You are on page 1of 14

VARIABEL SOSIOLINGUISTIK, KELAS SOSIAL, ETNIS DAN JENDER

Oleh. M. Yunis
Pendahuluan
‘’Kuliah di S2 di Unand bukan bertambah pintar tetapi bertambah bodoh’’,
ejekan seperti ini sering penulis terima di saat berinteraksi dengan teman-teman di
Fakultas Sastra. Namun, bagi penulis sendiri sikap seperti itu adalah sebuah kode
yang sengaja dibuat dan dijadikan ideologi untuk menelanjangi dan membunuh
karakter. Adanya faktor iri maupun dengki atas ketidakmampuan, persisnya
ungkapan orang-orang kalah secara intektual, merasa tidak senang atas kemajuan
lembaganya sendiri. Sering penulis katakan ini adalah sebuah upaya untuk
penjajahan gaya baru melalui bahasa yang dimunculkan sebgai kode sosial.
Begitulah besar pengaruh bahasa dalam penentuan kecerdasan intelektual
kedepan.
Bahasa sebagai alat kumunikasi sekligus alat penentu kelangusungan
hidup sosial masyarakat, mampu membangun sebuah dunia baru, Lela Gandhi
menyebutnya dunia ketiga atau kehancuran total seperti yang diungkapkan
Nietczshe. Justru dengan kecairan berpikir munculnya dunia ketiga tersebut dapat
disambut dengan hangat, tentu saja cara berpikir yang jernih dan cerdas menjadi
tiang penyangga utama untuk melakukan itu. Sejalan dengan itu, tindakan kritis
terhadap petrkembangan bahasa menyebabkan para kritikus mampu melihat lebih
jauh apa yang tersembunyi di dalam bahasa yang mana di dalamnya terdapat
simbol dan kode-kode berbahaya dan bisa membuat penikmat bunuh-bunuhan dan
parahnya menjurus terhadap pembunuhan intelektual.
Sepadan dengan penulis ungkap di dalam salah satu judul artikel buku In
Memorial Khaidir Anwar, ‘’Hyperrealitas dan Kematian intelektual’’ dan berikut
mengulas tulisan yang senada ditulis oleh Dini Maulia ‘’Matinya Makna
Runtuhnya Ideologi’’, yang penulis kira masih mengusuh sebuah pesan untuk
menghgidupkan intelektual yang mati suri, sebuah perencanaan, pengkodekan
yang pelulis rasa mampu menggenjot cara berpikir. Beruntunglah pada
kesempatan kali ini, penulis mendapatkan topik menarik variebel sosiolinguistik,
kelas sosial, etnis dan gender. Melalui kode-kode ini penulis akan berusaha
menggambarkan fenomena yang sedang mengekspliotasi bahasa sehingga kelas,

1
sosial, etni dan gender berkembang sangat liar, di samping itu penulis berusaha
mengungkap peran hagemoni yang mendasari keliaran tersebut.

Pembahasan
1. Kelas sosial
Mengungkap tentang kelas sosial membawa kita bertamasya ke alam
sosiologi, namun hal itu penulis pikir tidak bisa lepas dari konsep Marx tentang
Marxisme atau membayangkan tentang komunisme, penyemblihan manusia,
eksploitasi kaum akar rumput, takut, berbahaya, layaknya sebuah hantu yang siap
menerkam siapa saja yang menderita dan teraniaya, semuanya itu tidak lebih
hanyalah sebuah masa lalu yang pahit.
Zaman kemesan Marxisme sesungguhnya adalah sebuah zaman filsafat
kecemerlangan (Pencerahan) abad XIX yang mengungkit Matrealisme, tetapi
menentang matrelisme dualistik Feuerbach yang mana dia memandang objek
sebagai yang dapat diamati dan tidak sebagai aktivitas kesadaran, perbuatan
manusia tidak sebagai praktek manusia (Marx dalam Muawiyah, 2009; 21).
Sementara Marx sendiri sebagai penggagas menyatakan bahwa kenyataan itu
betul ada secara objektif dan tidak hanya sekedar ide, pandangnya tentang sejarah
adalah menjadi sebuah kunci, sebab manusia itu sendiri adalah kunci sejarah.
Sejarah dari masyarakat yang ada hingga kini tidak lebih hanya sejarah
pertentangan kelas antara budak dengan tuan, tukang dengan ahli, pemerintah
dengan rakyat, laki-laki dengan perempuan, dosen dengan Mahasiswa. Artinya,
sejarah hanyalah perseteruan antara yang tertindas dengan yang menindas tetapi
akan berakhir disaat terciptanya masyarakat yang tidak berkelas.
Sejalan dengan itu Miles dalam Lomba menyatakan bahwa pembentukan
kelas itu dilakukan dengan rasialisasi (Loomba, 2001;165). Rasialisasi yang
dimaksudkan adalah tidak lebih dari tindakan penguasa (Kolonial) untuk
mengakali kaum yang dianggap terbelakang (Budak), terkucil dari segi Ras, Etnis,
Ekonomi untuk mengabdi kepada penguasa. Bisa dicontohkan dengan apa yang
terjadi di Afrika, bahwa orang Afrika diperbolehkan menempati tanah orang
Eropa dengan bayaran orang Afrika bekerja untuk Eropa, setelah itu Eropa
menerapkan pajak tunai yang berrujung pada pengabdian total (eksploitasi) orang

