Professional Documents
Culture Documents
TINJAUAN PUSTAKA
Kemiskinan merupakan permasalahan utama yang dihadapi hampir seluruh negara berkembang di dunia.
Kemiskinan merupakan fenomena yang kompleks dan bersifat multidimensi. Menurut Ahmadi (2006)
Kemiskinan dapat dipengaruhi oleh luasnya wilayah suatu negara sehingga menciptakan karateristik
kemiskinan yang berbeda. Oleh karena itu dibutuhkan strategi pengentasan kemiskinan yang berbeda pula
pada tiap-tiap region. Kantong-kantong kemiskinan pada umumnya berada pada wilayah perdesaan dan
daerah-daerah terisolir yang memiliki keterbatasan aksesbilitas, tinggal secara terpencar-pencar, pada
umumnya memiliki keterbatasan modal, produksi dan pemasaran, kelompok usia produktif didominasi
dengan rendahnya tingkat pendidikan dan tingkat kesehatan, dengan produktifitas dan enterpreunership yang
rendah pula, serta memiliki daya saing yang lemah terutama dalam merebut peluang usaha, mengisi peluang
kerja dan memasarkan hasil produksi (Kompas, Maret 2009). Upaya pengentasan kemiskinan yang selama
ini dilakukan lebih bersifat spasial atau pendekatan sektoral tidak memberikan hasil yang optimal,
sedangkan tindakan di lapangan cenderung tidak konsisten, kurang berpihak dan tidak sesuai dengan
kemampuan rill masyarakat.
Masalah kemiskinan merupakan masalah yang bersifat multisektoral yang harus menjadi tanggung jawab
semua pihak baik mulai dari tingkat pusat sampai pada individu masyarakat. Usaha dalam upaya
penanggulangan kemiskinan telah banyak dilakukan oleh pemerintah. Perhatian serius kepada keluarga
miskin terlihat dengan kebijakan-kebijakan aktifitas yang dilakukan oleh pemerintah yang sasarannya adalah
keluarga miskin. Masalah kemiskinan hanya dapat dituntaskan apabila pemerintah melakukan kebijakan
yang serius dan memihak kepada keluarga miskin. Namun seringkali kebijakan yang dibuat justru kurang
memihak keluarga miskin, akibatnya kebijakan yang ada semakin memperburuk kondisi keluarga miskin
bahkan menyebabkan seseorang yang tidak miskin menjadi miskin (Tempo, Agustus 2009),. Oleh karena
itu, usaha penanggulangan kemiskinan haruslah memiliki perencanaan, penetapan kebijakan dan strategi
serta arah yang jelas dalam penanganannya dan didukung dengan program dan kegiatan yang tepat sasaran
yaitu keluarga miskin.
Amartya Sen (1998) dalam Bloom dan Canning (2001) mengatakan bahwa seseorang dikatakan miskin bila
mengalami "capability deprivation" dimana seseorang tersebut mengalami kekurangan kebebasan yang
substantif. Menurut Bloom dan Canning, kebebasan substantif ini memiliki dua sisi: kesempatan dan rasa
aman. Kesempatan membutuhkan pendidikan dan keamanan membutuhkan kesehatan.
Menurut Sharp et al. (2000), Kemiskinan bersumber dari hal di bawah ini, yaitu:
1. Rendahnya kualitas angkatan kerja.
Salah satu penyebab terjadinya kemiskinan adalah karena rendahnya kualitas angkatan kerja. Kualitas
angkatan kerja ini bisa dilihat dari angka buta huruf. Sebagai contoh Amerika Serikat hanya mempunyai
angka buta huruf sebesar 1%, dibandingkan dengan Ethiopia yang mempunyai angka diatas 50%.
2. Akses yang sulit terhadap kepemilikan modal.
Kepemilikan modal yang sedikit serta rasio antara modal dan tenaga kerja (capital-to-labor ratios)
menghasilkan produktivitas yang rendah yang pada akhirnya menjadi faktor penyebab kemiskinan.
3. Rendahnya tingkat penguasaan teknologi.
Negara-negara dengan penguasaan teknologi yang rendah mempunyai tingkat produktivitas yang rendah
pula. Tingkat produktivitas yang rendah menyebabkan terjadinya pengangguran. Hal ini disebabkan
oleh kegagalan dalam mengadaptasi teknik produksi yang lebih modern. Ukuran tingkat penguasaan
teknologi yang rendah salah satunya bisa dilihat dari penggunaaan alat-alat produksi yang masih
bersifat tradisional.
4. Penggunaan sumber daya yang tidak efisien.
Negara miskin sumber daya yang tersedia tidak dipergunakan secara penuh dan efisien. Pada tingkat
rumah tangga penggunaan sumber daya biasanya masih bersifat tradisional yang menyebabkan
terjadinya inefisiensi.
