Professional Documents
Culture Documents
LAPORAN PRAKTIKUM
STRUKTUR PERKEMBANGAN TUMBUHAN II
PERCOBAAN III
PERKEMBANGAN KECAMBAH DALAM GELAP DAN TERANG
Nama : Hildayani
Nim : H41107025
Kelompok : II (Dua)
Tgl. Percobaan : 11 Mei 2009
Asisten : Masira Salahuddin
BAB I
PENDAHULUAN
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Tumbuhan yang pada salah satu sisinya disinari oleh matahari maka pertumbuhannya
akan lambat karena jika auksin dihambat oleh matahari tetapi sisi tumbuhan yang tidak
disinari oleh cahaya matahari pertumbuhannya sangat cepat karena kerja auksin tidak
dihambat. Sehingga hal ini akan menyebabkan ujung tanaman tersebut cenderung
mengikuti arah sinar matahari atau yang disebut dengan fototropisme. Untuk
membedakan tanaman yang memiliki hormon yang banyak atau sedikit qita harus
mengetahui bentuk anatomi dan fisiologi pada tanaman sehingga kita lebih mudah untuk
mengetahuinya. sedangkan untuk tanaman yang diletakkan ditempat yang terang dan
gelap diantaranya (Anonim, 2008).
Untuk tanaman yang diletakkan ditempat yang gelap pertumbuhan tanamannya sangat
cepat selain itu tekstur dari batangnya sangat lemah dan cenderung warnanya pucat
kekuningan.hal ini disebabkan karena kerja hormon auksin tidak dihambat oleh sinar
matahari. sedangkan untuk tanaman yang diletakkan ditempat yang terang tingkat
pertumbuhannya sedikit lebih lambat dibandingkan dengan tanaman yang diletakkan
ditempat gelap,tetapi tekstur batangnya sangat kuat dan juga warnanya segar kehijauan,
hal ini disebabkan karena kerja hormon auksin dihambat oleh sinar matahari (Anonim,
2008).
Banyak faktor yang mepengaruhi pertumbuhan di antaranya adalah faktor genetik untuk
internal dan faktor eksternal terdiri dari cahaya, kelembapan, suhu, air, dan hormon.
Untuk proses perkecambahan banyak di pengaruhi oleh faktor cahaya dan hormon,
walaupun faktor yang lain ikut mempengaruhi. Menurut leteratur perkecambahan di
pengaruhi oleh hormon auxin , jika melakukan perkecambahan di tempat yang gelap
maka akan tumbuh lebih cepat namun bengkok, hal itu disebabkan karena hormon auxin
sangat peka terhadap cahaya, jika pertumbuhannya kurang merata. Sedangkan di tempat
yang perkecambahan akan terjadi relatif lebih lama, hal itu juga di sebabkan pengaruh
hormon auxin yang aktif secara merata ketika terkena cahaya. Sehingga di hasilkan
tumbuhan yang normal atau lurus menjulur ke atas (Soerga, 2009).
Istilah auksin berasal dari bahasa yunani yaitu auxien yang berarti meningkatkan. Auksin
ini pertama kali digunakan Frits Went, seorang mahasiswa pascasarjana di negeri belanda
pada tahun 1962, yang menemukan bahwa suatu senyawa yang belum dapat dicirikan
mungkin menyebabkan pembengkokan koleoptil oat kerah cahaya. Fenomena
pembengkokan ini dikenal dengan istilah fototropisme. Senyawa ini banyak ditemukan
Went didaerah koleoptil. Aktifitas auksin dilacak melalui pembengkokan koleoptil yang
terjadi akibat terpacunya pemanjangan pada sisi yang tidak terkena cahaya matahari
(Salisbury dan Ross, 1995).
