You are on page 1of 14

BAHAN AJAR 4

Mata kuliah : Teori sastra


Kode Mata Kuliah : 212216
Semester / Kelas : I / A,B,C dan D
Pertemuan Minggu ke- : 4
Waktu : 3X50 menit
Pengampu : Dra. Elyusra, M.Pd.

Standar Kompetensi : 2. Mendefinisikan


konsep-konsep dasar sastra dan
studi sastra

Kompetensi Dasar : 2.3 Menjelaskan


maksud kaidah sastra
2.4 Menjelaskan maksud ciri-ciri
sastra
2.5 Menjelaskan wilayah studi
sastra
2.6 Menjelaskan wilayah
kesusastraaan

I. Pendahuluan
Perkuliahan ini merupakan lanjutan perkuliahan kedua,
yang akan membahas beberapa konsep dasar sastra dan
dilanjutkan dengan pembahasan wilayah studi sastra dan
wilayah kesusastraan. Setelah membahas keempat
konsep ini, berarti keseluruhan konsep dasar sastra yang
ditetapkan dalam silabus telah dibahas. Penguasaan
konsep-konsep ini sangat penting artinya bagi
pemahaman Anda terhadap konsep-konsep pada
pembelajaran berikutnya. Selain itu, konsep-konsep ini
punya hubungan yang erat dengan konsep-konsep
sebelumnya. Oleh sebab itu, pahamkanlah konsep-konsep
berikut ini.
II. Materi

Konsep-konsep Dasar Sastra dan Studi Sastra

Ada empat konsep yang akan dibahas dalam


perkuliahan keempat ini, yaitu: 1) kaidah sastra, 2) ciri-ciri
sastra, 3) wilayah studi sastra, dan 4) wilayah
kesusastraan. Keempat konsep tersebut adalah sebagai
berikut ini.

I.1 Kaidah sastra / daya tarik sastra


Sebagaimana dikatakan Herman J. Waluyo, (1994: 56-
58 ) bahwa kaidah sastra atau daya tarik sastra terdapat
pada unsur-unsur karya sastra tersebut. Pada karya cerita
fiksi, daya tariknya terletak pada unsur ceritanya, yakni
cerita atau kisah dari tokoh-tokoh yang diceritakan
sepanjang cerita yang dimaksud. Selain itu, faktor bahasa
juga memegang peranan penting dalam menciptakan
daya pikat, kemudian gayanya dan hal-hal yang khas
yang dapat menyebabkan karya itu memikat pembaca.
Khusus pada cerita fiksi, ada empat hal lagi yang
membantu menciptakan daya tarik suatu cerita rekaan,
yaitu : 1) kreativitas, 2) tegangan (suspense), 3) konflik,
dan 4) jarak estetika. Uraian keempatnya sebagaimana
dikutip dari Waluyo ( 1994:58-60 ) berikut ini.

1) Kreativitas

Tanpa kreativitas, karya sastra yang diciptakan pengarang t i d a k


m un gk i n m en em p a t i p er h a t i an p e mb ac a. Kr ea t i v i t a s d i tandai dengan
adanya penemuan baru dalam proses penceritaan. Pengarang-pengarang yang
lazim disebut "avantgarde" atau pelopor, biasanya menunjukkan daya
kreativitas yang menonjol yang membedakan karya rekaannya dari karya yang
mendahului.
Dalam sejarah sastra Indonesia, kita mengenal para pembah a r u
s a s t r a I n d o n e s i a y a n g m e n u n j u k k a n , d a y a k r e a t i v i t a s mereka,
seperti: March Rush (dengan Siti Nurbaya), Abdul Muis (dengan Salah
Asuhan), Sutan Takdir Alisyahbana (dengan Layar Terkemban g), Armijn
Pan e (d en gan Belenggu), Achdi at Kar tami h a r j a ( d e n g a n A t h e i s ) ,
M o c h t a r L u b i s ( d e n g a n J a l a n T a k A d a Ujung), Iwan Si matupang
(den gan kar ya- karyan ya yan g berc or ak eksistensialistis), Putu Widjaya
(dengan Gress), Danarto (dengan cerita-cerita mistiknya), dan sebagainya.
Pen emuan - p en emuan hal yan g bar u i t u mun gki n mel al ui p en i r u a n
t e r h a d a p k a r y a y a n g s u d a h ad a d e n g a n j a l a n m e m p e r b ah ar ui , n a mu n
m un gk i n j ug a m el al ui p en c ar i a n s ec ar a mo dern harus banyak bers usah
p ayah un tuk men emu kan s es uat u yan g bar u, un t uk ti d ak h an ya
men gulan g- ulan g ap a yang sudah diucapkan/diungkapkan oleh pengarang lain.

