You are on page 1of 39

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Al-Qur'an merupakan sumber paling utama dari segala sumber hukum
yang ada, yang sudah tidak diragukan lagi kebeneran isi kandungannya.
Karena ia adalah kalam ilahi yang telah difirmankan kepada Nabi Muhammad
SAW, melalui perantaraan malaikat jibril untuk kepentingan ummat Nabi
Muhammad SAW. Ia merupakan petunjuk/ hidayah bagi orang-orang yang
taqwa (QS. 2 : 2).
Artinya:
"Kitab (Al-Qur'an) ini tiada keraguan di dalamnya; petunjuk bagi mereka
yang taqwa". (QS. 2, Al-Baqarah : 2) (Depag RI, 1989, hal. 8).

Artinya:
"….Membenarkan apa (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjadi
petunjuk serta berita gembira bagi orang-orang yang beriman". (QS. 2,
Al-Baqarah : 97).

"(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan ramadlan, bulan yang
didalamnya diturunkan (permulaan) Al-Qur'an sebagai petunjuk bagi
manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda
(antara yang hak dan yang bathil)….." (QS. 2, Al-Baqarah : 185).

"(Al-Qur'an)" ini adalah penerangan bagi seluruh manusia, dan petunjuk


serta pelajaran bagi orang-orang yang taqwa". (QS. 3, Ali Imron : 138)
(Depag RI, 1989, hal. 27, 45 dan 98)
Sebagai aturan hukum (QS. 13 : 37)
Artinya:
"Dan demikianlah, kami telah menurunkan al-qur'an itu sebagai
peraturan (yang benar) dalam bahasa arab……" (QS. 13, ar-Rod : 37).
(Depag RI, 1989, hal. 367)

1
Dan sebagai pedoman hidup (QS. 45 : 20)
Artinya:
"Al-Qur'an ini adalah pedoman bagi manusia, petunjuk dan rahmat bagi
kaum yang meyakini." (QS. 45, Al-Jatsiah : 20). (Depag RI, 1989, hal.
817)

Hal ini mengandung pengertian, bagi setiap hamba Allah SWT. Yang
setia kepada agamanya harus merasa terikat terhadap seluruh hukum (Islam)
yang terkandung di dalamnya.
Demikian pula tuntunan yang datangnya dari Rasulullah SAW. Sebab,
hadits nabi yang telah banyak diriwayatkan itu merupakan wahyu Allah juga
yang harus dijadikan landasan oleh ummat manusia.
Di samping itu juga, manusia harus taat dan patuh kepada pemerintah
(ulil-amri) sepanjang tidak bertentangan dengan aturan agama Islam. Sebab,
hal ini juga perintah Allah yang harus dilaksanakan keberadaannya oleh
hamba-Nya. (QS. 2 : 59):
Artinya:
"Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya),
dan ulil amri diantara kamu. Kemudian kembalikanlah ia kepada Allah
(Al-Qur'an) dan rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman
kepada allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu)
dan lebih baik akibatnya." (QS. 4, An-Nisa' : 59). (Depag RI, 1989, hal.
128)

Di antara peraturan yang telah ditetapkan oleh pemerintah adalah


undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang hukum perkawinan di Indonesia
yang berlaku bagi semua warga nergara.
Dalam pasal 7 ayat (1) UU No. 1 tahun 1974 dinyatakan, bahwasanya
perkawinan yang belum mencapai usia 19 (sembilan belas) tahun bagi pria dan
16 (enam belas) tahun bagi wanita belum diizinkan. Sedangkan agama Islam
tidak menetapkan secara jelas (sorih) batas umur melaksanakan perkawinan.
Jadi, baik di dalam Al-Qur'an maupun Al-Hadits tidak ditetapkan secara jelas
adanya batasan tertentu untuk usia minimal dalam perkawinan. Dua hal inilah
yang menjadi permasalahan bagi penulis, satu sisi memberi batasan usia
minimal dalam perkawinan sedangkan di sisi lain tidak.

2
Berdasar praktek di masyarakat, banyak yang melaksanakan kawin
sebelum batas usia perkawinan sebagaimana ditetapkan dalam UU Nomor 1
tahun 1974 seperti di Desa Wonosari Kec. Tutur-Nongkojajar Kab. Pasuruan,
akan tetapi ditolak oleh pihak pegawai pencatat nikah (PPN) setempat
alasannya masih berusia muda.
Dari kenyataan di atas penulis tertarik untuk menulis dan meneliti
perkawinan pada usia muda itu yang dikaitkan dengan UU Nomor 1 tahun
1974 dengan berdasarkan ajaran agama Islam (hukum Islam).

B. Identifikasi Masalah
Dari paparan di atas dapat diketahui, bahwa masalah pokok yang ingin
penulis pelajari adalah mengenai perkawinan usia muda yang berdasarkan UU
Nomor 1 Tahun 1974 di Desa Wonosari Kec. Tutur-Nongkojajar Kab.
Pasuruan dalam tinjauannya dengan hukum Islam.
Dengan demikian, maka masalahnya menjadi jelas dan mudah dikenali.

C. Pembatasan Masalah
Masalah yang bertitik tolak pada identifikasi masalah di atas dirasa
masih cukup luas cakupannya/ ruang lingkupnya. Untuk itu, masalah tersebut
perlu dibatasi dari segi :
1. Subyek : - Para pihak yang melangsungkan perkawinan yang masih
berusia muda dan ber-Agama Islam dengan melalui dispensasi
kawin;
- Instansi terkait (Kepala Desa dan KUA).
2. Tempat : Desa Wonosari Kec. Tutur-Nongkojajar Kab. Pasuruan.

D. Perumusan Masalah
Agar lebih praktis dan operasional dalam penulisan skripsi ini, maka di
sini dibuat rumusan masalah sebagai berikut :
1. Motifasi apakah yang mendorong terjadinya perkawinan di bawah umur
yang terjadi di Desa Wonosari Kec. Tutur-Nongkojajar Kab. Pasuruan ?

3
2. Bagaimana tinjauan hukum Islam terhadap perkawinan usia muda/ di
bawah umur tersebut ?
3. Bagaimana perkawinana usia muda menurut hukum positif, adakah suatu
penyimpangan ?

E. Tujuan Studi
Sejalan dengan pertanyaan-pertanyaan di atas, maka tujuan studi ini
dapat diketahui dengan rumusan sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui hal yang mendorong terjadinya perkawinan di bawah
umur yang terjadi di desa wonosari.
2. Untuk mengetahui, apakah perkawinan usia muda itu sesuai dengan
syari'at Islam atau tidak.
3. Untuk mengetahui, apakah perkawinan usia muda tersebut ada
penyimpangan dengan hukum positif atau tidak.

F. Kegunaan Studi
Signifikansi studi ini kiranya dapat dimanfaatkan untuk kepentingan
sebagai berikut :
1. Dapat dijadikan bahan untuk menyusun hipotesa bagi penelitian
berikutnya tentang faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya perkawinan
usia muda, sehingga dapat diperkecil pelaksanaannya kalau memang tidak
ada penyimpangan.
2. Dapat dipergunakan untuk program binaan dan pemantapan kehidupan
beragama, khususnya yang berkenaan dengan perkara munakahat untuk
kalangan yang beragama Islam.

G. Pelaksanaan Penelitian
Penelitian untuk karya ini akan dilaksanakan disebuah desa terpencil dan
berbukit-bukit, karena memang terletak di suatu daerah pegunungan yang
tinggi dan berhawa dingin. Dari desa tersebut menuju Gunung Bromo kearah
timur sekitar + 7 km. jadi, di lokasi itulah akan dilaksanakan penelitian.

4
Adapun alasan pemilihan lokasi ini didasarkan atas pertimbangan
sebagai berikut :
1. Obyek Penelitian :
- Masyarakat Islam yang masih berusia muda sangat dominan yang
melangsungkan perkawinan;
- Daerah tersebut merupakan daerah pedesaan semi kota (kecamatan);
- Juga merupakan daerah teladan di antara desa-desa lainnya.
2. Subyek Penelitian
Pada pelaksanaan penelitian nanti dibutuhkan subyek penelitian, di
antaranya adalah para pihak yang akan melaksanakan perkawinan, akan
tetapi ditolah oleh pihak PPN dan KUA dimana para pihak yang akan
melaksanakan perkawinan di tempat itu.
3. Data yang akan digai
Berdasarkan perumusan masalah, seperti telah dikemukakan dahulu,
data-data yang akan dihimpun meliputi :
- Data tentang frekuensi perkawinan usia muda ;
- Data tentang faktor-faktor yang mendorong terjadinya perkawinan usia
muda ;
- Data tentang perekonomian, pendidikan, keagamaan, dan keadaan
sosial (penduduk) ;
- Data-data lainnya. (jika dibutuhkan)
4. Sumber data
Sumber data untuk seluruh data di atas terdiri dari :
- Sumber utama (pokok) yakni, pesponden yang memberikan pernyataan
tentang hal atau yang berkenaan dengan dirinya sendiri ;
- Sumber tambahan (pelengkap) yakni, informan yang memberikan
pernyataan tentag hal atau yang berkenaan dengan orang/ pihak lain ;
seperti pegawai KUA, kepala desa, masyarakat dan lain-lain.
5. Tehnik penggalian data
Data-data di atas akan digali dari sumber datanya masing-masing,
sebagai berikut :

5
- Penggalian dari sumber data utama akan menggunakan tehnik
pengamatan terlibat, yakni penulis akan berwawancara langsung
dengan responden/ informan.
- Penggalian data dari sumber tambahan akan menggunakan pengamatan
(observasi) secara langsung terhadap peristiwa, keadaan atau hal lain
yang menjadi keperluan dalam penggalian data ini.