Auksin yang ditemukan Went, kini diketahui sebagai Asam Indole Asetat (IAA) dan
beberapa ahli fisiologi masih menyamakannya dengan auksin. Namun tumbuhan
mengandung 3 senyawa lain yang struktrurnya mirip dengan IAA dan menyebabkan
banyak respon yang sama dengan IAA. Ketiga senyawa tersebut dapat dianggap sebagai
auksin. Senyawa-senyawa tersebut adalah asam 4-kloroindol asetat, asam fenilasetat
(PAA) dan asam Indolbutirat (IBA) (Dwidjoseputro, 1992).
Para ahli fisiologi telah meneliti pengaruh auksin dalam proses pembentukan akar lazim,
yang membantu mengimbangkan pertumbuhan sistem akar dan system tajuk. Terdapat
bukti kuat yang menunjukkan bahwa auksin dari batang sangat berpengaruh pada awal
pertumbuhan akar. Bila daun muda dan kuncup, yang mengandung banyak auksin,
dipangkas maka jumlah pembentukan akar sampling akan berkurang. Bila hilangnya
organ tersebut diganti dengan auksin, maka kemampan membentuk akar sering terjadi
kembali (Salisbury dan Ross, 1995).
Auksin juga memacu perkembangan akar liar pada batang. Banyak spesies berkayu,
misalnya tanaman apel (Pyrus malus), telah membentuk primordia akar liar terlebih
dahulu pada batangnya yang tetap tersembunyi selama beberapa waktu lamanya, dan
akan tumbuh apabila dipacu dengan auksin. Primordia ini sering terdapat di nodus atau
bagian bawah cabang diantara nodus. Pada daerah tersebut, pada batang apel, masing-
masing mengandung sampai 100 primordia akar. Bahkan, batang tanpa primordia
sebelumnya kan mampu menghasilkan akar liar dari pembelahan lapisan floem bagian
luar (Salisbury dan Ross, 1995).
Cahaya mempengaruhi perkecambahan dengan tiga cara, yaitu dengan intensitas
(kuantitas) cahaya, kualitas cahaya (panjang gelombang) dan fotoperiodisitas (panjang
hari) (Elisa, 2006).
Kuantitas cahaya
Cahaya dengan intensitas tinggi dapat meningkatkan perkecambahan pada biji-biji yang
positively photoblastic (perkecambahannya dipercepat oleh cahaya); jika penyinaran
intensitas tinggi ini diberikan dalam durasi waktu yang pendek. Hal ini tidak berlaku pada
biji yang bersifat negatively photoblastic (perkecambahannya dihambat oleh cahaya)
(Elisa, 2006).
Biji positively photoblastic yang disimpan dalam kondisi imbibisi dalam gelap untuk
jangka waktu lama akan berubah menjadi tidak responsif terhadap cahaya, dan hal ini
disebut skotodormant. Sebaliknya, biji yang bersifat negatively photoblastic menjadi
photodormant jika dikenai cahaya. Kedua dormansi ini dapat dipatahkan dengan
temperatur rendah (Elisa, 2006).
Kualitas cahaya
Yang menyebabkan terjadinya perkecambahan adalah daerah merah dari spektrum (red;
650 nm), sedangkan sinar infra merah (far red; 730 nm) menghambat perkecambahan.
Efek dari kedua daerah di spektrum ini adalah mutually antagonistic (sama sekali
bertentangan): jika diberikan bergantian, maka efek yang terjadi kemudian dipengaruhi
oleh spektrum yang terakhir kali diberikan. Dalam hal ini, biji mempunyai 2 pigmen yang
photoreversible (dapat berada dalam 2 kondisi alternatif) (Elisa, 2006):
P650 : mengabsorbir di daerah merah
P730 : mengabsorbir di daerah infra merah
Jika biji dikenai sinar merah (red; 650 nm), maka pigmen P650 diubah menjadi P730.
P730 inilah yang menghasilkan sederetan aksi-aksi yang menyebabkan terjadinya
perkecambahan. Sebaliknya jika P730 dikenai sinar infra merah (far-red; 730 nm), maka
pigmen berubah kembali menjadi P650 dan terhambatlah proses perkecambahan (Elisa,
2006).
