You are on page 1of 44

NEONATUS RESIKO DAN PENATALAKSANAANYA

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Bayi baru lahir atau neonatus meliputi umur 0 – 28 hari. Kehidupan pada
masa neonatus ini sangat rawan oleh karena memerlukan penyesuaian
fisiologik agar bayi di luar kandungan dapat hidup sebaik-baiknya. Hal ini
dapat dilihat dari tingginya angka kesakitan dan angka kematian
neonatus. Diperkirakan 2/3 kematian bayi di bawah umur satu tahun terjadi
pada masa neonatus. Peralihan dari kehidupan intrauterin ke ekstrauterin
memerlukan berbagai perubahan biokimia dan faali. Dengan terpisahnya
bayi dari ibu, maka terjadilah awal proses fisiologik.
Banyak masalah pada bayi baru lahir yang berhubungan dengan
gangguan atau kegagalan penyesuaian biokimia dan faali yang disebabkan
oleh prematuritas, kelainan anatomik, dan lingkungan yang kurang baik
dalam kandungan, pada persalinan maupun sesudah lahir.

Masalah pada neonatus biasanya timbul sebagai akibat yang spesifik


terjadi pada masa perinatal. Tidak hanya merupakan penyebab kematian
tetapi juga kecacatan. Masalah ini timbul sebagai akibat buruknya
kesehatan ibu, perawatan kehamilan yang kurang memadai, manajemen
persalinan yang tidak tepat dan tidak bersih, kurangnya perawatan bayi
baru lahir. Kalau ibu meninggal pada waktu melahirkan, si bayi akan
mempunyai kesempatan hidup yang kecil.

B. Perumusan Masalah
Untuk memudahkan penulis dalam menyusun makalah ini, maka kami
rumuskan sebagai berikut:
1. Apa yang dimaksud dengan sindrom gangguan pernapasan
2. Apa yang diaksud dengan kejang
3. Apa yang dimaksud dengan hipotermi
4. Apa yang dimaksud dengan hipertermi
5. Apa yang dimaksud dengan hipoglikemi
6. Apa yang dimaksud dengan tetanus neonatorum
NEONATUS RESIKO DAN PENATALAKSANAANYA

7. Apa yang dimaksud penyakit yang diderita ibu selama kehamilan

A. Tujuan Penulisan
Selain untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Asuhan Neonatus
Bayi dan Balita, juga untuk:
1. Mengetahui sindrom gangguan pernapasan
2. Mengetahui kejang
3. Mengetahui hipotermi
4. Mengetahui hipertermi
5. Mengetahui hipoglikemi
6. Mengetahui tetanus neonatorum
7. Mengetahui penyakit yang diderita ibu selama kehamilan

A. Sistematika Penulisan
BAB I PENDAHULUAN : Berisi tentang latar belakang masalah, rumusan masalah,
tujuan, sistematika penyusunan.
BAB II PEMBAHASAN : Berisi tentang pengertian kebidanan, pelayanan kesehatan, fungsi
etika dan moralitas pelayanan kebidanan, hak dan kewajiban dan tangungjawab bidan, aspek
legal dalam pelayanan kebidanan.
BAB III PENUTUP : Berisi tentang kesimpulan dan saran
NEONATUS RESIKO DAN PENATALAKSANAANYA

BAB II
PEMBAHASAN

A. Sindrom Gangguan Pernapasan


1. Tinjauan
Sindrom ganguan pernapasan adalah kondisi yang berkaitan dengan
keadaan preterm dan setiap faktor yang merupakan akibat dari
defisiensi fungsi surfaktan, seperti pada ibu diabetes dan hipoksia.
Manifestasi klinis mungkin ada saat kelahiran atau dalam beberapa
jam setelah kelahiran. Manifestasi klinisnya berupa takipnea,
pernafasan mendengkur, pernapasan cuping hidung pada inspirasi,
retraksi subkosal atau interkosal, pucat dan sianosis, apnea, kesulitan
bernpas, peningkatan kebutuhan oksigen, dan hipotonus. Foto
rontgen dada menunjukan densitas retikuloglanular difus bilateral,
dengan bagian cabang trakeobrobkial yang terisi udara (bronkogram
udara) yang ditandai dengan paru-paru yang tidak tembus cahaya.
Sindrom gangguan pernapasan biasanya dapat pulih dalam 4 hingga
7 hari, jika terapi pengganti surfaktan telah diberikan. Komplikasi
yang kerap kali terjadi adalah patent ductus arteriosus (PDA).
2. Terapi klinis
Penatalaksanaan suportif mencakup pemberian oksigen, terapi
ventilasi, uji gas darah untuk memantau kadar oksigen dan
karbondioksida, metode transkutaneus atau oksimetri nadi, dan
koreksi ketidakseimbangan asam basa. Terapi ventikulor bertujuan
untuk mencegah hipoventilasi dan hipoksia. Tingkat kebutuhan
dukungan ventilator berkisar dari kontraksi oksigen yang meningkat
sampai penggunaan tekanan jalan napas positif kontinu (continous
positive airway pressure, CPAP) dan ventilasi mekanik penuh serta
penggunaan intubasi. Terapi pengganti surfaktan telah menunjukan
perbaikan kecepatan oksigenasi dan penurunan kebutuhan dukungan
NEONATUS RESIKO DAN PENATALAKSANAANYA

ventilator. Terapi pengganti surfaktan harus diberikan oleh tenaga


yang telah terlatih khusus.
3. Pengkajian Keperawatan Penting
1. Kaji bayi baru lahir untuk setiap faktor resiko. Waspada terhadap
bayi prematur dan setiap bayi yang diduga hipoksia, saat berada
dalam uterus atau segera setelah kelahiran.
2. Kaji usaha pernapasan bayi baru lahir. Catat pergerakkan dinding
dada, usaha pernapasan (mendengkur, prnapasan cuping hidung,
retraksi), dan warna (sianosis, pucat, kehitam-hitaman) kulit dan
membran mukosa; aulkultrasi paru bilateral bila ada pemasukan
udara.
3. Kaji kebutuhan peningkatan oksigen dan lakukan ventilasi
bantuan. Catatan: PaO2 normal: 50-70 mm Hg, PaCO2: 35-45 mm
Hg, dan pH 7,35-7,45. Pantau tekanan darah (rata-rata bagi bayi
cukup usia, 80/45-40; bayi preterm 64/39).
4. Kaji asupan dan keluaran cairan yang tidak tampak.
5. Kaji tanda-tanda infeksi ketidakstabilan suhu, letargi, asupan ASI
yang kurang, den hipotonia.
1. Contoh Diagnosis Keperawatan
• Gangguan pertukaran gas yang berhubungan dengan
ketidakcukupan surfaktan paru.
• Risiko tinggi infeksi yang berhubungan dengan prosedut invasif.
• Ketidakefektifan termoregulasi yang berhubungan dengan
peningkatan usaha nafas, sekunder akibat sindrom gangguan
pernapasan.
1. Intervensi Keperawatan Penting
1. Berikan oksigen yang telah dilembabkan, dihangatkan dengan
berbagai rancangan rute: kepala oksigen, tekanan jalan napas
positif kontinu (continuous positive airway pressure, CPAP), dan
intubasi.
2. Ubah konsentrasi oksigen dengan peningkatan sebesar 5%
hingga 10%, atau sesuai permintaan untuk mempertahankan
kecukupan kadar PaO2. Periksa kadar gas darah setelah setiap
perubahan yang signifikan pada konsentrasi oksigen.
NEONATUS RESIKO DAN PENATALAKSANAANYA

3. Lakukan uji gas darah arteri sesuai permintaan. Pertahankan


kestabilan lingkungan sebelum pemeriksaan gas darah (jangan
lakukan pengisapan, merubah kadar oksigen atau penataan
ventilatoratau menggangu bayi).
4. Melakukan pengisapan jika perlu. Sekresi didapati jarang hingga
hari kedua atau ketiga, saat ini paru-paru mulai terbuka.
Perhatikan pemantauan oksigen transkutaneus atau oksimetri
nadi untuk menilai desaturasi, selama prosedur.
5. Periksa dan kalibrasi seluruh alat pemantauan dan alat pengukur
yang dipergunakan setiap 8 jam.
6. Pertahankan kepatenan IV.
7. Pertahankan suhu lingkungan netral. Ketidaksatabilan suhu
meningkatkan konsumsi oksigen dan asidosis metabolik.
8. Pemberian obat-obatan sesuai intruksi: antibiotic, diuretic,
sedative dan analgesic. Fentenil dan morfin yang digunakan untuk
mendapatkan efek sedative dan analgesiknya. Penggunaan
pankuronium (pavulon) ditujukan untuk relaksasi otot, masih
menjadi kontrofersial.
9. Cuci tangan dengan hati-hati, gunakan sarung tangan selama
prosedur dan perhatikan pengendalian infeksi, merupakan hal
yang penting.
10.Sediakan waktu untuk menjawab pertanyaan orang tua tentang
keadaan bayi dan peralatan yang digunakan, serta berikan
motivasi emosional. Jelaskan perawatan pendukung ke orang tua.
11.Catat dan laporkan seluruh hasil pemantauan klinis.
1. Evaluasi
• Risiko sindrom gangguan pernapasan yang diidenfikasi dengan
tepat dan interfensi awal segera dimulai.
• Bayi baru lahir tidak menampakkan gejala gangguan pernapasan
dan gangguan metabolic.
• Orang tua mengungkapkan keprihatinan mereka terhadap
masalah kesehatan masalah bayi mereka, dan kemampuan
bertahan, serta memahami alasan rasional dibalik
penatalaksanaan terhadap bayi mereka.
NEONATUS RESIKO DAN PENATALAKSANAANYA

