You are on page 1of 109

PESAN PUANG RI MAGGALATUNG

(TOKOH CENDEKIAWAN PADA ZAMAN KERAJAAN WAJO-BUGIS)


DI SULAWESI SELATAN

Makkedai Puang Maggalatung, Lempu naacca, Iyanaritu madeceng riparaddeki


riwatakkalee, Iyatonaritu temmassarang dewata Seuwae. Naiya riasengnge acca, Iyanaritu
mitae munri gau. Naiya nappogau engkapi madeceng napogaui. Narekko engkai maja, ajasija
mupogaui nrewei matti jana riko.

Artinya :

Berkata Puang Ri Maggalatung, kejujuran dan kepandaian, itulah yang paling baik
ditanamkan pada diri kita, itulah juga yang tak bercerai dengan Dewata Tunggal. Yang
disebut pandai ialah kemampuan untuk melihat akhir(akibat) perbuatan. Dan dikerjakannya
adalah yang baik, bilamana dapat mendatangkan keburukan, janganlah lakukan. Bilamana
tidak baik, jaganlah hendaknya engkau kerjakan, karena kembali juga nanti keburukannya
kepadamu.
BAB I

IKHTISAR PETA BUDAYA SUKU-SUKU


DI SULAWESI SELATAN

Suku Bugis dan Makassar merupakan suku-bangsa utama yang mendiami Sulawesi
Selatan, disamping suku-bangsa utama lainnya seperti toraja dan Man-dar.
Suku Bugis mendiami Kabupaten Daerah Tingkat II Bulukumba, Sinjai, bone, Wajo,
Sidenreng-Rappang (sidrap), Pinrang, Polewali-Mamasa (Polmas)), Enrekang, Luwu, Pare-
pare, Barru, Pangkajene-Kepulauan (Pangkep) dan Maros. Dua Daerah Tingkat II yang
disebutkan terakhir (Pangkep dan Maros) merupakan daerah peralihan suku Bugis dan
Makassar, Sedangkan Enrekang peralihan Bugis dengan Toraja sering dikenal sebagai orang-
orang Duri atau Massenrempulu’.
Suku Makassar mendiami Kabupaten Daerah Tingkat II Gowa, Takalar, Jeneponto,
Bantaeng dan selayar walaupun mempunyai dialek tersendiri.
Berdasarkan rumpun bahasa Daerahnya, maka di Sulawesi Selatan ini ada enam rumpun
bahasa, seperti : Bahasa Makassar, Bahasa Bugis, Bahasa Mandar, Bahasa Luwu, Bahasa
Toraja, dan Bahasa Massenrempulu’.
Rumpun bahasa Makassar meliputi daerah Gowa, Takalar, Jeneponto(Tauratea),
Bantaeng, Selayar, Kajang (Bulukumba), Manipi ( Kecamatan Sinjai Barat Kabupaten
Sinjai).
Rumpun bahasa Bugis meliputi daerah Sinjai, Bone, Wajo, Pinrang, Sidenreng-Rappang
(sidrap), Bulukumba, Pare-Pare, juga di sebagian daerah Pangkajene-Kepulauan (Pangkep),
Maros, Mandar, Enrekang, Barru dan palopo (Luwu).
Rumpun bahasa Mandar meliputi daerah Polmas, Majene dan di sebagian daerah
Pinrang.
Rumpun bahasa Luwu meliputi daerah Luwu dimana sub-sub lokalnya punya bahasa
sendiri-sendiri. Di daerah ini ada dua belas bahasa, seperti bahasa Bugis, bahasa Barru,
bahasa Siko, bahasa Lubung, bahasa Wotu, bahasa Pajatabu, bahasa Mangkutana, bahasa
Saroako, bahasa Paraso, bahasa Siwa, bahasa Toraja dan bahasa Pamuna. Bahasa Bugis
digunakan oleh masyarakat dalam kota palopo ( ibu kota kabupaten Luwu) dan daerah pesisir
pantai Wotu. Sub-sub lokal bahasa dan karakteristik budaya di daerah ini menandai adanya
Sembilan anak-suku.
Rumpun bahasa Toraja meliputi daerah Toraja, terutama Makale dan Rantepao, juga di
sebagian wilayah sub lokal Masamba (di daerah Luwu, sekitar enam puluh kilometre utara
palopo).
Rumpun bahasa Massenrempulu’ meliputi daerah Massenrempulu’ , terutama Enrekang
dan daerah-daerah sekitarnya yang diliputi gunung-gunung: Maspul (Massenrempulu’), yakni
di sebagian wilayah Kabupaten Pinrang, Polewali-Mamasa (Polmas) dan Toraja.
Ditinjau dari segi penyebaran bahasa dan jumlah area masyarakat pemakainya, jelas di
sini suku Bugis-Makassar merupakan suku-bangsa utama dan terbanyak mendiami daerah
kontinental Sulawesi selatan ini. Urutan di bawahnya : Toraja menyusul Mandar.
Bertolak dari pemaparan di atas, penulis mencoba menggali perbendaharaan “ SIRIK”
sebagai study Antrophologi Budaya Di Sulawesi selatan. Berikut ini penulis
menggungkapkan aspek-aspek “SIRIK” itu sendiri.
Dengan mengkaji unsur-unsur yang bertali temali dengan permasalahan “SIRIK”
tersebut, misalnya aspek-aspek “PACCE” (Makassar) , atau “PESSE” (Bugis), tentu saja
dalam penggalian nilai-nilai “SIRIK” ini kita akan bersentuhan pula dengan aspek-aspek
sejarah kehadiran suku-suku bangsa tersebut, secara selintang pandang. Dan sedikit
banyaknya bersentuhan pula dengan aspek falsafah hidup sikap mental masyarakatnya yang
melatar-belakangi permasalahan “SIRIK” yang kita coba gali ala kadarnya melalui Risalah
Study Antrophologi ini.

Catatan : Oleh lembaga Bahasa Nasional Cabang III Ujung Pandang, telah diusahakan
langkah-langkah pemetaan bahasa-bahasa yang terdapat atau yang dipergunakan
suku-suku yang kini mendiami Sulawesi selatan secara turun temurun itu.
BAB II

APAKAH KEBUDAYAAN ITU?

SIRIK sebagai aspek kebudayaan atau aspek antrophologi budaya Bugis-Makassar, guna
mengkajinya dan menghayatinya secara mendasar dibutuhkan pengenalan-pengenalan pada
pengertian-pengertian kebudayaan itu terlebih dahulu7. Yakni pengertian tentang apakah
kebudayaan itu?.
Kebudayaan Indonesia mengalami pengaruh-pengaruh (akulturasi) kebudayaan Hindu,
kebudayaan Islam. Karenanya maka pengetahuan dasar perihal kebudayaan perlu dihayati,
sebelum mengkaji masalah-masalah SIRIK tersebut.
Istilah kebudayaan dalam bahasa Indonesia yang biasa dipakai oleh umum dalam
pembicaraan sehari-hari mengandung pengertian mengenai bangunan-bangunan indah, candi-
candi, tarian-tarian, seni-suara, seni-rupa dan sebagainya. Tetapi Istilah tersebut yang berasal
dari bahasa Sansekerta berarti akal, jadi dengan kebudayaan dapat diartikan segala sesuatu
yang bersangkutan dengan akal.
Dalam lingkungan antrophologi, definisi kebudayaan dirumuskan, sebagai berikut:

“ Kebudayaan ialah keseluruhan dari kelakuan dan hasil kelakuan manusia yang teratur
oleh tata-kelakuan yang harus didapatnya dengan belajar dan yang semuanya tersusun
dalam kehiduoan masyarakat”.

Dalam Istilah Sansekerta: budaya ialah bentuk jamak dari budhi berarti akal. Istilah
kebudayaan sama defenisinya dengan istilah Inggris : Culture. Tapi,Inggris: Civilzation
(Indonesia, Peradaban) merupakan bagian-bagian dari kebudayaan yang halus dan indah
serta maju, seperti kesenian,ilmu,dan sebagainya. Istilah peradaban berasal dari bahasa Arab:
Adab.1)
Dari definisi kebudayaan tersebut , kita dapat mengganggap: tujuh unsur kebudayaan
ada pada seua bangsa di dunia,yaitu:
1. Sistem kemasyarakatan (sistem kekerabtan,sistem hukum dan sebagainya.
2. Mata pencaharian dan sistem ekonomi.
3. Perlengkapan dan peralatan hidup manusia (pakaian,perumahan,alat-alat produksi
dan sebagainya.
4. Religi.
5. Ilmu
6. Bahasa
7. Seni.

Sumber-Sumber Sejarah

Seorang penyelidik sejarah kuno Memerlukan sumber-sumber sebagai tempat-tempat


pengambilanbahan-bahan untuk menyusun fakta-fakta sejarah.
Sumber-sumber itu dapat dibagi atas sumber-sumber dalam negeri dan sumber-sumber
luar negeri, misalnya tulisan-tulisan pada batu, tembaga dan sebagainya yang tahan lama
(inkripsi),kitab-kitab kesusasteraan yang mengandung bahan-bahan sejarah,kemudian
bangunan-bangunan kuno yang tahan lama dan benda-benda purbakala lainnya.
Berita dalam inkripsi umumnya merupakan pemberitahuaan. Di Jawa inkripsi ini
terutanma memberitahukan tentang pemberian hadiah tanah oleh seorang raja kepada orang
yang telah berjasa kepada raja. Dalam nkripsi biasanya ada angka tahun (orang jawa
memakai tahun saka, sama dengan 78 tahun sesudah tarich Masehi).
Bangunan-banugunan kuno berupa candi dan benda-benda purbakala lain, seperti
arcadan sebagainya dapat juga memberi bahan-bahan sejarah,kaerena mencerminkan aliran
kepercayaan waktu itu. Di Jawa biasanyan candi-candi itu makam yang dimaksud raja yang
jadi penitisan dewa itu.
Pada kitab-kitab kesusasteraan Indonesia umumnya tidak bnyak member penjelasan-
penjelasan peristiwa-peristiwa sejarah,kecuali dua kitab jawa yang berbentuk
khusus,yaitu”Negara Kertagama” dan “Pararaton”. Buku pertama ditulis dalam bentuk puisi
kakawin (bentuk syair India) dalam bahasa dan tulisan jawa kuno,menguraikan keadaan
Majapahit yang dilihat sendiri oleh seorang pujangga bernama Prapanca (+ 1365 M) yang
bekerja sebagai pengawai kreraton Majapahi. Pararaton ditulis sesudah runtuh Majapahit,
dalam bahasa dan prosa tulisan Jawa kuno. Isinya buku kronik raja-raja. Nama pengarangnya
tidak diketahui. Karena sering disalin kembali isinya tidak sama nilainya dengan Negara
Kertagama.
Khusus Bugis-Makassar,catatan-catatan sejarah diketahui Melalui buku-buku lontara.
Dan, Cerita dari mulut ke mulut.
Sumber-sumber asing ialah catatan-catatan bangsa Asing tentang Indonesia,karena
langsung berkunjungt atau mendengar berita pedagang-pedgang. Tanah air kita Indonesia
dikenal dalam kesusasteraan India. Setelah pedagang-pedagang India mengadakan hubungan
dagang dengan Indonesia. Dwipa diluar India diberi nama sesuai dengan benda-benda
perdagangan hasil bumi atau binatang yang ditemukan dalam daerah itu,misalnya
Karpuradwipa yang menghasilkan kapur.
Berita-berita Tionghoa sebagian besar meliputi soal-soal perdagangan. Berita-beritra itu
tidak bertujuan menulis sejarah,hanya untuk mengetahui daerah-daerah di Selatan dengan
maksud untuk memudahkan hubungan dagang.
Umumnya berita-berita itu ditemui dalam sejarah dinasti raja-raja Tionghoa di
Tiongkok. Di negeri itu dahulu ada kelaziman,bahwa apabila suatu keluarga raja mulai
berkuas,maka diperintahkan menulis sejarah yang pernah dialami dinasti raja-raja yang
berkuasa sebelumnya. Karena pencatatan itu bersifat resmi dan disimpan dalam arsip Negara
dapat dipercaya isisnya.
Dinasti-dinasti Tionghoa yang ada hubungannya dengan Indonesia:
1. Liang (502-556)
2. Tang (618-906)
3. Sung (960-1279)
4. Yuen (1280-1367)
5. Ming (1368-1643)

Orang-orang Tiongkok (Cina) masuk ke Sulawesi Selatan, sebelum agama Islam masuk
daerah ini. Jadi diperkirakan sekitar abad ke XVI.
Oleh karena sering ditemui istilah-istilah Hindu,India (Hindie), Hindia Muka dan
Hindia Belakang agaknya perlu diberi penjelasan sepintaslalu negeri-negeri manakah yang
dimaksud dengan istilah-istilah itu.
Negeri-negeri di sebeleh Timur Indus disebut India (Hindia) oleh orang Eropa. Oleh
kerene itulah ada India (Hindia) muka atau depan kerena paling depan dilihat dari Eropa .
Sekarang ini India Muka terbagi atas tiga Negara,yaitu India Serikat dengan ibu-
kotanya New dehli,Pakistan dengan ibu-kotanya Karachi,dan Bangladesh dengan ibu-kotanya
Dacca.
Dengan istilah India (hHindia Belakang dimaksud negeri-negeri disebelah Timur India
(Hindia) muka,negeri-negeri siam,Burma,Laos,Kamboja dan Vietnam masuk Hindia
belakang. Hindia Muka adalah negeri asal agama Hindu dan Budha. Dalam Risalah kita
dengan agama Hindia di Indonesia dimaksud juga meliputi agama Hindu Budha.
Penduduk Hindia Muka disebut orang India. Ini perlu dikemukakan,karena ia
mempunyai pengaruh tali temali dengan perkembanga Budaya Suku Bugis_Makassar
tersebut dalam perkembangannya.
BAB III

SKETSA PERIHAL SIKAP MENTAL DAN FALSAFAH HIDUP ORANG-ORANG


BUGIS-MAKASSAR

Diuraikan dalam buku Lontara( catatan yang ditulis diatas daun lontar) yang kemudian
diwariskan kepada generasi ke lain generasi dalam lingkungan masyarakat suku Bugis-
Makassar, bahwa watak atau falsafah hidup orang-orang Bugis-Makassar itu, tergambar
sebagai berikut:
1. Jangan dipermalukan dia, sebab dia akan pi-lih lebih baik mati darp pada
dipermalukan (“Aja mupakasiriwi, materi-tu”).
2. Jangan kecewakan dia, sebab apabila dikecewakan pasti meninggalkan anda (“Aja
mullebbaiwi, nabokoiko-tu”).

Hal ini ada kaitannya dengan prinsip falsafah orang-orang Bugis-Makassar, antara lain:
“Iamua narisappa warangparangE, nasaba rialai pallawasirik. Narekko sirik Ba’na Lao,
sungenatu naranreng”(artinya : sesungguhnya harta banda sengaja dicari dan disediakan
untukmenutup malu. Jika kita dipermalukan, maka harta tak ada ginanya lagi, tetapi yang
akan bicara ialah manyat nyata). Hal ini diperjelas lagi oleh seorang wanita Bugis bila ia
dikecewakan suaminya: “Tinulu melle kuranang banteng patilla pinceng nabetaE Lebbu”
(artinya : kecintaanku yang tulus ikhlas kepadamu, bagaikan banteng yang kuat kokoh,
namun ia dapat dirobohkan oleh rasa kecewa yang timbul) . seperti juga ungkapan peribahasa
Bugis: “ Sengeremmu pada bulu, lebba mutaroE, ruttungeng manenggi” ( artinya: kesan
kenanganmu menjulang tinggi laksana gunung, namun rata juga karena kecewa yang timbul).
Jadi, proses kepribadian yang menjiwai orang Bugis-Makassar, yakni: jangan
dipermalukan, karena ia lebih baik mati dari pada dipermalukan; kedua, jangan sampai ia
dihina; ketiga, apabila sudah dikecewakan maka ia pasti meninggalkan anda. Dengan cirri-
ciri pegangan hidup seperti: “ Harta benda diusahakan memperolehnya, tetapi kalau perlu
disediakan untuk menutup malu. Kalau sudah dipermalukan, harta tak ada gunanya lagi dan
untuk itu ia bersedia mati”.

Falsafah / Pedoman Hidup

Setiap laki-laki keturunan Bugis-Makassar harus berani, pantang menyerah menghadapi


lawan maupun tantangan perjuangan hidup. Tabah dalam menghadapi setiap cobaan-cobaan
yang melanda. Itulah sebabnya, maka setiap orang Bugis-Makassar berorientasi ke arah
delapan penjuru (peregi), yakni : mampu menghadapi apapun.
Dasar falsafah hidup yang menjiwai dan menjadi pegangan orang-orang Bugis-
Makassar untuk menjadi pelaut, yakni harus mampu mengarungi lautan sampai di kepulauan
Madagaskar. Seperti Ammana Gappa (tokoh pelaut pada zamannya ) yang memiliki dinamika
juang hidup ulet, serta mampu melawan tantangan yang dihadapinya.
Hakekat prinsip tersebut bersumber pada leluhur nenek moyang orang Bugis-Makassar
yang tersimpul dengan : “duai temmallaiseng, tellui temmasarang”( artinya dua bahagian
yang tak terpisahkan dan tiga bahagian yang tidak terceraikan).
Falsafah untuk segala bentuk yang menyangkut manusia ( yang dianggap merupakan
suatu bentuk dalam jagad tiga wujud yang tunggal ) dengan jagad raya, terbagi pula atas tiga
bahagian : “Botting langi” ( artinya : sumber segala yang mulia) yang mulia dalam
kebenaran , “Alekawa” (artinya:permukaan bumi, dimana hidup berbagai mahluk denga
segala perjuangan hidup, penguasaan dan lain-lain) yang suci sebagai perlambang “putih”,
dan perlambang merah (api) yakni “Ale” ( artinya badan) dan “Kawa” ( artinya : yang dapat
dicapai)). Pertiwi, berarti di bawah tanah pertiwi(Bugis), melambangkan keabadian,
lesabaran, yaitu sifat manusia itu sendiri. Perlambangnya hitam.
Pemerintahan kerajaan-kerajaan dahulu terbagi atas tiga bahagian, yaitu:

- Raja Sombaya ( yang disembah)


- Tomarilaleng( yang mewakili raja berbicara)
- Tomarilaleng Lolo ( yang mewakili rakyat dalam pembicaraan yang merupakan
perantara rakyat dengan raja).

Pada waktu itu (pada zamannya) ada tiga raja besar di Sulawesi selatan ini, yakni:
TellumpoccoE (Luwu, bergelar peyung atau pajung); Makassar a9Gowa) bergelar Somba dan
Bone bergelar Mangkau.
Demikian juga rumah adat Bugis-Makassar terdiri atas (serba tiga): Kolong rumah
(tempat penenun, menyimpan kayu bakar, dan lain-lain) . living space (“Watampola”) dan
bagian loteng untuk menyimpan barang-barang persediaan padi dan lain-lain yang disebut
“Rakkeyang” atau Rangkiang” (Mel.). Adapun ruangan terbagi lagi : Tempat tunggu tamu-
tamu desebut “Lontang Risaliweng”, bagian tengah terdiri dari ruangan-ruangan tidur untuk
orang tua disebut Lontang Ritengnga. Ruangan belakang berdekatan dengan kamar orang tua,
ruangan khusus untuk anak gadis disebut Lontang Rilaleng. Disamping ruangan tidur ada
ruangan terbuka dari depan menuju ke dapur disebut “Tamping”. Anak-anak laki-laki yang
sudah menginjak masa dewasa biasanya tidur di luar rumah atau ditempat lain.
Sebagaimana fungsi angka tiga ( yang punya arti keramat), empat dan delapan juga
punya arti. Demikian, maka tiang-tiang (“Alliri”) rumah adat Bugis-Makassar bentuknya
bersegi empat atau bersegi delapan.
Tiang bersegi empat berdiri di tengah-tengah disebut “Posi Bola” ( soko guru). Dengan
tiang soko-guru ini menjadi pertanda (perlambang) bahwa laki-laki hendaklah bersegi empat
(melebihi tiga) . atau laki-laki yang serba bias atau “WoroanE sulapa eppa” . untuk dapat
menjelajahi delapan penjuru angin. Segi delapan menggambarkan delapan penjuru angin atau
semesta, melambangkan bahwa lelaki orang Bugis-Makassar harus berani bertarung melawan
tantangan hidup. Harus berani melawan tantangan dalam bentuk apapun guna kelangsungan
hidupnya dan masyarakatnya.
Rumah-rumah sekarang bukan lagi merupakan rumah adat oleh karena tiang-tiangnya
biasa saja, pada umumnya bersegi empat.
Dibekali dengan falsafah inilah, nenek moyang Bugis-Makassar berhasil dan menjadi
berjiwa pelaut yang berlayar ke segala penjuru . falsafah ini pula yang dijadikan ajimat untuk
berani bertarung demi kehormatannya. Termasuk manifestasi pengertian : masalah SIRIK
yang dalam istilah Bugis disebut “sirik naranreng” (artinya : tegakkan kehormatan, bila perlu
nyawa dipertaruhkan ).
Falsafah “duai temmalaiseng, tellui temmasarang”, berarti: Tuhan, Nabi Muhammad,
manusia sebagai hamba Allah yang tidak terpisahkan antara satu dan yang lainnya. Begitu
juga badaniah dan batiniah tidak terpisahkan.
Hikmah yang dapat kita ambil dari keseluruhan isi yang terurai tersebut diatas, ialah
kekuatan batin atau prinsip hidup yang dapat diresapi atau ditarik dari hikmah pengertian
“duai temmalaiseng, tellui temmasarang” tersebut.
BAB IV

SUMBER “SIRIK”

Manakala kita ingin mendalami pengertian SIRIK dengan segenap masalahnya antara
lain dapat diketahui dari buku LA TOA. Buku ini berisi pesan-pesan dan nasehat-nasehat
yang merupakan kumpulan petuah untuk dijadikan suri teladan.
Buku LA TOA artinya YANG TUA. Tetapi, arti sebenarnya ialah PETUAH-
PETUAH,berisis sekitar seribu jenis petuah-petuah. Hamper semua isi LA TOA ini erat
hubungannya dengan peranan SIRIK dalam pola hidup atau adat istiadat Bugis-Makassar
(merupakan falsafah hidup).
Misalnya:
- SIRIK sebagai harga diri atau kehormatan
- MAPPAKASIRI’(artinya: dinodai kehormatannya)
- RITAROANG SIRIK (artinya: ditegakkan kehormatannya).
- PASSAMPO SIRIK (artinya: penutup malu)
- TOMASIRI’NA (artinya : keluarga pihak yang dinodai kehormatannya).
- dan SIRIK sebagai perwujudan sikap tegas demi kehormatan tersebut.

SIRIK dapat juga diartikan sebagai pernyataan sikap serakah (Bugis-Makassar atau
MANGOWA)dan SIRIK sebagai prinsip hidup (pendirian) di daerah Bugis-Makassar. SIRIK
NARANRENG dipertarukan demi kehormatan,SIRIK-SIRIK (malu-malu),PALALOI
SIRIKNU (tentang yang melawan),PASSIRIKKIA(bela kehormatan saya),
NAPAKASIRIKKA (saya dipermalukan ),TAU DE’ SIRIKNA (orang tak ada malutak ada
harga diri).
Bahkan berbagai petuah-petuah yany kesemuanya tergambarkan pada buku LA TOA
sebagai buku yang bernilai sastera disusun oleh pujangga Bugis pada zamannya. Karena
dapatdisimpulkan bahwa SILARIANG (minggat) adalah sekedar salah satu aspek daripada
SIRIK tersebut . yang erat hubungannya dengan harga diri dalm arti yang luas (aspek-aspak
identitas keagungan pribadi bangsa pemiliknya).
Jadi SIRIK mengandung pula penilaian kehormatan atau “pride kebanggaan”. Identitas
suku bangsa dalm kerangka ke NASIONAL-an yang Bhineka Tunggal Ika. Manifestasi dari
pada prinsip-prinsip penghayatan Pancasila.
Ungkapan – unkapan sikap orang-orang Bugis yang termanifestasikan lewat kata-
kata: TARO ADA’ TARO GAU(satunya kata dan perbuatan). Yakni, setiap tekat atau cita-
cita ataupun janji yang telah diucapkannya, pasti dipenuhionya (dibuktikannya) dalam
perbuatan nyata. Sejalan pula dengan prinsip ABATTIRENGRIPOLIPUKKU (asal usul
leluhur senantiasa dijunjung tinggi, segalanya kuabadikan demi keagungan leluhurku). Atau
dengan terjemahan bebas:segalanya(jiwa-ragaku) kuabadikan demi untuk ibu pertiwi/bangsa
dan negaraku.

LONTARA SEBAGAI SUMBER BAHAN PENGALIAN


SEJARAH
BUGIS-MAKASSAR

Guna mengetahui lebih mendalam perihal SIRIK dan Aspek-aspeknya pada umumnya
digali melalui LONTARA yang ditulis dengan menggunakan AKSARA LONTARA (tulisan
aksara suku Bugis-Makassar).
Dari buku LONTARA inilah sedikit demi sedikit dapatlah digali nilai-nilai budaya dan
kisah sejarah tentang kebudayaan Bugis-Makassar dan segala falsafah-falsafah hidup serta
sikap mentalnya. Ialah karena Melalui buku-buku LONTARA itu telah diungkapkannya asal
mula kerajaan di Sulawesi Selatan . buku LONTARA pada umumnya telah diangkut oleh
Pemerintah Belanda ke negerinya. Sebagai contoh riwayat asal mula kerajaan Luwu (yang
dianggap sebagai sumber raja-raja orang Bugis ),diketemukan dalam buku LONTARA
“LAGALIGO”.
Adapun kisah berdirinya kerajaan Luwu,diriwayatkan pada buku kesusteraan yang
berbentuk “epos”. Dikisahkan sebagai berasal dari kayangan berjudul berjudul
“LAGALIGO”. Terdiri dari dua puluh tiga jilid,dengan satu juta suku kata dan merukan buku
sastera jenis “epos” yang terpanjang di dunia pada zaman itu.
Kini buku LAGALIGO ada di perpustakaan Negeri Belanda di Leiden. Pada waktu
Belanda berkuasa , semua buku-buku termaksud buku Lontara diangkat ke negeri Belanda
sebagai pelengkap kekayaan perpustakaannya .
LAGALIGO ialah puteraSawerigading dengan perkawinannya dengan WECUDAI.
Sawerigading yang menurut Legenda dikisahkan sebagai berasal dari Kayangan
(TOMANURUNG putera Batara Guru) menurut istilah Bugis.
Yang kemudian menjadi asal usul secara turun-temurun raja-raja Luwu di Sulawesi
Selatan.
Semasa hidupnya LAGALIGO terkanal sebagai pujanggayang tak ada bandingannya di
kawasan Nusantara pada waktu jayanya. Salah satu ciri khas buku LAGALIGO untuk
membuktikan asli tidaknya ialah huruf”H” tidak ada pada buku asli LLAGALIGO tersebut.
Apabila ada huruf “H” jelas buku itu palsu. Buku LAGALIGO terdiri dari 23 jilid. Tidak ada
huruf “H” didalamnya.
Buku Lagaligo ini tidak ada lagi di Sulawesi Selatan (?). Jelas diangklat Pemerintah
Belanda ke negerinya seperti halnya buku-buku Lontara lainnya. Yang ada di sini tinggal
keeping-keping cerita yang dikisahkan turun-temurun, oleh manusia seseorang ke manusia
yang lainnya. Atau merupakan fragmenta-fragmenta tentang Lagaligo yang ditulis dalam
aksara Bugis-Makassar (Lontara). Dengan versi-versi penulisnya(yang mengyutipnya).

Asal Mula Aksara LONTARA

Aksara LONTARA ditulis menurut terciptanya (kelahirannya)mula-mula ia tidaklah


diketahui terbuat dari bentuk apa. Yang diberi judul : LONTARA MAMULANGE (lontara
pertama kali tercipta).
Kemudian menurut cerita,timbul Lontara terbuat dari bahan GEMME (salon pohon
lontar), Lontara Lepo (upih pinang). Kemudian lahir lagi lontara terbuat dari jenis “Daun
Ta”(daun pohon lontara) kemudian Lontara tersebut terbuat dari bahan kapas. Dan,terakhir
lahirlah Lontara seperti yang terdapat sekarang ini.
Lontara-lontara itu masih ada di kalangan orang-orang tua di Sulawesi Selatan.
Tetapi,dengan syarat-syarat ditentukan oleh yang menyimpannya (pemiliknya). Untuk
membolehkan membacanya:harus dipotong ayam,dalam rangkaian selamatan tersebut.
Itulah sebabnya, Lontara perlu digali kembali untuk pembinaan dalam rangka
kebudayaan Nasional Bhineka Tunggal Ika.
Seperti apa yang teruraikan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) halaman
16(Perihal Kebudayaan Nasional),sebagai berikut:
1. Meningkatkan usaha pembinaan dan pemeliharaan kebudayaann nsional untuk
memperkuat kepribadiaan bangsa,kebanggaan dan kesatuaan nasional, termaksud
menggali dan memupuk kebudayaan daerah sebagai unsur-unsur penting dan
memperkaya dan member corak kepada kebudayaan nasional.
2. Membina dan memelihara tradisi-tradisi serta peninggalan sejarah yang mempunyai
nilai-nilai perjuangan dan kebanggaan serta kemanfaatan nasional untuk diwariskan
kewdada generasi muda.
3. Pembinaan kebudayaan nasional harus sesuai dengan norma-norma Pancasila.
Disamping itu ditujukan untuk mencegah timbulnya nilai-nilai sosial budaya yang
bersifat feudal,juga ditujukan untuk menanggulangi pengaruh kebudayaan asing
yang negative serta dilain pihak cukup memberikan kemampuan masyarakat untuk
menyerap nilai-nilai dari luar yang positif dan yang memang diperlukan bagi
pembaharuan dalam proses pembangunan selama tidak bertentangan dengan
kepribadian bangsa.

Sebermula aksara Lontara diciptakan oleh seorang lelaki bernama DAENG


PAMATTE,berasal dari Lakiong (Kabupaten gowa) Sulawesi Selatan. Kira-kira pada abad ke
XV – XVI. Kemudian oleh orang-orang Bugis ditambah dengan huruf
(aksara)Mpa,Nre,Ngke. Karena dalam dialog suara-suara Ne,Ngke dan Mpa tak ada dalam
bahasa Makassar.
Dlam perwujudan, berbentuk: kasar kemudian halus. Melambangkan, bahwa orang-
orang Bugis-Makassar itu,bersikap realistis,terus terang. Namun halus budi bahasanya,
berwatak halus lemah lembut. Namun apabila disinggung kehormatannya (SIRIK), maka
timbillah kekerasannya. Pengertian kasar-halus di sini melambangkan, bahwa orang-orang
Bugis-Makassar labih banyak mau memberi,dari pada menerimanya. Berbudi dan ramah-
tamah.
Asal mula huruf Lontara berbentuk Belah-Ketupat,kemudian dipecah-pecahkan dalam
bentuk lingkaran beleh ketupat tersebut menjadi huruf-huruf aksara yang berjumlah 19 buah
itu.
Zaman dahulu kue-kue hidangan untuk raja-raja/orang ialah berbentuk belah ketupat.
Kesemuanya melambangkan, perangai perwatakan orang-orang Bugis-Makassar yang
berbudi luhur,namun dlam mempertahankan harga diri yang disinggung(dinodai ) ia akan
pernah mengenal menyerah.
Aksara Lontara merupakan suatu pertanda bahwa masyarakat Bugis-makassar
mencapai taraf kebudayaan yang meju, sejalan dengan suku lain di Indonesia. Apabila hal itu
ditinjau dari segi ilmu,aksara lontara merupakan perkembangan yang maju.
Aksara lontara dapat digunakan untuk memindahkan pendapat/ide secara luas,baik
pendapat atau ide yang bersumberkan dari pemerintah/penguasa ataupun cendikiawan Bugis-
Makassar pada waktu itu atau merupan pencerminan tingkat peradaban yang maju dari suku
bangsa pemiliknya.

Daeng Pamatte Pencipta Aksara Lontara

Guna melengkapi bahan pengkajian perihal aksara lontara ini, ada baiknya kita
mempelajari tulisan Drs. Hamzah Daeng Mangemba ( dosen Fakultas Sastera dan tokoh
Budayawan yang berbobot di Sulawesi Selatan) dalam tulisannya pada majallah INTIM edisi
Sulawesi Selatan ( halaman 285-286) sebagai berikut:
Lontarak , selain berarti tulisan, juga berarti kitab (pustaka), manuskrip yang terdapat di
Sulawesi Selatan.
Kata Lontarak berasal dari kata lontar, semacam pohon yang banyak tumbuh di
Sulawesi Selatan. Daun lontar dijadikan tempat menulisa riwayat-riwayat, catatan-
catatan, kejadian-kejadian, silsilah-silsilah, petuah-petuah, lalu digulung dan disimpan
seperti kitab sekarang ini. Tulisan yang dipakai penulis pada daun lontar disebut
“Lontarak”.
Tulisan Lontarak diciptakan oleh syahbandar Kerajaan Gowa yang bernama Daeng
Pamatte dalam abad XVI dan banyak mendapat pengaruh dari pola bunyi dan aksara
Sansekerta. Daeng Pamatte adalah syahbandara yang pertama dari kerajaan Gowa
dibawah pemerintah raja Gowa IX Karaeng Tumapakrisik Kallonna. Dalam tahun 1538
aksara Lontarak yang dikarangnya itu terdiri atas 18 huruf dan disebut juga tulisan
huruf Makassar yang tua ini masih dipakai hingga akhir abad XVII.

Bentuk tulisan huruf Makassar yang lazim dipakai sekarang ini adalah bentuk
penyederhanaan dan modermisasi dari bentuk huruf Makassar yang tua. Diciptakan dari
suatu dasar yang bersifat filosofie cultural dari segi empat belah ketupat, yang berarti:
jika seorang mencari ilmu pengetahuan, maka haruslah dicari dari empat penjuru angin.
Kalau gagal, kembalilah mencarinya dalam diri sendiri.

Siapa yang melaksanakan penyederhanaan huruf Makassar ini, tidaklah diketahui.


Tetapi berdasarkan jumlah aksara Makassar ini yang semula berjumlah 18 huruf dan
kini telah menjadi 19 huruf, dapatlah dinyatakan bahwa penyederhanaan itu dilakukan
setelah masuknya agama Islam dalam lingkungan Kerajaan Gowa.

Raja Gowa XIV I Mangerani Daeng Manrabia bersama Mangkubumi kerajaan Gowa
yaitu raja Tallo yang bernama I Mallingkaeng Daeng Manyonri memeluk agama Islam
pada tanggal 22 september 1605. Raja Gowa digelar Sultan Alauddin Sedangkan
Mangkubuminya digelar Sultan Abdullah Awalul Islam, karena Sultan Abdullah yang
mula-mula mengucapkan kalimat Syahadat.

Dengan dipeluknya agama Islam oleh raja Gowa, maka mulai teraasa akan adanya
pengaruh bahasa Arah terhadap bahasa Makassar. Kata-kata Arab mulai masuk
kedalam perbendaharaan kata-kata Makasaar sebagai pengaruh dari agama Islam.

Tidaklah mengherankan apabila aksara Makassar yang lazim disebut aksara Lontarak
itu berubah jumlahnya dari 18 huruf menjadi 19 huruf, disesuaikan dengan kebutuhan
para pemakainya. Huruf yang diciptakan itu ialah huruf “ Ha” yang berasal dari huruf
Arab yang disesuaikan dengan pola pembentukan huruf Makassar yang umum itu.

Dengan sendirinya perbendaharaan kata-kata Makassar yang berasal dari bahasa Arab
yang berbunyi ha semakin bertambah, seperti hurupuk, Halima, aherak, dan sebagainya.
Dan dari keterangan yang diatas itu, teranglah kepada kita bahwa tulisa huruf Makassar
yang lazim dipakai sekarang ini, yang disederhanakan bentuknya itu dilaksanakan pada
waktu agama Islam masuk ke dalam lingkungan kerajaan Gowa, yaitu pada permulaan
abad XVII, dan bahwa kata-kata Makassar yang didalamnya terdapat tanda “ha” dan
sebagainya, seperti hi, hu, he dan ho adalah bukan kata-kata Makassar asli.

Selain bentuk-bentuk huruf Makassar yang sudah umum, oleh Dr. B.F. Mathes telah
ditemui salah satu tulisan Makassar semacam tulisan angka ( Cijferchrift), berdasarkan
tulisan angka huruf Arab yang diberikan ucapan abjad ka-ga-nga.

Jadi, orang Makassar mempunyai tiga macam bentuk huruf yaitu: tulisan huruf
Makassar yang tertua, tulisan huruf yang umum, dan tulisan huruf angka.

Bagi orang bugis yang mempunyai huruf yang bentuknya sama dan serupa dengan
huruf Makassar. Cuma jumlahnya yang berbeda berhubungan oleh karena orang Bugis
melengkapi aksaranya dengan huruf, yaitu: Ngka, Nmpa, Ngra, dan Ngea. Selanjutnya
huruf Bugis mempunyai tanda bunyi untuk e pepet.

Sekarang timbullah pertanyaan: Yang mana diantara kedua tulisan itu yang lebih tua,
BUgis atau Makassar?.

Dari salah seorang guru Makassar yang tua, yang sangat mengetahui ilmu Makassar
dan Bugis menyatakan kepada Dr. B.F. Mathes bahwa justru menyatakan adanya
bentuk-bentuk huruf Makassar yang tua, dia telah mempunyai kesimpulan bahwa
tulisan huruf Makassar adalah yang tertua.

Kesimpulannya itu diperolehnya karena ternyata bahwa belum pernah didapati sesuatu
tulisan dalam Tulisan Bugis, dalam mana terdapat bentuk tua dari tulisan huruf ( latter
schrift). Jadi tulisan huruf Makasaar berangkali adalah tulisan dari zaman dahulu, dari
mana melalui penyederhanaan dan penyamarataan lambat laun terwujud(terjelma)
tulisan huruf yang sekarang ini digunakan. Tulisan inilah yang diambil alih
(overgenomen) oleh orang bugis yang kemudian yang telah ditambahkan beberapa
tanda-tanda hurufnya sendiri.
BAB V
“PASENG” DAN LIMA PENGANGAN ORANG BUGIS MAKASSAR SEBAGAI
“SENDI SIRIK”

Dalam budaya orang Bugis Makassar, ada disebut “PASENG” yakni amanat, pesan-
pesan yang dituangkan oleh orang tua (leluhur) kepada genersasi-generasi penerus. Atau
dapat katagorikan sebagai jenis wasiat. Tersebutlah bahwa dalam buku “PASEANG” yakni
sejenis sastera Bugis,tercantum limapesanan. Yaitu lima bentuk petuah yang duharapkan
menjadi pegangan generasi . yakni9 masing-masing:
1. Ada Tongeng (berkata dengan benar)
2. Lempuk (kejujuran)
3. Getting (berpegangan teguh pada prinsip keyakinan pendirian0
4. Sipakatau (hormat menghormati sesame manusia )
5. Mappesona Ri Dewata SeuwaE (pasrah pada kekuasaan TTuhan Yang Maha Esa).

Dengan mentaati kelima pesanan tersebut diatas, orang-orang Bugis mengharapkan


keturannya akan tampil sebagai insane yang berguna. Atau yang disebut dengan
Pembangunan manusia seutuhnya. Orang-orang Bugis mengamanatkankepada keturunannya
sifat-sifat kesatria. Yakni berkata dengan benar. Tidak munafik. Satunya kata dengan
perbuatan. Disamping itu, diwajibkan kepada keturunan orang-orang Bugis-Makassar untuk
senantiasa jujur. Tidak menonok kawan seiring. Tidak menipu dan memperbodoh sesama
manusia. Sejalan dengan itu, wajib piula setia pada keyakinan. Tidak terombang-ambing oleh
pengaruh-pengaruh situasi yang timbul dalam keadaan bagaimanapun. Saling hormat
menghormati, harga menghargai dengan sesame manusia atau masyarakat lingkungannya.
Yakin seyakin-yakinnya, bahwa tidak kekuasaan lain yang jadi kehendaknya,selain
Kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa. Manusi berjuang, berikhiar dan berusaha,namun Tuhan
jualah penentu atas segala-galanya. Tiada selembar daunpun jatuh,tanpa kehendakNya.
Kelima pegangan atau pesanan yang diistilahkan dalam bahasa Bugis sebagai Lima
Pappaseng (Lima pesanan) dikaitkan pula dengan sendi-sendi SIRIK.
Kelima pegangan tersebut diatas merupakan cirri penilaian terhadap seseorang. Yakni,
bahwa mereka yang mempunyai harga dir (Sirik) harus berpegangan pada kelima prinsip
pesanan tersebut di atas. Betapa tidak, misalnya,seseorang yang tidak lagi memiliki sifat-sifat
dan ada Tongeng (berkata dengan benar),Lempuk(kejujuran),Getteng (berpeganga teguh pada
prinsip keyakinan pendiriaan ), Sipakatau (saling hormat menghormati),Mappesona Ri
Dewata SeuwaE(pasrah pada kebesaran Tuhan Yang Maha Esa ), maka dia dia dinilai sebagai
orang “kurang Sirik”(tidak ada harga diri ). Ia bukan manusia. Sebab manusia dipoegang
pada perbuatun-perbuatannya atau diukur dari perangkai-poerangkainya. Apabila ia tidak
berperilaku yang wajar maka ia dinamai “Rapang – Rapang Tau”(orang-orangan alias
boneka).
Jelaslah bahwa makna “Srik” itu, menyangkut jauh ke dalam persendian budi pekerti.
Ia merupakan hakekat hidup yang prinsipil bagi orang-orang Bugis-Makassar, pewaris
budaya Sirik tersebut. Karena hanya mereka yang memiliki “Sirik” yang dinilai manusia oleh
orang-orang Bugis tersebut. Dalam pengertian,bahwa manusia yang baik ialah mereka yang
berbudi pekerti luhur (yang memiliki Sirik). Kebenaran-kebenaran ucapkannya dapat
dipercaya . tingkah lakunya sopan, kejujurannya menyakinkan . Sikap pendiriaannya tidak
diragukan . Karena ia tidak bermental pengecut. Taqwa kepada tuhan yang bila disimpulkan
secara luas,adalah manusia yang menghayati dan mengamalkan nilai-nilai pancasila. Dengan
mengamalkan “lima Pappaseng”atau lima pesanan (pegangan) tersebut di atas, ia sudahdapat
dikatagorikan: Manusia Pancasilais. Karena Pancasila memang digal dari nilai-nilai Bangsa
Indonesia sendiri yang Bhinneke Tunggal Ika. Yang salah satu aspeknya adalah Lima Paseng
tersebut,sebagai unsur-unsur dasar falsafah ke-Indonesia-an.
BAB VI
SIKAP MENTAL SUKU BUGIS-MAKASSAR

Pada hakekatnya, sikap mental atau pandangan hidup orang Bugis-Makassar pada
umumnya, sama atau sejalan dan tali temali dengan sikap mental orang-orang Makassar,
karena berdasarkan kisah awal mula kelahiran kedua suku ini ( Bugis-Makassar), adalah satu
jua adanya. Yakni, berawal usul dri satu sumber rumpun (leluhur).
Dikisahkan dalam buku Lontara, bahwa di Sulawesi selatan ini tempo dulu, ada tiga
buah krajaan besar (seperti diuraikan terdahulu pada tulisan ini). Masing-masing kerajaan
Luwu yang mengusai daerah sampai ke Sulawesi Tengah, kerajaan Gowa, dan kerajaan
Bone.
Raja luwu mencanangkan policy perintahnya dengan mengutamakan “rasa
kekeluargaan” (menghendaki agar yang mengusai daerah Sulawesi selatan sebagai raja-raja
ialah keturunannya).
Raja Gowa menjalankan policy perintahannya berdasarkan pengembangan syiar Agama
Islam, dan
Raja bone mencanangkan policy perintahannya brdasarkan policy pengusaha (perluasan
daerah).
Secara umum dapat digambarkan bahwa pandangan orang-orang Bugis atau Makassar
terhadap sirik dan masalah-masalah penyelesaian Sirik itu, hakekatnya sama saja. Begitu pula
dengan masalah-masalah adat-istiadat sebagai warisan leluhur mereka yang satu itu
(bersumber dari satu rumpun asal usul).
Bagi orang-orang suku Makassar yang pada umumnya berwatak keras dan konsekwen
dijiwai oleh manifestasi sikap-sikap yang berpolakan semboyan:
a. Eja tomi na-doang (arti harfiah: Merah baru disebut udang; dalam arti positif,
namun dalam arti negative ada juga istilah “pabbamban-gang na-tolo” yang
artinya semacam siakp membabi buta karena pancingan emosi yang keliwatan
sehingga sukar menjaga keseimbangan pada dirinya, biasanya terjadi atau
dilakukan dalam hal-hal yang sangat memalukan atau Ni-pakasiriki).
b. Ku-alleangnga tallanga na-towalia (arti harfiah: Lebih kupilih tenggelam
daripada kembali ke pangkalan; lebih baik mati berkalangan tanah daripada
hidup menanggung malu; juga biasa diartikan sekali layar terkembang pantang
biduk surut ke pantai, demi mencapai sasaran yang hendak dicapai. Ibaratnya,
dalam mengarungi lautan sekalipun badai mengamuk harus tetap melayarkan
bahtera dan jika harus menanggung risikonya misalnya tenggelam ditengah di
tengah laut, memangnya yang bersangkutan sudahlah mempersiapkan diri untuk
itu).
c. Punna tena sirik-nu pa’niaki pace-nu (jika anda kehilangan harga diri atau
kehormatan, pertahankanlah rasa kemanusiaan dan kesetiakawananmu (setia-
kawan, solidaritas), tunjukkan kesetiaan (loyalitas) untuk itu.
Dengan sikap “ eja tompi na-doang” ( merah baru disebut udang) memanifestasikan
watak yang keras (konsekwen pada pendiririan atau sikap). Yakni bertindak (berbuat) terlebih
dahulu, resiko itu soal belakang. Menggambarkan bahwa emosi lebih menonjol (dominan)
ketimbang rasionya bersifat resessif (resessif, kebalikan dominan).
Atau dengan perkataan lain, dapat dikemukakan bahwasanya emosi seringkali
mengusai rasio. Hal ini erat kaitannya dengan masalah sendi-sendi Sirik tersebut.
Yakni, manakala rasa ketersinggungan kehormatan (identitas terganggu), maka hal
tersebut berarti Sirik. Yakni nilai Sirik bagi orang-orang suku Bugis-Makassar dinilai sesuatu
yang perlu dimuliakan.
Sirik adalah kebanggaan atau keagungan harga diri (pride). Bagi orang-orang suku
Bugis-Makassar diwariskan amanah oleh leluhurnya untuk menjunjung tinggi adat-
istiadatnya yang didalamnya terpatri pula sendi-sendi sirik tersebut.
Manakala harga diri tersebut disinggung yang karenanya melahirkan aspek-aspek sirik,
maka diwajibkan bagi yang tertimpa Sirik itu untuk Melakukan aksi-aksi tantangan. Dapat
berupa aksi (perlawanan) seseorang atau aksi (perlawanan) kelompok masing-masing.
Terserah pada mutu nilai Sirik yang timbul sebagai ekses-ekses kasus yang lahir karenanya.
Bagi pihak-pihak yang terkena Sirik tetyapi membungkem 1001 bahasa (tanpa aksi-aksi
perlawanan) dijuluki sebagai: tau tena Sirikna (tak punya rasa malu atau tak punya harga
diri). Atau dalam bahasa Bugis diungkapkan sebagai tau kurang Sirik (orang yang tak ada
harga diri).
Dengan demikian, dapatlah dibayangkan betapa besar pengaruh nilai-nilai Sirik itu,
bagi sikap mental orang-orang Bugis-Makassar pada umumnya.
Dalam hal-hal mencapai tujuan, orang-orang Makassar berpegang semboyan
Kualleangnga tallanga na-towalia (sekali layar terkembang pantangbiduk surut ke pantai),
semboyan ini memanifestasiakan bahwa orang-orang Bugis-Makssar itu tabah menghadapi
tantangan-tantangan hidup. Tabah menghadapi segala jenis cobaan-cobaan yang dating
bertubi-tubi menimpa. Hal ini erat pula hubungannya dengan perjuangan-perjuangan hidup
orang-orang Bugis-Makassar sebagai pelaut-pelaut.
Sebagaimana sejarah mmengajarkan,bahwa oaring-oarang Bugis-Makassar adalah
pelaut-pelaut yang ulung yang berlayar mengarungi selaty Malaka sampai kepulauan
Madagaskar. Yang kemudian melahirkan ammana Gappa yang terkenal sebagai penyusun
ilmu pelayaran (ahli pelayaran) oranmg-orang Bugis pada zamannya.
Sedangkan yang menyangkut sikap Punna tena Siriknu, pa’niaki paccenu
memanifestasikan bahwa orang-orang Makassar itu mempunyai sifat setia kawan yang sukar
dikhianati umpamanya bila terjadi sesuatu persengketaan, maka biasanya kelompok (keluarga
yang merasa dipermalukan ) atau ni-pakasirikki berkata : Punna tena siriknu pa’niaki
paccenu9kalua tak ada harga dirimu tunjukkkanlah kesetiakawananmu).
Sekaligus memanifestasikan pula, bahwa orang-orang Makassar itu memaliki sifat-sifat
tahu membalas budi,yakni berbudi luhur.
Manakala pernah ditolong seseorang maka menjadi kewajibannya pula guna membalas
pertolongan tersebut sebagai pembayaran terhadap hutang budinya.
Dapatlah kirannya ditarik kesimpulan,bahwa orang-orang suku Bugis-Makassar itu
memiliki sifat-sifat:
hha. Berwatak keras (kosekwen pada sikap pendirian).
hhb. Tabah menghadapi tentangan-tantangan perjuangan hidup dan tawakkal
menerima permasalahan yang timbul.
hhc. Setia-kawan (solider),dan penuh kesiapan (loyalitas) untuk itu.

