You are on page 1of 8

FUNGSI ZAKAT DALAM UPAYA

PENGENTASAN KEMISKINAN
Makalah ini disusun guna memenuhi salah satu tugas mata kuliah:

Hadits dan Sosial Budaya

Dosen Pengampu: Dr. Nurun Najwah, M.Ag

Disusun Oleh
Ali Farhan
(07530007)

JURUSAN
TAFSIR HADIS
FAKULTAS
USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN
KALIJAGA
YOGYAKARTA
2009
PENDAHULUAN

Kemiskinan merupakan bahaya besar bagi umat manusia dan tidak sedikit umat yang
jatuh peradabannya hanya karena kefakiran. Karena itu seperti sabda Nabi yang menyatakan bahwa
kefakiran itu mendekati pada kekufuran. Islam sebagai Ad-diin telah menawarkan beberapa doktrin
bagi manusia yang berlaku secara universal dengan dua ciri dimensi, yaitu kebahagiaan dan
kesejahteraan hidup di dunia serta kebahagiaan dan kesejahteraan hidup di akhirat.
1
Salah satu cara menanggulangi kemiskinan adalah dukungan orang yang mampu untuk
mengeluarkan harta kekayaan mereka berupa dana zakat kepada mereka yang kekurangan. Zakat
merupakan salah satu dari lima nilai instrumental yang strategis dan sangat berpengaruh pada
tingkah laku ekonomi manusia dan masyarakat serta pembangunan ekonomi umumnya. Tujuan zakat tidak
sekedar menyantuni orang miskin secara konsumtif, tetapi mempunyai tujuan yang lebih permanen yaitu
mengentaskan kemiskinan
Disini penulis mencoba mengkaji ulang dengan megajak teman-teman dalam memecahkan
problematika yang timbul pada saat ini tentang permasalah zakat yang hubungannya adalah dengan
mustahik zakat yang tepatnya adalah pada masalah kemiskinan, semoga diskusi ini menambah
wawasan keilmuan dan mendapatkan solusi yang maksimal dalam menghadapi permasalahan yang
terjadi di negara tercinta kita antara zakat dan kemiskinan.

PEMBAHASAN

Landasan kewajiban zakat


Zakat adalah rukun Islam ketiga yang diwajibkan di Madinah pada bulan Syawal tahun
kedua Hijriyah setelah diwajibkannya puasa Ramadhan dan zakat Fitrah. Ayat-ayat zakat, shodaqah
dan infaq yang turun di Makkah baru berupa anjuran dan penyampaiannya menggunakan
metodologi pujian bagi yang melaksanakannya dan cacian atau teguran bagi yang
meninggalkannya. Zakat tidak diwajibkan kepada semua nabi dan rasul, karena zakat berfungsi
sebagai alat pembersih kotoran dan dosa, sedangkan para nabi dan rasul terbebas dari dosa dan
kemaksiatan karena mereka mendapat jaminan penjagaan dari Allah swt. Disamping itu kekayaan
yang ada ditangan para nabi adalah titipan dan amanah Allah swt yang tidak dapat diwariskan.

Landasan kewajiban zakat disebutkan dalam Al Qur'an, Sunnah dan Ijma Ulama.

Al Qur'an
→ Surat Al-Baqaraah ayat 43: Artinya: "Dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat dan ruku'lah bersama dengan
orang-orang yang ruku'".
→ Surat At-Taubah ayat 103: Artinya: "Ambilah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu
membersihkan dan mensucikan mereka dan do'akanlah mereka karena sesungguhnya do'amu dapat
memberikan ketenangan bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui".
→ Surat Al An'aam ayat 141: Artinya: "Makanlah buahnya jika telah berbuah dan tunaikan haknya
(kewajibannya) dihari memetik hasilnya (dengan dikeluarkan zakatnya)".

