You are on page 1of 10

Latar Belakang Pergerakan Wahabisme

Dari Wahabi ke Padri

SEBUTAN gerakan Wahabi diambil nama dari pelopornya, Muhammad bin Abdul
Wahhab (1703-1787). Tokoh kelahiran Nejd di Saudi Timur itu lantang menegaskan
bahwa Islam yang otentik adalah model Islam pada zaman Nabi dan para sahabatnya. Kala
itu, kaum muslimin hidup berpegang pada Al-Quran dan hadis, tanpa intervensi akal atau
ijtihad terhadap Al-Quran. Mereka inilah yang disebut kaum Salafi.

Dengan semangat menegakkan ajaran kaum Salafi itu, Abdul Wahhab bangkit. Ia
kumandangkan ajakan kembali ke ajaran Islam yang asli. Yakni ajaran yang dijalankan
Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya, termasuk prinsip tauhidnya. Bagi mereka,
kalimat tauhid La ilaha illa Allah (tidak ada Tuhan selain Allah) tak cukup cuma
diucapkan, mesti dimanifestasikan dengan La ma'bud illa Allah (tak ada yang disembah
kecuali Allah).

Mengubah situasi tidak cukup hanya dengan doa dan kata-kata. Perlu tindakan nyata. Ini
pangkal lahirnya Salafi yang radikal. Manifestasinya dengan merusak tempat-tempat yang
dipandang maksiat atau yang berpotensi syirik kepada Allah.

Dengan konsep tauhid itu, Muhammad bin Abdul Wahhab memberantas tradisi yang
dianggap keliru yang hidup dalam masyarakat Arab. Bentuknya, antara lain, menyembah
selain Allah, bernazar kepada selain Allah, dan meminta pertolongan kepada syekh atau
wali.

Tak mengherankan bila para pengikut Muhammad bin Abdul Wahhab lantas menyerang
kuburan-kuburan yang dikeramatkan. Bahkan, pada 1802, mereka menyerang Karbala,
Irak, tempat dikebumikan jasad cucu Nabi Muhammad SAW, Husein bin Ali bin Abi
Thalib. Kuburan Husein di Karbala itu sangat dipuja kaum Syiah.

Dua tahun kemudian, mereka menyerang Madinah, menghancurkan kubah yang ada di atas
kuburan, termasuk hiasan-hiasan yang ada di atas nisan Nabi Muhammad. Keberhasilan
menaklukkan Madinah berlanjut. Mereka masuk ke Mekkah pada 1806, dan merusak
kiswah, kain penutup Ka'bah yang terbuat dari sutra.

Gerakan kaum Wahabi ini membuat Sultan Mahmud II, penguasa Kerajaan Usmani,
Istanbul, Turki, murka. Dikirimlah prajuritnya yang bermarkas di Mesir, di bawah
pimpinan Muhammad Ali, untuk melumpuhkannya. Pada 1813, Madinah dan Mekkah bisa
direbut kembali. Gerakan Wahabi surut.

Tapi, pada awal abad ke-20, Abdul Aziz ibnu Sa'ud bangkit mengusung paham Wahabi.
Tahun 1924, ia berhasil menduduki Mekkah, lalu ke Madinah dan Jeddah, memanfaatkan
keloyoan Turki akibat kekalahannya dalam Perang Dunia I. Sejak itu, hingga kini, paham
Wahabi mengendalikan pemerintahan di Arab Saudi.

Ajaran Wahabi tak cuma berkembang di Timur Tengah. Ia menyebar ke timur, termasuk
India dan Indonesia. Di Indonesia, Wahabi dibawa kaum Padri di Minangkabau, dipelopori
tiga tokoh yang baru menunaikan ibadah haji pada 1803. Mereka adalah Haji Miskin dari
Luhak Agam, Haji Piobang dari Luhak Lima Puluh Kota, dan Haji Sumanik dari Luhak
Tanah Datar.
Mereka dikenal reformis, tapi dengan cara-cara yang radikal. Sebagaimana dilakukan
pengikut Wahabi di Saudi, di Minangkabau mereka juga berlaku keras. Kuburan, sabung
ayam, perjudian, diserang. Tidak hanya itu, surau-surau yang mengembangkan tarekat, dan
memberi penghargaan berlebih pada para syekh, mereka kecam habis. Mereka juga
memerangi pria pemakai emas dan pemadat tembakau.