Namun terhadap permasalahan Sirik,orang Makassar dan Bugis tak pernah mengenal
kompromi. Seperti kata orang Makassar, Bawaku-ji akkaraeng badikku tena nakkareang
(hanya mulut yang mengucapkan tuan,member penghormatan,tetapi kerisku tak tak kenal
siap-kau, yakni na-pelakkanga Sirik-ku(menyinggung kehormatanku,membuat aku
kehilangan malu/harga diri dan martabat),maka badikku tidak mengenal tuan(senjata tidak
akan memilih merek,tidak pilih bulu).
Sebab,bagi orang-orang Makassar masalah Sirik (harga diri) adalah masalah
prinsip,masalah to be or not to be masalah kehormatan yang tak dapat ditawar-tawar.
Masalah nilai adat leluhur yang harus diagungkan,tidak dapat dinodai.
Pada zaman dahulu, masalah-masalah Sirik yang timbul penyelesaiannya harus dibayar
dengan gelimpangan mayat. Yakni harus dibayar dengan pertumpahan daruh. Yakni,
menumpahkan darah yang mappakasirik (yang mempermalukan) itu sebagai tebusannya,
cepat atau lambat ..... kapan-kapan saja darah yang memperlukan (mappasirik) pasti akan
ditumpahkan oleh yang dipermalukan (nipakasirik) atau oleh keluarga yang dipermalukan
(tumasirikna).
Untuk lebih jelasnya dikemukakan contoh-contoh sebagai berikut:

a. Pada suatu senja di stasiun bemo Ujung Pandang, seorang anak muda ditempeleng
seorang supirt bemo ditengah orang banyak, karena sesuatu hal. Anak muda yang
ditempeleng itu tidak berdaya untuk memberikan perlawanan ; namun karena ditempeleng
bagi orang-orang Bugis-Makassar dinilai sebagai aspek Sirik yang harus ditebus, maka lima
bulan kemudian sopir bemo yang pernah menempeleng anak muda tersebut didepan
(nipakasirik-dipermalukan), dikabarkan tewas di ujung bidik ank muda itu.
Ketika seteleh lima bulan kemudian, sopir bemo itu singgah makan di salah satu
warung di Segeri(kabupaten Pangkep). Dimana secara kebetulan, berpapasan dengan anak
muda yang pernah ditempelengnya di depan umum. Maka terjadilah peristiwa penebusan
Sirik itu dengan aliran darah pihak sopir bemo yang teleh mappakasirik
(aksimempermalukan) itu. Dengan perkataan lain telah terjadi si-pasirik(aksi memalukan/aksi
menodai kehormatan ) yang betapapun juga, lambat laun atau cepat,harus harus diselesaikan
melalui aliran darah ...

b. Dikisahkan bahwa dalm pertemuan suatu pesta rakyak di lapangan Karebosi Ujung
Pandang ada seorang gadis yang menonton acara keseniaan dalam rangka pesta rakyat
tersebut. Ia berdiri di tengah-tengah orang banyak (massa). Secara tidak sengaja,seorang
jejaka lain menyenggol anak gadis tersebut ... peristiwa ini tidak terlihat oleh keluarga gadis
tersebut. Tiba-tiba tak lama kemudian berselang beberapa hari, jejaka yang pernah
menyenggol anak gadis itu ketika pesta rakyat (di tengah-tengah massa) itu, dikabarkan luka
parah karena ditiakm oleh keluarga sang gadis (to-masirik-na).
Senggolan pada gadis dinilai orang-orang Bugis-Makassar sebagai masalah Sirik. Dan
harus ditebus dengan darah yang menyenggol anak gadis tersebut ...(silelaki
mappakasirik/mempermalukan).
c. Dikisahkan,bahwa di Kabupaten Jeneponto sebuah bus mini (busumum) sedang lewat
di jalan raya. Seorang lelaki tiba-tiba muncul di tepi jalan raya dan menahan oto tersebut
dengan harapan bahwa keluarganya dua orang wanita dapat diberi tempat dalam bus min itu.
Tetapi apalacur, karena bus mini itu ternyata penuh sesak penumpang,maka penumpang dari
Jeneponto itu... sangat menyesal tidak dapat dilayani oleh sang sopir bus mini itu.
Kenyataannya ...sang sopir berselang beberapa hari kemudian dikeroyok berdarah ... dengan
alasan mappakasirik. Terjadilah penebusan sirik lewat darah pula.
(Catatan: Nilai Sirik dalam kasus ini tampak mengalami arose dan nilainya hambar).
Apakah kasus ini termaksud katagori Sirik? Disinilah nilai Sirik tersebut mengalami erosi
atau hambar dalam perkembangannya.
d. Dikisahkan , bahwa ada seorang karyawan bawahan member hormat kepada seorang
pejabat atasan. Entah oleh faktor apa,rupanya sang pewjabat itu menghiraukan penghormatan
bawahannya itu, melihat keadaan ini, seorang anak berteriak kemudian lari,lalu
nerkata:Takess...takess...(kecele....kecele...).
Karyawan tersebut lalu melempari batu atasannya itu dengan alasan pakassirik
(mempermalukan) . sang pejabat itu benjol luka-luka. Terjadilah aliran darah,karena aspek
Sirik tersebut.
Catatan: apakah kasus ini termaksud katagori Sirik yang dinegatifkan atau
ndiselewengkan nilainya?. Di sinilah letak problematikanya. Bahwa Sirik tersebut
bmengalami erosi atau kabar nilainya yang anggun (bergeser dari nilai luhurnya).
e. Dikisahkan, seorang wanita penjual jagung melaporkan pada kakaknya bahwa ia
dicumbu rayu oleh seorang jejaka pembeli yang setiap malam dating kepadanya merayu
...menggoda...? . akibatnya sang pemuda tersebut beberapa hari kemudian dihadang oleh
tomasirik-na (keluarga gadis penjual jagung), dan mati seketika itu juga ...diujung badik.
Terjadilah ekses aliran darah alasan Sirik,yakni,mengdengar alasan Sirik.yakni mengganggu
(merayu) gadis...
Adalah pantangan bagi orang-orang Bugis-Makassar untuk dirayu anak gadisnya...
(pantangan bercinta-cintaan ). Karena yang demikian ini,bercumbu rayu antara gadis dan
jejaka adalah dinilai sebagai Sirik. Kalau ingin mencintai (mempersunting) seorang gadis
Bugis-makassar,silahkan langsung pada orang tuanya...karena bercumbu-cumbuan
dinilai sebagai aspeksirik tersebut.

Dan lain-lain contoh peristiwa sebagai gambaran bahwa Sirik itu pada umumnya
penebusannya (penyelesaiannya) adalah aliran darah ...
Betapa mahal nilai dan arti Sirik itu bagi orang-orang suku Bugis-Makassar secara garis
beszar telah diuraikan di atas, sebagaiman tujuan penulisan ini adalah sekedar sketsa perihal
sikap mental suku Bugis-Makassar tersebut.
Yang secara garis besar dapat disimpulkan pada uraian –uraian berikt ini, perihal analisa
unsur-unsur positif dan negative dari sikap mental dan sekaligus peranan Sirik itu dalam
perwujudan yang melembaga,bagi masyarakat lingkungannya.
BAB VII
HIKMAH-HIKMAH YANG DI WARISKAN LONTARA
KEPADA GENERASI PELANJUT

Lontara sebagai warisan leluhur orang-orang bugis-Makassar jika di kaji secara


mendalam guna memahami apa yang tersurat dan apa yang tersirat dalam buku atau catatan-
catatan lontara itu, maka yang kita akan temukan pertama-tama ialah rasa kagum terhadap
mutu falsafah atau pandangan –pandangan hidup leluhur orang-orang bugis-Makassar itu
pada zaman jayanya Bugis-Makassar.
Di daerah luwu pada zaman dulu bermunculanlah orang-orang yang
pandai,ilmiawan,budayawan yang bergelar: To wacca (orang pintar). Mereka menterapkan
falsafah kepemimpinan atas dasar prinsip Pallempui BecciE kebenaran). Sedang di dalam
pelaksanaan tugas sehari-hari ia berpegang pada prinsip: rebba sipatokkong, mali siparappe,
sirui menre’ tessirui’ no, malilu-sipakainge-mainge’ pi mupaja (jika khilaf harus saling
memperingati dan menegur kesalahan masing-masing,dan manakala ada yang tertimpa
musibah kiranya berusaha saling membantu).
Sejalan dengan itu berpegang pula pada prinsip:

Tellui riala sappo’...... (tiga hal yang kita jadikan prinsip / pendirian, dalam hidup ini)
TauE ri Dewata...........(Taqwa dxan patut?takut pada illahi)
Siri’E riwatakkaleta...(Malu pada diri sendiri)
Siri’E ri padatta tau....(Malu kepada sesama manusia hamba Allah).

Di ungkapkan oleh Prof.DR.A.Zainal Abidin Farid,SH (tokoh ahli budaya) sebagai


berikut :
“...agar masyarakat terutama generasi muda dapat mempelajari hasil karya kebudayaan
nenek-moyangnya yang bernilai tinggi, mudah-mudahan ia dapat menggerakan mereka
mengikuti jejak nenek –moyangnya guna mencipatan karya yang lebih tinggi nilai sesuai
dengan tuntunan zaman modern. Selain daripada itu tidak saja bertujuan untuk membentuk
genarasi muda yang bermoral, tetapi juga untuk mendorong terciptanya kebudayaan
membanca dan menuntut ilmu. Tiada bangsa yang maju tanpa ilmu pengetahuan. Hal ini
telah di sadari oleh orang-orang tua kita dahulu, sehingga I Mangadaccing Karaeng
Pattingallong pada permulaan abad ke XVII tanpa memasuki fakultas sastera, mampu
berbahasa Latin, Portrugis, Arab, Spanyol, Inggeris dan lain-lain, sehinggadi gemari oleh
punjangga belanda, Vondel, sebagai orang besaryang mencari ilmu dalam dunia yang telah
menjadi kecil baginya”.

Pada permulaan abad ke XV orang-orang tua telah berpesan: Aja’ nasalaio acca sibawa
isseng madeceng (janganlah engkau tinggalkan kecakapan dan ilmu pengetahuan).
Salah satu lontara Gowa menyatakan: Nakana karaeng, apa pamanjengana butta
lampoa? Nakana tuniaalleanga kananna, limai .... uru-urunna punna tea nipakainga karaeng
ma’gauka .... makarruanna, punna taena tumangasseng ilalang pa’rasangan lompo ....
makatalluna, punna mangallr soso’ gallarang ma’bicarayya .... maka apanna,punna majai gau’
ilalang pa’rasangang malompo .... maka-limanna, punna tanakamaseanga atanna karaeng ma’
gauka (bertanya raja, apa sebab musabab keruntuhan suatu Negara besar? Menjawablah
orang yang senantiasa di indahkan ucapanya,ada lima hal ... prtama, kalau raja yang
memerimtah tak mau di peringati... kedua, kalau tak ada orang pandai dalam negeri... ketiga,
kalau para hakim menerima sogok... keempat, bila terlampau banyak kejadian-kejadian dalam
suatu negera besar... kelima, jika rakyat jelata tidak di sayangi oleh raja yan berkuasa).
Demikian tinggi nilai-nilai budaya yang tercantum dalam lontara, yang menurut hemat
saya perlu di baca oleh generasi muda Indonesia.
Guna lebih menghayati betapa luhur pesan-pesan yang tertuang pada lontara itu, kita
ungkapakan sebagi berikut:
- Narekko mueloriwi atinna padammu rupatau ab- breangtoi atimmu (jika anda ingin
merebut simpati hati orang lain sesamamu, berikanlah simpatimu kepada orang lain
itu).
- Akka’i padammu rupatu natanrereko (hargai sesamamu manusia, agar ia dapat
mendukungmu pula).
- Tellu tempedding riatepperi, anutemanessa, kareba, kapang ati (ada tiga hal yang
tak boleh langsung di percaya, yakni berita yang belum terbuktu, kabar selentingan
(issue) dan perkiraan-perkiraan (dugaan-dugaan hati sendiri, prasangka).
Sementara itu, Arumpone (raja bone) berdialog dengan La mellong (Kajao Laliddo) yang
tertuang dalam Lontara Bugis sebagai berikut:

Arumpone : aga kaminang mawatang Kajao, enkaga cau’ watangngi ewangengnge?


: (Apakah yang paling kuat. Adakah yang mengalahkan senjata ?)
Kajao : madodong ladde’iatu muasennge Arum pone.
: (Terlalu lemah apa yang dikaatakan itun Arumpone)
Arampone : Pauni Kajao muasengnge mawatang.
: (katakanlah Kajao apa yang kau anggap paling kuat).
Kajao : De’ gaga cau’ watangngi asseddingengnge.
: (Tidak ada yang menghalahkan persatuan yang kokoh).

Demikianlah sekedar ungkapan-ungkapan diangkat dari Lontara Bugis-Makassar guna


memberikan gambaran sketsa (selayang pandang sekilas) betapa besar hikah-hikmah petua
para leluhur yang terpateri pada buku catatan-catatan Lon tara itu bagi generasi-generasi
pelanjut. Sebagai pedoman-pedoman hidup dan falsafah-falsafah dalam pengabdiaan-
pengabdian masing-masing.
Maka sesunguhnya betapa agung nilai-nilai budaya suku Bugis-Makassar itu pada
zamannya. Yang kini merupakan tugas generasi pelanjut guna mengkajinya demi kejayaan
budaya Nasional yang Bhineka Tunggal Ika tersebut.
Pada kepingan-kepingan Lontara tersebut di atas sudahlah jelas tergambar bahwa
orang-orang Bugis-Makassar itu mengutamakan sifat-sifat:
Harga diri dan kesetis kawanan (loyalitas), yang di nilai sebagai unsur Sirik dan Pacce.
Mari kita kaji kepingan-kepingan Lontara tersebut di bawah ini:
Erappa’i solangi wanuae: (a) Ngowae, napadde’i siri’E, (b) Gau’ mawatangnge,
pallajangngi assi sarromasse-mase rilaleng wanuwa, (c) Mabbele peru’e belaiwi gau’
tongetongengeng riwanuae iya ngowae riala modala’ sapuripale’ cappa’na. Iya ce-koE rialai
modala’ sukkara wale’na. Naita lempuE riala modala’ atiwong wale’na, alamperng sungE
cappa’na. Naiya gau sitanajaya riala modala’ cen-ning rara wale’na naddimunriwi deceng,
naccappaki assalamakeng. (Catatan : Labolu, dari kumpulan Andi Pabarang).

Terjemahannya :
Empat hal yang merusak kampong (daerah) : (a) Ke-erakahan, menghilangkan rasa
malu, (b) Kekerasan, melenyapkanperasaan kasih mengasihi di dalam kampong, (c)
Kecurangan, memutuskan hubungan kekeluargaan sekeluarga, (d) Tega hati, menjauhkan
perbuatan benar di dalam kampung. Kalau ke-serakaran di jadikan modal, kesulitan
akibatnya. Kalau kejujuran di jadikan modal, kehidupan akibatnya panjang umur. Dan kalau
sikap kewajaran (kepantasan) di jadikan modal, kecemerlanagan di iringi kebaikan dan di
akhiri keselamatan.

Dengan menghayati aspek-aspek yang tersirat atau tersimpul pada bait-bait Lontara
tersebut di atas yakni yang di nilai dengan kalimat : “Eppa’i solangi wanuaE ( empat hal yang
merusak kampung atau daerah ataupun Negara) ialah Ngowae napadde’i siri’E (keserakahan,
menghilangkan rasa malu) dan seterusnya akan lebih memperjelas bagi kita bahwasanya bagi
orang-orang Bugis-Makassar masalah Sirik dan Pacce adalah masalah prinsip.
Masalah penentu atau kepentingan langkah-langkah selanjutnya baik harga diri pribadi
maupun lingkungan masyarakat (daerah). (catatan: di kaji dari buku SILASA, kumpulan
pesan-pesan dalam Lontara A.HASAN MAHMUD (Edisi 1976).
Sementara To accaE (cerdik pandai) di Luwu, menilai sirik itu terbagi atas dua faktor
pokok: (1). Apabila ia telah duduk di bagian atas (Tribune) tempat yang menurut
penilaiannya sesuai dengan funsinya dalam masyarakat, tiba-tiba ia di minta berdiri dari
tempat tersebut untuk pindah ke tempat yang lain... (bahagian bawah). (2). Apabila telah di
bri hidangan perjamuan sedang jamuan ( hidangan makanan) tersebut belum di makan, lalu di
angkat ( di pindahkan) untuk menjamu orang lain.
Hal-hal tersebut diatas menimbulkan aspek ketersinggungan pribadi. Dan oleh
karenanya orang-orang Bugis-Luwu, menilainya sebagai sirik yang esensil-prinsipil. Maka
akan lebih yakinlah kita, bahwa sendi-sendi sirik itu bertali-temali dengan masalah “Harga
diri” itulah.
Faktor harga diri yng esensil bagi setiap insane yang berbudaya di manapun di dunia
ini,yakni masalah aspek identitas bangsa bersangkutan masing-masing.
Tatkala seorang pemuda bangsawan Soppeng akan dilantik untuk menjadi pemangku
kerajaann,datanglah ia ke Luwu guna meminta nasehat pada To accana Luwu (orang-orang
Cendekiawan Luwu). Terjadilah dialog,sebagai berikut:
pemuda bangsawan Soppeng: saya akan diangkat jadi Raja di Soppeng,bagaimana
cara saya,Sedangkan saya masih muda usia dan pemikiran?
To accana Luwu : Janganlah terlalu manis pada rakyat yang diperintah,sebab
manakala terlalu manis pasti akan ditelan. Jangan terlalu pahit(kejam) pada rakyat,sebab
pasti akan dimuntahkan (ditolak atau tidak ditaati oleh rakyat).

Dikisahkan,bahwa ketika beberapa hari sebelum Andi Jemma (gelar:datu Luwa,raja


yang berkuasa di Luwu terakhir)wafat,ia meminta agar dibawah ke Tator,Masamba dan Wotu
untuk meminta maaaf kepada rakyat yang dipimpin.
(Catatan: Andi Jemma Datu Luwu mangkat pada tanggal m23 Pebruari 1965.
Makamnya di taman makam Pahlawan Panaikang Ujung Pandang. Almarhum Andi Jemma
Datu Luwu diangkat jadi Bridjen Anumerta oleh Pemerintah . Bekas istananya,sekarang jadi
museum Batara Guru di kota Palopo Luwu. Istrinya (mendiang almarhum tersebut). Yakni
Andi Jemma Tenri Padang Opu datu. (sumber otentik,dari Turunan pertama almarhum Andi
Jemma,penuturan apa adanya).
Tetatpi karena permintaaannya itu tak mungkin terpenuhi (keadaan sakit keras tak
mungkin diantar ke sana ke sini),maka ia tinggal memberikan pesan-pesannya yang
terakhir,yakni:
a. Jangan terlalu berpegang pada adat-istiadat yang telah telah using (tak sesuai
dengan perkembangan zaman pancasila).
b. Yang akan selamat hanya mereka yang mampu berjalan di atas titian-titian
kebenaran (peraturan-peraturan hukum yang berlaku).
c. Beritahukan kepada segenap rakyat Luwu,agar menyekolahkan anaknya, karena
hanya yang berpendidikan,bersekolah,yang dapat memimpin masyarakat dan
bertahan hidup di tengah-tengah kemajuan zaman (pembaharuaan-modernnisasi).

Tiga macam bentuk aksara lontarak. Yang pertama ialah bentuk kuno (het oude
Makassarsche letterschrift),yang kedua ialah aksara angka,sedang yang ketiga ialah
bentuk akasara lontarak Bugis-Makassar yang diciptakan oleh Daeng Pamatte
Syahbandar kerajaan Gowa dalam abad XVI.
BAB VIII

SRIK MENURUT HASIL PENELITIAN TEAM FAKULTAS HUKUM


UNIVERSITAS HASANUDDIN

Hasi-hasil penelitisn yang dilaksanakan berdasarkan surat perjanjian kerja-sama


penelitian antara badan penelitian Hukum Nasional (BPHN) Departemen Kehakiman RI
dengan pihak Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin yang dipimpin oleh Prof.Andi Zainal
Abidin Farid,SH denganDr.Rusly Effendy,SH dkk: suraut perjanjian kerja-sama tersebut
No.J.H/803/III76 tertanggal Ujung Pandang 10 juli 1977,yang man hasil penelitiannya
ituantara lain,sebagai berikut:

SIRIK
Srik merupakan adat kebiasaan yang hidup danmelambangdalam kehidupan
masyarakat Sulawesi Selatan sejakdahulu kala hingga dewasa ini. Sirik mempunyai nilai-nilai
positif dalam hidup bermasyarakat,namun tak dapat disangkal bahwa sirik juga mempunyai
aspek-aspek negative terutama dalam kasus penganiayaan dan pembunuhan. Oleh karena itu,
penelitian terhadap Sirik dirasakan penting sekali. Nilai-nilai positif yang terkandung
didalamnya perlu diungkapkan dan dikembangkan dan yang negative perlu ditanggulangi.

APAKAH YANG DIMAKSUD DENGAN SIRIK?

Jawaban atas pertanyaan ini dapat diberikan baik menurut arti kata masyarakat dalam
bentuk suatu batasan (defenisi). Tetapi jawaban menurut arti kata suatu batasan,tidak akan
dapat memuaskan.
Jawaban menurut arti kata mungkin tepat secara harfiah tetapi tidak cukup mewakili
makna sebenarnya. Sedangkan jiwanya dirumuskan dalam suatu batasan,inipun akan terbatas
pada aspek tertentu saja yang mewakili sesuai pendekatan objek tersebut. Justeru disinilah
letak kesulitannya,karena Sirik merupakan suatu hal yang bersifat abstrak dan melembaga
didalam masyarakat serta mencakup berbagai aspek dalam kehidupan. Mattulada ( Prof.Dr.
Mattulada, sekarang Rektor Universitas Tadulako di Palu Sulawesi Tengah) memandangnya
sebagai suatu konsep yang mengintegrasikan secara organis semua unsur pokok dari “
Pangngadereeng” atau Pangngadakkang (keseluruhan norma dan aturan-aturan adat). Shelly
Errington mengatakan tidak mungkin dapat dimengerti susunan masyarakat Bugis Makassar
tanpa kita mengerti susunan atau bentuk masyarakat itu berdasarkan kepada sirik dan darah.
Keduanya adalah kye simbolis yang juga sekaligus gagasan dan nilai yang erat hubungannya
dan tak mungkin dapat dipisahkan. Keluasan dan keabstrakan sirik ini disini hanya dibatasi
pada aspek hukumnya dengan disana sini menyingggung aspek-aspek lain yang ada
hubungannya, lagi pula sebagai suatu yang abstrak sifatnya maka yang diamati adalah akibat-
akibatnya juka dilihat dari segi hukum “ misalnya bidang hukum pidana in kasus KUHP yang
berlaku sekarang” merupakan suatu perbuatan melawan hukum .
Walaupun dari hari ke hari mengalami perubahan, tetapi menurut Mattulada masih
mempunyai arti essensi untuk dipahami karena terdapatnya anggapan bahwa sirik itu bagi
orang-orang Bugis Makassar masih tetap merupakan suatu yang lekat pada martabat
kehadirannya sebagai manusia pribadi sebagai earga persekutuan. Mereka menghayati
sebagai panggilan yang mendalam dari pribadinya, untuk mempertahanka nilai suatu yang
dihormati, dihargai, dan dimilikinya. Sesuatu yang dihormati, dihargai, dan dimilikinya
mempunyai arti yang essensi baik bagi dirinya maupun bagi persekutuannya. Di daerah
Jeneponto, dua belas responden mencatat mengenai pacce ( Makassar) atau pesse (Bugis0
secara harfiah, ini berarti pedis atau pedih. Dari catatan responden tersebut dapat disimpulkan
bahwa pacce dan pesse adalah suatu perasaan yang menyayat hati, pilu bagaikan tersayat
sembilu apabila sesame warga masyarakat ditimba kemalangan (musibah). Perasaan yang
demikian ini merupakan suatu pendorong kearah solidaritas dalam berbagai bentuk terhadap
mereka yang dulunya ditimpa kemalangan itu. Karena kemalangan itu menurut catatan
responden dapat berupa ditempeleng di muka umum, diperkosa, kelaparan dan sebagainya,
maka dapat disimpulkan bahwa sirik atau pacce atau pesse tersebut adalah sama tetapi yang
terakhir ini lebih rendah tingkatannya. Namun demikian, antara keduanya sangat erat
hubungannya dan tak dapat dipisahkan, seperti jelas dalam ungkapan-ungkapan berikut:
Unna tena sirita pacceta seng ammantang (Makssar) rekuade sirita ungga messa
peseta (Bugis), yang artinya: jika tak ada sirik niscaya masih ada pesse/paccenya.
Dari daerah soppeng, seorang responden mengemukakan penggolongan berikut ini:
istilah sirik sebaliknya dibahas dalam dua bagian, yaitu:
1. Sirik yang berasal dari pribadi yang merasakannya/ bukan kehendaknya
(penyebabnya dari luar), jadi sirik ripakkasirik.
2. Sirik yang berasal dari pribadi yang itu sendiri ( penyebabnya di dalam) disebut
sirik masirik.
Sirik sukar sekali dinilai oleh orang yang tidak bersangkutan (abstrak). Banyak sekali
hal yang mengenai sirik yang tak dapat dituturkan dan banyak diantaranya tak dapat diterima
tasio, akan tetapi tak dapat dikesampingkan kerena benar-benar pengaruhnya untuk
menimbulkan peristiwa pidana berdarah, antara lain: kentut tiba-tiba(nakelo ettu) di maka
umum.
Pernah seorang laki-laki nakelo ettu dimuka umum yang secara refleks kemudian
menghunus kerisnya. Hadirin sependapat bahwa itu sirik, sehingga tiada seorangpun
menegadah, semua tunduk terpaku sebelum silaki-laki itu belum meninggalkan tempat. Oleh
karena malunya, maka setibanya dirumah ia selalu berteriak :saying sekali tiada seorangpun
yang menegadah, kalau ada akan ku tikam mati.oleh karena menahan malu, maka
diperintahkan istrinya untuk menumbuk lada sebanyak-banyaknya kemudian dipulaskan ke
jalan kentutnya sebagai ganjaran dan ia lalu meninggl dunia.
Contoh kedua, seorang wanita dipegang bajunya(baju bodoh) yang sementara melekat
di badannya oleh seorang laki-laki yang bukan muhrimnya.
Contoh ketiga, apabila terjadi pertengkaran ringan tetapi seseorang diantaranya
meludah(mammiccu kepeang) dihadapan lawan tengkarkan termasuk pula persoalan sirik.
Pendapat, perasaan sirik dipakasirik tidak akan lenyap di dalam perasaan seseorang
yang didalam tubuhnya mengalir darah ugi-mengkasara’(Bugis Makassar, team) sampe akhir
zaman.
Usul. Kiranya sirik ripakasirik dibagi untuk diberi tingkatan menurut macam dan
kejadiannya.
Pendirian, sirik ripakasirik harus dijunjung tinggi. Menurut alasan basyah, sirik dapat
digolongkan atas tiga pengertian, yaitu:
1. Sirik itu sama artinya dengan malu, isin(jw), shame(inggris).
2. Sirik merupakan daya pendorong untuk melenyapkan (membunuh), mengasingkan,
mengusir dan sebagainya terhadap barang siapa yang menyinggung perasaan
mereka. Hal ini merupakan kewajiban dulu (adat), kewajiban yang mempunyai
sanksi adat, yaitu hukuman menurut norma-norma adat, jika itu dilaksanakan.
3. Sirik itu sebagai daya pendorong bervariasi kearah sumber pembangkitan tenaga
untuk membanting tulang bekerja mati-matian untuk suatu pekerjaan atau usaha.
Dari hasil penelitian lapang dengan membandingkannya dengan hasil-hasil penelitian
kepustakaan, dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1. Sirik yang merupakan suatu bagian integral dari pada adat istiadat (termasuk
hukum adat) di Sulawesi Selatan tidak dapat dilepaskan dengan sistem nilai yang
terdapat dalam masyarakat.
2. Sirik mengandung segi yang positif disamping segi-seginya negatif. Segi-segi yang
negative adalah akibat atau ekses yang bersumber dari sirik tersebut terutama jika
dikaitkan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dewasa ini, seperti
misalnya: kitab undang-undang hukum pidana dan undang-undang perkawinan.
3. Sirik yang ada hubungannya stratifikasi masyarakat berdasarkan darah
kebangsawanan yang sekarang tidak terlalu dirasakan lagi. Menyebabkan beberapa
sanksi-sanksi adat tertentu sudah tidak merupakan hal yang hidup dalam
masyarakat. Demikian pula sanksi-sanksi yang bertentangan dengan sila peri
kemanusiaan dari pancasila.
4. Sirik yang bermotof kesusilaan masih merupakan hal yang sangat peka, sehingga
perlu menjadi bahan pertambangan dalam suatu putusan pengadilan atau para
fungsionaris lainnya dalam menetapkan kebijaksanaannya.
5. Pendidikan, komunikasi yang baik dan beraturan serta cara-cara yang dapat
merubah sistem nilai dalam masyarakat merupakan suatu proses yang diperlukan
menuju kearah pengurangan ekses negatif dalam sirik tersebut.
BAB IX
SYAIR YANG MELAHIRKAN EKSES SIRIK DAN PACCE

Dikalangan orang-orang Bugis Makassar dikenal pula syair-syair menyatakan sesuatu


dengan perasaan . syair dapat melahirkan ekses sirik dan pacce. Syair-syair yang erat
kaitannya dengan sirik, antara lain berbunyi sebagai berikut:

TAKUNJUNGA BANGUNG TURU


NAKUGUNCIRI GULINGKU
KUALEANNA
TALLANGA NATOALIA
Artinya:
Semula kuperturutkan arus mengalir
Kemudi kutancapkan
Dan kupilihlah
Lebih baik tenggelam dari pada surut kembali tanpa hasil.

KUSORONA BISEANGKU
KUCAMPANA SOMBALAKKU
TAMMAMMELAKKA
PUNNA TEAI LABUANG
Artinya:
Kudayung sampanku laju
Kukembangkan layar
Pantang berbelok kearah lain
Kecuali arah pantai berlabu

Syair tersebut diatas melambang orang-orang Bugis Makassar yang pantang menyerah
menghadapi tantangan-tantangan betapapun wujudnya,karena masyarakat menyerah
menghadapi tantangan dinilai oleh orang Bugis Makasaar sebagai sirik, contoh syair lain :

ANGGANGASSENG TONJA LABBA BOYO


PACCE TANAEBBA LADING
TENNA GARINGKU
NAMALANTANG PA’RISIKU
Artinya :
Daku nikmati tawarnya labu
Pedis tak tergores pisau
Kutak menderita penyakit
Namun betapa pedisnya terasa menusuk jauh dilubuk hati.

Pada umumnya, bila orang Makassar telah bersyair seperti tersebut diatas, lazimnya
disusul dengan rasa pacce (rasa pedih yang mendalam, kerena disinggu kehormatannya).
Logikanya, ia mengandung aspek-aspek sirik dan penyelesaiannya otomatis :
darah ..... sebagai tebus ketersingggungan (pacce) tersebut.
Jadi, pacce sebagai aspek yang hakiki dari pada sirik itu, bukan berarti kesetiaan
kawanan dalam membelah kehormatan (sirik), melainkan ia mengandung makna : kepedihan
yang tiada taranya, karena martabat harkat diri tersinggung.
Ia tersayat-sayat menjangkau jauh kedalam lubuk hati. Itulah hakekat dasar yang
disebut pacce. Sebagai perwujudan lanjut (inti sari) dari pada sirik tersebut.
BAB X
SIFAT-SIFAT LANGIT SIRIK

Drs isak ngelyaratan Dosen Fakultas Sastra Hasanuddin telah menyempatkan diri
mengkaji masalah sirik tersebut dan membuat sebuah sketsa ringkas, perihal hakekat yang
terkandung dalam sifat sirik tersebut.
Ia mengemukakan sebagai berikut: dibentuklah tanah, lalu kedalam onggokan
bentukan tanah itu dihenbuslah nafas. Terciptalah manusia pertama adam. Nafas itulah
penentu hakekat kemanusiaan adam tanpa nafas itu adam bukanlah manisia, melainkan
sekedar tumpukan tanah kering anorganik.
Tanah adalah milik bumi. Nafas adalah milik langit. Karena sifat bumi itulah manusia
bisa mati, namun dia juga melampaui sifat-sifat bumi. Dari dalam lubuk sukmanya dia
mendengar bisikan nafas langit yang menyanggukkan dia untuk bias mengalami sesuatu
kelanjutan dari suasana hidup dewata dibalik bumi.
Nafas dalam kisah ini dapat dianalogikan dengan sirik yang dimuat dalam kebudayaan
tradisional di Sulawesi Selatan. Tanpa sirik bukanlah manusia. Sirik adalah penentu hakekat
diri seseorang sebagai manusia. Kehilangan sirik samalah kehilangan dignitas, ketiadaan
atma, kehabisan sumanga’ ketiadaan sifat-sifat langit.
Kelebihan manusia-manusia utama yang disebut para tomanurung di Sulawesi selatan
terletak justru karena keutamaan-keutamaan atau keadihan yang dimiliki dan dicontohkannya
dalam hidup. Mereka membela anggota masyarakat, kesatria, bersih hati, jujur, berbelas
kasihan, bertanggung jawab, contoh terdepan kebaikan dan kebenaran. Segenap kehormatan
masyarakat dipundakkan di bahunya.
Seorang tumanurung menjadi petaruh sirik segenap pengenut dan pengikutnya. Dia
mau mengorbankan apa saja demi tegaknya sirik warganya.dan para warga rela memberi apa
saja demi san hero yang melambangkan sirik bersama.
Sebagian besar, dapatlah dilihat kebersamaan sirik itu di luwu yang disebut massed
sirik. Luwu merupakan asal dan gudang budaya sub kultur di Sulawesi Selatan. Luwu
merupakan pula buminya sawerigading dan budaya galigo. Atribut langit yang dipunyai
tumanurung menjadi persyaratan yang harus dimiliki oleh sang raja serta warga kerajaan.
Kita dapat belajar dari sejarah bahwa kerajaan luwu tempo dulu telah menjadi sumber
kekuatan yang telah melambangkan budaya galigo. Yaitu massedi sirik. Budaya ini terasa
pengaruhnya secara peta bumi dihampir seluruh Sulawesi selatan dan secara geopolitik
meluaskan pengaruhnya jauh melebihi batas-batas kerajaannya.
Sirik inilah yang menjadi anutan utama, nilai suprema yang bersifat sentral. Dialah
yang mengikat raja, mengikat warga, menjiwai mekanisme politik, kekuasaan dan perilaku
segenap warga, utamanya sang raja.sirik melahirkan rasa keterikatan geneologis, juga
kesatuan dalam ikatan sosiokultural dan politik. Dia menjadi dasar pikiran dasar moral serta
kenyakinan religis warga kerajan. Kesatuan atau kebersamaan sirik bukan sekedar suatu
konsep hampa, melainkan diisi oleh contoh hidup sang raja bersama para pemimpin dan
warga yang dipimpinnya. Kekuasaan bukanlah tujuan utama melainkan hanyalah alat untuk
menegakkan dan memperteguh sirik dalam kehidupan masyarakat. Kesatuan dan
keesksistensian antara warga ditandai oleh sifat-sifat langit yang dipraktekkan oleh raja dan
rakyatnya.
Kejujuran, sifat berani dan terbuka untuk menyatakan yang benar, menjunjung tinggi
kebersihan pikiran dan tingkah laku tetap pendirian, mengutamakan kepentinganmu dan
percaya diri antara lain mengutamakan amalan yang membuktikan adanya sirik itu.
Rakyat mencintai sang raja yang penuh dengan sifat yang sirik dan amal sirik. Mereka
menghormati namun dalam kontes budaya yang luhur bahwa bukan ansich yang bertulang
dan berdaging itu dipuja dan diabdi. Yang dipujanya adalah sirik yang diusung dan di
pikulnya adalah sirik dan sumanganya sendiri, yang ditaati adalah sifat-sifat langit yang
begiti nyata dalam sikap hidup rajanya. Dan mereka akan menegur raja dengan segera, bila
cenderung bila tidak mempedulikan massed siriknya.
Bahkan raja diturunkan dari kerajaan bila sudah tak mampu memikul dan member
contoh hidup yang diwajibkan sirik.
Rajalah yang bangun pagi pertama, tidur malam yang paling terakhir,setelah berdoa
dan menyerahksn seluruh kerajaan dan rakyat pada sang khalik, Mahadewata. Rajalah yang
paling depan membela Sirik rakyatnya dan tak di biarkan sehelai rambut pun bagi rakyat
yang di cintainya di cabut oleh kekuatan apapun yang bertentangang dengan Sirik. Tidaklah
heran bila rakyat mengganggu rajanya sebagai angin, banjir, ataupun jarum. Angin, banjir,
dan jarum melambangkan Sirik bersama. Kemana Sirik itu, begitulah ... kesan mereka. Raja
bukanlah angin, bukanlah banjir dan jarum yang harus di ikut-ikuti, bila dia sudah kehilangan
Sumanga’ Sirik dalam sukma dan tingkah laku lahirnya.
Sifat-sifat langit yang Nampak dalam makna budaya ini menyebabkan masseddi Sirik
tidaklah sama dengan demokrasi dan monarchi di Barat. Demokrassi dan Monarchi barat
yang berderivasi dari budaya imperiumromanus cenderung untuk menstabilkan kekuasaan
yang hendak menjamin hak demos serta hak sang monark. Oleh karena itu tidak sering
bonum commune di nomor duakan, lalu power atau kekuasaan menempati politik posisi
paling atas. Corak politik adalah politik kekuasaan, dan bukanlah politik yang secara Sirik
harus menjamin ruang gerak luas bagi nafas langit.
Justru Masseddi Sirik menomor-satukan dignitas dan ,artabat luhur manusia, dan
kekuasaan harus tunduk padanya. Kekuasaan sewaktu-waktu bias di cabut, namun Sirik
mustahil, karena dialah hakekat yang menyebabkan seseorang itu manusia dan bukan sesuatu
yang lain.
Bagi penganut budaya Galigo, yaitu Sirik apapun bias di korbankan dan di berikan,
kecuali Sirik itu sendiri. Bahkan ia rela mati demi tetap memiliki nafas langit ini di balik
maut. Dia bia kehilangan harta dan kedudukan, kehilangan kuasa, bahkan kehilangan
kesempatan hidup di bumi sekalipun , asal dia tetap memperoleh sumanga’, atma dan sirik
yang di pertahankannya. Dia yakin bakal memiliki ruang dan keempatan mahaluas untuk
turut menapasi nafas langit di balik bumi tanah ini.
Kita beruntung masih menganut paham Sirik. Namun kadarnya entahlah. Kitapun
bahagia bahwa Agama dan Pancasila justru memperkuat kebenaran nilai budaya Galigo
tersebut.
BAB XI

SEMINAR SIRI DAN


BEBERAPA KESIMPULANNYA

Adalah sesuatu yang patut di puji dan di berikan penghargan setingngi-tingginya,


prakarsa KOMDAK XVIII Sulselra bekerja sama dengan Universitas Hasanuddin atas dasar
landasan surat keputusan bersama Kapolda XVIII Sulselra dan Rektor Universitas
Hasanuddin masing-masing nomor 140/E/1977 tanggal 7 april 1977 dan No.Pol:
skep/200/III/1977, dengan tema: “Mengolah masalah Sirik Di Sulawesi Selatan Guna
Peningkatan Ketahanan Nasional Dalam Menunjang Pembangunan Nasional”.
Seminar Sirik yang berlangsung di ruang pola kantor Gubernur Sulawesi Selatan pada
tanggal 11 Juli 1977 sampai dengan tanggal 13 Juli 1977, mendapat perhatian luar biasa di
kalangan tokoh-tokoh masyarakat, cendekiawan, wakil-wakil daerah tingkat II Sulawesi
Selatan, wakil-wakil organisasi sosial dan politik, ulama dan generasi muda.
Penyelenggaraan seminar Sirik ini, dilaksanakan oleh sebuah panitia yang di ketuai oleh Drs.
Arif Wangsa dari Kodak XIV Sulselra tersebut.
Seminar, telah membahas sejumlah prasaran (makalah) dari beberapa unsur, telah
berhasil menelorkan beberapa keputusan antara lain sebagai berikut :

A. Arti Sirik Dan Perkembangannya

I. Pengantar

Seminar dalam menyusu rumusan-rumusan yang bertalian dengan kerangka


pemikiran untuk menemukan usaha Sirik, berpendapat bahwa kerangka acuan (Team of
Reference) yang di rumuskan, sebagai dasar pengertian akan merupakan tonggak permulaan
dari suatu rentetan usaha selanjutnya untuk di pergunakan dalam pengolahan dan
pengembangan arti Sirik yang dapat ikut memperkokoh tegaknya filsafat bangsa Indonesia,
Pancasila.

II. Kerangka pemikiran yang di pergunakan untuk memahami Sirik sebagai


konsep dalam Sistim

Budaya, sosial dan Kepribadian (Prsonality) dalam masyarakat Sulawesi Selatan.