Sunnah
→ :‫س‬
ًَ ‫م‬ َ ‫عَلي‬
ْ ‫خ‬ َ ‫م‬ ْ َ ‫ي ا ْل‬
ُ َ ‫سل‬ ُ ‫و‬
َ ِ ‫ل الله ص م ب ُن‬ ْ ‫س‬
ُ ‫ل َر‬ َ ‫ل‬
َ ‫قا‬ َ ‫مَر قا‬
َ ‫ع‬
ُ ‫ن‬
ِ ْ ‫ن اب‬
ِ ‫ع‬
َ
ِ َ ‫صل‬
‫ة‬ َ ِ‫و ا‬
ّ ‫قام ِ ال‬ ُ ‫و‬
َ ‫ل الله‬ ْ ‫س‬ ًَ ‫م‬
ُ ‫دا َر‬ ّ ‫ح‬
َ ‫م‬ُ ‫ن‬ ّ َ‫و ا‬َ ‫ه‬ُ ‫ه ا ِل ّ الل‬َ َ ‫ن ل َ ا ِل‬ ْ َ‫ة ا‬
ِ َ‫هاد‬ َ ‫ش‬ َ
‫ن‬
َ ‫ضا‬ َ ‫م‬َ ‫وم ِ َر‬ْ ‫ص‬َ ‫و‬َ ‫ج‬ ّ ‫ح‬ َ ْ ‫وال‬ َ ‫ة‬ ِ َ ‫ءالّزكا‬ ِ ‫وا ِي َْتا‬ َ
Artinya: Dari Ibnu Umar berkata: Rasulullah saw bersabda "Islam dibangun atas lima rukun: Syahadat
tiada Tuhan kecuali Allah dan Muhammad saw utusan Allah, menegakkan shalat, membayar zakat,
menunaikan haji dan puasa Ramadhan"1

→ ‫ ان النبي صلي الله عليه وسلم‬،‫عن ابن عباس رضي الله عنهما‬

‫د‬ َ ‫ن الله‬
ْ ‫ق‬ ّ ِ ‫ } ا‬:‫ه‬ ِ ْ ‫في‬
ِ ‫و‬ َ ،‫ث‬ َ ْ ‫ذي‬ َ ْ ‫فذَك ََر ال‬
ِ ‫ح‬ َ ،‫ن‬ ِ ‫م‬َ ‫دا ا َِلي اْلي‬ًَ ‫عا‬َ ‫م‬ ُ ‫ث‬ َ ‫ع‬ َ َ‫ب‬
‫ي‬
ْ ‫ف‬ َ ،‫م‬
ِ ّ‫فت َُرد‬ ْ ‫ه‬ ْ َ‫ن ا‬
ِ ِ ‫غن َِيائ‬ ْ ‫م‬ ِ ُ ‫خد‬َ ‫ ُتؤ‬،‫م‬ ْ ‫ه‬ ِ ِ ‫ول‬
َ ‫م‬ْ َ‫ي ا‬ْ ‫ف‬ ًَ ‫ق‬
ِ ‫ة‬ َ َ ‫صد‬
َ ‫م‬ْ ‫ه‬ َ َ ‫ض‬
ِ ْ ‫علي‬ َ ‫قت ََر‬ ْ ‫ا‬
‫ري‬ ِ ‫خا‬َ ٌ ‫ظ ل ِل ْب‬ ُ ‫ف‬ ْ َ ‫ول‬
َ ،‫ متفق عليه‬.{ ‫م‬ ْ ‫ه‬ ِ ِ ‫قَرئ‬َ ‫ف‬ ُ 2
Artinya: Dari ibnu Abbas Radhiyallahu anhuma ”Sesungguhnya Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam
mengirim Mu’adz ke Yaman” lalu ia melanjutkan haditsnya, di dalamnya di sebutkan “Sesungguhnya
Allah telah mewajibkan shadaqah pada harta mereka, yang di ambil dari orang-orang kaya yang di
bagikan kepada fuqara’ mereka.” mutafaq ‘alaih dan ini lafadz Al-Bukhari
→ Hadist diriwayatkan oleh Ath-Thabrani dari Ali ra: Artinya: "Sesungguhnya Allah mewajibkan (zakat)
atas orang-orang kaya dari umat Islam pada harta mereka dengan batas sesuai kecukupan fuqoro
diantara mereka. Orang-orang fakir tidak akan kekurangan pada saat mereka lapar atau tidak berbaju
kecuali karena ulah orang-orang kaya diantar mereka. Ingatlah bahwa Allah akan menghisab mereka
dengan keras dan mengadzab mereka dengan pedih".
Ijma
→ Ulama baik salaf (klasik) maupun khalaf (kontemporer) telah sepakat akan kewajiban zakat dan bagi
yang mengingkarinya berarti telah kafir dari Islam.

