You are on page 1of 10

IDENTIFIKASI CAMPURAN BAHAN KIMIA OBAT FENILBUTAZON

DALAM SEDIAAN JAMU


A. TUJUAN
Mampu mengidentifikasi bahan kimia obat yang mungkin ada dalam suatu sediaan obat
tradisional.
B. DASAR TEORI
Jamu adalah obat herbal tradisional Indonesia yang telah dikonsumsi berabad-
abad oleh masyarakat Indonesia untuk memelihara kesehatan dan mengobati penyakit.
Selama ini jamu dikembangkan berdasarkan efeknya secara empiris dan berdasarkan
pengalaman masyarakat yang diturunkan secara turun temurun.
Mutu jamu ditentukan oleh sederetan persyaratan pokok, yaitu :

1. Komposisi yang benar

2. Tidak mengalami perubahan fisika kimia

3. Tidak tercemar bahan asing.

(Sutrisno, 1986)
Obat tradisional adalah bahan/ramuan bahan yang berupa bahan tumbuhan,
hewan, mineral, sediaan sari (galenik) atau campuran dari bahan tersebut, yang secara
turun temurun telah digunakan untuk pengobatan berdasarkan pengalaman (Wahyono,
2008).
Tanaman obat maupun obat tradisional relatif mudah untuk didapatkan karena
tidak memerlukan resep dokter, hal ini mendorong terjadinya penyalahgunaan manfaat
dari tanaman obat maupun obat tradisional tersebut. Contoh :
a. Jamu peluntur untuk terlambat bulan sering disalahgunakan untuk pengguguran
kandungan. Resiko yang terjadi adalah bayi lahir cacat, ibu menjadi infertil, terjadi infeksi
bahkan kematian.
b. Menghisap kecubung sebagai psikotropika.
c. Penambahan bahan kimia obat
Pada bulan Mei 2003, Balai Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM)
Pekanbaru menarik 9.708 kotak obat tradisional dari peredaran dan memusnahkannya.
Obat yang ditarik dari peredarannya sebagian besar berupa jamu-jamuan yang
mengandung bahan-bahan kimia obat (BKO) berbahaya bagi tubuh pemakainya. Bahan-
bahan kimia obat yang biasa dicampurkan itu adalah parasetamol, coffein, piroksikam,
theophylin, deksabutason,CTM, serta bahan kimia penahan rasa sakit seperti antalgin
dan fenilbutazon (Kompas, 31 Mei2003).
Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, orang yang
memproduksi dan atau mengedarkan obat tradisional yang mengandung bahan kimia
obat diancam pidana penjara paling lama lima tahun dan atau pidana denda paling
banyak Rp 100 juta.Tindakan pelanggaran itu, menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1999 tentang Perlindungan Konsumen, juga diancam hukuman pidana penjara selama
lima tahun dan atau denda paling banyak Rp 2 miliar (Kompas, 4 Juni 2009)
Bahan-bahan kimia obat tersebut dapat menimbulkan efek negatif di dalam
tubuh pemakainya jika digunakan dalam jumlah banyak. Bahan kimia seperti antalgin
misalnya,dapat mengakibatkan kerusakan pada organ pencernaan, berupa penipisan
dinding usus hingga menyebabkan pendarahan. Fenilbutazon dapat menyebabkan
pemakainya menjadi gemuk pada bagian pipi, namun hanya berisi cairan yang dikenal
dengan istilah moonface, dan jika digunakan dalam waktu yang lama dapat
menyebabkan osteoporosis (Lusia, 2006).
Untuk menekan sekecil mungkin resiko yang merugikan, dilakukan pengawasan
tiga lapis:
1. Pengawasan yang dilakukan oleh produsen dengan menerapkan system
mutu, sehingga produk yang dihasilka memenuhi standar mutu yang
ditetapkan.
2. Pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah dengan membuat peraturan
atau kebijakan serta melakukan tindakan yntuk mencegah terjadinya produk
yang berbahaya beredar di pasaran.
3. Pengawasan oleh konsumen melalui peningkatan kesadaran dan
peningkatan pengetahuan mengenai kualitas produk yang digunakannya dan
cara-cara penggunaan produk yang rasional.
Pengawasan oleh masyarakat sendiri sangat penting dilakukan karena pada
akhirnya masyarakatlah yang mengambil keputusan untuk membeli dan menggunakan
suatu produk. Konsumen dengan kesadaran dan tingkat pengetahuan yang tinggi
terhadap mutu dan kegunaan suatu produk, di satu sisi dapat membentengi dirinya
sendiri terhadap penggunaan produk-produk yang tidak memenuhi syarat dan tidak
dibutuhkan, sedangkan di sisi lain akan mendorong produsen untuk ekstra hati-hati dan
menjaga kualitasnya.
C. ALAT DAN BAHAN
ALAT:
Cawan porselen
Erlenmeyer
Gelas ukur
Mortir&stemper
Gelas pengaduk
Flakon
Penangas air
Kertas saring
Corong
Neraca analitik (Timbangan)
Kapiler penotol
Plat KLT
Lampu UV

