You are on page 1of 11

(Ali Farhan)

KAREL A. STEENBRINK

Disusun untuk memenuhi tugas Individu


Ujian Akhir Semester
Mata Kuliah Orientalisme
Dosen Pengampu: Ibu Inayah Rohmaniyah

Oleh:
 Ali Farhan (07530007)

JURUSAN TAFSIR HADITS


FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2009

KAREL A. STEENBRINK 1
(Ali Farhan)

BAB I

PENDAHULUAN

Temuan-temuan tentang Islam, memang telah memberikan gambaran


tersendiri, baik terhadap umat Islam maupun dalam (keilmuan) barat. Kajian
orientalisme ternyata memiliki akar tradisi yang cukup panjang di dunia akdemik
barat. Orientalisme tumbuh dan berkembang, seiring dengan berbagai kepentingan
yang mengitarinya sejak berpuluh-puluh bahkan beratus-ratus tahun yang lalu.
Sebagai sebuah keilmuan, orientalisme sulit untuk bisa terbebas dari unsure-unsur
kepentingan di luar keilmuan dalam melihat dunia Timur dan dunia Islam. Hal ini
telah menimbulkan stigma di kalangan umat Islam bahwa apapun yang dikatakan
sarjana Barat tentang islam akan selalu di curigai.
Dari aspek inilah penulis mencoba untuk mengkaji salah satu dari orientalis
yakni Karel A.Steenbrink, sebagai seorang yang lahir dari tradisi dan lingkungan yang
menghargai pluralitas dan karenanya memiliki concern terhadap dialog dan kerjasama
antar tradisi keagamaan, Karel A.Steenbrink tidak menyangkal bahwa hubungan
Islam dan Barat memiliki pengaruh terhadap kajian orientalisme atau sebaliknya
kajian orientalisme juga telah membawa akses terjadinya ketegangan kedua tradisi itu.
Makalah ini mencoba mengkaji pemikiran Karel A. Steenbrink di seputar di
kursus orientalisme dalam konteks hubungan Barat dengan Islam. Alasan dipilihnya
pemikiran Karel A.Steenbrink subjek kajian, tidak saja karena pemikiran itu di
lahirkan dari pemahamannya tentang tradisi orientalisme, dimana ia menjadi besar,
tetapi juga tentang Islam dan study Islam (termasuk di Indonesia), dimana ia sendiri
melihat dan membuktikannya. Dengan demikian, di harapkan mendapatkan informasi
yang lebih terjamin keobjektifannya.

KAREL A. STEENBRINK 2
(Ali Farhan)

BAB II

BIOGRAFI DAN PEMIKIRAN KAREL A. STEENBRINK

A. Biografi Karel A. Steenbrink

Karel A. Steenbrink lahir di breda, negeri belanda 1942. ia sebagai anak ke 10


dari-12 dalam lingkungan keluarga dan tradisi Katolik yang taat. Di tengah keluarga
itu, ia memang sudah terbiasa dengan kehidupan yang ‘pluralis’ sebagaimana dia
temukan dalam sikap orang tuanya. “…sikap keagamaan ayah dan ibu agak berbeda
malah kadang bertentangan,”Demikian Steenbrink. Ayahnya seorang ritualais, suka
berpegang kepada peraturan yang di berikan dari atas, senang ikut kebaktian formal,
yaitu misa kudus setiap pagi di Gereja Paroki. Sedang ibunya jarang pergi beribadat di
gereja selain pada hari Minggu; sang ibu lebih cenderung pada ibadat individual.
Kalau pulang dari pasar, ibunya mampir sebentar di Gereja Ketedral, membakar lilin
di depan patung Maria, kemudian duduk hening berapa menit. Demikian ini di
rasakannya sudah cukup. Karel A. Steenbrink, “baginya jauh lebih penting menemani
semua anaknya pada sarapan pagi, duduk, ngobrol, minum teh bersama, dari pada
terlalu sering ke gereja. “Sementara sang ayah sebegitu suka pada patung, mambakar
lilin apalagi berziarah yang di sertai piknik dan ekskursi bertamasya. Itu dianggap
terlalu mencampuri keseriusan agama dengan tujuan rekreasi belaka. “walaupun ada
perebedaan seperti itu, maka dapat hidup dalam suatu perkawinan yang bahagia
selama 55 tahun dan tetap beragama katolik sampai wafat, “demikian Steenbrink.