Dari Nas-nas yang telah penulis sebutkan diatas tersebut dapat di pahami bahwa tujuan pertama
zakat adalah membantu fakir miskin dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, karena sifat keadaan
yang seperti inilah kefakiran dan kemiskinan menjadi sebab ia berhak mendapatkan harta zakat,
yaitu sebagai mustahik, dengan kata lain, zakat dapat menjadi sarana pemerataan pendapatan untuk
mencapai keadilan sosial.3 Dan zakat merupakan suatu kewajiban dan menjadi satu rukun Islam,
yang di tunjukkan dengan bunyi hadits “Didirikan agama Islam itu di atas lima perkara:1.

1 Bukhari, Shohih Bukhari, bab Keimanan; Penerj. Zainuddin Hamidy dkk (Jakarta; Widjaya,1969,) hlm 25
2 Al-Asqalani, Bulughul Maram: min adillati al-ahkam (Mesir, Darul ‘Aqidah;, 2003) hlm 247,
Termasuk hadits Shohih, di keluarkan oleh Bukhari dalam kitab Az-Zakah” (1458), An-Nasa’I (2434), At-Tirmidzi
(625), Ibn Majjah (1783), Ad-Darimi (1614), Ad-Daruquthni (218), Al-Baihaqi (IV,96,101), di riwayatkan oleh
Mutafaq ‘alih dan di ucapkan oleh Bukhari dari Ibn Abbas.
3 Muhammad daud Ali, Sistem Ekonomi Islam; Zakat dan Waqaf, cet ke-1 (Jakarta:UI Press, 1988) hlm 38
3
Mengakui tidak ada tuhan selain Allah dan Muhammad itu pesuru Allah, 2. Melaksanakan
sembahyang, 3.Melaksanakan Haji, 5. Puasa di bulan Ramadhan.“. Kewajiban zakat juga
merupakan ukuran seseorang. Seseorang muslim belum dianggap sempurna imannya. Jika dari
harta yang di peroleh (yang telah memenuhi syarat satu nishob dan lain sebagainya) tidak di
keluarkan sebagian berupa zakat untuk membantu anggota masyarakat yang lemah. Jadi, kesosialan
seseorang seorang muslim dapat di lihat dari praktek , apakah ia rela dan taat dalam munanaikan
ibadah zakat yang merupakan hak fakir miskin.4

Menurut Al-Qardhawi Zakat berfungsi menyalurkan sebagian harta umat, yang berada di
tangan kaum kayanya, kepada umat itu sendiri, yaitu kaum fakirnya, dengan kata lain, zakat adalah
dari umat dan untuk umat.5 Dalam kaitannya dengan sasaran zakat mal sebagai objek
pendistribusian zakat menurutnya juga sasaran yang harus lebih di utamakan adalah golongan yang
lebih membutuhkan. Dan yang lebih membutuhkan adalah golongan fakir miskin, karena memberi
kecukupan kepada mereka.