5. Pertumbuhan penduduk yang tinggi.
Menurut teori Malthus jumlah penduduk berkembang sesuai deret ukur sedangkan produksi bahan
pangan berkembang sesuai deret hitung. Hal ini mengakibatkan kelebihan penduduk dan kekurangan
bahan pangan. Kekurangan bahan pangan merupakan salah satu indikasi terjadinya kemiskinan.
2.1. Definisi Kemiskinan
Bank Dunia mendefinisikan kemiskinan yaitu kondisi terjadinya kekurangan pada taraf hidup manusia yang
bisa berupa fisik dan sosial. Kekurangan fisik adalah ketidakcukupan kebutuhan dasar materi dan biologis
(basic material and biological needs), termasuk kekurangan nutrisi, kesehatan, pendidikan, dan perumahan.
Ketidakcukupan sosial adalah adanya resiko kehidupan, kondisi ketergantungan, ketidakberdayaan, dan
kepercayaan diri yang kurang. Peraih Nobel Ekonomi 1998 Amartya Sen mengatakan kemiskinan adalah
kegagalan memenuhi kapabilitas minimum tertentu (poverty is the failure to have certain minimum
capabilities).
Kapabilitas melekat pada kemampuan yang ada pada diri si miskin sendiri, dan dapat ditingkatkan dengan
upaya yang sistematik. Makanya penanggulangan kemiskinan tidak semata-mata memenuhi kebutuhan dasar
material, tetapi bagaimana mengatasi ketidakcukupan pelayanan pendidikan, kesehatan, hingga kepuasan
psikologis dan keberdayaan untuk menopang hidup diri sendiri, lepas dari ketergantungan terus menerus
pada pihak lain.
Kemiskinan menurut Todaro (2003) dapat dikategorikan ke dalam kemiskinan alamiah dan kemiskinan
struktural. Kemiskinan alamiah adalah kondisi di mana kemiskinan terjadi akibat faktor-faktor biologis,
psikologis dan sosial (malas, kurang trampil, kurang kemampuan intelektual, lemah fisik, dll). Lingkungan
fisik membuat orang sulit melakukan usaha atau bekerja. Sedangkan, kemiskinan struktural terkait dengan
ketidakadilan dalam perbandingan nilai pertukaran (terms of trade) antara nilai barang dan jasa yang
dihasilkan dan dijual oleh penduduk miskin dibandingkan dengan nilai barang dan jasa yang harus
dibelinya; ketidakadilan dalam pembayaran jasa-jasa pekerja (upah yang rendah dan eskploitasi pekerja);
dan, pengenaan pungutan yang memberatkan dan relatif memeras penduduk miskin.
“The poorest of the poor . . . will remain . . . outside the reach of normal trade and communication. The
combination of malnutrition, illiteracy, disease, high birth rates, underemployment and low income closes
off the avenues of escape.” (Brandt Commission: 1980 p. 49)1)
"Poverty is defined relative to the standards of living in a society at a specific time. People live in poverty
when they are denied an income sufficient for their material needs and when these circumstances exclude
them from taking part in activities which are an accepted part of daily life in that society."
(Scottish Poverty Information Unit: 2008).2)
Barker (1995) mengatakan bahwa tidak ada definisi pasti dan bersama tentang kemiskinan yang digunakan
oleh semua negara. Kemiskinan dapat dikategorikan sebagai kerugian materi dalam sebuah perekonomian
suatu negara. Secara umum, kemiskinan didefinisikan sebagai keadaan tempat tinggal yang buruk atau
kekurangan uang, atau berarti hanya cukup untuk menyambung hidup (subsistence) (Barker: 1995).
Menurut Bank Dunia, ukuran yang biasa digunakan untuk mengukur tingkat kemiskinan adalah berdasarkan
tingkat pendapatan. Seseorang dapat dikatakan miskin apabila pendapatannya berada dibawah tingkat
minimum untuk memenuhi kebutuhan dasar. Tingkat upah minimum ini yang biasa disebut dengan “garis
kemiskinan”. Sedangkan ukuran kepuasan kebutuhan dasar berbeda-beda sesuai dengan waktu dan kondisi
masyarakat. Sehingga, batas yang disebut garis kemiskinan juga berbeda-beda sesuai waktu dan tempat, dan
setiap negara menggunakan batas yang disesuaikan dengan tingkat pembangunan, norma-norma sosial dan
nilai. (World Bank Organisation)
Terdapat tiga ukuran dasar untuk mendefinisikan kemiskinan: yang pertama adalah absolute poverty, yang
kedua yakni relative poverty, dan yang ketiga yaitu social exclusion. Kemiskinan absolut didefinisikan
sebagai keadaan tidak cukup sumber daya untuk menjaga keberlangsungan hidup. Kemiskinan relatif
mendefinisikan pendapatan atau sumber daya yang dimiliki dibandingkan dengan rata-rata pendapatan.
