Professional Documents
Culture Documents
di Sektor Perikanan
Oleh:
Tikkyrino Kurniawan, Bayu Vita Indah Yanti
Peneliti Balai Besar Riset Sosial Ekonomi, Departemen Kelautan dan perikanan
Email: Tikkyrino.k@gmail.com, and Bviy1979@gmail.com
Abstrak
The Combo Effect of Climate Change, Toxic Waste and Monetary Crisis in
Fishery Sector
Abstract
PENDAHULUAN
Seperti penelitian oleh Morley (2009) yang meneliti tentang molusca laut
yang bisa berubah perilaku dan bertahan hidup. Menurutnya molusca tersebut
akan melakukan bergerak dan berubah komposisinya. Jika peningkatan suhu
semakin tinggi dan extrim maka Morley (2009) khawatir jika oksigen tidak
sampai ke inti molusca tersebut dan mati. Hal ini kurang lebih sama dengan
hewan dan mahluk lainnya. Hewan dan manusia juga memerlukan oksigen,
dimana transfer oksigen tersebut ke pusat pernafasan juga mempunyai toleransi
tingkat suhu tertentu (Suharsono 2009).
Dari penjelasan diatas, maka ikan dan biota laut lainnya yang akan
bermigrasi ke tempat yang lebih cocok suhunya (Suharsono 2009). Sedangkan
ikan yang tidak melakukan migrasi akan berusaha untuk bertahan hidup. Hal ini
tentunya akan mempengaruhi penangkapan nelayan akan jenis ikan tertentu
(Diposaptono 2009). Jika ikan yang ditangkap bermigrasi ke lokasi yang tidak
pernah dipredisikan mereka akan pindah ke lokasi tersebut, maka hasil tangkapan
nelayan akan berkurang jauh. Jika mereka bisa memperkirakan lokasi-lokasi mana
saja yang menjadi tempat penangkapan, maka jumlah hasil tangkapanya bisa
dipertahankan. Hal tersebut juga dipengaruhi perubahan kemampuan ikan-ikan itu
berkembang biak, serta seleksi alam yang mempengaruhi ikan-ikan tersebut
(Suwahyuono 2009).
Sedangkan ikan-ikan dan biota laut lainnya yang tidak pindah dan tidak
lolos seleksi alam akan perlahan-lahan berevolusi atau mati (Hermantoro 2009).
Oleh karena itu, dikhawatirkan ada beberapa jenis species yang akan punah jika
perubahan iklim ini akan terus berlangsung dan semakin parah (Suharsono 2009).
2
The Combo Effect: Climate Change, Toxic Waste and Monetary Crisis in
Fishery Sector
Terlebih jika bumi semakin memanas, maka makanan ikan akan semakin
berkurang sehingga banyak ikan juga yang akan punah dan yang lebih parahnya
lagi penghasilan nelayan akan sangat berkurang (Kusumastanto et. al. 2009).
Diposaptono et. al. (2009) menekankan bahwa 40% species dunia akan punah jika
suhu naik sebesar 2oC. sekitar Keadaan alam seperti ini saja cukup
menghawatirkan, belum lagi keadaan yang diperparah ulah manusia yaitu
pembuangan limbah baik sampah maupun limbah pabrik sembarangan.
Limbah yang dibuang manusia itu ada 2 macam, yaitu limbah tidak
beracun dan limbah beracun. Limbah yang tidak beracun itu contohnya plastik,
dan kertas. Sedangkan limbah beracun contohnya limbah pabrik, bekas sabun, sisa
oli kendaraan, bahkan kotoran manusia bisa menjadi limbah beracun. Baik limbah
beracun atau tidak beracum sama- sama membahayakan manusia, limbah beracun
berbahaya karena racunya, sedangkan yang tidak beracun berbahaya karena
pengola hanya memakan waktu yang lama dan tidak ramah lingkungan.