6
BAB II
BEBERAPA HAL TENTANG PERKAWINAN

A. Pengartian Perkawinan
Pengertian perkawianan dapat ditinjau dari dua unsur yaitu pengertian
menurut bahasa dan pengertian menurut istilah.
Menurut bahasa, perkwianan adalah 'bersetubuh' dan 'berkumpul'
( ). (Taqiyuddin, tt., II, hal. 36).
Hal ini senada dengan pendapat Imam Muhammad Bin Isma'il Kahlani
As-Shon'ani. Beliau mendefinisikan perkawinan sebagai berikut:

Artinya: Bersetubuh/berkumpul dan memasukkan dipakai dalam pengertian


bersetubuh. (As-Shon'ani, tt., III : 109)

Sedangkan menurut seorang ahli bahasa Indonesia dalam kamusnya


menyebutkan pengertian perkawinan sama dengan pengertian pernikahan,
karena kata perkawinana berasala dari kata 'kawin' yang berarti 'nikah'. Beliau
mengatakan dalam bukunya, bahwa arti nikah adalah :
"Perjanjian antara laki-laki dan perempuan untuk bersuami istri (dengan
resmi)." (W.J.S. Poerwadarminta, 1985, hal. 676)

Pengertian perkawinan menurut istilah, dalam hal ini para ahli fiqih
memberikan batasan sesuai dengan tujuan peninjauan mereka, atnara lain :
1. Menurut syekh Muhammad As-Syarbini Al-Khotib dalam kitabnya Al-
Iqna', menyebutkan :

Artinya: (Aqad (perjanjian) yang dapat membolehkan bersetubuh sebab


mengucapkan lafadz 'inkah' atau 'tazwij' atau terjemahnya). (As-Syarbini,
tt., II : 115)

7
2. Menurut Al-Imam Taqiyuddin Abu Bakar dalam kitabnya Kifayatul-
Ahyar, menyebutkan :

Artinya: (…….adalah suatu ungkapan dari aqad yang masyhur yang


mempergunakan syarat dan rukun). (Taqiyuddin, tt., II hal. 36)

3. Menurut abu thoyyib Muhammad Syamsul Haq dalam kitabnya 'Awanul-


Ma'bud', Syarah Sunan Abu Dawud, telah dinyatakan :
(Aqad antara suami istri yang menghalalkan wathi' (bersetubuh), dan
pada hakikatnya aqad itu merupakan majaz dalam persetubuhan). (Abu
Thuyyib, tt., II : 39)

Dari beberapa definisi di atas, baik menurut bahasa maupun istilah


(syara') terdapat sedikit perbedaan di antara mereka, namun satu sama lainnya
saling melengkapi dan menyempurnakan jika kita ambil kesimpulan
sementara di antar definisi-definisi di atas.
Dan dari beberapa pendapat tersebut dapat ditarik suatu kesimpulan,
bahwa perkawinan adalah aqad (perjanjian suci) yang menghalalkan hubungan
kelamin antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan yang bukan
mahromnya, dimana hal ini merupakan kebutuhan biologis manusia untuk
memenuhi kebutuhan jasmani dan rohani manusia yang bertujuan membentuk
keluraga bahagia dan sejahtera serta melanjutkan keturunan sebagai
perwjudan melaksanakan dan mencontoh sunnah Nabi SAW.
Pernyataan di atas sesuai dengan pengertian perkawinan pada UU
Nomor 1 tahun pasal 1 yang berbunyi :
"Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang
wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah
tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa."
(UU. No. 1/ 1974. 1978 : 6)

Pasal 1 Undang-Undang perkawinan di atas merupakan rumusan 'arti'


dan 'tujuan' perkawinana.

8
Yang dimaksud dengan arti perkawinana ialah "ikatan lahir bathin antara
seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri".
Sedangkan tujuan perkawinan adalah "membentuk keluarga (rumah tangga)
yang bahagia dan kekal berdasarkan ke-Tuhanan Yang Maha Esa". Artinya,
tuntunan agama harus menceraikan dan menjiwai keseluruhan peraturan dan
perundang-undangan yang berkenaan dengan perkawinan, bahkan norma
agama menentukan sah tidaknya suatu aqad perkawinan, sebagaimana
termaktub dalam pasal 2 ayat (1) UU perkawinan.

B. Tujuan Perkawianan
Sementara ini, menurut kebanyakan orang (orang awam) tujuan
perkawinana ialah menghalalkan hubungan kelamin antara pria dengan
wanita. Anggapan itu bukanlah merupakan tujuan perkawinan yang sempurna
menurut Islam, sebab masih ada tujuan perkawinan yang utama yang
terkandung dalam ajaran Islam, diantaranya.
1. Untuk melanjutan keturunan yang merupakan sambungan hidup dan
penerus cita-cita, juga membentuk keluarga dan dari keluarga-keluarga itu
membentuk umat, yaitu umat Nabi Muhammad SAW.
Pernyataan di atas sesuai dengan firman Allah :
        
      
      

Artinya :
"Allah menjadikan bagi kamu istri-istri dari jenis kamu sendiri
dan menjadikan bagimu dari istri-istri kamu itu, anak-anak dan
cucu, dan memberimu rizki dari yang baik-baik". (QS. 16, An-Nahl
: 72). (Depag RI, 1989 : 412)

Juga nabi sendiri telah menjelaskan tentang tujuan nikah ini, di


antaranya :

9
Artinya :
"Kawinlah dengan perempuan pencinta lagi bisa banyak anak,
agar nanti aku dapat membanggakan jumlahmu yang banyak di
hadapan para Nabi pada hari qiamat nanati". (Sayyid Sabiq,
1983, jilid II : 11)

Banyaknya jumlah keturunan mempunyai dampak positif, secara


umum dan khusus. Sehingga beberapa bangsa ada yang berkeinginan
keras untuk memperbanyak jumlah rakyatnya dengan memberikan iming-
iming melalui pemberian upah bagi orang yang beranak banyak.
2. Untuk memelihara naluri keibuan dan kebapakan, sehingga tumbuh saling
melengkapi dalam suasana hidup dengan anak-anak dan akan tumbuh pula
perasaan-perasaan ramah, cinta dan kasih sayang.
Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT :
       
       
     

Artinya :
"Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan
untukmu istri-istri dari jenismu dari jenismu sendiri, supaya kamu
cenderung dan tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antar
kamu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian
itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir".
(QS. 30, Ar-Rum : 21). (Depag RI, 1989 : 644)

3. Untuk menjaga diri dari perbuatan-perbuatan yang dilarang Allah SWT.


Mengerjakannya, sebagaimana sabda Nabi SAW :

Artinya :
"Hai, golongan pemuda ! bila di antara kamu ada yang mampu
kawin hendaklah kawin, karna nanti matanya akan lebih terjaga
dan kemaluannya akan lebih terpelihara. Dan bilamana ia belum
mampu kawin hendaklah ia berpuasa, karena puasa itu dapat
menurunkan syahwat". (HR. Jama'ah) (Sayyid Sabiq, 1983, jilid II:
13)

10
4. Untuk melaksanakan sunnah rasul, maksudnya adalah :

"Rasulullah SAW. Sebagai panutan orang-orang Islam hendaknya


menjadi uswatun hasanah dalam segala gerak-geriknya. Oleh karena itu,
Rasulullah juga melaksanakan perintah kawain maka hal ini juga berlaku
untuk seluruh umatnya". (Drs. Irfan Sidqon, 1978, I : 3)

5. Sebagai bentang untuk dirinya sendiri demi memelihara moral dan


kesucian. Sebab : perkawinana menyediakan untuk diri seseorang satu
benteng pertahanan yang dibangun bagi kepuasan seksual sekligus sebagai
kubu perlindungan moral bagi dirinya. (Achmad Rais, 1990 : 14)
Dalam hal ini Allah telah menyatakan :
       
         
      
       
        
