Professional Documents
Culture Documents
Dosen :
Dr. Ike Janita Dewi, MBA dan Dra. Yulia Arisnani, MBA
Diajukan Oleh:
Ratih Puspa Nirmala
Kelas Reguler 22
Dewasa ini, acara televisi yang menamakan dirinya sebagai reality show
semakin marak ditayangkan di beberapa stasiun televisi di Indonesia. Adapun
pengertian reality show adalah suatu jenis program televisi yang menayangkan
kehidupan seseorang dalam dunia nyata dan bukan menampilkan tokoh ‘buatan’ yang
diperankan oleh seorang aktor. Menurut Daniel Rahmad, produser beberapa reality
show pada sebuah rumah produksi, tema dari reality show pun beragram, salah
satunya adalah tema cinta (Nirmala, 2007).
Pada awal munculnya reality show di Indonesia, program reality show seperti
Katakan Cinta dan Harap-harap Cemas (H2C) masih menjunjung tinggi konsep
idealis reality show, yang mana pada kedua acara tersebut, memang menayangkan
kehidupan nyata dunia cinta remaja berikut konflik yang ada. Pada acara Katakan
Cinta ditayangkan tentang bagaimana seorang remaja melakukan usaha-usaha yang
romantis untuk mendapatkan hati orang yang ia suka. Sementara itu, dalam acara
Harap-harap Cemas (H2C) menampilkan seorang remaja yang membuntuti keseharian
pasangannya layaknya seorang detektif, untuk mendapatkan bukti apakah
pasangannya tersebut selingkuh.
Kesuksesan yang diraih oleh Katakan Cinta dan juga H2C mendorong
beberapa rumah produksi lainnya untuk bersaing membuat program acara serupa,
diantaranya yaitu Termehek-mehek, Cinta Monyet, Backstreet, Kontak Jodoh,
Playboy Kabel, dan beberapa program lainnya. Kuswandi (1996) mengatakan bahwa
maraknya persaingan di antara televisi baik nasional maupun lokal menuntut
production house dan produser untuk berkompetisi mempromosikan program yang
mampu menarik minat pemirsanya. Penilaian kesuksesan suatu acara ditentukan oleh
rating. Untuk dapat mengetahui rating dan audience share, maka stasiun televisi
harus berlangganan AC Nielsen untuk dapat terus memantau jumlah rating yang
diperoleh oleh program-programnya. Rating tersebut dijadikan acuan untuk
menciptakan sebuah program yang tujuannya untuk memperoleh pemasukan iklan
yang tinggi pula (Harahap, 2008).
Berdasarkan observasi dan komunikasi personal dengan beberapa kru dari
produsen acara-acara baru tersebut, dan juga wawancara langsung dengan beberapa
orang yang terlibat di dalamnya, diketahui bahwa acara-acara reality show yang ada
sekarang ini (Termehek-mehek, Cinta Monyet, Backstreet, Playboy Kabel, dan lain-
lain) sudah merupakan rekayasa. Artinya, semua kejadian beserta konflik yang
disajikan tersebut telah diatur dalam skrip. Dengan begitu, seharusnya acara acara
tersebut tidak dapat dikatakan sebagai reality show, namun kenyataannya dalam
promosi dan iklan mengenai acara-acara tersebut mereka masih mengusung istilah
reality show.
Tulisan ini dibuat karena ketertarikan saya terhadap masalah etika yang
terdapat di industri pertelevisian, dalam hal ini kaitannya dengan program-program
televisi yang disebut-sebut sebagai reality show. Berdasarkan pengalaman saya, yang
pernah terlibat langsung dalam memproduksi beberapa reality show dan program
televisi lainnya selama beberapa tahun, diharapkan tulisan ini dapat bermanfaat
memberikan sebuah wacana baru dalam dunia marketing. Maka dari itu, saya akan
mencoba mengaitkan masalah etika dalam reality show dikaitkan dengan teori etika
dan marketing untuk didiskusikan lebih lanjut dalam paper ini.
Tinjauan Pustaka
II. 1. Media
- Media cetak terdiri dari koran, majalah dan sebagainya. Media ini berguna
bagi pemasar karena biasanya liputan dan fleksibilitas geografiknya luas. Iklan
di majalah memberikan kredibilitas, prestise dan dibaca berulang-ulang oleh
konsumen dalam jangka waktu yang lama.
- Televisi merupakan simulasi yang paling dekat dengan simulasi komunikasi
antar pribadi. Keunggulan televisi adalah dapat menyajikan sekaligus sight
dan sound. Televisi mempunyai kapasitas untuk mendramatisasi. Image visual
dan special effect televisi merupaan media penarik perhatian. Televisi juga
menjangkau audience yang luas. (Meilisa, 2006)
Ini berarti secara sadar menghindari tindakan yang merugikan atau membahayakan
karena kelalaian, dengan mewujudkan standar etika yang tinggi dan mempertahankan
ke dalam semua hukum dan peraturan yang berlaku dalam pilihan yang telah dibuat.
