You are on page 1of 14

Masalah Etika Marketing

dalam Program Reality Show

Dosen :
Dr. Ike Janita Dewi, MBA dan Dra. Yulia Arisnani, MBA

Diajukan Oleh:
Ratih Puspa Nirmala
Kelas Reguler 22

PROGRAM STUDI MAGISTER MANAJEMEN


SEKOLAH PASCA SARJANA UNIVERSITAS GADJAH MADA
JAKARTA
2009
Pendahuluan

Dewasa ini, acara televisi yang menamakan dirinya sebagai reality show
semakin marak ditayangkan di beberapa stasiun televisi di Indonesia. Adapun
pengertian reality show adalah suatu jenis program televisi yang menayangkan
kehidupan seseorang dalam dunia nyata dan bukan menampilkan tokoh ‘buatan’ yang
diperankan oleh seorang aktor. Menurut Daniel Rahmad, produser beberapa reality
show pada sebuah rumah produksi, tema dari reality show pun beragram, salah
satunya adalah tema cinta (Nirmala, 2007).

Pada awal munculnya reality show di Indonesia, program reality show seperti
Katakan Cinta dan Harap-harap Cemas (H2C) masih menjunjung tinggi konsep
idealis reality show, yang mana pada kedua acara tersebut, memang menayangkan
kehidupan nyata dunia cinta remaja berikut konflik yang ada. Pada acara Katakan
Cinta ditayangkan tentang bagaimana seorang remaja melakukan usaha-usaha yang
romantis untuk mendapatkan hati orang yang ia suka. Sementara itu, dalam acara
Harap-harap Cemas (H2C) menampilkan seorang remaja yang membuntuti keseharian
pasangannya layaknya seorang detektif, untuk mendapatkan bukti apakah
pasangannya tersebut selingkuh.

Dijelaskan dalam situsnya www.katakancinta.com, berdasarkan data rating


AC Nielsen beberapa tahun lalu ketika program ini masih tayang di televisi (program
ini telah habis masa tayangnya sejak tahun 2007), Katakan Cinta adalah program
reality show dengan shared audience mencapai 25% dari seluruh pemirsa televisi yang
menyaksikan seluruh tayangan televisi pada jam tayangnya. Katakan Cinta terpilih
sebagai reality show terfavorit dalam ajang Panasonic Awards 2003, dan nominator
reality show terfavorit Panasonic Awards 2004.

Kesuksesan yang diraih oleh Katakan Cinta dan juga H2C mendorong
beberapa rumah produksi lainnya untuk bersaing membuat program acara serupa,
diantaranya yaitu Termehek-mehek, Cinta Monyet, Backstreet, Kontak Jodoh,
Playboy Kabel, dan beberapa program lainnya. Kuswandi (1996) mengatakan bahwa
maraknya persaingan di antara televisi baik nasional maupun lokal menuntut
production house dan produser untuk berkompetisi mempromosikan program yang
mampu menarik minat pemirsanya. Penilaian kesuksesan suatu acara ditentukan oleh
rating. Untuk dapat mengetahui rating dan audience share, maka stasiun televisi
harus berlangganan AC Nielsen untuk dapat terus memantau jumlah rating yang
diperoleh oleh program-programnya. Rating tersebut dijadikan acuan untuk
menciptakan sebuah program yang tujuannya untuk memperoleh pemasukan iklan
yang tinggi pula (Harahap, 2008).
Berdasarkan observasi dan komunikasi personal dengan beberapa kru dari
produsen acara-acara baru tersebut, dan juga wawancara langsung dengan beberapa
orang yang terlibat di dalamnya, diketahui bahwa acara-acara reality show yang ada
sekarang ini (Termehek-mehek, Cinta Monyet, Backstreet, Playboy Kabel, dan lain-
lain) sudah merupakan rekayasa. Artinya, semua kejadian beserta konflik yang
disajikan tersebut telah diatur dalam skrip. Dengan begitu, seharusnya acara acara
tersebut tidak dapat dikatakan sebagai reality show, namun kenyataannya dalam
promosi dan iklan mengenai acara-acara tersebut mereka masih mengusung istilah
reality show.

