You are on page 1of 23

MENEBAR DANA MENUAI KEMISKINAN

PPK (Program Pengembangan Kecamatan),


Program Pengentasan Kemiskinan Bank Dunia
di Sulawesi Tengah

Tim Riset PPK :


Dahniar
Danel Lasimpo
Working Paper No.2, 2008

NGO in Special Consultative Status with the Economic and Social Council of the United Nations
MENEBAR DANA MENUAI KEMISKINAN

PPK (Program Pengembangan Kecamatan),


Program Pengentasan Kemiskinan Bank Dunia
di Sulawesi Tengah

Tim Riset PPK :


Dahniar
Danel Lasimpo

Working Paper No.2, 2008


Daftar Isi

Daftar Singkatan

Ucapan Terima Kasih i

Kata Pengantar ii

Pendahuluan 1

Di Balik Kondisi Sesungguhnya 2

Metodologi Penelitian 2

Temuan Hasil Penelitian 4

- Program 4

- Pemerintah Dan Pengelola PPK 8

- Penerima Manfaat 11

Kesimpulan 13

Rekomendasi 14

Bibliography 15
DAFTAR SINGKATAN

APBD : Anggaran Pendapatan Belanja Daerah


APBN : Anggaran Pendapatan Belanja Negara
BPMD : Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Daerah
FGD : Focus Group Discussion
FK : Fasilitator Kecamatan
KM : Konsultan Manajemen
KUT : Kridit Usaha Tani
MAD : Musyawarah Antar Desa
PAD : Pendapatan Asli Daerah
PKK : Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga
PNPM Mandiri Pedesaan : Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri
Pedesaan
PNPM : Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat
PPK : Program Pengembangan Kecamatan
PTO : Petunjuk Teknik Operasional
PTPN : PT Perkebunan Nusantara
Puskesmas : Pusat Kesehatan Masyarakat
SKPD : Satuan Kerja Perangkat Daerah
SPP : Simpan Pinjam Perempuan
TPK : Tim Pengelola Kegiatan
UEP : Usaha Ekonomi Produktif
UPK : Unit Pengelola Kegiatan
YTM : Yayasan Tanah Merdeka
UCAPAN TERIMA KASIH
Penelitian singkat di Sulawesi Tengah ini hanya dimungkinkan, berkat dukungan kawan-
kawan dari Perhimpunan Bantuan Hukum Bantaya, Yayasan Tanah Merdeka (YTM) dan
Muhammad Masykur (Perhimpunan Bantuan Hukum Rakyat).

Penelitian ini tidak akan rampung tanpa supervisi dari DR. George Junus Aditjondro.

Palu , Juni 2007.

Tim Riset PPK untuk INFID:

1. Dahniar
2. Danel Lasimpo

-i-
KATA PENGANTAR

Penelitian tentang Program Pengembangan Kecamatan (Kecamatan Development Program) yang


dibiayai oleh utang dari Bank Dunia ini merupakan satu dari tiga penelitian INFID atas
proyek-proyek yang dibiayai oleh Bank Dunia baik melalui utang maupun melalui dana hibah
dari berbagai donor melalui manajemen Bank Dunia. Penelitian-penelitian ini dilakukan
untuk menelusuri manfaat dari proyek-proyek yang dibiayai utang dan hibah luar negeri yang
berpengaruh pada kebijakan dan program pembangunan di Indonesia. Pengaruh itu bisa
secara langsung pada sector yang dilaksanakan dengan dana utang dan hibah luar negeri
tersebut, atau pun pengaruh pada kebijakan yang tidak ada hubungannya dengan sector yang
dibiayai oleh utang atau hibah luar negeri tersebut.

PPK, atau yang disebut juga oleh Bank Dunia sebagai Community Driven Program, sering
disanjung oleh Bank Dunia sebagai program yang berhasil dan pantas direplikasi ke Negara
lain. Program ini sudah berlangsung sekitar 7 tahun, yang merupakan bagian dari program
besar pengentasan Kemiskinan. Jika program ini berhasil, mengapa tingkat Kemiskinan,
bahkan di wilayah di mana PPK ini diimplementasikan, masih tinggi? Mengapa masih ada
busung lapar di daerah di mana PPK ini diimplementasikan? Mengapa kekerasan yang dipicu
Kemiskinan masih terjadi di daerah yang PPKnya dikatakan berhasil?

Banyak lagi pertanyaan yang bisa diajukan untuk melihat efektivitas dari Program yang
sebagian besar dibiayai oleh utang Bank Dunia ini. Secara sepintas, PPK ini merupakan salah
satu bukti dari apa yang telah diungkapkan oleh BAPPENAS dalam penelitian tahun 2004,
yang mengatakan bahwa utang luar negeri tidak hanya dipakai untuk kepentingan
pembangunan. Utang luar negeri dimanfaatkan untuk profit-seeking activities dari dua kelompok:
pejabat pemerintah yang mengelola dan mengimplementasikan proyek atau program yang
dibiayai utang, dan staff lembaga-lembaga kreditor. Bagi pejabat pemerintah di Pusat, proyek
utang yang diimplementasikan oleh departemennya akan menambah anggaran
departemennya, karena alokasi APBN untuk matching fund akan bertambah. Alokasi APBN
yang bertambah berarti tambahan pendapatan bagi para pejabat tersebut.

Di pihak lain utang luar negeri juga memberi rasa aman untuk pekerjaan (job security) bagi para
staff yang bekerja di dalam lembaga-lembaga kreditor tersebut, dalam hal ini Bank Dunia
untuk PPK. Apakah program atau proyek itu berhasil memecahkan masalah-masalah yang
tertuang di dalam proposal program atau proyek, itu bukan urusan para pejabat dan staff
lembaga kreditor ini. Yang penting bagi mereka adalah tambahan pendapatan, dan keamanan
untuk pekerjaannya terjamin.

PPK yang sudah berlangsung lama ini bisa menjadi contoh nyata dari fakta bahwa utang
bukan dimaksudkan untuk memecahkan masalah Kemiskinan tetapi lebih untuk memenuhi
hasrat mencari keuntungan (profit seeking drives) dari para staff Bank Dunia yang menginginkan
keamanan pekerjaannya, dan dari para pejabat di departemen pemerintah yang menginginkan
tambahan pendapatan.

