You are on page 1of 25

KEBIJAKAN INVESTASI

SEBAGAI BAGIAN PEMBANGUNAN EKONOMI

Oleh : Dinoroy Aritonang

Abstract
Economy Development has become a leverage point to realize the prosperity for
a country. This will be an unseparated factor to decide on the government
programmes in every year. One of the Government’s Policy related to the goals is
about investment stipulated in Presidential Instruction Number 3 Year 2006. There
are five main programmes enacted in, those are general affairs, taxes, leases,
Labours, and small medium entreuprises. Apparently, a lot of problems emerge
when government is tringy to implement the policy. The Implementation process
can not run through an effective way because many obstacles hinder the process.
Bureaucracy is one of the urgent problems to be overcome. Particularly, This
happens in both national and local government. Strengthening the Institutional
capacity is a must for national government as main doer in awakening the
slumbering potency. But, It’s quite different for the local. At least, there are three
points of the whole problems to be fixed immediately, among other things are
local infrastructures, synchronization and Infrastructuring regulations, and local
bureaucracy refrom.

A. PENDAHULUAN
Pertumbuhan ekonomi adalah bagian penting dari
pembangunan sebuah negara, bahkan bisa dikatakan sebagai salah
satu indikator penting untuk menjelaskan bahwa suatu negara itu
mampu secara finansial atau sejahtera. Keberhasilan tidak akan
terlihat tanpa adanya hasil riil berupa pertumbuhan dari sesuatu
yang dibangun oleh pemerintah di bidang ekonomi, begitu juga
tanpa pertumbuhan ekonomi maka pembangunan suatu negara
tidak akan berjalan sebagaimana mestinya. Pada kondisi ini,
pertumbuhan ditandai dengan masuknya dana kedalam sistem
ekonomi suatu negara.
Begitu juga dengan pengalaman Indonesia dalam beberapa
tahun belakangan ini sesudah terjadinya masa krisis ekonomi pada
tahun 1998. Kondisi tersebut bukan hanya merusak sistem ekonomi
yang terbangun selama dekade sebelumnya tetapi juga aspek lain
seperti politik, hukum, dan pemerintahan. Kita dihadapkan pada
banyak pilihan yang sebenarnya tidak mengijinkan kita memilih atas
kehendak dan keinginan sendiri. Kondisi ini menandakan bahwa
posisi tawar kita tidak menguntungkan baik secara internal maupun
eksternal. Secara sederhana, Indonesia memerlukan dan dan
dukungan finansial yang besar untuk bisa membangun kembali apa
yang sudah hancur dan mempertahankan yang masih ada.
Sejumlah pemikiran untuk perbaikan pun sudah digulirkan,
sampai akhirnya pemerintah mengambil pilihan untuk memberikan
sebagian hak dan wewenang tersebut kepada lembaga-lembaga
finansial internasional dan sejumlah negara lain. Sebenarnya apa
yang dibutuhkan? Sederhana, Indonesia memerlukan ‘dana baru’
dalam bentuk investasi. Mengapa harus investasi? Karena secara
perhitungan ekonomi saat itu Indonesia tidak mempunyai ‘saving’

1
atau tabungan untuk meredam gejolak ekonomi saat itu. Oleh
karena itu, salah satu cara yang ditempuh adalah dengan bantuan
lembaga finansial internasional dan mengundang sejumlah investor
untuk mulai menanamkan modalnya di Indonesia.
Lantas, bila sejumlah dana sudah bisa ditarik masuk ke dalam
dan kepercayaan terhadap kondisi ekonomi Indonesia sudah pulih,
apakah hal itu sudah menjadi bukti bahwa kita sudah berada pada
level yang aman? atau apakah status sebagai negara
miskin/terbelakang sudah lepas dari kita? ternyata tidak demikian,
karena sejumlah konsep mengatakan bahwa kesejahteraan sebuah
negara tidak bisa hanya diukur dengan jumlah dana yang terserap,
peningkatan GDP, atau kurs mata uang yang menguat, tetapi
perubahan kehidupan masyarakatnya. Hal ini pun tidak bisa
dinafikan.
Begitu pentingnya peran dan dukungan dari investasi terhadap
kelanjutan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi di Indonesia
sangat disadari betul oleh pemerintah. Sebab sejumlah proyek
infrastruktur membutuhkan dukungan dana yang besar, bukan
hanya infrastruktur ekonomi tetapi juga infrastruktur bidang sosial
dan kehidupan masyarakat. Peran serta dan dukungan non materiil
pun dibutuhkan, di semua level pemerintahan pusat dan daerah,
serta di semua level masyarakat kota dan pedesaan.
Permasalahan yang muncul kemudian adalah perubahan dan
perbaikan tidak hanya bisa digantungkan pada besarnya dana yang
masuk tetapi juga kesiapan/kualitas internal. Peran pemerintah baik
pusat maupun daerah sangat penting, ‘nilai jual’ daerah terhadap
investor sangat ditentukan oleh kondisi daerah dan nasional. Kondisi
yang dimaksud adalah kualitas SDM pemerintah, manajemen
pelayanan, kualitas masyarakat, fasilitas dan kemudahan yang
diberikan, serta stabilitas politik dan penegakan hukum. Sinkronisasi
arah dan kehendak dari pemerintah pusat dan daerah pun mutlak
diperlukan. Daerah dengan wewenang dan keinginannya pun tidak
bisa dikesampingkan begitu saja, sebaliknya peran pemerintah
pusat pun sebagai koordinasi sentral pun perlu ditegaskan kembali.
Berdasarkan hal-hal diatas perlu kiranya untuk menyimak
kembali kondisi kebijakan investasi yang dijalankan oleh pemerintah
selama ini, berkaitan dengan tujuan perbaikan dan perubahan
perekonomian Indonesia beserta sejumlah permasalahan yang
mengikutinya.

Konsep dan Tujuan Pembangunan Secara Umum


Arah dan tujuan suatu negara tidak bisa dilepaskan dari konsep
pembangunan yang dirancangnya. Istilah pembangunan tetap dan
masih akan menjadi aspek penting dalam merancang setiap
kebijakan pemerintah. Konsep pembangunan yang dirancang
setidaknya bukan hanya menonjolkan keberhasilan ekonomi sebagai
faktor yang dominan tetapi juga memasukkan faktor lain yang tidak
bisa diabaikan. Faktor-faktor yang mendukung tersebut berupa
perbaikan pada bidang pendidikan, pengurangan tingkat

2
kemiskinan, tingkat kesejahteraan dan kesehatan masyarakat, serta
masih banyak faktor lain.
Mudrajad Kuncoro setidaknya menjelaskan hal diatas sebagai
apa yang disebut ‘indikator kunci pembangunan’. Selain itu pula
proses pembangunan yang dijalankan bukan hanya dilihat dari segi
fisik (physical result) tetapi juga harus membawa sejumlah
perubahan (growth with change) yang sifatnya non material.
Setidaknya ada 3 perubahan yang perlu terjadi dalam proses
pembangunan, yaitu perubahan struktur ekonomi (misalnya dari
pertanian kepada industri lalu ke bidang jasa), perubahan
kelembagaan (misalnya reformasi birokrasi dan SDM), dan
perubahan kenaikan pendapatan perkapita (GNP riil dibagi jumlah
penduduk).
Indikator kunci yang dimaksud di atas adalah indikator ekonomi
dan indikator sosial. Beberapa variabel yang masuk dalam indikator
ekonomi antara lain GNP perkapita dan laju pertumbuhan ekonomi,
sedangkan variabel dalam indikator social antara lain Human
Development Index dan (Physical Quality Life Index) Indeks Mutu
hidup Bahkan indicator-indikator ini digunakan sebagai acuan
terhadap pengelompokkan Negara tersebut dalam kaitannya
dengan sistem ekonomi global.1
Namun kenyataan yang terjadi tidak bisa disederhanakan
dengan hanya mengandalkan kedua indikator tersebut, sebab
sebenarnya proses pembangunan yang berjalan bersifat kompleks.
Ada sejumlah permasalahan baru dan laten yang tidak bisa
diselesaikan begitu saja, bahkan untuk memetakan
permasalahannya juga cukup sulit. Permasalahan tersebut bisa
berasal dari pemerintah sendiri sebagai pelaksana dan penggagas
pembangunan, juga dari sector swasta atau masyarakat sendiri.
Bahkan dipercaya bahwa pembangunan sudah gagal untuk bisa
menjadi jawaban dalam memperbaiki permasalahan-permasalahan
laten seperti kemiskinan dan keterbelakangan.
Dikatakan bahwa pertumbuhan (pembangunan) semata tidak
banyak menyelesaikan persoalan dan kadang-kadang mempunyai
akibat yang tidak menguntungkan. BahkanTodaro mengatakan
bahwa pembangunan adalah proses multidimensi yang mencakup
perubahan-perubahan penting dalam struktur social, sikap-sikap
rakyat dan lembaga-lembaga nasional, dan juga akselerasi
pertumbuhan ekonomi, pengurangan kesenjangan (inequality) dan
pemberantasan kemiskinan absolut (Bryant,1989). Dapat
dimengerti bahwa pembangunan bukanlah konsep statis melainkan
dinamis dan merupakan proses tiada akhir.
Bila kita berkaca dari hal diatas, maka apa yang dialami oleh
Indonesia tidak jauh berbeda. Isu-isu yang diangkat seputar
pembangunan yang dijalankan adalah pengentasan kemiskinan,
peningkatan daya beli dan pendapatan masyarakat, penurunan

1
Pengelompokkan tersebut dikenal dengan penyebutan Negara maju, Negara
sedang berkembang dan Negara miskin. Walaupun pengertian dan penyebutan
tersebut beragam dalam mengalami perubahan makna dan relevansinya saat ini.

