You are on page 1of 3

Pada dasarnya definisi dari bentuk kepemimpinan otoriter adalah

memusatkan segala peraturan, kebijakan dan keputusan yang akan diambil dan
diterapkan dari seorang penguasa atau pemimpin secara penuh. Segala sesuatu
yang berhubungan tentang pembagian tugas mutlak hanya dipegang oleh
pemimpin, para bawahan pemimpin atau elemen masyarakat tidak memiliki hak
untuk mengintervensi dalam proses pengambilan keputusan. Para bawahan
hanya melaksanakan tugas yang telah ditetapkan oleh pemimpin yang otoriter
tersebut. Mengacu pada dasar definisi ini, maka segala elemen masyarakat
harus mengikuti segala keputusan atau peraturan yang telah diterapkan oleh
sang pemimpin, tidak terkecuali pers. Pada awal kemunculnya, pers hadir untuk
mendukung segala bentuk pergerakan pemerintah dan negara. Atas dasar inilah
pers berkerja secara vertikal dan penguasa atau pemimpin berhak menentukan
isi dari berita yang akan diberitakan oleh pers, dengan kata lain penguasa atau
pemimpin memegang kendali atas segala gerakan yang akan dilakukan pers. Hal
ini dilakukan semata-mata untuk tetap mengendalikan opini masyarakat
terhadap penguasa karena tentu saja berita yang disebarluaskan merupakan
berita yang hanya menitiberatkan kebenaran hanya pada pemimpin untuk tetap
dapat mempertahankan kekuasaan yang sedang dipegangnya.
Selanjutnya, sehubungan dengan konsep otoriter sendiri dimana
kuasa atas segalanya dipegang oleh pemimpin atau penguasa maka
media, dalam hal ini pers, secara tidak langsung dikendalikan oleh
pemerintah. Dalam hal ini ada suatu kepentingan sendiri dari dalam pers
dalam memperebutkan kontrol dan akses dalam pemberitaan. Disamping
itu media pun memiliki fungsi tersendiri dalam membentuk opini publik,
sehingga para pemimpin pun menganggap bahwa media merupakan alat
kekuasaan yang efektif dalam mempertahankan kekuasaan.

Pers Indonesia pada masa orde baru


Pada dasarnya dalam suatu negara yang menganut paham demokrasi
sangatlah mendukung peran pers yang kedudukannya sangat diperhatikan. Hal
ini dikarenakan demokrasi sangat menjunjung tinggi kebebasan dalam
berpendapat dan hak setiap elemen yang ada di dalam suatu negara, pantas lah
apabila kedudukan pers sangat penting dengan sifat pers sebagai penghubung
antar masyarakat. Namun kedudukan pers seakan tidak ada suaranya pada saat
masa orde baru, seperti kita ketahui orde baru merupakan sebuah masa yang
yang otoriter yang sempat mengekang kebebasan pers atas nama kepentingan
pemerintah dan ketertiban masyarakat. Di masa ini , keadaan pers di indonesia
sangatlah dikekang karena harus selalu mematuhi aturan-aturan yang dihasilkan
negara atas nama kepentingan masyarakat banyak. Hal ini terlihat saat
banyaknya terjadi pembredelan pada beberapa media massa nasional, hal ini
terjadi karena media massa yang dibredel memberitakan suatu peristiwa atau
isu yang sedikit banyak membicarakan tentang kinerja pemerintah saat itu.
Selain itu bentuk pengekangan lain terhadap pers adalah munculnya SIUPP atau
surat izin untuk penerbitan pers, dengan kata lain semakin diperketatnya pers
dalam menyebarkan informasi kepada masyarakat luas. Wajarlah apabila
dikatakan bahwa pers pada masa orde baru hanyalah sebagai pelengkap bukan
sebagai suatu penentu dalam membentuk opini publik saat itu. Pada masa ini,
nilai sistem yang dikembangkan adalah sistem komunikasi tertutup. Sistem ini
hanya memberikan alur yang hanya sepihak dan satu arah, dampak dari sistem
ini sangat didominasi oleh pihak penguasa atas segala sesuatunya. Hal ini
sejalan dengan banyak pengekangan yang terjadi pada pers saat itu, penguasa
orde baru saat itu juga seringkali memanipulasi berita dengan isi pemberitaan
bahwa rakyat sejahtera dibawah kepemimpinannya padahal kenyataannya tidak
demikian. Hal ini lah yang dikatakan masa penguasa yang otoriter.

Authoritarian Press (Pers otoriter)


Model pers ini memiliki cara kerja vertikal dari atas kebawah, dengan kata
lain bahwa model pers ini lebih berpihak pada penguasa. Isi pemberitaan oleh
model ini didominasi oleh pemberitaan yang sudah dimanipulasi oleh penguasa
setempat, media massa tidak benar-benar dapat menyajikan pemberitaan yang
sebenarnya terjadi. Media dikontrol oleh negara dan penguasa sehingga hal ini
membentuk media massa yang tidak dapat mandiri secara keseluruhannya.
Penerapan sistem komunikasi autoritarian dapat dilihat dari penjelasan tentang
adanya batasan kebebasan untuk berkomunikasi atau dengan kata lain pers
hanya memberitakan berita yang pro terhadap negara atau penguasa setempat,
dengan demikian hal ini dapat membentuk suatu keseragaman dalam
masyarakat untuk berpendapat. Pers model ini memiliki kemampuan untuk
melakukan agenda setting yang selanjutnya dapat menggiring opini publik untuk
mendukung negara atau penguasa, hal ini merupakan suatu pola yang sudah
tersusun agar masyarakat luas tetap dapat dikontrol dan menghindari untuk
terjadinya konflik yang dapat merugikan negara atau penguasa. Untuk
mengidentifikasi model pers ini sangat lah mudah karena model ini memiliki ciri
yang sangat khas yaitu penguasa sangat dominan dalam mengontrol pers,
penggunaan media pun dikuasai oleh penguasa dan efek yang ditimbulkan
hanya sepihak atau hanya berdasarkan perspektif yang menguntungkan
penguasa.

I, Taufik. 1977. Sejarah dan Perkembangan Pers di Indonesia. Jakarta:


Trinity Press
Nurudin. 2003. Pers dalam Lipatan Kekuasaan. Malang: Umm Press
Krisdianto, Hendra. SISTEM KOMUNIKASI INDONESIA ( Pers Era Ordebaru
Dan Pers Era Reformasi ). Diakses tanggal 5 november 2009.
Terarsip di http://one.indoskripsi.com/judul-skripsi-tugas-
makalah/metode-penelitian-komunikasi/sistem-komunikasi-
indonesia-pers-era-ordebaru-dan-pers-era-reformasi

You might also like