Temuan-temuan dalam penelitian ini menunjukkan dampak negative lebih luas dari program
yang dibiayai oleh utang luar negeri. Bukannya Kemiskinan yang diberantas, tetapi justru yang

- ii -
terjadi adalah sumber-sumber Kemiskinan baru yang tercipta. Lebih dari itu PPK ini juga
membangun paradigma baru dalam wacana pengentasan Kemiskinan, yakni bahwa jika orang
miskin mau keluar dari kemiskinannya, maka mereka sendirilah yang bertanggungjawab
dalam arti bahwa orang miskin itu sendiri yang akan membayar kembali utang yang dipakai
untuk program pengentasan Kemiskinan tersebut. Dengan kata lain PPK ini hanya menunda
penderitaan Kemiskinan untuk sesaat di masa sekarang ke masa depan, ketika orang miskin
harus membayar kembali utang-utangnya. Karena itu orang miskin tidak akan keluar dari
lingkaran kemiskinannya, dan akan terus berjuang di dalam lingkaran Kemiskinan dimana si
miskin ikut dilibatkan untuk menciptakannya.

Temuan yang lain yang penting dari penelitian ini adalah bahwa PPK ini membawa
masyarakat miskin kepada paradigma pembangunan yang dikendalikan oleh pasar. Ketika
rakyat miskin di pedesaan yang tertinggal ini disibukkan oleh kepanitiaan implementasi
proyek PPK, pencaplokan atas sumberdaya alam yang merupakan warisan nenek moyang
mereka berlangsung terus. Di satu sisi mereka harus dibebani oleh pembayaran kredit/utang,
di pihak lain hak-hak mereka atas sumberaya alam tergerus oleh masuknya investor-investor
luar, yang juga difasilitasi oleh program-program lain yang dibiayai antara lain oleh Bank
Dunia juga.

PPK merupakan salah satu contoh utama tragedi utang luar negeri (the tragedy of foreign
debt). Di satu sisi pembangunan untuk mengentaskan Kemiskinan itu bukan merupakan
tujuan yang sebenarnya dari Program ini, karena yang utama adalah profit-seeking activities dari
staff lembaga kreditor dan para pejabat pemerintah, yang kelak semuanya akan dibayar oleh
rakyat miskin ini. Di sisi lain, rakyat miskin dibuai dengan partisipasi semu di dalam
implementasi proyek sementara lalai melindungi harta kekayaan mereka, yakni hak-hak atas
sumberdaya alam yang seharusnya menjadi tabungan utama untuk generasi masa depan
mereka.

Jakarta, Juni 2008

Don Kladius Marut


Executive Director

- iii -
Program Pengentasan Kemiskinan Bank Dunia di Sulawesi Tengah

MENEBAR DANA MENUAI KEMISKINAN:

PPK (Program Pengembangan Kecamatan), Program


Pengentasan Kemiskinan Bank Dunia di Sulawesi Tengah
--------------------------------------------------------------------------------------

Dahniar & Danel Lasimpo

PENDAHULUAN

Program Pengembangan Kecamatan (PPK) yang digulirkan pemerintah dalam mengatasi


berbagai persoalan yang terjadi di masyarakat termasuk masalah fundamental rakyat, yakni
kemiskinan. Program ini telah berjalan sejak 1998-2006. Memasuki 2007, berganti nama
menjadi Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM PPK) dan Program Nasional
Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Pedesaan (PNPM Mandiri Pedesaan) 2008. PNPM
Mandiri Pedesaan bertujuan meningkatkan kesejahteraan dan kesempatan kerja masyarakat
miskin di pedesaan dengan mendorong kemandirian dalam pengambilan keputusan dan
pengelolaan pembangunan1.

Selama satu dasawarsa program ini dijalankan--seperti di provinsi lain -- telah menjangkau
hampir seluruh wilayah kecamatan di Provinsi Sulawesi Tengah yang dianggap sebagai
kantong kemiskinan. Setidaknya melalui dokumen yang tersedia terlihat bahwa semangat
utama program ini diorientasikan pada penyelesaian masalah-masalah di daerah-daerah
tertinggal, baik di perkotaan maupun pedesaan yang meliputi aspek pendidikan, kesehatan
dan ekonomi, termasuk di dalamnya pembangunan prasarana dan sarana sosial masyarakat2.

Implementasi program ini didukung dengan sumber dana yang berasal Anggaran Pendapatan
dan Belanja Nasional (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)
dengan cost sharing system3. Masing-masing kecamatan memperoleh bantuan dana dengan
besaran bervariasi sesuai jumlah kategori desa tertinggal yang terdapat dalam wilayah tesebut.
Dana yang diterima mulai dari satu hingga 12 miliar rupiah.

Bagi masyarakat miskin, bantuan seperti itu menjadi 'berkah' di tengah desakan kebutuhan
hidup serta himpitan kemiskinan yang terus melilit. Namun, di saat bersamaan, berkah itu
dapat berubah menjadi beban, khususnya bagi mereka yang berutang karena menggunakan
dana bergulir sebagai modal usaha. Mereka terpaksa memikul beban ini, karena kewajiban
membayar utang serta sanksi moral di antara sesama warga masyarakat.

Sementara itu, di beberapa kasus, melalui usaha pengelolaan bidang pertanian seperti
mengelola jenis-jenis tanaman jangka pendek, hasil produksi tidak memberi perubahan
signifikan terhadap tingkat kesejahteraan mereka. Sebaliknya, demi untuk melunasi utang
yang harus dibayar setiap bulan -- padahal masa panen belum tiba -- mereka terpaksa menjual
tanah miliknya guna melunasi beban hutang. Ibarat bebas dari mulut harimau kemudian
masuk ke dalam mulut buaya. Dalam kasus seperti ini obsesi untuk keluar dari lingkaran
kemiskinan seakan tidak mencapai tujuan sesungguhnya dari program tersebut.

-1-
Program Pengentasan Kemiskinan Bank Dunia di Sulawesi Tengah

DI BALIK KONDISI SESUNGGUHNYA

PPK berjalan seiring dengan usia perjalanan reformasi yang digulirkan sejak 1998 silam.
Program ini dicanangkan semasa eskalasi politik nasional sulit untuk diraba. Satu sisi banyak
fihak mengkuatirkan kembalinya kekuasaan lama karena konsolidasi masyarakat sipil lemah.
Pada sisi lain nasib transisi demokrasi tidak memberi jaminan sebagai gerbong dalam
menjawab berbagai persoalan sosial, politik dan ekonomi sebagai peninggalan kekuasaan
masa lalu.

Kedua situasi di atas, mau atau tidak menjadi kewajiban pemerintah untuk melakukan
langkah protektif terhadap segala sesuatu yang dapat berpotensi memicu munculnya
ketidakpercayaan rakyat. Sebab, pengalaman sebelumnya telah menjadi bukti nyata dan
pengaruh dari eforia gerakan reformasi. Sehingga untuk sementara jalan yang dianggap efektif
dengan menempuh cara-cara yang bersifat ekonomis.

