelas tidak dikenal di dalam
sistem parlementer.

Berkaitan dengan argumentasi tersebut di atas, maka di


bawah ini akan penulis sampaikan keterkaitan antara
demokrasi dan sistem pemerintahan negara.

H. Demokrasi dan Sistem Pemerintahan Negara.


Dari sudut pandang etimologi demokrasi berasal dari kata
demos (rakyat) dan Cratein (memerintah). Jadi secara harafiah
kata demokrasi dapat diartikan sebagai rakyat memerintah.
Persoalannya adalah apakah pengertian yang demikian ini
dapat dilaksanakan secara praksis di lapangan sistem
ketatanegaraan. Dengan kata lain, apakah mungkin rakyat
yang demikian banyaknya melaksanakan sendiri
pemerintahan negara?
Menurut Aristoteles sebagaimana dikutip oleh CF. Strong
dalam buku yang berjudul Modern Constitution, dikatakan
bahwa demokrasi itu termasuk bentuk pemerosotan. 100
Pandangan semacam ini sungguh mengejutkan, mengingat di
era sekarang ini paham demokrasi dalam penyelenggaraan
pemerintahan negara laksana primadona yang memancarkan
pesona bagi setiap bangsa untuk meraihnya. Reformasi
Indonesia yang digulirkan pada tahun 1998 juga ingin meraih
sang primadona yang namanya demokrasi. Menurut Polybios
dalam Cyclus theory dikemukakan bahwa demokrasi
merupakan bentuk atau sistem pemerintahan yang paling
akhir kemunculannya setelah monarkhi dan aristokrasi.
Maurice Duverger, pada intinya mengemukakan bahwa
jika arti kata yang dipahami secara awam, maka demokrasi
yang sesungguhnya tidak pernah ada, sebab hal ini adalah
bertentangan dengan kodrat alam dan sangat utopis. Tidaklah
mungkin segolongan orang yang berjumlah besar memerintah,
sedangkan yang berjumlah sedikit diperintah.101 Sedangkan
Schumpeter mengemukakan apa yang dinamakan teori lain
demokrasi, metode demokrasi. Menurut Schumpeter teori lain

100 CF. Strong, Dalam Sri Soemantri, 1986, Tentang


Lembaga-Lembaga Negara Menurut UUD 1945, Alumni,
Bandung, him. 2.
101 Ibid.
demokrasi atau

144
metode demokrasi adalah prosedur kelembagaan untuk
mencapai keputusan politik yang di dalamnya individu
memperoleh kekuasaan untuk membuat keputusan melalui
perjuangan kompetitif dalam rangka memperoleh suara
rakyat.102
Dari pemahaman-pemahaman arti tentang demokrasi,
kecuali yang dikemukakan oleh Schumpeter, pada hakikatnya
bertitik tolak dari pengartian kata demokrasi secara harafiah,
atau dapat juga dilandasi oleh pemahaman demokrasi dalam
arti formal (dalam arti bentuknya). Intinya paham demokrasi
menghendaki adanya keikutsertaan rakyat atau warga negara
dalam aktifitas penyelenggaraan kehidupan ketatanegaraan.
Keiikutsertaan rakyat dalam aktifitas kehidupan
ketatanegaraan ini menurut sejarah sudah dikenal sejak zaman
Yunani Kuno (Abad VI s.d XIII SM). Pada waktu itu paham
demokrasi diimplementasikan secara langsung di dalam City
State (Polis atau negara Kota). Namun demikian, implementasi
demokrasi ini masih terbatas bagi segolongan warga negara
saja. Kaum laki-laki dan para bangsawanlah yang
mengimplementasikan demokrasi, yakni hak untuk ikut serta
mengambil keputusan-keputusan politik negara. Sementara
itu bagi golongan pendatang, budak dan wanita tidak
diperkenankan untuk ikut berdemokrasi.
Di negara modern, implementasi demokrasi sebagaimana
pernah dilakukan pada zaman Yunani Kuno jelas tidak
mungkin lagi dapat dilakukan dengan baik. Hal ini
disebabkan, antara lain:
1. Jumlah penduduk negara dewasa ini sudah sedemikian
besar. Hal ini mengakibatkan implementasi demokrasi
secara langsung justru menyulitkan, khususnya dalam
pengambilan keputusan-keputusan politik. Perlu diketahui
bahwa pada umumnya pengambilan keputusan dengan
jumlah peserta yang demikian besar sulit untuk
dilaksanakan bila dibandingkan dengan pengambilan
keputusan dengan jumlah peserta yang relatif sedikit.

102 Samuel P. Huntington, 1997, Gelombang Demokratisasi


Ke Tiga, Cet II, Grafiti, Jakarta, him. 5.

2. Masalah-masalah ketatanegaraan di negara-negara


modern dewasa ini sudah sedemikian kompleks. Sehingga
tidaklah mungkin dalam setiap penyelesaian masalah
tersebut selalu melibatkan rakyat secara langsung melalui
forum-forum pertemuan yang sifatnya kolosal.
3. Pelaksanaan demokrasi langsung jelas membutuhkan dana
yang relatif besar, karena ini menyangkut akomodasi
dalam memobilisasi rakyat atau warga negara. Contoh
yang dapat dipergunakan sebagai ilustrasi disini adalah
pelaksanaan Pemilihan Umum. Pesta demokrasi yang
sering dipergunakan untuk menggambarkan Pemilihan
Umum sebenarnya dapat dikategorikan sebagai demokrasi
langsung, karena rakyat secara langsung, umum, bebas,
rahasia, jujur dan adil berbondong-bondong menuju
tempat-tempat yang telah disediakan untuk menentukan
pilihannya. Proses Pemilihan Umum tersebut
dilaksanakan melalui berbagai tahapan termasuk di
dalamnya adalah menyelenggarakan pendaftaran pemilih
untuk mengetahui secara pasti warga negara yang
memiliki hak pilih. Pendaftaran pemilih dan penyediaan
logistik (Surat Suara, Kotak Suara, Bilik Suara, Gaji Komisi
Pemilihan Umum/KPU dan petugas-petugas di lapangan)
untuk pemilihan umum jelas membutuhkan biaya yang
tidak sedikit.
4. Ditinjau dari aspek teknis mobilisasi warga negara, bagi
negara yang struktur geografinya terdiri dari pulau-pulau
dan daerah terpencil seperti di Indonesia,
penyelenggaraan demokrasi langsung jelas menghadapi
kendala tersendiri. Hal ini mengingat untuk memobilisasi
warga negara jelas membutuhkan sarana dan prasarana
yang memadai.

Berdasarkan kesulitan-kesulitan prinsipiil tersebut di atas,


maka dewasa ini model demokrasi langsung seperti yang
pernah dilakukan pada masa Yunani Kuno sudah tidak
mungkin lagi untuk dilaksanakan. Kecuali dalam
penyelenggaraan referendum seperti di Swiss. Oleh sebab
itulah cara yang cukup efektif dan efisien untuk dilakukan
adalah dengan mempergunakan model demokrasi tidak
langsung atau demokrasi perwakilan (indirect democracy atau
representative democracy).
Berdasarkan model demokrasi tidak langsung inilah, maka
hubungan demokrasi dengan sistem pemerintahan negara
akan berkisar pada hubungan antara badan-badan perwakilan
rakyat dengan badan pemegang kekuasaan eksekutif. Dalam
hubungan ini, pada hakikatnya rakyat tetap dilibatkan dan
merupakan bagian (subyek) dalam aktifitas kehidupan
ketatanegaraan. Keterlibatan tersebut tidak lagi dilaksanakan
secara langsung, melainkan melalui wakil-wakilnya yang
dipilih untuk menjadi anggota badan-badan perwakilan
rakyat. Oleh sebab itulah, sebagai anggota badan perwakilan
rakyat, maka tokoh-tokoh politik yang telah dipilih oleh
rakyat senantiasa wajib untuk selalu mendengar aspirasi
rakyat, tidak malahan hanya mementingkan kelompok
politiknya sendiri atau justru malahan mementingkan diri
sendiri. Dengan pola yang demikian inilah, maka dikenal
adanya tiga sistem pemerintahan negara sebagaimana yang
telah diterangkan terdahulu.
Sebagai suatu landasan dan prinsip dalam
penyelenggaraan sistem pemerintahan, paham demokrasi
tidak muncul begitu saja. Paham demokrasi mengalami
pasang surut sejalan dengan sejarah peradaban manusia
dalam ikatan hidup bernegara. Pada intinya sejarah
perkembangan demokrasi dapat digambarkan secara singkat
sebagai berikut:103
1. Zaman Yunani Kuno.
Pada zaman ini, demokrasi dilaksanakan secara
langsung. Hak untuk berdemokrasi terbatas untuk
segolongan warga negara, terutama kaum bangsawan.
Sedangkan bagi golongan pendatang, budak dan kaum
wanita tidak mempunyai hak untuk berdemokrasi.

103 Dirangkum dari Miriam Budiardjo, Op.cit, him. 53, dst.

Abad Pertengahan.
a. Disebut juga abad kegelapan, karena setiap argumentasi
dan pendapat manusia harus bisa dikembalikan pada hal-
hal yang bersifat supranatural dan irrasional. Keadaan
semacam ini disebabkan munculnya agama baru di barat
yaitu agama Katolik. Dimana ideologi yang dikembangkan
pada saat itu antara lain menegaskan bahwa kekuasaan
yang
ada di dunia ini ada di tangan Tuhan dan dilaksanakan
oleh
seorang Raja atau Paus (pemimpin umat Katolik sedunia)
yang memperoleh wahyu dari Tuhan untuk melaksanakan
perintah-perintahNya, serta memimpin dunia.
b. Peran Gereja sebagai Institusi Agama di bawah
kepemimpin-
an Paus sangat besar. Bahkan Gereja membawahkan
Negara. Hal ini merupakan konsekuensi dari munculnya
paham Kedaulatan Tuhan yang dalam implementasinya
dilakukan oleh seorang Paus (pemimpin tertinggi Agama
Katolik) beserta jajaran Hirarkhi Gereja sebagai wakil
Tuhan yang ada di dunia ini.
c. Dengan model seperti ini, paham demokrasi mengalami
kemunduran dalam sejarah kehidupan negara setelah
zaman Yunani Kuno. Hal ini disebabkan rakyat biasa
(kaum
awam) tidak lagi mempunyai posisi yang menentukan
dalam aktifitas kehidupan kenegaraan.
d. Banyak terjadi perebutan kekuasaan dikalangan kaum
bangsawan untuk mempengaruhi Raja maupun Paus.
e. Munculnya konsep demokrasi melalui Magna Charta,
yakni
kontrak atau perjanjian antara beberapa bangsawan
dengan
Raja John dari Inggris yang antara lain menghendaki agar
raja mengikat diri dan mengakui serta menjamin hak-hak
dan privileges dari kaum bangsawan. Piagam ini jelas tidak
berlaku bagi rakyat biasa.
Renaisance.
a. Renaisance pada hakikatnya adalah suatu ajaran atau
pandangan yang berusaha untuk menghidupkan kembali
kesusasteraan dan kebudayaan pada zaman Romawi atau
Yunani yang telah tersingkir pada abad pertengahan.
b. Dengan adanya ajaran atau pandangan tersebut, maka
merangsang munculnya paham rasionalitas, yakni suatu
paham yang lebih mementingkan kebebasan manusia
untuk menyampaikan pemikiran-pemikiran yang rasional.
Hal inilah yang kemudian menimbulkan gagasan:
1. Urusan agama (gereja) dengan urusan negara harus
mulai dipisahkan.
1. Meluasnya gagasan di bidang politik ketatanegaraan.
2. Kekuasaan sedapat mungkin dibatas agar tidak terjadi
absolutisme kekuasaan seperti pada zaman abad per-
tengahan.
3. Paham rasionalitas harus diterapkan dengan memper-
gunakan teori social contract. Teori ini dilandasi oleh
asumsi bahwa dunia itu dikuasai oleh hukum yang
timbul dari alam (nature) yang mengandung prinsip-
prinsip keadilan universal, artinya berlakunya untuk
semua waktu dan semua orang. Oleh sebab itulah
untuk mengatur kehidupan bersama dan
memperhatikan rasa keadilan, perlu dilakukan
perjanjian sosial yang diselenggarakan oleh setiap orang
dalam suatu komunitas. Dari konsepsi semacam inilah
kemudian muncul pandangan bahwa negara itu
dibentuk karena adanya kontrak sosial atau perjanjian
masyarakat.

Demokrasi Konstitusional Abad IIX dan Negara Hukum.


a. Untuk menyelenggarakan hak-hak politik rakyat, maka
perlu diadakan pembatasan kekuasaan pemerintah dengan
suatu konstitusi. Konstitusi tersebut baik yang bersifat
naskah (written constitution) maupun yang tidak bersifat
naskah (unzoritten constitution).
b. Di dalam konstitusi tersebut terdapat perlindungan hak-
hak politik rakyat serta menyelenggarakan pembagian
kekuasaan negara sedemikian rupa, sehingga kekuasaan
eksekutif diimbangi oleh kekuasaan parlemen dan
lembaga-
lembaga hukum. Pola yang demikian inilah yang disebut
paham konstitusionalisme.
c. Menurut Cari J. Friedrich, Konstitusionalisme adalah
gagasan yang menganggap bahwa pemerintah merupakan
suatu kumpulan aktifitas yang diselenggarakan atas nama
rakyat, tetapi tunduk kepada beberapa pembatasan yang
dimaksud untuk memberikan jaminan bahwa kekuasaan
yang diperlukan untuk pemerintahan itu tidak disalah
gunakan oleh mereka yang memerintah.104
d. Menurut ajaran Konstitusionalisme fungsi UUD atau
konstitusi adalah untuk menentukan dan membatasi ke-
kuasaan pemerintah serta menjamin hak-hak dari warga
negara.
e. Ajaran konstitusionalisme ini menimbulkan rechtsstaat
di Eropa Barat dan Rule of Law di negara-negara Anglo
Saxon.
Adapun unsur-unsur rechtsstaat (klasik) adalah:
1. Jaminan Hak-hak asasi manusia;
2. Pemisahan atau pembagian kekuasaan untuk menjamin
hak-hak asasi manusia;
3. Pemerintahan berdasarkan peraturan (wetmatigheid van
bestuur); dan
4. Peradilan Administrasi untuk menyelesaikan perse-
lisihan.
Sedangkan unsur-unsur Rule ofLaiu (klasik) adalah: 1.
Supremasi aturan-aturan hukum (Supremacy of law), artinya
tidak ada kekuasaan yang sewenang-wenang dan seorang
hanya akan dihukum jikalau ia melanggar hukum;

104 Cari J. Friedrich, dalam Miriam Budiardjo, Ibid, him. 57.

2. Kedudukan yang sama di bidang hukum (equality


before the law); dan
3. Terjaminnya hak-hak asasi manusia.

5. Demokrasi Konstitusional Abad XX dan Rule of Law


Yang Dinamis.
a. Munculnya konsep negara kesejahteraan (welfare state).
Fungsi negara adalah memberikan pelayanan kepada
masyarakat (social services) dalam rangka meningkatkan
kesejahteraan umum warga negara.
b. Syarat-syarat untuk terselenggaranya pemerintahan
yang
demokratis di bawah rule of law, adalah:
1. Perlindungan konstitusional, artinya konstitusi
selain menjamin hak-hak individu juga harus
menentukan pula cara prosedural untuk
memperoleh perlindungan atas hak-hak yang
dijamin;
1. Badan kehakiman yang bebas dan tidak memihak;
2. Kebebasan untuk menyatakan pendapat; dan
3. Pendidikan kewarganegaraan (civic education).
c. Munculnya rumusan yang dikemukakan oleh
International
Comission of jurist (ICJ) yang menyatakan bahwa
demokrasi
adalah suatu bentuk pemerintahan dimana hak untuk
membuat keputusan-keputusan politik
diselenggarakan
oleh warga negara melalui wakil-wakil yang dipilih
oleh
mereka dan yang bertanggungjawab kepada mereka
melalui suatu proses pemilihan yang bebas.105
d. Henry B. Mayo mengatakan bahwa sistem politik
dikatakan
demokrasi apabila kebijaksanaan umum ditentukan
atas
dasar mayoritas oleh wakil-wakil rakyat yang diawasi
secara
efektif oleh rakyat dalam pemilihan-pemilihan berkala
yang di dasarkan atas kesamaan politik dan
diselenggara-
kan dalam suasana terjaminnya kebebasan politik.106
Lebih
lanjut dikemukakan bahwa demokrasi di samping
sebagai suatu sistem pemerintahan, juga dapat
dikatakan sebagai suatu gaya hidup (life style) serta tata
masyarakat tertentu. Oleh sebab itu di dalam
demokrasi juga mengandung unsur-unsur moril yang
di dalamnya memuat nilai-nilai:
1. Menyelesaikan perselisihan dengan damai dan
secara melembaga;
2. Menjamin terselenggaranya perubahan secara
damai dalam suatu masyarakat yang sedang
berubah;
3. Menyelesaikan pergantian kepemimpinan secara
teratur;
4. Membatasi pemakaian kekerasan sampai seminim
mungkin;
5. Mengakui serta menganggap wajar adanya keaneka
ragaman; dan
6. Menjamin tegaknya keadilan.107

Dari gambaran singkat mengenai perjalanan sejarah


demokrasi tersebut di atas, maka dapat ditarik pemahaman
bahwa demokrasi merupakan bentuk dari sistem
pemerintahan yang paling luas, karena titik tolak
pengkajiannya diletakkan pada hubungan antara rakyat atau
warga negara dengan negara sebagai suatu institusi
kekuasaan.
Pengkajian demokrasi menjadi penting karena sifat mau-
pun kodrat dari kekuasaan itu sendiri selalu cenderung di-
salahgunakan. Oleh sebab itu di dalam sistem pemerintahan
demokrasi, organ yang paling dianggap memperoleh porsi
pengawasan yang lebih menonjol adalah pemerintah
(eksekutif). Mekanisme untuk melakukan kontrol terhadap
pemerintah ini dengan mempergunakan prosedur dan tata
cara memberikan keseimbangan kekuasaan antara eksekutif
dan legislatif yang pada hakikatnya merupakan manifestasi
dari representasi rakyat. Inilah wujud formil dari demokrasi,
sedangkan demokrasi dalam arti yang lain dapat merujuk
pada pendapat dari Henry B. Mayo.
I. Sistem Pemerintahan Negara Republik
Indonesia.
Dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia, setelah
proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, Negara Indonesia
pernah mempergunakan beberapa konstitusi tertulis selain
UUD 1945. masing-masing konstitusi tertulis tersebut
mengatur sistem pemerintahan Negara Indonesia yang
berbeda-beda, antara satu dengan yang lain. Bahkan menurut
UUD 1945 sebelum amandemen maupun sesudah
amandemen pun mengalami perbedaan dalam menerapkan
sistem pemerintahan negara. Sehubungan dengan hal itulah,
maka dibagian ini akan disampaikan sistem pemerinahan
Indonesia menurut konstitusi yang pernah dan sedang
berlaku.

1. Sistem Pemerintahan Indonesia Menurut Konstitusi RIS.


Secara singkat Sistem Pemerintahan Indonesia menurut
Konstitusi RIS adalah sistem Pemerintahan Parlementer yang
tidak murni. Pasal 118 Konstitusi RIS antara lain menegaskan:
a. Presiden tidak dapat diganggu gugat;
b. Menteri-menteri bertanggungjawab atas seluruh
kebijaksanaan
pemerintah baik bersama-sama untuk seluruhnya,
maupun
masing-masing untuk bagiannya sendiri-sendiri.

Ketentuan Pasal ini menunjukkan secara tegas bahwa


Republik Indonesia Serikat mempergunakan sistem
pertanggungjawaban Menteri. Kendatipun demikian dalam
Pasal 122 Konstitusi RIS juga dinyatakan bahwa DPR tidak
dapat memaksa kabinet atau masing-masing Menteri untuk
meletakkan jabatannya.
Dengan memperhatikan konstruksi kedua Pasal tersebut,
maka sistem yang dipergunakan adalah sistem parlementer
yang tidak murni. Dengan demikian pertanggungjawaban
yang dimaksud dalam Pasal 118 tidak ada artinya atau dapat
dikatakan sebagai pertanggungjawaban tanpa disertai dengan
sanksi. Dalam teori Hukum Tata Negara pertanggungjawaban
seperti ini sering disebut pertanggungjawaban dalam arti
sempit.

2. Sistem Pemerintahan Indonesia Menurut UUDS 1950.


UUDS 1950 masih tetap mempergunakan sistem
pemerintahan parlementer seperti halnya diatur dalam
Konstitusi RIS. Pendek kata, dalam hal sistem pemerintahan
negara, UUDS 1950 masih melanjutkan seperti yang diatur di
dalam Konstitusi RIS. Hal ini disebabkan UUDS 1950 pada
hakikatnya merupakan hasil amandemen dari Konstitusi RIS
dengan menghilangkan Pasal-pasal yang bersifat federalis. Di
dalam Pasal 83 UUDS 1950 dinyatakan:
a. Presiden dan Wakil Presiden tidak dapat diganggu gugat;
b. Menteri-menteri bertanggungjawab atas seluruh
kebijaksanaan
pemerintah, baik bersama-sama untuk seluruhnya
maupun
masing-masing untuk bagiannya sendiri-sendiri.

Berkaitan dengan Pasal 83 tersebut di atas, Pasal 84 UUDS


1950 menyatakan bahwa Presiden berhak membubarkan DPR.
Keputusan Presiden yang menyatakan pembubaran itu meme-
rintahkan pula untuk mengadakan pemilihan Presiden baru
dalam 30 hari. Konstruksi Pasal semacam ini mengingatkan
kita pada sistem parlementer yang tidak murni sebagaimana
dikembangkan oleh Republik Ke V Perancis.

3. Sistem Pemerintahan Indonesia Menurut UUD 1945


Sebelum
Amandemen.
Di dalam sistematika UUD 1945, sistem pemerintahan
negara tidak secara tegas tertuang di dalamnya. Hal ini agak
berbeda dengan kedua konstitusi yang pernah berlaku di
Indonesia. Bahkan dalam beberapa ketentuan secara tersirat
mengindikasikan adanya bentuk campuran antara sistem
presidensiil dan parlementer. Di dalam Pasal 4 UUD 1945
ditegaskan bahwa Presiden memegang kekuasaan
pemerintahan. Sedangkan Pasal 17 menegaskan bahwa
Menteri negara membantu Presiden serta diangkat dan diber-
hentikan oleh Presiden. Lebih lanjut di dalam Penjelasan UUD
1945 dinyatakan bahwa Dewan tidak bisa dibubarkan oleh
Presiden. Presiden Republik Indonesia adalah Kepala
Eksekutif dan tidak boleh merangkap menjadi anggota DPR
dan Mahkamah Agung, apalagi menjadi pimpinan MPR.
Kedua pasal dan Penjelasan UUD 1945 tersebut memberikan
penegasan bahwa sistem pemerintahan yang dikehendaki oleh
UUD 1945 adalah sistem presidensiil.
Akan tetapi karena Presiden Republik Indonesia tidak
dipilih oleh rakyat secara langsung melainkan oleh MPR dan
dapat diberhentikan oleh MPR sebelum masa jabatannya habis
jika melanggar UUD 1945 dan Garis-garis Besar Haluan
Negara (GBHN), maka hal ini menunjukkan bahwa sistem
presidensiil yang dianut oleh UUD 1945 bukan sistem
presidensiil murni. Persoalannya adalah, apakah konstruksi
sistem pemerintahan negara yang ambigu seperti ini
menunjukkan bahwa sistem pemerintahan yang dianut oleh
UUD 1945 dapat dikatakan mempergunakan sistem
presidensiil yang tidak murni (quasi presidensiil)?
Untuk mengetahui sistem pemerintahan yang dianut oleh
UUD 1945, kita perlu memperbandingkan dengan sistem
pemerintahan negara lain, khususnya yang menganut sistem
pemerintahan presidensiil yang murni seperti di Amerika
Serikat. Memperbandingkan dengan sistem pemerintahan di
AS terasa relevan, karena bagaimanapun juga unsur-unsur
presidensiil yang ada di sana relatif mirip dengan yang ada di
Indonesia. Adapun karakteristik sistem presidensiil di
Amerika Serikat adalah sebagai berikut:
a. Lembaga Legislatif, Eksekutif, dan Yudikatif merupakan
organ pemegang kekuasaan yang terpisah. Namun
demikian mekanisme checks and balances (saling
mengadakan kontrol dan keseimbangan) berlangsung
diantara ketiga lembaga tersebut. Contohnya adalah
dalam penentuan kabinet dan Hakim Agung, peran
parlemen (Senat) menduduki posisi yang sangat penting.
Mengingat untuk pengisian jabatan-jabatan tersebut harus
memperoleh persetujuan Conggres. Hak prerogatif
Presiden AS dalam mengajukan calon-calon pejabat publik
tersebut lemata-mata hanya menyampaikan nominasi calon
dan melakukan pengangkatan setelah diantara nominasi
tersebut salah satunya disetujui oleh Congress.
b. Dalam bidang Legislatif, misalnya pembuatan suatu
Undang-
Undang wewenang penuh ada pada Congress yang terdiri
dari
dua kamar yaitu House of Representative dan Senate. Akan
tetapi
dalam hal-hal tertentu Presiden AS mempunyai hak Veto,
yakni
hak yang dimiliki oleh Presiden AS untuk tidak
menyetujui
atau menolak suatu RUU yang diajukan oleh Congress.
c. Kekuasaan eksekutif berada di tangan Presiden, dan
dalam
pelaksanaannya dibantu oleh para menteri yang
bertanggung
jawab kepada Presiden. Sedangkan Presiden bertanggun
jawab
kepada rakyat yang memilihnya melalui mekanisme
pemilihan
umum.
d. Apabila ada perbedaan pendapat antara Congress dengan
Presiden, maka Presiden tidak serta merta dapat
dijatuhkan
oleh Conggres. Presiden tidak dapat diganggu-gugat
sebelum
masa jabatannya habis. Namun demikian, dalam hal
adanya
suatu kejadian yang luar biasa, misalnya Presiden
melakukan
perbuatan yang melanggar hukum, maka Badan
Perwakilan
dapat menutut Presiden melalui Impeachment (pengadilan
Senat/DPR). Pelaksanaan peradilan ini tidak dilakukan
sendiri
oleh anggota-anggota DPR, melainkan oleh Hakim Agung
yang
dipanggil ke DPR untuk melakukan pemeriksaan terhadap
Presiden. Contoh aktual yang dapat dikemukakan disini
adalah tatkala Presiden AS Nixon terkena skandal
Watergate.
Dia seharusnya akan di impeachment, namun sebelum
proses
tersebut berlangsung Nixon telah mengundurkan diri dan
diganti oleh Wakil Presiden Gerald Ford. Begitu pula
ketika
Bill Clinton terkena skandal dengan staf Gedung Putih
Monica Lewensky, namun karena senat berpendapat
bahwa
Bill Clinton sudah menyampaikan permohonan maaf
secara
terbuka dan menurut senat tidak melanggar konstitusi,
maka
proses Impeachment tidak dilaksanakan.
e. Badan-badan Peradilan bebas dari pengaruh kekuasaan
manapun. Hakim Peradilan ada yang dipilih oleh rakyat
dan ada pula yang diangkat untuk seumur hidup
sepanjang tenaganya masih mampu menjalankan tugas
dan wewenangnya.

Bertitik tolak dari karakteristik sistem presidensiil di AS


tersebut di atas, maka jika diperbandingkan dengan yang ada
di Indonesia, sebagaimana dikonstruksikan di dalam UUD
1945, dijumpai adanya beberapa kesamaan. Hal ini nampak
dari ketentuan-ketentuan di dalam UUD 1945 sebagai berikut:
a. Pasal 4 ayat (1): Presiden Republik Indonesia memegang
kekuasaan pemerintahan menurut UUD.
b. Pasal 17 ayat (1) dan ayat (2): Presiden dibantu oleh
Menteri-
menteri Negara. Menteri-menteri negara itu diangkat dan
diberhentikan oleh Presiden. Ketentuan seperti ini
memberikan
penegasan adanya pertanggungjawaban Menteri-menteri
kepada Presiden.
c. Pasal 5 ayat (1): Presiden memegang kekuasaan
membentuk
Undang-Undang dengan Persetujuan DPR.
d. Pasal 21 ayat (1): Anggota-anggota DPR berhak
mengajukan
Rancangan Undang-Undang.
e. Pasal 21 ayat (2): Jika Rancangan meskipun disetujui oleh
DPR,
tidak disahkan oleh Presiden, maka rancangan itu tidak
boleh
dimajukan dalam persidangan masa itu. Ketentuan seperti
ini
mengingatkan kita pada hak Veto Presiden terhadap suatu
Rancangan Undang-Undang yang diajukan oleh Parlemen
di
Amerika Serikat.
Dari ketentuan pasal-pasal tersebut di atas, nampak jelas
bahwa sistem pemerintahan yang dianut oleh Indonesia
hampir sama dengan yang dianut di AS. Akan tetapi jika
mencermati Pasal 6 Ayat (2) yang menegaskan bahwa
Presiden dan Wakil Presiden dipilih dan diangkat oleh MPR
dengan suara terbanyak, maka dalam proses penentuan
Kepala Pemerintahan (sekaligus Kepala Negara) tidak
mempergunakan pola pemilihan langsung oleh rakyat
sebagaimana dilakukan di AS. Lain daripada itu, di dalam
Penjelasan Umum UUD 1945 juga dinyatakan bahwa Presiden
dalam melaksanakan pemerintahan negara tunduk dan
bertanggungjawab kepada Majelis. Penjelasan yang demikian
ini memberikan konsekuensi bahwa sistem pemerintahan
Indonesia juga mengandung karakteristik sistem parlementer.
Berbeda dengan yang ada di Amerika Serikat.
Memperhatikan sistem pemerintahan yang demikian ini,
maka yang menjadi persoalan adalah lebih condong
kemanakah sistem pemerintahan Indonesia tersebut? Apakah
presidensiil ataukah parlementer? Untuk menjawab
pertanyaan tersebut tentunya harus mencermati terlebih
dahulu eksistensi MPR itu sendiri dalam khasanah
ketatanegaraan Indonesia. Lembaga apakah MPR itu?
Sehubungan dengan hal ini, di dalam Pasal 1 ayat (2)
dinyatakan bahwa kedaulatan adalah di tangan rakyat dan
dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat.
Kemudian di dalam Pasal 2 ayat (1) ditegaskan bahwa
MPR terdiri dari anggota-anggota DPR, ditambah dengan
utusan-utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan
menurut aturan yang ditetapkan dengan Undang-Undang.
Penjelasan dari ketentuan ini menyatakan bahwa maksudnya
ialah, supaya seluruh rakyat, seluruh golongan, seluruh
daerah akan mempunyai wakil dalam Majelis, sehingga
Majelis akan betul-betul dapat dianggap sebagai penjelmaan
rakyat.
Berkaitan dengan eksistensi MPR sebagaimana ditentukan
oleh UUD 1945 berikut Penjelasannya tersebut, maka dapat
dikemukakan bahwa menurut konstruksi UUD 1945, MPR itu
merupakan penjelmaan rakyat. Persoalannya adalah apa arti
dari penjelmaan rakyat itu? Apakah MPR itu dianggap identik
dengan rakyat dalam arti sebagai reinkarnasi rakyat, atakah
MPR hanya sekedar sebagai lembaga perwakilan?
Menurut Bintan R. Saragih dan Kusnardi, kata penjelmaan
rakyat yang ditujukan kepada eksistensi MPR tersebut dapat
ditafsirkan dalam dua arti, yaitu MPR identik dengan rakyat,
dan di lain pihak MPK itu hanya sebatas sebagai lembaga
perwakilan.
Kedua penafsiran ini jelas menimbulkan konsekuensi yang
berbeda, yakni:
a. Jika penjelmaan rakyat itu ditafsirkan sebagai identik
dengan
rakyat atau reinkarnasi rakyat, maka seluruh kebijaksanaan
MPR termasuk dalam rangka melaksanakan tugas, fungsi,
wewenang, dan tanggungjawab MPR sama halnya atau
identik
dengan kebijaksanaan, tugas, wewenang, dan
tanggungjawab
yang dilakukan oleh rakyat sendiri. Konsekuensi dari hal
ini
berarti dalam melaksanakan seluruh aktifitasnya MPR
tidak
perlu mempertanggungjawabkan seluruh perbuatannya
ke-
pada rakyat. Jika tafsiran ini diletakkan dalam konteks
pertanggungjawaban Presiden kepada MPR, maka
tentunya
dapat diidentikkan dengan pertanggungjawaban Presiden
kepada rakyat. Demikian pula halnya, jika diletakkan
dalam
konteks Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh MPR,
maka
hal ini dapat diidentikkan dengan Presiden dan Wakil
Presiden
dipilih oleh rakyat. Oleh sebab itu sistem pemerintahan
Indonesia berdasarkan tafsiran semacam itu dapat
dianggap
mempergunakan sistem presidensiil.
b. Jika kata penjelmaan rakyat tersebut ditafsirkan bahwa
MPR
itu hanya sebatas sebagai lembaga perwakilan, maka
dalam
melaksanakan seluruh aktifitasnya MPR harus tetap me-
laksanakan pertanggungjawaban kepada pihak yang
diwakili
yaitu rakyat. Bahkan jikalau MPR itu hanya sebatas
sebagai
lembaga perwakilan, maka ada kemungkinan apa yang
men-
jadi kehendak MPR berbeda dengan apa yang menjadi ke-
hendak rakyat.108

Dalam praktek penyelenggaraan negara di bawah Rezim


Orde Baru berdasarkan UUD 1945, nampak jelas bahwa dari
kedua penafsiran tersebut, pelaksanaannya lebih condong
kepada penafsiran bahwa MPR sebagai penjelmaan rakyat
yang hanya
108 Bandingkan dengan Bintan R. Saragih & Kusnardi, 1987,
Mekanisme Hubungan Lembaga-Lembaga Negara Menurut
UUD 1945, Gramedia, Jakarta, him. 59.
sebatas merupakan lembaga perwakilan. Hal ini terbukti
dengan keluarnya Ketetapan MPR No. IV/MPR/1983 Tentang
Referendum dan kemudian diterbitkan Undang-Undang No. 5
Tahun 1985 Tentang Referendum. Menurut kedua Paraturan
Perundang-undangan ini jika MPR berkehendak untuk
mengubah UUD 1945, maka MPR akan memerintahkan
Presiden sebagai mandataris MPR untuk mengadakan
referendum, yakni meminta pendapat rakyat secara langsung
tentang setuju atau tidaknya terhadap kehendak MPR untuk
mengubah UUD 1945 tersebut.

Peraturan Perundang-undangan semacam ini jelas telah


mengabaikan ketentuan Pasal 37 UUD 1945 yang memberikan
landasan konstitusional mengenai kewenangan MPR dalam
rangka mengubah UUD. Dengan demikian berdasarkan kedua
Peraturan perundang-undangan tersebut, MPR sebagai
penjelmaan rakyat tidak bisa bertindak sendiri dalam hal
mengubah UUD 1945. MPR harus tetap meminta persetujuan
kepada rakyat secara langsung. Oleh sebab itu, jelas kiranya
jika dengan adanya kedua Peraturan Perundang-undangan
itu, MPR tetap dibebani pertanggungjawaban kepada rakyat
dalam melaksanakan salah satu kewenangannya tersebut. Ini
berarti MPR tidak memiliki kepercayaan diri sebagai lembaga
yang identik dengan rakyat (reinkarnasi rakyat), melainkan
lebih punya kepercayaan diri sebagai lembaga perwakilan.
Dengan paradigma ketatanegaraan semacam ini, maka
jikalau MPR sebagai penjelmaan rakyat itu hanya sebatas
bertindak laksana lembaga perwakilan, konsekuensi
pertanggungjawaban Presiden sebagai Kepala Pemerintahan
kepada MPR lebih condong pada implementasi sistem
parlementer. Apalagi jika dipertegas dengan adanya hak DPR
sebagai salah satu unsur dari MPR untuk mengajukan
memorandum dan mengusulkan diadakannya Sidang
Istimewa untuk meminta pertanggunjawaban Presiden.
Jikalau fenomena konstitusional semacam ini
dibandingkan dengan yang terjadi di Amerika Serikat, maka
antara Sidang Istimewa MPR dan Impeachment yang dilakukan
oleh Parlemen untuk memeriksa Presiden jika diduga
melakukan perbuatan yang melanggar hukum, jelas
merupakan dua hal yang serupa tapi tak
sama. Dikatakan serupa, karena pada hakikatnya
keduanya adalah sama-sama proses untuk meminta
pertanggungjawaban Presiden dan sama-sama
memungkinkan Presiden jatuh dari tampuk kekuasaan
pemerintahan negara. Sedangkan dikatakan tak sama, karena
Sidang Istimewa MPR sejatinya merupakan proses meminta
pertanggungjawaban politik kepada Presiden, dan
Impeachment pada hakikatnya merupakan proses
pertanggungjawaban hukum.
Prosedur dan tatacara untuk memeriksa Presiden melalui
Sidang Istmewa MPR pada hakikatnya merupakan prosedur
dan tatacara dalam lapangan politik yang dilakukan oleh
lembaga politik. Sedangkan Impeachment yang dilakukan di
Amerika Serikat yang memeriksa sebenarnya adalah Hakim
Agung, hanya tempatnya dilakukan di Parlemen. Dengan
demkian, antara Sidang Istimewa MPR dan Impeachment jelas
memiliki nuansa yang sangat berbeda, walaupun konsekuensi
yang ditimbulkan adalah sama, yakni jatuhnya kekuasaan
seorang Presiden dari tampuk kekuasaan pemerintahan
negara.
Dengan melandaskan pada eksistensi MPR sebagai
penjelmaan rakyat, Padmo Wahyono berpendapat bahwa
sistem pemerintahan Indonesia adalah bukan presidensiil dan
bukan pula parlementer, melainkan sistem Majelis. Menurut
Padmo Wahyono, sistem semacam ini mempergunakan
mekanisme sebagai berikut. Majelis Permusyawaratan Rakyat
sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dalam negara,
mendistribusikan/mendelegasikan kekuasaannya kepada
lembaga-lembaga kenegaraan yang ada. Lembaga-lembaga
negara ini masing-masing akan mempertanggungjawabkan
kekuasaan yang telah diterima itu kepada MPR. Adapun
pendelegasian yang dimaksud adalah:
a. Kekuasaan untuk melaksanakan kedaulatan sehari-hari
didelegasikan kepada DPR.
b. Kekuasaan untuk melaksanakan pemerintahan
didelegasikan
kepada Presiden yang dibantu oleh Wakil Presiden dan
para
Menteri.
c. Kekuasaan untuk memeriksa keuangan negara kepada
BPK.
d. Kekuasaan untuk memberikan pertimbangan (konsultatif)
kepada DPA.
e. Kekuasaan untuk melaksanakan peradilan kepada
Mahkamah
Agung.

Jika kita mencermati Ketentuan Bab V Kaidah Pelaksanaan


Angka 3 Tap MPR No. IV/MPR/1999 Tentang Garis-garis
Besar Haluan Negara yang menyatakan bahwa semua
lembaga tinggi negara berkewajiban menyampaikan laporan
pelaksanaan garis-garis Besar Haluan Negara dalam sidang
tahunan MPR sesuai dengan fungsi, tugas dan wewenang
berdasarkan UUD 1945, maka sistem pemerintahan
sebagaimana dikemukakan oleh Padmo Wahyono tersebut,
memang ada benarnya. Namun apakah sistem Majelis seperti
ini lazim di dalam khasanah Ilmu Hukum Ketatanegaraan?
Menurut pendapat penulis, sistem Majelis seperti ini
sebenarnya hanya melegitimasi keberadaan MPR sebagai
Lembaga Tertinggi Negara. Jikalau sistem ini dilaksanakan
secara konsisten, maka seharusnya laporan pelaksanaan
GBHN yang dilakukan oleh Lembaga-lembaga negara harus
diikuti dengan penilaian keberhasilan dan termasuk
konsekuensi yang ditimbulkan. Kenyataan dalam praktek
penyelenggaraan negara di masa Orde Baru justru telah
menyimpang dari UUD dan GBHN bahkan kemerosotan
moral penyelenggara negara sebagai akibat merebaknya
Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme tetap mewarnai kehidupan
para penyelenggara negara. Pendek kata, seandainya sistem
Majelis ini dilaksanakan dengan konsisten berikut kon-
sekuensinya ditegakkan, maka tentu kekuasaan Presiden
Soeharto pada waktu itu tidak sedemikian hegemonis dan
merusak sendi-sendi negara demokrasi dan prinsip
kedaulatan rakyat.

4. Sistem Pemerintahan Indonesia Menurut UUD 1945


Setelah Amandemen.
Gerakan Reformasi 1998 yang dipelopori oleh mahasiswa
Indonesia mencapai puncak dengan ditandai oleh mundurnya
Presiden Soeharto dari tampuk kepemimpinan nasional pada
tanggal 20 Mei 1998 (bertepatan dengan hari Kebangkitan
Nasional). Selama Presiden Soeharto memegang tampuk
kekuasaan pemerintahan negara dengan akumulasi lebih
kurang 32 tahun, sistem pemerintahan Indonesia berwajah
supremasi eksekutif (executive heavy). Wajah seperti ini
nampak jelas dari kekuasaan Presiden yang merambah ketiga
cabang kekuasaan lain bahkan secara politis cabang-cabang
utama kekuasaan negara seperti MPR dan DPR telah
terkooptasi oleh kepentingan dan kehendak Presiden. Wajah
supremasi eksekutif ini mengakibatkan fenomena politik
ketatanegaraan Indonesia bercorak otoritarianisme.
Kondisi semacam inilah yang mengakibatkan akuntabilitas
penyelenggaraan pemerintahan negara menjadi lemah,
sehingga mengakibatkan kontrol terhadap pelaksanaan
pemerintahan menjadi tidak berjalan. Akibat dari kesemuanya
itu adalah, ketika terjadi krisis multi dimensional yang dialami
oleh bangsa Indonesia di pertengahan tahun 1997 tidak dapat
tertanggulangi. Bahkan keterpurukan moralitas penyelenggara
negara melalui praktek-praktek KKN (Korupsi, Kolusi, dan
Nepotisme) menjadi faktor utama keterpurukan bangsa
Indonesia di bidang ekonomi, politik, hukum, dan sosial
budaya.
Gerakan reformasi yang dikumandangkan oleh
mahasiswa Indonesia pada hakikatnya bukanlah merupakan
sebuah gerakan yang muncul secara tiba-tiba dan berdiri
sendiri. Gerakan tersebut pada hakikatnya dipengaruhi oleh
gerakan-gerakan demokrasi yang berkembang di belahan
dunia lain yang oleh Samuel P. Huntington dikatakan sebagai
efek bola salju, artinya suatu gerakan demokrasi pada awalnya
terjadi di suatu negara dengan dipicu oleh suatu issu yang
berkaitan dengan hak-hak asasi manusia. Kemudian gerakan
tersebut semakin membesar dan menjadi sebuah gerakan yang
masif (meluas) hingga merambah batas-batas suatu negara
karena pengaruh kemajuan informasi dan komunikasi dunia.
Berkaitan dengan hal inilah, Samuel P. Huntington
mengemukakan bahwa proses demokratisasi dalam suatu
negara pada umumnya melalui tiga periode, yakni periode
pengakhiran rezim nondemokratis, pengukuhan rezim
demokrasi, dan kemudian pengkonsolidasian sistem
demokrasi.109
Bertitik tolak dari gambaran tersebut, maka gerakan
reformasi Indonesia yang tujuan umumnya adalah menuju
tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara
yang demokratis juga dapat dilihat dari tahapan periodesasi
sebagaimana dikemukakan oleh Hantington. Ketiga periode
demokratisasi di Indonesia tersebut dapat digambarkan,
pertama; pengakhiran rezim nondemokratis, yakni ditandai
dengan tumbangnya rezim Orde Baru di bawah kekuasaan
Presiden Soeharto sebagai akibat ketidakmampuan dalam
mempertahankan legitimasi dihadapan massa rakyat dan
mahasiswa.
Kedua; pengukuhan rezim demokratis yang ditandai
dengan dilaksanakannya Pemilihan Umum 1999 dengan
sistem multi partai. Dalam Pemilu ini telah dihasilkan DPR
dan MPR dengan komposisi yang relatif heterogen, artinya
tidak ada lagi single majority di Parlemen. Dalam periode ini
pula telah terpilih Presiden dan Wakil Presiden yang berasal
dari tokoh-tokoh pergerakan demokrasi, yakni Abdurrahman
Wahid sebagai Presiden RI, dan Megawati Soekarno Putri
sebagai Wakil Presiden. Dalam perjalanan selanjutnya
Presiden Abdurrahman Wahid tumbang dari tampuk
kepemimpinan nasional melalui Sidang Istimewa MPR tahun
2001 dan diganti oleh Wakil Presiden Megawati Soekarno
Putri.
Ketiga; periode konsolidasi sistem demokrasi ditandai
dengan pembenahan struktur ketatanegaraan melalui empat
kali amandemen UUD 1945, penguatan sistem multi partai,
penegasan desentralisasi pemerintahan, dan perumusan
sistem presidensiil. Dengan demikian dapat disimpulkan
bahwa proses amandemen UUD 1945 pada hakikatnya
merupakan sarana untuk menuju konsolidasi sistem
demokrasi melalui perangkat konstitusional. Terkait dengan
penegasan sistem pemerintahan negara Indonesia tersebut,
maka dalam amandemen I UUD 1945 pada tanggal 19 Oktober
1999, Pasal-pasal yang mengalami perubahan antara lain:

a. Pasal 5 ayat (1) UUD 1945 menegaskan: "Presiden berhak


mengajukan Rancangan Undang-Undang". Pasal ini
sebelum-
nya menyatakan: "Presiden memegang kekuasaan
membentuk
Undang-Undang dengan persetujuan Dewan Perwakilan
Rakyat".
b. Pasal 7"UUD 1945 menegaskan: "Presiden dan Wakil
Presiden
memegang jabatan selama lima tahun dan sesudahnya
dapat
dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya satu kali
masa
jabatan" Pasal ini merupakan bentuk perubahan yang
sangat
signifikan dari ketentuan UUD 45 sebelum di amandemen
yang
menegaskan: "Presiden dan Wakil Presiden memegang
jabatan
selama lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali".
Perubahan semacam ini dikatakan sangat signifikan
karena
sebelum Pasal ini dilakukan perubahan, maka sepanjang
rezim Orde Baru menguasai kehidupan ketatanegaraan
Indonesia telah dipergunakan sebagai landasan
konstitusional
bagi Presiden Soeharto untuk dipilih berulang kali,
sehingga
total waktu yang ditempuh oleh Presiden Soeharto untuk
memangku jabatan kepala pemerintahan menjadi kurang
lebih 32 tahun. Suatu akumulasi masa jabatan yang luar
biasa
panjangnya.
c. Pasal 17 ayat (2) UUD 1945 menyatakan: "Menteri-menteri
diangkat dan diberhentikan oleh Presiden".
d. Pasal 20 ayat (1) UUD 1945 menegaskan: "Dewan
Perwakilan
Rakyat memegang kekuasaan membentuk Undang-
Undang.

Kendati Pasal-Pasal tersebut memberikan indikasi


pelaksanaan sistem presidensiil, namun dalam praktek
penyelenggaraan sistem ketatanegaraan Indonesia, sistem
presidensiil ini masih tetap belum dilaksanakan secara murni.
Hal ini nampak jelas tertuang di dalam Tap MPR No.
VI/MPR/1999 Tentang Tata Cara Pencalonan dan Pemilihan
Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia. Di dalam
Pasal 8 antara lain dinyatakan:
(1) Fraksi dapat mengajukan seorang calon Presiden.
(2) Calon Presiden dapat diajukan oleh sekurang-kurangnya
tujuh puluh anggota Majelis yang terdiri atas satu fraksi
atau lebih.
(3) Masing-masing anggota Majelis hanya boleh
menggunakan salah satu cara pengajuan calon Presiden
sebagaimana disebutkan dalam ayat (1) dan (2) pasal ini.

Mencermati ketentuan yang demikian nampak jelas bahwa


pemilihan Presiden tidak dilakukan secara langsung,
melainkan masih merupakan wewenang dari MPR melalui
pengusulan oleh anggota MPR maupun fraksi (sebagai
perpanjangan tangan dari Parpol Peserta Pemilu). Ini berarti
dalam hal rekrutmen kepala pemerintahan masih tetap
mempergunakan model sistem parlementer.
Sistem parlementer ini semakin menunjukkan
penguatannya ketika Presiden Abdurrahman Wahid
memperoleh Memorandum I, II, dan III dari DPR karena
dianggap terlibat dalam kasus penyelewengan dana Bulog dan
bantuan dari Sultan Brunei. Kasus ini sering disebut Buloggate
dan Bruneigate. Dengan adanya dugaan yang dalam sejarah
perjalanannya tidak terbukti secara hukum ini, Presiden
Abdurrahman Wahid tetap diajukan kehadapan Sidang
Istimewa MPR tahun 2001. Dalam kesempatan ini Presiden
Abdurrahman Wahid, juga mengeluarkan suatu Dekrit yang
isinya membubarkan DPR dan MPR. Keputusan
mengeluarkan Dekrit tersebut memang merupakan langkah
yang kontroversial dan tidak ada landasan yuridis
konstitusionalnya.
Akhir dari konflik eksekutif dan parlemen ini
mengakibatkan Presiden Abdurrahman Wahid dilengserkan
oleh MPR melalui keputusan Sidang Istimewa MPR tahun
2001. Dalam sidang tersebut Presiden Abdurrahman Wahid
tidak bersedia hadir dengan alasan bahwa jika menghadiri
Sidang Istimewa tersebut berarti dia juga dianggap melanggar
UUD 1945, sebab UUD 1945 mempergunakan sistem
presidensiil, bukan Parlementer.
Peristiwa ketatanegaraan tersebut, merupakan peristiwa
kedua setelah Sidang Istimewa MPRS pada tahun 1966
yangmengakibatkan Presiden Soekarno jatuh dari tampuk
kepemimpinan nasional.
Kedua presiden Indonesia yang jatuh sebelum masa
jabatannya berakhir tersebut, sama-sama tidak melalui proses
pemeriksaan hukum, melainkan hanya disebabkan oleh
adanya proses politik yang sarat dengan kepentingan sesaat.
Hal ini menunjukkan bahwa demokratisasi dan supremasi
hukum masih tetap belum dilaksanakan secara konsisten.
Dengan jatuhnya Presiden Abdurrahman Wahid tersebut,
maka tampuk kepemimpinan nasional beralih kepada Wakil
Presiden Megawati Soekarno Putri. Kemudian pada Sidang
Tahunan tahun 2001, Megawati Soekarno Putri diangkat
menjadi Presiden dan didampingi oleh Hamzah Haz sebagai
Wakil Presiden. Peristiwa ketatanegaraan Indonesia semacam
ini masih tetap mengindikasikan bahwa sistem pemerinahan
yang dipergunakan dalam praktek penyelenggaraan
ketatanegaraa Indonesia tetap bernuansakan sistem
parlementer.
Kemudian dalam Sidang Tahunan MPR tahun 2002
dilakukan amandemen IV yang menegaskan bahwa Presiden
dan Wakil Presiden dipilih secara langsung oleh rakyat. Dia
tidak bertanggungjawab kepada Majelis yang terdiri dari
Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah.
Konstruksi ketatanegaraan seperti ini paling tidak telah
menghentikan konflik ketatanegaraan yang selama ini
mewarnai sistem pemerintahan di Indonesia. Di dalam Pasal 6
A UUD 1945 antara lain ditegaskan:
(1) Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan
secara langsung oleh rakyat.
(2) Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan
oleh Partai Politik atau gabungan Partai Politik peserta
pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum.
(3) Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang
mendapat suara lebih dari lima puluh persen dari jumlah
suara pemilihan umum dengan sedikitnya dua puluh
persen suara di setiap provinsi yang tersebar lebih dari
setengah jumlah provinsi di Indonesia, dilantik menjadi
Presiden dan Wakil Presiden.
(4) Dalam hal tidak ada pasangan calon Presiden dan Wakil
Presiden terpilih, dua pasangan calon yang memperoleh
suara
terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum
dipilih oleh rakyat secara langsung dan pasangan yang
memperoleh suara terbanyak dilantik sebagai pasangan
Presiden dan Wakil Presiden.
(5) Tata cara pelaksanaan pemilihan Presiden dan Wakil
Presiden lebih lanjut diatur dengan Undang-Undang.

Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut, maka Presiden


dan Wakil Presiden tidak lagi bertanggungjawab kepada MPR,
melainkan bertanggungjawab secara langsung kepada rakyat.
Sehubungan dengan hal ini, Pasal 3 ayat (3) UUD 1945
(Amandemen) menegaskan bahwa Majelis Permusyawaratan
Rakyat hanya dapat memberhentikan Presiden dan/atau
Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut Undang-
Undang Dasar.
Menurut Pasal 7 A UUD 1945, dinyatakan bahwa Presiden
dan/ atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa
jabatanya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atau atas usul
Dewan Perwakilan Rakyat, baik apabila terbukti telah
melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan
terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat
lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak
lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/ atau Wakil
Presiden. Ketentuan seperti ini memberikan penegasan bahwa
pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden harus
melalui proses hukum terlebih dahulu, baru kemudian proses
politik yang dilakukan melalui Sidang Istimewa.
Untuk mengusulkan pemberhentian Presiden dan/atau
Wakil Presiden tidak lagi ditempuh melalui langkah
Memorandum sebagaimana pernah dilakukan ketika Presiden
Abdurrahman Wahid diberhentikan oleh MPR, melainkan
Dewan Perwakilan Rakyat terlebih dahulu harus mengajukan
permintaan kepada Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa,
mengadili, dan memutuskan pendapat Dewan Perwakilan
Rakyat tentang adanya dugaan atau indikasi bahwa Presiden
dan/atau Wakil Presiden melakukan perbuatan melanggar
hukum. Sehubungan dengan hal ini, Pasal 7 B UUD 1945
secara lengkap menyatakan:
I OH 1 I I I K I J M I AiA N EG A R A I N D O N E S I A

(1) Usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden


dapat diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat kepada
Majelis Permusyawaratan Rakyat hanya dengan terlebih
dahulu mengajukan permintaan kepada Mahkamah
Konstitusi untuk memeriksa, mengadili, dan memutus
pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden
dan/arau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran
hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi,
penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan
tercela; dan/atau bahwa Presiden dan/atau Wakil
Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden
dan/atau Wakil Presiden.
(2) Pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden
dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran
hukum tersebut ataupun telah tidak lagi memenuhi syarat
sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden adalah dalam
rangka pelaksanaan fungsi pengawasan Dewan
Perwakilan Rakyat.
(3) Pengajuan permintaan Dewan Perwakilan Rakyat kepada
Mahkamah Konstitusi hanya dapat dilakukan dengan
dukungan sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota
Dewan Perwakilan Rakyat yang hadir dalam sidang
paripurna yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3
dari jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat.
(4) Mahkamah Konstitusi wajib memeriksa, mengadili, dan
memutus dengan seadil-adilnya terhadap pendapat
Dewan Perwakilan Rakyat tersebut paling lambat
sembilan puluh hari setelah permintaan Dewan
Perwakilan Rakyat itu diterima oleh Mahkamah
Konstitusi.
(5) Apabila Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa
Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti melakukan
pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap
negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya,
atau perbuatan tercela; dan/atau terbukti bahwa Presiden
dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat
sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden, Dewan
Perwakilan Rakyat menyelenggarakan sidang paripurna
untuk meneruskan usul pemberhentian Presiden dan/atau
Wakl Presiden kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat.
(6) Majelis Permusyawaratan Rakyat wajib menyelenggarakan
sidang untuk memutuskan usul Dewan Perwaklan Rakyat
tersebut paling lambat tiga puluh hari sejak Majelis Permu-
syawaratan Rakyat menerima usul tersebut.
(7) Keputusan Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul
pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden harus
diambil dalam rapat paripurna Majelis Permusyawaratan
Rakyat yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/4 dari
jumlah anggota dan disetujui oleh sekurang-kuangnya %
dari jumlah anggota yang hadir, setelah Presiden dan/atau
Wakil Presiden diberi kesempatan menyampaikan
penjelasan dalam rapat paripurna Majelis
Permusyawaratan Rakyat.

Berdasarkan ketentuan pasal tersebut, maka proses pem-


berhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden harus melalui
tahapan yang cukup panjang. Keterlibatan Mahkamah
Konstitusi dalam proses pemberhentian Presiden dan/atau
Wakil Presiden mirip dengan yang terjadi di Amerika Serikat
melalui Impeachment. Perbedaannya hanya ada pada lembaga
yang diberi wewenang untuk memeriksa, mengadili, dan
memutus. Jika di Amerika Serikat adalah Mahkamah Agung,
maka di Indonesia adalah Mahkamah Konstitusi.
Dari gambaran tentang pemberhentian Presiden dan/atau
Wakil Presiden tersebut di atas, maka setelah Amandemen
UUD 1945 dapat disimpulkan telah terjadi perubahan sistem
pemerintahan Indonesia yang fundamental. Perubahan
tersebut dapat diilustrasikan sebagai berikut:
a. Sistem Pemerintahan Presidensiil tidak lagi mengandung
dimensi sistem Parlementer, walaupun dalam beberapa
hal masih tetap belum konsisten dilaksanakan. Misalnya
pada saat Presiden membentuk kabinet, Presiden masih
saja mempergunakan mekanisme politik di luar Parlemen
dengan melakukan kesepakatan-kesepakatan dengan
Pimpinan

Partai Politik yang memperoleh suara cukup signifikan di DPR.


Padahal seharusnya penentuan kabinet dan menteri itu
merupakan hak prerogatif Presiden, dan hak ini harus
diimbangi adanya persetujan parlemen.
b. Di bidang politik kedudukan Presiden dan Wakil Presiden
serta Parlemen yang terdiri dari dua kamar (DPR dan
DPD)
sama-sama kuat, artinya kedua lembaga ini tidak bisa
saling
menjatuhkan.
c. Dikenal adanya lembaga Mahkamah Konstitusi yang
mem-
punyai wewenang untuk melakukan judicial review
Undang-
Undang terhadap UUD, penyelesaian sengketa
kewenangan
antar lembaga negara, penyelesaian terhadap sengketa
Pemi-
lihan Umum, dan pemeriksaan terhadap Presiden yang
diduga
telah melakkan pelanggaan hukum atas usul dari DPR.
d. Dikenal lembaga yang bernama Komisi Yudisial yang ber-
wenang untuk memeriksa hakim yang melanggar
kehormatan
dan martabat serta perilaku hakim.
e. Di bidang pemerintahan daerah diterapkan desentralisasi
dan
otonomi luas. Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah
tidak
lagi dipilih oleh DPRD melainkan dipilih langsung oleh
rakyat
melalui Pemilihan Umum.

Tidak dapat dipungkiri bahwa setelah amandemen UUD


1945 sistem pemerintahan negara Republik Indonesia masih
terus dilakukan pembenahan. Keinginan untuk melakukan
amandemen V terhadap UUD 1945 terus digulirkan. Lembaga
negara yang paling bersemangat untuk mengusulkan agar
amandemen tersebut dilakukan adalah DPD. Hal ini
mengingat dalam sistem keparlemenan di Indonesia,
wewenang DPD masih sangat terbatas. Padahal dalam
struktur negara kesatuan dengan komposisi masyarakat yang
sangat beragam, keberadaan DPD sebenarnya merupakan
perekat dari integrasi negara kesatuan tersebut, khususnya
dalam rangka memperjuangkan kepentingan-kepentingan
daerah yang beragam itu ke dalam kebijakan nasional.
Bab IV

LEMBAGA PERWAKILAN RAKYAT


INDONESIA

(Prinsip demokrasi dan kedaulatan rakyat menghendaki adanya


keikutsertaan rakyat dalam kehidupan ketatanegaraan.<Rakyat atau
warga negara bukan hanya sebagai obyek- melainkan subyek^dan
ikut memainkan perananpentngdalam kehidupan
kenegaraan.1)ntukitulah keberadaan Lembaga (Perwakilan (Rakyat
merupakan suatu kemutlakan yang harus dipenuhi dalam negara
demokrasi yang berkedaulatan rakyat

A. Pengertian Umum.
Sebagaimana telah disinggung terdahulu bahwa
pelaksanaan paham demokrasi dewasa ini tidak mungkin lagi
dilaksanakan dengan cara langsung. Paham demokrasi, secara
formal dan pro-sedural dilaksanakan melalui mekanisme
perwakilan. Keterwakilan rakyat yang diimplementasikan
dalam Lembaga Perwakilan Rakyat tentu sangat tergantung
dari kepentingan (interst) rakyat yang diwakili. Oleh sebab
itulah, dalam dalam sistem keterwakilan rakyat ini dikenal
adanya dua sistem lembaga perwakilan rakyat, yaitu:
1. Lembaga Perwakilan Rakyat dengan sistem 1 Kamar (one
cameral system). Disebut Lembaga Perwakilan dengan 1
kamar, karena di dalam Lembaga Perwakilan Rakyat ini
hanya ada satu bidang kepentingan rakyat yang akan
diperjuangkan oleh lembaga
ini. Bidang kepentingan rakyat yang yang akan diperjuangkan
tersebut pada umumnya menyangkut kepentingan politik
rakyat sebagai manifestasi hak-hak politik rakyat. Oleh sebab
itu di dalam Lembaga Perwakilan Rakyat dengan 1 kamar ini
anggota-anggota yang duduk di dalamnya berasal dari wakil-
wakil partai politik peserta pemilihan umum. Contoh yang
dapat dikemukakan disini adalah Dewan Perwakilan Rakyat
Republik Indonesia sebelum Amandemen UUD 1945. Sebelum
UUD 1945 di amandemen, Lembaga Perwakilan Rakyat RI
hanya dianggap terdiri dari 1 kamar, karena dalam praktek
penyelenggaraannya DPR inilah yang dalam kesehariannya
memperjuangkan kepentingan-kepentingan rakyat, khususnya
dalam pengambilan keputusan-keputusan politik nasional.
Walaupun dalam struktur keanggotaan MPR juga dikenal
adanya unsur utusan golongan dan utusan daerah, namun
keberadaan dari utusan-utusan tersebut tidak serta merta
memperjuangkan kepentingan golongan maupun daerah.
Keberadaan utusan-utusan golongan dan daerah ini hanya
komplemen ketika MPR melaksanakan sidang. Bahkan
kewenangan dari utusan-utusan tersebut sama sekali tidak
nampak.
Lembaga Perwakilan Rakyat dengan sistem 2 Kamar (bicameral
system). Disebut demikian, karena di dalam struktur Lembaga
Perwakilan Rakyat dikenal adanya 2 komponen (Kamar) yang
masing-masing kamar memperjuangkan kepentingan rakyat
dalam ranah yang berbeda. Kepentingan rakyat yang
dimaksud pada umumnya adalah di bidang penentuan
kebijakan-kebijakan politik yang berskala nasional, dan di
bidang tertentu yang spesifik, apakah itu menyangkut
kepentingan golongan maupun kepentingan yang berdimensi
kewilayahan (daerah/ negara bagian) untuk dipergunakan
sebagai referensi dalam pengambilan kebijakan di tingkat
nasional. Contoh Lembaga Perwakilan Rakyat dengan 2
Kamar, misalnya: a. Di Inggris. Semula di negara ini yang
mempunyai kesempatan dalam pengambilan keputusan-
keputusan politik terhadap masalah kenegaraan adalah wakil-
wakil dari kaum bangsawan dan gereja. Hal ini minucul
sebagai konsekuensi dari adanya perjanjian antara Raja John
Lackland dengan para bangsawam dan gereja yang tertuang
di dalam Magna Charta. Akan tetapi dengan adanya
kepentingan rakyat kebanyakan (biasa), demikian pula dengan
adanya perjanjian mengenai hak-hak asasi manusia, maka di
dalam Lembaga Perwakilan Rakyat muncul institusi baru
yang berisi wakil-wakil rakyat yang dipilih langsung melalui
pemilihan umum. Dengan demikian di dalam Lembaga
Perwakilan Rakyat (Parlemen) Inggris dikenal adanya House of
Lord (wakil kaum bangsawan dan gereja) serta House of
Commons, yakni anggota parlemen yang dipilih langsung oleh
rakyat melalui pemilihan umum. Di Negara Serikat,
contohnya Amerika Serikat terdapat juga Lembaga Perwakilan
Rakyat dengan sistem 2 Kamar, yaitu House of Representative
yang terdiri dari wakil-wakil rakyat yang dipilih secara
langsung oleh seluruh rakyat Amerika Serikat, dan Senate
yang merupakan wakil-wakil rakyat dari masing-masing
negara bagian. House of Representative dan Senate ini bergabung
(join session) di dalam Congress dan menjalankan kekuasaan
legislatif. Menurut Article I, section 3 Konstitusi Amerika
Serikat dinyatakan bahwa anggota-anggota Senate ini harus
dipilih (chosen) oleh Lembaga Perwakilan Rakyat masing-
masing Negara Bagian. Ini berarti semula mekanisme
pemilihan anggota-anggota Senate tidak dilakukan secara
langsung, melainkan bertingkat. Rakyat masing-masing
Negara Bagian melakukan Pemilihan Umum untuk memilih
anggota Lembaga Perwakilan Rakyat Negara Bagian, kemu-
dian Lembaga ini melakukan pemilihan diantara anggota-
anggotanya untuk diutus menjadi anggota Senate di Congress.
Kemudian mekanisme ini mengalami perubahan di dalam
Amandemen XVII Konstitusi Amerika Serikat yang
menegaskan bahwa para anggota Senate tersebut
harus dipilih melalui pemilihan umum (election) oleh rakyat
masing-masing negara bagian, c. Di Negara Berbentuk
Kesatuan. Misalnya di Perancis. Menurut Pasal 24 Konstitusi
Perancis dinyatakan bahwa Parlemen Perancis terdiri dari
Nasional Assembly dan Senate. Nasional Assembly terdiri dari
wakil-wakil rakyat yang dipilih oleh rakyat Perancis di dalam
pemilihan umum secara langsung sesuai dengan jumlah
penduduk warga negara. Sedangkan Senate terdiri dari wakil-
wakil rakyat yang dipilih secara tidak langsung oleh kesatuan-
kesatuan yang dinamakan Communals dan Departemens (bagian
wilayah Negara Perancis yang di Indonesia mungkin bisa
disamakan dengan Provinsi, Kabupaten/Kota).

Berpijak dari kerangka sistem Lembaga Perwakilan Rakyat


tersebut di atas, dalam bagian ini akan disajikan pemahaman
tentang Lembaga Perwakilan Rakyat di Indonesia setelah
Amandemen UUD 1945.

B. Majelis Permusyawaratan Rakyat.


Sejak Amandemen UUD 1945 dilakukan mulai tahun 1999,
telah terjadi perubahan yang sangat signifikan mengenai
eksistensi Lembaga Perwakilan Rakyat di Indonesia. Sebelum
dilakukan amandemen eksistensi Lembaga Perwakilan Rakyat
Indonesia menunjukkan ketidakjelasan, apakah
mempergunakan sistem satu Kamar ataukah menganut sistem
dua kamar. Ketidakjelasan ini nampak dari ketentuan Pasal 2
ayat (1) UUD 1945 yang menegaskan bahwa Majelis
Permusyawaratan Rakyat terdiri dari anggota-anggota Dewan
Perwakilan Rakyat ditambah dengan utusan-utusan dari
daerah-daerah dan golongan-golongan menurut aturan yang
ditetapkan dengan Undang-Undang.
Komposisi yang demikian ini menunjukkan bahwa di
dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat terdapat wakil rakyat
yang berasal dari Partai Politik Peserta Pemilu, wakil rakyat
dari golongangolongan (baik itu menyangkut golongan
profesi ataupun kepentingan tertentu seperti Tentara/Polri),
serta wakil-wakil rakyat yang berasal dari daerah-daerah yang
dianggap memperjuangkan kepentingan masing-masing
daerah. Jika pola seperti ini diperbandingkan dengan yang ada
di negara lain. Khususnya yang mempergunakan sistem
Lembaga Perwakilan Rakyat dengan sistem dua Kamar, maka
di MPR justru mempergunakan tiga golongan wakil.
Persoalannya apakah pola ini bisa dikonotasikan bahwa MPR
mempergunakan sistem tiga kamar?
Jawaban atas persoalan tersebut tidak jelas. Dalam
khasanah Hukum Tata Negara Indonesia, banyak para ahli
(pakar) dan pengamat Hukum Tata Negara tetap beranggapan
bahwa Lembaga Perwakilan Rakyat Indonesia yang namanya
MPR itu tetap mempergunakan sistem satu kamar. Hal ini
tentu dapat dibenarkan jika sudut pandang hanya ditujukan
kepada model rekrutmen dari anggota-anggota MPR,
khususnya yang berasal dari utusan-utusan daerah dan
golongan yang tidak berdasarkan pemilihan umum.
Keberadaan mereka di MPR semata-mata hanya berdasarkan
penunjukkan atau pengangkatan.
Namun demikian, pendapat yang mengatakan bahwa sis-
tem Lembaga Perwakilan Rakyat di Indonesia itu tetap hanya
mempergunakan sistem satu kamar tersebut, bisa juga tidak
tepat jikalau sudut pandangnya ditujukan kepada
kepentingan yang hendak diperjuangkan oleh masing-masing
anggota MPR tersebut. Sejarah membuktikan, bahwa
keberadaan utusan-utusan daerah maupun utusan golongan
di MPR tersebut ternyata tidak menampakkan kejelasan
tentang sepak terjang perjuangannya dalam mengusung
kepentingan golongan maupun daerah. Artinya keberadaan
mereka semata-mata hanya nampak ketika MPR
melaksanakan Sidang (baik itu Sidang Istimewa maupun
Sidang Umum). Jadi sebelum amandemen UUD 1945 jelas
kiranya bahwa Lembaga Perwakilan Rakyat yang
dimanifestasikan ke dalam Lembaga yang namanya MPR itu
tidak sama dengan Congress sebagaimana dikenal di Amerika
Serikat.
Setelah UUD 1945 di amandemen, penegasan Sistem
Lembaga Perwakilan Rakyat, khususnya yang menyangkut
eksistensi MPR mulai menampakkan kejelasan. Dalam
Amandemen IV yang ditetapkan pada bulan Agustus 2004
ditegaskan bahwa Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri
dari anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan
Perwakilan Daerah yang dipilih melalui Pemilihan Umum dan
diatur lebih lanjut dengan Undang-Undang. Sehububngan
dengan ketentuan tersebut, menurut UU No. 10 Tahun 2008
Tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD
ditegaskan:
a. Pasal 7: Peserta Pemilu untuk memilih anggota DPR,
DPRD
Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota adalah Partai
Politik.
b. Pasal 11 (ayat (1): Peserta Pemilu untuk memilih anggota
DPD
adalah perseorangan.

Berdasarkan ketentuan UU Pemilu tersebut, dapat


disimpulkan bahwa Lembaga Perwakilan Rakyat, khususnya
yang menyangkut eksistensi MPR, pada hakikatnya
mempergunakan sistem dua kamar. Lain daripada itu, setelah
amandemen UUD 1945 di dalam MPR tidak dikenal lagi unsur
anggota MPR yang berasal dari utusan golongan.
Dalam proses mengamandemen Pasal 2 ayat (1) UUD
1945, Valina Singka Subekti dari Utusan Golongan
menanyakan keberadaan Utusan Golongan sebagai berikut:
"....mengenai soal Utusan Golongan yang banyak sekali
juga dibicarakan sejak tadi pagi, fraksi kami juga termasuk
yang mengusulkan agar Utusan Golongan ini dihapus
pada waktu PAH III kemarin dan kami masih tetap
konsisten dengari itu dengan alasan antara lain bahwa ke
depan ini kita khan multy party system. Jadi dianggap
bahwa suara-suara dari berbagai golongan-golongan da-
lam masyarakat kita itu sudah cukup direpresentasikan
melalui banyak partai tersebut.
Di samping itu juga karena kita nantinya mungkin
akan mengarah pada sistem distrik sehingga memang
suara-suara dari warga-warga, masyarakat lokal karena
selama ini termaginalkan karena kita memakai sistem
proporsional dalam pemilu maka mungkin nanti kalau
perubahan sistem ini terjadi maka suara-suara masyarakat
lokal yang selama ini termarginalkan baik secara ekonomi,
politik, sosial budaya itu nanti sudah bisa gitu
direpresentasikan oleh wakil-wakil rakyat yang dipilih
lewat distrik plus utusan-utusan daerah yang nanti
katanya akan dipilih secara langsung juga lewat pemilihan
umum, jadi tidak lagi lewat mekanisme DPRD Tingkat I,
kemarin kita tahu banyak distorsi juga. Yang menarik
adalah bahwa, apa namanya, penjelasan-penjelasan yang
diberikan sejak tadi pagi ternyata memang ada latar
belakang filosofis tertentu mengapa perlu ada Utusan
Golongan di dalam parlemen kita.
Saya ingin menanyakan kepada Bapak Sumatri dan
pak Ismail Suny, sejauh mana sebetulnya, sebetulnya, apa
namanya, perlunya Utusan Golongan ini tetap ada di
parlemen. Ini adalah pembahasan akademis, pertama. Lalu
kedua mungkin Bapak-bapak bisa memberikan semacam
komparasi atau bandingan dengan parlemen-parlemen di
negara-negara lain yang juga namanya merepresentasikan
Utusan Golongan di dalam parlemennya".110

Sehubungan dengan pertanyaan tersebut di atas, Sri


Soemantri memberikan pendapat sebagai berikut:
"Jadi mengenai Utusan Golongan begini. Kita melihat
kenyataan selama ini Utusan Golongan selama ini
ditentukan oleh eksekutif (Presiden) sehingga
penyalahgunaan itu bisa terjadi dan selalu terjadi. Dari
Presiden kemudian masalah ini dilemparkan kepada KPU.
Kita mengetahui bagaimana proses penentuan Utusan
Golongan ini, kalau Utusan Golongan umpamanya dipilih
dalam Pemilihan Umum, barangkali ini tidak ada masalah.
Problem yang dihadapi selama sekarang ini adalah kita
menginginkan semua anggota MPR tentu dipilih dalam
pemilihan umum. Bahwa TNI/Polri ini sekarang diangkat,
ini karena masih sementara sifatnya. Jadi kalau ini yang
terjadi barangkali tidak ada masalah Utusan Golongan itu
di dalam MPR itu".111

110 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2008,


Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia, Buku III Lembaga
Permusyawaratan dan Perwakilan Jilid 1, Sekretariat
Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi,
Jakarta, him. 108-109.
Berdasarkan padangan tersebut di atas, maka dapat ditarik
pengertian bahwa keberadaan Utusan Golongan dalam
struktur Lembaga Perwakilan Rakyat yang disebut MPR itu
memang tidak diperlukan. Keberadaan Utusan Golongan ini
sudah tidak relevan lagi dengan proses demokratisasi
prosedural yang menghendaki wakil-wakil rakyat itu dipilih
langsung melalui Pemilihan Umum, kecuali anggota-angota
MPR yang berasal dari unsur utusan golongan juga dipilih
melalui Pemilu.

Lebih lanjut pada rapat ke-9 PAH I BP MPR, 16 Desember


1999 pada saat dilakukan dengan pendapat dengan pakar,
Philipus M. Hadjon, antara lain mengemukakan bahwa
apakah kita tetap mempertahankan MPR/DPR sebagai badan
perwakilan yang masing-masing terpisah, atau kita akan
menuju bicameral system, yang saya mengusulkan bicameral
sysfem-nya nanti itu MPR tetap namanya. Nama seperti
parlemen kongres, tetapi di dalamnya itu DPR dan Utusan
Daerah sehingga Utusan Golongan tidak ada.112
Bertitik tolak dari argumentasi tersebut di atas, maka
keberadaan MPR tetap ada dalam struktur ketatanegaraan
Indonesia, namun eksistensinya hanya merupakan join session
(forum gabungan) dari DPR dan DPD serta tidak lagi
berkedudukan sebagai Lembaga Tertinggi Negara. Konstruksi
seperti ini mengingatkan kita pada keberadaan Congress di
Amerika Serikat. Lain daripada itu MPR juga tidak
diposisikan sebagai pemegang kedaulatan rakyat secara
penuh, namun masih tetap diberi wewenang untuk mengubah
UUD. Sedangkan kewenangan dalam hal mengeluarkan
produk hukum yang berbentuk Ketetapan MPR sudah tidak
dimiliki lagi setelah tahun 2003. Hal ini tersirat dalam
Ketentuan Pasal I Aturan Tambahan UUD 1945 yang
menegaskan bahwa Majelis Permusayawaratan Rakyat
ditugasi untuk melakukan peninjauan terhadap materi dan
status hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
untuk diambil putusan pada Sidang Majelis Permusyawaratan
Rakyat 2003. Ketentuan seperti ini menunjukkan bahwa
Ketetapan MPR yang selama ini dibentuk dan diberlakukan
sebagai produk hukum, harus diselaraskan dengan
amandemen UUD 1945.

Menurut Amandemen UUD 1945, MPR tidak diposisikan


sebagai pemegang kedaulatan rakyat, karena menurut Pasal 1
ayat (2) UUD 1945 ditegaskan bahwa kedaulatan adalah
ditangan rakyat berdasarkan UUD. Ketentuan seperti ini jelas
telah mengubah eksistensi MPR sebagai penjelmaan rakyat,
dimana sebelum UUD 1945 diamandemen menimbulkan
penafsiran yang ambigu.
Berkaitan dengan kewenangan untuk mengubah UUD, ke-
tentuan Pasal 37 UUD 1945 hasil amandemen menegaskan:
(1) Usul perubahan pasal-pasal UUD dapat diagendakan
dalam sidang MPR apabila diajukan oleh sekurang-
kurangnya 1/3 dari jumlah anggota MPR.
(2) Setiap usul perubahan diajukan secara tertulis dan
ditunjukkan dengan jelas bagian-bagian yang diusulkan
untuk diubah beserta alasannya.
(3) Untuk mengubah pasal-pasal UUD, sidang MPR dihadiri
sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota MPR.
(4) Putusan untuk mengubah pasal-pasal UUD dilakukan
dengan persetujuan sekurang-kurangnya 50 persen
ditambah satu dari seluruh anggota MPR.
(5) Khusus mengenai bentuk Negara Kesatuan Republik
Indonesia tidak dapat dilakukan perubahan.

