You are on page 1of 19

INTERNATIONAL NGO FORUM ON INDONESIAN DEVELOPMENT

with UN special consultative status on ecosoc


T O W A R D S A L T E R N A T I V E S F O R D E B T S O L U T I O N

BERLAYAR DALAM PUSARAN GELOMBANG MASALAH:

Studi Kasus Odious Debt untuk Pembelian Kapal Perang Bekas Jerman,
yang Melibatkan Perusahaan Jerman dan Kroninya di Indonesia

George Junus Aditjondro

Working Paper No. 1, 2007


BERLAYAR DALAM PUSARAN GELOMBANG MASALAH:
Studi Kasus Odious Debt untuk Pembelian Kapal Perang Bekas Jerman,
yang Melibatkan Perusahaan Jerman dan Kroninya di Indonesia

George Junus Aditjondro

Working Paper No.1, 2007

  ‐ 1 ‐ 
PENGANTAR

Kekhawatiran terhadap utang yang tiada akhir dari banyak negara dunia ketiga telah mendorong
pemerintah dan organisasi non-pemerintah -- termasuk organisasi keagamaan, kelompok
lingkungan hidup dan kelompok anti-globalisasi -- untuk menolak utang yang tidak berguna
bagi – atau bahkan menyengsarakan -- penduduk dari negara-negara yang memiliki utang. Dari
keprihatinan ini, muncul beberapa konsep tentang utang yang tidak adil dimana pengembalian
utang seharusnya tidak dibebankan pada rakyat dari negara dimana utang tersebut pada awalnya
ada karena pemerintahnya sendiri. Dari konsep-konsep tersebut, utang yang tidak sah atau
“illegitimate debt” (Hanlon 2002; Eurodad 2006, 2007) dan utang haram atau “odious debt”
(Adams 2004) adalah dua konsep yang paling populer.

ODIOUS DEBT

Doktrin Odious Debt mempunyai sejarah yang panjang karena prinsip-prinsipnya telah dikenal
luas di Perancis, Rusia, Jerman, dan Amerika Serikat pada peralihan abad ke 19-20. Setelah
perang Spanyol-Amerika pada tahun 1898, Amerika Serikat menolak utang Kuba pada Spanyol.
Dengan mengatakan bahwa “utang tersebut dibebankan pada rakyat Kuba tanpa persetujuan
mereka dan dengan kekerasan,” komisioner Amerika Serikat untuk perundingan perdamaian
berpendapat bahwa sebagian besar pinjaman tersebut dirancang untuk menumpas upaya
penduduk Kuba dalam pemberontakan mereka melawan penjajahan Spanyol, dan dibelanjakan
dengan cara yang bertentangan dengan kepentingan rakyat. “Utang tersebut diciptakan oleh
Pemerintah Spanyol untuk kepentingannya sendiri dan melalui agen mereka sendiri, dimana
Kuba tidak mempunyai hak suara atas keberadaan utang tersebut” (Adams 2004: 2-3).

Sehingga, seperti yang diyakini oleh pihak perunding AS, utang tersebut tidak dapat dianggap
sebagai utang domestik Kuba dan juga tidak bersifat mengikat terhadap pemerintahan pengganti.
Mengenai pemberi pinjaman, perunding AS berpendapat: “Pihak kreditor dari awal mengambil
resiko dalam melakukan investasi. Komitmen terhadap utang nasional tersebut, sementara pada
satu sisi menunjukkan sifat nasional dari utang tersebut, di sisi yang lain menandakan resiko
membahayakan yang melekat pada utang tersebut sejak awal, dan masih terus melekat” (Adams
2004: 3).

Seperti yang dikemukakan oleh Patricia Adams, perselisihan atas “utang Kuba” ini menjadi salah
satu dari kasus penolakan utang yang kontroversial – penolakan yang bukan disebabkan karena
utang tersebut memberi beban yang terlalu berat bagi pemerintah penerus, tapi karena pihak yang
tidak sah menciptakan utang tersebut untuk tujuan yang juga tidak sah. Utang seperti ini dalam
hukum dikenal sebagai “odious debt” atau utang haram (idem).

Dalam kurun waktu hanya seperempat abad kemudian, doktrin hukum dari odious debt
dikembangkan oleh Alexander Nahum Sack, guru besar hukum di Paris dan mantan menteri pada
pemerintahan Tsar di Rusia. Ketika wilayah kolonial menjadi bangsa yang independen dan
koloni berpindah tangan, ketika monarki digantikan oleh republik dan rezim militer digantikan
oleh pemerintahan sipil, dengan perbatasan yang senantiasa berubah di seluruh dunia, dan
munculnya ideologi baru dari sosialisme, komunisme, dan fasisme yang merobohkan tatanan
lama, Sack mengembangkan suatu teori utang yang menangani masalah nyata yang disebabkan

  ‐ 2 ‐ 
oleh transformasi negara yang sebagaimana diterangkan di atas. Sack meyakini bahwa jaminan
bagi utang publik harus tetap terjaga demi perdagangan internasional. Tanpa adanya aturan yang
kuat atas kewajiban negara untuk membayar utang publik tersebut, Sack percaya bahwa akan
terjadi huru-hara dalam hubungan antar negara serta perdagangan dan keuangan internasional
akan menjadi kacau. (idem).

Utang yang tidak diciptakan untuk kepentingan “negara” tidak seharusnya terikat pada aturan
umum tersebut. Seperti yang dinyatakan oleh Sack:

Apabila rezim yang sewenang-wenang berhutang bukan untuk kebutuhan atau


kepentingan Negara, tapi untuk memperkuat rezimnya, untuk menindas penduduk yang
menentangnya, dsb., maka utang ini disebut odious bagi penduduk dari negara tersebut.

Utang ini tidak menjadi kewajiban bangsa tersebut; tapi merupakan utang rezim, utang
pribadi dari kekuasaan yang menciptakan utang tersebut sehingga utang akan gugur
dengan jatuhnya penguasa tersebut.

Alasan dari utang “odious” ini tidak dapat dianggap sebagai penghambat dalam wilayah
suatu Negara adalah karena utang tersebut tidak memenuhi salah satu syarat yang
menentukan keabsahan dari utang Negara tersebut yaitu : utang Negara terjadi jika dana
tersebut digunakan untuk kebutuhan dan kepentingan Negara.

Utang “Odious” dilakukan dan digunakan untuk tujuan yang dengan sepengetahuan
pihak kreditor bertentangan dengan kepentingan bangsa, mengabaikan kepentingan
bangsa – dalam hal dimana bangsa tersebut berhasil terlepas dari pemerintah yang
melakukan utang tersebut – kecuali apabila diperoleh manfaat yang nyata dari utang
tersebut. Pihak kreditor telah melakukan tindakan yang bermusuhan terhadap rakyat;
sehingga mereka tidak dapat berharap bahwa bangsa yang terbebas dari penguasa yang
sewenang-wenang akan mengambil alih utang “odious” yang sebenarnya merupakan
utang pribadi dari rezim tersebut.

Bahkan meskipun penguasa zalim tersebut digantikan oleh yang rezim lain yang tidak
berkurang kezalimannya atau tidak lebih responsif terhadap kemauan rakyat, utang
“odious” dari kekuasaan yang tersingkirkan menjadi utang pribadi mereka dan tidak
menjadi kewajiban dari penguasa yang baru.

