You are on page 1of 7

portofolio & analisis investasi dana pensiun

July 30th, 2008 by bamb2882


1.1 PERKEMBANGAN DANA PENSIUN Krisis moneter dan ekonomi yang mulai
melanda Indonesia pada pertengahan tahun 1997 dan masih berlangsung hingga saat ini,
ternyata juga berpengaruh terhadap perkembangan jumlah Dana Pensiun. Hal ini terlihat
dari adanya 5 (lima) Dana Pensiun yang telah membubarkan diri karena Pendirinya tidak
sanggup memenuhi kewajibannya lagi (untuk Pemberi Kerja yang menggaji
karyawannya dalam bentuk mata uang asing ataupun karena Pendirinya sejak awal
didirikan tidak pernah mengiur). Disamping kelima Dana Pensiun tersebut masih ada
Dana Pensiun lain yang saat ini dalam proses pembubaran diri karena Pendirinya
dilikuidasi. Restrukturisasi perbankan yang mengharuskan bank-bank yang tidak sehat
dan memiliki total aset dibawah batas minimal yang ditentukan Pemerintah untuk
melakukan merger, juga menyebabkan berkurangnya jumlah Dana Pensiun. Namun
demikian, umumnya Dana Pensiun “menikmati” terjadinya krisis moneter ini karena
deposito berjangka, yang merupakan andalan investasi bagi Dana Pensiun selama ini,
memberikan tingkat bunga yang begitu tinggi. Salah satu dampaknya, banyak Dana
Pensiun yang menyelenggarakan program pensiun manfaat pasti mengalami surplus
dalam pendanaannya ( 32,6 % dari 319 Dana Pensiun yang menyampaikan Laporan
Keuangan 1997, termasuk Yayasan Dana Pensiun). Dari sejumlah Dana Pensiun yang
mengalami surplus tersebut, Pemberi Kerjanya tidak perlu lagi membayar iuran yang
menjadi kewajibannya untuk jangka waktu tertentu. Sampai dengan Oktober 1998
tercatat 306 Dana Pensiun Pemberi Kerja dan 25 Dana Pensiun Lembaga Keuangan yang
telah mendapatkan pengesahan dari Menteri Keuangan, namun 5 dari DPPK telah
membubarkan diri (4 dari DPPK yang menyelenggarakan program pensiun manfaat pasti
dan 1 DPPK yang menyelenggarakan program pensiun iuran pasti.). Sementara itu masih
terdapat 72 permohonan pembentukan Dana Pensiun maupun penyesuaian Yayasan Dana
Pensiun menjadi Dana Pensiun yang masih dalam proses. Grafik 1 Perkembangan Jumlah
DPPK, DPLK, YDP050100150200250300350199519961997Okt
1998DPLKYDPDPPKGrafik 1 menunjukkan bahwa jumlah Yayasan Dana Pensiun
semakin berkurang. Pengurangan ini disebabkan sebagian dari Yayasan Dana Pensiun
telah menyesuaikan diri menjadi Dana
Laporan Tahunan Dana Pensiun 1997 | 1
Pensiun dan sebagian lagi membubarkan diri karena Pemberi Kerjanya menyerahkan
pengelolaan program pensiun bagi karyawannya kepada Dana Pensiun Lembaga
Keuangan, atau karena Pemberi Kerjanya tidak sanggup memenuhi kewajibannya lagi.
0%10%20%30%40%50%60%70%80%90%199519961997Okt 1998Grafik 2
Perbandingan Jumlah PPMP, PPIPPPMPPPIPTabel 1 Perkembangan Jumlah Dana
Pensiun 1995 1996 1997 Okt 1998YDP 118 61 33 18 DPPK 170 240 278 301 PPMP 147
209 242 263 86% 87% 87% 87% PPIP 23 31 36 38 14 % 13 % 13 % 13 % DPLK 18 22
23 25 Cikal Dana Pensiun DPPK 275 162 111 71 DPLK 4 4 3 1 Total 279 166 114 72
DPPK bubar 5 Sumber : Direktorat Dana Pensiun Pada Grafik 2 terlihat bahwa Program
Pensiun Manfaat Pasti masih merupakan jenis program yang paling diminati oleh