Sedangkan social exclusion adalah ukuran baru yang diperkenalkan pemerintah Scotlandia yakni
menggambarkan keadaan dimana ketika individu atau daerah menderita permasalahan yang saling terkait
seperti pengangguran, kekurangan tenaga terampil, pendapatan yang rendah, tempat tinggal yang buruk,
kriminalitas yang cukup tinggi, kesehatan yang buruk dan gangguan rumah tangga. (The House of
Commons Scottish Affairs Committee)
1) Brand Commission adalah sebuah komite internasional yang mempelajari isu-isu pembangunan dunia dari
tahun 1977-1983. Komite ini bersifat independent sehingga tidak terikat kepentingan dari manapun.
Didirikan oleh Kanselor Jerman Willy Brandt pada 28 September 1977.
2) Scottish Poverty Information Unit (2008) dalam British Broadcasting Company (BBC) Info “Definition of
Poverty” 13 Oktober 2009. www.bbc.co.uk
3) Teori Radikal berkembang di kalangan pemerintahan sosialis-komunis dimana pemegang kekuasaan
tertinggi adalah kepala negara.
Menurut Teori Radikal3), orang miskin tetap miskin karena memang dipelihara untuk miskin. Sistem
ekonomi dan politik memaksa mereka berada dalam kondisi miskin. Orang menjadi miskin karena
dieksploitasi. Negara-negara atau daerah-daerah menjadi miskin karena direncanakan dan dibuat miskin.
Kemiskinan lalu dianggap hanya sebagai ketidakmampuan secara ekonomi dan karenanya sering penguasa
hanya bagi-bagi duit dan barang (bantuan langsung tunai, pinjaman lunak, beras untuk orang miskin, operasi
pasar murah, dan sejenisnya), padahal kemiskinan adalah permasalahan yang sangat kompleks, tidak sebatas
kurang makan dan kurang duit.
Teori lingkaran setan kemiskinan (vicious circle of poverty) Ragnar Nurkse (1953) mengajarkan bahwa
adanya keterbelakangan, ketidaksempurnaan pasar, dan kurangnya modal menyebabkan rendahnya
produktifitas. Rendahnya produktifitas mengakibatkan rendahnya pendapatan yang mereka terima.
Rendahnya pendapatan berimplikasi pada rendahnya tabungan dan investasi. Rendahnya investasi berakibat
pada keterbelakangan, dan seterusnya seperti lingkaran yang tidak berujung. Fenomena kemiskinan
struktural dan kultural semacam ini menggambarkan bagaimana penduduk miskin tetap menjadi miskin
karena keadaan awal miskin, dan demikian terus berlaku secara terus-menerus. Penduduk miskin akan
semakin terjerat dalam “kubangan kemiskinan” karena mereka mendapatkan pinjaman uang dari pelepas
uang (lintah darat), mindring, atau perantara, yang menagih cicilan dan bunga tinggi.
Gambar 2.1.
Vicious Circle dari Sisi Penawaran Modal
Sumber: Achmadi (2007)
Gambar 2.2.
Vicious Circle dari Sisi Permintaan Modal
Paul Rosenstein-Rodan (1943, 1957), Ragnar Nurkse (1953), and Gunnar Myrdal (1957) sangat terkenal
dengan teorinya menentang model neo-klasik dalam perekonomian. Mereka beranggapan bahwa mekanisme
pasar tidak dapat menanggulangi berbagai masalah dalam perekonomian, misalnya koordinasi atau distribusi
pendapatan, sehingga menciptakan keterbelakangan ekonomi (underdevelopment). Intervensi negara, baik
itu secara domestic maupun internasional, diperlukan untuk melakukan proses pembangunan. Dua argument
yang secara jelas menggambarkan teorinya, yakni mengenai ‘vicious cycle of poverty’ dan keuntungan
investasi. Pertama, lingkaran belenggu kemiskinan hanya terjadi di negara berkembang (Nurkse: 1953, p.3-
4). Keinginan sesorang untuk menabung merupakan bagian dari funsi pendapatan, apabila pendapatan yang
diterima sangat rendah maka tingkat tabungan juga rendah. Ketika seseorang tidak memiliki cukup tabungan
dari pendapatan mereka, maka investasi dan pertumbuhan ekonomi akan terhambat. Pembangunan hanya
dapat terjadi ketika pendanaan investasi datang dari luar negeri ke dalam perekonomian domestik. Kedua,
bahwa keuntungan dari investasi tidak tinggal di negara penerima (recipients) tetapi kembali ke negara asal
sehingga tidak mampu menciptakan efek pengganda dalam perekonomian. Suatu investasi pada suatu sektor
tentu saja dipengaruhi oleh investasi di sektor lain, sehingga apabila suatu sektor tidak mampu berkembang
maka akan menyebabkan sektor lain yang bersifat complementary tidak mampu berkembang pula.