2)Tegangan ( Suspense)

Di depan telah dibicarakan tentang tegangan atau suspense. Tidak


mungkin ada daya tarik tanpa menciptakan tegangan dalam s ebuah
c er i t a. Jali n an cer i t a yan g men i mbul k an r as a i n gi n t ah u yan g besar
d ari p embaca ad alah mer up akan tegangan cer it a itu. Tegangan bermula
dari ketidakpastian cerita yang berlanjut, yang men debarkan bagi
p embaca /pendengar cerit a. T egan gan meno p an g ke i n gi n t a h u an
p em ba c a a ka n ke la n j ut an c er i t a . T e ga n g an diaki batkan ol eh
kemah ir an p enc er ita di d al am merangkai ki sah seperti yang sudah
dikemukakan di depan.
T anp a tegangan , cer ita t idak memikat . p en ul is/pencerit a y a n g
mahir akan memelihara tegangan itu, sehingga mampu
m e m p e r m a i n k a n h a s r a t i n g i n t a h u p e m b a c a . B a h k a n k a d a n g kadang
segenap pikiran dan perasaan pembaca terkonsentrasikan ke dalam
cerita itu, karena kuatnya tegangan yang dirangkai oleh s a n g p e n u l i s .
Dalam menjawab hasrat ingin tahu pembaca/ pendengar,
penulis/pencerita memberikan jawaban- jawaban yang me n g ej ut k an
( p e n uh s ur p r i s e) . T i n gg i r en d ah n ya k ad ar ke ju t a n itu bergantung dari
kecakapan dan kreativitas pengarang. Penga rang-pengarang cerita
rekaan besar seperti Agata Christie, Serlock Holmes, Pramudya Ananta
Toer, dan sebagainya, mampu menciptakan jawaban-jawaban cerita yang
penuh kejutan sehingga ceritanya memiliki suspense yang memikat.

Cerita-cerita action biasanya dengan suspense yang keras. Cerita


semacam itu berusaha mengikat perhatian pembaca terus-menerus.
3)Konflik
Membicarakan daya tarik cerita rekaan harus menghu-
bungkannya dengan konflik yang dibangun. Jika konflik itu tidak wajar
d an t id ak kuat , maka jal an c er i t an ya akan d at ar d an t id ak
menimbulkan daya tarik. Konflik yang wajar artinya konflik yang
manusiawi, yang mungkin terjadi dalam kehidupan ini dan antara
k e d u a o r a n g y a n g m e n g a l a m i k o n f l i k i t u m e m p u n y a i posisi yang
kurang lebih seimbang. Jika posisinya sudah nampak t i d a k s e i m b a n g ,
m a k a k o n f l i k m e n j a d i t i d a k w a j a r k a r e n a p e m baca segera akan menebak
kelanjutan jalan ceritanya.
K o n f l i k i t u j u g a h a r u s k u a t . D a l a m k i s a h k e h i d u p a n s e h ar i -
h ar i , ko n f li k yan g kuat bi as an ya ber kai t an d en gan p r o bl em manusia
yang penting dan melibatkan berbagai aspek kehidupan. Kon f l i k it u
ber s i f at mult i d i men s i on al yan g t id ak mud ah men ye l e s a i k a n n y a .
R o m a n S a l a h A s uh a n d an B e l e n g g u m e m i l i k i k o n f li k yang cukup kuat
kar en a pr oblem yang men yebabkan konf li k itu adalah problem hakiki
dalam kehidupan manusia. Konflik itu, juga s ukar men yel es ai kan n ya
kar en a ti d ak mun gki n ad an ya s at u jawaban s aja. Hal ini berbed a
d engan kon flik yan g di bangun me l al ui cer ita wayang. Karena t okohnya
hit am p ut ih, maka konf li k dalam cerita wayang segera dapat ditebak
jawabannya.
Dalam novel-novel mutakhir, jalinan konflik itu cukup
ber v ar i as i . Kar en a ko n f li k men jad i d as ar c eri t a, maka p erh at i an
p e n g a r a n g k e p a d a k o n f l i k i n i k i r a n y a m e m u n g k i n k a n m e r e k a akan
lebih mampu menjalin cerita yang memikat.

