You are on page 1of 15

i

ETIKA PROFESI AKUNTANSI


KASUS PELANGGARAN ETIKA PROFESI AKUNTANSI

Disusun Oleh :
1. Asmi Nuqayah 27211775
2. Bimbi Lifia Juniarti 21211491
3. Biru Ayu Kartika 21211504
4. Dimas Dwi Cahyo 22211109
5. Ria Oktarina 28211037

3EB24



AKUNTANSI
EKONOMI
UNIVERSITAS GUNADARMA 2014

ii

DAFTAR ISI
Halaman
COVER ...................................................................................................................i
DAFTAR ISI ......................................................................................................... ii
KATA PENGANTAR ......................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................... 4
1.1 Latar Belakang .................................................................................. 4
1.2 Rumusan Masalah ............................................................................ 5
1.3 Batasan Masalah ............................................................................... 5
1.4 Tujuan Penulisan .............................................................................. 5
1.5 Metode Penulisan ............................................................................. 5
BAB II PEMBAHASAN ....................................................................................... 6
2.1 Sejarah PT. Kereta Api Indonesia ................................................... 6
2.2 Kasus Manipulasi Laporan Keuangan PT. KAI .............................. 8
2.3 Analisis ............................................................................................ 9
BAB III PENUTUP ............................................................................................. 14
3.1 Kesimpulan ..................................................................................... 14
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 15


iii

KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur kami panjatkan ke Hadirat Tuhan Yang Maha Esa,
karena berkat Rahmat dan Karunia-Nya kami dapat menyelesaikan makalah ini
tepat pada waktunya. Makalah kami kali ini membahas tentang pelanggaran etika
yang secara nyata terjadi dalam berbagai bidang khususnya di Indonesia.
Penulisan makalah kami ini adalah merupakan salah satu tugas untuk
mata kuliah Etika Profesi Akuntansi.
Kami ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu
kami dalam kelancaran penyusunan makalah kami ini. Makalah yang penulis
susun ini memang masih jauh dari kata sempurna baik dari bentuk penyusunannya
maupun materinya. Kritik dari pembaca yang membangun sangat penulis
harapkan demi penyempurnaan makalah kami selanjutnya. Semoga makalah kami
ini dapat bermanfaat bagi pembaca.

Bekasi, Oktober 2014



Penulis



4

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG
Sebagai akuntan publik, profesionalisme merupakan syarat utama
profesi ini. Karena selain profesi yang bekerja atas kepercayaan masyarakat,
kontribusi akuntan publik terhadap ekonomi sangatlah besar. Peran auditor
untuk meningkatkan kredibilitas dan reputasi perusahaan sangatlah besar.
Selain itu beberapa peneliti seperti Peursem (2005) melihat bahwa auditor
memainkan peranan penting dalam jaringan informasi di suatu perusahaan.
Sejalan dengan pendapat tersebut, Gjesdal (1981) dalam Suta dan Firmanzah
(2006) juga mengatakan bahwa peranan utama auditor adalah menyediakan
informasi yang berguna untuk keperluan penyusunan kontrak yang
dilakukan oleh pemilik atau manajer perusahaan.
Logika sederhananya bahwa agar mesin perekonomian suatu negara
dapat menyalurkan dana masyarakat kedalam usaha-usaha produktif yang
beroperasi secara efisien, maka perlu disediakan informasi keuangan yang
andal, yang memungkinkan para investor untuk memutuskan kemana dana
mereka akan di investasikan. Untuk itu dibutuhkan akuntan publik sebagai
penilai kewajaran informasi yang disajikan manajemen. Jadi jelas bahwa
begitu besarnya peran akuntan publik dalam perekonomian, khususnya
dalam lingkup perusahaan menuntut profesi ini untuk selalu profesional
serta taat pada etika dan aturan yang berlaku.
Dari penjelasan tentang pentingnya peran akuntan publik tersebut
maka penulis tertarik untuk mengambil salah satu contoh kasus pelanggaran
etika profesi akuntansi tentang manipulasi laporan keuangan PT. KAI yang
diharapkan dapat memberikan informasi lebih nyata tentang pentingnya
etika profesi akuntansi agar pembaca dapat lebih mudah memahaminya.