Dalam sejarahnya, radikalisme tak pernah bisa berkembang luas. Tapi, ia tak juga bisa
dipadamkan secara tuntas. Radikalisme bisa muncul sewaktu-waktu, bila kondisi
keagamaan, sosial, budaya, politik, menurut mereka, tak menguntungkan Islam dan kaum
muslimin. Masalahnya bisa timbul dari dalam, umat Islam sendiri. Bisa juga juga dari luar.

Kaum Salafi radikal itu, menurut guru besar sejarah sekaligus Rektor Universitas Islam
Negeri Jakarta, Azyumardi Azra, cenderung memahami ayat-ayat Al-Quran secara harfiah.
Misalnya, prinsip amar makruf nahi mungkar dilakukan dengan tangan. Prinsip tentang
taghyir (perubahan) yang paling afdol juga dilaksanakan dengan tangan, bukan doa.

Dalam pandangan Azyumardi, cuma kaum Padri di Minangkabau yang mewakili Wahabi
di Indonesia. Selebihnya, kalaupun ada radikalisme yang mengusung jargon-jargon agama,
lebih karena faktor-faktor internal serta eksternal, bukan soal pemikiran dalam aliran.
Antisipasi GP. Ansor/Banser
Terhadap Wahabiisme dan
Menjaga Serta Berkhidmat Pada Aswaja

Dengan melihat kondisi yang real dan berkembang di tengah-tengah masyarakat


GP. Ansor memandang itu semua sangat perlu serta penting untuk mengambil tindakan
yang nyata . GP. Ansor yang sudah tidak di ragukan lagi kiprahnya di ranah Negara
Kesatuan Republik Indonesia baik ketika jaman kolonialisme, jaman kemerdekakan
maupun jaman revolusi , hingga sekarang , Ansor selalu tampil terdepan ikut serta
menjaga keutuhan NKRI dari segala ancaman baik dari luar maupun dari dalam

Antisipasi Wahabisme Lewat Dunia Pendidikan

Adanya aliran semacam Wahabi, warga NU perlu melakukan antisipasi. Diantara yang
mempunyai peran penting adalah melalui lembaga pendidikan. Pasalnya, pendidikan
merupakan dasar awal dalam membentuk manusia manusia dewasa yang mampu mencerna
ideologi yang berkembang termasuk aliran non aswaja.

Pernyataan ini disampaikan ketua Lakpesdam PC NU Kudus HM Asyrofi dalam acara


halal bihalal Badan Pelaksana Pendidikan Ma’arif Nahdlatul Ulama (BPPMNU) dukuh
Kalilopo Klumpit Gebog Kudus yang bertempat di Aula TPQ Al Falah lantai 2 Kalilopo
Sabtu (3/10) malam

Menurut Mantan Ketua DPRD Kudus ini, sekarang ini gerakan Wahabisme telah
mendapatkan tempat di hati warga Indonesia. Hal ini tidak terlepas simbol-simbol
keagamaan yang kemasannya bagus di permukaan.

“Oleh karena itu, NU secara struktural maupun kultural harus faham dan waspada akan
gerakan tersebut. Karena ada indikasi, pada tahun 2019, NU menjadi target untuk
dilenyapkan dari bumi Indonesia,”tandas Asyrofi.

Lebih jauh, politisi muda NU ini menekankan kepada para pengelola lembaga pendidikan
NU harus bersatu dalam menanamkan ideologi aswaja pada anak didik. Jika anak dari
warga nahdliyyin sudah terpengaruh dan masuk dalam aliran non ideologis NU, maka
dosanya adalah dosa sosial.

“Makanya sejak dini perlu dilakukan penguatan dan penanaman ideologi aswaja terhjadap
anak didik. Kita harus sering menjejali pikiran anak-anak didik dengan pemahaman
ideologi aswaja,” kata Asyrofi dalam caramahnya.

Sementara itu, Salah seorang Panitia Halal bihalal Moh Saifuddin Nawawi mengatakan
kegiatan ini bertujuan untuk mengeratkan tali silaturrahim antara guru-guru maupun
pengurus Lembaga pendidikan di bawah naungan BPPMNU ini.