Menurut Teori Konservatif 4), kemiskinan tidak bermula dari struktur sosial, melainkan berasal dari
karakteristik orang-orang miskin itu sendiri (misalnya malas, boros, tidak merencanakan kehidupannya,
fatalis dan pasrah pada keadaan). Penduduk miskin mempunyai budaya miskin (culture of poverty).
“Penyebab mereka miskin, karena mereka miskin. Penyebab orang menjadi miskin adalah karena ia
terjebak dalam perangkap kemiskinan (kemiskinan materil, kelemahan jasmani, isolasi, kerentanan, dan
ketidakberdayaan)” (Nazamuddin: 2009). Kemiskinan merupakan masalah sosial dan kultural, sehingga
penanggulangan kemiskinan harus melibatkan transformasi sosial dan kultural pula, termasuk perubahan
nilai-nilai (misal etos kerja).
Teori Liberal menyatakan bahwa manusia sebenarnya adalah makhluk yang baik, tetapi sangat dipengaruhi
oleh lingkungan. Lingkungan penuh diskriminasi dan peluang yang sempit. Bila kondisi sosial ekonomi
diperbaiki dengan menghilangkan diskriminasi dan memberikan peluang yang sama, maka budaya
kemiskinan akan segera ditinggalkan.
4) Teori Konservatif diambil dari Nazamuddin, “Atas Nama Kemiskinan” , adalah dosen FE Unsyiah, salah satu
pendiri The Aceh Institute, dan Direktur Perencanaan BRR NAD-Nias.
Total Poverty Gap dapat diukur dengan cara membandingkan pendapatan minimal atau garis kemiskinan
dengan pendapatan yang diperoleh penduduk miskin. Total poverty gap menunjukkan nilai total pendapatan
suatu negara yang dibutuhkan untuk meningkatkan pendapatan penduduk dibawah garis kemiskinan menjadi
diatas garis kemiskinan.
…..………………………………………………………………………… (2.1)
Average Poverty Gap menggambarkan kesenjangan kemiskinan per kapita, dapat diukur dengan,
…………………………………………………………………………………….. (2.2)
Normalized Poverty Gap menunjukkan gambaran ukuran relatif poverty gap dengan garis kemiskinan
absolute, nilainya antara 0 sampai 1.
……………………………………………………………………………………. (2.3)
Gambar 2.3.
Mengukur Kesenjangan Kemiskinan
Studi kondisi makro ekonomi terhadap tingkat kemiskinan dapat dilihat dari konvergensi pertumbuhan
ekonominya. Studi konvergensi pertumbuhan ekonomi menyatakan bahwa suatu wilayah/daerah/negara
tertinggal dapat mengejar ketertinggalannya apabila pertumbuhan ekonominya konvergen, jika tidak maka
wilayah/daerah/negara tersebut tidak bisa mengejar ketertinggalannya. Adanya perbedaaan pendapatan per
kapita pada masing-masing daerah akan menimbulkan suatu permasalahan yang menarik. Apakah ekonomi
daerah miskin dapat tumbuh lebih cepat dari pada ekonomi daerah kaya. Apabila bisa, daerah miskin
tersebut mempunyai kecenderungan untuk mengejar (catch-up) ketertinggalan dari daerah kaya, atau bisa
diartikan dengan konvergensi. Perekonomian yang konvergen merupakan perekonomian daerah miskin
dapat mengurangi gap pendapatan dengan wilayah atau daerah kaya tiap tahunnya. Dalam jangka panjang,
pertumbuhan ekonomi yang konvergen dari suatu daerah akan mencapai pertumbuhan ekonomi yang
mantap atau steady state (Barro dan Sala-i-Martin, 1995).
Hasil studi konvergensi pertumbuhan ekonomi di tingkat negara dan provinsi di Indonesia. Wulan Sari
(2006) telah melakukan studi konvergensi pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Hasil studi menyatakan
bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam jangka panjang menunjukkan konvergensi. Artinya bahwa
wilayah-wilayah yang tertinggal di Indonesia akan dapat mengejar ketertinggalannya. Sebaliknya, studi
konvergensi di Jawa Timur mennujukkan hasil yang berbeda (Wulan Sari, 2007). Artinya bahwa wilayah-
wilayah miskin yang ada di Jawa Timur tidak bisa mengejar ketertinggalannya dengan wilayah-wilayah
kaya. Untuk itu, dengan melihat tingkat konvergensi di masing-masing provinsi bisa menentukan provinsi
mana yang harus mendapat prioritas dalam mengejar ketertinggalannya.