Dilain pihak, pada jaman yang serba canggih ini dengan peredaran uang
yang sangat cepat menyebabkan kebutuhan hidup sangat tinggi. Ditambah dengan
jumlah penduduk yang semakin meningkat pesat sehingga kebutuhan hidup jauh
lebih tinggi dibandingkan dengan produksinya. Sehingga memacu harga melonjak
semakin tajam. Hal tersebut sesuai dengan hukum ekonomi, banyaknya jumlah
permintaan yang tidak diimbangi dengan supply barang yang cukup akan memicu
harga barang menjadi lebih mahal.
Kenaikan harga ini diperparah lagi oleh adanya krisis ekonomi. Krisi
ekonomi menaikkan harga barang dalam negeri karena untuk produksi barang,
seperti penangkapan ikan, masih membutuhkan komponen dari luar negeri seperti
contohnya mesin, dan bensin. Oleh kerena itu maka harga produksi akan turut
meningkat. Dilain pihak, konsumsi nelayan juga meningkat pada saat kriris
The Combo Effect: Climate Change, Toxic Waste and Monetary Crisis in
Fishery Sector
berlangsung. Harga-harga bahan makanan dan transportasi juga naik. Sehingga
nelayan akan sangat merugi jika mereka tidak ikut menaikkan harga ikan.
Tujuan Penelitian
METODOLOGI PENELITIAN
Pendekatan Penelitian
Penelitian ini hanya mengkaji tiga pelaku utama sektor perikanan, yaitu
nelayan, pembudidaya tambak, dan pengolah hasil perikanan dalam kurun waktu
satu tahun pada lokasi penelitian. Penelitian ini juga hanya mengkaji dampak
perubahan iklim terhadap pendapatan ketiga pelaku utama sektor perikanan
berdasarkan aspek ekonomi, politik, hukum, sosial budaya, dan teknik
pemanfaatan sumber daya perikanan terhadap perubahan iklim.
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli hingga Agustus 2009 di Desa
Muara dan Muara Baru, Kecamatan Cilamaya Wetan, Kabupaten Karawang, Jawa
Barat serta Kelurahan Kamal Muara dan Muara Baru, Kecamatan Penjaringan,
4
The Combo Effect: Climate Change, Toxic Waste and Monetary Crisis in
Fishery Sector
Jakarta Utara. Kedua lokasi ini dipilih secara sengaja dengan alasan lokasi
tersebut memiliki tingkat kerentanan yang cukup tinggi terhadap perubahan iklim
karena sebagian besar warganya bermata pencaharian sebagai nelayan,
pembudidaya tambak, dan pengolah hasil perikanan. Bahkan, Kecamatan
Penjaringan diramalkan akan terendam air akibat naiknya permukaan air laut
(Susandi, 2006).
Data yang digunakan dalam riset ini berupa data sekunder dan data
primer. Data sekunder diperoleh dari Dinas Badan Riset Kelautan dan Perikanan,
Badan Pusat Statistik Kotamadya Jakarta Utara, jurnal atau laporan ilmiah
nasional dan internasional, serta artikel-artikel dari media massa. Sementara itu,
data primer diperlukan untuk mengetahui dan merinci dampak perubahan iklim
bagi pelaku utama sektor perikanan. Data primer tersebut diperoleh melalui
pengamatan dan wawancara langsung dengan nelayan, pembudidaya tambak, dan
pengolah hasil perikanan dengan menggunakan kuesioner. Selanjutnya, data
tersebut diolah untuk mengidentifikasi dampak perubahan iklim bagi kegiatan
usaha pelaku utama perikanan.
The Combo Effect: Climate Change, Toxic Waste and Monetary Crisis in
Fishery Sector
lingkungan, dan masalah ekonomi yang berkaitan dengan sektor kelautan dan
perikanan.
