Professional Documents
Culture Documents
Judul Penelitian
Penggunaan Pendekatan Pragmatik dalam Upaya Meningkatkan Keterampilan Berbicara
bagi Siswa SMPN 3 Tarakan Kalimantan Timur
oleh Yones P
B. Bidang Kajian
Penelitian ini meliputi Bidang Kajian sebagai berikut:
C. Pendahuluan
Salah satu aspek keterampilan berbahasa yang sangat penting peranannya dalam upaya
melahirkan generasi masa depan yang cerdas, kritis, kreatif, dan berbudaya adalah
keterampilan berbicara. Dengan menguasai keterampilan berbicara, peserta didik akan
mampu mengekspresikan pikiran dan perasaannya secara cerdas sesuai konteks dan
situasi pada saat dia sedang berbicara. Keterampilan berbicara juga akan mampu
membentuk generasi masa depan yang kreatif sehingga mampu melahirkan tuturan atau
ujaran yang komunikatif, jelas, runtut, dan mudah dipahami. Selain itu, keterampilan
berbicara juga akan mampu melahirkan generasi masa depan yang kritis karena mereka
memiliki kemampuan untuk mengekspresikan gagasan, pikiran, atau perasaan kepada
orang lain secara runtut dan sistematis. Bahkan, keterampilan berbicara juga akan
mampu melahirkan generasi masa depan yang berbudaya karena sudah terbiasa dan
terlatih untuk berkomunikasi dengan pihak lain sesuai dengan konteks dan situasi tutur
pada saat dia sedang berbicara.
Namun, harus diakui secara jujur, keterampilan berbicara di kalangan siswa SMP,
khususnya keterampilan berbicara, belum seperti yang diharapkan. Kondisi ini tidak lepas
dari proses pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah yang dinilai telah gagal dalam
membantu siswa terampil berpikir dan berbahasa sekaligus. Yang lebih memprihatinkan,
ada pihak yang sangat ekstrim berani mengatakan bahwa tidak ada mata pelajaran
Bahasa Indonesia pun siswa dapat berbahasa Indonesia seperti saat ini, asalkan mereka
diajari berbicara, membaca, dan menulis oleh guru (Depdiknas 2004:9).
Sementara itu, hasil observasi empirik di lapangan juga menunjukkan fenomena yang
hampir sama. Keterampilan berbicara siswa SMP berada pada tingkat yang rendah; diksi
(pilihan kata)-nya payah, kalimatnya tidak efektif, struktur tuturannya rancu, alur
tuturannya pun tidak runtut dan kohesif.
Demikian juga keterampilan berbicara siswa kelas VII-A SMPN 3 Tarakan, Kalimantan
Timur. Berdasarkan hasil observasi, hanya 20% (8 siswa) dari 40 siswa yang dinilai sudah
terampil berbicara dalam situasi formal di depan kelas. Indikator yang digunakan untuk
mengukur keterampilan siswa dalam berbicara, di antaranya kelancaran berbicara,
ketepatan pilihan kata (diksi), struktur kalimat, kelogisan (penalaran), dan kontak mata.
Paling tidak, ada dua faktor yang menyebabkan rendahnya tingkat keterampilan siswa
dalam berbicara, yaitu faktor eksternal dan faktor internal. Yang termasuk faktor
eksternal, di antaranya pengaruh penggunaan bahasa Indonesia di lingkungan keluarga
dan masyarakat. Dalam proses komunikasi sehari-hari, banyak keluarga yang
menggunakan bahasa ibu (bahasa daerah) sebagai bahasa percakapan di lingkungan
keluarga. Demikian juga halnya dengan penggunaan bahasa Indonesia di tengah-tengah
masyarakat. Rata-rata bahasa ibulah yang digunakan sebagai sarana komunikasi. Kalau
ada tokoh masyarakat yang menggunakan bahasa Indonesia, pada umumnya belum
memperhatikan kaidah-kaidah berbahasa secara baik dan benar. Akibatnya, siswa tidak
terbiasa untuk berbahasa Indonesia sesuai dengan konteks dan situasi tutur.
Dari faktor internal, pendekatan pembelajaran, metode, media, atau sumber pembelajaran
yang digunakan oleh guru memiliki pengaruh yang cukup signifikan terhadap tingkat
keterampilan berbicara bagi siswa SMP. Pada umumnya, guru bahasa Indonesia
cenderung menggunakan pendekatan yang konvensional dan miskin inovasi sehingga
kegiatan pembelajaran keterampilan berbicara berlangsung monoton dan membosankan.
Para peserta tidak diajak untuk belajar berbahasa, tetapi cenderung diajak belajar
tentang bahasa. Artinya, apa yang disajikan oleh guru di kelas bukan bagaimana siswa
berbicara sesuai konteks dan situasi tutur, melainkan diajak untuk mempelajari teori
tentang berbicara. Akibatnya, keterampilan berbicara hanya sekadar melekat pada diri
siswa sebagai sesuatu yang rasional dan kognitif belaka, belum manunggal secara
emosional dan afektif. Ini artinya, rendahnya keterampilan berbicara bisa menjadi
hambatan serius bagi siswa untuk menjadi siswa yang cerdas, kritis, kreatif, dan
berbudaya.