2
Afrika sebagai pengganti pajak kepada Eropa, Neo Imperialisme sebuah usaha
mengekplotasi dan mengkebiri hak-hak penduduk pribumi (Chomsky, 2008).
Meminjam istilah Loomba, cara ini sangat mudah bagi orang Eropa karena
terlebih dahulu mereka telah membangun konsep buas mulia. Orang Afrika diberi
kesempatan memiliki tanah si Eropa jika mau bekerja sama dengan Eropa, berupa
berpindah keyakinan, menetap dan bekerja untuk Eropa, maka orang Afrika yang
manut tersebut dinamakan dengan Buas Mulia, biar agak elit sedikit seperti yang
dilakukan Marx sendiri berpindah keyakinan dari Yahudi ke protestan.
Kode-kode yang serupa terus dibangun oleh orang Eropa untuk menjalankan
misi kolonialnya hingga ke ranah seksual, seperti cerita yang sering diangkat di
dalam kisah injil tentang Ratu Shaba dari Timur, bahwa Ratu yang datang ke Kuil
Salomon dengan membawa Emas dengan imbalan Ratu mendapatkan kepuasan
seksual dari Sulaiman dan Ratu Indian yang memeluk agam Kristen seteah
berlarut-larut bertentangan dengan Inggris, kemudian menikah dengan orang
Inggris, selanjutnya kode yang dibangun di dalam film Scorpion King, yang mana
seorang perempuan Timur yang mempunyai kesaktian tunduk di bawah Raja Kala
Jengking, padahal baginya keperawanan adalah kunci dari kesaktian itu. Nah,
cerita ini selalu diungkit-ungkit oleh kolonial untuk menggambarkan ketundukan
perempuan Timur, keluarga kerajaan, kelas, bercinta dengan dan diselamatkan
oleh laki-laki Eropah akan menjadi cerita bagi perkembangan dunia sekarang.
Loomba menyebutnya sebagai sebuah Fantasi Kolonial untuk menciptakan kelas
baru bahwa perempuan Timur, kulit hitam, ras terbelakang adalah kelas rendah
dan biadab perlu diberi kebudayaan ala Eropa (Penjajahan).
Kelas menengah ke bawah bisa saja menempati posisi menyerupai kelas atas,
tetapi bukan kelas atas. Kalaupun kelas menengah ke bawah memegang sebuah
kekuasaan tepatnya diberi sedikit wewenang (rasisme) tetapi hanya wewenang
yang bersifat menjajah saudaranya sendiri, peraturan dibuat untuk menekan,
mengkebiri hak-hak kalangan bawah, contohnya kekurang ajaran yang dilakukan
Satpol PP terhadap pedagang kaki lima. Sementara itu, kelas atas tiada pernah
menempati posisi kelas menengah ke bawah, kalaupun di antara mereka tidak
mendapat kesemapatan memegang kekuasaan tetapi tetap mendapatkan perlakuan
istimewa dari penguasa setempat, itu pasti sebab penguasa setempat didominasi