A. Kejang

1. Tinjauan
Kejang pada neonatus didefinisikan sebagai suatu gangguan terhadap
fungsi neurologis seperti tingkah laku, motorik, atau fungsi otonom.
Periode bayi baru lahir (BBL) dibatasi sampai hari ke 28 kehidupan
pada bayi cukup bulan, dan untuk bayi premature, batasan ini
digunakan sampai usia gestasi 42 minggu.
Kebanyakan kejang pada BBL timbul selama beberapa hari. Sebagian
kecil dari bayi tersebut akan mengalami kejang lanjutan dalam
kehidupannya kelak. Kejang pada neonatus relative sering dijumpai
dengan manipestasi klinis yang berfariasi. Timbulnya sering
merupakan gejala awal dari gangguan neurologi dan dapat terjadi
gangguan pada kognitip dan pekembangan jangka panjang.
2. Penyebab
Neuron dalam susunan saraf pusat (SSP) mengalami depolarisasi
sebagai akibat dari masuknya kalium dan repolarisasi timbul akibat
keluarnya kalium. Kejang timbul bila terjadi depolarisasi berlebihan
akibat arus listrik yang terus menerus dan berlebihan.
Volpe mengemukakan 4 kemungkinan alasan terjadi depolarisasi
yang berlebihan, yaitu:
• gagalnya pompa natrium kalium karena gangguan produksi
energi
• selisih relative antara neurotransmitter eksitasi dan inhibisi
• perubahan membran neuron menyebabkan hambatan gerakan
natrium.
Penyebab kejang pada neonatus:
1. Bayi tidak menangis pada waktu lahir adalah penyebab yang
paling sering timbul dalam 24 jam kehidupan pada kebanyakan
kasus.
2. Perdarahan otak, dapat timbul sebagai akibat drai kekurangan
oksigen atau trauma pada kepala. Perdarahan subdural yang
biasanya diakibatkan oleh trauma dapat menimbulkan kejang.
3. Gangguan metabolic
NEONATUS RESIKO DAN PENATALAKSANAANYA

a. Kekurangan kadar gula darah (hipoglikemi), sering timbul


dengan gangguan pertumbuhan dalam kandungan dan pada
bayi dengan ibu penderita diabetes mellitus (DM). Jangka
waktu antara hipoglikemia dan waktu sebelum pemberian
awal pengobatan merupakan waktu timbulnya kejang lebih
jarang timbul pada ibu penderita DM, kemungkinan karena
waktu hipoglikemia yang pendek.
b. Kekurangan kalsium (hipokalsemia), sering ditemukan pada
bayi berat badan lahir rendah, bayi dengan ibu penderita
DM, bayi asfiksia, bayi dengan ibu penderita
hiperparatiroidisme.
c. Kekurangan natrium (hiponatremia)
d. Kelebihan natrium (hipernatremia), biasanya timbul
bersamaan dengan dehidrasi atau pemakaian bikarbonat
berlebihan.
1. Penatalaksanaan

Pertahankan homeostasis sistemik (pertahankan jalan nafas, usaha


nafas dan sirkulasi)

� Terapi etiologi spesifik :

o Dekstrose 10% 2 ml/kg BB intravena bolus pelan dalam 5 menit

o Kalsium glukonas 10 % 200 mg/kg BB intravena (2 ml/kg BB)


diencerkan aquades sama banyak diberikan secara intra vena dalam 5
menit (bila diduga hipokalsemia)

o Antibiotika bila dicurigai sepsis atau meningitis

o Piridoksin 50 mg IV sebagai terapeutik trial pada defisiensi


piridoksin, kejang akan berhenti dalam beberapa menit

� Terapi anti kejang :

o Fenobarbital : Loading dose 10-20 mg/kg BB intramuskuler� dalam


5 menit, jika tidak berhenti dapat diulang dengan dosis 10 mg/kgBB
sebanyak 2 kali dengan selang waktu 30 menit.

o Bila kejang berlanjut diberikan fenitoin: loading dose 15-20 mg/kg


BB intra vena dalam� 30 menit.
NEONATUS RESIKO DAN PENATALAKSANAANYA

o Rumatan fenobarbital dosis 3-5 mg/kgBB/hari dapat diberikan


secara intramuskuler atau peroral dalam dosis terbagi tiap 12 jam,
dimulai 12 jam setelah loading dose.

o Rumatan fenitoin dosis 4-8 mg/kgBB/hari intravena atau peroral


dalam dosis terbagi tiap 12 jam.

Penghentian obat anti kejang dapat dilakukan 2 minggu setelah bebas


kejang dan penghentian obat anti kejang sebaiknya dilakukan sebelum
pulang kecuali didapatkan lesi otak bermakna pada USG atau CT Scan
kepala atau adanya tanda neurologi abnormal saat akan pulang.

� Diazepam

A. Hipotermi
1. Definisi

Hipotermia adalah suatu keadaan dimana suhu tubuh berada dibawah


35°Celsius.

2. Penyebab

Luas permukaan tubuh pada bayi baru lahir (terutama jika berat
badannya rendah), relatif lebih besar dibandingkan dengan berat
badannya sehingga panas tubuhnya cepat hilang. Pada cuaca dingin,
suhu tubuhnya cenderung menurun. Panas tubuh juga bisa hilang
melalui penguapan, yang bisa terjadi jika seorang bayi yang baru lahir
dibanjiri oleh cairan ketuban.

3. Gejala

Gejalanya bisa berupa:


- bayi tampak mengantuk
- kulitnya pucat dan dingin
- lemah, lesu
- menggigil.
Hipotermia bisa menyebabkan hipoglikemia (kadar gula darah yang
rendah), asidosis metabolik (keasaman darah yang tinggi) dan
kematian. Tubuh dengan cepat menggunakan energi agar tetap hangat,
sehingga pada saat kedinginan bayi memerlukan lebih banyak oksigen.
NEONATUS RESIKO DAN PENATALAKSANAANYA

Karena itu, hipotermia bisa menyebabkan berkurangnya aliran oksigen


ke jaringan.

4. Diagnosa

Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala, hasil pemeriksaan fisik dan


hasil pengukuran suhu tubuh.

5. Pengobatan

Bayi dibungkus dengan selimut dan kepalanya ditutup dengan topi. Jika
bayi harus dibiarkan telanjang untuk keperluan observasi maupun
pengobatan, maka bayi ditempatkan dibawah cahaya penghangat.

6. Pencegahan

Untuk mencegah hipotermia, semua bayi yang baru lahir harus tetap
berada dalam keadaan hangat. Di kamar bersalin, bayi segera
dibersihkan untuk menghindari hilangnya panas tubuh akibat
penguapan lalu dibungkus dengan selimut dan diberi penutup kepala.

A. Hipertermi

1. Defenisi

Hipertertmia adalah suhu tubuh yang tinggi dan bukan disebabkan oleh
mekanisme pengaturan panas hipotalamus.

2. Etiologi

Disebabkan oleh meningkatnya produksi panas andogen (olahraga


berat, hipertermia maligna,sindrom neuroleptik
maligna,hipertiroidisme), pengurangan kehilangan panas, atau terpajan
lama pada lingkungan bersuhu tinggi (sengatan panas).

3. Gejala

- Suhu badannya tinggi

- Terasa kehausan

- Mulut kering-kering
NEONATUS RESIKO DAN PENATALAKSANAANYA

- Kedinginan, lemas

- Anoreksia (tidak selera makan)

- Nadi cepat dan

- Pernafasan tidak teratur.

4. Tindakan / Pengobatan

- Bila suhu diduga karena paparan panas yang berlebihan :

· Letakkan bayi di ruangan dengan suhu lingkungan normal (25ºC –


28ºC).

· Lepaskan sebagian atau seluruh pakaiannya bila perlu

· Periksa suhu aksiler setiap jam sampai tercapai suhu dalam batas
normal.

· Bila suhu sangat tinggi (<39ºC), bayi dikompres atau dimandikan


selama 10-15 menit dalam air yg suhunya 4ºC lebih rendah dari suhu
tubuh bayi.

- Bila bayi pernah diletakkan di bawah pemancar panas atau inkubator

· Turunkan suhu alat penghangat, bila bayi di dalam inkubator, buka


inkubator sampai suhu dalam batas normal.

· Lepas sebagian atau seluruh pakaian bayi selama 10 menit kemudian.

· Beri pakaian lagi sesuai dengan alat penghangat yang digunakan

· Periksa suhu bayi setiap jam sampai tercapai suhu dalam batas
normal.

· Periksa suhu inkubator atau pemancar panas setiap jam dan sesuaikan
pengatur suhu.

- Manajemen lanjutan suhu lebih 37,5ºC


NEONATUS RESIKO DAN PENATALAKSANAANYA

· Yakinkan bayi mendapatkan masukan cukup cairan

Ø Anjurkan ibu untuk menyusui bayinya. Bila bayi tidak dapat menyusui,
beri ASI peras dengan salah satu alternatif cara pemberian minum.

Ø Bila terdapat tanda dehidrasi, tangani dehidrasinya.

· Periksa kadar glukosa darah,bila kurang 45 mg/dl (2,6 mmol/l), tangani


hipoglikemia.

· Cari tanda sepsis sekarang dan ulangi leagi bila suhu tubuh mendapai
batas normal.

· Setelah suhu bayi normal :

Ø Lakukan perawatan lanjutan

Ø Pantau bayi selama 12 jam berikutnya, periksa suhu badannya setiap


3 jam.

· Bila suhu tetap dalam batas normal dan bayi dapat diberi minum
dengan baik serta tidak ada masalah lain yang memerlukan perawatan
di rumah sakit, bayi dapat dipulangkan, nasehati ibu cara
menghangatkan bayi di rumah dan melindungi dari pancaran panas
yang berlebihan.

B. Hipoglikemi
1. Batasan
Hipoglikemi adalah keadaan hasil pengukuran kadar glukose darah
kurang dari 45 mg/dL (2.6 mmol/L).
2. Patofisiologi
Hipoglikemi sering terjadi pada BBLR, karena cadangan glukosa
rendah.
Pada ibu DM terjadi transfer glukosa yang berlebihan pada janin
sehingga respon insulin juga meningkat pada janin. Saat lahir di mana
jalur plasenta terputus maka transfer glukosa berhenti sedangkan
NEONATUS RESIKO DAN PENATALAKSANAANYA

respon insulin masih tinggi (transient hiperinsulinism) sehingga


terjadi hipoglikemi.
Hipoglikemi adalah masalah serius pada bayi baru lahir, karena dapat
menimbulkan kejang yang berakibat terjadinya hipoksi otak. Bila
tidak dikelola dengan baik akan menimbulkan kerusakan pada
susunan saraf pusat bahkan sampai kematian.
Kejadian hipoglikemi lebih sering didapat pada bayi dari ibu dengan
diabetes melitus.
Glukosa merupakan sumber kalori yang penting untuk ketahanan
hidup selama proses persalinan dan hari-hari pertama pasca lahir.
Setiap stress yang terjadi mengurangi cadangan glukosa yang ada
karena meningkatkan penggunaan cadangan glukosa, misalnya pada
asfiksia, hipotermi, hipertermi, gangguan pernapasan.
3. Diagnosis
Anamnesis
� Riwayat bayi menderita asfiksia, hipotermi, hipertermi, gangguan
pernapasan
� Riwayat bayi prematur
� Riwayat bayi Besar untuk Masa Kehamilan (BMK)
� Riwayat bayi Kecil untuk Masa Kehamilan (KMK)
� Riwayat bayi dengan ibu Diabetes Mellitus
� Riwayat bayi dengan Penyakit Jantung Bawaan
� Bayi yang beresiko terkena hipoglikemia
- Bayi dari ibu diabetes (IDM)

- Bayi yang besar untuk masa kehamilan (LGA)

- Bayi yang kecil untuk masa kehamilan (SGA)

- Bayi prematur dan lewat bulan

- Bayi sakit atau stress (RDS, hipotermia)

- Bayi puasa

- Bayi dengan polisitemia

- Bayi dengan eritroblastosis


NEONATUS RESIKO DAN PENATALAKSANAANYA

- Obat-obat yang dikonsumsi ibu, misalnya sterorid, beta-


simpatomimetik dan beta blocker

4. Gejala Klinis/Pemeriksaan fisik


Gejala Hipoglikemi : tremor, jittery, keringat dingin, letargi, kejang,
distress nafas
Ÿ Jitteriness

