UNIVERSITAS PADJADJARAN KONSEP GENDER Untuk dapat memahami tentang peranan wanita dalam pembangunan yang berwawasan gender, terlebih dahulu perlu dibahas tentang konsep gender, agar kita berangkat dari pengertian yang sama.
Gender berasal dari kata “gender” (bahasa
Inggris) yang diartikan sebagai jenis kelamin. Namun jenis kelamin di sini bukan seks secara biologis, melainkan sosial budaya dan psikologis. Pada prinsipnya konsep gender memfokuskan perbedaan peranan antara pria dengan wanita, yang dibentuk oleh masyarakat sesuai dengan norma sosial dan nilai sosial budaya masyarakat yang bersangkutan. LANJUTAN …
Peran gender adalah peran sosial yang tidak
ditentukan oleh perbedaan kelamin seperti halnya peran kodrati. Oleh karena itu, pembagian peranan antara pria dengan wanita dapat berbeda di antara satu masyarakat dengan masyarakat yang lainnya sesuai dengan lingkungan.
Peran gender juga dapat berubah dari masa ke
masa, karena pengaruh kemajuan : pendidikan, teknologi, ekonomi, dan lain-lain. Hal itu berarti, peran jender dapat ditukarkan antara pria dengan wanita (Agung Aryani, 2002 dan Tim Pusat Studi Wanita Universitas Udayana, 2003). JENIS - JENIS PERAN GENDER 1.Peran produktif adalah peran yang dilakukan oleh seseorang, menyangkut pekerjaan yang menghasilkan barang dan jasa, baik untuk dikonsumsi maupun untuk diperdagangkan. Peran ini sering pula disebut dengan peran di sektor publik. 2.Peran reproduktif adalah peran yang dijalankan
oleh seseorang untuk kegiatan yang berkaitan
dengan pemeliharaan sumber daya manusia dan pekerjaan urusan rumah tangga, seperti mengasuh anak, memasak, mencuci pakaian dan alat-alat rumah tangga, menyetrika, membersihkan rumah, dan lain- lain. 3. Peran sosial adalah peran yang dilaksanakan
oleh seseorang untuk berpartisipasi di dalam
kegiatan sosial kemasyarakatan, seperti gotong- royong dalam menyelesaikan beragam pekerjaan yang menyangkut kepentingan bersama. (Kantor Menteri Negara Peranan Wanita, 1998 dan Tim Pusat Studi Wanita Universitas Udayana, 2003). PERANAN WANITA DALAM PEMBANGUNAN
Peranan wanita dalam pembangunan adalah hak
dan kewajiban yang dijalankan oleh wanita pada status atau kedudukan tertentu dalam pembangunan, baik pembangunan di bidang politik, ekonomi, sosial budaya maupun pembangunan di bidang pertahanan dan keamanan, baik di dalam keluarga maupun di dalam masyarakat. Peranan wanita dalam pembangunan yang berwawasan gender, berarti peranan wanita dalam pembangunan sesuai dengan konsep gender atau peran gender sebagaimana telah dibahas di depan, mencakup peran produktif, peran reproduktif dan peran sosial yang sifatnya dinamis. global , diketemukan adanya tiga pergeseran interpretasi peningkatan peran wanita ( P2W ) yaitu :
Peningkatan Peranan Wanita (P2W)
sebagai wanita dalam pembangunan Hal ini berfokus pada bagaimana mengintegrasikan wanita dalam berbagai bidang kehidupan, tanpa banyak mempersoalkan sumber- sumber yang menyebabkan mengapa posisi masyarakat dalam bersifat interior,sekunder, dan dalam hubungan subordinasi terhadap pria. Asumsinya, struktur social yang ada dipandang sudah given. Indikator integrasi wanita dalam pembangunan diukur dengan indikator seperti partisipasi angkatan kerja, akses terhadap pendidikan, hak-hak politik dan kewarganegaraan dsb. P2W sebagai wanita dan pembangunan Menurut perspektif Women and Development yang dipelopori oleh kaum feminis-Marxist ini, wanita selalu menjadi pelaku penting dalam masyarakat sehingga posisi wanita dalam, arti status, kedudukan dan peranannya akan menjadi lebih baik bila struktur internasional menjadi lebih adil. Asumsinya wanita telah dan selalu menjadi bagian dari pembangunan nasional
