You are on page 1of 2

PENANGGULANGAN KEJADIAN DEMAM BERDARAH

DENGAN METODE PENDEKATAN SISTEM


Oleh : Muhamad Nizar, SKM

Penyakit Demam Berdarah (DB) setiap tahun menjadi masalah kesehatan


masyarakat, apalagi perkembangannya berdasarkan waktu, dapat dipastikan menjadi
bomber Masyarakat Indonesia seperti sekarang ini. Untungnya bagi kita Lubuk Linggau
dan Musi Rawas kejadian ini tidak sedahsyat tahun 1997-1998 yang lalu.
Kejadian DB sangat berkaitan dengan perilaku petugas dan masyarakat.
Kurangnya komitmen petugas dalam rangka menggerakan Pemberantasan Sarang
Nyamuk (PSN) tidak konsisten dan konsekwen disebabkan Kelompok Kerja (Pokja DB)
hanya retronika serta kepedulian petugas lapangan bersama kader kurang karena beban
kerja yang berat, seperti yang saya amati banyaknya tempat perindukan nyamuk (uget-
uget) yang tidak tersentuh yaitu tempayan penampalan ban, bambu bahan pagar yang
sebelumnya sebagai tadahan air hujan dan lain sebagainya. Sementara dari sisi
masyarakat masih rendahnya tingkat partisipasi masyarakat berperilaku 4M (mengubur
kaleng / barang bekas termasuk bekas totol/gelas minuman (berbagai kemasan),
menguras bak/tong, menutup tong / tempayan serta menghindari gigitan nyamuk pagi dan
sore hari. Sementara pengawasan dan pengendalian secara internal kurang professional
bahkan laporan kinerja program DB belum pernah dievaluasi bersama-sama termasuk
stakeholder, prosedur pelaksanaan DB belum maksimal diaplikasikan sehingga
bimbingan tehnis tidak menyelesaikan persoalan program bahkan kadangkalah
ekstrimnya merupakan metode penghakiman petugas.
Untuk mengidentifikasi dan menyelesaikan persoalan ketidaksiapan fungsi diatas,
maka diperlukan suatu upaya yang berkesinambungan melalui pendekatan system.
Upaya ini diawali dengan mengidentifikasi mana elemen INPUT, PROSES dan
OUTPUT, kemudian ditelaah menggunakan analisis SWOT. Dengan metode ini fungsi
program DB dapat dibagi menjadi tiga kelompok yaitu fungsi pemberantasan sarang
nyamuk (PSN) yang ditopang kelompok kerja (Pokja) DB, kepedulian kader dan
ketekunan petugas; output dari fungsi ini menumbuhkan partisipasi yang apresiatif
terhadap upaya 4M diatas. kedua. Bimbingan tehnis yang mengedepankan metode
pemecahan permasalahan seperti evaluasi atau feedback program yang bersifat learning
by doing outpun dari fungsi ini terpantaunya pelaksanaan program DB yang
berkesinambungan. Sedangkan ketiga, fungsi pelayanan meliputi fungsi surveilans,
diagnosa dini dan pengobatan/perawatan. Outpun dari fungsi ini menekan angka
kematian (fatalitas).
Tetapi kondisi yang kita alami saat ini, bahwa program DB lemah pada tahapan
input dan proses karena tidak adanya komitmen, konsekwen dan konsisten dari setiap
level manajer secara keseluruhan tidak hanya sector kesehatan untuk melaksanakan
upaya-upaya diatas, apalagi pengawasan dan pengendalian atau tindakan turun tangan
(T3) internal tidak responsive. Disamping itu ketidak-mampuan petugas menerapkan
metode pemecahan masalah sehingga pada umumnya bimbingan tehnis hanya mengisi
formulir isiaan (checklist) sebagai pertanggung jawaban keuangan (SPJ).
Sekarang, solusinya berfokus ke pemikiran what bukan who, jadi upaya
intensifikasi maupun ekstensifikasi terutama merumuskan komitmen, konsekwen yang
konsisten disetiap level manajer Kota Lubuk Linggau untuk pembarantasan nyamuk DB
yang aplikatif, skill petugas (Wasor DB) mampu menerapkan metode pemecahan
permasalah yang benar dan utuh, Evaluasi program DB dilakukan minimal setiap enam
bulan sekali. Kesemuanya ini dapat dilaksanakan apabila pengambil keputusan
mendukung ketersediaan dana dan sarana prasarana program DB yang memadai menuju
masyarakat Kota Lubuk Linggau Sehat 2007. Akhirnya coba kita banyangkan, andaikan
dana pengobatan DB (bila terjadi KLB) diinvestasi untuk pembangunan di Kota Lubuk
Linggau, apakah pemerintah merasa rugi ?

Penulis adalah PNS Dinkes Kab


dan Aktivis LSM Sosial di Kab/Kota Lubuk Linggau

You might also like