Dalam beberapa penelitian ditemukan bahwa pengajaran bahasa Indonesia telah
menyimpang jauh dari misi sebenarnya. Guru lebih banyak berbicara tentang bahasa (talk
about the language) daripada melatih menggunakan bahasa (using language). Dengan kata
lain, yang ditekankan adalah penguasaan tentang bahasa (form-focus). Guru bahasa
Indonesia lebih banyak berkutat dengan pengajaran tata bahasa, dibandingkan
mengajarkan kemampuan berbahasa Indonesia secara nyata (Nurhadi, 2000).
Jika kondisi pembelajaran semacam itu dibiarkan berlarut-larut, bukan tidak mungkin
keterampilan berbicara di kalangan siswa SMP akan terus berada pada aras yang rendah.
Para siswa akan terus-menerus mengalami kesulitan dalam mengekspresikan pikiran dan
perasaannya secara lancar, memilih kata (diksi) yang tepat, menyusun struktur kalimat
yang efektif, membangun pola penalaran yang masuk akal, dan menjalin kontak mata
dengan pihak lain secara komunikatif dan interaktif pada saat berbicara.
Penelitian ini akan difokuskan pada upaya untuk mengatasi faktor internal yang diduga
menjadi penyebab rendahnya tingkat kemampuan siswa klas VII-A SMPN 3 Tarakan,
Kalimantan Timur, dalam berbicara, yaitu kurangnya inovasi dan kreativitas guru dalam
menggunakan pendekatan pembelajaran sehingga kegiatan pembelajaran keterampilan
berbicara berlangsung monoton dan
Yang tidak kalah penting, para siswa juga akan mampu berkomunikasi secara efektif dan
efisien sesuai dengan etika yang berlaku, baik secara lisan maupun tulis, mampu
menghargai dan bangga menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan dan
bahasa negara, serta mampu memahami bahasa Indonesia dan menggunakannya dengan
tepat dan kreatif untuk berbagai tujuan.
2. Pemecahan Masalah
3. Tujuan Penelitian
3.1 untuk mengidentifikasi langkah-langkah yang perlu dilakukan dalam menggunakan
pendekatan pragmatik dalam pembelajaran keterampilan berbicara bagi siswa SMP;
4. Manfaat Penelitian
4.1 Para guru bahasa Indonesia dapat mengetahui langkah-langkah yang perlu dilakukan
dalam menggunakan pendekatan pragmatik dalam pembelajaran keterampilan berbicara,
khususnya bagi siswa SMP;
4.2 Keterampilan berbicara siswa kelas VII-A SMPN 3 Tarakan, Kalimantan Timur, yang
menjadi subjek penelitian ini mengalami peningkatan yang signifikan;
4..3 Para guru bahasa Indonesia SMP diharapkan menggunakan pendekatan pragmatik
dalam menyajikan aspek keterampilan berbicara, bahkan guru bahasa Indonesia di
tingkat satuan pendidikan yang lebih rendah, seperti SD/MI, atau yang lebih tinggi, seperti
SMA/SMK/MA, diharapkan juga menggunakan hasil penelitian ini dalam upaya
melakukan inovasi pembelajaran Bahasa Indonesia.
I.1 Keterampilan berbicara dalam Mata Pelajaran Bahasa Indonesia di SMP Saat ini, arah
pembinaan bahasa Indonesia di sekolah dituangkan dalam tujuan pengajaran bahasa
Indonesia yang secara eksplisit dinyatakan dalam kurikulum. Secara garis besar, tujuan
utama pengajaran bahasa Indonesia adalah agar anak-anak dapat berbahasa Indonesia
dengan baik. Itu berarti agar anak-anak mampu menyimak, berbicara, membaca, dan
menulis dengan baik menggunakan media bahasa Indonesia (Samsuri, 1987 dan Sadtono,
1988).
Melalui harapan tersebut, pengajaran bahasa Indonesia dikelola agar anak-anak memiliki
keterampilan-keterampilan praktis berbahasa Indonesia, seperti
Dengan standar kompetensi mata pelajaran Bahasa Indonesia semacam itu diharapkan:
1. Guru lebih mandiri dan leluasa dalam menentukan bahan ajar kebahasaan dan
kesastraan sesuai dengan kondisi lingkungan sekolah dan kemampuan peserta
didiknya;
2. Orang tua dan masyarakat dapat secara aktif terlibat dalam pelaksanaan program
kebahasaan dan kesastraan di sekolah;
(6) Daerah dapat menentukan bahan dan sumber belajar kebahasaan dan kesastraan
sesuai dengan
Adapun tujuan mata pelajaran Bahasa Indonesia adalah agar peserta didik memiliki
kemampuan:
1. berkomunikasi secara efektif dan efisien sesuai dengan etika yang berlaku, baik
secara lisan maupun tulis;
3. memahami bahasa Indonesia dan menggunakannya dengan tepat dan kreatif untuk
berbagai tujuan;
4. menggunakan bahasa Indonesia untuk meningkatkan kemampuan intelektual, serta
kematangan emosional dan sosial;
(1) mendengarkan;
(2) berbicara;
(4) menulis.
