Professional Documents
Culture Documents
Artinya : Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Alla tidak
menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran dan selalu berbuat dosa
QS Ar-Rum : 30: 39 :
Artinya : Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia
bertambahpada harta manusia, maka riba itu tidak menambah
pada sisi Allah. Dan apa yan kemu berikan berupa zakat yang
kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang
berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipatgandakan
(pahalanya)
QS Fushshilat, 41 : 6-7 :
-
Artinya : Dan kecelakaan yang besarlah bagi orang-orang yang
mempersekutukan-Nya, yaitu orang-orang yang tidak menunaikan
zakat dan mereka kafir akan adanya (kehidupan) akhirat
Hadits riwayat Al-Thabarani dari Jabir tentang manfaat zakat dapat menangkal
penyakit tanaman,
3
:
Artinya : Orang-orang yang memiliki emas dan perak dan tidak menunaikan
zakatnya pada hari kiamat disiapkan lempengan besi kemudian
dipanggang di atas neraka jahanam
Perbedaan yang mendasar antara wakaf dan zakat adalah pesan hukum
yang memberlakukan keduanya, perintah zakat sangat tegas disertai ancaman
bagi barang siapa yang tidak patuh menunaikan kewajiban tersebut, sedangkan
pada wakaf, sebagaimana dikemukakan di atas, hanya bersifat anjuran.
Perbedaan yang lain adalah menyangkut pengelolaan, pada pengelolan zakat
(amil) lebih bersifat temporer, karena tugas utamanya adalah mengumpulkan
dan menyalurkan, sedangkan pengelola wakaf (nadzir) lebih bersifat
kelembagaan (permanen), karena tugas pokoknya memelihara, memberdayakan,
dan menyalurkan sehingga dapat memberikan manfaat yang optimal dan terus
menerus. Selain dari pada itu, obyek zakat seperti dijelaskan dalam QS Al-
Baqarah, 2 : 267
5
menyangkut penghasilan jasa (ma kasabtum) dan produksi
(ma akhrajna lakum min al-ardh), sedangkan obyek wakaf menyangkut benda,
bukan penghasilan. Dan dilihat dari sasarannya, zakat lebih sepesifik seperti
dijelaskan dalam QS At-Taubah, 9 : 60
6
meliputi fakir, miskin, amil, muallaf,
riqab, gharim, sabilillah, dan ibnu sabil, sedangkan wakaf lebih fleksibel,
meliputi berbagai kebajikan (al-birr) dan kebaikan (al-maruf).
Apabila dipersoalkan mengapa ahli tata negara seperti Imam Abu Yusuf,
Imam Al-Mawardi dan Imam Abu Yala tidak memasukkan wakaf sebagai
sumber keuangan publik, padahal sejarah mencatat bahwa wakaf adalah sumber
keuangan umat yang potensial, jawabannya karena dana wakaf bersifat suka rela
(non budgeter), sedangkan zakat dan pajak merupakan pungutan wajib. Ulama
ahli fikih (fuqaha) menegaskan bahwa yang dimaksud sadakah dalam QS At-
5
Yaitu :
6
Yaitu :
Taubah ayat 103
7
yang mengatur adanya pungutan adalah zakat. Dengan
demikian ayat tersebut mengandung perintah kepada penyelenggara negara agar
memungut zakat dari harta yang dimiliki oleh masyarakat muslim secara umum.
Abu Bakar Shiddiq ketika menjabat kepala negara telah melaksanakan tugas ini
dengan tegas. Dalam intruksi yang diturunkan kepada para pelaksana di daerah,
Abu Bakar menegaskan: Demi Allah, seandainya ada orang yang tidak mau
menyerahkan unta (sebagai zakat) sebagaimana yang mereka serahkan kepada
Rasulullah, akan saya perangi mereka
8
. Perintah yang tegas sebagaimana
terdapat dalam intruksi zakat tidak ditemukan dalam wakaf sehingga wakaf tidak
dimasukan kedalam anggaran negara.
Pada umumnya zakat telah dipraktikkan oleh masyarakat muslim, termasuk
masyarakat muslim di Indonesia, baik zakat mal maupun zakat fitrah. Namun
pelaksanaannya belum dikelola secara modern sehingga belum optmal
meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Para pengelola zakat (amil) umumnya
hanya bertugas untuk menampung dan menyalurkan zakat secara tradisional dan
sifatnya lokal, bahkan masih banyak yang bersifat individual, masing-masing
muzaki menyalurkan zakatnya sendiri, tanpa melalui amil. Pada dekade 70-an
timbul kesadaran masyarakat untuk mengorganisir zakat. Saat itu perekonomian
umat mulai berkembang dan banyak kaum muslim yang memiliki rumah mewah
dengan berbagai fasilitas yang serba mahal, disamping masih banyak rakyat yang
miskin, hidup serba kekurangan. Adanya berbedaan nasib masyarakat yang
sangat mencolok ini menggugah para ulama dan tokoh masyarakat seperti
HAMKA, KH Syukri Ghazali, HM Saleh Suaedi, KH Muhammad Shadri, KH
Taufiqurrahman, Ustadz Ali Alhamidi, Ustadz Muchtar Lathif al-Anshari dan KH
Malik Ahmad untuk mengorganisir zakat. Di Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta,
Jawa Barat, Sulawesi Selatan, Aceh, Sumatra Barat dan beberapa desa di Jawa
Timur telah dirintis lahirnya lembaga-lembaga amil zakat (BAZ, BAZIS).