     
Artinya :
"Dan (diharamakan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami,
kecuali budak-budak yang kamu miliki, (Allah telah menetapkan
hukum itu) sebagai ketetapannya atas kamu. Dan dihalalkan bagi
kamu selain yang demikian (yaitu) mencari istri-istri dengan
hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina". (QS. 4, an-nisa' :
24) (Depag RI, 1989 : 121)
Jika kita teliti secara cermat ayat di atas, maka menjadi jelas.
Bahwasanya menurut pandangan Islam, yang paling penting di antara
suami istri adalah perlindungan moral dan kesucian yang hakiki. Ini
merupaka tujuan utama yang harus dicapai, bahkan kalau boleh dikatakan,
inilah semua tujuan perkawinan. Tidak ada tujuan lain yang harus dicapai
dalam hal ini.
Berdasarkan tujuan-tujuan perkawinan di atas, maka dengan
perkawinan seseorang dapat memenuhi hajat hawa nafsunya yang bersifat
tahji'I dengan aman dan tenang dalam suasana cinta mesra. Sehingga
dengan demeikian dapat memperoleh keputusan dengan sangat sempurna

11
dan ketenangan lahir bathin. Semua itu merupakan sendi-sendi
kesejahteraan keluarga dan masyarakat.
Dari uraian di atas dapat dipahami, bahwa dalam pandangan Islam
bukanlah halalnya hubunga kelamin saja yang menjadi tujuan dalam
perkawinan. Tetapi juga bertujuan untuk meendapatkan keturunan yang
sah dalam rangka melanjutkan generasi, disamping supaya suami istri
dapat membina kehiudpan keluraga yang tentram lahir dan bathin atas
dasar saling mencintai dalam suatu ruamh tangga bahagia.
Muhammad Abu Zahroh mencoba mengemukakan pengertian nikah
yang juga dapat menggabarkan tujuan perkawinan. Menurutnya,
perkawinana adalah "suatau akad (perjanjian) yang menghalalkan
hubungan kelamin antara seorang pria dengan wanita, saling membantu
dan masing-masing mempunyai hak dan kewajiban yang harus dipenuhi".
(Muhammad Abu Zahroh, 1957 : 19)
Sedangkan yang menentukan hak dan kewajiban suami istri adalah agama
dan norma hukum lainnya.
Sejalan dengan pendapat Abu Zahroh, terdapat pula dalam Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974, yakni perkawinan bertujuan membina
rumah tangga bahagia, dan dicantumkan pula tentang hak dan kewajiban
suami istri dengan rinci.

C. Hak dan Kewajiban Suami Istri


Hubungan antara suami dan istri berpijak pada hubungan timbul balik.
Hubungan saling menerima dan memberi. Karena itu, sering kali digunakan
istilah 'hak istri adalah kewajiban suami, begitu juga sebaliknya, hak suami
adalah kewajiban istri'.
Seorang laki-laki yang kemudian memperoleh sebutan suami,
merupakan pemimpin puncak dari struktur rumah tangga atau keluarga baru.
Suami mempunyai wewenang atau otoritas dalam membina dan mengatur
rumah tangga. Dia adalah manajer umum dari organisasi itu. Selanjutnya,
seorang istri/ perempuan yang kemudian memperoleh status sebagai istri, akan

12
memperoleh peran sebagai manajer pelaksana dalam struktur organisasi
tersebut.
Kekuatan struktur bangunan keluarga baru itu amat tergantung pada
pondasinya. Agama adalah sebaik-baik pondasi suatu struktur bangunan
keluarga.
Secara normatif dan tidak langsung, seorang lelaki yang menikah juga
telah berjanji kepada Allah SWT. Untuk memperlakukan istrinya dengan baik,
menjaga kemuliaannya serta tidak menganiaya.
Jika dirinci, kewajiban suami atas istrinya terdiri dari:
1. Nafkah: setiap suami wajib memenuhi nafkah bagi keluarganya sesuai
dengan kesanggupannya. Namun, seorang suami dilarang memberikan
nafkah secara berlebihan, karena hal ini akan berdampak negatif. Dalam
Al-Qur'an telah dinyatakan:

……….    


         
       
…………   

Artinya:
"…..Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada
para ibu dan cara yang ma'ruf. Seseorang tidak dibebani
melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang
ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan juga seorang
ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian…."
(QS. 2, Al-Baqarah : 233) (Depag RI, 1989, hal. 57 dan 225)

2. Tempat tinggal: struktur keluarga baru yang masih menumpang di


kerluarga induk, apakah itu berada di pihak laki-laki atau perempuan,
menimbulkan banyak dampak psikologis. Lahirnya problem-problem
psikologis membuat kekuatan struktur bangunan keluarga baru menjadi
mudah goyah.
Sejumlah ulama' menafsirkan, seorang suami berkwajiban
memberikan papan (tempat tinggal) bagi istrinya secara layak dan sesuai
dengan kemampuannya. Di dalam rumah itulah seorang istri mampu

13
dengan sepenuhnya menempatkan diri sebagai pemimpin rumah tangga.
Bahkan sejumlah ulama' menafsirkan, tidak ada seorang sauamipun boleh
mengizinkan salah satu keluarganya sendiri ikut menumpang di dalam
rumahnya tanpa seizin istri.
3. Mahar: salah satu usaha Islam memperhatikan dan menghargai kedudukan
wanita. Yaitu memberi hak mahar. Dan kepada suami diwajibkan
memberikan maharnya kepada istri. Bukan kepada ayahnya, dan kepada
orang yang paling dekat kepadanya, karena tidak dibenarkan ikut campur
atau menjamah harta bendanya, kecuali ada izin dan kerelaannya.
Pernyataan di atas sesuai dengan firman Allah:
        
     
Artinya:
"Berikan mas kawin (mahar)" kepada wanita (yang kamu nikahi)
sebagai pemberian dan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka
menyerahkan kepada kamu sebagian dari mas kawin itu dengan
senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai
makanan) yang sedap lagi baik akibatnya. (QS. 4, An-Nisa' : 4)
(Depag RI, 1989, hal. 115)

4. Rohaniah: seorang suami wajib memberikan hak-hak istrinya secara adil,


lebih-lebih jika seorang suami berpoligami, semua istrinya harus dipenuhi
hak-haknya secara merata; dan tidak boleh membahayakannya. Jadi, bagi
suami wajib memperlakukan istrinya secara baik, sehingga dapat
mewujudkan kemesraan dan kedamain.
Hal ini senada dengan firman Allah SWT:
.…………… ………   

Artinya:
"……Dan pergauilah mereka (istri) dengan baik……." (QS. 4,
An-Nisa' : 19). (Depag RI, 1989, hal. 119)

5. Memelihara istrinya yang sakit: perikatan agama mempunyai nilai yang


utuh. Tidak semata-mata berpijak pada cara-cara berpikir fomalistik.
Seringkali timbul persoalan dalam masalah kewajiban memelihara
istri yang sakit. Seseorang yang berpijak pada kaidah hukum formal akan

14
berpendapat: seorang suami tidak wajib lagi melaksanakan kewajibannya
secara penuh jika istrinya sakit-sakitan dan tidak mampu lagi
melaksanakan kewajibannya sebagai istri secara penuh.
Pandangan formalistik semacam itu tidaklah patut dilaksanakan
dalam pernikahan. Akan tetapi, selayaknya kita berpijak pada asas
'istihsan' (prinsip moral baik). Sebab pernikahan bukan hanya mempunyai
implikasi dari sebuah kontrak seorang laki-laki dan perempuan menurut
hukum. Tapi juga menyatunya mereka dalam sebuah struktur keluarga.
Oleh karena itu, struktur keluarga yang dibangun dengan prinsip
moral agama itu tidak dapat dibatasi dengan hak dan kewajiban secara
formalitas semata. Mereka telah menyatu, baik dalam keadaaan suka
maupun duka.
6. Bersikap, berkata dan berpenampilan menyenangkan: hubungan yang
berpijak pada rasa kasih dan sayang, dibangun berdasarkan saling
memberi dan melengkapi satu sama lain.
Suami tidak hanya memberi nafkah berupa kebutuhan lahiriah, tetapi
juga kebutuhan bathiniah. Kebuuthan bathiniah yang dimaksud, bukan
hanya kewajiban memberikan kepuasan seksual semata. Melainkan juga
sikap, perkataan dan penampilan sedap dalam pandangan mata istri.