Sirik adalah ethos kultur, berisi pandangan hidup dan pandangan dunia yang
melekat pada sistim nilai yang terjelma dalam sistem budaya, sistim sosial, dan sistim
kepribadian (Personality) masyarakat.
Dalam wujud kebudayaan Pangngadarang (Mandar), pangngadereng (Bugis),
Pangngadakkang (Makassar), Pangngadereng (Toraja) menempatkan Sirik sebagai sumber
kaidah utama dalam memberikan nilai kepada rangkaian sejumlah konsep abstrak yng
bersemayam dalam alam pemikiran warga sesuatu persekutuan hidup. Konsep abstrak itu
meliputi hal-hal yangn secara ideal dipandang teramat penting dalam eksistensi persekutuan
hidup itu.
Sebagai pengendalian (regulator) sistem sosial, Sirik menata peranan-peranan
sosial, yang menentukan batas-batas hak dan kewajiban-kewajiban masing-masing peranan
yang bersangkutan. Sebagai pemberi motivasi pada pola tingkah laku dalam sistem
kepribadian, sirik menunjang kepada agama dan kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa,
ideology atau pandangan hidup yang dianut oleh setiap orang. Ia dijadikan ukuran untuk
menilai obyek-obyek yang menjdi sasaran perhatian, aturn-aturan yang dijadikan pedoman
untuk bertindak. Sirik sebagai konsep cultural, memiliki potensialitas yang dinamis tanpa
meninggalkan esensil, berkembang sesuai dengan dinamik sosial, terbuka untuk beralih
peranan (bertransmisi),beralih bentuk (bertransformasi) dan ditafsir ulang (di-reinterpretasi)
sesuai dengan kebudayaan nasional, sehingga sirik dapat ikut memperkokoh ketahanan
nasional bangsa Indonesia.
Dalam perkembangannya, sirik mengikuti perjalanan sejarah kehidupan, telah
mengalami goncangan-goncangan dan benturan-benturan nilai, yang Memerlukan penataan
kembali Melalui pranata-pranata dan lembaga-lembaga sosial, berupa :
1. Pembinaan hukum nasional.
2. Penataan lembaga-lembaga pemerintah.
3. Sistem pendidikan nasional, dan lain-lain yang menyangkut nilai –nilai Sirik
sebagai salah satu sumber kaidahnya.
Dengan berpangkal dari kerangka pemikiran (lihat: kerangka pengukuran nilai)
disusunlah batasan umum Sirik dan definisinya sebagi berikut :

III. Batasan Umum

1. Sirik dalamsistem budaya adalah pranata pertahanan harga diri, kesusilaan


dan hukum serta Agama sebagai salah satu nilai utamanya yang
mempengaruhi dan mewarnai alam pikiran, perasaan dan kemauan
manusia. Sebagai konsep budaya, ia berkedudukan regulator dalam
mendinamisasi fungsi-fungsi structural dalam kebudayaan.
2. Sirik dalam sistem sosial, adalah mendinamisasi keseimbangan eksistensi
hubungan individu dan masyarakat untuk menjaga kesinambungan
kekerabatan. Sebagai dinamikasosial terbuka untuk beralih peranan
(bertranmisi), beralih bentuk (bertransformasi) dan ditafsir ulang (re-
interpretasi) sesuai perkembangan kebudayaan nasional, sehingga sirik
dapat ikut memperkokoh tegaknya filsafat bangsa Indonesia, Pancasila.
3. Sirik dalam sistim kepribadiaan, adalah sebagai perwujudan konkrit akal
budi manusia yang menjunjung tinggi kejujuran, keseimbangan,
kewajaran, keserasian, keimanan dan kesungguhan untuk menjaga harkat
dan martabat manusia.
B. Identifikasi Dan Investarisasi Segi-segi Positif Perwujudan Sirik serta Cara
Pembinaan Dan Pengembangan
I. Identifikasi dan Inventarisasi
1. Identifikasi unsur-unsur Sirik yang menjadi landasan bertingkah laku
didalam masyarakat Sulawesi Selatan, antara lain :

Harkat dan Martabat manusia, dan kesusilaan,


Ketaqwaan,
Kejujuran dan keadilan,
Patriotism,
Bertanggung jawab,
Rela berkorban,
Kreativitas,
Kerajinan dan ketekunan,
Persaudaraan.

2. Investarisasi perwujudan unsur-unsur tersebut dalam bentuk tingkah laku


didalam masyarakat, antara lain :
Berani mempertahanan keyakinan dan kebenaran,
Teguh memegang janji dan amanat,
Menghormati pendapat orang dan hak orang lain,
Menghormati orang tua dan Pemimpin,
Kesetiaan suami-istri dan kerukunan rumah tangga,
Terbuka dan ramah tamah terhadap orang lain,
Kepatuhan dan ketaatan pada Agama,adat dan hukum, serta
Keteledanan pemimpin dalam menaati kaidah-kaidah tersebut.
Rela berkorban untuk kehormatan keluarga,bangsa dan hukum,
Bekerja keras untuk kesejahteraan.

II. Pembinaan Dan Pengembangan


Unsur-unsur tersebut di atas, merupakan sasaran pembinaan dan pengembangan
seluruh bidang kehidupan bangsa, dalam kerangka perwujudan Ketahanan
Nasional. 1.
Pembinaan dan pengembangan unsur-unsur tersebut akan menghasilkan
manusia Indonesia yang memiliki sifat “Matanre Sirik” yang merupakan
faktor utama dalam ketahanan nasional.
2. Karena ketahanan nasional merupakan kewajiban pemerintah dan
masyarakat, maka pembinaan dan pengembangan Sirik sebagai faktor
pendorong dan penunjang ketahanan nasional merupakan kewajiban
pemerintah dan masyarakat.
3. Fungsi pembinaan dan pengembangannya pendidikan:
a. Pendidikan informal
b. Pendidikan formal
c. Pendidikan non formal.
4. Fungsi pengembangan Melalui berbagai usaha di bidang-bidang
keagamaan,sosial budaya,ekonomi,politik,pemerintah,hukum dan pertahanan
keamanan dengan penyuluhan,penerangan dan pemberian contoh.
5. Unsur-unsur Sirik yang menjadi pendorongan dan penunjang:
a. Bidang keamanan ,antara lain:
- Ketaqwaan,kejujuran,kerelaan berkorban dan bertanggung jawab,
merupakan fakto-faktor pendorong membangun di bidang keagamaan
yang tertuju kepada kerukunan hidup di antara sesame umat beragama
bersama meningkatkan amal dalam Melakukan usaha-usaha untuk
kepentingan dan martabat keluarga, bangsa dan umat manusia pada
umumnya.
b. Bidang kebudayaan ,antara lain:
- Kejujuran dan keadilan,kreatifitas,kerajinan dan ketekunan, cinta dan
kebenaran yang berperikemanusian merupakan pendorong untuk
mengembangkan dan meningkatkan kecerdasan ilmu pengetahuan
serta keterampilan penguasaan teknologi bagi kepentingan
pembangunan bangsa menaikkan harkat kemanusiaan.
- Kerajinan dan ketekuna,patriotism dan rasa hormat atas peninggalan
orang tua merupakan pendorong untuk menggali dan memelihara
tradisis dan peninggalan sejarah yang mempunyai nilai-nilai
keperwiraan (patriotic) bagi kelangsungan kehidupan bangsa.
- Rasa hormat pada orang tua, guru dan pemerintah merupakan faktor
penting dalam pembinaan dan pengembangan cita-cita bangsa dengan
pemberian contoh oleh generasi tua kepada generasi muda.

c. Bidang Ekonomi, antara lain:


- Kerajinan dan ketekunan ,kejujuran serta rsa tanggung jawab
merupakan faktor pendorong dalam usaha-usaha pembangunan
ekonomi,pendayagunaan modal tenaga dan waktu (dengan sikap hidup
sederhana ) serta mendorong pembinaan disiplin kerja.
- Kreatifitas, kerajinan dan ketekunan dan rasa tanggung jawab
mendorong pada penciptaan lapangan-lapangan kerja,penghormatan
terhadap semua pekerja yang mempunyai manfaat bagi peningkatan
kesejahteraan hidup keluarga dan masyarakat.
- Kejujuran dan menghormati hak orang lain mendorona kompetisi yang
sehat,diperlukan dalam pertumbuhan suasana yang serasi dalam
bidang-bidang usaha.

d. Bidang Kemasyarakatan, pemerintah dan hukum,antara lain:


- Kejujuran dan keadilan , kepatuhan dan ketaatan kepada adat, dan
hukum adalah dasar tegaknya kestabilan politik dan ketertiban nasional
yang wajib dijunjung tinggi baik oleh pemerintah maupun oleh yang
dipimpin. Hal ini merupakan penunjang utama kestabilan politik dan
kestabilan nasional.

e. Bidang pertahanan Keamanan


- Patriotism yang bertanggung jawab berdasarkan kejujuran dan keadilan
merupakan unsur-unsur dalam pembinaan hukum yang mendorong
parisipasi rakyat secara aktif sebagai kondisi yan g diperlukan,guna
terlaksananya pembangunan nasional.

III. Saran -Saran


1. Perlu diadakan usaha lanjutan untuk menampung dan mengembangkan
hasil-hasil seminar.
2. Perlu diadakan serangkaian penelitian ilmiah mengenai sejarah dan
kebudayaan Sulawesi Selatan dalam hubungan dengan integrasi
nasional.
3. Supayaa diusahakan penyusunan dan penerbitan buku-buku bacaan baik
dalam bahasa Indonesia,bahasa daerah maupun dalam bentuk Lontara
yang mengandung makna Sirik guna peningkatan ketahanan nasional.
4. Supaya disebar-luaskan pengertiaan Sirik yang sebenarnya Melalui
berbagai media komunikasi.
5. Perlu diadakan berbagai sarana untuk mendorong dan menyalurkan
kreatifitas dan dinamika generasi muda.

C. Akibat-Akibat Negative Sirik Dan Cara Penanggulangannya

I. Identifikasi dan Investarisasi

1. Identifikasi
Ekses-ekses yang merupakan fakto-faktor yang tidak mendukung etik
Sirik dalam maknanya yang esensial,adalah antara lain:
- Pembunuhan penganiayaan,perusakan yang didorong oleh emosi
tak terkendali.
- Pemborosan dan keenggangan untuk Melakukan pekerjaan kasar
meronorng hakekat sirik untuk tegaknya hakekat dan martabat
manusia.
- Penampilan perilaku kebiasaan masa lalu yang bersendi kepada
struktur masyarakat feudal,melawan hakekat Sirik yang
menjunjung tinggi asas kesamaan manusia sebagi makhluk Tuhan
Yang Maha Esa.

2. Inventarisasi

Ekses-ekses dalam wujud perbuatan negative meliputi:

a. Penghinaan, antara lain dalam bentuk :


- Menempeleng orang lain,
- Penghinaan lisan atau meludah (memmiccu pareppe
- Kurang sopan dimuka gadis/wanita diman hadir familinya,
- dan lain-lain.
b. Kawin tidak sah (menurut hukum adat),dalm bentuk:
- Silariang (sama-sama melarikan diri)
- Erangkale (wanita lari ke laki-laki)
c. Hubungan seks tidak sah
- Zinah
- Salimarah,saparitana,susutalo(sumbang)
- Tunupakatianang
- Susu talloa = hubungan seks orang tua dengan anaknya
- Massulo bongi = hubungan gelap
- Untengkai randan ampa = hubungan seks dengan wanita yang lebih
tinggi derajatnya (Tangsipoalu alunna,Tangsipoissong issongna0.

II. Cara penanggulangannya


Untuk mengurangi ekses-ekses negative Sirik diperlukan :
1. Pembakuan arti Sirik yang dapat dipergunakan oleh badan-badan
peradilan dalam Melakukan tugasnya.
2. Lembaga-lembaga pemerintah dan masyarakat yang ada diberikan
beban utuk mengusahakan sungguh-sungguh sesuai dengan peranannya
masing-masing untuk menanggulangi ekses-ekses negative tersebut.

III. Saran-Saran
Supaya dipikirkan kemungkinan terbentuknya badan pembina adat istiadat
Sirik yang berfungsi antara lain:
- Membina segi positif Sirik dan mencegah perkembangan negative
Melalui musyawarah.
Catatan: Kesimpulan Sirik tersebut,dikutip sebagian,karena nialinya yang
agung dan patut disebarluaskan bagi kepentingan masyarakat.
BAB XII
ANALISA- ANALISA: ASPEK WAWASAN NASIONAL DAN
KAITANNYA DENGAN “SIRIK”

Dalam hubungannya sebagai aspek unsur-unsur wawasan nasional dalam pengertian


sebagai pencerminan dari budaya rakyat Indonesia di dalam menyelenggarakan cita-cita
bangsa dan negaranya, maka sikap mental atau perwatakan yang timbul secara leluhur bagi
suku Bugis-Makassar itu (secara membudaya), dapat dianalisa sebagai pedoman untuk
langkah-langkah selanjutnya. Dalam kerangka ke Bhinneka Tunggal Ikaan.
Yakni atas dasar pengertian bawasanya budidaya rakyat Indonesia dalam
menyelenggarakan dan membina cita-cita bangsa dan negaranya dirumuskan didalam
Wawasan Nusantara sebagai wawasan nasional (national out look). Namun agar tidak kabur
pengertian, kita mencoba meminjam KONSEP WAWASAN NASIONAL yang sebagaimana
diceramahkan oleh bapak Mayjen TNI RUSTAMADJISUTOPO kepada para peserta Pekan
Orientasi wartawan HANKAM se wilayah Pertahanan III tanggal 17 sampai dengan 23
Pebruari 1977 di Ujung Pandang, antara lain sebagai berikut :
“ Pengrtian tentang wawasan Nasional dapat dirumuskan sebagai berikut : Wawasan
nasional adalah cara pandang sesuatu bangsa, manifestasinya ditntukan oleh dialog
dinamis Bangsa tersebut dengan kesejahteraan, kondisi obyektif geografis maupun
subyektif kulturil serta idealitas yang aspirasinya sebagai eksistensi yang merdeka,
bermatabat berdaulat, dan oleh krena itu memiliki identitas yng khas hakekatnya
menjiwi Bangsa tersebut dalam tindak kebijaksanaan”.
Berdasarkan rumusan tersebut di atas perlu disajikan beberapa penjelasan sebagai
berikut :
Istilah Wawasan itu asal mula terbentuk dari kata akar wawas, yang berarti pandang, tinjau
,lihat atau tangkap inderawi.
Dengan demikian kata wawasan mengandung arti pandangan, tinjauan, penglihatan
atau tanggapan inderawi. Kata wawasan itu kecuali menunjukkn isi, juga melukiskan cara
pandangan, cara tinjauan, cara penglihatan atau cara tanggapan inderawi tersebut.
Adapun istilah nasional, merupakan suatu nama sifat yang terbentuk dari kata dasar
Nation, yaitu : Bangsa yang telah mewujudkan diri di dalam kehidupan bernegara. Dengan
demikian maka pengertian seperti diuraikan di atas dapat dirumuskan lebih padat lagi sebagai
berikut :
Wawasan nasional adalah cara pandang sesuatu Bangsa yang telah berNegara tentang
diri dan lingkungannya dalam eksistensinya yang serba terhubung dan pemekarannya
didalam ber-Negara di tengah-tengah lingkungan nya.
Dari rumusan tersebut diats telah tersimpul anasir CARA KERJA (Algemene
Normen).
PENGERTIAN AZASI (Beginselen) dan CITA-CITA (idea), sedang didalam
pengertian bernegara dan pemekarannya dapat disimpulkan unsur dinamiknya.
Dengan telah diketahui tiga unsur dan dinamikanya iu maka jelas Nampak isi
(content) dari pada wawasan Nasional, yang kemudian dapat ditetapkanbatas dari
lingkungannya, hingga akan jelas kelihatan LOKASI dari wawasan Nasioanal yang akan
menunjukkan WADAH-nya. Dari rumus isi dan wadah itu kemudian dapat mudah
dirumuskan TATALAKU-nya.
Dengan dapat dirumuskan ISI, WADAH dan TATALAKU itu maka akan namoak
secara jelas pengertian Wawasan Nasional tersebut.

KONSEP DASAR WAWASAN NUSANTARA :


Apabila pengertian di atas diterapkankepada indonesi perlu disadari, bahwa istilah
Indonesia itu sejak terciptanya pada tahun 1850 mula-mul dimaksudkan sebagai nama
sebutan bagi suatu wilayah kebudayaan, yang membentang secara luas di daerah kepulauan
di sebelah selatan Daratan Benua Asia (Australia).
Dalam perkembangan penggunaan sejak waktu itu, istilah tersebut telah banyak
mengikuti pertumbuhan kehidupan politik, hingga akhirnya sekarang telah menjelma menjadi
nama sebutan bagi suatu bangsa yang telah bernegara, serta dimaksudkan dan dirumuskan
didalam undang-undang dasar Negara RI 1945.
Dalam UUD 1945 itu telah dirumuskan secar padat lukisan jiwa dan batin segenap
Bangsa Indonesia serta gambaran wujud dan wajah seluruh tumpah darah Indonesia, seperti
tersurat dan tersirat dalam bentuk PEMBUKAAN, BATANG TUBUH dan PENJELASAN-
PENJELASANNYA.
Berpijak kepada keyakinannya, bahwa sesungguhnya kemewrdekaan itu ialah hak
segala bangsa dan oleh karena itu, maka penjajahan diatas dunia harus dihapuskan, karena
tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan peri keadilan, maka perjuangan pergerakan
kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentosa
menghantarkan Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan Negara Indonesia
yangmerdeka, bersatui, berdaulut, adil dan makmur.
Atas berkat Rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorong oleh keinginan
luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan
kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945.
Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu pemerintahan Negara Indonesia yang
melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darh Indonesia dan memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban
dunia yang berdasarkan kemerdekaan kebangsaan Indonesia ini dalam suatu UUD Negara
Indonesia yang terbentuk dalam suatu susunan Negara republic Indonesia yang
berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada :
- Ke-Tuhanan Yang Maha Esa
- Kemanusiaan yang adil dan beradab,
- Persatuan Indonesia
- Kerakyatan yang dipimpinb oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan serta dengan mewujudkan suatu
- Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Kelima dasar tersebut di atas telah terkenal dengan nama sebutan : PANCASILA
Adapun seluruh Tumpah darah Indonesia itu, berkat Rahmat Karunia Tuhan Yang
Maha Esa, diciptakan didalam wujud suatu NUSANTARA, yaitu suatu NUSA, dalam arti
suatu NEGARA KEPULAUAN, yang terletak diantara dua Benua dan dua Samudera, yakni
di utara adalah Samudra Pasifik dan di Barat adalah Samudera Indonesia. Posisi Indonesia
yang demikian itu menggambarkan letak kedudukan Indonesia di tengah jalan silang dunia,
yan melahirkan POSISI SILANG INDONESIA.
Dengan identitasnya seperti dalam PANCASILA dan dalam wadah Negara yang
berbentuk Nusantara serta berposisi silang itu, Bangsa Indonesia merumuskan wawasan
Nasionalnya kedalam pengertian sebagai berikut :
“Cara pandang bangsa Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 tentang diri
dan lingkungannya didalam ksistensinya yang sarwa Nusantara serta pemekarannya di
dalam mengekspresikan diri sebagai Bangsa Indonesia di tengah-tengah
lingkungannya yang srawa Nusantara itu”
Indonesia mempunyai sifat dan ciri sarwa-Nusantara, dimana cirri pokoknya adalah
kesatuan. Ini berarti bahwa walaupun didalam kenyataan terdapat unsur beraneka ragam,
senantiasa tampak persatuannya. Dengan demikin terwujudlah azas Bhinneka Tunggal Ika.
Demikian kita kutipkan dari naskah ceramah MAYJEN TNI RUSTA-MADJI
SUTOPO (LEMHANNAS). Atas dasar pertimbangan, bahwa uraian ini penting
dikemukakan guna memungkinkan dicapainya suatu perumusan perihal pemanfaatan aspek-
aspek sikap mental suku Bugis-Makassar itu, utamanya aspek SIRIK sebagai dasar bertolak
guna merumuskan rumusan-rumusan identitas Bangsa (Wawasan Nasional) dengan segala
keagungan harga dirinya (kebanggaan Nasional).
Berdasarkan penganalisaan, bahwa harga diri yang bersumber pada sendi-sendi
tradisional “Sirik” bagi suku Bugis-Makassar adalah merupakan masalah yang menyentuh :
Prinsip.
Menyentuh masalah-masalah yang jauh menjangkau kedaulatan sikap keharusan
mnusiawi guna menegakkan nilai-nilai kehormatannya bagi kehormatan diri pribadinya dan
maupun kehormatan masyarakat lingkungannya seperti apa yang dikemukakan dan
dipesankan oleh leluhur –leluhur Bugis-Makassar, bahwa seseorang yang berdarah Bugis-
Makassar itu, diwajibkan untuk berani menegakkan kehormatannya yang perlu dijunjungnya.
Sikap mana, dimanifetasikan lewat ungkapan semboyan :
“Bukanlah ia itu seorang yang berdarah leluhur Bugis-Makassar, manakala ia
memperoleh luka dibagian belakang tubuhnya...”(Majeppu Taniairitu Ugi-
Mangkasara Narekko Tania waro-na malo’ (Bugis) atau : Teai Mangkasara, punna
bokona loko’ (Makassar)”

Ini berarti, bahwa suku Bugis-Makassar tidak boleh kenal menyerah atau pengecut
dalam menegakkan prinsip-prinsip sendi-sendi kehormatan Bangsa atau kebenaran
dan keadilan. Dalam arti yang lebih luas, setiap orang Bugis-Makassar diwajibkan
untuk menegakkan prinsip-prinsip: Loyalitas pada hukum yang berlaku dan atau
pantang berkompromi dengan kebahtilan, bagaimanapun bentuknya dan
mnifestasinya. Pantang surut, sebelum cita-cita perjuangan dicapai. Harus tegas
keyakinan. Tidak boleh terombang-ambing dalam sikap pendirian. Yang diistilahkan
dengan semboyn: orang bugis-Makassar: Toddo puli (Memaku pendirian).

Jelaslah kiranya, bahwa jika dianalisa secara mendasar aspek-aspek Sirik ini perlu
digali guna diarahkan dalam kerangka-kepentingan keagungan faktor-faktor yang menjiwai
Wawasan Nasional Bangsa. Yakni kepentingan-kepentingan ke Bhinneka Tunggal Ika itu
dalam pengalaman pancasiola dan UUD 1945 demi pencapaian sasaran : Masyarakat adil,
makmur dan sejahtera. Sirik sebagai harga diri, perlu menjiwai masyarakat dalam lingkungan
pertahanan kepentingan-kepentingan sendi-sendi wawasan Nusantara tersebut.

ASPEK KHUSUS

Jika data-data pokok prihal sikap mental suku Bugis Makassar tersebut diatas, dikaji
secara mendasar dan kompleks sebagai sesuatu yang dijadikan pola hidup tradisional
membudaya oleh sekelompok masyarakat yang merupakan penduduk mayoritas di Sulawesi
Selatan yakni masyarakat Bugis-Makassar itu, dapatlah ditarik penganalisaan aspek-aspek
secara khusus, bahwasanya suku Bugis-Makassar itu memiliki sendi-sendi kebudayaan yang
luhur.
Ia merupakan salah satu suku Bangsa di kawasan Nusantara ini yang kaya dengan
nilai-nilai budaya adat-istiadat tradisional. Dengan berpolakan sikap mental sebagai
perwujudan dari pada pola budaya tradisional itu.
Sebagai auatu suku Bangsa yang berbudaya luhur, maka pada hakekatnya suku
Bugis-Makassar itu dapat dibina mentalnya dengan mudah, yakni dengan Melalui usaha-
usaha pendekatan (approach), sejalan dengan hasil analisa bahwa suku Bugis-Makassar itu
memiliki cirri-ciri khas sikap mental yang antara lain:
1. Mudah tersinggung
2. Kadang-kadang lebih menonjolkan sifat emosi dari pada rationya.
3. Setia kawan (loyalitas tinggi).
4. Memiliki watak keperwiraan, kesatria, kepahlawanan.
5. Teguh pada pendirian (setia pada keyakinan sikap)
6. Dapat dipercayakan sesuatu amanah(tanggung jawab)
7. Berbudi luhur, lemah lembut dan berpandangan demi tegaknya identitasnya (cita-
cita leluhur) Melalui proses adat-istiadat dan aspek-aspek ya. Dalam kerangka
junjungan pada martabat leluhurnya tersebut.
8. Dan lain-lain faktor yang merupakan pembuktian autentik-kulturil bahwasanya
suku Bugis Makassar itu sejak dahulu kala yakni zaman sebelum Islam masuk di
Sulawesi selatan ini memeng telah berbudaya luhur. Yang karenanya, mudah
diajak berkomunikasi dan pendekatan-pendekatan (approach) untuk kepentingan
pembangunan Nasional Bangsa.

Jika dikaji mendalam, dapatlah disimpulkan, bahwa pola sikap mental suku Bugis-
Makassar ini ialah berpusat pada:
Rasa harga dirinya yakni kehormatannya. Yang apabila rasa harga diri atau kehormatan ini
disinggung maka berarti seluruh pola hidup mental seseorang suku Bugis-Makassar itu
tersinggung karenanya. Perwatakannya yang halus lemah-lembut, menjadi watak yang keras
yang tak mengenal kompromi kecuali darah ..... penyelesaiannya.
Yang dalam hal ini berarti dinodai. Atau NIPAKASIRIK-RIPAKASIRIK. Karenanya
berarti timbul aspek-aspek sirik.
Jelaslah bahwa sirik bertali-temali dengan jasmaniah rahaniah atau insaniah setiap
orang Bugis Makassar itu.
Sirik adalah jiwa raganya Bugis Makassar itu. Terbuktu bahwa apabila mereka
NIPAKASIRIK-RIPAKASIRIK, maka ditebusnya dengan darah atau nyawa yang
mampakasirik(mempermalukan yang menyinggung kehormatan tersebut). Karenanya pula
dapatlah ungkapan-ungkapan kebudayan bahwa sirik berarti sebagian besar dari tulang,
danging dan darah orang Bugis Makassar. Ia merupakan inti hati nuraninya yang menghakiki
yang dimuliakan dan dibanggakan, tak boleh disinggung.
Ia merupakan sesuatu yang sangat halus berselubung di lubuk hati. Itulah sebabnya
maka apabila orang Bugis Makassar mencap seseorang itu kurang sirik atau tau tena
sirikna(tidak ada malu atau tidak ada harga dirinya), maka yang bersangkutan itu, tidak lain
dari pada bagaikan boneka belaka.
Diakui oleh para antropoloog barat, bahwa sikap sirik bagi suku Bugis MAksaar
adalah sesuatu yang sangat peka atau sensitif karena ia mengandung unsur-unsur tali-temali
dengan perasaan kejiwaan rasa kehormatan yang bersangkutan.
Mana kala seorang Bugis Makassar merasa tersinggung dan dikaitkannya masalah
sirik, maka bukan saja di pribadinya yang tersinggung, tetapi ia justru merasa bahwa segenap
keluarga dan leluhurnya turt pula ternoda kerenanya.
Satu-satunya alternatif tebusannya ialah : aliran darah nyawa. Dengan demikian ia
mengandung nilai-nilai:
1. Kelaki-lakian
2. Kekesatriaan
3. Patriotism
4. Kewibawaan

Dan lain-lain sikap kejantanan, kewiraan bangsa Indonesia pada umumnya.


Dalam pengertian menegakkan kewibawaan dan kehormatan harga diri, maupun
rumpun keluarga lingkungan yang bersangkutan, sebagai harkat manusiawi yang
berkewajiban dijunjung tinggi oleh setiap orang atau setiap pewaris budaya “ sirik” itu,
sebagai aspek kebineka tunggal ikaan tersebut.
BAB XIII
SIRIK DAN PEMBINAAN KEBUDAYAAN

Prof. Dr Mattulada (seorang tokoh kebudayaan terkemuka) dan selain menjabat


Dekan Fakultas Sastera UNHAS di Ujung Pandang, beliaupun adalah Ketua Dewan
Kesenian Makassar (DKM). Pada medio tahun 1981, Prof.Dr.Mattulada dilantik menjadi
Rektor Universitas Tadulako di palu Sulawesi Tengah. Salah satu tulisannya yang sangat
menarik, adalah artikel tentang Sirik yang kami coba mengangkatnya, guna melengkapi buku
Sirik dan Pacce ini.
Prof.Dr. Mattulada itu menulis antara lain sebagai berikut (Judul “Sirik dan
Pembinaan Kebudayaan”).

Pendahuluan
Sirik dapt dipandang sebagai salah satu konsep cultural yang memberikan impact
aplikasi terhadap segenap tingkah laku nyata. Tingkah laku itu diamati sebagai pernyataan
atau perwujuda kebudayaan. Perwujudan dan kebudayaan, bukan lain kenyataan-kenyataan
yang lahir dari permanusian alam, untuk manfaat sebesar-besarnya umat manusia.
Suatu konsep cultural,memantapkan diri dalam suatu sistem budaya. Sistem
kebudayaan itu sendiri adalah rangkaian sejumlah konsep awbstrak yang bersemayam dalm
pikiran warga terbanyak suatu persekutuan hidup.
Dalam arti Sirik apabila mengamati pernyataan-prnyataannya atau lebih konkrit
mengamati kejadiannya berupa tindakan-tindakan,perbuatan,atau tingkah laku yang katanya
dimotivasi oleh Sirik, maka akan timbul kesan bagi para pengamat,bahwa Sirik itu pada
bagian terbesar unsurnya dibangun oleh perasaan,oleh sentimentality (perasaan halus),oleh
emosi dan sejenisnya. Dan penafsir yang berpijak kepada melihat kejadian-kejadian itulah,
timbul penafsiran atas Sirik itu misalnya: 1. Malu-malu,2. Hina,/aib,3. Dengki/iri hati,4 harga
diri/kehoormatan,dan 5. Kesusilaan (lihat Referensi,hal.1-5).
Cara melihat seperti itu tentu saj atidak salah, hanya saja kurang lengkap.,terutama
apabila hendak mengamatinya dari sudut konfigurasi kebudayaan . konfigurasi
kebudayaan,akan melihatnya dari totalitas atau keutuhan budinya manusia yang terwujud
dalam tindakan –tindakan berpola.
Jadi tidakmelihatnya dari sudut kejadian yang berpisah,sesuatu itulah hendaknya
dilihat dalm rangkaian suatu sistem yang berhubung-hubungan dengan sekalian sub-sistem
yang mendukungnya.
Demikian pula hendaknya Sirik itu dilihat dalam suatu sistem budaya orang Bugis-
Makassar, agar dapat memahaminya secara lebih kompak.
Karena judul tulisan ini memberikan tekanan kepada Sirik dan pembinaan
kebudayaan, maka satu kejelasan perlu disepakati lebih dahulu,tentang pembinaan kebudayan
itu sendiri. Pembinaan kebudayaan yang dimaksud di sini,adalah pemantapan erah
pertumbuhan kebudayaan yang mempunyai dimensi lebih luas mendukung ketahanan
Nasional Bangsa Indonesia dalam membangun dirinya sebagai bangsa yang kuat dan besra
dalam pergaulan antar bangsa.
Pembinaan kebudayaan dengan demikian bukanlah sekedar membangun tembok-
tembok yang mempersempit ruang gerak berpikir dan berinovasi tentang eksistensi Bangsa
Indonesia agar dapat menjadi bangsa yang besar, lagi terhormat dalam pergaulan antar-
bangsa,melainkan terbangunnya suatu kebudayaan bangsa Indonesia yang di dalamnya
terbangun dan terpelihara harkat dan martabat manusia orang seorang makhluk Allah yang
antara sesamanya makhluk manusia mempunyai kedudukan yang sederajat.
Dari sudut inilah relevansi konsep Sirik orang Bugi- Makassar dibicarakan karena
diperkirakan dapat dijadikan daya dorong yang kuat dan berguna bagi perkembangan
kebudayaan di Indonesia,setidak-tidaknya bagi orang Indonesia yang hidup dalam
masasyarakat dan kebudayaan Bugis-Makassar.

Sirik Dalam Konteks Kebudayaan Pangngandereng


Tata hidup orang seorang yang menciptakan tingkah laku individual berpola dan tata
hidup dalam masyarakat yang membangun sistem sosial pada orang Bugis, itulah yang kita
namakan Pangngadereng (Bugis) atau Pangngadakkang (Makassar). Kalau itu kita jabarkan
menurut isinya ,maka itulah sesungguhnya makna kebudayaan pada orang Bugis-Makassar.
Isi Pangngadaeraeng atau hakekat kebudayaan orang Bugis-Makassar, sepanjang
pengetahuan kita wariskan oleh sejarah sampai dengan permulaan abad ke XX terdiri atas
lima anasir yang anatara satu sama lainnya sebagai satu sistem merupakan panduan yang
utuh.
Unsur-unsur itu ialah:(1). Adek,(2).BNicar,(3) Warik,(4) Rapang, dan (5) Sarak.
Kelima analisir Pangngaderang itulah yang akan menjadi sumber sekalian tingakah-
laku dalam membangun segenap aspek kebudayaan rohaniah dan kebudayaan pisik. Didalam
aplikasi kelima anasir itu untuk menjalinnya kedalam sau sistem yang utuh, agar antara
sistem kepribadian, sistem kemasyarakatan dan sistem budaya (pangngadereng) terjalin
keserasian dan keseimbangan dalam memberikan dinamik dalam kehidupan, maka
terdapatlah sesuatu yang merupakan inti, atau merupakan ethos, atau merupakan alat
integrasi, atau apa saja namanya yang menjadikan kebudayaan itu hidup dan dikembangkan
dengan gairah oleh para pendukungnya, yaitu orang-orang yang terikat pada pola
kehidupannya oleh kebudayaan itu. Tiap-tiap kebudayaan dalam hidupnya mempunyai
semacam inti yang menjadi pusat motivasi bagi perkembangannya.
Kebudayaan Eropa modern umpamanya menjadikan kebebasan sebagai inti
perkembangan dari kehidupan kebudayaan Eropa. Ethik Kristen, menurut Max Weber
Sosiolog yang kenamaan itu dalam wujud Shame Culture menjadi inti dorongan lahirnya
kemajuan peradaban dunia barat.
Maka apabila mengamati dengan seksama setiap dambaan hati nurani orang Bugis-
Makassar, yang memahami sirik sebagai motif yang amat dalam dari segenap gerak hidupnya
berpikir, merasa dan berprakarsa, maka pada hemata kita sirik itu, tidak lain daripada inti,
ethos atau alat integrasi dan pangngadereng mereka, sirik itulah inti kebudayaan orang Bugis
Makssar. Sebagai inti kebudayaan, niscaya dari sirik itulah berkembang segenap isi
kebudayaan berupa lima anasir yang disebut di atas.
Sebagai isi kebudayaan, sirik itu dengan sendirinya tidak semata-mata mengandung
perasaan. Didalamnya juga terkandung dua potensi rohaniah lainnya yang menjadi potensi
tiap-tiap kebudayaan, yaitu pikiran dan kemauan, disamping perasaan itu tadi.
Kalau secara teoritis kita dapat menerima bahwa sesuatu keutuhan dalam satu sistem
akan berkelanjutan dengan baik, bilamana segenap sub-sistem yang mendukungnya berjalan
dengan seimbang, maka kitapun niscaya dapat menerima bahwa proses degenerasi sesuatu
sistem akan terjadi, bilamana salah satu unsur dalam sistem itu mengalami kepunahan.
Apabila salah satu unsur dalam sistem itu punah, maka potensi atau daya hidup itu akan
memusatkan diri pada unsur yang masih bertahan.
Teori ini, kita coba gunakan pada proses degenerasi pangngadereng orang Bugis-
Makassar, yang dialaminya dalam sejarah selama kurang lebih seabad berselang. Sirik
sebagai inti pangngadereng itu menyatakan diri dengan amat keras pada salah satu isi
pangngadereng yang masih mampu bertahan. Sejarah kebudayaan orang Bugis-Makassar
dalam arti sejarah keutuhan pangngadereng, sudah berakhir sejak negeri ini mengalami
keruntuhan dan kehilangan kemerdekaannya.
Secara sederhana dapat dikatakan unsur Adek, Bicara, dan Sarak dalam arti
sesungguhnya sudah berakhir atau kehilangan peranannya yang amat menentukan. Unsur
satu-satunya yang masih dapat hidup atau berkelanjutan dalam kepincangan adalah Warik,
yaitu unsur pangngadereng yang mengatru jenjang kehidupan dalam pembinaan keluarga,
diantaranya soal kawin-mawin. Karena inilah satu-satunya unsur pangngadereng yang masih
dipunyai dan masih dapat dikuasai, maka ke dalam unsur itu tercurah segenap kepekaan
kehidupan orang Bugis-Makassar. Unsur itu dijaga sebagai batas terakhir dari milik
peradaban yang ada, karena unsur lainnya belum lagi membawa nilai ganti yang setara
dengan yang hilang.
Demikianlah, maka dalam keadaan perjalanan unsur Warik yang sudah amat pincang
itu pangngadereng yang disebut sirik menyatakan diri dengan amat intensif.
Dalam hal kawin-mawinlah selama kurang lebih seabad berselang, sirik itu
menyatakan diri. Sirik diberi batasan semata-mata kepada perbuatan-perbuatan yang
bersangkut-paut dengan urusan perkawinan, lari kawin, tomasirik dan pembunuhan yang
membawa dendam berkelanjutan. Sirik deberi arti sebagai peluapan perasaan yang tidak
membawa akibat-akibat perbuatan yang merendahkan martabat kemanusiaan.

Sirik Sebagai Sumber Motivasi

Apa yang mendorong seseorang warga masyarakat Bugis-Makassar untuk pada suatu
ketika dalam hidupnya berbuat sesuatu yang amat nekad, memilih menyerahkan milik
hidupnya yang terakhir, yaitu NYAWA, acapkali dikembalikan kepada konsep yang mereka
namakan sirik. Ia dapat atau rela mengorbankan apa saja untuk tegaknya sirik. Katakanlah itu
satu kesadaran tentang nilai MARTABAT yang didukung oleh tiap-tiap orang dalam tradisi
kehidupan masyarakat Bugis-Makassar. Katakanlah itu satu kesadaran kolektif yang amat
peka, dibebaskan kepada tiap-tiap orang anggota persekutuan hidup untuk membangunnya
untuk mempertahankan dan menegakkannya.
Ada berbagai ungkapan dalam kepustakaan Lon-tara Bugis-Makassar yang
menunjukkan bahwa sirik bukanlah suatu sikap yang semata-mata berpangkal dari keluapan
emosi. Dalam persekutuan hidup, desa, wanua ataupun tanah, niscaya terdapat pemimpin dari
persekutuan itu. Tiap-tiap pemimpin menurut jenjangnya masing-masing, menjadi orang
pertama tempat sirik itu harus terpelihara, dikembangkan dan dibela. Tiap-tiap orang anggota
persekutuan yang dipimpinnya, merasa diri bersatu dengan pemimpinnya karena sirik yang
dimilikinya bersama. Antara pemimpin dengan yang dipimpin terikat oleh satu kesadaran
martabat diri yang menimbulkan sikap pesse(Bugis) = Pacce ( Makassar) yang dapat disebut
solidaritas yang kuat.
Masing-masing orang yang ditentukan dan mengetahui hak-hak dan kewajiban-
kewajiban masing-masing yang mendapat sandaran dari sirik dan pacce. Itulah yang
melarutkan tiap-tiap orang pribadi mendukung sirik melebur diri untuk kepentingan bersama.
Pacce atau pesse itulah yang mendorong dalam kenyataan adanya perbuatan tolong-
menolong, adanya tindakan saling membantu, adanya pembalasan dendam, adanya tuntut
bela dan segala kenyataan lain yang mirip pada solidaritas yang mendapatkan hidupnya dari
konsep sirik. Pemimpin kaum terhina berarti sirik atau martabat negeri terhina, tiap-tiap
orang terhina siriknya. Maka pesse atau paccepun muncul menjadi pendorong untuk
menuntut bela.
Anak negeri terhina, berarti sirik (Martabat) negeri ternoda. Pemimpin kehinaan,
maka pesse atau pacce mendorong sang pemimpin untuk bertindak. Apabila antara pemimpin
dan yang dipimpin sudah tidak terdapat sirik bersama yang masing-masing mengetahui hak
dan kewajiban untuk memikulnya, maka pesse atau pacce itupun tidaklah akan menjadi motif
untuk perbuatan dan tindakan masing-masing. Dalam pesse atau pacce itulah melarut tiap-
tiap pribadi didalam kesatuan antara pemimpin dengan yang dipimpin.
Sirik menjadi sumber dari panggilan pesse atau pacce itu. Karena siriklah yang
menimbulkan kewajiban masing-masing untuk saling memelihara batas, sehingga tidak saling
cegat-mencegat daulat-mendaulat.
Di sini terletak aspek kesadaran atau pikiran yang member batas-batas rasional dari
sirik itu. Bahwa masing-masing orang sepadan dengan siriknya, milik pribadi dan
kepunyaannya, dibatasi oleh kesadaran adanya pesse atau pacce, menimbulkan kewajiban
untuk bekerja sama, bantu membantu, bersetia kawan dalam lapangan-lapangan pekerjaan
yang menyangkut sirik yang bersama-sama mereka miliki, dan penghinaan atas seseorang,
berarti penghinaan atas semua. Lapangan-lapangan kehidupan yang menempati posisi
demikian , disitulah perbuatan atau tindakan solidaritas berlangsung dengan intensifnya
solidaritas seseorang terhadap kaumnya, merupakan totalitas yang pada oleh dorongan sirik.
Konfigurasi kebudayaan yang demikian, sesuai dengan tabiatnya menonjolkan
kedepan nilai-nilai kekuasaan, solidaritas, seni dan religi, sebagai nilai yang amat tinggi.
Nilai-nilai dari lapangan itu memotori sekalian sikap yang tidak cepat berkembang, dalam
gambaran kemasyarakatannya, di sana terdapat persekutuan yang komunalistik. Persekutuan
berada di atas kepentingan individu. Penonjolan prestasi pribadi dipandang perbuatan yang
tercelah. Orang mempergunakan juga pikirannya, tetapi pikiran itu haruslah sesuai dengan
kepentingan perskutuan, kepentingan kommun. Penajaman pertanyaan sirik berupa tindakan-
tindakan yang dianggap melanggar ketertiban atau perbuatan-perbuatan a sosial yang orang
tafsirkan sebagai perbuatan atas nama sirik sangat erat pertaliannya dengan proses degenerasi
pangngadereng di satu pihak dengan proses perobahan sosial yang menyerap nilai-nilai baru.
Dalam kegoncangan nilai-nilai dan rontoknya hamper segenap aspek kebudayaan
pangngadereng terjadilah berbagai ragam isolasi sosial yang mencoba hendak
menyelamatkan sisa peradaban yang masih dipunyai. Sesuatu kaum mengurung diri terhadap
kaum yang lain. Stereo-type sesuatu kaum atau golongan kerabat tertentu, terhadap kaum
atau golongan lain dipertajam dengan batas-batas yang sekeras mungkin. Sirik menjadi
symbol kaum yang semakin menyempit dan semakin sempurnalah kelunturan maka sirik
yang pernah menjadi daya dorong bagi pola tingkah laku yang bermakna positif bagi
kehidupan kebudayaan pangngadereng orang Bugis-Makassar.
Kejadian-kejadian berupa kasus-kasus nyata yang member makna betapa negatifnya
sirik itu, memanifestasikan diri. Hal demikian itu pun tak salah, karena seseorang akan
memberikan makna kepada sesuatu konsep, menurut kenyataan yang ia jumpai dan kenyataan
itu orang menyebutnya sebagai konsep itu sendiri. Orang pada umumnya melihat apa adanya.
Orang tak mudah dipaksa untuk memikirkan bagaimana mestinya. Sirik sebagai inti
kebudayaan pangngadereng, telah mencair maknanya, bersama dengan tidak berperanannya
secara utuh anasir pangngadereng itu sendiri. Satu struktur sosial yang dihidupi oleh fungsi
pangngadereng sudah lama redup, dengan demikian, inti hidupnya pun masih terasa oleh
sebahagian orang yang masih hidup, dicoba dengan berbagai dalih dan perbuatan untuk
memberinya makna dan pembenaran. Makna yang diberikan itu adakalanya baik dan positif
tetapi seringkali juga buruk dan amat negative.
Memang, sesuatu yang disebut inti, atau sesuatu apalagi kalau ethos itu, ethos
kebudayan, akan bertahan lama hidupnya, walaupun ia tidak fungsional lagi, karena tak ada
struktur yang medukungnya. Akan tetapi karena ethos itu dapat bertransformasi kedalam
suatu struktur baru yang menjelma dalam perubahan-perubahan, maka adalah tidak mustahil
kalau ethos itu dapat berfungsi kembali, karena dapat mengambil tempatnya yang tepat dalam
struktur baru itu. Demikian pula adanya dengan sirik sebagai ethos kebudayaan
pangngadereng. Walaupun struktur pangngadereng yang mendukungnya tidak utuh lagi
mendukung fungsi-fungsi sosial, namun satu struktur baru yang lahir dari perobahan-
perobahan, belum lagi dapat memantapkan sesuatu ethos baru yang dapat menggantikan
ethos sirik yang masih bergentayangan dalam kehidupan orang Bugis Makassar, sampai
zaman Mutakhir inipun. Karena itu, sirik masih dipersoalkan sebagai sesuatu yang dipandang
masih potensial untuk kebudayaan yang sedang dalam pembinaannya, seperti kebudayaan
nasional Bangsa Indonesia,
Suatu kebijaksanaan pembinaan kebudayaan, mencoba mengaitkan masa sialm
dengan jalan mentransformasikan nilai-nilai zaman lalu itu ke masa kini,agar memperolehnya
akar pertumbuhan yang membumi, artinya berpijak kepada realitasnya sendiri menuju masa
depan dengan keperibadian yang kuat.
Barangkali ethos sirik dapat menemukan tempatnya dalam bertransformasi ke struktur
masa kini, kita coba melihatnya pada bagian berikut.

Sirik Sebagai Ethos Kebudayaan

Ethos kebudayaan berperan sebagai dinamisator dalam hidup sesuatu kebudayaan.