4)Jarak Estetika
Daya pi kat s ebuah cer i t a f i ks i juga mun c ul aki bat p en ga rang
memiliki jarak estetika yang cukup pekat dengan cerita dan . 1 tokoh'To -
koF — cerita itu. Seolah-olah pengarang menguasai benar- benar dunia
dari to col itu, sehingga pengarang benar-benar ikut t e r l i b a t d a l a m
d i r i t o k o h d a n c e r i t a n y a . J i k a k e a d a a n i n i d a p a t di lakukan ol eh
p engar an g, p embaca akan lebi h yaki n akan hadi rnya cerita dan tokoh
itu, seakan-akan cerita fiksi itu bukan hanya tiruan dari kenyataan itu,
namun adalah kenyataan sendiri yang mengejawantah.
Waktu penulis membaca cerita Mushashi, penulis merasa ikut
terlibat dalam peristiwa-peristiwa karena kekuatan cerita itu. K e t i k a p a d a
a d e g a n t e r a k h i r M u s h a s h i m e n g a l a h k a n S a s a k i Kojiro, penulis
merasa menyaksikan dui ksatria bertempur di tepi pan tai Parangtr iti s,
di sian g hari keti ka matahari terik, dan tiba t i b a M u s h a s h i m e l o m p a t
m e n g h a n t a m k e p a l a K o l i r o d e n g a n pedang. Kisah itu seperti Nadir di
mata penulis dan bukan hanya d a l a m a n g a n - a n g a n . I n i d a p a t t e r j a d i
k a r e n a k e k u a t a n c e r i t a . Pengarang menciptakan jarak estetis yang
cukup rapat sehingga tokoh dan peristiwa benar-benar hidup

2.2 Ciri-ciri sastra


Ciri sastra yang akan kita pahamkan di sini
adalah ciri-ciri sastra yang pernah dikemukakan
oleh para ahli sastra atau para praktisi sastra.
Pada pembicaraan konsep-konsep sebelumnya,
sudah banyak terungkap tentang ciri sastra ini.
Misalnya, pada pembicaraan definisi sastra yang
dikemukakan para ahli di atas. Konsep-konsep
prasyarat pembentuk konsep sastra tersebut
merupakan ciri sastra. Bukankah suatu definisi
konsep harus mencakup penyebutan nama
konsep, superordinat konsep, dan ciri-ciri yang
mendefinisikan konsep tersebut, selain
penyebutan kata penghubung antarciri yang
mendefinisikan itu?
Wellek & Warren ( 1989:22) menyebutkan: 1)
menimbulkan efek yang mengasingkan, 2)
fiksionalitas, 3) ciptaan, 4) tujuan yang tidak
praktis, 5) pengolahan dan penyampaian
melalui media bahasa, 6) imajinasi, 7)
bermakna lebih, 8) berlabel sastra, 9)
merupakan konvensi masyarakat, sebagai
cirri-ciri sastra. Selain itu, Lexemburg, dkk.
( 1984:9) menambahakan beberapa cirri lagi,
yaitu: 1) bukan imitasi, 2) otonom, 3)
koherensi, 4). sintesa, dan 5)
mengungkapkan yang tak terungkapkan
sebagai ciri sastra yang lainnya. Dengan demikian
sudah teridentifikasi empat belas cirri sastra.
Tentu pendapat lain dapat pula ditambahkan,
seperti pendapat yang dipegang pada zaman
Romantik, bahwa sastra itu merupakan luapan
emosi spontan, sedangkan menurut kaum
Formalis, sastra selain menunjukkan cirinya pada
aspek sintaktik, juga pada grafiknya.
Untuk mendapatkan pemahaman lebih lanjut
tentang maksud ciri-ciri sastra di atas, Anda sebaiknya
membaca buku sumber yang telah disebutkan di atas,
yaitu buku Wellek & Warren dan buku Lexemburg, dkk.
Anda lihat identitas sumber selengkapnya pada bagian
V. Sumber Belajar.

2.3 Iiga wilayah kesusastraan


Tiga wilayah kesusastra itu adalah : 1)
wilayah penciptaan sastra, 2) wilayah
penikmatan sastra, dan 3) wilayah penelitian
sastra. Dikemukakan oleh Mursal Esten
( 1978:13-14), bahwa ketiga wilayah dalam
kehidupan kesusastraan itu saling
berhubungan dan saling membantu.
Maksud dari ketiga wilayah tersebut
dijelaskannya sebagai berikut ini.

“Wilayah penciptaan kesusastraan ialah


wilayah para sastrawan, yang diisi dengan
ciptaan-ciptaan yang baik dan bermutu.
Persoalan mereka ialah bagaimana
menciptakan ciptasastra yang baik dan
bermutu.
Wilayah penelitian ialah wilayah para ahli
dan para kritikus. Mereka berusaha
menjelaskan , menafsirkan dan memberikan
penilaian terhadap ciptasastra-ciptasastra.
Tentu saja mereka harus memperlengkapi
diri mereka dengan segala pengetahuan
yang mungkin diperlukan untuk memahami
ciptasastra-ciptasastra yang mereka hadapi.
Wilayah para penikmat adalah wilayah para
pembaca. Wilayah ini tidak kurang
pentingnya, karena untuk merekalah
sesungguhnya ciptasastra-ciptasastra ditulis
oleh para pengarang”.