“BPPMNU ini  membawahi  sejumlah lembaga pendidikan yakni Pondok Pesantren Putra
Tarbiyatush Shibyan, Pondok Pesantren Putri Tarbiyatul Banat, TPQ Al-Falah, Raudlatul
Athfal Muslimat NU Al Falah dan Madrasah Diniyyah Al Yasir ini,” tuturnya. (sae)
Kang Said: Wahabi Berkembang Karena Uang

Jakarta, NU Online
Berkembangnya ajaran Wahabi ala Saudi Arabia ke seluruh pelosok dunia belakangan ini
tak lain dan tak bukan karena dukungan dana yang sangat besar yang dialirkan ke para
aktifis pengikut wahabi.

Di Indonesia, kelompok ini mendirikan berbagai yayasan dengan dana sangat besar seperti
di Jakarta, Jember, Situbondo, Solo dan lainnya.

KH Said Agil Siradj, menjelaskan Abdul Wahhab, pendiri wahabisme ini bukanlah
intelektual muslim yang cemerlang. Tak ada karya besar yang dihasilkannya karena ia
hanya mengarang kitab-kitab kecil saja.

Ini tentu berbeda dengan ajaran NU yang mengambil rujukan dari ulama-ulama besar
seperti Imam Syafii, al Ghozali, Asy’ari dan lainnya yang keilmuannya telah teruji dalam
rentang sejarah panjang.

Abdul Wahhab yang tinggal di Nadj atau wilayah timur Saudi Arabia saat ini yang meliputi
Jeddah dan Riyadh, melakukan kolaborasi dengan Ibnu Saud, pendiri kerajaan Saudi
Arabia untuk melakukan pemberontakan terhadap kekhalifahan Turki Utsmani.

Setelah melalui perjuangan panjang, upaya pemisahan diri tersebut berhasil menjadikan
kerajaan Saudi Arabia seperti saat ini. Kemenangan pengikut Islam konservatif yang
didukung oleh tentara badui militan tetapi kurang berpengetahuan ini telah menyebabkan
Islam kehilangan banyak situs sejarahnya di Makkah dan Madinah yang telah dipelihara
dengan baik sejak zaman Rasulullah.

“Mereka melakukan penghancuran luar biasa terhadap situs peninggalan Islam. Hampir
saja makan rasulullah dan khulafaur rasyidien juga dihancurkan,” katanya.

Entah apa jadinya peradaban Indonesia yang sangat kaya dengan tradisi ini jika dana-dana
hasil minyak ini digelontorkan untuk kampanye atas nama pemurnian Islam konservatif ala
wahabi ini terus berkembang

wahib wahab menulis:


bila gerakan Wahabi disebarkan di Indonesia adalah salah sasaran, karena main set Islam di
Indonesia adalah dibangun dengan keragaman kultur dan kebudayaan serta ajaran hindu
budha yang sudah mengajar lebih lama. Sungguh luar biasa jasa para wali, yang
mengadakan islamisasi ajaran hindu budha. Namun yang perlu direspons oleh pemikiran
dan ilmuan serta pemerhati NU adalah penyadaran generasi muda (khususnya pelajar) yang
menjadi sasaran gerakan wahabi dan gerakan sempalan yang lain. bayangkan, biasanya kita
rasakan hingga kini, betapa remaja NU sudah tidak mengindahkan amalaiah nahdliyah
"mereka tidak kunut, tidak ikut membaca Yasinan, tahlilan, diba'an/barzanji dan bahkan
mengganggap ziarah kubur sebagai syirik dan khurafat. belum lagi gempuran kalangan lain
yang menjadikan buku dan tulisan MAHRUS ALI yang mengkalim sebagai mantan Kyai
NU. karena itu, PBNU harus meberikan intruksi kepada seluruh cabang agar PCNU lebih
serius merespon gerakan wahabi yang sudah memasuki kantong-kantung NU.
Doktrin Aswaja di Bidang Sosial-Politik

Berdirinya suatu negara merupakan suatu keharusan dalam suatu komunitas umat (Islam).
Negara tersebut dimaksudkan untuk mengayomi kehidupan umat, melayani mereka serta
menjaga kemaslahatan bersama (maslahah musytarakah). Keharusan ini bagi faham
Ahlussunnah wal Jama’ah (Aswaja) hanyalah sebatas kewajiban fakultatif (fardhu kifayah)
saja, sehingga –sebagaimana mengurus jenazah– jika sebagian orang sudah mengurus
berdirinya negara, maka gugurlah kewajiban lainnya.