Bahan:
Sampel jamu B6
Fenilbutazon tablet
Klorofom
Methanol
Fenilbutazon(larutan standar)
Fase Gerak : dikloretan:detileter:methanol: air (77:15:8:1,2)

D. Cara Kerja

a. Pembuatan Sampel Bahan Obat Campuran

± 500 mg cuplikan BKO

Maserasi dengan menggunakan kloroform : metanol (9 : 1) 10 mL

Gojog 30 menit

Saring
Uapkan 70oC di waterbath hingga kering

Tambahkan methanol 1 ml

Siap untuk ditotolkan

b. Pembuatan Sampel Bahan Obat Campuran + Fenilbutazon

Gerus fenilbutazon yang telah disiapkan laboran

Campur dengan BKO di stamper

Tambahkan kloroform : metanol (9 : 1) sebanyak 10 mL

Gojog 30 menit

Saring

Uapkan 70oC di waterbath sampai kering

Tambah methanol sebanyak 1ml

Siap untuk ditotolkan

E. DATA PERCOBAAN

Fase Diam : silica F254

Jumlah sampel : 2 totolan

Jarak Pengembangan: 8 cm

Fase gerak :dikloretan:detileter:methanol: air (77:15:8:1,2)


Sampel : A = sampel jamu

B = sampel jamu + fenilbutazon

C = fenilbutazon standar
Tampak UV 254

A B C A B C

Sebelum disemprot
Larutan Rf Ket.
Sinar
UV 254 UV 366
Tampak
0,47 Kekuningan Kekuningan -

A 0,56 Kekuningan kekuningan - Negatif


Kuning
0,62 Kuning jingga -
jingga
0,47 kekuningan Kuning -
Biru pudar
B 0,56 kekuningan -
(Pemadaman)
Kuning Ungu intens Positif
0,62
jingga (pemadaman)
0,71 Ungu -
0,03 - keunguan -
0,12 - keunguan - Pembanding
C
0,63 - ungu
0,71 - ungu
F. PEMBAHASAN
Tujuan dari praktikum ini adalah agar mahasiswa dapat mengidentifikasi bahan
kimia obat yang ada di dalam suatu sediaan obat tradisional, dalam hal ini adalah jamu.
Secara visual, jamu yang mengandung bahan kimia obat sulit dibedakan dengan jamu
yang tidak mengandung bahan kimia obat. Bahan kimia obat yang dicampurkan pada
jamu dosisnya tidak terukur dan karena pencampuran yang tidak homogen maka dosis
bahan kimia obat pada setiap kemasan bias berbeda. Hal ini bisa berbahaya karena
memungkinkan konsumen mengkonsusmsi bahan kimia obat secara berlebihan.
Pada praktikum ini kami mengidentifikasi sampel jamu B6 yang diduga
mengandung bahan kimia obat fenilbutazon. Penggunaan fenilbutazon yang berlebihan
bias menyebabkan moonface, dan yang jelas terlihat adalah mual, muntah, nyeri
epigastrium, reaksi alergi pada kulit, gangguan lambung, diare, vertigo, insomnia,
euforia, hematuria dan penglihatan manjadi kabur.
Fenilbutazon memiliki efek antiinflamasi, berikut adalah pemerian dari
fenilbutazon:

Phenylbutazonum

Fenilbutazon

4-butil-1,2-difenil-3,5-pirazolidinadion [50-33-9]

C19H20N2O2 BM 308,38

Fenilbutazon mengandung tidak kurang dari 98,0% dan tidak lebih dari 100,5%
C19H20N2O2, dihitung terhadap zat yang telah dikeringkan.