Achtner (dalam Latson, 2003) menjelaskan bahwa istilah “reality” dalam


dunia nyata tidak sama dengan “truth” dalam istilah video. Maksud dari pernyataan
tersebut adalah apa yang ditampilkan di reality show mungkin tidak menggambarkan
kejadian nyata atau sebenarnya. Banyak terdapat unsur editing di pasca produksi dan
juga berdasarkan skenario dalam produksinya. Yang jadi permasalan di sini adalah
masyarakat awam masih banyak yang tidak tahu bahwa acara reality show yang
mereka tonton tersebut merupakan hasil rekayasa. Masih banyak masyarakat yang
percaya bahwa acara-acara reality show tersebut adalah nyata dengan segala konflik-
konfliknya yang secara spontan terekam oleh kamera. Selain itu, dalam hal
pemasarannya, iklan yang mempromosikan acara tersebut dikatakan oleh “voice over”
(VO) bahwa acara tersebut merupakan reality show, yang jika diterjemahkan ke
dalam bahasa Indonesia adalah pertunjukan nyata.

Tulisan ini dibuat karena ketertarikan saya terhadap masalah etika yang
terdapat di industri pertelevisian, dalam hal ini kaitannya dengan program-program
televisi yang disebut-sebut sebagai reality show. Berdasarkan pengalaman saya, yang
pernah terlibat langsung dalam memproduksi beberapa reality show dan program
televisi lainnya selama beberapa tahun, diharapkan tulisan ini dapat bermanfaat
memberikan sebuah wacana baru dalam dunia marketing. Maka dari itu, saya akan
mencoba mengaitkan masalah etika dalam reality show dikaitkan dengan teori etika
dan marketing untuk didiskusikan lebih lanjut dalam paper ini.
Tinjauan Pustaka

II. 1. Media

Media adalah sarana untuk mentransmisikan pesan dari sumber ke audience.


Segmen tertentu memiliki kecendrungan konsumsi media tertentu. Ada dua kategori
media, yaitu media cetak dan media siar.

- Media cetak terdiri dari koran, majalah dan sebagainya. Media ini berguna
bagi pemasar karena biasanya liputan dan fleksibilitas geografiknya luas. Iklan
di majalah memberikan kredibilitas, prestise dan dibaca berulang-ulang oleh
konsumen dalam jangka waktu yang lama.
- Televisi merupakan simulasi yang paling dekat dengan simulasi komunikasi
antar pribadi. Keunggulan televisi adalah dapat menyajikan sekaligus sight
dan sound. Televisi mempunyai kapasitas untuk mendramatisasi. Image visual
dan special effect televisi merupaan media penarik perhatian. Televisi juga
menjangkau audience yang luas. (Meilisa, 2006)

II. 2. Reality show


Dalam Nirmala (2007), dijelaskan bahwa reality show berasal dari kata televisi
realitas, yaitu program televisi yang menyajikan situasi yang dramatis atau lucu
namun tidak menggunakan naskah, merupakan kejadian yang sebenarnya (walau
terkadang direncanakan), dan mengutamakan orang biasa daripada actor profesional.
Dengan kata lain, reality show adalah suatu jenis program televisi yang menayangkan
kehidupan seseorang dalam dunia nyata, bukan menampilkan tokoh ‘buatan’ yang
diperankan oleh seorang aktor. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan Reiss dan
Wiltz (2004) bahwa karakteristik reality television/reality show adalah orang biasa
(bukan actor) sebagai karakter utama dalam program tersebut.
Sementara itu, menurut Enrico Situmorang, seorang sutradara, reality show
adalah sebuah tayangan yang bersifat non fiksi, dalam artian kejadian yang sebenarbta
tanpa rekayasa, yang direkam oleh kamera dan diracik semenarik mungkin agar
menjadi sebuah hiburan yang menarik untuk ditonton pemirsa televisi (dalam
Nirmala, 2007).
II. 3. Etika dalam Pemasaran