3
dan dipegang oleh menengah ke bawah. Contohnya perlakuan yang diberikan
terhadap pengusaha. Begitulah usaha kekuasaan yang selalu menjalar hingga ke
celah-celah yang sulit dijangkau, pembatasan kelas atas dengan kelas menengah
ke bawah tersebut sudah disusun sangat rapi, walau terkadang pembatas tersebut
sering dibuka untuk meredam perlawanan kelas bawah.
Jadi, apa yang dikatakan Marx tentang Matrealism bertemu pada titik yang
dibahas oleh Loomba tentang konsep kolonial, bagi lomba sendiri kekuasaan
(kolonialisme) adalah sarana yang dipakai oleh kapitalisme untuk melakukan
ekspansi globalnya, Rasisme (kerja paksa) hanyalah sebuah sarana yang
digunakan oleh Kolonial untuk mendapatkan tenaga kerja dari daerah jajahan.
Nyatanya, kelas pekerja atau para pengabdi adalah kode yang diwujudkan dan
digeneralisasikan oleh hegemoni untuk menindas, eksploitasi, penjajahan fisik
maupun jiwa demi birahi serakah akan duniawi, wacana gospel, Gold dan Glory
menjadi tiang penyangga bagi Barat atau Erpah untuk memegang tampuk
kekuasaan. Layaknya sebuah tawaran bagi kaum yang terjajah untuk patuh kepada
Hegemoni Barat dan Eropah, membeli jiwa kelas menengah ke bawah dengan
agama, lapangan kerja atau dengan wacana saudara tua. Sehingga sifat
ketergantungan tumbuh dalam diri masyarakat kelas rendah terhadap tamu yang
membawa segudang kemakmuran.
Derita berkepanjangan yang diderita kelas menegah ke bawah itu kelas pernah
dilawan oleh Marxs yang sudah dicatat sebagai buas mulia dengan mendirikan
Liga Komunis di Brussel 1847 akhirnya menjadi cikal bakal gerakan kaum
pekerja internasional pertama dan sebagai dampaknya meletuslah tindakan anarkis
hingga wabahnya menjalar ke Indonesia, klimaksnya terjadi pada tahun 1965.
Akhirnya, strategi sosialis1 ini selalau gagal mengukuhkan kemenangan sejatinya
untuk melawan Hegemoni.

2. Etnis
Ben Agger menyatakan bahwa Ras dan Etnis tidak lagi dilihat secara esensial
sebagai suatu kategori biologis, tetapi sebagai posisi gender sebagai subjek,
identias dan wacana yang dikontruksi oleh diri sendiri dan orang lain (Agger,
1
Kegagalan Marxisme dalam menganalisa ranah sosial kontenporer, kegagalan ini berakar dari
watak esensial dan totalistik dalam pemikiran Marxisme (Laclau dan Chantal Mouffe, 2008).

4
2003: 361). Etnis tidak obahnya sebagai pengkotakan sepihak oleh para pribadi
maupun kelompok, ego yang berlebihan timbul di dalam sebuah kelompok yang
memfonis dirinya lebih mulia, lebih beradab. Hal ini tidak terlepas dari sejarah
panjang, pengalaman dan perjalanan zaman dari saman batu lama hingga
Postmoderen. Misalnya Inggris dan Portugal sebagai kelompok pertama yang
mengarungi dunia merasa mempunyai sebuah kelebihan, tapi bukan kelebihan
tepatnya kekuranganlah yang membuatnya seperti itu, mencari ataupun menjajah
daerah lain. Berbeda dengan dunia Timur yang dianugrahi tanah yang kaya dan
subur. Namun, masyarakat Timur melupakan kesiagaan terhadap serangan dari
luar, baik berupa generalisasi Ilmu pengetahuan yang dibuat oleh Bangsa lain
sebagai penakluk sekaligus untuk memenuhi kekurangannya. Bangsa Timur
seyokyanya bangga akan ilmu pengetahuan yang dibiaskan oleh suku bangsa
Eropa, bahkan kebanggan tersebut ditanamkan memalui sistem, baik pendidikan
maupun sosial masyarakat. Layaknya adalah sebuah kebanggan tertentu untuk
memakai asesoris Barat, dimulai dari Teori, cara dan gaya hidup (life style),
penampilan, budaya hingga agama.
Usaha lain ialah perkawinan campur yang dilakukan oleh Ras putih dengan
pribumi untuk menghilangkan kulit berwarna, lalu membuat wacana bahwa orang
Eropah menyelamatkan wanita kulit berwarna dari kebuasan laki-laki kulit
berwarna dan anak-anak yang dilahirkan dari kawin campur itu sudah bisa disebut
buas mulia. Di sini juga digambarkan bahwa laki-laki kulit berwarna biadab,
kanibal, suka berperang, mengekploitasi wanita sehingga tugas wanita hanya di
rumah, sementara si laki-laki bebas memilih wanita lain, polygami. Kode sosial
terhadap Etnis, bahwa Etnis Eropa lebih pintar, lebih maju, lebih cerdas dari Etnis
Timur, Ras-ras putih yang mereka anggap orang yang beradab dan berpendidikan
mampu memenuhi kebutuhan orang-orang yang diangap membutuhkan, celah-
celah bernapas bagi etnis berkulit berwarna telah ditutup, kendalikan dan
disamarkan. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa orang Afrika
dianggap buas mulia ketika mau bekerja sama denga Eropah, sebab orang Eropa
mampu menyelamatkan perempuan kulit berwarna dari kebuasan laki-laki
berwarna. Pandangan Eropah menyatakan bahwa orang-orang kulit berwarna
melakukan hubungan seks sejenis, sehingga terbangunlah kembali kode

