You are on page 1of 19

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Terlepasnya Timor Timur dari wilayah Republik Indonesia dan kemudian membentuk
negara baru (Timor Leste), melahirkan berbagai masalah baru. Masalah utamanya adalah adanya
dua pendapat yang saling bertentangan antara Indonesia dan negara-negara luar Indonesia
menganggap Timur Timur adalah wilayah yang sebelumnya telah resmi menjadi bagian wilayah
Indonesia pada tahun 1976. Karena itu, ketika Timor Timur kemudian memisahkan diri dari
Indonesia pada tahun 1999, maka telah terjadi suksesi negara pada waktu itu. Pandangan kedua
dari negara-negara lain, termasuk PBB, yang menganggap peristiwa tahun 1976 tersebut adalah
tindakan pendudukan dengan kekerasan terhadap wilayah Timor Timur. Karena itu, ketika Timor
Timur lepas dari wilayah Indonesia, yang terjadi bukanlah suksesi negara, tetapi “pengembalian
kedaulatan”.
Kedua pendapat ini memang akan berkaitan dengan awal mula Indonesia masuk ke
wilayah Timor-timur. Saat Itu daerah ini merupakan daeranh jajahann Portugis yang mulai
terlupakan negara induknya karena krisis dalam negeri. Kasus Tim-tim juga akan bersentuhan
dengan adanya Indikasi pelanggaran HAM yang dilakukan oleh pemerintaha RI terhadap
beberapa aktifis pro kemerdekaan.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana situasi Timor-timur sebelum terjadinya disintegrasi tahun 1999?
2. Bagaimana peranan Australia terhadap disintegrasi Timor-timur tahun 1999?
3. Bagaimana peranan PBB terhadap disintegrasi Timor-timur tahun 1999?
4. Bagaimana disintegrasi timor-timur ini jika dilihat dari implikasi yuridis?
5. Bagaimana sikap pemerintah Indonesia dalam menghadapi pelanggaran HAM di
TimorTimur tahun 1999?
BAB II
DISINTEGRASI TIMOR-TIMUR 1999

