You are on page 1of 5

Laporan Perkuliahan

Mata Kuliah Sistem Peradilan Pidana


(Prof. Mardjono Reksodiputro)

Judul:
KEWENANGAN HAKIM KOMISARIS

Tanggal Kewajiban Penyerahan:


02 Desember 2009

Dibuat Oleh:
Nama : Leo Jimmi Agustinus
Nomor Urut Absen : 018
Nomor Mahasiswa : 0906581290

PASCASARJANA S.2
Program Studi Ilmu Hukum, Hukum dan Sistem Peradilan Pidana, Reguler
UNIVERSITAS INDONESIA
2009

1
KEWENANGAN HAKIM KOMISARIS

Kejahatan dapat dibedakan menjadi dua kategori yaitu :


a. Street crime, yaitu kejahatan yang dilakukan kebanyakan oleh orang
yang miskin atau ekonomi lemah, dan bodoh.
b. Board Room Crime (White Colar Crime / corporate crime), yaitu
kejahatan yang dilakukan oleh orang yang kuat ekonominya, dan pelaku yang
berpendidikan.
Dengan memahami dua kategori kejahatan yang berbeda di atas, terdapat in justice
terhadap kelompok ekonomi lemah dibandingkan dengan kelompok yang
berpendidikan.
Dimana dalam literatur kriminologi dikatakan bahwa kenyataan di dunia umumnya
terdapat diskriminasi atau in justice yang mengakibatkan ketidakadilan terhadap
ekonomi lemah daripada ekonomi kuat.
Menurut Prof. MR diperlukan batas-batas toleransi terhadap ekonomi yang lemah,
karena dilihat dalam hal kerugian yang ditimbulkan oleh board room crime yang lebih
besar daripada yang ditimbulkan oleh street crime.
Rumusan dari corporate crime / board room crime sering menjadi kabur / samar
karena corporate crime dalam WCC (White Collar Crime) merupakan kolusi antara
pemilik kuasa pemerintahan atau disebut political power (birokrat/wakil rakyat) dengan
penguasa atau pemilik modal atau disebut economic power.
Sistem Peradilan Pidana Indonesa tidak membuka lebih kesempatan untuk mengatur
corporate crime yang merupakan extra ordinary crime.
Didalam RUU KUHAP yang akan diajukan ke DPR terdapat istilah hakim komisaris
namun dalam proses selanjutnya dihentikan dengan alasan akan berbenturan antara
kewenangan penyidikan dan penuntutan.
Pasal 111 Rancangan KUHP mengatur mengenai wewenang Hakim Komisaris.
- Dalam Penyidikan, mengumpulkan fakta-fakta untuk membuktikan adanya
tindak pidana kemudian mencari tersangka dengan alat bukti yang ada.
- Dalam Penuntutan, mencari kecocokan apakah ada kebenaran antara fakta
dengan tersangka dan bukti-bukti.
Apabila hakim komisaris bertindak sebagai hakim dari pengadilan negeri tetapi
kedudukannya berada di luar pengadilan negeri maka hal ini akan menjadi suatu
kerancuan. Dimana Hakim Komisaris dalam kenyataannya kantornya berada di dekat