Yang paling penting dalam pengelolaan zakat mal bukanlah memungut dan memperoleh harta,
tetapi yang lebih penting dari itu adalah kemana harta itu harus di keluarkan dan bagaimana bisa
tepat sasaran dan sesuai dengan tujuan. Pihak pemerintahpun telah berhasil memungut pajak,
namun pada dataran pendistribusian terkadang negara jadi miring sebelah dan hawa nafsupun
timbul, harta kemudian diambil oleh yang tidak berhak, sedang yang lebih berhak menerima tidak
mendapatkan.6

Zakat memperbaiki pola konsumsi, produksi dan distribusi dalam masyarakat islam. Salah satu
kejahatan kapitalisme ialah penguasaan dan pemilikan sumber daya produksi oleh segelintir
manusia yang beruntung hingga mengabaikan manusia yang kurang beruntung.7

1. Peranan Strategis Pendayagunaan dan Pengelolaan Zakat

Menurut Dr. Abdul Al-Hamid Mahmud Al-Ba’ly, pemberdayaan dalam kaitannya dengan
penyampaian kepemilikan harta zakat kepada mereka yang berhak terdapat beberapa bagian, yaitu
sebagai berikut:

1. Pemberdayaan sebagian dari kelompok yang berhak akan harta zakat, misalnya fakir
miskin, yaitu dengan memberikan harta zakat kepada mereka sehingga dapat mencukupi
dan memenuhi kebutuhan mereka. Selain itu, dengan memberikan modal kepada mereka

4 Yusuf al-Qardhawi, Hukum Zakat; Study Komperatif mengenai stat us dan Falsafah Zakat berdasarkan Qur’an
Hadits. Penerj. Salaman Harun dkk. Cet 4 (Bandung; Mizan, 1996) hlm 920-921
5Op.Cit,hlm 921
6 Op.Cit,hlm 921
7 Op.Cit,hlm 922
yang memiliki keahlian tetapi menghadapi kendala berupa keterbatasan modal. Baik fakir
msikin maupun mereka yang memiliki keahlian, kepada mereka diberikan harta zakat untuk
memberdayakan mereka sehingga mereka dapat memenuhi kebutuhan mereka sendiri.
Tentang hal ini, Imam Nawawy mengatakan di dalam bukunya al-Majmû’ dari perkataan
jumhur mazhab Syafi’i: Mereka mengatakan bahwa sesuai dengan kebiasaan, orang yang
mempunyai profesi tertentu diberikan sesuatu dari harta zakat, dengan maksud agar mereka
menggunkannya untuk membeli alat-alat yang mendukung profesionalismenya, baik sedikit
maupun banyak. Dengan demikian, mereka mampu memenuhi kebutuhan hidup mereka.
Pemberian ini berbeda-beda sesuai dengan profesi, serta kebutuhan masing-masing
individu.

2. Memberdayakan kaum fakir, yakni dengan memberikan sejumlah harta untuk memenuhi
kebutuhan hidup serta memberdayakan mereka yang tidak memiliki keahlian apapun.
Terkait hal tersebut, almarhum Syaikh Syams al-Dîn al-Ramly mengatakan:

Jika para fakir miskin belum mendapatkan pekerjaan sebagai penunjang hidup mereka, baik
dengan profesi maupun berdagang, mereka diberikan bagian dari zakat secukupnya sesuai
kebutuhan hidup di negara mereka tinggal dan selama mereka hidup. Karena maksud dari
pemberian tersebut hanyalah untuk memenuhi kebutuhan mereka yang belum terpenuhi. Jika umur
mereka berlanjut, zakat diberikan tahun demi tahun. Akan tetapi tidak bukan berarti memberikan
mereka seperti gaji dari hasil kerja, melainkan memberikan mereka sejumlah uang yang dapat
digunakan untuk membeli rumah, yang kemudian mereka gunakan sebagai temapt bekerja, yang
akhirnya dapat terlepas dari ketergantungan terhadap zakat.

Sedangkan menurut Imam Ahmad, senada dengan pendapat jumhur Syafi’i, menyatakan
bahwa fakir miskin boleh mengambil sesuai kebutuhan dari harta zakat secara terus
menerus, baik untuk perdagangan maupun alat-alat yang mendukung profesi mereka. Di
dalam kitab lain disebutkan bahwa mereka yang memiliki profesi diberikan sejumlah harta
dari zakat sesuai kebutuhan untuk membeli alat-alat pendukung profesi tersebut. Mereka
yang berdagang diberikan modal usaha. Sedangkan yang selain dua tersebut di atas, adalah
fakir miskin. Kepada mereka diberikan sejumlah harta untuk menutupi kebutuhan hidup
yang belum terpenuhi.