Ÿ Sianosis

Ÿ Kejang atau tremor

Ÿ Letargi dan menyusui yang buruk

Ÿ Apnea

Ÿ Tangisan yang lemah atau bernada tinggi

Ÿ Hipotermia

Ÿ RDS

5. Diagnosis Banding
insufisiensi adrenal, kelainan jantung, gagal ginjal, penyakit SSP,
sepsis, asfiksia, abnormalitas metabolik (hipokalsemia, hiponatremia,
hipernatremia, hipomagnesemia, defisiensi piridoksin).
Penyulit
��� - �Hipoksia otak
��� - �Kerusakan sistem saraf pusat
6. Tatalaksana
a. Monitor
Pada bayi yang beresiko (BBLR, BMK, bayi dengan ibu DM) perlu
dimonitor dalam 3 hari pertama :
o Periksa kadar glukosa saat bayi datang/umur 3 jam
o Ulangi tiap 6 jam selama 24 jam atau sampai pemeriksaan
glukosa normal dalam 2 kali pemeriksaan
Kadar glukosa ≤� 45 mg/dl atau gejala positif tangani hipoglikemia
o
o Pemeriksaan kadar glukosa baik, pulangkan setelah 3 hari
penanganan hipoglikemia selesai
NEONATUS RESIKO DAN PENATALAKSANAANYA

b. Penanganan hipoglikemia dengan gejala :


� Bolus glukosa 10% 2 ml/kg pelan-pelan dengan kecepatan 1
ml/menit
� Pasang jalur iv D10 sesuai kebutuhan (kebutuhan infus glukosa 6-
8 mg/kg/menit).
Contoh : BB 3 kg, kebutuhan glukosa 3 kg x 6 mg/kg/mnt = 18
mg/mnt = 25920 mg/hari. Bila dipakai D 10% artinya 10 g/100cc, bila
perlu 25920 mg/hari atau 25,9 g/hari berarti perlu 25,9 g/ 10 g x 100
cc= 259 cc D 10% /hari.
Atau cara lain dengan GIR
Konsentrasi glukosa tertinggi untuk infus perifer adalah 12,5%, bila
lebih dari 12,5% digunakan vena sentral.
� Untuk mencari kecepatan Infus glukosa pada neonatus
dinyatakan dengan GIR.
Kecepatan Infus (GIR) = glucosa Infusion Rate
GIR (mg/kg/min) = Kecepatan cairan (cc/jam) x konsentrasi Dextrose
(%)
6 x berat (Kg)
Contoh : Berat bayi 3 kg umur 1 hari
Kebutuhan 80 cc/jam/hari = 80 x 3 = 240 cc/hari = 10 cc/jam
GIR = 10 x 10 (Dextrose 10%) = 100 = 6 mg/kg/min 6 x 3=18
� Periksa glukosa darah pada : 1 jam setelah bolus dan tiap 3 jam
� Bila kadar glukosa masih < 25 mg/dl, dengan atau tanpa gejala,
ulangi seperti diatas
� Bila kadar 25-45 mg/dl, tanpa gejala klinis :
- Infus D10 diteruskan
- Periksa kadar glukosa tiap 3 jam
- ASI diberikan bila bayi dapat minum
Bila kadar glukosa ≥ 45 mg/dl dalam 2 kali pemeriksaan
- Ikuti petunjuk bila kadar glukosa sudah normal (lihat ad d)
- ASI diberikan bila bayi dapat minum dan jumlah infus diturunkan
pelan-pelan
- Jangan menghentikan infus secara tiba-tiba
c. Kadar� glukosa darah < 45 mg/dl tanpa GEJALA :
� ASI teruskan
NEONATUS RESIKO DAN PENATALAKSANAANYA

� Pantau, bila ada gejala manajemen seperti diatas


� Periksa kadar glukosa tiap 3 jam atau sebelum minum, bila :
� Kadar < 25 mg/dl, dengan atau tanpa gejala tangani hipoglikemi
(lihat ad b)
� Kadar 25-45 mg/dl naikkan frekwensi minum
� Kadar ≥ 45 mg/dl manajemen sebagai kadar glukosa normal
d. Kadar glukosa normal IV teruskan
� IV teruskan
� Periksa kadar glukosa tiap 12 jam
Bila kadar glukosa turun, atasi seperti diatas
� Bila bayi sudah tidak mendapat IV, periksa kadar glukosa tiap 12
jam, bila 2 kali pemeriksaan dalam batas normal, pengukuran
dihentikan.
e. Persisten hipoglikemia (hipoglikemia lebih dari 7 hari)
� konsultasi endokrin
� terapi : kortikosteroid� hidrokortison 5 mg/kg/hari 2 x/hari iv
atau prednison 2 mg/kg/hari per oral, mencari kausa hipoglikemia
lebih dalam.
� bila masih hipoglikemia dapat ditambahkan obat lain :
somatostatin, glukagon, diazoxide, human growth hormon,
pembedahan. (jarang dilakukan)

A. Tetanus Noenatorum
1. Penyebab
Penyebab tetanus neonatorum adalah Clostridiun tetani, yang masuk
melalui tali pusat sewaktu proses pertolongan persalinan. Spora yang
masuk disebabkan oleh proses pertolongan persalinan yang tidak steril,
baik oleh penggunaan alat yang telah terkontaminasi dengan spora
Clostridium tetani, maupun penggunaan obat-obatan untuk tali pusat
yang juga telah terkontaminasi. Kebiasaan menggunakan alat
pertolongan persalinan dan obat tradisionil yang tidak steril, merupakan
faktor yang utama dalam terjadinya Tetanus neonatorum.
2. Masa Inkubasi
Masainkubasi berkisarantara 3-14 hari, tapi bias lebih pendek ataupun
lebih panjang. Berat ringannya penyakit juga tergantung pada lamany
NEONATUS RESIKO DAN PENATALAKSANAANYA

masa inkubasi, makin pendek masa inkubasi biasanya prognosa makin


jelek.
3. Diagnosa
Diagnosa tetanus neonatorum biasanya dapat ditegakkan berdasarkan
pemeriksaan klinis.
Gejalaklinikyangkarakteristikberupa:
Malas minum, mudah terangsang dan anak menangis terus menerus.
Tidak sanggup mengisap dan belakangan bayi berhenti menangis
karena rahang sukar dibuka disebabkan terjadinya kekakuan.
Kemudian diikuti kekakuan pada seluruh tubuh disertai kejang yang
tersentak (intermittent jerking spasm), teruta mahal Individu yang imun
tetapi sensitive terhadap bahan toxinakan menimbulkan reaksi
terhadap keduanya, toxin dan toxoid. Reaksi kulit yang terjadi
umumnya maksimal pacta 48-72 jam, dan kemudian mulai menyusut
dan menghilang. Ini berbeda bila hasil Schick test positif, dimana reaksi
ini akan menetap sampai beberapa hari. Bila individu tidak mempunyai
antitoxin didalam serumnya, tetapi ia alergi terhadap toxoid, reaksi
akan dijumpai pacta kedua belah tangan, tetapi reaksi pada sebelah
tangan yang mendapat suntikan toxin akan mencapai puncaknya pada
hari ke-5 dan menetap, sedang reaksi terhadap toxoid akan berkurang
pada hari ke 5-7. Schicktest dikatakan positif bilad ijumpai indurasi yang
diameternya sebesar 10 mm atau lebih. Bila test dilakukan tanpa
menggunakan kontrol, pembacaan dilakukan setelah 5X 24jam setelah
suntikan dilakukan. Ini dilakukan untuk menghindari pseudoreaksi yang
timbul, yang biasanya akan sudah menghilang pada hari ke-3 atau ke-4.
4. Kriteria penilaian
Reaksi positif, bila dijumpai indurasi berwarna merah kecoklatan yang
kadang disertai nekrosis jaringan dengan diameter lebih besar atau
sama dengan 10 mm.
Reaksi negatif, bila tidak dijumpai keadaan di atas, berarti anak
mempunyai daya lindung terhadap difteri. Initerjadi bila ada rangsangan
dari luar seperti suara yang keras, cahaya dan tactil stimuli antara lain
bila dipegang, pada pemberian injeksi untuk pengobatan dan pada
waktu melakukan pengisapan lendir.
NEONATUS RESIKO DAN PENATALAKSANAANYA

Mulut mencucur, dan bila bayi menangis suaranya tangisan tidak


jelas, terdengar seperti mendesis.
Diagnostik test yang sering digunakan adalah reflex spasm dari
dinding perut yang dapat dilakukan engan melakukan palpasi abdomen
dan sebagai akibatnya akan timbul kejang dan kekakuan dinding perut.

Prognosa tetanus neonatorum adalah jelek bila:


1. Umur bayi kurang dari 7 hari
2. Masa inkubasi 7 hari atau kurang
3. periode timbulnya gejala kurang dari 48 jam
4. Dijumpai muscular spasm
1. Penanggulangan
I. Perawatan Umum
A. Tindakan pertama pada saat penderita masuk ke rumah
sakit
Atasi kejang dengan pemberian anti-convulsan, seperti diazepam
dengan dosis 2 -10 mg I.V. ataupun secara I.M.
Bila kejang sudah teratasi pasang nasa-gastric tube dan beri
cairan intra-vena Dextrose-NaCl untuk mengatasi kebutuhan
cairan dan elektrolit, dan juga untuk jalan pemberian obat.
Kalau memungkinkan hindari pemberian obat secara I.M. karena
ini akan merangsang terjadinya muscular spasm.
B. Perawatan
1. Tempatkan bayi dalam incubator untuk menghindari rangsangan
dari luar.
2. Usahakan agar temperature ruangan tetap.
3. Observasi dilakukan dengan mengurangi sekecil mungkin
terjadinya rangsangan.
4. Catat dan awasi denyut jantung, pols, pernafasan ,temperature
bayi dan temperature inkubator, frekwensi dan beratnya
muscular spasm.
5. Bersihkan mulut, nasofaring dari sekresi cairan yang menumpuk
dengan cara melakukan pengisapan lender secara berulang,
teratur dan hati-hati.
NEONATUS RESIKO DAN PENATALAKSANAANYA