masyarakat. Untuk posisi per Oktober 1998 terdapat 87 % Dana Pensiun Pemberi Kerja
yang menyelenggarakan Program Pensiun Manfaat Pasti, sedangkan DPPK yang
menyelenggarakan Program Pensiun Iuran Pasti hanya 13 %. Perkembangan jumlah
Dana Pensiun dari tahun 1995 sampai dengan Oktober 1998 secara rinci dapat dilihat
pada Tabel 1. 1.2 KETENTUAN PERUNDANG-UNDANGAN DANA PENSIUN
Seiring dengan iklim reformasi yang melanda Indonesia, Pemerintah juga memandang
perlu untuk melakukan reformasi perundang-undangan Dana Pensiun guna memacu
perkembangan industri Dana Pensiun. Pemerintah menyadari betapa pentingnya peranan
Dana Pensiun sebagai salah satu lembaga penghimpun dana masyarakat yang dapat
membantu pembiayaan pembangunan nasional. Peranannya menjadi lebih penting lagi
apabila sumber pembiayaan dalam negeri untuk pembangunan semakin ditingkatkan atau
Pemerintah bertekad untuk mengurangi peranan bantuan dari luar negeri. Pada tahun
1998 Pemerintah telah menerbitkan 3 (tiga) Keputusan Menteri Keuangan baru. Ketiga
keputusan tersebut merupakan perubahan atas Keputusan Menteri terdahulu, yang
dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan pensiunan dan mengefisienkan
administrasi Dana Pensiun serta sekaligus mengurangi beban Dana Pensiun. Adapun
ringkasan ke tiga Keputusan Menteri tersebut adalah :
1. Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor: 658/KMK.017/1997 tanggal
30 Desember 1997 tentang Perubahan Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia
Nomor: 76/KMK.017/1995 tentang Laporan Keuangan Dana Pensiun. Keputusan ini
mengatur kembali ketentuan mengenai penggunaan dua Kantor Akuntan Publik yang
berbeda yang mengaudit Laporan Keuangan dan Laporan Portofolio Investasi Dana
Pensiun. 2. Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor:
343/KMK.017/1998 tanggal 13 Juli 1998 tentang Iuran dan Manfaat Pensiun. Keputusan
Menteri ini merupakan pengganti dari Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia
Nomor: 230/KMK.017/1993 tentang Maksimum Iuran dan Manfaat Pensiun. Keputusan
ini memungkinkan karyawan yang pensiun pada atau setelah tanggal 13 Juli 1998 dan
jumlah Manfaat Pensiun kurang dari Rp 300.000,00 per bulan, untuk rumus bulanan atau
lebih kecil dari Rp 36.000.000,00 untuk rumus sekaligus, menerima pembayaran Manfaat
Pensiun secara sekaligus. Keputusan ini juga menghilangkan batasan maksimum dari
Penghasilan Dasar Pensiun. 3. Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor:
344/KMK.017/1998 tanggal 13 Juli 1998 tentang Perubahan Keputusan Menteri
Keuangan Republik Indonesia Nomor: 227/ KMK.017/1993 Tanggal 26 Pebruari 1993
tentang Tata Cara Permohonan Pengesahan Pembentukan Dana Pensiun Pemberi Kerja,
Penyesuaian Dana Pensiun dan Pengesahan atas Perubahan Peraturan Dana Pensiun dari
Dana Pensiun Pemberi Kerja. Keputusan ini menghilangkan beberapa dokumen
persyaratan yang diperlukan untuk pengesahan pembentukan Dana Pensiun, yaitu: •
Fotokopi NPWP Dana Pensiun; • Daftar Riwayat Hidup Anggota Pengurus termasuk
dokumen pendukungnya; • Daftar Riwayat Hidup Anggota Dewan Pengawas termasuk
dokumen pendukungnya.
Posted in Uncategorized | No Comments »