A. Situasi Timor-Timur sebelum terjadinya disintegrasi tahun 1999?


Pada hari Rabu Tanggal 27 Januari 1999, sesuai Sidang Kabinet Menlu Ali Alatas
mengeluarkan sebuah statement yang merupakan sikap dan kebijaksanaan dari pemerintahan
Presiden Habibie yaitu bahwa “setelah 22 tahun kita mengalami sejarah kebersamaan dengan
rakyat kita di Timor-Timur untuk menyatu dengan kita. Maka kiranya adalah wajar dan
bijaksana, bahkan demokratis dan konstitusional bila kepada wakil-wakil rakyat kita yang kelak
akan terpilih diusulkan untuk mempertimbangkan agar dapat kiranya Timor-Timur secara
terhormat, secara baik-baik berpisah dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Diplomasi pemerintah RI untuk meyakinkan masyarkat Internasional mencapai
puncaknya pada tanggal 21 – 23 April 1999, dimana Opsi yang ditawarkan pemerintah yaitu
“Otonomi luas” dibawa ke meja perundingan Tripartit di New York yang melibatkan Pemerintah
RI, Portugal dan PBB. Tawaran pemerintah RI tersebut berisi 60 pasal, dengan harapan kiranya
dapat diterima oleh rakyat Timor-Timur dalam hal ini Fretelin. Hal-hal penting yang ditawarkan
pemerintah RI tentang Pemberian Otonomi luas kepada Timor-Timur meliputi antara lain :
1) Timor-Timur akan mempunyai bendera dan bahasa sendiri. Bahasa Indonesia hanya
dipergunakan untuk keperluan resmi (sebagai bahasa resmi).
2) Timor-Timur hanya mempunyai Polisi untuk menjamin keamanan dan ketertiban (intern)
dan tidak ada tentara (militer).
3) Anggaran pembangunan tetap sama seperti selama ini, dengan rincian 93 % berasal dari
pemerintah pusat dan sisanya 7 % dari pendapatan asli daerah (PAD) Timor-Timur sendiri.
4) Pemanfaatan/pengalokasian dana pembangu-nan tersebut diputuskan atau ditentukan sendiri
oleh Pemerintah Daerah Otonomi Khusus Timor-Timur.
5) Pemerintah pusat hanya akan mengontrol mata uang dan system keuangan, politik luar
negeri serta masalah pertahanan dari ancaman luar negeri.
Memang dilihat sepintas, tawaran tersebut sangat menjanjikan buat masa depan Timor-
Timur. Namun ternyata tawaran inipun ditolak sehingga tidak ada pilihan lain selain merdeka
atau harus melepaskan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hal ini sebagaimana
dikemukakan oleh mantan Gubernur Timor-Timur yaitu : Mario Viegas Carrascalao bahwa “
itulah daging yang akan disantap oleh orang Timor-Timur sementara pemerintah pusat hanya
kebagian tulangnya. Tapi kalau memang tawaran seperti itupun ditolak, ya memang
kemerdekaan jalan keluarnya”.
Dalam sebuah komentarnya, Benedict Anderson seorang pakar masalah Indonesia dari
Cornell University Amerika Serikat (1998) mengemukakan bahwa maraknya tekanan terhadap
pemerintah Indonesia agar melepaskan Timor-Timur adalah merupakan sebuah keharusan dan
kemerdekaan Timor-Timur adalah sebuah sollen yang tidak bisa dibendung lagi.
Memang benar, konflik dan tindak kekerasan merebak dimana-mana, pemerintah RI kehabisan
cara untuk mengatasi situasi diwilayah tersebut. Pada akhirnya tanggal 08 Agustus 1998, semua
satuan-satuan tempur TNI ditarik dari Timor-Timur.
Terjadilah kekosongan kekuatan “Vacuum of Power” tindak kekerasan semakin
merajalela dan banyak memakan korban jiwa.
Pada saat itu muncul dua kelompok kekuatan yang saling berhadap-hadapan. Kelompok
pertama adalah mereka yang ingin memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia
atau “Pro Kemerdekaan” kelompok ini dibawah kendali, Xanana Gusmao. Kelompok ini
membawahi beberapa kelompok perlawanan seperti Falantil (sayap militer Fretelin) dan
kelompok bersenjata lainnya yang bergerilya dan tersebar dihutan-hutan belantara Timor-Timur.
Kelompok yang kedua adalah mereka yang berjuang ingin tetap bersatu dengan Indonesia atau
dikenal dengan kelompok “Pro Otonomi”. Kelompok ini menerima tawaran pemerintah yaitu
oleh Eurico Gutteres yang membawahi Milisi Aitarak, Mahidi, Laksaur, Mahadoni, Besi Merah
Putih, PPI (Pasukan Pejuang integrasi (dipimpin Joao da Silva Tavares)
Pada tanggal 5 Mei Menteri Luar Negeri (Menlu) Ali Alatas dan Menlu Portugal Jame
Gama, bersama sekretaris Jenderal PBB Kofi Anan menandatangani kesepakatan pelaksanaan
penentuan pendapat pada tanggal 8 Agustus 1999 di Timor-Timur, di Markas PBB New York.
Indonesia tetap bertanggung jawab pada keamanan pelaksanaan tersebut. Indonesia tetap
bertanggung jawab pada keamanan pelaksanaan tersebut. Disepakati, tanggung jawabkeamanan
akan diserahkan kepada Polri yang dibantu TNI. Hal itu tertuang dalam dua kesepakatan, yaitu:
1. Kesepakatan tentang modalitas pelaksanaan ppenentuan pendapat melaluli jejak
pendapat.
2. Kesepakatan tentang Polisi (Polri) sebagai penanggung jawab keamanan
(Kuntari, 2008:407)
Pada akhir Agustus suasanan Timtim kembali tidak menentu, terjadi kerusuhan dimana-
mana. Kelompok milisi menghadang dan mengepung sekitar 150 staf UNAMET untuk wilayah
Ermera yang akan menuju Dili, di Atsabe dan Gleno. Seiring dengan itu, wakil Panglima PPI
Eurica Guteres mulai memblokade seluruh akses keluar dari Timtim, baik darat, laut, maupun
udara. Keesokan harinya terjadi eksodus besar-besaran warga Timtim. Meski berniat
memblokade, namun, Eurico Guterres dan seluruh pasukan PPI tidak menghalang-halangi warga
Timtim yang akan eksodus. Kota Dili semakin mencekam. Milisi menyerang markas UNAMET
di Balide. Tiga anggota milisi memukuli koresponden BBC News untuk Indonesia Jonathan
Head yang terjebak di kantor UNAMET, dengan ditembak senjata laras panjang dan menendang
kepalanya. Jonathan terselamatkan oleh rompi yang ia kenakan. Sementara, wartawan lain
diberondong dengan peluru.
Pada tanggal 3 September Sekjen PBB menyampaikan hasil jajak pendapat kepada
Dewan Keamanan PBB, 344.580 suara menolak otonomi (78,5%), 94.388 suara menerima
otonomi (21%), dan 7.985 suara dinyatakan invalid. Terjadi eksodus lagi di kalangan wartawan
asing, nasional, maupun local. Muncul daftar dan rencana pembunuhan terhadap 14 tokoh elite
politik Timtim. Keesokan harinya, hasil jejak pendapat secara resmi diumumkan di Dili. Sesaat
kemudian, terjadi kerusuhan yang bersifat missal di Dili. Salah satu pihak tidak bisa menerima
kekalahan, mereka langsung menghamburkan tembakan. Front Bersama untuk Otonomi Timtim
(UNIF) protes keras dan menolak hasil jajak pendapat. Mereka mengutuk keras gaya dan cara
kerja Unamet yang tidak netral, memihak, bahkan manipulative. Presiden BJ Habibie
menyatakan menerima hasil jejak pendapat.
(Kuntari, 2008:412)
Pada tanggal 10 Oktober terjadi insiden “salah lirik”. Terjadi kontak tembak antara TNI
dengan INTERFET di perbatasan desa Mota’ain, kecamatan Tasifeto Timur. Anggota pasukan
Brimob, Prada Ari Sudibyo, gugur dengan tiga anggota lain terluka, yaitu Sertu Sudarto, Sertu
Agus Susanto, dan seorang warga sipil Alcino Barros. Interfet memasuki wilayah kedaulatan RI
dan melesak sekitar 297 meter dari jembatan dan tugu yang bertuliskan “Selamat Datang. Anda
memasuki Desa Silawan, NTT” di jembatan Sungai Malilmeak.
Pada tanggal 30 Oktober Pukul 09.00 waktu setempat, Bendera Merah Putih diturunkan
dari Timor-Timur dalam upacara yang sangat sederhana dan tanpa liputan. Interfet melarang
wartawan untuk meliput acara tersebut, kecuali RTP Portugal. Pada tanggal 31 Oktober pukul
00.00 waktu setempat seluruh prajurit dan perwira TNI meninggalkan perairan Dili. Timor
Timur telah lepas dari pangkuan Ibu pertiwi. Secara resmi Tim Tim bukan lagi bagian dari
wilayah kedaulatan NKRI.