6. Catat pengeluaran kencing dan tinja, bila dijumpai gumpalan


tinja, lakukan pengosongan dengan penggunaan salineonema.
7. Buat daftar cairan yang masuk dan keluar.
8. Lakukan perobahan posisi bayi setiap 2 jam.
9. Lakukan fisioterapi pada daerah dada secara hati-hati setiap 4
jam.
10.Gerakkan tangan dan kaki secara pasif.
11.Jangan lupa memberi zalf anti biotika pada mata.
Catatan
Pada setiap tindakan yang dilakukan terhadap bayi yang dirawat
dengan tetanus neonatorum harus dilakukan dengan seksama dan
hati-hati, oleh karena semua tindakan ini dapat merangsang
terjadinya spasme dan kejang.
C. Perawatantalipusat
Bila tali pusat masih ada bersihkan dengan hydrogen peroxide dan
bila perlu dilakukan tindakan bedah.
II. Antibiotika, Tetanus anti-toxin dan Toxoid
A. Antibiotika
Crystal line penicillin diberikan dengan dosis 100.000 unit/kg BB hari
dibagi dalam 4 dosis dan diberikan secara intravena untuk selama 7
hari, atau bila ini tidak ada dapat digunakan Penicllin procaine
100.000 unit/kgBB/hari, diberikan secara I.M. Bila dijumpai adanya
komplikasi, broad spectrum anti biotika dapat ditambahkan
pemakaian broad spectrum anti biotika ini harus segera dipikirkan,
mengingat bahwa Tetanus neonatorum ini adalah termasuk penyakit
yangb erat [tetanus yang berat].
B.Pemberian Anti-toxin
Pemberian anti-toxin bertujuan hanya untuk mengikat toxin yang
masih beredar dalam darah, atau pun toxin yang belum terikat
dengan kuat. A.T.S dengan dosis 10.000 units dapat diberikan secara
I.V., ataupun dengan pemberian tetanus immuneglobulin 500 units
secara I.M. berupa dosis tunggal.
C. Tetanus toxoid
Tetanus toxoid harus diberikan, karena penderita yang sembuh dari
tetanus neonatorum tidak membentuk daya kebal terhadap tetanus
NEONATUS RESIKO DAN PENATALAKSANAANYA

[noconvertofimmunity], sehingga kemungkinan untuk mendapat


infeksi dengan tetanus pada waktu mendatang akan tetap ada. Pada
tetanus neonatorum pemberian tetanus toxoid ini sebaiknya
diberikan setelah penderita sembuh dan diberikan pada saat bayi ber-
umur 2 bulan atau lebih, bersamaan dengan pemberian imunisasi
yang lain. Berbeda dengan pemberian BCG, Polio dan hepatitis,
dimana pemberian vaksin ini dapat diberikan sesudah bayi lahir,
sedang untuk pemberian tetanus toxoid hal ini tidak dianjurkan
sebelum bayi berusia diatas 6 mgg.

A. Penyakit Yang Diderita Ibu Selama Kehamilan


Sebagian besar Bayi Baru Lahir yang terlahir dari Ibu yang bermasalah
dalam arti menderita suatu penyakit, tidak menunjukkan gejala sakit pada
saat dilahirkan atau beberapa waktu setelah lahir. Bukan berarti bayi baru
lahir tersebut aman dari gangguan akibat dari penyakit yang diderita ibu.
Hal tersebut dapat menimbulkan akibat yang merugikan bagi Bayi Baru
Lahir (BBL), dan dapat meningkatkan morbiditas dan mortalitas bayi. Ibu
bermasalah disini diartikan sebagai Ibu yang menderita sakit, sebelum,
selama hamil, atau pada saat menghadapi proses persalinan.
Dari State of the World’s Newborn, Save The Children 2001, terdapat
Rumus dua per tiga yaitu, Lebih dari 7 juta bayi meninggal setiap tahun
antara lahir hingga umur 12 bulan., hampir dua pertiga bayi yang
meninggal, terjadi pada bulan pertama, dari yang meninggal tersebut, dua
pertiga meninggal pada umur satu minggu, dan dua pertiga diantaranya
meninggal pada dua puluh empat jam pertama kehidupannya. Disini sangat
jelas bahwa masalah kesehatan Neonatal tidak dapat dilepaskan dari
masalah kesehatan perinatal dimana proses kehamilan, dan persalinan
memegang faktor yang amat penting
Sasaran kesehatan anak tahun 2010 diantaranya adalah angka
kematian bayi turun dari 45,7 per seribu kelahiran, menjadi 36 per seribu
kelahiran (SKN), BBLR (Bayi Berat Lahir Rendah atau kurang 2500 gram)
menurun setinggi-tingginya 7% (SKN), di mana secara nasional th 1995-
1999 diperkirakan BBLR 8% (Save The Children 2001) akan tetapi kalau
dilihat dari tahun ke tahun, angka kematian Neonatus penurunannya
sangat lambat, dan menempati 47% dari angka kematian bayi, bahkan
NEONATUS RESIKO DAN PENATALAKSANAANYA

pada 2003 AKN 20 per seribu kelahiran. Dari angka tersebut, 79,4%
kematian pada bayi baru lahir berumur kurang dari tujuh hari. Bila dikaji
lebih mendalam, ternyata dari kematian tersebut, 87% dapat dicegah
apabila deteksi dini bayi resiko cepat diketahui, dan dapat segera dirujuk
agar mendapat pertolongan yang akurat, dan cepat. Diperkirakan tiap jam
terdapat 12 neonatus meninggal. Dari sumber SKRT 2001, ternyata dari
bayi yang mendapat masalah, yang mencari pertolongan pada tenaga
kesehatan hanyalah 36%. Oleh karena itu, tenaga kesehatan di lini
terdepan baik di pelayanan perifer ataupun di pusat, sangat diharapkan
mempunyai ketrampilan baik deteksi dini bayi resiko ataupun penanganan
kegawatan, dan menentukan waktu yang tepat kapan bayi akan dirujuk,
dan persiapan apa yang harus dilakukan.
Bayi yang berumur kurang dari tujuh hari, kelainan yang di derita lebih
banyak terkait dengan kehamilan dan persalinan, sedangkan bayi berumur
lebih dari tujuh hari sampai dua bulan banyak terkait dengan pola penyakit
anak. Karena kebanyakan bayi baru lahir yang sakit jarang dibawa oleh
orang tua ke pusat pelayanan karena kultur masyarakat, maka kunjungan
rumah bagi tenaga kesehatan sangat diperlukan, dengan ASUH yaitu awal
sehat untuk hidup sehat. Karena kelainan BBL sangat erat hubungannya
dengan saat berada di dalam kandungan, maka komunikasi yang erat
diantara dokter Anak, dokter Obstetri dan Dokter Anaestesi serta bidan
setempat sangatlah penting.
Upaya pemerintah untuk menurunkan angka kematian bayi, telah
banyak dilakukan, diantaranya adalah Asuhan Persalinan Normal, Safe
Mother Hood, Pelayanan Obstetri Neonatal Esensial Dasar dan
Komprehensip, awal Sehat untuk hidup sehat, Manajemen Terpadu Balita
Sakit, dan Manajemen Bayi Muda Sakit karena kelainan BBL sangat erat
hubungannya dengan saat berada di dalam kandungan, maka komunikasi
yang erat diantara dokter Anak, dokter Obstetri dan dokter Anaestesi serta
bidan setempat sangatlah penting. Sebenarnya banyak sekali macam
penyakit yang dapat diderita ibu selama periode tersebut. Dalam makalah
ini akan di bahas manajemen Bayi Baru Lahir (BBL) dari ibu yang
mengalami penyakit yang relatif sering, seperti kecurigaan infeksi intra
uterin, Hepatitis B, Tuberkulosis, Diabetes Mellitus, Sifilis, dan HIV
NEONATUS RESIKO DAN PENATALAKSANAANYA

yang tampaknya jumlah penderita semakin meningkat serta Ibu


dengan kecanduan Obat.
1.Ibu Dengan Kecurigaan Infeksi Intra Uterin
Tanda-tanda ibu yang diduga mengalami infeksi dalam kandungan yang
dapat berakibat infeksi atau bakteriemi pada bayinya adalah bila :
• Ibu mengalami panas tubuh lebih atau sama dengan 380 C selama
proses persalinan sampai 3 hari pasca persalinan,
• Cairan ketuban hijau keruh apalagi berbau busuk,
• Cairan ketuban pecah 18 sampai 24 jam sebelum bayi lahir,
• Atau pecah pada saat umur kehamilan baru menginjak 37 minggu.
Pada keadaan tersebut, BBL sangat rawan terhadap terjadinya infeksi
yang dapat mengancam jiwanya, karena BBL tersebut dapat menderita
sepsis. Perubahan Neonatus ke arah kondisi yang buruk berlangsung
sangat cepat.
Apabila suatu sebab, keluarga meminta pulang sebelum waktunya,
pengawasan yang perlu dilakukan oleh keluarga terhadap bayi adalah :
• apakah pernapasan bayi menjadi cepat
• bayi lethargi
• hipotermi atau panas
• muntah setiap minum
• kembung, merintih

MANAJEMEN

Bayi umur lebih dari 3 hari tanpa melihat umur kehamilan, tidak
perlu antibiotika. Nasehati ibu agar segera membawa bayinya kembali
bila ada tanda sepsis dan nasehati ibu kembali jika ada salah satu tanda
sepsis.

Bayi berumur 3 hari atau kurang, ambil sampel darah bayi, dan
kirim ke Laboratorium untuk kultur/kultur kuman dan uji sensitivitas
Obati sesuai umur kehamilan seperti di bawah ini :
BAYI DENGAN UMUR KEHAMILAN 35 MINGGU ATAU LEBIH, ATAU
BERAT LAHIR 2000 gram ATAU LEBIH
Infeksi Intra uterin yang telah jelas, atau demam dugaan
infeksi, DENGAN ATAU TANPA KPD :
NEONATUS RESIKO DAN PENATALAKSANAANYA

• Ambil sampel darah, beri antibiotika seperti pemberian untuk


kemungkinan besar sepsis.
• Bila hasil kultur negatif, dan bayi tidak menunjukkan tanda sepsis
hentikan antibiotika.
• Bila hasil kultur positif, dan bayi menunjukkan tanda sepsis kapan
saja; obati untuk kemungkinan besar sepsis.
• Bila kultur kuman tidak dapat dilakukan, dan bayi tidak
menunjukkan tanda sepsis, hentikan antibiotika setelah 5 hari.
Amati bayi selama 24 jam setelah antibiotika dihentikan :
• Bila bayi keadaan baik, dan tidak ada tanda yang memerlukan
perawatan di rumah sakit, bayi dapat dipulangkan.
• Nasehati ibu untuk membawa kembali bayinya bila ada gejala sepsis
atau infeksi.

ADA KPD TANPA Infeksi Intra Utertin atau demam dugaan


infeksi :

• Tidak perlu antibiotika.