2
Lembaga Pemasyarakatan. Menurut Prof. Mardjono Reksodiputro Hakim Komisaris
hendaknya tetap merupakan bagian dari hakim saja, sehingga tidak diperlukan
kantornya tersendiri.
Di negara Amerika Serikat dalam hal dilakukannya penyitaan dan penyadapan maka
prosedurnya hal tersebut haruslah diajukan dulu kepada hakim komisaris melalui
Penuntut Umum.
Sedangkan menurut pendapat dari kalangan negara-negara barat, seharusnya
penyidik diberikan kewenangan yang luas untuk melakukan proses penyitaan dan
penyadapan.
Menurut Prof. Mardjono Reksodiputro, hakim komisaris ini dapat diperlukan dalam
hal-hal tertentu yaitu :
a. Penyitaan (Pasal 74 Rancangan UU KUHAP)
Penyitaan adalah penyimpanan dari barang tersebut dibawah kewenangan atau
hanya berada dalam kekuasaan Negara. Bahwa terdapat RUU Penyitaan yang
harus disinkronkan dengan Rancangan UU KUHAP.
b. Penyadapan (Pasal 83 Rancangan UU KUHAP).
Penyadapan terdapat dua macam yaitu :
1. Penyadapan yang harus dilakukan dengan mempunyai ijin seperti
penyadapan telepon.
Apabila dalam pelaksanaannya tidak ada mendapatkan ijin dalam melakukan
penyadapan maka proses penyadapan tidak dapat diajukan ke pengadilan untuk
dilakukan pembuktian.
Contoh : di Amerika Serikat, apabila proses penyadapan dilakukan tanpa adanya
ijin dengan menggunakan kabel telepon yang dimasukkan ke dalam tape dimana
akhirnya terdapat bagian-bagian dari yang telah disadap dirasa tidak pantas untuk
disiarkan secara umum seperti urusan pribadi, maka kemudian hakim akan menilai
hal-hal mana dari yang telah disadap yang masuk dalam hal yang dipersangkakan
dan bagian mana yang tidak termasuk dalam yang dipersangkakan maka bagian
tersebut harus di hapus dan harus ada pengawasannya. Apabila hal tersebut tidak
dilakukan maka akan melanggar privasi seseorang karena di Amerika Serikat
privasi merupakan hal yang penting.
Apabila dalam pembuktian didapat fakta bahwa alat bukti diperoleh secara illegal
maka perkara tersebut dapat dibatalkan / Exclusionary rule (berkaitan dengan
privasi). Bagian–bagian yang dibatalkan tersebut dapat dikaitan dengan “the legal
evidence” maupun keseluruhan perkara tersebut.

3
Perkara yang gugur tersebut merupakan hukuman bagi yang berpekara.
2. Penyadapan dengan sepengetahuan atasan / tanpa ijin.
Penyitaan dan penyadapan ini merupakan alat yang ampuh untuk membuktikan
Kejahatan Oleh Organisasi (KOO) dan Kejahatan Terhadap Organisasi (KTO). Di
karenakan KOO dan KTO termasuk kejahatan yang serius sehingga memerlukan
penanganan yang khusus atau special measure.
Menurut Prof. Mardjono Reksodiputro dalam proses penyitaan dan penyadapan
yang berkaitan dengan Bank harus dipedomani bahwa haruslah mendapatkan ijin
dari Hakim Komisaris, namun jangan disamakan untuk semua jenis kejahatan,
harus ada kelonggaran perlakuan terhadap kejahatan tertentu seperti: KOO, KTO.
Exclusionary Rules merupakan suatu aturan yang menyatakan apabila salah satu
prosedur tidak dilalui, maka berdampak akan membatalkan suatu kasus.
Terdapat RUU mengenai Perampasan Aset… (Non-Conviction Based Asset For
Teitan) yang merupakan konsep dari semangat anti korupsi, dimana perampasan
terhadap barang dapat dilakukan tanpa mendapat putusan dari pengadilan yaitu
terutama dalam hal untuk barang-barang yang bersifat “Kontraban” seperti barang-
barang Narkoba, barang-barang selundupan.
Dalam system common law proses perampasan dapat dilakukan tanpa mendapat
putusan dari pengadilan.
Di Indonesia perampasan merupakan bentuk pidana yaitu pidana tambahan (pasal 10
KUHP), sehingga harus ada putusan bersalah dari pengadilan.
Masalah-masalah tentang “STAR” (Stolen Aset Recovery) yaitu mengambil kembali
uang yang telah dicuri dari Negara :
a. Alat kita untuk mengambil suatu aset disuatu Negara yang dikuasai oleh
hukum negara yang bersangkutan.
b. Adanya asas “ Resiprositas” atau timbal balik, contohnya : kita
mengambil asset ke Thailand, maka Thailand juga dapat diperbolehkan
mengambil asset di Indonesia.
Ada pendapat yang menyatakan bahwa dalam KUHAP tidak ada sanksi bagi penegak
hukum. Menurut Prof. Mardjono Reksodiputro tidak setuju dengan pendapat tersebut,
karena kalau ada sanksi harus dicantumkan dalam hukum materiil.
Hukuman yang seharusnya diberikan kepada penegak hukum yang melanggar
peraturan KUHAP konsekuensinya ada pada perkaranya yaitu berupa perkara yang
diajukan batal.

4
5

You might also like