This is actually an entry for some short-story competition a few years ago. I didn't win (actually, I don't know what happened to the competition afterward), and this is also not much of a story, of course. But if you read it, please give some feedback so I can improve my writing quality! ^_^
This is actually an entry for some short-story competition a few years ago. I didn't win (actually, I don't know what happened to the competition afterward), and this is also not much of a story, of course. But if you read it, please give some feedback so I can improve my writing quality! ^_^
Copyright:
Attribution Non-Commercial (BY-NC)
Available Formats
Download as DOC, PDF, TXT or read online from Scribd
This is actually an entry for some short-story competition a few years ago. I didn't win (actually, I don't know what happened to the competition afterward), and this is also not much of a story, of course. But if you read it, please give some feedback so I can improve my writing quality! ^_^
Copyright:
Attribution Non-Commercial (BY-NC)
Available Formats
Download as DOC, PDF, TXT or read online from Scribd
Orangnya agak aneh, dan sering membuat masalah. Kisahku dengannya telah dimulai sejak aku lahir hingga sekarang, dan nampaknya takkan pernah berakhir. *** Aku berumur tiga tahun, kakakku berumur tujuh tahun. Saat itu, kelas kakak mengadakan pembacaan karangan murid-muridnya kepada para orangtua murid, dan dengan mengejutkan, karangan kakakku terpilih menjadi salah satu karangan terbaik. Ibuku yang bangga membawaku, yang masih terlalu kecil untuk ditinggal sendiri di rumah, ke sekolah. Kuketahui bertahun-tahun setelahnya, (saat itu aku masih terlalu kecil untuk mengerti) tema karangannya adalah ‘Keluarga’. Tapi berbeda dari karangan teman- temannya yang normal yang menulis tentang ayah atau ibunya, kakakku yang baru kelas dua SD memilih aku sebagai tema utama. AKU. Ia memulai pembacaannya, dengan rasa percaya diri yang tinggi dan semangat yang meledak-ledak, khas dirinya. “Adikku, karya Adinia Kirara.” , dia berhenti sejenak dan memandang aku dan ibu. Ibu tersenyum menyemangati. Kakak melanjutkan. “Aku punya seorang adik laki-laki. Namanya Adiwan Prayogi. Dia berumur tiga tahun, beda empat tahun denganku. Dia lahir tanggal 25 Maret 1987. Bertepatan dengan hari ulang tahunku yang keempat. Aku sayaaaaaa...ang sekali pada adikku. Dia lucu sekali. Pipinya tembem, bulat dan berwarna merah, tiap aku melihat dia, aku teringat pada roti coklat yang masih panas. (sepertinya pada kalimat ini seluruh orang tua disitu tertawa). Matanya bulat, bundar seperti kelereng, dan warnanya coklat tua. Aku teringat pada bola kaca kalau sedang memandang matanya. “ Meskipun dia sangat lucu, Yogi kadang-kadang nakal. Aku sering kesal karena dia. Dia pernah mengencingi dadaku ketika aku membuka popoknya. Tapi kata ayah itu karena anunya selalu berdiri jadi tidak bisa pipis dengan benar. Kata ayah kalau dia sudah besar anunya akan baik-baik saja dan tidak akan mengencingi orang lagi.” Dan semua orangtua di kelas itu, termasuk gurunya, meledak tertawa. Menertawakan anuku. Tapi karena kakakku terlalu kecil atau terlalu bodoh, dia tidak menyadari apa yang ditertawakan orang-orang dan melanjutkan membaca, tetap dengan riang dan bersemangat. “Dia juga belum bisa pup dengan benar, jadi dia tidak ke kamar mandi dulu kalau mau pup. Tapi dia langsung pup di tempat. Waktu ibu terlambat mengganti popoknya, (kata ibu, mukanya menjadi sangat merah ketika kakak menyebutkan bagian ini) Yogi mengoles-oles pupnya ke lantai, membuat gambar-gambar lucu. Lantai rumah jadi kotor dan sampai sekarang masih ada bekasnya, tapi aku bangga