Berbagai paket bantuan digulirkan ke pelosok-pelosok kampung, seperti KUT, PPK dan
sebagainya. KUT terbukti gagal dalam perjalannya, tetapi sebagai langkah darurat, program
itu berhasil meredam muncul gejolak sosial pasca reformasi dan kemarahan rakyat akibat
tidak adanya jaminan kapan situasi krisis multidimensi berakhir.

Sementara itu, PPK dianggap 'berhasil' sebagai program nasional yang digalakkan oleh
pemerintah. Bahkan PPK saat ini menjadi salah satu agenda program pemerintahan SBY-JK.
PPK dianggap tidak hanya berhasil pada tingkat implementasi, tetapi juga sukses dalam
memuluskan berbagai program pemerintah lainnya. Tidak mengherankan jika mendapat
pujian dari Bank Dunia sebagai lembaga “penyantun” sekaligus 'arsitek' keberlanjutan
program serupa.

Jika dipotret, keberhasilan PPK lebih pada kemampuan dalam membangun manejemen
pengelolaan program, di mana sasaran ditujukan pada partisipasi rakyat melalui pelaksanaan
program tersebut. Hal ini terlihat pada pembangunan struktur kelembagaan proyek hingga di
tingkat pelaksana di wilayah desa dan dusun.

Namun, pada tingkat pencapaian dalam kerangka yang lebih mendasar, yakni tercapainya
kesejahteraan masyarakat -- bermakna terpenuhinya kebutuhan dasar masyarakat -- masih
bersifat slogan belaka. Fakta menunjukkan bahwa sejak program ini digulirkan sepuluh tahun
silam, tingkat kemiskinan tidak mengalami perubahan secara signifikan.

Ironisnya, di saat yang hampir bersamaan pergerakan tingkat kemiskinan itu juga berasal dari
kontribusi yang diberikan dengan masuknya berbagai investasi yang bergerak pada ekstrasi
sumberdaya alam, di mana, terjadi pengambilalihan dan perampasan lahan-lahan produksi
milik masyarakat. Selain itu, eksploitasi sumberdaya hutan, maraknya praktek destruktif logging
yang berujung pada pengrusakan lingkungan dan terjadinya krisis air bersih. Akibatnya,
produksi pertanian milik warga menjadi menurun.

METODOLOGI PENELITIAN

Riset ini menggunakan metode semi-grounded multiple case study di mana para peneliti merupakan
instrumen penelitian yang utama, dan bukan kuesioner yang diaplikasikan kepada sejumlah
responden. Metode pengumpulan data yang dipergunakan adalah studi kepustakaan, yang
dituangkan ke dalam metode grafis untuk mengkonsolidasikan informasi yang ada. Metode

-2-
Program Pengentasan Kemiskinan Bank Dunia di Sulawesi Tengah

grafis yang dihasilkan menjadi pedoman untuk pengamatan lapangan dan wawancara
mendalam.

Analisis terhadap data yang terkumpul di lapangan dibantu atau dipertajam dengan
menggunakan berbagai asumsi yang datang dari fihak Bank Dunia atau mereka yang
mendukung PPK, maupun Tim Riset INFID sendiri.

Asumsi-asumsi tersebut adalah sebagai berikut :

1. Asumsi Bank Dunia

• Meningkatkan kesejahteraan masyarakat pedesaan


• Memberdayakan masyarakat
• Memperkuat institusi lokal
• Meningkatkan kinerja Pemerintah Daerah
• Meminimalisasi korupsi di tingkat Pemda
• Penerima manfaat dari program ini adalah masyarakat miskin yang homogen, kecuali
dalam aspek perbedaan jenis kelamin.

1. Asumsi Tim Riset INFID

• Partisipasi dalam pelaksanaan PPK masih bersifat semu ;


• PPK mendorong transfer korupsi ke lapisan bawah
• Mendorong konflik horisontal
• Proyek PPK membuka akses bagi masuknya investasi ke Sulawesi Tengah

Penentuan desa-desa, yang dalam hal ini berfungsi sebagai kasus-kasus yang diteliti,
menggunakan pendekatan 'maksimalisasi perbedaan' (maximizing differences) dengan mencari
sebanyak mungkin kasus - dalam hal ini, desa -- yang berbeda, atau kontras, kategorinya satu
sama lain. Adapun kategori dimaksud, yaitu :

• Kontras antara desa yang terletak dekat dan terjauh dengan pusat pemerintahan;
• Kontras antara desa yang dikategorikan berhasil melaksanakan program dengan desa
yang dianggap gagal;
• Kontras antara komposisi penduduk desa yang didominasi penduduk asli dan desa
yang didominasi pendatang (transmigrasi) atau non-transmigrasi;
• Kontras antara desa yang bergesekan dengan investor besar dan yang tidak
bergesekan dengan investor.

Seluruh hasil pengumpulan data lapangan kemudian diverifikasi, dan sekaligus difalsfikasi,
melalui diskusi kelompok terarah atau focus group discussion (FGD), yang melibatkan sejumlah
akademisi, aktivis ornop, jurnalis, dan pengelola proyek di Sulawesi Tengah. Melalui seluruh
proses pengumpulan data, analisis, dan pengujian itu, diperoleh temuan sebagai berikut.

-3-
Program Pengentasan Kemiskinan Bank Dunia di Sulawesi Tengah

TEMUAN HASIL PENELITIAN

I. PROGRAM

A. PPK tidak mensejahterakan rakyat

Tujuan utama Program Pengembangan Kecamatan adalah untuk mengurangi kemiskinan


yang terjadi akibat krisis moneter dari tahun 1997, dengan sasaran proyek penduduk miskin
yang banyak terdapat di pedesaan. Tetapi kenyataannya, program ini hanya menyentuh
kelompok masyarakat pedesaan yang tergolong mapan secara ekonomis.

Hal tersebut dapat dilihat pada beberapa prinsip yang dianut, di antaranya pertama model
keswadayaan yang dimaksud dalam program ini justru membuat penduduk yang kaya semakin
kaya dan yang miskin semakin miskin. Keswadayaan yang acapkali digadang sebagai bentuk
kemandirian, menutup jalan bagi masyarakat miskin untuk keluar dari himpitan ekonomi.
Sementara pada sisi lain justru membuka keran ekonomi bagi kelompok berduit. Ini ditemui
di Desa-Desa Lembah Mukti dan Talaga di Kecamatan Damsol, Kabupaten Donggala.