5

1.2 RUMUSAN MASALAH
1. Pelanggaran Etika Profesi Akuntansi seperti apa yang dilakukan oleh
PT. KAI ?
2. Bagaimanakah solusi yang tepat untuk dapat menangani kasus
pelanggaran tersebut ?

1.3 BATASAN MASALAH
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka penulis menyesuaikan
topik yang relevan, yaitu membatasi masalah yang hanya menyangkut pada
kasus pelanggaran etika profesi akuntansi pada PT. KAI pada tahun 2005.

1.4 TUJUAN PENULISAN
1. Untuk mengetahui pelanggaran etika profesi akuntansi yang dilakukan
oleh PT. KAI.
2. Untuk mengetahui solusi yang tepat untuk dapat menangani kasus
pelanggaran tersebut.

1.5 METODE PENULISAN
Dalam melakukan penulisan makalah ini, penulis menggunakan
metode kepustakaan.

6


BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Sejarah PT. Kereta Api Indonesia
Kehadiran kereta api di Indonesia ditandai dengan pencangkulan
pertama pembangunan jalan KA di desa Kemijen, Jum'at tanggal 17 Juni
1864 oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Mr. L.A.J Baron Sloet van
den Beele. Pembangunan diprakarsai oleh Naamlooze Venootschap
Nederlandsch Indische Spoorweg Maatschappij (NV. NISM) yang dipimpin
oleh Ir. J.P de Bordes dari Kemijen menuju desa Tanggung (26 Km) dengan
lebar sepur 1435 mm. Ruas jalan ini dibuka untuk angkutan umum pada hari
Sabtu, 10 Agustus 1867.
Keberhasilan swasta, NV. NISM membangun jalan KA antara
Kemijen - Tanggung, yang kemudian pada tanggal 10 Februari 1870 dapat
menghubungkan kota Semarang - Surakarta (110 Km), akhirnya mendorong
minat investor untuk membangun jalan KA di daerah lainnya. Tidak
mengherankan, kalau pertumbuhan panjang jalan rel antara 1864 - 1900
tumbuh de-ngan pesat. Kalau tahun 1867 baru 25 Km, tahun 1870 menjadi
110 Km, tahun 1880 mencapai 405 Km, tahun 1890 menjadi 1.427 Km dan
pada tahun 1900 menjadi 3.338 Km.
Selain di Jawa, pembangunan jalan KA juga dilakukan di Aceh
(1874), Sumatera Utara (1886), Sumatera Barat (1891), Sumatera Selatan
(1914), bahkan tahun 1922 di Sulawasi juga telah dibangun jalan KA
sepanjang 47 Km antara Makasar-Takalar, yang pengoperasiannya
dilakukan tanggal 1 Juli 1923, sisanya Ujungpandang - Maros belum sempat
diselesaikan. Sedangkan di Kalimantan, meskipun belum sempat dibangun,
studi jalan KA Pontianak - Sambas (220 Km) sudah diselesaikan. Demikian
juga di pulau Bali dan Lombok, pernah dilakukan studi pembangunan jalan
KA.
7