Dalam teori Hukum Tata Negara dikenal adanya 4 (empat)


cara untuk mengubah konstitusi, yaitu:113
1. Dilakukan oleh pemegang kekuasaan legislatif dengan pem-
batasan tertentu. Cara semacam ini dapat dilakukan
melalui tiga macam kemungkinan, yakni:
a. Untuk mengubah konstitusi (UUD), sidang pemegang
kekuasaan legislatif harus dihadiri oleh sekurang-
kurang-

113 KC. Wheare, I960, Modern Constitution, Oxford

nya sejumlah anggota tertentu (qorum), misalnya


2/3 jumlah anggota pemegang kekuasaan legislatif
hadir.
b. Untuk mengubah konstitusi (UUD), Lembaga
Perwakilan
Rakyat harus dibubarkan dan kemudian
diselenggarakan
pemilu. Lembaga Perwakilan Rakyat yang
diperbaharui
inilah yang kemudian mengubah konstitusi, dengan
syarat-
syarat seperti dalam cara pertama.
c. Di dalam Lembaga Perwakilan Rakyat dengan sistem
dua
kamar. Untuk mengubah konstitusi (UUD) kedua
kamar
di dalam Lembaga Perwakilan Rakyat harus
mengadakan
sidang gabungan. Sidang gabungan inilah yang
berwenang
untuk mengubah konstitusi. Cara seperti ini, nampak
dipergunakan dalam konstruksi UUD 1945 setelah
dilaku-
kan amandemen I, II, III, dan IV.
2. Dilakukan melalui referendum yang prosedurnya dapat
dilakukan sebagai berikut:
a. Apabila ada kehendak untuk mengubah konstitusi
(UUD),
maka Lembaga negara yang diberi wewenang untuk
itu
mengajukan usul perubahan kepada rakyat dalam
suatu
referendum;
b. Usul perubahan yang dimaksud disiapkan terlebih
dahulu
oleh suatu badan yang diberi wewenang untuk itu;
c. Dalam referendum rakyat menyampaikan
pendapatnya
dengan jalan menerima atau menolak usul perubahan
yang
telah disampaikan kepada mereka;
d. Penentuan diterima atau ditolak suatu perubahan
diatur
dalam konstitusi yang akan diubah.
Cara semacam ini pernah akan digunakan di Indonesia
pada saat diberlakukannya Ketetapan MPR No.
IV/MPR/1983 Tentang Referendum dan Undang-Undang
No. 5 Tahun 1985 Tentang Referendum.
3. Di negara serikat, untuk mengubah konstitusi, dilakukan
oleh
sejumlah negara bagian. Dalam negara serikat keberadaan
konstitusi dianggap sebagai suatu naskah perjanjian antara
negara-negara bagian, maka perubahan terhadapnya
harus dengan persetujuan sebagian besar negara-negara
bagian tersebut.
4. Dilakukan suatu konvensi atau oleh suatu lembaga-lembaga
khusus yang dibentuk hanya untuk keperluan perubahan
konstitusi. Cara semacam ini dapat dilakukan baik di
negara serikat maupun di negara kesatuan. Apabila ada
kehendak untuk mengubah konstitusi, maka sesuai
dengan ketentuan yang berlaku, dibentuklah suatu
lembaga khusus yang tugas serta wewenangnya hanya
mengubah konstitusi. Usul perubahan dapat berasal dari
lembaga khusus tersebut, dan dapat pula berasal dari
pemegang kekuasan perundang-undangan. Apabila
lembaga khusus ini telah melaksanakan tugas dan
wewenangnya, dengan sendirinya lembaga ini
membubarkan diri.

Sementara itu menurut Ismail Suny, proses perubahan


konstitusi dapat terjadi dengan berbagai cara, yakni:114
1. Perubahan resmi;
2. Penafsiran Hakim; dan
3. Kebiasaan ketatanegaraan atau konvensi.

Dari berbagai cara tersebut di atas, perubahan


(amandemen) UUD 1945 yang telah dilakukan sebanyak 4
(empat) kali sejak Tahun 1999 tidak ada satupun yang
dipergunakan. Amandemen UUD 1945 tetap menjadi tugas
dan wewenang dari MPR. Sedangkan Komisi Konstitusi yang
pernah dibentuk hanya diberi tugas memberikan rekomendasi
dalam hal penyelarasan atau penghalusan hasil kerja dari
MPR (PAH I MPR). Pengesahan terhadap hasil perubahan
UUD tetap dikembalikan kepada MPR.
Untuk memilih dan mengangkat Presiden dan Wakil Pre-
siden, MPR sudah tidak diberi wewenang oleh UUD 1945 hasil
amandemen. Dalam Pasal 6 A ayat (1) UUD 1945 ditegaskan
114 Ismail Sunv, il.il.nn Moh. Kusnardi dan Harmaily
Ibrahim, 1988, Pengantar liukmu Tata
Negara Jm/nii.-.iu Sludi HTN FH-UI, Jakarta, him. 85.
antara lain:

(1) Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan


secara langsung oleh rakyat.
(2) Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan
oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta
pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum.
(3) Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang
mendapat suara lebih dari lima puluh persen dari jumlah
suara dalam pemilihan umum dengan sedikitnya dua
puluh persen suara di setiap provinsi yang tersebar dilebih
dari setengah jumlah provinsi di Indonesia, dilantik
menjadi Presiden dan Wakil Presiden.
(4) Dalam hal tidak ada pasangan calon Presiden dan Wakil
Presiden terpilih, dua pasangan calon yang memperoleh
suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan
umum dipilh oleh rakyat secara langsung dan pasangan
yang memperoleh suara rakyat terbanyak dilantik sebagai
Presiden dan Wakil Presiden.
(5) Tata cara pelaksanaan pemilihan Presiden dan Wakil
Presiden lebih lanjut diatur dengan Undang-Undang.
Ketentuan tersebut memberikan penegasan bahwa
pemilihan Presiden dan Wakil Presiden dilakukan secara
langsung oleh rakyat, baik dalam putaran pertama maupun
putaran kedua. Dengan demikian, tata cara pemilihan
Presiden dan Wakil Presiden sebagaimana diatur dalam
Ketetapan MPR No. VI/MPR/1999 tidak diperlukan lagi alias
dicabut. Namun demikian, dalam keadaan tertentu MPR
masih tetap mempunyai wewenang untuk memilih Presiden
dan/atau Wakil Presiden. Hal ini diatur oleh Pasal 8 UUD
1945 hasil amandemen yang menyatakan, antara lain:
(1) Jika Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan atau tidak
dapat
melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya, ia
digantikan
1
oleh Wakil Presiden sampai habis masa jabatannya.
(2) Dalam hal terjadi kekosongan Wakil Presiden, selambat-
lambatnya dalam waktu enam puluh hari, Majelis Permu-
syawaratan Rakyat menyelenggarakan sidang untuk
memilih Wakil Presiden dari dua calon yang diusulkan
oleh Presiden.
(3) Jika Presiden dan Wakil Presiden mangkat, berhenti, diber-
hentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam
masa jabatannya secara bersamaan, palaksanaan tugas
kepresidenan adalah Menteri Luar Negeri, Menteri Dalam
Negeri, Menteri Pertahanan secara bersama-sama.
Selambat-lambatnya tiga puluh hari setelah itu, Mejelis
Permusyawaratan Rakyat menyelenggarakan sidang untuk
memilih Presiden dan Wakil Presiden dari dua paket calon
Presiden dan Wakil Presiden yang diusulkan oleh Partai
Politik atau gabungan Partai Politik yang paket calon
Presiden dan Wakil Presiden meraih suara terbanyak
pertama dan kedua dalam pemilihan umum sebelumnya,
sampai habis masa jabatannya.

Ketentuan pasal tersebut di samping masih tetap


memberikan wewenang kepada MPR untuk memilih Presiden
dan Wakil Presiden jika mereka tidak dapat melaksanakan
kewajibannya secara bersamaan, juga memberikan penegasan
mengenai pejabat negara yang ditunjuk untuk melaksanakan
tugas kepresidenan dengan mempergunakan model
triumvirat.

C. Dewan Perwakilan Rakyat.


Di dalam amandemen UUD 1945, ketentuan tentang
Dewan Perwakilan Rakyat diatur sebagai berikut:
1. Pasal 19 UUD 1945:
(1) Anggota Dewan Perwakilan Rakyat dipilih melalui Pe-
milihan Umum.
(2) Susunan Dewan Perwakilan Rakyat diatur dengan
Undang-Undang.
(3) Dewan Perwaklan Rakyat bersidang sedikitnya sekali
dalam setahun.

2. Pasal 20 UUD 1945:


(1) Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan mem-
bentuk undang-undang.
(2) Setiap rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan
Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapat per-
setujuan bersama.
(3) Jika rancangan undang-undang itu tidak mendapat
persetujuan bersama, rancangan undang-undangan itu
tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan Dewan
Perwakilan Rakyat masa itu.
(4) Presiden mengesahkan rancangan undang-undang
yang telah disetujui bersama untuk menjadi undang-
undang.
(5) Dalam hal rancangan undang-undang yang telah
disetujui bersama tersebut tidak disahkan oleh Presiden
dalam waktu tiga puluh hari semenjak rancangan
undang-undang tersebut disetujui, rancangan undang-
undang tersebut sah menjadi undang-undang dan
wajib diundangkan.
3. Pasal 20A UUD 1945:
(1) Dewan Perwakilan Rakyat memiliki fungsi legislasi,
fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan.
(2) Dalam melaksanakan fungsinya, selain hak yang diatur
dalam pasal-pasal lain Undang-Undang Dasar ini,
Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai hak interpelasi,
hak angket, dan hak menyatakan pendapat.
(3) Selain hak yang diatur dalam pasal-pasal lain Undang-
Undang Dasar ini, setiap anggota Dewan Perwakilan
Rakyat mempunyai hak mengajukan pertanyaan,
menyampaikan usul dan pendapat serta hak imunitas.
(4) Ketentuan lebih lanjut tentang hak Dewan Perwakilan
Rakyat dan hak anggota Dewan Perwakilan Rakyat
diatur dalam undang-undang.
4. Pasal 21 UUD 1945:
(1) Anggota Dewan Perwakilan Rakyat berhak
mengajukan usul rancangan undang-undang.
(2) Jika rancangan itu, meskipun disetujui oleh Dewan
Perwakilan Rakyat, tidak disahkan oleh Presiden, maka
rancangan tadi tidak boleh dimajukan lagi dalam
sidang Dewan Perwakilan Rakyat masa itu.
5. Pasal 22 UUD 1945:
(1) Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden
berhak menetapkan Peraturan Pemerintah sebagai
Pengganti Undang-Undang.
(2) Peraturan Pemerintah itu harus mendapat persetujuan
Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan yang
berikut.
(3) Jika tidak mendapatkan persetujuan, maka peraturan
pemerintah itu harus dicabut.

6. Pasal 22 A UUD 1945 : Ketentuan lebih lanjut tentang tata


cara pembentukan undang-undang diatur dengan undang-
undang.
7. Pasal 22 B UUD 1945: Anggota Dewan Perwakilan Rakyat
dapat diberhentikan dari jabatanyya yang syarat-syarat
dan tata caranya diatur dalam undang-undang.

Ketentuan-ketentuan tersebut di atas memberikan dasar


konstitusional bagi Dewan Perwakilan Rakyat dalam
mengemban amanat demokrasi dan kedaulatan rakyat. Fungsi
Dewan Perwakilan Rakyat yang demikian strategis tentunya
harus diimbangi dengan kualitas dari anggota Dewan
Perwakilan Rakyat itu sendiri. Tidak cukup jika anggota
Dewan Perwakilan Rakyat itu berasal dari toloh-tokoh
terkenal di masyarakat, melainkan dia harus mempunyai
kapasitas dan kapabilitas yang mencukupi untuk
mengembang aspirasi masyarakat dalam negara demokrasi.
Oleh sebab itu dalam rangka meningkatkan kualitas anggota
Dewan Perwakilan Rakyat tentunya perlu dilengkapi oleh staf
ahli yang memiliki kemampuan spesifik dalam bidang
tertentu, sesuai dengan lingkup atau bidang kerja dari masing-
masing anggota Dewan Perwakilan Rakyat itu sendiri.
Staf ahli ini sangat dibutuhkan mengingat pada hakikatnya
anggota Dewan Perwakilan Rakyat itu sifatnya adalah
generalis. Artinya pemahaman masing-masing anggota
Dewan Perwakilan Rakyat dalam suatu bidang tertentu
sifatnya adalah umum dan politis. Oleh sebab itulah untuk
memahami bidang pekerjaan yang dirangkum dalam Komisi,
perlu dilengkapi dengan staf ahli yang memiliki kemampuan
di bidang yang lebih spesifik dan teknis.

D. Dewan Perwakilan Daerah.


Perdebatan tentang keberadaan Dewan Perwakilan Daerah
(DPD) sebagai lembaga baru hasil amandemen UUD1945
mulai muncul saat akan dilakukan Perubahan Pertama UUD
1945 pada tahun 1999 yang dikaitkan dengan keberadaan
Utusan Daerah sebagai salah satu unsur dalam susunan
keanggotaan MPR. Namun masuknya ketentuan DPD dalam
UUD 1945 baru dapat diputuskan pada Perubahan Ketiga
UUD 1945.115
Dalam proses Perubahan Ketiga UUD 1945, pada Rapat
PAH I BP MPR ke 13 yang dipimpin oleh Jakob Tobing pada
tanggal 24 April 2001, anggota Tim Ahli, Afan Gaffar
menyatakan bahwa seharusnya DPD memiliki kekuasaan
legislatif. Lebih lanjut dikatakan:
"Draf yang dibuat oleh Tim Ad Hoc I ini
memperlihatkan bahwa hanya DPR yang punya legislatif
power. Jelas kalau itu tidak menggunakan bikameral.
Dalam pengertian konsep lain, dua-duanya mempunyai
hak kewajiban, tanggung jawab dan peranan, serta fungsi
yang sama. Dua-duanya berhak mengusahakan dan
menginisiatifkan undang-undang. Hanya saja kalau
memang ada perbedaan maka dibentuk Tim Penyelaras di
antara kedua lembaga itu. Jadi kami tidak sependapat
dengan draf yang diajukan oleh Panitia Ad Hoc I
mengenai perbedaan fungsi antara DPD sama DPR".116

Lebih lanjut Jimly Ashiddiqie menjelaskan fungsi DPD


dibandingkan dengan DPR sebagai berikut:
"Namanya Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan
Perwakilan Daerah. Tidak ada masalah untuk Tim Hukum
mau namanya Dewan Utusan Daerah, Dewan Perwakilan
Daerah itu bisa saja. Toh mereka ini anggota-anggotanya
dipilih melalui pemilihan umum. Nanti bisa saja disebut
Dewan Perwakilan Daerah. Hal yang menjadi soal adalah
banyak pertanyaan berkenaan bagaimana membedakan
atau apanya yang bisa dibedakan? Sebenarnya memang
kalau kita pelajari sejarah negara-negara lain ya tidak
sama. Kayak di Inggris, misalnya, sejarahnya sendiri ada
House of Lord, House of Commons itu beda dengan Majelis
Tinggi-Mejelis Rendah, beda sekali.
Senat di Amerika dengan DPR di Amerika latar
belakangnya juga berbeda. Karena itu, memang ada yang
membuat dua fungsi itu sama. Ada yang membedakan,
tergantung kita. Dengan kelebihan dan kelemahannya
masing-masing. Kalau fungsi DPR dan DPD itu dibuat
sama, kesannya tidak ada diskriminasi, tetapi mungkin
ada terjadi kompetisi bisa sehat, bisa tidak sehat juga.
Oleh karena itu, sementara yang kita pikirkan adalah
bahwa dua lembaga ini harus sama-sama harus diberi tiga
fungsi sekaligus. Fungsi legislasi dua-duanya punya.
Fungsi pengawasan dua-duanya punya dan fungsi
anggaran. Nah khusus mengenai fungsi pengawasan lebih
mudah. Bisa kita bedakan. Misalnya, DPD melakukan
pengawasan tugas pemerintah dalam menjalankan
undang-undang yang berkenaan dengan daerah, misalnya
begitu, dan yang lain-lain tidak itu dalam pengawasan,
sedangkan dalam legislasi itu tadi dua kemungkinannya
bisa kita bedakan dibagi tugasnya. Tetapi, resikonya
sepandai-pandai kita membagi tentu masih ada celah. Apa
namanya itu konflik juga. Itu yang sudah terjadi misalnya
dengan pembagian tugas pusat dan daerah dalam
Undang-Undang No. 22 tahun 1999 sudah sangat rinci
sekali, tetapi tetap saja ada yang tidak termasuk di situ.
Oleh karena itu, kalau pun akan dibedakan, ya
sudahlah ndak usah diatur dalam Undang-Undang Dasar,
tetapi bisa juga disamakan saja. Baik DPR dan DPD sama-
sama mempunyai fungsi legislasi, sama-sama bisa
membahas RUU, dan bisa bisa sama-sama berinisiatif
mengajukan RUU sendiri. Nah, dengan catatan, menurut
pendapat kami, jangan kita meniru seperti di Amerika,
terlalu berat. Kalau di Amerika, setiap undang-undang
harus disetujui oleh dua-dua lembaga ini, sedangkan kita
dalam sejarahnya Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan
Perwakilan Daerah inikan berasal dari MPR minus Utusan
Golongan. Kalau selama ini RUU cukup dibahas oleh DPR.
Kalau nanti juga harus dibahas oleh DPD itu berarti 2/3
MPR berarti jauh lebih berat. Padahal, kita mengetahui
bahwa produk undang-undang setetah lima puluh tahun
ini banyak sekali yang harus kita bangun dan
kembangkan.
Oleh karena itu, kami berpendapat hasil diskusi
kawan-kawan di Tim Hukum biarlah wewenang untuk
membahas itu diberikan pada satu kamar saja, tetapi
kamar yang lain untuk veto, menyatakan setuju materi
tertentu atau tidak setuju dengan mekanisme pembahasan.
Kalau tidak setuju, diberikan kesempatan untuk rapat
konsultasi di MPR yaitu forum bersama itu, tetapi
konsultasi sifatnya. Kalau tetap tidak bisa dicapai
kesepakatan, maka dikembalikan kepada Dewan yang
membahasnya untuk dibahas lagi dengan pangaturan
mekanisme voting akhirnya. Jadi, kalau ada peningkatan
atau apa kalau itu bisa diputuskan jadi undang-undang.
Kemudian, yang kedua, hak veto ini juga dibatasi
dalam RUU yang dibahas oleh DPR sudah mendapat
dukungan 2/3 suara maka tidak bisa divoting oleh lembaga
yang lain. Begitu pun kalau misalnya RUU itu insiatif
Dewan Utusan Daerah kalau dia sudah mendapat
dukungan dari 2/3 persen suara tidak lagi bisa diveto, kira-
kira begitu. Dengan demikian, ada checks and balances,
tetapi di lain segi tidak mempersulit gitu karena sejarah
kita, Dewan Perwakilan Rakyat dan Daerah itu berasal
dari MPR minus Utusan Golongan, supaya mengesankan
kok membuat undang-undang menjadi sulit, padahal
masa sekarang ini harusnya banyak tetapi baru berapa
undang-undang yang jadi".117

Dari pandangan para pakar terkait dengan eksistensi dari


Dewan Perwaklan Daerah tersebut di atas, dapat ditarik
pemahaman antara lain:
a. Sehubungan dengan nama masih menjadi perdebatan
apakah
itu Dewan Utusan Daerah ataukah Dewan Perwakilan
Daerah;
b. Diantara para Pakar yang tergabung di dalam Tim Ahli
belum

117 Ibid, him. 699-701.


ada kata sepakat, apakah DPD tersebut mempunyai fungsi
yang sama dengan DPR atau tidak, khususnya yang
berkaitan dengan fungsi legislasi;

c. Jikalau DPD juga memiliki fungsi legislasi, maka


diperlukan
adanya Tim Penyelaras dalam legislasi atau masing-
masing
lembaga ini diberi hak veto terhadap RUU inistiatif yang
diajukan oleh masing-masing lembaga (DPR atau DPD);
d. Keberadaan DPD dan DPR dalam Majelis
Perwmusyawaratan
Rakyat tidak dapat disamakan dengan sistem dua kamar
seperti
di Inggris atau Amerika Serikat, karena aspek kesejarahan
dan
kesulitan dalam pembahasan RUU, karena sama saja
artinya
dengan dibahas oleh 2/3 MPR, sehingga menimbulkan
kesan
untuk membuat UU menjadi sulit.

Kemudian dalam Rapat ke 14 PAH I BP MPR pada tanggal


10 Mei 2001, Maswadi Rauf selaku anggota Tim Ahli
menyampaikan pandangan bahwa, DPD merupakan lembaga
legislatif dan mempunyai hak legislatif yang sama dengan
DPR, dan terlibat di dalam pelaksanaan setiap tugas lembaga
legislatif. Oleh sebab itu bisa disebut sebagai bikameralisme
yang kuat atau strong bicameralism."8 Sehubungan dengan
eksistensi DPD dan DPR yang mempergunakan sistem strong
bicameralism tersebut, Maswardi Rauf mengemukakan:
Pasal 3 itu kita mencoba untuk membuat pembagian
pekerjaan hubungan antara kedua lembaga tersebut.
Ayat (1) ditulis di situ bahwa setiap RUU menghendaki
persetujuan DPR dan DPD. Jadi, harus lolos dari kedua
dewan tersebut.
Ayat (2) itu ada ketentuan bahwa dalam waktu tiga
puluh hari sejak RUU disetujui oleh lebih dari 50% suara
lembaga yang membahas DPR atau DPD dan tidak ada
keberatan dari lembaga lainnya DPR atau DPD.
Ayat (3) jika Presiden tidak menyatakan keberatan
dalam waktu 30 hari sejak dterima oleh Presiden, maka
rancangan undang-undang tersebut sah menjadi undang-
undang.119

Menurut Maswardi Rauf, bagi Indonesia bicameralisme yang


strong ini sebuah kebutuhan yang sangat mendesak,
mengingat beragamnya masyarakat kita dengan berbagai
macam kepentingan sehingga bicameralisme yang kuat ini
dimaksudkan untuk bisa memperjuangkan lebih baik aspirasi
kepentingan yang berkembang di berbagai daerah, sehingga
bicameralisme yang kuat ini bisa dianggap merupakan bagian
dari usaha untuk memperkuat negara kesatuan.120
Perlunya DPD diberi kewenangan yang besar karena DPD
merupakan lembaga yang diperuntukkan bagi penyaluran ke-
pentingan daerah. Maswardi Rauf beranggapan bahwa selama
Orde Baru telah terjadi kekecewaan daerah terhadap
pengelolaan hubungan pusat dan daerah. Oleh sebab itu demi
kepentingan daerah DPD harus dipilih langsung oleh rakyat
daerah dan perlu diberi kewenangan yang setara dengan
DPR.121
Dari proses pembahasan amandemen UUD 1945 yang me-
nyangkut keberadaan DPD tersebut di atas, maka Pasal-pasal
UUD yang menyangkut DPD dirumuskan sebagai berikut:
a. Pasal 2 ayat (1) UUD 1945: Majelis Permusyawaratan
Rakyat
terdiri atas anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat
dan
anggota-anggota Dewan Perwakilan Daerah yang dipilih
melalui pemilihan umum dan diatur lebih lanjut di dalam
undang-undang.
b. Pasal 22 C UUD 1945:
(1) Anggota Dewan Perwakilan Daerah dipilih dari setiap
provinsi melalui pemilihan umum.
(2) Anggota Dewan Perwakilan Daerah dari setiap
provinsi jumlahnya sama dan seluruh anggota Dewan
Perwakilan Daerah itu tidak lebih dari sepertiga jumlah
anggota Dewan Perwakilan Rakyat.
(3) Dewan Perwakilan Daerah bersidang sedikitnya sekali
dalam setahun.
(4) Susunan dan kedudukan Dewan Perwakilan Daerah
diatur dengan undang-undang.
c. Pasal 22 D UUD 1945:
(1) Dewan Perwakilan Daerah dapat mengajukan kepada
Dewan Perwakilan Rakyat rancangan undang-undang
yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan
pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta
penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam
dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang
berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan
daerah.
(2) Dewan Perwakilan Daerah ikut membahas rancangan
undang-undang yang berkaitan dengan otonomi
daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan,
pemekaran, dan penggabungan daerah; pengelolaan
sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya,
serta perimbangan keuangan pusat dan daerah; serta
memberikan pertimbangan kepada Dewan Perwakilan
Rakyat atas rancangan undang-undang anggaran
pendapatan dan belanja negara dan rancangan undang-
undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan
agama.
(3) Dewan Perwakilan Daerah dapat melakukan
pengawasan atas pelaksanaan undang-undang
mengenai: otonomi daerah, pembentukan, pemekaran
dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan
daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber
daya ekonomi lainnya, pelaksanaan anggaran
pendapatan dan belanja negara, pajak, pendidikan, dan
agama serta menyampaikan hasil pengawasan itu
kepada Dewan Perwakilan Rakyat sebagai bahan
pertimbangan untuk ditindak lanjuti.
(4) Anggota Dewan Perwakilan Daerah dapat
diberhentikan dari jabatannya, yang syarat-syarat dan
tata caranya diatur dalam undang-undang.

Memperhatikan ketentuan pasal-pasal tersebut di atas,


nampak jelas bahwa fungsi dan wewenang Dewan Perwakilan
Daerah dalam sistem keparlemenan di Indonesia sangat
minimalis bila dibandingkan dengan Dewan Perwakilan
Rakyat. Dalam hal keanggotaannya pun sejak diberlakukan
Undang-Undang No. 10 Tahun 2008 Tentang Pemilu Anggota
DPR, DPD dan DPRD menunjukkan adanya degradasi makna
keterwakilan kepentingan daerah dalam perumusan kebijakan
nasional.
Undang-Undang No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu
Anggota DPR, DPD dan DPRD (UU Pemilu) ternyata masih
menyisakan persoalan substansiil. Ini terbukti karena begitu
muncul UU tersebut langsung dimintakan Judicial Review ke
Mahkamah Konstitusi. Persoalan substansiil yang
disengketakan tersebut menyangkut belum tegasnya norma
domisili dan non Parpol chcantumkan dalam Pasal 12 dan
Pasal 67 sebagai persyaratan dan tata cara pendaftaran bakal
calon anggota DPD.
Pasal 22 C ayat (1) UUD 1945 menegaskan bahwa anggota
DPD dipilih dari setiap provinsi melalui pemilihan umum.
Ketentuan normatif seperti ini jelas masih menimbulkan dua
penafsiran. Pertama, setiap provinsi seperti yang dimaksud
pasal ini dapat ditafsirkan sebagai sebuah struktur organisasi
pemerintah daerah, dan kedua, setiap propinsi dapat juga
ditafsirkan sebagai daerah pemilihan sebagaimana diatur
dalam UU Pemilu. Munculnya dua penafsiran ini disebabkan,
karena UUD 1945 hasil amandemen sudah tidak menyertakan
lagi Penjelasan sebagaimana UUD 1945 sebelum amandemen.
Pada hakikatnya, sifat UUD 1945 setelah amandemen
adalah konstitusi tertulis. Artinya norma-norma hukum yang
menjadi substansi konstitusi telah secara tersurat (tidak
tersirat) dicantumkan dalam ketentuan pasal-pasal konstitusi.
Hal ini berbeda dengan UUD 1945 sebelum amandemen yang
mengakui adanya convention of constitutions (kebiasaan
ketatanegaraan) sebagaimana tertuang di dalam Penjelasan
Umum. Dalam kondisi yang seperti inilah keberadaan
Mahkamah Konstitusi (MK) menjadi sangat penting dalam
kerangka penafsiran konstitusi tertulis.
Norma yang tercantum dalam Pasal 22 C ayat (1) UUD
1945 tersebut pada hakikatnya tidaklah berdiri sendiri. Norma
ini terkait dengan norma yang tercantum dalam Pasal 18 ayat
(1) UUD 1945 yang menegaskan bahwa Negara Kesatuan
Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan
daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-
tiap provinsi, kabupaten dan kota itu mempunyai
pemerintahan daerah, yang diatur dengan Undang-Undang.
Dengan demikian, jelas kiranya bahwa yang dimaksud
dengan "anggota DPD dipilih dari setiap provinsi melalui
pemilihan umum" seharusnya ditafsirkan oleh MK yakni
provinsi sebagai struktur pemerintahan daerah sebagaimana
ditegaskan dalam ketentuan normatif Pasal 18 ayat (1) UUD
1945.
Oleh sebab itu norma domisili yang belum dicantumkan
dalam persyaratan Pasal 12 dan Pasal 67 UU Pemilu jelas
melanggar norma konstitusi dan MK harus berani
memberikan putusan judicial review yakni persyaratan calon
anggota DPD diubah karena melanggar norma konstitusi.
Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa Kedaulatan berada
di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang
Dasar. Ketentuan normatif ini dalam pelaksanaannya jelas
menyisakan sebuah pertanyaan, yakni dalam bentuk apakah
kedaulatan rakyat tersebut akan diimplementasikan.
Sejak pemilu tahun 2004 implementasi kedaulatan rakyat
telah diterjemahkan dalam 3 (tiga) model Pemilu, yakni :
1. Implementasi Kedaulatan Rakyat di bidang Politik
dilakukan melalui Pemilu anggota DPR yang berasal dari
Partai Politik.
2. Implementasi Kedaulatan rakyat di bidang kepentingan
yang berdimensi kedaerahan dilakukan melalui Pemilu
anggota DPD yang berasal dari perseorangan dan
mewakili masing-masing daerah (Provinsi).
3. Implementasi kedaulatan rakyat di bidang pemerintahan
dilakukan melalui Pemilu untuk memilih Presiden dan
Wakil Presiden yang dicalonkan oleh Partai Politik atau
gabungan Partai politik.
Jika diperhatikan lebih seksama, maka nampak jelas
bahwa 2 (dua) model Pemilu, yakni Pemilu anggota DPR
dan Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden telah
mengakomodasi kepentingan politik rakyat yang
diartikulasikan oleh Partai Politik dengan mengajukan
calon-calonnya. Sementara 1 (satu) model pemilu, yakni
Pemilu anggota DPD mengakomodasi kepentingan yang
berdimensi kedaerahan dalam konteks kebijakan nasional.
Oleh sebab itulah, dalam Pemilu anggota DPD norma
domisili (bukan norma partai politik) menjadi penting
untuk dimasukkan sebagai salah satu ketentuan
persyaratan pencalonan anggota DPD dalam UU Pemilu
Pasal 22 E ayat (4) UUD 1945 menegaskan bahwa Peserta
Pemilu untuk memilih anggota DPD adalah perseorangan.
Kata "perseorangan" sebagaimana dimaksud pada ketentuan
ini secara terminologis harus dimaknai sebagai individu yang
mandiri dan tidak terikat oleh kepentingan golongan maupun
afiliasi politik tertentu. Hal ini berarti secara konstitusional,
persyaratan pemilu untuk anggota DPD seharusnya juga
memuat norma perseorangan yang non partai politik.
Salah satu ketentuan persyaratan bagi Peserta Pemilu
untuk memilih anggota DPD yang sifatnya perseorangan
sebagaimana diatur dalam Pasal 12 huruf 1 UU No. 10 Tahun
2008 Tentang Pemilu, adalah bersedia untuk tidak berpraktik
sebagai akuntan publik, advokat/pengacara, notaris, pejabat
pembuat akta tanah (PPAT), dan tidak melakukan pekerjaan
penyedia barang dan jasa yang berhubungan dengan
keuangan negara serta pekerjaan lain yang dapat
menimbulkan konflik kepentingan dengan tugas, wewenang,
dan hak sebagai anggota DPD sesuai peraturan perundang-
undangan.
Kalimat kunci dalam persyaratan tersebut adalah "serta
pekerjaan lain yang dapat menimbulkan konflik kepentingan
dengan tugas, wewenang, dan hak sebagai anggota DPD
sesuai peraturan perundang-undangan". Persoalannya yang
terkandung dalam kalimat kunci tersebut adalah apa yang
dimaksud dengan konflik kepentingan itu? Penjelasan
ketentuan ini menyatakan "Cukup Jelas".
Pasal 1 angka 1 UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik
menyatakan bahwa Partai Politik adalah organisasi yang
bersifat nasional dan dibentuk oleh sekelompok warganegara
Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kehendak dan
cita-cita nntuk memperjuangkan kepentingan politik anggota,
masyarakat, bangsa dan negara, serta memelihara keutuhan
Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila
dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.
Mencermati pengertian tersebut menunjukkan bahwa
organisasi Parpol dibentuk memperjuangkan dan membela
terlebih dahulu kepentingan politik anggota, disusul
memperjuangkan kepentingan politik masyarakat, baru
kemudian memperjuangkan kepentingan politik bangsa dan
negara, rumusan seperti ini memberikan penguatan secara
yuridis bahwa Partai Politik memang hanya mementingkan
kelompok dan anggota-anggotanya.
Ditinjau dari aspek legal drafting, tidak dicantumkannya
norma domisili dan non Partai Politik dalam persyaratan
Peserta Pemilu serta tatacara pendaftaran bakal calon anggota
DPD merupakan tindakan yang melanggar konstitusi dan
asas-asas peraturan perundang-undangan yang baik.
Dikatakan melanggar konstitusi karena tidak sinkron dengan
Pasal 22 C UUD 1945 yang menegaskan bahwa anggota DPD
dipilih dari setiap provinsi melalui pemilihan umum, Pasal 18
ayat (1) dan Pasal 22 E UUD 1945 yang menyatakan bahwa
Peserta Pemilu untuk memilih anggota DPD adalah
perseorangan. Sedangkan dikatakan melanggar asas-asas
perundang-undangan yang baik, karena dengan tidak di-
cantumkannya secara tegas persyaratan tersebut menunjukkan
bahwa asas kenusantaraan, bhinneka tunggal ika, keadilan
dan kepastian hukum belum terpenuhi.
Bab V

SUPRA STRUKTUR POLITIK DAN INFRA


STRUKTUR POLITIK

(Dalam negara (Demokrasi hubungan antara negara dan rakyat


harus merupakan cerminan dari simbiose mutuahstis. Artinya
hubungan tersebut harus sating bergantung dan saling
menguntungkan. Hubungan itu akan nampakjelas ketika sistem
politikjyang dikembangkan oleh suatu negara memberikan ruang
gerakjyang cukup bagi aktifitas politik^di lingkungan masyarakat.
(Ruang gerak^aktifitas politik,masyarakat inilah yang akan
memberikan warna kehidupan demokrasi di dalam suatu negara

A. Pengertian.
Sebagaimana telah penulis kemukakan dalam Bab tentang
Sistem Pemerintahan Negara, bahwa titik tolak pengkajian
sistem pemerintahan dalam arti paling luas adalah
menyangkut hubungan antara negara dengan rakyat. Dengan
melandaskan pada titik tolak pengkajian inilah maka muncul
salah satu bentuk sistem pemerintahan yang disebut
demokrasi. Dengan demikian, bab ini secara spesifik akan
membahas mengenai hubungan antara negara dan rakyat
dalam konteks sistem politik demokrasi atau dalam khasanah
Hukum Tata Negara disebut sebagai Sistem Pemerintahan
Demokrasi.
Pada umumnya dalam mekanisme sistem politik yang
demokratis, selalu akan memunculkan adanya dua suasana
(fenomena) kehidupan politik yaitu:

1. Supra Struktur Politik, yakni suasana kehidupan politik


atau fenomena kehidupan politik di tingkat pemerintahan.
Artinya hal-hal yang bersangkut paut dengan kehidupan
lembaga-lembaga negara yang ada serta hubungan
kekuasaannya antara satu dengan yang lain.
2. Infra Struktur Politik, yakni suasana kehidupan politik
atau fenomena kehidupan politik di tingkat masyarakat.
Artinya hal-hal yang bersangkutan dengan kegiatan
politik di tingkat masyarakat yang memberikan pengaruh
terhadap tugas-tugas dari lembaga-lembaga negara dalam
suasana pemerintahan.122

Dalam sistem pemerintahan yang demokratis dua struktur


politik tersebut saling berinteraksi antara satu dengan yang
lain. Infra Struktur politik memberikan masukan (input) yang
berupa dukungan (support) maupun tuntutan (demand) kepada
Supra Struktur Politik, khususnya dalam rangka pengambilan
keputusan politik yang menyangkut kepentingan umum.
Sebaliknya Supra Struktur Politik akan mengolah berbagai
aspirasi masyarakat tersebut untuk menjadi suatu keputusan
politik yang memiliki nilai-nilai sosiologis dan diberlakukan di
lingkungan masyarakat, sekaligus keputusan politik tersebut
oleh Infra Struktur Politik dijadikan sebagai umpan balik yang
dijadikan sebagai bahan untuk dikaji ulang dan diperbaiki.
Apakah perlu memperoleh pembenahan ataukah bisa tetap
dipergunakan untuk menunjang tertib sosial. Dengan
demikian, hubungan atau interaksi kedua struktur politik
tersebut pada hakikatnya merupakan manifestasi sistem
pemerintahan yang demokratis yang lebih mengedepankan
asas partisipasi publik.
Mengimplementasikan prinsip-prinsip demokrasi
merupakan amanat reformasi yang harus segera dipenuhi
penyelenggaraannya di Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Demokrasi harus dijalankan tanpa embel-embel seperti yang
122 Sri Soemantri, 1986, Tentang lembaga-Lembaga Negara
Menurut UUD 1945, Alumni, Bandung, him. 11.
pernah terjadi di masa lalu dengan berbagai sebutan seperti
demokrasi terpimpin atau demokrasi Pancasila. Demokrasi
adalah demokrasi. Sebagai konsekuensinya adalah penyediaan
ruang bagi partisipasi publik yang seluas-luasnya.123

Negara demokrasi adalah negara yang memungkinkan


partisipasi rakyat berlangsung secara penuh dalam urusan-
urusan negara. Demokrasi adalah pemerintahan oleh semua
orang, kebalikan dari konsep pemerintahan oleh satu orang
(autocracy). Kedua konsep pemerintahan tersebut pada zaman
Yunani kuno dianggap sama-sama buruk. Yang diidealkan
adalah plutocracy, yakni konsep pemerintahan oleh banyak
orang, bukan hanya dikendalikan oleh satu orang. Tetapi
banyaknya orang itu tidak berarti semua orang ikut
berbondong-bondong (pen) memerintah, sehingga keadaan
menjadi kacau dan tidak terkendali.124 Meskipun banyak
memiliki kekurangan, demokrasi telah dijalankan oleh
sebagian besar negara di dunia dengan praktek yang berbeda-
beda, bahkan di negara-negara yang selama ini dikenal
menganut ideologi komunis seperti Cina dan Cuba
sekalipun.125
Demokrasi juga mensyaratkan adanya pengakuan
kedaulatan rakyat yang diwujudkan dalam bentuk pengakuan
civil society sebagai kekuatan penekan dan pengimbang vis a
vis negara. Rakyat sebagai elemen utama civil society secara
mutlak mendapatkan kedudukan strategis yang dijamin
konstitusi untuk menjalankan peran-perannya sebagai bentuk
partisipasi aktif. Civil society yang kuat akan mendorong state
untuk memperkuat dirinya agar terjadi balance of power,
sehingga terjadi keseimbangan kekuasaan yang bermuara
123 Rahmat A. Prakoso, Partisipasi Publik dalam Proses
Kebijakan di Masa Transisi, dalam http://
www.ipcos.or.id/index2.php?
option=com_content&do_pdf=l&id=42.
124 Jimly Asshiddiqie, 2005, Konstitusi dan
Konstitusionalisme Indonesia, Konstitusi Press, Jakarta,
him. 140
pada terjadinya check and balances dalam proses
penyelenggaraan negara.126 Dengan demikian keberadaan
Infra Strutur Politik yang pada hakikatnya merupakan
manifestasi pengakuan keberadaan civil society menjadi sarana
bagi keberlangsungan sistem pemerintahan yang demokratis.

AS. Hikam mengemukakan bahwa Civil Society dapat


didefinisikan sebagai wilayah-wilayah kehidupan sosial yang
terorganisasi dan bercirikan, antara lain: kesukarelaan
(voluntary), keswasembadaan (self-generating), dan
keswadayaan (self-supporting), kemandirian tinggi berhadapan
dengan negara, dan keterikatan dengan norma-norma atau
nilai-nilai hukum yang diikuti oleh warganya.127 Lebih lanjut
dikatakan bahwa civil society sebagaimana dikonsepsikan oleh
para pelopornya memiliki tiga ciri utama, yaitu :
1. adanya kemandirian yang cukup tinggi dari individu-
individu dan kelompok-kelompok dalam masyarakat,
utamanya ketika berhadapan dengan negara,
2. adanya ruang publik bebas sebagai wahana bagi
keterlibatan politik secara aktif dari warga negara melalui
wacana dan praksis yang berkaitan dengan kepentingan
publik, dan
3. adanya kemampuan membatasi kuasa negara agar ia tidak
intervensionis.128

Partisipasi publik dalam proses pengambilan kebijakan -


yang mengikat seluruh warga - adalah cara efektif untuk
mencapai pola hubungan setara antara pemerintah dan rakyat.
Di negara-negara demokrasi, partisipasi warga dalam proses
kebijakan merupakan hal yang lazim. Partisipasi publik dalam
proses kebijakan tidak hanya merupakan cermin demokrasi
yang paling nyata dalam kehidupan sehari-hari melainkan
juga bermanfaat bagi pemerintah. Permasalahan yang datang
silih berganti - dan tidak sedikit yang rumit - telah membuat
pemerintah tidak cukup sensitif atau memiliki waktu
menentukan prioritas kebijakan. Oleh sebab itu keterlibatan
masyarakat (civil society) dalam proses kebijakan membantu
pemerintah mengatasi persoalan dalam penentuan prioritas

127 AS. Hikam, 1999, Demokrasi dan Civil Society,


kebijakan. Selain itu, karena masyarakat teribat dalam proses
kebijakan, dengan antusias masyarakat memberikan
dukungan terhadap pelaksanaan kebijakan. Bahkan
masyarakat berharap agar implementasi kebijakan berhasil
baik.129

Partisipasi masyarakat merupakan prasyarat dan


representasi dari terealisasinya pemerintahan yang
demokratis. Tanpa adanya partisipasi dan hanya
mengandalkan mobilisasi niscaya yang namanya demokrasi
dalam sistem pemerintahan negara tidak akan terwujud
sampai kapanpun. Selain itu seiring dengan komitmen negara
yang hendak melaksanakan sistem politik yang lebih
demokratis, maka sudah menjadi kewajiban bagi pemerintah
untuk lebih membuka diri dengan menyadari posisi perannya
sebagai penyelenggara negara yang bersih untuk penguatan
masyarakat sipil (civil society) dengan menegakkan prinsip-
prinsip good governance yang terdiri dari 5 pilar, yaitu :
akuntabilitas, keterbukaan, ketaatan pada hukum, partisipasi
masyarakat, dan komitmen mandahulukan kepentingan
bangsa dan negara.130
Dari gambaran tersebut di atas, maka dalam sistem
pemerintahan yang demokratis peran dari infra struktur
politik merupakan wadah atau sarana bagi berlangsungnya
partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan politik
maupun kebijakan publik yang dalam dataran normatif
menjelma menjadi proses dan penyusunan kaidah hukum
yang nampak dari berbagai produk Peraturan Perundang-
undangan. Oleh sebab itu agar kebijakan publik yang nampak
dari berbagai Peraturan Perundang-undangan dapat direspon
oleh masyarakat dengan baik, maka partisipasi masyarakat
yang ditampung oleh infra struktur politik dan di proses oleh
supra struktur politik dalam merumuskan kebijakan publik itu
harus diberi tempat yang cukup memadai.

129..............................................................Rahmat A. Prakoso,
Partisipasi Publik dalam Proses...........,Opcit, Him. 2.
130 Fauzi Ismail, et.all, 2005, Libatkan Rakyat Dalam
Pengambilan Kebijakan, Forum LSM, Yogyakarta, him 83.
B. Supra Struktur Politik.
Lembaga-lembaga negara atau alat-alat perlengkapan ne-
gara dari suatu negara tidaklah sama antara satu dengan yang
lain. Bahkan bagi Negara Republik Indonesia yang pernah
mempergunakan konstitusi selain UUD 1945, keberadaan alat-
alat perlengkapan negara sebagai unsur Supra Struktur Politik
juga berbeda antara konstitusi yang satu dengan lainnya.
Lembaga-lembaga negara atau alat-alat perlengkapan negara
tersebut pada hakikatnya melaksanakan fungsi kekuasaan
masing-masing. Berkaitan dengan hal ini yang dimaksud
dengan Lembaga-lembaga Negara menurut masing-masing
Konstitusi yang pernah dan sedang berlaku di Indonesia
adalah:
1. Lembaga-lembaga Negara menurut UUD 1945 sebelum
Aman-
demen meliputi:
a. Lembaga Tertinggi Negara: Majelis Permusyawaratan
Rakyat
b. Lembaga Tinggi Negara yang terdiri dari:
i. Dewan Perwakilan Rakyat;
ii. Presiden dan Wakil Presiden;
iii. Dewan Pertimbangan Agung;
iv. Badan Pemeriksa Keuangan; dan
v. Mahkamah Agung.
2. Lembaga-lembaga Negara menurut Konstitusi RIS,
tercantum
di dalam Bab III, yakni menyangkut alat-alat perlengkapan
Negara Federal Republik Indonesia Serikat yang terdiri
dari:
a. Presiden;
b. Menteri-menteri;
c. Senat;
d. Dewan Perwakilan Rakyat;
e. Mahkamah Agung; dan
f. Dewan Pengawas Keuangan.
3. Lembaga-lembaga Negara menurut UUD 1950, yakni alat-
alat perlengkapan Negara Kesatuan Republik Indonesia
yang
terdiri dari:
a. Presiden dan Wakil Presiden;
b. Meteri-menteri;
c. Dewan Perwakilan Rakyat;
d. Mahkamah Agung; dan
e. Dewan Pengawas Keuangan.
4. Lembaga-Lembaga Negara menurut Amandemen UUD
1945 terdiri dari:
a. Majelis Permusyawaratan Rakyat;
b. Dewan Perwakilan Rakyat;
c. Dewan Perwakilan Daerah;
d. Presiden dan Wakil Presiden;
e. Badan Pemeriksa Keuangan;
f. Mahkamah Konstitusi;
g. Mahkamah Agung;
h. Komisi Yudisiil.

Keberadaan dari alat-alat perlengkapan negara atau


lembaga-lembaga negara yang masuk dalam Supra Struktur
Politik tersebut pada hakikatnya merupakan bentuk
pengembangan dari konsep trias politika dari Montesquieu. Di
dalam teori ini dikehendaki adanya pemecahan kekuasaan
(Pemisahan kekuasaan) yang tadinya dipegang oleh satu
tangan atau sekelompok orang kemudian diserahkan kepada
lembaga-lembaga negara yang terpisah bak menurut fungsi
maupun institusinya.
Dewasa ini dalam sistem pemerintahan yang demokratis,
teori trias politika tidak lagi dilaksanakan secara absolut.
Bahkan dalam perkembangannya cabang-cabang kekuasaan
tersebut mengalami perkembangan sejalan dengan kebutuhan
untuk menampung tuntutan demokrasi. Cabang-cabang
kekuasaan itu tidak hanya sebatas pada eksekutif, legislatif
dan yudikatif, melainkan berkembang sampai cabang
kekuasaan di bidang pengawasan finansial dari negara, seperti
yang terdapat di Indonesia yakni Badan Pemeriksa Keuangan.
Lain daripada itu, dewasa ini konsep trias politika juga
tidak lagi mengisyaratkan bahwa masing-masing lembaga
pemegang fungsi kekuasaan tersebut terpisah satu sama lain.
Artinya lembaga-lembaga negara itu masih tetap
melaksanakan checks and balances. Bahkan dimungkinkan bisa
saling mempengaruhi antara satu dengan yang lain. Dengan
demikian dalam pelaksanaannya yang dipisahkan itu
hanyalah lembaganya, sedangkan fungsinya dapat saling
berhubungan dan saling mendukung. Contoh yang dapat
dikemukakan disini adalah di Amerika Serikat, dimana
kekuasaan legialstif tetap ada pada parlemen, namun dalam
prakteknya Presiden Amerika Serikat juga memiliki hak Veto
terhadap rancangan undang-undang yang diajukan oleh
parlemen.

C. Infra Struktur Politik.


Keberadaan Infra Struktur Politik sebagai fenomena
kehidupan politik di lingkungan masyarakat berkembang
sedemikian pesat sejak abad XVIII sampai dengan abad XX
bertepatan dengan perkembangan konsep demokrasi dan
kedaualatan rakyat. Di Eropa Barat perkembangan Infra
struktur politik muncul setelah terjadi revolusi industri di
Perancis yang menumbangkan rezim otoritarian dan absolut
di bawah kekuasaan raja. Pada umumnya Infra Sruktur Politik
ditandai dengan keberadaan 5 unsur penunjang kehidupan
politik di masyarakat, yaitu:

1. Partai Politik (Political Party);


Secara umum Partai Politik adalah suaru kelompok yang
terorganisir secara teratur baik dalam hal pandangan, tujuan
maupun tata cara rekrutmen keanggotaan, dengan tujuan
pokok yaitu menguasai, merebut ataupun mempertahankan
kekuasaannya dalam pemerintahan secara konstitusional.131
Sedangkan menurut Undang-Undang No. 2 Tahun 2008
tentang Partai Politik disebutkan bahwa Partai Politik adalah
organisasi yang bersifat nasional dan dibenruk oleh

131 Miriam Budiardjo, 1986, Dasar-Dasar Ilmu Politik,


Gramedia, Jakarta, him. 160. Pembahasan selanjutnya
mengenai Partai Politik akan dikemukakan lebih terinci
dalam bab tentang Pemilihan Umum dan Partai Politik.
sekelompok warga negara Indonesia secara sukarela atas
dasar kesamaan kehendak dan cita-cita untuk
memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota,
masyarakat, bangsa dan negara, serta memelihara keutuhan
Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila
dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia.132

2. Golongan Kepentingan (Interest Group);


Golongan kepentingan adalah sekelompok orang yang
bersatu atau mengadakan persekutuan karena adanya
kepentingan-kepentingan tertentu baik itu merupakan
kepentingan umum atau masyarakat luas, maupun
kepentingan untuk kelompok tertentu saja. Golongan
kepentingan ini dapat dibedakan dalam bentuk-bentuk
sebagai berikut:133
a. Interest Group Assosiasi, yakni suatu golongan kepentingan
yang
didirikan secara khusus untuk memperjuangkan
kepentingan-
kepentingan tertentu, namun masih mencakup beberapa
bidang
yang luas. Pendek kata issue yang dipergunakan sebagai
visi
dan misi pendirian dari golongan kepentingan ini
semacam
ini sifatnya masih luas. Misalnya ORMAS (Organisasi
Massa).
b. Interest Group Institutional, pada umumnya terdiri atas
berbagai
kelompok manusia yang berasal dari lembaga yang ada.
tujuan
yang hendak dicapai adalah memperjuangkan
kepentingan-
kepentingan orang-orang yang menjadi anggota lembaga
yang
dimaksud. Contohnya adalah kelompok-kelompok profesi,
misal IKADIN, IDI, IKAHI (Ikatan Hakim Indonesia).
c. Interest Group non Assosiasi. Golongan kepentingan
semacam
ini tidak didirikan secara khusus. Kegiatannya tidak
dijalankan
secara teratur dan berkesinambungan. Aktifitasnya hanya

132 Pasal 1 angka 1 UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai


Politik.
133 S. Toto Pandoyo, 1985, Ulasan Terhadap Beberapa
Ketentuan Undang-Undang Dasar 1945, Sistem Politik dan
Perkembangan Kehidupan Demokrasi, Cet. II, Liberty,
terlihat keluar apabila kepentingan masyarakat
memerlukan
dan dalam keadaan mendesak. Yang dimaksud
masyarakat

disini misalnya: masyarakat setempat tinggal, masyarakat


seketurunan (trah), masyarakat seasal pendidikan,
masyarakat paguyuban (gemeinschaft), dan masyarakat
patembayan (gesellschaft).
d. Interest Group yang anomik. Keberadaan golongan
kepentingan semacam ini sifatnya mendadak (spontan)
dan tidak bernama. Aksi-aksinya berupa aksi demonstrasi
maupun aksi-aksi bersama. Apabila kegiatan-kegiatannya
tidak terkendali dapat menimbulkan keresahan dan
keonaran yang dapat mengakibatkan terganggunya
keamanan dan ketertiban serta stabilitas politik secara
nasional.
3. Golongan Penekan (Pressure Group).
Golongan penekan terdiri dari sekelompok manusia yang
tergabung menjadi anggota suatu lembaga kemasyarakatan
dengan aktifitas yang nampak keluar sebagai golongan yang
sering mempunyai keinginan untuk memaksakan kehendak
kepada pihak penguasa. Dengan kata lain golongan ini selalu
meletakkan dirinya sebagai kaum oposan yang selalu
menentang kebijakan dan politik pihak penguasa.134
Ada kemungkinan kelompok ini pada mulanya didirikan
tidak dimaksudkan secara spesifik menjadi golongan penekan.
Namun kemudian dalam perkembangan selanjutnya, karena
situasi dan kondisi politik tempat golongan tersebut berubah
tidak kondusif terhadap kehidupan demokrasi, maka
golongan ini berubah watak menjadi kelompok penekan.

4. Alat Komunikasi Politik (Media Political


Communication).
Fungsi utama dari alat komunikasi politik adalah sebagai
sarana penghubung dan pemersatu bagi masing-masing
golongan. Bagi Partai Politik dan golongan-golongan yang
terdapat di dalam Infra Struktur Politik berfungsi sebagai alat
untuk menyebarkan konsep-konsep, ajaran-ajaran, ide-ide,
program-progran kerja kepada seluruh lapisan masyarakat
maupun anggota masing-masing golongan tersebut. Alat
komunikasi politik ini bisa berwujud surat kabar, buletin,
pamflet, brosur dan media elektonik lainnya.

5. Tokoh Politik (Political Figure).


Tokoh poltik adalah orang yang karena latar belakang
sejarah dan sepak terjang dalam perjuangan dan idealismenya
dikenal oleh masyarakat, sehingga segala pendapat ataupun
pikiran dan perbuatannya diikuti oleh banyak orang. Biasanya
ia mempunai kemampuan kharismatik, oratorik yang mampu
mempersatukan (integrative skill), juru penengah (mediation
skill), pandai memanipulasi simbol-simbol, sehingga dapat
mengendalikan massa. Hal ini disebabkan karena ia bisa tidak
mengikatkan diri secara formal (independent) pada salah satu
kekuatan politik, melainkan berdiri di tengah-tengah
(centrist).™5
Keberadaan tokohpolitik dalam Infra Struktur Politik
sebenarnya sangat dipengaruhi oleh budaya politik yang
berkembang di dalam kehidupan masyarakat negara. Bagi
masyarakat yang masih bersifat paternalistik, keberadaan
tokoh politik sangat dominan, khususnya dalam rangka
mempengaruhi penyusunan kebijakan-kebijakan politik dan
pengambilan keputusan politik.
Menurut Rusadi Kantaprawira, dalam mekanisme
kehidupan politik yang demokratis fungsi yang diemban oleh
Infra Struktur Politik antara lain meliputi:
a. Pendidikan Politik (Political Education) untuk
meningkatkan
pengetahuan politik rakyat agar mereka dapat
berpartisipasi
secara aktif dan cerdas dalam sistem politik suatu negara
sesuai dengan paham demokrasi dan kedaulatan rakyat;
b. Mempertemukan kepentingan (Interest Articulation) yang
ber-
aneka ragam dan nyata-nyata hidup di lingkungan masya-
rakat;
135 Rusadi Kantaprawira, 1988, Sistem Politik Indonesia
Suatu Model Pengantar, Cet V, Sinar Baru, Bandung, him.
91.

c. Agregasi kepentingan (Interest Aggregation), yakni


menyalurkan
segala hasrat atau aspirasi dan pendapat masyarakat
kepada
pemegang kekuasaan (regime) atau pemegang kekuasaan
yang
berwenang (authorities) agar tuntutan (demands) atau
dukungan
(supports) menjadi perhatian dan menjadi keputusan
politik;
d. Seleksi kepemimpinan (Political Selection), yaitu
menyelenggara-
kan pemilihan pemimpin atau calon pemimpin
masyarakat.
Penyelenggaraan seleksi ini dilakukan secara terencana
dan
teratur berdasarkan hukum masyarakat dan norma serta
harapan masyarakat;
e. Komunikasi Politik (Political Communication), yakni
menghu-
bungkan pikiran politik yang hidup dalam masyarakat,
baik pikiran intra golongan, institut, asosiasi ataupun
sektor
kehidupan politik masyarakat dengan sektor
136
pemerintah.

D. Hubungan Supra Struktur Politik dan Infra


Struktur Politik Dalam Pengambilan Keputusan
Politik.
Hubungan antara kedua struktur politik dalam kehidupan
politik di suatu negara sangat tergantung dari paham politik
yang dikembangkan oleh masing-masing negara. Artinya
hubungan tersebut sangat dipengaruhi corak sistem
pemerintahan dalam arti paling luas yang dikembangkan oleh
masing-masing negara yang menitik beratkan hubungan
antara negara dan rakyat. Di negara yang corak sistem
pemerintahannya demokratis hubungan antara kedua struktur
politik tersebut saling kait mengkait, selaras, serasi, dan
seimbang.
Di dalam menentukan kebijaksanaan umum (public policy),
Infra Struktur Politik berfungsi sebagai sarana asupan atau
masukan (input) yang berwujud pernyataan keinginan dan
tuntutan masyarakat (social demand); sedangkan Supra
Struktur Politik, yakni pemerintah dalam arti luas (lembaga-
lembaga negara) berfungsi sebagai output dalam hal
menentukan public policy yang berwujud
keputusan-kepu tusan politik sesuai dengan keinginan dan
tuntutan masyarakat. Contohnya dalam pembentukan
peraturan perundang-undangan. Pasal 53 Undang-Undang
No. 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan menegaskan bahwa masyarakat berhak
memberikan masukan secara lisan atau tertulis dalam rangka
penyiapan atau pembahasan rancangan undang-undang dan
Rancangan Peraturan Daerah.
Di dalam negara yang corak sistem pemerintahannya
totaliter-diktatorik, keserasian sebagaimana terdapat di dalam
sistem pemerintahan demokratis tidak menampakkan
kejelasan. Artinya antara kedua struktur politik tersebut tidak
menampakkan hubungan yang serasi. Hal ini disebabkan titik
berat dalam menentukan public policy yang berwujud
keputusan-keputusan politik ada pada Supra Struktur Politik
(negara). Sedangkan Infra Struktur Politik tidak diberi
kesempatan atau ruang untuk terlibat dalam menentukan
public policy, khususnya dalam memberikan masukan baik
yang berwujud tuntutan (demands) maupun dukungan
(supports). Hal ini berarti eksistensi Infra Struktur Politik tidak
pernah diakui dan tidak pernah diberi kesempatan dalam
setiap aktifitas kehidupan ketatanegaraan.
Sedangkan negara yang corak politiknya bersifat liberal
kapitalistik, titik berat dalam menentukan public policy
tergantung dan sangat ditentukan oleh tuntutan para
pemegang kapital terkuat di lingkungan Infra Struktur Politik.
Sedangkan Supra Struktur Politik hanya merumuskan
tuntutan-tuntutan tersebut ke dalam keputusan politik. Hal ini
berarti keberadaan Supra Stuktur Politik justru dipergunakan
sebagai alat Infra Struktur Politik yang mempunyai modal
kuat khususnya di bidang ekonomi. Kondisi yang demikian
ini pada umumnya disebabkan oleh munculnya golongan-
golongan menengah dalam kehidupan sosial ekonomi yang
kemudian golongan ini menjadi tokoh-tokoh politik.
Kecenderungan golongan menengah ini menjadi tokoh politik
dilandasi oleh kepentingan mereka untuk mengamankan asset
ekonomi yang mereka miliki melalui keputusan politik yang
diambil oleh Supra Struktur Politik yang pada umumnya telah
dikuasai oleh golongan menengah tersebut. Mereka inilah
yang disebut oleh Karl marx sebagai kaum borjuis.

E. Mekanisme Sistem Politik Demokrasi Menurut


UUD 1945.

1. Sebelum Amandemen UUD 1945.


Mekanisme sistem politik demokrasi di Indonesia sebelum
amandemen UUD 1945 pada prinsipnya berlandaskan pada
Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 yang menegaskan bahwa
Kedaulatan adalah di tangan rakyat dan dilakukan
sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat.
Selanjutnya menurut Pasal 2 ayat (1) menegaskan bahwa
Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota-anggota
Dewan Perwakilan Rakyat ditambah utusan-utusan daerah-
daerah dan golongan-golongan menurut aturan yang
ditetapkan dengan undang-undang.
Dengan adanya Konstruksi konstitusional semacam ini
tersirat bahwa mekanisme sistem politik demokrasi Indonesia
sebelum amandemen UUD 1945 mempergunakan sistem
parlemen dengan 3 (tiga) kamar. Akan tetapi dalam khasanah
Hukum Tata Negara Indonesia parlemen dengan sistem 3
kamar ini tidak pernah diakui baik secara akademik maupun
praktek.
Terlepas dari perdebatan mengenai pengakuan sistem
parlemen 3 kamar tersebut, sistem demokrasi yang
dikembangkan oleh UUD 1945 sebelum amandemen tetap
meletakkan rakyat sebagai the driving force (kekuatan
pengendali) dari mekanisme yang akan dijalankan. Namun
demikian, rakyat sebagai the driving force tidak melaksanakan
sendiri, melainkan dilakukan oleh Majelis Permusyawaratan
Rakyat yang dalam Penjelasan UUD 1945 (sebelum
amandemen) dianggap sebagai penjelmaan rakyat.
Selanjutnya di dalam Penjelasan Umum UUD 1945,
dikemuka-kan 7 (tujuh) pilar sistem Pemerintahan Negara
yang dirumuskan sebagai berikut:
a. Indonesia ialah negara yang berdasarkan hukum
(rechtsstaat);
b. Pemerintah berdasarkan atas sistem konstitusi (hukum
dasar);
c. Kekuasaan negara tertinggi di tangan Majelis
Permusyawaratan
rakyat;
d. Presiden adalah penyelenggara Pemerintahan Negara
Tertinggi
di bawah Majelis;
e. Presiden tidak bertanggung jawab kepada DPR;
f. Menteri Negara ialah pembantu Presiden; Menteri Negara
tidak bertanggung jawab kepada DPR;
g. Kekuasaan Kepala Negara tidak tak terbatas.

Dengan memperhatikan sistem pemerintahan di atas,


dapat diketahui bahwa unsur yang mendukung mekanisme
sistem politik demokrasi menurut UUD 1945 sebelum
amandemen, adalah sebagai berikut:
1. Rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi di dalam
negara dan dilaksanakan sepenuhnya oleh MPR,
menyalurkan aspirasinya melalui Infra Struktur Politik,
yakni organisasi kekuatan sosial politik,137 serta golongan-
golongan yang ada di dalam masyarakat. Penyaluran
aspirasi tersebut diwujudkan dengan ikut serta dalam
Pemilihan Umum guna memilih anggota DPR baik di
tingkat Daerah maupun di tingkat Pusat. Dari hasil Pemilu
tersebut, terbentuk juga MPR yang berkedudukan sebagai
Lembaga yang melaksanakan kedaulatan rakyat dalam
negara.
2. MPR yang sudah terbentuk ini kemudian mulai
melaksanakan tugasnya melalui proses politik tertentu,
yakni melaksanakan Sidang Umum dengan tujuan utama
memilih Presiden dan Wakil Presiden serta menetapkan
beberapa Ketetapan MPR maupun Keputusan MPR guna
menjabarkan kehendak rakyat yang dirangkum dalam
Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN).

Presiden sebagai Mandataris MPR merupakan hasil dari suatu


proses politik (Input dan output) di dalam MPR, mulai
melaksanakan tugas dan tanggung jawab dengan memilih dan
mengangkat Menteri-menteri negara untuk melaksanakan
berbagai ketetapan MPR. Sedangkan DPR yang
kedudukannya sejajar dengan Presiden serta dianggap
merupakan pelaksana kedaulatan rakyat sehari-hari,
melaksanakan kegiatan kenegaraan antara lain membentuk
UU bersama dengan Presiden, melakukan pengawasan, dan
merumuskan anggaran Pendapatan dan Belanja Negara,
maupun melaksanakan ketetapan MPR di bidang legislatif.
Jika Presiden diduga melanggar UUD 1945 dan Ketetapan
MPR, maka DPR akan melayangkan Memorandum sampai
tiga kali, dan seandainya Presiden tidak mengindahkan
Memorandun tersebut, maka DPR meminta MPR untuk
melaksanakan Sidang Istimewa MPR untuk meminta
pertanggungjawaban Presiden.

3. Presiden dan para Menteri memegang jabatan selama 5


(lima) tahun, dalam setiap tahunnya mengajukan
rancangan anggaran pendapatan dan belanja negara
(RAPBN) yang kemudian melalui proses politik tertentu
oleh DPR disetujui menjadi Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara (APBN) yang berwujud UU APBN untuk
melaksanakan roda pemerintahan tiap tahunnya. Jika
RAPBN tersebut tidak disetujui oleh DPR, maka
Pemerintah harus mempergunakan APBN tahun yang
baru lalu.
4. Presiden dan para Menteri melaksanakan UU APBN
tersebut di bawah pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat,
dalam hal ini Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)
memegang fungsi auditing yang akan dilaporkan kepada
DPR. Dalam kaitan dengan hal ini, Presiden sebagai
pemegang kekuasaan Eksekutif juga
mempertanggungjawabkan penggunaan APBN tersebut,
serta mengadakan pidato tahunan di depan sidang
Paripurna DPR (konvensi ketatanegaran).
5. Setelah lima tahun masa jabatannya berakhir, Presiden
mempertanggungjawabkan seluruh pelaksanaan tugas dan
fungsinya kepada MPR hasil Pemilu periode berikutnya.
Sebelum hal ini berlangsung, rakyat sebagai pemegang
kedaulatan kembali mengadakan pesta demokrasi Pemilu
untuk memlilih wakil-wakilnya yang duduk di Lembaga
Perwakilan Rakyat. Dalam kaitan dengan berakhirnya
masa jabatan Presiden ini, maka untuk periode berikutnya
dia dapat dicalonkan kembali.

Keenam mekanisme sistem politik tersebut di atas


menurut UUD 1945 sebelum amandemen sering disebut
sebagai siklus lima tahunan. Rutinitas lima tahunan ini selama
pemerintahan Orde Baru sifatnya hanya formalistik, karena
substansi demokrasi justru mengalami penurunan sejalan
dengan semakin menguatnya Presiden dalam setiap
penyelenggaraan kehidupan ketatanegaraan Indonesia.
Kekuasaan orde baru dengan tiga pilar penyangga, yakni
Golongan Karya, ABRI dan Presiden Soeharto semakin
menghegemoni institusi-institusi demokrasi formal seperti
MPR dan DPR.
Rakyat sebagai komponen utama dalam penyelenggaraan
sistem demokrasi semakin termarginalkan. Mereka hanya
sekedar alat untuk memberikan legitimasi formal melalui
pemilu yang jauh dari sifat demokratis, karena kecurangan
dan manipulasi selalu mewarnai penyelenggaraan pemilu.
Akibatnya rakyat tidak memiliki akses untuk ikut terlibat
dalam setiap pengambilan keputusan politik, bahkan wakil-
wakil rakyat yang duduk di DPR hanya berfungsi sebagai
stempel bagi kebijakan politik Presiden yang sangat otoriter
tersebut. Alih-alih dari kondisi sistem politik seperti ini, maka
kemerosotan para penyelenggara negara semakin menjadi-
jadi. Presiden dan kroni-kroninya semakin mencengkeram
kehidupan rakyat dan hak-hak asasi manusia terabaikan.

2. Setelah Amandemen UUD 1945.


Dengan berlandaskan pada pengertian sistem, maka di
dalam memahami sistem politik tentu akan dijumpai adanya
unsur-unsur atau komponen-komponen/unit-unit yang saling
berhubungan antara satu dengan lainnya dalam rangka
mendukung eksistensi dan ketotalitasannya. Berpijak dari
gambaran seperti inilah, maka yang dimaksud sistem politik
tidak lain adalah cara kerja (mekanisme) seperangkat fungsi
atau peranan dalam struktur politik dalam hubungannya satu
sama lain yang menunjukkan proses yang langgeng. Proses
tersebut mengandung dimensi waktu (masa lampau, masa
kini dan masa mendatang).138
Namun demikian, untuk mewujudkan pengertian tersebut
di atas - terutama yang menyangkut masalah eksistensi dan
ketotalitasan dari sistem politik - masih perlu memperhatikan
berbagai faktor, baik faktor internal maupun faktor
eksternalnya. Faktor internal maksudnya adalah faktor-faktor
yang berasal dari dalam sistem politik itu sendiri yang dapat
mempengaruhi eksistensinya. Hal ini disebabkan
unsur/komponen/bagian/unit yang terdapat di dalam sistem
politik tersebut masing-masing juga terdiri dari sistem-sistem
kecil (sub sistem) yang dalam proses lebih lanjut akan
berusaha mempertahankan eksistensinya masing-masing,
bahkan kadang kala meluas sampai mempengaruhi eksistensi
unit yang lain, seperti yang terjadi pada zaman orde baru,
dimana eksekutif begitu dominan hingga mengakibatkan
pranata-pranata lembaga yang merepresentasikan demokrasi
menjadi tidak berdaya.
Sedangkan faktor eksternal, adalah faktor yang berasal
dari luar sistem politik yang dapat mempengaruhi eksistensi
sistem politik itu sendiri secara keseluruhan. Hal ini
mengingat, di dalam masyarakat atau negara di samping ada
sistem politik juga dikenal adanya sistem-sistem lain yang
hidup, seperti sistem ekonomi, sistem hukum, sistem budaya
(adat-istiadat) dan lain sebagainya. Sehingga di dalam proses
mekanismenya, sistem politik akan dihadapkan pada
mekanisme kerja dari sistem-sistem yang lain tersebut. Sistem-
sistem lain yang hidup dalam masyarakat tentunya juga
berusaha untuk mempertahankan eksistensinya. Berkaitan
dengan gambaran seperti ini, Rusadi Kantaprawira
mengatakan:
138 Rusadi Kantaprawira, Op.cit, him. 8.

"Pada suatu saat tertentu batas-batas sistem itu tetap


(contrac) dan pada saat yang lain berkembang (expanding)
dan bahkan sekali-sekali dapat juga merambah bidang
sistem lain (encroaching). Kesemuanya itu bergantung pada
kondisi, waktu dan juga kepentingan pandangan serta
intensi pemakai atau pembuat sistem yang bersangkutan.
Oleh karena itu pula tidak jarang terjadi tumpang tindih
(overlap) yang tak terhindarkan antara dua sistem atau
lebih".139

Dengan demikian sistem politik - bila ditinjau dari


kerangka ketatanegaraan - walaupun telah dibentuk dan
disusun oleh suatu konstitusi atau Undang-Undang Dasar -
tetap akan dipengaruhi oleh sistem-sistem lain yang terdapat
di dalam kehidupan masyarakat, bangsa dan negara.
Masih terkait dengan pengertian sistem politik yang
berkaitan dengan suatu mekanisme atau cara kerja dari
seperangkat fungsi, Miriam Budiardjo memberikan gambaran
sebagai berikut:
"Dalam proses sistem politik kita temukan istilah-istilah
proses, struktur dan fungsi serta pelaku-pelaku politik....
Proses dalam setiap sistem dapat dijelaskan sebagai
input dan output. Begitu pula dalam sistem politik yang
konkrit, seperti negara, terjadi proses semacam itu. Dapat
dilihat suatu pola tertentu dalam hubungan dan interaksi
antara sistem politik dan lingkungan. Yang dimaksud
input (yang datang dari lingkungan) ialah tuntutan serta
aspirasi masyarakat dan juga dukungan masyarakat.
Dalam sistem politik input itu diolah dan diubah
(conversion) menjadi output, keputusan-keputusan politik
dan kebijaksanaan-kebijaksanaan mengikat dari
pemerintah. Keputusan itu mempunyai pengaruh, dan
pada gilirannya dipenganihi oleh lingkungan sistem-
sistem lain seperti ekonomi, sistem teknik dan sebagainya.
Dengan demikian feedback (umpan balik) dari output yang
kembali menjadi input baru mengalami pengaruh dari luar
ini. Dan demikian seterusnya".140

Dari gambaran tersebut di atas, maka sistem politik dapat


ditunjukkan secara lebih konkrit dalam kehidupan suatu
organisasi
139 Rusadi Kantaprawira, 1990, Pendekatan Sistem
Dalam Ilmu-Ilmu Sosial Dalam Meninjau Kehidupan
Politik Indonesia, Sinar Baru, Bandung, him. 15.
140 Miriam Budiardjo, 1986, Dasar-Dasar Ilmu Politik,

negara. Di dalam setiap negara akan selalu dijumpai adanya


proses (input - output - feedback), struktur, fungsi, dan pelaku-
pelaku politik yang dalam hal ini dapat disebut sebagai alat-
alat perlengkapan negara, Organisasi kekuatan sosial politik,
tokoh-tokoh politik dan sebagainya.
Oleh sebab itulah membicarakan sistem politik dalam
suatu negara akan selalu berhimpitan dengan sistem
ketatanegaraan yang dibahas dalam perspektif Hukum Tata
Negara. Bahkan kedua bidang ini dapat diibaratkan seperti
layaknya dua sisi dalam satu keping mata uang (two side of
once coin). Dalam hal ini Kartasapoetra mengemukakan bahwa
antara Hukum Tata Negara dengan ilmu politik terdapat
hubungan yang dekat, sehingga dapat dikatakan batas-batas
ketentuan yang digariskan dalam Hukum Tata Negara sering
diisi atau memerlukan pengisian dari garis politik.
Terbentuknya suatu undang-undang (baik Undang-Undang
Dasar maupun Undang-Undang Organik) tentu diisi dengan
kebijakan-kebijakan politik yang ditarik pada waktu
penyusunannya.141
Dengan demikian, sistem politik dalam perspektif Hukum
Tata Negara tidak lain adalah mekanisme ketatanegaraan
yang berlaku dalam suatu negara sesuai dengan garis-garis
yang ditentukan oleh konstitusi atau Undang-Undang Dasar
beserta peraturan perundang-undangan yang berlaku. Inilah
yang menjadi titik pangkal pembahasan mekanisme sistem
politik demokrasi menurut UUD 1945 setelah amandemen.
Paham demokrasi yang dianut masing-masing negara, bila
diselidiki lebih lanjut dapat dilihat dari dua segi, yaitu
pertama dalam arti materiil dan kedua dalam arti formil.
Demokrasi dalam arti materiil, adalah demokrasi yang
diwarnai oleh falsafah atau idologi (sistem gagasan) yang
dianut oleh suatu negara. Sedangkan demokrasi dalam arti
formil adalah demokrasi yang ditinjau dari bentuk
pelaksanaannya, yakni langsung atau tidak langsung.
Demokrasi langsung dapat dilihat ketika zaman Yunani
Kuno, dimana pada saat itu pelaksanaan demokrasi dilakukan
oleh rakyat
141 Kartasapoetra R.G, 1987, Sistematika Hukum Tata

di negara kota (city state). Sedangkan demokrasi tidak


langsung dilakukan oleh wakil-wakil rakyat yang duduk di
Lembaga Perwakilan Rakyat berdasarkan pemilihan langsung
secara berkala. Bentuk demokrasi yang terakhir inilah yang
digunakan oleh negara-negara demokrasi modern dewasa ini.
Sebaliknya dengan adanya pemahaman demokrasi dalam
arti materiil, maka banyak dijumpai adanya berbagai macam
predikat demokrasi yang dianut oleh masing-masing negara.
Salah satu predikat demokrasi yang dapat disebutkan disini
adalah demokrasi Pancasila. Suatu paham demokrasi yang
dikembangkan di Indonesia. Persoalannya adalah, apakah
demokrasi Pancasila itu?
Untuk menjawab persoalan tersebut, maka disini perlu
memahami terlebih dahulu makna Pancasila sebagai dasar
falsafah dan ideologi yang dianut oleh Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Menurut Nurcholis Majid, kata Pancasila
tidak dikenal dalam UUD 1945. Pancasila sebenarnya
merupakan nama populer yang dikembangkan oleh Ir.
Soekarno. Lebih lanjut dikemukakan bahwa Pembukaan UUD
1945 tidak menyebutkan nilai-nilai yang terkandung di dalam
Alinea IV sebagai Pancasila.142 Berkaitan dengan hakikat
Pancasila yang dipergunakan sebagai predikat demokrasi, Sri
Soemantri mengemukakan:
"Apabila kita kaji lebih mendalam, dalam Pancasila
dapat kita temukan adanya dua mutiara, yaitu kesatuan
dalam perbedaan dan perbedaan dalam kesatuan. Kalau
hal ini kita hubungkan dengan manusia, maka kodrat
manusia sebagai mahluk Tuhan adalah mahluk pribadi
dan sekaligus mahluk sosial, artinya sifat kodrati manusia
adalah sebagai individu dan sekaligus mahluk sosial.
Dengan demikian Pancasila memandang bahwa
kebahagiaan manusia akan tercapai jika dapat
dikembangkan hubungan yang selaras, serasi dan
seimbang antara manusia dan masyarakat".143

142 Argumentasi ini dikemukakan oleh Nurcholis


Majid dalam Sarasehan yang diselenggarakan oleh
Gerakan Jalan Lurus di Yogyakarta pada bulan Juni 2002.
143 Sri Soemantri, 1992, Bunga Rampai Hukum Tata
Negara Indonesia, Alumni, Bandung, him. 21-22.