Oleh karena itu, konsep berdirinya negara (imamah) dalam Aswaja tidaklah termasuk salah
satu pilar (rukun) keimanan sebagaiman yang diyakini oleh Syi'ah. Namun, Aswaja juga
tidak membiarkan yang diakui oleh umat (rakyat). Hal ini berbeda dengan Khawarij yang
membolehkan komunitas umat Islam tanpa adanya seorang Imam apabila umat itu sudah
bisa mengatur dirinya sendiri.

Aswaja tidak memiliki patokan yang baku tentang negara. Suatu negara diberi kebebasan
menentukan bentuk pemerintahannya, bisa demokrasi, kerajaan, teokrasi ataupun bentuk
yang lainnya. Aswaja hanya memberikan kriteria (syarat-syarat) yang harus dipenuhi oleh
suatu negara. Sepanjang persyaratan tegaknya negara tersebut terpenuhi, maka negara
tersebut bisa diterima sebagai pemerintahan yang sah dengan tidak mempedulikan bentuk
negara tersebut. Sebaliknya, meskipun suatu negara memakai bendera Islam, tetapi di
dalamnya terjadi banyak penyimpangan dan penyelewengan serta menginjak-injak sistem
pemerintahan yang berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan, maka praktik semacam itu
tidaklah dibenarkan dalam Aswaja.

Persyaratan yang harus dipenuhi oleh suatu negara tersebut adalah:

a. Prinsip Syura (Musyawarah)

Prinsip ini didasarkan pada firman Allah QS asy-Syura 42: 36-39:

َ‫ َوالَّ ِذين‬. َ‫ع ا ْل َحيَا ِة ال ُّد ْنيَا َو َما ِعن َد هَّللا ِ َخ ْي ٌر َوأَ ْبقَى ِللَّ ِذينَ آ َمنُوا َو َعلَى َربِّ ِه ْم يَتَ َو َّكلُون‬
ُ ‫َي ٍء فَ َمتَا‬ ْ ‫فَ َما أُوتِيتُم ِّمن ش‬
َّ ‫ست ََجابُوا لِ َربِّ ِه ْم َوأَقَا ُموا ال‬
َ‫صاَل ة‬ ْ ‫ َوالَّ ِذينَ ا‬. َ‫ضبُوا ُه ْم يَ ْغفِرُون‬ ِ ‫ش َوإِ َذا َما َغ‬ َ ‫اح‬ ِ ‫َي ْجتَنِبُونَ َكبَائِ َر اإْل ِ ْث ِم َوا ْلفَ َو‬
َ‫َصرُون‬ َ ‫ َوالَّ ِذينَ إِذا أ‬. َ‫ َوأَ ْم ُر ُه ْم شُو َرى بَ ْينَ ُه ْم َو ِم َّما َر َز ْقنَا ُه ْم يُنفِقُون‬ 
ِ ‫صابَ ُه ُم ا ْلبَ ْغ ُي ُه ْم يَنت‬ َ َ

Maka sesuatu apapun yang diberikan kepadamu, itu adalah kenikmatan hidup di dunia,
dan yang ada pada sisi Allah lebih baik dan lebih kekal bagi orang-orang yang beriman,
dan hanya kepada Tuhan mereka, mereka bertawakkal. Dan (bagi) orang-orang yang
menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan-perbuatan keji, dan apabila mereka marah,
mereka memberi maaf. Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan
Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan
musyawarah antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rizki yang kami
berikan kepada mereka. Dan (bagi) orang-orang yang apabila mereka diperlakukan
dengan lalim mereka membela diri.

Menurut ayat di atas, syura merupakan ajaran yang setara dengan iman kepada Allah
(iman billah), tawakal, menghindari dosa-dosa besar (ijtinabul kaba'ir), memberi ma'af
setelah marah, memenuhi titah ilahi, mendirikan shalat, memberikan sedekah, dan lain
sebagainya. Seakan-akan musyawarah merupakan suatu bagian integral dan hakekat Iman
dan Islam.

b. Al-'Adl (Keadilan)
Menegakkan keadilan merupakan suatu keharusan dalam Islam terutama bagi penguasa
(wulat) dan para pemimpin pemerintahan (hukkam) terhadap rakyat dan umat yang
dipimpin. Hal ini didasarkan kepada QS An-Nisa' 4:58