2.4 Tiga cabang studi sastra


Yang merupakan tiga cabang studi sastra itu
adalah teori sastra, sejarah sastra, dan kritik sastra
( Wellek & Warren dalam Pradopo, 2002: 34-35).
Pegertian ketiga cabang studi sastra itu sebagaimana
dijelaskan Paradopo (2002) dan Fananie ( 2000 ) berikut
ini.

1) Teori sastra adalah bidang studi sastra yang


berhubungan dengan teori kesusastraan, seperti
studi tentang apakah kesusastraan itu, bagaimana
unsur-unsur atau lapis-lapis normanya; studi
tentang jenis sastra (genre ), yaitu apakah jenis
sastra dan masalah umum yang berhubungan
dengan jenis sastra, kemungkinan dan kriteria
untuk membedakan jenis sastra, dan sebagainya (
Pradopo, 2002:34). Perihal unsur-unsur atau lapis-
lapis norma karya sastra dijelaskan lebih lanjut
oleh Fananie yakni menyangkut aspek-aspek
dasar dalam teks sastra. Aspek-aspek tersebut
meliputi aspek intrinsik dan ekstrinsik sastra. Teori
intrinsic sastra berhubungan erat dengan bahasa
sebagai sistem, sedang konvensi ekstrinsik
berkaitan dengan aspek-aspek yang
melatarbelakangi penciptaan sastra. Aspek
tersebut meliputi aliran, unsur-unsur budaya,
filsafat, politik, agama, psokologi, dan sebagainya.
(2000:17-18) Ditegaskan lagi oleh Pradopo
( 2002:34) bahwa pokoknya semua pembicaraan
mengenai teori atau bersifat teori itu adalah
lingkup teori sastra.

2) Sejarah sastra adalah studi sastra yang


membicarakan lahirnya kesusastraan Indonesia
modern, sejarah sastra membicarakan sejarah
jenis sastra, membicarakan periode-periode
sastra, dan sebagainya; pokoknya semua
pembicaraan yang berhubungan dengan
kesejarahan sastra, baik pembicaraan jenis,
bentuk, pikiran-pikiran, gaya-gaya bahasa yang
terdapat dalam karya sastra dari periode ke
periode ( Pradopo,2002: 34).

Dikemukakan oleh Fananie (2000:19-20) bahwa berdasarkan aspek


kajiannya, sejarah sastra dibedakan menjadi:

a. Sejarah genre, yaitu sejarah sastra yang mengkaji perkembangan karya-


karya sastra seperti puisi dan prosa yang meliputi cerpen, novel, drama,
atau sub genre seperti pantun, syair, talibun, dan sebagainya. Kajian
tersebut dititikberatkan pada proses kelahirannya, perkembangannya, dan
pengaruh-pengaruh yang menyertainya.
a. Sejarah sastra secara kronologis, yaitu sejarah sastra yang
mengkaji karya-karya sastra berdasarkan periodesasi atau babakan waktu
tertentu. Di Indonesia penulisan sejarah sastra secara kronologis, misalnya
klasifikasi periodesasi tahun 20-an, yang melahirkan Angkatan Balai Pustaka,
tahun 30-an yang melahirkan Angkatan Pujangga Baru, tahun 42, sastra Jepang,
tahun 45, Angkatan 45, tahun 60-an yang melahirkan Angkatan 66, dan sastra
mutakhir atau kontemporer.
b. Sejarah sastra komparatif, yaitu sejarah sastra yang mengkaji dan
membandingkan beberapa karya sastra pada masa lalu, pertengahan, dan masa
kini. Bandingan tersebut bisa meliputi karya-karya sastra antar negara seperti
sastra Eropa dengan sastra Indonesia, Melayu, dan sebagainya. Aspek-aspek
yang dibandingkan dapat meliputi beberapa hal seperti yang dikemukakan oleh
Rene Wellek, yaitu:

1) Comparative literature: The study of oral literature expecially of falle talk


themes and then imigration, of how and other they have entered higher artistic literature.
(Pengkajian sastra lisan khususnya mengenai terra-terra cerita rakyat dan
ceritakepindahannya, bagaimana dan kapan sastra-sastra rakyat tersebut berkembang /
masuk pada bagian yang lebih tinggi pada keindahan sastra itu yang bersifat artistik).