B. Keterlibatan Australia terhadap disintegrasi Timor-timur tahun 1999?


Keterlibatan Australia dalam masalah Timor Timur sudah ada sejak wilayah ini
dinyatakan jadi bagian Republik Indonesia. Perang Dingin telah membuka jalan bagi Indonesia
untuk menyatukan wilayah yang rusuh dan dinyatakan Fretilin sebagai daerah yang merdeka.
Saat itu kecenderungan Fretilin jelas condong ke kubu sosialis sehingga mencemaskan negara-
negara Barat terutama Amerika Serikat dan Australia. Masuknya Indonesia ke Timtim memang
telah menimbulkan masalah sejak tahun 1975. Restu negara besar karena iklim Perang Dingin
mengharuskan soal Timtim segera diselesaikan agar tidak membawa instabilitas kawasan Asia
Tenggara. Tidak terpikirkan bahwa berakhirnya Perang Dingin telah membuat Indonesia berada
dalam posisi rawan. Australia jelas berkepentingan agar Timtim ini juga tidak jadi sumber
instabilitas kawasan Asia Tenggara yang jadi zona penyangga keamanannya dari serangan utara.
Sejak awal Australia memahami langkah yang diambil Indonesia untuk
menggabungkan kawasan berpenduduk sekitar satu juta itu kedalam negara kesatuan RI. Bahkan
secara eksplisit mengakui kedaulatan Indonesia atas Timtim. Namun demikian sikap Australia
itu tidak konsisten. Sejak PM John Howard berkuasa dan terjadinya gejolak reformasi di
Indonesia sehingga berada pada posisi lemah dalam tawar menawar diplomatik, Howard
mendorong agar Indonesia melepaskan Timtim.
Presiden BJ Habibie pada saat itu, tak sadar terpengaruh gagasan Howard yang
dilontarkan bulan Desember 1998. Habibie pada bulan Januari 1999 menyatakan Timtim akan
diberi dua pilihan otonomi luas atau menolaknya sehingga bisa memilih melepaskan diri dari
Indonesia.
Kekacauan setelah jajak pendapat membuat Australia terlibat lebih jauh dengan
menekan PBB agar mengijinkan tentaranya masuk Timtim yang saat itu masih sah wilayah
Indonesia. Ada beberapa alasan kenapa Australia terlibat dalam masalah disintegrasi Timor-
Timur ini, yaitu:
Kepentingan Politik
Isu Timtim sejak lama telah menjadi bagian dari politik dalam negeri Australia. Suara pro
dan kontra tentang kebijakan Australia terhadap Indonesia datang silih berganti. Puncaknya,
pada masa PM Paul Keating kebijakan Australia terhadap Indonesia sangat dekat. Bahkan
hampir-hampir dikatakan bahwa Keating itu adalah salah seorang sahabat Indonesia ditengah
masyarakat Australia yang kritis terhadap kekuasaan Presiden Soeharto.
Kepentingan politik Australia yang paling kentara terhadap Timtim pertama-tama adalah
menghindari tidak melebarnya konflik di Timtim pada masa tahun 1970-an itu menjadi ancaman
bagi wilayah Australia. Negeri Kangguru menghendaki Timtim stabil sehingga hubungan politik
RI-Australia tidak terganggu. Oleh karena itu pada masa awal Australia seperti "memihak"
Indonesia dengan mengakui batas-batas wilayah di daerah Timtim. Puncak pengakuan itu adalah
disepakatinya pembagian Celah Timor berdasarkan ketentuan yang disepakati kedua pihak oleh
Menlu Ali Alatas dan Menlu Gareth Evans. Secara eksplisit adanya pengaturan batas laut di
wilayah yang kaya minyak itu menjadikan Australia negara yang pertama mengakui eksistensi
Indonesia atas Timtim.
Namun dengan hadirnya PM John Howard sikap Australia berubah total. Mereka mulai
menyatakan bahwa Timtim untuk jangka panjang harus merdeka. Australia mulai mengubah
kebijakannya atas Timtim dengan dasar bahwa otonomi luas harus diberikan kepada Timtim
sebelum merdeka penuh. Sikap ini dilandasi oleh kepentingan jangka panjang Australia terhadap
Timtim dan Indonesia. Terhadap Timtim, Australia seolah-olah ingin membalas kesalahan masa
lalu dengan mengakui eksistensi Indonesia di Timtim yang sampai tahun 1998 tidak diakui PBB.
Australia juga menilai dengan pendekatan ke Timtim diharapkan bisa menanamkan pengaruhnya
di wilayah berpenduduk 800.000 jiwa ini.
Kepentingan Australia terhadap Indonesia adalah melakukan unjuk kekuatan politik
atas Timtim. Dengan intervensi militer ke Timtim, Australia mengirim pesan kepada Jakarta
tentang kemampuan diplomatiknya yang berskala global. Dengan pendekatan kepada Amerika
Serikat dan Eropa, Australia dapat Mewujudkan rencananya untuk memaksa masuk ke Timtim di
bawah payung PBB.
Kepentingan Ekonomi
Dibalik sikap Australia itu terdapat keinginan menguasai sumber minyak di perbatasan.
Akses terhadap energi ini tak bisa disangkal menjadi pendorong semangat Australia campur
tangan dalam menangani gejolak di Timtim pasca jajak pendapat. Minyak yang dilukiskan
sangat besar kandungannya di perbatasan Timtim-Australia merupakan aset penting bagi
perkembangan ekonomi masa depan negeri Kangguru. Mudrajad Kuncoro, kandidat PhD
University of Melbourne, dalam diskusi 22 Oktober 1999 menjelaskan, keterlibatan Australia tak
lepas dari isu klasik money and power. Ia menilai, Australia mau membantu Timtim bukan untuk
membalas jasa rakyat Timtim yang pernah membantu mencegah invasi ke Australia saat Perang
Dunia II, melainkan punya kepentingan bisnis yang dikemas dengan wadah humanis. Mudrajat
menulis, "Kalau Australia memang pejuang hak-hak asasi manusia dan humanis tulen, hal
pertama yang dilakukan sebelum terjun ke Timtim adalah meminta maaf dan memberi
referendum kepada suku Aborigin yang nasibnya mirip dengan suku Indian di Amerika Serikat”.
Menurut Mudrajad, kesepakatan Celah Timor (Timor Gap) yang ditandatangani
Indonesia-Australia tahun 1989 menyetujui pembagian 62.000 km persegi zona kerja sama
menjadi tiga wilayah. Wilayah joint development merupakan wilayah yang berada di tengah dan
terbesar dimana kedua negara berhak mengontrol eksplorasi dan produksi migas. Dua zona
lainnya dibagi secara tidak merata yang masing-masing negara secara terpisah diberi hak
mengatur dan menguasainya. Sampai sekaran dari 41 sumur yang telah dibor di zona kerja sama,
sekitar 10 ditemukan cadangan migas. Secara ekonomis, kelayakannya relatif kecil. Namun
kandungan gas dan hidrokarbon tidak bisa diabaikan. Sebagai contoh, tulis Mudrajad, di ladang
Bayu-Undan, ditaksir punya cadangan minyak 400 juta barel, tiga trilyun kubik gas alam dan 370
juta barel cairan (kondensat dan LPG).
Menurut Oil & Gas Joournal edisi 1999, cadangan hidrokarbon ini dinilai paling kaya
di luar Timur Tengah dan merupakan ladang minyak terbesar Australia di luar selat Bass,
Menurut Mudrajad, sejumlah perusahaan Amerika, Australia, Belanda sudah aktif di wilayah
Celah Timor ini. Di Ladang Bayu-Undan, kerja sama perusahaan AS Phillips Petroleum Co. dan
perusahaan tambang Australia, Broken Hill Propietary (BHP Ltd., mencanangkan akan
beroperasi penuh mulai tahun 2002).
Nick Beams dalam World Socialist Web Site (1999) menyebutkan pula kepentingan
Australia akan minyak. Ia menyebutkan awal 1990 kepentingan Portugal bangkit kembali ke
Timtim setelah ditemukan cadangan minyak yang nilainya diperkirakan antara 11 sampai 19
milyar dollar AS. Tahun 1991, Portugal mengadukan Australia ke Pengadilan Internasional
karena menandatangani perjanjian Celah Timor bulan Desember 1989. Beams mengutip
pernyataan Portugal yang menyebutkan, "Perjanjian itu dirancang untuk mendapatkan minyak
Timtim yang melebihi kepentingan lainnya. Hanya kerakusan (Australia) seperti itu dapat
menjelaskan pengakuan secara de jure aneksasi oleh kekuatan yang memakan korban 100.000
tewas." Namun Beams juga melihat, perilaku Portugal itu juga dimotivasi oleh ketamakan serupa
yang dilakukan Australia terhadap sumber minyak.Portugal lalu berusaha merebut kembali
wilayah Timtim yang dikuasai Indonesia dengan mendorong penentuan nasib sendiri rakyat
Timtim.