Selain dengan melihat konvergensi pertumbuhan ekonomi, studi ekonomi makro terhadap tingkat
kemiskinan dapat dilihat melalui hubungan ketimpangan pendapatan dengan pertumbuhan ekonomi. Seperti
pendapat Ravallion dan Chen (2003) dalam Heshmati (2004), keuntungan potensial pertumbuhan ekonomi
di negara miskin ternyata diimbangi dengan kebijakan redistribusi yang tidak seimbang dan juga
peningkatan ketimpangan yang mengiringi pertumbuhan ekonomi. Ravallion dan Datt (2000) dalam
Heshmati (2004) juga bependapat meski peningkatan ketimpangan yang terjadi pada sistem ekonomi liberal
dan pasar ekonomi terbuka meningkatkan pendapatan masyarakat dan secara proporsional dapat mengurangi
kemiskinan, penduduk miskin di negara sedang berkembang selalu masuk dalam daftar paling bawah
distribusi pendapatan.
Selain itu, hubungan antara pertumbuhan ekonomi, ketimpangan dan pengaruhnya terhadap kemiskinan juga
dilakukan. Adams (2002) dengan data dari World Bank Report 2000/01 dengan objek 55 negara . Hasilnya
menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi mengurangi kemiskinan. Saat distribusi pendapatan relatif stabil
sepanjang tahun, maka pertumbuhan ekonomi yang mengindikasikan kenaikan pendapatan, memiliki
pengaruh umum untuk meningkatkan pendapatan seluruh penduduk termasuk penduduk miskin. Dalam
penelitian tesebut penduduk miskin di negara sedang berkembang yang didefinisikan memiliki pendapatan
minimal $1 per harinya, cenderung dikelompokkan di atas garis kemiskinan. Penduduk miskin memilki
kemampuan untuk meningkatkan pendapatannya dengan bekerja pada sektor-sektor padat karya, sehingga
mereka dapat keluar dari kemiskinan mereka.
Beberapa studi kemiskinan yang sudah dilakukan menyatakan bahwa banyak program-program pengentasan
kemiskinan kurang efektif. Menurut Suyanto dkk (2008), upaya penanggulangan kemiskinan yang dilakukan
hingga kini masih belum membuahkan hasil yang memuaskan. Masih banyak penduduk Indonesia baik di
desa maupun di kota yang hidup dibelit kemiskinan. Di sisi lain, tak bisa diingkari, fakta bahwa kendati
jumlah orang miskin menurun, namun kesenjangan dalam banyak hal justru semakin lebar.
Di samping itu, faktor lain yang menyebabkan berbagai program pengentasan kemiskinan menjadi kurang
efektif tampaknya adalah berkaitan dengan kurangnya dibangun ruang gerak yang memadai bagi masyarakat
miskin itu sendiri untuk memberdayakan dirinya. Acap terjadi, kegiatan pembangunan yang bertujuan untuk
mensejahterakan penduduk miskin justru terjebak menjadi program yang melahirkan ketergantungan baru,
dan bahkan mematikan potensi swakarsa lokal.
Selama ini pendekatan pemerintah dalam mengatasi kemiskinan —baik di tingkat nasional, regional maupun
lokal— umumnya adalah dengan menerapkan pendekatan ekonomi semata, yang seringkali kurang
mengabaikan peran kebudayaan dan konteks lokal masyarakat. Kendati secara harafiah nama berbagai
program pengentasan kemiskinan berbedabeda, tetapi substansinya sesungguhnya hampir sama, yakni
memberikan aliran modal kepada masyarakat miskin dan meminta mereka bekerja lebih keras untuk
memberdayakan dirinya sendiri. Memang, untuk jangka pendek pemberian bantuan ekonomi itu bermanfaat.
Tetapi, untuk jangka panjang sesungguhnya pemberian bantuan ekonomi itu tidak akan bisa menyelesaikan
masalah kemiskinan secara tuntas. Banyak bukti memperlihatkan bahwa pemberian bantuan ekonomi saja
ternyata justru melahirkan problem-problem baru yang tidak kalah ruwetnya. Bahkan, tidak mustahil terjadi
diperolehnya bantuan modal pinjaman kredit justru merupakan titik awal dari macam-macam masalah lain
dan kehancuran usaha masyarakat miskin.
Implementasi program penanggulangan di lapangan ternyata tidak selalu seperti yang diharapkan. Bahkan,
dalam beberapa hal, pelaksanaan program penanggulangan kemiskinan yang semula diharapkan dapat
memberdayakan penduduk miskin, ternyata dalam kenyataan justru melahirkan bentuk ketergantungan baru
dan berbagai penyimpangan yang menyebabkan pada akhirnya pelaksanaan program penanggulangan
kemiskinan menjadi tidak efektif.
