You are on page 1of 8

Hikayat

5 08 2008

Hikayat adalah bagian dari prosa lama. Prosa lama cenderung bersifat imajinatif,
istanasentris, dedaktif, anonim, dan bentuk serta isinya statis. Sedangkan prosa baru
bersifat realis, dinamis, dan tidak anonim.
Karya yang termasuk prosa lama ialah dongeng, (prosa lama yang isinya semat-mata
berdasarkan khayalan dan disampaikan secara lisan), hikayat ( isinya mengenai kejadian-
kejadian di lingkungan istana, tentang keluarga raja), silsilah atau tambo (semacam
sejarah, akan tetapi isinya sudah dicampur aduk dengan khayal sehingga banyak cerita
yang tidak tercerna oleh pikiran sehat.
Contoh hikayat:
1. Hikayat Hang Tuah
2. Hikayat si Miskin
3. Hikayat Panca Tantra
4. Hikayat Panji Semirang
5. Hikayat Dalang Indra Kusuma
6. Hikayat Amir Hamzah
7. Hikayat Anggun Cik Tunggal

Pendahuluan
Pembelajaran sastra di lembaga pendidikan formal dari hari ke hari semakin sarat dengan
berbagai persoalan. Tampaknya, pembelajaran sastra memang pembelajaran yang
bermasalah sejak dahulu. Keluhan-keluhan para guru, siswa, dan sastrawan tentang
rendahnya tingkat apresiasi sastra selama ini menjadi bukti konkret adanya sesuatu yang
tak beres dalam pembelajaran sastra di lembaga pendidikan formal (Nestapa, 2005).
Beberapa keluhan dalam pembelajaran sastra di lembaga pendidikan formal jika mau
dipetakan barangkali berkisar pada hal-hal berikut.
Pertama, pengetahuan dan kemampuan dasar dalam bidang kesastraan para guru sangat
terbatas (Alpansyah, 2005; Wahyudi, 2007). Materi kesastraan yang mereka peroleh
selama mengikuti pendidikan formal di perguruan tinggi (PT) sangat terbatas. Materi
kuliah kesastraan yang mereka peroleh lebih bersifat teoretis, sedangkan yang mereka
butuhkan di lapangan lebih bersifat praktis. Kedua, buku dan bacaan penunjang
pembelajaran sastra di sekolah, khususnya di SLTP dan SMU juga terbatas (Rosidi
1997:19-25). Lain halnya, keterbatasan buku penunjang ini sedikit terjadi di SD karena
hampir semua SD, di daerah perkotaan khususnya, setiap tahun menerima kiriman buku
bacaan dari Proyek Perbukuan Nasional Depdikbud. Cuma saja, pemanfaatan buku
bacaan tersebut tampaknya belum maksimal karena ada faktor lain yang berkait dengan
ini, yaitu faktor minat siswa atau subjek didik. Minat belajar dan minat membaca para
siswa masih sangat rendah. Faktor ketersediaan waktu, manajemen perpustakaan sekolah,
dan dorongan dari guru menjadi ikut menjadi penyebab dalam hal ini.
Berbagai kendala di atas menyebabkan pembelajaran sastra di berbagai jenjang
pendidikan formal hingga saat ini belum mencapai sasaran sebagaimana yang
diharapkan. Tujuan akhir pembelajaran sastra, penumbuhan dan peningkatan apresiasi
sastra pada subjek didik belum menggembirakan.