Penduduk diminta mengumpulkan sumbangan, baik berupa uang maupun tenaga. Semakin
besar sumbangan yang terkumpul, semakin lebar terbuka peluang untuk mendapatkan
proyek. Demikian juga jumlah pelibatan penduduk yang dapat dilibatkan dalam suatu
proyek. Pola keswadayaan ini hanya dapat dilakukan oleh penduduk yang memiliki
kehidupan ekonomi yang berkecukupan. Seorang petani di Desa Talaga menyebutkan bahwa
dirinya lebih memilih bekerja di kebunnya dari pada menghadiri pertemuan. Pertemuan yang
diadakan untuk membicarakan rencana program itu sendiri, menurutnya cukup menyita
waktu dan belum tentu akan mendapatkan proyek tersebut.

Kedua adalah untuk jenis proyek dana bergulir yakni Usaha Ekonomi Produktif (UEP) dan
Simpan Pinjam Perempuan (SPP), masyarakat disyaratkan harus memberikan jaminan berupa
sertifikat. Persyaratan ini sulit untuk dipenuhi penduduk miskin yang secara nyata tidak
memiliki harta benda. Jika ada harta benda, jumlahnya pun terbatas dan tidak mungkin untuk
dijadikan jaminan.

B. Pengentasan Kemiskinan tidak berarti sekedar bagi-bagi uang melalui UEP dan
SPP

Proyek dana bergulir, selain mengurangi kemiskinan, juga ingin memperkenalkan sistem
ekonomi perbankan kepada rakyat, karena bunga yang harus dikembalikan setiap bulan,
antara 1,5 % (ketentuan PPK) sampai 3 % (sesuai kesepakatan) atau mengikuti suku bunga
bank. Kenyataannya pemberian dana bergulir difokuskan kepada warga masyarakat di
pedesaan yang sudah memiliki usaha, sedangkan warga masyarakat yang tidak memiliki usaha
tidak diberi kesempatan mengelola dana tersebut. Seperti terjadi di Desa Bente (2005) dan
Desa Bungin (2002) di Kecamatan Bungku Tengah, Kabupaten Morowali, untuk
mendapatkan dana bergulir (SPP), ibu-ibu yang dipilih menjadi anggota kelompok oleh
Kepala Desa hanyalah yang sudah memiliki usaha. Penyebab lain dari kemacetan dana
bergulir adalah pengembalian dana dan bunga setiap bulan, karena kebanyakan penerima
dana tersebut adalah petani, yang baru menikmati hasil panen antara empat sampai enam
bulan sekali.

SPP dan UEP pada prakteknya melanggengkan usaha kecil, tetapi dengan maksud agar dapat
mengembalikan pinjaman. Seorang ibu yang pernah menerima modal dari PPK fase II (2003
-4-
Program Pengentasan Kemiskinan Bank Dunia di Sulawesi Tengah

s/d 2005) di Desa Limboro, Kecamatan Banawa Tengah, Kabupaten Donggala, awalnya
sangat berterima kasih, karena telah dibantu mengembangkan kios kelontongnya. Tetapi itu
hanya sesaat, karena usaha yang dikembangkannya tidak mampu memberikan keuntungan,
kecuali untuk membayar hutang.

Seorang fasilitator Desa Limboro menyatakan hal yang sama, bahwa program ini tidak
memberikan perubahan kepada masyarakat. Kebanyakan usaha yang ada tidak berkembang,
karena beberapa faktor, yakni beban pengembalian pinjaman dan kehadiran usaha dadakan
dengan tujuan untuk mendapatkan uang (dana yang digulirkan).

Parahnya, ukuran keberhasilan proyek ini, hanya melihat jumlah pinjaman dan perputaran
dana di masyarakat, tetapi tidak pernah dilakukan verifikasi kepada kelompok masyarakat
penerima dana, seberapa besar manfaat dana tersebut bagi masyarakat. Menurut Konsultan
Manajemen (KM) di Morowali, kecamatan yang dianggap berhasil mengelola dana PPK saat
ini adalah Kecamatan Menui Kepulauan dan beberapa desa di Kecamatan-Kecamatan
Bungku Tengah dan Mori Atas. Hal serupa terjadi di Kecamatan Damsol, Kabupaten
Donggala, yang dianggap berhasil karena anggota kelompoknya berhasil mengembalikan
dana bergulir seratus persen dan meningkatkan jumlah perputaran dana.

Keberhasilan tersebut ternyata menimbulkan beerbagai masalah baru, di antaranya yang


sangat menyedihkan adalah alat produksi mereka harus terjual. Hal ini dijumpai di
Kecamatan Damsol, yang dinilai sangat berhasil di Kabupaten Donggala. Akibat tidak
sanggup membayar pinjaman, kambing milik warga disita. Ironisnya, untuk menampung
kambing-kambing itu, maka di belakang kantor PPK Kecamatan Damsol telah tersedia
kandang khusus untuk penampungan ternak sitaan tersebut. Contoh lain adalah di Desa
Onepute Jaya, Kecamatan Bungku Tengah, Kabupaten Morowali, kelompok usaha pertanian,
dua orang anggota kelompok harus menjual tanah mereka tahun 2006 lalu, untuk
mengembalikan dana bergulir, karena panen mereka gagal.

Selain temuan di atas, kesenjangan sosial antara mereka yang kaya dengan yang miskin, atau
antara pendatang dan penduduk asli, semakin tajam. Ini dikuatkan dengan sejumlah temuan
lapangan sebagai berikut :

• Sosialisasi program di Desa Lembah Mukti tidak dilakukan secara merata pada semua
lapisan masyarakat, sehingga warga Blok 1 mengaku mereka tidak pernah tahu tentang
adanya Simpan Pinjam Perempuan (SPP) dan Usaha Ekonomi Produktif (UEP). Seorang
ibu yang menetap di Blok 1, menerangkan bahwa dirinya juga anggota PKK tetapi tidak
mendapat informasi SPP, sementara anggota lain yang tinggal di Blok 2 dan 3,
mengetahui informasi tersebut dan bahkan menerima bantuan ;
• Warga Lembah Mukti mengeluhkan jika penerima dana adalah mereka yang memiliki
garis kekerabatan ataupun pertemanan dengan Tim Pengelola Kegiatan (TPK) di Desa
dan Unit Pengelolaan Kegiatan (UPK) di Kecamatan, atau yang berasal dari suku yang
sama ;
• Pendataan penduduk miskin dilakukan tidak dengan sungguh-sungguh. Beberapa orang
warga Desa Lembah Mukti menceritakan bahwa mereka tidak pernah didata sebagai
penduduk miskin. Sementara yang lain mengeluh bahwa petugas pendata hanya melihat
kondisi fisik rumah, kemudian menentukan apakah satu keluarga termasuk miskin atau
tidak. Menurut warga, program ini tidak menyentuh masyarakat miskin. Selain itu, PPK
juga sangat tidak adil. Walaupun miskin, warga Dusun I Desa Lembah Mukki masih
dapat mengembalikan dana pinjaman mereka, apabila mendapat kesempatan mengelola
dana bergulir tersebut.
-5-
Program Pengentasan Kemiskinan Bank Dunia di Sulawesi Tengah