Lebih lanjut Sri Soemantri memberikan rumusan mengenai


demokrasi Pancasila sebagai berikut:
a. Demokrasi Pancasila mendasarkan diri atas kemerdekaan
dan persamaan serta kemajuan di bidang sosial ekonomi
sekaligus;
b. Demokrasi Pancasila mengandung makna, bahwa
kekuasaan
tertinggi berada di tangan rakyat yang dalam kurun waktu
antara pemilihan umum yang satu dengan yang lain
dilakukan
sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan rakyat.144

Lebih lanjut dikemukakan bahwa konsepsi Demokrasi


Pancasila dilihat dari aspek materiilnya tidak mendasarkan
diri atas kemerdekaan dan persamaan saja, ataupun hanya
mendasarkan diri atas kemajuan bidang sosial dan ekonomi
saja, melainkan mendasarkan diri atas keduanya sekaligus.145
Rumusan tersebut di atas memberikan gambaran
Demokrasi Pancasila dari aspek materiil dan dari aspek formil.
Dari aspek materiil nampak dari isi demokrasi yang lebih
menekankan pada konteks kemerdekaan dan persamaan
berdampingan dengan kemajuan di bidang sosial ekonomi
secara simultan. Sedangkan aspek formil lebih menekankan
pada aspek demokrasi tidak langsung, yakni demokrasi
perwakilan, dimana Majelis Permusyawaratan Rakyat yang
akan melakukan institusionalisasi demokrasi tersebut
sepenuhnya.
Oleh sebab itu dapat ditarik kesimpulan bahwa ciri dari
Demokrasi Pancasila yang membedakan dengan predikat
demokrasi yang lain adalah terletak pada aspek materiilnya,
yaitu aspek kekeluargaan. Maksudnya adalah kesadaran budi
pekerti dan hati nurani yang luhur dan tercermin dalam
perilaku sehari-hari dengan mengutamakan kesejahteraan
bersama yang selaras, serasi dan seimbang antara kepentingan
individu dan kepentingan masyarakat. Antara hak dan
kewajiban sosial.

Sehubungan dengan hal ini Sri Soemantri mengemukakan


bahwa aspek kekeluargaan yang terdapat di dalam Demokrasi
Pancasila dalam perkembangannya lebih lanjut
dimanifestasikan pada suatu bentuk asas negara yang disebut
negara kekeluargaan. Artinya bahwa suatu negara yang
rakyatnya merasa hidup dalam satu keluarga. Sebagai satu
keluarga besar, maka masing-masing, baik sebagai individu
maupun sebagai kelompok mempunyai tanggung jawab
dalam keluarga (besar) yang bernama negara. Dengan
pengertian bahwa masing-masing mempunyai tanggung
jawab terhadap kelangsungan hidup keluarga (besar) itu. 146
Terkait dengan pandangan ini, Hamid S, Attamimi
mengemukakan:

"Ketika Negara Republik Indonesia dibentuk pada


tanggal 17 Agustus 1945 melalui proklamasi
kemerdekaannya, maka pada waktu itu telah ada
kesepakatan tentang cita negara Indonesia yang menjadi
dasar bagi teori bernegara bangsa Indonesia. Cita negara
itu ialah negara kekeluargaan atau cita negara persatuan
dan digali dari bumi Indonesia sendiri, yang telah lama
tertanam dalam kehidupan paguyuban masyarakat Desa
yang terdapat diseluruh wilayah Indonesia, dengan
berbagai nama dan berbagai bentuk".147

Pendapat-pendapat tersebut memang ideal dan


bernuansakan aspek filosofis yang sangat tinggi. Akan tetapi
dalam realitas kehidupan masyarakat Indonesia secara empiris
ada beberapa hal yang kurang dapat disejajarkan ataupun
diterapkan secara ideal. Pemahaman predikat Demokrasi
seperti ini sebenarnya sangat rentan bila dipergunakan sebagai
landasan ideologi dari sistem politik. Hal ini disebabkan
dalam paham seperti itu justru akan terjebak pada hal-hal
yang lebih mandahulukan kewajiban yang bermakna
sanksionistik daripada mendahulukan hak.
Lain daripada itu makna Demokrasi Pancasila yang lebih
menekankan aspek kekeluargaan justru akan membuka
kemung-
144 Ibid.
145 Hamid S. Attamimi, (Disertasi), 1990, Peranan
Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam
Penyelenggaraan Pemerintahan Negara Suatu Studi
Analisis Mengenai Keputusan Presidert yang Berfungsi
Pengaturan Dalam Kurun Waktu Pelita I - Pelita IV,

kinan munculnya dominasi negara dalam mengatasi berbagai


persoalan kemasyarakatan. Bahkan tidak jarang negara meng-
intervansi kepentingan-kepentingan masyarakat dengan
alasan untuk menciptakan kesejahteraan umum. Hal ini
mengingat pelaksanaan demokrasi yang demikian ini lebih
mementingkan moralitas etik daripada aspek prosedural
yuridis.
Fenomena sosial kehidupan masyarakat dalam lingkup
keluarga dan Desa tidak mungkin semudah itu untuk
dijadikah contoh dalam menggambarkan hakikat Demokrasi
Pancasila. Dalam kehidupan keluarga dan Desa, peran
pemimpin sengat dominan dalam menentukan berbagai
keputusan dan kebijaksanaan. Sementara anggota keluarga
dan komunitas lebih cenderung untuk menunggu secara
pasrah keputusan-keputusan yang akan diambil sang
pemimpin. Apalagi jikalau budaya politik kaula masih sangat
menonjol dalam kehidupan masyarakat. Budaya politik ini
merupakan warisan kolonial dan feodalistik jelas memberikan
kontribusi yang sangat signifkan terhadap tidak kondusifnya
kehidupan demokrasi dalam paham negara kekeluargaan
tersebut.
Sementara ini di dalam paham kehidupan politik suatu
negara yang menganut paham demokrasi akan terjadi
interaksi antara komponen Supra Struktur Politik dan Infra
Struktur Politik. Interaksi tersebut berkaitan dengan
pengambilan keputusan-keputusan politik maupun
kebijaksanaan umum. Dalam khasanah Hukum Tata Negara,
keputusan-keputusan politik tidak lain adalah produk-produk
hukum yang berwujud berbagai peraturan perundang-
undangan.
Gambaran tersebut jika diterapkan di dalam mekanisme
sistem politik Indonesia menurut UUD 1945, maka untuk
menentukan kebijaksanaan umum serta menetapkan
keputusan politik (produk-produk hukum) komponen Infra
Struktur Politik berfungsi menyampaikan berbagai masukan
(input) yang berwujud keinginan dan tuntutan masyarakat
(social demand). Sedangkan Supra Struktur Politik, yakni
lembaga-lembaga negara, khususnya yang menjalankan fungsi
representasi rakyat berperan sebagai sarana untuk
menampung input-input tersebut untuk diolah dan menjadi
output yang berwujud keputusan-keputusan politik.
Mekanisme semacam ini berjalan berdasarkan asas
keseimbangan.
Asas keseimbangan perlu diterapkan sebab apabila lebih
menitik beratkan pada komponen Supra Struktur Politik
dalam hal berprakarsa, maka sistem politik yang dijalankan
lebih l»ei watak sistem politik otoritarian atau totalitarian.
Sebaliknya jikalau prakarsa tersebut lebih dititik beratkan
pada kepentingan-kepentingan Infra Struktur Politik,
khususnya komponen Partai Politik, maka kepentingan
masyarakat secara umum akan dinafikan, dan kepentingan
Partai Politik yang akan ditonjolkan.
Dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia. Asas
keseimbangan seperti itu belum dilaksanakan dalam sistem
politik. Di Era Orde Lama dan Orde Baru justru Supra
Struktur Politik sangat mendominasi dalam setiap
pengambilan keputusan politik. Bahkan di era Orde Lama
yang mempergunakan terminologi Demokrasi Terpimpin,
peran Presiden sebagai Panglima Besar revolusi dan Presiden
seumur hidup begitu dominan, sampai-sampai dia
mempunyai kewenangan untuk membubarkan MPR dan DPR
hasil Pemilu 1955.
Sedangkan di Era Orde Baru, paradigma supremasi
eksekutif yang dianut oleh UUD 1945 sebelum amandemen,
menjadikan Presiden layaknya sebagai pemegang kedaulatan
rakyat. Hal ini mengingat kedudukannya sebagai mandataris
MPR sama halnya dengan bertindak sebagai mandataris dari
organ pemegang kedaulatan rakyat. Kedudukan seperti ini
jelas mengakibatkan Presiden tidak dapat diganggu gugat,
mengingat yang namanya mandataris menurut Hukum Tata
Negara tidak diwajibkan untuk mempertanggungjawabkan
pelaksanaan kekuasaan yang telah dimandatkan itu. Berbeda
dengan pengertian delegataris.
Di era Orde Baru, Presiden menduduki posisi yang sangat
kuat. Bahkan dengan posisi semacam itu berbagai keputusan
politik (paraturan perundang-undangan) mampu dihasilkan
tanpa persetujuan DPR. Kita bisa mengambil contoh
dikeluarkannya berbagai Keputusan Presiden yang pada
hakikatnya melanggar kinan munculnya dominasi negara
dalam mengatasi berbagai persoalan kemasyarakatan. Bahkan
tidak jarang negara meng-intervansi kepentingan-kepentingan
masyarakat dengan alasan untuk menciptakan kesejahteraan
umum. Hal ini mengingat pelaksanaan demokrasi yang
demikian ini lebih mementingkan moralitas etik daripada
aspek prosedural yuridis.
Fenomena sosial kehidupan masyarakat dalam lingkup
keluarga dan Desa tidak mungkin semudah itu untuk
dijadikah contoh dalam menggambarkan hakikat Demokrasi
Pancasila. Dalam kehidupan keluarga dan Desa, peran
pemimpin sengat dominan dalam menentukan berbagai
keputusan dan kebijaksanaan. Sementara anggota keluarga
dan komunitas lebih cenderung untuk menunggu secara
pasrah keputusan-keputusan yang akan diambil sang
pemimpin. Apalagi jikalau budaya politik kaula masih sangat
menonjol dalam kehidupan masyarakat. Budaya politik ini
merupakan warisan kolonial dan feodalistik jelas memberikan
kontribusi yang sangat signifkan terhadap tidak kondusifnya
kehidupan demokrasi dalam paham negara kekeluargaan
tersebut.
Sementara ini di dalam paham kehidupan politik suatu
negara yang menganut paham demokrasi akan terjadi
interaksi antara komponen Supra Struktur Politik dan Infra
Struktur Politik. Interaksi tersebut berkaitan dengan
pengambilan keputusan-keputusan politik maupun
kebijaksanaan umum. Dalam khasanah Hukum Tata Negara,
keputusan-keputusan politik tidak lain adalah produk-produk
hukum yang berwujud berbagai peraturan perundang-
undangan.
Gambaran tersebut jika diterapkan di dalam mekanisme
sistem politik Indonesia menurut UUD 1945, maka untuk
menentukan kebijaksanaan umum serta menetapkan
keputusan politik (produk-produk hukum) komponen Infra
Struktur Politik berfungsi menyampaikan berbagai masukan
(input) yang berwujud keinginan dan tuntutan masyarakat
(social demand). Sedangkan Supra Struktur Politik, yakni
lembaga-lembaga negara, khususnya yang menjalankan fungsi
representasi rakyat berperan sebagai sarana untuk
menampung input-input tersebut untuk diolah dan menjadi
output yang berwujud keputusan-keputusan politik.
Mekanisme semacam ini berjalan berdasarkan asas
keseimbangan.
Asas keseimbangan perlu diterapkan sebab apabila lebih
menitik beratkan pada komponen Supra Struktur Politik
dalam hal berprakarsa, maka sistem politik yang dijalankan
lebih berwatak sistem politik otoritarian atau totalitarian.
Sebaliknya jikalau prakarsa tersebut lebih dititik beratkan
pada kepentingan-kepentingan Infra Struktur Politik,
khususnya komponen Partai Politik, maka kepentingan
masyarakat secara umum akan dinafikan, dan kepentingan
Partai Politik yang akan ditonjolkan.
Dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia. Asas
keseimbangan seperti itu belum dilaksanakan dalam sistem
politik. Di Era Orde Lama dan Orde Baru justru Supra
Struktur Politik sangat mendominasi dalam setiap
pengambilan keputusan politik. Bahkan di era Orde Lama
yang mempergunakan terminologi Demokrasi Terpimpin,
peran Presiden sebagai Panglima Besar revolusi dan Presiden
seumur hidup begitu dominan, sampai-sampai dia
mempunyai kewenangan untuk membubarkan MPR dan DPR
hasil Pemilu 1955.
Sedangkan di Era Orde Baru, paradigma supremasi
eksekutif yang dianut oleh UUD 1945 sebelum amandemen,
menjadikan Presiden layaknya sebagai pemegang kedaulatan
rakyat. Hal ini mengingat kedudukannya sebagai mandataris
MPR sama halnya dengan bertindak sebagai mandataris dari
organ pemegang kedaulatan rakyat. Kedudukan seperti ini
jelas mengakibatkan Presiden tidak dapat diganggu gugat,
mengingat yang namanya mandataris menurut Hukum Tata
Negara tidak diwajibkan untuk mempertanggungjawabkan
pelaksanaan kekuasaan yang telah dimandatkan itu. Berbeda
dengan pengertian delegataris.
Di era Orde Baru, Presiden menduduki posisi yang sangat
kuat. Bahkan dengan posisi semacam itu berbagai keputusan
politik (paraturan perundang-undangan) mampu dihasilkan
tanpa persetujuan DPR. Kita bisa mengambil contoh
dikeluarkannya berbagai Keputusan Presiden yang pada
hakikatnya melanggar
Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi
tingakatannya. Misalnya Kepres-kepres tentang Pendirian
Yayasan yang diberi wewenang untuk menarik sumbangan
kepada masyarakat secara umum.
Di era reformasi (menuju konsolidasi sistem demokrasi)
pendulum yang mengarah kepada penguatan Supra Struktur
Politik telah berubah arah secara absolut. Infra Struktur Politik
- khususnya Partai Politik - mulai mendominasi dalam setiap
pengambilan keputusan politik. Partai politik yang
mempunyai perpanjangan tangan di Supra Struktur Politik
yakni DPR melalui fraksi-fraksi yang ada di sana, lebih
dominan dalam setiap pengambilan keputusan politik.
Kondisi semacam inilah yang mengakibatkan munculnya
penilaian bahwa di era konsolidasi sistem demokrasi (sering
disebut era reformasi) kepentingan-kepentingan politik dari
kelompok-kelompok politik menjadi dasar dalam setiap
pengambilan keputusan politik. Bahkan Amandemen UUD
1945 pun disinyalir sarat dengan kepentingan kelompok Partai
Politik yang kebetulan mendominasi di MPR.
Dengan demikian, dalam sejarah ketatanegaraan
Indonesia, rakyat sebagai The Driving Force sistem politik
masih belum diberi peran yang cukup signifikan. Hal ini tentu
harus segera diakhir. Caranya adalah dengan terus
mengupayakan konsolidasi sistem demokrasi, yakni dengan
melakukan pembenahan sistem ketatanegaraan Indonesia,
dengan merevisi produk-produk hukum yang tidak
mendukung implementasi paham demokrasi dan prinsip
kedaulatan rakyat.
Melalui Amandemen UUD 1945, arah untuk menuju
konsolidasi sistem demokrasi mulai dibangun setahap demi
setahap. Dalam hal penguatan demokrasi dan prinsip
kedaulatan rakyat dapat digambarkan sebagai berikut:
pertama, di dalam Pasal 16 A ayat (1) UUD 1945 ditegaskan
bahwa Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu
pasangan secara langsung oleh Rakyat. Ketentuan ini jelas
menimbulkan perubahan mekanisme penentuan kepala
pemerintahan. Sebelum amandemen Presiden dan Wakil
Presiden dipilih oleh MPR, maka setelah amandemen berubah
menjadi dipilih secara langsung oleh rakyat. Sehubungan
dengan hal ini menurut Undang-Undang No. 42 Tahun 2008
Tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden
ditegaskan, antara:
a. Pasal 8: Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden
diusulkan
dalam 1 (satu) pasangan oleh Partai Politik atau gabungan
Partai Politik.
b. Pasal 9: Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau
Gabungan Partai Politik peserta pemilu yang memenuhi
persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh
persen) dari jumlah kursi Dewan Perwakilan Rakyat atau
memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah
nasional dalam Pemilu anggota Dewan Perwakilan
Rakyat,
sebelum pelaksanaan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.
c. Pasal 10:
(1) Penentuan calon Presiden dan/atau calon Wakil
Presiden
dilakukan secara demokratis dan terbuka sesuai
dengan
mekanisme internal Partai Politik bersangkutan.
(2) Partai Politik dapat melakukan kesepakatan dengan
Partai Politik lain untuk melakukan penggabungan
dalam
mengusulkan Pasangan Calon.
(3) Partai Politik atau Gabungan Partai Politik
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat
mencalonkan 1 (satu) Pasangan Calon sesuai dengan
mekanisme internal Partai Politik dan/atau
musyawarah Gabungan Partai Politik yang dilakukan
secara demokratis dan terbuka.
(4) Calon Presiden dan/atau calon Wakil Presiden yang
telah diusulkan dalam satu pasangan oleh Partai
Politik atau Gabungan Partai Politik sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) tidak boleh dicalonkan lagi
oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik
lainnya.

Kedua; menurut Undang-Undang No. 10 Tahun 2008


Tentang Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD ditegaskan:
a. Pasal 7: Peserta Pemilu untuk memilih anggota DPR, DPRD
Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota adalah Partai
Politik.
b. Pasal 11: Peserta Pemilu untuk memilih anggota DPD
adalah perseorangan.

Dari desain sistem politik Indonesia setelah Amandemen


UUD 1945 tersebut di atas, maka representasi rakyat mulai
dikembangkan bahkan diperluas ke dalam 3 (tiga) pola
implementasi kedaulatan rakyat, yaitu:
1. Kedaulatan Rakyat di bidang politik direpresentasikan
melalui Dewan Perwakilan Rakyat. Mengapa demikian?
Karena dalam pemilihan anggota-anggota Dewan
Perwakilan Rakyat tersebut lebih menonjolkan peran dan
kepentingan Partai Politik untuk mencalonkan wakil-
wakilnya. Hal ini dapat ditafsirkan bahwa kepentingan
politik rakyat di tingkat Infra Struktur Politik terpecah
atau terbagi ke dalam berbagai Partai Politik yang ada. Hal
ini sekaligus mengandung arti bahwa keberadaan Partai
Politik merupakan sarana bagi rakyat untuk menyalurkan
aspirasi-aspirasi politik sesuai dengan visi, misi, dan
platform dari masing-masing Partai politik.
2. Kedaulatan Rakyat dalam lingkup komunitas dan
kepentingan kedaerahan diwujudkan melalui Dewan
Perwakilan Daerah, karena representasi rakyat melalui
Dewan Perwakilan Daerah lebih mengedepankan calon
perseorangan yang dikenal dan kredibel oleh konstituen di
luar calon-calon yang diajukan oleh Partai Politik. Dengan
demikian, secara filosofis keberadaan Dewan Perwakilan
Daerah lebih didorong oleh kepentingan mewarnai
kebijakan pemerintahan nasional dengan memberikan
ruang baru bagi kepentingan masyarakat daerah, dimana
pengertian daerah ini bukanlah daerah per daerah,
melainkan wilayah geokultural dalam bingkai kema-
jemukan.148
3. Kedaulatan rakyat di bidang pemerintahan diwujudkan
dalam Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara
langsung. Demokrasi yang secara harafiah diterjemahkan
sebagai Pemerintahan oleh Rakyat jelas merupakan suatu
konsep yang utopis. Rakyat tidak mungkin melaksanakan
pemerintahan sendiri, karena jika hal tersebut terjadi maka
fenomena anarkhi yang akan mewarnai kehidupan politik
ketatanegaraan. Oleh sebab itu, rakyat menyerahkan
pemerintahan itu kepada orang-orang atau tokoh politik
yang dipercaya mampu men-terjemahkan kemauan dan
kehendak rakyat, dengan cara memilih secara langsung
figur-figur calon Presiden dan Wakil Presiden yang
ditawarkan oleh Partai Politik atau gabungan Partai Politik
sesuai dengan persyaratan yang diatur dalam UU No. 42
Tahun 2008 Tentang Pemilihan Presiden dan Wakil
Presiden.

Berdasarkan gambaran singkat tentang sistem politik


ketatanegaraan Indonesia setelah Amandemen UUD 1945
tersebut di atas, maka menimbulkan konsekuensi sebagai
berikut:
a. Dijumpai adanya ketegasan akan sistem ketatanegaraan
Indonesia yang selama sejarah ketatanegaraan Indonesia
masih
dirasakan membingungkan, antara sistem Presidensiil
ataukah
sistem Parlementer. Ketegasan ini nampak dari adanya
dua
mekanisme pemilihan umum, yakni Pemilihan Umum
untuk
Parlemen dan pemilihan Umum untuk Presiden dan Wakil
Presiden secara langsung. Pola semacam ini sama dengan
yang
diberlakukan di sistem Presidensiil Amerika Serikat.
b. Dengan adanya mekanisme sistem politik ketatanegaraan
tersebut memberikan penegasan sistem keparlemenan
dalam
sistem ketatanegaraan, yakni Parlemen di Indonesia
menganut
soft bicameralism. Sistem semacam ini belum pernah
ditegaskan
oleh UUD 1945 sebelum amandemen.
c. Dengan pengembangan pola representasi prinsip
kedaulatan
rakyat menjadi 3 (tiga) pola membuka wawasan baru bagi
penegasan hak-hak politik rakyat yang tidak
deskriminatif.
Artinya warga negara mempunyai kesempatan yang sama
untuk dipilih dan memilih anggota Parlemen (DPR atau
DPD),
karena tidak ada satupun anggota Parlemen yang berasal dari
pengangkatan.
d. Dengan ditegaskannya sistem Pemilu untuk memilih
anggota
DPR yang mempergunakan sistem proporsional terbuka
dan
untuk memilih anggota DPD dengan sistem distrik
berwakil
banyak/49 maka kedekatan antara wakil rakyat dengan
konstituennya (rakyat) semakin dipererat. Sistem ini jelas
akan memberikan ruang yang lebih luas bagi rakyat untuk
mengontrol wakil-wakilnya di parlemen.
e. Dengan adanya penegasan sistem ketatanegaraan
Indonesia
tersebut, maka energi yang selama ini terkuras sebagai
akibat
adanya konflik kelembagaan antara eksekutif dan legislatif
akan
terkurangi. Lebih-lebih dalam hal mekanisme penyelesaian
konflik tersebut telah disediakan perangkat kelembagaan
negara melalui Mahkamah Konstitusi.

Demikianlah gambaran singkat mengenai sistem politik


ketatanegaraan Indonesia setelah Amandemen UUD 1945.
Sistem semacam ini masing mungkin mengalami perubahan,
sebab bagaimanapun juga sistem politik suatu negara akan
selalu dipengaruhi oleh hal-hal lain di luar sistem politik itu
sendiri. Konsolidasi sistem demokrasi akan terus berlanjut dan
masih banyak peluang untuk melakukan pembenahan sejalan
dengan tuntutan dan aspirasi masyarakat.
Bab VI

PEMILIHAN UMUM DAN PARTAI POLITIK

Menurut paham negara demokrasi modern (Partai <PoRti,


<PemiRhan Vmum dan (Badan <Perwaki(an (Rakyat merupakan
tiga institsiyang tidak^dapat dipisahkan satu dengan yang Cain.
Setiap (Partai (PoCitik^akan seCaCu berusaha untukjnemperoteh
dukungan rakyat yang besar pada saat pemilihan umum agar
(Badan <Perwakitan (Rakyat di dominasi oleh (Partai tPotitikjyang
bersangkutan

A. Menuju Konsolidasi Sistem Demokrasi Melalui


Reformasi Pemilu.
Pelaksanaan prinsip demokrasi dalam negara modern
sudah tidak mungkin lagi dilaksanakan dengan
mempergunakan demokrasi langsung. Banyak kendala yang
dihadapi, jikalau demokrasi langsung itu akan dilaksanakan.
Oleh sebab itu, dewasa ini pelaksanaan prinsip demokrasi
dalam negara dilakukan oleh wakil-wakil rakyat yang duduk
sebagai anggota Badan Perwakilan Rakyat.
Disadari ataupun tidak, sebenarnya dengan pemilihan
umum (Pemilu) rakyat memang sudah dibatasi dalam hal
menentukan pilihannya. Pada umumnya mereka memilih
antara calon-calon yang tidak diajukan mereka sendiri.
Organisasi Partai Politik menguasai bagian yang terbesar dari
seleksi calon-calon tersebut. Partai politik hanya memberikan
kepada rakyat pemutusan antara calon-calon dan calon Partai
politik lainnya. Kandidat yang merdeka
sangat dipersukar dan sekurang-kurangnya ia membaurkan
persoalan. Bahkan untuk seleksi calon-calon yang dilakukan
oleh Partai Politik pada umumnya jauh dari proses demokrasi.
Pertimbangan-pertimbangan seperti jasa yang telah diberikan
dalam hal keuangan, gengsi yang melekat pada golongan-
golongan keluarga, kesediaan calon untuk mentaati perintah-
perintah Partai Politik dan keinginan-keinginan pimpinan inti
Partai Politik yang mengendalikan Partai politik, sangat
mempengaruhi dalam hal seleksi calon-calon yang dilakukan
tersebut.150
Memperhatkan realitas politik seperti ini, maka dalam
rangka konsolidasi sistem demokrasi pasca reformasi
pembenahan terhadap sistem pemilu merupakan sebuah
keniscayaan. Dalam kaitan dengan hal ini, maka materi
muatan yang harus diperhaikan di dalam peraturan
perundang-undangan tentang Pemilu, paling tidak harus
memuat 3 (tiga) persoalan pokok, yaitu:
1. Pembenahan dan redefinisi asas Pemilu.
2. Sistem Pemilu yang dipergunakan.
3. Lembaga (badan) pengelola mekanisme pelaksanaan
Pemilu.

Dengan adanya pembenahan terhadap ketiga persoalan


tersebut di atas, diharapkan peraturan perundang-undangan
yang mengatur tentang pemilu dapat mengantisipasi berbagai
kemungkinan yang akan terjadi, misalnya pengingkaran
prinsip demokrasi yang pada akhirnya justru akan menodai
semangat reformasi dan konsolidasi sistem demokrasi.

1, Pembenahan dan Redefinisi Asas Pemilu.


Secara teoritis Pemilu dianggap merupakan tahap paling
awal dari berbagai rangkaian kehidupan ketatanegaraan yang
demokratis. Pemilu merupakan motor penggerak mekanisme
sistem politik demokrasi. Dalam konteks negara Indonesia,
dengan Pemilu itulah pengisian badan-badan atau organ-
organ negara
150 Mac Iver, dalam Bintan R. Saragih, 1988, Lembaga
Perwakilan dan pemilihan Umum di Indonesia, Gaya
Media Pratama, Jakarta, him. 168-169.

dimulai. Entah itu organ negara yang melaksanakan


kedaulatan rakyat seperti MPR, DPR dan DPD, ataupun organ
negara yang melaksanakan pemerintahan, yakni Presiden dan
Wakil Presiden beserta kabinetnya. Sehubungan dengan hal
ini Reinholf Zippelius mengemukakan bahwa Pemilihan
Umum harus secara efektif menentukan siapa-siapa yang
memimpin negara dan arah kebijaksanaan apa yang mereka
ambil, serta bahwa dalam demokrasi pendapat umum
memainkan peranan penting.151
Sementara itu bagi Partai Politik tujuan Pemilu adalah
untuk memperoleh dukungan sebanyak mungkin suara rakyat
sehingga diharapkan dapat merebut atau mempertahankan
kedudukannya dalam sistem pemerintahan negara secara
konsitusional. Sedangkan bagi warga negara (rakyat) sendiri
tujuan Pemilu di samping memilih wakil-wakil yang akan
duduk di Parlemen maupun yang akan memimpin negara,
juga dipergunakan sebagai sarana untuk melakukan evaluasi
terhadap kebijaksanaan yang dilakukan oleh negara dalam
melaksanakan kehendak rakyat dalam kurun waktu tertentu.
Dengan pemilu itulah membuat negara selalu didesak untuk
mempertanggungjawabkan kebijakan-kebijakan kepada
masyarakat. Negara dibuat menjadi accountable terhadap
rakyat.152
Selama pemerintahan Orde Baru di bawah kepemimpinan
Presiden Soeharto, setiap penyelenggaraan Pemilu selalu di-
sinyalir adanya berbagai pelanggaran, baik itu pada tahap
awal (pendaftaran pemilih) maupun tahap pelaksanaan
sampai dengan penghitungan suara. Sekedar untuk
memberikan gambaran terhadap berbagai pelanggaran
tersebut, di bawah ini disajikan data-data pelanggaran ketika
dilangsungkan Pemilu tahun 1992.

151 Reinholf Zippelius, dalam Franz Magnis Suseno,


2000, Mencari Sosok Demokrasi Sebuah Telaah Filosofis,
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, him. 57.
152 Arief Budiman, 1996, Teori Negara (Negara,
230

Jenis Pelanggaran Jumlah Total


Pelanggaran hak kampanye
1. Larangan Pemasangan tanda gambar 30 52
2. Larangan menghadiri kampanye Partai 12
Politik
3. Larangan terhadap kampanye Partai 10
Politik
mtimidasi dan kekerasan terhadap warga
Partai
Politik
1. Kekerasan terhadap anggota dan 18 38
simpatisan
Partai Politik
2. Intimidasi terhadap anggota dan 15
simpatisan Partai
Politik
3. Penahanan terhadap anggota dan 5
simpatisan
Partai Politik
Intimidasi untuk memilih GOLKAR 101 101
Pelanggaran terhadap saksi Partai Politik
1. Penolakan terhadap saksi Partai 425 472
Politik
2. Intimidasi terhadap saksi Partai 26
Politik
3. Kekerasan terhadap saksi Partai 12
Politik
4. Penahanan terhadap saksi Partai 7
Politik
5. Penyuapan terhadap saksi Partai 2
Politik
Pelanggaran dalam pemungutan suara
dan
perhitungan suara
1. Tidak diberi kartu tanda pemilih 17 223
2. Kecurangan penghitungan suara 146
3. Pencoblosan secara tidak legal 60
Lain-lain
1. Pemerasan untuk dana kampanye 9 14
GOLKAR
2. Rencana rekayasa hasil Pemilu 3
3. Pemerasan terhadap simpatisan Partai 1
Politik
4. Penahanan terhadap simpatisan Partai 1
Politik
Sumber: Alexander Irwan dan Edriana, 1995, Pemilu
Pelanggaran Asas Luber, Pustaka Sinar Harapan,
Jakarta, him. 22

Data tersebut semakin meningkat pada waktu persiapan


dan pelaksanaan Pemilu tahun 1997 (satu tahun menjelang
gerakan reformasi 1998). Pelanggaran-pelanggaran prinsip
demokrasi yang dilakukan oleh pemerintah Orde Baru
menjelang Pemilu tahun 1997 semakin menjadi-jadi, ketika
Partai Demokrasi Indonesia (PDI) hasil Munas di bawah
kepemimpinan Megawati Soekarno Putri diluluh lantakkan
oleh alat-alat represif Orde Baru dengan cara membentuk PDI
Tandingan (hasil Kongres di Medan) pada bulan Juni 1996
yang menurut Pemerintah Orde Baru dianggap konstitusional.
Akibat kesemuanya itu meletuslah peristiwa pada tanggal 27
Juli 1996 dimana massa pendukung dari PDI di bawah
kepemimpinan Suryadi menyerang secara membabi buta
Kantor Pusat PDI di Jakarta.
Jika kita cermati data-data tersebut di atas, maka dapat di-
simpulkan adanya 3 (tiga) penyebab utama terjadinya
pelanggaran-pelanggaran Pemilu tersebut, yaitu:
1. Sistem Pemilu yang tidak mengakomodasi secara optimal
prinsip demokrasi dan kedaulatan rakyat;
2. Implementasi Asas Pemilu yang tidak konsisten; dan
3. Pengawasan atas jalannya Pemilu serta penerapan sanksi
yang tidak berjalan secara efektif.

Secara konseptual, penyebab dari adanya pelanggaran-pe-


langgaran tersebut sebenarnya juga bermuara dari adanya
ketidak cocokan antara pelaksanaan pemilu di satu pihak
dengan konsep negara hukum yang berkedaulatan di pihak
yang lain.
Konsep negara hukum yang berkedaulatan rakyat pada
intinya mengandung dua dimensi, yaitu:
a. Dimensi kedaulatan hukum yang mengendaki seluruh
aktifitas
kehidupan ketatanegaraan harus tunduk pada hukum.
Hukum
harus menjadi landasan bagi setiap sikap tindak negara
(asas
legalitas). Hukum membawahkan negara.
b. Dimensi kedaulatan Rakyat yang menghendaki rakyatlah
yang memegang kekuasaan tertinggi di dalam negara dan
menentukan aturan main melalui perangkat-perangkat
hukum
yang ada.

Dengan demikian wewenang untuk menentukan aturan


main dalam kehidupan bernegara termasuk dalam hal Pemilu
terletak di tangan rakyat, karena merekalah yang memiliki
kedaulatan untuk memilih wakil-wakil yang akan
merepresentasikan aspirasi-aspirasi rakyat. Namun kenyataan
menunjukkan bahwa Pemilu

sepanjang Orde baru diselenggarakan oleh


Presiden/Mandataris MPR, dengan mekanisme sistem
pelaksanaannya dijabarkan melalui Undang-Undang yang
dibentuk oleh Presiden dengan persetujuan DPR.153 Hal ini
berarti inisiatif untuk membentuk aturan main Pemilu melalui
Undang-Undang justru ada pada pemerintah dalam hal ini
Presiden, sedang DPR hanya memberikan stempel persetujuan
saja.
Pola pengaturan semacam ini secara konseptual menolak
prinsip negara hukum yang berkedaulatan rakyat. Pemerintah
merupakan lembaga yang mengatur dan menyelenggarakan
Pemilu. Terlebih lagi pelaksanaan UU Pemilu diserahkan
pengaturannya lebih lanjut melalui Peraturan Pemerintah
yang notabene dibentuk dan dikeluarkan oleh eksekutif tanpa
persetujuan DPR. Padahal dalam teori politik dan teori
Hukum Tata Negara terbentuknya rezim (pemegang
kekuasaan) pada umumnya melalui proses pemilu, kecuali
rezim yang otoriter diktatorik.
Dengan demikian di samping sebagai penyelenggara
kegiatan Pemilu, Pemerintah sekaligus sebagai pihak yang
ikut serta dalam Pemilu melalui kekuatan sosial politiknya,
yakni GOLKAR. Oleh sebab itu tidaklah mengherankan
apabila dalam setiap penyelenggaraan Pemilu pada zaman
Orde baru ada interest tertentu untuk memenangkan GOLKAR
dengan berbagai cara, termasuk melakukan rekayasa
pengaturan tentang Pemilu.
Adnan Buyung Nasution mengemukakan adanya tiga
tema dari pengamatan mengenai penyelenggaraan Pemilu
selama Orde Baru, yaitu:
1. Dalam setiap penyelenggaraan Pemilu mulai dari tahap
persiapan sampai penentuan hasilnya sangat jelas peranan
dominan birokrasi;
2. Persoalan jumlah anggota MPR/DPR yang dipilih dan
diangkat, yakni hanya 75% yang dipilih, itupun melalui
seleksi birokrasi yang amat ketat;

153 Pasal 5 ayat (1) UUD 1945 sebelum Amandemen.

3. Kualifikasi calon yang berkailan dengan sistem representatif


proporsional memustahilkan masyarakat pemilih
memutuskan pilihan atas pertimbangan tentang kualitas
calon, sementara calon sendiri diseleksi melalui rekrutmen
politik yang kurang transparan.154

Dari sinilah muncul permasalahan, apakah model


pembentukan aturan main seperti tersebut di atas dapat
menjamin pelaksanaan Pemilu yang demokratis? Dalam arti
rakyat dapat memberikan suaranya dengan lebih leluasa, san
cerdas sesuai dengan asas Luber dan Jurdil.
Undang-undang Pemilu yang terakhir digunakan pada
zaman Orde Baru adalah UU No. 1 Tahun 1985. di dalam Pasal
1 ayat (1) menyatakan bahwa Pemilu adalah sarana
pelaksanaan asas kedaulatan rakyat berdasarkan Pancasila
dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ketentuan ini
jelas menunjukkan bahwa kekuasaan tertinggi di dalam NKRI
ada di tangan rakyat dan di-manifestasikan dalam bentuk
Pemilu untuk memilih wakil-wakil rakyat yang duduk di
Lembaga Perwakilan Rakyat. Pemilu semata-mata bukan
hanya bertujuan untuk melaksanakan demokratisasi
pemerintahan, melainkan yang terpenting adalah sarana
untuk melaksanakan prinsip kedaulatan rakyat. Konsepsi
semacam ini penting untuk dipahami, sebab sistem politik
demokratis yang sebenarnya adalah sistem yang di dasarkan
pada perimbangan kekuatan politik nyata (bukan sekedar
legalitas formal) antara pemerintah dan masyarakat
sebagaimana dikemukakan oleh Arief Budiman.155
Pada saat Pemilu dijadikan sebagai pencerminan prinsip
kedaulatan rakyat, maka mulai saat itulah rakyat diberi
kebebasan dalam memilih serta menentukan calon-calon wakil
yang tergabung dalam Partai Politik. Pasal 1 ayat (2) Piagam
tentang Pernyataan HAM sedunia menyatakan bahwa
kehendak rakyat
154 Adnan Buyung Nasution, dalam Alexander Irwan dan
Edriana, 1995, Pemilu Pelanggaran Asas Luber, Pustaka
Sinar Harapan, Jakarta, him. Vii.
155 Arief Budiman, Op.cit, him. 40.

ialah dasar kekuasaan pemerintah; kehendak itu akan


dilahirkan dalam pemilihan-pemilihan berkala dan jujur yang
dilakukan dalam Pemilihan Umum dan berkesamaan atas
pengaturan suara yang rahasia dengan cara pemungutan
suara yang bebas dan yang sederajad dengan itu. Dengan
demikian, kebebasan, kejujuran, rahasia dan berkesamaan
merupakan prinsip yang esensial dalam penyelenggaraan
pemilu.
Masih terkait dengan UU Pemilu di masa Orde Baru. Pasal
1 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1985 menegaskan bahwa pemilu
diselenggarakan dengan mengadakan pemungutan suara
secara langsung, umum, bebas dan rahasia. Guna menuju
konsolidasi sistem demokrasi pasca reformasi, ketentuan pasal
semacam ini jelas tidak lengkap, mengingat asas jujur dan adil
(kesamaan dalam perlakuan) belum terakomodasi dalam
ketentuan tersebut.
Secara prinsipiil antara asas LUBER dan JURDIL
mengandung makna yang berbeda. Pasal 1 ayat (2) UU No. 1
Tahun 1985 dapat ditafsirkan bahwa asas LUBER hanya
dipergunakan pada saat diadakan pemungutan suara.
Sementara asas yang dipergunakan dalam seluruh rangkaian
proses penyelenggaraan Pemilu, dari pendaftaran pemilih
sampai dengan penghitungan suara, bahkan penentuan wakil-
wakil rakyat secara definitif, belum terangkum dalam
ketentuan UU tersebut. Di sinilah asas JURDIL mutlak
diperlukan untuk merangkum seluruh rangkaian proses
penyelenggaraan pemilu.
Jujur mengandung maksud tidak boleh terjadi
kecurangan-kecurangan dalam Pemilu, baik oleh
penyelenggara dengan cara memanipulasi suara untuk
kepentingan partai tertentu, ataupun menghalang-halangi
warga negara yang memberikan suara dan yang senada
dengan itu. Di lain pihak jujur juga berkaitan dengan perilaku
Partai Politik, khususnya dalam mempropagandakan berbagai
program lewat janji-janji politik pada saat kampanye. Ini
semua diperlukan agar rakyat dapat mempergunakan hak
pilihnya dengan dilandasi sikap kritis. Sehingga mereka
mampu menilai dan kemudian memilih partai politik mana
yang cocok untuk dipakai sebagai sarana penyalur aspirasi.
Adil maksudnya adalah kesamaan dalam perlakuan.
Partai politik peserta pemilu haruslah memperoleh perlakuan
yang sama. Jika salah satu partai politik melakukan kampanye
premature, dengan perbagai alasan pembenarnya, tentu Partai-
partai politik lainnya juga diperkenankan untuk itu.
Pencekalan terhadap kegiatan yang dilakukan Partai politik
tertentu merupakan salah satu bentuk pelanggaran asas Adil
ini.
Pasal 23 ayat (2) UU No. 1 tahun 1985 menegaskan bahwa
tata cara pelaksanaan penetapan hasil pemilu diatur lebih
lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Lebih lanjut Pasal 24 UU
yang sama menyatakan bahwa pengumuman hasil pemilihan
bagi DPR. DPRD I, dan DPRD II dan pemberitahuan kepada
terpilih dilakukan oleh Lembaga Pemilihan Umum dengan
tata cara diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Kedua ketentuan tersebut memberikan sinyal betapa
kuatnya intervensi Pemerintah di zaman Orde Baru itu dalam
setiap langkah penyelenggaraan pemilu. Hal ini menandakan
bahwa asas JURDIL sama sekali tidak diperhatikan dalam
proses penyelenggaraan pemilu. Dengan mengeluarkan
Peraturan Pemerintah tersebut, maka pelanggaran-
pelanggaran asas JURDIL justru dilakukan oleh Pemerintah
dengan melakukan berbagai manipulasi yang dibungkus
lewat Peraturan Pemerintah tersebut.
Sebenarnya dalam UU No. 1 Tahun 1985 tersebut sanksi
atas pelanggaran terhadap asas JURDIL sudah diatur dalam
Pasal 26 sampai dengan Pasal 29. akan tetapi sayang dalam
setiap kegiatan Pemilu (3 kali mempergunakan UU ini),
ketentuan pidana sebagaimana tercantum dalam pasal-pasal
tersebut tidak pernah dilaksanakan secara konsekuen. Bahkan
kalau pun dilaksanakan hanya bersifat administratif.
Pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh GOLKAR
(mesin politik Orde Baru) dibiarkan begitu saja, sementara
pelanggaran yang dilakukan oleh Partai Politik (PDI dan PPP)
dengan segera diproses dengan berbagai alasan pembenar.
Lagi-lagi rezim Orde Baru telah mengingkari prinsip
demokrasi yang menghendaki adanya fair play dalam setiap
aktifitas politik.

2 Sistem Pemilu: Antara Distrik dan Proporsional.


Berdebatan mengenai sistem Pemilu muncul di era Orde
Baru, ketika Presiden Soeharto menugaskan kepada LIPI
(Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) untuk melakukan
penelitian dan kajian tentang sistem pemilu yang paling tepat
diterapkan di Indonesia. Apakah sistem distrik ataukah sistem
Proporsional. Keinginan Presiden Soehartio pada saat itu
merupakan sebuah kejutan bagi dunia politik di Indonesia,
karena selama ini dengan mempergunakan sistem
proporsional mesin politik Presiden Soeharto yakni GOLKAR
selalu menduduki single majority di parlemen.
Selama pemerintahan Orde Baru, sistem Pemilu yang
dipergunakan adalah sistem proporsional (perwakilan
berimbang) dengan stelsel daftar. Persoalannya adalah,
mengapa sistem ini selalu dipergunakan, sedangkan data
empiris menunjukkan bahwa sistem ini banyak
kelemahannya. Kalau memang tetap dipertahankan
bagaimanakah solusinya agar kelemahan dari sistem ini dapat
diperkecil?
Hampir sebagian besar para ahli Hukum Tata Negara
memberikan pandangan kritis mengenai kelemahan-
kelemahan sistem proporsional. Salah satu kelemahan yang
paling menonjol dalam mempergunakan sistem ini adalah
hubungan antara si terpilih (anggota Lembaga Perwakilan
Rakyat) dengan si pemilih menjadi jauh. Setelah calon menjadi
anggota Lembaga Perwakilan Rakyat, maka saat itulah
hubungan politik dengan para konstituennya menjadi lepas.
Sebaliknya hubungan antara para anggota Lembaga
Perwakilan Rakyat dengan induk organisasi Partai Politik
melalui fraksi-fraksi yang ada di Lembaga perwakilan Rakyat
semakin diperkuat dan mesra. Lembaga perwakilan Rakyat
berubah watak menjadi Lembaga Perwakilan Partai Politik.
Berdasarkan kelemahan ini, maka para ahli Hukum Tata
Negara menyarankan agar sistem Pemilu diubah ke sistem
distrik. Menurut hemat penulis, perubahan ke sistem distrik
tetap tidak akan mengubah keadaan, selama Pemilu
dilaksanakan dengan mencoblos al.m memilih tanda gambar
Partai Politik, serta apabila hubungan antara organisasi induk
Partai Politik dengan si terpilih (anggota Lembaga perwakilan
Rakyat) tetap seperti semula. Organisasi induk Partai Politik
bertindak layaknya atasan bagi anggota Lembaga Perwakilan
Rakyat. Hak untuk melakukan recalling masih tetap ada di
tangan Partai Politik melalui alat-alat perpanjangan tangan di
parlemen yang berwujud Fraksi.
Dengan demikian alternatif yang mungkin dapat
dipergunakan adalah tetap mempergunakan sistem
proporsional dengan stalsel daftar, akan tetapi para pemilih di
samping memilih tanda gambar, mereka juga diberi
kesempatan untuk memilih nama-nama calon legislatif (caleg)
yang berada di bawah tanda gambar tersebut. Dengan kata
lain, di samping pemilih mencoblos atau memilih tanda
gambar, mereka juga mencoblos/menusuk/memberi tanda
kepada nama caleg yang dikehendaki dari partai politik
pilihannya. Dengan cara seperti ini pemilih menghendaki agar
nama tersebut menjadi anggota Lembaga Perwakilan Rakyat.
Sistem seperti ini memungkinkan caleg yang populer dan
berkualitas dalam satu Partai Politik Peserta Pemilu tertentu
dapat terpilih walaupun oleh organisasi induk Partai
Politiknya ditempatkan dalam urusan daftar calon terbawah
(nomor besar). Kendatipun demikian, sistem ini juga
mengandung kelemahan, khususnya menyangkut
perhitungan suara pada gambar dan nama caleg. Kelemahan
ini di dunia teknologi informasi tentu dapat diperkecil.

3. Lembaga/Badan Pengelola Mekanisme Pelaksanaan


Pemilu.
Sistem politik yang demokratis akan selalu berhimpitan
dengan prinsip kedaulatan rakyat. Hal ini berarti rakyat
rakyat paling sedikit sama kuat atau lebih kuat daripada
pemerintah.156 Konsepsi yang demikian ini harus tercermin
dalam seluruh rangkaian kegiatan Pemilu, baik dari aspek
pengaturan (regulasi melalui undang-undang, maupun aspek
pelaksanaan di lapangan.
156 Arief Budiman, Ibid.

Namun demikian, kenyataan menunjukkan bahwa selama


Orde Baru konsep semacam ini sudah disimpangi.
Dari aspek pengaturan atau regulasi nampak bahwa peran
dari Dewan Perwakilan Rakyat tetap menduduki posisi sub-
ordinasi dari Pemerintah. Hal ini nampak jelas dari inisiatif
dari pengajuan Rancangan Undang-undang tentang Pemilu
menggambarkan bahwa DPR hanya menunggu inisiatif dari
Pemerintah. DPR hanya berfungsi sebagai tukang stampel
dalam merumuskan undang-undang. Kita juga bisa melihat
bahwa dalam seluruh mekanisme penyelenggaraan Pemilu di
masa Orde Baru, peran Pemerintah sangat dominan. Hampir
setiap tahapan Pemilu selalu diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
Oleh sebab itu untuk menuju konsolidasi sistem
demokrasi melalui reformasi Pemilu tentunya perlu
pembenahan-pembenahan sebagai berikut:
a. Sikap DPR yang serba menunggu harus segera
dihilangkan,
mengingat yang paling membutuhkan dan sekaligus
mem-
pergunakan Undang-Undang Tentang Pemilu tidak lain
adalah Lembaga Perwakilan Rakyat itu sendiri. Cara
tersebut
dapat ditempuh dengan mengoptimalkan hak inisiatif
DPR
dalam mengajukan RUU Pemilu dengan membentuk Tim
di
DPR untuk melakukan kajian dan pengumpulan informasi
dalam rangka menyusun Rancangan Undang-Undang
Tentang
Pemilu.
b. Pelaksanaan seluruh tahapan Pemilu yang masih
didominasi
oleh Pemerintah harus segera diakhiri. Cara yang dapat
di-
tempuh adalah:
1. meminimalkan pendelegasian lebih lanjut ketentuan di
dalam UU Pemilu ke dalam Peraturan Pemerintah.
Kalau toh masih dibutuhkan Peraturan Pemerintah
untuk melaksanakan lebih lanjut ketentuan-ketentuan
dalam UU Pemilu, DPR harus dilibatkan dalam
penyusunan Peraturan pemerintah yang dimaksud.

2. Harus dibentuk suatu lembaga yang independen untuk


melaksanakan seluruh rangkaian proses Pemilu.
Lembaga ini tidak melibatkan unsur pemerintah dan
Partai Politik, agar dalam pelaksanaan Pemilu dapat
lebih jujur dan adil. Lembaga yang dimaksud di sini
termasuk juga Lembaga Pemantau Pemilu.
2. Membuka jaringan informasi yang dapat diakses oleh
siapa saja, sehingga proses persiapan dan pelaksanaan
Pemilu dapat diikuti oleh setiap orang. Lembaga yang
membuka jaringan informasi itu tidak lain adalah
lembaga yang menyelenggarakan pemilu itu sendiri.

Demikianlah beberapa catatan kritis mengenai


pelaksanaan pemilu selama Orde Baru. Dalam rangka menuju
konsolidasi sistem demokrasi, lembaga yang diberi wewenang
untuk melaksanakan seluruh rangkaian proses pemilu telah
dilakukan pembenahan yang sangat signifikan. Lembaga
tersebut adalah KPU (Komisi Pemilihan Umum).

B. Pemilu dan Rekrutmen Kepemimpinan Nasional.


Salah satu fungsi utama Pemilu dalam negara demokratis
tidak lain adalah menentukan kepemimpinan nasional secara
konstutusional. Kepemimpinan yang dimaksud disini
menyangkut juga kepemimpinan kolektif yang direfleksikan
dalam diri para wakil rakyat. Oleh sebab itu dalam bentuk dan
jenis sistem pemerintahan apapun, Pemilu menduduki posisi
yang sangat strategis dalam rangka mewujudkan tujuan
tersebut. Dalam sistem presidensiil murni, pada umumnya
Pemilu diselenggarakan sebanyak dua kali, yaitu untuk
menentukan wakil rakyat yang akan duduk di parlemen dan
untuk menentukan presiden (Kepala pemerintahan) dalam
rangka menyelenggarakan pemerintahan.
Di dalam sistem parlementer, Pemilu pada prinsipnya
hanya dilaksanakan satu kali, yakni utamanya untuk memilih
wakil-wakil rakyat yang akan duduk di Parlemen. Dari
pembentukan parlemen inilah kemudian dibentuk kepala
pemerintahan. Penentuan kepala pemerintahan ini bisanya
sangat dipengaruhi oleh komposisi perolehan suara Partai
Politik peserta Pemilu. Bagi Partai Politik yang menduduki
kursi mayoritas, maka diberi kesempatan pertama untuk
menentukan komposisi Pemerintahan Negara. Sedangkan
jikalau ternyata dalam pemilu tidak ada satupun Partai Politik
yang menduduki kursi mayoritas, maka penentuan komposisi
Pemerintahan Negara dilakukan dengan cara koalisi, yakni
bergabungnya dua Partai Politik atau lebih untuk memperkuat
suara di Parlemen. Dengan demikian dalam konteks sistem
parlementer, maka korelasi antara Pemilu dengan Pemilihan
Kepala Pemerintahan sifatnya tidak langsung, berbeda dengan
yang terjadi di sistem presidensiil.
Sehubungan dengan hal ini menurut Henry B. Mayo
dengan adanya Pemilihan umum maka salah satu nilai
demokrasi dapat terwujud, artinya terjadinya perpindahan
kekuasaan negara dari pemegang yang lama kepada
pemegang yang baru secara damai.157
Di dalam sistem ketatanegaraan Indonesia pasca sidang
umum (SU) MPR tahun 1999, kelaziman dalam sistem
presidensiil di tolak, namun tidak berarti sistem
ketatanegaraan dianggap menganut sistem parlementer.
Karena pemilihan Presiden dan wakil presiden masih tetap
menjadi wewenang dari MPR. Oleh sebab itulah hasil Pemilu
1999 tidak dapat dipergunakan sebagai ukuran untuk
menentukan secara langsung jabatan Kepala Pemerintahan.
Konstitusional kasus semacam
inilahyangmengakibatkanMegawati harus berlapang dada
untuk memberikan kesempatan kepada Abdurrahman Wahid
menjadi presiden, walaupun dalam pemilu 1999 Partai Politik
yang dipimpin oleh Megawati memperoleh suara di Parlemen
(MPR) lebih kurang 36%, sedangkan Abdurrahman Wahid
justru tokoh politik yang masuk menjadi anggota MPR dari
157 Henry B. Mayo, dalam Miriam Budiarjo, 1986, Dasar-
Dasar Ilmu Politik, Gramedia, Jakarta, him. 61.
utusan golongan yang tentu saja tidak ikut dalam Pemilu 1999.

Hal ini berarti antara Pemilu dengan Pemilihan Presiden tidak


merupakan satu tarikan nafas dalam penentuan rezim.
Dari gambaran tersebut dapat disimpulkan bahwa untuk
melaksanakan Pemilu guna menentukan seseorang menjadi
pejabat negara (Presiden dan Wakil Presiden dapat ditempuh
melalui dua alternatif, yaitu:
1. Pemilihan secara langsung, artinya para pemilih
melakukan pemilihan orang atau kontestan (peserta) yang
disukai; dan
2. Pemilihan secara bertingkat (tidak langsung), yaitu para
pemilih melakukan pemilihan orang-orang untuk menjadi
anggota suatu lembaga kenegaraan yang mempunyai
wewenang untuk memilih orang yang akan menjadi
pejabat negara tersebut. Contoh cara seperti ini adalah
pemilihan Presiden dan Wakil Presiden Indonesia yang
dilakukan oleh MPR sebelum Amandemen UUD 1945.

Pada umumnya anggota Partai Politik dapat duduk di


Lembaga Perwakilan rakyat melalui Pemilu, akan tetapi
karena ada kelompok-kelompok fungsional yang hidup dan
berkembang di dalam suatu masyarakat serta dibutuhkan
keterwakilannya di dalam Lembaga Perwakilan Rakyat, maka
dikenal pula adanya cara pengangkatan maupun penunjukan.
Namun demikian dalam negara yang manganut prinsip
demokrasi, tentunya keberadaan anggota Lembaga
Perwakilan Rakyat yang berasal dari Pemilu komposisinya
harus lebih banyak daripada anggota yang berasal dari
pengangkatan atau penunjukan.
Sehubungan dengan pola pengisian keanggotaan Lembaga
Perwakilan Rakyat tersebut, maka mekanisme untuk
menentukan anggota-anggota di Lembaga Perwakilan Rakyat
dalam digolongkan ke dalam dua sistem, yaitu:158
1. Sistem pemilihan Organis, yakni mengisi keanggotaan
Lembaga Perwakilan Rakyat melalui pengangkatan atau
pe-
158 Wolhoff, dalam Bintan R. Saragih, 1988, Lembaga-
Lembaga Perwakilan dan Pemilihan Umum Indonesia,
Gaya Media Pratama, Jakarta, him. 171 dst.

Namun demikian, kenyataan menunjukkan bahwa selama


Orde Baru konsep semacam ini sudah disimpangi.
Dari aspek pengaturan atau regulasi nampak bahwa peran
dari Dewan Perwakilan Rakyat tetap menduduki posisi sub-
ordinasi dari Pemerintah. Hal ini nampak jelas dari inisiatif
dari pengajuan Rancangan Undang-undang tentang Pemilu
menggambarkan bahwa DPR hanya menunggu inisiatif dari
Pemerintah. DPR hanya berfungsi sebagai tukang stampel
dalam merumuskan undang-undang. Kita juga bisa melihat
bahwa dalam seluruh mekanisme penyelenggaraan Pemilu di
masa Orde Baru, peran Pemerintah sangat dominan. Hampir
setiap tahapan Pemilu selalu diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
Oleh sebab itu untuk menuju konsolidasi sistem
demokrasi melalui reformasi Pemilu tentunya perlu
pembenahan-pembenahan sebagai berikut:
a. Sikap DPR yang serba menunggu harus segera
dihilangkan,
mengingat yang paling membutuhkan dan sekaligus
mem-
pergunakan Undang-Undang Tentang Pemilu tidak lain
adalah Lembaga Perwakilan Rakyat itu sendiri. Cara
tersebut
dapat ditempuh dengan mengoptimalkan hak inisiatif
DPR
dalam mengajukan RUU Pemilu dengan membentuk Tim
di
DPR untuk melakukan kajian dan pengumpulan informasi
dalam rangka menyusun Rancangan Undang-Undang
Tentang
Pemilu.
b. Pelaksanaan seluruh tahapan Pemilu yang masih
didominasi
oleh Pemerintah harus segera diakhiri. Cara yang dapat di-
tempuh adalah:
1. meminimalkan pendelegasian lebih lanjut ketentuan di
dalam UU Pemilu ke dalam Peraturan Pemerintah.
Kalau toh masih dibutuhkan Peraturan Pemerintah
untuk melaksanakan lebih lanjut ketentuan-ketentuan
dalam UU Pemilu, DPR harus dilibatkan dalam
penyusunan Peraturan pemerintah yang dimaksud.
2 . Harus dibentuk suatu lembaga yang independen untuk
melaksanakan seluruh rangkaian proses Pemilu.
Lembaga ini tidak melibatkan unsur pemerintah dan
Partai Politik, agar dalam pelaksanaan Pemilu dapat
lebih jujur dan adil. Lembaga yang dimaksud di sini
termasuk juga Lembaga Pemantau Pemilu.
3. Membuka jaringan informasi yang dapat diakses oleh
siapa saja, sehingga proses persiapan dan pelaksanaan
Pemilu dapat diikuti oleh setiap orang. Lembaga yang
membuka jaringan informasi itu tidak lain adalah
lembaga yang menyelenggarakan pemilu itu sendiri.

Demikianlah beberapa catatan kritis mengenai


pelaksanaan pemilu selama Orde Baru. Dalam rangka menuju
konsolidasi sistem demokrasi, lembaga yang diberi wewenang
untuk melaksanakan seluruh rangkaian proses pemilu telah
dilakukan pembenahan yang sangat signifikan. Lembaga
tersebut adalah KPU (Komisi Pemilihan Umum).

B. Pemilu dan Rekrutmen Kepemimpinan Nasional.


Salah satu fungsi utama Pemilu dalam negara demokratis
tidak lain adalah menentukan kepemimpinan nasional secara
konstutusional. Kepemimpinan yang dimaksud disini
menyangkut juga kepemimpinan kolektif yang direfleksikan
dalam diri para wakil rakyat. Oleh sebab itu dalam bentuk dan
jenis sistem pemerintahan apapun, Pemilu menduduki posisi
yang sangat strategis dalam rangka mewujudkan tujuan
tersebut. Dalam sistem presidensiil murni, pada umumnya
Pemilu diselenggarakan sebanyak dua kali, yaitu untuk
menentukan wakil rakyat yang akan duduk di parlemen dan
untuk menentukan presiden (Kepala pemerintahan) dalam
rangka menyelenggarakan pemerintahan.
Di dalam sistem parlementer, Pemilu pada prinsipnya
hanya dilaksanakan satu kali, yakni utamanya untuk memilih
wakil-wakil rakyat yang akan duduk di Parlemen. Dari
pembentukan parlemen inilah kemudian dibentuk kepala
pemerintahan. Penentuan kepala pemerintahan ini bisanya
sangat dipengaruhi oleh komposisi perolehan suara Partai
Politik peserta Pemilu. Bagi Partai Politik yang menduduki
kursi mayoritas, maka diberi kesempatan pertama untuk
menentukan komposisi Pemerintahan Negara. Sedangkan
jikalau ternyata dalam pemilu tidak ada satupun Partai Politik
yang menduduki kursi mayoritas, maka penentuan komposisi
Pemerintahan Negara dilakukan dengan cara koalisi, yakni
bergabungnya dua Partai Politik atau lebih untuk memperkuat
suara di Parlemen. Dengan demikian dalam konteks sistem
parlementer, maka korelasi antara Pemilu dengan Pemilihan
Kepala Pemerintahan sifatnya tidak langsung, berbeda dengan
yang terjadi di sistem presidensiil.
Sehubungan dengan hal ini menurut Henry B. Mayo
dengan adanya Pemilihan umum maka salah satu nilai
demokrasi dapat terwujud, artinya terjadinya perpindahan
kekuasaan negara dari pemegang yang lama kepada
pemegang yang baru secara damai.157
Di dalam sistem ketatanegaraan Indonesia pasca sidang
umum (SU) MPR tahun 1999, kelaziman dalam sistem
presidensiil di tolak, namun tidak berarti sistem
ketatanegaraan dianggap menganut sistem parlementer.
Karena pemilihan Presiden dan wakil presiden masih tetap
menjadi wewenang dari MPR. Oleh sebab itulah hasil Pemilu
1999 tidak dapat dipergunakan sebagai ukuran untuk
menentukan secara langsung jabatan Kepala Pemerintahan.
Konstitusional kasus semacam inilah yang mengakibatkan
Megawati harus berlapang dada untuk memberikan
kesempatan kepada Abdurrahman Wahid menjadi presiden,
walaupun dalam pemilu 1999 Partai Politik yang dipimpin
oleh Megawati memperoleh suara di Parlemen (MPR) lebih
kurang 36%, sedangkan Abdurrahman Wahid justru tokoh
politik yang masuk menjadi anggota MPR dari utusan
157 Henry B. Mayo, dalam Miriam Budiarjo, 1986, Dasar-
Dasar Ilmu Politik, Gramedia, Jakarta, him. 61.
golongan yang tentu saja tidak ikut dalam Pemilu 1999.

Hal ini berarti antara Pemilu dengan Pemilihan Presiden tidak


merupakan satu tarikan nafas dalam penentuan rezim.
Dari gambaran tersebut dapat disimpulkan bahwa untuk
melaksanakan Pemilu guna menentukan seseorang menjadi
pejabat negara (Presiden dan Wakil Presiden dapat ditempuh
melalui dua alternatif, yaitu:
1. Pemilihan secara langsung, artinya para pemilih
melakukan pemilihan orang atau kontestan (peserta) yang
disukai; dan
2. Pemilihan secara bertingkat (tidak langsung), yaitu para
pemilih melakukan pemilihan orang-orang untuk menjadi
anggota suatu lembaga kenegaraan yang mempunyai
wewenang untuk memilih orang yang akan menjadi
pejabat negara tersebut. Contoh cara seperti ini adalah
pemilihan Presiden dan Wakil Presiden Indonesia yang
dilakukan oleh MPR sebelum Amandemen UUD 1945.

Pada umumnya anggota Partai Politik dapat duduk di


Lembaga Perwakilan rakyat melalui Pemilu, akan tetapi
karena ada kelompok-kelompok fungsional yang hidup dan
berkembang di dalam suatu masyarakat serta dibutuhkan
keterwakilannya di dalam Lembaga Perwakilan Rakyat, maka
dikenal pula adanya cara pengangkatan maupun penunjukan.
Namun demikian dalam negara yang manganut prinsip
demokrasi, tentunya keberadaan anggota Lembaga
Perwakilan Rakyat yang berasal dari Pemilu komposisinya
harus lebih banyak daripada anggota yang berasal dari
pengangkatan atau penunjukan.
Sehubungan dengan pola pengisian keanggotaan Lembaga
Perwakilan Rakyat tersebut, maka mekanisme untuk
menentukan anggota-anggota di Lembaga Perwakilan Rakyat
dalam digolongkan ke dalam dua sistem, yaitu:158
1. Sistem pemilihan Organis, yakni mengisi keanggotaan
Lembaga Perwakilan Rakyat melalui pengangkatan atau
pe-
158 Wolhoff, dalam Bintan R. Saragih, 1988, Lembaga-
Lembaga Perwakilan dan Pemilihan Umum Indonesia,
Gaya Media Pratama, Jakarta, him. 171 dst.

nunjukan. Sistem ini dilandasi oleh pokok pikiran sebagai


berikut;
a. Rakyat dalam suatu negara dipandang sebagai sejumlah
individu yang hidup bersama dalam beraneka ragam
persekutuan hidup, seperti genealogis (keluarga), teritoral
(daerah), fungsional spesialis (cabang industri), lapisan-
lapisan sosial (buruh, tani), dan lembaga-lembaga sosial
(LSM/ORNOP);
b. Persekutuan-persekutuan hidup inilah yang bertindak
sebagai pengendali hak pilih, artinya yang mempunyai
kewenangan atau hak untuk mengutus wakil-wakilnya
duduk sebagai anggota Lembaga Perwakilan Rakyat
adalah
persekutuan-persekutuan hidup tersebut;
c. Partai-partai Politik dalam struktur kehidupan kemasya-
rakatan seperti ini relatif tidak dibutuhkan keberadaannya.
Hal ini disebabkan mekanisme pemilihan diselenggarakan
dan dipimpin sendiri oleh masing-masing persekutuan
hidup.
Berdasarkan pokok pikiran inilah, maka keberadaan Lem-
baga Perwakilan Rakyat tidak lain hanya merupakan Lembaga
Perwakilan Persekutuan-Persekutuan Hidup. Dengan kata lain,
Lembaga Perwakilan yang keberadaannya hanya untuk
mengurus kepentingan-kepentingan khusus dari persekutuan-
persekutuan hidup yang ada di dalam masyarakat suatu
negara. Dengan demikian melalui sistem organis ini, ke-
dudukan Lembaga Perwakilan menjadi lemah, dan tingkat
representasinya sangat rendah. Oleh sebab itu apabila
Lembaga Perwakilan jenis ini akan menetapkan suatu undang-
undang yang menyangkut hak-hak rakyat, maka undang-
undang tersebut dapat berlaku efektif jikalau rakyat telah
menyetujui, misalnya melalui referendum.
Sistem pemilihan Mekanis, sistem ini sering disebut juga
Pemilihan Umum. Sistem ini berpangkal tolak dari pemikiran:
a. Rakyat di dalam suatu negara dipandang sebagai
massa
individu-individu yang sama;
b. Individu-individu inilah yang bertindak sebagai
pengendali
hak pilih aktif;
c. Masing-masing individu berhak mengeluarkan satu
suara
dalam setiap pemilihan umum untuk satu Lembaga
Perwaklan Rakyat;
d. Dalam negara liberal mengutamakan individu sebagai
kesatuan otonom dan masyarakat dipandang sebagai
suatu kompleks hubungan-hubungan antar individu
yang
bersifat kontraktual. Sedangkan di dalam negara
sosialis-
komunis lebih mengutamakan totaliteit kolektif
masyarakat
dan mengecilkan peran individu-individu dalam
totalitet
kolektif mi;
e. Partai Politik atau organisasi Politik berperan dalam
mengorganisasikan pemilih sehingga eksistensinya
sangat
diperlukan, baik menurut sistem satu partai, dua partai
ataupun multi partai.
Berpangkal tolak dari pemahaman tersebut, maka
keberadaan Lembaga Perwakilan Rakyat yang terbentuk
bersifat Lembaga yang merepresentasikan kepentingan-
kepentingan politik rakyat secara menyeluruh yang dalam
perkembangannya disebut Dewan Perwakilan Rakyat.
Dengan adanya sistem mekanis inilah, maka dikenal
sistem Pemilu Distrik dan Sistem Pemilu Proporsional.

Dalam perkembangan lebih lanjut, kedua sistem Pemilu


ini membuka peluang adanya kombinasi antara keduanya.
Sistem Pemilu yang mengkombinasikan antara sistem distrik
dan proporsional adalah sistem Pemilu yang dilaksanakan di
Indonesia, sebagaimana tertuang di dalam UU No. 10 Tahun
2008 Tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD. Hal ini
nampak di dalam ketentuan Pasal 5 yang menyatakan:

(1) Pemilu untuk memilih anggota DPR, DPRD Provinsi, dan


DPRD kabupaten/kota dilaksanakan dengan sistem
proporsional terbuka.
(1) Pemilu untuk memilih anggota DPD dilaksanakan dengan
sistem distrik berwakil banyak.

1. Sistem Pemilu Distrik.


Sistem Pemilu seperti ini dapat digambarkan sebagai
berikut. Wilayah suatu negara yang menyelenggarakan
pemilihan untuk wakil-wakil di parlemen, dibagi atas distrik-
distrik pemilihan yang jumlahnya sama dengan kursi yang
tersedia di parlemen (kursi di parlemen yang diperebutkan
dalam Pemilu). Setiap distrik hanya memilih satu orang wakil
untuk duduk di parlemen dari beberapa calon yang mengikuti
pemilihan di masing-masing distrik.
Jikalau pembagian distrik dirasa terlalu banyak, maka
dapat juga dipergunakan cara penentuan distrik berdasarkan
kursi di Parlemen di bagi dua. Hal ini berarti masing-masing
distrik bisa mengirimkan dua wakil untuk duduk di kursi
Parlemen. Contohnya: jumlah kursi di Parlemen adalah 500.
untuk cara yang pertama ditempuh dengan membagi wilayah
negara menjadi 500 distrik. Jikalau cara seperti ini
mengakibatkan jumlah distrik terlalu banyak, maka dapat
ditempuh dengan membagi wilayah negara menjadi 250
distrik. Cara yang kedua ini mengakibatkan masing-masing
distrik bisa mengirimkan wakil sebanyak 2 (dua) orang.
Berdasarkan sistem pemilihan yang demikian ini, maka
keuntungan yang diperoleh adalah:
a. Hubungan antara rakyat dengan wakil relatif dekat. Hal ini
disebabkan partai-partai politik tidak mungkin
mencalonkan wakil rakyat yang tidak populer di masing-
masing distrik. Dampak lebih lanjut dari hal ini adalah
wakil yang terpilih tidak akan mengatas namakan Partai
politik, karena dalam pemilihan di masing-masing distrik,
rakyat memilih orang, bukan Partai Politik.
b. Sistem ini mendorong terjadinya penyatuan partai-partai
(khususnya jika suatu negara mempergunakan sistem
multi
partai). Hal ini disebabkan calon yang terpilih di masing-
masing distrik hanya satu atau lebih dari satu, dan
terpilihnya
mereka semata-mata hanya karena kepopuleran dan kredi-
bilitasnya. Oleh sebab itulah ada kemungkinan partai-
partai
politik itu bergabung untuk mencalonkan seseorang yang
dikenal dimasing-masing distrik. Calon yang dikenal di
masing-masing distrik itu belum tentu berasal dari satu
partai.
Bahkan ada kemungkinan tokoh independen dan non
partisan
yang dapat menjadi wakil di suatu distrik. Bisa jadi
seorang
tokoh di suatu distrik itu didukung oleh beberapa partai
politik melalui koalisi.
c. Organisasi dan penyelenggaraan pemilu dengan sistem
distrik relatif sederhana, artinya untuk menyusun
kepanitiaan
pemilu tidak memerlukan banyak orang dengan struktur
birokrasi yang beihngkat-tingkat. Biayanya relatif murah
dan
penyelenggaraannya relatif singkat. Sisa suara yang
terbuang
tidak perlu diperhitungkan.
d. Denganmempergunakansistem distrik, maka ada
kemungkinan
pertumbuhan Partai Politik yang cenderung sektarian,
ideo-
logis/aliran, serta primordialisme menjadi berkurang. Hal
ini
mengingat tokoh-tokoh politik yang terpilih di masing-
masing
distrik akan lebih mengedepankan kepentingan rakyat di
masing-masing distrik daripada kepentingan kelompok
Partai
Politik.

Sedangkan kelemahan dari sistem pemilu distrik, dapat


dirumuskan sebagai berikut:
a. Banyak suara yang terbuang, bahkan ada kemungkinan
terjadi fenomena Low representative versus high
representative. Artinya calon yang menjadi wakil dari suatu
distrik, sebenarnya hanya memperoleh suara minoritas
(low representative) bila dibandingkan dengan gabungan
suara yang diperoleh calon-calon yang ada di distrik yang
bersangkutan. Contohnya; calon A (40 suara), calon B (39
suara), calon C (25 suara), calon D (20 suara), dan calon E
(15 suara). Berdasarkan suara tersebut, maka wakil rakyat
dari distrik yang bersangkutan adalah A. Akan tetapi bila
dilihat dari total jumlah suara (high representative) yang
diperoleh calon-calon lain di distrik yang bersangkutan
(B,C,D,E), maka pada hakikatnya Calon A lebih kecil suara
yang diperoleh, b. Menyulitkan bagi Partai-partai kecil dan
golongan-golongan minoritas untuk mempunyai wakil di
Lembaga Perwakilan Rakyat, apalagi mereka ini terpencar
dalam berbagai distrik pemilihan.

Walaupun sistem distrik ini mengandung kelemahan,


namun ditinjau dari kemanfaatannya sistem ini jauh lebih baik
daripada sistem proporsional. Dengan mempergunakan
sistem ini, akuntabilitas anggota parlemen sebagai wakil
rakyat dapat lebih terjamin. Rakyat masing-masing distrik
dapat secara langsung meminta pertanggungjawaban anggota
parlemen yang berasal dari distrik yang bersangkutan jikalau
dalam melaksanakan tugasnya telah melupakan aspirasi
rakyat. Jika rakyat disuatu distrik sudah tidak percaya lagi
terhadap wakilnya di parlemen, maka rakyat dapat langsung
merecall dan dapat melaksanakan penggantian dengan cara
melakukan pemilihan di distriknya.

2. Sistem Pemilu Proporsional (Multy Member


Constutuency).
Sistem Pemilu seperti ini mempergunakan mekanisme
sebagai berikut. Kursi yang tersedia di Parlemen Pusat
diperebutkan dalam suatu Pemilu, dibagi kepada Partai-partai
Politik atau golongan-golongan politik yang ikut serta dalam
Pemilu sesuai dengan imbangan suara yang diperoleh dalam
Pemilu yang bersangkutan. Untuk menentukan imbangan suara
tersebut, maka ditentukan terlebih dahulu Bilangan Pembagi
Pemilih.
Menurut Pasal 1 angka 27 UU No. 10 Tahun 2008 Tentang
Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD, yang dimaksud
dengan Bilangan Pembagi Pemilih (BPP), adalah bilangan
yang diperoleh dari pembagian jumlah suara sah seluruh
Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi ambang batas
perolehan suara 2,5% (dua koma lima perseratus) dari suara
sah secara nasional di satu daerah pemilihan dengan jumlah
kursi di suatu daerah pemilihan untuk menentukan jumlah
perolehan kursi Partai Politik Peserta Pemilu.
Sedangkan untuk kursi di DPRD, BPP adalah bilangan
yang diperoleh dari pembagian jumlah suara sah dengan
jumlah kursi di suatu daerah pemilihan untuk menentukan
jumlah perolehan kursi Partai Politik Peserta Pemilu dan
terpilihnya anggota DPRD Provinsi dan DPRD
kabupaten/kota.159
Dengan mempergunakan perhitungan semacam itu, maka
dalam sistem proporsional ini, negara dianggap sebagai satu
daerah pemilihan dan setiap suara sah dihitung. Artinya suara
yang diperoleh suatu daerah dapat ditambahkan dari suara
yang diperoleh dari suatu daerah lainnya, sehingga besar
kemungkinan setiap Partai Politik Peserta pemilu memperoleh
kursi di Parlemen Pusat.
Namun demikian, walaupun negara dianggap satu daerah
pemilihan, namun mengingat luas wilayah suatu negara serta
jumlah penduduk yang besar, maka pada umumnya dalam
sistem proporsional ini sering dibentuk daerah-daerah
pemilihan (bukan distrik pemilihan). Wilayah negara dibagi
dalam daerah-daerah pemilihan (Dapil). Kemudian, dengan
mempertimbangkan wilayah negara, jumlah penduduk dan
faktor politik lainnya, kursi yang tersedia di Parlemen Pusat
yang akan diperebutkan dalam Pemilu harus lebih dahulu
dibagikan ke daerah-daerah pemilihan. Akan tetapi jumlah
kursi yang diperebutkan tidak diperkenankan satu untuk satu
daerah pemilihan, melainkan harus lebih dari satu. Inilah yang
disebut Multy Member Constituency. Sehingga pemenang dari
satu daerah pemilihan terdiri dari lebih dari satu orang.

159 Pasal 1 angka 28 UU No. 10 Tahun 2008 Tentang Pemilu


Anggota DPR, DPD, dan DPRD.

