Professional Documents
Culture Documents
BAB II
PEMBAHASAN
1.Sejarah Pondok Pesantren
Terus terang, tak banyak referensi yang menjelaskan tentang kapan pondok
pesantren pertama berdiri dan bagaimana perkembangannya pada zaman permulaan.
Bahkan istilah pondok pesntren, kiai dan santri masih di perselisihkan.
Menurut Manfred Ziemek, kata pondok bedrasal dari kata funduq (Arab) yang
berarti ruang tidur atau wisma sederhana, karena pondok memang merupakan tempat
penampungan sederhana bagi para pelajar yang jauh dari tempat asalnya. Sedangkan kat
pesantren berasal dari kata santri yang di imbuhi awalan pe-dan akhiran –an yang berarti
menunjukkan tempat, maka artinya adalah tempat para santri. Terkadang juga di anggap
sebagai gabungan kata sant (manusia baik) dengan suku kata tra (suka menolong),
sehingga kata pesantren dapat berarti tempat pendidikan manusia baik-baik. Sedangkan
menurut Geertz, pengertian pesantren di turunkan dari bahasa India shastri artinya ilmuan
hindu yang pandai menulis, maksudnya, pesantren adalah tempat bagi orang-orang yang
pandai membaca dan menulis.
Terlepas dari itu, karena yang di maksudkan dengan istilah pesantren dalam
pembahasan ini adalah sebuah lembaga pendidikan dan pengembangan agama islam di
Tanah Air (khususnya jawa) di mulai dan di bawa oleh wali songo, maka model pesantrn
di pulau jawa juga mulai berdiri dan berkembang bersamaan dengan zaman wali songo.
Karena itu tidak berlebihan bila di katakan pondok pesantren yang pertama didirikan
adalah pondok pesantren yang didirikan oleh Syekh Maulana Malik Ibrahim atau Syekh
Maulana Maghribi.
Kedudukan dan fungsi pesantren saat itu belum sebesar dan sekomplek sekarang.
Pada awal, pesantren hanya berfungsi sebagai alat islamisasi dan sekaligus memadukan
tiga unsur pendidikan, yakni ibadah: untuk menanamkan iman, tabligh untuk
menyebarkan ilmu, dan amal untuk mewujudkan kegiatan kemasyarakatan dalam
kehidupan sehari-hari
Pondok pesantren adalah lembaga pendidikan Islam yang diperkenalkan di Jawa
sekitar 500 tahun yang lalu. Sejak saat itu, lembaga pesantren tersebut telah mengalami
banyak perubahan dan memainkan berbagai macam peran dalam masyarakat Indonesia.
Pada zaman walisongo, pondok pesantren memainkan peran penting dalam penyebaran
agama Islam di pulau Jawa. Juga pada zaman penjajahan Belanda, hampir semua
peperangan melawan pemerintah kolonial Belanda bersumber atau paling tidak dapat
dukungan sepenuhnya dari pesantren .internet
2. Elemen-elemen pesantren
Hampir dapat di pastikan, lahirnya suatu pesantren berawal dari beberapa elemen
dasar yang selalu ada di dalamnya. Ada lima elemen pesantren, antara satu dengan
lainnya tidak dapat di pisahkan. Keliam elemen tersebut meliputi kyai,santri, pondok,
masjid, dan pengajaran kitab kuning
a.Kyai
Kyai atau pengasuh pndok pesantren merupakan elemen yang sangat esensial bagi
suatu pesantren. Rata-rata pesantren yang berkembang di jawa dan madura sosok kyai
begitu sangat berpengaruh, kharismatik dan berwibawa, sehingga amat di segani oleh
masayrakat di lingkungan pesantren. Di samping itu kyai pondok pesantren sangat
biasanya juga sekaligus sebagai penggagas dan pendiri dari pesantren yang bersankutan.
Oleh karenanya, sangat wajar jika pertumbuhannya, pesantren sangat bergantung pada
peran seorang kyai.(masa depan 28)
Para kyai dengan kelebihan pengetahuannya dalam islam, sering kali dilihat
sebagai orang yang senantiasa dapat memahami keagungan Tuhan dan rahasia alam,
hingga dengan demikian mereka dianggap memiliki kedudukan yang tak terjangkau,
teritama oleh kebanyakan orang awam. Dalam beberapa hal, mereka menunjukkan ke
khususan mereka dalam bentuk-bentuk pakaian yang merupakan symbol kealiman yaitu
kopiah dan surban.(Ts56)
Masyrakat biasanya mengharapkan seorang kyai dapat menyelesaikan persoalan-
persoalan keagamaan praktis sesuai dengan kedalaman pengetahuan yang dimilikinya.
Semakin tinggi kitab yang ia ajarkan, ia akan semakin di kagumi. Ia juga di harapkan
dapat menunjukkan kepemimpinannya, kepercayaannya kepada diri sendiri dan
kemampuannya, karena banyak orang yang dating meminta nasehat dan bimbingan
dalam banyak hal. Ia juga di harapkan untuk rendah hati, menhormati semua orang, tanpa
melihat tinggi rendah sosialnya, kekayaan dan pendidikannya, banyak prihatin dan penuh
pengabdian kepada Tuhan dan tidak pernah berhenti memberikan kepemimpinan dan
keagamaan, seperti memimpin sembahyang lima waktu, memberikan khutbah jum’ah dan
menerima undangan perkawinan, kematian dan lain-lain.60
b.Pondok
sebuah pesantren pada dsarnya adalah sebuah asrama pendidikan islam tradisional
di mana para siswanya tinggal bersama belajardan belajar di bawah bimbingan seorang
(atau lebih) guru yang lebih di kenal dengan sebutan “kyai”. Asrama untuk para siwa
tersebut berada dalam lingkungan komplek pesantren dimana kyai bertempat tinggal yang
juga menyediakan sebuah masjid untuk beribadah, ruang untuk belajar dan kegiatan-
kegiatan keagamaan yang lain. Komplek pesantren ini biasanya di kelilingi dengan
tembok untuk dapat mengwasi keluar dan masuknya para santri sesuai peraturan yang
berlaku
pondok, asrama bagi para santri, merupakan cirri khas tradisi pesantren, yang
membedakannya dengan system pendidikan tradisional di masjid-masjid yang
berkembang di kebanyakan wilayah islam di Negara-negara lain. Bahkan system asrama
ini pula membedakan pesantren dengan system pendidikan suraudi daerah minangkabau.
Ada tiga alasan utama kenapa pesantren harus menyediakan asrama bagi para
santri. Pertama, kemashuran seorang kyai dan kedalaman pengetahuannya tentang islam
menari santri-santri dari jauh. Untuk dapat menggali ilmu dari kyai tersebut secara teratur
dan dalam waktu yang lama, para santri tersebut harus meninggalkan kampung
halamannya dan menetap di dekat kediaman kyai. Kedua, hampir semmua pesantren
berda di desa-desa dimana tidak tersedia perumahan (akomodasi) yang cukup untuk dapat
menampung santri-santri; dengan demikian perlulah adanya suatu asrama khusus bagi
para santri. Ketiga, ada sikap timbale balik antara kyai dan santri, dimana para santri
menganggap kyainya seolah-olah sebagi bapaknya sendiri, sedangkan menganggap para
santri sebagai titipan Tuhan yang harus senantiasa di lindungi. Sikap ini juga
menimbulkan perasaan tanggung jawab di pihak untuk dapat menyediakan tempat tinggal
bagi para santri. Di samping itu dari pihak para sntri tumbuh perasaan pengabdian kepada
kyainya, sehingga para kyainya memperoleh imbalan dari para santri sebagai sumber
tenaga bagi kepentingan pesantren dan keluarga kyai.