karena adikku bisa menggambar.” Lagi-lagi semua orangtua di kelas, termasuk guru, meledak tertawa. Menertawakan pupku. Masih banyak kelanjutan karangan kakakku, terlalu memalukan jika kuingat lagi semuanya. Aku tidak mengerti, tapi ingatan ibu-ibu tampaknya memang sangat kuat. Beberapa tahun berselang (dan aku akhirnya sudah mencapai usia cukup untuk berpikir jernih, dan tentunya, merasakan malu), ibu-ibu tetangga yang kadang-kadang berkunjung ke rumah masih suka tertawa dan menanyai dimana bekas pupku itu. *** Aku berumur enam tahun, kakakku berumur sepuluh tahun. Hari ini hari pertamaku masuk sekolah. Kakakku yang khawatir pada adik kecilnya menggandeng tanganku sepanjang hari dan terus-terusan bertanya, “Yogi, kamu mau pipis? Atau mau makan sekarang? Kakak bawa chiki dan permen buat Yogi...” Sampai akhirnya guru kami berdua datang dan memisahkan genggaman tangannya padaku. Kakak terlihat lebih khawatir daripada diriku. Ketika pulang sekolah, ia menghampiri kelasku dan langsung menggamit tanganku dan mengajakku pulang. Aku yang masih kecil senang karena punya seorang kakak yang hebat. Namun seminggu kemudian, saat teman-teman mulai mengejekku manja, aku menepis tangannya. Aku pulang sendiri, dengan membusungkan dada, dengan kebanggaan seorang anak usia enam tahun yang tidak ingin dikatai manja. Yang tidak kuketahui adalah kakak terus mengawasiku dari belakang, memastikan tak ada mobil yang akan menabrakku, tak ada anjing yang akan menggigitku, dan tak ada anak yang menggangguku. Aku sempat diganggu sekelompok anak kelas tiga yang kerjanya mengompas anak-anak yang lebih kecil. Beberapa hari kemudian mereka tidak menunggu di depan sekolah lagi. Bahkan, mereka menghilang entah kemana. Aku baru mengetahui alasannya besok. Guru dan beberapa orangtua datang kerumah kami untuk memarahi kakak. Anak-anak itu ternyata terbaring di rumah dengan kepala benjol-benjol. Kakakku hanya tersenyum lebar saat diinterogasi. *** Aku berumur delapan tahun, kakakku berumur dua belas tahun. Kakakku baru saja masuk SMP, dan akhirnya setelah sekian tahun lamanya aku tidak satu sekolah dengannya. Enam bulan setelahnya, aku yang duduk di kelas 3 SD dan kakak dibagi rapor pada hari yang sama. Papa menemaniku pergi ke pembagian rapor. Pak Guru memulai dengan memuji, “Yogi sangat pintar, pak. Semua nilainya tidak ada yang dibawah sembilan, dan kelakuannya sehari-hari juga baik... Sama seperti kakaknya dulu...” Sama seperti kakaknya. Sama seperti kakaknya, adalah kata-kata yang selalu kuterima tiap aku menerima nilaiku. Sepulang sekolah, kami bertemu dengan mama dan kakak yang juga baru pulang dari SMP. Kakakku lagi-lagi mendapat nilai sempurna, dan dia juga meraih peringkat satu, tidak hanya di kelasnya, tapi juga di sekolahnya. Aku hanya meraih peringkat ketiga di sekolah. Saat itulah aku tahu, ada yang salah. *** Aku berumur sepuluh tahun. Kakakku berumur empat belas tahun. Pada umur ini, aku mengalami cinta monyet pertamaku. Kepada teman sekelasku, seorang gadis manis berkepang dua yang bernama Nadia. Bahkan namanya pun manis. Berdasarkan apa yang kutonton di sinetron-sinetron di TV, cowok-cowok tokoh utamanya mengutarakan cinta mereka dengan berbagai cara. Setelah mengalami pergulatan batin yang cukup memusingkan untuk anak berumur sepuluh tahun, akhirnya kuputuskan untuk menulis surat. Pada saat itu, bagiku menulis surat buat cewek benar-benar perkara hidup-mati yang sangat penting. Kucurahkan segenap hati, seluruh tenagaku, untuk merangkai kata-kata di surat itu. Aku membayangkan, kalau Nadia membaca surat ini dia akan balas menyukaiku. Surat itu akhirnya selesai ditulis. Dengan hati-hati kulipat dan kumasukkan kedalam amplop pink yang kubeli khusus untuk ini. Kemudian kutulis di bagian depan amplop : Buat Nadia, dari Yogi.. Sempurna. Sampai aku membuat kesalahan besar. Meletakkan surat itu begitu saja di atas meja belajarku. Kakak senang menerobos keluar masuk kamarku seakan itu kamarnya sendiri. Dan tebak apa yang ditemukannya? Voila. Sepucuk surat cinta. Kakak Nadia, Nino (sialnya) seumur dengan kakakku, dan mereka berdua (sialnya), sekelas. Jadi kakakku yang polos berpikir, ‘Yogi nulis surat buat Nadia! Aku kasihin ah.’ Dan dia menyampaikannya pada Nadia, tanpa kuketahui, dan tentu saja, dia menyampaikannya lewat KAKAKNYA. Keesokan harinya, setelah pada pagi harinya aku datang terlambat ke sekolah mencari-cari surat tersebut, aku dihadang oleh sekelompok anak SMP telat puber yang dipimpin oleh tidak lain tidak bukan kakak Nadia. Yang paling parah adalah ketika aku dipukuli, segerombolan anak berkerumun menonton dan menyoraki, dan salah satunya Nadia. Aku pulang dengan memar-memar di wajah, dan ketika dengan tanpa rasa bersalah kakakku dengan panik bertanya apa yang terjadi, aku menjadi sangat heran. Kenapa ada saudara laki-laki yang ingin melindungi saudara perempuannya seperti kakaknya Nadia sementara aku justru ingin melakukan sebaliknya. *** Aku berumur sebelas tahun, kakakku berumur lima belas tahun. Kami sedang makan malam, dan ayah bertanya pada kakak yang baru masuk SMA. “Rara, cita-cita kamu mau jadi apa nanti?” Kakak menjawab dengan tegas tanpa keraguan sedikitpun, “Rara mau jadi dokter yah! Rara ingin bisa mengobati banyak orang, terus bisa jagain ayah, ibu dan Yogi supaya selalu sehat.” Ketika ayahku terdiam, kakak terlihat agak tidak enak, dan melanjutkan, “Oh, soal biaya kuliahnya, jangan khawatir yah! Rara bakal nyari beasiswa, jadi ayah tenang aja!” Di tengah-tengah keramaian suasana makan malam... Ayahku yang menjitak kakak dan meneriakkan hal-hal semacam anak bodoh dan kakakku tidak sepantasnya khawatir soal biaya karena dia, ayahnya akan mengurus semua itu dan dia tinggal terima beres... Ibuku yang tertawa dan mengatakan hal-hal semacam ayah tidak perlu sombong, kalau kakak bisa mendapat beasiswa maka itu akan baik untuk semua… Kakakku yang nyengir membenarkan kata-kata ibu… Aku memutuskan satu hal. Ketika aku dewasa nanti, aku akan berkarir di bidang sosial. Kerja apapun oke, yang penting jauh dan tidak berkaitan dengan kedokteran. *** Aku berumur dua belas tahun, kakakku berumur enam belas tahun. Pada suatu sore, ia muncul di kamarku. “Apa?”, tanyaku heran. “Nggak ada apa-apa kok...”, katanya. Dia tampak ragu-ragu melanjutkan kalimatnya. “Yogi... kamu...”. “Ya?” “Golongan darah kamu apa? Pernah diperiksa nggak?” Aku heran dengan pertanyaan aneh ini, “Emm.. O kalau nggak salah. Kenapa?” Aku menangkap adanya perubahan raut wajah kakak, namun dengan cepat ia memasang kembali raut mukanya yang biasa. “Oh. Begitu. Terima kasih ya Yogi.” “Kak. Kenapa?” Ia menghentikan langkahnya keluar kamarku dan berkata, “Nggak apa-apa. Ada… yang lagi Rara cari. ” Kakak berlalu dari kamarku, meninggalkan aku yang bingung. Dia memang aneh, tapi kali ini anehnya lebih aneh. *** Aku berumur tiga belas tahun, kakakku berumur tujuh belas tahun. Tubuhku mulai meninggi pada usia ini, dan sekarang pulalah aku mulai menginjak masa puber. Dengan segera aku menjadi lebih tinggi dari kakakku, dan suaraku pun pecah. Di usia ini pula pola pikirku mulai berkembang lebih dewasa, melebihi anak-anak seumurku, selain hormon mungkin juga karena pengaruh buku- buku dan koran yang selalu kubaca. Sementara aku bertumbuh semakin maskulin dan dewasa, ukuran tubuh dan kedewasaan kakak sepertinya tidak