Contoh yang dapat dipergunakan untuk memperjelas


sistem ini adalah: suatu negara yang mempunyai 30 kursi di
Parlemen pusat akan menyelenggarakan Pemilu dengan
sistem proporsional, maka langkah-langkah yang ditempuh ,
yaitu:

a. Dibagikan terlebih dahulu 30 kursi tersebut kepada


daerah-
daerah pemilihan. Misalnya ada 4 (empat) daerah
pemilihan;
b. Dengan mempertimbangkan wilayah negara, jumlah
penduduk
dan faktor-faktor lain, maka ditentukan sebagai berikut:
1. Daerah pemilihan A: 10 Kursi;
2. Daerah pemilihan B: 7 kursi;
3. Daerah Pemilihan C: 7 kursi;
4. Daerah pemilihan D: 6 kursi.
c. Misalnya kursi yang tersedia di daerah pemilihan A yang
berjumlah 10 dibagikan kepada Partai Politik Peserta
Pemilu
sesuai dengan imbangan suara yang diperoleh dalam
pemilihan
umum yang bersangkutan;
d. Dari hasil yang diperoleh tersebut, Partai Politik dapat me-
nentukan anggota-anggotanya yang akan duduk di
Parlemen
dengan berlandaskan pada stalsel daftar calon anggota
Parlemen. Stelsel daftar ini disusun berdasarkan nomor
urut.
Oleh sebab itu nomor urut yang paling ataslah yang
memung-
kinkan untuk dapat dipilih oleh Partai Politik yang
bersangutan
sebagai wakil rakyat yang duduk di Parlemen.

Secara ideal sistem Pemilu Proporsional ini mengandung


kebaikan, seperti jumlah suara pemilih yang terbuang sangat
sedkit, artinya semua suara sah diperhitungkan, memberikan
kesempatan bagi Partai-partai kecil dan golongan minoritas
memperoleh wakil di Parlemen. Akan tetapi sistem ini tetap
mengandung kelemahan yang mendasar, yaitu:160
a. Sistem ini mempermudah terjadinya fragmentasi Partai
politik dan menimbulkan partai-partai baru. Dengan
keadaan yang
demikian ini, maka akan menjurus pada munculnya
bermacam-macam Partai politik, sehingga lebih
mempertajam perbedaan-perbedaan yang ada di
lingkungan masyarakat. Sistem ini kurang mendorong
untuk dipergunakan dalam mencari dan memanfaatkan
persamaan-persamaan. Pendek kata, dengan
mempergunakan sistem ini peta politik justru mengarah
pada politik aliran yang sarat dengan konflik ideologi.
b. Wakil-wakil yang terpilih justru merasa lebih dekat
dengan
induk organisasi Partai Politik. Kurang memiliki loyalitas
ke-
pada rakyat pemilih. Hal ini disebabkan oleh adanya
anggapan
bahwa keberadaan Partai Politik dalam menentukan
seseorang
menjadi wakil rakyat lebih dominan daripada kemampuan
individu dari sang wakil. Rakyat hanya memilih Partai
Politik,
bukan memilih seorang wakil.
c. Dengan membuka peluang munculnya banyak Partai
Politik,
maka sistem ini justru mempersulit terbentuknya
pemerintahan
yang stabil, sebab pada umumnya penentuan
pemerintahan di
dasarkan pada koalisi dari dua partai atau lebih.

UU No. 10 Tahun 2008 Tentang Pemilu Anggota DPR,


DPD, dan DPRD disusun dengan filosofi untuk mengurangi
kelemahan-kelemahan yang ada di dalam sistem pemilu
proporsional. Pasal 5 ayat (1) menegaskan bahwa Pemilu
untuk memilih anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD
Kabupaten/Kota dilaksanakan dengan sistem proporsional
terbuka. Dengan sistem seperti ini, Caleg di masing-masing
Partai Politik Peserta Pemilu seharusnya tidak perlu berebutan
untuk mencari nomor urut paling kecil, karena posisi strategis
caleg untuk menjadi anggota parlemen tidak ditentukan oleh
nomor urut, melainkan ditentukan oleh popularitas caleg itu
sendiri.
Menurut Pasal 153 ayat (1) UU Pemilu, pemberian suara
dilakukan dengan cara memberikan tanda satu kali pada surat
suara. Hal ini berarti, pemberian suara dapat dilakukan
dengan mencontreng tanda gambar Partai Politik Peserta
Pemilu atau mencontreng nama caleg yang diajukan oleh
masing-masing Partai
Politik. Jika dalam memberikan suara dilakukan dengan cara
memberikan tanda pada lambang Partai Politik dan
memberikan tanda pada nama caleg di masing-masing Partai
Politik sekaligus, tentu hal ini dianggap tidak sah. Tata cara
seperti ini telah diubah oleh KPU karena adanya putusan
Mahkamah Konstitusi, yakni pemilih dapat mencontreng
tanda gambar parpol sekaligus mencontreng nama caleg di
parpol yang bersangkutan.
Tata cara pemberian suara seperti itu mengandung
konsekuensi tersendiri bagi karakter anggota Parlemen.
Pertama; jika pemberian suara dilakukan dengan cara
mencontreng lambang Partai Politik, maka Partai Politik masih
tetap menduduki posisi yang sangat kuat dan hegemonis.
Nomor urut menjadi ajang perebutan, dan ini membuka
terjadinya politik uang (money politic) di masing-masing Partai
Politik, serta konflik internal Partai Politik. Semakin kecil
nomor urut pencalegan semakin besar "hembusan nafas"
money politic di tubuh Partai Politik. Akibat lanjutannya adalah
karakter dari anggota parlemen pada hakikatnya hanya
sebatas wakil Partai Politik. Sepak terjang anggota parlemen
sangat dipengaruhi dan dikendalikan oleh induk Partai
Politik. Pendek kata, "jasa" Partai Politik dalam
menghantarkan caleg-calegnya untuk menjadi anggota
Parlemen definitif sangat besar, oleh sebab itu anggota
parlemen wajib untuk "membalas jasa" tersebut.
Kedua; jika pemberian suara dilakukan dengan cara men-
contreng nama caleg di masing-masing Partai Politik peserta
pemilu dan caleg yang terpilih adalah 30% dari Bilangan
Pembagi Pemilih (Pasal 214 huruf a), maka posisi caleg jelas
lebih kuat daripada Partai Politiknya. Hal ini mengingat
perolehan suara dari masing-masing Partai Politik setelah
ditentukan oleh BPP, sangat tergantung dari kekuatan figur
dari caleg yang diajukan oleh Partai Politik yang
bersangkutan.161
Popularitas dan kredibilitas caleg menjadi penentu
kemenangan Partai Politik dalam pemilu 2009. Dengan
161 Menurut Putusan Mahkamah Konstitusi, caleg
dimasing-masing Parpol yang memperoleh suara
terbanyaklah yang ditentukan ditetapkan sebagai
anggota legislatif, setelah Parpol yang bersangkutan
demikian, sadar atau tidak pembentukan UU Pemilu
sebenarnya mengandung spirit ideal, yakni mengeleminir
hegemoni Partai Politik dalam sistem keparlemenen di
Indonesia, yang pada akhirnya meletakkan posisi anggota
Parlemen benar-benar merupakan wakil rakyat, bukan wakil
Partai Politik.

Jika posisi ideal anggota parlemen memang dikehendaki


seperti itu, lambat laun Partai Politik hanya bersifat sebagai
patronage party (Partai Politik lindungan), artinya Partai Politik
hanya dipergunakan sebagai batu loncatan dari tokoh-tokoh
masyarakat untuk meniti karier politik di parlemen. Akibat
lanjutannya adalah peran Partai Politik dalam setiap
pengambilan keputusan politik di Parlemen misalnya
membentuk Undang-Undang menjadi tidak signifikan lagi.
Fraksi-fraksi yang merupakan kepanjangan Partai Politik di
Parlemen benar-benar "tidak mampu unjuk gigi" dalam
mengatur dan mengendalikan sepak terjang anggota
Parlemen. Lebih lanjut, sistem seperti ini secara ideal
merupakan jembatan untuk menuju sistem pemilu distrik.
Namun demikian, sistem pemilu dengan mencontreng
nama caleg sebenarnya menunjukkan bahwa budaya
demokrasi di tubuh internal Parpol melalui penguatan sistem
pencalegan belum berjalan. Mekanisme mencontreng nama
caleng di masing-masing Parpol dalam pemilu, sebenarnya
dapat dilakukan melalui mekanisme internal Parpol dengan
cara konvensi.
Di lingkungan internal Parpol, Celeg-caleg itu di fit and
propertest terlebih dahulu dengan melibatkan konsituen dan
simpatisan masing-masing parpol. Kemudian hasil dari fit and
propertest tersebut dipergunakan sebagai dasar untuk
penentuan caleg yang ditawarkan kepada pemilih. Cara
seperti ini akan membangun budaya demokrasi di masing-
masing parpol.
Ternyata mekanisme ideal seperti itu, justru ditempuh
melalui pemungutan suara dalam Pemilu 2009. Akibatnya
kemungkinan terjadi konflik antar caleg di masing-masing
parpol terbuka lebar. Hal ini berarti konflik antara caleg
dengan Parpolnya seperti yang terjadi menjelang Pemilu 1999
dan 2004 karena perebutan nomor urut, di ubah melalui
eksperimentasi dengan cara menyerahkan pilihan mentah caleg
kepada rakyat lewat mencontreng dalam pemilu legislatif.
cara penentuan anggota legislatif sebagaimana diputus
oleh Mahkamah Konstitusi tersebut juga tetap menimbulkan
efek negatif bagi karakter anggota parlemen yang dihasilkan
oleh Pemilu 2009. Dulu ketika rakyat hanya memilih tanda
gambar parpol, maka fenomena money politic antara Parpol
dengan pemilih sangat kental. Parpol menjadi ATMnya rakyat
pemilih. Sekarang setelah diputus berdasarkan suara
terbanyak masing-masing caleg, maka kemungkinan
fenomena money politik antara masing-masing caleg dengan
rakyat pemilih terbuka lebar. Caleg menjadi ATMnya para
pemilih.
Jika fenomena semacam ini tidak dapat dikendalikan,
maka karakter anggota parlemen yang dihasilkan pun akan
mengalami perubahan yang sangat signifikan, khususnya jika
caleg-caleg itu mempergunakan paradigma berpikir bahwa
menjadi anggota parlemen baik di pusat maupun di daerah
hanya dianggap sebagai sebuah lapangan pekerjaan atau ajang
bisnis, bukan sebuah amanah atau pengabdian kepada nusa,
bangsa, dan negara.
Modal yang dikeluarkan untuk meraih suara terbanyak
demi mendapat pekerjaan sebagai anggota parlemen harus
diimbangi dengan perolehan keuntungan yang setimpal.
Artinya bisa jadi, caleg-celeg tersebut setelah menjadi anggota
Parlemen berlomba-lomba mengembalikan modal usaha
mereka ketika mencari dukungan suara pemilih dalam
pemilu. Akibat lanjutannya, korupsi di lingkungan anggota
parlemen semakin besar pula. Apalagi parpol melalui fraksi-
fraksi tidak lagi mampu mengendalikan anggota-anggotanya
di parlemen sementara alat perlengkapan parlemen yang
namanya Badan Kehormatan Parlemen laksana macan ompong.
Keputusan Mahkamah Konstitusi telah mengubah sistem
pemilu yang lebih bernuansakan sistem distrik kendati sistem
proporsionalnya masih menonjol. Keputusan tersebut di
samping memberikan penguatan terhadap makna
keterwakilan rakyat, namun juga membawa konsekuensi
semakin mahalnya harga kursi di parlemen. Lain daripada itu,
keputusan Mahkamah Konsitusi juga memunculkan record
baru bagi tata cara rekrutmen anggota parlemen di dunia.
Pemilu 2009 merupakan pemilu paling rumit dan paling
mahal di dunia ini. Oleh sebab itu penyelenggaraan pemilu di
Indonesia tahun 2009 ini layak masuk dalam catatan guiness
book record atau MURI.
Sungguh merupakan sebuah konsep demokrasi yang aneh,
karena rakyat sudah diminta untuk berpartisipasi namun
disediakan cara untuk berpartisipasi yang rumit. Padahal
seharusnya untuk berpartisipasi dalam kehidupan demokrasi,
sedapat mungkin rakyat tidak dihadapkan pada kerumitan-
kerumitan prosedural seperti itu.
Keputusan sudah dijatuhkan, sistem pemilu sudah
ditegaskan, sekarang yang terpenting adalah bagaimana
memberikan pemahaman kepada rakyat untuk melaksanakan
sistem tersebut. Oleh sebab itu voters education tentu tidak
hanya dibebankan kepada KPU, Partai Politik pun harus
mengambil porsi untuk melaksanakan pendidikan politik
tersebut, karena sejatinya tanggung jawab parpol salah
satunya adalah melaksanakan pendidikan politik. Melalui
pendidikan politik inilah niscaya kultur demokrasi sebagai
prasyarat bagi keberlangsungan konsolidasi sistem demokrasi
akan semakin tumbuh.

C. Asas-Asas Pemilu.
Pasal 2 UU No. 10 Tahun 2008 menyatakan bahwa Pemilu
dilaksanakan secara efektif dan efisien berdasarkan asas
langsung, umum bebas, rahasia, jujur, dan adil. Sedangkan
menurut Pasal 21 ayat (3) Deklarasi Universal Hak-hak Asasi
Manusia ditegaskan bahwa kemauan rakyat harus menjadi
dasar kekuasaan pemerintah; kemauan ini harus dinyatakan
dalam pemilman-pemilihan berkala yang jujur dan yang
dilakukan menurut hak pilih yang bersifat umum dan
berkesamaan, serta dengan pemungutan suara rahasia
ataupun menuntut cara lain yang juga menjamin kebebasan
mengeluarkan suara.

Dari kedua ketentuan tersebut di atas, maka dapat ditarik


persamaan bahwa asas Pemilu yang paling mendasar adalah,
langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Maksud dari
asas-asas tersebut adalah:
1. Langsung: seseorang pemilih memberikan suaranya tanpa
perantara orang lain sehingga terhindar dari kemungkinan
manipulasi kehendak oleh parantara, siapapun perantara
itu. Hal ini berarti rakyat sebagai pemilih mempunyai hak
untuk memberikan suaranya secara langsung sesuai
dengan
kehendak hati nuraninya, tanpa perantara.162 Berkaitan
dengan
hal ini, penyimpangan asas tersebut bisa saja dilakukan
jikalau
ternyata pemilih mempunyai keterbatasan fisik pada saat
akan
melakukan pemberian suara. Hal ini secara tegas diatur
dalam
Pasal 156 UU No. 10 Tahun 2008 Tentang Pemilu Anggota
DPR, DPD, dan DPRD yang menyatakan:
(1) Pemilih tunanetra, tunadaksa, dan yang mempunyai
halangan fisik lain saat memberikan suaranya di TPS
dapat dibantu oleh orang lain atas permintaan pemilih.
(2) Orang lain yang membantu pemilih dalam
memberikan suaranya sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) wajib merahasiakan pilihan pemilih.
2. Umum: setiap warga negara tanpa memandang latar
belakang.
Apakah kaya atau miskin, apapun suku, ras, dan
agamanya,
apapun warna (kastanya), apapun jenis kelaminnya,
apapun
tingkat pendidikannya, dimanapun tempat tinggalnya
(dalam
atau luar negeri, di kota atau tempat terpencil), cacat
tubuh
apapun yang disandangnya, apapun status
perkawinannya,
apapun jenis pekerjaannya (kecuali TNI/Polri), dan
apapun
ideologi yang diperjuangkan dalam bingkai dasar negara
Pancasila, sepanjang telah memenuhi persyaratan obyektif
seperti umur minimal, tidak hilang ingatan, hak pilihnya
tidak sedang dicabut berdasarkan putusan pengadilan,

dan tidak sedang menjalani hukuman penjara lima tahun atau


lebih, memiliki hak pilih dan dipilih. Dalam UUD 1945 hal ini
tegas-tegas tertuang di dalam Pasal 27 ayat (1) yang
menyatakan bahwa segala warga negara bersamaan
kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib
menjunjung hukum dan pemerintahan dengan tanpa
kecualinya. Berdasarkan asas umum inilah, maka pengaturan
seluruh proses penyelenggaraan Pemilu khususnya yang
menyangkut tata cara pendaftaran pemilih dan pemungutan
suara harus memungkinkan semua warga negara yang berhak
dapat mempergunakan hak pilihnya. Penjelasan Umum UU
No. 10 Tahun 2008 Tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan
DPRD menyatakan bahwa pemilihan yang bersifat umum
mengandung makna menjamin kesempatan yang berlaku
menyeluruh bagi semua warga negara, tanpa diskriminasi
berdasarkan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, ke-
daerahan, pekerjaan dan status sosial.
Bebas: mengandung dua dimensi, yakni Bebas Untuk dan
Bebas Dari. Bebas untuk maksudnya setiap warga negara yang
berhak memilih mempunyai kebebasan menyatakan
pendapat, aspirasi, dan pilihannya, serta bebas untuk
menghadiri, mendengar atau tidak menghadiri atau tidak
mendengar suatu kampanye Partai Politik Sedangkan bebas
dari, mengandung maksud bahwa setiap warga negara harus
terbebas dari intimidasi, dan paksaan dalam bentuk apapun,
serta bebas dari perlakuan sewenang-wenang dari pihak
manapun dalam menentukan pilihannya. Bagi Partai Politik
Peserta Pemilu, asas bebas ini juga mengandung maksud
bebas untuk menyatakan pendapat secara lisan maupun
tertulis, bebas berkumpul dan berserikat, serta bebas dari
intimidasi, paksaan, dan perlakuan sewenang-wenang dari
pihak manapun. Bebas yang dipergunakan oleh Partai Politik
tentunya harus tetap dalam koridor sistem moral dan etik
bangsa Indonesia. Hal ini perlu dipahami karena pada
umumnya Partai Politik jika sudah dibebaskan melakukan i
I I I K I I M TATA N I ' . < ; A K A [NDONIUA
tindakan apapun. Cenderung anarkhis dan berbau
premanisme. Asas bebas ini menurut Penjelasan UU No. 10
Tahun 2008 Tentang Pemilu Anggota DPR, DPR, dan DPRD,
mengandung makna:
a. Setiap warga negara yang berhak memilih bebas me-
nentukan pilihannya tanpa tekanan dan paksaan dari
siapapun; dan
b. Di dalam melaksanakan haknya, dijamin keamanannya
oleh
negara, sehingga dapat memilih sesuai dengan kehendak
hati nuraninya.
Rahasia: merupakan asas yang merujuk pada situasi dimana
setiap pemilih memberikan suaranya tanpa diketahui oleh
siapapun. Kalaupun ada orang lain yang mengetahui pilihan
seseorang, maka hal itu semata-mata hanya terjadi karena
persetujuan dari pemilih yang bersangkutan, misalnya se-
seorang yang memerlukan bantuan orang lain pada waktu
memberikan suara, karena umur lanjut atau menyandang
cacat tertentu. Asas rahasia ini juga tidak berlaku apabila
atas dasar kesadaran sendiri pemilih menyatakan pilihannya
kepada orang lain, asalkan pernyataan atau pemberitahuan
itu tidak bermaksud mempengaruhi pilihan orang lain. Oleh
sebab itu penyelenggara Pemilu harus menentukan tatacara
pemberian suara, agar tidak memungkinkan orang lain
mengetahui apa pilihan yang diambil oleh setiap orang.
Sehubngan dengan hal ini, Pasal 142 UU No. 10 Tahun 2008
Tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD
menegaskan: (1) Jenis perlengkapan pemungutan suara
terdiri atas:
a. kotak suara;
b. surat suara;
c. tinta;
d. bilik pemungutan suara;
e. segel;
f. alat untuk memberi tanda pilihan; dan
g. tempat pemungutan suara
(2) Selain perlengkapan pemungutan suara sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), untuk menjaga keamanan, ke-
rahasiaan, dan kelancaran pelaksanaan pemungutan
suara dan penghitungan suara, diperlukan dukungan
perlengkapan lain.
Dukungan perlengkapan lain pemungutan suara
lainnya meliputi sampul kertas, tanda pengenal
KPPS/KPPSLN, tanda pengenal petugas keamanan
TPS/TPSLN, tanda pengenal saksi, karet pengikat suara,
lem/perakat, kantong plastik, ballpoint. Gembok, spidol,
formulir untuk berita acara dan sertifikat, sticker nomor
kotak suara, tali pengikat alat pemberi tanda pilihan, dan
alat bantu tuna netra.163
5. Jujur: setiap tindakan pelaksanaan Pemilu harus sesuai de-
ngan paratuan perundang-undangan yang berlaku, sesuai
dengan etika dan moralitas masyarakat, serta bebas dari
praktek-praktek intimidasi, paksaan, manipulasi,
penipuan, pembelian suara dan korupsi. Hal ini tidak
hanya berlaku bagi penyelenggara pemilu (KPU), tetapi
juga bagi peserta Pemilu (Partai Politik), kandidat,
pemantau Pemilu, para pemilih dan penegak hukum. Asas
kejujuran ini juga diperuntukkan kepada lembaga-
lembaga survey yang mulai marak menjelang Pemilu
terutama pada saat mereka melaksanakan quick count
(hitung cepat). Asas kejujuran ini begitu penting sehingga
tidak saja peserta Pemilu mengutus wakilnya untuk
menjadi saksi dalam penghitungan suara, tetapi juga
dibuka kesempatan yang luas bagi Lembaga Pemantau
Pemilu dari luar negeri, dan bagi para pemilih untuk
memantau atau menyaksikan seluruh proses pelaksanaan
pemilu.
6. Adil: setiap warga negara yang berhak memilih dan
dipilih, setiap Partai Politik Peserta Pemilu atau kandidat
dan setiap daerah, diperlakukan sama dan setara oleh
setiap unsur pe-nyelanggara Pemilu, seperti KPU,
Panwas dan instansi

Penegak Hukum. Asas adil ini juga berarti melakukan proses


yang sama untuk kasus yang sama, menjamin hasil yang sama
untuk kasus yang sama, dan berbagai pihak yang teribat
dalam suatu kasus mendapat kesempatan yang sama untuk
didengar versinya menganai kasus tersebut. Agar setiap warga
negara yang berhak memilih memiliki kesempatan dan sarana
yang sama untuk mempengaruhi hasil Pemilu, dan agar setiap
Partai Politik peserta Pemilu dan/atau kandidat memiliki
kesempatan dan sarana yang sama untuk berkompetisi
mendapat simpati pemilih, maka adil juga berarti secara aktif
ditempuh upaya pencegahan dominasi seseorang atau
perusahaan yang kaya terhadap suatu Partai atau kandidat,
dan mencegah keberpihakan pemerintah dan birokrasi sipil
dan tentara kepada salah satu Partai Politik/kandidat, tentang
dana kampanye, misalnya merupakan upaya untuk menjamin
asas adil tersebut.

Dari asas-asas Pemilu tersebut di atas, dapat disimpulkan


bahwa asas langsung, umum, bebas dan rahasia (LUBER)
dipergunakan pada saat pemungutan suara. Sedangkan asas
jujur dan adil (JURDIL) dipergunakan untuk seluruh
rangkaian proses pentahapan penyelenggaraan Pemilu, yang
meliputi:
a. Pemutakhiran data pemilih dan penyusunan daftar
pemilih;
b. Pendaftaran Peserta Pemilu;
c. Penetapan Peserta Pemilu;
d. Penetapan jumlah kursi dan penetapan daerah pemilihan;
e. Pencalonan anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan
DPRD
kabupaten/kota;
f. Masa kampanye;
g. Masa tenang;
h. Pemungutan dan penghitungan suara;
i. Penetapan hasil pemilu; dan
j. Pengucap,in sumpah/janji anggota DPR, DPD, DPRD
provinsi, dan DPRD kabupaten/kota.164

D. Partai Politik.
1. Pengertian.
Keberadaan Partai Politik dalam kehidupan
ketatanegaraan pertama kali dijumpai di Eropa Barat, yakni
sejak adanya gagasan bahwa rakyat merupakan faktor yang
patut diperhitungkan serta diikut sertakan dalam proses
politik. Dengan adanya gagasan untuk melibatkan rakyat
dalam proses politik (kehidupan dan aktifitas ketatanegaraan),
maka secara spontan Partai Politik berkembang menjadi
penghubung antara rakyat disatu pihak dan pemerintah di
pihak lain.165
Dengan demikian, dapat ditarik pengertian bahwa sebagai
organisasi yang secara khusus dipergunakan untuk sarana
pengu-bung antara rakyat dengan pemerintah, keberadaan
Partai Politik sejalan dengan munculnya paham demokrasi
dan kedaulatan rakyat dalam penyelenggaraan sistem
ketatanegaraan.
Dalam rangka memahami Partai Politik sebagai salah satu
komponen Infra Struktur Politik dalam negara, di bawah ini
akan disampaikan beberapa pengertian, yakni:166
a. Cari J. Friedrich: Partai Politik adalah sekelompok manusia
yang terorganisir secara stabil dengan tujuan merebut atau
mempertahankan penguasaan pemerintah bagi pemimpin
Partainya, dan berdasarkan penguasaan ini memberikan
ke-
pada anggota Partainya kemanfaatan yang bersifat ideal
mau-
pun materiil.
b. R.H. Soltou: Partai Politik adalah sekelompok warga
negara
yang sedikit banyak terorganisir, yang bertindak sebagai
164 Pasal 4 ayat (2) UU No. 10 Tahun 2008 Tentang Pemilu
Anggota DPR, DPD, dan DPRD.
165 Miriam Budiarjo, 1986, Dasar-Dasar Ilmu Politik,
Gramedia, Jakarta, him. 159.
166 Ibid, him. 160-161.
satu

kesatuan politik, yang dengan memanfaatkan kekuasaan


memilih, bertujuan menguasai pemerintahan dan
melaksanakan kebijaksanaan umum mereka.

c. Sigmund Neumann: partai Politik adalah organisasi dari


aktivis-aktivis politik yang berusaha untuk menguasai ke-
kuasaan pemerintahan serta merebut dukungan rakyat
atas
dasar persaingan melawan golongan atau golongan-
golongan
lain yang tidak sepaham.
d. Miriam Budiardjo: Partai Politik adalah suatu kelompok
yang
terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai
orientasi,
nilai-nilai dan cita-cita yang sama dengan tujuan
memperoleh
kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik
(biasanya),
dengan cara konstitusional guna melaksanakan
kebijaksanaan-
kebijaksanaan mereka.

Memperhatikan pengertian-pengertian di atas, dapat


ditarik pemahaman bahwa tujuan Partai Politik itu didirikan
adalah untuk merebut ataupun mempertahankan kekuasaan
dalam pemerintahan guna melaksanakan kebijakasanaan-
kebiaksanaan yang telah digariskan oleh masing-masing
Partai Politik. Untuk merebut atau mempertahankan
kekuasaan dalam pemerintahan tersebut, maka langkah yang
dilakukan adalah bersifat konstitusional. Hal ini berarti
keberadaan Partai Politik juga dimaksudkan sebagai sarana
untuk meredam konflik kepentingan ataupun persaingan yang
muncul di lingkungan masyarakat dalam mempengaruhi
pemerintahan. Berdasarkan pemahaman yang seperti ini,
maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada satupun Partai
Politik itu didirikan tanpa ada maksud dan tujuan yang
berkaitan dengan kekuasaan pemerintahan.
Dengan demikian, keberadaan partai politik dalam
kehidupan ketatanegaraan modern tidak lain adalah untuk
mewujudkan tatanan kehidupan kenegaraan yang lebih
beradab. Hal ini disebabkan dalam sejarahnya, perebutan
kekuasaan pemerintahan dalam suatu negara sering dilakukan
dengan cara kekerasan dan pertumpahan darah.
Menurut Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Partai adalah
pihak, segolongan orang, perkumpulan yang seasas, sehaluan,
setujuan dan sebagainya dalam ketatanegaraan. Sedangkan
arti politik menurut Kamus Lengkap bahasa Indonesia adalah
pengetahuan mengenai ketatanegaraan atau kenegaraan;
segala urusan dan tindakan kebijaksanaan, siasat dan
sebagainya mengenai pemerintahan sesuatu negara atau
terhadap negara lain.167
Dari pemahaman secara terminologis seperti itu dapat
ditarik pemahaman bahwa Partai Politik tidak lain adalah
segolongan orang yang berkumpul atas dasar kesamaan asas,
haluan dan tujuan yang aktifitasnya berkaitan dengan urusan
dan tindakan kebijaksanaan termasuk siasat mengenai
pemerintahan suatu negara. Dengan demikian tidak dapat
dipungkiri bahwa yang namanya Partai Politik akan selalu
erat kaitannya dengan kesamaan asas, haluan, tujuan,
kebijaksanaan pemerintah dan siasat.
Berdasarkan pengertian-pengertian tersebut, maka pada
hakikatnya Partai Politik adalah sekelompok manusia (warga
negara) yang terorganisir secara teratur baik dalam hal
pandangan, tujuan maupun tata cara rekrutmen keanggotaan
dengan tujuan pokok yaitu menguasai, merebut ataupun
mempertahankan kekuasaan dalam pemerintahan negara
secara konstitusional.

2. Tujuan Partai Politik.


Setiap organisasi yang dibentuk oleh manusia pasti
memiliki tujuan-tujuan tertentu, demikian pula halnya dengan
organisasi yang disebut Partai Politik. Tujuan pembentukan
suatu Partai Politik di samping tujuan yang utama adalah
merebut, mempertahankan ataupun menguasai kekuasaan
dalam pemerintahan suatu negara, juga dapat dilihat dari
aktifitas yang dilakukan oleh Partai Politik. Menurut Rusadi
Kantaprawira ditinjau dari aktifitas yang dilakukan oleh Partai
Politik, maka pada umumnya tujuan yang diemban oleh Partai
Politik, adalah:
167 Dessy Anwar, 2001, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia,
Karya Abditama, Surabaya, him. 312 dan 328.

a. berpartisipasi dalam sektor pemerintahan dalam arti men-


dudukkan orang-orangnya menjadi pejabat pemerintahan
sehingga dapat turut serta mengambil atau menentukan
keputusan politik atau output pada umumnya;
b. berusaha melakukan pengawasan, bahkan oposisi bila
perlu
terhadap kelakuan, tindakan, kebijaksanaan para
pemegang
otoritas (terutama dalam keadaan mayoritas pemerintahan
tidak berada dalam tangan Partai Politik yang
bersangkutan);
c. berperan untuk dapat memadukan tuntutan-tuntutan
yang
masih mentah, sehingga Partai Politik bertindak sebagai
penafsir kepentingan dengan mencanangkan isu-isu
politik
yang dapat dicerna dan diterima oleh masyarakat secara
luas.168

Menurut UU No. 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik,


tujuan Partai Politik dirumuskan menjadi dua, yaitu tujuan
umum dan tujuan khusus. Pasal 10 ayat (1) menyatakan
bahwa tujuan umum Partai Politik adalah:
a. Mewujudkan cita-cita nasional bangsa Indonesia
sebagaimana
dimaksud dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar
Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;
b. menjaga dan memelihara keutuhan Negara Kesatuan
Republik
Indonesia;
c. mengembangkan kehidupan demokrasi berdasarkan
Pancasila
dengan menjunjung tinggi kedaulatan rakyat dalam
Negara
Kesatuan Republik Indonesia; dan
d. mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia.

Sedangkan tujuan khusus Partai Politik dirumuskan di


dalam ketentuan Pasal 10 ayat (2), yaitu:
a. meningkatkan partisipasi politik anggota dan masyarakat
dalam rangka penyelenggaraan kegiatan politik dan
pemerintahan;
168 Rusadi Kantaprawira, 1988, Sistem Politik Indonesia
Suatu Model Pengantar, Cet V, Sinar Baru, bBandung,
Mm. 62.

b. memperjuangkan cita-cita Partai Politik dalam kehidupan


bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara; dan
c. membangun etika dan budaya politik dalam kehidupan
ber-
masyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Secara pragmatis, tujuan Partai Politik tersebut di atas


tidak lain adalah berorientasi pada kekuasaan dalam
pemerintahan. Tujuan semacam ini tentu memiliki maksud
apabila Partai Politik menguasai kekuasaan dalam
pemerintahan maka ideologi, visi dan misi, program Partai
Politik dapat dipergunakan sebagai landasan untuk
menjalankan kekuasaan pemerintahan yang pada akhirnya
Partai Politik akan memperoleh manfaat baik materiil maupun
spirituil. Oleh sebab itu menjadi anggota Partai Politik menjadi
dambaan setiap orang yang "suka" dengan kekuasaan.
Dengan melihat aktifitas dari Partai Politik, maka rakyat
sebagai subyek dalam sistem ketatanegaraan dapat melakukan
pilihan-pilihan alternatif, yakni Partai Politik manakah yang
akan diikuti atau menjadi saluran politik mereka. Di dalam
struktur masyarakat yang masih paternalistik, maka pilihan
rakyat untuk berafiliasi kepada suatu Partai Politik sering
dipengaruhi oleh tokoh-tokoh politik yang ada di dalam Partai
Politik tersebut. Bahkan tidak jarang afiliasi tersebut juga
dipengaruhi oleh ideologi atau aliran yang dianut oleh suatu
Partai Politik. Oleh sebab itulah di dalam negara yang struktur
masyarakatnya masih bersifat primordial paternalistik, partai
Politik gemar untuk memainkan ideologi-ideologi atau aliran-
aliran Partai Politik guna memperoleh dukungan rakyat,
sehingga dapat memperkuat posisi dalam kehidupan
ketatanegaraan. Permainan ideologi ini paling mudah
dilakukan, karena dalam struktur masyarakat yang primordial
paternalistik ikatan emosional antara rakyat dengan aliran atau
ideologi yang di bawa oleh tokoh-tokoh politik relatif kuat.
Akibat lanjutan dari kondisi Kepartaian yang semacam ini,
maka progam kerja Partai Politik tidak menjadi issu utama
untuk memperoleh dukungan rakyat. Kehidupan dan aktifitas
Partai Politik semacam ini masih dapat dikategorikan sebagai
Partai Politik Tradisional.

3. Klasifikasi Partai Politik.


Banyak jenis dan bentuk Partai Politik yang hidup dan
berkembang di dalam kehidupan ketatanegaraan. Ada partai
politik yang berasaskan kebangsaan, kedaerahan, agama dan
lain sebagainya. Namun demikian, dari berbagai warna yang
ada dalam Partai Politik, pada hakikatnya dapat
diklasifikasikan ke dalam 2 (dua) kategori besar partai Politik,
yaitu:169
a. Klasifikasi Partai Politik ditinjau dari komposisi dan fungsi
keanggotaanya. Klasifikasi ini dapat dikelompokkan ke
dalam
dua jenis Partai Politik, yaitu:
1. Partai Massa, yaitu suatu Partai Politik yang lebih
mengutamakan kekuatannya berdasarkan keunggulan
jumlah anggota. Oleh karena itu biasanya terdiri dari
pendukung-pendukung dari berbagai aliran politik
dalam masyarakat yang sepakat berada di bawahnya
dalam memperjuangkan suatu program yang biasanya
luas dan agak kabur.
2. Partai Kader, yaitu suatu Partai Politik yang lebih me-
mentingkan keketatan organisasi dan disiplin kerja dari
anggota-anggotanya. Pemimpin Partai biasanya
menjaga kemurnian doktrin Partai yang dianut dengan
jalan mengadakan saringan calon-calon anggota secara
ketat.
b. Klasifikasi Partai Politik ditinjau dari sifat dan
orientasinya.
Partai Politik dengan klasifikasi semacam ini dapat
dikelompok-
kan ke dalam 2 (dua) jenis, yaitu:
1. Partai Lindungan (Patronage Party), yaitu suatu Partai
Politik yang pada umumnya memiliki organisasi
nasional yang kendor (meskipun organisasi di tingkat
lokal sering cukup ketat). Disiplin yang lemah dan
biasanya tidak terlalu mementingkan pemungutan
iuran secara teratur. Tujuan utama dari Partai Politik
jenis ini adalah memenangkan pemilu untuk anggota-
anggota yang dicalonkan. Oleh sebab itu Partai Politik
semacam ini hanya giat melaksanakan aktifitasnya
169 Miriam Budiardjo, Op.cit, htm. 166-167.
menjelang Pemilu. Contoh yang dapat dikemukakan
disini adalah Partai Demokrat dan Republik di
Amerika Serikat. 2. Partai Ideologi (Partai Asas), yaitu
suatu Partai Politik (biasanya) yang mempunyai
pandangan hidup yang digariskan dalam
kebijaksanaan pemimpin danberpedoman pada
disiplin Partai yang kuat dan mengikat.
Berdasarkan dua klasifikasi Partai Politik tersebut, maka
jikalau Partai-partai Politik itu akan melakukan koalisi, maka
langkah yang paling mudah dan relatif berhasil untuk
ditempuh adalah dengan melakukan koalisi dengan Partai
Politik yang berjenis sama, seperti Partai Massa dengan Partai
Massa atau Partai Lindungan dengan Partai Lindungan.
Koalisi antara Partai Kader atau antara Partai Ideologi relatif
sulit dilakukan. Apalagi koalisi antar Partai Politik dengan
ideologi yang jauh berseberangan, misal koalisi Partai Politik
yang berbasis agama yang berbeda.

4. Sistem Kepartaian.
Dalam kehidupan Politik ketatanegaraan, pada prinsipnya
dikenal adanya tiga sistem kepartaian, yaitu:170
a. SistemPartai Tunggal (OMePflrii/Si/sfem).Istilahini
dipergunakan untuk Partai Politik yang benar-benar
merupakan satu-satunya partai Politik dalam suatu
negara, maupun untuk memberikan istilah partai Politik
yang mempunyai kedudukan dominan di antara beberapa
Partai Politik yang lain. Namun demikian, oleh para
sarjana hal ini dianggap merupakan bentuk penyangkalan
diri (contradictio in terminis), mengingat dalam pengertian
sistem itu sendiri akan selalu mengandung lebih dari satu
unsur atau komponen. Kecenderungan untuk mengambil
sistem Partai Tunggal disebabkan, karena pemimpin
negara-negara baru sering dihadapkan pada masalah
bagaimana mengintegrasikan berbagai golongan, daerah,
suku bangsa yang berbeda corak sosial dan pandangan
hidupnya. Dikhawatirkan bahwa bila keanekaragaman
sosial budaya ini dibiarkan tumbuh dan berkembang,
besar kemungkinan akan terjadi gejolak-gejolak sosial
yang menghambat usaha-usaha pembangunan dan
menimbulkan disintegrasi.
b. Sistem Dua Partai (Two Party System). Menurut Maurice
Duverger, sistem ini adalah khas Anglo Saxon (Amerika).
Dalam
sistem ini Partai-partai Politik yang ada di negara dengan
jelas
dibagi menjadi Partai Politik yang berkuasa karena
menang
dalam Pemilu dan Partai Oposisi karena kalah dalam
Pemilu.
c. Sistem Banyak Partai (Multy Party System). Pada umumnya
sistem kepartaian seperti ini muncul karena adanya
keaneka-
ragaman sosial budaya dan politik yang terdapat di dalam
negara.171

5. Eksistensi Partai Politik Dalam Perspektif Hukum Tata


Negara.
Dalam perspektif Hukum Tata Negara, teori tentang Partai
Politik pada umumnya tidak menjadi bahan kajian yang
spesifik dan mendalam. Hal ini disebabkan dalam konteks
hukum tata negara yang dipelajari tidak lain adalah
menyangkut struktur atau anatomi mengenai negara sebagai
organisasi kekuasaan. Sedangkan Partai Politik lebih banyak
dikaji dan dibahas oleh ilmu politik yang pada hakikatnya
mempelajari tentang perilaku dari organisasi kekuasaan.
Namun demikian dalam konteks hukum tata negara ke-
beradaan Partai Politik jelas tidak mungkin untuk dinafikan,
mengingat struktur atau anatomi organisasi kekuasaan tentu
membutuhkan perangkat atau piranti untuk melengkapi
anatomi tersebut. Nah Partai Politik merupakan salah satu
dari sekian piranti yang dibutuhkan dalam membangun atau
membentuk anatomi organisasi kekuasaan yang disebut
negara itu.

171 Ibid, htm. 169.

Partai Politik sebagai salah satu dari piranti untuk


membangun anatomi organisasi kekuasaan (negara) muncul
karena adanya paham demokrasi dan kedaulatan rakyat. Oleh
sebab itu tidak dapat terelakkan, jikalau katup demokrasi dan
kedaulatan rakyat telah dibuka dan menjadi warna dalam
penyelenggaraan sistem ketatanegaraan, maka sejak saat
itulah kemunculan Partai Politik laksana "jamur dimusin
hujan". Berbagai jenis Partai Politik dengan berbagai jenis
ideologi, visi dan misi tumbuh dalam kehidupan politik
ketatanegaraan. Sehingga secara normatif melakukan
pembatasan terhadap tumbuh dan berkembangnya Partai
Politik dianggap merupakan sebuah tindakan yang anti
demokrasi dan anti kedaulatan rakyat.
Namun demikian dalam kerangka negara hukum, tumbuh
dan berkembangnya berbagai Partai Politik seharusnya juga
dibarengi dengan tata aturan yang berlaku dan harus
diindahkan oleh Partai Politik. Hal ini mengingat Partai Politik
dalam aktifitasnya berfungsi untuk merepresentasikan
kepentingan publik ke sektor yang lebih tinggi, yakni negara
atau pemerintah. Oleh sebab itulah persyaratan dan tata cara
pendirian Partai Politik harus diatur dalam instrumen hukum,
yakni Undang-Undang.
Secara umum ada berbagai persyaratan yang harus
dipenuhi untuk mendirikan sebuah Partai Politik di Indonesia.
Salah satu persyaratan itu tidak lain adalah harus memiliki
Anggaran Dasar (AD) dan Anggaran Rumah Tangga (ART)
yang disahkan melalui akta notaris. Kemudian didaftarkan ke
Departemen Hukum dan HAM (DEPKUMHAM). Dengan
adanya persyaratan semacam ini, maka sejatinya Partai Politik
tidak lain adalah sebuah badan hukum yang merupakan
subyek hak.
Secara internal posisi AD/ART yang sudah disahkan
melalui akta notaris pada hakikatnya berkedudukan sebagai
konstitusi Partai Politik. Oleh sebab itu untuk melakukan
perubahan terhadap AD/ART tersebut harus dilakukan oleh
organ tertinggi Partai Politik tersebut yang pada umumnya
diwujudkan dalam bentuk Kongres atau Muktamar dari Partai
Politik yang bersangkutan.
Menurut UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik di-
sebutkan bahwa Partai Politik adalah organisasi yang bersifat
nasional dan dibentuk oleh sekelompok warga negara
Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kehendak dan
cita-cita untuk memperjuangkan dan membela kepentingan
politik anggota, masyarakat, bangsa dan negara, serta
memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang dasar Negara
Republik Indonesia.172
Mencermati pengertian tersebut menunjukkan bahwa
organisasi Partai Politik dibentuk untuk memperjuangkan dan
membela kepentingan politik anggota terlebih dahulu, baru
kemudian memperjuangkan kepentingan politik masyarakat
serta baru disusul memperjuangkan kepentingan politik
bangsa dan negara. Hal ini menandakan bahwa rumusan UU
dalam mengartikan Partai Politik ternyata lebih
mendahulukan kepentingan anggota. Sungguh rumusan yang
hanya mementingkan kelompok dan tidak berpihak kepada
kepentingan bangsa dan negara. Ini sangat memprihatinkan.
Pertanyaannya mau dikemanakan negeri ini jikalau rumusan
pengertian Partai Politik sudah seperti itu? Jika rumusannya
seperti itu, tidak mengherankan jikalau Partai Politik hanya
mementingkan kelompok atau anggotanya sendiri daripada
kepentingan bangsa dan negara.
Menurut Pasal 2 ayat (1) UU No. 2 tahun 2008 tentang
Partai Politik ditentukan bahwa Partai Politik didirikan dan
dibentuk oleh paling sedikit 50 (lima puluh) orang
warganegara Indonesia yang telah berusia 21 (dua puluh satu)
tahun dengan akta notaris. Kemudian menurut ayat (3) pasal
ini menegaskan bahwa akta notaris sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) harus memuat AD dan ART serta kepengurusan
Partai Politik Tingkat Pusat.
Memperhatikan persyaratan seperti itu menunjukkan
bahwa untuk membentuk sebuah Partai Politik sungguh
merupakan suatu pekerjaan yang sangat mudah. Cukup
dengan mengumpulkan 50 orang warganegara Indonesia yang
telah berusia 21 tahun dengan menyertakan komposisi 30%
172 Pasal 1 angka 1 UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai
keterwakilan perempuan173, kemudian diaktakan melalui
Notaris, jadilah Partai Politik. Dengan kemudahan seperti
inilah, tidak mengherankan jika Partai Politik di Indonesia
begitu banyak dan beragam.

Disahi sisi kemudahan mendirikan Partai Politik ini dapat


dianggap merupakan langkah positif karena sangat
mendukung proses demokratisasi dan penguatan politik
masyarakat serta dalam rangka pemenuhan hak-hak politik
warganegara. Namun demikian di sisi lain dengan
kemudahan yang seperti itu, mengakibatkan Partai Politik-
Partai Politik yang dibentuk tidak mengakar dalam hal
pemahaman asas, haluan maupun tujuan Partai Politik yang
bersangkutan. Pendek kata dengan kemudahan itu justru
sikap pragmatisme politik diantara anggota sangat
mendominasi. Hal ini membuktikan bahwa Pranata Hukum
kepartaian di Indonesia yang konstruksinya seperti itulah
mengakibatkan pengorganisasian Partai Politik sangat rentan
konflik. Apalagi jikalau mendekati pelaksanaan Pemilu.
Sejarah kepartaian di Indonesia setelah katup demokrasi
terbuka lebar sejak reformasi 1998 selalu diwarnai dengan ter-
jadinya konflik internal. Hal ini sangat berbeda ketika rezim
Orde Baru masih berkuasa di negeri ini. Pada saat itu
intervensi dan pengendalian kehidupan Partai Politik di
Indonesia sungguh sangat represif dan terbukti mampu
memandulkan dinamika kehidupan Partai Politik. Restu
pemerintah dalam hal ini Presiden menjadi dasar bagi
kehidupan dan keberlangsungan Partai Politik. Tanpa restu itu
jangan harap Partai Politik dapat berkembang dan memainkan
peranannya dalam kehidupan ketatanegaraan Indonesia.
Untuk saat ini kondisi semacam itu memang sudah tidak
lagi dijumpai. Namun celakanya kebebasan untuk mendirikan
Partai Politik tidak diikuti dengan kesadaran para elit Partai
Politik untuk secara kolektif mendewasakan kehidupan
organisasi. Hal ini merupakan dampak dari mudahnya
mendirikan Partai
173 Pasal 2 ayat (2) UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai

Politik di Indonesia. Konflik internal Partai Politik selalu


muncul bersamaan dengan kepentingan elit Partai Politik itu
sendiri yang semakin beragam. Pada umumnya konflik
internal Partai Politik disebabkan oleh adanya perebutan
kekuasaan di tubuh Partai Politik itu sendiri. Sehingga aturan
main yang sudah tertuang di dalam AD/ART sering
diabaikan. Lagi-lagi kepentingan elit mengalahkan dasar
konstitusional Partai Politik.174
Berpijak dari realitas semacam itu, maka jika Partai Politik
itu menyadari akan arti pentingnya AD/ART yang
diibaratkan sebagai konstitusi Partai Politik, konflik internal
yang terjadi haruslah dikembalikan kepada ketentuan yang
tercantum di dalam AD/ART tersebut. Oleh sebab itu solusi
yang terbaik untuk menyelesaikan konflik internal Partai
Politik tidak lain harus dikembalikan kepada dasar kontitusi
Partai Politik itu sendiri. Terkait dengan konsep normatif
seperti inilah, maka solusi yang dapat ditawarkan adalah:
1. solusi konflik dilakukan oleh internal Partai Politik dengan
membentuk semacam komisi penegak konstitusi
(AD/ART) yang posisinya berada di luar kepentingan
pihak yang berkonflik.
1. Jika komisi yang dimaksud tidak ada dalam struktur
organisasi Partai Politik, solusi dilakukan melalui jalur
hukum (peradilan). Hal ini mengingat AD/ART Partai
Politik disahkan melalui akta notaris dan berfungsi sebagai
alat bukti yang kuat.
2. solusi juga bisa dilakukan melalui perantaraan lembaga
mediasi dengan bersumber pada AD/ART Partai Politik.
3. diadakan kongres (Muktamar) Luar biasa Partai Politik
yang bersangkutan. Karena Kongres/muktamar ini
merupakan organ tertinggi Partai Politik.

5. jika konflik Sudah mengarah pada perpecahan Partai


Politik, solusi dapat juga dilakukan melalui konvensi
internal Partai Politik untuk menguji keabsahan masing-
masing pihak yang berkonflik. Konvensi ini dilakukan
dengan melibatkan konstituen secara menyeluruh dengan
memberikan kebebasan untuk melakukan pilihan.

Masih terkait dengan penyelesaian konflik tersebut di atas,


UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik memberikan
rambu-rambu sebagai berikut :175
1. Perselisihan Partai Politik diselesaikan dengan cara
musyawarah mufakat.
2. Jika musyawarah mufakat tidak tercapai, penyelesaian
perselisihan ditempuh melalui pengadilan atau di luar
pengadilan.
3. Penyelesaian di luar pengadilan dapat dilakukan melalui
rekonsiliasi, mediasi, atau arbitrase Partai Politik yang me-
kanismenya diatur dalam AD dan ART.

Tidak dapat dipungkiri bahwa yang namanya Partai


Politik adalah organisasi yang sarat dengan kepentingan.
Penyelesaian konflik yang terjadi di tubuh Partai Politik jelas
didominasi oleh kepentingan tersebut. Jika para pihak tetap
bersikukuh dengan kepentingannya masing-masing, maka
jalan yang terbaik adalah menyerahkan sepenuhnya pada
penyelesaian melalui jalur hukum.176 Namun sayang, sampai
saat ini jalur-jalur hukum (peradilan) di Indonesia juga sarat
dengan kepentingan dan tingkat independensinya masih juga
diragukan.
Secara prinsipiil keberadaan Partai Politik dalam sistem
ketatanegaraan disamping untuk memenuhi tuntutan
demokrasi, juga merupakan manifestasi dari hak politik
warganegara yang dijamin oleh konstitusi. Intervensi terhadap
kehidupan kepartaian yang dilakukan oleh pemerintah, secara
normatif jelas merupakan pelanggaran terhadap demokrasi

175 Pasal 32 UU No. 2 Tahun 2008


tentang Partai Politik.
dan hak politik warga negara.

Bertitik tolak dari konsep dasar seperti inilah, maka jika


terjadi konflik internal di tubuh Partai Politik, seharusnya
pemerintah tidak perlu ikut campur tangan. Pemberian
legalitas atau verifikasi sebagai badan hukum yang dilakukan
oleh Pemerintah lewat DEPKUMHAM terhadap Partai Politik
yang sedang berkonflik merupakan bentuk intervensi
terhadap kehidupan Kepartaian. Oleh sebab itu jika ada salah
satu Partai Politik sedang mengalami konflik, pemerintah
tidak perlu memberikan legalitas atau menolak verifikasi
Partai Politik tersebut, sebelum konflik internal dapat
diselesaikan oleh Partai Politik yang bersangkutan.
Jika langkah tersebut dilakukan, maka hal ini akan
menimbulkan manfaat ganda bagi kehidupan kepartaian itu
sendiri. Pertama; proses pendewasaan Partai Politik akan
terjadi dengan ditandai adanya kemampuan Partai Politik
dalam memanage konflik. Kedua; merupakan seleksi alamiah
bagi Partai Politik itu sendiri. Artinya jikalau ternyata Partai
Politik memang tidak mampu untuk meredam atau
menyelesaikan konflik internal, maka kemungkinan untuk
ditinggalkan oleh konstituen akan semakin besar. Hal ini
penyederhanaan Partai Politik justru akan terjadi tanpa
adanya intervensi Pemerintah. Pendek kata, biarkan aja
berkonflik toh yang rugi adalah Partai Politik itu sendiri.
Standar Internasional menyatakan bahwa lembaga
penyelenggara pemilu harus melakukan semua kegiatan
pemilu secara independen, transparan, dan tidak berpihak. 177
Terkait dengan hal ini IDEA (Institute for Democracy and
Electoral Assistance) merumuskan beberapa prinsip yang harus
dilakukan oleh lembaga penyelenggara pemilu demi mencapai
pemilu yang bebas dan adil:178
1. Independen dan ketidak berpihakan: Lembaga penyelenggara
pemilu tidak boleh tunduk pada arahan dari pihak lain
manapun, baik pihak berwenang atau pihak partai politik.

177 Didik Supriyanto, Menjaga Independensi


Penyelenggara Pemilu, USAID, drsp, Perludem, Jakarta,
2007, hlm. Iv.
178 Ibid, hlm. 28.

Lembaga ini harus bekerja tanpa pemihakan atau


praduga politik. Harus mampu menjalankan kegiatan
yang bebas dari campur tangan, karena setiap dugaan
manipulasi, persepsi bias atau dugaan campur tangan,
akan memiliki dampak langsung, tidak hanya terhadap
kredibilitas lembaga, tetapi juga terhadap keseluruhan
proses dan hasil pemilu.
2. Efisiensi dan Keefektifan: Efisiensi dan keefektifan
merupakan komponen terpadu dari keseluruhan
kredibilitas pemilu. Efisiensi dan keefektifan tergantung
beberapa faktor, termasuk profesionalisme para staf,
sumber daya, dan yang paling penting waktu yang
memadai untuk menyelenggarakan pemilu, serta melatih
orang-orang yang bertanggung jawab atas pelaksanaan
teknis pemilu.
3. Profesionalisme: Pemilu harus dikelola oleh orang-orang
yang terlatih dan memiliki komitmen tinggi. Mereka
adalah karyawan tetap lembaga yang mengelola dan
mempermudah proses pelaksanaan pemilu.
4. Keputusan yang tidak berpihak dan cepat: Undang-
Undang membuat ketentuan mekanisme untuk
menangani, memproses dan memutuskan keluhan-
keluhan pemilu dalam kerangka waktu tertentu. Hal ini
mengharuskan para pengelola pemilu harus mampu
berpikir dan bertindak cepat dan tidak memihak.
5. Transparansi: Kredibilitas menyeluruh dari seluruh proses
pemilu tergantung pada semua kelompok yang terlibat di
dalamnya, seperti Partai Politik, pemerintah, masyarakat
madani dan media. Mereka secara sadar ikut serta dalam
perdebatan yang mewarnai pembentukan struktur, proses
dan hasil pemilu. Lembaga harus bersifat terbuka terhadap
kelompok-kelompok tersebut, komunikasi dan kerja sama
perlu dilakukan guna menambah bobot transparansi
proses penyelenggaraan pemilu.

Menurut Pasal 8 ayat (1) UU No. 10 Tahun 2008 Tentang


Pemilu dinyatakan bahwa Partai Politik dapat menjadi Peserta
Pemilu setelah memenuhi Persyaratan:

a. berstatus badan hukum sesuai dengan undang-undang


Partai
Politik;
b. memiliki kepengurusan di 2/3 (dua pertiga) jumlah
provinsi;
c. memiliki kepengurusan di 2/3 (dua pertiga) jumlah
kabupaten/
kota di provinsi yang bersangkutan;
d. menyertakan sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh
perseratus)
keterwakilan perempuan pada kepengurusan partai politik
tingkat pusat;
e. memiliki anggota sekurang-kurangnya 1.000 (seribu)
orang
atau 1/1.000 (satu perseribu) dari jumlah penduduk pada
setiap kepengurusan partai politik sebagaimana dimaksud
pada huruf b dan huruf c yang dibuktikan dengan
kepemilikan
kartu tanda anggota;
f. mempunyai kantor tetap untuk kepengurusan
sebagaimana
pada huruf b dan huruf c; dan
g. mengajukan nama dan tanda gambar partai politik kepada
KPU.

Persyaratan Partai Politik untuk mengikuti Pemilu tersebut


dapat berjalan tanpa kendala, manakala Partai Politik peserta
pemilu tidak sedang mengalami konflik internal. Persoalannya
bagaimanakah jika ada suatu Partai Politik yang sedang
berkonflik? Apakah KPU tetap akan menetapkan Partai Politik
tersebut sebagai peserta pemilu, bahkan kalau terjadi
perpecahan dari Partai Politik akan menetapkan kedua-
duanya sebagai peserta pemilu?
Untuk menjawab persoalan ini, maka berdasarkan kelima
prinsip tersebut di atas, KPU harus mengambil langkah
sebagai berikut:
1. Independen dan ketidak berpihakan: KPU harus tetap menjaga
netralitas dalam menentukan Partai Politik sebagai peserta
Pemilu. Jika Partai Politik yang berkonflik dan masing-
masing mendaftar sebagai peserta pemilu, maka KPU
harus bertindak tegas agar persoalan internal diselesaikan
terlebih dahulu. Jika KPU tetap menerima pendaftaran,
maka hal ini menunjukkan bahwa KPU berpersepsi bias
yang pada akhirnya akan menurunkan kredibilitas
lembaga maupun keseluruhan proses dan hasil pemilu.
2. Efisiensi dan keefektifan: KPU harus mengambil langkah-
langkah yang efisien dan efektif dalam mensikapi
persoalan yang terjadi dalam tubuh Partai Politik yang
sedang mengalami konflik. Cara yang tepat untuk
mendukung ini adalah dengan melandaskan pada
kepastian hukum tentang posisi dari masing-masing pihak
yang ada di dalam Partai Politik yang berkonflik tersebut.
Kepastian hukum dapat tercapai jikalau persoalan internal
partai telah diputus melalui mekanisme putusan hakim
yang memiliki kekuatan hukum tetap.
3. KPU melakukan klarifikasi terhadap Partai Politik yang
sedang berkonflik dengan cara mengkaji AD/ART dari
Partai Politik yang bersangkutan. Dasar pijakan untuk
klarifikasi ini adalah AD/ART awal pembentukan Partai
Politik yang bersangkutan. Bukan AD/ART sebaga akibat
adanya konflik. Dokumen yang terkait dengan AD/ART
ini tentu sudah ada di arsip KPU ketika menyelenggarakan
Pemilu masa sebelumnya. Sehingga jika Partai Politik yang
berkonflik telah pecah dan memunculkan dua AD/ART,
maka jalan satu-satunya adalah dengan memberikan
pilihan kepada Partai Politik tersebut untuk berganti nama
dan simbol. Hal ini perlu dilakukan agar masyarakat
pemilih tidak mengalami kebingungan ketika proses
pemilihan berlangsung. Terkait dengan hal ini jika ada
Perubahan AD dan ART sebagai akibat adanya konflik
(perselisihan Partai Politik), maka menurut Pasal 8 UU No.
2 Tahun 2008 tentang Partai Politik ditegaskan bahwa
Menteri tidak dapat mengesahkan perubahan tersebut.
4. KPU harus menentukan syarat-syarat Pendaftaran Pemilu
bagi Partai Politik. Di dalam persyaratan tersebut harus
ada ketentuan mengenai pernyataan bahwa Partai Politik
yang bersangkutan bebas dari persoalan internal. Hal ini
mengingat kedudukan KPU sebagai "wasit" Pemilu harus
bersikat tegas dan tidak memihak.

Partai Politik sebagai instrumen demokrasi sudah


sepantasnya menjadi contoh bagi proses pembelajaran
demokrasi yang penuh kedamaian, dan bukan anarkhi.
Konflik di tubuh Partai Politik sejatinya menunjukkan ketidak
dewasaan dalam berdemokrasi. Jika demokrasi hanya
dimaknai sebagai sebuah kelumrahan dalam perbedaan
pendapat, maka perbedaan pendapat tersebut tentunya harus
dapat diselesaikan secara elegan. Munculnya partai-partai
kecil sebagai akibat adanya konflik internal di tubuh partai
sejatinya merupakan dampak dari sistem pemilu yang
proporsional.
Dalam sistem pemilu proporsional, Partai Politik-Partai
Politik (besar maupun kecil) memang dimungkinkan akan
memperoleh suara dalam pemilu. Namun demikian, jika hal
ini terus menerus dilakukan justru akan mengakibatkan
tingkat kepercayaan masyarakat terhadap Partai Politik akan
semakin terpuruk. Masyarakat akan berpandangan;
"mengurus Partai Politik saja tidak mampu, apalagi mengurus
negara". Oleh sebab itulah sudah seharusnya elit Partai Politik
jangan terlalu percaya diri dan selalu mengklaim bahwa
dirinya-lah yang paling legitimate.
Tingkat legitimasi Partai Politik di mata masyarakat bukan
terletak pada elit politik atau toloh-tokoh yang ada di
dalamnya, melainkan seturut dengan kecerdasan masyarakat
dalam berpolitik, sangat ditentukan dari kemampuan Partai
Politik dalam mengelola konflik yang ada di dalam tubuh
Partai Politik itu sendiri.

6. Perkembangan Partai Politik di Indonesia.


Di dalam buku yang berjudul Strategi Pembangunan
Hukum Nasional, Ali Moertopo memberikan gambaran
tentang perkembangan Partai Politik di Indonesia sebagai
berikut:179
a. Keberadaan Partai Politik di Indonesia dimulai sejak
Pemerintah Hindia Belanda mencanangkan Politik Etis
pada tahun 1908. dengan adanya Politik Etis ini, maka
banyak kalangan cerdik pandai kaum bumiputera yang
mulai tergerak untuk ikut dalam kehidupan
ketatanegaraan melalui berbagai organisasi
kemasyarakatan. Pelopor dari organisasi kemasyarakatan
tersebut adalah Boedi Oetomo.
b. Setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia tanggal 17
Agustus 1945, dan dengan keluarnya Maklumat No. X
Tahun
1945 tertanggal 16 Oktober 1945 dan Maklumat
Pemerintah 14
Nopember 1945 mulai saat itulah Indonesia menganut
sistem
multi partai yang ditandai dengan munculnya 24 Partai
Politik
yang berbasis aliran (ideologi).
c. Menjelang Pemilu tahun 1955 yang berdasarkan
demokrasi
liberal terdapat 70 Partai Politik maupun perseorangan
yang
mengambil bagian dalam Pemilu tersebut. Perlu diketahui
bahwa Pamilu Tahun 1955 dipergunakan untuk memilih
anggota Konstituante yang bertugas untuk merumuskan
UUD
yang menggantikan UUDS 1950, dan memilih anggota
DPR.
d. Mulai Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dilakukanlah
penyederhanaan
sistem kepartaian di Indonesia, melalui:
1. Penetapan Presiden No. 7 Tahun 1959 dan Peraturan
Presiden No. 13 Tahun 1960 yang mengatur tentang
Pengakuan, Pengawasan dan pembubaran Partai
Politik.
2. Pada tanggal 17 Agustus 1960 PSI dan Masyumi di-
bubarkan.
e. Pada tanggal 14 April 1961 diumumkan hanya ada 9 Partai
Politik yang mendapat pengakuan, yaitu PNI, NU, PKI,
PSII, PARKINDO, Partai Katolik, Perti, Murba, dan
Partindo.
Dengan berkurangnya jumlah Partai Politik tersebut, tidak
berarti konflik ideologi dalam masyarakat karena
pertentangan
ideologi yang dibawa oleh Partai Politik menjadi
berkurang.
Untuk mengatasi hal ini, maka pada tanggal 12 desember
1964, di Bogor diselenggarakan pertemuan Partai Politik
dan
menghaslkan Deklarasi Bogor.
f. Tanggal 12 Maret 1966 setelah terjadinya pemberontakan
PKI,
maka PKI dibubarkan dan dinyatakan sebagai Partai
Politik
terlarang di Indonesia. Kemudian dimulailah usaha
pembinaan Partai Politik yang dilakukan oleh Orde Baru.
g. Tanggal 20 Pebruari 1968 didirikan Parmusi (Partai
Muslimin
Indonesia) sebagai langkah peleburan dan penggabungan
ormas-ormas Islam yang sudah ada dan yang belum
tersalurkan
aspirasinya. Pendukung dari Parmusi adalah
Muhamadiyah,
HMI, PII, Aliwasliyah, HSBI, Gasbindo, PUI dan IPM.
h. Tanggal 27 Pebruari 1970, Presiden Soeharto mengadakan
konsultasi dengan Partai Poliik yang ada, guna membahas
gagasan untuk mengelompokkan Partai Politik yang ada
di
Indonesia. Gagasan pengelompokan ini dirumuskan
dalam
tujuan jangka pendek dan jangka panjang. Tujuan jangka
pendek
adalah mempertahankan stabilitas nasional dan
kelancaran
pembangunan dalam rangka menghadapi Pemilu.
Sedangkan
tujuan jangka panjang adalah melakukan penyederhanaan
kehidupan kepartaian di Indonesia sebagaimana
diamanatkan
oleh Tap MPRS No. XXII/MPRS/1966.
i. Gagasan penyederhanaan kehidupan kepartaian di
Indonesia
ini tidak hanya mengandung arti pengurangan jumlah
Partai
Politik, tetapi juga melakukan perombakan sikap dan pola
kerja dari Partai Politik menuju orientasi pada program.
Sehubungan dengan hal ini Presiden Soeharto
menyarankan
agar Partai Politik mempergunakan asas Pancasila dan
UUD
1945.
j. Berdasarkan gagasan ini, maka disarankan pembentukan
dua kelompok Partai Politik, sebagai berikut:
i. Kelompok materiil-spirituil, yang terdiri dari Partai-
partai
Politik yang lebih menekankan pada pembangunan
materiil
tanpa mengabaikan aspek spirituil. Pengelompokan
jenis
ini diikuti oleh PNI, Murba, IPKI, Partai Katolik, dan
Parkindo.
ii. Kelompok spirituil-materiil yang terdiri dari partai-
partai
Politik yang lebih menekankan pada aspek
pembangunan
spirituil tanpa mengabdikan aspek materiil.
Pengelompokan jenis ini diikuti oleh NU, Parmusi,
PSII, dan Perti. Dua model pengelempokan Partai
Politik berdasarkan orientasi tersebut memang terasa
janggal. Kita ambil contoh misalnya Partai Katolik dan
Parkindo yang jelas-jelas bernafaskan spiritual
keagamaan, ternyata justru dimasukkan dalam
kelompok materiil-spirituil. Kondisi semacam ini
mungkin disebabkan adanya kesulitan ideologis untuk
menggabungkan kedua Partai Politik ini masuk
kedalam kelompok spirituil-materiil, karena kelompok
spirituil-materiil terdiri dari Partai-partai politik yang
basis ideologinya adalah Islam.
k. Pada tanggal 9 Maret 1970 terjadi pengelompokan Partai-
partai Politik dengan terbentuknya Kelompok Demokrasi
Pembangunan yang terdiri dari PNI, Partai Katolik,
Parkindo, IPKI, dan Murba. Kemudian pada tanggal 13
Maret 1970 terbentuk Kelompok Persatuan Pembangunan
yang terdiri dari NU, Parmusi, PSII, dan Perti.
1. Langkah terakhir penyederhanaan kehidupan kepartaian di
Indonesia adalah pada tanggal 5 dan 10 Januari 1973
terbentuk Partai Persatuan Pembangunan (PPP) sebagai
bentuk fusi dari Kelompok Persatuan Pembangunan dan
Partai Demokrasi Indonesia sebagai fusi Kelompok
Demokrasi Pembangunan.
m. Di samping dua kelompk (Fusi) Partai Politik tersebut, me-
nurut Orde Baru, dalam perkembangannya terdapat
golongan-golongan fungsional yang tidak dapat
dimasukkan ke dalam salah satu dari Partai Politik yang
berfusi tersebut. Golongan-golongan tersebut kemudian
membentuk satu kelompok tersendiri yang kemudian
disebut sebagai Golongan Karya (GOLKAR). Menurut Ali
Moertopo, Golongan Karya adalah golongan-golongan
dalam masyarakat yang masing-masing menyumbangkan
peranan khusus bagi berfungsinya masyarakat, yakni
organisasi ekonomi, kultural, sosial dan pertahanan.180
Pandangan Ali Moertopo tersebut ternyata tidak dapat
dibenarkan, karena dalam sejarah perkembangannya
Golkar sebagai mesin politik orde baru sebenarnya
merupakan reinkarnasi dari gabungan birokrasi dan
TNI/Polri. Golkar sebenarnya merupakan bentukan
pemerintah Orde Baru untuk mengamankan
kekuasaannya. Hal ini nampak jelas dengan
dimasukkannya Korps Pegawai Negeri Sipil Republik
Indonesia (KORPRI) sebagai organisasi underbow
GOLKAR.
n. Akhinya dalam Pemilu tahun 1971 hanya terdapat tiga
kekuatan sosial Politik peserta Pemilu, yaitu dua Partai
Politik (PPP dan PDI) dan satu Golongan Karya
(GOLKAR). Keberadaan ketiga organisasi kekuatan sosial
politik ini dikukuhkan melalui Undang-Undang No. 3
Tahun 1975 Tentang Partai Politik dan Golongan Karya.

Dengan adanya undang-undang tersebut praktis


kehidupan kepartaian Indonesia di era Orde Baru dibatasi,
artinya tidak diperkenankan munculnya organisasi atau
golongan politik lain selain yang sudah ditegaskan dalam
Undang-undang tersebut. Walaupun Undang-Undang No. 3
Tahun 1975 mengalami perubahan berulang kali, namun
kondisi kepartaian di Indonesia berjalan tetap seperti semula.
Bahkan perubahan-perubahan undang-undang yang di-
lakukan itu semata-mata hanya untuk memperkuat GOLKAR
dalam peta politik ketatanegaraan Indonesia.
Dengan kondisi yang demikian ini, berarti kehidupan
demokrasi yang menjamin kebebasan masyarakat untuk
berkumpul dan berserikat, serta menyampaikan pendapat
baik tertulis maupun lisan, sebagaimana diatur dalam Pasal 28
UUD 1945 telah dibatasi. Rezim Orde baru telah melanggar
konstitusi demi menjaga kelanggengan kekuasaannya.
GOLKAR sebagai kekuatan mayoritas dan selalu
memegang posisi single majority terus mendominasi peta
kehidupan politik ketatanegaraan Indonesia. Kemampuan
GOLKAR yang demikian
ini sebenarnya bukan atas kekuatannya sendiri, melainkan
karena GOLKAR memperoleh fasilitas-fasilitas politik dari
pemerintah (birokrasi). Pada hakikatnya kekuatan GOLKAR
dalam peta kehidupan ketatanegaraan Indonesia disebabkan
oleh tiga pilar penyangga, yaitu Presiden Soeharto sendiri
yang bertindak sebagai Dewan Pembina GOLKAR, Birokrasi
dan Militer (TNI/Polri).
Dengan keterpasungan kehidupan kepartaian di era Orde
baru inilah, maka pelaksanaan sistem ketatanegaraan
Indonesia menjadi tidak sejalan alias menolak prinsip-prinsip
ketatanegaraan yang - demokratis. Puncak dari keterpasungan
kehidupan kepartaian di Indonesia mencapai titik yang tidak
dapat ditolerir lagi hingga menimbulkan perlawanan-
perlawanan politik, pada waktu Partai Demokrasi Indonesia
(PDI) dipecah oleh Pemerintah Orde Baru dengan cara tidak
mengakui kepemimpinan Megawati Soekarno Putri, dan
hanya mengakui kepemimpinan PDI di bawah Surjadi.
Perpecahan di tubuh PDI tersebut menimbulkan kemelut
berkepanjangan yang pada akhirnya mengakibatkan peristiwa
berdarah yang sering disebut sebagai Peristiwa sabtu kelabu
pada tanggal 27 Juli 1996. Massa PDI di bawah kepemimpinan
Suryadi dibantu aparat keamanan dan tentara bertindak
sangat represif dan membabi buta untuk membubarkan massa
PDI di bawah kepemimpinan Megawati Soekarno Putri yang
saat itu menguasai kantor Pusat PDI di jalan Diponegoro
Jakarta.
Peristiwa sabtu kelabu 27 Juli 1996 ini menjadi titik awal
perlawanan aktifis pro demokrasi untuk menentang
kezaliman rezim Orde Baru di bawah Presiden Soeharto dan
mencapai titik kulminasi bersamaan dengan terjadinya krisis
multidimensional di akhir tahun 1997 sampai dengan
pertengahan Mei 1998 yang ditandai dengan merosotnya nilai
tukar rupah terhadap dolar sampai berkisar Rp. 15.000,/dolar
AS. Kondisi semacam ini menjadi totik tolak untuk
menumbangkan Rezim Orde Baru di bawah kepemimpinan
Presiden Soeharto yang memegang tampuk kepemimpinan
Indonesia selama lebih kurang 32 tahun.
Kemerosotan moral karena praktek-praktek KKN
(Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme) mengakibatkan bangsa
Indonesia tidak mampu untuk melepaskan diri dari krisis
multi dimensional. Kerusuhan massa yang berbau rasial pada
bulan Mei 1998 menjadi pemicu mundurnya presiden
Soeharto dan diganti oleh wakil Presiden BJ. Habibie pada
tanggal 20 Mei 1998, setelah sebelumnya mahasiswa
menduduki gedung MPR untuk beberapa hari. Peristiwa
inilah yang kemudian disebut sebagai gerakan reformasi 1998.
Setelah gerakan reformasi berhasil menumbangkan
penguasa Orde Baru, maka mulai saat itulah dilakukan
pembenahan sistem demokrasi dengan melaksanakan Pemilu
tahun 1999, mengamandemen UUD 1945, dan membenahi
sistem politik ketatanegaraan Indonesia menuju kearah sistem
demokrasi. Di bidang kehidupan kepartaian dibentuk UU No.
2 Tahun 1999 Tentang Partai Politik yang kemudian diubah
dengan UU No. 2 Tahun 2008 yang sekarang ini berlaku.
Dengan adanya Undang-undang inilah, maka sistem
kepartaian di Indonesia menjadi sistem multi partai.
Bab VII PEMERINTAHAN LOKAL

(Pemerintahan Lokal merupakan sendi dari negara


Kesatuan yang demokratis. "Keberadaan (Pemerintahan Lokal
(otonom) merupakan bentukjpengakuan terhadap
karakteristik^atau ciri masing-masing wiCayah negara, dan
merupakan pencerminan dari prinsip negara hukum yang
demokratis.

A. Peristilahan.
Keberadaan Pemerintahan Lokal di dalam suatu negara,
khususnya di Indonesia pernah menimbulkan perdebatan di
lingkungan akademis terkait dengan peristilahannya. Ada
yang mempergunakan istilah Pemerintahan di Daerah dan ada
pula yang mempergunakan istilah Pemerintahan Daerah. Bagi
kalangan awam kedua peristilahan tersebut dianggap
mengandung pengertian yang sama, padahal jika ditelaah
lebih dalam antara satu dengan yang lain terkandung
perbedaan yang bersifat prinsipiil.
Istilah Pemerintahan Daerah, lebih tepat dipergunakan
untuk menyebut satuan pemerintahan di bawah pemerintah
pusat yang memiliki wewenang pemerintahan sendiri. Dalam
konteks UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah
adalah penyelenggara urusan pemerintahan oleh pemerintah
daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas
pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam
sistem dan prinsip Negara kesatuan Republik Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.181 Dengan demikian istilah
Pemerintahan Daerah itu dipergunakan untuk menyebut satuan
pemerintahan rendahan di bawah pemerinah Pusat (central
Government) yang berwenang untuk menyelenggarakan
pemerintahan sendiri (urusan pemerintahan sendiri) dengan
mempergunakan organ-organ yang dibentuk sendiri. Jadi
istilah Pemerintahan Daerah lebih tepat dipergunakan untuk
menyebutkan kegiatan yang dilakukan oleh Daerah Otonom
dalam melaksanakan urusan atau wewenang pemerintahan
sendiri.
Istilah Pemerintahan di Daerah pernah digunakan di
Indonesia pada waktu dasar penyelenggaraannya
mempergunakan UU No. 5 Tahun 1974 Tentang Pokok-pokok
Pemerintahan di Daerah. Istilah ini sebenarnya lebih tepat
dipergunakan untuk menyebutkan satuan-satuan atau organ-
organ Pemerintahan Pusat yang ditempatkan di daerah dalam
rangka menyelenggarakan sistem pemerintahan dalam arti
luas. Oleh sebab itu istilah Pemerintahan di Daerah sebenarnya
bukan dalam lingkup pembicaraan mengenai Pemerintahan
Daerah sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 18, Pasal 18 A,
dan Pasal 18 B UUD 1945.
Menurut Bagir Manan Pasal 18 UUD 1945 mengatur
mengenai Pemerintahan Daerah, bukan Pemerintahan di
Daerah, karena Pemerintahan di Daerah pada hakikatnya
merupakan unsur tata laksana penyelenggaraan Pemerintahan
Pusat sebagai cerminan dari pelaksanaan asas dekonsentrasi. 182
Dengan demikian jelaslah kiranya bahwa antara kedua
peristilahan tersebut mengandung makna yang berbeda antara
satu dengan lainnya.
Bertitik tolak dari adanya perbedaan istilah tersebut di
atas, di dalam buku ini Penulis mempergunakan istilah
Pemerintahan Lokal. Penggunaan istilah ini, karena
mengandung pemahaman lebih umum dan dapat
179 Pasal 1 angka 2 UU No. 32 tahun 2004 Tentang
Pemerintahan Daerah.
180 Bagir Manan, 1993, Perjalanan Historis Pasal 18
UUD 1945 (Perumusan dan Undang-Undang
dipergunakan untuk mengkaji satuansatuan pemerintahan
yang lebih rendah dalam perspektif bangunan negara
manapun. Mengingat dalam bangunan negara federal,
kesatuan maupun konfederasi juga dikenal adanya satuan-
satuan pemerintahan yang lebih rendah, seperti negara bagian
di Amerika serikat, Pemerintahan Daerah di Indonesia, dan
Kanton di negara Konfederasi Swiss.