Pajak Penghasilan Pasal 21 dan Metode


Pemotongannya
July 30th, 2008 by bamb2882
Seperti kita ketahui bersama, formula penghitungan pasal 21 secara umum adalah sebagai
berikut :
Penghasilan bruto = xxxxx
Pengurang :
a. Biaya jabatan
b. Iuran pensiun
c. Jamsostek = (xxxxx)
Penghasilan netto = xxxxxx
Penghasilan tidak kena pajak (PTKP) = (xxxxx)
Penghasilan kena pajak (PKP) = xxxxxx
Setelah dikenakan Tarif progressive pajak (5%,10% dst),diperoleh PPh Pasal 21 terutang
= xxxxxx
Dalam tax payroll method, kita ketahui terdapat 3 macam metode pemotongan pajak,
yaitu :
1. Net method, merupakan metode pemotongan pajak dimana perusahaan menanggung
pajak karyawannya.
2. Gross Method, merupakan metode pemotongan pajak dimana karyawan menanggung
sendiri jumlah pajak penghasilannya.
3. Gross-up method, merupakan metode pemotongan pajak dimana perusahaan
memberikan tunjangan pajak yang jumlahnya sama besar dengan jumlah pajak yang
dipotong dari karyawan.
Dalam artikel ini, penulis tidak akan membahas lebih jauh, point a dan b di atas, akan
tetapi lebih menitikberatkan pada point c yaitu Gross-up method.
Gross Up Method
Sejalan dengan pengertian gross up itu sendiri, pada dasarnya tujuan perhitungan Pasal
21 dengan metode “gross up” hanya untuk menyamakan jumlah pajak yang dibayar
dengan jumlah tunjungan pajak yang diberikan perusahaan terhadap karyawannya.
Secara sederhana “gross up” dapat digambarkan sebagai berikut :
Penghasilan = Y
Tunjangan Pajak (misalkan) = 5,000
Total penghasilan bruto = Y+ 5,000
Pengurang :
a. Biaya jabatan
b. Iuran pensiun
c. Jamsostek = (xxxxx)
Penghasilan netto = xxxxxx
Penghasilan tidak kena pajak (PTKP) = (xxxxx)
Penghasilan kena pajak (PKP) = xxxxxx
Setelah dikenakan Tarif progressive pajak (5%,10% dst),diperoleh PPh Pasal 21 terutang
= 5,000
Dengan demikian ”gross up” dapat diartikan : jumlah tunjangan pajak sama besar dengan
jumlah pajak yang akan terhutang.
Formula/Rumus Gross up PPh Pasal 21
Formula gross up PPh pasal 21 terbagi dalam 5 lapisan rentang PKP, sesuai dengan
lapisan tarif yang terdapat dalam pasal 17 Undang – Undang Pajak Penghasilan (Tarif
Progressive).
Lapisan I : untuk PKP antara Rp. 23,750,000 hingga Rp. 1
Tunjangan PPh = PKP setahun (–) Rp. 0 x 5/95 (+) 0
Lapisan II : untuk PKP antara Rp. 46,250,000 hingga >Rp. 23,750,000
Tunjangan PPh = PKP setahun (–) Rp. 23,750,000 x 10/90 (+) 1,250,000
Lapisan III : untuk PKP antara Rp. 88,750,000 hingga >Rp. 46,250,000
Tunjangan PPh = PKP setahun (–) Rp. 46,250,000 x 15/85 (+) 3,750,000
Lapisan IV : untuk PKP antara Rp.163,750,000 hingga >Rp. 88,750,000
Tunjangan PPh = PKP setahun (–) Rp. 88,750,000 x 25/75 (+) 11,250,000
Lapisan IV : untuk PKP diatas Rp.163,750,000
Tunjangan PPh = PKP setahun (–) Rp. 163,750,000 x 35/65 (+) 36,250,000
Posted in Uncategorized | No Comments »