Rasulullah SAW. Bersabda:


Artinya:
"Dari Abu Hurairah ra., berkata: Rasulullah SAW. Bersabda:
orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah orang yang
paling baik akhlaqnya. Dan orang yang paling baik diantara kamu
yaitu orang yang sangat baik kepada istrinya". (HR. At-Turmudzi
dia berkata, hadits ini hasan, shohih) (Muhyiddin, tt., hal. 151)

Kemudian untuk hak dan kewajiban istri atas suaminya teridir dari:

15
1. Seorang istri tidak boleh menerima laki-laki lain di rumahnya, atau
menerima pemberian laki-laki lain tanpa seijin suaminya. Ia juga tidak
boleh meminjamkan atau membelanjakan harta milik suaminya tanpa
kerelaan suami.
Dalam sebuah hadits, Nabi telah menyatakan:

Artinya:
"Sebaik-baik perempuan ialah bila engkau pandang menyengakan
engkau, bila engkau perintah ia taat kepadamu dan jika engkau
tinggal di belakang, ia menjagamu dalam hal dirinya dan
hartanya". (Al-Hadits). (Sayyid Sabiq, 1983, jilid II : 172)

2. Seorang istri tidak boleh keluar rumah tanpa seijin suaminya dan wajib
membatasi dirinya dari segala kegiatan. Meskipun kegitan itu dilakukan
demi keuntungan rumah tangga, misalnya. Tapi jika pekerjaan yang
dilakukannya tidak mengurangi hak suaminya dan tidak merugikannya,
maka suami tak ada alasan untuk melarangnya.
Begitu juga, seyogyanya suami tidak melarang istrinya keluar rumah
untuk melakukan kewajiban kifayat tertentu yang berkenaan dengan
urusan kewanitaan (hak istri), seperti:
3. Menuntut ilmu: jika ilmu yang dituntut oleh istrinya itu menjadi
kewajibannya, maka suami wajib mengajarnya. Jika ia tidak mampu
mengajar sendiri, maka istri wajib pergi keluar mencari guru atau ke
majlis ta'lim untuk belajar agama, sekalipun tanpa ijin suaminya.
4. Seorang istri wajib berhias dan tampil menarik serta lemah lembut di
hadapan suaminya. Adalah dipandang baik dan terpuji jika istri berhias
denga celak, pacar, wangi-wangian dan bersolek untuk suami. Namun, di
masa sekarang nyaris terbalik. Seorang perempuan yang sudah bersuami
pun cenderung berhias dan bersolek saat akan keluar rumah. Dia
mengenakan pakaian yang bagus, perhiasan, bersolek dan memakai

16
wangi-wangian. Tetapi, saat berada di dekat suaminya justru malah tampil
apa adanya.
Ahmad meriwayatkan dari Karimahbinti Hamam ia berkata kepada
Siti Aisyah ra.:

Artinya:
"Bagaimana pendapat anda, wahai Ummul-Mu'minin tentang
pemakain pacar?" jawabnya: "adalah kekasihku Nabi SAW.
Menyukai warnanya tapi membenci baunya. Dan beliau tidak
mengharamkan kamu pakai antara dua masa haid atau setiap
waktu haid". (HR. Ahmad). (Sayyid Sabiq, 1983, jilid II : 180)
5. Seorang istri wajib mengatur rumah tangga sebaik-baiknya. Rasulullah
menegaskan, …seorang istri itu pemimpin dari rumah tangga suaminya
dan anak-anaknya, dan akan dimintai pertanggungjawaban atas
kepemimpinannya.
Berarti, dalam melaksanakan kewajiban ini, seorang istri
bertanggung jawab kepada suami berikut kepada Allah SWT. Bukan saja
mengatur rumah tangga sebaik-baiknya, berarti juga mengatur dan
menjaga harta kekayaan suaminya.
Selanjutnya untuk berikutnya adalah "hak dan kewajiban suami istri
bersama-sama", terdiri atas:
1. Halal saling bergaul dan mengadakan hubungan kenikmatan seksual.
Perbuatan ini dihalalkan bagi suami istri secara timbale balik. Hal ini
merupakan hak suami-istri dan tidak boleh dilakukan jika tidak
bersamaan, juga tidak dapat dilakukan secara sepihak saja.
2. Haram melakukan perkawinan: bahwasanya istri haram dinikahi ayah
suaminya, datuknya, anmaknya dan cucu-cucunya. Begitu juga ibu
istrinya, anaknya dan seluruh cucunya tidak boleh dinikahi oleh
suaminya.

17
3. hak saling mendapat waris akibat dariikataan perkawinan yang sah.
Bilamana salah seorang meninggal dunia setelah sempurnanya ikatan
perkawinan, maka yang lain dapat mewarisi hartanya. Meskipun belum
pernah bersetubuh.
4. Sahnya menasabkan anak kepada suami yang telah menjadi teman
tidur.
5. Berlaku baik: wajib bagi suami-istri memeperlakukan pasangannya
dengan baik sehinga daapt melahirkan kemesraan dan kedamaian
bersama.
Prof. Subekti, SH dalam bukunya pokok-pokok hokum perdata,
juga telah menyatakan hak dan kewajiban suami iistri secara bersama-
sama sebagai berikut :
"Suami istri harus setia satu sama lain, Bantu membantu, berdiam
bersama-sama, saling memberikan nafkah dan bersama-sama
mendidik anak-anak." (Subekti, 1989, cet. XXII, : 28)

Bahkan dalam UU. Nomor 1 tahun 1974 yang mengatur tentang


oerkawinan juga menerangkan tentang hak dan kewajiban suami istri yang
disebutkan secara rinci pada bab VI dari pasal 30 sampai pasal 34, dan
masing-masing pasal mempunyai ayat di dalamnya. (Lihat UU.
Perkawinan, 1987, cet. X: 14)
Dari beberapa uraian menenai hak dan kewajiban suamii istri di atas,
dapat diambil suatu kesimpulan, bahwa hak dan kewajiaban suami istri
kedudukan masing-msing seimbang. Sebagai kepada keluarga, suami
wajib memberi nafkah lahir bathin kpada istri dan keluarga. Begitu pula
sebaliknya, ….karena tanggung jwab suami sudah begitu berat….maka
istri juga wajib bertanggung jawab terhadap urusan rumah tangga serta
harus patuh.

D. Batas Kedewasan dalam Perkawinan


1. Menurut Hukum Islam

18
Salah satu faktor terpenting dalam persiapan perkawinan adalah
factor usia. Karena seseorang akan dapat ditentukan, apakah ia cukup
dewasa dalam bersikap dan berbuat atau belum.
Dalam perkawinan dituntut adanya sikap dewasa dan matang dari
masing-masing calon. Sebagaimana diungkapkan oleh Drs. Irfan Sidqon
dalam bukunya "Fiqh Munakahat":

"Apabila ditinjau perkawinan dan tugas-tugas yang dibebankan


kepada istri, ujpama ibu sebagai pendidik, teman jelalah mengurus
rumah tangga dan sebagainya, maka jelaslah bahwa tugas tersebut
beraneka ragam dan sangat berat. Maka penderitaan sewaktu hamil
sampai melahirkan kandungan bagi calon istri, tentu membutuhkan
tenaga dan kekuatan jasmani dan rohaninya yang lebih baik lagi."
(Drs. Irfan Sidqon, 1987, II: hal. 33)
Di dalam islam mengenai batas usia seseorang untuk melangsungkan
perkawinan tidak disebutkan secara jelas, akan tetapi hanya menyebutkan
dengan lafadz : "balaghunnikahi", sebagaimana difirmankan Allah pada
surat an-Nisa' ayat 6 :
      
      
Artinya :
"Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin.
Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai
memellihara harata), maka serahkanlah kepada mereka harta-
hartanya…….." (QS. 4, an-Nisa' : 6) (Depag RI, 1989: 1154)

Terhadap lafadz balaghun-nikahi itu Syekh Muhammad Rasyid


Ridlo memberikan tafsiran sebagai berikut:

Artinya :
"Meraka mencapai umur dewasa yaitu bnilaman sudah mencapai
umur yang menyebabkan seseorang sanggup jelaksnakan

19
perkawinan, yaitu sudah mengalami ihtilam (bermimpi keluar
mani)." (Rosyid Ridlo, IV: 387)

Dengan demikian seseorang dianggap dewasa (akil baligh) apabila


pernah bermimpi yang menyebabkan keluar mani (bagi pria), dan pernah
mengalami haid bagi waniata. Sedangkan mengenai umur kedewasan bagi
masing-masing pria/wanita tidaklah masa, ada yang telah cepat ada yang
lambat. Keadaan tersebut tergantung pada keadaan kesehatan fisik
seseorang, pengaruh biologis, iklim lingkungn, keadaan kehidupan sosial
ekonomi dan adat kebiasaan.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat diketahui batas usia seorang
untuk kawin bagi pria jika sudah mengalami keluar mani dan bagi wanita
jika sudah mengalami menstrusi (haid).
Namun demikian, karena pada umumnya datangnya masa ihtilam
dan haid bagi pria dan wanita berkisar pada usia 12 (dua belas) atau 13
(tiga belas) tahun. Sedangkan anak pada usia tersebut masih belum bisa
atau belum mampu menanggung beban dan tanggung jawab berat dalam
melaksanakan perkawinan. Maka dalam perkawinan kiranya perlu
dipertimbangkan adanya kemampuan dan kematangan, baik fisik mapun
mental serta mampu berpenghasilan.
Oleh sebab itu, dalam menentukan masa perkawianan, Islam tidak
menitik beatkan pada usia, tetapi lebih manekankan pada faktor
kemampuan seseorang.
Pernyatan tersebut sesuai sebagaimana dijelaskan dalam hadits :

Artinya :
"Wahai sekalian pemuda. Barang siapa diantara kamu sudah
berkemamuan untuk kawin maka hendaklah kamu kawin, karena akan
lebih memelihara pandangan mata dan lebih membentangi kemaluan.
Dan barang siapa yang tidak mampu, hendaklah berpuasa. Karena