B. Bentuk Pemerintahan Lokal.


Setelah Amandemen II terhadap Pasal 18 UUD 1945 pada
tanggal 18 Agustus 2000, pengaturan mengenai Pemerintahan
Lokal secara lengkap diatur sebagai berikut:
(1) Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-
daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas
kabupaten dan kota; tiap-tiap provinsi, kabupaten dan
kota mempunyai pemerintahan daerah yang diatur
dengan undang-undang.
(2) Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan
daerah kota mengatur dan mengurus sendiri urusan
pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas
pembantuan.
(3) Pemerintah daerah provinsi, daerah kabupaten, dan
daerah kota memiliki Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
yang anggota-anggotanya dipilih melalui pemilihan
umum.
(4) Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai
kepala daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara
demokratis.
(5) Pemerintah daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya,
kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang
ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat.
(6) Pemerintah daerah berhak menetapkan Peraturan Daerah
dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan
otonomi dan tugas pembantuan.
(7) Susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan
daerah diatur dalam undang-undang.
Lebih lanjut di dalam ketentuan Pasal 18 B Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
ditegaskan:
(1) Hubungan wewenang antara pemerintahan pusat dan pe-
merintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota,
atau antara provinsi dan kabupaten dan kota, diatur
dengan undang-undang dengan memperhatikan
kekhususan dan keragaman daerah.
(2) Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan
sumber daya alam dan sumber daya lainnya antara
pemerintahan pusat dan pemerintahan daerah diatur dan
dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan undang-
undang.

Sedangkan menurut Pasal 18 B UUD 1945 juga ditegaskan


mengenai status daerah yang bersifat istimewa dan kesatuan
masyarakat adat. Pasal ini secara lengkap menyatakan:
(1) Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan peme-
rintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat
istimewa yang diatur dengan undang-undang.
(2) Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan
masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionilnya
sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan
masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia, yang diatur dengan undang-undang.

Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut di atas, dapat


ditarik kesimpulan bahwa di dalam Amandemen UUD 1945
telah diberikan garis secara tegas mengenai penyelenggaraan
pemerintahan lokal di Indonesia. Garis tegas tersebut
menyangkut pemberian otonomi yang seluas-luasnya bagi
daerah untuk menyelenggarakan kewenangan pemerintahan
sendiri, serta pengakuan kepada daerah-daerah yang bersifat
khusus atau istimewa termasuk kesatuan-kesatuan
masyarakat adat asalkan tidak melanggar batas-batas dari
Prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hal ini berarti
setelah Amandemen UUD 1945 titik tolak penyelenggaraan
pemerintahan lokal hanya ditekankan pada otonomi daerah.
Dalam khasanah teori Hukum Tata Negara dikenal pula
adanya dua bentuk penyelenggaraan pemerintahan di tingkat
lokal. Kedua bentuk pemerintahan tersebut adalah:
1. Pemerintahan Lokal Administratif, yakni satuan-satuan
peme-
rintahan lokal di bawah pemerintahan pusat yang semata-
mata hanya menyelenggarakan aktifitas pemerintahan
pusat
di wilayah-wilayah negara. Satuan pemerintahan lokal
seperti
ini pada hakikatnya hanya merupakan perpanjangan
tangan
dari pemerintahan pusat. Adapun cirri-ciri dari
pemerintahan
lokal administratif, yaitu:
a. Kedudukannya merupakan wakil dari pemerintah
pusat
yang ada di daerah;
b. Urusan-urusan pemerintahan yang diselenggarakan
pada
hakikatnya merupakan urusan pemerintahan pusat;
c. Penyelanggaraan urusan-urusan pemerintahan hanya
ber-
sifat administratif belaka;
d. Pelaksana urusan-urusan pemerintahan dijalankan oleh
pejabat-pejabat pemerintah pusat yang ditempatkan di
daerah;
e. Hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah
lokal
adalah hubungan antara atasan dan bawahan dalam
rangka
menjalankan perintah; dan
f. Seluruh penyelenggaraan urusan pemerintahan
dibiayai
dan mempergunakan sarana dan prasarana pemerintah
pusat.
Berdasarkan ciri-ciri tersebut, maka dapat dikatakan
bahwa Pemerintahan Lokal Administratif pada hakikatnya
hanyalah merupakan kegiatan-kegiatan atau aktifitas
pemerintahan yang dilakukan oleh organ-organ
pemerintah pusat yang ditempatkan di wilayah-wilayah
negara.
2. Pemerintahan Lokal Otonom, yakni satuan-satuan
pemerintah-
an lokal yang berada di bawah pemerintahan pusat yang
berhak atau berwenang menyelenggaraan
pemerntahan sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat
setempat. Ciri-ciri dari pemerintahan lokal seperti ini,
adalah:
a. Urusan-urusan pemerintahan atau wewenang
pemerintahan
yang diselenggarakan oleh pemerintahan lokal Otonom
adalah urusan atau wewenang yang telah menjadi
urusan
rumah tangga sendiri.
b. Penyelenggaraan Pemerintahan Lokal Otonom
dijalankan
oleh pejabat-pejabatyangmerupakanpegawai
pemerintahan
lokal itu sendiri. Atau dengan kata lain pejabat-pejabat
tersebut diangkat dan dberhentikan oleh pemerintah
Lokal
Otonom iu sendiri.
c. Penyelenggaraaan urusan-urusan pemerintahan
dijalankan
atas dasar inisiatif atau prakarsa sendiri.
d. Hubungan antara pemerintahan pusat dan
pemerintahan
lokal Otonom adalah hubungan yang sifatnya
pengendalian
dan pengawasan. Bahkan kalau boleh mengatakan
adalah
hubungan kemitraan (partnership).

Kedua bentuk penyelenggaraan Pemerintahan lokal


tersebut di atas (administratif dan otonom) pernah dilakukan
secara bersama-sama dalam satu wilayah. Hal ini nampak jelas
ketika politik perundang-undangan tentang Pemerintahan
Daerah di Indonesia mempergunakan UU No. 5 Tahun 1974
Tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah. Di dalam
undang-undang ini dinyatakan bahwa di dalam satu wilayah
akan terdapat pemerintahan Daerah Otonom dan Wilayah
Administratif.183
Menurut Undang-undang yang mengatur tentang
Pemerintahan Daerah setelah reformasi 1998 dua bentuk
penyelenggaraan pemerintahan lokal tersebut sudah
dipisahkan secara tegas. Baik UU No. 22 Tahun 1999 maupun
UU No. 32 tahun 2004 menegaskan bahwa Pemerintahan
Lokal Otonom hanya dilaksanakan di kabupaten dan Kota,
183 Penetasan umum UU No. 5 Tahun 1974 Tentang Pokok-
Pokok Pemerintahan di Daerah.
sedangkan untuk penyelenggaraan pemerintahan lokal
administratif dan otonom dilaksanakan secara bersama-sama
di provinsi yang dalam hal ini dilakukan oleh gubernur
sebagai wakil pemerintah pusat di daerah. Hal ini nampak
dari ketentuan Pasal 9 UU No. 22 Tahun 1999 yang
menyatakan:

(1) Kewenangan provinsi sebagai daerah otonom mencakup


kewenangan dalam bidang pemerintahan yang bersifat
lintas kabupaten dan kota, serta kewenangan dalam bidang
pemerintahan tertentu lainnya.
(2) Kewenangan provinsi sebagai daerah otonom termasuk
juga kewenangan yang tidak atau belum dapat
dilaksanakan daerah kabupaten dan Daerah Kota.
(3) kewenangan Propinsi sebagai wilayah administratif
mencakup kewenangan dalam bidang pemerintahan yang
dilimpahkan kepada gubernur selaku wakil pemerintah.

Sedangkan menurut Undang-Undang No. 32 tahun 2004


nampak dari ketentuan Pasal 37 ayat (1) yang menyatakan
bahwa Gubernur yang karena jabatannya berkedudukan juga
sebagai wakil pemerintah di wilayah provinsi yang
bersangkutan.
C. Asas-Asas Penyelenggaraan Pemerintahan Lokal.
Dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan Lokal
dikenal adanya 4 (empat) asas penyelenggaraan, yaitu:

1. Asas Sentralisasi.
Yaitu suatu asas pemerintahan yang terpusat, artinya tidak
dikenal adanya penyerahan wewenang atau urusan
pemerintahan kepada bagian-bagian (daerah/wilayah) negara.
Semua kewenangan pemerintahan baik di tingkat pusat
maupun di tingkat lokal berada di tangan pemerintah pusat,
kalaupun ada kewenangan yang berada di pemerintahan
lokal, hal itu semata-mata hanya menjalankan perintah dari
pemerintah pusat saja. Pemerintah Lokal termasuk pejabat-
pejabatnya di tingkat lokal hanya melaksanakan kehendak
atau kebijaksanaan dari pemerintah pusat. Tidak dikenal
adanya
inisiatif atau prakarsa dari pemerintahan lokal. Kondisi
semacam ini tentu mengandung kebaikan dan kelemahan,
yaitu;
a. kebaikan;
1. menjadi alat yang ampuh dari kesatuan politik,
persekutuan atau masyarakat;
2. dapat dipergunakan sebagai sarana untuk mencegah
timbulnya keinginan dari bagian-bagian negara untuk
melepaskan diri dan dapat pula dipergunakan sebagai
sarana untuk memperkuat persatuan;
3. mempercepat persamaan dalam perundang-undangan,
pemerintahan sepanjang kepentingan-kepentingan
wilayah mempunyai sifat yang sejenis;
4. lebmmengutamakankepentmgan-
kepentingankeseluruhan (nasional) di atas
kepentingan-kepentingan dari bagian-bagian;
5. sebagai sarana untuk mengumpulkan tenaga dari
masing-masing bagian yang tidak kuat menjadi suatu
kesatuan yang berarti dan dapat memperbesar
kemungkinan untuk menyelenggarakan sesuatu yang
lebih besar, baik dalam arti idiil, moril, dan
perlengkapannya; dan
6. dalam keadaan tertentu dapat memberikan efisiensi
yang lebih besar dalam organisasi pemerintahan,
walaupun hal ini belum dapat dipastikan.
b. Kelemahan:
1. mengakibatkan rentang birokrasi yang semakin
panjang dengan segala keuntungan dan kerugiannya
yang melekat;
2. karena urusan negara semakin kompleks sebagai akibat
diterapkannya prinsip welfare state, maka tugas,
wewenang, dan tanggung jawab pemerintah pusat
menjadi semakin berat. Hal ini mengingat urusan-
urusan pemerintahan yang sifatya lokal harus
ditangani juga secara terpusat. Oleh sebab itu
sentralisasi jelas akan menghambat efisiensi dan
efektifitas penyelenggaraan pemerintahan secara
umum;
3. pengambilan keputusan-keputusan untuk masalah-ma-
salah yang bersifat lokal menjadi sulit untuk segera
dipecahkan, karena harus selalu menunggu
kebijaksanaan dan keputusan dari pemerintah pusat;
4. pengambilan keputusan cenderung diseragamkan
tanpa mengindahkan karakteristik, kondisi dan
kemampuan masing-masing daerah, serta menafikan
prinsip-prinsip partisipasi;
5. terhambatnya proses demokratisasi dan pemencaran
kekuasaan (prinsip negara hukum). Hal ini mengingat
kebebasan daerah untuk menentukan kebijaksanaan
sendiri sesuai dengan keinginan rakyat masing-masing
daerah tidak diberi ruang yang cukup;
6. daerah tidak memiliki alternatif pilihan, kecuali hanya
menerima seluruh kebijaksanaan, arahan, dan
keputusan pemerintah pusat.

Ditinjau dari aspek kelebihan dan kelemahan asas


sentralisasi ini, maka nampakjelas bahwa
aspekkelemahanjustm mendominasi. Oleh sebab itu
dikembangkanlah asas desentralisasi.

2. Asas Desentralisasi.
Asas ini menghendaki dalam penyelengaraan
pemerintahan, ada sebagian wewenang atau urusan
pemerintahan pusat dilimpahkan atau diserahkan kepada
pemerintah lokal untuk diatur dan diurus sendiri sebagai
urusan rumah tangga sendiri.
Menurut Pasal 1 angka 7 Undang-Undang No. 32 Tahun
2004 Tentang Pemerintahan Daerah, dinyatakan bahwa
desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan
oleh Pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan
mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Definisi ini berbeda bila di
bandingkan dengan Undang-Undang yang pernah berlaku,
yakni Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 Tentang Pokok-
pokok Pemerintahan Di Daerah, dan Undang-Undang No. 22
Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah.
Di dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 Tentang
Pokok-pokok Pemerintahan Daerah yang diberlakukan
semasa Pemerintahan Orde Baru, dinyatakan bahwa
desentralisasi adalah penyerahan urusan pemerintahan dari
Pemerintah/Daerah Tingkat yang lebih atas kepada Daerah
untuk menjadi urusan rumah tangga sendiri. Sedangkan
menurut Undang-Undang No. 22 tahun 1999 Tentang
Pemerintahan Daerah dinyatakan bahwa desentralisasi adalah
penyerahan wewenang pemerintahan kepada Daerah otonom
dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Perbedaan definisi dari ketiga Undang-Undang tersebut di
atas, dapat ditinjau dari makna yang terkandung di dalamnya,
yakni:
1. Menurut Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 pengertian
de-
sentralisasi dititik beratkan kepada penyerahan wewenang
untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, dan
penyerahan tersebut ditujukan kepada Daerah Otonom.
Perumusan seperti ini mengandung makna:
a. Penyerahan wewenang yang dilakukan itu semata-
mata
dipergunakan untuk melaksanakan fungsi pengaturan
dan
pengurusan urusan-urusan pemerintahan; dan
b. Penyerahan tersebut ditujukan kepada daerah otonom.
Ini
berarti daerah otonom memang sudah terbentuk.
2. Menurut Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 Tentang
Pokok-
pokok Pemerintahan Daerah pengertian desentralisasi
dititik beratkan pada penyerahan urusan pemerintahan.
Hal ini berarti sifat dari yang diserahkan itu adalah sempit,
karena menyangkut urusan pemerintahan. Oleh sebab itu
ketika urusan pemerintahan tersebut diserahkan, maka
wewenang dari daerah hanya sebatas pada bidang urusan
pemerintahan yang telah diserahkan tersebut. Pendek kata
wewenang untuk mengatur dan mengurus tersebut hanya
terbatas pada urusan pemerintahan yang telah diserahkan.
Lain dari pada itu, makna dari desentralisasi menurut UU
ini, menggambarkan bahwa ada atau tidaknya daerah
otonom sangat tergantung dari ada atau tidaknya
penyerahan urusan pemerintahan tersebut.
3. Menurut Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 Tentang
Pemerintahan Daerah, pengertian desentralisasi justru
diperluas, karena yang diserahkan adalah wewenang
pemerintahan. Artinya dengan adanya penyerahan
wewenang ini, maka daerah otonom dapat mengatur dan
mengurus urusan pemerintahan apa saja, sehingga
terjadilah perluasan wewenang yang pada akhirnya
karakteristik desentralisasi menurut UU ini menjadi
bercorak federalistis.

Terjadinya perbedaan makna dalam mendefinisikan


pengertian desentralisasi tersebut disebabkan memang dalam
sejarah perjalanan pengorganisasian Sistem Pemerintahan
Negara dalam garis vertikal di Indonesia telah mengalami
perdebatan yang cukup panjang. Ketika tuntutan reformasi
adalah memberikan otonomi luas kepada daerah, maka
rumusan desentralisasi harus dimaknai penyerahan
wewenang pemerintahan yang memungkinkan daerah-daerah
dapat mengatur dan mengurus urusan pemerintahan apa saja.
Alih-alih dari rumusan seperti inilah, maka terjadi otonomi
daerah yang kebablasan dan mengarah kepada konsep negara
federal.
Menurut Hans Kelsen, pengeritian desentralisasi berkaitan
dengan pengertian negara. Menurut Hans Kelsen negara itu
merupakan tatanan hukum (legal order). Oleh seb-tb itu
pengertian desentralisasi menyangkut berlakunya sistem
tatanan hukum dalam suatu negara. Di dalam negara ada
kaidah-kaidah hukum yang berlaku sah untuk seluruh
wilayah negara yang sering disebut sebagai kaidah sentral
(central norm) dan ada pula kaidah-kaidah hukum yang
berlaku sah dalam bagian-bagian wilayah yang berbeda yang
disebut desentral atau kaidah lokal (decentral or local norm).
Jadi menurut Hans Kelsen, apabila kita membicarakan tatanan
hukum yang desentralistik, maka hal ini akan dikaitkan
dengan lingkungan tempat berlakunya suatu tatanan hukum
yang berlaku sah tersebut.184
Pendapat yang dikemukakan oleh Hans Kelsen tersebut,
dalam konteks pemahaman mengenai desentralisasi, masih
terasa lemah. Hal ini disebabkan pendapat tersebut
memunculkan persoalan yaitu siapakah yang mempunyai
wewenang untuk membentuk kaidah-kaidah hukum yang
desentral tersebut? Jika kaidah-kaidah hukum yang desentral
tersebut dibentuk atas kewenangan dari bagian-bagian secara
mandiri, maka hal ini memang bisa dikatakan sebagai norma
yang desentralistik. Sebaliknya, jika ternyata kaidah-kaidah
hukum yang desentral tersebut tetap dibentuk atas
kewenangan pemerintah pusat, sedangkan pemerintah lokal
hanya melaksanakan saja, maka hal ini tentu tidak dapat
dikatakan sebagai norma yang desentralistik. Bahkan bisa
dikatakan sebagai norma yang sentralistik.
Berkaitan dengan argumentasi tersebut, Bagir Manan
mengemukakan bahwa yang disebut desentralisasi adalah
bentuk dari susunan organisasi negara yang terdiri dari
satuan-satuan Pemerintahan Pusatdan satuan pemerintahan
yanglebihrendah yang dibentuk baik berdasarkan teritorial
ataupun fungsi pemerintahan tertentu.185 Pendapat seperti ini
memberikan gambaran kepada kita bahwa yang namanya
desentralisasi berkaitan dengan bentuk dan susunan
organisasi, bukan menyangkut persoalan pemberlakuan
norma hukum. Oleh sebab itu desentralisasi sangat erat
hubungannya dengan bangunan organisasi yang terstruktur
dan berjenjang-jenjang, dimana masing-masing struktur dan
jenjang tersebut diberi kewenangan sendiri untuk menentukan
berbagai aktifitas dan fungsinya masing-masing.
Irawan Soedjito mengatakan bahwa, desentralisasi
memiliki arti sebagai pelimpahan wewenang pemerintahan
untuk dilaksanakan.186 Sedangkan Joeniarto mengatakan
bahwa desentralisasi adalah asas yang bermaksud
184 Bagir Manan, 1994, Hubungan Antara Pusat dan
Daerah Menurut UUD 1945, Sinar Harapan, Jakarta, hlm.
24.
185 Ibid, him. 22.
memberikan wewenang dari pemerintah negara kepada
pemerintah lokal untuk mengatur dan mengurus rumah
tangga sendiri.187

Berdasarkan pengertian-pengertian tersebut di atas, maka


asas desentralisasi pada prinsipnya adalah:
1. penyerahan urusan atau wewenang pemerintahan dari
pemerintah atau pemerintah Lokal tingkat yang lebih atas
kepada daerah untuk menjadi urusan atau wewenang
pemerintahan sendiri;
2. merupakan suatu asas yang bermaksud melakukan
pembagian wilayah negara menjadi daerah besar dan
daerah kecil yang berhak atau berwenang mengatur
urusan pemerintahan (rumah tangga) sendiri;
3. merupakan suatu asas yang bermaksud membentuk
pemerintahan lokal yang berwenang menyelenggarakan
pemerintahan sendiri atas dasar inisiatif atau prakarsanya
masing-masing;
4. merupakan manifestasi bentuk susunan organisasi negara
ditinjau dari bangunannya yang terdiri dari pemerintahan
pusat dan pemerintahan lokal serta dibentuk berdasarkan
aspek teritorial maupun atas dasar fungsi pemerintahan
tertentu.

Berkaitan dengan prinsip-prinsp tersebut, maka dalam


pelaksanaannya, asas desentralisasi mengandung beberapa
kelemahan dan kelebihan, yaitu:
a. Kelemahan:
1. membuka kemungkinan adanya bagian-bagian (daerah/
wilayah) untuk melepaskan diri dari ikatan pemerintah

186 Irawan Soedjito, 1984, Hubungan Pemerintah Pusat


dan Pemerintah Daerah, Bina Aksara, Jakarta, hlm. 20.
187 Joeniarto, 1982, Perkembangan Pemerintahan Lokal
Menurut Peraturan Perundang-undangan Yang Berlaku
Dengan Pelaksanaan di Daerah Propinsi Jawa Tengah dan
Daerah Istimewa Yogyakarta, Alumni, Bandung, hlm. 29.

pusat. Hal ini dapat terjadi apabila garis-garis


kewenangan yang diserahkan kepada daerah tidak secara
tegas dirumuskan.
2. membuka kemungkinan terjadinya ketegangan hubungan
(spanning) antara pemerintah pusat dengan bagian-bagian
(daerah/wilayah), khususnya dalam pembagian
kewenangan dalam mengatur urusan-urusan
pemerintahan;
3. membuka kemungkinan timbulnya ketimpangan pertum-
buhan dan perkembangan diantara masing-masing bagian
(daerah/wilayah), mengingat karakteristik dan
kemampuan masing-masing bagian adalah berbeda;
4. membuka kemungkinan munculnya fanatisme ke-
daerahan.
Kelebihan:
1. memberikan penilaian yang relatif tepat pada sifat yang
berbeda-beda dari wilayah dan penduduk suatu negara;
2. merupakan senjata ampuh untuk memberantas sistem
birokrasi yang bertingkat-tingkat;
3. dalam pelaksanaan prinsip welfare state dapat meringankan
beban pemerintah pusat dalam mengambil kebijaksanaan-
kebijaksanaan yang berdimensi kedaerahan (lokal);
4. daerah termasuk rakyat yang ada di dalamnya menjadi
subyek dalam pengambilan keputusan-keputusan di
tingkat lokal, artinya rakyat masing-masing daerah
merupakan pihak-pihak yang berperan secara aktif dalam
mengambil kebijaksanaan-kebijaksanaan yang sifatnya
kedaerahan;
5. merupakan sarana yang tepat untuk pemenuhan paham
demokrasi dan kebebasan rakyat dalam menentukan
berbagai langkah kebijaksanaan pemerintahan di tingkat
lokal;
6. merupakan sarana yang tepat untuk
mengimplementasikan prinsip negara hukum, khususnya
dalam rangka melakukan pemencaran kekuasaan.
Desentralisasi sebagai suatu asas penyelenggaraan
pemerintahan lokal merupakan salah satu pilar yang
dipergunakan dalam penyelenggaraan sistem
pemerintahan negara yang mempergunakan prinsip negara
hukum yang demokratis. Penggunaan asas desentralisasi
ini di samping bertujuan untuk menyelenggarakan sistem
pemerintahan yang efektif dan efisien juga dilandasi oleh
beberapa latar belakang prinsipiil. Latar belakang perlunya
desentralisasi, khususnya di dalam Negara Kesatuan
adalah sebagai berikut:188
1. Prinsip negara hukum: di dalam negara hukum di
samping mengenal adanya pemisahan kekuasaan, yakni
pemisahan atau pembagian kekuasaan secara horizontal
diantara ketiga cabang kekuasaan di dalam negara
(eksekutif, Legislatif, dan yudikatif), juga dikenal adanya
pemencaran kekuasaan, yakni pendistribusian kekuasaan
menurut garis vertikal. Dengan prinsip inilah maka
desentalisasi merupakan sarana yang tepat untuk
melaksanakan pemencaran kekuasaan.
2. Prinsip Demokrasi: dalam negara demokrasi kebutuhan
akan partisipasi rakyat dalam berbagai aspek
penyelenggaraan pemerintahan sangat dibutuhkan. Oleh
sebab itu keterlibatan rakyat dalam pemerintahan
merupakan suatu keharusan. Berdasarkan prinsip
semacam inilah, maka desentralisasi merupakan sarana
tepat untuk melaksanakan demokratisasi pemerintahan di
tingkat lokal, karena rakyat diberi kesempatan ikut terlibat
dalam pengambilan keputusan-keputusan politik sesuai
dengan kehendak dan kebutuhan rakyat di tingkatan
lokal.
3. Prinsip Welfare State: dalam negara kesejahteraan, fungsi
negara adalah sebagai pelayan masyarakat (public services)
untuk mewujudkan kesejahteraan umum warganya. Fungsi

188 Bagir Manan, 1989, Pemerintahan Daerah Bagian 1, Bahan


Penataran Administrative and Organization Planning Kerja
semacam ini tentu tidak dapat berjalan dengan baik jika pe-
laksanaannya dilakukan secara sentralistik. Hal ini mengingat
kebutuhan masyarakat di masing-masing bagian atau daerah
jelas berbeda-beda sesuai dengan karakteristiknya masing-
masing. Dengan demikian dalam prinsip welfare state, asas
desentralsasi merupakan sarana yang tepat untuk
menyelenggarakan pelayanan kepada masyarakat sesuai
dengan karakteristik kebutuhan di tingkat lokal. Dengan kata
lain desentralisasi dalam prinsip welfare state merupakan
sarana untuk mendekatkan pelayanan kepada masyarakat
yang dilakukan oleh negara. 4. Prinsip Kebhinekaan: dalam
negara yang komposisi masyarakatnya demikian beragam,
tidaklah mungkin untuk melakukan penyeragaman
(uniformitas) kebijaksanaan dan keputusan-keputusan politik.
Karakteristik dan kehendak masing-masing daerah yang
berbeda-beda haruslah menjadi bahan pertimbangan utama.
Dengan demikian, asas desentralisasi dalam perspektif
kebhinekaan merupakan sarana yang tepat untuk
menampung keanekaragaman masyarakat.

Berdasarkan prinsip-prinsip latar belakang tersebut di


atas, maka secara konseptual teoritis dikenal adanya bentuk-
bentuk desentralisasi sebagai berikut:189
a. Desentralisasi Teritorial, yakni penyerahanurusan
pemerintahan
atau pelimpahan wewenang untuk menyelenggarakan
suatu
urusan pemerintahan dari pemerintah pusat/daerah
tingkat
yang lebih atas kepada badan-badan yang bersifat
kewilayahan
(teritorial). Desentralisasi semacam ini menjelma dalam
bentuk
badan-badan yang berdasarkan aspek kewilayahan,
contohnya
Pasal 18, Pasal 18 A UUD 1945.
b. Desentralisasi Fungsional, yakni penyerahan urusan-
urusan pemerintahan atau pelimpahan wewenang untuk
menyelenggarakan suatu urusan pemerintahan dari
pemerintah
pusat atau daerah tingkat yang lebih atas kepada badan-

189 Bagir Manan, Hubungan. ...,Op.cit, hlm. 20-24.


badan
fungsional tertentu. Desentralisasi semacam ini menjelma

dalam bentuk badan-badan berdasarkan pada tujuan-tujuan


tertentu, misalnya Subak di Bali.
Desentralisasi Politik, yakni pelimpahan wewenang dari
pemerintah yang menimbulkan hak mengurus kepentingan
rumah tangga sendiri dari badan-badan politik di daerah-
daerah yang dipilih rakyat dalam daerah-daerah tertentu.
Pengertian ini sama dengan pengertian desentralisasi
teritorial, karena di dasarkan pada sifat kedaerahan sebagai
salah satu unsurnya.
Desentralisasi Kebudayaan, yaitu memberikan hak kepada
golongan-golongan kecil dalam masyarakat (minoritas) untuk
menyelenggarakan kebudayaan sendiri seperti mengatur
pendidikan, agama dan lain sebagainya. Dalam kebanyakan
negara kewenangan ini diberikan pada kedutaan asing demi
pendidikan warga negara masing-masing negara dari
kedutaan yang bersangkutan. Dengan demikian sebenarnya
desentralisasi yang seperti ini bukan merupakan bentuk
penyelenggaraan pemerintahan lokal. Dalam konteks
Indonesia, desentralisasi ini nampak dalam ketentuan Pasal 18
B UUD 1945 yang menyatakan:
(1) Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan
pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat
istimewa yang diatur dengan undang-undang.
(2) Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan
masyarakat adat beserta hak-hak tradisionilnya sepanjang
masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat
dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang
diatur dalam undang-undang.
Desentralisasi Administratif, yaitu pemerintah melimpahkan
sebagian kewenangannya kepada alat-alat perlengkapan atau
organ-organ pemerinahan sendiri di daerah, yakni pejabat-
pejabat pemerintah yang ada di daerah untuk dilaksanakan.
Pengertian semacam ini nampak tidak membedakan antara
desentralisasi dengan dekonsentrasi.
300

Sebagai suatu asas yang bermaksud untuk melakukan pe-


nyerahan urusan-urusan pemerintahan atau penyerahan
wewenang untuk mengurus urusan-urusan pemerintahan,
maka dalam implementasinya dikenal adanya dua tipe
penyerahan, yaitu:
1. Penyerahan Penuh, yaitu baik tentang asas-asasnya
(prinsip-prinsipnya) maupun tentang cara menjalankan
kewajiban (pekerjaan) yang diserahkan itu, diserahkan
semua kepada daerah sebagai hak otonom;
2. Penyerahan Tidak Penuh, yaitu penyerahan hanya
mengenai cara-cara menjalankan saja, sedangkan mengenai
prinsip-prinsip (asas-asasnya) ditetapkan oleh Pemerintah
Pusat sendiri. Tipe seperti ini disebut juga sebagai asas
Tugas Pembantuan (medebewind).1S°

Dengan adanya dua tipe penyarahan urusan atau


wewenang pemerintahan tersebut, maka di dalam asas
desentralisasi di samping mengakibatkan adanya hak otonomi
bagi suatu daerah, juga menimbulkan hak medebewind. Dalam
hal ini Bagir Manan mengemukakan:
"Hak medebewind itu hendaknya jangan diartikan
sempit, yaitu hanya menjalankan perintah dari atasan saja,
sekali-kali tidak, oleh karena Pemerintah Daerah berhak
mengatur caranya menjalankan menurut pendapat sendiri,
jadi masih mempunyai hak otonomi, sekalipun hanya
mengenai cara menjalankan saja, tetapi cara menjalankan
ini bisa besar artinya bagi setiap daerah".191

Berdasarkan argumentasi tersebut, maka dapat ditarik ke-


simpulan bahwa medebewind merupakan aspek dari
desentralisasi atau otonomi, walaupun tidak penuh. Bukti
kalau medebewind ini merupakan aspek desentralisasi atau
otonomi daerah, dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 10 ayat
(2) UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah yang
menyatakan bahwa dalam menyelenggarakan urusan
pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah sebagaimana
190 Bagir Manan, Perjalanan
Historis....,Op.cit, hlm. 55-56.
dimaksud pada ayat (1), pemerintahan daerah menjalankan
otonomi seluas-luasnya untuk mengatur dan mengurus
sendiri urusan pemerintahan berdasarkan asas otonomi dan
tugas pembantuan. Ketentuan ini memberikan isyarat bahwa
antara asas otonomi di satu pihak dengan asas tugas
pembantuan dipihak yang lain merupakan dua asas yang
dipergunakan oleh pemerintah daerah ketika
menyelenggarakan urusan pemerintahan. Dengan demikian,
pembedaan antara asas otonomi dan asas tugas pembantuan,
hanya terletak pada asal muasal penyelenggaraan urusan
pemerintahan tersebut. Jika otonomi berasal dari wewenang
daerah itu sendiri, sedangkan tugas pembantuan berasal dari
penugasan oleh Pemerintah Pusat atau daerah tingkat atasnya.

Lain daripada itu, asas tugas pembantuan (medebewind) ini


termasuk dalam ranah asas desentralisasi juga, karena asas ini
sebenarnya dipergunakan untuk melakukan uji coba kesiapan
daerah unuk menyelenggarakan urusan pemerintahan secara
penuh (menjadi hak otonomi secara penuh). Argumentasi
seperti ini, secara yuridis memperoleh penguatan dari
Ketentuan Pasal 17 PP No. 38 Tahun 2007 Tentang Pembagian
Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintah Daerah
Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota, yang menyatakan:
(1) Urusan Pemerintahan selain yang dimaksud dalam Pasal 2
ayat (2)192 yang penyelenggaraannya oleh Pemerintah di-
tugaskan penyelenggaraannya kepada pemerintahan
daerah berdasarkan asas tugas pembantuan, secara
bertahap dapat diserahkan untuk menjadi urusan
pemerintahan daerah yang bersangkutan apabila
pemerintahan daerah telah menunjukkan kemampuan
untuk memenuhi norma, standar, prosedur, dan kriteria
yang dipersyaratkan.

192 Urusan pemerintahan yang dimaksud meliputi politik


luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan
fiscal nasional, serta agama.
(2) Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan provinsi
yang penyelenggaraannya ditugaskan kepada
pemerintahan

daerah kabupeten/kota berdasarkan asas tugas pembantuan,


secara bertahap dapat diserahkan untuk menjadi urusan
pemerintahan kabupaten/kota yang bersangkutan apabila
pemerintahan daerah kabupaten/kota telah menunjukkan
kemampuan untuk memenuhi norma standar, prosedur, dan
kriteria yang dipersyaratkan.

(3) Penyerahan urusan pemerintahan sebagaimana diatur


pada ayat (1) dan ayat (2) disertai dengan perangkat
daerah, pembiayaan, dan sarana atau prasarana yang
diperlukan.
(4) Penyerahan urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (2) diprioritaskan bagi urusan
pemerintahan yang berdampak lokal dan/atau lebih
berhasilguna serta berdayaguna apabila
penyelenggaraannya diserahkan kepada pemerintahan
daerah yang bersangkutan.

Berdasarkan pada ketentuan pasal tersebut di atas, maka


dapat dipahami bahwa jikalau daerah yang menerima urusan
pemerintahan berdasarkan asas tugas pembantuan telah
memenuhi norma standar, prosedur, dan kriteria yang
dipersyaratkan, maka ada kemungkinan urusan pemerintahan
tersebut akan diserahkan secara penuh sebagai hak otonomi.

3. Asas Dekonsentrasi.
Asas dekonsentrasi pada hakikatnya merupakan bentuk
penghalusan dari asas sentralisasi. Dikatakan demikian,
karena di dalam penyelenggaraanya peran dan kedudukan
pemerintah pusat masih sangat mendominasi dalam
menentukan asas-asas (prinsip-prinsip) maupun cara
penyelenggaraan urusan pemerintahan di tingkat daerah.
Dalam pelaksanaan asas dekonsentrasi pemerintah pusat
menempatkan pq'abat-pejabatnya di daerah untuk menye-
lenggarakan urusan pemerintahan pusat. Dengan demikian, di
dalam asas dekonsentrasi ini yang ditekankan adalah aspek
pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat kepada pejabat-
pejabat pemerintah pusat yang bertindak sebagai wakil dan di
tempatkan di daerah.
Menurut undang-undang tentang Pemerintahan Daerah
yang pernah dan sedang berlaku di Indonesia, asas
dekonsentrasi mengalami perubahan konseptual yang cukup
signifikan. Di dalam Pasal 1 huruf f UU No. 5 Tahun 1974
Tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah dinyatakan
bahwa dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang dari
Pemerintah atau Kepala Wilayah atau Kepala Instansi Vertikal
tingkat atasnya kepada pejabat-pejabatnya di daerah.
Ketentuan seperti ini berbeda dengan ketentuan yang
dirumuskan oleh undang-undang setelah reformasi, yaitu:
a. Pasal 1 huruf f UU No. 22 Tahun 1999 Tentang
Pemerintahan
Daerah, menegaskan bahwa dekonsentrasi adalah
pelimpahan
wewenang dari Pemerintah kepada Gubernur sebagai
wakil
Pemerintah dan/atau perangkat pusat di daerah.
b. Pasal 1 angka 8 UU No. 32 Tahun 2004 Tentang
Pemerintahan
Daerah, menegaskan bahwa dekonsentrasi adalah
pelimpahan
wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada
Gubernur
sebagai wakil pemerintah dan/atau kepada instansi
vertikal di
wilayah tertentu.

Memperhatikan ketentuan-ketentuan tersebut di atas,


maka makna asas dekonsentrasi dari ketiga undang-undang
tersebut mengandung perbedaan yang prinsipiil, yaitu:
1. Di dalam UU No. 22 Tahun 1999 dan UU No. 32 Tahun
2004, asas dekonsentrasi hanya diletakkan pada diri
Gubernur sebagai wakli pemerintah pusat dan/atau
perangkat pusat di daerah (instansi vertikal di wilayah
tertentu). Sedangkan UU No. 5 Tahun 1974 diletakkan
dalam diri pejabat-pejabat dari pemerintah atau kepala
instansi vertikal tingkat atasnya di daerah. Pejabat-pejabat
yang dimaksud oleh UU No. 5 Tahun 1974 tidak ditunjuk
secara definitif. Hal ini berarti seluruh pejabat yang ada di
daerah, seperti Gubernur, Bupati dan Walikota, bisa saja
dikategorikan sebagai wakil pemerintah pusat.

2. Di dalam UU No. 22 Tahun 1999 dan UU No. 32 Tahun 2004


luas cakupan asas dekonsentrasi dipersempit hanya di
tingkat Provinsi. Itupun hanya ada dalam diri gubernur
sebagai wakil pemerintah pusat serta kepala-kepala
instansi vertikal (perangkat Departemen). Sedangkan UU
no. 5 Tahun 1974 cakupan asas dekonsentrasi sangat luas,
yakni dilaksanakan juga di lingkungan Daerah Tingkat I
(Provinsi) dan Daerah Tingkat II (Kabupaten/Kota).

Ditinjau dari pengertian dan makna yang terkandung di


dalamnya, maka pada hakikatnya asas dekonsentrasi, adalah:
a. Merupakan manifestasi dari penyelenggaraan
Pemerintahan
Negara yang mempergunakan asas sentralisasi yang diper-
sempit atau diperhalus.
b. Merupakan manifestasi pelimpahan wewenang
pemerintahan
dari pemerintah kepada pejabat-pejabatnya di daerah.
c. Merupakan manifestasi penyelenggaraan tata laksanana
pemerintahan umum pusat di daerah;
d. Dalam pelaksanaannya, asas dekonsentrasi tidak
mengakibat-
kan adanya kewenangan dari suatu daerah atau organ
Pemerintahan untuk menentukan sendiri kebijaksanaan-
kebijaksanaan, atau dengan kata lain tidak memiliki
otonomi.
Kewenangan, pendanaan, sarana dan prasarana, serta arah
kebijakan untuk pelaksanaannya ditentukan semuanya
oleh
Pemerintah Pusat, sedangkan pejabat-pejabat yang
dimaksud
hanya melaksanakan perintah.

Pada zaman Orde Baru, melalui UU No. 5 Tahun 1974


pelaksanaan asas dekonsentrasi dilakukan secara bersama-
sama dengan asas desentralisasi. Dengan mempergunakan
konsep seperti ini, maka UU tersebut berwatak sentralistik,
sehingga otonomi daerah tidak dapat berjalan dengan baik,
bahkan bisa dikatakan tidak ada otonomi daerah. Mengapa
demikian? Hal ini disebabkan antara kedua asas tersebut jika
diletakkan secara bersama-sama dalam konteks
penyelenggaraan pemerintahan daerah akan berakibat
terjadinya tarik menarik yang pada akhirnya kan
mempengaruhi luas cakupan otonomi daerah itu sendiri.
Jika tarikan dekonsentrasi menguat, dimana daerah
dan/atau pejabat-pejabat di daerah hanya bertindak sebagai
alat pemerintah pusat demi melaksanakan asas dekonsentrasi,
sehingga hanya melaksanakan kebijakan dan arahan dari
pemerintah pusat atas dasar perintah, maka asas desentralisasi
akan melemah, sehingga mengakibatkan otonomi daerah akan
menyempit.
Sebaliknya jika tarikan desentralisasi menguat, dimana
daerah dan/atau pejabat lebih dominan melaksanakan
urusan-urusan pemerintahan yang telah diserahkan untuk
diatur dan diurus sebagai urusan rumah tangga sendiri, maka
asas dekonsentrasi akan melemah, sehingga mengakibatkan
otonomi daerah semakin menguat dan luas.
Dalam prektek penyelenggaraan pemerintahan lokal di
bawah UU No. 5 Tahun 1974 ternyata konsepsi yang dibangun
adalah memperkuat atau memperbesar tarikan dekonsentrasi.
Oleh sebab itulah semasa pemberlakuan undang-undang ini di
era Orde Baru, otonomi daerah tidak dapat berjalan dengan
baik, bahkan penyelenggaraan pemerintahan dalam arti luas
menjadi sentralistik. Konsepsi-konsepsi yuridis yang
bernafaskan sentralistik tersebut nampak dari:
a. Kedudukan Kepala Daerah disemua tingkatan (Dati I dan
Dati
II) sekaligus sebagai Kepala Wilayah yang dianggap
sebagai
penguasa tunggal. Konsepsi semacam ini jelas
memperlemah
posisi DPRD dalam melakukan kontrol terhadap eksekutif
di
tingkat lokal;
b. Dalam mekanisme pemilihan Kepala Daerah (Dati I atau
Dati
II) peran DPRD hanya sebatas mengusulkan nama-nama
calon
Kepala Daerah kepada pemerintah. Kemudian dari nama-
nama
calon inilah, penentuan akhir ada di tangan peifierintah;
c. Mekanisme pertanggungjawaban yang dilakukan oleh
Kepala
Daerah/Kepala Wilayah pada hakikatnya tidak ditujukan
kepada DPRD sebagai lembaga representasi rakyat. Akan
tetapi dilakukan dengan pola hirarkhis dan berjenjang. Ini
berarti akuntabilitas publik dari pelaksanaan
pemerintahan lokal sangat tergantung dari kepentingan
politik dari pemerintah, bukan berdasarkan aspirasi rakyat
daerah melalui wakil-wakilnya di DPRD.
Pertanggungjawaban semacam ini disebut integrated
prefectoral system, yaitu suatu model pertanggungjawaban
tunggal dari Kepala Wilayah dan garis komando yang
tidak terputus dari atas ke bawah.193

Berpijak dari kelemahan-kelemahan substansiil dan karena


adanya tuntutan demokrasi, maka UU No. 5 Tahun 1974
diubah oleh UU No. 22 Tahun 1999 yang selanjutnya diubah
lagi oleh UU No. 32 Tahun 2004. Perubahan dari UU No. 22
Tahun 1999 menjadi UU No. 32 Tahun 2004 dilatar belakangi
oleh kelemahan UU No. 22 Tahun 1999 yang lebih mengarah
kepada corak federalistis dan dianggap membahayakan
integrasi Negara Kesatuan Republik Indonesia.

4. Asas Madebewind
Secara sepintas asas medebewind ini telah penulis
kemukakan ketika menyampaikan asas desentralisasi. Namun
demikian untuk lebih memperkuat pemahaman, maka disini
akan penulis ulas kembali mengenai asas medebewind tersebut.
Ketika sistem Pemerintahan Lokal di Indonesia
mempergunakan UU No. 5 Tahun 1974, pengertian asas
medebewind (Tugas Pembantuan) tercantum dalam Pasal 1
huruf d yang menyatakan bahwa tugas pembantuan adalah
tugas untuk turut serta dalam melaksanakan urusan
pemerintahan yang ditugaskan kepada Pemerintahan Daerah
oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah tingkat atasnya,
dengan kewajiban mempertanggungjawabkan kepada yang
menugaskan.
Sementara itu menurut Pasal 1 huruf g UU No. 22 Tahun
1999, tugas pembantuan adalah penugasan dari Pemerintah
193 Bhenyamin Hoessein, dalam Syamsudin Haris dan Riza
Sihbudi (ed), 1995, Menelaah Kembali Format Politik Orde
Baru, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hlm. 60-61.
kepada
Daerah dan Desa ilari dari Daerah ke Desa untuk
melaksanakan tugas tertentu yang disertai pembiayaan, sarana
dan prasarana serta sumberdaya manusia dengan kewajiban
melaporkan pelaksanaannya dan mempertanggungjawabkan
kepada yang menugaskan. Sedangkan menurut Pasal 1 angka
9 UU No. 32 Tahun 2004, dinyatakan bahwa tugas
pembantuan adalah penugasan dari Pemerintah kepada
daerah dan/atau desa dari pemerintah provinsi kepada
kabupaten/kota dan/atau desa serta dari pemerintah
kabupaten/kota kepada desa untuk melaksanakan tugas
tertentu.
Dari ketiga UU tersebut, dapat dapat ditarik kesimpulan
bahwa di dalam pengertian tugas pembantuan tersebut yang
masih menyertakan adanya kewajiban untuk
mempertanggung jawabkan kepada pihak yang menugaskan
adalah UU No. 5 Tahun 1974 dan UU No. 22 tahun 1999,
sedangkan UU No. 32 Tahun 2004 sudah tidak menyertakan
lagi aspek pertanggungjawaban dalam merumuskan
pengertian tugas pembantuan. Undang-undang yang terakhir
ini tidak menyertakan aspek pertanggungjawaban dalam
merumuskan pengertian tugas pembantuan karena, asas ini
sebenarnya merupakan langkah uji coba untuk melakukan
penyerahan secara penuh urusan-urusan pemerintahan
sebagaimana diatur dalam Pasal 17 PP No. 38 Tahun 2007
Tentang Pembagian Urusan pemerintahan Antara Pemerintah,
Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah
kabupaten/Kota. Pasal ini menyatakan:
(1) Urusan pemerintahan sebagaimana yang dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (2) yang penyelenggaraannya
ditugaskan oleh Pemerintah ditugaskan
penyelenggaraannya kepada Pemerintahan Daerah
berdasakan asas tugas pembantuan, secara bertahap
dapat diserahkan untuk menjadi urusan pemerintahan
daerah yang bersangkutan apabila pemerintah daerah
telah menunjukkan kemampuan untuk memenuhi
norma, standar, prosedur, dan kriteria yang
dipersyaratkan.

(2) Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan


provinsi yang penyelenggaraannya ditugaskan kepada
pemerinatah daerah kabupaten/kota berdasarkan asas
tugas pembantuan, secara bertahap dapat diserahkan
untuk menjadi urusan pemerintahan kabupaten/kota
yang bersangkutan apabila pemerintah daerah
kabupaten/kota telah menunjukkan kemampuan
untuk memenuhi norma, standar, prosedur, dan
kriteria yang dipersyaratkan.
(3) Penyerahan pemerintahan sebagimana diatur pada
ayat (1) dan ayat (2) disertai dengan perangkat daerah,
pembiayaan, dan sarana atau prasarana yang
diperlukan.
(4) Penyerahan urusan pemerintahan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diprioritaskan bagi
urusan pemerintahan yang berdampak lokal dan/atau
lebih berhasilguna dan berdayaguna apabila
penyelenggaraannya diserahkan kepada pemerintah
daerah yang bersangkutan.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyerahan
urusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
(2) diatur dengan Paraturan Presiden.

Ketentuan tersebut di atas menunjukkan sekali lagi bahwa


asas medebewind (tugas pembantuan) merupakan bentuk
desentralisasi atau otonomi tidak penuh. Asas ini diperlukan
untuk sarana uji coba kesiapan bagi pemerintah daerah dalam
menyelenggarakan urusan pemerintahan sendiri.

Oleh sebab itu sebenarnya kebijaksanaan pemekaran


daerah yang sering menimbulkan konflik di tingkat
masyarakat dapat dilakukan dengan mempergunakan asas ini
terlebih dahulu. Namun dalam praktek sekarang ini, justru
pemekaran daerah tidak dilalui dengan langkah uji coba
melalui asas medebewind, sehingga secara empiris daerah-
daerah hasil pemekaran itu tidak menunjukkan kesiapan
untuk melaksanakan otonomi penuh. Pemekaran daerah lebih
kental nuansa kepentingan politiknya.

D. Sistem Rumah Tangga Daerah.


Sistem rumah tangga daerah adalah tatanan yang
bersangkutan dengan cara-cara membagi wewenang, tugas
dan tanggung jawab mengatur dan mengurus urusan
pemerintahan antara pusat dan daerah. Salah satu penjelmaan
pembagian tersebut, daerah-daerah akan memiliki sejumlah
urusan pemerintahan baik itu atas dasar penyerahan atau
pengakuan atau yang dibiarkan sebagai urusan rumah tangga
daerah.194 Dalam penyelenggaraan pemerintahan lokal dikenal
adanya tiga sistem rumah tangga daerah, yaitu: sistem rumah
tangga materiil, sistem rumah tangga formil, dan sistem
rumah tangga nyata (riil).
Ketiga sistem rumah tangga tersebut menimbulkan
konsekuensi yang berbeda-beda bagi pelaksanaan penyerahan
urusan (wewenang) pemerintahan. Untuk itu di bawah ini
akan penulis kemukakan secara singkat prinsip-prinsip dari
ketiga sistem rumah tangga daerah tersebut.

1. Sistem Rumah Tangga Materiil.


Pada hakikatnya sistem rumah tangga ini berpijak dari isi
atau subtansi (materi) dari urusan atau wewenang
pemerintahan yang dapat diserahkan kepada daerah. Secara
singkat sistem rumah tangga materiil ini mengandung sifat-
sifat sebagai berikut:
a. Isi atau urusan rumah tangga daerah yang merupakan
wewenang dari pemerintahan lokal telah ditentukan
secara
tegas;
b. Ada pembagian wewenang, tugas dan tanggung jawab
yang
rinci antara pusat dan daerah;
c. Secara kodrati antara wewenang pemerintah pusat dan
wewenang pemerintah daerah sudah dapat dipisahkan;
d. Daerah berhak mengatur dan mengurus urusan
pemerintahan
sebagai urusan rumah tangga sendiri apabila urusan
tersebut
194 Bagir Manan, Hubungan... .,Op.cit, hlm. 21.
telah diserahkan kepada daerah. Penyerahan tersebut
harus

berdasarkan pada prinsip pembedaan urusan pemerintahan


antara pusat dan daerah; e. Sistem rumah tangga ini
berpangkal tolak dari asumsi bahwa memang ada pembedaan
yang mendasar antara urusan pemerintahan pusat dan urusan
pemerintahan daerah. Artinya daerah tidak berhak
menyelenggarakan kewenangan untuk mengatur dan
mengurus urusan pemerintahan, jikalau urusan tersebut
merupakan urusan pusat.

Dari sifat-sifat seperti ini, maka kelebihan dari sistem


rumah tangga materiil adalah:
1. Ada kepastian mengenai jenis dan jumlah urusan
pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintah
daerah untuk diatur dan diurus sebagai urusan rumah
tangga sendiri.
2. Daerah dapat dengan segera melaksanakan otonominya,
karena adanya kepastian urusan pemerintahan yang
diserahkan dan menjadi wewenang untuk diatur dan
diurus sebagai urusan rumah tangga sendiri.
3. kemungkinan terjadinya duplikasi dan tumpang tindih
pengaturan dan pengurusan urusan pemerintahan antara
pusat dan daerah dapat dihindari.

Namun demikian, sistem ini juga mengandung


kelemahan-kelemahan yang cukup mendasar. Kelemahan-
kelemahan tersebut antara lain:195
a. Sistem rumah tangga meteriil (driekringenleer) bertitik tolak
dari asumsi yang keliru. Seolah-olah urusan pemerintahan
itu
dapat diketahui jumlah dan dapat dipilah-pilah secara
pasti
pula antara urusan pusat dan urusan daerah;
b. Mudah menimbulkan spanning hubungan antara pusat
dan
daerah, karena kemungkinan daerah banyak menuntut
agar
195 Bagir Manan, dalam B. Hestu Cipto Handoyo, 1998,
Otonomi Daerah, Titik Berat Otonomi dan Urusan Rumah
Tangga Daerah, Univ.Atma Jaya, Yogyakarta, hlm. 5.
urusan pemerintahan tertentu diserahkan kepadanya;

c. Tidak fleksibel sehingga perkembangan desentralisasi


tidak
dapat berjalan sesuai dengan perkembangan daerah.
Daerah
serba tergantung pada kehendak dan kecenderungan-ke-
cenderungan yang ada di pusat;
d. Tidak mendorong insiatif dan kreatifitas daerah dalam
mengembangkan pelayanan terhadap masyarakat, karena
dibatasi oleh urusan-urusan yang telah diserahkan saja.

2. Sistem Rumah Tangga Formil.


Sistem rumah tangga formil berpangkal tolak dari asumsi
bahwa antara urusan atau wewenang pemerintahan pusat dan
daerah tidak ada perbedaan yang substansiil. Oleh sebab itu
ciri-ciri dari sistem rumah tangga ini, adalah:
a. Merupakan bentuk penyempurnaan dari sistem rumah
tangga
materiil;
b. Tidak ada perbedaan antara urusan pusat dan urusan
daerah;
c. Daerah dapat mengatur dan mengurus urusan
pemerintahan
tanpa harus menunggu adanya penyerahan;
d. Penyerahan urusan pemerintahan harus dilaksanakan
secara
formal melalui UU desentralisasi.196

Menurut Sujamto, dalam sistem rumah tangga formil,


urusan-urusan yang termasuk ke dalam urusan rumah tangga
daerah tidak apriori harus ditetapkan dengan undang-undang.
Lebih lanjut dikatakan bahwa daerah boleh mengatur dan
mengurus segala sesuatu yang dianggap penting bagi
daerahnya asal tidak memasuki hal-hal atau urusan-urusan
yang telah diatur dan diurus oleh Pemerintah Pusat atau
Daerah yang lebih tinggi tingkatannya. Jadi pembatasan
terhadap urusan rumah tangga daerah menurut sistem rumah
tangga formil terletak pada tingkatan derajad yang
mengaturnya.197
196 Moh. Kusnardi & Harmaily Ibrahim, 1982, Pengantar
Hukum Tata Negara Indonesia, Pusat Studi HTN-UI,
Jakarta, hlm 254-255.
197 Sujamto, 1984, Otonomi Daerah Yang Nyata dan
Bertanggungjawab, Ghalia Indonesia, Jakarta, hlm. 98.

Terkait dengan argumentasi di atas, Bagir Manan


mengemukakan bahwa menurut sistem rumah tangga formil
isi rumah tangga daerah tidak diberikan (toekennen) tetapi
sesuatu yang dibiarkan tumbuh (toelaten) atau diberi
pengakuan (erkennen).A9a
Dengan demikian dalam sistem rumah tangga formil,
penentuan isi rumah tangga daerah tidak di dasarkan pada
jenis dari urusan tersebut, akan tetapi di dasarkan pada
derajad atau tingkat pengaturan serta kemanfaatan dari
urusan pemerintahan tersebut. Pendek kata, pembagian
wewenang, tugas dan tanggung jawab untuk mengatur dan
mengurus urusan pemerintahan antara pusat dan daerah
semata-mata di dasarkan pada keyakinan bahwa suatu urusan
pemerintahan itu akan lebih baik dan lebih berhasil kalau
dilakukan oleh satuan pemerintahan tertentu. Begitu pula
sebaliknya.199
Menurut Bagir Manan, ditinjau dari perspektif hubungan
antara pusat dan daerah, sepintas sistem rumah tangga formil
memberikan peluang kuatnya desentralisasi dan kuatnya
otonomi. Namun dalam kenyatannya tidaklah demikian.
Sistem rumah tangga formil merupakan sarana yang baik
untuk mendukung sentralisasi. Ketidak pastian urusan rumah
tangga daerah, akan menjelmakan daerah yang serba
menunggu dan tergantung dari pusat.200
Terkait dengan pandangan tersebut di atas, menurut
hemat penulis penerapan sistem rumah tangga formil ini
menimbulkan hambatan-hambatan sebagai berikut:
a. Kriteria atau parameter kewenangan Pemerintah Daerah
belum dapat ditentukan secara jelas dan tegas. Hal ini
mengingat penyerahan suatu wewenang untuk mengatur
dan mengurus urusan pemerintahan sebagai urusan
rumah tangga sendiri bagi daerah hanya bertitik tolak dari
aspek kemanfaatan dan derajad pengaturannya;

198 Bagir Manan, dalam B. Hestu Cipto


Handoyo, Op.cit, hlm. 21.
199 Ibid, him. 22.
200 Ibid.

b. Karakterstik dan keadaan daerah tidak menjadi dasar bagi


penyerahan urusan pemerintahan, sehingga membuka ke-
mungkinan terjadinya salah sasaran yang justru akan
menyimpang dari segi kemanfaatan bagi daerah;
c. Daerah dihadapkan pada suatu ketidakpastian apakah
suatu
urusan pemerintahan yang sedang diselenggarakan itu
menyangkut urusan rumah tangga sendiri ataukah belum.
Kalau toh sudah diketahui, itupun hanya sebatas pada
pembatasan-pembatasan sebagaimana diatur dalam UU
desentralisasi;
d. Pola penyerahan urusan pemerintahan untuk menjadi
wewenang pemerintah daerah tidak jelas, apakah
penyerahan
langsung ataukah penyerahan tidak langsung.
e. Secara politis, penyerahan urusan pemerintahan kepada
Daerah hanya tergantung dari Pemerintah Pusat atau
Daerah
tingkat yang lebih atas. Hal ini mengingat dalam sistem
rumah
tangga daerah yang lebih menekankan pada aspek
prakarsa
dan kreatifitas daerah pada hakikatnya sangat
dipengaruhi
oleh budaya politik yang berkembang di suatu negara.

Penerapan sistem rumah tangga daerah dalam rangka


menentukan cara pembagian urusan pemerintahan antara
pusat dan daerah sangat dipengaruhi oleh budaya otonomi.
Sedangkan budaya otonomi ini memiliki korelasi dengan
budaya politik. Salah satu budaya politik yang dikenal paling
rendah tingkatannya adalah budaya politik kaula.
Sehubungan dengan hal ini, Rusadi Kantaprawira menge-
mukakan bahwa manifestasi budaya politik kaula nampak
dalam posisi masyarakat yang menganggap dirinya sebagai
kaula, sehingga mereka hanya pasif terhadap kebijaksanaan
dan keputusan para pemegang jabatan dalam masyarakat.
Segala putusan yang diambil oleh pemeran politik dianggap
sesuatu yang tidak dapat diubah. Oleh sebab itu tiada jalan
lain baginya kecuali menerima, patuh, loyal serta mengikuti
segala instruksi dan anjuran para pemimpin (politik)nya.
Budaya politik yang
demikian ini dapat dipertimbangkan sebagai akibat pengaruh
status koloni, penjajahan dan corak diktatur/otiriter. 201
Jika gambaran sebagaimana dikemukakan oleh Rusadi
kantaprawira tersebut dikaitkan dengan pelaksanaan sistem
rumah tangga formal, maka yang namanya budaya politik
kaula jelas tidak akan mendukung inisiatif dan kreatifitas bagi
masyarakat atau institusi (lembaga) yang ada di dalam
masyarakat. Kondisi semacam ini jelas bertolak belakang
dengan prasyarat bagi pelaksanaan sistem rumah tangga
formil yang mengedepankan inisiatif dan kreatifitas daerah
yang tinggi. Inilah kelemahan substansiil yang terkandung di
dalam sistem rumah tangga formil jika akan diterapkan dalam
kerangka sistem politik pemerintahan lokal di negara yang
pernah mempergunakan langgam otoritarian seperti
Indonesia.

3. Sistem Rumah Tangga Nyata (Riil).


Sistem rumah tangga nyata (riil) merupakan bentuk
penyempurnaan dari kedua sistem rumah tangga terdahulu.
Disebut nyata karena isi kewenangan pemerintahan bagi
daerah di dasarkan pada keadaan atau faktor-faktor nyata
yang ada di suatu daerah. Koesoemahatmadja mengatakan
bahwa bagaimanapun juga sistem rumah tangga riil itu
mengandung unsur-unsur dari sistem rumah tangga materiil
dan sistem rumah tangga formil. Jadi merupakan jalan tengah
atau campuran antara kedua sistem tersebut, sehingga
bagaimanapun juga merupakan sistem tersendiri.202
Menurut Bagir Manan berdasarkan ciri-ciri yang ada
tidaklah berlebihan jikalau dikatakan bahwa rumah tangga
nyata memang mencerminkan sistem tersendiri yang berbeda
dengan sistem rumah tangga formil dan sistem rumah tangga
materiil. Lebih lanjut dikatakan bahwa ciri-ciri sistem rumah
tangga riil, adalah:

201 Rusadi Kantaprawira, 1983, Sistem Politik Indonesia


Suatu Model Pengantar, Sinar Baru, Bandung, hlm. 22-34.
202 Koesoemahamadja, dalam B. Hestu Cipto Handoyo,
Op.cit, hlm. 23.

a. Adanya urusan pangkal yang ditetapkan pada saat pem-


bentukan suatu daerah otonom, memberikan kepastian
mengenai urusan tangga daerah. Hal semacam ini tidak
mungkin terjadi pada sistem rumah tangga formil.
b. Di samping urusan rumah tangga yang ditetapkan secara
materiil, Daerah-daerah dalam rumah tangga nyata, dapat
mengatur dan mengurus pula semua urusan
pemerintahan
bagi daerahnya sepanjang belum diatur dan diurus oleh
pusat
atau daerah tingkat lebih atas.
c. Otonomi dalam rumah tangga nyata di dasarkan kepada
faktor-faktor nyata suatu daerah. Hal ini memungkinkan
perbedaan isi dan jenis urusan rumah tangga daerah
sesuai
dengan keadaan masing-masing.203

Dari pandangan tersebut dapat dipahami bahwa sistem


rumah tangga nyata mengandung unsur sistem rumah tangga
materiil dan sistem rumah tangga formil. Unsur rumah tangga
formil tercermin dari adanya kebebasan daerah dalam
mengatur segala sesuatu yang berkaitan dengan urusan
pemerintahan yang dianggap penting bagi daerahnya.
Sedangkan unsur rumah tangga materiil menampakkan diri
dengan adanya urusan-urusan pangkal yang diserahkan pada
saat pembentukan suatu daerah otonom. Sehubungan dengan
hal ini, Bagir Manan mengemukakan bahwa diantara kedua
unsur (materiil dan formil) tersebut yang paling utama adalah
unsur formil, sebab unsur inilah yang memberikan jalan bagi
perkembangan inisiatif dan kreatifitas daerah.204
Dalam sistem rumah tangga nyata, isi kewenangan peme-
rintahan daerah ditentukan oleh faktor-faktor dan keadaan-
keadaan nyata di daerah yang bersangkutan, maka dalam hal
penyerahan urusan pemerintahan kepada daerah, sistem ini
melandaskan pada karakteristik dari masing-masing daerah.
Menurut Yosep Riwu Kaho, karena pemberian tugas dan
kewajiban serta wewenang di dasarkan pada keadaan riil di

203 Bagir Manan,


dalam Ibid.
dalam masyarakat, maka
kemungkinan yang ditimbulkan ialah bahwa tugas atau
urusan yang selama ini menjadi wewenang Pemerintah Pusat
dapat diserahkan menjadi wewenang kepada Pemerintah
Daerah dengan melihat kemampuan dan keperluannya untuk
diatur dan diurus sendiri.205
Berdasarkan beberaa pemahaman tersebut di atas, maka di
dalam sistem rumah tangga nyata akan dijumpai adanya
beberapa prinsip yaitu:
a. Dengan sistem rumah tangga nyata disamping
memberikan
kepastian mengenai isi urusan pemerintahan dengan
melihat
urusan pangkalnya, juga tidak menutup kemungkinan jika
daerah tetap diberi keleluasaan untuk menyelenggarakan
suatu urusan pemerintahan berdasarkan insiatif,
kreatifitas
dan aspirasi masyarakat asalkan urusan pemerintahan ter-
sebut bermanfaat bagi perkembangan daerah dan tidak
melanggar peraturan perundang-undangan serta prinsip
Negara Kesatuan.
b. Isi urusan pemerintahan dan kewenangan pemerintahan
pemerintah daerah untuk mengatur ditentukan oleh
faktor-
faktor atau keadaan masing-masing Daerah. Oleh sebab
itu dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah tidak akan
dijumpai adanya bentuk-bentuk penyeragaman
kewenangan
pemerintahan untuk semua daerah.
c. Dengan mempergunakan sistem rumah tangga nyata
pelak-
sanaan penyerahan urusan pemerintahan lebih
menekankan
pada aspek kualitatif, bukan kuantitatif. Artinya
penyerahan
urusan pemerintahan kepada Daerah semata-mata tidak
diukur hanya dengan jumlah urusan pemerintahan yang
harus diberikan, melainkan diukur berdasarkan
205 Yosep Riwu Kaho, 1988, Prospek Otonomi Daerah di
Negara Kesatuan Republik Indonesia Identifikasi Beberapa
Faktor yang Mempengaruhi Penyelenggaraannya, Rajawali
Press, Jakarta, hlm. 17.
kemampuan,
keadaan dan kebutuhan masing-masing daerah. Dengan
kata
lain, keberhasilan pelaksanaan otonomi daerah akan
dilihat
dari aspek kualitas penyelenggaraan urusan pemerintahan
bagi masing-masing Daerah, d. Sistem rumah tangga nyata
mengandung unsur rumah tangga materiil dan unsur
rumah tangga formil. Kondisi semacam ini, di samping
mempercepat proses pelaksanaan otonomi di masing-
masing daerah, karena adanya kepastian urusan pangkal,
juga membuka proses demokratisasi di tingkat
Pemerintahan Daerah, karena kelanjutan dan keberhasilan
pelaksanaan otonomi sangat ditentukan oleh prakarsa atau
inisiatif dan kreatifitas dari masing-masing Daerah dengan
berlandaskan pada aspirasi masyarakat setempat.

Di dalam Pasal 5 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2004 Tentang


Pemerintahan Daerah ditegaskan bahwa Pembentukan daerah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 harus memenuhi syarat
adminisratif, teknis, dan fisik kewilayahan. Kemudian
menurut ayat (4) ditegaskan bahwa syarat teknis sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) meliputi faktor yang menjadi dasar
pembentukan daerah yang mencakup faktor kemampuan
ekonomi, potensi daerah, sosial budaya, sosial politik,
kependudukan, luas daerah, pertahanan, keamanan, dan
faktor lain yang memungkinkan terselenggaranya otonomi
daerah.
Ketentuan tersebut memberikan indikasi bahwa faktor-
faktor nyata yang menjadi dasar dalam penyerahan urusan
pemerintahan menurut sistem rumah tangga nyata ditentukan
oleh kriteria kemampuan, keadaan dan kebutuhan daerah.
Kriteria seperti ini pernah dirumuskan secara rinci pada
waktu mempergunakan UU No. 5 Tahun 1974. Menurut PP
No. 45 Tahun 1992 Tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah
Dengan Titik Berat Pada Daerah Tingkat II yang dimaksud
faktor-faktor nyata adalah menyangkut kemampuan daerah,
keadaan daerah, dan Kebutuhan Daerah.
Dalam Pasal 6 ayat (6), ayat (7), dan ayat (8) PP No. 45
Tahun 1992 antara lain dinyatakan:
"Kemampuan daerah adalah kenyataan yang di
dasarkan kepada faktor-faktor dan perhitungan-
perhitungan yang meyakinkan bahwa
suatu daerah benar-benar mampu menerima
penyerahan urusan pemerintahan tertentu sebagai urusan
rumah tangganya.
Keadaan daerah adalah karakteristik suatu daerah
ditinjau dari kondisi geografis, sosial budaya, politik dan
pertahanan keamanan dalam rangka menentukan jenis
urusan pemerintahan yang diserahkan.
Kebutuhan daerah adalah kehendak suatu Daerah
untuk mengatur, mengurus dan menyelenggarakan
urusan pemerintahan tertentu sesuai dengan tingkat
kemampuan dan kebutuhan daerah"

Namun demikian, setelah pengaturan mengenai


pemerintahan daerah mempergunakan UU No. 32 Tahun
2004, kriteria faktor-faktor nyata tersebut di atas sudah tidak
dikenal lagi. Menurut Pasal 11 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2004
ditegaskan bahwa penyelenggaraan urusan pemerintahan
dibagi berdasarkan kriteria eksternalitas, akuntabilitas, dan
efisiensi dengan memperhatikan keserasian hubungan antar
susunan pemerintahan. Sehubungan dengan ketentuan seperti
ini yang dimaksud dengan kriteria-kriteria tersebut adalah:206
a. Kriteria eksternalitas yakni penyelenggaraan suatu urusan
pemerintahan ditentukan berdasarkan luas, besaran, dan
jangkauan dampak yang timbul akibat penyelenggaraan
suatu
urusan pemerintahan.
b. Kriteria akuntabilitas, yakni penanggungjawab
penyelenggara-
an suatu urusan pemerintahan ditentukan berdasarkan ke-
dekatannya dengan luas, besaran, dan jangkauan dampak
yang ditimbulkan oleh penyelenggaraan suatu urusan
pemerintahan.
c. Kriteria efisiensi, yaitu penyelenggaraan suatu urusan
peme-
rintahan ditentukan berdasarkan perbandingan tingkat
daya
guna yang paling tinggi yang dapat diperoleh.

Kriteria-kriteria pembagian urusan pemerintahan tersebut


masih menunjukkan adanya ketidak jelasan konsep dalam

206 Penjelasan Pasal 11 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2004

menentukan suatu urusan pemerintahan dapat diserahkan


kepada daerah ataupun tidak. Persoalan yang paling
mendasar dalam memahami kriteria-kriteria tersebut adalah
dengan mempergunakan indikasi apakah dampak dari
masing-masing kriteria itu dapat ditentukan secara jelas dan
nyata, serta siapakah yang menentukan terjadinya dampak di
masing-masing kriteria tersebut, termasuk bagaimanakah
mengukur daya guna yang tinggi sebagaimana dimaksud oleh
kriteria efisensi tersebut? Persoalan-persoalan ini tidak
memperoleh porsi jawaban di dalam UU No. 32 Tahun 2004
maupun PP No. 38 Tahun 2007 Tentang Pembagian Urusan
Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintah Daerah
Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota.
Menurut hemat penulis, kriteria untuk menentukan suatu
urusan pemerintahan dapat diserahkan kepada daerah
ataupun tidak dalam sistem rumah tangga nyata akan lebih
rasional dan terukur jika mempergunakan kriteria
kemampuan, keadaan, dan kebutuhan daerah sebagaimana
pernah dirumuskan oleh PP No. 45 tahun 1992 dalam rangka
melaksanakan ketentuan Pasal 11 UU No. 5 Tahun 1974
Tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah. Hal ini
disebabkan antara lain:207
1. Kriteria kemampuan daerah dapat dipergunakan untuk
mengukur dan menentukan jumlah urusan pemerintahan
atau besaran wewenang yang akan diserahkan kepada
daerah dengan berlandaskan pada kemampuan keuangan,
kemampuan aparatur, kemampuan partisipasi
masyarakat, kemampuan ekonomi daerah, kemampuan
demografi, dan kemampuan administrasi dan organisasi.
2. Kriteria keadaan daerah dapat dipergunakan untuk
mengetahui corak atau karakteristik masing-masing
daerah sebagai dasar dalam menentukan jenis urusan
pemerintahan yang akan diserahkan. Corak atau
karakteristik masing-masing daerah ini berkaitan dengan
keadaan lingkungan alam (iklim dan curah

hujan, kesuburan tanah, luas dan bentuk daerah, sosial


budaya) yang ikut mempengaruhi pola hidup masyarakat
daerah. 3. Kebutuhan daerah dapat dipergunakan untuk
mengetahui keinginan daerah terhadap suatu urusan
pemerintahan yang akan diatur dan diurus sebagai urusan
rumah tangga sendiri berdasarkan kemampuan dan keadaan
daerah yang bersangkutan. Hal ini berarti jikalau daerah
berdasarkan kemampuan dan keadaan yang dimiliki tidak
berinisiatif untuk meminta kepada Pemerintah agar suatu
urusan pemerintahan itu diserahkan, maka kewenangan
untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan yang
dimaksud tidak akan menjadi pertimbangan untuk diserahkan
kepada daerah. Dengan demikian, melalui kriteria kebutuhan
daerah inilah negosiasi mengenai kesanggupan mengatur dan
mengurus suatu urusan pemerintahan antara Pemerintah
Pusat dan Pemerintah Daerah dapat terjadi, sehingga
penentuan tentang dapat tidaknya suatu urusan pemerintahan
itu diserahkan kepada Pemerintah Daerah ditentukan
berdasarkan kesepakatan, tidak sepihak.

Sebagaimana telah dijelaskan terdahulu bahwa, sistem


rumah tangga nyata (riil) mengandung aspek rumah tangga
materiil dan rumah tangga formil. Di dalam UU No. 32 Tahun
2004 konsep teoritis semacam ini nampaknya tidak
diaksanakan secara konsisten. Ketidak konsistenan ini
semakin nampak dalam PP No. 38 Tahun 2007 yang
merumuskan secara rigid tentang pembagian urusan
pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi
dan Pemerintah Daerah Kabupaten Kota. Di dalam PP tersebut
telah dirumuskan urusan pemerintahan wajib dan urusan
pemerintahan pilihan. Dengan demikian, diluar kedua urusan
pemerintahan tersebut, tidak ada lagi urusan pemerintahan
yang dapat diatur dan diurus sebagai kewenangan otonomi
208 Lihat Pasal 7 ayat (2) dan ayat (4) PP No. 38 Tahun 2007
Tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara
Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah
Daerah Kabupaten/Kota.
bagi daerah.208

E. Sejarah Pemerintahan Lokal di Indonesia.


Sebelum bangsa Indonesia membentuk suatu organisasi
kekuasaan yang disebut negara melalui Proklamasi
Kemerdekaan 17 Agustus 1945 di wilayah Indonesia (Hindia
Belanda) sudah banyak dijumpai adanya satuan-satuan
pemerintahan asli yang menyelenggarakan sistem
pemerintahan sendiri. Penyelenggaraan organisasi
pemerintahan yang dimaksud ini berlandaskan pada hukum
asli Indonesia (Hukum adat), dan pelaksanaannya masih
bersifat tradisional serta pada umumnya bercorak feodalistik.
Contohnya kerajaan, kasultanan, dan kasunanan.
Setelah bangsa asing khususnya Belanda masuk di bumi
Nusantara ini, keberadaan satuan-satuan pemerintahan asli
tersebut masih tetap dipertahankan (diakui), bahkan menjadi
alat bagi Pemerintah Kolonial untuk meneguhkan
hegemoninya dalam menguasai Indonesia. Kondisi yang
demikian inilah mengakibatkan otonomi dari masing-masing
satuan pemerintahan asli Indonesia mulai dibatasi. Bahkan
disana-sini dapat dikatakan mulai tidak memiliki otonomi
lagi. Hal ini mengingat sistem pemerintahan yang
dikembangkan oleh Pemerintah Kolonial bersifat sentralistik.
Berdasarkan gambaran singkat tersebut, maka perjalanan
sejarah Pemerintahan Lokal di Indonesia dapat dibagi menjadi
beberapa periode:
1. Masa Pemerintahan Hindia Belanda.
2. Masa Pendudukan Bala Tentara Jepang.
3. Masa Kurun Waktu Berlakunya UUD 1945 Periode I.
4. Masa Berlakunya Konstitusi RIS.
5. Masa Berlakunya UUDS 1950.
6. Masa Berlakunya UUD 1945 Periode Setelah Dekrit
Presiden 5 Juli 1959.
7. Masa Berlakunya UUD 1945 di bawah Orde Baru.
8. Masa Menuju Konsolidasi Sistem Demokrasi (setelah
Amandemen UUD 1945)

Mengingat panjangnya sejarah Pemerintahan Lokal d


Indonesia serta kompleksitas persoalan yang terkandung di
dalamnya, maka dalam menyampaikan pembahasan ini,
penulis akan mengemukakan secara singkat mengenai sejarah
tersebut di masing-masing periodenya.

1. Masa Pemerintahan Hindia Belanda.


a. Sebelum 1903 wilayah Hindia Belanda dibagi menjadi
wilayah-wilayah administratif, kecuali desa dan
Swapraja
yang dibentuk berdasarkan hukum asli Indonesia. Ber-
kaitan dengan hal ini dijumpai adanya perbedaan peng-
aturan antara Jawa/Madura dengan yang ada di luar
Jawa/
Madura.
b. Setelah 1903, tepatnya pada tanggal 23 Juli 1903 di-
keluarkanlah Desentralisatiewet 1903. Undang-Undang
ini
bertujuan untuk membentuk daerah otonom.
Kemunculan
Desentralisatiewet 1903 ini disebabkan oleh adanya
gugatan
dari orang-orang Belanda yang progresif sebagai akibat
adanya cultuur stelsel. Dengan adanya gugatan inilah,
kemudian Belanda menerapkan politik etis.
c. Tahun 1922 dikelarkanlah Bestuuringwormingswet yang
berisikan antara lain:
1. Di Jawa/Madura dibentuk daerah otonom, yakni
Propinsi, Regenschap, Kotapraja. Sedangkan di luar
Jawa/Madura dibentuk daerah otonom yang terdiri
dari Groupagemenschappen, dan Kotapraja.
2. Masing-masing daerah otonom tersebut dibentuk
Dewan-dewan dengan cara penunjukan.
3. Yang menjabat Kepala Daerah Otonom adalah
Kepala Pangreh Praja yang setingkat. Oleh sebab itu
Kepala Daerah Otonom juga merangkap sebagai
Kepala Pangreh Praja.
4. Selain daerah-daerah otonom tersebut terdapat juga
daerah-daerah yang belum diperintah oleh Belanda,
yakni Swapraja dan Desa yang diperintah oleh Raja
dan Kepala Desa berdasarkan hukum asli Indonesia.