Sementara itu, standar kompetensi dan kompetensi dasar keterampilan berbicara dalam
mata pelajaran Bahasa Indonesia di SMP/MTs kelas VII semester berdasarkan Standar Isi
dalam lampiran Peraturan Mendiknas Nomor 22/2006 Standar Kompetensi dan
Kompetensi Dasar Keterampilan Berbicara Mata Pelajaran Bahasa Indonesia SMP/MTs
Kelas VII Semester I Standar Kompetensi Kompetensi Dasar Berbicara
2.2. Menyampaikan pengumuman dengan intonasi yang tepat serta menggunakan kalimat-
kalimat yang lugas dan sederhana
Berdasarkan standar kompetensi dan kompetensi dasar tersebut dapat disimpulkan bahwa
pada semester I, siswa kelas VII SMP diharapkan mampu mengembangkan dua
kompetensi dasar, yaitu:
(2) menyampaikan pengumuman dengan intonasi yang tepat serta menggunakan kalimat-
kalimat yang lugas dan sederhana. Penelitian ini akan difokuskan pada upaya untuk
mengembangkan kompetensi dasar siswa kelas VII semester I dalam menceritakan
pengalaman yang paling mengesankan dengan menggunakan pilihan kata dan kalimat
efektif.
Fokus penelitian ini relevan dengan kegiatan pembelajaran aspek keterampilan berbicara
dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia di SMP yang diarahkan agar siswa memiliki
kemampuan untuk:
1. berkomunikasi secara efektif dan efisien sesuai dengan etika yang berlaku secara
lisan;
negara;
1. memahami bahasa Indonesia dan menggunakannya dengan tepat dan kreatif untuk
berbagai tujuan;
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Kridalaksana, ed. 1996:144) dijelaskan bahwa
berbicara adalah “berkata; bercakap; berbahasa, atau melahirkan pendapat (dengan
perkataan, tulisan, dsb.) atau berunding”. Sementara itu, Tarigan (1983:15) dengan
menitikberatkan pada kemampuan pembicara
Hal senada juga dikemukakan oleh Mulgrave (1954:3-4). Dia menyatakan bahwa
berbicara adalah kemampuan mengucapkan bunyi-bunyi bahasa atau katakata untuk
mengekspresikan pikiran. Selanjutnya, dinyatakan bahwa berbicara merupakan sistem
tanda yang dapat didengar dan dilihat yang memanfaatkan otototot dan jaringan otot
manusia untuk mengomunikasikan ide-ide. Berbicara juga
dipahami sebagai bentuk perilaku manusia yang memanfaatkan faktor fisik, psikis,
neurologis, semantik, dan linguistik secara ekstensif sehingga dapat digunakan sebagai alat
yang sangat penting untuk melakukan kontrol sosial.
kompleks adalah inti kemahirwacanaan tingkat tinggi (high literacy) (CED, 2001).
Selanjutnya, guru yang memberi pengalaman kepada siswa dengan pembelajaran terpadu
melalui lingkungan mahir literasi (literate environment) ternyata dapat meningkatkan
pembelajaran karena mereka (siswa) menggunakan proses-proses yang saling berkaitan
antara membaca, menulis, berbicara, dan mendengarkan untuk komunikasi alamiah
senyatanya (authentic commmunication) (Salinger, 2001).
Namun, secara jujur harus diakui bahwa pembelajaran Bahasa Indonesia di SMP belum
berlangsung seperti yang diharapkan. Pembelajaran Bahasa Indonesia lebih cenderung
bersifat teoretis dan kognitif daripada mengajak siswa untuk belajar berbahasa Indonesia
dalam konteks dan situasi yang nyata. Akibatnya, apa yang diperoleh siswa di kelas dalam
pembelajaran Bahasa Indonesia tidak bisa diterapkan secara praktis dalam kehidupan
sehari-hari. Dengan kata lain, pembelajaran Bahasa Indonesia terlepas dari konteks
pengalaman dan lingkungan siswa. Hal ini bisa menimbulkan dampak yang cukup serius
terhadap keterampilan siswa dalam menggunakan bahasa Indonesia dalam peristiwa dan
konteks komunikasi.
Apa yang kita amati dari hasil pembelajaran di sekolah dasar dan menengah di Indonesia
adalah ketidakmampuan anak-anak menghubungkan antara apa yang dipelajari dengan
bagaimana pengetahuan itu dimanfaatkan untuk memecahkan persoalan sehari-hari
(Direktorat SLTP, 2002). Apa yang anak-anak peroleh di sekolah, sebagian hanya hafalan
dengan tingkat pemahaman yang rendah. Siswa hanya tahu bahwa tugasnya adalah
mengenal fakta-fakta, sementara keterkaitan antara fakta-fakta itu dengan pemecahan
masalah belum mereka kuasai.