Sampai dengan tahun 1939, panjang jalan KA di Indonesia mencapai
6.811 Km. Tetapi, pada tahun 1950 panjangnya berkurang menjadi 5.910
km, kurang Iebih 901 Km raib, yang diperkirakan karena dibongkar semasa
pendudukan Jepang dan diangkut ke Burma untuk pembangunan jalan KA
di sana.
Jenis jalan rel KA di Indonesia semula dibedakan dengan lebar sepur
1.067 mm; 750 mm (di Aceh) dan 600 mm di beberapa lintas cabang dan
tram kota. Jalan rel yang dibongkar semasa pendudukan Jepang (1942 -
1943) sepanjang 473 Km, sedangkan jalan KA yang dibangun semasa
pendudukan Jepang adalah 83 km antara Bayah - Cikara dan 220 Km antara
Muaro - Pekanbaru. Ironisnya, dengan teknologi yang seadanya, jalan KA
Muaro - Pekanbaru diprogramkan selesai pembangunannya selama 15 bulan
yang mempekerjakan 27.500 orang, 25.000 diantaranya adalah Romusha.
Jalan yang melintasi rawa-rawa, perbukitan, serta sungai yang deras arusnya
ini, banyak menelan korban yang makamnya bertebaran sepanjang Muaro-
Pekanbaru.
Setelah kemerdekaan Indonesia diproklamir-kan pada tanggal 17
Agustus 1945, karyawan KA yang tergabung dalam Angkatan Moeda Kereta
Api (AMKA) mengambil alih kekuasa-an perkeretaapian dari pihak Jepang.
Peristiwa bersejarah tersebut terjadi pada tanggal 28 September 1945.
Pembacaan pernyataan sikap oleh Ismangil dan sejumlah anggota AMKA
lainnya, menegaskan bahwa mulai tanggal 28 September 1945 kekuasaan
perkeretaapian berada di tangan bangsa Indonesia. Orang Jepang tidak
diperbolehkan campur tangan lagi urusan perkeretaapi-an di Indonesia.
Inilah yang melandasi ditetapkannya 28 September 1945 sebagai Hari
Kereta Api di Indonesia, serta dibentuknya Djawatan Kereta Api Republik
Indonesia (DKARI).

8

2.2 Kasus Manipulasi Laporan Keuangan PT. KAI
Transparansi serta kejujuran dalam pengelolaan lembaga yang
merupakan salah satu derivasi amanah reformasi ternyata belum sepenuhnya
dilaksanakan oleh salah satu badan usaha milik negara, yakni PT Kereta Api
Indonesia. Dalam laporan kinerja keuangan tahunan yang diterbitkannya
pada tahun 2005, ia mengumumkan bahwa keuntungan sebesar Rp. 6,90
milyar telah diraihnya. Padahal, apabila dicermati, sebenarnya ia harus
dinyatakan menderita kerugian sebesar Rp. 63 milyar.
Kerugian ini terjadi karena PT Kereta Api Indonesia telah tiga tahun
tidak dapat menagih pajak pihak ketiga. Tetapi, dalam laporan keuangan itu,
pajak pihak ketiga dinyatakan sebagai pendapatan. Padahal, berdasarkan
standar akuntansi keuangan, ia tidak dapat dikelompokkan dalam bentuk
pendapatan atau asset. Dengan demikian, kekeliruan dalam pencatatan
transaksi atau perubahan keuangan telah terjadi di sini.
Di lain pihak, PT Kereta Api Indonesia memandang bahwa
kekeliruan pencatatan tersebut hanya terjadi karena perbedaan persepsi
mengenai pencatatan piutang yang tidak tertagih. Terdapat pihak yang
menilai bahwa piutang pada pihak ketiga yang tidak tertagih itu bukan
pendapatan. Sehingga, sebagai konsekuensinya PT Kereta Api Indonesia
seharusnya mengakui menderita kerugian sebesar Rp. 63 milyar. Sebaliknya,
ada pula pihak lain yang berpendapat bahwa piutang yang tidak tertagih
tetap dapat dimasukkan sebagai pendapatan PT Kereta Api Indonesia
sehingga keuntungan sebesar Rp. 6,90 milyar dapat diraih pada tahun
tersebut. Diduga, manipulasi laporan keuangan PT Kereta Api Indonesia
telah terjadi pada tahun-tahun sebelumnya. Sehingga, akumulasi
permasalahan terjadi disini.
Dalam penjelasannya kepada Ikatan Akuntan Indonesia, Hekinus
Manao menyatakan ada tiga kesalahan dalam laporan keuangan Kereta Api.
Pertama, kewajiban perseroan membayar Surat Ketetapan Pajak pajak
pertambahan nilai Rp 95,2 miliar, yang diterbitkan Direktorat Jenderal Pajak
pada akhir 2003, disajikan dalam laporan keuangan sebagai piutang/tagihan
9