5
Homoseksual atau Lesbian. Seakan menaruh logika, bahwa di dunia Timur yang
umumnya kerajaan, telah mengurung para Gundiknya di dalam suatu ruangan
sehingga terjadilah tindankan saling menyayangi di antara mereka (wanita
gundik), mulai dari saling membersihakn rambut, pijat, hingga trnsaksi seksual.
Hal ini dianggap logis karena di dalam ruang tersebut tidak adanya laki-laki selain
Raja dan terkadang Raja juga sibuk mengatur kerajaannya.
Pandangan di atas tidak hanya dilemparkan kepada dunia timur, tetapi juga
kepada Etnis asli Amerika seperti wanita Amazon, kebinalannya, hypersexualnya
dalam melayani laki-laki. Di gambarkan oleh Lomba bahwa Wanita Amazon yang
memakai topi dari bulu burung, pakai koteka dari bulu burung, dada dicat putih,
pakai manik-manik dari gigi dan taring binatang seakan memperlihatkan
kebuasannya, berjalan dengan hati-hati mengguirkan pikiran Eropah akan
kesuburan tanah yang akan di jajah. Tindakan ini dilakukan oleh Kolonial hanya
sekedar untuk membangun image dan kode agar orang Amazon tersingkir dan
terasing, jadi daerah Amerika seluruhnya bisa dikuasi oleh orang Putih (Eropa),
sebuah penjabaran dari Neo Imperialisme. Di dalam media masa juga
digambarkan tentang mitos cantik, bahwa yang cantik itu adalah putih atau yang
gagah itu adalah berotot, macho dan segala hal, maka untuk mememnuhi
standarisasi tersebut dimunculkanlah produk-produk Kapitalis, seperti bedak,
pencuci muka, obat kekar otot dan segala macamnya. Padahal belum lama ini
pernah muncul wacana yang cantik itu adalah hitam manis.
Kaum kolonial memandang bahwa Etnis yang unggul adalah etnis yang
berkebudayaan, berpendidikan, dan maju secara ilmu pengetahuan, biasanya etnis
ini bermukin dekat ke daerah kota besar, dekat dengan kekuasaan atau memiliki
kekuasaan tersebut, merasa paling berhak terhadap segala hal, karena sejarahnya
yang cemerlang, mungkin sebagai penemu sebuah pulau, daerah, teknologi, atau
pernah di kalangan itu dipilih seorang utusan Tuhan. Artinya, sejarahnya mencatat
bahwa kekuasaan lebih lama berada di tangannya mereka.
Sebuah kasus perseteruan yang pernah muncul di Ambon yang pada akhirnya
memicu Perang Agama, yang hanya berawal dari pertengkaran preman di Jakarta
kemudian isu tersebut dibawa ke Ambon yang mana dominasi Kristen lebih kuat.
Orang Putih berusaha mengaburkan batas perdamaian antara Islam dengan Kriten

6
di Indonesia, media memberitakan bahwa konflik itu telah selesai dan
diselesaikan oleh Etnis yang memegang kekuasaan ketika itu. Hal ini
menggambarkan bahwa etnis jawa itu pintar dan bisa menyelesaikan segala
masalah. Kemudian masa lalu, protes yang dilakukan oleh Rakyat Suamtra
Tengah (PRRI) terhadap pemerintahan Sukarno, karena ketidakadilan sistem yang
dibuat, menimbulkan trauma berkepanjangan bagi Rakyat Minangkabau, kisah itu
ditutup dengan pengiriman devisi Diponegoro (Bataliyon 433) ke Sumatra untuk
menumpas habis PRRI yang dianggap pemberontak dan mengganggu kestabilan
Naional. Nah, hal ini menandakan kesuperioran etnis berkuasa dan kekuasan tidak
akan terklepas dari etnis yang disinyalir unggul tersebut. Sekarang jelaslah, bahwa
etnis tidak obahnya diciptakan memang benar-benar ada dan diciptakan
memalalui kode sosial yang diakui secara umum. Etnis dan ras yang unggul
adalah etnis dan ras putih, suku bangsa yang beradab seperti Jawa yang
notabenenya bias dari Hegemoni Majapahit, presiden harus Etnis jawa supaya
kestabilan tetap tercipta.