2) The study of relationship betwen two or more literature. (Hubungan kajian antara dua
atau beberapa karya sastra).

2) The study of literature in its totality (world literature or universal literature). (Kajian
sastra secara keseluruhan).

Pembagian di atas hanyalah merupakan pembagian global, karena secara rinci,


kajian komparatifnya dapat berupa aspek bahasanya, estetikanya, latar belakangnya,
gaya, pengaruh, atau semua aspek yang menyertai karya tersebut.

3) Kritik Sastra ialah studi sastra yang berusaha


menyelidiki karya sastra dengan langsung,
menganalisis, menginterpretasi, memberi
komentar, dan memberikan penilaian
(Pradopo,2002:34-35). Dikatakan Fananie, Kritik
sastra itu semacam pertimbangan untuk
menunjukkan kekuatan atau kebagusan dan juga
kekurangan yang terdapat dalam karya sastra.
Karena itu hasil dari kritik sastra biasanya
mencakup dua hal , yaitu baik dan buruk
(goodness atau dislikeness) (2000:20).
Untuk memperoleh gambaran yang jelas, maka
kritik selalu berkaitan dengan judgement,
valuation, proper understanding and recornition,
statement giving valuation, and rise in value
(2000:20).

III. Petunjuk Pembelajaran

Bacalah materi di atas dengan seksama, kemudian


baca juga sumber-sumber lain yang relevan.Buat
ringkasannya dalam bentuk peta konsep.

IV.Tugas
1. Buatlah ringkasan materi di atas dalam bentuk peta
konsep dalam tim Anda. Jangan lupa membuat daftar
pengertian setiap konsep atau istilah yang tertera di
peta konsep.
2. Diingatkan kepada Anda untuk membaca juga buku-
buku sumber belajar yang disebutkan di bawah ini.

V. Sumber Belajar

Esten, Mursal. 1978. Kesusastraan : Pengantar Teori dan


Sejarah. Bandung:
Angkasa
Waluyo, Herman J. 1994. Pengkajian Cerita Fiksi. Solo:
Universitas Sebelas
Maret Press. Hal: 56 – 60.
Pradopo, Rachmat Djoko. 2002. Kritik Sastra Indonesia
Modern.
Yogyakarta:Gama Media. Hal: 34 – 35.
Luxemburg, dkk. 1986. Pengantar Ilmu sastra. Semarang:
Gramedia.Hal:9
BAB IPENDAHULUAN
Pada periode 60-an sosial politik masih berpengaruh dan politiklah yang paling kuat
sehingga para sastrawan pun banyak yang terjun pada organisasi politik, seperti
Moh. Yamin, Pramudya Ananta Toer, Nugroho Notosusunto. Akibat kejadian
tersebut maka mucul kotak-kotak politik, yang paling dominan adalah komunis
dalam kebudayaannya adalah Lekra. Sejak tahun 1950-an dlaam dunia sastra
Indonesia sudah terjadi pelbagai macam polemik yang berpangkal pada perbedaan
politik. Polemik-polemik tersebut dilancarkan oleh orang-orang yang menganut
paham realisme-sosialis (filsafat seni kaum komunis) yang mempertahankan
semboyan “seni untuk rakyat”. Hal ini dimaksudkan untuk menghantam orang-
orang tergabung dalam “seniman gelanggang merdeka” yang berpaham
“humanisme universal” yang mempertahankan semboyan “seni untuk seni”. Situasi
sastra periode 60-an agak menurun akibat ketidakstabilan sosial budaya.
Perkembangan dan pertumbuhan sastra periode 60-an ini masih diselimuti adanya
konfilk-konflik politik. Sastra periode 60-an dapat dikelompokkan menjadi dua
bagian berdasarkan kurun waktu, yaitu: 1960 - 1965 dan 1965 - 1970. Pada tahun
1960 - 1965 ini tergolong masa Orde Lama (ORLA) dan terpengaruh oleh Lekra
(Lembaga Kebudayaan Rakyat). Saat ini Lekra mendapat perhatian dari pemerintah
ORLA dan mendesak berkembangnya berbagai ide atau konsep di bidang sastra
yang mengarah pada paham “seni untuk rakyat”.Sedangkan tahun 1965 - 1970
tergolong Orde Baru (ORBA) dan terpengaruh adanya Manifest Kebudayaan. Pada
masa ini muncullah konsep-konsep yang tertuang dalam Manifest Kebudayaan dan
keberadaannya memengaruhi karya sastra. Keberadaan karya sastra Manifest
Kebudayaan ini dikuatkan dengan diterbitkannya majalah Horison (juli 1966),
majalah Sastra (Agustus 1968). Pada tahun 1963 majalah sastra dilarang terbit oleh
Lekra dan berhasil terbit lagi tahun 1968, namun pertengahan tahun 1970-an
majalah sastra berhenti terbit karena kasus cerpen Langit Makin Mendung karya Ki
Panis Kusmin. Kedua majalah sastra ini merupakan media sastra dan kebudayaan
para pengarang yang mendukung Manifest Kebudayaan.Situasi tahun 60-an ini
memengaruhi penerbitan terutama masalah dana maka pada periode ini muncul
tau terbit novel-novel populer dan berkembang sampai dengan tahun 70-an. Di sisi
lain juga bermunculan pengarang-pengarang baru.

