Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
1
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974, pasal 1
Suami istri harus memahami hak dan kewajibannya sebagai upaya
membangun sebuah keluarga. Kewajiban tersebut harus dimaknai secara
timbal-balik, yang berarti bahwa yang menjadi kewajiban suami merupakan
hak istri dan yang menjadi kewajiban istri adalah menjadi hak suami.2 Suami
istri harus bertanggung jawab untuk saling memenuhi kebutuhan pasangannya
untuk membangun keluarga yang harmonis dan tentram.
Demi keberhasilan dalam mewujudkan membangun sebuah keluarga
yang harmonis dan tentram sangat diperlukan adanya kebersamaan dan sikap
berbagi tanggung jawab antara suami dan istri. Al- Qur’an mengajurkan kerja
sama diantara mereka.
Di dalam nas al- Qur’an menyebutkan, bahwa seorang suami dan istri
itu agar bergaul dengan (secara) yang baik, dalam istilah makruf sebagaimana
ditegaskan oleh Allah SWT. dalam al- Qur’an An-Nisa’ (4): 19.
B. Rumusan Masalah
Bagi orang yang hendak mengadakan suatu penelitian ilmiah, hal
pertama yang harus dilakukan bagaimana ia mampu mengumpulkan masalah
masalah yang berkaitan dengan suatu hal yang hendak diteliti, apa yang
menjadi permasalahan harus dirumuskan sejelas-jelasnya dan sebaik mungkin
serta disusun dalam bentuk pertanyaan. Merumuskan suatu permasalahan
bukanlah suatu persoalan yang mudah, karena tidak dapat dirumuskan dalam
waktu sekali jadi, melaikan melalui suatu proses yang dilakukan secara
intensif, misalnya dalam bentuk diskusi-diskusi ilmiah, seminar atau melalui
lokakarya (Dr. Suharsimi Arikuto 1993 : 40)
Adapun yang menjadi pokok permasalahan dalam dan yang akan di
kaji dalam makalah ini adalah:
1. Apa pengertian gugatan cerai menurut bahasa dan istilah?
2. Bagaimana hukumnya jika istri menggugat cerai suami?
3. Bagaimanakah pertimbangan hakim dalam memutuskan perkara
perceraian karena ketidakpuasan seksual sebagai alasan perceraian?
4. Bagaimanakah tinjauan hukum Islam terhadap perkara
ketidakpuasan seksual sebagai alasan perceraian?
C. Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan merupakan factor yang sangat vital yang berfungsi
sebagai arah yang hendak dicapai oleh penulis itu sendiri. Pada umumnya kita
mengenal adanya rumusan-rumusan formal tentang tujuan penulisan dimana
tujuan yang lebih umum di jabarkan menjadi tujuan yang lebih khusus namun
tetap mengarah pada pencapain tujuan yang lebih khusus namun tetap
mengarah pada pencapaian tujuan umum tersebut. (DR. Suharsimi Arikunto,
1993 : 63)
1. Tujuan
a. Makalah ini bertujuan untuk menggambarkan
putusan perkara ketidakpuasan seksual sebagai alasan perceraian
dengan melihat pertimbangan hukum yang diberikan hakim di
Pengadilan Agama.
b. Untuk mengetahui masalah tersebut dilihat dari
hukum Islam.
2. Adapun kegunaan penulisan ini
a. Terapan
Makalah ini diharapkan mampu memberikan kontribusi pemikiran
bagi para hakim di lingkungan Pengadilan Agama dalam
menyelesaikan perkara perceraian karena ketidakpuasan seksual
sebagai alasan perceraian
b. Ilmiah
Makalah ini diharapkan mampu manambah pengembangan pemikiran
hukum Islam bagi setiap pribadi muslim dan masyarakat luas terutama
terkait perkara perceraian karena ketidakpuasan seksual sebagai alasan
perceraian.