20
sesungguhnya puasa dapat menahan nafsunya." (HR. Al-Bukhori) (Al-
Bukhori, tt., III: 238)

Hadits di atas memberi petunjuk bahwa uantuk melaksanakan


perkawinan disyaratkan adanya "kemampuan". Dan yang belum untuk itu
dianjurkan supaya menunda dengan puasa, sampai mempunyai
kemampuan.
Sejalan dengan hal ini adalah firman Allah SWT :
      
   
Artinya
"Dan orang-orang yang tidak mapu kawin hendaklah menjaga
kesucian (diri) nya, sehingga alah memampukan dengan karunia-
Nya…." (QS. 24,. An-Nur: 33)

Pengertian 'mampu' dalam ayat dan hadits di atas tidak ditegaskan


secara jelas mengenai batasan umur dalam perkawinan, namun
demikianbila di lihat dari segi adaanya hak dan kewajiban suami istri,
sebagaimana telah dijelaskan pada uraian di atas, maka dapat di ambio
pengertian bahwa yang harus di miliki oleh seseorang yang akan
melaksanakan perkawinan adalah meliputi pengertian mamapu psikis,
biologis dan mampu dalam bidang ekonomi (penghasilan).
Dengan demikian, islam tidak menghendaki adanya perkawinan
ketika usia masih muda. Sebab anak yang berusia muda pada dasarnya
masih belum matang dan mampu, baik fisik dan mental, untuk
melaksanakan perkawinan.
Adapun mengenai perkawinan Nabi Saw.dengan Siti Aisyah
sebagaimana hadits di bawah :

Artinya :
"Dari Aisyah ra. Bahwasanya nabi Saw. Mengawininya (Aisyah)
sejak umur 6 tahun. Dan ia di kumpuli serta tinggal bersama Rasul

21
Saw. Semasa ia berumur 9 tahun." (HR.Al-bukhori). (al-bukhori, tt.,
III : 249)

Memang berlangsung ketika siti aisyah berumur 6 (enam) tahun, akan


tetapi ia tinggal dan dikumpuli nabi setalah berumur 9 (sembilan) tahun.
Hal ini berarti, nabi mengadakan hubungan kelamin dengan siti aisyah
masih menunggu saat fisik aisyah mencapai pertumbuhan yang sempurna,
sehingga memungkinkan untuk dikumpuli, yaitu ketika aisyah telah
mencapai usia 9 (sembilan) tahun.
Umur 9 tahun semasa nabi bisa diartikan atau dikategorikan
dewasa. Karena pertumbuhan biologis orang arab lebuh subur dari pada
orang asia tenggara, termasuk Negara Indonesia.
Namun demikian, umur 9 tahun ini tidak dipakai sebagaiukuran
yang pasti untuk menentukan kedewasaan pada masa sekarang. Karena
perbedaan lingkungan, iklim, menjadikan kondisi setiap orang berbeda-
beda. Oleh karena itulah islam sangat bijaksana sekali, tidak membatasi
tanda-tanda dewasa itu dengan ukuran umur. Juga hadits diatas tidak bisa
dijadikan landasan hokum, karena perkawinan nabi saw. Dengan siti
aisyah ini termasuk khususiah bagi beliau, sebagaimana kekhususan nabi
boleh beristri lebih dari empat orang. (Lihat: Fiqh Munakahat, Drs. Irfan
Sidqon, 1987, II 52)
Jadi hadits tersebut pada dasarnya tidak dapat dijadikan hujjah atau
dasar hukum untuk memperolehkan kawin pada usia dini.
Dari uraian di atas, jika ditinjau dari segi sosiologois, psiologis dan
media, perkawinan pada usia dini/di bawah umur akan jelas sekali
membawa kemudaratan. Sedangkan setiap kemudaratan tidak
diperbolehkan (bisa jadi diharamkan) oleh syara'. Sebagaimana hadits
Rasul SAW :

Artinya :

22
Dari ibn abbas bin as-shomit ra. Berkata, rasulullah SAW bersabda: tidak
boleh mebahayakan diri sendiri dan tidak oleh membahayakan orang lain.
(HR. Malik, Ibn Majah, Al-Hakim, Al-Baihaqi dan Daru Qutni)

Hadits di atas juga sesuai dengan kaidah fiqhiah :

Artinya :
Menolak kemafsadatan (kerusakan) lebih utama dari pada menarik
(mengambil) kemaslahatan. (As-Suyuti, tt hal. 62)

2. Menurut UU Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974


Pemerintah dalam usahanya untuk menghindari pelaksanaan
perkawinan usia muda/bawah umur telah menentukan batas minimal
daslam usia perkawinan bagi seseorang yang akan melaksanakan
perkawinan.
Pernyataan di atas sebagaimana telah ditegaskan dalam undang-
undang perkawinan nomor1 tahun 1974 pasal 7 ayat (1) yang berbunyi :
"Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19
(sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam
belas) tahun." (pradnya paramita, 1987: 8)

Jadi pada prinsipnya UU. Nomor 1 tahun 1974 menentukan bahwa


untuk dapat melangsungkan perkawinan, maka pihak pria harus berumur
19 (sembilan belas) tahun, sebab pada usia sekian pada umumnya
seseorang sudah bias dianggap dewasa, baik secara fisik maupun mental.
Begitu juga bagi pihak wanita harus berumur 16 (enam belas) tahun.
Adanya batas minimal untuk dapat melaksanakan perkawinan itu
adalah diharapkan dapat menghilangkan atau menghapuskan pelaksanan
perkawinan di bawah umur. Sehingga dengan demikian akan lebih
terjamin keturunan yang semakin baik, dapat mengendalikan pertumbuhan
penduduk yang pesat serta keabadian keluarga dan kebahagiaan keluarga
lebih terjamin juga.

23
Undang-undang perkainan nomor 1 tahun 1974 menganut prinsip,
bahwa calon suami istri harus telah matang jiwa dan raganya untuk dapat
melangsungkan perkawinan. Agar dapat mewujudkan tujuan perkawinan
yang baik. Tanpa berakhir dengan perceraian dan mempunyai keturunan
yang baik dan sehat.
Untuk itu perkawinan di bawah umur harus sedapat mungkin
dicegah. Sebab dapat dibayangkan, apabila seseorang anak muda yang
masih belum cukup umur, belum mengerti seluk-beluk kehidupan rumah
tangga, tidak akan dapat melaksanakan serta mewujudkan rumah tangga
yang bahagia dan sejahtera sesuai dengan tujuan perkawinan yang hakiki.
Dari uraian di atas dapat dimengerti, bahwa adanya batas minimal
dalam usia perkawinan pada UU perkawinan ersebut adalah untuk
membnerikan kemaslahatan bagi masyarakat. Dalam hal ini, mengingat
kondisi anak yang masih di bawah umur belum mampu dan matang, baik
mental maupun fisik untuk menjalani akibat perkawinan. Sperti hamil dan
kelahirkan, dan membiayai rumah tangga bagi pria. Elum lagi dihapkan
masa depan dan pendidikan anak-anaknya. Serta bagaimana membina
keluarga dengan baik dan bahagia tanpa berakhir dengan perceraian.
Anak yang masih mentah mental dan fisiknya sulit menciptakan
perkwinan yang sukses., padahal perkawinan menuntut tanggung jawab
dan kedewasaan alam membina rumah tangga. Di mana hal ini sulit
diemban oleh anak usia muda. Karena sifat-sifatnya yang mudah
tersinggung, mau menang sendiri dan selalu tidak puas. Keadaan semacam
ini amat sulit diharapkan dapat memikul tanggung jawab rumah tangga
yang memerlukan tenggang rasa, kesabaran dan lapang dada.
Melihat tanggung jawab yang dipikul dalam rumah tangga tersebut,
maka sudah sewajarnya jika pihak-pihak yang akan melaksanakan
perkawinan harus mencapai umur dewasa, di mana keadaan fisik dan
mentalnya sudah mencapai taraf kematangan, berikut jiwa dan atau
rohaninya jugfa sudah mencapai titik pertumbuhan yang mayang dan
bertanggung jawab. Oleh karena itu, sudah sepatutnya undang-undang

24
perkawinan, yaitu bagi pria sudah mencapai 19 tahun dan bagi perempuan
harus sudah mencapai umur 16 tahun.
Namun demikian, meskipun undang-undang nomor 1 tahun 1974
menentukan batas usia minimal perkawina, sebgaimana tersebnut pada
pasal 7 ayat (1), akan tetapi pasal tersebut dapat dilakukan adanya
penyimpangan denan meminta dispensasi kawin ke pengadilan agama. Hal
ini sesuai sebagaiman tersebut dalam pasal 7 ayat (2), yaitu:
Dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini dapat meminta
dispensasi kepada pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh
kedua orang tua pihak pria maupun pihak wanita.