BAB IIPEMBAHASANA.
Sejarah Munculnya Angkatan ‘66Pada periode 60-an muncul adanya angkatan, yaitu
angkatan ‘66. Lahirnya angkatan ‘66 ini didahului adanya kemelut dalam segala
bidang kehidupan di Indonesia yang disebabkan ulah teror politik yang dilakukan
PKI dan ormas-ormas yang bernaung dibawahnya. Angkatan ‘66 mempunyai cita-
cita ingin adanya pemurnian pelaksanaan Pancasila dan melaksanakan ide-ide yang
terkandung di dalam Manifest Kebudayaan. Tumbuhnya angaktan ‘66 sejalan
dengan tumbuhnya aksi-aksi sosial politik di awal angkatan ‘66 yang dipelopori
oleh KAMMI/KAPPI untuk memperjuangkan Tritura.Munculnya nama angkatan ‘66
telah diumumkan oleh H.B. Jassin dalam majalah Horison nomor 2 tahun 1966.
Pada tulisan tersebut dikatakan bahwa angkatan ‘66 lahir setelah ditumpasnya
pengkhianatan G.30S/PKI. Penamaan angkatan ‘66 ini pun mengalami adu
pendapat. Sebelum nama angkatan ‘66 diresmikan, ada yang memberi nama
angkatan Manitest Kebudayaan (MANIKEBU). Alasan penamaan ini karena Manifest
Kebudayaan yang telah dicetuskan pada tahun 1963 itu pernyataan tegas
perumusan perlawanan terhadap penyelewengan Pancasila dan perusakan
kebudayaan oleh Lekra/PKI. Beberapa sastrawan merasa keberatan dengan nama
angkata manikebu. Mereka berpandangan bahwa sastrawan yang tidak ikut
menandatangani atau mendukung Manifest Kebudayaan akan merasa tidak tercaku
di dalamnya, meskipun hasil ciptaannya menunjukkan ketegasan dalam menolak
ideologi yang dibawa oleh PKI dalam lapangan politik dan kebudayaan.Istilah
angkatan ‘66 yang dikemukakan oleh H.B. Jassin melalui antologinya mendapat
beberapa tanggapan dari berbagai pihak pengarang, diantaranya adalah Ajib
Rosidi. Ajib menganggap bahwa penamaan dan pengajuan tesis mengenai angkatan
‘66 itu kurang dapat dipertanggungjawabkan. H.B. Jasssin sendiri berpendapat
bahwa angkatan ‘66 ini sejalan dengan tumbuhnya aksi-aksi sosial politik di awal
angkatan ‘66 yang dipelopori oleh KAMMI/KAPPI untuk memperjuangkan Tritura.
H.B. Jassin merumuskan bahwa sastra angkatan ‘66 adalah sastra yang diwarnai
oleh protes dan perjuangan menegakkan keadilan berdasarkan kemanusiaan.
Berdasarkan teori tersebut H.B. Jassin berpendapat bahwa tahun 1966 merupakan
tahun lahirnya suatu generasi dan konsep baru dalam sastra yang kemudian
disebutnya dengan nama angkatan ‘66.Ajib Rosidi melihat bahwa teori Jassin tidak
konsisten, terutama dalam menunjukkan sastrawan-sastrawan yang dianggap
mewakili angkatan ‘66. A.A. Navis contohnya ia disebutkan sebagai pengarang
angkatan ‘66, namun sastrawan ini muncul sejak tahun 1950-an. Hal ini sebagai
dasar Ajib Rosidi dalam menanggapi pendapat H.B. Jassin. Ia tidak melihat teori
Jassin ini dapat diterapkan untuk menyebut lahirnya angkatan ‘66. Masyarakat
sastra pada umumnya sudah terlanjur menerima pernyataan H.B. Jassin sehingga
dalam ilmu sastra pun terdapat penamaan angkatan ‘66.Pada saat menjelang
tahun 1970-an sastra perotes sudah tidak bergema lagi seperti awal tahun 1960-
1966. Sastra protes tersebut tercermin pada kumpulan sajak Taufik Ismail, yaitu:
Tirani dan Benteng. Awal tahun 70-an mulai berkembang sastra populer dan
bermunculan majalah hiburan, majalah wanita, majalah profesi. Berdasarkan
uraian di atas dapat disimpulkan bahwa gema angkatan ‘66 tidak dimulai pada