Dalam konteks demikian, diperlukan upaya serius melalui penggunaan pendekatan yang
inovatif dan kreatif agar pembelajaran Bahasa Indonesia di SMP bisa berlangsung dalam
suasana yang kondusif, interaktif, dinamis, terbuka, menarik, dan menyenangkan. Melalui
proses pembelajaran semacam itu, siswa diharapkan dapat menumbuhkembangkan
kemampuan intelektual, sosial, dan
perkembangan intelektual, sosial, dan emosional peserta didik dan merupakan penunjang
keberhasilan dalam mempelajari semua bidang studi.
tidak hanya menuntut ketepatan gramatikal, tetapi juga ketepatan dalam konteks sosial
(Zahorik dalam Kurikulum 2004: Naskah Akademik Mata pelajaran Bahasa Indonesia
2004:4).
1. kealamiahan bahasa,
(2) Anak-anak mengembangkan bahasa keduanya dengan cara mengolah input dari
ujaran orang lain; dan
Hal itulah yang kemudian menjadi cacatan penting dalam penelitian pengajaran bahasa,
yaitu pengikutsertaan anak-anak dalam latihan komunikasi itu amat penting. Anak-anak
dengan tingkat pembangkitan input yang tinggi (high input generating) memperoleh
kemampuan berbahasanya dari bertanya, menjawab, menyanggah, dan beradu argumen
dengan orang lain. Anak-anak yang lambat belajar, berarti ia juga pasif dalam berlatih
berbahasa nyata atau pasif dalam berkomunikasi menggunakan bahasa.
Inti dari temuan itu adalah bahwa keaktifan anak-anak di kelas dalam pembelajaran
bahasa perlu dilakukan melalui aktivitas berlatih berujar secara nyata. Penelitian-
penelitian itu pada akhirnya menghasilkan sejumlah hipotesis baru tentang pembelajaran
bahasa. Secara umum ada korelasi antara perilaku aktif ini dengan perolehan belajar
anak. Dengan kata lain, hasil penelitian dalam bidang pengajaran bahasa menyarankan
adanya program pengajaran bahasa yang menekankan pada pembangkitan input anak-
anak (latihan bercakap-cakap, membaca, atau menulis yang sebenarnya).
4. target penguasaan sistem bahasa itu dicapai melalui proses mengatasi hambatan
berkomunikasi;
2. hadiah untuk perilaku baik adalah kepuasan diri, berdasarkan motivasi intrinsik;
3. seseorang berperilaku baik karena dia yakin itulah yang terbaik dan bermanfaat
bagi dirinya;
7. siswa belajar dari teman melalui kerja kelompok, diskusi, saling mengoreksi;
8. hasil belajar diukur dengan berbagai cara dan dari berbagai sumber;
Prinsip ketiga mengharapkan agar di kelas terjadi suasana interaktif sehingga tercipta
masyarakat pemakai bahasa Indonesia yang produktif. Tidak ada peran guru yang
dominan. Guru diharapkan sebagai “pemicu” kegiatan berbahasa lisan dan tulis. Peran
guru sebagai orang yang tahu atau pemberi informasi pengetahuan bahasa Indonesia agar
dihindari.
Ciri lain yang menandai adanya penggunaan pendekatan pragmatik dalam pembelajaran
keterampilan berbicara adalah penggunaan konteks tuturan. Hal ini dimaksudkan agar
peserta didik memperoleh gambaran penggunaan bahasa Indonesia dalam konteks dan
situasi yang nyata.
Konteks adalah sesuatu yang menjadi sarana pemerjelas suatu maksud. Sarana itu
meliputi dua macam, yaitu:
1. berupa bagian ekspresi yang dapat mendukung kejelasan maksud; dan
2. berupa situasi yang berhubungan dengan suatu kejadian. Konteks yang berupa
bagian ekspresi yang dapat mendukung kejelasan maksud disebut koteks (co-text),
sedangkan konteks yang berupa situasi yang berhubungan dengan suatu kejadian
disebut konteks (contex) (Rustono 1999:20). Makna sebuah kalimat baru dapat
dikatakan benar apabila diketahui siapa pembicaranya, siapa pendengarnya, kapan
diucapkan, dan lain-lain (Lubis 1993:57).
Menurut Alwi et al. (1998:421), konteks terdiri dari unsur-unsur, seperti situasi,
pembicara, pendengar, waktu, tempat adegan, topik, peristiwa, bentuk amanat, kode, dan
sarana. Bentuk amanat sebagai unsur konteks, antara lain dapat berupa surat, esai, iklan,
pemberitahuan, pengumuman, dan sebagainya.
Di dalam peristiwa tutur, ada sejumlah faktor yang menandai keberadaan peristiwa itu.