Berdasarkan pasal di atas, bukan berarti UU nomor 1 tahun 1974


terjadinya perkawinan yang belum mencapai umur sebgaimana yang
ditetapkan dalam pasal 7 ayat (1) secara mutlak. Namun bagi para pihak
yang belum mencapai batas usia tersebut masih bisa dimungkinkan adanya
perkawinan dengan meminta dispensasi ke pengadilan agama.
Berpihak pada uraian tentang batas kedewasan dalam perkawinan,
baik menurut hukum islam maupun UU nomor 1 tahun 1974, maka dapat
disimpulkan bahwa batas minimal usia perkawinan sebgaimana ditentukan
UU perkawinan itu adalah tidak bertentangan dengan hukum islam. Sebab,
meskipun didalam hukum islam tidak ditegaskan secara kongkirt namun
memberikan batasan, bahwasanya untuk dapat melangsungkan disyaratkan
adanya kemampuan bagi calon suami dan istri dalam hal fisik, mental dan
ekonomi. Sedangkan batas usia minimal dalam perkawinan yang
ditentukan UU. Perkawinan, yakni 19 (sembilan belas) tahun bagi pria
dan 16 (enam belas) tahun bagi wanita, secara layak dianggap sudah cukup
dewasa dan mampu untuk memikul tanggung jawab dalam rumah tangga.
Di samping itu, adanya batas usia minimal dalam perkawinan
tersebut adalah bertujuan untuk memberikan kemaslahatan bagi
masyarakat. Sebagaimana yang ditegaskan dalam penjelasan Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974, yaitu untuk menjaga kesehatan suami istri
dan akan keturunannya. Padahal islam menghendaki kemaslahatan bagi

25
umatnya. Oleh karena itulah, kiranya patut sekali jika UU. Perkawinan itu
memberikan batas usia minimal dalam perkawinan sebagaimana
disebutkan dalam pasal 7 ayat (1).
Adapun adanya penyimpangan terhadap pasal 7 ayat (1), karena
dimungkinkan adanya perkawinan yang belum mencapai batas usia
tersebut. Sebab, dalam hal ini pengadilan agama tidak sewenang-sewenang
mengabulkan setiap dispensasi kawin yang diajukan kepadanya. Akan
tetapi pihak pengadilan agama dengan mempertimbangkan segala
konsekuensinya antara keuntungan yang akan mereka peroleh dengan
kerugian yang akan menimpa dirinya. Jika anak tersebut seandainya tidak
dikawinkan akan lebih besar mafsadatnya, maka dalam hal pengadilan
agama mengabulkan permohonan dispensasi. Hal ini sesuai dengan kaidah
ushul fiqh yang berbunyi:

Artinya:
"Menolak kerusakan (mafsadah) lebih utama dari pada menarik
(mengambil) kemaslahatan". (As-Suyuti, tt. : hal. 62).

E. Penentuan umur dalam perkawinan


Memang, dalam Al-Qur'an maupun Al-Hadits tidak dijumpai secara
jelas penentuan batas usia minimal dalam pelaksanaan perkawinan. Hal ini
dimaksudkan antara lain untuk menjaga kestabilan kondisi biologis setiap
orang, psikis, kedewasaan pribadinya, dan sebagainya.
Bila ditinjau kelanjutan dari setelah melaksanakan perkawinan (akad)
dan tugas-tugas yang harus dilaksanakan oleh suami istri, --misalnya si ibu
sebagai teman hidup, pengurus rumah tangga, mendidik anak, dan sebagainya;
sedang suami sebagai kepala keluarga, pencari nafkah dan sebagainya--maka
jelaslah beban yang harus dipikulnya beraneka ragam dan amat berat. Selain
beban dan tugas yang banyak itu, penderitaan si ibu di kala hamil hingga
melahirkan kandungannya, tentu membutuhkan tenaga dan kekuatan jasmani
dan rohani yang lebih mumpuni.

26
Jadi, soal fisik dan psikis sangat besar artinya untuk menentukan
kesanggupan dan menetapkan kematangan calon suami dan istri yang akan
melangsungkan perkawinana. Dari san menjadi jelaslah, bahwa hal ini
berkaitan sekali dengan masalah usia/ umur.
Berkenaan dengan itu, penetapan umur yang baik dan ideal untuk
memulai jenjang perkawinan bagi calon suami istri, minmal harus
dipertimbangkan dari empat segi:
a. Segi Biologis
Bagi wanita dikatakan sudah siap kawin bilamana sudah mengalami
haid dan rahimnya sudah siap menumbuhkan anak. Rata-rata wanita
Indonesia sudah mulai haid pada usia 13 (tiga belas) sampai 15 (lima
belas) tahun. Sedangkan bagi pria, bila sudah bermimpi dan pernah
mengeluarkan mani. Seorang pria yang mengalami seperti itu diperkirakan
berumur 17 (tujuh belas) tahun.
b. Segi Ekonomi
Dalam rumah tangga membutuhkan pembiayaan yang tidak sedikit
dan harus rutin. Pada umumnya, suami yang bekerja untuk memenuhi
kebutuhan kehiudpan rumah tangga sehari-hari. Demikian juga istri, harus
bisa mengatur perputaran ekonomi rumah tangga secara keseluruhan dan
efektif.
c. Segi Pendidikan
Pria diciptakan Allah sebagai pemimpin wanita (istri) berdasar akal
dan pikiran yang tidak mudah panic dan emosi. Bagi wanita diciptakan
Allah sebagai manusia yang halus dan lembut penuh perasaan, mudah
tersinggung sehingga tidak mudah menahan emosi.
Sebenarnya, masing-masing keduanya itu saling mengisi antara satu
dengan lainnya. Akl pikiran dapat mempertimbangkan perasaan, dan
perasaan sapat dikenalikan oleh akal. Maka di sinilah peran pendidikan
sangat dibutuhkan.
Dengan mendapatkan pendidikan yang cukup, perasaan seorang istri
akan dipergunakan sebaik-baiknya untuk mencintai suaminya, dan dengan

27
akal pikirannya seorang suami bertanggung jawab terhadap istri dan anak-
anaknya.
d. Segi Kemasyarakatan
Kehidupan manusia saling membuthkan satu sama lainnya. Suami
istri hidup dalam suatu rumah tangga yang merupakan masyarakat terkecil.
Mereka saling menbutuhkan untuk berfgaul, saling berkunjung dari
keluarga atu ke keluarga lain, dan sebagainya. Hal ini tidak dapat dihindari
oleh salah satu keluarga manapun.
Melihat beban yang harus dipikul dalam suatu rumah tanggapun
uraian dari masing-masing segi di atas, maka seyogyanya bagi calon suami
dan istri yang akan menglangsungkan perkawinan haruslah sampai umur.
Di mana keadaan fisik dan mental dari masing-masing pihak harus
mencapai kematangan serta kemampuan berumah tangga.
Para fuqaha' ada yang berpendapat, bahwa soal umur itu termasuk al
yang boleh diatar manusia sendiri, dengan hrus memperhatikan segi
manfaat dan kemaslahatannya kepada masyarakat. Seagaimana sabda
Rasulullah SAW yang menerangkan, bahwa kamu lebih tahu urusan
duniamu (masyarakat).
Lagi pula sudah banyak buktinya, ibu-ibu muda yang belum cukup
umur untuk melaksanakan perkawinan, amat menderita dan bekeluh kesah
dalam menjalankan tugasnya dalam rumah tangga, belum lagi ditambah
dengan urusan di luar rumah.
Berdasar peristiwa di atas maka jelaslah, bahwa para orang tua tidak
boleh menjerumuskan anaknya ke dalam kesengsaraan dan bahaya.
Larangan ini telah jelah sekali dinyatakan dalam surat Al-Baqarah ayat
286:
       
     
Artinya;
"Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan
kesanggupannya". (QS. 2, Al-Baqarah : 226).

Dalam ayat yang sama juga disebutkan:

28
           
  
Artinya:
"….Ya tuhan kami, janganlah engkau pikulkan kepada kami apa
yang tak sanggup kami memikulnya…." (QS. 2, Al-Baqarah : 286).

Juga firman Allah dalam surat Al-Baqarah:


       
   
Artinya:
"…,dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam
kebinasaan,….." (QS. 2, Al-Baqarah : 195). (Depag RI, 1989 : 72,
74 dan 47)

Dari pembahasan di atas, maka dapat ditarik suatu kesimpulan


bahwa masalah penetapan umur dalam perkawinan itu dapat diserahkan
kepada masyarkat, ulama' dan pemerintah di Negara masing-masing.
Berkenaan dengan ini maka pemerintah RI melalui UU.
Perkawinannya Nomor 1 Tahun 1974 menetapkan batas umur dalam
perkawinan, sebagaimana termaktub pada pasal 7 (1):
"Perkawinana hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur
19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16
(enam belas) tahun".