Jenis pinjaman lain yang juga dapat dicantumkan adalah utang yang dilakukan oleh
anggota dari pemerintah atau individu atau kelompok yang berhubungan dengan
pemerintah untuk melayani kepentingan pribadi yang tidak ada kaitannya dengan
kepentingan Negara (tercantum dalam Adams 2004: 3-4).

Dengan kata lain, konsep Sack tentang odious debt dapat diringkas menjadi empat prinsip di
bawah ini (lihat Hanlon 2002: 8):

(a). Syarat dari keabsahan suatu pinjaman adalah bahwa utang tersebut “digunakan untuk
kebutuhan dan kepentingan Negara”;

  ‐ 3 ‐ 
(b). Odious debt akan gugur bersama lengsernya rezim dan bukan menjadi beban utang
pemerintahan penerusnya;

(c). Utang dianggap odious apabila digunakan untuk kepentingan pribadi, bukan untuk
tujuan Negara; dan

(d). Kreditor melakukan tindakan yang merugikan apabila mereka melakukan pinjaman
odious.

Seperti yang amati oleh Jaringan Eropa tentang Utang dan Pembangunan atau Eurodad yang
berpusat di Brussels, odious debt umumnya berkaitan dengan rezim diktator seperti Mobutu Sese
Seko di Republik Demokratik Kongo, Ferdinand Marcos di Filipina, Jenderal Suharto di
Indonesia, rezim apartheid Afrika Selatan dan Saddam Hussein di Irak. Rezim-rezim ini
menimbun utang dalam jumlah besar dengan kreditor bilateral seperti AS, Inggris, Perancis dan
Jerman, serta dengan badan-badan multilateral seperti Bank Dunia dan IMF. Eurodad meyakini
bahwa banyak dari utang tersebut dilakukan murni untuk tujuan strategis geopolitik. Sehingga
banyak LSM berpendapat bahwa adalah tidak adil jika penduduk dari negara yang berhutang
harus menanggung sendiri beban utangnya dan kreditor seharusnya ikut bertanggungjawab atas
kelalainnya terhadap pinjaman yang mempunyai motivasi politik (Eurodad 2006).

ILLEGITIMATE DEBT

Utang jenis ini memiliki kategori yang lebih luas dibanding odious debt. Illegitimate debt atau
utang yang tidak sah contohnya berlaku untuk proyek pembangunan yang sejak awal seharusnya
tidak didanai. Salah satu contoh adalah pembangkit tenaga nuklir Bataan di peninsula Bataan di
Filipina. Proyek ini merupakan utang negara Filipina yang terbesar. Diselesaikan pada tahun
1984 dengan menelan biaya US$ 2,3 milyar, proyek ini tidak pernah dimanfaatkan karena rezim
pasca Marcos tidak berani mengambil resiko dimana pembangkit tenaga nuklir ini dibangun di
atas sesar gempa bumi pada kaki gunung berapi. Proyek ini didanai oleh lembaga kredit ekspor
AS, Ex-Im Bank, Union Bank of Switzerland (UBS), Bank of Tokyo dan Mitsui & Co, dimana
pinjaman belum seluruhnya dikembalikan (Eurodad 2006, 2007).

Contoh lain dari illegitimate debt adalah utang sebesar US$ 80 juta yang dihapus pada 2 Oktober
2006 oleh Pemerintah Norwegia. Antara tahun 1976 dan 1980, Norwegia mempunyai kebijakan
yang mendukung ekspor kapal ke tujuh negara berkembang yaitu Ekuador, Peru, Jamaika, Mesir,
Sierra Leone, Sudan dan Burma. Norwegia mengekspor kapal ini terutama untuk menjamin
tersedianya pekerjaan bagi industri kapal yang dilanda krisis di negara kreditor, bukan
didasarkan pada analisa obyektif terhadap kebutuhan pembangunan dari negara yang membeli
kapal tersebut. Hal ini telah diakui secara eksplisit oleh Pemerintah Norwegia saat ini yang telah
mengambil langkah yang bersejarah dalam ikut bertanggungjawab terhadap utang yang
kemudian disusul dengan penghapusan utang tersebut (Eurodad 2006).

Dalam konteks yang lebih luas, Joseph Hanlon (2002) menjabarkan illegitimate debt sebagai
utang yang memenuhi satu atau lebih dari kondisi di bawah ini:

(a) bertentangan dengan hukum atau tidak diperbolehkan hukum;

  ‐ 4 ‐ 
(b) tidak adil, tidak layak, atau tidak dapat disetujui, atau
(c) bertentangan dengan kebijakan publik tertentu.

Kedua konsep ini - odious debt dan illegitimate debt – telah diterapkan secara luas di dunia oleh
gerakan Ekumenikal Jubilee dan gerakan lingkungan hidup global dengan mempertanyakan
keadilan dari utang yang dibebankan pada negara Dunia Ketiga. Sejak tahun 1980an, gerakan
global ini berkampanye untuk penghapusan odious debt dan illegitimate debt oleh pemerintah
kreditor.

Selama Konferensi Tingkat Tinggi G8 di Heiligendamm, Jerman pada 6-7 Juni 2007,
International NGO Forum on Indonesian Development (INFID), sebuah koalisi LSM di
Indonesia dan seluruh dunia telah memusatkan perhatian pada himbauan terhadap Pemerintah
Jerman untuk menghapus utang yang digunakan untuk membeli kapal perang bekas dari bekas
armada angkatan laut Jerman Timur. Kampanye ini memperkuat kampanye Eurodad yang pada
bulan Februari 2007 telah menerbitkan laporannya berjudul Skeletons in the Cupboard:
Illegitimate Debt Claims of the G7, yang menitikberatkkan pada studi kasus illegitimate debt dari
setiap negara anggota G7 – Kanada, Perancis, Jerman, Jepang, Italia, Inggris, dan Amerika
Serikat – kepada negara berkembang.1 Studi kasus yang dipilih untuk Jerman menyangkut
penjualan 39 kapal bekas milik angkatan laut Republik Demokratik Jerman (atau Jerman Timur)
kepada Indonesia pada tahun 1993 yang akan dijelaskan lebih lanjut dalam kertas kerja ini.

MENJUAL RONGSOKAN DENGAN HARGA YANG MAHAL

Runtuhnya dinding Berlin yang kemudian membuka jalan bagi unifikasi Jerman, ironisnya telah
menyisakan lubang yang menganga pada pundi negara Indonesia. Lubang besar tersebut
disebabkan oleh pembelian 39 kapal bekas angkatan laut Jerman Timur oleh Pemerintah
Indonesia yang tidak ditangani oleh TNI AL tapi langsung oleh Menteri Negara untuk Riset dan
Teknologi saat itu yaitu Dr. B.J. (“Rudy”) Habibie, melalui persetujuan langsung dari Presiden
Suharto, meskipun mendapat tentangan yang sengit dari Menteri Keuangan Mar’ie Muhammad.