3
tingkat pengangguran, dan hal-hal lainnya. Oleh karena itu sudah
pasti bahwa pemerintah perlu merancang konsep dan arah
pembangunan apa yang menjadi pilihan kita kedepan.
Sejumlah pihak mengatakan bahwa konsep ekonomi kita
berbeda dengan negara lain di dunia. Kita mengenal adanya sistem
ekonomi Pancasila, sebagian lagi memasukkan istilah ekonomi
kerakyatan2. Namun semua itu pada prinsipnya bermuara pada
kepentingan dan perbaikan dalam kehidupan masarakat. Setidaknya
ada beberapa karakteristik dari ekonomi Pancasila atau pun
kerakyatan tersebut yang diberikan oleh penggagasnya. Dengan
mengutip pendapat Mubyarto bahwa ciri dari sistem ekonomi
Pancasila adalah roda perekonomian digerakkan oleh rangsangan
ekonomi, social dan moral, kehendak kuat untuk pemerataan,
nasionalisme menjiwai setiap kebijaksanaan ekonomi, koperasi
merupakan sokoguru, dan imbangan yang tegas antara
perencanaan di tingkat nasional dan desentralisasi (Kuncoro,1997).
Saat ini kita mengetahui penjabaran konsep dan arah
pembangunan melalui beberapa kebijakan yang dijalankan
pemerintah. Salah satu kebijakan yang ada tertuang dalam
peraturan perundang-undangan. Setidaknya ada dua peraturan
perundang-undangan yang mengatur bidang permbangunan secara
makro yaitu UU Nomor 25 Tahun 2000 tentang Program
Pembangunan nasional (Propenas) 2000-2004 dan UU Nomor 25
Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional.
Selain itu dapat dilihat dalam peraturan perundang-undangan yang
bersifat sektoral.
Berkaitan dengan hal tersebut pemerintah sudah membuat
RPJP (Rencana Pembangunan Jangka Panjang) nasional, yang
diharapkan nantinya itu akan menjadi arah dan acuan bagi
kebijakan pembangunan ke depan. RPJP tersebut kemudian
direalisasikan kedalam bentuk RPJM (Rencana Pembangunan Jangka
Menengah) nasional yang kemudian diterjemahkan lagi menjadi RKP
(Rencana Kerja Pemerintah) yang sifatnya tahunan. Dalam
Rancangan terakhirnya pemerintah melalui Bappenas sudah
menyusun bebrerapa hal pokok yang menjadi sasaran
pembangunan ekonomi Untuk 20 tahun kedepan. Sasaran tersebut
adalah
• Terbangunnya struktur perekonomian yang kokoh dimana
pertanian (dalam arti luas) dan pertambangan menjadi basis
aktivitas ekonomi yang menghasilkan produk-produk secara
efisien dan modern, industri manufaktur yang berdaya saing
global menjadi motor penggerak perekonomian, dan jasa menjadi
perekat ketahanan ekonomi.

2
Istilah ‘sistem ekonomi Pancasila’ sendiri telah dikenal lama yang dipelopori oleh
Emil Salim dan Mubyarto, namun hal tersebut tidak terlepas dari kritik beberapa
pihak lain yang mencoba lebih menjelaskan apakah sistem tersebut berada dalam
sistem kapitalisme atau sosialisme. Bahkan Hadisusastro mengatakan sistem
tersebut sebagai sistem ekonomi utopia.

4
• Pendapatan perkapita pada tahun 2025 mencapai sekitar US$
6000 dengan tingkat pemerataan yang relatif baik dan jumlah
penduduk miskin tidak lebih dari 5 persen.
• Kemandirian pangan dapat dipertahankan pada tingkat aman
dan dalam kualitas gizi yang memadai serta tersedianya
instrumen jaminan pangan untuk tingkat rumah tangga.
Kelanjutan operasionalisasi dari RPJM 2004-2009 yang diatur
dalam Peraturan Presiden Nomor 7 tahun 2005 dan kemudian
diwujudkan dalam bentuk RKP Pemerintah yang diatur dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 20 tahun 2004 dan Perpres 19 tahun
2006 sebagai peraturan pelaksana. Fungsi dari RPJM adalah menjadi
pedoman umum bagi pemerintah pusat (diwakili oleh kementrian
dan lembaga) serta pemerintah daerah dalam menyusun rencana
kerjanya masing-masing.

B. KEBIJAKAN INVESTASI INDONESIA


Salah satu ciri umum negara terbelakang adalah kelangkaan
modal. Sebab utama kelangkaan modal adalah kecilnya tabungan
atau lebih tepat kurangnya investasi di dalam sarana produksi yang
mampu menaikkan tingkat pertumbuhan ekonomi. Maka bila
dibandingkan dengan Indonesia, keadaan tersebutlah yang terjadi
saat ini, hal ini dapat dilihat dari sejumlah fakta seperti tertundanya
keinginan pemerintah untuk membangun sejumlah infrastruktur
akibat kurangnya dana yang dimiliki oleh pemerintah, tingkat
produktivitas dan kemampuan individual masyarakat juga rendah,
ketergantungan masyarakat terhadap bantuan pemerintah, serta
kurangnya sarana produksi yang dimiliki masyarakat dan sector
swasta. Akibatnya adalah derajat ekonomi, kesehatan, serta tingkat
pengganguran yang tinggi.
Keadaan tersebut bisa dikurangi jika pemerintah bisa
membangun dan menciptakan sarana produksi tadi. Pembangunan
dan penciptaan sarana produksi tersebut adalah dengan
membangun infrastruktur yang mendukung program tersebut.
permasalahannya adalah dana untuk merealisasikannya tidak
mencukupi. Dalam hal ini sebenarnya sector swasta dalam negeri
mempunyai peran yang strategis yaitu dengan membantu
pemerintah dalam mengumpulkan dana tersebut. Namun kondisi
sector swastapun tidak mampu untuk memikul tanggung jawab itu.
Sehingga kebutuhan akan penyediaan dana dari luar menjadi pilihan
utama kebijakan pembangunan ekonomi.
kebijakan tersebut cukup realities mengingat pemerintah tidak
lagi mempunyai pilihan lain yang mendukung. oleh karena itu,
pemerintah dengan segala daya upaya mencoba untuk
menegaskannya dalam sebuah kebijakan, yang salah satunya
dengan mengeluarkan Inpres Nomor 3 tahun 2006 tentang paket
kebijakan perbaikan iklim investasi. selain itu sejumlah pertemuan
baik bilateral maupun multilateral juga sudah dilaksanakan, salah
satunya dengan menyelenggarakan Infrastructure Summit for

5
Indonesia, ditambah dengan serangkaian promosi ke berbagai
negara investor.
Berikut ini disajikan Nilai Neto PMA ke Indonesia, sebagai
perbandingannya.

Nilai Neto Arus PMA ke Indonesia, 1990-2004 (juta dollar AS)


Tahun Nilai

1990 1.093
1991 1.482
1992 1.777
1993 2.004
1994 2.109
1995 4.346
1996 6.194
1997 4.667
1998 - 356
1999 -2.745
2000 -4.550
2001 -2.978
2002 145
2003 -597
2004 423
(Sumber : Kadin-Indonesia Jetro, 2006)
Catatan: arus masuk PMA termasuk privatisasi BUMN kepada pihak asing,
dan restrukturisasi perbankan, terutama penjualan asset-aset bank ke
investor asing.

