You are on page 1of 38

Menghadapi era globalisasi ekonomi, ancaman bahaya laten terorisme, komunisme dan

fundamentalisme merupakan sebuah tantangan tersendiri bagi bangsa Indonesia. Disamping itu
yang patut diwaspadai adalah pengelompokan suku bangsa di Indonesia yang kini semakin kuat.
Ketika bangsa ini kembali dicoba oleh pengaruh asing untuk dikotak kotakan tidak saja oleh
konflik vertikal tetapi juga oleh pandangan terhadap ke Tuhanan Yang Maha Esa.
Pemahaman Nasionalisme yang berkurang
Di saat negara membutuhkan soliditas dan persatuan hingga sikap gotong royong, sebagian kecil
masyarakat terutama justru yang ada di perkotaan justru lebih mengutamakan kelompoknya,
golonganya bahkan negara lain dibandingkan kepentingan negaranya. Untuk itu sebaiknya setiap
komponen masyarakat saling berinterospeksi diri untuk dikemudian bersatu bahu membahu
membawa bangsa ini dari keterpurukan dan krisis multidimensi.
Februari 1, 2008
Kategori: Hankam . . Penulis: ideologipancasila . Komentar: & Komentar
Tantangan Kedepan Bangsa Indonesia
Menghadapi era globalisasi ekonomi, ancaman bahaya laten terorisme, komunisme dan
fundamentalisme merupakan sebuah tantangan tersendiri bagi bangsa Indonesia. Disamping itu
yang patut diwaspadai adalah pengelompokan suku bangsa di Indonesia yang kini semakin kuat.
Ketika bangsa ini kembali dicoba oleh pengaruh asing untuk dikotak kotakan tidak saja oleh
konflik vertikal tetapi juga oleh pandangan terhadap ke Tuhanan Yang Maha Esa.
Pemahaman Nasionalisme yang berkurang
Di saat negara membutuhkan soliditas dan persatuan hingga sikap gotong royong, sebagian kecil
masyarakat terutama justru yang ada di perkotaan justru lebih mengutamakan kelompoknya,
golonganya bahkan negara lain dibandingkan kepentingan negaranya. Untuk itu sebaiknya setiap
komponen masyarakat saling berinterospeksi diri untuk dikemudian bersatu bahu membahu
membawa bangsa ini dari keterpurukan dan krisis multidimensi.
Februari 1, 2008
Kategori: Hankam . . Penulis: ideologipancasila . Komentar: & Komentar
Turut mengucapkan Belasungkawa atas wafatnya Jendral
Besar H.M Soeharto
Telah beristirahat dengan tenang di Rumah Sakit Pusat Pertamina Mantan Presiden
Republik Indonesia ke 2 Jendral Besar H.M Soeharto pada tanggal 27 Januari 2007.
Semoga amal ibadahnya diterima oleh Tuhan Yang Maha Esa
Februari 1, 2008
Kategori: Sosial . . Penulis: ideologipancasila . Komentar: & Komentar
Wawasan Nusantara
Salah satu persyaratan mutlak harus dimiliki oleh sebuah negara adalah wilayah kedaulatan, di
samping rakyat dan pemerintahan yang diakui. Konsep dasar wilayah negara kepulauan telah
diletakkan melalui Deklarasi Djuanda 13 Desember 1957. Deklarasi tersebut memiliki nilai
sangat strategis bagi bangsa Indonesia, karena telah melahirkan konsep Wawasan Nusantara
yang menyatukan wilayah Indonesia. Laut Nusantara bukan lagi sebagai pemisah, akan tetapi
sebagai pemersatu bangsa Indonesia yang disikapi sebagai wilayah kedaulatan mutlak Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
Ada bangsa yang secara eksplisit mempunyai cara bagaimana ia memandang tanah airnya
beserta lingkungannya. Cara pandang itu biasa dinamakan wawasan nasional. Sebagai contoh,
Inggris dengan pandangan nasionalnya berbunyi: “Brittain rules the waves”. Ini berarti tanah
Inggris bukan hanya sebatas pulaunya, tetapi juga lautnya.
Tetapi cukup banyak juga negara yang tidak mempunyai wawasan, seperti: Thailand, Perancis,
Myanmar dan sebagainya. Indonesia wawasan nasionalnya adalah wawasan nusantara yang
disingkat wasantara. Wasantara ialah cara pandang bangsa Indonesia berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945 tentang diri dan lingkungannya dalam eksistensinya yang sarwa
nusantara dan penekanannya dalam mengekspresikan diri sebagai bangsa Indonesia di tengah-
tengah lingkungannya yang sarwa nusantara itu. Unsur-unsur dasar wasantara itu ialah: wadah
(contour atau organisasi), isi, dan tata laku. Dari wadah dan isi wasantara itu, tampak adanya
bidang-bidang usaha untuk mencapai kesatuan dan keserasian dalam bidang-bidang:
• Satu kesatuan Wilayah
• Satu kesatuan Bangsa
• Satu kesatuan Budaya
• Satu kesatuan Ekonomi
• Satu kesatuan Hankam
Jelaslah disini bahwa wasantara adalah pengejawantahan falsafah Pancasila dan UUD 1945
dalam wadah negara Republik Indonesia. Kelengkapan dan keutuhan pelaksanaan wasantara
akan terwujud dalam terselenggaranya ketahanan nasional Indonesia yang senantiasa harus
ditingkatkan sesuai dengan tuntutan zaman. Ketahanan nasional itu akan dapat meningkat jika
ada pembangunan yang meningkat, dalam “koridor” wasantara.
Hakekat Wawasan Nusantara
Wawasan Nusantara adalah cara pandang Bangsa Indonesia terhadap rakyat, bangsa dan wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia yang meliputi darat, laut dan udara di atasnya sebagai satu
kesatuan Politik, Ekonomi, Sosial, Budaya dan Pertahanan Keamanan.
Februari 1, 2008
Kategori: Politik . . Penulis: ideologipancasila . Komentar: & Komentar
Sistem Theokrasi menindas Minoritas
Seperti yang sudah sudah, kini mulai timbul segelintir kelompok yang menginginkan perubahan
dasar negara indonesia yang selama ini menggunakan azaz tunggal Pancasila menjadi sebuah
negara yang berdasarkan Khilafah atau untuk kalangan awam disebut Syariat Islam.

Kini pertanyaanya adalah apakah memang sistem tersebut sangat sempurna sehingga patut
mengganti azas Pancasila yang selama ini telah menjadi rumah yang nyaman bagi berbagai umat
beragama. Sebagai contoh yang paling kongkret adalah keadialan sistem itu sendiri. Sebagai
contoh paling mudah adalah definisi benar salah menurut agama tertentu bukan definisi bersama
berdasarkan Pancasila yang mengakui lima agama. Apakah itu yang kita inginkan? dimana
semua kebenaran, kesalahan dan standar moral di nilai hanya berdasarkan standar satu agama
mayoritas? Apakah nasib penganut agama minoritas akan disingkirkan atau tersingkirkan dengan
sendirinya?

Ingat, “Keharusan Partai Berazaskan Pancasila” yang kini digadang oleh partai Golkar dan PDI
Perjuangan telah membuat kepanasan partai partai Islam radikal yang pada dasarnya ingin
menghancurkan kebhinekaan dan keberagaman budaya Indonesia dengan menggantinya menjadi
sistem Syariat Islam. Jika memang ingin merubah PANCASIlA kami siap membela
PANCASILA sampai titik darah penghabisan.
September 26, 2007
Kategori: Budaya, Demokrasi, Politik . . Penulis: ideologipancasila . Komentar: & Komentar
Perda Syariat – Mengancam Integrasi Bangsa
Pikirkan jika suatu kebenaran, kesalahan maupun etika moral ditentukan oleh sebuah definisi
sebuah agama dalam hal ini agama Islam. Sedangkan ketika anda terlibat didalamnya anda
adalah seseorang yang memeluk agama diluar Islam! Apakah yang anda pikirkan dan bagai
mana perasaan di hati anda ketika sebuah kebenaran dan moralitas pada hati nurani anda
ditentukan oleh agama lain yang bukan anda anut?
Sekarang dibeberapa provinsi telah terjadi, dengan alasan moral dan budaya maka diterapkanlah
aturan tersebut. Sebagai contoh, kini di sebuah provinsi semua wanita harus menggunakan jilbab.
Mungkin bagi sebagian kecil orang yang tinggal di Indonesia merupakan keindahan namun bagai
mana dengan budaya yang selama ini telah ada? Jangankan di tanah Papua, pakaian Kebaya pun
artinya dilarang dipakai olah putri daerah. Bukankah ini merupakan penghianatan terhadap
kebhinekaan bangsa Indonesia yang begitu heterogen. Jika anda masih ragu, silahkan lihat apa
yang terjadi di Saudi Arabia dengan aliran Salafy Wahabinya. Tidak ada pemilu, tidak ada
kesetaraan gender dan lihat betapa tersisihnya kaum wanita dan penganut agama minoritas
disana. Jika memang anda cinta dengan Adat, Budaya dan Toleransi umat beragama di Indonesia
dukung dan jagalah kesucian Pancasila sebagai ideologi pemersatu bangsa.
Agustus 14, 2007
Kategori: Budaya, Demokrasi . . Penulis: ideologipancasila . Komentar: & Komentar
Pemilihan Ideologi Pacasila
Seperti yang telah kita ketahui bahwa di Indonesia terdapat berbagai macam suku bangsa, adat
istiadat hingga berbagai macam agama dan aliran kepercayaan. Dengan kondisi sosiokultur yang
begitu heterogen dibutuhkan sebuah ideologi yang netral namun dapat mengayomi berbagai
keragaman yang ada di Indonesia.
Karena itu dipilihlah Pancasila sebagai dasar negara. Namun saat ini yang menjadi permasalahan
adalah bunyi dan butir pada sila pertama. Sedangkan sejauh ini tidak ada pihak manapun yang
secara terang terangan menentang bunyi dan butir pada sila kedua hingga ke lima, kecuali Hizbut
Tahrir Indonesia yang secara terang terangan menentang pasal ke 4. Namun hal itu akan dibahas
lain kali.
Sila pertama yang berbunyi “ketuhanan yang maha esa” pada saat perumusan pernah diusulkan
oleh PDU PPP dan FDU (kini PKS) ditambah dengan kata kata “… dengan kewajiban
menjalankan syariat islam bagi pemeluknya“ sejak saat itu dikenal sebagai Piagam Jakarta.
Namun dua ormas Islam terbesar saat itu – hingga kini yaitu Nahdatul Ulama dan
Muahmmadiyah menentang penerapan Piagam Jakarta tersebut, karena dua ormas Islam tersebut
menyadari bahwa jika penerapan syariat Islam diterapkan secara tidak langsung namun pasti
akan menjadikan indonesia sebagai negara Islam dan secara “fair” hal tersebut dapat memojokan
umat beragama lain. Yang lebih buruk lagi adalah dapat memicu disintegrasi bangsa terutama
bagi profinsi yang mayoritas beragama non Islam. Karena itulah sampai detik ini bunyi sila
pertama adalah “ketuhanan yang maha esa” yang berarti bahwa Pancasila mengakui dan
menyakralkan keberadaan Agama, tidak hanya Islam namun termasuk juga Kristen, Katholic,
Budha dan Hindu sebagai agama resmi negara.
Akibat maraknya parpol dan ormas Islam yang tidak mengakui keberadaan Pancasila dengan
menjual nama Syariat islam dapat mengakibatkan disintegrasi bangsa. Bagi kebanyakan
masyarakat indonesia yang cinta atas keutuhan NKRI maka banyak dari mereka yang
mengatasnamakan diri mereka Islam Pancasilais, atau Islam Nasionalis.