Salah satu pedoman menilai permasalahan etika dalam praktek pemasaran


adalah American Marketing Associations’s (AMA’s) Statement of Ethic (Martin dan
Smith, dalam Suwarno dan Hadianto, 2008 ). Secara spesifik, contoh dari nilai-nilai
etis yang terdapat dalam AMA’s Statement of Ethic tersebut antara lain honesty,
fairness, dan openness.
- Honesty berbicara tentang “kejujuran dalam berhubungan dengan para pelanggan
dan stakeholder.” Hal ini menghendaki bahwa dalam memasarkan produknya, para
pemasar menceritakan kebenaran dalam setiap situasi dan waktu.
- Fairness berbicara tentang “mencoba untuk menyeimbangkan antara kebutuhan
pembeli dengan kepentingan penjual.” Hal ini menghendaki bahwa dalam menjual
dan mengiklankan produknya, para pemasar melakukannya dengan cara yang jelas,
termasuk menghindari promosi yang bohong, menyesatkan dan menipu.
- Openness berbicara tentang “menciptakan keterbukaan dalam praktek-praktek
pemasaran.” Hal ini menghendaki bahwa para pemasar berusaha untuk melakukan
komunikasi pemasaran secara jelas atau tidak sembunyi-sembunyi kepada seluruh
masyarakat.

Selanjutnya, dijelaskan di dalam situsnya bahwa American Marketing Association


itu sendiri berkomitmen untuk mempromosikan standar profesional norma dan nilai-
nilai etika bagi para anggotanya (praktisi, akademisi dan mahasiswa). Norma-norma
yang membentuk standar-standar perilaku yang diharapkan dan dikelola oleh
masyarakat dan / atau organisasi profesional. Nilai-nilai yang mewakili suatu konsep
kolektif menemukan apa yang diinginkan oleh masyarakat, kepentingan mereka dan
moral yang sepantasnya mereka miliki. Nilai juga dapat menunjukan kriteria yang
tepat dalam mengevaluasi perilaku kita sendiri dan perilaku orang lain. Sebagai
pemasar, seharusnya tidak hanya melayani kepentingan organisasi sendiri, tetapi juga
bertindak sebagai pelayan masyarakat dalam hal menciptakan, memfasilitasi dan
melaksanakan transaksi yang menjadi bagian dari ekonomi yang lebih besar. Dalam
perannya ini, pemasar diharapkan menjunjung tinggi norma etika profesional dan
nilai-nilai etika yang akan diterapkan ini seharusnya dipertanggungjawabkan oleh
beberapa pihak yang berkepentingan (misalnya, pelanggan, karyawan, investor,
rekan-rekan, anggota saluran, regulator dan masyarakat setempat).
II. 3. 1. Norma Etis (Ethical Norms)
Norma Etis dalam pemasaran menurut AMA yaitu bahwa pemasar harus:

1. Tidak boleh merugikan atau membahayakan (do not harm).

Ini berarti secara sadar menghindari tindakan yang merugikan atau membahayakan
karena kelalaian, dengan mewujudkan standar etika yang tinggi dan mempertahankan
ke dalam semua hukum dan peraturan yang berlaku dalam pilihan yang telah dibuat.

2. Membina kepercayaan di dalam sistem pemasaran (foster trust in the marketing


system).

Ini berarti berjuang secara jujur dan adil, sehingga dapat berkontribusi terhadap
kesuksesan dari proses pertukaran serta menghindari penipuan dalam hal desain
produk, biaya, komunikasi, dan distribusi.

3. Mencakup nilai-nilai etika (embrace ethical values).

Ini berarti membangun hubungan dan meningkatkan kepercayaan konsumen dalam


integritas pemasaran, denganmenegaskan nilai-nilai inti ini: kejujuran, tanggung
jawab, keadilan, menghormati, ketransparanan dan kewarganegaraan.