Studi lain tentang pengentasan kemsikinan di Indonesia juga dilakukan oleh World Bank (2007). Dalam
laporannya, World Bank menyatakan bahwa ada tiga perubahan sedang berlangsung di Indonesia yang
berpotensi membantu masyarakat miskin. World Bank menyarankan kebijakan yang bisa membuat
perubahan-perubahan tersebut dapat efektif mengurangi kemiskinan. Adapun perubahan tersebut adalah
pertama, seiring dengan pertumbuhan, perekonomian Indonesia sedang berubah dari perekonomian yang
mengandalkan sektor pertanian menjadi perekonomian yang akan lebih banyak mengandalkan sektor jasa
dan industri. Kedua, seiring menguatnya demokrasi, pemerintah sedang berubah dari penyedia sebagian
besar layanan oleh pusat menjadi pemerintah yang akan lebih banyak mengandalkan pemerintah daerah.
Ketiga, seiring dengan integrasi Indonesia kedalam dunia internasional, sistem perlindungan sosialnya
sedang dimodernisir sehingga secara sosial Indonesia menjadi setara dan kompetitif di bidang ekonomi.
Berbagai tindakan diperlukan di beberapa bidang untuk menangani empat butir penting dalam pengentasan
kemiskinan di Indonesia yaitu (i) mengurangi kemiskinan dari segi pendapatan melalui pertumbuhan, (ii)
memperkuat kemampuan sumber daya manusia, dan (iii) mengurangi tingkat kerentanan dan risiko di antara
rumah tangga miskin, dan juga (iv) memperkuat kerangka kelembagaan untuk melakukannya dan membuat
kebijakan publik lebih memihak masyarakat miskin.
Strategi Dobrakan Besar (Big Push Strategy)
Penanggulangan kemiskinan merupakan kebijakan yang harus konsisten dilakukan oleh pemerintah.
Penanggulangan kemiskinan sebagai bentuk kebijakan pembangunan merupakan tanggung jawab semua
elemen bangsa. Hal ini disadari oleh kenyataan bahwa kemampuan pemerintah dalam mendanai pelaksanaan
kebijakan penanggulangan kemiskinan sangat terbatas. Oleh karena itu diperlukan pemahaman tentang
peran strategis yang harus dilakukan oleh pemerintah. Peran strategis yang dilaksanakan pemerintah harus
dilakukan dalam batas-batas dimana kebijakan pemerintah yang sedang dan yang akan dijalankan benar-
benar dapat bermanfaat secara luas bagi penduduk miskin dan lebih khusus lagi manfaatnya bagi masyarakat
dan keluarga miskin.
Jeffrey Sachs’s (2005) mengatakan bahwa untuk mengakhiri kemiskinan pada suatu waktu dapat diketahui
dari poverty trap models dan resep kebijakan yang tepat sasaran. Peningkatan bantuan luar negeri sangat
diperlukan untuk mengurangi tingkat kemiskinan yang ekstrem (pendapatan dibawah US$ 1 per hari). Dia
juga beranggapan bahwa ketika kemiskinan sudah mencapai tingkat ekstrem, penduduk miskin tidak
memiliki kemampuan –oleh dirinya sendiri- untuk keluar dari kekacauan tersebut. “When people are poor,
but not entirely destitute, they may be able to save. When they are utterly destitute, they need their entire
income, or more, just to survive.” (Sachs: 2005, p.56).
Badan Pusat Statistik (BPS) masih sering menerbitkan angka-angka kemiskian berdasarkan pendekatan
kemiskinan absolut, lebih kurang mengacu pada definisi kemiskinan oleh Prof. Sayogyo (1977). Kemiskinan
absolut diukur dengan menghitung jumlah penduduk yang memiliki pendapatan perkapita yang tidak
mencukupi untuk mengkonsumsi barang dan jasa yang nilainya ekuivalen dengan 20 kg beras per kapita per
bulan untuk perdesaan dan 30 kg untuk perkotaan, tidak lain adalah ketidakcukupan kebutuhan dasar.
Standar kecukupan pangan dihitung setara 2100 kilo kalori per kapita per hari ditambah dengan kebutuhan
minimum bukan makanan.
Komponen kebutuhan nonmakanan menurut Nazamuddin (2009) antara lain kebutuhan perumahan (sewa
rumah, pemeliharaan rumah,bahan bakar, penerangan, air, fasilitas jamban, perlengkapan mandi), kebutuhan
sandang (pakaian dan alas kaki), kebutuhan pendidikan (iuran SPP, buku pelajaran, alat tulis), kebutuhan
kesehatan (berobat sendiri, berobat ke Puskesmas, berobat ke dokter/mantri kesehatan), kebutuhan
transportasi (ongkos angkutan), dan kebutuhan dasar nonmakanan lainnya (rekreasi, kasur, bantal, sapu,
pisau, kompor, periuk, PBB,dll.).