kepada beberapa pelanggan yang seharusnya menanggung beban pajak
tersebut. "Komisaris berpendapat pencadangan kerugian harus dilakukan
karena kecilnya kemungkinan tertagihnya pajak kepada para pelanggan,"
kata Hekinus dalam laporannya.
Kedua, adanya penurunan nilai persediaan suku cadang dan
perlengkapan sekitar Rp 24 miliar yang diketahui pada saat dilakukannya
inventarisasi pada tahun 2002, pengakuannya sebagai kerugian oleh
manajemen Kereta Api dilakukan secara bertahap (diamortisasi) selama 5
tahun. Pada akhir tahun 2005 masih tersisa saldo penurunan nilai yang
belum dibebankan sebagai kerugian sekitar Rp 6 miliar. "Komisaris
berpendapat saldo penurunan itu nilai Rp 6 miliar itu harus dibebankan
seluruhnya dalam tahun 2005," ujar Hekinus. Kesalahan ketiga, lanjut dia,
bantuan pemerintah yang belum ditentukan statusnya senilai Rp 674,5 miliar
dan penyertaan modal negara Rp 70 miliar oleh manajemen disajikan dalam
Neraca 31 Desember 2005 yang konsisten dengan tahun-tahun sebelumnya
sebagai bagian dari utang.

2.3 Analisis
Menurut kami, selain akuntan eksternal dan komite audit yang
melakukan kesalahan dalam hal pencatatan laporan keuangan, akuntan
internal di PT. KAI juga belum sepenuhnya menerapkan 8 prisip etika
akuntan. Dari kedelapan prinsip akuntan yaitu tanggung jawab profesi,
kepentingan publik, integritas, objektifitas, kompetensi dan kehati-hatian
profesional, kerahasiaan, perilaku profesional, dan standar teknis, prinsip-
prinsip etika akuntan yang dilanggar antara lain :
1. Tanggung jawab profesi, dimana seorang akuntan harus bertanggung
jawab secara professional terhadap semua kegiatan yang dilakukannya.
Akuntan Internal PT. KAI kurang bertanggung jawab karena dia tidak
menelusuri kekeliruan dalam pencatatan dan memperbaiki kesalahan
tersebut sehingga laporan keuangan yang dilaporkan merupakan keadaan
dari posisi keuangan perusahaan yang sebenarnya.
10

2. Kepentingan Publik, dimana akuntan harus bekerja demi kepentingan
publik atau mereka yang berhubungan dengan perusahaan seperti
kreditur, investor, dan lain-lain. Dalam kasus ini akuntan PT. KAI
diduga tidak bekerja demi kepentingan publik karena diduga sengaja
memanipulasi laporan keuangan sehingga PT. KAI yang seharusnya
menderita kerugian namun karena manipulasi tersebut PT. KAI terlihat
mengalami keuntungan. Hal ini tentu saja sangat berbahaya, termasuk
bagi PT. KAI. Karena, apabila kerugian tersebut semakin besar namun
tidak dilaporkan, maka PT. KAI bisa tidak sanggup menanggulangi
kerugian tersebut.
3. Integritas, dimana akuntan harus bekerja dengan profesionalisme yang
tinggi. Dalam kasus ini akuntan PT. KAI tidak menjaga integritasnya,
karena diduga telah melakukan manipulasi laporan keuangan.
4. Objektifitas, dimana akuntan harus bertindak obyektif dan bersikap
independen atau tidak memihak siapapun. Dalam kasus ini akuntan PT.
KAI diduga tidak obyektif karena diduga telah memanipulasi laporan
keuangan sehingga hanya menguntungkan pihak-pihak tertentu yang
berada di PT. KAI.
5. Kompetensi dan kehati-hatian professional, akuntan dituntut harus
melaksanakan jasa profesionalnya dengan penuh kehati-hatian,
kompetensi, dan ketekunan, serta mempunyai kewajiban untuk
mempertahankan pengetahuan dan keterampilan profesionalnya pada
tingkat yang diperlukan. Dalam kasus ini, akuntan PT. KAI tidak
melaksanakan kehati-hatian profesional sehingga terjadi kesalahan
pencatatan yang mengakibatkan PT. KAI yang seharusnya menderita
kerugian namun dalamlaporan keuangan mengalami keuntungan.
6. Perilaku profesional, akuntan sebagai seorang profesional dituntut
untuk berperilaku konsisten selaras dengan reputasi profesi yang baik
dan menjauhi tindakan yang dapat mendiskreditkan profesinya. Dalam
kasus ini akuntan PT. KAI diduga tidak berperilaku profesional yang
11