Metode Perhitungan Persediaan


July 30th, 2008 by bamb2882
Pengukuran Persediaan
Untuk mendekati permasalahan pengukuran persediaan, dalam hal penunjukkan biaya
setiap item, ada empat metode perhitungan (FIFO. LIFO, Rata-rata, dan idetifikasi
khusus) yang dikembangkan dan disetujuin oleh GAAP (Prinsip Akuntansi yang diterima
secara Umum).
Tabel 5.1 menunjukkan perbadingan 3 metode pertama dengan penjelasan untuk
identifikasi khsusus yang akan dibahas pada bab selanjutnya.
Tabel 5.1
Tanggal Jenis transaksi Unit Unit cost Total
1/1 Persediaan 100 $ 6 $ 600
10/3 Pembelian 150 $ 8 $ 1,200
6/6 Pembelian 200 $ 9 $ 1,800
4/10 Pembelian 250 $ 10 $ 2,500
Siap untuk Dijual 700 $ 6,100
Ini dapat diterima bahwa perhitungan fisik persediaan pada hari terakhir periode
akuntansi (31/12) menunjukkan 320 unit ada di tangan. Oleh karena itu 380 unit terjual
selama setahun.
Penetapan Biaya Persediaan: FIFO
FIFO = First In First Out (Masuk Pertama Keluar Pertama)
Metode ini mengasumsikan bahwa barang yang terjual karena pesanan adalah barang
yang mereka beli. Oleh karenanya, barang-barang yang dibeli pertama kali adalah
barang-barang pertama yang dijual dan barang-barang sisa di tangan (persediaan akhir)
diasumsikan untuk biaya akhir. Karenanya, untuk penentuan pendapatan, biaya-biaya
sebelumnya dicocokkan dengan pendapatan dan biaya-biaya yang baru digunakan untuk
penilaian laporan neraca.
Metode ini konsisten dengan arus biaya aktual, sejak pemilik barang dagang mencoba
untuk menjual persediaan lama pertama kali. FIFO merupakan metode yang paling luas
digunakan dalam penilaian persediaan dalam pembahasan ini.
Contoh 5.5
Pada metode FIFO, barang-barang keluar pada akhir periode berdasarkan pertimbangan
penerimaan terakhir. Karenanya, 320 unit yang ada di tangan pada 12/31 akan dibiayakan
sebagai berikut:
Pembelian terbaru (10/4) 250 Unit@ $ 10 = $ 2,500
Pembelian terbaru berikutnya (6/6) 70 Unit@ $ 9 = $ 630
Persedian akhir 320 Unit 3,130
Biaya terakhir dari persediaan terdiri dari 250 unit @ $ 10. Bagaimanapun, sejak
persediaan akhir berjumlah 320 unit, kita harus menunjuk kepada pembelian terbaru
berikutnya dan termasuk 70 unit @ 9. Oleh karena itu, anda dapat mengatakan bahwa
proses penetapan biaya setiap unit di tangan melibatkan pekerjaan dibelakang mulai dari
pembelian sampai adanya kuantitas yang cukup untuk memenuhi perhitungan persediaan
akhir. Lalu, persediaan akhir akan dinilai $ 3.130 dengan menggunakan metode
perhitungan FIFO.
Harga pokok penjualan dapat ditentukan dengan cara mengurangi nilai persediaan akhir
dari nilai persediaan awal ($ 6,100 - $ 3,130 = $ 2.970).
Harus dicatat bahwa sebagai metode yang menunjukkan biaya-biaya, FIFO dapat
digunakan tanpa memperhatikan fisik aktual dari barang dagang. Dalam periode kenaikan
harga – inflasi, contohnya – metode FIFO akan menghasilkan nilai persediaan tertinggi,
kemudian menghasilkan pendapatan bersih dalam jumlah terbesar. Sebaliknya, metode
FIFO menghasilkan harga pokok penjualan yang rendah karena biaya awal terendah
ditetapkan kepada harga pokok penjualan. Karena FIFO menunjukkan pembebanan
ongkos terbaru persediaan, maka nilai persediaan akhir ditutup dengan biaya
penggantinya.
Penetapan Biaya Persediaan: LIFO
LIFO = Last In First Out (Masuk Terakhir Keluar Pertama)
Metode LIFO mengasumsikan bahwa pembelian terbaru item adalah akan menjadi yang
pertama dijual dan sisa persediaan akhir terdiri item yang pertama kali dibeli. Dengan
kata lain, pesanan yang barangnya dujual adalah kebalikan dari pesanan yang dibeli.
Tidak seperti FIFO, metode LIFO mengkhusukan bahwa biaya persediaan ditangan
(persediaan akhir) ditentukan oleh pekerjaan di awal dari persediaan awal juga pembelian
sampai dengan terpenuhinya unit yang diperoleh untuk memperoleh persediaan akhir,
tepat berlawanan dengan metode FIFO.
Posted in Books | No Comments »