Lembaga-lembaga ini berhasil mengumpulkan dana zakat hingga ratusan juta
7
Yaitu : -
8
Wahbah, Tafsir al-Munir, juz 11, hal. 27
bahkan milyaran sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat
miskin.
9
Di Cirebon sejak tahun 1971/1972 telah dirintis oleh para ulama berdirinya
lembaga yang kemudian disebut Badan Amil Zakat. Di antara pendiri lembaga
tersebut KH Saleh Assegaf, Syarif Muhammad bin Yahya, KH Ali Kamali, KH
Anwar Kalitengah, KH Rumli Cholil Balerante, KH Abdullah Abas Buntet, K.
Yasin Gedongan dan lain-lainnya. Akan tetapi hingga saat ini BAZ Kabupaten
Cirebon belum mampu menghimpun dana zakat yang optimal dari masyarakat
muslim yang jumlahnya sangat besar. Penerimaan zakat fitrah saja hingga
sekarang belum mencapai 10% dari total penduduk muslim sebanyak 2 juta
orang. Pengurus BAZ selalu berusaha untuk mengoptimalkan pemungutan zakat
tetapi hasilnya belum memadai. Upaya untuk mengembangkan pungutan zakat
hingga mencapai calon Haji menimbulkan pro-kontra di kalangan ulama
sehingga yang masuk hanyalah infak. Zakat mal Kabupaten Cirebon baru
menjangkau zakat profesi, yaitu setelah diadakan mudzakarah terlebih dahulu
yang dilaksanakan kerja sama antara Depag, MUI dan BAZ Kabupaten Cirebon,
selanjutnya diantisipasi Surat Edaran Bupati yang ditujukan kepada kepala Dinas
dan Intansi kemudian ditindak lanjuti dengan pembentukan unit-unit
pengumpul zakat di lembaga dan intansi tersebut sehingga mendapat masukan
zakat mal yang semakin meningkat.
10
2. Pemberian suka rela (hibah)
Dalam istilah teknis pemberian suka rela (hibah) ialah pemberian lepas
yang dilaksanakan secara suka rela atau tanpa paksaan. Sayid Sabiq
mendefinisikan hibah adalah suatu transaksi yang bersifat memindahkan hak
milik kepada orang lain tanpa imbalan yang dilaksanakan sewaktu hidup.
11
Dengan definisi ini hibah menyerupai wakaf dalam hal melepaskan hak milik dan
menyerahkannya kepada orang lain tanpa imbalan. Perbedaannya dalam
penyerahan hibah meliputi benda dan manfaatnya sedangkan wakaf hanya
9
KHM Syukri Ghozali, dkk, Pedoman Zakat 9 Seri, (Proyek Pembinaan Zakat dan Wakaf, Depag Pusat,
Jakarta, 1985/1986), hal. 37-38
10
Sumber informasi : BAZ Kabupaten Cirebon, 24 Juli 2007
11
Sayid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, juz III, hlm. 388
manfaat atau hasilnya saja. Dalam definisi disebutkan tanpa imbalan, Sabiq
dalam hal ini menyamakan pelepasan hibah dengan transaksi-transaksi lainnya,
bedanya dalam hibah tidak ada imbalan. Selanjutnya dalam definisi itu
menyebutkan dilaksanakan sewaktu hidup, Sabiq bermaksud ingin
membedakan antara hibah dan wasiat, karena wasiat merupakan pemberian
yang pelaksanaannya ditangguhkan sesudah yang bersangkutan meninggal
dunia.
Wahbah Zuhaili memandang bahwa hibah sama dengan hadiah dan
sadakah, perbedaannya hanya dalam motif yang mendorong untuk
melaksanakannya. Apabila motifnya untuk mendekatkan diri kepada Allah
disebut sadakah, apabila motifnya untuk memberi penghargaan kepada
seseorang disebut hadiah, dan apabila tidak ada yang dominan dari kedua motif
tersebut adalah hibah.
12
Ibnu Abidin berpandangan lain dalam masalah yang
terkait dengan motif ini, menurutnya motif yang mendorong seseorang untuk
melaksanakan hibah adalah keinginan untuk memperoleh kebaikan dari pihak
penerima, baik bersifat duniawi, seperti imbalan materi atau jalinan kasih sayang
dan pujian, maupun bersifat ukhrawi. Abu Manshur, seperti dikemukakan Ibnu
Abidin, menegaskan bahwa setiap orang mukmin harus (wajib) mengajarkan
sifat-sifat dermawan kepada anak-anaknya seperti halnya mengajarkan tauhid
dan keimanan, alasannya karena mencintai dunia secara berlebihan adalah
pangkal kejahatan (hubb al-dunya rasu kulli khathiah).