3. Gender
Abad ke- 17 seksual dibatasi hanya di dalam rumah dan perkawinan dalam
lingkungan keluarga, namun setalah itu diserap oleh ilmu pengetahuan ke dalam
diskursus, adanya suatu usaha agar seks dipadatakan melalui bahasa, pernyataan
bahwa seks adalah topik yang sangat menyenangkan untuk dibahas, bahkan di lain
kajian tentang seksual sudah diciptakan teorinya, sehingga melahirkan emansipasi
wanita, akhirnya menjadi ‘’mutasi seksual’’. Isu Feminisitas layaknya sebuah
wacana baru terhadap gender, dimana di sana hidup kekuasan laki-laki, sehingga
hal ini melahirkan tuntutan bagi kaum hawa agar emansipasi wanita
direalisasikan, media yang dianggap sebagai salah satu sarana bagi kaum hawa
dalam memperjuangankan semua itu.
Di samping itu media adalah sarana yang sangat membantu bagi
perkembangan, pembiakan dan ketidakstabilan gender. Bagi kaum feminis
mengganggap ini adalah kesempatan besar untuk menuntut ketidakadilan tersebut,
media dapat menghancurkan batasan-batasan yang dimiliki perempuan, kondisi
lemah, lembut, berdiam diri di rumah, pasif, irasional, emosinal telah dileburkan

7
oleh kemapuan teknologi mutakhir yang ditawarkan media, Piliang menyebutnya
kondisi ini dengan Postfeminisme. Melalui teknologi kaum dapat feminis bisa
meningkatkan daya pikir, kekuatan, kecerdasan, keaktifan sehingga kaum feminis
tidak lagi menempati posisi inferior di bawah laki-laki.
Sejalan dengan itu pemberdayaan perempuan melalui teknologi cyborg2,
menciptakan frontier3 femininisitas, kerana dengan teknologi ini perempuan bisa
melipatgandakan kekuatan, tiada rasa takut berada dimanapun, kaum feminis
menciptakan daerah tidak bertuan sendiri seperti yang dilakukan laki-laki, yang
mana di sana penguasa tunggal adalah perempuan. Teknologi ini pernah
difilemkan oleh Amerika dan dibintangi oleh Arnol Suasinegar, di sini di citrakan
Arnol dibekukan dan tertidur selama ratusan tahun, setelah dibangunkan melalui
mesin zaman telah berubah, kemudian bertemu dengan seorang wanita yang hidup
di era itu, arnol menginginkan trnasaksi seksual dengan wanita itu, si wanita
memenuhi dengan teknologi Cyborg, memasang banyak kabel di bagian syaraf,
sehingga perasaan keduanya layaknya dua pasangan yang sedang berhubungan
badan, merasa terpuaskan setelah melanglang buana di dalam teknolgi Cyborg, ini
berarti tidak adanya keturunan yang dihasilakn oleh transaksi seksual tersebut,
tujuannya hanya untuk memuaskan diri belaka. Di sini setiap orang
mendifinisikan identitas seksual menurut selera masing-masing.
Kemudian apa yang terjadi kemudian? Adalah sebuah keliaran
menggganas tiada terkendali, Cyberspace dipergunakan oleh kaum hawa untuk
membentuk komunitas virtual, yang mana dampaknya sangat merugikan wanita
itu sendiri. Sebab di sini tidak tertutup kemungkinan pertukaran gender antara
klaki-laki dengan wanita, si wanita menjadi laki-laki dan laki-laki menjadi wanita,
akhirnya kedua posisi itu dinikmati oleh masing-masingnya. Chating yang pada
awalnya untuk membangun silaturrahmi berubah menjadi pemangsa buas
kefeminiman wanita, website yang awalnya sebagai senjata bagi kaum wanita
untuk menyuarakan ketidakadilan laki-laki ternyata berubah fungsi sebagai tempat
memvirtualkan ekploitasi wanita, web site porno, seks online, Facebook, frindster
yang mempertontonkan identitas diri cukup menggambarkan ketidakberdayaan
2
Penyatuan Tubuh dengan mesin atau tepatnya memesinkan manusia.
3
Model dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan treknologi di Barat, sarat denga
maskulinitas/individual/anarkis dan berusaha mencari daerah serta tantangan baru (Piliang 2004:
426).