II. 3. 2. Nilai-nilai Etika

Dijelaskan bahwa dalam nilai-nilai etika, pemasar harus berupaya untuk


mengatakan hal dengan jujur, dan juga merepresentasikan produk dengan cara yang
jelas dalam hal penjualan, periklanan, dan bentuk komunikasi lainnya; termasuk
mencegah terjadinya promosi palsu, menyesatkan dan menipu konsumen. Disamping
itu, pemasar juga seharusnya menolak manipulasi dan taktik penjualan yang dapat
merugikan atau membahayakan kepercayaan pelanggan.

(Sumber:www.marketingpower.com/AboutAMA/Pages/Statement%20of
%20Ethics.aspx)
II. 3. 3. Periklanan dan kebenaran

Dalam bukunya yang berjudul Pengantar Etika Bisnis, Bertens (2000)


mengatakan bahwa pada umumnya periklanan tidak mempunyai reputasi baik sebagai
pelindung atau pejuang kebenaran. Sebaliknya, kerap kali iklan terkesan suka
membohongi, menyesatkan, dan bahkan menipu publik. Periklanan hampir apriori
disamakan dengan tidak bisa dipercaya. Tentu saja, pembohongan, penyesatan, dan
penipuan merupakan perbuatan yang – sekurang-kurangnya prima facie – tidak etis.
Analisis

Wahyudi (1994) menjelaskan pengelola siaran harus selalu berorientasi pada


pasar, yaitu pendengar dan pemirsa. Pengelola siaran harus mengetahui selera pasar
dengan secara periodik mengadakan penelitian mengenai selera khalayak atau
audience profile research, dan menyesuaikan materi siaran sesuai selera khalayak.
Memenuhi selera khalayak adalah salah satu tugas pengelola media televisi agar
televisi tersebut dapat bertahan dan dapat juga membiayai program acara yang ada
serta operasionalnya, dengan cara menarik perhatian perusahaan untuk mengiklankan
produknya pada stasiun televisi tersebut.

Salah satu cara untuk menarik perhatian khalayak yaitu dengan mengemas
program acara yang yang digemari khalayak. Oleh karena itu, setiap stasiun televisi
mempunyai format acara televisi yang mana ini dapat menjadi sebuah perencanaan
dasar dari suatu konsep acara televisi yang akan menjadi landasan kreativitas dan
desain produk yang akan terbagi dalam beberapa kriteria utama yang disesuaikan
dengan tujuan dan target pemirsa acara tersebut (Naratama, 2004).

Untuk mengetahui apakah acara televisi tersebut mendapat perhatian khalayak,


maka rating merupakan tolok ukurnya. Di Indonesia, pe-rating-an tersebut dilakukan
oleh AC Nielsen. Acara-acara televisi yang menduduki rating tinggi ini kemudian
menjadi sasaran para marketer untuk menaruh iklan di sela-sela penayangan acara
tersebut. Jika kita perhatikan, dapat kita lihat bahwa acara-acara televisi yang diselingi
oleh banyak iklan merupakan acara-acara yang mendapat perhatian pemirsa televisi.
Dengan begitu, produsen acara-acara televisi berlomba-lomba untuk membuat
tayangan yang diminati oleh para pemirsanya sehingga menarik para pengiklan untuk
memasang iklannya di sela-sela acara tersebut, sehingga harga jual acara tersebut
semakin tinggi.

Acara-acara bertemakan cinta ataupun konflik-konflik dalam kehidupan


pribadi yang ditayangkan dalam format reality show ternyata sangat diminati oleh
pemirsa. Positioning yang dilakukan produsen program televisi Termehek-mehek,
dan acara sejenis lainnya adalah dengan cara menempatkan produknya tersebut di
benak konsumen (pemirsa televisi) sebagai sebuah tayangan reality show, yang jika
diartikan adalah pertunjukan televisi yang berdasarkan kisah nyata yang langsung
didokumentasikan secara langsung tanpa memberitahu bahwa acara-acara tersebut
hanyalah rekayasa. Sehingga menciptakan brand image (wujud brand yang
sebenarnya adalah apa yang terletak di benak konsumen) bahwa tayangan tersebut
merupakan reality show dalam artian sebenarnya.