Menurut Hymes (1968) (melalui Rustono 1999:21), faktor-faktor itu berjumlah delapan,
yaitu:
4. key, yaitu nada suara dan ragam bahasa yang digunakan di dalam
mengekspresikan tuturan dan cara mengekspresikannya;
2. norm atau norma, yaitu aturan permainan yang harus ditaati oleh setiap peserta
tutur; dan (8) genre, yaitu jenis kegiatan, seperti wawancara, diskusi, kampanye,
dan sebagainya. Lebih lanjut
dikemukakan bahwa ciri-ciri konteks itu mencakupi delapan hal, yaitu penutur, mitra
tutur, topik tuturan, waktu dan tempat bertutur, saluran atau media, kode (dialek atau
gaya), amanat atau pesan, dan peristiwa atau kejadian. Di dalam novel, konteks tuturan
tampak pada dialog antartokoh yang memenuhi ciri-ciri konteks sebagaimana
dikemukakan oleh Hymes (1968).
Menurut Rustono (1999:26), situasi tutur adalah situasi yang melahirkan tuturan.
Pernyataan ini sejalan dengan pandangan bahwa tuturan merupakan akibat, sedangkan
situasi tutur merupakan sebabnya. Di dalam komunikasi, tidak ada tuturan tanpa situasi
tutur. Memperhitungkan situasi tutur amat penting di dalam pragmatik. Maksud tuturan
yang sebenarnya hanya dapat diidentifikasi melalui situasi tutur yang mendukungnya.
Penentuan maksud tuturan tanpa mengalkulasi situasi tutur merupakan langkah yang
tidak akan membawa hasil yang memadai. Pertanyaan apakah yang dihadapi itu berupa
fenomena pragmatis atau fenomena semantis dapat dijawab dengan kriteria pembeda
yang berupa situasi tutur. Komponen-komponen situasi tutur menjadi kriteria penting di
dalam menentukan maksud suatu tuturan.
Menurut Leech (1983:13-15), situasi tutur mencakupi lima komponen, yaitu penutur dan
mitra tutur, konteks tuturan, tujuan tuturan, tindak tutur sebagai bentuk tindakan atau
aktivitas, dan tuturan sebagai produk tindak verbal. Komponen situasi tutur yang pertama
adalah penutur dan mitra tutur. Penutur adalah orang yang bertutur, yaitu orang yang
menyatakan tuturan tertentu di dalam peristiwa komunikasi. Sementara itu, mitra tutur
adalah orang yang menjadi sasaran sekaligus kawan penutur di dalam peristiwa tutur. Di
dalam peristiwa komunikasi, peran penutur dan mitra tutur dilakukan secara silih
berganti. Yang semula berperan sebagai penutur pada tahap berikutnya dapat menjadi
mitra tutur, demikian pula sebaliknya. Aspek-aspek yang terkait dengan penutur dan
mitra tutur antara lain usia, latar belakang sosial ekonomi, jenis kelamin, tingkat
pendidikan, tingkat keakraban. Komponen situasi tutur yang kedua adalah konteks
tuturan. Di dalam tata bahasa, konteks tuturan mencakupi semua aspek fisik atau latar
sosial yang relevan dengan tuturan yang diekspresi. Konteks yang bersifat fisik, yaitu fisik
tuturan dengan tuturan lain yang biasa disebut dengan ko-teks, sedangkan konteks latar
sosial lazim dinamakan konteks. Di dalam pragmatik, konteks berarti semua latar
belakang pengetahuan yang dipahami bersama oleh penutur dan mitra tuturnya. Konteks
berperan membantu mitra tutur di dalam menafsirkan maksud yang ingin dinyatakan
oleh penutur.
Komponen situasi tutur yang ketiga adalah tujuan tuturan, yaitu apa yang ingin dicapai
oleh penutur dengan melakukan tindakan bertutur. Komponen ini menjadi hal yang
melatarbelakangi tuturan. Semua tuturan orang normal memiliki tujuan. Hal ini berarti
tidak mungkin ada tuturan yang tidak mengungkapkan suatu tujuan. Di dalam peristiwa
tutur, berbagai tuturan dapat diekspresi untuk
Komponen situasi tutur yang keempat adalah tindak tutur sebagai bentuk tindakan atau
aktivitas. Komponen ini mengandung maksud bahwa tindak tutur merupakan tindakan
juga tidak ubahnya sebagai tindakan mencubit dan menendang. Yang berbeda adalah
bagian tubuh yang berperan. Jika mencubit yang berperan adalah tangan dan menendang
yang berperan adalah kaki, pada tindakan bertutur alat ucaplah yang berperan. Tangan,
kaki, dan alat ucap adalah bagian tubuh manusia.
Komponen situasi tutur yang kelima adalah tuturan sebagai produk tindak verbal.