Arus laut yang kencang cukup menguntungkan terutama bagi ikan yang
berenang dengan cepat, dan budidaya kerang. Ikan yang berenang dengan cepat
bisa mencapai tempat tertentu dengan waktu yang lebih cepat sehingga waktu dan
lokasi penangkapan berubah. Untuk budidaya kerang, arus yang kencang juga
menguntungkan karena arus yang kencang justru membawa bibit kerang hijau
ketempat perkembang biakan. Akan tetapi arus deras itu yang terus menerus
justrus merupakan kelemahan budidaya kerang hijau karena perkembang biakanya
semakin cepat justru akan mematikan budidaya tersebut.
Dilain pihak, suhu udara terus meningkat. Hal ini diakibatkan oleh
bolongnya lapisan ozon oleh gas-gas dari pembuangan pabrik dan kendaraan yang
menyebabkan radiasi matahari masuk dalam jumlah yang banyak. Akan tetapi
6
The Combo Effect: Climate Change, Toxic Waste and Monetary Crisis in
Fishery Sector
gas-gas tersebut menyebabkan panas yang memantul keluar dari bumi berkurang
yang menyebabkan bumi menjadi lebih panas seperti didalam rumah kaca
(Suwahyuono 2009). Ahrens (2007) dan McGuffie (2003) menyebutkan bahwa
kenaikan temperatur berkala akan berlangsung selama 22 tahun.
Dilain pihak, pada saat ini temperatur yang tinggi justru cukup
menguntungkan pengolah hasil perikanan, terutama yang menggunakan sinar
matahari dan suhu udara untuk pengeringan hasil produksi mereka. Pengeringan
produk perikanan menjadi lebih cepat kering.
Perubahan iklim seperti gelombang tinggi dan arus yang deras cukup
berbahaya bagi nelayan dengan kapal yang kecil karena ketinggian gelombang
yang bisa mereka antisipasi cukup rendah. Sehingga nelayan kecil bisa berlabuh
dipelabuhan untuk waktu yang cukup lama. Musim ini biasa terjadi pada musim
paceklik, sehingga jika hal ini terjadi mereka mengidentifikasikanya sebagai
musim paceklik. Musim paceklik pada saat perubahan iklim menjadi lebih
panjang.
Dilain pihak, kerang yang tumbuh subur didasar laut harus cepat di
panen. Jika petani kerang tidak memperhitungkan dan lalai untuk panen, maka
bibit kerang yang terlalu banyak justru mematikan budidaya kerang hijau tersebut.
Akibatnya petani kerang akan merugi.
The Combo Effect: Climate Change, Toxic Waste and Monetary Crisis in
Fishery Sector
Efek dari limbah terhadap ekosistem
Banyak sekali efek negatif terhadap ekologi dan mahluk hidup dari
limbah baik sampah yang dibuang sembarangan maupun limbah dari pabrik.
Efek-efek tersebut antara lain adalah air kotor dan banyak sampah, air menjadi
gelap dan bau, serta air menjadi beracun bagi mahluk hidup.
Sampah-sampah itu pula yang menyebabkan air menjadi gelap dan bau.
Kepekatan terhadap cahaya itu menyebabkan plankton-plankton yang dibutuhkan
ikan mati, sehingga jumlah ikan pun akan berkurang. Sebagian dari mereka
pindah ketempat yang terang dan yang tidak tercemar. Selain itu pula, plankton-
plankton tersebut tidak bisa melakukan fotosintesis sehingga tidak bisa
memproduksi O2 (Kaswadji dan Damar 2009). Kadar O 2 yang rendah dan kadar
CO2 tinggi menyebabkan pemanasan global semakin parah.