Photoperiodisitas
Respon dari biji photoblastic dipengaruhi oleh temperature (Elisa, 2006):
Pemberian temperatur 10-200C : biji berkecambah dalam gelap
Pemberian temperatur 20-300C : biji menghendaki cahaya untuk berkecambah
Pemberian temperatur >350C : perkecambahan biji dihambat dalam gelap atau terang
Kebutuhan akan cahaya untuk perkecambahan dapat diganti oleh temperatur yang
diubah-ubah. Kebutuhan akan cahaya untuk pematahan dormansi juga dapat digantikan
oleh zat kimia seperti KNO3, thiourea dan asam giberelin (Elisa, 2006).
Faktor-faktor yang menyebabkan dormansi pada biji dapat dikelompokkan dalam: (a)
faktor lingkungan eksternal, seperti cahaya, temperatur, dan air; (b) faktor internal,
seperti kulit biji, kematangan embrio, adanya inhibitor, dan rendahnya zat perangsang
tumbuh; (c) faktor waktu, yaitu waktu setelah pematangan, hilangnya inhibitor, dan
sintesis zat perangsang tumbuh. Dormansi pada biji dapat dipatahkan dengan perlakuan
mekanis, cahaya, temperatur, dan bahan kimia. Proses perkecambahan dalam biji dapat
dibedakan menjadi dua macam, yaitu proses perkecambahan fisiologis dan proses
perkecambahan morfologis. Sedangkan dormansi yang terjadi pada tunas-tunas lateral
merupakan pengaruh korelatif dimana ujung batang akan mempengaruhi pertumbuhan
dan perkembangan bagian tumbuhan lainnya yang dikenal dengan dominansi apikal.
Derajat dominansi apikal ditentukan oleh umur fisiologis tumbuhan tersebut (Anonim,
2008).
Perkecambahan biji adalah kulminasi dari serangkaian kompleks proses-proses
metabolik, yang masing-masing harus berlangsung tanpa gangguan. Tiap substansi yang
menghambat salah satu proses akan berakibat pada terhambatnya seluruh rangkaian
proses perkecambahan. Beberapa zat penghambat dalam biji yang telah berhasil diisolir
adalah soumarin dan lacton tidak jenuh; namun lokasi penghambatannya sukar ditentukan
karena daerah kerjanya berbeda dengan tempat di mana zat tersebut diisolir. Zat
penghambat dapat berada dalam embrio, endosperm, kulit biji maupun daging buah
(Elisa, 2006).
Biji-bijian dari banyak spesies tidak akan berkecambah pada keadaan gelap, biji-biji itu
memerlukan rangsangan cahaya. Karena itu kelihatannya perkecambahan yang
dikendalikan cahaya merupakan satu adaptasi tanaman yang tidak toleran terhadap
penaungan. Cahaya sendiri memiliki suatu intensitas, kerapatan pengaliran atau intensitas
menunjukkan pengaruh primernya terhadap fotosintesis dan pengaruh sekundernya pada
morfogenetika pada intensitas rendah, tetapi sebagian memerlukan energi yang lebih
besar (Zhamal, 2008).
Ekologi tanaman dalam kaitannya dengan intensitas cahaya diatur oleh dua hal yaitu
penempatan daun dalam posisi dimana akan diterima intersepsi cahaya maksimum.
Berarti diatas kanopi dan didalam komunitas yang kompleks sebagian besar daun tesebut
tidak dapat mencapainya. Karena itu sebagian besar dari daun akan berada pada intensitas
cahaya yang kurang dari yang dibutuhkan.