System pondok bukan saja merupakan elemen paling penting dari tradisi
pesantren, tapi juga penopang utama bagi pesantren untuk dapat terus berkembang .
meskipun keadaan pondok sederhana dan penuh sesak, namun anak-anak muda dari
pedesaan dan baru pertama meninggalkan desanya untuk melanjutkan pelajaran di suatu
wilayah yang baru itu tidak perlu mengalami kesukaran dalam tempat tinggal atau
penyesuaian diri dengan lingkungan social yang baru.
c.Masjid
Masjid merupakan elemen yang tidak dapat di pisahkan dengan pesantren dan
dianggap sebagai tempat yang paling tepat untuk mendidik para santri, terutama dalam
sembahyang lima waktu, khutbah dan sholat jum’ah, dan mengajarkan kitab-kitab klasik.
Kedudukan masjid sebagai pusat pendidikan dalam tradisi pesantren merupakan
manivestasi universalisme dari sitem pendidikan tradisional. Dengan kata lain
kesinambungan system islam yang berpusat pada masjid sejak masjid al Qubba didirikan
dekat madinah pada masa Nabi Muhammad saw tetap terpancar dalam system pesantren.
Sejak zaman nabi, masjid telah menjadi pusat pendidikan islam. Dimana puun kaum
muslimin berada, mereka selalu menggunaka masjid sebagi tempat pertemuan, pusat
pendidikan, aktifitas administrasi dan cultural.
Lembaga-lembaga peasntren jawa memelihara terus tradisi ini, para kyai selalu
mengajar murid-muridnya di masjid dan menganggap masjid sebagai tempat yang paling
tepat untuk menamkan disiplin para murid dalam mengerjakan kewajiban sembahyang
lima waktu, memperoleh pengetahuan agama dan kewajiban agama yang lain.
Seorang kyai yang ingin megembangkan sebuah pesantren, biasanya pertama-
pertama akan mendirikan masjid di dekat rumahnya. Langkah ini biasanya diambil atas
perintah gurunya yang telah menilai bahwa ia akan sanggup memimpin sebuah pesantren.
d.Santri.
Menurut pengertian yang dalam lingkungan orang-orang pesantren, seorang alim
hanya bisa disebut kyai bilaman memiliki pesantren dan santri yang tinggal dalam
pesantren tersebut untuk mempelajari kitab-kitab islam klasik. Oleh karena itu santri
adalah elemen penting dalam suatu lembaga pesantren. Walaupun demikian, menurut
tradisi psantren, terdapat dua kelompok santri:
1.Santri mukim yaitu murid-murid yangn berasal dari daerah jauh dan menetap dalam
kelompok pesantren. Santri mukim yang menetap paling lama tinggal di pesantren
tersebut biasanya merupakan suatu kelompok tersendiri yang memegang tanggung jawab
mengurusi kepentingan pesantren sehari-hari;mereka juga memikul tanggung jawab
mengajar santri-santri muda tentang kitab-kitab dasar dan menengah.
2.Santri kalong yaitu murid-murid yang berasal dari desa-desa di sekeliling pesantren;
yang biasanya tidak menetap dalam pesantren (nglajo) dari rumahnya sendiri. Biasanya
perbedaan pesantren kecil dan pesantren besar dapat dilihat dari komposisi santri kalong.
Sebuah besar sebuah pesantren, akan semakin besar jumlah mukimnya. Dengan kata lain,
pesantren kecil akan memiliki lebih banyak santri kalong dari pada santri mukim.(tradisi
psantren:52)
Oleh karenanya, hanya seorang santri yang memiliki kesungguhan dan kecerdsan
saja yang di beri kesempatan untuk belajar di sebuah pesantren besar. Selain dua istilah
santri diatas ada juga istilah “santri kelana” dalam dunia pesantren. Santri kelana adalah
santri yang bepindah-pindah dari satu pesantren ke pesantren lainnya, hanya untuk
memperdalam ilmu agama. Santri kelana ini akan selalu berambisi untuk memiliki ilmu
dan keahlian tertentu dari kyai yang di jadikan tempat belajar atau di jadikan gurunya.
Hampir semua kyai atau ulama’ di jawa yang memimpin sebuah pesantren besar,
memperdalam pengetahuan dan memperluas penguasaan ilmu agamanya dengan cara
mengembara dari pesantren ke pesantren (berkelana). Nah, setelah pesantren mengadopsi
system pendidikan modern seperti sekolah atau madrasah, tradisi kelana ini mulai di
tinggalkan
e. Pengajaran Kitab Kuning
berdasarkan catatan sejarah, pesantren telah mengajarkan kitab-kitab klsik,
khususnya karangan-karangan madzab syafi’iyah. Pengajaran kitab kuning berbahasa
Arab dan tanpa harakatatau sering disebut kitab gundul merupakan satu-satunya methode
yang secara formal di ajarkan dalam pesantren di Indonesia. Pada umumnya, para santri
dating dari jauh dari kampung halaman dengan tujuan inginmemperdalam kitab-kitab
klasik tersebut, baik kitab Ushul Fiqih, Fiqih, Kitab Tafsir, Hadits, dan lain sebagainya.
Para santri juga biasanya mengembangkan keahlian dalam berbahasa Arab (Nahwu dan
Sharaf), guna menggali makna dan tafsir di balik teks-teks klasik tersebut.
Ada beberapa tipe pondok pesantren misalnya, pondok pesantren salaf, kholaf,
modern, pondok takhassus al-Qur’an. Boleh jadi lembaga, lembaga pondok pesantren
mempunyai dasar-dasar ideology keagamaan yang sama dengan pondok pesantren yang
lain, namun kedudukan masing-masing pondok pesantren yang bersifat personal dan
sangat tergantung pada kualitas keilmuan yang dimiliki seorang kyai.
Keseluruhan kitab-kitab klasik yang diajarkan di pesantren dapat di golongkan ke
dalam delapan kelompok yaitu, 1). Nahwu (sintaksis) dan saraf (morfologi), 2)fiqih;
3)ushul fiqih; 4)hadits; 5) tafsir; 6)tauhid; 7) tasawuf dan etika; 8) cabang-cabang lain
seperti tarikh dan balaghah. Kitab-kitab tersebut meliputi teks yang sangat pendek sampai
teks yang berdiri dari berjilid-jilid tebal mengenai hadits, tafsir, fiqih, ushul fiqih dan
tasawuf.