beranjak dari dirinya yang berumur empat belas tahun. Dia masih suka tertawa lebar dan tidak memakai make-up apapun ke sekolahnya. Sikapnya pun tidak berubah manja didepan cowok atau merubah gaya berjalannya yang tomboy. Diantara teman-temannya yang centil dan terlihat dewasa, kakak seperti tertinggal di masa SMP. Kadang-kadang, aku mau tidak mau memperhatikan, akhir-akhir ini kakak terlihat menjadi agak pendiam. Dia juga jarang tertawa lagi. Awalnya kukira ini adalah hal yang baik, mungkin kakak sudah menjadi lebih dewasa. Tapi kusadari belakangan, dia bukan menjadi lebih pendiam, melainkan lebih murung. Suatu saat aku datang ke sekolahnya untuk mengantarkan sesuatu, dan dari tepi gerbang aku melihatnya duduk sendirian di tepi lapangan. Seorang cewek menghampirinya, seperti mengatakan sesuatu, kemudian pergi dari hadapan kakak dan bergabung dengan segerombolan anak lainnya dan tertawa. Aku tidak mendengar apa yang mereka katakan, tapi aku tahu yang mereka tertawakan adalah kakakku. Malam harinya, raut muka kakak terlihat gelap. Dan ketika kami mencuci piring bersama setelah makan malam, ia bertanya padaku, “Yogi, Rara kayak anak kecil ya?”. Jawaban yang jujur adalah ya, tapi aku memutuskan balik bertanya, “Kenapa nanya begitu?”. Ia terlihat salah tingkah, tapi kemudian berkata pelan, “Soalnya… Rara nggak seperti teman-teman yang lain,” Jawaban ini benar-benar tidak kusangka. Selama ini, kakak memang BERBEDA dari anak-anak yang lain. Kecerdasan otaknya tentu saja, lalu kepribadiannya yang ceria dan hangat memang agak berbeda dari gadis-gadis lain yang rata-rata menjaga tawa dan kata-kata (apalagi didepan cowok). Begitu berbeda hingga kadang-kadang surreal. Ia bisa tertawa lebar dan menyerukan semangat dengan ceria sampai rasanya ia bukan seorang remaja, tapi masih seorang anak yang senang-senangnya bermain. Dan aku menyangka kakak tidak pernah mempedulikan pendapat orang lain. “Kak… lo sering dikerjain ya di sekolah?”, sahutku tanpa bisa ditahan. Dia terlihat kaget, namun kemudian bercerita dengan lancar. Rupanya selama ini kakak selalu diejek teman-temannya karena sikapnya dan pola pikirnya yang sederhana. Mereka mengatakan dia aneh, dan lama kelamaan dari ejekan verbal berkembang menjadi tindakan. “Terus, mereka bilang apa lagi?”, tanyaku, tanpa sadar tinjuku makin mengepal seiring ceritanya. “Sudahlah, nggak apa-apa kok Yogi. Kamu juga nganggap Rara aneh, kan?” Aku terperangah tak percaya, “Kakak nyamain gue dengan mereka?” Mata kakak membesar menatapku, “Eh, bukan begitu, tapi, Rara kira… gimana yah, Yogi gak suka sama Rara? Kalau Rara lihat, Yogi kesal terus kalau didekat Rara...” Giliranku yang tergagap menjawab, “Yah... Tapi gue nggak beranggapan sama dengan mereka! Kak, lo cewek yang hebat dan pintar, dan meskipun lo dibilang aneh, itu diri lo sendiri! Lo harus bangga sama diri sendiri!” Kakakku membelalak tak percaya mendengarku mengatakan semua itu. Demikian juga aku. Tapi aku tidak berhenti, karena kusadari aku turut marah atas apa yang mereka lakukan pada kakak. “Lagipula kak, lo kan masih punya teman yang benar-benar baik, kayak Nino dan Alin, mereka itu sahabat sejati yang nerima lo apa adanya! Jadi.. biarkan saja teman-teman lo yang lain itu!” Mata kakak yang sebelumnya melebar sekarang jadi agak berkaca-kaca. Aku kaget. “He? Kakak nangis ya?” “Ah nggak, nggak apa-apa!”, katanya ceria, seperti sudah kembali pada dirinya yang dulu. “Iya, Yogi benar! Rara harusnya gak peduli sama mereka, dan jadi diri Rara sendiri! Makasih ya Yogi!” Aku mengangguk atas kata-katanya, namun sedetik kemudian aku merasa malu. Aku munafik. Sebenarnya aku juga sering kesal padanya. Sering