Apapun nama kebudayaan itu, niscaya ada intinya yang member arti yang pasti bagi
kebudayaan itu! Ia menyentuh esensil keberadaan sistem yang menyertai kehidupan itu
sendiri. Ia mempengaruhi temperamen tiap-tiap orang, ia memberikan warna pada tata-
kehidupan dalam persekutuan hidup kemasyarakatan.
Sirik dalam arti demikian, adalah mengandung nilai-nilai universal. Ia dipunyai oleh
semua umat manusia yang telah membina kebudayaan sepanjang sejarah kemanusiaan.
Semua kebudayaan yang dimiliki oleh umat manusia di muka bumi ini mempunyai sirik
denga sebutannya masing-amsing, dan aksentuasi pernyataan-peryataannya yang berbeda
pada tiap kebudayaan ruang dan waktu. Semua kebudayaan mendapatkan daya hidupnya dari
tripotensi rohaniah yang sama bagi seluruh umat manusia. Hanyalah cara menggunakan
potensi itu berbeda-beda antara setiap golongan manusia, berbeda menurut waktu dan ruang.
Tetapi potensi itu berkesinambungan, yang acapkali dalam kesinambungannya itu mengalami
re-inovasi, re-interpretasi malah re-konstruksi. Ia memberikan gairah dalam kehidupan untuk
membanting tulang, bekerja keras, menciptakan semangat hidup, yang mendorong kepada
kemajuan.
Gairah hidup itu baru mungkin berkembang, bila tersedia sarana yang cocok bagi
pertumbuhannya. Bilamana tidak, maka ia akan menjelma sebagai kekuatan liar yang
semena-mene.
Selama kurang lebih satu abad berselang, sirik telah menjelma sebagai kekuatan liar
yang semena-mena, karena ketiadaan sarana yang cocok bagi pertumbuhannya. Ia
memberontak terhadap segala ikatan yang meronrongnya . ia bersikap agresif terhadap
barang sesuatu yang asing baginya. Ia tidak mengalami proses transmisi dan transformasi
sebagaimana layaknya sesuatu nilai diwariskan dari generasi ke generasi. Karena itu ia hanya
mengalami degenerasi. Proses pewarisan nilai adalah bahagian dari kehidupan budaya yang
terselenggara dengan cermat Melalui proses edukasi, kesinambungan pendidikan. Dan inilah
yang mandek selama berpuluh tahun dalam zaman kekacau-balauan nilai.
Perlu pula diperhatikan bahwa sirik dalam proses penilaian bukan hanya menyangkut
proses kebudayaan. Nilai bukan hanya inti daripada benda kebudayaan, melainkan proses
penilaian dan nilai-nilai adalah potensi integrasi baik pribadi maupun masyarakat. Proses
penilaian dan nilai yang menjadi penentu adalah juga dengan sendirinya potensi yang
menentukan konfigurasi proses penilaian dan nilai pribadi serta masyarakat yang berpola
sebagai sistem kepribadian dari sistem kemasyarakatan. Proses penilaian dan nilai-nilai yang
lain, sedikit atau banyak tuduk kepada tujuan, logika dan kenyataan dari proses penilaian dan
nilai-nilai yang menentukan itu menjadi norma yang tertinggi atau etik dari seluruh
konfigurasi, baik dalam sistem kepribadian maupun dalam sistem kemasyarakatan.
Demikianlah kalau kita telah mencoba menempatkan sirik sebagai nilai terdalam dari
kebudayaan pangngadereng sebagai sistem kebudayaan dan yang menurunkan sistem
kemasyarakatan serta sistem kepribadian, maka dapatlah diungkapkan penjelasannya,
bahwa : yang dimaksud dengan sistem penilaian atau nilai pada seseorang individu
diingrasikan, diorganisasikan oelh tujuan, logika dan kenyataan dari proses penilaian atau
nilai yang menjadi etik pribadi. Oleh etik pribadi itu yang terjelma dalam kata hati atau hati
nurani tiap-tiap orang, kelakuan tiap-tiap pribadi mendat tujuan, norma dan organisasi untuk
pertumbuhannya yang berbeda dari tingkah laku dari individu yang lain. Etik pribadi yang
berpusat pada kata hati itu disebut etik otonom, dan oleh orang Bugis-Makassar disebut sirik.
Manusia dengan kebudayaannya sebagai kesatuan menilai dan menjelma makan nilai-
nilai. Karena itu massa dalam masyarakat, individu itu mempunyai sifat Dwi-ganda ; (1)
sebagai pribadi yang beretik otonom, berkecenderungan kepada kebebasan, tak ingin
diganggu. Ia menjadi alat dinamisator dan innovator pembaharuan kebudayaan. (2) sebagai
anggota masyarakat ia beretik heteronom ia tak mampu hidup menyendiri, ia menyatukan diri
dengan persekutuan dan berpartisipasi ke dalamnya. Ia berkecenderungan untuk
mempertahankan stabilitas sosial. Etik sosial itu yang bersifat heteronom terjelma dalam adat
istiadat; kebiasaan maupun undang-undang. Adat istiadat, kebiasaan dan undang-undang
inilah yang merupakan norma-norma yang menentukan kelakuan individu sebagai anggota
sesuatu masyarakat.
Etik sosial yang lahir dari sistem kebudayaan pangngadereng telah mengalami
kerontokan, dan etik sosial muncul dengan adat istiadat baru, kebiasaan baru dan juga
undang-undang baru yang hendak menetukan kelakuan individu Bugis-Makassar, yang
masing-masing dilekati oleh etik otonom sirik yang niscaya diperlukan dengan intensif oleh
seseorang yang merasa diri orang Bugis-Makassar, maka terjadilah ketidak seimbangan.
Norma-norma baru berupa perundang-undangan yang mengatur individu tak mampu
meresapi etik otonom sirik yang kini didukung oleh indvidu saja. Jelaslah bahwa ada sesuatu
yang harus diperbaharui. Salah satu diantaranya apakah etik individu yang otonom harus
berobah, atau etik sosial yang heteronom harus berpijak pada nilai-nilai yang berpangkalan
kepada inti kebudayaan yang menjadi ethos kebudayaan bangsa.

Penutup

Kita sudah menjelajahi sekadarnya proses kehidupan dan kehadiran sesuatu konsep
yang disebut sirik. Sirik sebagai inti dan ethos pangngadereng, telah memindahkan poros
penekanannya kepada etik indiidu yang otonom. Pada seginya yang positif, asal saja ia
diberikan struktur yang sesuai dengan daya hidupnya, ia dapat menjadi potensi dorong yang
kuat untuk mendinamisasikan sesuatu pertumbuhan kebudayaan.
Suatu struktur yang sesuai dengan tabiat etik otonom individu sirik adalah yang
mempunyai akar yang membumi pada peradaban yang tidak asing baginya. Satu orientasi
nilai yang berpijak pada kebudayaan sendiri perlu dikembangkan dengan teratur melalui
pendidikan penelitian yang tidak boleh dikerjakan secara acak-acakan.
Pada hemat kita, sirik pada orang Bugis-Makassar, kalau itu benar masih potensial
untuk dapat menemukan re-orientasi dan transformasi ke dalam interpretasi yang dapat
menekapi Ethos kebudayaan Nasional Pancasila, yang segenap unsur-unsurnya merupakan
darah-daging pibadi sirik, maka sirik itu niscaya dapat menjadi daya dorong yang kuat bagi
pembinaan kebudayaan Indonesia.
Apalagi orang Bugis-Makassar, dapat meresapi dan menghayati Pancasila sebagai
sirik dalam jelmaan etik sosial yang heteronom maka etik individu otonom yang disebut sirik
itu akan menemukan tanah subur bagi pertumbuhannya.
BAB XIV
PANDANGAN ISLAM TERHADAP SIRIK

Buya HAMKA (almarhun) pernah bermukim di Sulawesi Selatan pada tahun 1931
sampai tahun 1934. Sekitar tiga tahun sebelum Buya HAMKA berpulang ke Rahmatullah,
beliau berkenan memberikan ceramah perihal pandangan islam terhadap sirik yang
disampaikan didepan peserta seminar SIRIK di Ujung Pandang. Penulis merasa berbahagia
sekali, karena sempat dengan mata dan telinga sendiri mendengar langsung uraian Buya
HAMKA tersebut.karena ketika itu penulis bertugas mangcover jalannya seminar SIRIK
tersebut, sebagai seorang journalist. Betapa mengagumkan Buya HAMKA dalam gaya dan
penampilan serta materi-materi uraiannya dalam mengupas aspek-aspek SIRIK tersebut,
ditinjau dari sisi pandangan islam. Melihat materi-materi buah pikiran almarhum Buya
HAMKA tersebut, sebagai seorang tokoh yang pernah bertahun-tahun hidup ditengah-tengah
penduduk Bugis-Makassar (Sulawesi Selatan ), bumi dimana lembaga SIRIK tersebut
tumbuh sebagai lembaga masyarakat, maka penulis merasa perlu mengabdikan dan
menyebarluaskan atau mengamalkan uraian Buya HAMKA tersebut, guna dieariskan kepada
generasi pelanjut dalam kerangka penggalian Antropologi Budaya Bangsa. Pendapat Buya
HAMKA tersebut antara lain sebagai berikut:
Pada tahun 1931 saya telah mulai masuk kedalam negeri Makassar, Bugis, Mandar,
Toraja. Usai saya ketika itu baru 23 tahun, masih seorang anak muda. Pada waktu itu
belumlah saya mengerti bagaimana sirik yang ada pada jiwa keempat suku bangsa itu. Yang
mula saya rasakan adalah kehormatan yang tinggi kepada Guru terutama Guru Agama. Guru
Agama disebut: Anre Gurutta atau Gurunta. Bila saya duduk berhadapan dengan murid-
murid, mereka akan duduk dengan tafakkur dan merasa tidak akan bercakap sedikitpun jua
kalau tidak saya ajak. Perkataan saya yang kelusr akan didengarkan dengan penuh hormat,
sekali-kali tidak ada yang akan dibantahkan. Semua perkataan saya disambut dengan ucapan :
“saya! Saya”.
Demikianlah pula saya lihat apabila mereka berhadapan dengan Karaeng, Maradia,
dan dengan pemimpin-pemimpin mereka. Mereka akan bersikap hormat. Dan hormat mereka
kepada Ulama, sama dengan hormat mereka kepada Raja dan orang-orang besar.
Setelah berbulan-bulan saya tinggal di Makassar mulailah saya mendengar tentang
adanya adat yang dinamai sirik itu. Mulanya saya bertanya dalam hati, apa kepada orang-
orang yang lemah berlaku hormat, kepada Karaeng dan Ulama akan terhadap kekerasan
budi?
Pada tiap-tiap pinggang pada masa itu saya didapati ada badik. Hamper semua orang
memakai badik, bercelana pendek, berlenso panjang, diatasnya memakai baju jas. Lalu saya
mendapat keterangan beberapa pantangan yang tidak boleh dilanggar dan kebiasaan-
kebiasaan pada orang Bugis-Makassar terutama dari almarhum Engku Abdul Wahid Gelar
Kari Mudo, yang dibuang Belanda ke Makassar dari Minangkabau pada tahun 1909. Umur
saya pada waktu itu baru satu tahun. Beliau dibuang karena berontak kepada Belanda di
Kamang Bukittinggi. Nasehat beliau ialah “jangan mengangkat kaki dimuka orang –orang
Aceh; jangan menyentak badik dimuka orang Bugis; jangan dipegang kepada orang Minang
dengan tangan kiri”. Dan kata Engku Kari Mudo : “ orang Makassar menamai SIRIK, orang
Minang menamai PANTANG.
Ketika kongres Muhammadiyah ke-21 pada tahun 1932, guru Salmun seorang anak
Makassar mengajarkan lagu sambutan kongres dalam bahasa Makassar yang masih saya ingat
ialah baitnya yang pertama:

“ Salloma majannang tinroh


Kumbangung ka tulu-tulu
Nampama’ anne
Enteng mangema’ pira’nyu....”

Seterusnya diucapkanlah sambungan nyanyian itu dalam bahasa Makassar yang penuh
sastera, yang saya ingat Cuma artinya yaitu:

“Bila perahuku telah berlayar


Dia tidak mengenal pulang lagi
Biar parah tiangnya di laut
Lebih baik tenggelam daripada pulang....”
Tena motere...
Kassipallui motere...

Pada kongres itu pula, saya melihat Almarhum Haji Abdullah pemimpin besar
Muhammadiyah di daerah ini naik podium dan berpidato di dalam bahasa Bugis,
menerangkan bahwa mati didalam mempertahankan Agama Allah adalah mati yang paling
mulia dan bercita-cita supaya Agama Islam tegak di negeri ini adalah hidup yang berarti.
Walaupun hidup beratus tahun, kalau tidak mempunyai cita-cita, samalah artinya dengan mati
walaupun badan masih hidup.
Dari keterangan yang diberikan oleh almarhum Engku Abdul Wahid gelar Kari
MUDO yang dibuang Belanda ke Makassar dan dari mendengar nyanyian pembukaan
kongres oleg Guru Salmun dan mendengarkan isi pidato Almarhum Haji Abdullah yang
sangat hebat dalam kongres Muhammadiyah ke 21,dan membaca buku Tahfatun Nafis
karangan Raja Haji Ali di Riau keturunan Bugsi, mulailah saya mengerti apa yang dimaksud
dengan SIRIK di Bugis dan Makassar, di Mandar dan Toraja. Yaitu bahwa orang Bugis dan
Makassar, Mandar dan Toraja, adalah orang yang menjaga Maru-ah-nya : Memelihara harga
diri baik didalam sikap hormatnya kepada orang lain ataupun didalam kerendahan hati dan
tawadhu’. Dia bersedia memuliakan orang tetapi dia jangan dihinakan, dia mau memikul
yang berat, menjinjing yang ringan tetapi sia jangan dianggap rendah. Tidak ada yang lebih
berharga dari pada dirinya sebagai manusia. Disinilah timbul pepatah: Ma tam papuang
timukku, temmatangpapuang gajakku ( Mulutku bias berkata tuan, tetapi kerisku tidak). Atau
orang Makassar berucap : Bawaku ji akkaraeng, badikku tena nakkaraeng ( Hanya mulutku
yang bertuan, tetapi badikku tak mengenal tuan).
Sebab itu apabila keempat-empat suku bangsa ini menyisipkan badik pada
pinggangnya bukan berarti bahwa dia akan menikam orang lain melainkan dia akan menjaga
siriknya, menjaga kehormatan dirinya. Apalagi kehormatan itu yang diganggu oleh orang
lain. Itu sebabnya maka menjadi sirik atau pantang menyentak badik tidak akan ditikamkan.
Tadi saya katakana bahwa tabiat-tabiat seperti ini bukanlah terdapat pada suku Bugis
dan Makassar, Mandar dan Toraja saja tetapi terdapat pada tiap-tiap suku bangsa di seluruj
Indonesia . bahkan terdapat juga pada bangsa-bangsa lain tahu akan harga diri. Cuma timbul
kesalahan, karena tidak ada pendidikan dan pemeliharaan yang baik. Saya katakana ada pada
segala bangsa, sebab tiap bangsa-bangsa mempunyai sirik. Pada bangsa Belanda pun ada
sirik. Kita mengenal apa yang mereka sebut Beleideging atau penghinaan, merusakkan nama
baik, seseorang yang merasa nama baiknya dirusak dizaman dahulu itu, baik meminta Duel
dengan orang yang dianggapnya merusak namanya itu, baik dengan mati pistol atau dengan
pedang.
Dan dia rela menerima mati atau kalah dari musuhnya dalam Duel tersebut sebab
dengan demikian dia telah membela harga dirinya.
Dipandang dari segi Agama Islam Sirik atau menjaga harga diri itu sama artinya
dengan menjaga syarat. Menjaga harga diri dipandang dari segi ilmu akhlak adalah suatu
kewajiban moral yang paling tinggi sehingga ada syair arab:
Artinya :

“jika tidak engkau pelihara hak dirimu, engkau ringankan dia, orang lainpun akan
lebih meringankan sebab itu hormatilah dirimu dan jika suatu negeri sempit buat dia,
pilih tempat lain yang lebih lapang...”

Kalau orang yang memakai sirik Islam ini bertemu dengan perbuatan orang lain yang
akan merendahkan martabatnya jadi hina dia pasti membalas disinilah pepatah yang terkenal
Annaar lalaar. Artinya biar bertikam dari pada memikul malu.
Tetapi sirik yang demikian itu menurut Islam harus dipelihara pada segala seginya.
Pertama meneguhkan Iman dan Tawakkal kepada Allah sebab Iman dan Tawakkal itu
menimbulkan Nuur atau cahaya pada diri seseorang Mukmin sehingga walaupun dia tidak
bercakap sepatah juapun, cahaya Imannya telah memancar dari matanya sehingga
menimbulkan pengaruh kepada Alam yang berada disekelilingnya. Sehingga orang yang
tadinya berniat jahat kepada orang yang beriman, baru melihat matanya sebentar saja orang
yang berniat jahat itu tidak dapat menentang lama, mesti tunduk.
Orang yang teguh Imannya itu, mempunyai akhlakul karimah:
Budi pekerti yang mulia. Menurut Imam Ghazali: sirik yang sejati ialah yang
menengah atau Al Ausath.
Dia mempunyai perangai saja’ah, artinya berani karena yakin berada dipihak yang
benar. Dia tidak perlu bersuara keras memaki-maki,menyentak bidik,mengancam orang
dengan bendil,untuk mempertahankan kebenarannya.biarpun dia akan mati dibunuh, namun
yang mati hanyalah dirinya tetapi kebenaran itu tidak akan mati.
Parangai Saaja’ah itu adalah pertentangan antar dua perangkai yang tercelak. Pertama
jubun (pengecut) tidak ada keberanian buat menyebut yang benar . kedua Tahawawur (berani
babi).
Jubun ialah orang yang sudah yakin bahwa dia dipihak yang benar tapi dia takut
menyebut kebenaran itu. Tidak mempunyai keberanian moral sampai dideritanya saja segala
macam kehinaan dan macam penghinaan.
Tahawwur ialah orang yang telah tahu bahwa dia sudah salah tapi dia bertahan mati-
matian menyatakan bahwa dia pihak yang benar, dan tidak mau mendengar
pertambanganorang lain yang benar hanya dia saja, orang lain salah semua.
Ajaran akhlak dlam islam terutama dalam ilmu Tasawwuf menganjurkan manusia
menyelidiki diman kekurangan dan apa kesalahannya.
Menurut pendapat saya sebagai Bangsa Indonesia yang merdeka kita masih
mempunyai Sirik,mempunyai harga diri. Sirik menurut Agama Islam ialah kebesaran
pribadi,kemerdekaan sebagai bangsa,tidak ada tempat bertawakkal melainkan Allah,tidak ada
yang kuat dan tidak ada yang kuasa didunia ini kalau tidak dengan izin Allah.
Ada dua hal yang utama yang dipertahankan tiap-tiap suku bangsa Indonesia untuk
dua hal itulah seluruh sirik digunakan. Pertama menjaga kaum wanita,kedua menjaga
kehormatan Agama.
Seluruh suku bangsa Indonesia menurut yang saya ketahuio dalam perjalanan dan
pengalaman,pengembaraan saya di Aceh,di tanah-tanah Melayu, di Minangkabau,di
Palembang dan Lampung, di Ban-jar di Kalimantan, di Jawa, di Sunda,di Madura,di
Maluku,di Bugis dan Makassar,di Mandar dan Toraja,dan lain-lain,umumnya mempunyai
Sirik, tentang menjaga kehormatan perempuan atau MAKKUNRAI.
Wanita kita hormati dan kita muliakan,sebab itu wanita sekali-kali tidak boleh
diprbuat main-main. Kelau kita senang kepada perempuan,kita boleh meminang berdasarkan
adat-istiadat yang berlaku. Kalau terjadi persesuaian keluarga kedua belah pihak, lancarlah
urusan dan terjadilah perkawinan yang berbahagia,menurunkan anak dan keturunan. Kalau
tidak dicarilah yang lain.
Tetapi jalan yang salah, bermain mata, dengan sendirinya menimbulkan Sirik. Sebab
itu mestilah hati-hati benar dalam permainan yang sekarang dinamai orang bercinta-cintaan.
Sebab kalau ada sikap yang salah dan sumbang menurut pandangan mata,atau menurut
anggapan orang sekampun, seumpama orang pemuda berjalan berulang-ulang dimuka gadis,
padahal tidak ada kaum keluarganya yang karib ditempat itu, teranglah pemuda tersebut
menghadapi bahaya,mungkin dia dipukuli bahkan mungkin juga dibunuh. Sebab dia telah
mencoreng malu dikening keluarga anak gadis itu.
Apatah lagi kalau terjadi Silariang,lari pemuda dan pemudi serta pergi kawin ditempat
lain. Atau terjadi perzinahan yangmenyebabkan bunting yangperempuan. Siperempuan wajib
memberitahukan kepada pihak keluarga pemuda pemuda yang man yang telah merusak
kehormatannya. Ada diantara anak perempuan itu yang setia akan janjinya dan tidak suka
memberitahukan,maka dia pula yang kadang-kadang mati dibunuh oleh keluarganya.
Dalam hal-hal seperti ini terjadilah Sirik yang amat hebet, yang musti dibayar. Kalau
seorang pemuda yang menggangu kekampung seorang anak perempuan,atau kalau seorang
pemuda melarikan gadis dikampung anu dan kawin ditempat lain; kalau seorang gadis tidak
mau mengakui siapayang menyebabkan dia jadi bunting maka seluruh kampung,atau
publicke opini dikampung itun menyalahkan yang tertua,atau yang dianggap bertanggung
jawab dalam keluarga itu, mengapa maka dia tidak mau menjaga siriknya. Disinilah timbul
pepatah : Narekko de sirikmu, inreng-inrekko ceddek sirik. (jika harga dirimu tidak ada
pinjamlah agak sedikit harga diri orang lain). Dan sesuai pula dengan syair Arab : “Menirulah
kepada orang lain, walaupun engkau tidak serupa dengan orang itu. Karena sehingga meniru
orang besar, itupun suda suatu kemenangan”. Disinilah terjadi pembunuhan! Disinilah terjadi
campur tangan pemerintah. Disinilah terjadi pertentangan latar belakang dari dua hukum
yaitu hukum sirik dan hukum undang-undang. Kalau sekiranya segala kemelut atau
kekacauan tadi kita bawa kedalam hukum sirik, tidak ada obatnya melainkan nyawa.
Sehingga orang yang menzinahi anak perempuannya bias dihukum di Mandar atau ditempat
yang memakai sirik dengan digantungkan keduanya dengan batu besar dan dicampakkan
kedalam laut. Tetapi dalam hukum pidana yang dipakai penjajah terhadap zina, adalah
hukumbulanan, atau denda ringgitan ! Dan tidak ada hukuman sama sekali kalaukeduanya
suka sama suka. Hukum zina hanya berlaku kalau menzinai isteri orang lain dan suaminya
mengadu. Kalau tidak ada pengaduan, tidak ada hukuman.
Oleh sebab kerasnya penjagaan dan sirik terhadap perempuan ini, maka ketika saya
masuk ke Makassar pada tahun 1931 sampai 1934, saya lihat tiap-tiap pagi dan tiap-tiap sore
anak-anak perempuan beratus-ratus banyak pergi bekerja di gudang-gudang hasil hutan
didekat pelabuhan(Kade), berjalan berbondong-bondong, dengan memakai pakaian sarung
yang menutupi seluruh tubuhnya, sehingga mukanyapun tidak kelihatan. Dan orang-orang
yang bertemu detengah jalan tidak ada pula yang berani melihat lama kepada perempuan
yang akan pergi bekerja tadi. Dan saya lihat pula diwaktu itubendi dan dokaryang dikendarai
oleh perempuan-perempuan terhormat ditutup seluruhnya dengan kain, sehingga perempuan-
perempuan yang ada didalampun tidak kelihatan.
Tentu sekarang tidak akan kita lihat lagi hal yang demikian. Karena kian lama struktur
masyarakat kita berubah, orang menuju kepada kemajuan secara Barat, Modernisasi dan
Westernisasi. Pakaian perempuan yang diselubungi dengan kain sarung warna-warni itu tidak
ada lagi ; kian lama kian habis, dan hanya tinggal dalam sejarah.
Bahkan diseluruh Indonesia dating zaman transisi, semuanya ditiru, semuanya
diteladan, modern atau tidak modern. Sekolah tinggi atau sekolah rendah . orang berpacu
memakai pakaian Barat bukan hanya di Bugis dan Makassar, Mandar dan Toraja saja, bahkan
diseluruh Indonesia . sang penudapun berani mendekati, karena ada alamat memang mau
didekati, sebagai pantun:

Membeli ikan tenggiri.


Kalau tidak tampak tanda mau,
takut pemuda menghampiri”.

Maka keberanian mempertahankan sirik untuk membela malu terhadap perempuan


ini, kian lama kian berkurang, mungkin kian lama kian habis, tinggal hanya cerita saja.
Sebabnya mudah saja , yaitu : “ Engkau tidak berani lagi mempertahankan sirik kalau saudara
perempuanmu diganggu orang, sebab engkaupun telah mengganggu saudara perempuan
orang lain”.
Maka yang merusakkan sirik disini bukanlah kemerdekaan, melainkan kebudayaan
Barat. Pergaulan bebas ! Free Love, bahkan Free Sex !.
Kalau dipandang dari segi Islam orang yang tidak timbul siriknya karena
perempuannya diganggu, namanya ialah laki-laki Dayuts, yang berarti tidak tahu malu.
Kalau ditilik dari segi ajaran Islam, orang yang tidak tergetar dan tidak timbul
cemburunya kalau isterinya, atau perempuan yang dalam penjagaannya dan tanggung
jawabnya diganggu orang, dingin saja perasaannya melihat, maka laki-laki yang demikian
dinamai DAYUTS. Penghargaan orang terhadap orang yang Dayuts sama dengan
penghargaan terhadap orang yang Jubun, pengecut. Orang-orang Dayuts dan Jubun sama-
sama tidak ada hak buat dihargai.
Selain dari itu, ketika sirik akan dibicarakan, akan diseminarkan, juga dikemukakan
beberapa contoh, diantaranya yang disebut melanggar sirik ialah menempeleng atau
menampar seseorang dihadapan orang banyak. Orang yang ditampar dihadapan orang banyak
itu akan merasa sangat terhina . ini kerap kali menyebabkan terjadi pembalasan dendam,
bahkan pembunuhan.
Saya sendiri, seorang manusia yang lemah dan dha’if, tidaklah tahu apa yang akan
kejadian, kalau saya ditempeleng dihadapan orang banyak. Belanda menamai cara yang
seperti ini Beleedeging !. penghinaan . yang kena tempeleng belum tentu apakah dia ada sirik
atau tidak. Yang terang menempeleng itu sendiri sudah nyata tidak ada siriknya, atau
memandang hina, mengejek, tidak menghargai sesame manusia. Sebagaimana saya katakan
tadi, kalau ini kejadian pada diri saya, ditempeleng dihadapan orang banyak, padahal
kesalahan masih tengah diperiksa, hukum dan undang-undang akan dapat dilakukang, tiba-
tiba tempeleng telah diberikan sebagai persekot dihadapan orang banyak; saya sendiri tidak
tahu akan mengapa saya karena penghinaan yang sangat besar itu, kalau saya berdiam saja,
tidak menyatakan bantahan atau yang demikian itu, nyatalah bahwa saya tidak tahu akan
harga diri sendiri. Maka kalau saya menghargai diri, niscaya orang lain akan lebih menghina
lagi, maka kalau saya Tanya pada hukum agama Islam sendiri, bagaimana sikap saya dalam
hal demikian? Bagaimana sikap saya kalau kehormatan diri saya telah diinjak-injak orang
dihadapan umum, mentang-mentang dia berkuasa. Maka pada waktu yang demikian teringat
oleh saya bukan lagi sirik, melainkan hadist:

“Barang siapa terbunuh karena mempertahankan hartanya, maka diapun mati syahid.
Dan barang siapa yang terbunuh karena mempertahankan darahnya, maka diapun mati
syahid, dan barang siapa yang terbunuh karena mempertahankan Agamanya maka
diapun mati syahid, dan barang siapa terbunuh karena mempertahankan keluarganya,
maka diapun mati syahid(Diriwayatkan oleh Abu Dawud, at-Tarmidzi dan Ibnu
Majah. Berkata at-Tarmidzi: Hadist Hasan Shahih)”

Teranglah dengan hadist ini Agama mengakui sirik, tapi lebih jelas lagi bahwa Agama
mengakui dan memberikan tuntunan yang positif terhadap sirik sehingga oleh karena niatnya
yang ikhlas, kematian seseorang tidak akan sia-sia. Didalam hadist terkandung bertahan,
melawan bukan menyerah begitu saja. Sehingga kalau dia mati tertembak karena sedang lari
ketakutan, dia bukan mati syahid, melainkan mati pengecut.
Hadist inilah yang menjawab pertanyaan saya kalau hal ini terjadi pada diri saya.
Tegasnya saya wajib melawan ! kalau saya ditembak, saya mati syahid. Dan kalau saya lari,
saya ditembak juga, tetapi saya masuk neraka.
Untuk menghindarkan hal ini saya memakai pepatah Minang : saya tidak mencari
musuh . tapi kalau bertemu pantang dielakkan !.
Yang kedua, yang sangat dipertahankan pula dan bertali berkelindang dengan sirik
ialah mempertahankan dan membela Agama. Suku bangsa pemeluk Agama Islam diseluruh
Indonesia merasa dirinya terhina, kalau dia dikatakan kafir ! Walaupun dia tidak pernah
mengerjakan sembahyang, tetapi mereka itu merasakan bangga seka mempertahankan islam.
Sebabnya ialah karena sejak Agama Islam masuk ke negeri kita ini, terutama pada akhir abad
ke XVI dan awal abad ke XVII di Bugis Makassar, Agama itu telah menjadi pendorong
keberanian dan kebesaran dan kemegahan bangsa. Sultan Hasanuddin tidak akan selantang
itu berkata pada General Speelman, tatkala Belanda mulai memasukkan pengaruhnya dan
membendung perniagaan Makassar ke negeri lain : Apakah tuan sangka bahwa lautan seluas
itu hanya ditentukan buat bangsa Belanda saja, dan tidak berhak kami yang berdiam
disekelilingnya mengambil faedah dari lautan itu ?.
Tiap-tiap bangsa yang baru tegak dengan kemerdekaannya pastilah mempunyai
ideology yang teguh. Sebagaimana kita bangsa Indonesia sekarang, menegakkan
kemerdekaan Indonesia dengan berdasarkan pancasila, yang dasarnya pertama Ketuhanan
Yang Maha Esa maka nenek moyang kita yang dahulupun, menegakkan kemerdekaan
mereka dengan berdasarkan Islam !. sebagaiman bangsa penjajah, baik portugis, Inggeris,
atau Spanyol ataupun Belanda, pada hakekatnya ialah karena Mission Saore Kristen, hendak
menjadikan kita dari bangsa yang mereka anggap biadab jadi bangsa biadab. Mereka
menyakinkan diri sendiri dengan tekad bahwa menjajah ialah tugas suci. Oleh sebab itu
dapatlah kita tegaskan bahwa siriknya Raja-Raja dan Sultan-Sultan di jaman lampau ialah
atas ajaran Islam, sebagaimana Sultan Awwalul Islam;
(Nabi kita SAW telah mengkasarkan dirinya, atau telah menyatakan dirinya di Ujung
Pandang).
Maka pada hakekatnya sirik orang Makassar dan Bugis telah berpalun jadi satu
dengan Agama Islam, terutama karena adanya ajaran malu.
Dri segi agama islam sebagaimana yang saya terangkan diatas tadi, sirik itu memang
dan positif. Kalau saudara H.Daeng Mangemba mengatakan bahwa salah satu dari arti sirik
itu adalah rasa malu, maka arti ini sesuai dengan hadist Nabi :
“Malu itu termasuk Iman, tegasnya orang yang tidak bermalu adalah orang yang tidak
beriman”.
Dan sebuah hadist lain : “ apabila engkau tidak ada malu, berbuatlah sesuka
hatimu”.
Kedua hadist itu diriwayatkan oleh Bukhari.
Dan sebuah hadist lagi yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah “ “Tiap-tiap Agama
mempunyai badi dan Akhlak. Dan sesungguhnya akhlak Islam ialah Malu”.
Didalam bacaan kitab bersanji yang terkenal ada ditulis oleh Nabi Muhammad SAW
itu sangat malu dan Tawadhu (rendah hati).
Bergantung pada pokok ini, ialah malu, timbullah empat perangai yang terpuji
Mahmudha: (1) sabar: Artinya sanggup menahan hati, dapat mengendalikan diri deketika
marah. Lawan dari sabar itu ialah marah. Marah itu membawa sombong, dengki, benci,
permusuhan yang menghina orang lain. (2) Iffah: Artinya dapat menahan hawa nafsu, ketika
hendak didorongkan . (3) Syaja’ah: artinya berani karena keyakinan dan karena benar dan
sanggup mempertahankan keyakinan itu dimana saja. (4) Adil: artinya pertengahan.
Lawan dari empat perkara diatas ialah : bodoh, zhalim, Zhalim itu artinya meletakkan
sesuatu tidak pada etmpatnya. Dan syahwat, artinya : rakus, tamak, menerima mau banyak,
member tidak mau. Dan Ghadhab artinya marah, marah itu bias jadi aktif, karena sombong,
karena dengki dan karena benci. Orang seperti ini kalua berkuasa mau menindas, tak peduli.
Kalau dia dikuasai orang, mau menjilat, mengambil muka, kehilangan harga diri. Kepada
orang yang kuat sangat pengecutnya, kepada orang yang lemah sangat menindasnya.
Maka didalam keterangan-keterangan yang kita berikan ini dipandang dari segi Islam,
sirik adalah semata-mata akibat dari pada orang yang beriman, sebab orang yang beriman itu
pastilah mempunyai akhlak yang tinggi.
Sebagai kenang-kenangan dari pada pembicaraan tentang sirik ini akan kita temukan
dua ceritera pengalaman kita sendiri.

-1-

Pada akhir tahun 1933 pernah terjadi empat guru Muhammadiyah jalan Diponegoro
Makassar, yang oertama saya sendiri, H. Abdul Malik berasal Minagkabau Sumatera Barat
dan dua orang guru lagi berasal dari datan jawa dan nomor empat bernama Hambali berasal
dari Bonthain Makassar. Kira-kira pukul sebelas tengah hari, sedang kami asyik mengajar,
tiba-tiba datanglah pengurus Muhammadiyah tuan Mansyur Yaman (Arab peranakan
Madura). Dia dating dengan tergopoh-gopoh dan mendengar bersikap sebagai orang
memerintah menyuruh kami menyediakan perhitungan uang sekolah yang telah diterima dari
murid-murid karena menurut keterangan beliau adalah seorang dari pengurus sekolahan
bahwa guru-guru tidak menyetorkan uang sekolah pad pengurus menurut mestinya. Karena
kedatangan itu dengan sikap yang tidak wajar, timbullah pertengkaran dengan kami keempat
guru yang beliau temui. Saya memberikan keterangan bahwa uang yang tidak lancar,
pemasukannya sehingga kami guru-guru tidak menerima gaji menurut sepatutnya.
Saudara Hambali ia berasal dari Bonthai itu sangat tersinggung atas sikap tuan
Mansyur Yamani yang datang dengan kurang usul periksa. Tapi tuan Mansyur tidak lekas
sadar akan kesalahannya. Masih saya teringat sepatah perkataan dari saudara Hambali.
Tuduhan tuan Mansyur kepada kita terlalu berat ini sirik tuan !, katanya. Dan air matanya
berlinang. Tuan Mansyur menjawab: “ saudara-saudara boleh menampar muka saya dengan
terompa saudara-saudara, tetapi pengurus lain tidak berani mengatakan ini pada saudara-
saudara”, sesudah mengatakan diapun pergi. Dan kami ditinggalkan dalam perasaan dalam
perasaan yang sangat terharu dan termenung. Saya melihat sendiri wajah Hambali yang
sangat sedih, air matanya berlinang dan berkata “ kalau tidak ada kekuatan iman kepada
Allah, saya sudah boleh Melakukan pembalasan yang pantas kepada tuan Mansyur”. Sudah
itu kamipun pulang ke rumah masing-masing. Di waktu magrib kami perkumpul kembali di
rumah sekolah itu sembahyang berjamaah. Sehabis magrib tuan Mansyur mengatakan bahwa
kita akan mengadakan rapat kilat untuk melanjutkan pembicaraan siang tadi.
Sehabis sembahyang isya pengurus-pengurus Muhammadiyah diantaranya A.Abudlah
Konsul Muhammadiyah Makassar, H. Yahya, H. Akhmad, Dg. Minggu, Dg Manja,
Djamaluddin Dg. Malala, yang semuanya itu sekarang Allah Hirham, turut hadir mendengar
persalah tuan Mansyur Yamani tentang kejadian siang tadinya. Tiba-tiba sebelum rapat
diteruskan dating seorang anak member tahu bahwa saudara Hambali telah meninggal baru
kira-kira lima menit yang telah lalu. Maka semua kamipun pergilah melihat jenazah beliau di
rumahnya. Dadanya masih panas karena baru saja meninggal dunia, seorang saudara
perempuannya baru saja kembali dari sekolah siang tadi ia menangis, kami semuanya
termengung menyaksikan kejadian ini dan saya teringat kembali akan perkataannya tadi
siang; “ini sirik tuan !”.
Dari sangat kerasnya menahan hati sampai jiwanya melayang, sesudah kejadian itu
tuan Mansyur mengulang kata-katanya kepada saya : “ kalau perbuatan saya ini salah, saya
bersedia tuan tampar muka saya dengan terompa tuan-tuan , saya akan
menyerah”.perkataannya itu saya tidak balas saya Cuma tersenyum saja.
Tuan Mansyur ya mani maklum bahwa senyuman saya adalah senyum setengah mati.
Satu setengah bulan kemudian itu saya mengirim surat kepada pengurus
Muhammadiyah berhubung karena kesehatan anak, saya memutuskan buat pulang kembali ke
kampung saya di Meninjau, Sumatera Barat . yaitu pada januari 1934.
Dengan air mata berlinang tuan Mansyur Yamani melepas ke kapal dan masih saya
senyum.
Dan kira-kira enam bulan dibelakang H.Abdullah berkirim surat minta dating
kembali.saya menjawab : “ terima kasih”.

-11-

Cerita yang kedua ini baru saja kejadian di Jakarta. Seorang yang pekerjanya menjadi
tukang patri yang bernama Idris berasal dari sebuah negeri Minangkabau.
Seorang kapten TNI berasal dari jawa tengah mengupahkan sesuatu barang kepada
tukang patri itu menurut penjanjian yang telah ditentukan bahwa setelah tiba waktunya untuk
menyerahkan barang-barang itu kembali, si kapten belum juga datang menjemput barang-
barangnya sehingga telah lama janji terlampaui. Pada suatu hari diapun dating padahal sudah
terlalu lama dari janji yaitu sudah beberapa bulan berlalu. Lalu si tukang patri tadi
mengeluarkan barang-barang kapten tetapi ada sikap dari si kapten itu yang tidak
menyenangkan hatinya. Dan ditunjukkan macam-macam celanya maka menjawablah si
tukang patri sambil mengeluarkan surat perjanjian itu. Dia berkata bahwa apa saja yang
dikehendaki telah dipenuhi oleh si tukang patri itu. Hanya si kaptenlah yang tidak menepati
janji. Mendengar jawab yang demikian rupanya si kapten salah terima dan dia berkata: “
jangan menjawab begitu kasar kepada saya engkau tahu bahwa saya adalah kapten TNI. Saya
banyak keperluan lain dari pada menjaga janji pada engkau, siapa engkau.”.
Dengan sangat tenang tuakng patri menjawab “ mangapa bapak tanyakan lagi pada
saya, sedang dari dulu bapak sudah tahu bahwa saya tukang patri. Hidup saya Cuma makan
upah, kalau cocok harga menjadi, kalau tidak tidak apa. Tetapi meskipun saya tukang patri,
saya manusia bapak. Saya tahu harga diri, kalau bapak berjalan lurus berkata benar. Saya
sengan kepada bapak, baik bapak kapten atau tukang patri sebagai saya”.
Dengan sangat marahnya si kapten telah mengangkat tangan hendak memukul si
tukang patri. Untung saja dia membawa pistol. Tangan tangan si tukang patri mangankat
tangan si kapten yang hendak memukulnya itu dan memutarnya kebawah. Dan untunh pula
ditempat itu banyak orang-orang lain yang dapat memisahkan mereka. Tetapi si tukang patri
masih sempat bercakap sekali lagi “ karena saudara kapten tidak membawa senjata, biar saya
yang beri senjata dan beramuk kita di sini. Saya menerima halal, bukan menjual diri”.
Maka didalam pertimbangan saya, baik kematian saudara Hambali dengan tiba-tiba
atau sikap saudara Idris mengangkat tangan si kapten adalah dari kesadaran harga diri. Yang
disebut oleh orang-orang Bugis Makassar, Mandar dan Toraja sirik yang disebut oleh orang
arab syaraf. Yang disebut oleh nabi Muhammad SAW “AL-Hayaan Minal Imaani”. (malu itu
adalah bagian dari iman).
Maka terhadap masalah sirik yang menjadi problema di Bugis Makassar, Mandar dan
Toraja sekarang ini dan pada suku-suku bangsa Indonesia pada umumnya, terutama pada
kaum muslim bukanlah menghapuskan sirik melainkan mempertahankannya menurut budi
bahasa yang tinggi dan luhur. Menurut hukum mental dan moral. Mental menurut penilaian
masyarakat , moral menurut penilaian hidup beragama, sehingga seluruh bangsa Indonesia
dalam jabatan apa saja harusnya mempunyai sitik yang sejati. Kalau sirik yang sejati tidak
ada niscaya kita akan dijajah orang kembali, bukan saja penjajahan dari bangsa asing bahkan
dari golongan yang kuat kepada yang lemah, dari pada golongan yang merasa dirinya
berkuasa kepada golongan yang tidak mempunyai kuasa apa-apa dari keadilan sejati dan
kebenaran sejati.
Maka kalau tidak berani lagi mempertahankam keadilan dan kebenaran berartilah
bahwa diri telah punah, dan punahlah kemerdekaan.
Sebagai penutup terkenglah saya ucapan Kyai H.Mas Mansyur dalam kongres
Muhammadiyah di Makassar ke XXI tahun 1932: “ saya kagumi keberanian orang Bugis dan
Makassar menghadapi maut, sehingga dari karena bertengkar pasal uang sepuluh sen mereka
bias berbunh-bunuhan. Saya pujikan keberanian menghadapi mati itu. Tetapi alangkah
baiknya kalau dia pergunakan untuk cita-cita yang lebih tinggi. Misalnya untuk kemuliaan
tanah air dan bangsa kita dan ketinggian agama kita. Sehingga sepadanlah harga kematian
dengan harga yang dipertahankan”.
BAB XV
SISI LAIN PANDANGAN PERIHAL “SIRIK”

Pada dasarnya sirik itu, tiada lain suatu kehormatan, suatu nilai-nilai harga diri yang
begitu mendasar, yang begitu dijunjung tinggi oleh pemiliknya, seperti teruraikan terdahulu
maka lahirlah ungkapan-ungkapan, misalnya ungkapan-ungkapan dalam bahasa Makassar:
Mannassana Sirika ji tojeng(bahwa sesungguhnya, harag diri sesorang ditentukan oleh
kemampunnya menjunjung tinggi nilai-nilai siriknya). Atau sirik tadji nakitau yang artinya:
hanya memiliki sirik maka dapat disebut manusia.
Sedangkan ungkapan dalam bahasa Bugis adalah sirik emitu tariaseng tau narekko dei
sirikta, Tania nik tau rupa gaung mani assenna yang artinya: hanya dengan sirik kita dapat
disebut manusia, jikalau kita tak ada sirik bukan lagi manusia kita hanya bernama orang-
orangan.
Lebih ektrim lagi sebuah ungkapan dalam bahas Bugis yaitu : Naiya tau deE Sirikna,
de lainna olo olok”, artinya : kalau manusia tidak ada sirik tidak berbeda dengan binatang.
Dari ungkapan pengertian tersebut berarti sirik bagi masyarakat Sulawesi Selatan
adalah yang melekat pada diri manusia, merupakan lambing dari keutuhan manusiawinya,
mencakup segala kewajiban serta hak-haknya selaku manusia baik secara pribadi maupun
sebagai anggota masyarakat.
Dari pengertian inilah mungkin setelah bersntuhan dengan dunia luar dan dengan
dunianya denga setiap pribadi yang sangat ditentukan oleh keseluruhan jiwanya dan juga
tingkat kecerdasan dan nilai kesusilaan yang dimilikinya sangat erta hubungannya dengan
harda diri dan martabatnya sebagai manusia.
Akibat mempertahankan harga dirinyalah sehingga banyak ornag yang
mengidentikkan bila siriknya terlanggar, maka bagi orang yang bersangkutan hanya ada dua
pilihan yaitu ia akan mati atau hidu. Akibatnya terjadilah penganiyaan bahkan pembunuhan.
Itukah arti sirik? Kalau kita amati kejadian suatu tindak pidana penganiyaan yang oleh
pelakunya dinyatakan sebagai akibat maka cenderung sirik itu terbangunb karena perasaan,
sentimental oleh emosi dan sejenisnya.
Dari segi hukum yang berlaku di Indonesia, akibat perbuatan tindak pidana
pembunuhan tersebut bukan mengangkat martabat manusia justru sebaliknya.
Namun dalam berbagai ungkapan maupun dalam lontara Bugis Makassar
menunjukkan sirik bukan semata-mata dar5i luapan emosi. Ia lebih banyak berkadar
ketersinggungan nilai-nilai kehormatan pribadi atau keluarga atau lingkungan.

Soal Perasaan

Menurut H. Dg. Mangemba, seorang budayawan dari universitas Hasanuddin


mengungkapkan, berbicara tentang sirik tak dapat di lepaskan dari unsur pacce atau pesse
dala bahasa Bugis Makassar. Pacce maksudnya adalah perasaan yang terbit dari dalam kalbu
yang dapat menuju kepada sesuatu tindakan. Dari unsur sirik dan pacce inilah, katanya timbul
ungkapan sipasiriki nasipapacce.
H. Dg. Mangemba mengungkapkan dalam makalahnya tentang pengertian dan
pengembangan sirik bagi Makassar. sipasiriki nasipapacce berarti saling menjaga harkat sirik
dan pacce bersama. Dengan sendirinya dia berusaha menjauhkan diri menyinggung
kohormatan orang lain dan siap membantu bila perlu.
Ditegaskannya semangat ini terlebih-lebih ditujukan kepada lingkungan keluarga,
menciptakan suatu masyarakat keluarga besar yang mengikat hubungan antara satu dan yang
lain, menimbulkan solidaritas sosial. Bagi orang Bugis Makassar dalam.
Solidaritas sosial berarti kepentingan pribadi akan terdesak dan yang mennonjol
adalah menegakkan kepentingan manusianya. Bahkan kalau perlu jiwanya rela dikorbankan
demi perterapam ungkapan mempertegak sirik napacce disebut mate nisantangi yang artinya
mati berlumpur dengan santan , mati dengan terhormat dan mulia.
Disisi lain ungkapan lontara, di tanah Bugis Makassar dalam suatu persekutuan hidup
desa, wanua atau tanah niscayaterdapat pemimpin dalam persekutuan itu. Dan menurut
jenjangnya, pemimpin menjadi orang pertama yang siriknya harus dipelihara. Mereka sangat
merasa bersatu antara yang memimpin dan yang dipimpin oleh suatu kesadaran harga diri,
martabat diri yang menimbulkan pesse atau pacce ( bahasa Makassar). Apabila mereka
mengahadapi persoalan sesuatu terjadilah perbuatan tolong-menolong tindakan saling
membantu dan saling membela. Jika seorang dihina maka negeri yang merasa dihina. Jika
pemimpin yang merasa dihina maka serentak anggotanya bangkit bersama-sama membela
dan memikul tanggung jawab.