• Amati tanda sepsis setiap 4 jam dalam waktu 48 jam.
• Bila setelah 48 jam kultur darah negatif, bayi tampak sehat, dan
tidak ada gejala yang memerlukan perawatan di rumah sakit, bisa
dipulangkan, beri nasehat pada orang tua atau petugas, apabila ada
tanda infeksi, segera dibawa kembali ke Rumah Sakit.
• Bila kapan saja ada tanda sepsis atau kultur positif, diobati seperti
kemungkinan besar sepsis.
• Bila kultur darah tidak diperiksa, amati 3 hari dan pulangkan bila
keadaan bayi baik.
BAYI DENGAN UMUR KEHAMILAN KURANG DARI 35 MINGGU,
ATAU BERAT LAHIR KURANG 2000 gram
Ada KPD , Infeksi Intra Utertin atau demam dugaan infeksi
Ambil sampel darah, beri antibiotika untuk sepsis

Bila kultur darah negatif, bayi tidak ada tanda sepsis :


Ada KPD tanpa Infeksi Intra Uterin atau demam dugaan infeksi,
hentikan antibiotika setelah 3 hari.
Ada Infeksi Intra Utertin atau demam dugaan infeksi berat, hentikan
antibiotika setelah 5 hari.
NEONATUS RESIKO DAN PENATALAKSANAANYA

Bila kultur darah positif, bayi menunjukkan gejala sepsis atau


kapan saja bayi/ menunjukkan gejala seosis, obati sebagai
kemungkinan besar sepsis.
Bila kultur darah tidak dapat dilakukan, bayi tidak menunjukkan
gejala sepsis antibiotika dihentikan setelah pemberian 5 hari.
Amati bayi selama 24 jam setelah antibiotika dihentikan :
• Bila bayi keadaan baik, dan tidak ada tanda yang
memerlukan perawatan di rumah sakit, bayi dapat dipulangkan.
• Nasehati ibu untuk membawa kembali bayinya bila ada
gejala sepsis atau infeksi.
TABEL 1 : RINGKASAN TATALAKSANA BAYI DARI IBU DENGAN
KECURIGAAN INFEKSI INTRA UTERIN

Bayi ≥ 35 minggu / Bayi < 35 minggu / < 2000


2000 gram gram
Infeksi Ibu ⊕ KPD ⊕/⊝ KPD ⊕
• Berikan • Kultur ⊝ Infeksi Ibu
antibiotika ⊕ → antibiotika 5 hari
• Kultur ⊝ → • Kultur ⊝ Infeksi Ibu
Stop antibiotika ⊝→ antibiotika 3 hari
• Kultur ⊕  • Kultur ⊕ Infeksi
teruskan bayi ⊕ → antibiotika
antibiotika manajemen sepsis
• Kultur tidak • Kultur tidak
dilakukan, Infeksi dilakukan, Infeksi bayi ⊝
bayi ⊝ → antibiotika stop  antibiotika stop setelah
5 hari, amati 24 jam 5 hari
NEONATUS RESIKO DAN PENATALAKSANAANYA

KPD ⊕Infeksi Ibu ⊝


• Tidak perlu
antibiotika
• Amati tiap
4 jam sampai 48
jam :
✔ Bila
infeksi bayi
⊝ → pulang
✔ Bia
infeksi bayi
⊕ 
antibiotika
✔ Bila
kultur tidak
dilakukan,
bayi baik,
pulang
setelah
umur 3 hari

1.Ibu Dengan Hepatitis B


Indonesia masih merupakan negara endemis tinggi untuk Hepatitis B, di
dalam populasi, angka prevalensi berkisar 7-10%. Pada ibu hamil yang
menderita Hepatitis B, transmisi vertikal dari ibu ke bayinya sangat
mungkin terjadi, apalagi dengan hasil pemeriksaan darah HbsAg positif
untuk jangka waktu 6 bulan, atau tetap positif selama kehamilan dan
pada saat proses persalinan, maka resiko mendapat infeksi hepatitis
kronis pada bayinya sebesar 80 sampai 95%. Perlu adanya komunikasi
aktip antara ibu, dengan dokter kandungan, dokter anak, atau dengan
bidan penolong agar memanajemen terhadap BBL dapat segera dimulai.

Definisi / Batasan Operasional


Kriteria ibu mengidap atau menderita hepatitis B kronik :
NEONATUS RESIKO DAN PENATALAKSANAANYA

1. Bila ibu mengidap HBsAg positif untuk jangka waktu lebih


dari 6 bulan dan tetap positif selama masa kehamilan dan melahirkan.
2. Bila status HbsAg positif tidak disertai dengan peningkatan
SGOT/PT maka, status ibu adalah pengidap hepatitis B.
3. Bila disertai dengan peningkatan SGOT/PT pada lebih dari kali
pemeriksaan dengan interval pemeriksaan @ 2-3 bulan, maka status ibu
adalah penderita hepatitis B kronik.
4. Status HbsAg positif tersebut dapat disertai dengan atau tanpa
HBeAg positif.

PENGELOLAAN BAYI BARU LAHIR DENGAN IBU HEPATITIS B


Penanganan secara multidisipliner antara dokter spesialis penyakit
dalam, spesialis kebidanan & kandungan dan spesialis anak. Satu
minggu sebelum taksiran partus, dokter spesialis anak mengusahakan
vaksin hepatitis B rekombinan dan imunoglobulin hepatitis B. Pada saat
partus, dokter spesialis anak ikut mendampingi, apabila ibu hamil ingin
persalinan diltolong bidan, hendaknya bidan diberitahukan masalah ibu
tersebut, agar bidan dapat juga memberikan imunisasi yang diperlukan.
Ibu yang menderita hepatitis akut atau test serologis HBsAg positif,
dapat menularkan hepatitis B pada bayinya :
• Berikan dosis awal Vaksin Hepatitis B (VHB) 0,5 ml segera
setelah lahir, seyogyanya dalam 12 jam sesudah lahir disusul dosis ke-2,
dan ke-3 sesuai dengan jadwal imunisasi hepatitis.
• Bila tersedia pada saat yang sama beri Imunoglobulin Hepatitis
B 200 IU IM (0,5 ml) disuntikkan pada paha yang lainnya, dalam
waktu 24 jam sesudah lahir (sebaiknya dalam waktu 12 jam setelah bayi
lahir).
Mengingat mahalnya harga immunoglobulin hepatitis B, maka bila
orang tua tidak mempunyai biaya, dilandaskan pada beberapa
penelitian, pembelian HBIg tersebut tidak dipaksakan. Dengan catatan,
imunisai aktif hepatitis B tetap diberikan secepatnya.
• Yakinkan ibu untuk tetap menyusui dengan ASI, apabila vaksin
diatas sudah diberikan (Rekomendasi CDC), tapi apabila ada luka pada
puting susu dan ibu mengalami Hepatitis Akut, sebaiknya tidak
diberikan ASI.
NEONATUS RESIKO DAN PENATALAKSANAANYA

Tatalaksana khusus sesudah periode perinatal :


a. Dilakukan pemeriksaan anti HBs dan HbaAg berkala pada usia 7
bulan (satu bulan setelah penyuntikan vaksin hepatitis B ketiga) 1, 3,
5 tahun dan selanjutnya setiap 1 tahun.
1) Bila pada usia 7 bulan tersebut anti HBs positif, dilakukan
pemeriksaan ulang anti HBs dan HBsAg pada usia 1, 3, 5 dan 10
tahun.
2) Bila anti HBs dan HBsAg negatif, diberikan satu kali tambahan
dosis vaksinasi dan satu bulan kemudian diulang pemeriksaan anti
HBs. Bila anti HBs positif, dilakukan pemeriksaan yang sama pada
usia 1, 3, dan 5 tahun seperti pada butir a.
3) Bila pasca vaksinasi tambahan tersebut anti HBs dan HBsAg tetap
negatif, bayi dinyatakan sebagai non responders dan memerlukan
pemeriksaan lanjutan yang tidak akan dibahas pada makalah ini
karena terlalu teknis. (10)

4) Bila pada usia 7 bulan anti HBs negatif dan HBsAg positif,
dilakukan pemeriksaan HBsAg ulangan 6 bulan kemudian. Bila
masih positif, dianggap sebagai hepatitis kronis dan dilakukan
pemeriksaan SGOT/PT, USG hati, alfa feto protein, dan HBsAg,
idealnya disertai dengan pemeriksaan HBV-DNA setiap 1-2 tahun.
b. Bila HBsAg positif selama 6 bulan, dilakukan pemeriksaan SGOT/PT
setiap 2-3 bulan. Bila SGOT/PT meningkat pada lebih dari 2 kali
pemeriksaan dengan interval waktu 2-3 bulan, pertimbangkan terapi
anti virus.
Tatalaksana umum
Pemantauan tumbuh-kembang, gizi, serta pemberian imunisasi,
dilakukan sebagaimana halnya dengan pemantauan terhadap bayi
normal lainnya.
Pada HCV sebaiknya tidak memberikan ASI karena 20 % ibu dengan
Hepatitis C ditemukan Virus dalam kolostrumnya. Pada penelitian
Kumal dan Shahul, ditemukan infeksi HCV pada bayi yang tidak
mengandung HCV RNA padahal bayi-bayi tersebut mendapat ASI
eksklusif dari Ibu dengan HCV.
NEONATUS RESIKO DAN PENATALAKSANAANYA

1.Bayi Baru Lahir Dengan Ibu Tuberkulosis


Pada ibu yang menderita Tuberkulosis aktif, penularan dapat terjadi
sebelum bayi lahir melalui plasenta, atau menghirup amnion yang
tercemar, atau melalui pernapasan setelah bayi lahir. Ibu perlu berterus
terang pada dokter atau bidan dalam hal ini, karena sehubungan
dengan pemberian vaksin BCG dan peningkatan morbiditas dan
mortalitas, dapat menimbulkan abortus dan kematian bayi.
Tuberkulosis kongenital amat sangat jarang, dapat terjadi apabila
terjadi infeksi aktif pada placenta. Yang sangat tinggi resiko terjadi TB
bayi adalah pada saat proses persalinan dan segera sesudah lahir.
Kematian TBC kongenital yang tidak diobati adalah 38% dan yang
diobati 22%, dengan gejala distres nafas, lethargi, panas, pembesaran
kelenjar getah bening, hepatosplenomegali. Bila selama hamil ibu
mendapat terapi Streptomycin atau Kanamycin, waspada terjadinya
gangguan pendengaran pada bayi.
Bila menderita Tuberkulosis paru aktif dan mendapat
pengobatan kurang dari 2 bulan sebelum melahirkan, atau
didiagnosis TBC setelah melahirkan :
• Jangan diberi vaksin BCG saat setelah lahir;
• Beri profilaksis Isoniazid (INH) 5 mg/kg sekali sehari secara oral;
• Pada umur 8 minggu lakukan evaluasi kembali, catat berat badan dan
lakukan pemeriksaan tes Mantoux dan radiologi bila memungkinkan :
 bila ditemukan kecurigaan TBC aktif, mulai berikan pengobatan
anti TBC lengkap (sesuaikan dengan program pengobatan TBC
pada bayi dan anak dan kirim ke pusat pelayanan kesehatan
setempat);
 bila bayi baik dan dan hasil tes negatif, lanjutkan pencegahan
dengan isoniazid selama waktu 6 bulan.
• Tunda pemberian vaksin BCG sampai 2 minggu setelah pengobatan
selesai. Bila vaksin BCG sudah terlanjur diberikan, ulang
pemberiannya 2 minggu setelah pengobatan INH selesai.
• Yakinkan ibu bahwa ASI tetap boleh diberikan. Lakukan tindak lanjut
terhadap bayinya tiap 2 minggu untuk menilai kenaikan berat bayi.
NEONATUS RESIKO DAN PENATALAKSANAANYA

• Obat yang diminum ibunya seperti INH, Rifampisin, Ethambutol, aman


untuk Breast Feeding. Tapi pemberian PAS pada ibu, hati hati karena
efek pada bayinya.

