You are on page 1of 7

B.

PEMBAHASAN

a. Sistematika KUHPerdata Tentang Perikatan[1]

Buku III BW mengatur mengenai hukum perikatan. Bagian umum terdiri dari empat, dan
bagian khusus terdiri dari lima belas bab. Bagian umum bab pertama mengatur
ketentuan-ketentuan untuk semua perikatan, baik yang timbul dari persetujuan maupun
undang-undang,. Bertentangan dengan judulnya yang berbunyi: “Tentang perikatan-
perikatan pada umumnya”, Bab I mengandung banyak ketentuan-ketentuan yang hanya
berlaku bagi persetujuan saja. Sebagian besar dari bab ini ditujukan kepada pembagian
perikatan-perikatan. Hal ini mengoper secara hurufiah Code Perancis, sedangkan
ketentuan-ketentuan tersebut dalam Code diperuntukkan bagi perikatan yang timbul dari
persetujuan.

Dalam Bab II diatur ketentuan-ketentuan mengenai perikatan-perikatan yang timbul dari


persetujuan.

Dalam Bab III yang berjudul: “Perikatan-perikatan yang timbul dari undang-undang”
hanya terdapat dua ketentuan umum, yaitu pasal 1352 dan pasal 1353 dan selanjutnya
mengatur tiga perikatan-perikatan khusus yang terjadi karena undang-undang, yaitu
perwakilan sukarela, pembayaran yang tidak terutang dan perbuatan melawan hukum.
Menurut Pitlo[2] tiga perikatan khusus tersebut seharusnya ditempatkan dalam
persetujuan-persetujuan tertentu.

Bab IV mengatur ketentuan-ketentuan tentang cara hapusnya perikatan-perikatan, tanpa


memperhatikan apakah perikatan itu terjadi karena persetujuan atau undang-undang.

Bab V sapai dengan Bab XVIII dan Bab VII A mengatur mengenai persetujuan-persetuan
bernama (tertentu). Dalam bab ini terdapat persetujuan-persetujuan yang seringkali dibuat
dalam masyarakat misalnya, jual-beli, sewa-menyewa, pemberian kuasa dan sebagainya.
Selain itu terdapat juga persetujuan-perserujuan yang tidak begitu penting artinya bagi
masyarakat.: tukar-menukar, pinjam pakai, bunga tetap, dan bunga abadi. Beberpa
persetujuan diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang: perseroan, asuransi,
komisioner, makelar dan pengangkutan.

Bagian umum mengatur ketentuan-ketentuan pokok tentang hukum perikatan, sedangkan


bagian khusus membahas lebih lanjut ketentuan-ketentuan pokok tersebut untuk hal-hal
khusus. Dalam ketentuan-ketentuan khusus adakalanya terdapat ketentuan-ketentuan
yang hanya mengulangi apa yang telah diatur dalam bagian umum. Selain itu terdapat
pula ketentuan-ketentuan yang merupakan pengecualian dai ketentuan-ketentuan pokok.

Seringkali dari ketentuan-ketentuan khusus dapat ditarik suatu ketentuan pokok yang
dapat dipergunakan bagi semua perikatan yang terjadi dari hubungan-hubungan yang
sejenis.
Bagian V lama Bab VI, yang berdasarkan S.1879-256 dinyatakan berlaku bagi golongan
pribumi dan yang dismakan diganti dengan Bab VII A berdasarkan S.1926-335 jis 458,
565 dan S.1927-108. akan tetapi menurut pasal VI ketentuan-ketentuan penutup) dari
S.1926-335, bagian V lama masih dinyatakan berlaku bagi golongan Pribumi, Tionghoa,
dan Timur Asing lainnya.

Walaupun banyak persetujuan yang belum diatur dalam UU, akan tetapi karena azas
kebebasan berkontrak, yang artinya bahwa setiap orang adalah bebas untuk membuat
persetujuan apapun selain yang telah diatur oleh UU, maka tidak tertutup kemungkinan
bagi para pihak untuk membuat persetuan-persetujuan tersebut.