Agar bisa menerjemahkan dan memberikan pandangan tentang isi dan makna dari
teks kitab tersebut, seorang kyai ataupun santri harus menguasai tata bahasa Arab
(balaghah), literature dan cabang-cabang pengetahuan agama islam yang lain.MD 40
3. Pesantren dan Tantangan Modernitas
Melihat perkembangan dunia yang begitu cepat ini bagi banyak kalangan telah
memunculkan respond an spekulasi yang beragam. Tidak terkecuali bagi umat islam,
perubahan-perubahan yang terus muncul belakangan ini di dalamnya menyentuh hampir
seluruh aspek kehidupan manusia, aspek ekonomi hingga aspek nilai-nilai moral. Secara
sederhana, era global ini dapat di ilustrasikan dengan persaingan sengit dalam bidang
ilmu dan politik, kemajuan sains, dan teknologi, arus informasi yang cepat, dan
perubahan social yang tinggi
Sebaliknya, berbagai upaya proteksi yang di lakukan oleh suatu pihak atau Negara
tertentu, bagi Negara-negara yang telah lama melakukan proyek modernisasi, tentu hanya
di pandang sebagai penentangan terhadap ketrbukaannya. Sebagai implikasinya, wacana
mengenai plurarismeakan menjadi pergulatan serius dalam mempertemukan antar
peradaban yang yang berkeingianan untuk eksis di dunia. Dalam maknanya yang global,
pluralisme di satu sisi mempunyai ‘keterbukaan’ dan di sisi lain bisa jadi muncul sebagai
bentuk arena persaingan. Dalam kondisi seperti ini , umat manusia dihadapkan pada
realitas, dimana tafsir mengenai ‘persaingan’ sangat erat kaitannya dengan siapa yang
kuat dialah yang akan memenangkan arena perdebatan dan sebaliknya, pihak yang lemah
akan menanggung kekalahan dan menerima system keterbukaan tersebut.
Oleh karena pengaruh abad industri ini tidak saja menyentuh aspek ekonomi,
tetapi juga moral dan agama, islam dengan paradigma yang dimilikinya , yaitu rahmatan
lil alamin, bertanggung jawab atas terjadi benturan-benturan peradaban atau implikasi
negative dari perkembangan dunia, termasuk juga didalamnya adalah masyarakat
pesantren yang menjadi bagian integral dari masyarakat secara kesuluruhan tidak bisa
menutup mata dan menjauh dari realitas ini. Dengan doktrin-doktrin kepesantrenan yang
dimilikinya, fenomena ini tidak laik di posisikan sebagai bentuk hambatan peradaban,
akan tetapi menjadi ujian sekaligus tantangan eksistensi masa depan pesantren di era
masyarakat global. Pertanyaannya adalah bagimana bentuk akomodasi pesantrendalam
merespon modernitas sebagaimana fenomenanya telah di uraikan di atas . kiranya nilai-
nilai apa sajakah yang dianggap akomodatif dan mampu menjawab tantangan zaman.
a.Pesantren dan Tradisi ke Ilmuannya
Dalam memahami gejala modernitas yang kian dinamis pesantren sebagaimana
yang di istilahkan Gus Dur ‘sub kultur’ memiliki dua tanggung jawab secara bersamaan,
yaitu sebagai lembaga agama Islam dan sebagai bagian integral masyarakat yang
bertanggung jawab terhadap perubahan dan rekayasa social. Karena memiliki model
pendidikan dan cara belajar santri, pesantren sudah selayaknya menjadi lembaga tafaqquh
fiddin dalam arti luas. Pesantren sepeti dunia akademik dan memiliki cirri khas tersendiri,
bertanggung jawab atas berbagai fenomena social yang berkembang dan berdampak
negative bagi kelangsungan hidup manusia. Dengan perspektif yang universal atau
pendekatan komprehensif, ilmu-ilmu yang di ajarkan di dalam pesantren dapat mendekati
persoalan-persoalan kontemporee dengan memberi interprestasi ayat dan hadits, tetapi
juga tanpa mengesampingkan kaca mata empiris. Atau dengan istilah populernya tidak
sekedar berijtihad secara qauly tetapi mengarah ke ijtihad manhajy (methodology)
Dalam kaitannya dengan resppon keilmuan pesantren terhadap dinamika
modernitas, setidaknya terdapat dua hal utama yang perlu di perhatikan. Keduanya
merupakan upaya cultural keilmuan pesantren, sehingga paradigma keilmuanny tetap
menemukan relevansinya dengan perkembangan kontemporer. Pertama, keilmuan
pesantren muncul sebagai upaya pencerahan bagi kelangsungan perdaban manusia di
dunia. Ini dapat di lakukan dengan menafsirkan upaya menafsirkan teks-teks islam
menjadi sholihun likulli zaman, dinamis dan terbuka. Di samping itu, keilmuan pesantren
menolak terhadap upaya pensakralan pemikiran keagamaan (taqdir al-afkar al-din).
Dalam bidang tafsir misalnya, asbab an-nuzul dan al-ibrah bil umumu as-sabab la bi
khusus al-lafadz di pahami sebagai pendekatan sosio histories islam dalam mengkaji
universalitas islam.
Kedua, karena pesantren di pandang sebagai lembaga pendidikan, maka
kurikulum pengajarannya setidaknya memiliki orientasi terhadap dinamika keyakinan.
Maksudnya adalah keilmuan pesantren juga penting mengadopsi metode yang di
kembangkan ilmu-ilmu social. Karenanya asumsi bahwa pendidikan pesantren itu melulu
dengan doktrin itu dapat di tolak sejak dini. Di pesantren, kajian mengenai doktrin
keagamaan di dekati melalui dua pendekatan yang normativitas dan hostoritas. Keilmuan
yang mendukung ini, msecara klasikal dan terencana pesantren sangat
memperhatikannya.. misalny dalam ilmu fikih, di samping belajar fikh normative, di
ajarkan pula ushul fikih.
Kedua upaya tersebut pada hakikatnya bertolak dari asumsi bahwa pesantren
sebagai lembaga pendidikan islam tidak dapat di pisahkan dari tanggung jawab keilmuan
dan social bagi kelangsungan peradaban manusia . pesantren dengan berbagai skomodasi
keilmuan yang dimilikinya, sejak dini telah mempersiapkan generasi baru sebagai
pemikir sekaligus berda di garde depan social change.MD 80
b. Kemajuan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
Membincang kemajuan dan teknologi tidak akan terlepas dari perbincangan
tentang perubahan. Sebab bagi keduanya perubahan merupakan identitas, cirri khas
bahkan karakter yang melekat dan tidak akan terpisahkan. Demikian juga ketiaka dua hal
tersebut di kontektualisasikan dengan dunia kepesantrenan.
Pada awal perkembangannya dan bahkan hingga era 70-an, pesantren pada
umumnya di pahami sebagai lembaga pendidikan agama yang bersikap tradisional yang
tumbuh dan berkembang di masyarakat pedesaan melalui proses social yang unik . saat,
itu, dan bahkan hingga sekarang, sebagai lembaga social yang berpengaruh.
Keberadaannya memberikan pengaruh dan warna keberagaman dalam kehidupan
masyarakat sekitarnya; tidak hannya di wilayah administrasi pedesaan, tetapi tidak jarang
hingga melintasi daerah kabupaten dimana pesantren itu berada. Oleh karena itulah
pesantren di gunakan sebagi agen perubahan (agen of change) sebagai lembaga perantara
yang yang di harapkan dapat berpearn sebagai dinamisator katalisator pemberdayaan
sumber daya manusia, penggerak pembangunan di segala bidang, serta pengembang ilmu
pengetahuan dan teknologi dalam menyongsong era era global. Dan, disinilah perubahan
merambah kedalam dunia ke pesantrenan.