8
perempuan dihadapan laki-laki. Tiada hukum, tiada peraturan, tiada tuntutan,
kaum feminis bertekuk lutut di bawah Maskulinitas. Selain itu, tuntutan terhadap
ketidakadilan yang diterima kaum perempuan melahirkan tuntutan lokalisasi,
homo dan lebian di legalkan, hingga banci pun menuntut peraturan yang sama,
yang pada intinya ketidakpuasan terhadap dominasi laki-laki.
Sejalan dengan apa yang diungkapan Focoult dalam Piliang (2004), bahwa
kekuasan dan kesadaran tubuh seseorang dapat diperoleh hanya memalui efek
investasi kekuasan di dalam tubuh, melalui teknologilisasi tubuh, hingga politik
tubuh. Contohnya bisa kita perahatikan kejatuhan-kejatuhan yang diderita oleh
pemimpin banga ini seperti Sukarno, Yusril dan sekarang di derita oleh Antasi
Azar. Tak obahnya tubuh wanita dijadikan politik untuk menjadikan dan
menghancurkan nama baik seseorang, begitulah media, kembali kaum wanita di
tipu oleh laki-laki memalui media. Tetapi tidak bisa disangkal, kekuasaan terlalu
arif penanaman idiologi atas ketabuan seks harus disirnakan karena itu
menyasikan. Agar diskursus tentang seks ini tidak merugikan kekuasaan, maka
kekuasaan berusaha mengidentifikasi, menyediakan literatur dan melakukan
pencatatan yang sangat rapi, persoalan seks adalah kebijakan negara, di Indonesia
sendiri lahirlah UU pornografi dan porno aksi. Focoult juga menyatakan bahwa
kekuasaan meminta seksualitas untuk melakukan persetubuhan, dengan
mencumbunya dengan mata, mengintensifkan bagian-bagiannya, membangkitkan
permukaannya dan mendramatisir kekacauan (Rizer 2003: 112).
Kemudian Postfeminisme kaum hawa lebih keras menuntut persamaan
disegala bidang, Dorse yang menukar kelamin mejadi perempuan, Afi yang minta
dikuburkan sebagai laki-laki, Lenny yang sembahyang memakai makena dan
pergi Haji sebagai laki-laki. Ini adalah sebuah fenomena nyata yang sudah
dimamah oleh masyarakat komsumer. Betul isunya berangkat dari gender,
persamaan jender, pembagian rata hak dan kewajiban antara laki-laki dengan
perempuan. Juga, awalnya mucikari hanya seorang penampung PSK atau pencari
PSK untuk diperkerjakan, tetapi lambat laun hal itu berubah menjadi sebuah
profesi yang patut pula dihargai dan diakui. Perhatikan saja rumah atau Lokalisai
Doly, setiap bulan puasa kegiatan jual beli diliburkan karena para pekerja pulang
kampung untuk menunaikan ibadah puasa, sementara itu Pak RT di lingkungan

9
Doly bisa istirahat. Sekali lagi, kaum feminime telah gagal menamkan kekuasaan
terhadap laki-laki, menyuguhkan kemolekan tubuh, kelangsingan, mulus, cantik
itu putih dan segala macamnya ternyata menuai kelincahan kekuasan
memanagemen itu semua.
Sejalan dengan itu, Hagemoni juga membangun sebuah tatanan sosial baru,
feminisme dunia ketiga ke dalam sebuah kancah yang dulu termarjinalkan,
menjadikan perempuan pribumi atau perempuan Timur sebagai objek
pembanding. Membuat pernyataan bahwa sudah saepatutnya kesetaraan Gender
menjadi kajian yang menarik. Padahal sesungguhnya pandangan feminisme baru
itu adalah sebuah pendustaan untuk menghancurkan mitos perempuan suci yang
dimiliki oleh orang Timur. Di pihak perempuan Timur malah tidak sadar bahwa
penjajahan terhadap dirinya sudah dilakukan oleh feminisme Barat, mempunyai
anak cukup 2 saja karena bisa lebih fokus untuk membiayainya, makanya pakai
kondom dalam transaksi seksual atau diperbolehkan berhubungan seks dengan
menggunakan kondom, bergerigi agar lebih sensual. Ini adalah sebuah kesuksesan
Hegemoni Barat yang patut dapat acungan jempol, kelanjutannya sorotan terhadap
kaum perempuan terpinggirkan menjadi sumbangan hangat bagi perempuan
timur, tetapi sesunggunya perempuan Timur telah membantu mentransformasikan
usaha mereka untuk kembali menjajah dengan sistem.
Seiring dengan itu Yasir menyatakan perempuan menjadi kelas dua bukan
kaerena biologis yang melekat padanya tetapi karena citra negatif yang dilekatkan
pada dirinya (Yasir Alimi, 2004: 36). Seperti Ilmu pengetahuan yang dikodekan
oleh Darwin bahwa kapasitas otak laki-laki lebih besar dari pada otak perempuan,
Imanuel Kant menyebut bahwa laki-laki itu bodoh tapi masih bisa dididik tetapi
perempuan itu bodoh dan tidak bisa dididik, kemuadian diskursus Agama juga
mempertegas bahwa perempuan lebih rendah keimanannnya dibandingkan laki-
laki, makanya seluruh permukaan tubuh perempuan dimasukan ke dalam aurat
kecuali telapak tangan dengan muka. Se,mentara Focoult sendiri menyatakan
adanya 3 unsur yang sangat berpengaruh dalam menentuan sebuah ideologi, yaitu
power-imu pengetahuan-kenikmatan. Di antara ketiga unsur ini saling kait, power
dengan pengetahuan saling berrelasi untuk menghasilkan kebenaran baru begitu
juga sebaliknya, sementara penghetahuan mengeskploitasi kenikmatan. Sebuah