2. Masa Pendudukan Bala Tentara Jepang.209


Menjelang berakhirnya Perang Dunia II, Jepang sebagai
salah satu kekuatan di Asia mulai menunjukkan tanda-tanda
kemenangannya dalam perang akbar tersebut. Tanda-tanda
kemenangan tersebut ditandai dengan keberhasilan Jepang
meluluh lantakkan Pangkalan Angkatan Laut Amerika Serikat
di Pearl Harbour, serta ditandai dengan keberhasilan Jepang
menduduki wilayah-wilayah yang pernah menjadi basis
Sekutu. Bahkan hampir seluruh kawasan Asia Pasific dapat
dikuasai, tidak terkecuali Indonesia yang merupakan wilayah
jajahan Belanda.
Di bidang pemerintahan, pada prinspnya Jepang masih
tetap meneruskan sistem yang dilaksanakan oleh Pemerintah
Belanda di Hindia Belanda (Indonesia). Hanya untuk nama
dan istilah-istilah yang dulunya mempergunakan bahasa
Belanda diganti dengan mempergunakan bahasa Jepang.
Posisi yang dulunya diduduki oleh orang-orang Belanda
diganti oleh pembesar-pembesar Bala Tentara Jepang (Dai
Nippon). Untuk penggunaan bahasa Indonesia hanya diberi
kesempatan sesedikit mungkin.
Wilayah Propinsi beserta Gubernurnya, baik di Jawa
maupun di Madura dihapus. Afdeling beserta Asisten Residen
di Jawa juga dihapus. Sehubungan dengan hal ini UU No. 27
Tahun 2602 (tahun menurut tradisi Jepang) seluruh Jawa
terbagi atas Syuu (Karesidenan), Si (Staatsgemeenten), Ken
(Regenschap), Gun (District), Son (Onder District), dan Ku (Desa),
serta Kooti (Voertenlanden). Sedankan di luar Jawa didapati
susunan yang paralel.
Pada masa pendudukan Bala Tentara Jepang ini,
pemerintahan di Indonesia dibagi ke dalam tiga bagian besar,
yaitu:
a. Sumatera berada di bawah kekuasaan Kepala Pasukan
darat yang berkedudukan di Bukittinggi;

209 Dirangkum dari B. Hestu Cipto Handoyo, Otonomi


b. Jawa berada di bawah kekuasaan Kepala Pasukan Darat
yang
berkedudukan di Jakarta; dan
c. Lain-lain kepulauan berada di bawah kekuasaan Kepala
Pasukan Angkatan laut yang berkedudukan di Makasar
(sekarang Ujung Pandang).

Memperhatikan pembagian pelaksanaan pemerintahan ini,


tersirat bahwa dalam mengembangkan pemerintahan lokal
dipergunakan melalui sistem militeristik yang sentralistik.

3. Masa Berlakunya UUD 1945 Periode I.


a. Tanggal 19 Agustus 1945 PPKI menetapkan pembagian
daerah Republik Indonesia dalam 8 (delapan) Propinsi.
Masing-masing Propinsi dibagi ke dalam Karesidenan-
karesidenan. Penetapan ini merupakan langkah awal
untuk
melengkapi ketatanegaraan Indonesia dan
berlandaskan
pada Proklamasi Kemerdekaan serta Pasal 18 UUD
1945.
b. Tanggal 16 Oktober 1945 dikeluarkanlah Maklumat No.
X
yang mengharuskan di daerah-daerah dibentuk Komite
Nasional Daerah.
c. Tanggal 23 Nopember 1945 dikeluarkanlah UU No. 1
Tahun
1945 Tentang Kedudukan Komite Nasional Daerah
yang
isinya antara lain:
1. KNID diadakan diseluruh daerah-daerah kecuali di
Yogyakarta dan Surakarta;
2. KNID bertindak sebagai DPRD yang dipimpin oleh
Kepala Daerah dan bersama-sama menjalankan
Pemerintahan Daerah;
3. Pemerintah Daerah meliputi Gubernur/Residen
dibantu oleh KNID.

Undang-Undang ini sifatnya masih sumir dan belum me-


laksanakan lebih lanjut Pasal 18 UUD 1945. Dikatakan masih
sumir karena dalam pengaturannya memberikan fungsi ganda
Kepala Daerah, yakni di samping sebagai kepala
pemerintahan sekaligus bertindak sebagai kepala legislatif.
Sedangkan belum melaksanakan Pasal 18 UUD 1945 karena
UU ini hanya berfungsi untuk melaksanakan lebih lanjut
Maklumat No. X Tahun 1945.

Terbentuknya UU No. 22 Tahun 1948.


Di dalam Undang-Undang ini, hal-hal yang paling
mendasar dalam mengatur pemerintahan lokal, adalah:
a. UU No. 22 tahun 1948 pada hakikatnya hanya mengatur
daerah otonom berdasarkan asas desentralisasi.
b. Pasal 1 UU No. 22 Tahun 1948 menegaskan bahwa Daerah
Negara RI disusun dalam 3 (tiga) tingkatan, yakni
Propinsi,
kabupaten dan Desa. Daerah yang mempunyai hak-hak
asal-
usul pada jaman Negara RI belum merdeka mempunyai
pemerintahan sendiri yang bersifat istimewa dapat
ditetapkan
sebagai Daerah Istimewa setingkat Propinsi, Kabupaten
dan
Desa dan berhak untuk mengatur dan mengurus rumah
tangganya sendiri.
c. Pasal 2 ayat (1) menegaskan bahwa Pemerintah Daerah
(sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dalam daerah
otonom)
adalah DPRD dan Dewan Pemerintah Daerah sebagai
Majelis.
Sedangkan ayat (3) menegaskan bahwa Kepala Daerah
men-
jabat sebagai Ketua merangkap anggota Dewan
Pemerintah
Daerah.
d. Pasal 23 ayat (1) menyebutkan bahwa DPRD berwenang
membuat Peraturan Daerah.
e. Pasal 34 menyatakan bahwa Dewan Pemerintah daerah
menjalankan Pemerintahan Daerah sehari-hari
danbertanggung
jawab kepada DPRD.
f. Pasal 36 menyatakan bahwa Kepala Daerah berhak
menahan
putusan-putusan Pemerintah Daerah.
g. Pasal 42 menyatakan bahwa Kepala Daerah dapat
menunda/
membatalkan Putusan Daerah.

Menurut Penjelasan Umum UU No. 22 Tahun 1948


dinyatakan bahwa untuk membentuk Pemerintah Daerah
yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri
(otonom), oleh Pemerintah Pusat telah ditentukan kewajiban
(pekerjaan) mana saja yang dapat diserahkan kepada Daerah.
Untuk keperluan ini, maka penyerahan urusan pemerintahan
dapat dilakukan melalui dua cara, yaitu:
a. Penyerahan penuh, artinya baik itu tentang asasnya
(prinsip-
prinsipnya) maupun tentang cara menjalankan kewajiban
(pekerjaan) yang diserahkan itu, diserahkan semuanya
kepada
daerah (hak otonom; dan
b. Penyerahan tidak penuh, artinya penyerahan hanya
mengenai
cara menjalankan saja, sedangkan prinsip-prinsipnya
(asas-
asasnya) ditetapkan oleh Pemerintah Pusat sendiri (hak
medebewind) .210

Dari dua cara penyerahan urusan pemerintahan tersebut,


maka ada dua hal penting yang dapat diambil sehubungan
dengan penyelenggaraan Pemerintahan Daerah berdasarkan
UU No. 22 Tahun 1948, yaitu:
1. Prinsip otonomi yang dipergunakan adalah otonomi yang
sebanyak-banyaknya, bukan seluas-luasnya. Hal ini
mengingat di dalam Penjelasan Umum dinyatakan bahwa
sistem rumah tangga yang dipergunakan adalah sistem
rumah tangga materiil. Hal ini berarti dalam pembentukan
suatu Daerah akan disertai dengan penyerahan urusan
pemerintahan (kewajiban/ pekerjaan) yang oleh
Pemerintah Pusat telah ditentukan terlebih dahulu urusan-
urusan (kewajiban/pekerjaan) apa saja yang akan
diserahkan kepada suatu Daerah sebagai urusan rumah
tangga sendiri. Lain daripada itu, karena sistem rumah
tangga materiil lebih menekankan pada aspek penyerahan
urusan pemerintahan, maka dengan otonomi luas
mengakibatkan akan terjadi penyerahan urusan
pemerintahan kepada daerah dalam jumlah yang banyak.
2. Undang-Undang ini lebih menekankan pada pelaksanaan
otonomi daerah yang dikaitkan dengan asas medebewind.
Dengan demikian dalam UU ini tidak membedakan antara
prinsip otonomi dengan medebewind, bahkan asas mede-
bewind merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
otonomi.

Kendati UU No. 22 tahun 1948 telah menekankan


penerapan sistem rumah tangga materiil, namun dalam
ketentuan Pasal 28 ternyata juga mengandung aspek rumah
tangga formil. Di dalam pasal ini antara lain ditegaskan bahwa
kepada Daerah-daerah otonom yang sudah dibentuk masih
diberi peluang untuk secara inisiatif dan prakarsa sendiri
mengatur dan mengurus urusan pemerintahan sebagai urusan
rumah tangga sendiri asal saja:
a. Tidak mengatur (dan mengurus) sesuatu yang telah diatur
dalam UU atau Peraturan Pemerintah atau Peraturan
Daerah
yang lebih tinggi tingkatannya;
b. Tidak mengatur dan mengurus hal-hal yang masuk rumah
tangga daerah yang lebih rendah tingkatannya;
c. Tidak bertentangan dengan UU, Peraturan Pemerintah,
dan
Peraturan Daerah yang lebih tinggi tingkatannya; dan
d. Hak mengatur (dan mengurus) tersebut menjadi tidak
berlaku
apabila dikemudian hari hal-hal tersebut diatur (dan
diurus)
dengan paraturan yang lebih tinggi tingkatannya.
Dengan ketentuan Pasal 28 UU No. 22 Tahun 1948
tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa sistem rumah
tangga yang dipergunakan adalah sistem rumah tangga nyata.
Hal ini mengingat dalam rangka penyerahan urusan
pemerintahan mempergunakan dua unsur yang dilaksanakan
bersama-sama, yakni sistem rumah tangga materiil dan sistem
rumah tangga formil.
Unsur sistem rumah tangga materiil nampak pada saat
pembentukan daerah otonom yang disertai dengan
penyerahan urusan-urusan pangkal. Sedangkan unsur sistem
rumah tangga formil nampak dari adanya kebebasan daerah-
daerah otonom hasil pembentukan untuk berinisiatif dan
berprakarsa sendiri mengatur dan mengurus rumah tangga
sendiri asalkan tidak melanggar ketentuan Pasal 28 tersebut.

4. Pada Masa Berlakunya Konstitusi RIS.


a. Pasal 51 Konstitusi RIS menegaskan bahwa pengaturan
tentang Pemerintahan di daerah menjadi wewenang
masing-masing negara bagian.
b. Negara Republik Indonesia yang berkedudukan di
Yogyakarta hanya merupakan salah satu Negara
Bagian dan
tetap mempergunakan UU No. 22 Tahun 1948, sebab
Negara
Republik Indonesia (Yogyakarta) tetap
mempergunakan
UUD 1945 sebagai landasan konstitusionalnya.
c. Sebagian besar negara-negara bagian lainnya belum
mengatur mengenai Pemerintahan Daerah, kecuali
Negara
Indonesia Timur melalui UU NTT No. 44 Tahun 1950.

5. Pada Masa Berlakunya UUDS 1950.


Di dalam UUDS 1950 ketentuan mengenai Pemerintahan
Daerah dapat dilacak dalam pasal-pasal sebagai berikut:
a. Pasal 131 UUDS 1950 menegaskan antara lain:
(1) Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan
kecil yang berhak mengurus rumah tangganya sendiri
(otonomi) dengan bentuk susunan pemerintahannya
ditetapkan dengan undang-undang, dengan
memandang dan mengingati dasar permusyawaratan
dan dasar perwakilan dalam sistem pemerintahan
negara.
(2) Kepada daerah-daerah diberi otonomi seluas-luasnya
untuk mengurus rumah tangganya sendiri.
(3) Dengan undang-undang dapat diserahkan
penyelenggaraan tugas-tugas kepada daerah-daerah
yang tidak termasuk dalam urusan rumah tangganya.
b. Pasal 132 menyatakan antara lain:
(1) Kedudukan daerah-daerah swapraja diatur dengan
undang-undang dengan ketentuan bahwa dalam
bentuk susukan pemerintahannya harus diingat pula
ketentuan dalam Pasal 131, dasar permusyawaratan
dan perwakilan dalam sistem pemerintahan negara.
(2) Daerah-daerah swapraja yang tidak dapat dihapuskan
atau diperkecil bertentangan dengan kehendaknya,
kecuali untuk kepentingan umum dan sesudah
undang-undang yang menyatakan bahwa kepentingan
umum menuntut penghapusan atau pengecilan itu,
memberi kuasa untuk itu kepada Pemerintah.
(3) Perselisihan hukum tentang peraturan-peraturan yang
dimaksud dalam ayat (1) dan tentang menjalankannya
diadili oleh badan pengadilan yang dimaksud dalam
Pasal 108.
c. Pasal 133 menyatakan bahwa sambil menunggu ketentuan-
ketenuan sebagai dimaksud dalam Pasal 132 maka
peraturan-peraturan yang sudah ada tetap berlaku,
dengan pengertian bahwa pejabat-pejabat daerah bagian
dahulu yang tersebut dalam peraturan-peraturan ini
diganti dengan pejabat-pejabat yang demikian pada
Republik Indonesia.

Pada tanggal 17 Januari 1957 dikeluarkanlah UU No. 1


Tahun 1957. Undang-Undang ini hanya mengatur pelaksanaan
asas desentralisasi dan tugas pembantuan, sedangkan asas
dekonsentrasi tidak diatur. Kepada daerah diberikan otonomi
seluas-luasnya. Sehubungan dengan hal ini, ketentuan-
ketentuan penting yang menyangkut pengaturan tentang
Pemerintahan daerah menurut UU ini, antara lain:
a. Pasal 2 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1957 yang menentukan tiga
tingkatan daerah yang berhak mengatur dan mengurus
rumah tangganya sendiri (otonomi), yaitu:
1. Daerah Tingkat I, termasuk Kotapraja Jakarta Raya;
2. Daerah Tingkat U, termasuk Kotapraja; dan
3. Daerah Tingkat III.

b. Pasal 2 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1957 menegaskan bahwa


Daerah Swapraja dibagi dalam tiga tingkatan, yaitu:
1. Daerah Istimewa Tingkat I;
2. Daerah Istimewa Tingkat II; dan
3. Daerah Istimewa Tingkat III.

Menurut UU No. 1 tahun 1957, bentuk atau susunan


Peme-rintahaan Daerah, adalah:
a. Pasal 5 menentukan bahwa Pemerintah Daerah adalah
DPRD
dan Dewan Pemerintah Daerah.
b. Pasal 19 ayat (1) menegaskan bahwa anggota Dewan
Pemerintah
Daerah dipilih dari anggota DPRD.
c. Pasal 19 ayat (2) menyatakan bahwa Ketua/Wakil Ketua
DPRD
tidak boleh menjadi anggota Dewan Pemerintah Daerah.
d. Pasal 6 ayat (1) menyatakan bahwa Kepala Daerah karena
jabatannya adalah Ketua merangkap anggota Dewan
Pemerintah Daerah.
e. DPRD pemegang kekuasaan legislatif.
f. Pasal 44 ayat (1) menyatakan bahwa Dewan Pemerintah
Daerah
menjalankan putusan DPRD.
g. Pasal 48 menegaskan bahwa Dewan Pemerintah Daerah
bertanggungjawab kepada DPRD.
h. Kepala Daerah, sebagai ketua merangkap anggota Dewan
Pemerintah daerah bukan merupakan organ yang berdiri
sendiri. Sebagai organ daerah, Kepala Daerah tidak
mempunyai
wewenang untuk mengadakan pengawasan preventif
maupun
represif terhadap Putusan daerah.

Memperhatikan ketentuan-ketentuan tersebut di atas,


maka walaupun pemerintahan di daerah yang bersifat
administratif tidak diatur namun pemerintahan administratif
itu tetap berlangsung berdasarkan peraturan peralihan. Oleh
sebab itu untuk menghindari dualisme pemerintahan
(otonomi dan administratif), maka dikeluarkanlah UU No. 6
Tahun 1959 Tentang Penyerahan Tugas-tugas Pemerintah
Pusat dalam bidang pemerintahan umum, l'riiirrinlahan
Lokal — 3 3 1

perbantuan Pegawai Negeri dan penyerahan keuangan


kepada pemerintah daerah. Undang-undang ini disingkat UU
Penyerahan Pemerintahan Umum, artinya penyerahan semua
tugas Pemerintah Pusat dalam bidang Pemerintahan Umum
yang ada di daerah untuk menjadi urusan rumah tangga
daerah.

6. Pada Masa Berlakunya UUD 1945 Setelah Dekrit Presiden


5 Juli 1959.
Pada masa ini UU No. 1 Tahun 1957 tetap dinyatakan
berlaku berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan dengan
penyesuaian tertentu agar sejalan dengan UUD 1945.
penyesuaian-penyesuaian ditempuh dengan mengeluarkan
produk hukum Penetapan Presiden, yaitu:
a. Penetapan Presiden (Penpres) No. 6 Tahun 1959 dan di-
sempurnakan lagi dengan Penpres No. 5 Tahun 1960.
Kedua
Penetapan Presiden ini dipergunakan untuk
menyempurnakan
UU No. 6 Tahun 1959. Isi dari kedua Penetapan Presiden
tersebut, pada intinya adalah:
1. Penpres No. 6 Tahun 1959 dipergunakan untuk
mengatur tugas eksekutif di daerah-daerah otonom.
2. Penpres No. 5 Tahun 1950 dipergunakan untuk
mengatur tugas legislatif di daerah-daerah otonom.
b. Di dalam Penpres No. 6 tahun 1959 antara lain ditentukan
hal-
hal sebagai berikut:
1. Pasal 1: Pemerintah Daerah terdiri dari Kepala Daerah
dan DPRD.
2. Pasal 2: Kepala Daerah dalam menjalankan tugasnya
dibantu oleh BPH.
3. Pasal 14: Kepala Daerah mempunyai dua fungsi, yakni
sebagai alat pusat dan sebagai alat daerah. Sebagai alat
pusat Kepala Daerah menyelenggarakan bidang
pemerintahan umum di daerah. Sedangkan sebagai alat
daerah, Kepala Daerah menyelenggarakan
pemerintahan otonom dan tugas pembantuan.

c. Menurut Penpres No. 5 Tahun I960, antara lain ditegaskan:


1. Pasal 13: Tugas Legislatif daerah dijalankan oleh
Kepala Daerah bersama-sama dengan DPRDGR.
2. Pasal 8 ayat (2): Kepala Daerah karena jabatannya
adalah Ketua DPRGR. Bukan anggota DPRDGR.
3. Pasal 4 ayat (6): Kepala Daerah diangkat untuk masa
jabatan yang sama dengan masa jabatan DPRDGR yang
bersangkutan, dan dapat diangkat kembali setelah
jabatannya berakhir.
4. Pasal 4 ayat (7) : Kepala Daerah tidak dapat
diberhentikan karena keputusan DPRDGR.
5. Untuk Kepala Daerah Istimewa, kepala Daerahnya di-
angkat berdasarkan keturunan keluarga yang berkuasa
menjalankan pemerintahan di daerah sebelum RI.

Pada tanggal 25 September 1963 dikeluarkanlah Peraturan


Pemerintah No. 50 Tahun 1963 Tentang Pernyataan Mulai Ber-
lakunya UU No. 6 Tahun 63 diseluruh wilayah Indonesia.
Dengan keluarnya Peraturan Pemerintah ini, maka Pemerintah
Pamong Praja tidak mempunyai tugas lagi. Semua pegawai
Pamong Praja diperbantukan kepada Pemerintah Daerah yang
bersangkutan.
Dengan demikian dari berbagai ketentuan-ketentuan yang
terdapat di dalam kedua Penpres tersebut, maka pola
pemerintahan yang desentralistik sejak UU No. 1 Tahun 1957
berbalik arah menuju pola yang sentralistik. Pola yang
demikian ini memang sesuai dengan kehendak Presiden
Soekarno yang ingin menerapkan demokrasi terpimpin yang
sarat dengan nuansa otoritarian.

Undang-Undang No. 18 Tahun 1965.


a. Di dalam Undang-Undang ini pengaturan Pemerintahan
Daerah yang bersifat otonom dengan asas desentralisasi
di-
lakukan bersama-sama dengan asas dekonsentrasi.
b. Pasal 2 ayat (1) mengatur pembagian wilayah, yakni:
1. Propinsi dan/atau Kotaraya sebagai Daerah Tingkat I;
2. Kabupaten/Kotapraja sebagai Daerah Tingkat n, dan
3. Kecamatan/Kolapraja sebagai Daerah Tingkat III.
c. Pasal 5 ayat (1) menyatakan bahwa Pemerintah Daerah
terdiri
dari Kepala Daerah dibantu oleh Wakil Kepala Daerah dan
BPH.
d. Kepala Daerah diangkat dan diberhentikan oleh:
1. Kepala Daerah Tingkat I oleh Presiden;
2. Kepala Daerah Tingkat II oleh MENDAGRI dengan
persetujuan Presiden;
3. Kepala Daerah Tingkat III oleh Kepala Daerah Tingkat
II dengan persetujuan MENDAGRI.
e. Pasal 44 ayat (2) menyatakan bahwa fungsi Kepala Daerah
adalah sebagai alat pusat dan alat daerah. Sebagai alat
pusat,
Kepala Daerah memegang pimpinan kebijaksanaan
polisionil
daerahnya, antara lain:
1. Menyelenggarakan koordinasi antara jawatan-
jawatan Pemerintah Pusat;
2. Mengadakan pengawasan atas jalannya Pemerintahan
di Daerah; dan
3. Menjalankan tugas-tugas lain yang diserahkan oleh
Pemerintah Pusat.
Sedangkan sebagai alat daerah, Kepala Daerah
memimpin pelaksanaan kekuasaan eksekutif
Pemerintahan Daerah baik di bidang urusan rumah
tangganya sendiri maupun bidang tugas-tugas
pembantuan.

Undang-Undang No. 18 Tahun 1965 tidak sempat berjalan


dengan baik karena terjadi pemberontakan G30S/PKI.

7. Masa Berlakunya UUD 1945 di bawah Orde Baru.

Undang-Undang No. 5 tahun 1974


a. Judul resmi Undang-Undang ini adalah Undang-
Undang Tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di
Daerah.
b. Menurut Bagir Manan, judul tersebut tidak tepat
diperguna-
kan, sebab pengertian Pemerintahan di Daerah pada
hakikatnya merupakan unsur tata laksana
penyelenggaraan
Pemerintahan Pusat sebagai cerminan asas dekonsentrasi.
Atau dengan kata lain menunjukkan pada kegiatan organ-
organ Pemerintah Pusat yang dilakukan di suatu wilayah/
daerah tertentu.211
c. Mengatur mengenai pelaksanaan asas desentralisasi ber-
sama-sama dengan asas dekonsentrasi dan tugas pem-
bantuan.
d. Menganut prinsip otonomi nyata dan bertanggung jawab,
yakni suatu sistem rumah tangga daerah yang
menghendaki
bahwa isi rumah tangga daerah disesuaikan dengan
kondisi
dan faktor-faktor nyata di daerah.
e. Meletakkan Titik Berat Otonomi pada Daerah Tingkat
n.212
f. Pelaksanaan Otonomi daerah lebih menekankan aspek
kewajiban daripada hak.213
g. Yang disebut sebagai Pemerintah Daerah adalah Kepala
Daerah dan DPRD.214
h. Dalam pelaksanaan asas desentralisasi Negara Indonesia
dibagi menjadi daerah-daerah otonom, yakni Daerah
Otonom Tingkat I dan Daerah Otonom Tingkat II. Jadi
prinsip yang dipergunakan adalah desentralisasi teritorial.
i. Keberadaan pemerintah Pamong Praja dihapus, tetapi asas
dekonsentrasi tetap dijalankan. Bahkan lebih mendominasi
ketimbang asas desentralisasi. Hal ini nampak dengan
adanya:
1. Instasi Vertikal;

211 Bagir Manan, 1993, Perjalanan Historis Pasal 18 UUD


1945 Perumusan dan Undang-Undang Pelaksanaannya,
Unsika, Karawang, hlm. 35.
212 Pasal 11 UU No. 5 Tahun 1974.
213 Penjelasan Umum UU No. 5 Tahun 1974.
214 Pasal 13 UU No. 5 Tahun 1974.

2. Kepala Daerah yang sekaligus berkedudukan


sebagai Kepala Wilayah.

Berdasarkan pokok-pokok ketentuan yang terkandung di


dalam UU No. 5 Tahun 1974 tersebut, maka tidaklah
mengherankan jikalau penyelenggaraan pemerintahan lokal
bersifat sentralistik. Kondisi seperti ini berjalan lebih kurang
32 tahun di bawah pemerintahan Orde Baru. Sehingga dalam
perkembangannya belum ada satupun Daerah di Indonesia
yang dapat melaksanakan otonomi dengan sempurna. Bahkan
kecenderungan intervensi Pemerintah Pusat kepada
Pemerintah Daerah semakin menonjol.

8. Masa Menuju Konsolidasi Sistem Demokrasi (Setelah


Amandemen UUD 1945).
Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan
Daerah.
a. Undang-undang ini merupakan koreksi total terhadap UU
No. 5 Tahun 1974 yang bersifat sentralistik yang tidak
sejalan
dengan prinsip-prinsip demokratisasi pemerintahan yang
dikumandangkan sejak reformasi tahun 1998.
b. Hanya mengatur asas desentralisasi dan tugas
pembantuan di
Kabupaten/Kota.
c. Asas desentralisasi dan dekonsentrasi dilaksanakan secara
bersama-sama di Daerah Provinsi. Dengan demikian kedu-
dukan Provinsi di samping sebagai Daerah Otonom
sekaligus
merupakan wilayah administratif. Pemberian kedudukan
seperti ini dilakukan dengan pertimbangan:
1. Untuk memelihara hubungan yang serasi antara Pusat
dan Daerah dalam kerangka Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
2. Untuk menyelenggarakan otonomi daerah yang ber-
sifat lintas Daerah Kabupaten dan Daerah Kota serta
melaksanakan kewenangan otonomi daerah yang
belum dapat dilaksanakan oleh Daerah Kabupaten dan
Daerah Kota.
3. Untuk melaksanakan tugas-tugas pemerintahan tertentu
yang dilimpahkan dalam rangka pelaksanaan asas
dekonsentrasi.215
d. Terdapat pemisahan yang tegas antara kewenangan
Pemerintah
Pusat dan Daerah. Dalam hal ini Pasal 7 UU No. 22 Tahun
1999
menyatakan bahwa kewenangan daerah adalah mencakup
kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali
kewenangan bidang politik luar negeri, pertahanan
keamanan,
peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan
bidang lain.
e. Pengertian desentralisasi menurut Pasal 1 huruf c UU No.
22
tahun 1999 adalah penyerahan wewenang pemerintahan
oleh
pemerintah kepada daerah otonom dalam kerangka
Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
f. Yang dimaksud dengan otonomi daerah menurut Pasal 1
huruf
h UU No. 22 tahun 1999 adalah kewenangan daerah
otonom
untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat
setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi
masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-
undangan.
g. Menurut Pasal 1 huruf i yang dimaksud daerah otonom
adalah
kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas
tertentu berwenang mengatur dan mengurus kepentingan
masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri
berdasarkan
aspirasi masyarakat dalam ikatan Negara Kesatuan
Republik
Indonesia.
h. Pasal 14 ayat (1) UU No. 22 Tahun 1999 menyatakan
bahwa
di Daerah dibentuk Badan Legislatif Daerah dan
Pemerintah
Daerah sebagai Badan Eksekutif Daerah. Sedangkan
215 Penjelasan Umum UU No. 22 tahun 1999.
menurut
ayat (2) menyatakan bahwa Pemerintah Daerah terdiri atas
Kepala Daerah beserta perangkat daerah lainnya.

i. Menurut Pasal 32 ayat (2) UU No. 22 Tahun 1999, dalam


menjalankan tugas dan kewenangannya Kepala Daerah
bertanggungjawab kepada DPRD.
j. Menurut Pasal 4 UU No. 22 tahun 1999 daerah provinsi,
daerah kabupaten dan daerah kota yang dibentuk
berdasarkan asas desentralisasi, masing-masing berdiri
sendiri-sendiri dan tidak mempunyai hubungan hirarki
satu sama lain.

Berdasarkan pokok-pokok pikiran yang terkandung di


dalam ketentuan UU No. 22 tahun 1999 tersebut, dapat
disimpulkan bahwa dalam penyelenggaraan pemerintahan
lokal dipergunakan model sistem parlementer. Hal ini nampak
jelas dari:
1. Kepala Daerah dipilih dan diangkat oleh DPRD sebagai
parlemen Daerah.
2. Kepala Daerah dapat dikenai mosi tidak percaya oleh
DPRD jikalau pertanggungjawaban Kepala Daerah di tolak
oleh DPRD.216

Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan


Daerah.
Belum genap 5 (lima) tahun usia Undang-Undang No. 22
Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (UU Otonomi
Daerah) dilaksanakan dengan baik, wacana untuk melakukan
revisi terhadap UU tersebut sudah sedemikian marak. Banyak
persoalan yang melingkupi pelaksaanaa UU No. 22 tahun 1999
tersebut. Bahkan secara empiris UU ini justru dikatakan
membangun konsepsi otonomi daerah yang lebih maju (baca:
kebablasan), ketimbang yang diharapkan oleh UU itu sendiri.
Dikatakan lebih maju atau kebablasan, karena dalam
tataran praksis UU No. 22 Tahun 1999 telah membangun
konsep yang
216 Pasal 45 dan Pasal 46 UU No. 22 Tahun 1999.

justru merusak tatanan Negara Kesatuan RI, yang telah


disepakati sejak semula oleh para pendiri negara. Nuansa
federalisme dari UU tersebut sungguh sangat kental.
Berdasarkan pemahaman semacam itulah, maka
diterbitkanlah UU No. 32 tahun 2004 yang menggantikan UU
No. 22 tahun 1999.
Bila dikaji dari aspek historis, pada hakikatnya
penyusunan UU Otonomi Daerah yang mulai bergulir sejak
reformasi 1998, dapat diindikasikan sebagai suatu langkah
kompromis untuk menyatukan dua wacana yang berbeda.
Mengapa demikian ? Pada waktu itu dalam tataran
konsolidasi sistem demokrasi di Indonesia (meminjam istilah
dari Samuel P. Huntington), khususnya yang menyangkut
pembenahan sistem pemerintahan dan bangunan negara,
muncul dua wacana yang demikian kuat, yaitu keinginan
untuk melakukan perubahan bangunan negara menuju bentuk
federal dan keinginan untuk tetap mempertahankan bangunan
negara kesatuan dengan memberikan perluasan kepada aspek
desentralisasi dan otonomi daerah.
Modus kompromi tersebut nampak jelas dari perumusan
konsepsi yuridis Pasal 1 huruf c tentang pengertian
desentralisasi dan Pasal 7 ayat (1) UU NO. 22 tahun 1999
tentang kewenangan daerah. Kedua konsepsi yuridis inilah
yang pada hakikatnya menjadi pangkal permasalahan dari
berbagai permasalahan yang menyangkut pelaksanaan
otonomi daerah di Indonesia, sehingga UU Otonomi Daerah
tersebut perlu direvisi.
Konsepsi yuridis tentang desentralisasi - sebagaimana
ditegaskan di dalam UU Otonomi Daerah jelas menimbulkan
persoalan yang sangat fundamental, khususnya dalam tataran
pelaksanaannya. Kalimat yang menyatakan "penyerahan
wewenang pemerintahan", mengandung makna yang sangat
luas. Artinya dengan diserahkannya wewenang pemerintahan
tersebut, maka Daerah dapat memiliki otoritas pemerintahan
apa saja yang dapat dipergunakan sebagai dasar normatif
untuk melaksanakan berbagai urusan pemerintahan.
Konsep desentralisasi seperti itu kemudian diubah oleh
UU No. 32 tahun 2004 dengan konsepsi yang menyatakan
bahwa desentralisasi adalah penyerahan wewenang
pemerintahan oleh Pemerintah kepada daerah otonom untuk
mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dalam konteks Negara Kesatuan, maka kewenangan
untuk melakukan Pemerintahan dalam arti luas adalah tetap
ada pada Pemerintah (Pusat). Otonomi Daerah tidak dapat
diartikan sebagai wujud kedaulatan, melainkan harus
diartikan sebagai kemandirian daerah untuk mengatur dan
mengurus urusan-urusan (bidang-bidang) pemerintahan yang
dilimpahkan/diserahkan kepadanya sesuai dengan kriteria
yang telah ditentukan. Hal ini berbeda dengan otonomi yang
ada di dalam konteks negara federal. Negara bagian di dalam
negara federal memang memiliki kedaulatan ke dalam, karena
sejak semula - sebelum melakukan integrasi -negara-negara
bagian tersebut memang sudah memiliki kedaulatan sendiri-
sendiri secara penuh. Di negara federal desentralisasi
mengandung dua dimensi.
Pertama, substansi yang diserahkan adalah wewenang
pemerintahan, bukan urusan pemerintahan. Hal ini
disebabkan, secara normatif munculnya wewenang
pemerintahan pada hakikatnya berasal dari ada/tidaknya
kedaulatan. Wewenang pemerintahan dan Urusan
Pemerintahan merupakan dua istilah yang berbeda bila
ditinjau dari maknanya. Urusan Pemerintahan hanya
menyangkut bidang-bidang tertentu, sehingga wewenang
yang diberikan/ diserahkan juga sesuai dengan bidang
pemerintahan yang ada. Oleh sebab itulah, secara konseptual,
di dalam Negara Kesatuan seharusnya yang diserahkan
kepada Daerah tidak lain adalah Urusan Pemerintahan. Bukan
wewenang pemerintahan.
Substansi semacam tersebut pernah digunakan oleh UU
No. 5 tahun 1974. Dengan demikian, walaupun di dalam UU
No. 32 tahun 2004 pengertian desentralisasi tetap menyertakan
kalimat "dalam sistem Negara Kesatuan RI", namun dalam
pelaksanaanya tetap saja mengarah kepada penguatan konsep
federalisme sebab yang diserahkan lebih dominan
menyangkut wewenang pemerintahan.

Kedua, model penyerahan wewenang pemerintahan di


dalam konteks negara federal adalah bersifat bottom up, tidak
top down. Artinya yang memiliki inisiatif untuk melakukan
penyerahan wewenang pemerintahan itu tidak lain adalah
Negara Bagian. Dengan kata lain Negara Bagian mengambil
kewenangan-kewe-nangan pemerintahan terlebih dahulu,
baru sisanya diserahkan kepada Pemerintah Federal. Model
semacam ini sering disebut residu theory. Wewenang yang
diserahkan oleh Negara Bagian kepada Pemerintah Federal
pada umumnya menyangkut persoalan-persoalan yang
berkaitan dengan kedaulatan keluar, seperti politik luar
negeri, moneter dan fiskal, pertahanan serta peradilan. Oleh
sebab itu untuk menghindari warna federalis di dalam UU
tentang Pemerintahan Daerah, maka sekali lagi kriteria untuk
menentukan urusan pemerintahan bagi daerah otonom wajib
dicantumkan di dalam UU Pemerintahan Daerah.
Dalam teori perundang-undangan, konsepsi yuridis yang
tertuang didalam naskah UU harus mengandung ketegasan
makna dan kepastian hukum. Ketegasan makna diperlukan,
karena menurut teori perundang-undangan ketentuan yang
ada di dalamnya merupakan bentuk penemuan hukum yang
mengarah pada terbangunnya teori hukum, sehingga ketika
UU tersebut dilaksanakan tidak terjadi perdebatan yang
menyangkut penafsiran makna. Sedangkan mengandung
kepastian hukum, karena menyangkut standarisasi dalam
penegakan hukum, artinya dengan kepastian hukum tersebut
kepastian ukuran-ukuran yang menyangkut nilai normatif
yuridis dapat ditentukan. Nah Revisi terhadap UU No. 32
tahun 2004 tentunya harus memperhatikan kedua hal tersebut.
Bila ditinjau dari aspek substansinya, UU No. 32 tahun
2004 memang lebih lengkap daripada UU No. 22 tahun 1999.
Namun demikian justru dengan lengkapnya UU No. 32 tahun
2004 tersebut, kesan intervensi Pemerintah Pusat dalam
pelaksanaan prinsip desentralisasi dan otonomi daerah makin
terasa. Bahkan intervensi itu makin diperluas sampai ke
tingkat Desa. Padahal Desa dalam sejarahnya dimasukkan
dalam konteks zelfbestuurende lanschappeu yang sejak /.mi.m
hindia bolanda keberadaannya memang diakui melalui ' h-i
cntnilisatie wet 1903. Oleh sebab itulah dengan kemunculan UU
ini muncul wacana di tingkatan politik praktis maupun
akademis bahwa UU No. 32 tahun 2004 mengarah kepada
resentralisasi.
Wacana resentralisasi di dalam UU No. 32 Tahun 2004
nampak di dalam ketentuan Pasal 1 angka 2 UU No. 32 tahun
2004 menegaskan bahwa Pemerintahan daerah adalah
penyelenggara urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah
dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan
dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan
prinsip Negara Kesatuan Indonesia sebagaimana dimaksud
dalam UUD 1945.
Ketentuan seperti itu menjadi tidak bermakna jikalau
ternyata prinsip otonomi seluas-luasnya itu ternyata dibatasi
dalam hal mengatur dan mengurus urusan pemerintahan.
Pembatasan urusan pemerintahan nampak jelas tertuang di
dalam Pasal 13 yang ditujukan kepada Provinsi dan Pasal 14
yang ditujukan kepada kabupaten/kota. Pembatasan
sebagaimana tertuang di dalam pasal-pasal tersebut
menyiratkan bahwa sistem rumah tangga yang dipergunakan
adalah sistem rumah tangga materiil. Padahal dalam
pelaksanaan prinsip otonomi seluas-luasnya sistem rumah
tangganya jelas lebih menekankan sistem rumah tangga
formil.
UU No. 32 Tahun 2004 semakin menunjukkan paradigma
resentralisasi jika kita mengkaji PP No. 38 Tahun 2007 Tentang
Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah,
Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota. Di dalam Pasal 4 ayat (1) ditegaskan bahwa
pembagian urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (4) berdasarkan kriteria eksternalitas,
akuntabilitas, dan efisiensi dengan memperhatikan keserasian
hubungan antar tingkatan dan/ atau susunan pemerintahan.
Ketentuan semacam itu jelas menyimpang dari sistem
rumah tangga nyata yang menghendaki bahwa urusan
pemerintahan yang dapat diatur dan diurus oleh daerah
adalah urusan pemerintahan yang di dasarkan pada faktor-
faktor nyata suatu daerah, seperti kemampuan daerah,
keadaan daerah, dan kebutuhan daerah. Sementara itu,
kriteria eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi jelas tidak
menunjukkan adanya aspek karakteristik suatu daerah sebagai
prasyarat dari sistem rumah tangga nyata.
Menurut Penjelasan Pasal 4 ayat (1) PP No. 38 Tahun 2007
dinyatakan antara lain:
a. Eksternalitas adalah kriteria pembagian urusan
pemerintahan
dengan memperhatikan dampak yang timbul sebagai
akibat
dari penyelenggaraan suatu urusan pemerintahan. Apabila
dampak yang ditimbulkan bersifat lokal, maka urusan
pemerintahan tersebut menjadi kewenangan pemerintahan
daerah kabupaten/kota. Sedangkan apabila dampaknya
bersifat lintas kabupaten/kota dan/atau regional maka
urusan
pemerintahan itu menjadi kewenangan provinsi, dan
apabila
dampaknya bersifat lintas provinsi dan/atau nasional,
maka
urusan itu menjadi kewenangan pemerintah.
b. Akuntabilitas adalah kriteria pembagian urusan
pemerintahan
dengan memperhatikan pertanggungjawaban pemerintah,
pemerintahan daerah Provinsi, dan pemerintahan daerah
kabupaten/kota dalam penyelenggaraan urusan pemerin-
tahan tertentu kepada masyarakat. Apabila dampak
penye-
lenggaraan bagian urusan pemerintahan secara langsung
hanya dialami secara lokal (satu kabupaten/kota), maka
pemerintahan kabupaten/kota bertanggungjawab
mengatur
dan mengurus urusan pemerintahan tersebut. Sedangkan
apabila dampak penyelenggaraan bagian urusan
pemerintahan
secara langsung dialami oleh lebih dari satu
kabupaten/kota
dalam satu provinsi, maka pemerintah daerah provinsi
yang
bersangkutan bertanggungjawab mengatur dan mengurus
urusan pemerintahan tersebut; dan apabila dampak
penyelenggaraan urusan pemerintahan tersebut dialami
lebih
dari satu provinsi dan/atau bersifat nasional maka
Pemerintah
bertanggungjawab untuk mengatur dan mengurus urusan
pemerintahan tersebut.
c. Efisiensi adalah kriteria pembagian urusan pemerintahan
dengan memperhatikan daya guna tinggi yang dapat di-
peroleh dari penyelenggaraan suatu urusan pemerintahan.
Apabila urusan pemerintahan lebih berdayaguna
ditangani pemerintahan daerah kabupaten/kota, maka
diserahkan kepada pemerintahan daerah kabupaten kota,
sedangkan apabila akan lebih berdayaguna bila ditangani
pemerintahan daerah provinsi, maka diserahkan kepada
pemerintahan daerah provinsi. Sebaliknya apabila suatu
urusan pemerintahan akan berdayaguna bila ditangani
Pemerintah maka akan tetap menjadi kewenangan
pemerintah.
Kriteria-kriteria tersebut di atas menunjukkan sekali lagi
bahwa sistem rumah tangga nyata tidak secara tegas dan pasti
dipergunakan sebagai parameter dalam pembagian urusan
pemerintahan. Bahkan jika kita mencermati secara lebih
mendalam, maka kriteria-kriteria tersebut lebih menunjukkan
aspek ketergantungan pemerintah daerah kepada pemerintah
pusat, karena penentuan kriteria-kriteria tersebut pada
akhirnya yang akan memberikan garis penegasan tetap ada
pada pemerintah pusat. Lain daripada itu, dengan menelaaah
kriteria-kriteria tersebut maka aspek supervisi ataupun
pengendalian pemerintah pusat kepada pemerintah daerah
lebih ditonjolkan.
Demikianlah gambaran singkat mengenai perjalanan
sejarah pengaturan tentang pemerintahan lokal di Indonesia.
Menyimak perjalan sejarah tersebut nampak jelas bahwa
eksperimentasi sistem desentralisasi dalam sejarah
ketatanegaraan Indonesia terus dilakukan. Hal ini memang
masuk akal karena dalam sejarahnya perjalanan
ketatanegaraan Indonesia, desentralisasi dan otonomi
memang belum akrab dalam khasanah sistem pemerintahan
dalam arti luas, walaupun sejak zaman kolonial memang
sudah dikenal adanya satuan-satuan pemerintahan otonom
yang diatur berdasarkan hukum asli Indonesia.

F. Hakikat Otonomi Daerah Menurut Sistem Rumah


Tangga Daerah
Menurut Pasal 1 angka 5 UU No. 32 tahun 2004 otonomi
daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom
untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan
dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan
peraturan perundang-undangan. Rumusan seperti ini mirip
dengan rumusan yang tertuang di dalam UU No. 22 Tahun
1999.
Persoalannya adalah, apakah hak, wewenang, dan
kewajiban tersebut merupakan sesuatu yang tumbuh dan
berkembang secara alami serta melekat dalam diri masing-
masing daerah otonom yang kemudian diakui oleh
pemerintah pusat melalui perundang-undangan, ataukah
hanya sekedar pemberian atau penyerahan dari pemerintah
pusat. Serta bagaimanakah konsekuensinya jika otonomi yang
akan diterapkan tersebut adalah otonomi luas?
Untuk menjawab persoalan tersebut, maka secara teoritis
harus dikaitkan dengan sistem rumah tangga daerah yang
akan dipergunakan dalam penyelenggaraan pemerintahan
lokal. Oleh sebab itu di bawah ini akan disajikan hakikat
otonomi daerah menurut masing-masing sistem rumah tangga
daerah.

1. Hakikat Otonomi Daerah Menurut Sistem Rumah


Tangga Materiil.
Konsep dasar dari sistem rumah tangga materiil adalah,
adanya pembedaan antara urusan pemerintahan Pusat dan
Urusan Pemerintahan Daerah. Dalam sistem rumah tangga
materiil agar daerah memiliki urusan pemerintahan maka
prinsip tentang ada atau tidaknya penyerahan urusan
pemerintahan dari pusat kepada daerah juga harus menjadi
alasan utama.
Konsep teoritis semacam inilah yang mengakibatkan ada
atau tidaknya otonomi daerah sangat bergantung dari ada
atau tidaknya penyerahan urusan pemerintahan kepada
daerah. Oleh sebab itu dapat dikatakan bahwa hakikat
otonomi daerah menurut sistem rumah tangga materiil bukan
merupakan sesuatu yang tumbuh dan berkembang secara
alami yang kemudian oleh pemerintah diakui keberadaannya,
melainkan semata-mata hanya merupakan pemberian dari
pemerintah pusat.
Konsekuensi lebih lanjut dari konsepsi seperti apabila di-
letakkan dalam rangka pemberian otonomi luas, maka
keluasan itu akan diukur berdasarkan pada banyak atau
sedikitnya urusan pemerintahan yang akan diserahkan
kepada pemerintah daerah. Jadi otonomi luas akan diukur
dari aspek kuantitas urusan pemerintahan yang menjadi hak,
wewenang, dan kewajiban pemerintah daerah untuk diatur
dan diurus sebagai urusan rumah tangga sendiri.

2. Hakikat Otonomi Daerah Menurut Sistem Rumah


Tangga Formil.
Titik tolak pandangan sistem rumah tangga formil adalah
tidak membedakan antara urusan pemerintahan pusat dengan
urusan pemerintahan daerah. Daerah tetap saja dapat
mengatur dan mengurus urusan pemerintahan apa saja tanpa
harus menunggu ada/tidaknya penyerahan dari pemerintah
pusat, asalkan urusan pemerintahan tersebut bermanfaat bagi
perkembangan dan pertumbuhan daerah dan masyarakatnya.
Di dalam Pasal 1 angka 5 UU No. 32 Tahun 2004
dinyatakan bahwa otonomi daerah adalah hak, wewenang,
dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus
sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat
setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Mencermati bunyi ketentuan tersebut, maka titik tolak
otonomi daerah adalah ada pada kalimat "mengatur dan
mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan
masyarakat setempat". Sedangkan kalimat "sesuai dengan
peraturan perundang-undang" pada hakikatnya merupakan
bentuk pembatasan yuridis agar dalam menyelenggarakan
urusan pemerintahan tersebut tidak menyimpang dari rambu-
rambu paraturan perundang-undangan. Berdasarkan kalimat
kunci dari ketentuan tersebut, maka penafsiran gramatikalnya
adalah bahwa penyelenggaraan otonomi daerah lebih
ditekankan pada inisiatif dan prakarsa daerah, bukan
merupakan sesuatu yang bersifat pemberian atau penyerahan
dari pemerintah pusat, namun dalam pelaksanaannya harus
tetap mengindahkan rambu-rambu peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
Hal tersebut berarti kalau kebijakan otonomi luas akan
dilaksanakan dalam sistem pemerintahan lokal, maka aspek
kualitas penyelenggaraan urusan pemerintahan harus menjadi
kerangka acuan utama. Artinya urusan pemerintahan yang
menjadi hak, wewenang, dan kewajiban daerah harus
diletakkan pada aspek dayaguna dan hasilguna bagi
masyarakat daerah dengan tetap memperhatikan rambu-
rambu peraturan perundang-undangan yang berlaku.

3. Hakikat Otonomi Daerah Menurut Sistem Rumah Tangga


Riil (Nyata).
Menurut sistem rumah tangga riil (nyata) urusan
pemerintahan yang dapat diatur dan diurus sendiri oleh
pemerintah daerah di dasarkan pada keadaan atau faktor-
faktor nyata yang ada di masing-masing daerah. Lain
daripada itu, sistem rumah tangga riil mengandung unsur
rumah tangga materiil dan unsur rumah tangga formil.
Unsur sistem rumah tangga materiil nampak dari adanya
pembedaan urusan pemerintahan di tingkat pusat dan di
tingkat daerah melalui penyerahan urusan pemerintahan
pangkal pada waktu pembentukan daerah otonom. Sedangkan
unsur sistem rumah tangga formil nampak dari adanya
kebebasan daerah untuk mengatur dan mengurus urusan
pemerintahan di luar urusan pangkal yang telah diserahkan
sesuai dengan inisiatif dan kreatifitas daerah asalkan tidak
melanggar rambu-rambu peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
Konsep sistem rumah tangga riil (nyata) yang demikian
ini, apabila dikaitkan dengan otonomi daerah, dapat
digambarkan bahwa keberadaan otonomi daerah bersumber
dari aspek pemberian sekaligus merupakan bentuk pengakuan
terhadap insiatif dan kreatifitas daerah yang berlandaskan pada
kepentingan masyarakat setempat. Oleh sebab itu dalam
konsepsi sistem rumah tangga riil (nyata), otonomi luas
bertitik dari penggabungan aspek kuantitas dan aspek
kualitas.
Aspek kuantitas akan muncul dengan sendirinya jikalau
daerah otonom secara kualitas memang mampu
menyelenggarakan urusan pemerintahan sesuai dengan
karakteristik dan aspirasi masyarakat di daerahnya masing-
masing. Berdasarkan pemahaman tersebut di atas, maka
jikalau otonomi luas itu diletakkan dalam konsepsi sistem
rumah tangga riil (nyata), maka akan meninbulkan kon-
sekuensi sebagai berikut:
a. Basis penyelenggaraan otonomi luas akan lebih
menekankan
pada kondisi atau kedaaan nyata dari suatu daerah
(otonom).
Bukan tingkatan daerah (otonom) tertentu. Artinya
perluasan
otonomi daerah itu akan diarahkan kepada Daerah-daerah
yang memang telah memenuhi kriteria kemampuan,
kedaaan
dan kebutuhan.
b. Perluasan otonomi akan lebih menekankan pada aspek
kualitas
daerah dalam mengatur dan mengurus urusan
pemerintahan.
Artinya daerah akan diberi keleluasaan dan kebebasan
dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan asalkan
daerah tersebut memang mampu berdasarkan keadaan
yang
dimiliki.
c. Perluasan otonomi daerah mengandung maksud untuk
meningkatkan kemandirian daerah dalam mengatur dan
mengurus urusan pemerintahan, jadi bukan dimaksud
untuk
memberikan kedaulatan, karena kemandirian tersebut
tetap
harus dalam koridor paraturan perundang-undangan
yang
berlaku di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.
d. Berdasarkan prinsip sistem rumah tangga riil (nyata),
kebijaksanaan perluasan otonomi tidak berarti seluruh
urusan
pemerintahan akan diserahkan kepada daerah. Hanya
urusan
pemerintahan yang sesuai dengan kondisi atau
karakteristik
daerah-lah yang akan diserahkan. Sehingga akan dijumpai
keanekaragaman urusan pemerintahan di masing-masing
daerah. Dengan demikian, perluasan otonomi daerah ber-
dasarkan prinsip rumah tangga riil (nyata) pada
hakikatnya merupakan bentuk penolakan terhadap
penyeragaman urusan pemerintahan di seluruh daerah
otonom.

Tidak dapat dielakkan, bahwa dalam rangka mencari


format pemerintahan lokal menuju konsolidasi sistem
demokrasi memang nuansa eksperimentasi (coba-coba) dalam
membentuk sistem pemerintahan lokal amat terasa. Dalam
wacana otonomi daerah, terdapat dua pandangan yang
mencoba memberikan konsep ideal mengenai pengaturan
pemerintahan lokal di Indonesia. Di satu pihak menghendaki
dengan mengembangkan konsep federalistis dan dilain pihak
tetap bersikukuh untuk mempertahankan bangunan negara
kesatuan dengan prinsip desentralisasi.
Perbedaan argumentasi mengenai bangunan negara dalam
rangka menyusun sistem pemerintahan lokal, pada
hakikatnya tidak perlu dipanjang lebarkan. Hal ini mengingat
dalam dataran teoritis antara federalisme dan unitarisme
dengan prinsip desentralisasi tidak menunjukkan perbedaan
yang cukup signifikan. Kalaupun ada perbedaan itupun hanya
berkaitan dengan mekanisme pemencaran kekuasaan dan
pembagian urusan pemerintahan saja.
Di negara federal, asumsi dasarnya adalah terbentuk
karena adanya penggabungan negara-negara kecil yang sejak
semula memang sudah memiliki kedaulatan secara penuh.
Dalam angka penggabungan itulah, maka dilakukan
perjanjian di antara negara-negara kecil tersebut disertai
dengan penyerahan sebagian kedaulatannya yang berwujud
wewenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan.
Kedaulatan yang diserahkan kepada pemerintah gabungan
(federal) tidak lain adalah kedaulatan keluar yang pada
umumnya menyangkut urusan pemerintahan di bidang
politik luar negeri, pertahanan, penentuan mata uang
(moneter dan fiskal), peradilan. Sementara kedaulatan ke
dalam tetap melekat di masing-masing negara bagian yang
tercermin dari urusan-urusan pemerintahan yang bersifat
lokal yakni urusan pemerintahan di luar yang telah diatur dan
diurus oleh pemerintah federal.
Sedangkan di dalam bangunan negara kesatuan, asumsi
dasarnya adalah terbentuk karena tidak ada satupun wilayah
negara yang sejak semula telah memiliki kedaulatan. Artinya
negara kesatuan itu terbentuk karena tidak ada komplain dari
wilayah-wilayah negara yang sejak semula telah berdaulat.
Negara kesatuan itu terbentuk dengan kedaulatan yang penuh
dan tak terbagi-bagi. Dengan konsepsi seperti ini, maka demi
melaksanakan prinsip pemencaran kekuasaan, efisiensi dan
efektifitas penyelenggaraan pemerintahan serta demokratisasi,
dilakukanlah pembagian urusan pemerintahan kepada
daerah-daerah. Oleh sebab itu keberadaan daerah-daerah
otonom yang memiliki urusan pemerintahan sendiri pada
hakikatnya karena adanya kehendak dari pemerintah pusat.
Berdasarkan kerangka konsepsional seperti inilah, maka
nampak bahwa perbedaan federalisme dan unitarisme hanya
ada pada mekanisme pendistribusian urusan-urusan
pemerintahan. Di dalam negara federal prakarsa untuk
menyerahkan sebagian urusan pemerintahan ada pada negara
yang bergabung. Sedangkan di dalam konsep negara
kesatuan, prakarsa untuk menyerahkan sebagian urusan
pemerintahan ada pada pemerintah pusat.
Oleh sebab itu dapat dikatakan bahwa di dalam konsep
negara federal dikenal adanya bottom up decentralization,
artinya penyerahan urusan-urusan pemerintahan dari negara-
negara yang bergabung kepada pemerintah pusat (federal)
untuk diatur dan diselenggarakan sebagai kewenangan
nasional dalam rangka pencapaian tujuan bersama. Sedangkan
di negara kesatuan dikenal adanya top down decentralization,
artinya penyerahan urusan pemerintahan dari pemerintah
pusat kepada pemerintah lokal, dalam rangka melaksanakan
efisiensi, efektifitas pemerintahan, serta demokratisasi dan
prinsip negara hukum.
Pemberian otonomi kepada daerah justru merupakan saru
syarat penting agar kelangsungan hidup Negara Kesatuan
Republik Indonesia dapat terjaga. Bahwa sekarang dalam
pelaksanaan otonomi kepada daerah terjadi berbagai masalah,
hendaknya harus dipandang sebagai proses pembelajaran.
Selama lebih dari 50 tahun, daerah dikendalikan secara
terpusat oleh Jakarta. Maka sebagaimana tahun 1945 bangsa
Indonesia belajar menjadi bangsa merdeka, kini orang daerah
belajar hidup secara otonom. Tanpa otonomi daerah, bangsa
Indonesia akan terus mengalami guncangan dari dalam dan
hal ini jelas akan dimanfaatkan kekuatan luar yang tidak
menghendaki terwujudnya Republik Indonesia yang maju,
sejahtera, dan kuat. Bahkan, tidak mustahil ada kekuatan luar
yang memanfaatkan masalah daerah untuk mempengaruhi
daerah tertentu untuk merdeka, lalu menjadi negara yang
dikuasai kekuatan luar itu.
Bab VIII KEWARGANEGARAAN

Setiap orang BerHak^atas sesuatu kewarganegaraan. (Dan


tidak\_seorangpun dengan semena-mena dapat dikeluarkan dari
pewarganegaraannya atau ditolak.untuk^mengganti
pewarganegaraannya (Article IS (Declaration Universalof Human
(Rights)

A. Pengertian dan Batasan.


Sebagaimana telah penulis kemukakan dalam bab-bab ter-
dahulu, bahwa obyek kajian Hukum Tata Negara, di samping
membahas mengenai organisasi dan tata kerja organ-organ
atau alat-alat perlengkapan negara, hubungan antar alat
perlengkapan negara baik horizontal maupun vertikal, juga
mempelajari hubungan antara alat-alat perlengkapan negara
dengan Warga Negara. Obyek kajian Hukum Tata Negara
yang demikian ini tentu dilandasi oleh kenyataan bahwa
proses terbentuknya negara, tidak mungkin meninggalkan
salah satu unsur utamanya, yakni Warga Negara (rakyat).
Di dalam teori kedaulatan rakyat sebagaimana
dikemukakan oleh JJ. Rousseau, terbentuknya negara tidak
lain adalah disebabkan oleh adanya kontrak sosial atau
perjanjian masyarakat. Bahkan menurut Bierens de Haan
dikatakan:
"Negara adalah lembaga manusia; manusialah yang
membentuk negara. Dan manusia yang membentuk
negara itu, merupakan

makhluk perorangan (cdehoelzen) dan merupakan juga


mahluk sosial (gemeenschapswezen). Masyarakat dalam
dirinya secara alami mengandung keinginan untuk
berorganisasi yang timbul karena dorongan dari dalam.
Dan negara adalah bentuk berorganisasinya suatu
masyarakat, yaitu masyarakat bangsa. Meskipun
masyarakat bangsa terbagi dalam kelompok-kelompok,
negara membentuk satu kesatuan yang bulat dan
mewakili sebuah cita (eed idee vertegenwoordigt)" .217

Terkait dengan persoalan berorganisasinya suatu


masyarakat. CF. Birch mengemukakan bahwa untuk
membentuk organisasi negara, maka secara teoritis terdapat
dua tahapan yang harus dilalui, yaitu:
1. Tahap Integrasi Nasional, yaitu proses menyarunya
kelompok-kelompok masyarakat dalam bidang politik-
historis, sosiokultural, interaksi (transportasi-komunikasi),
dan ekonomi, sehingga menjadi kelompok yang lebih
besar daripada daerah (regional), tetapi bukan kelompok
internasional, yang mempunyai identitas berbeda dengan
kelompok lain sesamanya. Hasil integrasi ini sering
disebut Bangsa.
1. Tahap Integrasi Negara, yaitu proses munculnya
kelompok penguasa yang menguasai wilayah bangsa itu
secara bertahap, yakni:
a. menundukkan saingan-saingannya;
b. menentukan batas-batas wilayah kekuasaannya;
c. menciptakan polisi dan pengadilan untuk mendukung
ketertiban; dan
d. tahap penetrasi administrasi, yakni pembentukan
birokrasi
untuk melaksanakan undang-undang dan
pengumpulan
pajak.218
217 Bierens de Haan, dalam Hamid S. Attamimi,
(Disertasi), 1990, Peranan Keputusan Presiden Republik
Indonesia Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara,
Pascasarjana UI, Jakarta, hlm. 53-54.
218 CF. Birch, dalam PJ. Suwarno, 1994, Hamengku
Buwono IX dan Sistem Birokrasi Pemerintahan

Krtrtii 'gantgainun 353

Berkaitan dengan hubungan antara rakyat (Warga Negara)


dengan negara, KG. Kartasapoetra mengatakan:
"Rakyat merupakan salah satu unsur bagi terbentuknya
suatu negara, di samping unsur wilayah dan unsur
pemerintah. Suatu negara tidak akan terbentuk tanpa
adanya rakyat walaupun mempunyai wilayah tertentu
dan pemerintahan yang berdaulat, demikian pula kalau
rakyatnya ada yang berdiam pada wilayah tertentu akan
tetapi tidak memiliki pemerintahan sendiri yang berdaulat
ke dalam dan ke luar, maka negara itupun jelas tidak bakal
ada".219

Pendapat-pendapat tersebut di atas menunjukkan sekali


lagi bahwa antara negara dan Warga Negara merupakan dua
hal yang saling berkaitan. Bahkan tidak mungkin dapat
dipisahkan. Dengan demikian pendapat-pendapat tersebut
memberikan pertanda bahwa pembahasan mengenai Hukum
Tata Negara tidak mungkin akan melepaskan diri dari peran
dan fungsi dari Warga Negara. Oleh sebab itu masalah
kewarganegaraan termasuk di dalamnya hak-hak asasi
manusia menjadi pokok bahasan yang tidak akan ditinggalkan
dalam mempelajari Hukum Tata Negara.
Lain daripada itu dengan mencermati pendapat-pendapat
tersebut di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa unsur utama
yang harus dipenuhi oleh negara sebagai organisasi kekuasaan
tidak lain dan tidak bukan adalah adanya rakyat (Warga
Negara) yang bertindak sebagi anggota sekaligus sebagai
unsur pembentuk organisasi negara tersebut. Oleh sebab itu di
dalam mekanisme kehidupan ketatanegaraan, keberadaan
Warga Negara (rakyat) menduduki posisi sentral bahkan
kalau boleh mengatakan sangat menentukan. Persoalan akan
menjadi lain, jikalau posisi yang demikian itu tidak nampak
dalam seluruh mekanisme kehidupan ketatanegaraan di suatu
negara. Salah satu sebab yang dapat dikemukakan disini tidak
lain adalah sistem pemerintahan dari negara itulah yang tidak
kondusif dalam meletakkan posisi Warga Negaranya.

Di dalam buku Diskriminasi Warga Negara dan Hak Asasi


Manusia, antara lain dikemukakan bahwa istilah Warga
Negara merupakan terjemahan istilah Belanda Staatsburger.
Dalam pengertian yang sama, terjemahan istilah Inggris
adalah citizen, dan pada terjemahan istilah Perancis adalah
citoyen. Di dalam buku ini, juga dikemukakan pendapat
Sutandjo Wignjosoebroto bahwa istilah tersebut
menggambarkan adanya pengaruh konsep polis pada masa
Yunani Purba, karena kedua terjemahan istilah Inggris dan
Perancis itu secara harafiah artinya adalah warga kota.
Sementara itu menurut bahasa Indonesia dikenal istilah kaula
negara, yang berasal dari kata kaula dalam bahasa Jawa.220
Dalam terminologi keseharian (awam) pengertian
mengenai kewarganegaraan atau Warga Negara/rakyat sering
disamakan dengan penduduk. Sehubungan dengan hal ini RG.
Kartasapoetra mengemukakan penjelasan sebagai berikut:
1. Yang dimaksud dengan rakyat suatu negara haruslah
mempunyai ketegasan bahwa mereka itu benar-benar
tunduk pada UUD negara yang berlaku, mengakui
kekuasaan negara tersebut dan mengakui wilayah negara
tadi sebagai wilayah tanah airnya yang hanya satu-
satunya;
2. Penduduk ialah semua orang yang ada ataupun bertempat
tinggal dalam wilayah negara dengan ketegasan telah me-
menuhi persyaratan-persyaratan tertentu yang ditetapkan
oleh peraturan negara, sehingga mereka dapat melakukan
kegiatan-kegiatan kehidupan yang sewajarnya di wilayah
negara yang bersangkutan. Dengan demikian bukan
penduduk yaitu mereka yang berada di wilayah suatu
negara hanya untuk sementara waktu, jelasnya mereka
tidak bermaksud bertempat tinggal di wilayah negara
yang bersangkutan.221

Dari batasan pengertian tersebut, maka rakyat


mengandung pengertian atau sering disamakan dengan

220 M. Indradi Kusuma, et.al, 2000, Diskriminasi Warga


Negara dan hak Asasi Manusia, Komnas HAM, Jakarta,
hlm. 3.
warganegara. Sedangkan

penduduk mempunyai arti yang lebih luas, yakni meliputi


Warga Negara atau rakyat maupun bukan Warga Negara.
Yang penting di sini bagi penduduk, adalah menyangkut
domisilinya.
Terkait dengan pembedaan antara Warga Negara dan pen-
duduk tersebut di atas, UUD 1945 juga mengatur mengenai
pembedaan dalam perlakuan, khususnya mengenai
perlindungan terhadap Warga Negara dan perlindungan
terhadap penduduk. Contoh Pasal-pasal UUD 1945 yang
mencerminkan hal tersebut, adalah:
a. Pasal 27 menegaskan:
(1) Segala Warga Negara bersamaan kedudukannya di
dalam hukum dan pemerintahan dan wajib
menjunjung hukum dan pemerintahan dengan tidak
ada kecualinya.
(2) Tiap-tiap Warga Negara berhak atas pekerjaan dan
penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.
(3) Setiap Warga Negara berhak dan wajib ikut serta
dalam upaya pembelaan negara.
Ketentuan pasal seperti ini memberikan penegasan
akan perlindungan terhadap Warga Negara.
b. Pasal 29 menegaskan:
(1) Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa.
(2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk
untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk
beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
Ketentuan pasal seperti ini jelas memperlihatkan
adanya
perlindungan bagi seluruh penduduk. Apakah mereka ini
Warga Negara ataupun bukan Warga Negara. Pendek kata
siapapun yang berdomisili di wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia di jamin haknya untuk memeluk
agama dan beribadat menurut agama dan kepercayaannya
itu.

Pembedaan perlindungan sebagaimana dicontohkan


dalam pasal-pasal tersebut di atas pada hakikatnya
merupakan bentuk implementasi pelaksanaan perlindungan
hak-hak asasi manusia.

Dalam konteks hak asasi manusia dikenal adanya hak yang


bersifat individual (HAM Klasik) dan hak yang bersifat sosial
dan politik (HAM Modern). Perlindungan terhadap Hak asasi
manusia yang bersifat pribadi pada hakikatnya mengadung
dimensi universal. Artinya setiap orang harus memperoleh
jaminan akan hak tersebut. Contohnya hak untuk memeluk
agama. Sedangkan perlindungan Hak Asasi manusia di
bidang sosial dan politik, pada hakikatnya bersifat
kontekstual. Artinya perlindungan itu hanya ditujukan
kepada anggota organisasi kekuasaan yang disebut negara,
karena anggota inilah yang terikat kontrak sosial pada saat
pembentukan negara. Anggota tersebut tidak lain adalah
Warga Negara.
Negara sebagai lembaga yang diciptakan oleh manusia,
sebagaimana dikemukakan oleh Bierens de Haan, jelas mem-
butuhkan Warga Negara. Akan tetapi persoalannya adalah
siapakah yang dapat mengklaim bahwa seseorang itu
merupakan Warga Negara atau bukan dan apakah setiap
orang mempunyai hak untuk disebut sebagai Warga Negara
dari suatu negara?
Menurut Pasal 1 Konvensi Den Haag 1930 dinyatakan
bahwa penentuan kewarganegaraan merupakan hak mutlak
dari negara yang bersangkutan. Namun demikian hak mutlak
ini dibatasi oleh apa yang disebut sebagai general principles,
yaitu:
1. Tidak boleh bertentangan dengan konvensi-konvensi inter-
nasional;
2. Tidak boleh bertentangan dengan kebiasaan internasional;
dan
3. Tidak boleh bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum
umum yang secara internasional diterapkan dalam hal pe-
nentuan kewarganegaraan.

Berdasarkan pada konvensi Den Haag 1930 tersebut, maka


negara mempunyai wewenang untuk membentuk berbagai
ketentuan mengenai kewarganegaraannya. Hal inilah yang
menyebabkan dalam penentuan status kewarganegaraan
seseorang dikenal adanya asas ius sanguinis, yakni penentuan
status kewarganegaraan seseorang berdasarkan keturunan
(pertalian darah),
Kewarganegaraan — 357

dan asas ius soli, yaitu penentuan status kewarganegaraan


seseorang berdasarkan tempat dimana orang tersebut
dilahirkan.
Kendati negara mempunyai wewenang mutlak untuk me-
nentukan status kewarganegaraan seseorang, apakah memper-
gunakan asas ius sanguinis atau ius soli, namun menurut Pasal
5 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia dinyatakan bahwa
setiap orang berhak atas kewarganegaraannya, dan tidak
seorangpun dapat dengan sewenang-wenang dicabut
kewarganegaraannya ataupun tidak dapat diingkari hak
untuk mengganti kewarganegaraannya.222
Dari dua konstruksi hukum internasional tersebut, maka
jikalau diterapkan pasti akan menimbulkan benturan
kepentingan. Disatu sisi negara memiliki wewenang mutlak
untuk menentukan status kewarganegaraan seseorang,
sementara di sisi lain setiap orang juga berhak atas kejelasan
status kewarganegaraannya. Termasuk memilih kejelasan
status kewarganegaraannya. Dengan adanya benturan
kepentingan inilah, maka menurut teori hukum umum akan
menimbulkan kewajiban di masing-masing pihak.
Kewajibanyang dimaksud tidak lain adalah, bagi negara
dituntut atau wajib memberikan pengakuan dan perlindungan
bagi setiap orang yang berkeinginan menjadi Warga Negara
melalui perangkat hukum nasional. Sementara itu bagi setiap
orang dituntut atau wajib untuk mengambil ketegasan
mengenai status kewarganegaraannya melalui tata cara yang
telah diatur oleh perangkat hukum nasional.
B. Konsekuensi Yuridis Status Kewarganegaraan.
Status kewarganegaraan seseorang
akanmembawakonsekuensi yuridis bagi keberadaannya di
dalam organisasi kekuasaan yang disebut negara.
Konsekuensi yuridis tersebut meliputi bidang Hukum Perdata
Internasional, Hukum Kekeluargaan (Familie
222 Peter Baehr, et.al, 1997, Instrumen Internasional Pokok
Hak-hak Asasi Manusia, Obor Indonesia, Jakarta, hlm.
839.

Rcclit), dan Hukum Publik. Konsekuensi yuridis di masing-


masing bidang hukum tersebut, adalah:223
1. Konsekuensi di bidang Hukum Perdata Internasional,
dikenal adanya asas nasionalitas (nationaliteit principles)
yang intinya merumuskan bahwa status hukum seorang
Warga Negara dalam hal hak dan kewajiban akan melekat
dimana ia berada. Hal ini berarti bila ditinjau dari aspek
Hukum Perdata Internasional, keberadaan hukum
nasional akan tetap mempengaruhi sikap dan tindak
seorang Warga Negara, walaupun ia berada diluar wilayah
yuridiksi hukum nasional suau negara. Prinsip semacam
ini sangat penting untuk diterapkan, karena aspek
perlindungan hukum bagi seorang Warga Negara akan
selalu dibutuhkan dimanapun mereka berada. Bagi Negara
Kesatuan Republik Indonesia, prinsip semacam ini selaras
dengan visi dan misi yang teruang di dalam Pembukaan
UUD 1945, yakni melindungi segenap tumpah dan darah
Indonesia. Namun demikian, penerapan nationaliteit
principles ini ternyata acap kali sulit untuk diterapkan
dalam melakukan perlindungan dan penegakan hukum
nasional bagi Warga Negara yang berada di luar wilayah
kedaulatan negara, manakala ada peristiwa-peristiwa
hukum yang tidak memungkinkan hukum nasional ikut
terlibat di dalamnya. Hal ini disebabkan dalam lingkup
hukum internasional juga dikenal adanya prinsip domisili.
Prinsip ini menghendaki bahwa status hukum mengenai
hak dan kewajiban seseorang ditentukan oleh hukum
dimana orang tersebut berada. Contoh konkrit yang dapat
dikemukakan disini adalah kasus yang menimpa beberapa
Tenaga Kerja Indonesia yang diduga melakukan kejahatan
di luar negeri, termasuk yang divonis oleh lembaga
peradilan suatu negara di mana Warga Negara Indonesia
berada. Dengan demikian dalam pelaksanaan kedua
prinsip tersebut, negara sebagai organisasi kekuasaan yang
223 Bandingkan dengan M. Indradi Kusuma, et.al, Op.cit,
berkewajiban melindungi Warga Negaranya sering
dihadapkan pada dilema hukum. Di satu pihak
mempunyai kewajiban untuk melindungi Warga
Negaranya dengan menerapkan hukum nasional
dimanapun berada, sedang dipihak lain juga harus
menghormati hukum negara lain karena alasan prinsip
domisili. Berkaitan dengan hal inilah, maka langkah yang
sering dilakukan adalah dengan mengadakan perjanjian
ekstradisi yang dalam tataran substansinya banyak
mengandung aspek politis. Konsekuensi di bidang Hukum
kekeluargaan (Familie Recht). Status kewarganegaraan
seseorang akan membawa implikasi adanya kepastian
hubungan hukum, khususnya mengenai hak dan
kewajiban antara orang tua dan anak, pewarisan,
perwalian ataupun pengampuan. Dalam persoalan
pewarisan, fenomena hukum di Indonesia sebagian besar
masih menggariskan pada pemberlakuan Hukum Adat,
yang kadang kala justru dianggap tidak memenuhi rasa
keadilan dan tidak mencerminkan kesetaraan gender.
Kesan diskriminatif dalam hal pewarisan dalam konsepsi
Hukum Adat masih sangat kental. Misalnya Hukum Waris
Adat bagi masyarakat Jawa yang menekankan pembagian
waris dengan konsep segendong-sepikul. Artinya laki-laki
memperoleh dua bagian sementara wanita hanya
memperoleh satu bagian. Demikian juga pola yang berlaku
di lingkungan Hukum Adat yang lain seperti di Bali dan
Batak yang mempergunakan garis patrilineal (garis laki-
laki) maupun Minangkabau (Sumatera Barat) yang
mempergunakan garis matrilinial (garis perempuan).
Namun demikian, persoalan keadilan dan kesetaraan
gender dalam Hukum Waris Adat tentunya tidak terkait
dengan persoalan hukum kewarganegaraan yang akan
disusun. Hal ini disebabkan, pada prinsipnya hukum
kewarganegaraan hanya dibentuk dan diimplementasikan
dalam kaitannya dengan status seseorang bila berhadapan
dengan negara. Pendek kata, konsekuensi yuridis status
kewarganegaraan seseorang di bidang Hukum
kekeluargaan akan memberikan penegasan mengenai
status kewarganegaraan anak dari seorang Warga Negara.

3. Konsekuensi Yuridis di bidang Hukum Publik. Status ke-


warganegaraan seseorang merupakan bukti keanggotaan
mereka dalam organisasi kekuasaan yang disebut negara.
Oleh sebab itu negara wajib untuk melindunginya.
Perlindungan yang dimaksud disini berdimensi HAM dan
KAM (Hak Asasi Manusia dan Kewajiban Asasi Manusia).
Lain daripada itu dalam dimensi Hukum Publik, maka
status kewarganegaraan seseorang akan menimbulkan
konsekuensi bahwa setiap orang yang disebut sebagai
Warga Negara harus tunduk dan patuh pada hukum-
hukum negara sebagai manifestasi kehendak bersama
dalam ikatan kontrak sosial yang merupakan prasyarat
normatif terbentuknya negara, sebagaimana pernah
dikemukakan oleh JJ. Rousseau.

Dari ketiga konsekuensi yuridis status kewarganegaraan


tersebut di atas, maka dalam pembentukan hukum kewarga-
negaraan tentunya harus memuat ketiga bidang hukum
tersebut. Persoalannya adalah bagaimana konsekuensi yuridis
itu dapat dimuat di dalam UU Kewarganegaraan tanpa harus
melanggar hukum-hukum yang lain sebagaimana telah diatur
dalam berbagai peraturan perundang-undangan, misalnya UU
HAM.

C. Kewarganegaraan Menurut UUD 1945.


Menurut Pasal 26 ayat (1) UUD 1945, ditegaskan bahwa
yang menjadi Warga Negara ialah orang-orang bangsa
Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan
dengan undang-undang sebagai Warga Negara. Ketentuan
seperti ini memberikan penegasan bahwa untuk orang-orang
bangsa Indonesia asli secara otomatis merupakan Warga
Negara, sedangkan bagi orang-orang bangsa lain untuk
menjadi Warga Negara Indonesia harus disahkan terlebih
dahulu dengan undang-undang.
Persoalan yang dapat ditarik dari ketentuan tersebut
adalah apa yang menjadi ukuran atau kriteria seseorang itu
dikategorikan sebagai orang-orang bangsa Indonesia asli? Dan
mengapa bagi orang-or.inj; bangSB lain yang ingin menjadi
Warga Negara Indonesia harus disahkan dengan undang-
undang? Pertanyaan ini muncul karena Pasal 26 ayat (1) UUD
1945 memang menimbulkan kerancuan sekaligus
mengandung nuansa diskriminatif perlakuan menyangkut
pengakuan status kewarganegaran.
Pasal 26 ayat (1) UUD 1945 pada hakikatnya menimbulkan
dua persoalan sosiologis dan yuridis di bidang
kewarganegaraan, yaitu:
1. Pemahaman orang-orang bangsa Indonesia asli, menimbulkan
penafsiran yang ambigu, yakni dapat dipahami sebagai:
a. Orang-orang berikut keturunannya yang telah ada di
Indonesia semenjak Indonesia menyatakan
kemerdekaan
pada tanggal 17 Agustus 1945; atau
b. Orang-orang yang sejak peradaban Indonesia terbentuk
sudah ada di bumi Nusantara ini. Termasuk dalam hal
ini
adalah golongan Meganthropus Palaeojavanicus (manusia
terbesar tertua di Jawa) yang fosilnya diketemukan
oleh
Ralp Von Koenigswald di Sangiran Jawa Tengah; atau
c. Orang-orang yang pada prinsipnya dianggap cikal
bakal
atau nenek moyang pembentuk bangsa Indonesia yang
berarti ditinjau dari aspek rasnya; atau
d. Orang-orang yang dalam sejarah bangsa Indonesia
berasal
dari Yunan Selatan di daratan Cina serta pedagang dari
Gujarat.
Keempat penafsiran semacam ini, dalam dataran
hukum jelas sulit untuk dilacak dan dibuktikan, karena
yang disebut "bangsa asli" sering hanya dikaitkan dengan
aspek fisiologis manusia, seperti warna kulit, bentuk
wajah. Padahal dari aspek fisiologis manusia ini juga dapat
direkayasa melalui berbagai cara, entah karena alam atau
rekayasa genetika seperti kloning.
Ambigusitas kriteria orang-orang bangsa Indonesia asli
tersebut tidak akan terjadi apabila keaslian yang dimaksud
disini adalah menyangkut keaslian tempat kelahiran
{original born citizen), bukan keturunan.