Brand image tercipta melalui brand association, yaitu saat pemirsa televisi
mengintegrasikan kesan yang mereka tangkap dari sebuah brand dengan struktur
mental pribadi mereka (Kotler dan Keller, 2008). Bagi para pemirsa televisi, brand
image terbentuk berdasarkan pengalaman praktis terhadap produk yang
bersangkutan , dan bagaimana brand tersebut memenuhi harapan mereka. Karena itu
brand strategy harus diatur secara tepat, sehingga mampu membentuk dan
mengendalikan image yang muncul dalam benak calon konsumen.

Untuk lebih jelasnya, berikut ini pembahasan tentang salah satu reality show
yang dirasa melanggar etika, sebut saja “TM”. Pada acara tersebut, ditayangkan
konflik-konflik dalam kehidupan anak muda terkait dengan keluarga, pasangan
ataupun teman. Pihak produsen acara tersebut, mencoba membuat tayangan tersebut
sedemikian rupa sehingga tampak natural, yaitu dengan menggunakan orang-orang
yang biasa yang bukan aktor untuk berperan dalam acara tersebut, dan dengan teknik
pengambilan gambar yang dibuat seperti dokumenter. Dalam hal pemasarannya pun,
dikatakan bahwa acara tersebut adalah reality show, sehingga masyarakat awam pun
mempersepsikannya sebagai kisah nyata yang memang dialami oleh pemeran-
pemeran yang ada di dalamnya. Di samping itu, pihak marketer acara “TM”
melakukan beberapa strategi pemasaran yang dinilai membohongi publik, seperti
diantaranya yaitu dengan mengiklankan acara tersebut sebagai reality show, dan juga
untuk mempertahankan ratingnya, pihak marketer pernah melakukan promosi acara
tersebut dalam suatu talk show dimana presenter acara tersebut diwawancara dan
terkesan bahwa hal tersebut benar-benar terjadi. Disinilah masalah etika dalam
marketing muncul, yaitu telah terjadi upaya pembohongan atau bahkan penipuan
publik.

Menurut Bertens (2000), pengertian berbohong adalah dengan sengaja


mengatakan sesuatu yang tidak benar, agar orang lain percaya. Informasi yang tidak
benar akan menipu publik yang dituju. Suatu acara televisi bukan saja menyesatkan
dengan berbohong, tapi juga dengan tidak mengatakan seluruh kebenaran, misalnya,
karena mendiamkan sesuatu yang sebenarnya penting untuk diketahui.

Selain karena berbohong, suatu acara televisi bisa bersifat tidak etis juga
karena menipu. Menurut Bertens (2000), penipuan adalah dengan sengaja mengatakan
atau melakukan sesuatu yang mengakibatkan orang lain percaya apa yang tidak benar
dan hal itu dikatakan atau dilakukan dengan maksud agar orang lain percaya.

Berbohong selalu berlangsung dalam rangka bahasa, entah lisan atau tertulis.
Cakupan penipuan lebih luas. Penipuan bisa berlangsung dalam rangka bahasa, tapi
bisa juga dilakukan dengan cara lain. Dengan perbuatan –tanpa mengatakan sepatah
kata pun—bisa mengakibatkan orang lain percaya sesuatu yang tidak benar.
Pembohongan masih berbeda dengan cara lain lagi dari penipuan. Kita hanya
berbicara tentang penipuan, jika suatu perbuatan berhasil sebagai penipuan; dengan
kata lain, jika orang sungguh percaya. Penipuan mempunyai konotasi keberhasilan.
Sedangkan pembohongan tetap merupakan pembohongan, jika orang lain tidak
percaya pada apa yang dikatakannya. Pembohongan seperti itu merupakan usaha
untuk menipu, tetapi tidak berhasil dalam maksudnya.