Tuturan itu merupakan hasil suatu tindakan. Tindakan manusia dibedakan menjadi dua,
yaitu tindakan verbal dan tindakan nonverbal. Mencubit dan menendang adalah tindakan
nonverbal, sedangkan berbicara atau bertutur adalah tindakan verbal, yaitu tindak
mengekspresikan kata-kata atau bahasa. Karena tercipta melalui tindakan verbal, tuturan
itu merupakan produk tindak verbal. Komponen lain yang dapat menjadi unsur situasi
tutur antara lain waktu dan tempat pada saat tuturan itu diproduksi. Tuturan yang sama
dapat memiliki maksud yang berbeda akibat perbedaan waktu dan tempat sebagai latar
tuturan.
F. Metode Penelitian
Penelitian ini dimulai dengan melakukan identifikasi masalah atau refleksi awal terhadap
rendahnya tingkat keterampilan berbicara siswa kelas VII-A SMP Negeri 3 Tarakan
Kalimantan Timur. Berdasarkan refleksi awal ditemukan penyebab rendahnya tingkat
keterampilan berbicara siswa kelas VII-A SMP Negeri 3 Tarakan Kalimantan Timur,
yaitu penggunaan pendekatan pembelajaran yang tidak mampu membawa siswa ke dalam
situasi penggunaan bahasa secara nyata atau terlepas dari konteks dan situasi tuturan.
Akibatnya, proses pembelajaran berlangsung monoton dan membosankan. Oleh karena
itu, diperlukan pendekatan pembelajaran yang diduga mampu membawa siswa ke dalam
situasi penggunaan bahasa secara nyata sehingga siswa memperoleh manfaat praktis
untuk diterapkan dalam peristiwa komunikasi seharihari. Berdasarkan penggunaan
pendekatan pragmatik yang ditawarkan sebagai solusi, dirumuskan masalah yang akan
diteliti, yaitu:
Selanjutnya, dirumuskan tujuan yang akan dicapai dalam penelitian ini, yaitu:
Dari hasil kajian teori dirumuskan hipotesis tindakan, yaitu penggunaan pendekatan
pragmatik dapat meningkatkan keterampilan berbicara siswa SMP. Berdasarkan
rumusan hipotesis tindakan, dilakukan perencanaan tindakan yang akan dilakukan untuk
meningkatkan keterampilan berbicara bagi siswa SMP klas VII-A SMPN Negeri 3
Tarakan Kalimantan Timur. Langkah selanjutnya adalah melaksanakan tindakan sesuai
dengan rencana dengan melibatkan seorang kolaborator untuk melakukan observasi
terhadap tindakan yang dilakukan.
Berdasarkan hasil pelaksanaan tindakan dan observasi, dilakukan analisis data yang
diperoleh dari hasil keterampilan berbicara siswa klas VII-A SMP Negeri 3 Tarakan
Kalimantan Timur. Data tersebut dibandingkan dengan indikator keberhasilan
penggunaan pendekatan pragmatik, yaitu 70% (28 siswa) dari 40 siswa klas VII-A SMP
Negeri 3 Tarakan Kalimantan Timur terampil berbicara berdasarkan aspek kelancaran
berbicara, ketepatan pilihan kata (diksi), struktur kalimat, kelogisan (penalaran), dan
kontak mata. Bersama kolaborator, peneliti melakukan refleksi terhadap hasil analisis
data. Jika hasil analisis data belum menunjukkan hasil yang signifikan, dilakukan refleksi
untuk memperbaiki langkah-langkah yang perlu dilakukan pada siklus berikutnya.
siswa klas VII-A SMP Negeri 3 Tarakan Kalimantan Timur dibandingkan dengan
indikator keberhasilan untuk direfleksi bersama kolaborator. Jika hasilnya belum
signifikan, dilakukan replanning untuk siklus III. Jika penggunaan pendekatan pragmatik
sudah menunjukkan hasil yang signifikan dengan indikator
F.1. Lokasi dan Subjek Penelitian Lokasi penelitian adalah SMP Negeri 3 Tarakan
Kalimantan Timur. Subjek penelitian adalah siswa kelas VII-A SMPN 3 Tarakan yang
terdiri atas 40 siswa, dengan rincian 18 siswa laki-laki dan 22 siswa perempuan.
Seperti telah peneliti kemukakan bahwa masalah yang diteliti dalam penelitian ini adalah
rendahnya tingkat keterampilan berbicara, khususnya keterampilan siswa kelas VII-A
SMP Negeri 3 Tarakan Kalimantan Timur, dalam menceritakan pengalaman yang paling
mengesankan dengan pilihan kata yang tepat dan kalimat yang efektif.
Berdasarkan hasil identifikasi masalah dan refleksi awal, siswa kelas VII-A SMP Negeri 3
Tarakan Kalimantan Timur yang dinilai sudah mampu menceritakan pengalaman yang
paling mengesankan dengan menggunakan pilihan kata dan kalimat efektif baru sekitar
20% (8 siswa) dari 40 siswa. Data ini masih jauh dari standar ketuntasan belajar minimal
secara nasional, yaitu 75%.