‫س أَن ت َْح ُك ُمو ْا ِبا ْل َعد ِْل إِنَّ هّللا َ نِ ِع َّما َي ِعظُ ُكم بِ ِه‬ ِ ‫إِنَّ هّللا َ َيأْ ُم ُر ُك ْم أَن تُؤدُّو ْا األَ َمانَا‬
ِ ‫ت إِلَى أَ ْهلِ َها َوإِ َذا َح َك ْمتُم بَيْنَ النَّا‬
ً‫صيرا‬ ِ َ‫س ِميعا ً ب‬ َ َ‫ إِنَّ هّللا َ َكان‬ 
Sesungguhnya Allah meyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak
menerimanyaa dan menyuruh kamu apabila menetapkan hukum diantara manusia supaya
kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-
baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah maha mendengar lagi maha melihat.

c. Al-Hurriyyah (Kebebasan)

Kebebasan dimaksudkan sebagai suatu jaminan bagi rakyat (umat) agar dapat melakukan
hak-hak mereka. Hakhak tersebut dalam syari'at dikemas dalam al-Ushul alKhams (lima
prinsip pokok) yang menjadi kebutuhan primer (dharuri) bagi setiap insan. Kelima prinsip
tersebut adalah:

a) Hifzhun Nafs, yaitu jaminan atas jiwa (kehidupan) yang dirniliki warga negara (rakyat).
b) Hifzhud Din, yaitu jaminan kepada warga negara untuk memeluk agama sesuai dengan
keyakinannya.
c) Hifzhul Mal, yaitu jaminan terhadap keselamatan harta benda yang dirniliki oleh warga
negara.
d) Hifzhun Nasl, yaitu jaminan terhadap asal-usul, identitas, garis keturunan setiap warga
negara.
e) Hifzhul 'lrdh, yaitu jaminan terhadap harga diri, kehormatan, profesi, pekerjaan ataupun
kedudukan setiap warga negara.

Kelima prinsip di atas beserta uraian derivatifnya dalam era sekarang ini lebih menyerupai
Hak Asasi Manusia (HAM).

d. Al-Musawah (Kesetaraan Derajat)

Semua warga negara haruslah mendapat perlakuan yang sama. Semua warga negara
memiliki kewajiban dan hak yang sama pula. Sistem kasta atau pemihakan terhadap
golongan, ras, jenis kelamin atau pemeluk agama tetlentu tidaklah dibenarkan.

Dari beberapa syarat tersebut tidaklah terlalu berlebihan jika dikatakan bahwa sebenarnya
sistem pemerintahan yang mendekati kriteria di atas adalah sistem demokrasi. Demokrasi
yang dimaksud adalah sistem pemerintahan yang bertumpu kepada kedaulatan rakyat. Jadi
kekuasaan negara sepenuhnya berada di tangan rakyat (civil sociery) sebagai amanat dari
Allah.

Harus kita akui, bahwa istilah "demokrasi" tidak pemah dijumpai dalam bahasa Al-Qur’an
maupun wacana hukum Islam klasik. Istilah tersebut diadopsi dari para negarawan di
Eropa. Namun, harus diakui bahwa nilai-nilai yang terkandung di dalamnya banyak
menyerupai prinsip-prinsip yang harus ditegakkan dalam berbangsa dan bernegara menurut
Aswaja.

Dalam era globalisasi di mana kondisi percaturan politik dan kehidupan umat manusia
banyak mengalami perubahan yang mendasar, misalnya kalau dulu dikenal komunitas
kabilah, saat ini sudah tidak dikenal lagi bahkan kondisi umat manusia sudah menjadi
"perkampungan dunia", maka demokrasi harus dapat ditegakkan.
Pada masa lalu banyak banyak ditemui ghanimah (harta rampasan perang) sebagai suatu
perekonomian negara. Sedangkan pada saat ini sistem perekonomian tersebut sudah tidak
dikenal lagi. Perekonomian negara banyak diambil dari pajak dan pungutan lainnya. Begitu
pula jika pada tempo dulu aqidah merupakan sentral kekuatan pemikiran, maka saat ini
aqidah bukanlah merupakan satusatunya sumber pijakan. Umat sudah banyak berubah
kepada pemahaman aqidah yang bersifat plural.