Agustus 14, 2007


Kategori: Agama, Politik, Sosial . . Penulis: ideologipancasila . Komentar: & Komentar
Hizbut Tahrir Indonesia, Radikalisme yang
Mengancam NKRI
Hizbut Tahrir Indoesia Anti Demokrasi
Setelah berlangsungnya konfrensi khilafah sedunia yang berlangsung pada hari minggu 12
agustus 2007 terbetik berita yang sangat valid bahwa HTI tidak menutup kemungkinan untuk
menjadi sebuah partai politik anti demokrasi.
Setelah memberikan pernyataanya kepada publik, jubir HTI Muhamad Ismail Yusanto
mengatakan bahwa HTI tidak menutup kemungkinan untuk menjadi parpol. Namun menurut
Yusanto pihak HTI tidak sependapat dengan semangat demokrasi yang dianut parpol islam
lainya. Karena menurut pendapat HTI yang tentunya tidak mengakui keberadaan PANCASILA
sebagai sebuah dasar negara apalagi ideologi. Demokrasi membawa jargon dari rakyat oleh
rakyat untuk rakyat. Tidak sesuai dengan dasar ideologi HTI yang menganggap Khilafah
Islamiyah (kepemimpinan islam dan hanya mengakui keberadaan islam) bahwa kekuasaan hanya
pada Allah dan kepada kemaslahatan Ummat.
HTI anti Demokrasi dan Pancasila
Semangat hari kemerdekaan justru tidak disinggung sama sekali oleh HTI yang ada justru
penentanganya terhadap ideologi pemersatu PANCASILA dan Demokrasi. Sebuah organisasi
yang dikenal dengan tindakan brutal dan anarkis ini sama sekali tidak merasa perlu menghormati
PANCASILA. Bahkan banyak dari mereka enggan melakukan hormat kepada sang merah putih.
Tidak terbayangkan bahwa sebuah organisasi RADIKAL yang telah mencoreng nama Islam
akan menjadi partai politik penebar teror. Hanya satu kata, satu himbauan, Jika memang anda
mencintai Indonesia, dan menginginkan Indonesia menjadi rumah bagi berbagai umat beragama
dan menjaga keutuhan Indonesia dari Sabang sampai Merauke maka dukunglah PANCASILA
dan hindari organisasi radikal seperti HTI. Merdakaaa !!!
Link : http://www.eramuslim.com/berita/nas/7812152936-hti-tak-tutup-kemungkinan-jadi-
parpol.htm
Link: http://www.detiknews.com/indexfr.php
Agustus 12, 2007
Kategori: Demokrasi, Politik . . Penulis: ideologipancasila . Komentar: & Komentar
Bedah Butir Pada Pancasila – Sila Pertama
• Ketuhanan Yang Maha Esa
• Bangsa Indonesia menyatakan kepercayaanya dan ketaqwaanya kepada Tuhan Yang
Maha Esa.
• Manusia Indonesia percaya dan taqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, sesuai dengan
agama dan kepercayaannya masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan
beradab.
• Mengembangkan sikap hormat menghormati dan bekerjasama antra pemeluk agama
dengan penganut kepercayaan yang berbeda-beda terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
• Membina kerukunan hidup di antara sesama umat beragama dan kepercayaan terhadap
Tuhan Yang Maha Esa
• Agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa adalah masalah yang
menyangkut hubungan pribadi manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa.
• Mengembangkan sikap saling menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai
dengan agama dan kepercayaanya masing masing
• Tidak memaksakan suatu agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa
kepada orang lain.

Pemahaman dan Pelanggaran terhadap Pancasila saat ini


• Artinya Ideologi Pancasila merupakan dasar negara yang mengakui dan mengagungkan
keberadaan agama dalam pemerintahan. Sehingga kita sebagai warga negara Indonesia
tidak perlu meragukan konsistensi atas Ideologi Pancasila terhadap agama. Tidak perlu
berusaha mengganti ideologi Pancasila dengan ideologi berbasis agama dengan alasan
bahwa ideologi Pancasila bukan ideologi beragama. Ideologi Pancasila adalah ideologi
beragama.
• Sesama umat beragama seharusnya kita saling tolong menolong. Tidak perlu melakukan
permusuhan ataupun diskriminasi terhadap umat yang berbeda agama, berbeda keyakinan
maupun berbeda adat istiadat.
• Hanya karena merasa berasal dari agama mayoritas tidak seharusnya kita merendahkan
umat yang berbeda agama ataupun membuat aturan yang secara langsung dan tidak
langsung memaksakan aturan agama yang dianut atau standar agama tertentu kepada
pemeluk agama lainya dengan dalih moralitas.
• Hendaknya kita tidak menggunakan standar sebuah agama tertentu untuk dijadikan tolak
ukur nilai moralitas bangsa Indonesia. Sesungguhnya tidak ada agama yang salah dan
mengajarkan permusuhan.
• Agama yang diakui di Indonesia ada 5, yaitu Islam, Kristen, Katolik, Budha dan Hindu.
• Sebuah kesalahan fatal bila menjadikan salah satu agama sebagai standar tolak ukur
benar salah dan moralitas bangsa. Karena akan terjadi chaos dan timbul gesekan antar
agama. kalaupun penggunaan dasar agama haruslah mengakomodir standar dari Islam,
Kristen, Katolik, Budha dan Hindu bukan berdasarkan salah satu agama entah agama
mayoritas ataupun minoritas.

Pancasila Sebagai Paradigma


Makalah-perbaikan dari makalah yang pernah disajikan pada kegiatan
“Deseminasi MKPK Pendidikan Pancasila dan Pendidikan Kewarganegaraan”
bagi para Dosen Pendidikan Pancasila dan Pendidikan Kewarganegaraan
di lingkungan Unpad, tanggal 24 November 2000,
Kampus Unpad, Bandung.

Oleh

!
"

KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, atas rahmat Tuhan Yang Mahaesa, makalah tentang
“Pancasila sebagai Paradigma” telah selesai diperbaiki dan disusun kembali.

Makalah ini pernah disajikan pada kegiatan “Deseminasi MKPK


Pendidikan Pancasila dan Pendidikan Kewarganegaraan” bagi para Dosen
Pendidikan Pancasila dan Pendidikan Kewarganegaraan di lingkungan Unpad,
tanggal 24 November 2000, Kampus Unpad, Bandung. Makalah yang telah
dikembangkan ini diajukan oleh penyusun untuk memenuhi kenaikan jabatan
dan pangkat sebagai dosen pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Padjadjaran (FISIP UNPAD) yang setara dengan Golongan IV/b.

Demikian makalah ini ditulis dan semoga dapat memenuhi ajuan


dimaksud.

Bandung, 26 Januari 2001

Penyusun,

Pipin Hanapiah, Drs.


NIP. 131832050

iv

Makalah-perbaikan dari makalah yang pernah disajikan pada kegiatan


“Deseminasi MKPK Pendidikan Pancasila dan Pendidikan Kewarganegaraan”
bagi para Dosen Pendidikan Pancasila dan Pendidikan Kewarganegaraan
di lingkungan Unpad, tanggal 24 November 2000,
Kampus Unpad, Bandung.
Oleh

Menyetujui:

Dosen Senior,

Dr. Samugyo Ibnu Redjo, Drs., M.A.