Pembelajaran Sastra: Adanya Seperti Tiada


Beranjak dari berbagai persoalan yang dikemukakan di atas, tampaknya ada beberapa hal
yang penting untuk dicermati ulang dalam pembelajaran sastra di sekolah dengan
menggunakan acuan kurikulum yang diberlakukan saat ini. Pertama, dalam Kurikulum
1994, misalnya, yang diberlakukan di SD, SLTP, ataupun SMU disebutkan bahwa
pembelajaran sastra dalam berbagai aspeknya diarahkan pada penumbuhan apresiasi
sastra para siswa sesuai dengan tingkat kematangan emosionalnya. Hal ini
mengisyaratkan bahwa perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi pembelajaran sastra
idealnya diarahkan pada penumbuhan apresiasi pada siswa. Apresiasi sebagai sebuah
istilah dalam bidang sastra dan seni pada umumnya sebenarnya lebih mengacu pada
aktivitas memahami, menginterpretasi, menilai, dan pada akhirnya memproduksi sesuatu
yang sejenis dengan karya yang diapresiasikan. Karena itu, kegiatan apresiasi tidak hanya
bersifat reseptif: menerima sesuatu secara pasif. Tetapi, yang lebih penting, apresiasi juga
bersifat produktif: menghasilkan sesuatu secara aktif. Karena itu, pembelajaran sastra di
lembaga pendidikan formal idealnya tidak hanya sebatas pada pemberian teks sastra
dalam genre tertentu untuk dipahami dan diinterpretasikan oleh siswa (apresiasi reseptif).
Pembelajaran sastra harus diarahkan pada penumbuhan kemampuan siswa dalam menilai
atau mengkritik kelebihan dan kekurangan teks yang ada dan akhirnya, berdasarkan
penilaian/kritik tersebut, siswa mampu membuat sebuah teks lain yang lebih bermutu,
baik teks yang segenre ataupun tidak.
Barangkali ada yang menganggap apa yang tersebut di atas terlalu ideal, hanya ada dalam
angan, tetapi sukar ditemukan di alam nyata. Bagaimana mungkin guru, yang
pengetahuan dan kemampuan dasar kesastraannya sangat terbatas diminta untuk
mengajar siswa menghasilkan kritik teks dan bahkan menghasilkan karya sastra dalam
berbagai genre.
Tulisan ini ingin mengurai salah satu sisi dari berbagai macam keruwetan pembelajaran
sastra di sekolah tersebut. Di antara tema-tema sastra yang menjadi salah satu simpul
keruwetan itu adalah materi mengenai sastra lama dan sastra modern. Pertama, akan
diurai beberapa permasalahan dalam pembelajaran sastra lama, kemudian dilanjutkan
dengan gambaran tentang permasalahan dalam pembelajaran sastra modern. Pada ujung
tulisan ditawarkan beberapa alternatif solusi untuk dijadikan bahasan silaturahmi
pemikiran.