tahun 1966 tetapi pada tahun 1966 justru angkatan ‘66 mulai berakhir.Uraian di
atas telah jelas dijelaskan bahwa keadaan sastra dipengaruhi oleh situasi pada saat
itu. Meskipun keadaan sosial budaya dan politik tidak stabil, namun sastra
angkatan ‘66 ini mengalami pertumbuhan yang cukup pesat terutama pada genre
prosa.Faktor-faktor penyebab pertumbuhan sastra cukup pesat, antara lain:1.
Adanya taman Ismail Marzuki2. Didirikannya penerbit Pustaka Jaya3. Adanya
maecenas yang stabil. Maecenas adalah sebagai pelindung seni dan kebudayaan4.
Pemerintah DKI menyelenggarakan lomba menulis roman, naskah drama yang bisa
merangsang pengarang sehingga muncul kegiatan seni budayaB. Karakteristik
Angkatan ‘661. Muncul adanya angkatan yaitu angkatan ‘662. Karya yang
dihasilkan bermacam-macam ide dan warna. Contohnya: warna lokal yang terdapat
pada Ronggeng Dukuh Paruk karya Achmad Thohari3. Tema yang diangkat banyak
mengenai masalah kegelisahan batin dan rumah tangga. Kegelisahan tersebut
bersumber pada siutasi budaya belum mapan dan situasi-situasi tersebut karena
adanya norma politik dan norma ekonomi.4. Adanya sastra protes, contoh:
kumpulan sajak Tirani dan Benteng karya Taufik Ismail5. Arti penting sajak
angkatan ‘66 pertama-tama bukanlah sebagai seni, tetapi merupakan curahan hati
khas anak-anak muda yang mengalami kelegaan perasaan setelah masa
penindasan.C. Para Pengarang dan Hasil KarnyanyaSeperti telah diuraikan di atas,
periode 60-an ini telah mulai bermunculan para pengarang baru, namun para
pengarang lama pun masih tetap aktif berkarya. Untuk lebih jelas, simak
penjabaran di bawah ini:1. Taufik Ismaila. Tirani (kumpulan sajak, 1966)b.
Benteng (kumpulan sajak, 1966)c. Buku Tamu Museum Perjuangan (kumpulan
sajak, 1969)2. Bus Rasiantoa. Mereka telah Bangkit (kumpulan sajak, 1966)b. Bumi
yang Berpeluh (kumpulan cerpen, 1963)c. Mereka Akari Bangkit (kumpulan cerpen,
1963)d. Sang Ayah (novel, 1969)e. Manusia Tanah Air (novel, 1969)3. Mansur
Samina. Perlawanan (kumpulan sajak, 1966)b. Kebinasaan Negeri Senja (drama,
1968)c. Tanah Air (kumpulan sajak, 1985)4. Arifin C. Noera. Lampu Neon (drama,
1960)b. Puisi-puisi yang Kehilangan Puisi (kumpulan sajak, 1967)c. Kapai-kapai
(drama, 1970)5. Satyagraha Hoeripa. Rahasia Kehidupan Manusia (roman,
terjemahan dari Leo Tolstay, 1964)b. Ontologi Persoalan-persoalan Sastra (1969)6.
Sapardi Djoko Damonoa. Dukamu Abadi (kumpulan sajak, 1969)b. Matahari Pagi di
Tanah Air (puisi)c. Doa di Tengah-tengah Masa (puisi)d. Sajak Orang Gila7. Slamet
Kirmantoa. Jaket Kuning (kumpulan sajak, 1967)b. Kidung Putih (kumpulan sajak,
1967)8. H.B. Jassina. Angkatan ‘66, Prosa dan Puisi (1968)9. Bastari Asnina. Di
Tengah Padang (kumpulan cerpen)b. Laki-laki Berkuda (kumpulan cerpen)Para
pengarang wanita angkatan ‘66 antara lain:1. Isma Sawitria. Terima Kasihb. Tiga
Serangkaic. Pantai Utara2. Siti Saida. Perjuangan dan Hati perempuan (kumpulan
cerpen)3. Etis Basimoa. Rumah Dara (cerpen)b. Laki-laki dan Cinta (cerpen)4. Enny
Sumargoa. Sekeping Hati Perempuan (novel)Selain para pengarang tersebut di atas
masih banyak lagi para sastrawan angkatan ‘66 yang tidak disebutkan di atas.D.
Problematika1. Sajak, cerpen, essai yang menyanyikan kemenangan perjuangang
yang ditulis oleh Lekra2. Karya sastra yang dihasilkan yang tergabung dalam