Dengan demikian, pemekaran pemikiran umat Islam haruslah tidak dianggap sebagai
sesuatu hal yang remeh dan enteng, jika umat Islam tidak ingin tertinggal oleh bangsa-
bangsa di muka bumi ini. Tentu hal ini mengundang konsekuensi yang mendasar bagi umat
Islam sebab pemekaran terse but pasti banyak mengubah wacana pemikiran yang sudah
ada (salaf/klasik) dan umat Islam harus secara dewasa menerima transformasi tersebut
sepanjang tidak bertabrakan dengan hal-hal yang sudah paten (qath'iy). Sebagai contoh,
dalam kehidupan bemegara (baca: demokrasi), umat Islam harus dapat menerima seorang
pemimpin (presiden) dari kalangan non-muslim atau wanita.
KH Said Aqil Siradj
Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU)

Budaya Indonesia Islami (2)

Agama merupakan salah satu sumber kebudayaan. Dalam penerapan hukum syari'ah,
kebudayaan lokal (local culture) justru semakin kaya oleh nilai-nilai baru. Dalam hal
berbusana misalnya. Islam melalui IImu Fiqih hanya memberikan norma (makna atau
esensi). Norma dan makna itu berupa batasan aurat yang harus ditutupi.

Adapun dalam hal mode pakaian, agama tidak menuntut mode tertentu seperti mode
pakaian zaman Rasul SAW. Karena agama memandang mode (makna simbol) sebagai
bagian dari semangat kreativitas tradisi, budaya. Semangat kreativitas itu dapat berubah di
setiap komunitas, tempat, dan zaman. Sebaliknya, ketentuan menutup batasan aurat
merupakan bagian dari norma agama yang tidak berubah. Begitu juga dalam hal lainnya.

Islam diturunkan di lingkungan budaya Arab, dan Rasul SAW adalah orang Arab. Namun
dalam hal ini, Islam tidak identik dengan Arab. Atau sebaliknya, Arab tidak identik dengan
Islam. Dengan ketentuan seperti ini, Islam akan dapat diterima dengan tumbuh subur di
segala tempat, komunitas dan zaman. Ajarannya dapat diterapkan pada karakter dan kultur
budaya masing-masing umat. Itulah bukti, nilai ajaran Islam itu fleksibel.

Berkaitan dengan penerapan hukum syari'ah, Hadits menyebutkan: Kalian, para sahabat,
hidup di suatu zaman (zaman Rasul saw), bila kalian meninggalkan 10% (sepuluh persen)
dari ajaran agama (artinya, telah menerapkan 90%), maka kalian akan hancur diazab oleh
Allah. Namun kelak, akan datang suatu zaman, kendatipun mereka baru mampu
menerapkan 10% (sepeluh persen) saja dari ajaran agama ini, mereka akan selamat dari
ancaman azab. (H.R Turmudzi).

Rasul saw menyebutkan angka 10% dalam hal tolok ukur keselamatan umat akhir zaman.
Penyebutan angka ini bersifat kontekstual. Maksudnya, - wallahu a'lam - Rasul SAW
sangat memahami dampak globalisasi terhadap kesulitan umat dalam penerapan hukum
syari'ah secara sempuma. Itulah sebabnya, Rasul SAW menduga, lebih tepatnya
memprediksi, akan ada indikasi penurunan kuantitas dan kualitas penerapan hukum
syari'ah dalam kehidupan umat pad a akhir zaman. Terlepas dari itu semua, Hadits yang
jauh menjangkau masa depan ini (futuris) dapat dipandang sebagai dorongan moral-
spiritual bagi umat untuk berusaha semaksimal mungkin dalam penerapan hukum syari'ah
sebatas kemampuannya. Walaupun pada akhirnya sulit untuk menerapkannya secara
sempurna. Bukankah Allah SWT sering menegaskan, bertakwa-lah sesuai dengan kadar
kemampuanmu, Ittaqullah mastatha'tum. Semakin tinggi tingkat kesulitan dalam
pelaksanaan suatu pekerjaan, semakin tinggi nilai penghargaan yang diperolehnya dari
Allah SWT.

Penghargaan ini terlepas dari berhasil atau tidaknya pekerjaan tersebut. Karena yang akan
ditanya Allah swt kelak pada hari kemudian adalah: Apa upayamu? dan bukan apa
hasilmu. Karena, upaya merupakan hak yang dimiliki pihak manusia, sementara hakekat
penentu keberhasilan ada di tangan Allah swt secara mutlak. Itulah sebabnya, Allah swt
tidak menanyakan kepada hamba-Nya tentang sesuatu yang ada di tangan-Nya. Yakni,
keberhasilan.