Setelah tawar-menawar yang alot antara kedua menteri, harga dari 39 kapal bekas angkatan laut
Jerman Timur – terdiri dari 16 Parchim corvettes, 14 Frosch troop landing ship tanks (LSTs) dan
9 penyapu ranjau Condor – ditetapkan sebesar US$ 442,8 juta, yaitu US$ 100 juta lebih tinggi
dari jumlah yang disetujui oleh Menteri Keuangan. Penjualan armada kapal ini didanai dari utang
sebesar US$ 200 juta dari lembaga pembiayaan Pemerintah Jerman, Kreditanstalt fuer
Wiederaufbau atau KfW dengan perusahaan Jerman, Ferrostaal bertindak sebagai perantara.
Transaksi tersebut diasuransikan senilai DM 700 juta atau US$ 466 juta oleh Hermes AG,
lembaga kredit ekspor Jerman (Gaban & Muryadi 1999: 9-10; Kaiser & Kowsky 2007: 5).

Karena Jerman yang telah bersatu hanya diperbolehkan memiliki satu armada, maka armada
bekas Jerman Timur ditelantarkan selama hampir tiga tahun di galangan kapal Peneemunde
Wolgast. Kondisi kapal tua angkatan laut tersebut sangat memprihatinkan, menurut pengamatan
Laksamana TNI AL, Tanto Koeswanto yang datang menginspeksi kapal-kapal tersebut sebelum

                                                            
1 Rusia adalah negara ke delapan yang bergabung dalam kelompok negara maju sehingga ada perubahan dari G7 
menjadi G8 

  ‐ 5 ‐ 
transaksi antara Dr. Habibie dan pemerintah Jerman. Para perwira TNI AL tidak tertarik untuk
membeli armada kapal tersebut. Selain umurnya yang sudah tua, spesifikasi teknis kapal tersebut
juga tidak sesuai dengan kondisi kelautan Indonesia. Bertolak belakang dengan perairan tropis
kepulauan Indonesia yang bersuhu tinggi, kapal Jerman tersebut dirancang untuk berhadapan
dengan perairan Baltik yang dingin. Kapal-kapal tersebut juga dirancang untuk berlayar hanya
selama tiga hingga lima hari yang sesuai untuk perairan Baltik dan tidak sesuai untuk kepulauan
yang terdiri dari 17 ribu pulau (Gaban & Muryadi 1999: 11-12).

Penjualan kapal perang tersebut mengakibatkan perlunya tambahan pinjaman dari Pemerintah
Jerman kepada Pemerinah Indonesia untuk menutupi biaya perbaikan dan pemeliharaan kapal.
Pada tanggal 17 Oktober 2000, kedua pemerintah menandatangani perjanjian utang senilai Euro
28.142.222,00, dan pada 18 Januari 2001, dua perjanjian utang lainnya sebesar Eur 12.319.712
dan Eur 980.414.43 ditandatangani oleh kedua pemerintah. Pada tahun 2001 dan 2003, Hermes
AG memberi tambahan jaminan asuransi yang berkaitan dengan penjualan kapal tersebut.
Menjawab pertanyaan yang diajukan oleh anggota Bundestag atau parlemen dari Fraksi Partai
Sosialis, pemerintah Jerman mengatakan bahwa “pemeriksaaan dan perbaikan terhadap delapan
corvette tersebut menyangkut dua jaminan ekspor (jaminan Herman) dengan total senilai Euro
24,2 juta” (Kaiser & Kowsky 2007).

MEMPERKAYA FERROSTAAL DAN KRONINYA DI INDONESIA

Walaupun manfaat dari armada kapal tersebut bagi TNI AL disangsikan, penjualan kapal perang
bekas Jerman Timur tersebut pastinya telah menambah kekayaan usaha keluarga Dr Habibie
yang melibatkan adik perempuannya yang paling kecil, Sri Rahayu Fatima yang dikenal sebagai
Yayuk Habibie, dua adik laki-laki, Junus Efendi (“Fanny’) Habibie dan Suyatim Abdurachman
(“Timmy”) Habibie, serta putra bungsunya, Thareq Kemal Habibie. Salah satu penerima manfaat
dari transaksi ini adalah PT Citra Drews Indonesia, perusahaan milik Yayuk Habibie dan
suaminya, Muchsin Mochdar. Pada tahun 1999, perusahaan ini memiliki spesialisasi pada
pemeliharaan kapal patroli cepat sesuai dengan standar Jerman, menurut wawancara Yayuk
Habibie dengan majalah mingguan Tempo pada 10 Oktober 1998. Perusahaan ini mendapat
pesanan untuk menyediakan freon dan melakukan pemeliharaan pada sistem pendingin pada 39
kapal tersebut. Penyediaan ini sesuai kontrak dengan galangan kapal milik pemerintah, PT PAL
di Surabaya, yang pada saat itu dibawah pimpinan Dr Habibie (Gaban & Muryadi 1999: 9-10,
15, 18; Aditjondro 2006: 300).

Sementara itu, perlu digarisbawahi bahwa Dr. Habibie dan adik perempuannya Yayuk Habibie,
yang juga pernah belajar di Jerman, tentu bukan merupakan pendatang baru dalam komunitas
bisnis Jerman. Dr. Habibie dan Dr. Klaus von Menges, yang kemudian menjabat sebagai CEO
Ferrostaal, berteman baik di Jerman, ketika Dr. Habibie masih meneruskan pendidikannya di
Aachen, salah satu universitas teknik terbaik di Jerman, dan Dr. Von Menges pada saat itu
berada di Koeln. Ketika Von Menges bertindak sebagai presiden komisaris Ferrostaal, salah satu
perusahaan teknik terpandang di Jerman, Yayuk Habibie diangkat sebagai perwakilan Ferrostaal
di Indonesia, melalui PT Ferrostaal Niaga Utama, suatu usaha patungan antara perusahaan
keluarga Habibie dan Ferrostaal. Yayuk Habibie mengaku bahwa beliau meninggalkan
Ferrostaal antara 1989 dan 2004 untuk mendirikan perusahaannya sendiri yang diberi nama yang
mencurigkan yaitu Ferrindo. Dari kantornya di Wisma Ferrindo di Jalan Warung Buncit Raya,

  ‐ 6 ‐ 
Jakarta, beliau diduga secara informal masih bertindak sebagai perantara untuk Ferrostaal, dan
menerima bayaran dari transaksi Ferrostaal yang sukses di Indonesia (Aditjondro 2006: 299,
320; Der Spiegel, No. 41/1999).

Yayuk Habibie mempunyai bisnis lain yang ada kaitannya dengan Jerman. Beliau memiliki
saham pada cabang Deutsche Morgan Greenfell (DMG) Securities di Jakarta yang telah
mengkoordinasi kredit sindikasi sebesar US$ 380 juta untuk proyek telekomunikasi di Jawa
Barat. DMG juga terlibat dalam koordinasi tender dari enam pesawat Airbus A-330 yang
dirancang oleh Habibie, dan menyebabkan kerugian senilai US$ 8 juta bagi maskapai nasional
Garuda akibat prosedur tender yang salah (Aditjondro 2006: 322-3).