NIP. 131408365

DAFTAR ISI

Persetujuan Dosen Senior ………………….………………………………


iii
KATA PENGANTAR ……………………………………………………..
iv
DAFTAR ISI ……………………………………………………………….
v
A. Pendahuluan …………………………………………………………….
1
B. Sejarah Perjuangan Bangsa Indonesia sebagai Titik Tolak Memahami
2
Asal Mula Pancasila …………………………………………………….
C. Pancasila sebagai Paradigma Pengembangan Ilmu Pengetahuan ………
3
D. Pancasila sebagai Paradigma Pengembangan Hukum …………………
4
E. Supremasi Hukum dalam Perspektif Pengembangan HAM ……………
6
F. Pancasila sebagai Paradigma Pengembangan Sosial Politik ……………
6
G. Pancasila sebagai Paradigma Pengembangan Ekonomi ………………..
8
H. Pancasila sebagai Paradigma Pengembangan Kebudayaan Bangsa ……
9
I. Pancasila sebagai Paradigma Pembangunan Pertahanan ……………….
10
J. Implikasi Paradigma Pancasila pada Pemahaman UUD 1945 ………….
11
K. Reaktualisasi Nilai-nilai Pancasila di Era Reformasi dan Era Global ….
12
L. Daftar Pustaka …………………………………………………………..
15

PANCASILA SEBAGAI PARADIGMA*


Pipin Hanapiah**

A. Pendahuluan
Pancasila sebagai paradigma dimaksudkan bahwa Pancasila sebagai sistem-
nilai acuan, kerangka-acuan berpikir, pola-acuan berpikir; atau jelasnya sebagai
sistem nilai yang dijadikan kerangka landasan, kerangka cara, dan sekaligus
kerangka
arah/tujuan bagi ‘yang menyandangnya’. Yang menyandangnya itu di antaranya:
(1)
pengembangan ilmu pengetahuan, (2) pengembangan hukum, (3) supremasi
hukum
dalam perspektif pengembangan HAM, (4) pengembangan sosial politik, (5)
pengembangan ekonomi, (6) pengembangan kebudayaan bangsa, (7)
pembangunan
pertahanan, dan (8) sejarah perjuangan bangsa Indonesia sebagai titik tolak
memahami asal mula Pancasila.
Kedelapannya itu, dalam makalah ini, dijadikan pokok bahasan. Namun
demikian agar sistematikanya menjadi relatif lebih tepat, pembahasannya dimulai
oleh ‘paradigma yang terakhir’ (8), baru kemudian secara berurut dilanjut oleh (1)
s.d. (7).
------------------------

• Makalah-perbaikan dari makalah yang pernah disajikan pada kegiatan


“Deseminasi MKPK Pendidikan
Pancasila dan Pendidikan Kewarga-negaraan” bagi para Dosen Pendidikan Pancasila
dan Pendidikan
Kewarganegaraan di lingkungan Unpad tanggal 24 Nopember 2000 di Kampus
Unpad (Dipati Ukur).

** Dosen pada FISIP UNPAD serta Alumnus Pelatihan (TOT) Pendidikan Pancasila
(Dikti Depdiknas, 2000)
dan Alumnus Pelatihan (Internship) Filsafat Pancasila (Dikti-UGM Depdikbud, 1998).

Sumber materi makalah ini sebagian terbesarnya merupakan saripati materi


pada makalah-makalah para pembicara (lihat Daftar Pustaka), yang dilengkapi
dengan pengetahuan penulis selama ini—baik yang diperoleh dari kegiatan diskusi
Pelatihan (TOT) maupun sumber-sumber pustaka lainnya.

B. Sejarah Perjuangan Bangsa Indonesia sebagai Titik Tolak


Memahami Asal Mula Pancasila
Asal mula Pancasila secara materil merupakan bagian tak terpisahkan
dari sejarah perjuangan bangsa Indonesia, yaitu berupa nilai-nilai yang
terkandung
di dalam Pancasila; secara formal merupakan bagian tak terpisahkan dari sejarah
pergerakan nasional yang berpuncak pada proklamasi kemerdekaan, yaitu berupa
proses perumusan dan pengesahannya sebagai dasar filsafat NKRI.
Secara materil, nilai-nilai Pancasila bermula dari tradisi hidup-berdampingan
(antar-yang-berbeda agama), toleransi umat beragama, persamaan haluan politik
yang
anti-penjajahan untuk mencita-citakan kemerdekaan, gerakan nasionalisme, dan
sebagainya. Yang kesemuanya telah hidup dalam adat, kebiasaan, kebudayaan,
dan
agama-agama bangsa Indonesia.

Secara formal, perumusan Pancasila disiapkan oleh BPUPKI (29 Mei s.d. 1
Juni 1945) dan disahkan oleh PPKI (18 Agustus 1945).

Asal mula Pancasila sebagai dasar filsafat negara dibedakan kedalam: (1)
causa materialis, yaitu berasal dari dan terdapat dalam sejarah perjuangan bangsa
Indonesia sebelum proklamasi kemerdekaan, (2) causa formalis dan finalis, yaitu
terdapat dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia sekitar proklamasi
kemerdekaan,
(3) causa efisien, yaitu terdapat dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia
setelah
proklamasi kemerdekaan.

C. Pancasila sebagai Paradigma Pengembangan Ilmu Pengetahuan

Dengan memasuki kawasan filsafat ilmu, ilmu pengetahuan yang diletakkan


di atas Pancasila sebagai paradigmanya perlu difahami dasar dan arah
penerapannya,
yaitu pada aspek ontologis, epistemologis, dan aksiologisnya.
Pada ontologisnya berarti hakikat ilmu pengetahuan merupakan aktivitas
manusia Indonesia yang tidak mengenal titik-henti dalam upayanya untuk mencari
dan menemukan kebenaran dan kenyataan yang utuh dalam dimensinya sebagai
masyarakat, sebagai proses, dan sebagai produk. Sebagai masyarakat berarti
mewujud dalam academic community; sebagai proses berarti mewujud dalam
scientific activity; sebagai produk berarti mewujud dalam scientific product beserta
aplikasinya.
Pada epistemologisnya berarti Pancasila dengan nilai-nilai yang
terkandungnya dijadikan metode berpikir (dijadikan dasar dan arah berpikir) dalam

mengembangkan ilmu pengetahuan, yang parameternya adalah nilai-nilai yang


terkandung dalam Pancasila itu sendiri.
Pada aksiologisnya berarti bahwa dengan menggunakan epistemologi
tersebut, kemanfaatan dan efek pengembangan ilmu pengetahuan secara negatif
tidak bertentangan dengan ideal Pancasila dan secara positif mendukung atau
mewujudkan nilai-nilai ideal Pancasila.
Atas dasar itu, perguruan tinggi harus mewujud secara kultural dan struktural
dalam tradisi akademis/ilmiah. Kultural dalam arti sivitas akademikanya memiliki
sikap akademis yang selalu berusaha sebagai ‘pemusafir’ ilmu pengetahuan yang
tanpa batas. Struktural dalam arti dunia perguruan tinggi harus dipupuk secara
demokratis dan terbuka melalui wacana akademis—harus melepaskan diri sebagai
‘jawatan’—agar kreativitas dan daya inovasi dapat berkembang, sehingga tugas
tridharma perguruan tinggi dapat berjalan dan berhasil secara optimal.

D. Pancasila sebagai Paradigma Pengembangan Hukum

Dengan ditetapkannya UUD 1945, NKRI telah memiliki sebuah konstitusi,


yang di dalamnya terdapat pengaturan tiga kelompok materi-muatan
konstitusi,
yaitu: (1) adanya perlindungan terhadap HAM, (2) adanya susunan ketatanegaraan
negara yang mendasar, dan (3) adanya pembagian dan pembatasan tugas-tugas
ketatanegaraan yang juga mendasar.

Sesuai dengan UUD 1945, yang di dalamnya terdapat rumusan Pancasila,


Pembukaan UUD 1945 merupakan bagian dari UUD 1945 atau merupakan
bagian dari hukum positif. Dalam kedudukan yang demikian, ia mengandung
segi
positif dan segi negatif. Segi positifnya, Pancasila dapat dipaksakan berlakunya
(oleh
negara); segi negatifnya, Pembukaan dapat diubah oleh MPR—sesuai dengan
ketentuan Pasal 37 UUD 1945.
Hukum tertulis seperti UUD—termasuk perubahannya—, demikian juga UU
dan peraturan perundang-undangan lainnya, harus mengacu pada dasar negara
(sila-
sila Pancasila dasar negara).
Dalam kaitannya dengan ‘Pancasila sebagai paradigma pengembangan
hukum’, hukum (baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis) yang akan dibentuk
tidak dapat dan tidak boleh bertentangan dengan sila-sila: (1) Ketuhanan Yang
Maha
Esa, (2) Kemanusiaan yang adil dan beradab, (3) Persatuan Indonesia, (4)
Kerakyatan
yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dan
(5) Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Dengan demikian, substansi hukum yang dikembangkan harus
merupakan perwujudan atau penjabaran sila-sila yang terkandung dalam
Pancasila. Artinya, substansi produk hukum merupakan karakter produk hukum
responsif (untuk kepentingan rakyat dan merupakan perwujuan aspirasi rakyat).

