Professional Documents
Culture Documents
KAREL A. STEENBRINK
Oleh:
Ali Farhan (07530007)
KAREL A. STEENBRINK 1
(Ali Farhan)
BAB I
PENDAHULUAN
KAREL A. STEENBRINK 2
(Ali Farhan)
BAB II
KAREL A. STEENBRINK 3
(Ali Farhan)
Karirnya dimulai pada tahun 1973-1978 sebagai guru agama pada School di
Eindhoven tahun 1978-1989 berkesempatan mengikuti program kerjasama antara
Universitas Leiden dan Institut Agama Islam Negeri (The National Institute of Islamic
Studies of Indonesian), yaitu di Leiden (1978-1979), Jakarta (1981-1983) dan
Yogyakarta (1984-1988): sejak 1989-(sampai sekarang) sebagai penelity senior pada
IIMO (the interuniversity Institute of Islamic Studies, McGill University di Monstreal,
Canada.
1. Tradisi Katolik
KAREL A. STEENBRINK 4
(Ali Farhan)
badaniyah. Hadiah bunga dan membakar kemenyan juga terdapat di sana. Dalam
bidang pemikiran keagamaan, dalam tradisi Katolik jarang di temui pemikir uang
berubah pemikirannya begitu drastis dan radikal, seperti ditemukan dalam tradisi
Protestan. Kebanyakan tradisi Katolik bersifat moderat, kurang keras, sehingga ada
yang menuduhnya bersifat kompromistis. Nampaknya tradisi ini juga melekat pada
diri Steenbrink.
Konversi Agama adalah “suatu sikap yang hendak menggunakan agama justru
untuk menyatukan umat mnanusia”. Istilah Konversi Agama merupakan istilah yang
di temukan dalam beberapa karya Steenbrink sendiri. Meski tidak menutup
kemungkinan bahwa banyak tokoh telah tertarik (dalam arti memilih jalan hidup)
dengan sikap ini, namun yang tampak memiliki arti tersendiri pada diri Steenbrink
2 Ibid. Mohammad Muslih, Religious Studies; Problem Hubungan Islam dan Barat
(kajian atas pemikiran Karel A.Steenbrink), Belukar Budaya, Cet I, 2001, Yogyakarta hal 75
KAREL A. STEENBRINK 5
(Ali Farhan)
adalah Louis Messignon, W. Montgomery Watt, dan Wilfred Cantwell Smith. Sebagai
bukti, bisa dilihat, bahwa ketiga tokoh ini sering di jadikan rujukan Steenbrink dalam
beberapa karyannya, terutama dalam meyakinkan perlunya dialog antar agama. Tidak
hanya itu, ketiganya Steenbrink juga mewarisi pengalaman yang kurang lebih sama
dengnan apa yang pernah dialami oleh ketiga tokoh konvergensi agama itu, bahkan ia
sering melakukan kegiatan—yang dianggap pemeluk agama lain dengan ritual, diluar
tradisi agamanya. Maka tidak mengherankan jika dalam rangka melakukan
penelitiannya tentang pesantren, ia di terima sebagai santri di Pondok Pesantren
Modern Darussalam Gontor Ponorogo. Dalam arti sama seperti santri yang lain, di
beri pelayanan pengajaran, tempat tinggal, malah juga di perbolehkan mengikuti
sholat dalam masjid. Meski ia mengaku sebagai orang Katolik kepada Kiai Imam
Zarkashi (alm)3
BAB III
3 Karel A.Steenbrink, Pesantren, Madrasah, sekolah: Pendidikan Islam dalam Kurun Modern, Jakarta:
LP3Es, 1986, hlm 261
KAREL A. STEENBRINK 6
(Ali Farhan)
KAREL A. STEENBRINK 7
(Ali Farhan)
agama Islam, Steenbrink melihat hubungan itu tampak diwarnai oleh sikap
keberagaman yang cukup ambivalen atau memuat beberapa unsur yang saling
bertentangan. Disebut demikian, menurut Steenbrink, karena dari satu segi, ajaran
Islam bersifat sangat positif tergadap kristen, dan secara inklusif digambarkan dalam
melalui pengakuan bahwa Nabi Isa secara penuh dan tanpa diskriminasi dianggap
sebagai nabi yang membawa wahyu dari Allah. Umat islam juga mengakui bahwa
Yesus telah membawa kitab suci yang sah. Akan tetapi dalam kenyataannya di
tegaskan, bahwa Kitab Suci tersebut sudah tidak bisa dipakai lagi, karena sudah
terjadi perubahan di dalam teksnya, sehingga aslinya tidak tersimpan lagi.
Tentang terkaitnya tiga sikap ini dengan keilmuan orientalisme, memang tidak
hanya diugkapkan Steenbrink dengan istilah (yang barangkali) berbeda, beberapa
sarjana Barat lain juga mengakuinya. Maksisme Rodoinson, misalnya juga
menunujukkan adanya yang terlibat dalam beberapa faktor yang terlibat dalam
kegiatan orientalisme adalah faktor-faktor yang lebih luas, yaitu faktor perdagangan,
minat akan dunia timur, kuriositas keilmuan dan lain-lain, disamping kepentingan
ekonomi politik dan perseteruan ideologis Kristen-Islam. Senada dengan Rodinson,
Albert Hourani juga melihat apa yang ada dalam pemikiran Barat mengenai Islam itu
muncul dari kalangan gereja universitas, politisi, pengelana dan lain-lain. Lebih jauh
6 Ibid Mohammad Muslih, Religious Studies; Problem Hubungan Islam dan Barat
(kajian atas pemikiran Karel A.Steenbrink) hlm 79
KAREL A. STEENBRINK 8
(Ali Farhan)
Analisis
BAB IV
KESIMPULAN
7 Ibid. Mohammad Muslih, Religious Studies; Problem Hubungan Islam dan Barat
(kajian atas pemikiran Karel A.Steenbrink) hlm 83
KAREL A. STEENBRINK 9
(Ali Farhan)
Begitu pula pada study orientalisme ada terjadi bias, prejudice dan
mispersepsi Barat, dalam mengkaji Barat, Karel Steenbrink tidak menyangkal hal itu,
karenanya ia melakukan otokritik terhadap karya-karya dan metodologi Barat dalam
study Timur (Islam). Steenbrink memang bukan sarjana Barat pertama yang
mengkritisi tradisi barat sendiri. Seperti juga di singgung pada pembahasan
sebelumnya, ilmuan Barat seperti Norman Daniel, Maxime Rodinson, Albert Hourani
dan lain-lain juga telah melakukan hal yang sama. Namun berbeda dengan kawan-
kawannya itu, Steenbrink tidak berhenti hannya mengkritik. Dengan semangat
Religious Studies, ia menunjukkan variasi-variasi dan perkembangan di dalam
orientalisme; orientalisme berperan dalam menciptakan konflik agama dan sebaliknya
hubungan antar agama juga memiliki andil cukup besar dalam membentuk wajah
orientalisme, bahkan lebih jauh ia menunjukkan signifikansinya bagi kemungkinan
kemajuan kajian keislaman (Dirasah Islamiyah)
DAFTAR PUSTAKA
KAREL A. STEENBRINK 10
(Ali Farhan)
Yogyakarta hal 37
KAREL A. STEENBRINK 11