Problematika Pembelajaran Sastra Lama


Indonesia kaya dengan peninggalan tertulis dalam bentuk naskah. Hal ini amat
berhubungan dengan tradisi tulis yang berkembang di banyak daerah karena masyarakat
pendukungnya kebetulan memiliki aksara tersendiri. Kenyataan ini membuka peluang
yang luas pada kita untuk memperkenalkan kearifan nenek moyang itu kepada para siswa
agar mereka dapat memahami sekaligus mendapatkan manfaat dari naskah-naskah lama
itu. Dengan memperkenalkan Adat Raja-raja Melayu misalnya, kita akan mendapat latar
belakang serta tata cara berbagai upacara yang berhubungan dengan daur hidup raja-raja
Melayu. Banyak di antara cerita itu kita jumpai dengan tema kepahlawanan, misalnya
cerita-cerita yang bersumber pada dua cerita India Mahabharata dan Ramayana seperti
Hikayat Pandawa Lima dan Hikayat Sri Rama. Kita juga menemukan cerita-cerita
pengaruh Islam seperti Hikayat Amir Hamzah dan Hikayat Muhammad Hanafiyyah; atau
dengan tema percintaan, misalnya Cerita Panji yang muncul pada abad ke-14 di Jawa.
Cerita yang pada awalnya ditulis dalam bahasa Jawa tengahan ini berkembang luas dan
ikut memperkaya kesusastraan di berbagai daerah di Nusantara, seperti Bali dan Melayu
dan beberapa negara di Asia Tenggara. Dalam sastra Melayu lama satu versi cerita ini
muncul dalam bentuk syair berjudul Syair Ken Tambuhan. Syair ini sendiri berkisah
tentang percintaan dua anak raja yang penuh lika-liku sebelum pada akhirnya mencapai
kebahagiaan seperti yang mereka cita-citakan. Bahkan beberapa di antara telah dikenal
luas oleh kita sekarang.
Kita bersyukur peninggalan tertulis yang kaya itu masih ada sekarang dan dapat kita
nikmati hingga hari ini. Hal ini bisa terjadi tentunya berkat perawatan yang baik oleh
lembaga-lembaga yang memiliki perhatian kepada naskah. Namun demikian, sejauh
manakah kita memberi pengetahuan dan memperkenalkan naskah-naskah (kesastraan) itu
kepada para pelajar?
Tampaknya ada beberapa kendala dalam memperkenalkan cerita-cerita lama kepada
peserta didik di tingkat SMU, apalagi SMP. Pertama, cerita dalam naskah-naskah itu
ditulis dalam aksara Jawi atau aksara daerah lainnya. Dalam kenyatannya, sangat sedikit
siswa yang memahami aksara-aksara tersebut meskipun yang bersangkutan berasal dari
daerah tempat aksara itu dikembangkan. Kedua, bahasa dalam cerita-cerita lama adalah
bahasa kuno sehingga tidak menarik pembaca (Ikram, 1997). Ketiga, langkanya buku-
buku terbitan yang mereproduksi naskah-naskah tadi untuk dijadikan bahan bacaan.
Bacaan yang terbit dan sampai pada kita tampaknya terlalu berat bagi siswa-siwi karena
biasanya buku-buku itu berasal dari telaah ilmiah seperti tesis dan disertasi. Memang kita
tidak dapat menutup mata terhadap usaha Pusat Bahasa untuk menerbitkan transliterasi
cerita-cerita lama dalam proyek penerbitan buku lembaga ini, namun hal itu dirasakan
belum cukup karena faktor distribusi yang tidak merata serta kemasannya yang sangat
tidak menarik. Apabila kedua hal ini diatasi, terbuka kemungkinan guru atau sekolah
untuk mendapatkan buku-buku tersebut secara lebih mudah untuk disajikan kepada siswa
baik di dalam kelas maupun sebagai bahan bacaan penunjang. Keempat, kurikulum tidak
memberikan peluang yang memadai bagi diajarkannya sastra lama kepada siswa.
Kalaupun ada, hal itu harus diintegrasikan dengan pengajaran sastra modern. Barangkali
ada sebagian siswa kita yang tertarik secara khusus pada bidang bahasa dan sastra, namun
jumlah mereka sedikit sehingga banyak sekolah yang tidak tidak membuka jurusan ini.
Kelima, pengajaran bahasa dan sastra di sekolah-sekolah kita agaknya semakin mengarah
pada usaha untuk menunjang kemampuan siswa untuk dapat lolos dan lulus SPMB.
Dengan demikian, fungsi sastra sebagai alat untuk memperhalus akal budi manusia
menjadi terpinggirkan.