E. Supremasi Hukum dalam Perspektif Pengembangan HAM

Dalam negara hukum, supremasi hukum pun harus menjamin bahwa HAM
dijunjung tinggi dan dilindungi oleh hukum; HAM harus sebagai ciri negara hukum.
Secara objektif, HAM merupakan kewenangan-kewenangan pokok yang
melekat pada manusia (atau melekat pada kodrat manusia), yang harus diakui dan
dihormati oleh masyarakat dan negara. HAM itu universal, tidak tersekat oleh
suku,
bangsa, dan agama; tetapi tatkala HAM dirumuskan dalam UUD (konstitusi), ia
menjadi berbeda-beda menurut ideologi, menurut kultur negara masing-
masing.
Begitu juga di Indonesia, HAM Indonesia adalah HAM yang berlandaskan
pada Ideologi Pancasila. Ini berarti bahwa HAM di Indonesia (sila Kedua) harus
yang berlandaskan pada dan bertanggungjawab kepada Tuhan (sila Pertama),
harus
yang mendahulukan kepentingan bangsa dan negara (sila Ketiga), harus yang
diakui/disepakati dan dihormati oleh masyarakat/rakyat (sila Keempat), dan harus
yang diimbangi oleh kewajiban-kewajiban sosial(sila Kelima).

F. Pancasila sebagai Paradigma Pengembangan Sosial Politik

Pancasila sebagai paradigma pengembangan sosial politik diartikan bahwa


Pancasila bersifat sosial-politik bangsa dalam cita-cita bersama yang ingin
diwujudkan dengan menggunakan nilai-nilai dalam Pancasila. Pemahaman untuk
implementasinya dapat dilihat secara berurutan-terbalik:
6

• Penerapan dan pelaksanaan keadilan sosial mencakup keadilan politik, budaya,


agama, dan ekonomi dalam kehidupan sehari-hari;
• Mementingkan kepentingan rakyat (demokrasi) bilamana dalam pengambilan
keputusan;
• Melaksanakan keadilan sosial dan penentuan prioritas kerakyatan berdasarkan
konsep mempertahankan persatuan;
• Dalam pencapaian tujuan keadilan menggunakan pendekatan kemanusiaan yang
adil dan beradab;
• Tidak dapat tidak; nilai-nilai keadilan sosial, demokrasi, persatuan, dan
kemanusiaan (keadilan-keberadaban) tersebut bersumber pada nilai Ketuhanan
Yang Maha Esa.
Di era globalisasi informasi seperti sekarang ini, implementasi tersebut perlu
direkonstruksi kedalam pewujudan masyarakat-warga (civil society) yang
mencakup masyarakat tradisional (berbagai asal etnik, agama, dan golongan),
masyarakat industrial, dan masyarakat purna industrial. Dengan demikian, nilai-nilai

sosial politik yang dijadikan moral baru masyarakat informasi adalah:


~ nilai toleransi;
~ nilai transparansi hukum dan kelembagaan;
~ nilai kejujuran dan komitmen (tindakan sesuai dengan kata);
~ bermoral berdasarkan konsensus (Fukuyama dalam Astrid: 2000:3).

G. Pancasila sebagai Paradigma Pengembangan Ekonomi

Pancasila sebagai paradigma pengembangan ekonomi lebih mengacu pada


Sila Keempat Pancasila; sementara pengembangan ekonomi lebih mengacu pada
pembangunan Sistem Ekonomi Indonesia. Dengan demikian subjudul ini menunjuk
pada pembangunan Ekonomi Kerakyatan atau pembangunan Demokrasi
Ekonomi
atau pembangunan Sistem Ekonomi Indonesia atau Sistem Ekonomi
Pancasila.

Dalam Ekonomi Kerakyatan, politik/kebijakan ekonomi harus untuk sebesar-


besar kemakmuran/kesejahteraan rakyat—yang harus mampu mewujudkan
perekonomian nasional yang lebih berkeadilan bagi seluruh warga masyarakat
(tidak
lagi yang seperti selama Orde Baru yang telah berpihak pada ekonomi
besar/konglomerat). Politik Ekonomi Kerakyatan yang lebih memberikan
kesempatan, dukungan, dan pengembangan ekonomi rakyat yang mencakup
koperasi, usaha kecil, dan usaha menengah sebagai pilar utama pembangunan
ekonomi nasional. Oleh sebab itu perekonomian disusun sebagai usaha bersama
berdasar atas asas kekeluargaan. Bangun perusahaan yang sesuai dengan ini ialah
koperasi.

Ekonomi Kerakyatan akan mampu mengembangkan program-program


kongkrit pemerintah daerah di era otonomi daerah yang lebih mandiri dan lebih
mampu mewujudkan keadilan dan pemerataan pembangunan daerah. Dengan
demikian, Ekonomi Kerakyatan akan mampu memberdayakan daerah/rakyat dalam

berekonomi, sehingga lebih adil, demokratis, transparan, dan partisipatif. Dalam


Ekonomi Kerakyatan, Pemerintah Pusat (Negara) yang demokratis
berperanan
memaksakan pematuhan peraturan-peraturan yang bersifat melindungi warga atau
meningkatkan kepastian hukum.

H. Pancasila sebagai Paradigma Pengembangan Kebudayaan


Bangsa

Paradigma-baru dalam pembangunan nasional berupa paradigma


pembangunan berkelanjutan, yang dalam perencanaan dan pelaksanaannya
perlu
diselenggarakan dengan menghormati hak budaya komuniti-komuniti yang
terlibat,
di samping hak negara untuk mengatur kehidupan berbangsa dan hak asasi
individu
secara berimbang (Sila Kedua). Hak budaya komuniti dapat sebagai
perantara/penghubung/penengah antara hak negara dan hak asasi individu.
Paradigma ini dapat mengatasi sistem perencanaan yang sentralistik dan yang
mengabaikan kemajemukan masyarakat dan keanekaragaman kebudayaan
Indonesia.
Dengan demikian, era otonomi daerah tidak akan mengarah pada otonomi
sukubangsa tetapi justru akan memadukan pembangunan lokal/daerah dengan
pembangunan regional dan pembangunan nasional (Sila Keempat), sehingga ia
akan
menjamin keseimbangan dan kemerataan (Sila Kelima) dalam rangka
memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa yang akan sanggup menegakan
kedaulatan dan keutuhan wilayah NKRI (Sila Ketiga).
9

Apabila dicermati, sesungguhnya nilai-nilai Pancasila itu memenuhi


kriteria sebagai puncak-puncak kebudayaan, sebagai kerangka-acuan-
bersama,
bagi kebudayaan-kebudayaan di daerah: (1) Sila Pertama, menunjukan tidak satu
pun
sukubangsa ataupun golongan sosial dan komuniti setempat di Indonesia yang
tidak mengenal kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa; (2) Sila Kedua,
merupakan nilai budaya yang dijunjung tinggi oleh segenap warganegara Indonesia
tanpa membedakan asal-usul kesukubangsaan, kedaerahan, maupun golongannya;
(3) Sila Ketiga, mencerminkan nilai budaya yang menjadi kebulatan tekad
masyarakat majemuk di kepulauan nusantara untuk mempersatukan diri sebagai
satu
bangsa yang berdaulat; (4) Sila Keempat, merupakan nilai budaya yang luas
persebarannya di kalangan masyarakat majemuk Indonesia untuk melakukan
kesepakatan melalui musyawarah. Sila ini sangat relevan untuk mengendalikan
nilai-nilai budaya yang mendahulukan kepentingan perorangan; (5) Sila Kelima,
betapa nilai-nilai keadilan sosial itu menjadi landasan yang membangkitkan
semangat perjuangan bangsa Indonesia dalam memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikutserta melaksanakan ketertiban dunia
yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.

I. Pancasila sebagai Paradigma Pembangunan Pertahanan

Paradigma-baru TNI dalam rangka menjadikan Pancasila (sila-sila Pancasila)

10

sebagai paradigma pembangunan pertahanan adalah berupa: (1) Tindakan TNI


senantiasa: (a) melaksanakan tugas negara dalam rangka pemberdayaan
kelembagaan
fungsional, (b) atas kesepakatan bangsa, (c) bersama-sama komponen strategis
bangsa lainnya, (d) sebagai bagian dari sistem nasional, (e) melalui pengaturan
konstitusional; dan (2) pada hakikatnya merupakan pemberdayaan bangsa.
Esensi implementasi paradigma-baru itu—secara internal TNI—berupa:
(1) tanggalkan kegiatan sosial politik, (2) bertugas pokok pada pertahanan negara
terhadap ancaman dari luar negeri, (3) keamanan dalam negeri merupakan fungsi
Polri, (4) melakukan penguatan dan penajaman pada konsistensi doktrin gabungan
(keseimbangan AD-AL-AU).

Paradigma-lama TNI (ABRI) berupa: (1) pendekatan keamanan pada


masalah kebangsaan, (2) posisi ABRI dekat dengan pusat kekuasaan, (3) ABRI
sebagai penjuru bagi penyelesaian segenap masalah kebangsaan, (4) ABRI dapat
ambil inisiatif bagi penyelesaian masalah kebangsaan, (5) ABRI berperan dalam
sistem politik nasional, (6) bermitra tetap dalam politik: dukung mayoritas tunggal
(ABG).