Buruknya daya saing Indonesia dalam menarik PMA lebih nyata


lagi jika dibandingkan dengan perkembangan PMA di negara-negara
lain. Misalnya dalam kelompok ASEAN, Indonesia satu-satu negara
yang mengalami arus PMA negatif sejak krisis ekonomi 1998;
walaupun nilai negatifnya cenderung mengecil sejak tahun 2000.
Hal ini ada kaitannya dengan iklim politik yang semakin baik
dibandingkan pada periode 1998-1999, yang memperkecil keraguan
calon-calon investor untuk menanam modal mereka di Indonesia.
(Kadin-Indonesia Jetro, 2006)
Dalam hal ini, pemerintah sebaiknya memaksimalkan peran dan
posisinya sebagai penentu kemana arah pembangunan ekonomi
diarahkan dengan kewenangan regulatorynya dan fasilitasinya. iklim
usaha dan investasi yang kondusif merupakan factor terpenting
dalam menyelenggarakan kegiatan usaha. Sebagaimana dikatakan
Jhingan, bahwa adalah menjadi tanggung jawab negara untuk
melakukan investasi yang paling menguntungkan masyarakat. Pola
optimum investasi sebagian besar tergantung pada iklim investasi
yang tersedia di negeri itu dan pada produktivitas marginal social
dari berbagai jenis investasi. sehingga jenis investasi apapun yang
masuk harus mengacu kepada perencanaan dan kebijakan yang
sudah dibuat, dan sebisa mungkin diarahkan kepada penciptaan
lapangan pekerjaan dan peningkatan sarana produksi.
Beberapa bulan yang lalu sebelumnya juga pemerintah sudah
menetapkan setidaknya ada tiga pilar perbaikan Investasi adalah:
paket kebijakan iklim investasi; penyelesaian beberapa high profile
projects untuk memberi effect snow ball; dan menekan cost of
financing. Ketiga pilar perbaikan tersebut hendaknya dilaksanakan

6
bukan secara parsial namun bersamaan dan menyeluruh. Oleh
karena itu, setiap tindakan dan kebijakan operasional yang
dilakukan pemerintah cukup focus kepada ketiga hal tersebut.
Ada beberapa isu penting yang menjadi focus kerja pemerintah
berkaitan dengan program investasi yang direncanakan kedepan,
antara lain : kelembagaan, regulasi, Bea cukai, Pajak, tenaga kerja,
dan UKMK. Paket Kebijakan dan Program yang dijalankan
pemerintah dapat dilihat pada table di bawah. Selain Program,
pemerintah juga menurunkannya dalam bentuk poin-poin tindakan
yang akan direalisasikan. Dari sekian program tersebut maka ada
kurang lebih 85 tindakan yang akan diambil untuk mendorong
keberhasilan investasi. Beberapa program tersebut antara lain revisi
terhadap regulasi yang ada, membuat regulasi kembali, evaluasi
terhadap wewenang pemerintah daerah sebagai daerah otonom,
koordinasi serta pengawasan dan pengendalian.
Paket Kebijakan Investasi Indonesia

Kebijakan Program

UMUM
A. Memperkuat kelembagaan 1. Mengubah Undang-Undang (UU) Penanaman Modal
pelayanan investasi.
yang memuat prinsip-prinsip dasar, antara lain:
perluasan definisi modal, transparansi, perlakuan
sama investor domestik dan asing (di luar Negative
List) dan Dispute Settlement.
2. Mengubah peraturan yang terkait dengan
penanaman modal.
3. Revitalisasi Tim Nasional Peningkatan Ekspor dan
Peningkatan Investasi.
4. Percepatan perizinan kegiatan usaha dan penanaman
modal serta pembentukan perusahaan
B. Sinkronisasi Peraturan
Peninjauan Perda-Perda yang Menghambat investasi.
Pusat dan Peraturan
Daerah (Perda).
C. Kejelasan Ketentuan Perubahan keputusan Menteri Negara (Kepmeneg)
mengenai kewajiban Lingkungan Hidup tentang Jenis Rencana Usaha dan/atau
analisa mengenai dampak Kegiatan Wajib AMDAL.
lingkungan (AMDAL).
KEPABEANAN DAN CUKAI
A. Percepatan arus barang. 1. Percepatan Proses pemeriksaan kepabeanan.
2. Percepatan Pemrosesan kargo dan pengurangan
biaya di Pelabuhan Tanjung Priok dan Bandara
Internasional Soekarno Hatta.
B. Pengembangan Peranan 1. Perluasan fungsi Tempat Penimbunan Berikat (TPB)
Kawasan Berikat. dan perubahan beberapa konsep tentang Kawasan
Berikat agar menarik bagi investor untuk melakukan
investasi.
2. Penyempurnaan Ketentuan TPB.
3. Otomasi kegiatan di TPB
4. Peningkatan Pemberian fasilitas kepabeanan di
kawasan berikat.
C. Pemberantasan
Peningkatan Kegiatan pemberantasan penyelundupan.
Penyelundupan.
D. Debirokratisasi di Bidang Mempercepat proses registrasi dan permohonan fasilitas
Cukai. cukai.
PERPAJAKAN

7
A. Insentif Perpajakan Untuk 1. Melakukan penyempurnaan atas UU tentang
investasi. Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, Pajak
Penghasilan, dan Pajak Pertambahan Nilai Barang &
Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah.
2. Pemberian fasilitas pajak penghasilan kepada bidang-
bidang usaha tertentu.
3. Menurunkan tarif pajak daerah yang berpotensi
menyebabkan kenaikan harga/jasa.
B. Melaksanakan sistem "self 1. Mengubah tariff PPh.
assesment" secara 2. Peninjauan Ketentuan pembayaran pajak bulanan
konsisten. (prepayment/installment).
3. Perbaikan jasa pelayanan pajak untuk meningkatkan
kesadaran masyarakat akan pentingnya pembayaran
pajak.
C. Perubahan Pajak 1. Menghapus penalti PPN.
Pertambahan Nilai (PPN) 2. Meningkatkan daya saing ekspor jasa.
untuk mempromosikan
3. Meningkatan daya saing produk pertanian (Primer).
ekspor.
D. Melindungi hak wajib 1. Menerapkan Kode Etik Petugas/Pejabat Pajak
pajak. 2. Mereformasi Sistem Pembayaran Pajak.
E. Mempromosikan 1. Tax Audit, Investigation dan Disclosure.
Transparansi dan 2. Meningkatkan Pengetahuan masyarakat mengenai
disclosure. Pajak.
KETENAGAKERJAAN
A. Menciptakan Iklim 1. Mengubah UU Nomor 13 tahun 2003 tentang
Hubungan Industrial yang Ketenagakerjaan.
Mendukung perluasan 2. Mengubah peraturan Pelaksanaan UU Nomor 13
lapangan kerja. tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.
B. Perlindungan Dan
Mengubah UU Nomor 39 Tahun 2004 Tentang Penempatan
penempatan TKI di luar
dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri
negeri.
C. Penyelesaian Berbagai
perselisihan hubungan Implementasi UU Nomor 2 tahun 2004 tentang
industrial secara cepat, Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.
murah dan berkeadilan.
D. Mempercepat Menkum & Mengubah UU/ Peraturan/Surat Keputusan/Surat Edaran
HAM. Proses penerbitan terkait.
perizinan ketenagakerjaan.
E. Penciptaan pasar tenaga
kerja fleksibel dan Pengembangan Bursa Kerja dan Informasi Pasar Kerja.
produktif.
F. Terobosan Paradigma
pembangunan Mengubah UU Nomor 15 Tahun 1997 tentang
transmigrasi dalam rangka Ketransmigrasian.
perluasan lapangan kerja.
USAHA KECIL, MENENGAH DAN KOPERASI
Pemberdayaan Usaha Kecil, 1. Penyempurnaan peraturan yang terkait dengan
Menengah dan Koperasi/UKMK perijinan bagi UKMK.
2. Pengembangan Jasa Konsultasi Bagi Industri Kecil dan
Menengah (IKM).
3. Peningkatan akses UKMK kepada sumber daya
financial dan sumber daya produktif lainnya.
4. Penguatan Kemitraan Usaha Besar dan UKMK.

(Sumber : INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN


2006)
Keluarnya paket kebijakan investasi tersebut diharapkan mampu
mendongkrak kinerja investasi di Indonesia. Sebab, pemerintah
menyadari bahwa investasi dapat diharapkan memberikan nilai bagi
pertumbuhan ekonomi Indonesia. Kisaran angka 6-7% merupakan
target pertumbuhan ekonomi di era pemerintahan Kabinet
Persatuan. Hal ini wajar, karena sebelum dilanda krisis pada 1997,
pertumbuhan ekonomi Indonesia berada pada 7,8%. Untuk
mendongrak pertumbuhan ekonomi, tak pelak bahwa investasi
harus menjadi program yang dikelola secara serius. Berdasarkan