Di kota ke lahirannya itu, ia memperoleh pendidikan tradisional, dimana masih


diajarkan bahasa “klasik”, yaitu Yunani dan Latin. Bahkan ketika duduk di sekolah
menengah, Steenbrink sempat belajar bahasa Latin selama 6 tahun dan bahasa Yunani
selama 5 tahun dengan guru pastur Katolik. Pada sekolah ini Steenbrink mulai
menunjukkan sikap yang kritis, misalnya ketika diajarkan beberapa bahan, misalnya
mengenai cerita tentang para dewa dan para ahli filsafat Latin dan Yunani: Vergillius,
Ovidus, Homerus, Plato, Heredotus, termasuk cerita yang aneh-aneh mengenai dewa
yang melihat wanita cantik di bumi ini dan berkunjung kepadanya yang akhirnya
keluarga dewapun bertambah lagi, maka ia pun bertanya kepada gurunya: kapan kita
akan mulai membaca Injil? Di jawab: “Injil di tulis dalam bahasa Yunani yang kurang
sempurna! Jangan membaca itu sekarang.

KAREL A. STEENBRINK 3
(Ali Farhan)

Selanjutnya setelah menamatkan studinya pada sekolah menengah, ia


melanjtukan ke sekolah teologi pada Catholic University of Nijmagen, belanda dan
mendapat gelar MA (1970). Karena merasa tidak puas dengan studinya yang hannya
mempelajari bahan kuliah dari buku saja, maka ia mencari kemungkinan untuk
mendapatkan pengalaman. Setelah mendapatkan sponsor dan melakukan lobbying,
kemudian ia berkesempatan mengadakan penelitian mengenai pesantren di Indonesia
(1970-1971). Untuk ia mendapat gelar Ph.D dengan disertasi yanng berjudul:
Pesantren, Madrasah, Sekolah: Recente Ontwikkelingen Indonesisch Islamoderricht
(with English summary)

Karirnya dimulai pada tahun 1973-1978 sebagai guru agama pada School di
Eindhoven tahun 1978-1989 berkesempatan mengikuti program kerjasama antara
Universitas Leiden dan Institut Agama Islam Negeri (The National Institute of Islamic
Studies of Indonesian), yaitu di Leiden (1978-1979), Jakarta (1981-1983) dan
Yogyakarta (1984-1988): sejak 1989-(sampai sekarang) sebagai penelity senior pada
IIMO (the interuniversity Institute of Islamic Studies, McGill University di Monstreal,
Canada.

Saat ini di samping menjalankan tugasnya di IIMO pada dept. of Religion


Utrecht University, bersama Paule, sang istri, Steenbrink banyak menghabiskan
waktunya bagi upaya-upaya untuk dialog dan hubungan antar agama, misalnya
mengelola majalah Begrip, untuk hubungan antar agama, misalnya mengelola majalah
Begrip, untuk hubungan Kristen-Muslim di Belanda, majalah Steenbrink-Times, dan
lain-lain.1

B. Akar Pemikiran Steenbrink

1. Tradisi Katolik

Steenbrink lahir dalam lingkungan keluarga Katolik, yang kemudian


Steenbrink membandingkannya dengan tradisi seperti Nahdlatul Ulama’ di Indonesia,
dalam arti sama-sama lebih toleran terhadap ajaran dan khususnya terhadap praktek
yang belum sempurna, seperti ziarah kubur makan dan tempat-tempat ziarah yang
khusus. Dalam ibadah, Katolik juga lebih mementingkan aspek lahiriyah dan