J. Implikasi Paradigma Pancasila pada Pemahaman UUD 1945

Karena Ideologi Pancasila merupakan pandangan hidup (PH), dasar negara


(DN), dan tujuan negara (TN) di Negara Kesatuan Republik Indonesia, ia harus
dijadikan sistem nilai acuan (paradigma) dalam memahami UUD 1945.
11

Selanjutnya, karena UUD 1945 merupakan hukum dasar (yang tertulis) bagi segala
norma moral bangsa (NM), norma hukum nasional (NH), dan norma
politik/kebijakan pembangunan (NK), ia harus dijadikan landasan bagi
pembangunan
moral bangsa, hukum nasional, dan kebijakan pembangunan nasional di segala
bidang. Sehingga, pembangunan moral, hukum, dan kebijakan pembangunan di
Indonesia harus dalam kerangka merealisasikan, selalu berada di jalur, dan selalu
mengacu pada nilai-nilai yang terdapat dalam sila-sila Pancasila.
Implikasinya pada pemahaman UUD 1945 dapat dijelaskan bahwa setiap
pemaknaan, penafsiran-kembali, atau perubahan UUD 1945 harus ditempatkan
dalam
kerangka memahami, merealisasikan, menjabarkan, menegakan, dan mengacu
pada
nilai-nilai yang terkandung dalam kesatuan sila Pancasila.

K. Reaktualisasi Nilai-nilai Pancasila di Era Reformasi dan Era


Global

Di era reformasi dan era global ini kita menyaksikan seakan-akan Pancasila
begitu ‘hilang dari peredaran’, padahal ia sesungguhnya merupakan ideologi
bangsa/negara Indonesia yang terwujudkan sebagai pandangan hidup bangsa
Indonesia, dasar negara kesatuan Republik Indonesia, dan tujuan negara/bangsa
Indonesia.

12

‘Kehilangan’ ini tampak pada adanya dua fenomena, sebagai contoh, berikut:
1. Dalam berpraktek politik kenegaraan, yang menonjol kini adalah aktualisasi
ideologi-ideologi-aliran/ideologi-ideologi-partisan yang ditunjukan oleh pribadi-
pribadi, partai-partai politik, ormas-ormas, daerah-daerah, dan lain sebagainya.
Mereka cenderung mendahulukan kepentingan pribadi, kelompok, golongan, atau
daerah daripada kepentingan bangsa dan negara untuk bersama-sama mengatasi
krisis bangsa yang multidimensional.
2. Dalam berpraktek ekonomi nasional, yang menonjol kini adalah aktualisasi jual-
beli uang, lobi bisnis politik-uang, perebutan jabatan publik ekonomis, dan lain
sebagainya yang ditunjukan oleh para konglomerat, para pialang saham (baik
pemain domestik maupun internasional), para politisi/partisan partai politik, atau
yang lainnya yang seringkali mengabaikan kepentingan yang lebih luas, lebih
besar, dan lebih jauh ke depan untuk kepentingan bangsa dan negara.

Fenomena seperti itu, kemudian mengundang kita untuk berpikir: Bagaimana


mengatasinya? Secara ideologis, jawabannya adalah dengan cara reinterpretasi
dan
reaktualisasi nilai-nilai Pancasila. Agar reinterpretasi dan reaktualisasi Pancasila itu
tepat—yang pada akhirnya akan dapat memahami UUD 1945 secara benar—,
diperlukan pemahaman Pancasila:
1. Yang dilatarbelakangi oleh pengetahuan empiris dan objektif dari sejarah nilai-
nilai budaya bangsa Indonesia sejak budaya suku-suku asli sampai dengan saat-
saat menjelang tanggal 18 Agustus 1945 ketika Pancasila disahkan oleh PPKI.

13

2. Ini diperlukan untuk lebih meyakini bahwa Pancasila itu milik bangsa Indonesia
sejak dahulu kala; yang lahir dan berkembang di dalam sejarah manusia dan
bangsa Indonesia.
3. Yang diyakini bahwa ideologi Pancasila itu berguna dalam menjawab dan
mengatasi permasalahan bangsa Indonesia di masa kini dan mendatang, yaitu
terutama permasalahan kemasyarakatan, kebangsaan, dan kenegaraan: (1) yang
tidak terjawab oleh masing-masing agama di Indonesia, (2) yang tidak
terjangkau oleh masing-masing
budaya-lokal, oleh ideologi-ideologi partisan di Indonesia, atau oleh ideologi-
ideologi global di dunia, (3) yang tidak terakomodasi oleh ilmu pengetahuan dan
teknologi, (4) yang tidak terpikirkan oleh ilmuwan/pemimpin/ tokoh bangsa di
Indonesia, dan (5) yang belum teralami oleh hidup manusia/masyarakat
Indonesia.
4. Yang sedang ditantang oleh globalisasi ilmu pengetahuan dan informasi,
liberalisasi ekonomi/perdagangan, globalisasi politik dan hukum/HAM yang
liberal (west-vision), standardisasi kualitas lingkungan hidup (yang ramah
lingkungan) global, dan seterusnya.
Tegasnya, kini tidak bisa lagi memahami Pancasila dan UUD 1945 secara
mengabaikan nilai-nilai budaya asli bangsa Indonesia, berpikir dan bersikap
eksklusif
seakan-akan pihak dirinya yang paling benar, dan menutup diri dari pengaruh
globalisasi.
14

L. Daftar Pustaka

Buku:

Astrid S. Susanto Sunario, 1999,

Masyarakat Indonesia Memasuki Abad ke Duapuluh Satu, Jakarta: Ditjen Dikti

Depdikbud.
Mubyarto, 2000,

Membangun Sistem Ekonomi, Yogyakarta: BPFE.


Suwarno, P.J., 1993,

Pancasila Budaya Bangsa Indonesia, Yogyakarta: Kanisius.

Makalah:

Astrid S. Susanto Sunario, 2000,

Pancasila (untuk Abad ke-21), Jakarta.


Agus Widjojo, 2000,

Pancasila sebagai Paradigma Pembangunan Pertahanan, Jakarta.


--------, 2000,
Ceramah Kepala Staf Teritorial TNI pada Penataran Dosen Pendidikan dan Filsafat
Pancasila tanggal 18 Oktober 2000, Jakarta.
A. Gunawan Setiardja, 2000,

Supremasi Hukum dalam Perspektif Pengembangan HAM, Jakarta.


A.T. Soegito, 1997,

Pokok-pokok materi: Sejarah Perjungan Bangsa Indonesia, Semarang.


--------, 1998,
Sejarah Indonesia Kontemporer sebagai Materi Pendidikan Pancasila (Analisis
Berbagai Permasalahannya), Bogor: Ditbinsarak Ditjen Dikti Depdikbud.
--------, 1999,
Nasionalisme Indonesia (Pengertian dan Perkembangannya), Jakarta.

15

--------, 2000,
Evaluasi Hasil Belajar Matakuliah Pendidikan Pancasila, Semarang: UPT MKU
Unnes.
--------, 2000,
Sejarah Perjuangan Bangsa Indonesia sebagai Titik Tolak Memahami Asal Mula
Pancasila, Jakarta: Ditjen Dikti Depdiknas.
Koento Wibisono Siswomihardjo, 2000,
Pancasila sebagai Paradigma Pengembangan Ilmu Pengetahuan, Jakarta.
--------, 2000,
Reposisi/Reorientasi Pendidikan Pancasila Menghadapi Tantangan Abad XXI,
Semarang: FKDP Jawa Tengah.
S. Budhisantoso, t.t.,
Bangkitnya Kembali Kesukubangsaan dalam Masyarakat Majemuk Indonesia, t.k.
--------, t.t.,
Kesukubangsaan dan Kebangsaan, t.k.
--------, t.t.,
Pancasila sebagai Paradigma dalam Pengembangan Kebudayaan Bangsa, t.k.
Sri Soemantri M., 2000,
Pancasila sebagai Paradigma Pengembangan Hukum, Bandung.

BumiPasundan, 26 Januari 2001


Aktualisasi Pancasila Untuk Persatuan Bangsa
Makalah-deseminasi hasil Simselok Pancasila yang diselenggarakan
oleh kerjasama Unpad, Lemhannas R.I., dan Pemprov Jabar
bagi Mahasiswa STISIP Tasikmalaya
pada tanggal 20 Mei 2006 di Kampus STISIP Tasikmalaya.

Oleh
!
"
"
#

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, atas rahmat Tuhan Yang Mahaesa, makalah tentang


“Aktualisasi Pancasila untuk Persatuan Bangsa” telah selesai disusun
kembali.

Makalah ini pernah disajikan pada kegiatan deseminasi hasil


Simselok Pancasila—yang pernah diselenggarakan pada tanggal 2 Mei 2005
dan 29 September 2005 oleh kerjasama Unpad dengan Lemhannas R.I. dan
Pemprov Jabar—bagi Mahasiswa STISIP Tasikmalaya pada tanggal 20 Mei
2006 di Kampus STISIP Tasikmalaya. Makalah ini diajukan oleh penyusun
untuk memenuhi kenaikan jabatan dan pangkat sebagai dosen pada Fakultas
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Padjadjaran (FISIP UNPAD) yang
setara dengan Golongan IV/b.

Demikian makalah ini ditulis dan semoga dapat memenuhi ajuan


dimaksud.

Bandung, 26 November 2006

Penyusun,

Pipin Hanapiah, Drs.


NIP. 131832050
iv

Makalah-deseminasi hasil Simselok Pancasila yang diselenggarakan


oleh kerjasama Unpad, Lemhannas R.I., dan Pemprov Jabar
bagi Mahasiswa STISIP Tasikmalaya,
20 Mei 2006, Kampus STISIP Tasikmalaya.

Oleh

Menyetujui:

Dosen Senior,

Dr. Samugyo Ibnu Redjo, Drs., M.A.