8
sumber di Bappenas dan BKPM untuk mencapai pertumbuhan
ekonomi 4,8% di tahun 2004 dibutuhkan nilai investasi Rp 479,9
triliun, pertumbuhan ekonomi 5,0% di tahun 2005 dibutuhkan
investasi Rp 379,8 triliun, dan pada tahun 2006 untuk pertumbuhan
ekonomi 5,5% dibutuhkan investasi Rp 471,4 triliun. (Pikiran Rakyat,
20 Maret 2006)
Selain Inpres No. 3 tahun 2006, Indonesia juga sebenarnya
sudah mempunyai peraturan khusus yang mengatur mengenai
investasi atau penanaman modal, baik asing maupun dalam negeri.
bahkan saat ini pemerintah dan DPR sedang membahas Rancangan
UU Penanaman Modal sebagai pengganti UU Penanaman Modal
yang lama. UU penanaman modal yang sekarang berlaku adalah UU
Nomor 1 tahun 1967 tentang penanaman modal asing yang
kemudian diubah dengan UU 11 tahun 1970 dan UU Nomor 6 tahun
1968 tentang penanaman modal dalam negeri yang kemudian
diubah juga dengan UU nomor 12 tahun 1970. Selain itu juga
banyak peraturan pelaksana dari kedua UU tersebut serta UU
sektoral yang mengatur hal-hal yang berkaitan dengan investasi.
Saat ini kedua UU tersebut dirasakan kurang relevan lagi dalam
perkembangan perekonomian baik nasional, regional maupun gobal.
Oleh sebab itu DPR dan pemerintah sedang membahas mengenai
UU baru (RUU penanaman modal) untuk mengganti kedua UU
sebelumnya. UU yang baru nanti dirasakan dapat mewakili
kehendak dan kepentingan pemerintah dalam mengatur
pengelolaan investasi baik yang bersumber dari luar maupun dalam
negeri. Sehingga akan ada penyatuan kedua substansi UU yang
lama kedalam UU yang baru nanti.
Penyebab tidak relevannya UU penanaman modal yang lama
adalah adanya beberapa isu penting yang muncul selama beberapa
tahun proses reformasi dan demokrasi selama ini. Beberapa isu
penting tersebut berada dalam bidang ekonomi (regional dan
global), munculnya UU 22 tahun 1999 dan UU 25 tahun 1999 yang
kemudian diganti dengan UU 32 tahun 2004 dan U 33 tahun 2004,
peningkatan kesejahteraaan masyarakat dan pengurangan tingkat
kemiskinan, peningkatan daya saing dan perekonomian local
(daerah), lingkungan hidup (sustainable environment), adanya
wacana Corporate Social Responsibility, dan yang terpenting adalah
pembangunan ekonomi nasional dan daerah. Itu artinya UU yang
baru diharapkan dapat menyesuiakan dengan peraturan-peraturan
yang baru serta mewakili isu-isu penting kontemporer lainnya.
Dalam Rencana Kerja Pemerintah (RKP) tahun 2007, paket
kebijakan investasi juga menjadi salah satu substansi penting.
Kebijakan tersebut dituangkan dalam Perpres 19 tahun 2006,
langkah-langkah yang akan direncanakan pemerintah dalam
kaitanya dengan kebijakan investasi terutama untuk perbaikan iklim
investasi adalah
a. Penyusunan dan penyempurnaan peraturan perundang-
undangan penanaman modal, yang diharapkan dapat
diundangkan pada tahun 2006;

9
b. Penyederhanaan prosedur dan peningkatan pelayanan
penanaman modal baik di tingkat pusat maupun daerah;
c. Peningkatan promosi investasi terintegrasi baik di dalam
maupun di luar negeri;
d. Peningkatan fasilitasi terwujudnya kerjasama investasi PMA
dan PMDN dengan UKM (match-making);
e. Penanganan pelanggaran UU No. 5 Tahun 1999 tentang
Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat
(penegakan hukum dan kerja sama dengan instansi terkait);
f. Penyusunan rancangan amandemen UU No. 5 Tahun 1999;
g. Memprakarsai dan mengkoordinasikan pembangunan
kawasan industri.
Selain itu sejumlah kebijakan lain pun telah digulirkan oleh
pemerintah dalam hal ‘cepat tanggap’ perbaikan investasi. Dalam
hal ini, kebijakan yang dikeluarkan pemerintah tersebut antara lain
Keputusan Presiden Nomor 3 tahun 2006 tentang tim nasional
peningkatan ekspor dan peningkatan investasi, dan Keputusan
Presiden Nomor 29 tahun 2004 tentang penyelenggaraan
penanaman modal melalui sistem satu atap, serta peraturan-
peraturan lainnya yang relevan. Namun tetap saja sejumlah
permasalahan terjadi dan pada akhirnya mengahambat proses
perbaikan investasi tersebut. peraturan-peraturan yang dikeluarkan
tidak mampu menanggulangi permasalahan-permasalahan itu.
Muculnya sebuah kebijakan memang pada dasarnya untuk
menanggulangi dan melancarkan setiap tindakan pemerintah
kedepan. Namun yang perlu digarisbawahi adalah kebijakan
tersebut hendaknya merupakan bagian dari perencanaan
menyeluruh, artinya sebelum kebijakan itu benar-benar
dilaksanakan pemerintah sudah mempunyai ‘planning map’ yang
memandu secara manajerial. Pembangunan ekonomi sudah pasti
bersifat menyeluruh walaupun pelaksanaannya dilaksanakan secara
leluasa dan bertahap. leluasa berarti pemerintah perlu memberikan
sedikit kebebasan kepada daerah dalam merumuskan hal-hal yang
paling prioritas dalam membangun daerah dan dilaksanakan secara
bertahap dan berkesinambungan.
Paket kebijakan tersebut merupakan bagian kecil dari sejumlah
peranan pemerintah dalam memacu pertumbuhan ekonomi. Oleh
karena itu, good will pemerintah dalam segala bidang sangat
diperlukan sebab pembangunan sifatnya menyeluruh meskipun
dijalankan secara bertahap. beberapa hal tersebut adalah
perubahan terhadap kerangka kelembagaan, perubahan organisasi,
pembangunan overhead social dan ekonomi (infrastruktur social dan
ekonomi), pembangunan pertanian untuk menunjang kesediaan
pangan dalam negeri, memacu perkembangan industri,
kebijaksanaan moneter dan fiscal, dan peningkatan perdagangan
luar negeri (Jhingan, 1997:431)

10
Beberapa Permasalahan dalam Kebijakan Investasi Dalam
Kaitannya Dengan Daerah
Ada sejumlah faktor yang sangat berpengaruh pada baik-
tidaknya iklim berinvestasi di Indonesia. Faktor-faktor tersebut tidak
hanya menyangkut stabilitas politik dan sosial, tetapi juga stabilitas
ekonomi, kondisi infrastruktur dasar (listrik, telekomunikasi dan
prasarana jalan dan pelabuhan), berfungsinya sektor pembiayaan
dan pasar tenaga kerja (termasuk isu-isu perburuhan), regulasi dan
perpajakan, birokrasi (dalam waktu dan biaya yang diciptakan),
masalah good governance termasuk korupsi, konsistensi dan
kepastian dalam kebijakan pemerintah yang langsung maupun tidak
langsung mempengaruhi keuntungan neto atas biaya resiko jangka
panjang dari kegiatan investasi, dan hak milik mulai dari tanah
sampai kontrak. Dalam hal ini permasalahan tersebut dilihat dalam
konteksnya dengan daerah.
Patut diakui bahwa rencana dan pelaksanaan sejumlah
kebijakan invetasi selama ini belum menunjukkan hasil yang
maksimal. Meskipun pemerintah sudah melalakukan beberapa
tindakan konkret untuk menarik investasi masuk ke Indonesia.
Beberapa permasalahan tersebut menyangkut kesiapan pemerintah
dalam hal ini kualitas SDM, kelembagaan, kemampuan dalam
manajemen pembangunan daerah, dan regulasi/deregulasi.
Dalam Laporan WEF (The World Economic Forum) tahun 2005
terlihat ada sejumlah factor-faktor yang mempengaruhi masuknya
investasi ke dalam negeri.
Problem Utama dalam Investasi (%)
Problem Th M S ID F V In

Kondisi infrastruktur buruk 1 2 3,1 5 7 6 7


Kebijakan tidak jelas & tidak pasti 5,6 3,6 6,3 4,7 5,5 3,8 2,2
Perpajakan sulit dan rumit 9,5 1 1 6 4 6 1
Kesulitan & rumitnya prosedur 4 6,5 2,5 7,7 7,9 1,3 4,8
perdagangan 6,3 1 2 7 2 4 5
Upah makin mahal 6 1,0 1,4 2,0 0,9 0,0 5,6
Isu tenaga kerja/buruh (seperti 2,8 3 5 6 3 5 5
demonstrasi), dll. 4 3,9 4,0 7,6 7,1 6,8 8,5
1,6 5 1,1 8 3 2 5
7,1 2,1 6,4 6,5 9,5 5,7
6,6 3 2 1 2
7,0 5,7 1,5 6,6
Sumber: Jetro (dikutip dari Kompas, 2006).
WEF dalam laporannya menyajikan bahwa salah satu indiakator
penilaian suatu negara dianggap menarik adalah lama hari
pelayanan izin. Dari hasil tersebut dapat dilihat bahwa dibandingkan
dengan sejumlah negara lain Indonesia belum memberikan
‘pemikat’ maksimal. Jumlah prosedur yang harus dilewati sekitar 11-
12 prosedur dengan lama hari 151 hari (+ 5 bulan). Selainitu ada
beberapa ijin yang harus dilengkapi terlebih dahulu, antara lain : ijin
keselamatan kerja, ijin prinsip, ijin gangguan, ijin lokasi, IMB, dan ijin
lingkungan hidup. (Kadin-Jetro, 2006)
Indikator Kemudahan Melakukan Bisnis di Beberapa Negara
Jml
Negara Jml hari Biaya* Modal mimimum*
prosedur

