You are on page 1of 3

Nama : Ali farhan

Nim :07530007
Fak/jur : Ushuluddin/Tafsir Hadits B

“DAULAH ISLAMIYAH”

Islam yang diturunkan Allah SWT kepada Muhammad SAW adalah sebuah
peraturan menyeluruh untuk segala aspek kehidupan dan risalah bagi segenap umat
manusia. Untuk itu, wajar dan bahkan harus ada sebuah pemerintahan/negara yang
bertanggung jawab menerapkan peraturan tersebut dan menyebarluaskan risalah Islam ke
seluruh penjuru dunia. Pemerintahan ini dalam khazanah fiqh Islam biasa disebut
Khilafah atau Imamah, yang tak diragukan lagi kewajibannya dalam Islam. 1

a. Pengertian Kata Sejarah Kata Daulah Islamiyah

Dalam al-Quran ditemukan kata dûlah. yang memiliki makna yang sama sekali lain.
Sama sekali berbeda dengan istilah ‘daulah’. Kata dûlah dalam al-Hasyr (59): 7 lebih
condong bermakna monopoli dalam konteks pembagian harta rampasan perang (fai).
Dalam ayat tersebut dijelaskan, harta-harta rampasan hendaklah dibagi-bagikan secara
adil. Ini supaya tidak hanya beredar (dûlah) di kalangan orang kaya saja.

Lantas, kapan istilah ‘daulah’ muncul dan dalam pengertian ‘negara’? Entahlah.
Tapi, konon kata ‘daulah’ dalam masyarakat Arab pada mulanya berarti beredar atau
berkelilingnya sang raja di wilayah kekuasaannya. Arti ini kemudian bergeser.
Pengertiannya berubah menjadi periode atau wilayah yang menunjukkan adanya tanda-
tanda kekuasaan. Jika dikatakan daulat fulan, misalnya, artinya adalah ‘periode atau
wilayah kekuasaan si Polan’.Istilah daulah islamiyah (negara islam) juga menjadi sentral.
Anehnya lagi, ini mengkristal sedemikian rupa seolah-olah telah menjadi bagian dari
keyakinan yang tak boleh digugat. Daulah islamiyah pun menyerupai iman. Ia seakan-
akan menjadi ‘pembeda’ siapa yang muslim sejati dan siapa yang setengah hati
memegang Islam. Yang tidak meyakini sistem daulah islamiyah adalah yang terbaik,ia
dinilai sekuler, menyeleweng, bahkan dianggap berpihak kepada musuh Islam.

b. Penyelenggaraan system daulah islamiyah dalam tinjauan historis

Kita juga sering mendengar pendapat, daulah islamiyah merupakan sistem penataan
masyarakat yang abadi, berlaku sepanjang masa. Karena, ia tidak berlandaskan kepada
undang-undang buatan manusia: Undang Undang Dasar 1945, Garis Besar Haluan
Negara, Pancasila, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Deklarasi Hak Asasi Manusia
Internasional. Daulah islamiyah, konon, hanya memakai pijakan al-Quran dan hadis.
Dan, dalam praktik-praktik ke-daulah-an (kenegaraan), ia mengambil acuan kebijakan
Rasulullah yang tertuang dalam Piagam Madinah. Tak setitik pun dasar konstitusinya

1
http://www.gaulislam.com/penyelenggaraan-pemerintahan-daulah-islamiyah-dalam-tinjuan-historis/
diambil dari hasil karya cipta manusia. Manusia bisa salah, tapi Tuhan tidak.
Pengetahuan manusia terbatas waktu, tapi ilmu Tuhan tidak demikian. Itulah sebabnya
daulah islamiyah dipercaya betul sebagai sistem terbaik.

Tapi, benarkah konsep daulah islamiyah bukan buatan manusia? Bisa jadi, orang
akan tegas menjawab ‘tidak’. Sebab, seperti tadi dikatakan, daulah islamiyah dibangun
atas dasar syariat Allah yang Mahatahu segala persoalan. Tapi, percaya atau tidak,
konsep ‘daulah’ sendiri lahir di atas sejarah Barat yang dinilai ‘sekuler’ itu. Istilah
‘daulah’ adalah padanan dari istilah ‘state’ yang baru muncul di Abad Modern, yakni
sekitar abad 18. Malah, kata sejumlah ahli, perdebatan di sekitar ‘daulah’ pun muncul
sebagai reaksi atas lahirnya konsep negara modern Barat. Istilah ‘al-islam din wa daulah’
merupakan respon atas sebuah perubahan besar (revolusi) Abad Modern tersebut. Yaitu,
ketika tuntutan pemisahan antara kekuasaan agama dan kekuasaan politik, yang di kenal
dengan sekularisme.

Kalau begitu, jika mau terus terang, kita pun bisa mengatakan, konsep daulah
islamiyah adalah konsep impor, bukan murni lahir dari ajaran Islam. Setidaknya, ia sudah
merupakan campuran. Kalau saja di Barat tidak ada revolusi sosial-politik tersebut, sulit
dibayangkan kita bisa mengenal konsep ‘daulah’, dan mungkin sekarang kita tidak
mendengar kata-kata daulah islamiyah.