10
contoh terhadap kasus itu adalah kisah tragis yang dialami Barbin seorang
Hermaprodit Parncis abad ke XIX , setelah melakukan pengakuan kepada dokter
dan pendeta di gereja, secara hukum Barbin diharuskan mengubah kelaminnya
menjadi laki-laki karena maskulinitas yang dimilikinya, akhirnya barbin Bunuh
diri, lalu Dorce yang diharuskan mengubah kelamin menjadi wanita? Hal ini
dikatakan Focoult ‘’aneh’’ sebab yang namanya Hermaprodit itu berjenis kelamin
ganda bukannya dijadikan satu kelamin.
Di yakini oleh Yasir bahwa seksualitas menjadi heteroseksual atau
homoseksual hanyalah kontruksi sosial, efek wacana sebagai akibat dari praktek
diskursus, oleh karena itu tidak bisa ditenmukan di dalam darah tetapi dapat
ditemukan hanya di dalam tanda bahasa. Diskursus juga diyakini oleh Fokoult
sangat berpengaruh dalam histerisasi tubuh perempuan dan performen menurut
Butler dalam Yasir. Diskursus adalah wadah yang sangat potensial untuk
meneriakan bahwa perempuan itu feminim, laki-laki maskulin, laki-laki dan
perempuan harus punya kelamin satu, awalnya sangat sederhana, cukup
mengatakn bahwa ‘’saya laki-laki dan harus bersifat maskulin!, kamu perempuan!
kamu orang Hyoer!’’ atau mungkin tanda bahasa lain yang perlu dimunculkan
untuk menciptakan sebuah diskursus. Kuncinya hanya datu kata, ‘’pengulangan’’
hingga lambat laun kode itu diakui dan diterima.
Sementara itu diskursus yang telah dibuat oleh Barat terhadap seksual bertolak
dari zaman Yunani dan Romawi, yang mana Barat moderen menyatakan bahwa
seksual baginya adalah prokreasi untuk memkasimalkan kekuatan, potensi diri,
menjaga hubungan pernikahan dan menolak Yunani dan Romawi bahwa seksual
merupakan kesenangan, maka dari itu dibangun tatanan moral untuk melahirkan
moral kebenaran, menyatakan onani dapat merugikan kesehatan, homoseksual
menimbulan penyakit, hyperseksual mampu meningkatlan AIDS, sementara Barat
sendiri meningkatkan kegairahannnya melihat perempuan Timur sebuah ladang
eksotis, sensual dan sexy. Timur itu feminis, Barat maskulin maka dari itu Timur
harus dibimbing, dicerdaskan dan dilindungi oleh kuasa Barat. Timur itu pasif
layaknya perempuan yang membutuhkan perlindungan laki-laki, karena dari
Baratlah pengetahuan itu berasal, sedangkan Timur tinggal menikmatinya saja,
dari Baratlah Teori-teori muncul dan Timur hanya tinggal memakainya saja.

11
Timur dianggap sebagai objek seksual, dijajah karena bodoh. India dikatakan
maju karena pernah dijajah oleh inggris, yang lebih anarkis lagi saat Imanuel Kant
menyatakan bahwa adanya hubungan paralel antara kecerdaaan dengan warna
kulit.
Jelas terlihat bahwa Eropah dengan terang-terangan menyatakan dirinya
penyemban misi penyelamatan terhadap bangsa Timur dari kebodohan, India dan
Indonesia kanibal dan malas, Arab suka kekerasan. Mahasiwa dari Timur perlu
disekolahkan ke Barat, dibantu beasiswa, toefl harus tinggi untuk mendapatkan
beassiwa itu, setelah sampai di Eropah dicuci otaknya, diekploitasi
kemampuannya untuk kepentingan Barat. Lalu Si Mahasiswa mengakaji tentang
budaya negara aslinya dengan bnatuan dana Berat, ya jelas sekali bahwa
Mahasiswa dari Timur itu bodoh, tidak punya identitas diri.
Pemfeminisasian Timur oleh barat juga sangat jelas terlihat di saat akan
melaksanakan misisnya menjajah, disebut Timur sebagai pulau perawan. Anehnya
Timur sebagai bangsa yang terjajah menerima kode tersebut, bangsa Timur
menyatakan keperempuannya di dalam perjuangan, membela ibu pertiwi, ibu
pertiwi yang mengharapklan putra bangsa membelanya, membebaskanya dari
penjajahan, menggambaarkan ibu pertiwi sedang berduka mengharapkan belaian,
hiburan datanglah Barat memberikan bantuan (belaian) melalui IMF, bantuan
yang mengatasnamakan kemanusiaan terhadap bencana Tsunami Aceh. Namun
wacana ini pemfeminisan seperti ini pernah dilawan oleh Sultan Hasanuddin di
saat melawan Belanda, Hasanuddin menyatakan dirinya ‘’Ayam Jantan dari
Timur’’, lalu diponegoro yang sangat ditakuti Belanada. Tetapi ada kisah sedih
yang terjadi setelah itu, seperti yang telah disinggung di atas bahwa tahun 1950
hingga 1965 di Sumatra Tengah, terjadi invansi Devisi Diponegoro, merusak
Minangkabau dengan alasan menumpas PRRI. Batalion 433 ini membangun
wacana baru bahwa orang Sumatra Tengah itu perempuan, Fenminis,
pemberontak, perlu dicerdaskan, dihancurkan, maka terjadilah pelecehan seksual
terhadap perempuan Minangkabau, ternyata jawa juga pernah menjadi penjajah
kaum feminisitas.