C. PPK tidak Partisipatif

Tidak partisipatifnya proses PPK dapat dilihat pada, pertama; rancang bangun (design) proyek
tersebut tidak partisipatif, karena program PPK tersebut diadopsi mentah-mentah dan harus
dilaksanakan sesuai Petunjuk Teknis Operasional PPK yang telah ditetapkan oleh Bank
Dunia. Konsep partisipatif yang menjadi prinsip PPK sangat rancu, jika membaca dokumen
Petunjuk Teknis Operasional yang seolah-olah bagaikan kitab suci pengelola proyek. Setiap
tahapan mulai dari Konsultan Manajemen sampai Tim Pengelola kegiatan harus berdasarkan
buku tersebut

Kedua; rekrutmen Fasilitator Kecamatan, hanya berdasarkan kebutuhan untuk mengisi


kecamatan yang ada di Sulawesi Tengah. Menurut I.S., seorang warga Kelurahan Kolonodale,
Kecamatan Petasia, Kabupaten Morowali, yang lolos seleksi menjadi Fasilitator Kecamatan
[FK] PPK tahun 2002, dalam seleksi FK PPK se Sulawesi Tengah tahun 2002 yang diterima
hanya sekitar 32 orang lokal yang terpilih, walaupun yang dibutuhkan ratusan orang. Itupun
yang lulus seleksi lebih banyak orang luar yang tidak faham budaya setempat. Waktu I.S.
sempat menanyakan masalah rekrutmen FK kepada BPMD (Badan Pemberdayaan
Masyarakat dan Daerah) Sulawesi Tengah, fihak BPMD secara singkat menjelaskan, bahwa
mereka (FK) adalah orang-orang pesanan dari pusat (Bappenas) daftar tunggu dari seleksi FK
sebelumnya.

Selain dua temuan di atas, bentuk kejanggalan konsep partisipatif PPK yang lain dapat dilihat
pada temuan-temuan sebagai berikut :

• Pengelola PPK dari tingkat kabupaten hingga desa yang ada di kedua kabupaten
menyatakan bahwa partisipasi program sudah dimulai sejak awal perencanaan. Bentuk
partisipasi yang dimaksud adalah dengan melihat tingkat keterlibatan anggota masyarakat.
Pengertian itu tertuang dalam Petunjuk Teknik Operasional (PTO) PPK. Tingginya
angka partisipasi akan membuka peluang untuk mendapatkan program, karena semakin
banyak warga yang menghadiri pertemuan, maka semakin besar kemungkinannya.
Pendapat ini ditegaskan oleh Konsultan Teknik PPK Donggala. Bahkan menurutnya,
khusus di Donggala ada sanksi jika dalam suatu pertemuan jumlah warga yang hadir
sedikit. Ia tidak dapat merinci bentuk sanksinya, tetapi menurutnya adanya sanksi itu guna
memacu jumlah partisipasi warga.
• Konsep partisipasi yang diidentikkan dengan angka kehadiran berpengaruh langsung
pada layak tidaknya suatu program. Warga sebuah dusun yang lebih sedikit penduduknya
dibanding dengan dusun lain, tidak dapat meneruskan ide saluran air di tempat mereka ke
tingkat selanjutnya. Hal ini dituturkan oleh seorang penduduk asal Jawa Barat yang
bermukim di Desa Lembah Mukti. Padahak, dusun mereka sangat membutuhkan saluran
air guna mencegah banjir. Tapi karena jumlah masyarakatnya sedikit, maka dusunnya
kalah berkompetisi untuk mendapatkan proyek tersebut dengan dusun lain yang
sebenarnya tidak terlalu membutuhkan saluran air.
• Musyawarah antar desa (MAD) di kecamatan menetapkan ranking desa-desa yang
diprioritaskan untuk mendapatkan PPK, berdasarkan usulan dari desa-desa. Salah satu
kriteria agar usulan desa dapat ditetapkan pada MAD, adalah kemampuan perwakilan
desa mampu berargumentasi dan aktif melakukan lobi terhadap Konsultan Managemen
atau Fasilitator Kecamatan. Sebaliknya, perwakilan desa yang tidak mampu
berargumentasi, semakin tipis harapannya untuk mengelola dana PPK.

-6-
Program Pengentasan Kemiskinan Bank Dunia di Sulawesi Tengah

Kenyataan ini dialami Desa Tontowea, Kecamatan Petasia di Kabupaten Morowali, salah
desa miskin yang sangat membutuhkan pembangunan jalan untuk memudahkan transportasi
ke desa-desa lain, karena di musim hujan sulit dijangkau. Rendahnya tingkat pendidikan
masyarakatnya, berdampak pada kurang mampunya perwakilan mereka berargumentasi untuk
meyakinkan forum MAD. Padahal desa tersebut penghasil coklat dan kopra. Akibat posisi
Desa Tontowea yang terisolasi, warganya sulit menjual hasil bumi mereka.

-7-
Program Pengentasan Kemiskinan Bank Dunia di Sulawesi Tengah

II. PEMERINTAH DAN PENGELOLA PPK

A. Lemahnya sistem kontrol dan koordinasi pemerintah daerah terhadap pengelola


PPK

Walaupun ada Direktorat Jendral BPMD di Departemen Dalam Negeri dan BPMD di
tingkat Provinsi serta Badan Pemberdayaan Masyarakat (BPM) di tingkat Kabupaten, sebagai
pembina program ini, ada kekaburan tolak ukur kinerja Pemkab dan pemerintah kecamatan.
Menurut Daud dari BPM Morowali, fungsi mereka hanya mengunjungi desa-desa pengelola
dana PPK dan mengatakan bahwa pelaksanaan PPK di kabupaten mereka hampir 100%
kembali dananya.

Anehnya, saat ditanya tim riset, tentang indikator yang digunakan oleh BPM melakukan
evaluasi, Daud menjelaskan, bahwa dalam melakukan evaluasi PPK, mereka tidak punya
petunjuk pelaksanaan (juklak) dan petunjuk teknis (juknis). Yang penting infrastruktur dan
dana bergulir (UEP dan SPP) sudah dapat dimanfaatkan masyarakat, tanpa penjelasan lebih
lanjut.