Peraturan per-UU-an mengenai hukum persetujuan bersifat menambah (aavullend recht),


yang artinya pihak-pihak dalam membuat persetujuan bebas untuk menyimpang dari
ketentuan yang tersebut dalam BW.

Mengenai kebebasan pihak-pihak untuk membuat persetujuan-persetujuan diadakan


beberapa pembatasan, yaitu tidak boleh melanggar hukum yang bersifat memaksa,
ketertiban umum dan kesusilaan.

Untuk lebih jelasnya secara sistematis Buku III KUH Perdata Indonesia berisi:[3]

Bab I Perikatan Pada Umumnya

Bab II Perikatan yang Lahir dari Kontrak atau Persetujuan

Bab III Periaktan yang Lahir karena Undang-Undang

Bab IV Hapusnya Perikatan

Bab V Jual Beli

Bab VI Tukar Menukar

Bab VII Sewa Menyewa

Bab VIIA Perjanjian Kerja

Bab VIII Perseroan Perdata

Bab IX Badan Hukum

Bab X Penghibahan

Bab XI Penitipan Barang

Bab XII Pinjam Pakai


Bab XIII Pinjam Pakai Habis

Bab XIV Bunga Tetap dan Bunga Abadi

Bab XV Persetujuan Untung-untungan

Bab XVI Pemberian Kuasa

Bab XVII Penanggungan Utang

Bab XVIII Perdamaian

b. Jenis-Jenis Hukum Perikatan

i. Hukum Perikatan yang Bersumber dari Perjanjian

1. Pengertian Perjanjian

Istilah perjanjian merupakan terjemahan dari kata overenkomst (Belanda) atau contact
(Inggris). Ada dua macam teori yang membahas tentang pengertian perjanjian, yakni tori
lama dan teori baru. Pasal 1313 KHU Perdata berbunyi: “Perjanjian adalah suatu
perbuatan dengan mana satu pihak atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang
atau lebih.” Definisi perjanjian dalam pasal ini adalah: 1. tidak jelas, karena setiap
perbuatan dapat disebut perjanjian, 2. tidak tampak asas konsensualisme, dan 3. bersifat
dualisme. Tidak jelasnya definisi ini disebabkan didalam rumusan tersebut hanya
disebutkan perbuatan saja, sehingga yang bukan perbuatan hukum pun disebut dengan
perjanjian.[4]

Teori baru dikemukakan oleh Vn Dunne, yang diartikan dengan perjanjian, adalah:

“suatu hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk
menimbulkan akibat hukum.”

Teori tersebut tidak hanya melihat persetujuan semata-mata, tetapi juga harus dilihat
perbuatan-perbuatan sebelumnya atau yang mendahuluinya. Ada tiga tahap dalm
mmebuat perjanjian, yaitu:

1. tahap pracontractual, yaitu penawaran dan penerimaan,


2. tahap contarctual, yaitu persetujuan pernyataan kehendak antara para pihak,
3. tahap post contractual, yaitu pelaksanaan perjanjian.

1. Syarat-syarat Perjanjian

Mengenai hal syarat-syarat perjanjian didalam hukum Eropa Kontinental diatur dalam
pasal 1320 KUH Perdata atau Pasal 1365 Buku IV NBW (BW Baru) Belanda. Pasal 1320
KHU Perdata menentukan empat syarat sebagai berikut:
a. Adanya kesepakatan (toesteming/izin) kedua belah pihak

Yang dimaksud dengan kesepakatan adalah persesuaian pernyataan kehendak antara satu
orang atau lebih dengan pihak lainnya. Tentang kapan terjadinya persesuaian pernyataan,
ada empat teori, yakni:

1. Teori Ucapan (ultingsheorie), kesepakatan (toesteming) terjadi pada saat pihak


yang menerima penawaran itu menyatakan bahwa ia menerima penawaran itu.
2. Teori Pengiriman (verzendtheorie), kesepakatan terjadi apabila pihak yang
menerima penawaran mengirimkan telegram.
3. Teori Pengetahuan (vernemingstheorie), kesepakatan terjadi apabila pihak yang
menawarkan itu mengetahui adanya acceptatie, tetapi penerimaan itu belum
diterimanya (tidak diketahui secara langsung).
4. Teori Penerimaan (ontvangstheorie), kesepakatan terjadi saat pihak yang
menawarkan menerima langsung jawaban dari pihak lawan.

Saat terjadinya persesuaian antara pernyataan dan kehendak antara kreditor dan debitor.
adakalnya tidak ada persesuaian. Mengenai ketidaksesuaian ini ada tiga teori yang
menjawab, yaitu:

1. Teori Kehendak (wilstheorie), bahwa perjanjian itu terjadi apabila ada persesuaian
antara kehendak dan pernyataan, kalau tidak maka perjanjian tidak jadi.
2. Teori Pernyataan (verklaringstheorie), kehendak merupakan proses batiniah yang
tidak diketahui orang lain. Akan tetapi yang menyebabkan terjadinya perjanjian
adalah pernyataan. Jiak terjadi perbedaan antara kehendak dan pernyataan maka
perjanjian tetap terjadi.
3. Teori Kepercayaan (vertouwenstheorie), tidak setiap pernyataan menimbulkan
perjanjian, tetapi pernyataan yang menimbulkan kepercayaan saja yang
menimbulkabn perjanjian.

Ada tiga alternatif pemecahan dari kesulitan yang dihadapi ketiga toeri diatas sebgai
berikut:

1. dengan tetap mempertahankan Teori Kehendak yang menganggap perjanjian


terjadi jika tidak terjadi persesuaian, pemecahannya: pihak lawan mendapat ganti
rugi, karena pihak lawan mengharpkannya.
2. dengan tetap mempertahankan Teori Kehendak, hanya pelaksnaannya kurang
ketat, yaitu dengan menganggap kehendak itu ada.
3. Penyelesaiannya dengan melihat pada perjanjian baku (standart contract), yaitu
suatu perjanjian yang didasarkan kepada ketentuan umum didalamnya. Biasanya
dalam bentuk formulir.[5]

b. Kecakapan bertindak

Adalah kecakapan atau kemampuan untuk melakukan perbuatan hukum. Orang yang
akan mengadakan perjanjian haruslah orang-orang yang cakap dan wenang untuk
melakukan perbuatan hukum sebagaimana yang ditentukan oleh UU yaitu orang yang
sudah dewasa dengan ukuran umur 21 tahun dan atau sudah kawin. Orang yang tidak
berumur meliputi: anak dibawah umur, orang dibawah pengampuan, dan isteri (pasal
1330 KHU Perdata), tetapi isteri dapat melakukan perbuatan hukum yang diatur dalam
pasal 31 UU No. 1 tahun 1974 jo. SEMA no. Tahun 1963.

c. Adanya objek perjanjian (onderwerp der overeenskomst)

Dalam berbagai literatur disebutkan bahwa yang menjadi objek perjanjian adalah prestasi
(pokok perjanjian). Prestasi adalh apa yang menjadi kewajiban debitor dan apa yang
menjadi hak kreditor.[6] Prestasi ini terdiri dari perbuatan positif dan negatif. Prestasi
terdiri atas: memberikan sesuatu, berbuat sesuatu, dan tidak berbuat sesuatu (pasal 1234
KUH Perdata)

d. Adanya causa yang halal (geoorloofde oorzaak)

Dalam pasal 1320 KUH Perdata tidak dijelaskan pengertian orzaak (causa yang halal).
Dalam pasal 1337 KHU Perdata hanya disebutkan causa yang terlarang. Suatu sebab
adalah terlarang apabila bertentangan dengan UU, kesusilaan, dan ketertiban umum.