C. Peranan PBB Terhadap Disintegrasi Timor-Timur tahun 1999?


Pertentangan antara kedua kelompok ini makin parah, PBB turun tangan dengan
menyerukan agar para pihak yang bertikai mengehentikan dan mengakhiri tindakan kekerasan.
Penyelesaian diplomatik berjalan terus meskipun tersendat-sendat, nasib Timor-Timur menjadi
tidak jelas, namun dalam pertemuan Tripartit di New York antara Pemerintah Republik
Indonesia, Portugal dan PBB diperoleh kesepakatan mengenai status dan masa depan Timor-
Timur yang dikenal dengan “New York Agreement – 5 Mei 1999”. Dimana Pemerintah RI
bertanggung jawab atas keamanan diwilayah Timor-Timur dan akan dilakukan “Jajak Pendapat”
guna mengetahui keinginan dari masyarkat yang sebenarnya guna dijadikan pertimbangan bagi
pengambilan keputusan untuk menyelesaikan masalah Timor-Timur.
Sesuai isi kesepakatan Tripartit di New York maka untuk melancarkan proses jajak
pendapat PBB membentuk sebuah badan yang namanya UNAMET (United Nations Missions in
East Timor) yaitu misi PBB untuk Timor-Timur yang bertugas sebagai pelaksana dan pengawas
jajak pendapat. UNAMET ini dikepalai oleh Ian Martin, pelaksanaan jajak pendapat sendiri
diawali dengan proses pendaftaran selama sekitar 20 hari yang mulai tanggal 16 Juli dan berakhir
pada tanggal 06 Agustus 1999.
Pelaksanaan Jajak Pendapat, dibawah pengawasan misi PBB untuk Timor-Timur
(UNAMET) diawali dengan proses pendaftaran Pemilih di 200 tempat di Timor-Timur dan 6
(enam) kota besar di Indonesia serta di Amerika Serikat, Australia, Portugal, Macau &
Mazambik. Pendaftaran dimulai tanggal 16 Juli dan berlangsung selama 20 hari, dari 452.000
pemilih yang terdaftar, 438.817 Orang berdomisili di Timor-Timur dan sisanya di propinsi lain
di Indonesia dan beberapa Negara lain di dunia. Pelaksanaan jajak pendapat tgl. 30 Agustus 1999
yang dimulai serentak diseluruh Indonesia maupun diluar negeri. Keberadaan UNAMET,
sebagai pelaksana jajak pendapat berdasarkan persetujuan New York (New York Agreement)
antara Pemerintah Republik Indonesia, Portugal dan PBB tanggal 05 Mei 1999.
Pengumuman hasil jajak pendapat yang dilaksanakan oleh PBB diumumkan langsung
dari New York, pada awal September dengan hasil perolehan suara 78,5 % memilih merdeka,
sedangkan sisanya ingin tetap bergabung dengan Indonesia. Bagi PBB dan masyarakat
Internasional hasil jajak pendapat sangat kredibel karena hal itu merupakan ungkapan keinginan
dan rakyat Timor-Timur untuk memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dewan keamanan menunjuk Australia sebagai pemimpin pasukan tersebut, hal ini
membuat reaksi pemerintah Indonesia untuk membatalkan Perjanjian Persetujuan Keamanan
antar RI dan Australia yang ditandatangani tanggal 18 Desember 1995. Reaksi keras Pemerintah
RI ini merupakan jawaban atas keterlibatan Australia dalam seluruh rangkaian proses
disintegrasi Timor-Timur. Dengan pembatalan perjanjian persetujuan keamanan ini maka
hubungan antara RI dan Australia sudah berada pada posisi yang sangat tidak menguntungkan
bagi kedua negara.
Keberadaan pasukan perdamaian PBB saat ini terbilang unik karena ada kecenderungan
makin banyak negara yang memanfaatkan keberadaan institusi PBB dalam menghadapi berbagai
masalah/konflik baik intern maupun regional antar etnis maupun konflik-konflik politik lainnya.
Konsep pasukan perdamaian merupakan bagian dari sistim keamanan kolektif yang dimiliki
PBB, namun demikian ada beberapa konsep lain yang mempunyai tujuan, cara, personel,
otorisasi, komando, kedaulatan dan cara penggunaan kekuatan yang berbeda yaitu :
1) Peace Making (menciptakan perdamai-an).
2) Peace Keeping (memelihara perdamaian).
3) Peace Enforcement (menegakkan perdamaian).
Masing-masing konsep berbeda satu sama lainnya, yaitu : Peace Keeping dan peace
Eforcement membutuhkan otorisasi dari Dewan Keamanan atau Majelis Umum PBB sedangkan
peace Making tidak memerlukan otorisasi seperti itu. Hal ini membawa akibat adanya perbedaan
pada konsep/pola pelaksanaannya dimana Peace Keeping bisa menggunakan kekerasan hanya
untuk membela diri, sedangkan peace Enforcement berhak menggunakan kekerasan senjata
dalam menegakkan perdamaian.
Dalam hal penggunaannya, untuk misi peace Making harus ada persetujuan dari para
pihak yang bertikai, termasuk dalam katagori ini adalah peace Keeping dan humanitarian
intervention (intervensi untuk kemanusiaan). Sedangkan untuk peace enforcement tidak
diperlukan persetujuan dari pihak yang bertikai karena sepenuhnya menjadi wewenang dari
Dewan Keamanan dan Majelis Umum PBB.
Dalam kasus Timor-Timur Dewan kemanan dan Majelis Umum PBB menggelar
kekuatan dengan 8000 personil untuk menciptakan perdamaian (Peace Making) diantara pihak
yang bertikai yaitu antara kelompok Pro kemerdekaan dan Prointegrasi. Pasukan ini dikenal
dengan nama INTERVET (International Forces For East Timor), dengan kekuatan 8000 personil
(4.500 pasukan Australia dan sisanya dari negara lain/partisipan) dibawah pimpinan Mayjen
Peter Cosgrove dari Australia. Tugas intervet adalah untuk menciptakan/memulih kan kondisi
dan situasi keamanan di Timor-Timur seperti semula guna menyiapkan langkah-langkah tindak
lanjut bagi PBB untuk membentuk Pemerintahan Transisi PBB di Timor-Timur.