Keberhasilan zakat tergantung kepada pendayagunaan dan pemanfaatannya. Walaupun


seorang wajib zakat (muzakki) mengetahui dan mampu memperkirakan jumlah zakat yang akan ia
keluarkan, tidak dibenarkan ia menyerahkannya kepada sembarang orang yang ia sukai. Zakat
harus diberikan kepada yang berhak (mustahik) yang sudah ditentukan menurut agama. Penyerahan

5
yang benar adalah melalui badan amil zakat. Walaupun demikian, kepada badan amil zakat
manapun tetap terpikul kewajiban untuk mengefektifkan pendayagunaannya. Pendayagunaan yang
efektif ialah efektif manfaatnya (sesuai dengan tujuan) dan jatuh pada yang berhak (sesuai dengan
nas) secara tepat guna.

Dalam pengelolaan zakat, Al-Qur'an menyebutkan kata ’amilin dalam salah satu ashnaf
yang berhak menerima dana zakat (QS. Al-Taubah : 60).

60. Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-
pengurus zakat8, para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang
berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan
yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana

Hal ini dipertegas lagi dengan adanya perintah (mandat) yang diberikan kepada penguasa
untuk memungut zakat dari harta orang-orang yang wajib zakat, sebagaimana dijelaskan dalam
surat At Taubah ayat 103:

103. Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan[658] dan
mensucikan[659] mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi)
ketenteraman jiwa bagi mereka. dan Allah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui.

berkaitan dengan keberadaan amil zakat di atas?

Secara tersirat, Al Qur'an ingin menunjukkan bahwa keberadaan amil dalam mengelola zakat
memiliki peran yang sangat strategis. Artinya, amil diharapkan mampu mewujudkan cita-cita zakat
sebagai salah satu instrumen dalam Islam (Sistem ekonomi Islam) dalam rangka menciptakan
pemerataan ekonomi dan harmonisasi antarumat.

Dalam konteks ini, para amil zakat tidak hanya sekedar mengumpulkan dan mendistribusikan
zakat, tetapi juga dituntut untuk mampu menciptakan pemerataan ekonomi umat sehingga kekayaan
tidak hanya berputar pada satu golongan atau satu kelompok orang saja. Sebagaimana ditegaskan
dalam surat Al-Hasyr : 7 Artinya: supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang
kaya saja di antara kamu.

Para amil harus mampu memilih dan memilah agar penyaluran zakat tepat sasaran dan jangan
sampai diberikan kepada orang yang tidak berhak, Allah swt memperingatkan bahwa ada orang
yang tidak pantas menerima zakat tetapi ingin mendapatkan bagiannya lalu orang tersebut mencela
Nabi Muhammad Saw. mengenai masalah pembagian harta zakat, surat At Taubah : 58 :

8 Al-Qurtubi menafsirkan kata amilin sebagai orang-orang yang ditugaskan (oleh imam/pemerintah) untuk mengambil,
menuliskan, menghitung dana zakat yang diambil dari muzakki untuk kemudian diberikan kepada golongan yang
berhak menerimanya.
Artinya: Dan di antara mereka ada orang yang mencelamu tentang (pembagian) zakat; jika mereka
diberi sebahagian daripadanya, mereka bersenang hati, dan jika mereka tidak diberi sebahagian
daripadanya, dengan serta merta mereka menjadi marah.

Amil zakat harus mampu menciptakan dan merumuskan strategi pemanfaatan zakat yang berdaya
guna dan berhasil guna. Amil zakat juga harus mampu mengeksplorasi berbagai potensi umat
sehingga dapat diberdayakan secara optimal. Dengan demikian, zakat menjadi lebih produktif dan
tidak hanya sekedar memiliki fungsi karitatif.9