1. Bentuk-bentuk Perjanjian

Bentuk perjanjian dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu: tertulis dan lisan.
Perjanjian tertulis adalah suatu perjanjian yang dibuat oleh para pihak dalam bentuk
tulisan, sedangkan perjanjian lisan adalah suatu perjanjian yang dibuat oleh para pihak
dalam wujud lisan (cukup kesepakatan para pihak). Ada tiga jenis perjanjian tertulis:

1. Perjanjian dibawah tangan yang ditandatangani oleh para pihak yang


bersangkutan saja.
2. Perjanjian dengan saksi notaris untuk melegalisir tanda tangan para pihak.

Perjanjian ynag dibuat di hadapan dan oleh notaris dalam bentuk akta notariel. Akta
notariel adalah akta yang dibuat di hdapan dan di muka pejabat yang berwenang untuk
itu.

1. Interpretasi dalam Perjanjian

Penafsiran tentang perjanjian diatur dalam pasal 1342 s.d 1351 KUH Perdata. Pada
dasarnya, perjanjian yang dibuat oleh para pihak haruslah dimengeti dan dipahami isinya.
Namun, dalam kenyataannya banyak kontrak yang isinya tidak dimengerti oleh para
pihak. Dengan demikian, maka isi perjanjian ada yang kata-katanya jelas dan tidak jelas
sehingga menimbulkan berbagai penafsiran. Untuk melakukan penafsiran haruslah dilihat
beberapa aspek, yaitu:

1. jika kata-katanya dalam kontrak memberikan berbagai macam penafsiran, maka


harus menyelidiki maksud para pihak yang membuat perjanjian (pasal 1343)
2. jika suatu janji dalam memberikan berbagai penafsiran, maka harus diselidiki
pengertian yang memungkinkan perjanjian itu dapat dilaksnakan (pasal 1344)
3. jika kata-kata dalam perjanjian diberikan dua macam pengertian, maka harus
dipilih pengertian yang paling selaras dnegan sifat perjanjian (pasal 1345)
4. apabila terjadi keraguan-keraguan, perjanjian harus ditafsirkan atas kerugian
orang yang meminta diperjanjikan sesuatu hal, dan untuk keuntungan orang yang
mengikatkan dirnya untuk itu (pasal 1349)

1. Fungsi Perjanjian

Fungsi perjanjian dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu fungsi yurudis dan fungsi
ekonomis. Fungsi yurudis perjanjian adalah dapat memberikan kepastian hukum para
pihak, sedangkan fungsi ekonomis adalah menggerakkan (hak milik) sumber daya dari
nilai penggunaan yang lebih rendah menjadi nilai yang lebih tinggi.

1. Biaya dalam Pembuatan Perjanjian


1. Biaya penelitian, meliputi biaya penentuan hak milik yang mana yang
diinginkan dan biaya penentuan bernegosiasi,
2. Biaya negosiasi, meliputi biaya persiapan, biaya penulisan kontrak, dan
biaya tawar-menawar dalam uraian yang rinci,
3. Biaya monitoring, yaitu biaya penyelidikan tentang objek,
4. Biaya pelaksanaan, meliputi biaya persidnagan dan arbitrase,
5. Biaya kekliruan hukum, yang merupakan biaya sosial.

ii. Hukum Perikatan yang Bersumber dari Undang-Undang

Perikatan yang lahir karena UU diatur dalam pasal 1352 s.d 1380 KUH Perdata.
Perikatan yang lahir dari UU adalah suatu perikatan yang timbul/lahir/adanya karena
telah ditentukan dalam UU itu sendiri.