D. Disintegrasi Timor-Timur Ini Jika Dilihat Dari Implikasi Yuridis


A. Unsur-unsur terbentuknya suatu Negara
Dalam hukum Internasional eksistensi sebuah negara yang berdaulat harus memenuhi syarat
bahwa harus ada wilayah, penduduk/rakyat, pemerintah yang otonom dan efektif serta adanya
pengakuan dari negara lain terutama masyarakat Internasional. Khusus berkaitan dengan
pengakuan, hal ini lebih dipengaruhi oleh kepentingan politik (unsur politik) dari negara yang
akan mengakui atau tidak eksistensi suatu negara. Bagi negara yang mempunyai kepentingan
tertentu, begitu ada sebuah wilayah yang sebagian rakyat ingin memisahkan diri maka didukung
sepenuhnya.
Sehingga begitu terpisah langsung diakui sebagai negara, sedangkan bagi negara lain yang
kepentingan berlawanan/tidak mempunyai kepentingan apapun tidak mengakui keberadaan
negera tersebut.
Namun, untuk saat ini masalah pengakuan bukanlah hal yang prinsip yang penting bahwa sebuah
negara harus memiliki wilayah, rakyat dan pemerintah yang berdaulat. Unsur pengakuan sangat
subyektif tergantung pada kepentingan masing-masing pihak. Menurut teori, ada 2 (dua) konsep
yang saling bertentangan yaitu :
1) Teori pengakuan kons-titutif (Constitutive theory of reeognation). Bahwa suatu
negara/pemerintahan baru yang sebelumnya sudah diakui sebagai negara secara legal belum
aksis sebelum diakui oleh negara lain. Theori ini melahirkan permasalahan yaitu bagaimana
menentukan jumlah negara yang diperlukan untuk menentukan kelahiran suatu negara secara
legal. Maka hal ini tentunya sangat bergantung dari kepentingan dari negara-negara lainnya
untuk memberikan pengakuan atau tidak, karena tidak ada unsur paksaan dan sifatnya adalah
suka rela.
2) Teori Pengakuan Deklaratif (Declarative Theory of Recognation). Bahwa suatu negara atau
pemerintah yang baru dianggap eksist melalui penerapan pengujian yang obyektif seperti
kemampuan pemerintah untuk memulihkan dan mengontrol penduduknya tanpa menghiraukan
apakah negara lain mengakuinya atau tidak.
Pengakuan akan dipandang sebagai politis yang sangat subyektif dimana diawali dari adanya
kepentingan masing-masing pihak secara subyektif kemudian dikembangkan dengan kontak
diplomatik secara formal. Teori pengakuan deklaratif lebih realistis dan saat ini banyak
digunakan dalam praktek bernegara oleh masyarakat Internasional.
Pada masa lalu pengakuan dibedakan atas pengakuan de fakto dan de yure. Pengakuan secara de
fakto adalah pengakuan menurut fakta, tanpa dipengaruhi atau terikat kepada hal-hal formal.
Pengakuan de fakto berlangsung dalam situasi dimana suksesi pemerintah muncul secara
inkonstitusional dan tidak reguler tapi pemerintah baru tersebut mampu sepenuhnya mengontrol
wilayah dan penduduk negara tersebut. Hal ini disebut “Provicional Reeognation” atau
pengakuan sementara terhadap fakta tanpa mengimplikasikan adanya dukungan dan persetujuan
Internasional.
Pengakuan de yure atau pengakuan menurut hukum hal ini menyangkut hubungan diplomatik
penuh atau normal dan direalisasikan dalam bentuk-bentuk perjanjian lainnya seperti bilateral,
regional dan multilateral.
B. Implikasi Yuridis terhadap Masyarakat Internasional
Disintegrasi Timor-Timur dari Negara Kesatuan Republik Indonesia, disambut gembira
oleh masyarakat Internasional dan PBB, khususnya negara-negara yang sejak semula menentang
integrasi Timor-Timur ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Amerika Serikat, Inggris,
Belanda, Portugal, Australia, Selandia Baru dan beberapa negara lainnya merupakan contoh
negara yang sejak lama memperjuangkan disintegrasi Timor-Timur. Berbagai LSM (Lembaga
Swadaya Masyarakat) di negara-negara tersebut menyokong bantuan dana dan menciptakan
opini dunia tentang pelanggaran hak asasi manusia di Timor-Timur dan menghalang-halangi
upaya diplomatik pemerintah RI di luar negri.
Dengan keluarnya Timor-Timur dari Negara Kesatuan Republik Indonesia, maka bagi
masyarakat Internasional dan PBB hal ini memiliki arti penting karena komunitas masyarakat
Internasional bertambah. Hal ini membawa implikasi politik global bagi PBB, dimana negara-
negara lain akan mempertimbangkan hal-hal yang berkaitan dengan hubungan diplomatik,
hubungan dagang dan berbagai bentuk kerjasama lainnya yang saling menguntungkan bagi
masing-masing pihak. Suara umum, masyarakat Internasional akan menjalin berbagai bentuk
kerjasama dengan Timor Leste sesuai kepentingan masing-masing.
Namun demikian dari sisi lain keberadaan Timor Leste sebagai sebuah negara yang berdaulat
sangat menjanjikan/menguntungkan bagi negara-negara yang mempunyai kepentingan tertentu,
seperti Australia, Portugal, Amerak Serikat dan Selandia Baru. Kepentingan negara-negara
tersebut dapat mencakup segala aspek kehidupan seperti kepentingan politik, kepentingan
militer/pertahanan, kepentingan ekonomi dan lain-lain.
Secara yuridis dengan lahirnya sebuah negara baru Timor Leste, maka negara tersebut
mempunyai hak dan kewajiban seperti sebanyak hukum Internasional lainnya. Dimana harus
tunduk kepada segala ketentuan dan praktek-praktek hukum yang menjadi kebiasaan
Internasional. Bahwa Timor Leste akan memiliki pemerintah yang berdaulat, wilayah dan
integritasnya serta rakyat.
C. Dampak Hukum Terhadap Pemerintah Republik Indonesia.
Bagi Pemerintah Republik Indonesia, terlepasnya Timor-Timur dari Negara Kesatuan
Republik Indonesia menunjukkan bahwa gagalnya pemerintah Republik Indonesia untuk