1 Mohammad Muslih, Religious Studies; Problem Hubungan Islam dan Barat


(kajian atas pemikiran Karel A.Steenbrink), Belukar Budaya, Cet I, 2001, Yogyakarta hal 37

KAREL A. STEENBRINK 4
(Ali Farhan)

badaniyah. Hadiah bunga dan membakar kemenyan juga terdapat di sana. Dalam
bidang pemikiran keagamaan, dalam tradisi Katolik jarang di temui pemikir uang
berubah pemikirannya begitu drastis dan radikal, seperti ditemukan dalam tradisi
Protestan. Kebanyakan tradisi Katolik bersifat moderat, kurang keras, sehingga ada
yang menuduhnya bersifat kompromistis. Nampaknya tradisi ini juga melekat pada
diri Steenbrink.

Dalam gereja Katolik wibawa Sri-Paus memperoleh kedudukan yang sangat


kuat. Hal ini berbeda dengan gereja protestan, dimana prioritas di berikan kepada hati
nurani masing-masing anggota jemaat. Karena memang aliran ini muncul justru
karena protes terhadap kuasa sentral yang terlalu kuat. Pada tahun 1870 kuasa yang
sentralistik ini mencapai puncaknya di dalam gereja katolik lewat konsil Vatikan I,
yang menetapkan bahwa Sri-Paus, didalam persoalan aqidah dan etika, tidak bisa
keliru kalau dia mengucapkan sebuah keputusan (fatwa) secara formal. Namun, meski
rumusan ajaran ini di terima secara resmi oleh para uskup yang hadir pada konsil itu,
tidak berarti bahwa ahli teologi Katolik seluruhnya menyetujui. Inilah ciri khas yang
lain tradsi Katolik, dimana secara praktis tradisi ini memuat banyak variasi di
dalamnya.

Tentang kehidupan dalam gereja Katolik Steenbrink memberikan


ilustrasi:”Dalam Katolik, gereja dianggap sebagai ibu. Kiasan ni kerap kali di pakai
sejak abad-abad pertama, sehingga timbul pepatah;”tidak bisa memiliki Allah
sebagai Bapa, kalau tidak mendapatkan hereja sebagai ibu (Cyprianus, lk 200-250).
Tetapi dianggap bisa juga, kalau ibu mendapatkan anak-anak yang nakal. Anak-anak
nakal ini memang akan di tegur oleh ibunya, tetapi juga tetap akan diakui sebagai
anaknya.2

2. Pengaruh Tokoh “Konversi Agama”

Konversi Agama adalah “suatu sikap yang hendak menggunakan agama justru
untuk menyatukan umat mnanusia”. Istilah Konversi Agama merupakan istilah yang
di temukan dalam beberapa karya Steenbrink sendiri. Meski tidak menutup
kemungkinan bahwa banyak tokoh telah tertarik (dalam arti memilih jalan hidup)
dengan sikap ini, namun yang tampak memiliki arti tersendiri pada diri Steenbrink

2 Ibid. Mohammad Muslih, Religious Studies; Problem Hubungan Islam dan Barat
(kajian atas pemikiran Karel A.Steenbrink), Belukar Budaya, Cet I, 2001, Yogyakarta hal 75