Ekstrimisme dalam Penerapan Hukum Syari'ah

Masih berkaitan dengan penerapan hukum syari'ah, Rasul SAW memperingatkan para
ekstrimis yang cenderung melakukan kekerasan dalam kehidupan beragama. Ekstrimitas
adalah tindakan yang melewati batas (radikal) yang biasanya cenderung bersifat kaku.
Ekstrimitas dalam beragama berarti perbuatan yang berkaitan dengan pelaksanaan ajaran
agama yang bersifat berlebihan atau cenderung kaku. Mengingat bahaya yang ditimbulkan
oleh ekstrimitas ini, ada banyak Hadits yang memberi peringatan. Peringatan tersebut
tertuang di antaranya dalam Hadits berikut:

Hati-hati dengan ekstrimisme dalam kehidupan beragama karena kehancuran umat


terdahulu terjadi karena ekstrimisme da/am kehidupan beragama. (HR. Ahmad dan An-
Nasa’i)

Celaka orang-orang ekstrim !!! (diucapkan oleh Rasul SAW sampai tiga kali). (H.R
Muslim). (Perawi Hadits berkata): Orang-orang ekstrim adalah orang-orang yang
melakukan kekerasan yang bukan pada tempatnya da/am kehidupan beragama.

Pertanyaannya, mengapa ektrimisme di dalam penerapan hukum syari'ah dilarang Rasul


saw? Mengapa beliau bahkan mewanti-wanti kepada umatnya, kehancuran umat terdahulu
terjadi disebabkan oleh ekstrimisme? Di dalam agama, terdapat batasan wewenang
manusia sebagai hamba Allah swt. Ketika seseorang berdakwah sesuai dengan
wewenangnya dalam rangka menerapkan hukum syari'ah, ia memiliki keterbatasan
terutama menyangkut ketidakmampuan seseorang memberi hidayah kepada objek dakwah
(mad'u). la mesti sadar, Allah SWT tidak memberikan wewenang kepada siapapun untuk
mampu memberikan hidayah kepada sesamanya. Pemberian hidayah adalah wewenang
mutlak Allah SWT.

Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi hidayah kepada orang yang kamu kasihi,
tetapi Allah memberi hidayah kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Allah lebih
mengetahui orang-orang yang mau menerima hid ayah. (QS al-Qashash, 56).

Jangankan menusia biasa, setingkat Nabi Ibrahim as sekalipun, tidak mampu memberikan
hidayah kepada ayahnya. Nabi Nuh as tidak mampu memberi hidayah kepada anaknya.
Nabi Luth as tidak mampu memberi hidayah kepada istrinya. Bahkan, Nabi Muhammad
SAW sendiri, tidak diberi wewenang untuk bisa memberikan hidayah kepada pamannya,
Abu Thalib. Apalagi dengan manusia kebanyakan lainnya.

Atas dasar batasan wewenang manusia itulah, agama melarang segala bentuk pemaksaan
atas nama agama. Tindakan yang termasuk dilarang adalah tindak kekerasan dan
ekstrimitas dalam kehidupan beragama. Hadits Rasul SAW berikut memberi penegasan.
Demi Allah, bila kalian tidak berbuat dosa, Allah mengganti kalian dengan generasi baru
yang berbuat dosa. Namun, mereka selalu meminta ampun kepada-Nya dan
Mahapengampun memberikan ampunan kepada mereka. (H.R Muslim)

Sepintas lalu, Hadits tersebut sepertinya menyadarkan kita, bahwa manusia begitu rentan
untuk berbuat dosa. Di dalam diri setiap manusia telah diselipkan oleh Allah SWT berbagai
unsur syahwat. Di dalamnya ada peluang keburukan dan kebaikan. Namun, yang
sebenamya sangat "dipermasalahkan" oleh Allah swt adalah: Mengapa manusia enggan
untuk meminta ampunan kepadaNya? Mengapa manusia juga berat hati untuk kembali dan
bertaubat kepada-Nya? Padahal Allah SWT Mahapengampun dan Dia paling suka untuk
memberikan ampunan.

Tujuan utama Allah swt mengutus Rasul SAW adalah untuk menyempumakan etika,
moral, dan akhlak yang mulia. Rasul SAW bersabda: Sesungguhnya aku (Rasul SAW)
diutus (oleh Allah swt) untuk menyempumakan akhak (etika) yang mulia. (HR. Ahmad).