Simpulan

12
Berdasarkan gambaran di atas, menjadi jelas apa yang dikatakan dengan Kelas
sosial, etnis dan gender hanyalah buatan penguasa, akibatnya kelas, etnis dan
gender bermutasi, berkembang biak tanpa kendali. Alhasil, munculah deviant dan
ketimpangan sosial yang terlalu jauh, di antara penguasa dengan rakyat, laki-laki
dengan perempuan, pekerja dengan tuan, Barat dengan Timur, dosen dengan
mahasiswa.
Ini adalah sebuah usaha manaklukan dunia yang dilakukan oleh Hegemoni
Barat, mempengaruhi penguasa setempat, memegang kendali media, menciptakan
teknologi untuk menutupi segala kekurangan yang dimilikinya. Kemudian dengan
menciptakan simbol dan kode kestabilan mampu mengecoh dan memperdaya
kaum-kaum yang dibuat ketergantungan akan santunan dan belaian tangan
kekuasaan, setelah menjadi buas mulia dirinya rela diperbudak oleh kekuasaan
tersebut.
Namun, isu Feminisme lebih menarik, terjadinya eksodus besar-besaran
emansipasi ke ranah yang tidak bertuan, tidak terkendali sehingga menciptakan
lebih banyak ketimpangan sosial, ekonomi dan agama. Akibat dari itu, dominasi
laki-laki terhadap perempuan semakin leluasa dan terang-terangan diperlihatkan,
seolah-olah tidak ada aturan, hukum, seolah-olah tidak bisa berbuat apa-apa,
menyalahkan tuhan atas ketimpangan yang dihembuskan Hegemoni Barat, bangsa
yang kebarat-baratan hingga saudara yang di baratkan, dicuci otaknya untuk misi
penjajan.
Jadi, postfeminisme menggambarkan ekploitasi besar-besaran terhadap
perempuan, potskolonial menggambarkan ekploitasi besar-besaran kolonial dan
hanya Marxislah yang baru mampu melawan Hegemoni tersebut secara terang-
terangan, hal itu pun menuai kegagalan.

DAFTAR PUSTAKA
Alimi, Yasir. 2004. Dekontruksi Seksualitas Poskolonuial. Yokyakarta: LKIS.
Agger, Ben. 2003. Teori Sosial Kritis. Yokyakarta: Kreasi Wacana Yokyakarta.
Berlin, Isaiah. 2000. Biografi Karl Marx. Surabaya: Pustaka Promethea.
Chomsky, Noam.2008. Neo Imperialisme Amerika Serikat. Yokyakarta: Resist
Book.

13
Foley, Wiliam A. 2001. Antropological Linguistics An Introduction. Sidney:
Blackwell Publisher.
Gandhi, Leela. 2001. Teori Postkolonial. Yokyakarta: Qalam.
Laclau, Ernesto dan Chantal Mouffe. 2008. Hegemoni dan Strategi Sosialisme.
Yokyakarta: Resis Book.
Piliang, Yasraf Amir. 2004. Postrealitas: Realitas Kebudayaan dalam Era
Postmetafikika. Yokyakarta: Jala Sutra.
Piliang, Yasraf Amir. 2004.Dunia yang Dilipat: Tamsya Melampoi Batas-batas
Kebudayaan. Yokyakarta: Jala Sutra.
Poole, Ross. 1993. Moralitas dan Modernitas. Yokyakarta: Kanisus.
Ritzer, George. 2003. Teori Sosial Postsmoderen. Yokyakarta: Juxtapose
Research and Publication Study Club dan Kreasi Wacana Yokyakarta.
Truong, Thanh-Dam. 1992. Seks, Uang dan Kekuasaan: Pariwisata dan
Pelacuran di Asia Tenggara. Jakarta: LP3ES.
Ramly, Andi Muawiyah. 2009. Peta Pemikiran Karl Marx. Yokyakarta: LKIS.

14

You might also like