P2W sebagai Gender dan Pembangunan
Menurut kacamata gender dan development,
konstruksi sosial yang membentuk persepsi dan harapan serta mengatur hubungan antara pria dan wanita sering merupakan penyebab rendahnya kedudukan dan status wanita,posisi inferior, dan sekunder relative terhadap pria. Pembangunan berdimensi gender yang eksploitatif atau merugikan menjadi hubungan yang seimbang, selaras dan serasi. GENDER DAN PERMASALAHANNYA Persoalan gender akhir-akhir ini sedang menjadi wacana publik yang hangat dibicarakan oleh banyak kalangan. Persoalan ini menyangkut tentang kemitraan dan keadilan peran sosial antara laki-laki dan perempuan, yang dalam sepanjang manusia telah dikonstruksi oleh agama, adat, dan budaya. Dalam hal peran ini sering terjadi kekaburan dalam kehidupan sehari-hari antara ketimpangan peran kehidupan. Ada yang lebih berpegang pada adat, budaya dari12 pada agamanya dan ada yang sebaliknya mereka lebih mengedepankan agama dari pada adat, dan budayanya. Perdebatan mengenai status hukum kaum perempuan yang terdapat dalam sunnatullah maupun ketentuan fitrah yang lain mulai dari instink, kasih sayang model berfikir serta ketentuan yang tidak bisa dirubah lagi kecuali adanya kemampuan di dalam kerangka berfikir itu sendiri(tholchah, dalam Paradigma Gender 2003). Konstitusi ini dengan tegas menyatakan persamaan hak dan kewajiban bagi setiap warga negara (baik pria maupun wanita). Namun, kenyataan menunjukkan bahwa wanita mengalami
ketertinggalan atau ketidakberuntungan lebih
banyak dibandingkan dengan pria di antaranya di bidang pendidikan, kesehatan, ketenagakerjaan, penguasaan dan pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi. Di penghujung tahun 1998 yang lalu, di Indonesia wacana pemimipin perempuan telah mencuat ke permukaan. Dalam catatan kami diskursus wacana pemimpin perempuan telah memancing polemik dan debat antara yang pro maupun kontra terhadap pemimpin perempuan dalam sebuah negara. Apalagidalam masyarakat yang secara umum bersifat patrilinial, yakni memuliakan kaumlaki- laki dalam semua aspek kehidupan.
Sekali pun sejarah menunjukkan bahwa banyak
sekali pemimpin perempuan yang sukses dalam memimpin sebuah bangsa. Ini merupakan sebuah fenomena yang tidak dapat disangkal lagi, bahwa perempuan sekarang ini telah tampil menduduki berbagai jabatan penting dalam masyarakat. KONSEP KEPEMIMPINAN Secara etimologi kepemimpinan berasal dari kata dasar “pimpin” (lead) berarti bimbing atau tuntun, dengan begitu di dalam terdapat dua pihak yaitu yang dipimpin (rakyat) dan yang memimpin (imam). Setelah ditambah awalan “pe” menjadi “pemimpin” (leader) berarti orang yang mempengaruhi pihak lain melalui proses kewibawaan kominikasi sehingga orang lain tersebut bertindak sesuatu dalam mencapai tujuan tertentu. Dan setelah ditambah akhiran “an” menjadi “pimpinan” artinya orang yang mengepalai. Apabila dilrengkapi dengan 20 awalan “ke” menjadi “kepemimpinan” (leadership) berarti kemampuan dan kepribadian seseorang dalam mempengaruhi serta membujuk pihak lain agar melakukan tindakan pencapaian tujuan bersama, sehingga dengan demikian yang bersangkutan menjadi awal struktur dan pusat proses kelompok (Inu Kencana,2003). Kepemimpinan diartikan sebagai kemampuan menggerakkan atau memotivasi sejumlah orang agar secara serentak melakukan kegiatan