Hasil Penelitian

Seorang antropolog wanita bangsa Amerika dari Universitas California di tahun 1975
sampai dengan 1976 mengadakan penelitian di Luwu. Ia mengungkapkan : tidak ada moral
yang lebih penting buat orang Sulawesi Selatan dari pada mempunyai sirik sehingga
seseorang yang kurang siriknya maka dianggap kurang juga kemanusiaannya. Menurut
Erington, orang-orang Bugis-Makassar terkenal dimana-mana, karena dengan mudah mereka
berkelahi kalau merasa dipermalukan, yaitu dipermalukan dengan cara yang tidak sesuai
dengan derajatnya. Namun disisi lain, Erington mengemukakan pula, sirik tidak bersifat
menentang saja, tetapi juga merupakan perasaan halus dan suci.
Menurutnya pendapatnya, sirik itu tidak dapat diterjemahkan dengan harga diri saja,
tetapi termsuk pula malu. Bagi orang yang tidak beragama, suk mencuri, bersifat tidak suci
atau kurang sopan dan dikategorikan kewpda orang yang tak memiliki unsur harga diri dan
malu, dalam bahasa makassarnya disebut jurang Sirik, kata Erington. Sebagai contoh, katnya,
nampak jelas dalam cara orang Sulawesi selatan mendidik dan membesarkan anaknya.
Dianggap sama sekali tidak baik memukul anak, terutama menempelengnya.
Sebab menurut pendapat mereka, kata Erington, klau sejak kecil sudah terbisa
ditempeleng orang maka saat di dewasa, ia tidak akan merasa tersinggung lagi kalau orng lain
menghinanya.
Maslah kedua, nanti anak itu kurang sirik-nya atau perasaan halusnya, karena sejak
kecil dipaksakan dengan kekerasan Melakukan kewajibannya dan akhirnya kurang sirik.
Erington menambahkan Sirik jelas ada hubungannya dengan susunan masyarakat
yang makin bertingkat, makin bangsawan seseorang mka makin banyak Sirik-nya yang harus
dijaga. Dan mereka bersatu Sirik, tolong menolong bukan hanya dalam dukun tetapi juga
dalam suka.
Nah, dengan uraian tersebut diatas, pada sisi lain dapat ditarik suatu kesimpulan,
bahwa Sirik tidaklah identik dengan pembunuhan dan kekerasan atau dasar luapan emosional,
atau luapan rasa dendam yang tak terkendali. Tetapi ia lebih banyak bertahan pada sikap
harga diri yang merupakan subkultur budaya orang-orang Bugis-Makassar. Ia merupakan
warisan leluhur dalam kerangka warisan yang bertali temali dengan nilai-nilai Sirik tersebut
sebagai harga diri.
Menurut Prof.Dr.Mattulada, tragedy bnerdarah karena Sirik hanyalah salah satu
tindakan, tetapi bukan arti dan hakekat Sirik. Dalam hal ini Sirik adalah kultur, budaya nenek
moyang kita karena sirik, meninggalkan Tanah Bugis dan tak akan kembali kalau belum
tercapai cita-citanya. Maksudnya tak akan kembali sebelum menjadi orang yang
berpengetahuan atau orang yang berharta.
BAB XVI
KEPRIBADIAN MANUSIA BUGIS
Pada dasarnya, masyarakat Bugis itu dibina mentalnya lewat pappaseng (pesan-pesan)
yang merupakan pola dasr pegangan hidup. Tersebutlah, bahwa ada lima pappaseng (lima
pesan pegangan hidup) orang Bugis tersebut.
Mengkaji pola hidup tersebut, maka tidak heran jika pancasila, memang digali dari
nilai-nilai luhur budaya yang hidupo dalam masyarakat suku-suku bangsa di Republik ini,
secara Bhinneka Tunggal Ika.
Kajaolaliddo (1507-1586). Nama lengkapnya, La Mellong To Suwalle Ta Tongeng
MaccaE Kajaolaliddo (La Mellong Si Arif Bijaksana dan Pintar Kajaolaliddo), seorang
pemikir intelektual yang arif, Negrawan dari Bone.
Ketika La Mellong bertugas sebagai pemndidik anak-anak raja dan bangsawan, mak
tema pendidikan moral yang diberikannya meliputi lima hal utama, yaitu : 1) kejujuran
disertai taqwa (Lempuk-E na-sibawang tya’), 2) Kebenaran kata-kata (satunya kata dengan
perbuatan) disertai keteguhan pada prinsip (Sirik nasibawangi getting), 4) Keberanian disertai
kasih saying (Awariningeng nasibawangi nyamekki-ninnawa), 5) Mappesona Ri Dewata
SeuaE (Pasrah pada kekuasan Tuhan Yang Maha Esa). Lima prinsip utama inilah yang
menjadi tema pendidikan moral yang diberikan Kajaolaliddo, yang secara dominan
menguasai pemikiran-pemikirannya mengenai hukum, kemasyarakatan, malahan juga dalam
pembinaan kpribadian individu.
Dari lima tema tersebut, Kajaolaliddo memilih lagi tiga tema utama yang paling
sering dikemukakannya, yaitu kejujuran, kecerdasan dan keberanian. Dalam catatan-catatan
lontara, Kajaolaliddo disebutkan sebagai manusia yang tidak pernah berbohong, tegas, dan
jujur dalam setiap tindakannya, sederhana dan rendah hati, berni menghadapi musuh dan
tangkas dalam diplomasi.

Kejujuran

Sifat ini agaknya diutamakan dalam Kajaolaliddo, yang berhubungan dengan


kejujuran terhadap diri sendiri, masyarakat dan Negara serta terhadap diri sendiri, masyarakat
dan Negara serta terhadap Dewata.
Kajaolaliddo mengajarkan jangan mengambil tanaman yang bukan tanamanmu,
jangan mengambil harta benda yang bukan milikmubukan pula pusakamu, jangan keluarkan
kerbau (dari kandang) yang bukan kerbaumu, dan kuda yang bukan kudamu; jangan pula
mengambil kayu terletak sebelh menyebelah yang bukan kamu menetaknya.
Sifat-sifat tersebut harus dijadikan sikap jiwa melatari segenap perbuatan setiap
individu, melatari kpribadian setiap warga msyarakat. Dalam hukum dan pelaksanaan hukum,
Kajaolaliddo mengajarkan untuk memperlakukan setiap individu secara jujur dan sama untuk
semua strata sosial.
Kebesaran dan kejayaan suatu Negara ditandai antara lain oleh nampaknya kejujuran
ini dalam kehidupan masyarakat, terutama malempukina macca arung mangkauk-E (Raja
jujur dan cerdas).
Tanda kerapuhan suatu Negara, yaitu apabila Raja tidak jujur dan ceroboh, Raja tidak
mau diperingati (dikritik), tidak ada lagi orang pintr dalam Negara, kalau Hakim menerima
sogokan; dan kejahatan merajalela serta raja tidak mengasihi rakyatnya. Kejujuran ini,
menurut Kajaolaliddo didasari dan disertai terus-menerus oleh ketaqwaan kepada dewata
(pada masa itu, Agama Islam belum masuk ke kerajaan Bone), karena menurut
kepercayaannya, setiap tingkah laku manusia disaksikan sepenuhnya oleh dewta pawinruk-E
(Sang Pencipta).
Adatongeng na tike’ (berkata benar dan hati-hati). Setiap individu harus memiliki
sifathanya mengeluarkan kata-kata (ucapan) yang benar, menghindarkan diri dari kedustaan;
serta berhati-hati dalam setiap ucapan dan tindakan.
Setiap ucapan harus disertai pertambangan natangnga’i olona munrinna
(memperhatikan sebab dan akibatnya). Individu-individu dianjurkan untuk macca pinru ada
dan macca duppai ada (pandai mengatur/membuat kata-kata dan pandai menjawab kata-kata).
Orang yang disebut pandai mengatur kata-kata adalah orang yang tidak membuat kesalahan
dan pelanggaran terhadap pangngadereng (sistem budaya), sedang yang disebut pandai
menjawab kata-kata ialah yang mengusai berbagai perumpamaan, analog, kias (rapang).
Dalam ajaran Kajaolaliddo, disebutkan bahwa manusia disebut manusia, karena
ucapannya yang benar, yang sesuai dengan perbuatan. Ada tongeng, disebut sebagai salah
satu azas kehidupan dan kepribadian. Sesungguhnya, kepandaian pinru ada dan duppai ada
juga berkaitan dengan lempuk (kejujuran) serta mappesona ri dewata seuwaE tawakakal
kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Siri’na getting (Sirik disertai getting). Harga diri (Sirik) erat kaitannya dengan lempuk
dan ada-tongeng. Pada azasnya disebut bahwa manusia (yang memiliki sirik) adalah mereka
yang melempuk (jujur) dan makeada tongeng (berkata benar). Orang yang tidak menjaga
kejujuran dan kebenaran kata-katanya dianggap sebagai tidak memilihara harga dirinya,
sehinggaorang demikian tidak lagi disebut tau (manusia) melainkan disebut rapang-rapang
tau (seperti manusia boneka) atau olok-olok(binatang).
Harga diri menurut Kajaolaliddo, harus pula disertai dengan getting (teguh berpegang
pada prinsip kebenaran). Dengan sifat ini dimaksudkan bahwa setiap orang tidak mudah
tergeser dari prinsip kebenaran yang dianutnya. Sekalipun bumi pecah berantakan, langit
runtuh, tidak membuat kita bergeser dari keyakinan dan prinsip kebenaran.

Kebenaran
Warani na cirinna (kebenaran disertai kasih saying). Dalam ajaran Kajaolaliddo,
keberanian dianggap penting tetapi harus disertai dengan perasaan kasih saying yang besar
terhadap sesame manusia.
Hanya dengan keberanian, maka prinsip lempuk, ada tongeng dan getting bias
ditegakkan dalam kehidupan sebagai individu dan warga masyarakat. Tetapi keberanian pun
harus selalu bertolak dari ketiga prinsip tersebut. Disebutkan bahwa bila jalan itu yang kulalui
(maksudnya: tiga prinsip tersebut), maka tak ada lagi yang perlu aku takuti.
Keberanian yang bertolak dari tiga prinsip tersebut, dengan sendirinya akan disertai
pula oleh rasa kasih saying terhadap sesame manusia. Kajaolaliddo menganggap bahwa kasih
saying terhadap sesame manusia, yang merupakan bagian dari prinsip sipakatau( saling
menghargai sesame manusia) haruslah menjiwai keberanian, karena tanpa kasih saying itu,
keberanian akan membawa kebinatangan (olok-olok). Keberanian utama adalah keberanian
untuk melawan binatang yang ada pada diri sendiri.
Akkaleng na nyameng melawan binatang yang ada pada diri sendiri. Kecerdasan dan
kepandaian dinilai sangat penting oleh Kajaolaliddo, yang disertai pula oleh nyameng
ininnawa. Istilah terakhir ini bermakna kernyamanan dan ketemtraman hati yang terpencar
keluar dalam setiap penampilan. Juga bermakna ketenangan dan keteduhan hati, hingga
memungkinkan orang berfikir dengan jernih. Akal tanpa disertai ketentraman dan ketyeduhan
hati, tak akan melahirkan pikiran yang jernih, tak dapat melahirkan kecerdasan. Kajaolaliddo
menjadikan akkaleng dan nyameng ininnawa sebagai pasangan yang menyatu.
Dari lima prinsip tersebut, Kajaolaliddo selalu menekan pada tiga hal, yaitu kejujuran,
kecerdasan, dan keberanian. Sistem ide Kajaolaliddo, dengan nilai-nilai tersebut diatas
sebagai nilai utamanya dijadikan didikan dasar/utama kepada setiap individu, khususnya
keluarga bangsawan. Namun, Kajaolaliddo tidak berhenti pada sistem gagasan itu. Ia
lebihlanjut mengatakan bahwa nilai-nilai itu harus diaktualisasikan dalam pola-pola tindakan
dan perbuatan dalam kehidupan bermsyarakat dan bernegara.
Tak ada nilai-nilai itu, tanpa persaksian, sedang persaksian nilai-nilai itu adalah pada
seruan, dan persaksian seruan adalah perbuatan. Seruan(obi) bermakna ganda, yaitu seruan
kedalam diri sendiri dan seruan keluar diri. Seruan untuk dan Berdasar pada penghayatan
nilai-nilai itu. Seruan itu, harus diaktualkan pada perbuatan. Karena itu harus Nampak pada
sistem sosial dan sistem kenegaraan.
Kajaolaliddo memperoleh peluang untuk melaksanakan ajaran-ajarannya.
Kedudukannya sebagai lise’Saoraja (penghuni istana), penasehat Raja dan kerajaan, pendidik
anak-anak dan keluarga istana Raja Bone, memungkinkan La Mellong yang hanya turunan
Matowa (semacam Lurah) ini, mengajarkan dan mengamalkan ajaran lempuk, ada tongeng
dan getting serta harga diri.
Kedudukannya sebagai Lasykar ketika terjadi penyerbuan oleh Lasykar Gowa,
memungkinkan ia memperlihatkan keberanian dan rasa kasih sayangnya serta cimtanya pada
perdamaian.
Kedudukannya sebagai duta keliling Kerajaan Bone, membuktikan kecerdasan,
kecakapan serta kterampilannya didalam diplomasi, dengan tetap berpedoman pada nilai-nilai
ajarannya. Ia menjalin persahabatan antara Bone, Wajo, Soppeng dan Luwu serta beberapa
kerajaan kecil lainnya, Kajaolaliddo pun memperhatikan pandangan futuristiknya dengan
membuat ramalan (perkiraan) jangka pendek dan perkiraan jangka panjang mengenai sikap
dan tindakan yang akan diambil oleh Kerajaan Gowa yang kalah (Raja Gowa I Tajibarani Dg
Marompa gugur dalam perang) dan terpaksa menandatangani perjanjian di Caleppa.
Ternyata ramalan Kajaolaliddo tidak meleset, karena Raja Gowa XII, I Manggorai Dg
Mammeta Karaeng Bontolangkasa Melakukan serangan ke Bone, 10 tahunsetelah perjanjian
itu. Kedudukannya sebagai pemimpin Lasykar dan penasehat Raja Bone, memungkinkan
Kajaolaliddo memperlihatkan kecakapannya menyusun strategi politik.
Kajaolaliddo, adalah salah seorang diantara sedikit tomacca (intelektual) Bugis masa
lalu, yang berhasil mempraktekan ajaran-ajarannya. Ajaran-ajaran kemudian terhimpun
dalamn lontarak Latoa, yang menjadi buku pelajaran wajib bagi setiap turunan
bangsawan/raja diseluruh daerah Sulawesi Selatan.

Catatan : bahan-bahan hasil kajian Drs.M.Anwar Ibrahim, sarjana Sastra lepasan Universitas
Hasanuddin dan Sekretaris Dewan Kesenian Makassar.
BAB XVII
ASPEK-ASPEK KEBUDAYAAN
TERHADAP SISTIM KEMIMPINAN DIPEDESAAN
(TANAH BUGIS-MAKASSAR)

Mungkin ada manfaatnya, untuk sekedar digorskan ala kadarnya(aspek-aspek)


pengaruh kebudayaan pada sector kepemimpinan di Tanah Bugis-Makassar pada jamaannya.
Sebagai suatu studi perbandingan.
Kepemimpinan itu muncul dengan munculnya kehidupan manusia secara bersama
(bermasyarakat), yang bermula digua-gua sejak dahulu kala. Bahkan didalam ajaran Islam
dikatakan bahwa kepemimpinan itu muncul sejak Adam dan Hawa hidup bersama. Pada sat
itu seseorang yang kuat dan punya keistimewaan menundukkan makhluk-makhluk gaib yang
sering mengganggu kehidupan manusia. Karena tugas dan kewajiban seorang pemimpin ialah
melindungi dan mensejahterakan rakyatnya lahir bathin serta menjaga keseimbangan
kehidupan dan lingkungan alamnya.
Kepemimpinan sebagai salah satu unsur kebudayaan manusia senantiasa
berkembangan mengikuti perkembangan masyarakat dan kebudayaan. Makin maju dan
berkembang suatu masyarakat, makin komplek dan banyak jenisnya pemimpin.
Perkembangan kepemimpinan suatu masyarakat itu meliputi segala aspeknya.
Oleh karena itulah pada masyarakat yang masih sederhana akan dijumpai pula
kepemimpinan yang sederhana akan dijumpai pula kepemimpinan yang sederhana, baik
persyaratan, hak dan kewajiban-kewajibannya maupun tugas-tugasnya. Seseorang pemimpin
walaupun dia mendapatkan kedudukan yang istimewa tetapi ia tetap dipandang sebagai
anggota masyarakat biasa. Dia dibutuhkan oleh masyarakat hanya karena dia memiliki
kelebihan-kelebihan dari anggota masyarakat biasa berupa kepandaian gaib.
Seorang pemimpin pada saat itu memegang.
Pemerintah tidak secara mutlak, atau aristokrasi.
Dalam perkembangan selanjutnya, muncullah type kepemimpinan yang bersifat
mutlak, dimana kekuasaan tertinggi berada ditangan raja. Bentuk-bentuk kepemimpinan
seperti tersebut diatas dijumpai pada saat munculnya kerajaan di beberapa daerah di Sulawesi
Selatan, termasuk kerajaan sidenreng-Rappang. Pada saat itu ada anggapan atau kepercayaan
dari kalangan rakyat bahwa : Arung (raja) itu adalah orang dari keturunan To Manurung yaitu
orang yang merupakan asal mula nenek moyang raja-raja di Sulawesi Selatan yang turun dari
kayangan atau suatu tempat yang tinggi.
Oleh karena itulah raja-raja itu dianggap tidak sama dengan orang-orang biasa.
Berdasarkan kepercayaan dan anggapan itulah seorang raja sangat dihormati oleh rakyatnya.
Di Kerajaan Tanah Bugis (Sulawesi Selatan) pada saat itu sesuai dengan yang tertulis dalam
kontrak terkenal Ikrar (Pernyataan Kesetiaan) rakyat kepada Arung atau raja yang memegang
Pemerintahan. Ikrar tersebut sebagai berikut :
“Tenri Cacca mupojie, Tenri Poji muccaE.
Angikko kiraukkaju, Solokko nikibatang.
Lompok-lompok mutettongi, Lompok-lompok kilewo.
Bulu-bulu mutettongi,bulu-bulu kilewo.
Makedako mutenribali, mettekko mutenri Sumpalak”.

Maksudnya :
“Takkan kami tolak apa yang engkau sukai.
Takkan kami sukai apa yang engkau tolak.
Engkau adalah arus, sedang kami adalah batang kayu. Lembah
tempat engkau berpijak, bukit yang kami pagari. Sabdamu kami junjung,
titahmu kami patuhi”.

Pernyataan kesetiaan rakyat kepadanya hanya sepanjang ia dapat memegang dan


mengembangkan nilai-nilai adat yang dikeramatkan oleh masyarakatnya. Bila hal itu tidak
ada pada dirinya, maka serentak rakyat akan melaksanakannya.
Ikrar kesetiaan itu erat sekali kaitannya dengan syarat-syarat yang harus dimiliki oleh
seorang calon Arung (raja) atau pemimpin. Menurut adat pada kerajaan-kerajaan Bugis-
Makassar, syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh seorang pemimpin adalah sebagai berikut :

1. To malebbi artinya orang yang mulia, ini teru tama dilihat dari keturunanya (bangsawan
atau bukan).
2. To Acca artinya orang pandai.
3. To Warani artinya orang berani.
4. To Sugi artinya orang kaya.

Persyaratan-persyaratan seperti tersebut di atas dimaksudkan agar seorang pemimpin


betul-betul mempunyai kelebihan dari pada rakyat yang dipimpinnya.
Bila seorang pemimpin yang menurut penilaian betul-betul telah memnuhi
persyaratan menurut nilai-nilai dan norma-norma yang dijunjung tinggi oleh masyarakat,
maka kepada pemimpin seperti itulah ditujukan Ikrar (pernyataan-kesetiaan) seperti tersebut
diatas. Bahkan bukan hanya sampai disitu saja kalau betul-betul raja itu berlaku seperti apa
yang diharapkan, maka kepadanya diperlakukan ikrar:

“Polo pang Polo panni”


Maksudnya
“ kalau perintah raja, tidak ada alasan menolak, segalanya dikerahkan untuk
melaksanakannya”.

“Napo Sirik ajjoarengnge, Napomatei JoaE”


Maksudnya:
“ kalau raja dipermalukan, kami rakyat lebih baik mati saja”.
Pernyataan-pernyataan seperti tersebut di atas menunjukkan bahwa bila sesuatu itu
telah memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh adat, apapun yang akan terjadi harus
dilaksanakan/dijalankan.
Pernyataan-pernyataan seperti tersebut diatas juga sekaligus menjadi control bagi
tindakan-tindakan raja (pemimpin). Sebab bila seorang pemimpin sudah tidak dapat menjadi
panutan rakyat, maka dia akan serentak diturunkan oleh rakyatnya seperti halnya yang
dialami oleh salah seorang Arang Rappang yang pernah mengadakan kerja sama dengan
Arung Pammana yang dianggap merugikan rakyat, maka ia serentak diturunkan dari
tahtanya. Karena menurut adat Bugis bahwa pemimpin tana (pemerintah)itu adalah
merupakan pusat (tumpuan) harapan rakyat untuk tetap terpeliharanya nilai-nilai dan norma-
norma yang menjadi pedoman hidup masyarakat. Jika hal seperti itulah tiba saatnya diadakan
penggantian.
Sebagai pasangan pernyataan dari rakyat seperti tersebut diatas, maka oleh Arung
(raja0 dibalas pula dengan pernyataan sebagai berikut:

“Assama Iyyako muabbulo sipeppa, Mupenrekengak Nanre manasu”.


Maksudnya:
“Bermusyawarah dan bermufakatlah karena apa yang telah kamu mufakati,
itulah yang akan aku jalankan”.
“Pura taro Arung, teppura taro adek. Pura taro adek teppura taro maranang”.
Maksudnya:
“keputusan raja dapat dirobah, keputusan Adat tidak dapat dirobah. Keputusan
Adat dapat dirobah, keputusan bersama tidak dapat dirobah.

Setelah masuknya Agama Islam di Sidenreng-Rappang, maka di tambah pula menjadi:

“Pura taro maranang teppura taro syarak(Agama)”.


Maksudnya:
“keputusan bersama dapat dirobah, keputusan Agama tidak dapat dirobah”.
“Teccau Maegae, tebbakke tongengnge”.
Maksudnya:
“yang banyak tak pernah tersisihkan, yang benar tak pernah kalah”.

Dengan pernyataan-pernyataan timbale-balik seperti tersebut diatas, suatu pertanda


bahwa di Tanah Bugis sejak dahulu sudah dikenal sistim pemerintahan yang bersifat
Demokrasi. Dalam bahasa Bugis pemerintahan seperti ini dikenal dalam istilah Mangolo
Pasang, maksudnya ada komunikasi timbale-balik dari raja kepada rakyat dan dari rakyat
kepada raja.
Dari uraian seperti tersebut diatas jelas terlihat bahwa sistim nilai adat mempunyai
peranan penting dalam interaksi rakyat dengan pimpinannya dan sebaliknya. Juga dapat
dilihat bahwa seluruh kegiatan pemerintahan/ politik didasarkan pada sistim masyarakat
mufakat. Keputusan-keputusan yang harus dilaksanakan terlebih dahulu Melalui
musyawarah. Hal ini jelas dilihat pada Ikrar raha seperti yang telah disebutkan ai atas yang
berbu-nyi :

“ Assama Iyyako muabbulo sipeppa mupenrikengnga nanre manasu”.


Maksudnya:
“ Bermusyawarahlah untuk mengambil keputusan karena keputusan itulah
yang akan aku laksanakan”.

Disamping itu juga dapat dilihat bahwa sejak masuknya Islam di Sulawesi Selatan
(Bugis-Makassar) yaitu kira0kira tahun 1908/1909, maka nilai-nilai Islam-pun mulai berbaur
dengan nilai-nilai Adat untuk dijadikan pedoman hidup bermasyarakat. Ini dibuktukan
dengan Ikrar raja seperti tersebut diatas, setelah masuknya Islam disempurnakan dengan
menambah nilai-nilai Islam sehingga berbunyi:

“Pura taro maranang teppura taro syarak”.


Maksudnya:
“Keputusan bersama dapat dorobah, keputusan Agama tidak dapat dirobah”.
BAB XVIII

ASPEK-ASPEK SIRIK
MENURUT PENDANGAN DAN PENGALAMAN PENELITIAN
Prof. Mr.Dr.A.Zainal Abidin Farid

Prof. Mr.Dr.A.Zainal Abidin Farid, sebagai ahli budaya Bugis dan merupakan
bangsawan Bugis yang pernah mengalami sendiri pola budaya asli Bugis pada zaman
jayanya, merupakan seorang tokoh di Sulawesi Selatan tang berminat keras mempelajari dan
mengungkap masalah-masalah budaya Bugis-Makassar guna diwariskan pada generasi
penerus Bangsa, mengemukakan pandangannya mengenai SIRIK dan PESSE ATAU PACCE
SEBAGAI BERIKUT:
Pada tahun 1977 saya menanyakan tentang arti dan fungsi SIRIK dan sebab-sebab
orang-orang Bugis yang merantau ke Malaysia,yaitu johor. Mereka pada umumnya tidak bias
meneruskannya, tetapi sekedar memberikan contoh saja, paham mereka tak jauh beda dengan
responden-responden di Sulawesi Selatan. Ada beberapa orang yang menyatakan bahwa
sesungguhnya orang yang mappakasirik tak perlu membunuh tapi cukup menempeleng
penghina didepan umum, sebab tindakan itu lebih berat dari pada pembunuhan. Mereka juga
mengakui bahwa mereka meninggalkan Sulawesi Selatan karena sirik, yaitu menderita,
miskin, dan beberapa orang yang orang tuanya atau neneknya yang berasal dari wajo’
menyatakan bahwa mereka yang merantau karena ingin hidup yang lebih baik....., karena
mereka mennganggap diri mereka tinggal di negeri orang, maka mereka sangat menghemat
uang dan hartanya, sebab adalah sirik hidup merana di negeri orang, seorang turunan orang
Bugis dan nenek moyangnya merantau pada abad XVIImasih merasa bangga disebut orang
Bugis, karena orang Bugis terkenal berani, kuat bekerja, percaya diri, serta bersemangat
tinggi untuk memperbaiki ehidupan. Seorang Bugis lain ketika saya Tanya, hanya menjawab
dalam pantun terkenal”.
Dekgaga pasak ri lipukmu, balanca ri kampong mu, mulanco mabela? (Apa tak ada
pasar dinegerimu, tak ada belanja di kampungmu sehingga merantau jauh?).
Engka pasak ri lipukmu, balanca ri kampongku, ininnawamu kusappak ( Ada pasar
dinegeriku, ada belanja dikampungku, namun aku mencari hati nurani).
Pada bulan Januari tahun ini, saya mengunjungi lagi kampung Benut, Pontian, Johor
dan memperoleh keterangan tentang petualangan seorang Bugis yang telah berhasil
mengangkat dirinya dari lumpur kesengsaran menjadi salah seorang Bugis yang berhasil.
Ia berangkat dari kampung Cilireng (Wajo) ketika berumur 25 tahun menuju
Kalimantan Barat dengan bekal seadanya. Dari sana ia bersama tiga orang temannya ke
Singapura. Disana, seorang kawannya ditangkap polisi, dan ia kehabisan uang sehingga 3
hari 3 malam tak pernah makan.
Sekalipun ia berhasil dari kampung yang terkenal sebagai pemberani dan orang-orang
nakal, ia menahan diri untuk Melakukan kejahatan, sebab ia sirik keluarga erta sempuginya
(sesame Bugis) akan tercemar.
Dengan pakaian yang melekat dibadannya ia ikut sebagai penumpang gelap kereta api
yang menuju ke Benut, Malaya. Setibanya, ia melamar untuk bekerja diperkebunan kelapa
milik orang Bugis dan dipekerjakan sebagai pemanjat pohon kelapa, suatu pekerjaan yang tak
pernah dilakukan di Cilireng. Sesungguhnya ia berasal dari keluarga baik-baik dan berada.
Kalau bukan karena sirik dan pesse ia tak akan berhasil mengerjakan pekerjaan itu. Berkat
ketekunannya ia kemudian dipromosikan menjadi mandor, sehingga ia telah memenuhi pesan
orang –orang tua dikampung:
“kalau engkau merantau jaganlah engkau menjadi anak buah, jadilah Punggawa
sekalipun punggawa kecil saja”.
Pada waktu pecahnya perang Dunia ke II ia memberanikan diri untuk berdagang di
Singapura dengan resiko bahaya perang. Dikala itu tak seorangpun berani Melakukan
pekerjaan demikian. Ia berusaha sekuat tenaga tanpa mengenal takut dan lelah dan pantang
mundur sehingga memenuhi semboyang perantau Bugis pura babarak sompekku, pura
tangkisik gulikku. Ulebbirengngi telling na tualie (layarku sudah berkembang, kemudian
telah kupancangkan, lebih baik tenggelam daripada balik langkah). Yang mendorongnya
ialah apa yang dinamakan wawang asugirenna to wajo’E (ilmu untuk menjadi orang kaya
bagi orang wajo’). Ia menghayati dan mengamalkan pesan orang tua –tua di negeri asal yang
berbunyi : Resopa natinuluk, natemmengngingngi, malomo neleteipammase Dewata
Seua(jerih payah dan kerajinan serta ketidak borosan, mudah dititi oleh kemurahan Tuhan
Yang Maha Esa), pesan mana diberikan oleh La Tadamparek Puang ri Maggalatung (+ 1491-
1521).
Sekalipun ia tidak mempunyai latar belakang pendidikan, namunia pandai
menggunakan kesempatan, jadi menghargai waktu yang biasanya tidak dimiliki oleh
masyarakat tradisonil.
Memang ada ungkapan turun-temirun yang sesuai hal itu:
1. “Matuk pa baja pae, pura pae, temmappapura jama-jamang” (sebentar, besok, nanti, tak
akan menyelesaikan pekerjaan).
2. “Onroko memmatu-matu napole marekkae nala makkaluk” ( Tinggallah bermalas-malas,
lalu dating yang bergegas maka ialah yang melingkar”.
3. “Ajak mumaelok ribetta makkalluk ri cappakna letengnge” ( jangan engkau mau didahului
menginjakkan kaki di ujung titian).

Keberhasilan, demikian orang Bugis-Malaysia itu, sangat tergantung pada semangat


juang yang tinggi (pesse’) dan ketabahan sertakemauan untk bekerja keras yang tak mengenal
menyerah. Itulah lelaki Bugis yang sejati. Pernyataan tersebut didukung oleh ungkapan : Dek
nalabu essoE ri tengngana bitaraE (Mtahari tak akan tenggelam di tengah langit ) dan Iammi
waroane maperrengnge (Hanya yang mempunyai daya katahanan dapat disebut laki-laki).
Pada saat penyerbuan antara tentara jepang ke Malaysia, Sultan Johor mencari orang
yang berani menunggui istananya, karena ia pindah ke istana lain. Tak ada orang yang berani
melamar, karena takut bahwa tentara Jepang akan memasuki rumah itu, dan rumah itu konon
kabarnya dihuni setan. Sekalipun ia merasa takut juga, tetapi ia menghadap Sultan dan
menyatakan bahwa ia sanggup.
Yang membuatnya terdorong berbuat nekad itu karena sirik dan pesse. Ketetapan hati
demikian memang dikenal oleh ungkapan : Tanranna towaranie. Napappada-pada ri engkana
ri dekna, ceddekna, enrengnge maEgana, ri paddiolona, nenniak ri paddimunrinna, ri
mangkalingana, karena majak dek natassunrewe, nakareba madeceng dek natakkauang=
Tandanya orang berani ialah menyamakan adanya dan tidak adanya, sedikit atau banyaknya,
didahulukan atau dibelakangkan, dan disaat mendengar kabar buruk ia tak gentar dan waktu
mendengar berita baik ia tak menampakkan kegembiraan.
Ternyata orang Bugis itu selamat, dan oleh Sultan Johor di depan orang banyak ia
dinyatakan sebagai orang terberani di Johor, Sedangkan Sultan yang turunan Bugis itu
menyatakan dirinya nomor dua.
Kini orang Bugis itu memiliki kelapa dan pabrik minyak kelapa serta menjadi
kontraktor. Andaikata ia berpendidikan, maka pasti ia akan menjadi Singa Terbang.
Dari kisah tersebut diatas, masih dapatlah disimpulkan, bahwa apa yang
dikemukakan oleh Dr.L.A. Andaya tentang konsep sirik, pesse/pacce dan were/sare adalah
benar yang selama itu bergelimang lumpur sejarah penderitaan yang bermuara pada
culturallag: persangan yang tidak fair tanpa sirik, tetapi semata-mata siriati, dendam
kesumatyang menghasilkan pembunuhan, penganiayaan dan intrik serta fitnah, sehingga
orang akan takut berprestasi, karena bias dianggap serangan terhadap sirik orang lain,
sakratul mautnya idealisme karena terdesak oleh materialisme Barat.
Orientasi vertical ke atas serta memandang hina ke bawah, meremehkan mutu karena
hanya mementingkan kulit luar, tercekiknya kebudayaan suka membaca dan menulis...
Kesimpulan Andaya istilah bahwa sirik itu harga diri, tetapi ia juga berarti aib dan
malu.
Menurut hemat saya sirik sebagai substansi berarti harkat martabat serta harga diri
sebagai manusia. Sedangkan perasaan yang ditimbulkan bilamana harkat itu dilanggar oleh
orang lain atau diri sendiri yang merasa aib karena keadaan diri memang juga sering disebut
sirik(akibat). Kebanyakan orang secara keliru hanya mengartikan sirik sebagai perasaan
malu belaka. Lebih dapat dipahami jikalau istilah bahasa lain digunakan, misalnya di
Jawa :wirang, di Bali: jengga, di Inggeris:honour, dijerman: die ehre, di Belanda: eer.
Demikianlah Prof.Mr.Dr.A.Zainal Abidin Farid dalam mengemukakan pendapatnya,
yang dikutip penyusun sebagai bahan pelengkap dalam mendalami pengertian dan makna
seluk-beluk sirik dan pacce atau pesse tersebut. Serta menambah perbendaharaan dan makna
serta wawasan pemahaman terhadap hakekat yang terkandung pada Budaya SIRIK yang
melembaga pada masyarakat Bugis-Makassar(Sulawesi Selatan).
BAB XIX
SIRIK MENURUT PANDANGAN SARJANA ASING

Dr.H.Th.Chabot (1950:246) berdasarkan penelitian, menyatakan antara lain:


Tiap-tiap perbuatan untuk melebihi orang lain, baik secara besar atau kecil, baik
dengan angan-angan atau sesungguhnya mengakibatkan bahwa yang menderita karena
perbuatan itu merasa harga dirinya dalam masyarakat terganggu. Tentang orang itu dikatakan
bahwa ia merasa dirinya sirik dan bahwa ia akan membalas dendamnya dengan jalan
melebihi lawannya itu.
Pandapat Chabot tersebut didukung oleh survey POLRI terhadap sejumlah pelajar
SMA dan hasilnya ialah bahwa 97% memberi arti sirik secara luas sehingga sirik-sirik (malu-
malu) yang bias membuahkan balas dendam.
Sejumlah 32% orang dewasa berpendapat serupa arti sirik demikian merupakan Das
Sein yang berbeda dengan Das Sollen. Jikalau digunakan Kriteria ajaran yang terdapat di
dalam lontarak, maka apa yang dilukiskan oleh Chabot itu termasuk SIRIK ATI yaitu rasa
cemburu, sakit hati dan dendam, yang justru melawan dengan sirik yang asli.
Sherly Errington, seorang Antropoloog Amerika yang pernah mengadakan penelitian
di Luwu (1976-1977) antara lain mengemukakan sebagai berikut (1977.No.2):
“... untuk orang Bugis tiada tujuan atau alasan untuk hidup lebih tinggi atau
lebih penting daripada menjaga siriknya, dan kalau merasa tersinggung, atau
nipakasirik atau dipermalukan mereka lebih senang mati dengan perkelahian
untuk memulihkan siriknya dari pada hidup tanpa sirik. Dan memang orang
Bugis /Makassar terkenal dimana-mana di Indonesia karena dengan mudah
merekasuka berkelahi kalau dipermalukan tidak sesuai dengan derajatnya.
hhMeninggal karena sirik dikatakan Mate Rigollai, Mate Risantangi, artinya
mati diberi pula gula dan santan, artinya mati untuk sesuatu yang berguna.
Sebaliknya, hanya dengan memarahi dengan kata-kata seorang lain, bukan
karena sirik, tetapi dengan alasan lain, dianggap hina. Begitu pula lebih-lebih
dianggap hina Melakukan kekerasan terhadap orang lain hanya dengan alasan
politik atau kepentingan ekonomi, atau dengan kata lain semua alasan
perkelahian selain dari pada sirik dianggap semacam kotoran jiwa yang dapat
menghilangkan kesakitan, kita harus mengerti bahwa sirik itu tidak bersifat
menantang saja, tetapi juga merupakan perasaan halusdan suci...”

Seorang yang suka mencuri atau yang tidak beragama atau yang bersifat tidak suci
atau yang tidak sopan santun semua kurang siriknya.
Sejarawan Amerika yang berhasil menemukan konsep kebudayaan SIRIK, PESSE
DAN WERE orang–orang Sulawesi Selatan ialah Dr.L.A.Andaya (1979: 366-369) yang
menyatakan antara lain:
Dalam istilah sirik terkandung dua makna yang saling bertentangan. Dia dapat berarti
aib(malu) atau juga bias berarti harga diri.
Suatu keadaan siri’ terjadi bilamana seseorang merasa status dan prestise sosialnya
dalam masyarakat diserang di muka umum. Bias juga timbul perasaan aib jika seorang
dituduh, difitnah telah Melakukan perbuatan tercela, pada hal tidak.
Dalam masyarakat Sulawesi Selatan rasa keadilan itu bias muncul secara mendadak.
Orang Bugis-Makassar akan bereaksi keras bilamana mereka percaya bahwa mereka itu
berada pada pihak yang benar, tetapi dipersalahkan.
Mereka akan merasa derajatnya direndahkan bilamana telah merasa aib, maka dia oleh
masyarakat dituntut untuk menghilangkan ketidakadilan dan menghilangkan harga dirinya.
Masyarakat menuntut supaya orang yang disebut malu, wajib mengambil tindakan terhadap
orang yang menghinanya. Karena menurut masyarakat, lebih baik mati dalam
mempertahankan harga diri daripada hidup penuh aib.
Seseorang yang dipandang mati siriknya, karena tidak berbuat apa-apa untuk
mengembalikansiriknya, dinilai oleh masyarakat orang yang tidak berguna. Kedua aspek sirik
rasa aib dan malu harus dijaga untuk seimbang.

PACCE

Pacce,bilamana bukan sirik yang menyebabkan orang Makassar bersatu, maka pacce,
inilah yang mempersatukan kami. Adapun orang Bugis, bilamana tidak ada siriknya, masih
ada pacce.
Pacce dan sirik adalah konsep dwitunggal yang mendefinisikan orang Bugis dan
Makassar.
Sedang pacce itu bagi orang Makassar, menimbulkan rasa kebersamaan yaitu
perasaan iba melihat penderitaan-penderitaan orang. Turut merasakan penderitaan sesame
manusia, bagi orang Bugis dan Makassar diwajibkan. Itulah yang menimbulkan solidaritas
antara individu dan anggota masyarakat lainnya.
Were, mengajarkan bagi orang Bugis dan Makassar bahwa nasib seseorang tidak
menjadi baik, bila tidak berusaha untuk memperbaiki. Dalam hal ini, jangan menyandarkan
diri pada rahmat Allah, tetapi upayakan dahulu memperbaiki nasib itu.
Dr.L.A.Andaya lah yang menemukan tiga konsep kebudayaan orang-orang Bugis-
Makassar (sebenarnya juga orang Mandar dan Toraja) yang terdiri atas tiga unsur essensial :
SIRIK, PESSE dan WERE, yang menurut dugaan saya dapat ditingkatkan menjadi
kebudayaan Nasional dan bukan saja bermanfaat tetapi merupakan condition sine qua non
dalam memajukan dan mensukseskan Pembangunan Nasional dan Daerah.
Didalam uraian Andaya-lah dapat disimpulkan bahwa ada dua macam sirik, yaitu rasa
aib disebabkan oleh serangan orang lain, rasa malu yang disebabkan oleh nasib buruk yang
menimpa seseorang. (Baca :ZAINAL ABIDIN).
BAB XX
PUISI I LA GALIGO
Termasuk karya Sastra Dunia Yang Paling Besar

Dalam tahun 1939, R.A.Kern manertbitkan bukunya yang berjudul CATALOGUS


van de BOEGINEESCHE, tot den I La Galigo-cyclus behorende handschriftender
Leidsche Universiteitbibliotheek alsmede van die in andere Europeesche bibliotheken.
Tebal buku ini meliputi 1.088 halaman, ukurannya 17 X 25cm.
Dalam kata pendahuluannyaoleh R.A.Kern dinyatakan bahwa apa yang telah
dikumpulkan Dr.B.F.Matthes mengenai puisi I La Galigo barulah meliputi jumlah 2.848
muka folio. Biarpun demikian, perhitungan itu hampir tidak mencukupi 1/3 dari keseluruhan
buah tangan itu. Jika ditambahkan dengan yang lain dikenal, termasuk kumpulan-kumpulan
yang baru dan diperhitungkan satu dan lain dalam ukuran yang sama, maka orang akan
memperolehsuatu jumlah yang secara kasar dapat diperkirakan sekurang-kurangnya 7.000
folio kurang dari perkiraan Matthes, oleh karena hal itu diberikan dengan suatu pembatasan
pengertian. Bagaimanapun juga, tidak diragukan lagi bahwa I La Galigo termasuk puisi
yang paling besar dalam kesusasteraan dunia(Hoe ditzij, het lijdt geen rwijfel dat de I La
galigo tot de omvangrijkste gedichten der wereld literatur behoort).
Pendapat R.A.Kern ini diperkuat pula oleh Ds.H.van den Brink dalam bukunya
yang berjudul “Dr.Benyamin Frederik Matthes, zijn leven en arbeid in dienst van het
Nederlandsch Bijbelgenoot schap”.
Buku mengenai riwayat hidup dan pekerjaan Dr.B.F.Matthes ini diterbitkan di
Amsterdam dala tahun 1943. Dalam buku itu, (dihalaman 79) ada diterangkan mengenai puisi
I La Galigo sebagai berikut:
“Wat Dr.Matthes ten slotte ver zameldheeft,was reeds bij elkaar 2.848 bladzijden folio !. Als
mendaarbijtelt wat daarna nog verzameld is (o.a.door prof.Dr.c.c.Jonker), dan komt men
toteen omvang van minstens 7.000 bladzijden folio. Maar dan lijdt het ook geen twijfel dat,
zooals de Heer R.A.Kern in zijn uitgave van de La Galigo zegt, dit gedicht tot de
omvangrijkste der wereldliteratuur behoort”.
Bahwa apa yang akhirnya telah dikumpulkan oleh Dr. Matthes telah berjumlah 2.848
muka folio. Kalau ditambahkan dengan apa yang telah dikumpulkan kemudian (antaranya
oleh Prof.Dr.J.C.C.Jonker), maka orang akan mencapai paling sedikit 7.000 muka folio.
Olehnya tidak diragukan lagi sebagaimana yang dikatakan oleh tuan R.A.Kern dalam
bukunya tentang La Galigo, bahwa puisi ini terhitung yang paling besar dalam kesusteraan
dunia.
Selanjutnya dapat diberikan bahwa dalam tahun 1954 oleh R.A.Kern diterbitkan pula
buku yang sama judulnya dengan buku yang tersebut pertama, tetapi isinya mengenai naskah-
naskah yang terdapat di Yayasan Matthes (Mathes tiching) di Makassar.
Buku ini berjudul “CATALOGUS van de Boeginese, tot de I La Galigo cyclus
behorende handschariften van Jajasan Matthes (matthes stiching) te Makassar (Indonesia).
Tebal bukunya 268 halaman, ukuran 16 X 24cm.
Apabila pendapat R.A.Kern bahwa puisi I La Galigo termasuk kesusasteraan dunia yang
besar dapat diterima, maka dapatlah dikemukakan disini bahwa ini terdapat tiga pundak
kesusasteraan dunia lama, yaitu:
1. Homerus di Yunani dengan karyanya yang berjudul “Odysee(Odysey) dan Ilias (Ilied).
2. Vyasa di India dengan karyanya Mahabrata, dan
3. La Galigo di Indonesia dengan karyanya yang berjudul I La Galigo.

Homerus, pujangga lama Yunani, adalah penulis dua buah ciptaan berupa epic-
raksasa yaitu Ilias dan Odysee.
Amat besar kemungkinan bahwa Homerus hanya merupakan tenaga penyusus
daripada karangan-karangan tersebut karena sebelum zamannya, kedua cerita itu sudah
menjadi kisah-kisah yang dilisankan oleh para penyanyi, sebagaimana halnya cerita Sinrilik
bagi daerah Sulawesi Selatan. Penyanyi yang menyampaikan cerita-cerita diluar kepala itu
disebut rhapsodi. Dan para rhapsodi ini banyak jasanya bagi perkembangan epos-rakyat.
Tetapi namun demikian, bangsa Yunanimengakui bahwa Homerus-lah yang diberi hak
sebagai pencipta kedua epikitu.
Dari kedua buah karangan itu tadi, maka Ilias lah yang tertuadan memiliki keaslian.
Sebahagian besar dari karangan itu menceritakan tentang pengepungan Troya dan
kemarahan daripada Akhilles.
Mahabrata, merupakan buku kecil Hindu, salah satu dari dua epic besar dan India
Purba ( yang lainnya : Ramayana).
Mahabrata ( perjuangan besar) adalah epic terpanjang dunia delapan kali lebih
panjang dari gabungan karangan Homeru Ilias dan Odyssee. Pengarangnya ialah vyasa.
Cerita utamanya berkisar pada pertarungan antara golongan Kaurawa, yang merupakan
personifikasi dari yang buruk, dengan golongan pandawa, yang memiliki yang baik. Terdapat
100.000 kuplet (bait).
Diantara bagian-bagian dari Mahabrata terdapat cerita-cerita Nala dan Damayanti,
Savitri dan Bhagavadgita (lagu Ketuhanan).
Sebagaimana tadi telah diterangkan bahwa disamping Mahabrata, India punya cerita
epik besar lainnya yang bernama Ramayana yang dikarang oleh Valmiki. Ramayana
dianggap lebih tua dari Mahabrata, tetapi isinya lebih pendek, hanya terdiri dari 24.000
kuplet.
La Galigo adalah putera Sawerigading dari isterinya yang bernama We Cudai,
Sedangkan Sawerigading sendiri ialah keturunan raja yang berkuasa di Luwu(palopo).
La Galigo tidak diberikan kekuasaan oleh Dewata untuk memerintah, tetapi
dianugerahi suatu kepandaian yang luar biasa yaitu kepandaian menciptakan suatu rangkaian
besar puisi yang diberi nama I La Galigo.
Puisi I La Galigo memuat peraturan-peraturan dan upacara-upacara yang merupakan
pokok adat dengan segala cabang-cabangnya dan ranting-rantingnya yang harus berlaku
dibawah kekuasaan turunan-turunan Baginda Sawerigading.
BAB XXI
TIGA UJUNG BEKAL ORANG BUGIS-MAKASSAR
MERANTAU DAN UNGKAPAN-UNGKAPANNYA

Orang-orang Bugis-Makassar terkenal sebagai orang-orang yang suka merantau.