menyebabkan kekeliruan dalam melakukan pencatatanlaporan keuangan,
dan hal ini dapat mendiskreditkan (mencoreng nama baik) profesinya.
7. Standar teknis: akuntan dalam menjalankan tugas profesionalnya harus
mengacu dan mematuhi standar teknis dan standar profesional yang
relevan. Sesuai dengan keahliannya dan dengan berhati-hati, akuntan
mempunyai kewajiban untuk melaksanakan penugasan dari penerima
jasa selama penugasan tersebut sejalan dengan prinsip integritas dan
obyektifitas. Dalam kasus ini akuntan tidak melaksanakan prinsip
standar teknis karena tidak malaporkan laporan keuangan sesuai dengan
standar akuntansi keuangan. Contohnya, pada saat PT Kereta Api
Indonesia telah tiga tahun tidak dapat menagih pajak pihak ketiga.
Tetapi, dalam laporan keuangan itu, pajak pihak ketiga dinyatakan
sebagai pendapatan. Padahal, berdasarkan standar akuntansi
keuangan tidak dapat dikelompokkan dalam bentuk pendapatan atau
asset.
Menurut sumber yang kelompok kami peroleh, ada beberapa hal
yang di identifikasi turut berperan dalam masalah pada laporan keuangan PT
Kereta Api Indonesia yaitu:
1. Auditor internal tidak berperan aktif dalam proses audit, yang berperan
hanya auditor eksternal.
2. Manajemen (termasuk auditor internal) tidak melaporkan kepada komite
audit dan komite audit juga tidak menanyakannya.
3. Adanya ketidakyakinan manajemen akan laporan keuangan yang telah
disusun, sehingga ketika komite audit mempertanyakannya manajemen
merasa tidak yakin.
PT KAI yang merupakan suatu lembaga memang punya kewenangan
untuk menyusun laporan keuangannya dan memilih auditor eksternal untuk
melakukan proses audit terhadap laporan keuangan tersebut. Tetapi, PT KAI
tidak boleh mengabaikan organisasional penyusunan laporan keuangan dan
proses audit. Ada hal-hal yang harus diperhatikan sebagai wujud penerapan
12

tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance). Auditor
eksternal yang dipercayai harus benar-benar memiliki integritas serta
prosesnya harus terlaksana berdasarkan kaidah-kaidah yang telah diakui
validitasnya, dalam hal ini PSAK dan SPAP.
Selain itu, sebagai auditor eksternal wajib melakukan komunikasi
secara baik dan benar dengan komite audit yang ada pada PT Kereta Api
Indonesia untuk membangun kesepahaman (understanding) diantara seluruh
unsur lembaga. Kemudian, hubungan antar lembaga diharapkan tercipta
dengan baik, sehingga mempermudah penerapan sistem pengendalian
manajemen yang ada di dalamnya. Secara tidak langsung, upaya ini
menunjang perwujudan tanggung jawab sosial perusahaan kepada
masyarakat luas sebagai salah satu pengampu kepentingan.
Perlu diketahui juga akan pentingnya kejujuran dalam membuat
laporan keuangan. Hal tersebut bukan hanya penting sebagai tanggung
jawab perusahaan terhadap publik maupun investor. Akan tetapi hal tersebut
juga penting bagi perusahaan sendiri karena dari laporan keuangan biasanya
perusahaan menganalisis bagaimana perkiraan tahun mendatang dan
menjadi dasar pengambilan keputusan. Apabila laporan keuangan yang
menjadi dasar hal tersebut sudah tidak layak, tentu hasil akan jauh dari yang
diharapkan dan bahkan bisa berimbas pada perusahaan.
Menurut Ahmadi, jika pendapat Hekinus benar, maka kesalahan
penyajian laporan keuangan tersebut telah terjadi bertahun-tahun.
"Seharusnya komisaris terlibat sebelum laporan keuangan diterbitkan."
(Tempo.co).
Menanggapi kondisi tersebut, Menteri Negara BUMN Sugiharto
mengaku, pihaknya lebih memilih untuk menyerahkan masalah ini ke Badan
Peradilan Profesi Akuntan untuk membuktikan ada-tidaknya kesalahan audit
tersebut. Sugiharto juga mempersilakan Badan Pemeriksa Keuangan sebagai
auditor negara untuk menindaklanjuti hal tersebut. Sebelumnya auditor dari
Akuntan Publik Mannan, Sofwan, Adnan, dan rekan membantah melakukan
kekeliruan. Pasalnya kantor ini sudah dua periode mengaudit keuangan PT
13