NIP. 131408365
DAFTAR ISI

Persetujuan Dosen Senior ………………….………………………………


iii
KATA PENGANTAR ……………………………………………………..
iv
DAFTAR ISI ……………………………………………………………….
v
A. Pendahuluan …………………………………………………………….
1
B. Latarbelakang Perlunya Aktualisasi Pancasila …………………………
2
C. Esensi Aktualisasi Pancasila ….…………………………………….…..
7
3.1 Bidang Politik, Hukum, dan Hankam ……..……………………….
7
3.2 Bidang Sosial Ekonomi, Kesejahteraan Rakyat, dan Lingkungan

Hidup …………………………………………….………………..
8
3.3 Bidang Pendidikan, Budaya, dan Keagamaan …..…………………
9
D. Implementasi Aktualisasi Pancasila ……………………………………
11
E. Tindaklanjut ……………………………………………………………..
13
5.1 Untuk Jangka Panjang ……………………………………………….
13
5.2 Untuk Jangka Pendek ……………………………………………….
14
F. Penutup ……………………,……………………………………………
14
G. Daftar Pustaka ………………………………………………………….
15
v

Aktualisasi Pancasila untuk Persatuan Bangsa*

Pipin Hanapiah**

A. Pendahuluan

Dalam pertumbuhan dan perkembangan kebangsaan Indonesia, dinamika


rumusan kepentingan hidup-bersama di wilayah nusantara diuji dan didewasakan
sejak dimulainya sejarah kebangsaan Indonesia. Pendewasaan kebangsaan ini
memuncak ketika bangsa ini mulai dijajah dan dihadapkan pada perbedaan
kepentingan ideologi (awal Abad XIX) antara Liberalisme, Nasionalisme,
Islamisme, Sosialisme-Indonesia, dan Komunisme, yang diakhiri secara yuridis-
ketatanegaraan (18 Agustus 1945) dengan ditetapkannya Pancasila oleh Panitia
Persiapan Kemerdekan Indonesia (PPKI) sebagai Dasar Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI).
Dalam perkembangan selanjutnya ideologi Pancasila diuji semakin berat
terutama pada tataran penerapannya dalam kehidupan kemasyarakatan,
kebangsaan,
dan kenegaraan. Ujian ini berlangsung sejak ditetapkannya sampai dengan saat ini
di era reformasi. Salah satu isu sentral dan strategis yang melatarbelakangi adanya
pergantian kepemimpinan nasional di Indonesia (dari Orde Revolusi Fisik, Orde
-----------------

* Makalah deseminasi bagi para mahasiswa STISIP Tasikmalaya, 20 Mei 2006,


Kampus
STISIP Tasikmalaya.

** Lektor Kepala dalam matakuliah “Metodologi Ilmu Politik/Pemerintahan” pada


FISIP
UNPAD.
1

Lama, Orde Baru, sampai ke Era Reformasi) adalah berkaitan dengan penerapan
Pancasila.
Sejak munculnya krisis moneter (1997) yang berdampak pada krisis nasional
yang bermultidimensi dan dimulainya Era Reformasi (1998), kritikan dan hujatan
terhadap penerapan Pancasila begitu menguat.
Krisis itu ditunjukkan dengan adanya berbagai permasalahan
kemasyarakatan, kebangsaan, dan kenegaraan. Di antaranya seperti pergantian
kepemimpinan nasional yang tidak normal, kerusuhan sosial, perilaku anarki,
dayabeli masyarakat terpuruk, norma moral bangsa dilanggar, norma hukum
negara
tidak dipatuhi, norma kebijakan pembangunan disiasati, dan hutang luar negeri
melonjak tinggi. Perilaku ini semua berpangkal pada tatakelola negara yang kurang
bertanggungjawab dengan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang merajalela
sebagai wujud dari penerapan Pancasila yang keliru. Karenanya, banyak kalangan
yang menjadi sinis dan menggugat efektivitas penerapan Pancasila.
Melihat kondisi bangsa Indonesia seperti itu diperlukan upaya-upaya untuk
mengatasinya.

B. Latarbelakang Perlunya Aktualisasi Pancasila

Secara pertimbangan politik, Pancasila perlu diaktualisasikan dalam


kehidupan kemasyarakatan, kebangsaan, dan kenegaraan mengingat Pancasila
sebagai ideologi nasional yang merupakan visi kebangsaan Indonesia (yang

membina persatuan bangsa) yang dipandang sebagai sumber demokrasi yang baik
di
masa depan dan yang lahir dari sejarah kebangsaan Indonesia. Visi kebangsaan dan

sumber demokrasi Indonesia ini perlu diterapkan sebagai nilai-nilai, prinsip-prinsip,


dan etika untuk melandasi dan mengawal perubahan politik dan pemerintahan yang
sedang terjadi dari model sentralistik (otoriter yang birokratis dan executive-heavy)
menuju model desentralistik (demokrasi yang multipartai dan legislative-heavy).
Latarbelakang seperti itu didorong pula oleh realita penerapan Pancasila selama ini
yang dipersepsi publik sebagai untuk kepentingan (alat) penguasa, yang ditantang
oleh globalisasi ideologi asing (terutama Liberalisme), yang gagal dalam mengatasi
penyakit korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) sebagai akibat adanya salah-urus
mengelola negara, serta yang perwujudan praktek demokrasinya berkonotasi
buruk.
Ini semua seringkali diarahkan pada Pancasila yang dijadikan ‘kambinghitam’-nya.
Secara yuridis ketatanegaraan, Pancasila adalah dasar-negara NKRI yang
dirumuskan dalam (Pembukaan) UUD 1945 dan yang kelahirannya ditempa dalam
proses perjuangan kebangsaan Indonesia sehingga perlu dipertahankan dan
diaktualisasikan walaupun konstitusinya berubah. Di samping itu, Pancasila perlu
memayungi proses reformasi untuk diarahkan pada ‘reinventing and rebuilding’
Indonesia dengan berpegangan pada perundang-undangan yang juga berlandaskan

Pancasila dasar negara. Melalui UUD 1945 sebagai payung hukum, Pancasila perlu
diaktualisasikan agar dalam praktek berdemokrasinya tidak kehilangan arah dan
dapat meredam konflik yang tidak produktif .

Dimensi pertahanan dan keamanan memandang bahwa keberadaan Pancasila


erat kaitannya dengan sejarah lahirnya Tentara Nasional Indonesia (TNI), sehingga
pelaksanaan Pancasila secara murni dan konsekuen merupakan landasan idiil dan
konstitusional bagi ketahanan nasional serta merupakan filter untuk tantangan
liberalisme-kapitalisme di Indonesia yang semakin menguat. Pancasila perlu
diaktualisasikan oleh dan bagi bangsa Indonesia karena banyaknya dampak negatif
kebijakan otonomi daerah (seperti timbul ego daerah, primordialisme sempit)
sebagai akibat dari sempitnya pemahaman Pancasila, terjadinya degradasi nilai-
nilai
kekeluargaan dan tenggang-rasa di masyarakat, serta disalahgunakan
implementasinya oleh penguasa sehingga legitimasinya sudah pada titik nadir
(antiklimaks).
Dimensi sosial ekonomi memandang perlunya diaktualisasikan oleh dan bagi
bangsa Indonesia karena Pancasila sebagai falsafah negara yang mewujudkan
sistem
ekonomi Pancasila serta sebagai sumber sistem ekonomi kerakyatan. Pandangan ini
diperkuat oleh realita tentang keadaan negara yang labil yang telah berdampak
pada
efektifnya pengaruh globalisasi terhadap penguatan campurtangan asing (badan-
badan internasional) terhadap perekonomian nasional.
Begitu pula dimensi kesejahteraan rakyat yang memandang perlunya
Pancasila diaktualisasikan oleh dan bagi bangsa Indonesia karena kemampuan
ideologi Pancasila yang bersimetris dengan tingkat kesejahteraan rakyat dan
kedaulatan rakyat serta yang perlu dianalisis substansi ideologinya pada segi
ontologi dan epistemologinya. Di samping itu didorong pula oleh realita tentang

bangsa Indonesia yang sedang mengalami krisis-diri (dekadensi moral), krisis


kepercayaan, mengalami gangguan (disrupsi) toleransi, masih memiliki kelemahan
filsafat-ilmiahnya, serta belum merasakan terpenuhinya harapan bangsa atau
lemah
aktualisasinya dalam usaha kecil, menengah, dan mikro-pedesaan.

Dimensi lingkungan hidup memandang perlunya diaktualisasikan oleh dan


bagi bangsa Indonesia karena Pancasila sebagai jiwa rakyat Indonesia. Untuk itu
maka diperlukan pedomannya untuk menghayati sila-sila Pancasila serta untuk
mengejawantahkan Pancasila yang diselaraskan, diserasikan, dan diseimbangkan
dengan lingkungan hidup (Sumber Daya Alam: SDA). Demikian pula hal itu
diperlukan untuk mengejar pertumbuhan ekonomi nasional serta untuk
memperbaiki
dampak dari eksploitasi SDA dan lingkungan hidup terutama pada sektor-sektor
strategisnya (kehutanan, pertanian, dan pertambangan).
Dimensi pendidikan memandang Pancasila perlu diaktualisasikan dengan
alasan bahwa ia perlu difahami dan dihayati kembali oleh seluruh komponen
bangsa.
Sehubungan dengan ini, anak sebagai harapan bangsa dan generasi penerus sudah
seharusnya menyerap nilai-nilai Pancasila sejak dini dengan cara diasah, diasih, dan

diasuh. Di samping itu dalam realita kehidupan sehari-hari selama ini Pancasila
telah
dijadikan alat-penguasa untuk melegitimasi perilaku yang menyimpang yang tidak
mendidik, dihilangkannya Matakuliah Pengembangan Kepribadian (MKPK)
Pendidikan Pancasila dalam kurikulum nasional (UU No. 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional), hancurnya pembangunan karena moral yang serakah

dibiarkan merajalela, serta menguatnya desakan konsumerisme untuk membeli


gengsi (kehidupan semu).