Sebagaimana di krtahui, globalisasi meniscayakan tejadinya perubahan di segala
aspek kehidupan, termasuk orientasi, persepsi, dan tingkat selektifitas masyarakat
Indonesia terhadap pendidikan. Apabila semasa orde baru pembangunan lebih diarahkan
pada pemeratan pendidikan yang berimplikasi pada tidak terimbanginya peningkatan
kuantutas oleh kualitas, maka globalisasi memaksa Indonesia untuk merubah orientasi
pendidikannya menuju pendidikan yang berorientasikan kualitas, kompetensi dan, dan
skill, artinya yang terpenting ke depan bukan lagi memberantas buta huruf. Lebih dari itu,
membekali manusia terdidik agar dapat ikut berpartisipasi dalam persaingan global juga
harus di kedepankan. Berkenaan dengan ini, standard mutu yang berkembang di
masyarakat adalah tingkat keberhasilan lulusan sebuah lembaga pendidikan dalam
mengikuti kompetisi pasar global
Untuk dapat menganalisa peran pesantren di era global, sebelunya harus di
pahami bahwa pesantren memiliki akar sosio histories yang cukup kuat sehingga
membuatnya mampu menduduki posisi yang relative sentral dalam dunia keilmuwan
masyarakat, dan sekaligus bertahan di tengah berbagai gelombang perubahan.
Sebagaimana di ketahui selama ini pesantren di kenal dengan lembaga “counter). Kalau
kita menerima spekulasi bahwa “pesantren telah ada sebelum islam, maka sangat boleh
jadi ia merupakan satu-satunya lembaga pendidikan dan keilmuan di luar istana. Dan jika
ini benar, berrti pesantren pada saat itu merupakan lembaga”counter culture” budaya
tandingan ) terhadap budaya keilmuan di monopoli kalangan istana dan elit Brahmana.
Sebagai “counter culture” semestinya pesantren terus mengalami perubahan dan
perkembangan sejalan dengan sifat dan ciri khas budaya yang bersifat dinamis dan tidak
statis.83
Secara garis besar permasalahan pesantren bisa di kelompokkan ke dalam empat
hal, yaitu: pertama, kurikulum pendidikan yang mencakup literature, model
pembelajaran, dan pengembangannya; kedua, sarana dan prasarana seperti perpustakaan,
laboratorium, internet, lapangan olah raga, dan yang lainnya; ketiga, wahana
pengembangan diri seperti organisasi, majalah, seminar dan pengembangan lain
sebagainya; k empat, wahana aktualisasi diri di tengah masyarakat, seperti tabligh, khotib
dan lainnya
Dari beberapa permaslahan inilah perubahan system penyelenggaraan pendidikan
pesantren yang integrated yang juga berorientasi pada perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi perlu untuk di kedepankan.90
Yang menjadi tantangan bagi pesantren saat ini adalah bagiman pesantren
mengupayakan pengembangan system dan methodology pembelajarannya, setidak-
tidaknya agar proses pembelajarannya lebih efektif dan efesien.94
3. Berpijak Pada Tradisi
a. Kilas Balik Pergeseran Pesantren
Seabagai lembaga berbasis agama, pesantren pada mulanya merupakan ousat
penggemblengan nilai-nilai dan penyiaran agama islam. Dengan menyediakan kurikulum
yang berbasis agama, pesantren di harpkan mampu melahirkan alumni yang kelak di
harapkan mampu menjadi figure agamawan yang demikian tangguh dan memainkan dan
membiasakan peran propethiknya pada masyarakat secara umum, artinya, akselerasi
mobilitas vertical dengan penjejalan materi-materi keagamaan menjadi prioritas untuk
tidak mengatakan satu-satunya prioritas dalam pendidikan pesantren.
Menjadikan pendidikan agama sebagiai prioritas ini di dasarkan pada semangat
‘ibdah’ yang menjadi motivasi pendirian pesantren. Oleh karena itu cukup beralasan
apabila pesantren pada mulanya tidak di dasarkan pada orientasi tertentu yang bersifat
duniawi, semisal orientasi lapangan kerja atau jabatan tertentu dalam hirarki social,
melainkan semata-mata pengembangan agama yang bersifa ibadah. Ini misalnya terlihat
dalam bacaan do’a yang popular di kalangan pesantren yang berbuyi: “Allahumma la
taj’ali al-dunya akbara hammina, wa la mablagha ‘ilmina …” (wahai Tuhanku jangan,
jangan jadikan orientasi duniawi sebagai impian utama kami, dan jangan jadikan orientasi
duniawi sebagai target keilmuan kami.
Do’a ini dengan jelas menampik orientasi duniawi sebagai impian dan target
pengembaraan intelektual santri. Artinya ketulusan mencapai ridho Allah menjadi impian
para santri dalam menunutut ilmu. Mengingat orientasi pencapaian ridlo Allahlah,
kalangan pesantren pada masa penjajahan belanda menolak priyayisme yang sengaja di
ciptakan belanda untuk mencemari ketulusan niat pencari ilmu.128
b.Masalah-masalah yang di hadapi pesantren.
BAB I
PENDAHULUAN
dalam diri, maupun komunitas. Oleh sebab itu, proses pendidikan yang benar adalah
konfrehensif dari ikatan-ikatan yang terdapat diluar dirinya atau dikatakan sebagai
Hal ini terjadi jika pendidikan dijadikan instrumen oleh sistem penguasa yang
ada hanya untuk mengungkung kebebasan individu. Secara memis pendidikan yang
ada di Indonesia adalah sebagian kecil yang terdesain dan terorganisir oleh bingkai
sistem. Gambaran sistem semacam itu merupakan bentuk pemaksaan kehendak dan
Maka dari pada itu, pendidikan adalah merupakan elemen yang sangat
Ketika melihat dari salah satu aspek tujuan pendidikan nasional sebagai mana yang
budi. Dengan demikian, adanya akal dan budi menyebabkan manusia memiliki cara
dan pola hidup yang multidimensi, yakni kehidupan yang bersifat material dan
pendidikan sangat mustahil suatu komunitas manusia dapat hidup berkembang sejalan
menuntut peningkatan mutu pendidikan sebagai sarana pencapaiannya. Hal ini telah
Artinya :
“Allah SWT akan mengangkat orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-
orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat” (Depag RI, 1974: 911).
yang terus menerus dari setiap pergantian roda kepemimpinan. Maka dalam hal ini
sistem pendidikan nasional masih belum mampu secara maksimal untuk membentuk
Melihat fenomena yang terjadi pada saat sekarang ini banyak kalangan yang
mulai melihat sistem pendidikan pesantren sebagai salah satu solusi untuk
terwujudnya produk pendidikan yang tidak saja cerdik, pandai, lihai, tetapi juga
berhati mulia dan berakhlakul karimah. Hal tersebut dapat dimengerti karena
dimaksud.
menunjukkan perkembangkan yang cukup pesat. Hal ini tercermin dari berbagai
focus wacana, kajian dan penelitian para ahli, terutama setelah kian diakuinya
kontribusi dan peran pesantren yang bukan saja sebagai “sub kultur” (untuk
menunjuk kepada lembaga yang bertipologi unik dan menyimpang dari dari pola
dalam perjalanan sejarahnya, Ia telah memberikan andil yang sangat besar dalam ikut
masyarakat.
tertua yang melekat dalam perjalanan kehidupan Indonesia sejak ratusan tahun yang
silam, ia adalah lembaga pendidikan yang dapat dikategorikan sebagai lembaga unik
dan punya karakteristik tersendiri yang khas, sehingga saat ini menunjukkan
banyak memberikan andil dan kontribusi yang sangat besar dalam ikut serta
gubernemen.
Oleh karena itu tak mengherankan bila pakar pendidikan sekalas Ki Hajar
Dewantoro dan Dr. Soetomo pernah mencita citakan model system pendidikan
pesantren merupakan kreasi cerdas budaya Indonesia yang berkarakter dan patut
pesantren sebagaimana terjadi di Barat yang hampir semua universitas terkenal cikal
univ. Harvard. Sehingga yang ada bukan UI, ITB, UGM, UNAIR dan lain
sebagainya, tetapi mungkin Univ. Tremas, Univ. Krapyak, Tebuireng, Bangkalan dan
Yang menarik untuk ditelaah adalah mengapa Pesantren --baik sebagai lembaga
pendidikan maupun lembaga sosial-- masih tetap survive hingga saat ini ? Padahal
sebelumnya banyak pihak yang memperkirakan pesantren tidak akan bertahan lama
ditengah perubahan dan tuntutan masyarakat yang kian plural dan kompetitif, bahkan
ada yang memastikan pesantren akan tergusur oleh ekspansi sistem pendidikan umum
dan modern.
Tak kurang dari Sutan Ali Syahbana yang mengatakan bahwa sistem pendidikan
kaum muslimin (1997 : 11). Ada juga yang dengan sinis menyebutkan sistem
pendidikan pesantren hanyalah fosil masa lampau yang sangat jauh untuk memainkan
Penilaian psimis ini bila dilacak muncul dari ketidak akuratan melihat profil
Pesantren secara utuh, artinya memang melihat pesantren “hanya sebagai lembaga tua
dengan segala kelemahannya” tanpa mengenal lebih jauh watak watak barunya yang
rangka mencari sesuatu yang belum tersentuh dan tidak terfikirkan oleh sistem
Alasan pemilihan judul ini berawal dari motivasi yang menyebabkan peneliti
kajiannya, sehingga penelitian ini dapat dipertanggung jawabkan secara akademis dan
1. Alasan Objektif
1. Judul ini menjadi salah satu yang dipilih mengingat peserta didik merupakan salah
satu subjek pendidikan Islam dan merupakan subjek dari sebuah pondok
pesantren.
muslimnya.
peserta didik, supaya nantinya menjadi manusia yang kreatif, inovatif, kompetitif,
1. Alasan Subjektif
1. Judul di atas sangat menarik dan relevan untuk diteliti serta tidak menyimpang
dari spesialisasi keilmuan dari peneliti pada Jurusan Tarbiyah Program Studi
3. PENEGASAN JUDUL
akan dilaksanakan, berikut ini akan ditegaskan makna setiap kata dalam judul
dengan ajaran-ajaran agama Islam melalui kitab kuning (klasik) yang metode
(Al-‘Adalah,2003:17)
dan teknologi yang membawa trasformasi terhadap pondok pesantren. Dalam hal
(Al-‘Adalah,2003:18)
mainnya tergantung kepada sosok figur seorang kiai, baik kurikulum, metode dan
2. Perspektif
Perspektif adalah suatu cara untuk melukiskan benda pada permukaan
yang mendatar sebagaimana terlihat oleh mata dengan tiga dimensi (panjang,
kepribadiannya.
Pendidikan Islam bila dilihat dari segi kehidupan kultural umat manusia
masyarakat manusia itu sendiri. Pendidikan Islam adalah proses membimbing dan
dewasa. (Arifin,2000:10-16)
suatu bentuk perbaikan sikap mental yang akan terwujud dalam amal perbuatan,
baik bagi keperluan diri sendiri maupun orang lain, dan bukan sekedar bersifat
teoritis akan tetapi juga praktis, serta merupakan suatu kolaborasi antara
aset bagi pembangunan pendidikan nasional, serta sebagai amanat sejarah untuk
sudah mulai tumbuh meskipun masih individual. Maka dari pada itu pendidikan
Islam di Indonesia dimulai oleh para tokoh agama dengan mendekati masyarakat
wawasan keagamaan.
bagi umat Islam di Indonesia baru terjadi dengan pendirian pesantren. (muncul
pada abad XIII dan mencapai perkembangannya yang optimal pada abad XVIII).
(Rahim,2001:06)
Indonesia. Pada tahap awal pendidikan Islam dimulai dari kontak-kontak pribadi
oleh para pembaharu muslim diberbagai negara sampai juga gaung pembaruan itu
muncul diawal abad ke XX, disebabkan banyaknya orang yang tidak puas dengan
sistem pendidikan yang berlaku saat itu. Karenanya ada beberapa sisi yang perlu
diperbaharui, yakni dari segi isi (materi), metode, sistem dan manajemen.
(Daulay,2004:45-46)
4. PERUMUSAN MASALAH
Maka untuk merumuskan permasalahan tersebut, perlu adanya sistematika
analitik untuk mencapai sasaran yang menjadi objek kajian, sehingga pembahasan
akan lebih terarah pada pokok masalah. Hal ini dimaksudkan agar terhindar dari
pokok masalah dengan pembahasan yang tidak fokus dan tidak ada relevansinya.
membutuhkan solusi, sebab tanpa adanya permasalahan tidak ada akan mungkin
dengan perubahan pengetahuan dan teknologi. Agar lebih mudah dan sistematis, serta
lain :
1. Pokok Masalah
Islam Indonesia ?
5. TUJUAN PENELITIAN
sebagaimana yang telah dirumuskan sebelumnya (STAIN, 2002: 10). Maka dari
rumusan itulah akan terdapat sesuatu yang menunjukkan perolehan pasca penelitian.
Secara umum, karena objek penelitian adalah pendidikan yang mengarah terhadap
nilai-nilai Islam. Maka yang menjadi tujuan untuk mengetahui dan memahami yang
orisinil dan dapat menghasilkan solusi yang baik dan positif (Bisri, 2004: 203).
yang telah dirumuskan. Maksudnya adalah agar tidak ada penyimpangan dalam
(STAIN, 2002: 10). Maka dalam tujuan penelitian ini penulis membagi menjadi
1. Tujuan Umum
2. Tujuan Khusus
tardisional
tradisional
tradisional
6. MANFAAT PENELITIAN
Dalam penelitian ini diharapkan dapat membawa manfaat yang baik bagi
peneliti, pihak STAIN Jember, praktisi, pengelola pendidikan dan masyarakat pada
1. Bagi Peneliti
pendidikan
Menjadi bahan pijakan dalam merumuskan konsep atau format pendidikan yang
2. Menjadi bahan masukan dalam merumuskan konsep atau format pendidikan yang
1. Bagi Masyarakat
Islam
2. Penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi lapisan masyarakat sebagai wawasan
1. Asumsi
Pendidikan pada saat ini masih diyakini sebagai satu-satunya sarana dalam
menanamkan moral, budi pekerti, dan emosional pada calon generasi penerus
pendidikan yang berciri khas unik dan merupakan pendidikan asli Indonesia.
adanya di dalam menanamkan kesadaran, baik secara nyata, potensi dan kultural.
tahapan dan sesuai dengan perubahan pengetahuan dan teknologi. Secara tidak
pelajaran yang bernuansakan bahasa arab dengan memakai kitab klasik (kuning)
ini tidak terlepas dari suatu tuntutan di dalam memahami ajaran agama Islam.
Secara substansial untuk bisa memahami al-Qur’an dan al-Hadist ini harus
dan nahwu), juga agar lebih mudah mengkaji, serta mendiskripsikan sesuatu yang
Lebih dari itu, dalam proses penanaman kesadaran pada peserta didik semua
elemen berperan penting, baik di dalam maupun di luar pesantren. Oleh karena
itu, peserta didik dituntut untuk mampu berinteraksi, komunikasi dan mampu
Dalam hal ini sosok seorang figur kiai atau ustadz dan orang tua dituntut
adalah merupakan suatu wadah warisan yang harus dipelihara dan dikembangkan,
2. Keterbatasan
1. Hasil penelitian belum teruji mengingat masih banyak hal yang perlu
merubah kurikulum yang telah ada dan telah dijadikan acuan dalam proses belajar
mengajar.
2. Kurangnya refrensi atau literatur yang berkenaan dengan teori pendidikan pondok
pesantren tradisional, hal itu sangat penting sekali sebagai pijakan dan pedoman
an, berarti tempat tinggal santri. Soegarda Poerbakawatja yang dikutip oleh
Haidar Putra Daulay, mengatakan pesantren berasal dari kata santri yaitu
mempunyai arti, tempat orang berkumpul untuk belajar agama Islam. Ada juga
yang bersifat “tradisional” untuk mendalami ilmu tentang agama Islam dan
tempat santri, atau tempat murid-murid belajar mengaji. Sedangkan secara istilah
pesantren adalah lembaga pendidikan Islam, dimana para santri biasanya tinggal
umum, bertujuan untuk menguasai ilmu agama Islam secara detail, serta
Pondok pesantren secara definitif tidak dapat diberikan batasan yang tegas,
pengertian yang lebih konkrit, karena masih meliputi beberapa unsur untuk dapat
Maka dengan demikian sesuai dengan arus dinamika zaman, definisi serta
persepsi terhadap pesantren menjadi berubah pula. Kalau pada tahap awalnya
selamanya benar.
pendidikan keterampilan.
kerja. (2006:101)
Sedangkan menurut Mas’ud dkk, ada beberapa tipologi atau model pondok
pesantren yaitu :
yang ditulis oleh para ulama’ abad pertengahan. Pesantren model ini masih
berbagai jenjangnya, bahkan ada yang sampai Perguruan Tinggi yang tidak
contohnya.
pedesaan ini telah mengalami perjalanan sejarah yang panjang, sejak sekitar abad
ke 18. seiring denga perjalanan waktu, pesantren sedikit demi sedikit maju,
masyarakatnya.
Dinamika lembaga pendidikan Islam yang relatif tua di Indonesia ini tampak
(Khozin,2006:149)
“modern” mulai terbuka bagi warga Indonesia yang mendapat latihan di sekolah-
yang tetap berjalan meneruskan segala tradisi yang diwarisinya secara turun
temurun, tanpa perubahan dan inprovisasi yang berarti kecuali sekedar bertahan.
Namun ada juga pesantren yang mencoba mencari jalan sendiri, dengan harapan
mendapatkan hasil yang lebih baik dalam waktu yang singkat. Pesantren semacam
yang terkait dengan pendidikan maupun sistem di dalam pendidikan itu sendiri,
mulai dari sisi mengaji ke mengkaji. Itupun merupakan sebuah bukti konkrit di
Karenanya pesantren tidak akan pernah mengalami statis, selama dari setiap
unsur-unsur pesantren tersebut bisa menyikapi dan merespon secara baik, apa
PEMBAHASAN
kemurnian identitas aslinya sebagai tempat menalami ilmu-ilmu agama (tafaqquh fi-I-
din) bagi para santrinya. Semua materi yang diajarkan dipesantren ini sepenuhnya
bersifat keagamaan yang bersumber dari kitab-kitab berbahasa arab (kitab kuning)
pendidikan pondok pesantren tradisional berposisi sebagai sub ordinat yang bergerak
pada wilayah dan domaian pendidikan hati yang lebih menekankan pada aspek
pendidikan nasional yang memberikan pencerahan bagi peserta didik secara integral,
Dengan demikian, pesantren dengan sistem dan karakternya yang khas telah
menjadi bagian integral dari sistem pendidikan nasional, meski mengalami pasang
surut dalam mempertahankan visi, misi dan eksistensinya, namun tak dapat disangkal
hingga saat ini pesantren tetap survive, bahkan beberapa diantaranya bahkan muncul
sebagai model gerakan alternatif bagi pemecahan masalah masalah sosial masyarakat
karena sejak awal keberadaannya pesantren juga menempatkan diri sebagai pusat
belajar masyarakat (Commonity learing centre), seperti di contohkan Gur Dur pada
Pesantren Denanyar Jombang yang selama 50 tahun tidak pernah surut memberikan
pengajian dan problem solving gratis pada Ibu ibu rumah tangga di desa desa
Hasil dari kegiatan ini memang bukan orang orang yang berijazah, tetapi
pembentukan pandangan, nilai nilai dan sikap hidup bersama dimasyarakat, padahal
pembangunan oleh pemerintah acapkali tidak manjangkau sisi ini. Disini terlihat jelas
pemerintah, dan lebih pada gerakan yang dilandaskan pada amal saleh, sebagai
jika kian mendapat dukungan yang lebih signifikan dari semua pihak dalam skenario
besar kehidupan berbangsa, maka bukan tidak mungkin ia akan menjadi mutiara yang
sangat berharga bagi perbaikan bangsa Indonesia. Oleh karena itu sekali lagi,
formatif dan teori ilmu ilmu sosial Barat, tentu tidak akan akurat.
Namun demikian tidak berarti pesantren sebagai lembaga pendidikan terbebas
1. Di Pesantren belum banyak yang mampu merumuskan visi, misi dan tujuan
pendidikannya secara sistimatik yang tertuang dalam program kerja yang jelas.
al qodim as soleh wal ajdu bil jadidil aslah” selalu ditempatkan pada posisi
bagaimana benang tak terputus dan tepung tak terserak, padahal ibarat orang naik
tangga, ketika salah satu kaki meninggalkan tangga yang bawah, kaki satunya
melayang layang diudara, bisa jadi terpeleset atau jatuh, itu resiko, bila takut
menghadapi resiko, dia tidak akan pernah beranjak dari tangga terbawah.
dan fungsi pengembangan masyarakat atau pusat rehabilitasi sosial. Hanya saja dalam
keilmuannya ketimbang capaian capaian formal, akan tetapi tetap ada tuntutan yang
mendesak agar ada re-presepsi terhadap pemahaman kitab kuning, yaitu bukan
sekedar memahami sebagaimana adanya, hitam diatas putih terhadap teks yang
terdapat dalam kitab kuning, namun juga konteks historisnya. Atau bahkan tidak
sekedar kitab kuning, tapi juga mungkin kitab putih, hitam, merah dan biru. tuntutan
yang amat mendasar sebagai syarat kwalifikasi keilmuan dalam rangka menjawab
“mengapa“, hal yang demikian menurut Masdar F Mas’udi (1993 : 11) karena
berhubungan erat dengan akar historis yang amat tipikal dalam kehidupan masyarakat
sepenuhnya benar, yakni sebuah frem yang menganggap bahwa ilmu bukanlah
sesuatu yang lahir dari proses pengamatan (ru’ya) dan penalaran (ra’yu), melainkan
suatu nur yang memancar atau yang dipancarkan dari atas dari sebuah sumber yang
tidak diketahui bagaimana datangnya. Akhirnya muncul persepsi bahwa ilmu bukan
sesuatu yang harus dicari, digali dan diupayakan dari bawah, melainkan sesuatu yang
ditunggu dari “atas”. Giliran selanjutnya ternyata bukan hanya ilmu yang diyakini
memancar dari atas, tetapi juga termasuk kemampuan kemanpuan lain manusia atau
bahkan segala sesuatu yang terhampar di alam semesta ini . akibatnya adalah apa
yang mesti dilakukan seseorang untuk memperoleh ilmu adalah menyediakan kondisi
spiritual yang kondusif bagi hadirnya anugrah itu melalui latihan latihan kerohanian
Nah dalam proses riyadhah, pada perspektif sufi, difahami bahwa seorang
murid tak ubahnya bagaikan si buta yang tak mungkin menemukan jalan tanpa uluran
tangan seorang guru (mursyid) yang dipercaya mengantarkannya kepada Tuhan yang
maha kuasa. Disinilah kita dapat memahami posisi guru menjadi demikian signifikan
dan vital bagi seorang murid yang hendak mengarungi jalan bathin. Syair sufi
ditangan yang memandikannya”. Hal yang seperti ini jelas akan melemahkan daya
kritis dan kreatifitas pada masyarakat pesantren, lebih lebih di jaman serba canggih
ini.
menalar ilmu ilmu itu, diakui bahwa kemampuan mengingat dan menghafal bukan
sesuatu yang tidak penting, akan tetapi mesti seimbang dengan kemampuan menalar,
sebab kalau dimensi menalar dilemahkan , maka dengan sendirinya santri menjadi
tidak mempunyai daya kritisitas yang memadai. Akhirnya proses pendidikan hanya
kajian. Nah bila ini yang terjadi maka bukan tafaqquh tapi hanya tahafudz.
Leteratur yang dikaji jangan hanya terbatas pada kitab yang sudah menjadi
barang jadi, seperti, fahtul muin, fathul wahab, tetapi diprioritaskan pada ilmu
kelebihannya, maka bukan tidak mungkin ia menjadi salah satu alternatif yang cukup
menjajikan dimasa masa yang akan datang, terutama ditengah pengapnya system
pendidikan nasional yang cenderung lebih menekankan pada education for the brain
dan relatif mengabaikan Education for The heart, yang gilirannya hampir bisa
pengangguran elit intelektual, meraksasa dalam tehnik tapi merayap dalam etik,
otaknya tapi bodoh nuraninya,. Dalam suasana yang seperti ini, lembaga pendidikan
Spiritual (SQ).
Dalam melaksanakan sistem dan proses pengajaran, pendidikan pondok
pendidikan Islam. Dalam hal ini, lembaga pendidikan yang mengajarkan agama Islam
kepada masyarakat dan anak-anak Indonesia, telah lahir dan berkembang semenjak
masa awal kedatangan Islam di negeri ini. Pada masa awal kemunculannya, lembaga
pendidikan ini bersifat sangat sederhana berupa pengajian al-Qur’an dan tata cara
berkembang dengan nama pesantren, ini terus tumbuh didasari tanggung jawab untuk
asrama tempat tinggal para santri, masjid sebagai pusat peribadatan dan pendidikan,
santri sebagai pencari ilmu, pengajaran kitab kuning serta kiai yang mengasuh
dalam kenyataan hidup sehari-hari, dan tidak dianggap sebagai sektor yang terpisah.
Oleh karena itu, sosok kiai dalam dunia pondok pesantren tidak dapat dipisahkan,
karena keberadaannya merupakan unsur yang paling signifikan dan sebagai pimpinan
nasehatnya.
Oleh sebab itu, pondok pesantren bukan diperuntukkan sebagai tempat
pendidikan bagi santri semata, melainkan juga bagi masyarakat sekitarnya. Hal ini
sebelumnya, inti atau penekanan pendidikan pondok pesantren sebagai wadah dan
bahwa sistem pendidikan yang berlangsung di tanah air ini masih belum mampu
seutuhnya.
narkoba yang merajalela, kurangnya rasa hormat peserta didik kepada pendidik dan
rendahnya moral para penyelenggara negara serta lain sebagainya adalah indikasi-
indikasi yang mendukung penilaian di atas. Berpijak dari konsep dasar itulah
pendidikan yang ada di tanah air ini dan dituntut adanya penyikapan yang arif dan
bijaksana.
tradisi islam yang dikembangkan ulama dari masa kemasa, dan hal tersebut tidak
terbatas pada periode tertentu dalam sejarah islam, Karenanya tidak sulit bagi dunia
Maka itu kemamupuan pesantren untuk tetap survive dalam setiap perubahan, bukan
sekedar karena karakteristiknya yang khas, tetapi juga karena kemampuannya dalam
Terdapat pelbagai visi, misi, karakter dan kecenderungan baru yang terus
berkembang dinamis dalam pesantren yang membuatnya tetap dan terus survive dan
bahkan berpotensi besar sebagai salah satu alternatif ideal bagi masyarakat
Pertama, karakterinya yang khas dan tidak dimiliki oleh lembaga pendidikan
lainnya, yakni mengakar kuat di masyarakat dan berdiri kokoh sebagai menara air
(bukan menara api). Menurut Nur Cholis Madjid, pesantren selain identik dengan
antara pesantren dengan lingkungannya ibarat setali mata uang, atau harimau dan
rimbanya yang satu sama lain mempunyai relasi yang erat bersifat simbiotik dan
organik. Karena itu posisi pesantren bagi masyarakatnya sering digambarkan seperti
pada Qs. Ibrahim : 24 – 25. Laksana pohon yang baik, akarnya kokoh dan rantingnya
menjulang kelangit, pohon itu memberi buah setiap musim dengan idzin Allah Swt.
Kedua, Di Pesantren terdapat prinsip yang disebut Panca Jiwa, yakni berupa
pembinaan jiwa ini, bukan pada yang lain, karenanya hasil pendidikan di Pesantren
akan mencetak jiwa yang kokoh yang sangat menentukan falsafah hidup santri dihari
kemudian, artinya, mereka tidak sekedar siap pakai tetapi yang lebih penting adalah
siap hidup. Prinsip inilah yang menjadikan pesantren tetap survive dan terus menjadi
Ketiga, Adanya hubungan lintas sektoral yang akrab antara santri dengan kyai.
Artinya Kyai bagi santri tidak sekedar guru Ta’lim, tetapi juga sebagai guru ta’dzib
dan guru tarbiyah. Dia tidak sekedar menyampaikan informasi keislaman, tetapi juga
menyalakan etos Islam dalam setiap jiwa santri dan bahkan mengantarkannya pada
taqarrub ilalloh. Karena itu hubungan kyiai dengan santri tidak sekedar bersifat
dimana santri diasramakan dalam satu tempat yang sama. Dimaksudkan selain
menjadikan suasana tidak ada perbedaan antara anak orang kaya atau orang miskin.