Ini berarti berjuang secara jujur dan adil, sehingga dapat berkontribusi terhadap
kesuksesan dari proses pertukaran serta menghindari penipuan dalam hal desain
produk, biaya, komunikasi, dan distribusi.
(Sumber:www.marketingpower.com/AboutAMA/Pages/Statement%20of
%20Ethics.aspx)
II. 3. 3. Periklanan dan kebenaran
Salah satu cara untuk menarik perhatian khalayak yaitu dengan mengemas
program acara yang yang digemari khalayak. Oleh karena itu, setiap stasiun televisi
mempunyai format acara televisi yang mana ini dapat menjadi sebuah perencanaan
dasar dari suatu konsep acara televisi yang akan menjadi landasan kreativitas dan
desain produk yang akan terbagi dalam beberapa kriteria utama yang disesuaikan
dengan tujuan dan target pemirsa acara tersebut (Naratama, 2004).
Brand image tercipta melalui brand association, yaitu saat pemirsa televisi
mengintegrasikan kesan yang mereka tangkap dari sebuah brand dengan struktur
mental pribadi mereka (Kotler dan Keller, 2008). Bagi para pemirsa televisi, brand
image terbentuk berdasarkan pengalaman praktis terhadap produk yang
bersangkutan , dan bagaimana brand tersebut memenuhi harapan mereka. Karena itu
brand strategy harus diatur secara tepat, sehingga mampu membentuk dan
mengendalikan image yang muncul dalam benak calon konsumen.
Untuk lebih jelasnya, berikut ini pembahasan tentang salah satu reality show
yang dirasa melanggar etika, sebut saja “TM”. Pada acara tersebut, ditayangkan
konflik-konflik dalam kehidupan anak muda terkait dengan keluarga, pasangan
ataupun teman. Pihak produsen acara tersebut, mencoba membuat tayangan tersebut
sedemikian rupa sehingga tampak natural, yaitu dengan menggunakan orang-orang
yang biasa yang bukan aktor untuk berperan dalam acara tersebut, dan dengan teknik
pengambilan gambar yang dibuat seperti dokumenter. Dalam hal pemasarannya pun,
dikatakan bahwa acara tersebut adalah reality show, sehingga masyarakat awam pun
mempersepsikannya sebagai kisah nyata yang memang dialami oleh pemeran-
pemeran yang ada di dalamnya. Di samping itu, pihak marketer acara “TM”
melakukan beberapa strategi pemasaran yang dinilai membohongi publik, seperti
diantaranya yaitu dengan mengiklankan acara tersebut sebagai reality show, dan juga
untuk mempertahankan ratingnya, pihak marketer pernah melakukan promosi acara
tersebut dalam suatu talk show dimana presenter acara tersebut diwawancara dan
terkesan bahwa hal tersebut benar-benar terjadi. Disinilah masalah etika dalam
marketing muncul, yaitu telah terjadi upaya pembohongan atau bahkan penipuan
publik.
Selain karena berbohong, suatu acara televisi bisa bersifat tidak etis juga
karena menipu. Menurut Bertens (2000), penipuan adalah dengan sengaja mengatakan
atau melakukan sesuatu yang mengakibatkan orang lain percaya apa yang tidak benar
dan hal itu dikatakan atau dilakukan dengan maksud agar orang lain percaya.
Berbohong selalu berlangsung dalam rangka bahasa, entah lisan atau tertulis.
Cakupan penipuan lebih luas. Penipuan bisa berlangsung dalam rangka bahasa, tapi
bisa juga dilakukan dengan cara lain. Dengan perbuatan –tanpa mengatakan sepatah
kata pun—bisa mengakibatkan orang lain percaya sesuatu yang tidak benar.
Pembohongan masih berbeda dengan cara lain lagi dari penipuan. Kita hanya
berbicara tentang penipuan, jika suatu perbuatan berhasil sebagai penipuan; dengan
kata lain, jika orang sungguh percaya. Penipuan mempunyai konotasi keberhasilan.
Sedangkan pembohongan tetap merupakan pembohongan, jika orang lain tidak
percaya pada apa yang dikatakannya. Pembohongan seperti itu merupakan usaha
untuk menipu, tetapi tidak berhasil dalam maksudnya.