mempertahankan integritas/keutuhan wilayah dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Setelah
hampir 24 tahun pemerintah Republik Indonesia menggerakkan seluruh kemampuannya untuk
membangun Timor-Timur, triliunan dana pembangunan telah dikucurkan untuk membangun
wilayah ini, ribuan nyawa telah dipertaruhkan untuk mempertahankan wilayah ini dan tidak
terhitung sarana dan prasarana yang telah dibangun namun semuanya itu tidak mampu
merangkul dan mempertahankan Timor-Timur.
Kucuran dana pembangunan, ribuan nyawa yang dipertaruhkan, sarana dan prasarana
yang ada seakan terbuang begitu saja dan tak ternilai harganya. Semuanya belum mampu
meyakinkan masyarakat Internasional dan PBB. Tuntutan, kecaman dan tekanan PBB dan
masyarakat Internasional selalu mengacu kepada resolusi Majelis Umum PBB Nomor : 384 yang
menyerukan agar Indonesia segera menarik seluruh angkatan dan persenjataannya dari Timor-
Timur. Hal ini diperkuat dengan seruan dan Komisi Hak Asazi Manusia PBB yang menuntut
Indoneia agar memberikan Hak Kemerdekaan bagi Timor-Timur. Insiden Santa Cruz pada 12
Nopember 1991 menjadi puncak kemarahan dunia dan masyarakat Internasional dan di bulan
Agustus 1992, Majelis Umum PBB menggunakan resolusi pertama yang mengecam pemerintah
Indonesia atas pelanggaran hak asazi manusia di Timor-Timur.
Menyadari akan kuatnya tekanan dan tuntutan dari PBB dan masyarakat Internasional,
semula pemerintah Indonesia menawarkan opsi “Otonomi luas” kepada Timor-Timur dimana,
akan mempunyai bendera dan bahasa sendiri, tentara/pasukan militer ditarik dan hanya
ditempatkan polisi, diberi kesempatan untuk mengelola/memanfaatkan sendiri dana
pembangunan dari pemerintah pusat. Namun hal inipun belum cukup dan ditolak sehingga tidak
ada pilihan lain selain “merdeka” atau memisahkan diri dari NKRI.
Tawaran merdeka itu sudah pilihan terakhir bila opsi pertama tentang otonomi luas ditolak oleh
Fretelin dan Portugal. Hal ini terbukti dengan hasil jajak pendapat tanggal 30 Agustus 1999
dimana mayoritas penduduk Timor-Timur (78,5 %) menginginkan merdeka. Dengan demikian
tamatlah riwayat Timor-Timur sebagai Propinsi ke-27 Republik Indonesia berdasarkan Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1976.
Secara yuridis, disintegrasi Timor-Timur dari Negara Kesatuan Republik Indonesia
membawa dampak sebagai berikut :
1) Pengamanan dan kelanjutan dari aset-aset pemerintah yang ada di Timor-Timur.
2) Masalah kelanjutan dari perjanjian antara RI dengan pemerintah Australia tentang
pengelolaan zona kerjasama didaerah antara Propinsi Timor-Timur dan Australia bagian
Utara (Timor GAP).
3) Penetapan batas-batas wilayah darat, laut dan udara termasuk menyiapkan suatu ruang
laut dan udara khusus untuk daerah kantong Timor-Timur ke dan dari Oekusi (Mabeno).
4) Mengingat Selat Ombai adalah termasuk dalam ALKI maka harus dibuat kesepakatan
bilateral untuk menentukan batas laut teritorial dan ALKI yang baru.
5) Kelanjutan dari bentuk perjanjian/-kerjasama lainnya baik bilateral, regional maupun
multilateral yang berkaitan dengan keberadaan Timor-Timur sebagai propinsi yang ke-27.
Sejumlah implikasi tersebut diatas dengan sendirinya menjadi permasalahan yang harus diatasi
dan diperoleh oleh pemerintah RI. Hal ini termasuk masalah yang menjadi tuntutan masyarakat
Internasional yaitu “mengadili pelanggar HAM di Timor-Timur”.
D. Pengakuan Masyarakat Internasional.
Pengakuan masyarakat Internasional terhadap eksistensi Timor Leste secara beragam,
Amerika Serikat, Inggris, Australia, Portugal, Selandia Baru, Belanda dan beberapa negara
lainnya sudah dipastikan mengakui eksistensi negara Timor Leste. Sementara negara lainnya
masih bersikap dingin menanggapi keberadaan Timor Leste. Bagi Republik Indonesia sendiri
secara de fakto sudah mengakui Timor Leste, hal ini terwujud dengan kunjungan Presiden
Abdulrahman Wahid ke Timor Leste pada tanggal 29 Pebruari 2000. Pada kunjungan tersebut
ditawari dan diperoleh kesepakatan untuk membuka lembaga dagang dan lembaga diplomatik
resmi antar kedua negara.
Dengan demikian, maka sekalipun tidak melalui proses formal lainnya namun secara
diam-diam pemerintah RI sudah mengakui eksistensi Timor Leste sebagai suatu negara yang
berdaulat. Walau demikian ada hal yang tidak bisa dipisahkan begitu saja karena secara geografi,
sosial maupun budaya antara Timor Leste dan Republik Indonesia memiliki persamaan baik
sejarahnya maupun perkembangannya. Disisi lain keberadaan Timor Leste sendiri yang
sebelumnya dalah bagian integral dari NKRI karena pernah sebagai propinsi yang ke-27 selama
27 tahun.
Saat ini secara yuridis, Timor Leste memang belum sebagai suatu negara karena
pemerintahannya masih berbentuk pemerintah transisi PBB di Timor-Timur (UNTAET) yang
dikepalai oleh Sergio Vierre de Mello. Namun secara de fakto Timor-Timur sudah merupakan
suatu negara yang baru, karena terpisah dari NKRI dan sudah mempunyai hak dan kewajiban
sebagai masyarakat Internasional. Disisi lain, Timor Leste sudah memiliki : rakyat, wilayah dan
pengakuan dari masyarakat Internasional sedangkan untuk pemerintahannya saat ini masih
dibawah kendali PBB yaitu UNTAET (United nation Transition Administration in East Timur).
Tugas UNTAET adalah menyiapkan segala sesuatunya yang berkaitan dengan pelaksanaan
administrasi dan roda pemerintahan di Timor Leste agar kelak dapat mandiri dalam