Kemudian menyusul tiga lagi koneksi Jerman dari adik perempuan mantan Presiden tersebut.
Pertama, Yayuk Habibie memegang 70% saham PT Deutsche Real Estate Indonesia (DREI),
pemilik dari gedung Deutsche Bank di Jakarta, melalui perusahaan yang terdaftar di Jerman,
Debeko Immobilien GmBH. Sisa saham PT DREI dikuasai oleh keponakannya Ilham Akbar
Habibie dan Thariq Kemal Habibie, putra Dr Habibie, melalui perusahaan mereka PT Ilthabi
Rekatama. Kedua, melalui perusahaannya PT Citra Harapan Abadi, yang beliau miliki bersama
suami, Yayuk Habibie juga memiliki 12,3% saham PT Guntner Indonesia, dimana kedua
keponakan yang sama juga memegang 12,3% dari saham perusahaan. Cabang Gunter GmBH di
German ini berencana untuk membangun industri manufaktur untuk 2000 unit alat penukar panas
di Pasuruan, Jawa Timur. Tiga, PT Trimitra Upayatama yang dimiliki Yayuk Habibie dan putra
Dr. Habibie mengambil alih PT Euras Buana Leasing Indonesia, usaha patungan antara Deutsche
Bank of Germany dan Bank Buana Indonesia, yang kemudian diganti namanya menjadi PT DB
(Deutsche Bank) Ferrostaal, yang juga menikmati koneksi tingkat tinggi dengan Pemerintah
Jerman dengan Kanselir Helmut Kohl pada saat itu yang menjabat sebagai salah satu anggota
dewan komisaris. Sementara itu, Kohl juga menjaga hubungan dekatnya dengan Presiden
Soeharto dan seringkali nampak pada acara peluncuran usaha patungan Jerman dengan
perusahaan keluarga Soeharto di Jerman dan Indonesia. Contohnya, kunjungan Kohl ke Jakarta
pada saat pengumuman publik tentang Proyek Jakarta Mass Rapid Transit (MRT) pada akhir
bulan Oktober 1996 (Aditjondro 2006: 168).

Ferrostaal yang kini adalah anak perusahaan dari MAN, perusahaan teknik terkemuka Jerman,
berperan penting dalam pembelian 39 kapal perang bekas Jerman Timur dengan bertindak
sebagai perantara untuk pemberian kredit dari KfW bagi transaksi pembelian tersebut. Sebagai
gantinya, perusahaan baja dan perkapalan besar Jerman ini memperoleh dua bonus utama:
dipercaya untuk mengkoordinasi perbaikan seluruh 39 kapal dan juga mengelola pelatihan 1.660
personil TNI AL di Jerman (Gaban & Muryadi 1999: 10).

Namun, keberhasilan Ferrostaal dalam menjembatani pemberian kredit KfW untuk transaksi
tersebut tidak dapat dipisahkan dari peran Dr Habibie dalam mendorong minat bisnis Jerman di
Indonesia melalui adik perempuannya Yayuk Habibie, dan juga melalui hubungan dekat Habibie
dengan keluarga Soeharto. Contohnya, Ferrostaal merupakan pemegang saham yang
berpengaruh pada dua perusahaan milik putra tengah Soeharto yang sangat berorientasi pada
bisnis, Bambang Trihatmodjo, yaitu PT Samudra Petrindo Asia, suatu perusahaan tanker dan PT
Samudra Ferro Engineering. Yang pertama merupakan perusahaan tanker LNG yang telah
membuat kesepakatan dengan Pertamina, perusahaan pertambangan migas milik negara, untuk
pengapalan LNG dari Bontang (Kalimantan Timur) dan Lhokseumawe (Aceh) ke Asia Timur,

  ‐ 7 ‐ 
sementara PT Samudra Ferro Engineering menjalankan operasi pertambangan di Sumatera
Selatan (PDBI 1997, Vol. III, pp. A-1120, A-1126, A-1132; Aditjondro 2006: 299, 320).

Fakta yang terlupakan adalah bahwa sebelum terjadinya penjualan kapal perang bekas Jerman
Timur tersebut, Yayuk Habibie juga telah menjadi perantara dalam penjualan 32 Boeing 737-200
dari Lufthansa kepada Pemerintah Indonesia. Pesawat tua ini telah dioperasikan oleh Lufthansa
selama 20 tahun. Di bawah tekanan Dr. Habibie dan kroninya, Menteri Perhubungan Haryanto
Dhanutirto, maskapai milik negara Garuda dan Merpati masing-masing setuju untuk membeli
tujuh dan tiga pesawat bekas tersebut. Hal ini terjadi setelah Wage Mulyono, presiden direktur
Garuda saat itu dipecat oleh Presiden Soeharto setelah beliau menolak untuk membeli pesawat
usang tersebut (Aditjondro 2006: 299, 321-2).

Berbeda dengan penjualan pesawat Lufthansa, penjualan kapal perang bekas Jerman Timur
tersebut diliput secara luas oleh media di Indonesia, akibat dari kontroversi yang terjadi dalam
kabinet Soeharto. Media nasional ramai memberitakan debat intens antara Menteri Riset dan
Teknologi Habibie yang memihak pada transaksi tersebut dengan Menteri Keuangan Mar’ie
Muhammad yang menentang transaksi pembelian tersebut, didukung oleh TNI AL, politisi, dan
birokrat. Karena membeberkan perselisihan internal pemerintah ini pada puncak dari kekuasaan
diktator Soeharto, tiga majalah mingguan – Tempo, Editor, dan Detik -- terpaksa membayar
dengan harga yang sangat mahal.

Pada 21 Juni 1994, ketiga media mingguan tersebut dibredel oleh Menteri Penerangan Harmoko
sesuai perintah Soeharto sendiri (Elson 2001:275; Thoha 2007: 20-5). Seperti yang diamati oleh
salah satu penulis biografi politik Sooharto, R.E. Elson (idem):

“Apa yang telah menyulut kemarahan Presiden adalah sikap liberal pers yang telah
mengomentari (dan dikatakan memicu, menurut beliau) perselisihan pendapat golongan elit
terhadap pembelian kapal perang, khususnya antara Habibie dan Menteri Keuangan Mar’ie
Muhammad yang secara terus terang membela kebenaran dan tidak bersedia untuk memberi
persetujuannya untuk dana yang diperlukan. Situasi tersebut merupakan pembeberan masalah
internal yang tidak dapat ditolelir oleh Soeharto” [huruf miring, penulis].

Pembreidelan terhadap ketiga majalah mingguan tersebut memompa darah segar yang
menghidupkan gerakan pro-demokrasi di Indonesia. Wartawan dari ketiga media tersebut
menjadi kekuatan penggerak Aliansi Jurnalis Independen, AJI yang menerbitkan hasil
penyelidikan mereka melalui berbagai media bawah tanah. Sementara mantan editor Tempo,
Goenawan Mohammad, dan beberapa mantan jurnalis Tempo membentuk ISAI, Institut Studi
Arus Informasi, yang kemudian mendirikan stasiun radio, toko buku, teater and kegiatan lain
yang didukung oleh lembaga bantuan dari negara Barat seperti USAID dan Ford Foundation.

Skandal pembelian kapal perang bekas Jerman Timur tidak terlupakan begitu saja. Begitu
Soeharto lengser, Tempo mengkaji ulang kasus tersebut dalam edisi 19 Oktober 1998 yang
kemudian diterbitkan ulang dalam Gaban dan Muryadi (1999).