Garis kemiskinan (Poverty Line), yakni standar minimum yang diperlukan oleh seseorang untuk memenuhi
kebutuhan standarnya, atau nilai pengeluaran untuk kebutuhan makan dan bukan makanan per kapita per
bulan. Oleh karena itu, persentase penduduk miskin yang hidup di bawah garis kemiskinan menjadi patokan
keberhasilan sebuah kebijakan penganggulangan kemiskinan. Angka kemiskinan dalam bentuk persentase
bernilai semu (Nazamuddin: 2009). Jumlah penduduk miskin dapat bertambah seketika bila terjadi
kemerosotan ekonomi dan naiknya harga-harga. Dan dapat berkurang seketika bila sedikit saja ekonomi
membaik. Yang harus menjadi tolok ukur seharusnya yakni standar kehidupan nyata penduduk miskin.
Program pemerintah yang bersifat segera, ibarat obat penghilang rasa nyeri (pain killer), tapi tidak dapat
menyembuhkan secara permanen. Sehingga diperlukan suatu dobrakan besar (big push).
Growth with equity atau pertumbuhan dengan kemerataan sangat diperlukan untuk mengurangi
ketimpangan. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi diperlukan untuk mengatasi kemiskinan, yakni
pertumbuhan yang bukan menguntungkan pihak kapitalis, melainkan pertumbuhan yang memberikan
lapangan kerja dan kesempatan usaha bagi penduduk miskin. Penanggulangan kemiskinan harus dimulai
dari akar masalah penyebab kemiskinan. Sebagai contoh, orang miskin yang sekarang mungkin sudah
berusia lanjut barangkali tidak mungkin lagi diberdayakan atau orang yang cacat dan rentan mungkin sulit
diberdayakan maksimal. Tetapi hal yang penting dan sangat diperlukan yakni siklus kemiskinan harus
diputus.
Oleh karena itu diperlukan pertumbuhan yang cukup tinggi untuk menciptakan kesempatan kerja yang besar.
Kesempatan yang sangat luas untuk bekerja dan meningkatkan produktivitas. Menurut Nazamuddin (2009)
langkah yang harus ditempuh pemerintah untuk mengurangi kemsikinan diantaranya yaitu: Pertama, yang
utama adalah memberikan pengakuan kepada rumah tangga miskin atas hak. Pada hakekatnya, merubah aset
mati atau menganggur menjadi modal yang hidup (turn dead assets into living capital) dan dengan demikian
dapat menjadi peluang kepada rumah tangga miskin untuk meningkatkan produktifitasnya. Kedua, ciptakan
peluang-peluang usaha bisnis. Ketiga, menciptakan peluang lebih baik untuk generasi kedua dari keluarga
miskin. seperti Beasiswa, biaya kesehatan (imunisasi, vaksinasi, dll.). Keempat, infrastruktur, baik dalam
skala besar maupun skala kecil. Pembangunan infrastruktur skala besar akan mengundang investor besar dan
secara langsung menciptakan lapangan kerja yang memberi pendapatan. Infrastruktur dalam skala kecil di
perdesaan akan menghubungkan desa-desa dan desa dengan pusat-pusat bisnis. Infrastruktur fasilitas umum
dan sosial juga menjadi asset sosial yang melayani semua penduduk, termasuk keluarga miskin.
2.5. Teori Pertumbuhan dan Pembangunan
2.5.1. Teori Pertumbuhan Ekonomi
2.5.1.1 Teori Pertumbuhan Linier Rostow (Stages of Growth Models)
Dalam pembangunan ekonomi di suatu negara terdapat tahap-tahap pembangunan yang dilalui.
Pembangunan ekonomi suatu negara tidak langsung dihadapkan pada modernisasi ekonomi secara langsung
atau kemajuan ekonomi yang pesat secara tiba-tiba. Pembangunan ekonomi suatu negara pasti mengikuti
tahap-tahap pembangunan yang runtut.
Pembangunan pertumbuhan ekonomi menurut Rostow terjadi secara bertahap dan terjadi secara linier, yang
artinya suatu proses pertumbuhan tersebut akan terjadi secara berurutan dan tidak rancu. Rostow dalam
stages- of growth- models of development, mengemukakan bahwa dalam proses pembangunannya, suatu
negara akan melalui beberapa tahapan yang utama sebagai berikut:
1. Tahapan tradisional, dengan pendapatan per kapita yang rendah dan kegiatan ekonomi yang stagnan; hal
ini dikarenakan sektor perekonomian didominasi oleh pertanian dengan cara tradisional sehingga
produktifitasnya sangat rendah.
2. Tahapan transisional, di mana tahap prakondisi bagi pertumbuhan dipersiapkan; pada tahap ini investasi
mulai meningkat dan perekonomian tumbuh secara dinamis dimana sektor industri sudah mulai muncul
untuk mendorong perekonomian.