melaksanakan dan mengendalikan roda pemerintahan sebagai sebuah negara yang merdeka dan
berdaulat.
E. sikap pemerintah Indonesia dalam menghadapi pelanggaran HAM di TimorTimur
tahun 1999
Pemerintah Republik Indonesia menilai kasus pelanggaran hak azasi manusia menjelang
dan pasca jajak pendapat 1999 di Timor Timur selesai dengan penyerahan laporan akhir Komisi
Kebenaran dan Persahabatan (KKP) dan tidak akan mengarah kepada proses hukum, baik
nasional maupun internasional. Dari sisi kedua negara, masalah itu (kasus 1999) telah dianggap
selesai. Tokoh prointegrasi Timor Timur, Eurico Guterres, menegaskan, dirinya masih tetap
mencintai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), meskipun harus menjalani hukuman
penjara selama dua tahun atas tuduhan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat di Timor
Timur pasca Referendum 1999. Selanjutnya Presiden Yudhoyono, Horta dan PM Xanana
menandatangani pernyataan bersama pemerintah RI dan Republik Demokratik Timor Leste yang
terdiri dari 14 poin yang antara lain berisi bahwa kedua pemerintahan menyatakan penyesalan
yang mendalam seluruh pihak dan korban akibat pelanggaran HAM serius yang terjadi
menjelang dan setelah jajak pendapat.
Kedua pemerintahan juga menyatakan komitmen untuk sungguh-sungguh melaksanakan
rekomendasi komisi dan inisiatif lain bagi kemajuan persahabatan dan rekonsiliasi diantara
warga kedua negara. Rekomendasi-rekomendasi tersebut akan diintegrasikan dalam suatu
rencana aksi yang akan diagendakan oleh komisi bersama tingkat menteri untuk kerjasama
dwipihak. Sementara itu Menteri Luar Negeri RI Hassan Wirajuda mengatakan, kasus
pelanggaran hak asasi manusia menjelang dan pasca jajak pendapat 1999 di Timor Timur secara
resmi ditutup setelah penyerahan laporan KKP Indonesia-Timor Leste kepada dua kepala negara
terkait.
Dengan adanya hasil KKP ini maka pelanggaran HAM menjelang dan sesudah jajak
pendapat 1999 ditutup dan tidak dimaksudkan untuk diikuti dengan proses hukum lanjutan. KKP
adalah sebuah lembaga yang dibentuk Pemerintah Indonesia dan Timor Leste untuk mencari titik
terang kerusuhan pasca Jajak Pendapat Timor Timur 1999. KKP dibentuk 9 Maret 2005 dan
anggotanya dilantik pada tanggal 14 Agustus 2005 dan berkedudukan di Denpasar, Bali.
Lembaga ini terdiri dari 10 orang masing-masing 5 dari Indonesia dan 5 dari Timor Leste dan 2
koordinator masing-masing 1 dari Indonesia dan Timor Leste.
Anggota dari Indonesia adalah Benjamin Mangkoedilaga (koordinator), Ahmad Ali,
Wisber Loeis, Mgr. Petrus Turang, dan Agus Widjojo. Sementara anggota dari Timor Leste
adalah Jacinto Alves (koordinator), Dionosio Babo, Aniceto Guterres, Felicidade Guterres, dan
Cirilio Varadeles. Selama bertugas KKP berupaya untuk mengungkap tiga kasus yang terjadi
sebelum dan paska jajak pendapat di Timor Timur tahun 1999 , yaitu kasus pembunuhan di
Gereja Liquic`a, perusakan rumah Manuel Carrascalao, dan kerusuhan Santa Cruz. Beberapa
tokoh yang telah didengar keterangannya oleh KKP diantaranya, mantan Menlu Ali Alatas,
Mantan Presiden BJ Habibie, Mantan Panglima ABRI Wiranto, Mantan Uskup Dili Carlos
Felipe Ximenes Belo, Mantan Kepala Badan Intelijen ABRI Mayjen (Purn) Zacky Anwar
Makarim, Mantan Komandan Korem Wiradharma Dili Mayjen Suhartono Suratman, dan Mantan
Panglima Kodam IX Udayana Mayjen (Purn) Adam Damiri. KKP tidak bermaksud
menindaklanjuti penemuannya secara hukum karena seluruh kasus pelanggaran HAM menjelang
dan sesudah jajak pendapat 1999 di Timor Timur telah ingkrah secara hukum sehingga tidak
dapat diajukan kembali ke pengadilan.
Warga eks Timor Timur di Nusa Tenggara Timur (NTT) menolak hasil Komisi
Kebenaran dan Persahabatan (KKP) yang meminta militer Indonesia, Polri dan pemerintah sipil
Indonesia bertanggungjawab atas insiden berdarah pasca jajak pendapat 1999 di wilayah bekas
provinsi ke-27 Indonesia itu. Mantan Wakil Panglima Pejuang Integrasi (PPI) Timtim, Eurico
Guterres di Kupang, Senin, mengatakan, warga eks Timtim yang memilih menjadi WNI menolak
hasil KKP tersebut, karena yang lebih bertanggungjawab atas semua insiden di Timtim adalah
PBB, dalam hal ini UNAMET sebagai lembaga penyelenggara jajak pendapat.
Dalam dokumen setebal 300 halaman itu, KKP menyebutkan bahwa militer, polisi dan
pejabat sipil Indonesia bersalah atas pembunuhan, penyiksaan dan pelanggaran HAM yang
terorganisir seusai jajak pendapat warga Timtim yang memilih melepaskan diri dari Republik
Indonesia. Komisi yang dibentuk secara bilateral pada 2005 itu juga mengungkap ada
tanggungjawab institusional atas pembunuhan, penyiksaan, perkosaan, dan penangkapan secara
ilegal terhadap para pendukung kemerdekaan Timtim. Dalam kaitan dengan itu, KKP
merekomendasikan agar Indonesia minta maaf kepada rakyat Timor Leste dan membantu
menyembuhkan luka mereka. Eurico Guterres yang juga Ketua DPW Partai Amanat Nasional
(PAN) NTT itu dengan tegas menolak rekomendasi tersebut seolah-olah Indonesia adalah bangsa
yang tidak bermartabat dan tidak berwibawa sehingga harus meminta maaf kepada rakyat Timor
Leste. Ia juga menilai KKP tidak adil dalam menelusuri pelanggaran HAM di Timtim, karena
fokusnya hanya pada insiden 1999 pasca jajak pendapat. "KKP juga harus melakukan
pemeriksaan secara menyeluruh pembunuhan terhadap sekitar 600 ribu warga Timtim oleh
Fretilin pada 1975. Apakah ini bukan pelanggaran HAM berat sehingga KKP hanya memberi
fokus pada insiden 1999," katanya dalam nada tanya.
KESIMPULAN