Fotosintesis dimaksimumkan untuk energi yang diterima, dengan anggapan keadaan ini
menjadi dibawah titik jenuh cahaya untuk fotosintesis normal, sehingga tetap dalam
kesinambungan neto karbon yang positif (pengikatan CO2 untuk fotosintesis lebih besar
daripada jumlah yang dikeluarkan pada respirasi dan hasil karbohidrat). Sehelai daun
yang berada pada keseimbangan C yang negative akan memerlukan gula yang diambil
dari sisa tanaman dan akan mengurangi ketegaran secara menyeluruh (Zhamal, 2008).
Adanya penyinaran sinar matahari akan menimbulkan cahaya. Sedang cahaya sangat
dibutuhkan untuk :Pembentukan zat warna hijau (chlorophyll),
Pertumbuhan tanaman dan kwalitas daripada produksi. Tanaman yang kurang cahaya
matahari pertumbuhannya lemah, pucat dan memanjang. Setiap jenis sayuran
menghendaki syarat-syarat yang sangat berlawanan, ada suatu jenis yang menghendaki
penyinaran panjang, ada pula yang pendek. Yang dimaksud penyinaran panjang ialah
lebih dari 12 jam, sedang penyinaran pendek kurang dari 12 jam (Zhamal, 2008).
BAB III
METODE PERCOBAAN
III. 1 Alat
Alat yang digunakan dalam percobaan ini adalah nampan/wadah.
III. 2 Bahan
Bahan yang digunakan dalam percobaan ini adalah biji kacang merah Phaseolus vulgaris,
biji kacang hijau Phaseolus radiatus, air, kertas koran.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
IV.1 Hasil Pengamatan
Berdasarkan pengamatan yang telah dilakukan, biji yang ditanam tidak ada yang
mengalami pertumbuhan baik penanaman pada tempat terang maupun penanaman pada
tempat gelap
IV.2 Pembahasan
Berdasarkan pengamatan yang telah dilakukan, tidak memperlihatkan tanda pertumbuhan
dan perkembangan biji kacang hijau phaseolus radiatus. Hal ini disebabkan karena dalam
proses penanaman biji kacang hijau kurang maksimal karena pemberian airnya sedikit,
sehingga proses tumbuh biji kacang hijau tersebut sangat sulit. Air merupakan unsur
penting dalam pertumbuhan kecambah tanaman, oleh karena itu pertumbuhan kecambah
tersebut tentunya akan terganggu karena kurang maksimalnya air yang didapatkan
kecambah tersebut.
Selain itu dapat pula disebabkan dormansi dari biji yang tidak berhasil dipecahkan pada
saat perendaman sebelum penanaman biji dilakukan. Dormansi merupakan kondisi fisik
dan fisiologis pada biji yang mencegah perkecambahan pada waktu yang tidak tepat atau
tidak sesuai. Dormansi ini dapat terjadi karena kurangnya proses imbibisi air di dalam
biji.
BAB V
PENUTUP
V.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil percobaan yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan bahwa
percobaan yang dilakukan untuk Pertumbuhan dan Perkembangan Kecambah pada
Tempat Gelap dan Terang tidak berhasil karena kekurangan air pada proses
penanamannya.
V.2 Saran
Sebelum penanaman, terlebih dahulu dilakukan perendaman untuk memcah dormansi biji
itu sendiri. Jadi sebaiknya perendaman lebih dimaksimalkan agar dapat berhasil
memecahkan dormansi biji yang akan ditanam. Sehingga kesalahan pengamatan lebih
dapat dimaksimalkan.
DAFTAR PUSTAKA
Latunra, A.I., Eddyman, W,F., Tambaru, E., 2007. Penuntun Praktikum Fisiologi
Tumbuhan II. Universitas Hasanuddin, Makassar.
Salisbury, F.B. dan Ross, C.W., 1995. Fisiologi Tumbuhan Jilid 2. ITB Press. Bandung.
Zhamal, 2008. Pengaruh Cahaya Terhadap Pertumbuhan Biji Kacang Hijau. http://
catatanzhamal.blogspot.com/. Diakses pada tanggal 12 Mei 2009 pukul 20:37.