KAREL A. STEENBRINK 5
(Ali Farhan)

adalah Louis Messignon, W. Montgomery Watt, dan Wilfred Cantwell Smith. Sebagai
bukti, bisa dilihat, bahwa ketiga tokoh ini sering di jadikan rujukan Steenbrink dalam
beberapa karyannya, terutama dalam meyakinkan perlunya dialog antar agama. Tidak
hanya itu, ketiganya Steenbrink juga mewarisi pengalaman yang kurang lebih sama
dengnan apa yang pernah dialami oleh ketiga tokoh konvergensi agama itu, bahkan ia
sering melakukan kegiatan—yang dianggap pemeluk agama lain dengan ritual, diluar
tradisi agamanya. Maka tidak mengherankan jika dalam rangka melakukan
penelitiannya tentang pesantren, ia di terima sebagai santri di Pondok Pesantren
Modern Darussalam Gontor Ponorogo. Dalam arti sama seperti santri yang lain, di
beri pelayanan pengajaran, tempat tinggal, malah juga di perbolehkan mengikuti
sholat dalam masjid. Meski ia mengaku sebagai orang Katolik kepada Kiai Imam
Zarkashi (alm)3

Pilihan sikap hidup ini di gambarkan Steenbrink: “…tidak jarang tokoh


seperti ini berada dalam situasi kepribadian yang agak sulit: oleh ummatnya sendiri,
ia sering dianggap sebagai orng yang hampir keluar dari agamnya, sedangkan oleh
umat lain sering juga belum bisa diterima. Denngn demikian, tokoh konvergensi ini
sering merupakan tokoh yang kedudukannya terisolir.”

Pernyataan Steenbrink ini, meski ditujukan kepada tiga tokoh konvergensi


agama tersebut, namun kesannya merupakan refleksi terhadap apa yang sebenarnya
juga terjadi dalam diri Steenbrink sendiri.

BAB III

3 Karel A.Steenbrink, Pesantren, Madrasah, sekolah: Pendidikan Islam dalam Kurun Modern, Jakarta:
LP3Es, 1986, hlm 261

KAREL A. STEENBRINK 6
(Ali Farhan)

BIAS DALAM KAJIAN ORIENTALISME: OTOKRITIK STEENBRINK

Kajian orientalisme ternyata memiliki akar tradisi yang cukup panjang di


dunia Barat. Orientalisme, sejak awal perkembangannya berpuluh-puluh bahkan
ratusan tahun itu, tampaknya cenderung dijadikan sebagai alat bagi ideologi Barat
untuk melakukan hegemoni dan imperealisme terhadap dunia Timur terutama dunia
Islam.4

Dalam beberapa karyanya, Steenbrink juga terlihat cukup tajam mengkritisi


study Orientalisme itu, ia melihat adanya beberapa bias dalam study orientalisme,
pertama, ambivalensi dalam keberagaman. Kedua, Prasangka Kristen, Historisme,
superioritas ras. Dan Ketiga, bias kolonialisme. Beberapa hal inilah yang menjadi
keprihatinan dan sekaligus kritisme Steenbrink dalam melihat orientalisme dan dalam
keterkaitannya dengan persoalan hubungan islam dengn barat.5

1. Ambivalensi dalam Keberagaman

Sosiolog Emile Durkheim dalam suatu karyanya pernah menyatakan: “…that


nearly the great social instituutions were born in religion…If religion gave birth to
all that is essential in society, that is so because the idea of society is the soul of
religion.”

Pernyataan Durkheim ini, dengan tanpa mendiskusikannya pada wilayah


teologis, menunjukkan sedemikian kuatnya peranan dan kontribusi agama (lebih
tepatnya, keberagaman) dalam membangun peradaban dan ekspresi yang menghiasi
lembaran sejarah manusia. Dalam sejarah ilmu ilmu baik di Timur maupun Barat
hampir semua peradaban besar yang pernah tumbuh dimuka bumi pada mulanya di
motivasi oleh agama. Kiranya dalam konteks ini, Karel Steenbrink melihat akar
problem hubungan orientalis dengan dunia Islam pertama kali, pada persoalan sikap
keberagaman. “Hubungan antara orientalis dan dunia Timur tentu tidak bisa di
lepaskan dari perkembangan sejarah hubungan antara dunia Islam dan Kristen sejak
permulan” Demikian Steenbrink.