Materi pembelajaran berseumber dari standar isi dalam lampiran Peraturan Mendiknas
No. 22/2006 tentang standar kompetensi dan kompetensi dasar mata pelajaran Bahasa
Indonesia SMP/MTs seperti pada tabel 7.1 berikut ini. Tabel 7.2 Standar Kompetensi dan
Kompetensi Dasar Menceritakan
Pengalaman yang Paling Mengesankan dengan Menggunakan Pilihan Kata dan Kalimat
Efektif
7.2.1 Siswa memilih dan mencatat pengalaman mengesankan yang ingin diceritakan.
7.2.2 Siswa mencatat identitas penutur dan mitra tutur, yaitu orang-orang yang terlibat
dalam pengalaman yang akan diceritakan.
7.2.3 Siswa mencatat konteks tuturan, yaitu latar belakang pengetahuan yang dimiliki
penutur dan mitra tutur.
7.2.4 Siswa mencatat tujuan tuturan, yaitu apa yang ingin dicapai oleh penutur
berdasarkan pengalaman yang akan diceritakan.
7.2.5 Siswa bertindak tutur melalui wujud tindakan verbal berdasarkan hal-hal yang telah
dicatat sebelumnya. Bentuk tindakan verbal berupa tindak tutur yang dihasilkan oleh alat
ucap, berupa kata-kata dan kalimat.
7.2.6 Siswa bertindak tutur melalui wujud tindakan nonverbal untuk memperjelas
tindakan verbal yang telah dilakukan. Tindakan nonverbal berupa tindak tutur yang
dihasilkan melalui kontak mata, mimik, gerak tangan, atau gerak anggota badan yang
lain. Secara garis besar, alur penggunaan pendekatan pragmatik yang digunakan untuk
memecahkan masalah rendahnya tingkat keterampilan siswa kelas VII-A SMP Negeri 3
Tarakan Kalimantan Timur.
F.3.1
F.3.2
F.3.4
F.3.5
Hasil analisis data dibandingkan dengan hasil tes awal untuk mengetahui efektiktivitas
penggunaan pendekatan pragmatik. Langkah selanjutnya adalah melakukan refleksi
berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan oleh kolaborator. Jika penggunaan
pendekatan pragmatik dinilai belum memberikan hasil yang signifikan, kolaborator
memberikan masukan dan bersama-sama dengan peneliti melakukan langkah-langkah
perbaikan untuk dilaksanakan pada siklus berikutnya.
F.3.6
Peneliti melakukan replanning untuk merencanakan tindakan yang akan dilakukan pada
siklus berikutnya berdasarkan hasil refleksi bersama kolaborator.
F.3.7
Peneliti melaksananakan tindakan pada siklus II sesuai dengan rencana tindakan yang
telah disusun.
F.3.8
F.3.9
Hasil analisis data dibandingkan dengan hasil tes siklus I untuk mengetahui efektiktivitas
penggunaan pendekatan pragmatik. Langkah selanjutnya adalah melakukan refleksi
berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan oleh kolaborator. Jika penggunaan
pendekatan pragmatik dinilai sudah memberikan hasil yang signifikan sesuai dengan
indikator keberhasilan, penelitian dinyatakan selesai dan tinggal melakukan tindakan
pemantapan kepada siswa (subjek penelitian). Namun, jika hasil analisis data belum
menunjukkan hasil yang signifikan, peneliti kembali melakukan refleksi bersama
kolaborator untuk merencanakan tindakan perbaikan (replanning) yang akan
dilaksanakan pada siklus berikutnya.
Tahap-tahap yang dilakukan pada tahap pelaksanaan tindakan terinci sebagai berikut.
Pada tahap persiapan tindakan, peneliti yang sekaligus sebagai guru menyiapkan silabus,
RPP, instrumen, sumber belajar, dan media belajar yang digunakan untuk mendukung
efektivitas pelaksanaan tindakan.
Pada tahap pelaksanaan tindakan, peneliti melaksanakan tindakan sesuai rencana yang
tersusun dalam RPP. Secara garis besar, tindakan yang dilaksanakan pada setiap siklus
sesuai dengan yang tersusun dalam RPP antara lain sebagai berikut.
F.4.2.1.1
F.4.2.1.2
F..4.2.2Tindakan Inti
F.4.2.2.1
Siswa menyimak contoh cerita pengalaman yang mengesankan yang disampaikan oleh
peneliti.
F..4.2.2.2
Siswa melakukan tanya jawab dengan guru dan teman sekelas untuk menentukan
langkah-langkah menceritakan pengalaman mengesankan berdasarkan contoh cerita yang
disimak.
F..4.2.2.3
F..4.2.2.4
Siswa mencatat identitas penutur dan mitra tutur, yaitu orang-orang yang terlibat dalam
pengalaman yang akan diceritakan.
F..4.2.2.5
Siswa mencatat konteks tuturan, yaitu latar belakang pengetahuan yang dimiliki penutur
dan mitra tutur.
F..4.2.2.6
Siswa mencatat tujuan tuturan, yaitu apa yang ingin dicapai oleh penutur berdasarkan
pengalaman yang akan diceritakan.
F..4.2.2.7
Siswa bertindak tutur melalui wujud tindakan verbal berdasarkan halhal yang telah
dicatat sebelumnya.