29
BAB II
PERKAWINAN USIA MUDA DI DESA WONOSARI
KEC.TUTURNONGKOJAJAR
KABUPATEN PASURUAN

A. Keadaan Perkawinan Usia Muda


Sebelum diuraikan mengenai keadaan perkawinan usia muda di desa
wonosari, terlebih dahulu akan dijelaskan tentang 'perkawinan usia muda'.
Terlebih dahulu perlu diketahui, bahwa perkawinan usia muda maksudnya
identik dengan perkawinan di bawah umur.
Mengenai usia yang masih muda (di bawah umur) adalah sangat relatiff.
Namun yang dimaksud dengan pengertian perkawinan usia muda di sini
adalah di bawah usia sebagai mana yang telah ditentukan dalam pasal 7 ayat
(1) UU. Nomor 1 Tahun 1974 yang berbunyi:
"Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19
(sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam
belas) tahun". (Pradnya Paramita, 1987. Cet. X : 8).
Dengan adanya ketentuan pada pasal 7 ayat (1) di atas maka jelas dapat
dimengerti bahwa yang dimaksud dengan 'perkawinan usia muda' adalah
perkawinan yang akan dilakukan oleh calon pria yang belum mencapai umur
19 tahun atau calon wanita yang belum mencapai umur 16 tahun.
Berdasarkan adanya batasan umur minimal dalam perkawinan, maka
pada asasnya pelaksanaan perkawinan hanya diperbolehkan bagi calon yang
sudah berumur di atas 19 tahun bagi pria dan 16 tahun bagi wanita. Akan
tetapi, meskipun demikian, pelaksanaan perkawinan bagi calon yang belum
mencapai umur yang telah ditetapkan masih dimungkinkan dapat
dilangsungkan, setelah mendapat dispensasi dari pengadilan agama setempat.
Pelaksanaan perkawinan yang masih berusia muda memang masih
banyak terjadi pada masyarakat desa, termasuk Desa WonoSari Kec. Tutur-
Nongkojajar. Perkawinan semacam ini termasuk yang dominan di desa

30
tersebut. Karena banyak faktor dan alasan yang mendorong mereka untuk
melaksanakan hal itu, terutama faktor ekonomi.
Desa Wonosari Kec. Tutur-Nongkojajar Kab. Pasuruan terletak di
daerah pegunungan yang tinggi dan suhu udara sangat dingin sekitar 30o C ke
bawah. Untuk menunju ke sana bisa melalui purwodadi (pasar) pasuruan, terus
menanjak ke arah timur, satu jurusan dengan arah ke Gunung Bromo. Dari
Desa Wonosari ke Gunung Bromo sekitar 15 km ke arah timur.
Perkawinan di kala berusia muda di desa tersebut memang selalu ada/
terjadi dari bulan ke bulan, dari tahun ke tahun hingga tahun 1991 (terhitung
dari 1987 hingga 1991). Akan tetapi calon yang belum sampai umur, baik
salah satu calon atau kedua-duanya, tidak akan diterima pelaksanaan
perkawinannya oleh pihak PPN atau pembantunya.
Jika calon yang belum sampai umur tersebut memaksa untuk
melaksanakannya dengan alasan-alasan yang dapat diterima –misalnya sudah
terlanjur hamil --maka pihak PPN akan menyerahkan hal ini sepenuhnya
kepada pihak PA (Pengadilan Agama).
Jika ada dispensasi dari pengadilan agama, pihak PPN akan mengoreksi
ulang surat-surat keputusan hamil dari persidangan di pengadilan agama
setempat, kemudian akan melangsungkan pelaksanaan perkawinannya.
(wawancara dengan Ketua KUA tutur, Bpk. Arbai Anwar; Rabu, 17 Pebruari
1993).
Selanjutnya Bapak Arbai Anwar memberikan saran-saran sebagaimana
yang telah diprogramkan K.B, yang bunyinya sebagai berikut:
"Seyogyanaya bagi calon suami yang akan melaksanakan perkawinan
sudah mencapai umur 25 (dua puluh lima) tahun dan calon istri sudah
mencapai umur 20 (dua puluh) tahun".
Namun demikian, hingga sekarang keadaan perkawinan yang berusia
muda di wonosari sudah mengalami penurunan. Perubahan yang telah
berangsur ini disebabkan adanya faktor sebagai berikut:
1. Adanya kesadaran masyarakat, dikarenakan adanya penyuluhan-
penyuluhan dan pengarahan-pengarahan dari berbagai lembaga, baik dari

31
Departemen Agama maupun BKKBN, serta lembaga lainnya. Dan
biasanya, kegiatan seperti ini dikoordinasi oleh Mudin (Kesra). Kesadaran
masyarakat seperti inilah yang sangat penting.
2. Faktor tata cara/ proses pelaksanaan perkawinan di kala usia muda lebih
sulit, jika dibandingkan dengan pelaksanaan perkawinan sebelum
berlakunya UU. Nomor 1 Tahun 1974. kesulitan proses ini dapat dilihat,
bahwa perkawinan di kala usia muda harus ada dispensasi dari Pengadilan
Agama (di Bangil).
3. Fator biaya. Pada umunya, seseorang yang belum dewasa belum mampu
mencari atau menciptakan pekerjaan sebagai lahan untuk mendapatkan
bekal guna persiapan berumah tangga nanti, oleh karena biaya ini, mereka
yang akan melaksanakan perkawinan harus berpikir dua kali, karena
persiapan fisik maupun mental dalam menghadapi kehidupan rumah
tangga mendatang harus lebih matang. (wawancara dengan Bpk. Fadillah,
staf bag. Administrasi; Jum'at, 19 Pebruari 1993).

B. Faktor-faktor yang mendorong terjadinya perkawinan


Mengenai perkawinan yang tergolong masih di bawah batas usia
minimal di Indonesia bukan merupakan hal yang baru. Dan pada umumnya,
hal ini banyak terjadi di pelosok-pelosok desa, masyarakat yang belum maju
yang pendidikannya tergolong rendah. Dari sana dapat disaksikan banyak pria
dan wanita yang masih berusia muda telah melangsungkan perkawinan.
Alasan mereka yang ingin melaksanakan perkawinan akan tetapi tidak
diterima oleh pihak PPN adalah:
1. Kehendak orang tua, karena ingin cepat-cepat ingin punya menantu dan
cucu;
2. Karena malu/ gengsi kepada tetangga sebelah yang sudah punya menantu
dan cucu;
3. Kurangnya pendidikan, baik bagi orang tua maupun anaknya sendiri;
4. Karena unsur materi, sehingga anak/ menantunya nanti akan hidup bahagia
jika sudah kawin;

32
5. Dari mereka sendiri yang ingin kawin, karena ingin seger bebas dari orang
tua dan mengira akan lebih tenang dan nikmat;
6. Karena malu, teman sebaya sudah menikah;
7. Orang tua khawatir anak perempuannya menjadi perawan tua atau bujang
tak laku;
8. Karena ekonomi; orang tua mereka mengharap anaknya yang sudah kawin
nanti akan dapat membantu pekerjaan sehari-hari dan akan lebih
meringankan beban. Faktor inilah yang paling dominan.
(Wawancara dengan Bpk. Bambang Hermanto; kamis, 18 Pebruari 1993 dan
dengan responden).
Sedangkan alasan mereka yang memaksa dan ada dispensasi dari
pengadilan agama untuk melaksanakan perkawinan adalah:
1. Karena sudah terlanjur hamil akibat pergaulan yang bebas;
2. Karena sudah kadung terlalu cintanya, sehingga harus segera. Jika tidak,
khawatir akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
(Wawancara dengan Bpk. Bambang Hermanto; waka KUA; kamis, 18
Pebruari 1993).
Selanjutnya, komentar Bapak Bambang lagi, untuk kasus seperti di atas
pihak PPN harus lebih teliti dan berhati-hati dalam memproses langkah-
langkah pelaksanaan perkawinan mereka, apakah mereka itu benar-benar
begitu keadaannya, atau cuma sekedar menutup-nutupi saja agar terlaksana
keinginannya. Jika pihak PPN tidak bertindak seperti ini, perkawinan mereka
yang sudah dilangsungkannya bisa jadi akan lebih menyalahi peraturan atau
ketentuan yang ada, malah menyalahi dua kali. Hal ini yang tidak kami
inginkan, katanya.
Sedangkan alasan mereka yang mendorong terjadinya perkawinan di
kala masih berusia muda --berdasarkan wawancaara langsung dengan para
responden-- adalah sebagai berikut:
1. Faktor moral atau biologis
Pada faktor ini, antara pria dan wanita sebelumnya sudah saling kenal dan
bergaul dengan akrab, sehingga dikhawatirkan akan terjadi pelanggaran