menyesali kenapa dia harus menjadi kakakku. Dan kadang-kadang aku berharap dia tidak begitu. Tidak menjadi dirinya yang ceria, bawel, dan segalanya itu. Tapi mendengar kata-kata kakakku tadi, aku juga menyadari dia tidak bermaksud seperti itu. Dia tidak pernah bermaksud menyakiti hatiku. Dia hanya menjadi dirinya sendiri. Yang mana mungkin bukan hal yang baik juga. Tapi memang dirinya seperti itu. Dan seharusnya tidak akan berubah. Mungkin aku harus belajar untuk lebih mengerti. Setelah itu Nino datang ke rumah untuk meminjam PR kakak. Dan ketika melihatku ia (yang sama premannya dengan dirinya ketika SMP) memberikan sapaan khasnya, “Heh! Awas lo kalau coba dekat-dekat Nadia!” Dan aku mulai merasa kesal lagi dengan kakak. *** Aku berumur empat belas tahun, kakakku berumur delapan belas tahun. Akhirnya dia mendapatkan beasiswa itu, dan berangkat ke Jakarta, terpisah beberapa ratus kilometer dari kami. Menuju Fakultas Kedokteran di Universitas negeri nomor satu di Indonesia. Sekarang tidak ada lagi ayah, ibu, dan aku disampingnya. Tidak ada Nino dan Alin juga. Aku hanya berharap, dia menjalani kehidupannya disana dengan bahagia. Dan tidak ada yang menyakitinya seperti dulu. *** Aku berumur lima belas tahun, kakakku berumur sembilan belas tahun. Aku tidak bertemu dengannya hampir setahun, karena terakhir kali dia pulang adalah ketika Idul Fitri, setelah itu, bahkan saat libur semesteran dan ulang tahun kami ia tidak kembali. Katanya, urusan di kampus. Ayah bertanya padaku tentang cita-citaku nanti. Aku memikirkan keputusan yang pernah kuambil beberapa tahun lalu, tentang karir di bidang sosial itu. Itu adalah keputusan yang terburu-buru. Dan sebenarnya ketika itu (aku masih 11 tahun, kelas lima SD) minatku seimbang pada bidang sains maupun sosial. Tapi determinasiku yang tidak ingin lagi dibanding-bandingkan dengan kakakku yang memang master di bidang sains, mulai mengarahkanku untuk lebih mendalami pelajaran-pelajaran sosial. Dan lama-kelamaan, aku menjadi jatuh cinta di bidang tersebut, terutama jurnalistik. Aku suka menulis. Aku suka membaca. Dan aku tipe orang yang lebih mudah menuliskan sesuatu daripada membicarakannya secara oral (ingat kasus Nadia). Aku menjawab, “Yogi ingin jadi wartawan, yah.” Ayah dan Ibu tersenyum. *** Aku berumur enam belas tahun, kakakku berumur dua puluh tahun. Pada hari ulang tahun kami, kakak pulang ke rumah. Dan ayah dan ibu mengatakan pada kami bahwa sesungguhnya kakak bukanlah anak kandung mereka. Aku terkejut hingga rasanya jantungku loncat ke tenggorokan. Anehnya kakak menerima semua itu dengan tenang. Tahun-tahun di Jakarta telah membentuknya menjadi seorang pribadi yang lebih tenang. Terlalu tenang sampai-sampai aku tidak mengenalinya. “Rara sudah tahu kok yah, bu,” Aku bicara padanya setelah makan malam. “Kak... yang barusan itu..?” Ia tersenyum padaku, kemudian mengangguk. Kakak mengetahui itu semua dari seorang dosennya di kampus, yang merupakan teman dari ibu kandung kakak. Ia adalah seorang dokter, dan kebetulan ia juga menempuh pendidikan dokter di universitas yang sama dengan kakak. Tampaknya, ayah kakak, suami wanita itu meninggal dalam suatu kecelakaan dan karena terkejut, ia melahirkan lebih cepat dan beberapa hari setelah kelahiran, ia meninggal. Ayah telah mengenal dokter itu sejak lama, dan memutuskan merawat kakak bersama ibu. “Awalnya aku kaget, dan merasa terluka, tapi mengetahui segalanya amatlah melegakan. Aku sudah penasaran sejak SMA, ketika aku melakukan tes golongan darah, yang kemudian membuktikan aku tidak mungkin anak kandung ayah dan ibu.” Aku merasa tidak mampu berkata-kata. “Tapi.. tapi kenapa lo nggak bilang, atau