11
Bangladesh 8 35 91,0 0,0
Kamboja 11 94 480,1 394,0
China 12 41 14,5 1.104,2
Hongkong 5 11 3,4 0,0
India 11 89 49,5 0,0
Indonesia 12 151 130,7 125,6
Korea Selatan 12 22 17,7 332,0
Laos 9 198 18,5 28,5
Malaysia 9 30 25,1 0,0
Filipina 11 50 19,5 2,2
Singapura 7 8 1,2 0,0
Sri Lanka 88 50 10,7 0,0
Taiwan 8 48 6,3 224,7
Thailand 11 33 6,7 0,0
Vietnam 56 28,6 0,0
Catatan: * = sebagai % dari pendapatan per kapita.
(dikutip dari : Kadin-Jetro, 2006)
Namun dalam konteks kaitannya dengan daerah, maka perlu
untuk melihat permasalahan tersebut dengan lebih spesifik.
walaupun hal ini merupakan bagian dari keseluruhan permasalahan.
salah satu pemicu mengapa keberadaan daerah menjadi kian
penting dalam memecahkan permasalahan ini adalah kualitas dan
kecepatan pelayanan daerah terhadap investasi. selain itu peran
penting lainnya juga adalah karena asset dan potensi pembangunan
sebenarnya ada dalam wilayah local. sehingga kepentingan local
pun tidak bisa diabaikan. Beberapa permasalahan tersebut akan
dibahas di bawah ini.

Penguatan Kelembagaan Publik Pemerintah Pusat dan


Daerah
Ada tiga alasan mengatakan bahwa sebuah kebijakan dikatakan
berhasil, pertama memang kebijakannya efektif baik secara
substantive maupun teknis, kedua ‘operating board’ nya yang
bagus, artinya kinerja mereka dilaksanakan secara efisien, efektif,
terencana, dan berhasil. Ketiga, kebijakan dan badan pelaksananya
memang bagus. dari hal di atas setidaknya minimal ada dua bagian
penting dalam menjalankan sebuah kebijakan yaitu kebijakan itu
sendiri dan lembaga yang menjalankannya. berdasarkan hal
tersebut, paling tidak ketiga kondisi tersebut secara sederhana
menggambarkan factor-faktor apa yang sebenarnya mendasari
sebuah kebijakan bisa berhasil.
Hal tersebut relevan bila dikaitkan dengan kebijakan investasi
yang dilakukan olen pemerintah. Pemerintah sebagai inisiator
kebijakan dituntut yakin dalam menjalankan setiap kebijakan yang
diambilnya. keyakinan tersebut melandasi apa yang akan dilakukan
oleh pemerintah ditengah-tengah pelaksanaan kebijakannya.
Kemampuan untuk menjalankan kebijakan secara efektif dan efisien
membutuhkan kelembagaan pemerintah yang kuat. Penguatan
institusi merupakan hal yang wajib jika pemerintah hendak
menyerahkan sebagian atau semua wewenangnya kepada lembaga
pelaksana untuk merealisasikan kebijakannya.
Hal tersebut juga menjadi salah satu indicator untuk menarik
investasi ke dalam negeri. seperti yang dijelaskan dalam laporan

12
WEF mengenai kinerja kelembagaan public Indonesia dibandingkan
dengan kelembagaan public di beberapa negara di ASEAN.
Peringkat Indonesia untuk Kelembagaan Publik
Dengan Beberapa Negara ASEAN
berdasarkan The Global Competitiveness Report
2005-2006 (104 negara) dan 2005-2006 (117 negara)

Berdasarkan laporan di atas tentunya sudah jelas bahwa


pemerintah perlu membenahi sector kelembagaan ini. Perubahan
tersebut tidak hanya dilakukan pada lembaga-lembaga yang
menunjang langsung kebijakan investasi tersebut, tetapi juga
terhadap keseluruhan system kelembagan pemerintah. Namun
pemerintah perlu membuat prioritas dalam melaksanakannya.
Kebijakan investasi melibatkan dua level pemerintahan yaitu
pemerintah pusat dan daerah. Koordinasi diletakkan pada
pemerintah pusat melalui Departemen teknis dan BKPM.
Penyebaran sebagian wewenang dan tanggung jawab pelaksanaan
diberikan kepada daerah. Dalam hal ini pemerintah daerah
diberikan keleluasaan dalam berinovasi demi menarik sejumlah
investor ke daerah.
Kebebasan tersebut diberikan kepada daerah agar daerah
dapat mempromosikan asset dan potensi daerahnya kepada
investor. Daerah diharapkan mampu membangun pertumbuhan
ekonominya berdasarkan potensinya sendiri. Kepercayaan tersebut
seharusnya membuat daerah membangun inisiatif dan inovasi
pemerintahan dan ekonomi dalam menunjang keberhasilan
kebijakan investasi tersebut. Namun permasalahannya apakah
pemerintah pusat dan daerah sudah cukup siap dalam kelembagaan
dan perangkatnya? Pembangunan dan perbaikan kapasitas
(capacity building) perlu dilakukan sebab hal tersebut sangat
menunjang keberhasilan kebijakan. Sebagaimana dikatakan Jhingan
bahwa pembangunan ekonomi memerlukan suatu system
administrasi yang tepat untuk melaksanakan rencana yang
dicantumkan didalam peraturan perundang-undangan (Jhingan,
2003:56).

Tingkat Pemerintah Pusat


Penguatan kelembagaan juga harus dilakukan dalam tingkat
pemerintah pusat. Setidaknya ada beberapa hal yang perlu

13
dilakukan oleh pemerintah pusat antara lain yaitu, 1) high cost
economy yang terjadi di lingkungan pusat; 2) kepastian hukum; 3)
penciptaan iklim ekonomi yang kondusif secara makro; 4)
kemampuan promosi pemerintah; 5) Inovasi pelayanan. Perbaikan
terhadap beberapa permasalahan tersebut berkaitan dengan
tanggung jawab dan peran lembaga-lembaga teknis terkait di pusat.
Dalam hal ini, sebenarnya pemerintah sudah melakukan
beberapa tindakan, yang salah satunya adalah dengan membentuk
tim khusus. Hal ini tertuang dalam Keputusan Presiden Nomor 3
Tahun 2006 tentang Tim Nasional Peningkatan Ekspor Dan
Peningkatan Investasi yang menggantikan Kepres Nomor 87 Tahun
2003. Tugas Tim ini sendiri adalah a) merumuskan kebijakan umum
peningkatan ekspor dan peningkatan investasi; b) menetapkan
langkah-langkah yang diperlukan dalam rangka peningkatan ekspor
dan peningkatan investasi; c) mengkaji dan menetapkan langkah-
langkah penyelesaian permasalahan strategis yang timbul dalam
proses peningkatan ekspor dan peningkatan investasi.
Namun tindakan tesebut tidaklah cukup untuk menyelesaikan
permasalahan yang terjadi terutama di lapangan. Dalam urusan
ekspor-impor atau perdagangan, pungutan liar dan biaya-biaya
siluman di pelabuhan nasional atau internasional tetap banyak
terjadi. Tidak hanya itu, dalam hal pemberian ijin di tingkat
departemenpun pungutan-pungutan seperti itu juga ada. Bikrorasi
memang menajdi masalah tersediri yang sulit untuk dibenahi, aspek
pengawasan dan akuntabilitas terhadap biaya-biaya yang
sewajarnya tidak pernah berjalan sebagaimana mestinya.
KADIN dalam laporannya menyatakan bahwa kebijakan dan
perilaku pemerintah yang dapat mempengaruhi secara langsung
maupun tidak langsung biaya investasi adalah mulai dari korupsi,
besarnya tarif dan sistem perpajakan yang tidak kondusif, jasa-jasa
publik, kebijakan perdagangan mengenai bea masuk impor,
birokrasi dalam pengurusan izin, kebijakan moneter yang
mempengaruhi tingkat suku bunga dan inflasi, hingga pengeluaran
pemerintah untuk pembangunan atau perbaikan infrastruktur.
Besarnya pengaruh dari semua ini terhadap biaya investasi tentu
bervariasi menurut sektor atau jenis kegiatan ekonomi dan kondisi
(terutama keuangan) perusahaan yang melakukan investasi. Bagi
perusahaan-perusahaan multinasional yang biasanya memakai
sumber eksternal untuk modal pembiayaan, mungkin tidak stabilnya
suku bunga di dalam negeri tidak terlalu masalah. Atau, bagi
perusahaan-perusahaan asing yang melakukan kegiatan ekonomi di
dalam negeri yang tidak terlalu tergantung pada impor untuk bahan
bakunya, mungkin besarnya bea masuk impor tidak terlalu
mengganggu kegiatan mereka. (KADIN-Jetro; 2006)
Kebijakan dan Perilaku Pemerintah yang memperngaruhi keputusan
investasi