Disintegrasi Timor-Timur dari Negara Kesatuan Republik Indonesia secara hukum adalah syah
sesuai dengan New York Agrement yang mengumumkan hasil jajak pendapat yang diawasi oleh sebuah
Badan PBB UNAMET (United Nations Mission of East Timor) mulai tanggal 16 Juli 1999 sampai
tanggal 06 Agustus 1999 selama 20 hari. Pengumuman jajak pendapat diumumkan langsung dari New
York pada awal September 1999 dengan hasil perolehan suara 78,5 % memilih merdeka.
Akibat Hukum bagi Pemerintah Republik Indonesia yang mengesyahkan Timor-Timur sebagai
a) Propinsi ke 27 adalah sebagai berikut :
Pemerintah selalu ditekan dan dikecam oleh PBB dan masyarakat Internasional, agar melepaskan
Timor-Timur dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.
b) Banyak terjadi pelanggaran Hak Azasi Manusia di Timor-Timur sehingga Majelis PBB
mengeluarkan Resolusi yang mengecam Pemerintah Republik Indonesia.
c) Pemerintah Indonesia menghadapi Embargo Bantuan Militer dari Amerika serikat, Inggris,
Australia dan Eropa daratan yang tidak menyetujui integrasi Timor-Timur kedalam Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
Daftar Pustaka

Adil, Hilman. (1993). Hubungan Australia dengan Indonesia 1945-1962. Jakarta:


Djambatan.

Kuntari, Rien. (2008). Timor Timur Satu Menit Terakhir: Catatan Seorang Wartawan.
Bandung: PT Mizan Pustaka.

Rajawali Pers. (1991). Aspek-aspek negara dalam Hukum Internasional.

Sapoetra, Karta. (1984) Indonesia dalam lingkaran Hukum Internasional. Bandung:


Sumur

Internet
http://www.akademik.unsri.ac.id/download/journal/files/padresources/5A%20Huala%20%20Suksesi
%20Negara.pdf
http://www.topix.com/forum/world/east-timor/TJ70P4L82K8KVLAA0
http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2007/032007/14/99buku.htm)

You might also like