2. ketentuan Pasal 26 ayat (1) UUD 1945 menyiratkan adanya


dua kelompok Warga Negara Indonesia, yaitu kelompok
Warga Negara asli dan kelompok Warga Negara
keturunan yang pada akhirnya berakibat pada pembedaan
perlakuan bagi Warga Negara.224 Jika hal ini terus menerus
dilakukan maka pada akhirnya jelas akan menghambat
proses integrasi bangsa Indonesia.
3. Pasal 26 ayat (1) UUD 1945 yang antara lain menegaskan
"dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-
undang sebagai Warga Negara", merupakan ketentuan yang
sangat berlebihan, karena bagi orang-orang bangsa lain
untuk menjadi Warga Negara Indonesia harus disahkan
dengan undang-undang. Hal ini berarti akan melibatkan
DPR dalam setiap pemberian status kewarganegaraan bagi
orang-orang bangsa lain yang ingin masuk menjadi Warga
Negara Indonesia. Sebuah cara pemberian status
kewarganegaraan yang sungguh luar biasa sulitnya,
karena harus melalui mekanisme proses pembentukan
undang-undang. Padahal pemberian status
kewarganegaraan tersebut cukup dengan Keputusan Tata
Usaha Negara, misalnya dengan Keputusan Presiden atau
Keputusan Menteri yang membidangi masalah
kewarganegaraan.

Persoalan-persoalan sosiologis dan yuridis tersebut di atas,


dalam dataran pelaksanaan lebih lanjut melalui peraturan per-
undang-undangan yang lebih rendah tingkatannya jelas akan
menimbulkan penegakan hukum yang bernuansa
diskriminatif. Bagi Warga Negara yang berasal dari orang-
orang bangsa Indonesia Asli (ditinjau dari aspek keturunan)
secara otomatis sudah menjadi Warga Negara Indonesia
begitu yang bersangkutan dilahirkan oleh orang-orang yang
dikategorikan bangsa Indonesia asli. Sedangkan bagi golongan
Warga Negara yang berasal dari orang-orang bangsa lain
untuk disebut sebagai Warga Negara kfuuii ganegai mm
224 Samuel S. Nitisaputra, dalam M. Indradi Kusuma, et.al,
. w> \

harus melakukan upaya hukum tertentu dan memakan waktu,


biaya dan tenaga yang relatif besar sebagai akibat birokrasi
yang berbelit-belit. Kasus Hendrawan, Pahlawan Bulutangkis
Indonesia dalam perebutan Piala Thomas tahun 2002 yang
mengalami kesulitan dalam mengurus status
kewarganegaraan anaknya dapat dipergunakan sebagai salah
satu contohnya.

D. Tinjauan Kritis Terhadap UU No. 12 Tahun 2006


Tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia.
Undang-Undang Kewarganegaraan yang menggantikan
UU No. 62 tahun 1958 telah disetujui oleh DPR-RI pada
tanggal 11 Juli 2006. Kemudian pada tanggal 1 Agustus 2006
undang-undang tersebut disahkan. Secara umum,
kemunculan undang-undang ini memperoleh tanggapan
positif dari berbagai pihak. Bahkan UU ini disebut-sebut
sebagai UU yang progresif dan telah mengubah paradigma
tentang kewarganegaraan yang selama ini nuansa
diskriminatifnya sangat tinggi. Terlepas dari itu semua, di
bagian ini penulis akan mencoba memberikan sedikit catatan
kritis tentang keberadaan UU tersebut.
Pasal 2 menegaskan bahwa yang menjadi Warga Negara
Indonesia adalah orang-orang bangsa Indonesia asli dan
orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-
undang sebagai Warga Negara. Ketentuan semacam ini pada
hakikatnya merupakan copy paste dari ketentuan Pasal 26 ayat
(1) UUD 1945 yang masih tetap bernuansa diskriminatif.
Penjelasan Pasal 2 tersebut menyatakan bahwa Yang
dimaksud dengan "bangsa Indonesia asli" adalah orang
Indonesia yang menjadi Warga Negara sejak kelahiran dan
tidak pernah menerima kewarganegaraan lain atas kehendak
sendiri. Penjelasan semacam ini memang telah menutup
perdebatan tentang kriteria atau ukuran dalam memahami
pengertian "bangsa Indonesia Asli". Pendek kata, keaslian itu
sudah berlandaskan pada tempat kelahiran alias Original born
citizen.
Namun demikian, bila ditinjau dari aspek teori
perundang-undangan, maka penempatan pengertian "bangsa
Indonesia asli" di dalam penjelasan merupakan langkah yang
tidak tepat, sebab pengertian tersebut sejatinya merupakan
asas yang akan dipergunakan dalam seluruh materi muatan
UU Kewarganegaraan tersebut. Oleh sebab itu alangkah
baiknya jikalau rumusan pengertian tersebut dicantumkan di
dalam Pasal 2 atau di dalam Pasal 1 Ketentuan Umum.
Lain daripada itu Pasal ini juga masih menyisakan
persoalan yang berkaitan dengan prosedur dan tata cara untuk
memperoleh kewarganegaraan Indonesia bagi orang-orang
bangsa lain. Hal ini nampak dalam rumusan yang menyatakan
"disahkan dengan Undang-undang sebagai Warga Negara".
Persoalan yang dimaksud telah penulis kemukakan terdahulu.
Menurut Pasal 1 Konvensi tentang kewarganegaraan
Perempuan yang sudah menikah, pada prinsipnya
menyatakan bahwa seseorang wanita Warga Negara yang
menikah dengan laki-laki Warga Negara lain tidak secara
otomatis mempengaruhi status kewarganegaraan istri. Norma
hukum internasional semacam ini ternyata diimplementasikan
ke dalam Pasal 26 ayat (1) secara ragu-ragu, karena di dalam
ketentuan pasal ini dinyatakan bahwa perempuan Warga
Negara Indonesia yang kawin dengan laki-laki Warga Negara
asing kehilangan kewarganegaraan Republik Indonesia jika
menurut hukum negara asal suaminya kewarganegaraan istri
mengikuti kewarganegaraan suami sebagai akibat perkawinan
tersebut. Ketentuan seperti ini menunjukkan bahwa perancang
UU ini nampak masih kurang memiliki kepercayaan diri
bahwa Hukum internasional sudah menjamin tentang
kewarganegaraan perempuan yang sudah menikah.
Lebih lanjut kalau mencermati Pasal 23 huruf i dan Pasal
26 maka nampak bahwa UU ini masih bersifat diskriminatif
terhadap perempuan yang potensial menjadi korban dari UU
Kewarganegaraan ini. Pasal 23 huruf i misalkan mengatakan,
siapa saja Warga Negara yang tidak melaporkan kesediaannya
atau keinginannya menjadi Warga Negara dalam waktu lima
tahun maka akan gugui Ketentuan seperti ini tidak melihat
pengalaman-pengalaman buruh migran yang ada di Malaysia
maupun negara-negara lain. Kemudian juga tidak melihat
bagaimana Warga Negara Indonesia yang stateless yang saat
ini berada di Eropa karena kebijakan Orde Baru di masa lalu,
ketika itu ada mahasiswa-mahasiswa Indonesia sekolah Eropa
kemudian dapat stigma Soekarnois atau komunis. Mereka ini
tidak bisa kembali dan paspornya tidak diperpanjang KBRI
setempat.
Diskriminasi lain ada pada Pasal 26. Di situ disebutkan
bahwa, perempuan berwarganegara Indonesia yang menikah
dengan orang asing, setelah tiga tahun, harus memilih mau
tetap WNI atau ikut kewarganegaraan suami. Aturan itu harus
dicabut dan perempuan yang bersangkutan diberi keleluasaan
memilih kewarganegaraannya, tanpa batasan waktu.
Lain daripadaitu UUNo. 12 Tahun 2006juga dapat
memunculkan kemungkinan adanya jutaan tenaga kerja
Indonesia di luar negeri, terutama Malaysia dan Timur
Tengah, terancam kehilangan kewarganegaraan. Sebab
Undang-Undang Kewarganegaraan mewajibkan setiap WNI
untuk mendeklarasikan kewarganegaraan mereka setiap lima
tahun sekali. Di tempat-tempat inilah mereka sulit mengakses
KBRI, misalnya kalau memang mereka diwajibkan untuk
melapor. Apalagi di Timur Tengah. Ini memperlihatkan
bahwa UU ini sangat bias kelas. Artinya UU ini
mengasumsikan bahwa semua WNI di luar negeri punya
akses informasi yang luas, bisa mudah berkomunikasi,
mobilitasnya sangat tinggi. Padahal kalau kita ketahui buruh
migran kita yang di Malaysia umpamanya yang kerja di
perkebunan-perkebunan ada yang lima atau enam tahun tidak
bisa ke bandar atau ke kota, apalagi ke KBRI."
Kemudian di Saudi Arabia, di dalam kultur mereka sangat
sulit majikan-majikan mereka membebaskan atau memberi
sedikit keleluasaan kepada para buruh migran perempuan kita
yang bekerja di sana untuk keluar rumah apalagi datang ke
KBRI. Jadi menurut pandangan penulis hal ini memang
ancaman bagi buruh migran yang jumlahnya jutaan. Di
Malaysia ada sekitar 1,2 juta TKI kita yang bekerja tidak
berdokumen, mayoritas mereka ada di perkebunan-
perkebunan yang jauh dari bandar-bandar raya. Kemudian
juga di Saudi Arabia, utamanya dan juga di beberapa negara
di Timur Tengah. Mereka pada umumnya sangat sulit keluar
rumah. Oleh sebab itu kondisi yang demikian harus juga
dicermati
Undang-undang Kewarganegaraan sudah diketok oleh
DPR-RI. Tentu ada yang masih belum puas. Sebuah undang-
undang memang tak pernah sempurna. Selalu ada kekurangan
di sana-sini. Yang jelas, undang-undang ini sudah menghapus
banyak diskriminasi, walaupun mungkin belum semua
diskriminasi. Sekarang tinggal melihat diskriminasi yang
tersisa. Sebagai manusia yang hidup bermasyarakat dan
bernegara orang Indonesia memang harus terus-menerus
belajar. Dan yang paling penting adalah belajar untuk
menghilangkan stigma pribumi dan non pribumi. Belajar
untuk tidak saling curiga.

E. Asas-asas Kewarganegaraan Menurut Undang-


Undang No. 12 Tahun 2006 Tentang
Kewarganegaraan Republik Indonesia.
Menurut Penjelasan Umum Undang-Undang No. 12
Tahun 2006, terkandung asas kewarganegaraan Umum dan
asas kewarganegaraan khusus. Asas kewarganegaraan umum
meliputi:
1. Asas Ius Sanguinis yaitu asas yang menentukan kewarga-
negaraan seseorang berdasarkan keturunan,
bukanberdasarkan negara tempat kelahiran;
2. Asas Ius Soli terbatas, yaitu asas menentukan
kewarganegaraan seseorang berdasarkan negara tempat
kelahiran yang secara terbatas diberlakukan bagi anak-
anak sesuai dengan ketentuan undang-undang ini;
3. Asas kewarganegaraan tunggal, yaitu asas yang
menentukan satu kewarganegaraan bagi setiap orang;
4. Asas kewarganegaraan ganda terbatas, yaitu asas yang
menentukan kewarganegaraan ganda bagi anak-anak
sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-
undang ini.

Adapun asas kewarganegaraan khusus yang terkandung


di dalam undang-undang ini, meliputi:
1. Asas kepentingan nasional, yaitu asas yang menentukan
bahwa peraturan kewarganegaraan mengutamakan
kepentingan nasional Indonesia yang bertekad
mempertahankan kedaulatannya sebagai negara kesatuan
yang memiliki cita-cita dan tujuannya sendiri;
2. Asas perlindungan maksimum, yaitu asas yang
menentukan bahwa pemerintah wajib memberikan
perlindungan penuh kepada setiap Warga Negara
Indonesia dalam keadaan apapun baik di dalam maupun
di luar negeri;
3. Asas persamaan di muka hukum dan pemerintahan, yaitu
asas yang menentukan bahwa setiap Warga Negara
Indonesia mendapatkan perlakuan yang sama di dalam
hukum dan pemerintahan;
4. Asas kebenaran substantif, yaitu asas yang menentukan
bahwa prosedur pewarganegaraan tidak hanya bersifat
administratif, tetapi juga disertai dengan substansi dan
syarat-syarat permohonan yang dapat
dipertanggungjawabkan kebenarannya;
5. Asas nondiskriminatif, yaitu asas yang tidak membedakan
perlakuan dalam segala hal ikhwal yang berhubungan
dengan Warga Negara atas dasar suku, ras, agama,
golongan, jenis kelamin dan gender;
6. Asas pengakuan dan penghormatan terhadap hak asasi
manusia, yaitu asas yang dalam segala hal ikhwal yang
berhubungan dengan Warga Negara harus menjamin,
melindungi, dan memuliakan hak asasi manusia pada
umumnya dan hak Warga Negara pada khususnya;

7. Asas keterbukaan, yaitu asas yang menentukan bahwa


dalam segala hal ikhwal yang berhubungan dengan Warga
Negara harus dilakukan secara terbuka; dan
8. Asas publisitas, yaitu asas yang menentukan bahwa
seseorang yang memperoleh atau kehilangan
kewarganegaraan Republik Indonesia diumumkan dalam
Berita Negara Republik Indonesia agar masyarakat
mengetahuinya.

Menurut Pasal 4 Undang-Undang No. 12 Tahun 2006


krirteria seseorang merupakan Warga Negara Indonesia,
adalah:
a. Setiap orang yang berdasarkan peraturan perundang-
undangan
dan/atau berdasarkan perjanjian Pemerintah RI dengan
negara
lain sebelum UU ini berlaku sudah menjadi Warga Negara
Indonesia;
b. Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang
ayah
dan ibu Warga Negara Indonesia;
c. Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang
ayah
Warga Negara Indonesia dan ibu Warga Negara asing;
d. Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang
ayah
Warga Negara asing dengan ibu Warga Negara Indonesia;
e. Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang
ibu
Warga Negara Indonesia, tetapi ayahnya tidak
mempunyai
kewarganegaraan atau hukum negara asal ayahnya tidak
memberikan kewarganegaraan kepada anak tersebut;
f. Anak yang lahir dengan tenggang waktu 300 (tiga ratus)
hari
setelah ayahnya meninggal dunia dari perkawinan yang
sah
dan ayahnya Warga Negara Indonesia;
g. Anak yang lahir di luar perkawinan yang sah dari seorang
ibu
Warga Negara Indonesia;
h. Anak yang lahir di luar perkawinan yang sah dari seorang
ibu Warga Negara asing yang diakui oleh seorang ayah
Warga Negara Indonesia sebagai anaknya dan pengakuan
itu
dilakukan sebelum anak tersebut berusia 18 (delapan
belas)
tahun atau belum kawin;
i. Anak yang lalui di wilayah negara Republik Indonesia yang
pada waktu lahirnya tidak jelas status kewarganegaraan
ayah dan ibunya;
j. Anak yang baru lahir yang ditemukan di wilayah negara
Republik Indonesia selama ayah dan ibunya tidak
diketahui;
k. Anak yang lahir di wilayah negara Republik Indonesia
apabila ayah dan ibunya tidak mempunyai
kewarganegaraan atau tidak diketahui keberadaannya;
1. Anak yang dilahirkan di wilayah negara Republik Indonesia
dari seorang ayah dan ibu Warga Negara Indonesia yang
karena ketentuan dari negara tempat anak tersebut dilahir-
kan memberikan kewarganegaraan kepada anak yang ber-
sangkutan;
m. Anak dari seorang ayah dan ibu yang telah dikabulkan per-
mohonan kewarganegaraannya, kemudian ayah atau ibu
meninggal dunia sebelum mengucapkan sumpah atau
menyatakan janji setia.

Lebih lanjut menurut Pasal 5 Undang-Undang No. 12


Tahun 2006 dinyatakan:
(1) Anak Warga Negara Indonesia yang lahir di luar
perkawinan yang sah, belum berusia 18 (delapan belas)
tahun atau belum kawin diakui secara sah oleh
ayahnya yang berkewarganegaraan asing tetap diakui
sebagai Warga Negara Indonesia.
(2) Anak Warga Negara Indonesia yang belum berusia 5
(lima) tahun diangkat secara sah sebagai anak oleh
Warga Negara asing berdasarkan penetapan
pengadilan tetap diakui sebagai Warga Negara
Indonesia.

Berdasarkan kriteria mengenai Warga Negara Indonesia


tersebut di atas, menurut Pasal 6 ayat (1) dinyatakan bahwa
dalam hal status kewarganegaraan Republik Indonesia
terhadap anak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf c,
huruf d, huruf h, huruf i, dan Pasal 5 berakibat anak
berkewarganegaraan ganda, setelah berusia 18 (delapan belas)
tahun atau sudah kawin anak tersebut harus menyatakan
memilih salah satu kewarganegaraannya.
Dari ketentuan seperti inilah, maka Undang-Undang No.
12 Tahun 2006 juga dimungkinkan terjadi kewarganegaraan
ganda (bipatride), khususnya bagi anak yang belum berusia 18
(delapan belas) tahun atau belum kawin.

F. Kehilangan Kewarganegaraan Republik


Indonesia.
MenurutPasal23UUNo.l2Tahun2006,WargaNegaraIndones
ia kehilangan kewarganegaraannya jika yang bersangkutan:
a. memperoleh kewarganegaraan lain atas kemauannya
sendiri;
b. tidak menolak atau tidak melepaskan kewarganegaraan
lain,
sedangkan orang yang bersangkutan mendapat
kesempatan
untuk itu;
c. dinyatakan hilang kewarganegaraannya oleh Presiden atas
permohonannya sendiri, yang bersangkutan sudah berusia
18
(delapan belas) tahun atau sudah kawin, bertempat tinggal
di
luar negeri, dan dengan dinyatakan hilang
kewarganegaraan
Republik Indonesia tidak menjadi tanpa kewarganegaraan;
d. masuk dalam dinas tentara asing tanpa izin terlebih
dahulu
dari Presiden;
e. secara suka rela masuk dalam dinas negara asing, yang
jabatan dalam dinas semacam itu di Indonesia sesuai
dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan hanya dapat
dijabat
oleh Warga Negara Indonesia;
f. secara suka rela mengangkat sumpah atau menyatakan
janji
setia kepada negara asing atau bagian dari negara asing
tersebut;
g. tidak diwajibkan tetapi turut serta dalam pemilihan
sesuatu
yang bersifat ketatanegaraan untuk suatu negara asing;
h. mempunai paspor atau surat yang bersifat paspor dari
negara asing atau surat yang dapat diartikan sebagai tanda
kewarganegaraan yang masih berlaku dari negara lain atas
namanya; atau
i. bertempat tinggal di luar wilayah negara Republik
Indonesia
selama 5 (lima) tahun terus menerus bukan dalam rangka
dinas negara, tanpa alasan yang sah dan dengan sengaja
tidak menyatakan keinginannya untuk tetap menjadi
Warga Negara Indonesia sebelum jangka waktu 5 (lima)
tahun itu berakhir, dan setiap 5 (lima) tahun berikutnya
yang bersangkutan tidak mengajukan pernyataan ingin
tetap menjadi Waga Negara Indonesia kepada Perwakilan
Republik Indonesia yang wilayah kerjanya meliputi
tempat tinggal yang bersangkutan padahal Perwakilan
Republik Indonesia tersebut telah memberitahukan secara
tertulis kepada yang bersangkutan, sepanjang yang
bersangkutan tidak menjadi tanpa kewarganegaraan.

G. Syarat dan Tata Cara Memperoleh


Kewarganegaraan Republik Indonesia.
Menurut Pasal 9 UU No. 12 Tahun 2006, Permohonan pe-
warganegaraan dapat diajukan oleh pemohon jika memenuhi
persyaratan sebagai berikut:
a. telah berusia 18 (delapan belas) tahun;
b. pada waktu mengajukan permohonan sudah bertempat
tinggal
di wilayah negara Republik Indonesia paling singkat 5
(lima)
tahun berturut-turut atau paling singkat 10 (sepuluh)
tahun
tidak berturut-turut;
c. sehat jasmani dan rohani;
d. dapat berbahasa Indonesia serta mengakui Dasar Negara
Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945; tidak pernah dijatuhi pidana karena
melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana
penjara
1 (satu) tahun atau lebih; jika memperoleh
kewarganegaraan
Republik Indonesia, tidak menjadi berkewarganegaraan
ganda; mempunyai pekerjaan dan/atau penghasilan tetap;
dan
membayar uang pewarganegaraan ke Kas Negara.

Adapun prosedur permohonan pewarganegaraan diatur


dalam Pasal 10 sampai dengan Pasal 18 dan Pasal 22. Prosedur
yang dimaksud secara singkat dapat diterangkan sebagai
berikut:
1. Permohonan diajukan di Indonesia secara tertulis dalam
bahasa Indonesia di atas kertas bermeterai cukup kepada
Presiden melalui Menteri;
2. Menteri meneruskan permohonan tersebut disertai pertim-
bangan kepada Presiden dalam waktu paling lambat 3
(tiga) bulan terhitung sejak permohonan diterima;
3. sehubungan dengan permohonan ini, pemohon dikenai
biaya yang diatur dalam Peraturan Pemerintah.
4. Presiden mengabulkan atau menolak permohonan
pewarganegaraan. Jika permohonan dikabulkan maka
ditetapkan dengan Keputusan Presiden yang ditetapkan
paling lambat 3 (tiga) bulan sejak permohonan diterima
oleh Menteri dan diberitahukan kepada pemohon paling
lambat 14 (empat belas) hari terhitung sejak Keputusan
Presiden ditetapkan. Sedangkan jika ditolak harus disertai
dengan alasan dan diberitahukan oleh Menteri kepada
yang bersangkutan paling lambat 3 (tiga) bulan terhitung
sejak tanggal permohonan diterima oleh Menteri.
5. Keputusan Presiden berkenaan dengan pengabulan
permohonan pewarganegaraan tersebut berlaku efektif
terhitung sejak tanggal pemohon mengucapkan sumpah
atau menyatakan janji setia.
6. Paling lambat 3 (tiga) terhitung sejak Keputusan Presiden
dikirim kepada pemohon, Pejabat memanggil pemohon
untuk mengucapkan sumpah atau menyatakan janji setia.
7. Jika pemohon telah dipanggil secara tertulis oleh Pejabat
untuk mengucapkan sumpah atau menyatakan janji pada
waktu yang telah ditentukan ternyata pemohon tidak
hadir tanpa alasan yang sah, Keputusan Presiden tersebut
batal demi hukum.
8. setelah mengucapkan sumpah atau menyatakan janji setia,
pemohon wajib menyerahkan dokumen atau surat-surat
keimigrasian atas namanya kepada kantor imigrasi dalam
waktu paling lambat 14 (empat belas) hari kerja terhitung
sejak tanggal pengucapan sumpah atau pernyataan janji
setia.

9. salinan Keputusan Presiden tentang pewarganegaraan dan


berita acara pengucapan sumpah atau pernyataan janji
setia dari Pejabat menjadi bukti sah Kewarganegaraan
Republik Indonesia seseorang yang memperoleh
Kewarganegaraan.
10. Menteri mengumumkan nama orang yang telah
memperoleh kewarganegaraan dalam Berita Negara
Republik Indonesia.

Bagi seseorang yang telah kehilangan kewarganegaraan


Republk Indonesia, maka menurut Pasal 31 UU No. 12 tahun
2009 dapat memperoleh kembali kewarganegaraannya melalui
prosedur yang sama dengan pewarganegaraan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 sampai dengan Pasal 18 dan Pasal 22.

H. Hukum Kewarganegaraan Dalam Perspektif


Konvensi
Internasional.
Dalam Konvensi Internasional, persoalan yuridis yang me-
nyangkut kewarganegaraan antara lain diatur dalam:225
I. Konvensi Tentang Kewarganegaraan Perempuan yang
sudah
menikah (disetujui pada tanggal 30 Agustus 1961);
2. Konvensi Tentang Pengurangan Ketiadaan
Kewarganegaraan (disetujui pada tanggal 30 Agustus
1961);
3. Konvensi Mengenai Status Orang yang Tidak Memiliki
Kewarganegaraan (disetujui pada tanggal 28 September
1954).

Dengan berlandaskan pada Pasal 15 Deklarasi Universal


HAM, Pasal 1 Konvensi Tentang Kewarganegaraan
Perempuan yang sudah menikah menegaskan:
"Setiap negara peserta menyetujui bahwa baik
penyelenggaraan ataupun pembubaran suatu
perkawinan antara salah satu warga negaranya dan
seorang asing, ataupun perubahan kewarganegaraan
oleh suami selama perkawinan, tidak secara otomatis
mempengaruhi kewarganegaraan istri".
225 Dirangkum dari Komnas HAM, 2000, Referensi
Fundamental Diskursus Hukum Kewarganegaraan, Cet I,
Komnas HAM, Jakarta.

Ketentuan konvensi seperti ini jelas-jelas telah


menghilangkan unsur diskriminasi gender. Artinya dalam hal
status kewarganegaraan sudah diletakkan dalam perspektif
kesetaraan gender. Ketentuan seperti ini nampaknya tidak
dipergunakan sebagai referensi dalam menentukan status
kewarganegaraan wanita Indonesia yang menikah dengan
laki-laki warga negara asing. Hal ini dapat dilihat dalam
ketentuan Pasal 26 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2006 yang
menegaskan bahwa perempuan warga negara Indonesia yang
kawin dengan laki-laki warga negara asing kehilangan
kewarganegaraan Republik Indonesia jika menurut hukum
negara asal suaminya, kewarganegaraan istri mengikuti.
Ketentuan pasal 26 ayat (1) tersebut jelas tidak selaras
dengan Konvensi Internasional tentang Kewarganegaraan
Perempuan Yang sudah menikah. Dimensi bias gender atau
ketidaksetaraan gender dalam penentuan status
kewarganegaraan bagi perempuan-perempuan Indonesia
sangat terasa. Penentuan status kewarganegaraan wanita
Indonesia yang menikah dengan laki-laki warga negara asing,
masih sangat tergantung pada hukum kewarganegaraan dari
negara sang suami tersebut. Hal ini menunjukkan kekuatan
hukum Indonesia justru lemah dihadapan hukum dari negara
di mana suami berasal.
Dalam Pasal 1 ayat (1) Konvensi Tentang Pengurangan
Ketiadaan Kewarganegaraan, ditegaskan:
"Suatu negara peserta akan memberikan
kewarganegaraannya kepada seseorang yang dilahirkan
di dalam wilayahnya, yang jika sebaliknya, akan tidak
memiliki kewarganegaraan tersebut diberikan:
a. pada kelahiran, karena berlakunya hukum, atau
b. atas suatu lamaran yang diajukan atas nama orang
yang
bersangkutan, dalam cara yang ditetapkan oleh
hukum nasional.
Dengan tunduk pada ketentuan ayat (2) pasal ini,
tidak satupun
lamaran tersebut ditolak.

Ayat (2) dalam Konvensi tersebut juga menegaskan bahwa


suatu negara peserta dapat membuat pemberian
kewarganegaraan menurul ketentuan ayal ('l) sub b, tunduk
pada satu atau lebih syarat-syarat berikut:
a. lamaran diajukan selama jangka waktu yang ditetapkan
oleh
negara peserta, mulai kurang dari 18 tahun, dan berakhir
tidak lebih awal dari umur 21 tahun, sehingga
bagaimanapun,
orang yang bersangkutan akan diperkenalkan paling
sedikit
1 tahun yang selama itu dia dapat membuat sendiri
lamaran
tanpa memperoleh penguasaan hukum.
b. orang yang bersangkutan sudah terbiasa bertempat tinggal
di
dalam wilayah negara peserta untuk satu jangka waktu
seperti
yang mungkin ditetapkan oleh negara tersebut, tidak
melebihi
5 tahun segera sebelum pengajuan lamaran atau tidak
melebihi
10 tahun seluruhnya.
c. orang yang bersangkutan belum pernah dihukum baik
karena
suatu pelanggaran terhadap keamanan nasional atau
belum
pernah diputuskan hukuman penjara untuk periode 5
tahun
atau lebih atas tuduhan pidana.
d. Bahwa orang yang bersangkutan sudah tidak berkewarga-
negaraan.

Ketentuan tersebut di atas menunjukkan bahwa dalam me-


nentukan status kewarganegaraan juga dimungkinkan
mempergunakan asas ius soli dengan persyaratan-persyaratan
tertentu.
Selanjutnya di dalam Pasal 1 ayat (1) Konvensi mengenai
Status orang yang tidak memiliki kewarganegaraan
ditegaskan bahwa orang yang tidak berkewarganegaraan
berarti seorang yang tidak dianggap sebagai warga negara
oleh negara manapun menurut berlakunya hukum. Kemudian
di dalam ayat (2) ditegaskan bahwa Konvensi ini tidak
berlaku:
a. Pada orang-orang yang pada saat sekarang sedang
menerima dari organ-organ atau badan-badan
Perserikatan Bangsa-Bangsa, selain Komisi Tinggi
Perserikatan Bangsa-Bangsa, untuk perlindungan
pengungsi atau bantuan sepanjang mereka sedang
menerima perlindungan atau bantuan tersebut;
b. Pada orang-orang yang diakui oleh para penguasa yang
ber-
wenang dari negara dimana mereka telah bertempat
tinggal,
sebagai mempunyai hak-hak dan kewajiban-kewajiban
yang
dilekatkan pada pemilihan kewarganegaraan dari negara
tersebut;
c. Pada orang-orang yang mengenainya ada alasan-alasan
gawat
untuk menganggap bahwa:
1. Mereka telah melakukan suatu kejahatan terhadap per-
damaian, suatu kejahatan perang atau suatu kejahatan
kemanusiaan, seperti didefinisikan dalam instrumen-
instrumen internasional yang disusun untuk membuat
peraturan mengenai kejahatan-kejahatan tersebut;
2. Mereka telah melakukan suatu kejahatan non-politik
yang berbahaya di luar negara tempat tinggal mereka
sebelum masuknya mereka ke negara tersebut;
3. Mereka telah bersalah karena melakukan perbuatan-
perbuatan yang bertentangan dengan tujuan-tujuan
dan asas-asas Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Berkaitan dengan perlakuan terhadap orang-orang yang


tidak memiliki kewarganegaraan, Pasal 3 Konvensi ini
menegaskanbahwa para negara peserta memberlakukan
ketentuan-ketentuan dalam konvensi ini kepada orang-orang
yang tidak berkewarganegaraan tanpa diskriminasi mengenai
ras, agama, atau asal-usul negara. Ketentuan semacam ini
merupakan manifestasi dari non-diskri-minasi dalam
perlakuan hukum bagi warga negara dan bagi orang yang
tidak berkewarganegaraan.

I. Status Yuridis Bagi Orang yang Tidak Memiliki


Kewarganegaraan Menurut Konvensi
Internasional.226
Dengan adanya nationaliteit principles yang terkandung di
dalam konsekuensi yuridis status kewarganegaraan di bidang

226 Dirangkum dari Komnas HAM, 2000, Referensi


Fundamental Diskursus Hukum Kewarganegaraan,
Komnas Ham, Jakarta.
Hukum

Perdata Inleniasiiinal, maka dapat ditafsirkan bahwa seseorang


yang tidak memiliki kewarganegaraan tentunya tidak
memiliki status yuridis dari hukum nasional suatu negara
manapun. Oleh sebab itu mereka tidak akan memperoleh
perlindungan hukum dari suatu negara manapun.
Penafsiran seperti ini ternyata tidak sesuai dengan
Konvensi mengenai Status orang yang tidak memiliki
kewarganegaraan. Menurut Konvensi ini, status hukum bagi
orang-orang yang tidak memiliki kewarganegaraan diatur
sebagai berikut:
1. Pasal 12 tentang Status Pribadi, menyatakan:
a. Status Pribadi orang yang tidak berkewarganegaraan
diatur dengan undang-undang dari negara domisilinya
atau, kalaupun dia tidak mempunyai domisili, menurut
undang-undang dari negara tempat tinggalnya.
b. Hak-hak yang diperoleh sebelumnya oleh seorang yang
tidak berkewarganegaraan dan tergantung pada status
pribadi lebih teristimewa hak-hak yang melekat pada
perkawinan, harus dihormati oleh negara peserta
dengan
tunduk pada penataan, kalaupun ini diperlukan,
terhadap
formalitas-formalitas yang dipersyaratkan oleh
undang-
undang negara tersebut, dengan syarat bahwa hak
yang
dipertanyakan itu adalah hak yang harus diakui
menurut
undang-undang negara tersebut andai kata dia tidak
menjadi berkewarganegaraan.
2. Pasal 13 tentang harta Kekayaan bergerak dan tidak
bergerak
menegaskan bahwa para negara peserta akan memberikan
kepada seseorang yang tidak berkewarganegaraan
perlakuan
sebaik mungkin dan, dalam kejadian apapun, setidak-
tidaknya
sama dengan perlakuan yang pada umumnya diberikan
kepada orang-orang asing dalam keadaan-keadaan yang
sama,
mengenai perolehan harta kekayaan yang bergerak dan
tidak
bergerak dan hak-hak lain yang menyinggung orang yang
bersangkutan, dan pada sewa dan perikatan lainnya
mengenai
harta kekayaan bergerak dan tidak bergerak.

3. I'asal 14 tentang Hak Karya Seni dan Harta benda


Perindustrian, menegaskan bahwa mengenai
perlindungan hak miliki industri seperti penemuan-
penemuan, desain-desain, atau model-model, merek
dagang, nama dagang, dan hak-hak dalam kesusasteraan,
seni dan karya-karya ilmiah, maka seseorang yang tidak
berkewarganegaraan, di negara dimanapun ia bertempat
tinggal tetap harus diberikan perlindungan yang sama
seperti yang diberikan kepada warga negara dari negara
tersebut. Di dalam wilayah dari Negara Peserta yang lain
manapun, dia harus diberi perlindungan yang sama
seperti yang diberikan di dalam wilayah tersebut kepada
warga negara dari negara yang pada dia memiliki tempat
tinggalnya yang biasanya.
4. Pasal 15 Hak untuk berserikat, menegaskan bahwa
mengenai pendirian perhimpunan non-politik dan non-
profit dan serikat kerja, maka para negara peserta harus
memberikan kepada orang-orang yang tidak
berkewarganegaraan, yang secara sah berdiam di dalam
wilayah mereka, perlakuan sebaik mungkin, dan dalam
kejadian apapun, setidak-tidaknya sama dengan perlakuan
yang pada umumnya diberikan kepada orang-orang asing
dalam keadaan-keadaan yang sama.
5. Pasal 16 tentang Akses ke Pengadilan, menyatakan:
a. Seseorang yang tidakberkewarganegaraan akan
mempunyai
akses yang bebas ke pengadilan hukum di dalam
wilayah
semua negara peserta;
b. Seseorang yang tidak berkewarganegaraan, di negara
peserta dimana dia bertempat tinggal, memperoleh per-
lakuan yang sama seperti seorang warga negara dalam
hal-hal yang menyangkut akses ke pengadilan,
termasuk
bantuan hukum dan pengecualian dari cautio judicatum
solvi;
c. Seseorang yang tidak berkewarganegaraan dalam
masalah-
masalah yang ditunjuk dalam ayat (2), di negara-negara
selain Negara di mana dia bertempat tinggal, akan
diberi perlakuan sama dengan yang diberikan kepada
seorang warga negara dari negara tempat tinggalnya
yang biasanya.
6. Pasal 17 tentang Pekerjaan yang menghasilkan upah,
ditegaskan:
a. Para negara peserta akan memberikan kepada orang-
orang
yang tidak berkewarganegaraan yang secara sah
berdiam
di dalam wilayah mereka perlakuan sebaik mungkin,
dan
dalam kejadian apapun, setidak-tidaknya sama dengan
perlakuan yang pada umumnya diberikan kepada
orang-
orang asing dalam keadaan yang sama mengenai hak
untuk
ikut serta dalam pekerjaan yang menghasilkan upah.
b. Para negara peserta akan memberikan perhatian yang
simpatik dengan mengasimilasi hak-hak semua orang
yang tidak berkewarganegaraan, mengenai pekerjaan
yang
menghasilkan upah pada warga negaranya, dan
terutama
orang-orang yang tidak berkewarganegaraan, yang
telah
memasuki wilayah mereka sesuai dengan program-
program pemerimaan tenaga kerja, atau menurut pola-
pola
imigrasi.
7. Pasal 18 tentang Usaha Sendiri, menegaskan bahwa para
Negara peserta akan memberikan seseorang yang tidak
berkewarganegaraan yang secara sah berdiam di dalam
wilayah mereka perlakuan sebaik mungkin, dan dalam
kejadian apapun, setidak-tidaknya sama dengan perlakuan
yang pada umumnya diberikan kepada orang-orang asing
dalam keadaan-keadaan yang sama, mengenai hak untuk
ikut serta demi kepentingan sendiri dalam pertanian,
industri, kerajinan tangan dan perdagangan, dan
mendirikan perusahaan-perusahaan komersial dan
industri.
8. Pasal 19 Tentang Profesi Bebas menyebutkan bahwa setiap
negara peserta akan memberikan kepada orang-orang
yang tidak berkewarganegaraan yang secara sah berdiam
di dalam wilayah mereka yang memiliki ijasah yang
diakui oleh penguasa yang berwenang dari negara yang
bersangkutan, dan yang mendambakan mempraktekkan
profesi liberal perlakuan sebaik mungkin, dan dalam
kejadian apapun, setidak-tidaknya sama dengan perlakuan
yang pada umumnya diberikan kepada orang-orang asing
dalam keadaan-keadaan yang sama.
9. Pasal 20 tentang Pencatuan menegaskan bahwa apabila
suatu sistem pemberian ransum ada, yang berlaku pada
penduduk secara luas dan mengatur distribusi umum
produk-produk dalam keadaan kekurangan pemasokan,
maka orang-orang yang tidak berkewarganegaraan akan
diberikan perlakuan yang sama seperti yang diberikan
kepada warga negaranya.
10. Pasal 21 tentang Perumahan menyatakan bahwa mengenai
perumahan, para negara peserta sejauh masalah itu diatur
oleh undang-undang atau peraturan-peraturan atau
tunduk pada peradilan para penguasa pemerintah, akan
memberikan kepada orang-orang tidak
berkewarganegaraan yang secara sah berdiam di wilayah
mereka perlakuan sebaik mungkin, dan dalam kejadian
apapun, setidak-tidaknya sama dengan pada umumnya
diberikan kepada orang-orang asing dalam keadaan-
keadaan yang sama.
11. Pasal 22 tenang Pendidikan Umum, antara lain
menegaskan:
a. Para Negara Peserta akan memberikan kepada orang-
orang
tidak berkewarganegaraan, perlakuan yang sama
seperti
yang diberikan kepada warga negara dalam
pendidikan
dasar.
b. Para negara peserta akan memberikan kepada orang-
orang
tidak berkewarganegaraan perlakuan sebaik mungkin
dan
pada kejadian apapun, setidak-tidaknya sama dengan
yang pada umumnya diberikan kepada orang-orang
asing
dalam keadaan-keadaan yang sama, dalam hal
pendidikan
selain pendidikan dasar, terutama mengenai akses
studi-
studi, pengakuan sertifikat-sertifikat, ijasah-ijasah dan
gelar-gelar sekolah asing, pengurangan uang
pembayaran
dan ongkos-ongkos dan pemberian beasiswa.

12. Pasal 23 tentang Pertolongan Umum, menyebutkan bahwa


para negara peserta harus memberikan kepada orang-
orang yang tidak berkewarganegaraan yang secara sah
berdiam di dalam wilayah mereka perlakuan yang sama
berkenaan dengan pertolongan dan bantuan umum seperti
yang diberikan kepada warga negara mereka.

Berdasarkan ketenuan-ketentuan tersebut, maka jelas


kiranya bahwa Konvensi Internasional juga memberikan
perlindungan hukum bagi orang-orang yang tidak memiliki
kewarganegaraan. Perlindungan hukum melalui hukum
nasional negara peserta tentunya harus memperhatikan
kepentingan negara peserta. Artinya tidak semua
perlindungan hukum tersebut diakomodasi dalam UU
Kewarganegaraan, karena bagaimanapun juga negara akan
tetap mendahulukan kepentingan warga negaranya. Oleh
sebab itu dalam konteks Indonesia persoalan ini tentunya
harus menjadi catatan tersendiri dalam merumuskan
mengenai perlindungan huktim bagi orang-orang yang tidak
memiliki kewarganegaraan. Tidak semua ketentuan tersebut
dijadikan sebagai referensi untuk muatan materi hukum yang
mengatur tentang kewarganegaraan dan Hak Asasi manusia.
Bab IX

HAK-HAK ASASI MANUSIA

(Penegakan hak^asasi manusia merupakan mata rantai


yang tap, terputus dari prinsip demokrasi, kedaulatan rakyat
dan negara Hukum. Tanpa ada penghargaan terhadap hak^asasi
manusia mustahilpelaksanaan pemerintahan yang demokratis
dan Berkedaulatan rakyat dapat terwujud

A. Pendahuluan.
Scott Davidson mengemukakan bahwa kepedulian
internasioal terhadap hak asasi manusia merupakan gejala
yang relatif baru, meskipun kita dapat merujuk pada sejumlah
traktat atau perjanjian internasional yang mempengaruhi isu
kemanusiaan sebelum Perang Dunia II.227 Di Indonesia sendiri
kepedulian mengenai hak asasi manusia, dalam kurun waktu
perjalanan sejarah ketatanegaraan Indonesia, baru muncul
dipermukaan dan menjadi isu paling populer semenjak
gelombang reformasi pada tahun 1998 yang membuka katup-
katup demokratisasi di bidang kehidupan ketatanegaraan.
Sebelumnya kepedulian mengenai hak asasi manusia hanya
sebatas dibicarakan di dalam ranah akademik tanpa adanya
upaya penerapan secara konsisten. Pendek kata,

227 Scott Daidson, 1994, Hak Asasi Manusia, Grafiti, Jakarta,


sebelum reformasi, pemahaman mengenai hak asasi manusia
hanya sebatas pada ilmu pengetahuan tanpa praktek yang
nyata.

Dalam buku yang sama, Scott Davidson memberikan


gambaran tentang kepedulian terhadap hak asasi manusia
sebagai berikut:
"Baru setelah dimasukkannya kedalam Piagam PBB
pada tahun 1948, kita dapat berbicara adanya
perlindungan hak asasi manusia yang sistematis di dalam
sistem internasional. Namun jelas upaya domestik untuk
menjamin perlindungan hukum bagi individu terhadap
akses sewenang-wenang dari penguasa negara,
mendahului perlindungan internasional terhadap hak
asasi manusia".228

Lebih lanjut dikatakan bahwa semua instrumen


internasional mewajibkan konstitusional domestik setiap
negara memberikan kompensasi yang memadai kepada orang-
orang yang haknya dilanggar.229 Dengan demikian yang
namanya hak asasi manusia dapat dikatakan merupakan
paradigma universal yang harus diindahkan oleh setiap
pemerintahan negara yang beradab, demokratis dan
berkedaulatan rakyat. Oleh sebab itulah bagi setiap negara
yang menganggap dirinya beradab, harus mencantumkan
jaminan perlindungan hak asasi manusia di dalam
konstitusinya.
Dalam Kitab Kejadian, setelah Tuhan menciptakan
manusia laki-laki dan perempuan, maka berfirmanlah Dia:
"Beranak cuculah dan bertambah banyak, penuhilah bumi dan
taklukkanlah, berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-
burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di
bumi".230 Berdasarkan firman Tuhan tersebut, maka dapat
diambil pengertian bahwa sejak semula manusia telah diberi
kebebasan ataupun hak yang paling mendasar oleh Tuhan
untuk melakukan berbagai aktiftas kehidupan. Kebebasan
ataupun hak ini bersifat pribadi, maupun kebebasan ataupun
hak yang timbul sebagai akibat adanya interaksi antara
manusia dengan lingkungannya. Oleh sebab itu tepat apabila
dikatakan bahwa hak asasi manusia merupakan hak yang
228 Loc.cit.
229 Loc.cit.
230 Kitab
Kejadian 1:27:28.
melek.il tl.il.im diri manusia sejak ia dilahirkan. Bahkan dalam
perkembangannya, hak ini dianggap sudah ada sejak manusia
masih berada di dalam kandungan ibundanya.231

Di dalam Pasal 1 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia


dinyatakan bahwa semua manusia dilahirkan bebas dan sama
dalam martabat dan hak. Mereka dikaruniai akal dan budi
nurani dan harus bertindak terhadap sesama manusia dalam
semangat persaudaraan. Berdasarkan ketentuan semacam ini,
Adnan Buyung Nasution mengatakan:
"Deklarasi HAM sedunia itu mengandung makna
ganda, baik ke luar (antar negara bangsa) maupun ke
dalam (intra negara bangsa), berlaku bagi semua bangsa
dan pemerintahan di negaranya masing-masing.
Makna keluar adalah berupa komitmen untuk saling
menghormati dan menjunjung tinggi harkat dan martabat
kemanusiaan antar negara bangsa, agar terhindar dan
tidak terjerumus lagi dalam malapetaka peperangan yang
dapat menghancurkan nilai-nilai kemanusiaan.
Sedangkan makna ke dalam, mengandung pengertian
bahwa Deklarasi HAM sedunia itu harus senantiasa
menjadi kriteria obyektif oleh rakyat dari masing-masing
negara dalam menilai setiap kebijakan yang dikeluarkan
oleh pemerintahnya".232

Pendapat tersebut di atas menyiratkan pandangan bahwa


perlindungan dan penghargaan hak asasi manusia tidak
semata-mata ditujukan kepada warga negara saja, melainkan
harus dikembangkan dan ditujukan bagi setiap orang yang

231 Pada tahun 1995 Pemimpin Umat Katolik Sedunia


Paus Johanes Paulus IX mengeluarkan sebuah Insiklik
(fatwa) yang pada intinya menentang disebarluaskannya
praktek-prektek aborsi dan euthanasia dalam kehidupan
manusia modern dewasa ini, khususnya di lingkungan
masyarakat barat. Insiklik ini merupakan salah satu bukti
penegasan tentang diakuinya hak asasi manusia sejak
manusia itu masih berada di dalam kandungan
ada di dalam suatu negara, entah itu warga negara ataupun
warga negara asing.

Dengan demikian, hak asasi manusia menjadi penting


artinya dalam kehidupan ketatanegaraan satu negara, karena
merupakan sarana etis dan hukum untuk melindungi
individu, kelompok dan golongan lemah terhadap kekuatan-
kekuatan raksasa dalam masyarakat modern.233 Atau dengan
kata lain hak asasi manusia menjadi penting, bukan karena
diatur ataupun diberikan oleh suatu negara, melainkan karena
kesadaran manusia yang memiliki harkat dan martabat
sebagai mahluk yang berbudi dan ciptaan Tuhan.

B. Sejarah Perkembangan.
Dalam perkembangannya, pemikiran mengenai hak asasi
manusia mengalami pasang surut sejalan dengan sejarah
peradaban umat manusia dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara. Pasang surut hak asasi manusia ini,
sebenarnya mulai muncul setelah manusia mampu
memikirkan tentang dirinya sendiri dalam lingkungan alam
semesta. Pemikiran mengenai hak asasi manusia mulai
mencapai titik paling rendah setelah berkembangnya konsep
Kedaulatan Tuhan yang di dunia ini dilakukan oleh Raja atau
Paus (Pemimpin Gereja Sedunia). Inilah salah satu puncak
kegagalan Dunia Barat dalam menghargai harkat dan
martabat manusia.
Kedaulatan Tuhan yang dilaksanakan oleh Raja ataupun
Paus tersebut mengakibatkan Raja atau Paus mempunyai
kekuasaan yang maha dahsyat, sehingga hak-hak atau
wewenang Raja atau Paus termasuk keturunan Raja dapat
terpenuhi secara optimal, tetapi bagi manusia kebanyakan
(rakyat jelata) sama sekali tidak memiliki hak apapun. Raja
ataupun Paus mampu melakukan itu semua, karena
menganggap bahwa apa yang dilakukan itu semata-mata
adalah perintah Tuhan si empunya kedaulatan, dan
memperoleh kuasa dari Tuhan. Dalam kondisi yang demikian
233 Franz Magnis Soeseno, dalam Komnas HAM, 1997, Hak
Asasi Manusia dalam Perspektif Budaya Indonesia,
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hlm. Xiii.
ini, maka hak asasi manusia dapat diibaratkan merupakan
suatu impian dan barang komoditas yang sangat mahal
harganya, sekaligus langka keberadaannya.

Sebelum abad XIX dapat dikatakan bahwa masalah hak


asasi manusia hanya menjadi bahan perdebatan di tingkat
domestik. Artinya masalah hak asasi manusia ini belum
dipersoalkan secara umum dan luas di tingkat pergaulan
internasional. Pada saat itu kesewenang-wenangan penguasa
kepada rakyat semata-mata hanya dipandang merupakan
urusan kedaulatan masing-masing penguasa negara atau
urusan domestik. Orang hanya mengenal masalah ini sebatas
pada berbagai dokumen sejarah dari suatu negara dan
rumusannya masih sangat dipengaruhi oleh kondisi (politik)
yang berkembang di negara yang bersangkutan. Oleh sebab
itulah perkembangan pemikiran hak asasi manusia dapat
digambarkan sebagai berikut:234
1. Abad XVII dan XVIII. Pada abad ini pemikiran-pemikiran
atau konsep-konsep yang bersinggungan dengan
persoalan hak asasi manusia diketemukan dalam beberapa
naskah atau dokumen seperti:
a. Magna Charta (Piagam Agung) 1215, yaitu suatu
dokumen
yang mencatat hak yang diberikan oleh Raja John
Lackland
dari Inggris kepada beberapa bangsawan di bawahnya
atas
tuntutan mereka. Dengan adanya piagam ini
menimbulkan
konsekuensi terhadap pembatasan kekuasaan Raja John
Lackland. Sedangkan hak yang diberikan kepada para
bangsawan itu merupakan kompensasi dari jasa-jasa
kaum
bangsawan tersebut dalam mendukung Raja John di
bidang
keuangan.
b. Bill of Rights ( UU Hak 1689), yaitu suatu Undang-
Undang
yang diterima oleh Parlemen Inggris sesudah berhasil
dalam tahun sebelumnya mengadakan perlawanan ter-
hadap Raja James II, dalam suatu revolusi gemilang.
234 Dirangkum dari Miriam Budiardjo, 1986, Dasar-dasar
Ilmu Politik, Gramedia, Jakarta, hlm. 120, dst.

Dalam analisis Marxis, revolusi gemilang tahun 1688 dan


Bill of Rights yang melembagakan kaum borjuis hanya
menegaskan naiknya kelas bangsawan dan pedagang
di atas monarkhi.235 Sementara itu rakyat kebanyakan
dan kaum pekerja (proletar) tetap tertindas.
c. Declaration des droits de I'homme et du citoyen
(Pernyataan
hak-hak manusia dan warga negara 1789), yakni suatu
naskah yang dicetuskan pada permulaan Revolusi
Perancis,
sebagai perlawanan terhadap kesewenang-wenangan
dari
rezim lama.
d. Bill of Rights (UU Hak), yakni suatu naskah yang
disusun
oleh Rakyat Amerika dalam tahun 1789 (sama dengan
deklarasi Perancis), dan menjadi bagian dari UUD
Amerika
pada tahun 1791.
Berdasarkan dokumen naskah-naskah tersebut, maka
dapat ditarik pemahaman bahwa perkembangan hak asasi
manusia abad XVII dan XVIII muncul sebagai akibat
adanya kesewenang-wenangan penguasa. Pendek kata,
naskah-naskah itu merupakan ekspresi perlawanan
terhadap penguasa yang dzalim. Lain daripada itu hak-hak
yang dirumuskan pada abad ini sangat dipengaruhi oleh
gagasan Hukum Alam (natural law) oleh John Locke (1632-
1714) dan JJ. Rousseau (1712-1778) yang hanya terbatas
pada hak-hak yang bersifat politis saja seperti kesamaan
hak, hak atas kebebasan, hak untuk memilih dan
sebagainya.
2. Abad XX. Abad ini ditandai dengan terjadinya Perang
Dunia II yang memporak porandakan kehidupan
kemanusiaan. Perang Dunia II ini ditengerai disebabkan
oleh ulah pemimpin-pemimpin negara yang tidak
demokratis, seperti Jerman oleh Hitler, Italia oleh
Mussolini, dan Jepang oleh Kaisar Hirohito. Berkaitan
dengan hal ini, maka hak-hak politik sebagaimana
tertuang di dalam naskah-naskah dokumen yang

235 Scott Davidson, Op.cit, hlm. 3.


diketemukan pada abad XVII dan XVIII dianggap kurang
sempurna dan

Hak-hak Asasi Manusia - 389

perlu diperluas ruang lingkupnya. Franklin D. Roosevelt pada


permulaan Perang Dunia II merumuskan adanya 4
(empat) hak, yaitu:
a. Kebebasan untuk berbicara dan menyatakan pendapat
(freedom of speech);
b. Kebebasan beragama (freedom of religion);
c. Kebebasan dari ketakutan (freedom of fear); dan
d. Kebebasan dari kemelaratan (freedom from want).
Kemudian pada tahun 1946, Commision of Human
Rights
(PBB) menetapkan secara terperinci beberapa hak ekonomi
dan sosial, di samping hak-hak politik. Penetapan ini
kemudian dilanjutkan pada tahun 1948 dengan disusun
pernyataan sedunia tentang hak-hak asasi manusia
(Universal Declaration of Human Rights) pada tanggal 10
Desember 1948.

Dari gambaran sejarah perkembangan tersebut di atas,


nampak bahwa pengertian hak asasi manusia mengalami
masa peralihan yang cukup signifikan, yakni dari semata-mata
kepedulian akan perlindungan individu-individu dalam
menghadapi absolutisme kekuasaan negara, beralih kepada
penciptaan kondisi sosial ekonomi yang diperhitungkan akan
membuka kemungkinan individu-individu mengembangkan
potensinya sampai maksimal. Terkait dengan hal ini Szabo
mengemukakan bahwa tujuan hak asasi manusia, adalah
mempertahankan hak-hak manusia dengan sarana
kelembagaan terhadap penyalahgunaan kekuasaan yang
dilakukan oleh aparat negara, dan pada waktu yang
bersamaan mendorong perkembangan pribadi manusia yang
multidimensional.236
Sudah layak dan sepantasnya jikalau persoalan hak asasi
manusia memperoleh jaminan perlindungan secara
kelembagaan. Persoalannya adalah bagaimanakah
perlindungan tersebut dapat dilakukan atau
diimplementasikan kedalam aturan hukum masing-masing
negara? Terkait dengan hal ini, maka persoalan budaya dari
236 Szabo, dalam Ibid, hlm. 9.

390

suatu masyarakat di dalam suatu negara menjadi penting


untuk diperhatikan. Oleh sebab itu di bawah ini akan penulis
sampaikan secara singkat mengenai keterkaitan budaya
terhadap penerapan hak asasi manusia.

C. Dimensi Universalitas dan Kontekstualitas Dalam


Hak Asasi Manusia.
Budaya merupakan suatu ungkapan yang bermakna
ganda. Disatu sisi bisa diartikan sebagai perilaku manusia
dalam menghadapi suatu fenomena kehidupan
kemasyaratakan, sedangkan disisi lain dapat diartikan sebagai
hasil cipta, karsa dan karya manusia guna mengekspresikan
dirinya dalam ikatan kehidupan masyarakat, bangsa maupun
negara. Kedua arti tersebut pada hakikatnya tetap bermuara
pada keberadaan manusia itu sendiri sebagai mahluk individu
maupun mahluk sosial.
Dalam wacana kebudayaan muncul stereotype yang
mencoba melakukan dikotomi antara kebudayaan Barat dan
kebudayaan Timur. Kebudayaan Barat dianggap membawa
sifat individualistik yang lebih mementingkan hak, sedangkan
kebudayaan Timur lebih komunalistik yang lebih
mementingkan kewajiban dalam kehidupan bersama.
Kebudayaan Timur menganggap bahwa harkat dan martabat
manusia akan semakin "bernilai" jikalau ada keselarasan,
keharmonisan, dan keseimbangan antara kepentingan
individu dan kelompok. Wacana kebudayaan semacam ini
tentu akan berpengaruh terhadap implementasi hak asasi
manusia secara kontekstual. Artinya penerapan hak asasi
manusia memiliki korelasi dengan kontekstualitas budaya
dari' suatu masyarakat negara.
Wacana kontekstualitas kebudayaan dalam pelaksanaan
hak asasi manusia juga pernah dimunculkan oleh Soepomo
pada saat menyampaikan pidato pada tanggal 31 Mei 1945
dihadapan Sidang BPUPKI. Beliau mengemukakan bahwa
dalam konsep negara integralistik prinsip-prinsip mendasar
hak asasi manusia tidak akan cocok untuk diterapkan, karena
mengambil nilai-nilai budaya
I Ink liuk Asasi Manusia
Barat yang Individualistis. Lebih lanjut dikemukakan bahwa
dengan adanya jaminan hak asasi manusia justru
mencerminkan sikap keragu-raguan, ketidakpercayaan, dan
curiga terhadap kekuasaan. Di dalam negara kekeluargaan
yang integralistik, sikap curiga apalagi oposisi, adalah tabu.237
Menurut Franz Magniz Soeseno, tuduhan bahwa hak asasi
manusia itu adalah konsep individualistis didasarkan pada
dua pertimbangan, yaitu:
1. Paham hak asasi manusia memfokuskan perhatian orang
pada hak-haknya sendiri. Sedangkan masyarakat hanya
sekedar sarana pemenuhan kebutuhan induvidual saja;
dan
2. Paham hak asasi manusia dilihat sebagai menempatkan
individu, kelompok dan golongan masyarakat berhadapan
dengan negara dan bukan dalam kesatuan dengannya.
Warga masyarakat bukannya menyatu dengan negara,
melainkan diandaikan perlu dilindungi terhadapnya.238

Pandangan semacam ini nampak sekali dalam konsep


budaya Jawa yang sering dianggap sebagai cerminan budaya
Timur. Dalam konsep Budaya Jawa, keselarasan,
keharmonisan, dan keseimbangan hidup antara individu dan
masyarakat menjadi acuan utama dalam mengembangkan
harkat dan martabat manusia. Individu dan kelompok, baik
itu suatu komunitas kehidupan bersama maupun dalam
kaitannya dengan negara sebagai organisasi kekuasaan,
adalah merupakan kesatuan yang tak terpisahkan. Antara
penguasa (negara) dengan rakyat sebagai individu-individu
diletakkan dalam konsep manunggaling kawula lan Gusti.
Artinya menyatunya rakyat dengan penguasa. Dengan adanya
konsep budaya seperti inilah, maka persoalan hak asasi
manusia berikut perlindungan terhadapnya dianggap tidak
relevan untuk diterapkan.

237 Lihat Adnan Buyung Nasution dalam Peter

Dalam kaitan dengan hal ini, Nurcholis Madjid


mengemukakan bahwa di negara-negara berkembang, usaha
meluaskan penerimaan akan ide-ide tentang hak asasi
manusia sering mengalami hambatan. Salah satu hambatan itu
datang dari argumen bahwa konsep hak asasi manusia itu
adalah buatan barat, dengan konotasi sebagai sumber
kejahatan kolonialisme dan imperialisme. Dalam retorika yang
menyangkut masalah pandangan hidup, hak asasi manusia
yang merupakan konsep barat adalah sama dengan
sekularisme, jika bukan atheisme sekalian.239
Lebih lanjut Nurcholis Madjid mengemukakan beberapa
contoh, misalnya argumentasi yang dikemukakan oleh Lee K
wan Yew, Menteri Senior Singapura yang kemana-mana
mengkhotbahkan bahwa demokrasi dan ide hak asasi manusia
adalah tidak urgen untuk bangsa-bangsa Asia, jika bukan
malah tidak diperlukan. Demikian pula Mahatir dan tokoh-
tokoh RRC yang sering terdengar mengajukan argumentasi
yang sama.240
Menurut Franz Magnis Soeseno, pandangan yang
mencoba mendikotomikan hak asasi manusia berdasarkan
perspektif budaya Barat dan Timur tersebut nampak mulai
terbantahkan, ketika nilai-nilai masyarakat tradisionil mulai
roboh dan muncul masyarakat modern.241 Pendek kata
menurut Franz Magniz Soeseno hak-hak manusia Barat dapat
disadari sesudah struktur-struktur sosial tradisionil dan
kelompok-kelompok masyarakat tidak lagi berdaya serta
memberikan tempat terjamin kepada masing-masing
kelompok dan golongan telah ambruk. Selama keutuhan
manusia masih terjamin oleh adat dan struktur-struktur sosial
lainnya, tidak ada kebutuhan untuk merumuskan paham hak
asasi manusia. Tetapi dalam situasi perubahan sosial dimana
individu (yang ditangkap Kopkamtib), kelompok orang
(kelompok tani yang tanahnya di buldozer untuk lapangan
golf), golongan (misalnya agama minoritas) maupun suku
(suku terasing yang hutan adanya mau dieksploitasi) terancam
239 Nurcholis Madjid,
dalam Op.cit, hlm. 41.
240 Ibid, hlm. 42.
241 Ibid, hlm. 56.
oleh kekuasaan negara maupun kekuatan-kekuatan sosial
lainnya, hak-hak asasi manusia semakin menjadi sarana untuk
menjamin keutuhan individu, kelompok, golongan dan suku
itu.242

Pandangan yang seperti itu memberikan penegasan bahwa


hak asasi manusia tidak lagi harus didikotomikan dalam
perspektif budaya. Hak asasi manusia sebagai sebuah
konsepsi sifatnya lintas negara dan lintas budaya, sepanjang
harkat dan martabat kemanusiaan tidak mampu lagi
dilindungi oleh struktur kehidupan sosial masyarakat, karena
munculnya kekuatan-kekuatan baru di masyarakat yang
merampas harkat dan kemartabatan kemanusiaan.
Berdasarkan argumentasi tersebut menunjukkan bahwa
dalam perkembangan pemahaman mengenai ide-ide hak asasi
manusia, maka dapat diambil pengertian bahwa konsep hak
asasi manusia itu memang berdimensi ganda, yaitu:

1. Dimensi Universalitas, maksudnya bahwa substansi hak


asasi manusia itu pada hakikatnya bersifat umum, dan
tidak terikat oleh waktu maupun tempat. Substansi Hak
asasi manusia akan selalu dibutuhkan oleh siapa saja dan
dalam aspek kebudayaan dimanapun itu berada, entah itu
di dalam kebudayaan Barat maupun Timur. Dimensi hak
asasi manusia seperti ini, pada hakikatnya akan selalu
dibutuhkan dan menjadi sarana bagi individu untuk
mengekspresikan dirinya secara bebas dalam ikatan
kehidupan kemasyarakatan. Dengan kata lain hak asasi
manusia itu ada karena yang memilik hak itu adalah
manusia sebagai manusia. Jadi sejauh manusia itu
memiliki harkat dan martabat, hak asasi manusia akan
selalu ada, dan bukan karena ciri-ciri tertentu yang
dimiliki.243
2. Dimensi Kontekstualitas, maksudnya adalah menyangkut
penerapan atau implementasi ide-ide hak asasi manusia
bila ditinjau dari "tempat" berlakunya hak asasi manusia
tersebut. Artinya sepanjang ide-ide hak asasi manusia
dapat

diterapkan dalam suatu 'tempat" yang kondusif, maka niscaya


kepentingan akan perumusan hak asasi manusia sangat
dibutuhkan. Dengan kata lain, ide-ide hak asasi manusia
akan dapat dipergunakan secara efektif dan menjadi
landasan etis maupun moral dalam pergaulan hidup
manusia, jikalau struktur kehidupan masyarakat entah di
Barat maupun Timur sudah tidak memberikan tempat
bagi terjaminnya harkat dan martabat kemanusiaan.

Dua dimensi inilah yang memberikan pengaruh signifikan


terhadap penerapan ide-ide hak asasi manusia di dalam
komunitas kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara. Oleh
sebab itu dengan adanya dua dimensi ini, maka perdebatan
mengenai pelaksanaan ide-ide hak asasi manusia yang selalu
diletakkan dalam konteks budaya, suku, ras maupun agama
sudah tidak mempunyai tempat lagi atau tidak relevan dalam
wacana publik masyarakat modern.244

D. Beberapa Pemikiran Founding Fathers Tentang


Hak Asasi Manusia di Indonesia.
Masalah perlindungan dan penegakan hak asasi manusia
bukan saja merupakan masalah yang dihadapi oleh negara-
negara tertentu saja, melainkan sudah merupakan masalah
global. Artinya masalah ini akan selalu dihadapi oleh
masyarakat internasional, tidak terkecuali Indonesia yang
dalam penerapan demokratisasi pemerintahannya relatif baru.
Dengan demikian persoalan hak asasi manusia jelas universal
dan lintas budaya.245
Salah satu materi yang harus diatur di dalam konstitusi
(UUD) suatu negara adalah mengenai jaminan terhadap
perlindungan hak asasi manusia warga negara. Yang menjadi
pertanyaan adalah, mengapa masalah perlindungan hak asasi
244 Bandingkan dengan Adnan Buyung nasution, 1995,
Aspirasi Pemerintahan Konstitusional di Indonesia Studi
Sosio-Legal, Cet I, Grafiti, Jakarta, hlm. 161, dst.
245 B. Hestu Cipto Handoyo, 1995, Aspek-aspek Hukum
Administrasi Negara Dalam Penataan Ruang, Univ. Atma
manusia menjadi salah satu materi terpenting yang harus
dimuat di dalam konstitusi atau UUD? Jawaban atas
pertanyaan ini adalah, karena negara sebagai organisasi
kekuasaan cenderung untuk menyalahgunakan kekuasaan.
Oleh sebab itu untuk memberikan jaminan perlindungan
terhadap hak asasi manusia, maka dalam setiap konstitusi
(UUD) akan selalu memuat ketentuan mengenai hal ini.

Dalam sejarah pemikiran negara dan hukum


menunjukkan bahwa negara selalu dikonotasikan sebagai
suatu lembaga yang mempunyai keabsahan untuk
memaksakan kehendak kepada warga negaranya. Pemaksaan
kehendak ini tentu dapat diperkenankan sepanjang langkah
tersebut tidak menindas harkat dan martabat kemanusiaan.
Oleh sebab itu, agar keabsahan untuk melakukan pemaksaan
kehendak tersebut dapat dilakukan tanpa melanggar harkat
dan martabat kemanusiaan, maka harus ada seperangkat
rambu-rambu yang diperuntukkan untuk melindungi hak
asasi manusia warga negara.
Konstitusi dibentuk sejatinya adalah untuk membatasi ke-
kuasaan agar tidak diterapkan secara sewenang-wenang, dan
pemaksaan itu tidak dilakukan negara tanpa batas. Dengan
demikian, pengaturan mengenai hak asasi manusia akan
selalu disejajarkan dengan materi-materi lain di dalam suatu
konstitusi negara. Bahkan salah satu ciri dari negara hukum
adalah adanya jaminan hak asasi manusia, di samping
pemisahan kekuasaan, legalitas pemerintahan, dan peradilan
yang bebas.
Dalam catatan sejarah ketatanegaraan Indonesia, persoalan
hak asasi manusia pernah menjadi bahan perdebatan yang
serius, terutama di saat para founding fathers (para pendiri
negara) merumuskan Undang-Undang Dasar di dalam sidang-
sidang BPUPKI. Dalam buku Prosedur dan Sistem Perubahan
Konstitusi, Sri Soemantri menyampaikan ilustrasi perdebatan
sebaga berikut. Moh. Hatta dan Moh. Yamin berpendapat
bahwa hak tersebut perlu dirumuskan dalam konstitusi untuk
menjamin warga negara terhadap tindakan sewenang-wenang
dari pihak penguasa. Di lain pihak, Soekarno dan Soepomo
beranggapan bahwa hak-hak tersebut bertentangan dengan
falsafah negara dan bangsa seperti yang telah disepakati, yang
kemudian tercantum di dalam Pembukaan UUD 1945, yang
dalam hal ini disebut sebagai aliran pikiran kekeluargaan atau
falsafah kekeluargaan.246
Dengan menyampaikan konsep negara integralistik,
Soepomo menjelaskan adanya tiga perspektif mengenai negara
dan masyarakat, khususnya bila dihubungkan dengan
penerapan hak asasi manusia, yaitu:
1. Perspektif individualistik yang diajukan oleh Hobbes,
Locke dan Rousseau. Dalam perspektif ini negara
merupakan masyarakat hukum yang berdasarkan kontrak;
1. Perspektif kelas yang diajukan oleh Marx dan Lenin dan
memandang negara sebagai alat golongan yang menguasai
sistem ekonomi untuk menindas golongan lain; dan
2. Perspektif integralistik yang dianjurkan oleh Spinoza,
Adam Muller, dan Hegel yang menganggap bahwa fungsi
negara bukan untuk melindungi kepentingan pribadi atau
golongan (kelas), melainkan untuk melindungi
247
kepentingan masyarakat secara keseluruhan.

Dengan berlandaskan pada ketiga perspektif hubungan


negara dan masyarakat tersebut, Soepomo mengemukakan:
"Negara ialah suatu susunan masyarakat yang integral,
segala golongan, segala bagian, segala anggotanya
berhubungan erat satu sama lain dan merupakan satu
persatuan masyarakat yang organis. Yang terpenting
dalam negara yang berdasarkan aliran pikiran integral
ialah penghidupan bangsa seluruhnya. Negara tidak
memihak satu golongan yang paling kuat, akan tetapi
negara menjamin keselamatan hidup seluruhnya sebagai
persatuan yang tak dapat dipisahkan". 248 link link Asasi
Manusia 397

246 Sri Soemantri, 1986, Prosedur dan Sistem Perubahan


Konstitusi, Alumni, Bandung, hlm. 51.
247 Adnan Buyung Nasution, Op.cit, hlm. 88-89.
248 Loc.cit.

Argumentasi Soepomo ini didukung dan disetujui oleh


Soekarno dalam Rapat BPUPKI tanggal 15 Juli 1945. Soekarno
mengatakan:
"Sebenarnya soal systeem, soal dasar, soal falsafah itu,
meskipun tidak berupa suatu keputusan yang nyata dari
pada Dokuritzu Zyunbi Tioosakai, yaitu dasar kekeluargaan
atau dasar yang saya namakan gotong royong. Tetapi
meskipun kita dengan diam-diam ataupun tidak dengan
diam-diam menyetujui dasar kekeluargaan atau dasar
gotong royong ini, maka sesudah rancangan Undang-
Undang Dasar ini dibagikan dikalangan anggota-anggota,
kami Panitia didatangi oleh banyak sekali anggota-
anggota yang menanyakan apa sebabnya dalam Undang-
Undang Dasar, Undang-Undang Dasar kita rancangkan,
misalnya tidak dimaktubkan hak-hak manusia, hak warga
negara, tidak diterangkan di situ, bahwa kitapun
menghendaki di dalam Undang-Undang itu apa yang
dinamakan droits de I'home et du citoyen atau the rights of the
citizen. Kenapa dalam Undang-Undang Dasar tidak
dinyatakan dengan tegas bahwa misalnya manusia
mempunyai hak akan kemerdekaan, bahwa dijamin
kemerdekaan mengeluarkan pikiran, bahwa misalnya
dijamin hak bersidang dan berkumpul dan lain-lain
sebagainya".249

Dalam uraian lebih lanjut, Soekarno mengemukakan


berbagai kelemahan dari praktek negara-negara Eropa dan
Amerika yang menganut paham individualisme dan
liberalisme. Ungkapan beliau adalah sebagai berikut:
"Maka oleh karena itu saya minta, saya menangisi
kepada anggota-anggota Dokuritzu Zyunbi Tyoosakai, jika
kita ingin nasib kita sendiri dikelak kemudian hari, nasib
seluruh benua Asia dikelak kemudian hari, saya minta dan
menangisi kepada tuan-tuan dan nyonya-nyonya,
buanglah sama sekali paham individualisme itu, jangan
dimasukkan dalam Undang-Undang Dasar kita yang
namanya rights of citizen sebagai yang diancurkan oleh
Republik Perancis itu adanya".250

Pendapat seperti ini serta merta memperoleh tanggapan


penolakan dari anggota BPUPKI lainnya, yaitu Moh. Hatta,
Moh Yamin, Sukiman, dan Liem Koen Hiam. Bahkan pada
tanggal 15 Agustus 1945, Moh. Hatta mengemukakan:
"Memang kita menentang individualisme dan saya
sendiri boleh dikatakan lebih dari 20 tahun berjuang untuk
menentang individualisme. Kita mendirikan negara baru
atas dasar gotong royong dan hasil usaha bersama. Tetapi
suatu hal yang saya khawatirkan, kalau tidak ada suatu
keyakinan atau suatu pertanggungan kepada rakyat dalam
Undang-Undang Dasar yang kita susun sekarang ini,
mungkin terjadi suatu bentukan negara yang tidak kita
setujui. Sebab dalam hukum negara sebagai sekarang ini
mungkin timbul suatu keadaan kadaver dicipline seperti
yang kita lihat di Rusia dan Jerman, inilah yang saya
khawatirkan. Tentang dimasukkan hukum yang disebut
droits de I'home et du citoyen, memang tidak perlu
dimasukkan disini sebab itu semata-mata adalah syarat
untuk mempertahankan hak orang seorang terhadap
kezaliman raja-raja dahulu. Hak-hak itu dimasukkan
dalam Grondwet-grondwet sesudah Franse Revolutie semata-
mata untuk menentang kezaliman itu. Akan tetapi kita
mendirikan negara baru. Hendaklah kita memperhatikan
syarat-syarat negara yang kita bikin, jangan menjadi
kekuasaan. Kita menghendaki negara Pengurus, kita
membangun masyarakat baru yang berdasarkan gotong
royong, usaha bersama; tujuan kita ialah memperbaharui
masyarakat. Tetapi di sebelah itu janganlah kita
memberikan kekuasaan yang tidak terbatas kepada negara
untuk menjadikan di atas negara baru itu suatu negara
kekuasaan. Sebab itu, ada baiknya dalam salah satu fasal,
misalnya fasal yang mengenai warga negara, disebutkan
juga disebelah hak kepada misalnya tiap-tiap warga
negara rakyat Indonesia, supaya tiap-tiap warga negara
jangan takut mengeluarkan suaranya. Yang perlu
disebutkan disini hak untuk berkumpul dan bersidang
atau menyurat dan lain-lain. Formuleringnya atau
redaksinya boleh kita serahkan kepada panitia Kecil".251

Dalam kesempatan yang sama Moh. Yamin juga


mengajukan usulan yang menolak argumentasi dari Sukarno
dan Soepomo, dengan mengatakan:

251 Loc.cit.
"Supaya aturan kemerdekaan warga negeri
dimasukkan ke dalam Undang-Undang Dasar dengan
seluas-luasnya. Saya menolak segala alasan yang
dimajukan untuk tidak memasukkan dan seterusnya
dapatlah saya memajukan beberapa alasan pula, selain
daripada yang dimajukan anggota yang terhormat Drs.
Moh. Hatta tadi. Segala constitution lama dan baru di atas
berisi perlindungan aturan dasar itu, misalnya Undang-
Undang Dasar Dai Nippon, Republik Filipina dan
Republik Tiongkok. Aturan dasar tidak dihubungkan
dengan liberalisme, semata-mata suatu keharusan
perlindungan kemerdekaan, yang harus diakui dalam
Undang-Undang Dasar".252

Berkaitan dengan argumentasi Moh. Yamin tersebut,


Soekiman mengemukakan pendapat senada, yaitu:
"Dewasa ini rakyat merasa tidak mempunyai hak apa-
apa, sebagai akibat 350 tahun penjajahan, baik yang
mengenai jasmani maupun mengenai rohaninya. Pikiran
rakyat Indonesia sungguh dikuasai oleh rasa tidak
mempunyai harga diri (minderwaardigheids complex). Untuk
membasmi rasa demikian itu maka segala usaha harus
dijalankan. Berkenaan dengan itu maka setuju sekali untuk
memasukkan beberapa hak dasar kewargaan dalam
Undang-Undang Dasar".253

Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Liem Koen


Hiam yang mengatakan bahwa dalam Grondrechten yang
diusulkan tadi, yang ditetapkan tidak hanya hak bersidang
dan berkumpul, tetapi juga hak kemerdekaan buat drukpers,
onschenbaarheid van woorden. Kemerdekaan drukpers, perlu
sekali sebagai alat untuk sedikit-dikitnya mengurangi
kejelekan-kejelekan daripada masyarakat. Dalam berbagai
perkara tidak baiklah bertambah-tambah, tetapi dengan
disinari oleh penerangan dari surat kabar, bisa dikurangi
kejelekan-kejelekan daripada negara sama sekali.254
Perdebatan-perdebatan yang terjadi pada waktu sidang
BPUPKI tersebut di atas menunjukkan sekali lagi bahwa
pemahaman mengenai perlunya perlindungan hak asasi
manusia warga negara juga masih diwarnai konsep dikotomi
budaya Barat dan Timur. Dikotomi antara negara berdasarkan
kontrak sosial dan negara berdasarkan kekeluargaan atau
gotong royong. Pendek kata, bagi kalangan yang menolak
menganggap bahwa hak asasi manusia yang memang lahir di
dunia Barat selalu dikonotasikan membawa paham
individualisme dan liberalisme. Oleh sebab itu tidak ada
kepentingan untuk dimasukkan dalam Undang-Undang Dasar
Indonesia yang menganut cita negara kekeluargaan atau
gotong royong.