14
Permasalahan-permasalahan tersebut harus secepatnya
dibenahi melalui kebijakan yang nyata dan efektif. Kebijakan
investasi yang dikeluarkan pemerintah tidak akan berjalan tanpa
rentetan kebijakan lainnya yang mendukung. Selain itu
penyelesaian permasalahan dalam ijin, perdagangan, dan konflik
kepentingan antara pemerintah dan investor membutuhkan
penyelesaian secepatnya. Kelemahan institusi pengadilan kita
dalam mengadili kasus perdagangan perlu dibenahi. Akibat yang
terjadi adalah penyelesaian menjadi lambat dan kepastian aturan
hukum yang digunakan juga beragam. Sedangkan investasi atau
dunia usaha membutuhkan petunjuk yang bisa diprediksi secara
tepat dan pasti.
Dunia usaha terutama investasi sangat memerlukan iklim
ekonomi yang kondusif. Tentu saja dalam hal ini peran pemerintah
pusat sangat penting, sebab secara makro pemerintah bertanggung
jawab menjaga agar posisi perekonomian tidak menurun. Kebijakan
tersebut dapat dilihat dalam konteks Fiskal dan moneter. UU 32
Tahun 2004 tidak memberikan kewenangan tersebut kepada daerah
sebab kewenangan itu merupakan kewenangan yang sepenuhnya
dipegang pemerintah pusat. Oleh sebab itu, Pemerintah patut
menjamin bahwa investor tidak akan dirugikan ketika dana
dialirkan.
Pengelolaan iklim investasi memerlukan kemampuan
manajerial dalam menjaga iklim tetap kondusif. Kemampuan
tersebut antara lain kemampuan dalam menjaga hubungan
harmonis dengan pemerintah daerah sebagai bagian dari koordinasi
internal; kemampuan ‘cepat tanggap’ terhadap permasalahan yang
membutuhkan penyelesaian yang cepat; kemampuan untuk
menyelesaikan program realisasi fisik yang didanai dari investasi
secara tepat waktu; menjaga agar stabiilitas fiscal dan moneter

15
tetap terkendali; dan kemampuan untuk membuat sejumlah
terobosan atau inovasi yang efektif menarik investor.
Berdasarkan hal tersebut, salah satu terobosan yang perlu
dilakukan adalah dalam bidang pelayanan. Pelayanan dalam hal
apapun, terutama yang menyangkut perijinan, fasilitas insentif, dan
berbagai kemudahan-kemudahan lain. Namun tetap, hal tersebut
jangan sampai merugikan dan memberikan damapk balik yang
buruk. Salah satu inovasi yang dilakukan adalah konsep pelayanan
satu atap. Tujuannya adalah agar pusat dan daerah bisa
memberikan pelayanan kepada investor dengan cepat, sehingga
rentang waktu untuk mengurus perijinan tidak lama dan berbelit-
belit. Tetapi kenyataannya, hal tersebut tidak cukup memberikan
pengaruh yang signifikan, sebab pungutan liar tetap ada walaupun
sistem pelayanannya sudah diubah.

Tingkat Pemerintah Daerah


Untuk tingkat pemerintahan daerah ada beberapa hal yang perlu
dibenahi :

a. Infrastruktur Daerah
Salah satu kekurangan besar dalam proses pembangunan
ekonomi Indonesia terletak pada minimnya infrastruktur yang
mendukung proses tersebut. Infrastruktur tersebut bukan hanya
dalam lingkup overhead ekonomi tetapi juga overhead social.
Oleh karena itu sangat sulit mengharapkan daerah bisa
menampung dan mengelola dana investasi yang masuk, karena
dari segi fasilitas tidak memungkinkan. Selain itu pembangunan
infrastruktur yang dibutuhkan juga menyerap dana yang besar,
sehingga logis bila dana yang dimiliki daerah lebih banyak
digunakan untuk menyediakan fasilitas tersebut.
Namun tidak semua daerah mengalami hal tersebut. Ada
‘conditonal gap’ di setiap daerah dari sisi sumber daya alam dan
sumber daya manusia. Hal ini juga terjadi dalam penyediaan
infrastruktur. Daerah di Jawa cenderung siap dalam hal sumber
daya alam dan sumber daya manusia serta infrastruktur,
berbeda dengan daerah Kawasan Timur Indonesia, yang sangat
unggul dalam sumber daya alam namun minim dalam kapasitas
SDM dan infrastruktur. Tetapi pada kenyataannya, hal tersebut
tidak menjadi masalah berarti sebab daerah mulai menyadari
bahwa inovasi dan kreatifitas dalam mengelola potensi
daerahnya adalah kuncinya.
Selain penyediaan infrastruktur, permasalahan lainnya
adalah penyediaan lahan atau tanah yang pantas untuk dijadikan
proyek investasi. Salah satu sebabnya adalah pemerintah pusat
belum bisa melepaskan sepenuhnya kewenangan tersebut
kepada daerah. Rencana Tata Ruang Daerah tetap harus
menginduk pada Rencana Tata Ruang Nasional. Dalam Hukum
Pertanahan juga ada kendala berkaitan dengan status tanah,
seperti tanah ulayat atau tanah adat. Kendala tersebut

16
menyebabkan pemerintah tidak bisa mengklaim bahwa tanah-
tanah dalam wilayah daerah sepenunya penguasaan daerah.
Oleh karena itu reformasi agraria perlu dilakukan dengan tetap
menghargai status tanah ulayat masyarakat adat.
Permasalahan lainnya adalah ketersediaan pasar di daerah.
Pasar mutlak harus tersedia di daerah, sebab disitulah terjadi
proses penawaran dan pembelian. Luas lingkup pasar atau
‘market range’ juga perlu dibangun. Daerah harus mampu
menyediakan keterhubungan pasar di wilayahnya dengan pasar
di wilayah lain, baik dalam lingkup nasional, regional maupun
internasional. Daya saing daerah dan diferensiasi produk/jasa
dari daerah bisa terjadi bila pasar cukup luas dan mampu
mempengaruhi kreativitas iklim usaha di daerah. Oleh karena itu,
salah satu factor pembangun dan penyangga kemampuan pasar
adalah ketersediaan infrastruktur ekonomi dan social.

b. Sinkronisasi Regulasi dan ‘Infrastuktur’ Regulasi


Diberikannya kewenangan dan kebebasan kepada daerah
untuk memperbaiki kondisi sosial dan ekonomi daerahnya
mengundang sejumlah permasalahan. Salah satunya adalah
tumpang tindih antara peraturan pusat dengan peraturan
daerah, terutama dalam bidang ekonomi. Departemen Dalam
Negeri serta KPPOD menyatakan bahwa terdapat ratusan Perda
yang tidak sinkron dengan peraturan di atasnya. Perda
bermasalah tersebut melanggar asas perundang-undangan
secara materil. Ketidaksinkronan tersebut menyebabkan
sejumlah peraturan pusat tidak mempunyai pengaruh,
sebaliknya perda yang diterbitkan oleh daerah dipandang sebagi
regulasi tunggal daerah.
Dalam hal ini, tugas Depdagri sebagai lembaga pemerintah
yang berwenang untuk membatalkan perda-perda bermasalah
tersebut. Untuk mengawasi munculnya perda-perda semacam
itu, maka pemerintah perlu melibatkan sejumlah lembaga
independent atau asosiasi masyarakat/pengusaha. Bahkan
seharusnya, pemerintah daerah perlu melibatkan organisasi
semacam itu untuk membuat suatu kebijakan, sebab dampak
yang dirasakan adalah berakibat langsung kepada proses
perekonomian daerah dan stabilitas pasar.
Namun bukan berarti pemerintah daerah tidak boleh
menjalankan wewenangya sebagai pengatur dalam
perekonomian daerahnya. Fungsi regulasi sudah pasti dan mutlak
berada di tangan pemerintah daerah. Karena wewenang tersebut
erat kaitannya denga tanggung jawab pemerintah terhadap
pencapaian tujuan pemerintah daerah demi keseahteraan
masyarakat dan daya saing. Pemerintah daerah perlu membuat
blue print kebijakan dan economic and development planning
daerah beberapa tahun ke depan. Sehingga segala kebijakan dan
program yang akan dibangun disesuaikan dengan blue print