D. Metode Penulisan
1. Jenis Penulisan
Penulisan ini menggunakan library research (penelitian
kepustakaan) yaitu menggunakan data, dan informasi dari berbagai materi
yang di peroleh dari perpustakaan. Penekanan penulisan ini pada kajian
teori-teori, kazanah ilmu, konsep, paradikma, prinsip hokum, postulat dan
asumsi keilmuan yang relevan dengan masalah yang dibahas. (IKIP
Malang, 1992 : 29)
2. Pendekatan Penulisan
Penulisan makalah ini menggunakan pendekatan referensi
(kepustakaan) yang menggunakan paradikma penelitian kualitatif.
Kemudian dipertegas oleh Koendjaraningrat bahwa: “penelitian kualitatif
adalah penelitian dalam bidang social dan kemanusiaan dengan aktifitas
berdasarkan disiplin ilmu untuk mengumpulkan, mengklasifikasikan,
menganalisis dan menafsirkan fakta-fakta alam, masyarakat, kelakuan dan
rohani manusia guna menemukan prinsip-prinsip pengetahuan dalam
usaha mencapai hal-hal tersebut.” (kendjaraningrat, 1991 : 44)
3. Sumber Data
Sumber data yang digunakan dalam penulisan makalah ini
sebagaimana diungkap Sanapiah Faisol (1992:59) adalah data prime, yaitu
data dari pengamatan yang menyaksikan secara langsung peristiwa, seperti
teks ilmiah, majalah, surat kabar, bulletin dan telivisi. Data sekunder, yairu
pengamatan yang menyaksikan secara tidak langsung tetapi melaporkan
apa yang diuraikan dari peristiwa. Adapun sumber data yang digunakan
Dalam penulisan makalah ini adalah buku yang berkaitan dengan
pembahasan yang dimaksud dan beberapa karya lain, sebagai referensi
penunjang.
4. Teknik Penulisan
a. Teknik pemikiran deduktif
Teknik pemikiran deduktif adalah suatu analisa yang berangkat
dari pengetahuan yang sifatnya umum, dan bertitik tolak pada
pengetahuan yang umum itu kita hendak menilai kejadian yang
khusus.
b. Teknik pemikiran induktif
Teknik pemikiran induktif adalah suatu analisa yang berangkat
dari fakta-fakta yang khusus kemudian dari fakta-fakta atau peristiwa
khusus kongkrit itu generilisasi yang mempunyai sifat umum. (Hadi,
1993 : 42)
Library research : Penelitian pada buku-buku yang ada hubunganya
dengan penulisan makalah ini.
Deduktif : Mengumpulkan data-data yang bersifat umum,
kemudian menyimpulkan dari data tersebut.
E. Keterbatasan Penulisan
Dalam hal ini kami ingin mengungkapkan bahwa keterbatasan ysng
paling dominan terletak pada ruang lingkup kami yang berada di lingkungan
pesantren, dimana ruang gerak yang ada disibukkan dalam kegiatan
kepesantrenan. Tentunya dalam penyusunan makalah ini banyak kekurangan
dan kesalahan. Penyusunan semata selaku manusia biasa yang tak lepas dari
khilaf dan lupa. Karena keterbatasan penyusun dalam mengumpulkan
literatur-literatur, sehingga informasi yang diperoleh sangat jauh dari yang
diharapkan dan juga karena keterbatasan dana serta waktu dalam penyusunan
makalah. Akan tetapi kami tetap berusaha semaksimal mungkin untuk tetap
mendapatkan informasi atau literatur-literatur yang berkaitan dengan
pembahasan makalah kami, baik buku-buku tentang metode-metode
pendidikan.