yang sama dan terarah pada pencapaian tujuannya (Nawawi dan M. Martin, 1995). Oleh sebab itu, hal yang penting dari kepemimpinan adalah adanya pengaruh dan efektifnya kekuasaan dari seorang pemimpin. Jika seseorang berkeinginan mempengaruhi perilaku orang lain, maka aktivitas kepemimpinan telah mulai tampak relevansinya. Lebih lanjut, Miftah Toha juga membedakan antara kekuasaan dan otoritas (authority) yang sering dianggap sama pengertiannya. Authority dapat dirumuskan sebagai suatu tipe khusus dari kekuasaan yang secara asli melekat pada jabatan yang diduduki seseorang pemimpin. Dengan demikian otoritas adalah kekuasaan yang disahkan (legitimazed) oleh suatu peranan formal seorang pemimpindalam sebuah organisasi (Miftah, 1997). KEPEMIMPINAN PEREMPUAN
Kepemimpinan perempuan dalam era
pembangunan baik sekarang maupun masa akan datang mempunyai potensi dan peran yang besar dalam pembangunan politik, ekonomi, sosial budaya pada semua tingkat internasional,regional. Namun realitas nya adalah kepemimpinan perempuan dalam berbagai hal tersebut seringkali berhadapan dengan diskriminasi, stereotipe dan stigma mengenai kelemahan- kelemahan wanita dikaitkan dengan fisik dan psikologis , bukan pada kemampuan intelektualnya Pada dasarnya hak-hak politik perempuan dalam perspektif Islam masih dalam perdebatan,setidaknya ada dua kelompok yang memperdebatkan kedudukan perempuan dalam hak-hak politiknya.Pertama, kelompok yang memperbolehkan perempuan menjadi pemimpin. Kedua kelompok yang melarang perempuan menjadi pemimpin dengan asumsi perempuan kurang rasional, lebih sensitif dan mengedepankan emosi. Pandangan-pandangan klasik yang mensubordinatkan perempuan di bawah superioritas laki-laki,kini berhadapan dengan ruas-ruas modernitas yang terbuka lebar, keterbukaan ruang bagi perempuan untuk mendapatkan pendidikan setinggi- tingginya telah memberikan kesempatan melahirkan kemampuan-kemampuan perempuan dalam segala sektor kehidupan yang sebelumnya hanya diklaim milik kaum laki- laki. Persepsi bahwa perempuan tidak cakap dalam menangani urusan-urusan publiktidak lagi menarik. Sekarang ini perempuan dapat berperan secara sinergis dan berdampingan dengan kaum laki-laki, muncul dalam ranah sosial, budaya, dan politik. Bila dikaji lebih lanjut diketahui ciri kepemimpinan perempuan adalah kooperatif, berorientasi pada kesejahteraan, dan cenderung kolektif. Hal ini berbeda dengan ciri kepemimpinan laki-laki yang kompetitif, berorientasi pada kekuasaan dan terpusat. Ciri tersebut tidak lepas dari pengalaman perempuan melahirkan dan memelihara kehidupan yang mengajarkan kerja bersama di rumah tangga dan komunitas. Absennya atau kurangnya keterwakilan perempuan (kepemimpinan) dalam lembaga-lembaga pengambil keputusan baik di tingkat eksekutif, legislatif maupun yudikatif dapat berakibat perumusan kebijakan, program dan anggaran pembangunan menjadi tidak responsif gender dan mengabaikan permasalahan yang dihadapi oleh kaum perempuan khususnya perempuan miskin. Dengan demikian kiranya perlu sebuah upaya terus menerus/berkelanjutan oleh semua pihak untuk bersama-sama melakukan advokasi dan membuka ruang publik sebesar-besarnya untuk meningkatkan partisipasi kaum perempuan dalam berbagai isu pembangunan. Saat ini berbagai langkah affirmatif sudah mulai dilakukan secara bertahap seperti quota 30% bagi keterwakilan perempuan di parlemen, pengembangan usaha-usaha produktif perempuan, dan peningkatan kualitas perempuan melalui pendidikan dan keterampilan lainnya