Yang terjadi dalam kasus reality show yang ada sekarang ini dapat dikatakan
pembohongan publik, apabila dengan sengaja membuat pemirsanya percaya bahwa
acara terebut asli tanpa rekayasa dan secara lisan atau tertulis menyebutkan bahwa
acara tersebut adalah real dengan menggunakan istilah reality show. Kasus tersebut
juga dapat dikatakan penipuan publik jika masyarakat percaya bahwa acara tersebut
asli tanpa rekayasa dikarenakan teknik pengambilan gambar, editing yang menyerupai
dokumenter sehingga memberi kesan bahwa acara tersebut benar-benar merupakan
reality show secara harafiah.
Oleh karena itu, penggunaan istilah reality show perlu ditelaah lebih lanjut,
apakah pihak televisi tidak mengetahui definisi reality show yang sebenarnya, ataukan
mereka sebenarnya tahu namun tidak mempedulikannya dan tidak menginformasikan
bahwa acara tersebut hanya rekayasa, ataukah sengaja berbohong dan membuat
pemirsanya percaya bahwa itu adalah kejadian nyata? Walaupun sebenarnya cukup
aneh apabila pihak produsen tidak mengetahui definisi reality show.
Dalam dunia pertelevisian, program-program televisi merupakan produk yang
hendak dijual dan harus dipasarkan dengan strategi pemasaran yang tepat. Secara
bisnis, program-program televisi yang menamakan dirinya sebagai “reality show” ini
memang sangat menguntungkan. Dengan budget yang tidak besar, peralatan
broadcast yg minim, dan dengan talent yang bersedia dibayar murah, tapi mempunyai
nilai jual program yang tinggi. Akan tetapi kemudian mereka lupa mencopot istilah
reality show atau mungkin dengan sengaja tetap mencantumkannya sebagai salah satu
strategi marketing mereka, agar produk/program acara tersebut mendapat perhatian
banyak pemirsa televisi sehingga dapat menaikkan rating acara tersebut sehingga
meraup keuntungan yang besar.
Kesimpulan dan Saran
Kesimpulan
Cara paling ampuh untuk menanggulangi masalah etis ini adalah pengaturan
diri (self-regulation) oleh dunia periklanan dan penyiaran. Biasanya hal itu
dilakukan dengan menyusun sebuah kode etik dan sejumlah norma dan
pedoman yang disetujui.
Saran
Produksi program televisi berikut pemasarannya harus dijaga agar tidak
menyalahi batas-batas etika. Seharusnya media jangan dijadikan sarana untuk
memperolah keuntungan yang sebesar-besarnya dengan cara membodohi masyarakat.
- Gunakan strategi marketing yang sesuai dengan etika dalam membuat produk
televisi dan dalam pemasarannya.
- Disamping itu, perlu adanya penelitian empiris lebih lanjut mengenai topik ini.
Daftar Pustaka
Agustina, Silvie. (2007). Study Komparasi Sikap Pemirsa SurabayaTerhadap Format Acara
Global TV ”100%MTV” dan Global TV “Mixed”. Skripsi. Surabaya: Fakultas Ilmu
Komunikasi Universitas Kristen Petra.
Harahap, V. (2008). Sikap Remaja di Surabaya Terhadap Kesetiaan Dalam Tayangan “Playboy
Kabel” . Skripsi. Surabaya: Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Kristen Petra.
Kotler,P. dan Keller . (2008). Marketing Management. 13th ed. Uper Saddle River, New Jersey:
Prentice Hall.
Kuswandi, W. (1996). Komunikasi Massa: Sebuah Analisis Media. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Latson, Chris. (2003). The Reality of Ethics in Documentary Editing and Reality Television
Documentaries: A discussion of ethics in documentary editing and how editing and the
ethics applied impact the reality television documentary.
Meilisa, N. (2006). Iklan Kosmetik Pemutih Kulit: Persepsi dan Ekpektasi Pengguna Serta
Tinjauan Etis Menurut tata Krama Periklanan Indonesia. Skripsi. Surabaya: Jurusan
Desain Komunikasi Visual Universitas Kristen Petra.
Nirmala, R.P. (2007). Hubungan Preferensi Kepribadian Berdasarkan Myers Briggs Type of
Indicator dengan Preferensi Privacy Menurut Pedersen: Studi Kuantitatif Pada Peserta
dan Non Peserta Reality Show’ Katakan Cinta’. Skripsi. Depok: Fakultas Psikologi
Universitas Indonesia.
Reiss, S., dan Wiltz, J. (2004). Why People Watch Reality TV. Media Psychology, 6, 363-378.
Suwarno,H.L., dan Hadianto, B. (2008). Stealth Marketing: Permasalahan Etika Dalam Praktek
Pemasaran Terkini. The 2nd National Conference UKWMS. Bandung: Universitas Kristen
Maranatha.
Wahyudi, J.B. (1994). Dasar-dasar Manajemen Penyiaran. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama