You are on page 1of 30

BAB IV

SUMBER KEMASLAHATAN SELAIN WAKAF


H. Mukhlisin Muzarie

A. Sumber-Sumber Kesejahteraan
Sumber kesejahteraan masyarakat dalam Islam tidak terbatas pada hasil
produksi perwakafan, melainkan meliputi hasil infak wajib seperti zakat mal,
zakat fitrah, pembayaran dam dan kifarat, infak suka rela yang berlatar belakang
kemanusiaan (hibah), infak suka rela yang berlatar belakang akhirat (shadaqah),
infak suka rela yang berlatar belakang prestasi (hadiyah), infak atau pemberian
selama hidup (umra), infak atau pemberian bersyarat (uqba), pemberian
manfaat sementara (ariyah) dan lain-lainnya. Namun demikian sumber
kesejahteraan yang berasal dari hasil perwakafan dipandang sebagai sumber
kesejahteraan yang berkesinambungan, karena dana yang didistribusi untuk
membantu peningkatan kesejahteraan masyarakat adalah manfaat atau hasilnya,
bukan asetnya, sehingga berkesinambungan.

B. Pemberian wajib (zakat)
Infak wajib atau pemberian wajib dalam bahasa Arab disebut zakat yang
secara leteral berarti tumbuh, berkembang, suci, bersih dan kebaikan hati
1
.
Dalam istilah teknis, zakat adalah nama bagi harta yang wajib dikeluarkan oleh
seseorang untuk disalurkan kepada fakir miskin dengan tujuan untuk
melaksanakan perintah Allah, membersihkan hati, dan memperoleh
keberkahan.
2
Zakat dalam syariat Islam mempunyai posisi yang sangat strategis,
karena selain sebagai sendi Islam yang menjanjikan dapat membersihkan
pelakunya dari sifat-sifat tercela dan mensucikan hartanya dari berbagai syubhat,
juga dapat menjalin hubungan baik dengan Allah (hablun min Allah) dan
menjalin hubungan baik dengan sesama manusia (hablun min al-Naas). Dalam
sumber hukum Islam, baik Alquran maupun hadits banyak ditemukan perintah

1
Atabik Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdlor, Qamus al-Ashrie, (Yayasan Ali Mashum, Yogyakarta,
1996), hal. 1017
2
Sayid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, juz I, hlm. 276
berzakat dan sanksi atau ancaman kepada barang siapa yang mengingkarinya.
antara lain QS Al-Baqarah, 2 : 276 :

Artinya : Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Alla tidak
menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran dan selalu berbuat dosa
QS Ar-Rum : 30: 39 :

Artinya : Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia
bertambahpada harta manusia, maka riba itu tidak menambah
pada sisi Allah. Dan apa yan kemu berikan berupa zakat yang
kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang
berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipatgandakan
(pahalanya)
QS Fushshilat, 41 : 6-7 :
-
Artinya : Dan kecelakaan yang besarlah bagi orang-orang yang
mempersekutukan-Nya, yaitu orang-orang yang tidak menunaikan
zakat dan mereka kafir akan adanya (kehidupan) akhirat
Hadits riwayat Al-Thabarani dari Jabir tentang manfaat zakat dapat menangkal
penyakit tanaman,
3
:

Artinya : Barang siapa yang menunaikan zakat hartanya, maka (Allah)


menghilangkan penyakitnya
Dan hadits riwayat Muslim dkk dari Abu Hurairah tentang ancaman orang yang
tidak mau mengeluarkan zakat.
4
:

3
Yaitu :
4
Yaitu :

Artinya : Orang-orang yang memiliki emas dan perak dan tidak menunaikan
zakatnya pada hari kiamat disiapkan lempengan besi kemudian
dipanggang di atas neraka jahanam
Perbedaan yang mendasar antara wakaf dan zakat adalah pesan hukum
yang memberlakukan keduanya, perintah zakat sangat tegas disertai ancaman
bagi barang siapa yang tidak patuh menunaikan kewajiban tersebut, sedangkan
pada wakaf, sebagaimana dikemukakan di atas, hanya bersifat anjuran.
Perbedaan yang lain adalah menyangkut pengelolaan, pada pengelolan zakat
(amil) lebih bersifat temporer, karena tugas utamanya adalah mengumpulkan
dan menyalurkan, sedangkan pengelola wakaf (nadzir) lebih bersifat
kelembagaan (permanen), karena tugas pokoknya memelihara, memberdayakan,
dan menyalurkan sehingga dapat memberikan manfaat yang optimal dan terus
menerus. Selain dari pada itu, obyek zakat seperti dijelaskan dalam QS Al-
Baqarah, 2 : 267
5
menyangkut penghasilan jasa (ma kasabtum) dan produksi
(ma akhrajna lakum min al-ardh), sedangkan obyek wakaf menyangkut benda,
bukan penghasilan. Dan dilihat dari sasarannya, zakat lebih sepesifik seperti
dijelaskan dalam QS At-Taubah, 9 : 60
6
meliputi fakir, miskin, amil, muallaf,
riqab, gharim, sabilillah, dan ibnu sabil, sedangkan wakaf lebih fleksibel,
meliputi berbagai kebajikan (al-birr) dan kebaikan (al-maruf).
Apabila dipersoalkan mengapa ahli tata negara seperti Imam Abu Yusuf,
Imam Al-Mawardi dan Imam Abu Yala tidak memasukkan wakaf sebagai
sumber keuangan publik, padahal sejarah mencatat bahwa wakaf adalah sumber
keuangan umat yang potensial, jawabannya karena dana wakaf bersifat suka rela
(non budgeter), sedangkan zakat dan pajak merupakan pungutan wajib. Ulama
ahli fikih (fuqaha) menegaskan bahwa yang dimaksud sadakah dalam QS At-

5
Yaitu :
6
Yaitu :

Taubah ayat 103
7
yang mengatur adanya pungutan adalah zakat. Dengan
demikian ayat tersebut mengandung perintah kepada penyelenggara negara agar
memungut zakat dari harta yang dimiliki oleh masyarakat muslim secara umum.
Abu Bakar Shiddiq ketika menjabat kepala negara telah melaksanakan tugas ini
dengan tegas. Dalam intruksi yang diturunkan kepada para pelaksana di daerah,
Abu Bakar menegaskan: Demi Allah, seandainya ada orang yang tidak mau
menyerahkan unta (sebagai zakat) sebagaimana yang mereka serahkan kepada
Rasulullah, akan saya perangi mereka
8
. Perintah yang tegas sebagaimana
terdapat dalam intruksi zakat tidak ditemukan dalam wakaf sehingga wakaf tidak
dimasukan kedalam anggaran negara.
Pada umumnya zakat telah dipraktikkan oleh masyarakat muslim, termasuk
masyarakat muslim di Indonesia, baik zakat mal maupun zakat fitrah. Namun
pelaksanaannya belum dikelola secara modern sehingga belum optmal
meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Para pengelola zakat (amil) umumnya
hanya bertugas untuk menampung dan menyalurkan zakat secara tradisional dan
sifatnya lokal, bahkan masih banyak yang bersifat individual, masing-masing
muzaki menyalurkan zakatnya sendiri, tanpa melalui amil. Pada dekade 70-an
timbul kesadaran masyarakat untuk mengorganisir zakat. Saat itu perekonomian
umat mulai berkembang dan banyak kaum muslim yang memiliki rumah mewah
dengan berbagai fasilitas yang serba mahal, disamping masih banyak rakyat yang
miskin, hidup serba kekurangan. Adanya berbedaan nasib masyarakat yang
sangat mencolok ini menggugah para ulama dan tokoh masyarakat seperti
HAMKA, KH Syukri Ghazali, HM Saleh Suaedi, KH Muhammad Shadri, KH
Taufiqurrahman, Ustadz Ali Alhamidi, Ustadz Muchtar Lathif al-Anshari dan KH
Malik Ahmad untuk mengorganisir zakat. Di Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta,
Jawa Barat, Sulawesi Selatan, Aceh, Sumatra Barat dan beberapa desa di Jawa
Timur telah dirintis lahirnya lembaga-lembaga amil zakat (BAZ, BAZIS).
Lembaga-lembaga ini berhasil mengumpulkan dana zakat hingga ratusan juta

7
Yaitu : -
8
Wahbah, Tafsir al-Munir, juz 11, hal. 27
bahkan milyaran sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat
miskin.
9

Di Cirebon sejak tahun 1971/1972 telah dirintis oleh para ulama berdirinya
lembaga yang kemudian disebut Badan Amil Zakat. Di antara pendiri lembaga
tersebut KH Saleh Assegaf, Syarif Muhammad bin Yahya, KH Ali Kamali, KH
Anwar Kalitengah, KH Rumli Cholil Balerante, KH Abdullah Abas Buntet, K.
Yasin Gedongan dan lain-lainnya. Akan tetapi hingga saat ini BAZ Kabupaten
Cirebon belum mampu menghimpun dana zakat yang optimal dari masyarakat
muslim yang jumlahnya sangat besar. Penerimaan zakat fitrah saja hingga
sekarang belum mencapai 10% dari total penduduk muslim sebanyak 2 juta
orang. Pengurus BAZ selalu berusaha untuk mengoptimalkan pemungutan zakat
tetapi hasilnya belum memadai. Upaya untuk mengembangkan pungutan zakat
hingga mencapai calon Haji menimbulkan pro-kontra di kalangan ulama
sehingga yang masuk hanyalah infak. Zakat mal Kabupaten Cirebon baru
menjangkau zakat profesi, yaitu setelah diadakan mudzakarah terlebih dahulu
yang dilaksanakan kerja sama antara Depag, MUI dan BAZ Kabupaten Cirebon,
selanjutnya diantisipasi Surat Edaran Bupati yang ditujukan kepada kepala Dinas
dan Intansi kemudian ditindak lanjuti dengan pembentukan unit-unit
pengumpul zakat di lembaga dan intansi tersebut sehingga mendapat masukan
zakat mal yang semakin meningkat.
10

2. Pemberian suka rela (hibah)
Dalam istilah teknis pemberian suka rela (hibah) ialah pemberian lepas
yang dilaksanakan secara suka rela atau tanpa paksaan. Sayid Sabiq
mendefinisikan hibah adalah suatu transaksi yang bersifat memindahkan hak
milik kepada orang lain tanpa imbalan yang dilaksanakan sewaktu hidup.
11

Dengan definisi ini hibah menyerupai wakaf dalam hal melepaskan hak milik dan
menyerahkannya kepada orang lain tanpa imbalan. Perbedaannya dalam
penyerahan hibah meliputi benda dan manfaatnya sedangkan wakaf hanya

9
KHM Syukri Ghozali, dkk, Pedoman Zakat 9 Seri, (Proyek Pembinaan Zakat dan Wakaf, Depag Pusat,
Jakarta, 1985/1986), hal. 37-38
10
Sumber informasi : BAZ Kabupaten Cirebon, 24 Juli 2007
11
Sayid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, juz III, hlm. 388
manfaat atau hasilnya saja. Dalam definisi disebutkan tanpa imbalan, Sabiq
dalam hal ini menyamakan pelepasan hibah dengan transaksi-transaksi lainnya,
bedanya dalam hibah tidak ada imbalan. Selanjutnya dalam definisi itu
menyebutkan dilaksanakan sewaktu hidup, Sabiq bermaksud ingin
membedakan antara hibah dan wasiat, karena wasiat merupakan pemberian
yang pelaksanaannya ditangguhkan sesudah yang bersangkutan meninggal
dunia.
Wahbah Zuhaili memandang bahwa hibah sama dengan hadiah dan
sadakah, perbedaannya hanya dalam motif yang mendorong untuk
melaksanakannya. Apabila motifnya untuk mendekatkan diri kepada Allah
disebut sadakah, apabila motifnya untuk memberi penghargaan kepada
seseorang disebut hadiah, dan apabila tidak ada yang dominan dari kedua motif
tersebut adalah hibah.
12
Ibnu Abidin berpandangan lain dalam masalah yang
terkait dengan motif ini, menurutnya motif yang mendorong seseorang untuk
melaksanakan hibah adalah keinginan untuk memperoleh kebaikan dari pihak
penerima, baik bersifat duniawi, seperti imbalan materi atau jalinan kasih sayang
dan pujian, maupun bersifat ukhrawi. Abu Manshur, seperti dikemukakan Ibnu
Abidin, menegaskan bahwa setiap orang mukmin harus (wajib) mengajarkan
sifat-sifat dermawan kepada anak-anaknya seperti halnya mengajarkan tauhid
dan keimanan, alasannya karena mencintai dunia secara berlebihan adalah
pangkal kejahatan (hubb al-dunya rasu kulli khathiah).
13
Dengan pengajaran
sifat-sifat dermawan tersebut dapat diharapkan anak-anaknya menjadi baik,
suka beramal dan tidak bakhil akibat mencintai dunia yang berlebihan.
Syamsuddin Ahmad bin Qaudur memberikan penilaian yang tinggi terhadap
pembei hibah (wahib), menurut pandangannya karena Allah menyebut dirinya
Al-Wahhab artinya Dzat Yang Banyak Memberi, maka orang-orang yang suka
memberi berarti memiliki sifat-sifat yang terpuji seperti yang dimiliki .Allah
14

Banyaklah ayat Alquran dan hadits yang mendorong agar kaum muslim
suka memberi hibah, hadiah dan sadakah, diantaranya QS An-Nisa, 4 : 4 :

12
Wahbah, Al-Fiqh al-Islami, juz V, hlm. 5
13
Ibnu Abidin, Rdd al-Mukhtar, juz VIII, hlm. 489
14
Syamsuddin Ahmad Qaudur, Nataij al-Afkar Takmilah Syarah Fath al-Qadir (Bairut, Dar al-
Kutub al-Ilmiyah, 1995), juz IX, hlm. 19

Artinya : Kemudian apabila mereka menyerahkan kepada kamu sebagian
maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah)
pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya
Ayat ini menggambarkan kehidupan suami isteri yang harmonis, suaminya
memberikan maskawin sebagai kewajiban kepada isterinya, dan isterinya
memberikan apa yang sudah dimiliki itu kepada suaminya sebagai jalinan cinta
dan kasih sayang. Ulama fikih memandangnya sebagai landasan hukum
pemberian hibah, hadiah dan sadakah, karena didalamnya mengandung makna
anjuran.
QS Al-Baqarah, 2 : 177 :

Artinya :dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-


anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan
pertolongan), dan orang-orang yang meminta-minta,dan
(memerdekakan) hamba sahaya...
Ayat ini menjelaskan salah satu bentuk kebajikan, oleh karena itu dijadikan
laandasan oleh ulama fikih sebagai landasan hukum pemberian hibah, hadiah
dan sadakah.
Hadits riwayat Bukhari dkk dari Abu Hurairah tentang anjuran saling memberi
hadiah :

Artinya :hendaklah kamu saling memberi hadiah agar kamu saling mencintai
Dan hadits riwayat Bukhari Muslim dari Abu Hurairah tentang petunjuk
penerimaan hadiah yang baik.

Artinya :Hendaklah seorang tetangga tidak menyepelekan hadiah yang
diberikan oleh tetangganya walaupun sepotong kaki kambing
Kedua hadits tersebut menganjurkan agar kaum muslim saling memberi hibah
dan hadiah, dan Nabi sendiri memberikan contoh melaksanakan hibah dan
hadiah sehinga para sahabatnya mengikuti.
Adapun unsur-unsur (rukun) yang harus dipenuhi dalam praktik hibah
ialah adanya kata penyerahan (ijab) dan kata penerimaan (kabul). Ijab adalah
ungkapan kalimat yang menunjukkan pengertian pelepasan hak tanpa imbalan,
seperti saya hibahkan, saya hadiahkan, atau saya berikan kepadamu, dan kabul
adalah ungkapan kalimat dari pihak penerima yang menyatakan saya terima.
Imam Malik dan Asy-Syafiie mengharuskan adanya ijab dan kabul dalam praktik
hibah, sedangkan sebagian ulama Hanafiyah mencukupkan dengan ijab saja.
Sayid Sabiq menyetujui pendapat yang akhir ini dan mengatakannya sebagai
pendapat yang lebih tepat. Sementara ulama Hanabilah membolehkan praktik
hibah dengan serah terima saja (muathah), tanpa ijab dan kabul. Alasannya
karena Nabi mempraktikkan hibah dan hadiah dengan cara seperti itu, demikian
pula yang dipraktikkan oleh para sahabatnya dalam melaksanakan hibah dan
hadiah.
15
Syamsuddin Ahmad bin Qaudur yang lebih dikenal dengan nama Qadhi
Zadah Affandi dalam Nataij al-Afkar menjelaskan bahwa transaksi hibah
dilaksanakan dengan ijab dan kabul serta dengan serah terima. Alasannya karena
hibah adalah suatu transaksi, oleh karena itu harus dilaksanakan dengan ijab dan
kabul. Namun karena hibah adalah perbuatan hukum yang bersifat
memindahkan hak, maka harus ada serah terima.
16
Ahmad bin Qaudur
memandang bahwa prosedur hibah terdiri dari dua peristiwa hukum, pertama
terjadinya transaksi yang terdiri dari ijab dan kabul dan kedua terjadinya serah
terima (al-qabdh). Apabila seseorang telah menyatakan :saya hibahkan rumah
ini kepadamu (ijab) kemudian pihak penerima menyatakan :saya terima
(kabul), maka transaksi hibah telah terjadi. Tetapi untuk kepindahan hak milik
dari pihak pemberi kepada pihak penerima masih memerlukan perbuatan
hukum yang lain, yaitu serah terima. Serah terima dilakukan dengan cara
mengosongkan rumah dan menyerahkan kuncinya, atau dengan cara
menyerahkan surat-surat bukti pemilikan beserta kuncinya kepada pihak

15
Said Sabiq, Fiqh al-Sunnah, juz III, hlm. 390
16
Syamsuddin Ahmad Qaudur, Nataij al-Afkar, juz IX, hlm. 19
penerima. Menurut Imam Malik, hibah sudah berpindah hak miliknya dari pihak
pemberi kepada pihak penerima semenjak ijabnya diucapkan. Dengan demikian
hibah sudah sah dan mengikat walaupun kabulnya belum dilakukan. Pendapat
ini beralasan bahwa hibah adalah transaksi kebajikan (aqd al-tabarru) atau
transaksi sepihak, mengingat pihak keduanya adalah Allah, jadi tidak
memerlukan kabul. Ada pula yang berpendapat bahwa transaksi hibah dilihat
dari sisi pemberi cukup dengan ijab saja, tetapi dilihat dari penerimanya harus
dengan ijab dan kabul. Ahmad bin Qaudur
17
sebagai seorang praktisi hukum
mempersoalkan praktik hibah mengapa belum mengikat sebelum ada serah
terima dari kedua belah pihak padahal ijab dan kabulnya sudah diucapkan.
Jawabannya, mengingat bahwa hibah adalah suatu transaksi yang bersifat
memindahkan hak sebagaimana transaksi-transaksi jual beli dan lain-lainnya,
maka harus ada dua pihak sebagai pelakunya, yaitu pihak pemberi yang
melakukan ijab dan pihak penerima yang melakukan kabul. Dan setelah terjadi
transaksi tersebut harus ditindaklanjuti dengan acara serah terima dengan
tujuan untuk memperoleh kepastian hukum, karena sebelum adanya serah
terima benda yang dihibahkannya masih dikuasai oleh pemberi yang sewaktu
waktu dapat membatalkan kembali hibahnya. Pendapat Qaudur yang demikian
relevan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku
sekarang, yang menuntut bukti pemilikan yang sah (autentik) dan prosedur
penyerahan yang sesuai dengan petunjuk.
Unsur atau rukun hibah berikutnya adalah adanya pihak pemberi (wahib),
syaratnya harus pemilik yang sesungguhnya, sudah dewasa, berakal sehat, tidak
berada di bawah pengampuan, dan tidak terpaksa dalam memberikan hibahnya.
Pemberi hibah yang tidak memenuhi persyaratan tersebut mengakibatkan
pemberian hibahnya tidak sah. Selanjutnya adalah pihak penerima (mauhub
lah), syaratnya ketika transaksi hibah dilaksanakan yang bersangkutan harus
sudah ada dan dianggap cakap sebagai penerima. Anak-anak yang belum lahir
atau masih dalam kandungan tidak dapat menerima hibah, karena yang
bersangkutan belum ada ketika hibahnya dilaksanakan. Dalam hal penerima

17
Ibid, hlm. 20; dan ada landasan tekstual sebuah riwayat dari Nabi :
hibah adalah anak-anak yang belum dewasa atau orang yang sedang sakit
ingatan, maka wali atau pengampunya (wushi) bertindak sebagai penerima.
Unsur (rukun) lainnya adalah barang yang dihibahkan (mauhub), syaratnya
harus sudah tersedia, mempunyai nilai, dimiliki dan dikuasai oleh pemberi, tidak
menyatu dengan harta lain yang sulit dipisahkan, dan sudah diketahui jumlah
atau kadarnya.
18
Barang-barang yang belum dipisahkan atau belum dimiliki
penuh atau belum dikuasai seperti barang-barang dalam gadaian atau dalam
perjanjian sewa menyewa, tidak dapat dihibahkan.
3. Pemberian berlatar belakang prestasi (hadiyah)
Kata hadiah berasal dari bahasa Arab hadiyah, diadopsi menjadi bahasa
Indonesia yang artinya pemberian atau ganjaran bagi pemenang suatu
perlombaan atau pertandingan. Ungkapan kalimat hadiah kerja, artinya
pemberian kepada pekerja yang berprestasi, hadiah lebaran, artinya pemberian
kepada para pegawai dan pekerja menjelang hari Raya, dan hadiah penghibur,
artinya pemberian kepada peserta perlombaan atau pertandingan yang hampir
menang, seperti hadiah yang diberikan kepada juara harapan I atau juara
harapan II, mereka belum memenuhi persyaratan menjadi juara, tetapi nilainya
hampir mendekati kriteria juara.
19
Dalam istilah teknis, sebagaimana telah
disinggung di atas, hadiah adalah suatu pemberian yang berlatar belakang
duniawi, seperti keinginan untuk memberikan penghormatan kepada seseorang
atau keinginan untuk menjalin hubungan kasih sayang, dan sebagainya. Ada
kisah dalam Alquran yang terkait dengan pemberian hadiah, yaitu hadiah yang
diberikan oleh Ratu Balqis kepada Nabi Sulaiman dengan tujuan politik. Pada
awalnya Nabi Sulaiman mengirimkan sepucuk surat kepada Ratu Balqis agar
Ratu beserta kaumnya memeluk agama tauhid (Islam) yang dibawa oleh Nabi
Sulaiman. Setelah Ratu menerima surat segera mengadakan musyawarah dengan
para pembesarnya. Dari musyawarah tersebut menghasilkan keputusan untuk
mengirimkan delegasi dengan membawa hadiah besar kepada Nabi Sulaiman.

18
Sayid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, juz III, hlm. 390-391
19
W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia (Jakarta, PT Balai Pustaka,
1976),hlm. 337-338
Balqis sengaja mengirimkan hadiah besar berupa emas permata
20
yang tak
terhingga banyaknya dengan tujuan untuk melunakkan hati Sulaiman yang juga
seorang Raja dan terkenal memiliki pasukan yang kuat, terdiri dari jin dan
manusia, dan terkenal keilmuannya serta kearifannya. Menurut Ibnu Abbas dan
lain-lainnya, seperti dikemukakan oleh Wahbah dalam Tafsirnya, hadiah emas
dan permata tersebut dikirimkan Balqis dengan tujuan untuk menguji Sulaiman
apakah ia seorang Nabi atau hanya seorang raja. Ketika melepas delegasi yang
membawa hadiah tersebut, Balqis berpesan kepada pemimpin rombongan :
Apabila Sulaiman mau menerima hadiah dari kami berarti ia adalah seorang
Raja, kita harus melawan, dan apabila tidak mau menerimanya, berarti ia
seorang Nabi, kita harus mengikuti. Akhirnya Sulaiman menolak hadiah yang
besar itu, dan Balqis beserta kaumnya beriman kepada Allah di bawah bimbingan
Nabi Sulaiman.
21

Hadiah sama dengan wakaf sebagai transaksi yang bersifat melepaskan
hak tanpa imbalan. Namun mengenai apakah hadiah memerlukan penerimaan
atau tidak, ulama berbeda pendapat. Sebagian mereka memandang hadiah tidak
memerlukan penerimaan karena dianggap perbuatan sepihak yang sah dan
mengikat tanpa penerimaan (kabul). Sebagian ulama lagi memandangnya
sebagai transaksi yang memerlukan penerimaan. Apabila pemberian hadiah
belum diterima, maka belum mengikat. Dalam praktiknya pemberian hadiah
dilakukan dengan serah terima dan disaksikan oleh berbagai pihak. Hal ini dapat
menghindari timbulnya sengketa di kemudian hari.
4. Pemberian yang berlatar belakang akhirat (shadaqah)
Dalam istilah teknis, sedekah adalah suatu transaksi memindahkan hak
milik (tamlik) kepada orang lain yang sangat membutuhkan tanpa imbalan
materi dengan tujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah. Amal ini sangat
dianjurkan dan dipandangnya sebagai amal sunah seperti halnya hibah dan

20
Yaitu :
-
21
Wahbah Zuhaili, Al-Tafsir al-Munir, juz XIX, hlm. 293-294
hadiah. Banyaklah Alquran dan hadits yang menganjurkan amal sedekah,
diantaranya QS Al-Baqarah, 2 : 271 :

Artinya : Jika kamu menampakkan sedekahmu, maka itu adalah baik sekali.
Dan jika kamu menyembunyikannya dan kamu berikan kepada orang-
orang fakir, maka menyembunyikan itu lebih baik bagimu. Dan Allah
akan menghapuskan dari kamu sebahagian kesalahan-kesalahamu
Hadits riwayat Ibnu Hibban tentang sedekah dapat meredam murka Tuhan :

Artinya : Sedekah itu meredam murka Tuhan dan menghindari kematian yang
buruk
Dan hadits dari Anas bin Malik tentang sadakah dapat menghindari tujuh puluh
macam bencana :

Artinya : Sedekah itu mencegah tujuh puluh macam penyakit, serendah-
rendahnya adalah penyakit lepra dan kulit
Menurut Ahmad bin Qaudur, praktik sedekah memerlukan serah terima
seperti halnya hibah dan hadiah. Dan sedekah tidak boleh dibatalkan secara
sepihak karena sedekah merupakan derma yang dilaksanakan dengan tujuan
untuk memperoleh pahala dari Allah sedangkan pahalanya telah diperoleh ketika
kata-kata penyerahan (ijab) diucapkan.
22
Sejumlah besar ulama fikih, termasuk
Al-Nakhie, Al-Tsaurie, Al-Hasan bin Shalih, Abu Hanifah dan Asy-Syafiie
membatasi hibah dan sedekah yang memerlukan penerimaan hanya barang-
barang yang ditakar (al-makiel) dan barang-barang yang ditimbang (al-
mauzun). Pendapat ini mempertimbangkan jumlah dan nilai barang yang
disedekahkan. Barang-barang yang jumlah dan nilainya cukup besar
memerlukan penerimaan sedangkan barang-barang yang nilainya tidak seberapa
tidak memerlukan penerimaan. Tetapi Imam Malik dan Abu Tsaur berpendirian

22
Ahmad bin Qaudur, Nataij al-Afkar, juz IX, hlm. 57
bahwa hibah dan sedekah dalam segala jenis barang cukup dengan penyerahan
(ijab) saja. Imam Malik memandang hibah dan sedekah sebagai perbuatan
sepihak, alasannya karena merupakan pelepasan hak tanpa imbalan dan
tujuannya untuk mendekatkan diri kepada Allah. Kalaulah kedua amal tersebut
memerlukan pihak lain sebagai penerima, maka pihak lain itu adalah Allah
seperti dalam wakaf dan pembebasan budak. Selanjutnya Imam Malik
mengajukan alasan tekstual yang diriwayatkan Bukhari, Muslim dan lain-lainnya
dari Ibnu Abbas bahwa Nabi bersabda sebagai berikut :

Artinya :Orang yang meminta kembali hibahnya sama dengan orang yang
menelan kembali ludahnya.
Menurut Imam Malik, hadits ini mengandung pengertian umum bahwa
sesuatu yang telah dilepaskan sebagai hibah atau sedekah telah mengikat dan
tidak boleh ditarik kembali menjadi milik pribadi. Akan tetapi kebanyakan ulama
memberikan sanggahan bahwa hadits tersebut mengandung kemungkinan
adanya penerimaan, karena kalimat meminta kembali hibahnya mengandung
makna hibahnya telah diterima sehingga penerimaan tetap diperlukan.
Selanjutnya mereka mengatakan bahwa mengkiaskan hibah dan sedekah dengan
wakaf atau wasiat atau dengan pembebasan budak tidak dapat diterima, karena
wakaf melepaskan hak ditujukan kepada Allah sedangkan hibah dan sedekah
melepaskan hak yang ditujukan kepada sesama manusia. Adapun kias dengan
wasiat, baik mengikat atau tidak mengikat tergantung kepada ahli waris, bukan
kepada ikrar (ijab), karena merekalah yang berhak untuk meluluskan atau
menahannya. Dan mengenai pembebasan budak, sesungguhnya bukanlah
perbuatan hukum yang bersifat memindahkan hak milik, tetapi bersifat
membebaskan hak sebagai tuan sehingga tidak memiliki kekuasaan terhadap
dirinya.
23
Dengan demikian tidak dapa disaakan dengan wakaf.
5. Pinjaman (al-ariyah)
Dalam istilah teknis pinjaman barang dibedakan dengan pinjaman uang,
pinjaman barang disebut ariyah, dan transaksinya disebut iarah, sedangkan

23
Ibnai Qudamah, Al-Mughni wa Syarah al-Kabir, juz VI, hlm. 275-276
pinjaman uang, apabila bersifat komersial disebut qardh
24
dan yang non
komersial disebut dain
25
. Pembahasan di sini menyangkut pinjaman barang,
bukan pinjaman uang. Ulama Hanafiyah mendefinisikan pinjaman adalah
pemberian manfaat (tanpa bendanya dan) tanpa imbalan,
26
atau izin penggunaan
barang kepada orang lain.
27
Ulama Syafiiyah mendefinisikan pinjaman adalah
transaksi yang mengandung perizinan untuk menggunakan manfaat barang yang
memiliki karakter lestari dengan ketentuan akan dikembalikan setelah selesai
dipergunakan.
28
Ulama Malikiyah mendefinisikan bahwa pinjaman adalah
pemberian manfaat (tanpa bendanya) tanpa imbalan untuk sementara waktu.
29

Sedangkan ulama Hanabilah mendefinisikan bahwa pinjaman adalah izin
penggunaan manfaat benda dari pemiliknya kepada orang lain tanpa imbalan.
30

Dari ungkapan kalimat yang berbeda-beda dalam memberikan batasan
istilah pinjaman (ariyah) tersebut, intinya adalah sama, bahwa pinjaman
merupakan transaksi pemberian manfaat benda kepada orang lain tanpa imbalan
materi. Ibnu Abidin memberikan batasan yang lebih simpel, pinjaman adalah
pemberian manfaat benda dengan cuma-cuma (tamlik al-manafi majanan).
31

Batasan ini dapat membedakan antara pinjaman dengan transaksi sewa
menyewa (ijarah), yaitu pemberian manfaat benda dengan imbalan materi
(tamliku nafin bi iwadhin),
32
dan membedakannya dari transaksi hibah, yaitu
pemberian benda dengan cuma-cuma (tamlik al-ain majanan).
33
Namun
demikian batasan tersebut hampir menyerupai transaksi wakaf, mengingat wakaf
menurut ulama Hanafiyah adalah menahan benda dalam milik wakif dan
memberikan manfaatnya kepada orang lain (habs al-ain ala milk al-wakif wa

24
Dain adalah transaksi yang tidak tunai (terhutang), lihat : Ibnu Mandhur, Lisan al-Arab, juz 11,
hlm. 112
25
Ibid, juz 4, hlm. 459
26
Apabila pemberian manfaat itu dengan memperoleh imbalan disebut sewa (al-ijarah)
27
Syamsuddin Ahmad bin Qaudur, Takmilah Fath al-Qadir, Nataij al-Afkar, juz IX, hlm.3
28
Al-Ramli, Nihayah al-Muhtaj, juz V, hlm. 117
29
Syaikh Adil Ahmad Abdul Maujud & Syaikh Ali Muhammad Muawwadh, Taliq Radd al-
Mukhtar, juz VIII, hlm. 473
30
Sayid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, juz III, hlm. 232
31
Ibnu Abidin, Radd al-Mukhtar, juz VIII, hlm. 474
32
Ibid, juz VII, hlm. 4-5
33
Ibid, juz VIII, hlm. 488
al-tashadduq bi al-manfaah).
34
Atas dasar ini, Abu Hanifah memandang bahwa
wakaf sama dengan pinjaman.
35
Perbedaan yang prinsip antara wakaf dengan
pinjaman dalam pandangan Abu Hanifah adalah menyangkut obyeknya.
Transaksi wakaf obyeknya berupa benda tidak bergerak sedangkan pinjaman
obyeknya berupa benda-benda bergerak. Sedangkan persamaannya adalah
keduanya merupakan pemberian manfaat benda, bukan pembrian benda, kepada
orang lain dengan cuma-cuma dan sewaktu-waktu pemiliknya dapat
mengambilnya kembali apabila diperlukan.
Sayid Sabiq menjelaskan bahwa memberikan pinjaman adalah salah satu
amal kebajikan yang sangat dianjurkan dan hukumnya sunah. Allah
menganjurkan agar manusia saling menolong dalam memenuhi kebutuhan
hidupnya seperti disebutkan dalam QS Al-Maidah, 5 : 2 sebagai berikut :
-
Artinya :dan hendaklah saling menolong dalam kebajikan dan takwa, dan
janganlah saling menolong dalam dosa dan permusuhan
Ulama salaf, seperti dikemukakan Ibnu Rusyd, memandang tolong
menolong bukan sekedar kebaikan dan kesunahan yang dianjurkan, tetapi bisa
juga menjadi wajib hukumnya dan lebih patut untuk diperhatikan, mengingat
firman Allah dalam QS Al-Maun, 107 : 7

Artinya : dan enggan (menolong dengan) barang berguna


Menurut penjelasan Ibnu Abbas dan Ibnu Masud karakter orang-orang
yang tergolong mendustakan agama dalam ayat ini adalah orang-orang yang
tidak mau menolong orang lain dengan memberikan pinjaman perkakas rumah
tangga dan alat-alat dapur seperti kapak, cangkul, pisau besar, pisau kecil,
periuk, dan sebagainya.
36
Dengan demikian memberikan pinjaman kepada orang
lain bisa menjadi wajib hukumnya apabila kebutuhannya mendesak dan tidak
ada orang lain yang dapat menolongnya.

34
Ibid, juz VI, hlm. 518-519
35
Ibnu al-Humam al-Hanafi, Syarah Fath al-Qadir, juz VI, hlm. 190
36
Ibnu Rusyd, Abu al-Walid Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Ahmad bin Rusyd, Bidayah al-
Mujtahid (T.Tp, Dar al-Fikr, TT.), juz II, hlm. 262
Adapun megenai ketentuannya, pertama pinjaman terjadi dengan
menggunakan ungkapan kalimat atau dengan perbuatan yang menunjukkan izin
penggunaan barang. Kedua orang yang memberi pinjaman harus memenuhi
persyaratan sebagai orang yang cakap berbuat kebajikan.
37
Ketiga barang yang
dipinjamkan memiliki manfaat. Keempat barang tersebut memiliki karakter
lestari. Kelima digunakan untuk hal-hal yang diizinkan oleh syariat (mubah).
Dan keenam tidak boleh dipinjamkan lagi pada orang lain tanpa meminta izin
terlebih dahulu kepada pemiliknya. Imam Abu Hanifah dan Malik membolehkan
peminjam meminjamkan barang pinjamannya kepada orang lain tanpa meminta
izin terlebih dahulu kepada pemiliknya apabila digunakan dalam hal yang sama.
Ulama Hanabilah memandang bahwa barang pinjaman boleh digunakan
langsung oleh peminjam sendiri dan boleh digunakan oleh orang lain yang
bertindak atas namanya, tetapi tidak boleh dipinjamkan kepada orang lain atau
disewakan tanpa seizin pemilik. Apabila dipinjamkan pada orang lain tanpa
seizin pemilik dan barangnya ternyata rusak, maka bagi pemiliknya boleh
meminta ganti rugi kepada peminjam pertama atau peminjam kedua, karena
kedua-duanya bertanggung jawab atas kerusakan barang tersebut.
38

6. Pemberian sepanjang hidup (Umra)
Pemberian sepanjang hidup (umra) termasuk salah satu bentuk hibah,
yaitu hibah yang diberikan dengan ketentuan selama hidup pemberinya atau
penerimanya.
39
Disebut umra karena pemberian tersebut dikaitkan dengan
umur, baik umur pemberi maupun umur penerima. Transaksi umra
dilaksanakan dengan menggunakan kalimat yang dikaitkan dengan umur,
misalnya :rumah ini saya berikan kepadamu selama saya hidup atau selama
engkau hidup. Landasan tekstual yang mengatur umra tampak simpang siur, di
satu sisi membolehkan dan di sisi lain tidak memblehkan sehingga menimbulkan
kontroversi. Sejumlah besar ahli fikih membolehkan dan sebagian lainnya tidak
membolehkan. Ulama yang membolehkan umra berpedoman pada hadits
riwayat Abu Dawud dan Al-Turmudzi bahwa Nabi bersabda :

37
Yaitu, orang yang sudah dewasa, berakal sehat, tidak terpaksa, dan tidak berada dalam
pengampuan.
38
Sayid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, juz III, hlm. 232
39
Ibid, hlm. 399; Ibnai Qudamah, Al-Mughni wa Syarh al-Kabir, juz VI, hlm. 334-335
-
Artinya :Umra adalah boleh bagi orang yang biasa melakukannya
Sedangkan ulama yang tidak membolehkan berpedoman pada hadits,
seperti yang dikutip Ibnu Qudamah, sebagai berikut :

Artinya :Janganlah kalian memberi umra...


Ada hadits lain yang menguatkan hadits tersebut, yaitu hadits dari Jabir
bahwa Nabi memberikan petunjuk praktik umra sebagai berikut :

Artinya :Jagalah harta-harta kalian, dan janganlah kalian merusaknya,


sesuangguhnya orang yang memberikan umra, barangnya menjadi
milik penerima umra, baik ia masih hidup atau sudah mati,
kemudian menjadi milik keturunannya.
Umra adalah salah satu tradisi bangsa Arab yang berlaku sebelum Islam,
kemudian Islam datang untuk memperbaiki tradisi tersebut. Apabila dilihat dari
segi manfaatnya, umra merupakan amal sosial yang dapat membantu
peningkatan kesejahteraan masyarakat. Dengan adanya manfaat ini umra dapat
diakomodir sebagai salah satu bentuk amal yang dianjurkan. Akan tetapi dilihat
dari kenyataan di masyarakat, tradisi umra sering menimbulkan konflik, bahkan
perpecahan di kalangan kelaurga, baik keluarga pemberi maupun keluarga
penerima. Dengan demikian tradisi tersebut tidak dapat diakomodir sebagai
bagian dari syariat yang justru mengatur terwujudnya kedamaian dan kerukunan
keluarga (shilah al-arham). Kasusnya pernah terjadi di masa Nabi, seorang
sahabat Ansor memberikan sebuah kebun kurma kepada ibu kandungnya selama
hidup (pemberian umra), kemudian ibunya meninggal dan anak-anaknya
menuntut hak waris, sementara anak yang memberi umra menyatakan
keberatan. Perkara tersebut akhirnya diajukan kepada Nabi, dan Nabi
memenangkan para penggugat dengan menetapkan pembagian waris kepada
anak-anaknya sesuai dengan haknya masing-masing.
40
Berdasarkan keputusan
Nabi ini Jabir bin Abdullah, Ibnu Umar, Ibnu Abbas, Syuraih, Mujahid, Thawus,
Al-Tsauri, Asy-Syafiie dan aliran Rasional (shahib al-rayi) berpendapat bahwa
pemberian umra mengakibatkan perpindahan hak milik dari pemberi kepada
penerima secara mutlak. Tetapi menurut Imam Malik dan Al-Laits pemberian
umra hanya menyangkut manfaatnya, tidak termasuk bendanya. Apabila
pemberian umra berupa sebuah rumah, maka penerimanya hanya berhak untuk
menempati, bukan memiliki rumahnya, dan apabila penerimanya telah
meninggal, maka rumah tersebut dikuasai kembali oleh pemiliknya. Namun
apabila dalam transaksinya menyebutkan :untukmu dan untuk keturunanmu,
maka pemberian umra menjadi hak penerima turun temurun sesuai dengan
ucapannya itu, dan apabila di kemudian hari nanti keturunannya tidak ada, maka
rumah tersebut tetap kembali kepada keluarga pemberi umra. Al-Qasim bin
Muhammad mendukung pendapat ini dan mengajukan argumen bahwa
sesungguhnya yang berlaku di masyarakat adalah apa yang mereka syaratkan,
baik dalam transaksi bisnis maupun sosial. Ibrahim bin Ishaq mengemukakan
ada beberapa tradisi masyarakat Arab yang direcepsi menjadi hukum yang
berlaku (urf) yaitu : umra, ruqba, afqar (memberikan unta kepada orang lain
untuk digunakan sebagai angkutan),
41
akhbal (memberikan unta kepada orang
lain untuk dicukur dan dimanfaatkan bulunya atau untuk dikendarai kemudian
dikembalikan),
42
minhah (memberikan unta atau domba kepada orang lain
untuk diperah air susunya selama beberapa hari atau beberapa bulan atau
memberikan ladang untuk digarap beberapa musim kemudian dikembalikan),
43

ariyyah (memberikan pohon kurma untuk diambil buahnya selama satu musim
atau lebih, atau melelangkan kebun kurma dengan menyisakan beberapa batang
untuk diambil buahnya selama satu musim),
44
iarah, al-sukna (memberikan
rumah kepada orang lain untuk ditempati tanpa sewa),
45
dan al-ithraq

40
Al-Nawawi, Kitab Al-Majmu, juz XVI, hlm. 367
41
Ibnu Mandhur, Lisan al-Arab, juz 10, hlm. 301
42
Ibid, juz 4, hlm. 20
43
Ibid, juz 13, hlm. 192
44
Ibid, juz 9, hlm. 180
45
Ibid, juz 6, hlm. 312
(memberikan tempat peristirahatan),
46
semuanya itu hanya memberikan
manfaatnya, bukan memberikan bendanya sehingga pihak penerima hanya
menikmati manfaatnya saja sesuai dengan penjanjian yang mereka lakukan.
47

7. Pemberian bersyarat kematian (Ruqba)
Pemberian bersyarat kematian (ruqba) adalah salah satu bentuk hibah
seperti halnya umra, tetapi ruqba mensyaratkan siapa diantara penerima dan
pemberi yang meninggal lebih dahulu, maka yang meninggal kemudian
mendapatkan benda yang diberikan untuk selama-lamanya. Misalnya seseorang
memberikan sebuah rumah kepada orang lain dengan syarat bahwa :rumah ini
aku berikan kepadamu, tetapi apabila kamu mati lebih dahulu, maka rumah ini
kembali menjadi milikku, dan apabila aku mati lebih dahulu, maka rumah ini
menjadi milikmu untuk selamanya. Abu Ubaid menjelaskan, seperti dikutip
Ibnu Mandhur dalam Lisan al-Arab, bahwa kata ruqba berasal dari muraqabah
yang artinya saling mengintai siapa yang meninggal lebih dahulu dari keduanya,
karena harta ruqba akan menjadi milik orang yang meninggal kemudian untuk
selama-lamanya.
48

Ruqba adalah salah satu tradisi masyarakat Arab yang dilakukan dengan
tujuan untuk menghormati atau mengistimewakan seseorang sehingga yang
bersangkutan mendapatkan hak untuk menikmati sesuatu itu selama hidupnya.
Ulama fikih tidak sepakat mengenai hukumnya, sebagian mereka
memandangnya sebagai hibah yang mengikat sesuai dengan persyaratan yang
diucapkan, dan sebagian yang lain memandangnya hanya sebagai pinjaman yang
sewaktu-waktu dapat diambil kembali. Sebagian ulama Malikiyah memandang
ruqba sebagai wakaf dan sebagian lagi memandangnya sebagai pinjaman, sama
seperti pandangan sebagian ulama Hanafiyah. Al-Zuhri berpendapat lain, ia
mengatakan bahwa ruqba hukumnya sama dengan wasiat mengingat pernyataan
yang diucapkan apabila aku meninggal (lebih dahulu) maka rumah ini untuk
kamu. Dengan demikian ketentuan ruqba diserahkan kepada ahli waris,apakah
diteruskan atau dibatalkan. Dari perbedaan pandangan ahli fikih ini

46
Ibid, juz 8, hlm. 153
47
Ibnai Qudamah, Al-Mughni, juz VI, hlm. 336-337
48
Ibnu Mandhur, Lisan al-Arab, juz V, hlm. 280
mengakibatkan timbulnya persoalan apakah ruqba diperbolehkan atau tidak.
Imam Al-Hasan, Malik bin Anas dan Abu Hanifah tidak membolehkan ruqba,
49

sedangkan Imam Ahmad bin Hanbal dan Asy-Syafiie membolehkannya
sebagaimana mereka membolehkan umra.
50
Ulama yang membolehkan ruqba
berpedoman pada petunjuk Nabi :

Artinya :Ruqba boleh bagi orang yang sudah terbiasa(HR Abu Dawud & Al-
Turmudzi)
Sedangkan ulama yang tidak membolehkannya berpedoman pada
petunjuk hadits berikut :

Artinya :Bahwasanya Nabi SAW membolehkan umra dan membatalkan uqba
Imam Ahmad mengingkari hadits ini dan memandang tidak dapat
dijadikan landasan hukum dengan alasan bahwa hadits ini tidak dikenal di
kalangan muhadditsin.
51

Untuk menyikapi praktik umra dan ruqba yang mejadi perdebatan para
ulama ini, Al-Nawawi mengajukan tiga alternatip, yaitu : apabila seseorang
menyatakan : rumah ini aku berikan kepadamu sebagai umra tanpa dibatasi
hari atau bulannya, maka hukumnya sama dengan pemberian lepas (hibah).
Apabila seseorang menyatakan : rumah ini aku berikan selama hidupmu, dan
apabila kamu mati, rumah ini aku minta kembali, maka sama dengan pinjaman
terbatas yang akan kembali dengan sendirinya apabila penerimanya telah
meninggal. Dan apabila seseorang menyatakan :rumah ini untukmu dan untuk
keturunanmu sesudah kamu, maka menurut sejumlah besar ulama hukumnya
sama dengan pemberian lepas (hibah), tetapi menurut Imam Malik hukumnya
sama dengan wakaf, dan apabila yang bersangkutan telah mennggal, rumah
tersebut kembali menjadi milik pemberi.
52

8. Pembebasan budak (al-itq)

49
Al-Nawawi, Kitab Al-Majmu, juz XVI, hlm. 368
50
Sayid Sabiq, Fqh al-Sunnah, juz III, hlm. 401
51
An-Nawawi, Kitab al-Majmujuz XVI, hlm. 368
52
Al-Nawawi, Kitab Al-Majmu, juz XIV, hlm. 366-367
Al-itq artinya bebas atau merdeka (al-huriyah), lawannya abd artinya
perhambaan atau hamba sahaya (al-mamluk). Menurut Imam Sibawaih, seperti
dikutip Ibnu Mandhur, kata abd asalnya kata sifat : mengabdi, taat, dan
merendahkan diri, kemudian digunakan sebagai nama bagi orang yang memiliki
sifat-sifat : dapat dihibahkan, dapat dijual, dan sebagainya karena ada
persamaan dalam hal penghambaan tersebut.
53
Dalam istilah teknis, seperti
dikemukakan Al-Shanani, itq adalah penghapusan status pemilikan terhadap
seorang hamba (budak) dengan tujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah.
54

Pembebasan budak (al-itq) dala syariat Islam merupakan amal yang terpuji dan
sangat dianjurkan.
55
Ayat Alquran dan hadits yang mendorong agar kaum
muslim suka membebaskan budak, antara lain QS. Al-Balad, 90 : 8 sebagai
berikut :

Artinya :Bebaskanlah budak


Berdasarkan ayat ini, ulama fikih memandang bahwa membebaskan
budak, termasuk memberi bantuan kepada budak-budak yang dijanjikan oleh
tuannya untuk dimerdekakan dengan cara menyicil harganya merupakan salah
satu amal kebajikan yang dianjurkan, dan sahabat Nabi banyak yang terdorong
hatinya untuk melaksanakan amal ersebut.
Abu Hurairah menuturkan bahwa Nabi bersabda :
-

Artinya :Setiap orang muslim yang membebaskan perbudakan terhadap
seorang muslim, maka Allah akan menylamatkan untuk setiap
anggotanya dari api neraka (HR Bukhari Muslim)
Hadits ini memberikan motivasi terhadap kaum muslim agar suka
membebaskan budak. Sahabat Nabi makin terdorong untuk melaksanakan amal
tersebut dengan harapan dirinya akan dibebaskan dari api neraka. Al-Shanani

53
Ibnu Mandhur, Lisan al-Arab, juz 9, hlm. 10
54
Al-Shanani, Muhammad bin Ismail, Subul al-Salam (T.Tp, Dar al-Fikr,Tt.), juz III, hlm. 138
55
Al-Nawawi, Kitab al-Majmu, juz XVI, hlm. 513
mencatat praktik pembebasan budak yang dilakukan para sahabat karena
terdorong oleh keyakinan tersebut. Nabi memberikan contoh membebaskan
budak sebanyak 63 orang, kemudian Siti Aisyah 67 orang, Abbas bin Abdul
Muthalib 70 orang, Utsman bin Affan sedikitnya 20 orang, Hakim bin Hizam 100
orang, Abdullah bin Umar 1000 orang,
56
Dzu al-Kila al-Hairi membebaskan
budak dalam satu hari 8000 orang, Abdurrahman bin Auf sebanyak 30.000
orang, dan Abu Bakar Siddiq membebaskan budak belian dalam jumlah yang
besar.
57
Dari kalangan tabiin tercatat Ali bin al-Husain membeli seorang budak
dari Abdullah bin Jafar harganya mencapai 10.000 dirham atau sama dengan
1000 dinar kemudian dibebaskan dengan tujuan karena Allah semata-mata.
58

Dan masih banyak lagi sahabat Nabi dan tabiin yang melaksanakan praktik
pembebasan budak karena terdorong oleh keyakinan tersebut.
Adanya kata pembebasan yang disebutkan dalam hadits mengisyarakan
bahwa pelakunya adalah orang-orang yang berdosa dan berhak mendapatkan
siksa di neraka akibat dari maksiat yang mereka lakukan. Kemudian dibebaskan
dari api neraka sebagai imbalan dari amalnya membebaskan budak tersebut.
Lebih lanjut para ulama mempersoalkan mana yang lebih utama antara
membebaskan budak laki-laki dengan budak perempuan. Sebagian mereka
memandang bahwa membebaskan budak perempuan adalah lebih utama dari
pada membebaskan budak laki-laki dengan alasan karena budak perempuan
setelah dimerdekakan akan melahirkan keturunan orang-orang merdeka. Dan
sebagian lagi memandang lebih utama membebaskan budak laki-laki lebih utama
dengan alasan karena budak laki-laki setelah dimerdekakan akan dapat
mengerjakan pekerjaan-pekerjaan yang tidak dapat dikerjakan oleh kaum
perempuan seperti pekerjaan pembangunan yang berat, peradilan, persaksian
dan sebagainya.
59


56
Abdullah Ibnu Umar, termasuk sahabat yang kaya dan banyak amalnya, menurut catatan Al-
Shanani beliau membebaskan budak sebanak 1000 orang, umrah sebanyak 1000 kali, haji 60 kali, dan
wakaf kuda untuk kepentingan sabilillah sebanyak 1000 ekor.
57
Al-Shanani, Subul al-Salam, juz IV, hlm. 139
58
Al-Asqalani, Ahmad bin Ali bin Hajar, Fath al-Bari Syarah Shahih al-Bukhari ( Bairut, Dar al-
Fikr, Tt.), juz V, hlm. 446
59
Ibid
Pembebasan budak sebagai wujud dari keimanan dan ketundukkan
seseorang terhadap Islam seperti dilakkukan oleh para sahabat dan tabiin
tersebut diikuti oleh generasi-generasi berikutnya, baik suka rela maupun
sebagai kewajiban atas pelanggaran yang mereka lakukan sehingga akhirnya
perbudakan lenyap dan terhapus dari muka bumi. Al-Nawawi menggambarkan
kehidupan masyarakat sebelum Islam, bahwa perbudakan merupakan bagian
dari kehidupan masyarakat dan merupakan budaya yang diwarisi turun temurun.
Semua pekerjaan di berbagai sektor produksi, industri, dan perdagangan saat itu
sangat bergantung kepada budak. Dengan demikian terjadinya jual beli budak
yang sangat ramai di masyarakat adalah karena faktor kebutuhan dalam
pengadaan tenaga kerja yang sangat dominan. Masyarakat tidak dapat
mengerjakan pertanian, perkebunan, peternakan, perdagangan dan pekerjaan-
pekerjaan lainnya kecuali dengan tenaga budak tersebut. Undang-undang
Romawi, kata Al-Nawawi, sebagai negara adikuasa saat itu sangat
mempertahankan eksistensi budak dan perbudakan. Apabila terjadi pelanggaran
yang dilakukan oleh masyarakat, dijatuhi hukuman penjara atau hukuman dera
atau dijadikan sebagai budak (kerja paksa) sehingga perbudakan mempunyai
bentuk dan cara yang bermacam-macam. Demikian ini bukan hanya berlaku di
negara Romawi, tetapi juga di Persia, Arabia, dan di nedara-negara Barat dan
Timur semuanya sama. Kemudian Islam datang membebaskan mereka dari
belenggu perbudakan serta menempatkannya pada posisi yang sejajar dengan
manusia-manusia lainnya.
60
A.Rahman Ritonga dkk menjelaskan sekurangnya
ada lima hal yang pokok dalam Islam memposisikan budak sejajar dengan
manusia lainnya. Pertama berupa anjuran agar kaum muslim berbuat baik
kepada hamba sahayanya sebagaimana mereka berbuat baik kepada kedua orang
tuanya, kerabatnya, anak yatim piatu, orang-orang miskin, tetangga dekat, dan
tetangga jauh (QS, An-Nisa, 4 : 36). Kedua Nabi melarang memanggil budaknya
dengan panggilan hai budakku atau hai hambaku, tetapi memanggilnya hai
pemudaku atau remajaku (HR Muslim). Ketiga makanan, pakaian dan tempat
tinggal budak agar diperlakukan sama dengan keluarga tuannya. Keempat

60
Al-Nawawi, Kitab Al-Majmu, juz XVI, hlm. 511
dilarang untuk menganiaya atau menyakiti budak. Kelima dianjurkan kepada
pemilik budak (tuannya) untuk mendidik dan mengajari ilmu kepada budak (HR
Abu Dawud). Adapun mengenai langkah-langkah yang ditempuh oleh Islam
dalam membebaskan budak ialah : pertama menganjurkan kaum muslim untuk
membebaskan budak dengan janji akan mendapat pembebasan dari api neraka
seperti keterangan di atas. Kedua menetapkan sanksi berbagai pelanggaran dan
kejahatan (mencampuri isteri di hari ramadhan, melanggar sumpah, dhihar,
pembunuhan tidak sengaja, dan sebagainya) dihukum dengan pembebasan
budak. Ketiga memerintahkan kepada tuannya agar memberikan kesempatan
kepada budak untuk menebus dirinya dengan cara menyicil (mukatabah).
61

Adapun persyaratan yang diperlukan dalam praktik membebaskan budak
(al-itq) sama dengan persyaratan dalam praktik amal sosial lainnya. Pertama
pelakunya orang yang dipandang cakap untuk melakukan perbuatan hukum
(muthlaq al-tasharruf), yakni : sudah dewasa, berakal sehat, tidak sakit keras,
hak milik penuh, tidak tenggelam hutang, dan tidak berada di bawah
pengampuan. Orang-orang yang tidak memenuhi persyaratan tersebut
dipandang tidak sah membebaskan budak. Kedua menggunakan pernyataan
yang tegas seperti saya bebaskan atau saya merdekakan, dan boleh
menggunakan kalimat yang tidak tegas (kinayah) seperti kamu sudah saya
lepas atau saya sudah tidak berkuasa lagi atas dirimu, dan sebagainya, tetapi
karena ungkapan kalimat tersebut tidak tegas, diperlukan niat untuk
menunjukkan keseriusannya.
62
Selanjutnya perlu dijelaskan bahwa ada praktik
pembebasan budak dengan cara memberikan kesempatan kepada pihak budak
untuk menebus dirinya dengan menyicil (mukatabah). Menurut Ibnu Abidin
praktik pembebasan budak dengan cara ini harus dilakkukan melalui transaksi
(ijab dan kabul) yang jelas dan menggunakan kalimat yang mengandung
pengertian pembebasan dan cara-cara pembayarannya. Ibnu Abidin memberikan
penjelasan bahwa isi perjanjian mukatabah sekurang-kurangnya memuat jumlah
uang tebusan dan cara-cara menyicilnya, apakah harus dicicil perbulan atau bisa

61
A.Rahman Ritonga dkk, Ensiklopedi Hukum Islam (Jakarta, PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996),
jilid I, hlm. 222-223
62
Al-Syairazie, Al-Muhadzdzab, juz II, hlm. 2
sekaligus, karena mungkin saja budak tersebut mendapat uang dari orang lain
yang dapat digunakan untuk menebus dirinya.
Praktik wakaf sering disebut-sebut oleh para ulama sebagai amal yang
sama dengan praktik pembebasan budak. Titik persamaannya adalah bahwa
keduanya merupakan perbuatan hukum yang bersifat melepaskan hak dan
dilaksanakan tanpa pamrih, kecuali mencapai ridha Allah seperti disebutkan di
atas. Oleh karena itu sebagian ulama memandang baik wakaf maupun
pembebasan budak merupakan perbuatan sepihak karena pihak keduanya adalah
Allah. Artinya transaksi tersebut tidak memerlukan pihak kedua sebagai
penerima sebagaimana transaksi-transaksi lainnya karena tidak ada pihak
keduanya kecuali Allah. Tetapi ulama lain memandangnya sebagai transaksi
perdata seperti jual beli, sewa menyewa, dan sebagainya sehingga memerlukan
pihak penerima, alasannya karena dalam wakaf ada pihak yang memperoleh
manfaat atau menikmati hasil-hasilnya, yaitu mauquf alaih.

Banyaklah amal kebajikan selain wakaf tetapi mempunyai tujuan yang sama
dengan wakaf yang dipraktikkan kaum muslim semenjak masa Nabi hingga sekarang.
Yaitu infak wajib atau pemberian wajib (zakat), pemberian suka rela (hibah), pemberian
berlatar belakang akhirat (shadaqah), pemberian berlatar belakang prestasi (hadiyah),
pemberian selama hidup (umra), pemberian bersyarat (uqba), pemberian manfaat
sementara (ariyah) dan sebagainya. Praktik wakaf ditinjau dari berbagai aspeknya
mengandung perbedaan-perbedaan dengan amal-amal kebajikan tersebut akan tetapi
ditinjau dari tujuannya adalah sama yaitu memberikan bantuan suka rela sebagai
ekspresi dari rasa cinta dan kasih sayang (al-taawun ala al-birr wa al-taqwa).
Praktik wakaf dilihat dari aspek transaksinya yang bersifat melepaskan hak sama
dengan jual beli, akan tetapi dilihat dari aspek bahwa wakaf merupakan pemberian
tanpa imbalan sama dengan hibah, atau dilihat dari aspek manfaatnya yang diserahkan
tanpa bendanya sama dengan pinjaman, dan apabila dilihat dari tujuan serta sasarannya
yang diberikan kepada fakir miskin dan orang-orang yang sangat membutuhkan
pertolongan sama dengan zakat dan sedekah. Berikut ini dijelaskan amal-amal kebajikan
yang serupa dengan wakaf sekedar untuk mengetahui perbedaan dan persamaannya.
1. zakat
Zakat (pemberian wajib atau infak wajib) dalam istilah teknis adalah harta
seseorang yang wajib diberikan kepada fakir miskin dan orang-orang yang sangat
membutuhkan dengan tujuan untuk melaksanakan perintah Allah.
63
Zakat dalam
syariat Islam mempunyai posisi yang sangat strategis, karena selain sebagai bukti
ketaatan kepada Allah (hablun min Allah) juga sebagai bukti kepedulian terhadap
sesama manusia (hablun min al-Naas). Para ahli hukum ketatanegaraan Islam seperti
Abu Ubaid (w. 224 H) dan Imam Al-Mawardi (370-450 H) memandang zakat sebagai
sumber keuangan publik yang sangat dominan di samping pajak (al-jizyah).
64
Artinya
zakat dan pajak merukan sumber keuangan negara yang sangat dominan, zakat dipungut
dari kaum muslim sedangkan pajak dipungut dari kaum non muslim, kedua-duanya
menjadi sumber keuangan negara yang pokok. Zakat dikenakan terhadap seluruh
komoditas dan sumber-sumber ekonomi sementara pajak dikenakan terhadap seluruh
warga negara non muslim (al-jizyah) dan kekyaannya (al-kharaj).
Perbedaan yang mendasar antara zakat dan wakaf adalah terkait dengan pesan
hukum yang memberlakukan keduanya, perintah zakat sangat tegas disertai dengan
sanksi atau ancaman bagi barang siapa yang tidak taat melaksanakan perintah tersebut,
sedangkan wakaf, sebagaimana dikemukakan di atas, hanya bersifat anjuran. Perbedaan
yang lain adalah menyangkut pengelolaan, pada pengelolan zakat (amil) lebih bersifat
temporer, karena tugas utamanya adalah mengumpulkan dan menyalurkan, sedangkan
pengelola wakaf (nadzir) lebih bersifat permanen, karena tugas pokoknya memelihara,
memberdayakan, dan menyalurkan hasilnya sehingga dapat memberikan manfaat yang
lestari dan optimal. Selain dari pada itu, obyek zakat seperti dijelaskan dalam QS Al-
Baqarah, 2 : 267
65
menyangkut penghasilan dan jasa (ma kasabtum) dan produksi (ma
akhrajna lakum min al-ardh), sedangkan obyek wakaf menyangkut benda, bukan
penghasilan atau manfaatnya. Dan dilihat dari sasarannya, zakat lebih sepesifik seperti
dijelaskan dalam QS At-Taubah, 9 : 60
66
meliputi fakir, miskin, amil, muallaf, riqab,
gharim, sabilillah, dan ibnu sabil, sedangkan wakaf lebih fleksibel, meliputi berbagai
kebajikan (al-birr) dan kebaikan (al-maruf).
2. Hibah

63
Sayid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, juz I, hlm. 276
64
Lihat : Abu Ubaid, Al-Qasim Ibnu Salam, Kitab al-Amwal (Bairut, Darr al-Kutub al-Ilmyah, 1986),
hlm. 359; dan Al-Mawardi, Al-Ahkam Al-Sulthaniyah (Bairut, Darr al-Kitab al-Arabi, 1999), hlm. 202
65
Teks ayatnya berbunyi :
66
Teks ayatnya berbunyi :

Hibah (pemberian suka rela) dalam istilah teknis ialah pemberian lepas yang
dilaksanakan secara suka rela, tanpa paksaan. Sayid Sabiq mendefinisikan hibah adalah
suatu transaksi yang bersifat memindahkan hak milik kepada orang lain tanpa imbalan
yang dilaksanakan sewaktu hidup.
67
Dengan definisi ini hibah menyerupai wakaf dalam
hal melepaskan hak milik dan menyerahkannya kepada orang lain tanpa imbalan.
Perbedaannya dalam penyerahan hibah meliputi benda dan manfaatnya sedangkan
wakaf hanya manfaat atau hasilnya saja. Ditegaskan dengan kata tanpa imbalan untuk
membedakannya dengan transaksi-transaksi yang bersifat komersial, sedangkan
penegasan kalimat dilaksanakan sewaktu hidup untuk membedakannya dengan
wasiat.
3. Hadiyah
Hadiyah (pemberian berlatar belakang prestasi) bahasa Arab yang telah diadopsi
menjadi bahasa Indonesia hadiah artinya pemberian atau ganjaran bagi pemenang
suatu perlombaan atau pertandingan. Ungkapan kalimat hadiah kerja, artinya
pemberian kepada pekerja yang berprestasi, hadiah lebaran, artinya pemberian kepada
para pegawai dan pekerja menjelang hari Raya, dan hadiah penghibur, artinya
pemberian kepada peserta perlombaan atau pertandingan yang hampir menang, seperti
hadiah yang diberikan kepada juara harapan I dan juara harapan II dan seterusnya,
mereka belum memenuhi persyaratan menjadi juara, tetapi nilainya hampir mendekati
kriteria juara.
68