Problematika Pembelajaran Sastra Modern


Selain masalah yang terjadi pada pembelajaran sastra lama sebagaimana tersebut,
pembelajaran sastra modern pun tak luput dari berbagai kendala dan rintangan. Apa saja
masalah yang dihadapi terkait dengan pembelajaran sastra modern di sekolah akan
dibicarakan berikut ini.
Budaya Indonesia sangat beragam dan itu terwujud dalam sastra-sastra daerah di seluruh
nusantara. Keanekaragaman budaya yang tercermin dalam karya sastra itu hanya dapat
dipahami secara nasional apabila menggunakan bahasa nasional pula. Oleh sebab itu,
transformasi sastra dari bahasa daerah ke dalam bahasa Indonesia merupakan suatu
keharusan. Setakat ini siswa pada setiap jenjang sekolah telah sangat mengenal cerita
rakyat daerah yang sudah menasional, seperti Sangkuriang, yang bersumber dari cerita
rakyat daerah Sunda, Malin Kundang, yang bersumber dari cerita rakyat daerah
Minangkabau, atau Bawang Merah dan Bawang Putih yang bersumber dari cerita rakyat
daerah Jawa Tengah. Namun, apabila membaca hasil penelitian yang berkenaan dengan
cerita rakyat, maka betapa banyak dan beragamnya cerita rakyat nusantara itu. Cerita
rakyat yang ribuan itu akan tetap menjadi khazanah budaya daerah setempat apabila kita
tidak berusaha mentransformasikannya ke dalam bahasa Indonesia; padahal, khazanah
sastra nusantara mesti dibaca secara luas oleh seluruh bangsa Indonesia, sehingga kita
akan mengetahui juga hal-hal yang sama di antara sastra daerah yang beragam itu
(Rusyana, 1981). Transformasi sastra dengan penerjemahan dari bahasa daerah ke dalam
bahasa Indonesia dengan demikian merupakan upaya yang harus terus-menerus
dilakukan. Usaha ke arah itu sudah dirintis, misalnya oleh Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan Nasional atau oleh penerbit seperti
Gramedia dan Yayasan Obor.
Penerjemahan sastra daerah ke dalam bahasa Indonesia yang berlangsung secara
normatif, sesuai dengan kaidah penerjemahan, tidaklah akan menjadi kendala dalam
proses apresiasi dan pembelajarannya di sekolah. Akan tetapi, ada fenomena lain yang
muncul, yaitu karya sastra Indonesia modern yang bersumber dari cerita rakyat nusantara.
Sastra Indonesia modern adalah sastra yang aslinya ditulis dalam bahasa Indonesia
setelah mendapat pengaruh dari kebudayaan asing dan dicetak dengan menggunakan
aksara latin (Damono, 2004). Oleh karena itu, apabila ada karya sastra Indonesia modern
yang berlatar sastra nusantara tidaklah berarti terjemahan dari sastra berbahasa daerah ke
dalam bahasa Indonesia. Hal itu dapat berarti respons, reaksi, bahkan tolakan atau
simpangan terhadap sastra daerah yang merupakan teks dasar atau hipogramnya. Karya
sastra Indonesia modern yang menggunakan latar belakang, teks dasar, atau hipogram
dari karya sastra nusantara dapat dikaji dengan menggunakan pendekatan intertekstual
sehingga kita dapat mengetahui, apakah cerita rakyat nusantara yang dijadikan teks
dasarnya itu mendapatkan modifikasi, ekspansi, atau konversi (Riffaterre, 1978;
Pudentia, 1992).
Karya sastra modern yang bersumber dari cerita rakyat telah banyak di tulis oleh
sastrawan kita. Misalnya, puisi Asmaradana (dari epos Ramayana), Penangkapan Sukra
(dari Babad Tanah Jawi), Dongeng Sebelum Tidur (dari cerita Anglingdarma), atau
Gatoloco (dari mistik klasik Jawa) karya Goenawan Mohamad bersumber dari cerita
rakyat Jawa. Cerpen dan novel Umar Kayam, Putu Wijaya, dan Y.B. Mangunwijaya
banyak bersumber dari cerita wayang. Karya sastra yang demikian akan menjadi kendala
dalam pembelajarannya di sekolah apabila guru tidak menggunakan pendekatan dan
model yang tepat. Oleh sebab itu, perlu diupayakan satu pendekatan dan model
pembelajaran yang tepat terhadap materi pembelajaran sastra yang demikian. Penemuan
pendekatan dan model yang tepat akan sangat berguna, sehingga pembelajaran yang
dilakukan dapat mengungkap khazanah sastra Indonesia secara global atau lintas daerah.
Satu hal yang patut diperhatikan, penelitian-penelitian yang pernah dilakukan biasanya
berujung pada pengembangan ilmu sastra (teoretis). Oleh sebab itu, penelitian serupa
yang berujung pada pembermaknaan pembelajaran sastra di sekolah masih merupakan
lahan kosong yang memerlukan penggarapan. Apabila kondisi ini tidak beranjak, maka
sudah dapat ditengarai bahwa pembelajaran sastra tidak akan sampai pada titik apresiasi
yang optimal sebab transformasi sastra yang tidak normatif akan membingungkan siswa
yang yang sudah mengenal hipogram karya sastra yang dibacanya. Pada usia prasekolah
sebagian besar anak dibimbing langsung oleh orang tuanya. Bimbingan itu mungkin
menggunakan media bahasa daerah, namun mungkin juga menggunakan bahasa
Indonesia. Bimbingan berupa penanaman nilai didaktis biasanya dilakukan ibu dengan
bantuan cerita rakyat (mite, legenda, atau dongeng). Kegiatan itu dilakukan, misalnya
pada saat anak akan tidur atau anak bertanya mengenai fenomena alam, asal usul nama
tempat atau tokoh-tokoh dalam cerita rakyat dan pewayangan. Cerita yang disampaikan
orang tua tentu akan mengacu pada cerita rakyat murni yang bersumber dari tradisi lisan.
Oleh sebab itu masalah akan muncul pada saat pembelajaran sastra di sekolah, siswa
dihadapkan pada teks sastra, misalnya puisi Indonesia modern, yang melakukan negasi
terhadap hipogram atau teks dasar.
Dalam mengapresiasi karya yang demikian, siswa tentu akan kebingungan karena karya
sastra yang dihadapinya sangat jauh dari cakrawala harapan (horizon of expectation)
yang ada dibenaknya. Untuk pembermaknaan pembelajaran sastra di sekolah, tampaknya
harus ada penelitian yang diawali dengan pemetaan karya sastra Indonesia yang
bersumber dari cerita rakyat, sehingga dapat diperoleh klasifikasi dari segi genre, media,
dan hipogram dari setiap karya. Selanjutnya, berdasarkan pendekatan dan model
pembelajaran yang ditemukan, perlu dilakukan penelitian lapangan di sekolah (SD, SMP,
SMA) dan perguruan tinggi, sehingga diperoleh pendekatan dan model yang tepat dalam
mengajarkan karya sastra modern yang berintertekstual dengan cerita rakyat.