Dimensi budaya memandang perlunya Pancasila diaktualisasikan (dikinikan)


oleh dan bagi bangsa Indonesia dengan pertimbangan perlunya visi NKRI 2020
untuk menjadi negara Industri Maju Baru. Dengan demikian rumusan Pancasila
pada
Pembukaan UUD 1945 tak perlu dipermasalahkan lagi tetapi justru diperlukan
pengembangan budaya Pancasila yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan
(kreatif, berbudi, berdaya, perdamaian, dll). Hal ini dianggap penting mengingat
sejak reformasi, persatuan dan kesatuan menjadi tidak kokoh serta kondisi bangsa
yang masih menghadapi tingkat kemiskinan, kebodohan, dan keterbelakangan.
Terakhir,
dimensi
keagamaan
memandang
perlunya
Pancasila
diaktualisasikan oleh dan bagi bangsa Indonesia mengingat keragaman agama
perlu
disikapi sebagai permata-indah untuk dipilih. Hal ini sebagai pewujudan terhadap
hasil penelusuran sejarah perumusannya. Di samping itu Pancasila dan Agama—
serta nilai-nilai lainnya—telah membentuk ideologi Pancasila yang bila dijaga dan
diimplementasikan dengan baik dan benar maka negara akan tegak dan kokoh.
Pertimbangan lainnya adalah karena selama ini terkesan masyarakat telah trauma
bila diajak bicara Pancasila karena dianggap Orde Baru. Selain itu pada pengalaman

telah diimplementasikan secara indoktrinatif melalui P-4, yang dalam prakteknya


justru Pancasila yang seharusnya berfungsi sebagai perekat bangsa mulai
diabaikan,
sehingga ada fenomena untuk mendirikan negara dengan prinsip Islam atau
dengan

6
ideologi-alternatif lainnya sehingga memicu konflik yang mengatasnamakan
agama,
etnis, bahkan separatisme yang mengancam NKRI.

C. Esensi Aktualisasi Pancasila

Berdasarkan latarbelakang itu, dalam forum Simposium serta Seminar dan


Lokakarya Pancasila terungkap pikiran-pikiran tentang esensi—berupa visi dan
misi—aktualisasi Pancasila di masa depan, yang rumusannya ditigakelompokkan.

3.1 Bidang Politik, Hukum, dan Hankam

Esensi pikiran-pikiran di bidang ini merumus pada aktualisasi Pancasila dalam


wujud sebagai penyemangat persatuan dan kesadaran nasional (nasionalisme);
yang
harus dihayati dan diamalkan oleh penyelenggara negara, lembaga negara,
lembaga
masyarakat, dan warganegara; tolok ukur eksistensi kelembagaan politik, sosial,
ekonomi, dan sebagainya; referensi dasar bagi sistem dan proses pemerintahan;
yang
prinsip-prinsipnya terejawantahkan dalam tugas-tugas legislatif, eksekutif, dan
yudikatif; alat pemersatu/perekat bangsa dan kebangsaan Indonesia; objek kajian
dari berbagai sisi dan referensi-pendukung yang berlainan/beragam; serta sebagai
rujukan untuk kebijakan politik, pemerintahan, hukum, dan hankam.

Di samping itu, Pancasila sebagai dasar bagi segala pergerakan dan


kemajuan bangsa; ruh yang bertahta kuat di dalam hati dan pikiran warganegara;
ideologi yang menempatkan bangsa Indonesia sejajar dan berdampingan dengan

bangsa/negara lainnya secara merdeka dan berdaulat; ideologi yang realistis,


idealistis, dan fleksibel; dan bukan dijadikan ‘agama sekuler’.
Nilai dan ruh demokrasi yang sesuai dengan visi Pancasila adalah yang
berhakikat
(a)
kebebasan,
terbagikan/terdesentralisasikan,
kesederajatan,
keterbukaan, menjunjung etika dan norma kehidupan, (b) kebijakan politik atas
dasar nilai-nilai dan prinsip-prinsip demokrasi, kontrol publik, pemilu berkala, serta
(c) supremasi hukum. Begitu pula standar demokrasinya yang (a) bermekanisme
‘checks and balances’, transparan, akuntabel, (b) berpihak kepada ‘social welfare’,
serta yang (c) meredam konflik dan utuhnya NKRI.

3.2 Bidang Sosial Ekonomi, Kesejahtyeraan Rakyat, dan Lingkungan Hidup

Esensi pikiran-pikiran di bidang ini merumus pada aktualisasi Pancasila


dalam wujud sebagai nilai dan ruh bagi ekonomi-kerakyatan atas prinsip
kebersamaan, keadilan, dan kemandirian; sistem ekonomi Pancasila yang
menekankan pada harmoni mekanisme harga dan sosial (sistem ekonomi
campuran),
bukan pada mekanisme pasar; yang bersasaran ekonomi kerakyatan (agar rakyat
bebas dari kemiskinan, keterbelakangan, penjajahan/ketergantungan, rasa was-
was,
dan rasa diperlakukan tidak adil; yang memosisikan Pemerintah yang memiliki aset
produksi dalam jumlah yang signifikan terutama dalam kegiatan ekonomi yang
penting bagi negara dan yang menyangkut hidup orang banyak.

Di samping itu Pancasila diaktualisasikan sebagai yang mendorong dan


menjamin adanya affirmative actions, yaitu (a) anak yatim dan fakir miskin

dipelihara oleh negara, (b) setiap orang berhak atas pekerjaan yang layak bagi
kemanusiaan, serta (c) tidak ada diskriminasi (positive discriminations). Untuk ini
perlu pengembangan Sistem Ekonomi Pancasila yang rumusannya adalah yang
sebagaimana diatur dalam Pasal 33 UUD 1945 (sebelum dirubah), sehingga dapat
menjamin dan berpihak pada pemberdayaan koperasi serta usaha menengah, kecil,

dan mikro (UMKM).


Aktualisasinya dalam bidang lingkungan hidup, Pancasila diwujudkan sebagai
ruh bagi perundang-undangan bidang sosial ekonomi, kesejahteraan rakyat, dan
lingkungan hidup; yang menegaskan bahwa kualitas lingkungan hidup sangat
berkaitan dengan kualitas hidup; yang berwawasan kebangsaan melalui
pemeliharaan lingkungan hidup serta pensejahteraan seluruh rakyat secara adil,
makmur, dan merata; serta yang dipahami bahwa lingkungan hidup adalah
kesatuan
ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup beserta
perilakunya.

3.3 Bidang Pendidikan, Budaya, dan Keagamaan

Esensi pikiran-pikiran di bidang ini merumus pada aktualisasi Pancasila dalam


wujud sebagai landasan idiil bagi pembangunan pendidikan, budaya, dan
keagamaan
di Indonesia yang menghilangkan penonjolan kesukuan, keturunan, dan ras;
ideologi
terbuka yang mendorong kreativitas dan inovativitas; spirit untuk pengembangan
dinamika masyarakat dalam pembentukkan watak peradaban bangsa dalam rangka

mencerdaskan kehidupan bangsa; serta visi dan misi pendidikan nasional bagi anak

Indonesia. Problema yang dihadapi berintikan pada masalah kebudayaan, yang

pemecahannya secara mendasar adalah melalui proses pendidikan secara


menyeluruh.

Di bidang budaya, aktualisasi Pancasila berwujud sebagai pengkarakter


sosial budaya (keadaban) Indonesia yang mengandung nilai-nilai religi,
kekeluargaan, kehidupan yang selaras-serasi-seimbang, serta kerakyatan; profil
sosial budaya Pancasila dalam kehidupan bangsa Indonesia yang gagasan, nilai,
dan
norma/aturannya yang tanpa paksaan sebagai sesuatu yang dibutuhkan; proses
pembangunan budaya yang dibelajarkan/dikondisikan dengan tepat dan
diseimbangkan dalam tatanan kehidupan, bukan sebagai suatu warisan dari
generasi
ke generasi; serta penguat kembali proses integrasi nasional baik secara vertikal
maupun horizontal.

Di bidang keagamaan, aktualisasi ini berwujud sebagai ideologi yang


menerapkan prinsip agama apabila melaksanakan prinsip-prinsip tauhid, keadilan,
kebebasan, musyawarah, persamaan, toleransi, amar makhruf dan nahi mungkar,
serta kritik interen. Di samping itu Pancasila berwujud sebagai ideologi yang paling
memungkinkan bangsa Indonesia bersatu dalam NKRI yang nilai-nilainya universal,
yaitu yang sesuai dengan ‘lima tujuan hukum agama’: memelihara agama,
memelihara jiwa, memelihara akal, memelihara keturunan dan kehormatan, dan
memelihara harta; filsafat dan ideologi yang tidak bertentangan dengan wawasan
keagamaan; yang memelihara persatuan-umat, bukan penyatuan-umat; serta yang
sebagai hasil kontrak-sosial budaya bangsa Indonesia.

10

D. Implementasi Aktualisasi Pancasila

Untuk mewujudkan esensi aktualisasi Pancasila, Simposium serta Seminar


dan Lokakarya Pancasila merekomendasikan model, pendekatan, metode, teknik,
sasaran (subjek dan objek), dan contoh untuk mengimplementasikannya dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang dirumuskan sebagai
berikut.