KAI, yakni pada 2004 dan 2005. Induk organisasinya Ikatan Akuntan
Indonesia (IAI) meminta perdebatan ini dibawa ke Badan Peradilan Profesi
Akuntan Publik untuk menentukan apakah ada kekeliruan dalam proses
audit laporan keuangan PT KAI. (Liputan6.com)

14

BAB III
PENUTUP

3.1 KESIMPULAN

Dari hasil pembahasan diatas maka hasil yang dapat penulis
simpulkan adalah sebagai berikut:
1. Laporan kinerja keuangan tahunan yang diterbitkannya pada tahun 2005,
ia mengumumkan bahwa keuntungan sebesar Rp. 6,90 milyar telah
diraihnya. Padahal, apabila dicermati, sebenarnya ia harus dinyatakan
menderita kerugian sebesar Rp. 63 milyar.
2. Solusi dari kasus tersebut adalah sebagai berikut:
a. Harus ada upaya untuk membenarkan kesalahan tahun-tahun lalu,
karena konsistensi yang salah tidak boleh dipertahankan. Kesalahan-
kesalahan sudah terakumulasi dari tahun-tahun sebelumnya sehingga
terdapat dua alternatif, yaitu di restatement atau dikoreksi. Keputusan
mengenai opsi yang dipilih sepenuhnya tergantung dari Badan
Peradilan Profesi Akuntan Publik (BP2AP), karena kasus PT. Kereta
Api sedang diproses disana.
b. Komite Audit tidak berbicara kepada publik, karena esensinya
Komite Audit adalah organ Dewan Komisaris sehingga pendapat dan
masukan Komite Audit harus disampaikan kepada Dewan Komisaris.
Apabila Dewan Komisaris tidak setuju dengan Komite Audit namun
Komite Audit tetap pada pendiriannya, Komite Audit dapat
mencantumkan pendapatnya pada laporan komite audit yang terdapat
dalam laporan tahunan perusahaan.
c. Perbaikan sistem akuntansi dan konsistensi penerapan Prinsip
Akuntansi yang Berlaku Umum di perusahaan.
d. Memilih auditor yang benar-benar kompeten dan profesional.

15

DAFTAR PUSTAKA
1) http://www.kereta-api.co.id/index.php#tentang

2) http://www.tempo.co/read/news/2006/08/07/05681332/Laporan-Keuangan-
Kereta-Api-Diduga-Salah

3) http://www.antaranews.com/view/?i=1153914935&c=EKU&s=

4) http://byebby.blogspot.com/2013/03/manipulasi-laporan-keuangan-pt-kai.html

5) http://www.liputan6.com/read/127216/kasus-perselisihan-pt-kai-dibawa-ke-
bpk#

6) http://www.tempo.co/read/news/2006/08/07/05681332/Laporan-Keuangan-
Kereta-Api-Diduga-Salah

You might also like