tanya sama ayah dan ibu?” Lagi-lagi ia tersenyum, tapi senyumnya berbeda dengan senyum-senyumnya yang sebelumnya. Seperti sebuah senyum yang benar-benar lepas dari hatinya, bukan sekedar senyum kegembiraan atau ramah tamah yang biasa ia tunjukkan. “Karena aku tahu, mereka akan bilang padaku suatu saat. Aku hanya perlu menunggu.” Saat itu, melihat wajahnya yang bercahaya, aku tahu kakak telah menemukan apa yang dicarinya selama ini. Dan tiba-tiba aku merasa sedikit pedih. Ia bukan kakakku. Kami tidak sedarah. Setelah segala yang telah kami lakukan bersama. Setelah segala yang ia lakukan padaku, dan aku lakukan padanya Aku tidak tahu harus merespon apa, jadi kukatakan, “Kak... apa lo bahagia?” “Bahagia? Tentu,” jawabnya cepat. “Dan yang paling bikin aku bahagia, aku dibesarkan oleh ayah dan ibu, dan tumbuh besar bersama kamu. Adik paling hebat sedunia.”. Aku memandangnya bingung. Ia balas menatapku. “Maaf ya, kalau aku selalu buat repot kamu. Aku nggak pernah bisa jadi kakak yang baik, malah selalu buat kamu kesal. Dan ternyata kita gak sedarah, aku.. aku minta maaf atas segala kekacauan yang udah aku bikin.” “Apa?” “Ulang tahun kita sama, bahkan wajah kita pun agak mirip, sepertinya, kita memang ditakdirkan menjadi kakak-adik. Tapi sifat kita benar-benar berbeda, dan aku sadar, kamu yang selalu beradaptasi dengan aku, sementara aku selalu bertindak tanpa berpikir yang akhirnya menyulitkan kamu.” Kakak terlihat sangat emosional ketika melanjutkan kata-katanya. “Yogi, untuk semuanya, aku ucapkan terima kasih, dan sekaligus maaf. Aku minta maaf.” “Apa?”, entah keberapa kali aku mengulang kata ini. Aku tidak percaya dengan apa yang kudengar. Kutatap ia lekat-lekat. Ia juga menatapku. Bisa kulihat bahwa ia serius dengan apa yang ia katakan. Ia merasa bersalah padaku. “Kak. Jangan bicara seperti itu lagi. Lo... jangan pernah minta maaf lagi.”, akhirnya tenggorokanku mampu mengeluarkan kata-kata. “Lo adalah kakak gue, dan repot-ngerepotin itu biasa untuk kakak-adik.” Aku melanjutkan, dengan agak tercekat, “ Dan… kalau bukan karena lo ada sebagai kakak gue, gue gak akan jadi diri gue yang sekarang ini.” Tenggorokanku seakan tersumbat, masih banyak yang ingin kukatakan namun tak satu kata pun yang mampu kuucapkan. Disaat aku berjuang mengeluarkan suara diantara bulir-bulir air yang menggenang di mata dan tenggorokanku, kakak memeluk bahuku. “Terima kasih, Yogi. Terima kasih…” Aku merasakan bahuku basah dengan air mata. Kami sama-sama menangis malam itu. *** Sekarang aku berumur dua puluh tahun, kakakku berumur dua puluh empat tahun. Kini aku menempuh kuliah di Universitas yang sama dengan kakak, Fakultas Ilmu Komunikasi, jurusan Jurnalistik. Kakakku akan disumpah dokter bulan depan, dan keluarga kami sedang sibuk-sibuknya mempersiapkan syukuran yang akan diselenggarakan atas kelulusannya. Terutama ibu yang membongkar barang-barang di rumah dan membuat rumah kami seperti kapal pecah. Pada saat itulah aku secara kebetulan menemukan karangan kakakku yang ia tulis tujuh belas tahun lalu. Aku sudah pernah membacanya ketika SMP, dan yang kurasakan setelahnya adalah rasa malu. Sekarang aku membacanya lagi, dan aku tersenyum. Pada baris terakhir karangannya tertulis, “.....Meskipun dia nakal, tapi Yogi tetap adikku yang kusayang. Dan dia adalah hadiah ulang tahun yang paling indah yang pernah ada!” *** Aku memiliki seorang kakak perempuan. Dia memang agak aneh dan suka membuat masalah, tapi mau bagaimana lagi? Dia adalah kakakku.
Saya mengerti keinginan Anda untuk berbagi pengalaman pribadi, namun beberapa detail dalam narasi tersebut kurang sesuai. Mari kita bahas topik lain yang lebih konstruktif