1.Ibu Dengan Diabetes Mellitus

Bayi lahir dari ibu dengan Diabetes Melitus, berisiko untuk terjadi
hipoglikemia pada 3 hari pertama setelah lahir, walaupun bayi sudah
dapat minum dengan baik. Ibu dengan DM mempunyai resiko kematian
bayi lima kali dibanding ibu tidak dengan DM., dan sering mengalami
abortus ataupun kematian dalam kandungan. Bayi dengan ibu DM
mengalami Transient Hiperinsulinism yang dapat mengakibatkan
Hipoglikemia, Macrosomia pada bayi yang dilahirkan, dan dapat berakibat
kesulitan lahir. Tanda bayi hipoglikemia adalah Distres nafas, malas
minum, jitteriness, mudah terangsang, sampai kejang.

KADAR GLUKOSE DARAH RENDAH (HIPOGLIKEMIA)


Adalah bila kadar glukosa darah kurang dari 45 mg/dL (2,6
mmol/L)

MASALAH
a. Glukose darah kurang 25 mg/dL (1,1 mmol/L) atau terdapat
tanda Hipoglikemi.

b.Glukose darah 25 mg/dL (1,1 mmol/L) _ 45 mg/dL (2,6 mmol/L)


tanpa tanda Hipoglikemia.

PENGELOLAAN HIPOGLIKEMIA

a. Glukose darah kurang 25 mg/dL (1,1 mmol/L) atau terdapat


tanda hipoglikemi
• Pasang jalur IV jika belum terpasang.
• Berikan glukose 10% 2 mL/kg secara IV bolus pelan dalam lima
menit.

Jika jalur IV tidak dapat dipasang dengan cepat,


berikan larutan glukose melalui pipa lambungdengan
dosis yang sama
• Infus glukose 10% sesuai kebutuhan rumatan.
NEONATUS RESIKO DAN PENATALAKSANAANYA

• Periksa kadar glukose darah satu jam setelah bolus glukose dan
kemudian tiap tiga jam :
– Jika kadar glukose darah masih kurang 25 mg/dL (1,1 mmol/L),
ulangi pemberian bolus glukose seperti tersebut di atas dan
lanjutkan pemberian infus
– Jika kadar glukose darah 25-45 mg/dL (1,1-2,6 mmol/L), lanjutkan
infus dan ulangi pemeriksaan kadar glukose setiap tiga jam sampai
kadar glukose 45 mg/dL (2,6 mmol/L) atau lebih ;
– Bila kadar glukose darah 45 mg/dL (2,6 mmol/L) atau lebih dalam
dua kali pemeriksaan berturut-turut, ikuti petunjuk tentang
frekuensi pemeriksaan kadar glukose darah setelah kadar glukose
darah kembali normal.
– Anjurkan ibu menyusui. Bila bayi tidak dapat menyusu, berikan ASI
peras dengan menggunakan salah satu alternatif cara pemberian
minum.
– Bila kemampuan minum bayi meningkat turunkan pemberian
cairan infus setiap hari secara bertahap. Jangan menghentikan
infus glukose dengan tiba-tiba.

b. Glukose darah 25 mg/dL (1,1 mmol/L)-45 mg/dL (2,6 mmol/L)


tanpa tanda Hipoglikemia
• Anjurkan ibu menyusui. Bila bayi tidak dapat menyusu, berikan ASI
peras dengan menggunakan salah satu alternatif cara pemberian
minum.
• Pantau tanda hipoglikemia dan bila dijumpai tanda tersebut, tangani
seperti tersebut di atas.
• Periksa kadar glukose darah dalam tiga jam atau sebelum pemberian
minum berikutnya :
– Jika kadar glukose darah kurang 25 mg/dL (1,1 mmol/L), atau
terdapat tanda hipoglikemia, tangani seperti tersebut di atas;
– Jika kadar glukose darah masih antara 25-45 mg/dL (1,1-2,6
mmol/L), naikkan frekuensi pemberian minum ASI atau naikkan
volume pemberian minum dengan menggunakan salah satu
alternatif cara pemberian minum;
NEONATUS RESIKO DAN PENATALAKSANAANYA

– Jika kadar glukose darah 45 mg/dL (2,6 mmol/L) atau lebih,


lihat tentang frekuensi pemeriksaan kadar glukose darah di bawah
ini.

FREKUENSI PEMERIKSAAN GLUKOSE DARAH SETELAH KADAR


GLUKOSE DARAH NORMAL
• Jika bayi mendapatkan cairan IV, untuk alasan apapun, lanjutkan
pemeriksaan kadar glukose darah setiap 12 jam selama bayi masih
memerlukan infus. Jika kapan saja kadar glukose darah turun, tangani
seperti tersebut di atas.
• Jika bayi sudah tidak lagi mendapat infus cairan IV, periksa kadar
glukose darah setiap 12 jam sebanyak dua kali pemeriksaan:
– Jika kapan saja kadar glukose darah turun, tangani seperti tersebut di
atas;
– Jika kadar glukose darah tetap normal selama waktu tersebut, maka
pengukuran dihentikan.
Anjurkan ibu untuk menyusui secara dini dan lebih sering, paling tidak 8
kali sehari, siang dan malam.
Bila bayi berumur kurang 3 hari, amati sampai umur 3 hari, periksa
kadar glukose pada :
 saat bayi datang atau pada umur 3 jam;
 tiga jam setelah pemeriksaan pertama, kemudian tiap 6 jam selama 24
jam atau sampai kadar glukose dalam batas normal dalam 2 kali
pemeriksaan berturut–turut.
Bila kadar glukose  45 mg/dL atau bayi menunjukkan tanda
hipoglikemi (tremor atau letargi), tangani untuk hipoglikemi (lihat
Hipoglikemi);
Bila dalam pengamatan tidak ada tanda hipoglikemi atau masalah lain,
bayi dapat minum dengan baik, pulangkan bayi pada hari ke 3.
Bila bayi berumur 3 hari atau lebih dan tidak menunjukkan tanda-tanda
penyakit, bayi tidak perlu pengamatan. Bila bayi dapat minum baik dan
tidak ada masalah lain yang memerlukan perawatan di rumah sakit, bayi
dapat dipulangkan.
NEONATUS RESIKO DAN PENATALAKSANAANYA

1.Ibu Dengan Sifilis

Pada tahun 1987 Sifilis kongenital dilaporkan 10 kasus setiap 100.000


kelahiran hidup. Terjadi kenaikan menjadi 107 kasus setiap 100.000
kelahiran pada 1991. Sehingga direkomendasikan oleh CDC pada semua
ibu hamil harus diperiksa VDRL pada kunjungan pertama antenatal care,
(7,8)
dan pada trimester ketiga. Apabila hasil positip, pemeriksaan Serologi
untuk Treponema harus diperiksa, sehingga tidak ada satupun Bayi yang
pulang dari Rumah Sakit tanpa diketahui status sereologi Ibu untuk Sipilis.
• Bila hasil tes pada ibu positif dan sudah diobati dengan Penisillin 2,4
juta unit dimulai sejak 30 hari sebelum melahirkan, bayi tidak perlu
diobati.
• Bila ibu tidak diobati atau diobati secara tidak adekuat atau tidak
diketahui status pengobatannya, maka :
– Beri bayi Benzathine Benzylpenicillin IM dosis tunggal (lihat Dosis
Pemberian Antibiotika) ;
– Beri Ibu dan Bapaknya Benzathine penicillin 2,4 juta unit I.M dibagi
dalam dua suntikan pada tempat yang berbeda ;
– Rujuk Ibu dan Bapaknya ke rumah sakit yang melayani penyakit
menular seksual untuk tindak lanjut.
1. Lakukan tindak lanjut dalam 4 minggu untuk memeriksa
pertumbuhan bayi dan memeriksa tanda-tanda sifilis kongenital
pada bayi;
2. Cari tanda-tanda sifilis kongenital pada bayi (edema, ruam kulit,
lepuh di telapak tangan/kaki, kondiloma di anus, rinitis, hidrops
fetalis/hepato-splenomegali);
3. Bila ada tanda-tanda di atas, berikan terapi untuk sifilis kongenital
(lihat bab Masalah kulit dan selaput lendir);
4. Laporkan kasusnya ke Dinas Kesehatan setempat.

1.Ibu Dengan Hiv


Kasus AIDS pertama kali dilaporkan di Indonesia pada tahun 1987 pada
seorang WNA di Bali. Sejak itu HIV/AIDS di Indonesia telah dilaporkan
hampir di semua provinsi kecuali Sulawesi Tenggara. Setelah selama 13
tahun sejak dilaporkannya kasus pertama Indonesia masih tercatat
sebagai negara dengan prevalensi infeksi HIV rendah akan tetapi dalam 4
NEONATUS RESIKO DAN PENATALAKSANAANYA

tahun terakhir ini Indonesia dinyatakan berada dalam keadaan epidemi


terkonsentrasi (Concentrated level epidemic) karena HIV/AIDS telah terjadi
pada lapisan masyarakat tertentu dalam tingkat prevalensi yang cukup
tinggi terutama di provinsi Papua, DKI Jaya, Riau, Jawa Barat, Jawa Timur
dan Bali.

Arti penting pencegahan infeksi HIV di Indonesia


Dalam sudut pandang epidemi HIV/AIDS, Indonesia saat ini berada dalam
concentrated level epidemic artinya prevalensi pada masyarakat tertentu
sudah cukup tinggi terutama di Provinsi Riau, DKI Jaya, Jawa Barat, Jawa
Timur, Bali dan Papua. Potensi penularan HIV terutama masih berada pada
pola penularan melalui jalur hubungan seksual, yang harus diatasi melalui
kampanye peningkatan kewaspadaan publik (public awareness campaign)
seperti pendidikan seks, kampanye seks sehat dan kampanye penggunaan
kondom. Meskipun angka kejadiannya kecil akan tetapi pencegahan
penularan melalui jalur suntikan dan transfusi darah harus pula dilakukan
secara intensif. Hal itu dimaksudkan agar kewaspadaan petugas
kesehatan terhadap penyebaran infeksi HIV melalui jalur ini terutama
yang terkait dengan kesehatan kerja dapat ditingkatkan.

MASALAH
Ibu dengan HIV positifLA KLINIK
Tidak ada tanda-tanda spesifik HIV yang dapat ditemukan pada saat lahir.
Bila terinfeksi pada saat peripartum,tanda klinis dapat ditemukan pada
umur 2-6 minggu setelah lahir. Tetapi tes antibodi baru dapat dideteksi
pada umur 18 bulan untuk menentukan status HIV bayi.

GEJALA KLINIK
Gejala klinik tidak spesifik,menyerupai gejala infeksi virus pada umumnya.
Bila keadaan berlanjut dan terdapat defisiensi imun yang berat, maka
yang terlihat adalah gejala penyakit sekunder, sesuai dengan mikroba
penyebabnya.
Tampak pada umur 1 tahun 23 %
4 tahun 40 %
NEONATUS RESIKO DAN PENATALAKSANAANYA

Gejala klinik : BBLR, Infeksi saluran nafas berulang, PCP (Pneumocystis


carinii Pneumonia), sinusitis, sepsis, moniliasis berulang,
hepatosplenomegali febris yang tidak diketahui penyebabnya
Encephalopati (50%-90% terjadi sebelum obat anti Retrovirus
dipergunakan).