Pengembangan model penafsiran yang tidak lagi sentralistik dan formal oleh
penguasa/pemerintah sehingga tidak lagi berkesan sebagai alat pembenaran untuk
mempertahankan kekuasaan. Model penafsiran perlu dirubah menjadi dapat
diteliti/dikaji oleh ragam disiplin ilmu dan ragam komunitas pada tataran nilai-nilai
instrumental dan praksisnya (konsekuensi Pancasila sebagai ideologi-terbuka),
ditegakkan melalui perilaku keteladanan oleh segenap bangsa, dan dikontrol
melalui
penegakkan hukum oleh aparat negara.

Pendekatan untuk memahami, menghayati (internalisasi), dan


menerapkannya yang ditawarkan oleh forum adalah pendekatan-kemanusiaan
melalui budaya-dialog (tidak lagi semata-mata pendekatan formal kenegaraan);
peningkatan kualitas Pusat-pusat Kajian Pancasila; peningkatan kualitas pengelola
negara, transformasi kepemimpinan, dan penyempurnaan perundang-undangan;
transformasi nilai-nilai Pancasila dengan cara/metode yang terbarukan.

Metodenya ditawarkan melalui pendidikan, yaitu dialog-budaya


(pembudayaan yang menyatu dengan proses internalisasi), komunikasi, diskusi-

11

interaktif, koordinasi, regulasi, dan keteladanan yang disertai dengan penerapan


teknik-teknik ‘reward and punishment’, simulasi (bermain-peran), dinamika
kelompok, analisis-kasus, dan seterusnya tetapi tidak melalui teknik-teknik
ceramah-
indoktrinatif, monolog, menggurui, dan seterusnya. Penerapan metode dan teknik
kependidikan ini perlu dipahami dalam arti yang luas, yaitu yang tidak sekedar
‘schooling’ tetapi yang lebih penting adalah dalam kerangka pembentukan budi-
pekerti (akhlak, moral) peserta didik.

Sasaran—untuk berposisi dan berperan baik sebagai subjek maupun objek—


untuk implementasi Pancasila adalah individu, keluarga, masyarakat, lingkungan,
bangsa, dan negara dengan prioritas kepada praktisi, ilmuwan/akademisi,
ormas/orpol, pemimpin nasional/daerah, tokoh agama, tokoh masyarakat, dan
tokoh
adat.

Contoh implementasi dengan model, pendekatan, metode, teknik, dan


sasaran yang direkomendasikan dalam rangka aktualisasi Pancasila adalah seperti
dalam pemberian pengertian dan pemahaman kepada semua pihak tentang esensi
Pancasila yang sesuai dengan karakteristik dan kearifan-lokal (keadaban)
masyarakat setempat, pelatihan tentang pengembangan jiwa dan perilaku
kepramukaan secara massal, penguasaan bahasa asing bagi peserta didik,
membudayakan gerakan hidup ber-Pancasila (GHBP), dan lain sebagainya.

12
E. Tindaklanjut

Untuk menindaklanjuti hal-hal di atas perlu dilakukan hal-hal di bawah ini.


5.1 Untuk Jangka Panjang
1. Uji-riset, yaitu proses klarifikasi dan pengujian hasil rumusan Simselok
secara metodologis (ilmiah) dari empiri (lapangan) melalui (a) penelitian-
ilmiah dan (b) kajian-akademis. Penelitian-ilmiah perlu difokuskan pada
masyarakat (sebagai publik), lembaga-lembaga sosial-kemasyarakatan
(sebagai komunitas), lembaga-lembaga pemerintahan, serta lembaga-
lembaga negara. Kajian-akademis berupa kegiatan Simposium, Seminar, dan
Lokakarya (Simselok) Pancasila di perguruan-perguruan tinggi (PT) dari
wilayah lainnya di Indonesia dan peningkatan hasil Simselok se-Indonesia
untuk diseminarkan di tingkat nasional.
2. Uji-publik, yaitu proses sosialisasi dan komunikasi hasil rumusan Simposium
serta Seminar dan Lokakarya Pancasila (di tingkat nasional) secara sosial-
politik. Sosialisasi dan komunikasi perlu difokuskan melalui media massa
dan elektronik, penerbitan buku, diskusi publik dengan ragam komunitas,
dan sebagainya.
3. Uji-regulasi, yaitu proses penyampaian hasil-akhir kepada lembaga-lembaga
penentu kebijakan negara (DPD, DPR, Presiden, dan MPR). Yang dalam
proses dan substansi pembuatan regulasinya, lembaga-lembaga negara ini
agar tetap berkomitmen dan berkonsisten terhadap Pembukaan UUD 1945,

13

keutuhan NKRI, serta kebhinekatunggalikaan Nusantara, dan keadaban


Indonesia.

5.2 Untuk Jangka Pendek

1. Merevisi UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional agar


mengatur Pendidikan Pancasila sebagai matakuliah wajib bagi para peserta
didik dari tingkat pendidikan dasar dan menengah hingga pendidikan tinggi.
2. Sosialisasi Pancasila dan UUD 1945 (yang sudah dirubah).
3. Pendidikan Pancasila bukan sebagai alternatif tetapi imperatif bagi perguruan
tinggi (dan persekolahan lainnya), yang substansi dan orientasinya berbobot
pada pendidikan moral dan pendidikan budi-pekerti untuk mewujudkan
kesalehan-akademik dan kesalehan-sosial yang berkeadaban Indonesia.

F. Penutup

Masih banyak pikiran/gagasan/pendapat yang dituliskan pada makalah-


makalah dan yang diungkapkan dalam forum Simposium serta Seminar dan
Lokakarya Pancasila yang belum dirumuskan oleh Tim Perumus. Kekurangan ini
dapat dilengkapi dengan cara membaca makalah-makalah dan/atau notulensi-
notulensi yang dijadikan bahan perumusan ini.

Semua hal di atas dalam penerapannya akan banyak ditentukan oleh faktor-
faktor komitmen dan tanggungjawab pemerintah, partisipasi masyarakat, serta

14

semangat dan kesadaran semua pihak untuk mentradisikan perilaku Pancasila


secara
konsisten.

Semoga bermanfaat.

G. Daftar Pustaka

Buku:

Al-Ghazali, Imam, 1988,

Etika Berkuasa: Nasihat-nasihat Imam Al-Ghazali, Penterjemah: Arief B.


Iskandar, Bandung: Pustaka Hidayah.
Astrid S. Susanto Sunario, 1999,

Masyarakat Indonesia Memasuki Abad ke Duapuluh Satu, Jakarta: Ditjen Dikti


Depdikbud.
Kompas, 1999,

Gus Dur Menjawab Perubahan Zaman: Kumpulan Pemikiran K.H.


Abdurrahman Wahid Presiden ke-4 Republik Indonesia, Penyunting: Frans M.
Parera dan T. Jakob Koekerits, Jakarta: Harian Kompas.
Luhulima, James, 2001,

Hari-hari Terpanjang Menjelang Mundurnya Presiden Soeharto: dan


Beberapa Peristiwa Terkait, Jakarta: Kompas.
Mubyarto, 2000,

Membangun Sistem Ekonomi, Yogyakarta: BPFE.

Makalah:

Astrid S. Susanto Sunario, 2000,

Pancasila (untuk Abad ke-21), Jakarta.


Agus Widjojo, 2000,

Pancasila sebagai Paradigma Pembangunan Pertahanan, Jakarta.


---------, 2000,

Ceramah Kepala Staf Teritorial TNI pada Penataran Dosen Pendidikan dan Filsafat
Pancasila tanggal 18 Oktober 2000, Jakarta.
A. Gunawan Setiardja, 2000,

Supremasi Hukum dalam Perspektif Pengembangan HAM, Jakarta.


A.T. Soegito, 1997,

Pokok-pokok materi: Sejarah Perjuangan Bangsa Indonesia, Semarang.


---------, 1998,
Sejarah Indonesia Kontemporer sebagai Materi Pendidikan Pancasila (Analisis
Berbagai Permasalahannya), Bogor: Ditbinsarak Ditjen Dikti Depdikbud.
---------, 1999,
Nasionalisme Indonesia (Pengertian dan Perkembangannya), Jakarta.

15
---------, 2000,
Evaluasi Hasil Belajar Matakuliah Pendidikan Pancasila, Semarang: UPT MKU
Unnes.
---------, 2000,
Sejarah Perjuangan Bangsa Indonesia sebagai Titik Tolak Memahami Asal Mula
Pancasila, Jakarta: Ditjen Dikti Depdiknas.
Koento Wibisono Siswomihardjo, 2000,
Pancasila sebagai Paradigma Pengembangan Ilmu Pengetahuan, Jakarta.
---------, 2000,
Reposisi/Reorientasi Pendidikan Pancasila Menghadapi Tantangan Abad XXI,
Semarang: FKDP Jawa Tengah.
S. Budhisantoso, t.t.,
Bangkitnya Kembali Kesukubangsaan dalam Masyarakat Majemuk Indonesia, t.k.
---------, t.t.,
Kesukubangsaan dan Kebangsaan, t.k.
---------, t.t.,
Pancasila sebagai Paradigma dalam Pengembangan Kebudayaan Bangsa, t.k.
Sri Soemantri M., 2000,
Pancasila sebagai Paradigma Pengembangan Hukum, Bandung.

Bandung, 12 Mei 2006

You might also like