Sangat berbeda dengan pernyataan Toar M. (Bagian Pengawasan di Badan Perencanaan


Pembangunan Daerah) Sulawesi Tengah, sekian banyak program pemberdayaan masyarakat
dalam bentuk utang, yang masuk ke Sulawesi Tengah tidak memberikan konstribusi positif
bagi masyarakat. PPK dan lanjutannya saat ini, yakni PNPM (Program Nasional
Pemberdayaan Masyarakat) tidak berhasil menurunkan jumlah orang miskin, karena data
penduduk miskin mengalami kenaikan dari tahun 2004 s/d 2007, rata-rataa 5,3% dengan
perincian 5,62% perkotaan dan 7,98 % di pedesaan dan diperkirakan tahun 2008 lebih tinggi
lagi kenaikan jumlah penduduk miskin di Sulawesi Tengah.

Di pemerintah pusat, PNPM dikoordinasi oleh Kementerian Daerah Tertinggal dan di


provinsi dan kabupaten langsung dikerjakan oleh Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD).
Tetapi sesuai PP Nomor 39 tahun 2006 tentang Menkanisme Evaluasi dan Pelaporan, fungsi
BAPPEDA hanya bertindak sebagai monitoring dan evaluasi hanya sebatas pada aspek
manajerialnya, bahwa program sudah terlaksana dan digunakan oleh masyarakat. Misalnya,
pengadaan gedung Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) di suatu daerah, yang sudah
dapat dimanfaatkan oleh masyarakat. Seharusnya pengadaan pelayanan kesehatan dibangun,
disesuaikan dengan jumlah penduduk yang di suatu daerah. Pertanyaanya, bagaimana dengan
daerah atau kecamatan yang jumlah penduduknya banyak, sedangkan puskesmas cuma ada
satu. Jadi selain ketidakjelasan monitoring dan evaluasinya, PPK maupun PPNM menjadi
ladang korupsi baru, begitu tutur Toar dari BAPPEDA Sulteng.

Hal yang sama juga diungkapkan Rasno, fasilitator PNPM di Desa One Pute Jaya, di tahun
2008 ada 29 Desa di Kecamatan Bungku Tengah mendapat PNPM sebesar Rp 500 juta, di
luar gaji fasilitator desa sebesar Rp 300,000 untuk dua orang. Dana tersebut akan
diperebutkan oleh 29 desa dalam musyawarah antar desa. Rasno tidak menjamin, dana
tersebut akan bermanfaat bagi masyarakat 29 desa. Menurutnya pengalaman sebelumnya
menunjukkan, hanya orang-orang dekat dengan penguasa di desa, yang memiliki kesempatan
yang lebih besar untuk mendapatkan dana tersebut.

Pada tingkat pelaksanaan proyek, menunjukkan bahwa sistem top down masih berlangsung
melalui intervensi pemerintah kecamatan dan aparat desa dalam realisasi program. Di
Kabupaten Donggala, dalam rangka rehabilitasi Taman Kanak-Kanak di Desa Limboro,
maka dilakukan musyawarah hingga pada akhirnya, dapat membentuk panitia lokal. Setelah
-8-
Program Pengentasan Kemiskinan Bank Dunia di Sulawesi Tengah

panitia telah terbentuk justru diintervensi oleh pemerintah Kecamatan Banawa, sehingga
pengurus desa tidak berfungsi. Alih-alih ingin melakukan pemberdayaan, namun praktek
menunjukkan sebaliknya.

B. PPK mendorong transfer korupsi ke lapisan bawah

Sebaliknya dari peningkatan kinerja pemerintah, yang merupakan tujuan PPK, program,
sebaliknya menyuburkan korupsi. Ini diinformasikan oleh seorang pejabat Pemkab Donggala,
bahwa instansinya (Badan Pemberdayaan Masyarakat) beberapa pejabat sedang diperiksa
Kejaksaan Negeri Donggala menyangkut dana PPK pada tahun 1998 sampai dengan 2006,
yakni sejak tahun 2005 proyek PPK menggunakan dana sharing dengan APBD. Meskipun saat
focus group discussion (FGD) ada sanggahan dari pengelola PPK Provinsi Sulawesi Tengah,
mengenai keterlibatan dana pemerintah, menurutnya tidak ada dana pemerintah yang
dipergunakan.

Bersumber dari kebijakan Bank Dunia pada proyek PPK, tim pengelola kegiatan (TPK) di
tingkat desa menerima fee sebesar 3 % dari nilai proyek dengan alasan dana terbatas dan
kemandirian desa ke depan, yang berdampak pada mark up anggaran untuk pembelian bahan
baku yang tidak sesuai standar pada setiap pelaksanaan proyek.

Sejumlah temuan lapangan menunjukkan, PPK telah mendorong transfer korupsi ke lapisan
bawah :

• Pengadaan bronjong dan pipa air bersih yang dibangun di Desa Limboro dan Kola-kola,
Kecamatan Banawa hanya bertahan kurang dari satu tahun .
• Rehabilitasi TK di Desa Limboro pelaksanaannya tidak sesuai dengan rencana. Ada
sejumlah temuan yang muncul dalam pelaksanaan program ini, seperti WC yang awalnya
akan dibangun, tetapi tidak jadi dibangun, atau dinding sekolah yang sudah dua kali
mengalami proses bongkar pasang.

Selain itu pengadaan bahan bangunan justru tidak mengandalkan ketersediaan bahan baku
setempat. Seorang fasilitator desa mencontohkan pembangunan sekolah membutuhkan kayu
untuk atap yang menggunakan batang kelapa. Bahannya cukup tersedia di kampung tersebut,
tetapi TPK lebih memilih pembelian bahan dari kampung lain yang berjarak sekitar 7 -8
kilometer dari lokasi bangunan.

• Dana PPK untuk pembangunan sarana dan prasarana di Kecamatan Banawa


dipergunakan untuk membayar gaji lima guru honorer selama setahun.
• Bila kasus jeratan hutang itu sebagai suatu fakta buram, dalam konteks yang hampir sama
bantuan modal usaha juga syarat dengan praktek-praktek penyimpangan dan tindakan-
tindakan manipulatif. Kasus seperti ini dilakukan oleh salah seorang pemilik usaha barang
campuran di Kabupaten Parigi Moutong. Dengan mengatasnamakan kelompok usaha
mereka memperoleh dana bantuan tetapi anggota yang dimasukkan dalam kelompok itu
adalah buruh atau pekerja yang saban hari bekerja di toko miliknya. Sebagian besar dana
tersebut digunakan untuk usaha miliknya, sementara sisa dana lain dibagi-bagi kepada
masing-masing anggota kelompok sebagai upah “tutup mulut”.
• Rehabilitasi sekolah yang tidak sesuai perencanaan, seperti pembangunan WC justru tidak
dilakukan, sementara bahan bangunan dilakukan dengan biaya yang lebih tinggi dengan
menafikan keberadaan bahan baku lokal yang lebih murah.