Tentang hukum 72
July 30th, 2008 by bamb2882
Berikut akan dibahas hukum 72, dari sisi perhitungan yang sederhana, bagi yang kurang
suka hitung-hitungan yang “agak rumit, sebaiknya lang seung baca kesimpulanya saja.
Dalam menghitung investasi, kita sering mendengar cara menghitung tingkat
pengembalian yang mudah dengan hukum 72. dimana investasi kita akan menjadi 2 kali
lipat dengan membagi bilangan 72 dengan persen bunga atau tingkat pengembalian
investasi per tahun.
Waktu investasi agar mendapatkan 2 kali lipat dari nilai investasi = 72 / % Bunga
Misalnya dino meletakan uangnya sebesar Rp. 1.000.000 di deposito berjangka dengan
bunga 12% pertahun. Maka uang dino akan menjadi 2 juta dalam waktu 72/12 = 6 tahun
Tapi sebenarnya penghitungan denagn “ rumus praktis’ tersebut kurang akurat, adapun
rumus sebenarnya yang digunakan untuk menghitung waktu investasi adalah sebagi
berikut
FV = U (1 + i)^n (superscript maksudnya)
n = log (FV/U),i (notasi logaritma eropa, lihat id.wkipedia.com/logaritma
U = jumlah uang yang diinvestasikan
FV = nilai uang di masa depan / hasil investasi
i = tingkat bunga
n = masa investasi (tahun)
Jadi masa investasi (n) dapat dihitung dengan rumus diatas, bila kita ingin masa yang
digunakan, agar investasi menjadi 2 kali lipat berarti FV/U = 2, maka
rumusnya menjadi n = i log 2
Untuk menguji tingkat ketelitian rumus 72 berikut kami sajikan tabel penghitungan
tingkat pengembalian investasi
KESIMPULAN
Dari perhitungan diatas dapat disimpulkan bahwa hukum 72 dapat digunakan untuk nilai
investai antara 5 – 15 persen karena nilainya masih akurat, untuk selebihnya akan selisih
0,2 – 0,3 , walaupun kecil teteap saja tidak akurat, dan dengan pertimbangan selisih 0,2
berarti (0,2 X 1tahun = 2,4 bulan) 2, 4 bulan , selisih tersebut cukup material dalm
pengambilan keputusan investasi. Sedangkan untuk nilai yang lebih kecil dari 5 persen
akan terdapat selisih yang cukup besar da tabel terlihat selisih untuk bunga 1 perssen
sebesar 2,34 tahun.
Sebaiknya menggunakan hukum 72 untuk perhitungan kasar saja, karena hukum 72 tidak
cukup akurat, dan terdapat selisih yang cukup besar untuk perhitungan yang
sesungguhnya.

You might also like