Selanjutnya Apa?

Kemampuan Apresiasi Hikayat melalui Metode Siklus Pembelajaran


pada Siswa Kelas XI SMA Negeri 12 Malang
Mita Arfiandani

Abstrak

Dalam Kurikulum 2004 Berbasis Kompetensi disebutkan bahwa

keterampilan mengapresiasi hikayat wajib dikuasai oleh siswa. Tujuannya adalah

agar siswa dapat mengenal, memahami, dan dapat mengapresiasi hikayat baik
yang berupa unsur-unsur pembangunnya juga menemukan nilai-nilai yang

terkandung di dalamnya. Untuk meningkatkan kemampuan siswa dalam

mengapresiasi hikayat diperlukan sebuah metode pembelajaran yang tepat. Oleh

karena itu, penelitian ini menggunakan metode siklus pembelajaran. Dengan

metode ini siswa belajar memahami penggolongan hikayat, mengidentifikasi

unsur-unsur intrinsik hikayat, serta dapat menemukan nilai-nilai yang terkandung

di dalamnya. Dengan metode siklus pembelajaran ini siswa lebih mudah

mengrapresiasi hikayat karena pembelajaran apresiasi tidak langsung pada

kegiatan apresiasi tetapi dilakukan melalui tiga fase, yaitu fase eksplorasi, fase

klarifikasi, dan fase elaborasi.