Sebagai seorang yang menghayati agamanya dengan baik dan memahami


4 Mohammad Muslih, Religious Studies; Problem Hubungan Islam dan Barat
(kajian atas pemikiran Karel A.Steenbrink), Belukar Budaya, Cet I, 2001, Yogyakarta hal 75
5 Opcit, Karel A.Steenbrink, Pesantren, Madrasah, sekolah: Pendidikan Islam dalam Kurun Modern,
Jakarta: LP3Es, 1986, hlm 261, hal 77

KAREL A. STEENBRINK 7
(Ali Farhan)

agama Islam, Steenbrink melihat hubungan itu tampak diwarnai oleh sikap
keberagaman yang cukup ambivalen atau memuat beberapa unsur yang saling
bertentangan. Disebut demikian, menurut Steenbrink, karena dari satu segi, ajaran
Islam bersifat sangat positif tergadap kristen, dan secara inklusif digambarkan dalam
melalui pengakuan bahwa Nabi Isa secara penuh dan tanpa diskriminasi dianggap
sebagai nabi yang membawa wahyu dari Allah. Umat islam juga mengakui bahwa
Yesus telah membawa kitab suci yang sah. Akan tetapi dalam kenyataannya di
tegaskan, bahwa Kitab Suci tersebut sudah tidak bisa dipakai lagi, karena sudah
terjadi perubahan di dalam teksnya, sehingga aslinya tidak tersimpan lagi.

Disinilah Steebrink melihat bahwa pandangan Islam terhadap Kristen bisa di


sebut sebagai cukup ambivalen; secara teoritis bersikap cukup positif terhadap
ajarannya, tetapi agak kritis terhadap terhadap kenyataannya.6

2. Prasangka Kristen, Historisme, Superioritas Ras

Setelah kita melihat bagaimana sikap ambivalen dalam keberagamaan, yang


turut punya andil dalam perjalanan orientalisme, pada pembahasan ini akan dilihat
lebih jauh pandangan Steenbrink tentang muatan-muatan tertentu dibalik keilmuan
orientalisme yang dalam beberapa hal justru lebih memperkeruh problem hubungan
Barat dengan Islam. Secara jujur Steenbrink mengakui dalam orientalisme memang
terdapat bias, prejudice dan miss persepsi Barat tentang Timur-Islam dn karenanya ia
melancarkan kritik. Dalam hal ini, menurut Steenbrink, orientalisme didominasi oleh
tiga sikap prasanngka Kristen, historisme, dan superioritas ras.

Tentang terkaitnya tiga sikap ini dengan keilmuan orientalisme, memang tidak
hanya diugkapkan Steenbrink dengan istilah (yang barangkali) berbeda, beberapa
sarjana Barat lain juga mengakuinya. Maksisme Rodoinson, misalnya juga
menunujukkan adanya yang terlibat dalam beberapa faktor yang terlibat dalam
kegiatan orientalisme adalah faktor-faktor yang lebih luas, yaitu faktor perdagangan,
minat akan dunia timur, kuriositas keilmuan dan lain-lain, disamping kepentingan
ekonomi politik dan perseteruan ideologis Kristen-Islam. Senada dengan Rodinson,
Albert Hourani juga melihat apa yang ada dalam pemikiran Barat mengenai Islam itu
muncul dari kalangan gereja universitas, politisi, pengelana dan lain-lain. Lebih jauh

6 Ibid Mohammad Muslih, Religious Studies; Problem Hubungan Islam dan Barat
(kajian atas pemikiran Karel A.Steenbrink) hlm 79

KAREL A. STEENBRINK 8
(Ali Farhan)

ia menunjukkan semacam perseteruan antara pandangan leberal mengenai Islam, yang


didasarkan kepada wawasan filsafat dan keilmuan tertentu (khususnya yang
berkembang di Jerman dan Prancis), dengan pandangan konservatif mengenai Islam,
yang didasarkan kepada evangelisme kristen (khususnya yang berkembang di
Inggris)7

Analisis

Dari beberapa literatur, pembahasan sejarah perkembangan orientalisme atau


kajian islam di barat, pada umumnya di mulai perjumpaan pertama bangsa Barat
(Kristen) dengan Islam. Perjumpaan itu memang tidak serta merta merupakan kontak
keilmuan, tetapi lebih sebagai ketegangan (untuk mengatakan permusuhan) yang di
liputi kecurigaan dan mispersepsi.