Selain membuat warna menjadi gelap dan bau, kotoran itu dan limbah
meracuni lautan. Ikan yang melewati lokasi tercemar itu menjadi terkontaminasi
oleh zat-zat berbahaya. Price dan tom (2009) menekankan bahwa ikan memang
mempunyai sedikit kandungan berbahaya yang jika manusia tidak mempunyai
antibodi yang kuat terhadap unsur tersebut, maka terjadilah efek keracunan ikan
seperti gatal-gatal. Dengan adanya pencemaran, zat berbahaya dalam ikan
kadarnya meningkat hal ini dikhawatirkan orang-orang yang sensitif tersebut akan
bertambah banyak dan bahkan ada beberapa dari mereka yang bisa sampai masuk
rumah sakit karena zat racunya terlalu tinggi.
Untuk itu pihak asing yang bisa mengimport ikan dari Indonesia
menetapkan standar batu mutu ikan hasil tangkapan, dan tata cara penangkapanya
yang terangkum dalam Hazard Analysis and Critical Control Point (HACCP)
(Anonim 2009). Hal ini digunakan untuk mencegah penggunaan zat beracun
untuk menangkap ikan dan pembeli dapat mendekesi kwalitas ikan yang tidak
beracun. Ikan yang beracun memang sangat berbahaya bagi manusia, untuk itu
pihak asing berusaha memperbolehkan import barang-barang yang tidak
berbahaya bagi penduduk negeri tersebut.
Efek dari krisis global dan perubahan harga terhadap usaha nelayan
Yang terakhir adalah adanya krisis dan perubahan harga yang cukup
tinggi. Selama sepuluh tahun terakhir, terjadilah perubahan harga yang secara
bertahap dan terus meningkat tajam. Sehingga kebutuhan-kebutuhan hidup terus
8
The Combo Effect: Climate Change, Toxic Waste and Monetary Crisis in
Fishery Sector
meningkat tajam. Hal ini cukup menyulitkan sektor perikanan. Dilain pihak
penghasilan tidak meningkat seperti peningkatan harga tersebut, sehingga daya
beli masyarakat menurun yang diikutin menurunnya tingkat kesejahteraan mereka.
Perubahan yang paling nyata dan banyak dirasakan oleh nelayan adalah
meningkatnya bahan bakar bermotor. Kenaikan BBM ini tidak hanya menaikkan
biaya operasional nelayan saja, akan tetapi semua harga barang ikut naik. Baik
ransum makanan dan rokok. Sehingga ongkos melaut menjadi lebih tinggi lagi.
Nelayan akan terus berusaha untuk mencari dan memenuhi jumlah target
penangkapan mereka. Sehingga jarak tempuh yang dilakukan oleh nelayan
bertambah karena jaraknya yang bertambah atau mereka menyisiri area yang sama
tersebut berulang kali. Hal ini juga berarti mereka harus menambah ongkos
melaut.
Naiknya harga BBM tidak hanya disebabkan oleh naiknya harga BBM
dipasar dunia, akan tetapi jika pasokan BBM menipis harga juga bisa melambung
tinggi. Karena jika pasokan berkurang, maka nelayan terpaksa membeli dari pihak
lain selain pertamina yang menyebabkan harga tidak pasti dan kecenderunganya
harganya lebih tinggi dari pada harga pertamina.
Ongkos melaut tinggi itu menyebabkan harga ikan meningkat. Jika harga
ikan tidak dinaikkan, maka nelayan akan merugi. Dan sesuai dengan hukum
penawaran dan permintaan barang, maka akan ada posis dimana ada kesepakatan
harga penawaran dan permintaan akan harga ikan.
Kondisi pada saat ini adalah lingkungan dicemari oleh limbah yang
memperparah perubahan iklim yang terjadi secara berkala. Kondisi alam yang
kurang mendukung membuat pendapatan nelayan menurun. Keadaan pendapatan
yang menurun ini dibarengi dengan naiknya pengeluaran karena krisis keuangan
dan naiknya permintaan.