Yang terjadi dalam kasus reality show yang ada sekarang ini dapat dikatakan
pembohongan publik, apabila dengan sengaja membuat pemirsanya percaya bahwa
acara terebut asli tanpa rekayasa dan secara lisan atau tertulis menyebutkan bahwa
acara tersebut adalah real dengan menggunakan istilah reality show. Kasus tersebut
juga dapat dikatakan penipuan publik jika masyarakat percaya bahwa acara tersebut
asli tanpa rekayasa dikarenakan teknik pengambilan gambar, editing yang menyerupai
dokumenter sehingga memberi kesan bahwa acara tersebut benar-benar merupakan
reality show secara harafiah.

Oleh karena itu, penggunaan istilah reality show perlu ditelaah lebih lanjut,
apakah pihak televisi tidak mengetahui definisi reality show yang sebenarnya, ataukan
mereka sebenarnya tahu namun tidak mempedulikannya dan tidak menginformasikan
bahwa acara tersebut hanya rekayasa, ataukah sengaja berbohong dan membuat
pemirsanya percaya bahwa itu adalah kejadian nyata? Walaupun sebenarnya cukup
aneh apabila pihak produsen tidak mengetahui definisi reality show.
Dalam dunia pertelevisian, program-program televisi merupakan produk yang
hendak dijual dan harus dipasarkan dengan strategi pemasaran yang tepat. Secara
bisnis, program-program televisi yang menamakan dirinya sebagai “reality show” ini
memang sangat menguntungkan. Dengan budget yang tidak besar, peralatan
broadcast yg minim, dan dengan talent yang bersedia dibayar murah, tapi mempunyai
nilai jual program yang tinggi. Akan tetapi kemudian mereka lupa mencopot istilah
reality show atau mungkin dengan sengaja tetap mencantumkannya sebagai salah satu
strategi marketing mereka, agar produk/program acara tersebut mendapat perhatian
banyak pemirsa televisi sehingga dapat menaikkan rating acara tersebut sehingga
meraup keuntungan yang besar.
Kesimpulan dan Saran

Kesimpulan

Dalam bisnis pertelevisian, hal-hal yang rawan terjadi adalah kemungkinan


dipermainkannya kebenaran dan terjadinya manipulasi. Oleh karena itu, perlu adanya
kontrol tepat yang dilakukan oleh pemerintah, badan penyiaran, para pengiklan, dan
masyarakat luas, yaitu:

1. kontrol oleh pemerintah.


Di sini terletak satu tugas penting bagi pemerintah, yang harus melindungi
masyarakat konsumen terhadap ketidak etisan dari periklanan dan juga acara-
acara televisi yang menyesatkan.

2. kontrol oleh badan penyiaran dan para pengiklan.

Cara paling ampuh untuk menanggulangi masalah etis ini adalah pengaturan
diri (self-regulation) oleh dunia periklanan dan penyiaran. Biasanya hal itu
dilakukan dengan menyusun sebuah kode etik dan sejumlah norma dan
pedoman yang disetujui.

3. kontrol oleh masyarakat.

Masyarakat luas juga harus diikutsertakan dalam mengawasi mutu etis


program televisi dan periklanan. Salah satu yang dapat dilakukan adalah
dengan memberikan kritik terhadap iklan atau acara-acara televisi yang
dianggap kurang etis, melalui surat pembaca dalam surat kabar.

Dalam pengertian luas, perilaku etis mempunyai banyak manfaat bagi


stakeholders (pemangku kepentingan). Praktek bisnis yang etis berarti lebih sedikit
keluhan mengenai produk barang dan jasa yang berkualitas rendah, lebih sedikit
intervensi aturan pemerintah dalam praktek perusahaan, lebih sedikit pendanaan untuk
organisasi-organisasi pengawas konsumen, pelanggan yang lebih puas, dan pada
puncaknya keuntungan yang meningkat.
Para produsen program acara televisi (production house ataupun in house
production dalam stasiun televisi) hendaknya memikirkan bagaimana cara membuat
produknya yang berupa acara-acara televisi yang sesuai dengan nilai-nilai etika dan
memasarkan produknya tersebut dengan tetap mempehatikan norma etika yang ada.