33
yang lebih besar lagi terhadap norma-norma agama dan asusila. Maka
sebagai tindaka preventif mereka adalah segera kawin.
2. Faktor hamil sebelum nikah/ malu
Karena ini diakibatkan dari pergaulan bebas dari masing-masing calon
sebelum pelaksanaan perkawinan. Karena keterlanjutan ini, maka orang
tua masing-masing dan yang bersangkutan menanggung malu. Untuk
menutupi rasa malu ini, kedua pasang tersebut terpaksa harus segera
kawin.
3. Faktor ekonomi
Karena orang tua sudah tidak mampu dan agar lebih meringankan beban,
anaknya segera dikawinkan. Alasan mereka, jika anaknya sudah
berkeluarga yang bertanggung jawab dalam hal biaya adalah anak laki-laki
(suami). Jika anak laki-laki (suami) nya sudah dapat membiayai rumah
tangga sendiri, beban orang tua akan terkurangi.
4. Faktor lingkungan/ adat masyarakat
Kebanyakan masyarakat desa beranggapan jika anak gadisnya tidak segera
dikawinkan akan tidak laku yang pada akhirnya jadi perawan tua. Begitu
juga kepada anak laki-lakinya. Jika hal ini tidak dilaksanakan akan
menimbulkan beban bathin bagi orang tua.
Berdasarkan beberapa uraian/ alasan di atas maka dapat diambil suatu
kesimpulan, bahwa fackor yang menyebabkan terjadinya perkawinan masih
berusia muda di desa wonosari adalah:
1. Kurangnya pendidikan/ kesadaran, baik dari pihak orang tua dari masing-
masing calon maupun dari pihak calon itu sendiri.
2. Kurangnya ekonomi.
3. Karena beban sosial atau malu.
4. Karena pergaulan yang terlalu bebas (fair) yang tidak terarah dan
terkendalikan.
5. Karena lingkungan atau adat.
Namun demikian --hasil dari wawancara dengan bapak Fadilla-- faktor
yang sangat dominan di antara lima kesimpulan di atas adalah faktor ekonomi.

34
Mengingat desa wonosari merupakan daerah pengunungan yang mayoritas
penduduknya berprofesi sebagai tani dan berpenghasilan tidak tetap.

C. Pertimbangan hukum PPN di KUA Kecamat Tutur-Nongkojajar dalam


menolak perkawinan usia muda
Sebagaimana dijelaskan pada sub judul pada bab ini, bahwa dengan
berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, maka
pada prinsipnya perkawinan yang hanya boleh dilakukannya jika telah
mencapai umur 16 (enam belas) tahun bagi wanita dan 19 (sembilan belas)
tahun bagi pria. Dengan demikian, jika ada salah satu atau kedua calon yang
akan melaksanakan perkawianan masih di bawah usia minimal tidak akan
diperkenankan pelaksanaannya.
Di Desa Wonosari banyak yang ingin melaksankan perkawinan dan
setelah diadakan pemeriksaan nikah, ternyata ada yang belum terpenuhi
syarat-syaratnya sebagaiman yang telah ditentukan. Maka pihak PPN atau
PPPN tidak menerima pelaksanaan perkawinannya. (wawancar dengan Bapak
Fadillah, staf bag. administrasi).
Persyaratan-persyaratan mereka yang belum terpenuhi di antaranya
adalah:
1. Belum sampai umur 19 (sembilan belas) tahun bagi pria.
2. Belum sampai umur 16 (enambelas) tahun bagi wanita.
3. Surat-surat dari desa kurang lengkap.
Sedangkan persyaratan belum sampai umur ini, baik bagi si pria maupun
wanitanya, sangat banyak di desa tersebut. Sehingga mereka yang ingin
melaksanakan perkawinan banyak juga yang tidak diterima/ ditolak. Ada juga
yang diterima pelaksanaan perkawinannya, tetapi dengan alasan-alasan
tertentu yang dapat diterima dan melalui pengadilan agama untuk meminta
dispensai. Tetapi pelaksanaan yang seperti ini sedikit.
Kebijasanaan PPN atau PPPN di KUA tersebut ternyata sama dan sesui
dengan apa yang telah ditulis dalam buku 'pedoman pegawai pencatat nikah'
yang berbunyi:

35
"Apabila setelah diadakan pemerikasaan nikah, ternyata tidak memenuhi
persyaratan-persyaratan yang telah ditentukan --baik persyaratan menurut
hukum munakahat maupun persyaratan menurut peraturan perundang-
undangan yang berlaku--, maka PPN atau P3NTR harus menolak
pelaksanaan pernikahan itu,…. " (Depag, 19832, Cet. III : 25)
Kemudian untuk mereka yang merasa keberatan terhadap penolakan
pernikahan itu, maka pertimbangan PPN selanjutnya adalah menyuruh dan
menyerahkan mereka sepenuhnya ke pengadilan agama (di Bangil).
Setelah perkara penolakan itu diperikasa sedangkan pihak pengadilan
agama memberikan ketetapan menguatkan penolakannya, maka pihak PPN
atau pembantunya harus menolak pelaksanaan perkawinan mereka. Dan jika
pihak pengadilan agama memberikan ketetapan memerintahkan
melangsungkannya maka pihak PPN atau pembantunya harus melangsungkan
pelaksanaan perkawinannya.
Pernyataan yang telah dikemukakan oleh Bapak Fadilla di atass ternyata
sesuai denga apa yang dikemukakan oleh Bapak Arbai Anwar, kepala KUA.
Juga identik dengan ketentuan yang telah ditetapkan dalam buku pedoman
pegawai pencatat nikah yang termaktub sebagai berikut:
"Setelah memerikasa perkara penolakan itu dengan acara singkat (sumir),
pengadilan agama memberikan ketetapan menguatkan penolakan atau
memerintahkan agar pernikahan itu dalangsungkan".
"Apabila pengadilan agama memerintahkan agar pernikahan itu
dilangsungkan, maka PPN/ P3NTR harus melangsungkan pernikahan itu".
(Depag , 1982, Cet. III : 26)

36
BAB IV
PENUTUP

A. Simpulan
1. Terjadinya perkawinan berusia muda di Desa Wonosari Kecamatan Tutur-
Nongkojajar Kab. Pasuruan adalah karena faktor pendidikan --terutama
pendidikan agama islam-- yang rendah, pergaulan bebas yang tidak
terarah, menaggung rasa malu, pengaruh lingkuangan dan ekonomi.
Adanya faktor-faktor tersebut adakalanya dari pihak orang tua mereka.
2. Perkawinan berusia muda ditinjau dari segi hukum islam adalah tidak
boleh, kecuali telah mendapat dispensasi dari pengadilan agama (PA) atas
dasar pertimbangan-pertimbangan yang obyektif.
3. Jika ditinjau dari pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tidak ada
penyimpangan, karena sudah ada dispensasi dari pengadilan agama (PA).

B. Saran-saran
1. Hendaknya para orang tua lebih sadar akan pentingnya pendidikan --lebih-
lebih pendidikan agama islam--, baik untuk dirinya sendiri maupun untuk
anak-anaknya. Dengan pendidikan, orang tua akan anak akan lebih
memahami akibat yang baik dan buruk dari pergaulan dengan lain jenis.
Memang pada biasanya, pergaulan anak dengan lain jenisnya cenderung
berakibat buruk. Akan tetapi tidak selamnaya demikian, asal saja tahu
aturan dan wajar-wajar saja. Di sinilah pendidikan berperan paling utama.
Juga, dengan pendidikan, orang tua dan anak tidak akan mudah
terpengaruh lingkungan/ masyarkat yang kurang baik; seperti
mengawinkan ankanya yang belum cukup dewasa, misalnya. Bahkan
orang tua dan anak yang berpendidikan akan dapat meluruskannya dan
mengarahkannnya. Selanjutnya, juga dengan pendidikan dan ditambah
pula dengan keterampiilan yang memadai, kehidupan mereka akan lebih
layak dan sejahtera dari pada mereka yang tidak punya pendidikan sama
sekali.

37
2. Bagi lembaga-lembaga departemen agama maupun BKKBN hendaknya
lebih meningkatkan kegiatannya dalam memberikan penyuluhan-
penyuluhan dan pengarahan-pengerahan kepada masyarakat mengenai
dampak negatif dari pada perkawinan usia muda dan dampak positif dari
pada perkawinan usia dewasa.
3. Bagi lembaga-lembaga yang menangi masalah perkawinan, khusunya
pegawai pencatat nikah (PPN) atau pembantu pegawai pencatat nikah
(P3N), hendaknya tetap lebih teliti dan lebih selektif dalam memberikan
pelayanan kepada calon suami/ istri yang akan melaksanakan perkawinan,
agar tidak terjadi perkawinan yang tidak kita inginkan.

38
DAFTAR PUSTAKA

Anshari Thoyib, Struktur Rumah Tangga Muslim, Surabaya Risalah Gusti, 1992,
cet. I

Abul A' La Al Maududi, Maulana, The Laws Of Marriage And Divorce In Islam.
Achmad Rais, Jakarta, Gema Insani Press, 1990, cet. I

Abdullah Nasikh "Ulwan, Dr. Aqabatuz Zawwaj Wa Thuruqu Mu'ajalatiha 'Ala


Dloil Islam. Drs. Moh Nur Hakim, Jakarta, Gema Insani Press

Aisyah Dahlan, Hj. Nasehat Perkawinan dan Keluarga, Majalah BP4. No. 129,
1968

39

You might also like