Hadits ini sang at menekankan pentingnya etika, moral dan akhlak yang mulia. Secara
khusus, dalam penerapan hukum syari'ah. Penekanan seperti ini dapat dilihat juga dari
firman Allah SWT; "Dan bila engkau (Rasul) tidak ramah dan berhati keras (dalam ber-
da'wah) maka pasti orang-orang menghindar darimu." (Q.S. Ali Imran: 159)

Dalam ayat ini, Allah SWT mengingatkan Rasul SAW agar tetap menjaga etika di dalam
melaksakan tugas da'wahnya. Jadi, siapapun tidak dibenarkan "mengatasnamakan"
penerapan hukum syari'ah dengan cara melakukan pelanggaran terhadap etika, moral dan
akhlak yang mulia. Artinya, dalam situasi dan kondisi bagaimana pun, ia harus tetap
mengacu dan berada pada koridor tersebut.

Di samping itu, realita yang terjadi di lapangan menunjukkan bahwa segala bentuk upaya
yang dilakukan oleh manusia --termasuk dalam upaya dakwah bil lisan maupun bil-hal -
tingkat keberhasilan dan kegagalannya dalam hal mendapat hidayah, sepenuhnya menjadi
wewenang mutlak Allah SWT. Keterlibatan dan segala yang diupayakan manusia
menunjukkan, Allah SWT menghargai posisi dan kapasitas manusia sebagai khalifah di
muka bumi. Namun, keberhasilan usaha seriusnya itu ada di tangan kekuasaan-Nya.
Demikian pula agenda yang pasti berjalan di lapangan adalah agenda dan kehendak-Nya.
Sesuatu yang lazim untuk dilakukan manusia, saat melakukan upaya-upaya penerapan
hukum syari'ah melalui jalur kultur budaya religi adalah, tawakal dan bergantung hanya
kepada Allah SWT Yang Mahakuasa. Dengan begitu, keshalehan umat, ketaatan beragama,
bangsa yang berbudi dan berbudaya luhur, negeri yang makmur, sejahtera, aman dan
sentosa, semoga dapat segera terwujud.

Kesimpulan

Dinamika Hukum Islam, temyata di dalamnya terdapat beberapa hal yang cukup menarik
untuk dicermati, diantaranya:

1. Allah SWT, walau memiliki otoritas absolut atas hamba-hamba-Nya, namun sangat
menghargai hamba-Nya ketika Dia menetapkan hukum syari'ah dengan melibatkan ummat
dalam memproses hukum-Nya.

2. Allah SWT menerapkan pendekatan partisipatif dengan memposisikan umat sebagai


subjek-aktif yang dihargai, dan bukan sebagai objek-pasif yang didikte. Keterlibatan ini
berlangsung mulai dari memproses hukum, memilih altematif hukum sampai pada saat
penerapan hukum syari'ah, padahal mereka adalah hamba-Nya.
3. Keberadaan karakter dan dinamika yang terdapat dalam hukum Islam, sebenamya
memberi peluang emas yang seluas-luasnya kepada umat Islam untuk dapat lebih pro-aktif
berkreasi dengan sang at fleksibel tanpa kaku di dalam penerapan hukum syari'ah yang
berpijak pada kemampuan, kondisi budaya lokal serta kondisi zaman dimana umat Islam
berada. Dan tentunya termasuk kita sebagai umat Islam yang hidup berdampingan dengan
umat agama lainnya di Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berasaskan Pancasila
dan UndangUndang Dasar 1945.

Bagi sebagian orang yang kurang memahami hubungan antara agama dan budaya, terutama
kurang bisa membedakan antara hal-hal yang bersifat normatif agama dan budaya ketika
Islam diterapkan oleh Rasul SAW di lingkungan bangsa dan budaya Arab. Maka dalam
penerapan Islam-nya di Indonesia yang terjadi adalah Arabisasi Indonesia atas nama
Agama. Padahal, sesuai dengan Karakter dan Dinamika Hukum Islam, ketika nilai-nilai
agama Islam diterapkan pada suku Sunda, maka lahirlah Budaya Sunda Islami, begitu juga
dengan Budaya Jawa Islami, Budaya Bugis Islami dan seterusnya.

You might also like