You are on page 1of 7

KESADARAN ASKETISME PROFETIK BAGI MANUSIA MASA

KINI

Oleh: Teguh Imam Subarkah

Di tengah-tengah hingar-bingarnya orang mencerca dan memaki

orang-orang yang korupsi, dan memuncak pada demonstrasi anti

korupsi pada tanggal 9 Desember lalu, Murrobbi Muhammad Arifin

Ilham , seusai dzikir bersama di MQ Sentul, dengan lembutnya

mengetuk pada hadirin:”Mari kita berdzikir lagi di awal Tahun Baru di

Masjid At Tin, tidak untuk menyambut tahun baru tetapi untuk

melawan kemaksiatan dan kemudzaratan yang dilakukan oleh banyak

orang di malam itu.” Statemen yang menarik, di tengah kebuntuan

pemikiran yang berujung pada perintah potong kompas melarang ini

dan itu karena berangkat dari akidah yang berlainan, murrabi kita

membuat penafsiran yang menurut saya menjadi sangat pas. Yakni,

daripada membiarkan umat untuk hura-hura, lebih baik digunakan

untuk ibadah bersama. Walaupun tentu saja, bagi yang tidak

sependapat, dengan mudah akan mencapnya sebagai bid’ah

“Rasulullah tak pernah merayakan ibadah di saat pergantian tahun

internasional,” katanya..
Ini adalah sebuah langkah asketik bagi manusia modern. Asketik, yang

berhasal dari bahasa Yunani askesis pada mulanya bermakna

“pelatihan”. Biasanya para atlit yunani, melakukan latihan keras

sebelum pertandingan di Bukit Olimpus, yang salah satunya adalah

mengosongkan dan mengasingkan diri dari nafsu-nafsu duniawi..

Demikian pula dalam agama-agama besar dunia, langkah asketisme

dianggap sebagai satu-satunya jalan untuk mencapai transformasi

sehingga jiwa manusia mampu satu tahap lebih tinggi ke arah

kesempurnaan. Konon, dikisahkan oleh Aisyah bahwa Muhammad

SAW hidup sangat sederhana, bahkan ketika kota Mekah sudah

dibawah kepemimpinan Islam. Nabi tidak tinggal di istana mewah,

melainkan di sebuah rumah kecil sederhana dan makan tidak lebih

dari dua kali sehari (Muslim, Sahih Muslim, Vol,2. hlm.198). Sabda

Beliau:”Apa kepentinganku dengan benda-benda dunia. Hubunganku

dengannya tak lebih seperti seorang musafir yang sesaat bernaun di

kerindangan pohon dan tak lama kiemudian melanjutkan kelananya

kembali.” Gaya hidup asketik semacam ini tentu saja memiliki suatu

dasar yang bersifat kewahyuan, bersifat profetik.

Rupanya argumentasi itulah yang menjadi dasar apakah tindakannya

didasari pada esensi argumentatif rasional, atau menekankan ketaatan

formal. Namun pijakan argumentatif rasional pun sebetulnya


berangkat dari ketaatan formal untuk menggunakan setiap saat

sebagai media “amar makruf nahi mungkar”. Suatu tindakan yang

sebetulnya juga berpijak pada konsep “Qul inkuntum tuhibunallaha

fattabi’uni” (QS.3:31) Katakanlah (ya Muhammad) jika engkau

mencintai Allah, taati aku. Yuhbibkumullah wastaghfirlakum

dzunubakum. Niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.

Dari sini kita melihat bahwa istighfar juga merupakan hal sangat

disarankan untuk dilakukan kapan saja, termasuk pada saat Tahun

Baru. Bukankah daripada rame-rame membunyikan terompet, rame-

rame membunyikan knalpot keras keras sehingga membuat orang

terganggu malam-malam, lebih baik mengalurkan dzikir bersama.

Bukankah daripada menghabiskan uang beratus-ratus ribu untuk

membeli kembang api, lebih baik disumbangkan untuk hal-hal yang

lebih bermanfaat bagi sesama?

Dalam buku man is not Alone : A Philosophy of Religion (2003:5-8)

Heschel berbicara berbicara tentang bagaimana pemikiran menjadi

renungan, renungan keagamaan, keagamaan menjadi iman, iman

menjadi tanggapan dari para pemeluknya yang maujud dalam bentuk

ketakwaan. Dalam pemikiran ini, kesadaran akan keyakinan terhadap

wahyu dan komitmen yang terlahir daripadanya itulah yang kemudian

menciptakan makhluk dengan sang Khalik, Komitmen itu mencul


dalam suatu pengalaman, dan pengalaman itu meng-ada dalam relasi

sadar dengan yang Maha Ada. “Life without commitment is not living”

begitu sebutnya.