F. Sistematika Penulisan
Dalam penulisan makalah ini, penulis mencantumkan sistematikan
penulisan guna mempermudah bagi si pembaca sebagaimana berikut :
1. Pada Bab I Pendahuluan berisi;
a.Latar Belakang Masalah
b.Rumusan Masalah
c.Tujuan Masalah
d.Keterbatasan Penulisan
e.Metode Penulisan
f. Sistematika penulisan
2. Pada Bab II Pembahasan berisi Tentang :
a. Kajian Dalil
1) Pengertian Gugatan Cerai (Khulu’)
2) Syarat Sah Khulu’
3) Hukum Al-Khulu’
4) Sebab-sebab Diperbolehkannya Khulu’
5) Peringatan Keras Bagi Para Suami Agar Tidak Mempersulit
Isterinya
b. Fenomena
c. Analisa Masalah
3. Bab III Penutup
a. Kesimpulan
b. Saran-saran
4. Daftar Pustaka
BAB II
PEMBAHASAN
A. KAJIAN DALIL
1. Pengertian Gugatan Cerai (Khulu’)
Gugatan cerai, dalam bahasa Arab disebut Al-Khulu. Kata Al-
Khulu dengan didhommahkan hurup kha’-nya dan disukunkan huruf Lam-
nya, berasal dari kata ‘khul’u ats-tsauwbi. Maknanya melepas pakaian.
Lalu digunakan untuk istilah wanita yang meminta kepada suaminya untuk
melepas dirinya dari ikatan pernikahan yang dijelaskan Allah sebagai
pakaian. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.
Artinya : “Mereka itu adalah pakaian, dan kamu pun adalah pakaian bagi
mereka” [Al-Baqarah : 187]
3
Kitab Fathul Bari
2. Syarat Sah Khulu’
Jika persengketaan antara suami isteri kian parah dan tidak
mungkin lagi diambil langkah-langkah kompromistis supaya mereka
bersatu kembali atau pihak isteri sudah menggebu-gebu untuk bercerai
dengan suaminya, maka ia boleh menebus dirinya dari kekuasaan
suaminya dengan menyerahkan sejumlah harta kepadanya sebagai ganti
dari buruknya keadaan yang menimpa suaminya karena bercerai
dengannya, Allah SWT berfirman :
Artinya : ”Dan tidak halal bagi kamu mengambil dari sesautu yang telah
kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya (suami
isteri) khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum
Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran
yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya.” (Al-
Baqarah:229).
Hadits nabi :
Dari Ibnu Abbas r.a. berkata, Isteri Tsabit bin Qais bin Syammas datang
kepada Nabi saw. lalu bertutur, ”Ya Rasulullah, aku tidak membenci
Tsabit karena, imannya dan bukan (pula) karena perangainya, melainkan
sesungguhnya aku khawatir kufur.” Kemudian Rasulullah saw. bersabda,
”Maka mau engkau mengembalikan kebunnya kepadanya?” Jawabnya,
”Ya (mau)” kemudian ia mengembalikannya kepadanya dan selanjutnya
beliau menjawab suaminya (Tsabit) agar mencerainya.” (Shahih: Irwa-ul
Ghalil no:2036 dan Fathul Bari IX:395 no:5276).
3. Hukum Al-Khulu’
a. Makruh
b. Wajib
c. Haram
d. Sunah
Al-Khulu disyariatkan dalam syari’at Islam berdasarkan firman Allah
SWT.
Artinya : “Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang
telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya
khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah.
Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami-isteri) tidak dapat
menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas
keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk
menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah
kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-
hukum Allah, mereka itulah orang-orang yang zhalim’” [Al-
Baqarah : 229]
4
Majmu Fatawa, hal. 282.
5
Nailul Authar Min Ahadits Sayyid Al-Akhyar Syarh Muntaqa Al-Akhbar, Muhammad bin Ali
Asy-Syaukani, Tahqiq Muhammad Salim Hasyim. Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, Beirut, Cetakan
Pertama, Tahun 1415H
6
Fathul Bari, hal. 9/315
7
Nailul Authar Min Ahadits Sayyid Al-Akhyar Syarh Muntaqa Al-Akhbar, hal. 6/260
8
Taudhihul Ahkam Min Bulughul Maram, hal. 5/468
Muhammad bin Ali Asy-Syaukani menyatakan, para ulama berijma
tentang syari’at Al-Khulu, kecuali seorang tabi’in bernama Bakr bin
Abdillah Al-Muzani… dan telah terjadi ijma’ setelah beliau tentang
pensyariatannya.