Manifest Kebudayaan yang ingin membela martabat manusia yakni ingim membela
kebebasan manusia yang diinjak-injak oleh tirani mental dan fisik. Perjuangan
antara dua kelompok tersebut akhirnya dimenangkan oleh kelompok Manifest
Kebudayaan setelah terjadi G.30 S/PKI ditumpas oleh Orde Baru.E. Peristiwa
Budaya1. Pelemik tentang tenggelamnya Kapal Van Der Wijck.Dalam sebuah artikel
harian bintang timur, 7 September 1962, pengarang Abdullah SP, mengucapkan
bahwa Hamka sangat mirip dengan pujangga Mesir Al Manfaluthi, gaya bahasanya,
jalan pikirannya, dan perasaannya. Tenggelamnya kapal Van Der Wijck karya
Hamka sangat mirip dengan Magdaline karya Manfaluthi. Namun Adanan H
menyatakan bahwa Abdullah SP telah melakukan tuduhan sembrorno. Sebagai
bukti kecerobohan Abdullah SP, Adnan H memberikan tuduhan kalimat sebagai
berikut:Kalimat Manfaluthi Kalimat HamkaApakah artinya harta ini tempatku
setelah kau hilang dari padaku, Stevens? Ke mana lagi langit bernaung, setelah
hilang dari padaku Zainuddin?Jassin juga membuat kesimpulan bahwa pada Hamka
ada pengaruh Al Manfaluthi. Ada garis-garis persamaan tema, plot, dan buah
pikiran. Tapi Hamka menimba dari sumber pengalaman dan inspirasinya sendiri.2.
Heboh sastra 1968 tentang Langit Makin MendungSesuai dengan teori otonomi seni
yang di dalamnya terdapat paham yang berbunyi “seni untuk seni”, seni tidak
perlu mengabdi kepada apapun di luar dirinya dan seni tidak boleh dinilai dengan
ukuran-ukuran baku yang bersifat estetik seperti ukuran moral, agama dan lain
sebagainya. Maka HB. Jassin memuat cerpen Langit Makin Mendung karya Ki Paji
Kusuma dalam majalahnya.Hal ini banyak menuai protes dan hujatan dari semua
umat Islam dan ulama pada waktu itu, karena cerpen Langit Makin Mendung dinilai
telah menghina Tuhan dan nabi Muhammad SAW, sehingga pada tanggal 12
Oktober 1968 Kejaksaan Tinggi Medan melarang kritik cerpen tersebut diterbitkan.
Namun penghentian itu menimbulkan kritik dari para seniman yang ada di Medan
dan Jakarta.3. Heboh hadiah sastraHadiah yang diberikan H.B. Jassin kepada
pengarang terbaik dalam majalahnya, Horison. Hal ini pertama kalinya ada dalam
sejarah sastra Indonesia, yang mana pengarang mendapat hadiah itu adalah
Motinggo Busye.4. Munculnya sastra majalahPada periode 60-an muncul adanya
sastra majalah atau majalah yang memuat karya-karya sastra seperti Horison dan
Basis. Ini terjadi karena majalah adalah media baca yang paling diminati saat itu,
sehingga para pengarang mencoba menarik simpati masyarakat terhadap karya
sastra melalui majalah.

BAB IIIPENUTUPA.
KesimpulanMunculnya nama angkatan ‘66 telah diumumkan oleh H.B. Jassin dalam
majalah Horison nomor 2 tahun 1966. Pada tulisan tersebut dikatakan bahwa
angkatan ‘66 lahir setelah ditumpasnya pengkhianatan G.30S/PKI. Penamaan
angkatan ‘66 ini pun mengalami adu pendapat. Sebelum nama angkatan ‘66
diresmikan, ada yang memberi nama angkatan Manitest Kebudayaan (MANIKEBU).
Alasan penamaan ini karena Manifest Kebudayaan yang telah dicetuskan pada
tahun 1963 itu pernyataan tegas perumusan perlawanan terhadap penyelewengan
Pancasila dan perusakan kebudayaan oleh Lekra/PKI.Daftar
RujukanYandianto.2004. Apresiasi Karya Sastra dan Pujangga Indonesia. Bandung :
CV. M2SYudiono K.S. 2007. Pengantar Sejarah Sastra Indonesia. Jakarta:
GrasindoDari

You might also like