Apa yang tidak banyak diberitakan adalah bahwa Dr. Habibie yang pada saat penjualan kapal
perang Jerman Timur tersebut juga menjabat sebagai Direktur perusahaan kapal milik negara, PT
PAL, barangkali telah mendorong pembelian kapal bekas untuk mencegah perusahaan kapal
tersebut dari kebangkrutan. Selama tahun 1993, kontroversi yang timbul diantara anggota partai

  ‐ 8 ‐ 
oposisi PDI menyangkut perbelanjaan PT PAL tersebut yang berlebihan yang tidak mampu
membayar hutang sebesar Rp 300 milyar pada negara. Sebagian dari perbelanjaan yang
berlebihan tersebut meliputi biaya tiket pesawat Markus Wauran, anggota dewan dari PDI serta
isterinya ke Washington, Virginia, Boston, Washington, London, Hamburg, Paris, dan kembali
ke Jakarta, berangkat dari Jakarta pada tanggal 20 Mei 1993 (Aditjondro 1998: 116).

Perjalanan keliling dunia dari ketua Komisi X DPR yang tugasnya mengawasi kegiatan Menteri
Negara Riset dan Teknologi memperoleh kritikan pedas dari Aberson Marie Sihaloho, anggota
faksi PDI lainnya di parlemen. Kritik beliau tentang perjalanan Wauran telah dipublikasikan oleh
salah satu tabloid mingguan, Detik, yang dibredel setahun kemudian bersama dengan Tempo dan
Editor pada edisi 9-15 Juni 1993. Sayangnya, Sihaloho yang ditarik dari parlemen oleh
partainya, telah disidang atas tuduhan penghinaan terhadap pejabat pemerintah dan akhirnya
dipenjara. Hal ini menunjukkan seberapa jauh Soeharto melindungi menteri favoritnya dan calon
penggantinya di masa mendatang, BJ Habibie (Aditjondro 1998: 117).

Penyelidikan selanjutnya terhadap perjalanan keliling dunia Markus Wauran menunjukkan


alasan kenapa PT PAL atau lebih tepatnya Dr Habibie – membiayai perjalanan tersebut. Selain
karena penolakan keras Markus Wauran pada penyelidikan Komisi X DPR terhadap
penyimpangan keuangan PT PAL, Wauran juga mendukung ambisi energi nuklir Dr Habibie.
Dibawah pengaruhnya, seluruh Komisi X DPR mendukung rencana pemerintah untuk mulai
membangun pembangkit listrik tenaga nuklir, yang ditentang oleh aktivis lingkungan hidup dan
Abdurrahman Wahid, pemimpin Nahdlatul Ulama, organisasi Islam yang beranggotakan 40 juta
orang (Aditjondro 2003: 165-6).

MEGA PROYEK MAMBERAMO2 DAN TUDUHAN DER SPIEGEL

KARENA kedekatannya dengan Habibie dan secara tidak langsung dengan Soeharto, Ferrostaal
telah mencoba ‘untuk menjual’ satu lagi proyek investasi besar yang tidak menguntungkan
secara ekonomis kepada pemerintah Indonesia. Proyek ini adalah proyek raksasa pembangkit
listrik tenaga air di bagian utara kawasan rawa di Papua Barat, yang melibatkan Ferrostaal dan
dua perusahaan raksasa Jerman lainnya, Siemens dan Hochtief. Pada bulan April 1997, sebuah
seminar dan lokakarya resmi tentang mega proyek ini dihadiri oleh perusahaan swasta dari
Jerman, Belanda, Perancis, dan Jepang begitu juga dari Indonesia. Pada bulan Februari 1998,
mantan gubernur Irian Jaya, Barnabas Suebu, yang baru saja dipilih ulang waktu itu
mengumumkan bahwa Jerman, Jepang, dan Australia telah sepakat untuk melakukan investasi
pada proyek tersebut.

Tidak ada pengumuman resmi tentang partisipasi asing tersebut. Watch Indonesia, LSM yang
menelusuri keterlibatan Jerman, meyakini bahwa diskusi bilateral tentang proyek tersebut secara
sengaja dirahasiakan. Sebuah pertemuan Forum Indonesia Jerman (GIF) pada bulan Desember
1997, kelompok yang mewakili kepentingan bisnis pada kedua negara, termasuk lokakarya yang
tidak dipublikasikan tentang rencana pengembangan industri di kawasan Mamberamo, di bagian
                                                            
2 Bagian mengenai Mamberamo berdasarkan laporan dari kelompok pro-pribumi, Do or Die (Issue No. 8),
Watch Indonesia (May 1998), suatu kelompok HAM yang berpusat di Berlin dan memusatkan perhatian pada
Indonesia, serta pengalaman penulis dari kerja lapangannya di daerah aliran sungai Mamberamo pada awal 1980an
(lihat Aditjondro 1983a, 1984b).

  ‐ 9 ‐ 
utara dataran rendah berawa di Papua Barat. Para peserta terdiri dari perwakilan perusahaan
Ferrostaal dan Siemens. Kerangka acuan (ToR) menunjukkan bahwa sejumlah besar studi
kelayakan akan dilakukan melalui pembiayaan dari Jerman, dan sebagian kecil dari Australia
bersama dengan Indonesia. Studi kelayakan awal diperkirakan menelan biaya sekitar 13 juta
DM. Tiga perusahaan Jerman telah menginvestasikan masing-masing 100.000 DM untuk studi
kelayakan tersebut. Kegiatan mereka lebih banyak pada bidang pembangkit tenaga air (Siemens/
Hochtief), industri berat (Ferrostaal) dan infrastruktur (Hochtief).

Mamberamo juga dipromosikan sebagai pusat suplai bahan pangan masa depan untuk
kepentingan nasional dengan rencana satu juta hektar sawah yang akan ditanami padi dimana
irigasi akan dilakukan dari bendungan yang direncanakan. Seperti mega proyek yang kacau di
Kalimantan Tengah, proyek besar ini dikemas sebagai bagian dari strategi untuk memenuhi
kebutuhan swa-sembada beras. Direncanakan kurang lebih 300.000 orang dari Indonesia bagian
barat akan ditransmigrasikan ke daerah ini sebagai tenaga kerja bagi proyek pertanian tersebut.
Desa Kasonaweja, ibu kota dari kecamatan Mamberamo Tengah akan menjadi daerah pelabuhan,
pergudangan, perkantoran, dan pusat perdagangan.

Rencana pengembangan Mamberamo adalah bagian dari upaya percepatan pembangunan bagian
timur Indonesia yang memindahkan ratusan ribu penduduk Indonesia dari Jawa yang
berpenduduk lebih padat agar semakin sulit untuk membuat justifikasi tentang tuntutan
kemerdekaan Papua. Pemerintah Indonesia perlu mengubah kekayaan alam daerah tersebut
menjadi suatu kekuatan agar dapat bertahan di masa-masa mendatang. Tiga puluh empat lokasi
potensial untuk membendung sungai ditemukan di Mamberamo dan anak-anak sungainya. Dua
dari lokasi ini, yang terletak di Mamberamo sendiri, diidentifikasi untuk studi lanjut. Kedua
lokasi tersebut dinamakan Mamberamo I (diperkirakan akan menghasilkan listrik 5700 MW) dan
Mamberamo II (933 MW). Ibukota Kecamatan Mamberamo Tengah adalah desa Kasonaweja
yang terletak 135 km dari mulut sungai Mamberamo. Ada rencana untuk membangun pelabuhan
kapal berikut pergudangan, perkantoran dan pusat perdagangan di daerah tersebut. Daerah
pegunungan ini diyakini kaya akan bahan tambang termasuk emas, tembaga, bauksit, dan nikel.
Pembangunan pembangkit listrik tenaga air untuk peleburan membuat pertambangan nikel di
daerah lain memungkinkan.