-9-
Program Pengentasan Kemiskinan Bank Dunia di Sulawesi Tengah

Akibat peruntukan dana yang tidak sesuai peruntukannya dan sarat dengan kepentingan,
maka para penerima dana adalah mereka yang dekat kepala desa atau aparatnya. Sehingga
keberadaan usaha lebih pada kesempatan untuk mendapatkan dana. Selain itu jebakan dalam
bentuk suku bunga menjadi hambatan dalam pengembalian.

- 10 -
Program Pengentasan Kemiskinan Bank Dunia di Sulawesi Tengah

III. PENERIMA MANFAAT

A. Mendorong konflik horisontal

Penentuan desa atau dusun yang memenangkan proyek di Desa Lembah Mukti, Kecamatan
Damsol memicu konflik antar warga Dusun I dan II yang terdiri dari kelompok etnis Jawa
dan Bali dengan Dusun III yang berasal dari kelompok etnis Sunda. Seorang warga Dusun
III Desa Lembah Mukti, mengeluhkan PPK yang dinilai tidak adil. Menurutnya, program-
program tersebut banyak terkonsentrasi di Dusun I dan II. Sementara Dusun III, yang
penduduknya mayoritas orang Sunda, jarang tersentuh program.

Proyek Air Bersih PPK di Desa Kola-Kola yang mengambil sumber air terdekat dengan
alasan lebih mudah dan biaya terbatas, ternyata berakibat keringnya sumber air Desa
Limboro. Proyek Air Bersih yang didanai PPK di Desa Kola-Kola justru menimbulkan
konflik horisontal dengan desa tetangga. Dengan dalih dana terbatas, proyek tersebut
mengambil mata air terdekat. Sementara sumber air tersebut sangat rawan di musim hujan.
Jika musim hujan tiba, air sungai akan meluap dan langsung menutup bak penampungan.

Akibatnya warga Kola-kola kembali kesulitan air bersih. Saat desa tetangga Limboro dan
Tosale mendapat proyek air bersih yang mengambil sumber air dari Sungai Powelua, pipa-
pipanya melewati Kola-kola. Warga yang sangat membutuhkan air bersih, menyambung pipa
air yang melewati kampungnya dengan membocorkan pipanya dan mengalirkan airnya ke
rumahnya. Akibatnya orang Limboro dan Towale tidak mendapatkan jatah air bersih.
Tindakan ini menimbulkan ketegangan antar kampung.

B. Marjinalisasi masyarakat lokal

Salah satu tujuan proyek PPK ingin menonjolkan kekhasan lokal. Harapan yang terkesan
populis ini, hanya bersifat simbolik. Sejumlah prinsip yang dianut semakin memperlemah
kekhasan lokal, ini dapat dijumpai dalam :

• Pengingkaran pengertian tentang keswadayaan: Bentuk keswadayaan yang dianut


PPK adalah keswadayaan dalam bentuk material berupa uang. Semakin banyak uang
yang terkumpul, maka kemungkinan untuk meloloskan proposal semakin terbuka.
Sehingga keswadayaan hanya menjadi syarat untuk mendapatkan bantuan, bukan
untuk kepentingan memperkuat sistem sosial antar anggota masyarakat.

Sementara bagi masyarakat lokal, keswadayaan adalah pengejawantahan nilai-nilai


hidup, memperkukuh relasi manusia dengan manusia, alam dan Sang Pencipta.
Kegiatan hanya menjadi media untuk membangun dan memperkokoh sistem sosial.

• Pengikisan budaya komunal menjadi individu: Prinsip-prinsip universal yang


berkedok populis, seperti partisipasi dan keswadayaan menyingkirkan prinsip-prinsip
lokal. Contoh kerja komunal seperti gotong royong yang dilakukan tanpa pamrih, kini
berganti dengan kerja bersama dengan mendapatkan upah (cash for work). Nilai-nilai
sosial ekonomi pun tidak diperhitungkan dalam menerapkan program.

• Keberagaman yang muncul dari kelompok masyarakat di mana ada penduduk asli
dan pendatang, dapat menjadi bumerang untuk memperkuat stigma bahwa orang asli,
pemalas: Program ini mengeneralisasi nilai-nilai lokal, sehingga perbedaan yang
muncul terkesan menghambat dan cenderung dianggap sesuatu yang buruk. Sementara
- 11 -
Program Pengentasan Kemiskinan Bank Dunia di Sulawesi Tengah

dalam setiap komunitas akan ditemui perbedaan nilai dan kebiasaan yang secara
langsung berkaitan dengan nilai filosofis mereka. Sehingga aktifitas keseharian pun
akan menjadi wujud relasi sosial dan religi mereka, bukan relasi ekonomi. Sebagai
contoh PPK berhasil di daerah transmigrasi. Keberadaannya di wilayah tersebut demi
kepentingan ekonomi yang lebih baik, ketimbang di kampung asal para transmigran.
Sebaliknya, PPK di daerah yang didiami penduduk asli dipandang gagal, karena bagi
mereka keberadaan proyek tidak sekedar mencari keuntungan ekonomi, tetapi juga
keuntungan sosial budaya.

C. Proyek PPK juga dinikmati oleh investor

Di Kabupaten Morowali, sebagian sarana yang dibangun dari dana PPK digunakan oleh
pemodal untuk kepentingan usahanya:

• Pengadaan Air Bersih di Desa Kasingoli, Kecamatan Mori Atas, lebih banyak
digunakan untuk kebutuhan perkebunan kelapa sawit PT Perkebunan
Nusantara (PTPN) IX;

• Pembuatan jalan ke kantong-kantong produksi pertanian masyarakat yang


terdapat di Desa Era, Peleru dan Mayumba, Kecamatan Mori Atas, juga
dimanfaatkan oleh truk-truk pengangkut sawit milik PTPN IX dan PT Sinar
Mas;

• Infrastruktur yang dibangun di Kecamatan Bungku Utara, rusak dilanda


banjir pada bulan Agustus 2007, akibat pembalakan liar - yang dirangsang
oleh manipulasi IPK -- dan masuknya perkebunan sawit yang melakukan
pembersihan lahan.