Kondisi alam dan ekonomi yang memburuk ini menyebabkan harga ikan
melambung tinggi. Harga ikan naik rata-rata lebih dari dua kali lipat setelah ada
perubahan iklim dan naik sedikit setelah adanya krisis ekonomi. Jika harga terus
naik sementara daya beli masyarakat tidak memungkinkan, maka penjualan
tentunya akan menurun.
Jika kondisi ini tidak segera diatasi, maka yang akan terkena imbas yang
besar adalah aktor-aktor kecil. Akan tetapi jika aktor-aktor tersebut masi bisa
bertahan dengan keuntungna yang menipis serta tetap dapat hidup cukup, maka
kemungkinan untuk bertahanya akan lebih besar.
The Combo Effect: Climate Change, Toxic Waste and Monetary Crisis in
Fishery Sector
Perubahan iklim dan limbah pabrik mengakibatkan hasil tangkapan
berkurang setengah dari sebelum adanya perubahan iklim bahkan terkadang tidak
melaut sama sekali, sehingga harga melonjak cukup tajam walau kadang tidak
sampai dua kali lipatnya. Dilain pihak kenaikan harga operasional mencapai dua
kali lipat bahkan terkadang lebih. Jika di bandingkan dengan sebelum adanya
perubahan iklim dan krisis ini kondisi nelayan justru lebih sejahtera. Sekarang
kondisinya menurun.
Saran yang berikan penulis untuk semua aktor adalah kembali lagi ke
kearifan lokal untuk menyelesaikan smua masalah tersebut. Karena jika
pemerintah membuat peraturan-peraturan akan tetapi tidak ada yang mematuhi
dan menjalankannya demi kebaikan bersama, maka semuanya akan sia-sia saja.
DAFTAR PUSTAKA
Anomim. 2009. Hazard Analysis and Critical Control Point (HACCP). Wikipedia.
Wikipedia.org. (25-09-2009).
Diposaptono, Subando et. al. 2009. Menyiasati Perubahan Iklim di Wilayah Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil. Penerbit Buku Ilmiah Populer, Bogor.
10
The Combo Effect: Climate Change, Toxic Waste and Monetary Crisis in
Fishery Sector
Hermantoro, Henky. 2009. Pengelolaan bidang pariwisata bahari dalam
pelaksanaan strategi adaptasi terhadap sampak perubahan iklim di
Indonesia. Workshop Ocean and Climate Change, Hotel Salak The
Heritage-Bogor.
Kusumastono, Tridoyo; et. al. 2009. Climate change mitigation and adaptation
strategies for Indonesia coastal and ocean. Workshop Ocean and Climate
Change, Hotel Salak The Heritage-Bogor.
Kaswadji, Richardus dan Damar, Ario. 2009. Kemampuan perairan laut Indonesia
menyerap karbon: kasus fitoplankton. Workshop Ocean and Climate
Change, Hotel Salak The Heritage-Bogor.
Morley, Simon. 2009. Temprature Sensitivity of Marine Animals: Predicting the Impact
of Climate Change. Bogor: IPB.
Suharsono. 2009. Terumbu karang dan perubahan iklim. Workshop Ocean and
Climate Change, Hotel Salak The Heritage-Bogor.
Susandi, Armi. 2006. “Perubahan Iklim di Wilayah DKI Jakarta: Studi Masa Lalu
dan Proyeksi Mendatang”. Bandung: Institut Teknologi Bandung.
Suwahyuono. 2009. Peran Basis data spasial pesisir dan laut dalam kaitanya
dengan antisipasi dampak perubahan iklim. Workshop Ocean and
Climate Change, Hotel Salak The Heritage-Bogor.
Price, Robert dan Tom, Pamella D. 2004. Compendium of Fish and Fishery
Product Processes, Hazards, and Controls. Seafood Network
Information Center.
http://seafood.ucdavis.edu/haccp/compendium/compend.htm (25-09-
2009).
11
The Combo Effect: Climate Change, Toxic Waste and Monetary Crisis in
Fishery Sector