Saran
Produksi program televisi berikut pemasarannya harus dijaga agar tidak
menyalahi batas-batas etika. Seharusnya media jangan dijadikan sarana untuk
memperolah keuntungan yang sebesar-besarnya dengan cara membodohi masyarakat.

Adapun beberapa cara yang dapat dilakukan untuk meminimalkan adanya


program-program acara yang bersifat pembodohan publik, diantaranya yaitu:

- melalui pengontrolan terhadap produksi dan juga promosi program televisi.


Informasi yang ditampilkan seharusnya tidak bersifat membohongi ataupun
menipu calon konsumen, dalam hal ini yaitu pemirsa televisi.

- meningkatkan mutu etis dari iklan dengan memberikan penghargaan kepada


program televisi yang dinilai paling baik dan sangat memperhatikan aspek etika.
Sebagai contoh, penghargaan yang diberikan oleh instansi pemerintah, Lembaga
Swadaya Masyarakat, majalah, televisi, dalam penilaiannya harus
mengikutsertakan pertimbangan dari sudut pandang etika.

- Hentikan penggunaan istilah “Reality show” pada program-program televisi


seperti Termehek-mehek, Playboy Kabel, dan lain-lain.

- Berilah penjelasan bahwa acara-acara tersebut hanyalah rekayasa atau hanya


merupakan kisah yang diangkat dari kehidupan nyata, namun bukan merupakan
dokumenter dari kisah nyata tersebut.

- Gunakan strategi marketing yang sesuai dengan etika dalam membuat produk
televisi dan dalam pemasarannya.

- Disamping itu, perlu adanya penelitian empiris lebih lanjut mengenai topik ini.

Daftar Pustaka
Agustina, Silvie. (2007). Study Komparasi Sikap Pemirsa SurabayaTerhadap Format Acara
Global TV ”100%MTV” dan Global TV “Mixed”. Skripsi. Surabaya: Fakultas Ilmu
Komunikasi Universitas Kristen Petra.

Bertens, K. (2000). Pengantar Etika Bisnis. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

Harahap, V. (2008). Sikap Remaja di Surabaya Terhadap Kesetiaan Dalam Tayangan “Playboy
Kabel” . Skripsi. Surabaya: Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Kristen Petra.

Kotler,P. dan Keller . (2008). Marketing Management. 13th ed. Uper Saddle River, New Jersey:
Prentice Hall.

Kuswandi, W. (1996). Komunikasi Massa: Sebuah Analisis Media. Jakarta: PT Rineka Cipta.

Latson, Chris. (2003). The Reality of Ethics in Documentary Editing and Reality Television
Documentaries: A discussion of ethics in documentary editing and how editing and the
ethics applied impact the reality television documentary.

Meilisa, N. (2006). Iklan Kosmetik Pemutih Kulit: Persepsi dan Ekpektasi Pengguna Serta
Tinjauan Etis Menurut tata Krama Periklanan Indonesia. Skripsi. Surabaya: Jurusan
Desain Komunikasi Visual Universitas Kristen Petra.

Naratama. (2004). Menjadi Sutradara Televisi. Jakarta: PT Grasindo.

Nirmala, R.P. (2007). Hubungan Preferensi Kepribadian Berdasarkan Myers Briggs Type of
Indicator dengan Preferensi Privacy Menurut Pedersen: Studi Kuantitatif Pada Peserta
dan Non Peserta Reality Show’ Katakan Cinta’. Skripsi. Depok: Fakultas Psikologi
Universitas Indonesia.

Reiss, S., dan Wiltz, J. (2004). Why People Watch Reality TV. Media Psychology, 6, 363-378.

Suwarno,H.L., dan Hadianto, B. (2008). Stealth Marketing: Permasalahan Etika Dalam Praktek
Pemasaran Terkini. The 2nd National Conference UKWMS. Bandung: Universitas Kristen
Maranatha.

Wahyudi, J.B. (1994). Dasar-dasar Manajemen Penyiaran. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama

www.marketingpower.com/AboutAMA/Pages/Statement%20of%20Ethics.aspx, 28 Maret 2009.

www.katakancinta.com, 28 Maret 2009.

You might also like