F..4.2.2.8
Siswa bertindak tutur melalui wujud tindakan nonverbal untuk memperjelas tindakan
verbal yang telah dilakukan.
F.4.2.3Tindakan Akhir
F..4.2.3.1
F..4.2.3.2
Siswa bersama peneliti melakukan refleksi untuk mengetahui kesan siswa ketika
menceritakan pengalaman yang mengesankan dengan menggunakan pendekatan
prgmatik.
1. respon siswa,
Pada tahap ini, peneliti menganalisis data yang diperoleh berdasarkan unjuk kerja yang
dilakukan siswa ketika menceritakan pengalaman yang mengesankan dengan pilihan kata
dan kalimat yang efektif. Unsur-unsur yang dianalisis, yaitu kelancaran berbicara,
ketepatan pilihan kata, keefektifan kalimat, kelogisan penalaran, dan kemampuan
menjalin kontak mata. Berdasarkan hasil analisis data akan diketahui unsur-unsur mana
saja yang masih menjadi hambatan siswa dalam menceritakan pengalamannya yang
mengesankan.
Hasil analisis data tersebut juga sangat penting dan berharga sebagai bahan untuk
melakukan refleksi bersama kolaborator. Pada saat melakukan refleksi, kolaborator
memberikan masukan kepada peneliti berdasarkan hasil pengamatan yang telah dicatat
untuk melakukan langkah-langkah perbaikan pada siklus berikutnya.
Penelitian tidak perlu dilakukan lagi pada siklus berikutnya jika hasil analisis data
menunjukkan pengingkatan yang signifikan sesuai dengan indikator keberhasilan
penelitian yang telah ditetapkan, yaitu 70% (28 siswa) dari 40 siswa klas VII-A SMP
Negeri 3 Tarakan Kalimantan Timur terampil berbicara berdasarkan aspek kelancaran
berbicara, ketepatan pilihan kata (diksi), struktur kalimat, kelogisan (penalaran), dan
kontak mata.
Untuk memperoleh data yang valid, data dikumpulkan melalui cara/teknik berikut ini:
F.5.1 Tes
Teknik tes digunakan untuk mengetahui tingkat keterampilan siswa dalam menceritakan
pengalaman yang mengesankan kepada orang lain. Aspek-aspek yang dinilai, yaitu
kelancaran berbicara, ketepatan pilihan kata (diksi), struktur kalimat, kelogisan
(penalaran), dan kontak mata.
F.5.2 Nontes
Teknik nontes yang digunakan dalam penelitian ini, antara lain sebagai berikut:
F..5.2.2 Wawancara: teknik ini digunakan oleh peneliti dan kolaborator untuk mengetahui
respon siswa secara langsung dalam berbicara dengan menggunakan pendekatan
pragmatik. Wawancara terutama dilakukan kepada siswa yang menonjol karena
kelebihan atau kekurangannya. Pelaksanaan wawancara dilakukan di luar kegiatan
pembelajaran dengan menggunakan pedoman wawancara.
F.5.2.3 Jurnal: teknik ini digunakan oleh peneliti setiap kali selesai mengimplementasikan
tindakan. Jurnal tersebut dijadikan sebagai bahan refleksi diri bagi peneliti untuk
mengungkap aspek:
(1) respon siswa (baik yang positif maupun negatif) terhadap penggunaan pendekatan
pragmatik;
(3) kemampuan peneliti dalam menciptakan pembelajaran yang aktif, inovatif, kreatif,
efektif, dan menyenangkan.
Data penelitian dianalisis dengan menggunakan teknik tabulasi data secara kuantitatif
berdasarkan hasil tindakan yang dilaksanakan pada setiap siklus. Hasil tindakan pada
setiap siklus dibandingkan dengan hasil tes awal untuk mengetahui persentase
peningkatan keterampilan siswa kelas VII-A SMPN 3 Tarakan dalam menceritakan
pengalaman yang mengesankan.
Pada setiap siklus dideskripsikan jumlah skor yang diperoleh semua siswa, daya serap,
dan rata-rata skor untuk aspek kelancaran berbicara, ketepatan pilihan kata (diksi),
struktur kalimat, kelogisan (penalaran), dan kontak mata. Selain itu, juga dideskripsikan
jumlah skor, jumlah nilai, rata-rata nilai, dan tingkat daya serap, dan ketuntasan belajar
siswa pada setiap siklus.
1.
BQ.JASNI MAHAYANI, di/pada Mei 16th, 2008 pada 9:55 pm Dikatakan: r
saya senang sekali membaca proposal PTK di atas,berbicara tentang kecakapan
berbicara didepan kelas atau dalam suasana formal, saya kira juga perlu sebuah
penelitian tidak saja terhadap siswa SMP melainkan juga siswa SMA.Karna sy
melihat di daerah saya juga siswa-siswa SMA nya juga belum memiliki kreatifitas
gaya bahasa yang baik apabila berada didepan kelas apalagi dalam suasana formal.