Begitu juga Steenbrink meski menunjukkan kelemahan orientalis dan akses


yang menyertainya, ia juga melihat kelebihan dan keistimewaan kajian agama model
Barat yang bisa dimanfaatkan oleh tradisi (keilmuan Islam) untuk itu ia menawarkan
kerjasama dan dialog. Konsep yang diajukan oleh Kareel Steenbrink disini adalah
meliputi ilmu study agama sebagai media, adanya kesadaran terhadap pluralitas
internal, kritik obyektif, posisi oksidentalisme, dan signifikansi bagi kajian keislaman.

Kesadaran akan pluralitas, varisi, dan perkembangan internal merupakan


syarat bagi sebuah kerjasama. Karenanya bagi Steenbrink, dialog apapun tidak akan
berhasil jika tidak ada kesadaran akan adanya pluralitas variasi internal

BAB IV

KESIMPULAN

Dari penjelasan yang di paparkan di makalah ini telah di uaraikan, bahwa

7 Ibid. Mohammad Muslih, Religious Studies; Problem Hubungan Islam dan Barat
(kajian atas pemikiran Karel A.Steenbrink) hlm 83

KAREL A. STEENBRINK 9
(Ali Farhan)

Agama (atau keberagaman), dalam perspektif study agama-agama, merupakan suatu


tradisi yang hidup (Living tradition), makanya pemikiran keagamaan bersifat open
ended, terbuka terus-menerus dapat di perdebatkan, di pertanyakan, di koreksi, di
bangun kembali, dan karenanya terus mengalami perkembangan dan keberagaman.

Begitu pula pada study orientalisme ada terjadi bias, prejudice dan
mispersepsi Barat, dalam mengkaji Barat, Karel Steenbrink tidak menyangkal hal itu,
karenanya ia melakukan otokritik terhadap karya-karya dan metodologi Barat dalam
study Timur (Islam). Steenbrink memang bukan sarjana Barat pertama yang
mengkritisi tradisi barat sendiri. Seperti juga di singgung pada pembahasan
sebelumnya, ilmuan Barat seperti Norman Daniel, Maxime Rodinson, Albert Hourani
dan lain-lain juga telah melakukan hal yang sama. Namun berbeda dengan kawan-
kawannya itu, Steenbrink tidak berhenti hannya mengkritik. Dengan semangat
Religious Studies, ia menunjukkan variasi-variasi dan perkembangan di dalam
orientalisme; orientalisme berperan dalam menciptakan konflik agama dan sebaliknya
hubungan antar agama juga memiliki andil cukup besar dalam membentuk wajah
orientalisme, bahkan lebih jauh ia menunjukkan signifikansinya bagi kemungkinan
kemajuan kajian keislaman (Dirasah Islamiyah)

Akhir kata Wallahu a’lam bi Showab

DAFTAR PUSTAKA

1. Muslih, Mohammad, Religious Studies; Problem Hubungan Islam dan Barat


(kajian atas pemikiran Karel A.Steenbrink), Belukar Budaya, Cet I, 2001,

KAREL A. STEENBRINK 10
(Ali Farhan)

Yogyakarta hal 37

2. Steenbrink, A Karel., Pesantren, Madrasah, sekolah: Pendidikan Islam dalam


Kurun Modern, Jakarta: LP3ES, 1986

KAREL A. STEENBRINK 11

You might also like