Pemerian : serbuk hablur, putih atau agak putih, tidak berbau

Kelarutan : sangat sukar larut dalam air; mudah larut dalam aseton dan dalam eter;
larut dalam etanol. (Farmakope Indonesia edisi IV, 1995)
Terdapat 3 macam larutan yang akan diuji melalui analisis kualitatif dengan
Kromatografi Lapis Tipis (KLT). Kromatogafi Lapis Tipis menggunakan fase diam Silika
gel F254 dan fase gerak dikloretan-dietil eter-metanol-air (77:13:8:1,2) dengan jarak
pengembangan 8 cm. Dari hasil kromatogram yang diperoleh dapat dilakukan analisis
ada tidaknya kandungan fenilbutazon dalam sediaan obat tradisional tersebut. Pada
praktikum ini digunakan 3 macam larutan, yakni:

1. Larutan A, berisi sampel jamu yang belum diketahui apakah mengandung bahan
kimia obat (fenilbutazon) atau tidak.

2. Larutan B, yakni larutan yang berisi sampel jamu dan serbuk fenilbutazon

3. Larutan C, merupakan fenilbutazon standar.

Langkah pertama yang dilakukan adalah menimbang 500 mg serbuk jamu yang
akan diteliti (larutan A). Sejumlah yang sama juga ditimbang untuk dibuat larutan B yang
kedalamnya ditambah 5 mg fenilbutazon yang telah dihaluskan. Setelah itu dilakukan
ekstraksi (digojog 30 menit) untuk masing-masing larutan A dan B dengan
menggunakan campuran pelarut kloroform-metanol (9:1). Ekstraksi tersebut bertujuan
untuk mendapatkan senyawa kimia dalam satu sampel menggunakan cairan penyari
yang sesuai. Penggunaan pelarut kloroform-metanol diharapkan dapat memperoleh baik
senyawa polar maupun nonpolar yang terkandung dalam sampel. Dalam hal ini tujuan
utama kita adalah mengidentifikasi adanya fenilbutazon atau tidak pada suatu sampel
jamu. Karena fenilbutazon merupakan senyawa nonpolar, maka digunakan
perbandingan kloroform lebih banyak daripada metanol, yaitu 9:1. sehingga diharapkan
dapat mempermudah identifikasi fenilbutazon dan dapat mengambil keputusan apakah
sampel tersebut benar-benar mengandung fenilbutazon atau tidak.

Hasil ekstraksi kemudian disaring dan diperoleh filtrat berwarna kuning.


Selanjutnya filtrat diuapkan sampai kering untuk menghilangkan sisa-sisa pelarutnya,
sehingga akan diidentifikasi murni senyawa yang terkandung dalam sampel. Sisa-sisa
pelarut dikhawatirkan mengganggu atau mengacaukan proses identifikasi selanjutnya.
Kemudian sisa penguapan tersebut dilarutkan dengan 1 ml metanol dan dimasukkan ke
dalam flakon sebagai sampel untuk uji KLT (kromatografi lapis tipis).

Identifikasi bahan kimia obat pada praktikum kali ini menggunakan metode
kromatografi lapis tipis. Dipilih metode ini karena pelaksanaan KLT relatif lebih mudah,
peralatannya lebih sederhana, banyak digunakan untuk tujuan analisis dan KLT lebih
fleksibel dalam pemilihan fase gerak. Selain itu KLT juga memiliki post chromatography
yang beraneka ragam yang dapat menungkatkan sensitifitas dan selektifitas deteksi.
Pada uji KLT ini digunakan fase diam silika F254 dengan jumlah sampel masing-masing
2 totolan.

Tahap pertama dilakukan elusi plat KLT dengan fase gerak dikloretan-diatil
eter-metanol-air (77 : 13 : 8 : 1,2), dengan jarak pengembangan 8 cm. Pemilihan fase
gerak ini pada dasarnya ditujukan untuk dapat mengelusi bahan kimia obat
(fenilbutazon) secara sempurna, dalam artian terjadi pemisahan yang signifikan
sehingga kita dapat membandingkan secara jelas antara sampel dan standar untuk
dapat mengambil keputusan dalam sampel jamu mengandung fenilbutazon atau tidak.