Laporan dari daerah menyatakan bahwa proses pembebasan tanah telah dimulai pada awal tahun
1998 dengan melakukan suap, ancaman, dan tipu muslihat terhadap penduduk lokal. Habibie,
presiden pada saat itu, seharusnya mengumumkan proyek ini pada bulan Agustus 1998. Seluruh
proyek diselimuti kerahasiaan. Informasi tentang siapa yang terlibat dalam proyek sangat sulit
didapat meskipun seorang perwakilan dari Do or Die yang mengunjungi daerah tersebut hampir
setahun sebelumnya mengatakan bahwa beberapa pekerjaan konstruksi telah dimulai,
mendahului perijinan dan persetujuan yang diperlukan.

Pada tahun 1997, gubernur Papua Barat mengatakan pemerintah propinsi akan memobilisasi
dukungan penduduk lokal bagi proyek tersebut. Namun, mayoritas masyarakat tidak diberi
informasi apalagi diajak konsultasi tentang rencana mega proyek ini. Perwakilan masyarakat
setempat mendatangi Konferensi PBB Masyarakat Pribumi di Jenewa pada bulan Juli 1998, tapi
tidak diijinkan untuk ikut berbicara pada forum tersebut oleh panitia pelaksana.

Enam ribu orang yang hidup di sekitar daerah sungai akan dipindahkan dari tempat tinggal
mereka di wilayah hutan ke kota yang baru dimana mereka kemudian terpuruk dalam

  ‐ 10 ‐ 
kemelaratan, kecanduan minuman beralkohol dan prostitusi, keadaan yang tidak terhindarkan
dari relokasi paksa seperti itu. Di wilayah yang akan menjadi kawasan industri ini, bibit akan
terbentuknya suatu daerah perkotaan kumuh telah ditanam; pemukiman bagi sekitar 3.000 orang
telah dibangun berdekatan dengan mulut sungai Mamberamo.

Menurut angka resmi pemerintah Indonesia, sekitar 7.381 orang tinggal di daerah ini pada tahun
1998. Mereka menjalani kehidupan semi-nomaden dengan berburu, menangkap ikan, berkebun
dan memanen sagu. Masyarakat setempat terdiri dari suku adat Namunaweja, Bauzi, Dani,
Manau, Kawera dan Anggreso. Peredaran uang di daerah tersebut sangat terbatas dan hanya
terdapat sedikit bangunan sekolah. Keterbatasan peredaran uang ini menyulitkan penduduk
setempat untuk dapat bepergian ke kota Sarmi atau Jayapura untuk memperoleh pendidikan yang
lebih tinggi. Perdagangan buaya diakukan antara penduduk lokal dan tentara atau dengan
pedagang dari pulau lain. Gereja Kristen Indonesia di Tanah Papua dan RBMU, suatu asosiasi
misionaris asing aktif terlibat di beberapa kecamatan di daerah tersebut. Perahu nelayan dari
bagian lain Indonesia merambah ke wilayah penangkapan ikan di daerah ini, merusak ekosistem
dan mengancam sumberdaya masyarakat setempat.

Namun, ketika B.J. Habibie digantikan oleh Abdurrahman Wahid sebagai presiden Indonesia,
mega proyek tersebut dikesampingkan. Tidak ada berita nasional atau internasional yang penting
yang muncul dari daerah ini. Berita yang mencuat kemudian datang dari Der Spiegel, majalah
berita mingguan Jerman mengenai tuduhan atas penyuapan yang dilakukan oleh Ferrostaal
terhadap Habibie semasa masa jabatannya sebagai presiden. Pada edisi ke-41 pada tahun 1999,
majalah bisnis mingguan Jerman ini membeberkan dugaan penyuapan oleh Ferrostaal sebesar
DM 200.000, kepada Dr B.J. Habibie. Menurut dokumen yang diperoleh oleh Der Spiegel, dana
tersebut disimpan di wilayah tax heaven (negarbas pajak) di Lichtenstein dan pada rekening bank
Habibie di Deutsche Bank cabang Hamburg. Selain itu, Rahadi Ramelan yang diangkat sebagai
Menteri Perdagangan dan Industri sewaktu pemerintahan Habibie, juga menerima transfer
deposito DM 200.000 pada rekening banknya dari CEO Ferrostaal, Klaus von Menges.

Penyuapan terhadap Habibie dan Rahadi Ramelan ini bertujuan untuk menjamin bahwa
Pemerintah Indonesian akan terus bertransaksi dengan Ferrostaal dan perusahaan Jerman lainnya
dalam rangka memperluas pabrik baja milik negara PT Krakatau Steel, yang sebelumnya
ditangani oleh Ferrostaal, Klockner dan Siemens. Pada saat terjadi penyuapan tersebut, Habibie
menjabat sebagai Menteri Negara Riset dan Teknologi, dan Rahadi Ramelan merupakan teman
baiknya.

Dengan mengkaji setumpuk dokumen, Der Spiegel menemukan pada 20 Maret 1991 bahwa
Ferrostaal telah mengirim DM 900.000 kepada Grammont, suatu lembaga yang berpusat di
Lichtenstein yang berfungsi sebagai tempat pencucian uang dengan pesanan khusus untuk
memindahkan dana ke beberapa rekening lain. Pada 10 Februari 1993, Dr. Menges
menginstruksikan lembaga tersebut untuk memindahkan DM 200.000 ke rekening B. Habibie
No. 12 04 700 pada Deutsche Bank cabang Hamburg. Dokumen lain menunjukkan bahwa
Menges juga memerintahkan transfer DM 200.000 ke rekening Rahadi Ramelan No. 25 90 693-4
di Deutshen Bank Asia di Singapura pada 23 Januari 1991.

Berhadapan dengan pertanyaan dari Der Spiegel, juru bicara Ferrostaal dan juru bicara Presiden
Habibie saat itu, Dewi Fortuna Anwar menolak memberi komentar. Begitu juga Menteri
Ekonomi dan Industri, Rahadi Ramelan. Seolah-olah tidak ada yang terjadi, CEO Ferrostaal, Dr

  ‐ 11 ‐ 
Von Menges menghadiri pameran dagang Technogerma di Jakarta yang mempromosikan
investasi Jerman di Indonesia.

Namun, untuk masyarakat Jerman dan warga Indonesia yang berpendidikan tinggi dan yang
mempunyai akses terhadap informasi, berita utama Der Spiegel merupakan indikasi bagaimana
Habibie, kerabat dan kroninya telah mengambil manfaat dari masa jabatan Habibie selama 2
dekade sebagai Menteri Negara Riset dan Teknologi, yang juga memimpin Badan Koordinasi
Industri Strategis yang menghasilkan pesawat, kapal dan persenjataan (lihat Aditjondro 2006:
297-302).