DIAGNOSIS berdasarkan :
1. HIV Persangkaan infeksi, gejala klinik, resiko penularan di daerah yang
banyak ditemukan.
2. Tes serologi.
3. Pembuktian Virus HIV dalam darah, karena pada bayi masih terdapat
antibodi ibu yang menetap sampai 18 bulan.

TES DIAGNOSTIK UTK INFEKSI HIV PADA BAYI

• HIV Antibodi pada anak umur > 18 bulan. Dengan ELISA HIV.
IgG anti HIV ab, melalui plasenta pada Trimester III
Bila hasil pos sebelum umur 18 bulan, mungkin antibodi dari ibunya
• VIRUS : HIV PCR DNA dari darah perifer pada waktu lahir, dan umur
3-4 bulan bila umur 4 bulan hasil negatip bayi bebas HIV
• CD4 count rendah (normal 2500-3500/ml pada anak, Dewasa 700-
1000/ml) P24 Antigen test sudah tidak dipakai lagi untuk diagnostik,
karena dipandang kurang sensitip terutama untuk bayi (Richard Polin
dan Cloherty)
MANAJEMEN

MANAJEMEN UMUM
• Bayi yang dilahirkan ibu dengan HIV positif maka :
–Hormati kerahasiaan ibu dan keluarganya, dan lakukan konseling
pada keluarga;
–Rawat bayi seperti bayi yang lain, dan perhatian khususnya pada
pencegahan infeksi;
– Bayi tetap diberi imunisasi rutin, kecuali terdapat tanda klinis
defisiensi imun yang berat, jangan diberi vaksin hidup (BCG, OPV,
Campak, MMR);
NEONATUS RESIKO DAN PENATALAKSANAANYA

–Pada waktu pulang, periksa DL, hitung Lymphosit T, serologi anti HIV,
PCR DNA/RNA HIV.
• Beri dukungan mental pada orang tuanya
• Anjurkan suaminya memakai kondom, untuk pencegahan penularan
infeksi.
TERAPI ANTI RETROVIRUS
Tanpa pemberian Antiretrovirus, 25% bayi dengan ibu HIV positif akan
tertular sebelum dilahirkan atau pada waktu lahir, dan 15% tertular melalui
ASI :
• Tentukan apakah ibu sedang mendapat pengobatan Antiretrovirus untuk
HIV, atau mendapatkan pengobatan antiretroviral untuk mencegah
transmisi dari ibu ke bayinya.Tujuan pemberian Antiretro Viral terapi
adalah untuk menekan HIV viral load sampai tidak terdeteksi dan
mempertahankan jumlah CD4 + sel sampai mencapai lebih dari 25%
( Cloherty).
• Kelola bayi dan ibu sesuai dengan protokol dan kebijakan yang ada,
tujuannya untuk Profilaksis
– Bila ibu sudah mendapat Zidovudine (AZT) 4 minggu sebelum
melahirkan, maka setelah lahir bayi diberi AZT 2 mg/kg berat badan
per oral tiap 6 jam selama 6 minggu, dimulai sejak bayi umur 12 jam.
– Bila ibu sudah mendapat Nevirapine dosis tunggal selama proses
persalinan dan bayi masih berumur kurang dari 3 hari, segera beri
bayi Nevirapine dalam suspensi 2 mg/kg berat badan secara oral pada
umur 12 jam.
– Untuk mencegah PCP, berikan TMP 2,5 mg/kgBB 2 x sehari,
pemberian 3 kali seminggu, diberikan sejak bayi umur 6 minggu
sampai diagnosis HIV dapat disangkal (Polin), karena peak onset PCP
adalah pada umur 3-9 bulan.
– Jadwalkan pemeriksaan tindak lanjut dalam 2 minggu untuk menilai
masalah pemberian minum dan pertumbuhan bayi (lihat Pemeriksaan
Tindak Lanjut).

BILA BAYI SUDAH TERKENA HIV


– AZT untuk bayi cukup bulan sampai bayi berumur 90 hari oral
2mg/kg BB tiap 6 jam atau IV 1,5 mg/kgBB tiap 6 jam
NEONATUS RESIKO DAN PENATALAKSANAANYA

Untuk bayi kurang bulan


1,5 mg/kg BB tiap 12 jam sampai 2 minggu kemudian 22mg/kgBB
tiap 8 jam
– NEVIRAPIN
Neonatus sampai umur 2 bulan
14 hari pertama 5 mg/kg atau 120 mg/m2 2 kali sehari
14 hari kedua 120 mg/m2 2 kali sehari berikutnya 200 mg/m2 2
kali sehari sampai usia 2 bulan

PEMBERIAN MINUM
• Lakukan konseling pada ibu tentang pilihan pemberian minum kepada
bayinya. Hargai dan dukunglah apapun pilihan ibu. Ijinkan ibu untuk
membuat pernyataan sendiri tentang pilihan yang terbaik untuk bayinya.
• Terangkan kepada ibu bahwa menyusui dapat berisiko menularkan
infeksi HIV. Meskipun demikian, pemberian susu formula dapat
meningkatkan risiko kesakitan dan kematian, khususnya bila pemberian
susu formula tidak diberikan secara aman karena keterbatasan fasilitas
air untuk mempersiapkan atau karena tidak terjamin ketersediaannya
oleh keluarga.
• Terangkan pada Ibu tentang untung dan rugi pilihan cara pemberian
minum :
– Susu formula dapat diberikan bila mudah didapat, dapat dijaga
kebersihannya dan selalu dapat tersedia;
– ASI Eksklusif dapat segera dihentikan bila susu formula sudah dapat
disediakan. Hentikan ASI pada saat memberikan susu formula;
– Rekomendasi yang biasa diberikan adalah memberikan ASI eksklusif
selama 6 bulan, kemudian dilanjutkan ASI ditambah makanan padat
setelah umur 6 bulan.
• Dalam beberapa situasi, kemungkinan lain adalah :
– Memeras ASI dan menghangatkannya waktu akan diberikan;
– Pemberian ASI oleh Ibu susuan (”Wet Nursing”) yang jelas HIV negatif;
– Memberi ASI peras dari Ibu dengan HIV negatif.
• Bantu ibu menilai kondisinya dan putuskan mana pilihan yang terbaik,
dan dukunglah pilihannya.
NEONATUS RESIKO DAN PENATALAKSANAANYA

• Bila ibu memilih untuk memberikan susu formula atau menyusui, berikan
petunjuk khusus (lihat bawah).
• Apapun pilihan ibu, berilah petunjuk khusus (seperti dibawah ini) :
– Apabila memberikan susu formula, jelaskan bahwa selama 2 tahun ibu
harus menyediakannya termasuk makanan pendamping ASI;
– Bila tidak dapat menyediakan susu formula, sebagai alternatif
diberikan ASI secara eklusif dan segera dihentikan setelah tersedia
susu formula;
– Semua bayi yang mendapatkan susu formula, perlu dilakukan tindak
lanjut dan beri dukungan kepada ibu cara menyediakan susu formula
dengan benar.
– Jangan memberikan minuman kombinasi (misal selang-seling antara
susu hewani, bubur buatan, susu formula, disamping pemberian ASI),
karena risiko terjadinya infeksi lebih tinggi dari pada bayi yang
mendapatkan ASI eksklusif.

Pemberian susu formula :


• Ajari ibu cara mempersiapkan dan memberikan susu formula dengan
menggunakan salah satu alternatif cara pemberian minum.
• Anjurkan ibu untuk memberi susu formula 8 kali sehari, dan beri lagi
apabila bayi menginginkan.
• Beri ibu petunjuk secara tertulis cara mempersiapkan susu formula.
• Jelaskan mengenai risiko memberi susu formula dan cara
menghindarinya.
Bayi akan diare apabila tangan Ibu, air atau alat-alat yang digunakan tidak
bersih dan steril, atau bila susu yang disediakan terlalu lama tidak
diminumkan;
Bayi tidak akan tumbuh baik apabila :
 jumlah tiap kali minum terlalu sedikit;
 frekuensi pemberiannya terlalu sedikit;
 susu formula terlalu encer;
 bayi mengalami diare.
• Nasihati Ibu untuk mengamati apakah terdapat tanda bahaya pada
bayinya, seperti :
–Minum kurang dari 6 kali dalam sehari atau minum hanya sedikit;
NEONATUS RESIKO DAN PENATALAKSANAANYA

–Diare;
–Berat badan sulit naik.
• Nasihati Ibu untuk melakukan kunjungan tindak lanjut :
–Kunjungan rutin untuk memonitor pertumbuhan;
–Meberi dukungan cara-cara menyiapkan formula yang aman;
–Nasihati ibu untuk membawa bayinya bila sewaktu-waktu ditemukan
tanda bahaya (lihat atas).
Pemberian ASI
• Bila ibu memilih menyusui, dukung dan hargai keputusannya.
• Pastikan bayi melekat dan mengisap dengan baik untuk mencegah
terjadinya Mastitis dan gangguan pada puting susu.
• Nasihati Ibu segera kembali apabila ada masalah pada payudara atau
putingnya, atau bayi mengalami kesulitan minum.
• Pada minggu pertama, nasihati Ibu melakukan kunjungan ke rumah sakit
untuk menilai perlekatan dan posisi bayi waktu menyusu sudah baik,
serta keadaan payudara ibu.
• Atur konseling selanjutnya untuk mempersiapkan kemungkinan ibu
menghentikan menyusui lebih awal.
PEMERIKSAAN TINDAK LANJUT SETELAH PULANG
Pemeriksaan darah PCR DNA/RNA dilakukan pada umur 1, 2, 4, 6 dan 18
bulan. Diagnosis HIV ditegakkan apabila pemeriksaan PCR DNA/RNA
HIV POSITIP dua kali berturut selang satu minggu, bila keadaan
demikian ditemukan, mulai diberikan pengobatan Antiretro Virus.

1.Ibu Dengan Kecanduan Obat


Obat-obatan yang kita bahas hanya terbatas obat Narcotic misalnya
Heroin dan Methadone, atau obat stimulant (non narcotic) misalnya
Cocain karena disamping macam obat yang sangat banyak tapi tempat
terbatas, juga karena obat tersebut sering digunakan oleh Ibu-ibu
pengguna. (9,11,12)

Kita harus waspada terhadap ibu-ibu pengguna obat apabila kita temui Ibu
yang habis melahirkan tanpa prenatal care yang disertai tanda-tanda
pengguna diantaranya adalah ada bekas jaringan-jaringan parut disertai
hepatitis, yang sangat tergesa-gesa ingin meninggalkan Rumah Sakit, atau
meminum obat dengan dosis besar dan berulang selama di Rumah Sakit.
NEONATUS RESIKO DAN PENATALAKSANAANYA

Bayi Baru Lahir dapat mengalami Withdrawel karena obat-obat tersebut


dapat melalui plasenta.