Masalah umum dalam penelitian ini adalah bagaimana metode siklus

pembelajaran mampu meningkatkan kemampuan mengapresiasi hikayat siswa

kelas XI SMA pada fase eksplorasi, fase klarifikasi, dan fase elaborasi. Adapun

tujuan penelitian adalah untuk meningkatkan kemampuan apresiasi hikayat siswa

pada fase eksplorasi, fase klarifikasi, dan fase elaborasi.

Rancangan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah

rancangan penelitian tindakan kelas. Rancangan penelitian disusun dalam satuan

siklus yang meliputi perencanaan (penyusunan Rencana Pelaksanaan

Pembelajaran), pelaksanaan, pengamatan, dan refleksi. Penetapan subjek terteliti

didasarkan pada hasil analisis studi pendahuluan dan prates yang dilakukan oleh

peneliti. Subjek umum yang diberi tindakan seluruh siswa kelas XI IPA 1

sedangkan subjek khususnya adalah 20 siswa yang memperoleh skor penilaian

proses dan hasil di bawah Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) yang ditetapkan
oleh sekolah yang bersangkutan.

Penelitian dilaksanakan mulai tanggal 24 Mei 2007 sampai dengan 28 Juni

2007 dalam dua siklus. Data penelitian meliputi data verbal berwujud tuturan lisan

maupun tertulis, dan data nonverbal berupa rekaman tindakan siswa dalam foto

dan tindakan yang ditranskripsikan dan dimasukkan dalam pedoman obvervasi

dan catatan lapangan. Data diperoleh melalui instrumen utama, yaitu peneliti yang

didukung dengan instrumen penunjang berupa pedoman observasi, pedoman

wawancara, dokumentasi, dan catatan lapangan.

Hasil penilaian proses dan hasil menunjukkan bahwa pada fase eksplorasi

pengenalan hikayat dengan mengapresiasi secara kelompok telah mampu

meningkatkan kemampuan siswa dalam memahami hikayat baik dari penggolongan,


unsur-unsur intrinsik, juga nilai-nilai yang terkandung di

dalamnya. Sedangkan peningkatan kemampuan siswa pada fase klarifikasi dapat

terlihat dari kemampuan siswa dalam berdiskusi secara klasikal untuk

menyamakan konsep yang telah mereka temukan pada fase eksplorasi baik dari

segi penggolongan hikayat, unsur-unsur intrinsik hikayat, dan nilai-nilai yang

terkandung dalam hikayat. Klarifikasi penggolongan hikayat dari hasil diskusi

yaitu hikayat digolongkan berdasarkan asalnya, berdasarkan bentuknya, serta

bersdasarkan isinya. Klarifikasi unsur-unsur intrinsik hikayat dari hasil diskusi

yaitu karakter, latar, alur, sudut pandang, tema, serta amanat. Klarifikasi nilai-nilai

yang terkandung dalam hikayat dari hasil diskusi yaitu nilai moral, nilai, budaya,

nilai sosial, nilai agama, serta nilai pendidikan. Dengan pemahaman yang telah

diperoleh dari fase eksplorasi dan fase klarifikasi, kemampuan siswa dalam

melakukan kegiatan apresiasi hikayat secara individu pada fase elaborasi


meningkat dan mencapai KKM yang telah ditetapkan sekolah yang bersangkutan.

Sehubungan dengan hasil penelitian ini, disarankan pada guru untuk

menggunakan metode siklus pembelajaran dengan lebih kreatif dan inovatif dalam

upaya meningkatkan kemampuan siswanya dalam mengapresiasi hikayat. Kepala

sekolah sebagai pengambil kebijakan di lingkungan sekolah juga disarankan

memberikan dukungan dan fasilitas yang memadai kepada guru untuk melakukan

kerja sama dengan para peneliti dalam upaya meningkatkan kualitas pembelajaran

di sekolah. Sedangkan bagi calon peneliti yang ingin menggunakan dan

mengembangkan metode siklus pembelajaran, diharapkan dapat mengembangkan

metode pembelajaran pada kompetensi dasar pembelajaran sastra yang lain.

You might also like