Dalam perantauannya itu, mereka berbekal Tiga Ujung, yaitu ujung lidah, ujung kelaki-lakian
(kelamin) dan ujung badik.
Apabila mereka tiba disuatu tempat, ia berusaha Melakukan pendekatan dengan
masyarakat setempat dengan bersahabat. Jika gagal,maka diupayakan menjalin hubungan
keluarga lewat akad nikah (ujung kelamin). Jika gagal juga, maka digunakanlah alternative
yang ketiga yaitu ujung badik, yang menggunakan kekerasan (menaklukkan penduduk
setempat) dengan cara menggunakan senjata ujung badik. Demikianlah prosesnya maka
banyak sekali orang Bugis-Makassar dalam perantauan. Pada pola hidup orang-orang Bugis-
Makassar terdapat pula ungkapan –ungkapa sebagai pedoman hidup. Seperti misalnya: Tut
Wuri Handayani (yang kini menjadi pegangan dunia pendidikan di Negeri RI ini).
Ungkapan-ungkapan Bugis-Makassar, tersebut antara lain:

1. Punna tena SIRIKNU pa’niaki PACCENU : jika tidak punya harga diri(kehormatan) maka
milikilah rasa solidaritas (ini ungkapan Makassar).
2. Abbattireng ripolipungku= kunjunjung tinggi lembaga asal usulku/leluhurku (ungkapan
Bugis).
3. Padaidi na Padaelo = kita sama kita dan mau sama mau (ungkapan Bugis).
4. Sirikaji na kitau atau Ma’nassana sirikaji tojeng (artinya karena kita memiliki harga diri
atau kehormatan maka kita disebut manusia- ungkapan Makassar).
5. Taro ada, taro gau: satunya kata dan perbuatan (Bugis).
6. Pada lao, tappada upe : sama-sama berjuang,namun takdir suratan tangan atau ridha Allah
jualah penentu sukses. Karena itu dalam perjuangan diperlukan doa kepada Tuhan Yang
Maha Esa (Bugis).
7. Resopi temmangingngi, naletei pammase dewata seuwaE : hanya mereka yang berjuang
tanpa kenal leleh dan tidak bosan memperoleh ridha Allah untuk sukses mencapai cita-cita
perjuangan (Bugis).
8. Kualleangi tallanga na toalia : kupilih lebih baik tenggelam daripada surut kembali, tanpa
hasil perjuangan. (Makassar).
9. Malilu sipakaingE, mali siparappe : Khilaf saling memperingati, hanyut saling
menyelamatkan (Bugis).
10. Tettong Mabbulo Sibatang : Berdiri tegak, ber-satu padu mensukseskan perjuangan
pembangunan ( berdiri bagaikan sebatang bambu yang bulat tegak-ungkapan Bugis).
11. Appaentengko sirik : Tegakkan kehormatan, jun-jung tinggi hakekat harga diri
(Makassar).
12. Ngowa kekelaE, sapu ripale pa’gangkanna : Naf-su keserakahan biasanya berakhir
dengan kehampaan-mencapai hasil nihil (Bugis).
13. Mareso mappalaong mapparekki riwaramparang ( rajin dan tekun bekerja, hemat dalam
pengeluaran)-(Bugis).
14. Sirui menre, tessirui’no (tarik menarik ke atas, tolong-menolong, membina keakraban
dan tidak cakar-cakaran)-(Bugis).
15. Pantang kada ripomate, mesa kada dipotuwo( pertentangan kata, kita mati. Bersatu kata
kita hidup). (Luwu’-Toraja).
16. Malilu sipakainge’, rebba sipatokkong, mali siparappe. (jika keliru, ingat mengingatkan;
jika jatuh bangun membangunkan ; jika hanyut, tadah menadahkan, -Bugis).
17. Warani na cirinna : Keberanian disertai kasih saying. (Bugis).
18. Mabbulo sipeppa : Bersatu padu sebulat bamboo (Bugis).
19. Natangnga’i olona munrinna : Memperhatikan sebab dan akibatnya (Bugis).
20. Pangadereng : sistem budaya (Bugis).
21. Rapang-rapang tau : bagaikan manusia boneka(Bugis).
22. Sirik na getting : Menjunjung tinggi harga diri dan pendirian/prinsip. (Bugis).
23. Matuk pa baja pae, temmapura jama-jamang : sebentar, besok, nanti, tak akan
menyelesaikan pekerjaan (Bugis).
24. Onroko mammatu-matu napole marakkae nala makkaluk : Tinggallah bermalas-malas
lalu dating yang bergegas maka ialah yang melingkar/ yang berhasil.(Bugis).
25. Aja mumaelok ribetta makkaluk ri cappakna letengnge : jangan engkau mau didahului
menginjakkan kaki di ujung titian (Bugis).
26. Sipakatau : saling harga menghargai, hormat menghormati, saling memanusiakan.
(Bugis).
27. Akkaleng na nyameng ininnawa : menggunakan akal sehat dan hati yang tulus rama.
(Bugis).
28. Rupai ada : membuktikan ucapannya. (Bugis).
29. Mappesona ri dewata seuwaE : Tawakkal pada kebesaran Allah SWT. (Bugis).
30. Adatongeng na tike : Berkata benar dengan berhati/ waspada . (Bugis).
31. Tellabu essoE ri tengngana bitaraE :Tidak akan tenggelam matahari ditengah langit jika
bukan di ufuk Barat (segala sesuatu terjadi, karena kodrat kehendak Tuhan Yang Maha
Esa).
32. Iami woroane maperengnge : Yang disebut laki-laki ialah yang memiliki daya tahan-
kekuatan mental. (Bugis).
33. Materi ri gollai, mate ri santangi : Mati karena SIRIK, mati secara manis dan gurih
(mendapat santan dan gula).(Bugis).

Dan lain-lain ungkapan pedoman hidup suku Bugis-Makassar yang dapat diangkat
menjadi milik Nasional (Khasanah Kebudayaan Nasional kita yang Bhinneka Tunggal Ika
tersebut).
BAB XXII
SKETSA PERIHAL ASAL USUL PENAMAAN
“MAKASSAR” YANG KINI BERNAMA UJUNG PANDANG

Berbicara perihal SIRIK yang erat kaitannya dengan suku Mangkasara (Makassar),
ada baiknya dikisahkan sedikit asal usul penamaan “Makassar” tersebut.
Jika kita tinjau dari sudut sejarah zaman Mojopahit serta membuka lembaran yang
berupa syair yang bernama NEGARAKERTAGAMA karangan pujangga Prapanca maka
nyata kepada kita bahwa nama Makassar itu sudah lama dikenal oleh orang-orang Hindu,
sebelum bangsa Asing Portugis dan Belanda menjejakkan kakinya di Bumi Sulawesi ini, jadi
bukan ciptaan Belanda atau siapapun. Adapun syair bahasa KAWI yang merdu itu, bunyinya
begini :
“muwah tangi gurun sanusa mengaram ri Lombok Mira Iawan tikangi saksakadi
nikayun kahaivaan kaboh muwah tanahi Bantayan pramuka Bantayan Ion Luwuk
tokong Udamakatrayadhi nikanang sanasapupul.
hhIkang sakasanusanusa Makassar Butun Banggawi Kuni Ggali yao mwangi (ng)
selaja sumba solot Muar muwah tikangi wandan Amdwan sthawa Ewanin ri seran I
Timur makadi ningangekanusatutur”.

Jika kita selidiki syair Hindu itu, nyata bahwa negeri-negeri Bantayang (BantaEng),
Luwuk, Udamakatraya (Talaud), MAKASSAR, BUTUN, BANGGAI, SALAYAR (silayar),
sumba, solot (solor). Muar (Kei) Wanda (Banda), Ambwan (Ambon), seram dan timor pada
zaman purba mendapat pengaruh Hindu. Ketika Hindu Modjopahit mengenal daerah
MANGKASARA, kerajaan Gowa pada waktu itu belumlah berdiri. Tanah Gowa pada waktu
itu baru berupa saru Republik yang dikepalai oleh seorang ketua yang bergelar
(PACCALLA). Ia dibantu oleh Sembilan orang anggota yang bergelar KASIANG
SALAPANG.
Daerah yang disebut MANGKASARA oleh orang-orang Hindu dalam syair
NEGARAKERTAGAMA itu, ialah tanah-tanha yang terdapat pada ujung Selatan Jazirah
Sulawesi antara sungai Jeneberang dan Daerah BantaEng, yaitu Jeneponto, Takalar,
Topojawa, Laikang, Cikoang dan Bangkala. Sampai sekarang yanah-tanah itu disebut
MANGKASARA (Parasanganan Mangkasaraka).
Kalau tukang perahu membawa barang-barang atau buah-buahan ke Maros, ditanya
oleh temannya : Dari mana engkau bawa Buah-buhan itu ? . jawabnya : BATTU RATEARI
MANGKASARA artinya, saya datang dari negerinya orang Mangkasar. Maksud dengan
perkatan ini ialah, salah satu dari negeri yang telah saya katakana tadi. Orang-orang
dipegunungan JENEPONTO, kalau hendak ke kota Jeneponto, mereka biasa berkata juga :
“LANAUNGA RI MANGKASARA” , artinya saya hendak pergi kepada orang-orang
Mangkasar. Orang-orang dipegunungan Gowa kalau hendak kearah Limbung sampai ke
dekat laut, berkata juga, NAUNGA’RI MANGKASARA.
Waktu kerajaanGOwa melihat, bahwa kedudukannya mulai terancam dari laut,
terutama dari pihak penjajah, maka pemerintah Gowa mengambil keputusan untuk membuat
banteng pertahanan pada semua ujung disepanjang pantai mulai dari TALLO, UJUNG
TANAH, UJUNG PANDANG, BAROBOSO, MARISO, SOMBA OPU, GARASSI
PANAKKUKANG, BAROMBONG DAN GALESONG. Melihat bentuk-bentuk dari
benteng-benteng itu mungkin mereka mendapat petunjuk dari ahli-ahli bangunan Barat.

Orang-orang Makassar yang ulung dan mansyhur.


Setelah Belanda menjejakkan kakinya dibumi Sulawesi Selatan ini, dimintanyalah
kepada kerajaan Gowa supaya mereka diperkenankan tinggal di daerah itu untuk mengadakan
perhubungan dagang dengan penduduk. Dengan seizin pemerintah Gowa dapatlah mereke
mendirikan satu Asrama (LOJI) di sebelah utara Benteng Ujung Pandang, dinamainya
kampung itu : STAD VLAARDINGEN, yaitu mengambil nama sebuah negeri di tanah
Belanda, karena kakunya nama itu pada lidah orang MANGKASAR, maka kampung itu
dinamainya saja kampung Belanda, artinya: kampungny orang-orang Belanda.
Jauh sebelundatangnya orang-orang Belanda, yaitu pada tahun 1600, raja Gowa yang
ke-14 I MANGURANGI DG MANRABIA SULTAN ALAUDDIN mendirikan keraton
SOMBA opu, dan di sekeliling keratin itu diam kira-kira 2000 keluarga Portugis dan
beberapa raja GOWA meningkat setinggi-tingginya, sehingga kenamaan kemana-mana.
Orang-orang MANGKASAR pada dewasa itu amat berani berlayar mengarungi lautan
yang luas, sehingga orang-orang purtugis menggelar mereka : CELEBES DE
MAKASSARES, artinya orang-orang MANGKASAR yang ulung dan Masyhur, DE
BERUMDE MAKASSAR kata orang Belanda.
Sering pula kapal-kapal bangsa Eropah yang Melalui selat Malaka dan perairan
Indonesia mendapat rintangan dan gangguan dari pelaut-pelaut MANGKASAR itu. Orang-
orang kerajaan Gowa selalu disebut-sebut oleh orang-orang portugis dan Belanda Bandar
MANGKASAR.
Sering pula kapal-kapal bangsa Eropah yang Melalui selat Malaka dan perairan
Indonesia mendapat rintangan dan gangguan dari pelaut-pelaut MANGKASAR itu. Orang-
orang portugis selalu menyebut raja GOWA itu RAJA MANGAKASAR.
SOMBA OPU ibu-kota kerajaan GOWA selalu disebut-sebut oleh orang-orang
portugis dan Belanda Bandar MANGKASAR.
Sesudah istana dan Benteng SOMBA OPU diserang orang-orang Belanda dan
dibumihanguskan oleh orang-orang GOWA, SOMBA OPU yang permai itu musnah menjadi
puing. Gedung-gedung, sekolah-sekolah Mesjid dan Gereja-pun turut menjadi musnah. Jadi
yang disebut orang-orang Belanda Bandar MANGKASAR turut pula mati. Penduduk
SOMBA OPU menyingkirlah ke UJUNG PANDANG dan pembesar-pembesar Belanda
langsung menempati benteng ujung pandang yang direbutnya dari tangan orang-orang
MANGKASAR dan diubah namanya menjadi FORT ROTTERDAM, yaitu nama tempat
kelahiran Laksamana Speelman. Bandar MANGKASAR yang tadinya berpusat di SOMBA
OPU sekarang berpindah ke STAD VLAARDINGEN (UJUNG PANDANG).
Walaupun tempat kedudukan mereka bernama STAD VLAARDINGEN dan pada
kemudian hari termasuk juga Benteng UJUNG PANDANG namun nama tempat tersebut
secara resmi dipakainya perkataan MANGKASAR atau MAKASSER.
Demikianlah halnya dari permulaan penduduk Belanda yang berpokok dari STAD
VLAARDINGEN dan seterusnya ke kampung-kampung sekelilingnya, sehingga membangun
Bandar yang resmi dan tetap dinamainya MANGKASAR, yang oleh sebutan mereka berubah
pada menjadi MAKASSAR atau MAKASSER. Dengan uraian yang singkatini, teranglah
bahwa nama MAKASSAR itu bukanlah pemberian atau ciptaan orang Belanda.
(Dikaji dari kissah-kissah peninggalan Dr.Abdul Rachman Dg. Palollo(Almarhun),
seorang tokoh kebudayaan Sulawesi Selatan pada zamannya dan ahli kebudayaan
Mangkasara atau Makassar).
BAB XXIII
KEBUDAYAAN NASIONAL INDONESIA:
APAKAH ITU?
Pengantar
Dalam kaitan uraian sub kultur SIRIK NA PACCE dalam buku ini, penyusun
berpendapat sangat relevan jika uraian Prof.DR. Koentjaraningrat, perihal kebudayaan
Indonesia dan fungsinya sebagai kebudayan Nasional Indonesia dapat dijadikan studi
perbandingan (bahan kajian) dalam mengkaji lebih dalam kaitan-kaitannya dengan SIRIK
NA PACCE yang kini muncul sebagai Kultur Budaya Bangsa.
Penyusun
Pokok pertentangan dalam polemik kebudayaan tahun 1930-an adalah gagasan yang
berbeda dari dua golongan cendekiawan, yang secara sangat singkat dapat disebut sebagai :
1) Golongan yang menyarankan suatu pengembangan kebudayaan Nasional Indonesia
berlandaskan unsur-unsur kebudayaan suku-suku bangsa di daerah;
2) Golongan yang menyarankan suatu pengembangan Kebudayaan Nasional Indonesia,
yang lepas dari kebudayaan suku-suku bangsa didaerah, dan berorientasi keperadaban
dunia masa kini.

Tidak Perlu
Sampai sekarang, beberapa variasi dari beberapa gagasan yang berbeda itu masih
tetap melatar-belakangi hampir semua pembahasan masalah pengembangan Kebudayaan
Nasional Indonesi. Padahal pertentangan paham itu sebenarnya tidak perlu, kalau disadari,
bahwa kedua gagasan itu masing-masing hanya merupakan pemecahan soal bagi dua fungsi
dari kebudayaan nasional Indonesia yang sama pentingnya.
Menurut teorinya,suatu kebudayaan Nasional memiliki dua fungsi, yaitu;(10
memperkuat rasa identitas Nasional warga suatu bangsa atau Negara;dan (2)memperkuat
rasa solidaritas Nasional semua warga dari semua bangsa dan negara.
Kalau diperhatikandengan seksama,gagasan para cendikiawangolongan pertama
merupaka pemecahan soal bagi fungsy ke-1 dari kebudayaan Nasional Indonesia,sedangkan
gagasan para cendikiawan golongan ke-2 merupakan pemecahan soal fungsinya yang kedua.
Oleh karena itu,kedua gagasan itu sama benarnya,tak perlu dipertentangkan,memang bersifat
komplementer,dan saling memperkuat.
Menurut teori yang dikembangkan ahli psikologi E.H.Erikson rasa, solidaritas
diri itu antara lain dapat dikuatkan,apabila individu yang bersangkutan dapat mengacu ke
suatu karya yang nik yang dapat dibanggakan. Karena itu,identita Nasional dapat dikuatkan
dengan hasil-hasil karya yang unik dan agung, yang dapt dibanggakan sebagai hasil karya
bangsanya. Kalau misalnya candi Borobudur yang dalam kaitan ini merupakan unsur
kebudayaan Nasional Indonesia,maka karya yang unik dan agung itu (yang dianggap
agung,lepas dari latar belakangnya) dapat memenuhi kebutuhan akan perasaan bangga dari
sebagian besar warga bangsa (tidak termaksud tentu oknum-oknum yang membomnya),dan
dapat memperkuat identitas mereka sebagai warga bangsa dan Negara indonesia.
Sebaiknya,rasa solidaritas dengan orang-orang se Negara tidak mengacu ke karya
Nasional yang dapat dibanggakan,tetapi ke toleransi dan pengertian. Oleh sebab itu unsur-
unsur kebudayaan yang dapat memperkuat rasa solidaritas ini, adalah unsur-unsur yang dapat
memenuhi fungsi kedua dari suatu kebudayaan Nasional tersebut di atas.
Contoh dari unsur-unsur seperti itu adalah bahasa Nasional kesusasteraan masa
kini dalam bahasa Nasional seni drama masa kini, seni film, sistem hukum Nasional, dan
sejumlah unsur lain. Berbeda dengan Candi Borobudur atau arsitektur tradisional, yang
merupakan hasil karya yang indah dan dapat menimbulkan kebanggaan tanpa perlu ada
pengertian mengenai makna bangunan itu, unsur-unsur tersebut dapat mengintensifkan
komunikasi antar suku bangsa yang berbeda-beda kebudayaannya, atau harus dapat dipahami
maknanya, sehingga dapat menumbuhkan toleransi dan kemudian rasa solidaritas. Karena
sebagian besar unsur-unsur itu merupakan unsur kebudayaan masa kini yang baru dan harus
diciptakan secara terus-menerus, maka unsur-unsur seperti itulah yang agaknya dimaksudkan
oleh Sultan Takdir Ali Sjahbana sebagai unsur-unsur yang dapat memberi isi kepada
kebudayaan Nasional Indonesia.
Kemudian, apabila seorang putera Indonesia yang giat dalam sains dan teknologi
mendapatkan satu penemuan baru dan karena itu memenangkan hadiah Nobel, misalnya,
maka ada suatu unsur sains dan teknologi yang tidak hanya dapat memberi mamfaat kepada
semua warga bangsa Indonesia yang beraneka ragam latar belakang kebudayaan suku
bangsanya, tapi sekaligus dapat menciptakan kebanggaan atas sebuah hasil karya agung, yang
bersifat Nasional dan memperkuat rasa identitas Nasional.
Unsur -unsur yang mengisi
Dalam upaya pangembangan dua strategi kebudayaan Nasional itu, tentu perlu
diketahui secara konkret, unsur-unsur bagian mana yang merupakan isi dari kebudayaan
Nasional itu. Tabel dibawah ini memuat aftar dari unsur-unsur bagian tersebut, yang terbagi
dalam dua golongan yaitu, golongan unsur-unsur kebudayaan yang dapat memenuhi fungsi 1
dan golongan yang dapat memenuhi fungsi 2 dari kebudayaan Nasional. Unsur-unsur tersebut
tersusun atas empat golongan yaitu bahasa, kesenian, teknologi dan organisasi sosial.

Tabel
Unsur-unsur Bagian yang Mengisi Kebudayaan
Nasional Indonesia
Kelompok unsur Unsur-unsur bagian yang Unsur-unsur bagian yang
menguatkan identitas menguatkan solidaritas
Nasional nasional
Bahasa Kesenian Bahasa daerah Kesusteraan Bahasa Nasional kesusteraan
tradisional dalam bahasa masa kini dalam bahasa
daerah Nasional seni film
Seni suara dan tari seni suara dan tari masa kini
tradisional Seni rupa masa kini
Seni rupa tradisional
Seni textil
Teknologi Seni rias
Arsitektur tradisional
Obat-obatan
tradisional(usaha)
Organisasi
sosial Hukum Nasional Sistem pengelolaan gaya
Indonesia.

Pada tabel ini juga nampak, bahwa sesuai dengan apa yang ikatakan oleh Menteri
DIKBUD Fuad Hasan dalam seminar Budaya di fakultas Sastra U.I. Tanggal 24 Pebruari
1987, kelompok unsur dan kesenian mempunyai perasaan yang paling penting sebagai isi
kebudayaan Nasional Indonesia. Dalam kaitan itu, saya menambahkan beberapa unsur lagi
termasuk kelompok unsur teknologi san organisasi sosial.
Tabel itu juga menunjukkan, bahwa unsur-unsur bagian yang dapat memenuhi
fungsi 1 dari kebudayaan Nasional,sebagian besar adalah unsur-unsur kebudayaan
daerah,kebudayaan tradisional,atau unsur-unsur kebudayan warisan nenek moyang. Memang
untuk sementara para cendikiawan,para ahli sains dan teknologi dan para seniman masih
sibuk dengan perjuangan hidup yang sulit di Negara berkembang,dan belum mampu menjalin
hidup seluruh warganya itu,sehingga mereka belum sempat menghasilkan karya-karya agung.
Hal ini mungkin dapat berubah dalam waktu tiga-empat dasarwarsa lagi, apabila Negara
Indonesia sudah menjadi lebih makmur, dan kalau perangsang-perangsang yang mendorong
putere-putera Indonesia untuk bekerja, menghasilkan karya-karya agung yang dapat
menimbulkan kebanggaan bagi seluruh bangsa.
Tabel itu juga menunjukkan bahwa tidak semua unsur bagian dari kebudayaan
Nasional Indonesia termasuk unsur-unsur yang harus dikembangkan dengan biaya dan
anggaran Departemen dan Kebudayaan untuk membangun kebudayaan karena menurut
penjelasan Menteri Fuad Hasan pada seminar budaya tersebut, biaya dan anggaran itu
memang tidak ada.
Kita memang melihat tidak ada unsur-unsur yang dapat dikembangkan dengan
pembiayaan yang dapat diambil dari luar anggaran untuk pembangunan budaya tadi,
misalnya dari anggaran untuk pendidikan bahasa, anggaran untuk pengembangan seni film
dari Departemen Penerangan , anggaran untuk pengembangan hukum Nasional dari
Departemen Kehakiman, anggaran untuk pengembangan sistem pengelolaan gaya Indonesia
yang khas yang harus berbeda dengan gaya manajemen dalam perusahaan-perusahaan di
Eropa atau Amerika, yang dijiwai oleh sikap lugas dan berazas guna. Penelitian,
pengembangan dan pendidikan suatu gaya manajemen yang khas Indonesia, yang lebih
banyak ijiwai oleh hubungan pribadi, dapat dibiayai oleh swasta dan sebagainya.
Walaupun demikian, upaya pengembangan kebudayaan Nasional indonesia tidak
hanya menyangkut pengembangan dari unsur-unsur bagiannya saja, tetapi juga dari watak
umumnya, ideologinya, etiknya, dan sistem nilai budayanya.

Baca : (Koentjaraningrat, guru besar antropologi pada Fakultas Sastra U.I Jakarta Kompas).
BAB XXIV
SIRIK DAN PESSE DIUNGKAPKAN
DARI MATERI LONTARAK “LATOA”
Prof.DR.Mttulada ( Rektor universitas Tadulako) dan ahli Budaya,menguraikan
perihal SIRIK dan PESSE (PACCE) dengan mendasarkan pada Lontarak LATOA.
Sebagaimana study ,atar belakang pengertian SIRIK dan PACCE, maka pemyusunan buku
ini menyajikan sebahagian dari tulisan Prof.DR.Mattulada yang berjudul :LATOA, SUMSER
INFORMASI BUDAYA DI SULSEL.
Latoa adalah nama salah satu enis Lontara dalam kepustakaan berbahasa Bugis di
Sulawesi Selatan.
Penulisan atau pencatatan Latoa sebagai Lontara, diduga berlangsung pada zaman Raja Bobe
(Arumpone) ke-7 yang bernama La Tenrirawe Bongkannge (1560-1578) bertakhta di Tana
Bone. Baginda mempunyai seorang cendekia penasehat, bernama La Tenrirawe Bongkange
(1560-1578) bertahta di Tana Bone. Baginda mempunyai seorang cendikia penasehat,
bernama La Mellong adalah seorang anak Matoa di sebuah desa yang bernama Laliddo(ng),
dalam wanua (negeri) Cina, di tana Bone. La Mellong inilah pada masa tuanya terkenal
dengan sebutan Kajaolaliddo, yang berarti orang bijaksana dari Laliddo, atau orang tua
(berasal) dari Laliddo.
Menurut anggapan umum dikalangan orang Bugis(terutama didaerah Bone) Latoa
berisi pembicaraan antara Kajao Laliddo dengan Arumpone. Anggapan umum itu tidaklah
seluruhnya benar, karena itu pula tidaklah seluruhnya salah. Menurut batasan yang lebih
terurai,dapat dikatakan bahwa Latoa adalah lontara dalam kepustakaan orang Bugis,berisi
kumpulan ucapan-ucapan atau petuah-petuah dari Raja-raja dan orang-orang bijaksana orang
Bugis-Makassar dari zaman dahulu (termaksud zaman Kajao-Laliddo), mengenai bebagai
masalah, terutama yang berkenan dengan kewajiban-kewajiban raja terhadap rakyat dan
tuntutan bagi peguasa terutama dalam menjalankan pemerintah dan melaksanakan peradilan.
Menurut Metthes, Latoa pada orang bugis, dapat dipersamakan dengan Rapang pada
orang Makassar,seperti yang termuat dalam NCHr, pada halaman 456s/d 460 dan halaman.
GARIS BESAR ISI LATOA
Latoa, sebagai salah satu diantara sekian banyak (Lontara) atau manuscrip orang
Bugis-Makassar,memiliki arti khusus, karena kepeminpinan masyarakat dan kekuasaan.
Latoa telah berperan sebagai pedoman bagi raja dalam memerintah, dan telah menjadi
penuntun bagi Rakyat untuk menentukan sikap terhadap sesuatu kekuasaan yang hendak
diikuti atau tak sudi ditaatinya.
Sebagai Rapang (pedoman,tuntutan atau guidlines) Latoa mengandung kalimat-
kalimat hikma; pikiran-pikiran,petunjuk-petunjuk, malahan dokrin-dokrin dari Raja-Raja dan
orang-orang Bugis-Makassar dan lain-lain,pada masa lalu, kira-kira meliputi abad ke-14
sampai abad ke-17.

Azas-azas dasar Negara dan masyarakat, seperti dilukiskan dalam Latoa,


tersimpul dalam apa yang dinamakan Pangngadereng, sebagai ujud kebudayaan yang
mempunyai lima aspek yaitu : (1) ade’ ;(customs), (2) bicara (peradilan); (3) rapang (kaidah
yang telah terjadi), (4) Wari’ (tata tertib keturunan, kekeluargaan dan lain-lain); (5) Sara’
(syariat Islam).
Aspek ke-5 ini diadaptasi kedalam Pangngadereng, setelah Islam diterima sebagai
agama yang umum dianut oleh rakyat sebagai aspek kelima dari Pangngadereng.
Pangngadereng dengan 5 aspeknya itu, memperoleh kekuatan gerak dan dorongan
dari apa yang disebut sirik. Konsepsi Sirik seperti dinyatakan dalam Pangngadereng (Ujud
Kebudayaan) dapat ditanggapi sebagai ethos budaya yang menjadi sumber motifasi yang
amat kuat dalam menetapkan pola-pola perilaku dan mewarnai keputusan-keputusan tindakan
atau perbuatan orang Bugis-Makassar, menghadapi hamper segenap masalah dalam
kehidupannya.
Melalui Latoa dalam pengkajian daripadanya dapat direkonstruksi beberapa kerajaan
utama Bugis-Makassar dan kerajaan sekeluarga lainnya pada masa lampau, seperti Bone,
Gowa, Wajo, Soppeng dan lain-lain, yang telah dibangun Berdasar lima aspek
Pangngadereng. Rekonstruksi itu dapat juga meliputi berbagai pranata dan lembaga
kekuasaan, yang rupa-rupanya masih memainkn peranan dalam kehidupan orang Bugis-
Makassar sampai pada zaman mutakhir, walaupun sudah semakin samar. Pengaruh itu
terutama meliputi bentuk-bentuk sikap hidup, seperti : (1) sikap spontanitas yang tinggi; (2)
struktur dari stratifikasi apriori; (4) sikap kekeluargaan yang keras.
Latoa dan Lontara Bugis-Makassar lainnya, juga dapat menjadi sumber sejarah
mengenai keadaan sekitar abad ke-14 dan sesudahnya sampai abad ke-17. Sejak permulaan
abad ke-16, kerajaan-kerajaan orang Bugis-Makassar, lambat-laun kefilangan kemerdekaan
dan kedaulatannya. Mereka mulai hidup perang-memerangi antara satu sama lainnya, sampai
pada kedatangan dan penaklukan total oleh Belanda pada tahun 1906.
Dalam waktu tidak kurang dari 3 abad lamanya orang Bugis-Makassar berada dalam
keadaan tidak aman, kacau tak berkesudahan, dan terisolasi dan perkembanganyang terjadi
dibahagian lain dari kepulauan Nusantara. Keadaan tidak stabil itu, berkepanjangan sampai
pada Proklamasi Kemerdekaan Ri 17 Agustus 1945, dan kira-kira sepuluh tahun lebih
sesudahnya. Dalam keadaan goncangan yang tak berkesudahan itu, maka dapatlah juga
ditemukan dalam Latoa adanya pedoman-pedoman yang member arah bagi seseorang untuk
menentukan sikap yang berkelanjutan dengan akibat dalam perilaku bahagian terbesar orang
Bugis-Makassar, sampai pada hari ini, yang (1) Bercuruga kepada barang sesuatu yang baru
yang mendatanginya; (2) Bersikap apriori terhadap barang sesuatu yang berlawanan dengan
perasaan keadilannya; (3) Cepat mengambil keputusan atau tindakan terhadap barang sesuatu
yang menyangkut martabat atau harga diri (Siri’) pribadi atau kaumnya.
Apabila didalami tentang makna etik yang terkandung dalam Latoa, maka untuk masa
kinipun Latoa agaknya dapat dipergunakan sebagai pedoman dalam mendekati dan menuntun
orang Bugis-Makassar, menghadapi pembangunan dan ketahanan Integritas Nasional Bangsa
Indonesia.

Penutup dan Kesimpulan


Semua tokoh yang tercamtum buah pikirannya dalam Lontara Latoa, adalah tokoh-
tokoh sekitar abad ke_15 dan 16. Pada zaman itu, adalah zaman tergenting yang dihadapi
oleh masyarakat Sulawesi selatan. Genting karena timbulnya peperangan yang berkecamuk
antara kerajaan-kerajaan dalam wilayah sendiri di Sulawesi Selatan. Bertambah genting lagi
karena harus menghadapi arus kekuatan Kolonial (Belanda, Inggris dan Portugis) dari dunia
Barat. Dan pada zaman itu pula, berlangsung kontak dengan dunia Islam yang sudah mulai
berakar dibahagian Barat Nusantara dan Pulau Jawa. Sulawesi selatan pada zaman itu
mengalami masa peralihan yang amat dahsyat, yang sampai kini memberikan warnanya,
dalam kehidupan sosial-budaya orang Bugis-Makassar.
Kapan isi kandungan Latoa dituangkan kedalam Lontara dan siapa yang mula-mula
menulisnya, belum dapat diketahui dengan pasti. Akan tetapi idea-idea yang terkandung
dalam Latoa, seperti disebut pada bahagian depan, mengungkapkan buah-pikiran raja-raja
dan orang-orang bijaksana sebelumKajao Laliddo, dengan sesudah datangnya islam, dapat
dijadikan pegangan sementara, bahwa penulisnya itu kedalam Lontara, mungkin sudah
dilakukan berulang kali, sampai pada bentuk dan isinya yang mutakhir. Friedericy
memPERKIRAKAN TENTANG USIA Latoa sebagai Lontara, yaitu tidak kurang dari tiga
abad, adalah anggapan yang beralasan kuat.
Apabila kita coba menyimpulkan isi kandungan Latoa dan yang menjadi pola piker
orang Bugis-Makassar dalam hidup kemasyarakatan dan kebudayaannya, maka ia dapat
dikategorikan kedalam tiga pola umum, yaitu :
1) Manusia itu (tau), apapun dan bagaimanapun tingkat atau derajat sosialnya, ia
adalah makhluk yang sama (derajat) dengan manusia lainnya sebagai makhluk
Allah.
2) Manusia itu (tau) dalam tujuan hidupnya berhasrat untuk selalu berbuat
kebajikan.
3) Manusia itu (tau), dalam membangun nilai-nilai dan pranata-pranata sosial dan
kebudayaannya, selalu berusaha mencapai keselarasan antara kepentingan
kolektif dengan kepentingan individunya.
Ketiga pola sikap umum tersebut yang mendasari alam pikiran yang dituangkan
kedalam Latoa ini, memberikan bentuk perwujudan nilai-nilai dan kaidah-kaidah sosial-
budaya, yang disebut Pangngadereng. Ini menjadi ukuran nilai (waarde-oordeel) bagi tingkah
laku sosial-budaya.
Apabila kita memperhatikan buah pikiran dalam Latoa sebagai himpunan pedoman
tentang nilai-nilai dan kaidah-kaidah normatif yang ideal bagi orang Bugis-Makassar pada
samannya, maka kita akan jumpai bahwa pola piker itu, telah memberikan tempat terhormat
kepada manusia (tau), sebagai makhluk yang bermartabat, sederajat dengan sesama manusia,
apapun kedudukan sosial dan asal keturunannya. Pola sikap yang demikian itulah yang
dipergunakan oleh orang Bugis-Makassar menyongsong kedatangan Islam dan menghadapi
orang barat yang dipandang memiliki pola pandangan hidup yang amat berlainan dengan
orang Bugis-Makassar. Persentuhan dua pola piker yang berbeda itu, yang satu (Barat)
didorong oleh kehendak untuk mengusai dan yang lain (Bugis-Makassar) didorong oleh
keinginan berbuat kebajikan kepada semua orang. Berdasar prinsip persamaan. Akhirnya pola
piker yang mengandalkan kehendak praktis untuk menguasai (Barat yang berpegang pada
pandangan superioritas orang kulit putih), mengalahkan pola-pikir (Bugis-Makassar) yang
berkehendak berbuat kebajikan, dengan prinsip persamaan yang dijunjung tinggi dalam
pangngadereng.
Penaklukan atau fitrah berbuat kebajikan itulah yang menyebabkan timbulnya ekses-
ekses yang jauh dalam sikap hidup menghadapi lingkungannya. Ia menjadi liar, menjadi
sangat curiga kepada barang sesuatu yang baru, menjadi explosive, seolah-seolah lahir dari
emosi yang tidak terkendali. Keadaan jiwa yang demikian itulah diwarisi orang Bugis-
Makassar, yang rupa-ruoanya masih berbuntut sampai pada masa kini bekas-bekasnya.
Sekilas lalu dapat kelihatan bahwa seluruh kegiatan orang Bugis-Makassar dalam
hidup politik dan kemasyarakatannya sebagaimana nyata dalam Latoa, pada hakekatnya
didasarkan pada ajaran moral atau kesusilaan yang memudahkan Agama Islam memberikan
sumbangan yang positif terhadap bangunan Pangngadereng. Tetapi disamping itu,pola pikir
Barat yang menguasai dunia Barat, ketika mula mengadakan perlawatan kekawasan
Nusantara ini, juga menyumangkan pengaruhnya yang tidak sedikit. Pengaruh itu di Sulawesi
Selatan memberikan ujud dalam bentuk visual dari kelembagaan Raja-Raja, yang rupa-
rupanya berkecederungan mencomohi bentuk-bentuk luar dari kelembagaan Raja-Raja Barat,
yang mengalami sistem feudal sebagai model pengendalian kekuasaan. Kecenderungan
mencontohi model-model kekuasaan feodalistik muncul dengan pesatnya, setelah sebahagian
besar wilayah Nusantara dikuasai langsung oleh Belanda. Tana Ugi;, dan Buui Mangkasara,
mengalami kepungan-kepungan yang mematihkan.
Akan tetapi, bentuk dalam (isi), yamg menjadi semangat hidup yang tertanam dalam
kalbu rakyat, tetapi menjadi dasar pola piker yang tegak diatas keluhuran martabat manusia
yaitu Sirik, dan fitrahnya untuk berbuat kebajikan terhadap sesame manusia. Pola piker ini,
karena sifat esensialnya adalah fitrawi bagi sekalian umat manusia, maka ia telah ada juga
pada orang Bugis-Makassar. Islam-lah yang dating kemudian lebih mempertegas mengenai
hakekat dan perwujudannya, yaitu beberapa buah Hadist yang telah diadaptasikan kedalam
suasana kehidupan masyarakat Bugis-Makassar.
Ajaran-ajaran tentang moral, yang menjadi sendi dari sistem Pangngadereng,
terppantul pada aspek-aspek yang empat macamnya, yaitu : Ade’, Bicara, Rappang dan
Wari;. Setelah masuknya agama Islam ditambah pula aspek sara’. Dasar-dasar ajaran moral
dapat disimpulkanpada adanya tuntutan untuk menyadari dengan sungguh-sngguh, tentang
apa yang disebut kebajikan dan Keculasan. Adapun yang paling lekat pada hakekatnya
manusia sebagai tau, ialah hasrat atau keinginan ber5buat keajikan.adapun gejala-gejala
kejahatan yang selalu dating menggoda, itulah yang menjaditantangan setiap saat agar tetap
waspada, mengintai diri dengan kesadarannya yang setinggi-tingginya. Dapat dikatakan
bahwa ketaatan kepada Ade’ (pemerintah), bagi orang Bugis-Makassar, tidak lain kaerna
adanya keyakinan yang mendalaman pada mereka bahwza Ade’ (pemerintah) adanya
keyakinan yang mendalam pada mereka atau mengayomi Siri’ mereka, dalam arti essensi
kebajikan dan martabat manusia.
Dasar inilah yang telah membawa kekuatan pada pola piker dalam Pangngadereng,
sehingga menjadi identitas yang padu dalam perilaku kehidupan orang Bugis-Makassar.
Apa yang disebut Tau(Manusi), pada dasarnya ialah manusia yang mengetahui dan
menghayati Pangngadereng itu ditatai, karena ialah yang memilihara martabat atau harga diri
sseorang sebagai Tau Masirik dan Dasirik. Untuk Sirik itulah orang Bugis-Makassar pada
waktu yang lalu, bersedia hidup, rela berkorban dan ikhlas menerima kematian.
Bilamana kita menelaah kembali Pangngadereng sebagai wujud kebudayaan (pada
masa lampau), dan menghubungkannya dengan pengalaman sejarah yang pahit yang dilalui
oleh orang Bugis-Makassar, maka kiranya akan menjadi lebih jelas lagi, makna dan peranan
Sirik, yang melatar belakangi watak dan sikap orang Bugis-Makassar, dalam rangka usaha
menempatkan dan mempertahankan apa yang dapat dipertahankannya dari kepingan-
kepingan Pangngdereng yang masih tersisi, sebagai alat pengukuh integritas dalam kehidupan
sosial budaya. Masalah Sirik ketika Pangngadereng masih merupakan satu keutuhan yangn
fungsional, dengan aspek-aspeknya sebagai sumber kaidah dalam kehidupan masyarakat dan
kebudayaan, maka Siriklah yang menjadi tolak ukur bagi perkembangan kehidupan.
Sesunguhnya secara esensial dalam kalbu orang Bugis-Makassar maka kinipun, sirik
menjadi dambaannya yang amat hakiki. Untuk dipelihara dan dijaga, sehingga setiap sikap
yang mendasarkan diri kepada sirik itu, niscaya akan sesuai dengan Pangngadereng dalam
segenap aspeknya. Karena kedudukan Sirik yang demikian itu, maka tak dapat tiada Sirik itu
menjadi hakekat dari kenginan manusia. Sirik demikian adalah harga diri, martabat
kemanusiaan. Martabat dan Harga diri, tidak mungkin lain sumbernyadaripada susila,
kenginan berbuat kebajikan dan itulah sesungguhnya fitrah manusia, secara universal.
Masalah penyaluran idea-idea baru kedalam kumpulan idea-idea yang sudah
mendarah daging dalam kebudayaan tertentu, hanya mungkin dapat terlaksana secara wajar,
apabila ia dibangun atas saling pengertian akan kepentingan itu sendiri terasa ada
manfaatnya.
Adapun garis besar sikap umum orang Bugis-Makassar yang bersumber dari Latoa,
yang rupa-rupanya masih dijadikan tolak ukur dalam menghadapi segenap perkembangan
yang mendatnginya, dapat disimpulkan dalam penutup ini, sebagai berikut :
1) Hidup keagamaan dan moral agama (Islam), pada umumnya sangat tebal.
Apabila terjadi, bahwa pada suatu saat dirasakan kepercayaan mereka
dihinakan maka mereka adakan antara essensi keyakinan keagamaan (aqidah)
dengan atribut atau ritus keagamaan. Apabila sesuatu atribut
keagamaan(kepercayaan) mereka mendapat gangguan maka bagi mereka
berarti seluruh sistem itu dihinakan. Mereka lalu nerasa terpanggil oleh Sirik
untuk melakukn suatu tindakan, dantindakan itupun terjadilah. Tindakan itu
disebutnya Mapatettong Sirik (menegakkan kembali martabat yang hilang.
2) Mereka masihsangat peka terhadap masalah (aturan) kekerabatan.
Memperluasjaringan keke rabatan dikalangan orang Bugis-Makassar
memperluas satu jalan untuk mencapai relasi sosial yang luas jaringan-
jaringannya. Oleh karena itu, maka jalan terbaik untuk mendekati orang
Bugis-Makassar dalam kehidupan sosialnya adalah Melalui perkawinan. Bila
diterima dalam perkawinan, berarti diterima dalam jaringan kekerabatan yang
melahirkan hubungan Sirik dan Pesse (solidaritas) kaum.
3) Hasrat berbuat kebajikan terhadap sesame manusia mebnjadi bahagian dari
fitrah hidup kemanusiaan, sangat ditekankan dalam Latoa. Dalam kehidupan
sehari-hari orang Bugis-Makassar, persaan hutang budi, ditanggapi sebagai
beban batin dalam hidupnya ia senantiasa merasa diburu oleh kewajiban
untuk membayar hutang-budi kepada seseorang yang pernah diterimanya.
Dari sumber inilah hadir kekuatan tolong menolong yan menimbulkan
suasana yang mendalam yang tersimpul dalam konsep Pesse.
Dalam bahasa Makassar : Pacce.
BAB XXV
MASALAH SIRI DARI SEGI HUKUM ACARA
PIDANA

C.H. Salam Basyah S.H. dibantu oleh Drs. Sappena Mustaring menulis dalam bukunya
berjudul : SIFAT KEWAJIBAN SUKU BUGIS DAN MAKASSAR, antara lain :

1. Sirik sama artinya dengan malu


2. Sirik merupakan daya pendorong untuk melenyapkan (membunuh, mengasingkan,
menguasai dan sebagainya ) barang siapa menyinggung perasaan mereka ;
3. Sirik sebagai pendorong mempunyai variasi merupakan sumber pembangkit tenaga,
Prof Chabot dalam disertasinya pada tahun 1950 yang disetir oleh Prof. Andi Zainal
Abidin Farid S.H. dalam karangannya dalam majallah L.P.H.N. sebagai berikut :
“Tiap perbuatan untuk melebihi orang lain, baik secara besar atau kecil, baik dengan
angan-angan atau dengan sesungguhnya mengakibatkan, bahwa yang menderita
perbuatan itu merasa harga dirinya dalam masyarakat terganggu. Tentang orang itu
dikatakan, bahwa ia merasa dirinya Sirik dan bahwa ia akan membalas dendamnya
dengan jalan melebihi pula lawannya itu”.