Komitmen profetik asketis adalah komitmen untuk melakukan sesuatu

dengan cara yang benar, tepat, dan pasti. Manusia merasa

memperoleh mandat dari Yang Mahakuasa untuk mengolah bumi,

khalifah fil ardli, secara proporsional baik dalam content maupun

construct. Dari segi yang pertama diharapkan agar manusia tidak

serakah, mengambil secukupnya bagi diri sendiri dan sisanya bagi

kemaslahatan umat. Dengan tidak serakah, maka manusia tidak akan

tergoda misalnya untuk melakukan korupsi yang pada ujungnya

mencelakakan hajat hidup orang banyak. Dari segi konstruk, manusia

mestinya bisa mengelola alam secara proporsional Menuju hal yang

benar, adil, dan tepat merupakan inti dari kesadaran asketik profetik

tersebut.. Inti kebenaran ilahiyah hanyalah dapat ditangkap dengan

qalbu yang bersh. Qalbu yang bersih itu akan mengolah kebenaran

apabila manusia mampu melakukan langkah-langkah yang tepat,

yakni langkah-langkah asketis dengan mengendalikan ego yang

berlebihan.
Ego yang berlebihan tersebut telah maujud dan membelenggu

manusia modern menjadi manusia yang instant dan konsumtif.

Manusia modern adalah manusia yang tidak sabaran dan

menginginkan segala sesuatunya seketika jadi. Produk lebih

dipentingkan daripada proses, sehingga manusia modern adalah

manusia yang tergesa-gesa, manusia yang tidak sabar menjalani

proses. Karenanya tidak aneh ketika mereka memburu kenikmatan,

maka kenikmatan itu membawa serta dampak sampingan yang lebih

menyengsarakan manusia itu sendiri. Ketika manusia menginginkan

kamar yang dingin, misalnya, ia memasang AC yang mengandung

freon. Sementara freon itu sendiri merusak pendingin jagad raya

dengan membuat alam ini menjadi sebuah rumah kaca yang pengap

dan menyengsarakan. Ketika manusia menginginkan kehidupan dalam

kemakmuran yang berlimpah, maka mereka dengan getol

mengganyang belantara untuk ditanami tanaman perkebunan, yang

ironisnya berujung pada penggurunan alam. Ketika manusia ingin

serba cepat, maka dibuatlah mesin-mesin yang melahirkan polusi yang

pada gilirannya memperpendek daya huni bumi itu sendiri. Tindakan

mengumbar ego inilah yang berlawanan dengan aksioma kehidupan

yang berangkat dari sikap mencari yang benar dan yang adil terhadap

alam.
Dengan demikian, manusia akan menjadi manusia yang adil. Dia adil

terhadap hak-hak rohaninya yang rindu meniti jalan kebenaran. Dia

juga adil terhadap lingkungannya dengan menempatkan secara

proporsional antara hak dan kewajiban yan dimilikinya, yakni tidak

bertindak angkara terhadap orang lain dan tidak serakah di dalam

mengeksploitasi lingkungannya. Dengan menekankan aspek benar dan

adil, maka akan tercapai tujuan pasti dari pribadi dalam bentuk

manusia yang memiliki ”nafsul muthmainah” yang menjadi sebuah

sakaguru masyarakat yang ”baldatun thayibatun warabbun ghafur”

yakni negara yang masyarakatnya sejahtera dan dilimpahi dengan

ampunan Tuhan. Asketisme yang profetis dan profetisme yang asketis

merupakan landasan moral bagi langkah manusia di masa kini dan

masa depan.

Maka itu, menyambut tahun baru dengan berdzikir, bukan saja sebuah

pesta rohani yang mesti dirayakan melainkan suatu keniscayaan yang

dapat diterima. Manusia harus terus-menerus memandang

kehidupannya sebagai suatu relasi antar makhluk dan Khaliknya.

Manusia harus terus merasakan getaran ketidak-sendiriannya. Ia ada

dan mengada karena berada. Keberadaan itu adalah ada dalam relasi.
Ketika ia sengaja memutus relasi itu dengan mengumbar egonya,

maka pada saat itulah ia kehilangan arah pijakannya.

+) Penulis adalah pengamat falsafah eklektik Nusantara. Pengajar

Fakultas Sastra Universitas Pakuan.

You might also like