Dalam istilah teknis hadiah adalah suatu pemberian yang berlatar belakang
duniawi, seperti keinginan untuk memberikan penghormatan kepada seseorang atau
untuk menjalin hubungan kasih sayang atau ingin mendapat perhatian dan bahkan bisa
berlatar belakang politik seperti kasus pemberian Ratu Balqis kepada Nabi Sulaiman
yang dikisahkan dalam Alquran.
69
Hadiah dipandang sama dengan wakaf karena
kedudukannya sebagai anjuran (sunnah), bukan sebagai kewajiban, dan dilihat dari
transaksinya bersifat melepaskan hak yang tanpa imbalan (suka rela).
4. Shadaqah
Shadaqah (pemberian yang berlatar belakang akhirat) dalam istilah teknis,
adalah suatu transaksi memindahkan hak milik (tamlik) kepada orang lain yang
membutuhkan tanpa imbalan materi dengan tujuan untuk mendekatkan diri kepada

67
Sayid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, juz III, hlm. 388
68
W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia (Jakarta, PT Balai Pustaka, 1976),hlm.
337-338
69
Wahbah Zuhaili, Al-Tafsir al-Munir, juz XIX, hlm. 293-294
Allah. Amal ini sangat dianjurkan dan dipandangnya sebagai amal sunah seperti halnya
hibah dan hadiah. Beberapa ulama seperti Imam Malik dan Abu Tsaur berpendapat
bahwa hibah dan sedekah sama dengan wakaf karena semuanya merupakan pelepasan
hak tanpa imbalan yang tujuannya untuk mendekatkan diri kepada Allah.
5. Ariyah
Al-Ariyah (pinjaman) dalam istilah teknis menunjuk pada pinjaman barang
bukan pinjaman uang. Pinjaman uang apabila bersifat komersial disebut qardh
70
dan
yang non komersial disebut dain.
71
Ulama Hanafiyah mendefinisikan pinjaman adalah
pemberian manfaat (tanpa bendanya dan) tanpa imbalan,
72
atau pemberian izin
penggunaan barang kepada orang lain.
73
Ulama Syafiiyah mendefinisikan pinjaman
adalah transaksi yang mengandung perizinan untuk menggunakan manfaat barang yang
memiliki karakter lestari dengan ketentuan akan dikembalikan setelah selesai
dipergunakan.
74
Ulama Malikiyah mendefinisikan bahwa pinjaman adalah pemberian
manfaat (tanpa bendanya) tanpa imbalan untuk sementara waktu.
75
Sedangkan ulama
Hanabilah mendefinisikan bahwa pinjaman adalah izin penggunaan manfaat benda dari
pemiliknya kepada orang lain tanpa imbalan.
76
Dari ungkapan kalimat yang berbeda-
beda tersebut intinya adalah sama, yaitu merupakan transaksi pemberian manfaat
benda kepada orang lain tanpa imbalan materi. Batasan tersebut menyiratkan makna
yang hampir menyerupai wakaf, mengingat wakaf menurut ulama Hanafiyah adalah
menahan benda dalam milik wakif dan memberikan manfaatnya kepada orang lain
(habs al-ain ala milk al-wakif wa al-tashadduq bi al-manfaah).
77
Atas dasar ini, Abu
Hanifah memandang bahwa wakaf sama dengan pinjaman.
78
Perbedaan yang prinsip
antara wakaf dengan pinjaman dalam pandangan Abu Hanifah adalah menyangkut
obyeknya. Transaksi wakaf obyeknya berupa benda tidak bergerak sedangkan pinjaman
obyeknya berupa benda-benda bergerak. Sedangkan persamaannya adalah keduanya

70
Dain adalah transaksi yang tidak tunai (terhutang), lihat : Ibnu Mandhur, Lisan al-Arab, juz 11, hlm.
112
71
Ibnu Mandzur, Lisan al-Arab, juz 4, hlm. 459
72
Apabila pemberian izin penggunaan manfaat tersebut memperoleh imbalan disebut sewa (al-
ijarah)
73
Syamsuddin Ahmad bin Qaudur, Takmilah Fath al-Qadir, Nataij al-Afkar, juz IX, hlm.3
74
Al-Ramli, Nihayah al-Muhtaj, juz V, hlm. 117
75
Adil Ahmad Abdul Maujud, Syaikh & Ali Muhammad Muawwadh, Syaikh, Taliq Radd al-
Mukhtar, juz VIII, hlm. 473
76
Sayid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, juz III, hlm. 232
77
Al-Ramli, Nihayah al-Muhtaj, juz V, hlm. 117
77
Adil Ahmad Abdul Maujud, Syaikh & Ali Muhammad Muawwadh, Syaikh, Taliq Radd al-
Mukhtar, juz VI, hlm. 518-519
78
Ibnu al-Humam al-Hanafi, Syarah Fath al-Qadir, juz VI, hlm. 190
merupakan pemberian manfaat benda, bukan pembrian bendanya kepada orang lain
dengan cuma-cuma dan sewaktu-waktu pemiliknya dapat mengambilnya kembali
apabila diperlukan.
6. Umra
Umra (pemberian sepanjang hidup) adalah salah satu bentuk hibah yang berlaku
pada masyarakat Arab. Yaitu suatu pemberian yang berlaku selama hidup pemberi atau
penerimanya.
79
Disebut umra karena pemberiannya dikaitkan dengan umur, baik umur
pemberi maupun umur penerima. Transaksi umra dilaksanakan dengan menggunakan
kalimat yang dikaitkan dengan umur, misalnya :rumah ini saya berikan kepadamu
selama saya hidup atau selama kamu hidup.
Umra sebagaimana telah disebutkan adalah salah satu tradisi bangsa Arab yang
berlaku sebelum Islam, kemudian Islam datang untuk memperbaiki tradisi tersebut.
Ibrahim bin Ishaq mengemukakan ada beberapa tradisi masyarakat Arab yang direcepsi
menjadi hukum yang berlaku (urf) yaitu : umra, ruqba, afqar (memberikan unta kepada
orang lain untuk digunakan sebagai angkutan),
80
akhbal (memberikan unta kepada
orang lain untuk dicukur dan dimanfaatkan bulunya atau untuk dikendarai kemudian
dikembalikan),
81
minhah (memberikan unta atau domba kepada orang lain untuk
diperah air susunya selama beberapa hari atau beberapa bulan atau memberikan ladang
untuk digarap beberapa musim kemudian dikembalikan),
82
ariyyah (memberikan
pohon kurma untuk diambil buahnya selama satu musim atau lebih, atau melelangkan
kebun kurma dengan menyisakan beberapa batang untuk diambil buahnya selama satu
musim),
83
iarah, al-sukna (memberikan rumah kepada orang lain untuk ditempati
tanpa sewa),
84
dan al-ithraq (memberikan tempat peristirahatan),
85
semuanya itu hanya
memberikan manfaatnya, bukan memberikan bendanya sehingga pihak penerima hanya
menikmati manfaatnya saja sesuai dengan penjanjian yang mereka lakukan.
86
Dari sisi
ini apabila lahir sebuah gagasan yang mengakomodir wakaf-wakaf musya dan muaqqot
niscaya semuan pemberian manfaat tersebut dapat diklim sebagai wakaf.
7. Ruqba

79
Ibnai Qudamah, Al-Mughni wa Syarh al-Kabir, juz VI, hlm. 334-335
80
Ibnu Mandhur, Lisan al-Arab, juz 10, hlm. 301
81
Ibnu Mandhur, Lisan al-Arab, juz 4, hlm. 20
82
Ibnu Mandhur, Lisan al-Arab, juz 13, hlm. 192
83
Ibnu Mandhur, Lisan al-Arab, juz 9, hlm. 180
84
Ibnu Mandhur, Lisan al-Arab, juz 6, hlm. 312
85
Ibnu Mandhur, Lisan al-Arab, juz 8, hlm. 153
86
Ibnai Qudamah, Al-Mughni, juz VI, hlm. 336-337
Ruqba (pemberian bersyarat kematian) adalah salah satu bentuk hibah seperti
halnya umra, tetapi ruqba mensyaratkan siapa diantara penerima dan pemberi yang
meninggal lebih dahulu, maka yang meninggal kemudian dapat menikmati untuk
selama-lamanya. Misalnya seorang memberikan sebuah rumah kepada orang lain
dengan syarat bahwa :rumah ini aku berikan kepadamu, tetapi apabila kamu mati lebih
dahulu, maka rumah ini kembali menjadi milikku, dan apabila aku mati lebih dahulu,
maka rumah ini menjadi milikmu untuk selamanya. Abu Ubaid menjelaskan, seperti
dikutip Ibnu Mandhur dalam Lisan al-Arab, bahwa kata ruqba berasal dari muraqabah
yang artinya saling mengintai siapa yang meninggal lebih dahulu dari keduanya, karena
harta ruqba akan menjadi milik orang yang meninggal kemudian untuk selama-lamanya.

87

Ruqba adalah salah satu tradisi masyarakat Arab yang dilakukan dengan tujuan
untuk menghormati atau mengistimewakan seseorang sehingga yang bersangkutan
mendapatkan hak untuk menikmati sesuatu itu selama hidupnya. Dilihat dari
transaksinya yang bersifat memindahkan hak manfaat kepada orang lain, sementara
bendanya masih belum diserahkan penuh maka ruqba menyerupai wakaf, tetapi apabila
dilihat dari persyaratan yang disandarkan pada kematian salah satunya, maka ruqba
menyerupai wasiat.



87
Ibnu Mandhur, Lisan al-Arab, juz V, hlm. 280

You might also like