Artinya : ”Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu
mempusakai wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu
menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali
sebagai dari apa yang telah kamu berikan kepadanya
terkecuali bila mereka melakukan perbuatan keji yang nyata.
Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian jika
kamu tidak menyukai mereka (maka bersabarlah) karena
mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah
menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (An-Nisaa’:19).
B. FENOMENA
C. ANALISA MASALAH
10
Nailul Authar Min Ahadits Sayyid Al-Akhyar Syarh Muntaqa Al-Akhbar, 6/260
Jika seorang isteri telah menebus dirinya dan dicerai oleh suaminya.
Maka ia berkuasa penuh atas dirinya sendiri, sehingga suaminya tidak berhak
untuk rujuk kepadanya, kecuali dengan ridhanya dan perpecahan tidak
dianggap sebagai talak meskipun dijatuhkan dengan redaksi talak. Namun ia
adalah perusakan akad nikah demi kemaslahatan sang isteri dengan balasan
menebus dirinya kepada suaminya.
Ibnul Qayyim r.a. menulis sebagai berikut; ”Dan yang menunjukkan khulu’
bukan talak adalah bahwa Allah SWT telah menetapkan tiga ketentuan yang
berlaku pada talak terhadap (isteri) yang telah dikumpuli jika talak tersebut
telah mencapai talak tiga. Ketetapan-ketetapan itu, tidak pada khulu’.11
1. Suamilah yang lebih berhak rujuk kepada isterinya dalam masa iddah.
2. Talak maksimal tiga kali, sehingga setelah terjadi talak ketiga, isteri
tidak halal bagi suaminya, terkecuali ia kawin lagi dengan suami kedua
dan pernah bercampur dengannya.
3. Iddah yang berlaku dalam talak terdiri atas tiga kali quru’ (bersih dari
iddah).
Sementara itu, telah sah berdasarkan nash (ayat Qur-an ataua hadits)
dan ijma’ (kesepatakan) bahwasanya tidak sah istilah rujuk dalam khulu’.
Dan, sudah sah berdasar sunnah Nabi saw dan pendapat para shahabat
bahwa iddah untuk khulu’ hanya satu kali haidh.
Demikian pula telah sah juga berdasar nash syar’i bahwa boleh
melakukan khulu’ setelah talak kedua dan talak ketiga.12
Ini jelas sekali menunjukkan bahwa khulu’ bukanlah talak. Oleh sebab
itu Allah SWT menegaskan, ”Talak (yang dapat dirujuk) dua kali. Setelah itu
boleh rujuk lagi dengan cara yang ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang
baik dan tidak halal bagi kamu mengambil kembali dari sesuatu yang pernah
kami berikan pada mereka kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat
melaksanakan hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya
(suami istri) tidak dapat mejalangkan hukum-hukum Allah, maka tidak ada
11
Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid Wa Nihayatul Muqtashid, Juz II, Semarang, t.t
h. 30
12
Ibid, hal. 40
dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus
dirinya.” (Al-Baqarah:229).
Dan ini tidak dikhususkan bagi wanita yang telah ditalak dua kali,
karena hal ini ia mencakup isteri yang dicerai dua kali. Tidak boleh dhamir
(kata ganti). Itu kembali kepada oknum, yang tidak disebutkan dalam ayat di
atas dan meninggalkan oknum yang disebutkan dengan jelas akan tetapi
mungkin dikhususkan bagi oknum yang pernah disebutkan sebelumnya atau
meliputi juga selain yang sudah disebutkan sebelumnya. Kemudian Allah
SWT berfirman :
Ayat al-Qur’an ini meliputi perempuan yang dicerai setelah khulu’ dan
setelah dicerai, dua kali secara qath’i (pasti) karena dialah yang disebutkan
dalam ayat di atas. Maka ia (wanita yang di khulu’) harus masuk ke dalam
kandungan lafazh ayat tersebut. Demikianlah yang difahami Imam Ahli tafsir
Ibnu Abbas r.a. yang pernah dido’akan oleh Rasulullah saw. agar Allah
mengajarinya tafsir Qur’an. Dan pasti doa itu terkabul, tanpa keraguan.