Dr. B. F. Matthes menyatakan sebagai arti daripada Sirik ialah :


1. Beschaamd = malu: kata keadaan
2. Schroomvalling = takut
3. Verlegen = malu-malu
4. Schaamte = malu : kata benda abstrak.
5. Schande = aib
6. Wanggunst = dengki
7. Eergevoel = rasa kehormatan

Saya tidak akan menguraikan satu persatu pengertian tersebut, karena sudah banyak
pemrasaran melakukannya. Akan tetapi yang terang ialah, tidak orang yang senang
dibikin malu. Dalam sejarah dunia banyak peperangan terjadi, disebabkan karena satu
pihak merasa dibikin malu oleh pihak lawannya. Dalam ceritera Minangkabau tentang
kisah SABAI NAN ALUIH Datuk Rajo Nan Panjang menentang Datuk Rajo Berbanding
untuk berperang tanding, karena malu lamarannya ditolak untuk mempersunting sigadis
SABAI menjadi isterinya yang kesekian.
Walaupun sirik itu dapat diartikan dapat malu, akan tetapi malunya itu tidaklah sama
drngan verlegen zijn menurut istilah Belanda, atau shame menurut Inggeris yang
pengertiannya malah sebaliknya, yaitu menyebabkan seseorang tidak hendak berbuat, karena
dianggap tidak sepantasnya untuk berbuat itu.
Malu pada sirik ialah suatu perasaan tersinggung yang ditimbulkan oleh perbuatan
orang lain yang menyebabkan orang yang perasaannya tersinggung itu merasa dirinya
dijatuhkan....orang yang demikian mempunyai rasa terdorong harus Melakukan sesuatu untuk
mengembalikan keseimbangan daripada rasa perasaan tersinggung itu.
Sirik selalu membangkitkan semangat, mendorong orang yamng menderita Sirik itu
untuk Melakukan kerja keras, memeras keringat, mendorong suksesnya segala usaha dan
sebagainya, demikian C.H. Salam Basyah S.H , orang yang menderita Sirik harus
melenyapkan orang yang menimbulkannya. Pepatah adatnya ialah “Sungek naranreng nyawa
na kira-kira” yang artinya “Jiwa yangdisapa, nyawa yang dikira-kira”.
Sebab bagi yang menderita Sirik itu leuzenya ialah : lebih baik mati berdarah daripada
mati menderita Sirik (“Lebbi mui mate maddarae na mate, masirikE”).
Menghina orang dimuka umum adalah perbuatan yang menimbulkan Sirik. Orang
yang dihina mungkin orang yang terkena sirik itu sendiri, akan tetapi dapat pula atasannya
atau seseorang yang akrab dengannya.
Seorang laki-laki orang Bugis-Makassar adalah to masirik dari seorang gadis atau istri
orang itu, Demikian menurut Prof. Mr. Dr. R. Soepomo yang disitir oleh C.H. Salam Basyah
S.H.. dalam bukunya “sifat kejiwaan Suku Bugis-Makassar”. Jangankan mengganggu atau
memperkosa, memasuki sajakamar seorang gadis atau isteri orang adalah perbuatan yang
menimbulkan sirik. Yang terkena sirik kecuali saudara dari si gadis atausuami dari si isteri,
juga adalah seluruh keluarga, hal mana dapat menimbulkan dendam yang tidak
berkesudahan.
Hal yang ketiga ialah kalu orang Bugis-Makassar ditantang untuk berkelahi, ia kan
terkena sirik ia akan melawan sampai tetesan darahnya yang penghabisan.
Hal lain yang dapat menimbulkan sirik ialah, kalau bagian kepala seseorang dipukul
atau seseorang Bugis-Makassar merasa dilebihi kwpandaiannya, kalau kepala seseorang kena
pukul, maka ia diwajibkan oleh seluruh keluarga untuk membunuh orang yang telah
memukulnya itu. Dan kalau ia tidak berana, maka keluarganya akan membunuhnya sendiri.
Tentang melebihi kepandaian ialah sebagai mana yang dikatakan oleh Prof. Chabot yang
disitir oleh Prof. Andi Zainal Abidin Farid, S.H. diatas.
Kalau kita renungkan sejenak, maka orang yang terkena sirik itu Melakukan
perbuatan yang mengandung arti membalas atas perbuatan orang lain yng membuat ia malu.
Kalau hanya sekedar membalas itu, didalam sejarah perbuatan membalas dengan yang
setimpal dalam dunia hukum sudah lama ditinggalkan orang.
Talio dizaman Betavier, yaitu gelijik om gelijik adalah sudah lama liwat dizaman
yang lampau, yang tidak dilakukan lagi sekarang ini, walaupun orang-orang Betavier tetap
ada berupa orang-orang Belanda.
Vergeldinngstheorrie dalam ajaran hukum pidana adalah teori klasik yag dikenal
hanya berlaku sampai abad ke XVIII dan sesudah itu tidak diikuti lagi. Malah dizaman Ultra
modern sekarang ialah banyak Negara yang membuang jauh hukuman mati dengan alasan-
alasan yang dapat dibenarkan, pendapat mana dianut oleh kebanyakan guru-guru besar kita di
Indonesia, antara lain : Roeslan Saleh, S.H. dalam bukunya Masalah Hukuman Mati, 7
September 1958, hal. 37 yang disitir oleh E. Utrecht S.H. dalam bukunya Hukum pidana II.
Alasannya ialah hukuman mati yang telah terlanjur dilaksanakan tidak dapat diperbaiki
kembali, kalau kemudian ternyata bahwa terhukum tidak bersalah. Hal ini sehubungan
dengan suatu perkara pidana yang saya hadapi sendiri dalam tingkat banding pada Pengadilan
Tinggi Ujung Pandang, dimana dalam suatu kasus seseorang mempunyai dua orang ipar,
yang mana salah satu diantaranya disetubuhi menyebabkan hanil adiknya terbungsu, lalu
dibunuh. Kemudian ternyata yang menyebabkan hamil itu adalah iparnya yang lainnya yang
telah melarikan diri dan tidak pernah pulang kembali.
Negara Indonesia adalah Negara Hukum. Setiap penghukuman haruslah melewati
Pengadilan. Membalas sendiri suatu perbuatan yang merugikan peseorangan adalah
perbuatan yang disebut menjdi hakim sendiri.hal yang demikian tidak dinarkan oleh Negara
kita sebagai Negara Hukum. Dalam peradilan sehari-hari, khususnya didaerah Sulawesi
Selatan perbuatan pidana yang ditimbulkan dengan sirik dihukum dengan pertimbangan hal
yang meringankan, sesuai dengan adat yang berlaku. Akan tetapi apakah pertambangan yang
meringankan itu terdapat diseluruh Nusantara kita masih dipertanyakan. Belum tentu
Pengadilan-pengadilan yang terdapat diluar daerah sulawesi selatan selalu mengingat, bahwa
Bugis-Makassar mengenal lembaga adat sirik yang harus diperhatikandalam menjalnkan
hukuman. Dan saya yakin, bahwa ada bagian-bagian dari Negara kita yang meletakkan
kepentingan nyawa diatas segala kepentingan-kepentingan untuk dilindungi. Hal-hal yang
demikian dapat menimbulkan tidak adanya kesatun dalam member putusan tentang sirik
tersebut. Dan alangkah menciutnya pikiran kita, kalau leerstoel dalam dunia Internasional
menyebut, bahwa disalah satu bagian di Indonesia dizaman Ultra modern sekarang yang
menimpa diri dengan membunuh orang yang menimbulkan onrecht itu.
Kalau kita pelajari sejenak buku kecil tentang “Fungsi dan perkembangan Hukum
Dalam Pembangunan Nasional” yang diterbitkan oleh Lembaga Penelitian Hukum dan
Kriminologi Fakultas Hukum Universitas Pajajaran sebagai uraian dari Prof. Dr. Mochtar
Kusumaatmadja, S.H.L.L.M. pada suatu seminar Hukum Nasional, antara lain mengatakan :

Ketertiban adalah tujuan pokok dan pertama dari segala hukum, kebutuhan akan
ketertiban ini syarat poko (fundamental) bagi adanya suatu masyarakat manusia yang
teratur. Lepas daripaa segala kerinduan akan hal-hal lain yang juga menjadi tujuan
dari pada hukum, ketertiban sebagai tujuan utama hukum merupakan suatu fakta
objektif yang berlaku bagi segala masyarakat dalam segala bentuknya. Mengingat
bahwa kita tidak mungkin gambarkan hidupnya manusia tanpa atau diluar masyarakat.
Maka manusia dan hukum merupakan pengertian yang tidak dapat dipisah-pisahkan.
Pemeo Rumawi ibi societies ibi ius menggambarkan keadaan ini diusahakan adanya
kepastian dalam pergaulan antar manusia dalam masyarakat yang teratur, tetapi
merupakan syarat mutlak bagi suatu organisasi hidup yang melampaui batas-batas saat
sekarang.
Dalam hubungan hukum dengan kekuasaan diuraikan antara lain :
1. Mengingat bahwa hukum itu Memerlukan paksaan bagi penataan ketentuan-
ketentuannya, maka dapat dikatakan bahwa hukum Memerlukan kekuasaan bagi
penegaknya. Tanpa kekuasaan hukum itu tak lain akan merupakan kaidah sosial yang
berisikan anjuran belaka. Sebaliknya hukum berbeda kaidah sosial lainnya yang juga
mengenal bentuk-bentuk paksaa, dalam hal bahwa kekuasaan itu sendiri diatur, baik
mengenai cara, maupun ruang gerak atau pelaksanaannya oleh hukum. Kita mengenal
Polisi, Kejaksaan dan Pengadilan sebagai pemaksaan atau penegak hukum Negara yang
masing-masing ditentukan batas-batas wewenangnya. Hubungan hukum dan kekuasaan
dalam msyarakat dengan demikian dapat kita simpulkan sebagai berikut : Hukum
Memerlukan kekuasaan bagi pelaksanaannya, sebaliknya kekuasaan itu sendiri
ditentukan batas-batasnya oleh Hukum.
2. Dalam membandingkan nilai-nilai hukum dengan nilai-nilai sosial budaya
lainnyadikatakan bahwa yang baik adalah hukum yang hidup (living law) dalam
masyarakat, yang tentunya sesuai pula atau merupakan penerimaan daripada nilai-nilai
yang berlaku dalam masyarakat itu. Nilai-nilai itu tidak lepas dari sikap (attitude) dan
sifat-sifat dimiliki orang-orang yang menjadi anggota masyarakat yang sedang
membangun itu. Tanpa perobahan sikap-sikap dan sifat kearah yang diperlukan oleh
suatu kehidupan yang modern, maka segala pembangunan dalam arti benda fisik akan
sedikit sekali artinya. Jadi, hakekat daripada masalah pembangunan Nasional adalah
masalah pembaharuan cara berpikir yang berobah, maka pengenalan (induction)
lembaga-lembaga modern dalam kehidupan tidak berhasil. Apabila kita sudah sepakati
prinsip, bahwa demi pembangunan pembaharuan sikap, sifat atau nilai-nilai adalah
perlu, persoalannya adalah nilai-nilai manakah dari keadaan masyarakat yang ada
hendak ditinggalkan dan diganti dengan nilai-nilai baru dan yang diperkirakan lebih
sesuai dengan nilai kehidupan dunia dewasa ini, dan nilai-nilai lama manakah yang bias
dan patut dipertahankan. Pada beberapa puluh tahun yang lalu dizaman Hindia Belanda
telah dilakukan tindakan dibidang Hukum (pidana), yaitu larangan praktek
pemanggalan kepala di pedalaman Kalimantan yang pada waktu itu masih merupakan
praktek yang lazim menurut adat setempat. Masyarakat Indonesia yang sedang
membangun dalam definisi kita berarti masyarakat sedang cepat; hukum tidak cukup
memiliki fungsi hanya sebagai alat untuk memilihara ketertiban. Pandangan yang kolot
tentang hukumyang menitik-beratkan fungsi pemeliharaan ketertiban dalam arti statis
dan menekankan sifat konservatif daripada hukum, mengganggap bahwa tidak dapat
memainkan suatu peranan yang berarti dalam proses pembaharuan. Ucapan bahwa
dengan ahli hukum orang tak dapat membuat revolusi menggambarkan anggapan
demikian. Anggapan itu tidak benar dan dibantah oleh pengalaman antara lain di
Amerika Serikat. Di Negeri ini terutama setelah dilaksanakannya New Deal mulai
tahun tiga puluhan kita telah menyaksikan dipergunakannya hukum sebagai alat untuk
mewujudkan perobahan-perobahan di bidang sosial. Di Negri inilah timbul istilah Law
is tool of social Engineing (R. Pound). Dengan dasar pikiran sebagaimanaterurai diatas,
marilah kita adakan pembaharuan dan pembangunan dibidang hukum Negara Republik
Indonesia yang kita cintai, sesuai yang termaktub dalam Garis-Garis Besar Haluan
Negara.
3. Memupuk kesadaran hukum dalam msyarakat dan membina sikap para Pengusaha dan
para Pejabat Pemerintah kea rah penmgakuan hukum, keadilan serta perlindungan
terhadap martabat manusia dan kepastian hukum sesuai dengan undang-undang Dasar
1945.
Catatan :
Diuraikan oleh B. Bastian Tafal S.H. pada Seminar Sirik di Sulawesi Selatan,
sebagai sumbangan pikiran.
BAB XXVI
MASALAH SIRIK DI MANDAR

A.PENDAHULUAN
Dimana saja terdapat kelompok manusia dalam suatu ruang lingkup masyarakat yang
merasa diri seketurunan, senasib dan sepenanggungan yang dibatasi oleh Satu Suku, pasti
mempunyai kelainan-kelainan khusus yang tidak sama dengan suku lain, baik tabiat dan tata
gaul, tutur kata, sifat, adat istiadat maupun kebiasaan-kebiasaan yang tidak terlalu prinsipil
yang dapat jadi pertanda sebagai cirri khas dari keadaan sekelompok manusia/masyarakat
dari tiap-tiap Suku.
Demikian halnya masyarakat Mandar yang lazim disebut Suku Mandar, juga
mempunyai cirri khas tersendiri, ditinjau dari segala aspek kehidupan dalam masyarakat
Mandar itu sendiri, sebagai lembaga yang paling dikenal bahwa ia masyarakat Mandar.
(Mandar adalah salh satu suku di Sulawesi Selatan).
Salah satu diantara banyak cirri khas dari masyarakat Mandar ini yang ingin
dipersoalkan berikut ini ialah masalah sirik, sebagai pusaka turun-temurun yang tidak pernah
terlepas dari sifat dan perangi suku Mandar, yang diterima secara estafet sejak dari nenek
moyang suku Mandar sampai sekarang, masih diwarisi oleh orang-orang Mandar.
Namun tak dapat disangkal, bahwa diantara sekian banyak macam dan ragam sirik
sebagian yang tidak terlalu prinsipil telah banyak aus dan mengalami perubahan disana-sini,
yang mungkin hal ini semua terjadi, mengalami perubahan disana-sini, yang mungkin hal ini
semua terjadi, akibat dari perkembangan kemajuan teknik cara berpikir, tingkat
perkembangan sosial yang kian maju, bersama arusnya teknologi modern plus Venetrasi
kebudayaan asing yang sedikit-sedikit secara tidak disadari lolos menyusup secara diam-diam
keseluruh pelosok Tanah Air, dimana suku Mandar tak ketinggalan mendapat bagian.
Tetapi terhadap hal-hal yang pokok dan prinsipil, Sirik di Mandar masih tumbuh
dalam jiwa setiap pribadi suku Mandar, yang ditandai dengan lahirnya kenyataan-kenyataan
ditengah-tengah masyarakat sebagai manipestasi dari Sirik apabila faktor penyebab timbul
dan bangkitnya Sirik itu dijumpai oleh pribadi-pribadi suku Mandar, baik didaerah Mandar
sendiri, maupun diluar daerah Mandar atau dirantau orang.
Adapun hal-hal yang banyak mengalami perubahan dari Sirik ini banyak-banyak
terdapat pada tata-muda-mudi, seperti : Kalau dulunya gadis-gadis Mandar malu melayani
sendiri seorang pemuda yang bertamu kerumahnya, sekarang sudah hal biasa bagi mereka.
Kalau dulunya gadis-gadis Mandar malu berbicara dijalan dengan seorang pemuda, malu
jalan sejajar (berdekatan) apalagi gandengan tangan, sekarang satu demi satu telah
bermunculan ditengah-tengah masyarakat pergaulan muda-mudi suku Mandar. Bagi yang
serasi diri takut ketinggalan dari pergaulan modern dan khawatir dicap sebagai
pemuda/pemudi yang tidak up to date dalam pergaulan yang banyak lagi perubahan-
perubahan yang tidak terlalu dianggap penting tapi akibatnya mengandung resiko yang berat,
yang tidak sempat disebutkan disini.
Yang akan kita bicarakan berikut ini, adalah : Sirik ditinjau dari segi-segi hidup yang
paling pokok dan penting saja.
Sebelum kita membicarakan pokok penting yang menyebabkan timbulnya Sirik,
terlebih dahulu kita membagi Sirik itu dalam 3 (tiga) golongan, ditinjau dari segi akibatnya,
yakni :
1. Sirik yang menimbulkan akibat kriminil.
2. Sirik yang berakibat hanya merugikan pribadi atau kelompok manusia.
3. Sirik yang berakibat menata kehidupan manusia sebaik-baiknya di dalam hidup
berkelompok atau bermasyarakat.
Untuk mengawali uraian secara terperinci dan terurai tentang Sirik ini, ada baiknya kita
lebih dahulu mengenal apa itu Siri?

“SIRIK ialah suatu perasaan mempertahankan harga diri yang banyak kali memaksa
manusia ber-tindak/ berbuat secara irrational, dan ada kalanya rationil”.

B. HAL-HAL YANG MENNJADI FAKTOR PENYEBAB TIMBULNYA SIRIK BAGI


SESEORANG :

I.Sirik yang menimbulkan akibat/ latar belakang kriminil :


1. Isteri diganggu orang lain.
2. Tunangan/kekasih direbut orang.
3. Anak/ sanak keluarga perempuan (gadis) janda dibawah lari laki-laki untuk
dikawini (kawin lari).
4. Daerah/ suku dihina orang.
5. Ditempeleng orang ditempat mana saja, terutama ditengah khalayak ramai.
6. Sahabat, sanak family/ teman biasa ditempeleng atau dipukul orang sementara
jalan bersama-sama atau berkumpul dimana saja.
7. Apabila Agama yang dianut dihina orang.
8. Apabila merasa hak-hak pribadi/kelompok dicvopoti/digubris orang.

II. Sirik yang berakibat merugikan diri npribadi atau kelompok manusia.
1. Apabila kedatangan tamu.
2. Bersaing dalam soal-soal materi dalam berbagai aspek/sosial.

III. Sirik yang berakibat menata kehidupan manusia sebaik-baiknya didalam hidup
berkelompok atau bermasyarakat :
1. Menempatkan diri dalam masyarakat, baik didaerah sendiri maupun dirantau orang
sesuai dengan norma-norma hidup yang berakhlak dan berbudi baik.
2. Menempatkan diri sebagai hamba Allah yang taqwa dan beriman, memegang teguh
aqidah kemanusiaan menuju akhlaqul karimah.

C.BEBERAPA URAIAN TENTANG SIRIK


I. 1. Isteri diganggu orang lain.
Banyak suku Mandar mengganggu isteri orang adalah suatu perbuatan yang
paling keji dan terkutuk, manakala hal ini terjadi, tak ada pilihan lain bagi sang suami
dan kaum kerabatnya, kecuali kerislah yang mesti menyelesaikannya. Apabila sang
isteri terganggu oleh seorang laki-laki dengan cara paksa, maka sang laki-laki itu saja
yang dibunuh oleh sang suami atau kerabatnya, tapi apabila sang isteri yang diganggu
laki-laki itu sekongkol (situruk) oleh laki-laki yang mengganggu, maka keduanya
harus dibunuh oleh sang suami. Tak ada jalan perbaikan/ penyelesaian damai lewat
peristiwa terkutuk itu, melainkan akan melahirkan dendam yang tak terputus-
putusnya, selama sang pengganggu itu belum terganjar dengan keris, karena kalau
sang suami sendiri tidak mampu berbuat, maka kaum kerabatnya (tomasirikna) sudah
pasti bertindak. Tak pandang sahabat, family atau majikan kalau Melakukan pekerjaan
terkutuk ini pasti diganjar tidak seorang pun suku Mandar yang bias mentoleir
perbuatan terkutuk ini. Bias saja terjadi persahabatan yang sangat intim dengan
seseorang, sehingga benda apa saja bias diduai oleh orang yang bersahabat itu tapi
isteri sama sekali tidak bias/terlarang SANGGA BAINE IDDA NISIOLAI (Ungkapan
orang-orang yang bersahabat karib yang artinya : Semua milik, adlah untuk kita
bersama, kecualiisteri).

2. Tunangan/ kekasih direbut orang


Mua diang namala.
Pandeng nisumayai
Dota memammang
Sipentobangan cerak.
Artinya : Lebih baik bermandi darah, daripada tunangan (gadis idaman) direbut orang.
Sirik lahir dari peristiwa semacam ini di Mandar, barangkali Cuma 1 diantara 1.000
kalau toh ada, yang tidak selesai diujung keris.
Mua diang namaala
Ande cinna matau
Gayang balinna
Calaca capparanna
Artinya : Andai kekasih diambil orang
Keris pasti menentang
Walau badan
Akan menghuni Cilacap.

Sirik yang timbul dikalangan muda-muda dengan sebab seperti ini, jarang sekali bias
diperbaiki/ didamaikan oleh siapapun, bahkan mencipta dendam yang membawa dalam
dada sang pemuda yang kehilangan tunangan/kekasih.

3. Anak/ sanak keluarga permpuan (gadis/janda) dibawah lari laki-laki untuk dikawini
(kawin lari).

Masalah kawin lari di Mandar, adalah suatu problem yang banyak kali membuat
latar-belakang kriminil, walau tak dapat diingkari, banyak juga yang dapat diselesaikan
dengan baik oleh orang-orang tua cq punghulu-penghulu Agama.
Perbuatan semacam itupun adalah Sirik bagi suku Mandar, yang sering
berkesudahan dengan kisah keris, apabila yang dilarikan itu ditemukan oleh keluarga
wanita sebelum sempat menemukan penghulu Agama ditempat mana saja. Tapi apabila
yang silariang itu sudah ditangan Pemerintah atau penghulu Agama maka keluarga
wanita tidak boleh lagi mengganggu baik laki-laki maupun wanita (anaknya) sendiri,
dan keduanya (yang baku lari) tidak boleh dikenakan hukum resmi tradisi.

Matindoi adak malao to situruk.


Artinya : Hukum tidur, apabila orang yang mau sama mau itu lewat, ini berarti apabila
yang baku lari itu sama-sama mau (tidak ada satu pihak yang dipaksa), maka
hukum adat tidak digunakan.
Moak nitami balimbungan adak
Tuomi tau tammate.
Artinya : apabila hubungan atap Pemerintah terlihat oleh orang yang bersalah, maka
tidak boleh lagi siapa saja bertindak diatas diri sitersalah itu, kecuali
Pemerintah (hukum-lah) yang akan bertindak di atas dirinya. Jadi apabila
seseorang pesakitan telah membawa Sirik dan kesalahannya pada
Pemerintah, tidak boleh lagi ada tindakan perseorangan atau kelompk diluar
Pemerintah yang boleh bertindak diatas diri orang itu.
4. Daerah atau suku dihina orang

Suatu masalah sirik yang sukar dihindari bagi suku Mandar apabila daerah atau
sukunya dihina orang baik peristiwa ini ditemukan di daerah Mandar sendiri. Lebih-
lebih kalau ditemukan dirantau orang. Untuk menebus penghinaan terhadap suku dan
Daerahnya, erring terjadi peristiwa yang menurut istilah umum, main-main jadi
sungguhan karena penghinaan daerah, suku, yang mulanya mereka hanya main-main
atau kelakar saja, tapi bagi orang Mandar sendiri penghinaan terhadap daerah dan suku
ini sama sekali tidak bias jadi bahan kelakar atau permainan, yang pada akhirnya
pertentangan yang lahir karena Sirik tak dapat dihindari dan dikendalikan.

5. Ditempeleng orang ditempat mana saja, terutama ditengah khalayak ramai.

Dotak digayng, dak di papal.


Artinya : lebih baik saya ditikam daripada saya ditempeleng. Diantara sekian banyak
macam cara memukul?dipukul, tempeleng?tamparan pukulan yang paling
keji dan paling dihindari oleh orang-orang Mandar (memukul) dipukul
dengan tangan langsung mengenai kepala atau muka. Kepala merupakan
tempat yang mulia dan pantang diganggu orang lain, apabila kalau tangan
langsung akan mengenanya. Kalau ini terjadi, kerislah sebagai balasannya.
Seorang umpamanya dipukul dengan kayu atau dilempar batu sampai ia
sangat kesakitan, mungkin masih bias didamaikan, tetapi kalau ia dipukul
dengan tangan (tanpa alat) dan langsung mengenai kepala/ (papal-tempeleng)
bias saja terjadi peristiwa dendam yang dimanifetasikan dengan keris.
Pepipal dibayar gayang.
Artinya : Tempeleng dibayar dengan keris.
Begitu kejinya tempeleng di Mandar ini, sehingga orang-orang tua yang
mengganjar/mengajar anaknya apabila sewaktu-waktu bersalah, jarang mengganjar
dengan tempeleng.

6.Sahabat, sanak family/teman biasa ditempeleng/ dipukul orang sementara jalan bersam-
sama atau berkumpul dimana saja.

Bersahabat, berteman bagi orang Man-dar kadangkala mengandung resiko yang


paling pelik, apabila sahabat itu punya persoalan dengan seseorang, sebab orang
Mandar punya motto :
Mate sammateang, tuo sattuoang.
Mua siola-ola tobopai tia tau.
Dale diruppa’, dale disiolai.
Sara diruppa’, sara disiolai.
Maksudnya : kalau orang Mandar berkawan atau jalan sama-sama, ataupun sama-sama
dirantau orang mereka itu betul-betul sehidup semati dengan kawan, baik kawan itu
sesame suku Mandar maupun berlainan suku tapi bersahabat atau kebetulan sama-sama
jalan, atau sama-sama disuatu tempat lantas salah satu diantara kawannya ada yang
terganggu, pasti ia terlibat/ melibatkan diri secara otomatis. Hukum bersahabat bagi
orang Mandar,susah atau senang yang mereka peroleh dijalan, tetap mereka bagi rata
(tanggung bersama). Begitu juga kalau sama-sama dirantau orang, biar dulunya ia
diseteru di Mandar umpamanya, tapi sekarang yang satu itu terganggu dirantau sedang
satu pasti datang membantu,jadi tidak heran kalau perantauan, semua orang mandar
didaerah itu pasti telibat dan melibatkan diri.

7. Apabila agama yang dianut odihina orang.


Setiap orang Mandar apa ia penganut Agama yang taat atau kurang taat
terhadap agama yang dianutnya disinggung,apalagi dihina orang. Penghinaan
terhadap agama yang dianutnya, seger akan menampilkan Sirik kedepan untuk
menuntut penyelesaian liwat jalur-jalur Sirik yang biasa dilalui yang berlatar-
belakang criminal.
8. Apabila hak –hak pribadi/golongan dicopoti/digubris orang.
Sudahj banyak sekali peristiwa criminal terjadi karena gtangguan-gangguan
pribadi ini umpamanya soal perbatasan kebun atau sawah yang dilalui walau
hanya setapak tanh saja yang tidak punya arti sama sekali, tetapi ia merasa
hak-hak pribadinya digubris untuk menyelesaikannya, kalau kita berpikir
logis, tidaklah mungkin soal jiwa, pada hal biasa mereka memberikan
berbagai bidang tanah secara Cuma-Cuma. Tapi karena itu adalah Sirik, maka
terpaksalah terjadi peristiwa yang jauh lebih merugikan daripada andaikata
persoalan semula biarkan/direlakan saja.

II. SIRIK YANG BERAKIBAT MERUGIKAN DIRI PRIBADI ATAU KELOMPOK


MANUSIA
1. Apabila orang Mandar kedatangan tamu.
Moa mappakala’bii tau padatta rupa tau,alabe dipakala’bik.
Maksudnya: jika menghormat seseorang , berarti menghormati dri sendiri.
Doik anna barang-barang dipameang ditia gau mapia annna loa mapia dipadatta
rupa tau andiang dipasar.
Maksudnya: uang dan harta dapat dicari/dibeli tapi perbuatan/tutur kata yang baik
tak ada dijual dimana-mana. Inilah antara lain yang jadi landasan bagi orang
Mandar, sehingga bagaimanapun miskinnya,bagaimanapun pahitnya hihup yang
mereka alami,bagaimanapun banyaknya hutang mereka,tapi kalau kedatangan
tamu,pastilah mereka layani sebaik-baiknya walau dia akan menambah hutang
yang memang sudah tak terkendali, bahkan menggadai dan menjual apa yang bias
digadai atau di jual,asal tamunya dapat terlayani dengan baik. Ini semua terjadi
secara otomatis karena sirik yang sudah melembaga dalam dada dan jiwa orang
Mandar.
2. Bersaing dalam soal-soal materi dalam berbagai aspek sosial.
Ditai mate barang-barang.
Da di na mate Sirik.
Maksudnya: lebih baik habis harta daripada malu (masirik).kejadian semacam ini
sering kita temukan dalam kehidupan sehari-hari yang terjadi secara diam-diam
atau terang-terangan ditengah-tengah masyarakat, seperti pada waktu meminang
atau dipinang,pada waktu muda-muda kampung , maappamaccok(meletakkan
uang didepan gadis-gadis idaman yang hadir duduk (meoro) pada waktu (pakkaca-
iping). Peristiawa ini semacam peristiwa tradisionil di Mandar yang sekarang
sudah jarang terdapat dikota-kota, tapi di desa-desa masih sering kita temukan.
Peristiwa ini betul-betul mengundang persaingan tanpa perhitungan karena Sirik.
Demikian juga meminang, biar kita akan mengorbankan uang sebanyak diluar
batas kemampuan kita, asal kendurti/perjamuan kita itu meriah dan up to date
menurut istilah mutahir. Ini semua terjadi hanya karena Sirik.
III. Sirik yang berakibat menata kehidupan manusia sebaik-baiknya didalam hidup
berkelompok atau bermasyarakat.

IV. 1. Menempatkan diridimasyarakat baik didaerah sendiri maupun dirantau


orang sesuai dengan norma-norma hidupyang berahklak dan berbudi baik.
Ini adalah satu-satunya manifestasi Sirik di Mandar yang latar belakangnya
positif.
Sirikpa tau mebawa mapia.
Maksudnya: Sirik itulah yang bias membina manusia hingga manusia itu
bias jadi baik. Sirik disini dekat dengan pengertiannya dengan kata bahasa
Indonesia, waktu tidak sepenuhnya kata Sirik itu diartikan dengan malu
,sebab dalm bahasa Indonesia banyak-banyak berpenbgertian tidak berbuat:
seseorang yang malu makan berarti tidak mau makan, malu menyanyi
berarti tidak menyanyi. Sirik dalam pasal inipun berpengetian yang
sama,sebab seseorang umpamanya tidak Melakukan/mengucapkan sesuatu
yang tidak baik,karena Sirik/malu,yang pada akhirnya yang baik saja semua
yang dilakukan /diucapkannya, dan sudah tentu hidupnya terpuji di tengah-
tengah masyarakat,jadi orang-orang karena Sirik, sehingga tidak berbuat
yang tidak baik dan Melakukan kebaikan.
2.Menempatkan diri dalam masyarakat sebagai yang beragama. Orang-orang
patuh melaksanakan syariah Agama,selain karena keikhlasan,iman dan
taqwa, juga faktor manusiawi yang mendorongadalah Sirik,baik pada sesame
manusia terutama pada Tuhan. Akhirnya manusia malu (masirik)
dilihat/ditau orang tidak melaksanakan syariah Agama.

Catatan:

Uraian di atas di kemukakan oleh BADU(utrusan Kabupaten Majene/mandar)


pada Seminar Sirik Di Sulawesi Selatan. Dikutip untuk melengkapi pemahaman
perihal Sirik Sulawesi Selatan.
BAB XXVII
IMPLEMENTASI NILAI LUHUR BUDAYA
BUGIS MAKASSAR DALAM PEMBANGUNAN

I. PENDAHULUAN

1. Budaya Bugis Makassar dapat didekati dengan,mamhami watak asli dari kultur,
bahwa watak dari kultur tidak pernah diam berhenti sekalipun hanya untuk
menunjukkan bahwa ia tetap ada. Ia harus berobah-robah, ia harus mencari jalan
baru untuk menyatakan dirinya. Kebudayaan dengan demikian tidak akan pernah
berhenti, sementara hidup membaharui dirinya dalam generasi-generasi yang
kemudian dengan tak jemuh-jemuhnya mencari jalan baru.

2. Seperti halnya dengan masyarakat barat yang memiliki pemikiran-pemikiran yang


genius, baik karena bakatnya maupun karena profesinya untuk mengekspretasikan
diri dalam waktu yang bersamaan, mereka menempatkan diri sebagai instrumen
dan agen kekuatan sosial, dan karena pengaruh genius pribadinya dan terutama
karena kecerdasan yang dimilikinya, mampu membuat sintesa tentang fakta-fakta
dan data tang pada gilirannya melahirkan ungkapan-ungkapan hidup.

Bangsa indinesia yang didalamnya terdapat suku Bugis Makassar, dimasa lampau
juga memiliki pemikir-pemikir yang genius pada zamannya, yang sanggup merumuskan
ide-ide dan citra-citra yang merupakan semen pengikat anggota-anggotanya dalam suatu
bangunan masyarakatnya.
Dari ide-ide dan citra hidup yang dimaksud diantaranya tidak sedikit dapat
dikategorikan sebagai nilai luhur, sebagai pedoman dan tata kelakuan bagi kehidupan
orang.
3. Kalau nilai tersebut cenderung mengalami pergeseran pengertian dari pengertian
aslinya, hal ini tidak mengherankan, sama halnya dengan ideologi, sekali diterima
oleh masyarakat ia akan memulai hidupnya sendiri terlepas dari penciptanya dan
semakin lama hidup, maka pemikirannya yang orisional akan mengalami
perobahan. Ambillah contoh : Liberalisme, yang telah auh bergeser dari pemikiran
Adam Smitt atau Benyamin Constan.

Kalau toh Adam Smitt atau Benyamin Constan masih dihormati maka karya-
kayanya dilengkapi dengan kutipan-kutipan, yang bila mana ditinggalkan diluar konsep,
memungkinkan pemikiran, interpretasi tanpa mempedulikan keasliannya.
4. Nilai-nilai luhur yang saya maksud, dapat ditemukan dalam himpunan amanat-
amanat dari orang-orang bijaksana dan raja-raja zaman dahulu, diantaranya ada
dalam bentuk syair-syair klasik. Syair-syair Bugis tersebut digunakan oleh
masyarakat baik dalam melagukan/menyanyikan untuk berbagai kepentingan
seperti menidurkan anak, mendidik dan sebagainya. Dalam upacara-upacara adat
seperti perkawinan, mensyukuu hasil-hasil panen dan lain-lain, syair-syair ini
dinyanyikan dan diucapkan untuk menambah semaraknya upacara bahkan kadang-
kadang biasanya diadakan pertandingan balas-membalas syair antara orang tua-tau.
Diantara amanah itu, seringkali engandung sikap keterusterangan yang bersiat
natural.
5. Dari sekian banyak nilai luhur yang diwarisi oleh nilai luhur bugis makassar,
diantaranya dapat ditemukan dalam bentuk pappaseng(pesan) berisi amanah
kepada keluarga secara turun-temurun, amanat ini dituliskan dan dicatat dalam
lontara, karena untuk mengangkat kembaali nilai-nilai luhur budaya Bugis
Makassar, sumber yang paling lengkap adalah lontara. Perlu dicatat disini, bahwa
banyak sarjana barat telah mengakui nilai-nilai tinggi dari lontara.

Dalam ungkapan-ungkapan yang saya kemukakan dalam forum ini, semuanya


digali dari lontara yang berbahasa Bugis.

II. NILAI LUHUR BUDAYA BUGIS MAKASSAR

Dalam usaha mencoba mengangkat kembali nilai-nilai luhur budaya Bugis Makassar,
saya akan mencoba mengemukakan beberapa pemikir Bugis-Makassar dan apa-apa yang
diungkapkan sebagai berikut:
6. To Riolo (orang terdahulu)

a. Adapun lidahmu, serupa juga dengan macan/harimau, apabila engkau tak mampu
kendalikan, digigit juga nanti kepalamu.

b. Berkata orang tua/leluhur kepada cucunya:

Empat macamnya perbuatan baik yang kau lakukan, pertama: dikehendaki


engkau berjalan dipadang luas, kedua: dikehendaki engkau menunggangi kuda
yang cepat jalannya, ketiga: dikehendaki engkau duduk dibawah pohon kayu
yang rindang daunnya, keempat: dikehendaki engkau melihat pada air yang
dingin.
Yang dimaksud berjalan dipadang luas, adalah memikirkan semua yang
diucapkan dan semua yang diperbuat. Adapun yang dimaksud kuda berjalan cepat
dikehendaki engkau mencari dalam pikiranmu dari kata-katamu, yang
menganung niat salah. Adapun yang dimaksud duduk dibawah pohon ayu yang
rindang daunnya, dikehenaki engaku bersabar, apabila ada sesuatu, apaka itu
perkataan atau perbuatan tidak meperoleh maksudnya,adapun yang dimaksud
dengan air yang dingin,mengucapkan kata-kata yang baik dengan lemah lembut.
c. Berkata pula to riolo, apabila engkau menghendaki agar(sesuatu) dikerjakan oleh
orang banyak umpamakanlah perahu, apabila suka engkau menaikinya, iulah
yang engkau muati orang (lain) itulah yang disebut jujur, yang demikian.

d. Berkata pula to riolo, semua perbuatan harusnya tertib, barulah baik, pertama
ketahuilah yang buruk, pahamilah yang baik, kedua; ketahuilah yang tidak
rampung, pahamilah yang rampung’ ketiga; ketahuilah yang benar, paamilah
yang tidak benar, keempat; ketahuilah yang culas, pahamilah yang jujur, itulah
yang disebut tertib

e. Berkata pula to riolo, nilah perbuatan yang tujuh macamnya, ingat sungguh-
sungguh, jangan hilangkan dari hatimu, apabila hendak berbuat sesuatu, pertama
lihat kesudahan perbuatan itu, pembalasannya Allah S.W.T, barulah
mengerjakannya, kedua ; takutlah (seganlah) kepada orang jujur, karena Allah
S.W.T menyertainya, ketiga; jangan meninggalkan (mengingkari) janji, keempat;
jangan takut mendengar berita, justeru dengarkanlah, jadikan pertimbangan berita
itu, serta kepada orang yang membawa berita, kelima; rajinlah diperingati,
keenam; janganlah hendaknya engkau memulai perbuatan yang sukar, jangan
pula memberitahukan kepada orang kata-kata (yang) tidak menyenangkan
hatinya, ketujuh; rajinlah meminta pertimbangan dari To Mabbicaramu, dan
barulah engkau berbuat, yang disebut oleh jori(garis ketentuan).

7. MatinroE Ri Tanana

a. Berkata pula MatinroE Ri Tanana, adalah empat macam perbuatan dalam batang
tubuh kita, pertama; angan-angan (pikiran), kedua; bicara, ketiga; sirik(harga
diri), keempat; perbuatan yang baik, adapun yang meniadakan angan-angan
(pikiran) itu,ialah apabila orang suka kemarahan, yang meniadakan bicara, ialah
perbuatan sewenang-wenang yang meniadakan sirik ialah kelobaan, yang
meniadakan perbuatan baik, ialah apabila kita menjelek-jelekkan sesama-
manusia.

b. Berkata pula MatinroE Ri Tanana, adapun yang baik itu, tertib dari kejujuran,
aapun yang jujur itu dikasihi Tuhan, dan disukai oleh orang(manusia) karena
apabila kita jujur, berbuat baik bagi semua manusia, apapu perbuatan yang baik
itu dikerjakan dan apabila tak memantul kebaikannya pada diri kita, (niscaya)
mementul kebaikannya kepada anak dan keturunan kita tak mungkin tidak
membawa kebaikan (dari) Tuhan kepad orang yang berbuat baik, serta
(kepada)orang yang jujur, (sebaliknya) adapun perbuatan sewenang-wenang dan
keculasan, apabila tak memantukl keburukannya kepada diri sendiri, maka
(terpantul) kepada anak keturunan keburukannya karena tak akan mungkin tidak
membawa keburukan perbuatan sewenang-wenang an keculasan itu.

8. ARUNG BILA

a. Berkata pula Arung bila, lama macamnya untuk mendapatkan kebaikan,


pertama;rendah dirilah sewajarnya, kedua; mengharap sesuatu pada tempatnya,
ketiga; kerjakanlah pekerjaan yang benar, keempat; melalui semak-semak
(kesukaran), kembalilah, kelima; melalui jalan (kesenangan), waspadalah,
disandarkan kepada dewata (barang sesuatu yang dikerjakannya), jangan lupa
engkau melebihkan perbuatan atas tempat bedirimu(jangan berbuat berlebih-
lebihan), jangan juga engkau melebihkan tingkah laku(atas)
kewajibanmu(derajatmu), jangan pula engkau lampaui kata-kata tempat
dudukmu, ia itulah orang yang dimarahi, tak terampuni oleh dewata yang
berlebih-lebihan kata-katanya serta perbuatannya, kalau sampah engkau, maka
dilumatkanlah engkau, diluku engkau, bukanlah jalan bagi orang kuat, baru
setelah ia berlalu, engkau bangun tak binasa kejujuran itu, dan sangat sukar
mendapatkan kemenangan itu.

b. Berkata pula Arung Bila, empat macamnya permata(yang) bercahaya,


pertama;kejujuran, kedua; berkata benar dengan keteguhan, ketiga; sirik bersama
ketegasan/ kepastian, keempat; akal bersama kebaikan hati, dan adapun yang
menutupi kejujuran itu(ialah) perbuuatan sewenang-wenang, dan adapun yang
menutupi perkataan (yang ) benar, (adalah) kedustaan, dan adapu yang menutupi
sirik, (adalah) kelobaan, dan adapun yang menutupi akal, (ialah) kemarahan.

c. Berkata pula Arung Bila empat macam tandanya orang yang pengecut, pertama;
banyak perbuatan aniayanya( sewenang-wenang), kedua; banyak dustanya,
ketiga; ia loba, keempat; kurang siriknya.

Empat juga macamnya perbuatan laki-laki sehingga disebut bersifat perempuan, dan
tidak di golongkan kedalam laki-laki, pertama ia malas, kedua ia lemah, ketiga ; ia
dungu, keempat; ia bebal.
9. PETTA MATINROE RI LARIANGBANGI

a. Berkata pula petta MatinroE, jangan engkau menyukai orang apabila tak ada
perbuatan baiknya(kegunaannya), walaupun (ia itu)sanak keluargamu, walaupun
ata ri bolammu, walaupun rakyatmu, karena apabila engkau sukai orang
itu(padahal)tak ada perbuatan baiknya, maka akan berkata orang nanti, apakah
gerangan (sebab)kesukaannyaraja terhadapnya, padahal(kami tak melihat
apapun)perbuatan baiknya, (maka)akan berakibat saling iri-mengiri, artinya
Saling cemburu-mencemburui, apabila sudah saling cemburu-mencemburui
orang didalam kekuasaanmu, maka akan tak ada lagi nantinya orang rajin, yang
(akan)engkau suruh, mendapatlah engkau kesengsaraan hati, oleh karena itu
engkau (hai) raja, apabila ada perbuatan tersembuny, artinya perbuatan yang
dirahasiakan tempatnya ia berjasa, janganlah juga
diumumkan(dinampakkan)kasih sayangmu, karena hanya dengan begitulah
perbuatan itu maka baik.

b. Seperti juga engkau (hai) pakkatenni ade, pahamilah sungguh-sungguh apa yang
disebut ade, peliharalah, hormatilah, karena ade, itulah yang disebut manusia,
apabila engkau tak mengetahui yang disebut ade, maka jadilah manusia itu
disebut manusia, karena tak ada pangkalnya ade itu, kecuali kejujuran,
besarkanlah takutmu kepada Dewata, dan pertinggilah takumu kepada Dewata,
dan pertinggilah sirik, karena adapun orang yang disebut besar takutnya kepada
Dewata dan tinggi siriknya, itulah orang yang tak terpisah dengan kejujuran,
orang yang demkian itu.

10. TO MACCAE RI LUWU

a. Berkata To Ciung gelar orang pintar di Luwu, ada empat prinsip daripada
kejujuran:

1) Memberikan ampun terhadap orang yang berbuat salah.

2) Kepercayaan yang diberikan tidak diselewebgkan, artinya tidak bisa di-


percaya bila dijaikan sandaran.
3) Tidak loba terhadap yang bukan miliknya

4) Tidak menilai suatu kebaikan bila hanya ia sendiri yang merasakannya, ba-
rulah kebaikan itu dinilai apabila bersama orang banyak merasakannya.

b. Berkata orang pintar di Luwu, ada empat ciri kebaikan didalam rumah seorang
raja pintar yang memerintah, pertama; jujur, kedua; tegas,ketiga; tidak saling
membebankan pekerjaan dalam rumah, keempat; tidak didatangi barang-barang
atau harta diambil dengan cara kekerasan.

c. Berkata orang pintar di Luwu, delapan sisi yang harus dimiliki baru disebut
takut, pertama; bersatupadu didalam Negeri, kedua; saling bersikap jujur,
ketiga; berkata benar, keempat; saling membela, kelima; bersama dalam
keadaan susah , bersama dalam keadaan senang, keenam; yang dibawah tidak
anarkis terhadap atasannya, yang diatas tidak akan absolut terhadap
bawahannya, ketujuh; tidak segan-segan memberi pada sepantasnya, kedelapan;
saling mengakui kelemahan yang sebenarnya.

Itulah yang disebut Mabbulo Silappa,Mallibu Ittello, yang dimaksud dengan


Mabbulo Silappa lihatlah seruas bamsu baik bagian dalamnya maupun bagian
luarnya, sama-sama bulat. Yang dimaksud dengan Mallibu Ittello ialah bahwa telur
itu putih bulat mengandung cairan kuning dan putih yang kelak menjadi ayam,
kemudian ayam ini bertelur lagi dan seterusnya. Inilah makna Mallibu Ittello, tidak
ada duluan dan tidak ada dibelakang.
11. LA TIRINGENG TO TABA ARUNG SAOTANRF

a. Berkata Arung Saotanre, yang kusampaikan (hai) anak cucuku, berhati-hatilah


dalam melaksanakan peradilan, sebab peradilan itu banyak pantangannya,
pertama; tak mengenal anak dan cucu, sanak, tak dipikulkan karena marah pri-
badi, tak dipakai mengasihi, karene ba-rang-barang yang dinaikkan diwaktu
malam. Adapun bila mengenal anak cucu, sa-nak, dan dipikulkan karena
marah pribadi, mengasihi karena barang-barang yang naik malam, itulah
peradilan yang membenarkan yang salah.

b. Jaganlah mengambil barang-barang yang digerakkan oleh punggung (sogokan


wanita) dan harta benda yang dinaikkan pada waktu malam, itu adalah
pantangan pergaulan, pantangan Negeri. Kata Arung Saotanre, adapun perkara
yang telah mendapat kekuatan huku, lalu diungkapkembali, itulah yang
dinamakan popo gamaru (pecah berantakan) angker, ditimpa kemarau Negeri
dan dijangkiti wabah, bermatian kerbau, tak berbuah pepohonan yang dimakan
buahnya, disangkutkan niru, diselipkan alu, ditelungkupkan lesung, ditumbuhi
rumput-rumput dapur.

c. Yang dinamakan pemimpin, disebut orang yang menjadi orang tua terhadap
sesamanya orang tua, sebab ada tiga macam orang tua, pertama; orang tua
kehilangan akal, orang tua pikun, kedua; orang tua tanduk kerbau, semakin tua
semakin tertutup pikirannya, sudah beranak bercucu, tapi tak mengetahui adat
kebiasaan, ketiga; orang tua yang mengetahui anak cucunya dan menunjuki
jalan baik (benar), mengetuai sesamanya orang tua, diterima nasehatnya dan
diikuti tingkah lakunya.