Juga sang kyiai dapat memantau langsung perkembangan keilmuan santri, dan yang
lebih penting adalah diterapkannya pola pendampingan untuk melatih pola prilaku
dan kepribadian para santri. Selain itu, pola pengasramahan memungkinkan santri
Mulyo, Salah satu faktor yang menjadikan pesantren tetap eksis dan bahkan menjadi
dikalangan pesantren terkenal slogan “Almuhafadatu ala al qodim as soleh wal ajdu
kehidupan sosial yang terus berubah, saat ini secara perlahan mulai terjawab,
Misalnya dalam segi “Elemen pokok”, pada perkembangan selanjutnya elemen pokok
pesantren tidak hanya terdiri dari : Kyai, Masjid, Pondok, Pengajian kitab klasik dan
Dhofir dan Zeimek, Tapi telah jauh berkembang pada : Pusat keterampilan, gedung
dan lain lain (Kontowijoyo, 1991 :251 dan Sujoko Prasojo, 1982 : 83)
pesantren, misalnya dari sekedar fungsi pendidikan dan sosial, saat ini berkembang
dan reproduksi ulama’, tetapi juga telah menjadi alternatif pembangunan yang
jelas bukan saja mampu bertahan dan survive, tapi lebih dari itu, dengan penyesuaian,
mengembangkan diri dan bahkan kembali menempatkan dirinya pada posisi sentral
tehnologi tepat guna, pusat usaha penyelamatan dan pelestarian lingkungan hidup,
pusat emansipasi wanita dan pusat pemberdayaan ekonomi masyarakat.( 1997 : xxi)
dari tahun ke tahun mereka mampu menarik minat masyarakat stake holder untuk
dari sekitar wilayah mereka, tetapi juga dari luar Jawa, bahkan dari luar Negeri,
seperti malaysia dan Brunai Darus Salam. Hal tersebut selain disebabkan faktor
internal, dimana pesantren terus melakukan pembenahan dan konsolidasi diri, juga
disebabkan faktor eksternal dimana lembaga pendidikan modern tidak mampu secara
nyata melahirkan manusia yang integratif , mandiri dan berakhlakul karimah. Padahal
yang paling dibutuhkan dalam dunia yang semakin menua ini tidak saja manusia yang
siap pakai, yang lebih penting justru yang siap hidup, Untuk hal yang terakhir, peran
30.368 pesantren dengan santri sejumlah 1.392.159 orang. Sebagai perbandingan saja
pada tahun 1972 diperkirakan jumlah pesantren bertambah menjadi 37 000 buah
dengan sekitar 4 juta santri. Angka angka ini menunjukkan bahwa pendidikan
pesantren mengalami ekspansi yang menakjubkan, meski berada dibawah sistem dan
seadanya, kumuh, sesak dan tidak heginis, tetapi seiring dengan perkembangan
ekonomi umat islam, saat ini tidak sulit mencari pesantren yang memiliki gedung
2. Begitu juga dengan domaiannya, ia tidak saja sebagai rural based institution,
tetapi juga menjadi lembaga pendidikan urban. Ini bisa dilihat dari kemunculan
Jauhar dan Nurul Islam di Jember dan banyak lagi ditempat lain seperti :
3. Selain itu saat ini pesantren tidak melulu identik dengan kelembagaan islam khas
Jawa, tetapi mulai di adopsi oleh wilayah wilayah lain, seperti di Sumatra,
saat ini ditiru oleh lembaga lembaga pendidikan umum, modern dan unggulan
Malang, Pesantren Mahasiswa di UNTAN Pontianak, dan banyak contoh contoh lain.
masyarakat disekitarnya, tidak saja dalam bidang pendidikan, tetapi juga bidang
misalnya, telah berhasil mengangkat desanya dari desa swadaya pada tahun 1978
menjadi desa swakarya pada tahun 1979 dan menjadi desa swasembada pada tahun
1981. Perubahan besar ini terjadi setelah pesantren tersebut mendirikan “Biro
kecamatan dan ratusan desa, Pesantren ini juga berhasil memberangkatkan 354 KK
untuk mengikuti kegiatan transimigrasi dengan bekal skill yang memadai, sehingga
Maslakhul Huda margoyoso Pati, Pesantren Suralaya Tasikmalaya dan juga beberapa
pesantren lainnya, yang masing masing mendapat penghargaan Kalpataru karena
Dengan menyandarkan diri kepada Allah SWT, para Kiai pesantren memulai
kalimatnya, didukung dengan sarana prasarana sederhana dan terbatas. Inilah ciri
pesantren, tidak tergantung pada sponsor dalam melaksanakan visi dan misinya.
Memang sering kita jumpai dalam jumlah kecil pesantren tradisional dengan sarana
dan prasarana yang mudah, namun para Kiai dan santrinya tetap mencerminkan
tampil dengan sarana dan prasarana sederhana. Keterbatasan sarana dan prasarana ini,
ternyata tidak menyudutkan para Kiai dan santri untuk melaksanakan program-
program pesantren yang telah dicanangkan. Mereka seakan sepakat bahwa pesantren
tempat untuk melatih diri (riyadhoh) dengan penuh keprihatinan, asalkan tidak
yang beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT, berakhlak mulia, bermanfaat bagi
kepribadian, menyebarkan agama atau menegakkan agama Islam dan kejayaan umat
pesantren itu tergantung bagaimana suatu program yang sudah di tentukan oleh sosok
pengasuh. Dalam artian terealisasinya visi, misi dan tujuan pondok pesantren terletak
pada kebijakn seorang kiai. Oleh karena itu, ada beberapa faktor yang dimaksud
dengan visi, misi dan tujuan pondok pesantren sebagaimana di bawah ini :
pondok pesantren.
dan teknologi
Hal ini juga dikemukakan oleh Abdurrahman Mas’ud dkk, sesungguhnya tujuan
pendidikan pesantren tergantung atau ditentukan oleh kebijakan kiai, sesuai dengan
perkembangan pesantren tersebut. Maka dari pada itu perkembangan dan perubahan
pesantren yang cukup berperan aktif serta sebagai pedoman di dalam proses
(2002:85)
Problem mendasar dari dunia pesantren saat ini ialah tuntutan agar
pesantren
terus berkembang mempertahankan nilai-nilai agama di tengah desakan
dunia
modern. Nilai-nilai pesantren dibangun secara tekstual dan kontekstual
dari
tafsir kitab suci. Kini, nilai-nilai pesantren menghadapi benturan
hebat dari
ideologi kapitalisme. Misalnya, pergeseran nilai-nilai tulus ikhlas
bergeser
dengan nilai materialisme kapitalisme. Masyarakat kapitalisme
berkeyakinan
bahwa semua jasa mereka mesti dihargai oleh uang. Sementara nilai
pesantren
justru berbeda. Ajaran pesantren menganjurkan sikap ikhlas beramal.
Keikhlasan
yang dibangun bersandar kepada Allah SWT. Tujuan hidup manusia hanya
mencari
ridla Allah SWT. Sementara orientasi paham kapitalisme berorientasi
kesejahteraan harta benda, modal, dan kekayaan.
http://najlah.blogspot.com
http://syaqo.blogspot.com