Manakala hukum-hukum yang berlaku dalam khulu’ berlainan dengan hukum-
hukum talak maka hal itu menunjukkan bahwa keduanya berlainan. Jadi inilah
yang sesuai dengan ketentuan na’ah, qiyas, dan dengan pendapat para
shahabat Nabi saw. (Zaadul Ma’ad V:199).13
Langgengnya kehidupan perkawinan merupakan suatu tujuan yang
sangat diinginkan oleh Islam, maka dikatakan bahwa”Ikatan antara suami istri
adalah ikatan yang paling suci dan paling kokoh. ”Selaras dengan tujuan
perkawinan yaitu membentuk keutuhan ketuhanan Yang Maha sa. Sehingga
setiap usaha yang menyepelekan hubungan perkawinan dan melemahkannya
dibenci oleh Islam karena kehancuran keluarga yang disebabkan oleh pecah
belah perkawinan akan dirasakan bukan saja oleh individu-individu dalam
keluarga itu melainkan akan tercemin keguncangan di dalam masyarakat.
Rasullulah SAW bersabda: Abghodu al-halal ila Allahi ta'ala at-thalaq
Walaupun pada mulanya para pihak dalam suatu perkawinan bersepakat untuk
mencari kebahagiaan dan melanjutkan keturunan dan ingin hidup bersama
sampai akhir hayat, seringkali hasrat serupa itu kandas di tengah jalan.
Kadang-kadang pasangan suami istri karena kesibukannya masing-masing
lupa menerapkan petunjuk Allah SWT. dan tergelincir kelembah pertengkaran
yang hebat diantara mereka. keadaan tersebut tidak dapat diselesaikan atau
didamaikan bahkan menimbulkan kebencian, kebengisan dan pertengkaran
terus-menerus. Seperti ini maka Allah SWT menganjurkan, hendaklah
ditunjuk seorang penengah. Allah SWT. Berfirman dalam surat an-Nisa
(4):35.
14
H. Abdurrahman, S.H, Kompilasi Hukum Islam, Jakarta:
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Hadits Rasululllah Saw, “Sesungguhnya perbuatan mubah tapi dibenci
Allah adalah talak (cerai)”. Namun, bila kondisinya darurat (terpaksa), maka
jalan tersebut (cerai) diperbolehkan.
Ada beberapa kemungkinan dalam kehidupan rumah tangga yang
dapat memicu terjadinya perceraian. Salah satunya adalah adanya nusyuz yang
bermakna kedurhakaan. Kemungkinan nusyuz tidak hanya datang dari istri,
tetapi dapat juga datang dari suami. Selama ini sering dipahami, nusyuz hanya
datang dari pihak istri. Kemungkinan suami nusyuz dapat terjadi dalam bentuk
kelalaian dari pihak suami untuk memenuhi kewajibannya pada istri, baik
nafkah lahir maupun nafkah batin.
Terjemah :
Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap
tidak acuh dari suaminya, Maka tidak Mengapa bagi keduanya
mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan
perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia
itu menurut tabiatnya kikir dan jika kamu bergaul dengan
isterimu secara baik dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan
sikap tak acuh), Maka Sesungguhnya Allah adalah Maha
mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Firman Allah SWT. di atas menganjurkan perdamaian. Istri diminta
untuk lebih sabar menghadapi suaminya dan merelakan hak-haknya dikurangi
untuk sementara waktu agar perceraian tidak terjadi. Akan tetapi, sebagian
ulama berpendapat, jika suami melalaikan kewajiban dan istrinya berulangkali
mengingatkannya, namun tetap tidak ada perubahan baik, maka taklik talak
adalah jalan terbaik untuk melindungi kaum wanita.