17
tersebut. Sehingga pembangunan ekonomi daerah jelas arah dan
tujuannya.
Sebenarnya pemerintah pusat sudah merealisasikan hal
tersebut melalui UU 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan
Pembangunan Nasional (sisrenbangnas). Dalam UU tersebut
dikatakan bahwa Daerah melalui Bapeda wajib menyusun
Rencana Pembangunan Tahunan Daerah yang dituangkan dalam
Rencana Kerja Pemerintah Daerah untuk jangka waktu satu
tahun. Oleh karena UU tersebut menghendaki adanya system
pembangunan terpadu maka sudah sepatutnya bila daerah turut
menyesuaikan regulasi dan perdanya dengan regulasi diatasnya.
Pemerintah daerah hendaknya tidak memandang
peningkatan ekonomi dengan indicator tunggal yang semu yaitu
peningkatan PAD, dengan menerbitkan pajak dan retribusi yang
beragam. Terdapat kurang lebih 500 perda tentang pajak dan
retribusi daerah yang sedang ditelaah Departemen Keuangan.
Dari jumlah itu terdapat 40 Perda yang telah dibatalkan. Dari 40
perda tadi, pada intinya menetapkan retribusi yang sebetulnya
tidak perlu dan terdapat pelanggaran terhadap ketentuan
perundang-undangan yang di atasnya. Seringkali terdapat
kekeliruan dalam menerapkan asas lahirnya perda tersebut, yaitu
dengan menggunakan asas lex spesialis derogat lex generalis -
ketentuan khusus mengensampingkan ketentuan umum. Padahal
asas itu harus digunakan terhadap suatu ketentuan yang
sederajat. Artinya kalau undang-undang mau disimpangi dengan
asas lex spesialis, haruslah oleh UU lagi. (PR, Senin, 20 Maret
2006)

Jumlah Perda Pungutan setelah Otda

Sumber : Hasil Penelitian SMERU, 2003

Sebagai bagian dari proses pembangunan, peran regulasi dalam


mengatur proses perekonomian sudah pasti sangat berpengaruh.
Terlihat dari beberapa kendala yang terjadi dalam hubungan antara
pusat dan daerah seperti dijelaskan diatas. Ada tiga kondisi dimana
regulasi menjadi salah satu factor penentu perbaikan ekonomi

18
daerah. Pertama, regulasi dapat menjadi ‘pintu masuk’ bagi
investasi ke daerah. Hal ini terjadi bila regulasi tersebut mengatur
sejumlah fasilitas dan kemudahan yang disediakan daerah atau
perlindungan kepada investor. Tersedia rule of game dunia usaha
yang jelas (fair) dan tidak mengandung konflik/masalah ke
depannya baik hubungannya dengan masyarakat serta dengan
pemerintah. Artinya ada jaminan kepastian dan kenyamanan
berusaha. Kedua, Regulasi digunakan sebagai sarana diplomasi
kepentingan daerah dengan pihak investor. Sebenarnya melalui
jenis regulasi seperti ini economic interests pemerintah daerah
terhadap keberadaan investor di daerah tergambarkan, apakah
murni untuk peningkatan ekonomi atau malah digunakan sebagai
sumber penggalian PAD. Melalui regulasi ini pemerintah daerah bisa
memasukan isu CSR (Corporate Social Responsibility) seperti
pendidikan, social, kesejahteraan, partisipasi masyarakat dan lain
hal mendukung perbaikan SDM daerah. Dengan ketentuan
pemerintah daerah perlu memberikan ‘jenjang waktu’ dan
ketentuan lunak sampai dunia usaha siap merealisasikan hal
tersebut. Peran ‘mengajak’ dan ‘mengundang’ perlu ditunjukkan
dengan niat baik dan professional.
Ketiga, Regulasi bisa digunakan sebagai media membangun
dunia usaha yang berjiwa professional. Hubungan yang baik antara
pemerintah daerah dan investor perlu dibangun. Perwujudannya
tidak bisa dilakukan tanpa melibatkan dunia usaha dan masyarakat
(sepihak dari pemerintah). Sehingga tidak ada lagi istilah ‘ganti
pemimpin ganti kebijakan’ karena imbasnya adalah ketidakpastian
‘rule of game’ di daerah. Yang dibangun bukan kebijakan
berdasarkan keinginan dan personifikasi pemimpin yang sifatnya
parsial, melainkan kebijakan-kebijakan yang terangkum dalam
sistem kebijakan dunia usaha dan siapapun pemimpinnya sistemnya
tetap ada.
Oleh karena itu, regulasi yang dikeluarkan perlu disusun dengan
baik, dari segi substansial dan legal formalnya serta pelibatan
partisipasi dunia usaha dan masyarakat daerah.

c. Reformasi Birokrasi di Daerah


Permasalahan penting lainnya menyangkut pelaksanaan
kebijakan investasi adalah peran dan fungsi birokrasi daerah.
Birokrasi mempunyai pengaruh yang kuat dalam menentukan
iklim dan budaya wilayah kerjanya. Hal tersebut tentu saja
sangat bersentuhan dengan segala aspek baik internal maupun
eksternal. Dalam lingkungan eksternal masyarakat dan pelaku
usaha merupakan pihak yang merasakan langsung tingkah laku
dan kebijakan birokrasi. Sebab bangunan lembaga birokrasi
terdiri dari SDM, wewenang dan tanggung jawab, serta struktur
dan budaya kerja tersendiri. Hal ini seperti yang diungkapkan
Miftah Toha bahawa Lembaga birokrasi merupakan suatu bentuk

19
dan tatanan yang mengandung struktur dan kultur. Struktur
mengetengahkan susunan dari suatu tatanan, dan kultur
mengandung nilai (values), sistem, dan kebiasaan yang
dilakukan oleh para pelakunya yang mencerminkan perilaku dari
sumberdaya manusianya. Oleh karena itu reformasi
kelembagaan birokrasi meliputi reformasi susunan dari suatu
tatanan birokrasi pemerintah, serta reformasi tata nilai, tata
sistem, dan tata perilaku dari sumber daya manusianya. (Mitfah
Toha;2002)
Bila dikaitakan dengan konteks ekonomi, maka sudah
sewajarnya bila reformasi terhadap birokrasi perlu dilakukan. Kita
tidak bisa lagi bertumpu pada sistem dan budaya kerja yang
lamban, tidak responsif, tertutup atau ’tabu’ terhadap
persaingan, dan pemikiran yang tradisionalistik. Juga tidak bisa
lagi menutup mata bahwa pemerintah daerah berada dalam
persaingan yang serba cepat dan membutuhan peningkatan
kemampuan dan perubahan strategi yang baru. Pemerintah perlu
berpikir cerdas dan terbuka terhadap perubahan. Osborne dan
Gabler dalam bukunya menggagaskan bahwa bentuk
pemerintahan yang bekembang selama era industri, dengan
birokrasi yang lamban dan terpusat, pemenuhan terhadap
ketentuan dan peraturan,serta rantai komando, tidak lagi
berjalan dengan baik. Oleh karena itu memerlukan fleksibilitas,
perubahan yang cepat, responsivitas terhadap pelanggan, dan
pengarahan jasa yang ekstensif kepada pelanggan. 3
Dalam hal ini David Osborne dan Ted Gaebler Juga
menyarankan paradigma birokrasi yang baru antara lain: (a)
Catalytic government: steering rather than rowing. Pemerintah
sebagai katalis, lebih baik menyetir daripada mendayung.
Pemerintah dan birokrasinya disarankan untuk melepaskan
bidang-bidang atau pekerjaan yang sekiranya sudah dapat
dikerjakan oleh masyarakat sendiri; (b) Community-owned
government: empowering rather than serving. Pemerintah adalah
milik masyarakat: lebih baik memberdayakan daripada melayani.
Pemerintah dipilih oleh wakil masyarakat, karenanya menjadi
milik masyarakat. Pemerintah akan bertindak lebih utama jika
memberikan pemberdayaan kepada masyarakat untuk mengurus
masalahnya secara mandiri, daripada menjadikan masyarakat
tergantung terhadap pemerintah; (c) Competitive government:
injecting competition into service delivery. Pemerintahan yang
kompetitif adalah pemerintahan yang memasukan semangat
kompetisi di dalam birokrasinya. Pemerintah perlu menjadikan
birokrasinya saling bersaing, antar bagian dalam memberikan
pendampingan dan penyediaan regulasi dan barang-barang
kebutuhan publik.
Salah satu cara yang dilakukan pemerintah untuk menata
birokrasi pemerintahan dalam hal menunjang kebijakan investasi
3
Hal ini dapat dibaca lebih detil pada buku Mewirausahakan birokrasi, David
Osborne dan Ted Gabler, 1996, halaman 382.