Demikian pula, praktik-praktik Rasulullah di Madinah, yang sering dijadikan


rujukan daulah islamiyah, sebenarnya tidak unik. Jika kita lihat sejarah, tatanan politik
semacam itu sudah sejak dulu dipikirkan ahli politik Yunani. Di Yunani, ratusan tahun
sebelum Masehi, sudah dikenal tatanan ‘polis’, sebuah tata masyarakat berperadaban.
Jenis-jenis hukuman pidana yang diterapkan masyarakat Madinah pun sudah dikenal
dalam tradisi lain. Hukuman potong tangan, misalnya, sudah ada dalam peradaban Mesir
kuno sebelum Masehi. Hukum ‘al-‘aynu bil-‘ayni wal-anfu bil-anfi’ (mata dibalas mata,
hidung dibalas hidung) sudah ada dalam Kode Hammurabi, Hukum Athena, Hukum
Romawi,bahkanPerjanjianLama.

Istilah khalifah sendiri tak lepas dari perdebatan. Baru kemudian saja istilah
khalifah memiliki arti ‘pengganti Nabi’ yang mewarisi dua otoritas: otoritas religius dan
otoritas politik. Pada mulanya, khalifah hanya dimaksudkan sebagai ‘orang yang datang
setelah Nabi’ (bukan ‘pengganti’), sebab ‘jabatan’ Nabi tidak bisa diwariskan. Lagi pula,
keempat khalifah itu pun dipilih dengan cara berbeda satu sama lain. Tidak ada pola yang
sistemik. Di samping itu, hanya Abu Bakar saja yang turun tahta tanpa tetesan darah.
Ketiga khalifah lain lengser terbunuh. perang saudara pada masa itu juga gencar.2

Para imam madzhab (Abu Hanifah, Malik, Syafii, dan Ahmad) –rahimahumullah–
telah sepakat bahwa Imamah (Khilafah) itu wajib, dan bahwa ummat Islam wajib
mempunyai seorang Imam (Khalifah) yang akan meninggikan syiar-syiar agama serta
menolong orang-orang yang tertindas dari yang menindasnya…3
2
http://mujtabahamdi.blogspot.com/2003_04_01_archive.html

3
http://www.gaulislam.com/penyelenggaraan-pemerintahan-daulah-islamiyah-dalam-injuan-historis/
c. Penyelenggaraan system daulah islamiyah masa kini

Menurut Nasir islam berbeda dari agama-agama lain, mengandung hokum-hukum


kenegaraan, termasuk hokum perdata dan hokum pidana. Umtuk melaksanaakan hokum-
hukum teresebut tentunya di perlukan lembaga-lembaga yang dengan kekuasaannya
dapat menjamin berlakunya hokum itu. Oleh karena itu adanya penguasa atau pemerintah
merupakan suatu keharusan.

Nasir menjamin bahwa dalam satu Negara yang berdasarkan islam umat dari
agama-agama lain mendapat kemerdekaan dengan luas; dan mereka tidak akan keberatan
kalau di Negara itu berlaku hokum islam mengenai soal-soal kemasyarakatan, karena
hokum tersebut tidak betentangan dengan agam mereka, mengingat bahwa dalam agama
mereka memang tidak ada peraturan yang bersangkutan dengan hal-hal semacam
itu.”dengan berlakunya undang-undang Islam agam mereka tidak akan terganggu, tidak
akan rusak dan tidak akan kurang suatu apapun, tetapi ini tidak berarti bahwa pancasila
itu sudah identik atau meliputi semua ajaran.4

Nabi dan Rasyidin tidak mempunyai masalah dalam menerapkan idealitas-


idealitas dalam bentuk”Negara madianah”, tapi di era modern tidak mudah
merealisasikannya, hal ini karena terdapat perbedaan kondisi social yang terdapat pada
masa Nabi dan masa kini, khususnya terkait dengan konsep Negara bangsa yang
mencakup tidak hanya masalah wilayah tetapi juga dimensi legal dan ideologis. Memang
ada beberapa Negara muslim, yang seara formal mampu mengintegerasikan idealitas
islam dan konsep Negara-bangsa, seperti Saudi Arabia, Iram dan Pakistan, tapi sejauh
yang mampu di jelaskan upaya-upaya ni dahulu ini merupakan bentuk ideal yang di
kembangkan islam. Saudi Arabia, yang secara formal menerapkan syariah (hokum
Islam), masih mempertahankan sikap konservatifnya dam tidak menjalankan reformasi
structur social supaya sesuai idealitas islam dan persyaratan modern5

‫ُس َوةٌ َح َسنَةٌ لِ َم ْن َكان َ َي ْر ُجو اللَّهَ َوالَْي ْو َم اآْل ِخ َر َوذَ َك َر اللَّهَ َكثِ ًيرا‬ ِ ِ ‫﴿ لََق ْد َكا َن لَ ُكم فِي رس‬
ْ ‫ول اللَّه أ‬ َُ ْ

Demi sesungguhnya, adalah bagi kamu pada diri Rasulullah itu contoh
ikutan yang baik, iaitu bagi orang yang sentiasa mengharapkan (keredaan)
Allah dan (balasan baik) hari akhirat, serta dia pula menyebut dan
mengingati

4
H. Munawwir Sjadzali, M.A, Islam dan Tata Negara, UI-PRESS,1992, Jakarta, hlm193
5
Hasan Hanafi Dkk, Islam dan Humanisme, Pustaka Pelajar, 2006 Yogyakara, hlm 142

You might also like