12. PUANG RI MAGGALATUNG

a. Berkata Puang Ri Maggalatung, kejujuran dan kepandaian itulah yang paling


baik ditanamkan pada dri kita, itulah juga yang tak bercerai dengan Dewata
Tunggal. Yang disebut pandai, ialah kemampuan untuk melihat akhir (akibat)
per-buatan.dan dikerjakannya adalah yang baik, bilamana dapat mendatangkan
keburukan, janganlah lakukan. Bilaman tidak baik, jaganlah hendaknya engkau
kerjakan, karena kembali juga nanti keburukannya kepadamu.

b. Kata Puang Ri Maggalatung, ada empat sifat pemegang bicara itu dan hanya
satu yang mendatangkan kebaikan negeri yaitu jika amarahnya pada orang yang
dipergunakan memutus perkara, diingatnya pada waktu bersalah padanya, lalu
itulah yang dipukulkan, sedangkan pada hakekatnya orang dipihak benar lalu
dipersalahkannya, maka sifat apilah yang bergerak. Adapun api itu berbuat
besar dan tak memandang akibatnya. Kedua, bicara yang merusak negeri
kegembiraannya kepada seseorang yang dipakai memutus, sebab telah diberikan
kepadanya harta benda oleh orang yang dibicarakan, itulah mengambil sogokan,
maka sifat anginlah sifatnya. Adapun angin itu bertindak kuat, tetapi tidak jujur,
hanya ada yang dapat dijalani lalu disuruhnya menjalan, pernah dari Barat,
pernah dari Timur. Ketiga, pabbicara yang merusak negeri, ialah belas
kasihannya yang dipakai memutus perkara. Itulah pabbicara yang menjerat,
yang seharusnya dipersalahkan tetapi dibenarkannya. Sifat airlah yang bergerak.
Adapun air itu pintar dan teliti, tetapi tidak ada getangnya (tidak tegas), dimana
daratan rengah, dimana yang hina, kesalahan mengalir. Keempat,
dipertimbangkan kedua belah pihak akar bicara yang empat, diteliti semua
dimana ia dapat menahari dan memohon kepada Dewata Tunggal, agar dapat
menahari an memohon kepada Dewata Tunggal, agar tak dikiri tak dikanan, tak
didepan, tak dibelakang, tak diatas, tak dibawah, tak memandang kebawah, tak
memandang keatas. Tak ada yang hendak diambil selain daripada apa yang
menurut kata hatinya benar dan mencahari kebenarannya. Yang bersalah dicari
kesalahannya, dilihatnya ( ditemuinya) yang dua itu, maka diserahkannya
kebenaran kepada yang benar dan diberinya pula kesalahan ke-pada yang salah.
Berkata orang yang salah, kebenarannya itulah sifat tanah yang bergerak, jujur
dan kuat, memperhadapkan juga dan tidak diperhadapkan, mengumpulkan dan
tidak dikumpulkan, menengadahkan dan tidak ditengadahkan, itu peradilan yang
mendatangkan kebaikan negeri.

c. Berkata Puang Ri Maggalatung, (hai) To Nampe, tiga pokok asal kebaikan,


pertama kejujuran, kedua; kepintaran, ketiga; takut kepada Dewata. Adapun
yang disebut kejujuran, tak menghendaki jahat sesamanya manusia serta
dirinya, tak mengingini harta benda sesamanya insan. Adapun asalnya
kepintaran ialah pikiran yang baik, memanjangkan pula umur, dan diwarisi oleh
anak cucu, memperbaiki juga negeri dan orang banyak. Yang disebut takut
kepada Dewata ialah tak mengatakan kata ohong, tak mengeluarkan kata buruk
dari mulutnya, yang disebut hanya yang dikehendaki oleh Dewata, sebab
kemarahan itu adalah kata yang melawan kepada dewata

III. SIRIK

Demikianlah beberapa pasan yang berisi amanah leluhur dahulu, yang


diwariskan pada anak cucunya sampai generasi sekarang. Namun pada kesempatan ini
masih ada satu al yang saya akan kemukakan mengenai SIRIK.
Sirik mengenai onsep dasarnya sebagaimana yang saya temukan dalam buku La
Galigo adalah suatu sikap yang senantiasa melahirkan kehidupan dan menghidupkan,
karena itu kalau pada dewasa, ini konsep sirik itu cenderung diartikan sebagai
dendam, ini berarti konsep dasar sirik itu udah mengalami pergeseran nilai.
Dari beberapa ungkapan pemikir-pemikir dizaman lampau, yang
mengungkapkan masalah sirik ini antara lain sebagai berikut.
13. ARUNG BILA

a. Berkata Arung Bila, bersikaplah (sebagai) manusia, agar menjadi baik bawaan
hatimu, karena berkata orang dahulu kala, enam macamnya perbuatan baik
makhluk manusia, sehingga disebut orang beruntung, dan adapun perbuatan
yang enam macamnya itu, semuanya bersumber dari bawaan hati yang baik,
pertama ; untung kejujuran , kedua; untung perkataan benar, ketiga; dinamakan
kemujuran yang stabil, keempat; disebut untung sirik, kelima; untung
kepandaian, keenam untung kebenaran, dan adapun keuntungan orang yang
stabil (tegas), banyak keturunanya, dan adapun keuntungan orang yang berkata
benar, diiba ratkan perahu yang dimuati, adapun keuntungan, dan adapun
keuntungan orang yang jujur (ialah) panjang usia, banyak keturunannya, dan
adapun keuntungan sirik itu, banyak sahabatnya, juga ditempati menyimpan
rahasia oleh raja, dan adapun untungnya orang pandai, akan menjadi kaya, dan
adapun keuntungan rang berani, ia akan menjadi perisai bagi negeri.

b. Berkata Arung Bila, sepuluh juga penutupnya pintu dilalui setan masuk, yang
pertama keinginan yang berlebih-lebihan saya tutuplah yang sirik, kedua dusta
saya tutuplah dengan takut kepada Allah S.W.T, etiga banyak kata-kata (bicara)
yang bukan memuji kepada Tuhan, saya tutuplah dengan diam, keempat;
kemiskinan (kesengsaraan) yang amat/sangat, saya tutuplah dengan kesabaran,
kelima; bergurau artinya main-main atau kegirangan yang berlebih-lebihan, saya
tutuplah dengan bersyukur kepada Allah SWT, keenam; panjang angan-angan
yang tak menentu, saya tutuplah dengan berkata sudah demikian (harusnya),
kedelapan; menduga (memfitnah) sesamaku manusia kepada keburukan, saya
tutuplah dengan penyerahan diri pada Tuhan, kesembilan; ketakburan, saya
tutuplah dengan merendahkan diri, kesepuluh; karena dipuji diri, saya tutuplah
dengan mengingat kepada Tuhan.

14. KARAETTA RI CENRANA


Berkata (pesannya) Karaetta ri Cenrana ( yang dipertuan di Cenrana), jangan
engkau jemu (pada) kemiskinan (melainkan) bertekad penulah pada kejujuran karena
sesungguhnya orang jujur itu, walaupun (ia) karam (tenggelam) tak akan binasa, artinya
walaupun (ia) tenggelam akan timbul uga, jangan engkau iri hati terhadap sesamamu
manusia, artinya jangan engkau benci kepada orang, jangan pula engkau cemburui
orang yang menemukan kebahagiaan, karena (apabila demikian), engkau akan binasa
sampai pada keturunanmu.
15. PETTA MATINROE RI LARIANGBANGI

Berkata Petta MatinroE ri Lariangbangi kepada Petta To MarilalengpawilaiE di


Lompu, adapun yang membedakan hewan diantara semua manusia, adalah (pada
hewan) tidak ada terlindung bahagian tubuhnya, karena tak diperlengkapi baginya
dengansirik oleh Tuhan, juga tak ada baginya kesanggupan untuk membedakan baik
dan buruk, artinya akal, angan-angan, pikir, andai kata ada sirik padanya, tidaklah ia
bertelanjang artinya tidak ia berlepas tak bertutup, andai kata pertimbangan baik-
buruknya, ada (daya) pikirnya, tidaklah ia memberikan anak kepada induknya dan
saudara perempuan dan anaknya.
16. Dari uraian tersebut diatas menunjukkan bahwa pengertian yang terkandung dalam
sirik yang harus ada dalam watak orang Bugis-Makassar, tidak ada mengandung
pikiran yang melahirkan sikap dan perbuatan merugikan orang lain.

IV. PENUTUP

17. Apabila kita memperhatikan ungkapan-ungkapa diatas, terlihat suatu benang


merah yang menghubungkan antara niali-nilai luhur budaya Bugis-Makassar
dengan kebutuhan pembangunan yang ini sedang digalakkan orde Baru.
Namun hal tersebut masih mengundang pertanyaan yang biasanya dijumpai
sekitar hubungan antara tradisi dan modernitas. Oleh karena teori-teori
modernisasi yang sederhana secara implisit mengemukakan hubungan ZERO-
SUM antara keduanya bahwa bangkitnya madernitas dalam masyarakat
dibarengi dengan redupnya tradisional.

18. Namun sebenarnya dalam banyak hal. Modernisasi menunjang tetapi tidak
menggantikan tradisi; tingkah laku, kepercayaan serta berbagai ragam modern,
hanyalah ditambahkan pada hal-hal yang sama dari tradisi. Adalah keliru bila
menganggap bahwa tradisi dan modernitas adalah dua hal yang tidak bisa
berdampingan.

19. Masyarakat modern tidaklah semata-mata modern, ia modern tapi tradisionil.


Sebaliknya, sikap dan tingkah laku tradisionil dapat pula membantu
modernisasi. Lambang-lambang tradisionil dan bentuk-bentuk kepemimpinan
serta nilai-nilai luhur seperti apa yang dikemukakan diatas, dapat menjadi
bagian-bagian yang amat penting dari basis-basis nilai yang menunjang
kerangka-kerangka modernisasi.
BAB XXVIII
TOKOH-TOKOH AHLI PEMIKIR BUGIS DAN PEMIKIRANNYA

I. PENDAHULUAN
1. Bila menelaah pemikiran didunia Barat maka pertama-tama perhatian selalu tertuju
kenegeri Yunani Kuno karena disanalah dimulai pemikiran sedemikian itu secara
sadar. Kitab-kitab yang tertib pada masa kini yang berasal dari negeri Barat
mengenai pemikiran-pemikiran terutama pemikiran atau teori-teori politik sekurang-
kurangnya beberapa pendapat dari zaman itu masih tetap disinggung seperti dialog
Socrates, dialog Plato, logika Aristoteles.
2. Demikian halnya apabila menelah pemikiran-pemikiran Masyarakat Bugis dahulu,
kita dapat menemukan nama-nama tokoh pemikir Bugis dan pemikirannya, ada
dalam bentuk perejanjian Raja yang memerintah dan raja-raja pendampingannya
(Menteri-Menterinya), perjanjian Raja yang memerintah dengan wakil-wakil
rakyatnya, ada pula dalam bentuk Pappaseng (petuah dan nasehat ) serta dalam
bentuk percakapan-percakapan atau dialog-dialog.
3. Bahwa masyarakat Bugis dahulu kala memiliki ahli pemikir, diakui oleh pejabat
Belanda antara lain Controleur W.M. Remeeus dalam Memorie van Afgetreden
Controleur I Ste klasse van Wadjo dengan kalimat (terjemahan bebas) sebagai
berikut :

“ Bahwa tidak ada yang lebih baik kecuali mengakui masyarakat Bugis dahulu
mempunyai ahli-ahli pemikir”.
Pemikiran-pemikiran yang lahir daritokoh-tokoh ahli-ahli pemikir Bugis pada
dasarnya tidak banyak bedanya dengan pemikiran-pemikirn yang masih hangat
dibicarakan pada masa kini yakni bagaimana susunan masyarakat sebaiknya? Siapa
yang sebaiknya memerintah ? bagaimana kedudukan individu dalam masyarakat?
4. Kalau kita ingin mengemukakan seluruh tokoh-tokoh ahli pemikir Bugis, kita perlu
menjelajahi dua kurun zaman dalam lintasan sejarah masyarakat Bugis yaitu :
- kurun zaman yang I disebut zaman GALIGO
dinamakan demikian karena seluruh peristiwa sejarah dalam kurun zaman ini
tertuang dalam suatu karya sastera yang besar yang diberi nama LA
GALIGO. Adapun pemberian nama atas buku ini ada kecenderungan
mengabadikan nama LA GALIGO putera dari SAWERIGADING, tokoh
terpenting dalam kebudayaan Bugis dari Luwu yang mengawini WE CUDAI
DAENG RISOMPA PUNNABOLAE RI TANETE dari kerajaan Ugi/Cina
(tidak ada hibungan dengan Cina/Tiongkok), wilayah kerajaan ini kini
merupakan bahagian dari kerajaan Wajo yang diperkirakan lahir pada abad
XIII atau awal abad XIV, kini dikenal sebagai Daerah Tingkat II Wajo.
- Kurun zaman yang II disebut zaman LONTARAK
Dinamakan demikian, karena seluruh kejadian dan peristiwa yang menyangkut
kerajaan-kerajaan yang pernah ada ditanah Bugis diabadikan dalam buku yang
bernama LONTARA. Mengenai Lontara ini, menurut catatan bahwa zaman
pemerintahan ARUNG MATOA yang ke XXXIV LA MAPPAJUNG
PUANNA SALEWO (1961-1967) beliau bersama dengan ARUNG
BETTEMPOLA LA SANGAJI PUANNA LA SENGENG telah
mengumpulkan lontara-lontara dari kerajaan Luwu, Bone dan Gowa dan
menyuruh menguji keasliannya kepada ahli lontara di Wajo. Dari hasil
pengujian, maka isi dari lontara ATTORIOLONGNGE RI WAJO dinilai
autentik.
Buku-buku yang lain memuat nama-nama ahli-ahli pemikir Bugis dan
pemikirannya dikenal dengan nama judul antara lain LA TOA,
BUDISTIHARA, INDRA PATRA.
Tentang LA TOA, dapat dikemukakan, bahwa buku ini mulai disusun kurang
lebih tahun 1582 setelah berlangsungnya Musyawarah TellumpoccoE (Bone,
Wajo dan Soppeng), dikampung BUNNE TIMURUNG – Kerajaan Bone, yang
telah melahirkan perjanjian TellumpoccoE, dimana tiga tokoh penting ahli
pemikir Bugis ikut mengambil peranan sebagai penentu dalam musyawarah
tersebut. Ketiga tokoh penting tersebut adalah LA MELLONG TO
SUWALLE TAUTONGENG MACCAE RI LALIDDONG (terkenal
dengan gelar KAJAO LA LIDDO) dari Kerajaan Bone, LA paturuisi TO
MADDUALENG dari kerajaan Wajo dan TO PACALEPPANG dari kerajaan
Soppeng.
Buku LA TOA tersebut kemudianmengalami perobahan-perobahan dan
perbaikan-perbaikan sampai abad kew-XVIII, sampai pada bentuknya
sekarang, seluruhnya terdiri dari 265 alinea.
Tentang buku yang terkenal dengan nama BUDISTIHARA, judul sebenarnya
adalah PAU-PAU RI KODONGNA TANA WAJO KUWAETOPA PAU-
PAUNNA SULTANULINJILAI, diterbitkan di Ujung pandang pada tahun
1863, tebalnya 596 halaman.
Sedang mengenai INDRA PATRA tampaknya kini cenderung terlupakan,
namun dahulu dikalangan istana di kerajaan Bugis menjadi bacaan putera-
putera mahkota.

5. Kesulitan yang dihadapi dalam usaha menentran skripsi kalimat-kalimat dari


pemikiran-pemikiran para ahli pemikir Bugis dalam buku yang disebutkan diatas
adalah karena istilah-istilah yang digunakan merupakan sebahagian besar merupakan
istilah-istilah simbolis yang selalu meminta keahlian dan kecermatan serta
kemampuan memahami sifat dari materi yang digunakan dalam istilah simbolis yang
dimajsud. Kesulitan lain adalah karena bahasa Bugis yang digunakan adalah Bahasa
Bugis Kuno.
6. Tidaklah mungkin dalam kesempatan yang terbatas ini, mengemukakan
seluruhtokoh-tokoh ahli pemikir Bugis dizaman silam. Lebih-lebih tidak
memungkinkan untuk menggunakan seluruh pemikirannya, karena untuk
mengemukakan hal itu misalnya untuk membaca buku sastera LA GALIGO saja
yang memiliki kurang lebih 8.000 halaman, jelas Memerlukan tidak sedikit waktu
dan harus bersedia waktu khusus untuk memahami kalimat demi kalimat.

II.TOKOH-TOKOH PEMIKIR BUGIS DAN PEMIKIRANNYA


Menurut catatan Lontara bahwa pada masa Pemerintahan Raja Bone ke VII LA
TENRI RA BONGGANGE, LA MELLONG TO SUWALLE atau KAJAO LA
LIDDO banyak disebut dalam banyak kepustakaan Bugis Makassar sebagai seorang
ahli piker besar, seorang negarawan dan diplomat ulung dari Negara dan Bangsanya.
Dalam perjanjian CALEPPA (ULU KANAYA RI CALEPPA) antara Gowa dan
Bone (1565). KAJAO LA LIDDO memainkan peranan pentingh. Juga dalam
perjanjian persekutuan antara Bone, Wajo dan Soppeng yang lazim disebut perjanjian
LA MUMPATUE RI TIMURUNG (1582). Beliau bersama-sama rekannya seperti
disebutkan terdahulu telah ikut berperanan, disamping raja masing-masing, ialah LA
TENRILUWE BONGKANGE Rja Bone, LA MUNGKACE TOUDAMMA Arung
Wajo dan LA MAPPALEPPE Datu Soppeng.
Ajaran-ajaran KAJAO LA LIDDO termuat dalam berbagai Lontara diantaranya
LA TOA seperti beberapa alinea yang dikutip dibawah ini
Dalam dialog KAJAO LA LIDDO dengan Raja BONE (ARUNGPONE),
bertanyalah ARUNGPONE :
“Apa tandanya apabila Negara itu mulai menanjak kejayaannya?”.
Berkatalah KAJAO LALIDDO :
“Dua tanrana nama Raja TanaE Arungpone, seuwani malempu namacca Arung
Mangkauwe, maduranna tessisala-salae”.
Artinya :”Dua tandanya Negara menjadi jaya Arungpone, pertama raja yang
memerintah Negara memiliki kejujuran serta kecerdasan, kedua ; didalam negeri
tidak pernah terjadi perselisihan-perselisihan”.

Berkata KAJAO LA LIDDO :


“Adapun yang menyebabkan nakas tahanan ARUNG PONE, apabila raja yang
memerintah memiliki selera/ keinginan yang tinggi, kedua ; apabila penegak
hukum menerima sogok dan ketiga ; orang-orang dalam negeri senantiasa
berselisihan, itu pulahlah sebagai tanda apabila negeri besar telah mundur
menjadi kecil”.
Bertanya KAJAO LA LIDDO :
“Apa gerangan hai Arungpone, yang kamu sebut tidak menempatkan
kemulianmu menjadi lemah dan yang mengekalkan tegaknya kemuliaan yang
kamu miliki supaya tidak bercerai-cerai rakyatmu, jangan seperti halnya berita
terhambur harta benda yang kamu miliki”.
Dijawab sendiri oleh KAJAO LALIDDO :

“Adapun pengemban harta benda itu Arungpone, yang tidak membiarkan


rakyatnya bercerai-berai, bilamana tidak henti-hentinya raja itu siang-malam
terus memikirkan kebaikan negerinya, diperhatikannya sebab dan akibat setiap
perbuatan yang akan dilakukan, yang kedua; raja yang memerintah itu harus
bijaksana dalam mengemukakan sesuatu, ketiga ; bijaksana dalm
mengemukakan sesuatu, ketiga ; bijaksana dalam memberikan jawaban,
keempat ; utusan atau duta raja senantiasa berkata benar”.
Berkata KAJAO LA LIDDO ;
“Ada suatu waktu dihadapi dua macam zaman yakni zaman ayam dan zaman
penyu. Adapun tanda-tanda zaman ayam jago itu, lihatlah tingkah laku dari dua
ayam jago yang berlaga, salah satu dari keduanya melompat keatas bubungan
rumah dan terus berkokok, namun kokoknya itu tidak mendapat balasan dari
bawah. Karena merasa bosan berkokok tanpa jawaban, melompatlah dia turun
ketanah dan begitu tiba ditanah, begitu diburu oleh ayam lawannya tadi.
KAJAO LA LIDDO menyebut bahwa yang berkokok di bubungan rumah tadi
sebenarnya ayam kalah. Menurut KAJAO LA LIDDO, begitulah keadaannya
pemimpin-pemimpin waktu itu, maka berkatalah KAJAO LA LIDDO, apabila
zaman ayam ini datang , tidak ada yang dikerjakan yang mendapat berkah.
Adapun yang disebut waktu penyu, ketahuilah sesungguhnya bahwa apabila
penyu bertelur, bukan dari pantatnya keluar telur, tetapi dimuntahkan dari
mulutnya. Apabila penyu mau bertelur, kepalanya keluar masuk ditubuhnya.
Berkatalah KAJAO LA LIDDO, apabila penyu mau bertelur, kepalanya yang
bergerakkeluar masuk dan dari mulutnya keluar telur yang jumlahnya banyak
dan kemudian dimakan orang banyak. Begitulah yang disebut pemimpin pada
waktu itu kepalanya (otaknya bekerja) dan hasil karyanya dinikmati orang
banyak dan berkatalah KAJAO LA LIDDO, bila waktu penyu tiba, bekerjalah
sekuat tenaga sebab tidak ada pekerjaan yang sia-sia tanpa memperoleh hasil.
Bahkan berkata KAJAO LA LIDDO, tongkatpun yang ditanam akan berdaun,
artinya tidak ada pekerjaan yang tidak mendapatkan hasil.

13. AMANNA GAPPA

Tokoh pemikir masyarakat Bugis yang muncul diabad ke XVII adalah LA


PATTELLO AMANNA GAPPA MATOA WAJO. Beliau lahir ditengah-tengah
masyarakat Bugis dari Daerah Wajo (Daerah Tingkat II Wajo sekarang). Beliau
adalah Matoa ke III dari masyarakat Wajo yang bermukim di Ujung Pandang pada
abad ke XVII. Beliau terkenal karena orang yang pertama-tama mengambil
inisiatip membuat suatu peraturan yang disebut “ADE ALLOPILOPING RI
BICARANNA PABBALUE” (Hukum pelayaran dan perdagangan). Inisiatip ini
dimaksudkan untuk membantu Matoa-Matoa daripada masyarakat Bugis yang
berasal dari Wajo danyang bermukim di daerah-derah lain di Nusantara ini seperti
Sumbawa, Pasir dan sebagainya.
Seperti dikemukakan dalam naskah-naskah Hukum Pelayaran dan
Perdagangan dari AMANNA GAPPA menunjukkan bahwa pada abad ke XVII
telah ada kelompok-kelompok orang Wajo selain di ujung pandang, juga di
Ambon, Banjarmasin, Palembang, Malaka, Johor sebagai route-route pelayaran
dari pada orang Bugis (Wajo) yang pada umumnya suka bergerak, suka berlayar
dan suka berdagang.
Peraturan Pelayaran dan Perdagangan AMNANNA GAPPA dibukukan
dalam Lontara yang dikenal dengan nama”ADE ALLOPILOPING RI
BICARANNA PABALUE” yang terdiri 18 buah buku Lontara.
Salah satu daripada Lontara itu yang terdaftar sebagai Lontara 107, memuat
nasihat-nasihat yang terdiri dari 14 bahagian yang pada pokoknya menganjurkan
agar pedangan memiliki sifat-sifat yang tidak senonoh seperti pamarah, pelalai,
penipu dan tidak takut kepada Tuhan.
Tentang tugas Syahbandar, AMANNA GAPPA menganjurkan seperti
tercantum dalam Lontara 113 pasal 24 sebagai berikut :
“Adapun engkau Syhbandar berkewajiban menyeruh mengawasi pedagang
yang baru tiba dipelabuhan negerimu, agar bnyak bea negerimu, oleh
karena engkaulah Syahbandar diserahi tugas memasukkan hasil negeri
kedalam perbendaharaan Raja, engkau jugalah pengganti diri raja menjaga
baik buruknya perdagangan, maka dalam hal itu wajiblah engkau berhati
hati bagaikan ibu bapak oleh pedagang, ladenilah anakmu dengan jujur
menurut Hukum Pelayaran dan Perdagangan, menurut Hukum yang telah
disepakati oleh orang tua, pedagang yang dibawah angin yang bernama
AMANNA GAPPA MATOA ORANG WAJO, beserta dengan MATOA
PASIR yang bersepakat di Makassar menetapkan Undang-Unadang
Pelayaran, duduk bersepakat dikampung Wajo”.

Banyak pesan-pean AMANNA GAPPA, satu diantaranya adalah sebagai


berikut :
“Apabila engkau hendak membelanjakan harta bendamu sebagai belanja
perkawinan, silahkan keluarkan, tetapi janganlah engkau menghabiskan
modal pokokmu”.

Pasal ketujuh Peraturan berperahu bagi Pedagang (ADE ALLOPI-LOPING RI


BICARANNA PABBA-LUE) yang disusun oleh AMANNA GAPPA disebut
sebagai berikut :
“Adapun pedagang itu, baik berperahu, baik berjalan (dengan pikulan, kuda
dan sebagainya), baik berwarung atau bersaudagar (sebagai eksportir,
importir) dan segala orang yang saling menerimakan barang jalan jualan, ada
lima macam. Pertama ; berkongsi sama bnyak, kedua; sama tula, ketiga;
utang tanpa bunga, keempat; utang kembali (=barang komisi), kelima; kalula,
dinamakan juga anak guru, tidak termasuk pembawa barang titipan.
Adapun berkongsi sama banyak, (ialah) memikul bersama keuntungan atau
kerugian, jikaulah cara berjualan dilakukan, sehingga beroleh kerusakan,
maka ditanggung sendiri oleh pembawa (jualan) bagi laga. Adapun
kerusakan yang dipikul bersama dengan siempunya barang jualan tiga
macam.
Pertama ; rusak dilautan, kedua; dimakan api, ketiga; kecurian. Adapun yang
tidak dipikul bersama, tujuh macamnya. Pertama ; dijudikan, kedua ;
dipelacurkan, ketiga; dipergunakan beristeri, keempat diboroskan, kelima;
dipinjamkan, keenam; dimadatkan, ketujuh; diberikan untuk makan kepada
(yang menjadi) tanggungannya. Maka sipembawa sendirilah yang memikul
kerugian itu.
Adapun samatula (ialah), bahwa bukan diri-Nya dan (bukan pula
tanggungannya) yang memikul kerugian, jikaulah cara berjualan juga
dilakukan maka mendapat kerusakan. Yang empunya barang jualan yang
memikul segala kerusakannya. Tetapi, jikaulah bukan cara berjualan yang
dilakukannya sehingga rusak, maka sipembawa jualan yang menanggungnya.
Labanya dibagi tiga. Dua bahagian diambil oleh yang empunya dagangan,
sebahagian diambil oleh sipembawa. Mengenai utang tanpa bunga, sipemberi
utang hanya menagih saja. Jikaulah telah sampai janjinya, membayarlah dia
(=yang berhutang). Adapun yang dinamai utang dengan janji boleh kembali
(ialah, bahwa) harga barang ditetapkan terlebih dahulu. Kalau laku atau tidak
berganti rupa, maka membayarlah yang berutang. Kalau tidak laku atau tidak
berganti rupa, maka dikembalikannya.
Adapun yang membawa (barang titipan), ia terlepas dari
pertanggungjawaban. Kalau cara berjualan yang dilakukannya maka rusak,
yang empunya baranglah memikulnya. Kalau cara berjualan dilakukan maka
rusak, maka si pembawa sendirilah yang memikulnya, akan tetapi tidak
sampai kepada (=menjadi) tanggungan keluarganya.

Catatan Penyusun

Uraian-uraian ini berdasarkan materi yang disajikan oleh Drs.Salahuddin


didepan Seminar Budayawan dan Cendekiawan yang diselenggarakan oleh Dewan
Kesenian Makassar (D.K.M.) tanggal 7 Mei 1984 di Ujung Pandang. Diangkat untuk
memperkaya pengetahuan dalam menggali khasanah Kebudayaan Bugis-Makassar,
sebagai aspek Budaya Bangsa yang Bhineka Tunggal Ika ini.
BAB XXIX
PENUTUP
Kesimpulan-Kesimpulan

Pola hamparan data-data sebagaimana teruraikan tersebut diatas memberikan


pedoman bagi kemungkinan diketemukan sari-saripati secara garis besar apa dan bagaimana
sikap mental suku Bugis-Makassar itu dengan kesimpulan penguraian sebagai berikut :

1. Bahwa sebagai suku Bangsa yang berbudaya orang-orang Bugis-Makassar bertingkah


laku sejalan dengan pola budayanya adat istiadat.
Sebagai warisan nilai-nilai budaya leluhurnya, sebagai sub kultur Bangsa Indonesia.
2. Pola Budaya suku Bugis-Makassar tersebut melahirkan unsur-unsur Sirik yang dijiwai
dengan prinsip-prinsip hakekat : harga diri (kehormatan), identitas (pride), namun
dalam perkembangannya, sirik itu sendiri berkembang dalam berbagai aspek. Menurut
faktor-faktor kondisi yang melahirkan atau menjadi sumber-sumber sebab (causal
itetnya secara kompleks).

Maka lahirlah faktor-faktor antara lain yang disebut sebagai aspek sirik itu, yakni :
1. Peristiwa Silariang (Minggat).
2. Peristiwa Ditempeleng/ ditendang, karena hal ini menyinggung nilai-nilai
kehormatan.
3. Peristiwa Mengingkari Janji, karena mengingkari pada umumnya malahirkan rasa
ketersinggungan/menyentuh masalah-masalah aspek kehormatan secara mendasar.
Yang karenanya Memerlukan pengorbanan jiwa dan raga (jasmaniah).
4. Dan lain-lain sebagainya yang dapat menyentuh perasaan ketersinggungan
kehormatan harga diri maupun lingkungan (rumpun) pewaris-pewari budaya sirik
tersebut.

Unsur-unsur Positif dan Negatif

Ditinjau dari segi kepentingan masyarakat dan kepentingan pembangunan budaya


bangsa yang Bhoneka Tunggal Ika ini sesungguhnya masalah Sirik tersebut mengandung
nilai-nilai/unsur-unsur positif dan negative. Namun dalam beberapa hal pada perwujudannya
kadang kala menjurus pada yang negative. Karena salah diartikan atau ditafsirkan secara
tidak tepat.

Nilai Positif

1. Bertolak dari hakekat Sirik, yakni masalah harga diri atau pride, maka Sirik sesungguhnya
merupakan hal yang sangat positif untuk dikembangkan bagi kepentingan kemajuan
masyarakat yang sudah berlembaga dengan tatanan nilai-nilai budaya ini.
2. Sirik pada pokoknya bersumber pada dasar dan nilai-nilai bentuk ikatan dalam masyarakat
mentaati hukum, peraturan, perjanjian, dan lain-lain bentuk ikatan dalam masyarakat
(community) sehingga dapat menjaga kelestarian hidup sesuatu kelompok masyarakat.
3. Dengan prinsip sirik, mendorong masyarakat untuk tidak tertinggal dalam bentuk
kemajuan apapu. Sebab motivasi terhadap rasa tidak ingin ketertinggalan adalh bersumber
pada sirik itu sendiri.
4. Sirik adalah merupakan harkat yang berlembaga dan hodup terus dihati masyarakat,
berarti ia positif.
5. Sirik dapat dikembangkan lebih jauh untuk kepentingan kemajuan masyarakat disebabkan
oleh rasa solider yang tinggi terhadap nilai-nilai saja yang bersikap untuk kepentingan
kemajuan masyarakat.
6. Sirik oleh masyarakat Sulawesi Selatan telah dianggap sebagai suatu nilai budaya yang
harus dipegang teguh (terus). Sebab tanpa sirik, manusia ini dianggap sangat rendah nilai
kemanusiaanya (harkatnya).
7. Dengan memberikan bntuk dari segi basic Moral tentan sirik yang positif, maka sikap
budaya ini mendorong masyarakat untuk mendukung masalah Kamtibmas. Utamanya
dalam permasalahan pembinaan moral bangsa yang diarahkan pada nilai-nilai semangat
juang 1945 dan pengamalan Pancasila serta ke-Bhinneka Tunggal Ika-an.
8. Sirik dengan kaitannya sebagai unsur kewiraan / kepatriotikan kepahlawanan / ketahanan,
dapat dijadikan unsur-unsur ketahanan. Yakni pantang menyerah kalah pada musuh atau
pada setiap bentuk tantangan yang timbul (menantang kebathilan), dalam kerangka
menegakkan yang haq. Yakni, pendirian (sikap) yang tak tergoyahkan, yang dalam istilah
Bugis-Makassar disebut : Toddopuli. Yakni, Memaku dalam sikap pendirian. Tidak
tergoyahkan dalam keyakinan.

Sisi Negatifnya
1. Sirik banyak diselewengkan oleh pribadi-pribadi pembawanya, menyimpang dari
harkatnya sebagai aspek kebudayaan yang nilainya luhur. Karena terkadang perbutan
yang negative dan sifatnya sangat sepele atau tidak prinsipil dikait-kaitkan dengan
Sirik yang bernilai positif (mengandung nilai kulturil yang agung).
2. Kadangkala nilai Sirik itu ditunggangi untuk kepentingan-kepentingan mencapai
sasaran-sasaran atau melindungi perbuatan-perbuatan yang negatif dari semantara
pelaku-pelaku khausu kejahatan tersebut (lihat contoh-contoh sirik pada halaman
terdahulu yang mengambarkan proses terjadinya erosi dalam penilain sirik terswebut
sebagai suatu yang bernilai tinggi.

Saran-saran / Pendapat-pendapat
1. Sirik perlu digali sebagi suatu aspek budaya bangsa kita sebagai sub kultur budaya
bangsa yang Bhineka Tunggal Ika. Guna dimanfaatkan sebagai ramuan-ramuan
pembinaan kebudayaan Nasional dan aspek-aspek pembangunan Nasional pda
umumnya yang Bhineka Tunggal Ika itu.
2. Seminar tentang sirik sangat positif artinya sebagai suatu pembahasan ilmiah dan
karya budaya. Utamanya karena sejalan dengan materi ketentuan-ketentuan GBHN
(Bidang Budaya) .
3. Sirik sebagai aspek budaya bangsa yang Bhineka Tunggal Ika ini perlu diangkat nilai-
nilai positifnya. Digali nilai-nilai mutiaranya, demi kepentingan identitas bangsa dalam
kerangka penghayatan dan pengamalan pancasila
4. Perlu ditempu langkah-langkah agar nilai-nilai sirik tersebut, terpisahkan dari nilai-
nilai emosional. Dengan kegiatan-kegiatan berupa merasionalkan masyarakat
bersangkutan Melalui sarana-sarana pendidikan. Hal ini memungkin kan dengan
berkembang pesatnya dunia pendidikan yang kini merata sampai ke pelosok-pelosok
desa dimana desa sebagai tempat pesemaian sirik itu masih merupakan sesuatu yang
berakar (melembaga).
5. SIRIK sebagai manifestrasi harga diri dan pegangan hidup untuk tidak berbuat yang
bercela atau a’moral,disamping merupakan tekat untuk memperkuat iman untuk
mencapai sukses yang dicita-citakan serta daya dorong untuk mengatasi hambatan
yang dihadapi perlu dilestarikan sebagai aspek budaya bangsa yang Bhineka Tunggal
Ika dan upaya mengamalkan nilai-nilai luhur falsafah pancasila. Dalam pengertian
bahwa kebudayaan Nasional kita, adalah puncak-puncak Air Republik ini. Karena
telah disepati bahwa: nilai harkat sesuatu bangsa diukur dari nilai harkat kebudayaan
masyarakat.

Namun syarat untuk pembangunan kebudayaan, mengenal terlebih dahulu antropause


yang merupakan pangkalnya. Karena itu pembanguna-pembanguna yang kita rencanakan dan
yang akan kita laksanakan tak mungkin selama antropologi budaya Indonesia tidak
merupakan latar belakang dalam menyusun dan melaksanakan pembangunan itu.(pasal 180
Buku gaya Baru-Drs Sidi Gazaiba).
Dalam pada itu, penulis merupakan rumusan pada UUD ‘ 45 BabXIII pasal 32 nyata
disebutkan: Bahwa kebudayaan Bangsa ialah kebudayaan yang timbul sebagai budi-daya
rakyat Indonesia seluruhnya.
Kebudayaan lama yang asli yang terdapat sebagai puncak kebudayaan daerah-daerah
diseluruh Indonesi, terhitung sebagai kebudayaan bangsa.
Usaha kebudayaan,harus menuju kearah kemajuan abad,budaya dan persatuan dengan
baik tidak menolak bahan-bahan baru dari kebudayaan asing yang dapat dikembangkan atau
diperkaya kebudayaan bangsa sendiri,serta mempertinggi derajat kemanusiaan bangsa
Indonesia. Demikian bunyinya UUD tersebut.
Berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 itu, nyatalah betapa pentingnya setiap daerah
di Indonesia memperkembangkan kebudayaan daerahnya untuk mencaipai puncak-puncak
guna kebanggaan Nasional Indonesia. Dalam kaitan ke- Bhineka Tunggal Ika-an berbeda
namun tetap satu jua. Dan last but not leasty,segalanya demi melastarikan nilai-nilai
Pancasila dan UUD 1945. Karena pancasila itu, dsesungguhnya digali dari sumber-sumber
nilai budaya Bangsa Indonesia itu sendiri. Kunci untuk mengenal dan mengetahui
kebudayaan bangsa Indonesia adalah faham Bhineka Tunggal Ika. Tanpa pemahaman akan
Indonesia terlatak pada ke-Bhinekaannya. Tetapi dalam ke-Bhineka-an tetap ada
kesamaan(Franz Magnis Suseno).
Sirik, hakekatnya adalah milik bangsa Indonesia. Ia adalah subkultur Bangsa Indonesia
yang Bhineka Tunggal Ika ini. Karenanya, maka nilai-nilai positifsirik tersebut perlu
dibina,sebagai kekayaan khasanah kebudayaan Nasional kita.
Akhirul kalam : sesungguhnya hanya mereka yang bertekad berkerja tanpa kenal
lelah(memiliki etos kerja yang tinggi) tabah menghadapi tantangan-tantangan dan hambatan
serta mampu menghemat (tidak boros dan serakah) yang mampu mencapai titik sasaran
sukses perjuangan (peribahasa Bugis; Resopa Na Tinuluk Temmangingi Na Marekking Ri
Waramparang Naletei Pammase Puang Dewata SeuwaE)
Namun untuk segalanya itu, kuncinya terlatak pada prinsip ; Ada’Na gau (satu-satunya
kata dan perbuatan). Ketulus-ikhlasan dan itikad baik. Yakni kemampuan untuyk berkata
yang benar itu benar. Dan yang salah itu salah. Demikian adanya. Semoga Tuhan
melimpahkan Rahmat dan HidayatNya pda kita sekalian dalam berlomba-lomba berbuat
kebaikan bagi Bangsa dan Negara Republik Indonesia tercinta ini

Lampiran:
Hasil Rumusan Tudang Sipulung Kebudayaan Majelis Pertimbangan Buidaya Daerah
Propensi Sulawesi Selatan tanggal 15-17 Juli 1989.
Malam tanggal 16 Juli 1989,pukul 20.00 kita baru saja mengkhiri rangkaian diskusi tentang
Nuansa Kebudayaan kita. Semua ini kita lakukan sebagai suatu ikhtiar mencari jalan ;
bagaimana memanfaatkan Budaya Tradisional dalam proses dan kreativitas Budaya
Kontemporer.
Berbagai permasalahan dibicarakan selama dua hari dalam sebuah symposium yang
kita sebut Tudang Sipulung Kebudayaan Daerah Sulawesi Selatan. Ada sepuluh buah
makalahyang dibicarakan selama dua hari ini. Seluruh ditulis dengan penuh kesungguhan,
mereka seakan-akan mengajak kesuatu wawasan kreativitas budaya kontemporer sementara
itu kita pun diperhadapkan pada realita bahwa sesungguhnya perjalanan kita kearah itu
tersendat atau mungkin meluncur tanpa arah. Jika hal itu dibiarka terus-menerus, dapat
dipastikan akan mengerdilkan kreativitas budaya kita.
Tudang Sipulung yang semiula direncanakan hanya dihadiri oleh 60 orang,ternyata
kemudian meningkat menjadi 83 orang. Tanggapan dari Sulawesi Selatan,sungguh sangat
mengembirakan. Semua ini seakan satu pertanda akan lahirnya suatu generasi budaya yang
berkualitas di Negeri ini.
Tujuh orang Nara Sumber yang penuh kebijakan dan pengetahuan yang luas tentang
manusia dan kebudayaan Sulawesi Selatan telah memberikan pula inspirasi yang tidak
kering-kering dalam Tudang Sipulung ini. Semua ini mendorong terciptanya iklim jerni.
Ketulusan dan kesungguhan semua peserta seminar selama dua hari Tudang Sipulung
memungkinkan lahirnya nberbagai butir-butir rumusan sebagai rancangan kebijakan dapat
diperoleh dari Tudang Sipulung ini :

1. Perlu adanya upaya menerjemahkan berbagai literature asing tentang Sulawesi selatan
ke bahasa Indonesia. Hal ini penting karena banyak informasi tentang Sulawesi selatan
yang harus diketahui dari persepsi penulis Asing. Dengan tetap bersikap kritis terhadap
hasil-hasil terjemahan itu.
2. Upaya penerbitan atau peningkatan kualitas dan kuantitas terhadap karya-karya terbitan
local sangat dibutuhkan. Berbagai jenis naskah-naskah local serta bermacam-macam isi
kandungannya perlu segera diterjemahkan dan diterbitkan.
3. Untuk meningkatkan kreativitas bidang kesenian dan kebudayaan diperlukan kerja
sama antara Pemerintah, seniman, budayawan, ilmuwan, dan masyarakat.
4. Professionalisasi pengelolahan kesenian, baik dalam penciptaan mupun dalam
pemasaran sangat perlu untuk mendorong perkembangan kesenian di Sulawesi Selatan.
5. Refungsionalisasi organisasi-organisasi kesenian ditunjukan kepada berperannya grup-
grup kesenian sebagai Sanggar-Sanggar dan Bengkel-Benmgkel kerja. Untuk memacu
prestasi kesenian dan sanggar-sanggar/bengkel-bengkel kerja tersebut, Dewan kese
nian Makassar hendaknya berperan dalam memberikan pemantauan, dorongan dan
evaluasi di bidang Seni kontemporer dan BKKNI di bidang Seni Tradisional.
6. Tudang Sipulang yang kita lakukan ini adalah upaya yang kita tempuh untuk
memantapkan sikap mental manusia Sulawesi Selatan pada inti budayanya yang paling
esensial, Sirik, sehingga terbangun perilaku yang dapat menjawab tantangan zaman.
7. Menciptakan iklim berkesenian yang baik untuk melahirkan seniman yang berkualitas.
Harus disadari bahwa yang terpenting dari seorang sniman adalah kualitas karya dan
kualitas pri-badinya, bukan statusnya dalam organisasi kesenian atau organisasi
kebudayaan. Karena itu perlu ditumbuhkan kemandirian untuk tampil sebagi pribadi
yang tangguh.
Sosok budaya tradisional Sulawesi Selatan ada-lah budaya yang telah Mapan, ia lahir
dari kearifan manusia yang berke-Tuhanan Yang Maha Esa. Karena itu unsur budaya
yang diciptakannya bersifat adaptif dan selektif. Unsur-unsur itu-lah yang menjadi
ladang kreativitas yang harus kita garap di Sulawesi Selatan.
9. 0rganisasi-organisasi kebudayaan di Sulawesi Selatan tampaknya mandek dan kurang
berfungsi. Untuk refungsionalisasi organisasi-organisasi kebudayaan, pemerintah
Daerah Sulewesi Selatan perlu memberikan perhatian yang serius.
10. Untuk maksud butir tersebut diatas, diharapkan Majelis Pertimbangan Budaya
Daerah Propinsi Sulawesi Selatan dapat menjadi jembatan antara pemerintah Sulawesi
selatan dengan organisasi-organisasi kebudayaan. Sebaliknya Majelis Pertimbangan
Budaya Daerah kita jadikan lembaga konsultasi tentang hasil karya budaya/kesenian
dari berbagai sumber dengan tidak membedakan latar belakang.
11. kebudayaan di Sulawesi Selatan yang hendak dikembangkan adalah seluruh unsur
budaya, termaksud kesenian lama dan baru, bahkan kesenian yang dikembangkan oleh
seniman garda depan.
12. Majelis Pertimbangan Budaya Daerah Propinsi Sulawesi Selatan hendaknya berperan
semaksimal dan seobjektif mungkin dalam mengambil langkah-langkah penjernihan
budaya sulawesi selatan.
Makassar,16 juli 1989

Tim Perumus:

-Anggota: Husni Djamaluddin


: Sagimun MD.
: Rachman Arge.
: H.D.Mappatunru.
: Darmawan.
: Ishak Ngeljaratan.
: S.A.Yatimayu
: Fahmi Syariff.
-Ketua : Mukhlis

You might also like