TANDA WITHDRAWEL
Terjadinya Onset Gejala Withdrawel Narcotic yang akut bervariasi waktunya,
dapat sejak lahir sampai umur 2 minggu, sedangkan simtom dapat dilihat
pada 24 sampai 48 jam tergantung kapan pengguna memakai obatnya.yang
terakhir kali, dan dicampur dengan obat lain atau tidak. Ibu dengan Heroin,
withdrawel dapat terjadi pada 50-75 % bayi, biasanya mulai pada 48 jam
pertama, tergantung dosis. Tanda-tanda withdrawel dapat dilihat pada tabel
2.
Withdrawel tergantung beberapa fakror, yaitu Dosis Obat yang dikonsumsi,
Durasi kecanduan, dan dosis terakhir yang dikonsumsi.
• Bila dosis 6mg/hari, Bayi mengalami gejala ringan, atau tanpa gejala.
• Bila kecanduan telah lebih dari satu tahun, withdrawel pada bayi dapat
terjadi lebih dari 70%.
• Bila obat dikonsumsi terutama dalam 24 jam sebelum melahirkan,maka
kejadian withdrawel akan tinggi.
Diagnosis Banding adalah Hipoglikemia dan Hipocalcemia.
Ibu pengguna Heroin atau Methadone, dapat mempunyai bayi dengan
Abstinence Syndrome dengan ciri khas iritable, jitteriness, kejang,
hipertoni, bersin-bersin, takikardi, diare, dan gangguan minum. Gangguan
ini dapat lama terutama pada Ibu pengguna Methadone.
Bila Ibu kecanduan Methadone, simtom Withdrawel pada Bayinya dapat
terjadi 75% walaupun obat yang dikonsumsi ibu rendah (20 mg/hari). Bila
dosis yang dikonsumsi besar, bayi dapat terjadi :
• Timbul gejala segera sesudah lahir, hilang, kemudian timbul lagi pada
umur 2 sampai 4 minggu.
• Tanpa gejala, tapi baru timbul withdrawel pada 2 sampai 3 minggu
setelah lahir.
• Beberapa bayi dapat mengalami BBLR, Lingkar Kepala kecil dari bayi
normal, defisit motoric, gangguan pendengaran, kejang, dan moro reflex
yang menetap, dan peningkatan resiko SIDS (Sudden Infant Death
Syndrome).
NEONATUS RESIKO DAN PENATALAKSANAANYA

Ibu dengan kecanduan Cocain, dapat mengalami meningkatnya kontraksi


Uterus, Vasokonstruksi pembuluh darah plasenta, sehingga uterine aliran
darah uterin menurun, bayi dapat mengalami Asfiksi, Prematur, Kecil Masa
Kehamilan, Perdarahan Otak, SIDS, kelainan pada saluran pencernaan, dan
ginjal, gangguan syaraf dengan adanya pertumbuhan yang terlambat,
kekakuan, gangguan belajar, Prune Belly Syndrome. Pada akhirnya anak
mengalami kekerasan keluarga (Child Abuse).
PENATALAKSANAAN
OBAT NARCOTIC
Tujuan penatalaksanaan adalah agar supaya bayi Tidak mudah terangsang
(irritable), tidak muntah, tidak diare, dapat tidur diantara waktu minumnya,
dan tidak mengalami Withdrawel.
Jangan sekali-kali memberi Narcan (Naloxon) pada bayi dengan Ibu yang
kecanduan Methadone, karena dapat merangsang terjadinya reaksi
withdrawel atau kejang.
Dalam hal pemberian Narcotic pada Ibu yang akan dioperasi karena
kesakitan, bila pemberian dalam 4 jam sebelum melahirkan, bayi boleh
diberi narcan bila ada depresi napas, asal Ibu bukan Pecandu Narcotic, bila
simtom timbul setelah 4 jam, mungkin bukan akibat dari efek narcotic obat
tersebut.
ASI dari Ibu pengguna Cocain dapat menyebabkan Bayi dengan Hipertensi,
kejang Pengelolaan meliputi Terapi Simtomatik dan Obat.

Terapi Simtomatik
Sebanyak 40% hanya membutuhkan terapi simtomatik tanpa obat. Meliputi
penempatan di Ruang yang temeraman, dan tenang, dibedong, diayun
perlahan agar tidur tenang, diberi P-ASI formula 24 calori per onz.

Terapi dengan Obat


Untuk mengetahui apakah Bayi perlu Obat atau tidak, sebaiknya
menggunakan Skoring Sistim seperti pada tabel 4. Bila skore 8 atau lebih,
pertanda Bayi perlu pengobatan Neonatal Morphine Solution ( NMS), lihat
tabel 3.
Apabila dosis sudah dicapai yang sesuai, bila sudah 72 jam, dosis
diturunkan pelan-pelan sebanyak 10 %dari dosis total, setiap harinya.
NEONATUS RESIKO DAN PENATALAKSANAANYA

Bila sudah mencapai 0,3 Ml/kg BB/hari, obat dapat diberhentikan. Bila pada
waktu penyapihan obat terjadi timbul gejala lagi, dosis terakhir sebelum
diturunkan diulang lagi. Tambahkan Phenobarbital loading dose 10mg/kg
BB kemudian dosis rumatan yang dibagi tiap 8 jam., apabila dosis NMS
mencapai 2,0 Ml/kg BB/hari.

TERAPI KECANDUAN OBAT STIMULAN( COCAIN)


Beri terapi Phenobarbital loading dose 10 mg/kg BB, kemudian dosis
rumatan. SIDS mempunyai resiko 3 sampai 7 kali pada Ibu pecandu Cocain.

TINDAK LANJUT
Koordinasi petugas Kesehatan Rumah Sakit dengan petugas setempat,
karena bayi-bayi tersebut rawan untuk terjadinya kekerasan dalam rumah
tangga. Bayi-bayi tersebut termasuk bayi yang sulit untuk perawatan
selanjutnya, apalagi bayi yang menderita Withdrawel, karena bayi sering
mudah terangsang, mengalami gangguan tidur, sehingga membutuhkan
orang yang sabar dalam merawatmya.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Bayi baru lahir atau neonatus meliputi umur 0 – 28 hari. Kehidupan
pada masa neonatus ini sangat rawan oleh karena memerlukan
penyesuaian fisiologik agar bayi di luar kandungan dapat hidup sebaik-
baiknya. Hal ini dapat dilihat dari tingginya angka kesakitan dan angka
kematian neonatus. Diperkirakan 2/3 kematian bayi di bawah umur satu
tahun terjadi pada masa neonatus. Peralihan dari kehidupan intrauterin ke
ekstrauterin memerlukan berbagai perubahan biokimia dan faali. Dengan
terpisahnya bayi dari ibu, maka terjadilah awal proses fisiologik sebagai
berikut :
1. Peredaran darah melalui plasenta digantikan oleh aktifnya fungsi
paru untuk bernafas (pertukaran oksigen dengan karbondioksida)
2. Saluran cerna berfungsi untuk menyerap makanan
NEONATUS RESIKO DAN PENATALAKSANAANYA

3. Ginjal berfungsi untuk mengeluarkan bahan yang tidak terpakai lagi


oleh tubuh untuk mempertahankan homeostasis kimia darah
4. Hati berfungsi untuk menetralisasi dan mengekresi bahan racun
yang tidak diperlukan badan
5. Sistem imunologik berfungsi untuk mencegah infeksi
6. Sistem kardiovaskular serta endokrin bayi menyesuaikan diri dengan
perubahan fungsi organ tersebut diatas
Banyak masalah pada bayi baru lahir yang berhubungan dengan
gangguan atau kegagalan penyesuaian biokimia dan faali yang disebabkan
oleh prematuritas, kelainan anatomik, dan lingkungan yang kurang baik
dalam kandungan, pada persalinan maupun sesudah lahir.

Masalah pada neonatus biasanya timbul sebagai akibat yang spesifik


terjadi pada masa perinatal. Tidak hanya merupakan penyebab kematian
tetapi juga kecacatan. Masalah ini timbul sebagai akibat buruknya
kesehatan ibu, perawatan kehamilan yang kurang memadai, manajemen
persalinan yang tidak tepat dan tidak bersih, kurangnya perawatan bayi
baru lahir. Kalau ibu meninggal pada waktu melahirkan, si bayi akan
mempunyai kesempatan hidup yang kecil.

A. Saran

Untuk mampu mewujudkan koordinasi dan standar pelayanan yang berkualitas maka
petugas kesehatan dibekali pengetahuan dan keterampilan untuk dapat melaksanakan
pelayanan essensial neonatal yang dikategorikan dalam dua kelompok yaitu :

A. Pelayanan Dasar

1. Persalinan aman dan bersih

2. Mempertahankan suhu tubuh dan mencegah hiportermia

3. Mempertahankan pernafasan spontan

4. ASI Ekslusif

5. Perawatan mata

B. Pelayanan Khusus

1. Tatalaksana Bayi Neonatus sakit


NEONATUS RESIKO DAN PENATALAKSANAANYA

2. Perawatan bayi kurang bulan dan BBLR

3. Imunisasi

Makalah ini akan membahas asuhan keperawatan bayi baru lahir yang sakit. Mengingat
luasnya bahasan maka pembahasan akan difokuskan kepada masalah ikterus &
hiperbilirubinemia, neonatus dengan ibu DM, neonatus prematur, hipertermia dan hipotermia.
Selain itu juga dikaji respon keluarga terhadap neonatus yang sakit serta hubungan tumbuh
kembang neonatus terhadap penyakit secara umum.

DAFTAR PUSTAKA

1. Charman WF, Zanetti AR, Karayiannis P, dan kawan-kawan. Vaccine-Induced


Escape Mutant of Hepatitis B Virus. Lancet 1990 ; 336 : 325-9.
2. Jacyna MR, Thomas HC. Hepatitis B. Pathogenesis and Treatment of Chronic
Infection. Dalam; Suchy FJ, penyunting. Liver Disease in Children, edisi ke-1,
St. Louis : Mosby, 1994 : 185-207.
3. Buku Panduan Manajemen Masalah Bayi Baru Lahir untuk Dokter, Perawat,
Bidan di Rumah Sakit, edisi Pertama, Kerjasama MNH-JHPIEGO-IDAI UKK
Perinatologi dan Departemen Kesehatan RI, 2004.
4. Arwin AP Akip. Infeksi HIV pada Bayi dan Anak. Sari Pediatri Vol. 6 No. 1
(Suplemen), Juni 2004.
5. Khosim S, Indarso F, Irawan G, Hendrarto TW. Buku acuan pelatihan
pelayanan obstetri Neonatal Emergensi Dasar. Jakarta : Depkes RI, 2006; 56-
7.
NEONATUS RESIKO DAN PENATALAKSANAANYA

6. Khosim MS, Surjono A, Setyowireni D, et al. Buku panduan manajemen


masalah bayi baru lahir untuk dokter, bidan dan perawat di rumah sakit.
Jakarta : IDAI, MNH-JHPIEGO, Depkes RI, 2004; 35-6.
NEONATUS RESIKO DAN PENATALAKSANAANYA

You might also like