Dari perdebatan-perdebatan tersebut dan setelah melalui


proses pembicaraan yang cukup alot, maka dicapailah
kompromi. Hak asasi manusia yang dimasukkan dalam
Undang-Undang Dasar, tidak ditekankan pada hak asasi
manusia sebagaimana lahir dan berkembang di negara-negara
Barat yang dianggap lebih mencerminkan paham
individualisme dan liberalisme. Melainkan diambil dari
falsafah bangsa Indonesia sendiri.
Sehubungan dengan hal tersebut, pencantuman hak asasi
manusia dalam naskah Undang-Undang Dasar diformulasikan
ke dalam dua kategori hak asasi manusia, yaitu hak asasi
klasik dan hak asasi sosial. Dua kategori hak asasi manusia ini
dapat digambarkan sebagai berikut:
a. Percerminan hak asasi manusia klasik, tercantum dalam
ketentuan Pasal-pasal sebagai berikut:
1. Pasal 27 ayat (1): Segala warga negara bersamaan
kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan
dan wajib menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan
itu dengan tidak ada kecualinya. '
2. Pasal 28: Kemerdekaan berserikat dan berkumpul,
mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan
sebagainya, ditetapkan dengan undang-undang.
3. Pasal 29 ayat (2): Negara menjamin kemerdekaan tiap-
tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-
masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan
kepercayaannya itu.
4. Pasal 30 ayat (1): Tiap-tiap warga negara berhak dan
wajib ikut serta dalam usaha pembelaan negara.
b. Pencerminan hak asasi manusia sosial tercantum di dalam
ketentuan-ketentuan Pasal-pasal sebagai berikut:
1. Pasal 27 ayat (2): Tiap-tiap warga negara berhak atas
pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi
kemanusiaan.
2. Pasal 31 ayat (1): Tap-tiap warga negara berhak
mendapat pengajaran.
3. Pasal 34: Fakir miskin dan anak-anak terlantar
dipelihara oleh negara.

Bila ketentuan yang terdapat di dalam UUD 1945 tersebut


di atas dibandingkan dengan ketentuan yang terdapat di
dalam Konstitusi RIS dan UUDS 1950, maka nampak bahwa
Konstitusi RIS dan UUDS 1950 lebih lengkap dan terperinci
dalam merumuskan hak asasi manusia.
Di dalam Konstitusi RIS hak asasi manusia klasik
dituangkan dalam 27 (dua puluh tujuh) pasal, yakni Pasal 1
sampai dengan Pasal 33. Sementara itu hak asas manusia
sosialnya dituangkan dalam 8 (delapan) pasal yaitu dari Pasal
34 sampai dengan Pasal 41. Sedangkan di dalam UUDS 1950,
hak asasi manusia klasik dirumuskan dalam 28 (dua puluh
delapan) pasal, yakni dari Pasal 7 sampai dengan Pasal 34, dan
hak asasi manusia sosialnya dirumuskan dalam 9 (sembilan)
pasal, yakni dari pasal 35 sampai dengan Pasal 43.255
Adanya perbedaan jumlah dan jenis perumusan mengenai
kedua kategori hak asasi manusia tersebut di atas, disebabkan
oleh adanya perbedaan dan suasana kebathinan dari para
perumus masing-masing konstitusi (UUD). Situasi dan
suasana kebathinan dari perumus UUD 1945 diliputi oleh
kecintaan terhadap falsafah negara kekeluargaan atau gotong
royong sebagaimana tertuang di dalam Pembukaan UUD
1945. Sedangkan situasi atau suasana kebathinan dari
perumus Konstitusi RIS dan UUDS 1950 diliputi
255 B. Hestu Cipto Handoyo, Aspek-aspek Hukum...,Op.cit,

oleh perkembangan politik tingkat dunia pada saat itu.


Perumusan Konstitusi RIS dan UUDS 1950 banyak
dipengaruhi oleh nuansa ephoria munculnya pernyataan
sedunia tentang hak asasi manusia (Universal Declaration of
Human Rights) oleh Perserikatan Bangsa Bangsa pada tanggal
10 Desember 1948.256
Kita ketahui bahwa dasar pemberlakuan Konstitusi RIS
adalah Keputusan Presiden RIS No. 49 Tertanggal 31 Januari
1950 dan diundangkan pada tanggal 6 Pebruari 1950.
Sedangkan untuk UUDS 1950 diundangkan pada tanggal 15
Agustus 1950, yakni berdasarkan UU Federal No. 7 Tahun
1950. Hal ini berarti perumusan atau pembentukan kedua
konstitusi tersebut secara sadar atau tidak telah mengambil
acuan atau minimal terpengaruh oleh keberadaan Universal
Declaration of Human Rights tersebut.257

E. Perumusan Hak Asasi Manusia Dalam


Amandemen UUD 1945.
Sejak diberlakukan kembali UUD 1945 setelah Dekrit
Presiden 5 Juli 1959, praktis secara yuridis UUD 1945 belum
pernah mengalami perubahan, walaupun dalam praktek
ketatanegaraan Indonesia sejatinya sudah mengalami
perubahan berulang kali. Perubahan yang dimaksud disini
sebenarnya dalam ranah penafsiran. Artinya pelaksanaan
UUD 1945 yang dalam kurun waktu demokrasi terpimpin dan
demokrasi Pancasila (menurut terminologi Orde Baru) harus
diletakkan secara murni dan konsekuen ternyata hanya
sebatas retorika politik dari pemegang kekuasaan di masing-
masing rezim.
Praktek ketatanegaraan justru jauh dari nilai-nilai
demokrasi dan penghargaan terhadap hak asasi manusia
sebagaimana telah digariskan oleh UUD 1945 itu sendiri.
Langgam kekuasaan justru bersifat sentralistik, otoriter dan
hegemonis. Ini semua akibat prinsip executive heavy yang

256 M. Hutauruk, 1983, Kenalilah PBB (Perserikatan


Bangsa Bangsa), Erlangga, Jakarta, hlm. 49.
257 Loc.cit.
dikembangkan oleh UUD 1945 itu sendiri. Kekuasaan Presiden
sebagai Mandataris MPR telah merambah ke cabang-cabang
kekuasaan lain yang pada akhirnya mengakibatkan
pelaksanaan paham kedaulatan rakyat menjadi semu adanya.

Gerakan reformasi yang digulirkan oleh mahasiswa sejak


permulaan tahun 1998 ternyata telah mengubah peta
kekuasaan dan sistem ketatanegaraan Indonesia. Terkait
dengan hal ini, kesakralan UUD 1945 yang menjadi paradigma
Orde Baru mulai diganggu gugat. Pendek kata perubahan
suatu konstitusi dalam negara merupakan sebuah
keniscayaan. Dengan kondisi yang demikian inilah, maka
terjadi paradigma baru dalam wacana politik dan
ketatanegaraan Indonesia, yakni dengan lebih membuka diri
untuk mengembangkan prinsip-prinsip demokrasi
pemerintahan dan penghargaan terhadap hak asasi manusia.
Terkait dengan kesadaran seperti ini, Ketetapan MPR No.
XVII/MPR/1998 di dalam konsideran "Menimbang"
menyatakan bahwa bangsa Indonesia sebagai bagian
masyarakat dunia patut menghormati hak asasi manusia yang
termaktub dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia
Perserikatan Bangsa Bangsa serta berbagai instrumen
internasional lainnya mengenai hak asasi manusia.
Dengan adanya Ketetapan MPR inilah, maka mulai tahun
1998 Pemerintah Indonesia dan berbagai komponen Supra
Struktur Politik lainnya mulai melakukan berbagai langkah
untuk merumuskan dan mengimplementasikan hak asasi
manusia sebagaimana tertuang di dalam Deklarasi Universal
Hak Asasi Manusia. Sehubungan dengan hal ini Pasal 1
Ketetapan MPR No. XVII/MPR/1998 secara tegas
menyatakan: "Menugaskan kepada lembaga-lembaga tinggi
negara dan seluruh aparatur pemerintah, untuk menghormati,
menegakkan dan menyebarluaskan pemahaman mengenai
hak asasi manusia kepada seluruh masyarakat". Lebih lanjut
dalam Pasal 2 juga dinyatakan:
"Menugaskan kepada Presiden Republik Indonesia dan
Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia untuk
meratifikasi instrumen Perserikatan Bangsa Bangsa
tentang Hak asasi manusia sepanjang
tidak bertentangan dengan Pancasila dan Undang-
Undang Dasar 1945".

Di dalam Amandemen I dan II UUD 1945, pengaturan


mengenai hak asasi manusia tercantum di dalam Bab X, Bab X
A, dan Bab XI. Lebih lanjut, secara lengkap pengaturan
mengenai hak asasi manusia di dalam amandemen UUD 1945
adalah sebagai berikut:
a. Pasal 27:
(1) Segala warga negara bersamaan kedudukannya di
dalam hukum dan pemerintahan dan wajib
menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan
tidak ada kecualinya.
(2) Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan
penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.
(3) Setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam
upaya pembelaan negara.
b. Pasal 28: Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, menge-
luarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya
ditetapkan dengan undang-undang.
c. Pasal 28 A: Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak
mempertahankan hidup dan kehidupannya.
d. Pasal 28 B:
(1) Setiap orang berhak membentuk keluarga dan
melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah.
(2) Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh,
dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari
kekerasan dan diskriminasi.
e. Pasal 28 C:
(1) Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pe-
menuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapatkan
pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu penge-
tahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi
meningkatkan kualitas hidupnya dan demi
kesejahteraan umat manusia.
(2) Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam
memperjuangkan haknya secara kolektif untuk
membangun masyarakat, bangsa dan negaranya.
f. Pasal 28 D:
(1) Setap orang berhak atas pengakuan, jaminan,
perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta
perlakuan yang sama dihadapan hukum.
(2) Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat
imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam
hubungan kerja.
(3) Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan
yang sama dalam pemerintahan
(4) Setiap orang berhak atas status kewarganegaraan
g. Pasal 28 E:
(1) Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat
menurut agamanya, memilih pendidikan dan
pengajaran, memilih pekerjaan, memilih
kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah
negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.
(2) Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini
kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai
dengan hati nuraninya.
h. Pasal 28 F: Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan
memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi
dan
lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari,
memperoleh,
memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan
informasi
dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.
i. Pasal 28 G:
(1) Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi,
keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang
di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman
dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk
berbuat atau tidak berbuat yang merupakan hak
asasinya.

(2) Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau


perlakuan yang merendahkan derajad martabat
manusia dan berhak memperoleh suaka politik dari
negara lain.
j. Pasal 28 H:
(1) Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin,
bertempat tinggal, dan mendapat lingkungan hidup
yang baik dan sehat serta berhak memperoleh
pelayanan kesehatan.
(2) Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan
perlakuan khusus untuk kesempatan dan manfaat yang
sama guna mencapai persamaan dan keadilan.
(3) Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang
memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh
sebagai manusia yang bermartabat.
(4) Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan
hak milik tersebut tidak boleh diambil secara
sewenang-wenang oleh siapapun.
k. Pasal 28 I:
(1) Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak
kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama,
hak untuk tidak diperbudak, tidak dituntut atas dasar
hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia
yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.
(2) Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat
diskriminatif atas dasar apapun dan berhak
mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang
bersifat diskriminatif.
(3) Identitas budaya dan hak masyarakat tradisionil
dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan
peradaban.
(4) Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan
hak asasi manusia adalah tanggungjawab negara,
terutama pemerintah.
(5) Untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia
dengan prinsip negara hukum yang demokratis, maka
pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur dan di-
tuangkan dalam peraturan perundang-undangan.
1. Pasal 28 J:
(1) Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia
orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara.
(2) Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap
orang wajib tunduk kepada pembatasan yang
ditetapkan dalam undang-undang dengan maksud
semata-mata untuk menjamin pengakuan serta
penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan
untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan
pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan
ketertiban umum dalam suatu masyarakat yang
demokratis.
m. Pasal 29 ayat (2): Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap
penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan
untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya
itu.
Pasal ini dalam proses amandemen IV, Pada Sidang
Tahunan MPR bulan Agustus 2002 teriah menjadi
perdebatan yang cukup alot. Ada sementara fraksi di MPR
(Fraksi Partai Bulan Bintang dan Fraksi Persatuan
Pembangunan) menghendaki dimasukkannya kembali 7
(tujuh) kata Piagam Jakarta, dan ada sementara fraksi yang
menghendaki rumusan terhadap pasal tersebut tetap
seperti semula. Proses perdebatan seperti ini merupakan
pengulangan sejarah seperti yang pernah terjadi dalam
sidang BPUPKI dan Konstituante pada saat merumuskan
Rancangan UUD untuk menggantikan UUDS 1950. Setelah
melalui proses perdebatan yang panjang, maka
diputuskan bahwa Pasal 29 ayat (2) tersebut dikembalikan
ke naskah asli, atau tidak diamandemen.

Menurut hemat penulis, jika Pasal 29 ayat (2) memasukkan


7 (tujuh) kata Piagam Jakarta, yakni dengan kewajiban
menjalankan syariat bagi pemeluknya, maka hal ini justru
menimbulkan pemahaman yang bersifat kontradiktif dalam
satu pasal. Pada hakikatnya yang namanya "hak" itu sifatnya
optional (pilihan), artinya akan dilaksanakan atau tidak sangat
tergantung dari perspektif masing-masing individu.
Sedangkan kalau kewajiban yang berbarengan dengan hak
menjadi satu aspek yang kemudian dicantumkan dalam satu
pasal konstitusi, maka sifat optional ini akan mengalami
penyimpangan, mengingat dalam kata "kewajiban"
terkandung dimensi sanksionistik.
Dengan memperhatikan pasal-pasal hasil amandemen
UUD 1945 tersebut di atas, ternyata dalam merumuskan
ketentuan yang menyangkut perlindungan hak asasi manusia
masih bersifat tumpah tindih dan tidak sistematis bahkan
terjadi duplikasi di sana-sini. Contoh yang dapat
dikemukakan disini adalah Pasal 28 I dan Pasal 29 ayat (2).
Kedua pasal tersebut secara tegas sama-sama memberikan
perlindungan hak asasi manusia di bidang agama.

F. Hak Asasi Manusia Menurut Undang-Undang No.


39 Tahun 1999.
PadahakikatnyaUndang-Undang No. 39 Tahun 1999
merupakan undang-undang yang dibentuk dengan cara
mempersatukan sifat universalitas dan sifat kontekstualitas
hak asasi manusia. Sifat universalitas dari hak asasi manusia
mengandung dimensi individualistik, sedangkan sifat
kontekstualitasnya mengandung dimensi budaya yang
berlaku di suatu komunitas masyarakat. Kolaborasi kedua
sifat tersebut nampak jelas di dalam Pasal 6 yang menyatakan:
(1) Dalam rangka penegakan hak asasi manusia, perbedaan
dan kebutuhan dalam masyarakat hukum adat harus
diperhatikan dan dilindungi oleh hukum, masyarakat, dan
pemerintah.
(2) Identitas budaya masyarakat adat, termasuk hak atas
tanah ulayat dilindungi, selaras dengan perkembangan
zaman.
Pasal tersebut dianggap merupakan langkah kolaborasi
sifat universalitas dan kontekstualitas hak asasi manusia,
karena dalam
Undang-Undang No. 39 tahun 1999 di samping mengadopsi
secara penuh Deklarasi sedunia hak asasi manusia, juga masili
tetap memberikan ruang gerak bagi komunitas-komunitas
masyarakat adat dan budaya di Indonesia untuk
mengembangkan sendiri pemahaman mengenai hak dan
kewajiban para anggota komunitasnya masing-masing.
Bahkan dalam undang-undang ini memberikan perlindungan
terhadap eksistensinya.
Berdasarkan pasal 28 I ayat (5) UUD 1945, pelaksanaan
penegakan hak asasi manusia akan diatur dengan paraturan
perundang-undangan, berpijak dari ketentuan inilah, maka
dikeluarkan Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak
Asasi Manusia. Menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No.
39 tahun 1999 dinyatakan bahwa hak asasi manusia adalah
seperangkat hak yang melekat pada hakikat keberadaan
manusia sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa dan
merupakan anugerahNya yang wajib dihormati, dijunjung
tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan
setiap orang demi kehormatan serta perlindungan dan
martabat manusia. Lebih lanjut di dalam Pasal 1 angka 6
disebutkan:
"Pelanggaran hak asasi manusia adalah setiap
perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk
aparat negara baik disengaja maupun tidak disengaja atau
kelalaian yang secara melawan hukum mengurangi,
menghalangi, membatasi, dan/atau mencabut hak asasi
manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin
oleh undang-undang ini, dan tidak mendapatkan, atau
dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian
hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme
hukum yang berlaku".

Berdasarkan kedua ketentuan pasal tersebut, maka dapat


diambil suatu garis pengertian bahwa hak asasi manusia
merupakan hak yang ada dalam diri seseorang sebagai
mahluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa, baik sebagai mahluk
individu maupun sosial. Oleh sebab itulah pelanggaran atas
hak asasi manusia dapat dikategorikan merupakan
pelanggaran hukum yang sifatnya struktural. Artinya,
pelanggaran itu bukan bukan merupakan pelanggaran hukum
biasa, sebagaimana diatur dalam hukum pidana pada
umumnya, melainkan suatu pelanggaran yang sifatnya
mengurangi eksistensi keberadaan manusia yang memiliki
harkat dan martabat.
Pelanggaran hukum yang sifatnya struktural juga dapat
diartikan suatu perbuatan yang secara sistemik dilakukan oleh
seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara yang
sifatnya mengurangi, menghalangi, membatasi dan/atau
mencabut hak asasi manusia, dan dengan adanya tindakan
tersebut seseorang atau sekelompok orang menjadi insan yang
telah kehilangan harkat dan martabatnya sebagai mahluk
ciptaan Tuhan Yang Maha Esa. Pemahaman ini tentu berbeda
dengan pengertian pelanggaran atau kejahatan sebagaimana
telah diatur dalam Hukum Pidana pada umumnya.
Lain daripada itu, di dalam Undang-Undang No. 39 Tahun
1999 tidak membedakan secara tegas antara pengertian
pelanggaran dan kejahatan terhadap hak asasi manusia.
Pendek kata, setiap bentuk perbuatan seseorang atau
sekelompok orang maupun aparat negara yang menafikan hak
asasi manusia dimasukkan dalam kategori pelanggaran
terhadap hak asasi manusia. Berkaitan dengan sifat yang
istimewa inilah, maka undang-undang ini juga memberikan
upaya hukum yang istimewa, yaitu dengan cara class action.
Pasal 90 ayat (1) menyatakan bahwa setiap orang
dan/atau sekelompok orang yang memiliki alasan kuat bahwa
hak asasinya telah dilanggar dapat mengajukan laporan dan
pengaduan secara lisan atau tertulis pada Komnas HAM.
Lebih lanjut Pasal 101 menyatakan:
"Setiap orang, kelompok, organisasi politik, organisasi
masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, atau lembaga
kemasyarakatan lainnya, berhak menyampaikan laporan
atas terjadinya pelanggaran hak asasi manusia kepada
Komnas HAM dan lembaga lain yang berwenang dalam
rangka perlindungan, penegakan, dan pemajuan hak asasi
manusia".

Ketentuan pasal-pasal tersebut di atas mengandung


makna bahwa class action yang dimaksud disini tidak
diarahkan kepada mekanisme penyelidikan, penyidikan dan
penuntutan, melainkan hanya diarahkan kepada aspek
pelaporan.
Menurut Pasal 104 antar lain ditegaskan bahwa untuk
mengadili pelanggaran hak asasi manusia yang berat dibentuk
Pengadilan Hak Asasi Manusia yang akan dibentuk dengan
undang-undang dalam jangka waktu paling lama 4 (empat)
tahun. Namun demikian, sebelum dibentuk Pengadilan Hak
Asasi Manusia ini, kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia
diadili oleh pengadilan yang berwenang.
Berdasarkan ketentuan pasal 104 inilah, maka dikeluarkan
Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak
Asasi Manusia. Di dalam Pasal 1 angka 3 disebutkan bahwa
Pengadilan Hak Asasi Manusia yang selanjutnya disebut
Pengadilan HAM adalah pengadilan khusus terhadap
pelanggaran hak asasi manusia yang berat. Ketentuan
semacam ini menunjukkan sekali lagi bahwa pelanggaran hak
asasi manusia merupakan pelanggaran yang bersifat khusus.
Bahkan kalau boleh mengatakan pelanggaran yang bersifat
struktural. Adapun menurut Pasal 7 Undang-Undang No. 26
Tahun 2000 yang dimaksud dengan pelanggaran hak asasi
manusia yang berat, meliputi:
a. Kejahatan genosida;
b. Kejahatan terhadap kemanusiaan.

Menurut Pasal 8 UU No. 26 Tahun 2000 yang dimaksud


dengan kejahatan genosida adalah setiap perbuatan yang
dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau
memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras,
kelompok etnis, kelompok agama, dengan cara:
a. Membunuh anggota kelompok;
b. Mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat
terhadap anggota-anggota kelompok;
c. Menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan
meng-
akibatkan kemusnahan secara fisik baik seluruh atau se-
bagiannya;
d. Memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah
kelahiran di dalam kelompok; atau
e. Memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok
tertentu
ke kelompok lain.

Sedangkan menurut Pasal 9 UU No. 26 Tahun 2000 yang


dimaksud kejahatan terhadap kemanusiaan adalah salah satu
perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang
meluas atau sistemik yang diketahui bahwa serangan tersebut
ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, bangsa
berupa:
a. Pembunuhan;
b. Pemusnahan;
c. Perbudakan;
d. Pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa;
e. Perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan
fisik
lain secara sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas)
ketentuan pokok hukum internasional;
f. Penyiksaan;
g. Perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa,
pemaksaan kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara
paksa atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang
setara;
h. Penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau
perkumpulan yang di dasari persamaan pemahaman
politik,
ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin atau
alasan lain yang diakui secara universal sebagai hal yang
dilarang menurut hukum internasional.

Memperhatikan pelanggaran-pelanggaran hak asasi


manusia (genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan)
tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa sifat struktural dari
pelanggaran hak asasi manusia juga dapat dilihat dari pelaku
pelanggaran hak asasi manusia tersebut. Secara logika
sosiologis, pelaku pelanggaran sebagaimana telah disebutkan
di atas, tidak mungkin dilakukan oleh orang per orang.
Pelanggaran tersebut tentunya hanya bisa dilakukan oleh
sekelompok orang yang terorganisir. Termasuk di dalamnya
adalah aparat negara.
Terkait dengan pelanggaran hak asasi manusia yang berat
tersebut, maka organ yang berwenang untuk melakukan
penyelidikan, penyidikan dan penuntutan di atur sebagai
berikut:
a. Penyelidik Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang Berat:
1. Dilakukan oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia
atau sering disebut Komnas HAM.258
2. Dalam rangka melaksanakan proses penyelidikan
tersebut, Komnas HAM dapat membentuk tim ad hoc
yang terdiri dari Komnas HAM dan unsur
masyarakat.259
b. Penyidik Perkara Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang
Berat:
1. Jaksa Agung.260
2. Untuk melaksanakan fungsi penyidikan ini, Jaksa
Agung dapat mengangkat penyidik ad hoc yang terdiri
atas unsur pemerintah dan/atau masyarakat.261
c. Penuntut Perkara Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang
Berat:
1. Jaksa Agung.262
2. Dalam melaksanakan tugas, Jaksa Agung dapat
mengangkat penuntut ad hoc yang terdiri atas unsur
pemerintah dan/ atau mesyarakat.263

Berkaitan dengan proses hukum tersebut di atas, maka


menurut Pasal 25 UU No. 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan
HAM menegaskan bahwa Komisi nasional Hak Asasi Manusia
sewaktu-waktu dapat meminta keterangan secara tertulis
kepada Jaksa Agung mengenai perkembangan penyidikan dan
penuntutan perkara pelanggaran hak asasi yang berat. Secara
ideal, ketentuan

258 Pasal 18 ayat (1) 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM. 26 Tahun 2000
UU No. Tentang Pengadilan HAM. 26 Tahun 2000 Tentang
259 Pasal 18 ayat (2) Pengadilan HAM. 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM.
UU No. 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM. 26 Tahun 2000
260 Pasal 21 ayat (1) Tentang Pengadilan HAM.
UU No.
261 Pasal 21 ayat (3)
semacam ini memberikan jaminan akuntabilitas publik
terhadap proses yang dilakukan dalam menangani perkara
pelanggaran hak asasi manusia yang berat.
Akan tetapi sayang dalam hal pemberian keterangan
tersebut, tidak dijumpai adanya ketentuan yang tegas
mengenai kewajiban yangbersif at sanksionistik jikalau Jaksa
Agung tidak menyampaikan keterangan secara tertulis
sebagaimana diminta oleh Komnas HAM. Penjelasan Pasal ini,
sekali lagi hanya menyatakan cukup jelas. Oleh sebab itu, untuk
lebih memberikan jaminan atas penegakan hukum dari UU
No. 39 Tahun 1999 Jo UU No. 26 Tahun 2000, maka kewajiban
Jaksa Agung untuk memberikan laporan kepada Komnas
HAM harus dituangkan dalam undang-undang.
DAFTAR KEPUSTAKAAN

Buku-buku:
Adnan Buyung Nasution, 1995, Aspirasi Pemerintahan
Konstitusional di Indonesia Studi Sosio-Legal atas
Konstituante 1950-1959, Grafiti, Jakarta.
Arief Budiman, 1996, Teori Negara (Negara, Kekuasaan Dan
Ideologi), Gramedia, Jakarta.
Atmadji Sumarkidjo, 2000, Mendung Di Atas Istana Merdeka,
Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.
Anthony Giddens, 1999, The Third Way Jalan Ketiga Pembaruan
Demokrasi Sosial, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Arend Lijphart (disadur oleh Ibrahim, et.all), 1995, Sistem
Pemerintahan Parlementer dan Presidensial, PT. Raja
Grafindo Persada, Jakarta.
Ali Moertopo, 1982, Strategi Pembangnan Nasional, Cet II, CSIS,
Jakarta.
AS. Hikam, 1999, Demokrasi dan Civil Society, Cetakan II,
LP3ES, Jakarta.
Alexander Irwan dan Edriana, 1995, Pemilu Pelanggaran Asas
Luber, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.

T I<i i I I I K I I M TATA N I M J A K A INDONESIA

B. Hestu Cipto Handoyo, 1995, Aspek-aspek Hukum


Administrasi Negara Dalam Penataan Ruang, Univ. Atma
Jaya Yogyakarta, Yogyakarta.
------------------------------ / 1998, Otonomi Daerah, Titik Berat
Otonomi
dan Urusan Rumah Tangga Daerah, Univ. Atma Jaya,
Yogyakarta.
------------------------------ / 2008, Prinsip-prinsip Legal Drafting &
Desain Naskah Akademik, Univ. Atma Jaya Yogyakarta,
Yogyakarta.
Bintan R. Saragih & Kusnardi, 1987, Mekanisme Hubungan
Lembaga-Lembaga Negara Menurut UUD 1945,
Gramedia, Jakarta.
------------------------------ f 1988, Lembaga Perwakilan dan Pemilihan
Umum di Indonesia, Gaya Media Pratama, Jakarta.
Bagir Manan, 1989, Pemerintahan Daerah Bagian I, Bahan
Penataran
Administrative and Organization Planning, Kerja sama
Indonesia-Belanda, UGM, Yogyakarta.
-----------------, 1993, Perjalanan Historis Pasal 18 UUD 1945
(Perumusan dan Undang-Undang Pelaksanaannya), Unsika,
Karawang.
-----------------f 19947 Hubungan Antara Pusat dan Daerah
Menurut
UUD 1945, Sinar Harapan, Jakarta.
Dessy Anwar, 2001, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Karya
Abditama, Surabaya.
Didik Supriyanto, 2007, Menjaga Independensi Penyelenggara
Pemilu, USAID, DRSP, Perludem, Jakarta.
F. Sugeng Istanto, 1971, Beberapa Segi Hubungan Pemerintah
Pusat dan Daerah Dalam Negara Kesatuan Indonesia,
Karyaputera, Yogyakarta.
------------------------ f 1983, Hand Out Hukum Tata Negara I,
Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Yogyakarta.
Franz Magnis Suseno, 2000, Mencari Sosok Demokrasi Sebuah
Telaah Filosofis, Gramedia Pustaka Utama.
Dlljiill KfjnishlklllUl — 417

Fauzi Ismail, et.all, 2005, Libatkan Rakyat Dalam Pengambilan


Kebijakan, Forum LSM, Yogyakarta.
Hamid S. Attamimi, (disertasi), 1990, Peranan Keputusan
Presiden Republik Indonesia Dalam Penyelenggaraan
Negara Suatu Studi Analisis Mengenai Keputusan Presiden
yang Berfungsi Pengaturan dalam Kurun Waktu Pelita I -
Pelita II, Fakultas Pascasarjana UI, Jakarta.
I Warsana Windhu, 1992, Kekuasaan & Kekerasan Menurut Johan
Galtung, Kanisius, Yogyakarta.
Irawan Soedjito, 1984, Hubungan Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah, Bina Aksara, Jakarta.
Ismail Suny, 1986, Pergeseran Kekuasaan Eksekutif, Aksara Baru,
Jakarta.
------------, 1982, Perkembangan Pemerintahan Lokal Menurut
Peraturan
Perundang-undangan Yang Berlaku Dengan Pelaksanaan di Daerah
Propinsi Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta,
Alumni, Bandung.
Joeniarto, 1984, Sejarah Ketatanegaraan Republik Indonesia, Bina
Aksara, Jakarta.
Jimly Asshiddiqie, 2005, Konstitusi dan Konstitusionalisme
Indonesia, Konstitusi Press, Jakarta.
Kartasapoetra RG, 1987, Sistematika Hukum Tata Negara, Bina
Aksara, Jakarta.
Komnas HAM, 1997, Hak Asasi Manusia dalam Perspektif Budaya
Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
--------------, 2000, Referensi Fundamental Diskursus Hukum
Kewarganegaraan, Cet I, Komnas HAM, Jakarta.
KC. Wheare, 1960, Modern Constitution, Oxford University
Press, London.
Kelompok DPD di MPR RI, 2006, Untuk Apa DPD, Jakarta.
Kotan Y. Stefanus, 1998, Kajian Kritis Terhadap Teori Integralistik
Indonesia, Univ. Atma Jaya Yogyakarta, Yogyakarta.
T I H 1 I I I K I I M T A T A N K C A K A I N I I O N I '. M A

Lili Rasyidi, 1991, Filsafat Hukum Apakah Hukum Itu?, Remaja


Rosdakarya, Bandung.
LJ. Van Apeldorn, 1981, Pengantar Ilmu Hukum, Pradya
Paramita, Jakarta.
Mochtar Kusumaatmadja, 1976, Hukum, Masyarakat dan
Pembinaan
Hukum Nasional, Bina Cipta, Jakarta.
--------------------- f Tanpa tahun, Fungsi dan Perkembangan
Hukum
dalam Pembangunan Nasional, Bina Cipta, Jakarta.
Miriam Budiardjo, 1986, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia,
Jakarta.
Moh. Kusnardi & Harmaily Ibrahim, 1980, Hukum Tata Negara
Indonesia, Pusat Studi HTN-UI, Jakarta.
------------------- f 1983, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia,
Pusat
Kajian HTN-UI, Jakarta.
Maria Farida Indrati S, 2007, Ilmu Perundang-undangan (Jenis,
Fungsi, dan Materi Muatan), Kanisius, Yogyakarta.
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2008, Naskah
Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia, Buku III Lembaga Permusyawaratan
dan Perwakilan Jilid 1, Sekretariat Jenderal dan
Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Jakarta.
1 2008, Naskah Komprehensif Perubahan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia, Buku III,
Lembaga
Permusyawaratan dan Perwakilan, Jilid 2, Sekretariat
Jenderal
dan Kepaniteraan Mahkamah Konsitusi, Jakarta.
M. Indradi Kusuma, et.al, 2000, Diskriminasi Warga Negara dan
Hak Asasi Manusia, Komnas HAM, Jakarta.
Moh. Yamin, 1959, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar
1945, Jilid I, Prapanca, Jakarta.
M. Hutauruk, 1983, Kenalilah PBB (Perserikatan Bangsa Bangsa),
Erlangga, Jakarta.
Daftar Kepustakaan — 4 I

Oetojo Oesman dan Alfian, Pancasila Sebagai Ideologi Dalam


Berbagai Bidang Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa dan
Bernegara, BP7 Pusat, Jakarta.
PJ. Suwarno, 1994, Hamengku Buwono IX Dan Sistem Birokrasi
Pemerintahan Yogyakarta 1942-1974 Sebuah Tinjauan
Historis, Kanisius, Yogyakarta.
Peter Baehr, et.al, 1997, Instrumen Internasional Pokok Hak-hak
Asasi Manusia, Obor Indonesia, Jakarta.
Rusadi Kantaprawira, 1988, Sistem Politik Indonesia Suatu Model
Pengantar, Cet V, Sinar Baru, Bandung.
-----------------11990, Pendekatan Sistem Dalam Ilmu-Ilmu Sosial
Dalam
Meninjau Kehidupan Politik Indonesia, Sinar Baru,
Bandung.
S. Toto Pandoyo, 1985, Ulasan Terhadap Beberapa Ketentuan
Undang-Undang Dasar 1945, Sistem Politik dan
Perkembangan Kehidupan Demokrasi, Cet. II, Liberty,
Yogyakarta.
Satjipto Rahardjo, 1977, Pemanfaatan Ilmu-ilmu Sosial Bagi
Pengembangan Ilmu Hukum, Alumni, Bandung.
Simorangkir JTC, et.all, 1980, Kamus Hukum, Cet II, Aksara
Baru, Jakarta.
Sobirin Melian, 2001, Gagasan Perlunya Konstitusi Baru
Pengganti UUD 1945, Uli Press, Yogyakarta.
Samuel P. Huntington, 1997,Gelombang Demokratisasi Ketiga,
Grafiti, Jakarta.
Soehino, 1984, Hukum Tata Negara Sejarah Ketatanegaraan
Indonesia, Liberty, Yogyakarta.
Sudargo Gautama, 1983, Pengertian Tentang Negara Hukum,
Alumni, Bandung.
Sri Soemantri, 1986, Tentang Lembaga-Lembaga Negara Menurut
UUD 1945, Alumni.
-------------, 1986, Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi,
Alumni,
Bandung.
I.'O I l i i k U M [ A i A N i '.i. A H A I N D O N E S I A

-------------f 1992, Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia,


Alumni, Bandung.
Syamsudin Haris dan Riza Sihbudi (ed), 1995, Menelaah
Kembali Format Politik Orde Baru, Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta.
Sujamto, 1984, Otonomi Daerah Yang Nyata dan
Bertanggungjawab, Ghalia Indonesia, Jakarta.
Scott Davidson, 1994, Hak Asasi Manusia, Grafiti, Jakarta.
Tolchah Mansoer, 1983, Pembahasan Tentang Kekuasaan
Eksekutif dan Legislatif Negara Indonesia, Pradnya
Paramita, Jakarta.
Usep Ranawijaya, 1983, Hukum Tata Negara Dasar-dasarnya,
Ghalia Indonesia, Jakarta.
Wirjono Prodjodikoro, Tanpa tahun, Asas-asas Hukum Tata
Negara Indonesia, Dian Rakyat, Jakarta.
YB. Mangunwijaya, 1998, Menuju Republik Indonesia Serikat,
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Yusril Ihza Mahendra, 1996, Dinamika Tata Negara Indonesia
Kompilasi Aktual Masalah Konstitusi, Dewan Perwakilan
Rakyat dan Sistem Kepartaian, Gema Insani Press,
Jakarta.
Yosep Riwu Kaho, 1988, Prospek Otonomi Daerah di Negara
Kesatuan Republik Indonesia Identifikasi Beberapa Faktor
yang Mempengaruhi Penyelenggaraannya, Rajawali Press,
Jakarta.

Peraturan Perundang-undangan:
Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi
Manusia.
Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan
HAM.
Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan.
Undang-Undang No. 32 tahun 2004 Tentang Pemerintahan
Daerah.
Undang-Undang No. 12 Tahun 2006 Tentang
Kewarganegaraan Republik Indonesia.
Dajltir Kei'iisliikiiiui - 42 I

Undang-Undang No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik.


Undang-Undang No. 10 Tahun 2008 Tentang Pemilu Anggota
DPR, DPD, dan DPRD.
Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2007 Tentang Pembagian
Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintah
Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota.

Website:
http://www.ipcos.or.id/index2.php?option=com content&do
pdf=l&id=42.

http://www. goodgovernance-bappenas.co.id/artikel_60.htm.
INDEKS

169,172, 173,174, 176, 179,


181, 202, 203, 210, 213, 222,
Abdul Haris Nasution, 107 224, 225, 226, 232, 241, 285,
ABRI, 106,107,108,110, 213 286, 321, 335, 340, 402, 404
absolut, 18,127, 203, 204, 222 ambigu, 43, 59,117,154,179,
abstraksi, 45 361
AD, 267, 268, 270, 271, 275 AmvB, 70
Adam Muller, 396 adaptasi, 2 anarkhi, 225, 276
adat, 3, 40, 68, 214, 286, 299, anatomi, 29, 266, 267
321, 392, 408, 409 Angkatan Darat, 73, 91, 99,
administrasi, 15, 21, 36,126, 104, 105, 107
319, 352 Administrative angket, 184
Recht, 26 Administratuur, anglo saxon, 7
119 Adnan Buyung Anglo Saxon, 7,149, 266
Nasution, 81, 98, 99, Anthony Giddens, 11, 20, 60,
232, 233, 385, 391, 396, 415 415
Adolf Hitler, 84 advokat, apriori, 311
19,194 Afan Gaffar, 186 Arend Lijphart,
Afdeling, 323 agresi, 89 132,133,142,415
aklamasi, 101,110 akta Arief Budiman, 15, 229, 233,
notaris, 267, 268, 270 237, 415
akuntabilitas, 50, 58,142,162, Aristokrasi, 121
201, 246, Arnold Brackman, 104
306, 318, 342, ART, 267, 268, 270,271, 275
414 A. Latief, Article I Konstitusi AS, 53
105 Article I, section 3,173
Alexander Irwan, 230, 233, AS, 53, 84, 122, 134, 135, 139,
415 Algemene Reken Kamer, 154, 155, 156,157, 200, 281,
71 Algemene 415
Verordeningen, 70 Ali Asas Dekonsentrasi, xi, 302
Moertopo, 109, 276, 279, 280, asas desentralisasi, 24, 114,
415 124, 127, 291, 295, 297, 298,
Amandemen, xii, 49, 53, 58, 300, 301, 304, 305, 306, 325,
59, 61, 62, 329, 332, 334, 335, 337
113,134,138,153,161,167, Asas Sentralisasi, xi, 289

AS. Hikam, 200, 415 budaya politik, 207, 220, 263,


Asia Pasific, 323 Asia 313, 314
Pasifik, 84 Assat, 81 budaya politik kaula, 314
Atmadji Sumarkidjo, BukitTinggi, 73
104, 415 atribusi, buldozer, 392
123,124,125 Buloggate, 165
authorities, 208 bumiputera, 276
Bupati, 70, 285, 303

Badan Pekerja (Swiss), 23 Benito Mussolini, 84


Bagir Manan, 7, 284, 294, 297, Bestuur, 70,119
298, 300, Bestuuringwormingswet,
309, 310, 312, 314, 315, 334, 322 bhinneka tunggal ika,
416 bahasa, 26, 45, 59, 61, 62, 195 bicameral system,
63, 117, 118, 114,172,178 Bierens de Hans,
261, 323, 354,372 balance of 11,12 Bill Clinton, 155 Bill of
power, 199 Bala Tentara Rights, 387,388 Bintan R.
Jepang, 68, 71, 72, 73, 74, Saragih, 157, 158, 228, 241,
86,321, 323 Bandung 2,3, 248, 416
36, 99,143,198, 207, 215, bipatride,
217, 295, 314, 396, 417, 418, 370
419, 420, birokrasi, 15, 119, 232, 245,
423 258, 280,
bangsa Indonesia asli, 281, 290, 296, 352,
62,360,361, 362, 363 BJ. Habibie,
363, 364 Barents, 31 Bebas 111, 112, 282 Boedi
Dari, 255 Bebas Untuk, 255 Oetomo, 277 bola
salju, 162 bottom civil society, 107,199, 200,201
up, 340, 350 BPP, Civil Society, 108, 200,415
246, 247, 250 Clash I, 89 class action, 410
BPUPK, 72 Commision of Human
BPUPKI, 73, 390, 395, 397, Rights, 389 Communals, 174
398, 399, 407 Bruneigate, 165 Congress, 53,155,173,175,178
Camat, 70 constituer, 45
Cari J. Friedrich, 117,149, 259 Constitutional Law, 25,44,46
Cari Schmitt, 76 contradictio in terminis, 265
cautio judicatum solvi, 378 Cornell, 103,104,105 coup
central norm, 293 d'etat, 101 cultuur stelsel, 322
CF. Birch, 14,15, 352 Cyclus theory, 143
CF. Strong, 143
chaos, 14
Check and Balances, 49
checks and balances, Daerah Istimewa, 295, 325,
122,154,188, 204 330, 332,
CIA, 105 340, 417, 424, 425, 426
citizen, 354,363, daerah otonom, 128,129,141,
397 citoyen, 289, 291-
354, 397, 398 293, 315, 322, 325, 327, 331,
City State, 144 334, 336,
339, 340, 344,
346-349 Dai
Nippon, 323, 399

Dake, 104 Desentralisasi Kebudayaan,


dasar hukum, 40, 41, 43, 81, 299
82, 113, 406 Desentralisasi Politik, 299
Dauerhaftig, 112 decentral or Desentralisasi Teritorial, 298
local norm, 293 Decey, 80 Desentralisatiewet 1903, 322
Declaration des droits de Dewan Federal, 140
Thornme et du citoyen, 388 "diam", 29
de facto, 74, 87-89 diskresi, 58
dejure, 74, 87, 88 Djokosoetono, 100
Deklarasi Bogor, 277 doktrin, 34,100,120, 264
Dekrit, ix, 68, dokumen, 52, 65, 66, 67, 103,
97,100,101,102,103,165, 277, 105, 372, 387, 388
321, 331,402 Dokuritzu Zyunbi
delegasi, 123,124,125,131 Tioosakai, 397
delegataris, 221 Dormer, 37, 41
demand, 198, 208, 220 DPD, 49, 61, 79, 114, 170,176,
Demokrasi, i, ii, x, xi, 11, 20, 178, 186, 187,188, 189,190,
46, 49, 68, 85, 109, 112, 121, 192, 193, 194,195, 223, 224,
143, 148, 150, 197, 198, 199, 225, 226, 229, 243, 244, 246,
200, 205, 210, 216, 218, 219, 247, 249, 254, 255, 256, 257,
220, 221, 224, 227, 229, 230, 258, 259, 417, 421,424, 426
279, 281, 297, 321, 335, 415, DPR, 61, 77-79, 102, 103, 113,
416, 419, 425 114, 135, 138, 152-160, 162,
demokrasi Pancasila, 199, 163, 165, 170, 172, 176, 178,
217, 218, 402 186-190, 192, 193, 194, 211-
demokrasi terpimpin, 99,102, 213, 221-223, 225, 226, 229,
199, 332, 402 232, 235, 238, 243, 244, 246,
Departemens, 174 247, 249, 254-259, 277,362,
DEPKUMHAM, 267, 272 363, 366, 421, 426
depolitisasi, 107 DPRDGR, 332
Desa, 68, 219, 220, 307, 323, driekringenleer, 310
325, 341 Droit Administrative, 25
desentralisasi, 24, Droit Constitutionel, 25
50,114,124,127,128, 129, 163, Drs. Mohammad Hatta, 74
170, 291, 292, 293, 294, 295, drukpers, 399
297, 298, 299, 300, 301, 304, Dwi Fungsi, 106,107
305, 306, 308, 311, 312, 313, ECS Wade, 46
325, 329, 332, 334, 335, 336,
337, 338, 339, 341, 344, 348
Desentralisasi Administratif,
299 edelwelzen, 352 Edriana, 230,
Desentralisasi Fungsional, 233, 415 efisiensi, 51, 290,
298
318, 342, 349, 350 einmalig, Eugen Ehrlich, 7, 37
111,112 executive heavy, 58, 85,162,
eksekutif, 18, 19, 23, 34, 35, 402
49, 57, 71, 79, 85, 107, 119,
121, 122, 126, 127, 131-134,
140,142, 146, 149, 151, 155,
162,165, 177, 203, 214, 221, fair play,
226, 232, 297,305,331, 333 235
eksperimentasi, 115, 251, 344, Fakultatif,
348 141 Filipina,
eksternalitas, 318, 342 48, 399 final,
ekstradisi, 359 112,113 F.
electoral college, 134 Isjwara, 131
erkennen, 312

fisk.il, 125, 131,336,340,349 fit Hindia Belanda, 27, 69-72, 8-


and propertest, 251 floating 88,90,276,
mass, 107 Founding Fathers, 321-323
xii, 394 fraksi-fraksi, 222, Hobbes, 55, 396
236, 252 Franklin D. Hoge Rechshof,
Roosevelt, 389 Franse 71
Revolutie, 398 Franz Magniz horizontal, 22, 23,
Soeseno, 391, 392 freiss 25,120,125,127,297, 351
ermessen, 57 fusi, 109, 279 House of Commons, 173,187
House of Lord, 173,187
House of Representative,
155,173 Hukum Administrasi
G-30-S PKL 66 Negara, 26, 27,
gemeenschapswezen, 11, 352 31-36,126, 394, 416, 425
gemeinschaft, 206 gender, Hukum Internasional, 73, 74,
50, 359, 367, 374 generalis, 86, 88,
186 general principles, 356 357, 358, 364,412
genosida, 411, 412 George Hukum Kekeluargaan, 357
Jellinek, 122 Gereja, 147, 386 Hukum Konstitusi, 44
gesellschaft, 206 golf, 392 Hukum Perdata
GOLKAR, 110, 230, 232, 235, internasional, 357,
236, 279, 358, 376
280,281 good governance, hukum positif, 7, 8, 28, 37,
50, 201 Grondrechten, 399 40,130 Hukum Publik, 358,
Grondwet-grondwet, 398 360 Hukum Tata Negara
Groupagemenschappen, 322 Adat, 74
gubernur, 289, 304
Gubernur, 69, 70, 71, 285,
289, 303, 324, 426
Gubernur Jenderal, 69, 70, 71 ICJ, 150
guiness book record, 253 IDEA,
Gun (District), 323 272
Ilmu Negara, 21, 28, 29,126,
424 Ilmu Politik, 12, 29-31,
130, 204, 215,
Habits, 80, 81 240, 259, 387, 418 Imam
Hakikat Otonomi, xi, 344, Sudiyat, 3 imbangan suara,
345, 346 246, 248 Impeachment,
Hamid S Attamimi, 118 135,155,159,160,169
Hamid S. Attamimi, 12, 40, independensi, 19, 60
41, 76, 118, Indische Staatsregeling, 69
219,352,417 Hamzah Haz, individual, 14,112, 356
166 Hans Kelsen, 131, 293, individualistik, 390, 396, 408
294 Hans Nawiasky, 76 Infra Struktur Politik, 197,
Harmaily Ibrahim, 26, 27, 31, 198, 204,
45, 51, 93, 206-209, 211, 220-222, 224,
118, 181, 259 Inggris, 7, 25, 88, 89, 105,
311,418 Hegel, 121, 147, 172,
396 173,187,189,354, 387
hegemonis, 161, 250, 402 integrasi, 2, 12-15, 170, 306,
Henry B. Mayo, iv, v, 339, 352,
150,152, 240 High 362
Representative, 245, 246 integrated prtftCtOtal
system, 306
integrative skill, 207 Karl Leowenstein, 51
Interest Aggregation, 208 Karl marx, 210
Interest Articulation, 207 Kartasapoetra, 26, 27, 32, 216,
Interest Group, 205, 206 353, 354, 417
interpelasi, 184 Katolik, 109,147, 277-279, 385,
Interst Group Assosiasi, 205 423
intervensionist, 20 keadaan daerah, 313, 317-320,
IPKI, 109, 278, 279 342
Irawan Soedjito, 294, 295, Kebhinekaan, 298
417 Kebutuhan Daerah, 317
irrasional, 147 kedaulatan, -8, 9, 14, 17, 71,
Ir. Soekarno, 74, 217 75, 86-90, 106, 111, 113,
IS 1926, 69 117,125, 139, 140, 142, 157,
Islam, 109, 278, 279 160, 161,171, 178,179,
Ismail Saleh, 104 185,193, 199, 207, 211-213,
Ismail Suny, 177,181, 417 221, 222, 224, 225, 229, 231,
ius sanguinis, 356, 357 233, 237, 259, 262, 267, 339,
ius soli, 357, 375 340, 348, 349, 351, 358, 383,
386, 387, 403
Keistimewaan, 63, 340, 425
kekeluargaan, 218, 219, 220,
Jakob Tobing 186 Jaksa, 19, 359, 391,
413, 414 jalan tengah, 396, 397, 400, 401
107,119, 314 Jawa, 73, 89, 295, kemampuan daerah, 317, 319,
322-324, 354, 359, 361, 342 kenbron, 37 Keniche
391, 417 Ohmae, 11 Ken
jembatan Emas, (Regenschap), 323
86 Kepolisian, 19
Jepang, 68, 71-74, 84, 86-88, Keputusan Tata Usaha
121, 321, Negara, 362 kesatuan, 10, 12,
323, 388 Jerman Timur, 85 22, 24, 34, 45, 68, 76, 90-92,
Jimly Ashiddiqie, 187 JJ. 95,118,123-125,127,131,170,
Rousseau, 55, 351, 360, 388 174,181, 190, 217, 243, 260,
Joeniarto, 75, 78, 82, 295, 417 285, 286, 290, 299, 336, 338,
Johan Galtung 14, 417 John 348-350, 352, 367, 391
Austin, 8 John Lackland, 173, kewajiban, 8,9,17, 20, 22, 23,
387 John Locke, 55, 388 join 25, 32, 35, 61, 74, 107, 186,
session, 173,178 judicial 201, 218, 219, 300, 306, 307,
review, 114,170,193, 426 315, 326, 334, 344-346, 357-
Jurdil, 233 359, 376, 390, 407-409, 414
KH. Abdurrahman "Gus
Dur" Wahid, 48
Kabinet Karya, 99 Kitab Kejadian, 384 KMB, 90
kadaver dicipline, KNID, 324 KNIP, 77-79, 81-83
398 kapital, 209 koalisi, 133, 240, 245, 249, 265
karakteristik, kodifikasi, 39
68,129,154,156,157, 283, 291, Koesoemahatmadja, 314
293, 296, 298, 315, 318, 319, K.O.K, 104
342, 347,348 kolonialisme, 71, 72, 76, 392

Kol. Simbolon, 91 konsisten,


Kol. Soeharto, 66 2,4,8,161,166,169,176,231,
Kol Sugondho, 103 320,383
kolusi, 48 konsolidasi, 46, 49, 63,
komando, 73, 306 68,112,115,163, 222, 226,
Komisi Konstitusi, 53-56,181 227, 228, 234, 238, 239, 253,
Komisi Yudisial, 170 321, 335, 338, 340, 348,425.
Komnas HAM, 354, 373, 376, konstelasi, 84,110
386, 391, Konstituante, 54, 55, 81, 93-
410, 413, 414,417, 418 95, 97-101,
komplain, 349 kompromis, 277,407, 415
338 komunalistik, 390 konstitusionalisme, 56,
konfederasi, 24,125, 285 80,149 konstitusi politik, 59
konflik kepentingan, konstitusi sosial, 59 kontrak
194,195, 260 Kongres, 231, sosial, 17, 55, 60, 61, 148, 351,
267, 270 konkrit, 7, 9, 22, 28, 356,360,400 kontroversi,
35, 39, 40, 85, 112, 103,106 Konvensi, 24, 25, 39,
215, 358 45, 57, 80, 82, 181,
212, 251, 271, 356, 364, 374, Maklumat, 77-84, 277, 324,
376, 381 Konvensi Den Haag 325 Mandat, 111,112
356 konvensi mandataris, 138, 159, 221
ketatanegaraan, 45, 57, 82 manunggaling kawula lan
Konvensi Montevideo, 24 Gusti, 391 Marx, 396 Marxist,
Kooti (Voertenlanden), 323 104
koperasi, 108 Kopkamtib, Maswardi Rauf, 189,190
392 Korea Utara, 85 KORPRI, materiil-spirituil, 109, 278,
280 279
korupsi, 48, 58, 135-137, 167, mati suri, 58
168, 252, 257 matrilinial, 359
Kotapraja, 322, 329, 332, 333 Maurice Duverger, 143, 266
KPU, 145, 177, 239, 250, 253, Max Weber, 15
257, 274, medebewind, 300, 301, 306,
275 308, 326, 327
Krabe, Media, 111, 206, 228,
17 241,416,425 mediation skill,
Kranenburg, 32, 130 207 mediator, 139
kristalisasi, 4, 38, 63 Megawati Sukarno Putri, 48
kriteria, 37, 38, 41, 44, 62, 80- memorandum, 159
82, 100, 122, 123, 301, 302, metode, 67,117,143,144
307, 308, 317-320, 339, 340, militeristik, 73, 108, 324
342, 343, 347, 360, 361, 363, minderwaardigheids
369, 385 complex, 399
kualitatif, 316 Miriam Budiarjo, 12, 240,
kuantitatif, 316 259, 260
Ku (Desa), 323 MK, 49,192,193
Kusnardi, 26, 27,31,45, Mochtar Kusumaatmaja, 13,
51,93,118,157, 37
158,181, 311, 416, Mohammad Hatta, 74, 83,101
418 KY,49 Moh. Hatta, 77, 395, 398,399
Moh. Kusnardi, 26, 27, 31, 45,
51, 93,
law enforcement, 118,181, 311,418 Moh.
19 Lee Kwan Yew, Yamin, 395, 397, 398, 399, 418
392 legal drafting, Monarkhi, 121
195 Legalitas, 18, moneter, 48,125,131, 301, 336,
21, 56, 57 legal 340, 349
order, 293 Monica Lewensky, 155
legislatif, vi, 18, 19, 23, 34, 57, moral internasional, 88
77-79, 121, 122, 126, 127, mosi tidak percaya, 48, 85,
131-134, 142, 151, 173,179, 91,121,133, 139,142, 337
180, 186, 189, 203, 212, 226, MPR, 48, 53, 54, 56, 57, 61, 77-
237, 250, 252, 325, 330, 331 79, 81, 103, 105, 106, 110-
legitimasi, 66, 105,117,163, 114, 138, 154, 156-167, 172,
213, 276 175-183, 186, 188, 189, 211-
Lenin, 396 213, 221, 222, 224, 229, 232,
Leon Duguit, 122 240, 241, 282, 403, 407, 417
Liem Koen Hiam, 398, 399 Mukadimah, 101
Linggarjati, 89 Muktamar, 267, 270
LIPI, 236 multidimensional, 111, 281
living law, 7, 37 multi partai, 163, 243, 245,
LJ. Van Apeldorn, 10, 418 277, 282
Logemann, 32,101 Multy Party System, 266
logis, 2, 4, 8,139 Murba, 109, 277-279
Lord Acton, 16 MURI, 253
Low representative, 245
LSM, 55, 201, 242, 417
Luber, 230, 233, 415
Nasional
Assembly, 174
MA, 49,135 nasionaliteit, 11
Magna Charta, 147,173, 387 nationaliteit principles, 358,
mahasiswa, 104, 161-163, 282, 376 neben, 138
365, 403, negara integralistik, 390, 396
424 Mahatir, negosiasi, 320
392 nepotisme, 48
Mainstream, New York, 104
104 Makasar, NICA, 89
73, 324 Nilai nominal, 51
Nilai Normatif, 51, 52
Nilai semantik, 51
non Parpol, 192 one cameral system, 171
non partisan, 55, 245 One Party System, 265
noodstaatsrecht, 100,101 onschenbaarheid van
norma domisili, woorden, 399
192,193,194,195 oposan, 206
normatif, 1, 4, 8, 9, 44, 53, 59, oposisi, 262, 391
84, 192, Optatif, 141
193, 201, 267, 270, 271, 338, Orde Baru, 47, 48, 52, 68, 106-
339, 341, 112, 129, 158,161,163, 164,
360 190, 211, 213, 221, 229-236,
NU, 109, 277, 279 Nugroho 238, 239, 269, 278-282, 292,
Notosusanto, 104 Nurcholis 304-306, 321, 333, 335, 365,
Madjid, 217, 392 nusantara, 402, 403, 420
68, 71 Ordonnantie, 70 original
born citizen, 361
otoritarianisme, 97,162
otoriter, 18, 46, 47, 48, 83, 85,
Obligator, 141 111, 213, 232, 402

Pemilihan Umum, 48, 55, 94,


98, 101, 102,113,114,
Padmo Wahyono, 160, 161 134,145,163, 170,173, 176-
Pancasila, 38, 39, 41-43, 109, 178, 183, 204, 211, 223, 225,
195, 199, 227, 229, 234,235, 239, 241,
205, 217-220, 233, 254, 262, 242, 416,426
268, 278, Pemilu Distrik, 243, 244
371, 402, 404, 419, 424 Pemilu Proporsional, 243,
Panitia Ad Hoc, 53,113,186, 246, 248
426 Parkindo, 109, 278, 279 penetrasi, 15, 352
parlementer, 23, 57, 82, 83, pengendali, 4, 210, 242, 243
85, 91, 96, penjaga malam, 19, 20
126, 132, 133, 135, 138-140, penjelmaan rakyat, 157, 158,
142, 152, 159, 160,
153, 157, 159, 160, 165, 166, 179, 210
239, 240, Penpres,
337 331, 332
Parmusi, 109, 278, 279 Partai peradilan, 18, 19, 21, 23, 26,
Ideologi, 265 Partai Kader, 34, 56, 57, 58, 60, 119, 125,
264, 265 Partai katolik, 109 126, 155, 161, 270, 271, 336,
Partai Lindungan, 264, 265 340, 349, 358, 380, 395
Partai Massa, 264, 265 Partai Perancis, 25, 45, 139, 153, 174,
Oposisi, 266 204, 354, 388, 397
partai politik, -19, 109, 110, Perang Dunia II, 72, 84, 87,
133, 134, 139, 172, 182, 194, 323, 383, 388, 389
211, 234, 235, 237, 244, 245, Peraturan Daerah, 39, 42, 70,
260, 264, 272, 274, 279 130, 209,
Pasal IV Aturan Peralihan 285, 325, 327, 426 Perdana
UUD 1945, 77, 78, 79, 81, Menteri, 119, 126, 132, 133,
83,103 139,142 perilaku
paternalistik, 207, 263 kekuasaan, 29, 30 perintah, 8,
patrilineal, 359 9, 105, 147, 228, 287, 289,
patronage party, 251 300, 304, 305, 386
Paus, 147,385, 386 perjanjian masyarakat, 148,
PBB, 84, 90, 384, 389, 402, 418 351 Permesta, 91,101 pers,
PDI, 109, 110, 211, 230, 231, 107
235, 280, 281 persekutuan
Pearl Harbour, 323 hidup, 242
pelaku, 59, 65, 66, 67,103, personifikasi, 133
215,216, 412 persoon, 11 Perti,
pemandulan, 412 109, 277, 279
pemekaran daerah, 308 Perundang-undangan, 3, 7, 8,
pemencaran kekuasaan, 24, 30, 34, 39,41-
120, 291, 296, 297, 349 43,112,113,119,123,124,159,
pemerintahan asli, 74, 321 201, 209, 222, 295,417, 420
Pemerintahan Lokal Philips, 27
Administratif, 287 Philipus M. Hadjon, 178
Pemerintahan Lokal Ph. Kleintjes, 27
Otonom, 287, 288 Piagam Jakarta, 99, 407
plutocracy, 199
PNI, 109, 277, 278, 279 Reinholf Zippelius, 229
Political Communication, reinkarnasi, 157,158,159, 280
206, 208 rekonstruksi, 50, 58, 59
Political Education, 207 Renaisance, 148 Renville, 90
Political Selection, 208 residu, 27, 340 revolusi
Politik (sebagai ilmu), 30 hukum, 101 revolusioner, 46,
POLRI, 108 83,101 R.H. Soltou, 259
Polybios, 143 Roscoe Pound, 50 RRC, 48,
positivisme, 4, 8, 9 85, 392
Postdamn, 87 Rusadi Kantaprawira, 207,
post pactum, 101 214, 215,
pouvoir constituent, 130 261, 262, 313, 314, 419
PPKI, 73, 77,324 RV,70
PPP, 109,110, 211, 235, 279,
280
Practices, HI), HI sakralisasi, 48
prasasti, 65, 66 Samuel P. Huntington, 46,
premature, 235 49,144,162,
prerogatif, 163,338,41
154,170 9 Sanksi, 9
preseden, 39 sanksionistik, 219, 408, 414
presidensil, 23, 49, 57, 82, 85, Schumpeter, 143,144 Scott
86, 96, 126,134, 138,139, Davidson, 383, 384, 388,420
142,153,154,156, sektarian, 245 self
157,158,160,163,164,165, determination, 74 Senate,
239, 240 53,155,173,174 sentralisasi,
Presiden Soeharto, 47, 108, 24, 124, 290, 291, 302, 304, 312
109, 111, 161, 162, 163, 164, Serangan Umum, 66
213, 229, 236, 278, 281 serikat, 24, 90, 108, 124, 125,
Pressure Group, 206 127, 130,
pre-supposed, 75 180,181, 285, 378 Sidang
primordialisme, 245 Federal, 140 Sidang
Pringgodigdo, 81 Istimewa, 48, 159,160,
prinsip domisili, 358, 359 163,165,
privileges, 147 167,175, 212 Sigmund
Prof Wertheim, 103 Neumann, 260 single
progresif, 81, 322, 363 majority, 110,163, 236,280
Proklamasi, 51, 68, 69, 71, 74- sinkronisasi, 2, 52,56 Si
77, 86-88, (Staatsgemeenten), 323
93, 98,115, 277, 321, 324 Sistem pemilihan Mekanis,
proses mempositifkan, 38, 242 Sistem pemilihan
41, 43 proses politik, 30, 166, Organis, 241 Sistem Politik,
167, 211, 212, 205, 207, 210, 262, 314,
259 PRRI, 91,101 PSII, 109, 419
277, 279 public policy, 208, Sistem Rumah Tangga
209 public services, 20, 34, Daerah, xi, 309, 344 sistem
35, 297 rumah tangga formil, 311,
312,
314,327,341, 345,347 sistem
rumah tangga materiil, 309,
Quasi 310,
Parlementer,'. 311, 326, 327, 341, 345, 347
Quasi Presidensiil, sistem rumah tangga nyata
138 quick count, (riil), 320 Soehino, 70, 93, 96,
257 97, 99,106,419 Soekarno, 74,
77, 83, 86, 97, 101, 103,
104, 105, 106, 163-1.66, 217,
230, 281,
Raad van Indie, 71 332, 395, 397 Soepomo, 3,
Ralp Von Koenigswald, 361 390, 395-398 Soerjono
rasionalitas, 148 Soekanto, 5 soft bicameral
recalling, 237 system, 114 Solus Populi
rechtsvacuum, 8 Suprema Lex, 75 Son (Onder
Referendum, 113,141,159,180 District), 323 sosiologis,
reformasi, 47, 48, 50, 52, 58, 1,2,5-7,9,10,44,45, 67,132,
111, 113, 129, 162, 163, 198, 198, 361, 362,
222, 228, 230, 234, 238, 269, 412 spanning
282, 288, 293, 303, 335, 338, 296, 310
383, 384,403 Spinoza, 396
Regenschap, spirituil-materiil, 109, 278,
322 regime, 279
208
Sri Soemantri, 143, 177, 198,
217-219,
395, 396, 419 Sri Sultan
Hamengku Buwono IX, 66 teori residu, 125
Staatsburger, 354 Ter Haar, 3
staatsfundamentalnorm, 43, tertutup, -4, 8
75 Staatsfundamentalnorm, the Five Principles, 38
38, 76 Staatsgrundgesetz, 43 the rights of the citizen, 397
staatsnoodrechts, 100 Tim Asistensi, 53
Staatsrecht, 26 Tiongkok, 399
Staatsverfassung 76 TNI, 104,105,177, 254, 280,
standarisasi, 63, 341 State, 25, 281
124, 297 State Law, 25 toekennen, 312
stateless, 365 status quo, 4, 73 toelaten, 312
Stelingga, 32 stelsel daftar, Tokoh Politik, 207
236 sterilisasi, 412 strategi, top down, 340, 350
117 trah, 206
strong traktat, 87, 88,
bicameralism, 189 383
Subak, 299 transparansi,
Sudargo Gautama, 35, 36, 419 50, 273 TRI, 89
Sugeng Istanto, 37, 79, trias politika, 23,119,127, 203
83,131,416 Sugiarto Suroso, triumvirat, 183
104 Sukiman, 398 tugas pembantuan, 114, 283,
Sumatera, 73, 89, 92, 323, 359 285, 301, 302, 306, 307, 308,
Sumber Hukum, ix, 36, 38, 329, 331, 333-335, 341
39, 40, 43 SUPERSEMAR, Two Party System, 266
66,105,106
super supreme,
79 support, 198
Supra Struktur Politik, x, ukuran, 13,37,38,41,42, 44, 62,
197, 198, 202, 63,100,
203, 208, 209, 220, 221, 222, 240, 341,360, 363
403 Supremasi, 18, 149 Ukuran formil, 38
Supreme Court, 126,135 Ukuran materiil, 38
Sutandjo Wignjosoebroto, underbow, 280
354 Swiss, 23,122,140,141,145, Understandings,
285 Syuu (Karesidenan), 323 80, 81 uniformitas,
Szabo, 389 298 unitaris, 91,123
untergeordnet, 138
Usep Ranawijaya, 17, 26,
27,36,37, 420 utopis, 47,143,
225
296,
298 Wet,
70
Valina Singka Subekti, 176 Wirjono Prodjodikoro, 45,
Van der Pot, 32 46, 420
Van Der Pot, 27 Wolhoff, 87,241
Van Vollenhoven, 3, 27, 32 working constitution, 59
Vegting, 32 YB. Mangunwijaya, 83, 420
Verfassungrecht, 26 Yogyakarta, 2, 3, 14, 15, 37,
versi, 66, 67,103-105 43, 46, 70, 76, 91-
vertikal, 22-25, 114, 120, 125, 93,112,124,131, 201, 205,
127, 129, 217, 295, 297, 310, 324, 328,
293, 297, 303, 304, 352, 394, 397, 416-419, 423-
351 426
Vervaltungrecht, Yosep Riwu Kaho, 315, 316,
26 veto, 188,189 420
volkgeist, 3 yudikatif, 18, 19, 23, 34, 57,
Volksraad, 70 Von 203, 297
Savignij, 2, 4, 5, 8 Yunani, 144-148,199, 216, 354
voters education, Yurisprudensi, 39
253 voting, 188 zelf bestuurende
Wade, 27, 46 lanschappen, 341
Walikota, 285,
303 way of life,
38 Wedana, 70
welbron, 37
welfare state, 20, 21, 34, 60,
150, 290,
SEKILAS TENTANG PENULIS

Benediktus Hestu Cipto Handoyo, lahir di


Blora pada tanggal 3 Juli 1962. Suami dari
Maria Bemadeth Maitimo, SH dan bapak dari
dua anak Giovanni "Ivan" Battista Maheswara
dan Alexandra Kevin Maheswara ini,
menyelesaikan pendidikan di SD. Katolik
Kridadharma Blora tahun 1974. Kemudian
melanjutkan di SMP Negeri I Blora lulus
tahun 1978, serta SMA Jurusan Ilmu Pasti Alam (IPA) di SMA
Katolik Wijayakusuma Blora, lulus tahun 1981.
Jenjang Pendidikan Tinggi ditempuh dengan melanjutkan
studi di Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta,
dan Lulus Sarjana Hukum pada tahun 1988. Kemudian
melanjutkan studi pada Program Pascasarjana (S2) Universitas
Padjajaran Bandung lulus dan memperoleh gelar Magister
Humaniora (M.Hum) pada tahun 1995. Pada tanggal 20
Desember 1997 sampai dengan 4 Maret 1998 (dua bulan
menjelang Gerakan Reformasi 1998) mendapatkan kesempatan
mengikuti kursus di LEMHANNAS (Lembaga Pertahanan dan
Keamanan Nasional) Jakarta.
Awal karier sebagai dosen di Fakulas Hukum Universitas
Atma Jaya Yogyakarta dimulai pada tahun 1988 dengan
Jabatan akademik Asisten Ahli Madya, dan memegang
mimbar mata kuliah Hukum
Tata Negara, Teori dan Teknik Perundang-undangan, Hukum
Pemerintahan Lokal, Kewarganegaraan (d/h Kewiraan), seria
pernah mengajar mata kuliah Statistik, Pancasila dan Ilmu
Negara. Pada tahun 2007 mengajar mata Kuliah Hukum
Desentralisasi dan Legal Drafting pada Program Pascasarjana
Magister Ilmu Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta.
Pada tahun 1996 sampai dengan tahun 2000 menjabat
sebagai Ketua Bagian Hukum Tata Negara Fakultas Hukum
Universitas Atma Jaya Yogyakarta. Kemudian dilanjutkan
menjabat sebagai Sekretaris Lembaga Pengabdian pada
Masyarakat (LPM) Universitas Atma Jaya Yogyakarta, selama
2 (dua) periode, yakni dari tahun 2000 sampai dengan tahun
2006. Sekitar tahun 1999 menjadi anggota Tim Independen
untuk Rekonsiliasi Ambon (TIRA) yang diprakarsai oleh
Universitas Kristen Duta Wacana Yogyakarta.
Sejak tahun 2006 sampai dengan bulan Pebruari 2009
menjabat sebagai Dekan Fakultas Hukum Universitas Atma
Jaya Yogyakarta. Kemudian mulai tahun 2009 sampai dengan
tahun 2011 menjabat sebagai Wakil Rektor III Universitas
Atma Jaya Yogyakarta. Mulai tahun 2000 sampai dengan
sekarang menjabat sebagai Direktur Eksekutif Parliament
Watch Yogyakarta, suatu Lembaga Swadaya Masyarakat
(NGO) yang bergerak di bidang Pemantauan dan
Pemberdayaan Parlemen Daerah. Sejak tahun 2004 sampai
dengan tahun 2009 diminta salah seorang anggota DPD-RI
utusan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, H. Subardi
untuk menjadi Staf Ahli.
Aktifitas keseharian sejak masih menjadi mahasiswa
dilewati dengan mengikuti organisasi kemahasiswaan seperti
Pencinta Alam Mahasiswa (PALAWA) Universitas Atma Jaya
Yogyakarta, UKM Sepak Bola, dan pernah menjabat sebagai
Wakil Ketua Senat Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas
Atma Jaya Yogyakarta periode 1983 sampai dengan 1986.
Hobby Olah Raga (Sepak Bola) digeluti sejak masih duduk
di bangku SMP sampai dengan sekarang. Bahkan sekitar tahun
1982-1983 pernah direkrut dan magang menjadi Kiper (penjaga
gawang) salah satu klub Sepak Bola Galatama, yakni PS. Sari
Bumi Raya

436 i I I I K I I M TATA N W . A K A [NDONBSLA

serta pernah memperkuat Klub Perserikatan Sepak Bola PSIM


Selection. Dari hobby inilah kemudian sekitar tahun 2000
sampai dengan tahun 2002 direkrut oleh Klub PSS Sleman
untuk menjadi pelatih Kiper pada saat putaran Kompetisi Liga
Bank Mandiri IX
Adapun Karya ilmiah di bidang ilmu Hukum yang telah
dipublikasikan, antara lain:
a. Aspek-aspek Hukum Administrasi Negara dalam
Penataan
Ruang;
b. Dasar-dasar Hukum Tata Negara Indonesia;
c. Otonomi Daerah, Titik Berat Otonomi dan Urusan Rumah
Tangga Daerah;
d. Kilas Balik Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta
(Sebuah
Tinjauan Historis Yuridis);
e. Hukum Tata Negara, Kewargenegaraan dan Hak-Hak
Asasi
Manusia;
f. Prinsip-prinsip Legal Drafting dan Desain Naskah
Akademik.
g. Hukum Tata Negara Indonesia Menuju Konsolidasi Sistem
Demokrasi.
h. Sejumlah paper dan makalah dalam bidang Hukum Tata
Negara, baik yang disampaikan dalam berbagai seminar
(lokal,
regional, dan nasional), Focus Group Descussion (FGD),
Expert
Meeting, Lokakarya; maupun pelatihan; dan
i. Sejumlah artikel yang dimuat di media massa lokal
maupun
Nasional.

Di samping sebagai Dosen, aktifitas lain yang pernah dan


masih dilakukan sampai saat ini antara lain :
1. Konsultan Ahli dan Staf Pengajar pada Lembaga
Pendidikan dan Latihan Media Solusindo Yogyakarta.
2. Konsultan Ahli dan Staf Pengajar pada Lembaga
Pendidikan dan Latihan Padma Yogyakarta.
3. Ketua Tim Penyusunan Statuta Universitas Atma Jaya
Yogyakarta.
4. Koordinator Tim Expert LBH Yogyakarta dalam
Penyusunan Rancangan Peraturan Daerah tentang
Lembaga Ombudsman Swasta.
Sekilas Tentang Penullt A V7

5. Koordinator Tim Expert LBH Yogyakarta dalam


Penyusunan Rancangan Peraturan Daerah tentang Tata
Ruang.
6. Konsultan Ahli Dinas Sosial Propinsi DIY dalam
Penyusunan Rancangan Peraturan Daerah tentang
Gelandangan Pengemis dan Perlindungan Anak.
7. Konsultan Ahli Departemen Kebudayaan dan Pariwisata
Republik Indonesia dalam Penyusunan Rancangan
Undang-Undang tentang Cagar Budaya.
8. Konsultan Ahli Stuppa Indonesia dalam Penyusunan
Naskah Akademik dan Draft Rancangan Undang-Undang
tentang Kepariwisataan.
9. Anggota Tim Perumus dari Tim Kerja Panitia Ad Hoc I
DPD-RI dalam penyusunan Naskah Akademik dan Draft
Rancangan Perubahan Ketiga atas Undang-Undang UU
No. 3 Tahun 1950 Tentang Pembentukan Daerah Istimewa
Yogyakarta.
10. Saksi Ahli DPD-RI dalam permohonan kepada Mahkamah
Konsitusi untuk melakukan judicial review Undang-Undang
No. 10 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Anggota
DPR, DPD, dan DPRD terhadap UUD 1945.
11. Anggota Tim Perumus Panitia Ad Hoc I DPD-RI dalam
penyusunan Naskah Akademik dan Rancangan Undang-
Undang Tentang Perlindungan Masyarakat Adat dan Hak-
hak Ulayatnya Tahun 2008.
12. Tim Perumus Rancangan Peraturan Gubernur Provinsi
Daerah Istimewa Yogyakarta tentang Pedoman
Pelaksanaan dan Pedoman Teknis Peraturan Daerah
Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta No. 11 tahun 1995
tentang Pengelolaan kawasan Cagar Budaya dan Benda
Cagar Budaya.
13. Tim Ahli Stuppa Indonesia dalam Perumusan Naskah
Akademik dan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi
Daerah Istimewa Yogyakarta Tentang Rencana Induk
Pengembangan Pariwisata Daerah Istimewa Yogyakarta
Tahun 2008.

Kontak E-mail : benddict(«>yahoo.com atau


hestu@mail.uajy.ac.id
Sebagai sebuah langkah pemantapan atau penguatan
sistem demokrasi, maka bagi negara yang belum akrab
dengan sistem demokrasi seperti Indonesia, konsolidasi
demokrasi tentu akan melewati beberapa langkah
eksperimentasi atau uji coba seperti uji coba infra
struktur demokrasi, perumusan perangkat hukum untuk
mengawal jalannya sistem demokrasi, serta uji coba
penerapan sistem demokrasi. Eksperimentasi itu
diarahkan untuk membangun budaya demokrasi dalam
konsolidasi demokrasi. Dengan demikian, sebenamya
prasyarat penguatan atau peneguhan demokrasi melalui
konsolidasi memang tidak hanya berpijak pada sistem
demokrasi prosedural belaka, melainkan yang lebih
utama adalah menyangkut substansi demokrasi yakni
kultur demokrasi itu sendiri.

Di dalam buku ini penulis memaparkan bahwa


sepanjang sejarah ketatanegaraan Indonesia, proses
menuju konsolidasi sistem demokrasi selalu diupayakan
oleh setiap penyelenggara negara. Namun demikian,
sangat disayangkan proses tersebut belum mampu
dilaksanakan dengan baik. Hal tersebut berarti bahwa
konsolidasi sistem demokrasi masih terus berjalan.

Buku ini dapat dipergunakan sebagai bahan bagi


para mahasiswa atau siapapun yang bermaksud
mempelajari, memahami dan mengimplementasikan
prinsip-prinsip ketatanegaraan Indonesia dalam rangka
menuju konsolidasi sistem demokrasi.

Isi buku ini, antara lain:


1. Sejarah Ketatanegaraan Indonesia
2. Sistem Pemerintahan Negara, Bentuk Negara
dan Bangunan Negara
3. Lembaga Perwakilan Rakyat Indonesia
1. Supra Stmktur Politik dan Infra Struktur
Politik
4. Pemilihan Umum dan Partai Politik
5. Pemerintahan Lokal
6. Kewarganegaraan
7. Hak-Hak Asasi Manusia

You might also like