3. Tahapan lepas landas (ini merupakan permulaan bagi adanya proses pertumbuhan ekonomi secara
berkesinambungan); pertumbuhan ekonomi mulai tumbuh secara dinamis dan berkelanjutan, dimana
terdapat leading industry dalam perekonomian.
4. Tahapan awal menuju ke kematangan ekonomi; ditunjukkan dengan nilai investasi yang besar dalam
pembentukan PDB, dan kenyamanan hidup serta transformasi social menjadi lebih baik, serta
5. Tahapan produksi dan konsumsi massal yang bersifat industri (inilah tahapan pembangunan atau
development stage), dimana kehidupan masyarakat diberi penawaran pada banyak pilihan untuk
dikonsumsi.
Tahapan teori pertumbuhan pembangunan Rostow dapat digambarkan melalui grafik 2.1 berikut ini:
Sumber: Potter, Bins, Eliott & Smiith (1999)
Gambar 2.3.
Teori Pertumbuhan Rostow
Tabel 2.1.
Teori Pembangunan Industri Rostow
C In
Sumber : Carlos A. Benito (2008)
Gambar 2.4.
Model Pertumbuhan Harrod-Domar
Gambar diatas menjelaskan mengenai siklus pertumbuhan ekonomi suatu negara, dimana Harrod-Domar
menekankan pada produktifitas dan tingkat tabungan suatu negara sebagai pendorong pertumbuhan ekonomi
melalui pembentukan investasi. Harrod-Domar juga memasukkan depresiasi sebagai salah satu faktor yang
turut mempengaruhi pembentukan kapital dalam perekonomian. Hal tersebut diperjelas pada gambar 2.3
berikut ini.
Gambar 2.5.
Faktor-faktor yang menjelaskan Teori Pertumbuhan Harrod-Domar
Referensi :
Achmadi. 2006. Pengerahan Modal Untuk Pembangunan. Ekonomi Pembangunan Universitas Airlangga:
Surabaya.
Achmadi. 2006. Poverty, Inequality And Development. Ekonomi Pembangunan Universitas Airlangga:
Surabaya.
Baran, Paul A. 1967. The Political Economy of Growth (4th prtg. 1967).
Bloom dan Canning. 2001. The Health and Poverty of Nations: From Theory to Practice. School of Public
Health, Harvard University: Boston and Dept. of Economics, Queens University: Belfast.
Budiman, Arief. 2000. Teori Pembangunan Dunia Ketiga. Gramedia: Jakarta.
Chen, Shaohua dan Martin Ravallion. 2007. How Have the World's Poorest Fared Since the Early 1980s?
Kerbo, Harold. 2006. Social Stratification and Inequality: Class Conflict in Historical, Comparative, and
Global Perspective, 6th edition New York: McGraw-Hill.
Mayer, Susan. 2009. Breaking the Cycle of Poverty. Chicago Chronicle 16 (1997). University of Chicago. 4
March. http://chronicle.uchicago.edu/970417/mayer.shtml.
Moore, Wilbert. 1974. Social Change. Englewood Cliffs, NJ: Prentice Hill.
Nazamuddin. 2009. Atas Nama Kemiskinan. FE-Universitas Syiah-Kuala: Aceh.
Nugroho, Rino A. 2006. Teori Dependensi: Awal, Inti, Perkembangan dan Kritik.
Nurske, Ragnar .1952. Problems of Capital Formation in Underdeveloped Countries Oxford : Basil
Blackwell.
Parsons, Talcott. 1966. Societies: Evolutionary and Comparative Perspectives. Englewood Cliffs, NJ:
Prentice Hall.
Payne, R. 2005. A Framework For Understanding Poverty (4th Edition). Highland, TX: aha! Process, Inc.
Prebisch Raul. 1978. Socioeconomic Structure and Crisis of Peripheral Capitalism. CEPAL Review.
Sagrim, Hamah. 2009. Teori Pembangunan Dunia Ketiga. International Institute Research Culture
Society And Natural Protection (IRCSNP) – UNHCR.
Sharp, A.M., Register, C.A., Grimes , P.W. 2000. Economics of Social Issues 14th edition. New York:
Irwin/McGraw-Hill.
Spicker, Paul. 2002. Poverty and the Welfare State : Dispelling the Myths. A Catalyst Working Paper,
London: Catalyst.
Valentine, C. A. 1968. Culture and Poverty. University of Chicago: London.
World Bank dan International Monetary Fund. 2001. Financial Impact of the Heavily Indebted Poor
Countries: First 22 Country Cases. Retrieved from http://www.worldbank.org.
World Bank dan International Monetary Fund. 2001. Heavily Indebted Poor Countries, Progress Report.
Retrieved from http://worldbank.org.