MEMPERKAYA YANG KAYA DAN SEMAKIN MEMISKINKAN YANG MISKIN

Jika kita kembali pada pembelian 39 kapal perang bekas Jerman Timur, apakah status terkini dari
armada kapal yang sangat mahal harganya ini? Tentunya tidak semua kapal tersebut saat ini
dalam kondisi layak berlayar. Keenambelas Parchim corvette dimana nama Jermannya telah
dirubah menjadi nama pahlawan Indonesia, telah digabungkan ke dalam Armada Timur dan
Barat TNI AL. Kapal jenis corvette ini semula direncanakan untuk digunakan sebagai kapal
patroli untuk menangkal penangkapan ikan ilegal serta para perompak yang beroperasi di
perairan Indonesia, sementara bekas kapal tipe LST hanya dimanfaatkan untuk mengangkut
transmigran dan beras. Beberapa kapal diparkir di dermaga karena mesin telah dibongkar dan
dibawa ke Ukraina, Rusia untuk perbaikan besar-besaran. Sementara itu, sebagian besar dari jasa
perawatan kapal tersebut masih ditangani oleh bisnis keluarga Dr. Habibie yang melibatkan
Yayuk Habibie dan Fanny Habibie, di bawah bendera Ferrostaal (Gaban & Muryadi 1999: 4-5,
15; Thoha 2007: 411-2).

Tentunya manfaat dari kapal perang Jerman Timur tersebut jauh dibawah nilai belinya. Menurut
penyelidikan INFID, hanya 14 kapal yang masih terdaftar sebagai alat utama sistem senjata
dalam pertahanan negara, sementara yang lainnya – 25 kapal – dapat dinyatakan sebagai besi
rongsokan. Meskipun demikian, bertentangan dengan perjanjian antara Kementerian Pertahanan
Jerman dan Indonesia dimana “pembeli” (Pemerintah Indonesia) akan menggunakan kapal
tersebut “hanya untuk perlindungan daerah pesisir, penjagaan rute kelautan dan memerangi
penyelundupan”, bekas armada Jerman Timur tersebut telah dimanfaatkan untuk menindas
oposisi internal terhadap pemerintah Indonesia pada kejadian berikut ini:

• Pada musim panas tahun 1999, kapal pendarat bekas Jerman Timur telah digunakan
dalam pembantaian massal yang berlangsung di Timor Leste oleh milisi yang didukung
oleh tentara Indonesia;

• Pada bulan Januari 2000, empat kapal perang bekas Jerman Timur ikut ambil bagian
dalam blokade laut di kepulauan Maluku. Sebagian tentara Indonesia bekerjasama secara
erat dengan kelompok milisi dari kedua belah pihak dan blokade TNI AL telah
menyebabkan ratusan ribu orang terusir dari kampung mereka;

• Pada bulan Maret 2000, sebuah kapal pendarat bekas Jerman Timur mengangkut tentara
dari batalyon infanteri 515 Kostrad dan Kopassus ke pulau lepas pantai di Biak, Papua
Barat. Kapal yang sama juga telah mendaratkan pasukan di pulau tersebut pada bulan Juli

  ‐ 12 ‐ 
1998 dimana pada 6 Juli 1998, sedikitnya 8 orang tewas dan 37 lainnya mengalami
cedera dalam membungkam demonstrasi yang dilakukan oleh warga sipil yang tidak
bersenjata;

• Pada bulan Mei 2003, kapal perang bekas Jerman Timur yang lain membawa pasukan
dan tank militer ke kawasan pelabuhan di Lhokseumawe, propinsi Aceh. Dalam serangan
tersebut, pasukan tentara membunuh 10 warga desa termasuk seorang anak laki-laki
berumur 12 tahun (Kaiser & Kowsky 2007).

  ‐ 13 ‐ 
KESIMPULAN

Dua kesimpulan utama dapat diambil dari studi kasus ini mengenai penjualan dari separuh
armada kapal bekas asal Jerman Timur kepada Indonesia. Pertama, seluruh pinjaman Jerman
kepada Indonesia yang berkaitan dengan penjualan ini, termasuk utang ‘pasca penjualan’ untuk
perbaikan dan pemeliharaan kapal bekas tersebut, jelas memenuhi prinsip Sack tentang odious
debt. Utang tidak digunakan untuk kebutuhan dan kepentingan Negara yang nampak pada
keengganan TNI AL untuk membeli kapal bekas tersebut dan sikap oposisi yang berani
ditunjukkan oleh Menteri Keuangan, Mar’ie Muhammad. Selain itu, walaupun tidak dinyatakan
secara eksplisit, utang lebih digunakan untuk kepentingan perusahaan besar Jerman, Ferrostaal,
perusahaan kapal milik negara, PT PAL dan bisnis yang dimiliki oleh kerabat Menteri Negara
Riset dan Teknologi saat itu, Dr. B .J. Habibie yang telah menggunakan PT PAL dan perusahaan
negara lainnya dibawah mandat Dr Habibie sebagai sapi perahan. Bisnis keluarga Habibie yang
terlibat dalam pemeliharaan dan perbaikan kapal Jerman beroperasi di bawah bendera Ferrostaal.
Fakta bahwa majalah mingguan yang mengungkapkan pertentangan Menteri Keuangan terhadap
transaksi tersebut, yaitu Tempo, Editor dan Detik, juga telah dilarang oleh Menteri Penerangan,
atas permintaan presiden, semakin membuktikan bahwa transaksi tersebut memihak pada
kepentingan pribadi dibanding kepentingan Negara, dimana kepentingan pribadi Habibie
dilindungi oleh presiden.

Sehingga, setelah Pemerintah Jerman melakukan tindakan permusuhan terhadap rakyat dan
Negara Indonesia, maka seluruh utang yang berkaitan dengan penjualan kapal tersebut
seharusnya dihapus oleh Pemerintah Jerman saat ini dan berapapun jumlah utang yang telah
dibayar oleh Pemerintah Indonesia harus dikembalikan kepada Indonesia.

Kedua, studi kasus menunjukkan bahwa odious debt mempunyai efek ganda yang bertentangan:
utang tersebut mensubsidi pejabat Jerman dan Indonesia yang kaya, sementara semakin
menyengsarakan rakyat Indonesia yang harus membayar utang yang telah dilakukan oleh
pemerintah Indonesia terhadap pemerintah Jerman.

Dalam kasus yang tercela ini, Pemerintah Jerman telah memanfaatkan hubungan erat Kanselir
Helmut Kohl dengan mantan Presiden Soeharto, serta hubungan dekat Menteri Riset dan
Teknologi Dr. Habibie dengan perusahaan transnasional Jerman, Ferrostaal untuk melemparkan
kapal bekas Jerman Timur ke Pemerintah Indonesia. Baik TNI AL maupun rakyat Indonesia
tidak menikmati manfaat dari transaksi tersebut, meskipun seluruh warga Indonesia masih
terbebani oleh utang dan pembayaran bunganya. Satu-satunya pihak yang diuntungkan dari
transaksi ini adalah Ferrostaal dan bisnis keluarga Dr. Habibie.