13
Dengan pengajaran
sifat-sifat dermawan tersebut dapat diharapkan anak-anaknya menjadi baik,
suka beramal dan tidak bakhil akibat mencintai dunia yang berlebihan.
Syamsuddin Ahmad bin Qaudur memberikan penilaian yang tinggi terhadap
pembei hibah (wahib), menurut pandangannya karena Allah menyebut dirinya
Al-Wahhab artinya Dzat Yang Banyak Memberi, maka orang-orang yang suka
memberi berarti memiliki sifat-sifat yang terpuji seperti yang dimiliki .Allah
14
Banyaklah ayat Alquran dan hadits yang mendorong agar kaum muslim
suka memberi hibah, hadiah dan sadakah, diantaranya QS An-Nisa, 4 : 4 :
12
Wahbah, Al-Fiqh al-Islami, juz V, hlm. 5
13
Ibnu Abidin, Rdd al-Mukhtar, juz VIII, hlm. 489
14
Syamsuddin Ahmad Qaudur, Nataij al-Afkar Takmilah Syarah Fath al-Qadir (Bairut, Dar al-
Kutub al-Ilmiyah, 1995), juz IX, hlm. 19
Artinya : Kemudian apabila mereka menyerahkan kepada kamu sebagian
maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah)
pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya
Ayat ini menggambarkan kehidupan suami isteri yang harmonis, suaminya
memberikan maskawin sebagai kewajiban kepada isterinya, dan isterinya
memberikan apa yang sudah dimiliki itu kepada suaminya sebagai jalinan cinta
dan kasih sayang. Ulama fikih memandangnya sebagai landasan hukum
pemberian hibah, hadiah dan sadakah, karena didalamnya mengandung makna
anjuran.
QS Al-Baqarah, 2 : 177 :
Artinya :Ruqba boleh bagi orang yang sudah terbiasa(HR Abu Dawud & Al-
Turmudzi)
Sedangkan ulama yang tidak membolehkannya berpedoman pada
petunjuk hadits berikut :
Artinya :Bahwasanya Nabi SAW membolehkan umra dan membatalkan uqba
Imam Ahmad mengingkari hadits ini dan memandang tidak dapat
dijadikan landasan hukum dengan alasan bahwa hadits ini tidak dikenal di
kalangan muhadditsin.
51
Untuk menyikapi praktik umra dan ruqba yang mejadi perdebatan para
ulama ini, Al-Nawawi mengajukan tiga alternatip, yaitu : apabila seseorang
menyatakan : rumah ini aku berikan kepadamu sebagai umra tanpa dibatasi
hari atau bulannya, maka hukumnya sama dengan pemberian lepas (hibah).
Apabila seseorang menyatakan : rumah ini aku berikan selama hidupmu, dan
apabila kamu mati, rumah ini aku minta kembali, maka sama dengan pinjaman
terbatas yang akan kembali dengan sendirinya apabila penerimanya telah
meninggal. Dan apabila seseorang menyatakan :rumah ini untukmu dan untuk
keturunanmu sesudah kamu, maka menurut sejumlah besar ulama hukumnya
sama dengan pemberian lepas (hibah), tetapi menurut Imam Malik hukumnya
sama dengan wakaf, dan apabila yang bersangkutan telah mennggal, rumah
tersebut kembali menjadi milik pemberi.
52
8. Pembebasan budak (al-itq)
49
Al-Nawawi, Kitab Al-Majmu, juz XVI, hlm. 368
50
Sayid Sabiq, Fqh al-Sunnah, juz III, hlm. 401
51
An-Nawawi, Kitab al-Majmujuz XVI, hlm. 368
52
Al-Nawawi, Kitab Al-Majmu, juz XIV, hlm. 366-367
Al-itq artinya bebas atau merdeka (al-huriyah), lawannya abd artinya
perhambaan atau hamba sahaya (al-mamluk). Menurut Imam Sibawaih, seperti
dikutip Ibnu Mandhur, kata abd asalnya kata sifat : mengabdi, taat, dan
merendahkan diri, kemudian digunakan sebagai nama bagi orang yang memiliki
sifat-sifat : dapat dihibahkan, dapat dijual, dan sebagainya karena ada
persamaan dalam hal penghambaan tersebut.
53
Dalam istilah teknis, seperti
dikemukakan Al-Shanani, itq adalah penghapusan status pemilikan terhadap
seorang hamba (budak) dengan tujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah.
54
Pembebasan budak (al-itq) dala syariat Islam merupakan amal yang terpuji dan
sangat dianjurkan.
55
Ayat Alquran dan hadits yang mendorong agar kaum
muslim suka membebaskan budak, antara lain QS. Al-Balad, 90 : 8 sebagai
berikut :