Plat dilihat pada sinar tampak, terlihat adanya beberapa bercak pada spot A
dan B. Bercak-bercak tersebut memiliki Rf masing-masing 0,47 yang berwarna kuning,
0,56 yang juga berwarna kuning, dan 0,62 yang berwarna kuning jingga. Pada spot
fenilbutazon standar tidak terlihat adanya bercak ketika dilihat pada sinar tampak.
Kemudian plat dilihat pada sinar UV 254. Pada spot sampel jamu (A) terlihat adanya 3
bercak dengan Rf masing-masing 0,47 yang mengalami peredaman kuning, 0,56 yang
juga mengalami peredaman kuning, dan 0,62 yang mengalami peredaman kuning
jingga. Pada spot sampel jamu yang ditambah fenilbutazon terdapat 4 bercak dengan Rf
masing-masing 0,47 yang mengalami peredaman kuning, 0,56 yang juga mengalami
peredaman kuning, 0,62 yang mengalami peredaman kuning jingga, dan 0,71 yang
mengalami peradaman ungu. Sedangkan pada spot fenilbutazon standar terlihat ada 4
bercak dengan Rf masing-masing 0,03 dan 0,12 yang mengalami peredaman keunguan,
0,63 dan 0,71 yang mengalami peredaman ungu. Pada praktikum kali ini kami tidak
menganalisis bercak dengan UV 366 karena ada masalah teknis.

Hasil elusi menunjukkan bahwa ada satu bercak yang dimiliki oleh sampel jamu
yang ditambahkan senyawa obat dan larutan fenilbutazon standar yang tidak dimiliki
oleh larutan sampel jamu. Bercak tersebut adalah bercak dengan Rf 0,71. Dengan hasil
tersebut kami mengambil kesimpulan bahwa pada sampel jamu yang diperiksa tidak
mengandung fenilbutazon.

Inti dari praktikum ini adalah dibutuhkan suatu kecermatan dan ketelitian dalam
mengidentifikasi suatu bahan kimia obat yang mungkin sengaja ditambahkan pada
suatu produk jamu. Tahap analisis harus dilaksanakan satu per satu dengan baik,
penggantian sistem fase gerak juga dapat dilakukan sebagai upaya untuk memperoleh
pemisahan yang sempurna. Sehingga keputusan yang kita ambil, didasari data yang
akurat dan tidak merugikan salah satu pihak baik produsen ataupun konsumen.

G. Kesimpulan

1. Elusi menggunakan dikloretan-dietil eter-metanol-air (77 : 13 : 8 : 1,2)


menghasilkan pemisahan yang berbeda signifikan.

2. sampel jamu B6 tidak mengandung bahan kimia obat fenilbutazon.

DAFTAR PUSTAKA
Kompas, BPOM Pekanbaru Tarik 9.708 Kotak Obat Tradisional dari Peredaran,
http://kompas.co.id/kompas-cetak/0305/11/Fokus/306422.htm - 42k , edisi 31 Mei
2003, diakses Desember 2009.
Kompas.2 persen Obat tradisonal Mengandung Bahan Kimia Obat,
http://kesehatan.kompas.com/read/xml/2009/06/04/1633182/2.persen.obat.tradisi
onal.mengandung.bahan.kimia.obat, edisi 4 juni 2009, diakses desember 2009
Lusia Oktora Ruma Kumala Sari, 2006, Pemanfaatan Obat Tradisional dengan
Penimbangan Manfaat dan Keamanannya, Majalah Ilmu Kefarmasian, Vol. III,
No.1, April 2006, 01 – 07
Sutrisno, R. Bambang, 1986, Analisis Jamu, Fakultas Farmasi Universitas Pancasila,
Jakarta.

Wahyono, 2008, Handout Kuliah Analisis Jamu, Fakultas Farmasi UGM, Yogyakarta.

Yogyakarta, 3 Desember 2009

Mengetahui Praktikan
Puspa Yanuar FA/7836
Arif Mulpratama FA/7837
Nurul Fauzia FA/7848
Asisten Fany Mutia Cahyani FA/7850

You might also like