Secara lebih jelas, Yusuf Al-Qardhawi menyebutkan urgensi keberadaan amil, yaitu:
pertama, jaminan terlaksananya syariat zakat (bukankah ada saja manusia-manusia yang berusaha
menghindar bila tidak diawasi oleh penguasa?). Kedua, pemerataan (karena dengan keterlibatan
satu tangan, diharapkan seseorang tidak akan memperoleh dua kali dari dua sumber, dan
diharapkan pula semua mustahiq akan memperoleh bagiannya). Ketiga,memelihara air muka para
mustahiq, karena mereka tidak perlu berhadapan langsun dengan para muzakki, dan mereka tidak
harus pula datang meminta. Keempat, sektor (ashnaf yang harus menerima) zakat, tidak terbatas
pada individu, tetapi juga untuk kemaslahatan umum, dan sektor ini hanya dapat ditangani oleh
pemerintah.10

Orientasi Spirit Zakat; Suatu Pelajaran dari Nabi

Nabi Muhammad SAW pernah memberikan shadakah kepada seorang fakir sebanyak dua
dirham, sambil mernberi anjuran agar mempergunakan uang itu satu dirham untuk makan dan satu
dirham lagi untuk membeli kampak dan bekerja dengan kampak itu. Lima belas hari kemudian
orang ini datang lagi kepada Nabi SAW dan menyampaikan bahwa ia telah bekerja dan berhasil
mendapat sepuluh dirham. Separuh uangnya dipergunakan untuk makan dan separuhnya lagi untuk
membeli pakaian. Zakat diberikan tidak sekedar sampai pada fakir, sunnah Nabi menyarankan agar
zakat dapat membebaskan seorang fakir dari kefakirannya. Nabi pun dicerca orang yang tidak
mendapat bagian zakat atau dipuji karena seseorang mendapat sesuai dengan yang diingininya.
Padahal Nabi menentukan mustahik atas dasar tepatnya sasaran. Apabila tidak ada lagi mustahik
maka dana zakat dikirimkan ke luar daerah atau untuk dimasukkan ke dalam dana baitul maal
seperti dilakukan oleh Mu'az pada zaman Khalifah Umar. Tiga kali Gubernur Yaman mengirimkan
zakat kepada Umar, dan tiga kali Umar menolak, bahwa ia tidak menyuruh Mu'az memungut upeti.

9 http://klikpsq.blogspot.com/2008/07/z-k-thtml, diakses pada 30 November 2009 dan lih. Nasar, M. Fuad (2006).
Pengalaman Indonesia dalam Mengelola Zakat: Sejarah, Realitas Baru dan Orientasi Masa Depan. (Jakarta:UI-
Press.cet.Ke-1), h.11
10 Yusuf al-Qardhawi, Hukum Zakat; Study Komperatif mengenai status dan Falsafah Zakat berdasarkan Qur’an
Hadits, hlm 233
7
Tetapi Mu'az menerangkan bahwa ia tidak lagi mendapatkan mustahik zakat11

PENUTUP

Tak bisa dipungkiri bahwa peran ‘sejumlah kecil’ zakat begitu ‘besar’ artinya bagi fakir
miskin. Melalui zakat, fakir miskin dan mustahik yang lain dijamin kelangsungan hidupnya sebagai
bagian dari masyarakat. Namun dalam implementasinya, zakat tidak bisa berjalan sendirian dalam
upaya menyelesaikan berbagai permasalahan umat terutama di bidang perekonomian. Untuk bisa
optimal, pelaksanaan zakat harus sesuai dengan posisinya dalam perspektif ekonomi Islam.

Seperti yang telah penulis paparkan tentang bahwa zakat adalah dari “ummat dan untuk
ummat” tentunya dapat menjadi koreksi pada konteks sekarang tentang pendistribusian zakat yang
tidak maksimal, yang mengakibatkan yang kaya makin kaya dan yang miskin makin miskin.

Mari kita renungkan…..

11 http://ukasbaik.wordpress.com/html, diakses pada 30 November 2009, dan lih. Al-Ba’ly, Dr. Abdul Al-Hamid
Mahmud (2006). Ekonomi Zakat: Sebuah Kajian Moneter dan Keuangan Syariah. Jakarta: RajaGrafindo Persada, hal.
84

You might also like