  ‐ 14 ‐ 
DAFTAR PUSTAKA

Adams, Patricia (2004). “Iraq’s Odious Debts.” Policy Analysis, No. 526, September 28, pp.

Aditjondro, George Junus (1983a). Pengembangan Masyarakat Manusia dan Buaya di


Mamberamo Hulu, Irian Jaya. Abepura: Irian Jaya Development Information Service
Center (IJ-DISC).

---------------- (1983b). Manusia Rawa-rawa Mamberamo Hulu, Setelah Bonanza Buaya.


Abepura: IJ-DISC.

---------------- (1998). Dari Soeharto ke Habibie: Guru Kencing Berdiri, Murid Kencing Berlari:
Kedua Puncak Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme Rezim Orde Baru. Jakarta: Masyarakat
Indonesia untuk Kemanusiaan (MIK) & Pijar Indonesia.

---------------- (2003). Korban-korban Pembangunan: Tilikan terhadap Beberapa Kasus


Perusakan Lingkungan di Tanah Air. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

---------------- (2006). Korupsi Kepresidenan: Reproduksi Oligarki Berkaki Tiga: Istana, Tangsi,
dan Partai Penguasa. Yogyakarta: LKiS.

CIC (1996). Indonesian Financial Institution Directory 1995-1996. Yakarta: PT Capricorn


Indonesia Consult Inc.

Elson, R. E. (2001). Suharto: A Political Biography. Cambridge, UK: Cambridge University


Press.

Eurodad (2006). Norway Makes Ground-breaking Decisión to Cancel Illegitimate Debt.

------------ (2007). Skeletons in the Cupboard: Illegitimate Debt Claims of the G7.

Gaban, Farid & Wahyu Muryadi (1999). Dari Skandal ke Skandal: Kumpulan tulisan rubrik
Investigasi Majalah Berita Mingguan TEMPO. Jakarta: MBM TEMPO.

Hanlon, Joseph (2002). Defining Illegitimate Debt and Linking its Cancelation to Economic
Justice. Oslo: Norwegian Church Aid.

Kaiser, Juergen & Hartmut Kowsky (2007). “Skeletons in the Cupboard: Germany’s Illegitimate
Debt Claims.” In Eurodad, op. cit., pp. 5-8.

PDBI (1997) (1997). Conglomeration Indonesia. Vol. I, II, III. Jakarta: Pusat Data Business
Indonesia (PDBI).

Thoha, M. Robbani (2007). Tersesat Karena Petunjuk Presiden. Klaten: Gardu Baca Indonesia.

Wibisono, Thomas (n.d.). Peta Bisnis Keluarga Besar Habibie. Jakarta: Pusat Data Business
Indonesia (PDBI).

  ‐ 15 ‐ 
MENGENAI PENULIS:

Dr. George Junus Aditjondro adalah Peneliti independen; Konsultan Penelitian dan Penerbitan
dari Yayasan Tanah Merdeka, Palu; Dosen Luar Biasa di Program Pascasarjana Universitas
Sanata Dharma di Yogyakarta; dan pelatih Metode Penelitian untuk aktivis LSM. Penelitian ini
didanai sepenuhnya oleh International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) pada
bulan Februari – April 2007.

Curriculum Vitae

Nama : George Junus Aditjondro


Tempat & Tgl Lahir : Pekalongan, Jawa Tengah, Indonesia, 27 Mei 1946.
Alamat : Gang Bakung No. 18, Deresan CT X, Jalan Gejayan,
Yogyakarta, Indonesia
E-mail : georgejunusaditjondro@gmail.com
HP : (+62) (813) 9254 1118.
Kewarganegaraan : Indonesia
Jenis Kelamin : Laki-laki
Pusat Kegiatan : Yogyakarta, Indonesia

Jabatan Sekarang: Dosen Luar Biasa pada Studi Agama dan Budaya Program Pascasarjana,
Universitas Sanata Darma di Yogyakarta,

Konsultan dan Instruktur Lokakarya Metode Penelitian untuk LSM.

Latarbelakang pendidikan:

20 Januari 1993: Doktor Filsafat (Ph.D.), Universitas Cornell, Ithaca, N.Y.; tesis tentang
pendidikan kebijakan publik yang berkaitan dengan dampak sosial dan lingkungan dari
bendungan serbaguna Kedungombo di Jawa Tengah.

1991: Master of Science, Universitas Cornell, Ithaca, N.Y.; tesis tentang pembelajaran organisasi
dari pengurus dan staf Yayasan Pengembangan Masyarakat Desa Irian Jaya atau YPMD-Irja.

Bahasa: Indonesia (bahasa ibu)


Inggris (lancar)
Belanda (lancar)

Pengalaman Kerja:

1. Sejak Semester I 2007, mengajar tentang Gerakan Marxisme dan Sosial pada Pusat Studi
Pancasila, Universitas Gadjah Mada di Yogyakarta, Indonesia.

2. Agustus – Desember 2006, melakukan penelitian tentang ruang demokratis di Timor


Leste (Timor Timur) dan Indonesia, untuk Southeast Asia Committee for Advocacy
(SEACA) di Manila.

  ‐ 16 ‐ 
3. Sejak Semester II 2005, mengajar Marxisme, Gerakan Sosial Baru dan Metode Penelitian
pada Program Pascasarjana, Universitas Sanata Dharma di Yogyakarta, Indonesia.

4. Sejak November 2002: Konsultan Penelitian & Penerbitan dari Yayasan Tanah Merdeka
di Palu, Sulawesi Tengah, Indonesia.

5. 1994-2002: Dosen pada Universtas Murdoch di Perth, Australia bagian Barat, dan
Universitas Newcastle, NSW, Australia.

6. 1989-1993: Dosen pada Program Pascasarjana untuk Studi Pembangunan, Universitas


Kristen Satya Wacana di Salatiga, Jawa Tengah, Indonesia,

7. 1981-1989: Pekerja pembangunan masyarakat dengan INDHHRA (Sekretariat Bina


Desa) di Jakarta; WALHI di Jakarta dan Jayapura, dan Yayasan Pengembangan
Masyarakat Desa Irian Jaya (YPMD-Papua, Irian Jaya) di Jayapura, Papua Barat.

8. 1971-1979: Jurnalis untuk majalah mingguan TEMPO di Jakarta.

Karya yang telah diterbitkan:

Ratusan buku, bab, pendahuluan, prolog dan epilog tentang Timor Timur, Papua Barat, Aceh,
Sumatera Utara, Maluku, Sulawesi, Kalimantan; masalah lingkungan hidup terutama dampak
pertambangan dan proyek infrastruktur besar terhadap lingkungan hidup; gerakan sosial baru;
dan korupsi kepresidenan di Indonesia sejak pemerintahan Soeharto, telah diterbitkan di
Indonesia dan luar negeri.

Buku yang terbaru: Korupsi Kepresidenan: Reproduksi Oligarki Berkaki Tiga: Istana, Tangsi
dan Partai Penguasa, Yogyakarta: LKiS, 500 halaman, diluncurkan pada 24 Mei 2006.

  ‐ 17 ‐ 
Address: Jalan Mampang Prapatan XI No.23 – Jakarta 12790 – Indonesia
Phone (6221) 79196721, 79196722, Fax (6221) 7941577
Email: infid@infid.org,www.infid.org

You might also like