Jadi, gugat cerai atau khulu’ adalah perceraian yang terjadi atas
permintaan istri, dengan memberikan tebusan atau iwadl kepada dan atas
persetujuan suami.
Secara tekstual dalam Al-Qur’an, istilah gugat-cerai tidak ditemukan.
Namun, QS. An-Nisa’/4: 128 di atas dipahami oleh sebagian ulama
dibolehkan untuk melakukan gugat-cerai terhadap suami jikaa berorientasikan
pada kebaikan (mashlahat). Wallahu a’lam bissawab.
Berdasarkan alasan perceraian dalam hukum positif di Indonesia,
terlihat bahwa ketidakpuasan seksual tidak termasuk alasan perceraian dalam
ketentuan hukum. Untuk itu hal demikian inilah yang perlu dipertimbangkan
dalam upaya lebih mengkaji lagi serta perlunya enterpretasi masa kini.
Menurut pendapat penulis, khulu’ maupun fasakh adalah dua bentuk
talak yang dikategorikan atas inisiatif isteri, dan tak ada perbedaan yang jelas.
Ini sebagai bukti bahwa Islam tetap mengakomodasi hak-hak wanita (isteri),
walaupun hak dasar talak ada pada suami, namun dalam keadaan tertentu,
isteri juga mempunyai hak yang sama, yaitu dapat melakukan gugatan cerai
terhadap suaminya melalui khulu’ maupun fasakh.
B. SARAN-SARAN
Dalam penulisan makalah ini, masih banyak koreksi yang perlu adanya
pembenahan dikemudian hari. Antara lain adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana nantinya teman-teman mahasiswa dapat mengkonstruk
kajian hukum secara universal dan individual terhadap kompilasi hukum-
hukum Negara Indonesia dalam bidang, hukum nikah.
2. Berdasarkan alasan penceraian dalam hukum positif di Indonesia
terlihat ketidakpuasan seksual menjadikan suatu pijakan dalam problem
khulu', untuk itu diperlukan hukum yang menangani studi kasus tersebut.
Karna pada dasarnya alasan penceraian dalam kaitannya ketidak puasan
seksual belum tersedia dalam hukum yang ada diindonesia.
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL................................................................................................i
KATA PENGANTAR ............................................................................................ii
DAFTAR ISI...........................................................................................................iii
BAB I : PENDAHULUAN......................................................................................1
A........................................................................Latar Belakang Masalah
................................................................................................................1
B.................................................................................Rumusan Masalah
................................................................................................................4
C...................................................................................Tujuan Penulisan
................................................................................................................5
D..................................................................................Metode Penulisan
................................................................................................................5
E..........................................................................Keterbatasan Penulisan
................................................................................................................7
F............................................................................Sistematika Penulisan
................................................................................................................7
BAB II : PEMBAHASAN.......................................................................................9
A...........................................................................................Kajian Dalil
................................................................................................................9
1. Pengertian Gugatan Cerai (Khulu’).................................................9
2. Syarat Sah Khulu’..........................................................................10
3. Hukum Al-Khulu’ .........................................................................11
4. Sebab-sebab Diperbolehkannya Khulu’ ........................................12
5. Peringatan Keras Bagi Para Suami Agar Tidak Mempersulit
Isterinya..........................................................................................13
B..............................................................................................Fenomena
..............................................................................................................15
C....................................................................................Analisa Masalah
..............................................................................................................17
BAB III : PENUTUP.................................................................................................................23
A............................................................................................Kesimpulan
..............................................................................................................23
B............................................................................................Saran-saran
..............................................................................................................24
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................25
DAFTAR PUSTAKA