Selain penjelasan di atas, walaupun tujuan PPK adalah ingin menciptakan kemandirian di
masyarakat, fakta di lapangan menunjukkan bahwa kegagalan proyek PPK juga terdapat pada
pemeliharaan program, khususnya pada pembangunan infrastruktur (jalan, sekolah,
pengadaan air bersih, d.l.l.), saat ini banyak mengalami kerusakan, karena masyarakat tidak
dilatih memelihara prasarana itu secara mandiri.

- 12 -
Program Pengentasan Kemiskinan Bank Dunia di Sulawesi Tengah

KESIMPULAN

1. Dari sudut pandang Bank Dunia, proyek PPK mampu menjawab masalah yang terjadi di
masyarakat, tetapi bertentangan dengan kearifan lokal masing-masing daerah, karena
rancang bangun (design) proyek PPK mengeneralisasi masalah kemiskinan di tiap-tiap
daerah di Indonesia.

2. Selain pembangunan infrastruktur dan UEP tidak menyejahterakan rakyat, program oleh
PKK untuk bagi-bagi uang bukan solusi mengurangi kemiskinan, karena jumlah
penduduk miskin Indonesia -- khususnya di Sulawesi Tengah -- meningkat dari tahun ke
tahun.

3. Pelaksanaan proyek PPK berdampak buruk terhadap beberapa hal, seperti:

a. Ketentuan PPK yang meminimalisasi fungsi kontrol pemerintah, mengakibatkan


kekaburan sistem pengawasan dan evaluasi oleh pemerintah terhadap proyek PPK.

b. Proyek PPK mendidik masyarakat di lapisan paling bawah menjadi korup, karena
kesenjangan upah pada jenjang pelaksana proyek. Konsultan Manajemen dan
Fasilitor Kecamatan mendapat upah yang layak, sementara pada tingkat kecamatan
dan desa, pelaksana proyek diupah berdasarkan bunga pengembalian dana bergulir
dan fee dari nilai proyek.

c. Mendorong terjadinya konflik horisontal, karena proyek PPK menimbulkan


kesenjangan ekonomi.

• Warga masyarakat yang tidak memiliki usaha tidak punya kekuatan


menawar (bargaining power) untuk mengelola UEP; sebaliknya yang
diberi kesempatan adalah warga masyarakat yang memiliki usaha atau
yang mampu secara ekonomi.

• Proyek PPK yang dianggap `berhasil` adalah desa yang penduduknya


mayoritas pendatang, terutama desa-desa transmigrasi. Memunjulkan
stigma `malas` terhadap desa-desa mayoritas masyarakat lokal (asli)
yang gagal mengelola UEP.

4. Proyek PPK secara tidak langsung membuka akses terhadap masuknya investasi ke
Sulawesi Tengah, khususnya Morowali, seperti yang terjadi di beberapa desa di
Kecamatan Mori Atas, Kabupaten Morowali, infrastruktur yang dibangun juga dinikmati
para investor.

- 13 -
Program Pengentasan Kemiskinan Bank Dunia di Sulawesi Tengah

REKOMENDASI

Berdasarkan kesimpulan FGD hasil penelitian tim riset INFID dengan tokoh-tokoh
pendidik, aktivis ornop dan Pemerintah Daerah Sulawesi Tengah, Senin siang, 19 Mei 2008,
ada dua hal yang ingin kami ajukan sebagai rekomendasi:

1. Pemerintah Indonesia harus berani mendesak Bank Dunia dan melakukan renegosiasi
utang (khusus membiayai proyek PPK) serta menghentikan program PNPM yang
merupakan penjelmaan dari proyek PPK, karena hanya membebani dan menambah utang
negara yang menimbulkan banyak masalah di tingkat masyarakat, seperti:

• Kesenjangan ekonomi di antara masyarakat, karena warga masyarakat hanya menjadi


obyek dari proyek PPK, di mana proyek ini, realitasnya hanya mampu diakses oleh
warga yang mapan secara ekonomi.
• Memberi peluang terjadinya korupsi di masyarakat, karena kesenjangan pemberian
upah antara konsultan manajemen sampai tim pengelola kegiatan.
• Secara statistik penduduk miskin di Indonesia, khususnya Sulawesi Tengah, terus
mengalami kenaikkan dari tahun ke tahun.

2. Pemerintah Pusat seharusnya mendorong terwujudnya kebijakan nasional yang


mengakomodasi kerjasama antar daerah, khususnya berkaitan dengan persoalan ekonomi,
sehingga memungkinkan relasi hutang-piutang antar daerah. Realitasnya banyak daerah di
Indonesia yang memiliki Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang tinggi bisa berbagi (sharing)
dengan daerah-daerah dengan PAD rendah. Dengan demikian beban negara untuk
pembayaran utang luar negeri, khususnya ketergantungan terhadap Bank Dunia, dapat
dihilangkan.

- 14 -
Program Pengentasan Kemiskinan Bank Dunia di Sulawesi Tengah

Bibliografi:

Anonim (2006). Profil Program Pengembangan Kecamatan Provinsi Sulawesi Tengah. Palu: Penerbit
BPMD Sulteng & Koordinator PPK Prov. Sulteng.

Gogali, Lian (2007). Marger, Migas dan Militer di Ketiak Sulawesi Timur; Antara Kedaulatan
Rakyat dan Kedaulatan Investor. Kertas Posisi 06/YTM/ 2007. Palu: Yayasan Tanah Merdeka.

KDP (2007). Profil PPK. Diakses dari www.kdp.com

PNPM Mandiri Pedesaan (2008). Petunjuk Teknis Operasional Program Nasional Pemberdayaan
Masyarakat Mandiri Pedesaan (PNPM Mandiri Pedesaan).

PPK (2005a). Jenis dan Proses Pelaksanaan Bidang Kegiatan Program Pengembangan Kecamatan PPK.
Penjelasan IV.

PPK (2005b). Pendanaan dan Administrasi Kegiatan PPK. Penjelasan IX.

Sangaji, Arianto (2001). Penghancuran Masyarakat Adat dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam di
Sulawesi Tengah. Kertas Posisi 01/YTM/2001. Palu: Yayasan Tanah Merdeka.

----------- (2002). Buruk INCO Rakyat Digusur: Ekonomi Politik Pertambangan Indonesia. Jakarta:
Penerbit Sinar Harapan.

- 15 -
Program Pengentasan Kemiskinan Bank Dunia di Sulawesi Tengah

Address: Jalan Mampang Prapatan XI No.23 – Jakarta 12790 – Indonesia

Phone (6221) 79196721, 79196722, Fax (6221) 7941577

Email:infid@infid.org,www.infid.org

-1-

You might also like