20
adalah dengan dikeluarkannya Keppres Nomor 29 tahun 2004
tentang penyelenggaraan penanaman modal dalam rangka
penanaman modal asing dan penanaman modal dalam negeri
melalui sistem pelayanan satu atap. Tujuan yang ingin dicapai
adalah dalam rangka meningkatkan efektivitas dalam menarik
investor untuk melakukan investasi di Indonesia, sehingga
dipandang perlu untuk menyederhanakan sistem pelayanan
penyelenggaraan penanaman modal dengan metode diatas.
Namun sebenarnya ada permasalahan lain dengan Keppres
tersebut berkaitan dengan wewenang daerah dalam UU 32 tahun
2004. Masalah kewenangan perizinan oleh BKPM apabila dilihat
dari konteks UU 22 Tahun 1999 jo UU No. 32 Tahun 2004, menjadi
kewenangan daerah. Pasal 13 dan Pasal 14 UU No. 32
mengisyaratkan, pelayanan administrasi penanaman modal
merupakan urusan wajib provinsi bagi yang berskala provinsi,
dan merupakan urusan wajib kabupaten/kota bagi yang berskala
kabupaten/kota. Dengan adanya Keputusan Presiden terebut,
BKPM menjadi ujung tombak bagi perizinan investasi di
Indonesia, sehingga dirasakan terdapat resentralisasi perizinan
investasi dari daerah kepada BKPM.
Meskipun demikian tekad pemerintah akan memperpendek
pengurusan perizinan usaha perlu mendapat support instansi
sektoral atau teknis yang mengeluarkan izin. Dalam pelaksanaan
perizinan penanaman modal sebagaimana terdapat dalam
pedoman tata cara berinvestasi yang dikeluarkan oleh BKPM
terdapat jenis izin yang harus diurus, yaitu 1) izin yang
dikeluarkan oleh BPKM sebanyak tujuh jenis izin, yang terdiri dari
izin angka pengenal importir terbatas, izin usaha tetap/izin
perluasan, rencana penggunaan tenaga kerja asing, rekomendasi
visa bagi penggunaan tenaga kerja asing, perpanjangan izin
memperkerjakan tenaga kerja asing yang bekerja lebih dari satu
provinsi, fasilitas pembebasan/keringanan bea masuk atas
pengimporan barang, modal, atau bahan baku/penolong dan
fasilitas fiskal lainnya; 2) perizinan yang diterbitkan pemerintah
provinsi sesuai kewenangannya, berupa perpanjangan izin
mempekerjakan tenaga kerja asing untuk tenaga kerja asing
yang bekerja di wilayah kabupaten/kota dalam 1 (satu) provinsi;
3) Perizinan yang diterbitkan oleh pemerintah kota/kabupaten,
yaitu berupa izin lokasi, sertifikat hak atas tanah, izin mendirikan
bangunan (IMB), izin undang-undang gangguan (HO).
Persoalannya, selain izin tersebut, masih dapat ditemukan di
suatu daerah tertentu, misalnya, ada izin penggunaan trotoar,
izin penggunaan gorong-gorong, dll. Akibatnya, izin kegiatan
investasi atau usaha lebih dari 11 jenis izin tadi. Banyaknya izin
tersebut memakan biaya dan waktu, akhirnya hal tersebut
merupakan cost transaction dan ekonomi biaya tinggi dan
bahkan secara rasional sejumlah ijin tersebut tidak relevan
dengan operasionalisasi investasi di daerah.

21
Ada tiga kategori kelembagaan dan peran pelayanan satu
pintu berdasarkan best practices di daerah. Ketiga kategori
tersebut adalah Pertama, unit pelayanan itu menginduk pada
kelembagaan pemda yang sudah ada, misalnya bagian
perekonomian sekretariat daerah, dinas informasi dan
komunikasi, dan sebagainya. Namun, tugas unit itu di setiap
daerah selalu berbeda. Kedua, pelayanan satu atap ditangani
oleh sebuah kantor khusus yang dipimpin pejabat eselon III.
Meski demikian, fungsi yang diterapkan setiap daerah berbeda-
beda. Ada yang sebatas berfungsi sebagai front office, seperti
yang terjadi di Kabupaten Gianyar, Provinsi Bali. Namun, ada
kantor pelayanan satu atap yang berfungsi menerima berkas
permohonan dan mengoordinasikan dengan dinas terkait. Kantor
itu pula yang menerbitkan perizinannya. Ketiga, ada pula daerah
yang segala ketentuan pelayanan satu pintu ditempelkan di
semua instansi agar diketahui publik. Daerah seperti Kabupaten
Parepare, Sulawesi Selatan, memberlakukan aturan secara
transparan. Investor langsung diberikan kepastian pengurusan
dokumen selesai berapa hari plus biaya yang harus dibayar
dengan bukti penerimaan dokumen resmi.
Bila dilihat secara menyeluruh, pelaksanaan sistem
pelayanan satu atap tersebut belum dilakukan oleh sebagian
besar daerah. Hal ini menyangkut kesiapan SDM dan komitmen
pemerintah daerah itu sendiri. Tidak semua daerah sanggup
merealisasikan kebijakan kelembagaan seperti itu. Terutama
untuk daerah-daerah hasil pemekaran yang relative masih baru
dan membutuhkan penyesuaian yang lama. Oleh karena itu,
sudah menjadi tugas pemerintah pusat untuk memberikan
bantuan teknis dan advokasi terhadap daerah seperti itu. Daerah
memerlukan panduan untuk menggali dan mengembangkan
potensi wilayahnya serta bantuan dari pemerintah pusat untuk
mempromosikannya. Dalam hal ini kesenjangan kemampuan
manajerial daerah bisa teratasi sehingga terbangun hubungan
yang saling mendukung antara pemerintah pusat dengan daerah
serta pemerintah daerah dengan pemerintah daerah lainnya.
Reformasi yang dilakukan bukan hanya dalam bidang
kelembagaan/fungsinya, SDM/manajerialnya, budaya kerja serta
perilakunya tetapi juga birokrasi dalam lingkup hubungan
pemerintahan yang lebih luas sebagai bagian dari sistem
administrasi NKRI.

C. PENUTUP
Penguatan peran dan kelembagaan pemerintah sangat penting
untuk mendukung keberhasilan kebijakan investasi. Tanpa lembaga
dan kapasitas yang siap maka kebijakan tidak bias terealisasi secara
maksimal. Tujuan dan prospek yang ingin dicapai sulit untuk dicapai
dan kemungkinannya malah akan hilang. Pemerintah perlu menata
kembali fungsi organisasi dan manajemen yang ada saat ini.
Keterbukaan terhadap perubahan gaya manajemen dan fungsi

22
organisasi perlu dilakukan. Bukan tidak mungkin pemerintah bias
mengadopsi gaya kepemimpinan dan manajemen swasta yang
berorientasi pada peningkatan ekonomi, tentu saja dengan tidak
mengangapnya sebagai privatisasi birokrasi.

23
DAFTAR PUSTAKA

BUKU :

Bryant, Coralie dan Louise G. White; 1989, Manajemen


Pembangunan Untuk Negara Berkembang (diterjemahkan oleh
Rusyanto L), Jakarta, LP3ES.

Jhingan, M.L.; 2003, Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan


(diterjemahkan oleh D. Guritno), Jakarta, Raja Grafindo Persada.

Kuncoro, Mudrajad; 2000, Ekonomi Pembangunan Teori, Masalah,


dan Kebijakan, Yogyakarta, UPP AMP YKPN.

Osborne, David and Ted Gabler; 1996, Reinventing Government


(Mewirausahakan Birokrasi), diterjemahkan oleh Abdul Rosyid,
Jakarta, Pustaka Binaman Pressindo.

Suryana; 2000, Ekonomi Pembangunan Problematika dan


Pendekatan, Jakarta, Salemba Empat.

LAIN-LAIN :

Ahmad Jayus, Jaja; 20 Maret 2006, Paket Kebijakan Investasi


Dongkrak Investasi, Bandung, Pikiran Rakyat.

Soebhan, Syafuan Rozi; 2000, Model Reformasi Birokrasi


Indonesia, Jakarta, LIPI.

Tambunan, Tulus; 2006, Iklim Investasi di Indonesia: Masalah,


Tantangan dan Potensi, KADIN Indonesia – Jetro.

Toha, Miftah; Reformasi Birokrasi Indonesia, disampaikan dalam


Seminar Good Goverance di Bappenas, tgl 24 Oktober 2002.

Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 19 tahun 2006 tentang


Rencana Kerja Pemerintah Tahun 2007.

Keputusan Presiden No. 3 Tahun 2006 tentang Tim Nasional


Peningkatan Ekspor dan Peningkatan Investasi.

Keputusan Presiden No. 29 tahun 2004 tentang Penyelenggaraan


Penanaman Modal dalam Rangka Penanaman Modal Asing dan
Penanaman Modal dalam Negeri Melalui Sistem Pelayanan Satu
Atap.

Inpres No. 3 tahun 2006 tentang Paket Kebijakan Investasi.

24
Keputusan Kepala BKPM No. 57/SK/2004 jo. No. 70/SK/2004 tentang
Pedoman dan Tata Acara Permohonan Penanaman Modal Dalam
Rangka PMA/PMDN.

25

You might also like