Perikatan yang lahir dari UU dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu:

1. Perikatan yang lahir dari UU saja, adalah perikatan yang timbul karena adanya
hubungan keluargaan. Contohnya alimentasi atau nafkah anak untuk orang tua
yang tidak mampu.
2. Perikatan yang lahir karena perbuatan manusia. Perbuatan manusia dapat
dibedakan menjadi: perbuatan yang dibolehkan dan melanggar hukum (pasal
1365). Yang termasuk yang dibolehkan adalah pembayaran tak terutang
(pasal1359 KUH Perdata, 1395 s.d 1400 NBW) dan zaakwaarneming (pasal 1354
KUH Perdata, 1390 s.d 1394 NBW)

Unsur-unsur pembayaran tak terutang meliputi: pembayaran dengan perkiraan ada suatu
utang, dan pembayaran itu dapat dituntut kembali. Unsur-unsur zaakwaarneming
meliputi: secara sukarela mengurus kepentingan pihak lain tanpa dibebani kewajiban
hukum, perbuatan yang dilakukan tanpa adanya persetujuan dari pihak yang diurusnya
karena secara diam-diam pihak yang mengurus telah mengikatkan dirinya untuk
melanjutkan penyelesaian perbuatannya, dan kedudukan pihak yang mengurus dapat
beralih menjadi penerima kuasa.

iii. Hukum Perikatan yang Bersumber dari Putusan Pengadilan

Putusan pengadilan sebagai sumber hukum perikatan tidak diatur secara khusus dalam
KUH Perdata, namun putusan pengadilan mempunyai kedudukan dan peranan yang
sangat penting didalam hukum periaktan karena putusan pengadilan dapat melengkapi
kelemahan-kelemahan dan stagnasi (hambatan) dalam penegakan hukum.

Didalam Seminar Hukum Nasional keenam tentang Pembangunan Sistem Hukum


Nasional dalam PJPT II yang diselenggarakan pada tanggal 25-29 Juli 1994 telah diambil
kesimpulan sebagi berikut:

1. Yurisprudensi merupakan kebutuhan yang fundamental untuk mendampingi


berbgai peraturan per-UU-an dalam penerapan hukum, dalam upaya mewujudkan
standar pengaturan hukum.
2. Tanpa Yurisprudensi, fungsi dan kewenangan peradilan sebagai pelaksanaan
kekuasaan kehakiman bisa mengalami kemandulan dan stagnasi.
3. Yurisprudensi bertujuan agar UU tetap aktual dan efektif.
4. Peranan yurisprudensi dalam pembaharuan hukum nasional cukup strategis.
5. Diperlukan langkah-langkah sitematis untuk menjadikan yurisprudensi tetap
sebagai sember hukum nasional.
6. Asas kebebasan hakim tidak menghalangi usah untuk menjadikan yurisprudensi
sebagai sumber hukum nasional.[7]

Dari seminar ini tampaklah putusan pengadilan menjadi sumber hukum nasional,
khususnya perikatan. Diantara putusan pengadilan yang penting dalam hukum perikatan
adalah putusan H.R 1919 tentang panafsiran perbuatan melawan hukum. Didalam
putusan itu bahwa yang dikatakan perbuatan melawan hukum tidak hanya melawan
hukum UU saja, tetapi juga melanggar hak subjektif orang lain, kesusilaan, dan
ketertiban umum.

Dengan adanya putusan tersebut, maka setiap hakim dapat berpedoman pada rumusan itu
dalam memutuskan tentang perbuatan melawan hukum.

C. PENUTUP

Ketentuan tentang perikatan ini diatur dalam BW pada Buku III, yang didalamnya
termaktub juga sumber Hukum Perikatan yang terdiri dari dua macam, perjanjian dan
Undang-Undang. Sedangkan Salim HS menambahkan satu lagi yakni Yurisprudensi
sebagai pelengkap dari ketentuan-ketentuan yang belum diatur dalam BW.

DAFTAR PUSTAKA

You might also like